17
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 17 POLITIK DALAM PETA KAJIAN KEISLAMAN (Studi Tentang Relasi Politik dengan Pendidikan, Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Gender) Mohammad Thoha 1 Abstract Politics is not uncommon meant as a tool to obtain and preserve power. In this sense politics often stigmatized nigatif, which actually comes from the political actors themselves. Indeed, politics can be positioned as the most effective means to achieve the welfare of the people through the products of his policies, such as in the fields of education, awareness of human rights and understanding of gender equality. Effective political role and dynamic as it is, at least has successfully demonstrated by the power authority Dynasty Dynasty-Islamic past. This paper attempts to reread the past political relations with the various dimensions of social life, which has to deliver real Muslims in the heyday of world civilization. Paradigama shift, which then continues on giving a negative stigma in today's political world, should arouse the observer of politics to restore the genuine meaning of politics itself. Keywords: Politics, Education, Human Rights, Gender A. Pendahuluan Ziauddin Zardar mengatakan bahwa Islam sangat memperhatikan politik sebagai landasan hukum kehidupan tata pemerintahan umat Islam. Hal ini menurutnya dibuktikan dengan lahirnya Deklarasi Madinah yang mengatur sistem kehidupan politik umat Islam di tengah penganut agama lain di jazirah Arab. Deklarasi tersebut secara langsung menarik perhatian dunia terhadap terbentuknya "Negara" Islam pertama. 2 Pada gilirannya para pemegang kekuasaan di wilayah lain memandang Islam sebagai sebuah kekuatan yang memiliki cakrawala luas di semua sektor kehidupan, termasuk politik. Al Maududi (w. 450H/1058M) dengan bukunya yang berjudul al-Din wa al-Siyasah, dipandang sebagai orang pertama yang membincangkan politik sebagai kajian tidak terpisahkan dalam studi keislaman (islamic studies). Dalam buku ini, ia mengatakan bahwa perkembangan ilmu politik dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan ilmu fiqh (syari'ah). Hal ini dapat dibuktikan bahwa salah satu latar belakang berdirinya Dinasti Fatimiyyah di Mesir yang mengembangkan faham Syi'ah dikarenakan sebagai gerakan 1 Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan, Email : [email protected] 2 Ziauddin Sardar, Est-West University: Islamic Studies, (London dan New York: Mansell Publishing Limited, 1984), 15.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014 · PDF file(Studi Tentang Relasi Politik dengan Pendidikan, Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Gender) ... pemerintahan dan hikmah[157] (sesudah

  • Upload
    lethu

  • View
    214

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

17

POLITIK DALAM PETA KAJIAN KEISLAMAN

(Studi Tentang Relasi Politik dengan Pendidikan, Hak Asasi Manusia dan

Kesetaraan Gender)

Mohammad Thoha1

Abstract

Politics is not uncommon meant as a tool to obtain and preserve power. In this

sense politics often stigmatized nigatif, which actually comes from the political actors

themselves. Indeed, politics can be positioned as the most effective means to achieve the

welfare of the people through the products of his policies, such as in the fields of

education, awareness of human rights and understanding of gender equality. Effective

political role and dynamic as it is, at least has successfully demonstrated by the power

authority Dynasty Dynasty-Islamic past. This paper attempts to reread the past political

relations with the various dimensions of social life, which has to deliver real Muslims in

the heyday of world civilization. Paradigama shift, which then continues on giving a

negative stigma in today's political world, should arouse the observer of politics to restore

the genuine meaning of politics itself.

Keywords: Politics, Education, Human Rights, Gender

A. Pendahuluan

Ziauddin Zardar mengatakan bahwa Islam sangat memperhatikan politik sebagai

landasan hukum kehidupan tata pemerintahan umat Islam. Hal ini menurutnya dibuktikan

dengan lahirnya Deklarasi Madinah yang mengatur sistem kehidupan politik umat Islam di

tengah penganut agama lain di jazirah Arab. Deklarasi tersebut secara langsung menarik

perhatian dunia terhadap terbentuknya "Negara" Islam pertama.2 Pada gilirannya para

pemegang kekuasaan di wilayah lain memandang Islam sebagai sebuah kekuatan yang

memiliki cakrawala luas di semua sektor kehidupan, termasuk politik.

Al Maududi (w. 450H/1058M) dengan bukunya yang berjudul al-Din wa al-Siyasah,

dipandang sebagai orang pertama yang membincangkan politik sebagai kajian tidak

terpisahkan dalam studi keislaman (islamic studies). Dalam buku ini, ia mengatakan bahwa

perkembangan ilmu politik dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan ilmu

fiqh (syari'ah). Hal ini dapat dibuktikan bahwa salah satu latar belakang berdirinya Dinasti

Fatimiyyah di Mesir yang mengembangkan faham Syi'ah dikarenakan sebagai gerakan

1 Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan, Email : [email protected] 2 Ziauddin Sardar, Est-West University: Islamic Studies, (London dan New York: Mansell Publishing

Limited, 1984), 15.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

18

penyeimbang terhadap pesatnya kemajuan ajaran Sunni yang diterapkan oleh penguasa

Abbasiyah di Baghdad.3 Sementara dalam edisi Bahasa Indonesia buku yang paling

komprehensif membahas tentang politik Islam, adalah hasil karya Muhammad Tahir

Azhari.4 Buku ini menurut Ismail Suni adalah buku pertama yang berbicara tentang konsep

Negara Islam secara mendetil.5

Pada hakikatnya, menurut Zardar, al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam telah

memberikan sekian banyak konsepsi politik yang dikemas melalui kisah-kisah para nabi

sebelum datangnya Nabi Muhammad. Diantara ayat-ayat al-Qur'an yang menerangkan hal

itu adalah:

ا يشاء الملك والحكمة وعلهمه ممه وقتل داوود جالوت وآتاه الله النهاس بعضهم فهزموهم بإذن الله ولول دفع الله

ذو فضل على العالمين (152ة:)البقر ببعض لفسدت الرض ولكنه الله

Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam

peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya

(Daud) pemerintahan dan hikmah[157] (sesudah meninggalnya Thalut) dan

mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak

menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti

rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta

alam. Qs. Al Baqarah: 251.

اغفر لي (55وهب لي ملكا ل ينبغي لحد من بعدي إنهك أنت الوههاب )ص:قال رب

Sulaiman berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku

kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya

Engkaulah Yang Maha Pemberi". Qs. Shad: 52.

Kisah Nabi Daud dan Sulaiman as. tersebut menunjukkan adanya bargaining politik

antara "Islam" (agama) dengan penguasa sebelumnya.6 Pada ayat lain al-Qur'an

menyatakan:

ما لكم من إله غيره قد جاءتكم بي نة من رب كم فأوفوا الكيل وإلى مدين أخاهم شعيبا قال ياقوم اعبدو ا الله

م إن كنتم والميزان ول تبخسوا النهاس أشياءهم ول تفسدوا في الرض بعد إصلحها ذلكم خير لك

3 Jhon Alden William, Islam, (New York: George Braziller, 1962, 122. 4Buku yang dimaksud berjudul, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari

Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa KIni,(Jakarta: Bulan Bintang,

1992). buku ini merupakan desertasi doktor yang telah dipertahankan pada sidang senat terbuka Pascasarjana

Universitas Indonesia pada 19 Maret 1991. 5 Baca Ismail Suny,"Kata Sambutan" dalam Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Studi

tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah

dan Masa Kini,(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), ix-x. 6 Lihat Ziauddin Sardar, Est-West University, 18.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

19

من آمن به وتبغونها عوجا واذك 55)مؤمنين روا إذ (ول تقعدوا بكل صراط توعدون وتصدون عن سبيل الله

(58-55()العراف: 58كنتم قليل فكثهركم وانظروا كيف كان عاقبة المفسدين)

Pada ayat ini, Islam telah memberikan intervensi terhadap tata laksana kehidupan

politik penguasa saat itu.7 Etika politik dalam Islam memberikan keharusan bagi penguasa

untuk senantiasa mengutamakan kesamaan (al-tasawi), keadilan (al-'adalah), toleransi (al-

tasamuh), kemerdekaan (al-hur), demokrasi (al-demokratiyah), dan keseimbangan (al-

tawasuth).8

Tulisan singkat ini akan mencoba memetakan hubungan politik dengan berbagai

disiplin keilmuan lainnya dari sudut pandang studi keislaman. Tentu saja kajian ini bersifat

analitik terhadap teks-teks normatif yang ada serta dikomparasikan dengan fenomena sosial

umat islam yang berlangsung dari masa ke masa.

B. Politik Dan Hak Asasi Manusia

Semua orang lahir dengan membawa hak asasi yang melekat pada dirinya.

Kebebasan menentukan pilihan politik, berusaha, berserikat dan mendapatkan pendidikan

serta rasa aman merupakan serangkaian hak asasi yang dimiliki setiap individu bukan

diberikan. Oleh karena itu tidak ada satu pun aturan atau regulasi yang membenarkan

pengekangan hak setiap individu tersebut. Politik yang baik dan kondusif, akan

menjunjung tinggi hak asasi tersebut. Sebaliknya, dalam ketertindasan seseorang tidak

akan pernah tahu dan menyadari hak-haknya.9

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki dirinya karena dirinya sendiri.

Setiap manusia (individu) memiliki hak asasi, dan tidak seorangpun boleh diingkari hak

asasinya, tanpa keputusan hukum yang adil. Seseorang bisa dicabut hakl asainya oleh

penguasa apabila ia terbukti melakukan perbuatan yang salah menurut hukum negara.10

Setiap individu diberikan kebebasan untuk melaksanakan hak asasinya. Kebebasan

ini dilindungi oleh hukum internasional melalui Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi

Manusia pada tanggal 10 Desember 1948.11 Meskipun demikian setiap individu memiliki

kewajiban pada individu yang lain dan terhadap masyarakat. Sebuah tatanan masyarakat

akan mewujudkan kebebasan dan pengembangan masing-masing individu. Dalam kondisi

seperti ini, individu memiliki kewajiban untuk menciptakan stabilitas masyarakat

7 Ibid, 20. 8 Ibid, 64. 9 John O. Voll, Islam Continuity and Change in the Modern World, (England:Longman,1982), 275.

Baca juga: Khursid Ahmad,"The Nature of Islamic Resurgence";Voices of Resurgent Islam, ed. John L.

Esposito,(Oxford:Oxford University Press,1983), 218. 10 Rhoda E. Howard, Hak Asasi Manusia: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. Nugraha

Katjasungkana, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2000), 1. 11 M. Timur” Sebuah Dialog tentang Islam dan Hak Asasi Manusia” dalam Hak-hak Asasi Manusia

dalam Islam terj. Badri Yatim dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 75.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

20

tersebut.12

Al Mawdudi menilai HAM paling tidak memenuhi 8 hak, (1) hak untuk hidup, (2)

hak untuk memperoleh keselamatan hidup, (3) pernghormatan terhadap kesucian wanita,

(4) hak untuk mmeperoleh kebutuhan hidup pokok sepereti ekonomi dan pendidikan, (5)

hak untuk memperoleh kebebasan, (6) hak untuk mendapatkan keadilan, (7) hak kesamaan

derajat manusia, dan (8) hak untuk kerjasama dan bekerja sama.13

Pendidikan dilaksanakan untuk mengantarkan umat manusia menuju “pencerahan”

agar mereka memiliki bekal untuk melestarikan kehidupan di muka bumi. Dalam

perspektif Islam, pendidikan memiliki makna sentral sebagi proses pencerdasan secara utuh

(as a whole) dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adat al- darain)

atau keseimbangan materi dan religius - spritual.14

Pendidikan adalah bagian dari hak asasi mansia, disamping hak-hak yang lain. Setiap

individu berhak menikmati pendidikan sebagai sebuah kebutuhan. Pasal ke-26 dari

deklarasi Universal Hak-hak Manusia berbunyi sebagai berikut.15

(1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan -paling tidak untuk

pendidikan dasar dan pendidikan pra sekolah- hendaknya bebas dari pembayaran uang

sekolah. Pendidikan dasar diwajibkan. pendidikan kejuruan dan pendidikan profesi

terbuka bagi umum, pendidikan tinggi juga terbuka bagi orang yang memiliki

kecerdasan untuk mengikutinya.

(2) Pendidikan hendaknya ditujukan untuk pengembangan kepribadian manusia seutuhnya

dan untuk meneguhkan penghormatan terhadap hak-haka manusia dan kebebasan-

kebebasan dasar manusia. Pendidikana hendakanya memperkokoh rasa saling

pengertian dan toleransi serta persahabatan antar bangsa, ras atau golongan agama-

agama, dan hendaknya mendukung segala aktivitas Perserikatan Bangsa - Bangsa

untuk memelihara perdamaian.

(3) Orang tua memiliki hak utama untuk memilih jenis pendidikan dan pengajaran yang

diberikan kepada anak-anaknya.

Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kebebasan. Sebaliknya

Islam menolak praktek kecurangan, kepincangan dan ketidakadilan dalam semua aspek

12 Rhoda E. Howard, Hak Asasi Manusia : Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. Nugraha

Katjasungkana, 17 13 Maulana Abul’Aa’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, terj. Bambang Iriana

Djajaatmadja (Jakarta : Bumi Aksara, 1995) 12-22. Baca juga Ian Brownlie, Dokumen-Dokumen Pokok

Mengenai Hak asasi Manusia terj. Beriansyah ( Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1993). Dan dokumen

tentang Deklarasi Islam Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia dapat dilihat pada “Dokumen II tentang

deklarasi Islam Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia” dalam Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam terj.

Badri Yatim dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 156-167. 14 Abdurrachman Mas’ud, “Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam” dalam Paradigma

Pendidikan Islam, ed. Ismail SM et .al. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 7. 15 Maulana Abul’Aa’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam 56.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

21

kehidupan manusia.16 Pendidikan diselenggarakan untuk menegakkan nilai-nilai suci

kehidupan tersebut. Dengan demikian dalam pandangan Islam pendidikan adalah hak asasi

yang utama bagi umat manusia.

Ayat al-Qur’an yang pertama kali turun (Iqra’) adalah mengandung dimensi

pendidikan yang utuh. Dari kenyataan ini dapat dipahami bahwa Islam adalah sebuah

tatanan kehidupan yang pertama kali menjunjung tinggi nilai-nilai asasi manusia (hak asasi

manusia), meskipun dalam pandangan orang-orang Barat konsep Hak asasi manusia

berasal dari Magna Charta Inggris Dalam pemahaman bangsa barat, Magna Charta berisi

tentang prinsip-prinsip pengadilan oleh juri (Habeas Corpus) dan kontrol parlemen atas

pajak. Ibid, 9. Pemahaman seperti ini keliru mengingat Magna Charta (dicetuskan tahun

1215). Habeas Carpus 16700 adalah tidak lain dari teori-teori sosialis-komonis. Memang

keduanya tidak dipungkiri sebagai proses pelembagaan hak asasi manusia yang

disejajarkan dengan Undang-undang hak asasi (1689), dan Deklarasi hak-hak manusia dan

warga negara Prancis (1789).17 Maududi tidak sepakat dengan pandangan ini, karena

menurutnya magna Charta disusun enam ratus tahun setelah kebangkitan Islam, dan sampai

abad ketujuh belas Barat tidak mempunyai konsep tentang hak-hak asai manusia dan hak-

hak warga negara, justru yang berkembang waktu itu adalah perbudakan, penjajahan dan

kanibalisme.18

Al-Na’im19 berpendapat bahwa semua agama termasuk Islam sangat menghormati

hak asasi manusia sebagai pemberian Tuhan yang bersifat azazi dan fitrah. Semua tradisi

budaya-keagamaan termasuk Islam, menganut prinsi “Aturan Emas” (golden rule) yakni

sebuah prinsip yang mengatakan bahwa siapapun harus memperlakukan orang lain seperti

ia mengharapkan orang lain memperlakukan dirinya. Semua agama memperlakukan asas

ini untuk menggalakkan hak asasi manusia universal. Pendapat ini ditolak oleh Rhoda E.

Howard yang mengatakan bahwa hak asasi manusia adalah masalah sekuler yang

dadasarkan pada pemikiran manusia tentang keadilan, bukan keputusan ilahi. Hak asai

manusi tidak lebih dari deklarasi umat manusia tentang bagaimana mereka seharusnya.20

Pemikiran Al Na’im, selanjutnya diteruskan oleh Al Maududi. Al Maududi

berpandangan bahwa hak asasi manusi yang diberikan Tuhan bersifat mutlak

kebenarannya. Hal ini tidak bisa desejajarkan dengan konsepsi legislasi yang bisa dirubah

kapan saja sesuai dengan hasil konsensus umat manusia yang probalistis.21

Pendapat Maududi lebih rasional bila dikaitkan dengan pandangan bahwa hak-hak

16 Ibid, 4. 17 Jean claude Vatin, “Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam” dalam Hak-hak Asasi Manusia dalam

Islam terj. Badri Yatim dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987).114. 18 Maulana Abul ’A’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, 5. 19 Abdullah Al-Naim adalah murid sekaligus penerus dari pemikiran Mahmud Muhammad Thoha yang

menulis “The Second Message Of Al-Qur’an. Dari pemikrannya tertsebut akhirnya berkembang istilah

universalitas al-Qur’an. 20 E. Howard, Hak Asasi Manusia : Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, 19. 21 Maulana Abul’Aa’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, 10.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

22

asasi manusia yang diberikan oleh Tuhan berikut sanksi yang berkenaan dengannya dan

mengikat pada semua umat manuisa secara merata tidak dibedakan oleh apapun. Berbeda

dengan hasil resolusi PBB tentang hak asasi manusia tidak menjamin kesamaan

penerapannya bagi seluruh bangsa di dunia. PBB masih membedakan negara-negara di

dunia berdasarkan pemegang hak veto, negara maju, berkembang, terjajah, merdeka dan

sebagainya.

C. Politik Dan Pendidikan Islam

Pada masa awal Islam, ilmuan atau para sarjana muslim yang mewakili institusi

pendidikan, mendapatkan posisi yang sangat kuat dalam proses pemerintahan. Setiap

kebijakan khalifah atau penguasa niscaya memerlukan legitimasi dari ulama. Demikian

pula dalam menjalankan pemerintahannya, para penguasa tidak bisa melepaskan diri dari

kontrol pemegang otoritas keilmuan (ulama) tersebut. Oleh karena itu, para khalifah dalam

hal ini seakan tidak memiliki pilihan lain, kecuali merangkul dan mendukung sepenuhnya

tuntutan dunia pendidikan saat itu. Di samping itu pula, dukungan penuh para penguasa

terhadap dunia pendidikan juga melambangkan perlawanan umat islam terhadap hegemoni

Barat dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sentuhan relasi antara penguasa dan para

praktisi pendidikan tersebut terus mewarnai politik pendidikan Islam pada masa-masa

berikutnya.

Ilmuan muslim memiliki bergaining position yang kuat terhadap elit penguasa.

Dengan posisinya yang netral, para ilmuwan tersebut mendapatkan peluang untuk bergerak

bebas dalam mengekspresikan ilmunya. Dalam hal ini dapat dicontohkan pada masa

kejayaan Abbasyiyah di Baghdad, di mana saat itu terdapat beberapa ilmuwan yang sangat

disegani seperti Malik Ibn Huwayzman (w. 390 H /999 M), Ibn Hanbal, dan al Baghdady.

Khalifah mengalokasikan secara khusus anggaran kerajaan untuk memberikan fasilitas dan

sarana bagi kegiatan akademis para ilmuwan tersebut. Akses penyebaran hasil temuan dan

penelitian juga dibuka selebar-lebarnya. Seluruh masyarakat diberi kesempatan untuk

memperoleh hasil pegembangan ilmu pengetahuan tersebut. Di samping itu khalifah

mengangkat beberapa ulama (ilmuwan) tersebut sebagai penasehat pribadi, atau semacam

staf ahli untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam mengambil kebijakan

pemerintahan.22

Demikan pula keberadaan para ilmuwan muslim dalam pemerintahan Fatimiyah di

Mesir. Ilmuwan muslim diberi wewenang untuk mengelola kurikulum Al-Azhar. Mereka

seperti Abu Hasan Bin Nu’man, al Musajja, al Qadiy, Hasan Bin Zulaq, Ibn al-Fayd dan

Ibn Hulkan. Fatimiyyah yang saat itu dikuasi Dinasti Mamluk, memberikan peluang

sebesar-besarnya pada kebebesan akademis untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Para

22 PJ. Bearman, The Encyclopedia Of Islam (New Edition), : Propared By A Number of Leading

Orientalis, ed, PJ. Bearman, Et. Al. (Leiden: Brill,2000), 802.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

23

Sultan dengan bangga mempromosikan hasil penelitian dan temuan sarjana muslim

tersebut. Memang, dengan perannya yang sangat penting tersebut, para ilmuwan pada

awalnya tidak mendapat bayaran resmi dari kerajaan, dan mereka tidak mempermasalahkan

hal itu. Sebelum mendapatkan bayaran resmi dari pemerintah, seorang ilmuwan muslim

tidak mendapatkan bayaran dari kegiatan mengajarnya. Mereka mencari penghasilan untuk

memenuhi kebutuhannya dengan bekerja di berbagai jenis lapangan pekerjaan. Hayyim J.

Cohen mengatakan bahwa selama 2 abad pertama perkembangan Islam profesi ilmuan

muslim tidak mendapat anggaran dari uang negara, dan baru pada tahun 380 H, setiap

Dinasti Islam menganggarkan dananya untuk kesejahteraan para ilmuwan muslim.23 Baru

setelah menteri Ya’kub Ibn Kilis dari Fatimyah mengusulkan pada khalifah al-‘Aziz, maka

kesejahteraan ilmuwan muslim mendapat perhatian. Keadaan tersebut semakin

menguntungkan para ilmuwan dan dunia pendidikan dengan adanya revolusi yang

dilakukan oleh Muhammad Ali Pasha.24 Pada pertengahan abad ke-8 sampai abad ke-13, di

Kairo ilmuwan muslim mendapat bayaran dari Dinasti Mamluk. Pada masa itu guru-guru

besar al-Azhar telah mendapat status yang sangat terhormat dalam dinamika gerakan

keilmuan di Mesir. Mereka dibedakan dengan dosen dan pengajar lainnya melalui bentuk

toga serta gelar akademik.25 Al-Azhar, dalam hal ini tidak dibaca hanya sebatas perguruan

tinggi saja. Akan tetapi lebih dari itu Al-Azhar merupakan institusi pendidikan sekaligus

politik, dimana Rektor (shaykh al Azhar) memiliki otoritas setara menteri atau pembesar

lainnya dalam pemerintahan. Fatwa seorang shaykh al Azhar akan mampu mempengaruhi

pola kebijakan pemerintahan Kesultanan Mamluk.

Demikian pula apa yang terjadi pada dinasti Abbasiyah di Baghdad. Perdana menteri

Nidzam al-Muluk mewakafkan beberapa toko dan sejumlah unit usaha kerajaan pada

madrasah Nizamiyyat. Sejak saat itu ilmuan muslim mendapat bayaran resmi dari hasil

wakaf tersebut. Kesejahteraan mereka terus mendapatkan perhatian khusus dari pihak

istana. Jenjang penghasilan disesuaikan dengan besaran kapasitas keilmuan mereka.

Romantisme pihak kerajaan sebagai lambang dunia politik dengan dunia ilmu pengetahuan

23 Baca lebih lanjut: Hayyim J. Cohen, “The Ekonomic Background And The Secular Occupation Of

Muslim Jurisprudents And Traditionists InThe Classical Period Of Islam” dalam Journal Of Economic And

Social History Of The Orient, 13. (tt: 1970), , 24. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, para ilmuan muslim

bekerja di berbagai bidang. Dalam hal ini Hayyim menggambarkan bahwa tidak kurang dari 410 bidang

pekerjaan yang dijalani oleh para ilmuan muslim, seperti para ilmuan muslim Madinah, Bashrah, dan

Baghdad banyak menekuni Tekstil, Ilmuan muslim Kuffah bekerja dalam bidang industri makanan, minyak,

dan tambang, serta ilmuan muslim di daerah lain yang mencari nafkah dengan bidang usaha perkebunan

kurma, industri gula, kerajinan lukisan, farfum, dekorasi, tukang kayu, agen pengiriman barang dan surat,

makelar jasa dan yang paling banyak adalah sebagai penyalin buku, dan manuskrip yang dihargai 5 sampai

10 Dinar perhalaman. Ibid, 25-34. 24 Afaf Lutfi Al-Sayyid Marsot, “A Socio Ekonomic Sketch Of The Ilmuan muslim’ In The Eighteenth

Century”, dalam Colleque International Sur I’Histoire, (1974), 314. 25 Gelar akademik yang diberikan pada dosen-dosen senior adalah al-Imamiy, al-‘Alimiy, al-Kalamiy,

al-Awhady, ‘Umdat al-Muh}aqqiqin, dan Fahr al-Muhaddithin, lihat Muhammad al-Qitriy, al-Jamiat al-

Islamiyyat wa Dawruha Fi Masirat al-Fikr al-Tabrawiy, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, tt.), 81.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

24

tersebut terus berjalan sampai terjadi tragedi politik antara abad ke-10 sampai abad ke-12

di Baghdad, yang berakhir dengan runtuhnya dinasty Abbasiyyah tahun 1258 sebagai

akibat serangan dinasti Tar Tar dibawah komando Hulago Khan. Peristiwa tersebut

menyebabkan sekian banyak ilmuwan muslim kehilangan independensi dan kepercayaan

dirinya, sehingga tidak sedikit yang melakukan pengungsian ke daerah-daerah lain yang

dianggap lebih aman. Sejak saat itu, ilmuan muslim banyak melakukan eksodus keluar

Baghdad.26

Demikian pula sistem jenjang karir tersebut terus berjalan pada periode-periode

berikutnya. Sumber penghasilan yang diperoleh para ilmuwan muslim berasal dari bayaran

hasil mengajarnya. Besarnya bayaran yang diterima seorang ilmuwan muslim bergantung

pada bobot keilmuan yang ditekuninya, serta status atau jabatan yang disandangnya,

apakah ia merupakan pengajar lokal atau sebagai guru tamu. Dalam hal ini dapat

dicontohkan sistem penggajian tenaga pengajar di Al-Azhar. Shaykh ‘Abdullah al-

Sharqawiy yang menjadi Rektor di al-Azhar pada tahun 1208-1227 H atau 1793-1818 M

menerima bayaran 19.780 Medins setiap bulan, disamping fasilitas-fasilitas lainnya yang

disediakan Universitas, seperti rumah dinas dan bahan makanan. Penghasilan tersebut

masih ditambah dengan penghasilan tidak tetap yang diperolehnya di luar kegiatan

akademika al-Azhar, semisal menjadi nara sumber seminar dan sebagainya, yang kadang

sampai mencapai 80.000 Dirham perbulan.27

Besarnya bayaran ilmuwan muslim juga ditentukan oleh kemashuran namanya.

Sebagai contoh Ibn ‘Araby dalam kegiatan mengajarnya di tengah-tengah

pengembaraannya (sebagai dosen tamu), mendapatkan bayaran 1000 Dirham dalam satu

sesi pelajaran hadithnya. Demikian juga Yahya bin Ma’in di Baghdad yang dibayar 1 juta

Dirham sebagai guru senior Hadith.28

Penghargaan pemerintah pada jasa para ilmuwan, tidak saja berlaku pada saat

seorang ilmuan masih aktif mengajar. Seorang ilmuwan muslim yang telah memasuki usia

pensiun juga tidak lepas dari perhatian pemerintah, mereka tetap menerima bayaran atas

pensiunnya. Hal ini dapat dicontohkan seperti Qadi Abu Yusuf yang menerima pensiunan

pada masa Khalifah Harun al-Rashid, serta Zajjaj yang menerima 300 Dinar setiap bulan

untuk tiga pensiunan sekaligus, yaitu pensiunan penasehat Khalifah, konsultan hukum dan

sebagai pemimpin para ilmuwan muslim lainnya.29

Namun demikian, pergeseran posisi ilmuwan muslim dari yang semula tidak

menerima bayaran, kemudian menjadi pejabat pemerintah, menjadikan nilai tawarnya

makin lemah terhadap kekuasaan. Hal ini selanjutnya sangat berpengaruh pada indepensi

26 Muhammad al-Qitriy, al-Jamiat al-Islamiyyat, 138-141. 27 Afaf Lutfi Al-Sayyid Marsot, “A Socio Ekonomic Sketh Of The Ilmuan muslim”, , 315. 28 George Makdisi, The Rise Of Colleges; Institutions Of Learning In Islam And The West, (Edinburgh:

Edinburg University Press, 1981), 60-161. 29 Ibid, 162.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

25

mereka. Tidak jarang seorang ilmuwan muslim mengeluarkan fatwa berdasarkan

keberpihakannya terhadap satu penguasa. Hal ini menurut Szyliowics, bermula sejak

adanya konflik antar aliran teologi di Daulah Abbasiyyah. Namun demikian status mereka

yang sangat terhormat di mata masyarakat tetap memberikan motivasi besar bagi kalangan

muda untuk menuntut ilmu agar kelak mereka juga menjadi ilmuan muslim.30 Di sisi lain

Ahmad Mushilli memberikan analisis bahwa elit ilntelektual (ilmuwan muslim) di berbagai

belahan dunia Islam, seperti Mesir dan Syiria, masih meneruskan tradisi “gelap” sejarah

intelektual muslim. Di mana secara ambisius kaum intelektual telah berafiliasi dengan

institusi penguasa politik. Dan peran mereka mulai bergeser dari mendobrak pintu

kekuasaan yang despotik menuju penikmat ruang istana kekuasan yang menyejukkan.31

Tragisnya, tradisi “gelap” yang dikhawatirkan tersebut secara alami terus menular

pada generasi saat ini. Tidak sedikit para pemegang otoritas keilmuan saat ini yang dengan

sadar melakukan “perselingkuhan” dengan para pemegang kuasa (elit politik). Kebijakan-

kebijakan pendidikan yang lahir, tidak jarang juga dengan jelas membawa aroma politik.

Dalam kasus pendidikan saat ini di Indonesia misalnya, lahirnya kurikulum 2013 di

samping merupakan ikhtiar pemerintah dalam mengatasi problema pendidikan dan krakter

bangsa, namun dalam perumusannya disinyalir penuh dengan muatan politis. Demikian

pula pelaksanaan Ujian Nasional, dualisme pendidikan (antara Kemenag dan

Kemendikbud), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang akhirnya dibubarkan

oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan sebagainya, menggambarkan belum independennya

dunia pendidikan. Cengkraman kepentingan politik masih terus mewarnai perjalanan

pendidikan saat ini.

D. Politik dan Kesetaraan Gender

Setelah kekhalifahan Turki diganti dengan sistem pemerintahan Republik oleh

Mustafa Kemal al-Taturk pada 29 Oktober 1923, maka tatanan kehidupan masyarakat

Turki lambat laun juga bergeser dari pola hidup beragama secara fundamental menuju

pemahaman keagamaan secara liberal bahkan sekular, meskipun tetap dalam bingkai

negara Islam. Dalam jajaran politikus Turki selanjutnya, kaum perempuan banyak mengisi

kursi parlemen32 sebagaimana kaum laki-laki,33 bahkan gagasan rancangan undang-undang

politik Turki sedikit banyak lahir dari politikus perempuan seperti Ziya Gokalp, Mehmeda

30 Joseph S Szyliowics, Pendidikan dan Modernisasi Di Dunia Islam, ter. Murwinanti, Ed. Achmad

Djainuri, (Surabaya: Al-Ikhlas, 2001), 107. 31 Baca selengkapnya Ahmad Mushilli dan Luay Shafi, Krisis Intelektual Islam: Selingkuh Kaum

Cndikiawan dengan Kekuasaan Politik, ter. Anis Maftukhin (Jakarta: Erlangga, 2009), 77-84. 32 Donald Quataert, “ Ottoman Women, Households, and Textile Manufacturing 1800-1914”, dalam

Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and Gender, Nikki R. Keddie. Ed. (New Haven

and London :mYale University Press, 1991), 163. 33 Denis Kandiyoti, “End Of Empire: Islam Nationalisme and Women In Turkey” dalam Womwn, Islam

And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 22.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

26

Emin Yurdakul dan Halide Edip Adivar.34

Di Iran pergeseran posisi perempuan dimulai pada akhir abad XIX dan paruh awal

abad XX. Dan puncaknya pada kejayaan rezim Reza Pahlevi, meskipun paham kesetaraan

gender ini direduksi oleh penguasa selanjutnya setelah terjadi revolusi Iran 1979.35 Pada

masa Reza Pahlevi, kaum perempuan mendapat kebebasan yang sama dengan kaum laki-

laki untuk menuntut ilmu, berpolitik, berolahraga dan berkreasi.36 Pada masa sekarang pun

kebebasan itu kembali terasa setelah pemerintah Khatami mengamandemen undang-

undang politik negeri Mullah tersebut. Pada saat ini Iran menerapkan strategi bahwa

perempuan harus tampil kalem, dan berhijab sebagai standart Islamisme di Iran. Akan

tetapi dalam kenyataannya politisi-politisi perempuan Iran telah membuktikan

kontribusinya sebagi politiskus ulung dunia.37

Di Pakistan kaum perempuan memenuhi setidaknya 75 persen pemilih, ketika terjadi

pemilihan umum pertama yang akhirnya mengangkat Ali Jinnah sebagai perdanan menteri.

Dominasi perempuan di Pakistan terus berlangsung dan pada puncaknya Benazir Bhutto38

tampil sebagai perdana menteri, dengan dikelilingi sejumlah politikus perempuan sebagai

pembantunya.39 Pemerintah Bangladesh sangat memperhatikan kaum perempuan. Di

negara tersebut perempuan mendapatkan kursi di parlemen dengan kuota yang disesuaikan

dengan prosentase komunitas perempuan itu sendiri40

Undang-undang perkawinan di India tahun 1987 telah merevisi Undang-undang

sebelumnya. Pada undang-undang yang baru martabat kaum perempuan terangkat, dengan

diberlakukannya syarat persetujuan mempelai perempuan dalam kelangsungan pernikahan,

serta mahar menjadi tanggung jawab pihak laki-laki. Undang-undang ini lahir setelah

34 Ibid, 34. 35 Afsaneh Najmabadi, “ Hazards Of Modernity and Morality : Women, State and Ideology In

Contemporary Iran”, dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple

University Press, 1991), 48. 36 Ibid, 54. 37 Haleh Abshar,” Islam dan Feminisme : Suatu Analisi Strategi Politik” dalam Feminisme dan Islam :

Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa, 295. 38 Benazir Bhutto menjadi perdana mentri Pakistan setelah memenangkan pemilihan umum pada 16

Nopember 1988. Semua opasan prianya saat itu termasuk Nawaz Syarif menyerang dengan menghembuskan

isu-isu gender yang berteriak denga hujatan bahwa sepanjang sejarah belum pernah sebuah negeri muslim

diperintah oleh perempuan. Kemenangannya Benazir Bhutto telah mengusik kegusaran lawan-lawan politik

prianya. Hal itu dikarenakan peristiwa tersebut dianggap tidak lazim dalam perjalanan sejarah Islam

sepanjang 15 abad, di mana kemudian perempuan diberi hak istimewa dalam politik dan urusan umat. Hal

inilah yang membuat Fatima Mernissi mencoba meniliti akar masalah dan landasan diskriminasi gender

dalam politik. Lihat Fatima Mernissi, Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, terj. Rahmani Astuti dan Enna Hadi,

(Bandung : Mizan, 1994), 7. 39 Ayesha Jalal, ´The Convenience Of Subservience : Women and State of Pakistan” dalam Womwn,

Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 77. 40 Naila Kabeer, “ The Quest For National Identity: Women, Islam and State in Bangladesh” dalam

Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 117.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

27

banyaknya kaum perempuan masuk dalam jajaran kabinet India.41

Status kaum perempuan dalam pemerintahan-pemerintahan negara Timur Tengah

yang lain,42 juga tidak jauh berbeda dengan di negara-negara yang telah disebutkan di atas.

Kaum perempuan mendapatkan hak yang sama di Iraq,43 Lebanon,44 Mesir,45dan Republik

Yaman.46 Hal ini sedikit berbeda dengan nasib politik mereka (perempuan) di kerajaan

Arab Saudi,47 Kuwait,48 Syiria dan Bahrain.49

Dalam tulisannya tentang sejarah ratu-ratu Islam, Fatima Mernissi mencontohkan

bahwa tidak sedikit para pemimpin Islam masa lalu terdiri dari kaum perempuan. Mereka

seperti; Radhiyyah di Delhi (634/1236), Syajarat al-Dur di Mesir (648/1250),50 Sultanah

Radiyyah Bint Syams al-Din Iltutmisy (dari Dinasti Mamluk), dan masih banyak lagi

contoh yang dipaparkan Mernissi.51

Demikian pula di Indonesia. Sejarah pergerakan politik Indonesia, tidak luput dari

peran wanita. Sebagai contoh adalah peran R.A. Kartini dalam semagat membangkitkan

kesadaran kaum perempuan dalam membangun dirinya agar punya andil dalam mengisi

pembangunan bangsa Indonesia. Gerakan R.A. Kartini memang lebih tampak sebagai

gerakan sadar pendidikan. Akan tetapi inplementasi gerakannya akan menyadarkan kaum

perempuan pada saatnya, untuk menyadari hak politik yang sama dengan kaum laki-laki.

41 Amrita Chhachhi, “ Forced Identities : The State, Communalism, Fundamentalism and Women in

India” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press,

1991), 146. 42 Di Mesir kesetaraan gender telah berkembang sejak masa dinasti mamluk (abad ke-8) lihat : Jonatan

P. Berkey, “ Women and Islamic Education in The Mamluk Period”, dalam Women In Midle Eastern History

Shifting Boundaries in Sex and Gender, Nikki R. Keddie. Ed. (New Haven and London : Yale University

Press, 1991), 144. 43 Suad Joseph, “ Elite Strategies For State Building : Women, Familiy, Religion and State in Iraq and

Lebanon” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press,

1991), 180. 44 Ibid, 188. 45 Margot Badran, “ Competing Agenda: Feminists, Islam and The State In Nineteenth and Twentieth

Century Egypt,” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University

Press, 1991), 218. 46 Maxine Molyneux, The Law, The State and Socialist Policies With Regard To Women; The Case of

The People’s Democratic Republic Of Yemen” dalam Womwn, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti,

(Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 250. 47 Melalui memorandum pemerintah Arab Saudi, perempuan di sana wajib berhijab dan tinggal di rumah

serta tidak mendapatkan hak untuk menjabat urusan pemerintahan. Lihat Mai Yamani, “ Beberapa Pandangan

Mengenai Perempuan di Saudi Srabia” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai

yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa, 2000), 411. 48 RUU tentang politik perempuan ditolak oleh parlemen menjelang pemilihan pada tahun 1984. Dengan

demikian perempuan tidak mendapatkan hak untuk menduduki jabatan politis di Kuwait. Lihat Munira

Fakhro, “ Perempuan Teluk dan Hukum Islam” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra,

ed. Mai yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa, 2000), 389. 49 Judi E. Tucker,” Ties That Bound : Women and Family in Eighteenth and Nineteenth Century

Nablus” dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and Gender, Nikki R. Keddie.

Ed. (New Haven and London :mYale University Press, 1991), 250. 50 Fatima mernissi, Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, terj.Rahmani Astuti dan Enna Hadi,141. 51Ibid, 142. Baca selengkapnya buku ini hal.84,177, 218, dan 251.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

28

Emansipasi wanita adalah lambang gerakan R.A. Kartini, meskipun ia tidak melepaskan

konsep feminisme, namun gerakannya telah meninggalkan pengaruh yang besar pada

kesadaran politik kaum wanita Indonesia setelah ke”pulangan”nya.52

Chabot, seorang peneliti tentang perkembangan perempuan Indonesia, mengatakan

bahwa pengaruh pemikiran Kartini terhadap perempuan Indonesia sangat besar. Bukti dari

pengaruh tersebut adalah pada dewasa ini perempuan Indonesia sudah tidak lagi melihat

adanya perbedaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam hal pendidikan, politik,

ekonomi dan strata sosial, meskipun wanita Indonesia, menurut Chabot masih menjaga

jarak terhadap laki-laki dalam hal budaya pergaulan.53 Tampaknya perkecualian terakhir

yang dilontarkan Chabot54 saat ini sudah tidak berlaku lagi. Perempuan Indonesia saat ini

telah mengambil posisi yang sama dengan kaum laki-laki dalam kesempatan, meperoleh

kedudukan politik, pekerjaan, pemimpin dan lain sebagainya.

Lebih jauh lagi tentang perempuan Indonesia, Veth mengatakan, bahwa sebelum

Kartini lahir, di beberapa kawasan Nusantara telah tersebar sederetan pemimpin kaum yang

terdiri dari wanita-wanita sejati, meskipun dalam laporan penelitiannya Veth tidak

mencantumkan agama resmi mereka. Akan tetapi ditinjau dari nama dan tahun serta gelar

yang disandang oleh pemimpin-peminpim wanita tersebut, dapat dipastikan bahwa tidak

jarang diantara mereka adalah muslimah seperti Ratu Anayat Syah yang memerintah

kerajaan Samudera Pasai selama 11 tahun ( 1677-1688), demikian pula Ratu (sultan)

Kamalat Syah yang juga memerintah selama 11 tahun (1688-1699), meskipun akhirnya

diturunkan dan di ganti Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim (laki-laki)55

Penelitian Veth diperkuat oleh penelitian Boerenbeker yang mengatakan bahwa

antara abad XVI –XX sejarah kepulauan Nusantara, mencatat bahwa banyak perempuan

mendapatkan posisi pemimpin. Diantaranya adalah Cut Po Neo yang memerintah Pidei

pada tahun 1897 dan Cut Asiah pada tahun 1910 memerintah Peukoe56. Bukti sejarah ini

tidak hanya terdapat di Aceh, akan tetapi sebagian besar wilayah nusantara pernah memilki

pemimpin wanita. Di Ambon dan Ulias pemimpin wanita mendapat gelar “latu Mahina”

dan di Nias di sebut dengan “Siulu”.57

Permasalahan yang ada adalah sebagian besar kaum perempuan belum menyadari

haknya sendiri, dah bahkan tidak jarang mereka justru menghindari haknya tersebut.

52 Abendanon, “Cita-cita dan Gagasan R.A. Kartini”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia,

ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 99. 53 H.T. Chabot, ” Wanita Muda Dalam Situasi Komplik”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita

Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 351. 54 Penelitian Chabot dilakukan antara tahun 1954-1955. 55 P.J. Veth, Pemerintah Oleh Wanita Di Kepulauan Nusantara”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita

Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 302. 56 E.A. Boerenbeker, “ Wanita Sebagai Kepala Persekutuan Hukum Indonesia”, dalam Peranan dan

Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada

University Press, 1994), 57 Ibid, 306.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

29

Mereka (perempuan) cenderung mengalah dan sengaja memposisikan diri “dibelakang”

kaum laki-laki, meskipun sebenarnya mereka punya kemampuan yang sama58

Dalam konteks yang lebih luas posisi perempuan di dunia ketiga telah mewarnai

perubahan tatanan sosial politik, budaya, ekonomi dan sebagainya.59 Dalam hal ini dapat

dicontohkan gerakan perempuan di India tahun 1980-an yang menyoroti kuota perempuan

di parlemen.60 Demikian pula gerakan lainnya di beberapa belahan dunia, seperti gerakan

pemberdayaan perempuan di Mesir.61 Islam tidak pernah memberikan diskrimasi gender,

kecuali adanya perlindungan terhadap hak-hak perempuan.62

E. Penutup

Seakan membenarkan analisa Sardar, kita melihat bahwa politik tidak bisa

dipisahakan dari seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu politik harus

diperankan sebaik-baiknya, untuk mengantarkan manusia itu sendiri ke dalam kondisi yang

penuh pencerahan, menjunjung tinggi kejujuran, persamaan hak, keadilan sosial dan

kesetaraan gender. Politik merupakan sarana untuk mewujudkan regulasi dan perundang-

undangan untuk menjamin terwujudnya kondisi seperti tersebut.

Faktor utama dari terciptanya iklim politik yang baik adalah sistem politik itu sendiri.

Sistem politik yang kondusif dan saling menghargai, akan melahirkan produk politik yang

bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat. Sistem politik yang menjunjung tinggi asas

keterbukaan, keadilan, dan rasa tanggung jawab, akan melahirkan iklim pemerinthan yang

kondusif dan menjalin interaksi yang baik pula, tidak saja anatar sesama pemeran birokrasi,

akan tetapi juga dengan masyarakat di semua lapisan, termasuk dunia pendidikan,

perekonomian, hukum, budaya, dan pranata sosial lainnya.

Selain itu faktor sumber daya manusia sebagai pemeran politik, juga menentukan

efektifitas pelaksanaan sistem dan hasil kebijakan politik sebuah pemerintahan. Sebaik

apaun sistem yang ada, tidak akan banyak memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat,

apabila tidak didukung dengan sumber daya manusia yang penuh dedikasi, integritas dan

menjunjung tingi visi kemaslahatan bersama.

DAFTRA PUSTAKA

58 Hasil penelitian Naomi membuktikan bahwa dari 1000 responden perempuan di seluruh dunia, hanya

31 persesn yang menuyadari kesetaraan (kesamaan) hak politik mereka. Selebihnya merasa tidak siap untuk

bersaing dengan kaum laki-laki. Baca Naomi Wolf, Geger Gender, terj. Omi Intan Naomi, 365. 59 Unni Wikan, Behind The Veil In Arabia: Women in Oman, (Chicago : The University Chicago Press,

1982), 109. 60 Ratna Saptari danBrigitte Holzner, Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi

Perempuan,416. 61 Margot Badran, Feminists, Islam and Nation: Gender and The Making Of Modern Egypt, 75. 62 Unni Wikan, Behind The Veil In Arabia: Women in Oman, 168.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

30

Abendanon, “Cita-cita dan Gagasan R.A. Kartini”, dalam Peranan dan

Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi.

Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994.

Abshar, Haleh. ” Islam dan Feminisme : Suatu Analisi Strategi Politik” dalam

Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani

Terj. Purwanto. Jakarta : Nuansa, 295.

Ahmad, Khursid. "The Nature of Islamic Resurgence" dalam Voices of Resurgent

Islam, ed. John L. Esposito. Oxford:Oxford University Press,1983.

Azhari, Muhammad Tahir Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-

Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode

Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Badran, Margot. “ Competing Agenda: Feminists, Islam and The State In

Nineteenth and Twentieth Century Egypt,” dalam Women, Islam And The

State, ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press, 1991.

Bearman, PJ. The Encyclopedia Of Islam (New Edition), hlm.: Propared By A

Number of Leading Orientalis, ed, PJ. Bearman, Et. Al. Leiden:

Brill,2000.

Berkey, Jonatan P. “Women and Islamic Education in The Mamluk Period”,

dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and

Gender, Nikki R. Keddie. ed. New Haven and London : Yale University

Press, 1991.

Boerenbeker, E.A. “ Wanita Sebagai Kepala Persekutuan Hukum Indonesia”,

dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah

Subardio dan T.O. Ihromi. Yogyakarta: Gajahmada University Press,

1994.

Brownlie, Ian. Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak asasi Manusia terj.

Beriansyah. Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1993.

Chabot, H.T. ” Wanita Muda Dalam Situasi Komplik”, dalam Peranan dan

Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi.

Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994.

Chhachhi, Amrita. “ Forced Identities : The State, Communalism,

Fundamentalism and Women in India” dalam Women, Islam And The

State, ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press, 1991.

Cohen, Hayyim J. “The Ekonomic Background And The Secular Occupation Of

Muslim Jurisprudents And Traditionists InThe Classical Period Of Islam”

dalam Journal Of Economic And Social History Of The Orient, 13. tt:

1970.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

31

“Dokumen II tentang deklarasi Islam Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia”

dalam Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam terj. Badri Yatim dkk. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1987.

Fakhro, Munira. “ Perempuan Teluk dan Hukum Islam” dalam Feminisme dan

Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani Terj. Purwanto.

Jakarta : Nuansa, 2000.

Howard, Rhoda E. Hak Asasi Manusia: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya,

terj. Nugraha Katjasungkana. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2000.

Jalal, Ayesha. ´The Convenience Of Subservience : Women and State of

Pakistan” dalam Womwn, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti.

Philadelpphia: Temple University Press, 1991.

Joseph, Suad .“ Elite Strategies For State Building : Women, Familiy, Religion

and State in Iraq and Lebanon” dalam Women, Islam And The State, ed.

Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press, 1991.

Kabeer, Naila. “ The Quest For National Identity: Women, Islam and State in

Bangladesh” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti.

Philadelpphia: Temple University Press, 1991.

Kandiyoti, Denis. “End Of Empire: Islam Nationalisme and Women In Turkey”

dalam Womwn, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia:

Temple University Press, 1991.

Makdisi, George. The Rise Of Colleges; Institutions Of Learning In Islam And

The West. Edinburgh: Edinburg University Press, 1981.

Marsot, Afaf Lutfi Al-Sayyid.“A Socio Ekonomic Sketch Of The Ilmuan muslim’

In The Eighteenth Century”, dalam Colleque International Sur I’Histoire.

tt. tp:1974.

Mas’ud, Abdurrachman. “Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam” dalam

Paradigma Pendidikan Islam, ed. Ismail SM et .al. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2001.

Maududi, Maulana Abul’Aa’la . Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam, terj.

Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta : Bumi Aksara, 1995.

Mernissi, Fatima. Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, terj.Rahmani Astuti dan

Enna Hadi. Bandung : Mizan, 1994.

Molyneux,Maxine. “The Law, The State and Socialist Policies With Regard To

Women; The Case of The People’s Democratic Republic Of Yemen”

dalam Womwn, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia:

Temple University Press, 1991.

Mushilli, Ahmad dan Luay Shafi. Krisis Intelektual Islam: Selingkuh Kaum

Cndikiawan dengan Kekuasaan Politik, ter. Anis Maftukhin. Jakarta:

Erlangga, 2009.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

32

Najmabadi, Afsaneh. “ Hazards Of Modernity and Morality : Women, State and

Ideology In Contemporary Iran”, dalam Women, Islam And The State, ed.

Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press, 1991.

al-Qitri>y, M}uhammad. al-Ja>miat al-Isla>miyyat wa Dawruha Fi> Masi>rat

al-Fikr al-T{abra>wiy. Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Ara>bi>y, tt.

Quataert, Donald. “ Ottoman Women, Households, and Textile Manufacturing

1800-1914”, dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries

in Sex and Gender, Nikki R. Keddie. ed. New Haven and London :Yale

University Press, 1991.

Sardar, Ziauddin. Est-West University: Islamic Studies.London dan New York:

Mansell Publishing Limited, 1984.

Suny, Ismail,"Kata Sambutan" dalam Muhammad Tahir Azhari. Negara Hukum

Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,

Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta:

Bulan Bintang, 1992.

Szyliowics, Joseph S. Pendidikan dan Modernisasi Di Dunia Islam, ter.

Murwinanti, Ed. Achmad Djainuri. Surabaya: Al-Ikhlas, 2001.

Timur, M.” Sebuah Dialog tentang Islam dan Hak Asasi Manusia” dalam Hak-

Hak Asasi Manusia dalam Islam terj. Badri Yatim dkk. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1987.

Tucker, Judi E.” Ties That Bound : Women and Family in Eighteenth and

Nineteenth Century Nablus” dalam Women In Midle Eastern History

Shifting Boundaries in Sex and Gender, Nikki R. Keddie. ed. New Haven

and London :mYale University Press, 1991.

Vatin, Jean claude. “Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam” dalam Hak-hak Asasi

Manusia dalam Islam terj. Badri Yatim dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus,

1987.

Veth, P.J. Pemerintah Oleh Wanita Di Kepulauan Nusantara”, dalam Peranan dan

Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi.

Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994.

Voll, John O. Islam Continuity and Change in the Modern World.

England:Longman,1982.

Wikan, Unni. Behind The Veil In Arabia: Women in Oman. Chicago : The

University Chicago Press, 1982.

William, Jhon Alden. Islam.New York: George Braziller, 1962.

Yamani, Mai.“ Beberapa Pandangan Mengenai Perempuan di Saudi Srabia”

dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai

Yamani Terj. Purwanto. Jakarta : Nuansa, 2000.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014

33