Upload
linus-leenoos-samuel
View
249
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
1/14
BAB 1
PENDAHULUAN
Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat
darurat suatu rumah sakit. No head injury is so serious that it should be despaired of, nor so
trivial as to be lightly ignored, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala yang
perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan yang
dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala,
52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan
penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC,
2010).Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic
of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7%
trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh,
Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009).
Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma
kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006). Angka kematian
trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak
26,9 per100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat
trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami
trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut Kraus (1993), dalam penelitiannya
ditemukan bahwa anak remaja.hingga dewasa muda mengalami cedera kepala akibat terlibat
dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung
mengalami trauma kepala disebabkan oleh terjatuh.
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan
bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan
dengan pasien dewasa (Adeolu, Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi
sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal
akibat kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991).
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
2/14
Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri
dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan sebanyak 60,3% (2463
kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala berat sebanyak
12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak 11% berjumlah
448 kasus. Angka kejadian trauma kepala pada tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM), mencatat sebanyak 1426 kasus (Akbar, 2000).
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
3/14
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Trauma Kapitis
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen ( PERDOSSI, 2006 dalam Asrini, 2008 ).
2.2. Anatomi
Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagaiscalp yaitu :
a.Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c.Aponeurosis ataugalea aponeurotika
d.Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e.Perikranium.
Jaringan penunjang longgar memisahkangalea aponeurotika dariperikranium dan
merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak
pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di bagian
temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii berbentuk tidak
rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan
fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus
temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan serebelum.
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
4/14
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringanikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural)
yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebutBridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena kesinus
transversus dansinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang
disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater dari sisi
inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan.Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik,
yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang
otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.Serebelum bertanggung jawabdalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan
dengan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan olehpleksus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melaluiforamen monro menuju
ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS
keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melaluivili araknoid.
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
5/14
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri atas
fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kraniiposterior).
2.3. Fisiologi
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal.
Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intra
kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaannormal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat
meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan
unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan serebrospinal ( sekitar 75 ml),
dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra
kranial (Lombardo,2003 ).
2. HipotesaMonro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari
ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi dengan
mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ). Mekanisme kompensasi intra kranial ini
terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.
Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis
dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme
kompensasi yang
berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseranotak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat
berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap,
mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian
neuronal (Lombardo, 2003).
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
6/14
2.4. Patofisiologi Trauma Kapitis
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsungdari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala ( Gennarelli, 1996 dalam Israr
dkk, 2009 ).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan
otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan
dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup,
di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika
terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu
mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat traumakapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik
adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi
linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut
lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra
kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam
Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak
yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder
terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan
saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan,
menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah
dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan
tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien
yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik
bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
7/14
2.5. Klasifikasi Trauma Kapitis
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera,dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus
disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderitacedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi
perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita
yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara
maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita
cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
MenurutBrain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic
Brain Injury yaitu :
Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan
Traumatic Brain I njuryRingan
Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia post traumatik < 24 jam
GCS = 1315
Sedang Kehilangan kesadaran 20 menit dan
36 jam
Amnesia post traumatik 24 jam dan 7hari
GCS = 9 - 12
Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS = 38
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
8/14
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linearatau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.Fraktur kranium terbuka dapat
mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena
robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena
menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. Menurut Japardi (2004), klasifikasi
fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d.Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
b. Lesi Intra Kranial
1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat
buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami
amnesia retro/anterograd.Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok
yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa
kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas
area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD)
untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara
mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi
klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannyaberbentukbikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
9/14
temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi
akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanyamenutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal,
walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu
beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan
tindakan operasi.
2.6. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain:
1. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu :
pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing
Universitas Sumatera
komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan
nilai tertinggi adalah 15.Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi
GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
GCS 9 13 : cedera kepala sedang
GCS > 13 : cedera kepala ringan
Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran,
tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan
melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah
yang lebih baik atau lebih buruk.
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
10/14
Tabel 2.2
Glasgow Coma Scale
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
11/14
( Sumber : Brain Injury Association of Michigan, 2005 )
2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan
diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir
untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Responyang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
12/14
Tabel 2.3 Saraf Kranial
( sumber ; Greaves dan Johnson, 2002 )
4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi dan
ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan
fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.
2.7. Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974 (Jennet
dan Teasdale, 1974 dalam Sastrodiningrat, 2007 ). Sejak itu GCS merupakan tolak ukur klinis
yang digunakan untuk menilai beratnya cedera kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada
penderita-penderita awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelumintubasi. Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan
hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan
prognosa ( Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat, 2007).
Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS sesudah resusitasi
kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada beberapa penderita, skor mata
dan skor verbal sulit ditentukan pada mata yang bengkak dan setelah tindakan intubasi
endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi prediksi yang kuat; penderita dengan skor mototrik 1
( bilateral flaksid ) mempunyai mortalitas 90 %. Adanya skor motorik yang rendah pada awal
cedera dan usia di atas 60 tahun merupakan kombinasi yang mematikan (Kelly dkk., 1996
dalam Sastrodiningrat, 2007).
Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun atau
sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting (American Association of
Neurological Surgeons, 2000 dalam Sastrodiningrat, 2007).
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
13/14
2.8. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis
a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau
rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisamengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat
digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of Labor and Employment,
2006).
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam memperkirakan
prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT
scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat
berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebihbaik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal.
Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan
menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang lesi
baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping
itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area
yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering
berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI
mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau
terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007).
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada
MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson
Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan
penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di
korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki
prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat
menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada
penderita cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).
7/22/2019 Trauma Capitis Neurologi
14/14
2.9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prognosis Cedera Kepala
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators (2008), Umur
yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan terdapatnya cedera
ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis.
Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas
pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3 dibandingkan
dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap sebagai 3.
Gambar 2.1 Relasi antara GCS dengan mortalitas pada 14 hari