21
Department of Communication Studies – School of Humanities Batch 2013 LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif Gambaran Literasi Media Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Konsentrasi PR 2014 President University) Nurul Farahdita Iqbal, Achmad SupardiPresident University, Jababeka Education Park, Cikarang Utara, Indonesia, +6281212001311, [email protected] President University, Jababeka Education Park, Cikarang Utara, Indonesia, [email protected] Abstract Mass media and society are two things that cannot be separated from each other, however without doubt as a gatekeeper the media have their own interests. Therefore, the resulting news can be the result of social construction desired by the media. Students as intellectuals should have good media literacy capabilities. With good media literacy skills students are expected to grow a better society. The ability of media literacy is important because of the rampant social conflicts that occur due to public’s inadequate way in digesting news, such as blasphemy conflicts caused by Basuki Tjahaja Purnama. This study aims to find out the description of Communication Department 2014 students of media literacy. The theories used for analyzing this research are Media Literacy, Gatekeeping, and Social Construction of Reality. The results show that media literacy skills of the students of Public Relations 2014 vary and not evenly distributed from every aspect to illustrate it. Keywords: media literacy, students, blasphemy, Ahok Abstrak Media massa dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, namun tidak dipungkiri bahwa media sebagai gatekeeper memiliki kepentingannya masing-masing. Oleh karena itu, pemberitaan yang dihasilkan dapat berupa konstruksi sosial yang diinginkan oleh media itu sendiri. Mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya memiliki kemampuan literasi media yang baik. Kemampuan literasi media menjadi penting dengan maraknya konflik sosial yang terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pemberitaan media. Salah satu konflik yang disebabkan dan menjadi fokus penelitian ini adalah Kasus Penistaan Agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Tujuan penelitian literasi media ini untuk mengetahui gambaran tingkat literasi media yang dimiliki oleh mahasiswa Fakultas Komunikasi, Jurusan Public Relations Tahun 2014, President University. Teori yang digunakan adalah tujuh keahlian yang harus dimiliki oleh orang yang paham literasi media dari Stanley J. Baran. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan literasi media mahasiswa jurusan Public Relations 2014 beragam dan tidak terbagi rata dari setiap aspek untuk menggambarkannya. Kata kunci: literasi media, mahasiswa, penistaan agama, Ahok 1. Pendahuluan Informasi adalah salah satu kebutuhan primer bagi setiap manusia, oleh sebab itu berbagai wadah dan cara diciptakan untuk memenuhinya. Salah satu wadah pemenuh informasi terbesar adalah media massa. Media massa yang terdiri dari media cetak, media elektronik, dan media online pada dasarnya memiliki empat fungsi umum yaitu, untuk menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), membentuk opini atau pendapat (to persuade), dan menghibur (to entertain). Dengan segala fungsi dan kegunaannya media massa dengan mudah menjadi penyedia sumber informasi yang dipercaya, termasuk oleh masyarakat Indonesia. Menurut survei Edelman Trust Barometer 2016 yang dilakukan lembaga riset Indopacific Edelman, tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media massa mencapai 62% dan menjadikannya salah satu negara dengan tingkat kepercayaan tertinggi (Moerwanto, 2016). 1

LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

Department of Communication Studies – School of Humanities

Batch 2013

LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif Gambaran Literasi Media Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Konsentrasi PR

2014 President University)

Nurul Farahdita Iqbalᵃ, Achmad Supardiᵇ ᵃPresident University, Jababeka Education Park, Cikarang Utara, Indonesia, +6281212001311,

[email protected] ᵇPresident University, Jababeka Education Park, Cikarang Utara, Indonesia,

[email protected] Abstract Mass media and society are two things that cannot be separated from each other, however without doubt as a gatekeeper the media have their own interests. Therefore, the resulting news can be the result of social construction desired by the media. Students as intellectuals should have good media literacy capabilities. With good media literacy skills students are expected to grow a better society. The ability of media literacy is important because of the rampant social conflicts that occur due to public’s inadequate way in digesting news, such as blasphemy conflicts caused by Basuki Tjahaja Purnama. This study aims to find out the description of Communication Department 2014 students of media literacy. The theories used for analyzing this research are Media Literacy, Gatekeeping, and Social Construction of Reality. The results show that media literacy skills of the students of Public Relations 2014 vary and not evenly distributed from every aspect to illustrate it.

Keywords: media literacy, students, blasphemy, Ahok Abstrak Media massa dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, namun tidak dipungkiri bahwa media sebagai gatekeeper memiliki kepentingannya masing-masing. Oleh karena itu, pemberitaan yang dihasilkan dapat berupa konstruksi sosial yang diinginkan oleh media itu sendiri. Mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya memiliki kemampuan literasi media yang baik. Kemampuan literasi media menjadi penting dengan maraknya konflik sosial yang terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pemberitaan media. Salah satu konflik yang disebabkan dan menjadi fokus penelitian ini adalah Kasus Penistaan Agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Tujuan penelitian literasi media ini untuk mengetahui gambaran tingkat literasi media yang dimiliki oleh mahasiswa Fakultas Komunikasi, Jurusan Public Relations Tahun 2014, President University. Teori yang digunakan adalah tujuh keahlian yang harus dimiliki oleh orang yang paham literasi media dari Stanley J. Baran. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan literasi media mahasiswa jurusan Public Relations 2014 beragam dan tidak terbagi rata dari setiap aspek untuk menggambarkannya.

Kata kunci: literasi media, mahasiswa, penistaan agama, Ahok 1. Pendahuluan Informasi adalah salah satu kebutuhan primer bagi setiap manusia, oleh sebab itu berbagai wadah dan cara diciptakan untuk memenuhinya. Salah satu wadah pemenuh informasi terbesar adalah media massa. Media massa yang terdiri dari media cetak, media elektronik, dan media online pada dasarnya memiliki empat fungsi umum yaitu, untuk menginformasikan (to inform), mendidik (to educate), membentuk opini atau pendapat (to persuade), dan menghibur (to entertain). Dengan segala fungsi dan kegunaannya media massa dengan mudah menjadi penyedia sumber informasi yang dipercaya, termasuk oleh masyarakat Indonesia. Menurut survei Edelman Trust Barometer 2016 yang dilakukan lembaga riset Indopacific Edelman, tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media massa mencapai 62% dan menjadikannya salah satu negara dengan tingkat kepercayaan tertinggi (Moerwanto, 2016).

1

Page 2: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

Seiring dengan perkembangan zaman dan munculnya berbagai macam teknologi canggih menyebabkan kemudahan dalam memperoleh informasi menjadi hal yang berbahaya. Hal tersebut karena tidak sedikit informasi dan berita dari media massa yang kebenarannya belum dibuktikan dapat langsung dikonsumsi oleh masyarakat dengan mudah. Meskipun seharusnya bersifat independen dan objektif namun media massa pada masa kini tidak dapat terlepas dari unsur siapa yang berada dibaliknya. Karena pada akhirnya akan mempengaruhi keberpihakan media tersebut pada suatu golongan tertentu. Media massa juga dengan segala kepentingannya, dapat membentuk opini masyarakat yang bertujuan untuk merugikan sebuah pihak melalui pemberitaan mereka (Jiwarka dan Subagyo, 2013). Selain itu, menurut survey yang dilakukan oleh Mastel.id pada bulan Februari 2017, menunjukkan bahwa berbagai media massa seperti radio, media cetak, televisi, dan situs web turut menjadi saluran penyebaran hoax atau berita palsu dengan presentase sebesar 52,9%.

Hal tersebut menjadi berbahaya ketika setiap informasi dari pemberitaan media massa dikonsumsi oleh masyarakat tanpa disaring kebenarannya terlebih dahulu. Seperti yang terjadi pada masa pemilu Presiden Amerika Serikat tahun 2016 lalu, sebuah pemberitaan muncul dan menyebutkan bahwa Hilary Clinton, calon presiden dari Partai Demokrat, terlibat dalam jaringan prostitusi anak terbesar di dunia bersama dengan James Alefantis, pemilik restoran Comet Ping Pong Pizza, yang kemudian disebut sebagai skandal Pizzagate (Samuelson, 2016). Berita yang tidak benar dan terfabrikasi tersebut membawa dampak buruk dan bahaya kepada berbagai pihak, salah satu nya adalah seorang pria mendatangi salah satu restoran pizza di Washington, D.C. dengan membawa senjata api dan berniat untuk menginvestigasi pemberitaan tersebut (Samuelson, 2016). Meskipun tidak ada yang terluka namun peristiwa tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dapat bertindak anarkis karena mempercayai sebuah berita yang tidak benar. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk berpikir kritis dalam melihat apakah setiap pemberitaan di media telah diverifikasi kebenerannya dan dapat dijadikan sumber yang bisa dipercaya.

Melihat hal tersebut masyarakat membutuhkan keahlian dalam menerima informasi dari media massa. Keahlian tersebut yaitu literasi media atau melek media. Kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk (Aufderheide, 1993). Rubin dalam Adiarsi, Stellarosa, & Silaban (2015) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan literasi media adalah pemahaman sumber, teknologi komunikasi, kode yang digunakan, pesan yang dihasilkan, seleksi, interpretasi, dan dampak dari pesan tersebut. Literasi media menuntut seseorang untuk tidak langsung menelan semua pemberitaan atau informasi yang diberikan media namun terlebih dahulu ragu dan menyaring sesuai dengan fakta yang ada.

Orang-orang yang beroperasi pada tingkat literasi media yang rendah memiliki perspektif yang lemah dan terbatas tentang media. Mereka memiliki struktur pengetahuan yang lebih kecil, lebih dangkal, dan kurang terorganisir, yang memberikan perspektif yang tidak memadai untuk digunakan dalam menafsirkan makna pesan media. Orang-orang ini biasanya enggan atau tidak mau menggunakan keterampilan mereka yang tetap terbelakang dan karena itu lebih sulit untuk kemungkinannya untuk berhasil (Potter, 2004).

Menurut poin ketiga Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian yang nantinya akan mengabdikan dirinya bagi masyarakat, mahasiswa adalah sebagai kaum intelektual dan pembawa perubahan (agent of change). Sebagai kaum intelektual, sudah seharusnya mahasiswa memiliki tingkat literasi media yang tinggi dan kritis. Konsep literasi media yang baik dari mahasiswa akan mampu membantu masyarakat untuk memahami informasi yang sehat. Hal itulah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang literasi media di kalangan mahasiswa. Dengan penelitian ini peneliti mencoba melihat gambaran kemampuan literasi media yang di miliki oleh mahasiswa.

Untuk memudahkan dalam melakukan penelitian ini maka peneliti menggunakan pemberitaan tentang kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama. Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok adalah salah satu pemberitaan yang menjadi perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Gubernur non-aktif DKI Jakarta, adalah sosok yang rutin menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Dimulai dari kepemimpinannya sebagai gubernur yang dinilai kontroversial dan kemudian semakin bertambah karena kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepadanya. Peristiwa dugaan penistaan agama tersebut bermula saat Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada Selasa, 27 September 2016. Ahok yang merupakan salah satu calon gubernur pada Pilkada 2017, menyatakan tidak memaksa warga untuk memilih dirinya pada saat berpidato di hadapan warga. Pada pidato tersebut Ahok mengatakan, “Jadi jangan percaya sama orang. Kan

2

Page 3: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

bisa saja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, ya kan dibohongin pake surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu.” yang kemudian menjadi sumber bermulanya kontroversi di publik. Pernyataan Ahok tersebut dinilai menyinggung kaum muslim karena dianggap menghina salah satu surat yang ada di Kitab Suci Al-Qur’an. Pada Kamis, 6 Oktober 2016, cuplikan video Ahok yang menyebut surat Al Maidah ayat 51 menjadi viral di media sosial setelah sebelumnya diunggah lewat jejaring facebook milik Buni Yani. Video dengan judul “PENISTAAN TERHADAP AGAMA?” memicu kemarahan sebagian besar umat Islam di Indonesia. Pada 7 Oktober 2016, Ahok dilaporkan oleh Habib Novel Chaidir Hasan yang dikabarkan atau diakui sebagian pihak sebagai alim ulama, sebagaimana Laporan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim dengan tindak pidana penghinaan agama (Debora, 2016).

Setelah menjadi sorotan, pada Senin, 10 Oktober 2016, Ahok berhadapan dengan para awak media di Balai Kota DKI meminta maaf atas pernyataannya dan menyatakan tidak bermaksud menyinggung umat Islam. Namun nyatanya pernyataan Ahok terkait dugaan penistaan agama masih memantik reaksi, beberapa demonstrasi dengan skala besar pun terjadi (Debora, 2016). Demonstrasi yang kemudian disebut dengan Aksi Bela Islam 411 dan Aksi Bela Islam 212, dikatakan melibatkan jutaan umat islam. Pada demonstrasi tersebut massa dari berbagai daerah memadati sejumlah titik di Jakarta termasuk di kawasan ring 1 Istana Negara. Atas nama kebebasan demokrasi, massa turun kejalan menuntut proses hukum Ahok atas dugaan penistaan agama segera dituntaskan.

Setelah melalui proses yang panjang, Ahok terlapor dugaan penistaan agama pun memenuhi panggilan penyidik Bareskrim Mabes Polri dan proses penyelidikan terkait dugaan penistaan agama ditangani langsung oleh Kepolisian Republik Indonesia. Beberapa saksi ahli dihadirkan untuk memeriksa apakah dugaan penistaan, benar dilakukan oleh sang terlapor, diantaranya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maruf Amin, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasarudin Umar, dan ahli dari Kementerian Agama (Debora, 2016). Setidaknya ada 22 saksi yang telah diperiksa, terdiri dari 10 saksi ahli dari tiga bidang yaitu ahli bahasa dari UGM, ahli agama dari MUI dan ahli hukum pidana dari UI dan Universitas Islam Indonesia. 12 saksi lain adalah pegawai pemerintah provinsi DKI Jakarta, warga Kepulauan Seribu dan Staf Ahok. Pada Rabu, 16 November 2016, Ahok resmi ditetapkan sebagai tersangka.

Salah satu penyebab ramai dan viralnya kasus dugaan penistaan agama ini adalah karena pemberitaan yang dilakukan media. Media massa konvensional dan media sosial berbondong-bondong mengemas berita tersebut semenarik mungkin hingga masyarakat ramai berkomentar dan membagikannya. Berbagai macam hashtag seperti Bela Islam, Aksi Damai Bela Islam, Penista Alquran dan Ulama, Tangkap Ahok, Kami Ahok, Bela Ahok, Save Ahok, dan lain-lain dengan beragam nada dan sentimennya muncul di media dan dapat membawa pengaruh terhadap keadaan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui BAGAIMANA GAMBARAN LITERASI MEDIA MAHASISWA PRESIDENT UNIVERSITY MELALUI BERITA-BERITA TENTANG TUDUHAN PENISTAAN AGAMA OLEH BASUKI TJAHAJA PURNAMA.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Media Literacy Media Literacy menurut Aufderheide (1993) adalah, “…the ability to access, analyze, evaluate and communicate messages in a variety of forms”. Kemampuan mengakses, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai cara dapat menggambarkan kondisi melek media seseorang. Aufderheide (1993) juga menyebutkan bahwa konsep Media Literacy bertujuan untuk menciptakan pengetahuan dan pemberdayaan yang lebih baik kepada penerima komunikasi/informasi, baik anak-anak atau orang dewasa, dalam konteks pendidikan dan lainnya.

Media Literacy adalah kemampuan untuk mengaplikasikan keterampilan berfikir kritis terhadap media massa, oleh karena itu membuat seseorang menjadi masyarakat-orang tua, pemilih, pekerja- yang lebih hati-hati dan bertanggung jawab di dalam lingkungan yang dikendalikan media (Turow, 2011:29).

Potter (2004) menyatakan bahwa Media Literacy adalah perspektif dimana kita mengekspos diri kepada media dan menginterpretasikan pesan atau informasi yang kita temukan. Perspektif terbentuk dari struktur pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Semakin banyak struktur pengetahuan yang dimiliki, semakin kita dapat “melihat” dengan lebih jelas fenomena media. Potter dalam bukunya Media Literacy, 5th edition (2010),

3

Page 4: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

menjelaskan bahwa media literacy menyiapkan masyarakat untuk menghindari dampak negatif media dan menambah dampak positif media.

Literasi media merupakan upaya pembelajaran bagi khalayak media sehingga menjadi khalayak yang berdaya hidup di tengah dunia yang disebut dunia jenuh-media (media-saturated) (Iriantara, 2009). Menurut Center for Media Literacy, literasi media mencakup hal-hal berikut (1) Kemampuan mengkritik media, (2) Kemampuan memproduksi media, (3) Kemampuan mengajarkan tentang media, (4) Kemampuan meng-eksplorasi sistem pembuatan media, (5) Kemampuan mengeksplorasi berbagai posisi, (6) Kemampuan berpikir kritis atas isi media (CML, 2003).

Sesuai pernyataan dari UNESCO yang dikutip oleh Nasution (2013:12-13), media literacy merupakan salah satu dari enam kategori kelangsungan hidup kemampuan literasi abad 21, dan merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dan memanfaatkan berbagai jenis media dan format di mana informasi di komunikasikan dari pengirim ke penerima, seperti gambar, suara, dan video, dan apakah sebagai transaksi antara individu, atau sebagai transaksi massal antara pengirim tunggal dan banyak penerima, atau, sebaliknya. Berdasarkan definisi di atas diketahui bahwa literasi media adalah sebuah konsep yang patut untuk dikembangkan dalam masyarakat. Karena pada dasarnya tidak seorangpun manusia dilahirkan ke dunia ini dalam kondisi telah melek media, “No one is born media literate” (Potter, 2004).

2.2 Aspects of Media Literacy Turow (2011) menjelaskan ada enam prinsip dasar Media Literacy yang perlu dipahami untuk meningkatkan kemampuan literasi media seseorang, yaitu bahwa (1) Produk media telah dikonstruksi, (2) Produk media dibuat dan didistribusikan dalam lingkungan yang komersial, (3) Produk media dibuat dan didistribusikan dalam lingkungan politik, (4) Media massa menyajikan ide hanya didalam cakupan genre hiburan, berita, informasi, edukasi, dan periklanan, (5) Manusia sebagai penerima pesan yang aktif, (6) Representasi media memainkan peran di dalam realitas yang dipahami masyarakat. Kemudian Center for Media Literacy (2007) menetapkan lima konsep utama Media Literacy yaitu, semua pesan media telah dikonstruksi, pesan media dikonstruksi menggunakan bahasa kreatif yang memiliki aturannya sendiri, setiap orang menginterpretasikan pesan yang sama secara berbeda, media menanam pesan dan ideologi, dan kebanyakan media dibentuk untuk mendapatkan keuntungan dan kekuatan.

Selanjutnya Art Silverblatt (2001) menyebutkan ada tujuh elemen dasar dari media literacy, yaitu sebuah kemampuan berfikir kritis yang memungkinkan audiens memberikan penilaian indepen terhadap konten media, sebuah pemahaman terhadap proses komunikasi massa, sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat, strategi untuk menganalisa dan mendiskusikan pesan media, sebuah pemahaman bahwa konten media adalah sebuah naskah yang memberikan wawasan terhadap budaya dan kehidupan kita, kemampuan untuk menikmati, memahami, dan mengapresiasi konten media, dan pengembangan kemampuan produksi yang efektif dan bertanggung jawab. Aufderheide (2012) menyebutkan prinsip dari literasi media, yaitu semua media terkonstruksi, media membentuk realitas, audiens menegosiasikan makna dalam media, media memiliki implikasi komersial, dan media mengandung pesan-pesan ideologis dan nilai.

2.2.1. Media Literate Menjadi seseorang yang media literate atau melek media membutuhkan sejumlah keahlian

khusus. Disebutkan oleh Baran (2004, 56-58) yaitu: 1. Kemampuan dan kemauan untuk memahami, memperhatikan, dan menyaring pesan media 2. Pemahaman dan penghargaan atas kekuatan pesan media. 3. Kemampuan untuk memisahkan kondisi emosi ketika menanggapi konten dan bertindak

dengan sewajarnya. 4. Meningkatkan tingginya ekspekstasi terhadap konten media 5. Kemampuan membedakan genre media dan mengenalinya ketika dipadukan. 6. Kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang pesan-pesan media, betapapun dianggap

terpercayanya sumber mereka. 7. Pengetahuan tentang bahasa internal dari beragam media dan kemampuan untuk mengerti

dampak, dari pilihan bahasa tersebut.

4

Page 5: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

Selain itu Turow dalam bukunya Media today: An introduction to Mass Communication (2011), menyebutkan bahwa seseorang yang media literate adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang kekuatan-kekuatan yang mengatur organsisasi media, mengikuti isu-isu politik yang berhubungan dengan media, peka melihat media sebagai sarana pembelajaran tentang budaya, memahami pengetahuan tentang dampak media, dan dapat mengkonsumsi konten media dengan pintar.

Center for Media Literacy memiliki lima pertanyaan kunci yang dimiliki orang yang media literate ketika mengkonsumsi konten media, yaitu:

1. Siapa yang membuat pesan ini? 2. Teknik kreatif apa yang digunakan untuk menarik perhatian saya? 3. Bagaimana orang lain akan memberikan pengertian yang berbeda dari saya? 4. Nilai-nilai, gaya hidup atau cara pandang apa yang direpresentasikan atau dihilangkan dari

pesan ini? 5. Mengapa pesan ini disebarkan?

2.3 Media Literacy di Indonesia Masyarakat Indonesia saat ini tinggal di lingkungan dengan akses dan pasokan media yang berlimpah Hendriyani & Guntarto, B. (2011). Salah satunya dibuktikan bahwa sampai tahun 2017, masyarakat Indonesia dapat menyaksikan 15 saluran nasional dan lebih dari 105 saluran local dari televisi mereka. Selain itu, survei yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2016 berjumlah 132,7 juta orang. Hal tersebut mengungkap bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia kini telah terhubung ke internet. Selain televisi dan internet masyarakat Indonesia juga dapat mengakses media melalui koran, majalah, radio, dan lainnya.

Belum ada hasil penelitian yang dengan pasti menyebutkan tentang tingkatan media literacy yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Marten (2010) menyebutkan bahwa awal dari perkembangan literasi media terbagi dua: mereka yang percaya bahwa dampak media dapat membahayakan khalayak terutama anak; dan mereka yang ‘sekedar’ melakukan pengkajian terhadap isi media saja. Menurut Guntarto (2009), di Indonesia gejala yang ada menunjukkan bahwa kegiatan literasi media dinilai lebih dekat dengan poin yang pertama. Kelompok ini melihat bahwa interaksi dan pola konsumsi anak dengan media menunjukkan intensitas yang cukup tinggi dan kurang terkontrol, serta melihat bahwa isi media yang dikonsumsi anak-anak tidak cukup aman bagi perkembangan psikologisnya.

Karena hal tersebut tampak bahwa motivasi dan referensi untuk menyelenggarakan program literasi media tertentu adalah untuk memberdayakan orangtua, guru, dan pihak lain dalam upaya melakukan perlindungan anak dari dampak negatif media. Tema-tema seperti pemahaman terhadap industri media, memahami dan menilai isi pesan media, pemahaman mengenai iklan, karakteristik media, dan lain-lain yang merupakan tema-tema dalam literasi media sesuai konsep bakunya, belum banyak disentuh (Guntarto, 2011).

Aktivis literasi media yang ada di Indonesia saat ini dapat dikategorikan dalam enam tipe kelompok, yaitu: 1. LSM dan yayasan, 2. Sekolah, 3. Perguruan tinggi (terutama dengan latar belakang Ilmu Komunikasi), 4. Masyarakat umum yang aktif meningkatkan literasi media di antara mereka sendiri, 5. Lembaga-lembaga yang tidak masuk dalam keempat kategori sebelumnya (pemerintah, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, UNICEF, dan UNESCO), dan 6. Gabungan dari berbagai lembaga, seperti Koalisi Kampanye Hari Tanpa TV (2006-2010) yang meminta keluarga dengan anak-anak untuk mematikan televisi selama satu hari dalam rangka Hari Anak Nasional (Hendriyani dan Guntarto, 2011). Sejumlah faktor yang berkaitan dengan lambatnya perkembangan literasi media di Indonesia yaitu tekanan dan eforia kebebasan pers, konsumerisme media, dan belum ditetapkan sebagai sebuah kurikulum resmi (Apriadi, 2013:34-35). 2.4 Mahasiswa sebagai Kaum Intelektual Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa (Takwin, 2008). Pengertian mahasiswa menurut Yahya (dalam Rema, 2007) mengatakan bahwa mahasiswa diartikan sebagai pelajar yang menimba ilmu pengetahuan yang tinggi, dimana pada tingkat ini mereka dianggap memiliki kematangan fisik dan perkembangan pemikiran yang luas, sehingga dengan nilai lebih

5

Page 6: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

tersebut mereka dapat memiliki kesadaran untuk menentukan sikapdirinya serta mampu bertanggung jawab terhadap sikap dan tingkah lakunya.

Mahasiswa adalah anggota masyarakat yang berada pada tataran elit karena kelebihan yang dimilikinya, yang dengan demikian mempunyai kekhasan fungsi, peran dan tanggung-jawab. Dari identitas dirinya tersebut, mahasiswa sekaligus mempunyai tanggung jawab intelektual, tanggung jawab sosial, dan tanggungjawab moral (Unswagati, 2015). Oleh karena itu mahasiswa disebut sebagai bagian dari kaum intelektual.

Menurut pandangan Antonio Gramsci (1891) semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan dapat dikatakan sebagai kaum intelektual. David Wechsler (dalam Azwar, 1996) mendefenisikan intelektual sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan secara efektif. Menurut Coser (1965), intelektual adalah orang-orang berilmu yang tidak pernah merasa puas menerima kenyataan sebagaimana adanya. Mereka selalu berpikir soal alternatif terbaik dari segala hal yang oleh masyarakat sudah dianggap baik. Ini dipertegas oleh Shils (1972) yang memandang kaum intelektual selalu mencari kebenaran yang batasannya tidak berujung.

Salah satu jenis tanggung jawab yang harus dimiliki mahasiswa adalah tanggung jawab sosial. Segala macam persoalan sosial di masyarakat bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga kaum terpelajar khususnya mahasiswa. Kaum terpelajar diharapkan memiliki solusi yang nyata untuk penyelesaian masalah sosial yang terjadi di masyarakat (Pratama, 2015). Mahasiswa memiliki kemampuan yang dapat digunakan sebagai agen perubahan sosial.

2.5 Teori Gatekeeping Nurudin (2007) dalam Istiqomah mengungkapkan selain komunikator, isi, audience, umpan balik, gangguan (saluran dan semantik), pengatur, filter, dan efek di dalam proses komunikasi massa di media massa, dikenal elemen gatekeeper sebagai salah satu elemen penting. Kurt Zadek Lewin (1890-1947), seorang psikolog besar dan pelopor dalam Psikologi Sosial, adalah yang pertama kali mengungkapkan istilah gatekeeping. Teori Gatekeeping, digambarkan sebagai pintu masuk yang memblokir hal-hal yang tidak diinginkan atau tidak berguna dengan menggunakan gerbang dan orang yang melakukan pemblokiran tersebut disebut "Gatekeeper". Teori Gatekeeping adalah proses pemusnahan dan pengesampingan serta penyerapan informasi yang ditayangkan dari berbagai stasiun televisi dan sumber-sumber elektronik yang lain menerpa audiencenya setiap hari (Shoemaker & Vos, 2009:89).

Dari gambar di atas disebutkan bahwa N = sumber dari pemberitaan dari beberapa media, N1,2,3,4 = pemberitaan yang akan ditunjukkan kapada audiens, N1,4 = pemberitaan yang dihilangkan karena tidak lolos gate atau tidak sesuai, N2,4 = pemberitaan pilihan yang lolos untuk disajikan, M = audiens sebagai penerima pemberitaan.

6

Page 7: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

2.6 Konstruksi Sosial akan Realitas Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Peter L. Berger dan Thomas Luckman menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.

Kontruksi sosial merupakan sebuah pandangan kepada kita bahwa semua nilai, ideologi, dan institusi sosial adalah buatan manusia (Ngangi, 2011). Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckman telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Substansi dari konstruksi sosial media massa ini adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Sabirin, 2011).

2.7 Kerangka Konseptual

Gambar 1. Kerangka Konseptual 3. Metodologi Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan konstruktivis. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, dan orang secara individual maupun kelompok Sukmadinata (2009:53-60). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kemampuan literasi media yang dimiliki mahasiswa prodi Komunikasi President University melalui kemampuan mereka dalam memahami dan menganalisis berita-berita kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama.

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Menurut Sugiyono (2005), pendekatan deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum atau generalisasi. Peneliti tidak mencari kebenaran dan judgement moral, tetapi berupaya memahami fenomena, realitas menurut sudut pandang objek.

Penelitian ini tidak menggunakan metode pendekatan studi kasus atau eksperimen karena peneliti hanya menggunakan wawancara sebagai metode pengumpulan data. Adapun penelitian dengan metode studi kasus dan eksperimen memerlukan perlakuan khusus yang sangat mendalam dan terperinci agar didapatkan hasil yang benar-benar dalam dan dapat diaplikasikan. Surachrnad (1982) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. Sedangkan Sukmadinata (2011:194) menjelaskan penelitian eksperimen merupakan pendekatan penelitian

Media Massa

Gatekeeper

Konstruksi Sosial dalam Realitas

Konten (Berita)

Masyarakat (Mahasiswa sebagai Kaum

Intektual)

Non Melek Media

Melek Media (7 keahlian khusus oleh Baran)

Literasi Media

7

Page 8: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

yang cukup khas yaitu penelitian eksperimental menguji secara langsung pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain, dan menguji hipotetesis sebab akibat.

Informan dalam penelitian ini berperan sebagai objek penelitian yang akan digambarkan tingkat kemampuan literasi medianya dengan memberikan jawaban terhadap beberapa pertanyaan terkait dengan berita-berita tentang tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama. Peneliti menentukan informan dengan teknik purposif yaitu penentuan informan yang berdasarkan atas suatu pertimbangan tertentu seperti sifat-sifat populasi ataupun ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya (Notoadmodja: 2010).

Dalam penilitian ini peneliti memilih lima orang mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi konsentrasi Public Relations angkatan 2014 President University sebagai informan. Seperti yang dikemukakan oleh Nasution (1992) penelitian dengan metode kualitatif sampelnya sedikit dan dipilih menurut tujuan (purpose) penelitian. Kriteria setiap informan adalah mahasiswa President University prodi Ilmu Komunikasi angkatan 2014 yang mendapatkan nilai A atau B di kedua mata kuliah, Introduction to Journalism dan Political Communication. Informan tersebut yaitu RA, PE, NC, RL, dan ML. Kelima orang tersebut merupakan mahasiswa aktif yang dianggap telah memiliki pengetahuan tentang media yang cukup karena mendapatkan nilai yang memuaskan di mata kuliah Introduction to Journalism dan Political Communication.

Penelitian ini menggunakan wawancara sebagai teknik pengumpulan data. Pada penelitian ini akan mencari tahu jawaban dari beberapa pertanyaan yang dapat menggambarkan kemampuan literasi media narasumber. Selain itu peneliti memberikan treatment dengan menyediakan tiga berita tentang kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama yang diambil dari media berbeda. Treatment tersebut sebagai alat yang bertujuan untuk membantu menggambarkan kemampuan literasi media para informan.

Menurut Moleong (2004:280-281), analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan tempat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Untuk mendapatkan gambaran dari kemampuan literasi media informan, selanjutnya peneliti melakukan analisis data dengan langkah tahapan analisis sebagai berikut:

1. Membaca dan mempelajari kembali data yang telah didapat. 2. Melakukan reduksi data yang relevan dengan fokus penelitian. 3. Melakukan koding pada setiap data dan menghubungkannya dengan pertanyaan penelitian dan teori

yang digunakan. 4. Menyimpulkan hasil penelitian.

Penelitian ini autentik karena informan yang digunakan sebagai sumber data tidak direkayasa dan merupakan mahasiswa aktif yang terdaftar di President University. Hasil yang disajikan pada penelitian ini merupakan hasil rangkuman dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dan juga beberapa jurnal-jurnal sebelumnya sebagai sumber. Teknik penelitian yang digunakan di penelitian ini adalah analisis deskriptif yang menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul. Pendekatan deskriptif kualitatif dinilai sebagai pendekatan yang tepat untuk memberikan gambaran tingkat literasi media mahasiswa sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

Adapun pada penelitian ini akan menggunakan aspek keahlian khusus yang harus dimiliki seseorang yang media literate menurut Baran (2004, 56:58) sebagai acuan indikator penilaian. Adapun pemilihan aspek dari Baran (2004, 56:58) dinilai sesuai karena informan dari penelitian ini adalah mahasiswa jurusan komunikasi yang membutuhkan kemampuan literasi media yang baik.

4. Pembahasan 4.1 Media sebagai Gatekeeper dan Konstruksi Sosialnya dalam Realitas Sebagai gatekeeper media dapat dengan mudah melakukan proses pemusnahan dan pengesampingan informasi yang akan disajikan kepada audiencenya setiap hari (Shoemaker & Vos, 2009:89). Oleh karena itu media memiliki kendali akan konten media yang akan mereka sajikan. Selain itu, menurut Antonio Gramsci (Sobur, 2009:30) media adalah sebagai ruang yang dapat mempresentasikan berbagai ideologi sehingga dapat digunakan sebagai alat penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Media disebutkan sebagai sesuatu yang tidak bebas dan independen, tetapi berkaitan dengan realitas sosial.

8

Page 9: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

Oleh karena itu, sebagai kaum intelektual mahasiswa harus memahami bahwa media sebagai gatekeeper dapat mengatur informasi yang seharusnya mereka saring sebelum dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam penelitian ini informan memahami bahwa media memiliki andil dalam mengatur penyiaran informasi dan membentuk pandangan masyarakat terhadap suatu hal tertentu.

“Kalau dari yang pernah dipelajari pasti media itu kan setiap media massa baik itu cetak maupun televisi pasti mereka punya ideologi, pemahaman sendiri, arah kemana medianya, berpihak kepada siapa atau punya visi seperti apa mereka pasti enggak macam berita pun sebenernya sudah dari awal mereka tau gituloh mungkin mereka akan mengambil sudut A, si berita, si media C ngambil sudutnya di A seperti itu kan media B belm tentu mengambil sudut yang sama pasti beda gitu loh pandanganya dan kalo pun mereka mendapatkan itu dari awal pun mereka akan udah milih.” (RA, 4 Mei 2017)

“Melakukan penyaringan sih pasti, ya mungkin bisa jadi disaring karna berbagai kebutuhan kali ya… Kan kalau misalkan namanya media kan kadang memihak kesana memihak kesini nah itu kan nanti dibubuh-bubuhi di editornya tuh, punya kepentingan padahal faktanya gak kayak gitu.” (PE, 4 Mei 2017)

“Itu pasti sih, penyaringan aa… tiap… maksudnya, perusahaan pun kan porsi penyaringannya tuh bisa beda pasti bisa beda sudut pandangnya, angle nya bisa beda, atau selipan tambahannya apa pasti semuanya akan beda-beda dan yaa… gak apa-apa ya gak tau ya, kayaknya emang kayak gitu… Itu pasti ada sih… cuman makanya itu kan kepentingannya beda-beda, isinya semuanya beda-beda, makanya harus tau… hm makanya harus tau… maksudnya kalau mau tau 1 berita kan juga gak bisa diliat dari beritanya itu aja tapi juga harus liat dari mana, yang nulisnya siapa, latar belakang, eh… produk beritanya tuh lingkungannya tuh kayak gimana.” (NC, 4 Mei 2017)

“Iya, medianya itu menyaring menyaring berita menyaring sebuah pemberitaan… Tergantung, biasanya mereka tuh ada eh tergantung medianya yah biasanya kalau misalnya medianya tuh mereka ada yang kalau nyaring sesuai dengan misalkan ningkatin rating mereka sama yang kira-kira itu informatif…misalnya kerjasama mereka misalkan contohnya politik kalau dalam hal politik kan Metro TV didukung sama si A, otomatis dia kan nyaring media nya itu kan dari yang ehh sesuai dengan kerjasama mereka kalau dipikir mereka pro nya dimana…” (RL, 6 Mei 2017)

“Harusnya sih media melakukan penyaringan yah secara kan berita atau konten yang akan mereka siarin itu nantinya akan dikonsumsi sama public dan hampir 90% itu public percaya sama apa yang dikasih sama media jadi harus ada penyaringan dan menurut gue media udah ngelakuin itu walaupun mungkin eh gak apa ya gak 100% bener bener disaring tapi mereka ngelakuin penyaringan yang menurut standarnya mereka itu eh apa yah sudah harus dilakukan… Secara media juga kan salah satu apa ya bisnis juga pasti mereka cari yang, ya tergantung media nya kalau mereka ngelakuin penyaringan buat kepentingan media itu sendiri kayaknya iya deh kayaknya pasti maksudnya ehh karena mereka kan harus cover both sides jadi mereka harus eh apa mikirin juga kepentingan ini juga kan maksudnya kayak pemegang saham gitu-gitu kayaknya kalau misalkan beritanya itu berhubungan sama orang yang istilahnya punya kuasa di media itu pasti mereka ngelakuin penyaringan jadi eh apa karena media juga termasuk salah satu bisnis jadi media juga pasti nyari yang menguntungkan. Intinya mereka pasti nyaring karena itu mempengaruhi orang yag berkuasa di dalamnya kan, pasti mereka nyaring.” (ML, 4 Mei 2017)

Mahasiwa sebagai kaum intelektual yang seharusnya memiliki kemampuan literasi media yang baik diharapkan selalu mempertanyakan setiap pemberitaan yang didapatkannya. Hal tersebut karena, fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita melainkan dikonstruksi. Berdasarkan hal tersebut mahasiswa sebagai kaum intelektual dapat memecahkan konstruksi yang telah dibuat media dan menciptakan kebenarannya sendiri dengan menggunakan kemampuan mereka sebagai kaum intelektual yang memiliki kemampuan edukasi yang tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa informan mengetahui bahwa media melakukan penyaringan konten media karena tugasnya sebagai gatekeeper. Selain itu informan juga memahami bahwa media ikut membantu membentuk pandangan masyarakat karena konstruksi sosial dalam realitas yang dilakukannya.

9

Page 10: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

Adapun setiap informan hanya memandang aspek tersebut secara sederhana dan belum menunjukkan kekritisan atau keinginan untuk mencoba memecahkan konstruksi media tersebut.

4.2 Keahlian khusus yang dibutuhkan oleh seseorang yang media literate menurut Stanley J. Baran Menjadi seseorang yang media literate atau melek media membutuhkan sejumlah keahlian khusus. Disebutkan oleh Baran (2004, 56-58) yaitu: 4.2.1 Kemampuan dan kemauan untuk memahami, memperhatikan, dan menyaring pesan media Menurut Baran (2004), apapun yang termasuk dalam keberhasilan komunikasi disebut juga dengan gangguan, adapun gangguan dalam proses komunikasi massa merupakan hasil dari perilaku konsumsi. Kualitas dari proses komunikasi yang diterima oleh seseorang akan bergantung dengan usaha yang mereka berikan ketika ingin mendapatkannya. Oleh karena itu, keahlian pertama yang harus dimiliki oleh seseorang yang media literate menurut Baran adalah ketika orang tersebut mampu dan mau melakukan pencarian pesan media.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa setiap informan memiliki kemampuan dan kemauan untuk melakukan pencarian pesan media. Adapun setiap informan menyatakan lebih memilih menggunakan media online karena menilai bahwa teknologi yang semakin maju dan kesibukkan mereka membuat media online lebih tepat sebagai media yang dituju untuk mengetahui informasi dan berita.

“Kalau secara online ya, karena sekarang teknologi lebih sering online. Apalagi kalau di kantor gak sempat untuk menonton tv, ya otomatis buka detik.com paling.” (RA, 19 April 2017)

“Media online soalnya aku ga pernah liat-liat dari TV gitu soalnya kan emang karena pagi kerja dan malem kuliah jadi gak memungkinkan untuk selalu standby depan TV. Eh kalau aku sih biasanya paling apa kompas.com biasanya, kompas terus liputan6.com.” (RL, 21 April 2017)

”Media online sih pasti, biasanya detik.com sih sama Kompas.com” (NC, 19 April 2017)

“Hmm kalau aku sih hmm untuk sekarang yang biasa aku pilih sih Media Indonesia kalau engga Kompas.com.” (PE, 19 April 2017)

”Liputan 6.com. CNN.com.” (ML, 21 April 2017)

Dari pernyataan setiap informan diketahui bahwa media online yang dipilih oleh informan adalah detik.com, kompas.com, liputan6.com, dan CNN.

Selain media online, tiga dari lima informan juga menggunakan media sosial seperti Instagram, Facebook, dan aplikasi pengirim pesan instan LINE untuk mendapatkan informasi atau berita. Informan tersebut membuka situs berita lewat tautan yang ada di Facebook atau LINE, dari tautan yang dikirim oleh teman dunia maya atau notifikasi yang diberikan oleh aplikasi tersebut.

“Untuk online saya juga biasanya melihat berita-berita melalui sosial media seperti Instagram, karena meskipun bukan media berita namun disana juga menampilkan isu-isu yang sedang booming, biasanya saya akan melihat di fitur explore dari akun instagram saya. Karena disitu sering menampilkan berita-berita yang juga berasal dari akun-akun media online seperti detik.com, dan saya percaya karena sumbernya sama. Selain itu juga aplikasi chatting Line juga banyak menampilkan berita. Intinya ketika saya membuka sosial media dan ada berita yang menarik maka saya akan membuka berita tersebut.” (RA, 19 April 2017)

“Aku kebanyakan dapet isu pertama itu dari Facebook jadi dari Facebook itu biasanya kan kebetulan temen-temen ku itu kebanyakan pengamat juga jadi kan pernah background di apa kantor yang memang orangnya itu orang news jadi kebanyakkan kalau misalnya nyeloteh atau apa itu biasanya menarik gitu…” (NC, 19 April 2017)

“…aku kan kalo sekarang ya seringkan lihat berita tuh kan dari yang Line Today itu kan, nah dari line itu jadi kan bisa langsung lihat headline newsnya apa baru deh dari situ search.” (ML, 21 April 2017)

10

Page 11: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

Pernyataan setiap informan menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan dan kemauan untuk menikmati konten media seperti berita dengan memanfaatkan media massa online dan media sosial.

Selain mampu dan mau untuk menikmati pesan media, Baran (2004) juga menyebutkan bahwa seorang yang media literate juga harus mampu untuk memahami dan menyaring pesan dari konten media. Dalam penelitian ini informan yang digunakan sebagai objek penelitian merupakan mahasiswa jurusan komunikasi yang juga merupakan bagian dari kaum intelektual. Adapun seperti yang dikatakan oleh Coser (1965), kaum intelektual adalah orang-orang yang selain berilmu juga tidak akan pernah puas dalam menerima kenyataan sebagaimana adanya.

Oleh karena itu, informan yang merupakan mahasiswa jurusan komunikasi seharusnya memiliki kemampuan dan kemauan untuk mencari, memahami dan menyaring pesan media dengan lebih dalam dengan tidak hanya puas ketika melihat sebuah pemberitaan dari satu sumber saja. Dalam aspek kemauan dalam mencari berita lebih dari sumber media kelima informan mengungkapkan mereka mencari lebih dari satu sumber berita.

“Lebih dari satu berita sih karena biasanya satu berita ehh kadang ada yang bener ada yang enggak, kalau nyari sumber-sumber lain kan kita tau tuh sebenernya yang terjadi saat ini tuh gimana. Ya tidak cukup satu karena harus diperdalam kembali.” (PE, 19 April 2017)

“Enggak sih, kalau berita gak langsung percaya gitu tetep cari beberapa referensi yang lain, kalo memang misalnya beritanya sama (sudut pandang dari beberapa artikel) baru deh, jadi kalo misalkan, misalnya contohnya kan kasus apa nih kaya kasus eem.. apa ya, Ahok aja ya contohnya misalkan berita, nonton berita ini kaya gini, terus berita ini kaya gini tapi cari online ini kaya gini misalkan ini kaya gini, cari yang ini sih..cari yang similiar jadi kalo misalkan beritanya sama, liputanya sama, oh baru deh percaya emang itu beritanya gitu.” (ML, 21 April 2017)

“Tergantung sudut pandangnya dulu, ya kalau misalkan berita tersebut politik saya akan lebih mencari dan mempertanyakan, “Bener tidak sih yang dibicarakan di berita ini?” dan saya akan melakukan perbandingan dengan apa yang ditampilkan di media lain.” (RA, 19 April 2017)

”Ya itu tadi tergantung kebutuhan kalau misalnya memang ada disana itu satu topik itu lagi rame banget sampe temen-temen tuh kayanya apa menang-menangan berpendapat nih itu itu baru cari yang panjang baru cari yang panjang trus baru istilahnya baru ngegali sendiri baru bikin opini sendiri baru ikutan sharing atau ikutan apa. Hmm satu dua aja udah cukup tapi kecuali kalau emang butuh apa ehh pingin bales pingin ini pingin nunjukkin, ini loh pandangan apa pandangan aku tentang isu ini itu baru banyak bisa bisa campur semuanya bisa dari politik sampe nyampur agama bisa semuanya.” (NC, 19 April 2017)

“Aku sih biasanya kalau bener-bener butuh pengen tau yah aku sih banyak biasanya kayak kompas, detik.com, juga kadang liputan6, searching di yahoo itu memang sering sih karna yahoo connect kemana-mana tuh dari detik, kompas dia nyambung-nyambung sana sini nah itu baru aku cari tapi biasanya lagi-lagi aku balikin kata sandi dulu apa yang aku mau cari nanti kalau udah muncul apa yang aku mau aku bukain satu-satu sih biasanya”. (RL, 21 April 2017)

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa dua informan mengungkapkan bahwa mereka akan melihat lebih dari satu sumber ketika mencari sebuah berita. Sedangkan tiga dari informan lain hanya akan mencari lebih lanjut sebuah berita ketika merasa memiliki sebuah kepentingan khusus terhadap berita atau pesan media tersebut.

Dari hasil penelitian aspek kemampuan dan kemauan untuk memahami, memperhatikan, dan menyaring pesan media, informan memiliki kemampuan yang kurang lebih sama. Kelima informan yang merupakan mahasiswa jurusan Komunikasi dinilai sudah memiliki kemauan dan kemampuan dalam mencari sebuah konten media. Hal itu ditunjukan oleh usaha informan dalam menggunakan media online untuk menikmati konten media berupa berita. Media online yang diakses oleh informan adalah portal berita detik.com, liputan6.com, kompas.com, dan CNN. Namun, tiga dari lima informan dinilai memiliki kemampuan yang kurang dalam keahlian kemauan dan kemampuan untuk menyaring pesan media massa. Hal tersebut karena, tiga dari kelima informan tersebut yaitu RA, NC, dan RL hanya akan merasa perlu untuk menyaring kembali pesan media ketika mereka merasa memiliki kepentingan atau memiliki ketertarikan tertentu. Hal tersebut

11

Page 12: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

mengurangi kemampuan informan sebagai mahasiwa yang merupakan bagian dari kaum intelektual yang media literate karena cepat merasa puas dan tidak merasa memerlukan banyak sumber ketika menikmati konten media.

4.2.2 Pemahaman dan penghargaan atas kekuatan pesan media Sebagai mahasiswa komunikasi yang telah mempelajari jurnalistik, mahasiswa diharapkan dapat memahami value dan kekuatan yang dikandung oleh pesan media. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Baran (2004) bahwa media massa yang telah ada sejak lama memungkinkannya memiliki konten yang tidak benar dan disalah artikan, namun pengaruh tersebut tidak akan berlaku bagi mereka yang media literate karena mereka cukup mengerti kekuatan sikap, kebiasaan, nilai dari pesan media massa. Sebagai mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi informan dapat menyebutkan value dan kekuatan pesan media apa yang mereka inginkan ada di setiap konten media.

“Yang pertama sih yang lagi up to date lah gitu kan maksudnya orang kok, sounding nya kok orang-orang ngomongin terus tuh hal-hal kaya gitu…” (RA, 19 April 2017)

“Ya saya lebih mencari keaktualan ya, keadaan berita sekarang, lebih ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia.” (PE, 19 April 2017)

“Lagi hot issue, yang paling pertama pasti lagi hot issue.” (NC, 19 April 2017)

“Aku lebih suka yang hot issue sih, kalau lagi ada yang booming apa gitu sekarang aku kejar.” (RL, 21 April 2017)

“Yang lebih update sih, karena kalo berita sebenernya gini kalo misalkan ikutin teori kan katanya kalo news udah di itu tuh harus apa ada kode etiknya harus sesuai dengan fakta” (ML, 21 April 2017)

Berdasarkan pernyataan di atas terlihat bahwa semua informan merasa keaktualitasan adalah value yang paling mereka prioritaskan ketika melihat pesan media massa.

Selain itu berdasarkan berita yang digunakan sebagai sampel dalam treatment yang dilakukan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini ditemukan juga kemampuan pemahaman kekuatan pesan media informan. Pada treatment tersebut setiap informan disajikan tiga berita dengan topik yang sama yaitu sidang kasus Penistaan Agama oleh Basuki Tjahaja Purnama dari tiga media yang berbeda. Setelah membaca setiap berita tersebut informan diminta menjelaskan dan menjawab pertanyaan yang relevan dengan pemberitaan tersebut. Adapun dari kemampuan menjelaskan pemberitaan tersebut peneliti melihat bahwa setiap informan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pesan berita tersebut.

“Intinya sih tentang maksudnya apa tentang pengadilannya Ahok yah, alasan kenapa dia menyebut Al-Maidah dalam pas program kerja di Pulau Seribu lebih ke situ sih kalau diliat tiga-tiga nya.” (RA, 19 April 2017)

“Hmm kontennya sih hampir sama yah, sama-sama tentang penistaan agama Ahok. Ahok tuh bilang ada ibu-ibu yang gak memilih saya karena takut murtad padahal kan saya mau menjalankan program bukan mau bikin orang murtad gitu.” (PE, 19 April 2017)

“Isi beritanya itu tentang hakim yang minta penjelasan Ahok tentang hubungan ehh kenapa dia membahas tentang Surat Al-Maidah waktu di Pulau Seribu.” (NC, 19 April 2017)

“Kalau pesan yang ingin disampaikan ini kaya dia tuh kaya ngejelasin sih kaya misalnya si Ahok kan beritanya itu kenapa elo bawa-bawa dari surat Al-Maidah, kaya mereka itu mau explain si dia di artikel ini ahok kan kaya ngejelasin, kaya alasannya kenapa, karena awalnya dia ngerasa gak interest, orang-orang tuh gak tertarik kan sama dia, apa dengan pidatonya, jadi ya sampai mereka kaya gue ngunjukin nih gue gak mau milih elu, gue gak mau ngikutin elu, soalnya gue takut dibilang murtad kaya gitu kan, nah disini ahok kaya ngejelasin kaya alasannya dia kenapa sih dia begitu.” (RL, 21 April 2017)

12

Page 13: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

“Hmmm dia ngejelasin, hubungan media sama, politik gitu ya, kalo yang ini disini kan, Ahok pidato lagi menyampaikan program tapi disini kenapa ada yang pilgub ya, sebenernya ini Ahok nyampein program nah si media ini mau hmm apa ya mau tau kenapa dia Al-Maidah itu sebenarnya gak ada hubunganya sama pilgub. Ini cuman karena itu, sebenarnya gak ada hubunganya sama pilgub ini cuma karena pada saat dia waktu di kepulauan seribu dia nyampein program.” (ML, 21 April 2017)

Dari pernyataan setiap informan diatas dapat dilihat bahwa setiap informan memiliki pemahaman tentang garis besar dari sampel berita yang digunakan dalam treatment penelitian, yaitu kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama. Namun jika dilihat kemampuan dalam menjelaskan kekuatan pesan media hanya ada dua informan yang dapat menjawabnya dengan sesuai, yaitu informan RA dan NC. Kedua informan tersebut dapat menyebutkan dengan jelas bahwa pesan yang ingin disampaikan dari berita tersebut yaitu persidangan lanjutan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang membahas alasan nya mengutip Surat Al-Maidah ketika kunjungan ke Pulau Seribu.

Berdasarkan hasil di atas kelima informan dinilai memiliki kemampuan dalam memahami value dan kekuatan pesan media meskipun masih banyak kekurangan. Hal itu terlihat dari kemampuan informan dengan dapat menyebutkan aktualitas sebagai value yang mereka inginkan di sebuah konten media. Sedangkan, untuk aspek pemahamanan pesan media hanya dua orang informan yang dinilai memiliki pemahaman kekuatan pesan media dengan cukup baik yaitu, RA dan NC karena dapat memahami pesan yang terkandung di dalam sampel berita yang digunakan untuk treatment dalam penelitian dengan jelas.

4.2.3 Kemampuan untuk memisahkan kondisi emosi ketika menanggapi konten dan bertindak dengan sewajarnya Sebagai seseorang yang media literate mahasiswa diharapkan dapat bertindak sewajarnya dan tidak mementingkan emosi ketika menanggapi konten dari sebuah berita. Menurut yang dikatakan oleh Baran (2004), konten media di desain untuk menyentuh tingkat emosional manusia dan dengan berekasi secara emosional terhadap pesan media tersebut bisa saja berdampak tersendiri terhadap hidup seseorang. Dari hasil wawancara kelima informan mengungkapkan bahwa mereka pernah melibatkan emosi ketika menikmati sebuah konten media.

“Kalo media massa sih ya kebawa emosi kalo misalkan ya kaya contohnya aja kaya misalkan ftv ftv yang ditampilin sama mereka itu kan hasil produksi merekakan bukan film luar kan ya ftv ftv iya... terus kalo misalkan kita liat feature feature tentang featurenya news mereka kan sekarang udah main menarikya maksudnya gak monoton kaya keliatan dari berita tapi dibikin dikemas kaya cerita cerita yang menggugah gitukan ada misalkan kaya kalo biasa menciptakan rasa empati gitu kan.” (RA, 4 Mei 2017)

“Oh itu sering sih kalau misalkan tergantung sih misalnya kontennya tentang informasi eh mengenai sesuatu yang bikin kasihan biasanya kita tersentuh yah, atau cerita-cerita kayak kehidupan seseorang yang gimana gitu pasti kita ikut simpati, trus kalau misalkan kita baca konten yang humoris pasti ketawa ya sering kayak gitu dan kadang-kadang juga baca berita itu bikin kesel juga karna kadang-kadang tuh lebih memihak satu sisi.” (PE, 4 Mei 2017)

“Pernah sih pasti aku rasa ya semua orang pasti pernah lah, kayak contoh “Ahok kalah” hari ini, ya itu cukup ngebuat aku huh gitu ya wajar sih manusiawi kalau menurut aku.” (NC, 19 April 2017)

“Ada ada pasti ada, kayak yang aku bilang waktu itu yang Ahok… Aku tuh bisa dibilang bukan karena ras atau agama atau apa loh ya. Aku emang lebih agak pro ke Ahok, jadi diliat dari sisi gini aku tetep lebih ke Ahok. Tapi emang sih, kalau dari aku agak pro ke Ahok bukan karena gimana, aku juga suka karakter Ahok. Akupun kadaang, mulut dia suka gak beretika hehe... Tapi aku masih tetep suka sama Ahok gitu sih, jadi kalau diliat dari artikel ini, aku masih suka Ahok sebenernya, karena aku dari sisi Ahok.” (RL, 21 April 2017)

“Pernah sih pasti kalau emosi.” (ML, 5 Mei 2017)

13

Page 14: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa kelima informan pernah melibatkan emosi ketika menikmati konten media. Adapun setiap informan menilai hal tersebut sebagai suatu hal wajar yang tidak dapat dipisahkan dari sisi manusia.

“…namanya kalo orang itu udah nonton kan pasti dia ada human interest kan berarti kan ada rasa ketertarikan kan dan terus ada rasa karena kita udah tau rasanya itu ya kita,ya kita paham ya kaya gitu.” (RA, 4 Mei 2017)

“Wajar sih pasti wajar lah soalnya kan ya kalau datar-datar aja berarti gak menyimak gitu… Melibatkan emosi gak masalah asalkan pada porsinya… Ya sewajarnya aja gausah sampe menimbulkan hal-hal yang merugikan aja.” (PE, 4 Mei 2017)

“Susah sih karna kita manusia, maksudnya emosi itu gak bisa dilepasin dari apa eh diri kita juga kan? Gak bisa kita hari ini eh maksudnya even di kelas pun di sekolah atau di kerjaan kita kan juga gak bisa lepasin emosi jadi kita ngerespon sesuatu pasti logika main tapi emosi juga akan main… Ya gak masalah sih kan normal nya emang iya cuman kan kalau jadi ya kaya sampe rusuh sendiri heboh sendiri sampe kayak apa yah kadang misalnya contoh apa sih acara-acara eliminasi-eliminasi musik gitu kan media juga trus kita nangis sampe “gak mungkin…” sampe marah-marah kayak gitu nah itu kan lebay haha, ya tapi balik lagi itu kan termasuk ini juga gitu beda orang…” (NC, 4 Mei 2017)

“Kalau itu wajar karena kita itu human kan gampang dipengaruhi kan gitu sih… Ya sebenernya sih balik lagi kan media itu hanya memberikan pemberitaan dan kita sebagai penontonnya audiens nya itu nganggep nya gimana kalau sampe berlebihan bunuh diri ngusik pihak lain itu balik lagi ke individualnya si audiens itu, dia kan hanya memberikan informasi kalau itu nyenggol atau nyikut orang lain ya balik lagi gitu kalau misalnya nih nih dari media itu blak-blakan nyinggung si A itu kayak gini gini gitu contoh berarti itu memang yang salah dari media nya karna mereka tidak menyaring dan menyeleksi tapi kalau misalnya kayak yang sekarang sampe audiens nya sendiri yang sampe terpengaruh kayak gitu itu kayaknya diluar media sih.” (RL, 5 Mei 2017)

“Wajar sih ya karena disini si media kan kayak tadi media itu kan ikut ambil dalam membentuk opini kita, nah makanya setiap kali kalau misalnya yang konten yang dia sediain ke kita itu kan menyentuh emosional nya si audiens.” (ML, 5 Mei 2017)

Setiap informan menilai bahwa melibatkan emosi ketika menikmati sebuah konten media adalah hal yang wajar dan manusiawi. Selanjutnya tiga informan juga menyadari bahwa telibatnya emosi audiens terkadang juga merupakan hasil dari pengaruh konstruksi yang diinginkan media terhadap suatu hal tertentu.

“Paham sih itu kan cuma kayak dilebih-lebihin sama media dan editor terpengaruh dari yang tadi dibilang media membentuk pandangan audiens. Intinya sih menyimak boleh tapi untuk percaya harap pilih-pilih dulu” (PE, 4 Mei 2017)

“…pasti emosi pasti ada cuman mungkin semakin dia eh apa punya pengetahuan media yang tinggi atau dia makin lebih ya apa yah hidupnya gak di media itu ya mungkin biasa aja…” (NC, 4 Mei 2017)

“…media itu kan ikut ambil dalam membentuk opini kita, nah makanya setiap kali kalau misalnya yang konten yang dia sediain ke kita itu kan menyentuh emosional nya si audiens. Kalau misalkan si audiensnya itu kebawa sedih atau kebawa pokoknya emosionalnya ikutan itu kan dia berhasil nampilin berita oh ini nih apa yang gue mau tuh seperti itu sih nah berarti berita dianya itu tuh tersalurkan nyampe ke audiens.” (ML, 5 Mei 2017)

Salah satu informan yaitu NC dapat memahami bahwa kemampuan literasi media seseorang akan mempengaruhi kemampuan melibatkan emosi karena konten media yang dialami seseorang.

Pernyataan-pernyataan dari informan menunjukkan bahwa setiap informan masih melibatkan emosi ketika mengkonsumsi konten media, adapun hal tersebut dinilai wajar selama tidak berlebihan dan tetap sesuai dengan keadaan yang ada. Oleh karena itu, setiap informan diniliai memiliki keahlian dalam indikator

14

Page 15: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

kemampuan kemampuan untuk memisahkan kondisi emosi ketika menanggapi konten dan bertindak dengan sewajarnya.

4.2.4 Meningkatkan tingginya ekspekstasi terhadap konten media Menurut Baran (2004), ketika berharap akan menemukan konten media yang bagus, maka juga akan membuat usaha yang besar juga untuk mendapatkannya. Sebagai kaum intelektual mahasiswa seharusnya memiliki pengharapan yang lebih terhadap konten media. Dari hasil penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa kelima informan merasa bahwa konten media massa di Indonesia memiliki kekurangan dan berharap akan adanya peningkatan.

“Harapan besarnya sih maksudnya lebih banyak kreativitas ya pasti, sebenernya jangan dimilikin sama orang-orang yang punya ambisi untuk banyak hal gitu loh maksudnya walaupun agak susah sih yah setidaknya latar belakangnya gak terlalu berurusan dengan dunia politik jadi ketika berita itu atau media massa dimiliki oleh seseorang politikus saya yakin medianya itu gak akan jadi kredibel gitu gak akan jadi dipercaya gitu sama orang karena pasti kita akan melihat unsur lain dibalik itu. Ya yang jelas yang sudah pasti itu harus bener-bener terpercaya gitu, ya dalam jurnalisme itu sendiri kan berita itu dapat dipercaya kalau dia mengandung unsur-unsur yang memang bisa membuktikan gitu kan, baik itu entar tempatnya, kapan terjadinya, siapa pelakunya, dan narasumber yang tepat kompeten gitu kan sama berita itu. Kalau berita itu cuman sekiranya kita baca pun, Oh ga jelas nih berita nya simpang siur narasumbernya juga gak gak ada gitu kan ya berarti kan kita gak bisa percaya berita itu.” (RA, 19 April 2017)

“Harapannya sih memberikan kebenaran bisa sesuai sama fungsi pers aja memberikan kebenaran karna itu kan hak orang tau yang bener ya bagusnya sih Indonesia itu terbuka.” (NC, 19 April 2017)

“Yang pasti konten yang berbobot dan kebenaran yang netral ya, juga aktual faktual. narasumber nya bisa dipercaya dan memang benar-benar terjadi dan penting untuk diberitakan bukan isu-isu gak jelas yang kayak hoax gitu. Dari apa ya dari netralisasi nya, jangan ada orang politik mempunyai perusahaan media” (PE, 19 April 2017)

“Harapan kalau aku pengennya tuh maksudnya gini yah zaman sekarang itu tuh udah berat banget ya maksudnya kayak mereka itu maksudnya media massa ini tuh udah kayak apa sih kerjasama mereka dengan seseorang atau tokoh politik yang mereka bela masing-masing gitu kenapa sih enggak coba lebih netral kalau kayak gini kan malah gimana ya aku tuh gak sukanya media sekarang ini kalau misalnya satu topic nih misalnya Ahok nah semua nya jadi tentang Ahok dan ramai-ramai ada yang pro dan ada yang kontra jadi kayaknya memicu pertikaian juga, adanya media media ini malah jadi api gitu.” (RL, 21 April 2017)

“Pengenya sih kalo misalkan kayak dia menampilkan pesan dia ambil satu issue terus ada sumber pendukungnya, lebih dipercaya walaupun gimana ya, maksudnya gak semua sumber yang kita temuin itu bener tapi kayaknya kalau misalkan dia ngulik beberapa sumber maksudnya ada perbandingan gitu kaya lebih bikin kita mikir sih, bener gak sih gitu.” (ML, 21 April 2017)

Lima informan menilai bahwa media massa di Indonesia harus meningkatkan unsur kenetralan dan ketidakberpihakan.

Pernyataan ekspektasi kelima informan terhadap konten media massa menunjukkan bahwa informan memiliki kemampuan dasar dalam indikator meningkatkan tingginya ekspekstasi terhadap konten media.

4.2.5 Kemampuan membedakan genre media dan mengenalinya ketika dipadukan Menurut Baran pengetahuan tentang konvensi genre menjadi penting karena memberikan isyarat dan pemahaman langsung yang juga turut membantu usaha pembuat konten media untuk mendapatkan banyak penonton (alasan profit). Oleh karena itu, seperti yang disebutkan oleh Baran (2004) bahwa seseorang dapat dikatakan media literate ketika orang tersebut memiliki kemampuan untuk membedakan genre media.

Dalam penelitian ini peneliti memberikan treatment berupa sampel berita tentang kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama kepada informan untuk menguji kemampuan informan dalam

15

Page 16: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

membedakan genre media. Hasilnya, semua informan memerlukan penjelasan contoh genre dari peneliti sebelum dapat mengklasifikasikan genre sampel berita Kasus Penistaan Agama oleh Basuki Tjahaja Purnama yang digunakan untuk treatment. Kelima informan belum familiar bahwa klasifikasi tersebut merupakan genre.

“Hmm coba ingetin lagi dong genre itu maksudnya kan kayak konten-konten gitu kan ya? Entertainment, Education, Information, trus ada News itu sendiri ya?...Kalau ke news maksudnya dia karena kurang tadi maksudnya dia ada yang gak jelas maksudnya si narasumber itu juga gak ada dan lebih kayak ini tuh lebih kayak eh, informasi kayaknya.” (RA, 19 April 2017)

“Genre ya? Apa ya? Politik? Pilihannya apa sih?...Oh iya saya lupa haha hmm lebih ke news karena dia ehhh ya banyak orang yang mau tau jadinya news penasaran dengan apa yang sedang terjadi jadinya news dan juga jadi pembicaraan banyak orang jadi news pasti news sih.” (NC, 19 April 2017)

“Ehhh maksudnya?...Oh, News, karena kan formatnya berita.” (PE, 19 April 2017)

“Haaah?... News sih.” (RL, 21 April 2017)

“Genre itu apa?...News” (RL, 21 April 2017)

Pernyataan para informan menunjukkan bahwa sebanyak empat informan sudah memiliki kemampuan membedakan genre media, sedangkan satu informan lainnya belum memiliki kemampuan membedakan genre media.

4.2.6 Kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang pesan-pesan media, betapapun dianggap terpercayanya sumber mereka Diungkapkan oleh Baran (2004) media adalah pusat pemeritahan karena menjadi unsur penting dalam demokrasi. Oleh karena itu media berita terkadang disebut sebagai keempat cabang pemerintahan, pelengkap eksekutif, yudisial dan cabang legislatif.

Dalam aspek kritis terhadap pesan-pesan media tiga dari lima informan menunjukkan bahwa mereka tidak langsung menelan semua pemberitaan yang disajikan media, melainkan terlebih dulu skeptis dan mempertanyakan kebenaran berita tersebut dengan melakukan pengecekan.

“…saya pasti akan saya cari tau dulu itu berita benar atau engga, saya telusuri dulu sampe saya yakin...” (RA, 19 April 2017)

“Jadi hari itu aku ngecek lagi semuanya berita yang ada. Besoknya aku ngecek lagi besoknya aku ngecek lagi setiap hari kalau misalkan aku masih penasaran sama kebenerannya aku bakal ngecek terus” (PE, 19 April 2017)

“Aku nge-cek sih pasti pertama pasti buka link nya kan baca beberapa nah itu termasuk cara nge-cek kan jadi gak cuman hmm bilang langsung percaya itu kan berarti satu judul belum dibaca belum tau belum tau latar belakangnya segala macem atau cuman potongan opini orang udah langsung share itu kan namanya langsung percaya…” (NC, 19 April 2017)

Berdasarkan pernyataan di atas terlihat bahwa tiga infoman tersebut sudah memiliki kepampuan untuk berpikir secara kritis tentang pesan-pesan media.

Adapun berdasarkan hasil wawancara dua informan lain dapat langsung mempercayai sebuah berita yang disajikan oleh media jika pemberitaan dari media tersebut sesuai dengan kepercayaan atau sudut pandang yang informan miliki. Selain itu ketika media turut menyajikan lampiran-lampiran lain seperti foto dan video di dalam pemberitaannya maka informan akan cenderung mudah percaya dengan berita tersebut.

“Kalau aku sih tergantung, kebanyakan sih iya. Iya kadang kalau udah ada fotonya dan aku juga gak terlalu kepo atau penasaran cukup liat di satu berita aja juga aku udah percaya sih.” (RL, 21 April 2017)

16

Page 17: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

“Kalo dari beritanya sendiri kalo udah eee... apa ya kan pas baca berita itu sebenernya pas baca berita itu udah langsung ini sih kaya udah punya pemikiran sendiri biasanya kalau pribadi kaya lebih eee... nyari berita yang kira-kira sesuai sama presepsi jadi misalkan gini kaya beritanya Ahok misalnya contohnya terus gue lebih pro kan Ahok gitu pasti aku lebih cari berita yang kira-kira berita yang apa sih ini berita yang bener-bener mana sih berita yang ngebela maksudnya ngebela Ahok tuh yang mana terus nah dari situ baru kalo misalkan ada dua atau tiga lebih yang similar aku percaya, kaya gitu. Jadi kaya pokoknya ya gimana ya, pokoknya gue cari yang sesuai sama presepsi gue.” (ML, 21 April 2017)

Dua informan di atas dapat dinilai kurang berpikir secara kritis tentang pesan-pesan media dan mengurangi kemampuannya dalam indikator berpikir kritis terhadap pesan-pesan media.

Selain kemampuan berpikir kritis indikator kemampuan ini mengharapkan seorang yang media literate untuk memahami posisi dan kepentingan ekonomi, politik, dan pemilik media. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa setiap informan memahami bahwa ada sosok lain yang memiliki kepentingan di balik media.

“Itu makin kesini makin keliatan yah gatau karna belajar juga journalism kan kita juga pernah ngebahas itu kalau misalnya sebenernya banyak media di Indonesia ya tapi yang punyanya kan cuman beberapa orang itu aja udah keliatan, contohnya MNC Group ya kan itu semua orang aja yang mungkin memang memang apa ya maksudnya yang gak ngerti journalism pun tau gitu kan, “Kok ini orang bisa nguasain beberapa stasiun televisi?” …udah keliatan lah karena dia punya beberapa media itu udah udah memperlihatkan bahwa sisi ekonomi tuh udah lagi dimainin gitu dan politik pun sama politik juga sama bahwa tandanya kan dia memang ya ada beberapa pemilik stasiun tv, contohnya aja sih yang paling nyata memang MNC Group, Metro TV itu kan mereka menggunakan media untuk apa sih ehh membuat masyarakat percaya gitu bahwa dia tuh eh disitu pokoknya keliatan lah propagandanya kan? Maksudnya bagaimana mereka mengarahkan masyarakat mereka membuat pencitraan di televisi mereka dengan baik untuk biar mereka bisa maju gitu kan ke ranah politik” (RA, 19 April 2017)

“Hmm menurut saya sih media massa di Indonesia sekarang banyak yang ehh lebih memihak ke satu sisi karena mungkin ada ehh gimana ya media tersebut dimiliki oleh orang-orang yang ada di politik makanya ada yang memihak ada yang enggak juga… sebenernya media dan politik sama ekonomi itu susah ya untuk dipisahkan karna kalau misalkan orang media terjun ke politik ya itu nanti jadi gak apa berita yang disiarkan gak bisa bener-bener murni gitu karna itu sendiri media dan ekonomi akan dipengaruhi oleh politik itu tersebut.” (PE, 19 April 2017)

“Yang pasti bener ya memang setiap media punya apa ah arahannya sendiri punya agendanya sendiri-sendiri sih dan itu bisa kerasa dari cara artikel-artikel mereka untuk ngebawain sesuatu cuman ya mungkin masih belum terlalu peka banget sih untuk nentuin media A dukung si ini, media B dukung si ini kecuali ngeliat pemimpin-pemimpinnya nah itu kan udah jelas udah gampang tapi kalau yang gak tau pemimpinnya siapa… kemungkinannya kan gede banget coba kalau kamu punya apa perusahaan pasti kamu mau perusahaan itu bisa turut sama apa yang kamu mau ya itu maksudnya gak cuma media semuanya semuanya pasti kayak gitu.” (NC, 19 April 2017)

“Hmm jadi kalau menurut aku tuh sih yah sebenernya media massa itu pasti bakalan itu sebenernya sekarang tuh udah jadi alat buat politik alat juga buat ekonomi, dengan adanya politik dan ekonomi mereka itu memanfaatkan media massa buat tools nya mereka kan jadi kalau menurut aku kalau sekarang sih yaudah udah jadi tools dan itu gak bakal bisa dilepaskan.” (RL, 21 April 2017)

“Kayaknya satu paket deh soalnya politik. hmm apa ya karena pasti gak pernah lepas dari media massa. Kaya gitu soalnya kalo ngomongin politik itu soalnya gak pernah lepas dari media karena pertama media itu merupakan sumbernya dini, kalo lo politik, lo akan mesti dapetin media yang bener. Jadi kalo misalkan pemberitaan di media, contohnya partai A, di media A, lo misalkan ambil itu media dari pemberitaan lo itu bener, coba bayangin penonton si media itu sendiri, hmmm 70 %, mungkin hampir 90 % hmmm engga deh 70% terdoktrin gitu lho, karena ya ... ya ... hmmm ... balik lagi gitu, satu satunya sumber kita… Jadi politik hmm .. media kaya gak bisa di pisahin, ekonomi juga…” (ML, 21 April 2017)

17

Page 18: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

Kelima informan memahami bahwa pemilik media memiliki kepentingan masing-masing dan tidak jarang akan melibatkannya kedalam konten dari media itu sendiri, adapun dalam media massa di Indonesia sendiri aspek tersebut biasanya merujuk pada aspek politik pemilik media. Salah satu tujuan pemilik media memasukkan kepentingannya kedalam media salah satu nya adalah untuk memanfaatkan fungsi media yang dapat mengkonstruksi opini publik.

4.2.7 Pengetahuan tentang bahasa internal dari beragam media dan kemampuan untuk mengerti dampak, dari pilihan bahasa tersebut Disebutkan oleh Baran (2004) bahwa masing-masing media sesuai genre memmiliki gaya konvensi dan bahasanya sendiri. Bahasa yang ditampilkan dalam nilai produksinya menyangkut pilihan pencahayaan, editing, special effect, musik, angle kamera, lokasi, ukuran dan penempatan tajuk. Untuk mampu membaca teks media harus dipahami bahasanya karena setiap bahasa yang digunakan oleh media tidak jarang memiliki agenda dan tujuan nya sendiri.

Di dalam penelitian ini ditemukan bahwa beberapa informan dapat memahami bahwa setiap media memiliki bahasanya masing-masing. Adapun setiap informan menjelaskan aspek bahasa media dengan mengambil contoh beberapa media yang berbeda sesuai dengan preferensi media mereka.

“Hmm kalau detik.com sebenarnya langsung terinspirasi nya karena nama detik.com, karena mereka menyiarkan berita langsung saat itu juga, bukan lagi hitungannya menit tapi detik, jadi setiap detik tersebut ada kabar baru. Selain itu juga lebih update dengan isu-isu yang sedang dibahas. Sedangkan kalau Trans7, karena saya memang menggemari tampilannya yang ringan dan maksudnya jelas. Mungkin dari secara bobotnya, kalau di bidang politik Trans7 tidak terlalu menunjukkan unsur memihak siapa. Jadi saya anggap berita Trans7 masih bisa dipercaya.” (RA, 19 April 2017)

“Hmm kalau aku sih hmm untuk sekarang yang biasa aku pilih sih Media Indonesia kalau engga Kompas… Media online justru tingkat kepercayaannya 50:50 karena dia gak rinci.” (PE, 19 April 2017)

“aku suka layoutnya Kompas. Kalau detik biasanya beritanya terlalu pendek kalau menurut aku kalau Okezone jarang jarang sih kecuali berita selain news jadi bukan bobotnya segitu Okezone masih ini… cara penulisan tiap jurnalisnya pasti beda terus nanti dari jurnalis di sesuain lagi ke perusahaannya kan pasti ada partnernya sendiri gitu kan. Cuman gak pernah perhatiin juga sih, maksudnya mungkin ada beberapa narasumber, ada beberapa pernyataan langsung atau boleh cuman sepotong doang, kan itu beda-beda kan detik kan bisa cuman secuprit banget gak ada pernyataan gak ada apa bisa jadi berita terus ini apa… tukan bisa beda-beda banget tergantung kepentinga dan request dari perusahaan sendiri.” (NC, 19 April 2017)

“Kalau kompas.com bagusnya mereka itu bisa gimana caranya mengolah kata, jadi sebenernya mereka pro nih sama dia tapi mereka itu bisa jelasin jadi kaya contohnya “Hukuman Mati dianggap kejam” tapi di bawahnya dalam artikel itu ada undang-undang ada segala macem trus jadi mereka sebenernya kalau kita telaah dari judul aja mereka udah jelas gak pro sama pemerintah yang itu, tapi di dalemnya itu kayak kasih pernyataan juga kayak si pemerintah tuh ada bagusnya nih hukuman mati itu karena mencegah gini-gini gitu jadi secara gak langsung mereka ngenancepin ke kita “eh gue tuh gak setuju sama hukuman mati” tapi di artikel itu juga mereka pinter dimasuki yang kayak masih ada pro-pro nya dikit lah itu sih bagusnya Kompas.” (RL, 21 April 2017)

“Bedanya sendiri sih dari fisik aja kalo liputan 6 yang SCTV misalnya eee... TV kan kita lihat beritanya berdasarkan ini, ee.... Apa namanya liat gambar sama narasi yang dibacain sama itunya, sedangkan kalo misalnkan di apa di online sendiri paling kita cuma bisa lihat gambar, ada sih beberapa yang ini tapi seharusnya kan sourcenya tetep youtube… Kalo menurut aku CNN lebih ini,lebih apa ya... dia lebih... lebih agak luas yah kalo CNN, kalo liputan 6 biasanya beritanya apa kita bisa, biasanya sih semua ada itunya... apanya... misalya kita klik beritanya apa pasti linknya beritanya ada tapi kalo udah terbiasa lihat liputan 6 jadi lebih gampang dicari dari pada CNN.” (ML, 21 April 2017)

Meskipun tidak menjelaskan secara lebih mendalam informan dianggap sudah dapat memahami aspek indikator bahasa yang digunakan media karena mampu memberikan beberapa contoh. Selain itu dapat disimpulkan bahwa bahasa menjadi peran penting yang mempengaruhi pemilihan media oleh audiens.

18

Page 19: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

Dalam aspek ini peneliti juga menggunakan treatment sampel berita tentang kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama untuk melihat pengetahuan bahasa media yang dimiliki oleh informan.

“Dari judul kelihatan trus dari isinya badannya juga sama gitu dari penyebutan-penyebutan si narasumbernya keliatan gitu kan ada berita yang benar-benar frontal ada yang masih sopan. Perbedaan kelihatan dari yang berita pertama ya kan, ini kan tiga-tiganya sama sebenernya cuman beda dijudul beda di bagaimana mereka memperlihatkan si Ahok nya itu sendiri, dari beritanya ada yang keliatan banget sampe yang mau mengulik banget “Ini loh Ahok yang ini loh Ahok kayak gini nih” ya kan, sampe dari kata-katanya pun keliatan banget gitu kayak mendoktrin banget kalau Ahok itu yah ya dia maksudnya dia bisa menyamakan persepsinya gitu loh dengan masyarakat yang udah jelas beda tempat beda lokasi kan ya itu aja sih.” (RA, 19 April 2017)

“Ngeliat dari judulnya sih gak ada yang netral… Kekurangannya ya? Apa ya? Dia lebih banyak ke apa ya? Dia itu lebih banyak ke menyisipkan narasumber ehm apa narasumber gitu sedangkan narasinya mereka sendiri kurang.” (PE, 19 April 2017)

“Hmm kalau secara singkat aja sih paling aku urutin dari yang paling soft sampe yang paling ini yah ngebahasnya tuh bukan dibilang netral ya tapi lebih alus sampe yang rada-rada keras… Yang halus itu yang “Ahok Jelaskan Kenapa Singgung Al-Maidah” ini itu yang paling halus, terus yang ehhh yang menurutku nomer 2 sih “Hakim Cecar Ahok Apa Hubungan Ikan dengan Surat Al-Maidah”, sama yang terakhir “Hakim Cecar Ahok Soal Surat Al-Maidah dan Pilgub” itu yang paling to the point banget. Kayak waktu pertama langsung baca “terdakwa” kaya gitu, ini kan jadi kaya langsung hmm belum bisa ngomong ini ceritanya gimana pokoknya ini lebih keras aja sih menurut aku, kalau yang nomer dua tadi kan masih kayak ngomongin apa settingan setting tempatnya kalau yang nomer satu yang paling berasa halus yang ini.” (NC, 19 April 2017)

“Yang diartikel pertama ini dia tuh sebenarnya kayak gak pro sih ya dibilangnya yah, kalau dari aku ya bacanya, dibandingin dari dua yang ini, kalau ini dia, kalau mereka kayak dia niatnya emang gimana ya, tadi aku nemu loh satu kalimat. Jadi banyak penekanannya gitu, apa namanya, si hakim nya sendiri tentang si ahoknya gitu. Kalau disinikan kaya ngejelasin segala macem. Kalau disini tuh lagi-lagi kayak kenapa sih maksudnya gituloh, jadi kaya ini tuh kaya mojokin gak sih?” (RL, 21 April 2017)

“Bahasanya sih hampir sama cuman bentar deh , tadi ada yang beda deh, tadi itu ada yang beda tapi dimana ya... disini ngomong nya apa , disini apa , disini ngomongnya apa , cara penyampaianya beda, caranya gini, si berita ini kan blablabla gitu kan, terus sedangkan disini kalau disini dy gak jelasin kata katanya ahok, taoi apa sih namanya parapres yang kayaknya kata orang di kutip gitu bener gak sih lupa. Terus kalau disini panjang hmmm ... gitu deh panjang penyampaianya, nah kalo ini lebih singkat intinya apa.” (ML, 21 April 2017)

Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat terlihat bahwa setiap informan dapat melihat perbedaan bahasa yang ada dari tiga sampel berita. Namun, informan belum dapat menyebutkan secara spesifik media apa saja yang menjadi sumber dari setiap sampel berita.

Sebagai mahasiswa yang merupakan kaum intelektual dalam hal ini informan yang merupakan mahasiswa jurusan komunikasi seharusnya dapat memahami bahwa bahasa yang digunakan oleh media memiliki peran dan pengaruh masing-masing. Informan dinilai sudah memiliki dasar kemampuan untuk indikator ini namun dinilai masih kurang kritis.

5. Kesimpulan Berdasarkan penelitian diketahui bahwa informan telah memiliki media yang dituju ketika ingin mencari sebuah pemberitaan. Adapun informan lebih memilih media online seperti detik.com, kompas.com, liputan6.com, dan CNN karena waktu dan tekonologi yang sudah jauh lebih berkembang dan praktis. Selain itu, berdasarkan temuan dan analisis yang telah dipaparkan, maka dapat terlihat bahwa informan sudah memiliki kemampuan dasar untuk dapat dikatakan sebagai seseorang yang media literate. Hal tersebut terlihat dari sudah dimilikinya dasar-dasar pengetahuan tentang media sebagai gatekeeper dan memiliki peran terhadap konstruksi sosial dalam realitas. Selain itu informan juga memenuhi beberapa indikator dari kemampuan khusus yang diperlukan untuk seseorang yang media literate menurut Baran. Namun, yang sangat

19

Page 20: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

disayangkan adalah meskipun memiliki pengetahuan dasar namun mahasiwa dirasa belum dapat mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan tersebut ketika menikmati konten media secara konsisten. Hal tersebut terlihat dari kurang tertanamnya sikap kritis dan teliti akan pesan media yang dikonsumsi. Inti dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan literasi media mahasiswa jurusan Public Relations 2014 beragam dan tidak terbagi rata dari setiap aspek untuk menggambarkannya. Referensi :

Aufderheide, P. (1993). Media Literacy. A Report of the National Leadership Conference on Media Literacy. Aspen Institute, Communications and Society Program, 1755 Massachusetts Avenue, NW, Suite 501, Washington, DC 20036.

Baran, S. J., & Barrosse, E. (2004). Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture. McGraw-Hill. New York

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan. LP3ES, Jakarta.

Center for Media Literacy. ”CML Framework”. 31 Januari 2017. (http://www.medialit.org/cml-framework)

Debora, Y. (2016). Kronologi Penistaan Agama. 2 Maret 2017. (https://tirto.id/kronologi-kasus-dugaan-penistaan-agama-b457)

Eadie, W. F. (2009). 21st Century Communication: a Reference Handbook (Vol. 1). Sage Online.

Guntarto, B. (2011). Perkembangan Program Literasi Media Di Indonesia. Literasi Media Di Indonesia, 157-192.

Hendriyani dan Guntarto, B. (2011). “Defining Media Literacy in Indonesia”. Paper presented at the International Association of Media Communication Research, Istanbul, Turkey.

Mulyana, Slamet. 2008. Perkembangan Media Massa dan Media Literasi di Indonesia. 12 Februari 2017. (http://wsmulyana.wordpress.com/2008/12/22/perkembangan-media-massa-dan-media-literasi/)

Ngangi, C. R. (2011). Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial. AGRI-SOSIOEKONOMI, 7(2), 1-4

Nurudin, M. (2007). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Potter, W. J. (2004). Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach. Sage Publications.

Purba, R. (2015). Tingkat Literasi Media pada Mahasiswa (Studi Deskriptif Pengukuran Tingkat Literasi Media Berbasis Individual Competence Framework Pada Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi USU). FLOW, 2(9).

Rahmi, A. (2013). Pengenalan Literasi Media pada Anak Usia Sekolah Dasar. Sawwa: Jurnal Studi Gender dan Anak, 8(2), 261-276.

Rijal, M. N., & Lubis, E. E. (2015). Tingkat Kemampuan Literasi Media Baru Mahasiswa Universitas Riau. Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2(1), 1-10.

Sejati, A. (2016). Literasi Media Remaja (Studi Deskriptif Kualitatif Literasi Media Dalam Menonton Tayangan Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala Di SCTV Oleh Remaja Heavy Viewer Di SMA Negeri Colomadu Kabupaten Karanganyar) (Doctoral dissertation, Universitas Sebelas Maret).

Sihabudin, A. (2013). Literasi Media dengan Memberdayakan Kearifan Lokal. Communication, 4(2).

Sobur, A. (2009). Analisis Teks Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sugiyono, D. (2010). Metode penelitian pendidikan. Pendekatan Kuantitatif.

Sukmadinata, S. (2009). Nana, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sukmadinata. (2011). Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

20

Page 21: LITERASI MEDIA PADA MAHASISWA (Studi Deskriptif …

Sulandjari, R. (2013). Pentingnya Media Literacy Bagi Orang Tua Sebagi Gate Keeping Siaran Televisi Bagi Anak dan Remaja. Dinamika Sains, 11(25).

Turow, J. (2011). Media Today: an Introduction to Mass Communication. Taylor & Francis. New York and London.

Vivian, J. (2013). The Media of Mass Communication. Pearson Education, Inc., 1 Lake St., Upper Saddle River, NJ 07458.

Winarno, S. (2015). Pemahaman Media Literacy Televisi Berbasis Personal Competences Framework (Studi Pemahaman Media Literacy Melalui Program Infotainment Pada Ibu-Ibu Perumahan Tegalgondo Asri Malang). Jurnal Humanity, 9(2).

21