Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
33
DINAMIKA OTORITAS KHARISMATIK KIAI DALAM PROSES POLITIK
(Kajian Sosiologis tentang Ketaatan Masyarakat kepada Kiai
dalam PILBUP Kudus Tahun 2013)
Saifudin1
Abstract
The involvment of Kiai in the practical politics either as “vote-getter”, “elective
political leader” or “political player” has accured since regional autonomy policy enforced.
It is on the one side gave the dakwah benefits and the other side culturally, conflict of
interest has accured and so that the relationship between the Kiai and communities
disrupted.
Most elections in any region demonstrated that Kiai has special place in the
election. But in Kudus just the opposite, the leader candidate from santri actually lose in
the election of 2009 and 2014. This study has found most realities how dinamics of
obedience to Kiai was demonstrated in practical local politics. There are three kinds of
obedience dinamics, the first there is friction obedience to Kiai, second the friction related
with the typologies of Kiai in Kudus, third there are saveral kinds of obedience based on
religious life domain, social life domain, and political life domain, with porsion of diverse.
Keywords: Kiai, Obedience, local politics
A. Pendahuluan
Corak masyarakat Kudus yang santri, meminjam istilah Clifford Geertz, dengan
struktur sosial yang jelas sesuai tipologi masyarakat santri, kurang dapat menemui
relevansinya dengan teori masyarakat santri dimana Kiai menjadi figure yang harus ditaati
dalam segala aspek kehidupan. Kenyataan tersebut paling tidak bisa direkam dalam
fenomena Pemilihan Bupati Kudus tahun 2013, dimana pasangan yang diusung oleh
sebagian besar Kiai di kabupaten Kudus kalah dalam proses politik tersebut. Jika dirunut
pada sejarah peran Kiai dalam politik praktis di Indonesia, tentunya fenomena politik di
Kabupaten Kudus ini tidak sepenuhnya relevan dengan apa yang telah dikaji oleh beberapa
peneliti sebelumnya, seperti temuan Bambang Purwoko (2006)2, atau juga Sidik Jatmika
(2005)3
1 Penulis adalah Dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus 2 Bambang Purwoko, “Perilaku Politik Elit Agama dalam Dinamika Politik Lokal”,dalam Focus Groups
Discussion (FGD), “ Perilaku Elit Politik dan Elit Agama dalam Pilkada di kabupaten Kulonprogo,
diselenggarakan oleh LABDA Shalahuddin, JPPR, dan The Asia Foundation, Yogyakarta 3 Agustus 2006 3 Sidik Jatmika, “Kiai dan Politik Lokal, Studi Kasus Reposisi Politik Kiai NU Kebumen Jawa Tengah
Memanfaatkan Peluang Keterbukaan Partisipasi di Era Reformasi”, Disertasi Program Doktor Sosiologi
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2005.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
34
Pada masa reformasi, peran Kiai dalam politik praktis yang begitu terbuka
dibandingkan dengan periode sebelumnya, tidak selamanya mendapatkan respon positif
dari masyarakat. Apa yang digambarkan oleh Jatmika dalam Pilkada Kebumen tahun
2000, dimana Kiai mendapatkan tempat strategis tidak hanya sebagai penjaring suara (vote
getter), tetapi juga sebagai pemimpin politik (elective-political leader), dan juga pemain
politik (political player), berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Pilkada Kabupaten
Kudus tahun 2013. Pada Pilkada Kabupaten Kudus tahun 2013 posisi Kiai sebagai vote-
getter “dalam meloloskan calon dari kalangan santri sangat tidak signifikan”. Pasangan
calon nomor satu yakni, Ir Tamsil, MT dan Drs. Asyrofi Masito, sebagai representasi
masyarakat santri ternyata tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat Kudus yang santri.
Hal ini juga pernah terjadi pada pilkada langsung pertama tahun 2009 dimana pasangan
KH. Amin Munadjat dan Akhwan Sukandar gagal menempati posisi Bupati Kudus.
Fenomena perilaku politik elit lokal (Kiai) seperti yang dipaparkan di atas tentu saja
menjadi realitas yang sangat menarik untuk dikaji, terutama ketika dikaitkan dengan
polarisasi ketaatan masyarakat kepada Kiai dan implikasinya terhadap proses dakwah
Islam. Seperti diketahui dan difahami bersama bahwa kepentingan utama Kiai dalam
proses politik adalah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar”, atau dengan kata lain
menjalankan fungsinya sebagai juru dakwah (da’i). Posisi strategis Kiai dalam masyarakat
santri sebagai elit lokal memungkinkan untuk melakukan transformasi sosial tersebut,
sebagai tujuan dakwah, karena karakter masyarakat santri adalah selalu taat kepada Kiai
yang dianggap sebagai pewaris para nabi (waratsatul ambiya).
Kenyataan tersebut di atas menjadi problematis, ketika arus pragmatisme politis
menerpa kehidupan politik di era reformasi. Syahwat politik yang begitu menggiurkan
sedikit banyak menggiring orientasi politik elit lokal (Kiai) kepada pilihan-pilihan posisi
politik yang bersifat pragmatis. Keberpihakan pada satu partai politik, keterlibatan secara
langsung dengan politik praktis seperti mencalonkan diri pada jabatan kepala daerah atau
legislatif, adalah satu fenomena yang sangat biasa di era reformasi. Sementara itu di satu
sisi tedapat pula elit lokal (kiai) yang masih konsisten dengan dunia dakwahnya lewat
pendidikan dan tidak secara langsung terlibat, bahkan tidak peduli dengan hiruk pikuk
reformasi politik yang berkembang di masyarakat. Dengan kata lain, terdapat variasi sikap
yang diambil oleh para Kiai dalam menyikapi perkembangan politik praktis di Negara ini.
Apa yang digambarkan oleh Miftah Faridh4, mungkin bisa menggambarkan
bagaimana variasi sikap politik para Kiai dalam konstelasi politik nasional yang didasarkan
pada persepsi teologis yang diambil oleh Kiai dan Masyarakatnya. Secara spesifik perilaku
sosial politik Kiai terlihat dari kelenturan sikap politik yang diperankannya. Kiai dengan
latar sosioreligius kelompok modernis memeiliki sikap yang cenderung tertutup dengan
4 Baca dalam Miftah Faridh, “Peran Sosial politik Kiai di Indonesia, Jurnal SOSIOTEKNOLOGI, edisi
11 Tahun 6 Agustus 2007, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Bandung 2007.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
35
mendasarkan pada pemahaman tekstual kitab al Qur’an dan al Hadits. Sementara itu Kiai
dengan latar sosioreligius kelompok tradisionalis pada umumnya lebih mendasarkan
argumentasinya pada pemaknaan terhadap konteks secara lebih bebas, sehingga memiliki
sikap yang cenderung lentur dan terbuka. Kelenturan dan keterbukaan inilah yang
barangkali sangat mempengaruhi polarisasi ketaatan masyarakat kepada kiainya yang
cenderung tidak konsisten dalam berpolitik praktis.
Variasi persepsi teologis para kiai dalam urusan sosial politik tersebut mau tidak mau
berimplikasi pada sikap dan ketaatan masyarakat pada figur seorang Kiai. Apa yang terjadi
dalam proses pemilihan Bupati Kudus tahun 2013 menunjukkan kecenderungan tersebut.
Data yang dihimpun oleh Lembaga Kajian Agama,Sosial, Budaya dan Filsafat (eL-Kasyf)
terhadap proses pemilihan Bupati Kudus Menunjukkan minimnya pengaruh elit lokal
(Kiai) dalam menentukan pilihan masyarakat pada masing-masing pasangan calon. Alasan
yang terkait dengan ketaatan pada Kiai 4,4%, masih kalah dengan alasan pragmatis, yakni
memilih yang mau memberikan uang lebih 7,0%.
Sedikitnya angka hasil survey Kiai dijadikan alasan memilih calon Bupati
dibandingkan dengan alasan-alasan lain yang lebih rasional menunjukkan bahwa terdapat
pergeseran ketaatan masyarakat terhadap elit lokal (kiai) dalam dimensi politik.
Kemungkinan yang kemudian timbul adalah ketaatan tersebut luntur dalam satu dimensi
(politik) saja, atau kemungkinan lain, ketaatan masyarakat sudah mulai meluntur merembet
ke dalam dimensi-dimensi yang lain, seperti dimensi sosial, ekonomi atau bahkan ke dalam
dimensi religiusitas. Jika semua ini terjadi, maka impilkasi yang harus ditanggung adalah
medan dakwah Kiai yang semakin menyempit seiring dengan memudarnya legitimasi Kiai
sebagai elit lokal.
Upaya untuk menegaskan dinamika ketaatan masyarakat terhadapa elit lokal (Kiai)
dapat ditelusuri melalui beberapa asumsi, pertama dari sisi internal Kiai terdapat beberapa
persepsi teologis mengenai proses politik praktis yang terjadi. Persepsi teologis ini
melahirkan beberapa variasi tindakan Kiai dalam proses politik, mulai dari tindakan diam
dan apatis hingga menjadi pemaian politik (political player) sebagai calon eksekutif atau
calon legislatif. Kedua tindakan Kiai yang variatif terhadap proses politik tersebut
berimplikasi pada keanekaragaman sikap dan dinamika relasi antara Kiai dengan
masyarakat sebagai patron dan klien. Hal ini berujung pada jangkauan medan dakwah para
Kiai, bisa melebar atau juga semakin menyempit. Permasalahan yang kemudian patut
diajukan dalam penelitian ini adalah pertama, Bagaimana persepsi teologis dan perilaku
politik Kiai dalam pilbup Kudus tahun 2013?. Kedua, Bagaimana implikasi persepsi
teologis dan perilaku politik tersebut terhadap ketaatan Masyarakat pada Kiai di Kudus ?
B. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini sebetulnya adalah bagian kecil dari upaya untuk mengungkap realitas
sosiologis hubungan antara elit lokal (Kiai) dengan massa (masyarakat) sebagai bentuk
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
36
relasi yang tidak statis dalam proses perubahan sosial khususnya dalam dinamika politik di
Indonesia. Meskipun telah banyak kajian tentang relasi Kiai dan Masyarakat dalam ranah
politik Praktis, namun pada umumnya banyak membahas tentang memudarnya kharisma
Kiai secara massif dalam berbagai dimensi (sosial, budaya, dan agama), atau sebaliknya,
semakin kuatnya posisi kiai dalam berbagai dimensi kehidupan sosial. Masih sangat sedikit
penelitian yang membahas tentang relasi Kiai dan masyarakat dipandang dari sudut
ketaatan dalam berbagai aspek kehidupan.
Satu hal yang paling penting dalam penelitian ini adalah ada upaya untuk
mengungkap realitas yang variatif persepsi teologis Kiai terhadap proses politik yang
terjadi di kabupaten Kudus dengan latar belakang masyarakat santri yang membingkainya.
Disamping itu pergeseran ketaatan masyarakat terhadap Kiai dalam proses politik juga
menjadi tujuan penting untuk diungkap, karena sejauh apapun Kiai terlibat dalam proses
politik praktis, posisi mereka tetap dianggap sebagai Kiai yang secara kultural mempunyai
posisi strategis dalam dakwah Islam. Konsekwensi logisnya adalah terjadi dinamika atau
pergeseran medan dakwah di tengah-tengah masyarakat, apakah semakin melebar ataukah
semakin menyempit.
C. Diskursus Kiai dalam Politik Nasional
Telah banyak kajian tentang Kiai, mulai dari genealogi keilmuannya hingga relasi
sosial yang dibangun dalam bingkai sosial dan kultur yang beraneka ragam. Kiai yang
dalam khazanah sosiologis dianggap sebagai elit yang menempati struktur sosial sangat
tinggi, merupakan kepanjangan tangan dari alim ulama’ sebagai pewaris para nabi
(waratsatul ambiya). Dengan posisi yang sangat startegis itulah relasi sosial dan kultural
Kiai, menjadi magnet kajian tersendiri dari para ilmuan baik lokal maupun internasional.
Kajian Clifford Geertz, misalnya mengilustrasikan kiai sebagai makelar budaya (cultural
broker) yang mentransfer informasi yang datang dari teks-teks suci dan penafsirannya,
kepada masyarakat sebagai ummatnya.5
Peran Kiai sebagai makelar budaya menurut Geertz adalah berposisi sebagai
pembendung dampak negatif arus budaya luar yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat
tradisional Jawa, dengan membawa resiko derasnya arus budaya yang masuk akan jauh
melampaui kapasitas kerja bendungan yang dimiliki oleh Kiai. Jika resiko tersebut terjadi
maka Kiai akan mengalami disfungsi otoritas, karena perannya yang tidak bisa berfungsi
secara maksimal. Pendapat Geertz ini agak berbeda dengan hasil penelitian Hiroko
Horikoshi di Garut.6
Dalam pandangan Horikoshi, Kiai yang sering disebut ajengan di daerah Garut, tidak
hanya pasif sebagai pembendung arus budaya yang datang dari luar, seperti yang paparkan
5 Periksa dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri,Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan, Pustaka
Jaya, Jakarta 1983. Hal 244 6 Lihat dalam Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta 1987 hal. 02
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
37
oleh Geertz, tetapi sebagai mediator, Kiai justru berperan aktif dalam menyeleksi nilai-nilai
positif yang seharus dikembangkan oleh masyarakat. Kiai merumuskan skala prioritas
sendiri atas perubahan masyarakat dan mengembangkan kepeloporan mereka dalam proses
perubahan. Dalam posisi seperti ini ada gerakan kultural (cultural revival), meskipun tidak
secara frontal.
Peneliti lain yang secara serius membahas tentang Kiai adalah Zamakhsari Dhofier.
Dalam tulisannya yang dikutip oleh Khoiro Ummatin, dijelaskan bahwa peran Kiai
pesantren sangat kuat di berbagai aspek, bahkan di kalangan pesantren telah dibangun
tradisi melalui sistem kekerabatan Kiai pesantren baik melalui genealogi sosial Kiai,
jalinan aliansi perkawinan, genealogi intelektual dan aspek hubungan antara guru dan
murid atau kiai dengan santri, sehingga melahirkan jaringan sosial yang sangat kuat di
dalam tradisi pesantren.7
Di dalam dinamika politik nasional, pembahasan tentang partisipasi dan perilaku
politik Kiai tentu saja tidak terpaku pada Kiai pesantren saja, karena ternyata banyak fakta
yang mengatakan bahwa Kiai di Jawa terdiri dari berbagai macam jenis. Jika kita
mendefinisikan Kiai sebagai ulama yakni seseorang yang memiliki pengetahuan agama,
yang dalam berbagai bentuknya melayani kebutuhan spiritual ummat, maka dalam sejarah
Jawa pada abad ke 19, seperti dijelaskan oleh Martin Van Bruinessen8, Ulama atau Kiai
terbagi menjadi dua kategori. Pertama, Ulama Pemerintah (penghulu) yang menjalankan
tugasnya di pengadilan atau di pusat pemerintahan sebagai hakim, pengurus masjid, dan
lain-lain. Kedua, para guru independen (Kiai pesantren dan Kaii muballigh), yang biasanya
secara hati-hati menjaga jarak geografis dan sosial dengan pemerintah.
Ragam tipologi Kiai lebih rinci dapat dilihat dalam kajian Endang Turmudi,9 yang
cenderung membedakan antara ulama dan Kiai. Menurut Turmudi, ulama adalah istilah
yang lebih umum dan merujuk pada seorang muslim yang berpengetahuan. Seorang ulama
secara jelas memiliki peran dan fungsi sebagai cendekiawan penjaga tradisi yang dianggap
sebagai dasar identitas primordial individu dan masyarakat. Sedangkan Kiai dalam
masyarakat Jawa khususnya di Jawa timur lebih dikaitkan dengan aspek genealogis
(pewarisan), khususnya bagi mereka yang menjalankan pesantren. Pola pewarisan kekiaian
ini lebih disebabkan karena peran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengelola
pesantren, disamping juga kepemilikan keilmuan Islam yang mumpuni.
Lebih lanjut Turmudi menjelaskan bahwa terdapat beberapa tipologi Kiai dalam
masyarakat Jawa, diantaranya adalah ada Kiai pesantren, Kiai tarekat, Kiai politik, dan
Kiai panggung. Tipologi yang demikian itu didasarkan pada kegiatan-kegiatan khusus
7 Lihat dalam Khoiro Ummatin, Perilaku Politik Kiai, Pustaka Pelajar Yogyakarta 2002, hal 17 8 Periksa dalam Martin Van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Yayasan Bentang Budaya,
Yogyakarta 1998 hal.180 9 Lebih lanjut baca Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKiS, Yogyakarta 2004 hal.
28-34
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
38
mereka dalam mengembangkan agama Islam. Kiai tarekat memusatkan kegiatannya pada
pembangunan batin (dunia hati) umat Islam. Apa yang disebut dengan Kiai panggung
menurut Turmudi adalah para Da’i. mereka menyebarkan pengetahuan keislaman melalui
kegiatan dakwah. Dinamika kaum santri dalam peta sosial politik nasional hampir identik
dengan dinamika Indonesia sebagai bangsa. Perubahan perilaku santri bisa menjadi
petunjuk untuk melihat arah perubahan kebangsaan Indonesia yang selanjutnya memberi
petunjuk perubahan dunia pesantren. Karena itu seiring berbagai perubahan kebangsaan,
perilaku santri tampak berubah secara berarti, seperti yang dialami pesantren.10
Moh Ali Aziz dalam karyanya “dinamika kepemimpinan kiai di pesantren”,
mengatakan bahwa kepemimpinan Kiai di pesantren mengalami perkembangan ke arah
yang lebih demokratis dan partisipatif sesuai dengan perkembangan pola pendidikan dan
ilmu pengetahuan. Anggapan masyarakat mengenai sosok ulama telah bergeser yang pada
gilirannya mengarah pada kepercayaan masyarakat atas kepemimpinan kiai di pesantren
yang selama ini dianggap masih menerapkan pola kharismatik.11 Pendapat tersebut selaras
dengan pendapat Marzuki Wahid yang menegaskan bahwa dengan kekuatan kharisma dan
pengetahuan keagamaannya, kiai dan lembaga pesantrennya tidak saja melayani
pendidikan rakyat, dakwah keagamaan, pendampingan dan pembelaan pada kaum yang
tertindas tetapi juga menjadi pemain politik yang cantik diatas panggung kekuasaan.12
Potensi besar yang dimiliki oleh Kiai dalam berpolitik praktis memang tidak bisa
dilepaskan dari tiga pilar penopang, yaitu pertama, potensi internal Kiai (kemampuan dan
garis keturunan). Kedua, kuatnya jaringan Kiai dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU),
dan yang ketiga, kontribusi yang besar dari NU kepada Kiai yang berperan dalam politik
praktis. Tiga pilar tersebut setidaknya sangat nyata terlihat pasca orde baru runtuh.
Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dibidani oleh para Kiai NU, terbukti
mampu menempatkan para Kiai pada posisi strategis dalam konstelasi politik nasional
maupun di daerah. Puncaknya adalah ketika seorang tokoh KH. Abdurrahman Wahid
menjadi presiden ke 4 di Indonesia, maka citra Kiai dalam kancah politik nasional semakin
mencolok.
Pasca lengsernya KH Abdurrahman Wahid dari kepresidenan, terjadi beberapa
konflik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang diklaim sebagai kendaraan politik
warga NU. Konflik- konflik yang berkepanjangan ini mengakibatkan pergeseran loyalitas
kepada partai NU, terutama di kalangan masyarakat bawah. Simpang siur kepemimpinan
dan kebingungan dalam menentukan siapa yang layak jadi pemimpin partai, akhirnya
menggiring massa partai yang mayoritas adalah kaum santri, menuju sikap apatis terhadap
10 Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, PT Bina Ilmu, Surabaya 1994 hal.8 11 Moh Ali Aziz, Dinamika Kepemimpinan Kiai di Pesantren, IAIN Sunan Ampel, Jurnal Ilmu Dakwah
vol. 7 no.1 April 2002, hlm. 75 12 Marzuki Wahid, Metaformosis Pesantren, Lektur STAIN Pres , Cirebon 2000, hlm. 367
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
39
politik. Kenyataan seperti ini dapat dilihat dari hasil pemilihan kepala daerah yang selalu
gagal dimenangkan oleh calon yang diusung oleh PKB.
Kegagalan-kegagalan dalam proses politik yang dialami oleh kaum santri ini dipicu
oleh beberapa factor. Diantaranya adalah pertama, meskipun pemilihan kepala daerah
maupun kepala Negara adalah mutlak di tangan rakyat secara langsung, tetapi politik
oligarkis tetap mewarnai proses demokratisasi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan
ketidaksesuaian pilihan masyarakat yang dalam hal ini masyarakat santri dengan calon
yang diusung oleh partai yang dianggap representasi dari kaum santri. Kedua, pragmatism
dalam proses politik telah menjalar ke tengah-tengah masyarakat, tidak terkecuali kaum
santri. Ketiga, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap elit politik, karena
ketidakmampuan elit politik dalam menyelesaikan konflik internal yang ada di tubuh partai
politik.
D. Otoritas dan Ketaatan: Sebuah Ikhtiar Pemahaman Teoritik
Istilah otoritas dalam khazanah sosiologis selalu dikaitkan dengan tesis Max Weber
tentang konsep legitimasi. Menurut Weber, sumber legitimasi pada dasarnya datang dari
tiga tipe otoritas yaitu pertama, otoritas rasional, yakni otoritas yang didasarkan pada
kepercayaan terhadap pola tatanan yang dijunjung tinggi (otoritas legal). Kedua, otoritas
tradisional, yakni otoritas yang didasarkan pada pelestarian kepercayaan dan tradisi suci
dalam waktu yang cukup lama, dan yang ketiga, otoritas kharismatik, yakni otoritas yang
didasarkan pada ketaatan atau kesetiaan yang diberikan kepada figur suci, orang yang
mempunyai kelebihan, atau secara normatif diberikan kepada figur yang dianggap
terpercaya.13
Dalam konteks otoritas Kiai yang terjadi di Jawa, otoritas kharismatik seringkali
dipakai oleh para peneliti untuk mendiskripsikan ketaatan santri kepada Kiainya, karena
dianggap sebagai sosok yang mempunyai kharisma. Istilah kharisma bisa diberlakukan
pada suatu kualitas pribadi individu tertentu yang memungkinkan adanya pertimbangan
yang istimewa, terdapat perlakuan kepada sosok yang diberkati, sehingga individu tersebut
layak untuk dijadikan sebagai pemimpin.14 Sekalipun demikian tidak semua pemimpin
mempunyai kharisma. Menurut Weber, kharisma tidak semata-mata sifat kepribadian
pemimpin, karena kharisma lebih merupakan hasil hubungan sosial (sosial relationship).
Seseorang dianggap sebagai kharismatik karena ia mendapat limpahan rahmat, tindakan-
tindakan yang luar biasa, penampilan yang mempesona, dan lain sebagainya. Maka dari itu
penerimaan otoritas kharismatik tersebut bukan merupakan ketaatan yang bersifat rasional.
Tipologi otoritas sebagaimana yang dijelaskan oleh Weber memang hanyalah
seperangkat tipe ideal (ideal type) yang masing-masing mempertalikan secara logis “tipe
13 Periksa dalam Charles Lemert, Sosial Theory, The Multikultural and Classic Reading, Westview
Press. Oxford 1999 hal. 119 14 Baca dalam Roderick Martin, Sosiologi kekuasaan, Rajawali Press Jakarta 1990 hal.148
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
40
murni” yang secara empiris tidak ditemukan. Pada tataran empiris, hubungan otoritas
dalam masyarakat biasanya merupakan hasil campuran dari berbagai bentuk pengesahan
yang ada (rasional, tradisional, dan kharismatik). Sebuah campuran yang sepenuhnya
tergantung pada sifat, system sosial, dan hubungan-hubungan khusus di dalamnya.
Sekalipun tipologi otoritas yang dibuat oleh Weber ini syarat dengan keterbatasan, tetapi
tipologi tersebut tetap merupakan pijakan yang paling baik untuk mengupas masalah
otoritas.
Masalah otoritas selalu terkait dengan bentuk hubungan sosial (social relationship)
yang timpang. Ketimpangan relasi sosial tersebut dapat diakibatkan dari startifikasi sosial
yng terbentuk atau sistem sosial yang terbangun dalam sebuah masyarakat. Hubungan Kiai
sebagai elit lokal dengan masyarakat santripun memuat keragaman bentuk. Di dalam
pandangan para teoritisi struktural fungsional, posisi personal dalam sebuah bangunan
sosial sangat ditentukan oleh sejauh mana dia memberikan kontribusi kepada sistem sosial.
Semakin banyak peran yang dipegang oleh seseorang maka semakin besar fungsi seseorang
dalam memberikan kontribusi, sehingga secara sosiologis dia menempati kelas sosial yang
lebih tinggi dibanding dengan yang lain. Jika teori sistem sosial peran seseorang selalu
selaras dengan status sosial yang dimilikinya, maka teori konflik menyatakan peran
seseorang ditentukan oleh seberapa kuat dia memperjuangkan kelas sosialnya.
Ulasan Dahrendorf tentang anatomi konflik yang menyinggung tentang otoritas
memang lebih berbicara mengenai struktur sosial, dimana otoritas terletak pada posisi
seseorang, dan bukan karena pribadi seseorang. Dalam kenyataan empiris, pandangan
masyarakat secara makro tersebut terkadang kurang relevan, karena pemegang otoritas bisa
datang dari pribadi tertentu, karena pribadi tersebut secara personal memiliki sumber daya
(resources). Seorang Kiai dalam masyarakat Jawa memiliki otoritas kharismatik karena
mempunyai kelebihan dibanding dengan yang lain. Kelebihan tersebut bisa berupa
pengetahuan, keturunan, atau sumber daya budaya lainnya. Jadi ketaatan masyarakat santri
kepada Kiai bukan karena Kiai yang diangkat oleh masyarakat, tetapi secara kultural
ketaatan tersebut terbangun karena sumber daya kultural (cultural resources) yang dimiliki
oleh Kiai.
Barangkali inilah yang membedakan antara teori otoritas yang dimaksud oleh
kalangan neo-marxian dengan otoritas yang dimaksud oleh kalangan teoritisi Weberian.
Salah satu teoritisi yang banyak mengadopsi pendapat Weber adalah Pierre Bourdieu,
seorang sosiolog budaya asal Prancis. Di dalam mengulas tentang proyek habitus,
Bourdieu menyinggung tentang apa yang disebut dengan modal budaya (kultural capital)15
. Modal budaya dalam pandangan Bourdieu adalah satu arena dimana seseorang
mendapatkan artefak-artefak budaya (literature, pengetahuan, karya seni, dan lain-lain),
15 Bandingkan dalam Charles Lemert, Sosial Theory, The Multikultural and Classic Reading, Westview
Press. Oxford 1999 hal. 445
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
41
untuk me-legitimasi “distingsi” (perbedaan yang dianggap alamiah). Modal budaya
memungkinkan seseorang mendapatkan serta mengendalikan symbol-simbol budaya untuk
direpresentasikan dan direproduksi, sehingga dapat mempertahankan kelas sosialnya.
Perubahan sosial dan budaya dalam kajian Bourdieu selalu terkait dengan hubungan
timbal balik antara produser budaya (cultural Producers) dan konsumen budaya (cultural
consumers). Layaknya sebuah pasar, terdapat penawaran (supply) dan permintaan
(demand) simbol-simbol budaya, dan ada kompetisi di dalam pasar kebudayaan (culture
market), sehingga kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat dinamis dalam
perkembangannya.16 Jika pergeseran ketaatan masyarakat santri terhadap Kiai dalam
sebuah proses politik diletakkan dalam ranah teori ini, maka telah terjadi devisit simbol
kutural yang dimiliki oleh Kiai, sehingga otoritas kharismatik (cultural capital) yang
dimiliki oleh Kiai tidak bisa dioperasionalkan secara maksimal. Yang terjadi kemudian
adalah adanya polarisasi ketaatan, atau juga ada kumungkinan terjadi diferensiasi ketaatan
masyarakat santri terhadap Kiai.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini akan difokuskan pada dua hal. Pertama, ide atau gagasan, pandangan,
dan penilaian yang ditujukan bagi terbentuknya pandangan teologi politis Kiai, diwujudkan
dalam bentuk strategi guna mengantisipasi dan mengakomodasi perubahan. Kedua,
bagaimana proses pembentukan makna itu terjadi yang berakibat pada pergeseran ketaatan
masyarakat santri terhadap Kiai. Dari kedua persoalan tersebut, fokus utama yang harus
dieksplorasi adalah sistem kognisi atau pemahaman seluruh komponen masyarakat, dari
mulai elit lokal sampai massa atau khalayak yang menjadi subjek penelitian. Atas dasar
pertimbangan itu, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Penelitian ini akan dilakukan di tempat dimana elit lokal (Kiai), dan masyarakat
santri itu berada yakni pada beberapa wilayah di Kabupaten Kudus. Data primer penelitian
ini diperoleh melalui wawancara secara mendalam pada para elit lokal (kiai) baik yang
terlibat langsung maupun tidak. Menurut Geertz, etnografer (peneliti ethnografi) membuat
thick descriptions (pelukisan mendalam) yang menggambarkan ”kejamakan struktur-
struktur konseptual yang kompleks”, termasuk asumsi-asumsi yang tidak terucap dan
taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan17.
F. Kondisi Geografis dan Peta Politik Kudus
Secara Geografis, Kabupaten Kudus sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah
terletak diantara 4 (empat) Kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
16 Lihat dalam David Gartman, Bourdieu’s Theory of Kultural Change :Explicatian, Application,
Critique, Sociological theory, American Sociological Association, Washington DC, 2002 Hal. 258 17 Winarno Surachmad, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah, Tarsito: Bandung,
1970. Hal. 203
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
42
Jepara dan Kabupaten Pati sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, sebelah
selatan dengan Kabupaten Grobogan dan Pati serta sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara 110o36’ dan 110o50’ Bujur
Timur dan antara 6o51’ dan 7o16’ Lintang Selatan. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah
16 km dan dari utara ke selatan 22 km. Hal itu menjadikan Kabupaten kudus sebagai
daerah yang mempunyai letak yang strategis di kawasan pantai utara (Pantura), khususnya
dalam mengembangkan industri, karena secara geografis menghubungkan antara Pusat
kota propinsi Jawa Tengah (Semarang) dengan dua kota kabupaten lainya (Pati dan
Jepara).
Secara administratif Kabupaten Kudus terbagi menjadi 9 Kecamatan dan 123 Desa
serta 9 Kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Kudus tecatat sebesar 42.516 hektar atau
sekitar 1,31 persen dari luas Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan yang terluas adalah
Kecamatan Dawe yaitu 8.584 Ha (20,19 persen), sedangkan yang paling kecil adalah
Kecamatan Kota seluas 1.047 Ha (2,46 persen) dari luas Kabupaten Kudus. Luas wilayah
tersebut terdiri dari 20.579 Ha (48,40 persen) merupakan lahan sawah dan 21.937 Ha
(51,60 persen) adalah bukan lahan sawah. Jika dilihat menurut penggunaannya, Kabupaten
Kudus terdiri atas lahan sawah dengan pengairan teknis seluas 3.973 Ha (19,31 persen) dan
sisanya berpengairan 1/2 teknis, sederhana, tadah hujan dan lainnya. Sedangkan bukan
lahan sawah yang digunakan untuk bangunan dan halaman sekitar seluas 10.182 Ha (46,41
persen) dari lahan bukan sawah. Perbandingan prosentase luas lahan tersebut menunjukkan
bahwa Kabupaten Kudus merupakan daerah yang mengarah pada daerah industri skunder
diandingkan dengan industri primer (pertanian).
Gambaran suhu politik menjelang pemilihan langsung Bupati Kudus tahun 2013
sudah dipastikan mulai meninggi seiring dengan kontes politik yang akan dimulai.
Terdapat lima pasang calon Bupati atau kontesten yang berkompetisi dalam pemilihan
Bupati Kudus periode 2013 2018. Dari kelima pasangan calon tersebut empat pasangan
diusung oleh beberapa partai dan satu pasangan calon maju dengan suara independen.
Kelima pasangan tersebut adalah Pasangan calon Tamzil Asyrofi (TOP), Badri Hutomo-
Sofyan Hadi (BHS), Erdi Nurkito-Anang Fahmi (MANTAB), Mustofa-Abdul Hamid
(FAHAM), dan Budiono-sakiran (DIKIR).
Apresiasi masyarakat terhadap proses pemilihan langsung Bupati Kudus tercatat
sangat tinggi, karena beberapa alasan baik yang rasional maupun yang tidak rasional. Pada
umumnya mereka mempunyai harapan yang tinggi terhadap proses politik ini agar terjadi
perubahan kondisi ekonomi, sosial, dan keagamaan ke arah yang lebih baik. Hal itu
ditunjukkan dengan dengan hasil survey Lembaga eL-KASYF yang mempertanyakan
alasan mengapa memilih masing-masing pasangan calon Bupati. Ternyata alasan adanya
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
43
perubahan ke arah yang lebih baik menempati urutan ter atas dengan nilai 52, 8 %,
mengungguli alasan- alasan yang lain. 18
Ada beberapa alasan yang melatar belakangi mengapa masyarakat memilih salah
satu calon pasangan Bupat, dimana alasan ada perubahan ke arah yang lebih baik
menempati urutan pertama, disusul oleh alasan program yang diusung oleh masing-masing
calon. Dua alasan teratas tersebut cukup memberi bukti bahwa ekspektasi masyarakat
terhadap perubahan begitu tinggi dengan didukung oleh program-program yang
mementingkan kesejahteraan masyarakat.
G. Persepsi Teologis Kiai dalam Proses Politik
Perilaku sosial (sosial behavior) dalam kajian ilmu sosial selalu didasarkan pada
relasi antara berbagai unsur baik unsur internal manusia sebagai human being atau unsur
eksternal (struktur dan kultur sosial). Persoalan unsur mana yang lebih dominan antara
aspek internal atau eksternal yang mempengaruhi perilaku sosial telah menjadi perdebatan
panjang diantara para teoritisi sosiologi klasik. Perdebatan tersebut kemudian dicatat secara
sistematis oleh George Ritzer dengan memakai konsep paradigma Tomas Kuhn, menjadi
tiga model paradigma ilmu sosial. Paradigma tersebut adalah paradigma fakta sosial,
paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Ketika konsep perilaku tersebut digunakan untuk membaca konteks perilaku politik
Kiai maka dapat ditemukan beberapa kenyataan baru tentang bagaimana perilaku politik itu
dilakukan, atas dasar apa perilaku tersebut diletakkan dan bagaimana implikasi dari
tindakan tersebut terhadap stuktur sosial. Setidaknya terdapat beberapa catatan ketika
peneliti menyimak proses politik dalam event pemilihan Bupati Kudus secara langsung
tahun 2013. Pertama, persepsi yang terbangun dalam kalangan elit lokal (Kiai) di Kudus
terhadap politik praktis sangat beragam, apalagi ketika dikaitkan dengan ragam tipologi
Kiai yang ada di kabupaten Kudus. Kedua, perilaku yang dimunculkan atas dasar persepsi
teologis Kiai atas kenyataan politik praktis yang berjalan.
Penelusuran pemikiran teologis kyai dalam hal ini dilakukan dengan merujuk pada
konsep iman. Iman yang kenyataannya berakar pada corak teologis tertentu pada dasarnya
bersifat individual. Namun demikian, para pemeluk agama juga sesungguhnya tidak bisa
berdiri sendiri, sebagai pribadi-pribadi yang terpisah dari individu lainnya. Mereka
membentuk komunitas tertentu yang apabila telah mapan atau melembaga adalah dalam
suatu masyarakat akan terbentuk apa yang disebut pranata baru. Pada saat terjadinya
pranata baru inilah dalam masyarakat kemudian muncul elit sosial tertentu yang
menjadikan iman sebagai habitus (ciri yang menjadi identitas suatu kelompok).
18 Dokumen Laporan Survey II Pilbup Kudus tahun 2013, Lembaga Kajian Agama, Sosial, Budaya, dan
Filsafat (eL-Kasyf) Kudus 2013
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
44
Di dalam masyarakat Kudus, kiai merupakan salah satu elit yang mempunyai
kedudukan sangat terhormat dan berpengaruh besar pada perkembangan masyarakat
tersebut. Kiai menjadi salah satu elit strategis di dalam masyarakat karena ketokohannya
sebagai figur yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam mengenai ajaran Islam. Lebih
dari itu, secara teologis ia juga dipandang sebagai sosok pewaris para nabi (waratsat al-
anbiya). Tidak mengherankan jika kiai kemudian menjadi sumber legitimasi dari berbagai
keagaman, tapi juga hampir dalam semua aspek kehidupannya. Pada titik inilah kita dapat
melihat peran-peran strategis kiai, khususnya dalam aspek kehidupan sosial politik. Oleh
karena itu, perbincangan seputar peran sosial politik kiai dalam sosial politik yang tumbuh
dan berkembang khususnya pada masyarakat di Kabupaten Kudus, akan selalu melibatkan
persinggungan wacana antara agama dan politik. Selain itu kenyataan emperik juga
mengilustrasikan perpaduan antara agama dan politik ini seperti terlihat pada peran-peran
yang dimainkan sejumlah kiai dalam panggung politik praktis paling tidak selama beberapa
dekade terakhir.
Pembentukan persepsi teologis dapat ditelusuri dari tipologi peran yang dimaikan
oleh Kiai di dalam masyarakat. Jika dilihat dari ragam tipologi Kiai yang ada di Kabupaten
Kudus, maka dapat ditemukan beberapa tipologi diantaranya adalah pertama, Kiai
pesantren; Kiai pesantren memusatkan kegiatannya pada pengembangan sumber daya
manusia melalui pendidikan. Seorang santri yang dikirimkan oleh orang tuannya ke sebuah
pesantren secara otomatis adalah pengikut sang Kiai tersebut.
Pada umumnya para Kiai pesantren di Kudus cenderung lebih hati-hati dalam
memandang proses politik praktis. Tujuan pokok dari tugas mereka adalah bagaimana
mengelola pesantren dengan baik dan mendidik santri agar bisa bermanfaat bagi banyak
orang. Ketika mereka harus bersinggungan dengan persoalan politik praktis, maka hal
pertama yang dipertimbangkan adalah sejauh mana kontribusi keterlibatan dalam politik
praktis tersebut terhadap pemupukan modal kultural (cultural capital) yang dimiliki oleh
Kiai.
Tipologi Kiai yang kedua dalam melacak persepsi teologi politiknya adalah Kiai
tarekat. Kiai tarekat memusatkan kegiatannya pada pembangunan batin (dunia hati) umat
Islam. Oleh karena tarekat adalah lembaga formal, maka para pengikut kiai tarekat adalah
anggota formal dari kegiatan tersebut. Sekalipun Kiai tarekat mempunyai jaringan pengikut
yang cukup luas, tetapi peneliti belum menemukan keterlibatan secara langsung para Kiai
tarekat dalam politik praktis. Bagi mereka politik adalah ruang ekspresi kepentingan yang
dimainkan oleh sejumlah orang yang berkompeten untuk itu. Sepanjang kebijakan-
kebijakan politik yang dihasilkan oleh para politisi tidak menggagu aktifitas santri dalam
melakukan ritual keagamaan, maka Kiai tidak perlu turun tangan untuk terlibat langsung
dalam politik praktis. Pandangan yang seperti itu didasarkan pada keyakinan bahwa
sesuatu persoalan akan lebih baik jika dipegang oleh ahlinya.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
45
Tipologi Kiai yang ketiga adalah Kiai Panggung. Kiai Panggung adalah para da’i
yang menyebarkan pengetahuan keislaman melalui kegiatan dakwah. Pengikut Kiai
panggung ini ditentukan seberapa popular seorang Kiai di tengah-tengah masyarakat.
Peneliti menemukan dua model Kiai panggung dalam lapangan penelitian ini. Model yang
pertama adalah Kiai panggung yang menjadi bagian dari salah satu organisasi keagamaan
secara struktural. Dan model yang kedua adalah Kiai panggung yang tidak menjadi bagian
struktural organisasi keagamaan.
Kesempatan yang begitu luas dengan massa yang menjanjikan itulah kadang-
kadang persepsi teologis kiai panggung terhadap fenomena politik praktis cenderung
pragmatis, artinya pandangan kiai panggung seringkali terdorong dan dipengaruhi oleh
intensitas komunikasi dengan para calon pemimpin politik. Itulah mengapa antara satu Kiai
panggung dengan Kiai panggung lainnya cenderug berbeda pilihan politiknya. Bisa
dikatakan bahwa persepsi teologis kiai panggung terhadap politik ini lebih cenderung
terbuka dan pragmatis.
Tipologi Kiai yang keempat adalah Kiai langgar. Istilah Kiai langgar ini pernah
dipakai oleh Pradjarta Dirdjosanjoto ketika meneliti fenomena Kiai di daerah Tayu Pati.19
Kiai langgar adalah Kiai yang mengasuh agama masyarakat di sebuah bangunan kecil di
pedesaan Jawa. Langgar, atau yang sering disebut surau adalah tempat dimana masyarakat
berkumpul untuk shalat berjama’ah bersama tetangga, mendengarkan pengajian dari sang
Kiai, dan mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar mengaji. Langgar, merupakan
symbol komunitas santri dimana mereka bisa belajar ilmu agama kepada seorang Kiai
langgar.
Ada dua persepsi Kiai langgar dalam menyikapi proses politik praktis. Pertama,
Kiai tersebut memandang proses politik yang terjadi sebagai proses yang tidak perlu
disikapi dengan berlebihan dan menyerahkan semua pilihan kepada masyarakat, karena
yang terpenting adalah memikirkan kebutuhan ummat yang dianggap jauh lebih besar
dibandingkan dengan proses politik yang hanya mementingkan kepentingan sesaat. Kedua,
Kiai tersebut memandang proses politik yang terjadi adalah sebuah moment dimana
kepentingan ummat yang besar tersebut bisa diakomodir oleh proses politik yang sedang
berjalan. Kiai tersebut, seperti pada umumnya masyarakat memandang proses politik
praktis sebagai ajang tawar menawar kepentingan antara calon pemimpin dengan
masyarakat dengan sejumlah imbalan yang berupa materi.
Di atas semua Kiai yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat tipologi Kiai yang
kelima yaitu Kiai sepuh. Di Kabupaten Kudus masih terdapat Kiai-Kiai yang dianggap
masyarakat dengan Kiai sepuh atau kiai yang dituakan. Kiai ini menjadi rujukan berbagai
persoalan keagamaan yang terjadi di masyarakat. Lingkup komunitas yang mentaati Kiai
19 Lihat Paradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Ummat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, LKiS
Yogyakarta 1999 hal. 155
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
46
ini sangat luas, bahkan meluas sampai ke luar daerah. Kharisma dari Kiai ini melingkupi
semua Kiai yang ada di Kabupaten Kudus. Maka tidak heran ketika proses politik yang ada
di Kabupaten Kudus ini baru dimulai, semua bakal calon berusaha mendekati Kiai sepuh
ini untuk sekedar mencari dukungan dan legitimasi dari kesantrian mereka.
Sikap politik yang ditunjukkan oleh Kiai sepuh cenderung menjaga jarak, meskipun
politik bagi Kiai sepuh penting artinya bagi kelangsungan dakwah Islam. Sikap yang
demikian itu didasarkan pada pemahaman fiqh siyasah yang dikuasainya sehingga politik
bersih atau dalam ilmu politik disebut sebagai high politic, sangat dikedepankan
dibandingkan dengan politik praktis yang rentan dengan benturan-benturan sosial. Politik
bagi Kiai sepuh adalah satu media dimana kepentingan-kepentingan ummat dijunjug tinggi
tanpa memandang siapapun yang menjadi pemegang kekuasaan. Di Kabupaten Kudus,
bagi Kiai, sepanjang pemimpinnya adalah seorang Muslim dan dikehendaki oleh
masyarakat maka tidak ada persoalan.
H. Ketaatan Masyarakat pada Kiai dalam Proses Politik
Di dalam masyarakat santri, ketaatan terhadap Kiai adalah hal yang tidak terlalu
istimewa, artinya santri taat kepada Kiai adalah sebuah keharusan, baik secara normatif
ataupun secara empirik. Kepatuhan santri kepada Kiainya inilah yang seringkali dijadikan
sebagai komoditas politik, baik oleh Kiai sendiri sebagai elit lokal atau dimanfaatkan oleh
para kontestan pemilihan umum langsung di setiap daerah. Hubungan sosial yang bersifat
patronase ataupun hubungan elit-massa, sama-sama memberikan gambaran betapa potensi
pendulang massa sangat besar dimiliki oleh para Kiai. Dengan potensi yang demikian besar
itulah Kiai dihadapkan pada problematika sosial, antara tergiur pada syahwat politik yang
begitu kuat ataukah mempertahankan misi awalnya, yakni membimbing dan memelihara
ummat ke arah yang lebih baik.
Bagi masyarakat awam memilih pemimpin ibarat mencarikan posisi nyaman untuk
orang lain. mereka memahami menjadi pemimpin itu adalah salah satu cara untuk menjadi
kaya raya. untuk mencapai itu maka butuh modal, terutama modal material. Maka dari itu
ketika ada seorang Kiai masuk ke dalam ranah sosial yang dianggap kotor tersebut, seolah-
olah ada nilai yang terdegradasi dari sosok seorang Kiai. Mencermati dinamika ketaatan
masyarakat terhadap Kiai dalam proses pemilihan umum langsung di Kabupaten Kudus
tahun 2013, jika dikaitkan dengan persepsi teologisnya, maka dapat dijabarkan sebagai
berikut :
1. Santri dan Kiai Pesantren
Medan politik dan pengaruh yang dimiliki oleh Kiai pesantren adalah di seputar
santri yang menjadi binaan kiai tersebut. Hubungan antara santri dan Kiai pada umumnya
bertipe relasi elit dan massa dimana ketergantungan secara ekonomi tidak terlihat, tetapi
ketergantungan secara emosional sangat kuat sekali. Ketergantungan santri kepada kiainya
hanya sebatas ikatan sosial dan ikatan emosional dimana santri sangat tergantung kepada
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
47
Kiai dalam bidang ilmu agama saja. Sekalipun demikian loyalitas santri yang berada di
pesantren terhadap kiainya tidak terlalu berubah dibandingkan ketika masih dipenuhi
kebutuhan ekonomi dan sosialnya. Hal itu didasarkan kepada persepsi teologis yang
dibangun di dalam dunia pesantren bahwa kemanfaatan ilmu itu bisa ditentukan oleh
seberapa besar ketaatan santri kepada Kiai atau guru sebagai lumbung ilmu pengetahuan.
Dalam bidang sosial kemasyarakatan dan kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari
para santri juga sangat loyal kepada Kiai. Struktur sosial yang terbentuk melalui proses
kultural yang menempatkan posisi kiai sebagai top leader dalam ilmu agama dan sosial,
menjadikan sebuah perilaku atau sikap yang sangat hormat santri kepada Kiainya. Hal ini
ditunjukkan dengan perilaku simbolik mencium tangan Kiai ketika mereka sedang
berpapasan atau ketemu setiap pemberian materi ilmu agama. Selain perilaku simbolik
tersebut. Sikap segan terhadap Kiai juga ditunjukkan oleh santri ketika mereka ketahuan
melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan di lingkungan pesantren misalnya, tertawa
keras-keras atau bergurau secara berlebihan.
Di dalam aspek politik praktis, ketaatan santi kepada Kiai juga masih dipegang
teguh. Afiliasi dan anjuran kiai untuk memilih salah satu calon bupati Kudus dalam kontes
pemilihan langsung kepala daerah cukup ditaati oleh para santri. Hal ini terbukti dengan
terbangunnya jaringan relawan dalam pemenangan salah satu pasangan calon bupati, mulai
dari tingkat Desa sampai tingkat center. Jaringan kerja politik yang dibangun tersebut
berjalan berdasarkan atas keterikatan sebagai santri atau alumni santri. Ketaatan yang
ditunjukkan oleh santri kepada kiai dalam aspek politik praktis ini mungkin berbeda
dengan ketaatan yang ditunjukkan dalam bidang sosial dan ilmu agama. Kalau di dalam
aspek sosial dan ilmu agama, ketaatan mereka didasarkan atas keyakinan atau idiologi yang
cenderung irasional, maka di dalam aspek politik praktis, ketaatan mereka didasarkan pada
alasan-alasan yang cenderung lebih rasional misalnya, alasan kedekatan atau alasan reward
yang yang akan diterima kalau terpilih menjadi Bupati.
Hampir sama dengan hubungan antara Kiai pesantren dengan para santrinya,
hubungan ketaatan Kiai tarekat dengan santri juga relatif tanpa adanya pergeseran.
Lemahnya antusias Kiai tarekat dalam menyikapi proses politik praktis menjadikan
antusiasme pengikut tarekat terhadap proses politik praktispun tidak sesemarak santri-santri
yang ada di pesantren.
Di dalam bidang ilmu agama dan amalan sufi ketaatan para pengikut tarekat
ditunjukkan dengan selalu mengamalkan apa yang telah diajarkan oleh Kiai kepada
santrinya. Amalan-amalan itu biasanya berupa bacaan-bacaan dzikir kepada Allah SWT
dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Amalan-amalan tersebut diberikan Kiai
kepada pengikut tarekat secara bertahap sesuai dengan kekuatan dan kemauan santri tarekat
dalam mengamalkannya.
Totalitas dalam mengamalkan dzikir ini berimplikasi pada perilaku sosial yang
cenderung tenang dalam menghadapi problematika hidup. Sikap dan tindak tanduk Kiai
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
48
menjadi tauladan baik di dalam mengontrol emosi diri atau di dalam berinteaksi dengan
sesama. Dengan kesehajaannya itulah sebetulnya di dalam struktur masyarakat santri,
kaum tarekat ini justru mendapatkan posisi yang cukup tinggi. Jadi dengan demikian
semakin jelas bahwa di dalam bidang sosial, ketaatan santri pengikut tarekat terhadap
kiainya sangat tinggi.
Hampir sama dengan di alam bidang sosial, di dalam bidang politikpun ketaatan
terhadap Kiai tarekat tidak terlalu banyak mengalami pergeseran. Di Kabupaten Kudus,
keterlibatan Kiai tarekat dalam politik praktis tidak terlalu mencolok, sehingga benturan-
benturan dalam proses politik praktis tidak terlalu terasa. Hal ini berbeda dengan apa yang
terjadi di Jawa Timur, dimana Kiai tarekat banyak terlibat secara langsung ke dalam politik
praktis.
1. Kiai Panggung dan Masyarakat
Berbeda dengan dua tipologi Kiai sebelumnya, jarak hubungan antara Kiai
Panggung dengan masyarakat tidak dibatasi oleh ruang fisik. Kalau jarak hubungan Kiai
pesantren dan santrinya dilingkupi oleh batas-batas fisik seperti ruang dan bilik pesantren,
hubungan Kiai tarekat dan santrinya dibatasi oleh ruang-ruang fisik, maka jarak hubungan
antara Kiai panggung dan masyarakat relatif lebih bebas dan tersebar di ruang-ruang publik
yang tidak dibatasi oleh ruang fisik. Popularitas sang Kiai menjadi pembatas medan
dakwah yang dikelola oleh Kiai panggung. Batas popularitas tersebut bisa hanya sebatas
kampung, kecamatan, hingga tingkat nasional. Tersebarnya pengaruh Kiai panggung di
ruang publik yang sangat bebas menjadikan pengaruh Kiai terhadap perilaku masyarakat
cenderung lebih longgar.
Ketaatan yang ditunjukkan masyarakat kepada Kiai da’i ini hanya sebatas urusan
pengajian agama ketika sang Kiai berceramah. Di luar itu masyarakat bebas memaknai
seluruh perilaku Kiai baik dalam interaksi sosial secara umum atau terlibat secara langsung
dengan kegiatan-kegiatan politik praktis. Ikatan-ikatan emosional yang terbangun atara kiai
dengan masyarakat hanya terjadi ketika Kiai berada di atas mimbar, sementara masyarakat
mendengarkan secara seksama apa isi dari ceramah tersebut. Ketika ruang telah digantikan
oleh media, maka ikatan-ikatan emosional tersebut semakin pudar, sehingga pengajian dari
kiai da’i ini seperti hembusan wacana yang disebar ke seluruh khalayak, dan khalayak atau
massa dengan bebasnya memaknai dan menterjemahkan isi dari wacana tersebut.
Di dalam bidang sosial, dengan menyimak kenyataan yang sudah digambarkan di
atas, ketaatan terhadap Kiai panggung menjadi tidak jelas. Pergeseran ketaatan terhadap
kiai sangat kelihatan. Jika zaman dahulu Kiai panggung ini dianggap sebagai tokoh yang
mempunyai keahlian khusus dalam berpidato dan menyampaikan pesan-pesan moral,
sehingga mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari masyarakat, maka zaman sekarang
apresiasi yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut terkesan basa basi. Posisi penceramah
agama dianggap seperti layaknya orang yang pintar berorasi dan berdiplomasi. Posisinya
akhirnya tidak lebih tinggi dari para politisi yang pintar dalam beretorika.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
49
Jika di dalam bidang sosial posisi Kiai d’ai tersebut hanyalah sebatas penebar
wacana keagamaan, sehingga posisinya tidak lebih tinggi dari pada tukang retorika, maka
bisa dipastikan, di dalam bidang politik praktis, ajakan kiai da’i untuk memilih salah satu
pasangan calon Bupati dianggap masyarakat sebagai ajakan para tim sukses yang
mempunyai kepentingan materiil sangat kental.
1. Kiai Langgar dan Masyarakat
Seperti yang telah dijelaskan didepan, bahwa Kiai langgar adalah Kiai langgar
adalah Kiai yang mengasuh agama masyarakat di sebuah bangunan kecil di pedesaan Jawa.
Langgar, atau yang sering disebut surau adalah tempat dimana masyarakat berkumpul
untuk shalat berjama’ah bersama tetangga, mendengarkan pengajian dari sang Kiai, dan
mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar mengaji. Kepatuhan masyarakat dalam
segala urusan keagamaan menjadi penanda bahwa keikhlasan sang Kiai dalam
membimbing ummat menjadi prioritas penting.
Karena ketulusan dan keikhlasan di dalam membimbing ummat itulah Kiai ini
mendapatkan posisi yang tinggi di dalam stratifikasi sosial. Kiai langgar menjadi sosok
yang dihormati dan disegani oleh masyarakat di dalam urusan bermasyarakat. Hal yang
berlawanan dengan ketaatan dalam bidang sosial di atas terjadi di dalam persoalan politik
praktis. Di dalam proses politik praktis, keterlibatan Kiai langgar dianggap sebagai blunder
sosial yang mengakibatkan anggapan adanya dekadensi nilai ketokohan yang dimiliki oleh
Kiai. Keterlibatan di dalam proses politik praktis baik sebagai pendulang massa atau
sebagai pemain politik, dianggap sebagai aib sosial, kerena politik praktis dimaknai
masyarakat sebagai ajang pencarian materi yang hanya pantas dilakukan oleh orang-orang
yang berada pada level rendah dalam stratifikasi sosial.
Oleh karena itulah mengapa di dalam bidang politik praktis, ketaatan masyarakat
terhadap Kiai langgar sangat rendah, bahkan nyaris tidak ada, hal itu dikarenakan sosok
kiai yang dianggap figure penting dalam masyarakat telah jatuh ke dalam perilaku-perilaku
kotor dalam politik praktis. Di dalam bidang agama dan urusan kemasyarakatan, Kiai
langgar masih mendapatkan apresiasi berupa ketaatan dari masyarakat, tetapi di dalam
bidang politik praktis masyarakat cenderung menjauhi sang Kiai.
2. Kiai Sepuh dan Masyarakat.
Senada dengan tipologi Kiai langgar, Kiai sepuh adalah figur yang sangat
berpengaruh di tengah-tengah masyarakat, bahkan pengaruh yang dimiliki oleh Kiai sepuh
lebih luas di bandingkan dengan pengaruh Kiai langgar. Di Kabupaten Kudus masih
terdapat Kiai-Kiai yang dianggap masyarakat dengan Kiai sepuh atau kiai yang dituakan.
Kiai ini menjadi rujukan berbagai persoalan keagamaan yang terjadi di masyarakat.
Lingkup komunitas yang mentaati Kiai ini sangat luas, bahkan meluas sampai ke luar
daerah. Kharisma dari Kiai ini melingkupi semua Kiai yang ada di Kabupaten Kudus.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
50
Maka tidak heran ketika proses politik yang ada di Kabupaten Kudus ini baru dimulai,
semua bakal calon berusaha mendekati Kiai sepuh ini untuk sekedar mencari dukungan dan
legitimasi dari kesantrian mereka.
Karena perannya yang begitu besar di dalam masyarakat, khususnya dalam
persoalan keagamaan, maka secara sosiologis Kiai ini mempunyai posisi yang tinggi di
dalam struktur sosial. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya antusias warga masyarakat
santri untuk bersilaturrahim dan sowan ke kediaman Kiai di hari lebaran. Di dalam
masyarakat santri Kudus, hari lebaran merupakan moment penting untuk bersilaturrahim
terutama kepada orang-orang tua dan dihormati. Konsep ngalap berkah masih sangat
kental berlaku dalam masyarakat Kudus. Berkah merupakan hal-hal baik yang bisa
didapatkan dari figur yang secara kultural memiliki keistimewaan dan scara structur sosial
sangat tinggi.
Meskipun di dalam aspek agama dan sosial, Kiai sepuh ini mempunyai pengaruh
yang begitu kuat, namun dalam bidang politik praktis, pengaruhnya tidak sekuat dalam hal
agama dan sosial kemasyarakatan. Hal ini karena sikap hati-hati yang diambil oleh Kiai
dalam menyikapi proses politik yang sedang berlangsung. Bagi Kiai sepuh, yang paling
penting di jaga adalah keutuhan ummat agar tidak terpecah belah. Kehati-hatian Kiai inilah
yang kemudian menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam di tengah-tengah
masyarakat mengenai sikap politik kiai. Sikap hati-hati Kiai mengenai pilihan politik juga
mengakibatkan kiai sepuh tidak dijadikan sebagai referensi dalam memilih pasangan calon
Bupati.
I. Kesimpulan
Semenjak otonomi daerah diberlakukan pada zaman reformasi, dimana pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung oleh masyarakat, dinamika hubungan antara Kiai
sebagai pembimbing ummat dengan masyarakat terkesan tercabik-cabik. Hal itu karena
syahwat politik yang begitu kuat sehingga mendorong keterlibatan Kiai untuk terjun
langsung baik hanya menjadi pendulang suara (vote-getter), menjadi pemimpin politik
(elective political leader), sampai menjadi pemain politik (political player). Keadaan
semacam ini di satu sisi menguntungkan perjuangan Kiai dalam berdakwah, karena
mendapat dukungan dari struktur pemerintah, namun di sisi lain secara kultural terjadi
benturan-benturan kepentingan yang mengakibatkan hubungan antara Kiai dan masyarakat
menjadi terganggu.
Apa yang terjadi dalam sebagian besar pemilu kepala daerah di beberapa daerah
menunjukkan bagaimana pemimpin kepala daerah lahir dari tokoh-tokoh lokal, sehingga
medan dakwah yang dimiliki oleh Kiai semakin luas. Akan tetapi apa yang terjadi di
Kabupaten Kudus sangat berlawanan dengan apa yang terjadi di Kebumen, di Kendal, atau
di beberapa daerah di Jawa Timur, dimana para Kiai menjadi pemenang dalam pemilihan
langsung kepala Daerah. Di Kudus justru sebaliknya, calon yang diusung oleh mayoritas
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
51
kaum santri justru kalah dalam pemilihan Bupati tahun 2009 dan tahun 2013. Penelitian ini
menemukan beberapa fakta mengapa terjadi ketidak harmonisan hubungan antara kiai
dengan masyarakat sebagai penentu kemenangan dalam kontes pemilihan kepala daerah.
Temuan yang pertama dan paling utama adalah terjadinya pergeseran ketaatan
masyarakat kepada Kiainya, dekadensi nilai kultural yang dimiliki oleh Kiai menyebabkan
berkurangnya otoritas kiai dalam mendulang suara di pemilihan langsung oleh masyarakat.
Padahal selama ini keberhasilan Kiai dalam proses politik praktis antara lain didukung
sepenuhnya oleh otoritas kharismatik yang dimiliki oleh Kiai. Temuan yang kedua adalah
dinamika ketaatan masyarakat kepada Kiai dalam proses politik sangat berkaitan dengan
tipologi Kiai yang ada di kabupaten Kudus. Temuan yang ketiga adalah terdapat variasi
ketaatan masyarakat terhadap Kiai yang didasarkan atas domain kehidupan keagamaan,
kehidupan sosial dan kehidupan berpolitik. Hal ini juga terkait dengan atribut simbolik
yang disandang oleh Kiai.
Dinamika ketaatan yang dijelaskan dalam temuan penelitian ini menunjukkan
bahwa telah terjadi pergeseran ketaatan antara Kiai sebagai subjek dakwah (Da’i) dengan
masyarakat sebagai medan dakwah dengan segudang kompleksitas persoalannya. Hal
penting yang dapat digarisbawahi dalam penelitian ini adalah ketika hubungan antara Da’i
dengan Mad’u tidak harmonis, maka ada persoalan besar dalam mencapai tujuan dakwah.
Oleh karenanya secara praktis temuan penelitian ini bisa dijadikan sebagai warning bagi
pelaku dakwah dan teoritisi dakwah bahwa dinamika relasi kultural dalam medan dakwah
adalah sebuah keniscayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Moh Ali, Dinamika Kepemimpinan Kiai di Pesantren, IAIN Sunan Ampel, Jurnal
Ilmu Dakwah vol. 7 no.1 April 2002,
Dirdjosanjoto, Paradjarta, Memelihara Ummat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa,
LKiS Yogyakarta 1999
Faridh, Miftah , “Peran Sosial politik Kiai di Indonesia, Jurnal SOSIOTEKNOLOGI, edisi
11 Tahun 6 Agustus 2007, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Bandung 2007.
Gartman, David, Bourdieu’s Theory of Kultural Change :Explicatian, Application,
Critique, Sociological theory, American Sociological Association, Washington DC,
2002
Geertz, Clifford, Abangan, Santri,Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan, Pustaka
Jaya, Jakarta 1983.
Horikoshi, Hiroko, Kiai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta 1987
Jatmika, Sidik , “Kiai dan Politik Lokal, Studi Kasus Reposisi Politik Kiai NU Kebumen
Jawa Tengah Memanfaatkan Peluang Keterbukaan Partisipasi di Era Reformasi”,
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
52
Disertasi Program Doktor Sosiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta 2005.
Lemert, Charles, Sosial Theory, The Multikultural and Classic Reading, Westview Press.
Oxford 1999
Martin, Roderick, Sosiologi kekuasaan, Rajawali Press Jakarta 1990
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman., Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep
Rohendi Rohidi, UI Press: Jakarta, 1992
Mulkhan, Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri, PT Bina Ilmu, Surabaya 1994
Purwoko, Bambang, “Perilaku Politik Elit Agama dalam Dinamika Politik Lokal”,dalam
Focus Groups Discussion (FGD), “ Perilaku Elit Politik dan Elit Agama dalam
Pilkada di Kabupaten Kulonprogo, diselenggarakan oleh LABDA Shalahuddin,
JPPR, dan The Asia Foundation, Yogyakarta 3 Agustus 2006
Peneliti Lembaga Kajian Agama, Sosial, Budaya, dan Filsafat (eL-Kasyf), Dokumen
Laporan Survey II Pilbup Kudus tahun 2013, Kudus 2013
Surachmad, Winarno, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah, Tarsito:
Bandung, 1970
Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKiS, Yogyakarta 2004
Ummatin, Khoiro , Perilaku Politik Kiai, Pustaka Pelajar Yogyakarta 2002
Van Bruinessen, Martin, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Yayasan Bentang Budaya,
Yogyakarta 1998
Vredenberg., Jacob, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia: Jakarta, 1986,
Wahid, Marzuki , Metaformosis Pesantren, Lektur STAIN Pres , Cirebon 2000,