12
53 TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL DI KOMPLEKS GUA PRASEJARAH BELLAE, KAB. PANGKEP, SULAWESI SELATAN Supriadi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar Email : [email protected] Abstract Once period residential caves in South Sulawesi is a period play of important role in the framing national history. The study has been done indicating that it’s period has a long time range between 30,000 BP - 1500 BP. The time range allows residential and occupational repetition in one place , either by the same kind of man as well as by different kinds of people. Prehistoric cave complex Bellae is an area that has been inhabited or occupational evidence ever undertaken by humans . The purpose of this study is to observe at the occupational level of each layer of culture that has ever happened in the Prehistoric Caves Complex Bellae. Three caves were used as samples to do the excavation which represents the amount of 22 caves. The selection was made based on the consideration of the location of the cave , the cave shape, and surface findings . Excavations carried out by using a box model with a deepening technique using spit . The results of research showed that human occupation in Prehistoric Caves Complex Bellae the most intense occurred in the middle layer of culture. Displacement of each layer of culture , based on the findings of kitchen waste is always decreasing occupation . Food gathering system utilizing the surrounding environment of the marine environment, both freshwater and salty. The food gathering was influenced by season. From the results of the excavation is also seen that prior to human consumption of shellfish , the protein source is derived from small animals . Changes in the cultural layer then accompanied by artefaktual changes. The most obvious artifacts are finding pottery the younger cultural layers . Key word : Occupational , Prehistoric Caves , Bellae I. PENDAHULUAN Fase awal perjalanan sejarah manusia sebagai manusia dalam konteks budaya adalah ketika manusia sudah mulai menggunakan peralatan untuk melangsungkan hidupnya. Masa ini dalam terminologi waktu disebut sebagai masa prasejarah atau masa sebelum ada tulisan. Dalam konteks ini, Sulawesi selatan memegang peranan untuk mengungkap kehidupan masa prasejarah di Indonesia. Salah satu peran yang paling menonjol adalah kontribusi data arkeologi pada masa penguhian gua-gua oleh manusia prasejarah. Hasil penelitian sejak tahun 1930 sampai dengan 1975 yang dilakukan oleh berbagai ahli, oleh van Heekeren kemudian ditarik kesimpulan bahwa terjadi perkembangan alat serpih bilah di Asia Tenggara sebagaimana yang dijumpai di gua- gua Sulawesi Selatan. Berdasarkan dari tipologi artefak yang ditemukan di Leang Panganreang Tudea, kemudian Heekeren menyusun tiga lapisan budaya Toalean : yakni; Toalean I atau Toalean Atas, Toalean II atau Toalean Tengah dan Toalean III atau Toalean Bawah (Heekeren, 1972; 113). Menurut Sarasin, orang Toala yang tinggal di daerah itu adalah keturunan orang Wedda di Ceylon, dan mereka menunjukkan perbedaan jasmaniah dengan orang Bugis. Penyelidikan lebih lanjut yang dilakukan oleh W.A. Mijsberg ternyata mencapai hasil yang bertentangan dengan pendapat Sarasin, dan menyatakan bahwa tidak ada perbedaan jasmaniah antara orang-orang Bugis dan Toala (Soejono, 1984: 140).

TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

53

TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI

ARTEFAKTUAL DI KOMPLEKS GUA PRASEJARAH BELLAE, KAB.

PANGKEP, SULAWESI SELATAN

Supriadi

Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin

Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar

Email : [email protected]

Abstract

Once period residential caves in South Sulawesi is a period play of important role in the

framing national history. The study has been done indicating that it’s period has a long time range

between 30,000 BP - 1500 BP. The time range allows residential and occupational repetition in one

place , either by the same kind of man as well as by different kinds of people. Prehistoric cave complex

Bellae is an area that has been inhabited or occupational evidence ever undertaken by humans .

The purpose of this study is to observe at the occupational level of each layer of culture that has

ever happened in the Prehistoric Caves Complex Bellae. Three caves were used as samples to do the

excavation which represents the amount of 22 caves. The selection was made based on the

consideration of the location of the cave , the cave shape, and surface findings . Excavations carried

out by using a box model with a deepening technique using spit .

The results of research showed that human occupation in Prehistoric Caves Complex Bellae the

most intense occurred in the middle layer of culture. Displacement of each layer of culture , based on

the findings of kitchen waste is always decreasing occupation . Food gathering system utilizing the

surrounding environment of the marine environment, both freshwater and salty. The food gathering

was influenced by season. From the results of the excavation is also seen that prior to human

consumption of shellfish , the protein source is derived from small animals . Changes in the cultural

layer then accompanied by artefaktual changes. The most obvious artifacts are finding pottery the

younger cultural layers .

Key word : Occupational , Prehistoric Caves , Bellae

I. PENDAHULUAN

Fase awal perjalanan sejarah manusia

sebagai manusia dalam konteks budaya adalah

ketika manusia sudah mulai menggunakan

peralatan untuk melangsungkan hidupnya.

Masa ini dalam terminologi waktu disebut

sebagai masa prasejarah atau masa sebelum

ada tulisan. Dalam konteks ini, Sulawesi

selatan memegang peranan untuk mengungkap

kehidupan masa prasejarah di Indonesia. Salah

satu peran yang paling menonjol adalah

kontribusi data arkeologi pada masa penguhian

gua-gua oleh manusia prasejarah.

Hasil penelitian sejak tahun 1930

sampai dengan 1975 yang dilakukan oleh

berbagai ahli, oleh van Heekeren kemudian

ditarik kesimpulan bahwa terjadi

perkembangan alat serpih bilah di Asia

Tenggara sebagaimana yang dijumpai di gua-

gua Sulawesi Selatan. Berdasarkan dari

tipologi artefak yang ditemukan di Leang

Panganreang Tudea, kemudian Heekeren

menyusun tiga lapisan budaya Toalean :

yakni; Toalean I atau Toalean Atas, Toalean II

atau Toalean Tengah dan Toalean III atau

Toalean Bawah (Heekeren, 1972; 113).

Menurut Sarasin, orang Toala yang tinggal di

daerah itu adalah keturunan orang Wedda di

Ceylon, dan mereka menunjukkan perbedaan

jasmaniah dengan orang Bugis. Penyelidikan

lebih lanjut yang dilakukan oleh W.A.

Mijsberg ternyata mencapai hasil yang

bertentangan dengan pendapat Sarasin, dan

menyatakan bahwa tidak ada perbedaan

jasmaniah antara orang-orang Bugis dan Toala

(Soejono, 1984: 140).

Page 2: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015

54

Istilah Toalean kemudian oleh Bulbeck

(2001) hanya digunakan pada kumpulan

mikrolit yang terdapat di Sulawesi Selatan

yang berlangsung antara 8000 BP – 1500 BP

(Bulbeck 2001: 1). Periode ini ditandai dengan

mulainya manusia bertempat tinggal di gua-

gua yang tidak jauh dari sumber air dan lahan

yang dicirikan dengan produksi/kumpulan alat

mikrolit yang berasosiasi dengan lukisan

dinding (Heekeren, 1972: 106; Soejono, 1985:

147; Bulbeck, 2001: 1). Secara detail, ciri

artefaktual tiap lapisan budaya Toalean sebagai

berikut :

a. Toalean I, atau Toalean Atas dicirikan oleh

mata panah bergerigi (banyak diantaranya

bersayap pada bagian bawahnya), lancipan

muduk, alat (penyerut) kerang dan fragmen

gerabah.

b. Toalean II, atau Toalean Tengah dicirikan

oleh bilah (blade) yang sudah halus tapi

belum mengalami penyerpihan ulang

(retouches) pada bagian sisinya, mata

panah yang pada bagian dasarnya bundar,

dan mikrolit geometrik.

c. Toalean III, atau Toalean Bawah hanya

berisikan serpih yang besar dan kasar, alat

serpih yang berfaset, dan bilah yang tajam

(Heekeren, 1972: 113-114).

Secara garis besar, ciri kebuda-yaan

Toalean dapat dibedakan atas tiga ciri utama

yakni penghunian gua, temuan mikrolit yang

ber-asosiasi dengan lukisan dinding, dan

tipologi artefaktualnya. Dari tinggal-an

artefaktualnya, beberapa gua di Kompleks Gua

Prasejarah Bellae mengindikasikan pernah

dijadikan sebagai hunian manusia pendukung

budaya Toalean, seperti Leang Kassi, Leang

Cammingkana dan Leang Bubbuka (Said,

1998 dalam Sumantri, 2004: 156).

Gua-gua prasejarah di Sulawesi Selatan,

utamanya yang telah diteliti selama ini

memberikan menyodorkan sejumlah bukti-

bukti arkeologis dan non-arkeologis yang

berkaitan dengan kehidupan masa Mesolitik.

Kehidupan masa mesolitik sebagaimana yang

diterminologikan oleh para ahli sebagai

tahapan lanjutan kehidupan paleolitik, untuk

kawasan Sulawesi Selatan ditunjukkan dengan

kehidupan dalam gua-gua. Menurut

pertanggalan resmi yang diajukan, bahwa masa

penghunian gua-gua ini berlangsung sejak

3790 ± 230 S.M. dan 5520 ± 650 S.M.

(Soejono, 1984: 143). Sementara itu, tahun

1973 dan 1975, I.C. Glover melakukan

penelitian di gua Ulu Leang dan Leang

Burung, Maros. Dalam penelitian tersebut

berhasil ditemukan alat serpih, lancipan

tulang, pecahan tembikar, sisa tulang hewan,

dan sekam padi dan telah diberi pertanggalan

melalui C14 didapatkan usia absolut antara

10.500 – 3.500 BP (Glover, 1977: 113 – 154).

Dari berbagai hasil penelitian

menunjukkan bahwa situasi lingkungan

kawasan gua-gua Belae pada masa

penghunian, merupakan perpaduan dari

lingkungan darat, lingkungan aquatik (marin),

dan mangrove (bakau) yang merupakan

lingkungan transisi. Menurut hasil penelitian,

lingkungan mangrove pada masa itu berada

sekitar satu km dari tepi pegunungan karst

yang dibuktikan dengan analisis pollen

(Suprapta, 1999: 88). Sekarang tumbuhan

mangrove ini mundur menjauh sekitar 10 km

dan menjadi tepi pantai sekarang. Ketika air

laut pasang (naik), permukaan air bergerak

mendekati kawasan pegunungan karst.

Sedangkan ketika surut (turun), garis air

mundur menjauh. Siklus ini berlangsung terus

menerus sampai terjadi pengangkatan kembali,

yang menyebabkan permukaan air laut

mundur sebagaimana keadaannya sekarang.

Tanda-tanda dari fluktuasi ini dapat dibuktikan

dengan ditemukannya moluska air laut dan

mangrove yang terdeposit sebagai sampah

dapur (kjokkenmoddinger) di mulut-mulut gua

(Supriadi, 2006).

David Bulbeck dan Iwan Sumantri pada

saat melakuan penelitian di Leang Sakapao

menemukan fragmen gigi geraham dan rahang

binatang bertulang belakang yang diduga

merupakan gigi dan rahang rusa atau babi.

Berdasarkan hasil analisis pada moluska,

diperoleh pertanggalan okupasi pada gua

tersebut berkisar antara 30.000 BP- 25.000 BP

(Bulbeck, Sumantri, dan Hiscock, 2004: 118).

Jika merujuk pada ciri-ciri artefaktual berupa

mikrolit, maka diperkirakan bahwa budaya

tersebut berkembang antara 8000 BP – 1500

BP (Bulbeck, 2001; 1).

Berdasarkan beberapa hasil penelitian

tersebut, terlihat bahwa penghunian gua di

Sulawesi Selatan, khususnya Kompleks Gua

Prasejarah Bellae mengalami okupasi rentang

waktu yang panjang. Terhitung penghunian

awal dimulai pada kisaran 30.000 BP sampai

yang termuda 1500 BP. Melihat rentang waktu

Page 3: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

Supriadi : Tingkat Okupasi dan Perubahan Teknologi Artefaktual di

Kompleks Gua Prasejarah Bellae, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan

55

Kawasan Kars yang Melintasi Bellae

Dokumentasi: BP3 Makassar

tersebut, nampaknya Kompleks Gua Prasejarah

Bellae mengalami beberapa kali okupasi yang

dilakukan baik oleh manusia Pra Austronesia

maupun Austronesia.

I. Metode Penelitian

Metode penelitian meliputi tiga tahap

yakni pengumpulan data, tahap analisis dan

eksplanasi.

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan

dua tahap :

a. Studi Pustaka. Tahap ini merupakan

tahap pengum-pulan berbagai

referensi yang berkaitan dengan

Kompleks Gua Prasejarah Bellae.

Hasil studi pustaka merupakan data

sekunder sekaligus untuk dijadikan

rujukan untuk strategi pelaksanaan

ekskavasi serta rujukan dalam tahap

analisis dan penjelasan data.

b. Survei permukaan. Pada tahap-an ini

dilakukan survei yang mencakup

keseluruhan gua-gua prasejarah yang

berada di Kompleks Gua Prasejarah

Bellae. Hasil survei permu-kaan dan

studi pustaka, maka ditentukan tiga

leang yang akan diekskavasi yakni

Leang Lompoa, Leang Buloribba,

dan Leang Cammingkana.

c. Ekskavasi. Pelaksanaan ekska-vasi

dilakukan dengan sistem box dengan

ukuran 1 x 1 m. Sistem pendalaman

menggu-nakan teknik spit dengan

interval tetap. Kegiatan ekskavasi

mencakup pemetaan situs, deskripsi,

penggambar-an, dan pemotretan

terhadap situs, kotak galian, temuan,

dan penggambaran stratigrafi tanah.

Pemilihan ekskavasi dalam metode

pengumpulan data untuk menjawab

permasalahan penelitian yang

sifatnya vertikal. Perubahan tingkat

okupasi dan perubahan teknologi

artefaktual pada berbagai lapisan

budaya hanya bisa terjawab dengan

melakukan ekskavasi.

2. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara

menganalisis teknologi, tipologi, dan

analisis kontekstual. Analisis bertujuan

untuk memberikan gambaran jenis,

bahan, bentuk artefak pada tiap lapisan

budaya.

3. Eksplanasi

Hasil analisis tersebut kemudian

menjadi dasar dalam melihat tingkat

okupasi, kecenderungan perubahan

teknologi dan tipologi pada tiap lapisan

budaya, serta kesamaan artefaktual

Toala dengan artefak yang terdapat di

Kompleks Gua Prasejarah Bellae.

II. Profil Wilayah

Kompleks Gua Prasejarah Bellae

terletak di wilayah Kampung Bellae,

Kelurahan Biraeng, Kecamatan Pangkajene,

Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Kampung

Bellae berjarak sekitar 55 km sebelah utara

Kota Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi

Selatan. Kelurahan Biraeng terletak pada posisi

astronomis 04049’20” - 040 50’10” LS dan

1190 45”--1190 36’50” BT, dan terdiri atas 3

(tiga) kampung yaitu Lessang, Belae, dan

Batang Lamara. Luas wilayah Biraeng sekitar

10 kilometer persegi yang dilintasi oleh dua

bukit yakni Bulu Matojeng dan Bulu Matanre.

Morfologi Bellae berupa perbukitan

gamping dan dataran dengan titik terendah 10

mdpl dan yang tertinggi 100 mdpl. Gugusan

Page 4: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015

56

perbukitan gamping ini digolongkan dalam

topografi kars yang ditandai bentukan

menyerupai menara (tower karts) sebagai ciri

utamanya. Secara garis besar bentang alam

perbukitan di kawasan ini, terbagi atas dua

gugusan tebing yakni gugusan tebing Bulu

Matojeng dan gugusan tebing Bulu Bellang.

Gugusan ini membentang hampir sejajar

dengan arah timur – barat, tetapi ujungnya

bersatu di sebelah barat dari Kampung Bellae

sehingga keberadaan kampung Bellae seperti

dikelilingi oleh “benteng” tebing (Sumantri,

2004: 89).

Khusus pada penelitian ini, lokasi hanya

difokuskan pada 3 tempat yakni Leang

Lompoa, Leang Buloribba, dan Leang

Cammingkana. Penentuan lokasi didasrkan

pada hasil penelitian sebelumnya serta

mempertim-bangkan keterwakilan lokasi dari

sebaran gua-gua prasejarah yang berada di

Kompleks Gua Prasejarah Bellae.

A. Leang Lompoa

Leang Lompoa terletak di sebelah timur

Leang Buto dengan posisi astronomis

04˚50'08" LS dan dan 119˚35'35" BT dan

berada pada ketinggian 20 mdpl. Leang

Lompoa memiliki arah hadap ke selatan

dengan tiga mulut gua. Ukuran lebar rata-rata

pintu antara 8 – 16,4 meter dan tinggi pintu

rata-rata 6 meter. Tinggi gua dari permukaan

tanah di depannya berkisar antara 0 – 5 meter.

Suhu rata-rata dalam ruang gua 270 C dengan

kelembaban dinding berkisar antara 17 – 20 %.

Lingkungan sekitar situs berupa pelataran

dengan luas 0,60 ha, Di daerah yang lebih

rendah dari pelataran terdapat rawa seluas 30

meter persegi yang tergenang sepanjang tahun.

Sebelah barat gua terdapat mata air yang

mengalir sepanjang tahun. Mata air ini sudah

dibendung untuk pendistribusian pengairan

sawah. Bagian barat rawa merupakan jalan raya

yang melintasi Bellae dan mengubungkan Bellae

dengan ibu kota kecamatan. Di seberang jalan

yang melintas di depan gua terdapat areal

persawahan.

B. Leang Buloribba

Leang Buloribba terletak di gugusan

perbukitan Bulu Bellang, sekitar 1 km sebelah

selatan Bulu Matojeng. Secara astronomis,

Leang Buluribba berada pada 04˚50'30" LS

Page 5: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

Supriadi : Tingkat Okupasi dan Perubahan Teknologi Artefaktual di

Kompleks Gua Prasejarah Bellae, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan

57

dan 119˚35'40" BT dan berada pada ketinggian

35 mdpl. Leang Buluribba memiliki arah

hadap ke timur laut. Ukuran lebar pintu 30

meter dan tinggi pintu 10 meter. Tinggi gua

dari permukaan tanah di depannya berkisar

antara 0 – 10 meter. Suhu rata-rata dalam

ruang gua 260 C dengan kelembaban dinding

berkisar antara 15 – 25 %.

Lingkungan sekitar situs berupa

pelataran dengan luas 0,40 ha dengan tingkat

kemiringan antara 0 – 350. Di bagian yang

lebih rendah dari pelataran terdapat cekungan

seluas 10 meter2 yang ditumbuhi oleh pohon

sagu dan rumbia. Lahan yang terluas adalah

hamparan sawah sejauh 600 meter ke jalan

aspal.

C. Leang Cammingkana

Leang Cammingkana terletak di

gugusan perbukitan Bulu Bellang, sekitar 75

meter sebelah barat Leang Buluribba. Secara

astronomis, Leang Buluribba berada pada

04˚50'31" LS dan 119˚35'36" BT dan berada

pada ketinggian 20 mdpl. Leang

Cammingkana memiliki arah hadap ke timur

laut. Ukuran lebar pintu 23 meter dan tinggi

pintu 23 meter. Tinggi gua dari permukaan

tanah di depannya berkisar antara 0 – 5 meter.

Lingkungan sekitar situs berupa

pelataran dengan luas 0,9 ha dengan tingkat

kemiringan antara 0 – 10 derajat. Bagian depan

pelataran terdapat dataran banjir selebar 10

meter. Lahan yang terluas adalah hamparan

sawah sejauh 600 meter ke jalan aspal di

bagian utaranya.

III. Data Penelitian

A. Leang Lompoa

Kotak ekskavasi di leang Lompoa

adalah X1,Y0. TP I dengan sumbu X (0,1) dan

Y(1,2). Kotak X1,Y0 terletak di daerah mulut

gua dan memiliki ukuran 1 x1 m. Sistem

pendalaman menggunakan spit dengan interval

10 cm. Jarak tali rata dari sudut tertinggi

permukaan kotak yakni 5 cm.

Permukaan. Permukaan kotak X1,Y0

cenderung rata dengan warna tanah 75 YR 4/3

Brown. Temuan permukaan kotak tidak

ditemukan temuan. Tetapi disebelah selatan

ditemukan alat batu dan pecahan gerabah.

Spit 1. Memiliki tekstur tanah gembur.

Warna tanah 7,5 YR 4/3 Brown dengan Ph

5,2. Temuan spit 1 yaitu arang, konsentrasi

tulang di sudut tenggara, dan kerang di sudut

barat laut.

Spit 2. Tekstur dan warna tidak tidak

mengalami perubahan dan masih tetap sama

pada Spit 1 yakni 7,5 YR 4/3 Brown. Temuan

spit 2 berupa kerang, pecahan gerabah, arang,

tulang, dan pecahan keramik. Spit 2 berakhir

pada kedalaman 30 cm dari tali rata.

Spit 3. Tekstur dan warna tidak tidak

mengalami perubahan dan masih tetap sama

pada Spit 2 yakni 7,5 YR 4/3 Brown. Temuan

Spit 3 berupa batu dengan panjang 40 cm dan

temuan lain yang terkonsentrasi pada sudut

barat daya. Spit 3 berakhir pada kedalaman 40

cm dari tali rata.

Page 6: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015

58

Spit 4. Tekstur tanah gembur dan ada

perubahan warna tanah dari coklat menjadi 7,5

YR 4/3 Dark Brown namun masih jenis tanah

yang sama. Ph tanah 6,2. Temuan Spit 4 adalah

kerang, batu, tulang dan arang. Spit 4 berakhir

pada kedalaman 50 cm dari tali rata.

Spit 5. Tekstur tanah gembur dengan

warna tanah adalah 7,5 YR 4/3 Brown dan ph

tanah 5,8. Pada Spit ini ditemukan sampah

dapur, batu, dan tulang. Temuan pada spit 5

terkonsentrasi pada bagian sudut barat daya

(BD) dan tenggara (TG). Jenis kerang

konsentrasi di sudut timur laut (TL) dan

tenggara (TG). Terdapat batuan lapuk

menutupi kotak di kuadran barat (BD).

Ketebalan 2-5 cm. batu berwarna merah yang

dicurigai adalah hematite di kuadran barat

daya (BD). Spit 5 berakhir pada kedalaman 60

cm dari tali rata.

Spit 6. Tekstur dan warna tanah tidak

mengalami perubahan yakni 7,5 YR 4/3 Brown

dan Ph tanah 5,9. Walau demikian, di sudut

tenggara (TG) terdapat tanah yang berwarna

abu-abu (Gley 2) 8/5 PB light bluish grey.

Temuan Spit 6 berupa bongkahan batu yang

terdapat di sudut barat daya (BD). Panjang 38

cm dan lebar 28 cm. sudut BL terdapat temuan

berupa 3 batu dengan panjang ± 10 cm dan

lebar 5 cm. selanjutnya pada sudut timur laut

(TL) ditemukan batu yang menempel di

dinding dengan panjang 2 cm dan lebar 0,5 cm

dengan tebal 53 cm. Pada spit inilah ditemukan

breksi di sudut barat daya (BD) dan masih

ditemukan batu berwarna merah bata yang

dicurigai Hematite. Sampah dapur

terkonsentrasi di sudut tenggara (TG),

sedangkan pada sudut timur laut (TL)

didominasi oleh tulang. Selanjutnya ditemukan

geraham di bagian sudut barat daya (BD) pada

kedalaman 65 cm. selanjutnya juga ditemukan

batu sejenis batu kali pada kedalaman 67 cm.

Spit 6 berakhir pada kedalaman 70 cm dari tali

rata.

Spit 7. Tekstur dan warna tanah tidak

mengalami perubahan yakni 7,5 YR 4/3 Brown

dan Ph tanah 5,9. Pada kedalaman 80 cm

ditemukan Hematite dan alat batu yang berada

di kuadran barat laut (BL). Batu inti ditemukan

di sudut timur laut (TL) dengan kedalaman 80

cm yang berdekatan dengan Hematite. Temuan

tulang yang ditemukan di sudut barat laut (BL)

dengan kedalaman 80 cm. sampah dapur pada

spit ini mulai berkurang karena yang

ditemukan hanya 2 jenis kerang saja. Spit 7

berakhir pada kedalam 80 cm dari tali rata.

Spit 8. Tekstur dan warna tanah tidak

mengalami perubahan yakni 7,5 YR 4/3 Brown

dan Ph tanah 5,9. Jika sebelumnya interval tiap

spit 10 cm, maka pada spit ini mengalami

perubahan menjadi 20 cm. Hal ini disebabkan

oleh keberadaan breksi setebal 10 cm yang

hampir menutupi permukaan spit 8. Temuan

spit 8 berupa arang dan yang terdapat di bawah

bongkahan breksi dan kayu pada kedalaman

yang sama yaitu 100 cm di sudut timur laut

(TL). Temuan lain berupa tulang dan alat

serpih. Spit 8 berakhir pada kedalaman 100 cm

dari tali rata.

B. Leang Cammingkana

Kotak Ekskavasi di Leang Camming-

kana adalah X-4, Y1. Kotak X-4,Y1 terletak

pelataran gua dan memiliki ukuran 1 x1 m.

Sistem pendalaman menggunakan spit dengan

interval 10 cm. Tinggi tali rata yakni 9 cm

diukur dari sudut tertinggi kotak yakni sudut

TL.

Permukaan. Permukaan kotak X-4,Y1

cenderung datar dengan warna tanah 10YR

4/3 Brown. Temuan permukaan kotak berupa

alat batu, pecahan gerabah, cangkang kerang,

dan satu hematite.

Spit 1. Tekstur tanah gembur dengan

warna tanah 10YR 4/3 Brown. Temuan spit 1

berupa cangkang kerang, batuan, alat serpih

dan arang. Temuan cangkang kerang terkon-

sentrasi pada dinding bagian utara, timur, dan

selatan. Spit 1 berakhir pada kedalaman 10 cm

dari tali rata.

Spit 2. Tekstur tanah tetap dan warna

tanah tidak mengalami perubahan yakni 10YR

4/3 Brown. Temuan Spit 2 berupa Temuan

pada spit ini terdiri dari batuan, alat batu,

cangkang kerang, arang, fragmen tulang, gigi,

fragmen tulang, alat tulang, sementit kerang,

dan temuan yang tidak bisa diidentifikasi. Spit

2 berakhir pada kedalaman 20 cm dari tali rata.

Spit 3. Tekstur tanah tetap dan warna

tanah tidak mengalami perubahan yakni 10YR

4/3 Brown dengan Ph tanah 5,6. Temuan spit

ini terdiri dari batuan (dua diantaranya adalah

batu kali), alat batu, pecahan gerabah,

cangkang kerang, potongan kayu, arang,

fragmen tulang, alat kerang, satu gigi, dan

temuan yang tidak bisa diidentifikasi. Temuan

Page 7: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

Supriadi : Tingkat Okupasi dan Perubahan Teknologi Artefaktual di

Kompleks Gua Prasejarah Bellae, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan

59

cangkang kerang terkonsentrasi pada sudut

timur laut. Di bagian barat laut pada

penampang spit 3 terdapat 1 cangkang kerang

dan enam batuan, di bagian barat daya terdapat

1 batu, dan di dinding timur terdapat batu

berdiameter 10 cm.

Spit 4. Tekstur tanah tetap dan warna

tanah tidak mengalami perubahan yakni 10YR

4/3 Brown dengan Ph tanah 5,6. Temuan spit

ini terdiri alat batu, batuan, cangkang kerang,

potongan kayu, arang, fragmen tulang, alat

kerang, sementit kerang, alat tulang, dan

temuan yang tidak bisa diidentifikasi. Spit 4

berakhir pada kedalaman 40 cm dari tali rata.

Spit 5. Tekstur tanah tetap dan warna

tanah tidak mengalami perubahan yakni 10YR

4/3 Brown. Kecuali tingkat keasaman tanah

berubah dari Ph tanah 5,6 menjadi 6,6. Pada

kedalaman 48 cm di bagian tenggara spit ini

terdapat 4 fragmen tulang yang berdekatan

dengan empat batuan dan satu alat batu.

Temuan pada spit ini terdiri dari alat batu,

batuan, sfragmen gerabah, cangkang kerang,

potongan kayu, arang, fragmen tulang, gigi,

sementit kerang, dan temuan yang tidak bisa

diidentifikasi. Spit 5 berakhir pada kedalaman

50 cm dari tali rata.

Spit 6. Berbeda dengan spit sebelumnya,

tekstur dan warna tanah pada spit ini

mengalami perubahan menjadi berpasir dan

agak gelap. Temuan pada spit ini terdiri dari

alat batu, batuan, fragmen gerabah, cangkang

kerang, fragmen tulang, alat kerang, gigi, dan

temuan yang tidak teridentifikasi. Spit 6

berakhir pada kedalaman 60 cm dari tali rata.

Spit 7. Tekstur dan warnah tanah pada

spit ini sama dengan yang terdapat pada spit 6.

Temuan pada spit ini terdiri dari alat batu,

batuan, fragmen gerabah, cangkang kerang,

fragmen tulang, alat kerang, gigi, dan temuan

yang tidak teridentifikasi. Spit 7 berakhir pada

kedalaman 70 cm dari tali rata.

C. Leang Buluribba

Kotak ekskvasi di Leang Bulu Ribba

berada di grid X4, Y2. Kotak ekskavasi di

Leang Buluribba adalah kotak X4, Y2 dengan

ukuran 1 x1 m. Sistem pendalaman

menggunakan spit dengan interval 10 cm.

Tinggi tali rata 3 cm dari sudut tertinggi.

Kondisi permukaan kotak datar dengan

tekstur tanah yang gembur. Warna tanah

permukaan sebelum digali adalah 10 yr 3/3

dark brown dengan tingkat keasaman tanah

(pH) 5,6. Temuan permukaan berupa cangkang

mollusca dan fragmen tembikar.

Spit 1. Tekstur dan warna tanah pada

spit ini belum mengalami perubahan dan masih

sama pada permukaan kotak yakni gembur

dengan warna 10 yr 3/3 dark brown. Tingkat

keasaman tanah (pH) 5,6. Temuan spit 1

berupa cangkang mollusca, serpih, fragmen

gerabah, dan batu. Spit 1 berakhir pada

kedalaman 7 cm dari permukaan tanah atau 10

cm dari tali rata.

Spit 2. Tekstur dan warna tanah pada

spit ini belum mengalami perubahan dan masih

sama yakni gembur dengan warna 10 yr 3/3

dark brown. Tingkat keasaman tanah (pH) 5,6.

Pada permukaan spit 2terdapat batu yang

posisinya berada pada kuadran BL dan TL.

Untuk kuadran BL jumlah batu sebanyak 6 dan

untuk kuadran TL terdapat sebuah batu yang

berjarak satu cm dari dinding timur dan empat

cm dari dinding utara. Temuan spit 2 berupa

fragmen gerabah, alat serpih, cangkang

mollusca, tulang, dan batu. Spit 2 berakhir

pada kedalaman 20 cm dari tali rata.

Spit 3. Tekstur dan warna tanah pada

spit ini belum mengalami perubahan dan masih

sama yakni gembur dengan warna 10 yr 3/3

dark brown. Tingkat keasaman tanah (pH) 5,6.

Pada spit ini terjadi sedikit peningkatan jumlah

temuan dan perubahan jenis temuan. Temuan

yang terdapat di spit ini terdiri dari fragmen

gerabah, cangkang mollusca dan batu. Spit 3

berakhir pada kedalaman 30 cm dari tali rata

Spit 4. Tekstur tanah masih gembur

tetapi mulai terjadi perubahan warna tanah

menjadi 7,5 YR 3/2 dark brown dengan

tingkat keasaman tanah (pH) 6,1. Temuan

yang terdapat di spit ini berupa cangkang

mollusca, fragmen gerabah, serpih, capit

kepiting dan batu. Spit 4 berakhir pada

kedalaman 40 cm dari tali rata.

Spit 5. Tekstur tanah gembur denga

warna tanah 7,5 YR 3/2 dark brown. Walau

tidak terjadi perubahan pada warna, tetapi

tingkat keasaman tanah mengalami perubahan

dari 6, 1 menjadi (PH) 5,6. Temuan spit 5

berupa cangkang mollusca, capit kepiting,

tulang, serpih, fragmen gerabah, batu dan

arang. Arang pertama ditemukan pada dinding

barat laut dengan kedalaman 45 cm dari string

line level dan untuk arang ke-2 ditemukan pada

Page 8: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015

60

kedalaman 48 cm dari string line level tepat

pada posisi 20 cm dari dinding selatan dan 35

cm dari dinding timur. Spit 5 berakhir pada

kedalaman 50 cm dari tali rata.

Spit 6. Tekstur tanah masih tetap

gembur. Jika pada spit-spit sebelumnya warna

tanah adalah brown, maka pada spit ini

mengalami perubahan lagi menjadi 7,5 YR

2,5/2 very dark brown dengan tingkat

keasaman tanah (pH) 5,2. Temuan spit 6

berupa cangkang mollusca, tulang, capit

kepiting, serpih, batu, temuan yang dicurigai

sebagai alat pancing, dan arang yang

ditemukan pada kedalaman 58 cm dari string

line level tepatnya 7 cm dari dinding utara dan

14,8 cm dari dinding timur. Spit 6 berakhir

pada kedalaman 60 cm dari tali rata. Jika pada

spit sebelumnya dasar spit berupa tanah, maka

pada spit ini dasar kotak terdapat breksi yang

lebarnya 5 cm dan berada pada 18 cm dari

dinding timur dan 11 cm dari dinding selatan.

Spit 7. Tekstur dan warna tanah pada

spit ini sama dengan spit 6 yakni 7,5 YR 2,5/3

very dark brown dengan ingkat keasaman

tanah (Ph) 5,2. Temuan spit 7 berupa cangkang

mollusca, capit kepiting, serpih, tulang, temuan

yang dicurigai alat pancing, batu dan arang

yang ditemukan pada kedalaman 67 cm dari

string line level tepatnya 10 cm dari dinding

timur dan 24 cm dari dinding utara. Spit 7

berakhir pada kedalaman 70 cm dari tali rata.

Spit 8. . Tekstur dan warna tanah pada

spit ini sama dengan spit 7 yakni 7,5 YR 2,5/3

very dark brown dengan ingkat keasaman

tanah (Ph) 5,2. Temuan spit 8 berupa cangkang

mollusca, capit kepiting, tulang, serpih, kayu,

alat pancing, batu, arang yang ditemukan pada

79 cm dari string line level tepatnya pada 20

cm dari dinding timur dan 17 cm dari dinding

utara. Satu hal yang membedakan temuan spit

8 dengan spit sebelumnya dalah ditemukannya

Maros Point. Spit 8 berakhir pada kedalaman

80 cm dari tali rata.

Spit 9. Pada spit ini terdapat perbedaan

warnah tanah yaitu pada kuadran BL-TL

dengan ukuran panjang 85 cm (diukur dari

dinding timur) dan lebar 25 cm (diukur dari

dinding utara) warnah tanahnya very dark

brown sedangkan untuk bagian kotak yang lain

warna tanahnya dark brown. Temuan Spit 9

berupa arang yang berasosiasi dengan temuan

cangkang mollusca, tulang, capit kepiting, batu

, alat serpih. Spit 9 berakhir pada kedalaman

90 cm dari tali rata.

IV. Tingkat Okupasi

Gua-gua prasejarah di Sulawesi Selatan,

utamanya yang telah diteliti selama ini

memberikan menyodorkan sejumlah bukti-

bukti arkeologis dan non-arkeologis yang

berkaitan dengan kehidupan masa Mesolitik

(Supriadi, 2006 : 45). Kehidupan masa

mesolitik sebagaimana yang diteminologikan

oleh para ahli sebagai tahapan lanjutan

kehidupan paleolitik, untuk kawasan Sulawesi

Selatan ditunjukkan dengan kehidupan dalam

gua-gua. Menurut pertanggalan resmi yang

diajukan, bahwa masa penghunian gua-gua ini

berlangsung sejak 3790 ± 230 S.M. dan 5520

± 650 S.M. (Soejono, 1984: 143). Sementara

itu, tahun 1973 dan 1975, I.C. Glover

melakukan penelitian di gua Ulu Leang dan

gua Leang Burung, Maros. Dia berhasil

menemukan alat serpih, lancipan tulang,

pecahan gerabah, sisa tulang hewan, dan

sekam padi dan telah diberi pertanggalan

melalui C14 didapatkan usia absolut antara

10.500 – 3.500 BP (Glover, 1977: 113 – 154).

Kompleks gua prasejarah Bellae sendiri

diperkirakan dihuni antara 30.000-1500 BP.

Berdasarkan ciri artefaktual, kompleks gua

tersebut dihuni nampaknya mengalami

beberapa kali okupasi yang dilakukan dua jenis

manusia yakni Pra Austronesia (Toala) dan

Austronesia. Pra Austronesia dicirikan dengan

peralatan mikrolit sedang manusia Austronesia

dicirikan dengan peralatan gerabah.

A. Leang Lompoa

Berdasarkan pada hasil ekskavasi di

Leang Lompoa, penggalian hanya dilakukan

pada satu lapisan budaya. Jika menggunakan

rujukan hukum superposisi, lapisan budaya

yang dimaksud adalah lapisan budaya atas

yang paling muda umurnya, atau lapisan

terkhir yang menghuni Leang Lompoa. Untuk

menentukan apakah Leang Lompoa terdapat

okupasi manusia, setidaknya ada tiga data

utama yang dibutuhkan yakni keberadaan

gerabah, alat batu, dan sampah dapur manusia

pendukungnya.

Temuan pertama adalah gerabah yang

ditemukan pada spit 1 – 4. Frekuensi temuan

Page 9: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

Supriadi : Tingkat Okupasi dan Perubahan Teknologi Artefaktual di

Kompleks Gua Prasejarah Bellae, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan

61

bervariasi namun ada kecenderungan makin

keatas makin banyak. Walau tidak

mendominasi, tetapi setidaknya telah memberi

gambaran jenis manusia dan indikasi adanya

pemukiman manusia. Temuan selanjutnya

berupa artefak batu yang ditemukan di semua

spit kecuali di spit 2 dan 7. Seperti temuan

gerabah, frekuensi temuan bervariasi namun

ada kecenderungan makin keatas makin

banyak. Temuan lain adalah sampah dapur

makanan. Hasil penggalian menunjukkan ada

dua jenis makanan utama yakni kerang dan

hewan kecil yang bertulang belakang. Kerang

terdiri dari tiga jenis yakni kerang air asin,

tawar, dan kerang air payau. Diantara semua

temuan akeologis yang terdapat di Leang

Lompoa, temuan kerang yang paling

mendominasi jumlahnya dan tersebar hampir

di semua spit kecuali di spit 7 dan 8.

Begitupun dengan temuan tulang tersebar

kecuali di spit 6.

Hasil penggalian di Leang Lompoa juga

menunjukkan bahwa frekuensi temuan sampah

dapur tertinggi pada spit 5 atau pada

kedalaman 50 – 60 cm dari tali rata. Setelah itu

mengalami penurunan yang fluktuatif hingga

pada lapisan yang paling atas.

Merujuk pada kedua grafik tersebut di

atas, maka tingkat okupasi tertinggi manusia di

Leang Sakapao adalah pada Spit 5 atau

kedalaman 40 – 50 cm dari tali rata. Walau

demikian, penggalian yang dilakukan masih

dalam satu layer yang berarti satu lapisan

budaya. Oleh karena itu, penjelasan umumnya

tidak dilakukan per spit tetapi tetap pada per

lapisan budaya. Secara umum, tingkat okupasi

manusia pada lapisan ini telah jauh mengalami

penurunan. Hal ini dibuktikan dengan

minimnya temuan artefak batu dan gerabah

sebagai alat utama dalam beraktivitas. Hal ini

adalah hal yang wajar mengingat bahwa pada

pada lapisan ini merupakan periode terakhir

penghunian gua-gua sebelum memilih

menentap di tempat terbuka.

B. Leang Cammingkana

Berbeda dengan penggalian yang

dilakukukan di Leang Lompoa, penggalian di

Leang Cammingkan terdiri dari dua lapisan

budaya. Spit 1 – 5 lapisan budaya yang atas

(muda) dan spit 6 – 7 budaya yang bawah(tua).

Pada pada spit 6 atau kedalaman 50 cm dari

tali rata terjadi perubahan lapisan tanah dari

tekstur gembur berwarna coklat menjadi

berpasir dengan warna yang lebih gelap.

Dengan demikian perubahan tingkat okupasi

akan lebih jelas kelihatan. Tingkat perubahan

tersebut diamati dengan menggunakan data

artefak batu, gerabah, dan sampah dapur

berupa kerang dan tulang.

Temuan pertama berupa artefak batu

ditemukan pada hampir semua spit kecuali

pada spit 1. Pada lapisan budaya yang atas

temuan artefak batu terbanyak pada spit 2 atau

kedalaman 10 – 20 cm dari tali rata. Pada

lapisan budaya yang bawah, temuan artefak

batu terdapat pada spit 6 atau kedalaman 50 –

60 cm dari tali rata. Secara keseluruhan

temuan artefak batu lebih banyak ditemukan

pada lapisan budaya yang atas yakni 222 : 95.

Temuan selanjutnya berupa gerabah yang

tersebar di semua spit yang berarti berada pada

dua lapisan budaya. Pada lapisan atas jumlah

temuan lebih banyak yakni 26 : 2. Jumlah

temuan yang paling dominan di Leang

Cammingkana adalah sampah dapur berupa

kerang dan tulang. Temuan kerang tersebut

berasal dari habitat air tawar, asin maupun

payau. Jumlah temuan kerang di lapisan atas

hampir dua kali lipat dibanding dengan yang

terdapat pada lapisan bawah yakni 6542 :

3933. Begitupun temuan tulang lebih banyak

pada lapisan atas yakni 156 : 12.

Merujuk pada grafik tersebut diatas,

secara kuantitatif temuan yang terdapat pada

lapisan atas lebih banyak. Walau demikian, hal

ini tidak menunjukkan bahwa aktivitas dan

populasi manusia pada lapisan budaya tersebut

lebih tinggi dibanding lapisan budaya

sebelumnya. Satu hal yang menjadi dasar

adalah penggalian yang dilakukan di Leang

Cammingkana, utamanya pada lapisan budaya

bawah belum selesai. Penggalian hanya

dilakukan dua spit atau ketebalan 20 cm,

sedang pada lapisan budaya atas mencapai

lima spit atau 50 cm. Jika dibandingkan jumlah

temuan spit 1 dan 2 dengan jumlah temuan

pada spit 6 dan 7, maka tingkat okupasi

tertinggi berada pada lapisan budaya yang

lebih tua.

Page 10: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015

62

C. Leang Buluribba

Diantara ketiga lokasi, dengan

kedalaman yang hampir sama hanya

penggalian di Leang Buluribba terdiri dari tiga

lapisan budaya. Spit 1 – 4 merupakan lapisan

budaya atas, spit 5 – 6 lapisan budaya tengah,

dan spit 7 – 9 lapisan budaya bawah.

Perubahan lapisan tanah ditandai dengan

perubahan tekstur gembur menjadi pasir dan

perubahan warna tanah dari coklat menjadi

coklat tua. Seperti pada dua lokasi penggalian

sebelumnya, penentuan tingkat okupasi

diamati melalui artefak batu, gerabah, dan

sampah dapur.

Temuan alat batu ditemukan pada semua

lapisan budaya dengan jumlah yang bervariasi.

Berdasarkan hasil analisa, konsentrasi temuan

alat batu terbanyak di lapisan atas dan lapisan

bawah. Berbeda dengan temuan alat batu,

temuan berupa sampah dapur (kerang dan

tulang) terbanyak ditemukan pada lapisan

budaya tengah. Ada peningkatan dari periode

sebelumnya dan mengalami lagi penurunan

pada periode selanjutnya. Peningkatan jumlah

temuan sampah dapur berbanding terbalik

dengan keberadaan alat batu. Begitu juga

peningkatan jumlah temuan kerang tidak

berbanding lurus dengan peningkatan jumlah

bahan konsumsi lainnya yang berupa hewan

kecil.

Temuan selanjutnya berupa gerabah.

Satu hal yang menarik bahwa temuan gerabah

hanya ditemukan pada lapisan budaya yang

atas dan tengah. Lapisan budaya yang paling

bawah tidak terdapat temuan fragmen gerabah.

Walau demikian, konsentrasi temuan gerabah

terdapat pada lapisan budaya yang paling atas.

Hal ini mengindikasikan pula telah terjadi

perubahan jenis manusia yang mengokupasi

tempat tersebut. Pada kotak galian ini pula

memberikan gambaran perubahan pola

konsumsi dari hewan kecil yang bertulang

belakang ke konsumsi kerang-kerangan.

Berdasarkan hasil analisis pada data

penggalian di tiga tempat yang berbeda,

okupasi yang terjadi Kompleks gua prasejarah

dilakukan secara berulang. Hal ini

memungkinkan terjadi mengingat bahwa

penghunian gua di Kompleks Gua Prasejarah

Bellae mempunyai rentang waktu yang

panjang. Kalau gerabah sebagai rujukan ciri

austronesia, maka okupasi austronesia berada

pada lapisan yang atas. Ini berarti setelah

periode Toala menghuni gua-gua prasejarah,

dia digantikan oleh manusia austronesia yang

masuk ke Indonesia sekitar 4000 BP.

Pergantian penghunian pada tiap lapisan

budaya ditandai dengan menurunnya tingkat

okupasi pada manusia sebelumnya.

Keberadaan aktivitas pada sebuah situs

pada masa prasejarah kerap berlangsung dari

masa ke masa. Kondisi ini sangat erat

kaitannya dengan lingkungan dimana situs itu

berada. Aspek bahan pangan terutama yang

menjadi salah satu aspek yang

dipertimbangkan untuk tetap berada di satu

lokasi. Temuan sampah dapur pada tiap lapisan

budaya mengindikasikan bahwa Kompleks

Gua Prasejarah Bellae mempunyai tingkat

okupasi yang terjadi cukup tinggi. Keberadaan

sampah dapur berupa kerang air tawar dan air

laut juga memberikan gambaran tentang

lingkungan dan sistem perolehan makanan

manusia pendukungnya. Sebuah fenomena

menarik bahwa peningkatan jumlah konsumsi

pada jenis makanan kerang berbanding terbalik

dengan jumlah konsumsi bahan lainnya.

Berdasarkan data sampah dapur, terlihat bahwa

tingkat okupasi tertinggi terjadi pada periode

tengah dari tiap-tiap lapisan budaya kemudian

terjadi penurunan pada akhir periode.

Berdasarkan perolehan data hasil

ekskavasi yang telah dilakukan, menunjukkan

bahwa kerang merupakan jenis makanan yang

paling banyak dikonsumsi, terutama kerang

jenis Mollusca Gastropoda (Cangkang

Tympanotonus SP) dan Mollusca Gastropoda

(Cangkang Viviparus sp) dan satu lagi jenis

gastropoda yaitun jenis Helix Pomata. Dengan

Adanya jenis kerang tertentu yang ditemukan

pada setiap spit memberi gambaran bahwa

pengkonsumsian suatu jenis siput tertentu

tergantung pada waktu tertentu pula. Dengan

kata lain makanan dari kerang merupakan

makanan yang paling banyak dikonsumsi, tapi

perolehan dan pengkonsumsian suatu jenis

kerang tergantung oleh musim, meskipun pada

ekskavasi ini hanya ditemukan 2 jenis siput

yaitu siput air tawar dan siput air laut dan ada

juga sebagian yang diperkirakan dari jenis air

payau, namun hal itu dapat memberikan

gambaran bahwa dengan adannya ditemukan

seperti itu dapat menjelaskan tingkat konsumsi

dan jenis bahan makanan yang di konsumsi.

Page 11: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

Supriadi : Tingkat Okupasi dan Perubahan Teknologi Artefaktual di

Kompleks Gua Prasejarah Bellae, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan

63

Perolehan makanan dan tingkat konsumsi

dapat dilihat juga pada jumlah siput yang

dikonsumsi setiap spit.

V. Kesimpulan

Berbagai penelitian yang pernah

dilakukan menunjukkan bahwa periode

penghunian gua-gua di Sulawesi Selatan

mempunyai rentang waktu yang panjang.

Kompleks gua prasejarah Bellae sendiri

penghuniannya terhitung mulai dari 30.000 BP

– 1500 BP. Melihat rentang waktu tersebut,

jelas bahwa penghunian gua tersebut dihuni

dan mengalami okupasi secara berulang-ulang

dengan generasi yang berbeda. Bahkan

berdasarkan tinggalan artefaktual

mengindikasikan bahwa okupasi pada gua-gua

dilakukan oleh jenis manusia yang berbeda.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan

didapatkan bahwa di kawasan Belae ini

terdapat 22 buah gua dan ceruk yang dihuni

pada masa prasejarah yang 3 buah diantaranya

menjadi objek penelitian.. Jenis gua dan

ceruk yang menjadi tempat hunian muncul

karenanya tujuan efisiensi energi maupun

strategi perburuan, baik sebagai tempat

mengintai binatang maupun menjebak

binatang buruan. Hal-hal di atas merupakan

kesimpulan dari analisis pendahuluan pada

upaya pemanfaatan suatu wilayah atau lokasi

situs gua atau ceruk, yang dikaitkan dengan

kondisi lingkungan, data-data ekofaktual dan

data-data artefaktual yang ada. Hasil analisis

yang diperoleh merupakan suatu sintesa yang

harus diuji dengan melakukan penelitian yang

lebih mendalam karena data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data-data temuan

permukaan dari hasil penelitian terdahulu,

sehingga bersifat data sekunder.

Adapun kesimpulan yang mengacu pada

hasil penelitian yang telah dilakukan ada 3 gua

prasejarah ini memperlihatkan adanya pola

adaptasi manusia penghuni gua di Leang

Lompoa, Cammingkana, dan Bulo Riba dalam

mempertahankan hidupnya adalah dengan

penjadwalan musim untuk mengkonsumsi

pangan. Pada musim kering mereka

mengkonsumsi hewan invertebrata yaitu jenis

kerang dan siput, sedangkan pada musim basah

mereka mengkonsumsi hewan jenis vertebrata.

Asumsi tersebut diperkuat dengan bukti

stratigrafi yaitu pada lapisan atas temuan

ekskavasi didominasi oleh cangkang moluska

spesies kerang dan siput baik berupa artefak

maupun ekofak (sisa makanan), sedangkan

pada lapisan bawah didominasi temuan berupa

tulang hewan darat terutama jenis vertebrata

baik berupa artefak maupun ekofak. Selain itu,

berdasarkan proses pengendapan membuktikan

pada lapisan bawah terjadi penggumpalan

dengan tingkat kelembaban sedang. Dengan

kata lain proses pengendapan tersebut

disebabkan kondisi tanah basah. Musim dalam

konteks di sini siklusnya bukan dalam

tenggang waktu setahun, namun mencakup

rentang waktu yang panjang, dengan kata lain

merupakan iklim.

Pola pemanfaatan lahan di ketiga gua

tersebut, berdasarkan sebaran temuan pada

kotak-kotak ekskavasi menunjukkan temuan

relatif sama antarkotak, perbedaan terlihat

pada per lapisan tanah yaitu pada lapisan atas

didominasi cangkang moluska, sedangkan

lapisan bawah didominasi temuan tulang

vertebrata. Kondisi demikian menunjukkan

bahwa pemanfaatan lahan gua, tidak

didasarkan pemanfaatan untuk per aktivitas.

Kemungkinan pemanfaatan lahan gua

dilakukan dengan pembagian lahan untuk

aktivitas beberapa kelompok penghuni.

Sehingga ada kemungkinan gua prasejarah ini

dihuni oleh beberapa kelompok atau keluarga

yang menempati bagian lahan tertentu untuk

setiap kelompoknya, sehingga jejak

aktivitasnya relatif sama

DAFTAR PUSTAKA

Bulbeck, David, Monique Pasqua, Adrian Di

Lello. 2001 “Culture History of the

Toalean of South Sulawesi,

Indonesia”.Asian Perspective vol. 9.

No. 1-2 : 71 – 108.

Bulbeck, David, IwanSumantri, Peter Hiscock.

2004. “LeangSakapao 1, a Second Dated

Pleistocene Site from South of Sulawesi,

Indonesia” dalam Susan G. Keatesdan

Juliette M. Pasveer. Quaternary

Research in Indonesia. Vol. 18: 111 –

128.

Glover, Ian C. 1977 “Ulu Leang Cave, Maros:

a Preliminary Sequence of Post

Pleistocene Cultural Depelopments in

Page 12: TINGKAT OKUPASI DAN PERUBAHAN TEKNOLOGI ARTEFAKTUAL …

Jejak-Jejak Arkeologi No. 18 Tahun 2015

64

South Sulawesi”. dalam ArchipelII

(Etudes Interdisciplinaires sur le Monde

Insulindies).

Heekeren, H. R van. 1972. The Stone Age of

Indonesia, 2nd Edition. The Hague-

MartinusNijhoff.

Soejono, R.P. ed. 1985."Prasejarah Indonesia,"

dalam Sejarah Nasional Indonesia,

Jilid I. Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan

Sumantri, Iwan. 2004. “Penerapan Kajian Pola

Pemukiman Gua Prasejarah di Sulawesi

Selatan: Studi Kasus Biraeng”. Dalam

Iwan Sumantri (ed). Kepingan Mozaik

Sejarah Budaya Sulawesi Selatan.

Makassar: Penerbit Ininnawa.

Supriadi, 2006. “Kondisi Lingkungan Leang

Sakapao Pangkep Pada Masa

penghunian di Era Prasejarah” dalam

Jurnal Wallanae Vol : IX No. 13,

November 2006. Balai Arkeologi

Makassar