Upload
phamkhanh
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
1
PEMILIHAN KEPALA DAERAH
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM ISLAM
Mudzakir1
Abstract
Ontology is an essential element of a state recognized Islam as a vehicle for the
realization of the teachings of Islam to be more effective. In line with this definition, the
fuqaha 'stated that terlaksananyanya an obligation that depends on an element, then the
element of it being mandatory anyway.
For Muslims charged with enforcing Shari'ah Islamic Jihad and combat actions in
violation of God to exalt "kalimatullah", not just claims to defend the homeland for the
love of the homeland itself. A variety of acts which violate the provisions of God in the
administration of local elections must be eliminated through the enforcement of Islamic
law, one of which evokes a sense of nationalism in the Islamic perspective.
By disseminating understand nationalism to all citizens of the nation - both for
candidates and citizens can revive Indonesian civilization towards a more dignifieds, clean
from dirty good practices in managing this beloved country and especially in the conduct
of elections to the area.
Key word: Islamic nationalism.
A. Pendahuluan
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai elemen penting
berdemokrasi pada era reformasi, menarik untuk mendapatkan perhatian ialah karena
adanya otonomi daerah yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus urusan
pemerintah daerah.2 Tuntutan akan pentingnya demokrasi khususnya berkaitan dengan
kewenangan mengatur dan mengurus suatu wilayah di Indonesia, antara lain diwujudkan
dengan legislasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.3
Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk mengurus pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem NKRI. Dalam konteks demikian, otonomi daerah bukanlah tujuan, melainkan
sebagai instrumen berdemokrasi untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, yang salah
1Penulis adalah Dosen Tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus 2Lihat Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 3 Tentang Pemerintah Daerah, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. tentang tujuan
legislasi ada pada paragraf keempat, pasal 45.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
2
satunya ditandai dengan semakin menguatnya partisipasi masyarakat dalam proses politik
dan pembangunan daerah.
Otonomi Daerah yang diatur melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 lebih
lanjut memberikan kesempatan kepada masing-masing daerah (propinsi, kabupaten dan
kota) untuk menentukan dan memilih pimpinan wilayah (gubernur, bupati dan wali kota
beserta wakilnya) masing-masing secara langsung.4 Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004,
mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota
diadakan Pilkada untuk memilih para pemimpin daerahnya. Sehingga warga dapat
menentukan pemimpin daerahnya menurut hati nuraninya sendiri.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau seringkali disebut
Pilkada, adalah pemilihan untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara
langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.
Sebelumnya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni
2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi
bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pilkada pertama yang
diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007. Pilkada
diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan
Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada
diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia
Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Dasar dan tujuan memilih Kepala Daerah secara langsung adalah agar mereka
lebih mandiri dalam mengurus masyarakatnya dan sekaligus mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan yang merata dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tujuan tersebut kemudian harus diterjemahkan oleh Kepala Daerah terpilih yang
disesuaikan dengan karakteristik dan keunggulan masing-masing daerah dengan tetap
berpegang wawasan kebangsaan atau nasionalisme. Menipisnya atau bahkan hilangnya
wawasan kebangsaan dalam mengelola negeri yang kita cintai ini menimbulkan banyak
kekurangan dan pelanggaran menjelang, pada saat dan setelah pemilihan kepala daerah,
baik oleh kepala daerah terpilih maupun oleh masyarakat secara umum.
Lebih jauh menipisnya atau hilangnya wawasan kebangsaan para pemimpin
kepala daerah menjadikan tidak tercapainya tujuan legislasi Undang Undang No. 32 Tahun
2004 dan undang-undang lainnya. Prinsip dasar wawasan kebangsaan dalam berbagai
undang-undang, seperti terimplementasinya ajaran Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika tidak terwujud
4Pasal 32 ayat 5 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
3
dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dapat dikatakan bahwa pemilihan kepala
daeah yang telah dilaksanakan, secara kualitatif belum berhasil, sekalipun demikian perlu
dianalisis lebih mendalam tentang besarnya peran serta rakyat dalam melaksanakan
Pemilihan Kepala Daerah.
B. Wawasan Kebangsaan (Nasionalisme) dalam Perspektif Islam
Nasionalisme berasal dari kata natie dan national yang berasal dari kata latin natio
yang berarti bangsa yang dipersamakan karena kelahiran. Nasionalisme ada karena adanya
kesamaan kepentingan secara umum meskipun terdapat perbedaan dalam ras, etnis, agama
dan golongan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Nasionalisme merupakan perwujudan
kesadaran nasional bagi individu atau kelompok sebagai suatu bangsa. Nasionalisme
merupakan perwujudan dari imajinasi sebagai bagian atau anggota suatu bangsa.
Nasionalisme mensyaratkan adanya solidaritas individu atau masyarakat terhadap bangsa.
Nasionalisme terkait dengan kewarganegaraan di dalam suatu bangsa.
Tonggak Nasionalisme di Indonesia dibangun atas dasar: 1) Modal sejarah,
Sumpah Amukti Palapa, yaitu perlawanan masyarakat nusantara terhadap penjajahan
Belanda, Jepang dan Inggris, melahirkan gerakan Boedi Oetomo 1908 dan berujung
peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. 2) Modal Sosial, berupa solidaritas
masyarakat nusantara dalam menghadapi berbagai persoalan umum (common enemy). 3)
Modal politik, persoalan dan pergolakan masyarakat Indonesia yang diakhiri dengan
konsensus politik dalam ranah kebangsaan dan nasionalisme. 4) Modal kebangsaan,
pluralitas paham, agama, suku dan bangsa serta multikultural (ragam budaya) yang
menyatu dalam Bhinneka Tunggal Ika.5
Masyarakat Indonesia dikenal dengan karakteristiknya sebagai manusia beragama,
dan mayoritas beragama Islam. Karakteristik Islam Indonesia yang terintegrasi ke dalam
berbagai budaya yang telah ada, memiliki kekhususan yaitu tidak mempermasalahkan
Pancasila sebagai dasar negara. Rumusan lima sila dalam Pancasila memang tidak secara
eksplisit berdasarkan ajaran Islam, lima sila itu disarikan dari ajaran Islam secara universal.
Dengan demikian, ajaran dalam Pancasila merupakan pengikat pluralitas paham agama,
suku dan bangsa serta budaya sebagai modal terwujudnya wawasan kebangsaan atau
nasionalisme di Indsonesia. Rasulullah SAW bersabda “ḥub al-waṭān min al-īmān”6 (cinta
tanah air merupakan bagian dari iman). Bagi umat Islam dituntut melakukan jihad
menegakkan syari’ah Islam dan memerangi perbuatan yang melanggar ketentuan Allah
5 Nur Syam, Islam: Wawasan Kebangsaan dan Nasionalisme. مان 6 وطن من اإلي ungkapan ini sering disangka oleh kebanyakan ,(hubbul wathan minal iman) حب ال
orang sebagai sebuah hadis dari Rasulullah SAW, padahal tidak ada satu pun kitab hadis yang memuat
ungkapan ini, baik dengan sanad yang ṣaḥīḥ maupun yang ḍa’īf. Tidak ada pula ahli hadis yang menganggap
ungkapan ini sebagai ucapan Rasulullah SAW. Sekalipun hanya berupa ungkapan (maqalah) secara selektif
dapat digunakan untuk memberikan argumentasi bahwa membela tanah air yang legal dan cara-cara yang
dibenarkan syariah Islam, bisa menjadi bagian untuk menegakkan syari’ah Islam itu sendiri.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
4
untuk meninggikan “kalimatullah”, bukan sekedar tuntutan untuk membela tanah air demi
cinta tanah air itu sendiri, sebab membela tanah air semata-mata karena tanah air, bisa
dilakukan baik oleh orang beriman maupun orang kafir. Tentu saja orang kafir membela
tanah airnya hanya semata karena tanah air, sedangkan kaum muslim justru melakukannya
untuk mempertahankan dan menegakkan agama, sehingga orang muslim akan membela
negerinya bukan semata-mata demi negeri itu, namun karena adanya suatu negeri
merupakan sarana tegaknya syariah Islam, maka membelanya demi menjaga eksistensi
syariah Islam.
C. Menipisnya Nasionalisme Masyarakat Indonesia
Persoalan menipisnya nasionalisme masyarakat khususnya bagi pemeluk Islam di
Indonesia, seiring dengan pemahaman terhadap ajaran agama Islam yang sedang
mengalami reduksi. Muatan sabda Rasulullah SAW “ḥub al-waṭān min al-īmān”
menegaskan bahwa ontologi suatu negara merupakan unsur penting yang diakui Islam
sebagai wahana merealisasikan ajaran Islam menjadi lebih efektif. Sejalan dengan
pengertian tersebut, para fuqahā’ menyatakan bahwa “mālā yatim al-wājib fahuwa wājib”7
(terlaksananyanya suatu kewajiban yang bergantung pada suatu unsur, maka adanya unsur
itu menjadi wajib pula).
Islam memang tidak secara eksplisit menuntut suatu bentuk negara (sistem
kebangsaan), Islam menuntut terlaksananya ajaran Islam dan mengangkat manusia sebagai
khalifah di muka bumi.8 Khalifah berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan negara
maupun urusan agama. Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan wasiat
ataupun dengan majelis shūrā yang merupakan majelis Ahlu al-ḥall wa al-‘aqd yakni para
ahli ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan
mekanisme pengangkatannya dilakukan dengan cara bai’ah yang merupakan perjanjian
setia antara Khalifah dengan ummat. Khalifah memimpin sebuah Khilafah yaitu sebuah
sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-
undangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadis.
Telah jelas bahwa fungsi dan peran khalifah sebagai pengganti Rasulullah sebagai
Imam bagi umatnya. Maka bagi penggantinya pun berlaku fungsi dan wewenang yang
sama kecuali urusan otoritas Rasulullah sebagai Nabi dan Rasul. Kekuasaan duniawi Rasul
sebelum wafat adalah berperan sebagai Hakim (penguasa) Negara Madinah dan sebagai
Ketua Persekutuan Islam Arabia. Secara politik hubungan Nabi dengan beberapa suku
bangsa dan kota-kota Arab luar Madinah waktu itu adalah hubungan persekutuan, bukan
hubungan penguasa dengan taklukkannya. Sedangkan secara keumatan, Nabi adalah
sebagai Imam atau Pemimpin Tertinggi Umat Islam.
7 Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, Cet. Ke-1, hlm. 114. 8 Ayat-ayat al-Qur’an yang memberikan isyarat tentang peran manusia sebagai khalifah di bumi antara
lain: QS. 2 (al-Baqarah): 30; QS. 38 (Ṣād): 26; QS. 10 (Yunus): 14; QS. 27 (al-Naml): 62.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
5
Dua fungsi sebagai Imam dan Ketua Persekutuan Islam Arab inilah yang diwarisi
Abu Bakar sebagai Khalifahnya. Kekuasaan yang diterima Abu Bakar tidaklah satu paket
seperti yang dipersepsikan orang selama ini, melainkan terdiri dari dua unsur, yaitu unsur
keimaman (kedudukan sebagai Imam Umat Islam) dan unsur kekuasaan (kedudukan
sebagai penguasa Madinah dan Ketua Persekutuan). Unsur yang pasti adalah unsur
keimaman (universalitas), sedangkan unsur kekuasaan adalah unsur kondisional
(singularitas). Unsur kondisional maksudnya adalah dibaiatnya seorang khalifah tidaklah
mempersyaratkan atau memberikan kedudukan sebagai penguasa sebuah negara berdaulat,
tergantung kondisi umat pada ruang dan waktu tertentu, memiliki negara atau tidak.
Seandainya Rasulullah saat wafat tidak memiliki unsur kekuasaan dan hanya
unsur keimaman saja, maka penggantinya akan mewarisi hal yang serupa. Allah
berkehendak bahwa umat Islam ini selain sebagai suatu umat juga sebagai suatu peradaban
yang peradabannya diorganisasikan oleh suatu entitas berdaulat. Pengertian Khilafah
Islamiyyah haruslah berbentuk suatu Negara Islam Kesatuan bukanlah maksud asal
didirikannya khilafah ini oleh para sahabat. Bukti bahwa hubungan antara suku-suku Islam
Arab dengan Madinah yang berbentuk persekutuan (federasi) kemudian diubah oleh Abu
Bakar menjadi suatu kekuasaan imperium merupakan bukti bahwa unsur kekuasaan dalam
kekhalifahan ini sifatnya luwes asal memenuhi syarat sebagai suatu Negara Islam, karena
unsur kekuasaan ini sifatnya urusan duniawi yang secara shar'ī tidak diatur. Sedangkan
unsur keimaman sifatnya fixed dan tak dapat diganggu gugat.
Perkembangan dan pergeseran peradaban dunia khususnya di dunia Islam oleh
sebagian umat Islam tidak dibarengi perkembangan metodologi pemahaman sumber Islam.
Keringnya metodologi pemahaman terhadap ajaran agama Islam berdampak pada produk
tampilan beragama umat Islam, seringkali menampakkan wajah Islam yang menjadi
problem bermasyarakat dan berbangsa. Problem beragama tersebut seperti tampak pada
bergesernya produk hasil ijtihad ajaran Islam menjadi suatu doktrin keagamaan,9 menjadi
bagian yang saling berkelindan dalam pengembangan agama Islam di tengah dinamika
sosio-religius suatu masyarakat.
Salah satu penyebab bergesernya ajaran Islam menjadi suatu doktrin keagamaan
adalah adanya proses institusionalisasi ajaran oleh para ‘pengikut Islam tertentu’ yang
diikuti dengan pola sosialisasi ajaran Islam bernuansa fanatisme.10 Dapat dikatakan bahwa
9 Yang dimaksud ‘ajaran keagamaan’ dalam konteks bahasan ini, sebagaimana diistilahkan Wael B.
Hallaq adalah nuṣūṣ al-sharī’ah. Artinya, pengertian dan batasan tentang hukum Islam sebagai hasil ijtihad
dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada ruang dan waktu tertentu diposisikan sebagaimana
nuṣūṣ al-sharī’ah yang memiliki kebenaran transendental, karenanya umat Islam harus mentaati sebagaimana
mentaati nuṣūṣ al-sharī’ah dan tidak sepatutnya mempermasalahkan, apalagi menyesuaikan hukum Islam
dengan perkembangan sosio-kultural masyarakat. Lihat Wael B. Hallaq, Melacak Akar-Akar Kontroversi
dalam Sejarah Filsafat Pemikiran Hukum Islam, 2005, hlm. 119 10 Amir Mu’alim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2005,
Cet. Ke-1, hlm. 5.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
6
sosialisasi ajaran Islam yang berorientasi pada maṣlaḥah juz’iyyāt berimplikasi terhadap
tidak hadirnya kemaslahatan atau manfaat ajaran Islam dalam kehidupan publik.
Produk ajaran Islam yang berorientasi pada maṣlaḥah juz’iyyāt menjadi salah satu
sebab tergerusnya (reduksi) maṣlaḥah ‘āmmah yang seharusnya hadir di tengah penerapan
ajaran Islam. Reduksi maṣlaḥah ajaran Islam juga disebabkan bergesernya posisi produk
ajaran Islam yang seharusnya terintegrasi dengan berbagai dimensi ajaran Islam, seperti
aqidah, akhlak dan tasawuf menjadi suatu keutuhan disiplin ilmu.11 Posisi produk ajaran
Islam masa awal sebagai bagian beragama, esensinya adalah religius dan berjalin
berkelindan secara religius.12 Karakter produk ajaran Islam semacam ini ditandai adanya
kekuatan internal (internal power) dan menghadirkan maṣlaḥah ‘āmmah karena tujuan
praktis dari ajaran Islam merupakan bagian dari konsep beragama yang berhubungan
dengan tingkah laku individu dan sosial, baik spiritual, mental dan fisik.13
Sampai akhir abad ke-2 H (8 M), ajaran Islam masih terintegrasi dengan seluruh
dimensi keagamaan. Terminologi suatu disiplin ajaran Islam belum dikenal, karenanya
Fazlur Rahman hampir selalu menyebutnya dengan al-dīn, yang tidak hanya merujuk
kepada ajaran Islam tertentu tetapi menyangkut pengertian agama secara utuh.14 Ruang
lingkup terminologi ajaran Islam secara bertahap menyempit, dan akhirnya terbatas hanya
pada satu dimensi ajaran Islam seperti hukum Islam (fiqh), akhlak dan ilmu tauhid, bahkan
lebih dipersempit lagi pada aspek tertentu dari produk hukum (yurisprudensi) dan
seterusnya.15
Ketika dunia Islam mengalami kemunduran, dan mencapai puncaknya abad ke-9
H (15 M),16 ajaran Islam telah terelaborasi secara rinci dan para ‘ulamā’ berkesimpulan
bahwa seluruh persoalan telah dibahas dan dijawab secara tuntas.17 Sementara peradaban di
belahan dunia Barat (Eropa) setelah Napoleon menduduki Mesir (1798 M)18 mulai
menunjukkan kemajuan yang ditandai munculnya berbagai disiplin keilmuan.19 Ilmu-ilmu
11 Karena cakupan fiqh yang luas dan komprehensif, Abu Hanifah diriwayatkan telah mendefinisikan
fiqh sebagai ‘pengetahuan tentang hak dan kewajiban serta masalah-masalah pokok keimanan. Lihat Ahmad
Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, hlm. 2-3. 12 Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Muhammad dengan judul “Islam”, Bandung: Pustaka,
1997, Cet. Ke.3, hlm. 91. 13 Ibid., 1997, hlm. 141.
14 Ibid.,1997, hlm. 143. 15 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, 1994, hlm. 6. 16 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1987, Cet. Ke-5, hlm. 14. 17 Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford: The Claredon Press, 1964, hlm. 69-71. 18 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, 1987, hlm. 14. 19 Napoleon datang ke Mesir di samping membawa tentara juga para ilmuwan (lima ratus kaum sipil dan
lima ratus wanita) dan membentuk lembaga ilmiah bernama Institut d ‘Egypte memiliki empat divisi: bagian
ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi-politik dan sastra-seni. Hasil riset dari lembaga tersebut dipublikasikan
besar-besaran melalui suatu lembaga bernama La Decade Egyptienne, dengan majalahnya bernama La
Corrier d ‘Egypte, menjadikan masyarakat Mesir mengenal percetakan, majalah dan surat kabar. Lihat
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hlm. 30.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
7
Islam yang telah terkotak-kotak kemudian terimbas dan mengalami pluralisasi, lahir
disiplin ilmu-ilmu Islam yang terbelah oleh obyek materia maupun obyek forma masing-
masing ilmu, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu tafsir dan lain-lain.20
Dimensi ajaran Islam yang telah menjadi suatu disiplin ilmu memiliki obyek
materia dan obyek forma sendiri, dengan ragam paradigmanya.21 Masing-masing dimensi
ajaran Islam semakin mendalam mengkaji obyeknya, tetapi secara perlahan terpisahkan
dari konteks beragama. Inti beragama menjadi samar-samar, dimensi transendentalismenya
semakin kabur oleh perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai
pemahaman dan penerapan ajaran Islam.22
Metode pemahaman dan produk ajaran dari para ‘ulamā’ akhir abad kedua dan
pertengahan abad ketiga hijriyah tersebut, kemudian diakomodasi dan diterapkan pada
wilayah lain seperti di Indonesia yang berbeda karakteristiknya. Oleh masyarakat setempat,
kemudian dibakukan dengan sistem perhubungan (sanad) dan dipegangi sebagai doktrin
ajaran.23 Hasil pemikiran dari para ‘ulamā’ tersebut disatukan oleh murid-murid, dengan
menjaga identitas dan karakteristik madzhabnya, serta memposisikannya sebagai karya
agung.
Produk ajaran Islam yang berorientasi pada maṣlaḥah juz’iyyāt juga berimbas
pada pemahaman ajaran agama secara parsial. Pandangan para ‘ulamā’ klasik tentang studi
munāsabah āyāh al-Qur’ān yang dipandu dengan pola tafsir mauḍu’ī (tematik) kurang
mendapatkan perhatian proporsional. Penggunaan dari pola pemahaman (tafsir) tersebut
dapat mengantarkan kepada suatu makna universal dan sekaligus dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah-masalah singular (juz’iyyāt). Sementara orientasi pemahaman
ajaran Islam pada maṣlaḥah juz’iyyāt (singular) bisa berdampak pada wujudnya produk
keberagamaan Islam yang parsial.
Sebagaimana tampak pada pola keberagamaan Islam masyarakat Indonesia yang
lebih berorientasi Islam fiqh dan tasawuf. Karakteristik keberagamaan masyarakat
Indonesia terbentuk melalui dasar pengetahuan Islam yang dibawa oleh para penyebar
20 Ilmu-ilmu dalam Islam yang lahir abad ke-3 H adalah ilmu al-Qur’an, seperti ilmu asbāb al-nuzūl,
ilmu nāsikh wa al-mansūkh dan diikuti oleh ilmu-ilmu lain sebagai upaya memahami pesan-pesan al-Qur’ān.
Lihat T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an,
Jakarta: Bulan Bintang, 1972, Cet. Ke-1, hlm. 13. 21 Banyak literatur menyebut bahwa Imam al-Shafi’i melalui Al-Risalah diposisikan sebagai arsitek
pertama dan utama teori hukum Islam (uṣūl al-fiqh). Asumsi ini disanggah oleh Hallaq bahwa Al-Risalah
merupakan upaya metodologis pertama yang mensintesakan pengalaman nalar manusia dan pemahaman teks
wahyu sebagai dasar hukum. Sintesa al-Shafi’i ini berusaha mendamaikan kubu tradisionalis (ahl al-hadith)
yang menolak pola qiyas dan kubu rasionalis yang enggan menerima tesis bahwa wahyu adalah hukum
pertama dan terakhir bagi segala urusan manusia. Lihat Wael B. Hallaq, Melacak Akar Akar Kontroversi
dalam Sejarah Filsafat Pemnikiran Hukum Islam, hlm. ix. 22 Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, Yogyakarta: LKiS, 2004, Cet. Ke-1, hlm. 24. 23 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terjemah oleh Gufron A. Mas’udi dengan judul
Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Cet. Ke-1, hlm. 251.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
8
Islam melalui jalur perdagangan,24 yang lebih bercorak legal formal (syari’ah Islam) dan
penyebaran Islam yang dilakukan oleh para da’i sufi,25 yang berimplikasi pada wujud
keberagamaan masyarakat yang bernuansa sufistik dan kesalehan individual.
Kedua wujud pola keberagamaan Islam tersebut, masing-masing sibuk dengan
orientasinya sendiri dan seringkali menunjukkan adanya fenomena ketidakakuran dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Lebih jauh dapat disaksikan bahwa individu dan
masyarakat Islam lebih berorientasi pada fanatisme ajaran Islam juz’iyyāt baik pada pola
pemahaman hukum Islam (fiqh) maupun yang berorientasi pada ajaran tasawuf di tengah
masyarakat yang sedang diterpa globalisasi.
Keadaan di atas, mengingatkan pada sejarah ketika Herodotus menceritakan
orang-orang Mesir yang negaranya telah runtuh dan terpasung oleh kepercayaan lama.26
Suatu ungkapan sejarah yang menggambarkan tabiat (watak) kemanusiaan yang selalu
rindu kejayaan masa lalu, kemudian melebih-lebihkan dan mengagungkannya, karena
menyaksikan masa sekarang yang penuh kekurangan dan mereka berada dalam kondisi
ketidakmampuan.
Sikap dan watak manusia tersebut dapat dikatakan menemukan signifikansi-
legitimasinya, ketika umat Islam sedang mengalami kemunduran dan menyaksikan
kemajuan di belahan dunia Barat, orang-orang Islam teringat kembali masa kejayaan yang
pernah dialami.27 Mereka menolak meninggalkan berbagai ketetapan yang telah ditentukan
oleh para ‘ulamā’ terdahulu dan tidak menyadari bahwa mereka telah hidup pada waktu
dan tempat yang berbeda dari para ‘ulamā’ mereka. Sedangkan permasalahan yang
dihadapi umat Islam jauh berbeda dengan yang dihadapi para ‘ulamā’ masa lalu.28
Pada dekade masa kemunduran tersebut, Islam masuk ke wilayah nusantara
melalui para sufi yang lebih berorientasi dimensi asketis-sufistik.29 Paham sufisme yang
esoterik dan mengutamakan kesalehan individual ikut membentuk karakteristik Islam
24 Antara lain didukung oleh sarjana Belanda Wertheim, Pijnapel. Lihat Nur Syam, Islam Pesisir,
Yogyakarta: LKiS, 2005, Cet. Ke-1, hlm. 63-64. Karakteristik Islam yang dibawa oleh para pedagang lebih
bercorak syari’ah, artinya keabsahan perilaku beragama diukur melalui perspektif syari’ah Islam. 25 Para penyokong teori penyebaran Islam di wilayah nusantara terutama di Jawa melalui jalur para sufi,
menemukan signifikasinya, dengan menganalisis mudahnya terjadi persenyawaan unsur mistik Islam dengan
unsur mistik kejawen. Para sarjana yang berpendapat demikian antara lain S.Q. Fatimi, John dan
Tjandrasasmita. Lihat Nur Syam, Islam Pesisir, hlm. 64. 26 Herodotos adalah sejarawan Yunani Kuno, lahir di Halikamssos, Karia (Bodrum, Turki modern)
hidup pada abad ke 5 SM (sekitar 484-425 SM). Dia disebut sebagai "Bapak Sejarah" karena ia adalah
sejarawan pertama yang diketahui mengumpulkan bahan-bahannya secara sistematis, menguji akurasinya
sampai batas tertentu, dan menyusunnya dalam bentuk narasi yang terstruktur secara jelas. Lihat Muhammad
Said Al-Ashmawi, Nalar Kritis Syari’ah, Yogyakarta: LKiS, 2004, Cet. Ke-1, hlm. 196-197. 27 Fazlur Rahman ketika mendeskripsikan fase kemunduran hukum Islam, sebagai fase di mana hukum
Islam tidak lagi mengabdi kepada masyarakat, tetapi dimanfaatkan untuk ‘kepentingan penguasa’. Lihat
Fazlur Rahman, Islam, 1997, hlm. 140-165. 28 Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet. Ke-1, hlm.
48. Bandingkan dengan Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, hlm. 21. 29 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, Yogyakarta:
LKiS, 2005, Cet. Ke-1, hlm. 33.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
9
Indonesia.30 Watak sufistik pada gilirannya bukan melahirkan fuqahā’ tetapi tokoh sufi
besar seperti Nuruddin al-Raniri (w. 1068 H/1658 M), Hamzah Fansuri (wafat kira-kira
1607 M), Abd. al-Rauf al-Sinkili (w. 1105 H/1693 M), dan Walisongo di Jawa.31
Tidak diragukan bahwa keberhasilan para da’i sufi dalam mensosialisasikan Islam
di wilayah nusantara telah menunjukkan hasil yang mengagumkan. Ketangguhan Islam
individual belum cukup mengikis tumbuh suburnya fanatisme beragama di kalangan umat
Islam dan produk ajarannya menjadi indikasi Islam yang sedang kehilangan daya kekuatan
(elan vital) dan daya kreatifitasnya. Dapat dikatakan bahwa institusi ajaran Islam belum
menghadirkan maṣlaḥah di tengah kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Kondisi tersebut ditunjang oleh karakteristik ajaran Islam yang sedang mengalami
keterputusan antar dimensi keberagamaan yang pada gilirannya menjadi salah satu
penyebab terjadinya kesenjangan antara ideal ajaran dengan realitas praktisnya.32 Jassir
Auda mensinyalir bahwa bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, persoalan
ketidak-adilan, peminggiran perempuan, bahkan terorisme banyak terjadi pada wilayah
yang mayoritas berpenduduk muslim. Bukti-bukti itu berlawanan dengan ajaran Islam yang
mendorong terwujudnya keadilan, hidup produktif, humanis, spiritualis, clean government,
persahabatan dan kehidupan yang demokratis.33
Pada dimensi hukum Islam, NJ. Coulson juga berkesimpulan bahwa syari’ah
(hukum Islam) yang telah tersusun secara sempurna dari para guru madzhab, kemudian
dibukukan, diberi komentar (sharkh) yang pada umumnya memperkuat pendapat para
guru. Maka hukum Islam menjadi statis dan bersifat kekal, mengapung bagaikan jiwa tanpa
jasad, terpisah dari arus pergantian waktu, tampil sebagai hukum yang dicita-citakan,
keabsahannya berlaku abadi dan masyarakat harus mengejar cita-cita itu.34 Hukum Islam
telah menjadi ‘menara gading’ dan masyarakat cukup puas memandang keindahannya.
Ali Shariati dalam teori sosiologinya menjelaskan mengenai proses dialektika
kecenderungan budaya atau keagamaan masyarakat dari zaman ke zaman. Ketika arah dan
tendensi masyarakat yang dibingkai suatu doktrin, maka budaya atau keagamaan
masyarakat akan mengkristal menjadi kepercayaan atau ajaran yang baku.35 Pandangan
30 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Yogyakarta: LKiS, 2001, Cet. Ke-1, hlm. 110. 31 Ibid. 32 Kata realitas cenderung dimengerti sebagai penggambaran kuantitas dan sedikit dipakai untuk
memaparkan proses kesejarahan, apalagi untuk menggambarkan situasi keagamaan seperti penggambaran
tentang shari’ah. Shari’ah merupakan jalan untuk mengatur seluruh kehidupan dan tindakan manusia agar
menjadi religius. Apabila yang terjadi sebaliknya, maka manusia akan tampak seperti rumah yang terkotak-
kotak, dalam keadaan batin yang terpisah dan terpecah. Lihat S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terj.
Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, 1983, hlm. 65. 33 Jasser Audah, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, London-Washington: The IIIT
Press, 2008, hlm. xxii-xxiii. 34 Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, Inggris: Edinburg University Press, 1964, hlm. 3 35 Ali Shariati, The Visage Of Muhammed, alih bahasa oleh Ibnu Muhammad dengan judul “Islam dalam
Perspektif Sosiologi Agama”, Bandung: Iqra, 1983, Cet. Ke-2, hlm. 2.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
10
Shariati ini menunjuk pada situasi ketika Islam mengalami suatu fase kemunduran (mulai
abad ke-4 H sampai ke-7 H) dan muncul wacana ‘tertutupnya pintu ijtihad.36
S.H. Nasr berpendapat bahwa dalam beragama Islam, masyarakat kurang
responsif dalam menghadapi berbagai permasalahan kemasyarakatan, antara lain karena
terkotak-kotaknya ajaran Islam.37 Terminologi dan batasan disiplin ilmu-ilmu Islam
terlepas dari terminologi keberagamaan.38 Menurut Fazlur Rahman, karena keberagamaan
Islam telah bergeser dari yang semestinya ijtihādiyyah menjadi normatif-doktriner dan
tidak ada peluang masuknya pemikiran. Ajaran Islam dianggap telah lengkap dan
kemudian dibakukan secara rinci dan rapi sebagai suatu doktrin, baik yang menyangkut
bidang ‘ibādah, mu’āmalah, munākaḥah, jināyah dan khususnya bidang dustūriyah.
Bergesernya posisi ajaran Islam sebagai hasil pemikiran dari nuṣūṣ al-sharī’ah
menjadi normatif-doktriner, berarti posisi keberagamaan telah bergeser menjadi agama
yang bersifat ideal. Oleh sebagian umat Islam, posisi keberagamaan Islam tersebut
disejajarkan dengan nuṣūṣ al-sharī’ah, dan tidak ada peluang bagi pemikiran untuk
mengembangkan atau menyesuaikan dengan dinamika masyarakat. Doktrin ini telah
melahirkan wacana tertutupnya pintu ijtihad dan umat Islam cukup yakin bahwa produk
hukum Islam telah sempurna dan mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.39
Ketika pemikiran tersebut demikian subur, maka keberagamaan Islam ada dalam
pergumulan wacana, kehilangan daya kekuatan ontologisnya dan tidak mampu
menghadirkan kemaslahatan. Dalam situasi demikian, para ‘ulamā’ di Indonesia tidak
memiliki kreatifitas dan keberanian untuk mengembangkan ajaran Islam. Sebagian ‘ulamā’
menganggap ketentuan-ketentuan dalam keberagamaan Islam sebagai ciptaan Allāh yang
36 Polemik tentang wacana ‘tertutupnya pintu ijtihad’ menjadi sorotan sarjana muslim progresif seperti
Ahmad al-Raysuni, Fazlur Rahman dan Wael B. Hallaq. Al-Raysuni menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak
pernah ditutup, dan bahwa seorang mujtahid bisa mengalami kesalahan adalah sebagai sesuatu yang wajar,
asal tidak sengaja berbuat salah. Baca Ahmad Al-Raysuni, Ijtihad antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan
Sosial, hlm. 1-4. Fazlur Rahman berpendapat, karena persyaratan-persyaratan ijtihad dibuat sedemikian sulit
dan ketatnya, dan ditetapkan sedemikian tingginya hingga berada di luar jangkauan manusia, maka hampir-
hampir tidak ada yang mampu melakukan ijtihad (mutlak). Baca Fazlur Rahman, Islam, hlm. 107. Sementara
Hallaq dengan tegas menyangkal adanya penutupan pintu ijtihad. Wacana ‘tertutupnya pintu ijtihad’
sepenuhnya tidak berdasar data yang akurat. Baca Wael B. Hallaq, Melacak Akar-Akar Kontroversi dalam
Sejarah Filsafat Pemikiran Hukum Islam, Surabaya: Srikandi, 2005, Cet. Ke-1, hlm. 4-5. 37 S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, 1983, hlm. 66-68.
38 Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam: Menjawab Tantangan Zaman yang
Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, Cet. Ke-1, hlm. 1-10. 39 Polemik tentang wacana ‘tertutupnya pintu ijtihad’ menjadi sorotan sarjana muslim progresif seperti
Ahmad al-Raysuni, Fazlur Rahman dan Wael B. Hallaq. Al-Raysuni menyatakan bahwa pintu ijtihad tidak
pernah ditutup, dan bahwa seorang mujtahid bisa mengalami kesalahan adalah sebagai sesuatu yang wajar,
asal tidak sengaja berbuat salah. Baca: Ahmad Al-Raysuni, Ijtihad Antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan
Sosial, hlm. 1-4. Fazlur Rahman berpendapat, karena persyaratan-persyaratan ijtihad dibuat sedemikian sulit
dan ketatnya, dan ditetapkan sedemikian tingginya hingga berada di luar jangkauan manusia, maka hampir-
hampir tidak ada yang mampu melakukan ijtihad (mutlak). Baca: Fazlur Rahman, Islam, hlm. 107. Sementara
Hallaq dengan tegas menyangkal adanya penutupan pintu ijtihad. Wacana ‘tertutupnya pintu ijtihad’
sepenuhnya tidak berdasar data yang akurat. Baca: Wael B. Hallaq, Melacak Akar-Akar Kontroversi dalam
Sejarah Filsafat Pemikiran Hukum Islam, Surabaya: Srikandi, 2005, Cet. Ke-1, hlm. 4-5.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
11
sakral dan manusia tidak berhak terlibat di dalamnya.40 Akibatnya umat Islam
menenggelamkan diri dalam kesalehan individual dan asketis, sebagai ciri khas kehidupan
dan pandangan mistisisme yang subur berkembang di Indonesia.41
Pada saat sikap masyarakat memegangi keberagamaan Islam sebagai normatif-
doktriner, berkembang pendekatan empirisme dalam ilmu-ilmu sosial untuk memahami
agama.42 Pendekatan empirisme untuk ilmu-ilmu sosial di Barat hanya mengakui
pengetahuan yang dianggap ilmiah bila didasarkan pada pengalaman indrawi yang dapat
diverifikasi secara obyektif.43 Pandangan ini kemudian dikebangkan lebih ketat oleh kaum
positivis dan dijadikan basis bagi sains modern. Pada sisi lain, kalangan agamawan hanya
mengakui pendekatan metaphisik-transendental untuk mengkaji dimensi spiritual agama
dan ajaran Islam. Para agamawan bahkan menuduh pendekatan positivisme sebagai
pendekatan yang dapat merusak agama.
Melebih-lebihkan kualifikasi ilmiah dari pengalaman obyektif yang dapat
diverifikasi secara indrawi dan sebaliknya kriteria kebenaran atas pengalaman spiritual
dalam memahami agama, keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Karena pada kedua pengalaman memiliki dimensi obyektif dan subyektif, dan masing-
masing entitas memiliki karakteristik yang tidak sama. Pemanfaatan pendekatan empirisme
untuk memahami dimensi spiritualitas agama dan ajaran Islam berdampak serius
tergerusnya entitas transendental pada dimensi tersebut, namun demikian dimensi empiris-
praktis agama dan ajaran Islam dengan kualifikasi obyektif-indrawi secara metodologis
lebih tepat menggunakan pendekatan empirisme.
Pemanfaatan pendekatan empirisme dan metaphisik-transendentalisme secara
gegabah untuk mengkaji agama dan ontologi ajaran Islam terbukti membawa kekacauan
berpikir dan bukan tidak mungkin akan terjadi reduksi spiritualitas beragama dan
menipisnya iman.44 Dengan kata lain spiritualitas beragama dan iman bisa tergerus oleh
pendekatan empirisme dengan kualifikasi kebenaran indrawi dan rasio. Esensi iman yang
hanya bisa dijangkau oleh kebenaran transendental telah diposisikan sebagai tidak ilmiah
dan obyektif karena tidak bisa diverifikasi oleh pengalaman empiris manusia.
40 KH. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009, Cet. Ke-1, hlm. 123. 41 Mungkin ajaran Imam al-Ghazālī yang sedikit mengabaikan terhadap urusan pemerintahan dan politik
ikut membentuk jalan pikiran kaum tarekat. Dalam banyak kasus memang relativisme politik lebih banyak
ditemukan pada kaum sufi dari pada mereka yang berpegang teguh pada ilmu kalam, fiqh dan syari’ah. Lihat
Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, Jakarta: Paramadina,
2004, hlm. 112. 42 Aliran empirisme pertama kali muncul di Inggris yang dipelopori Francis Bacon (1561-1626) dan
mencapai puncaknya pada abad ke-18 dengan tokohnya David Hume (1711-1776). Empirisme memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Lihat Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2004, Cet. Ke-1, hlm. 62. 43 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Jakarta: Arasy Mizan, 2005, Cet.
Ke-1, hlm. 116. 44 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2004, Cet. Ke-1, hlm. vi.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
12
D. Dampak Menipisnya Nasionalisme
Karut-marut persoalan sosio-religio dan kultur masyarakat yang tergambar pada
uraian di atas, masih ditambah dengan orientasi pada praksis kehidupan organisasi partai
yang menjamur di wilayah nusantara ini. Semua partai politik di Indonesia saat ini
mengklaim memiliki semangat nasionalisme, termasuk partai yang menggunakan
nomenklatur Islam, selalu menyatakan memperjuangkan kepentingan nasional. Artinya,
secara verbalistik (di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi
partai) semua memiliki semangat kebangsaan.
“Persoalannya adalah apakah semangat kebangsaan itu sudah diimplementasikan
partai-partai politik? Bukti empirik menunjukkan bahwa semangat kebangsaan itu masih
sebatas jargon politik. Perwujudannya secara konkret masih sangat tidak memadai.
Lemahnya semangat nasionalisme bisa juga dilihat dari beragamnya orientasi partai-partai
politik dan setiap partai politik memiliki agenda sendiri. Bahkan pada titik tertentu, partai-
partai politik lebih fokus mengurusi partai dan anggotanya dibandingkan persoalan bangsa
secara nasional.
Organisasi kepartaian sebagai infrastruktur berdemokrasi seharusnya tidak
menghilangkan substansi empat pilar demokrasi di Indonesia, yaitu Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Perbedaan ideologi, platform, dan kendaraan politik tidak mesti harus berbeda
pandangan dalam membangun Indonesia. Kalau sudah terjadi fragmentasi orientasi, maka
sulit mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan kebersamaan.”
Kita bisa melihat partai penguasa dan oposisi sulit duduk bersama, masing-masing
memiliki ego sendiri. Bahkan lebih dari itu, di antara partai-partai saling menyandera.
“Akibatnya, rakyat sering sekali ditelantarkan. Dampak menipisnya (hilangnya) wawasan
kebangsaan (nasionalisme) lebih nyata dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, baik
tingkat propinsi, kabupaten maupun kota.
Dalam pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah selalu saja ada masalah yang timbul.
Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat
memprihatinkan. Seandainya calon tersebut dapat lolos menjadi pimpinan suatu daerah,
maka dengan pasti daerah itu dipimpin oleh orang yang bermental korup. Sedari awal,
mereka sudah menggunakan cara yang tidak benar dengan biaya untuk menjadi calon yang
tidak sedikit. Niat yang tidak tulus membangun bangsa, maka tindakan yang pertama
adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kembali (balik modal).
Dampak nyata dalam pelaksanaan pilkada, ditemukan banyak penyelewengan, seperti:
1. Money Politic
Sepertinya money politic ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan
pilkada. Dengan memanfaatkan masalah rendahnya status ekonomi masyarakat, dengan
mudah mereka dapat diperalat, dengan membagi bagikan uang kepada masyarakat dengan
syarat harus memilih bakal calon tertentu. Pada era di mana uang memegang kendali dan
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
13
dengan uang dapat membeli segalanya, ditambah rendahnya tingkat pendidikan dan
wawasan kebangsaan seseorang, maka dengan mudah orang itu diatur dengan uang. Sangat
masuk akal jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak.
Namun demikian, jika calon kepala daerah memiliki rasa nasionalisme atau
wawasan kebangsaan yang tinggi, mereka seharusnya memberikan pendidikan cara-cara
berdemokrasi yang benar kepada masyarakat yang belum memiliki pengetahuan cara
berdemokrasi yang cukup. Bukan dengan cara money politic untuk mendapatkan jabatan
yang akan berdampak buruk dan merusak tatanan (norma) yang seharusnya dipegangi
bersama dalam bermasyarakat dan bernegara.
2. Intimidasi
Bentuk-bentuk intimidasi yang sering muncul menjelang pemilihan kepala daerah
secara langsung adalah mendesain para pemilih memiliki rasa takut bila tidak memilih
calon kepala daerah tertentu. Para calon dan pendukungnya baik secara langsung maupun
tidak langsung melakukan tindakan tidak terpuji dengan menakut-nakuti masyarakat akan
hilangnya hak-hak tertentu. Sebagai contoh oknum pimpinan instansi pemerintah
melakukan intimidasi terhadap para stafnya, kemudian para pegawai dari suatu instansi
mengintimidasi warga agar mencoblos salah satu calon. Hal demikian di samping
merupakan tindakan tidak terpuji juga menyimpang dari aturan pelaksanaan pemilu.
3. Mencuri start kampanye
Melakukan kampanye mendahului aturan yang sudah ditentukan, merupakan
tindakan yang paling sering terjadi, baik dilakukan secara terang-terangan maupun
terselubung, seperti pemasangan baliho, spanduk dan selebaran. Sering juga untuk bakal
calon incumbent (petahana) melakukan kunjungan ke berbagai daerah dengan berbagai
dalih, namun intinya adalah melakukan kampanye. Intensitas kunjungannya semakin tinggi
ketika mendekati pemilu, padahal ketika sedang memimpin hampir tidak pernah
mengadakan kunjungan. Contoh lainnya, adalah menggunakan media massa, seperti surat
kabar dan televisi dengan memberitakan tentang keberhasilan suatu pembangunan dan
menayangkan visi misi serta berita-berita yang bermotif kampanye.
4. Kampanye negatif (hitam)
Kekurangan bakal calon dalam berkompetisi antar bakal calon, seringkali
diwujudkan dengan menampilkan kelemahan lawan dan menyerang dengan dalih tertentu.
Cara-cara sosialisasi bakal calon yang tidak memiliki reputasi sebagai seorang pemimpin
yang berwawasan nasionalisme kepada masyarakat yang rendah pendidikan dan
wawasannya, dianggap efektif dengan menyerang lawan-lawannya. Kampanye negatif
semacam ini juga terjadi karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat dan
masyarakat hanya “manut” dengan orang yang ada di sekitar mereka yang menjadi
panutannya. Bahkan kampanye negatif semacam ini dapat mengarah munculnya fitnah
yang dapat merusak moral masyarakat pada daerah tersebut.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
14
E. Penutup
Mencermati pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang masih terlihat banyaknya
kekurangan dan kecurangan tersebut, menyisakan sejumlah harapan dan tidak terperangkap
elektoralisme. Oleh karena itu, salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan
memperoleh manfaat dari sistem pemilihan kepala daerah secara langsung adalah
kemampuan untuk menghindari jebakan demokrasi elektoral. Hal ini menjadi penting
karena kurang lebih tiga tahun belakangan ini, konsep demokrasi elektoral, sebagai konsep
yang menekankan pada pertarungan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat,
merupakan konsep yang sangat populer.
Dalam perspektif desentralisasi dan demokrasi prosedural, sistem pemilihan
kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung) merupakan suatu inovasi yang
bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di tingkatan lokal. Secara normatif,
berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi minimalis Pilkada Langsung menawarkan sejumlah
manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi
lokal. Sistem demokrasi langsung melalui Pilkada Langsung akan membuka ruang
partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukan
kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang
lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruitmen politik di tangan segelintir
orang di tangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bersifat
oligarkis.
Dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung memungkinkan munculnya lebih
lebar preferensi kandidat-kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing
kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang
sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep demokrasi
langsung, warga di tingkat lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh
semacam pendidikan politik; training kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai
posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Pilkada Langsung
juga memperbesar harapan untuk mendapatkan figure pemimpin yang aspiratif, kompeten
dan legitimate. Dalam perspektif Sosiologi Hukum Islam, pilkada langsung merupakan
suatu efek-efek hukum terhadap gejala sosio-religius suatu masyarakat.
Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa rule of law berarti persamaan di
hadapan hukum, yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum. Demikian
pengertian yang dapat dipahami dari suatu negara hukum. Namun demikian, terdapat
kecenderungan keterkaitan antara hukum dengan gejala-gejala sosial, dalam hal ini
stratifikasi sosial yang terdapat dalam setiap masyarakat. Dengan demikian dapat diartikan
bahwa ketaatan terhadap suatu hukum dan konsistensi penerapannya merupakan suatu
social control yang dipraktikkan oleh penguasa.
Di samping penegakan rule of law, wawasan kebangsaan atau nasionalisme
masyarakat perlu terus diajarkan dan disosialisasikan agar tumbuh kesadaran berdemokrasi
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
15
yang bermartabat dalam meraih suatu cita-cita berbangsa dan bernegara. Bagi masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam, mencintai tanah air merupakan bagian dari
melaksanakan ajaran agama, demikian pula memilih kepala daerah merupakan kewajiban
yang tidak boleh melanggar aturan atau hukum yang telah dilegislasi dan disepakati
bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam: Menjawab Tantangan Zaman
yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, Cet. Ke-1.
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence.
Amir Mu’alim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII
Press, 2005, Cet. Ke-1.
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Muhammad dengan judul “Islam”, Bandung:
Pustaka, 1997, Cet. Ke-3.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1987, Cet. Ke-5.
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terjemah oleh Gufron A. Mas’udi dengan
judul Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Cet. Ke-1.
Jasser Audah, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, London-Washington:
The IIIT Press, 2008.
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford: The Claredon Press, 1964.
KH. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009, Cet. Ke-1.
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris,
Yogyakarta: LKiS, 2005, Cet. Ke-1.
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Yogyakarta: LKiS, 2001, Cet. Ke-1.
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2004, Cet. Ke-1.
Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, Yogyakarta: LKiS, 2004, Cet. Ke-1.
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Jakarta: Arasy Mizan,
2005, Cet. Ke-1.
Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet.
Ke-1.
Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS, 2005, Cet. Ke-1.
S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid,
1983.
Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa,
Jakarta: Paramadina, 2004, hlm. 112.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
16
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan Al-
Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972, Cet. Ke-1.
Wael B. Hallaq, Melacak Akar-Akar Kontroversi dalam Sejarah Filsafat Pemikiran Hukum
Islam, 2005.