14
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 65 HAK POLITIK PEREMPUAN: Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah 1 Abstract Efforts to build alliances and specialized cooperation is needed to change perceptions regarding women's leadership, especially with female leadership disseminate credible, effective, and better than men in various fields and at all levels of society. All women should know that as a leader, he must wrestle with the responsibility and priority to public world. As a person that women leaders also became parents and housewives, as well as women traders or businessmen. Humans, no matter men or women, plays different roles at different times. Women still tend to be more appreciative of his contributions in the private space and the role of voluntary (unpaid) rather than the aspects related to the social sphere. Keywords: political rights, women's, gender. A. Pendahuluan Kebebasan tidak akan dapat dicapai kecuali kalau perempuan telah dimerdekakan dari segala bentuk penindasan. Kita semua berangkat dari sini dan menegaskan bahwa tujuan program rekonstruksi dan pembangunan tidak akan terwujud kecuali kalau kita memandangnya dalam bentuk-bentuk praktis yang terlihat bahwa kondisi perempuan di Negara kita telah berubah secara radikal menjadi lebih baik dan bahwa mereka telah diberdayakan untuk berkiprah dalam segala aspek kehidupan yang sejajar dengan setiap anggota masyarakat lainnya”. (Nelson Mandela, 24 Mei 1994) 2 Pernyataan dari seorang Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, dapat diambil kesimpulan bahwa belum merdeka perempuan ketika masih didiskriminasikan oleh kaum laki-laki dalam bentuk apapun dan masih juga terjadi kekerasan terhadap perempuan. Oleh karenanya perempuan harus menjadi pemegang kebijakan untuk menjadikan perempuan yang lainnya merasakan hawa kebebasan dan kemerdekaan. Dan tidak mungkin semua 1 Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Teknik UNISSULA Semarang dan Ketua PSG UNISSULA 2 Mavivi Myakayaka Manzini, Pemberdayaan Perempuan di Afrika Selatan dalam YJP: Perempuan di Parlemen: Bukan sekedar Jumlah, YJP, Jakarta: 1999, hal. 165

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

65

HAK POLITIK PEREMPUAN:

Antara Tantangan dan Harapan

Oleh: Mila Karmilah1

Abstract

Efforts to build alliances and specialized cooperation is needed to change

perceptions regarding women's leadership, especially with female leadership disseminate

credible, effective, and better than men in various fields and at all levels of society. All

women should know that as a leader, he must wrestle with the responsibility and priority to

public world. As a person that women leaders also became parents and housewives, as well

as women traders or businessmen. Humans, no matter men or women, plays different roles

at different times. Women still tend to be more appreciative of his contributions in the

private space and the role of voluntary (unpaid) rather than the aspects related to the social

sphere.

Keywords: political rights, women's, gender.

A. Pendahuluan

“Kebebasan tidak akan dapat dicapai kecuali kalau perempuan telah

dimerdekakan dari segala bentuk penindasan. Kita semua berangkat dari sini

dan menegaskan bahwa tujuan program rekonstruksi dan pembangunan tidak

akan terwujud kecuali kalau kita memandangnya dalam bentuk-bentuk praktis

yang terlihat bahwa kondisi perempuan di Negara kita telah berubah secara

radikal menjadi lebih baik dan bahwa mereka telah diberdayakan untuk

berkiprah dalam segala aspek kehidupan yang sejajar dengan setiap anggota

masyarakat lainnya”. (Nelson Mandela, 24 Mei 1994)2

Pernyataan dari seorang Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, dapat diambil

kesimpulan bahwa belum merdeka perempuan ketika masih didiskriminasikan oleh kaum

laki-laki dalam bentuk apapun dan masih juga terjadi kekerasan terhadap perempuan. Oleh

karenanya perempuan harus menjadi pemegang kebijakan untuk menjadikan perempuan

yang lainnya merasakan hawa kebebasan dan kemerdekaan. Dan tidak mungkin semua

1 Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Teknik UNISSULA Semarang dan Ketua PSG

UNISSULA 2 Mavivi Myakayaka Manzini, Pemberdayaan Perempuan di Afrika Selatan dalam YJP: Perempuan di

Parlemen: Bukan sekedar Jumlah, YJP, Jakarta: 1999, hal. 165

Page 2: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

66

perempuan menjadi pemegang kebijakan dalam sebuah Negara yang berkaitan dengan

kepentingan kaum perempuan secara umumnya, jika kaum perempuan sendiri tidak turut

andil dalam pemilihan wakil rakyat dari kaum perempuan. Oleh karenanya diperlukan

pemilih-pemilih dari kaum perempuan untuk memilih perempuan sebagai wakil perempuan

untuk mengutamakan kepentingan perempuan dan anak-anak.

Perempuan, tidak akan mampu meraih hasil yang dicita-citakan dan memajukan

kepentingan mereka, jika sejak awal mereka tidak mengorganisasikan diri mereka ke dalam

kelompok-kelompok perempuan di dalam partai dalam arus multi partai. Mereka nantinya

juga diuntungkan oleh komitmen dan tindakan-tindakan perempuan di parlemen. Mereka

mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

organisasi-organisasi perempuan dan ornop di civil society.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perempuan jumlahnya lebih banyak

daripada laki-laki, karena koordinasinya lebih mudah, memobilisasinya juga mudah,

wadahnya juga jelas, akan tetapi sering kali partisipasi dan kebutuhan serta kepentingannya

sebagai perempuan tidak terakomodir, mengapa bisa terjadi demikian?

Hal ini karena bargaining perempuan kurang kuat: posisi legislatif tidak banyak,

sektor-sektor tertentu dalam eksekutif juga tidak banyak posisi strategis, perempuan dalam

berpolitik cenderung jujur tapi jujur dalam berpolitik beda dengan yang dipersepsikan oleh

perempuan. Hal ini ada kaitannya dengan bias gender dan politik

Berbagai persepsi perempuan tentang pemilu baik pemilu presiden pemilu kepala

daerah maupun pemilu legislatif, wakil rakyat atau wakil rakyat perempuan. Secara umum,

perempuan memandang pemilu sebagai ajang memilih wakil rakyat. Wakil rakyat dipahami

sebagai orang yang dapat dipercaya oleh rakyat, bisa menyampaikan suara rakyat dan

mampu membawa kehidupan rakyat Indonesia kearah yang lebih baik. Pendapat

perempuan tentang wakil rakyat yang menjabat saat ini adalah: sosok yang suka

mengabaikan rakyat, tidak peduli dengan kemiskinan, OKB (orang Kaya baru), mereka

cenderung tidak tahu malu, suka korupsi, suka pelesir ke luar negeri, suka janji-janji palsu

dan orang yang tidak bisa dipercaya.3

Sebagai pemilih, selama ini perempuan belum secara independen memilih calon wakil

rakyat, karena banyak alasan mereka memilih karena ikut pilihan kyai, pilihan suami,

pilihan saudara, teman atau lingkungan. Mayoritas kaum perempuan belum mengerti

urgensi keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif maupun legislatif. Bagi mereka tidak

masalah presiden, gubernur, bupati, caleg laki-laki atau perempuan asal mau mengerti

penderitaan rakyat. Namun kaum perempuan sepakat bahwa memilih perempuan sebagai

pemimpin baik sebagai wakil rakyat maupun sebagai pemimpin daerah adalah sebuah

keharusan karena perempuan lebih peka dan lebih tahu kebutuhan perempuan dan

perempuan yang diinginkan bukan hanya berjenis kelamin perempuan tetapi perempuan

3Jurnal perempuan Vol. 34, Maret 2004, YJP, Jakarta, hal. 8

Page 3: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

67

disini adalah perempuan yang secara ideologis memiliki kemampuan intelektual dan

emosional serta mau dan mampu memperjuangkan agenda perempuan. Perempuan yang

seperti inilah yang akan menyadarkan perempuan-perempuan lainnya akan hak-hak politik

perempuan yang harus diperjuangkan meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi

termasuk kondisi perempuan itu sendiri. Pada tulisan ini akan kami sampaikan berbagai

pengalaman penulis terhadap komunitas perempuan yang selama ini penulis amati dan

kami dampingi, bagaimana harapan perempuan dalam menggunakan hak politiknya,

sehingga diperoleh data dan sekaligus solusi yang penulis tawarkan berkaitan dengan hak

politik perempuan karena bagaimanapun perempuan mempunyai hak politik yang sama

dengan laki-laki dan harus diperjuangkan.4

B. Pembahasan

1. Bias Gender dan Politik

Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang memadai atau

bukti-bukti yang kuat terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan

pada peran dan posisi gender laki-laki dan perempuan, misalnya ketika ada pertanyaan

mampukah bupati/ ketua DPRD perempuan memimpin masyarakat di suatu daerah?

Mengapa pertanyaan ini dilontarkan hanya kepada perempuan, mengapa kepada

bupati/ketua DPRD yang laki-laki tidak ada pertanyaan seperti itu. Jika di dunia kerja bias

gender juga berarti perlakuan tidak setara dalam memberikan kesempatan kerja atau

jabatan (promosi, upah atau gaji, keuntungan dan hak-hak istimewa) dan harapan-harapan

terhadap sikap dan tingkah laku yang didasarkan pada jenis kelamin seorang karyawan atau

sekelompok karyawan. Bias ini sangat berkaitan dengan keyakinan adanya pemisahan

antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah tempat dan milik laki-laki baik

secara sosial, politik dan ekonomi, seperti lembaga publik, partai politik, parlemen dan

lainnya, sementara ruang privat adalah ranah perempuan, tempat mereka hadir dan

beraktivitas, seperti keluarga, merawat suami, anak, aktivitas rumah tangga. Pembagian

ruang ini menjadikan konsekuensi masalah kesetaraan dan keadilan tidak menjadi

perhatian dalam hubungan antar keluarga (suami-istri, orang tua-anak). Atas dasar itulah

sehingga ketika perempuan masuk dalam ranah publik menempati sebagai kepala daerah

ataupun parlemen dipermasalahkan kapasitas dan keahliannya sehingga ketika gagal

kesannya heboh tidak seperti laki-laki yang menjadi pemimpin yang mempunyai kapasitas

sama dengan perempuan.5

4 UNDP, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad 21, Edisi

Bahasa Indonesia, Jakarta, UNDP, 2003, hal. 54 5. Jurnal perempuan No. 34, Maret 2004, YJP, Jakarta, 2004, hal.9

Page 4: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

68

2. Beberapa bentuk bias gender dalam politik

Bias gender dalam politik terjadi karena ada beberapa pemikiran tentang politik

yang menjadi teori dalam ilmu politik yang terhegemoni sampai detik ini. Diantaranya

teori-teori tersebut adalah:

Pembicaraan politik selalu berkaitan dengan “ the exercise of power” yang ada di

pemerintahan atau institusi-institusi public lainnya. Harorld Laswell dalam bukunya

“ What Gets What, When and How” (Siapa Dapat Apa, Kapan dan Bagaimana),

definisi politik ini menunjuk pada semua aktivitas yang terjadi dan berlangsung di

ranah public milik laki-laki. Juga pendapat neo-evolusionis yang mempromosikan

paradigma androsentris, “ man as the the hunter “menunjukkan bahwa semua

perkembangan manusia dalam masyarakat bermula dari perburuan yang dilakukan

laki-laki.6

Pemikiran politik modern yang menekankan pentingnya kewarganegaraan universal

yang akan memperluas hak semua orang untuk teribat dalam partisipasi politik.

Kelihatannya ada prinsip keadilan akan tetapi hakekat perluasan kewarganegaraan

yang universal ini berasal dari pengalaman laki-laki yang berkarakter maskulin,

militeristik, rasionalitas, kemandirian, keagresifan, kekuatan, kekompetitifan, tawar

menawar yang diasosiasikan dengan laki-laki dan maskulinitas.7

Nuansa seksisme dalam teori-teori politik. Seksisme adalah hubungan social yang

menyokong otoritas laki-laki terhadap perempuan. Para pemikir politik

menganggap perempuan terlalu emosional, tidak rasional untuk membuat keputusan

atau kebijakan yang penting dan strategis, ada kecenderungan mysogny (sikap yang

tidak menyukai perempuan). Tetapi sungguh ironis sebagian besar akademisi

maupun politisi mengamini dan merujuk pada pemikiran tersebut sebagai cerminan

suara demokrasi padahal demokrasi tanpa suara perempuan di dalamnya bukanlah

demokrasi sejati.8

Teori- teori politik yang konvensional yang ada tidak bisa memandang gender

sebagai sebuah konstruksi atau kategori teoritis, konseptual dan analitis.

Padahal ada tiga asumsi yang diungkapkan berkaitan dengan persoalan perempuan

dan politik yaitu:9

Politik apapun definisinya memiliki dampak yang berbeda pada laki-laki dan

perempuan

Politik dalam proses-prosesnya sering mengubah hubungan gender antara laki-

laki dan perempuan.

6 Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 46 Cetakan Pertama, Maret 2006, ibid, hal.

26 7 Ibid, hal.27 8 Ibid, hal.28 9 Ibid, hal. 30

Page 5: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

69

Perempuan yang berpartisipasi sebagai subyek politik melakukan aktivitas

politik yang berbeda dengan laki-laki.

Dari gambaran tersebut, dapat dipahami sebenarnya politik adalah suatu tindakan

kebijakan untuk menyelesaikan masalah. Sehingga siapapun yang mampu dan

berkesempatan dapat berperan dalam melakukan kebijakan tersebut, tidak hanya laki-laki,

perempuan juga bisa. Tidak harus terpaku dengan umur dan usia, setiap orang yang

mampu punya kesempatan yang sama. Hanya yang perlu dipahami, kebijakan yang

dihadirkan politik adalah yang mempunyai ekses luas. Namun, catatan yang utama,

permasalahan-permasalahan yang ada dalam dunia perempuan selama ini hanya bisa

diselesaikan oleh perempuan dan laki-laki yang peduli pada perempuan. Yang terakhir

inilah yang harus dicermati.

3. Situasi Perempuan Jawa Tengah

Secara kuantitatif jumlah perempuan di legislatif meningkat, secara kualitas masih

dipertanyakan dan dapat dipastikan mereka akan learning by doing. Berdasarkan latar

belakang dan profesi mereka yang sangat beragam mulai dari bidan, selebritis sampai

politisi, dapat dipastikan lembaga legislatif hasil Pemilu 2009 telah didominasi wajah baru,

yaitu caleg perempuan yang baru pertama kali terpilih melalui dapil Jawa Tengah. Ada

sebesar 88,89%, DPD sebesar 75% dan DPRD Jawa Tengah sebesar 71,43%. (Peta Suara

Perempuan Jateng 2009; Ari Pradanawati)

Di lain sisi secara umum para pemilih Jawa Tengah yang tidak menggunakan hak

suaranya pun mengalami peningkatan. Dari catatan rekap suara per kabupaten /kota di

Jawa Tengah dalam pilgub tahun 2008 dan 2013, terlihat bahwa angka pemilih yang tidak

menggunakan hak pilihnya mencapai meningkat dari 41,55% pada tahun 2008 menjadi

44.27% pada tahun 2013. Secara spesifik, 5 kabupaten dan kota dari 35 kabupaten dan kota

di Jawa Tengah, tingkat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya bahkan sampai 50%

atau lebih adalah (Kab. Jepara (56,20%), Kabupaten Pati (55,48%), Kabupaten Demak

(55,99%) dan Kabpaten Brebes (50,96%)). Kabupaten Temanggung adalah wilayah dengan

tingkat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya paling rendah (17,11%) disusul oleh

Kabupaten Kudus sebesar (20.48%) (Sumber: KPU Provinsi Jawa Tengah, Rapat Pleno

Terbuka Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa

Tengah Tahun 2013, 4 Juni 2013).

Angka ini memberikan gambaran bahwa partisipasi politik masyarakat (dan

perempuan) terhadap pemilihan kepala daerah masih rendah. Rendahnya partisipasi

perempuan dalam politik disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya sistem perekrutan

pada partai politik belum memberikan ruang penuh kepada perempuan; kehidupan politik

dalam anggapan masyarakat adalah kehidupan yang hanya cocok untuk perempuan;

standar kehidupan politik masih menggunakan standar laki-laki; kurang percaya diri pada

Page 6: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

70

perempuan untuk memasuki wilayah politik; dan lemahnya dukungan kepada perempuan

dalam berpolitik.

Beberapa catatan mengenai hak politik perempuan baik sebagai calon legislatif

maupun sebagai pemilih sebagai berikut akan dipaparkan.

a. Sebagai Calon Anggota Legislatif

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KPI Jawa Tengah dan Kemitraan

(Patnership for Governance Reform in Indonesia), dalam rangka memberikan pendidikan

politik bagi calon legislative di Jawa Tengah, dimana kegiatan ini memberikan pemahaman

mengenai strategi kampanye, serta teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk menjaring

suara tanpa melakukan money politic. Hasil kajian ini memperlihatkan bahwa profil

beberapa anggota legislatif baik berdasarkan latar belakang, proses pencalegan, agenda

yang diusung pada saat kampanye dan apa yang akan dilakukan pada saat terpilih nantinya.

Walaupun apa yang dilakukan ini tidak mewakili seluruh Jawa Tengah namun gambaran

ini akan memberikan perspektif mengenai caleg perempuan yang ada di Jawa Tengah dan

menurut penulis secara kewilayahan dapat mewakili gambaran yang ada.

1. Latar Belakang Caleg

a. Tingkat Pendidikan

Terlihat bahwa potensi caleg perempuan Jawa Tengah yang mengikuti pelatihan

yang dilakukan oleh kemitraan dari sisi pendidikan yang diselesaikan tampak bahwa

potensi caleg perempuan sangatlah luar biasa hal ini dapat terlihat dengan tingginya caleg

perempuan yang menamatkan pendidikan strata 1 (S1) sebanyak 66.67 %, sedangkan

jumlah mereka yang menamatkan pendidikan Strata 2 (S2) sebasar 13 % dan sisanya

adalah tamatan SMA, dengan potensi ini akan mempercepat peluang keterwakilan

perempuan di lembaga legislatif, paling tidak sebagai persiapan tahun 2014.

b. Usia

Dari sisi usia terlihat bahwa usia calon legislatif (caleg) perempuan rata-rata

didominasi oleh caleg yang berusia 36-45 tahun (46.7%), serta caleg berusia antara 46-55

tahun (26.7%). Sedangkan Caleg termuda berusia 22 tahun dan caleg tertua berusia 63

tahun. Gambaran ini memberikan petunjuk dari sisi usia sebenarnya rentang antara usia

caleg perempuan berada pada rentang usia produktif, dan dalam derajat tertentu dianggap

sebagai usia matang dalam berpolitik, karena relatif telah bersentuhan dengan pengalaman

dalam masyarakat maupun dalam politik.

2. Latar Belakang Politik Caleg

Caleg perempuan relatif memiliki rekam jejak organisasi yang baik, ini dibuktikan

dengan besarnya keterlibatan mereka (100%) sebagai eksponen organisasi partai politik,

profesi, maupun sosial. Bahkan aktivitas di partai politik sangat dominan hampir

Page 7: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

71

seluruhnya caleg perempuan berasal dari organisasi politik (73%), organisasi sosial (83%),

dan jumlah mereka yang berasal dari jumlah organisasi profesi juga cukup besar (41%).

Sebagian besar caleg (62%) yang aktif di organisasi politik merupakan bagian dari jajaran

induk partai.

Namun situasi agak berbeda terjadi pada aktivitas di organisasi sosial, caleg

perempuan yang memiki pengalaman di organisasi sosial jumlahnya jauh lebih besar, lebih

dari setengah dari sisi kuantitasnya (90%), ini menunjukkan sebelum kran gender

mainstreaming melalui tindakan khusus sementara untuk keterwakilan perempuan didunia

politik dibuka, sebagian besar dari mereka memilih aktif di organisasi sosial. Informasi lain

yang cukup bagus, adalah bahwa keterlibatan caleg perempuan didalam organisasi politik

maupun sosial sebagian besar adalah pengurus organisasi. Untuk organisasi politik bahkan

mereka hampir seluruhnya menjadi pengurus (100%), demikian juga organisasi sosial

(93%). Sementara yang hanya menjadi anggota dalam organisasi baik sosial maupun

politik berada direntang (14-17%). Termasuk dalam organisasi profesi mereka kurang dari

separuh adalah pengurus organisasi tersebut.

3. Proses Pencalegan

Banyaknya partai politik saat ini membuka peluang yang sangat besar untuk

mendaftarkan diri sebagai caleg. Sebagian besar caleg perempuan di Jawa Tengah telah

berpengalaman sebagai caleg lebih dari satu kali (53.3%), dan hanya (46,7%) yang belum

pengalaman sebagai caleg (kali ini merupakan pengalaman pertama). Jumlah caleg yang

berhasil menjadi anggota legislatif hanya 26,67%. Kemenangan pada pemilu 2009 ini bagi

mayoritas dari mereka (83%) merupakan pengalaman yang pertama sebagai anggota

legislatif dan 17% memiliki pengalaman kemenangan yang kedua. Sebagian besar caleg

merasa kecewa terhadap sistem dan keadaan negara ini. Keinginan mereka untuk

melakukan perubahan (67.67%) telah memotivasi mereka untuk menjadi caleg. Motivasi

lain yang medorong mereka menjadi anggota legistaif antara lain karena adanya dorongan

dari pihak lain (15%), ingin mencoba profesi/karier baru (10%), adanya keterwakilan

perempuan (5%) dan hanya ingin coba-coba (3%).

4. Agenda dan Isu yang Diusung oleh Para Caleg

Agenda dan isu yang diusung oleh para caleg memiliki porsi sangat besar dan

dominan adalah isu yang berkaitan dengan perempuan dan ekonomi. Isu ini diagendakan

oleh 79% caleg dan 41% menyatakan isu ini yang paling diminati. Isu pendidikan (71%),

Keterwakilan politik perempuan (88%), serta sosialisasi tata cara pemberian suara (73%),

sementara isu kekerasan dalam rumah tangga juga mendapat porsi meski tidak terlalu

dominan (41%) termasuk masalah kesehatan keluarga (56%). Namun dari beberapa isu

yang dilontarkan caleg perempuan isu yang paling diminati adalah perempuan dan

ekonomi (41%), hal ini memperlihatkan isu ekonomi dan kesejahteraan memang menjadi

Page 8: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

72

isu magnet dan mainstreaming karena janji perbaikan ekonomi sangat dekat dengan

kalangan pemilih di pedesaan maupun perkotaan, disaat krisis ekonomi yang sedang

mendera negeri ini. Data ini juga dapat diambil besaran kesimpulan bahwa majunya caleg

perempuan tidak dengan kepala kosong, namun dengan agenda yang tertata.

5. Langkah yang Diambil Beberapa Caleg Setelah Terpilih

Langkah pertama bagi seorang caleg perempuan terpilih adalah menepati janji dan

berusaha semaksimal mungkin memperjuangkan tuntutan konstituen pemilih (40%), meski

pekerjaan ini bukan perkara yang mudah. Seperti pada saat bekerja mereka akan terpenjara

dalam kerangka kerja kekomisian yang kadangkala tidak sesuai dengan kebutuhan

konstituen pendukung. Oleh karena bekerja sebaik mungkin (27%), dengan mengeluarkan

regulasi yang berpihak pada kaum perempuan.

Bagi caleg perempuan, tampaknya kekalahan bukan berarti akhir segalanya,

kekalahan bukan juga kiamat bagi masa depan dan karier politik mereka. Sebagian besar

caleg perempuan justru menjadikan kekalahan sebagai bahan pembelajaran dan perenungan

(39%), dan memulai bekerja serius dengan kembali melakukan penggalangan politik,

termasuk mempersiapkan sedini mungkin ketersediaan finansial (23%). Semuanya

dilakukan dengan cara memulai kembali aktif di ormas maupun partai politik sebagai

lembaga pijakan untuk memasuki kembali pertarungan caleg tahun 2014.

Setelah para caleg terpilih menjadi anggota DPR/DPRD periode 2009-2014,

kebutuhan mendesak yang mereka inginkan adalah pelatihan dalam rangka pengembangan

kapasitas sebagai anggota DPR/DPRD yang baru (43%). Termasuk para caleg yang tak

terpilih juga menginginkan adanya penambahan kualitas diri melalui berbagai pelatihan

yang disediakan bagi dari dalam partai sendiri maupun lembaga-lembaga lain di luarnya.

b. Sebagai Pemilih Kritis dan Cerdas

Kondisi marginal perempuan baik sebagai pemilih maupun caleg tidak terlepas dari

lemahnya pendidikan pemilih dan kepemiluan khususnya bagi komunitas perempuan. Hasil

penelitian UNDP (2008) memaparkan bahwa secara umum, “aspek ini relatif kurang

mendapatkan perhatian. Ada sinyalemen bahwa semakin pemilih tidak paham dengan

sistem pemilihan, mekanisme penyusunan calon, sampai implikasi dari janji-janji

kampanye, maka semakin peserta Pemilu mendapatkan keuntungan. Pemilih yang pasif

hanya dijadikan sebagai alat legitimasi atas kekuasaan”. Lebih lanjut diungkapkan

pendidikan Elektoral kebanyakan ditargetkan pada publik umum tanpa kategori khusus

sesuai karakteristik pemilih dan daerah, kecuali dalam beberapa kasus. Dalam hal ini

komunitas perempuan marginal (ibu RT, pekerja informal, penyandang cacat, pekerja

migran, pembatu rumah tangga, lansia) sering luput dari target ini. Mereka dianggap dapat

memperoleh informasi atau dapat diwakili oleh suami/laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa

pendidikan pemilih dan elektroral belum berperspektif gender. Perempuan sebagai

Page 9: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

73

komunitas memiliki persoalan dan kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki. Tidak

terwakilinya persoalan dan kebutuhan perempuan menjadikan mereka komunitas yang

dinomerduakan dalam pembangunan bangsa ini. Kemiskinan, eksplotasi, dan kekerasan

masih berwajah perempuan. Kurangnya pengetahuan tentang pemilu dan elektoral

menyebabkan mereka kurang mampu menyuarakan persoalan dan kebutuhannya serta

memberikan suaranya secara tepat dan rasional agar memperoleh solusi.

(www.menegpp.org).

Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan oleh KPI Jawa Tengah bekerjasama

dengan lembaga-lembaga lain (PSG UKSW Salatiga, Yayasan Parahita Salatiga, Lappis

Kudus) pada tahun 2009 terlihat bahwa secara kuantitatif maupun kualitatif perempuan

marginal yang menjadi wilayah sasaran adalah wilayah yang mempunyai tingkat partisipasi

pemilu kepala daerah maupun pemilu gubernurnya rata-rata rendah. Sehingga wilayah

yang terpilih akan merepresentasikan wilayah Jawa Tengah dengan tingkat partisipasi

penduduk dalam pemilu tersebut rendah. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan

terlihat bahwa, sebagian besar perempuan tersebut sangat kurang mendapatkan informasi

terkait dengan pemilu sehingga mereka merasa bahwa pemilu ini tidak akan berdamapk

bagi kehidupan mereka selanjutnya (masa bodoh). Selain itu tidak sedikit perempuan

marginal tersebut tidak dapat membaca dan menulis (buta huruf) dan ini juga berakibat

pada meningkatnya apatisme mereka untuk mengikuti pemilu.

Berikut ini beberapa hasil yang dilakukan oleh Penulis yang kebetulan aktif di KPI

(koalisi Perempuan Indonesia) bekerjasama dengan L@PPis dan PSG UKDW Salatiga

didalam membantu perempuan-perempuan marginal dalam melakukan pendidikan bagi

pemilih dan Kepemiluan dengan sasaran perempuan marginal dengan tema: Suara

Perempuan untuk Perubahan (menjadi Pemilih Cerdas yang Berwawasan Gender).

Dalam pelatihan ini disampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan Pemilu dan

bagaimana menjadi pemilih yang cerdas yang memilih bukan karena iming-iming calon

tetapi lebih mengedepankan program serta perbaikan-perbaikan kondisi masyarakat baik

secara fisik maupun non fisik.

Best practice dari kegiatan ini adalah peserta antusias menceritakan pengalamannya

bertemu dengan caleg dari beberapa partai. Mereka menceritakan caleg mendatangi mereka

dengan berbagai janji dan memberikan macam-macam barang, misalnya; kalender,

sembako, dll. Mereka menjadi tahu mana yang disebut pelanggaran dalam kampanye

(administratif dan pidana). Juga mereka mengungkapkan menjadi tahu pentingnya

keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan mulai dari desa sampai dengan

tingkat pusat. Beberapa peserta yang adalah buruh pabrik belajar bahwa kebutuhan untuk

perlindungan pekerjaan dengan sistem perburuhan yang tidak adil bagi buruh, terutama

perempuan. Mereka juga baru tahu bahwa jika mereka bisa bersatu, mereka bisa menuntut

keadilan upah bagi mereka. Selama ini upah minimum mereka sangat rendah dan tidak

cukup untuk kehidupan sebulan. Mereka belajar bahwa dengan memilih caleg yang mampu

Page 10: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

74

memperjuangkan kebutuhan mereka ini, mereka berharap bahwa mereka akan memiliki

kehidupan yang lebih baik, terutama caleg yang berkeadilan gender baik itu perempuan

ataupun laki-laki. Dalam pelatihan ini juga disimulasikan bagaimana perempuan memilih

di dalam TPS (tempat pemungutan suara) serta berapa menit waktu yang diperguanakan

dalam mencoblos pilihan mereka supaya pada saat pemilihan tidak melakukan kesalahan

atau kebingungan dalam memilih.

Di wilayah ini ternyata masih banyak peserta yang Buta Aksara (16 orang). Mereka

mengungkapkan kebingungan dalam melakukan pemilu mendatang karena mereka tidak

bisa membaca dan belum pernah tahu seperti apa kartu suara yang digunakan. Dalam

pelatihan ini, mereka pertama kali mengetahui seperti apa kartu suara dan bagaimana cara

memberikan suara. Namun, mereka tetap ada kesulitan karena dalam kartu suara hanya

ada nomor partai, gambar partai, nomor urut dan nama caleg. Dalam pelatihan ini juga

mereka memperoleh informasi pentingnya suara perempuan dalam pemilu. Sebelumnya

mereka tidak pernah menyadarinya. Seperti Ibu Siti (bukan nama sebenarnya yang

berprofesi sebagai pengamen). Ia menjadi tulang punggung keluarga mencari uang karena

suami hanya bermalas-malasan di rumah (tidur dan menunggu makan). Ia hidup di jalanan,

mengamen, bekerja dengan waktu yang panjang (sampai malam), pendapatan tidak pasti,

kerasnya hidup di jalan menjadi kesehariannya (dikejar petugas, diusili laki-laki, bahkan

mengalami kekerasan), pulang di rumah juga menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, dan

termasuk memperoleh perlakuan kasar suami bila tidak dilayani. Dari pelatihan ini, Ia

menyadari pentingnya memberikan suara kepada caleg yang peduli pada nasibnya sebagai

perempuan marginal.

C. Kesimpulan

Permasalahan-permasalahan yang timbul berkaitan dengan perempuan tersebut

diatas tidak akan selesai ketika campur tangan perempuan diabaikan. Baik sebagai

pendorong kebijakan maupun sebagai pemegang kebijakan.

Berdasarkan kondisi dan pengalaman bekerja bersama dengan perempuan baik sebagai

calon anggota legislatif maupun perempuan pemilih marginal, maka beberapa kesimpulan

dapat disampaikan sebagai berikut:

1. Langkah Publik

Perlu dirumuskan kerangka waktu bagi pencapaian kesetaraan gender dalam

representasi politik di tahun 2014. Tujuan yang tidak dibatasi oleh waktu akan membuat

pemerintah, partai politik, para pelobi, dan kelompok perempuan kehilangan akuntabilitas.

Affirmative Action di Badan Legislatif

Affirmative action di dunia politik adalah langkah sementara yang diperlukan untuk

memperoleh keadilan dalam jangka panjang bagi perempuan secara sosial dan ekonomi, di

Page 11: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

75

dunia privat maupun publik.10 Target minimum 30-33,3% tidaklah lebih dari masa kritis.

Hal itu masih jauh dari kesetaraan. Sebagian suatu kesetaraan pun masih diragukan.

Berbicara mengenai affirmative action, sebaiknya kita tengok kembali kutipan dari

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tahun

1979.

“Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk memacu kesetaraan

laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dapat dianggap sebagai diskriminasi, tetap

hal itu tidak boleh dilanggengkan karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan

standar yang berbeda; langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan

kesempatan dan tindakan telah tercapai” (Pasal 4).

Partai Politik dan Reformasi Sistem Pemilu

Selama targetnya adalah di tingkat distrik ke atas, sistem partai telah lama menjadi

kendala bagi kepemimpinan perempuan. Selain affirmative action di tingkat legislatif,

partai politik harus memiliki komitmen terhadap kesetaraan dan menjamin bahwa jumlah

perempuan mencapai 50% dari keanggotaan partai, pemimpin, pejabat komite, dan calon

legislatif.

1. Pembentukan Aliansi

Pengalaman di India, Afrika Selatan, Uganda, serta di negara-negara industri

menunjukkan pentingnya membangun aliansi antar aktor di pemerintah lokal, nasional,

sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan.

Proses pembangunan aliansi itu membutuhkan mitra untuk bekerjasama dalam berbagai isu

di semua aspek pemerintahan. Peran negara adalah memperbaiki kebijakan, semacam

affirmative action untuk mencapai kesetaraan gender di struktur pemerintahan. Kekuatan

masyarakat sipil terletak pada langkah-langkah yang akan meningkatkan kualitas

partisipasi politik perempuan, seperti pelatihan, lobi dan kerja lapangan. Keduanya

mempengaruhi sektor swasta, perempuan sudah menempati posisi manajemen senior

perusahaan. Mungkin yang lebih penting lagi adalah bahwa perempuan di seluruh dunia

semakin banyak yang menjadi pengusaha, baik usaha kecil maupun usaha menengah,

terutama pada bidang jasa dan retail yang modal awalnya lebih kecil daripada modal untuk

membangun bisnis manufaktur atau bisnis lain, dan e-commerce menawarkan keuntungan

tertentu.

Hampir di semua negara dibutuhkan penciptaan hubungan yang positif antara

politisi dan masyarakat sipil dan saling berbagi antara perempuan di berbagai bidang untuk

membentuk strategi pelengkap. Di samping itu keterlibatan dengan kelompok-kelompok

agama juga perlu untuk membangun dialog mengenai ketidaksetaraan gender dengan

pemimpin agama, terutama bila menyangkut interpretasi ayat suci yang menghambat

partisipasi perempuan.

10 Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 34, Cetakan Pertama Maret 2004, hal. 113

Page 12: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

76

Secara keseluruhan, membangun aliansi menjadi mekanisme yang efektif untuk:

Pertukaran informasi mengenai pengalaman perempuan dalam mengidentifikasi

syarat-syarat yang diperlukan untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan

diantara berbagai aktor pemerintahan.

Dialog antar semua aktor untuk meningkatkan dampak dari partisipasi politik

perempuan.

Membangun akuntabilitas perempuan diantara berbagai konstituen.

2. Pembagian Peran

Usaha membangun aliansi dan kerjasama khusus diperlukan untuk mengubah

persepsi yang menyangkut kepemimpinan perempuan, terutama dengan menyebarkan

informasi kepemimpinan perempuan yang kredibel, efektif, dan lebih baik daripada laki-

laki di berbagai bidang dan di seluruh lapisan masyarakat. Semua perempuan harus

mengetahui bahwa sebagai pemimpin, ia harus bergelut dengan tanggung jawab dan

mengutamakan dunia publik. Sebagai pribadi bahwa pemimpin perempuan juga menjadi

orang tua dan ibu rumah tangga, seperti halnya perempuan pedagang atau pengusaha.

Manusia, tak peduli laki-laki maupun perempuan, memainkan peran berbeda pada saat

yang berbeda. Perempuan masih cenderung lebih menghargai kontribusinya di ruang

pribadi dan peran sukarela (tidak dibayar) daripada aspek-aspek yang terkait dengan

lingkup sosial.

Peran media massa juga menentukan. Diperlukan dialog proaktif dan terus menerus

antara pemimpin perempuan dan lobi-lobi perempuan ke media massa. Hal itu tidak hanya

untuk menyoroti kepemimpinan perempuan saja, tetapi juga untuk meliput isu-isu yang

menyangkut ketimpangan gender, mulai dari perkawinan di bawah umur hingga alokasi

anggaran reset kesehatan. Contoh lain adalah perhatian besar yang diberikan oleh media

massa pada masalah perdagangan obat terlarang dalam skala nasional maupun

internasional. Sebaiknya perhatian itu tidak hanya pada dampak negatifnya terhadap

perempuan dan peranannya, tetapi juga pengalihan dana dari masalah pembangunan yang

lebih vital.

3. Merangkul Generasi Muda

Dapat disimpulkan bahwa upaya-upaya di atas masih menempatkan perempuan

dewasa sebagai sasaran. Namun untuk melangkah ke masalah bias gender yang sudah

terjadi selama dua milenium itu, kita tidak boleh melupakan pengkondisian awal. “Anak

adalah bapak setelah dewasa”, kata penyair Inggris William Wordsworth. “Beri aku anak,

hingga ia berumur enam tahun”, kata tokoh Jesuit Ignatius Loyola, “dan aku jadikan dia

laki-laki”. Kedua pendapat itu berlaku pula untuk perempuan. Bila pendidikan politik dan

peranan perempuan diberikan setelah mereka dirancukan oleh peran perempuan yang lain,

mengurus rumah dan kegiatan ekonomi (yang dibayar maupun tidak, di dalam atau di luar

Page 13: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

77

rumah), transformasi sistem politik akan tetap berjalan lambat, mungkin baru tercapai

seabad atau satu milenium kemudian.

4. Ada perwakilan perempuan menjadi pemegang kebijakan baik yang duduk di legislatif

maupun di eksekutif serta yudikatif.

Ada perempuan yang menjadi wakil perempuan baik dalam legislatif maupun di

eksekutif serta yudikatif sangat membantu kemajuan perempuan dalam mewujudkan

kesetaraan gender dan memberikan peran yang sangat penting dalam mendorong

affirmative action dalam rangka menciptakan demokrasi yang sebenarnya.11

5. Menjadi pendorong kebijakan dengan memaksimalkan wadah-wadah yang ada untuk

mengawal, memperjuangkan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak melalui

penerapan anggaran yang responsif gender.

Strategi untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam proses penganggaran dan

menerjemahkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender ke dalam

komitmen anggaran yang meliputi seperangkat alat/instrument dampak belanja dan

penerimaan pemerintah terhadap gender.

Berikut ini Kategori Anggaran Responsive Gender:12

i. Alokasi anggaran gender “ Spesific gender” → belanja yang diperlukan bagi

perempuan atau laki-laki dalam komunitas untuk memenuhi kebutuhannya

khususnya. Contoh : alokasi anggaran untuk kesehatan reproduksi perempuan,

alokasi anggaran untuk penyediaan alat kontrasepsi laki-laki, alokasi anggaran

untuk pap smears, alokasi untuk kanker prostat, alokasi untuk sunnatan missal.

ii. Alokasi anggaran gender untuk meningkatkan kesempatan setara dalam pekerjaan

→ sebagai affirmative action untuk mewujudkan kesempatan yang setara antar laki-

laki dan perempuan terutama dalam lingkungan pemerintahan atau dunia kerja

lainnya. Contoh: alokasi anggaran untuk pelatihan teknologi pertanian bagi

perempuan, alokasi anggaran untuk fasilitas penitipan anak di tempat kerja.

iii. Alokasi anggaran umum yang mainstreaming → alokasi anggaran umum yang

menjamin agar pelayanan public dapat diperoleh dan dinikmati oleh semua anggota

masyarakat (laki-laki dan perempuan)→ alokasi anggaran untuk penyediaan

fasilitas WC Umum yang proporsional terhadap jumlah pengguna (3 perempuan, 2

laki-laki), alokasi anggaran untuk gerbong terpisah bagi laki-laki dan perempuan,

dll.

11 Sutjipto, Ani., 2000., “Hak Politik Wanita dalam Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita”

(T.O. Ihromi ed) Alumni Bandung, hal. 113 12 UNDP, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad 21, Edisi

Bahasa Indonesia, Jakarta, UNDP, 2003

Page 14: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · Antara Tantangan dan Harapan Oleh: Mila Karmilah1 ... mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

78

6. Proses partisipasi mulai dari need assessment (pemetaan kebutuhan masyarakat)

sampai dengan advokasi) dengan melibatkan perempuan basis.

Meskipun secara formal telah ada proses perencanaan partisipatif yang melibatkan

masyarakat mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota kabupaten, namun

pelaksanaannya hanya bersifat formalitas karena rendahnya tingkat akomodasi usulan

masyarakat di APBD dengan alasan dana pemerintah terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. “Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik Tantangan

Abad 21” United Nation Development Programme. 2003.

Anonimous. Laporan Final Interim “Pendidikan Pemilih dan Pemilu: Meningkatkan

Partisipasi Politik Perempuan di Jawa Tengah” PSG-UKSW Salatiga. 2009.

Anonimous. “Survey Profil Caleg Perempuan Pemilu 2009” Patnership for Governance

Reform in Indonesia Jakarta. 2009.

Amartya Sen. “More than 100 Million are Missing”, New York Review of Books. 1990.

Amartya Sen. “Development as freedom”, Alfred A Knopf, New York.

Miriam Budiarjo. “Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai” Yayasan Obor

Jakarta. 1999.

Henrietta Moore. ” Feminism and Antropology” Cambridge Polity Press, Cambridge.

1988.

Ani Sutjipto. “Hak Politik Wanita dalam Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita”

(T.O. Ihromi ed) Alumni Bandung. 2000.

Romany Sihite. “Perempuan Kesetaraan dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan

Gender” Raja Grafindo Perkasa Jakarta. 2007.

Heri Setiono. “Gender dan Demokrasi” Averroes Press Malang. 2008.

Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 46 Cetakan Pertama, Maret 2006.

Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 34, Cetakan Pertama Maret 2004.

UNDP, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad

21, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, UNDP, 2003.

UNIFEM Kantor Regional Asia selatan & Centre for Womens Research (Cenwor),

CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

Perempuan, Agustus 2004.