Peran Epstein Barr Virus Pada Kejadian Squamous Cell Carcinoma Rongga Mulut

Embed Size (px)

Citation preview

Peran Epstein Barr Virus Pada Kejadian Squamous Cell Carcinoma Rongga Mulut (Role of Epstein Barr Virus in Oral Squamous Cell Carcinoma) Mega M. Puteri

Abstract Prevalention of oral carcinoma in Indonesia is about 3,75% and 90% of them are squamous cell carcinoma (SCC). SCC is a type of cancer often found in oral cavity and the area of head and neck. Virus is known as one of the main factors that result in this disease. After primary infection virus will remain latent in human cell. Periodically virus will product gene than can disturb proliferative and apoptotic regulator such as p53 gene. This study disclosed the expression of inactive p53 gene that could be used for explaining the occurance mechanismof Epstein Barr virus infected oral squamous cell carcinoma. The aim of this study is to explain the oral squamous cell carcinoma and it's role to Epstein Barr Virus and also the outcome mechanism in our body. Key words : Epstein Barr Virus (EBV), Oral Squamous Cell Carcinoma (SCC), inactive p53

Pendahuluan Kanker rongga mulut memiliki potensi yang cukup mematikan. Di Indonesia angka kejadian relatif rongga mulut sebesar 3,75% dan 90% terjadi jenis squamous cell carcinoma (SCC). (1,2,3). Dari penelitian yang dilakukan oleh Hastin ditemukan sebesar 227 kasus tumor ganas rongga mulut, 209 kasus tumor ganas mulut epitel. (4). Penyebab pasti dari squamous cell carcinoma belum diketahui, dapat disebabkan bahan karsinogen dan faktor predisposisi. Salah satunya infeksi Epstein Barr Virus (EBV). EBV memiliki potensi karsinogenik yaitu mampu mengubah gen suppresor (p53) dan berikatan dengan sel epitel sehingga terjadi transport virus DNA ke sel epitel. (5,6,7). Tujuan penulisan adalah menambah informasi tentang EBV yang berkaitan dengan SCC.

Squamous cell carcinoma (SCC) Squamous cell carcinoma (SCC) merupakan tumor ganas yang berasal dari sel epitel skuamus. (8). Neoplasma ganas disebut kanker dan istilah kanker digunakan untuk menyebut neoplasma ganas khususnya jenis epitelial yaitu karsinoma. (9).

Penyebab SCC antara lain adalah Syphillis, EBV, herpes simplex virus (HSV), human papiloma virus (HPV). (10). Virus yang ikut bertanggung jawab terhadap karsinogenesis pada manusia termasuk virus Epstein Barr. (11). Kanker merupakan penyakit genetik yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor bahan kimia, agen fisik, agen biologik. Salah satu agen biologik adalah virus yang disebut onkogen virus, dalam hal ini EBV. (7). Squamous cell carcinoma umumnya ditemukan di kulit, terutama daerah yang terekspose dan juga dapat terjadi pada daerah epitelium. (12). Gambaran klinik karsinoma sel skuamosa pada stadium awal sering tidak menunjukkan gambaran yang jelas, tidak ada keluhan, dan tidak ada rasa sakit. Dapat diawali dengan adanya leukoplakia, eritroplakia maupun erosi dan pada stadium lanjut dapat berupa dungkul yang eksofitik ataupun noduler meninggi dan dapat berupa ulser yang indurasi yang dapat sembuh. (3).

Epstein Barr virus (EBV) Epstein Barr Virus (EBV) adalah virus DNA yang diklasifikasikan sebagai bagian dari herpes virus (13,14) dengan double stranded DNA pada membran limfosit B yang terinfeksi. (7). Virus ini termasuk bagian dari gamma herpes virus family dan memiliki kemiripan dalam genomic structure dan gene organisation. Sesuai hubungannya dengan berbagai macam limfoid dan keganasan epitelial, EBV telah dikelompokkan sebagai group 1 karsinogen oleh international agency for research on cancer. (15).

Imunitas terhadap virus Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya ditularkan melalui saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B. (16,17). Kegagalan imunitas spesifik EBV dapat memberikan peran pada patogenesis tumor yang berkaitan dengan EBV dan juga pada penderita immunodeficiencies tanpa manifestasi klinik. (15).

Peranan virus dalam karsinogenesis

Terjadinya kanker dapat berasal dari berbagai mutasi. Mutasi dapat terjadi akibat respons terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, dan virus. (18). Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara patologis. (7).

Implikasi kelainan siklus sel terhadap keganasan Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen yang merangsang sel menjalani dan gen penekan tumor (TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel. (19).

Tumor supressor gen (TSG) Tumor supressor gen (TSG) merupakan kelompok gen yang lebih baru ditemukan setelah onkogen, dikenal sebagai antionkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif terhadap proliferasi sel. (20). Gen p53 merupakan contoh lain kelompok TSGs, yang mempunyai peran aktif dalam mendeteksi kerusakan DNA dan menginduksi gen reparasi DNA serta menginduksi apoptosis. (18). Gen p53 adalah suatu gen supressor tumor yang dikenal sebagai master guardian of the genome dan merupakan unsur utama yang memelihara stabilitas genetik. (21). Fungsi gen p53 mendeteksi sintesis DNA yang salah atau kerusakan DNA. Dapat dimengerti bahwa mutasi p53 menyebabkan disfungsi p53 dan berakibat DNA yang mengalami kerusakan tetap dilipatgandakan, menghasilkan populasi sel mengandungDSNA abnormal. Inaktivasi gen p53 dapat terjadi bila berkaitan dengan protein medium 2 atau karena adanya infeksi virus misalnya EBV. (22,23).

Aktivitas tumor supressor gen p53

Gen yang produknya mempunyai fungsi penting dalam mengaktivasi cell cycle check point berfungsi memperpanjang waktu tertentu dalam siklus sel untuk memberi kesempatan perbaikan DNA. Gen yang mempunyai fungsi penting dalam cell cycle check points, yaitu p53. (20,24). p53 hanya akan berfungsi baik bila normal. Pada umumnya defek pada p53 adalah point mutation, disfungsi gen p53 dapat terjadi akibat pengikatan p53 oleh onkogen virus. Bila hal ii terjadi maka sebagian besar fungsi p53 terganggu. (25,26). Proses keganasan (malignansi) dapat terjadi karena perilaku sel yang abnormal akibat adanya mutasi gen. Mutasi gen, dalam hal ini terjadi pada gen p53, karena berikatan dengan onkogen virus seperti EBV. (27).

Apoptosis Apoptosis adalah suatu kejadian yang dikendalikan secara genetik yang menghasilkan penghilangan sel yang tidak dikehendaki tanpa menyebabkan gangguan pada jaringan. Apoptosis juga merupakan hal penting dalam perkembangan sel normal dan homeostasis jaringan normal. (28,29). Dalam kaitan dangan pengendalian onkogenesis, apoptosis merupakan mekanisme penting untuk mencegah proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, agar sel dengan DNA tersebut tidak dilipatgandakan. Kegagalan sel tumor untuk melaksanakan mekanisme apoptosis merupakan salah satu faktor yang mendasari pertumbuhan sel tumor yang makin lama makin besar. Akibat defek mekanisme apoptosis yang lain adalah kemungkinan terjadinya keganasan. (7). Apoptosis merupakan salah satu cara untuk menyingkirkan sel yang mengandung lesi DNA, sehingga dapat dicegah terjadinya transformasi sel. Mutasi yang terjadi pada berbagai gen, terutama gen yang berperan meningkatkan apoptosis, memungkinkan terjadinya resistensi terhadap proses apoptosis yang diperlukan untuk mencegah transformasi. (7).

Pembahasan Squamous cell carcinoma merupakan tumor ganas yang memiliki prevalensi cukup tinggi di dalam rongga mulut. Terjadinya SCC dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya agen biologik (virus onkogenik) yang merupakan salah satu penyebeb SCC adalah Epstein Barr Virus (EBV).

Dimulai dengan infeksi virus Epstein Barr Virus (EBV) melalui saliva yang kemudian berpenetrasi kedalam mukosa faring. (7,31,32). Epstein Barr Virus berikatan dengan sel inang melalui reseptor CD21 dan dapat terjadi transport DNA virus ke dalam inti sel. (31). Adanya insersi DNA virus mengakibatkan gangguan pada DNA sel. Gangguan DNA sel yang terjadi seharusnya diperbaiki oleh gen p53. Gen p53 seharusnya merangsang p21 menekan semua cyclin dependent kinase agar cyclin tidak dapat bekerja, sehingga siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya siklus sel akan memberikan waktu terjadinya DNA repair sehingga dapat dihindari terbentuknya sel yang mengandung defek DNA. Pada infeksi EBV sel tidak terhenti untuk melakukan DNA repair karena terjadi mutasi pada gen p53 maka p21 yang seharusnya diaktivasi oleh gen p53 mengalami gangguan. p21 yang berfungsi untuk menekan semua cyclin dependent kinase tidak bekerja. (7). Gangguan yang terjadi adalah siklus sel tetap berjalan dengan defek DNA yang diturunkan pada sel turunan. Sel turunan dengan defek DNA dapat mengganggu apoptosis. Fungsi apoptosis telah terganggu karena adanya mutasi pada gen pemicu apoptosis (p53). Apoptosis akan terhambat dan mengakibatkan se menjadi immortal. Pada kondisi demikian, defek DNA tidak mengaktivasi gen-gen yang tergantung p53. Selanjutnya tidak terjadi penghentian siklus sel dan mutasi akan terus terbentuk (berproliferasi) sehingga terjadi proses keganasan. (7). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa squamous cell carcinoma dapat disebabkan oleh Epstein Barr Virus melalui mutasi gen p53 dan penghambatan DNA repair.

Daftar Pustaka 1. Sonis ST, FazioR. Principles and practice of oral medicine. 2nd ed. Philadelpia: WB Saunders; 1994. p. 399-400, 412. 2. Ramli M. Overview of oral cancer, problematik bedah pada kanker rongga mulut. Surabaya: Pertemuan Ilmiah PERABOI IX; 1995. h. 1-4. 3. Pitojo S. Karsinoma sel skuamosa. Dentika Journal 2001; 6(1): 221-24. 4. Sofyana H. Prevalensi tumor ganas rongga mulut di RSUS Dr. Soetomo periode 19952000. Skripsi. Surabaya. 2002. 5. Pittau A, Mura M, Ligas P, cortis C. Malignant tumour of the oral cavity. Minerva Stomatol Oktober 1997; 46: 513-6. 6. Silverman. S. Oral cancer. 3rd ed. The American Cancer Society, Atlanta; 1990. p. 3234. 7. Budhy TI. Mekanisme kejadian karsinoma sel skuamosa rongga mulut yang terinfeksi

Epstein Barr Virus (EBV) berdasarkan ekspresi p53, c-myc dan bcl-2. Desertasi. Surabaya: Fakultas Kedokteran Gigi; 2004. 8. Rahmadansyah A. Perawatan karsinoma sel skuamosa di bibir. Dentika Journal 2001; 6(1): 159-64. 9. Putra ST. Patobiologi molekuler kanker. Pertemuan Ilmiah Tahunan PERABOI, 1995; h. 19. 10. Regezi, Sciubba. Oral pathology clinical-pathologic correlation. 2nd ed. WB Saunders Co; 1993. p. 261-64. 11. Sarjadi Jr. Patobiologi umum dan sistematik. 2nd ed. Jakarta: EGC, 1998. h. 273-99. 12. Chong VFH, Tsao Sy. Nasopharngeal carcinoma. Singapore: Armour Pub Pte Ltd; 1996: p. 14-23. 13. Wijayanti N. Analisis tipe virus Epstein Barr penderita karsinoma nasofaring di DI Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: PPS UGM; 1999. h. 4-6. 14. Abbas AK. Cellular and molecular immunology. 2nd ed. Philadelpia: WB Saunders Co; 1994. p. 357-75. 15. Nieodobitek G, Meru N, Belecluse HJ. Epstein Barr Virus infection and human malignancies. International Journal Experimental Pahologi June 2001; 82(3):149-70. 16. Murray RK. Cancer genes and growth factors, Harper's Biochemistry. 25th ed. Apleton and lange. 2000. 17. Karp G. Cell and mollecular biology, concept and experiment. 3rd ed. New York: John Willey & Sons Inc; 2002. p. 5-35. 18. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pahologic basic of disease. 6th ed. Philadelpia: WB Saunders Co; 1999. p. 260-328. 19. Cantley LL, Auger KR, Carpenter C, et al. Oncogenes and signal transduction. 1991. p. 64, 281-302. 20. Lee WH. Tumour supressor genes. Science and Medicine. 1993. p. 28-37. 21. Kief E. Epstein Barr Virus and it's replication, virology. 3rd ed. Philadelpoa: LippincotRaven Pub; 1996. 2343-446. 22. Kastan BM. Mollecular biology of cancer, cancer principles and practice in oncology. Philadelpia: JB Lippincott Co; 1997. p. 121-34. 23. Gondowiharjo S. Faktor prediks responi radiasi pada kanker nasofaring, Tinjauan kasus pada aktifitas proliferasi dan ekspresi LMP1, EBV. Didertasi. Jakarta: FK UI; 1998. 24. King, Roger JB. Growth: A balance of proliferation, death and differentation in cancer biology. 2nd ed. Philadelpia: Prentice Hall; 2000. p. 146-70. 25. Hsiesh C, Kietsas D, Clunn G, Hughes AD, et al. P53, p21, and MDMZ invovement in the proliferation and Apoptosis in an in vitro Model of Canditionally Immortalized Human Vascular smooth muscle cell. Arteric Thromb Vasc Biol 2000; 20, 973-81. 26. CGMS. Tumour supressor gene in mr path course-cancer genetics AA. Available at: www.ich.bpmf.ac.uk. Accessed Sept 24, 2004. 27. Boulter A, Johnson NW, Bimbaun, Teo CG. Epstein Barr Virus (EBV) associated lesions

of the head and neck. Guest Editorial Oral Diseases 1996; 2: 117-24. 28. Rekso PS. Ceramah utama kanker rongga mulut, deteksi dini dan pencegahan. Kongres Nasional VIII PABMI, Surabaya, 2001. h. 102. 29. Lowe WS, Lin W. Apoptosis in cancer, Carcinogenesis 21(3). Athena; 2000. p. 485-95. 30. Imansyah P. Peranan protein p53 pada siklus sel dan proses keganasan ditinjau dari aspek biologi molekuler. Skripsi. Surabaya: Kedokteran Gigi; 2001. 31. Aitken C, Senggupta SK, Aedes C, et al. Heterogenity within Epstein Barr Virus Nuclear antigen 2 gene in different strain of Epstein Barr Virus. gen Virol 1994; 75: 95100. 32. Dolby AE, Walker DM, Mathews N. Introduction to oral immunology. 1st ed. London: Edward Arnold Pub; 1981. p. 83-91.

BAB II KARSINOMA SEL SKUAMOSA 2.1. Definisi Karsinoma sel skuamosa dapat tumbuh dalam setiap epitel berlapis skuamosa atau mukosa yang mengalami metaplasia skuamosa. Jadi bentuk kanker ini dapat terjadi misalnya di lidah, bibir, esofagus, serviks, vulva, vagina, bronkus atau kandung kencing. Pada permukaan mukosa mulut mulut atau vulva, leukoplakia merupakan predisposisi yang penting. Tetapi kebanyakan karsinoma sel skuamosa tumbuh di kulit (90-95%).3 2.2. Epidemiologi Kanker rongga mulut merupakan salah satu dari 10 jenis kanker yang sering terjadi di seluruh dunia. Pada tahun 2004, di Amerika serikat angka kejadian kanker mencapai 1,368,030 jiwa, dan sekitar 28,260 jiwa diantaranya adalah kanker rongga mulut dan faring. Lebih dari 90% kanker rongga mulut adalah kanker sel skuamosa. Setiap tahun kurang dari 3% kejadian kanker terjadi di Amerika Serikat, di negara-negara berkembang jumlah tersebut lebih besar lagi. Kanker rongga mulut lebih dbanyak terjadi pada pria daripada wanita dengan perbandingan 6:1 pada tahun 1950, dan 2:1 pada

tahun 1997. perubahan tersebut dikarenakan peningkatan jumlah perokok wanita pada 3 dekade terakhir. Di Amerika Serikat jumlah kanker rongga mulut lebih banyak terjadi pada wanita >65 tahun melebihi hampir 50% jumlahnya pada pria >65 tahun, dan jumlah yang terjadi pada pria kulit putih di Amerika Serikat menurun selama tahun 1973 sampai 1996, pada waktu yang sama, terjadi peningkatan jumlah pada pria ras AfrikaAmerika. Di Amerika Serikat kebanyakan kanker rongga mulut terjadi pada dekade ke 6 dan ke 7, rata-rata pada umur lebih dari 65 tahun. Penelitian terakhir, di Amerika Serikat, terjadi peningkatan kanker rongga mulut, termasuk kanker lidah, pada pria kulit putih di bawah 40 tahun.5 Pada negara berkembang terdapat peningkatan jumlah penderita dibawah usia 40 tahun, hal ini dikarenakan meningkatnya perubahan genetik pada populasi dewasa muda dan perubahan zat karsinogenik penyebab kanker tersebut.1

2.3. Etiologi Faktoretiologi faktor terbanyak

yang berkaitan dengan kanker rongga mulut ialah pemakaian tembakau, konsumsi alkohol dan virus- virus (kurang jelas). Termasuk tembakau yang dibakar maupun yang tidak dibakar, seperti dihirup dan mungkin juga, sirih yang dikunyah (kebiasaan di India dan Pakistan). Walaupun sebagian besar penderita perokok dan peminum alkohol, sebanyak 10% penderita kanker rongga mulut tidak mengaku menggunakan tembakau atau alkohol; orang-orang ini cenderung pria atau wanita yang lebih tua.2 Umumnya kanker mulut berhubungan dengan penuaan, begitu juga dengan leukoplakia. Hal ini terbukti secara biologi, mekanisme sensitif homeostatik mengontrol pertumbuhan epitel yang dipengaruhi oleh sifat onkogen tersebut, selanjutnya, tampak respon yang berhubungan dengan lamanya waktu terpapar oleh virus, zat kimia atau trauma.1 Virus sebagai etiologi karsinoma mulut belum dapat dibuktikan; walaupun demikian, titer antibodi terhadap virus herpes simpleks (HSV) lebih tinggi pada penderita

kanker rongga mulut daripada penderita kelola. Lebih jelas komplemen RNA dari beberapa kemungkinan serotipe DNA onkogen HPV telah dijumpai pada beberapa karsinoma skuamosa rongga mulut.2Individu berkulit putih yang memiliki pekerjaan di luar, terutama lebih mudah tumbuh bentuk kanker ini. Sering tumor didahului oleh yang disebut keratosis aktini (solar), suatu bentuk displasia atau anaplasia sel- sel epidermis. Arsen dan jelaga juga dinyatakan sebagai penyebab. Radang kronik berkepanjangan juga merupakan pengaruh membakat lain dan dengan begitu bentuk kanker ini kadangkadang dianggap dalam batas tepi pematusan sinus yang bertahan lama dan pada parut lama sinar-X atau luka bakar. Kadang-kadang neoplasma tidak timbul sampai puluhan tahun setelah jejas sinar-X atau jejas suhu.3 Sejak hifa Candida sp sering ditemukan pada potongan mikroskopik dari leukoplakia mulut, Candida sp sering dihubungkan dengan leukoplakia. Namun peranannya hubungannya belum dengan jelas. Bagaimanapun, belum Candida jelas, sp mampu memproduksi Candida harus nitrosoamines yang bersifat karsinogenik melalui reaksi biokimia jaringan. Meskipun karsinogenesis ditemukannya dipertimbangkan sebagai faktor resiko.1 2.4. Patogenesis Karsinoma sel skuamosa dapat tumbuh de novo, tetapi lebih sering suatu proses evolusi yang mirip dengan yang tampak pada serviks uteri. Perubahan pra-kanker dalam mulut menjelma sebagai dua bentuk klinik. Bercak putih, datar yang tidak diketahui penyebabnya selain yang ada hubungan dengan pemakaian tembakau dan tidak hilang bila dikerok, disebut leukoplakia. Bercak-bercak merah yang tidak ada hubungan dengan rangsang radang disebut eritroplakia (Gambar????????). Leukoplakia biasanya dijumpai pada vestibuli pipi, dasar mulut, dan tepi lateral lidah. Pada bedah mayat, 20% leukoplaki mulut didapati mengandung gambaran sitologi atipik menandakan displasia, karsinoma in situ atau karsinoma skuamosa invasif superfisial. Bila leukoplakia dievaluasi menurut tempat, lesi-lesi dasar mulut yang paling gawat-40% didapati sitologi atipik. Lebih dari 6% penderita dengan leukoplakia tanpa atipi mikroskopi berlanjut ke karsinoma invasif dalam kurun waktu lebih dari 8 tahun, sedangkan 36% akhirnya akan timbul kanker, bila atipi didapati semula. Eritroplakia paling tidak menyenangkan, karena menunjukkan perubahan prekanker dan kanker pada 60 sampai 90%.2 Karsinoma skuamosa invasif kebanyakan bermetastasis melalui pembuluh limfa didapati pada tepi lateral lidah dan dasar dan mengenai kelenjar getah bening

mulut; sangat jarang pada palatum dan dorsum lidah. Pulau - pulau tumor yang invasif supraomohioid dan servikal. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan sekuele terakhir dan biasanya sebagai akibat metastasis kelenjar getah bening yang menjalar ke duktus torakikus masuk vena sistemik.2

2.5. Gambaran Histopatologi Gambaran morfologi, secara klinik leukoplakia tampak sebagai bercak putih. Gambaran permukaannya dapat licin tetapi lebih sering berfisura atau bercelah-celah. Secara mikroskopis, epitel menebal, menunjukkan hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis atau kombinasi manapun dari ketiganya. Aktivitas mitosis tampak pada 20% lesi yang memiliki sitologi atipik dengan hiperkromasi, pleomorfisme inti. Perubahanperubahan ini sementara waktu bersifat progresif. Bila sel-sel atipik hanya menduduki sebagian epitel, disebut displasia; bila sitologi atipi lebih berat sampai mengenai semua lapisan epitel, lesi disebut karsinoma in situ. Tahap berikut mengenai invasi superfisial dan pemisahan pulau-pulau tumor epitel, kemudian tumor ada potensi metastasis. Eritroplakia mengalami pertumbuhan yang sama; walaupun demikian, kurang didapatkan keratosis pada permukaan dan tampak atrofi dari lapisan spinosum.2

Karsinoma yang ulserasi melingkar, yang tampak yang ulseratif

sel dan Sering

skuamosa induratif daerah tepi mukosa dapat yang atau sudah besar, dan

invasif secara klinik ditandai lesi (Gambar.????).

menunjukkan melipat dan berdekatan batas-batas leukoplakia

menunjukkan

eritroplakia. Bila kelenjar servikal terkena metastasis cukup mencapai dimensi

dapat diraba, membengkak dan melekat (berbeda dengan limadenopati yang dapat digerakkan, lunak dan nyeri tekan bila sebagai akibat penyakit radang).2

Secara mikroskopik, karsinoma skuamosa menunjukkan sarang- sarang dan pulau-pulau keratinisasi). sel epitel invasif dengan ikat berbagai derajat diferensiasi (misalnya radang Stroma jaringan biasanya memiliki infiltrasi sel-sel

mononuklear. Derajat radang dapat merupakan ukuran reaktivitas imun terhadap antigen-antigen tumor. Beberapa penelitian menunjukkan prognosis lebih baik pada tumor-tumor dengan radang hebat.2 2.6. Stadium Kanker Sistem yang sering digunakan dalam klasifikasi stadium kanker adalah sistem tumor-nodus-metastase (TNM), yaitu T menunjukkan besarnya tumor primer (T1 = kecil; T4 = masif), N untuk metastase ke kelenjar getah bening, dan M untuk menentukan adanya metastase ke organ atau tempat lain.1

a. Tumor primer (1) TX : tumor tidak dapat ditentukan T0 : tidak ada tumor Tis : karsinoma in-situ T1 : ukuran tumor kurang dari 2 cm T2 : ukuran tumor antara 2 cm sampai 4 cm T3 : ukuran tumor lebih dari 4 cm T4 : tumor telah menginvasi jaringan sekitarnya yaitu melalui tulang kortikal, ke lidah, sinus maksilaris, kulit. b. Kelenjar limfe regional NX : kelenjar limfe regional tidak dapat diraba N0 : tidak ada metastasis N1 : metastasis pada salah satu sisi kelenjar limfe tidak lebih dari 3 cm N2 : metastasis pada salah satu sisi kelenjar limfe dengan ukuran antara 3 cm sampai 6 cm, beberapa nodus pada salah satu sisi, bilateral dengan ukuran kurang dari 6 cm. N2a : metastasis tunggal pada salah satu sisi antara 3 cm sampai 6 cm. N2b : metastasis pada beberapa nodus di salah satu sisi, tidak lebih dari 6 cm. N2c : metastasis pada kelenjar limfe kontralateral atau kedua sisi, tidak lebih dari 6 cm. N3 : metastasis pada kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm. c. Metastasis MX : metastasistidak dapat diketahui M0 : tidak ada metastasis M1 : terdapat metastasis

2.7. Diagnosis Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan klinis dan pemeriksaan mikroskopis melalui biopsi. Seringkali, biopsi ditunda karena keputusan dari dokter maupun pasien, terdapat infeksi atau iritasi lokal. Tetapi, penundaan tersebut tidak boleh lebih dari 3-4 minggu. Kadang, luasnya lesi menyulitkan untuk melakukan biopsi yang tepat untuk membedakan displasia atau kanker. Oleh sebab itu tambahan penilaian klinis lainnya dapat membantu mempercepat biopsi dan memilih daerah yang tepat untuk melakukan biopsi. Penggunaan cairan toluidine blue sangat berguna sekali, karena keakuratannya (lebih dari 90%), murah, cepat, sederhana dan tidak invasif (Gambar.?????). Mekanisme kerjanya dengan afinitas atau menempelnya toluidine blue dengan DNA dan sulfat mukopolisakarida, sehingga dapat dibedakan apakah terjadi displasia atau keganasan dengan epitel yang normal dan lesi jinak. Toluidine blue berikatan dengan membran mitokondria , dimana terikat lebih kuat pada epitel sel displasia dan sel kanker daripada dengan jaringan normal.1

Sitologi eksfoliatif telah membantu dalam menentukan diagnosa. Namun, kesulitan pengumpulan sel, waktu yang lama dan biaya yang mahal telah membatasi penggunaannya. Teknik brush biopsy secara luas digunakan pada sitologi dengan pengumpulan sel yang mewakili keseluruhan epitel berlapis skuamosa (Gambar.?????). Prosedurnya tidak menyebabkan sakit, oleh sebab itu tidak perlu penggunaan anestetikum.1

2.8. Terapi Evaluasi yang cermat terhadap gejala dan simptom sangat penting, termasuk dilakukan didalamnya dengan biopsi bila biopsi insisi lesi danfollow- up yang rutin. Pembedahan menggunakan skapel

berukuran 5 mm. Teknik ini cepat, tidak banyak merobek jaringan dan hanya diangkat sedikit sampling. Apabila ukuran tumor kecil, dapat dilakukan biopsi insisi ataupun eksisi, apabila sulit membedakan antara displasia dengan karsinoma, klinisi dianjurkan menggunakan terapi biopsi kanker. insisi.1 Terapi Jika yang hasil biopsi tersebut menunjukkan sel karsinoma skuamosa (terdapat invasi sel displasia ke jaringan ikat), dapat merencanakan potensial diantaranya pembedahan atupun terapi radiasi. Kadang kemoterapi digunakan sebagai tambahan, namun beberapa tumor kurang responsif terhadap kemoterapi. Pemilihan terapi tergantung dari stadium kanker, stadium dini (kecil dan terlokalisasi), stadium lanjut (besar dan menyebar). Evaluasi menggunakan teknik pencitraaan yang lebih baik kualitasnya seperti MR (magnetic resonance) dan CT (computed tomography) sangat dibutuhkan. Teknik terbaru yaitu menggunakan PET (positron emission tomography), bisa menentukan metastase ke kelenjar limfe. Teknik ini berguna bagi klinisi untuk membedakan batas dan rencana terapi, juga menentukan prognosisnya.1 Follow-up berkala perlu dilakukan pada lesi prekanker, bahkan bila lesi tersebut menghilang, dan bila terus berlanjut perlu dilakukan pembedahan. Pada tepi lesi yang secara klinis dan mikroskopis terlihat normal, bisa menjadi permasalahan dan bisa terjadi rekurensi.1 Penggunaan teknik laser sangat berguna pada terapi kanker dan dapat mengontrol leukoplakia. Pencegahan menggunakan analog vitamin A (retinoid) dan antioksidan lain (beta karoten, vitamin C, E) kurang efektif, berdasarkan teori, antioksidan tersebut dapat membantu menjaga sel-sel tubuh dari radikal bebas, yang merupakan promotor terjadinya mutagenesis kromosom dan karsinogenesis. Yang menjadi permasalahan pada penggunaan antioksidan ini adalah toksisitasnya dan rekurensinya ketika

antioksidan ini tidak dilanjutkan. Efektifitas antioksidan tergantung pada dosis, regimen dan individu pasien.1 Dapat pula dengan pendekatan nutrisional dengan diet kaya buah-buahan dan sayur-sayuran, karena banyak mengandung antioksidan dan protein supresor-sel yang membantu mengurangi aktifitas mutagenesis dan karsinogenesis.1 Pengenalan dan pengontrolan lesi pre-kanker efektif mengurangi angka morbiditas dan mortalitas kanker mukut.1

Peranan MMPS pada metastasis karsinoma sel skuamosa rongga mulut (MMPS role on metastasis of oral squamous cell carcinoma)

Syamsulina Revianti Kristanti Parisihni Bagian Biologi Mulut Fakultas kedokteran gigi Universitas Hang Tuah Surabaya, Indonesia

Abstract Matrix mettaloproteinases are family of enzymes that degrade extracelullar matrix components with important roles in normal and pathological processes where remodeling of the extracellular matrix could occur. In tumor tissue, overexpression of metaloproteinases is often observed and is in fact belived to be crucial for their succesful invasion and metastasis. The aim of the review is to explained the role matrix metalloproteinases in epithelial cell migration of oral squamous cell carcinoma. Understanding these interaction may provide means for preventing or limiting cancer invasion and metastasis, including oral squamous cell carcinoma. Invading neighboring tissue strutures, spreading thoughout the body, and forming dstant sites of metastatic growth are the lethal properties of cancer. Critical to such properties is the switching of cancer cells to a mobile states, which reflect the migratory state of normal cell types in tissue undergoing remodeling or repair. Understanding and manipulating the tumor microenvirontment may become a way to block invasion and metastasis. Keyword : Matrix Metelloproteinases, Laminin-5, Cell Migration, Oral Squamous Cell Carcinoma.

Abstrak Matriks Metaloproteinases (MMPs) adalah kelompok enzim yang mendegradasi

kompenen matriks ekstraseluler, mempunyai peran yang sangat penting dalam proses normal dan patologis dimana terjadi remodeling matriks ekstraselular. Pada jaringan tumor sering dijumpai adanya overekspresi dari metaloproteinasis. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan peranan dari matriks metaloproteinases pada migrasi sel dari karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Pengetahuan tentang interaksi tersebut akan mendasari adalah upaya pencegahan pada invasi kanker sekitar, dan metastasis pada umumnya, tubuh dan termasuknya didalamnya pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Sifat letal kanker adanya invasi jaringan penyebaran keseluruh pertumbuhan metastasis pada tempat tertentu. Pada sel kanker terjadi perubahan fase mobilitas sel, pada fase migratoris, sel normal dapat berkembang menjadi remodeling atau perbaikan sel. Pengertian dan manipulasi dari lingkungan tumor dapat mendassari upaya untuk menghambat invasi dan metastasis. Kata kunci : Matrix metalloproteinases, Laminin-5, skuamosa. Migration sel, Karisnoma sel

Pendahuluan Karsinoma sel skuamousa adalah salah satu jenis kanker yang sering dijumpai pada mukosa rongga dan ganas. Sifat letal dari kanker ini adalah memiliki kemampuan untuk menginvasi pada jaringan sekitar, menyebar keseluruh tubuh dan mengalami metastasis pada daerah lain. Metastasis terjadi oleh karena sel epitel bermigrasi. Migrasi sel epitel adalah suatu proses yang dinamis dan kompleks yang memainkan peranan yang sangat penting dalam proses perkembangan, regenerasi dan perbaikan dari berbagai jaringan dan organ tubuh. mekanisme molekuler dari migrasi sel epitel pada proses patologis seperti defek perkembangan, ulser kronik atau tumor epithelial pada dasarnya sama dengan pada proses fisiologis. Matriks metaloproteinases (MMPs) adalah family dari AN 2+-dependent endopeptidases yang manpu memecah molekul matriks ekstraseluler dan membran basar. MMPd mempunyai fungsi penting pada remodeling dan perkembangan jaringan normal. Adanya suatu penyimpanan pada aktivitas MMPs menyebabkan kondisi destruktif patologis seperti pada kanker dan penyakit kronis serta proses inflamasi. Laminin-5 (Ln-5) adalah glikoprotein heterotrimetik bagian dari struktur hemidesmosom pada membran basal dan epitel permukaan yang berkaitan dengan jaringan ikat

pendukungnya. Sel epithelial mendesposisikan Ln-5 selama migran, dimana MMP-2dan MMP-3 memecah rantai g2Ln-5 yang menginduksi migrasi sel. Selain itu peranan integrin sebagai reseptor juga memiliki arti penting pada proses migrasi sel kanker. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan peranan dari interaksi antara Ln-5 dengan integrin sebagai reseptor dan MMPs pada metastasis dari karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Pengetahuan tentang interaksi tersebut akan mendasari upaya pencegahan invasi dan metastasis kanker pada umumnya, khususnya pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut. (1)

Tinjauan Pustaka Matriks Ekstraseluler Jaringan tubuh tersusun dari berbagai sel yang dikelilingin oleh matriks ektra seluler yang terdiri dari protein fibrin (kolagen dan elastin), protein adesif (fibronektin dan laminin), serta gel proteoglikan dari hialuronan. Matriks ekstraseluler berfungsi mendukung motilitas sel dalam jaringan ikat, mengatur proliferasi sel, bentuk dan fungsi sedemikian rupa sehingga nutrisi dan bahan-bahan kimia dapat berdisfungsi dengan bebas. (2,3) Matriks Metaloproteinases (MMps) MMps adalah kelompok endopeptidase yang mengandung zinc, disekresi oleh berbagai tipe sel yang secara kolektif memiliki potensi untuk degradasi selutuh protein dan komponen proteoglikan dari matriks ektraseluler. MMPs mempunyai karakteristik : 1) mampu menghidrolisa protein atau komponen proteoglikan dari matriks ekstraseluler, 2) mengandung Zn2+ dan Ca2+ yang diperlukan pada proses katalik, 3) tersekresi atau terdapat dalam membran sel sebagai bentuk laten yang dapat teraktivasi, 4) dapat dihambat oleh inhibitor MMps endogen yaitu Tissue Inhibitor of Metalloproteinases (TIMPs), 5) memiliki struktur dan sekuens homolog dengan interstisial kolagenase (MMP1). (2,3) Klasifikasi MMPs Berdasarkan substratnya MMPs dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok utama yaitu kalogenade, stromelisin, gelatinase, tipe membran Peranan MMPs

Matriks ekstraseluler adalah merupakan rangkaian protein dan proteglikan yang mendukung struktur dan fungsi regulator pada jaringan. Matriks adalah merupakan homeostasis dinamik yang dipertahankan melalui degradasi konstan dan resintesis komponen matriks serta remondeling dari komponen matriks selama beberapa proses fisiologis. Beberapa komponen matriks ekstraseluler dan membran basal menggunakan segulasi negatif dari sel matriks, khususnya migrasi seluler dan proliferasi. Membran basal berperan sebagai filter makromolukel dan sebagai pertahanan fisik terhadap migrasi sel. Remodeling matriks yang tidak sesuai kadang terjadi selama perkembangan. Berbagai kelainan ptologis dapat mengubah keseimbangan sehingga terjadi invasi tumor dan metastasis, artritis rematoid, aterosklerosis. (2,3) Aktivis MMPs Regulasi aktivitas MMPs terjadi pada berbagai tingkatan, termasuk didalamnya adalah modulasi ekspresi gen MMps, aktivasi ekstraseluler dari proenzim, penghambatan dan aktivasi dalam kaitannya dengan TIMPs. (2) Aktivas MMPs diseimbangkan oleh TIMPs, secara bersama-sama keduanya mengatur interaksi antara sel dengan matriks pada berbagai proses fisiologis. Adanya gangguan pada keseimbangan interaksi ini akan mengakibatkan disfungsi seluler dan jejas sel. (4) Tissue inhibitors of Metalloproteinases (TIMPs) TIMPs adalah merupakan kelompok protein sekretori yang mampu menghambat aktivitas MMPs melalui ikatan non kovalen dari bentuk preaktif MMPs pada keseimbangan ,olar. TIMPs dapat mempengaruhi berbagai proses yang diperantarai MMP seperti prosesing sitokin, degradasi faktor pertumbuhan untuk ikatan protein, dan faktor pertumbuhan untuk pelepasan ikatan membran basal. Saat ini telah dapat dideteksi sebanyak empat kelompok TIMPs yaitu TIMps-1, TIMPs-2,TIMPs-3, TIMps-4. Semua anggota kelompok tersebut dapat dideteksi pada sebagian besar jaringan dan cairan tubuh manusia, kecuali TIMPS-3 dalam bentuk solubel. (5) Laminin 5 (Ln-5) Ln-5 adalah komponen utama dari filamen pada kompleks hemidesmosom dengan fungsi penting membran dasar dalam adesi sel, migrasi, proliferasi, penyembuhan luka, homeostasis kulit dan perkembangan. (6) Setelah disekresi, Ln-5 pada manusia eksis secara heterometrik dalam bentuk 440 kDa dan 400 kDa, sebagai hasil dari processsing ekstraseluler dari rantai Alfa3 dan Gama2, sedangkan rantai Beta3 tidak di proses. (6) Integrin

Integrin adalah reseptor trans membran heterodimer terdiri dari masing-masing satu subunit Alfa dan Beta. Kedua subunit ini berkolaborasi untuk berikatan dengan ligan yang merupakan protein matriks ekstraseluler atau reseptor dari superfamili Ig. Spesifitas ligan ditentukan oleh komposisi heterodimer dan konteks selulernya. Kekuatan dari ikatan ligand dimodulasi oleh kation divalen, kelompok reseptor dan asosiasi integrin dengan molekul aksesori. Integrin dapat menstransduksi signal antar sel dan lingkungan ekstraseluler. Basis struktural dari perubahan pada domain ekstraseluler dapat mempengaruhi konfirmasi dari domain sitoplasmik, hal ini adalah merupakan subyek yang perlu diteliti dengan intensif. (7) Karsinoma sel skuamosa rongga mulut Karsinoma sel skuamosa (KSS) rongga mulut adalah karsinoma yang paling sering dijumpai pada rongga mulut. Seperti halnya dengan karsinoma lainnya, KSS mempunyai sifat seperti kanker pada umumnya yaitu mampu menyerang jaringan ikat dibawahnya dan melakukan metastasis ke lokasi yang lebih jauh. Secara histologis, tumor terdiri dari sel-sel karsinoma berkeratin yang menginvasi sekeliling jaringan. Sejumlah besar sel inflamasi terlihat pada stroma tumor. Berdasarkan evaluasi histopatologi dari berbagai tingkat deferensiasi karsinoma sel skuamosa rongga mulut dibagi menjadi grade I-IV. Pada zona membran basal karsinoma sel skuamosa rongga mulut terdapat berbagai pola ekspresi abnormal. (6)

Pembahasan Seperti halnya dengan karsinoma lainnya, KSS mempunyai sifat seperti kanker pada umumnya yaitu mampu menyerang jaringan ikat di bawahnya dan melakukan metastadid ke lokasi yang lebih jauh. Proses invasi dengan cara infiltrasi ke dalam jaringan pembatas, merusak membran basalis, matriks ekstraseluler dan merusak arsitektur jaringan bahkan kadang-kadang fungsi organ juga terganggu. (1-3) Jalur pnyebaran sel kanker bisa juga melalui pembukuh darah, tetapi bisa juga melalui pembuluh darah, tetapi bisa juga melalui pembuluh limfe. Penyebaran sel kanker terjadi oleh karena adanya migrasi sel epithel. Migrasi sel epitel sangat essensial untuk berbagai proses fisiologis dan patologis. Migrasi maligna dari sel tumor melibatkan mekanisme molekuler yang serupa dengan pada migrasifisiologis . Perubahan perilaku sel adalah sebagai akibat perubahan dari sinyal molekul dan perbedaan kemampuan dari sel tumor dalam merespon sinyal. Invasi sel tumor adalah merupakan model umum yang paling sering digunakan dalam mempelajari mekanisme migrasi melibatkan proses

ikatan antara reseptor dengan ligan dan interaksi antara protein-protein oleh enzim membran basal. (8) Pada prinsipnya kemampuan sel kanker melakukan invasi dan metastasis adalah karena dihasilkannya Matriks Metalloprotein (MMP) oleh sel kanker yang dapat menyebabkan kerusakan pada komponen dan struktur matriks ekstraseluler dan membrana basalis. Selain itu juga karena adanya pengaruh sel-sel stromal dari sekitarnya. (8) Peran MMP tidak hanya dalam meningkatkan perkembangan kanker melalui pembuangan barier matriks ekstraseluler tetapi juga modulasi sinyal yang mempengaruhi transformasi seluler dan pertumbuhan tumor. (8) Beberapa MMP seperti yang telah dijelaskan sbelumnya adalah MMP-2 dan-14 yang dapat memecah rantai Gama 2 Ln-5 dan menginduksi migrasi sel karsinima. MMP memiliki potensi dalam menginduksi invasi sel tumor melalui pemecahan rantai Gama2 Ln-5, biasanya neoekspresif pada area invasif tumor dan terseposit oleh sel migrasi. Overekspresi Ln-5 dijumpai pada are invasif tumor karsinoma sel skuamosa. Terjadi ekspresi Ln-5 yang berlebihan pada area invasif tumor terlihat pada pewarnaan sitoplasmik dari sel karsinoma. Tetapi jumlah molekul heterotrimer Ln-5 menurun pada membran basal dari karsinoma sel skuamosa rangga mulut. Uji pada sekukuans terminal N dari dari MMP menunjukkan bahwa rantai Gama2 Ln-5 mengandung area pemecahan multipel untuk berbagai MMP yang berbeda. Pada jaringan tumor, terjadi overekspersi beberapa MMP. Mekanisme yang mendasarinyapun bervariasi. Pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut terdapat ekspresi MMP-2, MMP-8, MMP-9 dan MMP-14. Mengingat MMP turut berperan dalam angiogenesis, maka berperan juga dalam metastasis melalui pembentukan pembuluh darah baru. MMP-17 pada displasia dan karsinoma sel skuamosa menunjukkan bahwa MMP-17 adalah merupakan biomarker prediksi yang potensial untuk adanya mengetahui adanya transformasi malignasi dan invasi dini pada lesi di mukosa rongga mulut. Tidak ditemukan adanya peningkatan regulasi MMP-17 pada proliferasi keratinosit suprabasalis selama proses penyembuhan luka, hal ini menunjukkan bahwa adanya perubahan keganasan dibandingkan dengan sekedar hiperproliferasi sel. Dengan demikian dapat diambil hipotesis bahwa overekspresi MMP-17 berkaitan dengan peningkatan migrasi potensial dari sel tumor. Meskipun demikian, regulasi diferensial MMp-17 padaarea invasif dari tumor karsinoma sel skuamosa dibandingkan dengan pada area luka mengindikasikan bahwa matriks ekstraseluler, melalui interaksi sel-matriks memainkan peranan penting dalam menginduksi ekspresi MMP-17. Selain itu MMP-15 mampu menginduksi migrasi sel pada karsinoma sel skuamosa lidah melalui membran fibronektin. Fungsi promigratoris dari MMP-15 terdenaturasi lebih jelas dibandingkan dengan pada fragmen aslinya. MMP-15 terdenaturasi lebih efisien sebagai ligan adesi sel

secara in vitro dibandingkan dengan pasangan aslinya. Fungsi promigratoris dari MMP-15 sebagian dapat dihambat dengan bloking reseptor integrin 5 dan v dengan antibodi spesifik, menunjukkan bahwa proses utamanya diperantarai oleh reseptor tambahan intergrin 51 dan v1. Mengingat transmigrasi belum dihambat secara lengkap, maka reseptor tambahan lainnya juga memegang peranan dalam proses ini. Transmigrasi dihambat secara total oleh antibodi integrin a 1 yang berkaitan dengan stimulasi MMP15. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian in vivo yang menunjukkan bahwa integrin 1 sangat krusial untuk migrasi sel epitel. (6,9,10)

Kesimpulan Dari uraian diatas tampak KSS mempunyai sifat seperti kanker pada umumnya yitu mampu menyerang jaringan ikat dibawahnya dan melakukan metastasis ke lokasi yang lebih jauh. Kemampuan sel kanker melakukan invasi dan metastasis adalah karena dihasilkannya Matriks Metalloprotein (MMP) oleh sel kanker yang dapat menyebabkan kerusakan pada komponen dan struktur matriks ekstra seluler dan membran basalis. MMP dapat memecah rantai Gama2 Ln-5 dan menginduksi migrasi sel karsinoma. Selain itu peranan integrin sebagai reseptor juga memiliki arti penting pada proses migrasi sel kanker. Dimana kemampuan MMP dalam menginduksi metastsis sel kanker sebagian dapat dihambat dengan bloking reseptor integrin 5 da v dengan antibodi spesifik.

Daftar Pustaka 1. Fukushima Y, Ohnishi T, Arita N, Hayakawa T, Sekiguchi K. Integrin alpha3beta1mediated interaction with lamini-5 stimulates adhesion, migration and invasion of malignantglioma cells. Int J cancer 1998;6:63-72. 2. Alberts B, Bray D, Lewis, Raff M, Robert K, Watson JD. Molucacer biologigy if the cel. New york: Garland Publishing, Inc;1994 3. Birkedal-Hensen H, Moore WG, Bodden MK, Windsor LJ, Birkedal-Henen B, Decarlo A, et al. Matrix metalloproteinases:a review, critical reviewes in oral biology and medicine 1993; 4, 197-250 [Medline] 4. Nagase H, Woessner JF Jr. Matrix Metalloproteinases. J Biol Chem 1999; 274:21491-4 5. Coussens LM, Fingleton B, Matrisian LM. Matrix metalloproteinesis inhibitors and cancer:trials and tribulations. Science 2002; 295:2387-92.

6. Katoh K, Nakanishi Y, Akimoto S, Yoshimura K, Takagi M, Sakamoto M, et.all. Corellation between laminin-5 gamma2 chain expression and epidermal growth factor receptor expression and its clinicopathological significance in squamous cell carcinoma of the tongue. Oncology 2002; 62: 318-26 7. Thomas gj, Jones J, Speight PM. Integrins and oral cancer. Oral Oncol 1997; 33:381-388 8. Nabeshima K, Inoue T, Shimao Y, Sameshima T. Matrix metalloproteinases in tumor invasion: Role for cell migration. Pathol Int 52:255-64. Colognato H and Yurchenco PD (2000) Form and function: the laminin family of heterotrimers. Dev Dyn 2002: 218:21334. 9. Bachmeier BE, Nerlich AG, Boukamp P, Lichtinghagen R, Tschesche H, Fritz H, et.al. Human Keratinocyte cell lines deffer in the expression of the collagenolytic matrix metalloproteinases-1,-8, and -13 and of TIMP-1. Bio Chem 2000: 381:509-16. 10. Tasanen K, Eble JA, Aumailley M, Aumailley M, Schumann H, Baetge J, Tu H, et.al. Collagen XVII is destabilized by a glycine substitution mutation in the cell adhesion domain col 15. J Biol Chem 2000; 275: 3093-9.