129

Syok pada anak

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Syok pada anak
Page 2: Syok pada anak

SYOK PADA ANAK

(Goal-Directed Management of Pediatric

Shock in the Emergency Department)

Professor Joseph A. Carcillo, MD

Division of Critical Care Medicine, Children's Hospital of Pittsburgh

2009

i

Page 3: Syok pada anak

ii

SYOK PADA ANAK (Goal-Directed Management of Pediatric Shock In the Emergency Department) Alih bahasa: dr Iyan Darmawan ISBN: 978-979-95956-9-0 © 2009 Farmedia All rights preserved Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip, memperbanyak sebagian atau Seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Edisi 1 Cetakan 1: November 2009 Perpustakaan Nasional R.I. data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Syok pada anak/penulis: Carcillo, Joseph A; Alih bahasa: Darmawan, Iyan Cetakan 1- Jakarta, Farmedia 2009 127 halaman 12,5 x 21,5 cm ISBN: 978-979-95956-9-0

Page 4: Syok pada anak

iii

KATA PENGANTAR

Bayi dan anak memiliki struktur anatomis dan parameter

hemodinamik yang berbeda dengan orang dewasa,

sehingga patofisiologi dan interpretasi syok pada anak

jauh berbeda dibandingkan orang dewasa. Syok

tersering pada trauma anak adalah syok hemoragik,

walaupun bisa dibarengi oleh syok tipe lain, seperti

kardiogenik (misal, tamponade jantung), obstruktif (misal,

tension pneumothorax) dan neurogenik (misal, syok

spinal). Peningkatan cadangan sistem kardiovaskular

memungkinkan anak mengkompensasi dan memelihara

tekanan darah sekalipun syok hemoragik sampai ke

tingkat sedang. Anak akan mempertahankan tekanan

darah sistolik yang normal sebelum mereka kehilangan

sampai 30% volume darah sirkulasi

Buku saku ini membahas lebih rinci patofisiologi dan

manajemen syok pada anak, dan menjadi tambahan

referensi untuk para dokter yang bertugas di IGD dan

PICU.

November 2009

Penerbit

Page 5: Syok pada anak

iv

DAFTAR ISI

Bagian 1 Memahami Syok 1

Bagian 2 Stadium Syok 10

Bagian 3 Manajemen Syok pada Anak 13

Bagian 4 Resusitasi Volume: Kristaloid vs Koloid 57

Bagian 5 Rangkuman Manajemen Syok pada Anak 79

Bagian 6 Ilustrasi kasus 84

Bagian 7 Dengue Shock Syndrome 99

Bagian 8 Singkatan dan terminologi 104

Bagian 9 Nilai Normal 106

Bagian 10 Rumus-rumus 108

Lampiran : Teknik Pemberian Infus Intraosea 110

Page 6: Syok pada anak

1

BAGIAN I

Memahami Syok

Pendahuluan Syok adalah kegagalan sirkulasi untuk membawa

oksigen dan nutrien ke jaringan. Syok lazim dijumpai

pada anak. Pemahaman tentang penyebab dan

patofisiologinya bisa mengarahkan para klinisi membuat

keputusan yang rasional dalam terapi dan bisa

memperbaiki prognosis. Bagian ini memberikan

penjelasan komprehensif dari klasifikasi, penyebab dan

patofisiologi syok pada anak, dengan pedoman untuk

deteksi dan pemantauan, sehingga pendekatan terapi

menjadi rasional.

Sebagai sindrom klinis yang kompleks, syok ditandai oleh

disfungsi sirkulasi akut di mana hubungan antara

kebutuhan oksigen dan pasokan oksigen terganggu.1

Akibatnya, sistem kardiovaskular gagal menjalankan

fungsi utamanya, yakni membawa substrat dan

membuang metabolit, sehingga terjadi metabolisme

anaerob dan asidosis jaringan. Umumnya, semua

keadaan syok berakhir dengan berkurangnya hantaran

atau gangguan utilisasi substrat sel yang esensial,

sehingga fungsi sel normal berhenti.

Syok merupakan proses progresif yang ditandai oleh 3

stadium berbeda. Pada fase dini, stadium kompensasi,

Page 7: Syok pada anak

2

sejumlah mekanisme neurohormonal yang bersifat

kompensatorik dan fisiologis bekerja untuk

mempertahankan tekanan darah dan memelihara

kecukupan fungsi jaringan. Pada stadium ini syok bisa

reversibel dengan intervensi yang benar. Namun, bila

mekanisme kompensasi ini gagal, syok berlanjut ke

stadium dekompensata. Pada stadium menetap

(irreversible stage), syok berlanjut ke cidera organ dan

jaringan yang berat, yang tidak responsif terhadap terapi

konvensional, dan berujung dengan gagal organ ganda

dan kematian pasien.

Syok merupakan diagnosis klinis, namun deteksi masih

merupakan masalah pada anak. Dalam pedoman yang

dipublikasi oleh the American College of Critical Care

Medicine, Carcillo dkk mendefinisikan syok septik pada

anak sebagai takikardia dengan tanda berkurangnya

perfusi perifer, termasuk berkurangnya volume nadi,

capillary refill time (CRT) lebih dari 2 detik, bercak dan

dingin pada ekstremitas, kesadaran berubah dan jumlah

urin berkurang.2 Hipotensi merupakan tanda lanjut dan

fase dekompensata pada syok anak, sehingga tidak bisa

diandalkan untuk menegakkan diagnosis. Capillary refill

terbaik diperiksa dengan menekan ekstremitas distal,

seperti jari tangan dan kaki, selama 5 detik dan kemudian

dilepas. Waktu pengisian kembali dicatat. Pada suhu

kamar normal, capillary bed distal biasanya terisi dalam

2-3 detik. Dikatakan memanjang jika lebih dari 5 detik.

Page 8: Syok pada anak

3

Titik alternatif untuk memeriksa CRT adalah di atas

sternum dan bantal kuku (nailbed).

Syok sebaiknya dideteksi dengan tanda klinis dan

laboratorium yang meliputi takipnea dan takikardia,

vasodilatasi perifer (syok hangat) atau ekstremitas dingin

(syok dingin), perubahan status mental, hipothermia atau

hipertermia, diikuti berkurangnya jumlah urin, asidosis

metabolik dan peninggian laktat darah3

Klasifikasi syok

Karena fungsi sirkulasi bergantung pada volume darah,

tonus vaskular dan fungsi jantung, syok dapat

diakibatkan oleh kelainan-kelainan dari satu atau lebih

faktor-faktor ini, atau mulai dari gangguan metabolisme

seluler sampai ketidakmampuan menggunakan substrat

yang dibawa oleh sirkulasi. Lima jenis syok yang utama

dilukiskan di bawah (Table 1.1). Pembagian kategori ini

terlalu sederhana, karena lebih dari satu mekanisme

dapat terjadi pada pasien yang sama. Hasil akhirnya

adalah kegagalan menyediakan substrat energi untuk

memenuhi kebutuhan metabolik dari jaringan.

Tabel 1. 1 Klasifikasi Syok

Jenis Sindrom Klinis

Hipovolemik Hemoragik Nonhemoragik:

• Muntah • Diare • Luka bakar

Page 9: Syok pada anak

4

• Sekuestrasi internal (misal ileus obstruksi)

• KAD (ketoasidosis diabetik) • Sindrom nefrotik • Bentuk dehidrasi lain

Kardiogenik Infark miokard

Gagal jantung bendungan Bedah jantung Penyakit katup /koarktasi Disritmia Pintas kardiopulmoner Syok septik Intoksikasi obat

Obstruktif Tamponade jantung Penyakit katup/koarktasi Pneumotoraks Emboli paru

Distributif Syok septik Syok toksik Syok neurogenik Gagal adrenal akut Intoksikasi obat

Disosiatif Keracunan (misal sianida, methemoglobin, karbon monoksida Anemia berat

SYOK KUANTITATIF (HANTARAN O2 BERKURANG) Aliran berkurang (syok hipovolemik & kardiogenik) Pada syok hipovolemik, kardiogenik dan obstruktif, defek

primer adalah penurunan curah jantung, yang

mengakibatkan hipoperfusi, hipotensi dan metabolisme

anaerob. Syok hipovolemik merupakan syok jenis

terbanyak pada anak dan merupakan akibat dari

penurunan volume sirkulasi (hipovolemia absolut atau

relatif). Hipovolemia dikatakan ‘absolut’ bila disebabkan

dehidrasi melalui kehilangan cairan ekstrasel, darah atau

Page 10: Syok pada anak

5

plasma; dan “relatif” bila volume intravaskular tidak

adekuat untuk mengkompensasi hilangnya tonus

vaskular, seperti pada sepsis atau anafilaksis, atau

karena obat vasodilatasi.

Syok kardiogenik disebabkan oleh penurunan curah

jantung yang bersifat sekunder terhadap kerusakan

dan/atau disfungsi miokard. Ini bisa disebabkan oleh

jejas miokard (infeksi atau iskemia) atau lesi obstruktif

(peningkatan afterload ventrikel kanan, peningkatan

afterload ventrikel kiri, tamponade jantung) dan/atau

kurangnya pengisian ventrikel (penurunan preload

ventrikel kanan atau kiri, lesi katup, penurunan waktu

pengisian yang disebabkan takiaritmia).

Penurunan kandungan oksigen (syok hemoragik, gagal napas akut hipoksemik, keracunan)

Syok hemoragik biasanya diakibatkan oleh hipovolemia

dan anemia. Bila terjadi perdarahan pada pasien yang

sebelumnya anemia, penurunan hantaran oksigen (DO2)

jauh lebih besar. Berkurangnya kapasitas angkut oksigen

oleh hemoglobin (Hb), dan DO2 yang tidak adekuat,

dapat juga menyebabkan syok. Contohnya pada orang

keracunan karbon monoksida , penurunan DO2 terjadi

karena pengikatan kompetitif di mana hemoglobin lebih

suka berikatan dengan karbon monoksida dibanding O2.

Dan ini diperhebat dengan utilisasi O2 yang bersifat

Page 11: Syok pada anak

6

abnormal, karena karbon monoksida mengganggu

fosforilasi oksidatif yang mengakibatkan berkurangnya

rasio ekstraksi oksigen (ERO2). Pada kasus ini, syok

bersifat distributif dan kuantitatif. Pada setiap hipoksia

akut karena kelainan paru, penurunan saturasi oksigen

arteri (SaO2) menyebabkan penurunan DO2 segera

setelah peningkatan curah jantung gagal

mengkompensasi kebutuhan metabolik.

Syok distributif sering terjadi sekaligus dengan syok

hipovolemik dan/atau kardiogenik. Syok distributif ini

diakibatkan oleh kelainan distribusi aliran ke berbagai

organ, bersifat sekunder terhadap gangguan tonus

vasomotor sebagaimana terjadi pada sepsis dan

anafilaksis. Di samping sepsis, penurunan pengisian

kapiler bisa terjadi sekunder terhadap perubahan

reaktivitas vaskular, koagulasi intravaskular diseminata,

difungsi sel endotel atau gangguan rheologi

(meningkatnya adhesi sel darah), bersama dengan

disfungsi mitokondria. Perubahan-perubahan ini ikut

memperburuk utilisasi oksigen. Trauma medula spinalis

merupakan bentuk spesifik dari syok distributif yang

menjurus ke perubahan hemodinamik yang dalam.

Kehilangan mendadak dari aliran simpatis dari medula

spinalis dapat mengakibatkan penurunan mendadak dari

tahanan tepi total dan curah jantung.

Page 12: Syok pada anak

PATOFISIOLOGI SYOK

Gagal sirkulasi mengakibatkan penurunan DO2 ke

jaringan dan disusul oleh berkurangnya tekanan oksigen

parsial sel (PO2). Bila sampai ke titik kritis PO2, fosforilasi

oksidatif dibatasi oleh kurangnya oksigen, sehingga

menggeser metabolisme dari aerob menjadi anaerob. Ini

menghasilkan kenaikan laktat sel dan darah, serta

asidosis laktat

DO2 bergantung pada dua variabel: kandungan oksigen

darah arteri (CaO2) dan curah jantung. CaO2 adalah

produk dari kandungan Hb, arterial SaO2 dan kapasitas

angkut oksigen dari hemoglobin. Selanjutnya, curah

jantung bergantung pada detak jantung dan curah

sekuncup, yang ditentukan oleh kontraktilitas miokard

dan preload serta afterload.

Pada anak, curah jantung lebih bergantung pada detak

jantung dibanding curah sekuncup karena miokard belum

matang. Metabolisme energi yang tidak adekuat dapat

berasal dari peningkatan konsumsi oksigen total tubuh

(VO2), walaupun DO2 normal. Kebutuhan oksigen

7

Page 13: Syok pada anak

8

bervariasi menurut jenis jaringan dan waktu.4 Walaupun

kebutuhan oksigen tidak bisa diukur atau dihitung, VO2

dan DO2 keduanya bisa dihitung, dan dihubungkan

sebagai berikut: VO2 = DO2 × ERO2 (oxygen extraction ratio)

Pada kondisi normal, kebutuhan oksigen setara dengan DO2.

Normal, ERO2 adalah kira-kira 25% yang berarti 25% dari oksigen yang dibawa akan diambil jaringan dan 75% kembali ke paru. ERO2 berbanding terbalik dengan SvO2, yang diperlihatkan dalam persamaan berikut:

SvO2 = 1 - ERO2

Bila kebutuhan meningkat, DO2 harus menyesuaikan

dan meningkat. Pada syok sirkulasi atau hipoksemia,

karena DO2 berkurang, VO2 dipertahankan dengan

peningkatan kompensatorik dari ERO2. Namun, jika DO2

turun terus, dicapai titik kritis dan ERO2 tidak bisa lagi

bertambah untuk mengkompensasi penurunan DO2.

Pada syok septik, oksigenasi jaringan bisa tidak adekuat

sekalipun ada aliran darah normal yang disebabkan

peningkatan banyak dari kebutuhan metabolik dan

gangguan ekstraksi oksigen.

Konsekuensi patofisiologis dari syok kardiogenik dan

hipovolemik lebih berkaitan dengan defisiensi oksigen

akut, sedangkan efek-efek patofisiologi dari syok septik

diakibatkan oleh banyaknya produksi mediator radang.

Page 14: Syok pada anak

9

Pada syok septik ada interaksi kompleks antara

vasodilatasi patologis, hipovolemia relatif dan absolut,

depresi miokard langsung dan perubahan distribusi aliran

darah, yang terjadi akibat respon radang terhadap infeksi.

Respon inflamasi yang berlebihan selanjutnya berperan

terhadap gangguan hemodinamik dan iskemia jaringan

yang tersebar, dengan berakhir sebagai disfungsi organ

ganda.

Referensi: 1. American Heart Association. 2005 American Heart

Association guidelines for cardiopulmonary

resuscitation and emergencycardiovascular care of

pediatric and neonatal patients: pediatric advanced life

support. Pediatrics 2006; 117: E1005–1028.

2. Carcillo JA, Fields AI, Task Force Committee

Members. Clinical practice variables for hemodynamic

support of pediatric and neonatal patients in septic

shock. Crit Care Med 2002; 30: 1365–1378.

3. N adel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial

management of shock. In: Nichols DG, ed. Rogers’

textbook of pediatric intensive care, 4th ed.

Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2008, p.

372–383.

4. Vallet B, Tavernier B, Lund N. Assessment of tissue

oxygenation in the critically ill. Eur J Anaesthesiol

2000; 17: 221–229.

Page 15: Syok pada anak

10

BAGIAN II

Stadium Syok

Stadium Dini atau Syok Kompensata

Pada syok dini atau kompensata, berbagai mekanisme

kompensasi diaktifkan. Dalam menghadapi ancaman

hipoperfusi, sistem saraf simpatis meningkatkan detak

jantung (HR) dan tahanan pembuluh sistemik (SVR)

melalui pelepasan katekolamin dari kelenjar adrenal.

Sistem Renin-angiotensin-aldosteron juga diaktifkan,

sehingga ikut menyebabkan vasokonstriksi dan

mempertahankan SVR, serta retensi cairan melalui

pemekatan urin. .

Pada anak, tonus vaskular dipertahankan walaupun

dalam keadaan aliran rendah pada syok septik dan

kardiogenik1. Oleh karena itu, anak bisa sering

mempertahankan tekanan darah sebelum mereka berada

dalam keadaan syok berat. Vasokonstriksi kompensatorik

sering begitu mencolok hingga tekanan darah sistemik

bisa berada dalam kisaran normal, sekalipun ada

gangguan sirkulasi bermakna. Hipotensi khas merupakan

temuan lanjut pada syok anak. Dengan vasokonstriksi

darah dipintas menjauhi organ non-vital (kulit dan

splanchnic bed) untuk diarahkan ke otak, jantung dan

paru. Hasilnya adalah ekstremitas dingin dan bercak-

bercak (mottled), capillary refill memanjang, serta

Page 16: Syok pada anak

11

takikardia yang diinduksi katekolamin. Jika syok dibiarkan,

mekanisme kompensasi akan gagal dan pasien masuk

ke stadium dekompensata. Kegagalan menormalkan nadi

perifer, suhu kulit, serta capillary refill time dengan terapi

adekuat akan berakibat fatal.2 …………………………………….

Anak banyak bergantung pada detak jantung untuk

meningkatkan curah jantung. Kemampuan meningkatkan

kontraktilitas sebagai respon terhadap stimulasi

katekolamin terbatas karena massa otot yang tidak cukup

dan “kekakuan” miokard anak dibandingkan jantung

dewasa. 3 Bila mekanisme kompensasi diaktifkan, anak

menjadi bergantung pada volume intravaskular (preload)

untuk mempertahankan CO.4 Karena afterload sudah

meningkat agar bisa mempertahankan SVR dan TD,

kunci keberhasilan dalam resusitasi adalah menjaga

volume intravaskular yang adekuat.

Stadium dekompensata

Bila mekanisme kompensasi gagal memenuhi kebutuhan

metabolik yang meningkat di tingkat jaringan, maka akan

terjadi syok dekompensata dengan hipotensi.

Hipoksemia jaringan dan iskemia akan memicu

metabolisme anaerob yang menghasilkan penimbunan

laktat dan asidosis metabolik. Sejumlah metabolit

vasoaktif seperti adenosin, nitric oxide juga dilepaskan

dan tertimbun. Vasokonstriksi kompensatorik gagal

sebagai akibat hipoksia. Darah kapiler menjadi lamban,

Page 17: Syok pada anak

12

leukosit bergerak ke pinggir dan mikrotrombus terbentuk.

Paralisis vasomotor dan disfungsi mikrosirkulasi

memuncak ke hipoperfusi organ akhir, disfungsi dan

gagal organ ganda. Hipoperfusi organ bermanifestasi

sebagai perubahan status mental, takipnea, takikardia,

letargi, urin sedikit atau tidak ada dan timbul bercak pada

anggota gerak. Sekali tekanan darah turun, pasien akan

berlanjut ke syok menetap (irreversible shock), jika

tekanan perfusi ke jaringan tidak dipulihkan. Syok non-

reversibel, sesuai namanya, adalah “the point of no

return” dengan angka kematian tinggi apapun

intervensinya.

Referensi 1. Ceneviva G, Paschall JA, Maffei F, Carcillo JA.

Hemodynamic support in fluid-refractory pediatric septic

shock. Pediatrics 1998;102(2):e19 2. Kirklin JK, Blackstone EH, Kirklin JW, McKay R, Pacifico AD,

Bargeron LM, Jr. Intracardiac surgery in infants under age 3

months: predictors of postoperative in-hospital cardiac death.

Am J Cardiol 1981;48(3):507-12.

3. Feltes TF, Pignatelli R, Kleinert S, Mariscalco MM.

Quantitated left ventricular systolic mechanics in children

with septic shock utilizing noninvasive wall-stress analysis.

Crit Care Med 1994;22(10):1647-58.

4. Lambert HJ, Baylis PH, Coulthard MG. Central-peripheral

temperature difference, blood pressure, and arginine

vasopressin in preterm neonates undergoing volume

expansion. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed

1998;78(1):F43-5

Page 18: Syok pada anak

13

BAGIAN III

Manajemen Syok pada Anak di IGD

Deteksi dini dan tatalaksana syok pada anak bisa

menyelamatkan jiwa, tanpa memandang kategori

diagnostiknya. Di sini ditekankan:

1) pengenalan dini dari takikardia, capillary refill

yang memanjang, dan hipotensi

2) proses 3-langkah: akses pembuluh darah dan

pemberian cairan serta infus epinefrin (pada

sebagian kasus dengan hidrokortison) untuk

pemulihan syok dalam jam pertama pasien

masuk IGD.

Walaupun garis besar proses tampak sederhana,

dibutuhkan persiapan yang matang. Pasien syok harus

dikenali pada triase dan cepat digiring ke ruang resusitasi,

di mana pendekatan tim perlu untuk mencapai semua

sasaran klinis dalam 1 jam. Sasaran klinis yang sensitif-

waktu ini meliputi pemulihan capillary refill yang

memanjang dan hipotensi serta indeks syok yang

membaik. Sasaran dan proses yang dirangkum dalam

bab ini bisa berhasil diterapkan mulai dari puskesmas

sampai rumah sakit tersier dengan perencanaan dan

pelatihan yang baik.

Syok adalah suatu keadaan gagal energi akut di mana

produksi ATP (adenosine triphosphate) tidak cukup untuk

Page 19: Syok pada anak

14

menopang fungsi sel sistemik. Syok bisa disebabkan

kurangnya hantaran oksigen (anemia, hipoksia, atau

iskemia); kurang hantaran substrat glukosa (glikopenia);

atau disfungsi mitrokondria (cellular dysoxia). Hantaran

oksigen didefinisikan oleh persamaan berikut:

DO2 (mL O2/min) = CaO2 (mL O2/L blood) X CO (L/min)

Selanjutnya: CaO2 = Hb x 1,36 x SaO2 + PaO2 x 0.003

Syok anemik terjadi bila kadar hemoglobin terlalu

rendah; syok hipoksia terjadi bila saturasi oksigen

terlalu rendah; dan syok iskemik terjadi bila aliran terlalu

rendah. Hantaran glukosa bergantung pada kadar

glukosa, aliran darah dan insulin untuk sel-sel (misal, sel

jantung) yang influks glukosanya bergantung insulin.

Syok glikopenik bisa disebabkan oleh hipoglikemia

ataupun resistensi insulin.

Walaupun definisi syok ini logis dan mudah dipahami,

namun tidak praktis karena pengukuran ATP tidak

dilakukan. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis

menggunakan tanda-tanda tidak langsung untuk

mendiagnosis dan menilai syok. Tanda-tanda ini harus

mengidentifikasi stadium paling dini dari syok atau paling

tidak patologi yang terjadi sebelum syok terdeteksi.

Anemia diketahui dari pucat, takikardia kompensatorik,

Page 20: Syok pada anak

15

dan kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dL. Takikardia

meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan

hantaran oksigen sekalipun hemoglobin berkurang.

Hipoksia diidentifikasi dengan takipnea kompensatorik

dan penurunan Pao2, di bawah 60 mm Hg. Hemoglobin

masih mengalami saturasi cukup sebelum ambang Pao2

dicapai. Takipnea menyebabkan penurunan Pco2, yang,

sesuai dengan persamaan gas alveoli, menghasilkan

peningkatan proporsional dari Pao2. Iskemia dikenali

pada stadium dini sebagai takikardia. Terjadi penurunan

aliran darah jika curah sekuncup berkurang akibat

hipovolemia ataupun fungsi jantung yang buruk. Aliran

pada kondisi ini bisa dipertahankan dengan

meningkatkan detak jantung (CO = heart rate [HR] ×

stroke volume [SV]). Glikopenia dikenali pada stadium

dini dengan hipoglikemia atau hiperglikemia ringan.

Penggunaan terapi yang memulihkan anemia, hipoksia,

iskemia dan glikopenia sebelum terjadinya defisiensi ATP

bisa mencegah syok.

Syok bisa didiagnosis dan dinilai berdasarkan progresi

dari tanda-tanda klinis ini. Syok anemik terjadi bila kadar

hemoglobin turun menjadi di bawah 6 g/dL, dan di klinis

terlihat sebagai peningkatan detak jantung lebih dari

persentil ke 98 untuk usia; perubahan status mental ;

takipnea. Syok iskemik dikenali sebagai takikardia

persisten dengan capillary refill lebih dari 2 detik, disertai

Page 21: Syok pada anak

16

vasokonstriksi sistemik untuk memelihara tekanan perfusi

dan aliran darah ke organ pusat, antara lain otak dan

ginjal. Jika aliran terus berkurang, akhirnya hipotensi

terjadi dengan berkurangnya aliran darah ke otak dan

perubahan status mental. Pada stadium akhir, syok bisa

dikenali dengan adanya asidosis senjang anion. Dewasa

ini, senjang anion lebih dari 16 mEq/L merupakan tanda

yang mewakili dari deplesi ATP dan gagal energi. Bila

hantaran oksigen tidak adekuat, metabolisme anaerob

terjadi melalui glikolisis. Piruvat diubah menjadi laktat,

dan asam laktat menyebabkan suatu senjang anion.

Syok glikopenik bisa didiagnosis sebagai senjang anion

lebih dari 16 mEq/L dengan adanya hipoglikemia

(substrat tidak cukup), hiperglikemia (resistensi insulin),

atau euglikemia (substrat tidak cukup + resistensi

insulin). Bila pemakaian glukosa tidak adekuat, senjang

anion lebih dari 16 mEq/L disebabkan oleh zat antara

asam organik yang dihasilkan oleh katabolisme protein

dan/atau lemak untuk menyediakan bahan bakar untuk

siklus Krebs.

Transfusi darah akan meningkatkan hemoglobin dan

memulihkan takikardia dan takipnea pada pasien dengan

syok anemik. Pemberian cairan dan dukungan inotropik

meningkatkan curah sekuncup dan memulihkan

takikardia serta mengurangi capillary refill menjadi < 2

detik pada pasien dengan syok iskemik. Pemberian

Page 22: Syok pada anak

17

glukosa sebagai dekstrosa 10% pada kecepatan rumatan

dengan penggunaan insulin untuk mengoreksi

hiperglikemia akan menghasilkan euglikemia dan

memulihkan senjang anion pada pasien dengan syok

glikopenik.

Syok, Skor Keparahan penyakit dan Prognosis

Syok merupakan kontributor dari penyebab kematian

pada anak. Kelainan-kelainan dalam parameter fisiologi

yang mencerminkan tanda-tanda klinis syok merupakan

prediktor kuat dari kematian pada dua sistem skoring ,

PRISM (pediatric risk illness severity and mortality score)

dan PELOD (pediatric logistic organ dysfunction score).

Pada PRISM, takikardia (>150 detak per menit untuk

anak, >160 untuk bayi), takipnea (>50 napas per menit

untuk anak, >60 untuk bayi), PaO2/FiO2 <300 mm Hg,

glukosa (<60 atau >250 mg/dL), dan bikarbonat (<16

mEq/L) semuanya memprediksi mortalitas tinggi. Pada

PELOD, hipotensi (systolic blood pressure [SBP] <65 mm

Hg pada neonatus, <75 mm Hg pada bayi, <85 mm Hg

pada anak, <95 mm Hg pada adolesen) dan menurunnya

kesadaran (Glasgow coma scale score, 7-11)

memprediksi mortalitas. Abnormalitas kreatinin serum

(≥140 μmol/L pada usia < 7 hari, ≥55 μmol/L untuk usia 7

hari- 1 tahun; ≥100 μmol/L untuk usia 1 – 12 tahun; ≥140

μmol/L untuk anak di atas 12 tahun) dan waktu

protrombin (<60%) atau international normalized ratio

(INR) (≥1.4) juga memprediksi mortalitas. Syok yang

Page 23: Syok pada anak

18

memanjang dan deplesi ATP lebih dari 1 jam

menyebabkan peningkatan kadar kreatinin serum ketika

sel-sel tubulus ginjal kehilangan orientasinya dan lepas

ke tubulus, di mana obstruksi bisa mengakibatkan

disfungsi atau gagal ginjal akut. Syok lama juga

menyebabkan koagulasi intravaskular dengan konsumsi

faktor-faktor pembekuan dan pemanjangan waktu

protrombin.

Curah jantung rendah (<2 L/menit/m2) juga memprediksi

mortalitas. Ini bisa dinilai di klinis dengan capillary refill

lebih dari 2 detik, suhu jempol kaki dingin, dengan selisih

oksigen arteriovena yang besar (AVDO2), atau dengan

pengukuran langsung curah jantung. Parr dkk1

memeriksa curah jantung CO dengan menggunakan

teknik Fick-dilution indocyanine green dye injection pada

bayi di bawah usia 6 bulan yang membutuhkan

pembedahan jantung. Mereka memperlihatkan bahwa

risiko mortalitas meningkat pada populasi ini bila cardiac

index (CI) kurang dari 2 L/menit/m2. Dukungan inotropik

yang diikuti dengan penurunan afterload dengan

nitroprusid dan volume loading efektif dalam

memperbaiki CO pada anak-anak ini.2 Capillary refill

kurang dari 2 detik merupakan tanda klinis bahwa CI

lebih dari 2 L/menit/m2 pada populasi ini. Anak dengan

syok septik tampaknya memerlukan CO lebih tinggi

dibandingkan anak dengan syok kardiogenik semata.

Page 24: Syok pada anak

19

Pollack dkk3 menunjukkan hasil terbaik diamati pada

pasien-pasien ini bila CI berada di antara 3,3 dan 6

L/menit/m2 pada anak dengan syok septik. Ceneviva dkk

memperlihatkan bahwa anak dengan syok septik bisa

saja memiliki salah satu dari 3 gangguan kardiovaskular4:

CO tinggi (>5,5 L/menit/m2) dan tahanan sistemik rendah

(SVR; <800 dyne·sec/cm5), CO rendah (<3,3 L/menit/m2)

SVR rendah, atau CO rendah dan SVR tinggi (>1200

dyne·sec/cm5). Mereka mendapatkan bahwa

penggunaan vasopresor; inotrop + vasopresor; atau

inotrop + vasodilator masing-masing memulihkan curah

jantung ke kisaran yang dikehendaki. Serupa dengan

Parr dkk 1, mereka mendapatkan bahwa pasien dengan

CO rendah memiliki risiko mortalitas tertinggi.

Pemulihan tanda Syok pada waktu yang tepat memperbaiki prognosis

Tanda-tanda dini dari syok yang dipulihkan pada waktu

yang tepat memperbaiki prognosis pasien. Suatu kajian

pada dewasa oleh Rivers dkk 5 menunjukkan pentingnya

terapi yang tidak hanya memelihara tekanan darah

melainkan juga hantaran oksigen. Para peneliti

mengacak pasien syok dewasa yang datang di IGD untuk

terapi yang ditujukan mencapai tekanan darah normal

dan saturasi oksigen vena cava superior (Superior vena

cava oxygen [SVCO2]) lebih dari 70% (setara dengan

saturasi oksigen vena campur 62%) pada kelompok lain,

Page 25: Syok pada anak

20

dengan menggunakan transfusi konsentrat eritrosit untuk

pasien dengan kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL

(untuk memulihkan syok anemik) kemudian cairan dan

inotropik (untuk memulihkan syok iskemik) jika saturasi

SVCO2 tetap di bawah 70%. Mitokondria biasanya

menarik oksigen sesuai dengan kebutuhan metabolik.

Hantaran oksigen ke mitokondria bergantung pada

kapasitas angkut oksigen (persen hemoglobin), oksigen

yang tersedia (saturasi oksigen dari hemoglobin plus

oksigen yang larut dalam plasma), serta curah jantung.

Jika persentasi hemoglobin dan saturasi oksigen arteri

normal, hanya CO yang menjadi penentu hantaran

oksigen. Ketika curah jantung (CO) berkurang, dan

kebutuhan metabolik tetap sama, mitokondria menarik

lebih banyak oksigen untuk mempertahankan konsumsi

oksigen dan produksi energi yang sama. Bila ini terjadi,

saturasi oksigen dari darah yang kembali ke jantung

berkurang. Pada anak sehat saturasi SVCO2 adalah 75%.

Rivers dkk5 mengamati bahwa pasien-pasien dalam

kelompok pertama mencapai tekanan darah normal

namun saturasi SVCO2 nya hanya 65%, sedangkan pada

kelompok terapi kedua mempertahankan tekanan darah

dan saturasi SVCO2 lebih dari 70%. Ini dicapai dengan

lebih banyak transfusi darah, resusitasi cairan dan

pemakaian inotropik. Kombinasi terapi yang ditujukan

untuk memperbaiki tekanan darah dan hantaran oksigen

ini menghasilkan penurunan mortalitas sebesar 50%

Page 26: Syok pada anak

21

disamping pemulihan kelainan waktu protrombin. Upaya

resusitasi yang ditujukan untuk mempertahankan

tekanan darah dan curah jantung memperbaiki prognosis

serta memulihkan koagulopati.

Bila pasien dengan takikardia, saturasi SVCO2 < 70%,

dan normotensi dinilai menurut kelompok terapi, mereka

yang mendapat terapi dengan sasaran mencapai saturasi

SVCO2 di atas 70% mendapat lebih banyak cairan dan

obat inotropik. Komplikasi gagal organ ganda dan

kematian lebih rendah dibanding kelompok yang saturasi

SVCO2 tidak dipertahankan lebih dari 70%. Penulis

menyebut syok tanpa hipotensi sebagai “cryptic shock.”

Syok iskemik tanpa hipotensi bisa digambarkan menurut

persamaan berikut: CO yang berkurang = MAP normal

atau tinggi − CVP/SVR yang meninggi. Pemulihan syok

iskemik yang normotensi mengurangi gagal organ dan

mortalitas.

Di IGD, pemasangan line sentral untuk pengukuran

saturasi SVCO2 pada anak tidak sesering pada orang

dewasa. Oleh karena itu Han dkkl 6 dan Orr dkk 7

memeriksa EGDT (early goal-directed therapy) untuk

syok septik pada neonatus dan anak serta semua kasus

syok di IGD, dengan memanfaatkan capillary refill yang

memanjang >2 detik sebagai “surrogate marker” dari

penurunan CO sesuai dengan laporan Parr dkk1

Page 27: Syok pada anak

22

ketimbang menggunakan penurunan saturasi SVCO2.

Mortalitas dan neuromorbiditas meningkat lurus dengan

a) takikardia sendiri, b) hipotensi dengan capillary refill

normal, c), pemanjangan capillary refill tanpa hipotensi,

d) pemanjangan capillary refill dengan hipotensi.

Pemulihan tanda-tanda klinis ini di IGD dapat

menurunkan mortalitas dan neuromorbiditas sebanyak >

50%. Setiap jam keterlambatan pemulihan dari hipotensi

dan capillary refill menjadi < 2 detik akan disusul oleh

odds ratio kematian 2 kali lipat akibat gagal organ ganda.

Glikopenia adalah defisiensi glukosa dalam jaringan.

Glikopenia penting dipulihkan sebagaimana dicatat oleh

van den Berghe 8 dkk pada unit bedah kritis dewasa.

Para peneliti ini memberikan semua pasien dekstrosa

10% pada laju rumatan untuk memenuhi kebutuhan akan

glukosa. Kemudian pasien diacak untuk kontrol

euglikemia ketat dengan insulin untuk mempertahankan

kadar glukosa antara 80 dan 120 mg/dL atau sesuai

dengan praktek standar. Pada pasien yang mendapat

insulin, rasio glukosa: laju infus glukosa menurun (45 vs

75) dibandingkan pasien yang tidak mendapat insulin dan

mengalami penurunan mortalitas sebesar 50% (3% vs

7%). Semua perbaikan dalam hasil klinis disebabkan

penurunan kematian akibat syok septik dan gagal organ

ganda.

Page 28: Syok pada anak

23

Pemberian glukosa mencegah hipoglikemia, dan

pemberian insulin untuk hiperglikemia menjamin

hantaran glukosa ke dalam organ yang transporter

glukosanya bergantung insulin, terutama sistem

kardiovaskular. Dengan menggunakan asidosis senjang

anion sebagai surrogate marker untuk gagal energi, Lin

dkk [9] melaporkan bahwa peninggian rasio glukosa/ laju

infus glukosa merupakan prediktor asidosis senjang

anion pada anak dengan syok. Penggunaan insulin untuk

menurunkan rasio tersebut, bisa mengatasi asidosis

senjang anion pada pasien-pasien ini.

Fisiologi dan Patofisiologi

Respon stres Respon stres lazim dijumpai ketika sakit. Disebut juga

“fight-or-flight response”, ini didominasi oleh aktivasi

sistem saraf pusat dan simpatis. Sistem saraf pusat

membebaskan hormon adrenokortikotropik, yang

selanjutnya merangsang kelenjar adrenal untuk

melepaskan kortisol. Sistem saraf simpatis melepaskan

epinefrin dan norepinefrin.

Page 29: Syok pada anak

Kortisol memfasilitasi kerja kedua katekolamin ini.

Epinefrin dan norepinefrin meningkatkan CO dengan

meningkatkan detak jantung dan curah sekuncup. Kedua

katekolamin ini juga meningkatkan tekanan darah.

Epinefrin meningkatkan detak jantung dan kontraktilitas,

sedangkan norepinefrin meningkatkan kontraktilitas dan

tonus pembuluh darah sistemik. Untuk kebutuhan energi

yang bertambah ini, glukagon juga disekresi. Glukagon

meningkatkan hantaran glukosa ke siklus Krebs melalui

aktivasi glikogenolisis dan glukoneogenesis.

Respon Syok

Respon syok terjadi ketika stres tidak lagi disebabkan

“fight or flight” tetapi disebabkan penurunan akut dari

24

Page 30: Syok pada anak

25

hantaran oksigen dan/atau produksi ATP. Perdarahan,

hipovolemia karena diare yang berat dan mendadak atau

disfungsi jantung dan pembuluh darah akibat sepsis,

toksin atau obat-obatan, menyebabkan otak memimpin

respon syok untuk menyelamatkan jiwa. Ini agak mirip

dengan respon stres tetapi bersifat lebih mencolok.

Kadar katekolamin dan kortisol lebih tinggi. Sebagai

controh, kadar kortisol pada stres bisa mencapai 30

μg/dL, tetapi selama syok bisa mencapai 150 sampai 300

μg/dL. Sistem angiotensin/aldosteron dan antidiuretic

hormone(vasopresin) juga diaktifkan untuk menjaga

cairan intravaskular. Katekolamin menginduksi takikardia,

sedangkan angiotensin, aldosteron dan vasopresin

menyebabkan oliguria. Glukagon juga dilepaskan.

Bersama-sama dengan kortisol dan katekolamin,

glukagon menginduksi hiperglikemia melalui

glukoneogenesis, disamping melalui resistensi insulin.

Respon syok ini memungkinkan pasien untuk

kompensasi jangka pendek (short-term survival) , namun

intervensi medis sering dibutuhkan agar pasien selamat.

Pemahaman dan penerapan prinsip fisiologi dibutuhkan

untuk menyelamatkan pasien (long-term survival).

Fisiologi kardiovaskular

Sistem kardiovaskular bisa dipandang sebagai berikut:

CO = MAP − CVP/SVR. Persamaan ini menjelaskan

prinsip patofisiologi penting dari syok. Pertama,

Page 31: Syok pada anak

26

persamaan ini memandu kita dalam mengelola tekanan

darah. Tekanan perfusi (= Mean arterial pressure − CVP)

lebih penting dari MAP sendiri. Menurut persamaan ini,

sebagai contoh secara teoritis bisa dikatakan seseorang

memiliki MAP normal tetapi tidak ada aliran maju (misal,

CO), jika CVP setara dengan MAP. Bila kita melakukan

resusitasi cairan untuk memperbaiki tekanan darah,

kenaikan MAP harus lebih besar daripada kenaikan CVP.

Jika kenaikan MAP lebih kecil dari kenaikan CVP,

tekanan perfusi berkurang. Obat-obat kardiovaskular lah

dan bukan tambahan cairan, yang diindikasikan untuk

memperbaiki tekanan darah pada skenario ini.

Persamaan ini juga menuntun kita dalam manajemen

curah jantung (CO) atau aliran darah. Curah jantung bisa

menurun bila MAP − CVP berkurang, tetapi bisa juga

menurun ketika MAP − CVP normal dan ketika tahanan

pembuluh darah meningkat. Tekanan perfusi bisa

dipertahankan, sekalipun pada keadaan CO rendah,

dengan meningkatkan tahanan pembuluh darah (lihat

Gambar 1). Jadi, pasien dengan tekanan darah normal

bisa saja memiliki CO yang tidak adekuat karena tonus

pembuluh darah tinggi. Curah jantung bisa diperbaiki

pada pasien ini dengan penggunaan inotrop, vasodilator

dan volume loading.

Page 32: Syok pada anak

Gambar 1. Vasokonstriksi sistemik bisa memelihara MAP dan tekanan

perfusi sekalipun ada hipovolemia dan berkurangnya CO. Oleh karena

itu syok harus dideteksi bila ada takikardia dan capillary refill yang

memanjang, sebelum terjadi hipotensi.

Frank dan Starling terkenal karena mempopulerkan

prinsip-prinsip dasar yang mempengaruhi curah

sekuncup (CO = heart rate [HR] × stroke volume [SV]).

Frank mengamati bahwa serabut otot jantung

berkontraksi lebih kuat bila diregang, sepanjang

regangan serabut tersebut tidak berlebihan

(overstretched). Starling melukiskan prinsip Frank ini

dengan kurva yang mengaitkan hubungan curah

sekuncup (sumbu y) dengan volume akhir-diastolik

ventrikel (lihat Gambar 2). Curah sekuncup bergerak

baik sepanjang kurva saat pengisian akhir diastolik

27

Page 33: Syok pada anak

28

meningkat ke titik di mana ventrikel kepenuhan, dan

selanjutnya curah sekuncup turun lagi. Preload yang

tidak adekuat didefinisikan sebagai volume akhir-diastolik

di bawah curah sekuncup maksimum. Gagal jantung

bendungan terjadi bila preload atau volume akhir-

diastolik berada di atas kisaran optimum ini. Disfungsi

jantung digambarkan dengan pergeseran kurva ke arah

bawah dan kanan. Kurva ini bisa digunakan untuk

menunjukkan prinsip-prinsip pemberian cairan, obat

inotropik dan vasodilator. Pasien yang curah

sekuncupnya tidak adekuat sekalipun mendapat volume

cairan cukup berarti memiliki kontraktilitas yang

berkurang. Ini digambarkan dengan kurva sterling yang

mendatar. Terapi inotropik memperbaiki kurva Sterling,

dan menggesernya ke atas dan kiri. Curah sekuncup

menjadi lebih besar untuk setiap volume akhir-diastolik

pada pasien yang diberi terapi inotropik dibanding yang

tidak diterapi. Pasien dengan syok kardiogenik

membutuhkan vasodilator untuk memperbaiki kurva

Sterling, menggesernya ke atas dan kiri. Pemberian

volume loading sering dibutuhkan pada pasien-pasien ini

karena terapi vasodilator sering menurunkan preload.

Page 34: Syok pada anak

Mekanisme Frank-Starling. Dengan meningkatkan alir-balik vena ke ventrikel kiri akan meningkatkan tekanan dan volume akhir-diastolik ventrikel kiri (LVEDP & LVEDV). Ini menghasilkan penambahan curah sekuncup (SV). Titik operasional “normal” adalah LVEDP ~ 8 mmHg dan SV ~ 70 ml/detak

Perubahan-perubahan dalam afterload dan inotropi akan menggeser kurva Frank-Starling ke atas dan ke bawah

Kurva Starling dan kurva ventricular compliance

memprediksi respon fisiologis terhadap terapi cairan,

inotropik, vasopresor dan vasodilator. Epinefrin 0,05

μg/kg/menit merupakan inotropik garis pertama dalam

jam pertama resusitasi. Epinefrin bisa diberikan melalui

29

Page 35: Syok pada anak

30

vena perifer sampai didapat akses vena sentral (jika

melalui vena tepi, harus diberikan dengan infus cairan

lebih cepat untuk sampai ke jantung tepat waktu).

Hubungan antara afterload dan curah sekuncup terbaik

dilihat dengan modifikasi kurva compliance. Saat

afterload atau tekanan diastolik aorta naik, curah

sekuncup berkurang. Jantung yang berfungsi normal bisa

mentoleransi peningkatan tekanan diastolik aorta dengan

cukup baik. Akan tetapi, jantung dengan kontraktilitas

yang berkurang tidak bisa mentoleransi peningkatan

afterload. Ini menjelaskan efek baik dari terapi vasodilator

terhadap kurva Starling. Penurunan afterload dengan

vasodilator menurunkan tekanan diastolik aorta dan

memperbaiki curah sekuncup, khususnya pada jantung

yang kontraktilitasnya kurang baik. Namun, patut

diperhatikan bahwa tekanan diastolik merupakan

determinan penting dari tekanan perfusi arteri koroner.

Dua pertiga dari siklus jantung digunakan dalam diastole.

Takikardia, penurunan tekanan diastolik atau

meningkatnya tegangan dinding dada (wall stress), bisa

mengurangi pengisian koroner. Penggunaan terapi

vasodilator harus ditujukan mengurangi wall stress

(penurunan afterload) tanpa menyebabkan takikardia

atau hipotensi diastolik.

Page 36: Syok pada anak

31

Fisiologi Pembekuan

Pada homeostasis, darah berada dalam keadaan tidak

membeku. Namun pada keadaan syok yang memanjang,

terjadi trombosis dan hipofibrinolisis. Ini disebabkan

sebagian oleh stasis, deplesi ATP sel endotel dan

aktivasi sel endotel yang dimediasi oleh peradangan

sistemik. Endotel yang teraktivasi bersifat prokoagulan

dan antifibrinolitik. Ini menyebabkan konsumsi protein

prokoagulan maupun antikoagulan di dalam trombosit

dan trombus fibrin. Inilah mekanisme di mana pasien

meninggal akibat syok biasa mengalami trombosis dan

perdarahan. Waktu protrombin yang memanjang

berbanding lurus dengan waktu mencapai resusitasi dan

tidak langsung dengan jumlah cairan resusitasi yang

diberikan. Pemulihan syok yang cepat dengan resusitasi

cairan, inotropik dan vasodilator memulihkan dan

mencegah koagulasi intravaskular diseminata dan

perdarahan. Pada resusitasi yang tertunda, penggantian

protein antikoagulan, seperti protein C mungkin berguna.

Pada trombosis yang mengancam jiwa atau anggota

gerak, terapi fibrinolitik bisa efektif memulihkan aliran

darah.

Page 37: Syok pada anak

32

Goal-Directed Therapy

Sasaran klinis Resusitasi sampai tercapai sasaran klinis merupakan

prioritas utama. Pasien harus diresusitasi sampai status

mental normal, kualitas nadi normal baik proksimal dan

distal, suhu sentral dan perifer sama, capillary refill < 2

detik, dan jumlah urin > 1 mL/kg/jam. Dua puluh persen

darah menuju otak, dan 20% menuju ginjal. Oleh karena

itu, pemeriksaan klinis terhadap kedua organ ini sangat

berguna. Ke 2 organ ini mengatur aliran darah dengan

autoregulasi dan bergantung pada tekanan perfusi (MAP

− CVP) untuk mempertahankan perfusi. Endotoksemia,

sirosis, aminoglikosida, cisplatin, takrolimus, dan

siklosporin A menginduksi vasokonstriksi glomerulus.

Pada anak, dibutuhkan tekanan perfusi yang lebih tinggi

untuk menembus ginjal dan memelihara jumlah urin.

Kualitas nadi distal, suhu dan pengisian ulang kapiler

mencerminkan tonus pembuluh darah sistemik dan curah

jantung. Capillary refill dan suhu ibu jari kaki yang normal

menjamin cardiac index (CI) lebih dari 2 L/menit/m2.

Resusitasi cairan harus dipantau dengan menggunakan

temuan klinis seperti terabanya pinggir hati, ronkhi,

takipnea atau batuk produktif, sebagai indikasi untuk

menghentikan resusitasi cairan dan memulai terapi

inotropik.

Page 38: Syok pada anak

33

Sasaran Hemodinamik dan Penggunaan Oksigen

Detak jantung normal menurut usia dan tekanan perfusi

normal menurut usia adalah sasaran hemodinamik awal

sebelum memasang akses vena sentral. Resusitasi

cairan bisa dipantau dengan mengamati detak jantung

dan selisih MAP − CVP. Detak jantung akan berkurang,

dan MAP − CVP akan bertambah bila resusitasi cairan

efektif. Detak jantung akan meningkat dan MAP − CVP

akan berkurang, jika terlalu banyak cairan. Indeks syok

(HR/SBP) bisa digunakan untuk menilai keberhasilan

terapi cairan maupun inotropik. Karena curah sekuncup

meningkat dengan terapi, detak jantung akan berkurang

dan tekanan darah sistolik (SBP) akan naik. Indeks syok

akan berkurang. Jika curah sekuncup tidak membaik

dengan resusitasi, detak jantung tidak akan berkurang,

SBP tidak akan meningkat, dan indeks syok tidak

membaik.

Pada pasien yang dipasang kateter vena sentral (vena

cava superior), saturasi oksigen > 70% harus digunakan

sebagai sasaran. Jika kurang dari 70% dan anemis, anak

harus ditransfusi untuk mencapai kadar hemoglobin di

atas 10 g/dL. Jika saturasi oksigen vena sentral kurang

dari 70% tanpa anemia, bisa digunakan inotrop dan

vasodilator untuk memperbaiki CO sampai saturasi vena

sentral di atas 70%. AVDO2 juga bisa dikalkulasi dengan

Page 39: Syok pada anak

34

sasaran hemodinamik 3% sampai 5%. Jika lebih lebar

dari 5%, CO harus ditingkatkan dengan terapi sampai

AVDO2 kembali ke kisaran normal. AVDO2 paling akurat

bila kateter vena sentral terletak di arteri pulmonalis.

Curah jantung bisa diukur dengan menggunakan PiCCO

(Philips Medical Systems, Bothell, Wash), thermodilusi

arteri femoralis, kateter arteri pulmonalis, atau

ekokardiografi Doppler. Sasarannya adalah cardiac

index (CI) lebih dari 2 L/menit/m2 pada syok kardiogenik

dan antara 3,3 dan 6 L/menit/m2 pada syok septik.

Sasaran Biokimia

Banyak yang menggunakan laktat sebagai ukuran

metabolisme anerob; namun laktat bisa meninggi karena

berbagai kondisi sekalipun tanpa adanya syok. Ini

meliputi, kelainan metabolisme, penyakit limfoproliferatif,

gagal hati, dan sepsis. Laktat paling berguna pada

evaluasi syok kardiogenik pra dan pasca bedah

(walaupun kadarnya bisa meningkat sekalipun tidak ada

penurunan aliran). Untuk pasien-pasien ini risiko

kematian meningkat saat kadar laktat serum naik di atas

2,0 mmol/L. Bila digunakan sebagai sasaran

hemodinamik, targetnya adalah kadar < 2.0 mmol/L. Ada

juga yang menggunakan asidosis senjang anion (anion

gap acidosis) sebagai sasaran biokimia. Asidosis senjang

anion bisa disebabkan oleh metabolisme anaerob pada

keadaan aliran rendah dan adanya asam organik pada

Page 40: Syok pada anak

35

keadaan glikopenia. Sasaran senjang anion (anion gap)

adalah kurang dari 16 mmol/L. [Catatan: yang dimaksud

senjang anion atau anion gap di sini adalah (Na+ + K+) - (Cl- + HCO3

-) dan perlu dikoreksi dengan kadar albumin

(g/L), yakni Corrected AG = AG + [0.25 x (44 - albumin)] Jika pasien telah mendapat bikarbonat, akan

menyelubungi asidosis, tetapi tidak akan menyelubungi

senjang anion. Asidosis Non–anion gap yang disebabkan

kelebihan ion klorida, banyak dijumpai pada pasien yang

diresusitasi dengan NaCl 0.9%. Asidosis menetap

walaupun senjang anion telah normal, karena asidosis di

sini disebabkan pemberian anion kuat (Cl-) dan bukan

karena gagal energi. Kadar Troponin I bisa digunakan

sebagai marker terapi untuk cidera atau disfungsi jantung.

Kadar Troponin I meningkat pada cidera miokard dan

menjadi normal dengan memulihnya jejas. Bersihan

kreatinin bisa digunakan sebagai marker terapi untuk

disfungsi ginjal. Bersihan kreatinin akan membaik saat

hemodinamik ginjal membaik.

Tatalaksana Syok

Cairan Terapi cairan terbanyak digunakan pada resusitasi syok

pada bayi dan anak. Digunakan untuk memulihkan status

hipovolemia dan mengoptimalkan kurva Starling untuk

Page 41: Syok pada anak

36

menghasilkan aliran dan CO optimal untuk berbagai

derajat kontraktilitas. Kira-kira 8% dari volume darah total

dikandung dalam sisi arteri, 70% dalam sisi vena, dan

12% di jaringan kapiler. Volume darah total pada

neonatus 85 mL/kg dan 65 mL/kg pada bayi. Resusitasi

cepat bisa memulihkan volume sirkulasi. Karena

kemampuan vasokonstriksi yang bermakna, hipotensi

tidak muncul sebelum 50% dari volume darah hilang.

Oleh karena itu, bolus cepat 30 sampai 40 mL/kg

dibutuhkan untuk memulihkan volume intravaskular. Jika

ada kebocoran kapiler dan digunakan kristaloid untuk

resusitasi, dibutuhkan volume yang sangat besar dalam

jam pertama (bisa sampai 200 mL/kg pada syok septik).

Kristaloid dan koloid dua-duanya bisa digunakan untuk

ekspansi volume. Dibutuhkan lebih sedikit koloid

dibanding kristaloid karena koloid lebih lambat

mengalami redistribusi ke ekstravaskular. Dalam uji acak

terkontrol dan berskala besar, albumin terlihat lebih

efektif pada pasien dewasa dengan sepsis/syok septik

dibandingkan kristaloid 10. Pada uji acak dan terkontrol

pada anak dengan DSS (dengue shock syndrome),

kinerja kristaloid dan koloid sama baik11. Sebagian

peneliti menggunakan kristaloid sebagai cairan garis

pertama dan disusul dengan koloid jika dibutuhkan 12.

Page 42: Syok pada anak

37

Bolus cairan cepat tidak hanya memulihkan volume

intravaskular, melainkan juga menekan ekspresi gen

peradangan dan koagulasi. Ekspansi volume yang cepat

dan agresif pada jam pertama memperbaiki survival pada

model syok hewan maupun manusia. Namun, pemberian

cairan pada neonatus dan anak-anak harus hati-hati,

karena berpotensi memperburuk gagal jantung akibat

kardiomiopati atau penyakit jantung kongenital. Anak-

anak bisa “didorong” keluar kurva Starling jika dikelola

terlalu agresif. Volume 10 mL/kg direkomendasikan

dengan pemantauan CVP/tekanan atrium kiri/ tekanan

oklusi arteri pulmonalis pada pasien-pasien ini.

Darah

Pada pasien dengan syok anemik dibutuhkan darah.

Mitokondria tidak bisa menarik 20% terakhir dari oksigen

yang berikatan dengan hemoglobin. Pada kondisi normal,

mitokondria menarik 25% oksigen yang berikatan dengan

hemoglobin. Di klinis ini terlihat dengan saturasi oksigen

vena campur 75% pada orang sehat dengan saturasi

oksigen darah arteri 100%. Pada anak dengan

hemoglobin 10 g/dL, hanya 8 g/dL tersedia untuk

ekstraksi (20% tidak bisa ditarik), dan 2,5 g/dL digunakan

untuk ekstraksi oksigen, sehingga tinggal kelebihan 5,5

g/dL hemoglobin. Pada keadaan hemolisis, syok

hemolitik bisa terjadi bila surplus ini hilang atau kadar

hemoglobin turun di bawah 5 g/dL. Angka kematian

Page 43: Syok pada anak

38

meningkat bila kadar Hb turun di bawah 6 g/dL. Ini juga

berlaku untuk syok hemoragik. Transfusi darah

menyelamatkan jiwa dalam hal ini. Whole blood tersedia

di banyak tempat dan begitupula konsentrat eritrosit

(packed red blood cells). Konsentrasi lazim dari

hemoglobin pada konsentrat eritrosit adalah 20 g/dL.

Karena volume darah anak berkisar antara 85 mL/kg

pada neonarus sampai 65 mL/kg pada anak, 10 mL/kg

konsentrat eritrosit akan menaikkan kadar hemoglobin

sekitar 2 g/dL.

Obat Inotropik

Obat inotropik digunakan untuk meningkatkan

kontraktilitas dan CO. Dobutamin adalah agonis β1-

adrenergik dengan aksi kronotropik dan inotropik.

Dobutamin dianggap sebagai agonis parsial. Pada

dewasa dobutamin efektif; tetapi, ada ketidakpekaan obat

ini pada anak yang bersifat spesifik-usia. Perkin dkk13

memperlihatkan bahwa anak di bawah usia 2 tahun

kurang responsif terhadap dobutamin. Pada dosis lebih

dari 10 μg/kg/menit, dobutamine bisa mengurangi

afterload secara bermakna, dan kadang-kadang

hipotensi. Ini diduga terjadi karena dobutamin pada dosis

ini memiliki efek reseptor α2 yang menghambat

pelepasan norepinefrin dari terminal presinaptik. Pada

gilirannya ini menurunkan tonus pembuluh darah.

Page 44: Syok pada anak

Epinefrin merupakan inotrop pilihan pasien yang gagal

dengan terapi dobutamin (lihat Gambar 3). Dewasa dan

anak yang resisten terhadap terapi dobutamin umumnya

merespon epinefrin 14. Epinefrin adalah neurohormon

alamiah, yang dihasilkan untuk meningkatkan

kontraktilitas selama stres dan syok. Epinefrin

merupakan agonis β1-, β2-, α1-, dan α2-adrenergik.

Pada dosis lebih rendah (0,05 μg/kg/menit) efek β-

adrenergik meniadakan efek α1-adrenergik, sehingga

menghasilkan kualitas inotropik yang hampir murni. Efek

α1-adrenergik menjadi lebih menonjol saat dosis

epinefrin mencapai dan melebihi 0,3 μg/kg/menit. Pasien

gagal jantung dengan peningkatan tahanan tepi (SVR)

mungkin dirugikan dengan dosis epinefrin yang lebih

tinggi, kecuali jika diberikan berbarengan dengan

vasodilator atau inodilator.

39

Page 45: Syok pada anak

40

Gambar 3. Inotrop seperti epinefrin merangsang reseptor β-

adrenergik, yang meningkatkan kalsium intrasel selama sistole dan

mengurangi kalsium intrasel selama diastole. Ini diselesaikan melalui

sistem pembawa pesan kedua, cAMP. Penghambat fosfodiesterase

tipe III bisa memprotensiasi efek-efek ini dengan mencegah

pemecahan cAMP.

Vasodilator

Vasodilator digunakan untuk menurunkan tahanan tepi

pulmoner dan sistemik serta memperbaiki CO (lihat

Gambar 4). Vasodilator golongan nitrat bergantung pada

pelepasan nitrosothiol, yaitu donor nitric oxide, untuk

mengaktifkan soluble guanylate cyclase dan melepas

cGMP (cyclic guanosine monophosphate). Nitroprusid

merupakan vasodilator sistemik dan pulmoner. Dosis

awal adalah 1 μg/kg/menit. Nitrogliserin memiliki efek

yang agak selektif dan bergantung dosis. Nitrogliserin

merupakan vasodilator koroner pada dosis di bawah 1

μg/kg/menit, vasodilator pulmoner pada dosis 1

μg/kg/menit, dan vasodilator sistemik pada 3 μg/kg/menit.

Nitric oxide inhalasi merupakan vasodilator pulmoner

selektif, yang bisa dimulai 5 ppm. Prostaglandin

merupakan vasodilator yang meningkatkan kadar cyclic

adenosine monophosphate (cAMP). Prostasiklin bisa

dimulai 3 ng/kg/menit. Prostaglandin E1 bisa dimulai

pada 0,1 μg/kg/menit dan efektif mempertahankan

duktus arteriosus yang terbuka pada neonatus dengan

penyakit jantung bawaan yang bergantung duktus .

Page 46: Syok pada anak

Gambar 4. Vasokonstriktor dan vasodilator merangsang sistem-sistem

pembawa pesan kedua yang berlawanan. Agonis α-adrenergik,

angiotensin, dan vasopresin merangsang reseptor-reseptor yang

berbeda, yang merangsang produksi inositol 1,4,4-triphosphate (IP3)

dan diasilgliserol (DAG), sehingga menyebabkan peningkatan kadar

ionized calcium (Ca++)dan kontraksi. Agonis β2-adrenergik dan

vasodilator prostanoid merangsang produksi cAMP dan

nitrovasodilator dan inhaled nitric oxide (iNO) merangsang produksi

cGMP(guanosine monophosphate). Pembawa pesan ini menurunkan

Ca++ dan menginduksi vasodilatasi. Inhibitor Fosfodiesterase Tipe III

dan V bisa mempotensiasi efek vasodilator. PKC = protein kinase C.

Inodilator

41

Inhibitor fosfodiesterase (PDEI) merupakan kelompok

obat penting, yang memediasi inotropi dan vasodilatasi

dengan mencegah hidrolisis cAMP (PDEI tipe III, milrinon,

amrinon, enoximon, atau pentoksifilin). Pada monoterapi,

Page 47: Syok pada anak

42

peningkatan cAMP ini memperbaiki kontraktilitas dan

relaksasi diastolik dan juga menyebabkan vasodilatasi

arteri pulmoner dan sistemik. Interaksi PDEI dengan obat

inotropik, vasodilator dan bahkan vasopresor bisa

digunakan pada pasien syok (lihat Gambar 3). Sebagai

contoh, epinefrin bisa tetap sebagai inotrop poten dan

relatif murni pada dosis lebih tinggi. Untuk setiap dosis

epinefrin, PDEI tipe III mencegah pemecahan cAMP

yang dihasilkan oleh stimulasi β1- dan β2-adrenergik.

Peningkatan cAMP intrasel ini menghambat efek-efek

stimulasi α1-adrenergik. Jadi, vasokonstriksi tidak mudah

terjadi pada dosis epinefrin yang lebih tinggi. Norepinefrin

juga bisa menjadi inotrop yang lebih efektif sementara

mempertahankan efek vasopresornya bila diberikan

bersama dengan PDEI tipe III. Produksi cAMP di reseptor

β1 tidak dihidrolisis. Peningkatan cAMP di otot jantung

memperbaiki kontraktilitas dan relaksasi. Efek-efek α1-

dan α2-adrenergik tetap sama karena tanpa stimulasi

β2 , milrinon memiliki efek minimal terhadap vasodilatasi

dibandingkan dengan vasokonstriksi α-adrenergik yang

dimediasi norepinefrfin.

Masalah utama dengan obat fosfodiesterase yang

digunakan dewasa ini adalah waktu paruhnya relatif

panjang dibandingkan dengan katekolamin dan

nitrovasodilator. Katekolamin dan nitrovasodilator

dieliminasi dalam beberapa menit, sedangkan PDEI tidak

Page 48: Syok pada anak

43

dieliminasi setelah berjam-jam. Waktu-paruh eliminasi ini

lebih penting bila ada gagal organ. Contohnya, eliminasi

milrinon lebih dominan melalui ginjal dan amrinon melalui

hati. Bila toksisitas seperti hipotensi atau takiaritmia

terlihat, obat-obat ini harus dihentikan. Yang menarik,

norepinefrin telah dilaporkan efektif sebagai antidotum

dari toksisitas ini. Seperti telah disebutkan, norepinefrin

merupakan agonis α1-adrenergik tetapi dengan aktivitas

agonis β1 dan bukan β2. Norpinefrin meningkatkan

tekanan darah (efek α1-adrenergik) dan CO (efek β1-

adrenergik) namun tidak menyebabkan eksaserbasi efek

vasodilatasi PDEI (tidak ada efek β2-adrenergik).

Isoproterenol merupakan inodilator penting dengan

aktivitas β1- dan β2-adrenergik. Obat ini penting dalam

tatalaksana blok jantung, status asmatikus refrakter, dan

krisis hipertensi pulmoner dengan gagal ventrikel kanan.

Levosimendan mewakili kelompok inodilator baru yang

mensensitisasi pengikatan kalsium pada kompleks aktin-

tropomiosin. Efek lainnya adalah memperbaiki

kontraktilitas dan juga hiperpolarisasi saluran kalium,

sehingga menyebabkan vasodilatasi.

Vasopresor

Fenilefrin adalah agonis murni reseptor α-adrenergik.

Peran utamanya pada anak adalah untuk memulihkan

sianosis (spell) pada tetralogi Fallot. Bayi dan anak

Page 49: Syok pada anak

44

dengan tetralogi Fallot mengalami penebalan

infundibulum yang cenderung spasme dan menyebabkan

aliran darah kanan-ke-kiri melalui defek septum ventrikel.

Spasme bisa hebat sehingga mencegah aliran darah

melalui paru. Terapi meliputi oksigen dan morfin untuk

merelaksasi infundibulum dan posisi knee-to-chest untuk

meningkatkan afterload dan membantu menghasilkan

aliran kiri-ke-kanan melalui defek septum ventrikel. Bila

perasat-perasat ini gagal, obat pilihannya adalah

fenilefrin. Peningkatan vasokonstriksi arteri sistemik

mengakibatkan pintasan kiri-ke-kanan dan perfusi paru.

Karena fenilefrin tidak memiliki efek β-adrenergik, obat ini

tidak meningkatkan detak jantung. Jadi pengisian jantung

lebih baik. Juga penyempitan infundibulum tidak

diperburuk oleh kontraktilitas yang meningkat.

Baru-baru ini telah muncul kembali minat untuk

memanfaatkan 2 vasopresor kuno: angiotensin dan

vasopresin (lihat Gambar 4). Angiotensin berinteraksi

dengan reseptor angiotensin dan memediasi

vasokonstriksi melalui sistem pembawa pesan kedua

fosfolipase C. Waktu-paruhnya relatif panjang

dibandingkan katekolamin . Angiotensin juga memediasi

tekanan darah melalui peningkatan sekresi aldosteron.

Patut diperiksa apakah pemakaian angiotensin

menurunkan CO pada anak dengan hipotensi karena

angiotensin tidak memiliki efek inotropik. Vasopresin juga

Page 50: Syok pada anak

45

telah “ditemukan” kembali. Berbeda dengan angiotensin,

vasopresin diberikan hanya dalam dosis fisiologis dan

diduga memperbaiki tekanan darah. Mekanismenya

bukan saja melalui interaksi dengan reseptor angiotensin

sistem fosfolipase C, melainkan juga dengan

meningkatkan pelepasan hormon adrenokortikotropik dan

selanjutnya pelepasan kortisol. Vasopresor ini juga harus

digunakan dengan hati-hati karena bisa menurunkan CO

pada anak dengan fungsi jantung yang kurang baik.

Inovasopresor

Dopamin adalah inotropik/vasopresor yang paling banyak

digunakan. Efeknya bergantung dosis. Pada kisaran

dosis 3 sampai 10 μg/kg/menit, reseptor β1-adrenergik

dirangsang. Pada dosis lebih dari 10 μg/kg/menit, efek

terhadap reseptor α1-adrenergik menjadi lebih mencolok.

Seperti halnya dobutamin, ada ketidakpekaan terhadap

obat yang dipengaruhi usia. Dopamin memediasi

kebanyakan efek-efek β1- dan α1-adrenergik nya melalui

pelepasan norepinefrin dari vesikel simpatis Hewan

muda dan bayi di bawah usia 6 bulan tidak memiliki

jumlah vesikel simpatis lengkap. Ini dikemukakan

sebagai penyebab dari berkurangnya efektivitas dopamin

pada kelompok usia ini. Anak yang lebih besar dan

dewasa ada juga yang tidak peka terhadap dopamin,

khususnya mereka yang kehabisan cadangan

katekolamin endogen.

Page 51: Syok pada anak

46

Norepinefrin efektif untuk syok yang resisten dengan

dopamin. Efeknya dimediasi melalui reseptor β1-, α1-,

dan α2-adrenergik. Norepinefrin selalu bersifat inotropik,

tetapi kualitas vasopresornya lebih mencolok bahkan

pada dosis rendah 0,01 μg/kg/menit. Dopamin dan

norepinefrin memiliki peran terbesar dalam memelihara

perfusi yang adekuat pada anak dengan syok. Fungsi

ginjal bisa membaik dengan menggunakan

inovasopresor ini sampai ke titik di mana tekanan perfusi

ginjal adekuat.

Hidrokortison

Hidrokortison juga “ditemukan kembali”. Insufisiensi

adrenal di tingkat pusat dan perifer semakin banyak

dijumpai di ICU anak. Banyak anak yang mendapat terapi

untuk penyakit kronis dengan steroid mengalami supresi

aksis hipofisis-adrenal. Banyak anak memiliki anomali

sistem saraf pusat dan penyakit dapatan. Ada anak yang

mengidap purpura fulminans dan sindrom Waterhouse-

Friderichsen. Lainnya memiliki penurunan dalam

aktivitas sitokrom P450, produksi kortisol dan aldosteron.

Yang menarik, insufisiensi adrenal bisa tampil dengan

CO rendah dan SVR tinggi, atau dengan CO tinggi dan

SVR rendah. Diagnosis harus dipikirkan pada setiap

anak dengan syok yang resisten terhadap epinefrin atau

norepindefrin. Dosis hidrokortison yang dianjurkan di

kepustakaan adalah 50 mg/kg hidrokortison suksinat,

Page 52: Syok pada anak

47

disusul oleh dosis sama selama 24 jam16. Dosis yang

dianjurkan untuk stres adalah 2 mg/kg disusul oleh dosis

sama yang diberikan dalam 24 jam. Insufisiensi adrenal

sentral dan perifer mungkin didiagnosis pada bayi atau

anak yang membutuhkan epinefrin atau norepinefrin

untuk syok dan memiliki kadar kortisol kurang dari 18

mg/dL 15.

Sebelum memberikan hidrokortison untuk pasien syok,

penting dipahami 2 konsep. Pertama, dosis hidrokortison

terlihat lebih tinggi karena ada potensi glukokortikoid

relatif. Hidrokortison harus dikalikan 6 untuk memiliki

glukokortikoid setara dengan metilprednisolon, dan

dikalikan 30 untuk memiliki glukokortikoid setara dosis

deksametason; kendati demikian, hidrokortison memiliki

efek glukokortikoid dan mineralokortikoid. Oleh karena

alasan inilah digunakan hidrokortison, bukan

metilprednisolon ataupun deksametason. Kedua, kadar

kortisol berbeda selama stres dan syok, sehingga upaya

untuk mengatasi pasien dengan insufisiensi adrenal

harus ditujukan untuk mencapai kadar-kadar ini. Selama

stres pembedahan, kadar kortisol bisa mencapai kisaran

30 μg/dL. Namun, selama syok akut, kadar kortisol bisa

mencapai 150 sampai 300 μg/dL. Pemberian infus

hidrokortison 2 mg/kg/hari (50 mg/m2/hari) menghasilkan

kadar kortisol 20 sampai 30 μg/dL. Infus hidrokortison

Page 53: Syok pada anak

48

pada dosis 50 mg/kg/hari menghasilkan kadar kortisol

150 μg/dL.

Glukosa dan Insulin

Glukosa dan insulin sama-sama berfungsi sebagai

inotropik, meningkatkan produksi cAMP serta ATP di

jantung. Jumlah glukosa yang dibutuhkan untuk

memenuhi kebutuhan hantaran glukosa adalah dekstrosa

10% dengan kecepatan rumatan. Jumlah insulin yang

dibutuhkan bisa bervariasi dari 0 sampai lebih dari 1

U/kg/jam, dengan konsentrasi insulin lebih tinggi

dibutuhkan pada resistensi inulin yang lebih besar. Laju

infus insulin yang tinggi bisa diikuti oleh gangguan

elektrolit. Pemantauan fosfor, kalsium,magnesium, dan

kalium dianjurkan bila menggunakan terapi ini. 16.

Atropin dan Ketamin

Sedasi untuk prosedur IV invasif atau intubasi mungkin

dibutuhkan oleh pasien syok. Ketamin bukan saja obat

pilihan untuk indikasi ini, namun juga bersifat

inovasopresor yang memadamkan produksi interleukin-6.

Ketamin menginduksi pelepasan norepinefrin endogen.

Pada kajian eksperimental, ketamin meningkatkan

survival dari syok septik karena bersifat antagonis

terhadap reseptor asam N-metil-d-aspartat. Ini menekan

radang sistemik dan memulihkan supresi miokard. Pada

Page 54: Syok pada anak

49

pasien dewasa yang menjalani bedah pintas

kardiopulmoner, infus ketamin dengan laju 0,25

mg/kg/jam mengurangi peradangan sistemik dan

memperbaiki fungsi jantung 17. Ketamin memungkinkan

pembiusan yang aman pada syok septik dewasa. Atropin

harus diberikan bersama ketamin untuk mengurangi

sekresi bronkus (bronchorrhea). Penambahan

benzodiazepin bisa diperlukan atau tidak untuk menjaga

pasien tidak terbangun selama pemberian sedasi.

Hipothermia

Hipothermia telah lama digunakan pada bedah jantung

anak dan neonatus. Rasionale nya adalah penurunan

suhu menghemat kebutuhan energi. Kadar ATP yang

lebih sedikit dibutuhkan untuk menyediakan tingkat suhu

yang lebih rendah untuk fungsi sel vital. Dengan setiap

kenaikan satu derajat celsius di atas 37°C, metabolisme

energi bertambah sebesar kira-kira 10%. Dengan setiap

penurunan suhu, hubungannya berbeda. Pada 35°C

sampai 36°C, kebutuhan energi sebenarnya meningkat

karena terjadi menggigil. Suhu ini dipenuhi dengan

respon kardiovaskular, yang meliputi vasokonstriksi dan

peningkatan tekanan darah. Pada 34°C, kebutuhan

energi menjadi normal, tetapi aliran darah meningkat di

dalam otak. Di bawah 33°C, kebutuhan energi berkurang;

tetapi, di bawah 30°C, aritmia ventrikel dan asistole

menjadi faktor risiko. Selama pintas kardiopulmoner,

Page 55: Syok pada anak

50

hipothermia dalam, di bawah 18°C, diperlukan untuk

mengurangi kebutuhan ATP sampai ke tingkat yang

memungkinkan pembedahan. Kadar hemoglobin dan

saturasi oksigen yang adekuat dibutuhkan untuk

memelihara kadar oksigen lebih tinggi. Di samping itu, pH

normal yang dikoreksi suhu dibutuhkan untuk aliran

darah otak yang optimal. Glukosa juga harus dihantarkan

untuk memenuhi kebutuhan produksi ATP.

Pada sebagian pasien dengan syok refrakter,

hipothermia ringan/moderat mungkin berguna sebagai

jembatan untuk dukungan mekanis ekstrakardiak. Jika

pasien berada dalam syok refrakter, dan setiap

keputusan dibuat untuk melakukan dukungan

ekstrakardiak, sebaiknya menghangatkan badan pasien

di atas 34°C sebelum memulai. Segera setelah pasien

berada pada dukungan mekanis ekstrakardiak, pasien

boleh dihangatkan dengan pemahaman bahwa

vasodilatasi akan membutuhkan pengisian volume

kepada pasien.

Kesimpulan

Syok pada anak harus dikenali sejak mereka datang di

ruang gawat darurat. Deteksi dini dan tatalaksana

seksama dari syok bisa memperbaiki prognosis pada

pasien ini. Sasaran resusitasi meliputi pemulihan dari

Page 56: Syok pada anak

51

capillary refill yang memanjang (yakni capillary refill <2

detik) dan hipotensi (tekanan darah normal sesuai usia)

dan perbaikan indeks syok (yaitu, rasio HR/SBP normal

sesuai usia). Antisipasi dalam bentuk pelatihan staf harus

meliputi kemampuan deteksi dini, intervensi efektif dan

mengurangi morbiditas serta mortalitas.

Manajemen dini dari dukungan hemodinamik pada syok.

Table 1. 1 Kenali syok saat triase

a. Hanya Hipotensi dengan nadi kuat pada syok hangat

b. Hanya perfusi perifer yang berkurang (nadi perifer lebih

lemah dari nadi sentral dan capillary refill > 2 detik)

pada syok dingin kompensata

c. Kombinasi hipotensi dengan perfusi perifer yang

berkurang pada syok dingin dekompensata

2 Segera pindahkan pasien ke ruang syok/trauma dan kumpulkan

tim resusitasi

3 Pasang oksigen dan infus jaga, gunakan 90 detik untuk coba

cari vena

4 Jika belum berhasil setelah 2 kali usaha, pikirkan akses

intraosea

5 Palpasi untuk hepatomegali; auskultasi untuk deteksi ronkhi

6 a. Jika tidak ada hepatomegali dan ronkhi, bolus 20 ml/kg

ringer laktat/NS atau albumin 5% sampai 60 ml/kg

dalam 15 menit sampai perfusi membaik atau hati

turun atau terdengar ronkhi. Berikan 20 ml/kg pRBC

jika syok hemoragik tidak responsif[18]

b. Jika hepatomegali, awas ada syok kardiogenik, dan

berikan hanya 10 ml/kg bolus kristaloid isotonik.

Page 57: Syok pada anak

52

Berikan PGE1 untuk menjaga duktus arteriosus tetap

terbuka pada semua neonatus.

7 Jika capillary refill > 2 detik dan/atau hipotensi menetap

selama resusitasi cairan, mulai berikan epinefrin IO/perifer

0,05 μg/kg/menit

8 Jika ada risiko insufisiensi adrenal (misal paparan steroid

sebelumnya, Waterhouse Friderichsen atau anomali

hipofisis) berikan hidrokortison sebagai bolus (50 ml/kg)

dan kemudian drip titrasi antara 2 dan 50 mg/kg/hari

9 Jika syok berlanjut, gunakan atropin (0,2 mg/kg) plus

ketamin (2 mg/kg) untuk sedasi pemasangan vena sentral.

Jika butuh ventilasi mekanis, gunakan atropin plus ketamin

plus penyekat neuromuskular untuk induksi intubasi

10 Arahkan sasaran terapi:

a. capillary refill < 3 detik (misal < 2 detik)

b. Tekanan darah normal sesuai usia

c. Indeks syok membaik.

Keterangan: pRBC, packed red blood cells; PGE1, prostaglandin E1; IO,

intraosseous.

Page 58: Syok pada anak

Referensi

1. G.V. Parr, E.H. Blackstone and J.W. Kirklin, Cardiac

performance and mortality early after intracardiac

surgery in infants and young children, Circulation 51

(1975), pp. 867–874. View Record in Scopus | Cited

By in Scopus (30)

53

Page 59: Syok pada anak

54

2. A. Appelbaum, E.H. Blackstone and N.T. Kouchoukos

et al., Afterload reduction cardiac output in infants after

intracardiac surgery, Am J Cardiology 39 (1977), pp.

445–451. Abstract | PDF (733 K) | View Record in

Scopus | Cited By in Scopus (8)

3. M.M. Pollack, A.I. Fields and U.E. Ruttimann,

Distributions of cardiopulmonary variables in pediatric

survivors and nonsurvivors of septic shock, Crit Care

Med 13 (1985), pp. 454–459. View Record in Scopus |

Cited By in Scopus (30)

4. G. Ceneviva, J.A. Paschall and F. Maffei et al.,

Hemodynamic support in fluid refractory pediatric

septic shock, Pediatrics 102 (1998), p. e19. Full Text

via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in

Scopus (87)

5. E. Rivers, B. Nguyen and Havstad et al., Early goal

directed therapy in the treatment of severe sepsis and

septic shock, N Engl J Med 346 (2001), pp. 1368–1377.

Full Text via CrossRef | View Record in Scopus | Cited

By in Scopus (2018)

6. Y.Y. Han, J.A. Carcillo and M.A. Dragotta et al., Early

reversal of pediatric-neonatal septic shock by

community physicians is associated with improved

outcome, Pediatrics 112 (2003), pp. 793–799. Full Text

via CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in

Scopus (86)

7. R.A. Orr, B. Kuch and J. Carcillo et al., Shock is under-

reported in children transported for respiratory distress:

a multi-center study, Crit Care Med 31 (2003), p. A18.

Page 60: Syok pada anak

55

8. G. van den Berghe, P. Wouters and F. Weekers et al.,

Intensive insulin therapy in the critically ill patients, N

Engl J Med 345 (2001), pp. 1359–1367. Full Text via

CrossRef | View Record in Scopus | Cited By in

Scopus (3290)

9. J.C. Lin, B. Karapinar and D.N. Finegold et al.,

Increased glucose/glucose infusion rate ratio predicts

anion gap acidosis in pediatric shock, Crit Care Med 32

(2004), p. A5.

10. S. Finfer, R. Bellomo and SAFE Study Investigators, A

comparison of albumin and saline for fluid resuscitation

in the intensive care unit, N Engl J Med 350 (2004), pp.

2247–2256. View Record in Scopus | Cited By in

Scopus (463)

11. N.T. Ngo, X.T. Cao and R. Kneen et al., Acute

management of dengue shock syndrome: a

randomized double-blind comparison of 4 intravenous

fluid regimens in the first hour, Clin Infect Dis 32 (2001),

pp. 204–212.

12. J.A. Carcillo, A.I. Davis and A. Zaritsky, Role of early

fluid resuscitation in pediatric septic shock, JAMA 255

(1991), pp. 1242–1245. View Record in Scopus | Cited

By in Scopus (102)

13. R.M. Perkin, D.L. Levin and R. Webb et al.,

Dobutamine: a hemodynamic evaluation in children

with shock, J Pediatr 100 (1982), pp. 977–983. View

Record in Scopus | Cited By in Scopus (16)

14. P.E. Bollaert, P. Bauer and G. Audibert et al., Effects of

epinephrine on hemodynamics and oxygen metabolism

in dopamine-resistant septic shock, Chest 98 (1990),

Page 61: Syok pada anak

56

pp. 949–953. Full Text via CrossRef | View Record in

Scopus | Cited By in Scopus (63)

15. J.A. Carcillo and A.I. Fields, American College of

Critical Care Medicine Task Force Committee

Members. Clinical practice parameters for

hemodynamic support of pediatric and neonatal

patients in septic shock, Crit Care Med 30 (2002), pp.

1365–1378. Full Text via CrossRef | View Record in

Scopus | Cited By in Scopus (208)

16. M. Bettendorf, K.G. Schmitt and J. Grulich Henn et al.,

Tri-iodothyronine treatment in children after cardiac

surgery a double blind, randomized placebo controlled

study, Lancet 356 (2000), pp. 529–534. Article | PDF

(100 K) | View Record in Scopus | Cited By in Scopus

(85)

17. L. Roytblat, D. Talmor and M. Rachinsky et al.,

Ketamine attenuates the interleukin 6 response after

cardiopulmonary bypass, Anesth Analg 87 (1998), pp.

266–271. Full Text via CrossRef | View Record in

Scopus | Cited By in Scopus (55)

18. N.J. Thomas and J.A. Carcillo, Hypovolemic shock in

the pediatric patient, New Horizons 6 (1998), pp. 120–

129. View Record in Scopus | Cited By in Scopus (11)

Page 62: Syok pada anak

57

BAGIAN IV

Resusitasi Volume: Kontroversi

Kristaloid vs Koloid Pemilihan koloid vs kristaloid untuk resusitasi volume

telah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan

praktisi rawat kritis, disebabkan kedua bentuk terapi

memiliki data-data pendukung. Pada tahun 1998, British

Medical Journal mempublikasi suatu meta-analisis

pemakaian albumin pada pasien-pasien sakit kritis; 30 uji

klinik acak dg kontrol (RCT) yang melibatkan 1419

pasien dianalisis. Kesimpulannya adalah sebenarnya

albumin meningkatkan mortalitas (Timothy Evans,MD)1.

Tinjauan ini berdampak terhadap praktik kedokteran,

mempengaruhi klinisi mengurangi penggunaan albumin,

tetapi kemudian dikritik karena tinjauan-tinjauan

berikutnya tidak bisa menjelaskan kesimpulan para

penulis2. Belum lama berselang, kajian SAFE (Saline

versus Albumin Evaluation) telah membuka wacana baru

tentang isu ini3,4 Dengan tersedianya berbagai koloid

dengan sifat fisikokimia yang berbeda, kontroversi koloid

vs koloid menjadi isu tambahan.

Sifat-Sifat Anti-Radang dan Antioksidan dari Albumin

Tiol memiliki berbagai fungsi antioksidan yang penting,

dan pasien sepsis sering mengalami deplesi tiol. Pada

kajian Quinlan dkk,5 albumin ditunjukkan meningkatkan

Page 63: Syok pada anak

58

kadar tiol plasma pada pasien sepsis. Albumin juga telah

ditunjukkan meningkatkan glutation pada sel epitel paru

dan menghambat NF-kappaB. Pada pasien hipo-

proteinemia dengan acute lung injury (ALI) yang

diberikan albumin, kenaikan tiol plasma dan kapasitas

antioksidan diperlihatkan baru-baru ini oleh Quinlan dkk.6.

Pemberian albumin memperbaiki status antioksidan

plasma yang tergantung tiol, serta kadar kerusakan

oksidasi protein. Jadi, tampaknya albumin memiliki

beberapa efek fisiologis, termasuk memperkuat potensial

antioksidan dan modulasi imbang redoks, sehingga

mengurangi proses radang.

Albumin dan Ruang Intravaskuler

Mungkin ada kaitan antara kadar albumin dan keparahan

penyakit pada pasien sakit kritis. Namun tidak ada

korelasi jelas antara skor APACHE II dan kadar albumin

pada hari masuk ICU, sebagaimana diperhatikan oleh

Neil Soni,MD7. Namun 72 jam setelah pasien masuk ICU,

pasien yang bertahan hidup memiliki kadar albumin lebih

tinggi dibanding yang meninggal. Di samping itu,

walaupun ada korelasi antara COP (colloid osmotic

pressure) dan protein total, tidak ada korelasi antara

albumin dan COP. Lebih dari itu, bila pasien sepsis diberi

infus albumin, diamati kenaikan COP yang tidak bertahan

lama, dan jumlah albumin di kompartemen intravaskuler

cepat menurun. Di samping itu, suplementasi albumin

Page 64: Syok pada anak

59

tidak memiliki efek bermakna dalam mengurangi

permeabilitas mikrovaskuler pada pasien sepsis dengan

hipoalbuminemia berat.8

Permeabilitas paru telah dipelajari pada pasien ALI dan

ARDS (adult respiratory distress syndrome). Ditunjukkan

bahwa permeabilitas berkorelasi positif dengan

keparahan penyakit dasar dan berkorelasi negatif dengan

survival (makin parah penyakit, makin tinggi

permeabilitas, dan makin tinggi permeabilitas, makin

rendah survival) pada populasi pasien ini. Ini bisa

membantu menjelaskan apakah ARDS bersifat eksudatif

atau noneksudatif.9 Dengan kemampuan menentukan

permeabilitas secara kuantitatif, marker prognostik

menjadi tersedia bagi klinisi.

Albumin berfungsi sebagai plasma expander hiperonkotik

dan bila digabung dengan furosemid, bisa memperkuat

perpindahan cairan. Pada studi yang tidak dipublikasi

terhadap 24 pasien sepsis, bolus 200 ml albumin 20%

secara bermakna meningkatkan cardiac index dalam 1

menit. Namun peningkatan ini tidak menetap, melainkan

turun secara progresif dalam 30 menit berikutnya (Dr

Soni).7 Efek-efek yang sama terlihat dengan perubahan

tekanan arteri pulmonalis dan pO2. Pada suatu telaah

lain dari 37 pasien ALI, furosemid dan albumin yang

diberikan sekaligus, menghasilkan penurunan berat

Page 65: Syok pada anak

60

badan dan meningkatkan rasio pO2/FIO2.10 Namun tidak

diamati perbedaan dalam mortalitas.

Mengukur efek ekspansi volume: Hematokrit pembuluh darah besar vs Hematokrit sistemik

Markus Rehm, MD,11 membahas efek-efek 2 metode

pemberian koloid terhadap volume darah total: acute

normovolemic hemodilution (ANH) dan volume loading

(VL). ANH memerlukan pengambilan darah dan diganti

sekaligus dengan sejumlah setara volume kristaloid atau

koloid untuk mempertahankan volume sirkulasi. Acute

hypovolemic hemodilution atau VL adalah pemberian

infus kristaloid atau koloid tanpa pengambilan darah.

Dalam praktek, efek pemberian infus diukur secara tidak

langsung dengan hematokrit pembuluh darah besar.

Namun, taksiran akurat dari volume darah harus

memperhitungkan dua volume lain (volume sel dan

volume plasma). Oleh karena itu dengan menggunakan

pengukuran volume darah berlabel ganda untuk

menaksir hematokrit sistemik, suatu cara yang lebih

akurat untuk menaksir volume darah, efek-efek koloid

dan kristaloid terhadap volume darah dinilai selama VL

dan ANH oleh Rhem dkk.12. Dua puluh pasien yang

menjalani histerektomi total diberikan koloid 20 ml/kg

sebelum pembedahan; kelompok 1 mendapat larutan

albumin 5% (n=10) dan kelompok 2 mendapat larutan

Page 66: Syok pada anak

61

hetastarch 6% (n=10). Volume plasma (teknik

pengenceran indocyanine green), volume eritrosit

(eritrosit ditandai dengan fluorescein), hematokrit, protein

total, dan kadar hetastarch plasma (kelompok 2) diukur

sebelum dan 30 menit setelah akhir infusi. Secara

keseluruhan, lebih dari 1350 koloid (kira-kira 50% dari

volume plasma semula) diinfus dalam 15 menit.

Tigapuluh menit setelah infus selesai, volume darah

hanya bertambah sebesar 524 ml (38%) dari baseline

pada kelompok 1 dan 603 ml (26%) pada kelompok 2.

Hematokrit pembuluh darah besar (diukur dengan

sentrifuge) berkurang lebih dari pada hematokrit sistemik.

Hasil-hasil ini berbeda dengan kajian-kajian yang menilai

ANH, di mana sebagian besar volume koloid terlihat

bertahan di ruang intravaskuler.

Kemungkinan penyebab dari perbedaan hasil ini adalah

glikokaliks endotel (endothelial surface layer atau ESL),

yang berisi elemen non-seluler dari darah dan tanpa sel-

sel darah merah. ESL merupakan struktur dinamis yang

menyelubungi sel endotel yang melapisi enzim-enzim

dan reseptor di permukaan endotel. ESL yang

mengandung plasma dan protein non-sirkulasi berfungsi

sebagai zona eksklusif untuk eritrosit. Selama VL, ESL

dapat berkurang, sehingga memobilisasi plasma dan me-

ningkatkan volume plasma intravaskuler. Ini

menyebabkan perbedaan antara hematokrit pembuluh

Page 67: Syok pada anak

62

darah besar dan hematokrit sistemik. Di samping itu,

volume efek rendah selama VL dapat dijelaskan oleh aksi

ANP (atrial natriuretic peptide), yang menambah filtrasi

cairan dan permeabilitas pembuluh darah terhadap

makromolekul.

Sebagai kesimpulan, tampaknya ada 3 kompartemen

volume darah: volume eritrosit, volume plasma sirkulasi,

dan volume plasma non-sirkulasi di dalam lapisan

permukaan endotel. Efek volume dari koloid bervariasi

menurut metode pemberian infus (misal ANH vs VL),

namun albumin 5% dan HES 6% memiliki efek ekspansi

volume serupa. Penurunan hematokrit pembuluh darah

besar tidak mencerminkan penambahan volume darah

intravaskuler total yang disebabkan pemberian infus

koloid. Pengukuran volume darah label ganda untuk

pengukuran hematokrit sistemik merupakan standar

emas untuk menentukan efek berbagai produk untuk

ekspansi volume.

Ekspansi Volume pada Pasien ALI (Acute Lung Injury)

ALI merupakan komplikasi lazim setelah kehilangan

darah atau sepsis, sebagaimana dicatat oleh Arthur

Slutsky, MD.13 ALI berhubungan dengan peningkatan

produksi sitokin peradangan dan pelepasan radikal-

bebas oksigen. Sepsis berat dan kehilangan darah

Page 68: Syok pada anak

63

massif bisa menyebabkan hipotensi dan pasien

membutuhkan intubasi endotrakea, namun tidak jelas

cairan apa yang optimal untuk resusitasi volume pada

pasien ALI. Kristaloid bocor ke ruang ekstravaskuler. Di

samping mencegah kebocoran ke rongga ketiga, albumin

memiliki efek anti-radang dan anti-radikal bebas.

Pada kajian tikus oleh Zhang dkk, 14 Larutan Ringer laktat

dibandingkan dengan albumin 5% dan albumin 25%.

Tikus diinduksi perdarahan atau endotoksemia,

kemudian diresusitasi dengan ketiga cairan. Setelah

resusitasi kadar sitokin darah (tumor necrosis factor

[TNF]-alfa, interleukin [IL]-6 dan macrophage

inflammatory protein[MIP]-2 ) diukur. Kemudian paru

dieksisi dan diventilasi selama 2 jam. Perbedaan

mencolok diamati di antara 2 model. Resusitasi dengan

albumin setelah syok hemoragik menurunkan kadar

sitokin pro-inflamatorik (TNF-alfa,IL-6 dan MIP-2 dan

radikal-bebas oksigen) serta meningkatkan sitokin anti-

inflamatorik IL-10. Di paru, TNF-alfa dan MIP-2 juga

berkurang dan IL-10 meningkat (dianggap memiliki efek

protektif). Edema paru setelah ventilasi mekanik juga

berkurang. Kendati demikian, resusitasi dengan albumin

setelah syok endotoksik tidak memberikan efek proteksi

yang sama. Tidak ada perbedaan antara albumin 5% dan

25%. Manfaat albumin yang terlihat pada model syok

hemoragik tidak terlihat pada model syok endotoksik.

Page 69: Syok pada anak

64

Tampaknya resusitasi dengan albumin memiliki peran

penting mengurangi ALI yang diinduksi oleh ventilator

setelah syok hemoragik, namun tidak setelah syok

endotoksik.

Pada suatu RCT prospektif,tersamar ganda dan

terkontrol plasebo oleh Martin dkk,10 efek-efek albumin

dan furosemide dinilai pada 37 pasien ALI dg ventilasi

mekanik yang hipoproteinemik (kadar protein total serum

< 5 g/dl). Pasien diberikan 25 g albumin setiap 8 jam

dengan furosemid kontinyu atau plasebo. Tidak ada

perbedaan mortalitas antara kedua kelompok, tetapi ada

perbedaan bermakna dalam parameter-parameter

imbang cairan, oksigenasi dan hemodinamik pada

kelompok albumin/ furosemid.

Data kolektif memberi kesan bahwa albumin mungkin

bermanfaat pada ALI yang diinduksi ventilator setelah

model syok hemoragik dan pada pasien ALI dg

hipoproteinemia. RCT yang lebih besar dibutuhkan untuk

konfirmasi.

SAFE Study

Dalam suatu metaanalisis baru-baru ini, terlihat

peningkatan mortalitas 6% pada pasien yang diberi

albumin.15 Temuan ini menimbulkan perdebatan hebat

yang akhirnya menuntun ke pembuatan desain dan

Page 70: Syok pada anak

65

implementasi SAFE study, yang disajikan oleh Simon

Finfer,MD.4 Uji acak tersamar ganda ini merekrut 7000

pasien dari 16 ICU di Australia dan Selandia Baru selama

kurun waktu 18 bulan. Pasien diacak mendapat albumin

4% atau normal saline sejak saat masuk ICU sampai

meninggal atau pulang. Dalam 4 hari pertama, rasio

albumin: saline adalah 1:1,4 yang berarti bahwa volume

(koloid vs kristaloid) tidak berbeda bermakna. Tidak ada

perbedaan antara kedua kelompok dalam mortalitas 28

hari oleh semua sebab. MAP, tekanan vena sentral,

denyut jantung dan insiden gagal organ baru juga serupa

pada kedua kelompok.

Pada analisis sub-kelompok diamati perbedaan antara

pasien trauma dan sepsis. RR (relative risk) kematian

pada pasien dengan sepsis berat yang menerima

albumin vs saline adalah 0,87. RR kematian pada pasien

yang mendapat albumin tanpa sepsis berat adalah 1,05

(P=.059). Hasil ini berlawanan pada pasien trauma.

Angka kematian pada pasien trauma lebih tinggi bila

albumin vs saline digunakan untuk resusitasi volume

(13,5% vs 10%, P =.055) Bila pasien dengan Traumatic

brain injury (TBI) dikaji secara terpisah, angka kematian

adalah 24,6% pada pasien yang mendapat albumin,

dibandingkan 15% pada pasien saline (RR 1,62, 95%

confidence interval, -1,12 sampai 2,34, P=0,009). Lebih

Page 71: Syok pada anak

66

dari itu, bila pasien TBI dikeluarkan, tidak ada perbedaan

angka kematian pada pasien-pasien trauma.

Berdasarkan hasil-hasil ini, pemberian albumin

tampaknya aman selama 28 hari pada populasi pasien

sakit kritis yang heterogen dan mungkin bermanfaat pada

pasien sepsis berat. Akan tetapi, keamanan pemberian

albumin belum jelas pada pasien trauma, termasuk

traumatic brain injury(TBI). Walaupun diamati perbedaan

mortalitas pada trauma dan TBI pada analisis sub-

kelompok, dan dianggap memiliki validitas terbatas, ini

merupakan signal kuat khususnya pada pasien TBI.

Suatu kajian baru SAFE Brains sudah dirancang untuk

memeriksa perbedaan-perbedaan ini.

Ekspansi Volume pada Pasien Hipoalbuminemia

Studi SOAP (Sepsis Occurence in Acutely Ill Patients)

mencatat variasi bermakna dalam jumlah albumin yang

diberikan pada beberapa ICU di Eropa, menurut Louis

Vincent,MD.16

Lebih dari itu, pasien-pasien yang mendapat albumin

memiliki angka kematian lebih tinggi, yang bisa

dijelaskan oleh fakta bahwa penyakit mereka lebih berat

ketika memulai pengobatan. Alasan-alasan yang

mungkin untuk keparahan penyakit lebih besar meliputi

kelebihan beban cairan, kontraktilitas miokard yang

Page 72: Syok pada anak

67

berubah, perburukan edema, gangguan ekskresi natrium

dan air, serta respon imun yang berubah.

Walaupun albumin mahal, manfaatnya harus diperiksa

pada pasien hipoalbuminemia. Biasanya diajarkan bahwa

resusitasi dengan kristaloid menyebabkan pembentukan

edema pada pasien sepsis dan kemudian mengganggu

pertukaran gas, penyembuhan jaringan, fungsi usus dan

penyembuhan kulit, serta memacu pembentukan ulkus

dekubitus. Koloid bisa mencapai tujuan resusitasi yang

sama seperti kristaloid dengan volume yang dibutuhkan

lebih sedikit. Koloid sintetik tidak semahal albumin

manusia tetapi memiliki efek-efek yang lebih merugikan

seperti koagulopati dan gagal ginjal.

Pasien sakit kritis lazim mengalami hipoalbuminemia

yang sekunder terhadap peradangan, disfungsi hati,

malnutrisi, kebocoran kapiler dan produksi reaktan fase

akut. Hipoalbuminemia merupakan masalah klinis yang

penting karena terkait dengan anergi, diare, masa rawat

ICU lebih lama dan mortalitas lebih tinggi. Pada suatu

meta-analisis dari 90 kajian cohort yang melibatkan

291433 pasien, disimpulkan bahwa hipoalbuminemia

diikuti dengan prognosis jelek, sehingga albumin

sebaiknya digunakan bila ada indikasi klinis.17 Pada

meta-analisis yang sama, juga ditinjau 9 kajian prospektif

dengan kontrol terhadap 535 pasien. Pada kajian-kajian

Page 73: Syok pada anak

68

ini hipoalbuminemia dikoreksi dan ada kesan bahwa

angka komplikasi bisa diturunkan bila kadar albumin

serum dipertahankan di atas 30 g/L selama pemberian

albumin.

Pada suatu kajian retrospektif terhadap 19.578 pasien

CABG, sedikit penurunan (bermakna statistik) dalam

mortalitas didapatkan pada pasien yang mendapat

albumin vs koloid sintetik (2,5% vs 3%, P =0.02) sebagai

plasma expander.[18] Menurut penulis, keunggulan

albumin ini disebabkan lebih sedikitnya koagulopati dan

perdarahan yang terkait. Pada pasien sirosis dan

peritonitis bakterial spontan, penambahan albumin ke

regimen terapi mengurangi mortalitas.19 dan albumin

diperlihatkan memperkuat efek terlipressin pada pasien

dengan sindrom hepatorenal.20

Sebuah RCT kecil dan prospektif (albumin vs plasebo)

yang memeriksa efek albumin pada 100 pasien sakit

kritis dengan hipoalbuminemia memperlihatkan tidak ada

perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pasien

yang mendapat albumin memiliki kadar albumin serum

lebih tinggi, skor SOFA (Sequential Organ Failure

Assessment) lebih rendah dan rasio pO2/FIO2 lebih tinggi.

Pasien yang diberi albumin juga membutuhkan lebih

sedikit diuretik, peningkatan berat badan lebih sedikit dan

mereka lebih sanggup menyerap kalori (sehingga

Page 74: Syok pada anak

69

menghindari imbang nitrogen negatif) dibandingkan

kelompok plasebo.

Kesimpulan Albumin vs kristaloid

Apakah kontroversi koloid vs kristaloid pada pasien sakit

kritis sudah berakhir? Sebelum menjawab pertanyaan ini,

penting diperhatikan bagaimana permasalahan

berevolusi. Koloid menghasilkan efek hemodinamik sama

dengan volume infus lebih sedikit dan menyebabkan

lebih sedikit edema. Dan walaupun koloid lebih mahal,

profil keamanannya tidak ditanyakan dengan serius,

sebelum meta-analisis Cochrane15 menimbulkan gejolak

di kalangan praktisi rawat kritis.

Setelah memeriksa 30 RCT yang melibatkan 1419

pasien, RR kematian dengan pemberian albumin

dilaporkan setinggi 1,68 (1,26 sampai 2,23).[15].

Berdasarkan data-data ini, ada kesan bahwa untuk setiap

17 pasien sakit kritis yang mendapat albumin, terjadi

penambahan kematian 1 pasien. Ini merupakan data

yang mengkhawatirkan mengingat jumlah pasien sepsis

yang perlu diterapi untuk menyelamatkan jiwa dalam

kisaran 5-30 %. Jadi 1 dari 17 pasien yang diterapi

albumin meninggal, ini bisa membatalkan manfaat-

manfaat dari intervensi lain. Bisa dibayangkan dampak

dari pernyataan ini terhadap penggunaan albumin di ICU

seluruh dunia.

Page 75: Syok pada anak

70

Wilkes dkk[2] mengikuti meta-analisis lainnya terhadap

55 uji klinis yang melibatkan 3504 pasien. Mereka

mengkritik analisis Cochrane15 sebagai desain salah dan

setelah menganalisis data mereka sendiri berkesimpulan

secara umum tidak ada efek albumin terhadap mortalitas.

Temuan ini mendukung keamanan albumin.

Berkaitan dengan keraguan yang ditimbulkan oleh hasil-

hasil yang berlawanan dari kedua meta-analisis di atas,

penyelesaian SAFE study ditunggu dengan harapan

besar. Dan sekarang kita tahu bahwa albumin memiliki

keamanan sama dengan saline pada pasien nontrauma.

Namun ini bukan pembenaran atas pemakaian albumin

secara rutin. Debat kristaloid vs koloid merupakan

peninggalan dari debat ARDS sebelumnya. Pada kedua

kasus, kajian-kajian dengan masalah metodologi

menghasilkan ketidakpastian di komunitas intensivist,

yang ketika itu evidence-base medicine belum ber-

kembang.

Walaupun ada subkelompok pasien yang mendapat

manfaat dari albumin (yaitu pasien dengan sirosis dan

peritonitis bakterial spontan) serta alasan-alasan

mempertimbangkan albumin dalam terapi pasien ALI

dengan sepsis hipoalbuminemia, belakangan ini belum

ada data yang meyakinkan untuk penggunaan albumin

Page 76: Syok pada anak

secara rutin karena harganya lebih mahal dari kristaloid

saline.

Koloid Sintetik Tabel . Karakteristik dari berbagai koloid diberikan di bawah

71

Page 77: Syok pada anak

72

Efek berbagai koloid dan larutan hipertonik pada mikrosirkulasi21

Perubahan-perubahan permeabilitas kapiler bisa

mengubah volume plasma dan mempengaruhi derajat

edema. Kinetika kristaloid dan koloid yang dibahas

sebelumnya mengacu pada pembuluh darah yang utuh.

Pada penyakit-penyakit dengan permeabilitas kapiler

yang meningkat, terapi cairan yang adekuat sangat

penting untuk mencegah hipovolemia. Mekanisme

perbedaan-perbedaan dalam efektivitas berbagai plasma

expander untuk memulihkan volume plasma yang rendah

dan gangguan mikrosirkulasi masih belum dipahami

dengan jelas. Hollbeck Staffan dari Lund University

Hospital melakukan eksperimen pada tahun 2001 yang

menganalisis koloid dan plasma expander hipertonik,

mengenai efek-efek cairan-cairan tersebut terhadap

pertukaran cairan transvaskular dan permeabilitas otot

rangka selama dan setelah pemberian infus. Di samping

itu, efek terhadap permeabilitas dianalisis pada otot

rangka menyusul infus endotoksin. Pengukuran koefisien

filtrasi kapiler memperlihatkan bahwa permeabilitas

cairan dikurangi oleh albumin dan dextran, tidak berubah

dengan HES (hetastarch) dan bertambah dengan gelatin.

Pengukuran terhadap koefisien refleksi untuk albumin

memperlihatkan dextran, gelatin dan HES tidak

mempengaruhi permeabilitas kapiler terhadap albumin.

NaCl hipertonik meningkatkan permeabilitas cairan,

Page 78: Syok pada anak

sedangkan manitol dan urea tidak. Volume otot

berkurang 20% albumin; tidak berubah dengan 6%

dextran 70 dan 6% HES 200/0.5, serta meningkat

dengan 3.5% gelatin. Gelatin dan HES, (tetapi tidak

dextran dan albumin) menginduksi rebound filtration. Ini

menunjukkan akumulasi molekul gelatin dan HES di

interstisial. NaCl hipertonik memiliki kapasitas osmotik

lebih kuat dibandingkan manitol dan urea. Manitol dan

urea (tetapi tidak NaCl hipertonik) memperlihatkan

rebound filtration yang menunjukkan akumulasi manitol

dan urea di dalam intraselular. Selama endotoksemia,

baik permeabilitas cairan dan albumin meningkat pada

otot rangka, dan hipovolemia terlihat mencolok. Tidak

ada perbedaan terlihat antara albumin, dextran, dan

hydroxyethyl starch dalam efektivitasnya memulihkan

perfusi usus selama endotoksemia.

73

Page 79: Syok pada anak

74

Pengaruh Berbagai Koloid Terhadap Fungsi Ginjal

Semua koloid, termasuk albumin manusia hiperonkotik

(HA 20% atau 25%) dapat menginduksi gagal ginjal akut

(ARF)22 dengan cara meningkatkan tekanan osmotik

koloid plasma. Kondisi ini sudah diberi

nama ”hyperoncotic ARF”. Pasien dehidrasi yang

mendapat koloid hiperonkotik dalam jumlah bermakna

tanpa penambahan kristaloid sangat rentan untuk

mengalami hyperoncotic ARF.

Suatu kajian pada pasien non-bedah dan non-ICU, efek

renal dari albumin 20% dibandingkan dengan dextran 70

dan poligeline pada pasien sirosis yang menjalani

parasentesis. Enam hari setelah parasentesis, kadar

kreatinin serum tidak berubah pada kelompok albumin

dan sedikit meninggi pada kelompok dextran (kenaikan

rata-rata 0,06 mg/dl) dan kelompok gelatin (kenaikan

rata-rata 0,11 mg/dl), Namun perbedaan antara

kelompok tidak bermakna statistik. Beberapa kajian

histologis telah memperlihatkan pembengkakan sel

tubulus ginjal setelah pemberian beberapa sediaan HES,

yang kemungkinan disebabkan reabsorpsi makromolekul.

Pembengkakan sel tubulus menyebabkan obstruksi

tubulus dan iskemia medula. Pada pasien dengan

kreatinin serum > 2-3 mg/dl HES harus digunakan

dengan hati-hati. HES generasi ketiga (BM 130 kd; DS

0,4) memiliki profil berbeda dengan generasi-generasi

Page 80: Syok pada anak

75

sebelumnya. Namun, walaupun ada publikasi bahwa

HES 130 tidak memperburuk fungsi ginjal, tidak

ditemukan kajian prospektif besar dan terkontrol pada

pasien sakit kritis Catatan

1. RCT = randomized clinical trial

2. OR (Odds Ratio) No of patients in the treatment group who experienced event/ No who did not

No of patients in the control group who experienced event/ No who did not

3. RR (Relative Risk) No of patients in the treatment group who experienced event/ No of all patients

No of patients in the control group who experienced event/ No of all patients

•A relative risk of 1 means there is no difference in risk between the

two groups.

•A RR of < 1 means the event is less likely to occur in the

experimental group than in the control group.

•A RR of > 1 means the event is more likely to occur in the

experimental group than in the control group.

4. Terlipressin adalah analog vasopressin yang digunakan

sebagai obat vasoaktif dalam manajemen hipotensi. Diketahui efektif

bila norepinefrin tidak menolong Indikasi adalah syok septik yang

resisten terhadap noreepinferin dan sindrom hepatorenal. Di samping

itu digunakan juga pada perdarahan varises esofagus.

Referensi 1. Evans T. Biochemical properties of albumin. Program

and abstracts of the 24th International Symposium on

Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-

April 2, 2004; Brussels, Belgium.

2. Wilkes MM, Navickis RJ. Patient survival after human

albumin administration. A meta-analysis of randomized,

Page 81: Syok pada anak

76

controlled trials. Ann Intern Med. 2001;135:149-164.

Abstract

3. Finfer S. Lessons from the SAFE Study. Program and

abstracts of the 24th International Symposium on

Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-

April 2, 2004; Brussels, Belgium.

4. Finfer S. Is albumin SAFE? Program and abstracts of

the 24th International Symposium on Intensive Care

and Emergency Medicine; March 30-April 2, 2004;

Brussels, Belgium.

5. Quinlan GJ, Margarson MP, Mumby S, et al.

Administration of albumin to patients with sepsis

syndrome: a possible beneficial role in plasma thiol

repletion. Clin Sci. 1998;95:459-465. Abstract

6. Quinlan GJ, Mumby S, Martin GS, Bernard GR,

Gutteridge JM, Evans TW. Albumin influences total

plasma antioxidant capacity favorably in patients with

acute lung injury. Crit Care Med. 2004;32:755-759.

Abstract

7. Soni N. Albumin may help lung function. Program and

abstracts of the 24th International Symposium on

Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-

April 2, 2004; Brussels, Belgium.

8. Margarson MP, Soni NC. Effects of albumin

supplementation on microvascular permeability in

septic patients. J Appl Physiol. 2002;92:2139-2145.

Abstract

9. Hoegerle S, Benzing A, Nitzsche EU, et al.

Radioisotope albumin flux measurement of

microvascular lung permeability: an independent

Page 82: Syok pada anak

77

10. Martin GS. Fluid balance and colloid osmotic pressure

in acute respiratory failure: emerging clinical evidence.

Crit Care. 2000;4(suppl 2):S21-25. Abstract

11. Rehm M. Colloid administration during hemodilution.

Program and abstracts of the 24th International

Symposium on Intensive Care and Emergency

Medicine; March 30-April 2, 2004; Brussels, Belgium.

12. Rehm M, Haller M, Orth V, et al. Changes in blood

volume and hematocrit during acute preoperative

volume loading with 5% albumin or 6% hetastarch

solutions in patients before radical hysterectomy.

Anesthesiology. 2001;95:849-856. Abstract

13. Slutsky A. Albumin may protect the lungs. Program

and abstracts of the 24th International Symposium on

Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-

April 2, 2004; Brussels, Belgium.

14. Zhang H, Voglis S, Kim CH, et al. Effects of albumin

and Ringer's lactate on production of lung cytokines

and hydrogen peroxide after resuscitated hemorrhage

and endotoxemia in rats. Crit Care Med.

2003;31:1515-1522. Abstract

15. The SAFE Study Investigators. A comparison of

albumin and saline for fluid resuscitation in the

intensive care unit. N Engl J Med. 2004;350:2247-

2256. Abstract

16. Vincent J-L. Still a place for albumin? Program and

abstracts of the 24th International Symposium on

Page 83: Syok pada anak

78

Intensive Care and Emergency Medicine; March 30-

April 2, 2004; Brussels, Belgium.

17. Vincent JL, Dubois MJ, Navickis RJ, et al.

Hypoalbuminemia in acute illness: is there a rationale

for intervention? A meta-analysis of cohort studies and

controlled trials. Ann Surg. 2003;237:319-334.

Abstract

18. Sedrakyan A, Gondek K, Paltiel D, et al. Volume

expansion with albumin decreases mortality after

coronary artery bypass graft surgery. Chest.

2003;123:1853-1857. Abstract

19. Sort P, Navasa M, Arroyo V, et al. Effect of

intravenous albumin on renal impairment and mortality

in patients with cirrhosis and spontaneous bacterial

peritonitis. N Engl J Med. 1999;341:403-409. Abstract

20. Ortega R, Gines P, Uriz J, et al. Terlipressin therapy

with and without albumin for patients with hepatorenal

syndrome: results of a prospective, nonrandomized

study. Hepatology. 2002;36:941-948. Abstract

21. Holbeck S, Grände P-O: Effects on capillary fluid

permeability and fluid exchange of albumin, dextran,

gelatin, and hydroxyethyl starch in cat skeletal muscle.

Critical Care Medicine 2000; 28: 1089-1095.

22. Boldt, J, Joachim H Priebe, Intravascular Volume

Replacement Therapy with Synthetic Colloids: Is

There an Influence on Renal Function? Anesth Analg

2003;96:376-382

Page 84: Syok pada anak

79

BAGIAN V

RANGKUMAN MANAJEMEN SYOK PADA ANAK Tabel V.1 Jenis-jenis syok pada pasien anak. CO = cardiac output,

SVR= systemic vascular resistance, JVD = jugular venous distention.

Dari McKiernan CA, Lieberman SA. Pediatr Rev. 2005;26(12):451-60. Jenis Syok Mekanisme

gagal sirkulasi

Tanda dan gejala Intervensi

Hipovolemik Deplesi volume

absolut atau relatif, CO ↓,

SVR ↑

Takikardia, nadi lemah, mata dan fontanela cekung,

oliguria, capillary refill memanjang

Bolus kristaloid 20 ml/kg sampai hemodinamik

membaik, nilai lagi setelah setiap bolus, produk

darah pada syok hemoragik

Kardiogenik CO ↓, SVR ↑ Takikardia, nadi lemah, hepatomegali,

JVD

Obat inotropik dopamin,

dobutamin, epinefrin, milrinonBolus kecil 5-10

ml/kg dapat diberikan dengan hati-hati sambil

memantau respon. Periksa

ekokardiogram dini

CO ↑, then ↓, SVR ↓↓

Angioedema, distres pernapasan, stridor, wheezing, hipotensi

dini

Beri dukungan adrenergik sambil

berikan cairan, cepat pasang infus

jaga, mungkin dibutuhkan dosis tinggi inotropik

Distributif Anafilaktik Neurogenik

CO normal, SVR ↓

Hipotensi tanpa ada takikardia

Naikkan SVR dengan

vasopresor, fenilefrin mungkin dibutuhkan, beri

Page 85: Syok pada anak

80

cairan seperlunya Septik “Syok

hangat” CO ↑, SVR↓, 0%

kasus pediatrik)

Takikardia, nadi kuat, ekstremitas hangat

dengan hipotensi,hiperpnea,

perubahan status mental

Bolus kristaloid 20 ml/kg ulang sampai

hemodinamik stabil, vasopresor pilihan pertama (dopamin atau norepinefrin)

“Syok dingin” CO ↓, SVR

↑(60% kasus pediatrik)

Takikardia,perfusi perifer buruk, nadi lemah, hiperpnea, perubahan status

mental

Bolus kristaloid 20 ml/kg ulang sampai

hemodinamik stabil, dukungan

inotropik dini dengan dopamin

atau epinefrin mungkin

dibutuhkan, ekokardiografi

mungkin membantu

memandu terapi CO ↓, SVR ↓ Takikardia,perfusi

perifer buruk, nadi lemah, hiperpnea, perubahan status

mental

Bolus kristaloid 20 ml/kg ulang sampai

hemodinamik stabil, dukungan

inotropik dini dengan dopamin

atau epinefrin mungkin

dibutuhkan, ekokardiografi

mungkin membantu

memandu terapi Obstruktif Preload ↓,

CO ↓, SVR normal

sampai ↑

Takikardia, hipotensi, JVD, deviasi trakea jika pnemotoraks,

penyamaan tekanan dengan CVP yang

meninggi jika dipasang pemantauan invasif

Cepat fatal jika proses dasar tidak

terdeteksi atau dipulihkan, bolus

cairan harus diberikan

sementara mempersiapkan drainase darurat

Page 86: Syok pada anak

81

Table V. 2 Tanda klinis syok hemoragik pada anak dengan berbagai

derajat kehilangan darah Tanda klinis %

darah hilang

HR TD Capillary refill

Frekuensi napas

Jumlah urin

Status mental

< 15 Normal normal Atau

sedikit naik

Normal Atau

meningkat

Normal Normal Normal Cemas

15-25 Sedikit naik

Mungkin berkurang

> 2 detik Takipnea ringan

Normal sampai sedikit

berkurang

Cemas, Mungkin gaduh

25-40 naik Turun > 2 detik Takipnea sedang

sedikit (<0,5

ml/kg/jam)

Cemas, bingung

> 40 Naik Turun >2 detik Takipnea berat

Absen Bingung, letargi, tidak

responsif

Table V. 3. Obat-obat kardiovaskular

Obat Reseptor Kerja Dosis Dopamin Dopamin, ß,α Kronotropi,

inotropi,vasokonstriksi 3-20

mcg/kg/menit Dobutamin ß Kronotropi, inotropi,

vasodilatasi 5-20

mcg/kg/menit Epinefrin ß,α Kronotropi,

inotropi,vasokonstriksi 0,05-0,2

mcg/kg/menit Norepinefrin α,ß Vasokonstriksi,

kronotropi, inotropi 0,01-2

mcg/kg/menit Milrinon PDE inhibitor Inotropi, lusitropi,

vasodilatasi 0,25-4

mcg/kg/menit Nitroprusid Donor NO,

relaksasi otot polos

Vasodilatasi 0,5-10 mcg/kg/menit

Vasopresin Reseptor V1 di pembuluh

darah

vasokonstriksi 0,3-4 mU/kg/menit

Page 87: Syok pada anak

Gambar 1. Rekomendasi untuk manajemen syok septik pada bayi dan anak

82

Page 88: Syok pada anak

Gambar 2. Rekomendasi untuk manajemen syok septik pada

neonatus

PPHN =persistent pulmonary hypertension ECMO = extracorporeal membrane oxygenation

83

Page 89: Syok pada anak

84

Gambar 3. Tatalaksana syok pada anak dengan dehidrasi

berat

Usia Pertama beri 30 ml/kg dalam :

Selanjutnya beri 70 ml/kg dalam :

Bayi (<1 tahun) 1 jam* 5 jam

Anak (>1 tahun) ½ jam* 2 ½ jam

Catatan:

- Ringer laktat/ Ringer asetat diberikan pada 1 jam tahap

pertama, sedangkan pada tahap selanjutnya dapat diberikan

KAEN 3B atau Half strength Darrow (HSD) untuk mengatasi

hipokalemia.

- KAEN 3B mengandung: Na+ 50,K+20,Cl- 50 dan Laktat 20

mEq/L, glukosa 27 g/L; HSD : Na+ 60,K+ 17,Cl- 52 dan Laktat

25 mEq/L, glukosa 25 g/L .

- Setelah 6 jam (Bayi) atau 3 jam (anak), pasien dievaluasi

dengan menggunakan tabel penilaian dehidrasi dan tentukan

rencana terapi selanjutnya sesuai status dehidrasi (A,B, C).

- *Ulangi 1 kali lagi bila pulsasi nadi masih sangat lemah atau

tidak teraba

Page 90: Syok pada anak

85

BAGIAN VI

ILUSTRASI KASUS

Seorang anak laki-laki 3 tahun tertabrak mobil ketika

berlari ke jalan mengambil bola. Ketika paramedik

sampai di tempat kejadian, si anak tidak sadar dan

banyak luka lecet di wajah, dada, abdomen dan

ekstremitas. Paha kanan deformitas dan bengkak.

Karena napas sangat dangkal, segera dilakukan intubasi

dan imobilisasi vertebra servikal. Dua kanula besar

dipasang dan korban dibawa ke IGD.

PF: Tanda Vital: Suhu 37.0, Nadi 160, Frekuensi napas

melalui pipa trakea 20, TD 100/80, saturasi oksigen 97%.

Anak masih tidak responsif dan diventilasi melalui pipa

trakea. Reaksi pupil baik. Ekspansi dada baik.Banyak

lecet pada wajah,dada,abdomen dan ekstremitas bawah.

Abdomen distensi dengan bunyi usus berkurang.

Panggul stabil, tetapi paha kanan jelas bengkak dan

tegang. Perfusi distal ke semua anggota gerak tampak

adekuat. Pemeriksaan fisik lainnya tidak mencolok.

CT scan kepala mengungkap kontusio kecil di lobus

oksipital, tetapi tidak ada edema serebral atau

perdarahan. CT scan abdomen memperlihatkan laserasi

kecil dari limpa dan kontusio ringan dari ginjal kiri. X-foto

Page 91: Syok pada anak

86

toraks dan ekstremitas mengungkap pergeseran fraktur

midfemur kanan dan kontusio kecil dari paru kiri. X-

Radiologi vertebra servikal dan panggul normal. Setelah

stabilisasi, pasien di bawa ke PICU. Trauma intrakranial,

paru dan limpa dikelola dengan perawatan suportif dan

fraktur kanan diatasi dengan reduksi terbuka dan fiksasi

internal. Akhirnya pasien dipulangkan dari Rumah Sakit

kira-kira tiga minggu kemudian, dengan neurologi normal.

Si anak bisa kembali main bola setahun berikutnya.

Walaupun anak rentan terhadap mekanisme trauma yang

sama seperti dewasa, respons fisiologik dan psikologik

terhadap trauma sangat unik. Jadi pemahaman seksama

tentang beberapa perbedaan anatomi dan patofisiologi

yang unik dari anak akan meningkatkan kualitas

perawatan selama evaluasi, stabilisasi dan manajemen

pasien trauma anak.

Satu dari perbedaan fisiologis pertama yang sangat jelas

antara anak dan dewasa adalah variasi tanda vital anak

yang normal menurut usia. Pemahaman seksama

terhadap tanda vital mutlak diperlukan untuk bisa

mendeteksi kelainan “halus” dalam detak jantung dan

nepas anak. Contohnya, takikardia mungkin merupakan

satu-satunya petunjuk adanya syok hemoragik dini pada

anak yang kelihatannya stabil. Takipnea yang tidak

mencolok mungkin merupakan petunjuk paling dini dari

Page 92: Syok pada anak

87

kemungkinan trauma intratorakal pada anak dengan

saturasi oksigen normal. Jadi siapapun yang terlibat

dalam perawatan darurat anak harus mengetahui tanda-

tanda vital normal pada anak menurut usia. Metode

sederhana untuk mengingat dengan mudah dan cepat

tanda-tanda vital sebagai berikut:

Detak jantung

Frekuensi napas

Neonatus sampai usia 1

tahun 140 40

1 sampai 4 tahun 120 30

4 sampai 12 tahun 100 20

>12 tahun 80 15

Kesimpulan dari berbagai perbedaan anatomi penting

pada anak sebagai berikut: a) Ukuran tubuh lebih kecil.

b) Rasio kepala:badan lebih besar.

c) Rasio permukaan tubuh lebih besar.

d) Trakea lebih pendek dan ukuran lidah relatif lebih besar.

e) Muara glotis lebih ke anterior dan superior. f) Lebih sedikit otot pelindung dan lemak tubuh.

g) Alat-alat perut lebih ke anterior.

h) Lempeng epifisis lebih rentan terhadap trauma.

Page 93: Syok pada anak

88

Karena ukuran tubuh anak lebih kecil, daya trauma bisa

terdistribusi ke luas permukaan tubuh yang lebih besar,

sehingga membuat lebih cenderung trauma mengenai

lebih dari satu sistem. Anak sering mendapat cidera

organ dalam dengan sedikit atau tanpa bukti trauma

pada permukaan eksternal tubuh. Organ dalam anak

lebih rentan terhadap gaya trauma karena jumlah otot

pelindung dan jaringan subkutan sekitarnya lebih sedikit.

Limpa merupakan organ yang paling sering cidera

dengan trauma tumpul abdomen. Kelenturan rangka

anak dan jaringan lunak sekitar juga memungkinkan gaya

trauma ditransmisikan lebih dalam ke struktur interna.

Jadi, sebagai kaidah umum, trauma alat dalam tidak bisa

disingkirkan pada anak semata-mata berdasarkan tidak-

adanya tanda-tanda eksternal dari trauma.

Rasio kepala:badan bayi dan anak yang lebih besar

membuat mereka lebih rentan terhadap trauma kepala

ketika jatuh. Cidera vertebra servikal atas juga lebih

banyak pada bayi dan anak kecil dibanding dewasa.

(dewasa lebih sering mengalami cidera pada servikal

bawah). Ukuran kepala yang lebih besar dan luas

permukaan tubuh yang lebih besar pada anak,

membuatnya lebih rentan dari kehilangan panas dan

hipotermia bila terpapar selama resusitasi.

Page 94: Syok pada anak

89

Perbedaan anatomi yang unik dari jalan napas anak

sangat penting diingat ketika menilai dan mengelola jalan

napas, pernapasan dan ventilasi. Trakea yang lebih

pendek, ukuran lidah yang relatif lebih besar dan muara

glotis yang lebih anterior/superior merupakan poin

penting diingat dalam melakukan intubasi pada anak.

Karena epiglotis anak kurang kartilago, pemakaian bilah

(blade) laringoskop lurus mungkin memudahkan intubasi

dibanding bilah lengkung.

Trauma kepala pada anak diikuti dengan angka

morbiditas dan mortalitas tinggi. Trauma ke dada dan

abdomen juga mengakibatkan cukup banyak cacat dan

kematian. Hipoksia dan syok hemoragik adalah lintasan

akhir bersama dari kematian akibat trauma pada anak.

Jadi, perhatian ketat terhadap penilaian jalan napas,

pernapasan dan sirkulasi (ABC resusitasi) akan

menurunkan morbiditas dan mortalitas dari trauma anak.

Penilaian dan manajemen pasien trauma dibagi menjadi

survei primer dan survei sekunder. "ABCDE" survei

primer meliputi penilaian komponen-komponen berikut:

A=Airway (imobilisasi vertebra servikal).

B=Breathing.

C=Circulation (dengan kontrol perdarahan).

Page 95: Syok pada anak

90

D=Disability (pemeriksaan neurologis singkat untuk

menilai tingkat kesadaran dan ukuran/reaktivitas pupil).

E=Exposure (paparan total pasien untuk bisa menilai

seluruh tubuh akan kemungkinan terkena trauma).

Jadi, komponen utama dari survei primer meliputi

penilaian, stabilisasi dan manajemen semua kondisi akut

yang mengancam jiwa, seperti gangguan jalan napas,

distres pernapasan dan syok hemoragik. Porsi ABC dari

resusitasi trauma pada dasarnya sama dengan resusitasi

lain dengan dua peringatan (caveat). Kedua caveat ini

melibatkan kemungkinan cidera vertebra servikal dan

syok hemoragik. “Jembatan keledai” untuk mengingat

resusitasi adalah "A-I-R" :

A=Assessment (Penilaian)

I=Interventions (Intervensi)

R=Reassessment (Penilaian kembali) setelah setiap

intervensi)

Selama penilaian dan manajemen jalan napas pasien

trauma, perlu dipikirkan kemungkinan cidera leher dan

mempertahankan imobilisasi vertebra servikal. Ini sangat

penting jika dipertimbangkan intubasi endotrakea, di saat

mana jalan napas tidak boleh kali dibuka dengan

Page 96: Syok pada anak

91

menggunakan perasat angkat kepala (head-tilt

maneuver). Buka rahang bawah (jaw-thrust maneuver)

untuk membuka jalan napas dengan imobilisasi vertebra

servikal merupakan cara paling aman untuk intubasi anak

dengan kemungkinan cidera vertebra servikal.

Dalam menilai pernapasan dan ventilasi, pikirkan selalu

etiologi trauma yang berpotensi mengganggu ventilasi

dan pernapasan, seperti luka dada terbuka,

pnemotoraks, hemotoraks, patah iga, flail chest dan

kontusio paru. Sebagian dari etiologi traumatik ini

mungkin membutuhkan intervensi segera, seperti

torakosentesis jarum dan/atau pemasangan pipa toraks

selama survei primer. Distensi lambung yang juga sangat

sering pada pasien trauma, bisa menghambat upaya

ventilasi sampai kepergeseran diafragma ke atas. Jadi,

pipa orograstrik bisa membantu untuk dekompresi

lambung dan memudahkan ventilasi.

Etiologi Syok tersering pada trauma anak adalah syok

hemoragik, walaupun bisa diikuti oleh syok kardiogenik

(misal, tamponade jantung), obstruktif (misal, tension

pneumothorax) atau neurogenik (misal, syok spinal).

Peningkatan cadangan sistem kardiovaskular

memungkinkan anak mengkompensasi dan memelihara

tekanan darah sekalipun syok hemoragik sampai ke

tingkat sedang. Anak akan mempertahankan tekanan

Page 97: Syok pada anak

92

darah sistolik yang normal sebelum mereka kehilangan

sampai 30% volume darah sirkulasi. Volume darah

sirkulasi seorang anak adalah 70-80 ml/kg (sedangkan

volume darah sirkulasi dewasa 60 ml/kg). Tekanan

sistolik normal pada anak bisa dihitung dengan rumus:

(Usia X 2) + 90 mmHg. Tekanan diastolik yang

diharapkan adalah 2/3 X (TD sistolik). Mekanisme

kompensasi awal yang harus dicari selama stadium dini

syok hemoragik adalah takikardia. Mekanisme

kompensasi lain yang terjadi untuk mempertahankan

perfusi dan tekanan darah normal adalah meningkatkan

tahanan tepi, yang bermanifestasi sebagai ekstremitas

dingin dan bercak, nadi lemah dan putus-putus, capilary

refill time (CRT) memanjang dan tekanan nadi

menyempit. Jika tanda klinis dini dari syok hemoragik

tidak terindentifikasi dan terkoreksi, anak bisa memburuk

ke stadium preterminal dari syok dekompensata, yang

didefinisikan sebagai hipotensi menurut usia. Hipotensi

(sistolik) pada anak didefinisikan melalui rumus: (Usia X

2) + 70 mmHg. Jadi, anak usia 5 tahun yang diperiksa

dengan TD sistolik awal kurang atau sama dengan 80

mmHg berada dalam fase dekompensata dan sudah

kehilangan paling sedikit 30% dari volume sirkulasi.

Page 98: Syok pada anak

93

TD sistolik minimum menurut usia adalah:

a) Neonatus sampai usia 1 bulan: >60 mmHg

b) usia 1 bulan-1 tahun: >70 mmHg

c) usia > 1 tahun: (Usia X 2) + 70 mmHg

Kunci tatalaksana syok hemoragik pada trauma anak

meliputi deteksi tanda dini syok, mengendalikan

tempat/sumber eksternal dari perdarahan, resusitasi

cairan, pertimbangkan terapi pengganti darah dan

keterlibatan tim bedah. Bolus cairan diberikan kristaloid

yang telah dihangatkan 20 ml/kg (misal, normal saline

atau ringer laktat). Harus dinilai kembali parameter

perfusi anak setelah setiap bolus untuk menentukan

apakah diperlukan bolus tambahan. Jika dibutuhkan lebih

dari 40-60 ml/kg larutan kristaloid untuk memulihkan

perfusi yang adekuat, maka harus dipikirkan penggantian

darah. Transfusi bisa berupa 10 ml/kg pRBC yang telah

dihangatkan (bisa tipe spesifik setelah reaksi silang atau

O-negatif pRBC, tergantung pada waktu yang tersedia)

atau sebagai 20 ml/kg whole blood (sekarang tidak rutin

tersedia). Anak yang membutuhkan terapi penggantian

darah mungkin membutuhkan intervensi bedah untuk

mengendalikan perdarahan yang terus berlangsung.

Trauma yang berpotensi perdarahan hebat mencakup

trauma intra-abdomen dan intratorakal, fraktur panggul

Page 99: Syok pada anak

94

dan fraktur femur. Sebagai kaidah umum, dianggap

bahwa perdarahan intrakranial tidak menyebabkan syok

hipovolemik/hemoragik. Pengecualian dari kaidah ini

adalah trauma kepala pada bayi. Karena sutura

tengkorak bayi belum menyatu, tengkorak memiliki

kapasitas untuk mengembang dan mengakomodasi

sejumlah besar darah selama perdarahan intrakranial

akut.

Jika ada kesulitan mendapat akses vena untuk resusitasi

cairan dan produk darah, line intraosea (IO) harus

dipakai. Pemasangan line IO bisa dimasukkan langsung

dengan cepat atau bahkan lebih cepat dari pemasangan

akses vena sentral. Walaupun pedoman Pediatric

Advanced Life Support sebelumnya hanya mengizinkan

pemasangan IO luntuk anak berusia di bawah 6 tahun,

pedoman dewasa ini tidak memiliki batasan usia untuk

pemakaian IO pada anak. Walaupun tempat ideal untuk

penempatan IO adalah aspek proksimal dan media dari

tibia (2-3 cm di bawah tuberositas tibia), titik alternatif

adalah aspek anterior distal dari femur (2-3 cm proksimal

terhadap pinggir superior patela). Titik alternatif lain pada

anak yang lebih besar dan dewasa adalah distal tibia (2-3

cm proksimal dari meleolus medialis). Satu-satunya

kontraindikasi klinis untuk pemasangan IO pada tungkai

anak selama resusitasi trauma adalah: a) kecurigaan

fraktur tulang dibawah kulit di mana IO dipasang,

Page 100: Syok pada anak

95

dan/atau b) kecurigaan terputusnya alir balik vena di

proksimal dari titik masuk IO.

Survei sekunder mulai dengan evaluasi ulang masalah

yang diatasi selama survei primer dan disusul

pemeriksaan fisik lengkap dari kepala sampai jari kaki

untuk menilai cidera-cidera yang tidak mengancam jiwa

yang tidak teridentifikasi selama survei primer. Penilaian

dan manajemen trauma spesifik dari kepala,leher,toraks,

abdomen,panggul dan ekstremitas berada di luar lingkup

bab ini. Namun indeks kecurigaan yang tinggi harus

selalu memandu penilaian dan manajemen.

Kemungkinan trauma yang bukan kecelakaan(

penganiayaan anak) harus dipikirkan pada keadaan-

keadaan khusus: a) Ketidaksesuaian antara anamnesis

yang diberikan pengasuh dengan temuan pemeriksaan

fisik aktual. b) Trauma yang tidak kompatibel dengan

kemampuan perkembangan neurologis bayi. c)

Kelambatan dalam mencari bantuan medis untuk cidera

serius d) Temuan cidera ganda pada waktu yang tidak

bersamaan. e) Gigitan, tanda, luka rokok atau sabetan

tali. f) luka bakar dengan batas tegas. g) Trauma

kemaluan dan perianal (termasuk luka bakar di kawasan

ini). h) Hematoma subdural ganda. i) Perdarahan retina.

j) Fraktur iga yang melibatkan banyak iga dan/atau pada

waktu yang tidak sama.

Page 101: Syok pada anak

96

Resusitasi trauma anak yang berhasil memerlukan lebih

dari sekedar pendekatan sistematik terhadap survei

primer dan survei sekunder. Juga bergantung pada

pemahaman tentang perbedaan anatomi dan

patofisiologi pada anak.

Pertanyaan

1. Prioritas utama dalam fase resusitasi trauma pada

anak adalah:

. . . . . a. Pasang infus jaga.

. . . . . b. Menetapkan dan memelihara terbukanya jalan

napas sambil melakukan imobilisasi vertebra servikal.

. . . . . c. Ambil X-foto dan lab cito untuk memastikan

status pasien secara keseluruhan.

. . . . . d. Meredakan nyeri dengan analgesik intravena

agar lebih mudah melakukan pemeriksaan fisik.

2. Sebab kematian terbanyak pada anak usia >1 tahun:

. . . . . a. Sudden infant death syndrome.

. . . . . b. Aritmia jantung.

. . . . . c. Meningitis.

. . . . . d. Trauma.

. . . . . e. Leukemia.

3. Etiologi syok tersering pada anak dengan trauma:

. . . . . a. Syok neurogenik.

. . . . . b. Syok kardiogenik.

Page 102: Syok pada anak

97

. . . . . c. Syok anafilaktik.

. . . . . d. Syok hipovolemik.

. . . . . e. Tension pneumothorax.

4. Tujuan utama survei primer pada resusitasi trauma

meliputi:

. . . . . a. Memperoleh portable radiograph cito dari leher,

dada dan abdomen.

. . . . . b. Penilaian dan stabilisasi jalan napas,

pernapasan dan sirkulasi.

. . . . . c. Mendapatkan akses vena sentral segera.

. . . . . d. Pemasangan segera intubasi endotrakea untuk

mencegah aspirasi.

. . . . . e. Ahli bedah trauma harus ada untuk

melaksanakan survei primer.

5. Semua pernyataan berikut benar kecuali:

. . . . . a. Mayoritas kematian yang terkait dengan trauma

anak adalah disebabkan kecelakaan lalu lintas.

. . . . . b. Mayoritas trauma yang terjadi pada anak adalah

trauma tumpul bukan trauma tembus..

. . . . . c. Trauma vertebra servikal lebih lazim dari trauma

abdomen.

. . . . . d. Trauma multisistem lazim pada anak yang

mengalami kecelakaan lalu lintas.

Page 103: Syok pada anak

98

6. Organ abdomen yang paling sering cidera pada anak

adalah::

. . . . . a. Duodenum.

. . . . . b. Pankreas.

. . . . . c. Hati.

. . . . . d. Ginjal.

. . . . . e. Limpa.

7. Kawasan tubuh yang mana tersering mengalami

trauma serius?

. . . . . a. Kepala.

. . . . . b. Leher.

. . . . . c. Dada.

. . . . . d. Abdomen.

8. Mana dari skenario berikut paling mencurigakan

adanya penganiayaan anak?

. . . . . a. Anak usia 2 th dengan fraktur tibia setelah

dilaporkan jatuh ketika turun beberapa langkah anak

tangga.

. . . . . b. Anak usia 1 th dengan hematoma pada kening

setelah dilaporkan jatuh dari kereta bayi.

. . . . . c. Bayi usia 3 bulan dengan fraktur femur tanpa

dislokasi setelah dilaporkan jatuh dari meja.

. . . . . d. Anak usia 3 th dengan fraktur spiral dari tibia

setelah dilaporkan tungkainya terkilir ketika jatuh dari

sepeda roda tiga.

Page 104: Syok pada anak

99

Dikutip dari: Yamamoto LG. Multiple Trauma in a 2-Year Old. In:

Yamamoto LG, Inaba AS, DiMauro R (eds). Radiology Cases In

Pediatric Emergency Medicine, 2002, volume 7, case 8.

Referensi

1. Inaba AS, Seward PN. An approach to pediatric

trauma: Unique anatomic and pathophysiologic

aspects of the pediatric patient. Emerg Med Clin North

Am 1991;9(3):523-548.

2. Pediatric Trauma. In: American College of

Emergency Physicians and American Academy of

Pediatrics. Advanced Pediatric Life Support Instructor

Manual. 1998, Dallas: ACEP, pp. 75-87.

3. Inaba AS. A simple way to remember pediatric vital

signs. Contemp Pediatr 2002;19(1):16.

4. American College of Surgeons. Chapter 10-Pediatric

Trauma. In: Advanced Trauma Life Support Instructor

Course Manual, Sixth Edition. 1997, Chicago: First

Impression, pp. 353-375.

Jawsaban pertanyaan

1.b, 2.d, 3.d, 4.b, 5.c, 6.e, 7.a, 8.c

Page 105: Syok pada anak

100

BAGIAN VII

DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS)

Tanda peringatan adanya ancaman syok:

(1) nyeri abdomen hebat dan terus menerus

(2) perubahan dari demam ke hipothermia, dengan

keringatan dan lelah

(3) muntah-muntah persisten

(4) gelisah atau letargi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mempublikasi

pedoman untuk diagnosis DSS. Diagnosis DSS

ditegakkan jika ada: demam 2-7 hari, tes turniket positif

dan atau perdarahan spontan, trombositopenia

(<100.000 m3), bukti kebocoran kapiler (hematokrit >20%

di atas rata-rata yang diharapkan, penurunan hematokrit

sebesar < 20% dari nilai semula setelah resusitasi cairan,

bukti klinis efusi pleura atau asites), dan gagal sirkulasi

dengan tekanan nadi < 20 mmHg atau hipotensi (DHF III

DSS). Syok dalam bisa terjadi (DHF IV DSS) dan

didefinisikan sebagai nadi dan tekanan darah tak

terdeteksi.

Perubahan-perubahan penting dalam tekanan darah

terjadi saat DSS memburuk, termasuk tahanan tepi yang

Page 106: Syok pada anak

101

meningkat dan curah jantung yang berkurang dengan

tekanan vena sentral normal atau rendah. Syok tidak

disebabkan oleh gagal jantung bendungan, melainkan

karena pengumpulan darah di vena. Dengan

meningkatnya gangguan kardiovaskular, tekanan

diastolik naik ke arah sistolik dan tekanan nadi

menyempit. Akhirnya, dekompensasi terjadi dan kedua

tekanan (sistolik dan diastolik) tiba-tiba hilang.

Pasien DSS terbaik dipantau di ICU, diberikan oksigen

dan dipasang CVP jika memungkinkan, serta kateter urin

untuk memandu penggantian cairan. Status asupan dan

pengeluaran diamati ketat.

Gas darah, EKG, X-foto toraks, elektrolit serum, albumin

serum dan hitung darah harus dipantau.

Keberhasilan penanganan dengue berat bergantung

pada pengaturan yang seksama terhadap pemberian

cairan parenteral dan koloid selama fase kebocoran

kapiler yang meningkat, bersama dengan manajemen

proaktif dari perdarahan mayor jika terjadi. Dokter harus

ingat bahwa semua cairan yang diberikan akan diserap

kembali dan bisa mengakibatkan kelebihan beban.

Kristaloid vs koloid Temuan uji banding tersamar ganda dan acak untuk

resusitasi awal 383 anak Vietnam dengan DSS

memperlihatkan bahwa Ringer laktat cukup untuk

Page 107: Syok pada anak

102

meresusitasi bayi dengan penyakit cukup berat. Tetapi,

jika penyakit berlanjut menjadi syok berat, pemberian

dextran 40 atau HES 6% akan menstabilkan volume

pembuluh darah dan tekanan darah pada sebagian besar

kasus.

Koagulopati yang menyertai infeksi dengue banyak

dijelaskan, tetapi sayangnya mekanisme yang mendasari

masih belum jelas. Perdarahan hebat jarang terjadi pada

anak (hampir selalu diikuti syok mencolok) dan

komplikasi trombosis tidak dijumpai. Peningkatan APTT

(activated partial thromboplastin time) dan penurunan

kadar fibrinogen merupakan temuan yang agak konstan.

Kelainan-kelainan ini bersama dengan trombositopenia

berkorelasi dengan keparahan penyakit secara umum.

Namun, bukti adanya KID (koagulasi intravaskular

diseminata) klasik pada kebanyakan pasien tidak

meyakinkan. Kadar prokoagulan meningkat sampai ke

tingkat tertentu (biasanya ringan), dengan penurunan

bermakna dalam jumlah protein antikoagulan. Tetapi

temuan-temuan dalam hal lintasan fibrinolitik saling

bertentangan. Umumnya, data menunjukkan peningkatan

aktivitas fibrinolitik, dan kejadian ini bisa mengesankan

interaksi langsung antara virus dan plasminogen, satu

dari protein-protein kunci dalam lintasan ini.

Beberapa kelompok ahli telah mengamati adanya

antibodi reaksi silang plasminogen selama dan setelah

infeksi dengue.

Page 108: Syok pada anak

103

Pada kebanyakan pasien dengan demam dengue,

koagulopati relatif ringan dan membaik sendiri dalam

beberapa hari setelah virus menghilang. Namun pada

sebagian anak, biasanya dengan syok berat, gangguan

minor ini dipersulit oleh efek-efek: a) hipotensi yang

memanjang dan hipoksia jaringan, b) perdarahan mayor.

Biasa perdarahan terjadi di saluran cerna. Pada pasien-

pasien ini, KID sejati mungkin terjadi. Sama seperti pada

dewasa sedikit informasi tersedia mengenai koagulopati,

namun perdarahan tampaknya lebih banyak pada anak.

Referensi: 1. Katharine Smart , Ida Safitri. What treatments are

effective for the management of shock in severe

dengue? International Child Health Review

Collaboration

2. Scott B Halstead. Dengue. Lancet 2007; 370: 1644–52

3. Prevention and Control of Dengue and Dengue

Hemorrhagic Fever. WHO regional publication. Searo

No 29.

4. Wills B. Volume Replacement in Dengue Shock

Syndrome Dengue Bulletin Vol 25 Ch 9.2001

5. Rigau-Perez JG, Lauger MK. Dengue-related deaths in

Puerto Rico, 1992-1996: Diagnosis and clinical alarm

signals. Clin Infect Dis (CID). 2006; 42: 1241-1246.

Page 109: Syok pada anak

ALGORITME DSS

Ket: Jml tetesan harus dibulatkan

104

Page 110: Syok pada anak

105

BAGIAN VIII

SINGKATAN DAN TERMINOLOGI Singkatan  Kepanjangan AG  Anion gap ([Na+ + K+]‐ [Cl‐ + HCO3

‐] ALI  Acute Lung Injury ANH  Acute normovolemic hemodilution ANP  Atrial natriuretic peptide APACHE   Acute Physiology and Chronic Health evaluation ARDS  Acute respiratory distress syndrome ARF  Acute renal failure ATP  Adenosine triphosphate AVDO2  arteriovenous oxygen difference CABG  Coronary artery bypass graft cAMP  cyclic adenosine monophosphate CaO2  arterial oxygen concentration cGMP  cyclic guanosine monophosphate CI  Cardiac index CO  cardiac output COP  Colloid osmotic pressure CRT  Capillary refill time CVP  Central venous pressure DAG  Diacyl glycerol DBP  Diastolic blood pressure DIC  Disseminated intravascular coagulation DO2  oxygen delivery DSS  Dengue Shock Syndrome ECMO  Extracorporeal membrane oxygenation ESL  Endothelial surface layer FiO2  Fractional concentration  of Inspired oxygen HES  Hydroxyethyl starch HR  Heart rate IGD  Instalasi Gawat Darurat 

Page 111: Syok pada anak

106

IL  Interleukin INR  Internation normalized ratio IO  Intraosea IP3  inositol 1,4,4‐triphosphate  JVD  Jugular venous distension KAD  Ketoasidosis diabetik KID  Koagulasi intravaskular diseminata LVEDP  Left ventricular end‐diastolic pressure LVEDV  Left ventricular end‐diastolic volume MAP  Mean arterial pressure O2ER  oxygen extraction ratio OR  odds ratio PDEI  Phosphodiesterase inhibitor PELOD  Pediatric logistic organ dysfunction score PO2  Partial oxygen pressure PPHN  Persistent pulmonary hypertension pRBC  packed red blood cells 

PRISM pediatric risk illness severity and mortality score 

RCT  Randomized controlled trial RR  relative risk; respiratory rate SAFE  Saline versus albumin evaluation SaO2  arterial oxygen saturation SBP  Systolic blood pressure SOAP  Sepsis occurrence in acutely ill patients SOFA  Sequential Organ Failure Assessment SVCO2  Superior vena cava oxygen saturation SVR  Systemic venous resistance TBI  Traumatic Brain Injury TD  Tekanan darah TNF  Tumor necrosis factor VL  Volume loading VO2  Total body oxygen consumption 

Page 112: Syok pada anak

BAGIAN IX NILAI NORMAL

HEMATOLOGI - Eritrosit Pria 4.2 jt- 5.6 jt/ µL Wanita 3.8 - 5.1 jt / µL Anak 3.5 - 5.0 jt / µL HEMATOLOGY - LeukositPria 3.8 - 11 rb / mm3 Wanita 3.8 - 11.0 rb / mm3 Anak 5.0 - 10.0 rb / mm3 HEMOGLOBIN Hb (Pria) 14 - 18 g/dL Hb (Wanita) 11 - 16 g/dL Hb (Anak) 10 - 14 g/dL Hb (Neonatus) 15 - 25 g/dL HEMATOKRIT Hct (Pria) 39 - 54% Hct (Wanita) 34 - 47% Hct (Anak) 30 - 42% MCV 78 - 98 fL MCH 27 - 35 pg MCHC 31 - 37% Neutrofil 50 - 81% Batang 1 - 5% Limfosit 14 - 44% Monosit 2 - 6% Eosinofil 1 - 5% basofil 0 - 1%

107

Page 113: Syok pada anak

108

Tanda vital normal pada anak: Usia (th) HR RR SBP/DBP

< 1 120 - 160 30 - 60 60 - 95 / 35 - 69 1 - 3 90 - 140 24 - 40 95 - 105 / 50 - 65 3 - 5 75 - 110 18 - 30 95 - 110 / 50 - 65

6 - 12 75 - 100 18 - 30 90 - 110 / 57 - 71

12 - 16 60 - 90 12 - 16 112 - 130 / 60 - 80

TD sistolik minimum menurut usia adalah:

a) Neonatus sampai usia 1 bulan: >60 mmHg

b) usia 1 bulan-1 tahun: >70 mmHg

c) usia > 1 tahun: (Usia X 2) + 70 mmHg

Nilai Gas Darah normal:

pH: 7.35 - 7.45

PaCO2: 35 - 45

PaO2: 80 - 100 ( pada bayi PaO2 normal: 60 - 80 )

HCO3: 20 - 24

Base excess: -/+ 2

Anion Gap (corrected) < 16

Page 114: Syok pada anak

109

BAGIAN X

RUMUS-RUMUS

1. TD sistolik normal pada anak =(Usia X 2)+ 90 mmHg.

2. DO2 (mL O2/min) = CaO2 (mL O2/L blood) X CO (L/min)

CaO2 = (1,36 x Hb x SaO2) + (0,003 x PaO2) CaCO2= Kandungan oksigen darah arteri (ml/100 ml darah)

1,36 = Mililiter oksigen yang berikatan dengan 1 g Hb pada saturasi

100%

Hb = Konsentrasi hemoglobin (g/dl)

SaO2 = Persen hemoglobin yang berikatan dengan oksigen (%)

0,003= Faktor kelarutan oksigen dalam plasma (ml/mm Hg)

PaO2 = Tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (mm Hg)

3. MAP = 1 SBP + 2 DBP 3 4. VO2 = DO2 × ERO2

5. Tekanan Perfusi = MAP – CVP

6. CO = MAP − CVP/SVR ket. CO = cardiac output; MAP:mean arterial pressure; CVP =central venous

pressure; SVR = systemic venous resistance. 7. Shock Index = HR/SBP

normal SI: 0.5 sampai 0.7

8. Anion gap (AG) = (Na+ + K+) - (Cl- + HCO3-) dan perlu

dikoreksi dengan kadar albumin (g/L), yakni Corrected

AG = AG + [0,25 x (44 - albumin)]

9. HCO3 - (mEq) = Base deficit X BB (kg) X 0,30

Page 115: Syok pada anak

110

LAMPIRAN

TEKNIK PEMBERIAN INFUS INTRAOSEA

• Infus intraosea merupakan langkah darurat

sementara

• Diindikasikan dalam situasi yang mengancam jiwa

bila akses intravena gagal (3 kali coba atau> 90

detik)

• Gunakan aspek anteromedial tibia

• Suntik dengan arah caudal untuk menghindari

diskus pertumbuhan epifisis

• Gunakan teknik aseptik

• Kristaloid, koloid, produk darah dan obat-obatan

dapat diberikan

• Lepas segera setelah anak telah diresusitasi dan

akses intravena berhasil dipasang

Pendahuluan

Teknik infus intraosea pertama kali diuraikan pada

manusia pada tahun 1934 dan menjadi semakin populer

di tahun 1940-an. Dalam beberapa tahun terakhir ini

telah kembali popular terutama pada resusitasi anak.

Sayangnya banyak dokter tidak tahu teknik ini atau tidak

menggunakannya. Infus IO adalah salah satu cara

tercepat untuk membuka akses untuk infus cairan, obat-

obatan dan produk darah dalam situasi darurat dan juga

Page 116: Syok pada anak

111

untuk resusitasi. Di banyak negara anak-anak menjadi

korban trauma perang, kecelakaan lalu lintas atau

dehidrasi berat. Mereka membutuhkan akses intravena

yang baik, agar dapat menyelamatkan nyawa. Dalam

situasi ini akses vena perifer bisa sulit untuk didapatkan

dan alternatif seperti akses vena sentral dapat menjadi

sulit dan / atau berbahaya.

Pengenalan teknik

Rongga sumsum berkesinambungan dengan sirkulasi

vena dan oleh karena itu dapat digunakan untuk

memasukkan cairan dan obat-obatan, dan untuk

mengambil sampel darah untuk crossmatch. Prosedur

harus dilakukan dalam kondisi steril agar tidak terjadi

osteomielitis. Dianjurkan juga untuk membatasi durasi

penggunaan infus intraosea sampai beberapa jam

sampai akses intravena tercapai. Dengan demikian ini

merupakan langkah darurat sementara. Di tangan yang

berpengalaman akses IO dapat dikerjakan dalam waktu 1

menit.

Telah terbukti bahwa mula kerja (onset) dan kadar obat

selama resusitasi kardiopulmoner secara IO serupa

dengan IV

Page 117: Syok pada anak

112

Indikasi

Penempatan dari jarum intraosea diindikasikan bila akses

vaskular dibutuhkan dalam situasi yang membahayakan

jiwa pada bayi dan anak-anak di bawah usia enam tahun.

IO diindikasikan bila akses vena gagal diusahakan (tiga

usaha atau 90 detik) atau dalam kasus di mana

kemungkinan besar gagal dan kecepatan sangat penting.

Meskipun dianjurkan untuk digunakan terutama pada

anak kecil, ia telah berhasil digunakan pada anak yang

lebih tua di mana krista iliaka juga dapat digunakan.

Kontraindikasi

• Fraktur femur pada sisi ipsilateral

• Jangan gunakan tulang yang patah

• Jangan menggunakan tulang dengan

osteomielitis

Perlengkapan

1. Disinfektan kulit

2. Anestetik lokal

3. Spuit 5 ml

4. Spuit 50ml

5. Jarum Intraosea atau jarum sumsum tulang

Jamshidi. Ada berbagai ukuran jarum; 14, 16.

Ukuran 14 dan 16G biasanya digunakan untuk

Page 118: Syok pada anak

113

anak-anak yang lebih tua dari 18 bulan. Namun

ukuran apapun dapat digunakan untuk segala

usia.

Dimungkinkan tetapi tidak ideal untuk

menggunakan 16 - 20G jarum kupu-kupu, jarum

spinal atau bahkan jarum suntik hipodermik biasa.

Namun ada kemungkinan lebih besar bahwa

jarum akan tersumbat dengan sumsum tulang

bila tidak menggunakan jarum dengan trokar.

Lokasi

Titik terbaik untuk digunakan adalah aspek anteromedial

aspek dari tibia. Aspek anterior femur dan krista iliaka

superior juga dapat digunakan. Tibia lebih disukai karena

aspek anteromedial tulang terletak tepat di bawah kulit

dan dapat dengan mudah diidentifikasi. Hindari tulang

dengan osteomielitis atau patah tulang dan tidak

menggunakan tibia jika tulang paha retak pada sisi yang

sama.

Teknik

Pilihan alat IO

Dewasa ini ada beberapa alat berbeda untuk IO line. Alat

ini bervariasi mulai dari jarum spinal yang dimasukkan

Page 119: Syok pada anak

secara manual sampai alat dengan alat dorong atau bor.

Sebelum diciptakan produk-produk khusus untuk akses

IO, dulu digunakan jarum spinal dan jarum “kupu-kupu”

Dalam menggunakan jarum spinal, mutlak perlu

digunakan suatu stylet atau trokar yang bisa dilepas dan

mencegah jarum tersumbat oleh jaringan selama

penempatan awal.

Dulu jarum IO yang paling terkenal untuk pasien anak

(dan pada kasus jarang untuk pasien dewasa) adalah

tipe-tipe Jamshidi/Illinois (Gambar 1 & 2, Cardinal Health,

McGaw Park, IL) atau Sur-Fast (Gambar 3, Cook

Critical Care, Bloomington, IN).

Gambar 1 (kiri) & Gambar 2 (kanan): Jarum IO Jamshidi

Gambar 3: Jarum IO Sur-Fast

114

Page 120: Syok pada anak

115

Alat-alat ini dimasukkan dengan menggunakan gerak

memutar atau sekrup dengan tekanan cukup untuk

memungkinkan jarum menembus tulang. Baru-baru ini,

telah dikenalkan akses IO generasi baru, di mana tempat

IO bukan hanya di tibia (misal, bisa juga di sternum)

Apa yang baru?

Populasi pasien: Walaupun biasa diaanggap bahwa

akses IO hanya untuk anak di bawah usia 6 tahun,

sekrang sudah direkomendasikan untuk semua kelompok

usia, dan buku ajar Pediatric Advanced Life Support

(PALS) yang dikeluarkan AHA(The American Heart

Association) menyatakan bahwa indikasi teknik IO

harus diperluas untuk korban di atas usia 6 tahun Buku

ajar ACLS melukiskan infus IO sebagai "a promising

technique to establish emergency access in adult

patients." Di samping itu, alat IO terus digunakan pada

pelatihan situasi pasien yang “luar biasa” seperti luka

bakar, trauma dan bencana.

Bone Injection Gun: Ini adalah alat IO yang bermuatan

per dan memiliki daya dorong (Gambar 4 dan 5) dari

WaisMed, Yokneam, Israel. Tersedia untuk ukuran anak

dan dewasa. Cukup dengan menarik pelatuk dan jarum

menancap sesuai dengan kedalaman yang telah diatur.

Walaupun tersering digunakan pada tibia anak dan

Page 121: Syok pada anak

dewasa, para peneliti melukiskan penggunaannya juga

pada radius, ulna dan humerus.

Gambar 4 (kiri) & Gambar 5 (kanan)): Injection Gun anak dan dewasa

EZ-IO: Desain untuk alat IO ini (Gambar 6 dan 7,

VidaCare, San Antonio, TX) berangkat dari pengalaman

dokter bedah tulang yang menggunakan bor untuk

memasuki tulang dengan aman. EZ-IO merupakan bor

dengan pegangan dan digerakkan baterai dengan jarum

IO menempel. Alat ini memungkinkan operator mengatur

tekanan dan kekuatan yang digunakan selama insersi,

sehingga bisa menentukan kedalaman yang tepat dari

jarum

116

Page 122: Syok pada anak

Gambar 6 (kiri) dan Gambar 7 (kanan): Penempatan sistem EZ-IO pada tibia

Prosedur

1. Palpasi tuberositas tibia. Titik suntikan

(kanulasi) terletak 1 - 3cm di bawah tuberositas

ini pada permukaan anteromedial tibia.

2. Gunakan sarung tangan steril dan teknik aseptik

dan jarum yang steril.

3. Bersihkan kulit. Tempatkan jarum sumsum

tulang tanpa teknik steril jelas meningkatkan

kemungkinan osteomielitis dan selulitis.

4. Suntikkan sejumlah kecil anestesi lokal pada

kulit dan terus infilitrasi ke periostium. Bila anak

tidak sadar tidak perlu menggunakan infiltrasi

lokal.

117

Page 123: Syok pada anak

118

5. Tekuk lutut dan letakkan karung pasir sebagai

bantalan di belakang lutut.

6. Pegang ekstremitas dengan kuat di atas tempat

insersi, biasanya di tingkat lutut. Jangan

letakkan tangan Anda di belakang tempat

suntikan agar tidak melukai tangan Anda

sendiri.

7. Masukkan jarum IO pada 90 derajat ke kulit

(tegak lurus) dan sedikit caudal (ke arah kaki)

untuk menghindari plat epifisis.

8. Majukan jarum menggunakan gerakan

pengeboran sampai terasa 'kendur ' adalah

merasa - ini terjadi ketika jarum menembus

korteks tulang. Berhenti memasukkan lebih

lanjut.

9. Lepaskan trokar. Konfirmasi posisi yang tepat

dengan mengaspirasi darah menggunakan spuit

5 ml. Jika tidak ada darah dapat disedot jarum

mungkin terhalang dengan sumsum. Untuk

melepas sumbatan jarum, bilas perlahan-lahan

dengan 10 ml normal saline. Periksa bahwa

ekstremitas tidak membengkak dan tidak ada

peningkatan tahanan.

10. Jika tidak berhasil cabut jarum dan coba kaki

yang lain.

Page 124: Syok pada anak

119

11. Fiksasi jarum dengan kasa steril dan bebat.

Penempatan yang benar dikonfirmasi lebih lanjut dengan:

• Tiba-tiba kehilangan resistensi memasuki rongga

sumsum (kurang jelas pada bayi yang memiliki

tulang lunak).

• Jarum tetap tegak tanpa dukungan (karena bayi

memiliki tulang lebih lembut, jarum tidak akan

tegak berdiri sekuat pada anak yang lebih tua).

• Cairan mengalir secara bebas melalui jarum

tanpa pembengkakan pada jaringan subkutan.

Komplikasi

Komplikasi penting mencakup: fraktur tibia terutama pada

neonatus, sindrom kompartemen, osteomielitis dan

nekrosis kulit. Bila teknik aseptik digunakan, insiden

osteomielitis kurang dari 1%. Emboli paru mikroskopik

dari lemak dan sumsum tampaknya tidak menjadi

masalah klinis. Asalkan teknik yang benar digunakan

sepertinya tidak akan ada efek jangka panjang pada

pertumbuhan tulang.

Page 125: Syok pada anak

120

Infus

Cairan dapat diinfus di bawah tekanan lembut, secara

manual dengan menggunakan spuit 50ml atau dengan

memompa manset tensimeter mengitari kantong infus.

Kristaloid, produk darah dan obat-obatan dapat

ditanamkan dengan menggunakan teknik ini.

Rute IO yang harus diganti segera setelah vena yang

normal dapat diakses dan tentu saja dalam beberapa

jam. Semakin lama penggunaan makin tinggi risiko

komplikasi.

Kesimpulan

Dalam keadaan darurat, akses intravena akses cepat

pada anak-anak mungkin akan sulit untuk dicapai.

Sebagai alternatif, akses IO mudah, aman dan

menyelamatkan pasien.

Referensi

1. Chameides L, Hazinski MF, Eds. Chameides L,

Hazinski MF, Eds. Textbook of Pediatric Advanced Life

Support. Textbook of Pediatric Advanced Life Support.

1994; 5-5 to 5-7 1994; 5-5 ke 5-7

2. Brickman KR, Krupp K, Rega P, Alexander J,

Guinness M. Typing and screening of blood from

intraosseous access. Brickman KR, Krupp K, Rega P,

Page 126: Syok pada anak

121

Alexander J, Guinness M. Mengetik dan penyaringan

darah dari intraosseous akses. Annals of Emergency

Medicine 1992;21:414-7 Annals of Emergency

Medicine 1992; 21:414-7

3. Sawyer RW, Bodai BI, Blaisdell FW, McCourt MM.

Sawyer RW, Bodai BI, Blaisdell FW, McCourt MM. The

current status of intraosseous infusion. Status

intraosseous infus. Journal of American College of

Surgeons 1994;179:353-60 Journal of American

College of Surgeons 1994; 179:353-60

4. Claudet I, Fries F, Bloom MC, Lelong-Tissier MC.

Claudet Aku, Fries M, Bloom MC, Lelong-Tissier MC.

Etude retrospective de 32 cas de perfusion intraosseus.

Etude retrospektif de 32 cas de perfusi intraosseus.

Archives of Paediatrics 1999;6:566-9 Archives of

Pediatri 1999; 6:566-9

5. Nafiu OO, Olumese PE, Gbadegesin RA, Osinusi K.

Intraosseous infusion in an emergency situation: a

case report. Nafiu OO, Olumese PE, Gbadegesin RA,

Osinusi K. Intraosseous infus dalam situasi darurat:

laporan kasus. Annals of Tropical Paediatrics

1997;17:175-7 Annals of Tropical Pediatri 1997;

17:175-7

Page 127: Syok pada anak

122

INDEKS

AG Anion gap 16,17,23 35

Albumin 35,36,51,55,57,58,59,60,62-68,72-78

ALI Acute Lung Injury 62,63,64

ANH Acute normovolemic hemodilution 60,61,62,10

ANP Atrial natriuretic peptide 62

APACHE Acute Physiology and Chronic Health evaluation 58

ARDS Acute respiratory distress syndrome 59,70

ARF Acute renal failure 74

ATP Adenosine triphosphate 14,15,16,18,25,31,48,49,50

AVDO2 arteriovenous oxygen difference 18,33,,34

CABG Coronary artery bypass graft 68

cAMP cyclic adnosine monophosphate 40,41,42,48

CaO2 arterial oxygen concentration 7,14

cGMP cyclic guanosine monophosphate 40,41

CI Cardiac index 18,19,32,34

CO cardiac output 11,14,15,18,19,20,22,24,25,26,27,36,38,40

COP Colloid osmotic pressure 58

CRT Capillary refill time 2,3,10,11,13,16,17,18,22,27,32,51,52,79,81,92

CVP Central venous pressure 21,25,26,32,33,37,80,101

DAG Diacyl glycerol 41

Dextran 72,73,74,78,102

DO2 oxygen delivery5,6,7,8,14,109

Dobutamin 38,39,45,55,79,81

Dopamin 45,46,55,79,80,81

DSS Dengue Shock Syndrome 36,100,101,104

ECMO Extracorporeal membrane oxygenation 83

Epinefrin 13,23,24,29,38,39,40,42,43,45,46,47,48,52,75,79,80,81

ESL Endotherlial surface layer 61

FiO2 Fractional concentration of Inspired oxygen 17,60,68

HES Hydroxyethyl starch 62,72,73,74,75

HR Heart rate 10,15,27,33,51,81,108,109

Page 128: Syok pada anak

123

IGD Instalasi Gawat Darurat 13,19,21,22,85

IL Interleukin 48,56,63

INR Internation normalized ratio 18

IO Intraosea 113,114,115,116,117

IP3 inositol 1,4,4-triphosphate 41

JVD Jugular venous distension 79,80

KAD Ketoasidosis diabetik 4

KID Koagulasi intravaskular diseminata 102,103,106

LVEDP Left ventricular end-diastolic pressure 29

LVEDV Left ventricular end-diastolic volume 29

MAP Mean arterial pressure 21,25,26,27,32,33,65,109,

Milrinon 13,23,24,29,38,39,40,42,43,45,46,47,48,52,75,79,80,81

ERO2 oxygen extraction ratio 6,8,

OR odds ratio 22,75

PDEI Phosphodiesterase inhibitor 41,42,43

PELOD Pediatric logistic organ dysfunction score 17

PO2 Partial oxygen pressure 7,59,60,68

PPHN Persistent pulmonary hypertension 83

pRBC packed red blood cells 51,52,93,

PRISM pediatric risk illness severity and mortality score 17

RCT Randomized controlled trial 57,64,68,69,75,

RR relative risk 65,69,75,

SAFE Saline versus albumin evaluation 55,57,64,,65,66,70,76,77,

SaO2 arterial oxygen saturation 6,7,14

SBP Systolic blood pressure 17,33,51,109

SOAP Sepsis occurrence in acutely ill patients 66

SOFA Sequential Organ Failure Assessment 68,75

SVCO2 Superior vena cava oxygen saturation 20,21,22

SVR Systemic venous resistance 10,11,19,21,25,39,46,79,109

TBI Traumatic Brain Injury 65,66

TD Tekanan darah 11,81,85,92,93

TNF Tumor necrosis factor 63,

VL Volume loading 60,61,62,

VO2 Total body oxygen consumption 8,

Page 129: Syok pada anak

124