Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
97
KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Shofaussamawati1
Abstract
In Islam, leadership is very strategic, Islam considers that the leaders fulfill their
duty to realize the condition of the people who baldatun thoyyibatun warobbun ghafur.
Namely the Islamic community life systems implement Islamic values so as to achieve the
level of prosperity and well-being equitable with justice for all citizens.
Therefore it becomes very important for us to uncover how exactly the Quran as a
source of doctrine and way of life of Muslims speak (giving demands) on the establishment
of the leadership in Islam. The term leadership in the Koran are found by various terms,
including the caliph, ulil amri. Whereas Imamate and leadership principles according to the
Qur'an is trustworthy, fair, deliberation, and amar ma’ruf nahi munkar. Al-Qur'an also
suggests qualities must a leader among which are patient and steadfast, able to demonstrate
a good path to his people, and good.
Keywords: Leadership, Al-Quran, Islam
A. Pendahuluan
Pada tahun 2014 ini Negara kita Indonesia mempunyai beberapa agenda politik,
mulai dari pemilukada untuk memilih bupati, walikota dan gubernur di berbagai daerah,
pemilu legislative untuk memilih para wakil rakyat baik DPRD TK II, DPRD TK I, DPR
Pusat dan pemilu presiden untuk memilih capres dan cawapres sebagai pemimpin negara,
sehingga banyak orang menyebut tahun ini adalah tahun politik.
Dari deretan agenda itu pada intinya masyarakat Indonesia mempunyai tugas untuk
memilih para pimpinan baik dari tingkat daerah, bupati dan gubernur maupun tingkat pusat
yaitu presiden.Yang menjadi permasalahan adalah masyarakat dalam memilih seorang
pemimpin kebanyakan atau bahhkan bisa dikatakan mayoritas berdasarkan
subyektifitasnya masing-masing.Maka bagaimana sebetulnya sumber ajaran kita umat
Islam memberikan tuntunan dalam memilih seorang pemimpin. Di sisi lain seorang
pemimpin yang sudah dipilih oleh rakyat dia juga harus tahu apa itu kepemimpinan dan
bagaimana seseorang pemimpin itu bisa menjadi pemimpin yang ideal, bisa memberikan
perlindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Oleh karena itu,dalam tulisan ini penulis berusaha untuk mengungkap apa itu
kepemimpinan dan bagaimana kriteria seorang pemimpin dalam perspektif al-Qur’an.
1 Penulis adalah Dosen tetap STAIN Kudus
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
98
B. Istilah Kepemimpinan
Dalam kamus bahasa Indonesia istilah kepemimpinan berasal dari kata“pimpin” yang
mempunyai arti “dibimbing”. Sedangkan kata pemimpin itusendiri mempunyai makna
“orang yang memimpin.” Jadi kepemimpinanadalah cara untuk memimpin.2Sedangkan
kepemimpinan ditinjau dari segi bahasa, berasal dari kataleadership (kepemimpinan) yang
berasal dari kata leader (pemimpin).Kataini muncul sekitar tahun 1300-an. Sedangkan kata
leadership munculkemudian sekitar tahun 1700-an. Hingga pada tahun 1940-an, kajian
tentangkepemimpinan didasarkan pada teori sifat.Teori ini terbatas hanya mencarisifat-sifat
kepribadian, sosial, fisik atau intelektual yang membedakan antara pemimpin dan bukan
pemimpin.Artinya, kepemimpinan itu dibawa sejaklahir atau bakat bawaan.3
Jika kepemimpinan lebih memiliki arti luas, pemimpin merupakanspesifikasi dari
kepemimpinan tersebut. Dengan demikian, pemimpin bisadiartikan sebagai individu yang
menduduki suatu status tertentu di atasindividu yang lain di dalam kelompok, dapat
dianggap seorang pimpinan ataupemimpin.4Hal ini memungkinkan bahwa dalam
menduduki posisinyamelalui pemberian atribut-atribut secara formal atau tertentu.
Di dalam Al-Qur’an kepemimpinan diungkapkan dengan berabagai macam istilah
antara lainkhalifah, Imam, Uli al-Amri, dan masih banyak lagi yang lainnya.
a. Khalifah
Dalam Al-Qur’an kata yang berasal dari Kh-l-f ini ternyata disebut sebanyak 127 kali,
dalam 12 kata kejadian. Maknanya berkisar diantara kata kerja menggantikan,
meninggalkan, atau kata benda pengganti atau pewaris, tetapi ada juga yang artinya telah
“menyimpang” seperti berselisih, menyalahi janji, atau beraneka ragam.5Sedangkan dari
perkataan khalf yang artinya suksesi, pergantian atau generasi penerus, wakil, pengganti,
penguasa – yang terulang sebanyak 22 kali dalam Al-Qur’an – lahir kata khilafah.Kata ini
menurut keterangan Ensiklopedi Islam, adalah istilah yang muncul dalam sejarah
pemerintahan Islam sebagai institusi politik Islam, yang bersinonim dengan kata imamah
yangberarti kepemimpinan.6
Adapun ayat-ayat yang menunjukkan istilah khalifah baik dalam bentuk mufrad
maupun jamaknya, antara lain:
وإذ قال ربك للمالئكة إني جاعل في األرض خليفة، قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك
03ونقدس لك، قال إني أعلم ما ال تعلمون البقرة:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau
2Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-4,1994, hlm. 967. 3Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 8. 4Ghalia Indonesia, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 7. 5M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,
Paramadina, Jakarta, 2002, Cet. II, hlm: 349 6Ibid, hlm: 357
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
99
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui."
Quraish Shihab di dalam “Tafsir al-Mishbah” mengatakan bahwa ayatini merupakan
penyampaian Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nyamenciptakan manusia di
muka bumi ini. Penyampaian kepada mereka menjadisangat penting, karena malaikat akan
dibebani sekian tugas menyangkutmanusia. Ada yang akan bertugas mencatat amal-amal
manusia, ada yangbertugas memelihara, ada yang membimbingnya.7Penyampaian ini bisa
jadi merupakan bagian dari proses penciptaanalam raya dan kesiapannya untuk dihuni
manusia pertama (Adam) dengannyaman. Maksud Allah ini kemudian didengar oleh
malaikat dan malaikat lalubertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga
bahwa khalifah(manusia) ini akan merusak dan menumpahkan darah.8Dugaan
iniberdasarkan pada pengalaman mereka sebelumnya. Pertanyaan mereka jugabisa lahir
penamaan Allah terhadap makhluk yang akan diciptakan itu dengankhalifah.9
Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama’ yang lain telahmenjadikan ayat
ini sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah untukmenyelesaikan dan memutuskan
pertentangan antara manusia, menolongorang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam,
mencegah merajalelanyakejahatan dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan
kecualidengan adanya imam (pimpinan).10
أوعجبتم أن جاءكم ذكر من ربكم على رجل منكم لينذركم واذكروا إذ جعلكم خلفاء من بعد قوم نوح وزادكم في
96الخلق بصطة فاذكروا آالء هللا لعلكم تفلحون )األعراف:
Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari
Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan
kepadamu?Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai
7Dalam Tafsir al-Misbah katakhalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atauyang datang
sesudah siapa yang datang sebelumnya. Ada juga yang memberikan makna yang “menggantikan Allah”,
bukannya dia tidak mampu untuk menjadikan manusia menjadi Tuhan, akan tetapi ini merupakan ujian bagi
manusia, dan memberinya penghormatan epada manusia. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (pesan
dan Kesan Keserasian al-Qur’an), Jakarta:Lentera Hati, volume.I, cet. Ke-2, 2004, hlm. 140. 8Dalam proses penciptaan manusia sebagai khalifah di Bumi (Adam), terjadi penolakan dari mahluk-
mahluk yang lain, yakni Malaikat. Mereka merasa dia lebih hebat banding dengan manusia, pada dasarnya,
mereka beranggapan dengan adanya manusia, maka akan terjadi malapetaka di muka bumi ini seperti
pengalaman yang dulu. Malaikat beralasan bahwa mereka diciptakan dari Nur. Hal serupa ditandaskan oleh
mahluk yang bernama Iblis, dia merasa lebih hebat dari manusia, dengan argumen dia di ciptakan dari api,
sedangkan manusia diciptakan dari tanah. Iblis sangat kecewa dengan kehadiran manusia, karena mereka
tidak dianggap sebagai wakil-Nya untuk menjaga Bumi. Untuk itu, Iblis bersumpah kapada Allah, akan
mengganggu manusia sepanjang zaman. Lihat Achmad Chodjim, Membangun Surga, Jakarta: PT Serambi
Ilmu
Semesta, cet, ke-1, 2004, hlm. 174. 9M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 140. 10M. Hasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani, 1999,
hlm. 104.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
100
pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah
melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu).Maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
وهو الذي جعلكم خالئف األرض ورفع بعضكم فوق بعض درجات ليبلوكم في ما ءاتا كم ، إن ربك سريع العقاب
591وإنه لغفور الرحيم )األنعام:
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
، إن الذين يضلون يا داود إنا جعلناك خليفة في األرض فاحكم بين الناس بالحق وال تتبع الهوى فيضلك عن سبيل هللا
69عن سبيل هللا لهم عذاب شديد العقاب )ص:
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Allah menyuruh kepada Nabi Dawud, untuk menjadi khalifah, menjadihakim di
antara manusia, karena beliau mempuyai kekuasaan.Untuk itu manusia wajib
mendengarkan dan mentaatinya.Kemudian Allah menjelaskan kepada Nabi Dawud kaidah-
kaidah hukum untuk diajarkan kepada manusia.Pertama, maka berilah keputusan (perkara)
diantara manusia dengan dalil artinya hukumilah manusia dengan seadil-adinya
sebagaimana berdirinya langit dan bumi.Ini merupakan kaidah-kaidah hukum yang paling
utama dan penting dalam penegakan hukum.Kedua, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, artinya jangan condong dengan hawa nafsumu ketika memutuskan suatu perkara
atau karena asanya kepentingan duninya ketika sedang menghukumi, maka sesunggunya
mengikuti hawa hafsu akan lebih menjerumuskan ke api neraka sebagaimana Allah
berfirman: “Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” artinyasesungguhnya
mengikuti hawa nafsu menjadi sebab terjerumus kepadakesesatan dan melenceng dari
kebenaran yang haqiqi dan akibatnya adalah,kedhaliman, sebagaimana firman Allah dalam
al-Qur’an “Sesungguhnyaorang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab
yang berat,karena mereka melupakan hari perhitungan.” artinya sesungguhnya merekayang
melenceng dari jalan kebenaran dan keadilan, dan mereka akanmendapatkan siksa yang
amat besar dan pedinya dihari kiyamat nanti.11
Ayat ini mengisyaratkan bahwa, salah satu tugas dan kewajiban utamaseorang
khalifah (pemimpin) adalah menegakkan supremasi hukum secara adil (al haq).Artinya
tidak membedakan golongan, dan juga seorang pemimpin tidak boleh menjalankan
11Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir Fli aqidah Wa syariah Wal Minha, Beirut: Darul Al- Fikri Al- Ma’sir,
jus 23, t.th, hlm. 187.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
101
kepemimpinannya dengan mengikuti hawa nafsu. Tugas kepemimpinan adalah tugas
fisabilillah (jalan allah) dan karenanya mulia.
هو الذي جعلكم خالئف في األرض ، فمن كفر فعليه كفره وال يزيد الكافرين كفرهم عند ربهم إال مقتا ، وال يزيد
39)الكافرين كفرهم إال خسارا )فاطر
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.Barangsiapa yang kafir,
maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang
kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan
kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian
mereka belaka.
Dari beberapa ayat tersebut di atas menjadi jelas, bahwa konsep khalifah dimulai
sejak nabi Adam secara personil yaitu memimpin dirinya sendiri, dan ini menunjukkan
bahwa kepemimpinan dalam Islam juga mencakup memimpin dirinya sendiri yakni
mengarahkandiri sendiri ke arah kebaikan.Disamping memimpin diri sendiri, konsep
khalifah juga berlaku dalam memimpin umat, hal ini dapat dilihat dari diangkatnya nabi
Daud sebagai khalifah.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa (1) kata khalifah digunakan oleh al-Qur’an
untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.Dalam
hal ini Daud mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual
diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan; (2)
Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan
kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu.Karena itu baik Adam maupun Daud diberi
peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu (lihat QS 20:16 dan QS 38: 26).
Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalifah
dijelaskan Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) Sedangkan pengangkatan
Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami). Jikalau benar
kaidah yang mengatakan bahwa penggunaan bentuk plural, selain berarti lita’zhim, juga
bisa bermakna mengandung keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang
ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat
keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat. Adapun Adam dipilih langsung oleh
Allah, tanpa unsur keterlibatan pihak lain.Sejarah mencatat bahwa Daud bukan saja Nabi
tetapi juga penguasa kerajaan (“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan
kepadanya hikmahS.QS. 38: 20). Allah mengisyaratkan bahwa Daud bukan saja dipilih
oleh Allah tetapi juga diangkat oleh masyarakat.
Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qur’an, pemimpin yang diangkat oleh
masyarakat sebenarnya berada pada posisi menerima amanah, sedangkan masyarakat
sebagai pemberi amanah. Tentu saja, ajaran agama mengatur bahwa penerima amanah,
pada saatnya nanti, harus mempertanggungjawabkan amanahnya kepada si pemberi
amanah, yaitu pada “pengadilan” masyarakat di dunia, dan “pengadilan” Allah swt di
Padang Mahsyar nanti.Konsep khalifah di sini mempunyai syarat antara lain, tidak
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
102
membuat kerusakan di muka bumi, memutuskan suatu perkara secara adil dan tidak
menuruti hawa nafsunya. Allah memberi ancaman bagi khalifah yang tidak melaksanakan
perintah Allah tersebut.
b. Imamah
Dalam Al-Qur’an kata imam terulang sebanyak 7 kali, sedangkan kata
aimmahjamaknya kata imamterulang 5 kali.Kata imam dalam Al-Qur’an mempunyai
beberapa arti yaitu, nabi, pedoman, kitab/buku/teks, jalan lurus, dan pemimpin.12
Adapun ayat-ayat yang menunjukkan istilah imam antara lain:
والذين يقولون ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما )الفرقان:
Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-
isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami
imam bagi orang-orang yang bertakwa.
وإذ ابتلى إبراهيم ربه بكلمات فأتمهن قال إني جاعلك للناس إماما قال ومن ذريتي قال ال ينال عهد الظالمين )البقرة:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga)
dari keturunanku Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".
Dalam Tafsir Al-Mizan karya Allamah Thabathaba’i juz 1 halaman. 273, dalam
menjelaskan ayat di atas beliau menyebutkan sebuah riwayat yang diriwayatkan Imam
Ja’far Ash-Shadiq as :
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima Nabi Ibrahim as sebagai seorang
hamba sebelum Dia mengangkatnya menjadi seorang mabi, mengangkatnya menjadi
nabi sebelum Dia memilihnya menjadi rasul, mengangkatnya menjadi rasul sebelum Ia
menjadikannya sebagai kekasih-Nya (Khalilullah), dan menjadikannya sebagai
khalilullah sebelum mengangkatnya menjadi seorang imam. Dan setelah Allah
menganugerahkan semua itu kepadanya, Dia berfirman: “Sungguh Aku telah
mengangkatmu menjadi imam bagi seluruh manusia”. Karena imamah itu sangat agung
baginya, maka beliau memohon kepada Allah: “Dan dari keturunanku juga!”.
Kemudian Allah menjawab: “Janjiku ini (imamah) tidak akan dapat digapai oleh
orang-orang yang zalim”. Selanjutnya Imam Ja’far berkata: “Orang yang bodoh tidak
akan menjadi imam bagi orang yang bertakwa”.
Allamah Thabathaba’i mengatakan berdasarkan riwayat di atas, yang dimaksud
dengan “Kalimat” dalam ayat ini adalah imamah Nabi Ibrahim as, Ishak dan keturunannya
yang kemudian ia menyempurnakannya dengan imamah Muhammad SAW dan para imam
Ahlul Bayt a.s dari keturunan Nabi Ismail as Kemudian Allah memperjelas persoalan ini
dengan firman-Nya: “Sungguh Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh manusia.”
Allah menguji Nabi Ibrahim dengan berbagai macam ujian, dimana ujian yang
diberikan kepada beliau.Sebagai seorang Nabi, ujian yang diberikan kepada beliau tidaklah
12Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press,
Jakarta, 2002, hlm: 197-199
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
103
ringan.Misalnya perintah untuk menyembelih anaknya.Padahal sudah bertahun-tahun
beliau menginginkan anak, dan Allah mengabulkan permintaan beliau ketika usianya sudah
lanjut.Maka betapa sulit kita bayangkan beratnya ujian yang beliau hadapi ketika anak
yang sangat disayanginya masih muda belia tiba-tiba diminta untuk disembelih.
Biasanya memang kalau kita menyenangi sesuatu ,maka Allah akan menguji apakah
kesenangan terhadap sesuatu itu melengahkan ingatnya kepada Allah. Tentu saja memang
kualitas ujian berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Jika kita menyukai sesuatu
dengan berlebihan maka Allah pasti akan menguji.
Begitu pula ujian bagi Nabi Ibrahim saat ia diusir oleh bapaknya. Ia tidak lagi diakui
anak oleh Azar sang bapak. Begitu pula saat ia menghadapi raja Namrudz. Semua berhala
ia hancurkan dengan tangannya, kecuali yang paling besar. Dengan menyisakan patung
yang paling besar, ia bermaksud untuk menyadarkan masyarakatnya melalui nalar mereka.
Dalam Al-Qur'an juga memberitakan perjalanan Nabi Ibrahim dalam menemukan Tuhan
yang pantas disembah dengan melihat jagad raya ini hingga ia mengagumi bulan, matahari
dan sebagainya dan akhirnya ia menemukan bahwa hanya Allah lah Dzat yang pantas
untuk disembah. Ia berkesimpulan bahwa semua benda-benda yang ia temukan tadi akan
hancur dan lenyap, dan ada Dzat yang tidak hancur dan lenyap yakni Allah SWT.
Begitu pula ujian yang ia terima untuk membangun Ka'bah dan meninggalkan
istrinya, Hajar, sendirian di tanah yang tandus Makkah bersama anaknya, Ismail. Padahal
saat itu ia berdomisili di Syiria. Nabi Ibrahim menjenguk anak istrinya ini hanya 3,5 tahun
sekali, akibat jaraknya yang jauh. Ia betul-betul luarbiasa dalam bertawakkal kepada Allah
SWT.
Bahwasanya dalam surat Al Baqarah ayat 124 mengisyaratkan bahwa kepemimpinan
dan keteladanan harus berdasarkan keimanan dan ketaqwaan, pengetahuan dan
keberhasilan dalam aneka ujian. Karena itu kepemimpinan tidak akan dapat dianugerahkan
oleh Allah kepada orang-orang yang zalim, yakni yang berlaku aniaya.
Dalam surat ini menjelaskan salah satu perbedaan yang menunjukkan ciri pandangan
islam tentang kepemimpinan dengan pandangan-pandangan yang lain. Islam menilai
bahwa kepemimpinan bukan hanya sekedar kontrak sosial, yang melahirkan janji dari
pemimpin untuk melayani yang dipimpin sesuai kesepakatan bersama, serta ketaatan dari
yang dipimpin kepada pemimpin, tetapi juga harus terjalin hubungan harmonis antara yang
diberi wewenang memimpin dengan Tuhan.Yaitu berupa janjin untuk menjalankan
kepemimpinan sesuai dengan nilai-nilai yang diamanatkan-Nya.
(janjiku tidak mendapatkan orang-orang yang zalim), menunjukkan bahwa
perolehan kepemimpinan lebih banyak merupakan anugerah, bukan upaya manusia. itulah
sebabnya ayat tersebut menyatakan “janjiku tidak mendapatkan orang-orang yang zalim”,
dalam arti bahwa mereka yang aktif mencari kedudukan , tetapi justru “janji” yang menjadi
pelaku (subyek). Janji itu yang tidak menemui atau mendapatkan mereka.
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
104
Dari penafsiran QS Al Baqarah ayat 124 dapat dipahami bahwa kepemimpinan
tergantung pada karakter pemimpinnya. Sifat-sifat yang dimiliki antara lain kepribadian,
keunggulan fisik, dan kemampuan sosial. Dalam ayat ini juga diterangkan bahwa
kepemimpinan dalam islam lebih kepada anugerah bukan kepada upaya manusia. Dan
tidak mungkin Allah memilih seorang yang zalim sebagai seorang pemimpin.Karakter
pemimpin haruslah baik yang meliputi aspek kepribadian dan kemapuan
sosial.Kepribadian yang dimiliki seorang pemimpin yang dimaksud tentunya tidak zalim
seperti yang tercantum dalam QS Al Baqarah ayat 124.Artinya ayat ini juga menekankan
terhadap identifikasi pribadi, pembangkitan motivasi oleh pemimpin dan pengaruh
pemimpin terhadap tujuan- tujuan dan rasa percaya diri para pengikut. Identifikasi pribadi
disini dapat diartikan pengetahuan yang dimiliki seorang pemimpin, keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT.
وجعلناهم أئمة يهدون بأمرنا وأوحينا عليهم فعل الخيرات وإقام الصالة وإيتاء الزكاة وكانوا لنا عابدين )األنبياء:
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan
kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah
mereka selalu menyembah
4ونريد أن نمن على الذين استضعفوا في األرض ونجعلهم أئمة ونجعلهم الوارثون )القصص: ,
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir)
itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang
yang mewarisi (bumi)
Konsep imam di sini, mempunyai syarat memerintahkan kepada kebajikan sekaligus
melaksanakannya.Dan juga aspek menolong yang lemah sebagaimana yang diajarkan
Allah, juga dianjurkan.
c. Ulial- Amri
Istilah Ulual-Amri oleh ahli Al-Qur’an, Nazwar Syamsu, diterjemahkan sebagai
functionaries, orang yang mengemban tugas, atau diserahi menjalankan fungsi tertentu
dalam suatuorganisasi.13Hal yang menarik memahami uli al-Amri ini adalah keragaman
pengertian yang terkandung dalam kata amr. Istilah yang mempunyai akar kata yang sama
dengan amr yang berinduk kepada kata a-m-r, dalm Al-Qur’an berulang sebanyak 257 kali.
Sedang kata amr sendiri disebut sebanyak 176 kali dengan berbagai arti, menurut konteks
ayatnya.14kata amr bisa diterjemahkan dengan perintah (sebagai perintah Tuhan), urusan
(manusia atau Tuhan), perkara, sesuatu, keputusan (oleh Tuhan atau manusia), kepastian
(yang ditentukan oleh Tuhan), bahkan juga bisa diartikan sebagaia tugas, misi, kewajiban
dan kepemimpinan.15
13M. Dawam Raharjo, Op.Cit., hlm. 466 14Ibid 15 Ibid
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
105
Berbeda dengan ayat-ayat yang menunjukkan istilah amr, ayat-ayat yang menunjuk
pada istilah ulial-Amri dalam Al-Qur’an hanya disebut 2 kali
ياأيها الذين أمنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرسول وأولى األمر منكم ، فإن تنازعتم في شيئ فردوه إلى هللا والرسول إن
كنتم تؤمنون باهلل واليوم األخر ، ذلك خير وأحسن تأويال )النساء:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
وإذا جاءكم أمر من األمن أو الخوف أذاعوا به ، ولو ردوه إلى الرسول وإلى أولى األمر منهم لعلمه الذين
النساء:)يستنبطونه منهم ، ولوال فضل هللا عليكم ورحمته التبعتم الشيطان إال قليال
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali
sebahagian kecil saja (diantaramu).
Adapun maksud dari dua ayat di atas jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan ulial-Amri adalah mereka yang mengurusi segala urusan umum, sehingga mereka
termasuk orang-orang yang harus ditaati setelah taat terhadap perintah Rasul.Tidak
disebutkannya kata taat pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada
mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah
dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan
RasulNya, mka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka.Apabila terjadi persilangan
pendapat maka yang diutamakan adalah Allah dan Rasul-Nya.
C. Prinsip-prinsip Kepemimpinan
Dalam Al-Qur’an juga menyebutkan prinsip-prinsip kepemimpinan antara lain,
amanah, adil, syura(musyawarah), dan amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al- munkar.
a. Amanah
Dalam Kamus Kontemporer (al-Ashr) Amanah diartikan dengan kejujuran,
kepercayaan (hal dapat dipercaya).16 Amanah ini merupakan salah satu sifat wajib bagi
Rasul.Ada sebuah ungkapan “kekuasan adalah amanah, karena itu harus dilaksanakan
dengan penuh amanah”. Ungkapan ini menurut Said Agil Husin Al-Munawwar,
menyiratkan dua hal.Pertama, apabila manusia berkuasa di muka bumi, menjadi khalifah,
maka kekuasaan yang diperoleh sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah SWT.
(delegationofauthority) karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan demikian,
kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanah dari Allah yang bersifat relative, yang
16Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali Maksum,
Yogyakarta, tt, hlm: 215
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
106
kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.Kedua,karena kekuasaan itu pada
dasarnya amanah, maka pelaksanaannya pun memerlukan amanah. Amanah dalam hal ini
adalah sikap penuh pertanggungjawaban, jujur dan memegang teguh prinsip.Amanah
dalam arti ini sebagai prinsip atau nilai.17 Mengenai Amanah ini Allah berfirman:
إنا عرضنا األمانة على السماوات واألرض والجبال فأبين أن يحملنها وأشفقن منها وحملها اإلنسان ، إنه كان ظلوما
جهوال )األحزاب:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat zalim dan amat bodoh
Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa amanah yang
dimaksud adalah ketaatan dalam menjalankan kewajiban (taklif) syar’i, seperti sholat,
puasa dan lainnya.Lebih jauh Az-Zuhaili menafsirkan bahwa kata amanah dalam ayat di
atas juga mencakup amanah terhadap harta, menjaga kemaluan, menjaga pendengaran,
penglihatan, lisan batin, tangan dan langkah kaki. Kegagalan menerima amanah ini (akibat
manusia itu amat zalim dan amat bodoh) akan mengakibatkan manusia terbagi menjadi tiga
golongan (sebagaimana diisyaratkan oleh ayat selanjutnya QS 33: 73): pertama, munafikin,
yaitu sebagaimana digambarkan dalam hadis: kalau berkata selalu berdusta; kalau berjanji
selalu ingkar; dan kalau diberi amanah berlaku khianat (Musnad Ahmad, Hadis Nomor:
6583); kedua, golongan musyrikin, yaitu golongan yang baik tersembunyi maupun terang-
terangan telah berlaku syirik dan menentang Rasul; ketiga Mu’minun, yang dalam ayat ini
digambarkan sebagai mereka yang diterima taubatnya.
Amanah keagamaaan yang dibebankan kepada manusia itu sedemikian berat, apalagi
jika ditambah amanah keduniawian berupa kekuasaan.Sudah jelas bahwa dua golongan
pertama, munafik dan musyrik, bukan saja gagal menerima amanah keagamaan namun
harus dipandang tidak juga layak menerima amanah keduniawian. Perhatikan firman Allah
berikut ini : “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya
Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon
juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang
zalim”.”
Tinggal satu golongan lagi yang layak menerima dan menjalankan amanah, yaitu
golongan mu’min.Namun mengapa Allah mengisyaratkan Mu’min yang layak menerima
amanah itu sebagai Mu’min yang diterima tobatnya?Rupanya, Allah tahu bahwa seorang
pemimpin tidak bebas dari kesalahan.Adam dan Daud yang disebut sebagai khalifah
ternyata juga sempat melakukan perbuatan tercela.Namun mereka segera bertaubat (lihat
Qs 7: 23 dan Qs 38: 25).Jadi, carilah pemimpin yang bersedia dikoreksi, bersedia
17Said Agil Husin Al-Munawar, Op.Cit., hlm. 200
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
107
mengakui kesalahan, bersedia memperbaiki kesalahannya, dan gemar mengucapkan
isitighfar pada Allah swt.sebagai wujud kehinaan dan kerendahan diri ketika berhadapan
dengan Dzat Yang Maha Agung.
Apakah kriteria itu sudah cukup? Allah mengingatkan Daud dalam QS 38: 26, “Hai
Daud, sesungguhanya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” Allah sebagai pemberi
amanah dari “langit” menentukan bahwa pemimpin itu harus menegakkan hukum (law
enforcement) dan keadilan serta menghindarkan diri dari mengikuti hawa nafsu. Tanpa
keadilan, yang berlaku adalah “hukum rimba”: siapa yang kuat, maka dialah yang menang.
Hawa nafsu adalah godaan terus menerus didalam diri kita yang selalu mengajak kita untuk
menyimpang dari kebenaran.Hawa nafsu jugalah yang membawa penguasa terus
memperkaya diri sementara rakyat makan tiwul.
Apakah semua itu sudah cukup? Dengarkan tuntutan penduduk “bumi” yang juga
telah memberi amanah kepada Daud (Qs 38: 22), “Berilah keputusan antara kami dengan
adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang
lurus (Wahdina ila sawa`i al-shirat).” Pesan dari “langit” akan keadilan dan kebenaran
rupanya juga cocok dengan kebutuhan penduduk “bumi”. Namun ada satu tambahan, yaitu,
masyarakat juga menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada yang dipimpin akan
sawa’i al-shirat. Kalau kita kembali merujuk pada Imam al-Mawardi, dalam al-Nukat wa
al-’Uyun, pemberi amanah menuntut pemimpin untuk memberi petunjuk kepada tujuan
atau maksud-maksud yang benar.Ini berarti pemimpin tidak boleh memberi informasi yang
keliru, plin-plan, bahkan juga tidak boleh menyembunyikan informasi yang benar, layak,
pantas dan harus diketahui oleh masyarakat.Pemimpin juga harus menjadi teladan agar
yang dipimpin merasa yakin bahwa pemimpin tidak pernah berniat mencelakakan
masyarakat. Sebelum menunjuki jalan yang lurus, pemimpin harus “meluruskan” dirinya
terlebih dahulu
إن هللا يأمركم أن تؤدوا األمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل، إن هللا نعّما يعظكم به، إن هللا
كان سميعا بصيرا )النساء:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.
Dua ayat di atas jelas menunjukkan perintah Allah mengenai harus dilaksanakannya sebuah
amanah.Manusia dalam melaksanakan amanah yang dikaitkan dengan tugas
kepemimpinannya memerlukan dukungan dari ilmu pengetahuan dan hidayah dari
Allah.Hal ini dapat dilihat firman Allah “Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
108
sebaik-baiknya kepadamu”, pengajarannya bisa lewat hidayah yang merupakan anugrah
dari Allah, juga bisa melalui ilmu pengetahuan.
Dalam Al-Qur’an istilah Amanah juga diungkapkan dengan kata Risalah.
كن ال تحبون التاصحين )األعراف: فتولى عنهم وقال يا قومي لقد أبلغتكم رسالة ربي ونصحت لكم ول
Maka Nabi Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku sesungguhnya
aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat
kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat".
Dalam ayat datas, kata risalah yang dimaknai amanat.Maksudnya disini Allah telah
memberikan amanat kepada nabi Shaleh untuk menyampaikan ajaran Tuhan kepada
umatnya dan Nabi disini juga berfungsi sebagai pemimpin bagi umatnya.
b. Adil
Kata Adil ini merupakan serapan dari bahsa arab ‘adl. Dalam Al-Qur’an istilah adil
menggunakan tiga term yaitu ‘adl, qisth dan haqq.Dari akar kata ‘a-d-l sebagai kata benda,
kata ini disebut sebanyak 14 kali dalam Al-Qur’an.Sedangkan kata qisth berasal dari akar
kata q-s-th, diulang sebanyak 15 kali sebagai kata benda.18Sedangkan kata haqq dalam Al-
Qur’an disebut sebanyak 251 kali. Adapun ayat-ayat yang berbicara mengenai keadilan
antara lain:
ون قل أمر ربي بالقسط، وأقيموا وجوهكم عند كل مسجد وادعوه مخلصين له الدين، كما بدأكم تعود
29))األعراف:
Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan
mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu
pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang menjalankan keadailan.
Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) itu adalah: (a) mengkonsentrasikan
perhatian dalam shalat kepada Allah dan (b) mengikhlaskan ketaatan kepada-
Nya.[22]Dari uraian tersebut dapat ditarik kepada aspek kepemimpinan, yaitu seorang
pemimpin harus benar-benar ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan juga orientasinya
semata-mata karena Allah. Sehingga ketika dua hal tersebut sudah tertanam maka akan
melahirkan suatu tingkah laku yang baik.
إن هللا يأمركم أن تؤدوا األمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن هللا نعّما يعظكم به، إن هللا
كان سميعا بصيرا )النساء:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
18M. Dawam Raharjo, Op.Cit., hlm. 369
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
109
Melihat.
Ayat di atas juga telah disinggung pada pembahasan amanah, karena ayat tersebut
mengajarkan manusia tentang dasar-dasar pemerintahan yang baik dan benar yaitu
menjalankan amanah dan menetapkan suatu hukum dengan adil.
ولقد أرسلنا رسال من قبلك منهم من قصصنا عليك ومنهم من لم نقصص عليك، وما كان لرسول أن يأتي بأية إال
بإذن هللا، فإذا جاء أمر هللا قضي بالحق وخسر هنالك المبطلون )المؤمن:
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara
mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak
Kami ceritakan kepadamu.Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat,
melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan
(semua perkara) dengan adil.Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang
kepada yang batilAyat ini juga berisi tentang perintah berbuat adil, yang didalmnya
digambarkan tentang keadilan yang dijalnkan oleh utusan Allah yang juga berfungsi
sebagai pemimpin bagi umatnya.
c. Musyawarah
Musyawarah, apabila diambil dari kata kerja syawara-yusyawiru, atau syura, yang
berasal dari kata syawara-yasyuru, adalah kata-kata yang terdapat dalam Al-Qur’an. Yang
pertama merujuk merujuk pada ayat 159 surat Alu Imran, sedangkan istilah syura merujuk
kepada Al-Qur’an surat Asy-Syura ayat 38.19 Selain dua istilah di atas ada juga kata yang
maknanya menunjukkan musyawarah yaitu kata i’tamir dalam surat ath-Thalaq ayat 6.
Adapun ayat-ayat tersebut di atas yaitu:
فبما رحمة من هللا لنت لهم، ولو كنت فّظا غليظ القلب النفضوا من حولك، فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في
األمر، فإذا عزمت فتوكل على هللا، إن هللا يحب المتوكلين )ال عمران:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka.Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Dari kata “wasyawirhum” yang terdapat pada ayat ini mengandung konotasi “saling”
atau “berinteraksi”, antara yang di atas dan yang di bawah. Dari pemahaman tersebut dapat
ditarik kesimpulan behwa pemimpin yang baik adalah yang mengakomodir pendapat
bawahannya artinya tidak otoriter.
والذين استجابوا لربهم وأقاموا الصالة وأمرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون )الشورى:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
19Ibid.,hlm. 441-442
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
110
Jika pada ayat sebelumya menunjukkan adanya interaksi, maka pada ayat ini yakni istilah
syura terkandung konotasi “berasal dari pihak tertentu”.Dari sini juga dapat ditarik
pemahaman bahwa tidak selamanya pemimpin harus mendengarkan bawahannya, artinya
pemimpin harus bisa memilih situasi dan kondisi kapan dia harus mendengarkan
bawahannya dan kapan pula dia harus memutuskan secara mandiri.Jadi pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang situasional.
c. Amr Ma’ruf Nahy Munkar
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, ada juga entry “amar makruf Nahi Munkar”
yang diartikan sebagai “suruuhan untuk berbuat baik serta mencegah dari perbuatan
jahat.”Istilah itu diperlakukan dal satu kesatuan istilah, dan satu kesatuan arti pula, seolah-
olah keduanya tidak dapat dipisahkan.20 Istilah amrma’ruf nahy munkar - seperti
ya’muruna bi al-ma’ruf wa yanhawna ‘an al-munkar - ternyata secara berulang disebut
secara utuh, artinya tidak dipisahkan antara amr ma’ruf dan nahy munkar. Istilah tersebut
berulang cukup banyak, 9 kali, sekalipun hanya dalam 5 surat.[26] Adapun ayat-ayat
tersebut antara lain:
تكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر، وأولئك هم المفلحون )ال عمران:ول
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-
orang yang beruntung.
والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أوليآء بعض، يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصالة ويؤتون الزكاة
(15التوبة: )ويطيعون هللا والرسول، أولئك سيرحمهم هللا، إن هللا عزيز حكيم
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka
taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
الذين إن مكناهم في األرض أقاموا الصالة وأتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر، وهلل عاقبة األمور )الحج
yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
Ketiga ayat di atas menunjukkan perintah amr ma’ruf dan nahy munkar. Dalam Al-
Qur’an dan Terjemahnya yang disusun oleh Hasbi Ashshiddiqi dkk., ma'ruf diartikan
sebagai segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah
segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.21 Dengan demikian dapat dipahami
bahwa prinsip kepemimpinan amr ma’ruf dan nahy munkar sangat ditekankan oleh Allah
20Ibid.,hlm. 619
21Hasbi Ashshiddiqi et.al., Al-Qur’an Dan Terjemahnya,, Departemen Agama RI, Jakarta, tt, hlm: 93
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
111
karena dari prinsip ini akan melahirkan hal-hal yang akan membawa kebaikan pada suatu
kepemimpinan.
D. Sifat Pemimpin
Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat
pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-
Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah:
(1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka
sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan
pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin.Sifat ini merupakan syarat pokok
yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang
lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut.
(2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk
Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah
Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu
gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan
menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian
mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan
yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali
merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali
menikmatinya.
(3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21):
73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-
perbuatan.
E. Penutup
Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-
sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih
pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.Kaum muslimin yang benar-benar
beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih
pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah)
atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu.
Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan
kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat
harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cermin" siapa
mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan
kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 1, Juni 2014
112
DAFTAR PUSTAKA
Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yayasan Ali
Maksum, Yogyakarta, tt.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-4, 1994.
Ghalia Indonesia, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
Hasbi Ashshiddiqi et.al.,Al-Qur’an Dan Terjemahnya,, Departemen Agama RI, Jakarta, tt.
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, Paramadina, Jakarta, 2002, Cet. II.
M. Quraish Shihab,
M. Hasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema
Insani, 1999.
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat
Press, Jakarta, 2002.
Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2003.
Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir Fli aqidah Wa syariah Wal Minha, Beirut: Darul Al- Fikri
Al- Ma’sir, Juz 23, t.th.