Upload
nguyentu
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
1
EPISTEMOLOGI MAṢLAḤAH
Dari Nalar Tekstualis Sampai Nalar Dialektik
Oleh: Mudzakir1
Abstract
The main purpose of prescribing of Islamic law (maqasid al-shari'ah) is
to maintain the benefit of and at the same time avoiding the harmless, both
globally and in the hereafter. All sorts of legal cases, either explicitly stipulated
in the Qur'an and Hadith as well as those produced through ijtihad, should start
from the maqasid al-shari'ah.
In legal cases that are explicitly described in the two main sources of fiqh
that, the benefit can be traced through the existing text. If it turns out that there is
the benefit of it is described, then the benefit was used as the starting point of the
legal determination. In this case the mujtahid very important role to explore and
formulate maqashid maslahah aligned with al-shari'ah. Mujtahids different in
concept and limits maslahah along the method implementation (the text, the spirit
of the text, real human entities) and the implementation steps in utilizing the
method of ijtihad used to realize the benefit.
Mujtahid belonging mutakallimun more likely textual, while mujtahid in
medieval times more likely rationalist, and mujtahid the contemporary period are
more likely able to combine text with the context that became known as the
dialectic.
Key word: maṣlaḥah, textual, rational dan dialect
A. Pendahuluan
Syari‟ah Islam sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan,
obyek materianya mencakup bidang ibadah – yang berkaitan dengan
ibadah vertikal - dan ibadah mua‟malah – yang berkaitan dengan ibadah
1 Staf Pengajar pada STAIN Kudus
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
2
horisontal. Dalam bidang ibadah vertikal terkandung nilai-nilai
ta’abbudī (ghairu ma’qūlah al-ma’nā) atau bidang ibadah yang tidak
terjangkau oleh rasio. Artinya, manusia tidak boleh beribadah kecuali
dengan apa yang telah disyariatkan, dalam bidang ini tidak terbuka
secara leluasa pintu ijtihad bagi umat Islam. Sedang bidang muamalah
di dalamnya terkandung nilai-nilai ta’aqqulī (ma’qūlah al-ma’nā) atau
rasional.2 Artinya, umat Islam dituntut berijtihad untuk
mengembangkan syari‟ah Islam agar terwujud kemaslahatan bersama
dalam bingkai maqāṣid al-sharī’ah, yang memang diturunkan oleh
Allah untuk maksud itu.
Pada dasarnya para ulama uṣūl sepakat adanya “kemaslahatan”
pada setiap ketentuan hukum sebagai tujuan legislasi (maqāṣid al-
sharī’ah),3 baik pada persoalan-persoalan yang termasuk dalam
wilayah ibadah mahḍah yang sudah ditentukan ukuran pelaksanaannya
(muqaddarah), maupun dalam bidang mu‟amalah yang maṣlaḥah-nya
memerlukan rumusan sesuai dinamika masyarakat. Unsur maṣlaḥah
tersebut bisa ditelusuri melalui berbagai metode ijtihad, di antaranya
ijmā’, qiyās, istiḥsān, istiṣlāh, sad al-dharī’ah, ‘urf dan lain-lain.
2Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
Cet. Ke-1, 1997), hal. 52 3 Sebagaimana dinyatakan oleh al-Ghazālī, bahwa hukum Allah (syari’ah)
yang ada dalam al-Qur‟ān dan al-Hadīth memiliki ta’lil al-ahkam, dalam arti memiliki
tujuan (maqaṣid). Maqaṣid sebagai tujuan syari‟ah itu tersembunyi dalam setiap Firman-
Nya yang harus dipahami secara cermat oleh manusia, untuk mengetahui apa yang
sesungguhnya diinginkan oleh Allah, dari sini pula maṣlaḥah dapat diidentifikasi. Lihat:
Abu Hamīd al-Ghazālī, Al-Mustaṣfa min ‘Ilm al-Uṣūl, Vol. 1 (Beirut: Dār al-Fikr, t.th),
hal. 286
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
3
Mereka berbeda dalam menentukan kualifikasi maṣlaḥah pada ibadah
mahḍah yang sudah ditentukan teknik pelaksanaannya terlebih pada
ibadah mu’āmalah yang memerlukan rumusan teknis pelaksanaan
selaras perkembangan dan dinamika budaya masyarakat. Dalam
konteks demikian, para fuqāha berbeda dalam konsep dan batasan
maṣlaḥah beserta metode kontekstualisasinya (antara teks, roh teks,
entitas real manusia) dan langkah-langkah implementasinya dalam
memanfaatkan metode ijtihad yang digunakan untuk mewujudkan
kemaslahatan tersebut.
Beberapa metode istinbāṭ hukum yang dipakai oleh para
fuqāha di atas, metode qiyās menjadi andalan sebagian besar ulama
uṣūl karena mendapatkan „cantolan‟ nuṣūṣ (al-Qur‟ān dan atau al-
Sunnah) tertentu. Mayoritas ulama memposisikan qiyās sebagai metode
istinbāṭ hukum Islam setelah ijmā’ para sahabat.4 Sedangkan metode
istinbāṭ hukum lainnya, termasuk maṣlaḥah mursalah atau istiṣlāh
yang diperkenalkan oleh Imam Mālik (w. 179 H) selalu diperdebatkan,
bahkan ditolak oleh mayoritas penganut Shāfi’iyah.
Golongan Shāfi’iyah yang lebih berorientasi pada kaidah-
kaidah kebahasaan dalam istinbāṭ al-ḥum kemudian dikenal dengan
paradigma literalistik,5 seringkali kurang concern terhadap pesan yang
4Abdul Wahāb Khalāf, ‘Ilm Ușūl al-Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-A‟lā al-
Indonisī li al-Da‟wah al-Islāmiyah, 1972), hal.15-20 5Menurut ahli tafsir, “tafsir” apapun akan selalu berkubang dengan dua tren:
(1) tafsir yang mempertahakan secara ketat pentingnya dominasi “roh teks”, sekalipun
untuk itu dilakukan intervensi, apatisasi, statisasi dan status quo; (2) tafsir yang lebih
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
4
ada dibalik teks (naṣ) kecuali oleh sebagian kecil, seperti al-Ghazālī (w.
505), „Iz al-Dīn bin „Abd al-Salām (w. 660), al-Shāṭibī (w. 790 H), dan
M „Abd al-Wahāb Khalāf (w. 1376 H). Berbeda dengan kalangan
fuqāha yang lebih menekankan ma’qūl al-maknā, belakangan disokong
pengikut paham modernis (religious modernism), mereka terdiri dari
para pembaharu uṣūl fiqh yang ide-ide pemikirannya cenderung bersifat
liberal yang tidak terpaku pada teks, mereka berusaha memahami “roh
teks” serta mendialogkan dengan konteks (sosio-religius-kultural)
masyarakat. Pakar hukum Islam kontemporer yang masuk dalam
kelompok ini, antara lain Muhammad Sa‟īd al-Ashmāwī (lahir 1932
M), Muhammad Syahrur (lahir 1938), Mahmoud Muhammad Thoha
(w. 1985 M), Abdullahi Ahmed al-Na‟im (lahir 1946 M) dan lain-lain.
Dua paradigma mutakallimin (teologis) dan fuqaha (rasionalis)
dengan metodologi istinbāṭ al-ḥum terhadap konseptualisasi maṣlaḥah
pada persoalan-persoalan yang tidak termasuk wilayah ibadah mahḍah
menonjolkan perkawinan entitas real manusia dengan “roh teks” sekalipun di dalamnya
terjadi distorsi, gradasi, dan reduksi terhadap “roh teks” itu. Lihat: Jamali Sahrodi,
Metodologi Studi Islam – Menelusuri Jejak Historisitas Kajian Islam ala Sarjana
Orientalis, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. Ke-1, 2008), hal. 115. Tren tafsir yang pertama
adalah kelompok yang menggunakan paradigma literalisme yang bertumpu pada teks.
Dalam paradigma ini, akal dipandang tidak dapat memperoleh pengetahuan, kecuali ia
disandarkan kepada teks (naṣ). Dalam tradisi berpikir literalistik ini dikenal dua cara
mendapatkan pengetahuan: (1) diperoleh melalui dhahirnya ayat (teks), akar tradisi ini
dari epistemologi empirisme Yunani terutama John Locke (1632-1704), dalam Islam
tradisi ini dikembangkan oleh Ibn Rusyd (w. 595 H), dan pada puncaknya oleh Ibn Hazm
(w. 270 H). Imam Shāfi‟i (w. 204 H) cenderung menggunakan tradisi ini dalam
membangun epistemology hukum Islam (uṣul al-fiqh). (2) Dengan sarana bahasa (teks)
untuk menangkap maknanya diperlukan nalar (rasio), artinya nalar sekedar alat (tool)
yang berperan mengungkap makna dibalik teks, pola ini belakangan diikuti al-Shāṭibī (w.
789 H).
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
5
dan atau masalah-masalah yang belum ditentukan teknik
pelaksanaannya, masing-masing paradigma dan metodologi telah
dikembangkan oleh para ahli hukum Islam secara tidak konsisten dan
sesungguhnya bisa dikatakan sebagai upaya kontekstualisasi terhadap
dinamika budaya yang terus berkembang. Berikut ini uraian singkat
masing-masing kedua paradigma dan metodologi istinbāṭ al-ḥum
terhadap konseptualisasi maṣlaḥah tersebut, dan dilengkapi dengan
nalar dialektika.
B. Epistemologi maṣlaḥah paradigma mutakallimin (teologis)
Para fuqaha merumuskan hukum Islam normatif berasal dari
wahyu yang secara verbal termuat dalam mushaf al-Qur‟ān, sedangkan
mushaf itu sendiri ditulis dalam bentuk teks atau naṣ. Dapat dikatakan
bahwa hukum Islam bersumber dari naṣ, dan karena itu pula metode
paling dominan adalah penggalian hukum dari naṣ (istinbāṭ al-hukm)
dan bukan dari luar naṣ atau dari naṣ yang ẓannī (ijtihad). Dengan
demikian konsep istinbāṭ dan ijtihad lebih didominasi kajian teks atau
kebahasaan, termasuk pembahasan teks qaṭ’ī al-dalālah dan ẓannī al-
dalālah, di kalangan filosof Islam, trend demikian disebut sebagai pola
pikir bayānī.6
Konsep qaṭ’ī al-dalālah di mata kebanyakan ulama uṣūl
dilihat dari aspek bahasa. Suatu naṣ (ayat al-Qur‟ān atau hadith)
6Muhammad „Ābid Al-Jābiri,, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirāsah Taḥlīliyah
Naqdiyah (Beirut: Markaz Dirāsat al-„Arabiyat, 1992), hal. 24
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
6
dianggap sebagai qaṭ’ī jika lafaz dalam naṣ tersebut memiliki makna
yang jelas (ṣarīh) dan final (qaṭ’). Inilah yang dipertahankan oleh
Wahbah Zuḥailiī (lahir 1932 M/1351 H), „Abd al-Wahāb Khalāf (w.
1376 H/1956 M) dan Muhammad Abū Zahrah (w. 1395 H/1974 M).
Oleh karena itu Abd al-Wahāb Khalaf mendefinisikan qaṭ’ī al-dalālah
adalah suatu lafaz yang pemahaman maknanya sudah berifat pasti, tidak
mengandung kemungkinan ta‟wil, dan tidak dapat dipahami dengan
makna lainnya”.7 Ayat atau hadith qaṭ’ī ini antara lain banyak berkaitan
dengan jumlah bagian waris, batas had ‘uqūbah, dan jenis-jenis barang
wajib zakat.
Lafaz ẓannī al-dalālah adalah “lafaẓ yang menunjukkan suatu
makna tetapi masih mungkin untuk dita‟wil dan dialihkan dari makna
tersebut kepada makna lain”. Misalnya lafaz qurū’ pada ayat tentang
„iddah perempuan yang ditalak raj’ī, atau kata “al-maitah” yang berarti
bangkai pada QS. al-Maidah (5) ayat 3 tentang makanan-makanan yang
diharamkan.
Ulama uṣūl menggarisbawahi, bahwa ijtihad tidak boleh
dilakukan terhadap teks hukum yang mengandung makna qaṭ’ī atau
kasus hukum yang telah diatur dalam teks yang qaṭ’ī.8 Teks hukum
yang telah qaṭ’ī petunjuk hukumnya tidak dapat dijadikan ajang
pembahasan, baik tentang jumlah, cara, atau bentuk pelaksanannya.
7Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh (Jakarta: al-Majlis al-A‟la al-
Indunisiy li al-Da‟wah al-Islamiyah, 1972) hal. 35. 8„Abdul Wahāf Khalāf, ‘Ilm Ușūl al-Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-A‟la al-
Indonisī li al-Da‟wah al-Islamiyah, 1972), hal. 216
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
7
Oleh karena itu tidak boleh dilakukan ijtihad tentang jumlah cambuk
yang harus dijatuhkan terhadap pelaku zina, sebab aturan tersebut telah
diatur secara jelas dalam QS. al-Nur ayat 3. Demikian pula tidak boleh
dilakukan ijtihad terhadap ketentuan hadith mutawātir dan ṣarīh
tentang macam-macam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, jumlah
niṣāb, dan jumlah wajib zakatnya. Kewajiban umat Islam hanya
menerapkan hukum-hukum dalam teks-teks qaṭ’ī tersebut. Pelaksanaan
hukum yang sudah qaṭ’ī harus tepat, tidak boleh lebih dan tidak kurang
(lā akthar wa lā aqall).9
Definisi, penjelasan dan contoh-contoh yang dikemukakan
para ulama uṣūl di atas menunjukkan secara jelas bahwa konsep qaṭ’ī-
ẓannī lebih banyak berangkat dari analisis bahasa (lughah). Hal ini
tentu berdampak terhadap ruang lingkup dan keleluasaan berijtihad.
Oleh karena konsep qaṭ’ī–ẓannī didominasi aspek kebahasaan, maka
kajian dalil hukum Islam paradigma mutakallimin, terfokus pada kajian
teks yang ‘āmm-khass, mujmāl-mubayyan, muṭlaq-muqayyad, muḥkam-
mutashābih dan sebagainmya atau yang lebih populer dalam disiplin
ilmu uṣūl al-fiqh sebagai kajian qāidah uṣūliyyah lughawiyyah.10
Trend pemikiran inilah yang oleh Muhammad „Abid al-Jābirī
(w. 2010 M) dinamakan sebagai epistemologi bayānī, yang sangat
mengagungkan bayan atau teks. Dunia intelektual muslim yang
9Ibid,
10Wahbah Zuḥailiī, Usul al-Fiqh al-Islami, Juz I, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet.
Ke. 16, 2008), hal. 195-393. Lihat: Abd al-Wahāb Khalaf , ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, hal.217
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
8
didominasi pemikiran naṣ bayānī, maka peradaban Islam yang
berkembang pada dunia (masyarakat) itu digolongkan sebagai
peradaban teks (al-hadhārah al-naṣiyah). Pola pemikiran hukum Islam
bayānī lughawi ini bersifat deduktif dengan logika kebahasaan. Hukum
dalam suatu teks menjadi dasar pijakan paling kokoh untuk
dianalogikan kepada berbagai kasus atau persoalan yang belum ada
nashnya.
Konsep bayānī seperti ini tentu banyak mengabaikan aspek
realitas empiris yang menjadi sebab turunnya suatu naṣ. Hal lain yang
juga terlewatkan oleh konsep bayānī ini adalah tujuan hakiki di balik
dalil tertulis (al-maqāṣid warā’a al-nuṣūṣ). Pemahaman tekstual
dirasakan sangat lambat dalam merespon persoalan yang terjadi, selalu
menjaga status quo dalam menghadapi perubahan sosial, menjadikan
pemahaman demikian sulit terus dipertahankan dalam menghadapi arus
perubahan yang demikian kencang. Oleh karena itu muncul beberapa
ulama ternama abad pertengahan yang mendobrak kebekuan
pemahaman dalil hukum Islam yang terlalu lughawi bayānī dengan
menawarkan konsep ta’līlī.
Demikian pula dalam pengembangan hukum Islam dengan
metode maṣlaḥah mursalah yang diperkenalkan oleh Imam Mālik (w
179 H), namun karena pengikutnya yang lebih akhir tidak sepaham
dengan pendirian Imam Mālik tersebut, maka setelah abad ketiga
hijriyah, tidak ada lagi ahli uṣūl yang menisbahkan konsep maṣlaḥah
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
9
mursalah Imam Mālik,11
sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat
yang menyatakan bahwa metode maṣlaḥah mursalah dipopulerkan oleh
ulama uṣūl fiqh dari kalangan Shāfi‟iyah, yaitu Imam al-Haramain al-
Juwainī (w. 478 H), guru Imam al-Ghazalī (w. 505). Sedangkan yang
paling banyak mengkaji maṣlaḥah mursalah adalah Imam al-Ghazālī
yang dikenal dengan sebutan hujjah al-Islām.12
Dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru
yang dihadapi oleh masyarakat muslim waktu itu, Imam Mālik mencari
hukumnya di dalam al-Qur‟ān, jika tidak ditemukan dia mencari di
dalam al-Sunnah.13
Apabila tidak ditemukan di dalam keduanya, maka
dia mendasarkan pendapatnya pada ijmā’ para sahabat, dan apabila
ijmā’ para sahabat tidak ada yang berkaitan dengan masalah (hukum)
11
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, alih bahasa oleh E.
Kusnadiningrat, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hal. 165-166 12
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazaly: Maslahah
Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002), hal.63-64 13
Imam Mālik menerima hadits-hadits ahad sebagai hujjah (sebagai sumber
hukum) yaitu apabila hadits-hadits ahad tersebut sesuai dengan amalan dan perilaku
masyarakat Madinah. Namun jika hadits ahad tersebut tidak sesuai dengan amalan dan
perilaku masyarakat Madinah maka hadits ahad tersebut tidak diterima oleh Imam Mālik
sebagai hujjah. Imam Mālik membuat ukuran amalan dan perilaku masyarakat Madinah
untuk dapat menerima hadits ahad sebagai hujjah karena pada masa itu sudah banyak
berkembang hadits palsu di kalangan umat Islam. Imam Mālik menganggap masyarakat
Madinah lebih tahu mengenai sunnah Nabi, karena mereka tinggal satu kota bersama
Nabi. Tolok ukur yang dibuat Imam Mālik ini, ditolak oleh Imam Shafi‟i – muridnya,
dengan alasan bahwa setelah meninggalnya Nabi dan meluasnya wilayah kekuasaan
Islam, para sahabat telah menyebar ke berbagai wilayah Islam.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
10
tersebut, maka dia menggali hukum (istimbāṭ) dengan cara berijtihad,
dengan menggunakan qiyās dan istiṣlāh atau maṣlaḥah mursalah.14
Metode qiyās dipraktekkan oleh Imam Mālik apabila ada naṣ
tertentu, baik al-Qur‟ān maupun al-Sunnah yang mendasarinya.
Sedangkan metode istiṣlāh atau maṣlaḥah mursalah dipraktekkan
apabila masalah (hukum) yang dihadapi tidak ada satupun naṣ yang
mendasarinya, baik yang membenarkan maupun yang melarangnya,
bahkan dalam kasus-kasus tertentu, Imam Mālik menggunakan metode
maṣlaḥah mursalah dalam men-takhṣiṣ ayat-ayat al-Qur‟ān yang
bersifat umum.15
Kata maṣlaḥah yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
maslahat, adalah merupakan Bahasa Arab. Maṣlaḥah secara etimologi
berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan.16
Maṣlaḥah merupakan bentuk maṣdar (adverb) dari fi’il (verb) ṣalaḥa.
Dengan demikian terlihat bahwa kata maṣlaḥah dan kata manfa’ah
yang juga berasal dari Bahasa Arab mempunyai makna yang sama.
Sedangkan menurut istilah, maṣlaḥah diartikan oleh para
ulama dengan rumusan yang hampir sama, di antaranya al-Juwainī (w.
478H.) mengartikan maṣlaḥah dengan al-mukhāfaẓatu ‘alā maqṣūdi al-
shar’i bidaf’i al-mafāsidi ‘ani al-khalqi, yaitu memelihara tujuan
14
Wahbah al-Zuḥaily, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmy, Vol. II, 1988, hal. 33 15
„Abdul Wahāf Khalāf, ‘Ilm Ușūl al-Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-A‟la al-
Indonisī li al-Da‟wah al-Islamiyah, 1972), hal. 88 16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996), Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. Ke-2, 1996), hal. 634
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
11
hukum Islam dengan menolak bencana atau kerusakan terhadap hal-hal
yang merugikan diri manusia (makhluk). Namun demikian para ulama
telah sepakat, bahwa tujuan pokok (ḍarūrī) hukum Islam adalah untuk
memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan.17
Tidak jauh berbeda dengan Imam al-Haramain, al-Ghazalī
merumuskan maṣlaḥah sebagai suatu tindakan memelihara tujuan
syara‟ atau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam
menurut al-Ghazalī adalah memelihara lima hal pokok (ḍarūrī) di atas.
Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima
hal pokok di atas disebut maṣlaḥah, dan setiap hal yang
meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut
maṣlaḥah.18
Identifikasi adanya maṣlaḥah pada setiap ketentuan
hukum tersebut diperoleh melalui analisis al-nuṣūṣ al-sharī’ah.
Sedangkan menurut Imam al-Shātibī (ulama Mālikiyah)
seorang ulama yang paling popular pendapatnya tentang maṣlaḥah
mursalah mengatakan bahwa maṣlaḥah itu ada pada suatu kasus yang
tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau
membatalkan, tetapi sejalan dengan ketentuan syara‟.19
Dalam
pandangan Imam al-Shātibī maṣlaḥah mursalah merupakan suatu
17
Bin Zaghībah „Iz al-Dīn, Al-Maqāṣid al-‘Ammah li al-Sharī’ah al-Islāmiyah,
(Kairo: Dār al-Safwah li al-Tabī‟ah wa al-Nasr wa al-Tauzī‟, 1996), hal. 53-69 18
Al-Imām Abī Hāmid Muhammad bin Miuhammad bin Muhammad al-
Ghazālī, Al-Mustaṣfā fī ‘Ilm al-Uṣul, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 2000), hal. 31 19
Muhammad Khalid Mas‟ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq
al-Shatibi’s Life and Thought, (Pakistan: Islamic Research Institute, 1977), hal. 149-150.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
12
metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbāṭ) Islam, namun
tidak berdasarkan kepada naṣ tertentu, tetapi berdasarkan kepada
pertimbangan maksud diturunkannya hukum syara‟ (maqāṣid al-
sharī’ah).
Penetapan hukum Islam melalui pertimbangan maqāṣid al-
sharī’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan
hukum syara‟ selain melalui analisis qā’idah uṣūliyah (kebahasaan) dan
qā’idah fiqhiyah (tindakan) yang sering digunakan oleh para ulama.20
Jika dibandingkan, penetapan hukum Islam melalui pertimbangan
maqāṣid al-sharī’ah dengan penetapan hukum Islam melalui analisis
qā’idah uṣūliyah dan qā’idah fiqhiyah, maka penetapan hukum Islam
melalui pendekatan maqāṣid al-sharī’ah akan menghasilkan hukum
Islam yang lebih flexible, luwes karena pendekatan ini lebih bersifat
kontekstual dan lebih mempertimbangkan maksud teks daripada bunyi
teks. Sementara pengembangan hukum Islam melalui analisis qā’idah
uṣūliyah dan qā’idah fiqhiyah terasa kehilangan adanya jiwa
fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan kaku (rigid), sekaligus
akan kehilangan nuansa kontekstualnya.21
Dengan pemahaman seperti di atas, seharusnya posisi
maṣlaḥah-mursalah sebagai salah satu metode istinbāṭ hukum yang
20
Muṣṭafa Zaid, Al-Maṣlaḥah fī al-Tashrī’ al-Islamī wa Najm al-Ṭūfī, (t.tp:
Dār al-Fikr al-„Arabi, Cet. Ke-2, 1964), hal. 25 21
Muhammad Muslehiddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis –
Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacna, Cet. Ke-2, 1997),
hal. 121-148
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
13
menggunakan pendekatan maqāṣid al-sharī’ah, dapat diterima oleh
umat Islam sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Tetapi
mengapa maṣlaḥah mursalah tidak diterima oleh sebagian ulama,
khususnya dari kalangan ulama Shāfi‟iah sebagai dasar penetapan
hukum Islam. Dalam hal ini ada beberapa argumen yang mereka ajukan
di antaranya yaitu:
a. Maslahat itu ada yang dibenarkan oleh syara‟ (maṣlaḥah al-
mu’tabarah), ada yang ditolak oleh syara‟ (maṣlaḥah mulghah)
dan ada pula yang diperselisihkan (maṣlaḥah mursalah).22
Maslahat kategori pertama dan kedua (yang dibenarkan dan yang
ditolak oleh syara‟) tidak ada pertentangan di kalangan ulama.
Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar penetapan
hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak,
sedangkan maslahat kategori ketiga diperselisihkan, sebagian
menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian
yang lain menolaknya.23
Sesuai dengan pengertian umum di atas, maslahat kategori ketiga
inilah yang menjadi kajian dari maṣlaḥah-mursalah atau istiṣlah.
Dengan demikian menurut ulama yang tidak menerima maṣlaḥah-
mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam memandang
maṣlaḥah-mursalah (kategori ketiga) sebagai hujjah berarti
22
Wahbah al-Zuḥailī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmy, Vol. II, 1988, hal. 33-35 23
Muṣṭafa Zaid, Al-Maṣlaḥah fī al-Tashrī’ al-Islamī wa Najm al-Ṭūfī, 1964,
hal. 34
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
14
mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang
meragukan.
b. Memandang maṣlaḥah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai
kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam tidak
berdasarkan kepada naṣ-naṣ, tetapi hanya mengikuti keinginan
hawa nafsu dengan dalih maslahat. Hal ini dikhawatirkan akan
banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan
hawa nafsu.24
Bagi ulama yang tidak menerima maṣlaḥah-mursalah sebagai
dasar penetapan hukum Islam, menganggap hukum Islam telah
lengkap dan sempurna, dengan menjadikan maslahat sebagai
metode dalam menetapkan hukum Islam, berarti umat Islam tidak
mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam,
artinya hukum Islam belum lengkap dan belum sempurna, masih
ada yang kurang.
c. Memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak
terjadinya perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama
(disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan
demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan
fleksibelitas hukum Islam.25
24
Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Namlah, kelompok yang menolak
maṣlaḥah-mursalah sebagai hujjah termasuk kelompok yang menolak qiyas. Kelompok
ini berpendapat bahwa apa yang tidak terdapat dalam al-Qur‟an, berarti tidak
disyari‟atkan. Lihat: „Abd. Al-Karīm Al-Namlah, Ithāf Dhawī al-Baṣāir bi Sharh Raudah
al-Nadhāir, IV, (Riyadh: Dār al-„Aṣimah, 1996), hal. 130 25
Ibid., hal. 129
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
15
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh ulama yang tidak
menerima maslahat (kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan hukum
Islam di atas, dapat disanggah dengan beberapa alasan:
a. Dengan memandang maṣlaḥah-mursalah sebagai hujjah tidak
berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang
diragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak
dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkan ẓan yang kuat
(sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fikih dikenal
istilah yakfī al-‘amal bi al-ẓan - beramal berdasarkan kepada ẓan
dianggap cukup karena semua fikih adalah ẓan.26
Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa menjadikan
maslahat kategori ketiga sebagai hujjah berarti memilih dua
kemungkinan tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang
dibenarkan oleh syara‟ dengan maslahat yang ditolak oleh syara‟,
maka maslahat yang dibenarkan oleh syara‟ jauh lebih banyak
jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak oleh syara‟. Dengan
demikian jika ada suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang
membenarkan atau menolaknya, maka maslahat tersebut harus
26
Yang dimaksud yakfī al-‘amal bi al-ẓan adalah pada ketentuan-ketentuan
hukum yang bersifat juz’i. Lihat: Abī Ishāk al-Shātibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Shari’ah,
I (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, Cet. Ke-3, 2002), hal. 22
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
16
digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak (maṣlaḥah
‘āmmah).27
b. Tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode istiṣlah
atau maṣlaḥah-mursalah berarti menetapkan hukum Islam
berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan
sebagai hujjah, maṣlaḥah-mursalah harus memenuhi persyaratan
tertentu. Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga
tidak terjadi penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam)
berdasarkan kepada maslahat.28
c. Hukum Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang
dimaksud dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok
ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti semua
masalah sudah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-
masalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh al-Qur‟ān
dan al-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melalui ijtihad.
d. Tidak benar kalau memandang maṣlaḥah-mursalah sebagai hujjah
akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan
(fleksiblilitas) hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Dengan menggunakan metode maṣlaḥah-mursalah dalam
27
Al-Imam Muhammad al-Ṭāhir bin„Ᾱshūr, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyah,
hal. 49. Bandingkan dengan pendapat al- Shātibī dalam Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-
Shari’ah, I, 2002, hal. 20-21 28
Penetapan maṣlaḥah melalui maṣlaḥah-mursalah dipersyaratkan bahwa
maṣlaḥah tersebut benar-benar terbukti tidak bertentangan dengan syari‟ah baik secara
lafdhi maupun ma‟nawi atas naṣ syari‟ah. Lihat: Muṣṭafa Zaid, Al-Maṣlaḥah fī al-Tashrī’
al-Islamī wa Najm al-Ṭūfī, 1964, hal. 34
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
17
menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan
hukum Islam dapat dibuktikan.29
Dengan demikian terlihat bahwa beberapa alasan yang
dikemukakan oleh ulama yang tidak menerima maṣlaḥah-mursalah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, dapat dipatahkan
dengan argumentasi epistemologis yang lebih rasional.
Sebagaimana disebutkan di atas,30
maṣlaḥah tersebut ada yang
bersesuaian dengan qaṣdu al-Shāri’ yang disebut sebagai maṣlaḥah
mu’tabarah ada yang menyimpang dari qaṣdu al-Shāri’ yang disebut
sebagai maṣlaḥah mulghah dan ada pula yang diperselisihkan atau
maṣlaḥah mursalah artinya tidak diketahui apakah dibenarkan atau
ditolak oleh syara‟. Dalam hal ini para ulama sepakat, bahwa maṣlaḥah
yang dibenarkan oleh syara‟ dapat dijadikan dasar dalam menetapkan
hukum Islam, dan maṣlaḥah yang ditolak oleh syara‟ tidak dapat
dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam.
Sedangkan maṣlaḥah kategori ketiga, hal inilah yang
diperdebatkan oleh para ulama, sebagian membuat persyaratan
penggunaan maṣlaḥah dalam menetapkan hukum Islam dan juga
29
Ibid., hal. 130-132. 30
Para ulama ushul fiqh mengklasifikasikan maṣlaḥah dalam tiga kategori: (1)
maṣlaḥah mu’tabarah, yaitu maṣlaḥah yang keberadaannya diperhitungkan atau
bersesuaian dengan nas. (2) maṣlaḥah mulghah yaitu yang keberadaannya nyata-nyata
ditolak dan tidak bersesuaian dengan nas, dan (3) maṣlaḥah mursalah (lepas) atau
muṭlaqah (bebas), yaitu maṣlaḥah yang tidak didapati dalam nas, tipologi ketiga inilah
yang diperselisihkan oleh para ulama ushul. Lihat: Wahbah al-Zuhaily, Ushul Fiqh al-
Islamy, Vol. II (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), hal. 50-52
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
18
membatasi ruang lingkup operasionalnya, tetapi sebagian ulama justru
berpandangan sebaliknya. Tarik menarik antara ulama yang mendukung
dengan yang menolak maṣlaḥah jenis ketiga yang realitasnya ada di
tengah kehidupan nyata inilah yang perlu dicari solusi metodologisnya.
Secara normatif, al-Ghazālī umpamanya menyatakan:
“maṣlaḥah adalah segala sesuatu yang dapat mewujudkan kebaikan dan
terhindarnya segala maḍarah atau mafsadah dalam kehidupan
manusia”31
Dengan demikian, ada tidaknya maṣlaḥah diukur dengan
dua hal tersebut. Bila tercipta kebaikan berarti maṣlaḥah, sebaliknya
bila terjadi sesuatu yang membahayakan, ketimpangan, ketidak-adilan
dan semacamnya berarti tidak terjadi maṣlaḥah atau telah terjadi
maḍarah atau mafsadah.
Sementara al-Shātibī menyatakan bahwa Allah menurunkan
syari‟ah tiada lain untuk mewujudkan maṣlaḥah dan menghindari
mafsadah. Artinya jika dalam suatu hukum tidak ada kemaslahatan,
maka hukum tersebut dapat dipastikan bukan berasal dari Allah.32
Masih banyak lagi konsep maṣlaḥah yang dirumuskan oleh para ulama
uṣūl klasik, seperti al-Bāqillā`nī (w. 403 H), Imam al-Haramain (w. 478
H), „Iz al-Dīn ibn „Abd. Al-Salām (W. 660 H) dan lain-lain yang
31
Abu Hamid al-Ghazalī, Al-Mustaṣfā min ‘Ilm Uṣūl, (Bairut: Dār al-Fikr, Vol.
I, t.th), hal. 286 32
Abū Ishāq Ibrāhīm bin Mūsā al-Shātibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣul al-Sharī’ah,
(Bairut: Dār al-Fikr, Vol. 2, 2005), hal. 5
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
19
dikembangkan lebih dinamis dan mampu berdialog dengan tuntutan dan
realitas sosial dengan pertimbangan maqāṣid al-sharī’ah.
Dalam paradigma literalistik yang banyak digunakan ahli
uṣūl klasik, legalitas substansi hukum ada pada teks (nuṣūṣ al-Qur’ān
wa al-Hadith),33
dan kurang memperhatikan makna yang ada di balik
teks (naṣ). Seorang mujtahid wajib berusaha memahami teks (berijtihad
dalam bingkai teks), agar realitas sosial bisa mendapatkan legalitas dan
bersesuaian dengan teks. Pola pemikiran semacam ini yang oleh Jassir
Auda (lahir 1966 M) dikategorikan sebagai pemikiran yang telah
mengalami reduksi dari yang seharusnya holistik, literalistik dari yang
seharusnya bermoral, menggunakan satu pendekatan dari yang
seharusnya berbagai dimensi pendekatan (multydimentional approach),
meyakini dua nilai (doble value) dari yang seharusnya beragam nilai
(multy value), kausal dari yang seharusnya bertujuan.34
C. Epistemologi maṣlaḥah paradigma fuqaha (rasionalis).
Imam al-Ghazālī, seorang filosof pengikut madzhab Shafi‟ī,
seringkali berbeda dengan pendapat Imam Shafi‟i khususnya berkaitan
dengan eksistensi naṣ al-Qur‟ān dan al-Sunnah. Al-Ghazālī
33
Dalam paradigma literalistik, pendekatan dan pemahaman keagamaan
cenderung memposisikan teks sebagai yang absolut, tanpa berusaha memahami terlebih
dahulu apa yang sesungguhnya melatarbelakangi (asbāb al-nuzūl atau asbāb al-wurūd)
berbagai teks itu. Lihat: M. Amin Abdullah, Studi Agama – Normativitas atau
Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 1996), hal. vi 34
Jassir Auda, Maqasid al-Shari’a as Philosophy of Islamic Law, (London: The
International Institute of Islamic Thought, 2008), hal. xxvii.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
20
memandang bahwa naṣ tidak seharusnya dipahami secara tekstual,
karena menyebabkan terbatasnya daya jangkau hukum. Di sisi lain,
pemahaman tekstualis juga dapat berakibat terjadinya kekosongan
hukum, yaitu banyak perbuatan atau kasus tanpa kejelasan status dan
kekuatan hukum, karena tidak ada naṣ yang menjelaskannya. Memang
ada kaidah yang menyatakan bahwa al-aṣl fi al-ashyā’ al-ibāḥah ḥattā
yadull al-dalīl ‘alā taḥrīmihā,35
namun keberlakuannya lebih diarahkan
kepada bidang ibadah maḥḍah yang terkandung nilai-nilai ta’abbudī
(ghairu ma’qūlah al-ma’nā).
Berbeda dengan bidang ibadah mu’āmalah yang ta’aqqulī
(ma’qūlah al-ma’nā). Dalam bidang ibadah ini berlaku kaidah al-aṣl fi
al-ashyā’ al-taḥrim ḥattā yadull al-dalīl ‘alā taḥlīlihā,36
Penerapan
kaidah ini harus dibantu kaidah manfa’ah dan maḍarrah serta tiadanya
dasar hukum yang dapat dijadikan analogi terhadap kasus tersebut.
Oleh karena itu, ulama menempuh pendekatan baru, yaitu penetapan
motif dibalik munculnya hukum (legal ratio). Motif inilah yang nanti
35
“Hukum asal segala sesuatu adalah boleh”. Kaidah ini merupakan kaidah
yang cukup dikenal kalangan madzhab Shafi‟i, yang dirumuskan berdasarkan firman
Allah Surat al-Baqarah (2): 39 dan berlaku untuk hal-hal yang mendatangkan manfa’at,
sedangkan untuk hal-hal yang mendatangkan maḍarat, berlaku kaidah “al-aṣl fi al-ashyā’
al-ḥurmah ḥattā yadull al-dalīl ‘alā taḥlīlihā” yang disarikan dari hadith Nabi: lā ḍarar
wa lā ḍirār. Lihat: Wahbah al-Zuhailī, Uṣul al-Fiqh al-Islāmī, Vol. II, (Damaskus: Dār
al-Fikr, Cet. Ke-6, 2008), hal. 212 36
“Hukum asal segala sesuatu adalah haram”. Kaidah ini berlaku untuk hal-hal
yang mendatangkan maḍarat yang disarikan dari hadith Nabi: lā ḍarar wa lā ḍirār.
Lihat: Wahbah al-Zuhailī, Ibid., hal. 213.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
21
akan menentukan status hukum (hukum taklīfiy). Dari sini muncul
kaidah “al-ḥukm yadūru ma’a ‘illatih wujūdan wa ‘adaman”.37
Banyak ulama ternama lainnya juga telah memberikan
kontribusi terhadap perkembangan teori ‘illah (motif hukum) ini. Pola
yang mereka kemukakan sepintas lalu memang berbeda namun
substansinya masih berpijak pada teori ‘illah atau motif sebagai titik
sentral penetapan atau pemberlakuan suatu hukum. Abū Ishāk al-
Shīrāzī (w. 476 H) dalam kitab al-Luma’, „Izz al-Dīn bin „Abd al-Salām
(w. 660 H) dalam Qawāid al-Ahkām fī Mashālih al-Anām mengusung
jalbul masālih wa daf’ul mafāsid, Shihāb al-Dīn al-Shanhājī al-Qarāfī
(w. 684 H) dalam kitab Anwār al-Burūq fī Anwā’ al-Furūq dengan
empat konteks sunnah nabi, serta Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H)
dengan konsep keadilan syari‟ah (al-syarī’ah hiya al-‘adl) dalam
karyanya I’lām al-Muwāqi`īn ‘an rabb al-‘ālamīn. Sedangkan tokoh
populer era modern yang terampil dalam kajian ta’lili, antara lain Ibn
„Ashūr (w. 1393 H), Abdullahi Ahmed al-Na‟im (lahir 1946 M), Jassir
Auda (lahir 1966 M) dan lain-lain.
Epistemologi maṣlaḥah dengan menganalisis illah al-ḥukm
setelah al-Ghazālī, yang gigih mengembangkannya adalah Najm al-Dīn
al-Ṭūfī (w. 716 H), seorang ulama yang sangat produktif, dan
memposisikan maṣlaḥah sebagai dalīl mustaqīl. Ia mengemukakan
37
“Hukum itu berdasar „illah-nya tentang ada dan tidaknya”. Ulama ushūl
menyatakan, ‘illah atau sebab menentukan berlaku dan tidak berlakunya suatu hukum,
maka adanya sebab menjadikan adanya hukum dan tidak adanya sebab menjadikan tidak
adanya hukum.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
22
bahwa konsep maṣlaḥah dalam hukum Islam bertitik tolak dari konsep
maqāṣid al-sharī’ah yang menegaskan bahwa hukum Islam
disyariatkan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan
manusia. Ulama ini berijtihad dalam merumuskan metodologi hukum
Islam (uṣūl al-fiqh) dengan mengaplikasikan metode analisis bahasa
(qā’idah uṣūliyah) dan memijakkan pemikiran hukumnya pada hukum
adat setempat melalui ijma‟.38
Dalam berijtihad, Najm al-Dīn al-Ṭūfī
cenderung memanfaatkan paradigma rasionalis dengan pola berpikir
induktif dalam pengembangan hukum Islam. Hal tersebut tampak pada
konsep maṣlaḥah at-Ṭūfi yang lebih mengedapankan akal dan dalil
rasional untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, kebenaran dan
kesalahan tanpa melalui konfirmasi wahyu (naṣ). Dengan demikian
konsep maṣlaḥah al-Ṭūfī bertujuan untuk menjauhkan konsep fiqh
yang imperatif dan teistik dengan masa turunnya wahyu ratusan tahun
yang lalu, sehingga fiqh akan selalu responsif terhadap perubahan
kondisi zaman serta mengarahkan fiqh pada pandangan yang tidak
sekedar teologis tetapi humanistik. Seiring meluasnya lingkup
perubahan sosial yang mempengaruhi semua sisi kehidupan, pemikiran
al-Ṭūfī banyak mempengaruhi pemikiran para cendikiawan muslim
dewasa ini.
Al-Ṭūfī bermadẓhab Hanbali – madzhab yang secara tegas
menolak campur tangan nalar dalam istinbāt al-ḥukm, tetapi bagi al-
38
Mustafā Zayd, Al-maṣlaḥah fī Al-Tashrī’ Al-Islamī, (Kairo: Dār al-Fikr al-
„Arabī, Cet. Ke-2, 1964), hal. 117-118
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
23
Ṭūfī justru menempatkan maṣlaḥah yang konseptualisasinya banyak
melibatkan nalar, menjadi dalil hukum terdepan dan terkuat (dalil
mustaqil), khususnya dalam bidang mu’amalah. Dalil apapun yang
berlawanan dengan semangat maṣlaḥah harus ditolak, karena hukum
bukan untuk kemaslahatan Tuhan, tetapi semata-mata untuk
mengantarkan manusia menggapai maṣlaḥah, yakni memperoleh
kebaikan, sekaligus terhindar dari kemadaratan, baik di dunia maupun
di akhirat.
Untuk menguji maṣlaḥah, al-Ṭūfī mengajukan sembilan belas
dalil, dan yang terkuat adalah al-kitāb dan ijmā’,39
sebagaimana telah
dikupas pada bab satu. Konsepsi maṣlaḥah40
menurutnya diperoleh
melalui ijmā’, atau kesepakatan umum, seperti ketika Socrates (469-399
SM) berupaya untuk memperoleh “definisi umum” melalui nalar
dialektika yang diawali dengan nalar induksi.41
Definisi umum inilah
39
Sebagai fuqaha’ mutakhirin (1227 M – 1318 M) al-Ṭūfī Nampak sekali telah
mengakomodasi pemikiran filsafat dalam memanfaatkan perkembangan metodologi,
terutama dalam konsepsi maṣlaḥah. Bandingkan dengan pola berpikir deduktif-induktif
(dialektk) yang digagas filosof paling awal Socrates (469-399 SM) dan Aristoteles (384-
322 SM). 40
Bagi al-Ṭūfī, maṣlaḥah berarti sarana yang menyebabkan adanya
kemaslahatan dan kemanfaatan. Sedangkan maṣlaḥah dalam batasan syari‟ah adalah
sesuatu yang menjadi media untuk sampai kepada maksud Syari‟, baik berupa ibadah
maupun adat. Kemudian beliau membagi maṣlaḥah menjadi dua: (1) perbuatan yang
memang merupakan kehendak Syari‟ yaitu ibadah, dan (2) segala sesuatu yang
dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia (kemaslahatan umum) dalam
tatanan kehidupan, seperti adat-istiadat. Ibid. 41
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Cet. Ke-3,
1985), hal. 36. Dinamakan “dialektika” karena dialog memiliki peranan penting di
dalamnya. Dinamakan “induksi” ketika pemikiran bertolak dari pengetahuan yang khusus
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
24
yang kemudian oleh Socrates disebutnya sebagai kebenaran obyektif,
yang didalamnya terdapat esensi dari obyek pengetahuan.
Epistemologi Socrates ini kemudian dikembangkan oleh
Aristoteles (384-322 SM) dan ilmuwan modern sekarang ini. Untuk
mendapatkan ilmu yang benar, Aristoteles menempuh tiga prosedur:
Pertama, ilmu memperoleh pengetahuan yang khusus dari pengetahuan
universal ditempuh melalui penalaran syllogisme (deductive), kedua
tujuan pengetahuan adalah pembuktian secara lengkap melalui
rangkaian syllogisme dalam mana kesimpulan yang diperoleh
bergantung pada premis. Ketiga proses ini berlangsung sampai dicapai
asas-asas yang tidak dapat dibuktikan secara induktif, sebab asas-asas
itu termuat di dalam akal dan harus dibuktikan secara deduksi42
.
Posisi maqāṣid al-sharī’ah kemudian mengalami
perkembangan berikutnya pada masa Ibn „Ashūr (w. 1393 H).
Meskipun keterkaitan antara teori uṣūl fiqh dan maqāṣid al-sharī’ah
merupakan suatu keniscayaan, Ibn „Ashūr melihat perlunya maqāṣid al-
sharī’ah menjadi disiplin ilmu yang mandiri.43
Konsekuensinya adalah
bahwa maqāṣid al-sharī’ah tidak lagi hanya sebagai kumpulan
konsepsi nilai yang membungkus fiqh dan uṣūl fiqh, tetapi juga
untuk memperopleh pengetahuan yang bersifat umum. Lihat: Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, hal. 46 42
Ali Mudhofir, Kamus Filosof Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1,
2001) hlm. 25-26 43
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas – Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi
Maqashid al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS, Cet. Ke-1, 2010),
hal. 188
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
25
berevolusi menjadi suatu pendekatan.44
Karenanya tidak salah, jika
Jassir Auda (lahir 1966 M) menyebut maqāṣid al-sharī’ah sebagai
filsafat hukum Islam. Maqāṣid al-sharī’ah akhirnya menempati posisi
sentral dalam pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer
ketika berbagai disiplin keilmuan dipertimbangkan menjadi konsiderasi
dalam proses pengembangan dan penerapan hukum. Jassir Auda
kemudian menjadikan maqāṣid al-sharī’ah sebagai substansi yang
harus terwujud dalam setiap ketentuan hukum Islam.45
D. Formulasi maṣlaḥah pendekatan dialektika
Kajian maqāṣid al-sharī’ah yang lama tenggelam mendapat
perhatian kembali dari para pakar hukum Islam modern, seperti
Muhammad ibn „Asyūr al-Tūnisī (w. 1393 H), „Alal al-Fāsī (1910-1974
M) dan Ḥasan al-Turabī (lahir 1932 M). Maqāṣid yang dikembangkan
masih berwarna kebahasaan seperti yang disuarakan oleh al-Shāṭibī
atau al-Ghazālīi. Oleh karena itu konsep maṣlaḥah masih berupa
44
Muhammad Ṭahir ibn „Ashur, Maqāṣid al-sharī’ah al-Islāmiyah, (Tunisia:Dār Sukhun li al-Nashr wa al-Tauzi‟, Cet. Ke-2, 2007), hal. 9
45Dalam pandangan Jassir Auda: 1) maqāṣid al-sharī’ah berhubungan dengan
cognitive nature hukum Islam, 2) al-maqāṣid al-‘āmmah merepresentasikan karakter
holistik dan prinsip-prinsip universal hukum Islam, 3) maqāṣid al-sharī’ah memainkan
peran penting dalam proses ijtihad, dan beragam bentuknya, 4) maqāṣid al-sharī’ah
dinyatakan dalam sejumlah cara yang hirarkis sesuai dengan hirarki sistem hukum Islam,
dan 5) maqāṣid al-sharī’ah menjadikan beberapa dimensi yang membantu menyelesaikan
masalah dan memahami kontradiksi dan perbedaan yang ada antara teks dan teori
fundamental hukum Islam. Lihat: Jassir Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of
Islamic Law, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2008), hal 54-55.
Sebagaimana dikutip Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas..., hal. 188-189
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
26
qāidah lughawiyah maknawiyah.46
Wael B Hallaq (lahir 1955 M)
menyebut trend maqāṣid ini sebagai aliran yang menganut prinsip
manfaat atau religious utilitiriansm.47
Menurut al-Shāṭibī, konsep maqāṣid ini dikembangkan dari
karakter ayat-ayat makkiyah dan madāniyyah. Ayat makkiyah memuat
hukum prinsip (uṣūliyah), universal (kulliyyah), dan substansial
(asāsiyah). Konsekuensinya, ayat makkiyah menjadi sumber, tidak
mansūkh, tidak berubah dan tidak menjadi lapangan diijtihād.
Sedangkan ayat madāniyyah memiliki karakter hukum penjabaran
(furū’iyyah), kondisional (juz`iyyah), teknis (taṭbīqiyyah), ada yang
final atau pasti (qaṭ’ī) dan ada yang tidak final atau tidak pasti (ẓannī).
Konsekuensinya, ayat madāniyah bersifat terapan, dapat mansūkh,
berubah dan ada yang menjadi lapangan diijtihad, ada yang tidak.48
Dalam aplikasinya, konsep maṣlaḥah yang awalnya sangat
memudahkan dan fleksibel justru menjadi faktor penghambat dan
membawa mashaqqah, karena maṣlaḥah selalu berangkat dari prinsip
46
Istilah ini berbeda dengan Khalaf yang menyebutnya sebagai qaidah
uṣūliyyah tashri’iyah. Lihat, Loc Cit, hal. 35 47
Wael B Hallaq, Shari'a: theory, practice, transformations (Cambridge, UK;
New York: Cambridge University Press, 2009), hal. 38
48Abū Ishāk al-Andalusī al-Shāthibī, al-Muwāfaqāt, juz III (Beirut: Dār al-
Fikr, 1995), hal. 35
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
27
yang lebih menekankan larangan serta menjauhi maḍarrah dari pada
lebih dahulu mempertimbangkan prinsip kebolehan dan nilai-nilai
kebaikan, sebagaimana qaidah “daf’u al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb
al-maṣālih”.49
Kontroversi fatwa haram rebonding, perempuan
mengojek atau foto prewedding, merupakan contoh kecil fenomena
dalam menerapkan kaidah tersebut.
Maslahat itu mencakup dua unsur yang padu dan holistik,
yakni jalb al-manâfi„ wa daf‟al-mafâsid50
yang mengandung arti
“mewujudkan sesuatu yang bermanfaat atau yang membawa kebaikan,
dan mencegah serta menghilangkan sesuatu yang negatif-destruktif atau
yang membawa kerusakan secara simultan. Yang perlu
dipertimbangkan berkaitan dengan kepentingan individual dan terbatas
(al-maṣlaḥah al-khâṣṣah) dengan kepentingan umum atau masyarakat
luas (al-maṣlaḥah al-‘âmmah) adalah memprioritaskan kepentingan
umum atau masyarakat luas.
Mengacu pada prinsip yang disepakati oleh para fuqaha,
bahwa setiap ketentuan hukum yang bersumber dari naṣ pasti
mengandung maṣlaḥah, maka sesungguhnya maṣlaḥah tersebut telah
terkandung pada setiap naṣ, dan karenanya dapat dipahami dengan
meneliti kandungan makna naṣ itu. Di sini perlu diterapkan langkah
“interpretasi berorientasi maṣlaḥah terhadap naṣ” (al-tafsîr al-maṣlahī
49
Asjmuni A. Rahman, Qa’idah Qa’idah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
Ke-1, 1976), hal.. 76 50
„Iz al-Dīn bin „Abd al-Salām, Qawā’id al-Ahkam fī Masālih al-Anam, Vol. 1,
(Beirut, Dār al-Kutub al-„Ilmiah, t.th), hal. 3
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
28
li al-nuṣûṣ) dan “aplikasi berorientasi maṣlaḥah terhadap naṣ” (al-
taṭbîq al-maslaḥī li al-nuṣûṣ).
Untuk menghadapi kasus yang belum ditentukan hukumnya
secara eksplisit oleh naṣ yang spesifik, perlu merujuk kepada naṣ yang
bersifat umum (deduktif), diiringi dengan langkah “interpretasi
berorientasi maṣlaḥah terhadap naṣ” dan “aplikasi berorientasi
maṣlaḥah dalam kehidupan nyata (induktif). Dalam konteks ini, upaya
mengkualifikasi sesuatu sebagai maṣlaḥah harus mengacu kepada
parameter yang mendapatkan legalitas, baik dari substansi (obyek
materi) hukumnya maupun epistemologi (obyek forma) hukum Islam
yang dilakukannya.
Proses tersebut lebih dikenal dengan proses dialektika Hegel
(1770-1831),51
aliran Mutakallimin dakam uṣul al-fiqh berpendapat
bahwa legalitas suatu masalah ditentukan oleh bunyi naṣ sebagai
tesisnya, sementara aliran fuqahā berorientasi maṣlaḥah dalam
kehidupan nyata (induktif) sebagai antitesis. Memadukan antara bunyi
naṣ dengan maṣlaḥah dalam kehidupan nyata yang dipandu maqāṣid
al-sharī’ah sebagai sintesis. Jika dicermati, pada proses ketiga (sintesis)
51
Dialektika Hegel (tese, antitese dan sintese) terinsipirasi dari filsafat
dialektika Immanuel Kant (1724-1804) bahwa empirisme maupun rasionalisme tidak
memenuhi syarat-syarat yang dituntut ilmu pengetahuan, karenanya diperlukan adanya
putusan-putusan yang sintesis a priori, yaitu putusan-putusan yang sekalipun sintesis
namun tidak tergantung dari pengalaman. Unsur yang menjembatani masalah ini oleh
Kant disebut filsafat transendental, yaitu filsafat yang meneliti cara orang mengenal
segala sesuatu. Lihat: Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hal. 66.
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
29
tampak bahwa unsur pada tesis dan antitesis diangkat pada tingkat yang
lebih tinggi (membimbing) dalam penetapan legalitas hukum Islam.52
Melengkapi konsepsi maṣlaḥah dialektika tersebut, dengan
paradigma kausalitasnya,53
Jassir Auda (lahir 1966 M) mereformulasi
hukum Islam dengan mengintegrasikan maqāṣid al-sharī’ah karena
beberapa alasan: Pertama, cakupan maqāṣid terdahulu, lebih diarahkan
untuk hukum Islam secara umum, sehingga tidak tergambar secara jelas
tentang tujuan untuk satu bidang tertentu. Kedua, maqāṣid terdahulu
lebih fokus pada individu daripada masyarakat. Ketiga,
pengklasifikasian maqāṣid terdahulu tidak memuat nilai-nilai dasar
universal, seperti keadilan dan kebebasan. Keempat, maqāṣid terdahulu
disarikan dari rumusan-rumusan fiqh yang literalis bukan bersumber
dari realitas empiris.54
Dari pemikiran tersebut, Auda tidak lagi menganut hirarki
maqāṣid al-sharī’ah ulama terdahulu yang membedakan qaṣdu al-
Shāri’ dengan qaṣdu al-mukallaf yang memiliki problem metodologis.
Ia membagi maqāṣid al-sharī’ah menjadi maqāṣid „āmmah, maqāṣid
52
Ahmad Tafsir,Filsafat Umum, hal. 135. 53
Jassir Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law, hlm. 27.
Pada era modern, baik saling independen dan dapat dimanfaatkan. Akhir era post-
positivist menampilkan pemikiran sistemik. Lebih lanjut lihat: Noeng Muhadjir,
Metodologi Penelitian Kualitatif, positivist maupun post-positivist, para ahli berpusat
pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik
secara linier pada positivist, maupun secara kreatif pada post-positivist. Pada era post-
modern para ahli tidak mencri hubungan rasional-integratif melainkan ingin menemukan
secara kreatif kekuatan-kekuatan monumental dari berbagai hal yang Yogyakarta: Rake
Sarasin, Edisi IV, Cet. Ke. 2, 2002, hal. 239 54
Jassir Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law, hal.. 2-3
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
30
khāṣṣah dan maqāṣid juz’iyyah.55
Maqāṣid „āmmah adalah maqāṣid
yang mencakup seluruh maṣlaḥah yang terdapat dalam setiap ketentuan
hukum yang bersifat universal, seperti keadilan, persamaan, toleransi,
kemudahan dan sebagainya yang bersifat ḍarūriyyāt. Maqāṣid khāṣṣah
adalah yang terkait dengan kemaslahatan yang ada pada persoalan
tertentu, misalnya tidak boleh menyakiti orang dengan cara apapun,
tidak boleh menipu dan lain-lain. Sedangklan maqāṣid juz’iyyah adalah
yang berkaitan dengan substansi kemaslahatan dari suatu peristiwa
hukum.
E. Penutup
Masalah mu’āmalah atau sosial kemasyarakatan yang
ta’aqqulī (ma’qūlah al-ma’nā) berlaku kaidah al-aṣl fi al-ashyā’ al-
taḥrim ḥattā yadull al-dalīl ‘alā taḥlīlihā. Artinya bahwa soal
kemasyarakatan dalam arti luas (kegiatan perekonomian, pengelolaan
perbankan, ekonomi kerakyatan dan lain-lain) aturan hukumnya
dituangkan oleh Allah dalam bentuk ijmālī dan bersifat ẓanī.
Bertitik tolak dari garis-garis besar tersebut, para mujtahid
dengan potensi dan kualifikasinya, diberi kewenangan untuk mencari
alternatif-alternatif pemecahan terhadap permasalahan mu’āmalah atau
sosial kemasyarakatan dalam arti luas itu selaras ruang dan waktu yang
mengiringinya. Salah satu alasannya adalah untuk merealisasikan
55
Ibid., hal.. 25
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
31
kemaslahatan manusia yang bersifat dinamis seiring perkembangan dan
kemajuan budaya masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum – Akal dan Hati sejak Thales
sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992
Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Toward an Islamic Reformation,
alih bahasa oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani dengan judul
“Dekonstruksi Syari’ah”, Yogyakarta: LkiS, 1994
Abdul Mun‟im Saleh, Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2009 Abdul Ghofur,
Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. Ke. 1, 2002
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
32
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Juricprudence,
alih bahasa oleh Agah Garnadi, dengan judul “Pintu Ijtihad Sebelum
Tertutup”, Bandung: Penerbit Pustaka, 1994
Ahmad Norma Permata, (ed), Metodologi Studi Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997
Fazlur Rahman, Islam, Chicago and London: University of
Chicago Press, 1979
-------------, Islam and Modernity Transformation of an
Intelectual Tradition, alih bahasa oleh Ahsin Muhammad, dengan judul
“Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, Bandung:
Penerbit Pustaka, 1985 Fred N Kerlinger, Foundations of Behavioral Research, alih bahasa
oleh Drs. Landung R. Simatupang, dengan judul “Asas-Asas Penelitian
Behavioral, Yogyakarta: UGM Press, 1990
George Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm science, alih
bahasa oleh Alimandan dengan judul “Sosiologi: Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda”, Jakarta: Rajawali Press, 1992
Hugh Kennedy, The Prophet and the Age og the Caliphates, Singapore:
Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd., Cetakan pertama, 1986
Ira M Lapidus, A History of Islamic Sosieties, alih bahasa oleh
Ghufron A. Mas‟udi dengan judul “Sejarah Sosial Umat Islam”, Jakarta:
Rajawali Press, 1999
Jamali Sahradi, Metodologi Studi Islam – Menelusuri Jejak
Historis Kajian Islam ala Sarjana Orientalis, Bandung: Pustaka Setia, Cet.
Ke-1, 2008
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, London: Oxford
University Press, 1969 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar
Grafika, Cet. Ke-5, 2009
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
33
Karl Raimund Popper, The Logic of Scientific Discovery, London:
Hutchinson & CO Ltd, Edisi Revisi, 1968
M. Amin, Abdullah, Studi Agama – Normativitas atau Historisitas,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Manouchehr Paydar, Aspects of the Islamic State: Religious Norms and
Political Realities, alih bahasa oleh M. Maufur el-Khoiry dengan judul
“Legitimasi Negara Islam – Problem Otoritas Syari‟ah dan Politik Penguasa”,
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, Cet. Ke 1, 2003
Michael Pye (et.al), Agama Empiris – Agama dalam Pergumulan
Realitas Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2002
Muhammed Arkoun, Rethinking Islam, USA: Westview Press
Inc., 1994
----------, Islam Kontemporer – Menuju Dialog antar Agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke 1, 2001
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu – Kajian atas Asumsi Dasar,
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar,
Cet. Ke-1, 2004
Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, London:
Claredon Perss, 1993
Noel. J. Coulson, The History of Islamic Law, Inggris: Edinburg
University Press, 1964
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta:
Reka sarasin, 1996
-------------, Metodologi Keilmuan – Paradigma Kualitatif,
Kuantitatif, dan Mixed, Yogyakarta: Rake Sarasin, Edisi V, 2007
Peter Beilharz, Teori-Teori sosial – Observasi Kritis terhadap
para Filosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
34
Roland Robertson (ed), Sociology of Religion, alih bahasa oleh
ahmad Fedyani S. Dengan judul “Agama dalam Analisa dan Interpretasi
Sosiologi”, Jakarta: Rajawali Press, 1992
Sir Muhammed, Iqbal, The Reconstruction of Religious Thougth
in Islam, New Delhi: Kitab Bavan, 1981
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Cet.
Ke-5, 2009
------------------