Upload
lethu
View
214
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
17
POLITIK DALAM PETA KAJIAN KEISLAMAN
(Studi Tentang Relasi Politik dengan Pendidikan, Hak Asasi Manusia dan
Kesetaraan Gender)
Mohammad Thoha1
Abstract
Politics is not uncommon meant as a tool to obtain and preserve power. In this
sense politics often stigmatized nigatif, which actually comes from the political actors
themselves. Indeed, politics can be positioned as the most effective means to achieve the
welfare of the people through the products of his policies, such as in the fields of
education, awareness of human rights and understanding of gender equality. Effective
political role and dynamic as it is, at least has successfully demonstrated by the power
authority Dynasty Dynasty-Islamic past. This paper attempts to reread the past political
relations with the various dimensions of social life, which has to deliver real Muslims in
the heyday of world civilization. Paradigama shift, which then continues on giving a
negative stigma in today's political world, should arouse the observer of politics to restore
the genuine meaning of politics itself.
Keywords: Politics, Education, Human Rights, Gender
A. Pendahuluan
Ziauddin Zardar mengatakan bahwa Islam sangat memperhatikan politik sebagai
landasan hukum kehidupan tata pemerintahan umat Islam. Hal ini menurutnya dibuktikan
dengan lahirnya Deklarasi Madinah yang mengatur sistem kehidupan politik umat Islam di
tengah penganut agama lain di jazirah Arab. Deklarasi tersebut secara langsung menarik
perhatian dunia terhadap terbentuknya "Negara" Islam pertama.2 Pada gilirannya para
pemegang kekuasaan di wilayah lain memandang Islam sebagai sebuah kekuatan yang
memiliki cakrawala luas di semua sektor kehidupan, termasuk politik.
Al Maududi (w. 450H/1058M) dengan bukunya yang berjudul al-Din wa al-Siyasah,
dipandang sebagai orang pertama yang membincangkan politik sebagai kajian tidak
terpisahkan dalam studi keislaman (islamic studies). Dalam buku ini, ia mengatakan bahwa
perkembangan ilmu politik dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan ilmu
fiqh (syari'ah). Hal ini dapat dibuktikan bahwa salah satu latar belakang berdirinya Dinasti
Fatimiyyah di Mesir yang mengembangkan faham Syi'ah dikarenakan sebagai gerakan
1 Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan, Email : [email protected] 2 Ziauddin Sardar, Est-West University: Islamic Studies, (London dan New York: Mansell Publishing
Limited, 1984), 15.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
18
penyeimbang terhadap pesatnya kemajuan ajaran Sunni yang diterapkan oleh penguasa
Abbasiyah di Baghdad.3 Sementara dalam edisi Bahasa Indonesia buku yang paling
komprehensif membahas tentang politik Islam, adalah hasil karya Muhammad Tahir
Azhari.4 Buku ini menurut Ismail Suni adalah buku pertama yang berbicara tentang konsep
Negara Islam secara mendetil.5
Pada hakikatnya, menurut Zardar, al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam telah
memberikan sekian banyak konsepsi politik yang dikemas melalui kisah-kisah para nabi
sebelum datangnya Nabi Muhammad. Diantara ayat-ayat al-Qur'an yang menerangkan hal
itu adalah:
ا يشاء الملك والحكمة وعلهمه ممه وقتل داوود جالوت وآتاه الله النهاس بعضهم فهزموهم بإذن الله ولول دفع الله
ذو فضل على العالمين (152ة:)البقر ببعض لفسدت الرض ولكنه الله
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam
peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya
(Daud) pemerintahan dan hikmah[157] (sesudah meninggalnya Thalut) dan
mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak
menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti
rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta
alam. Qs. Al Baqarah: 251.
اغفر لي (55وهب لي ملكا ل ينبغي لحد من بعدي إنهك أنت الوههاب )ص:قال رب
Sulaiman berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Pemberi". Qs. Shad: 52.
Kisah Nabi Daud dan Sulaiman as. tersebut menunjukkan adanya bargaining politik
antara "Islam" (agama) dengan penguasa sebelumnya.6 Pada ayat lain al-Qur'an
menyatakan:
ما لكم من إله غيره قد جاءتكم بي نة من رب كم فأوفوا الكيل وإلى مدين أخاهم شعيبا قال ياقوم اعبدو ا الله
م إن كنتم والميزان ول تبخسوا النهاس أشياءهم ول تفسدوا في الرض بعد إصلحها ذلكم خير لك
3 Jhon Alden William, Islam, (New York: George Braziller, 1962, 122. 4Buku yang dimaksud berjudul, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa KIni,(Jakarta: Bulan Bintang,
1992). buku ini merupakan desertasi doktor yang telah dipertahankan pada sidang senat terbuka Pascasarjana
Universitas Indonesia pada 19 Maret 1991. 5 Baca Ismail Suny,"Kata Sambutan" dalam Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah
dan Masa Kini,(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), ix-x. 6 Lihat Ziauddin Sardar, Est-West University, 18.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
19
من آمن به وتبغونها عوجا واذك 55)مؤمنين روا إذ (ول تقعدوا بكل صراط توعدون وتصدون عن سبيل الله
(58-55()العراف: 58كنتم قليل فكثهركم وانظروا كيف كان عاقبة المفسدين)
Pada ayat ini, Islam telah memberikan intervensi terhadap tata laksana kehidupan
politik penguasa saat itu.7 Etika politik dalam Islam memberikan keharusan bagi penguasa
untuk senantiasa mengutamakan kesamaan (al-tasawi), keadilan (al-'adalah), toleransi (al-
tasamuh), kemerdekaan (al-hur), demokrasi (al-demokratiyah), dan keseimbangan (al-
tawasuth).8
Tulisan singkat ini akan mencoba memetakan hubungan politik dengan berbagai
disiplin keilmuan lainnya dari sudut pandang studi keislaman. Tentu saja kajian ini bersifat
analitik terhadap teks-teks normatif yang ada serta dikomparasikan dengan fenomena sosial
umat islam yang berlangsung dari masa ke masa.
B. Politik Dan Hak Asasi Manusia
Semua orang lahir dengan membawa hak asasi yang melekat pada dirinya.
Kebebasan menentukan pilihan politik, berusaha, berserikat dan mendapatkan pendidikan
serta rasa aman merupakan serangkaian hak asasi yang dimiliki setiap individu bukan
diberikan. Oleh karena itu tidak ada satu pun aturan atau regulasi yang membenarkan
pengekangan hak setiap individu tersebut. Politik yang baik dan kondusif, akan
menjunjung tinggi hak asasi tersebut. Sebaliknya, dalam ketertindasan seseorang tidak
akan pernah tahu dan menyadari hak-haknya.9
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki dirinya karena dirinya sendiri.
Setiap manusia (individu) memiliki hak asasi, dan tidak seorangpun boleh diingkari hak
asasinya, tanpa keputusan hukum yang adil. Seseorang bisa dicabut hakl asainya oleh
penguasa apabila ia terbukti melakukan perbuatan yang salah menurut hukum negara.10
Setiap individu diberikan kebebasan untuk melaksanakan hak asasinya. Kebebasan
ini dilindungi oleh hukum internasional melalui Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia pada tanggal 10 Desember 1948.11 Meskipun demikian setiap individu memiliki
kewajiban pada individu yang lain dan terhadap masyarakat. Sebuah tatanan masyarakat
akan mewujudkan kebebasan dan pengembangan masing-masing individu. Dalam kondisi
seperti ini, individu memiliki kewajiban untuk menciptakan stabilitas masyarakat
7 Ibid, 20. 8 Ibid, 64. 9 John O. Voll, Islam Continuity and Change in the Modern World, (England:Longman,1982), 275.
Baca juga: Khursid Ahmad,"The Nature of Islamic Resurgence";Voices of Resurgent Islam, ed. John L.
Esposito,(Oxford:Oxford University Press,1983), 218. 10 Rhoda E. Howard, Hak Asasi Manusia: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. Nugraha
Katjasungkana, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2000), 1. 11 M. Timur” Sebuah Dialog tentang Islam dan Hak Asasi Manusia” dalam Hak-hak Asasi Manusia
dalam Islam terj. Badri Yatim dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 75.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
20
tersebut.12
Al Mawdudi menilai HAM paling tidak memenuhi 8 hak, (1) hak untuk hidup, (2)
hak untuk memperoleh keselamatan hidup, (3) pernghormatan terhadap kesucian wanita,
(4) hak untuk mmeperoleh kebutuhan hidup pokok sepereti ekonomi dan pendidikan, (5)
hak untuk memperoleh kebebasan, (6) hak untuk mendapatkan keadilan, (7) hak kesamaan
derajat manusia, dan (8) hak untuk kerjasama dan bekerja sama.13
Pendidikan dilaksanakan untuk mengantarkan umat manusia menuju “pencerahan”
agar mereka memiliki bekal untuk melestarikan kehidupan di muka bumi. Dalam
perspektif Islam, pendidikan memiliki makna sentral sebagi proses pencerdasan secara utuh
(as a whole) dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adat al- darain)
atau keseimbangan materi dan religius - spritual.14
Pendidikan adalah bagian dari hak asasi mansia, disamping hak-hak yang lain. Setiap
individu berhak menikmati pendidikan sebagai sebuah kebutuhan. Pasal ke-26 dari
deklarasi Universal Hak-hak Manusia berbunyi sebagai berikut.15
(1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan -paling tidak untuk
pendidikan dasar dan pendidikan pra sekolah- hendaknya bebas dari pembayaran uang
sekolah. Pendidikan dasar diwajibkan. pendidikan kejuruan dan pendidikan profesi
terbuka bagi umum, pendidikan tinggi juga terbuka bagi orang yang memiliki
kecerdasan untuk mengikutinya.
(2) Pendidikan hendaknya ditujukan untuk pengembangan kepribadian manusia seutuhnya
dan untuk meneguhkan penghormatan terhadap hak-haka manusia dan kebebasan-
kebebasan dasar manusia. Pendidikana hendakanya memperkokoh rasa saling
pengertian dan toleransi serta persahabatan antar bangsa, ras atau golongan agama-
agama, dan hendaknya mendukung segala aktivitas Perserikatan Bangsa - Bangsa
untuk memelihara perdamaian.
(3) Orang tua memiliki hak utama untuk memilih jenis pendidikan dan pengajaran yang
diberikan kepada anak-anaknya.
Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kebebasan. Sebaliknya
Islam menolak praktek kecurangan, kepincangan dan ketidakadilan dalam semua aspek
12 Rhoda E. Howard, Hak Asasi Manusia : Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. Nugraha
Katjasungkana, 17 13 Maulana Abul’Aa’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, terj. Bambang Iriana
Djajaatmadja (Jakarta : Bumi Aksara, 1995) 12-22. Baca juga Ian Brownlie, Dokumen-Dokumen Pokok
Mengenai Hak asasi Manusia terj. Beriansyah ( Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1993). Dan dokumen
tentang Deklarasi Islam Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia dapat dilihat pada “Dokumen II tentang
deklarasi Islam Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia” dalam Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam terj.
Badri Yatim dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 156-167. 14 Abdurrachman Mas’ud, “Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam” dalam Paradigma
Pendidikan Islam, ed. Ismail SM et .al. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 7. 15 Maulana Abul’Aa’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam 56.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
21
kehidupan manusia.16 Pendidikan diselenggarakan untuk menegakkan nilai-nilai suci
kehidupan tersebut. Dengan demikian dalam pandangan Islam pendidikan adalah hak asasi
yang utama bagi umat manusia.
Ayat al-Qur’an yang pertama kali turun (Iqra’) adalah mengandung dimensi
pendidikan yang utuh. Dari kenyataan ini dapat dipahami bahwa Islam adalah sebuah
tatanan kehidupan yang pertama kali menjunjung tinggi nilai-nilai asasi manusia (hak asasi
manusia), meskipun dalam pandangan orang-orang Barat konsep Hak asasi manusia
berasal dari Magna Charta Inggris Dalam pemahaman bangsa barat, Magna Charta berisi
tentang prinsip-prinsip pengadilan oleh juri (Habeas Corpus) dan kontrol parlemen atas
pajak. Ibid, 9. Pemahaman seperti ini keliru mengingat Magna Charta (dicetuskan tahun
1215). Habeas Carpus 16700 adalah tidak lain dari teori-teori sosialis-komonis. Memang
keduanya tidak dipungkiri sebagai proses pelembagaan hak asasi manusia yang
disejajarkan dengan Undang-undang hak asasi (1689), dan Deklarasi hak-hak manusia dan
warga negara Prancis (1789).17 Maududi tidak sepakat dengan pandangan ini, karena
menurutnya magna Charta disusun enam ratus tahun setelah kebangkitan Islam, dan sampai
abad ketujuh belas Barat tidak mempunyai konsep tentang hak-hak asai manusia dan hak-
hak warga negara, justru yang berkembang waktu itu adalah perbudakan, penjajahan dan
kanibalisme.18
Al-Na’im19 berpendapat bahwa semua agama termasuk Islam sangat menghormati
hak asasi manusia sebagai pemberian Tuhan yang bersifat azazi dan fitrah. Semua tradisi
budaya-keagamaan termasuk Islam, menganut prinsi “Aturan Emas” (golden rule) yakni
sebuah prinsip yang mengatakan bahwa siapapun harus memperlakukan orang lain seperti
ia mengharapkan orang lain memperlakukan dirinya. Semua agama memperlakukan asas
ini untuk menggalakkan hak asasi manusia universal. Pendapat ini ditolak oleh Rhoda E.
Howard yang mengatakan bahwa hak asasi manusia adalah masalah sekuler yang
dadasarkan pada pemikiran manusia tentang keadilan, bukan keputusan ilahi. Hak asai
manusi tidak lebih dari deklarasi umat manusia tentang bagaimana mereka seharusnya.20
Pemikiran Al Na’im, selanjutnya diteruskan oleh Al Maududi. Al Maududi
berpandangan bahwa hak asasi manusi yang diberikan Tuhan bersifat mutlak
kebenarannya. Hal ini tidak bisa desejajarkan dengan konsepsi legislasi yang bisa dirubah
kapan saja sesuai dengan hasil konsensus umat manusia yang probalistis.21
Pendapat Maududi lebih rasional bila dikaitkan dengan pandangan bahwa hak-hak
16 Ibid, 4. 17 Jean claude Vatin, “Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam” dalam Hak-hak Asasi Manusia dalam
Islam terj. Badri Yatim dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987).114. 18 Maulana Abul ’A’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, 5. 19 Abdullah Al-Naim adalah murid sekaligus penerus dari pemikiran Mahmud Muhammad Thoha yang
menulis “The Second Message Of Al-Qur’an. Dari pemikrannya tertsebut akhirnya berkembang istilah
universalitas al-Qur’an. 20 E. Howard, Hak Asasi Manusia : Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, 19. 21 Maulana Abul’Aa’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, 10.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
22
asasi manusia yang diberikan oleh Tuhan berikut sanksi yang berkenaan dengannya dan
mengikat pada semua umat manuisa secara merata tidak dibedakan oleh apapun. Berbeda
dengan hasil resolusi PBB tentang hak asasi manusia tidak menjamin kesamaan
penerapannya bagi seluruh bangsa di dunia. PBB masih membedakan negara-negara di
dunia berdasarkan pemegang hak veto, negara maju, berkembang, terjajah, merdeka dan
sebagainya.
C. Politik Dan Pendidikan Islam
Pada masa awal Islam, ilmuan atau para sarjana muslim yang mewakili institusi
pendidikan, mendapatkan posisi yang sangat kuat dalam proses pemerintahan. Setiap
kebijakan khalifah atau penguasa niscaya memerlukan legitimasi dari ulama. Demikian
pula dalam menjalankan pemerintahannya, para penguasa tidak bisa melepaskan diri dari
kontrol pemegang otoritas keilmuan (ulama) tersebut. Oleh karena itu, para khalifah dalam
hal ini seakan tidak memiliki pilihan lain, kecuali merangkul dan mendukung sepenuhnya
tuntutan dunia pendidikan saat itu. Di samping itu pula, dukungan penuh para penguasa
terhadap dunia pendidikan juga melambangkan perlawanan umat islam terhadap hegemoni
Barat dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sentuhan relasi antara penguasa dan para
praktisi pendidikan tersebut terus mewarnai politik pendidikan Islam pada masa-masa
berikutnya.
Ilmuan muslim memiliki bergaining position yang kuat terhadap elit penguasa.
Dengan posisinya yang netral, para ilmuwan tersebut mendapatkan peluang untuk bergerak
bebas dalam mengekspresikan ilmunya. Dalam hal ini dapat dicontohkan pada masa
kejayaan Abbasyiyah di Baghdad, di mana saat itu terdapat beberapa ilmuwan yang sangat
disegani seperti Malik Ibn Huwayzman (w. 390 H /999 M), Ibn Hanbal, dan al Baghdady.
Khalifah mengalokasikan secara khusus anggaran kerajaan untuk memberikan fasilitas dan
sarana bagi kegiatan akademis para ilmuwan tersebut. Akses penyebaran hasil temuan dan
penelitian juga dibuka selebar-lebarnya. Seluruh masyarakat diberi kesempatan untuk
memperoleh hasil pegembangan ilmu pengetahuan tersebut. Di samping itu khalifah
mengangkat beberapa ulama (ilmuwan) tersebut sebagai penasehat pribadi, atau semacam
staf ahli untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam mengambil kebijakan
pemerintahan.22
Demikan pula keberadaan para ilmuwan muslim dalam pemerintahan Fatimiyah di
Mesir. Ilmuwan muslim diberi wewenang untuk mengelola kurikulum Al-Azhar. Mereka
seperti Abu Hasan Bin Nu’man, al Musajja, al Qadiy, Hasan Bin Zulaq, Ibn al-Fayd dan
Ibn Hulkan. Fatimiyyah yang saat itu dikuasi Dinasti Mamluk, memberikan peluang
sebesar-besarnya pada kebebesan akademis untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Para
22 PJ. Bearman, The Encyclopedia Of Islam (New Edition), : Propared By A Number of Leading
Orientalis, ed, PJ. Bearman, Et. Al. (Leiden: Brill,2000), 802.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
23
Sultan dengan bangga mempromosikan hasil penelitian dan temuan sarjana muslim
tersebut. Memang, dengan perannya yang sangat penting tersebut, para ilmuwan pada
awalnya tidak mendapat bayaran resmi dari kerajaan, dan mereka tidak mempermasalahkan
hal itu. Sebelum mendapatkan bayaran resmi dari pemerintah, seorang ilmuwan muslim
tidak mendapatkan bayaran dari kegiatan mengajarnya. Mereka mencari penghasilan untuk
memenuhi kebutuhannya dengan bekerja di berbagai jenis lapangan pekerjaan. Hayyim J.
Cohen mengatakan bahwa selama 2 abad pertama perkembangan Islam profesi ilmuan
muslim tidak mendapat anggaran dari uang negara, dan baru pada tahun 380 H, setiap
Dinasti Islam menganggarkan dananya untuk kesejahteraan para ilmuwan muslim.23 Baru
setelah menteri Ya’kub Ibn Kilis dari Fatimyah mengusulkan pada khalifah al-‘Aziz, maka
kesejahteraan ilmuwan muslim mendapat perhatian. Keadaan tersebut semakin
menguntungkan para ilmuwan dan dunia pendidikan dengan adanya revolusi yang
dilakukan oleh Muhammad Ali Pasha.24 Pada pertengahan abad ke-8 sampai abad ke-13, di
Kairo ilmuwan muslim mendapat bayaran dari Dinasti Mamluk. Pada masa itu guru-guru
besar al-Azhar telah mendapat status yang sangat terhormat dalam dinamika gerakan
keilmuan di Mesir. Mereka dibedakan dengan dosen dan pengajar lainnya melalui bentuk
toga serta gelar akademik.25 Al-Azhar, dalam hal ini tidak dibaca hanya sebatas perguruan
tinggi saja. Akan tetapi lebih dari itu Al-Azhar merupakan institusi pendidikan sekaligus
politik, dimana Rektor (shaykh al Azhar) memiliki otoritas setara menteri atau pembesar
lainnya dalam pemerintahan. Fatwa seorang shaykh al Azhar akan mampu mempengaruhi
pola kebijakan pemerintahan Kesultanan Mamluk.
Demikian pula apa yang terjadi pada dinasti Abbasiyah di Baghdad. Perdana menteri
Nidzam al-Muluk mewakafkan beberapa toko dan sejumlah unit usaha kerajaan pada
madrasah Nizamiyyat. Sejak saat itu ilmuan muslim mendapat bayaran resmi dari hasil
wakaf tersebut. Kesejahteraan mereka terus mendapatkan perhatian khusus dari pihak
istana. Jenjang penghasilan disesuaikan dengan besaran kapasitas keilmuan mereka.
Romantisme pihak kerajaan sebagai lambang dunia politik dengan dunia ilmu pengetahuan
23 Baca lebih lanjut: Hayyim J. Cohen, “The Ekonomic Background And The Secular Occupation Of
Muslim Jurisprudents And Traditionists InThe Classical Period Of Islam” dalam Journal Of Economic And
Social History Of The Orient, 13. (tt: 1970), , 24. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, para ilmuan muslim
bekerja di berbagai bidang. Dalam hal ini Hayyim menggambarkan bahwa tidak kurang dari 410 bidang
pekerjaan yang dijalani oleh para ilmuan muslim, seperti para ilmuan muslim Madinah, Bashrah, dan
Baghdad banyak menekuni Tekstil, Ilmuan muslim Kuffah bekerja dalam bidang industri makanan, minyak,
dan tambang, serta ilmuan muslim di daerah lain yang mencari nafkah dengan bidang usaha perkebunan
kurma, industri gula, kerajinan lukisan, farfum, dekorasi, tukang kayu, agen pengiriman barang dan surat,
makelar jasa dan yang paling banyak adalah sebagai penyalin buku, dan manuskrip yang dihargai 5 sampai
10 Dinar perhalaman. Ibid, 25-34. 24 Afaf Lutfi Al-Sayyid Marsot, “A Socio Ekonomic Sketch Of The Ilmuan muslim’ In The Eighteenth
Century”, dalam Colleque International Sur I’Histoire, (1974), 314. 25 Gelar akademik yang diberikan pada dosen-dosen senior adalah al-Imamiy, al-‘Alimiy, al-Kalamiy,
al-Awhady, ‘Umdat al-Muh}aqqiqin, dan Fahr al-Muhaddithin, lihat Muhammad al-Qitriy, al-Jamiat al-
Islamiyyat wa Dawruha Fi Masirat al-Fikr al-Tabrawiy, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, tt.), 81.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
24
tersebut terus berjalan sampai terjadi tragedi politik antara abad ke-10 sampai abad ke-12
di Baghdad, yang berakhir dengan runtuhnya dinasty Abbasiyyah tahun 1258 sebagai
akibat serangan dinasti Tar Tar dibawah komando Hulago Khan. Peristiwa tersebut
menyebabkan sekian banyak ilmuwan muslim kehilangan independensi dan kepercayaan
dirinya, sehingga tidak sedikit yang melakukan pengungsian ke daerah-daerah lain yang
dianggap lebih aman. Sejak saat itu, ilmuan muslim banyak melakukan eksodus keluar
Baghdad.26
Demikian pula sistem jenjang karir tersebut terus berjalan pada periode-periode
berikutnya. Sumber penghasilan yang diperoleh para ilmuwan muslim berasal dari bayaran
hasil mengajarnya. Besarnya bayaran yang diterima seorang ilmuwan muslim bergantung
pada bobot keilmuan yang ditekuninya, serta status atau jabatan yang disandangnya,
apakah ia merupakan pengajar lokal atau sebagai guru tamu. Dalam hal ini dapat
dicontohkan sistem penggajian tenaga pengajar di Al-Azhar. Shaykh ‘Abdullah al-
Sharqawiy yang menjadi Rektor di al-Azhar pada tahun 1208-1227 H atau 1793-1818 M
menerima bayaran 19.780 Medins setiap bulan, disamping fasilitas-fasilitas lainnya yang
disediakan Universitas, seperti rumah dinas dan bahan makanan. Penghasilan tersebut
masih ditambah dengan penghasilan tidak tetap yang diperolehnya di luar kegiatan
akademika al-Azhar, semisal menjadi nara sumber seminar dan sebagainya, yang kadang
sampai mencapai 80.000 Dirham perbulan.27
Besarnya bayaran ilmuwan muslim juga ditentukan oleh kemashuran namanya.
Sebagai contoh Ibn ‘Araby dalam kegiatan mengajarnya di tengah-tengah
pengembaraannya (sebagai dosen tamu), mendapatkan bayaran 1000 Dirham dalam satu
sesi pelajaran hadithnya. Demikian juga Yahya bin Ma’in di Baghdad yang dibayar 1 juta
Dirham sebagai guru senior Hadith.28
Penghargaan pemerintah pada jasa para ilmuwan, tidak saja berlaku pada saat
seorang ilmuan masih aktif mengajar. Seorang ilmuwan muslim yang telah memasuki usia
pensiun juga tidak lepas dari perhatian pemerintah, mereka tetap menerima bayaran atas
pensiunnya. Hal ini dapat dicontohkan seperti Qadi Abu Yusuf yang menerima pensiunan
pada masa Khalifah Harun al-Rashid, serta Zajjaj yang menerima 300 Dinar setiap bulan
untuk tiga pensiunan sekaligus, yaitu pensiunan penasehat Khalifah, konsultan hukum dan
sebagai pemimpin para ilmuwan muslim lainnya.29
Namun demikian, pergeseran posisi ilmuwan muslim dari yang semula tidak
menerima bayaran, kemudian menjadi pejabat pemerintah, menjadikan nilai tawarnya
makin lemah terhadap kekuasaan. Hal ini selanjutnya sangat berpengaruh pada indepensi
26 Muhammad al-Qitriy, al-Jamiat al-Islamiyyat, 138-141. 27 Afaf Lutfi Al-Sayyid Marsot, “A Socio Ekonomic Sketh Of The Ilmuan muslim”, , 315. 28 George Makdisi, The Rise Of Colleges; Institutions Of Learning In Islam And The West, (Edinburgh:
Edinburg University Press, 1981), 60-161. 29 Ibid, 162.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
25
mereka. Tidak jarang seorang ilmuwan muslim mengeluarkan fatwa berdasarkan
keberpihakannya terhadap satu penguasa. Hal ini menurut Szyliowics, bermula sejak
adanya konflik antar aliran teologi di Daulah Abbasiyyah. Namun demikian status mereka
yang sangat terhormat di mata masyarakat tetap memberikan motivasi besar bagi kalangan
muda untuk menuntut ilmu agar kelak mereka juga menjadi ilmuan muslim.30 Di sisi lain
Ahmad Mushilli memberikan analisis bahwa elit ilntelektual (ilmuwan muslim) di berbagai
belahan dunia Islam, seperti Mesir dan Syiria, masih meneruskan tradisi “gelap” sejarah
intelektual muslim. Di mana secara ambisius kaum intelektual telah berafiliasi dengan
institusi penguasa politik. Dan peran mereka mulai bergeser dari mendobrak pintu
kekuasaan yang despotik menuju penikmat ruang istana kekuasan yang menyejukkan.31
Tragisnya, tradisi “gelap” yang dikhawatirkan tersebut secara alami terus menular
pada generasi saat ini. Tidak sedikit para pemegang otoritas keilmuan saat ini yang dengan
sadar melakukan “perselingkuhan” dengan para pemegang kuasa (elit politik). Kebijakan-
kebijakan pendidikan yang lahir, tidak jarang juga dengan jelas membawa aroma politik.
Dalam kasus pendidikan saat ini di Indonesia misalnya, lahirnya kurikulum 2013 di
samping merupakan ikhtiar pemerintah dalam mengatasi problema pendidikan dan krakter
bangsa, namun dalam perumusannya disinyalir penuh dengan muatan politis. Demikian
pula pelaksanaan Ujian Nasional, dualisme pendidikan (antara Kemenag dan
Kemendikbud), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang akhirnya dibubarkan
oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan sebagainya, menggambarkan belum independennya
dunia pendidikan. Cengkraman kepentingan politik masih terus mewarnai perjalanan
pendidikan saat ini.
D. Politik dan Kesetaraan Gender
Setelah kekhalifahan Turki diganti dengan sistem pemerintahan Republik oleh
Mustafa Kemal al-Taturk pada 29 Oktober 1923, maka tatanan kehidupan masyarakat
Turki lambat laun juga bergeser dari pola hidup beragama secara fundamental menuju
pemahaman keagamaan secara liberal bahkan sekular, meskipun tetap dalam bingkai
negara Islam. Dalam jajaran politikus Turki selanjutnya, kaum perempuan banyak mengisi
kursi parlemen32 sebagaimana kaum laki-laki,33 bahkan gagasan rancangan undang-undang
politik Turki sedikit banyak lahir dari politikus perempuan seperti Ziya Gokalp, Mehmeda
30 Joseph S Szyliowics, Pendidikan dan Modernisasi Di Dunia Islam, ter. Murwinanti, Ed. Achmad
Djainuri, (Surabaya: Al-Ikhlas, 2001), 107. 31 Baca selengkapnya Ahmad Mushilli dan Luay Shafi, Krisis Intelektual Islam: Selingkuh Kaum
Cndikiawan dengan Kekuasaan Politik, ter. Anis Maftukhin (Jakarta: Erlangga, 2009), 77-84. 32 Donald Quataert, “ Ottoman Women, Households, and Textile Manufacturing 1800-1914”, dalam
Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and Gender, Nikki R. Keddie. Ed. (New Haven
and London :mYale University Press, 1991), 163. 33 Denis Kandiyoti, “End Of Empire: Islam Nationalisme and Women In Turkey” dalam Womwn, Islam
And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 22.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
26
Emin Yurdakul dan Halide Edip Adivar.34
Di Iran pergeseran posisi perempuan dimulai pada akhir abad XIX dan paruh awal
abad XX. Dan puncaknya pada kejayaan rezim Reza Pahlevi, meskipun paham kesetaraan
gender ini direduksi oleh penguasa selanjutnya setelah terjadi revolusi Iran 1979.35 Pada
masa Reza Pahlevi, kaum perempuan mendapat kebebasan yang sama dengan kaum laki-
laki untuk menuntut ilmu, berpolitik, berolahraga dan berkreasi.36 Pada masa sekarang pun
kebebasan itu kembali terasa setelah pemerintah Khatami mengamandemen undang-
undang politik negeri Mullah tersebut. Pada saat ini Iran menerapkan strategi bahwa
perempuan harus tampil kalem, dan berhijab sebagai standart Islamisme di Iran. Akan
tetapi dalam kenyataannya politisi-politisi perempuan Iran telah membuktikan
kontribusinya sebagi politiskus ulung dunia.37
Di Pakistan kaum perempuan memenuhi setidaknya 75 persen pemilih, ketika terjadi
pemilihan umum pertama yang akhirnya mengangkat Ali Jinnah sebagai perdanan menteri.
Dominasi perempuan di Pakistan terus berlangsung dan pada puncaknya Benazir Bhutto38
tampil sebagai perdana menteri, dengan dikelilingi sejumlah politikus perempuan sebagai
pembantunya.39 Pemerintah Bangladesh sangat memperhatikan kaum perempuan. Di
negara tersebut perempuan mendapatkan kursi di parlemen dengan kuota yang disesuaikan
dengan prosentase komunitas perempuan itu sendiri40
Undang-undang perkawinan di India tahun 1987 telah merevisi Undang-undang
sebelumnya. Pada undang-undang yang baru martabat kaum perempuan terangkat, dengan
diberlakukannya syarat persetujuan mempelai perempuan dalam kelangsungan pernikahan,
serta mahar menjadi tanggung jawab pihak laki-laki. Undang-undang ini lahir setelah
34 Ibid, 34. 35 Afsaneh Najmabadi, “ Hazards Of Modernity and Morality : Women, State and Ideology In
Contemporary Iran”, dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple
University Press, 1991), 48. 36 Ibid, 54. 37 Haleh Abshar,” Islam dan Feminisme : Suatu Analisi Strategi Politik” dalam Feminisme dan Islam :
Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa, 295. 38 Benazir Bhutto menjadi perdana mentri Pakistan setelah memenangkan pemilihan umum pada 16
Nopember 1988. Semua opasan prianya saat itu termasuk Nawaz Syarif menyerang dengan menghembuskan
isu-isu gender yang berteriak denga hujatan bahwa sepanjang sejarah belum pernah sebuah negeri muslim
diperintah oleh perempuan. Kemenangannya Benazir Bhutto telah mengusik kegusaran lawan-lawan politik
prianya. Hal itu dikarenakan peristiwa tersebut dianggap tidak lazim dalam perjalanan sejarah Islam
sepanjang 15 abad, di mana kemudian perempuan diberi hak istimewa dalam politik dan urusan umat. Hal
inilah yang membuat Fatima Mernissi mencoba meniliti akar masalah dan landasan diskriminasi gender
dalam politik. Lihat Fatima Mernissi, Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, terj. Rahmani Astuti dan Enna Hadi,
(Bandung : Mizan, 1994), 7. 39 Ayesha Jalal, ´The Convenience Of Subservience : Women and State of Pakistan” dalam Womwn,
Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 77. 40 Naila Kabeer, “ The Quest For National Identity: Women, Islam and State in Bangladesh” dalam
Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 117.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
27
banyaknya kaum perempuan masuk dalam jajaran kabinet India.41
Status kaum perempuan dalam pemerintahan-pemerintahan negara Timur Tengah
yang lain,42 juga tidak jauh berbeda dengan di negara-negara yang telah disebutkan di atas.
Kaum perempuan mendapatkan hak yang sama di Iraq,43 Lebanon,44 Mesir,45dan Republik
Yaman.46 Hal ini sedikit berbeda dengan nasib politik mereka (perempuan) di kerajaan
Arab Saudi,47 Kuwait,48 Syiria dan Bahrain.49
Dalam tulisannya tentang sejarah ratu-ratu Islam, Fatima Mernissi mencontohkan
bahwa tidak sedikit para pemimpin Islam masa lalu terdiri dari kaum perempuan. Mereka
seperti; Radhiyyah di Delhi (634/1236), Syajarat al-Dur di Mesir (648/1250),50 Sultanah
Radiyyah Bint Syams al-Din Iltutmisy (dari Dinasti Mamluk), dan masih banyak lagi
contoh yang dipaparkan Mernissi.51
Demikian pula di Indonesia. Sejarah pergerakan politik Indonesia, tidak luput dari
peran wanita. Sebagai contoh adalah peran R.A. Kartini dalam semagat membangkitkan
kesadaran kaum perempuan dalam membangun dirinya agar punya andil dalam mengisi
pembangunan bangsa Indonesia. Gerakan R.A. Kartini memang lebih tampak sebagai
gerakan sadar pendidikan. Akan tetapi inplementasi gerakannya akan menyadarkan kaum
perempuan pada saatnya, untuk menyadari hak politik yang sama dengan kaum laki-laki.
41 Amrita Chhachhi, “ Forced Identities : The State, Communalism, Fundamentalism and Women in
India” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press,
1991), 146. 42 Di Mesir kesetaraan gender telah berkembang sejak masa dinasti mamluk (abad ke-8) lihat : Jonatan
P. Berkey, “ Women and Islamic Education in The Mamluk Period”, dalam Women In Midle Eastern History
Shifting Boundaries in Sex and Gender, Nikki R. Keddie. Ed. (New Haven and London : Yale University
Press, 1991), 144. 43 Suad Joseph, “ Elite Strategies For State Building : Women, Familiy, Religion and State in Iraq and
Lebanon” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press,
1991), 180. 44 Ibid, 188. 45 Margot Badran, “ Competing Agenda: Feminists, Islam and The State In Nineteenth and Twentieth
Century Egypt,” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University
Press, 1991), 218. 46 Maxine Molyneux, The Law, The State and Socialist Policies With Regard To Women; The Case of
The People’s Democratic Republic Of Yemen” dalam Womwn, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti,
(Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 250. 47 Melalui memorandum pemerintah Arab Saudi, perempuan di sana wajib berhijab dan tinggal di rumah
serta tidak mendapatkan hak untuk menjabat urusan pemerintahan. Lihat Mai Yamani, “ Beberapa Pandangan
Mengenai Perempuan di Saudi Srabia” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai
yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa, 2000), 411. 48 RUU tentang politik perempuan ditolak oleh parlemen menjelang pemilihan pada tahun 1984. Dengan
demikian perempuan tidak mendapatkan hak untuk menduduki jabatan politis di Kuwait. Lihat Munira
Fakhro, “ Perempuan Teluk dan Hukum Islam” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra,
ed. Mai yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa, 2000), 389. 49 Judi E. Tucker,” Ties That Bound : Women and Family in Eighteenth and Nineteenth Century
Nablus” dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and Gender, Nikki R. Keddie.
Ed. (New Haven and London :mYale University Press, 1991), 250. 50 Fatima mernissi, Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, terj.Rahmani Astuti dan Enna Hadi,141. 51Ibid, 142. Baca selengkapnya buku ini hal.84,177, 218, dan 251.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
28
Emansipasi wanita adalah lambang gerakan R.A. Kartini, meskipun ia tidak melepaskan
konsep feminisme, namun gerakannya telah meninggalkan pengaruh yang besar pada
kesadaran politik kaum wanita Indonesia setelah ke”pulangan”nya.52
Chabot, seorang peneliti tentang perkembangan perempuan Indonesia, mengatakan
bahwa pengaruh pemikiran Kartini terhadap perempuan Indonesia sangat besar. Bukti dari
pengaruh tersebut adalah pada dewasa ini perempuan Indonesia sudah tidak lagi melihat
adanya perbedaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam hal pendidikan, politik,
ekonomi dan strata sosial, meskipun wanita Indonesia, menurut Chabot masih menjaga
jarak terhadap laki-laki dalam hal budaya pergaulan.53 Tampaknya perkecualian terakhir
yang dilontarkan Chabot54 saat ini sudah tidak berlaku lagi. Perempuan Indonesia saat ini
telah mengambil posisi yang sama dengan kaum laki-laki dalam kesempatan, meperoleh
kedudukan politik, pekerjaan, pemimpin dan lain sebagainya.
Lebih jauh lagi tentang perempuan Indonesia, Veth mengatakan, bahwa sebelum
Kartini lahir, di beberapa kawasan Nusantara telah tersebar sederetan pemimpin kaum yang
terdiri dari wanita-wanita sejati, meskipun dalam laporan penelitiannya Veth tidak
mencantumkan agama resmi mereka. Akan tetapi ditinjau dari nama dan tahun serta gelar
yang disandang oleh pemimpin-peminpim wanita tersebut, dapat dipastikan bahwa tidak
jarang diantara mereka adalah muslimah seperti Ratu Anayat Syah yang memerintah
kerajaan Samudera Pasai selama 11 tahun ( 1677-1688), demikian pula Ratu (sultan)
Kamalat Syah yang juga memerintah selama 11 tahun (1688-1699), meskipun akhirnya
diturunkan dan di ganti Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim (laki-laki)55
Penelitian Veth diperkuat oleh penelitian Boerenbeker yang mengatakan bahwa
antara abad XVI –XX sejarah kepulauan Nusantara, mencatat bahwa banyak perempuan
mendapatkan posisi pemimpin. Diantaranya adalah Cut Po Neo yang memerintah Pidei
pada tahun 1897 dan Cut Asiah pada tahun 1910 memerintah Peukoe56. Bukti sejarah ini
tidak hanya terdapat di Aceh, akan tetapi sebagian besar wilayah nusantara pernah memilki
pemimpin wanita. Di Ambon dan Ulias pemimpin wanita mendapat gelar “latu Mahina”
dan di Nias di sebut dengan “Siulu”.57
Permasalahan yang ada adalah sebagian besar kaum perempuan belum menyadari
haknya sendiri, dah bahkan tidak jarang mereka justru menghindari haknya tersebut.
52 Abendanon, “Cita-cita dan Gagasan R.A. Kartini”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia,
ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 99. 53 H.T. Chabot, ” Wanita Muda Dalam Situasi Komplik”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita
Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 351. 54 Penelitian Chabot dilakukan antara tahun 1954-1955. 55 P.J. Veth, Pemerintah Oleh Wanita Di Kepulauan Nusantara”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita
Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 302. 56 E.A. Boerenbeker, “ Wanita Sebagai Kepala Persekutuan Hukum Indonesia”, dalam Peranan dan
Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 1994), 57 Ibid, 306.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
29
Mereka (perempuan) cenderung mengalah dan sengaja memposisikan diri “dibelakang”
kaum laki-laki, meskipun sebenarnya mereka punya kemampuan yang sama58
Dalam konteks yang lebih luas posisi perempuan di dunia ketiga telah mewarnai
perubahan tatanan sosial politik, budaya, ekonomi dan sebagainya.59 Dalam hal ini dapat
dicontohkan gerakan perempuan di India tahun 1980-an yang menyoroti kuota perempuan
di parlemen.60 Demikian pula gerakan lainnya di beberapa belahan dunia, seperti gerakan
pemberdayaan perempuan di Mesir.61 Islam tidak pernah memberikan diskrimasi gender,
kecuali adanya perlindungan terhadap hak-hak perempuan.62
E. Penutup
Seakan membenarkan analisa Sardar, kita melihat bahwa politik tidak bisa
dipisahakan dari seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu politik harus
diperankan sebaik-baiknya, untuk mengantarkan manusia itu sendiri ke dalam kondisi yang
penuh pencerahan, menjunjung tinggi kejujuran, persamaan hak, keadilan sosial dan
kesetaraan gender. Politik merupakan sarana untuk mewujudkan regulasi dan perundang-
undangan untuk menjamin terwujudnya kondisi seperti tersebut.
Faktor utama dari terciptanya iklim politik yang baik adalah sistem politik itu sendiri.
Sistem politik yang kondusif dan saling menghargai, akan melahirkan produk politik yang
bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat. Sistem politik yang menjunjung tinggi asas
keterbukaan, keadilan, dan rasa tanggung jawab, akan melahirkan iklim pemerinthan yang
kondusif dan menjalin interaksi yang baik pula, tidak saja anatar sesama pemeran birokrasi,
akan tetapi juga dengan masyarakat di semua lapisan, termasuk dunia pendidikan,
perekonomian, hukum, budaya, dan pranata sosial lainnya.
Selain itu faktor sumber daya manusia sebagai pemeran politik, juga menentukan
efektifitas pelaksanaan sistem dan hasil kebijakan politik sebuah pemerintahan. Sebaik
apaun sistem yang ada, tidak akan banyak memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat,
apabila tidak didukung dengan sumber daya manusia yang penuh dedikasi, integritas dan
menjunjung tingi visi kemaslahatan bersama.
DAFTRA PUSTAKA
58 Hasil penelitian Naomi membuktikan bahwa dari 1000 responden perempuan di seluruh dunia, hanya
31 persesn yang menuyadari kesetaraan (kesamaan) hak politik mereka. Selebihnya merasa tidak siap untuk
bersaing dengan kaum laki-laki. Baca Naomi Wolf, Geger Gender, terj. Omi Intan Naomi, 365. 59 Unni Wikan, Behind The Veil In Arabia: Women in Oman, (Chicago : The University Chicago Press,
1982), 109. 60 Ratna Saptari danBrigitte Holzner, Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi
Perempuan,416. 61 Margot Badran, Feminists, Islam and Nation: Gender and The Making Of Modern Egypt, 75. 62 Unni Wikan, Behind The Veil In Arabia: Women in Oman, 168.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
30
Abendanon, “Cita-cita dan Gagasan R.A. Kartini”, dalam Peranan dan
Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi.
Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994.
Abshar, Haleh. ” Islam dan Feminisme : Suatu Analisi Strategi Politik” dalam
Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani
Terj. Purwanto. Jakarta : Nuansa, 295.
Ahmad, Khursid. "The Nature of Islamic Resurgence" dalam Voices of Resurgent
Islam, ed. John L. Esposito. Oxford:Oxford University Press,1983.
Azhari, Muhammad Tahir Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Badran, Margot. “ Competing Agenda: Feminists, Islam and The State In
Nineteenth and Twentieth Century Egypt,” dalam Women, Islam And The
State, ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press, 1991.
Bearman, PJ. The Encyclopedia Of Islam (New Edition), hlm.: Propared By A
Number of Leading Orientalis, ed, PJ. Bearman, Et. Al. Leiden:
Brill,2000.
Berkey, Jonatan P. “Women and Islamic Education in The Mamluk Period”,
dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and
Gender, Nikki R. Keddie. ed. New Haven and London : Yale University
Press, 1991.
Boerenbeker, E.A. “ Wanita Sebagai Kepala Persekutuan Hukum Indonesia”,
dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah
Subardio dan T.O. Ihromi. Yogyakarta: Gajahmada University Press,
1994.
Brownlie, Ian. Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak asasi Manusia terj.
Beriansyah. Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1993.
Chabot, H.T. ” Wanita Muda Dalam Situasi Komplik”, dalam Peranan dan
Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi.
Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994.
Chhachhi, Amrita. “ Forced Identities : The State, Communalism,
Fundamentalism and Women in India” dalam Women, Islam And The
State, ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press, 1991.
Cohen, Hayyim J. “The Ekonomic Background And The Secular Occupation Of
Muslim Jurisprudents And Traditionists InThe Classical Period Of Islam”
dalam Journal Of Economic And Social History Of The Orient, 13. tt:
1970.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
31
“Dokumen II tentang deklarasi Islam Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia”
dalam Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam terj. Badri Yatim dkk. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987.
Fakhro, Munira. “ Perempuan Teluk dan Hukum Islam” dalam Feminisme dan
Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani Terj. Purwanto.
Jakarta : Nuansa, 2000.
Howard, Rhoda E. Hak Asasi Manusia: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya,
terj. Nugraha Katjasungkana. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2000.
Jalal, Ayesha. ´The Convenience Of Subservience : Women and State of
Pakistan” dalam Womwn, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti.
Philadelpphia: Temple University Press, 1991.
Joseph, Suad .“ Elite Strategies For State Building : Women, Familiy, Religion
and State in Iraq and Lebanon” dalam Women, Islam And The State, ed.
Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press, 1991.
Kabeer, Naila. “ The Quest For National Identity: Women, Islam and State in
Bangladesh” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti.
Philadelpphia: Temple University Press, 1991.
Kandiyoti, Denis. “End Of Empire: Islam Nationalisme and Women In Turkey”
dalam Womwn, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia:
Temple University Press, 1991.
Makdisi, George. The Rise Of Colleges; Institutions Of Learning In Islam And
The West. Edinburgh: Edinburg University Press, 1981.
Marsot, Afaf Lutfi Al-Sayyid.“A Socio Ekonomic Sketch Of The Ilmuan muslim’
In The Eighteenth Century”, dalam Colleque International Sur I’Histoire.
tt. tp:1974.
Mas’ud, Abdurrachman. “Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam” dalam
Paradigma Pendidikan Islam, ed. Ismail SM et .al. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Maududi, Maulana Abul’Aa’la . Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, terj.
Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Mernissi, Fatima. Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, terj.Rahmani Astuti dan
Enna Hadi. Bandung : Mizan, 1994.
Molyneux,Maxine. “The Law, The State and Socialist Policies With Regard To
Women; The Case of The People’s Democratic Republic Of Yemen”
dalam Womwn, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia:
Temple University Press, 1991.
Mushilli, Ahmad dan Luay Shafi. Krisis Intelektual Islam: Selingkuh Kaum
Cndikiawan dengan Kekuasaan Politik, ter. Anis Maftukhin. Jakarta:
Erlangga, 2009.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
32
Najmabadi, Afsaneh. “ Hazards Of Modernity and Morality : Women, State and
Ideology In Contemporary Iran”, dalam Women, Islam And The State, ed.
Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press, 1991.
al-Qitri>y, M}uhammad. al-Ja>miat al-Isla>miyyat wa Dawruha Fi> Masi>rat
al-Fikr al-T{abra>wiy. Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Ara>bi>y, tt.
Quataert, Donald. “ Ottoman Women, Households, and Textile Manufacturing
1800-1914”, dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries
in Sex and Gender, Nikki R. Keddie. ed. New Haven and London :Yale
University Press, 1991.
Sardar, Ziauddin. Est-West University: Islamic Studies.London dan New York:
Mansell Publishing Limited, 1984.
Suny, Ismail,"Kata Sambutan" dalam Muhammad Tahir Azhari. Negara Hukum
Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Szyliowics, Joseph S. Pendidikan dan Modernisasi Di Dunia Islam, ter.
Murwinanti, Ed. Achmad Djainuri. Surabaya: Al-Ikhlas, 2001.
Timur, M.” Sebuah Dialog tentang Islam dan Hak Asasi Manusia” dalam Hak-
Hak Asasi Manusia dalam Islam terj. Badri Yatim dkk. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1987.
Tucker, Judi E.” Ties That Bound : Women and Family in Eighteenth and
Nineteenth Century Nablus” dalam Women In Midle Eastern History
Shifting Boundaries in Sex and Gender, Nikki R. Keddie. ed. New Haven
and London :mYale University Press, 1991.
Vatin, Jean claude. “Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam” dalam Hak-hak Asasi
Manusia dalam Islam terj. Badri Yatim dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1987.
Veth, P.J. Pemerintah Oleh Wanita Di Kepulauan Nusantara”, dalam Peranan dan
Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi.
Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994.
Voll, John O. Islam Continuity and Change in the Modern World.
England:Longman,1982.
Wikan, Unni. Behind The Veil In Arabia: Women in Oman. Chicago : The
University Chicago Press, 1982.
William, Jhon Alden. Islam.New York: George Braziller, 1962.
Yamani, Mai.“ Beberapa Pandangan Mengenai Perempuan di Saudi Srabia”
dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai
Yamani Terj. Purwanto. Jakarta : Nuansa, 2000.