34
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 1 EPISTEMOLOGI MALAAH Dari Nalar Tekstualis Sampai Nalar Dialektik Oleh: Mudzakir 1 Abstract The main purpose of prescribing of Islamic law (maqasid al-shari'ah) is to maintain the benefit of and at the same time avoiding the harmless, both globally and in the hereafter. All sorts of legal cases, either explicitly stipulated in the Qur'an and Hadith as well as those produced through ijtihad, should start from the maqasid al-shari'ah. In legal cases that are explicitly described in the two main sources of fiqh that, the benefit can be traced through the existing text. If it turns out that there is the benefit of it is described, then the benefit was used as the starting point of the legal determination. In this case the mujtahid very important role to explore and formulate maqashid maslahah aligned with al-shari'ah. Mujtahids different in concept and limits maslahah along the method implementation (the text, the spirit of the text, real human entities) and the implementation steps in utilizing the method of ijtihad used to realize the benefit. Mujtahid belonging mutakallimun more likely textual, while mujtahid in medieval times more likely rationalist, and mujtahid the contemporary period are more likely able to combine text with the context that became known as the dialectic. Key word: malaah, textual, rational dan dialect A. Pendahuluan Syari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah yang berkaitan dengan ibadah vertikal - dan ibadah muamalah yang berkaitan dengan ibadah 1 Staf Pengajar pada STAIN Kudus

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

1

EPISTEMOLOGI MAṢLAḤAH

Dari Nalar Tekstualis Sampai Nalar Dialektik

Oleh: Mudzakir1

Abstract

The main purpose of prescribing of Islamic law (maqasid al-shari'ah) is

to maintain the benefit of and at the same time avoiding the harmless, both

globally and in the hereafter. All sorts of legal cases, either explicitly stipulated

in the Qur'an and Hadith as well as those produced through ijtihad, should start

from the maqasid al-shari'ah.

In legal cases that are explicitly described in the two main sources of fiqh

that, the benefit can be traced through the existing text. If it turns out that there is

the benefit of it is described, then the benefit was used as the starting point of the

legal determination. In this case the mujtahid very important role to explore and

formulate maqashid maslahah aligned with al-shari'ah. Mujtahids different in

concept and limits maslahah along the method implementation (the text, the spirit

of the text, real human entities) and the implementation steps in utilizing the

method of ijtihad used to realize the benefit.

Mujtahid belonging mutakallimun more likely textual, while mujtahid in

medieval times more likely rationalist, and mujtahid the contemporary period are

more likely able to combine text with the context that became known as the

dialectic.

Key word: maṣlaḥah, textual, rational dan dialect

A. Pendahuluan

Syari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan,

obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

ibadah vertikal - dan ibadah mua‟malah – yang berkaitan dengan ibadah

1 Staf Pengajar pada STAIN Kudus

Page 2: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

2

horisontal. Dalam bidang ibadah vertikal terkandung nilai-nilai

ta’abbudī (ghairu ma’qūlah al-ma’nā) atau bidang ibadah yang tidak

terjangkau oleh rasio. Artinya, manusia tidak boleh beribadah kecuali

dengan apa yang telah disyariatkan, dalam bidang ini tidak terbuka

secara leluasa pintu ijtihad bagi umat Islam. Sedang bidang muamalah

di dalamnya terkandung nilai-nilai ta’aqqulī (ma’qūlah al-ma’nā) atau

rasional.2 Artinya, umat Islam dituntut berijtihad untuk

mengembangkan syari‟ah Islam agar terwujud kemaslahatan bersama

dalam bingkai maqāṣid al-sharī’ah, yang memang diturunkan oleh

Allah untuk maksud itu.

Pada dasarnya para ulama uṣūl sepakat adanya “kemaslahatan”

pada setiap ketentuan hukum sebagai tujuan legislasi (maqāṣid al-

sharī’ah),3 baik pada persoalan-persoalan yang termasuk dalam

wilayah ibadah mahḍah yang sudah ditentukan ukuran pelaksanaannya

(muqaddarah), maupun dalam bidang mu‟amalah yang maṣlaḥah-nya

memerlukan rumusan sesuai dinamika masyarakat. Unsur maṣlaḥah

tersebut bisa ditelusuri melalui berbagai metode ijtihad, di antaranya

ijmā’, qiyās, istiḥsān, istiṣlāh, sad al-dharī’ah, ‘urf dan lain-lain.

2Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

Cet. Ke-1, 1997), hal. 52 3 Sebagaimana dinyatakan oleh al-Ghazālī, bahwa hukum Allah (syari’ah)

yang ada dalam al-Qur‟ān dan al-Hadīth memiliki ta’lil al-ahkam, dalam arti memiliki

tujuan (maqaṣid). Maqaṣid sebagai tujuan syari‟ah itu tersembunyi dalam setiap Firman-

Nya yang harus dipahami secara cermat oleh manusia, untuk mengetahui apa yang

sesungguhnya diinginkan oleh Allah, dari sini pula maṣlaḥah dapat diidentifikasi. Lihat:

Abu Hamīd al-Ghazālī, Al-Mustaṣfa min ‘Ilm al-Uṣūl, Vol. 1 (Beirut: Dār al-Fikr, t.th),

hal. 286

Page 3: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

3

Mereka berbeda dalam menentukan kualifikasi maṣlaḥah pada ibadah

mahḍah yang sudah ditentukan teknik pelaksanaannya terlebih pada

ibadah mu’āmalah yang memerlukan rumusan teknis pelaksanaan

selaras perkembangan dan dinamika budaya masyarakat. Dalam

konteks demikian, para fuqāha berbeda dalam konsep dan batasan

maṣlaḥah beserta metode kontekstualisasinya (antara teks, roh teks,

entitas real manusia) dan langkah-langkah implementasinya dalam

memanfaatkan metode ijtihad yang digunakan untuk mewujudkan

kemaslahatan tersebut.

Beberapa metode istinbāṭ hukum yang dipakai oleh para

fuqāha di atas, metode qiyās menjadi andalan sebagian besar ulama

uṣūl karena mendapatkan „cantolan‟ nuṣūṣ (al-Qur‟ān dan atau al-

Sunnah) tertentu. Mayoritas ulama memposisikan qiyās sebagai metode

istinbāṭ hukum Islam setelah ijmā’ para sahabat.4 Sedangkan metode

istinbāṭ hukum lainnya, termasuk maṣlaḥah mursalah atau istiṣlāh

yang diperkenalkan oleh Imam Mālik (w. 179 H) selalu diperdebatkan,

bahkan ditolak oleh mayoritas penganut Shāfi’iyah.

Golongan Shāfi’iyah yang lebih berorientasi pada kaidah-

kaidah kebahasaan dalam istinbāṭ al-ḥum kemudian dikenal dengan

paradigma literalistik,5 seringkali kurang concern terhadap pesan yang

4Abdul Wahāb Khalāf, ‘Ilm Ușūl al-Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-A‟lā al-

Indonisī li al-Da‟wah al-Islāmiyah, 1972), hal.15-20 5Menurut ahli tafsir, “tafsir” apapun akan selalu berkubang dengan dua tren:

(1) tafsir yang mempertahakan secara ketat pentingnya dominasi “roh teks”, sekalipun

untuk itu dilakukan intervensi, apatisasi, statisasi dan status quo; (2) tafsir yang lebih

Page 4: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

4

ada dibalik teks (naṣ) kecuali oleh sebagian kecil, seperti al-Ghazālī (w.

505), „Iz al-Dīn bin „Abd al-Salām (w. 660), al-Shāṭibī (w. 790 H), dan

M „Abd al-Wahāb Khalāf (w. 1376 H). Berbeda dengan kalangan

fuqāha yang lebih menekankan ma’qūl al-maknā, belakangan disokong

pengikut paham modernis (religious modernism), mereka terdiri dari

para pembaharu uṣūl fiqh yang ide-ide pemikirannya cenderung bersifat

liberal yang tidak terpaku pada teks, mereka berusaha memahami “roh

teks” serta mendialogkan dengan konteks (sosio-religius-kultural)

masyarakat. Pakar hukum Islam kontemporer yang masuk dalam

kelompok ini, antara lain Muhammad Sa‟īd al-Ashmāwī (lahir 1932

M), Muhammad Syahrur (lahir 1938), Mahmoud Muhammad Thoha

(w. 1985 M), Abdullahi Ahmed al-Na‟im (lahir 1946 M) dan lain-lain.

Dua paradigma mutakallimin (teologis) dan fuqaha (rasionalis)

dengan metodologi istinbāṭ al-ḥum terhadap konseptualisasi maṣlaḥah

pada persoalan-persoalan yang tidak termasuk wilayah ibadah mahḍah

menonjolkan perkawinan entitas real manusia dengan “roh teks” sekalipun di dalamnya

terjadi distorsi, gradasi, dan reduksi terhadap “roh teks” itu. Lihat: Jamali Sahrodi,

Metodologi Studi Islam – Menelusuri Jejak Historisitas Kajian Islam ala Sarjana

Orientalis, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. Ke-1, 2008), hal. 115. Tren tafsir yang pertama

adalah kelompok yang menggunakan paradigma literalisme yang bertumpu pada teks.

Dalam paradigma ini, akal dipandang tidak dapat memperoleh pengetahuan, kecuali ia

disandarkan kepada teks (naṣ). Dalam tradisi berpikir literalistik ini dikenal dua cara

mendapatkan pengetahuan: (1) diperoleh melalui dhahirnya ayat (teks), akar tradisi ini

dari epistemologi empirisme Yunani terutama John Locke (1632-1704), dalam Islam

tradisi ini dikembangkan oleh Ibn Rusyd (w. 595 H), dan pada puncaknya oleh Ibn Hazm

(w. 270 H). Imam Shāfi‟i (w. 204 H) cenderung menggunakan tradisi ini dalam

membangun epistemology hukum Islam (uṣul al-fiqh). (2) Dengan sarana bahasa (teks)

untuk menangkap maknanya diperlukan nalar (rasio), artinya nalar sekedar alat (tool)

yang berperan mengungkap makna dibalik teks, pola ini belakangan diikuti al-Shāṭibī (w.

789 H).

Page 5: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

5

dan atau masalah-masalah yang belum ditentukan teknik

pelaksanaannya, masing-masing paradigma dan metodologi telah

dikembangkan oleh para ahli hukum Islam secara tidak konsisten dan

sesungguhnya bisa dikatakan sebagai upaya kontekstualisasi terhadap

dinamika budaya yang terus berkembang. Berikut ini uraian singkat

masing-masing kedua paradigma dan metodologi istinbāṭ al-ḥum

terhadap konseptualisasi maṣlaḥah tersebut, dan dilengkapi dengan

nalar dialektika.

B. Epistemologi maṣlaḥah paradigma mutakallimin (teologis)

Para fuqaha merumuskan hukum Islam normatif berasal dari

wahyu yang secara verbal termuat dalam mushaf al-Qur‟ān, sedangkan

mushaf itu sendiri ditulis dalam bentuk teks atau naṣ. Dapat dikatakan

bahwa hukum Islam bersumber dari naṣ, dan karena itu pula metode

paling dominan adalah penggalian hukum dari naṣ (istinbāṭ al-hukm)

dan bukan dari luar naṣ atau dari naṣ yang ẓannī (ijtihad). Dengan

demikian konsep istinbāṭ dan ijtihad lebih didominasi kajian teks atau

kebahasaan, termasuk pembahasan teks qaṭ’ī al-dalālah dan ẓannī al-

dalālah, di kalangan filosof Islam, trend demikian disebut sebagai pola

pikir bayānī.6

Konsep qaṭ’ī al-dalālah di mata kebanyakan ulama uṣūl

dilihat dari aspek bahasa. Suatu naṣ (ayat al-Qur‟ān atau hadith)

6Muhammad „Ābid Al-Jābiri,, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirāsah Taḥlīliyah

Naqdiyah (Beirut: Markaz Dirāsat al-„Arabiyat, 1992), hal. 24

Page 6: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

6

dianggap sebagai qaṭ’ī jika lafaz dalam naṣ tersebut memiliki makna

yang jelas (ṣarīh) dan final (qaṭ’). Inilah yang dipertahankan oleh

Wahbah Zuḥailiī (lahir 1932 M/1351 H), „Abd al-Wahāb Khalāf (w.

1376 H/1956 M) dan Muhammad Abū Zahrah (w. 1395 H/1974 M).

Oleh karena itu Abd al-Wahāb Khalaf mendefinisikan qaṭ’ī al-dalālah

adalah suatu lafaz yang pemahaman maknanya sudah berifat pasti, tidak

mengandung kemungkinan ta‟wil, dan tidak dapat dipahami dengan

makna lainnya”.7 Ayat atau hadith qaṭ’ī ini antara lain banyak berkaitan

dengan jumlah bagian waris, batas had ‘uqūbah, dan jenis-jenis barang

wajib zakat.

Lafaz ẓannī al-dalālah adalah “lafaẓ yang menunjukkan suatu

makna tetapi masih mungkin untuk dita‟wil dan dialihkan dari makna

tersebut kepada makna lain”. Misalnya lafaz qurū’ pada ayat tentang

„iddah perempuan yang ditalak raj’ī, atau kata “al-maitah” yang berarti

bangkai pada QS. al-Maidah (5) ayat 3 tentang makanan-makanan yang

diharamkan.

Ulama uṣūl menggarisbawahi, bahwa ijtihad tidak boleh

dilakukan terhadap teks hukum yang mengandung makna qaṭ’ī atau

kasus hukum yang telah diatur dalam teks yang qaṭ’ī.8 Teks hukum

yang telah qaṭ’ī petunjuk hukumnya tidak dapat dijadikan ajang

pembahasan, baik tentang jumlah, cara, atau bentuk pelaksanannya.

7Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh (Jakarta: al-Majlis al-A‟la al-

Indunisiy li al-Da‟wah al-Islamiyah, 1972) hal. 35. 8„Abdul Wahāf Khalāf, ‘Ilm Ușūl al-Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-A‟la al-

Indonisī li al-Da‟wah al-Islamiyah, 1972), hal. 216

Page 7: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

7

Oleh karena itu tidak boleh dilakukan ijtihad tentang jumlah cambuk

yang harus dijatuhkan terhadap pelaku zina, sebab aturan tersebut telah

diatur secara jelas dalam QS. al-Nur ayat 3. Demikian pula tidak boleh

dilakukan ijtihad terhadap ketentuan hadith mutawātir dan ṣarīh

tentang macam-macam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, jumlah

niṣāb, dan jumlah wajib zakatnya. Kewajiban umat Islam hanya

menerapkan hukum-hukum dalam teks-teks qaṭ’ī tersebut. Pelaksanaan

hukum yang sudah qaṭ’ī harus tepat, tidak boleh lebih dan tidak kurang

(lā akthar wa lā aqall).9

Definisi, penjelasan dan contoh-contoh yang dikemukakan

para ulama uṣūl di atas menunjukkan secara jelas bahwa konsep qaṭ’ī-

ẓannī lebih banyak berangkat dari analisis bahasa (lughah). Hal ini

tentu berdampak terhadap ruang lingkup dan keleluasaan berijtihad.

Oleh karena konsep qaṭ’ī–ẓannī didominasi aspek kebahasaan, maka

kajian dalil hukum Islam paradigma mutakallimin, terfokus pada kajian

teks yang ‘āmm-khass, mujmāl-mubayyan, muṭlaq-muqayyad, muḥkam-

mutashābih dan sebagainmya atau yang lebih populer dalam disiplin

ilmu uṣūl al-fiqh sebagai kajian qāidah uṣūliyyah lughawiyyah.10

Trend pemikiran inilah yang oleh Muhammad „Abid al-Jābirī

(w. 2010 M) dinamakan sebagai epistemologi bayānī, yang sangat

mengagungkan bayan atau teks. Dunia intelektual muslim yang

9Ibid,

10Wahbah Zuḥailiī, Usul al-Fiqh al-Islami, Juz I, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet.

Ke. 16, 2008), hal. 195-393. Lihat: Abd al-Wahāb Khalaf , ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, hal.217

Page 8: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

8

didominasi pemikiran naṣ bayānī, maka peradaban Islam yang

berkembang pada dunia (masyarakat) itu digolongkan sebagai

peradaban teks (al-hadhārah al-naṣiyah). Pola pemikiran hukum Islam

bayānī lughawi ini bersifat deduktif dengan logika kebahasaan. Hukum

dalam suatu teks menjadi dasar pijakan paling kokoh untuk

dianalogikan kepada berbagai kasus atau persoalan yang belum ada

nashnya.

Konsep bayānī seperti ini tentu banyak mengabaikan aspek

realitas empiris yang menjadi sebab turunnya suatu naṣ. Hal lain yang

juga terlewatkan oleh konsep bayānī ini adalah tujuan hakiki di balik

dalil tertulis (al-maqāṣid warā’a al-nuṣūṣ). Pemahaman tekstual

dirasakan sangat lambat dalam merespon persoalan yang terjadi, selalu

menjaga status quo dalam menghadapi perubahan sosial, menjadikan

pemahaman demikian sulit terus dipertahankan dalam menghadapi arus

perubahan yang demikian kencang. Oleh karena itu muncul beberapa

ulama ternama abad pertengahan yang mendobrak kebekuan

pemahaman dalil hukum Islam yang terlalu lughawi bayānī dengan

menawarkan konsep ta’līlī.

Demikian pula dalam pengembangan hukum Islam dengan

metode maṣlaḥah mursalah yang diperkenalkan oleh Imam Mālik (w

179 H), namun karena pengikutnya yang lebih akhir tidak sepaham

dengan pendirian Imam Mālik tersebut, maka setelah abad ketiga

hijriyah, tidak ada lagi ahli uṣūl yang menisbahkan konsep maṣlaḥah

Page 9: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

9

mursalah Imam Mālik,11

sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat

yang menyatakan bahwa metode maṣlaḥah mursalah dipopulerkan oleh

ulama uṣūl fiqh dari kalangan Shāfi‟iyah, yaitu Imam al-Haramain al-

Juwainī (w. 478 H), guru Imam al-Ghazalī (w. 505). Sedangkan yang

paling banyak mengkaji maṣlaḥah mursalah adalah Imam al-Ghazālī

yang dikenal dengan sebutan hujjah al-Islām.12

Dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru

yang dihadapi oleh masyarakat muslim waktu itu, Imam Mālik mencari

hukumnya di dalam al-Qur‟ān, jika tidak ditemukan dia mencari di

dalam al-Sunnah.13

Apabila tidak ditemukan di dalam keduanya, maka

dia mendasarkan pendapatnya pada ijmā’ para sahabat, dan apabila

ijmā’ para sahabat tidak ada yang berkaitan dengan masalah (hukum)

11

Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, alih bahasa oleh E.

Kusnadiningrat, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hal. 165-166 12

Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazaly: Maslahah

Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2002), hal.63-64 13

Imam Mālik menerima hadits-hadits ahad sebagai hujjah (sebagai sumber

hukum) yaitu apabila hadits-hadits ahad tersebut sesuai dengan amalan dan perilaku

masyarakat Madinah. Namun jika hadits ahad tersebut tidak sesuai dengan amalan dan

perilaku masyarakat Madinah maka hadits ahad tersebut tidak diterima oleh Imam Mālik

sebagai hujjah. Imam Mālik membuat ukuran amalan dan perilaku masyarakat Madinah

untuk dapat menerima hadits ahad sebagai hujjah karena pada masa itu sudah banyak

berkembang hadits palsu di kalangan umat Islam. Imam Mālik menganggap masyarakat

Madinah lebih tahu mengenai sunnah Nabi, karena mereka tinggal satu kota bersama

Nabi. Tolok ukur yang dibuat Imam Mālik ini, ditolak oleh Imam Shafi‟i – muridnya,

dengan alasan bahwa setelah meninggalnya Nabi dan meluasnya wilayah kekuasaan

Islam, para sahabat telah menyebar ke berbagai wilayah Islam.

Page 10: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

10

tersebut, maka dia menggali hukum (istimbāṭ) dengan cara berijtihad,

dengan menggunakan qiyās dan istiṣlāh atau maṣlaḥah mursalah.14

Metode qiyās dipraktekkan oleh Imam Mālik apabila ada naṣ

tertentu, baik al-Qur‟ān maupun al-Sunnah yang mendasarinya.

Sedangkan metode istiṣlāh atau maṣlaḥah mursalah dipraktekkan

apabila masalah (hukum) yang dihadapi tidak ada satupun naṣ yang

mendasarinya, baik yang membenarkan maupun yang melarangnya,

bahkan dalam kasus-kasus tertentu, Imam Mālik menggunakan metode

maṣlaḥah mursalah dalam men-takhṣiṣ ayat-ayat al-Qur‟ān yang

bersifat umum.15

Kata maṣlaḥah yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan

maslahat, adalah merupakan Bahasa Arab. Maṣlaḥah secara etimologi

berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan.16

Maṣlaḥah merupakan bentuk maṣdar (adverb) dari fi’il (verb) ṣalaḥa.

Dengan demikian terlihat bahwa kata maṣlaḥah dan kata manfa’ah

yang juga berasal dari Bahasa Arab mempunyai makna yang sama.

Sedangkan menurut istilah, maṣlaḥah diartikan oleh para

ulama dengan rumusan yang hampir sama, di antaranya al-Juwainī (w.

478H.) mengartikan maṣlaḥah dengan al-mukhāfaẓatu ‘alā maqṣūdi al-

shar’i bidaf’i al-mafāsidi ‘ani al-khalqi, yaitu memelihara tujuan

14

Wahbah al-Zuḥaily, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmy, Vol. II, 1988, hal. 33 15

„Abdul Wahāf Khalāf, ‘Ilm Ușūl al-Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-A‟la al-

Indonisī li al-Da‟wah al-Islamiyah, 1972), hal. 88 16

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996), Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. Ke-2, 1996), hal. 634

Page 11: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

11

hukum Islam dengan menolak bencana atau kerusakan terhadap hal-hal

yang merugikan diri manusia (makhluk). Namun demikian para ulama

telah sepakat, bahwa tujuan pokok (ḍarūrī) hukum Islam adalah untuk

memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan.17

Tidak jauh berbeda dengan Imam al-Haramain, al-Ghazalī

merumuskan maṣlaḥah sebagai suatu tindakan memelihara tujuan

syara‟ atau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam

menurut al-Ghazalī adalah memelihara lima hal pokok (ḍarūrī) di atas.

Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima

hal pokok di atas disebut maṣlaḥah, dan setiap hal yang

meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut

maṣlaḥah.18

Identifikasi adanya maṣlaḥah pada setiap ketentuan

hukum tersebut diperoleh melalui analisis al-nuṣūṣ al-sharī’ah.

Sedangkan menurut Imam al-Shātibī (ulama Mālikiyah)

seorang ulama yang paling popular pendapatnya tentang maṣlaḥah

mursalah mengatakan bahwa maṣlaḥah itu ada pada suatu kasus yang

tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau

membatalkan, tetapi sejalan dengan ketentuan syara‟.19

Dalam

pandangan Imam al-Shātibī maṣlaḥah mursalah merupakan suatu

17

Bin Zaghībah „Iz al-Dīn, Al-Maqāṣid al-‘Ammah li al-Sharī’ah al-Islāmiyah,

(Kairo: Dār al-Safwah li al-Tabī‟ah wa al-Nasr wa al-Tauzī‟, 1996), hal. 53-69 18

Al-Imām Abī Hāmid Muhammad bin Miuhammad bin Muhammad al-

Ghazālī, Al-Mustaṣfā fī ‘Ilm al-Uṣul, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 2000), hal. 31 19

Muhammad Khalid Mas‟ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq

al-Shatibi’s Life and Thought, (Pakistan: Islamic Research Institute, 1977), hal. 149-150.

Page 12: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

12

metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbāṭ) Islam, namun

tidak berdasarkan kepada naṣ tertentu, tetapi berdasarkan kepada

pertimbangan maksud diturunkannya hukum syara‟ (maqāṣid al-

sharī’ah).

Penetapan hukum Islam melalui pertimbangan maqāṣid al-

sharī’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan

hukum syara‟ selain melalui analisis qā’idah uṣūliyah (kebahasaan) dan

qā’idah fiqhiyah (tindakan) yang sering digunakan oleh para ulama.20

Jika dibandingkan, penetapan hukum Islam melalui pertimbangan

maqāṣid al-sharī’ah dengan penetapan hukum Islam melalui analisis

qā’idah uṣūliyah dan qā’idah fiqhiyah, maka penetapan hukum Islam

melalui pendekatan maqāṣid al-sharī’ah akan menghasilkan hukum

Islam yang lebih flexible, luwes karena pendekatan ini lebih bersifat

kontekstual dan lebih mempertimbangkan maksud teks daripada bunyi

teks. Sementara pengembangan hukum Islam melalui analisis qā’idah

uṣūliyah dan qā’idah fiqhiyah terasa kehilangan adanya jiwa

fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (rigid), sekaligus

akan kehilangan nuansa kontekstualnya.21

Dengan pemahaman seperti di atas, seharusnya posisi

maṣlaḥah-mursalah sebagai salah satu metode istinbāṭ hukum yang

20

Muṣṭafa Zaid, Al-Maṣlaḥah fī al-Tashrī’ al-Islamī wa Najm al-Ṭūfī, (t.tp:

Dār al-Fikr al-„Arabi, Cet. Ke-2, 1964), hal. 25 21

Muhammad Muslehiddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis –

Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacna, Cet. Ke-2, 1997),

hal. 121-148

Page 13: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

13

menggunakan pendekatan maqāṣid al-sharī’ah, dapat diterima oleh

umat Islam sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Tetapi

mengapa maṣlaḥah mursalah tidak diterima oleh sebagian ulama,

khususnya dari kalangan ulama Shāfi‟iah sebagai dasar penetapan

hukum Islam. Dalam hal ini ada beberapa argumen yang mereka ajukan

di antaranya yaitu:

a. Maslahat itu ada yang dibenarkan oleh syara‟ (maṣlaḥah al-

mu’tabarah), ada yang ditolak oleh syara‟ (maṣlaḥah mulghah)

dan ada pula yang diperselisihkan (maṣlaḥah mursalah).22

Maslahat kategori pertama dan kedua (yang dibenarkan dan yang

ditolak oleh syara‟) tidak ada pertentangan di kalangan ulama.

Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar penetapan

hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak,

sedangkan maslahat kategori ketiga diperselisihkan, sebagian

menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian

yang lain menolaknya.23

Sesuai dengan pengertian umum di atas, maslahat kategori ketiga

inilah yang menjadi kajian dari maṣlaḥah-mursalah atau istiṣlah.

Dengan demikian menurut ulama yang tidak menerima maṣlaḥah-

mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam memandang

maṣlaḥah-mursalah (kategori ketiga) sebagai hujjah berarti

22

Wahbah al-Zuḥailī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmy, Vol. II, 1988, hal. 33-35 23

Muṣṭafa Zaid, Al-Maṣlaḥah fī al-Tashrī’ al-Islamī wa Najm al-Ṭūfī, 1964,

hal. 34

Page 14: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

14

mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang

meragukan.

b. Memandang maṣlaḥah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai

kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam tidak

berdasarkan kepada naṣ-naṣ, tetapi hanya mengikuti keinginan

hawa nafsu dengan dalih maslahat. Hal ini dikhawatirkan akan

banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan

hawa nafsu.24

Bagi ulama yang tidak menerima maṣlaḥah-mursalah sebagai

dasar penetapan hukum Islam, menganggap hukum Islam telah

lengkap dan sempurna, dengan menjadikan maslahat sebagai

metode dalam menetapkan hukum Islam, berarti umat Islam tidak

mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam,

artinya hukum Islam belum lengkap dan belum sempurna, masih

ada yang kurang.

c. Memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak

terjadinya perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama

(disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan

demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan

fleksibelitas hukum Islam.25

24

Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Namlah, kelompok yang menolak

maṣlaḥah-mursalah sebagai hujjah termasuk kelompok yang menolak qiyas. Kelompok

ini berpendapat bahwa apa yang tidak terdapat dalam al-Qur‟an, berarti tidak

disyari‟atkan. Lihat: „Abd. Al-Karīm Al-Namlah, Ithāf Dhawī al-Baṣāir bi Sharh Raudah

al-Nadhāir, IV, (Riyadh: Dār al-„Aṣimah, 1996), hal. 130 25

Ibid., hal. 129

Page 15: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

15

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh ulama yang tidak

menerima maslahat (kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan hukum

Islam di atas, dapat disanggah dengan beberapa alasan:

a. Dengan memandang maṣlaḥah-mursalah sebagai hujjah tidak

berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang

diragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak

dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkan ẓan yang kuat

(sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fikih dikenal

istilah yakfī al-‘amal bi al-ẓan - beramal berdasarkan kepada ẓan

dianggap cukup karena semua fikih adalah ẓan.26

Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa menjadikan

maslahat kategori ketiga sebagai hujjah berarti memilih dua

kemungkinan tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang

dibenarkan oleh syara‟ dengan maslahat yang ditolak oleh syara‟,

maka maslahat yang dibenarkan oleh syara‟ jauh lebih banyak

jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak oleh syara‟. Dengan

demikian jika ada suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang

membenarkan atau menolaknya, maka maslahat tersebut harus

26

Yang dimaksud yakfī al-‘amal bi al-ẓan adalah pada ketentuan-ketentuan

hukum yang bersifat juz’i. Lihat: Abī Ishāk al-Shātibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Shari’ah,

I (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, Cet. Ke-3, 2002), hal. 22

Page 16: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

16

digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak (maṣlaḥah

‘āmmah).27

b. Tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode istiṣlah

atau maṣlaḥah-mursalah berarti menetapkan hukum Islam

berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan

sebagai hujjah, maṣlaḥah-mursalah harus memenuhi persyaratan

tertentu. Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga

tidak terjadi penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam)

berdasarkan kepada maslahat.28

c. Hukum Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang

dimaksud dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok

ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti semua

masalah sudah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-

masalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh al-Qur‟ān

dan al-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melalui ijtihad.

d. Tidak benar kalau memandang maṣlaḥah-mursalah sebagai hujjah

akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan

(fleksiblilitas) hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

Dengan menggunakan metode maṣlaḥah-mursalah dalam

27

Al-Imam Muhammad al-Ṭāhir bin„Ᾱshūr, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyah,

hal. 49. Bandingkan dengan pendapat al- Shātibī dalam Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-

Shari’ah, I, 2002, hal. 20-21 28

Penetapan maṣlaḥah melalui maṣlaḥah-mursalah dipersyaratkan bahwa

maṣlaḥah tersebut benar-benar terbukti tidak bertentangan dengan syari‟ah baik secara

lafdhi maupun ma‟nawi atas naṣ syari‟ah. Lihat: Muṣṭafa Zaid, Al-Maṣlaḥah fī al-Tashrī’

al-Islamī wa Najm al-Ṭūfī, 1964, hal. 34

Page 17: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

17

menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan

hukum Islam dapat dibuktikan.29

Dengan demikian terlihat bahwa beberapa alasan yang

dikemukakan oleh ulama yang tidak menerima maṣlaḥah-mursalah

sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, dapat dipatahkan

dengan argumentasi epistemologis yang lebih rasional.

Sebagaimana disebutkan di atas,30

maṣlaḥah tersebut ada yang

bersesuaian dengan qaṣdu al-Shāri’ yang disebut sebagai maṣlaḥah

mu’tabarah ada yang menyimpang dari qaṣdu al-Shāri’ yang disebut

sebagai maṣlaḥah mulghah dan ada pula yang diperselisihkan atau

maṣlaḥah mursalah artinya tidak diketahui apakah dibenarkan atau

ditolak oleh syara‟. Dalam hal ini para ulama sepakat, bahwa maṣlaḥah

yang dibenarkan oleh syara‟ dapat dijadikan dasar dalam menetapkan

hukum Islam, dan maṣlaḥah yang ditolak oleh syara‟ tidak dapat

dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam.

Sedangkan maṣlaḥah kategori ketiga, hal inilah yang

diperdebatkan oleh para ulama, sebagian membuat persyaratan

penggunaan maṣlaḥah dalam menetapkan hukum Islam dan juga

29

Ibid., hal. 130-132. 30

Para ulama ushul fiqh mengklasifikasikan maṣlaḥah dalam tiga kategori: (1)

maṣlaḥah mu’tabarah, yaitu maṣlaḥah yang keberadaannya diperhitungkan atau

bersesuaian dengan nas. (2) maṣlaḥah mulghah yaitu yang keberadaannya nyata-nyata

ditolak dan tidak bersesuaian dengan nas, dan (3) maṣlaḥah mursalah (lepas) atau

muṭlaqah (bebas), yaitu maṣlaḥah yang tidak didapati dalam nas, tipologi ketiga inilah

yang diperselisihkan oleh para ulama ushul. Lihat: Wahbah al-Zuhaily, Ushul Fiqh al-

Islamy, Vol. II (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), hal. 50-52

Page 18: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

18

membatasi ruang lingkup operasionalnya, tetapi sebagian ulama justru

berpandangan sebaliknya. Tarik menarik antara ulama yang mendukung

dengan yang menolak maṣlaḥah jenis ketiga yang realitasnya ada di

tengah kehidupan nyata inilah yang perlu dicari solusi metodologisnya.

Secara normatif, al-Ghazālī umpamanya menyatakan:

“maṣlaḥah adalah segala sesuatu yang dapat mewujudkan kebaikan dan

terhindarnya segala maḍarah atau mafsadah dalam kehidupan

manusia”31

Dengan demikian, ada tidaknya maṣlaḥah diukur dengan

dua hal tersebut. Bila tercipta kebaikan berarti maṣlaḥah, sebaliknya

bila terjadi sesuatu yang membahayakan, ketimpangan, ketidak-adilan

dan semacamnya berarti tidak terjadi maṣlaḥah atau telah terjadi

maḍarah atau mafsadah.

Sementara al-Shātibī menyatakan bahwa Allah menurunkan

syari‟ah tiada lain untuk mewujudkan maṣlaḥah dan menghindari

mafsadah. Artinya jika dalam suatu hukum tidak ada kemaslahatan,

maka hukum tersebut dapat dipastikan bukan berasal dari Allah.32

Masih banyak lagi konsep maṣlaḥah yang dirumuskan oleh para ulama

uṣūl klasik, seperti al-Bāqillā`nī (w. 403 H), Imam al-Haramain (w. 478

H), „Iz al-Dīn ibn „Abd. Al-Salām (W. 660 H) dan lain-lain yang

31

Abu Hamid al-Ghazalī, Al-Mustaṣfā min ‘Ilm Uṣūl, (Bairut: Dār al-Fikr, Vol.

I, t.th), hal. 286 32

Abū Ishāq Ibrāhīm bin Mūsā al-Shātibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣul al-Sharī’ah,

(Bairut: Dār al-Fikr, Vol. 2, 2005), hal. 5

Page 19: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

19

dikembangkan lebih dinamis dan mampu berdialog dengan tuntutan dan

realitas sosial dengan pertimbangan maqāṣid al-sharī’ah.

Dalam paradigma literalistik yang banyak digunakan ahli

uṣūl klasik, legalitas substansi hukum ada pada teks (nuṣūṣ al-Qur’ān

wa al-Hadith),33

dan kurang memperhatikan makna yang ada di balik

teks (naṣ). Seorang mujtahid wajib berusaha memahami teks (berijtihad

dalam bingkai teks), agar realitas sosial bisa mendapatkan legalitas dan

bersesuaian dengan teks. Pola pemikiran semacam ini yang oleh Jassir

Auda (lahir 1966 M) dikategorikan sebagai pemikiran yang telah

mengalami reduksi dari yang seharusnya holistik, literalistik dari yang

seharusnya bermoral, menggunakan satu pendekatan dari yang

seharusnya berbagai dimensi pendekatan (multydimentional approach),

meyakini dua nilai (doble value) dari yang seharusnya beragam nilai

(multy value), kausal dari yang seharusnya bertujuan.34

C. Epistemologi maṣlaḥah paradigma fuqaha (rasionalis).

Imam al-Ghazālī, seorang filosof pengikut madzhab Shafi‟ī,

seringkali berbeda dengan pendapat Imam Shafi‟i khususnya berkaitan

dengan eksistensi naṣ al-Qur‟ān dan al-Sunnah. Al-Ghazālī

33

Dalam paradigma literalistik, pendekatan dan pemahaman keagamaan

cenderung memposisikan teks sebagai yang absolut, tanpa berusaha memahami terlebih

dahulu apa yang sesungguhnya melatarbelakangi (asbāb al-nuzūl atau asbāb al-wurūd)

berbagai teks itu. Lihat: M. Amin Abdullah, Studi Agama – Normativitas atau

Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 1996), hal. vi 34

Jassir Auda, Maqasid al-Shari’a as Philosophy of Islamic Law, (London: The

International Institute of Islamic Thought, 2008), hal. xxvii.

Page 20: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

20

memandang bahwa naṣ tidak seharusnya dipahami secara tekstual,

karena menyebabkan terbatasnya daya jangkau hukum. Di sisi lain,

pemahaman tekstualis juga dapat berakibat terjadinya kekosongan

hukum, yaitu banyak perbuatan atau kasus tanpa kejelasan status dan

kekuatan hukum, karena tidak ada naṣ yang menjelaskannya. Memang

ada kaidah yang menyatakan bahwa al-aṣl fi al-ashyā’ al-ibāḥah ḥattā

yadull al-dalīl ‘alā taḥrīmihā,35

namun keberlakuannya lebih diarahkan

kepada bidang ibadah maḥḍah yang terkandung nilai-nilai ta’abbudī

(ghairu ma’qūlah al-ma’nā).

Berbeda dengan bidang ibadah mu’āmalah yang ta’aqqulī

(ma’qūlah al-ma’nā). Dalam bidang ibadah ini berlaku kaidah al-aṣl fi

al-ashyā’ al-taḥrim ḥattā yadull al-dalīl ‘alā taḥlīlihā,36

Penerapan

kaidah ini harus dibantu kaidah manfa’ah dan maḍarrah serta tiadanya

dasar hukum yang dapat dijadikan analogi terhadap kasus tersebut.

Oleh karena itu, ulama menempuh pendekatan baru, yaitu penetapan

motif dibalik munculnya hukum (legal ratio). Motif inilah yang nanti

35

“Hukum asal segala sesuatu adalah boleh”. Kaidah ini merupakan kaidah

yang cukup dikenal kalangan madzhab Shafi‟i, yang dirumuskan berdasarkan firman

Allah Surat al-Baqarah (2): 39 dan berlaku untuk hal-hal yang mendatangkan manfa’at,

sedangkan untuk hal-hal yang mendatangkan maḍarat, berlaku kaidah “al-aṣl fi al-ashyā’

al-ḥurmah ḥattā yadull al-dalīl ‘alā taḥlīlihā” yang disarikan dari hadith Nabi: lā ḍarar

wa lā ḍirār. Lihat: Wahbah al-Zuhailī, Uṣul al-Fiqh al-Islāmī, Vol. II, (Damaskus: Dār

al-Fikr, Cet. Ke-6, 2008), hal. 212 36

“Hukum asal segala sesuatu adalah haram”. Kaidah ini berlaku untuk hal-hal

yang mendatangkan maḍarat yang disarikan dari hadith Nabi: lā ḍarar wa lā ḍirār.

Lihat: Wahbah al-Zuhailī, Ibid., hal. 213.

Page 21: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

21

akan menentukan status hukum (hukum taklīfiy). Dari sini muncul

kaidah “al-ḥukm yadūru ma’a ‘illatih wujūdan wa ‘adaman”.37

Banyak ulama ternama lainnya juga telah memberikan

kontribusi terhadap perkembangan teori ‘illah (motif hukum) ini. Pola

yang mereka kemukakan sepintas lalu memang berbeda namun

substansinya masih berpijak pada teori ‘illah atau motif sebagai titik

sentral penetapan atau pemberlakuan suatu hukum. Abū Ishāk al-

Shīrāzī (w. 476 H) dalam kitab al-Luma’, „Izz al-Dīn bin „Abd al-Salām

(w. 660 H) dalam Qawāid al-Ahkām fī Mashālih al-Anām mengusung

jalbul masālih wa daf’ul mafāsid, Shihāb al-Dīn al-Shanhājī al-Qarāfī

(w. 684 H) dalam kitab Anwār al-Burūq fī Anwā’ al-Furūq dengan

empat konteks sunnah nabi, serta Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H)

dengan konsep keadilan syari‟ah (al-syarī’ah hiya al-‘adl) dalam

karyanya I’lām al-Muwāqi`īn ‘an rabb al-‘ālamīn. Sedangkan tokoh

populer era modern yang terampil dalam kajian ta’lili, antara lain Ibn

„Ashūr (w. 1393 H), Abdullahi Ahmed al-Na‟im (lahir 1946 M), Jassir

Auda (lahir 1966 M) dan lain-lain.

Epistemologi maṣlaḥah dengan menganalisis illah al-ḥukm

setelah al-Ghazālī, yang gigih mengembangkannya adalah Najm al-Dīn

al-Ṭūfī (w. 716 H), seorang ulama yang sangat produktif, dan

memposisikan maṣlaḥah sebagai dalīl mustaqīl. Ia mengemukakan

37

“Hukum itu berdasar „illah-nya tentang ada dan tidaknya”. Ulama ushūl

menyatakan, ‘illah atau sebab menentukan berlaku dan tidak berlakunya suatu hukum,

maka adanya sebab menjadikan adanya hukum dan tidak adanya sebab menjadikan tidak

adanya hukum.

Page 22: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

22

bahwa konsep maṣlaḥah dalam hukum Islam bertitik tolak dari konsep

maqāṣid al-sharī’ah yang menegaskan bahwa hukum Islam

disyariatkan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan

manusia. Ulama ini berijtihad dalam merumuskan metodologi hukum

Islam (uṣūl al-fiqh) dengan mengaplikasikan metode analisis bahasa

(qā’idah uṣūliyah) dan memijakkan pemikiran hukumnya pada hukum

adat setempat melalui ijma‟.38

Dalam berijtihad, Najm al-Dīn al-Ṭūfī

cenderung memanfaatkan paradigma rasionalis dengan pola berpikir

induktif dalam pengembangan hukum Islam. Hal tersebut tampak pada

konsep maṣlaḥah at-Ṭūfi yang lebih mengedapankan akal dan dalil

rasional untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, kebenaran dan

kesalahan tanpa melalui konfirmasi wahyu (naṣ). Dengan demikian

konsep maṣlaḥah al-Ṭūfī bertujuan untuk menjauhkan konsep fiqh

yang imperatif dan teistik dengan masa turunnya wahyu ratusan tahun

yang lalu, sehingga fiqh akan selalu responsif terhadap perubahan

kondisi zaman serta mengarahkan fiqh pada pandangan yang tidak

sekedar teologis tetapi humanistik. Seiring meluasnya lingkup

perubahan sosial yang mempengaruhi semua sisi kehidupan, pemikiran

al-Ṭūfī banyak mempengaruhi pemikiran para cendikiawan muslim

dewasa ini.

Al-Ṭūfī bermadẓhab Hanbali – madzhab yang secara tegas

menolak campur tangan nalar dalam istinbāt al-ḥukm, tetapi bagi al-

38

Mustafā Zayd, Al-maṣlaḥah fī Al-Tashrī’ Al-Islamī, (Kairo: Dār al-Fikr al-

„Arabī, Cet. Ke-2, 1964), hal. 117-118

Page 23: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

23

Ṭūfī justru menempatkan maṣlaḥah yang konseptualisasinya banyak

melibatkan nalar, menjadi dalil hukum terdepan dan terkuat (dalil

mustaqil), khususnya dalam bidang mu’amalah. Dalil apapun yang

berlawanan dengan semangat maṣlaḥah harus ditolak, karena hukum

bukan untuk kemaslahatan Tuhan, tetapi semata-mata untuk

mengantarkan manusia menggapai maṣlaḥah, yakni memperoleh

kebaikan, sekaligus terhindar dari kemadaratan, baik di dunia maupun

di akhirat.

Untuk menguji maṣlaḥah, al-Ṭūfī mengajukan sembilan belas

dalil, dan yang terkuat adalah al-kitāb dan ijmā’,39

sebagaimana telah

dikupas pada bab satu. Konsepsi maṣlaḥah40

menurutnya diperoleh

melalui ijmā’, atau kesepakatan umum, seperti ketika Socrates (469-399

SM) berupaya untuk memperoleh “definisi umum” melalui nalar

dialektika yang diawali dengan nalar induksi.41

Definisi umum inilah

39

Sebagai fuqaha’ mutakhirin (1227 M – 1318 M) al-Ṭūfī Nampak sekali telah

mengakomodasi pemikiran filsafat dalam memanfaatkan perkembangan metodologi,

terutama dalam konsepsi maṣlaḥah. Bandingkan dengan pola berpikir deduktif-induktif

(dialektk) yang digagas filosof paling awal Socrates (469-399 SM) dan Aristoteles (384-

322 SM). 40

Bagi al-Ṭūfī, maṣlaḥah berarti sarana yang menyebabkan adanya

kemaslahatan dan kemanfaatan. Sedangkan maṣlaḥah dalam batasan syari‟ah adalah

sesuatu yang menjadi media untuk sampai kepada maksud Syari‟, baik berupa ibadah

maupun adat. Kemudian beliau membagi maṣlaḥah menjadi dua: (1) perbuatan yang

memang merupakan kehendak Syari‟ yaitu ibadah, dan (2) segala sesuatu yang

dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia (kemaslahatan umum) dalam

tatanan kehidupan, seperti adat-istiadat. Ibid. 41

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Cet. Ke-3,

1985), hal. 36. Dinamakan “dialektika” karena dialog memiliki peranan penting di

dalamnya. Dinamakan “induksi” ketika pemikiran bertolak dari pengetahuan yang khusus

Page 24: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

24

yang kemudian oleh Socrates disebutnya sebagai kebenaran obyektif,

yang didalamnya terdapat esensi dari obyek pengetahuan.

Epistemologi Socrates ini kemudian dikembangkan oleh

Aristoteles (384-322 SM) dan ilmuwan modern sekarang ini. Untuk

mendapatkan ilmu yang benar, Aristoteles menempuh tiga prosedur:

Pertama, ilmu memperoleh pengetahuan yang khusus dari pengetahuan

universal ditempuh melalui penalaran syllogisme (deductive), kedua

tujuan pengetahuan adalah pembuktian secara lengkap melalui

rangkaian syllogisme dalam mana kesimpulan yang diperoleh

bergantung pada premis. Ketiga proses ini berlangsung sampai dicapai

asas-asas yang tidak dapat dibuktikan secara induktif, sebab asas-asas

itu termuat di dalam akal dan harus dibuktikan secara deduksi42

.

Posisi maqāṣid al-sharī’ah kemudian mengalami

perkembangan berikutnya pada masa Ibn „Ashūr (w. 1393 H).

Meskipun keterkaitan antara teori uṣūl fiqh dan maqāṣid al-sharī’ah

merupakan suatu keniscayaan, Ibn „Ashūr melihat perlunya maqāṣid al-

sharī’ah menjadi disiplin ilmu yang mandiri.43

Konsekuensinya adalah

bahwa maqāṣid al-sharī’ah tidak lagi hanya sebagai kumpulan

konsepsi nilai yang membungkus fiqh dan uṣūl fiqh, tetapi juga

untuk memperopleh pengetahuan yang bersifat umum. Lihat: Ahmad Tafsir, Filsafat

Umum, hal. 46 42

Ali Mudhofir, Kamus Filosof Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1,

2001) hlm. 25-26 43

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas – Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi

Maqashid al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS, Cet. Ke-1, 2010),

hal. 188

Page 25: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

25

berevolusi menjadi suatu pendekatan.44

Karenanya tidak salah, jika

Jassir Auda (lahir 1966 M) menyebut maqāṣid al-sharī’ah sebagai

filsafat hukum Islam. Maqāṣid al-sharī’ah akhirnya menempati posisi

sentral dalam pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer

ketika berbagai disiplin keilmuan dipertimbangkan menjadi konsiderasi

dalam proses pengembangan dan penerapan hukum. Jassir Auda

kemudian menjadikan maqāṣid al-sharī’ah sebagai substansi yang

harus terwujud dalam setiap ketentuan hukum Islam.45

D. Formulasi maṣlaḥah pendekatan dialektika

Kajian maqāṣid al-sharī’ah yang lama tenggelam mendapat

perhatian kembali dari para pakar hukum Islam modern, seperti

Muhammad ibn „Asyūr al-Tūnisī (w. 1393 H), „Alal al-Fāsī (1910-1974

M) dan Ḥasan al-Turabī (lahir 1932 M). Maqāṣid yang dikembangkan

masih berwarna kebahasaan seperti yang disuarakan oleh al-Shāṭibī

atau al-Ghazālīi. Oleh karena itu konsep maṣlaḥah masih berupa

44

Muhammad Ṭahir ibn „Ashur, Maqāṣid al-sharī’ah al-Islāmiyah, (Tunisia:Dār Sukhun li al-Nashr wa al-Tauzi‟, Cet. Ke-2, 2007), hal. 9

45Dalam pandangan Jassir Auda: 1) maqāṣid al-sharī’ah berhubungan dengan

cognitive nature hukum Islam, 2) al-maqāṣid al-‘āmmah merepresentasikan karakter

holistik dan prinsip-prinsip universal hukum Islam, 3) maqāṣid al-sharī’ah memainkan

peran penting dalam proses ijtihad, dan beragam bentuknya, 4) maqāṣid al-sharī’ah

dinyatakan dalam sejumlah cara yang hirarkis sesuai dengan hirarki sistem hukum Islam,

dan 5) maqāṣid al-sharī’ah menjadikan beberapa dimensi yang membantu menyelesaikan

masalah dan memahami kontradiksi dan perbedaan yang ada antara teks dan teori

fundamental hukum Islam. Lihat: Jassir Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of

Islamic Law, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2008), hal 54-55.

Sebagaimana dikutip Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas..., hal. 188-189

Page 26: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

26

qāidah lughawiyah maknawiyah.46

Wael B Hallaq (lahir 1955 M)

menyebut trend maqāṣid ini sebagai aliran yang menganut prinsip

manfaat atau religious utilitiriansm.47

Menurut al-Shāṭibī, konsep maqāṣid ini dikembangkan dari

karakter ayat-ayat makkiyah dan madāniyyah. Ayat makkiyah memuat

hukum prinsip (uṣūliyah), universal (kulliyyah), dan substansial

(asāsiyah). Konsekuensinya, ayat makkiyah menjadi sumber, tidak

mansūkh, tidak berubah dan tidak menjadi lapangan diijtihād.

Sedangkan ayat madāniyyah memiliki karakter hukum penjabaran

(furū’iyyah), kondisional (juz`iyyah), teknis (taṭbīqiyyah), ada yang

final atau pasti (qaṭ’ī) dan ada yang tidak final atau tidak pasti (ẓannī).

Konsekuensinya, ayat madāniyah bersifat terapan, dapat mansūkh,

berubah dan ada yang menjadi lapangan diijtihad, ada yang tidak.48

Dalam aplikasinya, konsep maṣlaḥah yang awalnya sangat

memudahkan dan fleksibel justru menjadi faktor penghambat dan

membawa mashaqqah, karena maṣlaḥah selalu berangkat dari prinsip

46

Istilah ini berbeda dengan Khalaf yang menyebutnya sebagai qaidah

uṣūliyyah tashri’iyah. Lihat, Loc Cit, hal. 35 47

Wael B Hallaq, Shari'a: theory, practice, transformations (Cambridge, UK;

New York: Cambridge University Press, 2009), hal. 38

48Abū Ishāk al-Andalusī al-Shāthibī, al-Muwāfaqāt, juz III (Beirut: Dār al-

Fikr, 1995), hal. 35

Page 27: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

27

yang lebih menekankan larangan serta menjauhi maḍarrah dari pada

lebih dahulu mempertimbangkan prinsip kebolehan dan nilai-nilai

kebaikan, sebagaimana qaidah “daf’u al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb

al-maṣālih”.49

Kontroversi fatwa haram rebonding, perempuan

mengojek atau foto prewedding, merupakan contoh kecil fenomena

dalam menerapkan kaidah tersebut.

Maslahat itu mencakup dua unsur yang padu dan holistik,

yakni jalb al-manâfi„ wa daf‟al-mafâsid50

yang mengandung arti

“mewujudkan sesuatu yang bermanfaat atau yang membawa kebaikan,

dan mencegah serta menghilangkan sesuatu yang negatif-destruktif atau

yang membawa kerusakan secara simultan. Yang perlu

dipertimbangkan berkaitan dengan kepentingan individual dan terbatas

(al-maṣlaḥah al-khâṣṣah) dengan kepentingan umum atau masyarakat

luas (al-maṣlaḥah al-‘âmmah) adalah memprioritaskan kepentingan

umum atau masyarakat luas.

Mengacu pada prinsip yang disepakati oleh para fuqaha,

bahwa setiap ketentuan hukum yang bersumber dari naṣ pasti

mengandung maṣlaḥah, maka sesungguhnya maṣlaḥah tersebut telah

terkandung pada setiap naṣ, dan karenanya dapat dipahami dengan

meneliti kandungan makna naṣ itu. Di sini perlu diterapkan langkah

“interpretasi berorientasi maṣlaḥah terhadap naṣ” (al-tafsîr al-maṣlahī

49

Asjmuni A. Rahman, Qa’idah Qa’idah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.

Ke-1, 1976), hal.. 76 50

„Iz al-Dīn bin „Abd al-Salām, Qawā’id al-Ahkam fī Masālih al-Anam, Vol. 1,

(Beirut, Dār al-Kutub al-„Ilmiah, t.th), hal. 3

Page 28: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

28

li al-nuṣûṣ) dan “aplikasi berorientasi maṣlaḥah terhadap naṣ” (al-

taṭbîq al-maslaḥī li al-nuṣûṣ).

Untuk menghadapi kasus yang belum ditentukan hukumnya

secara eksplisit oleh naṣ yang spesifik, perlu merujuk kepada naṣ yang

bersifat umum (deduktif), diiringi dengan langkah “interpretasi

berorientasi maṣlaḥah terhadap naṣ” dan “aplikasi berorientasi

maṣlaḥah dalam kehidupan nyata (induktif). Dalam konteks ini, upaya

mengkualifikasi sesuatu sebagai maṣlaḥah harus mengacu kepada

parameter yang mendapatkan legalitas, baik dari substansi (obyek

materi) hukumnya maupun epistemologi (obyek forma) hukum Islam

yang dilakukannya.

Proses tersebut lebih dikenal dengan proses dialektika Hegel

(1770-1831),51

aliran Mutakallimin dakam uṣul al-fiqh berpendapat

bahwa legalitas suatu masalah ditentukan oleh bunyi naṣ sebagai

tesisnya, sementara aliran fuqahā berorientasi maṣlaḥah dalam

kehidupan nyata (induktif) sebagai antitesis. Memadukan antara bunyi

naṣ dengan maṣlaḥah dalam kehidupan nyata yang dipandu maqāṣid

al-sharī’ah sebagai sintesis. Jika dicermati, pada proses ketiga (sintesis)

51

Dialektika Hegel (tese, antitese dan sintese) terinsipirasi dari filsafat

dialektika Immanuel Kant (1724-1804) bahwa empirisme maupun rasionalisme tidak

memenuhi syarat-syarat yang dituntut ilmu pengetahuan, karenanya diperlukan adanya

putusan-putusan yang sintesis a priori, yaitu putusan-putusan yang sekalipun sintesis

namun tidak tergantung dari pengalaman. Unsur yang menjembatani masalah ini oleh

Kant disebut filsafat transendental, yaitu filsafat yang meneliti cara orang mengenal

segala sesuatu. Lihat: Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hal. 66.

Page 29: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

29

tampak bahwa unsur pada tesis dan antitesis diangkat pada tingkat yang

lebih tinggi (membimbing) dalam penetapan legalitas hukum Islam.52

Melengkapi konsepsi maṣlaḥah dialektika tersebut, dengan

paradigma kausalitasnya,53

Jassir Auda (lahir 1966 M) mereformulasi

hukum Islam dengan mengintegrasikan maqāṣid al-sharī’ah karena

beberapa alasan: Pertama, cakupan maqāṣid terdahulu, lebih diarahkan

untuk hukum Islam secara umum, sehingga tidak tergambar secara jelas

tentang tujuan untuk satu bidang tertentu. Kedua, maqāṣid terdahulu

lebih fokus pada individu daripada masyarakat. Ketiga,

pengklasifikasian maqāṣid terdahulu tidak memuat nilai-nilai dasar

universal, seperti keadilan dan kebebasan. Keempat, maqāṣid terdahulu

disarikan dari rumusan-rumusan fiqh yang literalis bukan bersumber

dari realitas empiris.54

Dari pemikiran tersebut, Auda tidak lagi menganut hirarki

maqāṣid al-sharī’ah ulama terdahulu yang membedakan qaṣdu al-

Shāri’ dengan qaṣdu al-mukallaf yang memiliki problem metodologis.

Ia membagi maqāṣid al-sharī’ah menjadi maqāṣid „āmmah, maqāṣid

52

Ahmad Tafsir,Filsafat Umum, hal. 135. 53

Jassir Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law, hlm. 27.

Pada era modern, baik saling independen dan dapat dimanfaatkan. Akhir era post-

positivist menampilkan pemikiran sistemik. Lebih lanjut lihat: Noeng Muhadjir,

Metodologi Penelitian Kualitatif, positivist maupun post-positivist, para ahli berpusat

pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik

secara linier pada positivist, maupun secara kreatif pada post-positivist. Pada era post-

modern para ahli tidak mencri hubungan rasional-integratif melainkan ingin menemukan

secara kreatif kekuatan-kekuatan monumental dari berbagai hal yang Yogyakarta: Rake

Sarasin, Edisi IV, Cet. Ke. 2, 2002, hal. 239 54

Jassir Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law, hal.. 2-3

Page 30: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

30

khāṣṣah dan maqāṣid juz’iyyah.55

Maqāṣid „āmmah adalah maqāṣid

yang mencakup seluruh maṣlaḥah yang terdapat dalam setiap ketentuan

hukum yang bersifat universal, seperti keadilan, persamaan, toleransi,

kemudahan dan sebagainya yang bersifat ḍarūriyyāt. Maqāṣid khāṣṣah

adalah yang terkait dengan kemaslahatan yang ada pada persoalan

tertentu, misalnya tidak boleh menyakiti orang dengan cara apapun,

tidak boleh menipu dan lain-lain. Sedangklan maqāṣid juz’iyyah adalah

yang berkaitan dengan substansi kemaslahatan dari suatu peristiwa

hukum.

E. Penutup

Masalah mu’āmalah atau sosial kemasyarakatan yang

ta’aqqulī (ma’qūlah al-ma’nā) berlaku kaidah al-aṣl fi al-ashyā’ al-

taḥrim ḥattā yadull al-dalīl ‘alā taḥlīlihā. Artinya bahwa soal

kemasyarakatan dalam arti luas (kegiatan perekonomian, pengelolaan

perbankan, ekonomi kerakyatan dan lain-lain) aturan hukumnya

dituangkan oleh Allah dalam bentuk ijmālī dan bersifat ẓanī.

Bertitik tolak dari garis-garis besar tersebut, para mujtahid

dengan potensi dan kualifikasinya, diberi kewenangan untuk mencari

alternatif-alternatif pemecahan terhadap permasalahan mu’āmalah atau

sosial kemasyarakatan dalam arti luas itu selaras ruang dan waktu yang

mengiringinya. Salah satu alasannya adalah untuk merealisasikan

55

Ibid., hal.. 25

Page 31: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

31

kemaslahatan manusia yang bersifat dinamis seiring perkembangan dan

kemajuan budaya masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum – Akal dan Hati sejak Thales

sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992

Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Toward an Islamic Reformation,

alih bahasa oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani dengan judul

“Dekonstruksi Syari’ah”, Yogyakarta: LkiS, 1994

Abdul Mun‟im Saleh, Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2009 Abdul Ghofur,

Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, Cet. Ke. 1, 2002

Page 32: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

32

Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Juricprudence,

alih bahasa oleh Agah Garnadi, dengan judul “Pintu Ijtihad Sebelum

Tertutup”, Bandung: Penerbit Pustaka, 1994

Ahmad Norma Permata, (ed), Metodologi Studi Agama, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2000

Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1997

Fazlur Rahman, Islam, Chicago and London: University of

Chicago Press, 1979

-------------, Islam and Modernity Transformation of an

Intelectual Tradition, alih bahasa oleh Ahsin Muhammad, dengan judul

“Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, Bandung:

Penerbit Pustaka, 1985 Fred N Kerlinger, Foundations of Behavioral Research, alih bahasa

oleh Drs. Landung R. Simatupang, dengan judul “Asas-Asas Penelitian

Behavioral, Yogyakarta: UGM Press, 1990

George Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm science, alih

bahasa oleh Alimandan dengan judul “Sosiologi: Ilmu Pengetahuan

Berparadigma Ganda”, Jakarta: Rajawali Press, 1992

Hugh Kennedy, The Prophet and the Age og the Caliphates, Singapore:

Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd., Cetakan pertama, 1986

Ira M Lapidus, A History of Islamic Sosieties, alih bahasa oleh

Ghufron A. Mas‟udi dengan judul “Sejarah Sosial Umat Islam”, Jakarta:

Rajawali Press, 1999

Jamali Sahradi, Metodologi Studi Islam – Menelusuri Jejak

Historis Kajian Islam ala Sarjana Orientalis, Bandung: Pustaka Setia, Cet.

Ke-1, 2008

Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, London: Oxford

University Press, 1969 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar

Grafika, Cet. Ke-5, 2009

Page 33: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

33

Karl Raimund Popper, The Logic of Scientific Discovery, London:

Hutchinson & CO Ltd, Edisi Revisi, 1968

M. Amin, Abdullah, Studi Agama – Normativitas atau Historisitas,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Manouchehr Paydar, Aspects of the Islamic State: Religious Norms and

Political Realities, alih bahasa oleh M. Maufur el-Khoiry dengan judul

“Legitimasi Negara Islam – Problem Otoritas Syari‟ah dan Politik Penguasa”,

Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, Cet. Ke 1, 2003

Michael Pye (et.al), Agama Empiris – Agama dalam Pergumulan

Realitas Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2002

Muhammed Arkoun, Rethinking Islam, USA: Westview Press

Inc., 1994

----------, Islam Kontemporer – Menuju Dialog antar Agama,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke 1, 2001

Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu – Kajian atas Asumsi Dasar,

Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar,

Cet. Ke-1, 2004

Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, London:

Claredon Perss, 1993

Noel. J. Coulson, The History of Islamic Law, Inggris: Edinburg

University Press, 1964

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta:

Reka sarasin, 1996

-------------, Metodologi Keilmuan – Paradigma Kualitatif,

Kuantitatif, dan Mixed, Yogyakarta: Rake Sarasin, Edisi V, 2007

Peter Beilharz, Teori-Teori sosial – Observasi Kritis terhadap

para Filosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Page 34: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · PDF fileSyari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

34

Roland Robertson (ed), Sociology of Religion, alih bahasa oleh

ahmad Fedyani S. Dengan judul “Agama dalam Analisa dan Interpretasi

Sosiologi”, Jakarta: Rajawali Press, 1992

Sir Muhammed, Iqbal, The Reconstruction of Religious Thougth

in Islam, New Delhi: Kitab Bavan, 1981

Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Cet.

Ke-5, 2009

------------------