Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
53
TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI
ARTEFAKTUAL DI KOMPLEKS GUA PRASEJARAH BELLAE, KAB.
PANGKEP, SULAWESI SELATAN
Supriadi
Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin
Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar
Email : [email protected]
Abstract
Once period residential caves in South Sulawesi is a period play of important role in the
framing national history. The study has been done indicating that it’s period has a long time range
between 30,000 BP - 1500 BP. The time range allows residential and occupational repetition in one
place , either by the same kind of man as well as by different kinds of people. Prehistoric cave complex
Bellae is an area that has been inhabited or occupational evidence ever undertaken by humans .
The purpose of this study is to observe at the occupational level of each layer of culture that has
ever happened in the Prehistoric Caves Complex Bellae. Three caves were used as samples to do the
excavation which represents the amount of 22 caves. The selection was made based on the
consideration of the location of the cave , the cave shape, and surface findings . Excavations carried
out by using a box model with a deepening technique using spit .
The results of research showed that human occupation in Prehistoric Caves Complex Bellae the
most intense occurred in the middle layer of culture. Displacement of each layer of culture , based on
the findings of kitchen waste is always decreasing occupation . Food gathering system utilizing the
surrounding environment of the marine environment, both freshwater and salty. The food gathering
was influenced by season. From the results of the excavation is also seen that prior to human
consumption of shellfish , the protein source is derived from small animals . Changes in the cultural
layer then accompanied by artefaktual changes. The most obvious artifacts are finding pottery the
younger cultural layers .
Key word : Occupational , Prehistoric Caves , Bellae
I. PENDAHULUAN
Fase awal perjalanan sejarah manusia
sebagai manusia dalam konteks budaya adalah
ketika manusia sudah mulai menggunakan
peralatan untuk melangsungkan hidupnya.
Masa ini dalam terminologi waktu disebut
sebagai masa prasejarah atau masa sebelum
ada tulisan. Dalam konteks ini, Sulawesi
selatan memegang peranan untuk mengungkap
kehidupan masa prasejarah di Indonesia. Salah
satu peran yang paling menonjol adalah
kontribusi data arkeologi pada masa penguhian
gua-gua oleh manusia prasejarah.
Hasil penelitian sejak tahun 1930
sampai dengan 1975 yang dilakukan oleh
berbagai ahli, oleh van Heekeren kemudian
ditarik kesimpulan bahwa terjadi
perkembangan alat serpih bilah di Asia
Tenggara sebagaimana yang dijumpai di gua-
gua Sulawesi Selatan. Berdasarkan dari
tipologi artefak yang ditemukan di Leang
Panganreang Tudea, kemudian Heekeren
menyusun tiga lapisan budaya Toalean :
yakni; Toalean I atau Toalean Atas, Toalean II
atau Toalean Tengah dan Toalean III atau
Toalean Bawah (Heekeren, 1972; 113).
Menurut Sarasin, orang Toala yang tinggal di
daerah itu adalah keturunan orang Wedda di
Ceylon, dan mereka menunjukkan perbedaan
jasmaniah dengan orang Bugis. Penyelidikan
lebih lanjut yang dilakukan oleh W.A.
Mijsberg ternyata mencapai hasil yang
bertentangan dengan pendapat Sarasin, dan
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
jasmaniah antara orang-orang Bugis dan Toala
(Soejono, 1984: 140).
Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015
54
Istilah Toalean kemudian oleh Bulbeck
(2001) hanya digunakan pada kumpulan
mikrolit yang terdapat di Sulawesi Selatan
yang berlangsung antara 8000 BP – 1500 BP
(Bulbeck 2001: 1). Periode ini ditandai dengan
mulainya manusia bertempat tinggal di gua-
gua yang tidak jauh dari sumber air dan lahan
yang dicirikan dengan produksi/kumpulan alat
mikrolit yang berasosiasi dengan lukisan
dinding (Heekeren, 1972: 106; Soejono, 1985:
147; Bulbeck, 2001: 1). Secara detail, ciri
artefaktual tiap lapisan budaya Toalean sebagai
berikut :
a. Toalean I, atau Toalean Atas dicirikan oleh
mata panah bergerigi (banyak diantaranya
bersayap pada bagian bawahnya), lancipan
muduk, alat (penyerut) kerang dan fragmen
gerabah.
b. Toalean II, atau Toalean Tengah dicirikan
oleh bilah (blade) yang sudah halus tapi
belum mengalami penyerpihan ulang
(retouches) pada bagian sisinya, mata
panah yang pada bagian dasarnya bundar,
dan mikrolit geometrik.
c. Toalean III, atau Toalean Bawah hanya
berisikan serpih yang besar dan kasar, alat
serpih yang berfaset, dan bilah yang tajam
(Heekeren, 1972: 113-114).
Secara garis besar, ciri kebuda-yaan
Toalean dapat dibedakan atas tiga ciri utama
yakni penghunian gua, temuan mikrolit yang
ber-asosiasi dengan lukisan dinding, dan
tipologi artefaktualnya. Dari tinggal-an
artefaktualnya, beberapa gua di Kompleks Gua
Prasejarah Bellae mengindikasikan pernah
dijadikan sebagai hunian manusia pendukung
budaya Toalean, seperti Leang Kassi, Leang
Cammingkana dan Leang Bubbuka (Said,
1998 dalam Sumantri, 2004: 156).
Gua-gua prasejarah di Sulawesi Selatan,
utamanya yang telah diteliti selama ini
memberikan menyodorkan sejumlah bukti-
bukti arkeologis dan non-arkeologis yang
berkaitan dengan kehidupan masa Mesolitik.
Kehidupan masa mesolitik sebagaimana yang
diterminologikan oleh para ahli sebagai
tahapan lanjutan kehidupan paleolitik, untuk
kawasan Sulawesi Selatan ditunjukkan dengan
kehidupan dalam gua-gua. Menurut
pertanggalan resmi yang diajukan, bahwa masa
penghunian gua-gua ini berlangsung sejak
3790 ± 230 S.M. dan 5520 ± 650 S.M.
(Soejono, 1984: 143). Sementara itu, tahun
1973 dan 1975, I.C. Glover melakukan
penelitian di gua Ulu Leang dan Leang
Burung, Maros. Dalam penelitian tersebut
berhasil ditemukan alat serpih, lancipan
tulang, pecahan tembikar, sisa tulang hewan,
dan sekam padi dan telah diberi pertanggalan
melalui C14 didapatkan usia absolut antara
10.500 – 3.500 BP (Glover, 1977: 113 – 154).
Dari berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa situasi lingkungan
kawasan gua-gua Belae pada masa
penghunian, merupakan perpaduan dari
lingkungan darat, lingkungan aquatik (marin),
dan mangrove (bakau) yang merupakan
lingkungan transisi. Menurut hasil penelitian,
lingkungan mangrove pada masa itu berada
sekitar satu km dari tepi pegunungan karst
yang dibuktikan dengan analisis pollen
(Suprapta, 1999: 88). Sekarang tumbuhan
mangrove ini mundur menjauh sekitar 10 km
dan menjadi tepi pantai sekarang. Ketika air
laut pasang (naik), permukaan air bergerak
mendekati kawasan pegunungan karst.
Sedangkan ketika surut (turun), garis air
mundur menjauh. Siklus ini berlangsung terus
menerus sampai terjadi pengangkatan kembali,
yang menyebabkan permukaan air laut
mundur sebagaimana keadaannya sekarang.
Tanda-tanda dari fluktuasi ini dapat dibuktikan
dengan ditemukannya moluska air laut dan
mangrove yang terdeposit sebagai sampah
dapur (kjokkenmoddinger) di mulut-mulut gua
(Supriadi, 2006).
David Bulbeck dan Iwan Sumantri pada
saat melakuan penelitian di Leang Sakapao
menemukan fragmen gigi geraham dan rahang
binatang bertulang belakang yang diduga
merupakan gigi dan rahang rusa atau babi.
Berdasarkan hasil analisis pada moluska,
diperoleh pertanggalan okupasi pada gua
tersebut berkisar antara 30.000 BP- 25.000 BP
(Bulbeck, Sumantri, dan Hiscock, 2004: 118).
Jika merujuk pada ciri-ciri artefaktual berupa
mikrolit, maka diperkirakan bahwa budaya
tersebut berkembang antara 8000 BP – 1500
BP (Bulbeck, 2001; 1).
Berdasarkan beberapa hasil penelitian
tersebut, terlihat bahwa penghunian gua di
Sulawesi Selatan, khususnya Kompleks Gua
Prasejarah Bellae mengalami okupasi rentang
waktu yang panjang. Terhitung penghunian
awal dimulai pada kisaran 30.000 BP sampai
yang termuda 1500 BP. Melihat rentang waktu
Supriadi : Tingkat Okupasi dan Perubahan Teknologi Artefaktual di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan
55
Kawasan Kars yang Melintasi Bellae
Dokumentasi: BP3 Makassar
tersebut, nampaknya Kompleks Gua Prasejarah
Bellae mengalami beberapa kali okupasi yang
dilakukan baik oleh manusia Pra Austronesia
maupun Austronesia.
I. Metode Penelitian
Metode penelitian meliputi tiga tahap
yakni pengumpulan data, tahap analisis dan
eksplanasi.
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan
dua tahap :
a. Studi Pustaka. Tahap ini merupakan
tahap pengum-pulan berbagai
referensi yang berkaitan dengan
Kompleks Gua Prasejarah Bellae.
Hasil studi pustaka merupakan data
sekunder sekaligus untuk dijadikan
rujukan untuk strategi pelaksanaan
ekskavasi serta rujukan dalam tahap
analisis dan penjelasan data.
b. Survei permukaan. Pada tahap-an ini
dilakukan survei yang mencakup
keseluruhan gua-gua prasejarah yang
berada di Kompleks Gua Prasejarah
Bellae. Hasil survei permu-kaan dan
studi pustaka, maka ditentukan tiga
leang yang akan diekskavasi yakni
Leang Lompoa, Leang Buloribba,
dan Leang Cammingkana.
c. Ekskavasi. Pelaksanaan ekska-vasi
dilakukan dengan sistem box dengan
ukuran 1 x 1 m. Sistem pendalaman
menggu-nakan teknik spit dengan
interval tetap. Kegiatan ekskavasi
mencakup pemetaan situs, deskripsi,
penggambar-an, dan pemotretan
terhadap situs, kotak galian, temuan,
dan penggambaran stratigrafi tanah.
Pemilihan ekskavasi dalam metode
pengumpulan data untuk menjawab
permasalahan penelitian yang
sifatnya vertikal. Perubahan tingkat
okupasi dan perubahan teknologi
artefaktual pada berbagai lapisan
budaya hanya bisa terjawab dengan
melakukan ekskavasi.
2. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara
menganalisis teknologi, tipologi, dan
analisis kontekstual. Analisis bertujuan
untuk memberikan gambaran jenis,
bahan, bentuk artefak pada tiap lapisan
budaya.
3. Eksplanasi
Hasil analisis tersebut kemudian
menjadi dasar dalam melihat tingkat
okupasi, kecenderungan perubahan
teknologi dan tipologi pada tiap lapisan
budaya, serta kesamaan artefaktual
Toala dengan artefak yang terdapat di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae.
II. Profil Wilayah
Kompleks Gua Prasejarah Bellae
terletak di wilayah Kampung Bellae,
Kelurahan Biraeng, Kecamatan Pangkajene,
Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Kampung
Bellae berjarak sekitar 55 km sebelah utara
Kota Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi
Selatan. Kelurahan Biraeng terletak pada posisi
astronomis 04049’20” - 040 50’10” LS dan
1190 45”--1190 36’50” BT, dan terdiri atas 3
(tiga) kampung yaitu Lessang, Belae, dan
Batang Lamara. Luas wilayah Biraeng sekitar
10 kilometer persegi yang dilintasi oleh dua
bukit yakni Bulu Matojeng dan Bulu Matanre.
Morfologi Bellae berupa perbukitan
gamping dan dataran dengan titik terendah 10
mdpl dan yang tertinggi 100 mdpl. Gugusan
Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015
56
perbukitan gamping ini digolongkan dalam
topografi kars yang ditandai bentukan
menyerupai menara (tower karts) sebagai ciri
utamanya. Secara garis besar bentang alam
perbukitan di kawasan ini, terbagi atas dua
gugusan tebing yakni gugusan tebing Bulu
Matojeng dan gugusan tebing Bulu Bellang.
Gugusan ini membentang hampir sejajar
dengan arah timur – barat, tetapi ujungnya
bersatu di sebelah barat dari Kampung Bellae
sehingga keberadaan kampung Bellae seperti
dikelilingi oleh “benteng” tebing (Sumantri,
2004: 89).
Khusus pada penelitian ini, lokasi hanya
difokuskan pada 3 tempat yakni Leang
Lompoa, Leang Buloribba, dan Leang
Cammingkana. Penentuan lokasi didasrkan
pada hasil penelitian sebelumnya serta
mempertim-bangkan keterwakilan lokasi dari
sebaran gua-gua prasejarah yang berada di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae.
A. Leang Lompoa
Leang Lompoa terletak di sebelah timur
Leang Buto dengan posisi astronomis
04˚50'08" LS dan dan 119˚35'35" BT dan
berada pada ketinggian 20 mdpl. Leang
Lompoa memiliki arah hadap ke selatan
dengan tiga mulut gua. Ukuran lebar rata-rata
pintu antara 8 – 16,4 meter dan tinggi pintu
rata-rata 6 meter. Tinggi gua dari permukaan
tanah di depannya berkisar antara 0 – 5 meter.
Suhu rata-rata dalam ruang gua 270 C dengan
kelembaban dinding berkisar antara 17 – 20 %.
Lingkungan sekitar situs berupa pelataran
dengan luas 0,60 ha, Di daerah yang lebih
rendah dari pelataran terdapat rawa seluas 30
meter persegi yang tergenang sepanjang tahun.
Sebelah barat gua terdapat mata air yang
mengalir sepanjang tahun. Mata air ini sudah
dibendung untuk pendistribusian pengairan
sawah. Bagian barat rawa merupakan jalan raya
yang melintasi Bellae dan mengubungkan Bellae
dengan ibu kota kecamatan. Di seberang jalan
yang melintas di depan gua terdapat areal
persawahan.
B. Leang Buloribba
Leang Buloribba terletak di gugusan
perbukitan Bulu Bellang, sekitar 1 km sebelah
selatan Bulu Matojeng. Secara astronomis,
Leang Buluribba berada pada 04˚50'30" LS
Supriadi : Tingkat Okupasi dan Perubahan Teknologi Artefaktual di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan
57
dan 119˚35'40" BT dan berada pada ketinggian
35 mdpl. Leang Buluribba memiliki arah
hadap ke timur laut. Ukuran lebar pintu 30
meter dan tinggi pintu 10 meter. Tinggi gua
dari permukaan tanah di depannya berkisar
antara 0 – 10 meter. Suhu rata-rata dalam
ruang gua 260 C dengan kelembaban dinding
berkisar antara 15 – 25 %.
Lingkungan sekitar situs berupa
pelataran dengan luas 0,40 ha dengan tingkat
kemiringan antara 0 – 350. Di bagian yang
lebih rendah dari pelataran terdapat cekungan
seluas 10 meter2 yang ditumbuhi oleh pohon
sagu dan rumbia. Lahan yang terluas adalah
hamparan sawah sejauh 600 meter ke jalan
aspal.
C. Leang Cammingkana
Leang Cammingkana terletak di
gugusan perbukitan Bulu Bellang, sekitar 75
meter sebelah barat Leang Buluribba. Secara
astronomis, Leang Buluribba berada pada
04˚50'31" LS dan 119˚35'36" BT dan berada
pada ketinggian 20 mdpl. Leang
Cammingkana memiliki arah hadap ke timur
laut. Ukuran lebar pintu 23 meter dan tinggi
pintu 23 meter. Tinggi gua dari permukaan
tanah di depannya berkisar antara 0 – 5 meter.
Lingkungan sekitar situs berupa
pelataran dengan luas 0,9 ha dengan tingkat
kemiringan antara 0 – 10 derajat. Bagian depan
pelataran terdapat dataran banjir selebar 10
meter. Lahan yang terluas adalah hamparan
sawah sejauh 600 meter ke jalan aspal di
bagian utaranya.
III. Data Penelitian
A. Leang Lompoa
Kotak ekskavasi di leang Lompoa
adalah X1,Y0. TP I dengan sumbu X (0,1) dan
Y(1,2). Kotak X1,Y0 terletak di daerah mulut
gua dan memiliki ukuran 1 x1 m. Sistem
pendalaman menggunakan spit dengan interval
10 cm. Jarak tali rata dari sudut tertinggi
permukaan kotak yakni 5 cm.
Permukaan. Permukaan kotak X1,Y0
cenderung rata dengan warna tanah 75 YR 4/3
Brown. Temuan permukaan kotak tidak
ditemukan temuan. Tetapi disebelah selatan
ditemukan alat batu dan pecahan gerabah.
Spit 1. Memiliki tekstur tanah gembur.
Warna tanah 7,5 YR 4/3 Brown dengan Ph
5,2. Temuan spit 1 yaitu arang, konsentrasi
tulang di sudut tenggara, dan kerang di sudut
barat laut.
Spit 2. Tekstur dan warna tidak tidak
mengalami perubahan dan masih tetap sama
pada Spit 1 yakni 7,5 YR 4/3 Brown. Temuan
spit 2 berupa kerang, pecahan gerabah, arang,
tulang, dan pecahan keramik. Spit 2 berakhir
pada kedalaman 30 cm dari tali rata.
Spit 3. Tekstur dan warna tidak tidak
mengalami perubahan dan masih tetap sama
pada Spit 2 yakni 7,5 YR 4/3 Brown. Temuan
Spit 3 berupa batu dengan panjang 40 cm dan
temuan lain yang terkonsentrasi pada sudut
barat daya. Spit 3 berakhir pada kedalaman 40
cm dari tali rata.
Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015
58
Spit 4. Tekstur tanah gembur dan ada
perubahan warna tanah dari coklat menjadi 7,5
YR 4/3 Dark Brown namun masih jenis tanah
yang sama. Ph tanah 6,2. Temuan Spit 4 adalah
kerang, batu, tulang dan arang. Spit 4 berakhir
pada kedalaman 50 cm dari tali rata.
Spit 5. Tekstur tanah gembur dengan
warna tanah adalah 7,5 YR 4/3 Brown dan ph
tanah 5,8. Pada Spit ini ditemukan sampah
dapur, batu, dan tulang. Temuan pada spit 5
terkonsentrasi pada bagian sudut barat daya
(BD) dan tenggara (TG). Jenis kerang
konsentrasi di sudut timur laut (TL) dan
tenggara (TG). Terdapat batuan lapuk
menutupi kotak di kuadran barat (BD).
Ketebalan 2-5 cm. batu berwarna merah yang
dicurigai adalah hematite di kuadran barat
daya (BD). Spit 5 berakhir pada kedalaman 60
cm dari tali rata.
Spit 6. Tekstur dan warna tanah tidak
mengalami perubahan yakni 7,5 YR 4/3 Brown
dan Ph tanah 5,9. Walau demikian, di sudut
tenggara (TG) terdapat tanah yang berwarna
abu-abu (Gley 2) 8/5 PB light bluish grey.
Temuan Spit 6 berupa bongkahan batu yang
terdapat di sudut barat daya (BD). Panjang 38
cm dan lebar 28 cm. sudut BL terdapat temuan
berupa 3 batu dengan panjang ± 10 cm dan
lebar 5 cm. selanjutnya pada sudut timur laut
(TL) ditemukan batu yang menempel di
dinding dengan panjang 2 cm dan lebar 0,5 cm
dengan tebal 53 cm. Pada spit inilah ditemukan
breksi di sudut barat daya (BD) dan masih
ditemukan batu berwarna merah bata yang
dicurigai Hematite. Sampah dapur
terkonsentrasi di sudut tenggara (TG),
sedangkan pada sudut timur laut (TL)
didominasi oleh tulang. Selanjutnya ditemukan
geraham di bagian sudut barat daya (BD) pada
kedalaman 65 cm. selanjutnya juga ditemukan
batu sejenis batu kali pada kedalaman 67 cm.
Spit 6 berakhir pada kedalaman 70 cm dari tali
rata.
Spit 7. Tekstur dan warna tanah tidak
mengalami perubahan yakni 7,5 YR 4/3 Brown
dan Ph tanah 5,9. Pada kedalaman 80 cm
ditemukan Hematite dan alat batu yang berada
di kuadran barat laut (BL). Batu inti ditemukan
di sudut timur laut (TL) dengan kedalaman 80
cm yang berdekatan dengan Hematite. Temuan
tulang yang ditemukan di sudut barat laut (BL)
dengan kedalaman 80 cm. sampah dapur pada
spit ini mulai berkurang karena yang
ditemukan hanya 2 jenis kerang saja. Spit 7
berakhir pada kedalam 80 cm dari tali rata.
Spit 8. Tekstur dan warna tanah tidak
mengalami perubahan yakni 7,5 YR 4/3 Brown
dan Ph tanah 5,9. Jika sebelumnya interval tiap
spit 10 cm, maka pada spit ini mengalami
perubahan menjadi 20 cm. Hal ini disebabkan
oleh keberadaan breksi setebal 10 cm yang
hampir menutupi permukaan spit 8. Temuan
spit 8 berupa arang dan yang terdapat di bawah
bongkahan breksi dan kayu pada kedalaman
yang sama yaitu 100 cm di sudut timur laut
(TL). Temuan lain berupa tulang dan alat
serpih. Spit 8 berakhir pada kedalaman 100 cm
dari tali rata.
B. Leang Cammingkana
Kotak Ekskavasi di Leang Camming-
kana adalah X-4, Y1. Kotak X-4,Y1 terletak
pelataran gua dan memiliki ukuran 1 x1 m.
Sistem pendalaman menggunakan spit dengan
interval 10 cm. Tinggi tali rata yakni 9 cm
diukur dari sudut tertinggi kotak yakni sudut
TL.
Permukaan. Permukaan kotak X-4,Y1
cenderung datar dengan warna tanah 10YR
4/3 Brown. Temuan permukaan kotak berupa
alat batu, pecahan gerabah, cangkang kerang,
dan satu hematite.
Spit 1. Tekstur tanah gembur dengan
warna tanah 10YR 4/3 Brown. Temuan spit 1
berupa cangkang kerang, batuan, alat serpih
dan arang. Temuan cangkang kerang terkon-
sentrasi pada dinding bagian utara, timur, dan
selatan. Spit 1 berakhir pada kedalaman 10 cm
dari tali rata.
Spit 2. Tekstur tanah tetap dan warna
tanah tidak mengalami perubahan yakni 10YR
4/3 Brown. Temuan Spit 2 berupa Temuan
pada spit ini terdiri dari batuan, alat batu,
cangkang kerang, arang, fragmen tulang, gigi,
fragmen tulang, alat tulang, sementit kerang,
dan temuan yang tidak bisa diidentifikasi. Spit
2 berakhir pada kedalaman 20 cm dari tali rata.
Spit 3. Tekstur tanah tetap dan warna
tanah tidak mengalami perubahan yakni 10YR
4/3 Brown dengan Ph tanah 5,6. Temuan spit
ini terdiri dari batuan (dua diantaranya adalah
batu kali), alat batu, pecahan gerabah,
cangkang kerang, potongan kayu, arang,
fragmen tulang, alat kerang, satu gigi, dan
temuan yang tidak bisa diidentifikasi. Temuan
Supriadi : Tingkat Okupasi dan Perubahan Teknologi Artefaktual di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan
59
cangkang kerang terkonsentrasi pada sudut
timur laut. Di bagian barat laut pada
penampang spit 3 terdapat 1 cangkang kerang
dan enam batuan, di bagian barat daya terdapat
1 batu, dan di dinding timur terdapat batu
berdiameter 10 cm.
Spit 4. Tekstur tanah tetap dan warna
tanah tidak mengalami perubahan yakni 10YR
4/3 Brown dengan Ph tanah 5,6. Temuan spit
ini terdiri alat batu, batuan, cangkang kerang,
potongan kayu, arang, fragmen tulang, alat
kerang, sementit kerang, alat tulang, dan
temuan yang tidak bisa diidentifikasi. Spit 4
berakhir pada kedalaman 40 cm dari tali rata.
Spit 5. Tekstur tanah tetap dan warna
tanah tidak mengalami perubahan yakni 10YR
4/3 Brown. Kecuali tingkat keasaman tanah
berubah dari Ph tanah 5,6 menjadi 6,6. Pada
kedalaman 48 cm di bagian tenggara spit ini
terdapat 4 fragmen tulang yang berdekatan
dengan empat batuan dan satu alat batu.
Temuan pada spit ini terdiri dari alat batu,
batuan, sfragmen gerabah, cangkang kerang,
potongan kayu, arang, fragmen tulang, gigi,
sementit kerang, dan temuan yang tidak bisa
diidentifikasi. Spit 5 berakhir pada kedalaman
50 cm dari tali rata.
Spit 6. Berbeda dengan spit sebelumnya,
tekstur dan warna tanah pada spit ini
mengalami perubahan menjadi berpasir dan
agak gelap. Temuan pada spit ini terdiri dari
alat batu, batuan, fragmen gerabah, cangkang
kerang, fragmen tulang, alat kerang, gigi, dan
temuan yang tidak teridentifikasi. Spit 6
berakhir pada kedalaman 60 cm dari tali rata.
Spit 7. Tekstur dan warnah tanah pada
spit ini sama dengan yang terdapat pada spit 6.
Temuan pada spit ini terdiri dari alat batu,
batuan, fragmen gerabah, cangkang kerang,
fragmen tulang, alat kerang, gigi, dan temuan
yang tidak teridentifikasi. Spit 7 berakhir pada
kedalaman 70 cm dari tali rata.
C. Leang Buluribba
Kotak ekskvasi di Leang Bulu Ribba
berada di grid X4, Y2. Kotak ekskavasi di
Leang Buluribba adalah kotak X4, Y2 dengan
ukuran 1 x1 m. Sistem pendalaman
menggunakan spit dengan interval 10 cm.
Tinggi tali rata 3 cm dari sudut tertinggi.
Kondisi permukaan kotak datar dengan
tekstur tanah yang gembur. Warna tanah
permukaan sebelum digali adalah 10 yr 3/3
dark brown dengan tingkat keasaman tanah
(pH) 5,6. Temuan permukaan berupa cangkang
mollusca dan fragmen tembikar.
Spit 1. Tekstur dan warna tanah pada
spit ini belum mengalami perubahan dan masih
sama pada permukaan kotak yakni gembur
dengan warna 10 yr 3/3 dark brown. Tingkat
keasaman tanah (pH) 5,6. Temuan spit 1
berupa cangkang mollusca, serpih, fragmen
gerabah, dan batu. Spit 1 berakhir pada
kedalaman 7 cm dari permukaan tanah atau 10
cm dari tali rata.
Spit 2. Tekstur dan warna tanah pada
spit ini belum mengalami perubahan dan masih
sama yakni gembur dengan warna 10 yr 3/3
dark brown. Tingkat keasaman tanah (pH) 5,6.
Pada permukaan spit 2terdapat batu yang
posisinya berada pada kuadran BL dan TL.
Untuk kuadran BL jumlah batu sebanyak 6 dan
untuk kuadran TL terdapat sebuah batu yang
berjarak satu cm dari dinding timur dan empat
cm dari dinding utara. Temuan spit 2 berupa
fragmen gerabah, alat serpih, cangkang
mollusca, tulang, dan batu. Spit 2 berakhir
pada kedalaman 20 cm dari tali rata.
Spit 3. Tekstur dan warna tanah pada
spit ini belum mengalami perubahan dan masih
sama yakni gembur dengan warna 10 yr 3/3
dark brown. Tingkat keasaman tanah (pH) 5,6.
Pada spit ini terjadi sedikit peningkatan jumlah
temuan dan perubahan jenis temuan. Temuan
yang terdapat di spit ini terdiri dari fragmen
gerabah, cangkang mollusca dan batu. Spit 3
berakhir pada kedalaman 30 cm dari tali rata
Spit 4. Tekstur tanah masih gembur
tetapi mulai terjadi perubahan warna tanah
menjadi 7,5 YR 3/2 dark brown dengan
tingkat keasaman tanah (pH) 6,1. Temuan
yang terdapat di spit ini berupa cangkang
mollusca, fragmen gerabah, serpih, capit
kepiting dan batu. Spit 4 berakhir pada
kedalaman 40 cm dari tali rata.
Spit 5. Tekstur tanah gembur denga
warna tanah 7,5 YR 3/2 dark brown. Walau
tidak terjadi perubahan pada warna, tetapi
tingkat keasaman tanah mengalami perubahan
dari 6, 1 menjadi (PH) 5,6. Temuan spit 5
berupa cangkang mollusca, capit kepiting,
tulang, serpih, fragmen gerabah, batu dan
arang. Arang pertama ditemukan pada dinding
barat laut dengan kedalaman 45 cm dari string
line level dan untuk arang ke-2 ditemukan pada
Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015
60
kedalaman 48 cm dari string line level tepat
pada posisi 20 cm dari dinding selatan dan 35
cm dari dinding timur. Spit 5 berakhir pada
kedalaman 50 cm dari tali rata.
Spit 6. Tekstur tanah masih tetap
gembur. Jika pada spit-spit sebelumnya warna
tanah adalah brown, maka pada spit ini
mengalami perubahan lagi menjadi 7,5 YR
2,5/2 very dark brown dengan tingkat
keasaman tanah (pH) 5,2. Temuan spit 6
berupa cangkang mollusca, tulang, capit
kepiting, serpih, batu, temuan yang dicurigai
sebagai alat pancing, dan arang yang
ditemukan pada kedalaman 58 cm dari string
line level tepatnya 7 cm dari dinding utara dan
14,8 cm dari dinding timur. Spit 6 berakhir
pada kedalaman 60 cm dari tali rata. Jika pada
spit sebelumnya dasar spit berupa tanah, maka
pada spit ini dasar kotak terdapat breksi yang
lebarnya 5 cm dan berada pada 18 cm dari
dinding timur dan 11 cm dari dinding selatan.
Spit 7. Tekstur dan warna tanah pada
spit ini sama dengan spit 6 yakni 7,5 YR 2,5/3
very dark brown dengan ingkat keasaman
tanah (Ph) 5,2. Temuan spit 7 berupa cangkang
mollusca, capit kepiting, serpih, tulang, temuan
yang dicurigai alat pancing, batu dan arang
yang ditemukan pada kedalaman 67 cm dari
string line level tepatnya 10 cm dari dinding
timur dan 24 cm dari dinding utara. Spit 7
berakhir pada kedalaman 70 cm dari tali rata.
Spit 8. . Tekstur dan warna tanah pada
spit ini sama dengan spit 7 yakni 7,5 YR 2,5/3
very dark brown dengan ingkat keasaman
tanah (Ph) 5,2. Temuan spit 8 berupa cangkang
mollusca, capit kepiting, tulang, serpih, kayu,
alat pancing, batu, arang yang ditemukan pada
79 cm dari string line level tepatnya pada 20
cm dari dinding timur dan 17 cm dari dinding
utara. Satu hal yang membedakan temuan spit
8 dengan spit sebelumnya dalah ditemukannya
Maros Point. Spit 8 berakhir pada kedalaman
80 cm dari tali rata.
Spit 9. Pada spit ini terdapat perbedaan
warnah tanah yaitu pada kuadran BL-TL
dengan ukuran panjang 85 cm (diukur dari
dinding timur) dan lebar 25 cm (diukur dari
dinding utara) warnah tanahnya very dark
brown sedangkan untuk bagian kotak yang lain
warna tanahnya dark brown. Temuan Spit 9
berupa arang yang berasosiasi dengan temuan
cangkang mollusca, tulang, capit kepiting, batu
, alat serpih. Spit 9 berakhir pada kedalaman
90 cm dari tali rata.
IV. Tingkat Okupasi
Gua-gua prasejarah di Sulawesi Selatan,
utamanya yang telah diteliti selama ini
memberikan menyodorkan sejumlah bukti-
bukti arkeologis dan non-arkeologis yang
berkaitan dengan kehidupan masa Mesolitik
(Supriadi, 2006 : 45). Kehidupan masa
mesolitik sebagaimana yang diteminologikan
oleh para ahli sebagai tahapan lanjutan
kehidupan paleolitik, untuk kawasan Sulawesi
Selatan ditunjukkan dengan kehidupan dalam
gua-gua. Menurut pertanggalan resmi yang
diajukan, bahwa masa penghunian gua-gua ini
berlangsung sejak 3790 ± 230 S.M. dan 5520
± 650 S.M. (Soejono, 1984: 143). Sementara
itu, tahun 1973 dan 1975, I.C. Glover
melakukan penelitian di gua Ulu Leang dan
gua Leang Burung, Maros. Dia berhasil
menemukan alat serpih, lancipan tulang,
pecahan gerabah, sisa tulang hewan, dan
sekam padi dan telah diberi pertanggalan
melalui C14 didapatkan usia absolut antara
10.500 – 3.500 BP (Glover, 1977: 113 – 154).
Kompleks gua prasejarah Bellae sendiri
diperkirakan dihuni antara 30.000-1500 BP.
Berdasarkan ciri artefaktual, kompleks gua
tersebut dihuni nampaknya mengalami
beberapa kali okupasi yang dilakukan dua jenis
manusia yakni Pra Austronesia (Toala) dan
Austronesia. Pra Austronesia dicirikan dengan
peralatan mikrolit sedang manusia Austronesia
dicirikan dengan peralatan gerabah.
A. Leang Lompoa
Berdasarkan pada hasil ekskavasi di
Leang Lompoa, penggalian hanya dilakukan
pada satu lapisan budaya. Jika menggunakan
rujukan hukum superposisi, lapisan budaya
yang dimaksud adalah lapisan budaya atas
yang paling muda umurnya, atau lapisan
terkhir yang menghuni Leang Lompoa. Untuk
menentukan apakah Leang Lompoa terdapat
okupasi manusia, setidaknya ada tiga data
utama yang dibutuhkan yakni keberadaan
gerabah, alat batu, dan sampah dapur manusia
pendukungnya.
Temuan pertama adalah gerabah yang
ditemukan pada spit 1 – 4. Frekuensi temuan
Supriadi : Tingkat Okupasi dan Perubahan Teknologi Artefaktual di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan
61
bervariasi namun ada kecenderungan makin
keatas makin banyak. Walau tidak
mendominasi, tetapi setidaknya telah memberi
gambaran jenis manusia dan indikasi adanya
pemukiman manusia. Temuan selanjutnya
berupa artefak batu yang ditemukan di semua
spit kecuali di spit 2 dan 7. Seperti temuan
gerabah, frekuensi temuan bervariasi namun
ada kecenderungan makin keatas makin
banyak. Temuan lain adalah sampah dapur
makanan. Hasil penggalian menunjukkan ada
dua jenis makanan utama yakni kerang dan
hewan kecil yang bertulang belakang. Kerang
terdiri dari tiga jenis yakni kerang air asin,
tawar, dan kerang air payau. Diantara semua
temuan akeologis yang terdapat di Leang
Lompoa, temuan kerang yang paling
mendominasi jumlahnya dan tersebar hampir
di semua spit kecuali di spit 7 dan 8.
Begitupun dengan temuan tulang tersebar
kecuali di spit 6.
Hasil penggalian di Leang Lompoa juga
menunjukkan bahwa frekuensi temuan sampah
dapur tertinggi pada spit 5 atau pada
kedalaman 50 – 60 cm dari tali rata. Setelah itu
mengalami penurunan yang fluktuatif hingga
pada lapisan yang paling atas.
Merujuk pada kedua grafik tersebut di
atas, maka tingkat okupasi tertinggi manusia di
Leang Sakapao adalah pada Spit 5 atau
kedalaman 40 – 50 cm dari tali rata. Walau
demikian, penggalian yang dilakukan masih
dalam satu layer yang berarti satu lapisan
budaya. Oleh karena itu, penjelasan umumnya
tidak dilakukan per spit tetapi tetap pada per
lapisan budaya. Secara umum, tingkat okupasi
manusia pada lapisan ini telah jauh mengalami
penurunan. Hal ini dibuktikan dengan
minimnya temuan artefak batu dan gerabah
sebagai alat utama dalam beraktivitas. Hal ini
adalah hal yang wajar mengingat bahwa pada
pada lapisan ini merupakan periode terakhir
penghunian gua-gua sebelum memilih
menentap di tempat terbuka.
B. Leang Cammingkana
Berbeda dengan penggalian yang
dilakukukan di Leang Lompoa, penggalian di
Leang Cammingkan terdiri dari dua lapisan
budaya. Spit 1 – 5 lapisan budaya yang atas
(muda) dan spit 6 – 7 budaya yang bawah(tua).
Pada pada spit 6 atau kedalaman 50 cm dari
tali rata terjadi perubahan lapisan tanah dari
tekstur gembur berwarna coklat menjadi
berpasir dengan warna yang lebih gelap.
Dengan demikian perubahan tingkat okupasi
akan lebih jelas kelihatan. Tingkat perubahan
tersebut diamati dengan menggunakan data
artefak batu, gerabah, dan sampah dapur
berupa kerang dan tulang.
Temuan pertama berupa artefak batu
ditemukan pada hampir semua spit kecuali
pada spit 1. Pada lapisan budaya yang atas
temuan artefak batu terbanyak pada spit 2 atau
kedalaman 10 – 20 cm dari tali rata. Pada
lapisan budaya yang bawah, temuan artefak
batu terdapat pada spit 6 atau kedalaman 50 –
60 cm dari tali rata. Secara keseluruhan
temuan artefak batu lebih banyak ditemukan
pada lapisan budaya yang atas yakni 222 : 95.
Temuan selanjutnya berupa gerabah yang
tersebar di semua spit yang berarti berada pada
dua lapisan budaya. Pada lapisan atas jumlah
temuan lebih banyak yakni 26 : 2. Jumlah
temuan yang paling dominan di Leang
Cammingkana adalah sampah dapur berupa
kerang dan tulang. Temuan kerang tersebut
berasal dari habitat air tawar, asin maupun
payau. Jumlah temuan kerang di lapisan atas
hampir dua kali lipat dibanding dengan yang
terdapat pada lapisan bawah yakni 6542 :
3933. Begitupun temuan tulang lebih banyak
pada lapisan atas yakni 156 : 12.
Merujuk pada grafik tersebut diatas,
secara kuantitatif temuan yang terdapat pada
lapisan atas lebih banyak. Walau demikian, hal
ini tidak menunjukkan bahwa aktivitas dan
populasi manusia pada lapisan budaya tersebut
lebih tinggi dibanding lapisan budaya
sebelumnya. Satu hal yang menjadi dasar
adalah penggalian yang dilakukan di Leang
Cammingkana, utamanya pada lapisan budaya
bawah belum selesai. Penggalian hanya
dilakukan dua spit atau ketebalan 20 cm,
sedang pada lapisan budaya atas mencapai
lima spit atau 50 cm. Jika dibandingkan jumlah
temuan spit 1 dan 2 dengan jumlah temuan
pada spit 6 dan 7, maka tingkat okupasi
tertinggi berada pada lapisan budaya yang
lebih tua.
Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015
62
C. Leang Buluribba
Diantara ketiga lokasi, dengan
kedalaman yang hampir sama hanya
penggalian di Leang Buluribba terdiri dari tiga
lapisan budaya. Spit 1 – 4 merupakan lapisan
budaya atas, spit 5 – 6 lapisan budaya tengah,
dan spit 7 – 9 lapisan budaya bawah.
Perubahan lapisan tanah ditandai dengan
perubahan tekstur gembur menjadi pasir dan
perubahan warna tanah dari coklat menjadi
coklat tua. Seperti pada dua lokasi penggalian
sebelumnya, penentuan tingkat okupasi
diamati melalui artefak batu, gerabah, dan
sampah dapur.
Temuan alat batu ditemukan pada semua
lapisan budaya dengan jumlah yang bervariasi.
Berdasarkan hasil analisa, konsentrasi temuan
alat batu terbanyak di lapisan atas dan lapisan
bawah. Berbeda dengan temuan alat batu,
temuan berupa sampah dapur (kerang dan
tulang) terbanyak ditemukan pada lapisan
budaya tengah. Ada peningkatan dari periode
sebelumnya dan mengalami lagi penurunan
pada periode selanjutnya. Peningkatan jumlah
temuan sampah dapur berbanding terbalik
dengan keberadaan alat batu. Begitu juga
peningkatan jumlah temuan kerang tidak
berbanding lurus dengan peningkatan jumlah
bahan konsumsi lainnya yang berupa hewan
kecil.
Temuan selanjutnya berupa gerabah.
Satu hal yang menarik bahwa temuan gerabah
hanya ditemukan pada lapisan budaya yang
atas dan tengah. Lapisan budaya yang paling
bawah tidak terdapat temuan fragmen gerabah.
Walau demikian, konsentrasi temuan gerabah
terdapat pada lapisan budaya yang paling atas.
Hal ini mengindikasikan pula telah terjadi
perubahan jenis manusia yang mengokupasi
tempat tersebut. Pada kotak galian ini pula
memberikan gambaran perubahan pola
konsumsi dari hewan kecil yang bertulang
belakang ke konsumsi kerang-kerangan.
Berdasarkan hasil analisis pada data
penggalian di tiga tempat yang berbeda,
okupasi yang terjadi Kompleks gua prasejarah
dilakukan secara berulang. Hal ini
memungkinkan terjadi mengingat bahwa
penghunian gua di Kompleks Gua Prasejarah
Bellae mempunyai rentang waktu yang
panjang. Kalau gerabah sebagai rujukan ciri
austronesia, maka okupasi austronesia berada
pada lapisan yang atas. Ini berarti setelah
periode Toala menghuni gua-gua prasejarah,
dia digantikan oleh manusia austronesia yang
masuk ke Indonesia sekitar 4000 BP.
Pergantian penghunian pada tiap lapisan
budaya ditandai dengan menurunnya tingkat
okupasi pada manusia sebelumnya.
Keberadaan aktivitas pada sebuah situs
pada masa prasejarah kerap berlangsung dari
masa ke masa. Kondisi ini sangat erat
kaitannya dengan lingkungan dimana situs itu
berada. Aspek bahan pangan terutama yang
menjadi salah satu aspek yang
dipertimbangkan untuk tetap berada di satu
lokasi. Temuan sampah dapur pada tiap lapisan
budaya mengindikasikan bahwa Kompleks
Gua Prasejarah Bellae mempunyai tingkat
okupasi yang terjadi cukup tinggi. Keberadaan
sampah dapur berupa kerang air tawar dan air
laut juga memberikan gambaran tentang
lingkungan dan sistem perolehan makanan
manusia pendukungnya. Sebuah fenomena
menarik bahwa peningkatan jumlah konsumsi
pada jenis makanan kerang berbanding terbalik
dengan jumlah konsumsi bahan lainnya.
Berdasarkan data sampah dapur, terlihat bahwa
tingkat okupasi tertinggi terjadi pada periode
tengah dari tiap-tiap lapisan budaya kemudian
terjadi penurunan pada akhir periode.
Berdasarkan perolehan data hasil
ekskavasi yang telah dilakukan, menunjukkan
bahwa kerang merupakan jenis makanan yang
paling banyak dikonsumsi, terutama kerang
jenis Mollusca Gastropoda (Cangkang
Tympanotonus SP) dan Mollusca Gastropoda
(Cangkang Viviparus sp) dan satu lagi jenis
gastropoda yaitun jenis Helix Pomata. Dengan
Adanya jenis kerang tertentu yang ditemukan
pada setiap spit memberi gambaran bahwa
pengkonsumsian suatu jenis siput tertentu
tergantung pada waktu tertentu pula. Dengan
kata lain makanan dari kerang merupakan
makanan yang paling banyak dikonsumsi, tapi
perolehan dan pengkonsumsian suatu jenis
kerang tergantung oleh musim, meskipun pada
ekskavasi ini hanya ditemukan 2 jenis siput
yaitu siput air tawar dan siput air laut dan ada
juga sebagian yang diperkirakan dari jenis air
payau, namun hal itu dapat memberikan
gambaran bahwa dengan adannya ditemukan
seperti itu dapat menjelaskan tingkat konsumsi
dan jenis bahan makanan yang di konsumsi.
Supriadi : Tingkat Okupasi dan Perubahan Teknologi Artefaktual di
Kompleks Gua Prasejarah Bellae, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan
63
Perolehan makanan dan tingkat konsumsi
dapat dilihat juga pada jumlah siput yang
dikonsumsi setiap spit.
V. Kesimpulan
Berbagai penelitian yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa periode
penghunian gua-gua di Sulawesi Selatan
mempunyai rentang waktu yang panjang.
Kompleks gua prasejarah Bellae sendiri
penghuniannya terhitung mulai dari 30.000 BP
– 1500 BP. Melihat rentang waktu tersebut,
jelas bahwa penghunian gua tersebut dihuni
dan mengalami okupasi secara berulang-ulang
dengan generasi yang berbeda. Bahkan
berdasarkan tinggalan artefaktual
mengindikasikan bahwa okupasi pada gua-gua
dilakukan oleh jenis manusia yang berbeda.
Dari hasil analisis yang telah dilakukan
didapatkan bahwa di kawasan Belae ini
terdapat 22 buah gua dan ceruk yang dihuni
pada masa prasejarah yang 3 buah diantaranya
menjadi objek penelitian.. Jenis gua dan
ceruk yang menjadi tempat hunian muncul
karenanya tujuan efisiensi energi maupun
strategi perburuan, baik sebagai tempat
mengintai binatang maupun menjebak
binatang buruan. Hal-hal di atas merupakan
kesimpulan dari analisis pendahuluan pada
upaya pemanfaatan suatu wilayah atau lokasi
situs gua atau ceruk, yang dikaitkan dengan
kondisi lingkungan, data-data ekofaktual dan
data-data artefaktual yang ada. Hasil analisis
yang diperoleh merupakan suatu sintesa yang
harus diuji dengan melakukan penelitian yang
lebih mendalam karena data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data-data temuan
permukaan dari hasil penelitian terdahulu,
sehingga bersifat data sekunder.
Adapun kesimpulan yang mengacu pada
hasil penelitian yang telah dilakukan ada 3 gua
prasejarah ini memperlihatkan adanya pola
adaptasi manusia penghuni gua di Leang
Lompoa, Cammingkana, dan Bulo Riba dalam
mempertahankan hidupnya adalah dengan
penjadwalan musim untuk mengkonsumsi
pangan. Pada musim kering mereka
mengkonsumsi hewan invertebrata yaitu jenis
kerang dan siput, sedangkan pada musim basah
mereka mengkonsumsi hewan jenis vertebrata.
Asumsi tersebut diperkuat dengan bukti
stratigrafi yaitu pada lapisan atas temuan
ekskavasi didominasi oleh cangkang moluska
spesies kerang dan siput baik berupa artefak
maupun ekofak (sisa makanan), sedangkan
pada lapisan bawah didominasi temuan berupa
tulang hewan darat terutama jenis vertebrata
baik berupa artefak maupun ekofak. Selain itu,
berdasarkan proses pengendapan membuktikan
pada lapisan bawah terjadi penggumpalan
dengan tingkat kelembaban sedang. Dengan
kata lain proses pengendapan tersebut
disebabkan kondisi tanah basah. Musim dalam
konteks di sini siklusnya bukan dalam
tenggang waktu setahun, namun mencakup
rentang waktu yang panjang, dengan kata lain
merupakan iklim.
Pola pemanfaatan lahan di ketiga gua
tersebut, berdasarkan sebaran temuan pada
kotak-kotak ekskavasi menunjukkan temuan
relatif sama antarkotak, perbedaan terlihat
pada per lapisan tanah yaitu pada lapisan atas
didominasi cangkang moluska, sedangkan
lapisan bawah didominasi temuan tulang
vertebrata. Kondisi demikian menunjukkan
bahwa pemanfaatan lahan gua, tidak
didasarkan pemanfaatan untuk per aktivitas.
Kemungkinan pemanfaatan lahan gua
dilakukan dengan pembagian lahan untuk
aktivitas beberapa kelompok penghuni.
Sehingga ada kemungkinan gua prasejarah ini
dihuni oleh beberapa kelompok atau keluarga
yang menempati bagian lahan tertentu untuk
setiap kelompoknya, sehingga jejak
aktivitasnya relatif sama
DAFTAR PUSTAKA
Bulbeck, David, Monique Pasqua, Adrian Di
Lello. 2001 “Culture History of the
Toalean of South Sulawesi,
Indonesia”.Asian Perspective vol. 9.
No. 1-2 : 71 – 108.
Bulbeck, David, IwanSumantri, Peter Hiscock.
2004. “LeangSakapao 1, a Second Dated
Pleistocene Site from South of Sulawesi,
Indonesia” dalam Susan G. Keatesdan
Juliette M. Pasveer. Quaternary
Research in Indonesia. Vol. 18: 111 –
128.
Glover, Ian C. 1977 “Ulu Leang Cave, Maros:
a Preliminary Sequence of Post
Pleistocene Cultural Depelopments in
Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015
64
South Sulawesi”. dalam ArchipelII
(Etudes Interdisciplinaires sur le Monde
Insulindies).
Heekeren, H. R van. 1972. The Stone Age of
Indonesia, 2nd Edition. The Hague-
MartinusNijhoff.
Soejono, R.P. ed. 1985."Prasejarah Indonesia,"
dalam Sejarah Nasional Indonesia,
Jilid I. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan
Sumantri, Iwan. 2004. “Penerapan Kajian Pola
Pemukiman Gua Prasejarah di Sulawesi
Selatan: Studi Kasus Biraeng”. Dalam
Iwan Sumantri (ed). Kepingan Mozaik
Sejarah Budaya Sulawesi Selatan.
Makassar: Penerbit Ininnawa.
Supriadi, 2006. “Kondisi Lingkungan Leang
Sakapao Pangkep Pada Masa
penghunian di Era Prasejarah” dalam
Jurnal Wallanae Vol : IX No. 13,
November 2006. Balai Arkeologi
Makassar