21
TERAPI OKUPASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI I Gusti Rai Tirta I Putu Risdianto Eka Putra Disampaikan pada Kongres Nasional Skizofrenia V, Mataram, Nusa Tenggara Barat, 24 – 26 Oktober 2008 ABSTRACT Occupational therapy has been carried out for many years to schizophrenia patients that hospitalized at Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. But only approximately 30% of them have been lead to occupational therapy service. On the implementation of occupational therapy, patients have to pass the selection process. Then, participants have been choosen activities based on their cultural and religion background, where the majority of them were Hindu religion and Balinesse ethnic. Occupational therapy service limited by infrastructures, mediums, and human resources (occupational therapist and occupational therapist assistant). It is necessary to increase our effort to support the implementation of occupational therapy in the future, because it is important to have a structured actions to evaluate the process, effectiveness, and benefit of this therapy to our patients. At observation and interview with some patients that have been experienced occupational therapy found that most of them felt the benefit and have enjoyed the activities in the occupational therapy. I. PENDAHULUAN Okupasi yang diadaptasi dari suatu kata dalam Bahasa Inggris yaitu “occupation” umumnya dipandang sebagai berbagai aktivitas yang memiliki maksud dan tujuan yang unik dalam kehidupan seseorang. Okupasi, - 1 -

Bali RaiTirta Terapi Okupasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

TERAPI OKUPASI PADA PASIEN SKIZOFRENIA

DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI

I Gusti Rai Tirta

I Putu Risdianto Eka Putra

Disampaikan pada Kongres Nasional Skizofrenia V, Mataram, Nusa Tenggara Barat, 24 – 26 Oktober 2008

ABSTRACT

Occupational therapy has been carried out for many years to schizophrenia patients that hospitalized at Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. But only approximately 30% of them have been lead to occupational therapy service. On the implementation of occupational therapy, patients have to pass the selection process. Then, participants have been choosen activities based on their cultural and religion background, where the majority of them were Hindu religion and Balinesse ethnic. Occupational therapy service limited by infrastructures, mediums, and human resources (occupational therapist and occupational therapist assistant).

It is necessary to increase our effort to support the implementation of occupational therapy in the future, because it is important to have a structured actions to evaluate the process, effectiveness, and benefit of this therapy to our patients. At observation and interview with some patients that have been experienced occupational therapy found that most of them felt the benefit and have enjoyed the activities in the occupational therapy.

I. PENDAHULUAN

Okupasi yang diadaptasi dari suatu kata dalam Bahasa Inggris yaitu

“occupation” umumnya dipandang sebagai berbagai aktivitas yang memiliki

maksud dan tujuan yang unik dalam kehidupan seseorang. Okupasi, yang dalam

Bahasa Indonesia maknanya sepadan dengan “pekerjaan”, juga merupakan pokok

pada identitas dan kompetensi seseorang, dan yang mempengaruhi bagaimana

seseorang mempergunakan waktunya serta bagaimana ia membuat keputusan.

Bahkan okupasi (occupation) telah didefinisikan oleh Law, Polatajko, Baptiste,

dan Townsend (1997) sebagai berikut: 1)

- 1 -

Page 2: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

“Activities.....of everyday life, named, organized, and given value and

meaning by individuals and culture. Occupations is everything people do

to occupy themselves, including looking after themselves.....enjoying

life.....and contributing to the social and economic fabric of their

communities.....”

Jadi, dengan pekerjaan maka seseorang akan dapat “menikmati hidup”,

dimana pekerjaan dapat mengalihkan perhatian atau pikiran seseorang dari hal-hal

yang kurang menyenangkan, sehingga menjadi segar kembali untuk memikirkan

hal-hal yang lain. Dengan pekerjaan, seseorang juga akan memberi kontribusi

terhadap struktur sosial dan ekonomi komunitasnya sehingga dia menjadi lebih

nyaman berada ditengah-tengah komunitas itu dan akan memudahkan adaptasi

dengan lingkungannya. Secara fisik, pekerjaan membuat seseorang akan

menggerakkan seluruh otot tubuhnya, sehingga tubuhnya akan tetap sehat. Dari

semua hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa perkerjaan sangat bermanfaat

bagi perkembangan fisik dan jiwa seseorang.

Terapi Okupasi (Occupational Therapy) adalah suatu ilmu dan seni

dalam mengarahkan partisipasi seseorang untuk melaksanakan suatu tugas

tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat,

dan meningkatkan kemampuan dan mempermudah belajar keahlian atau fungsi

yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Juga untuk

meningkatkan produktivitas, mengurangi atau memperbaiki ketidaknormalan

(kecacatan), serta memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. 2)

Dalam terapi okupasi, perhatian lebih dititikberatkan pada pengenalan

kemampuan yang masih ada, kemudian menaikkan atau meningkatkannya

sehingga mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Tujuan utamanya

adalah membentuk seseorang agar mampu lebih mandiri, tanpa harus bergantung

pada pertolongan orang lain.

Terapi okupasi pertama kali dikembangkan dan diterapkan oleh

Philippine Pinel pada abad ke-19 di sebuah rumah sakit jiwa di Paris. Dengan

pekerjaan, pasien penyakit jiwa akan dapat dikembalikan ke arah hidup yang

- 2 -

Page 3: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

normal, bahkan bisa kembali seperti sebelum sakit. Adolf Meyer (1892), seorang

psikiater di Amerika, melakukan upaya secara terstruktur dimana pasien neuro-

psikiatrik diberikan aktivitas yang berguna ternyata menjadi dasar terapi okupasi.

Meyer telah menyusun suatu dasar sistematis penggunaan aktivitas sebagai terapi.

Bidang Terapi Okupasi

Terapi okupasi adalah sebuah profesi yang sedang berkembang. Bidang ini

dilaksanakan oleh seorang ahli terapi okupasi (occupational therapist) dan asisten

ahli terapi okupasi (occupational therapy assistant). Ahli dan asisten ahli terapi

okupasi tersebut keahliannya berada pada pengetahuan mereka mengenai

pekerjaan dan bagaimana bekerja dalam pekerjaan, yang dapat dipergunakan

untuk mempengaruhi tampilan seorang manusia dan tampilan yang diakibatkan

oleh suatu penyakit atau ketidakmampuan (kecacatan). Mereka akan langsung

mengarahkan upaya mereka membantu seseorang untuk bekerja dalam pekerjaan

yang penuh makna, yang kemudian berpengaruh terhadap kesehatan, rasa

nyaman, dan kepuasan hidup. Secara umum, pekerjaan yang biasanya diberikan

mencakup beberapa kelompok aktivitas seperti aktivitas hidup sehari-hari,

aktivitas interaksi dengan lingkungan sehari-hari, pendidikan, bekerja, bermain,

aktivitas mengisi waktu luang, dan partisipasi sosial.

Dalam praktek terapi okupasi hendaknya melalui 3 proses, yaitu proses

evaluasi, proses intervensi, dan hasil akhir (outcome).1) Proses evaluasi sangat

menentukan bagi proses-proses berikutnya. Pada tahap awal ini mulai dibentuk

hubungan kerjasama antara terapis dan klien, yang kemudian akan dilanjutkan

selama proses terapi okupasi. Proses evaluasi dibagi menjadi 2 langkah. Langkah

pertama adalah profil pekerjaan (occupational profile) dimana terapis

mengumpulkan informasi mengenai riwayat dan pengalaman pekerjaan pasien,

pola hidup sehari-hari, minat, dan kebutuhannya. Dengan pendekatan “client-

centered”, informasi tersebut dikumpulkan untuk dapat memahami apa yang

penting dan sangat bermakna bagi klien saat ini, apa yang ingin dan perlu

dilakukannya, serta mengidentifikasi pengalaman dan minat sebelumnya yang

- 3 -

Page 4: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

mungkin akan membantu memahami persoalan dan masalah yang ada saat ini.

Langkah kedua adalah analisa tampilan pekerjaan (analysis of occupational

performance). Tampilan pekerjaan yang dimaksud adalah kemampuan untuk

melaksanakan aktivitas dalam kehidupan keseharian, yang meliputi aktivitas dasar

hidup sehari-hari dan aktivitas pribadi sehari-hari, aktivitas interaksi dengan

lingkungan sehari-hari, pendidikan, bekerja, bermain, mengisi waktu luang, dan

partisipasi sosial. Pada langkah ini juga dilakukan identifikasi terhadap tampilan

ketrampilan atau keahlian dan pola-pola yang digunakan didalamnya, serta

mengevaluasi aspek-aspek lain dari bekerja dalam pekerjaan yang mempengaruhi

ketrampilan dan pola-polanya. Hal-hal yang memudahkan serta yang menghambat

dalam beragam aspek bekerja dalam pekerjaan dan aktivitas kehidupan keseharian

juga diidentifikasi.

Proses selanjutnya adalah proses intervensi yang terbagi dalam 3 langkah,

yaitu rencana intervensi, implementasi intervensi, dan peninjauan (review)

intervensi. Rencana intervensi adalah sebuah rencana yang dibangun berdasar

pada hasil proses evaluasi dan menggambarkan pendekatan terapi okupasi serta

jenis intervensi yang terpilih guna mencapai target hasil akhir yang ditentukan

oleh klien. Rencana ini dibangun secara bersama-sama dengan klien (termasuk

pada beberapa kasus bisa bersama keluarga atau orang lain yang berpengaruh),

dan berdasarkan tujuan dan prioritas klien. Rencana yang telah tersusun,

kemudian dilaksanakan sebagai implementasi intervensi, yang mana diartikan

sebagai proses ketrampilan dalam mempengaruhi perubahan tampilan pekerjaan

klien, membimbing mengerjakan pekerjaan atau aktivitas untuk mendukung

partisipasi. Langkah ini adalah proses bersama antara klien, ahli dan asisten ahli

terapi okupasi. Sedangkan peninjauan intervensi diartikan sebagai suatu proses

berkelanjutan untuk mengevaluasi dan meninjau kembali rencana intervensi

sebelumnya, efektivitas pelaksanaannya, dan sejauh mana perkembangan yang

telah dicapai untuk menuju target hasil akhir. Bilamana dibutuhkan, pada langkah

ini dapat dilakukan perubahan terhadap rencana intervensi.

Proses terakhir pada terapi okupasi adalah hasil akhir (outcome). Hasil

akhir disini diartikan sebagai dimensi penting dari kesehatan yang berhubungan

- 4 -

Page 5: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

dengan intervensi, termasuk kemampuan untuk berfungsi, persepsi kesehatan, dan

kepuasan dengan penuh perhatian. Pada proses ini ditentukan apakah sudah

berhasil mencapai target hasil akhir yang diinginkan atau tidak. Informasi yang

didapatkan dari proses ini digunakan untuk merencanakan tindakan lebih lanjut

dengan klien, serta dapat pula digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap program

pelayanan yang telah dilaksanakan.

Terapi Okupasi pada Pasien dengan Skizofrenia

Terapi okupasi juga dapat merupakan bagian dari rehabilitasi medik untuk

pasien-pasien dengan penyakit fisik maupun gangguan mental. Disini, terapi

okupasi merupakan terapi medik yang terarah dengan menggunakan aktivitas

sebagai media terapi, dalam rangka memulihkan kembali fungsi seseorang

sehingga mampu mandiri semaksimal mungkin.

Pada pasien-pasien dengan gangguan jiwa, aktivitas dalam terapi okupasi

biasanya dilakukan untuk membantu dalam mendiagnosis, terapi, evaluasi,

maupun rehabilitasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati pasien saat

mengerjakan suatu aktivitas, saat berinteraksi dengan kelompoknya, dan dengan

menilai hasil pekerjaannya. Dalam pengamatan tersebut dapat dikumpulkan data-

data yang berguna untuk mendukung ke arah suatu diagnosis tertentu serta

menetapkan terapi lainnya. Manfaat terapi didapat dengan membantu dalam

melepaskan dorongan-dorongan emosional secara wajar dan produktif. Dengan

memberikan terapi okupasi secara periodik maka akan dapat dilakukan evaluasi

terhadap hasil pengobatan. Sedangkan tujuan rehabilitasi diperoleh dengan

menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan

kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat

sekitar. Disamping itu juga dapat membantu menemukan kemampuan kerja yang

sesuai dengan bakat dan keadaannya.

Sebagaimana telah dipahami, bahwa pada sebagian penderita gangguan

skizofrenia digambarkan memiliki perjalanan penyakit yang kronis dan disertai

dengan terjadinya deteriorasi dari taraf fungsi sebelumnya. Deteriorasi atau

- 5 -

Page 6: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

kemunduran tersebut mungkin sudah dimulai sejak fase prodromal selama

berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sebelum onset penyakit, yang

mencakup terdapatnya keruntuhan taraf fungsi dalam bidang pekerjaan, aktivitas

sosial (pergaulan sosial), serta penelantaran penampilan pribadi dan perawatan

diri.

Pada penderita dengan skizofrenia sering terdapat beberapa gejala secara

bersama-sama seperti gangguan bentuk dan isi pikiran, arus pikiran, persepsi,

afek, serta gangguan pada perilaku yang dapat bermanifestasi sebagai perilaku

katatonik maupun gejala-gejala negatif. Pada penderita skizofrenia dengan gejala-

gejala negatif seperti sikap apatis, pembicaraan yang terhenti, dan respon

emosional yang menumpul atau tidak wajar biasanya akan mengakibatkan

penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial. Selain itu bisa

juga terjadi suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan dari beberapa aspek perilaku seseorang yang bermanifestasi sebagai

hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed

attitude) dan penarikan diri secara sosial. 3)

Telah pula diyakini bahwa cara yang paling efisien dalam penanganan

pasien dengan skizofrenia adalah melalui kombinasi psikofarmakologi dan

intervensi psikososial seperti psikoterapi, terapi keluarga, dan terapi okupasi. Hal

ini telah dibuktikan setidaknya dari sebuah penelitian mengenai terapi okupasi

pada pasien dengan skizofrenia yang resisten terhadap pengobatan (treatment-

resistant schizophrenia) yang dilakukan oleh Buchain dkk. di Sao Paulo, Brazil. 4)

Penelitian yang dipublikasikan tahun 2002 ini menggunakan rancangan

penelitian acak terkontrol (randomized controlled trial) dengan melibatkan 26

orang pasien skizofrenia yang resisten terhadap pengobatan, yang kemudian

diikuti dan dievaluasi selama 6 bulan. Secara acak, mereka terbagi menjadi 2

kelompok, yaitu kelompok penelitian dan kelompok kontrol. Kelompok penelitian

menerima penanganan psikofarmakologi dengan Clozapine yang disertai dengan

sesi terapi okupasi, sedangkan kelompok kontrol hanya menerima Clozapine.

Untuk mengevaluasi hasil akhirnya digunakan skala Interactive Observation in

Occupational Therapy (EIOTO). Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa

- 6 -

Page 7: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

intervensi terapi okupasi ternyata efektif sepanjang periode observasi, terutama

setelah memasuki bulan ke-4 hingga akhir penelitian. Sehingga disimpulkan

bahwa kombinasi Clozapine dan terapi okupasi tampaknya lebih efektif

dibandingkan hanya Clozapine saja pada pasien dengan skizofrenia yang resisten

pengobatan.

Pada makalah ini tidak akan menyajikan atau mempublikasikan suatu hasil

penelitian baru, melainkan hanya memberikan sekilas gambaran mengenai

pelaksanaan terapi okupasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Setidaknya

makalah ini akan mengingatkan mengenai penanganan pasien dengan gangguan

jiwa, terutama skizofrenia, secara komprehensif melalui pendekatan Bio-Psiko-

Sosio-Budaya dan Spiritual. Mengingatkan kembali tentang salah satu modalitas

terapi yang sudah diyakini efektivitasnya pada pasien dengan skizofrenia, yaitu

terapi okupasi.

II. PEMBAHASAN

Sekilas Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali yang sebelumnya merupakan rumah sakit

jiwa pusat, sejak tahun 2002 telah menjadi rumah sakit jiwa daerah dibawah

Pemerintah Provinsi Bali. Kapasitas rumah sakit terus meningkat, yang pada

tahun 2005 memiliki 225 tempat tidur menjadi 310 tempat tidur pada tahun 2008.

Beberapa tahun terakhir, tingkat hunian rata-rata yang biasa disebut Bed

Occupancy Rate (BOR) pasien di rumah sakit ini sangat tinggi, yaitu selalu diatas

80%. Pada tahun 2006, BOR mencapai 82,00% yang kemudian meningkat

menjadi 96,56% pada tahun 2007. Selama tahun 2008 hingga bulan Juni,

walaupun kapasitas tempat tidur sudah bertambah, BOR tetap tinggi mencapai

91,40%. Wilayah cakupan kerja adalah seluruh wilayah Provinsi Bali yang

berpenduduk + 3,5 juta jiwa.

- 7 -

Page 8: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

Tabel-1. Bed Occupancy Rate (BOR) di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali tahun

2006 – Juni 2008

URAIAN 2006 20072008

(Januari – Juni)BOR (%) 82,00 96,56 91,40

Sumber: Register pasien rawat inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali, periode tahun 2006 – 2008.

Pasien yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali didominasi oleh

pasien-pasien dengan diagnosis skizofrenia. Jumlah pasien skizofrenia yang

dirawat juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, Rumah

Sakit Jiwa Provinsi Bali telah merawat sebanyak 2.601 orang pasien yang

didiagnosis sebagai skizofrenia, dan hanya 101 pasien dengan diagnosis bukan

skizofrenia. Selanjutnya, pada tahun 2007, terjadi peningkatan yang cukup

signifikan pada jumlah pasien dengan skizofrenia yang dirawat, yaitu sebanyak

3.035 orang, sedangkan pasien bukan skizofrenia hanya 126 orang. Selama bulan

Januari hingga Juni 2008 telah merawat sebanyak 1.598 orang pasien dengan

skizofrenia dan 81 orang pasien bukan skizofrenia. Mayoritas (+ 90%) dari pasien

yang dirawat adalah dari suku Bali dengan agama Hindu. Hal tersebut

mempengaruhi aktivitas terapi okupasi yang dipilih untuk para pasien tersebut.

Tabel-2. Perbandingan jumlah pasien penderita skizofrenia dengan pasien bukan

skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali, tahun 2006

– Juni 2008

URAIAN 2006 20072008

(Januari – Juni)Skizofrenia 2.601 3.035 1.598Bukan Skizofrenia 101 126 81

Sumber: Register pasien rawat inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali, periode tahun 2006 – 2008.

- 8 -

Page 9: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

Pelaksanaan Terapi Okupasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali

Pasien yang akan diikutsertakan dalam terapi okupasi dilakukan seleksi

terlebih dahulu. Tujuan dilaksanakannya seleksi tersebut meliputi penetapan

kondisi psikologis dari pasien, termasuk adanya gejala-gejala yang

membahayakan, taraf beratnya kecacatan, potensi yang masih ada, latar belakang

pendidikan dan sosial budaya pasien. Selain dari itu, pada seleksi pasien juga

dilakukan persiapan dan pemilihan aktivitas yang akan diberikan.

Aktivitas dalam terapi okupasi adalah segala macam aktivitas yang dapat

memberikan kesibukan kepada seseorang secara produktif. Aktivitas tersebut

digunakan sebagai media untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai

sumber kepuasan emosional maupun fisik.

Aktivitas yang dilakukan memiliki karakteristik dimana aktivitas tersebut

harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Aktivitas tersebut juga

memiliki karakteristik yang mana dibuat dan berhubungan dengan perkembangan

sosial budaya pasien, dan pasien memahami kegunaan aktivitas tersebut untuk

penyakitnya, pasien harus dilibatkan secara aktif, mencegah lebih beratnya

kecacatan, dapat memberikan motivasi bagi pasien untuk mandiri, serta sesuai

dengan minat pasien atau sekurang-kurangnya tidak dibenci oleh pasien.

Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali, pasien yang diseleksi untuk dapat

dilibatkan dalam terapi okupasi adalah pasien rawat inap yang gejala-gejala

psikiatriknya sudah berkurang dan pasien tersebut sudah cukup kooperatif.

Kondisi seperti ini umumnya sudah bisa dicapai setelah dirawat inap selama 15

hingga 20 hari, tetapi jumlah hari perawatan bukan menjadi patokan, melainkan

tetap berpedoman pada kondisi psikologis pasien.

Aktivitas pekerjaan yang diberikan pada terapi okupasi di Rumah Sakit

Jiwa Provinsi Bali bersifat aktivitas kelompok, seperti sembahyang bersama

(sembahyang secara Agama Hindu karena mayoritas pasien yang menjalani

perawatan adalah beragama Hindu), kegiatan olahraga (senam dan permainan),

membuat sesajen (sarana sembahyang sesuai umat Hindu, khususnya untuk pasien

wanita), serta membuat dupa. Pasien dapat memilih kegiatan membuat kerajinan

- 9 -

Page 10: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

tangan seperti merenda, menyulam, menjahit, mengukir dan melukis. Bagi pasien

laki-laki biasanya diberikan kegiatan menabuh gong atau gamelan Bali dan

membuat batako. Mengingat banyak pasien yang memiliki kemampuan dalam

bidang pertanian maka diberikan kegiatan bertani, berkebun, memelihara ternak,

dan sebagainya.

Semua kegiatan terapi okupasi biasanya dilaksanakan pada pagi hari, jam

09.00 wita hingga 11.00 wita. Program terapi ini sudah dilaksanakan sejak lama di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali, dan terus dilaksanakan secara rutin walaupun

terkendala waktu, ketersediaan bahan baku, jumlah dan kompetensi terapis.

Data Hasil Terapi Okupasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali

Tidak cukup banyak data yang ada dalam pelaksanaan terapi okupasi di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali selama ini. Akan tetapi, dari catatan pada unit

rehabilitasi dimana terapi okupasi itu dilakukan, ternyata tidak semua pasien yang

dirawat dapat diikutsertakan dalam aktivitas terapi okupasi. Pasien-pasien yang

akut dengan masa perawatan pendek tidak diberikan terapi okupasi. Juga pada

pasien-pasien dengan gejala psikosis berat dan akut tidak bisa diikutsertakan.

Data yang tercatat dalam 3 tahun terakhir, terapi okupasi baru bisa

diterapkan pada kira-kira 30% dari seluruh pasien dengan skizofrenia yang

dirawat. Jika dirinci maka pada tahun 2006 hanya dilakukan terapi okupasi pada

786 pasien dari 2.601 orang jumlah keseluruhan pasien dengan skizofrenia yang

dirawat, atau 30,2%. Demikian pula pada tahun 2007 yang dilakukan pada 908

(29,9%) pasien dari 3.035 orang pasien dengan skizofrenia yang dirawat.

Sedangkan selama bulan Januari hingga Juni 2008 telah dilakukan terapi okupasi

terhadap 475 (29,7%) pasien dari 1.598 orang penderita tersebut.

- 10 -

Page 11: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

Tabel-3. Jumlah pasien dengan skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Bali dan mendapatkan terapi okupasi, tahun 2006 – Juni 2008

URAIAN 2006 20072008

(Januari – Juni)Total penderita skizofrenia rawat inap

2.601 3.035 1.598

Jumlah penderita skizofrenia rawat inap dan mendapat terapi okupasi

786 908 475

Persentase penderita skizofrenia rawat inap dan mendapat terapi okupasi

30,2% 29,9% 29,7%

Sumber: Register pasien di unit rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali, periode tahun 2006 – 2008.

Memperhatikan pelaksanaan terapi okupasi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Bali, bahwa telah berpuluh-puluh tahun dilakukan sebagai kegiatan di unit

rehabilitasi, namun kegiatan tersebut belum merupakan terapi okupasi yang

sesungguhnya, yang sesuai dengan perkembangan teori dan teknik dalam profesi

itu sendiri. Dan selama itu pula belum pernah dilakukan penilaian terhadap

efektivitasnya pada pasien ataupun efektivitas metode yang diberikan, baik

melalui suatu evaluasi internal maupun penelitian terstruktur yang independen.

Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak adanya sumber daya manusia yang

memiliki cukup kompetensi dibidang ini di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

Selama ini, yang bertindak sebagai terapis maupun asisten terapis adalah psikolog

beserta perawat yang mendapat pelatihan sangat terbatas.

Selain itu, metode pencatatan yang dilakukan pun kurang tertata baik

sehingga tidak bisa didapatkan data yang akurat mengenai perkembangan atau

kemajuan yang telah dicapai oleh seorang pasien dari waktu ke waktu, serta hal-

hal penting lainnya yang sesuai dengan teori terapi okupasi yang sedang

berkembang. Demikian pula dengan waktu pelaksanaan terapi okupasi yang hanya

pada jam-jam kerja di pagi hari saja, sedangkan siang hingga sore hari atau pada

hari-hari libur, pasien lebih banyak berada dalam ruangan. Hal ini akan bisa

menimbulkan kebosanan dan kemunduran bagi pasien.

- 11 -

Page 12: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

Walaupun dengan segala keterbatasan yang ada, tidak menyurutkan

keinginan untuk tetap memberikan terapi okupasi pada pasien-pasien yang

menjalani rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Hal tersebut karena

selama ini ada kesan yang diperoleh dari pengamatan terhadap pasien yang

diberikan kegiatan rehabilitasi dengan terapi okupasi tampaknya pasien-pasien

tersebut memperoleh beberapa manfaat, diantaranya pasien menjadi lebih betah

tinggal di rumah sakit, kemampuan sosialisasi yang lebih baik, dorongan-

dorongan impulsif lebih terkendali, dan gejala-gejala negatif yang berkurang.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas maka perlu dilakukan beberapa

perbaikan dengan cara meningkatkan ketrampilan dan kompetensi petugas di unit

rehabilitasi, khususnya terapi okupasi dengan pelatihan-pelatihan atau merekrut

tenaga-tenaga baru yang bersertifikasi. Disamping itu, amatlah penting untuk

melakukan pencatatan yang lebih terstruktur secara individual mengenai riwayat

dan perkembangan pasien yang telah mendapatkan terapi okupasi. Demikian pula

dengan perlunya penambahan waktu pemberian terapi okupasi pada sore hari dan

pada hari-hari libur, serta meningkatkan sarana prasarana dan sumber dana untuk

pelaksanaan terapi okupasi. Dan untuk mengevaluasi efektivitas pelaksanaannya,

maka sangat perlu untuk dilakukan penelitian yang terkait dengan terapi okupasi

di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

III. RINGKASAN

Terapi okupasi telah lama dilakukan pada penderita-penderita skizofrenia

yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Namun, dari total

penderita skizofrenia yang menjalani rawat inap, hanya sekitar 30% yang dapat

diberikan terapi okupasi. Dalam pelaksanaannya, setelah proses seleksi, peserta

dipilihkan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan latar belakang budaya dan agama

mereka, yaitu mayoritas beragama Hindu dan suku Bali. Terapi okupasi yang

dilaksanakan mengalami beberapa kendala dibidang sarana, prasarana, dan

sumber daya manusia (terapis).

- 12 -

Page 13: Bali RaiTirta Terapi Okupasi

Untuk langkah ke depan perlu peningkatan dibidang upaya terapi okupasi,

karena selama ini belum ada langkah-langkah yang terkoordinasi atau terstruktur

dan belum dimonitor manfaat dan hasil yang dicapai oleh penderita. Dari

pengamatan dan wawancara dengan beberapa penderita yang menjalani terapi

ternyata sebagian besar merasa ada manfaatnya dan menyenangi kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Occupational therapy practice framework: Domain and process, In

American Journal of Occupational Therapy, vol. 56(6), 2002; p609-639.

2. Budiman A, Siahaan H B; Okupasiterapi, Dalam Makalah Pelatihan Terapi

Keluarga dan Terapi Relaksasi, Ciloto, 1993; hal. 1-9.

3. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik;

Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham, Dalam

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III,

Jakarta, Departemen Kesehatan RI, Cetakan I, 1993; hal. 103-136.

4. Buchain P C, et all; Randomized controlled trial of occupational therapy in

patients with treatment-resistant schizophrenia, In Rev Bras Psiquiatr, vol.

25(1), 2003; p26-30.

- 13 -