22
Journal Reading Depresi dan Penyakit Kronis : Upaya Mensinergikan Pelayanan Kesehatan Mental dalam Pelayanan Primer Ayu W, Deliza AP, Nur Fii H, M. Aria N* *) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Sumber : Boris V , William D R , and Rahn K. 2013. Depression and Chronic Diseases: It Is Time for a Synergistic Mental Health and Primary Care Approach. Prim Care Companion CNS Disord. 15 (2): PCC. 12r01468. Abstrak Tujuan : Mengidentifikasi depresi sebagai faktor risiko mayor penyebab disabilitas pada penyakit kronis. Efek buruk depresi berpengaruh pada angka morbiditas dan mortalitas penyakit seperti kanker, diabetes, penyakit jantung, dan stroke, termasuk faktor gaya hidup dan mekanisme biologi (psikoneuroimunologi). Sumber data : Sumber data pada review pada artikel ini adalah English Pubmed dari tahun 1992 sampai 2012 (meliputi kriteria : psikoneuroimunlogi depresi, immune-mediated inflamation, rekomendasi penatalaksanaan depresi, skrining depresi, disabiliti, populasi depresi, penyakit kronis dan depresi, dan penghambatan selektif re-uptake serotonin pada sistem imun). Sintesis data : Sintesis data tentang hubungan antara penyakit kronis dan depresi telah dikembangkan dengan 0

Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

  • Upload
    fii-nur

  • View
    95

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

Journal Reading

Depresi dan Penyakit Kronis : Upaya Mensinergikan Pelayanan Kesehatan Mental dalam Pelayanan Primer

Ayu W, Deliza AP, Nur Fii H, M. Aria N*

*) Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Sumber :

Boris V, William D R , and Rahn K. 2013. Depression and Chronic Diseases: It Is

Time for a Synergistic Mental Health and Primary Care Approach. Prim Care Companion CNS Disord. 15 (2): PCC. 12r01468.

Abstrak

Tujuan : Mengidentifikasi depresi sebagai faktor risiko mayor penyebab disabilitas pada penyakit kronis. Efek buruk depresi berpengaruh pada angka morbiditas dan mortalitas penyakit seperti kanker, diabetes, penyakit jantung, dan stroke, termasuk faktor gaya hidup dan mekanisme biologi (psikoneuroimunologi).

Sumber data : Sumber data pada review pada artikel ini adalah English Pubmed dari tahun 1992 sampai 2012 (meliputi kriteria : psikoneuroimunlogi depresi, immune-mediated inflamation, rekomendasi penatalaksanaan depresi, skrining depresi, disabiliti, populasi depresi, penyakit kronis dan depresi, dan penghambatan selektif re-uptake serotonin pada sistem imun).

Sintesis data : Sintesis data tentang hubungan antara penyakit kronis dan depresi telah dikembangkan dengan pendekatan psikoterapi dan psikofarmakologi depresi berdasarkan sumber data yang ada.

Hasil : Hasil yang didapat dari sintesis data adalah terdapat koordinasi yang buruk antara pelayanan kesehatan mental dengan pelayanan kesehatan primer di Amerika Serikat. Masalah ini merupakan masalah sistemik yang harus diselesaikan karena situasi ini berpotensi meningkatkan angka prevalensi depresi yang tidak terdiagnosis dan tidak diterapi pada populasi yang menderita penyakit kronik.

0

Page 2: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

Kesimpulan : Pemeriksaan harus diimplementasikan seiring dengan kesehatan mental komunitas dan pelayanan primer sebagai sarana untuk mendapatkan pendekatan sinergis dari depresi.

Angka rata-rata hidup pada pasien depresi lebih rendah 25-30 tahun daripada pada

populasi, dan akibat dari depresi ini berhubungan dengan obesitas.

Depresi dapat terdiagnosis dan diterapi di pelayanan kesehatan primer

Terdapat evidence based alat skrining untuk mengidentifikasi depresi yang mudah

dan efektif

PENDAHULUAN

WHO memprediksikan pada tahun 2030, depresi akan mengakibatkan disabilitas pada penyakit-penyakit kronis.1 Saat ini depresi telah menjadi penyebab kedua disabilitas pada kategori umur 15-44 tahun dari laki-laki maupun perempuan. Depresi terjadi pada semua jenis kelamin, usia, dan latar belakang. Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa angka rata-rata hidup pasien depresi 25-30 tahun lebih rendah daripada populasi umum, yang mana banyak episode depresi menunjukan kehilangan semangat hidup yang dapat terdiagnosis pada pelayanan kesehatan primer.

Medikasi dengan anti-depresan dan psikoterapi sangat efektif hingga 80% dan dapat dilakukan di pelayanan primer. Meskipun demikian, metode ini hanya berjalan < 25%, bahkan pada beberapa negara hanya terlaksana < 10%.1 Di Amerika, depresi dilaporkan terjadi pada 9,1% populasi orang dewasa dalam kurun waktu 12 bulan, dan meningkat menjadi 17%, diantaranya mengalami gejala depresi sedikitnya sekali seumur hidup.2 Dari banyak kasus yang terjadi di Amerika, hanya < 50% penderita yang mendapatkan metode penatalaksanaan tersebut.2

Review ini merangkum beberapa literatur tentang efek depresi terhadap morbiditas dan mortalitas penyakit-penyakit kronis di Amerika Serikat, seperti kanker, diabetes, penyakit jantung dan stroke, termasuk di dalamnya faktor gaya hidup dan mekanisme biologi. Review ini juga membahas penatalaksanaan depresi pada penyakit kronik dengan pendekatan psikoterapeutik dan psikofarmakologik yang direkomendasikan.

Pada review ini juga didiskusikan mengenai dampak buruknya koordinasi antara pelayanan kesehatan mental dengan pelayanan kesehatan primer di

1

Page 3: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

Amerika Serikat. Buruknya koordinasi ini berpotensi meningkatkan insidensi depresi yang tidak terdiagnosis dan tidak diterapi. Bahasan ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk melaksanakan pendekatan sinergis pada komunitas dan praktisi di layanan kesehatan primer.

METODE

Tulisan ini adalah adalah review dari artikel dan jurnal Pubmed berbahasa Inggris dari tahun 1992 sampai 2012. Kata kunci artikel dan jurnal diantaranya adalah psikoneuroimunlogi depresi, immune-mediated inflamation, rekomendasi penatalaksanaan depresi, skrining depresi, disabiliti, populasi depresi, penyakit kronis dan depresi, dan penghambatan selektif re-uptake serotonin pada sistem imun.

Depresi diidentifikasi sebagai masalah utama yang berdiri sendiri merupakan faktor risiko mayor penyebab disabilitas pada penyakit kronis. Depresi meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas penyakit seperti kanker, diabetes, penyakit jantung, dan stroke, termasuk faktor gaya hidup dan mekanisme biologi.

DEPRESI PADA PENYAKIT KRONIS

Perkembangan ilmu pengetahuan psikiatri komunitas menyatakan bahwa depresi merupakan faktor risiko independen mayor dan indikator prognosis negatif dari penyakit-penyakit kronis seperti jantung, stroke, kanker, dan diabetes. Prevalensi terjadinya depresi pada penyakit kronis menunjukan angka yang tinggi secara signifikan di masyarakat. Mykletun et al melaporkan bahwa depresi pada penyakit kronis memiliki angka mortalitas yang sama tingginya dengan kebiasaan merokok3. Depresi dapat terjadi pada banyak aspek kehidupan, seperti pekerjaan dan produktivitas. Depresi dinilai menimbulkan efek negatif yang lebih buruk dibandingkan kondisi klinis seperti artritis, hipertensi, nyeri pinggang, dan diabetes.4

2

Page 4: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

Gambar 1. Prevalensi depresi pada penyakit kronis

Hingga pertengahan tahun 1980, banyak yang berpikir bahwa depresi pada penyakit kronis muncul akibat gaya hidup (pengobatan yang lama, gangguan tidur dan nutrisi, latihan fisik yang kurang, gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, alkohol, dan penyalahgunaan zat). Gaya hidup yang buruk dinilai menyebabkan depresi dan menjadi faktor komorbid pada penyakit kronis.

Tabel 1. Hubungan antara gaya hidup dengan depresi dan penyakit kronis

Mekanisme Biologi yang Berhubungan dengan Depresi dan Penyakit Kronis

Beberapa literatur menyebutkan bahwa depresi memiliki efek adaptif terhadap sistem imun seluler melalui beberapa jalur (pathway). Teori baru di bidang psikoneuroimunologi cukup matang untuk menjelaskan bukti adanya

3

Page 5: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

hubungan antara depresi dan gangguan sistem imun. Penemuan-penemuan baru di bidang ini menjadi salah satu evidence based bahwa depresi dan penyakit kronis mempunyai hubungan secara langsung berupa low grade inflammation, gangguan imunitas seluler, gangguan sistem neurotransmiter, dan dekompensasi atau feedback.5 Beberapa hipotesis telah teridentifikasi terhadap kesehatan sistem imun.

Inflamasi yang Dimediasi Sistem Imun

Ekspresi sitokin proinflamasi yang berlebihan berkontribusi untuk memicu ketidakstabilan plak aterosklerosis dan menginduksi ruptur plak dan trombosis pada aterosklerosis.6 Marker inflamasi seperti IL-6, CRP, dan TNFα ditemukan meningkat secara signifikan pada pasien depresi daripada pada pasien yang hanya mengalami penyakit kronis. Kondisi ini meningkatkan insiden penyakit kardiovaskuler dan kematian7 melalui efeknya terhadap kontraktilitas otot jantung dan apoptosis8 akibat disregulasi Hypothalamic-pituitary-adrenal axis (HPA).

Disregulasi Aksis HPA

Disregulasi aksis ini dilaporkan meningkat signifikan pada depresi dan berhubungan dengan obesitas abdominal, hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, hipertensi, dan intoleran glukosa.9

Peningkatan Trombogenesis

Platelet merupakan bagian dari formasi trombus. Trombus memegang peran penting dalam patofisiologi aterosklerosis, stroke, dan infark miokard. Pada depresi, plasma serotonin dan norepinefrin meningkat.10 Karena serotonin dan norepinefrin merupakan agonis platelet, level serotonin yang tinggi akan mengakibatkan peningkatan aktivasi platelet melalui feedback positif pada aksis HPA.11

Efek Serotonin

Serotonin memiliki efek pada sistem kardiovaskuler yaitu aritmia dan vasokonstriksi pembuluh darah. Paparan jangka panjang serotonin menghasilkan penyakit proliferatif pada endotelium dan menyebabkan katup jantung menebal.12

Inflamasi serta Hubungannya dengan Depresi dan Penyakit Kronis

Beberapa literatur terbaru menyebutkan bahwa depresi menginduksi inflamasi kronik yang dimediasi sistem imun. Proses ini berhubungan dengan patogenesis penyakit jantung13, stroke14, Alzheimer15, beberapa kanker16, penyakit autoimun

4

Page 6: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

seperti multiple sclerosis, artritis reumatoid17-20, obesitas dan diabetes21. Depresi pada kondisi ini dilaporkan meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, TNFα) dan biomarker inflamasi lainnya yang dapat menyebabkan maladaptasi kronis. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi ini dapat ditekan dengan menggunakan obat antiinflamasi seperti celecoxib (penghambat siklooksigenasi) atau etanercept (penghambat TNFα) sebagai terapi adjuvan dengan antidepresan tradisional. Akan tetapi belum ada laporan tentang seberapa besar efektivitasnya.22

Penelitian tambahan dibutuhkan untuk menggambarkan lebih lanjut mengenai efek potensialnya pada depresi dengan obat antiinflamasi.

Depresi dan Supresi Sistem Imun Seluler

Banyak literatur tambahan lainnya yang menghubungkan depresi dengan supresi sistem imun seluler melalui penurunan proliferasi limfosit dan reduksi NK sel.23,24 Efek ini menyokong prognosis negatif pada pasien HIV, Hepatitis C, EBV, dan HZV. Dasar dari patogenesis supresi sistem imun seluler pada depresi adalah dengan terjadinya gangguan sinyal serotonin pada membran limfosit seperti sel dendritik, monosit, dan sel CD-4 dan CD-8 yang semuanya mempunyai reseptor serotonin-1. Beberapa penelitian menunjukkan tingginya kadar serotonin pada depresi dapat menurunkan proliferasi limfosit serta mengganggu sistem serotonergik yang dapat mensupresi sistem imun.23,24

DEPRESI DAN PENYAKIT ARTERI KORONER

Epidemiologi

Sebagian besar kasus depresi terjadi pada 23% post infark miokard, dan berkisar antara 30% - 45% pada populasi pasien dengan penyakit arteri koroner.25

Morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler dan depresi secara signifikan lebih tinggi daripada pasien dengan penyakit kardiovaskuler yang tidak mengalami depresi. Sebagai contoh, pasien dengan penyakit depresi 4 kali lebih menyukai mati pada 6 bulan pertama setelah mengalami infark miokard daripada yang tidak mengalami depresi. Ini merupakan faktor risiko mortalitas yang sama pentingnya dengan disfungsi ventrikel kiri.25

Depresi sebagai Faktor Risiko Independen

Efek negatif depresi, secara independen menyebabkan penyakit arteri koroner yang berat, infark miokard, disfungsi ventrikel kiri, dan penyakit jantung yang lain.25 Depresi kemudian menjadi faktor risiko independen untuk penyakit arteri koroner (pada bahasan ini, independen berarti meskipun pasien melakukan semua yang dianjurkan, jika mereka depresi, mereka masih akan tetap memiliki risiko

5

Page 7: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

lebih besar menjadi penyumbatan serius pada arteri koroner). Depresi juga meningkatkan disabilitas pada pasien dengan penyakit koroner.

Gejala-Gejala Depresi pada Penyakit Jantung Koroner

Penelitian Jonge et al26 memberikan pengetahuan kepada kita bahwa pentingnya untuk mengetahui gejala-gejala awal depresi pada pasien dengan penyakit jantung. Jonge et al melakukan analisis membandingkan 3 gejala depresi dalam hubungannya dengan faktor risiko kardiovaskuler, mortalitas, intensitas serangan sindrom koroner akut selama kurang lebih 2,5 tahun. Analisis dilakukan terhadap 2000 pasien kontrol penyakit jantung koroner. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat bukti kuat bahwa gejala somatik/afektif (pesimis, kelelahan, kesedihan), kehilangan nafsu makan, berat badan yang menurun berhubungan dengan meningkatnya risiko mortalitas penyakit jantung secara independen dari penyakit jantung koroner. Gejala kognitif/afektif (penarikan diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam melakukan pekerjaan, dan kehilangan konsentrasi) tidak ditemukan sebagai prediktor peningkatan mortalitas penyakit jantung.26

Terapi Antidepresan pada Post Infark Miokard

Terapi dengan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) dinilai efektif diberikan pada pasien post infark miokard. Terdapat evidence based yang kuat bahwa antidepresan dan SSRI dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien post infark miokard yang mengalami depresi.27

DEPRESI DAN STROKE

Epidemiologi

Depresi merupakan kondisi yang sering dijumpai pada pasien post stroke, dan prevalensinya pada populasi ini berkisar antara 20% - 60%. Jarak yang terlalu besar dapat dijelaskan dengan gejala depresi yang tidak jelas menyebabkan tanda dan gejala depresi dan stroke saling bertumpang tindih, kurangnya kemampuan anggota pelayanan kesehatan, dan alat penilaian yang tidak efisien untuk menegakkan diagnosis dapat mengakibatkan dampak negatif.28 Namun demikian, semua peneliti termasuk pada penelitian yang relevan sekalipun melaporkan bahwa angka depresi post stroke mungkin banyak yang di bawah estimasi karena bebearapa faktor seperti gangguan ingatan (memori) dan fungsi kognitif pada pasien post stroke, membuat sulit untuk mengetahui mood pasien.

6

Page 8: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

Penelitian 10 tahun terakhir menunjukkan angka mortalitas pada pasien post stroke dengan depresi dilaporkan mencapai 70% dibandingkan dengan angka mortalitas pasien yang tidak depresi yaitu 40%.29 Angka mortalitas post stroke yang tertinggi pada pasien depresi dilaporkan selama 12 bulan pertama dan diperkirakan memiliki odds ratio 3 kali lipat daripada pasien post stroke yang tidak depresi.30

Hubungan antara Depresi dan Stroke

Terdapat bukti hubungan antara depresi dan penyakit serebrovaskuler, dimana depresi adalah faktor premorbid yang dapat menyebabkan transient ischemic attack (TIA) atau stroke. Review meta-analisis dari 28 studi kohort prospektif (diikuti 317.540 peserta) menunjukkan bahwa 8.748 kasus stroke berkisar antara 2 – 29 tahun setelah periode follow up.31 Peneliti menyimpulkan bahwa depresi berhubungan dengan peningkatan risiko signifikan dari morbiditas dan mortalitas stroke.31 Depresi dengan gaya hidup yang buruk (seperti merokok, kurangnya aktivitas fisik, diet yang buruk, ketidakteraturan dalam berobat),31 semuanya akan meningkatkan risiko stroke.32 Besarnya hubungan antara depresi dan stroke diamati pada penelitian Pan et al31 terhadap faktor risiko merokok33 dan obesitas.34

Depresi juga berkontribusi terhadap patogenesis penyakit kardiovaskuler. Beberapa mekanisme biologi yang berperan diantaranya adalah (1) disregulasi aksis HPA yang dapat menimbulkan hipertensi, obesitas, dan hiperkolesterolemia, (2) aktivasi berlebihan dari agregasi platelet dan formasi thrombus, dan (3) inflamasi kronis yang berhubungan dengan peningkatan CRP, IL-1, IL-6, dan TNF-α. Faktor inflamasi ini memiliki hubungan positif dengan peningkatan risiko stroke.35

Terapi Antidepresan pada Penyakit Serebrovaskuler

Tujuan utama dari penatalaksanaan pada penyakit serebrovaskuler dengan faktor komorbid depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi, improve mood dan memperbaiki kualitas hidup serta menurunkan risiko komplikasi dan relaps. Antidepresan secara umum tidak diindikasikan pada gejala ringan depresi karena keseimbangan antara manfaat dan risiko tidak memuaskan. SSRIs merupakan pilihan pertama untuk penatalaksanaan depresi post stroke pada pasien usia tua karena potensiasi obat dan efek samping yang biasa terjadi relatif rendah.

DEPRESI DAN DIABETES MELITUS

Epidemiologi

7

Page 9: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

Depresi merupakan kondisi yang biasa terjadi pada pasien diabetes melitus, diperkirakan sebanyak 1 dari 4 pasien diabetes melitus mengalami depresi selama periode 2,5 tahun dan sedikitnya satu kali memperlihatkan gejala, depresi pada diabetes melitus sering terjadi pada kondisi kronis/rekuren.36 Mortalitas pada pasien diabetes dengan komorbid depresi juga 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengalami depresi.37 Sebagai catatan, prevalensi ini juga dilaporkan oleh beberapa pusat riset diabetes di Amerika Serikat diantaranya African Americans, Pacific Americans, Native Americans dan Hispanic.38

Beberapa literatur lain menyebutkan terdapat perbedaan yang signifikan antara angka kejadian depresi pada orang kulit putih dan ras lainnya di Amerika Serikat. Penelitian prospektif terhadap 2.830 ras Mexican Americans yang menderita diabetes melitus tipe 2 pada usia lebih dari 65 tahun memperlihatkan bahwa depresi meningkatkan risiko percepatan onset dan komplikasi 5 kali lebih besar dibandingkan dengan penderita diabetes mellitus yang tidak mengalami depresi.39

Hubungan Antara Depresi dan Diabetes

Banyak literatur yang menyebutkan ada hubungan yang kuat antara depresi dan diabetes tipe 2. Dalam studi meta-analisis tentang efek jangka panjang depresi terhadap diabetes, depresi dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian diabetes tipe 2 sebanyak 60%. Karena itu, dapat dikatakan bahwa depresi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya diabetes, selain merokok.40 Depresi sebagai salah satu faktor risiko penyakit diabetes dapat dijelaskan sebagai berikut.

Dampak Terhadap Perilaku

Adanya gangguan perilaku akibat depresi ini memiliki dampak yang buruk terhadap upaya preventif dan kuratif yang tentu saja merugikan. Depresi dikaitkan dengan penurunan aktivitas fisik dan gangguan tidur, yang meningkatkan risiko terjadinya obesitas yang selanjutnya dapat mengakibatkan peningkatan risiko diabetes tipe 2. Depresi juga dikaitkan dengan buruknya perawatan diri pada penderita diabetes, misalnya ketidakpatuhan terhadap pengobatan, modifikasi diet, berolahraga, dan monitoring glukosa darah.41

Dampak Biologis

Sebagaimana disebutkan di atas, Aksis HPA dan sistem saraf simpatik-adrenal teraktifasi secara berlebihan oleh stres. Hal ini mengakibatkan peningkatan katekolamin dan sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, TNF-α, CRP) yang terkait dengan peningkatan resistensi insulin. Aktivasi yang berlebihan pada aksis

8

Page 10: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

HPA menyebabkan peningkatan kadar kortisol secara persisten, yang pada akhirnya, menyebabkan peningkatan adiposit dan peningkatan resistensi insulin.

DEPRESI DAN KANKER

Epidemiologi

Efek depresi pada pasien kanker telah diteliti selama lebih dari 30 tahun. Penelitian pertama kali dilakukan oleh David Spiegel dan kelompoknya di Stanford University pada akhir tahun 1970. Spiegel42 menemukan bahwa pasien kanker payudara yang menghadiri pertemuan mingguan hidup dua kali lebih lama dibanding mereka yang tidak. Banyak penelitian yang dikumpulkan dan dianalisis, namun hasilnya sangat bertentangan. Prevalensi depresi pada penderita kanker dilaporkan dalam kisaran 1%-69%. Penegakan diagnosis depresi pada pasien kanker dapat menjadi tantangan, dengan alasan:

- Kriteria diagnostik DSM-IV meliputi beberapa gejala yang tumpang tindih antara gejala kanker atau efek samping dari perawatan (yaitu, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, gangguan tidur, kelelahan, kehilangan energi, kesulitan berkonsentrasi, dan retardasi psikomotor).

- Tingkat prevalensi sering didapatkan hasil yang bervariasi selama perjalanan penyakit, meskipun tekanan emosional dapat mengubah sebagai pasien transisi melalui tahapan diagnosis, pengobatan akut, dan pasca-perawatan.43 Tingkat prevalensi depresi juga sangat tergantung pada respon pengobatan terhadap pasien.44

- Sebagian besar literatur relevan yang dirilis pubmed mengandalkan metode skrining dari gejala depresi, daripada menggunakan instrumen gold standart.45

Studi meta-analisis baru-baru ini hanya menggunakan literatur DSM atau kriteria ICD, yang secara keseluruhan menghasilkan angka prevalensi depresi pada pasien kanker sebesar 29%.46,47

Penelitian oleh Lloyd-Williams et al48 melaporkan penurunan signifikan kelangsungan hidup antara pasien kanker dengan depresi dibandingkan dengan pasien kanker tanpa depresi. Penelitian ini menggunakan Edinburgh Depression Scale, suatu instrumen yang tidak menyertakan gejala somatik depresi yang mungkin tumpang tindih dengan gejala yang diderita oleh penderita kanker. Depresi dilaporkan sebagai faktor risiko independen sehingga dapat menyebabkan prognosis kelangsungan hidup yang buruk pada pasien kanker.48 Dalam penelitian lain yang melibatkan lebih dari 10.000 subyek, pasien kanker dengan depresi memiliki risiko kematian lebih besar daripada mereka yang tidak depresi.49 Jenis kanker yang sangat berhubungan dengan depresi antara lain kanker otak (41% -

9

Page 11: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

93%), pankreas (hingga 50%), kepala dan leher (hingga 42%), payudara (hingga 37%), ginekologi (23%), dan paru-paru (11%). 50

Dampak Terhadap Perilaku

Ketidakpatuhan pasien untuk mengkonsumsi obat yang diresepkan telah diakui sebagai penyebab utama buruknya kelangsungan hidup pada pasien kanker dengan depresi.51 Depresi mempengaruhi kepatuhan pengobatan anti-kanker dengan beberapa cara, sebagai berikut:

- Ketidakmampuan untuk mengintegrasikan diagnosis kanker dan informasi pengobatan

- Berkurangnya motivasi terhadap kepedulian diri, kesulitan perencanaan- Keyakinan negatif dan pesimisme terhadap pengobatan- Menghindari perilaku untuk peningkatan kesehatan- Isolasi sosial dan penarikan diri; - Mengurangi penggunaan sumber daya masyarakat; - Sulit mentoleransi efek samping pengobatan.

Dampak Biologis

Dalam onkologi, disregulasi neuroendokrin yang disebabkan oleh depresi sangat penting. Aktivasi aksis HPA adalah reaksi normal terhadap stres adaptif, akan tetapi sebagai respon pada stres kumulatif dalam jangka panjang, aksis HPA bergeser ke keadaan terus-menerus aktif. Pada gilirannya, akan menyebabkan hiperkortisol dan efek merugikan lainnya. Peningkatan kadar kortisol secara persisten dapat menyebabkan (1) percepatan pertumbuhan tumor,52 (2) menimbulkan imunosupresi fungsional, dan (3) menurunkan ekspresi gen supresor tumor (BRCA-1) dan oleh karena itu terjadi perlambatan apoptosis sel-sel ganas.53

Ada bukti yang menyatakan bahwa sistem adrenosimpatis juga teraktivasi secara berlebih pada depresi, hal ini dapat mempercepat perkembangan tumor melalui pelepasan faktor pertumbuhan endotel vaskular, yang pada gilirannya, merangsang proliferasi pembuluh darah di dalam tumor. Beberapa studi yang menyelidiki efek blokade norepinefrin pada pertumbuhan tumor melaporkan bahwa tingkat kelangsungan hidup pasien kanker yang diobati dengan dengan β-blocker meningkat secara signifikan.54,55

Psikoterapi pada Pasien Kanker

10

Page 12: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

Saat ini, tidak ada bukti yang mendukung keunggulan pengobatan farmakologis terhadap pengobatan yang lain atau keunggulan pengobatan farmakologis terhadap intervensi psikososial. Oleh karena itu, bentuk depresi ringan-sedang pada pasien kanker disarankan untuk dikelola dengan psikoterapi (Misalnya, perilaku kognitif dan terapi kelompok suportif-ekspresif).56,57

Terapi Antidepresan pada Pasien Kanker

Terapi antidepresi umumnya diberikan untuk pasien kanker yang didiagnosis dengan sindrom depresi atau saat depresi terjadi bersamaan dengan gangguan mental lainnya (depresi dan kecemasan, depresi dan penyalahgunaan zat, depresi dan gangguan bipolar). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tidak ada bukti yang mendukung pengobatan farmakologis untuk terapi depresi pada pasien kanker, hendaknya pengobatan menggunakan antidepresan dipilih berdasarkan efek samping yang dapat diaplikasikan pada pasien kanker.57

PEMBAHASAN

Depresi dan penyakit kronis memiliki keterkaitan yang sangat erat, terdapat evidence based yang cukup kuat bahwa depresi memberikan kontribusi negatif terhadap perkembangan penyakit kronis. Selain itu, perkembangan bidang ilmu psikoneuroimunologi telah dapat memaparkan peran mediator inflamasi sebagai proses patofisiologis universal yang mendasari banyak penyakit kronis dan gangguan mental. Penemuan-penemuan baru ini memandang gangguan mental dan penyakit kronis merupakan manifestasi klinis dari proses patofisiologis yang sama. Pemahaman ini selanjutnya diharapkan dapat membuka jalan pendekatan klinis antara keduanya.

Seperti yang telah dijelaskan dalam artikel ini, mediator inflamasi yang bersifat kronis menyebabkan disregulasi neuroendokrin dan sistem imun yang pada akhirnya berdampak buruk pada pengembangan penyakit medis yang kronis.58 Sayangnya, hanya sedikit sumber klinis untuk dapat digunakan sebagai evidence based terhadap pendekatan pengobatan psikosomatik, sehingga diperlukan studi placebo controlled trial.

Integrasi Pelayanan Kesehatan Mental dalam Layanan Primer

Dalam sistem kesehatan publik di Amerika Serikat, pelayanan kesehatan primer sejatinya memiliki peran untuk melakukan layanan kesehatan mental. Menurut American Academy of Family Physicians,59 terdapat setidaknya 54% pasien dengan kondisi kesehatan mental yang buruk lebih memilih layanan primer dibandingkan layanan spesialistik, sementara hanya sekitar 42% pasien yang

11

Page 13: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

terdiagnosis memiliki kesehatan mental yang buruk. Sebagai catatan, penelitian yang dipublikasikan oleh Mental Health America pada tahun 201160 melaporkan bahwa kebanyakan orang lebih memilih layanan kesehatan primer untuk perawatan kesehatan mental mereka karena dianggap memiliki stigma yang lebih sedikit dibandingkan dengan sistem kesehatan mental yang lebih spesialistik.

Pelayanan primer memainkan peran penting dalam mengidentifikasi dan pengobatan kesehatan mental dalam populasi besar termasuk orang dewasa dan pasien minoritas yang berpenghasilan rendah. Kondisi mental pada populasi ini mungkin tidak terdiagnosis dan terobati karena keterbatasan akses disebabkan faktor sosial ekonomi dan budaya. Jika skrining, metodologi diagnostik dan pedoman pemberian pengobatan, sudah diterapkan secara efektif pada pelayanan primer, maka masa hidup dan kualitas hidup secara keseluruhan populasi dapat meningkat.

Pengobatan dini depresi pada penyakit kronis memiliki hasil yang cukup baik oleh karena itu perlu dilakukan skrining rutin bagi penderita penyakit kronik.61

Oleh karena itu, dalam pandangan kami, tantangan terpenting yang saat ini dihadapi sistem kesehatan publik di Amerika Serikat adalah meningkatkan kewaspadaan terhadap depresi dan pengetahuan klinis depresi di kalangan praktisi pelayanan primer. Penyedia layanan primer sewajarnya memiliki pengetahuan mengenai pilihan pengobatan untuk depresi pada penyakit kronis.

Pendekatan Pencegahan dengan Skrining Depresi

American Heart Association Prevention Committee merekomendasikan skrining depresi rutin pada semua pasien penyakit jantung dengan instrumen diagnostik Patient Health Questionnaire dan tes perasaan, mood, dan anhedonia ("apakah selama 2 minggu terakhir Anda merasa tertekan, depresi, atau putus asa?” dan "apakah selama 2 minggu terakhir Anda merasa tidak memiliki minat atau kesenangan dalam melakukan sesuatu?").27 Pasien dapat dengan mudah menjawab pertanyaan ini. Jika pasien menjawab ‘YA’ di kedua pertanyaan, diharuskan untuk melanjutkan 9 pertanyaan pada Patient Health Questionnaire. Instrumen ini telah di survey oleh American Psychiatric Association pada tahun 2008 dan ditinjau oleh Sowden et al pada 2010,63 instrumen diagnostik ini dinilai layak, dapat diterima secara baik, dan tidak membutuhkan sumber daya intensif. Ada beberapa alat skrining yang tersedia di publik dan saat ini direkomendasikan untuk kelompok usia selain dewasa untuk mengidentifikasi pasien dengan depresi dalam sistem perawatan primer diantaranya :

12

Page 14: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

- Center for Epidemiologic Studies Depression Scale for Children. Dalam kuesioner ini terdapat 20-item 64 yang berfokus pada bagaimana perasaan dan perilaku seorang individu selama seminggu terakhir. Skor berkisar dari 0 hingga 60, dimana skor ≥ 15 secara klinis menunjukkan gejala depresi pada anak-anak dan remaja.

- Pediatric Symptom Checklist. Skrining ini digunakan untuk mengidentifikasi masalah kognitif, emosional, dan perilaku pada anak-anak dan remaja.65

- Spence Children’s Anxiety Scale. Instrumen ini adalah alat yang digunakan untuk menilai kecemasan gejala yang konsisten dengan dimensi gangguan kecemasan yang ada dalam DSM-IV. 66

- Global Appraiser of Individual Needs-Short Screener. Survey ini mengidentifikasi penyalahgunaan zat, dan manajemen emosi bagi remaja.67

Menurut tinjauan kami, edukasi dokter saja tidak cukup. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan individu dan praktisi mengenai depresi dan penyakit kronis dapat menjadi fenomena gunung es. Untuk menyelesaikan permasalahan ini dibutuhkan pendekatan sistematis. Bahkan, beberapa tahun yang lalu, kesehatan mental tidak termasuk dari bagian integral sistem kesehatan masyarakat nasional di Amerika Serikat. Situasi ini dapat disebabkan oleh pelayanan kesehatan masyarakat dan mental yang tidak secara selaras dalam menghadapi depresi.

Untuk mengatasi bagaimana cara mengintegrasikan kesehatan mental dan primer, US Surgeon General 2000 Report memberikan kerangka kebijakan "Integrasi Pelayanan Kesehatan Mental dalam Pelayanan Kesehatan Primer", kebijakan ini menyediakan 12 prinsip utama untuk memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan program nasional dan lokal.68 Prinsip-prinsip ini termasuk penekanan yang ditujukan untuk pasien dan keluarga mereka, promosi kesehatan untuk mengatasi kesenjangan, karakteristik dasar, penggantian untuk mendukung perawatan, kolaborasi/kolokasi, penyakit kronis dan kesinambungan perawatan, kualitas standar dan pengukuran hasil, pembangunan model yang ada, penelitian dan demonstrasi, pelatihan, dan teknologi informasi.68

US Surgeon General 2000 Report, Healthy People 2020 69 dan The Substance Abuse and Mental Health Services Administration’s (SAMHSA) menekankan kebutuhan mendesak seperti pendanaan yang sinergis untuk pendekatan kesehatan mental dan somatik pada masalah depresi. Mereka menilai perlunya advokasi untuk langkah-langkah berikut:

- Pembangunan berbasis komunitas dengan kapasitas klinis, sistemik, dan organisasi untuk gabungan pelayanan kesehatan jiwa/umum;

13

Page 15: Refrat Depresi Dan Penyakit Kronis

- Pencapaian kesetaraan kesehatan dengan memobilisasi koalisi masyarakat tradisional dan jaringan untuk mengatasi determinan sosial (hambatan untuk perawatan);

- Pengembangan model untuk peluang pelatihan khusus bagi para petugas kesehatan masyarakat;

- Peningkatan pengumpulan dan evaluasi data

Reformasi Integrasi Pelayanan Kesehatan Mental dalam Layanan Primer

Undang-undang kesehatan terbaru telah disahkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 28 Juni 2012. Undang-undang ini memberikan kesempatan yang baik untuk meningkatkan integrasi pelayanan kesehatan primer dan mental yang layak.71 Pada poin ke-2703 pada undang-undang tersebut memungkinkan negara untuk membangun pusat kesehatan individu melalui program Medicaid. Poin tersebut menetapkan dan memberikan dukungan untuk integrasi pelayanan kesehatan primer dan mental melalui SAMHSA (Pusat Layanan Sumber Daya Kesehatan untuk Solusi Kesehatan Terpadu).71 Pada saat publikasi ini, SAMHSA telah memberikan penghargaan untuk 64 lembaga kesehatan berbasis masyarakat. Didanai terutama oleh negara dan dana kesehatan masyarakat, program-program percontohan ini memiliki tujuan untuk membangun kemitraan dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk layanan perawatan primer penyakit mental serius dan penyalahgunaan NAPZA.

Singkatnya, besarnya dampak depresi terhadap kesehatan masyarakat layak untuk diidentifikasi sebagai tantangan sistemik. Sudah saatnya bagi sistem kesehatan masyarakat Amerika Serikat untuk tidak hanya mengenali pentingnya perawatan kesehatan primer yang terintegrasi tetapi juga melanjutkan upaya ke arah fungsional mental/somatik dari model kesehatan terfragmentasi ke dalam sistem terpadu yang lebih baik.

14