17
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 1 PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM ISLAM Mudzakir 1 Abstract Ontology is an essential element of a state recognized Islam as a vehicle for the realization of the teachings of Islam to be more effective. In line with this definition, the fuqaha 'stated that terlaksananyanya an obligation that depends on an element, then the element of it being mandatory anyway. For Muslims charged with enforcing Shari'ah Islamic Jihad and combat actions in violation of God to exalt "kalimatullah", not just claims to defend the homeland for the love of the homeland itself. A variety of acts which violate the provisions of God in the administration of local elections must be eliminated through the enforcement of Islamic law, one of which evokes a sense of nationalism in the Islamic perspective. By disseminating understand nationalism to all citizens of the nation - both for candidates and citizens can revive Indonesian civilization towards a more dignifieds, clean from dirty good practices in managing this beloved country and especially in the conduct of elections to the area. Key word: Islamic nationalism. A. Pendahuluan Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai elemen penting berdemokrasi pada era reformasi, menarik untuk mendapatkan perhatian ialah karena adanya otonomi daerah yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintah daerah. 2 Tuntutan akan pentingnya demokrasi khususnya berkaitan dengan kewenangan mengatur dan mengurus suatu wilayah di Indonesia, antara lain diwujudkan dengan legislasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. 3 Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. Dalam konteks demikian, otonomi daerah bukanlah tujuan, melainkan sebagai instrumen berdemokrasi untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, yang salah 1 Penulis adalah Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus 2 Lihat Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 3 Tentang Pemerintah Daerah, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. tentang tujuan legislasi ada pada paragraf keempat, pasal 45.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · adanya otonomi daerah yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintah ... masyarakat nusantara dalam menghadapi berbagai

Embed Size (px)

Citation preview

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

1

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

Mudzakir1

Abstract

Ontology is an essential element of a state recognized Islam as a vehicle for the

realization of the teachings of Islam to be more effective. In line with this definition, the

fuqaha 'stated that terlaksananyanya an obligation that depends on an element, then the

element of it being mandatory anyway.

For Muslims charged with enforcing Shari'ah Islamic Jihad and combat actions in

violation of God to exalt "kalimatullah", not just claims to defend the homeland for the

love of the homeland itself. A variety of acts which violate the provisions of God in the

administration of local elections must be eliminated through the enforcement of Islamic

law, one of which evokes a sense of nationalism in the Islamic perspective.

By disseminating understand nationalism to all citizens of the nation - both for

candidates and citizens can revive Indonesian civilization towards a more dignifieds, clean

from dirty good practices in managing this beloved country and especially in the conduct

of elections to the area.

Key word: Islamic nationalism.

A. Pendahuluan

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai elemen penting

berdemokrasi pada era reformasi, menarik untuk mendapatkan perhatian ialah karena

adanya otonomi daerah yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus urusan

pemerintah daerah.2 Tuntutan akan pentingnya demokrasi khususnya berkaitan dengan

kewenangan mengatur dan mengurus suatu wilayah di Indonesia, antara lain diwujudkan

dengan legislasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,

yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.3

Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk mengurus pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam

sistem NKRI. Dalam konteks demikian, otonomi daerah bukanlah tujuan, melainkan

sebagai instrumen berdemokrasi untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, yang salah

1Penulis adalah Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus 2Lihat Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 3 Tentang Pemerintah Daerah, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. tentang tujuan

legislasi ada pada paragraf keempat, pasal 45.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

2

satunya ditandai dengan semakin menguatnya partisipasi masyarakat dalam proses politik

dan pembangunan daerah.

Otonomi Daerah yang diatur melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 lebih

lanjut memberikan kesempatan kepada masing-masing daerah (propinsi, kabupaten dan

kota) untuk menentukan dan memilih pimpinan wilayah (gubernur, bupati dan wali kota

beserta wakilnya) masing-masing secara langsung.4 Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004,

mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota

diadakan Pilkada untuk memilih para pemimpin daerahnya. Sehingga warga dapat

menentukan pemimpin daerahnya menurut hati nuraninya sendiri.

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau seringkali disebut

Pilkada, adalah pemilihan untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara

langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.

Sebelumnya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni

2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara

Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi

bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pilkada pertama yang

diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007. Pilkada

diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota

dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan

Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada

diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia

Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).

Dasar dan tujuan memilih Kepala Daerah secara langsung adalah agar mereka

lebih mandiri dalam mengurus masyarakatnya dan sekaligus mewujudkan keadilan dan

kesejahteraan yang merata dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tujuan tersebut kemudian harus diterjemahkan oleh Kepala Daerah terpilih yang

disesuaikan dengan karakteristik dan keunggulan masing-masing daerah dengan tetap

berpegang wawasan kebangsaan atau nasionalisme. Menipisnya atau bahkan hilangnya

wawasan kebangsaan dalam mengelola negeri yang kita cintai ini menimbulkan banyak

kekurangan dan pelanggaran menjelang, pada saat dan setelah pemilihan kepala daerah,

baik oleh kepala daerah terpilih maupun oleh masyarakat secara umum.

Lebih jauh menipisnya atau hilangnya wawasan kebangsaan para pemimpin

kepala daerah menjadikan tidak tercapainya tujuan legislasi Undang Undang No. 32 Tahun

2004 dan undang-undang lainnya. Prinsip dasar wawasan kebangsaan dalam berbagai

undang-undang, seperti terimplementasinya ajaran Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika tidak terwujud

4Pasal 32 ayat 5 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

3

dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dapat dikatakan bahwa pemilihan kepala

daeah yang telah dilaksanakan, secara kualitatif belum berhasil, sekalipun demikian perlu

dianalisis lebih mendalam tentang besarnya peran serta rakyat dalam melaksanakan

Pemilihan Kepala Daerah.

B. Wawasan Kebangsaan (Nasionalisme) dalam Perspektif Islam

Nasionalisme berasal dari kata natie dan national yang berasal dari kata latin natio

yang berarti bangsa yang dipersamakan karena kelahiran. Nasionalisme ada karena adanya

kesamaan kepentingan secara umum meskipun terdapat perbedaan dalam ras, etnis, agama

dan golongan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Nasionalisme merupakan perwujudan

kesadaran nasional bagi individu atau kelompok sebagai suatu bangsa. Nasionalisme

merupakan perwujudan dari imajinasi sebagai bagian atau anggota suatu bangsa.

Nasionalisme mensyaratkan adanya solidaritas individu atau masyarakat terhadap bangsa.

Nasionalisme terkait dengan kewarganegaraan di dalam suatu bangsa.

Tonggak Nasionalisme di Indonesia dibangun atas dasar: 1) Modal sejarah,

Sumpah Amukti Palapa, yaitu perlawanan masyarakat nusantara terhadap penjajahan

Belanda, Jepang dan Inggris, melahirkan gerakan Boedi Oetomo 1908 dan berujung

peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. 2) Modal Sosial, berupa solidaritas

masyarakat nusantara dalam menghadapi berbagai persoalan umum (common enemy). 3)

Modal politik, persoalan dan pergolakan masyarakat Indonesia yang diakhiri dengan

konsensus politik dalam ranah kebangsaan dan nasionalisme. 4) Modal kebangsaan,

pluralitas paham, agama, suku dan bangsa serta multikultural (ragam budaya) yang

menyatu dalam Bhinneka Tunggal Ika.5

Masyarakat Indonesia dikenal dengan karakteristiknya sebagai manusia beragama,

dan mayoritas beragama Islam. Karakteristik Islam Indonesia yang terintegrasi ke dalam

berbagai budaya yang telah ada, memiliki kekhususan yaitu tidak mempermasalahkan

Pancasila sebagai dasar negara. Rumusan lima sila dalam Pancasila memang tidak secara

eksplisit berdasarkan ajaran Islam, lima sila itu disarikan dari ajaran Islam secara universal.

Dengan demikian, ajaran dalam Pancasila merupakan pengikat pluralitas paham agama,

suku dan bangsa serta budaya sebagai modal terwujudnya wawasan kebangsaan atau

nasionalisme di Indsonesia. Rasulullah SAW bersabda “ḥub al-waṭān min al-īmān”6 (cinta

tanah air merupakan bagian dari iman). Bagi umat Islam dituntut melakukan jihad

menegakkan syari’ah Islam dan memerangi perbuatan yang melanggar ketentuan Allah

5 Nur Syam, Islam: Wawasan Kebangsaan dan Nasionalisme. مان 6 وطن من اإلي ungkapan ini sering disangka oleh kebanyakan ,(hubbul wathan minal iman) حب ال

orang sebagai sebuah hadis dari Rasulullah SAW, padahal tidak ada satu pun kitab hadis yang memuat

ungkapan ini, baik dengan sanad yang ṣaḥīḥ maupun yang ḍa’īf. Tidak ada pula ahli hadis yang menganggap

ungkapan ini sebagai ucapan Rasulullah SAW. Sekalipun hanya berupa ungkapan (maqalah) secara selektif

dapat digunakan untuk memberikan argumentasi bahwa membela tanah air yang legal dan cara-cara yang

dibenarkan syariah Islam, bisa menjadi bagian untuk menegakkan syari’ah Islam itu sendiri.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

4

untuk meninggikan “kalimatullah”, bukan sekedar tuntutan untuk membela tanah air demi

cinta tanah air itu sendiri, sebab membela tanah air semata-mata karena tanah air, bisa

dilakukan baik oleh orang beriman maupun orang kafir. Tentu saja orang kafir membela

tanah airnya hanya semata karena tanah air, sedangkan kaum muslim justru melakukannya

untuk mempertahankan dan menegakkan agama, sehingga orang muslim akan membela

negerinya bukan semata-mata demi negeri itu, namun karena adanya suatu negeri

merupakan sarana tegaknya syariah Islam, maka membelanya demi menjaga eksistensi

syariah Islam.

C. Menipisnya Nasionalisme Masyarakat Indonesia

Persoalan menipisnya nasionalisme masyarakat khususnya bagi pemeluk Islam di

Indonesia, seiring dengan pemahaman terhadap ajaran agama Islam yang sedang

mengalami reduksi. Muatan sabda Rasulullah SAW “ḥub al-waṭān min al-īmān”

menegaskan bahwa ontologi suatu negara merupakan unsur penting yang diakui Islam

sebagai wahana merealisasikan ajaran Islam menjadi lebih efektif. Sejalan dengan

pengertian tersebut, para fuqahā’ menyatakan bahwa “mālā yatim al-wājib fahuwa wājib”7

(terlaksananyanya suatu kewajiban yang bergantung pada suatu unsur, maka adanya unsur

itu menjadi wajib pula).

Islam memang tidak secara eksplisit menuntut suatu bentuk negara (sistem

kebangsaan), Islam menuntut terlaksananya ajaran Islam dan mengangkat manusia sebagai

khalifah di muka bumi.8 Khalifah berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan negara

maupun urusan agama. Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan wasiat

ataupun dengan majelis shūrā yang merupakan majelis Ahlu al-ḥall wa al-‘aqd yakni para

ahli ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan

mekanisme pengangkatannya dilakukan dengan cara bai’ah yang merupakan perjanjian

setia antara Khalifah dengan ummat. Khalifah memimpin sebuah Khilafah yaitu sebuah

sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-

undangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadis.

Telah jelas bahwa fungsi dan peran khalifah sebagai pengganti Rasulullah sebagai

Imam bagi umatnya. Maka bagi penggantinya pun berlaku fungsi dan wewenang yang

sama kecuali urusan otoritas Rasulullah sebagai Nabi dan Rasul. Kekuasaan duniawi Rasul

sebelum wafat adalah berperan sebagai Hakim (penguasa) Negara Madinah dan sebagai

Ketua Persekutuan Islam Arabia. Secara politik hubungan Nabi dengan beberapa suku

bangsa dan kota-kota Arab luar Madinah waktu itu adalah hubungan persekutuan, bukan

hubungan penguasa dengan taklukkannya. Sedangkan secara keumatan, Nabi adalah

sebagai Imam atau Pemimpin Tertinggi Umat Islam.

7 Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, Cet. Ke-1, hlm. 114. 8 Ayat-ayat al-Qur’an yang memberikan isyarat tentang peran manusia sebagai khalifah di bumi antara

lain: QS. 2 (al-Baqarah): 30; QS. 38 (Ṣād): 26; QS. 10 (Yunus): 14; QS. 27 (al-Naml): 62.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

5

Dua fungsi sebagai Imam dan Ketua Persekutuan Islam Arab inilah yang diwarisi

Abu Bakar sebagai Khalifahnya. Kekuasaan yang diterima Abu Bakar tidaklah satu paket

seperti yang dipersepsikan orang selama ini, melainkan terdiri dari dua unsur, yaitu unsur

keimaman (kedudukan sebagai Imam Umat Islam) dan unsur kekuasaan (kedudukan

sebagai penguasa Madinah dan Ketua Persekutuan). Unsur yang pasti adalah unsur

keimaman (universalitas), sedangkan unsur kekuasaan adalah unsur kondisional

(singularitas). Unsur kondisional maksudnya adalah dibaiatnya seorang khalifah tidaklah

mempersyaratkan atau memberikan kedudukan sebagai penguasa sebuah negara berdaulat,

tergantung kondisi umat pada ruang dan waktu tertentu, memiliki negara atau tidak.

Seandainya Rasulullah saat wafat tidak memiliki unsur kekuasaan dan hanya

unsur keimaman saja, maka penggantinya akan mewarisi hal yang serupa. Allah

berkehendak bahwa umat Islam ini selain sebagai suatu umat juga sebagai suatu peradaban

yang peradabannya diorganisasikan oleh suatu entitas berdaulat. Pengertian Khilafah

Islamiyyah haruslah berbentuk suatu Negara Islam Kesatuan bukanlah maksud asal

didirikannya khilafah ini oleh para sahabat. Bukti bahwa hubungan antara suku-suku Islam

Arab dengan Madinah yang berbentuk persekutuan (federasi) kemudian diubah oleh Abu

Bakar menjadi suatu kekuasaan imperium merupakan bukti bahwa unsur kekuasaan dalam

kekhalifahan ini sifatnya luwes asal memenuhi syarat sebagai suatu Negara Islam, karena

unsur kekuasaan ini sifatnya urusan duniawi yang secara shar'ī tidak diatur. Sedangkan

unsur keimaman sifatnya fixed dan tak dapat diganggu gugat.

Perkembangan dan pergeseran peradaban dunia khususnya di dunia Islam oleh

sebagian umat Islam tidak dibarengi perkembangan metodologi pemahaman sumber Islam.

Keringnya metodologi pemahaman terhadap ajaran agama Islam berdampak pada produk

tampilan beragama umat Islam, seringkali menampakkan wajah Islam yang menjadi

problem bermasyarakat dan berbangsa. Problem beragama tersebut seperti tampak pada

bergesernya produk hasil ijtihad ajaran Islam menjadi suatu doktrin keagamaan,9 menjadi

bagian yang saling berkelindan dalam pengembangan agama Islam di tengah dinamika

sosio-religius suatu masyarakat.

Salah satu penyebab bergesernya ajaran Islam menjadi suatu doktrin keagamaan

adalah adanya proses institusionalisasi ajaran oleh para ‘pengikut Islam tertentu’ yang

diikuti dengan pola sosialisasi ajaran Islam bernuansa fanatisme.10 Dapat dikatakan bahwa

9 Yang dimaksud ‘ajaran keagamaan’ dalam konteks bahasan ini, sebagaimana diistilahkan Wael B.

Hallaq adalah nuṣūṣ al-sharī’ah. Artinya, pengertian dan batasan tentang hukum Islam sebagai hasil ijtihad

dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada ruang dan waktu tertentu diposisikan sebagaimana

nuṣūṣ al-sharī’ah yang memiliki kebenaran transendental, karenanya umat Islam harus mentaati sebagaimana

mentaati nuṣūṣ al-sharī’ah dan tidak sepatutnya mempermasalahkan, apalagi menyesuaikan hukum Islam

dengan perkembangan sosio-kultural masyarakat. Lihat Wael B. Hallaq, Melacak Akar-Akar Kontroversi

dalam Sejarah Filsafat Pemikiran Hukum Islam, 2005, hlm. 119 10 Amir Mu’alim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2005,

Cet. Ke-1, hlm. 5.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

6

sosialisasi ajaran Islam yang berorientasi pada maṣlaḥah juz’iyyāt berimplikasi terhadap

tidak hadirnya kemaslahatan atau manfaat ajaran Islam dalam kehidupan publik.

Produk ajaran Islam yang berorientasi pada maṣlaḥah juz’iyyāt menjadi salah satu

sebab tergerusnya (reduksi) maṣlaḥah ‘āmmah yang seharusnya hadir di tengah penerapan

ajaran Islam. Reduksi maṣlaḥah ajaran Islam juga disebabkan bergesernya posisi produk

ajaran Islam yang seharusnya terintegrasi dengan berbagai dimensi ajaran Islam, seperti

aqidah, akhlak dan tasawuf menjadi suatu keutuhan disiplin ilmu.11 Posisi produk ajaran

Islam masa awal sebagai bagian beragama, esensinya adalah religius dan berjalin

berkelindan secara religius.12 Karakter produk ajaran Islam semacam ini ditandai adanya

kekuatan internal (internal power) dan menghadirkan maṣlaḥah ‘āmmah karena tujuan

praktis dari ajaran Islam merupakan bagian dari konsep beragama yang berhubungan

dengan tingkah laku individu dan sosial, baik spiritual, mental dan fisik.13

Sampai akhir abad ke-2 H (8 M), ajaran Islam masih terintegrasi dengan seluruh

dimensi keagamaan. Terminologi suatu disiplin ajaran Islam belum dikenal, karenanya

Fazlur Rahman hampir selalu menyebutnya dengan al-dīn, yang tidak hanya merujuk

kepada ajaran Islam tertentu tetapi menyangkut pengertian agama secara utuh.14 Ruang

lingkup terminologi ajaran Islam secara bertahap menyempit, dan akhirnya terbatas hanya

pada satu dimensi ajaran Islam seperti hukum Islam (fiqh), akhlak dan ilmu tauhid, bahkan

lebih dipersempit lagi pada aspek tertentu dari produk hukum (yurisprudensi) dan

seterusnya.15

Ketika dunia Islam mengalami kemunduran, dan mencapai puncaknya abad ke-9

H (15 M),16 ajaran Islam telah terelaborasi secara rinci dan para ‘ulamā’ berkesimpulan

bahwa seluruh persoalan telah dibahas dan dijawab secara tuntas.17 Sementara peradaban di

belahan dunia Barat (Eropa) setelah Napoleon menduduki Mesir (1798 M)18 mulai

menunjukkan kemajuan yang ditandai munculnya berbagai disiplin keilmuan.19 Ilmu-ilmu

11 Karena cakupan fiqh yang luas dan komprehensif, Abu Hanifah diriwayatkan telah mendefinisikan

fiqh sebagai ‘pengetahuan tentang hak dan kewajiban serta masalah-masalah pokok keimanan. Lihat Ahmad

Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, hlm. 2-3. 12 Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Muhammad dengan judul “Islam”, Bandung: Pustaka,

1997, Cet. Ke.3, hlm. 91. 13 Ibid., 1997, hlm. 141.

14 Ibid.,1997, hlm. 143. 15 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, 1994, hlm. 6. 16 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan

Bintang, 1987, Cet. Ke-5, hlm. 14. 17 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford: The Claredon Press, 1964, hlm. 69-71. 18 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, 1987, hlm. 14. 19 Napoleon datang ke Mesir di samping membawa tentara juga para ilmuwan (lima ratus kaum sipil dan

lima ratus wanita) dan membentuk lembaga ilmiah bernama Institut d ‘Egypte memiliki empat divisi: bagian

ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi-politik dan sastra-seni. Hasil riset dari lembaga tersebut dipublikasikan

besar-besaran melalui suatu lembaga bernama La Decade Egyptienne, dengan majalahnya bernama La

Corrier d ‘Egypte, menjadikan masyarakat Mesir mengenal percetakan, majalah dan surat kabar. Lihat

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hlm. 30.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

7

Islam yang telah terkotak-kotak kemudian terimbas dan mengalami pluralisasi, lahir

disiplin ilmu-ilmu Islam yang terbelah oleh obyek materia maupun obyek forma masing-

masing ilmu, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu tafsir dan lain-lain.20

Dimensi ajaran Islam yang telah menjadi suatu disiplin ilmu memiliki obyek

materia dan obyek forma sendiri, dengan ragam paradigmanya.21 Masing-masing dimensi

ajaran Islam semakin mendalam mengkaji obyeknya, tetapi secara perlahan terpisahkan

dari konteks beragama. Inti beragama menjadi samar-samar, dimensi transendentalismenya

semakin kabur oleh perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai

pemahaman dan penerapan ajaran Islam.22

Metode pemahaman dan produk ajaran dari para ‘ulamā’ akhir abad kedua dan

pertengahan abad ketiga hijriyah tersebut, kemudian diakomodasi dan diterapkan pada

wilayah lain seperti di Indonesia yang berbeda karakteristiknya. Oleh masyarakat setempat,

kemudian dibakukan dengan sistem perhubungan (sanad) dan dipegangi sebagai doktrin

ajaran.23 Hasil pemikiran dari para ‘ulamā’ tersebut disatukan oleh murid-murid, dengan

menjaga identitas dan karakteristik madzhabnya, serta memposisikannya sebagai karya

agung.

Produk ajaran Islam yang berorientasi pada maṣlaḥah juz’iyyāt juga berimbas

pada pemahaman ajaran agama secara parsial. Pandangan para ‘ulamā’ klasik tentang studi

munāsabah āyāh al-Qur’ān yang dipandu dengan pola tafsir mauḍu’ī (tematik) kurang

mendapatkan perhatian proporsional. Penggunaan dari pola pemahaman (tafsir) tersebut

dapat mengantarkan kepada suatu makna universal dan sekaligus dapat digunakan untuk

menyelesaikan masalah-masalah singular (juz’iyyāt). Sementara orientasi pemahaman

ajaran Islam pada maṣlaḥah juz’iyyāt (singular) bisa berdampak pada wujudnya produk

keberagamaan Islam yang parsial.

Sebagaimana tampak pada pola keberagamaan Islam masyarakat Indonesia yang

lebih berorientasi Islam fiqh dan tasawuf. Karakteristik keberagamaan masyarakat

Indonesia terbentuk melalui dasar pengetahuan Islam yang dibawa oleh para penyebar

20 Ilmu-ilmu dalam Islam yang lahir abad ke-3 H adalah ilmu al-Qur’an, seperti ilmu asbāb al-nuzūl,

ilmu nāsikh wa al-mansūkh dan diikuti oleh ilmu-ilmu lain sebagai upaya memahami pesan-pesan al-Qur’ān.

Lihat T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an,

Jakarta: Bulan Bintang, 1972, Cet. Ke-1, hlm. 13. 21 Banyak literatur menyebut bahwa Imam al-Shafi’i melalui Al-Risalah diposisikan sebagai arsitek

pertama dan utama teori hukum Islam (uṣūl al-fiqh). Asumsi ini disanggah oleh Hallaq bahwa Al-Risalah

merupakan upaya metodologis pertama yang mensintesakan pengalaman nalar manusia dan pemahaman teks

wahyu sebagai dasar hukum. Sintesa al-Shafi’i ini berusaha mendamaikan kubu tradisionalis (ahl al-hadith)

yang menolak pola qiyas dan kubu rasionalis yang enggan menerima tesis bahwa wahyu adalah hukum

pertama dan terakhir bagi segala urusan manusia. Lihat Wael B. Hallaq, Melacak Akar Akar Kontroversi

dalam Sejarah Filsafat Pemnikiran Hukum Islam, hlm. ix. 22 Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, Yogyakarta: LKiS, 2004, Cet. Ke-1, hlm. 24. 23 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terjemah oleh Gufron A. Mas’udi dengan judul

Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Cet. Ke-1, hlm. 251.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

8

Islam melalui jalur perdagangan,24 yang lebih bercorak legal formal (syari’ah Islam) dan

penyebaran Islam yang dilakukan oleh para da’i sufi,25 yang berimplikasi pada wujud

keberagamaan masyarakat yang bernuansa sufistik dan kesalehan individual.

Kedua wujud pola keberagamaan Islam tersebut, masing-masing sibuk dengan

orientasinya sendiri dan seringkali menunjukkan adanya fenomena ketidakakuran dalam

kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Lebih jauh dapat disaksikan bahwa individu dan

masyarakat Islam lebih berorientasi pada fanatisme ajaran Islam juz’iyyāt baik pada pola

pemahaman hukum Islam (fiqh) maupun yang berorientasi pada ajaran tasawuf di tengah

masyarakat yang sedang diterpa globalisasi.

Keadaan di atas, mengingatkan pada sejarah ketika Herodotus menceritakan

orang-orang Mesir yang negaranya telah runtuh dan terpasung oleh kepercayaan lama.26

Suatu ungkapan sejarah yang menggambarkan tabiat (watak) kemanusiaan yang selalu

rindu kejayaan masa lalu, kemudian melebih-lebihkan dan mengagungkannya, karena

menyaksikan masa sekarang yang penuh kekurangan dan mereka berada dalam kondisi

ketidakmampuan.

Sikap dan watak manusia tersebut dapat dikatakan menemukan signifikansi-

legitimasinya, ketika umat Islam sedang mengalami kemunduran dan menyaksikan

kemajuan di belahan dunia Barat, orang-orang Islam teringat kembali masa kejayaan yang

pernah dialami.27 Mereka menolak meninggalkan berbagai ketetapan yang telah ditentukan

oleh para ‘ulamā’ terdahulu dan tidak menyadari bahwa mereka telah hidup pada waktu

dan tempat yang berbeda dari para ‘ulamā’ mereka. Sedangkan permasalahan yang

dihadapi umat Islam jauh berbeda dengan yang dihadapi para ‘ulamā’ masa lalu.28

Pada dekade masa kemunduran tersebut, Islam masuk ke wilayah nusantara

melalui para sufi yang lebih berorientasi dimensi asketis-sufistik.29 Paham sufisme yang

esoterik dan mengutamakan kesalehan individual ikut membentuk karakteristik Islam

24 Antara lain didukung oleh sarjana Belanda Wertheim, Pijnapel. Lihat Nur Syam, Islam Pesisir,

Yogyakarta: LKiS, 2005, Cet. Ke-1, hlm. 63-64. Karakteristik Islam yang dibawa oleh para pedagang lebih

bercorak syari’ah, artinya keabsahan perilaku beragama diukur melalui perspektif syari’ah Islam. 25 Para penyokong teori penyebaran Islam di wilayah nusantara terutama di Jawa melalui jalur para sufi,

menemukan signifikasinya, dengan menganalisis mudahnya terjadi persenyawaan unsur mistik Islam dengan

unsur mistik kejawen. Para sarjana yang berpendapat demikian antara lain S.Q. Fatimi, John dan

Tjandrasasmita. Lihat Nur Syam, Islam Pesisir, hlm. 64. 26 Herodotos adalah sejarawan Yunani Kuno, lahir di Halikamssos, Karia (Bodrum, Turki modern)

hidup pada abad ke 5 SM (sekitar 484-425 SM). Dia disebut sebagai "Bapak Sejarah" karena ia adalah

sejarawan pertama yang diketahui mengumpulkan bahan-bahannya secara sistematis, menguji akurasinya

sampai batas tertentu, dan menyusunnya dalam bentuk narasi yang terstruktur secara jelas. Lihat Muhammad

Said Al-Ashmawi, Nalar Kritis Syari’ah, Yogyakarta: LKiS, 2004, Cet. Ke-1, hlm. 196-197. 27 Fazlur Rahman ketika mendeskripsikan fase kemunduran hukum Islam, sebagai fase di mana hukum

Islam tidak lagi mengabdi kepada masyarakat, tetapi dimanfaatkan untuk ‘kepentingan penguasa’. Lihat

Fazlur Rahman, Islam, 1997, hlm. 140-165. 28 Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet. Ke-1, hlm.

48. Bandingkan dengan Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, hlm. 21. 29 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, Yogyakarta:

LKiS, 2005, Cet. Ke-1, hlm. 33.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

9

Indonesia.30 Watak sufistik pada gilirannya bukan melahirkan fuqahā’ tetapi tokoh sufi

besar seperti Nuruddin al-Raniri (w. 1068 H/1658 M), Hamzah Fansuri (wafat kira-kira

1607 M), Abd. al-Rauf al-Sinkili (w. 1105 H/1693 M), dan Walisongo di Jawa.31

Tidak diragukan bahwa keberhasilan para da’i sufi dalam mensosialisasikan Islam

di wilayah nusantara telah menunjukkan hasil yang mengagumkan. Ketangguhan Islam

individual belum cukup mengikis tumbuh suburnya fanatisme beragama di kalangan umat

Islam dan produk ajarannya menjadi indikasi Islam yang sedang kehilangan daya kekuatan

(elan vital) dan daya kreatifitasnya. Dapat dikatakan bahwa institusi ajaran Islam belum

menghadirkan maṣlaḥah di tengah kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Kondisi tersebut ditunjang oleh karakteristik ajaran Islam yang sedang mengalami

keterputusan antar dimensi keberagamaan yang pada gilirannya menjadi salah satu

penyebab terjadinya kesenjangan antara ideal ajaran dengan realitas praktisnya.32 Jassir

Auda mensinyalir bahwa bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, persoalan

ketidak-adilan, peminggiran perempuan, bahkan terorisme banyak terjadi pada wilayah

yang mayoritas berpenduduk muslim. Bukti-bukti itu berlawanan dengan ajaran Islam yang

mendorong terwujudnya keadilan, hidup produktif, humanis, spiritualis, clean government,

persahabatan dan kehidupan yang demokratis.33

Pada dimensi hukum Islam, NJ. Coulson juga berkesimpulan bahwa syari’ah

(hukum Islam) yang telah tersusun secara sempurna dari para guru madzhab, kemudian

dibukukan, diberi komentar (sharkh) yang pada umumnya memperkuat pendapat para

guru. Maka hukum Islam menjadi statis dan bersifat kekal, mengapung bagaikan jiwa tanpa

jasad, terpisah dari arus pergantian waktu, tampil sebagai hukum yang dicita-citakan,

keabsahannya berlaku abadi dan masyarakat harus mengejar cita-cita itu.34 Hukum Islam

telah menjadi ‘menara gading’ dan masyarakat cukup puas memandang keindahannya.

Ali Shariati dalam teori sosiologinya menjelaskan mengenai proses dialektika

kecenderungan budaya atau keagamaan masyarakat dari zaman ke zaman. Ketika arah dan

tendensi masyarakat yang dibingkai suatu doktrin, maka budaya atau keagamaan

masyarakat akan mengkristal menjadi kepercayaan atau ajaran yang baku.35 Pandangan

30 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Yogyakarta: LKiS, 2001, Cet. Ke-1, hlm. 110. 31 Ibid. 32 Kata realitas cenderung dimengerti sebagai penggambaran kuantitas dan sedikit dipakai untuk

memaparkan proses kesejarahan, apalagi untuk menggambarkan situasi keagamaan seperti penggambaran

tentang shari’ah. Shari’ah merupakan jalan untuk mengatur seluruh kehidupan dan tindakan manusia agar

menjadi religius. Apabila yang terjadi sebaliknya, maka manusia akan tampak seperti rumah yang terkotak-

kotak, dalam keadaan batin yang terpisah dan terpecah. Lihat S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terj.

Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, 1983, hlm. 65. 33 Jasser Audah, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, London-Washington: The IIIT

Press, 2008, hlm. xxii-xxiii. 34 Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, Inggris: Edinburg University Press, 1964, hlm. 3 35 Ali Shariati, The Visage Of Muhammed, alih bahasa oleh Ibnu Muhammad dengan judul “Islam dalam

Perspektif Sosiologi Agama”, Bandung: Iqra, 1983, Cet. Ke-2, hlm. 2.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

10

Shariati ini menunjuk pada situasi ketika Islam mengalami suatu fase kemunduran (mulai

abad ke-4 H sampai ke-7 H) dan muncul wacana ‘tertutupnya pintu ijtihad.36

S.H. Nasr berpendapat bahwa dalam beragama Islam, masyarakat kurang

responsif dalam menghadapi berbagai permasalahan kemasyarakatan, antara lain karena

terkotak-kotaknya ajaran Islam.37 Terminologi dan batasan disiplin ilmu-ilmu Islam

terlepas dari terminologi keberagamaan.38 Menurut Fazlur Rahman, karena keberagamaan

Islam telah bergeser dari yang semestinya ijtihādiyyah menjadi normatif-doktriner dan

tidak ada peluang masuknya pemikiran. Ajaran Islam dianggap telah lengkap dan

kemudian dibakukan secara rinci dan rapi sebagai suatu doktrin, baik yang menyangkut

bidang ‘ibādah, mu’āmalah, munākaḥah, jināyah dan khususnya bidang dustūriyah.

Bergesernya posisi ajaran Islam sebagai hasil pemikiran dari nuṣūṣ al-sharī’ah

menjadi normatif-doktriner, berarti posisi keberagamaan telah bergeser menjadi agama

yang bersifat ideal. Oleh sebagian umat Islam, posisi keberagamaan Islam tersebut

disejajarkan dengan nuṣūṣ al-sharī’ah, dan tidak ada peluang bagi pemikiran untuk

mengembangkan atau menyesuaikan dengan dinamika masyarakat. Doktrin ini telah

melahirkan wacana tertutupnya pintu ijtihad dan umat Islam cukup yakin bahwa produk

hukum Islam telah sempurna dan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.39

Ketika pemikiran tersebut demikian subur, maka keberagamaan Islam ada dalam

pergumulan wacana, kehilangan daya kekuatan ontologisnya dan tidak mampu

menghadirkan kemaslahatan. Dalam situasi demikian, para ‘ulamā’ di Indonesia tidak

memiliki kreatifitas dan keberanian untuk mengembangkan ajaran Islam. Sebagian ‘ulamā’

menganggap ketentuan-ketentuan dalam keberagamaan Islam sebagai ciptaan Allāh yang

36 Polemik tentang wacana ‘tertutupnya pintu ijtihad’ menjadi sorotan sarjana muslim progresif seperti

Ahmad al-Raysuni, Fazlur Rahman dan Wael B. Hallaq. Al-Raysuni menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak

pernah ditutup, dan bahwa seorang mujtahid bisa mengalami kesalahan adalah sebagai sesuatu yang wajar,

asal tidak sengaja berbuat salah. Baca Ahmad Al-Raysuni, Ijtihad antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan

Sosial, hlm. 1-4. Fazlur Rahman berpendapat, karena persyaratan-persyaratan ijtihad dibuat sedemikian sulit

dan ketatnya, dan ditetapkan sedemikian tingginya hingga berada di luar jangkauan manusia, maka hampir-

hampir tidak ada yang mampu melakukan ijtihad (mutlak). Baca Fazlur Rahman, Islam, hlm. 107. Sementara

Hallaq dengan tegas menyangkal adanya penutupan pintu ijtihad. Wacana ‘tertutupnya pintu ijtihad’

sepenuhnya tidak berdasar data yang akurat. Baca Wael B. Hallaq, Melacak Akar-Akar Kontroversi dalam

Sejarah Filsafat Pemikiran Hukum Islam, Surabaya: Srikandi, 2005, Cet. Ke-1, hlm. 4-5. 37 S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, 1983, hlm. 66-68.

38 Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam: Menjawab Tantangan Zaman yang

Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, Cet. Ke-1, hlm. 1-10. 39 Polemik tentang wacana ‘tertutupnya pintu ijtihad’ menjadi sorotan sarjana muslim progresif seperti

Ahmad al-Raysuni, Fazlur Rahman dan Wael B. Hallaq. Al-Raysuni menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak

pernah ditutup, dan bahwa seorang mujtahid bisa mengalami kesalahan adalah sebagai sesuatu yang wajar,

asal tidak sengaja berbuat salah. Baca: Ahmad Al-Raysuni, Ijtihad Antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan

Sosial, hlm. 1-4. Fazlur Rahman berpendapat, karena persyaratan-persyaratan ijtihad dibuat sedemikian sulit

dan ketatnya, dan ditetapkan sedemikian tingginya hingga berada di luar jangkauan manusia, maka hampir-

hampir tidak ada yang mampu melakukan ijtihad (mutlak). Baca: Fazlur Rahman, Islam, hlm. 107. Sementara

Hallaq dengan tegas menyangkal adanya penutupan pintu ijtihad. Wacana ‘tertutupnya pintu ijtihad’

sepenuhnya tidak berdasar data yang akurat. Baca: Wael B. Hallaq, Melacak Akar-Akar Kontroversi dalam

Sejarah Filsafat Pemikiran Hukum Islam, Surabaya: Srikandi, 2005, Cet. Ke-1, hlm. 4-5.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

11

sakral dan manusia tidak berhak terlibat di dalamnya.40 Akibatnya umat Islam

menenggelamkan diri dalam kesalehan individual dan asketis, sebagai ciri khas kehidupan

dan pandangan mistisisme yang subur berkembang di Indonesia.41

Pada saat sikap masyarakat memegangi keberagamaan Islam sebagai normatif-

doktriner, berkembang pendekatan empirisme dalam ilmu-ilmu sosial untuk memahami

agama.42 Pendekatan empirisme untuk ilmu-ilmu sosial di Barat hanya mengakui

pengetahuan yang dianggap ilmiah bila didasarkan pada pengalaman indrawi yang dapat

diverifikasi secara obyektif.43 Pandangan ini kemudian dikebangkan lebih ketat oleh kaum

positivis dan dijadikan basis bagi sains modern. Pada sisi lain, kalangan agamawan hanya

mengakui pendekatan metaphisik-transendental untuk mengkaji dimensi spiritual agama

dan ajaran Islam. Para agamawan bahkan menuduh pendekatan positivisme sebagai

pendekatan yang dapat merusak agama.

Melebih-lebihkan kualifikasi ilmiah dari pengalaman obyektif yang dapat

diverifikasi secara indrawi dan sebaliknya kriteria kebenaran atas pengalaman spiritual

dalam memahami agama, keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.

Karena pada kedua pengalaman memiliki dimensi obyektif dan subyektif, dan masing-

masing entitas memiliki karakteristik yang tidak sama. Pemanfaatan pendekatan empirisme

untuk memahami dimensi spiritualitas agama dan ajaran Islam berdampak serius

tergerusnya entitas transendental pada dimensi tersebut, namun demikian dimensi empiris-

praktis agama dan ajaran Islam dengan kualifikasi obyektif-indrawi secara metodologis

lebih tepat menggunakan pendekatan empirisme.

Pemanfaatan pendekatan empirisme dan metaphisik-transendentalisme secara

gegabah untuk mengkaji agama dan ontologi ajaran Islam terbukti membawa kekacauan

berpikir dan bukan tidak mungkin akan terjadi reduksi spiritualitas beragama dan

menipisnya iman.44 Dengan kata lain spiritualitas beragama dan iman bisa tergerus oleh

pendekatan empirisme dengan kualifikasi kebenaran indrawi dan rasio. Esensi iman yang

hanya bisa dijangkau oleh kebenaran transendental telah diposisikan sebagai tidak ilmiah

dan obyektif karena tidak bisa diverifikasi oleh pengalaman empiris manusia.

40 KH. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di

Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009, Cet. Ke-1, hlm. 123. 41 Mungkin ajaran Imam al-Ghazālī yang sedikit mengabaikan terhadap urusan pemerintahan dan politik

ikut membentuk jalan pikiran kaum tarekat. Dalam banyak kasus memang relativisme politik lebih banyak

ditemukan pada kaum sufi dari pada mereka yang berpegang teguh pada ilmu kalam, fiqh dan syari’ah. Lihat

Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, Jakarta: Paramadina,

2004, hlm. 112. 42 Aliran empirisme pertama kali muncul di Inggris yang dipelopori Francis Bacon (1561-1626) dan

mencapai puncaknya pada abad ke-18 dengan tokohnya David Hume (1711-1776). Empirisme memilih

pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.

Lihat Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2004, Cet. Ke-1, hlm. 62. 43 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Jakarta: Arasy Mizan, 2005, Cet.

Ke-1, hlm. 116. 44 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2004, Cet. Ke-1, hlm. vi.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

12

D. Dampak Menipisnya Nasionalisme

Karut-marut persoalan sosio-religio dan kultur masyarakat yang tergambar pada

uraian di atas, masih ditambah dengan orientasi pada praksis kehidupan organisasi partai

yang menjamur di wilayah nusantara ini. Semua partai politik di Indonesia saat ini

mengklaim memiliki semangat nasionalisme, termasuk partai yang menggunakan

nomenklatur Islam, selalu menyatakan memperjuangkan kepentingan nasional. Artinya,

secara verbalistik (di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi

partai) semua memiliki semangat kebangsaan.

“Persoalannya adalah apakah semangat kebangsaan itu sudah diimplementasikan

partai-partai politik? Bukti empirik menunjukkan bahwa semangat kebangsaan itu masih

sebatas jargon politik. Perwujudannya secara konkret masih sangat tidak memadai.

Lemahnya semangat nasionalisme bisa juga dilihat dari beragamnya orientasi partai-partai

politik dan setiap partai politik memiliki agenda sendiri. Bahkan pada titik tertentu, partai-

partai politik lebih fokus mengurusi partai dan anggotanya dibandingkan persoalan bangsa

secara nasional.

Organisasi kepartaian sebagai infrastruktur berdemokrasi seharusnya tidak

menghilangkan substansi empat pilar demokrasi di Indonesia, yaitu Pancasila, Undang-

Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Perbedaan ideologi, platform, dan kendaraan politik tidak mesti harus berbeda

pandangan dalam membangun Indonesia. Kalau sudah terjadi fragmentasi orientasi, maka

sulit mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan kebersamaan.”

Kita bisa melihat partai penguasa dan oposisi sulit duduk bersama, masing-masing

memiliki ego sendiri. Bahkan lebih dari itu, di antara partai-partai saling menyandera.

“Akibatnya, rakyat sering sekali ditelantarkan. Dampak menipisnya (hilangnya) wawasan

kebangsaan (nasionalisme) lebih nyata dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, baik

tingkat propinsi, kabupaten maupun kota.

Dalam pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah selalu saja ada masalah yang timbul.

Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat

memprihatinkan. Seandainya calon tersebut dapat lolos menjadi pimpinan suatu daerah,

maka dengan pasti daerah itu dipimpin oleh orang yang bermental korup. Sedari awal,

mereka sudah menggunakan cara yang tidak benar dengan biaya untuk menjadi calon yang

tidak sedikit. Niat yang tidak tulus membangun bangsa, maka tindakan yang pertama

adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kembali (balik modal).

Dampak nyata dalam pelaksanaan pilkada, ditemukan banyak penyelewengan, seperti:

1. Money Politic

Sepertinya money politic ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan

pilkada. Dengan memanfaatkan masalah rendahnya status ekonomi masyarakat, dengan

mudah mereka dapat diperalat, dengan membagi bagikan uang kepada masyarakat dengan

syarat harus memilih bakal calon tertentu. Pada era di mana uang memegang kendali dan

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

13

dengan uang dapat membeli segalanya, ditambah rendahnya tingkat pendidikan dan

wawasan kebangsaan seseorang, maka dengan mudah orang itu diatur dengan uang. Sangat

masuk akal jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak.

Namun demikian, jika calon kepala daerah memiliki rasa nasionalisme atau

wawasan kebangsaan yang tinggi, mereka seharusnya memberikan pendidikan cara-cara

berdemokrasi yang benar kepada masyarakat yang belum memiliki pengetahuan cara

berdemokrasi yang cukup. Bukan dengan cara money politic untuk mendapatkan jabatan

yang akan berdampak buruk dan merusak tatanan (norma) yang seharusnya dipegangi

bersama dalam bermasyarakat dan bernegara.

2. Intimidasi

Bentuk-bentuk intimidasi yang sering muncul menjelang pemilihan kepala daerah

secara langsung adalah mendesain para pemilih memiliki rasa takut bila tidak memilih

calon kepala daerah tertentu. Para calon dan pendukungnya baik secara langsung maupun

tidak langsung melakukan tindakan tidak terpuji dengan menakut-nakuti masyarakat akan

hilangnya hak-hak tertentu. Sebagai contoh oknum pimpinan instansi pemerintah

melakukan intimidasi terhadap para stafnya, kemudian para pegawai dari suatu instansi

mengintimidasi warga agar mencoblos salah satu calon. Hal demikian di samping

merupakan tindakan tidak terpuji juga menyimpang dari aturan pelaksanaan pemilu.

3. Mencuri start kampanye

Melakukan kampanye mendahului aturan yang sudah ditentukan, merupakan

tindakan yang paling sering terjadi, baik dilakukan secara terang-terangan maupun

terselubung, seperti pemasangan baliho, spanduk dan selebaran. Sering juga untuk bakal

calon incumbent (petahana) melakukan kunjungan ke berbagai daerah dengan berbagai

dalih, namun intinya adalah melakukan kampanye. Intensitas kunjungannya semakin tinggi

ketika mendekati pemilu, padahal ketika sedang memimpin hampir tidak pernah

mengadakan kunjungan. Contoh lainnya, adalah menggunakan media massa, seperti surat

kabar dan televisi dengan memberitakan tentang keberhasilan suatu pembangunan dan

menayangkan visi misi serta berita-berita yang bermotif kampanye.

4. Kampanye negatif (hitam)

Kekurangan bakal calon dalam berkompetisi antar bakal calon, seringkali

diwujudkan dengan menampilkan kelemahan lawan dan menyerang dengan dalih tertentu.

Cara-cara sosialisasi bakal calon yang tidak memiliki reputasi sebagai seorang pemimpin

yang berwawasan nasionalisme kepada masyarakat yang rendah pendidikan dan

wawasannya, dianggap efektif dengan menyerang lawan-lawannya. Kampanye negatif

semacam ini juga terjadi karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat dan

masyarakat hanya “manut” dengan orang yang ada di sekitar mereka yang menjadi

panutannya. Bahkan kampanye negatif semacam ini dapat mengarah munculnya fitnah

yang dapat merusak moral masyarakat pada daerah tersebut.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

14

E. Penutup

Mencermati pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang masih terlihat banyaknya

kekurangan dan kecurangan tersebut, menyisakan sejumlah harapan dan tidak terperangkap

elektoralisme. Oleh karena itu, salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan

memperoleh manfaat dari sistem pemilihan kepala daerah secara langsung adalah

kemampuan untuk menghindari jebakan demokrasi elektoral. Hal ini menjadi penting

karena kurang lebih tiga tahun belakangan ini, konsep demokrasi elektoral, sebagai konsep

yang menekankan pada pertarungan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat,

merupakan konsep yang sangat populer.

Dalam perspektif desentralisasi dan demokrasi prosedural, sistem pemilihan

kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung) merupakan suatu inovasi yang

bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di tingkatan lokal. Secara normatif,

berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi minimalis Pilkada Langsung menawarkan sejumlah

manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi

lokal. Sistem demokrasi langsung melalui Pilkada Langsung akan membuka ruang

partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukan

kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang

lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruitmen politik di tangan segelintir

orang di tangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bersifat

oligarkis.

Dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung memungkinkan munculnya lebih

lebar preferensi kandidat-kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing

kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang

sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep demokrasi

langsung, warga di tingkat lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh

semacam pendidikan politik; training kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai

posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Pilkada Langsung

juga memperbesar harapan untuk mendapatkan figure pemimpin yang aspiratif, kompeten

dan legitimate. Dalam perspektif Sosiologi Hukum Islam, pilkada langsung merupakan

suatu efek-efek hukum terhadap gejala sosio-religius suatu masyarakat.

Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa rule of law berarti persamaan di

hadapan hukum, yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum. Demikian

pengertian yang dapat dipahami dari suatu negara hukum. Namun demikian, terdapat

kecenderungan keterkaitan antara hukum dengan gejala-gejala sosial, dalam hal ini

stratifikasi sosial yang terdapat dalam setiap masyarakat. Dengan demikian dapat diartikan

bahwa ketaatan terhadap suatu hukum dan konsistensi penerapannya merupakan suatu

social control yang dipraktikkan oleh penguasa.

Di samping penegakan rule of law, wawasan kebangsaan atau nasionalisme

masyarakat perlu terus diajarkan dan disosialisasikan agar tumbuh kesadaran berdemokrasi

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

15

yang bermartabat dalam meraih suatu cita-cita berbangsa dan bernegara. Bagi masyarakat

Indonesia yang mayoritas beragama Islam, mencintai tanah air merupakan bagian dari

melaksanakan ajaran agama, demikian pula memilih kepala daerah merupakan kewajiban

yang tidak boleh melanggar aturan atau hukum yang telah dilegislasi dan disepakati

bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam: Menjawab Tantangan Zaman

yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, Cet. Ke-1.

Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence.

Amir Mu’alim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII

Press, 2005, Cet. Ke-1.

Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Muhammad dengan judul “Islam”, Bandung:

Pustaka, 1997, Cet. Ke-3.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:

Bulan Bintang, 1987, Cet. Ke-5.

Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terjemah oleh Gufron A. Mas’udi dengan

judul Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Cet. Ke-1.

Jasser Audah, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, London-Washington:

The IIIT Press, 2008.

Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford: The Claredon Press, 1964.

KH. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam

Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009, Cet. Ke-1.

Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris,

Yogyakarta: LKiS, 2005, Cet. Ke-1.

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Yogyakarta: LKiS, 2001, Cet. Ke-1.

Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2004, Cet. Ke-1.

Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, Yogyakarta: LKiS, 2004, Cet. Ke-1.

Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Jakarta: Arasy Mizan,

2005, Cet. Ke-1.

Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet.

Ke-1.

Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS, 2005, Cet. Ke-1.

S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid,

1983.

Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa,

Jakarta: Paramadina, 2004, hlm. 112.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

16

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan Al-

Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972, Cet. Ke-1.

Wael B. Hallaq, Melacak Akar-Akar Kontroversi dalam Sejarah Filsafat Pemikiran Hukum

Islam, 2005.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

17