36
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 113 ANTARA POLITIK NEGARA DAN AGAMA (Sebuah Kajian Bibliograpi) Anisa Listiani 1 Abstract Ideology is ideal hope claiming as a truth. Every the claim will declare that program achievement that brought will produce best social rule; a rule truth and the legitimization proved for everyone. Ideology aim often described with stipulating repeats something that ever there but in this time lose the triumph time, but he also can be in the form of a dreams realization and anspirasi only haunt in past. Ideology almost always integration with a few vast interpretation about cosmology nature, that is they related with thinking system according to various confirm that penomena that seen produced by material pure strength; by a dualism aim between good principle and bad, with intervention from individual mobile, or by tongue rule but has impersonal that appointed by lord. Hence, several ideology claims inclined be absolute. Keywords: ideology, truth, legitimization, power, intervention. A. Pendahuluan Legitimasi adalah suatu yang fundamental dalam sebuah sistem social-politik. Ia adalah stempel ideology. Ideologi sendiri merupakan sebuah system yang hidup dimana distribusi kekuasaan, kekayaan, materi, dan status dirasa benar bagi kelompok tersebut. Dalam sebuah masyarakat yang stabil, yaitu sebuah masyarakat yang damai dan tidak dikacaukan oleh kekuatan luar, konsep yang digunakan untuk melegitimasi aturan yang ada biasanya tidak diekspresikan dalam bentuk proposisi yang abstrak. Namun, ia diwujudkan dalam bentuk seremonial, simbol-simbol visual dan mitos. Tetapi saat „aturan‟ yang ada dirasa kacau, baik oleh ketidaksepakatan internal maupun kekuatan eksternal maka para pemangku aturan berusaha menjelaskan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Usaha-usaha tersebut sebagai bentuk definisi diri dengan menggunakan pernyataan umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah yang seharusnya ditetapkan. Cara yang dengannya ideologi yang disampaikan (seremonial umum, arsitektur, ukuran, pamplet, khotbah, dan sebagainya) dapat disebut propaganda. Dan lebih formal,kita dapat mendefenisikan ideologi sebagai sebuah kritik terhadap sistem sosialpolitik yang ada baik untuk menggambarkan sistem tersebut maupun mengajak anggota-anggotanya untuk memegang teguh, memilih ataupun mengesampingkannya. Ideologi, pendeknya, adalah sebuah analisis dan sebuah panggilan untuk berbuat. 1 Penulis adalah Dosen tetap STAIN Kudus

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

113

ANTARA POLITIK NEGARA DAN AGAMA

(Sebuah Kajian Bibliograpi)

Anisa Listiani1

Abstract

Ideology is ideal hope claiming as a truth. Every the claim will declare that program

achievement that brought will produce best social rule; a rule truth and the legitimization

proved for everyone. Ideology aim often described with stipulating repeats something that

ever there but in this time lose the triumph time, but he also can be in the form of a dreams

realization and anspirasi only haunt in past.

Ideology almost always integration with a few vast interpretation about cosmology

nature, that is they related with thinking system according to various confirm that

penomena that seen produced by material pure strength; by a dualism aim between good

principle and bad, with intervention from individual mobile, or by tongue rule but has

impersonal that appointed by lord. Hence, several ideology claims inclined be absolute.

Keywords: ideology, truth, legitimization, power, intervention.

A. Pendahuluan

Legitimasi adalah suatu yang fundamental dalam sebuah sistem social-politik. Ia

adalah stempel ideology. Ideologi sendiri merupakan sebuah system yang hidup dimana

distribusi kekuasaan, kekayaan, materi, dan status dirasa benar bagi kelompok tersebut.

Dalam sebuah masyarakat yang stabil, yaitu sebuah masyarakat yang damai dan tidak

dikacaukan oleh kekuatan luar, konsep yang digunakan untuk melegitimasi aturan yang ada

biasanya tidak diekspresikan dalam bentuk proposisi yang abstrak. Namun, ia diwujudkan

dalam bentuk seremonial, simbol-simbol visual dan mitos. Tetapi saat „aturan‟ yang ada

dirasa kacau, baik oleh ketidaksepakatan internal maupun kekuatan eksternal maka para

pemangku aturan berusaha menjelaskan kenyataan yang sebenarnya terjadi.

Usaha-usaha tersebut sebagai bentuk definisi diri dengan menggunakan pernyataan

umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi

apakah yang seharusnya ditetapkan. Cara yang dengannya ideologi yang disampaikan

(seremonial umum, arsitektur, ukuran, pamplet, khotbah, dan sebagainya) dapat disebut

propaganda. Dan lebih formal,kita dapat mendefenisikan ideologi sebagai sebuah kritik

terhadap sistem sosial–politik yang ada baik untuk menggambarkan sistem tersebut

maupun mengajak anggota-anggotanya untuk memegang teguh, memilih ataupun

mengesampingkannya. Ideologi, pendeknya, adalah sebuah analisis dan sebuah panggilan

untuk berbuat.

1 Penulis adalah Dosen tetap STAIN Kudus

Page 2: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

114

B. Ideologi dan Propaganda dalam Pustaka

Ideologi mempunyai sebuah retorika yang jelas, sesuatu yang secara simultan

rasional dan mengharukan. Karena ideologi mencoba manghasut orang-orang untuk

berbuat, ia jarang ditampilkan secara sederhana sebagai sebuah rangkaian proposisi abstrak

yang logis, tetapi mereka hampir selalu dikerangkakan dalam kekuatan, nilai bahasa yang

berisi. Dan secara khusus, ideologi berakar pada simbol-simbol budaya untuk membawa

pesannya. Simbol-simbol ini, pada gilirannya, menjadi semacam tangan pendek bagi

ideologi memang mungkin untuk mengucapkannya secara rinci ide yang terdapat dibalik

mereka, tetapi biasanya simbol-simbol ditangkap secara intuitif oleh pembicara dan

pendengar. Karenanya tendensi ideologi tereduksi dalam nyanyian slogan-slogan. Dalam

diskursus Islam, misalnya, seseorang biasanya menyerukkan untuk menjalankan syariah,

mengikuti jalan yang digariskan para pendahulu (kaum salaf), dan aturan yang sesuai

dengan al- Qur‟an dan Sunah. Jika dipahami secara mendalam, seruan tersebut sungguh

merupakan ungkapan-ungkapan yang belum jelas. Penafsiran tentang Syari‟ah mana yang

dimaksud dari seruan itu, para pendahulu (kaum salaf) yang mana yang dimaksud, dan

pada bagian Al-Qur‟an mana yang dituju? Tetapi dalam suatu mileu sosial dan politik yang

sesuai, slogan-slogan tersebut akan hadir sebagai sebuah progam yang spesifik, dan nyata.

Tak banyak kajian bibliografi yang memadahi tentang masalah ideology,, namun

tulisan yang agak bombastik membahasnya adalah analisis dari Karl Mannheim, Ideology

and Utopia ( terjemahan Louis Wirth dan Edward Shils, 1936), dan sejumlah studi Clifford

Geerts. Lihat secara khusus pada “ Ideology as a Cultural System” dalam The

Interpretation of Cultures (1973), halaman 193-233. Begitu juga tulisan Edward Shils dan

Harry M. Johnson, “Ideology,” dalam International Encyclopaedia of the Social Sciences,

viii (1968), 66-85.

Ideologi adalah sebuah tampilan penting dari kebenaran sejarah Islam dari luarnya.

Al-Qur‟an sendiri menegaskan adanya sebuah ideologi, suatu program tingkah laku sosial

dan politik yang bertujuan menciptakan sebuah masyarakat yang berketuhanan. Bahkan

dalam sejarahnya, karier Nabi Muhammad SAW sebagian besarnya dicurahkan untuk

mewujudkan program tingkah laku yang diyakini sebagai artikulasi berketuhanan ini. Baru

setelah Nabi Muhammad SAW, kebanyakan krisis internal ummat disimpulkan sebagi

kumpulan besar dari ideologi-ideologi yang saling bertentangan.

Banyak catatan sejarah tentang ideology ini, mulai dari Revolusi Abbasiyah,

penggulingtan kekuasaan Karmatian dan Fatimiyah pada akhir abad 3 H/9 M-10 M,

gerakan Almoravid dan Almohad di Maghrib, kemunculan Bani Safawi dan masih banyak

lagi yang lain. Bahkan pemerintahan seperti pemerintahan Bani Ayyub, yang aslinya

didirikan tak lebih dengan kekuatan yang kejam, dengan cukup cepat mencoba

membangun sejumlah ideologi yang menjadikan mereka diterima secara politis.

Di sisi lain, propaganda pada masa pertengahan Islam, pada awalnya

mencerminkan sebuah kompleksitas dari ideologi. Karena waktu itu tak ada mass media

Page 3: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

115

seperti yang ada masa ini, namun baik pemerintah maupun para oposisi mereka memiliki

cara yang efektif. Seluruh kelompok bagaimanapun batasannya, mampu memberikan

harapan dan sejumlah partisipasi langsung dalam membentuk dan memutuskan kebijakan

negara, atau bagi yang mampu mengorganisir cukup kekuatan mampu menjadikan diri

mereka diperhitungkan. Kelompok-kelompok sosial yang termasuk dalam kriteria ini

adalah banyak sekali tipenya; misalnya pemerintahan Mamluk, suku-suku nomad,

persaudaraan sufi, orang-orang kota yang terhormat dan para ulama, dan lain sebagainya).

Tak satu pun alat komunikasi dapat efektif diantara seluruh kelompok, dan sehingga tak

ada propaganda harus ditargetkan..

Apakah instrumen propaganda itu verbal ataukah visual? Di antara instrumen

verbal, perbedaan antara tulisan dan ucapan tidaklah seluruhnya terpisah dengan jelas,

sebab mayoritas teks-teks yang ada dijadikan ungkapan ulang.

Untuk memahami dengan baik teks-teks propaganda tersebut setidaknya perhatian

yang diberikan tidak hanya pada kosa kata saja namun lebih pada seting dimana mereka

harus dibaca. Karena itu Khutbah (khotbah resmi saat sholat Jum‟at) disampaikan sebelum

sekelompok orang melaksanakan sembahyang – pada prinsipnya yang hadir adalah seluruh

laki-laki yang dewasa dari seluruh kota atau orang-orang yang bertempat tinggal di sana.

Puisi akan dibacakan di antara sekumpulan teman (majlis) dalam rumah yang khusus atau

di tempat yang lain. Teks-teks hadits ataupun teks-teks hukum maupun teologi juga dapat

dipelajari dalam sebuah majlis tertentu, namun hal yang sama juga sepertinya disampaikan

pada lingkaran murid dalam sebuah masjid ataupun madrasah. Beberapa aliran sejarah

paling tidak dibawa dalam bentuk yang sama. Khotbah-khotbah informal juga disampaikan

dalam masjid atau di berbagai tempat yang lain di mana kumpulan besar orang dapat

dikumpulkan. Esei dan karya-karya selalu disusun untuk diucapkan ulang bagi para

pendengar yang khusus, yang anggotanya dapat dikenal oleh penulis saat ia bekerja. Saling

mempengaruhinya antara ucapan dan tulisan dalam sebuah masyarakat tradisional,

masyarakat berbudaya semi tulis menulis seperti pada masa pertengahan Islam, butuh lebih

banyak studi dari pada yang telah diterimanya; beberapa pemikiran yang berguna tentang

persoaln tersebut, bersama-sama dengan rujukannya yang jauh, di sampaikan secara

bersama dalam Michael Zwettler, The Oral Tradition of Classical Arabic poetry (1978).

Pahatan-pahatan yang monumental, yang dipahat pada pintu gerbang atau

sepanjang muka gedung-gedung umum, tentunya berbeda-beda; mereka tidak dimaksudkan

sebagai jeritan bacaan juga tidak ditujukan untuk para pendengar pilihan. Sebaliknya,

mereka dapat dibaca oleh bayak orang-orang marginal yang lewat yang tahu tulis menulis.

Audensi tulisan-tulisan ini tentunya jauh lebih besar dibanding yang dapat kita bayangkan.

Hampir seluruh anak laki-laki muslim dalam kota, bahkan meskipun yang tidak mampu

tulis menulis kata menurut pemahaman kita, telah belajar mengucapkan al-Qur‟an dan

mampu menulisnya ulang; dalam cara ini mereka telah terbiasa dengan alpabet dan banyak

kata-kata kunci. Semenjak seluruh tulisan mempunyai tata bahasa dan kamus dasar mereka

Page 4: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

116

– sebagian besarnya berisi nama-nama, nama tambahan dan slogan-slogan - mereka dengan

serta merta dapat dipahami oleh setiap orang yang dapat menulis. Sebuah tulisan pahat

dasar (misalnya, sebuah tulisan pahatan yang mengidentifikasi karakter monumen yang

ditempatinya, tanggal pembangunannya, dan nama orang yang menyebabkan dibangunnya

monumen tersebut) karena itu ia dapat menjadi alat yang sangat jitu bagi propaganda

(Untuk pembahasan umum tentang tulisan pahat dalam Islam lihat di atas).

Hanya sedikit aliran-aliran tulis Islam pada masa pertengahan (puisi, pidato, cermin

ratu dan polemik-polemik politik) yang terbuka menyatakn dirinya sebagai propaganda –

yaitu sebagai medium untuk membawa dan memperkuat lagi sebuah ideologi. Dimensi

ideologi dalam sebuah teks , agenda tersembunyi yang membentuk pilihan pengarang

dalam menjamu pokok persoalannya, harus selalu dilihat diantara baris perbaris. Lebih

jauh, sebuah teks ideologi yang benar dapat berbeda dari atau bahkan bertentangan dengan

isi dan maksudnya yang nampak. Adalah mudah mengambil aturan ini begitu jauh, kita

dapat mulai dengan melihat polong dimanapun kita lihat, mengurangi kebenran intensitas

dan signifikansi budaya dari sebuah karya dalam sebuah kesurupan pencarian terhadap

penyolong ideologinya. Begitu juga, dua buah resiko sederhana dan terlalu kritis hanya

akan menaikkan kewaspadan dan sensitifas.

Propaganda visual telah memunculkan persoalan tersendiri. Pada masa sebelum

modern sangat sedikit masyarakat secara bersama melafalkan dalam istilah yang abstrak

“makna” ritual mereka, upacara-upacara ,arsitek-arsitek, seni lukis dan plastik, dan lain

sebagainya – mereka juga tidak dapat melakukan hal itu jika ditekan. Hingga kini secara

ringkas segala hal ini adalah simbol yang sangat cepat dan begitu efektif, bagi identitas,

solidaritas, legitimasi dalam masyarakat tradisional. Pada masa kita, tentunya tak seorang

pun mampu menggambar sebuah gambar dengan tanpa menulis makna yang terkadung

yang menjelaskan signifikansi sosial dari seninya. Pada masyarakat Islam masa

pertengahan, kita menghadapi situasi yang begitu cepat. Ideologi, sebagaiman kita catat,

adalah elemen penting dalam kehidupan politik dan karenanya memperoleh tampilan

verbal yang hati-hati. Begitu juga seni dan arsitektur Islam selalu terasa „menyesuaikan‟

ideologi era yang menghasilkannya, namun para pengarang muslim hampir-hampir tidak

pernah mendiskusikan dimensi ideologis seni dan arsitektur ini. Itu hanya melalui

penggunaan secara aktual dari segala hal ini. Kita dapat mendekati peranan mereka sebagai

propaganda (sebagaimana adanya hal ini, banyak persoalan yang sama yang muncul pada

akhir masa Romawi dan seni Eropa awal pertengahan; lihat E.B Smith, Architectural

Symbolism of Imperial Rome and the Middle Ages [1956], h. 3, 10-12, di sana sini. Untuk

pertimbangan yang jauh lebih umum, lihat Geertz, “Ethos, World View, and the Analysis

of Sacred Symbols,” dalam The Interpretation of Cultures, 126-141).

Seperti ritual dan seremonial dalam Islam, kita tahu banyak tentang ibadah formal,

namun hal itu pada dasarnya tidaklah berubah, paling tidak setelah dekade pertama, dan

karena itu ia dapat membawa makna ideologi ketika hal itu secara eksplisit dihubungkan

Page 5: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

117

dengan seringnya perubahan konteks dari isu-isu dan konflik politik yang terjadi. Tentang

seremonial pemerintahan, kita memiliki sejumlah pengetahuan, dan itu tentunya adalah

sifat dari ideologi sendiri, namun ia menampilkan ide-ide dan nilai-nilai politik hanya bagi

elit-elit politik. Sayangnya kita hanya tahu sangat sedikit tentang ritual dan upacara dari

organisasi dan, yang dipandang menampilkan lebih dari sekedar orientasi yang populer.

Para sarjana modern secara berlahan meneliti elemen-elemen ideologis dalam seni

dan arsitektur Islam masa pertengahan, namun ada sejumlah esei yang bermanfaat dalam

hal ini. Tentang penanggalan, Oleg Grabar telah mengembangkan sebuah pemikiran yang

paling luas dan profokatif; semua itu terangkum secara bersama dalamThe Formation of

Islamic Art (1973; edisi revisi, 1987). Dalam sebuah lapangan penelitian yang lebih sempit,

simbolisme politik dari masjid-masjid pada masa Umayah dieksplorasi dalam tulisan Jean

Sauvaget, La Mosquee Omeyude de Medine (1947), sebuah studi yang kesimpulannya

kadang meragukan namun argumennya tidak kalah brilian dan terpadu. Usaha yang sama

telah dilakukan oleh pengarang saat ini, dalam “The Expressive Intent of the Mamluk

Architecture of Cairo: a Preliminary Essay,” SI, xxxv, (1972), 69-119. Di sisi lain,

perangkap semacam analisis ini ditampilkan oleh kritik Jonathan Blomm terhadap

penafsiran saya atas sebuah monumen dalam “The Mosque of baybar‟s al-bunduq dari in

Cairo,” AI, xviii (1982), 45-78 (Lihat khususnya halaman 51-52).

Dalam budaya Barat, melukis adalah salah satu cara yang paling dipergunakan dan

efektif dalam mengkomunikasikan nilai-nilai sosial-politik. Hal yang sama adalah kurang

tepat untuk dunia Islam tentunya, bukan karena Islam tidak mempunyai lukisan namun

karena melukis adalah (khususnya pada abad belakangan) utamanya sebuah seni buku, dan

karena itu karakternya adalah bersifat privat dari pada publik. Buku-buku yang berilustrasi

tidak dapat dihasilkan dalam jumlah yang sangat besar tentunya, dan itu hapir dengan pasti

bahwa mereka dihasilkan bukan untuk dijual secara umum namun atas permintaan

pelanggan yang khusus. Kecuali jika kita tahu pelanggannya atau paling tidak kelompok

besar yang kita tuju (Raja-raja, para saudagar, dan lain sebagainya), kita bukan tidak pantas

menafsirkan makna ideologis dari gambar. Hingga abad 5 H/ 11 M, gambar di gedung dan

hiasan seni pahat sepertinya menjadi elemen yang sangat biasa dalam dekorasi keraton,

namun hal ini dibuat untuk kesenangan para pegawai pemerintah dan para pegawai

terdekatnya. Begitu juga, mereka menampilkan semi privat. Media hiasan lain –keramik,

karya-karya dari logam, dan kaca-kaca bergambar – begitu beredar, tetapi ikonografi

kebanyakan dari lembaran-lembaran ini adalah begitu sederhana dan dibentuk untuk

membawa lebih dari sekedar konsep ideologi yang paling umum. Pengecualian terhadap

aturan ini adalah juga lembaran-lembaran mutiara yang dikerjakan khusus untuk para Raja

dan pegawai tinggi. Dalam isu ini, sejumlah pemikiran yang berguna beserta dengan

sebuah bibliografi penting (meskipun sekarang ini kuno) dapat diketemukan dalam Oleg

Grabar, “The Visual Art,” dalam Cambridge History of Iran, v (1986), 641-657.

Page 6: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

118

Upacara kerajaan dalam Islam akhir-akhir ini baru mulai memperoleh perhatian

yang serius, meskipun lapangan tersebut tetap menyolok, Begitu juga, kebanyakan

penilaian adalah bersifat deskriptif dari pada pendekatan yang interpretatif. Sebuah tinjauan

istimewa diberikan oleh D. dan J. Sourdel dalam Bab 7, “Le Palais et l‟entourage

souverain,” pada La Civilisation de l‟Islam classique,” –nya (1968). Poin-poin khusus

tercakup dalam beragam artikel dalam EI²: “Anaza,” “‟Asa”, “Balat”, “Burda”, “Kadib”,

“khil‟a”. Banyak kutipan-kutipan yang penting, khususnya berfokus pada abad 4 H/10 M

terangkum dalam bab IX dari Adam Mez, Die Renaissance des Islam (1922).

Sumber-sumber dan studi-studi yang berhubungan dengan dinasti-dinasti tertentu

sangat terpencar-pencar. Dinasti Umayah adalah yang paling baik dikerjakan dalam Oleg

Grabar, “Notes sur les ceremonies umayyades,” dalam Miriam Rosen-ayalon (editor),

Studies in Memory of Gaston Wiet (1977), 51-60. Tentang Abbasiyyah, lihat Dominique

Sourdel, “Questions de ceremonial „abaside,” REI, xxviii (1960), 121-148. Dua buah teks

dasar tentang Abbasiyah yang sesuai dalam terjemahan adalah sebagai berikut:

1. Hilal al-Sabi‟, Rusum dar el-khilafa, editor Mikha‟il „Awad (1964); penerjemah Elic

Salem dengan The Rules and Regulations of the Abbasid Court (1977).

2. Jahiz (gadungan), Kitab al-Taj, editor Ahmad Zaki (1914); diterjemahkan oleh Charles

Pellat dengan Livre de la Couronne (1954); tentang pengarang dari karya ini, lihat G.

Schoeler, “Versasser und Titel der dem Gahiz zugeschrie benen sog, Kitab al-Taj,”

ZDMG, cxxx (1980), 217-225.

Bani Fatimiyah telah dibahas oleh Marius Canard, “Le ceremonial fatimide et le

ceremonial byzantin: essai de comparaison,” Byzantion, xxi (1951), 355-420; dan karya-

karya yang berkelanjutan oleh Paula Sanders. Seraya menantikan publikasi dari

disertasinya (1984); lihat “From Court Ceremony to Urban Language: Ceremonial in

Fatimid Cairo and Fustat, dalam Essay in Honor of Bernard Lewis (1989),311-321.

Upacara-upacara Buwaihi belum secara umum disampaikan, namun kejadian khusus yang

penting telah di analisis dalam Heribert Busse, “The Revival of Persian Kingship under the

Buyids,” dalam D.S. Richard (editor), Islamic Civilization, 950-1130 (1973), hlm. 47-69.

Rival mereka yang paling sengit di Timur Iran, yang mempunyai peran penting yang

khusus dalam mengembangkan sebuah konsepsi pemerintahan Islam –Persia yang nyata,

telah dijamu dalam C.E. Bosworth, The Ghaznavids: Their Empire inAfghanistan and

Eastern Iran (1963) –lihat khususnya hlm. 129-141. Yang cukup aneh adalah Bani Seljuk

yang telah diabaikan dari sudut pandang ini, selain dari pengaruhnya yang besar sebagai

contoh dinasti dari masa pertengahan. Kaum Mamluk di Mesir dan Syria telah menarik

sejumlah perhatian, meskipun banyak sisa yang harus dikerjakan; sebuah deskripsi umum

tentang upacara mereka (analisis yang terlalu berfikir panjang) dapat diketemukan dalam

M. Gaudefray-Demombynes, La Syrie a l‟Epoque des Mamelouks, d‟apres les Autereurs

Arabes (1923); ada juga poin-poin penting dalam P.M Holt, “The Position and Power of

the Mamluk Sultan,” BSOAS, xxxviii (1975), 237-249.

Page 7: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

119

Berkaitan dengan upacara-upacara dan seni-seni visual, begitu juga dengan teks,

adalah keliru untuk berpandangann bahwa saat kita mengidentifikasi sejumlah aspek

ideologi dalam suatu objek, kita dengan demikian telah mengeluarkan maknanya yang

benar. Kebanyakan gambar-gambar, objek dan ritual-ritual secara serentak membawa

signifikansi masing-masing pada berbagai level mereka. Untuk mempelajari dimendi-

dimensi ideologisnya adalah bukan membuka sifat dan maksud-maksud riil mereka, namun

cukup agak menempatkan mereka dalam sebuah konteks politik yang khusus.

Ideologi dan propaganda tak diragukan lagi menyerap elemen-elemen dalam

kehidupan politik Islam masa pertengahan., tetapi untuk kebenaran alasan ini mereka juga

sukar untuk dimengerti. Pada poin ini, akan sangat berguna untuk memperhatikan waktu

dan tempat yang khusus, dan menanyakan bagaimana sebuah ideologi difungsikan di sana

baik sebagai ide pemikiran maupun juga sebagai refleksi atas milieu sosial politik yang

khusus. Dari sudut pandang ini, awal-awal periode Seljuk sepertinya menawarkan

serangkaian persoalan khusus yang menantang.

Selama enam dekade sejak penyerbuan pertama mereka ke Khurasan pada tahun

1030 M hingga meninggalnya Malikshah pada tahun 485 H/1092 M, orang Seljuk

menguasai usaha-usaha ideologis utama untuk menegakkan prinsip-prinsip kerajaan Iran

dalam terma Islam. Ideologi yang dihasilkan, yang barangkali dapat kita sebut “Autokrasi

Persia-Islam” pun pada masanya tidak memperoleh tempat yang mandiri. Sebaliknya, abad

5 H/ 11 M adalah masa yang menghasilkan definisi-definisi klasik otoritas khalifah, dan itu

tampaknya bahwa definisi-definisi ini (yang dalam beberapa hal tetap normatif hingga

masa sekarang ini) adalah paling tidak dibentuk sebagai bagian untuk menghambat dan

memotong pertumbuhan sitesa Persia-Islam. Bahkan lebih dari itu, konsep politik Seljuk

tetap sangat berpengaruh di sepanjang daerah dari Nil hingga Oxus sampai akhir abad 9 H/

15 M.

Sementara ideologi bukanlah sebuah jasad pemikiran yang mandiri, tetapi agak

merupakan respon terhadap sebuah situasi sosial politik yang khusus. Kita ingin memulai

dengan mendefinisikan situasi tersebut di Iran dan Irak selama abad 5 H/ 11 M.

Pertanyaan-pertnyaan berikut, yang merefleksikan proses dimana dalam meraih kekuasaan

menghasilkan ideologi, menunjukkan sebuah pendekatan terhadap pekerjaan tersebut:

1. Bentuk-bentuk politik apa (misalnya; negara, dinasti, konfedersi suku, dewan militer)

yang terlibat dalam memperjuangkan otonomi ataupun kekuasaan tertinggi ?

2. Kelompok-kelompok apakah yang sesuai secara politik dengan bentuk ini?

3. Bagaimanakah kelompok-kelompok ini mendefinisikan identitas politik mereka,

peranan sosial mereka dan kepentingan-kepentingan konkret mereka ?

4. Konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan yang spesifik apakah yang mengharuskan

kelompok-kelompok ini mengartikulasikan sebuah respon ideologis ?

Tak ada yang lengkap dan panjang bagi studi komperhensif tentang politik Iran

dan Irak pada abad 5 H/ 11 M, dan ternyata tak seorang pun dengan begitu jelas

Page 8: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

120

menggunakan serangkaian pertanyaan ini. Bagaimanapun, dalam Continuity and change in

Medieval Persia (1988). AKS Lambton memberikan sebuah sebuah survei yang rinci

tentang tentang institusi administrasi dan keuangan Iran pada abad 5 H/ 11 M. Meskipun

institusi-intitusi ini selalu mengalami evolusi dan inovasi, mereka tentunya jauh lebih stabil

dibanding pemerintahan-pemerintahan yang memanfaatkannya. Mereka menentukan,

begitu katanya, aturan-aturan permainan kerangka kerja abadi yang didalamnya perjuangan

meraih kekuasaan dan kekuasaan tertinggi dijalankan (dimainkan). Tentang sejarah dinasti

yang kompleks dan memusingkan pada periode tersebut, Lambton adalah pembimbing

yang tak dapat ditinggalkan.

Sejarah dinasti memperoleh reputasi yang tak dapat dicemburui diantara para

sejarawan modern, namun bagaimanapun gersang dan antiknya hal itu terlihat, ia tak dapat

ditinggalkan. Tak ada analisis serius tentang ideologi yang mungkin tanpa sebuah

pengetahuan yang solid tentang 4 bentuk politik utama dari periode ini: khalifah, orang

Buwaihi Irak dan Iran Barat, orang Ghaznawi Khurasan dan Afghanistan, dan orang-orang

seljuk sendiri. Selain artikel dalam IE² (diantaranya tulisan Claude Cahen tentang orang

Buwaihi adalah secara khusus penting) dan bab-bab yang sesuai dalam Cambridge History

of Iran, vol.iv dan v, lihat studi-studi berikut :

a) Tentang konfederasi diantara orang-orang Buwaihi, lihat Heribert Busse, Chalif und

Grosskonig : die Buyiden in Iraq (945-1055) (1969), yang sekarang ini menjadi

standar penilaian, dan Mafizullah Kabir, The Buwayhid Dinasty of Baghdad (1964).

Kedua karya ini berfokus pada cabang keluarga Irak, meskipun pada waktu yang

berbeda Shiraz dan Rayy adalah pusat politik yang lebih penting dalam konfederensi.

R.P Mottahedeh, Leadership and Loyalty in an Early Islamic Society, (lihat diatas),

adalah sangat mendasar, bagi pemahaman tentang aturan-aturan dengan nilai-nilai

yang membentuk tingkah laku politik dalam lingkungan Buwaihi.

b) Mengenai Ghaznawi, ada sebuah penilaian bersifat naratif yang terpercaya tentang

yang paling terkenal diantara mereka, dengan menekankan kampanye spektakulernya

di India. Muhammad Nazim, The Life – and Time of Sultan Mahmud of Ghazna

(1931). Jauh lebih analitis dalam karakternya adalah studi dari C.E. Bosworth, The

Ghaznavids : their Empire in Afghanistan and Eastern Iran (1931). Bosworth

memiliki sebuah bab penting tentang kota-kota dan hubungan ambivalen mereka

dengan pusat pemerintahan, juga sebuah pengujian yang hati-hati dalam Turkestan

down to the Mongol Invasion (edisi asli, 1900 ; edisi ke-3, 1968, lihat khususnya h.

254-333) tentang orang-orang Ghaznawi dan Seljuknya harus dikonsultasikan –

sebagaimana tentunya bagi setiap dinasti di timur Iran dan Transoxiana – sebab ia

mengantisipasi banyak dari baris-baris penelitian yang paling produktif yang

dikembangkan oleh Cahen dan kawan-kawan lebih kurang beberapa dekade

belakangan. Ini adalah bacaan yang majemuk namun dibayar penuh dengan waktu

yang dihabiskan.

Page 9: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

121

c) Tentang masa awal Seljuk. Literatur-literatur tersebut adalah sangat berserakan. Tak

ada naratif panjang yang sempurna dalam bahasa Barat bahkan mengenai perang dan

politiknya. Kebutuhan ini sebagaiannya telah dipenuhi oleh terjemahan dari Gary

Leiser pada artikel panjang tentang dinasti dalam IA: A History of the Seljuks : Ibrahin

Kafesouglu‟s Interpretation and the Resulting Controversy (1988). A.K.S. Lambton

telah menganalisis politik dan administrasi Seljuk dalam sebuah serial buku dan artikel

yang panjang; ia menyampaikannya dengan ringkas namun hal itu bukan selalu sintesa

yang terfokus dengan bagus dari padangannya dalam “The Internal Structure of the

Seljuq Empire,” dalam Cambridge History of Iran, v (1968), 203-282. Calude Cahen

juga telah menyumbang banyak kontribusi studi yang penting: pikiran-pikirannya yang

paling bagus terangkum dalam “Turkish Invasion: The selchukids,” dalam K.M. Setton

(editor), A History of the Crusader (1955: dicetak ulang pada tahun 1969), 135-176.

Kebanyakan karya-karya yang terbaik tentang Seljuk adalah terdapat dalam bahasa

Turki. Dan berikut ini adalah tulisan-tulisan yang bagus untuk mulai:

1) Ibrahim Kafesoglu, Sultan Maliksah derrinde buyk Selcuklu Imparatorlugu (1953).

2) M.A. Koymen, Bayuk Selcuku Imperatorlugu Tariki:Kurulus Derri (1979).

3) Osman Turan, Selcuklutar Tarihi ve Turk-Islam Medeniyeti (1965)

d) Pada abad 5 H/11 M, khalifah tradisional dipandang sepele yang digambarkan sebagai

sebuah institusi hantu yang tidak mempunyai manfaat praktis. Bagaimanapun,

penafsiran ini dengan tajam dan efektif ditentang oleh George Makdisi, Ibn „Aqil et la

resurgence de l‟Islam tradisionaliste au xi siecle (1963), khususnya pada halaman 69-

164. Makdisi menegaskan bahwa khalifah mampu mengukir dirinya paling tidak pada

peranan lokalnya di Baghdad dengan mengadu para amir yang bersaing dan ingin

menjadi sultan, dan juga dengan memobilisasi segmen tertentu dari populasi Baghdad

(khususnya para pengikut Hanbali) dalam dukungan mereka.

Beberapa dari studi ini, khususnya Bosworth dan Makdisi, tidak hanya

menggariskan perjuangan hegemoni inter-dinasti, namun juga menguji kompetisi kekuatan

dan pengaruh diantara masing-masing sistem politik. Bagaimanapun, aturan yang menjadi

acuan kompetisi ini tidak mudah dicampuri baik oleh data faktual maupun kalimat

penafsiran yang terdapat dalam karya-karya ini. Konflik politik selalu datang melintang

dalam wujud sebagai perjuangan diantara ambisi dan individu yang berprinsip. Pada poin

yang lain, pemain permainan benar-benar telah membenamkan dirinya dalam kelompok,

tetapi kelompok ini didefinisikan dalam beragam bentuk mengikuti kriteria perubahan yang

cepat – dari sisi etnis (misalnya Turki vs Tajk), keyakinan (misalnya- Hanafi vs Syafi‟I

atau Hanbali vs Syiah), afiliadi kesukuan, tempat tinggal (misalnya kota dan bukan kota),

atau bahkan asosiasi volentir (misalnya, kelompok futuwwa ataupun gang anak muda).

Dalam menghadapi kebingungan tertentu, para sejarawan modern digoda untuk

menyerukan bahwa seluruh kelompok ini harus benar-benar merefleksikan beberapa faktor

tersembunyi, seperti bentuk penentangan ekonomi. Hal itu agaknya seperti melulu tipuan

Page 10: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

122

untuk menegaskan bahwa orang Hanbali menyerang orang Mu‟tailah di Baghdad karena

perbedaan doktri tentang hubungan kalam Tuhan dengan Dzat Tuhan. Begitu juga, konflik

etnis dapat dilihat sebagai sebuah pergantian yang tidak rasional tentang kompetisi karena

kekurangan sumber makanan. Tetapi untuk mengesampingkan nama-nama yang diberikan

kelompok untuk dirinya sendiri atau motif-motif yang mereka klaim sebagai tindakan

mereka adalah sebuah kesalahan yang serius. Dalam kondisi yang seperti itu, kita akan

meninjau bentuk-bentuk identitas solidaritas dan nilai sosial dalam bentuk dimana tindakan

politis benar-benar dilakukan dan dikerjakan. Kemudian setelah itu, semuanya itu secara

ringkas merupakan sebuah pemahaman pribadi tentang posisinya dalam sistem sosial dan

politik yang mendasari usahanya untuk menciptakan sebuah ideologi. Pendeknya, supaya

kita dapat memahami apa arti sebuiah ideologi bagi para pengikutnya, kita harus

memahami istilah yang mereka gunakan untuk menganalisis masyarakat mereka sendiri;

menentukan tujuan tindakan politis, dan mencoba membentuk diri mereka dalam sebuah

kelopok yang efektif secara politik

Usaha yang serius untuk menyajikan sejarah sosial periode awal Bani seljuk, dan

untuk mengetahui kelompok apa yang diperhitungkan secara politik pada masa itu, adalah

masih jarang dan analisisnya bersifat sementara. Kebanyakan judulnya, sebagaimana yang

akan kita lihat, berkaitan dengan masyarakat perkotaan dan politik dan ada beberapa alasan

dalam hal ini. Kaum pedesaan, yang merupakan mayoritas terbesar di sebagian besar

wilayah, adalah hampir-hampir tidak pernah melakukan tindakan yang dipandang bersifay

politik (dalam definisi yang kita berikan) meskipun pada tingkat yang paling lokal. Bahkan

person mereka yang memiliki kekuatan politik adalah karena kepemilikan lahannya di

kota. Para pendeta suku pada dasarnya adalah persoalan yang lain, namun mereka sering

dikaitkan dengan para perampok ataupun pejuang, tidak sebagai kelompok sosial

sebenarnya.

Sebuah tinjauan terhadap persoalan ini disajikan oleh Claude cahen, “Tribes, Cities,

and Social Organization,” dalam Cambridge History of Iran, iv (1975), hlm. 305-328. D.S.

Richard (editor), Islamic Civilization, 950-1150 (1973), adalah sebuah tulisan yang berisi

lembaran-lmbaran yang sesuai. Tentang kependetaan suku dan pengaruh mereka dalam

struktur sosial daerah dan kehidupan ekonomi, misalnya, dapat dilihat pada sajian yang

hati-hati dan menawan dari Cahen , “Nomades et sedentaires dans le monde musulman du

milieu du Moyen Age,” dan Lambton, “Aspects of saljuq Ghuzz settlement in Persia,”

keduanya terdapat dalam tulisan Richard, 93-102, 105-125. (Yang pertama dicetak ulang

dalam Cahen, Peuples musulmans dans l‟histoire [1977],423-437). Kelompok etnis

terbesar Bani Seljuk telah disurvei dalam sintesa dari Faruk Sumer, Oguzlar (Turkmenler);

tarihieri, boy teskilan, destanlari (1972). Tentang kelompok-kelompok yang membentuk

masyarakat kota, studi perintis (sekarang masih sangat dibutuhkan) adalah tulisan Cahen,

“Mouvements popularies et autonomisme urbain dans l‟asie musulmane du Moyen Age,”

Arabica, v (1958), 225-250; vi (1959), 25-56, 233-263. Ketetapan tentang perserikatan

Page 11: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

123

kota disampaikan oleh Cahen, “Ya-t-il eu des corporations professionelles dans le monde

musulman classique,” dan oleh S.M. Stern, “The constitution of the Islamic City,”

keduanya dalam A.H. Hourani dan S.M. Stern (editor), Middle Eastern Cities (1969), hlm.

47-79.

Berdasar literatur ini, kita dapat membangun sebuah gambaran tentang perjuangan

membangun hegemoni di Irak dan Iran. Empat prinsip kekuasaan dilibatkan, masing-

masing menampilkan tipe yang sangat berbeda tentang bentuk politik khalifah. Karena

prestisnya yang besar maka ia benar-benar kebal dari pemusnahan para orang yang

berkompetensi. Di sisi lain, kekuatan riil miliknya begitu ramping dan tingkat pengaruhnya

di wilayah Baghdad dan Sawadi dapat diatur dengan sangat baik dengan mempermainkan

para pesaingnya dalam dan diantara para pemerintah Buwaihi dan seljuk. Satu-satunya

dukungan panjang yang terpercaya yang sesuai dengan khalifah adalah segmen suni dari

penduduk Baghdad.

Seperti pada pemerintahan Buwaihi, pemerintahan mereka telah mulai menjadi

sebuah pemerintahan diktator yang benar-benar bersifat militer, dan itu agaknya berdasar

pada para tentara bayaran yang dengannya mereka dapat mencapai kekuasaan. Yaitu

mereka berasal dari penduduk Daylami dan penduduk inilah yang merupakan tentara elit

mereka, dan menjadi kafeleri Mamluk Turki mereka. Sebagai tambahan, sebagai Syiah dua

belas mereka dapat mengumpulkan sejumlah dukungan populer dari mereka yang sealiran

agama di Baghdad dan kota-kota lain tertentu semisal Qumm.

Seperti Buwaihi, kelompok Ghaznawi adalah sebuah dinasti militer yang

otoritasnya bertumpu terutama pada tentara profesional mereka yang luar biasa. Tetapi ada

perbedaan yang sangat krusial. Pertama, pusat kekuatan mereka terletak di sebelah Timur

Iran dan Afghanistan. Karena itu khalifah bukanlah saingan bagi mereka, tetapi cukup

sebagai sebuah potensi sumber legitimasi. Kedua, para pendukung khalifah semuanya

memperoleh kemudahan semenjak orang-orang Ghaznawi adalah orang-orang Suni yang

militan. Fakta ini juga memberi kesempatan kepada mereka untuk menarik dukungan dari

kelompok keagamaan suni yang berpengaruh dan terhormat dari Khurasan. Ketiga, orang-

orang Ghaznawi adalah orang Turki –sultan pertama mereka pada faktanya adalah

mamluk- dan karenanya mereka menjadi kelompok militer utama pada saat itu. Orang-

orang Turki mereka tidak harus menjadikan mereka lebih dari sekedar „sekutu‟ bagi

daerah-daerah yang mereka perintah di banding orang buwaihi tentunya, sebab pendiri

pemerintahan Ghaznawi adalah para pembantu dinasti Saman, sebuah dinasti asli Iran dan

mereka menganggap diri mereka sebagai pewaris sah kerajaan dan tradisinya.

Sejak abad pertengahan ke depan, orang Seljuk menjadi kekuatan politik yang

dominan di daerah tersebut. Para sultan bani Seljuk aslinya para panglima perang dari

koalisi kelompok orang-orang Turki yang berasal dari suku Oguz yang hidup di sebelah

timur laut Aral, dan mereka selalu kokoh, memaksakan diri, untuk mendapatkan status

sebagai pemimpin dan patron bagi orang-orang Turki pengikut mereka. Sebagai tambahan

Page 12: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

124

tentunya, bani Seljuk harus memerintah masyarakat kota dan masyarakat agraris, dan

tanggung jawab ini memerlukan dukungan elemen tertentu dari para penduduk asli. Rezim

tersebut secara khusus terbagi ke dalam tiga kelompok yang secara fungsional sangat jelas

namun yang mempunyai keanggotaan yang sebagiannya saling tumpang tindih; birokrasi

yang bersifat Irak dan Iran, orang-orang kota yang terhormat, dan elit keagamaan suni.

Sebagai pemerintah masyarakat kota dan masyarakat agraris, bani Seljukmembutuhkan

sebuah dukungan kekuatan militer yang terpercaya dan bukan berwatak penyamun dari

orang-orang Turki, dan benar-benar mampu mengatasi orang-orang terakhir ini bila

dibutuhkan. Kekuatan ini mereka peroleh dengan ukuran sewajarnya dari masa itu – yaitu

dalam penjagaan Mamluk Turki, dan kelompok inilah yang dengan cepat menyediakan

banyak pegawai militer senior (termasuk para gubernur provinsi) dalam negara. Mengenai

khalifah, raja-raja seljuk menggambarkannya sebagi pembantu dan pelindungnya yang

loyal, tetapi pada kenyataannya mereka harus bergelut dengannya sebagai rival yang gigih

dan suka mengganggu, khususnya di Irak.

Sketsa dahulu tersebut dengan jelas mengimplikasikan kelompok mana yang

memiliki kepentingan politik dalam konflik-konflik di masa seljuk. Pertama, ada dua

kelompok di tingkat pemerintahan ; birokrat sipil murni (Arab dan orang Iran), dan tentara

profesional yang kokoh. Kedua, suku-suku Turki, yang menampilkan elemen sosial

ekonomi yang berbeda di daerah maupun sebuah otonomi, dan kadang-kadang perselisihan

militer. Ketiga, para elit asli kota; para pedagang, para pemilik lahan tanah, dan ulama

yang rangking tinggi. Keempat, populasi urban di beberapa puat terbesar seperti Baghdad

dan Nishapur, semua ini kadang diorganisasikan melalui madhahib (sekte teologis-hukum),

kadang dalam bentuk geng-geng muda atau milisi yang bertetangga. Kadang kelompok

yang besar ini berbuat sebagai kelas-kelas yang solid, masing-masingdengan tujuan dan

kepentingan yang tentunya jelas. yang lebih sering lagi, masing-masing kelompok tersebut

secara internal terbagi ke dalam kelompok-kelompok pesaing yang besar, dan kelompok-

kelompok ini akan berpihak dan menyesuaikan diri mereka satu sama lain dalam

serangkaian gerakan koalisi yang memusingkan. Karena itu kita menyaksikan seorang amir

dari kalangan tentara merekrut para pengikut dari suku-suku Turki dan Kurdi. Juga, Ulama

suni di Baghdad yang merupakan para pengikut teologi al-„Asy‟ari akan mencari dukungan

dari pemerintah Seljuk dalam menentang kolega kelompok tradisionalis mereka, sementara

itu semua ini pada gilirannya ternyata adalah mencari dukungan khalifah.

Setelah mengembangkan beberapa pengertian tentang lingkup politik yang

kompleks dan encer pada masa ini, kita sekarang ini dapat berpaling pada ideologi yang

muncul di dalamnya. Tidaklah mengejutkan bahwa ada banyak sekali tentang hal ini, tetapi

kita tidak mengetahui seluruhnya secara sama. Bentuk sumber-sumber kita meyakinkan

bahwa kita paling baik diberi tahu tentang ideologi-ideologi resmi, yang mengartikulasikan

klaim-klaim yang berselisih bagi legitimasi beragam dinasti. Seperti ideologi protes, kita

Page 13: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

125

menemukan banyak jejak tentang hal ini dalam sumber kita, tetapi sedikit yang sampai

dalam bentuknya yang lengkap.

Tak ada survei umum tentang ideologi saja dalam periode Seljuk; yaitu, kita tidak

memiliki studi yang luas yang tercurah tidak hanya untuk pemikiran politik pada masa itu,

namun juga tentang retorika, simbolisme, dan propaganda. Sungguh, kita hanya memiliki

satu studi serius semacam ini bagi banyak porsi dari periode pertengahan, yaitu monografi

terkenal dari Emmanuel Sivan, L‟islam et la Croisade: Ideologie et propagande dans les

reactions musulmanes aux croisades (1968). Buku Sivan jatuh di luar batas kronologi bab

ini, tetapi fokusnya tentang negara penerus bani Seljuk menjadikannya sangat sesuai.

Persoalan yang menghadang negara-negara ini (pendudukan orang kristen atas daerah-

daerah orang muslim) adalah unik, tetapi respon ideologis mereka terhadapnya

dikerangkakan dalam makna yang dikembangkan pada masa Seljuk. Lebih dari itu,

ringkasan Sivan, -dokumentasinya yang luas, dan kewaspadaannya terhadap cara dimana

perubahan verbal yang ramping mampu menerangi gerakan-gerakan utama dalam

kebijakan, seluruhnya terkombinasikan untuk membuat studinya sebagai model bagi karya

dalam lapangan ini.

Begitulah adanya, kita harus puas memulai dengan analisis tentang pemikiran

politik, yang benar-benar telah dikaji dengan baik, barangkali dari sana aspek-aspek lain

dari ideologi sejauh yang diijinkan literatur akan dituju. Survei menyeluruh yang paling

baik saat ini barangkali adalah A.K.S.. Lambton, State and Government in Medieval Islam

(1981), yang secara bijak memfokuskan diri pada tradisi Syariah, yang akrab dengan

hukum konstitusi kita. Penilaiannya dapat dikomparasikan dengan studi klasik dari Louis

Gardet, la cite musulmane: vie sociale et politique (edisi asli, 1954; edisi revisi, 1961; lihat

khususnya hlm. 147-188), yang menyajikan analisis yang luas tentang nilai-nilai dan

konsep-konsep suni dalam sudut pandang atomis yang jelas. Studi-studi tersebut dapat

ditambah dengan E.I.J. Rosenthal, Political thought in Medieval Islam (1958), yang

gemuk dan banyak mengutip dari para ahli hukum syariah, tetapi mempunyai suatu yang

berguna untuk disampaikan mengenai pembicaraan asli para filosof, sepeti al-farabi dan

Ibn Sina.

Tradisi Syariah aslinya terpusat pada institusi khalifah. Ungkapan klasik tentang

keharusan religiusitas dalam kemuliaan politiknya tidak diragukan adalah karya dari Abu

al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah (diedit oleh R. Enger, 1853, dengan

Constituones politicae, Kairo, 1929). Al-Mawardi adalah Kadi Baghdad yang bermadzhab

Syafi‟I dan kepercayaan khalifah al-Qadir (381 H-422 H/991 M-1031 M), yang padanya ia

menyusun karya tersebut, barangkali kurang lebih tahun 420 H/1030 M. Tulisan itu

memperoleh terjemahan yang bagus dari Emile Fagnan, Les Status gouvernementaux, ou

regles de droit public et administratif (1915). Bagaimanapun, tulisan al-Mawardi bukanlah

satu-satunya karya aliran ini pada masanya; kadi Baghdad bermadzhab Hanbali, Abu Ya‟la

b. al-Fara‟ (w. 458 H/1066 M) menyusun sebuah buku dengan judul yang identik (edisi

Page 14: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

126

Kairo, 1357 H/1938 M), juga tampaknya atas permintaan khalifah. Jelasnya tulisan-tulisan

ini menyajikan bukan teori-teori yang tidak berkepentingan, tetapi sebuah konser

kampanye oleh Abbasiyah untuk memperkuat otoritas politik mereka.

Karya Abu Ya‟la, meskipun dipublikasikan setengah abad yang lalu, belum lama

mendapat kajian yang serius. Al-Mawardi, sebaliknya, telah menarik perhatian yang

meyakinkan. Studi-studi perintis lainnya adalah oleh H.A.R. Gibb: (a) „Al-Mawardi‟s

Theory of the Khilafa,” IC xi (1937), 291-302; (b) “Some Consideration on the Sunni

Theory of The chaliphate,” Archives d‟histoire du droit oriental, iii (1939) 401-410; (c)

“Constitutional Law,” dalam M. Khadduri dan H. Liebesny (editor), Law in the Middle

East (1947), 1-29. (Dua item pertama dicetak ulang dalam Gibb, Studies on the Civilization

of Islam, 141-165). Analisis yang paling menyeluruh adalah dari Henri Laoust, “La pense

et l‟action politiques d‟ al-Mawardi (364-450/974-1058), REI, xxxvi (1968),11-92, yang

menguji teori pemerintahannya maupun konteks politik saat tulisan itu ditulis.

Tulisan George Makdisi, Ibn‟Aqil memperluas konteks dimana karya-karya formal

seperti tulisan al-Mawardi mengenai makna ideologis yang seksama bagi kepercayaan

agama harus ditafsirkan melalui analisisnya, yang seolah-olah bersifat teologis ketimbang

berbentuk pernyataan politik. Bahasannya (hlm. 299-310) dapat dikomparasikan dengan

penasehatnya tersebut, Laoust yang tidak dapat ditinggalkan, di akhir pendahuluan pada

La profession de foi d‟Ibn batta (1958) – sebuah karya oleh seorang ahli hukum Irak pada

abad 4 H/ 10 M yang telah menulis ketika kejayaan tirani Buwaihi.

Pada akhir abad ke 5 H/ 11 M, Abu Hamid al- Ghazali (400-505/1058-1111)

menyampaikan ulang teori supremasi politik Khalifah, meskipun dengan beberapa konsesi

yang agak jelas terhadap realitas yang ada dari dominasi militer Seljuk. Ia menyajikan

bahasan persoalan ini dengan sangat lengkap dalam Kitab Fada‟ih al-Batiniyya wa

wafada‟il al-Mustazhiriyya, diterbitkan dan dikaji oleh Iqnaz Goldziher dalam Die

Streitscrift des Gazali gegen di‟e Batiniy ya- sekte (1916). Sebuah pernyataan yang lebih

ringkas diberikan dalam al-Iqtisad fi al- I‟tiqad ( edisi Kairo, 1327/1909), dianalisis oleh

Leonardo Binder dalam, “Al- Ghazali‟s Theory of Islamic Government, “ Muslim World,

xiv (1955), 229-241. Sebuah studi luas tentang pemikiran politiknya (yang didalamnya

Kalifah dipandang hanya satu elemen) dapat diperoleh dalam Henri Laoust, La Politique de

Ghazali (1970). Pada dekade paling belakangan, Carole Hillenbrand telah menerbitkan

dengan hati-hatidan agak bersudut pandang revisiones tentang korpus politik al-Ghazali,

“Islamic Orthodoxy or Realpolitik ? Al-Ghazali‟s Views on Government, “ Iran , xxvi

(1988), 81-94.

Realitas politik fundamental yang menghadang khalifah tentunya adalah sebuah

tindakan yang harus disertai dengan paksaann oleh sejumlah anggota diktator militer, -

beberapa keuntungan dari hal tersebut adalah sangat jauh, namun yang lainnya begitu dekat

dengan Mamluk. Studi-studi yang dinukil di atas tentunya adalah mengenai persoalan

Page 15: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

127

tersebut, tetapi sebagai tambahan ada banyak yang lain yang seacara khusus dicurahkan

terhadapnya.

a. W. Barthold , “Kalif; Sultan,” Mis Islama, I (1912), 202-226, 345-400; dianalisis dalam

C.H. Becker, “Barthold‟s studien uber Kalif und sultan,” Islam, vi (1916), 350-412;

terjemahan parsialnya dilakukan oleh N.S. Doniach dalam Islamic Querterly, vii (1963),

117-135.

b. A.H. Saddiqi, “caliphate and Kingship in Medieval Persia,” IC, ix (1935), 560-579; x

(1936), 97-126, 260-279, 290-408; xi (1937), 37-59. (Secara esensi merupakan sebuah

survei tentang kejadian-kejadian politik sejak masa Tahiri hingga akhir masa Seljuk).

c. Emile Tyan, Institutions du droit publi musulman, II: sultanat et califat (1957). (Sebuah

studi berguna, bahkan mencatat review yang sangat kritis dari Claude Cahen dalam

arabica, v [1958], 70-76)

Diantara para pemimpin diktator ini, Bani Buwaihi pastinya menampilkan

persoalan yang paling akut, sejak mereka mengkontrol Baghdad dan daerah-daerah rendah

Irak, dan lebih-lebih Syiah yang tidak menerima Abbasiyah sebagai pemimpin masyarakat

yang benar. Di sisi lain, Bani Buwaihi mengeksploitasi Syiah mereka hanya pada level

lokal, sebagaimana baru saja kita catat. Tidak hanya mereka menolak klaim Fatimiyah

sebagai Imamah, mereka tidak pernah mencoba berbuat sebagai wakil bagi imam yang

tersembunyi, spiritual tersebut ada jika kepala dari sekte dua belas mereka tidak hadir.

Ketika Bani Buwaihi merasa butuh akan sejumlah sumber legitimasi di luar peperangan,

mereka berharap mendapatkannya dari kekaisaran tradisi Iran kuno. Usaha ini sebagai

revivalisasi budaya terkait secara khusus dengan „Abdud al-Dawla Fana-Khuraw yang luar

biasa (338-372/949-983). Sebagai tambahan bagi tulisan Busse, “The Revival of Persian

kinship under the Buyids,” (lihat di atas), lihat dua buah artikel berikut ini:

1. W. Madelung, “The Assumtion of the Tittle Shahanshah by the Buyid and the Reign of

Daylam (Dawla al-Daylam),” JNES, xxviii (1969), 84-108, 168-183.

2. Lutz Richter-Bernburg, “amir Malik-Shahanshah: Adud al-dawla‟s Titulature Re-

examined,” Iran , xviii (1986), 83-102.

Pengetahuan kita tentang ideologi kerajaan Buwaihi sebagian besarnya adalah

berdasar pada judul-judul yang mereka klaim. Pastinya kita tidak mempunyai karya formal

dari seorang yang sekaliber al-Jahiz, al-Ghazali, al-Mawardi, Nizam al-Mulk, dan lain-lain,

yang menceritakan pemahaman Buwaihi tentang Iran. Sumber kita yang paling berguna

barangkali adalah mata uang Buwaihi. Sebagai tambahan kita dapat memperoleh sejumlah

data babad dan korespondensi negara (yang terakhir tidak terjaga dalam bentuk aslinya,

tetapi hanya dalam koleksi insha‟). Semua refernsi yang penting terdapat dalam J.C.

Burgel, Die Hofkorrespondenz „Adud al-Dawla und ihr verhaltnis zu anderen historischen

Quellen des fruhen Buyiden (1965).

Revivalisasi Buwaihi atas kekaisaran Iran merupakan sesuatu yang tentatif,

terutama karena terbatas pada upacara dan gelar kerajaan. Dalam generasi berikutnya,

Page 16: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

128

idealisme dan kriteria aturan pemerintahan dari model ini akan mendapat pernyataan yang

lebih jelas dalam Shah-nameh yang luar biasa dari Firdawsi, disusun di keraton Saman di

Bukhara tetapi pada ujungnya disampaikan untuk sultan Mahmud dari Ghazna. Berikutnya

nilai-nilai dan sikap-sikap neo-sasanid akan melebur dalam setiap lembaran tulisan politik

di Iran, pada setiap prasati dan mata uang, setiap upacara, hingga seluruh masa

pertengahan. Untuk alasan ini, adalah berguna menyadari literatur pada masa sebelum

kekaisaran Islam di Iran. Survei standar adalah tulisan Athur Christensen, L‟iran sous les

Sassanides (1936; revisi kedua, 1944), lihat khususnya bab 8, mengenai monarkhi yang

paling lengkap yang dapat dijadikan contoh bagi pemikiran Iran, Khusraw Nushirwan.

Ada kekayaan materi di sini, tetapi itu harus digunakan dengan sangat hati-hati, sebab

banyak data kita tentang sasanid berasal dari sumber-sumber yang ditulis pada masa Islam,

dan pemahaman kritis Christensen kadang menggagalkannya. Persoalan tersebut juga telah

dikaji oleh Geo. Widengren, “The sacral Kinship of Iran,” dalam The Sacral kinship

(1959), 2420258. Sebuah artikel oleh R.N. Frye, “The Charisma of kingship in Anciebt

Iran,” Iranica Antiqua, vi (1964), 36-54, mempunyai banyak poin yang menarik, tetapi ia

tidak sesuai dengan judulnya. Seni Sasanid mengembangkan sebuah ikonografi kekaisaran

yang kokoh. Bejana-bejana perak yang menyolok yang dibuat untuk kerajaan sekarang ini

dikatalogkan dengan baik sekali dan dikaji dalam Prudence Harper, Silves Vessels of the

sassanid Periode . Volume one : Royal Imagery (1981), yang mempunyai gambar-gambar

yang istimewa dan sebuah bibliografi yang menyeluruh mengenai seluruh aspek seni

sasanid. Relief karang yang mengagumkan untuk memperingati penobatan dari raja-raja

pertama telah disurvei (sayangnya, tidak dapat dengan sangat mudah dipahami) dalam

Roman Ghirshman, Iran : Parthes et Sassanides (1962), diterjemahkan oleh S. Gilbert dan

J. Emmons dengan Iran Parthians and sassanians (1962). Yang monumental dalam skala

tentunya dari semua ini adalah lembaran-lembaran yang benar-benar mengagumkan

tentang propaganda dinasti.

Transmisi tradisi Raja Sassanid kepada Islam adalah persoalan utama dalam

dirinya, dan kita hanya dapat memberi sedikit referensi disini. C.E. Bosworth telah

memberikan kontribusi sebuah esei yang ringkas, “ The Heritage of Rulerhip in Early

Islamic Iran and the Search for Dynastic Connections with the Past, “Iran, xi (1973), 51-

62. Mengenai arsitektur dan daya khayal, ada banyak sugesti yang bermanfaat dalam Oleg

Grabar, The Formation of Islamic Art, lihat khususnya halaman 141-178. Dari sisi literatur,

banyak tema yang beredar melalui kontroversi Syu‟ubiyah yang terkenal di akhir abad 2 H/

8 M, melibatkan para pendukung budaya Iran disatu sisi dan penjaga kemuliaan Arab

sebelumnya disisi lain. Ignaz Goldzeher membawa seluruh fakta utama dalam tulisannya

Muhammedanische Studies, I, hlm. 147-216 ( Muslim Studies, I, 137-198). H.A.R Gibb

menyiapkan penafsiran yang bersifat sosial politik ketimbang bersifat budaya bagi konflik

ini dalam sebuah artikel terkenal, “ The sosial significance of the Shu‟ubiyya, “ dalam

Studi‟a Orientalia Loanni Pedersen Dicta (1953), 105-114; dicetak ulang dalam Studies on

Page 17: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

129

the Civilization of Islam, 62-73; lihat juga R.P. Mottahedeh, “The Shu‟ubiyah Controversi

and the social History of Early Islamic Iran, “IJMES, vii (1976), 161-182. Teks-teks yang

relevan adalah tak terhitung jumlahnya; bab pertama dan antologi terkenal Ibn Qautayba

(w.276/889) akan menunjukkan bagaimana konsep politik Sassanid dapat diterima menjadi

bahkan dalam lingkup Islam yang konservatif : “Kitab al-Sultan,” dalam Uyun al-Akhbar

(4 Volume, 1343-49/1924-30), I, 1-106, diterjemahkan oleh Josef Horovitz dengan “ The

book of Government, “ IC, iv (1930), 171-198, 331-362, 487-530; v (1931), 1-27.

Meskipun bangsa Turki dengan ras orang-orang Ghaznaw mencoba sekeras orang-

orang Buwaiki, ternyata mereka lebih berhasil dalam menghubungkan diri mereka dengan

tradisi kekaisaran Iran. Kebalikan dari saingan mereka, tentunya, mereka berusaha juga

menciptakan suatu sintesa antara bangsa Iran dan secara khusus Islam yang berasal dari

pemerintahan mereka; Ghaznawi kenyataannya adalah pendiri sebenarnya model

pemerintahan yang kita sebut dalam buku ini dengan autokrasi Persia – Islam.

Menggunakan model ini, mereka menggambarkan diri mereka dengan prajurit pejuang

yang mengembangkan dunia Islam, sebagai penjaga Suni dan penindas bid‟ah, dan sebagai

aliansi dan agen yang loyal dari Khalifah Abbasiyah. Dalam cara ini mereka secara

simultan memproklamasikan nilai absolut dan konsep keadilan bangsa Iran. Sama dengan

orang Buwaihi, judul yang digunakan oleh sultan-sultan Ghaznawi adalah sangat terbuka:

lihat C.E . Bosworth, “ The Titulature of the Early Ghaznavids, “ Oriens, xv (1962), 210-

233. Mengenai seni arsitektur mereka, ada sebuah survei ringkas yang bagus (barusaja

agak kuno) Oleh J. Sourdel. Thomine dalam EI2,ii, 1053-55. Ungkapan-ungkapan ideologi

mereka yang terbaik barangkali adalah tulisan Bayhaqi Tarikh –I Mas‟udi, tentangnya lihat

analisis dalam Bab yang telah mendahului sebagai tambahan, siyasat-naweh dari nizam al-

Mulk yang terkenal, meskipun ditulis untuk Sultan Seljuk Malikshah dari Nizam al-Mulk

yang terkenal,meskipun ditulis untuk Sultan Seljuk Malikshah (465-485/1072-1092) secara

dekat mencerminkan nilai-nilai dan pemikiran monarki dinasti Ghaznawi, dalam dinasnya

Nizam al-Mulk mulai kariernya. Edisi dan terjemahan paling bagus terhadap hal itu adalah

oleh Hubert Darke,The book of Government or Rules for kings (teks persia, 1960; edisi

revisi tahun 1978).

Beragam untaian ideologi yang dihasilkan oleh Khalifah bani Buwaihi dan

Ghaznawi seluruhnya diwarisi oleh Bani Seljuk, yang menjadi, sebagaimana yang dicatat

dahulu dalam bab ini , contoh negara Islam pada akhir masa pertengahan. Di sisi lain

pengaruh dan prestis besar mereka, bagaimanapun, kita masih belum memiliki pennelitian

umum tentang ideologi bani seljuk. Pendekatan yang paling dekat mengenai hal ini dapat

diketemukan dalam sejumlah studi oleh A.K.S. Lambton tentang konsep-konsep

kekaisaran Iran masa pertengahan, yang semuanya terdapat dalam Theory and Practice in

Medieval Persian Government (1980). Diantara semua ini, dua buah artikel secara khusus

telah banyak dikutip : (a) “Quis Custodiet custodes: Some Reflection on the Persian Theory

of Government,” SI, v (1956),125-146; (b) “Justice in the Medieval Persian Theory of

Page 18: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

130

Kingship,” SI, xvii (1962), 91-119. Artikel-artikel ini penuh dengan pemikiran-pemikiran

yang menarik. Di sisi lain mereka hanya mengenai aspek khusus dari keseluruhan pokok

persoalan, dan sebagai tambahan mereka menco ba meliput seluruh dinasti utama Islam

Iran, tidak hanya dinasti Seljuk saja.

Karya Lambton berdasar pada teks-teks yang ditulis dengan jelas untuk

menunjukkan kriteria pemerintahan yang benar. Diantara sejumlah karya yang penting

dalam tipe ini yang dihasilkan pada masa dinasti seljuk, kita telah menunjukkannya dengan

siyasat nameh dari Nizam al-mulk. Dalam karya ini (baik itu al-Ghazali ataupun yang

lainnya) tidak memberi perhatian pada khalifah dan klaim-klaimnya; ia menulis secara

khusus tentang pemerintahan seljuk di timur Iran. Hillenbrand (“Islamic Ortodoxy or

Realpolitik ?” yang telah dinukil di atas hlm 161) menganggap lembaran-lembaran itu

sebagai palsu. Dalam beberapa hal, nasihat mempunyai sebuah sejarah tekstual yang

kompleks dan ia paling mudah dikonsultasikan dalam terjemahan oleh F.R.C. Bogley,

Ghazali‟s Book of Connsel for Kings (1964). Terakhir ada Qabur-nameh yang elok dari

ratu kay ka‟us b. Iskandar (475/1082), editor dan penerjemah Reuben Levy denganA

Mirror for Princes (1951).

Tiga karya ini berbagi konsep yang biasa tentang status dan peranan pemerintahan

monarkhi, yang mereka sajikan baik dalam kerangka sasanid dan Islam, tetapi dalam nada

dan etosnya mereka masing-masing sangat berbeda. Nizam al-Mulk menerima tanggung

jawab sultan dengan realisme yang keras, baginya, sultan mampu meraih keadilan dan

sentosa hanya dengan memaksakan keinginannya pada bawahannya, dan ini dapat

dikerjakan hanya melalui kewaspadaan yang terus menerus dan ancaman yang konstan dan

menghilangkan hubungan diantara kelas-kelas yang stabil. Karena aturan sosial yang adil

ini adalah ditetapkan oleh Tuhan, berikutnya sultan harus berbuat dengan seluruh

tenaganya untuk berpegang teguh pada agama yang benar dan menghilangkan bid‟ah. Di

sisi lain, Nizam al-Mulksepertinya menerima keadilan sebagai sesuatu yang secara rasional

dapat diketahui dan diserukan oleh seluruh agama yang sesuai, tidak hanya Islam. Dari

sudut pandang ini, hubungan antara pemerintah dan agama adalah hubungan fungsional.

Penguasa mengemban agama yang telah ditetapkan karena agama tersebut melegitimasi

dan memperkuat susunan sosial yang ada, bukan karena kebenaran nilai-nilai yang abstrak

dari agama tersebut.

Dalam nasihat al-Mulk, pengarang pertama kali ditarik perhatiannya dengan

karakter dan motivasi dari penguasa. Ia secara implisit berargumen bahwa jika pemikiran

dan tindakan diri penguasa adalah benar-benar telah dibentuk, maka kebijakannya akan di

dengar dan pemerintahannya akan berkembang dengan baik. Baginya, bagaimanapun,

kebenaran nilai agama adalah utama. Setiap aspek tingkah laku penguasa harus berhembus

dari komitmen personal mengenai kebenaran ini. (Bandingkan dengan analisis Lambton

dalam “The Theory of Kingship in the Nasihat al-Muluk of Ghazali,” Islamic Quartely, I

[1954], 47-55)

Page 19: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

131

Qabus-nameh pastinya yang paling menarik dan paling harmonis dari teks ini,

meskipun dari sudut pandang teoritis ia kurang begitu penting. Ia berisi nasehat tentang

persoalan dunia dari sebuah dinasti yang saleh bagi putranya tentang bagaimana jalannya

di dunia yang berbahaya, dan bagaimana bertingkah laku pada setiap saat sebagai seorang

raja.

Tiga karya ini seluruhnya ditujukan bagimpara penguasa, dan semua karya tersebut

adalah memorandum dan sekaligus juga dokumen umum. Dalam rangka merangkul

kelompok-kelompok lain, ideologi bani Seljuk harus diekspresikan melalui karya-karya

asli yang beragam. Kebanyakan historiografi bani seljuk yang bagus (sebuah tulisan yang

paling langsung berhubungan dengan birokrasi) adalah terlalu berkarakter ideologis.

Literatur ini belum pernah dipelajari secara memadai, namun Claude Cahen telah memberi

dua kontribusi penting berkaitan dengan hal ini; (a) “Le Malik –Nameh et l‟histoire des

origines seljukides,” Oriens, ii (1949), 31-65; (b) “Historiography of the Seljukid Period,”

dalam Lewis dan Holt, ditor, Historians of the Middle East, 59-78.

Di kalangan Ulama dan para pengikutnya, peranan dinasti sebagai‟ penjaga

keyakinan‟ dapat disimbolkan dengan perlindungannya terhadap institusi-institusi agama.

Masjid-masjid dan madrasah pada masa bani Seljuk celakanya hidup hnaya dalam

kepingan-kepingan, dan apa yang kita miliki benar-benar diabaikan oleh para sarjana

modern. Mengenai tinjauan ringkas atas apa yang telah diketahui, liha Oleg Grabar , “The

Visual Art,” dalam Cambridge Historyn of Iran, v,626-641. begitu juga, epigrafi bani

seljukbelum pernah menjadi objek dari sebuah studi sintesa, meskipun nilainya bagi

perkembangan ideologi tersebut adalah sudak terbukti. Sebuah indikasi atas apa yang dapat

dipelajari dapat diketemukan dalam dua buah studi oleh Mikita Elliseeff tentang para raja

penerus bani Seljuk di Syria abad 6 H/ 12 M, Nur al-Din Mahmud b. Zanji: (a) “La

Titulature de nur ad-Din d‟apresses inscription,” BEO, xiv (1952-1954), 155-196; (b) “Les

Monumens de Nur ad-din,” BEO, xiii (1949-1951), 5-43. Penafsiran Elliseff begitu dekat

dengan kerangka kerja yang dilakukan oleh Max van Berchem dalam CIA . Dan pernyatan

dari yang terakhir tersebut mengenaio bani Seljuk adalah mudah dimengerti

meskipunsangat berserakan.

Sejauh ini kita telah berbicar seolah-olah bani Seljuk memandang dirinya sebagai

autokrasi Persi-islam, dan sebagai penjaga dari Islam suni dan khalifah. Tetapi mereka juga

para pemimpin orang-orang Turki, paling tidak pada permulaannya, dan sangat perlu

menanyakan apa yang dimiliki dari fakta ini pada pmikiran politik mereka. Bahkan Nizam

al-Mulk yangrealistik menyinggung segi identitas mereka ini hanya dengan cara sepintas

lalu, ketika ia menasehati Malik shah untuk tidak mengabaikan ataupun melukai hati

orang-orang Turki yang telah ikut membawa dinasti mencapai kekuasaan. Mengenai

konsep politik dan nilai-nilai orang Turki, tentu ia katakan tidak dengan sebuah kata.

Meskpun demikian jelas bahwa penduduk Turki Asia tengah mempunyai tradisi yang

Page 20: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

132

berurat akardengan tradisi aaslnya, beberapa diantaranya paling tidak telah mereka bawa

saat emasuki wilayah di luar Oxus pada awal-awal abad 5 H/11 M.

Contoh khusus yang penting tentang hal ini adalah ungkapan bahwa wilayah

kedaulatan adalah hak milik bagi seorang individu namun untuk keseluruhan keluarga.

Yaitu, anggota-anggota utama dari famili yang paling besar dalam sebuah kebijakan adalah

diharuskan berbagi kekuasaan dengan mengakui porsi wilayahnya sebagai bagian yang

otonom bagi anggota keluarganya yang lain Struktur politik semacam ini dapat dibri

beragam nama; diantara nama – nama tersebbut dalam penggunaannya yang pantas adalah

kedaulatan kolektif, “konfederasi Kekeluargaan,” dan negara bagian. Institusi tersebut

pertama kali diidentifikasi oleh Barhold (Turkestan down to the Mongol Invasion, 268),

tetapi pandangannya tidak diorbitkan hingga Claude Cahen mengadakan penelitian tentang

bentuk tingkah laku ini dalam artikelnya tentang Bani Ayyub dan bani Buwaihi dalam EI2

Institusi tersebut paling sistematis diteliti dalm dua monografi belakangan: (a) R.S.

Humphreys, From saladin to the Mongols: The Ayyubids of Damascus, 1193-1260 (1970);

dan (b) John E. woods, The Aqquyunlu clan, confederation, Empire (1976). Tak ada

pertanyaan tentang kode kedaulatan kolekstif yang sangat kuat membentuk tingkah laku

politik Bani seljuk, tetapi tampatknya hla itu merupakan persoalan yang tidak dibicarakan –

bentuk pemikiran dan nilai yang mempengaruhi hubungan merka satu sama lain dan

dengan para pengikut orang-orang Turki mereka, tetapi yang tidak prnah menjadi bagian

dari klain publik mereka untuk menguasai daerah dan penduduk muslim.

Bani seljuk menetapkan kebanggaan besar mereka dengan bahasa Turki. Dan

sebuah bukti kuat terdapat dalamawal-awal abad 5 H/11 M, Tafdil al-Atrak dan Ibn Hasul

(teks Arab dan terjemahan Turkinya dikerjakan oleh S. Yaltkaya, studi oleh „abbas al-

„azawi, Belleteni, iv [1940],235-266. Di sisi lain banii Seljuk tidak pernah mensponsori

literatur dalam bahasa Turki, meskipun model hal ini telah dipersiapkan oleh Qara-Khanid

dari Transoxiana pada pertengahan abad 5 H/11 M. Di bawah pattron mereka cermin

bahasa Turki bagi para Raja kenyataannya disusun dengan penanggalan yang ramping

tentang banyak teks Persi semcam ini yang ada, Kutadgu Biliq dari Yusuf Khass Hajib,

diterjemahkannoleh Robert Dunkoff dengan The Wisdom of Royal Glory (1983) Bahkan

yang lebih menarik lagi adalah Diwan al-Lughat al-turk yang sangat besar dari Mahmud

al-Kashghari. Tetapi secara umum kita mulai melihat literatur Turki yang disponsori secara

rresmi hanya pada paruh kedua abad 9 H/15 M.

Telah disampaikan bahwa sejak masa awal bani Seljuk menganggap diri mereka

sebagai penduduk yang memiliki mandat wahyu untuk mengatur dunia, meskipun saya

menemukan tesis tersebut meragukan. Tema ini paling lengkap (meskipun cinta tanah

airnya agak berlebihan) di gali oleh Osman Turan, Turk cihan Hakimiyeti Mefkuresi Tarihi

(2 volume, 1969); pengarang yang sama jug memberikan pernyataan yang ringkas

tentangnya dalam “The Ide of world Domination among Medieval Turks,”SI, iv (1955),

77-90. Satu aspek dari tradisi kepemimpinan Turki digali dalam J.P. Roux, “L‟origine

Page 21: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

133

celeste de la souverainete dans les inscriptions paleo-turques de mongolie et de Siberie,”

dalam The Social Kingship, 231-241. Tentang penggunaan bani Seljuk ata simbol kekuatan

raja bahasa Turki tua, tundukan dan anak panah, lihat Claude Cahen, “la tughra seljukide,‟

JA, ccxxxiv (1943-45), 167-172.

Kita seharusnya tidak usah melebih-lebihkan bisunya konsep dan simbol bahasa

Turki dalam imaginasi umum yang dicoba direncanakan oleh Bani Seljuk. Tak diragukan

semua ini penting bagi cara mereka dalam memahami diri mereka sendiri, tetapi mereka

benar-benar telah mampu berbuat banyak dalam melegitimasi aturan pemerintahanSeljuk

di kalangan orang-orang Iran, Arab dan penduduk Kurdi. Tentunya ide-ide tersebut dengan

jelas sangat penting bagi Khans-II dan para penerus Turki Mongol mereka seperti

kelompok Jalayirin, Qara-Qayunlu dan Timur Lank. Namun orang-orang Mongol memulai

dominasi mereka di Irn dan Mesopotamia sebagai penduduk pagan, orang yang terpatri

dengan tradisi Asia Tengah, dan sangat pelupa dengan ide-ide Persia-islam. Bagi bani

Seljuk, sebaliknya, kriteria Islamsecara khusus dan neo-sasanid sepertinya telah

mengontrol ungkapan politik umum mereka, dan bahkan pandangan tentang kekaisaran dan

aturan sosial yang mereka anspirasikan.

C. Penutup

Jika kita kembali kebelakang pada kerangka perbandingan umum ideologi dan

propaganda yang telah kita kembangkan pada awal bab ini, kita sekarang dapat mencoba

melokasikan bani Seljuk di dalamnya pertama, mereka memauki dunia Islam pada saat

kekacauan politik dan budaya yang mendalam disana. Dalam lingkungan tertentu mereka

(atau lebih punya, para ahli kampanye asli mereka) tidak dapat menghindarkan diri dalam

menjelaskan peranan dan maksud mereka.- Yaitu membangun sebuah ideologi yang

memperkuat dominannya atau populasi muslim yang ada mereka adalah orang-orang

Barbarian, barbarian yang berkeinginan melanggengkan, sejauh mungkin, susunan sosial

masyarakat kota- agraris yang telah ada di Iran dan daerah bulan sabit yang subur. Sikap

inimengharuskan mereka berpihak pada kelas-kelas asli mereka yang memegang teguh

aturan tersebut. - Birokarasi kepemiliki lahan dan masyarakat kota yang terhormat (Ulama

dan para pedagang). Karena alasan itu, ideologi bani Seljuk akan seacara pasti menjadi

satu-satunya yang mencoba memastikan dan menjaga sesuatu sebagaimana adanya mereka.

Pandangan konservatif ini diperkuat oleh keputusan para pedagang tak resmi untuk

menjalin hubungan diri mereka dengan Khalifah Abbasiyah. Ketegangan dan konflik

dibangun dlam aturan bani Seljuk tentang segala hal, dan para apologi mereka berharap

dapat menyelesaikan hal ini dengan mengterangkan sepasang konseptual yang akan

mempertegas harmoni dalam diantara elemen-elemen yang kelihatan bertentangan –

bahkan penekanan mereka pada peranan kunci kelompok etnis tambahan (Turkidan

Tajik)dan institusi politik (khalifah dan ksultanan). Dalam cara yang sama, mereka

menampilkan pemerintahan bani Seljuk sebagai satu-satunya yang dapat menyesuaikan

Page 22: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

134

seluruh kriteria penguasa ideal yangmuncul pada masa-masa aawal Islam, Sassanid Iran

dan Turki asia Tengah, bagaimanapun kontrdiksinya hal ini terlihat dari luarnya.

Karena aturan yang ada dibawah tekanan dari berbagai jurusan, yang opaling

terlihat adalah Syiah Ismailiyah, bani Seljuk yang konservatif adalah tak dapat tidak

militan dan bahkan menyayat dalam nada. Propaganda mereka adalah propaganda pada

orang yang bebas berbicara dikalayak umum dn yang mengontrl sumber-sumber yang

sangat luas. Para pendukung merka dapat mengajar di masjid dan madrasah, mengedarkan

karyua-karya tertulis utama, dan membangun institusi agama yang indah. Apakah seluruh

hal ini efektif ? Tentunya itu saja tidak dapat menyelamatkan pemerintahan bani Seljuk

dari melemahnya strukturalnya. Tetapi ideologi lambat laun bekerja menuju secara jelas

kebutuhan politik dinasti militer yang mencoba mengatur dalam kerangka nilai dan

perilkaku Islam yuang telah ada. Lebih jauh, itu dapat memberikan kemampuan bagui

generasi-generasi belakangan melihat ke belakang pada awal-awal bani Seljuk sebagai

kesempatan memperbaiki keagunagn Islam, sebuah kesemnpatanmyang seharusnya mereka

perj8angkan untuk merebut kembali bagi diri mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Clifford Geertz, “Ethos, World View, and the Analysis of Sacred Symbols,” dalam The

Interpretation of Cultures, New York: Basic Book, 1973, {126-141).

Dominique Sourdel, “Questions de ceremonial „abaside,” REI, xxviii (1960), 121-148.

Edward Shils dan Harry M. Johnson, “Ideology,” dalam International Encyclopaedia of the

Social Sciences, viii (1968).

E.B Smith, Architectural Symbolism of Imperial Rome and the Middle Ages, Princeton:

Princeton University Press,[1956]

E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam , Cambridge: Cambridge University

Press,1958.

H.A.R. Gibb: (a) „Al-Mawardi‟s Theory of the Khilafa,” IC xi (1937), 291-302.

Ignaz Goldzeher, Muhammedanische Studies, I, hlm. 147-216 ( Muslim Studies, I, 137-

198)

Ibn Qautayba (w.276/889) “Kitab al-Sultan,” dalam Uyun al-Akhbar (4 Volume, 1343-

49/1924-30), I, 1-106, diterjemahkan oleh Josef Horovitz dengan “ The book of

Government, “ IC, iv (1930), 171-198, 331-362, 487-530; v (1931), 1-27.

Karl Mannheim, Ideology and Utopia (terjemahan Louis Wirth dan Edward Shils), New

York: Harcourt, Brace & Co., 1936.

Lambton, “The Theory of Kingship in the Nasihat al-Muluk of Ghazali,” Islamic Quartely,

I [1954], 47-55).

Page 23: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

135

Leonardo Binder, “Al- Ghazali‟s Theory of Islamic Government, “ Muslim World, xiv

(1955), 229-241.

P.M Holt, “The Position and Power of the Mamluk Sultan,” BSOAS, xxxviii (1975), 237-

249

Osman Turan, “The Ide of world Domination among Medieval Turks,”Studia Islamica, iv

(1955), 77-90.

Oleg Grabar, “The Visual Art,” dalam Cambridge History of Iran, v (1986), 641-657

Page 24: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

136

MEMPERTAHANKAN PILKADA LANGSUNG

Hasyim Asy’ari2

Abstract

Local elections in Indonesia has a number of models. In there centera, the election

models used are direct local elections through the election. Now the discussion is being

carried legislation local elections offer the idea that the Governor was elected by

Parliament and the Regent/Mayorelected by popular vote. This paper examines and

recommends that local elections remain to be implemented directly through elections.

Keywords: (1) Local Election, (2)Democracy, (3) Indonesia.

A. Pengantar

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mulai

dibahas Pemerintah dengan DPR. Salah satu perdebatan yang menonjol adalah pilkada

akan diubah yang semula Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih secara langsung lewat

pemilu, menjadi Gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi dan Bupati/Walikota tetap dipilih

lewat pemilu.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah Pilkada dilaksanakan secara langsung atau

tidak langsung? Pilkada langsung di sini dimaksudkan bahwa pengisian jabatan kepala

daerah dilakukan melalui suatu pemilihan umum (pemilu) atau dipilih secara langsung oleh

rakyat-pemilih. Pilkada tidak langsung nampaknya dimaknai bahwa kepala daerah dipilih

tidak secara langsung oleh rakyat-pemilih, namun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD), atau ditunjuk (diangkat) oleh pejabat di atasnya.

Tulisan ini hendak mengkaji beberapa model pengisian jabatan kepala daerah, dan

diikuti dengan rekomendasi model pengisian jabatan kepala daerah ke depan. Tulisan

mengarah kepada gagasan untuk mempertahankan pilkada langsung atau pemilihan kepala

daerah melalui pemilu (pemilukada).

B. Model Pilkada

Pengalaman di Indonesia selama ini menunjukkan setidaknya terdapat lima model

pengisian jabatan kepala daerah. Model pertama, kepala daerah dipilih secara tidak

langsung, melainkan hanya ditunjuk/diangkat oleh pejabat di atasnya. Pengalaman ini

2 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Jln. Prof. Sudarto, Kampus Undip

Tembalang, Semarang Email: [email protected]

Page 25: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

137

terdapat pada daerah-daerah administratif bukan daerah otonom. Walikota di Jakarta

menduduki jabatannya karena diangkat oleh Gubernur DKI Jakarta (vide Pasal 19 UU No.

29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta).

Model kedua, kepala daerah dipilih secara tidak langsung bertingkat (vide Pasal 15

UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini DPRD memilih

beberapa calon kepala daerah, selanjutnya diajukan kepada pejabat pemerintah di atasnya

untuk dipilih salah satunya sebagai kepala daerah (Mendagri untuk memilih

Bupati/Walikota, dan Presiden untuk memilih Gubernur).

Model ketiga, kepala daerah dipilih secara tidak langsung (vide Pasal 34 UU No. 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini kepala daerah dipilih oleh

DPRD.

Model keempat, kepala daerah ditetapkan oleh DPRD. Dalam model ini adalah

pilkada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu dengan cara “penetapan” oleh

DPRD dan “pengesahan” oleh Presiden (vide Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 24 ayat (3,

4, 5) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta).

Model kelima, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui

pemilu (vide Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004 jo Pasal 1

angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu). Pada model ini pasangan

calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan

partai politik yang memenuhi persyaratan, dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya

pasangan calon yang memenuhi persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilu untuk

dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih.

Argumentasi Mempertahankan Pilkada Langsung3

Berdasarkan beberapa model tersebut, pengisian kepala daerah ke depan sebaiknya

tetap mempertahankan model kelima, yaitu kepala daerah dipilih secara langsung oleh

rakyat-pemilih melalui pemilu. Pilihan model ini didasarkan pada argumentasi sejarah

pembentukan konstitusi (amandemen UUD 1945), argumentasi konstitusional, dan

argumentasi politik. Argumentasi ini didasarkan kepada metode penafsiran dalam Hukum

Tata Negara (HTN).4

3Gagasan ini semula bersumber pada: Hasyim Asy‟ari, “Mempertahankan Pilkada Langsung”, artikel

yang pernah diterbitkan Harian Kompas, 24 Maret 2011. Edisi revisi artikel tersebut disampaikan pada

Seminar “Pilkada Langsung: Problematika dan Solusi”, diselenggarakan oleh Program Magister Ilmu

Hukum, Fakultas Hukum UKSW Salatiga Kerja Sama dengan Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Selasa, 14

Juni 2011. 4Tentang penafsiran dalam hukum tata Negara, baca: Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum

Tata Negara, Jilid 1, terutama “Bab V Penafsiran Dalam Hukum Tata Negara”, (Jakarta: Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), hlm. 273-313.

Page 26: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

138

Argumentasi Historis Pembentukan Konstitusi

UUD setelah dilakukan amandemen di dalamnya telah dilembagakan Pemilu bagi

anggota lembaga perwakilan maupun pemimpin pemerintahan, penyelesaian sengketa hasil

Pemilu, dan lembaga penyelenggara Pemilu. Namun pengaturannya meninggalkan

persoalan baru di bidang ketatanegaraan, yaitu berkenaan dengan pengaturan untuk

memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD yang dipilih

melalui Pemilu (Pasal 22E ayat 2), sedangkan untuk Gubernur, Bupati, dan Walikota

(Kepala Daerah) dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4).

Mengapa ada dua istilah “dipilih melalui Pemilu” dan “dipilih secara demokratis”.

Apakah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara demokratis merupakan bagian Pemilu?.

Dalam UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara materiil Pilkada adalah

kegiatan Pemilu karena mekanisme dan tata cara mengadopsi Pemilu seperti yang diatur

dalam undang-undang pemilu (waktu itu UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU

No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres). Tetapi secara formil Pilkada berdasarkan UU No. 32

Tahun 2004 bukan Pemilu sebagaimana dimaksud pelembagaan Pemilu dalam UUD 1945

karena menempatkan Pilkada bagian dari kegiatan pemerintah dengan menugaskan

pelaksanaannya kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tanpa keterlibatan atau

peranserta KPU. Padahal KPUD adalah jajaran vertikal KPU. Dengan pengaturan seperti

ini Pilkada bukan termasuk kategori Pemilu karena tidak diselenggarakan oleh KPU yang

memiliki sifat nasional seperti dimaksud UUD 1945, namun tatacara dan mekanismenya

mengadopsi Pemilu legislatif dan Pilpres. Akibat dari tumpang tindihnya pengaturan

seperti ini, pengaturan Pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan Indonesia tidak

memiliki standar pemilu yang bersifat nasional dan selanjutnya gagal melembagakan

sistem Pemilu sebagaimana dimaksud UUD 1945. Kerumitan ini diselesaikan dengan

keputusan MK yang tidak lagi menempatkan KPUD bertanggung jawab kepada DPRD,

dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (kini diubah menjadi UU No.

15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu) yang menempatkan pilkada sebagai bagian

dari Pemilu.

Problematik yang dihadapi sekarang dengan Pemilukada adalah berbagai macam

mengenai ketidakefisienan, pemborosan anggaran, dan konflik. Wacana diskusi

berkembang mulai dari dikembalikan lagi dipilih DPRD untuk gubernur sedangkan

bupati/walikota tetap melalui pemilu. Penggunaan istilah “dipilih secara demokratis”

menimbulkan multi tafsir. Di dalam ilmu perundang-undangan dan ilmu HTN ada yang

dinamakan tafsir hukum apabila teks sebuah peraturan menimbulkan multi tafsir, maka

dapat dilakukan penafsiran hukum, antara lain gramatikal, sistemik, dan historis.

Kalau dilihat dari sisi gramatikal, istilah demokratis membingungkan mekanisme apa

yang diterapkan. Demokratis hanya sebuah proses, tetapi siapa yang memilih ini menjadi

persoalan. Sistemik adalah menafsir dengan logika konstruksi, misalnya asas-asasnya dan

konsistensi dengan pengaturan yang lain. Dari sisi sistemik ini, dalam pasal yang sama dan

Page 27: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

139

amandemen tahun yang sama mengapa dirumuskan DPRD dipilih melalui Pemilu

sedangkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Sedangkan pada amandemen

berikutnya Presiden dipilih secara langsung. Dalam sistem pelembagaan pemilu seharusnya

ada konsistensi pemilihan. Oleh sebab itu dari sisi sistemik kepala daerah mestinya ditafsir

dipilih melalui pemilu langsung. Saat itu tidak langsung dirumuskan dipilih melalui pemilu

langsung karena belum tahu apakah nantinya presiden akan dipilih langsung, dan juga

memberi keluwesan karena ada kepala daerah yang tidak dipilih berdasarkan undang-

undang keistimewaan, yaitu Yogyakarta.

Dari segi historis, yaitu melihat dari sejarah perumusan atau pembentukan ketentuan

itu. Dari risalah sidang dapat diketahui maksud perumusan demokratis.5

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Pertama kali istilah Kepala

Daerah dipilih secara demokratis disampaikan oleh FPDIP pada sidang PAH I BP MPR

yang membahas rumusan Bab VI pada tangal 29 Mei 2000. Pada initinya FPDIP

mengemukakan bahwa selama ini pemerintah belum melaksanakan Pasal 18 UUD 1945

sebagaimana mestinya. Pemerintahan dijalankan secara sentralistik dengan tekanan dan

paksaan. Pemilihan Kepala Daerah pada semua tingkatan dilakukan dengan penuh rekayasa

dan hanya mengedepankan tokoh-tokoh formal dan mengabaikan tokoh informal. Untuk

mencegah agar tidak terulang praktek-praktek tekanan dan paksaan, FPDIP mengusulkan

agar dicantumkan secara eksplisit dengan rumusan: “Daerah Otonomi mempunyai Kepala

Pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis yang pelaksanaannya diatur dengan

undang-undang”. Jelas sekali yang dimaksud dipilih secara demokratis menurut FPDIP

pada sidang PAH I BP MPR di atas adalah untuk mengakhiri praktek pemilihan kepala

daerah yang selama itu banyak dilakukan dengan cara rekayasa dan praktek tekanan serta

paksaan pemerintah terhadap mekanisme demokrasi untuk memilih kepala daerah yang

sedang berjalan. Rumusan dipilih secara demokratis usulan PDIP bukan substansi yang

mengarah kepada kepala daerah dipilih secara langsung atau tetap dipilih oleh DPRD.

Namun ditekankan pada perbaikan praktek yang harus dilaksanakan dengan cara

demokratis.

Fraksi Partai Golkar (FPG). Otonomi sebagai ruang bagi kedaulatan rakyat daerah

dalam pengertian komunitas politik memiliki makna mendalam, yaitu bahwa demokrasi

lokal dibutuhkan dalam rangka membangun otonomi daerah yang kokoh. FPG

mengemukakan bahwa konsep otonomi daerah yang memberikan kekuatan kepada

desentralisasi, tidak akan memenuhi sasarannya tanpa didukung pelibatan rakyat dalam

5Perdebatan seputar mekanisme pemilihan kepala daerah dalam perumusan naskah Perubahan UUD

1945, baca: Tim Penyusun Naskah KomprehensifProses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2010, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,

Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, (Edisi

Revisi), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi), terutama “Bab V

Pembahasan Perubahan UUD 1945 Mengenai Pemerintahan Daerah”, hlm. 1107-1431 passim.

Page 28: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

140

pengambilan keputusan, di antaranya adalah melalui pemilihan kepada daerah secara

langsung.

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP). Pengalaman praktek yang semuanya

diatur oleh pemerintah pusat sehingga terdapat ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan

oleh daerah. Berdasarkan pokok pikiran itu, FPPP mengusulkan tujuh item perubahan Pasal

18, yang salah satunya pada item ketujuh yaitu mengusulkan agar “Gubernur, Bupati, dan

Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, yang secara langsung oleh rakyat yang

selanjutnya diatur dalam undang-undang, hal ini sejalan dengan keinginan kita untuk

Presiden juga dipilih secara langsung”. Kemudian dalam tanggapan akhir antar fraksi

sebelum memasuki tahap lobi-lobi, FPPP kembali mengemukakan dengan tegas pada item

keempatnya bahwa “karena Presiden itu dipilih secara langsung maka pada pemerintahan

daerahpun gubernur, bupati, dan walikota itu dipilih langsung oleh rakyat. Undang-

undang dan tata caranya nanti diatur dalam undang-undang yang terkait dengan otonomi

daerah”. Dengan demikian menurut pikiran FPPP yang dimaksud “dipilih secara

demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dipilih secara langsung

sebagaimana tata cara yang dilakukan untuk memilih Presiden.

Fraksi Persatuan Daulat Ummah (FPDU yaitu gabungan dari Partai Nahdlatul

Ummah, Partai Kebangkitan Umat, Partai Politik Islam Masyumi, Partai Daulat Rakyat,

dan Partai Syarikat Islam Indonesia). Di sisi lain pengaturan pemerintahan daerah

cenderung melakukan penyeragaman, padahal dalam penjelasan Pasal 18 founding fathers

menyatakan dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende

landschappen dan volkgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di

Minangkabau, dan sebagainya. Karena itu FPDU berpendapat bahwa Pasal 18 tidak dapat

lagi mengatur secara keseluruhan pemerintahan daerah apalagi menata hubungan daerah

dan pusat. Selanjutnya FPDU mengusulkan perubahan Pasal 18 yang berisi delapan item,

antara lain pada item kedua “Setiap daerah otonom memiliki DPRD yang dipilih oleh

rakyat dalam suatu pemilu” dan item keempat “Setiap daerah memiliki kepala

pemerintahan daerah atau kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat”. Kepala

Daerah dipilih langsung oleh rakyat yang diusulkan FPDU harusnya dipahami

sebagaimana FPDU merumuskan anggota DPRD yang juga dipilih oleh rakyat melalui

pemilu, dengan demikian kepala daerah dipilih oleh rakyat adalah dipilih melalui pemilu.

Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesa (FKKI yaitu gabungan dari PKP, PDI, PNI

Massa Marhaen, Partai Bhinneka Tunggal Ika, dan PNI Front Marhaenis). Pembagian

kewenangan pusat dan daerah harus dilakukan dengan kesepakatan bersama. Selama ini

kita terjebak pada paradigma pusat dan daerah yang mempertentangkan pusat dan daerah.

Selanjutnya untuk menjamin hak-hak rakyat di daerah, FKKI mengusulkan perubahan

Pasal 18 yang antara lain berisi “berkenaan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden yang langsung, maka kami mengusulkan pula Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota juga dipilih secara langsung”. Dengan demikian redaksi dipilih secara

Page 29: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

141

demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) menurut FKKI harus diartikan bahwa Kepala Daerah

dipilih secara langsung sebagaimana dimaksud pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

dipilih secara langsung.

Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB dari Partai Kebangkitan Bangsa), pada intinya

menyampaikan pokok pikiran bahwa berdasar aspirasi yang berkembang di bawah

nampaknya kecenderungan untuk bisa memiliki Gubernur dan Walikota atau Bupati yang

dipilih langsung oleh masyarakat sangat tinggi. Selanjutnya dalam paparannya secara tegas

dinyatakan, “oleh karena itu kami mengusulkan apabila kata-kata demokratis ini diganti

dengan kata-kata dipilih langsung”.

Fraksi Utusan Golongan (FUG) menyoroti hampir keseluruhan isi perubahan Pasal

18 hasil PAH I BP MPR. Mengenai pemilihan kepala daerah, inti paparannya secara tegas

menyatakan: “saya usulkan agar dipilih secara demokratis itu diganti dengan langsung

atau bisa kompromi juga dipilih secara demokratis dan langsung”. Kepala Daerah dipilih

secara langsung ini menurut FUG juga agar koheren dengan seluruh sistem pemilihan yang

juga diusulkan beberapa fraksi, misalnya pemilihan Presiden secara langsung, itu juga

diterapkan sampai di tingkat bawah.

Fraksi Reformasi (terdiri dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan).

Pembicara lain dari Fraksi Reformasi menggarisbawahi keberatan dengan pencantuman

pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Secara tegas ia mengusulkan agar

“Pasal 18 Gubernur dan seterusnya dipilih secara langsung”. Selanjutnya juga

disampaikan: “karena itu kata demokratis memang seharusnya dihapus karena kita sudah

muak dengan penuangan seperti itu. Karena itu pemilihan langsung lebih jelas, karena

demokratis itu seringkali tidak jelas”.

Dari penafsiran historis pilkada secara demokratis tidak lain adalah dipilih secara

langsung. Dalam amandemen ketiga yang merumuskan Pasal 22E ternyata secara eksplisit

pemilu adalah untuk memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Ketentuan Pasal 18 (4)

yang merumuskan dipilih secara demokratis kenyataannya dibiarkan sampai berakhirnya

amandemen keempat.

Dengan demikian maka menurut UUD hasil amandemen dipilih secara demokratis

yang tepat adalah ditafsir dipilih secara langsung. Namun berdasarkan pertimbangan

sosiologis yaitu bersandar kepada kondisi masyarakat, perkembangan politik,

pertimbangan kepentingan yang lebioh besar sosiologis juga bisa dijadikan tafsir hukum.

Tetapi penggunaan ini sudah terlepas dari sistemik dan historis perumusan ketentuan

(pasal) yang bersangkutan, karena hanya melihat perkembangan sosiologis masyarakat.

Karena itu ide-ide kepala daerah dikembalikan dipilih DPRD merupakan tafsir sosiologis,

bukan logika konsistensi hukum dan bukan berdasar sejarah maksud dirumuskannya

ketentuan itu. Bila memang mau taat konstitusi, kepala daerah dipilih langsung seharusnya

menjadi pilihan. Sistem ini adalah konstitusional dalam arti memiliki landasan dan

argumen konstitusi yang kuat.

Page 30: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

142

Argumentasi Konstitusional

Pertama, konstitusi Indonesia UUD 1945 menentukan bahwa bentuk Negara yang

dianut Indonesia adalah Republik [vide Pasal 1 ayat (1)]. Sebagai konsekuensi sebuah

Negara yang berbentuk Republik, maka kedaulatan berada di tangan rakyat [vide Pasal 1

ayat (2)]. Implikasinya adalah pengisian jabatan politik-kenegaraan dilakukan secara

langsung oleh rakyat melalui pemilu [vide Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A, Pasal 18 ayat (3),

Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E]. Kendatipun dalam Pasal 18 ayat (4)

ditentukan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis, maka kata

“demokratis” di sini harus dimaknai bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh

rakyat-pemilih. Dalam hal ini, sekali lagi, sebagai konsekuensi bentuk Negara Republik,

kedaulatan di tangan rakyat, maka rakyatlah yang berhak menentukan kepala daerahnya.

Kedua, konstitusi Indonesia UUD 1945 menganut sistem pemerintahan Presidensil

[vide Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 7]. Salah satu ciri sistem pemerintahan Presidensil adalah

Presiden (pejabat eksekutif) dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih, yang

membedakan dengan sistem parlementer di mana pimpinan eksekutif dipilih oleh parlemen

berdasarkan perolehan kursi mayoritas di parlemen. Dalam sistem parlemen sekali pemilu

mendapatkan dua hasil yaitu perolehan kursi parlemen, dan sekaligus pemenang dalam

parlemen berhak menempati jabatan pada pimpinan eksekutif. Untuk menegaskan dan

menjaga konsistensi sistem pemerintahan Presidensil, maka dalam pengisian jabatan kepala

daerah sebagai pemimpin pemerintah daerah sudah seharusnya dilakukan melalui pemilu

secara langsung, bukan oleh parlemen (DPRD).

Argumentasi Politik

Pertama, pemilu untuk memilih kepala daerah secara langsung merupakan sarana

membangun basis legitimasi bagi kepala daerah. Mengingat bahwa anggota DPRD dipilih

secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (apalagi formula pemilihan anggota

DPRD kini ditentukan dengan perolehan suara terbanyak), untuk mengimbangi basis

legitimasi DPRD maka sudah seharusnya basis legitimasi kepala daerah juga dibangun

lewat pemilu.

Kedua, berjalannya pemerintahan daerah diperlukan stabilitas politik. Untuk menjaga

stabilitas politik ini diperlukan kesimbangan kekuatan politik antara kepala daerah dan

DPRD. Dalam hal kepala daerah dipilih oleh DPRD, sebagai konsekuensinya adalah

DPRD akan diberikan wewenang untuk meminta pertanggungjawaban dan

memberhentikan kepala daerah sebelum habis masa jabatannya. Padahal sebagai salah satu

ciri sistem pemerintahan Presidensil adalah adanya masa jabatan tertentu (lima tahun) [fix

term vide Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) dan (2)], dan bila kepala daerah dipilih dan

diberhentikan oleh DPRD dikhawatirkan akan terjerumus kepada ketidakstabilan politik

dan mengarah kepada sistem parlementer. Pengalaman sepanjang berlakunya UU No. 22

Tahun 1999 membuktikan hal ini. Untuk menghindari konflik politik antara kepala daerah

Page 31: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

143

dan DPRD yang berkepanjangan, dan untuk menjaga kestabilan politik pemerintahan

daerah, maka sudah seharusnya kepala daerah dipilih secara langsung.

Ketiga, dalam hal pengisian jabatan Gubernur sebagai kepala daerah provinsi

dilakukan oleh DPRD Provinsi, selain akan potensial menimbulkan konflik sebagaimana

pada argumen kedua, juga akan menimbulkan problem basis legitimasi Gubernur di

hadapan Bupati/Walikota jika Bupati/Walikota dipilih secara langsung lewat pemilu.

Dalam rangka menjalankan tugas untuk mengkoordinir Bupati/Walikota, maka Gubernur

harus memiliki legitimasi politik yang kuat.

Keempat, dalam hal Gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat-pemilih lewat

pemilu, dan tidak juga dipilih oleh DPRD, melainkan ditunjuk/diangkat oleh Presiden,

maka terdapat problem konstitusional. Problem tersebut adalah daerah provinsi merupakan

daerah otonom, bukan daerah administratif, di mana daerah otonom memiliki wewenang

mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam memilih kepala daerah, bukan ditunjuk/diangkat.

Bila pengisian jabatan Gubernur melalui ditunjuk/diangkat, problem konstitusional harus

diatasi terlebih dahulu yaitu mengubah status provinsi bukan lagi sebagai daerah otonom.

Terhadap gagasan mempertahankan pilkada langsung melalui pemilu tidak lepas dari

kritik. Terdapat tiga kritik yang sering diajukan, yaitu berkaitan dengan mahalnya biaya

pemilukada, masih maraknya politik uang dan konflik kekerasan yang mewarnai

pemilukada.

Terhadap kritik sejumlah kritik tersebut, Ramlan Surbakti memberikan jawaban.6

Pertama, berkaitan dengan pemilukada mahal. Efisiensi dalam pembiayaan

penyelenggaraan pemilukada dapat diwujudkan melalui pemilu lokal serentak. Pemilu

anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan pada hari/tanggal,

jam, dan TPS yang sama dengan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi

dan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Penghematan ini tidak saja

terjadi dalam honorarium petugas KPPS, PPS, dan PPK, tetapi juga dalam sektor

pengeluaran lainnya dari tiga kali menjadi satu kali pemilu lokal.

Pemilu lokal serentak justru akan mengurangi biaya kampanye karena kampanye

akan diselenggarakan oleh koalisi dua atau tiga partai politik untuk pemilu anggota DPRD

dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

Pengeluaran kampanye yang paling besar selama ini bukan untuk pembiayaan berbagai

bentuk kampanye yang sah berdasarkan UU, melainkan untuk ”sewa perahu” agar

dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan membeli suara pemilih

secara langsung ataupun melalui perantara.

Kedua, berkaitan dengan petahana cenderung menggunakan jabatan untuk kampanye

pribadi. Dalam pemberitaan media, telah terungkap setidaknya ada dua modus yang

digunakan petahana untuk kepentingan kampanye pribadinya, yaitu dana bantuan sosial

6Ramlan Surbakti, 2013, “Kepala Daerah Harus Lewat Pemilu”, Harian Kompas, 24 Juni 2013.

Page 32: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

144

dan bantuan pembangunan desa. Pengaturan mengenai hal ini tidak sepenuhnya terletak

pada UU Pilkada, tetapi juga pada peraturan perundang-undangan lainnya.

Asumsi yang hendaknya dipegang bukan ”manusia pada dasarnya baik” sehingga

tidak perlu diatur, melainkan ”apa pun latar belakangnya, manusia itu dapat berbuat baik

tetapi dapat pula berbuat buruk”. Karena itu diperlukan pengaturan untuk mendorong

kecenderungan baik dan mencegah kecenderungan buruk. Pelaksanaan demokrasi harus

berpedoman pada hukum. Pengaturan mengenai tata cara penggunaan bantuan sosial dan

alokasi anggaran pembangunan harus dirumuskan secara lebih rinci sehingga mampu

mendorong perilaku baik petahana dan mencegah perilaku buruk petahana.

Ketiga, kekerasan di beberapa daerah tidaklah seluruhnya berkaitan dengan

pemilukada. Setidaknya ada dua hal dapat dikemukakan mengenai fenomena kekerasan di

beberapa daerah. Pertama, berbagai ketegangan akibat adanya kesenjangan

antarmasyarakat senyatanya karena masyarakat kurang mendapat saluran yang memadai

dari berbagai lembaga yang seharusnya berperan. Partai politik yang memiliki kursi di

DPR dan DPRD sebagai representasi politik formal (mereka terpilih melalui pemilu untuk

mewakili warga masyarakat) itulah yang seharusnya menampung dan memperjuangkan

aspirasi masyarakat tersebut. Hal yang merisaukan adalah partai politik merasa tidak

bersalah setiap kali terjadi kekerasan politik di daerah. Kedua, pemilu merupakan konflik

yang dilembagakan. Artinya, prosedur dan aturan main persaingan antara pihak yang

berupaya keras mendapatkan dan pihak lain yang berupaya keras mempertahankan

kursi/jabatan diatur secara lengkap, jelas, dan konsisten berdasarkan asas langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel.

Pemilu yang diatur dengan UU seperti inilah yang disebut pelembagaan konflik.

Pelembagaan konflik seperti ini dimaksudkan tidak saja untuk mendapatkan calon terpilih,

tetapi juga agar persaingan itu berlangsung damai tanpa kekerasan. Satu atau lebih aspek

pelembagaan ini yang mungkin belum efektif mencegah kekerasan. Pengajuan gugatan

terhadap hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi hendaklah dilihat sebagai kesediaan

masyarakat menyelesaikan perselisihan hasil pemilu secara beradab (hukum), bukan

dengan kekerasan. Oleh karena itu, jumlah gugatan terhadap hasil pilkada tidak dapat

diartikan sebagai kelemahan, tetapi suatu fenomena positif.

Posisi Wakil Kepala Daerah7

Kedudukan wakil kepala daerah mendapat sorotan karena beberapa hal. Pertama,

posisi wakil kepala daerah dinilai tidak efektif dalam menjalankan tugas dan wewenang,

sehingga terkesan tumpang tindih dengan tugas dan wewenang kepala daerah. Penilaian ini

biasanya didasarkan kepada praktek yang terjadi di mana wakil kepala daerah menjalankan

7Gagasan ini bersumber pada: Hasyim, Asy‟ari, “Posisi Wakil Kepala Daerah”, makalah disampaikan

pada Focus Group Discussion (FGD), “Evaluasi Format Pilkada”, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian

Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Kamis, 4 April 2013.

Page 33: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

145

“tugas sisa” yang tidak dilakukan oleh kepala daerah dan biasanya tugas itu adalah tugas

yang “remeh-temeh”. Hal ini yang kemudian mendasari dilakukannya revisi UU No. 32

Tahun 2004 menjadi UU No. 12 Tahun 2008 terutama berkaitan dengan penegasan tugas

dan wewenang wakil kepala daerah.

Kedua, dalam praktek dipertanyakan soal mekanisme pengisian jabatan wakil kepala

daerah, yaitu apakah masih perlu dipertahankan mekanisme pengisian jabatan wakil kepala

daerah satu paket pasangan dengan kepala daerah yang kemudian dipilih langsung lewat

pemilu, atau wakil kepala daerah cukup diisi dengan cara penunjukkan yang berasal dari

PNS senior setelah kepala daerah terpilih lewat pemilu?

Berkaitan dengan masalah pertama, kedudukan wakil kepala daerah masih

diperlukan. Hal ini mengingat bahwa urusan pemerintah daerah cukup banyak dan cukup

berat. Harap diingat dalam konteks daerah otonom, hampir semua urusan pemerintahan

didesentralisasikan ke daerah kecuali urusan-urusan tertentu (pertahanan, keamanan, luar

negeri, agama, dan keuangan fiskal dan moneter). Dengan demikian nampaknya masih

diperlukan jabatan wakil kepala daerah dalam rangka membantu tugas kepala daerah dalam

menjalankan urusan pemerintah daerah.

Dengan demikian, apabila jabatan wakil kepala daerah masih dipertahankan, maka

yang diperlukan adalah penegasan kembali soal pembagian tugas dan wewenang antara

kepala dan wakil kepala daerah. Kendatipun wakil kepala daerah hanya “membantu” dan

keputusan tetap berada di tangan kepala daerah, namun untuk menghindari tumpang tindih

pembagian tugas dan wewenang, tetap diperlukan pengaturan tugas dan wewenang di

antara mereka dan pengaturan itu berada di tingkat undang-undang.

Berkaitan dengan masalah kedua, tentang mekanisme pengisian jabatan wakil kepala

daerah masih tetap melalui pemilu dalam satu paket pasangan kepala daerah dan wakil

kepala daerah. Hanya saja mekanisme pencalonannya saja yang diubah, yaitu yang dipilih

dalam mekanisme internal partai politik hanya calon kepala daerah saja, dan calon wakil

kepala daerah dipilih sendiri oleh calon kepala daerah.

Selama ini pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah dipilih melalui

mekanisme internal partai politik, dengan pola yang hampir sama di semua daerah, yaitu

calon kepala daerah bisa jadi berasal dari kalangan eksternal partai politik (dengan asumsi

memiliki sumber daya ekonomi yang kuat), dan calon wakil kepala daerah berasal dari

internal partai politik (dengan asumsi memiliki sumber daya politik yang kuat). Kemudian

dalam waktu yang tidak terlalu lama, bila komunikasi politik di antara mereka tidak

berjalan baik (retak), maka kemudian di antara mereka jalan sendiri-sendiri, di sinilah letak

persoalannya.

Dengan asumsi untuk membangun pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang

stabil, maka ke depan calon kepala daerah yang terpilih lewat mekanisme internal partai

politik kemudian dipersilahkan memilih calon wakilnya sendiri alias tidak dipilihkan partai

politik, sehingga loyalitas wakil kepala daerah hanya kepada kepala daerah dan bukan

Page 34: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

146

kepada partai politik. Selanjutnya pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah itu

diajukan dalam pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih.

Formula pasangan calon seperti ini selain dengan tujuan untuk membangun stabilitas

pasangan selama menjabat, juga yang tidak kalah pentingnya adalah pada saat terjadi

kondisi darurat di mana kepala daerah tidak dapat melanjutkan tugas sebagai kepala

daerah, akan digantikan oleh wakil kepala daerah yang sama-sama memiliki basis

legitimasi kuat yaitu sama-sama dipilih dalam pemilu.

Apabila wakil kepala daerah akan ditunjuk dan berasal dari kalangan PNS senior,

akan menimbulkan sejumlah masalah. Tentu saja masalah pertama berkaitan dengan basis

legitimasi politik yang berbeda dengan kepala daerah yang dipilih langsung dalam pemilu.

Demikian juga bila terjadi kondisi darurat, wakil kepala daerah model ini akan

mengahadapi masalah basis legitimasi.

Selain itu, bila wakil kepala daerah berasal dari jajaran PNS akan menghadapi

masalah dengan kedudukan Sekretaris Daerah (Sekda) yang juga seorang PNS senior.

Model ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru dalam kaitannya dengan

tumpang tindih pelaksanaan birokrasi sehari-hari. Demikian juga pada akhirnya kepala

daerah yang merupakan jabatan politik akan serasa “dikepung” oleh kalangan PNS senior

di jajaran birokrasi pemerintahan daerah.

Oleh karena beberapa hal tersebut, diusulkan agar pasangan kepala dan wakil kepala

daerah masih tetap dipilih melalui pemilu dalam satu paket pasangan. Bahkan untuk

merealisasikan visi, misi dan program kerjanya, pasangan kepala dan wakil kepala daerah

diperbolehkan membawa/merekrut sejumlah orang yang sejak awal terlibat membantu

menyusun visi, misi dan program kerja untuk memastikan bahwa program kerjanya dapat

dijalankan (political appointee).

Bandingkan dengan pasangan presiden dan wakil presiden yang dapat merekrut para

pembantunya (menteri dan staf khusus) dalam jumlah yang besar untuk mensukseskan visi,

misi dan program kerjanya. Harap diingat bahwa program pembangunan jangka pendek

lima tahunan adalah perwujudan dari visi, misi dan program kerja yang telah

dikampanyekan dalam pemilu. Hal ini berbeda dengan kepala dan wakil kepala daerah

pada saat menduduki jabatannya hanya mereka berdua, dan selainnya adalah aparat

birokrasi pemerintahan daerah yang secara politik biasanya memiliki “visi, misi dan

program kerja” sendiri yang tidak jarang berbeda dengan kepala dan wakil kepala

daerahnya.

C. Penutup: Pelembagaan Politik

Berdasarkan argumentasi historis pembentukan konstitusi, konstitusional dan politik

tersebut, dalam rangka revisi UU Pilkada diajukan 3 rekomendasi berikut.

Pertama, pengisian jabatan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota)

berdasarkan argumentasi konstitusional dan politik sebagaimana diuraikan di atas, harus

Page 35: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

147

tetap dipertahankan dengan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat-pemilih

melalui pemilu.

Kedua, diperlukan penataan pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu.8

Pelembagaan waktu pemilu ini adalah menata pemilu menjadi dua jenis pemilu, yaitu

pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD, dan Presiden

dan Wakil Presiden dilaksanakan pada waktu yang bersamaan (dalam satu pemungutan

suara ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden).

Pemilu secara bersamaan waktu ini dimaksudkan untuk memperkuat stabilitas politik,

terutama relasi politik antara DPR dan Presiden, karena bangunan koalisi politik akan

dibangun sejak dini, bukan koalisi sesaat setelah pemilu legislatif. Pada waktu berikutnya

(2 atau 2,5 tahun berikutnya) diselenggarakan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD

(provinsi dan kabupaten/kota) dan sekaligus memilih Gubernur dan Bupati/Walikota.

Pelembagaan waktu penyelenggaraan pemilu yang demikian ini, selain untuk membangun

stabilitas politik, dan untuk meredam masyarakat agar tidak terfragmentasi secara terus-

menerus, juga dalam rangka efisiensi biaya pemilu.

Ketiga, karena partai politik sebagai aktor utama dalam pengisian jabatan politik-

kenegaraan, maka sudah saatnya partai politik didorong untuk segera merevitalisasi diri

dan mengoptimalkan perannya, terutama dalam pendidikan politik, rekrutmen politik dan

artikulasi kepentingan politik rakyat. Salah satu agenda utama demokratisasi Indonesia

adalah mendemokratiskan partai politik.

DAFTAR PUSTAKA

Hasyim Asy‟ari, “Mempertahankan Pilkada Langsung”, Harian Kompas, 24 Maret 2011.

_____________, “Posisi Wakil Kepala Daerah”, makalah disampaikan pada Focus Group

Discussion (FGD), “Evaluasi Format Pilkada”, diselenggarakan oleh Pusat

Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta,

Kamis, 4 April 2013.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1, (Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi).

Ramlan Surbakti, 2013, “Kepala Daerah Harus Lewat Pemilu”, Harian Kompas, 24 Juni

2013.

8Penjelasan lengkap seputar gagasan “pemilu serentak”, dapat dibaca: Ramlan Surbakti, Didik

Supriyanto dan Hasyim Asy‟ari, 2011, Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional

dan Pemilu Daerah, Seri Demokrasi Elektoral Buku 2, (Jakarta: Partnerships-Kemitraan bagi Pembaruan

Tata Pemerintahan Indonesia). Buku Serial Demokrasi Elektoral dapat diunduh di

http://www.kemitraan.or.id.

Page 36: Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah ... (khotbah resmi saat sholat Jum‟at)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

148

Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto dan Hasyim Asy‟ari, 2011, Menyederhanakan Waktu

Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Seri Demokrasi

Elektoral Buku 2, (Jakarta: Partnership-Kemitraan bagi Pembaruan Tata

Pemerintahan Indonesia).

Tim Penyusun Naskah KomprehensifProses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2010,

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-

2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, (Edisi Revisi), (Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi).

Hasyim Asy‟ari adalah Dosen Bagian Hukum Tata Negara (HTN), Fakultas Hukum,

Universitas Diponegoro, Semarang. Menempuh pendidikan doktoral (Ph.D.)

Sociology of Politics, University of Malaya, Kualalumpur, Malaysia, lulus 2012,

menulis disertasi “Konsolidasi Menuju Demokrasi: Kajian tentang Perubahan

Konstitusi dan Pemilu 2004 di Indonesia”. Magister Ilmu Politik (M.Si.) ditempuh

pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lulus 1998,

menulis tesis “Demokratisasi Melalui Civil Society: Studi tentang YLBHI dan

Pemberdayaan Civil Society di Indonesia 1971-1996”, dan pendidikan hukum

(S.H.) ditempuh pada Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman,

Purwokerto, Jurusan Hukum Tata Negara dalam spesialisasi kajian Hukum dan

Politik, lulus 1995, menulis skripsi “Pembreidelan Pers: Kajian tentang Politik

Hukum Pembreidelan Majalah TEMPO Tahun 1994”. Dapat dihubungi melalui

Email: [email protected]