12
PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET WISATA DI KABUPATEN LANGKAT Meyga Fitri Handayani Nasution 1) , Dharma Widya 2) 1 Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Medan email: [email protected] 2 Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Medan email: [email protected] Abstract Tanjung Pura formerly was the capital Malay Sultanate of Langkat which stores a various objects cultural heritage of Malay Sultanate and colonial of Dutch. Diversity of objects of cultural heritage in Tanjung Pura as the building of historic buildings and relics of the colonial of Dutch and Sultanate Malay is potentially as a tourist asset in the town of Tanjung Pura, for it is need conservation efforts to Tanjung Pura will not only the course of history after all. Specific target of the research is the preservation area of Tanjung Pura so it will be architecture tourism assets and culture at Malay land of Langkat. The results of research in the form of concept design, concept preservation, design of draft regional and documentation such as photograph and historic buildings pictures by using the design program will be proposed to the tourism agency that assists in the planning of preservation area Tanjung Pura. The methods used in this study are to conduct a direct observation in Tanjung Pura, create zones of areas and take sample some of the historic buildings in every zones. The measurement is performed, making sketches and documentation for a sample of historical buildings in every zone of the region. Results of measurements and sketches in the field will be represented by using the design program, make analysis and design concept for the area that wish to become tourist attractions and make the draft nature conservation areas and historic buildings. Keywords: City Of Tanjung Pura, Preservation, Tourism Architecture 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu tentang pelestarian kawasan bersejarah terutama kota-kota tua saat ini sudah banyak dilakukan oleh beberapa negara di dunia, seperti negara Jepang, Belanda, Singapore, dan negara-negara lainnya. Contohnya negara Singapore yang awalnya mengganti bangunan-bangunan dan kawasan bersejarah dengan wujud baru dengan masuknya modernisasi, tetapi kurangnya minat wisatawan datang ke Singapore membuat pemerintah sadar untuk mengembalikan wajah kota bersejarah tersebut sehingga muncullah beberapa kawasan seperti Kampung Melayu, Little India, dan China Town di Singapore. Sehingga saat ini obyek wisata di Singapore berupa bangunan kuno, pasca modern dan modern. Di Indonesia sendiri beberapa kota sudah menerapkan pelestarian kawasan- kawasan bersejarah maupun bangunan- bangunan bersejarah yang dianggap sebagai cagar budaya arsitektur, seperti di kota Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, dan saat ini di ikuti beberapa kota lainnya di Indonesia, seperti Samarinda, Donggala, Surakarta dan kota lainnya, bahkan sampai ke kota-kota kecil yang ada di Indonesia. Kawasan dan bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Indonesia bukan saja bangunan- bangunan yang ditinggalkan oleh Belanda, tetapi ada pula yang merupakan peninggalan- peninggalan dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia, termasuk didalamnya adalah rumah adat. Jadi cagar budaya arsitektur di Indonesia sangat beragam, dari peninggalan kolonial Belanda, peninggalan kerajaan berupa candi-candi, istana, tempat ibadah, bangunan tradisional seperti rumah adat tiap daerah di Indonesia, dan terdapat pula bangunan-bangunan yang bercirikan etnis tertentu seperti China, Arab dan India. Kawasan dan bangunan bersejarah di Indonesia tidak saja ditemui di kota-kota besar tetapi banyak juga ditemui di kota-kota

PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET WISATA

DI KABUPATEN LANGKAT

Meyga Fitri Handayani Nasution1), Dharma Widya2)

1Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Medan

email: [email protected] 2Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Medan

email: [email protected]

Abstract

Tanjung Pura formerly was the capital Malay Sultanate of Langkat which stores a various

objects cultural heritage of Malay Sultanate and colonial of Dutch. Diversity of objects of cultural

heritage in Tanjung Pura as the building of historic buildings and relics of the colonial of Dutch

and Sultanate Malay is potentially as a tourist asset in the town of Tanjung Pura, for it is need

conservation efforts to Tanjung Pura will not only the course of history after all.

Specific target of the research is the preservation area of Tanjung Pura so it will be

architecture tourism assets and culture at Malay land of Langkat. The results of research in the

form of concept design, concept preservation, design of draft regional and documentation such as

photograph and historic buildings pictures by using the design program will be proposed to the

tourism agency that assists in the planning of preservation area Tanjung Pura.

The methods used in this study are to conduct a direct observation in Tanjung Pura, create

zones of areas and take sample some of the historic buildings in every zones. The measurement is

performed, making sketches and documentation for a sample of historical buildings in every zone of

the region. Results of measurements and sketches in the field will be represented by using the design

program, make analysis and design concept for the area that wish to become tourist attractions and

make the draft nature conservation areas and historic buildings.

Keywords: City Of Tanjung Pura, Preservation, Tourism Architecture

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isu tentang pelestarian kawasan

bersejarah terutama kota-kota tua saat ini

sudah banyak dilakukan oleh beberapa negara

di dunia, seperti negara Jepang, Belanda,

Singapore, dan negara-negara lainnya.

Contohnya negara Singapore yang awalnya

mengganti bangunan-bangunan dan kawasan

bersejarah dengan wujud baru dengan

masuknya modernisasi, tetapi kurangnya

minat wisatawan datang ke Singapore

membuat pemerintah sadar untuk

mengembalikan wajah kota bersejarah

tersebut sehingga muncullah beberapa

kawasan seperti Kampung Melayu, Little

India, dan China Town di Singapore.

Sehingga saat ini obyek wisata di Singapore

berupa bangunan kuno, pasca modern dan

modern.

Di Indonesia sendiri beberapa kota

sudah menerapkan pelestarian kawasan-

kawasan bersejarah maupun bangunan-

bangunan bersejarah yang dianggap sebagai

cagar budaya arsitektur, seperti di kota

Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, dan

saat ini di ikuti beberapa kota lainnya di

Indonesia, seperti Samarinda, Donggala,

Surakarta dan kota lainnya, bahkan sampai ke

kota-kota kecil yang ada di Indonesia.

Kawasan dan bangunan-bangunan bersejarah

yang ada di Indonesia bukan saja bangunan-

bangunan yang ditinggalkan oleh Belanda,

tetapi ada pula yang merupakan peninggalan-

peninggalan dari kerajaan-kerajaan yang

pernah ada di Indonesia, termasuk

didalamnya adalah rumah adat. Jadi cagar

budaya arsitektur di Indonesia sangat

beragam, dari peninggalan kolonial Belanda,

peninggalan kerajaan berupa candi-candi,

istana, tempat ibadah, bangunan tradisional

seperti rumah adat tiap daerah di Indonesia,

dan terdapat pula bangunan-bangunan yang

bercirikan etnis tertentu seperti China, Arab

dan India. Kawasan dan bangunan bersejarah

di Indonesia tidak saja ditemui di kota-kota

besar tetapi banyak juga ditemui di kota-kota

Page 2: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

kecil seperti kabupaten dan kecamatan, salah

satunya adalah kota Tanjung Pura.

Kota Tanjung Pura dahulunya

merupakan ibukota Kesultanan Melayu

Langkat. Sebagai ibukota Kesultanan Melayu

Langkat, Tanjung Pura tentunya dulu

memiliki sarana pra sarana pemerintahannya

sendiri, seperti istana, balai pertemuan, balai

peradilan, penjara, rumah raja, masjid,

sekolah, dan lain-lain. Selain itu masuknya

beberapa etnis di Tanjung Pura seperti Arab

dan India yang bertujuan untuk berdagang

dan menyebarkan agama Islam, muncul

bangunan ibadah, lalu masuknya etnis China

sehingga muncul pertokoan dan tempat

ibadah, dan masuk juga Belanda ke kota

Tanjung Pura sehingga muncul rumah-rumah

Belanda dan kantor-kantor pemerintahan dan

fasilitas umum seperti rumah sakit dan kantor

pos. Saat ini kawasan dan bangunan-

bangunan bersejarah di Tanjung Pura

sebagian masih difungsikan seperti awalnya,

tetapi sebagian telah beralih fungsi, bahkan

sebagian bangunan-bangunan tersebut banyak

yang rusak tidak terawat bahkan hilang.

Semua kawasan dan bangunan-bangunan di

masa Kesultanan Melayu dan Kolonial

Belanda merupakan peninggalan bersejarah

yang terdapat Tanjung Pura dan layak untuk

dilestarikan.

Seperti yang telah dijelaskan di atas

bahwa pertumbuhan Kota Tanjung Pura

selain dipengaruhi oleh Belanda juga banyak

dipengaruhi oleh beberapa etnis pendatang,

seperti China (Tionghoa), Arab, dan India.

Hal ini dapat dilihat dari arsitektur yang

terdapat di Kota Tanjung Pura, tidak hanya

bercirikan Melayu tetapi banyak juga

bangunan dengan ciri arsitektur China, Arab

dan India, termasuk juga bercirikan kolonial

Belanda, dalam berarsitektur Belanda sangat

memperhatikan budaya dan kondisi setempat,

jadi wujud bangunan yang ada selalu

memasukan ciri budaya lokal, seperti

penggunaan atap tajuk dan ornamen Melayu

pada bangunannya. Jadi jika dilihat dari ciri-

ciri bangunan dibeberapa kawasan Tanjung

Pura diperkirakan bahwa adanya pembagian

wilayah dari kota berdasarkan etnis tersebut,

seperti adanya kawasan Melayu, kawasan

China, dan kawasan kolonial Belanda.

Keberagaman budaya yang terdapat di Kota

Tanjung Pura menjadikan kota ini sebagai

kota budaya. Selain itu Tanjung Pura juga

dijuluki dengan kota pendidikan, hal ini

dikarenakan beberapa tokoh nasional seperti

Tengku Amir Hamzah dan Adam Malik

pernah menimba ilmu di bumi Melayu

Langkat ini. Dan sampai saat ini pendidikan-

pendidikan bernuansa Islam masih tumbuh

berkembang di Tanjung Pura.

Kondisi saat ini bangunan-bangunan

peninggalan Kesultanan Melayu Langkat

perlahan-lahan mulai hilang. Satu per satu

bangunan rusak dan dirobohkan untuk

menghadirkan bangunan baru yang lebih

modern. Kondisi ini sangat memprihatikan

mengingat kota ini memiliki cagar budaya

yang sangat berpotensi bila dikembangkan

akan menjadi aset daerah.

Untuk itu perlu adanya perhatian

khusus untuk cagar budaya yang terdapat di

Tanjung Pura ini seperti melakukan

pelestarian kawasan dan bangunan-bangunan

guna untuk melindungi, merawat,

mempertahankan dengan cara membuat

konsep penataan dan perawatan yang baik

sehingga nantinya Tanjung Pura dapat

menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun

manca negara untuk datang ke kota ini.

Selain itu perlu melakukan pendataan

dan pendokumentasian dari tiap-tiap

bangunan bersejarah yang masih ada gunanya

untuk refrensi bagi para wisatawan dan juga

untuk pendidikan sejarah bagi generasi

penerus bangsa agar tidak melupakan sejarah

bangsanya. Selain itu diharapkan hasil

penelitian ini nantinya dapat digunakan oleh

pemerintah setempat sebagai acuaan dalam

melakukan pelestarian dan perawatan

kawasan dan bangunan cagar budaya yang

ada di Tanjung Pura.

1.2 Rumusan Permasalahan

Pelestarian merupakan suatu upaya

perlindungan, pengembangan dan

pemanfaatan bangunan atau lingkungan

konservasi yang mendayagunakan benda-

benda cagar budaya untuk kepentingan

agama, sosial, ekonomi, pariwisata,

pendidikan, ilmu pengetahuan, dan

kebudayaan. Wilayah yang ditetapkan sebagai

benda cagar budaya mutlak ditetapkan untuk

kepentingan perlindungan dan pemanfaatan,

yang terdiri dari mintakatkan inti, penyangga

dan pengembangan. Jika berbicara tentang

pelestarian suatu kawasan dan bangunan tidak

terlepas dari pengguna bangunan yang

Page 3: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

dilestarikan dan juga pemerintah daerah.

Sehingga ada beberapa permasalahan yang

akan dihadapi dalam pelestarian ini, yaitu :

a. Bagaimana memberi masukan kepada

pemerintah daerah setempat tentang

pentingnya dilakukan pelestarian

kawasan dan bangunan-bangunan

bersejarah di Tanjung Pura sebagai

cagar budaya yang mampu

mendatangkan income dengan

memberikan konsep pelestarian berupa

desain rancangan pelestarian.

b. Bagaimana merancang satu kawasan

wisata arsitektur dan budaya di jalan

utama Tanjung Pura yang merupakan

jalan lintas Sumatera, perlu

perencanaan sirkulasi alternatif

kendaraan untuk lintas Sumatera.

2. KAJIAN LITERATUR

2.1 Citra Kota

Sebuah kota adalah gambaran bersama

dari apa yang disajikan dari realitas fisik kota.

Menurut analisis Lynch (1973) image atau

citra kota dibagi menjadi lima elemen yaitu:

a. Pathways (jalur): merupakan jalur-

jalur sirkulasi yang digunakan oleh

orang untuk melakukan pergerakan.

b. Districts (kawasan): bagian kota yang

indah dikenal / sebuah kota yang

terdiri dari lingkungan bagiannya.

c. Edges (tepian): pengakhiran dari

sebuah distrik, juga merupakan

peralihan dari suatu tempat dengan

aktivitas yang berbeda. Apabila dua

distrik dihubungkan pada edge maka

terbentuklah sebuah seam sebuah area

hingga mungkin menjadi suatu

penghubung untuk dua buah

lingkungan.

d. Landmark (tengeran): elemen-elemen

yang menonjol dari elemen

disekitarnya yang mudah dilihat atau

diingat oleh orang-orang.

e. Nodes (simpul): pusat aktivitas, nodes

merupakan bagian dari landmark

tetapi berbeda dari landmark karena

fungsinya yang giat.

2.2 Karakter Fisik Kawasan

Menurut Trancik (1986) untuk

mengetahui bentuk arsitektural dari sebuah

kawasan, dapat diketahui dari tiga teori dalam

perancangan kota yaitu figure ground,

linkage, dan place. Ketiga teori tersebut

sebagai alat yang berguna untuk menelusuri

bangunan atau kawasan yang pernah eksis

dalam cerita sejarah.

a. Figure Ground : merupakan poin

awal dalam memahami suatu bentuk

arsitektural kawasan. Analisis figure

ground ini merupakan alat yang kuat

untuk mengidentifikasi tekstur dan

pattern (pola) dari suatu urban fabric.

Pola kawasan secara tekstural dapat

diklasifikasikan menjadi 3 kelompok

(Zahnd, 1999: 80) :

• Susunan kawasan yang bersifat

homogen dengan suatu pola

penataan

• Susunan kawasan yang bersifat

heterogen dengan dua atau lebih

pola berbenturan

• Susunan kawasan yang bersifat

menyebar dengan kecenderungan

kacau

b. Linkage

Menurut Shirvani (1985), linkage

menggambarkan keterkaitan elemen

bentuk dan tatanan massa bangunan,

dimana pengertian bentuk dan tatanan

massa bangunan tersebut akan

meningkatkan fungsi kehidupan dan

makna dari tempat tersebut.

2.3 Konservasi

Secara umum, konservasi dipahami

sebagai upaya untuk melestarikan,

melindungi, menjaga dan memelihara benda

cagar budaya serta lingkungan binaan

sehingga makna dari tempat tersebut dapat

dipertahankan. Bahkan dalam arti yang luas

konservasi mencakup secara kulturan dimana

objek tersebut berada. Undang-undang

tentang benda cagar budaya sendiri

menjelaskan bahwa benda yang berumur

lebih dari 50 tahun yang memiliki tolak ukur

kelangkaan, kesejarahan, estetika,

superlativitas dan kejamaakan dapat

dikategorikan sebagai benda cagar budaya

yang dapat di konservasi.

Konservasi sebagai sebuah disiplin

ilmu dari arsitektur yang amat luas.

Pengertian konservasi tidak terbatas pada

pelestarian suatu bangunan atau lingkungan

binaan semata, konservasi memiliki

pengertian yang luas, meliputi berbagai

Page 4: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

tindakan dan upaya berkaitan dengan

penyelamatan bangunan bersejarah.

Menurut Catanese, J.C dan Synder dan

(1979) dalam buku Konservasi Laporan KKL

Singapura 2000 (Andreas Didik. S, dkk) ada 6

tolak ukur untuk mengkaji suatu bangunan

atau lingkungan binaan (konservasi), yaitu :

a. Estetika (ditekankan pada nilai estetis

dan aritektural yang tinggi dalam hal

bentuk, struktur, tata ruang dan

ornamenya).

b. Kejamakan (ditekankan pada

seberapa jauh karya arsitektur

tersebut mewakili suatu ragam atau

jenis spesifik khusus).

c. Kelangkaan (suatu benda yang sangat

langka, tidak dimiliki oleh daerah

lain),

d. Kesejarahan (tempat suatu peristiwa

yang sangat penting).

e. Memperkuat kawasan didekatnya

(bangunan atau lingkungan perkotaan

yang mempunyai investasi

didalamnya akan meningkatkan citra

dan kualitas kawasan didekatnya).

f. Keistimewaan (mempunyai

keistimewaan yang tidak dimiliki

oleh bangunan atau bagian kota lain,

misalnya terpanjang, tertua, yang

pertama, tertinggi dan lain

sebagainya).

Menurut James Semple Kerr (1983)

dalam buku Konservasi Laporan KKL

Singapura 2000 (Andreas Didik. S, dkk)

menambahkan 3 tolak ukur lainnya, yaitu:

a. Nilai sosial (untuk bangunan-

bangunan yang bermakna untuk

masyarakat banyak).

b. Nilai komersial (sehubungan dengan

peluangnya untuk dimanfaatkan bagi

kegiatan ekonomis).

c. Nilai ilmiah (berkaitan dengan

peranan pendidikan dan

pengembangan ilmu).

2.4 Prinsip-Prinsip Konservasi

Tindakan konservasi memiliki

prinsip-prinsip dasar yang harus terlebih

dahulu dipahami agar nantinya akan

memberikan hasil yang baik dan dalam hal ini

Feilden memberikan istilah coherence, atau

hasil yang akan memiliki kontinuitas dengan

lingkungan urban dimana obyek itu berada.

Prinsip dasar konservasi sebagaimana

diungkapkan oleh Feilden adalah:

a. Konservasi dilandasi atas penghargaan

terhadap keadaan semula dari suatu

tempat dan sesedikit mungkin

melakukan intervensi fisik

bangunannya, supaya tidak mengubah

bukti-bukti sejarah yang dimilikinya.

b. Maksud konservasi adalah untuk

menangkap kembali makna kultural

dari suatu tempat dan harus bisa

menjamin keamanan dan

pemeliharaannya di masa datang.

c. Konservasi disuatu tempat harus

mempertimbangkan segenap aspek

yang berkaitan dengan makna

kulturalnya, tanpa menekankan pada

salah satu aspek saja dengan

mengorbankan aspek lainnya.

d. Suatu bangunan atau hasil karya

bersejarah harus tetap berada pada

lokasi historisnya. Pemindahan

seluruh atau sebagian dari suatu

bangunan tidak diperkenankan kecuali

bila hal itu merupakan satu-satunya

jalan untuk menjaga kelestariannya.

e. Kebijakan konservasi yang sesuai

untuk suatu tempat harus didasarkan

pada pemahaman terhadap makna

kultural dan kondisi fisik bangunnya.

2.5 Nilai-Nilai Konservasi

Konservasi haruslah menekankan dan

memberikan perhatian pada peningkatan

nilai-nilai kultural masyarakatnya (cultural

property). Nilai-nilai kultural yang terdapat

dalam konservasi menurut Feilden adalah :

a. Nilai Emosional

Nilai emosional mencakup

keindahan, kontinuitas, identitas,

spritual dan simbolik serta hal-hal

emosional yang menakjubkan.

b. Nilai Kultural

Nilai-nilai kultural berkaitan dengan

dokumentasi, kesejarahan,

arkeologikal, bagian dari kota, land

scape atau ekologi, teknologi dan

ilmu pengetahuan.

c. Nilai guna (use value)

Nilai guna meliputi kegunaan,

ekonomi, sosial, politik dan etnik.

Dalam tindakan konservasi.

Ketiga nilai diatas haruslah

Page 5: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

memperoleh perhatian secara

proporsional, tindakan konservasi

haruslah meliputi baik nilai emosional,

kultural dan juga nilai ekonomi (use

value) untuk mendapatkan totalitas

hasil bagi komunitas dimana obyek

konservasi berada.

2.6 Sejarah Kota Tanjung Pura

Sejarah kota Tanjung Pura tidak

terlepas dari sejarah Kesultanan Langkat yang

berdiri pada tanggal 12 Rabiul Awal 1163 H

(17 Agustus 1750). Pada tahun 1870 Raja

Tengku Musa menjadi raja Kerajaan Langkat

menggantikan ayahnya Raja Ahmad. Ketika

itu, beliau memindahkan ibukota Kerajaan

Langkat ke Kota Pati. Beliau memerintah di

Istana pertama beliau di Istana Rumah Putih

dengan wilayahnya dari Binjai sampai dengan

Tamiang. Di Kota Pati, Raja Musa

mempersiapkan penerusnya yaitu anak

bungsunya Pangeran Tengku Abdul Aziz.

Pangeran Tengku Hamzah lalu memisahkan

diri dari Istana Darul Aman dan membangun

kediamannya sendiri dekat dengan Pekan

Kota Pati. Kejadian ini sungguh menjadi

perhatian rakyat sehingga Pangeran Tengku

Hamzah disebut Pangeran Tanjung. Sebutan

ini diberikan karena kediaman Pangeran ini

berada di Tanjung Sungai, antara sungai

Batang Durian (Sungai Mati) dengan sungai

Batang Serangan. Kemudian didekat rumah

Pangeran Hamzah terdapat Gapura (pintu

Gerbang) ke kota ke Pekan Kota Pati, di

tepiannya terdapat sungai Batang Durian

tempat anak-anak bangsawan mandi di

sungai. Selanjutnya kota Pati berubah nama

menjadi Tanjung Pura diambil dari sebutan-

sebutan itu tadi.

Menurut Laporan John Anderson

selaku wakil Inggris di Penang pada masa

Raja Tengku Musa, Kerajaan Langkat

berkembang pesat dalam segi ekonominya

yaitu dalam sektor perkebunan dan hasil

hutan yang sangat menguntungkan seperti

rotan, damar, rotan, lilin, buah-buahan hutan,

gambir, emas (dari Bahorok), gading,

tembakau dan beras. Bahkan ekspor Lada

Langkat ke Penang dan Singapure mencapai

20.000 pikul (±800.000 kg). Sehingga rakyat

hidup makmur dan yang bagi rakyat yang

kurang mampu Raja memberi santunan serta

hak dan pinjam pakai tanah perladangan. Raja

Tengku Musa juga mendirikan Istana barunya

tak jauh dari Istana Kota Pati (Rumah

Maktab) yang diberi nama Istana Darul Aman

bergaya Arab dan Melayu.

Pada tahun 1875 Raja Tengku Musa

mendatangkan Syekh Abdul Wahab dari

Rokan, Siak-Riau. Syekh Abdul Wahab

bersama Raja Tengku Musa kemudian

mendirikan Pesantren di daerah Babusalam di

seberang Kota Tanjung Pura. Pesantren

menjadi pusat Dakwah Tariqat

Naqsabandiyah dan daerahnya diberinama

Babusalam. Pesantren ini menjadi pusat

pendidikan dakwah Islam pertama di Sumatra

Timur. Oleh Syekh Abdul Wahab, Raja

Tengku Musa diberi gelar Khalifah karena

jasanya terhadap penyebaran Islam di tanah

Langkat dan Sumatra Timur.

Pada tahun 1877 dengan diakuinya

kesultanan Langkat oleh Belanda dan

Kesultanan Siak. Oleh karena itu, Kerajaan

Langkat berubah menjadi Kesultanan Langkat

dan Raja Tengku Musa diberi gelar Sultan

Tengku Musa al Muazzamsyah.Di era

pemerintahan kolonial Belanda, Kesultanan

dibagi dalam dua bentuk pemerintahan yakni

pemerintahan tradisional kesultanan yang

dipimpin oleh Sultan di Tanjung Pura dan

pemerintahan Kolonial Belanda yang

dipimpin oleh Asissten Residen yang

berkedudukan di kota Binjai. Kedua

pemerintahan baik Sultan selaku pemilik

wilayah yang sah dan pemerintahan kolonial

Belanda sebagai wakil pemerintah Hindia-

Belanda berjalan bersama dalam memimpin

wilayah yang sama Diana pelaksanaanya

terjadi dualisme. Tugas dan kekuasaan

residen Belanda hanyalah mendampingi

Sultan bagi orang-orang asing, sedangkan

Sultan tetap berkuasa pada penduduk pribumi.

Demi terlaksananya roda pemerintahan pada

tahun 1881 Langkat dibagi menjadi dua roda

Wonder afdeling yaitu Langkat Hulu dan

Langkat Hilir. Sultan Musa menunjuk anak

sulungnya yaitu Tengku Hamzah menjadi

wakil sultan di Langkat Hulu.

Syekh Abdul Wahab Babussalam

mengajurkan kepada Sultan Tengku Musa

untuk mendirikan masjid di Tanjung Pura.

Pada tahun 1899 mulailah dibangun masjid

terbesar yang ada di kesultanan Langkat

bahkan di Sumatra Timur yang kita kenal

sekarang ini ialah Masjid Raya Azizi. Tak

lama kemudian, Sultan Tengku Musa

mangkat dan digantikan putra mahkotanya

Page 6: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

yaitu Sultan Tengku Abdul Aziz. Sultan

Tengku Musa mewasiatkan untuk

melanjutkan pembangunan Masjid Raya

Azizi. Karena belum adanya jalan raya, bahan

bangunan Masjid Azizi di angkut melalui

sungai. Sultan Tengku Abdul Aziz memangku

jabatannya di Istananya yang ia bangun di

depan Istana Ayahnya yaitu Darul Salam

(Darussalam). Istana Darul Salam ini

bercirikan arsitektur Melayu dan Cina. Pada

tahun 1902, Masjid Raya Azizi selesai

dibangun. Tidak hanya Masjid Raya Azizi,

Sultan Tengku Abdul Aziz juga membangun

Madrasah Aziziah, Madrasah Jamaiyah

Mahmudiyah dan Madrasah Mashlurah di

belakang Masjid Raya Azizi. Masa

kepemimpinan Sultan Tengku Mahmud

dibangun sarana kesehatan yakni Rumah

Sakit Tanjung Pura dan Kantor Pos pada

tahun 1930.

Pada tanggal 12 Maret 1942, tentara

Jepang mengambil alih kepemerintahan

Belanda di Tanjung Pura dan Langkat yang

dipimpin oleh Kagiyama sebagai Gunseibu.

Banyak rakyat di kota Tanjung Pura dipaksa

untuk ikut ke dalam Romusha yakni Sistem

kerja paksa Jepang. Pada waktu itu

dibangunlah proyek lapangan terbang Jepang

di Padang Cermin Kecamatan Selesai dan

Tanjung Beringin kecamatan Hinai dekat kota

Tanjung Pura. Pada tanggal 17 Agustus 1945,

Indonesia memproklamirkan kemerdekaan

tetapi baru tanggal 6 September 1945 berita

tersebut sampai ke Tanjung Pura dan Langkat

melalui telegram berangkai. Tanjung Pura

mengibarkan pertama kali bendera Merah

Putih di Watertorren (Menara Air) di Jalan

Langkat dan persimpangan Jalan Merdeka

dan Jalan Pemuda.

Pada tanggal 22 Juli 1947, Belanda

dan tentara NICA menguasai kota Stabat.

Pada waktu itu terjadi pertempuran antara

pemuda dan Belanda di pinggiran Sungai

Wampu. Dikhawatirkan Tanjung Pura akan

diduduki Belanda, para pemuda membumi

hanguskan kota Tanjung Pura, terutama

istana, gedung dan rumah-rumah yang tidak

berpenghuni akibat revolusi sosial. Pada

tanggal 30 Juli 1947, istana-istana dan

gedung-gedung kesultanan dibom dan hancur

terbakar. Terjadilah Tanjung Pura lautan api.

Pada tanggal 3 Agustus 1947 pasukan

Belanda berhasil masuk ke Tanjung Pura dan

membuat markas di Tanjung Pura di

Madrasah Jamiyah Mahmudiyah. Di Tanjung

Pura terjadi pertempuran selama 10 hari.

Akhirnya para pemuda ditarik mundur ke

Gebang. Selanjutnya Belanda masuk ke

Pangkalan Brandan dan terjadi pertempuran.

3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Pengambilan Data dan Alat

yang digunakan

Penelitian dilakukan di Tanjung Pura

Kabupaten Langkat. Dilakukan pengukuran

pada kawasan dengan menggunakan alat GPS

lalu digambarkan dengan menggunakan

software desain yaitu Autocad dan Ilustrator.

Tiap zona kawasan memiliki bangunan-

bangunan bersejarah, maka diambil beberapa

bangunan untuk mewakili tiap kawasan.

Dilakukan pengukuran pada tiap bangunan

dengan menggunakan meteran, lalu membuat

sketsa tiap bangunan dengan menggunakan

kertas milimeter, dan digambarkan dengan

menggunakan software desain Autocad dan

Ilustrator. Selain itu dilakukan

pendokumentasian setiap bangunan dengan

menggunakan kamera digital.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan pada

penelitian ini yaitu survei data primer dan

survei data skunder. Untuk data primer

didapat dengan cara observasi langsung

dilapangan, dilakukan pengukuran,

pembuatan sketsa, pendokumentasian dengan

kamera digital dan video. Sedangkan untuk

data skunder didapatkan dengan cara studi

literatur dari perpustakaan daerah di Medan,

perpustakaan Melayu, Museum Tanjung

Pura, dan wawancara dengan ahli sejarah di

Tanjung Pura.

Untuk pengambilan sampel bangunan

bersejarah di setiap kawasan dilakukan

dengan melihat kriteria konservasi yaitu, usia

bangunan, estetika, landmark sebuah

kawasan, dan gaya arsitektural.

3.3 Prosedur Penelitian

Tahapan pelaksanaan penelitian ini

adalah sebagai berikut :

a. Tahap survei data skunder yaitu

mengumpulkan data literatur yang

di dapat dari perpustakaan daerah

di Medan, perpustakaan Melayu di

Medan, Museum Tanjung Pura

Page 7: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

dan wawancara dengan ahli

sejarah dari Tanjung Pura.

b. Tahap survei data primer,

observasi langsung di lapangan

yaitu Tanjung Pura :

• melakukan pemetaan

bangunan-bangunan bersejarah

• membagi zona kawasan

berdasarkan ciri bangunan yang

terdapat ditiap zonanya

• pendataan tiap-tiap bangunan

bersejarah di setiap zona

kawasan, dilakukan

pengukuran, pembuatan sketsa

dan pendokumentasian dengan

kamera digital untuk

mengambil detail-detail

arsitektur sehingga

memudahkan dalam

penggambaran

c. Tahap penggambaran yaitu data

primer yang didapatkan

dilapangan digambarkan dengan

menggunakan software desain

Autocad dan Ilustrator.

d. Tahap pembuatan konsep yaitu

membuat konsep rancangan untuk

kawasan perkotaan (zona Melayu

dan zona Pecinan) yang akan

dijadikan obyek wisata sejarah,

konsep rancangan dituangkan

dalam gambar desain, seperti

desain pedestrian, desain parkir,

desain sirkulasi, dan lain-lain.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembagian Kawasan di Kota Tanjung

Pura

Dari hasil survey dan pengamatan

langsung di lapangan dengan melihat

arsitektur (bangunan-bangunan) yang ada

maka kota Tanjung Pura dapat dibagi menjadi

3 kawasan. Dan dari 3 kawasan tersebut,

diambil masing-masing 1 (satu) bangunan

yang bisa dijadikan vocal point mewakili tiap

kawasan yaitu :

a. Mesjid Azizi untuk kawasan Melayu

b. Klenteng untuk kawasan Pecinan

c. Kantor Pos untuk kawasan Belanda

Gambar 4.1 Bangunan yang mewakili tiap

kawasan sebagai Vocal Point

Sumber : Hasil Survey, 2014

Setelah menentukan satu bangunan di

tiap kawasan sebagai vocal point dan

pemetaan bangunan bersejarah berdasarkan

ciri-ciri fasadenya, maka didapatkan tiga

kawasan di Tanjung Pura, sebagai berikut :

Gambar 4.2 Pembagi Kawasan berdasarkan

Arsitektur yang dominan

Sumber : Hasil Survey, 2014

4.1.1 Pemetaan dan Pendataan

Bangunan di Kawasan Melayu

Page 8: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

Gambar 4.3 Pemetaan di Kawasan Melayu Sumber : Hasil Survey, 2014

Dari hasil survey yang telah

dilakukan di Kota Tanjung Pura bahwa

Sungai Mati yang saat ini tidak berfungsi

akan difungsikan kembali dengan melakukan

pengerukan sehingga Sungai Mati ini akan

berfungsi kembali sebagai kanal pengendali

banjir di kota Tanjung Pura ini. Selain itu

dengan difungsikannya kembali Sungai Mati,

secara ekonomis diharapkan akan dapat

dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber

pendapatan baru, dimana masyarakat dapat

memanfaatkan aliran sungai ini sebagai objek

wisata alternatif seperti memancing atau

wisata air lainnya.

Langkah-langkah konservasi yang

dapat dilakukan di kawasan Melayu ini yaitu

dengan penataan kembali bangunan-bangunan

di kawasan ini agar bangunan-bangunan lama

yang masuk dalam kategori pelestarian lebih

menonjol dari bangunan-bangunan baru.

Untuk kawasan permukiman penduduk, perlu

adanya penataan kembali agar menghilangkan

kesan kumuh, dengan membuat jaringan

drainase kota dan memfungsikan kembali

kolam Raja yang berada di bagian belakang

bangunan masjid sebagai area rekreasi dan

sebagai folder yang berfungsi sebagai

pengendali banjir di kawasan ini. Dan

penataan permukiman ini juga dapat

dikembangkan menjadi kawasan sentra

industri pengerajin makanan khas Melayu

Langkat yang akan berdampak pada

pelestarian makanan khas Melayu Langkat.

Penataan permukiman masyarakat

Melayu ini dapat dikembangkan sehingga

fungsi rumah bukan hanya sebagai tempat

tinggal namun dapat juga dimanfaatkan

sebagai home stay (penginapan murah),

perubahan fungsi ini akan memberikan nilai

ekonomis bagi masyarakat dimana wisatawan

yang berkunjung ke kawasan ini akan dapat

melihat kehidupan masyarakat Melayu

Langkat yang masih asli dengan menginap di

rumah-rumah penduduk untuk menikmati

budaya masyarakatnya.

4.1.2 Pemetaan dan Pendataan

Bangunan di Kawasan Pecinan

Gambar 4.4 Kawasan Pecinan

Sumber : Hasil Survey, 2014

Kondisi eksisting pertokoan lama di

kawasan pecinan di kota Tanjung Pura saat

ini telah banyak mengalami perubahan secara

visual fasade bangunannya. Perubahan terjadi

pada fasade, struktur maupun jumlah lantai.

Dilihat dari kondisi tersebut,

pelestarian yang dapat dilakukan ada 2 (dua)

alternatif, yaitu :

a. Mengembalikan bentuk fasade

bangunan pertokoan yang telah

berubah ke bentuk semula

b. Membiarkan bentuk-bentuk yang

telah berubah, namun pertokoan-

pertokoan yang belum mengalami

perubahan harus dipertahankan dan

mengusulkan kepada pemerintah

daerah agar izin perubahan

Page 9: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

bangunan pertokoan hanya bisa

dilakukan pada bagian belakang

bangunan, sehingga fasade depan

bangunan pertokoan dapat

dipertahankan kelestariannya.

Pelestarian yang dapat dilakukan

pada pertokoan lama di Kawasan Pecinan ini

adalah penataan lebih terhadap fungsi rumah

bukan hanya sebagai tempat tinggal dan

pertokoan biasa namun dapat dimanfaatkan

sebagai penginapan murah (home stay)

sehingga dapat memberikan nilai ekonomi

bagi masyarakat dimana wisatawan yang

berkunjung ke Kawasan Pecinaan ini akan

dapat menikmati budaya kehidupan

masyarakat Tionghua dan menjadikan

kawasan ini sebagai kawasan wisata kuliner.

Kondisi lain yang harus dilakukan

perbaikan adalah tinggi level muka jalan dan

sistem drainase. Tinggi muka jalan saat ini

telah mengalami perubahan ketinggian yang

sangat besar menyebabkan muka lantai

bangunan pertokoan semakin rendah dan hal

ini menyebabkan bangunan pertokoan sering

mengalami banjir. Untuk itu perlu adanya

perencanaan drainase yang baik dikawasan ini

dan folder yang pada masa lampau dijadikan

sebagai penampung air hujan akan

dikembalikan fungsinya seperti awal.

4.1.3 Pemetaan dan Pendataan

Bangunan di Kasawan Belanda

Gambar 4.5 Kawasan Belanda

Sumber : Hasil Survey, 2014

Pada kawasan Belanda terdapat

beberapa bangunan bergaya kolonial yang

sekarang mengalami kerusakan-kerusakan

pada fasade, lingkungan dan struktur

bangunannya, hal ini disebabkan bangunan

tersebut tidak dihuni (kosong) dan tidak jelas

siapa pemiliknya.

Berdasarkan kondisi tersebut, dapat

dilakukan perawatan dan pengikut sertakan

masyarakat dalam tindakan pelestarian yang

dilakukan. Tindakan pelestarian yang dapat

dilakukan pada bangunan-bangunan tersebut

adalah dengan cara rehabilitasi. Lingkungan

dikawasan Belanda juga harus dilakukan

penataan untuk meningkatkan kualitas

lingkungannya dengan cara tindakan

konservasi tidak langsung (preservation of

deterioration).

Pada kawasan Belanda terdapat kolam

penampung folder yang saat ini tidak terawat

dan tidak berfungsi disebabkan oleh telah

ditempati oleh permukiman masyarakat. Hal

tersebut mengakibatkan terjadi banjir

dikawasan Belanda dan kota Tanjung Pura

umumnya akibat tidak dapat ditampungnya

air dari sungai dan hujan. Melihat kondisi

tersebut, kolam penampung folder tersebut

harus dikembalikan ke kondisi awalnya

sehingga dapat berfungsi seperti semestinya.

Selain itu, kolam penampung folder ini harus

dilakukan tindakan konservasi untuk menata

lingkungannya yaitu dengan jalan konservasi

tidak langsung (preservation of

deterioration).

4.2 Rancangan Pelestarian

Dari hasil survey yang dilakukan data

bangunan-bangunan bersejarah di ketiga

kawasan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Kawasan Melayu terdapat sekitar 10

bangunan bersejarah yang berkaitan

dengan kesultanan Langkat

b. Kawasan Pecinan terdapat sekitar 200

ruko dan 1 kelenteng

c. Kawasan Belanda terdapat sekitar 16

bangunan yang terdata

Hasil pendataan bangunan-bangunan cagar

budaya di 3 kawasan tersebut berupa

dokumentasi foto-foto. Sedangkan untuk

kawasan yang akan dijadikan obyek wisata

adalah kawasan lintas Sumatera yaitu dari

jalan Mesjid Raya hingga jalan Sudirman,

Page 10: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

dapat dilihat pada gambar 5.6. Zona berwarna

kuning adalah zona rencana pelestarian.

Gambar 4.6 Kawasan Pelestarian yang

direncanakan

Sumber : Hasil survey, 2014

Zona ini diambil karena merupakan

pusat Kota Tanjung Pura dan terdapat vocal

point yang sangat menarik yaitu keberadaan

Masjid Azizi. Pelestarian dilakukan pada

kawasan dan bangunan-bangunan yang

terdapat di zona ini.

Untuk pelestarian kawasan dilakukan:

a. Kawasan Melayu sebagai pusat

aktifitas kegiataan peribadatan

islami, pendidikan dan wisata

sejarah serta permukiman akan

mengalami penataan dengan

dilengkapi fasilitas pendukung.

Dan Kawasan Pecinaan sebagai

pusat aktifitas perdagangan dan

perniagaan, wisata sejarah, wisata

kuliner, peribadatan khonghucu

dan Buddha serta permukiman

juga dilakukan penataan.

b. Zona kuning tidak dapat dilalui

oleh kendaraan bermotor, untuk

jalur kendaraan (jalan lintas

Sumatera) dialihkan dengan

membuat jalan alternatif.

c. Membuat rancangan drainase

kota sehingga agar tidak terjadi

banjir ̧ akan dilakukan

pembenahan dan perbaikan untuk

disesuaikan dengan sistem folder

kota yang akan dihidupkan

kembali.

d. Merencanakan ruang terbuka

untuk umum, taman, kegiatan

bazar, jalur hijau, dan lain-lain.

e. Merancang pedestrian yang baik

di kawasan sehingga wisatawan

akan nyaman menikmati wisata

sejarah, arsitektur dan kuliner

f. Mengembalikan gapura lama

sebagai pintu masuk ke kawasan

g. Merancang fasilitas pendukung

seperti sarana parkir kendararaan,

tempat peminjaman sepeda, area

kuliner dan suvenir.

h. Sungai Sei Batang Serangan dan

Sungai Sei Batang Durian yang

mengelilingi kota Tanjung Pura

akan dibenahi dan ditata dengan

baik dipersiapkan untuk jalur

transportasi wisata air.

Gambar 4.7 Kawasan Pelestarian yang

direncanakan

Sumber : Hasil survey, 2014

Gambar 4.8 Potensi Kawasan Pelestarian sebagai

Obyek Wisata

Sumber : Hasil survey, 2014

Gambar 4.9 Konsep Pelestarian Kawasan Wisata

Sumber : Hasil survey, 2014

Page 11: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

Untuk pelestarian Bangunan di zona

kuning, akan dilakukan :

a. Bentuk bangunan bersejarah akan

dikembalikan ke wajah aslinya.

b. Ketinggian pada bangunan baru

tidak boleh melebihi bangunan

bersejarah yang dilestarikan.

c. Tidak diperbolehkan untuk

melakukan perubahan dan atau

penambahan yang

menghilangkan bentuk asli dari

bangunan bersejarah.

d. Apabila diperlukan penambahan

fisik pada bangunan yang

dikonservasi tidak boleh terlihat

merubah bentuk asli dari

bangunan tersebut.

e. Pada bangunan bersejarah yang

tinggal puing-puing akan

dilakukan pemagaran dan

penataan lansekap disekitarnya.

5 KESIMPULAN

Kota Tanjung Pura merupakan kota

yang memiliki kekayaan budaya dan sejarah

yang sangat perlu dilestarikan. Perkembangan

kota Tanjung Pura dapat dilihat dari

keberadaan bangunan-bangunan tua yang

menyimpan banyak sejarah dimasa lampau.

Sayangnya saat ini satu persatu situs sejarah

tersebut mulai hilang dan rusak. Untuk itu

pelestarian kota Tanjung Pura saat ini

sangatlah dianjurkan agar cagar budaya

berupa bangunan-bangunan tidak menghilang

satu persatu. Dengan mengembalikan wajah

kawasan kota akan memunculkan karakter

dari kota Tanjung Pura sehingga memiliki

keunikan tersendiri yang menjadi daya tarik

wisatawan untuk datang ke Tanjung Pura.

Zona pelestarian yang di ambil adalah

jalan Masjid Raya sampai jalan Sudirman,

untuk zona ini dijadikan kawasan bersejarah,

kawasan budaya dan menjadikannya sebagai

kawasan wisata. Diharapkan dengan

pelestarian ini akan meningkatkan taraf

perekonomian masyarakat setempat. Untuk

perkembangan kota selanjutnya diselaraskan

dengan kondisi sejarah kota Tanjung Pura.

6 REFERENSI

Budiharjo, Eko. Cetakan II 2011. Penataan

Ruang dan Pembangunan Perkotaan.

Bandung: PT. Alumni.

Daniel Perret, 2010, Kolonialisme dan

Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatra

Timur, Kepustakaan Populer Gramedia,

Jakarta.

Arifin, Zainal, 2009, Sekilas Tragedi

Bersejarah Brandan Bumi Hangus, Mitra,

Medan.

Arifin, Zainal, 2009, Langkat dalam Sejarah

dan Perjuangan Kemerdekaan, Mitra, Medan.

Dirjen Ciptakarya, 1998, Penataan Bangunan

dan Lingkungan. Departemen Pekerjaan

Umum, Jakarta.

Broadbend. 1994, New down Town : Ideas

City of Tomorow. URA &PMB.Singapore.

Aldo Rossi. 1991, The Architecture of The

City, MIT Press. Cambridge.

Lynch, Kevin, 1973, The Image of The City,

London-England: The MIT Press.

Allan Dobby, 1978, Conservation and

Planning, Hutchinson, London

Kartika Yuliana K, 2013, Upaya Pelestarian

Kampung Kauman Semarang Sebagai

Kawasan Wisata Budaya, Jurnal Teknik PWK

Volume 2 Nomor 2, 2013

Arie Setiana Putra (2013), Perencanaan Jalur

Interpretasi Wisata Warisan Sejarah Budaya

di Pusat Kota Denpasar, E-Jurnal

Agroekoteknologi Tropika, Vol. 2, No. 2,

April 2013

Yulita Titik S, 2011, Model Pengelolaan

Bangunan Cagar Budaya Berbasis

Partisipasi Masyarakat Sebagai Upaya

Pelestarian Warisan Budaya, SERI KAJIAN

ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari

2011

Novesty Noor Azizu, 2011, Pelestarian

Kawasan Bentteng Keraton Buton, Jurnal

Tata Kota dan Daerah Volume 3, Nomor 1,

Juli 2011

Fathurrahman Mansur, 2006, Konservasi Dan

Revitalisasi Bangunan Lama di Lingkungan

Page 12: PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET …

Kota Donggala, Majalah Ilmiah “Mektek”

Tahun Viii No.2 Mei 2006

Tri Prasetyo Utomo, 2005, Tipologi dan

Pelestarian Bangunan Bersejarah; Sebuah

Pemahaman melalui Proses Komunikasi,

Ornamen Jurnal Seni Rupa STSI Surakarta,

Vol 2, No. 1 Januaru 2005