12
MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144 133 ‘Terakreditasi’SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019 Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif ELY SUFIANTI, 1 DEWI SAWITRI, 2 KRISHNAI NUR PRIBADI, 3 TOMMY FIRMAN 4 1 Mahasiswa Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung 2, 3, 4 Dosen Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung email: 1 [email protected] Abstract. The collaborative process is a key element of the communicative-based planning. This process requires participations, equality of power, as well as adequate competence of the actors who engage the process. This condition seems difficult to occur in the societies, especially those in developing countries, in which people’s par- ticipation, equality of power, and competence are considered low (uncollaborative society). The purpose of this paper is to explore whether the collaborative process can occur or not in the context of such societies. The empirical investigation was conducted by using the qualitative research methods with a case study approach to sidewalk vendors arrangement planning at Banjarsari, Surakarta City. It shows that the planning involves the collaborative process stages and authentic dialogue, which are the key aspects of collaborative process Keywords: collaboration, planning, sidewalk vendors Abstrak. Proses kolaboratif merupakan unsur utama dari perencanaan berbasis komunikasi. Proses kolaboratif memerlukan partisipasi, kesetaraan kekuasaan, serta kompetensi yang memadai dari para pemangku kepentingan. Kondisi ini terlihat sulit terjadi pada masyarakat yang cenderung memiliki tingkat partisipasi, kesetaraan kekuasaan, dan kompetensi rendah (masyarakat nonkolaboratif), suatu kondisi masyarakat yang masih terjadi terutama di negara-negara berkembang. Tujuan artikel ini adalah untuk melihat secara mendalam apakah proses kolaboratif dapat terjadi pada konteks masyarakat demikian. Hal ini dilihat melalui penelitian empiris dengan kasus perencanaan penataan pedagang kaki lima Banjarsari di Kota Surakarta, dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian memerlihatkan bahwa pada perencanaan tersebut terdapat tahapan-tahapan proses kolaboratif dan dialog otentik yang merupakan aspek utama dalam proses kolaboratif. Kata kunci: kolaboratif, perencanaan, pedagang kaki lima Pendahuluan Dalam tataran praktik, pentingnya ruang kolaborasi dalam pembangunan dihadapi oleh permasalahan pedagang kaki lima (PKL) dalam kaitannya dengan penataan ruang kota. Selama ini PKL menduduki ruang publik dan mengakibatkan kekumuhan dan kemacetan lalu lintas. Dalam menyelesaikan masalah tersebut, seringkali terjadi keributan antara pemerintah dan PKL. Pemerintah melakukannya dengan alasan penataan kota, sementara PKL merasa hak mereka untuk berpenghasilan dirampas begitu saja. Mereka menganggap pemerintah hanya mengusir tanpa memikirkan nasib mereka. Dengan demikian, dalam menyelesaikan masalah ini, diperlukan keterlibatan intensif kedua belah pihak, yaitu pemerintah dan PKL. Kedua belah pihak perlu duduk bersama. Kasus tersebut merupakan salah satu contoh yang memerlihatkan bahwa proses pembangunan saat ini tidak lagi hanya menjadi dominasi pemerintah. Kritik bahwa pembangunan hanya menjadi kepentingan pihak tertentu, menyadarkan pemerintah akan perlunya komunikasi dan tindakan bersama dengan para pemangku kepentingan. Hal ini menimbulkan munculnya pemikiran collaborative governance (Anshell & Gash, 2007; Innes & Booher, 2010), dimana para pemangku kepentingan duduk bersama untuk mengambil suatu keputusan publik yang merupakan hasil konsensus melalui suatu proses dialog tatap muka. Sebagai bagian dari proses pembangunan

Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

  • Upload
    others

  • View
    20

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144

133‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019

Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasipada Masyarakat Nonkolaboratif

ELY SUFIANTI,1 DEWI SAWITRI,2 KRISHNAI NUR PRIBADI,3 TOMMY FIRMAN 4

1 Mahasiswa Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan PengembanganKebijakan, Institut Teknologi Bandung

2, 3, 4 Dosen Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandungemail: 1 [email protected]

Abstract. The collaborative process is a key element of the communicative-basedplanning. This process requires participations, equality of power, as well as adequatecompetence of the actors who engage the process. This condition seems difficult tooccur in the societies, especially those in developing countries, in which people’s par-ticipation, equality of power, and competence are considered low (uncollaborativesociety). The purpose of this paper is to explore whether the collaborative processcan occur or not in the context of such societies. The empirical investigation wasconducted by using the qualitative research methods with a case study approach tosidewalk vendors arrangement planning at Banjarsari, Surakarta City. It shows thatthe planning involves the collaborative process stages and authentic dialogue, whichare the key aspects of collaborative process

Keywords: collaboration, planning, sidewalk vendors

Abstrak. Proses kolaboratif merupakan unsur utama dari perencanaan berbasiskomunikasi. Proses kolaboratif memerlukan partisipasi, kesetaraan kekuasaan, sertakompetensi yang memadai dari para pemangku kepentingan. Kondisi ini terlihat sulitterjadi pada masyarakat yang cenderung memiliki tingkat partisipasi, kesetaraankekuasaan, dan kompetensi rendah (masyarakat nonkolaboratif), suatu kondisimasyarakat yang masih terjadi terutama di negara-negara berkembang. Tujuan artikelini adalah untuk melihat secara mendalam apakah proses kolaboratif dapat terjadipada konteks masyarakat demikian. Hal ini dilihat melalui penelitian empiris dengankasus perencanaan penataan pedagang kaki lima Banjarsari di Kota Surakarta, denganmenggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian memerlihatkan bahwa padaperencanaan tersebut terdapat tahapan-tahapan proses kolaboratif dan dialog otentikyang merupakan aspek utama dalam proses kolaboratif.

Kata kunci: kolaboratif, perencanaan, pedagang kaki lima

Pendahuluan

Dalam tataran praktik, pentingnya ruangkolaborasi dalam pembangunan dihadapi olehpermasalahan pedagang kaki lima (PKL) dalamkaitannya dengan penataan ruang kota. Selamaini PKL menduduki ruang publik dan mengakibatkankekumuhan dan kemacetan lalu lintas. Dalammenyelesaikan masalah tersebut, seringkali terjadikeributan antara pemerintah dan PKL. Pemerintahmelakukannya dengan alasan penataan kota,sementara PKL merasa hak mereka untukberpenghasilan dirampas begitu saja. Merekamenganggap pemerintah hanya mengusir tanpamemikirkan nasib mereka. Dengan demikian,dalam menyelesaikan masalah ini, diperlukanketerlibatan intensif kedua belah pihak, yaitu

pemerintah dan PKL. Kedua belah pihak perlududuk bersama.

Kasus tersebut merupakan salah satucontoh yang memerl ihatkan bahwa prosespembangunan saat ini tidak lagi hanya menjadidominasi pemerintah. Kritik bahwa pembangunanhanya menjadi kepentingan pihak tertentu,menyadarkan pemerintah akan perlunyakomunikasi dan tindakan bersama dengan parapemangku kepentingan. Hal ini menimbulkanmunculnya pemikiran collaborative governance(Anshell & Gash, 2007; Innes & Booher, 2010),dimana para pemangku kepentingan dudukbersama untuk mengambil suatu keputusan publikyang merupakan hasil konsensus melalui suatuproses dialog tatap muka.

Sebagai bagian dari proses pembangunan

Page 2: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

134

ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499

yang telah mengalami pergeseran paradigma,perencanaan juga mengalami pergeseranparadigma ke a rah perencanaan berbasi skomunikasi yang menjadi salah satu unsur pentingdalam pembangunan berbasis kolaborasi, sepertidijelaskan dalam Gambar 1. Pada awalnya,perencanaan berlandaskan pada rasionalitas in-strumental, yang dikenal sebagai rational planning(Banfield, 1959). Namun pendekatan ini seringkalimengabaikan realitas politik, sehingga CharlesLindbloom (1959) mengajukan gagasan tentangdisjointed incementalism dan Amitai Ezioni (1967)dengan gagasan Mixed-scanning. Meskipunterdapat perubahan pendekatan, namunperencanaan tetap hanya melibatkan para pemikirdan pengambil keputusan. Di lain pihak, diyakinibahwa perencanaan juga harus memikirkankepentingan semua ke lompok masyarakatsehingga kaum marjinal pun harus terwakili dalamperencanaan. Dalam situasi ini, perencana perluberperan sebagai seorang advokat, innovator, danbirokrat (Davidoff, 1965; Dyckman, 1961, Beckman,1964). Berikutnya, Friedman (1973) mengemuka-kan pemikiran tentang perencanaan transaktifdimana perencanaan seyogyanya di susunberdasarkan dialog antara perencana denganklien-nya. Friedman (1987, dalam Friedman 2011)juga mengemukakan bahwa perencanaan dalamtataran publik, dimana bahwa perencanaanmerupakan suatu bentuk aplikasi atas pengetahuanke dalam tindakan dan menge lompokkanperencanaan sebagai Social Reform, Policy Analy-sis, Social Learning, dan Social Mobilization.Perubahan pendekatan ini menjadikanperencanaan tidak hanya milik pemerintah, tetapimilik masyarakat.

Proses Kolaboratif sebagai Unsur UtamaPerencanaan Berbasis Komunikasi

Beberapa pendekatan perencanaan, yaituperencanaan t ransakt if (Friedman, 1973) ,perencanaan kolabora ti f (Hea ley, 1996) ,perencanaan komunikatif (Sager, 1994; Innes,1997), perencanaan deliberatif partisipatif (For-ester, 2000), dan perencanaan konsensus (Woltjer,2000), memiliki karakteristik yang relatif samadalam hal menekankan pentingnya kerjasamadengan didasari komunikasi antarpemangkukepentingan. Proses kerjasama tersebut akanberlangsung dengan baik jika terdapat komunikasidalam bentuk dia log dida lamnya. Da lamperencanaan transaktif, dialog yang terjadi adalahl ife dialogue, yang dipertegas oleh Innes danBooher (1997) sebagai authentic dialogue. Dalamhal ini, setiap aktor yang duduk bersama salingmenghargai, empati, terjadi hubungan timbal balikdan saling menguntungkan. Dengan demikian, dia-log hanya akan terjadi jika para pemangkukepentingan berpartisipasi dan duduk bersamadalam memecahkan permasalahan. Partisipasisendiri hanya akan terjadi jika mereka memilikikepentingan dan memiliki kesempatan untukmenyuarakan kepentingannya, dan partisipasitersebut hanya akan te rjadi jika ada salingketergantungan dan kepercayaan. Kerjasamamelalui dialog dan partisipasi diarahkan padapembentukan konsensus (Woltjer, 2000; Innes,1996). Proses yang memuat aktivitas dialog,partisipasi, dan berorientasi kepada keputusanbersama, te rangkum da lam suatu proseskolaborat if. Dengan demikian, da lam suatupendekatan perencanaan berbasis komunikasi,

Gambar 1Proses Pembangunan Berbasis Kolaborasi dan Pergeseran Paradigma Perencanaan

Proses Pembangunan Berbasis Kolaborasi

Rasionalitas Instrumental Perencanaan berbasis komunikasi

Implementasi Evaluasi

Rasionalitas komunikatif

Perencanaan

Dinamika Kepercayaan

Collaborative Governance

Krisis Demokrasi

Page 3: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144

135‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019

terjadi proses kolaboratif (Gambar Perencanaankolaboratif (Healey, 1997; Innes, 1998).

Proses kolaboratif merupakan suatu prosesadaptive system dimana pendapat-pendapat yangberbeda dari berbagai pihak yang akhi rnyamenghasilkan suatu konsensus. Anshell dan Gash(2008) berupaya memetakan suatu model yangmenggambarkan bagaimana proses kolaboratifterjadi. Proses kolaboratif menurut model ini terdiridari berbagai tahapan yaitu dimulai dari adanyadialog secara tatap muka (face-to-face dialogue),membangun kepercayaan (t rust building) ,membangun komitmen terhadap proses (commit-ment to the process) , berbagi pemahaman(shared understanding), dan kemudianterbentuknya hasil sementara (intermediate out-come). Tahapan ini merupakan suatu siklussehingga terjadi proses pembelajaran didalamnya.Innes dan Booher (2010) mengembangkan modelDIAD Network Dynamic untuk memerlihatkanbahwa proses kolaborasi menggambarkan jejaringkolaboratif dimana terdapat keragaman, salingketergantungan dan dialog otentik didalamnya. Halini berarti bahwa: pertama, jejaring kolaboratifmemiliki keragaman agen-agen, kedua, agen-agenberada dalam si tuasi mampu untuk sa lingmemenuhi kepentingan masing-masing danmenyadari adanya saling ketergantungan diantaramereka, dan ketiga, terdapat dialog otentik (au-thentic dialogue) dimana komunikasi mengalir

melalui jejaring secara akurat dan dapat dipercayadiantara para peserta. Dalam dialog otentik,terdapat timbal balik (reciprocity), hubungan (re-lationship), pembelajaran (learning), kreatifitas(creativity), dan menghasilkan adaptasi dari sistemyang ada. Hal ini berarti bahwa para peserta(aktor) berbicara mewaki l i kepent ingankelompoknya, saling menghormati, dan berbicaradengan akurat. Tentu saja hal ini membutuhkankepercayaan, komitmen, dan pemahaman diantarapara aktor.

Permasalahan: Kesenjangan Pra-syaratProses Kolaboratif

Dengan memerhatikan bagaimana proseskolaboratif dalam perencanaan terjadi, dimanaterjadi dialog otentik yang berorientasi konsensusdidalamnya, maka dapat dikatakan bahwa proseskolaboratif terjadi jika terdapat beberapa prasyarat(Sufianti, 2013). Prasyarat tersebut adalah: (1)Terdapat partisipasi para pemangku kepentingan(Anshel dan Gash, 2008; Healey, 2006; Woltjer,2000). Partisipasi yang sebenarnya adalah citizenpower sepert i dikekukakan dalam tanggapart is ipas i menurut Arnste in (1969). Padaumumnya, tingkat partisipasi tinggi muncul dalammasyarakat yang sudah menjalankan sistemdemokrasi. (2) Terdapat kondisi dimana adakesetaraan kekuasan (Anshell dan Gash, 2008;

Gambar 2Kedudukan Proses Kolaborasi dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi.

Perencanaan kolaboratif (Healey, 1997; Innes, 1998)

Perencanaan komunikatif (Innes, 1998)

Perencanaan berbasis konsensus (Woltjer, 2000)

Perencanaan partisipatif (Forester, 2000)

Perencanaan berbasis komunikasi

• dialog • partisipasi • keputusan

bersama

Proses Kolaboratif

Perencanaan transaktif (Friedman,1973)

Page 4: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

136

ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499

Healey, 2008; Innes dan Booher, 2000). Hal iniberarti tidak ada dominasi oleh pihak tertentu,setiap aktor yang berdialog tidak dihalangi olehbatas hi rark i, dan terdapat rasa sa l ingmenghormati. (3) Terdapat aktor-aktor yangkompeten. Dialog yang terjadi harus merupakanbentuk komunikasi yang berorientasi konsensus,sehingga memerlukan aktor yang mendukung,dalam art i memil i ki kompetensi da lamberkomunikasi, memahami substansi, dan memilikiorientasi mencapai tujuan untuk kepentinganbersama. Pentingnya peran aktor yang memelilikikemauan dan kompetensi dinyatakan oleh de Roodalam Actor Consulting Model (2007).

Prasyarat seperti pada Gambar 3,memperlihatkan bahwa proses kolaboratif akandapat berjalan dengan baik dengan partisipasi aktifmasyarakatnya diwakili oleh aktor-aktor yangmemiliki kemampuan berdialog. Hal ini hanya dapatterjadi di negara-negara maju dan sudahdemokratik. Dengan melihat prasyarat di atas,maka proses kolaboratif tidak dapat dengan mudahterwujud pada masyarakat yang memiliki tingkatpart isipasi masyarakat yang rendah, sertakepemimpinan yang tidak mendukung. Kondisiseperti ini masih mudah dijumpai pada masyarakattertentu, umumnya di negara-negara berkembang.

Hal ini umumnya terjadi karena berkaitan denganmasalah budaya dan tingkat pendidikanmasyarakatnya. Partisipasi masyarakat dalammengikuti proses perencanaan pembangunanmasih terdapat banyak kelemahan terutamamelalui jalur musrenbang (Akadun, 2011), dankonsep pembangunan yang partisipatif perludirumuskan dalam suatu strategi yang menyeluruh(Djoeffan, 2002). Dalam hal ini, masyarakatSurakarta yang berlatar belakang budaya Jawa,digunakan sebagai kasus masyarakat yang secaraumum berada dalam kondisi yang tidak memenuhiprasyarat terjadinya proses kolaboratif, dengantingkat partisipasi rendah, kompetensi rendah, dankeseta raan kekuasaan rendah. Adapunkarakteristik masyarakat Surakarta dari sisi tingkatpart is ipasi , kompetensi , dan keseta raankekuasaan, dapat dilihat pada tabel 1. SedangkanPermasalahan dapat dilihat dalam gambar 3. Darigambar tersebut terlihat adanya kesenjanganantara kondisi yang menjadi prasyarat tercapainyakeberhasilan proses kolaboratif dengan kondisinyata.

Berdasarkan latar belakang dan isu di atas,yang menjadi permasalahan adalah bagaimanaproses kolaboratif pada masyarakat yang memilikikesetaraan kekuasaan, tingkat partisipasi, dan

Partisipasi (Anshel dan Gash, 2008;

Healey, 2006;Woltjer, 2000)

Kesetaraan kekuasaan (Anshell dan Gash, 2008; Healey, 2008; Innes dan Booher,

2000)

Kompetensi aktor

(de Roo, 2007 )

Prasyarat

A

Perencanaan Berbasis Komunikasi

Proses Kolaboratif

Pemahaman bersama

Hasil sementara

Dialog tatap muka

Membangun kepercayaan

Komitmen terhadap proses

Dialog otentik:

-timbal balik -hubungan -pembelajaran

Gambar 3Prasyarat Keberhasilan Proses Kolaboratif dan Proses Kolaboratif

(sumber: diadaptasi dari Ansell & Gash, 2008; Innes & Booher, 2000)

Page 5: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144

137‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019

kompetensi rendah? Dengan me liha t kasusperencanaan penataan PKL Banjarsari, makatujuan penuli san arti kel ini ada lah untukmenjelaskan bagaimana proses kolaboratif padaperencanaan penataan PKL Banjarsari di KotaSurakarta, serta memberikan gambaran kontribusipemikiran yang dapat diberikan terhadap teoriperencanaan berbasis komunikasi khususnyaberkaitan dengan proses kolaboratif berdasarkandata empirik. Untuk mendapatkan jawaban ataspermasalahan, digunakan penelitian denganmetode kualitatif dengan pendekatan studi kasusdeskriptif (Creswell, 1998; Yin, 2009) dan studikasus instrumental (Denzin dan Lincoln, 2009).

Pengumpulan data dilakukan terhadap data primerdan sekunder.

Teknik pengumpulan data primer dilakukandengan wawancara te rst ruktur denganmenggunakan pertanyaan terbuka serta observasisederhana (Denzin dan Lincoln, 2009) .Wawancara dilakukan terhadap para aktor yangpernah terlibat dalam proses perencanaanpenataan PKL Banjarsari tersebut. Adapun datasekunder yang dikumpulkan adalah peraturan-peraturan terkait, soft file dari surat kabar lokal,foto-foto serta dokumen-dokumen resmi yangpernah diterbitkan oleh Kantor PPKL untukmelakukan wawancara dan pengamatan,

Tingkat partisipasi masyarakat relatif

rendah

Kompetensi masyarakat umumnya rendah

Adanya ketidaksetaraan kekuasaan

Awalnya rendah, mulai meningkat setelah tahun 2001*

Persentase penduduk yang tidak sekolah, belum tamat SD, tidak tamat SD, dan tamat SD yaitu 45.26% (2011)**

Adanya latar belakang feodalisme

Tabel 1. Karakteristik Masyarakat Surakarta dari Sisi Tingkat Partisipasi, Kompetensi,dan Kesetaraan Kekuasaan

* Kenyataan tentang rendahnya partisipasi masyarakat di Kota Surakarta sebelum 2001 terlihat setelah adanya upayapeningkatan partisipasi masyarakat yang terlihat keberhasilannya. Partisipasi masyarakat dalam pembangunanmeningkat setelah mengadopsi pendekatan partisipasi pada tahun 2001 melalui bantuan LogoLink internationalnetwork for participatory planning (Sugiartoto dalam Widianingsih, 2005)

** Surakarta dalam angka (2011)

Gambar 4Permasalahan: Kesenjangan Prasyarat Proses Kolaboratif

Page 6: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

138

ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499

digunakan alat yaitu panduan wawancara, panduanobservasi, alat perekam, catatan, dan kamera.Strategi untuk menganalisis data yang telahdikumpulkan, adalah dengan bersandarkan padapropisisi teoritis dan menggunakan deskripsi kasus.Data dan informasi kemudian dicocokan denganmodel kerangka teoritik yang dikembangkan dariteori/konsep yang relevan (analisis pattern match-ing, Yin, 2009). Kerangka teoriti k te rsebutdijelaskan pada gambar 3.

Deskripsi Proses Penataan Pedagang KakiLima (PKL) Banjarsari

Secara umum, tahapan proses PenataanPKL Monumen Banjarsari ’45 dapat digambarkansebagai berikut:

Persiapan: Pra Proses Kolaboratif

Dalam penataan PKL Banjarsari, pemerintahmenginisiasi perencanaan dengan mengidentifikasibahwa permasalahan PKL merupakan masalahyang sangat penting dalam penataan kota. Dalamhal ini, identifikasi masalah dilakukan selaindengan memelajari kegagalan pemerintahanterdahulu, juga dengan memerhatikan kebutuhanpenataan kota serta tuntutan masyarakat umumserta kebutuhan dari PKL itu sendiri. Dengandemikian identifikasi masalah pun dilakukan denganmeliha t masa lah dari sudut pandang parapemangku kepentingan. Selanjutnya, pemerintahkota mendata para pemangku kepentingan yangdapat mempengaruhi keberhasilan mengatasipermasalahan penataan tersebut, terutama paraPKL. Hal tersebut sesuai dengan penuturan mantanKepala Kantor Pengelolaan PKL, Kepala DinasPengelolaan Pasar yang juga mantan KepalaSatpol PP, dan seorang staf Satpol PP sertaSubagyo (2007).

Persiapan dilakukan melalui pendataan danpertemuan-pertemuan untuk mendapatkandukungan politik, anggaran, dan formulasi strategidengan pihak DPRD Kota Surakarta. Pendataandilakukan dengan dikoordinasikan oleh KantorPengelolaan PKL. Menurut seorang staf Satpol PP,pendataan dilakukan dengan mendatangi tiap kios,dilakukan pada bulan September 2005. Adapunhasil pendataan saat itu memerlihakan adanya 989pedagang yang tergabung dalam 10 Paguyuban dilokasi tersebut, dan terdiri dari 18 jenis barangdagangan (Subagyo, 2007).

Selama proses pendataan, terjadikeresahan dalam diri para pedagang. Merekamenolak dipindahkan karena menganggap bahwaapa yang akan dilakukan pemerintah saat itu tidakakan berbeda dengan sebelumnya. Merekabereaksi dengan melakukan konsolidasi untukmemerkuat penolakan mereka . Denganmelakukannya secara door to door, mereka pada

akhirnya sepakat untuk menolak. Salah seorangketua paguyuban pada saat itu mengatakan:“Ketika itu, kami melakukan pertemuan terbuka dilapangan, diikuti oleh hampir setengah daripedagang yang ada, dengan kesepakatan menolakpemindahan…”.

Bersamaan dengan proses pendataan,ja jaran pejabat Kota Surakarta melakukanpendekatan kepada masyarakat secara informal.Salah satu PKL mengatakan: “..Akhirnya malam-malam pakai celana pendek, pak Jokowi tiba-tibamenyambangi kita naik motor, ya ngobrol-ngobrolatau malah bawa gorengan dan dia pergi lagi.Pernah juga malah gak pakai helm, pakai celanapendek, kaos, gak kelihatan kalau walikota.”Pendekatan secara informal lebih dapat menggalikeluhan dan keinginan para PKL. Hal yang samajuga dilakukan oleh wakil walikota dan kepalakantor PPKL.

Pelaksanaan: Membangun Komunikasidengan Para Pemangku Kepentingan

Untuk mewujudkan rencana re lokasi,pemerintah kota terus menerus melakukan upayauntuk me libatkan kepada para pemangkukepentingan. Terdapat dua pemangku kepentinganutama da lam perencanaan penataan PKLBanjarsari, yaitu pemerintah dan PKL. Dari pihakpemerintah, didalamnya terlibat hampir seluruhSatuan Kerja Perangka Daerah (SKPD) dalamPemerintah Kota Surakarta. Selain itu, pihak yangsatu suara ingin menata PKL Banjarsari adalahmasyarakat, yang diwakili oleh tokoh-tokohnya.Dari pihak PKL, terdapat Lembaga SwadayaMasyarakat (Sompis, Leskap, Patiro, Yapi, Forkot)yang menyuarakan dan memerkuat posisi PKL.Selain itu, pihak perguruan tinggi (UNS) terlibatuntuk mendukung keberhasilan program penataanPKL dengan meningkatkan kualitas PKL. PaguyubanPKL yang terlibat ada 9 paguyuban dan terlibatjuga para PKL non paguyuban. Tokoh masyarakatyang terlibat diantaranya Ketua LPMK (LembagaPemberdayaan Masyarakat Kota) Kedung Lumbu,Ketua LPMK Pasar Semanggi, dan Budayawan.

Pendekatan secara formal dilakukan melaluikonsultasi publik. Konsultasi publik yang diinisiasioleh walikota, mengundang paguyuban-paguyubanyang menaungi PKL Banjarsari, terdiri dari 10paguyuban. Dalam kartu undangan yangditandatangani oleh Walikota, tertulis perihalSilaturahmi. Terdapat sambutan yang luar biasaterhadap undangan walikota, dimana dari pihakPKL, yang menghadiri pertemuan lebih banyak dariyang diundang.

Aktivitas yang dilakukan adalah padapertemuan-pertemuan awal dengan walikotahanya berupa silaturahmi, makan, mendengarkanhiburan cokekan (semacam keroncong) ,penjelasan kondisi kota, persoalan-persoalan kota,

Page 7: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144

139‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019

dan ada pembicaraan mengenai harapan-harapanke depan tanpa melakukan pembicaraan mengenairelokasi , l a lu pulang. Karena belum adapembicaraan mengenai relokasi, waktu itu belumada reaksi dari PKL.

Pertemuan tersebut berlanjut denganpertemuan-pertemuan lain baik di Balai Kota,rumah dinas walikota maupun Kantor PPKL. Waktupertemuan dilakukan bisa pagi, siang atau malamhari . Berlangsung se lama 4-6 bulan. Yangmemimpin pertemuan kadang walikota, wakilwalikota, atau Kepala Kantor PPKL. Sekitarpertemuan ke 5, 6, 7 ada reaksi mulai ada responpenolakan. Setelah mengetahui akan dipindah,para PKL menolak dan menginginkan tetap ditatadi sekitar Monumen Banjarsari, dengan alasanlahan masih luas. Tanggal 29 Desember 2005, PKLBanjarsari melakukan pertemuan dengan walikotauntuk menyampaikan sikap penolakan. Tetapidalam pertemuan tersebut, ada perubahan sikappengurus karena walikota memberikan sosialisasiyang menjelaskan secara detail konsep dalamrelokasi tersebut. Beberapa pengurus mulaimenerima untuk direlokasi.

Tanggal 30 Desember 2005, walikotamengundang seluruh PKL Banjarsari (1000 orang)ke loji Gandrung untuk memberikan sosialisasiterhadap wacana relokasi sekaligus rencanasarana dan prasarana yang disiapkan pemkot dilokasi baru. Tawaran untuk memeroleh kios secaragratis beserta fasilitasnya (pengurusan SIUP gratis,kemudahan akses modal dari bank, pinjamanbergulir) merubah pandangan sebagian besaranggota PKL Banjarsari. Ada 3 paguyuban yangterang-terang menerima rencana tersebut.Kemudian me la lui pertemuan berikutnya ,memertimbangkan respon PKL untuk direlokasipengurus PKL Banjarsari memutuskan untukmenerima relokasi karena sebagian besar tuntutanmereka kepada pemkot diluluskan.

Pada pertemuan (kurang-lebih) ke 15, untuklebih mengefektifkan berjalannya konsultasi publiktersebut, maka dibentuk perwakilan dari masing-masing kelompok. Masing-masing kelompokmemberikan tuntutan, diantaranya: minta trayekminibus antarkota, jalan dilebarkan, promosi,publikasi, bantuan modal koperasi, jaminan tidakada PKL disana, kios gratis, bebas retribusi selama6 bulan, perijinan gratis, sampai pada tuntutanjaminan bila pindah pasti laris (tidak kehilanganpembeli), serta jaminan hidup dan minta dikirabpada waktu pindah (pindah dikawal seluruhpejabat, mereka ingin pindah secara terhormat).Tuntutan dari masing-masing kelompok yangawalnya puluhan tersebut, kemudian diperas, dankemudian semuanya dipenuhi oleh Walikota.Seperti dikatakan oleh salah seorang pegawaiSatpol PP saat itu, bahwa respon Walikota Jokowiadalah,”… semua diiyakan, tak satupun ditolak,

karena mereka berpikiran mau pindah aja sudahluar biasa artinya pemerintah tidak hanya profitoriented namun empowering, pemberdayaan…”.Dari sekian tuntutan yang dicukupi adalah: trayekminibus antarkota, jalan dilebarkan, promosi(mengik lankan Pasar K li ti kan yang khususdibangun untuk relokasi selama empat bulan ditelevisi dan media cetak lokal), bantuan modalkoperasi (lima juta rupiah per PKL), jaminan tidakada PKL disana, kios gratis, surat ijin gratis, bebasretribusi selama 6 bulan.

Analisis Proses Kolaboratif PerencanaanPenataan Pedagang Kaki Lima Banjarsaridi Surakarta

Berdasarkan kenyataan di atas, berikut iniadalah analisis terhadap proses yang terjadi padawaktu perencanaan relokasi PKL dari kawasanBanja rsari ke lokasi Semanggi , denganmenggunakan sudut pandang konsep proseskolaboratif dalam kerangka teori perencanaanberbasis komunikasi. Dari deskrips i prosespenataan PKL Banjarsari, jika dikaitkan denganproses kolaboratif menurut (Anshel dan Gash,2007; Innes & Boofer, 2000) terdapat rangkaianproses sebagai berikut: (1) Mengidentifikasipermasalahan; (2) Mengidentifikasi pemangkukepentingan; (3) Membangun kepercayaan,(4) Membangun pemahaman bersama; (5) Meng-hasilkan upaya pemecahan masalah bersama; dan(6) Membangun komitmen bersama. Dua tahappertama merupakan tahapan pra-proseskolaboratif, sedangkan empat tahap berikutnyamerupakan bagian dari proses kolaboratif. Hal inisesuai dengan definisi dari proses kolaboratif yaitusuatu proses yang membawa para pemangkukepentingan baik publik maupun swasta, ke dalamsuatu forum bersama lembaga publik, untukterlibat dalam pembuatan keputusan berorientasikonsensus (Anshel dan Gash, 2007). Empat tahapberikutnya merupakan proses kolaboratif.

Proses kolabora ti f merupakan upayamembangun komunikasi dengan para pemangkukepentingan. Para pemangku kepentingan adalahbagian dari suatu komuni tas sosial dalampermasalahan tersebut yang memerlukanpengakuan terhadap keberadaannya. Para PKLsebagai bagian utama yang akan terkena dampakadalah pemangku kepentingan utama. Merekaadalah agen dalam teori Strukturasi Giddens,bagian dari dual itas struktur, yang mampumelakukan praktik-praktik sosial secara berulangdan berkesinambungan. Komunikasi yangdilakukan antara pemerintah dengan para PKLsejalan dengan paradigma teori komunikasi, yangtidak lagi memahami subjektivitas sebagai subjekyang terisolasi, sebaliknya memahami subjektivitasdan ilmu pengetahuan sebagai hasil proses-proses

Page 8: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

140

ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499

komunikasi intersubjektif. Pengetahuan adalah hasilkonsensus dengan subjek lain. Hal ini merupakankonsep rasio komunikatif menurut Habermas.

Ada empat langkah utama yang dilakukandalam proses perencanaan penataan PKLBanjarsari, ya itu membangun kepercayaan,membangun pemahaman bersama, menyusunupaya pemecahan bersama, dan membangunkomitmen bersama. Keempat langkah tersebutdilakukan dalam suatu dialog tatap muka. Antarapara pejabat pemerintah dengan PKL dan parapemangku kepentingan lainnya.

Jika dilihat lebih dalam, langkah-langkahproses tersebut “dijiwai” oleh hasil dari dialogotentik seperti dikemukakan oleh Innes dan Booher(2000) dalam DIAD Network theory, yaitu:

adanya timbal balik, hubungan, pembelajaran, danadaptasi terhadap sistem. Misalnya dalammembangun kepercayaan, didalamnya terdapatunsur-unsur timbal balik, dalam membangunpemahaman bersama didalamnya terdapat unsur-unsur hubungan, di dalam menyusun upayapemecahan bersama muncul unsur pembelajarantermasuk kreativitas, dan dalam membangunkomitmen bersama muncul unsur-unsur adaptasiterhadap sistem.

Membangun Kepercayaan melalui UpayaMembangun Hubungan

Para PKL tidak mau dipindahkan karenamereka tidak percaya jika pemerintah memilikikepedulian terhadap nasib mereka. Berkaca darimasalah tersebut, maka pemerintah berupayauntuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.Tidak hanya saling percaya antara masyarakat danpemerintah, tetapi juga saling percaya diantaraseluruh pemangku kepent ingan. Mengakuikepedulian dan pengalaman yang mereka bagikanbersama, saling memahami, membangun empati,membangun hubungan profesional yang baru,saling menghargai, dan tidak saling berprasangka.

Terpenuhinya kriteria di atas terlihat dariha l-ha l berikut: Pihak pemerintah dan PKLmerupaya membangun empati, dengan berusahamerasakan ketika berada pada posisi di pihak lain.Pemerintah berupaya membangun mindset bahwa“PKL sahabat Pemkot”, bukan musuh yang hendakdimusnahkan. Upaya ini terlihat pada saat awalpertemuan di Loji Gandrung, tidak ada pernyataandari pihak pemerintah mengenai relokasi, karenapemerintah memahami bahwa para PKL menolakrelokasi. Pihak pemerintah menjelaskan rencanarelokasi setelah saling mengenal PKL melaluibeberapa kali undangan makan bersama. Terjadiupaya saling menghargai dan tidak berprasangkadalam proses ini. Upaya menghargai misalnyaterjadi pada saat pendataan PKL. Se lamapendataan pihak pemerintah melalui petugasKantor PPKL dan dukungan Satpol PP

memerlakukan para PKL sebagai rekan. Bahkanpara pemangku kepentingan saling mendukungsatu sama lain, tidak saling menjatuhkan.

Membangun Pemahaman Bersama melaluiTimbal Balik

Upaya membangun hubungan dilakukandengan hubungan timbal balik diantara parapemangku kepentingan, yang berarti adanya salingmemberi dan menerima diantara mereka. Hal initerlihat dalam hal, ketika proses konsultasi publik,perwakilan dari pemerintah memfasi li tas ite rjadinya di skusi dengan para perwakilanpaguyuban PKL. Mereka memerhatikan apa yangdiusulkan oleh para PKL, te rbukt i dengandisetujuinya beberapa hal yang disampaikan olehPKL. Selain itu, Organisasi kemasyarakatanmemberikan bantuan pendampingan kepada paraPKL baik saat dialog berlangsung maupun di luardia log. SOMPIS mendampingi PKL utukmenyuarakan penolakan terhadap relokasi danmenyiapkan strategi yang akan dilakukan jikaupaya penolakan gagal. Serangkaian pertemuansebanyak enam kali dil akukan untuk tetapmengawal rencana penolakan sekaligus untukkonsol idasi di basi s delapan paguyuban(Handayani, 2006). Hal lainnya adalah ketika paraPKL sudah menyepakati untuk pindah, perwakilanperguruan t inggi menjadi fas ili tator dalampengundian kios yang akan ditempati, karenamereka dianggap netral. Setelah itu, merekamemberikan pelatihan kepada para PKL yaitupelatihan manajemen bisnis. Terjadi upaya salingmenghargai dan tidak berprasangka dalam prosesini, yaitu ditandai dengan para PKL mau menghadiriundangan dari pemerintah, terbukti dari kehadiransekitar 150 orang, padahal yang diundang hanya50 orang.

Menyusun Upaya Pemecahan Bersamamelalui Proses Pembelajaran dan Kreativitas

Dalam proses perencanaan terdapat upayauntuk memecahkan permasa lahan secarabersama, melalui suatu proses pembelajarandiantara para pemangku kepentingan. Didalamnyaterdapat: (a) pembelajaran, interaksi, diskusiberkaitan dengan kepentingan, masalah, strategiyang paling mungkin; (b) melakukan brainstorm-ing, membangun skenario; (c) saling melengkapisatu sama lain mengajak peserta tidak hanyaberpikir out of the box untuk memecahkan masalah,tetapi juga membuat mereka t idak ragumengeluarkan ide-ide yang dirasa belum matang;(d) dan pembentukan kreativitas.

Dalam proses perencanaan relokasi paraPKL di Banjarsari, proses pembelajaran terjadisecara formal maupun informal. Secara formalterjadi pada saat penguatan kapasitas yangdiberikan oleh LSM, serta oleh pemerintah kota.

Page 9: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144

141‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019

Proses pembelajaran secara formal oleh LSMSOMPIS te rjadi pada saat (1) pela tihanpengembangan ekonomi produkti f yangdiselenggarakan pada tanggal 6-7 Maret 2006 diWisma Subud Tawangmangu; (2) advokasiKebijakan terhadap beberapa paguyuban PKL(Handayani, 2006).

Proses pembelajaran informal terjadi padasaat konsultasi publik di Loji Gandrung dan KantorPPKL, yang dicirikan oleh adanya perubahanpemikiran dari penolakan terhadap rencanarelokasi menjadi menyetujui rencana relokasi, yangdisebabkan adanya kejelasan alasan dan rencanayang rinci serta konsekuensi yang akan diterimaoleh para PKL jika mereka mau pindah. Disanaterjadi diskusi antara pihak pemerintah dan paraperwakilan PKL.

Para aktor yang terlibat dalam prosesperencanaan berusaha untuk saling belajar.Diantaranya, terlihat dari cara mereka menyadariketerbatasan yang dimiliki masing-masing pihak,yaitu: ketika pemerintah menawarkan pemindahanke lokasi tertentu (karena lokasi itulah yang palingmemungkinkan secara tata ruang kota danterdapat kemungkinan pengembangan yang baik),para PKL menyetujui dengan menga jukanpersyaratan tertentu yang cukup banyak. Untuklebih mengefektifkan proses pengajuan usulan daripara PKL, pemerintah menge lompokkanperwakilan PKL yang hadir, dan kemudian tiapkelompok mengerucutkan persyaratan tersebut.

Selain itu, proses pembelajaran juga terjadipada saat terjadi interaks i anta ra pe jabatpemerintah kota dengan para PKL di tempatmereka berdagang. Para pejabat tersebutmendatangi PKL untuk melakukan pendekatansecara informal, menjadikan mereka sebagaiteman, bukan sebagai “musuh” yang perlu“dihilangkan” keberadannya. Proses ini menjadikanpara pejabat dan PKL semakin saling mengenaldan PKL menjadi menyadari bahwa merekadihargai, dan pejabat kota menyadari bahwa PKLadalah bagian dari kota yang tidak akan disingkirkankeberadaannya.

Proses perencanan yang te rjadi jugamengajak peserta berpikir kreatif, dalam arti tidakhanya berpikir out of the box untuk memecahkanmasalah, tetapi juga membuat mereka tidak ragumengeluarkan ide-ide yang dirasa belum matang.Da lam proses perencanaan relokasi PKL diBanjarsari, kepemimpinan yang ada berhasilmemancing para PKL untuk berdi skusimemecahkan masalah yang ada. PKL yang hadirdalam pertemuan tidak ragu untuk mengajukanide-ide berkaitan dengan tempat baru yang akanmereka tempati. Mereka mengajukan ide untukmengantar kepergian PKL ke tempat baru melaluikirab (yang pada akhirnya oleh pihak pemerintahkota dikemas menjadi bentuk kirab budaya), serta

memberi masukan dalam hal desain bangunanseperti penempatan letak tangga, serta warna catbangunan (penuturan seorang mantan staf SatpolPP).

Membangun Komitmen Bersama melaluiProses Adaptasi

Melalui proses di atas, kemudian dihasilkankomi tmen bersama terhadap proses untukmemecahkan masalah PKL melalui penataan. Halini dicirikan dengan adanya pemaknaan bersamaterhadap permasalahan yang dihadapi, identitasbersama, adanya perubahan perilaku baru sebagaihasil pembelajaran, serta munculnya ide-idekreat if yang ditemukan dalam dialog untukkemudian menjadi praktik.

Proses adaptasi dapat dilihat dari adanyaperubahan. Pada awalnya, mereka berpandanganbahwa mereka tidak membutuhkan taman, yangmembutuhkan taman adalah orang kaya; yangmereka butuhkan adalah mereka dapat berjualandan mendapatkan keuntungan untuk kelangsunganhidup keluarga mereka. Namun setelah melakukandialog, mereka mau memahami bahwa kawasanBanjarsari bukanlah tempat yang diperuntukanuntuk mereka berdagang, berdagang di sanaadalah melanggar hukum, dan mau dipindahkandengan mengajukan persyaratan tertentu kepadapemerintah kota. Sebaliknya, pihak pemerintahkota yang sebe lumnya belum memahamisepenuhnya apa yang diinginkan oleh para PKLsehingga mereka tidak mau pindah, pada akhirnyamemahami apa yang diinginkan oleh mereka danbersedia memenuhi permintaan para PKL. Keduabelah pihak pada akhirnya memaknai secara samapermasalahan yang dihadapi.

Setelah saling memahami permasalahanyang dihadapi, maka para PKL dan pemerintah kotamenyadari bahwa mereka berada dalam posisiyang sama, harus bersama-sama untukmemecahkan permasalahan penataan Banjarsari.Pemerintah sebaga i ini sia tor melakukanpendekatan yang dapat menggugah nuranimasyarakat untuk mau bekerja sama. Mereka yangpada awa lnya menolak, pada akhirnyaberkomitmen sepakat untuk melaksanakan. Dia-log yang dilakukan telah mampu mengembangkansikap dan perilaku baru, dimana para PKL maumendengarkan dan mau mencari kemanfaatanbersama dari upaya penataan PKL kawasanBanja rsari te rsebut . Terjadi perubahanpandangan/sikap dari yang tadinya menentangmenjadi menyetujui, meskipun ada yang merasaawalnya terpaksa.

Ide-ide yang muncul dari para PKL mampudiwujudkan oleh pemerintah kota, baik dalam halpromosi, kepemilikan kios gratis, bahkan sampaikirab budaya yang telah menarik perhatian banyak

Page 10: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

142

ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499

pihak. Ide-ide te rsebut hampir semuanyadiakomodir oleh pemerintah kota.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwaproses kolaboratif pada perencanaan penataan PKLBanjarsari te lah te rjadi . Dengan demikianmeskipun masyarakat berada pada kondisi tingkatpartisipasi, kompetensi, dan kesetaraan kekuasaanrendah, namun proses kolaboratif berjalan.

Proses kolaboratif yang terjadi adalah prosesyang terjadi melalui dialog tatap muka dan dijiwaioleh hasil dialog otentik seperti yang dikemukakanoleh Innes dan Booher. Dialog tatap muka tidakmenjadi bagian dari tahapan proses kolaboratif,tetapi dialog tatap muka terjadi dalam setiaptahapan yang dilalui (Gambar 5). Hal inilah yangmembedakan hasil penelitian ini dengan modelproses kolaboratif Collaborative Governance Modelyang dikemukakan oleh Ansell dan Gash (2007).

Simpulan dan Saran

Proses kolaboratif merupakan bagian takterpisahkan dari perencanaan berbasis komunikasi,yang terdiri dari beberapa tahap dan terdapat dia-log otentik didalamnya. Proses ini memerlukanpartisipasi tinggi, kesetaraan kekuasaaan, danpara aktor yang kompeten. Kondisi ideal ini terlihatsulit terjadi pada masyarakat yang memiliki tingkatpartisipasi rendah, ketidaksetaraan kekuasaan, dankompetensi yang redah. Namun hasil penelitian inimemerlihatkan bahwa proses kolaboratif telahterjadi pada masyarakat dengan tingkat partisipasirendah, adanya ketidaksetaraan kekuasaan,kompetensi rendah. Proses ini dimulai denganmembangun kepercayaan melalui hubungan,membangun pemahaman bersama melalui timbalbalik, memecahkan masalah melalui pembelajar-an, dan membangun komitmen untukmengimplementasikan pemecahan masalahmelalui adaptasi terhadap sistem. Serangkaiantahapan tersebut terjadi melalui suatu prosesdialog tatap muka. Dengan demikian, dialog tatapmuka bukan merupakan bagian dari tahapan,

tetapi terjadi pada semua tahapan. Artikel ini jugamenemukan bahwa proses kolaboratif dapatterjadi pada masyarakat demikian karena adanyaperan kepemimpinan. Kepemimpinan tersebutmampu memotivasi dan membawa mereka kedalam proses kolaboratif, membuat mereka terlibataktif, meningkatkan tingkat partisipasi, sertameningkatkan kemampuan komunikasi dansubstansi dengan cara memotivasi mereka untukmembicarakan apa yang mereka butuhkan.

Kontribusi penelitian ini terhadap teoriperencanaan berbasis komunikasi khususnyadalam kerangka proses kolaboratif adalah bahwadialog tatap muka yang dijiwai oleh dialog otentik,bukan merupakan salah satu tahapan proses,tetapi mewarna i seluruh tahapan proseskolaboratif. Hal ini merupakan kontribusi penelitianini terhadap proses kolaboratif dalam modelCollaborative Governance yang dikembangkanoleh Ansell dan Gash (2007) serta memberikankontribusi da lam menambah pengetahuanterhadap DIAD Network Theory dalam konteksproses kolaboratif.

Daftar Pustaka

Banfield, E.C. (1959) Ends and Means in Planningdalam Andreas Faludi (ed.) A Reader in Plan-ning Theory (1973), pp 139-149., PergamonPress Ltd, Oxford.

Beckman, Norman. (1964). The Planner as a Bu-reaucrat dalam Andreas Faludi (ed.) A Readerin Planning Theory (1973), pp 251-264.,Pergamon Press Ltd, Oxford.

Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry andResearch Design; Choosing among Five Tra-dition, Sage Pub, California.

Creswell, John W. (2009). Reseach Design: Quali-tative, Quantitative, and Mixed Methods Ap-proaches, 3rd ed., Sage Pub. Inc., California.

Membangun kepercayaan (1) -> hubungan

Membangun pemahaman bersama (2)

Menyusun pemecahan masalah bersama (3)

-> pembelajaran

Membangun komitmen bersama (4)

-> adaptasi

Dialog tatap muka

Proses kolaboratif

Gambar 5 Proses Kolaboratif terjadi melalui dialog tatap muka dengan dijiwai hasil dialog otentik

Page 11: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

MIMBAR, Vol. 29, No. 2 (Desember, 2013): 133-144

143‘Terakreditasi’ SK Kemendikbud, No.040/P/2014, berlaku 18-02-2014 s.d. 18-02-2019

Davidoff, Paul. (1965). Advocacy and Pluralism inPlanning dalam Andreas Faludi (ed.) A Readerin Planning Theory (1973), pp. 277-296.,Pergamon Press Ltd, Oxford.

De Roo, Gert. dan Porter, Geoff. (2007). FuzzyPlanning, The Role of Actors in a Fuzzy Gov-ernance Environment, Ashgate Publ. Limited,Hampshire.

Denzin, Norman K. dan Lincoln Yvonna S. (2009).Hand book of Qualitative Research, Dariyatnodkk. (penerjemah), Pustaka Pe lajar,Yogyakarta.

Dyckman, John W. (1973). What makes Planner’sPlan? dalam Andreas Faludi (ed.) A Reader inPlanning Theory, pp. 243-250., PergamonPress Ltd, Oxford.

Etzioni, Amitai. (1967). Mixed Scanning: A ThirdAppriach to Decision Making dalam AndreasFaludi (Ed.) A Reader in Planning Theory(1973), pp. 217-229., Pergamon Press Ltd,Oxford.

Faludi, Andreas (Ed.) A Reader in Planning Theory(1973). Pergamon Press Ltd, Oxford.

Forester, John. (1989). Planning in the Face ofPower, The Univ. of California Press, Califor-nia.

Forester, John. (2000). The Deliberative Practitio-ner Encouraging Participatory Planning Pro-cesses, 2nd printing, Massachusetts Instituteof Technology, London.

Friedmann, John. (1987). Planning in the PublicDomain: From Knowledge to Action, PrincetonUniv. Press, New Jersey.

Friedman, John. (2011). Insurgencies, Essay inPlanning Theory. Routledge, London and NewYork.

Graham, S. dan Healey, P. (1999) : Relational Con-cepts of Space and Place: Issues for PlanningTheory and Practice, European Planning Stud-ies, 7(5), pp. 623-646.

Habermas, Jurgen. (2009). Teori T indakanKomunikat if, Rasio dan Rasionali sas iMasyarakat, Nurhadi (Penerjemah), buku ke-1, cetakan ke-3., Kreasi Wacana, Bantul.

Handayani, Suci. (2006). Merajut Harapan MenujuPerubahan, KOMPIP Solo, Solo.

Healey, Patsy. (2006). Collaborative Planning,Shaping Places in Fragmented Societies, 2nd

ed. Palgrave Macmillan, New York.

Innes, J.E. dan Booher, D.E. (2010). Beyond Col-laboration Democratic Governance for a Re-silient Society dalam Planning with Complex-

ity, An Introduction to collaborative rationalityor public policy, pp 196-215., Routledge, Oxon.

Pemerintah Kota Surakarta. (2008). Empoweringthe Informal Sector (Street Vendors Manage-ment), Proceedings of Dubai InternationalAward dengan kategori for Best Practices toImprove the Living Environment, Dubai.

Pemerintah Kota Surakarta. (2012). Surakartadalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik KotaSurakarta, Surakarta.

Subagyo, P. (2007). Memboyong 989 PKL, BadanInformasi dan Komunikasi Pemerintah KotaSurakarta, Surakarta.

Sufianti, E. (2013). The Role of TraditionalLeadershipin Col laborat ive Processes:Javanese Leadership Case, dalam de Vries andBouckaert (Ed.), Training for Leadership,pp121-134. Bruylant, Bruxelles.

Woltjer, Johan. (2000). Consensus Planning, Therelevance of Communicative Planning Theoryin Dutch Infrastructure Development, AshgatePubl. Limited., Hampshire.

Yin, Robert K. (2009). Case Study Research, De-sign and Methods, 4th ed., Aplied Social Re-search Methods, 5, Oaks, Sage Inc, Califor-nia.

Pustaka dari Situs Internet:

Akadun. (2011). Revitalisasi Forum Musrenbangsebagai Wahana Parttisipasi Masyarakatdalam Perencanaan Pembangunan, MIMBAR,Jurnal Sosial dan Pembangunan, Vol. XXVII,No.2 (Desember 2011): hal . 183-191‘Terakreditasi’ SK Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010. http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/327. Diunduh padatanggal 8 September 2013

Ansell, C. dan Gash, A., (2007). CollaborativeGovernance in Theory and Practice, Journalof Publik Administration Research and Theory,18:543-571., doi: 10.1093/jopart/mum032First published, November 13, 2007. Diunduhpada tanggal 26 Oktober 2010.

Djoe ffan, S. (2002) . Strategi Parti sipas iMasyarakat dalam Perencanaan Pembangunandi Indonesia. MIMBAR, Jurnal Sosial danPembangunan, 18, mar. <http:/ /ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/ar-ticle/view/63>. Diunduh pada tanggal 18Januari 2014.

Hardiman, F. B. (2008). Teori Dikursus danDemokrasi: Peralihan dari Habermas ke dalam

Page 12: Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi

144

ELY SUFIANTI, DKK. Proses Kolaboratif dalam Perencanaan Berbasis Komunikasi pada Masyarakat Nonkolaboratif

ISSN 0215-8175 | EISSN 2303-2499

Filsafat Politik, Diskursus, vol 17 no 1, April2008: 1-27., http://www.diskursus.com/index.php/tema-diskursus/47-vol-7-no-1-april-2008/82-teori-diskursus-dan-demokrasi-peralihan-habermas-ke-dalam-filsafat-politik.Diunduh pada tanggal 19 Nopember 2011.

Innes, J.E. (1996). Planning Through ConsensusBuilding, a New View of Comprehensive Plan-ning Ideal, Journal of American Planning As-sociation Vol. 62 Issue 4. http://www.cip-icu.ca/_CMS/Fi les/Innes,%20Judi th.pdf.Diunduh pada tanggal 13 Desember 2010.

Innes, J.E. (1998). Information in communicativeplanning, American Planning Association.Journal of the American Planning Association,1:64., ABI/INFORM Global . http:/ /www.tandfonline.com/doi/pdf/10. Diunduhpada tanggal 27 Oktober 2011.

Innes, J.E. dan Booher, D.E. (2000). CollaborativeDialogue as a Policy Making Strategy, Insti-tute of Urban and Regional Development UCBerke ley, IURD Working Paper, ht tp:/ /escholarship.org/uc/item/8523r5zt. Diunduhpada tanggal 13 Desember 2010.

Innes, J.E. & Booher, D.E. (2002). Network Powerin Collaborative Planning, Journal of Planning

Education and Research, 21:221-236., Asso-ciation of Collegiate Schools of Planning. http://escholarship.org/uc/ item/2mm270mp .Diunduh pada tanggal 30 Oktober 2011.

Sager, T. (2005). Communicative Planners asNaïve Mandarins of Neo-liberal State?, Euro-pean Journal of Spatial Development, ISSN1650-9544. http://www.nordregio.se/EJSD/.Diunduh pada Desember 2010.

Umar, Musni. (2011). Partisipasi Masyarakat Solodan Demokrasi (Bagian ke IV) , ht tp:/ /musniumar.wordpress.com/2011/03/07/dr-musni-umar-partisipasi-masyarakat-solo-dan-demokrasi-bagian-ke-iv/ . Diunduh padatanggal 26 Desember 2011.

Widianingsih, Ida. (2005). Local Governance, De-centralization and Participatory Planning inIndonesia: Seeking a New Path to a Harmoni-ous Society, Makalah dipresentasikan padaWorkshop on Enlarging Citizen Participationand Increasing Local Autonomy in AchievingSocietal Harmony Workshop, Network of Asia-Pacific Schools and Institutes of Public Admin-istration and Governance (NAPSIPAG) AnnualConference 2005., http://www.ehs.unu.edu/file/get/9998.pdf. Diunduh pada tanggal 13Desember 2011.