23
Siti Humairah PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN MELAYU PERSPEKTIF MAQĀSID SYARĪ’AH Siti Humairah 1 Email : [email protected] Abstract This article is the result of a qualitative field research. This research is a legal sociology research. This article discusses determination of “Uang Asap” in the Malay wedding tradition. The researcher analyzed the research data using the maqasid shariah theory. The location of this research is in Nusapati Village, Sungai Pinyuh District, Mempawah Regency, West Kalimantan. The findings of this study are that in the view of maqasid sharia, the determination of smoked money is included in the category of tahsiniyat (tertiary) benefit. Field data shows that the giving of smoked money is a general tradition, in the sense that it applies to everyone of the Malay ethnicity, especially in Nusapati Village, Sungai Pinyuh District, Mempawah Regency, West Kalimantan. Although the giving of smoked money is not explicitly regulated in maqasid sharia, the giving of smoked money is already a tradition that must be carried out in the community and as long as this does not conflict with aqidah and shari'ah then it is allowed by Islamic law Keywords: “uang asap” tradition, wedding traditions, maqasid shariah theory Abstrak Artikel ini adalah hasil penelitian kualitatif lapangan. Penelitian ini merupakan penelitian sosiologi hukum. Artikel ini mendiskusikan penetapan uang asap dalam tradisi pernikahan adat Melayu. Peneliti menganalisis data penelitian menggunakan teori maqasid shariah. Lokasi penelitian ini berada di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat. Temuan penelitian ini adalah bahwa Dalam pandangan maqasid syariah penetapan uang asap masuk dalam kategori kemaslahatan tahsiniyat (tersier). Data lapangan menunjukkan bahwa pemberian uang asap merupakan tradisi yang bersifat umum, dalam artian berlaku pada setiap orang yang bersuku Melayu khususnya di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat. Walaupun pemberian uang asap ini tidak secara gamblang diatur dalam maqasid syariah, namun pemberian uang asap sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at maka hal itu diperbolehkan oleh hukum islam. Kata Kunci: tradisi uang asap, adat pernikahan, teori maqasid shariah 1 Mahasiswa PPs Unhasy tahun masuk 2016

PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Siti Humairah

PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADATPERNIKAHAN MELAYU PERSPEKTIF MAQĀSID SYARĪ’AH

Siti Humairah1

Email : [email protected]

Abstract

This article is the result of a qualitative field research. This research is a legal sociologyresearch. This article discusses determination of “Uang Asap” in the Malay weddingtradition. The researcher analyzed the research data using the maqasid shariah theory. Thelocation of this research is in Nusapati Village, Sungai Pinyuh District, MempawahRegency, West Kalimantan. The findings of this study are that in the view of maqasidsharia, the determination of smoked money is included in the category of tahsiniyat(tertiary) benefit. Field data shows that the giving of smoked money is a general tradition,in the sense that it applies to everyone of the Malay ethnicity, especially in NusapatiVillage, Sungai Pinyuh District, Mempawah Regency, West Kalimantan. Although thegiving of smoked money is not explicitly regulated in maqasid sharia, the giving of smokedmoney is already a tradition that must be carried out in the community and as long as thisdoes not conflict with aqidah and shari'ah then it is allowed by Islamic law

Keywords: “uang asap” tradition, wedding traditions, maqasid shariah theory

Abstrak

Artikel ini adalah hasil penelitian kualitatif lapangan. Penelitian ini merupakan penelitiansosiologi hukum. Artikel ini mendiskusikan penetapan uang asap dalam tradisi pernikahanadat Melayu. Peneliti menganalisis data penelitian menggunakan teori maqasid shariah.Lokasi penelitian ini berada di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh KabupatenMempawah Kalimantan Barat. Temuan penelitian ini adalah bahwa Dalam pandanganmaqasid syariah penetapan uang asap masuk dalam kategori kemaslahatan tahsiniyat(tersier). Data lapangan menunjukkan bahwa pemberian uang asap merupakan tradisi yangbersifat umum, dalam artian berlaku pada setiap orang yang bersuku Melayu khususnya diDesa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat.Walaupun pemberian uang asap ini tidak secara gamblang diatur dalam maqasid syariah,namun pemberian uang asap sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan padamasyarakat tersebut dan selama hal ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at makahal itu diperbolehkan oleh hukum islam.

Kata Kunci: tradisi uang asap, adat pernikahan, teori maqasid shariah

1 Mahasiswa PPs Unhasy tahun masuk 2016

habibi
Typewritten text
51
Page 2: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

52 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020

Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah

Pendahuluan

Hukum adat perkawinan merupakan aturan-aturan hukum adat yang mengatur

tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara perkawinan, serta upacara perkawinan di

Indonesia. Aturan-aturan perkawinan ini di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda.

Dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang

berbeda-beda. Di samping itu dikarenakan kemajuan zaman.2 Budaya perkawinan tiap

daerah di Indonesia memiliki perbedaan dan keunikan yang khas. Perkawinan secara adat di

Indonesia bukan hanya tentang menyatukan dua orang saling mencintai, tetapi lebih dari itu

ada nilai-nilai yang patut dipertimbangkan dalam perkawinan seperti status sosial, ekonomi,

serta nilai budaya. Salah satu budaya perkwainan secara adat adalah pemberian uang asap

dalam tradisi melayu.

Uang Asap merupakan suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak

perempuan untuk biayah acara pernikahan. Dalam istilah lain juaga dapat disebut uang

hantaran atau uang jujur. penetapan uang asap tersebut di lakukan disaat pelamaran serta

besar dan kecilnya uang asap tersebut ditetapkan oleh keluarga pihak wanita.3 Pada

dasarnya uang asap merupakan tradisi masyarakat yang telah dibangun pada zaman nenek

moyang dahulu. Di desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah

Kalimantan Barat uang asap tersebut diartikan sebagai pemberian dari pihak laki-laki

kepada pihak perempuan untuk acara resepsi pernikahan. Pemberian tersebut dapat

diberikan sebelum acara resepsi pernikahan. Dan mengenai jumlah uang asap tersebut

ditetapkan oleh pihak keluarga perempuan.4

2 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet II, (Bandung: PT Mandar Maju,2003), 182.

3Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,2008), 1766.

4 Mahdi Ismail, (Tokoh Agama), Wawancara Desa Nusapati: Juni 25-2017.

Page 3: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 53

Siti Humairah

Dalam adat perkawinan di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten

Mempawah Kalimantan Barat selain Uang Asap ada barang-barang yang harus diberikan

kepada calon mempelai wanita disaat sebelum dan setelah akad nikah. Untuk barang-

barang yang harus diberikan sebelum akad nikah yakni berupa lemari baju, lemari hias dan

tempat tidur, sedangkan barang- barang yang akan diberikan ketika acara resepsi yaitu

pakaian, perhiasan,alat-alat rias dan lain-lain.5 Uang asap atau uang antaran/belanja dalam

suku melayu, Jujuran suku banjar, Tukon suku Jawa, Mappendre Duii/ Duii Balanca suku

Bugis merupakan simbol pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak wanita. Jumlahnya

pun beragam sesuai permintaan pihak wanita.

Produk fiqih sebagai bagian dari ajaran Islam sama sekali tidak bertentangan

dengan lokalitas yang dimiliki oleh masing-masing kelompok masyarakat. Keselarasan ini

tidak berarti semua adat-tradisi selalu berjalan seiring dengan syariat Islam. Hal ini

merupakan konsekuensi dari wajah universalitas Islam. Mustahil Islam dikatakan sebagai

agama yang universal apabila ajarannya hanya bisa dilakukan atau diterapkan oleh sebuah

masyarakat tertentu tanpa bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat lain. Ajaran Islam

tidak terbatas untuk masyarakat Arab sehingga kelompok masyarakat lain tidak dapat

dipaksa untuk mengikuti pemahaman serta praktek keberislaman yang dilakukan oleh

bangsa Arab. Sebab, setiap kelompok masyarakat atau bangsa pasti memiliki tradisi (‘urf)

yang berbeda-beda. Sehingga, pemaksaan pemahaman serta praktek keberislaman dapat

mencoreng maqashid syari’ah atau universalitas Islam itu sendiri.

Tradisi menjadi bagian penting pembentukan syariat islam. Hampir semua sisi

syariat Islam merupakan tongkat estafet yang melanjutkan tradisi nabi-nabi sebelumnya.

Dalam literatur-literatur tarikh tashri’ para ahli membincangkan pengaruh kuat tradisi

kenabian sebelum Islam datang. Tentu, tradisi kenabian sebelumnya mengalami adaptasi-

adaptasi yang dilakukan nabi Muhammad selaku shari’ berdasarkan wahyu yang

diterimanya. Pertanyaan mendasar adalah apakah semua tradisi dapat diadopsi menjadi

bagian syariat. Diskursus tradisi dalam bingkai syariat menjadi penting dilakukan.

5 Jasman Ayub ( Tokoh Masyarakat), wawancara Desa Nusapati: April 30-2018

Page 4: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

54 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020

Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah

Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim mempunya ragam tradisi. Disinilah

pentingnya mendudukkan tradisi penetapan uang asap dalam konteks fiqih.

Konsep Maqasid Syariah

Secara etimologis (lughawy), maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu

maqashid dan syari’ah. Maqashid sebagai bentuk flural (jama’) yang berarti kesengajaan,

atau tujuan.6 Syari’ah berarti jalan menuju sumber air (al-mawadhi’ tahdar ila al-maa’).7

Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok

kehidupan.8 Jadi maqashid alsyari’ah secara etimologis berarti sesuatu tujuan untuk datang

menuju tempat sumber air sebagai sarana kebutuhan kehidupan pokok manusia, dan dengan

air seseorang akan hidup tenang, merasa nikmat dan menyegarkan tubuh. Penyimbolan

syari’ah (cara, atau jalan) dikaitkan dengan air, karena air secara umum merupakan unsur

yang penting dalam kehidupan, dalam arti bahwa tujuan disyariatkannya aturan hukum

(syariat) tidak lain adalah untuk mengatur kehidupan manusia. Sedangkan maqashid al-

syariah secara terminologis (ishthilahy) seperti dikemukakan oleh al-Syatibi yaitu aturan

hukum yang disyariatkan Allah dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba-

Nya (manusia) di dunia dan kelak di akhirat.9 Dari definisi ini jelaslah bahwa semua aturan

hukum Allah yang disyariatkannya mesti mempunyai tujuan, dan mustahil tidak

mempunyai tujuan yang dimaksudkan Tujuan Allah dalam menetapkan hukum itu adalah

mashlahah atau maslahah yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada umat manusia

dalam kehidupan di dunia, maupun dalam persiapan menghadapi kehidupan akhirat.

Dengan demikian Maqasid Syari’ah itu Mashlahah itu sendiri. Al-Mashlahah secara

etimologi berati sesuatu yang baik, oleh karenanya menimbulkan kesenangan dan kepuasan

serta diterima oleh akal yang sehat. 10

Secara istilah arti dari maqasid al-syari’ah bermacam-macam sebelum masa Al-

Shatibi, maka maqasid al-syari’ah cendrung mengikuti makna bahasanya. Al-Bannani

6 Han Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cown (ed), London: Mac Donald danEvan Ltd, 1980, 767.

7 Ibn Manzur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Jld. ke 8, Bairut: Dar al-Sadr, tt.,1758 Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (Penrj.), Bandung: Pustaka, 1984, 140.9 Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Juz ke 2, Kairo: Dar al-Fikr, tt., 2.10 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Cet 7, (Jakarta: Kencana, 2014), 232.

Page 5: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 55

Siti Humairah

memaknai dengan tujuan-tujuan hukum, al-samarqandi, al-’Amidi dan ibn al-Hajib

mendefinisikannya dengan menggapai manfaat dan menolak mafsadat.11 Imam al-shatibi

menyatakan bahwa pembebanan syari’at dikembalikan pada penjagaan tujuan-tujuannya p

ada makhluk. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa Allah SWT sebagai shari’

memiliki tujuan untuk menentukan hukum, yakni kemaslahatan dunia dan akhirat.12

Sepeninggalan al-Shatibiy, salah satu ulama yang mendefinisikan pengertian

maqasid al-shari’ah adalah ’Ibn ’Ashur. Beliau mengatakan bahwa semua hukum syari’at

mengandung maksud dari shari’, yakni hikmah, kemaslahatan, dan manfaat. Selain itu

tujuan umum syari’at adalah menjaga keteraturan ummat dan kelangsungan kemaslahatan

hidup mereka.13 Pengertian maqasid syari’ah menurut Ibn Ashur adalah makna-makna dan

hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh shari’ dalam setiap bentuk penentuan

hukumnya. Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis hukum tertentu sehingga masuklah

dalam cangkupannya segala sifat tujuan umum dan makna syari’at yang terkandung dalam

hukum serta masuk pula didalamnya makna-makna hukum yang tidak dapat diperhatikan

secara keseluruhan tetapi dijaga dalam bentuk hukum. 14

Dari definisi diatas ulama ushul sepakat bahwa maqasid al-shari’ah adal tujuan-

tujuan akhir yang harus teralisasi dengan diaplikasikan ke syari’at. Tujuan ini meliputi

keseluruhan aspek syari’at (maqasid al-syari’at al-ammah), aspek perbab dari syari’at

(maqasid al-syari’ah al-khassah) serta aspek-aspek masing-masing hukum syari’at (maqasid

al-shari’ah al juziyyah) yang meliputi kewajiban solat, keharaman zina, dan sebagainya.

Mensyari’atkan hukum-Nya adalah dalam rangka memelihara kemaslahatan umat

manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan

tersebut bisa dicapai dengan taklif, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada

pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadis. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan

manusia di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur

pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa,

11 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas: Fiqih al-Aqalliyat dan Evolusi Maqasid al- shari’ah dariKonsep Kependekatan (Yogyakarta: LKIS Printing Cemerlang, 2012), 180.

12 Abi ‘Ishaq al-Shatibiy, Al-Muwafaqat fi u sul al Shari’ah, (al-Qahirat: Dar al-Hadith,2006) 220.13 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, 18214 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, 183.

Page 6: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

56 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020

Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah

akal, keturunan, dan harta. Seorang akan memperoleh kemaslahatan manakala ia dapat

memelihara kelima aspek pokok tersebut. Sebaliknya, ia akan mendapatkan mafsadat

apabila ia tidak dapat memeliharanya dengan baik.15 Hampir setiap ulama dan penulis ushul

fiqh pada waktu membicarakan maqashid syariah membicarakan pula tujuan mengetahui

maqashid syari’ah itu. Dalam memberikan uraian di antaranya agak berlebihan, termasuk

yang tidak jelas tujuannya. Namun tujuan awalnya adalah menemukan sifat-sifat yang sahih

yang terdapat dalam hukum yang ditetapkan dalam nash syara’ untuk disaring menjadi illat

hukum melalui petunjuk masalikul illah, sedangkan tujuan akhir yang merupakan tujuan

utamanya adalah ta’lil al-ahkam yang artinya mencari dan mengetahui illat hukum. Adapun

tujuan mengetahui illat hukum itu dapat dipisahkan menjadi tiga kemungkinan yaitu :

Pertama, untuk menetapkan hukum pada suatu kasus yang padanya terdapat illat

hukum, namun belum ada hukum padanya dengan cara menyamakannya dengan kasus

yang sama yang padanya terdapat illat hukum tersebut dalam arti yang sederhana untuk

kepentingan qiyas. Inilah tujuan yang terbanyak dalam penemuan illat tersebut dan

disetujui oleh mayoritas ulama. Ini pun tentunya berlaku dalam illat yang punya daya

jangkau atau illat muta’addiyah. Kedua, untuk memantapkan diri dalam beramal. Hal ini

berlaku dalam illat yang tidak punya daya rentang yang disebut illat al-qashirah. Seseorang

akan mantap dalam melakukan perintah shalat sewaktu dia tahu bahwa shalat itu adalah

zikir, sedangkan zikir itu adalahh menenangkan jiwa. (Al Qur’an 13/28) bentuk seperti ini

dapat diterima oleh ulama. Ketiga, untuk menghindari hukum. Artinya menetapkan illat

untuk suatu hukum dengan tujuan menetapkan hukum kebalikannya sewaktu illat itu tidak

terdapat dalam kasus itu. Umpamanya aurat perempuan adalah selain muka dan telapak

tangan yang ditetapkan melalui Hadis Nabi. Dalam hadis Nabi ini tidak disebutkan alasan

atau illat-nya. Ada ulama yang mencari-cari illat-nya, yaitu “untuk membedakan

perempuan merdeka dari perempuan sahaya. Kalau itu illat-nya tentu waktu ini yang sudah

tidak ada perbudakan tidak relevan lagi batas aurat yang tersebut dalam Hadis Nabi itu.

Contoh lain seorang ulama kontemporer menetapkan waktu ini tidak perlu lagi melihat

bulan untuk mengetahui awal puasa atau hari raya fitri, meskipun ada perintah yang jelas

15 Suyanto, Dasar-dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jogjakarta: Aruzzmedia,2013), 159

Page 7: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 57

Siti Humairah

oleh Nabi untuk melakukan rukyat. Alasan yang dikemukakan adalah umat pada waktu

Nabi itu tidak mampu melakukan hisab, sedangkan waktu ini keadaan begitu sudah tidak

ada lagi. Tujuan mencari illat akal-akalan seperti ini tampaknya belum berkenan di hati

mayoritas ulama.16

Syariah adalah sebuah jalan yang ditetapkan oleh Allah dimana manusia harus

mengarahkan hidupnya untuk merealisasi kehendak Allah sebagai syari’ (pembuatan

syari’ah) yang menyangkut seluruh tingkah laku manusia, baik secara fisik, mental maupun

spritual.17 Kehendak Allah yang dimaksud adalah maqasid asy-syari’ah (tujuan

hukum)berupa dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah Rasul. Untuk mencapai maqhasid asy-

syariah diperlukan perangkat untuk menganalisis setiap perbuatan hukum yang dilakukan

oleh mukallaf dalam kehidupan pribadi sosialnya. Dengan demikian, apa yang dikehendaki

syari’ah dalam mengatur hubungan secara vertikal maupun hubungan secara horizontal bisa

tercapai dalam rangka kemaslahatan umum. Itulah sebabnya, maqashid asy-syari’ah

dipandang penting untuk dikaji secara intens oleh para pengkaji dan pemerhati maslahah

fiqih dan ushul fiqih. 18

Pada prinsipnya, syariat datang dalam rangka membawa kemaslahatan bagi

seluruh manusia. Dengan prinsip semacam ini, ajaran-ajaran Islam mudah diterima dan

selalu relevan dengan perkembangan zaman (shalih li kulli zaman). Akseptabilitas syariat

Islam serta relevansinya dengan perkembangan zaman ini mengungkap aspek universalitas

(‘alamiyyah) Islam sendiri.19 Dalam pandangan Ibnu ‘Asyur, oleh karena ajaran Islam

bersifat universal, maka ketentuan-ketentuan hukumnya adalah setara bagi seluruh umat.

Artinya, hukum-hukum Islam dapat dilaksanakan oleh seluruh masyarakat.20

Universalitas ajaran Islam untuk menebar kemaslahatan bagi seluruh umat ini

merupakan maqashid as-syari’ah. ‘Allal al-Fasi mendefinisikan maqashid as-

syari’ah dengan tujuan akhir dan rahasia-rahasia yang dicanangkan syari’at di balik setiap

16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid II, (Jakarta: Prenadamedia, 2014), 247.17Suyanto, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, (Depok: Ar-ruz Media, 2014), 153.18Suyanto, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, (Depok: Ar-ruz Media, 2014), 154.19 Jasser Auda, Maqashid as-Syari’ah Dalil li al-Mubtadi’in, h. 101-102, Virginia: IIIT, 201120 Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, h. 98-99, Tunisia: Dar as-

Salam, 2006

Page 8: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

58 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020

Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah

ketentuan hukumnya.21 Senada dengan definisi Allal al-Fasi, Ibnu ‘Asyur

menyatakan, maqashid as-syari’ah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang

senantiasa menjadi perhatian syari’at dalam seluruh atau sebagian besar ketentuan

hukum.22Lebih lengkap, Wahbah az-Zuhaily menyatakan bahwa maqashid as-

syari’ah adalah makna-makna atau sasaran yang ingin dicapai oleh syariat dalam seluruh

atau sebagian besar hukumnya, atau ia adalah rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh syariat

dalam setiap ketetapan hukumnya.23 Makna, rahasia, alasan, sasaran, atau hikmah yang

dimaksud oleh syariat adalah menebar kemasalahatan.24

Dalam konteks hukum Islam, ‘urf adalah “Sesuatu yang terbiasa (berulang-ulang)

dilakukan dan berlaku di antara manusia menyangkut urusan-urusan hidup serta interaksi

sosial baik berupa perkataan, tindakan melakukan sesuatu atau meninggalkannya.25 Urf yang

menjadi pertimbangan hakim, mujtahid, atau mufti dalam memutuskan hukum adalah

‘Urf yang tidak bertentangan dengan prinsip, nilai, dan ajaran syariat. Berangkat dari

pemahaman ini, ulama membagi ‘urf menjadi dua: ‘urf shahih dan ‘urf fasid. ‘Urf

shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan prinsip, nilai, dan ajaran syariat. Tradisi

macam inilah yang mendapat legalitas untuk dipertimbangkan dalam memutuskan hukum.

Apa yang menjadi dasar ditetapkannya ‘urf shahih ini pada hakikatnya demi memperoleh

kemaslahatan. Bukanlah hal mengherankan jika syariat di masa awal kemunculannya tidak

mempersoalkan tradisi masyarakat jahiliyah yang baik dan tidak bertentangan dengan

prinsip, nilai, dan ajaran Islam. Seperti kebiasaan bertransaksi mudlarabah, syirkah, dan

seperti persyaratan kafa’ah dalam pernikahan.

Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluk Nya yang akan

memasuki jenjang perkawinan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah swt.

Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain.

Namun kenyatannya di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang. Bahkan

mereka memiliki cara tersendiri yang telah turun temurun dilaksanakan.

21 Allal al-Fasi, Maqashid as-Syari’ah wa Makarimuha, h. 111, Kairo: Dar as-Salam, 2011.22 Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, h. 39, Tunisia: Dar as-Salam, 2006.23 Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, j. 2, h. 1045.24 Jasser Auda, Maqashid as-Syari’ah Dalil li al-Mubtadi’in, h. 101-102, Virginia: IIIT, 2011.25 Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirasat as-Syari’ah al-Islamiyyah, 172.

Page 9: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 59

Siti Humairah

Klasifikasi Maqasid Syari’ah

Menurut al-Shatibi, Allah dalam shari’ memiliki tujuan dan menentukan hukum

yakni untuk kemaslahatan hambanya di dunia dan di akhirat. Lebih lanjutnya al-Shatibi

mengungkapkan bahwa bahwa maqasid al-Syari’ah tidak lebih dari 3 macam. Kategori

pertama maqasid adalah al-maqasid al-Dharuriah (Tujuan Primer). Di dalam tingkatan ini

pembebanan (taklif) syari’at diarahkan untuk menjamin tegaknya kemaslahatan manusia.

Apabila tidak terjamin, maka akan terjadi kerusakan. Penjagaan terhadap tujuan ini

dilakukan dari 2 sisi yakni : 1) sisi wujud (janib al wujud), yakni menegakkan rukun-rukun

dan menetapkan kaidah-kaidah yang menopang terjaminnya maqasid al-daruriyah, dan 2)

sisi tiada (janib al-‘adam yaitu menghadirkan cacat yang mengakibatkan maqasid al-

daruriyah tidak terjadi. Tujuan syari’at dalam tingkatan ini terbagi lima; hifz al-din

pembebanan syari’at dalam rangka menjamin terjaganya agama dan keyakinan; hifz al-

Nasl, pembebanan syari’at dalam rangka menjamin keselamatan jiwa dan raga; hifz al-Nasi,

pembebanan syari’at dalam rangka menjamin keturunan manusia tetap lestari; hifz al-Mal,

pembebanan syari’at dalam rangka menjamin kepemilikan harta benda; hifz al-Aql, pemb

ebanan syari’at dalam rangka menjamin akal sehat manusia.

Setiap manusia tanpa memandang agamanya apa, bahkan ateispun pasti

mempunyai norma menghargai keberagaman orang lain, menghormati jiwa, menghargai

kebebasan berfikir dan berpendapat, menjaga keturunan (hak reproduksi) serta menghargai

kepemilikan harta setiap orang. Al-Shatibi menegaskan bahwa kemaslahatan bersifat

primer tersebut merupakan inti semua agama dan ajaran, karena hampir menjadi kebutuhan

manusia. Jika nilai-nilai terus dilanggar, maka bisa dipastikan hak-haknya akan hilang dan

identitas kemanusiaannya akan sirna. Karenanya, nilai-nilai tersebut sejatinya menjadi

pijakan keberagaman sehingga pandangan keagamaan tidak berseberangan dengan isu-isu

kemanusiaan.26

Kategori maqasid kedua adalah al-maqasid l-hajiah (tujuan sekuder). tujuan dari

pembebanan syari’at diarahkan untuk menjamin kemaslahatan manusia dalam menjalankan

aktivitasnya sehari-hari. Apabila tidak terjamin, meskipun tidak mengalami kerusakan atau

26 Nurcholish Madjid, Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004), 12

Page 10: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

60 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020

Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah

kekacauan, manusia akan mengalami kesulitan-kesulitan yang memberatkan.27

Kemaslahatan yang dijamin disini tidak menyebabkan rusaknya tatanan sosial dan

hukum.28 Seperti contoh adanya rukhsah (keringanan) dalam melaksanakan puasa bagi

orang yang sedang dalam perjalanan jauh, orang sakit, atau orang sudah tua renta

sebagaimana yang di atur di dalam fiqih, menunjukkan bahwa di dalam melaksanakan

ibadah dalam kondisi tertentu diberikan keringanan supaya pelaksanaannya tidak merasa

keberatan dan keterpaksaan. Hal ini tentu menimbulkan adanya kemaslahatan.

Kategori maqasid ketiga adalah al-Maqasid At-Tahsiniyah (tujuan suplamenter. al-

maqasid al-tahsiniyah berfungsi sebagai penyempurnaan dari kedua tujuan syari’at

sebelumnya. Tujuan pembebanan syari’at tingkat ini diarahkan pada etika atau nilai-nilai

kebaikan dan budi kehidupan manusia. Dalam kadar sekiranya manusia dapat bersikap dan

berbudi pekerti yang sesuai dengan akal sehat.29 Misalnya ajaran tentang kebersihan,

berhias, sedekah dan sebagainya.

Al-Maqasid al-Dharuriyyat merupakan pokok dari 2 maqasid yang lain. Artinya

apabila keberadaannya tidak ada maka kedua tingkatan maqasid yang lain tidak berlaku lagi

di dalam hal ini al-Shatibi menjelaskan bahwa al-Maqasid al-Dharruriyah merupakan

pokok dari 2 maqasid lainnya sehingga rusak atau terganggunya, memastikan rusaknya

yang lain. Menurut al-Shatibi terganggunya dua maqasid yang lain akan menyebabkan al-

maqasid al-dharuriyyah menjadi rusak. Oleh karena itu, sangat dianjurkan menjaga al-

maqasid al-hajiyyat dan al-maqasid al-Tahsiniyyat untuk menopang al-maqasid al-

darurriyat.30 Menurut al-Shatibi syari’at yang berlaku bersifat menyeluruh, sehingga

pemberlakuan syari’at tersebut dalam rangka menjamin kemaslahatan umat manusia secara

umum.31 Maka dari itu, pemberlakuan syari’at harus memperhatikan tradisi dan adat

masyarakat setempat, sehingga kemaslahatan bisa tercipta, karena pada hakikatnya antara

kemaslahatan dunia dan akhirat tidak bertentangan dan saling menyempurnakan.32

Dasar hukum yang digunakan adalah firman Allah Swt

27 Al-Shatibi, al-Muwa Faqat, 22228 Nurcholish Madjid, Fiqih Lintas Agama, 1129 Al-Shatibi, al-Muwa Faqat, 22330 Al-Shatibi, al-Muwa Faqat, 22631 Al-Shatibi, al-Muwa Faqat, 36432 Nurcholish Madjid, Fiqih Lintas Agama, 12

Page 11: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 61

Siti Humairah

33للناس وماأرسلناك الا كافة

Dan tidak aku (Allah) perintahkan kepadamu (Muhammad) melainkan bagi

manusia secara menyeluruh.

Keumuman ini juga berarti bahwa syari’at yang berlaku di sesuaika dengan adat

dan kondisi masyarakat. Karenanya al-Shatibi membagi adat atau kondisi masyarakat

menjadi dua, adat atau kondisi sosial masyarakat yang jelas diakui atau ditolak oleh dalil

syara’; dan Adat atau kondisi sosial masyarakat yang tidak ada dalil syara’ secara jelas

diakui atau ditolak.34

Maqasid-Usul Fiqih-Kaidah Fiqih; Relasi Dialektis

Ijtihad dalam kajian hukum Islam tidak bisa terlepas dari ushul al-fiqh dan teori-

teori hukum Islam yang ada. Namun, untuk mengupayakan agar suatu produk hukum dapat

berorientasi pada kemaslahatan umat, terlebih untuk menghadapi masalah-masalah kekinian

yang belum ditentukan ketetapan hukumnya, diperlukan adanya reformasi. Teori ushul al-

fiqh ”Ibnu ’Ashar menyatakan bahwa dalam memecahkan masalah yang bersifat

kontemporer, diperlukan adanya pendekatann sosiologi atau budaya, dan metodologi

epistimologis. Hal ini dimaksudkan supaya tercipta adanya kesatuan pandangan untuk

mencapai kemaslahatan.35

Menurut pandangan kajian ijtihad yang berlandaskan maqasid, penetapan al-

Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum Islam utama merupakan suatu yang pasti, yang

berbeda dengan ushul fiqh klasik adalah penetapan hukumnya berdasarkan penekanan pada

nilai-nilai dan prinsip universal al-Qur’an. Apabila ketentuan spesifik dan parsial di dalam

al-Qur’an dan hadis tidak sesuai dengan nilai dan prinsip universaltas maqasid al-syari’ah

yang didasarkan dari Al-Qur’an, maka harus reinterpretasi sejalan dengan prinsip dan nilai

universal tersebut. Begitu juga dengan ijma’ yang tetap digunakan selama di anggap sesuai

dengan maqasid al-Shari’ah36 dan sadd al-dhara’i37 tetap digunakan, hanya saja penentuan

33 Al Qur’an 5 :6734 Al-Shatibi, al-Muwa Faqat, 38635 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, 22136 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, 22637 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos, 1996), 63

Page 12: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

62 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020

Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah

hukumnya lebih di dasarkan pada kemaslahatan dibandingkan dengan teks, yang

menjadikan maqasid al-Shari’ah dan qias menjadi berhubungan karena keduanya sama-

sama menggunakan illat.38

Di dalam maqasid al-Shari’ah, illat merupakan bagian inti untuk menentukan

suatu hukum, sebagaimana qias yang menjadi illat sebagai salah satu syarat dari

penerapannya. Karena itu sebelum masa al-Shatibi, ulama memasukkan diskusi maqasid al-

Shari’ah dalam kajian qias.39 Berbeda dengan hubungan antara maqasid al-Shari’ah

dengan ushul al-fiqh yang terkesan berlawanan, hubungan maqasid al-Shari’ah dengan

kaidah-kaidah fiqih terutama lima kaidah universalnya terkesan harmonis dan saling

melengkapi. Terciptanya kemaslahatan, terpeliharanya keteraturan hidup, terealisasinya

kedamaian, keadilan dan nilai-nilai universal Islam lain sebagai konsep yang dibawa

maqasid al-Shari’ah bergantung pada 5 prinsip dasar kaidah-kaidah fiqih.40 Kelima prinsip

dasar kaidah-kaidah tersebut juga bermuara pada satu kaidah besar, yakni memperoleh

kemanfaatan dan menolak kerusakan (Jaib al-Masalih wa dar’ al-mafasid). Tetapi banyak

kaidah-kaidah fiqih sangat memungkinkan terjadinya perbedaan di kalangan ulama. Oleh

karena itu, apabila dalam tatanan praktisnya menjadi perbedaan antara maqasid al-Shari’ah

dengan kaidah-kaidah fiqh yang berujung pada perbedaan hukum, maka yang diambil

adalah yang paling mendekati kemaslahatan.

Maqāsid (Tujuan) Syariat NikahDalam diskursus hukum Islam, tiap-tiap syariat mempunyai tujuan diperintahnnya

amar syariat tersebut. Tujuan diperintahkannya sebuah syariat disebut dengan istilah

maqasid. Tujuan perkawinan adalah untuk menegakkan agama, untuk memperoleh

keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina rumah tangga yang damai dan

teratur6. Menurut hukum Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan

rohani manusia, pernikahan juga bertujuan untuk membentuk keluarga dan memelihara

serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di dunia ini, juga mencegah

38 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, 6539 Ahmad Imam Mawardi, Fiqih Minoritas, 22640 Imam Ahmad Mawardi, Fiqih Minorita, 266

Page 13: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 63

Siti Humairah

perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan,

ketentraman keluarga dan masyarakat41.

Maksud dari pernikahan yang sejatinya dalam Islam adalah untuk kemaslahatan

dalam rumah tangga dan keturunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu

syari’at Islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan itu42

sebelum melakukan pernikahan, ada rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan yang harus

dipenuhi. Secara maqasidī rukun nikah muncul karena tujuan pernikahan adalah menjaga

keselamatan pernikahan. Untuk mewujudkan kelanggengan pernikahan maka, diharapkan

banyak pihak yang ikut andil dalam proses pernikahan. Pernikahan secara maqasidi (tujuan

syariat) harus memenuhi unsur syarat dan rukun nikah. Syarat nikah yang pertama adalah

adanya sepasang calon suami istri yang bebas dari berbagai hal yang menghalangi sahnya

pernikahan. Misalnya, calon istri bukan dari wanita-wanita yang haram untuk dinikahi oleh

calon suaminya, baik adanya hubungan nasab, susuan, sedang menjalani iddah atau

penghalang lainnya. Syarat nikah kedua, tercapainya ijab, yakni lafad yang dimunculkan

oleh wali calon istri atau orang yang mewakilinya dengan mengatakan kepada calon istri,

”Aku kawinkah si Fulan atau aku nikahkan dia”. Syarat ketiga tercapainya qabul yakni

lafad yang dimunculkan oleh calon suami atau yang mewakilinya.43 Selain syarat

pernikahan tersebut, para ulama menetapkan ketentuan lain tentang syarat pernikahan untuk

mencapai maqasid pernikahan. Ketentuan itu antara lain; calon suami istri itu harus

mu’ayyan (jelas orangnya) dengan jelas; kerelaan masing-masing calon pasangan terhadap

pasangannya dan hendaknya menyelenggarakan pernikahan atas nama calon istri itu adalah

walinya.

Ketentuan penetapan rukun nikah merupakan produk fiqih yang bertujuan untuk

mewujudkan maksud inti dari suatu pernikahan ( maqasīd sharī’ah). Rukun nikah yang

pertama adalah sighat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan seperti saya

nikahkan engkau dengan anak saya yang bernama. Rukun nikah yang kedua adalah adanya

41 Mardani, Hukum Perkawinan Islam,(Graha Ilmu,2011), 11.42 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013), 37443 Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Ringkasan Fiqih Lengkap, jilid I-II (Jakarta: PT Darul

Falah), 831

Page 14: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

64 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020

Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah

wali (wali si perempuan), dan rukun yang ketiga adalah adanya dua orang saksi.44 Selain

syarat dan rukun, para ulama menetapkan ketentuan lain untuk mencapai maqasid

pernikahan. Ketentuan itu antara lain aturan Persaksian dalam akad nikah.45

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut

dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut

mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan suatu yang harus

diadakan. Dalam suatu perkawinan umpamanya rukun dan syarat tidak boleh tertinggal,

dalam arti perkawinan umpamanya rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, dalam arti

perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung

arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada dan hakikat dan

merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang

berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan

rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Adapun syarat

itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.46

Menurut pandangan para ahli Ushul Fiqh, Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah di

samping menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya, juga dengan ruh

tasryi’ atau maqasid syari’ah. Melalui maqasid syari’ah inilah ayat-ayat dan hadist-hadist

hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk

menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung

oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan

metode istinbatseperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga

disebut sebagai dalil.47

Mereka juga membahas terhadap hukum-hukum syar’iyyah yang bersifat umum

yang diambil dari dalil-dalil tersebut, hal-hal yang menjadi sarana untuk memahami

44 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, 38345 Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Ringkasan Fiqih Lengkap, 83246 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet 5 (Jakarta: Kencana Prenadamedia

Group, 2014), 5947Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, (Bandung: PT Sygma Examedia

Arkanleema,2015).

Page 15: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 65

Siti Humairah

hukum-hukum tersebut dari nashnya dan untuk mengistimbathkanya dari selain nash, baik

dari kaidah-kaidah kebahasaan maupun kaidah tasyri’iyyah.48

Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-

hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah

sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan

umat manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok

disyariatkan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di

akherat. Lebih lanjut Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap

ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk

mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.

Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan,

yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.49

Al-Syathibi membuktikan bahwa faktor adat dan praktek sosial ber pengaruh pada

pemahaman norma syariah. Beliau mendeduksi bahwa syariah didasarkan pada

kemaslahatan, yang dibedakan menjadi kemaslahatan yang bersifat dlaruriyat (primer)

hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier).50 Baginya, kemaslahatan dalam lingkaran yang

pertama bersifat universal dan diakui oleh semua bangsa dan agama. Kemaslahatan dalam

lingkaran kedua adalah hukum dan praktek sosial yang diasimiliasikan ke dalam syariah,

dengan memperhatikan kemaslahatan umum, seperti masalah qiradl atau mudlarabah.

Sedangkan lingkaran ketiga dari kemaslahatan adalah hukum yang diisi oleh unsur-unsur

praktek sosial yang lebih halus, seperti kesopanan, kebersihan dan norma-norma budaya

dan adat lainnnya. Menurut Al-Syathibi, Syariah mengadopsi unsur-unsur ini, sebab

semuanya dianggap mencerminkan kepatutan dan pilihanpilihan budaya dalam suatu

masyarakat.51 Ia memberikan illustrasi sebagai berikut. Keluar rumah tanpa menutup

48Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushul al-Syari’ah, ( Darul Ma’rifah, Beirut, 1997)49Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa : Moh. Zuhri dan Ahmad Karib, Dina Utama,

Semarang, 1994, 64.50 Abi Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), Jilid II,h. 7.

51 Abi Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah,h. 216.

Page 16: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

66 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020

Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah

kepala di Timur dianggap sebuah pelanggaran terhadap kesopanan, sementara di barat

tidak demikian, bahkan bisa sebaliknya.52

Begitu besarnya perhatian Al-Syathibi terhadap adat dan budaya masyarakat, ia

menyebut bahkan mengidentikan muamalat dengan adat. Karena itu, menurutnya, adat

dapat menentukan hal yang baik atau buruk. Bahkan syariah, dalam batas tertentu

mengesahkan hasilnya. Lebih lanjut, baginya konsep mashlahat berkait erat dengan norma

baik dan buruk dalam masyarakat. Mana yang lebih dominan diantaranya diterima

syariah.53 Kaitan dengan pendekatan historis yang ditawarkan oleh pemikir kontemporer,

Al-Syathibi mengkaji norma syariah dalam alQuran dengan menempatkannya dalam kontek

sejarah. Dia menemukan relasi antara norma syariah dalam al-Quran dengan praktek lokal.

Dia memberi contoh, norma hukum yang ada di Mekah merepresentasikan norma hukum

yang universal, norma dasar dan merupakan tujuan utama syariat Islam. Sementra norma

hukum yang ada di Madinah merupakan hukum yang nyata dan lebih bersifat operasional,

sekaligus penerapan hukum yang bersifat lokal, merupakan rincian dari dari norma hukum

Makah yang universal. Melalui pendekatan h istoris itu, dia ber kesimpulan bahwa

apabila ahli hukum Islam mengabaikan prinsip-prinsip universal ayat-ayat Makiyah dan

mengabaikan metode induktif, maka mereka akan berhadapan dengan masalah yang serius

berhadapan dengan tradisi dan kebudayaan baru.

Penetapan Uang Asap; dalam Pandangan Maqasid Sharī’ah

Dalam masalah perkawinan sesungguhnya Islam telah mengatur sedemekian rupa.

Dari mulai bagaimana mencari calon pendamping hidup sampai mewujudkan sebuah pesta

perkawinan. Walaupun sederhana tetapi penuh berkah dan tetap terlihat mempesona. Islam

juga menuntun bagaimana memperlukan calon pendamping hidup setelah resmi menjadi

sang penyejuk hati.Perkawinan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan adat

dan kebudayaan mayarakat Melayu. Dalam pelaksanaan perkawinan masyarakat Melayu di

Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah Kalimantan barat

memiliki tradisi tersendiri yang menyangkut tentang perkawinan. Mulai dari menentukan

52 Abi Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. h. 21653 Abi Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah h. 232-235

Page 17: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 67

Siti Humairah

pasangan hidup sampai dengan terwujudnya satu pesta perkawinan. Dalam pelaksaan

tradisi adat perkawinan Melayu terdapat tahap-tahap yang wajib dilakukan oleh masyarakat

yang ingin melangsungkan perkawinan. Jika salah satu tahap tersebut tidak dilaksanakan

maka perkawinan itu dinilai kurang sempurna bahkan dapat mengakibatkan batalnya

perkawinan. Dan dibalik tahap-tahap tradisi itu semua hal memiliki makna yang terkandung

di dalamnya. Salah satu tradisi dalam masyarakat Melayu tentang adanya pemberian uang

asap. Di dalam ajaran Islam yang diwajibkan adalah mahar sedangkan uang asapdalam

Islam tidak diwajibkan. Dalam adat Melayu, uang asap harus ada akan tetapi tidak diberi

ketentuan dan sesuai kesepakatan yang penting sesuai dan sewajarnya.54

Pelaksanaan pemberian uang asap walaupun didalam hukum Islam tidak

tercantum tentang hal ini, namun hal ini tidak bertentangan dengan Syari’at Islam dan tidak

merusak akidah didalam ajaran Islam karena salah satu fungsi dari pemberian uang asap

adalah sebagai hadiah bagi mempelai perempuan untuk bekal kehidupannya kelak dalam

menghadapi bahtera rumah tangga dan ini merupakan maslahat baik bagi pihak mempelai

laki-laki dan mempelai perempuan. Adat seperti ini sering disebut dengan ‘urf sahih yaitu

adat yang baik, sudah benar dan bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum.55

Mahar dan uang asap dalam perkawinan adat Melayu adalah suatu kesatuan yang

tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang

sama dalam hal kewajiban dan harus dipenuhi. Akan tetapi uang asap lebih mendapatkan

perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya

proses perkawinan. Sehingga jumlah uang asap yang ditentukan oleh pihak keluarga

perempuan biasanya lebih banyak daripada jumlah mahar yang diminta.56

Idealnya dalam Islam uang asap itu jangan ditentukan jumlahnya apalagi sampai

jumlahnya tinggi. Yang penting ada dan sesuai kemampuan laki-laki. mengenai masalah

tersebut di atas dalam sebuah hadist Rasul bersabda yang maknanya bahwa perkawinan

yang paling besar berkahnya adalah yang paling murah maharnya. melihat dari makna

hadist tersebut maka jelaslah sangat tidak etis jika uang asap yang diberikan oleh calon

54Jasman Ayub, (Wawanncara warga masyarakat, 30-05-2018).55Jasman Ayub, (Wawanncara warga masyarakat, 30-05-2018).56 Bapak Syaukani (Selaku Tokoh Agama), wawancara 05 Juni 2018.

Page 18: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

68 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020

Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah

mempelai laki-laki lebih banyak daripada jumlah mahar. Hadist tersebut menganjurkan

kepada perempuan agar meringankan pihak laki-laki untuk menunaikan kewajibannya

membayar mahar apalagi uang asap yang sama sekali tidak ada ketentuan wajibnya dalam

hukum Islam. Uang asap boleh tetap ada akan tetapi tidak sampai memberatkan pihak laki-

laki dan sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

Selama pemberian uang asap tersebut tidak mempersulit terjadinya perkawinan

maka hal tersebut tidak bertentangan dengan maqasid syari’ah dan yang paling penting

adalah jangan sampai ada unsur keterpaksaan memberikan uang asap yang akan memicu

terjadinya perbuatan yang tidak baik karena ingin menghalalkan berbagai cara untuk

mendapatkan uang. Karena sesungguhnya tujuan dari maqasid syariah ialah untuk

merealisasikan kemaslahatan setap manusia. Oleh karena itu tidak ada satu pun syari’at

allah yang diturunkan kepada manusia yang tidak mempunyai tujuan. Sebab syariat yang

tidak mempunyai tujuan sama artinya dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat

dilaksanakan.57

Ada prinsip dalam masyarakat melayu yang perlu diubah sedikit demi sedikit yaitu

terkadang orang tua pihak perempuan yang ditunggu hanyalah uang asap tersebut yang

akan digunakan untuk pesta. Padahal kewajiban orang tua ada tiga kepada anaknya. Yang

pertama adalah berikanlah nama yang baik, kedua berikanlah pendidikan yang baik, dan

yang ketiga adalah menikahkan anak. Jadi sewajarnya orang tua juga menyediakan uang

untuk perkawinan anaknya kelak. Jadi jangan hanya mengandalkan uang asap. Bahkan

orang tua yang baik adalah orang tua yang tidak menggunkan uang asap yang telah

diberikan oleh pihak laki-laki tapi uang asap tersebut diberikan kepada anaknya untuk

kebutuhannya setelah berkeluarga.58

Agama Islam sebagai agama rahmatan li alamin tidak menyukai penentuan mahar

yang memberatkan pihak laki-laki untuk melangsungkan perkawinan, demikian pula uang

asap dianjurkan agar tidak memberatkan bagi pihak yang mempunyai niat suci untuk

menikah. Perkawinan sebagai sunnah Nabi hendaknya dilakukan dengan penuh

kesederhanaan dan tidak berlebih-lebihan sehingga tidak ada unsur pemborosan di

57Al-syatibi, al-Mufaqat fi Ushul al- Syari’ah (Kairo:Mustafa,t.th), 150.58 Pak Syaukani (Tokoh Agama), Wawancara 28 Mei 2018.

Page 19: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 69

Siti Humairah

dalamnya karena islam sangat menentang pemborosan. Dalam hukum Islam dikenal prinsip

mengutamakan kemudahan dalam segala urusan. Terlebih lagi dalam urusan perkawinan

prinsip ini sangat ditekankan.59

Agama Islam tidak membeda-bedakan manusia satu sama lain. Tidak ada

perbedaan status sosial dan kondisi seseorang. Semua sama di mata Allah mempunyai

derajat dan kedudukan yang sama. Yang membedakannya hanyalah ketakwaannya.

Al ‘adatu muhakkamah artinya adat itu bisa diterima dan menjadi hukum jika

sudah menjadi kesepakatan. Hukum Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena

sadar akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah mendapatkan peran penting dalam

mengatur hubungan sosial di kalangan anggota masyarakat. Adat sebagai tatanan yang

disepakati oleh m asyarakat yang tidak tertulis tapi tetap dipatuhi karena dirasakan sesuai

dengan kesadaran hukum sendiri.

Sebelum Nabi Muhammad saw diutus, adat kebiasaan sudah banyak berlaku pada

masyarakat dari berbagai penjuru dunia. Adat kebiasaan yang dibangun oleh nilai-nilai

yang dianggap baik dari masyarakat itu sendiri, yang kemudian diciptakan, dipahami,

disepakati, dan dijalankan atas dasar kesadaran. Nilai-nilai yang dijalankan terkadang tidak

sejalan dengan ajaran Islam dan ada pula yang sudah sesuai dengan ajaran Islam. Agama

Islam sebagai agama yang penuh rahmat menerima adat dan budaya selama tidak

bertentangan dengan Syari’at islam dan kebiasaan tersebut telah menjadi suatu ketentuan

yang harus dilakukan dan dianggap sebagai aturan yang harus ditaati.

Adat dan kebiasaan selalu berubah-ubah dan berbeda-beda sesuai dengan

perubahan zaman dan keadaan. Realitas yang ada dalam masyarakat berjalan terus menerus

sesuai dengan kemaslahatan manusia karena berubahnya gejala sosial kemasyarakatan.

Oleh karena itu, kemaslahatan manusia menjadi dasar setiap macam hukum. Maka sudah

menjadi kewajaran apabila terjadi perubahan hukum karena disebabkan perubahan zaman

dan keadaan serta pengaruh dari gejala masyarakat itu sendiri.

Pemberian uang asap dalam perkawinan adat melayu merupakan pemberian

sejumlah uang untuk membiayai pesta perkawinan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam

59Beni Ahmad Saebani dkk, Pengantar Ilmu Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2015.

Page 20: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

70 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020

Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah

Islam tentang walimah. Walimah ini adalah salah satu bentuk rasa syukur setelah

diadakannya akad nikah dengan jamuan makan bagi para tamu undangan, kerabat dan

sanak keluarga. Walimah atas perkawinan itu sunnah hukumnya dan wajib hukumnya bagi

yang memenuhi undangan kecuali berhalangan.

Hal ini sehubungan dengan penyediaan sejumlah uang asap untuk membiayai

jalannya pesta perkawinan. Hanya saja seiring berkembangnya zaman maka jumlah uang

asap dari zaman ke zaman semakin tinggi. Karena disesuaikan dengan tingginya harga

bahan pokok di pasaran pada saat ini sehingga permintaan uang asap yg ditetapkan semakin

tinggi pula. Hal ini lah yang salah satunya melatar belakangi tingginya jumlah uang asap.

Penetapan pemberian uang asap di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh

Kabupaten mempawah Kalimantan barat sudah menjadi suatu tradisi yang tidak bisa

dihilangkan. Karena tradisi tersebut sudah turun temurun dilakukan dimasyarakat melayu di

Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah Kalimantan barat

tersebut. Walaupun tradisi uang asap tidak diatur secara tertulis.

Rata-rata masyarakat melayu di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh

Kabupaten mempawah dalam menjalankan tradisi uang asap tidak merasa terbebani dan

tidak menganggap itu merupakan suatu hal yang buruk, sehingga hal itu dianggap suatu

tradisi yang baik yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki yang akan menikahi seorang

gadis Melayu di Desa Nusapati. Suatu adat yang baik dan dijalankan secara terus-menerus

dan berulang-ulang serta dianggap baik oleh mereka, maka tidak bisa diharamkanbaik oleh

Islam maupun hukum yang berlaku.

Menurut al-Syatibi syari’at yang berlaku bersifat menyeluruh, sehingga

pmberlakuan syari’at tersebut dalam rangka menjamin kemaslahatan umat manusia secara

umum.60maka dari itu, pemberlakuan syari’at harus memperhatikan tradisi dan adat

masyarakat setempat, sehingga kemaslahatan bisa tercipta, karena pada hakikatnya antara

kemaslahatan dunia dan akhirat tidak bertentangan dan saling menyempurnakan.61

Karenanya al-Syatibi membagi adat dengan kondisi masyarakat menjadi dua macam.

Pertama, adat dan kondisi sosial masyarakat yang jelas diakui atau ditolak oleh dalil syara’.

60Al-Shatibi, Al-Muwa faqat, 36561Nurcholis Madid, Fiqih Lintas Agama, 12

Page 21: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 71

Siti Humairah

Kedua, adat atau kondisi sosial masyarakat yang tidak ada dalil syara’ secara jelas diakui

atau ditolak

Hukum dari pemberian uang asap itu sendiri menurut Islam adalah mubah. Tapi

jika sudah masuk ke dalam adat maka hukumnya adalah wajib. Karena ada kaedah dalam

hukum Islam. Hukum itu berputar sesuai dengan kondisi. Penetapan pemberian uang asap

merupakan tradisi dalam suatu adat melayu yang bersifat umum, dalam artian bahwa setiap

suku melayu yang bertempat tinggal di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh

Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat. Pemberian uang asap memang secara gamlang

tidak diatur dalam hukum Islam, akan tetapi pemberian uang asap sudah merupakan suatu

tradisi

Pemberian uang asap merupakan tradisi yang bersifat umum, dalam artian berlaku

pada setiap orang yang bersuku Melayu khususnya di Desa Nusapati Kecamatan Sungai

Pinyuh Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat. Walaupun pemberian uang asap ini tidak

secara gamblang diatur dalam hukum Islam, namun pemberian uang asap sudah merupakan

suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak

bertentangan dengan akidah dan syari’at maka hal itu diperbolehkan.

Kesimpulan

Dalam pandangan maqasid syariah penetapan uang asap masuk dalam kategori

kemaslahatan tahsiniyat (tersier). Data lapangan menunjukkan bahwa pemberian uang asap

merupakan tradisi yang bersifat umum, dalam artian berlaku pada setiap orang yang

bersuku Melayu khususnya di Desa Nusapati Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten

Mempawah Kalimantan Barat. Walaupun pemberian uang asap ini tidak secara gamblang

diatur dalam maqasid syariah, namun pemberian uang asap sudah merupakan suatu tradisi

yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak bertentangan

dengan akidah dan syari’at maka hal itu diperbolehkan oleh syariat islam..

Page 22: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

72 Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 5, No. 1 , Januari 2020

Pelestarian Tradisi Uang Asap Dalam Adat Pernikahan Melayu Perspektif Maqāsid Sharī’ah

Referensi

Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Juz ke 2, Kairo: Dar al-Fikr, tt.

Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Sahih Fikih Sunnah, alih bahasa oleh: Khairul AmruHarahap, Faisal Saleh, Ed, Besus Hidayat Amin, Cet II , Jakarta: Pustaka Azzam,2007.

Abu Yasid, Fikih Keluarga, Jakarta: Erlangga, 2005.

Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushul al-Syari’ah, ( Darul Ma’rifah, Beirut, 1997)

Ali Qaim, Pernikahan Masalah Dan solusinya, Cet I, Jakarta: Cahya, 2009.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Cet 7, Jakarta: Kencana, 2014.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Cet 7, Jakarta: Kencana, 2014.

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo PersadaCet. XIII, 2012.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III Jakarta:Balai Pustaka, 2001.

Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia (suatu Pengantar), PT. Refika Aditama, Bandung,2010.

Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (Penrj.), Bandung: Pustaka, 1984.

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan UpacaraAdatnya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih para Mujtahid, alih bahasa oleh: ImamGhazali Said, Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Jilid 2.

Kajian Ilmiah FKI Ahla, Shuffah, Kamus Fiqih, Kediri: Lirboyo Press, 2016

M. Thahir Maloko. Dinamika Hukum Dalam Perkawinan, Cet. I; Makassar AlauddinUniversity Press, 2012.

Mahdi Ismail (tokoh agama), Wawancara kecamatan sungai pinyuh: juni 25-2017.

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2002.

Muliati Amin, Dakwah Jamaah (Disertasi) (Makassar: PPS. UIN Alauddin, 2010.

Page 23: PELESTARIAN TRADISI UANG ASAP DALAM ADAT PERNIKAHAN …

Shakhsiyah Burhaniyah: Jurnal Penelitian Hukum Islam. Vol. 6, No. 1 , Januari 2021 73

Siti Humairah

Muttafaq Alah dari hadits Sahal- bin Sa’d dalam kish Al- Wahibah, Al- Bukhari (5087)(9/164), Muslim (4374) (5/215).

Puna Siswa III aliyah ponpes liboyo, Esensi Pemikiran Mujtahid, All Rights Reserved,kediri 2003.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:PusatBahasa, 2008.

S. Nasution, Metode Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsinto, 1996.

Soemiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty,Yogyakarta, 1892

Soerjo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Toko Gunung Agung,Jakarta, 1983.

Sugiyono, Metode penelitian pendidikan, ◌bandung: Alfabeta,2015.

Sukanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar Untuk Mempelajari HukumAdat,Cet III Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.

Suwardi Endarsawara,Penelitian Kebudayaan:Idiologi, Epistimologi dan Aplikasi,Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006

Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab,Cet II, Bandung: Hasyimi Press, 2004.

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al- Fauzan, Ringkasan Fiqih Lengkap, Cet I,Jakarta: PT. Darul Falah, 2005.

Tim Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.