20
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 33 DINAMIKA OTORITAS KHARISMATIK KIAI DALAM PROSES POLITIK (Kajian Sosiologis tentang Ketaatan Masyarakat kepada Kiai dalam PILBUP Kudus Tahun 2013) Saifudin 1 Abstract The involvment of Kiai in the practical politics either as vote-getter”, “elective political leader” or political player” has accured since regional autonomy policy enforced. It is on the one side gave the dakwah benefits and the other side culturally, conflict of interest has accured and so that the relationship between the Kiai and communities disrupted. Most elections in any region demonstrated that Kiai has special place in the election. But in Kudus just the opposite, the leader candidate from santri actually lose in the election of 2009 and 2014. This study has found most realities how dinamics of obedience to Kiai was demonstrated in practical local politics. There are three kinds of obedience dinamics, the first there is friction obedience to Kiai, second the friction related with the typologies of Kiai in Kudus, third there are saveral kinds of obedience based on religious life domain, social life domain, and political life domain, with porsion of diverse. Keywords: Kiai, Obedience, local politics A. Pendahuluan Corak masyarakat Kudus yang santri, meminjam istilah Clifford Geertz, dengan struktur sosial yang jelas sesuai tipologi masyarakat santri, kurang dapat menemui relevansinya dengan teori masyarakat santri dimana Kiai menjadi figure yang harus ditaati dalam segala aspek kehidupan. Kenyataan tersebut paling tidak bisa direkam dalam fenomena Pemilihan Bupati Kudus tahun 2013, dimana pasangan yang diusung oleh sebagian besar Kiai di kabupaten Kudus kalah dalam proses politik tersebut. Jika dirunut pada sejarah peran Kiai dalam politik praktis di Indonesia, tentunya fenomena politik di Kabupaten Kudus ini tidak sepenuhnya relevan dengan apa yang telah dikaji oleh beberapa peneliti sebelumnya, seperti temuan Bambang Purwoko (2006) 2 , atau juga Sidik Jatmika (2005) 3 1 Penulis adalah Dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus 2 Bambang Purwoko, “Perilaku Politik Elit Agama dalam Dinamika Politik Lokal”,dalam Focus Groups Discussion (FGD), “ Perilaku Elit Politik dan Elit Agama dalam Pilkada di kabupaten Kulonprogo, diselenggarakan oleh LABDA Shalahuddin, JPPR, dan The Asia Foundation, Yogyakarta 3 Agustus 2006 3 Sidik Jatmika, “Kiai dan Politik Lokal, Studi Kasus Reposisi Politik Kiai NU Kebumen Jawa Tengah Memanfaatkan Peluang Keterbukaan Partisipasi di Era Reformasi”, Disertasi Program Doktor Sosiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2005.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

33

DINAMIKA OTORITAS KHARISMATIK KIAI DALAM PROSES POLITIK

(Kajian Sosiologis tentang Ketaatan Masyarakat kepada Kiai

dalam PILBUP Kudus Tahun 2013)

Saifudin1

Abstract

The involvment of Kiai in the practical politics either as “vote-getter”, “elective

political leader” or “political player” has accured since regional autonomy policy enforced.

It is on the one side gave the dakwah benefits and the other side culturally, conflict of

interest has accured and so that the relationship between the Kiai and communities

disrupted.

Most elections in any region demonstrated that Kiai has special place in the

election. But in Kudus just the opposite, the leader candidate from santri actually lose in

the election of 2009 and 2014. This study has found most realities how dinamics of

obedience to Kiai was demonstrated in practical local politics. There are three kinds of

obedience dinamics, the first there is friction obedience to Kiai, second the friction related

with the typologies of Kiai in Kudus, third there are saveral kinds of obedience based on

religious life domain, social life domain, and political life domain, with porsion of diverse.

Keywords: Kiai, Obedience, local politics

A. Pendahuluan

Corak masyarakat Kudus yang santri, meminjam istilah Clifford Geertz, dengan

struktur sosial yang jelas sesuai tipologi masyarakat santri, kurang dapat menemui

relevansinya dengan teori masyarakat santri dimana Kiai menjadi figure yang harus ditaati

dalam segala aspek kehidupan. Kenyataan tersebut paling tidak bisa direkam dalam

fenomena Pemilihan Bupati Kudus tahun 2013, dimana pasangan yang diusung oleh

sebagian besar Kiai di kabupaten Kudus kalah dalam proses politik tersebut. Jika dirunut

pada sejarah peran Kiai dalam politik praktis di Indonesia, tentunya fenomena politik di

Kabupaten Kudus ini tidak sepenuhnya relevan dengan apa yang telah dikaji oleh beberapa

peneliti sebelumnya, seperti temuan Bambang Purwoko (2006)2, atau juga Sidik Jatmika

(2005)3

1 Penulis adalah Dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus 2 Bambang Purwoko, “Perilaku Politik Elit Agama dalam Dinamika Politik Lokal”,dalam Focus Groups

Discussion (FGD), “ Perilaku Elit Politik dan Elit Agama dalam Pilkada di kabupaten Kulonprogo,

diselenggarakan oleh LABDA Shalahuddin, JPPR, dan The Asia Foundation, Yogyakarta 3 Agustus 2006 3 Sidik Jatmika, “Kiai dan Politik Lokal, Studi Kasus Reposisi Politik Kiai NU Kebumen Jawa Tengah

Memanfaatkan Peluang Keterbukaan Partisipasi di Era Reformasi”, Disertasi Program Doktor Sosiologi

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2005.

Page 2: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

34

Pada masa reformasi, peran Kiai dalam politik praktis yang begitu terbuka

dibandingkan dengan periode sebelumnya, tidak selamanya mendapatkan respon positif

dari masyarakat. Apa yang digambarkan oleh Jatmika dalam Pilkada Kebumen tahun

2000, dimana Kiai mendapatkan tempat strategis tidak hanya sebagai penjaring suara (vote

getter), tetapi juga sebagai pemimpin politik (elective-political leader), dan juga pemain

politik (political player), berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Pilkada Kabupaten

Kudus tahun 2013. Pada Pilkada Kabupaten Kudus tahun 2013 posisi Kiai sebagai vote-

getter “dalam meloloskan calon dari kalangan santri sangat tidak signifikan”. Pasangan

calon nomor satu yakni, Ir Tamsil, MT dan Drs. Asyrofi Masito, sebagai representasi

masyarakat santri ternyata tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat Kudus yang santri.

Hal ini juga pernah terjadi pada pilkada langsung pertama tahun 2009 dimana pasangan

KH. Amin Munadjat dan Akhwan Sukandar gagal menempati posisi Bupati Kudus.

Fenomena perilaku politik elit lokal (Kiai) seperti yang dipaparkan di atas tentu saja

menjadi realitas yang sangat menarik untuk dikaji, terutama ketika dikaitkan dengan

polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah

Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa kepentingan utama Kiai dalam

proses politik adalah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar”, atau dengan kata lain

menjalankan fungsinya sebagai juru dakwah (da’i). Posisi strategis Kiai dalam masyarakat

santri sebagai elit lokal memungkinkan untuk melakukan transformasi sosial tersebut,

sebagai tujuan dakwah, karena karakter masyarakat santri adalah selalu taat kepada Kiai

yang dianggap sebagai pewaris para nabi (waratsatul ambiya).

Kenyataan tersebut di atas menjadi problematis, ketika arus pragmatisme politis

menerpa kehidupan politik di era reformasi. Syahwat politik yang begitu menggiurkan

sedikit banyak menggiring orientasi politik elit lokal (Kiai) kepada pilihan-pilihan posisi

politik yang bersifat pragmatis. Keberpihakan pada satu partai politik, keterlibatan secara

langsung dengan politik praktis seperti mencalonkan diri pada jabatan kepala daerah atau

legislatif, adalah satu fenomena yang sangat biasa di era reformasi. Sementara itu di satu

sisi tedapat pula elit lokal (kiai) yang masih konsisten dengan dunia dakwahnya lewat

pendidikan dan tidak secara langsung terlibat, bahkan tidak peduli dengan hiruk pikuk

reformasi politik yang berkembang di masyarakat. Dengan kata lain, terdapat variasi sikap

yang diambil oleh para Kiai dalam menyikapi perkembangan politik praktis di Negara ini.

Apa yang digambarkan oleh Miftah Faridh4, mungkin bisa menggambarkan

bagaimana variasi sikap politik para Kiai dalam konstelasi politik nasional yang didasarkan

pada persepsi teologis yang diambil oleh Kiai dan Masyarakatnya. Secara spesifik perilaku

sosial politik Kiai terlihat dari kelenturan sikap politik yang diperankannya. Kiai dengan

latar sosioreligius kelompok modernis memeiliki sikap yang cenderung tertutup dengan

4 Baca dalam Miftah Faridh, “Peran Sosial politik Kiai di Indonesia, Jurnal SOSIOTEKNOLOGI, edisi

11 Tahun 6 Agustus 2007, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Bandung 2007.

Page 3: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

35

mendasarkan pada pemahaman tekstual kitab al Qur’an dan al Hadits. Sementara itu Kiai

dengan latar sosioreligius kelompok tradisionalis pada umumnya lebih mendasarkan

argumentasinya pada pemaknaan terhadap konteks secara lebih bebas, sehingga memiliki

sikap yang cenderung lentur dan terbuka. Kelenturan dan keterbukaan inilah yang

barangkali sangat mempengaruhi polarisasi ketaatan masyarakat kepada kiainya yang

cenderung tidak konsisten dalam berpolitik praktis.

Variasi persepsi teologis para kiai dalam urusan sosial politik tersebut mau tidak mau

berimplikasi pada sikap dan ketaatan masyarakat pada figur seorang Kiai. Apa yang terjadi

dalam proses pemilihan Bupati Kudus tahun 2013 menunjukkan kecenderungan tersebut.

Data yang dihimpun oleh Lembaga Kajian Agama,Sosial, Budaya dan Filsafat (eL-Kasyf)

terhadap proses pemilihan Bupati Kudus Menunjukkan minimnya pengaruh elit lokal

(Kiai) dalam menentukan pilihan masyarakat pada masing-masing pasangan calon. Alasan

yang terkait dengan ketaatan pada Kiai 4,4%, masih kalah dengan alasan pragmatis, yakni

memilih yang mau memberikan uang lebih 7,0%.

Sedikitnya angka hasil survey Kiai dijadikan alasan memilih calon Bupati

dibandingkan dengan alasan-alasan lain yang lebih rasional menunjukkan bahwa terdapat

pergeseran ketaatan masyarakat terhadap elit lokal (kiai) dalam dimensi politik.

Kemungkinan yang kemudian timbul adalah ketaatan tersebut luntur dalam satu dimensi

(politik) saja, atau kemungkinan lain, ketaatan masyarakat sudah mulai meluntur merembet

ke dalam dimensi-dimensi yang lain, seperti dimensi sosial, ekonomi atau bahkan ke dalam

dimensi religiusitas. Jika semua ini terjadi, maka impilkasi yang harus ditanggung adalah

medan dakwah Kiai yang semakin menyempit seiring dengan memudarnya legitimasi Kiai

sebagai elit lokal.

Upaya untuk menegaskan dinamika ketaatan masyarakat terhadapa elit lokal (Kiai)

dapat ditelusuri melalui beberapa asumsi, pertama dari sisi internal Kiai terdapat beberapa

persepsi teologis mengenai proses politik praktis yang terjadi. Persepsi teologis ini

melahirkan beberapa variasi tindakan Kiai dalam proses politik, mulai dari tindakan diam

dan apatis hingga menjadi pemaian politik (political player) sebagai calon eksekutif atau

calon legislatif. Kedua tindakan Kiai yang variatif terhadap proses politik tersebut

berimplikasi pada keanekaragaman sikap dan dinamika relasi antara Kiai dengan

masyarakat sebagai patron dan klien. Hal ini berujung pada jangkauan medan dakwah para

Kiai, bisa melebar atau juga semakin menyempit. Permasalahan yang kemudian patut

diajukan dalam penelitian ini adalah pertama, Bagaimana persepsi teologis dan perilaku

politik Kiai dalam pilbup Kudus tahun 2013?. Kedua, Bagaimana implikasi persepsi

teologis dan perilaku politik tersebut terhadap ketaatan Masyarakat pada Kiai di Kudus ?

B. Signifikansi Penelitian

Penelitian ini sebetulnya adalah bagian kecil dari upaya untuk mengungkap realitas

sosiologis hubungan antara elit lokal (Kiai) dengan massa (masyarakat) sebagai bentuk

Page 4: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

36

relasi yang tidak statis dalam proses perubahan sosial khususnya dalam dinamika politik di

Indonesia. Meskipun telah banyak kajian tentang relasi Kiai dan Masyarakat dalam ranah

politik Praktis, namun pada umumnya banyak membahas tentang memudarnya kharisma

Kiai secara massif dalam berbagai dimensi (sosial, budaya, dan agama), atau sebaliknya,

semakin kuatnya posisi kiai dalam berbagai dimensi kehidupan sosial. Masih sangat sedikit

penelitian yang membahas tentang relasi Kiai dan masyarakat dipandang dari sudut

ketaatan dalam berbagai aspek kehidupan.

Satu hal yang paling penting dalam penelitian ini adalah ada upaya untuk

mengungkap realitas yang variatif persepsi teologis Kiai terhadap proses politik yang

terjadi di kabupaten Kudus dengan latar belakang masyarakat santri yang membingkainya.

Disamping itu pergeseran ketaatan masyarakat terhadap Kiai dalam proses politik juga

menjadi tujuan penting untuk diungkap, karena sejauh apapun Kiai terlibat dalam proses

politik praktis, posisi mereka tetap dianggap sebagai Kiai yang secara kultural mempunyai

posisi strategis dalam dakwah Islam. Konsekwensi logisnya adalah terjadi dinamika atau

pergeseran medan dakwah di tengah-tengah masyarakat, apakah semakin melebar ataukah

semakin menyempit.

C. Diskursus Kiai dalam Politik Nasional

Telah banyak kajian tentang Kiai, mulai dari genealogi keilmuannya hingga relasi

sosial yang dibangun dalam bingkai sosial dan kultur yang beraneka ragam. Kiai yang

dalam khazanah sosiologis dianggap sebagai elit yang menempati struktur sosial sangat

tinggi, merupakan kepanjangan tangan dari alim ulama’ sebagai pewaris para nabi

(waratsatul ambiya). Dengan posisi yang sangat startegis itulah relasi sosial dan kultural

Kiai, menjadi magnet kajian tersendiri dari para ilmuan baik lokal maupun internasional.

Kajian Clifford Geertz, misalnya mengilustrasikan kiai sebagai makelar budaya (cultural

broker) yang mentransfer informasi yang datang dari teks-teks suci dan penafsirannya,

kepada masyarakat sebagai ummatnya.5

Peran Kiai sebagai makelar budaya menurut Geertz adalah berposisi sebagai

pembendung dampak negatif arus budaya luar yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat

tradisional Jawa, dengan membawa resiko derasnya arus budaya yang masuk akan jauh

melampaui kapasitas kerja bendungan yang dimiliki oleh Kiai. Jika resiko tersebut terjadi

maka Kiai akan mengalami disfungsi otoritas, karena perannya yang tidak bisa berfungsi

secara maksimal. Pendapat Geertz ini agak berbeda dengan hasil penelitian Hiroko

Horikoshi di Garut.6

Dalam pandangan Horikoshi, Kiai yang sering disebut ajengan di daerah Garut, tidak

hanya pasif sebagai pembendung arus budaya yang datang dari luar, seperti yang paparkan

5 Periksa dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri,Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan, Pustaka

Jaya, Jakarta 1983. Hal 244 6 Lihat dalam Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta 1987 hal. 02

Page 5: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

37

oleh Geertz, tetapi sebagai mediator, Kiai justru berperan aktif dalam menyeleksi nilai-nilai

positif yang seharus dikembangkan oleh masyarakat. Kiai merumuskan skala prioritas

sendiri atas perubahan masyarakat dan mengembangkan kepeloporan mereka dalam proses

perubahan. Dalam posisi seperti ini ada gerakan kultural (cultural revival), meskipun tidak

secara frontal.

Peneliti lain yang secara serius membahas tentang Kiai adalah Zamakhsari Dhofier.

Dalam tulisannya yang dikutip oleh Khoiro Ummatin, dijelaskan bahwa peran Kiai

pesantren sangat kuat di berbagai aspek, bahkan di kalangan pesantren telah dibangun

tradisi melalui sistem kekerabatan Kiai pesantren baik melalui genealogi sosial Kiai,

jalinan aliansi perkawinan, genealogi intelektual dan aspek hubungan antara guru dan

murid atau kiai dengan santri, sehingga melahirkan jaringan sosial yang sangat kuat di

dalam tradisi pesantren.7

Di dalam dinamika politik nasional, pembahasan tentang partisipasi dan perilaku

politik Kiai tentu saja tidak terpaku pada Kiai pesantren saja, karena ternyata banyak fakta

yang mengatakan bahwa Kiai di Jawa terdiri dari berbagai macam jenis. Jika kita

mendefinisikan Kiai sebagai ulama yakni seseorang yang memiliki pengetahuan agama,

yang dalam berbagai bentuknya melayani kebutuhan spiritual ummat, maka dalam sejarah

Jawa pada abad ke 19, seperti dijelaskan oleh Martin Van Bruinessen8, Ulama atau Kiai

terbagi menjadi dua kategori. Pertama, Ulama Pemerintah (penghulu) yang menjalankan

tugasnya di pengadilan atau di pusat pemerintahan sebagai hakim, pengurus masjid, dan

lain-lain. Kedua, para guru independen (Kiai pesantren dan Kaii muballigh), yang biasanya

secara hati-hati menjaga jarak geografis dan sosial dengan pemerintah.

Ragam tipologi Kiai lebih rinci dapat dilihat dalam kajian Endang Turmudi,9 yang

cenderung membedakan antara ulama dan Kiai. Menurut Turmudi, ulama adalah istilah

yang lebih umum dan merujuk pada seorang muslim yang berpengetahuan. Seorang ulama

secara jelas memiliki peran dan fungsi sebagai cendekiawan penjaga tradisi yang dianggap

sebagai dasar identitas primordial individu dan masyarakat. Sedangkan Kiai dalam

masyarakat Jawa khususnya di Jawa timur lebih dikaitkan dengan aspek genealogis

(pewarisan), khususnya bagi mereka yang menjalankan pesantren. Pola pewarisan kekiaian

ini lebih disebabkan karena peran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengelola

pesantren, disamping juga kepemilikan keilmuan Islam yang mumpuni.

Lebih lanjut Turmudi menjelaskan bahwa terdapat beberapa tipologi Kiai dalam

masyarakat Jawa, diantaranya adalah ada Kiai pesantren, Kiai tarekat, Kiai politik, dan

Kiai panggung. Tipologi yang demikian itu didasarkan pada kegiatan-kegiatan khusus

7 Lihat dalam Khoiro Ummatin, Perilaku Politik Kiai, Pustaka Pelajar Yogyakarta 2002, hal 17 8 Periksa dalam Martin Van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Yayasan Bentang Budaya,

Yogyakarta 1998 hal.180 9 Lebih lanjut baca Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKiS, Yogyakarta 2004 hal.

28-34

Page 6: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

38

mereka dalam mengembangkan agama Islam. Kiai tarekat memusatkan kegiatannya pada

pembangunan batin (dunia hati) umat Islam. Apa yang disebut dengan Kiai panggung

menurut Turmudi adalah para Da’i. mereka menyebarkan pengetahuan keislaman melalui

kegiatan dakwah. Dinamika kaum santri dalam peta sosial politik nasional hampir identik

dengan dinamika Indonesia sebagai bangsa. Perubahan perilaku santri bisa menjadi

petunjuk untuk melihat arah perubahan kebangsaan Indonesia yang selanjutnya memberi

petunjuk perubahan dunia pesantren. Karena itu seiring berbagai perubahan kebangsaan,

perilaku santri tampak berubah secara berarti, seperti yang dialami pesantren.10

Moh Ali Aziz dalam karyanya “dinamika kepemimpinan kiai di pesantren”,

mengatakan bahwa kepemimpinan Kiai di pesantren mengalami perkembangan ke arah

yang lebih demokratis dan partisipatif sesuai dengan perkembangan pola pendidikan dan

ilmu pengetahuan. Anggapan masyarakat mengenai sosok ulama telah bergeser yang pada

gilirannya mengarah pada kepercayaan masyarakat atas kepemimpinan kiai di pesantren

yang selama ini dianggap masih menerapkan pola kharismatik.11 Pendapat tersebut selaras

dengan pendapat Marzuki Wahid yang menegaskan bahwa dengan kekuatan kharisma dan

pengetahuan keagamaannya, kiai dan lembaga pesantrennya tidak saja melayani

pendidikan rakyat, dakwah keagamaan, pendampingan dan pembelaan pada kaum yang

tertindas tetapi juga menjadi pemain politik yang cantik diatas panggung kekuasaan.12

Potensi besar yang dimiliki oleh Kiai dalam berpolitik praktis memang tidak bisa

dilepaskan dari tiga pilar penopang, yaitu pertama, potensi internal Kiai (kemampuan dan

garis keturunan). Kedua, kuatnya jaringan Kiai dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU),

dan yang ketiga, kontribusi yang besar dari NU kepada Kiai yang berperan dalam politik

praktis. Tiga pilar tersebut setidaknya sangat nyata terlihat pasca orde baru runtuh.

Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dibidani oleh para Kiai NU, terbukti

mampu menempatkan para Kiai pada posisi strategis dalam konstelasi politik nasional

maupun di daerah. Puncaknya adalah ketika seorang tokoh KH. Abdurrahman Wahid

menjadi presiden ke 4 di Indonesia, maka citra Kiai dalam kancah politik nasional semakin

mencolok.

Pasca lengsernya KH Abdurrahman Wahid dari kepresidenan, terjadi beberapa

konflik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang diklaim sebagai kendaraan politik

warga NU. Konflik- konflik yang berkepanjangan ini mengakibatkan pergeseran loyalitas

kepada partai NU, terutama di kalangan masyarakat bawah. Simpang siur kepemimpinan

dan kebingungan dalam menentukan siapa yang layak jadi pemimpin partai, akhirnya

menggiring massa partai yang mayoritas adalah kaum santri, menuju sikap apatis terhadap

10 Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, PT Bina Ilmu, Surabaya 1994 hal.8 11 Moh Ali Aziz, Dinamika Kepemimpinan Kiai di Pesantren, IAIN Sunan Ampel, Jurnal Ilmu Dakwah

vol. 7 no.1 April 2002, hlm. 75 12 Marzuki Wahid, Metaformosis Pesantren, Lektur STAIN Pres , Cirebon 2000, hlm. 367

Page 7: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

39

politik. Kenyataan seperti ini dapat dilihat dari hasil pemilihan kepala daerah yang selalu

gagal dimenangkan oleh calon yang diusung oleh PKB.

Kegagalan-kegagalan dalam proses politik yang dialami oleh kaum santri ini dipicu

oleh beberapa factor. Diantaranya adalah pertama, meskipun pemilihan kepala daerah

maupun kepala Negara adalah mutlak di tangan rakyat secara langsung, tetapi politik

oligarkis tetap mewarnai proses demokratisasi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan

ketidaksesuaian pilihan masyarakat yang dalam hal ini masyarakat santri dengan calon

yang diusung oleh partai yang dianggap representasi dari kaum santri. Kedua, pragmatism

dalam proses politik telah menjalar ke tengah-tengah masyarakat, tidak terkecuali kaum

santri. Ketiga, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap elit politik, karena

ketidakmampuan elit politik dalam menyelesaikan konflik internal yang ada di tubuh partai

politik.

D. Otoritas dan Ketaatan: Sebuah Ikhtiar Pemahaman Teoritik

Istilah otoritas dalam khazanah sosiologis selalu dikaitkan dengan tesis Max Weber

tentang konsep legitimasi. Menurut Weber, sumber legitimasi pada dasarnya datang dari

tiga tipe otoritas yaitu pertama, otoritas rasional, yakni otoritas yang didasarkan pada

kepercayaan terhadap pola tatanan yang dijunjung tinggi (otoritas legal). Kedua, otoritas

tradisional, yakni otoritas yang didasarkan pada pelestarian kepercayaan dan tradisi suci

dalam waktu yang cukup lama, dan yang ketiga, otoritas kharismatik, yakni otoritas yang

didasarkan pada ketaatan atau kesetiaan yang diberikan kepada figur suci, orang yang

mempunyai kelebihan, atau secara normatif diberikan kepada figur yang dianggap

terpercaya.13

Dalam konteks otoritas Kiai yang terjadi di Jawa, otoritas kharismatik seringkali

dipakai oleh para peneliti untuk mendiskripsikan ketaatan santri kepada Kiainya, karena

dianggap sebagai sosok yang mempunyai kharisma. Istilah kharisma bisa diberlakukan

pada suatu kualitas pribadi individu tertentu yang memungkinkan adanya pertimbangan

yang istimewa, terdapat perlakuan kepada sosok yang diberkati, sehingga individu tersebut

layak untuk dijadikan sebagai pemimpin.14 Sekalipun demikian tidak semua pemimpin

mempunyai kharisma. Menurut Weber, kharisma tidak semata-mata sifat kepribadian

pemimpin, karena kharisma lebih merupakan hasil hubungan sosial (sosial relationship).

Seseorang dianggap sebagai kharismatik karena ia mendapat limpahan rahmat, tindakan-

tindakan yang luar biasa, penampilan yang mempesona, dan lain sebagainya. Maka dari itu

penerimaan otoritas kharismatik tersebut bukan merupakan ketaatan yang bersifat rasional.

Tipologi otoritas sebagaimana yang dijelaskan oleh Weber memang hanyalah

seperangkat tipe ideal (ideal type) yang masing-masing mempertalikan secara logis “tipe

13 Periksa dalam Charles Lemert, Sosial Theory, The Multikultural and Classic Reading, Westview

Press. Oxford 1999 hal. 119 14 Baca dalam Roderick Martin, Sosiologi kekuasaan, Rajawali Press Jakarta 1990 hal.148

Page 8: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

40

murni” yang secara empiris tidak ditemukan. Pada tataran empiris, hubungan otoritas

dalam masyarakat biasanya merupakan hasil campuran dari berbagai bentuk pengesahan

yang ada (rasional, tradisional, dan kharismatik). Sebuah campuran yang sepenuhnya

tergantung pada sifat, system sosial, dan hubungan-hubungan khusus di dalamnya.

Sekalipun tipologi otoritas yang dibuat oleh Weber ini syarat dengan keterbatasan, tetapi

tipologi tersebut tetap merupakan pijakan yang paling baik untuk mengupas masalah

otoritas.

Masalah otoritas selalu terkait dengan bentuk hubungan sosial (social relationship)

yang timpang. Ketimpangan relasi sosial tersebut dapat diakibatkan dari startifikasi sosial

yng terbentuk atau sistem sosial yang terbangun dalam sebuah masyarakat. Hubungan Kiai

sebagai elit lokal dengan masyarakat santripun memuat keragaman bentuk. Di dalam

pandangan para teoritisi struktural fungsional, posisi personal dalam sebuah bangunan

sosial sangat ditentukan oleh sejauh mana dia memberikan kontribusi kepada sistem sosial.

Semakin banyak peran yang dipegang oleh seseorang maka semakin besar fungsi seseorang

dalam memberikan kontribusi, sehingga secara sosiologis dia menempati kelas sosial yang

lebih tinggi dibanding dengan yang lain. Jika teori sistem sosial peran seseorang selalu

selaras dengan status sosial yang dimilikinya, maka teori konflik menyatakan peran

seseorang ditentukan oleh seberapa kuat dia memperjuangkan kelas sosialnya.

Ulasan Dahrendorf tentang anatomi konflik yang menyinggung tentang otoritas

memang lebih berbicara mengenai struktur sosial, dimana otoritas terletak pada posisi

seseorang, dan bukan karena pribadi seseorang. Dalam kenyataan empiris, pandangan

masyarakat secara makro tersebut terkadang kurang relevan, karena pemegang otoritas bisa

datang dari pribadi tertentu, karena pribadi tersebut secara personal memiliki sumber daya

(resources). Seorang Kiai dalam masyarakat Jawa memiliki otoritas kharismatik karena

mempunyai kelebihan dibanding dengan yang lain. Kelebihan tersebut bisa berupa

pengetahuan, keturunan, atau sumber daya budaya lainnya. Jadi ketaatan masyarakat santri

kepada Kiai bukan karena Kiai yang diangkat oleh masyarakat, tetapi secara kultural

ketaatan tersebut terbangun karena sumber daya kultural (cultural resources) yang dimiliki

oleh Kiai.

Barangkali inilah yang membedakan antara teori otoritas yang dimaksud oleh

kalangan neo-marxian dengan otoritas yang dimaksud oleh kalangan teoritisi Weberian.

Salah satu teoritisi yang banyak mengadopsi pendapat Weber adalah Pierre Bourdieu,

seorang sosiolog budaya asal Prancis. Di dalam mengulas tentang proyek habitus,

Bourdieu menyinggung tentang apa yang disebut dengan modal budaya (kultural capital)15

. Modal budaya dalam pandangan Bourdieu adalah satu arena dimana seseorang

mendapatkan artefak-artefak budaya (literature, pengetahuan, karya seni, dan lain-lain),

15 Bandingkan dalam Charles Lemert, Sosial Theory, The Multikultural and Classic Reading, Westview

Press. Oxford 1999 hal. 445

Page 9: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

41

untuk me-legitimasi “distingsi” (perbedaan yang dianggap alamiah). Modal budaya

memungkinkan seseorang mendapatkan serta mengendalikan symbol-simbol budaya untuk

direpresentasikan dan direproduksi, sehingga dapat mempertahankan kelas sosialnya.

Perubahan sosial dan budaya dalam kajian Bourdieu selalu terkait dengan hubungan

timbal balik antara produser budaya (cultural Producers) dan konsumen budaya (cultural

consumers). Layaknya sebuah pasar, terdapat penawaran (supply) dan permintaan

(demand) simbol-simbol budaya, dan ada kompetisi di dalam pasar kebudayaan (culture

market), sehingga kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat dinamis dalam

perkembangannya.16 Jika pergeseran ketaatan masyarakat santri terhadap Kiai dalam

sebuah proses politik diletakkan dalam ranah teori ini, maka telah terjadi devisit simbol

kutural yang dimiliki oleh Kiai, sehingga otoritas kharismatik (cultural capital) yang

dimiliki oleh Kiai tidak bisa dioperasionalkan secara maksimal. Yang terjadi kemudian

adalah adanya polarisasi ketaatan, atau juga ada kumungkinan terjadi diferensiasi ketaatan

masyarakat santri terhadap Kiai.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini akan difokuskan pada dua hal. Pertama, ide atau gagasan, pandangan,

dan penilaian yang ditujukan bagi terbentuknya pandangan teologi politis Kiai, diwujudkan

dalam bentuk strategi guna mengantisipasi dan mengakomodasi perubahan. Kedua,

bagaimana proses pembentukan makna itu terjadi yang berakibat pada pergeseran ketaatan

masyarakat santri terhadap Kiai. Dari kedua persoalan tersebut, fokus utama yang harus

dieksplorasi adalah sistem kognisi atau pemahaman seluruh komponen masyarakat, dari

mulai elit lokal sampai massa atau khalayak yang menjadi subjek penelitian. Atas dasar

pertimbangan itu, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Penelitian ini akan dilakukan di tempat dimana elit lokal (Kiai), dan masyarakat

santri itu berada yakni pada beberapa wilayah di Kabupaten Kudus. Data primer penelitian

ini diperoleh melalui wawancara secara mendalam pada para elit lokal (kiai) baik yang

terlibat langsung maupun tidak. Menurut Geertz, etnografer (peneliti ethnografi) membuat

thick descriptions (pelukisan mendalam) yang menggambarkan ”kejamakan struktur-

struktur konseptual yang kompleks”, termasuk asumsi-asumsi yang tidak terucap dan

taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan17.

F. Kondisi Geografis dan Peta Politik Kudus

Secara Geografis, Kabupaten Kudus sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah

terletak diantara 4 (empat) Kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten

16 Lihat dalam David Gartman, Bourdieu’s Theory of Kultural Change :Explicatian, Application,

Critique, Sociological theory, American Sociological Association, Washington DC, 2002 Hal. 258 17 Winarno Surachmad, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah, Tarsito: Bandung,

1970. Hal. 203

Page 10: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

42

Jepara dan Kabupaten Pati sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, sebelah

selatan dengan Kabupaten Grobogan dan Pati serta sebelah barat berbatasan dengan

Kabupaten Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara 110o36’ dan 110o50’ Bujur

Timur dan antara 6o51’ dan 7o16’ Lintang Selatan. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah

16 km dan dari utara ke selatan 22 km. Hal itu menjadikan Kabupaten kudus sebagai

daerah yang mempunyai letak yang strategis di kawasan pantai utara (Pantura), khususnya

dalam mengembangkan industri, karena secara geografis menghubungkan antara Pusat

kota propinsi Jawa Tengah (Semarang) dengan dua kota kabupaten lainya (Pati dan

Jepara).

Secara administratif Kabupaten Kudus terbagi menjadi 9 Kecamatan dan 123 Desa

serta 9 Kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Kudus tecatat sebesar 42.516 hektar atau

sekitar 1,31 persen dari luas Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan yang terluas adalah

Kecamatan Dawe yaitu 8.584 Ha (20,19 persen), sedangkan yang paling kecil adalah

Kecamatan Kota seluas 1.047 Ha (2,46 persen) dari luas Kabupaten Kudus. Luas wilayah

tersebut terdiri dari 20.579 Ha (48,40 persen) merupakan lahan sawah dan 21.937 Ha

(51,60 persen) adalah bukan lahan sawah. Jika dilihat menurut penggunaannya, Kabupaten

Kudus terdiri atas lahan sawah dengan pengairan teknis seluas 3.973 Ha (19,31 persen) dan

sisanya berpengairan 1/2 teknis, sederhana, tadah hujan dan lainnya. Sedangkan bukan

lahan sawah yang digunakan untuk bangunan dan halaman sekitar seluas 10.182 Ha (46,41

persen) dari lahan bukan sawah. Perbandingan prosentase luas lahan tersebut menunjukkan

bahwa Kabupaten Kudus merupakan daerah yang mengarah pada daerah industri skunder

diandingkan dengan industri primer (pertanian).

Gambaran suhu politik menjelang pemilihan langsung Bupati Kudus tahun 2013

sudah dipastikan mulai meninggi seiring dengan kontes politik yang akan dimulai.

Terdapat lima pasang calon Bupati atau kontesten yang berkompetisi dalam pemilihan

Bupati Kudus periode 2013 2018. Dari kelima pasangan calon tersebut empat pasangan

diusung oleh beberapa partai dan satu pasangan calon maju dengan suara independen.

Kelima pasangan tersebut adalah Pasangan calon Tamzil Asyrofi (TOP), Badri Hutomo-

Sofyan Hadi (BHS), Erdi Nurkito-Anang Fahmi (MANTAB), Mustofa-Abdul Hamid

(FAHAM), dan Budiono-sakiran (DIKIR).

Apresiasi masyarakat terhadap proses pemilihan langsung Bupati Kudus tercatat

sangat tinggi, karena beberapa alasan baik yang rasional maupun yang tidak rasional. Pada

umumnya mereka mempunyai harapan yang tinggi terhadap proses politik ini agar terjadi

perubahan kondisi ekonomi, sosial, dan keagamaan ke arah yang lebih baik. Hal itu

ditunjukkan dengan dengan hasil survey Lembaga eL-KASYF yang mempertanyakan

alasan mengapa memilih masing-masing pasangan calon Bupati. Ternyata alasan adanya

Page 11: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

43

perubahan ke arah yang lebih baik menempati urutan ter atas dengan nilai 52, 8 %,

mengungguli alasan- alasan yang lain. 18

Ada beberapa alasan yang melatar belakangi mengapa masyarakat memilih salah

satu calon pasangan Bupat, dimana alasan ada perubahan ke arah yang lebih baik

menempati urutan pertama, disusul oleh alasan program yang diusung oleh masing-masing

calon. Dua alasan teratas tersebut cukup memberi bukti bahwa ekspektasi masyarakat

terhadap perubahan begitu tinggi dengan didukung oleh program-program yang

mementingkan kesejahteraan masyarakat.

G. Persepsi Teologis Kiai dalam Proses Politik

Perilaku sosial (sosial behavior) dalam kajian ilmu sosial selalu didasarkan pada

relasi antara berbagai unsur baik unsur internal manusia sebagai human being atau unsur

eksternal (struktur dan kultur sosial). Persoalan unsur mana yang lebih dominan antara

aspek internal atau eksternal yang mempengaruhi perilaku sosial telah menjadi perdebatan

panjang diantara para teoritisi sosiologi klasik. Perdebatan tersebut kemudian dicatat secara

sistematis oleh George Ritzer dengan memakai konsep paradigma Tomas Kuhn, menjadi

tiga model paradigma ilmu sosial. Paradigma tersebut adalah paradigma fakta sosial,

paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.

Ketika konsep perilaku tersebut digunakan untuk membaca konteks perilaku politik

Kiai maka dapat ditemukan beberapa kenyataan baru tentang bagaimana perilaku politik itu

dilakukan, atas dasar apa perilaku tersebut diletakkan dan bagaimana implikasi dari

tindakan tersebut terhadap stuktur sosial. Setidaknya terdapat beberapa catatan ketika

peneliti menyimak proses politik dalam event pemilihan Bupati Kudus secara langsung

tahun 2013. Pertama, persepsi yang terbangun dalam kalangan elit lokal (Kiai) di Kudus

terhadap politik praktis sangat beragam, apalagi ketika dikaitkan dengan ragam tipologi

Kiai yang ada di kabupaten Kudus. Kedua, perilaku yang dimunculkan atas dasar persepsi

teologis Kiai atas kenyataan politik praktis yang berjalan.

Penelusuran pemikiran teologis kyai dalam hal ini dilakukan dengan merujuk pada

konsep iman. Iman yang kenyataannya berakar pada corak teologis tertentu pada dasarnya

bersifat individual. Namun demikian, para pemeluk agama juga sesungguhnya tidak bisa

berdiri sendiri, sebagai pribadi-pribadi yang terpisah dari individu lainnya. Mereka

membentuk komunitas tertentu yang apabila telah mapan atau melembaga adalah dalam

suatu masyarakat akan terbentuk apa yang disebut pranata baru. Pada saat terjadinya

pranata baru inilah dalam masyarakat kemudian muncul elit sosial tertentu yang

menjadikan iman sebagai habitus (ciri yang menjadi identitas suatu kelompok).

18 Dokumen Laporan Survey II Pilbup Kudus tahun 2013, Lembaga Kajian Agama, Sosial, Budaya, dan

Filsafat (eL-Kasyf) Kudus 2013

Page 12: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

44

Di dalam masyarakat Kudus, kiai merupakan salah satu elit yang mempunyai

kedudukan sangat terhormat dan berpengaruh besar pada perkembangan masyarakat

tersebut. Kiai menjadi salah satu elit strategis di dalam masyarakat karena ketokohannya

sebagai figur yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam mengenai ajaran Islam. Lebih

dari itu, secara teologis ia juga dipandang sebagai sosok pewaris para nabi (waratsat al-

anbiya). Tidak mengherankan jika kiai kemudian menjadi sumber legitimasi dari berbagai

keagaman, tapi juga hampir dalam semua aspek kehidupannya. Pada titik inilah kita dapat

melihat peran-peran strategis kiai, khususnya dalam aspek kehidupan sosial politik. Oleh

karena itu, perbincangan seputar peran sosial politik kiai dalam sosial politik yang tumbuh

dan berkembang khususnya pada masyarakat di Kabupaten Kudus, akan selalu melibatkan

persinggungan wacana antara agama dan politik. Selain itu kenyataan emperik juga

mengilustrasikan perpaduan antara agama dan politik ini seperti terlihat pada peran-peran

yang dimainkan sejumlah kiai dalam panggung politik praktis paling tidak selama beberapa

dekade terakhir.

Pembentukan persepsi teologis dapat ditelusuri dari tipologi peran yang dimaikan

oleh Kiai di dalam masyarakat. Jika dilihat dari ragam tipologi Kiai yang ada di Kabupaten

Kudus, maka dapat ditemukan beberapa tipologi diantaranya adalah pertama, Kiai

pesantren; Kiai pesantren memusatkan kegiatannya pada pengembangan sumber daya

manusia melalui pendidikan. Seorang santri yang dikirimkan oleh orang tuannya ke sebuah

pesantren secara otomatis adalah pengikut sang Kiai tersebut.

Pada umumnya para Kiai pesantren di Kudus cenderung lebih hati-hati dalam

memandang proses politik praktis. Tujuan pokok dari tugas mereka adalah bagaimana

mengelola pesantren dengan baik dan mendidik santri agar bisa bermanfaat bagi banyak

orang. Ketika mereka harus bersinggungan dengan persoalan politik praktis, maka hal

pertama yang dipertimbangkan adalah sejauh mana kontribusi keterlibatan dalam politik

praktis tersebut terhadap pemupukan modal kultural (cultural capital) yang dimiliki oleh

Kiai.

Tipologi Kiai yang kedua dalam melacak persepsi teologi politiknya adalah Kiai

tarekat. Kiai tarekat memusatkan kegiatannya pada pembangunan batin (dunia hati) umat

Islam. Oleh karena tarekat adalah lembaga formal, maka para pengikut kiai tarekat adalah

anggota formal dari kegiatan tersebut. Sekalipun Kiai tarekat mempunyai jaringan pengikut

yang cukup luas, tetapi peneliti belum menemukan keterlibatan secara langsung para Kiai

tarekat dalam politik praktis. Bagi mereka politik adalah ruang ekspresi kepentingan yang

dimainkan oleh sejumlah orang yang berkompeten untuk itu. Sepanjang kebijakan-

kebijakan politik yang dihasilkan oleh para politisi tidak menggagu aktifitas santri dalam

melakukan ritual keagamaan, maka Kiai tidak perlu turun tangan untuk terlibat langsung

dalam politik praktis. Pandangan yang seperti itu didasarkan pada keyakinan bahwa

sesuatu persoalan akan lebih baik jika dipegang oleh ahlinya.

Page 13: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

45

Tipologi Kiai yang ketiga adalah Kiai Panggung. Kiai Panggung adalah para da’i

yang menyebarkan pengetahuan keislaman melalui kegiatan dakwah. Pengikut Kiai

panggung ini ditentukan seberapa popular seorang Kiai di tengah-tengah masyarakat.

Peneliti menemukan dua model Kiai panggung dalam lapangan penelitian ini. Model yang

pertama adalah Kiai panggung yang menjadi bagian dari salah satu organisasi keagamaan

secara struktural. Dan model yang kedua adalah Kiai panggung yang tidak menjadi bagian

struktural organisasi keagamaan.

Kesempatan yang begitu luas dengan massa yang menjanjikan itulah kadang-

kadang persepsi teologis kiai panggung terhadap fenomena politik praktis cenderung

pragmatis, artinya pandangan kiai panggung seringkali terdorong dan dipengaruhi oleh

intensitas komunikasi dengan para calon pemimpin politik. Itulah mengapa antara satu Kiai

panggung dengan Kiai panggung lainnya cenderug berbeda pilihan politiknya. Bisa

dikatakan bahwa persepsi teologis kiai panggung terhadap politik ini lebih cenderung

terbuka dan pragmatis.

Tipologi Kiai yang keempat adalah Kiai langgar. Istilah Kiai langgar ini pernah

dipakai oleh Pradjarta Dirdjosanjoto ketika meneliti fenomena Kiai di daerah Tayu Pati.19

Kiai langgar adalah Kiai yang mengasuh agama masyarakat di sebuah bangunan kecil di

pedesaan Jawa. Langgar, atau yang sering disebut surau adalah tempat dimana masyarakat

berkumpul untuk shalat berjama’ah bersama tetangga, mendengarkan pengajian dari sang

Kiai, dan mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar mengaji. Langgar, merupakan

symbol komunitas santri dimana mereka bisa belajar ilmu agama kepada seorang Kiai

langgar.

Ada dua persepsi Kiai langgar dalam menyikapi proses politik praktis. Pertama,

Kiai tersebut memandang proses politik yang terjadi sebagai proses yang tidak perlu

disikapi dengan berlebihan dan menyerahkan semua pilihan kepada masyarakat, karena

yang terpenting adalah memikirkan kebutuhan ummat yang dianggap jauh lebih besar

dibandingkan dengan proses politik yang hanya mementingkan kepentingan sesaat. Kedua,

Kiai tersebut memandang proses politik yang terjadi adalah sebuah moment dimana

kepentingan ummat yang besar tersebut bisa diakomodir oleh proses politik yang sedang

berjalan. Kiai tersebut, seperti pada umumnya masyarakat memandang proses politik

praktis sebagai ajang tawar menawar kepentingan antara calon pemimpin dengan

masyarakat dengan sejumlah imbalan yang berupa materi.

Di atas semua Kiai yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat tipologi Kiai yang

kelima yaitu Kiai sepuh. Di Kabupaten Kudus masih terdapat Kiai-Kiai yang dianggap

masyarakat dengan Kiai sepuh atau kiai yang dituakan. Kiai ini menjadi rujukan berbagai

persoalan keagamaan yang terjadi di masyarakat. Lingkup komunitas yang mentaati Kiai

19 Lihat Paradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Ummat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, LKiS

Yogyakarta 1999 hal. 155

Page 14: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

46

ini sangat luas, bahkan meluas sampai ke luar daerah. Kharisma dari Kiai ini melingkupi

semua Kiai yang ada di Kabupaten Kudus. Maka tidak heran ketika proses politik yang ada

di Kabupaten Kudus ini baru dimulai, semua bakal calon berusaha mendekati Kiai sepuh

ini untuk sekedar mencari dukungan dan legitimasi dari kesantrian mereka.

Sikap politik yang ditunjukkan oleh Kiai sepuh cenderung menjaga jarak, meskipun

politik bagi Kiai sepuh penting artinya bagi kelangsungan dakwah Islam. Sikap yang

demikian itu didasarkan pada pemahaman fiqh siyasah yang dikuasainya sehingga politik

bersih atau dalam ilmu politik disebut sebagai high politic, sangat dikedepankan

dibandingkan dengan politik praktis yang rentan dengan benturan-benturan sosial. Politik

bagi Kiai sepuh adalah satu media dimana kepentingan-kepentingan ummat dijunjug tinggi

tanpa memandang siapapun yang menjadi pemegang kekuasaan. Di Kabupaten Kudus,

bagi Kiai, sepanjang pemimpinnya adalah seorang Muslim dan dikehendaki oleh

masyarakat maka tidak ada persoalan.

H. Ketaatan Masyarakat pada Kiai dalam Proses Politik

Di dalam masyarakat santri, ketaatan terhadap Kiai adalah hal yang tidak terlalu

istimewa, artinya santri taat kepada Kiai adalah sebuah keharusan, baik secara normatif

ataupun secara empirik. Kepatuhan santri kepada Kiainya inilah yang seringkali dijadikan

sebagai komoditas politik, baik oleh Kiai sendiri sebagai elit lokal atau dimanfaatkan oleh

para kontestan pemilihan umum langsung di setiap daerah. Hubungan sosial yang bersifat

patronase ataupun hubungan elit-massa, sama-sama memberikan gambaran betapa potensi

pendulang massa sangat besar dimiliki oleh para Kiai. Dengan potensi yang demikian besar

itulah Kiai dihadapkan pada problematika sosial, antara tergiur pada syahwat politik yang

begitu kuat ataukah mempertahankan misi awalnya, yakni membimbing dan memelihara

ummat ke arah yang lebih baik.

Bagi masyarakat awam memilih pemimpin ibarat mencarikan posisi nyaman untuk

orang lain. mereka memahami menjadi pemimpin itu adalah salah satu cara untuk menjadi

kaya raya. untuk mencapai itu maka butuh modal, terutama modal material. Maka dari itu

ketika ada seorang Kiai masuk ke dalam ranah sosial yang dianggap kotor tersebut, seolah-

olah ada nilai yang terdegradasi dari sosok seorang Kiai. Mencermati dinamika ketaatan

masyarakat terhadap Kiai dalam proses pemilihan umum langsung di Kabupaten Kudus

tahun 2013, jika dikaitkan dengan persepsi teologisnya, maka dapat dijabarkan sebagai

berikut :

1. Santri dan Kiai Pesantren

Medan politik dan pengaruh yang dimiliki oleh Kiai pesantren adalah di seputar

santri yang menjadi binaan kiai tersebut. Hubungan antara santri dan Kiai pada umumnya

bertipe relasi elit dan massa dimana ketergantungan secara ekonomi tidak terlihat, tetapi

ketergantungan secara emosional sangat kuat sekali. Ketergantungan santri kepada kiainya

hanya sebatas ikatan sosial dan ikatan emosional dimana santri sangat tergantung kepada

Page 15: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

47

Kiai dalam bidang ilmu agama saja. Sekalipun demikian loyalitas santri yang berada di

pesantren terhadap kiainya tidak terlalu berubah dibandingkan ketika masih dipenuhi

kebutuhan ekonomi dan sosialnya. Hal itu didasarkan kepada persepsi teologis yang

dibangun di dalam dunia pesantren bahwa kemanfaatan ilmu itu bisa ditentukan oleh

seberapa besar ketaatan santri kepada Kiai atau guru sebagai lumbung ilmu pengetahuan.

Dalam bidang sosial kemasyarakatan dan kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari

para santri juga sangat loyal kepada Kiai. Struktur sosial yang terbentuk melalui proses

kultural yang menempatkan posisi kiai sebagai top leader dalam ilmu agama dan sosial,

menjadikan sebuah perilaku atau sikap yang sangat hormat santri kepada Kiainya. Hal ini

ditunjukkan dengan perilaku simbolik mencium tangan Kiai ketika mereka sedang

berpapasan atau ketemu setiap pemberian materi ilmu agama. Selain perilaku simbolik

tersebut. Sikap segan terhadap Kiai juga ditunjukkan oleh santri ketika mereka ketahuan

melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan di lingkungan pesantren misalnya, tertawa

keras-keras atau bergurau secara berlebihan.

Di dalam aspek politik praktis, ketaatan santi kepada Kiai juga masih dipegang

teguh. Afiliasi dan anjuran kiai untuk memilih salah satu calon bupati Kudus dalam kontes

pemilihan langsung kepala daerah cukup ditaati oleh para santri. Hal ini terbukti dengan

terbangunnya jaringan relawan dalam pemenangan salah satu pasangan calon bupati, mulai

dari tingkat Desa sampai tingkat center. Jaringan kerja politik yang dibangun tersebut

berjalan berdasarkan atas keterikatan sebagai santri atau alumni santri. Ketaatan yang

ditunjukkan oleh santri kepada kiai dalam aspek politik praktis ini mungkin berbeda

dengan ketaatan yang ditunjukkan dalam bidang sosial dan ilmu agama. Kalau di dalam

aspek sosial dan ilmu agama, ketaatan mereka didasarkan atas keyakinan atau idiologi yang

cenderung irasional, maka di dalam aspek politik praktis, ketaatan mereka didasarkan pada

alasan-alasan yang cenderung lebih rasional misalnya, alasan kedekatan atau alasan reward

yang yang akan diterima kalau terpilih menjadi Bupati.

Hampir sama dengan hubungan antara Kiai pesantren dengan para santrinya,

hubungan ketaatan Kiai tarekat dengan santri juga relatif tanpa adanya pergeseran.

Lemahnya antusias Kiai tarekat dalam menyikapi proses politik praktis menjadikan

antusiasme pengikut tarekat terhadap proses politik praktispun tidak sesemarak santri-santri

yang ada di pesantren.

Di dalam bidang ilmu agama dan amalan sufi ketaatan para pengikut tarekat

ditunjukkan dengan selalu mengamalkan apa yang telah diajarkan oleh Kiai kepada

santrinya. Amalan-amalan itu biasanya berupa bacaan-bacaan dzikir kepada Allah SWT

dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Amalan-amalan tersebut diberikan Kiai

kepada pengikut tarekat secara bertahap sesuai dengan kekuatan dan kemauan santri tarekat

dalam mengamalkannya.

Totalitas dalam mengamalkan dzikir ini berimplikasi pada perilaku sosial yang

cenderung tenang dalam menghadapi problematika hidup. Sikap dan tindak tanduk Kiai

Page 16: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

48

menjadi tauladan baik di dalam mengontrol emosi diri atau di dalam berinteaksi dengan

sesama. Dengan kesehajaannya itulah sebetulnya di dalam struktur masyarakat santri,

kaum tarekat ini justru mendapatkan posisi yang cukup tinggi. Jadi dengan demikian

semakin jelas bahwa di dalam bidang sosial, ketaatan santri pengikut tarekat terhadap

kiainya sangat tinggi.

Hampir sama dengan di alam bidang sosial, di dalam bidang politikpun ketaatan

terhadap Kiai tarekat tidak terlalu banyak mengalami pergeseran. Di Kabupaten Kudus,

keterlibatan Kiai tarekat dalam politik praktis tidak terlalu mencolok, sehingga benturan-

benturan dalam proses politik praktis tidak terlalu terasa. Hal ini berbeda dengan apa yang

terjadi di Jawa Timur, dimana Kiai tarekat banyak terlibat secara langsung ke dalam politik

praktis.

1. Kiai Panggung dan Masyarakat

Berbeda dengan dua tipologi Kiai sebelumnya, jarak hubungan antara Kiai

Panggung dengan masyarakat tidak dibatasi oleh ruang fisik. Kalau jarak hubungan Kiai

pesantren dan santrinya dilingkupi oleh batas-batas fisik seperti ruang dan bilik pesantren,

hubungan Kiai tarekat dan santrinya dibatasi oleh ruang-ruang fisik, maka jarak hubungan

antara Kiai panggung dan masyarakat relatif lebih bebas dan tersebar di ruang-ruang publik

yang tidak dibatasi oleh ruang fisik. Popularitas sang Kiai menjadi pembatas medan

dakwah yang dikelola oleh Kiai panggung. Batas popularitas tersebut bisa hanya sebatas

kampung, kecamatan, hingga tingkat nasional. Tersebarnya pengaruh Kiai panggung di

ruang publik yang sangat bebas menjadikan pengaruh Kiai terhadap perilaku masyarakat

cenderung lebih longgar.

Ketaatan yang ditunjukkan masyarakat kepada Kiai da’i ini hanya sebatas urusan

pengajian agama ketika sang Kiai berceramah. Di luar itu masyarakat bebas memaknai

seluruh perilaku Kiai baik dalam interaksi sosial secara umum atau terlibat secara langsung

dengan kegiatan-kegiatan politik praktis. Ikatan-ikatan emosional yang terbangun atara kiai

dengan masyarakat hanya terjadi ketika Kiai berada di atas mimbar, sementara masyarakat

mendengarkan secara seksama apa isi dari ceramah tersebut. Ketika ruang telah digantikan

oleh media, maka ikatan-ikatan emosional tersebut semakin pudar, sehingga pengajian dari

kiai da’i ini seperti hembusan wacana yang disebar ke seluruh khalayak, dan khalayak atau

massa dengan bebasnya memaknai dan menterjemahkan isi dari wacana tersebut.

Di dalam bidang sosial, dengan menyimak kenyataan yang sudah digambarkan di

atas, ketaatan terhadap Kiai panggung menjadi tidak jelas. Pergeseran ketaatan terhadap

kiai sangat kelihatan. Jika zaman dahulu Kiai panggung ini dianggap sebagai tokoh yang

mempunyai keahlian khusus dalam berpidato dan menyampaikan pesan-pesan moral,

sehingga mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari masyarakat, maka zaman sekarang

apresiasi yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut terkesan basa basi. Posisi penceramah

agama dianggap seperti layaknya orang yang pintar berorasi dan berdiplomasi. Posisinya

akhirnya tidak lebih tinggi dari para politisi yang pintar dalam beretorika.

Page 17: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

49

Jika di dalam bidang sosial posisi Kiai d’ai tersebut hanyalah sebatas penebar

wacana keagamaan, sehingga posisinya tidak lebih tinggi dari pada tukang retorika, maka

bisa dipastikan, di dalam bidang politik praktis, ajakan kiai da’i untuk memilih salah satu

pasangan calon Bupati dianggap masyarakat sebagai ajakan para tim sukses yang

mempunyai kepentingan materiil sangat kental.

1. Kiai Langgar dan Masyarakat

Seperti yang telah dijelaskan didepan, bahwa Kiai langgar adalah Kiai langgar

adalah Kiai yang mengasuh agama masyarakat di sebuah bangunan kecil di pedesaan Jawa.

Langgar, atau yang sering disebut surau adalah tempat dimana masyarakat berkumpul

untuk shalat berjama’ah bersama tetangga, mendengarkan pengajian dari sang Kiai, dan

mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar mengaji. Kepatuhan masyarakat dalam

segala urusan keagamaan menjadi penanda bahwa keikhlasan sang Kiai dalam

membimbing ummat menjadi prioritas penting.

Karena ketulusan dan keikhlasan di dalam membimbing ummat itulah Kiai ini

mendapatkan posisi yang tinggi di dalam stratifikasi sosial. Kiai langgar menjadi sosok

yang dihormati dan disegani oleh masyarakat di dalam urusan bermasyarakat. Hal yang

berlawanan dengan ketaatan dalam bidang sosial di atas terjadi di dalam persoalan politik

praktis. Di dalam proses politik praktis, keterlibatan Kiai langgar dianggap sebagai blunder

sosial yang mengakibatkan anggapan adanya dekadensi nilai ketokohan yang dimiliki oleh

Kiai. Keterlibatan di dalam proses politik praktis baik sebagai pendulang massa atau

sebagai pemain politik, dianggap sebagai aib sosial, kerena politik praktis dimaknai

masyarakat sebagai ajang pencarian materi yang hanya pantas dilakukan oleh orang-orang

yang berada pada level rendah dalam stratifikasi sosial.

Oleh karena itulah mengapa di dalam bidang politik praktis, ketaatan masyarakat

terhadap Kiai langgar sangat rendah, bahkan nyaris tidak ada, hal itu dikarenakan sosok

kiai yang dianggap figure penting dalam masyarakat telah jatuh ke dalam perilaku-perilaku

kotor dalam politik praktis. Di dalam bidang agama dan urusan kemasyarakatan, Kiai

langgar masih mendapatkan apresiasi berupa ketaatan dari masyarakat, tetapi di dalam

bidang politik praktis masyarakat cenderung menjauhi sang Kiai.

2. Kiai Sepuh dan Masyarakat.

Senada dengan tipologi Kiai langgar, Kiai sepuh adalah figur yang sangat

berpengaruh di tengah-tengah masyarakat, bahkan pengaruh yang dimiliki oleh Kiai sepuh

lebih luas di bandingkan dengan pengaruh Kiai langgar. Di Kabupaten Kudus masih

terdapat Kiai-Kiai yang dianggap masyarakat dengan Kiai sepuh atau kiai yang dituakan.

Kiai ini menjadi rujukan berbagai persoalan keagamaan yang terjadi di masyarakat.

Lingkup komunitas yang mentaati Kiai ini sangat luas, bahkan meluas sampai ke luar

daerah. Kharisma dari Kiai ini melingkupi semua Kiai yang ada di Kabupaten Kudus.

Page 18: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

50

Maka tidak heran ketika proses politik yang ada di Kabupaten Kudus ini baru dimulai,

semua bakal calon berusaha mendekati Kiai sepuh ini untuk sekedar mencari dukungan dan

legitimasi dari kesantrian mereka.

Karena perannya yang begitu besar di dalam masyarakat, khususnya dalam

persoalan keagamaan, maka secara sosiologis Kiai ini mempunyai posisi yang tinggi di

dalam struktur sosial. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya antusias warga masyarakat

santri untuk bersilaturrahim dan sowan ke kediaman Kiai di hari lebaran. Di dalam

masyarakat santri Kudus, hari lebaran merupakan moment penting untuk bersilaturrahim

terutama kepada orang-orang tua dan dihormati. Konsep ngalap berkah masih sangat

kental berlaku dalam masyarakat Kudus. Berkah merupakan hal-hal baik yang bisa

didapatkan dari figur yang secara kultural memiliki keistimewaan dan scara structur sosial

sangat tinggi.

Meskipun di dalam aspek agama dan sosial, Kiai sepuh ini mempunyai pengaruh

yang begitu kuat, namun dalam bidang politik praktis, pengaruhnya tidak sekuat dalam hal

agama dan sosial kemasyarakatan. Hal ini karena sikap hati-hati yang diambil oleh Kiai

dalam menyikapi proses politik yang sedang berlangsung. Bagi Kiai sepuh, yang paling

penting di jaga adalah keutuhan ummat agar tidak terpecah belah. Kehati-hatian Kiai inilah

yang kemudian menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam di tengah-tengah

masyarakat mengenai sikap politik kiai. Sikap hati-hati Kiai mengenai pilihan politik juga

mengakibatkan kiai sepuh tidak dijadikan sebagai referensi dalam memilih pasangan calon

Bupati.

I. Kesimpulan

Semenjak otonomi daerah diberlakukan pada zaman reformasi, dimana pemilihan

kepala daerah dilakukan secara langsung oleh masyarakat, dinamika hubungan antara Kiai

sebagai pembimbing ummat dengan masyarakat terkesan tercabik-cabik. Hal itu karena

syahwat politik yang begitu kuat sehingga mendorong keterlibatan Kiai untuk terjun

langsung baik hanya menjadi pendulang suara (vote-getter), menjadi pemimpin politik

(elective political leader), sampai menjadi pemain politik (political player). Keadaan

semacam ini di satu sisi menguntungkan perjuangan Kiai dalam berdakwah, karena

mendapat dukungan dari struktur pemerintah, namun di sisi lain secara kultural terjadi

benturan-benturan kepentingan yang mengakibatkan hubungan antara Kiai dan masyarakat

menjadi terganggu.

Apa yang terjadi dalam sebagian besar pemilu kepala daerah di beberapa daerah

menunjukkan bagaimana pemimpin kepala daerah lahir dari tokoh-tokoh lokal, sehingga

medan dakwah yang dimiliki oleh Kiai semakin luas. Akan tetapi apa yang terjadi di

Kabupaten Kudus sangat berlawanan dengan apa yang terjadi di Kebumen, di Kendal, atau

di beberapa daerah di Jawa Timur, dimana para Kiai menjadi pemenang dalam pemilihan

langsung kepala Daerah. Di Kudus justru sebaliknya, calon yang diusung oleh mayoritas

Page 19: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

51

kaum santri justru kalah dalam pemilihan Bupati tahun 2009 dan tahun 2013. Penelitian ini

menemukan beberapa fakta mengapa terjadi ketidak harmonisan hubungan antara kiai

dengan masyarakat sebagai penentu kemenangan dalam kontes pemilihan kepala daerah.

Temuan yang pertama dan paling utama adalah terjadinya pergeseran ketaatan

masyarakat kepada Kiainya, dekadensi nilai kultural yang dimiliki oleh Kiai menyebabkan

berkurangnya otoritas kiai dalam mendulang suara di pemilihan langsung oleh masyarakat.

Padahal selama ini keberhasilan Kiai dalam proses politik praktis antara lain didukung

sepenuhnya oleh otoritas kharismatik yang dimiliki oleh Kiai. Temuan yang kedua adalah

dinamika ketaatan masyarakat kepada Kiai dalam proses politik sangat berkaitan dengan

tipologi Kiai yang ada di kabupaten Kudus. Temuan yang ketiga adalah terdapat variasi

ketaatan masyarakat terhadap Kiai yang didasarkan atas domain kehidupan keagamaan,

kehidupan sosial dan kehidupan berpolitik. Hal ini juga terkait dengan atribut simbolik

yang disandang oleh Kiai.

Dinamika ketaatan yang dijelaskan dalam temuan penelitian ini menunjukkan

bahwa telah terjadi pergeseran ketaatan antara Kiai sebagai subjek dakwah (Da’i) dengan

masyarakat sebagai medan dakwah dengan segudang kompleksitas persoalannya. Hal

penting yang dapat digarisbawahi dalam penelitian ini adalah ketika hubungan antara Da’i

dengan Mad’u tidak harmonis, maka ada persoalan besar dalam mencapai tujuan dakwah.

Oleh karenanya secara praktis temuan penelitian ini bisa dijadikan sebagai warning bagi

pelaku dakwah dan teoritisi dakwah bahwa dinamika relasi kultural dalam medan dakwah

adalah sebuah keniscayaan.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Moh Ali, Dinamika Kepemimpinan Kiai di Pesantren, IAIN Sunan Ampel, Jurnal

Ilmu Dakwah vol. 7 no.1 April 2002,

Dirdjosanjoto, Paradjarta, Memelihara Ummat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa,

LKiS Yogyakarta 1999

Faridh, Miftah , “Peran Sosial politik Kiai di Indonesia, Jurnal SOSIOTEKNOLOGI, edisi

11 Tahun 6 Agustus 2007, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Bandung 2007.

Gartman, David, Bourdieu’s Theory of Kultural Change :Explicatian, Application,

Critique, Sociological theory, American Sociological Association, Washington DC,

2002

Geertz, Clifford, Abangan, Santri,Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan, Pustaka

Jaya, Jakarta 1983.

Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta 1987

Jatmika, Sidik , “Kiai dan Politik Lokal, Studi Kasus Reposisi Politik Kiai NU Kebumen

Jawa Tengah Memanfaatkan Peluang Keterbukaan Partisipasi di Era Reformasi”,

Page 20: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

52

Disertasi Program Doktor Sosiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta 2005.

Lemert, Charles, Sosial Theory, The Multikultural and Classic Reading, Westview Press.

Oxford 1999

Martin, Roderick, Sosiologi kekuasaan, Rajawali Press Jakarta 1990

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman., Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep

Rohendi Rohidi, UI Press: Jakarta, 1992

Mulkhan, Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri, PT Bina Ilmu, Surabaya 1994

Purwoko, Bambang, “Perilaku Politik Elit Agama dalam Dinamika Politik Lokal”,dalam

Focus Groups Discussion (FGD), “ Perilaku Elit Politik dan Elit Agama dalam

Pilkada di Kabupaten Kulonprogo, diselenggarakan oleh LABDA Shalahuddin,

JPPR, dan The Asia Foundation, Yogyakarta 3 Agustus 2006

Peneliti Lembaga Kajian Agama, Sosial, Budaya, dan Filsafat (eL-Kasyf), Dokumen

Laporan Survey II Pilbup Kudus tahun 2013, Kudus 2013

Surachmad, Winarno, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah, Tarsito:

Bandung, 1970

Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKiS, Yogyakarta 2004

Ummatin, Khoiro , Perilaku Politik Kiai, Pustaka Pelajar Yogyakarta 2002

Van Bruinessen, Martin, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Yayasan Bentang Budaya,

Yogyakarta 1998

Vredenberg., Jacob, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia: Jakarta, 1986,

Wahid, Marzuki , Metaformosis Pesantren, Lektur STAIN Pres , Cirebon 2000,