PELESTARIAN KAWASAN KOTA TANJUNG PURA SEBAGAI ASET WISATA
DI KABUPATEN LANGKAT
Meyga Fitri Handayani Nasution1), Dharma Widya2)
1Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Medan
email: [email protected] 2Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Medan
email: [email protected]
Abstract
Tanjung Pura formerly was the capital Malay Sultanate of Langkat which stores a various
objects cultural heritage of Malay Sultanate and colonial of Dutch. Diversity of objects of cultural
heritage in Tanjung Pura as the building of historic buildings and relics of the colonial of Dutch
and Sultanate Malay is potentially as a tourist asset in the town of Tanjung Pura, for it is need
conservation efforts to Tanjung Pura will not only the course of history after all.
Specific target of the research is the preservation area of Tanjung Pura so it will be
architecture tourism assets and culture at Malay land of Langkat. The results of research in the
form of concept design, concept preservation, design of draft regional and documentation such as
photograph and historic buildings pictures by using the design program will be proposed to the
tourism agency that assists in the planning of preservation area Tanjung Pura.
The methods used in this study are to conduct a direct observation in Tanjung Pura, create
zones of areas and take sample some of the historic buildings in every zones. The measurement is
performed, making sketches and documentation for a sample of historical buildings in every zone of
the region. Results of measurements and sketches in the field will be represented by using the design
program, make analysis and design concept for the area that wish to become tourist attractions and
make the draft nature conservation areas and historic buildings.
Keywords: City Of Tanjung Pura, Preservation, Tourism Architecture
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu tentang pelestarian kawasan
bersejarah terutama kota-kota tua saat ini
sudah banyak dilakukan oleh beberapa negara
di dunia, seperti negara Jepang, Belanda,
Singapore, dan negara-negara lainnya.
Contohnya negara Singapore yang awalnya
mengganti bangunan-bangunan dan kawasan
bersejarah dengan wujud baru dengan
masuknya modernisasi, tetapi kurangnya
minat wisatawan datang ke Singapore
membuat pemerintah sadar untuk
mengembalikan wajah kota bersejarah
tersebut sehingga muncullah beberapa
kawasan seperti Kampung Melayu, Little
India, dan China Town di Singapore.
Sehingga saat ini obyek wisata di Singapore
berupa bangunan kuno, pasca modern dan
modern.
Di Indonesia sendiri beberapa kota
sudah menerapkan pelestarian kawasan-
kawasan bersejarah maupun bangunan-
bangunan bersejarah yang dianggap sebagai
cagar budaya arsitektur, seperti di kota
Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, dan
saat ini di ikuti beberapa kota lainnya di
Indonesia, seperti Samarinda, Donggala,
Surakarta dan kota lainnya, bahkan sampai ke
kota-kota kecil yang ada di Indonesia.
Kawasan dan bangunan-bangunan bersejarah
yang ada di Indonesia bukan saja bangunan-
bangunan yang ditinggalkan oleh Belanda,
tetapi ada pula yang merupakan peninggalan-
peninggalan dari kerajaan-kerajaan yang
pernah ada di Indonesia, termasuk
didalamnya adalah rumah adat. Jadi cagar
budaya arsitektur di Indonesia sangat
beragam, dari peninggalan kolonial Belanda,
peninggalan kerajaan berupa candi-candi,
istana, tempat ibadah, bangunan tradisional
seperti rumah adat tiap daerah di Indonesia,
dan terdapat pula bangunan-bangunan yang
bercirikan etnis tertentu seperti China, Arab
dan India. Kawasan dan bangunan bersejarah
di Indonesia tidak saja ditemui di kota-kota
besar tetapi banyak juga ditemui di kota-kota
kecil seperti kabupaten dan kecamatan, salah
satunya adalah kota Tanjung Pura.
Kota Tanjung Pura dahulunya
merupakan ibukota Kesultanan Melayu
Langkat. Sebagai ibukota Kesultanan Melayu
Langkat, Tanjung Pura tentunya dulu
memiliki sarana pra sarana pemerintahannya
sendiri, seperti istana, balai pertemuan, balai
peradilan, penjara, rumah raja, masjid,
sekolah, dan lain-lain. Selain itu masuknya
beberapa etnis di Tanjung Pura seperti Arab
dan India yang bertujuan untuk berdagang
dan menyebarkan agama Islam, muncul
bangunan ibadah, lalu masuknya etnis China
sehingga muncul pertokoan dan tempat
ibadah, dan masuk juga Belanda ke kota
Tanjung Pura sehingga muncul rumah-rumah
Belanda dan kantor-kantor pemerintahan dan
fasilitas umum seperti rumah sakit dan kantor
pos. Saat ini kawasan dan bangunan-
bangunan bersejarah di Tanjung Pura
sebagian masih difungsikan seperti awalnya,
tetapi sebagian telah beralih fungsi, bahkan
sebagian bangunan-bangunan tersebut banyak
yang rusak tidak terawat bahkan hilang.
Semua kawasan dan bangunan-bangunan di
masa Kesultanan Melayu dan Kolonial
Belanda merupakan peninggalan bersejarah
yang terdapat Tanjung Pura dan layak untuk
dilestarikan.
Seperti yang telah dijelaskan di atas
bahwa pertumbuhan Kota Tanjung Pura
selain dipengaruhi oleh Belanda juga banyak
dipengaruhi oleh beberapa etnis pendatang,
seperti China (Tionghoa), Arab, dan India.
Hal ini dapat dilihat dari arsitektur yang
terdapat di Kota Tanjung Pura, tidak hanya
bercirikan Melayu tetapi banyak juga
bangunan dengan ciri arsitektur China, Arab
dan India, termasuk juga bercirikan kolonial
Belanda, dalam berarsitektur Belanda sangat
memperhatikan budaya dan kondisi setempat,
jadi wujud bangunan yang ada selalu
memasukan ciri budaya lokal, seperti
penggunaan atap tajuk dan ornamen Melayu
pada bangunannya. Jadi jika dilihat dari ciri-
ciri bangunan dibeberapa kawasan Tanjung
Pura diperkirakan bahwa adanya pembagian
wilayah dari kota berdasarkan etnis tersebut,
seperti adanya kawasan Melayu, kawasan
China, dan kawasan kolonial Belanda.
Keberagaman budaya yang terdapat di Kota
Tanjung Pura menjadikan kota ini sebagai
kota budaya. Selain itu Tanjung Pura juga
dijuluki dengan kota pendidikan, hal ini
dikarenakan beberapa tokoh nasional seperti
Tengku Amir Hamzah dan Adam Malik
pernah menimba ilmu di bumi Melayu
Langkat ini. Dan sampai saat ini pendidikan-
pendidikan bernuansa Islam masih tumbuh
berkembang di Tanjung Pura.
Kondisi saat ini bangunan-bangunan
peninggalan Kesultanan Melayu Langkat
perlahan-lahan mulai hilang. Satu per satu
bangunan rusak dan dirobohkan untuk
menghadirkan bangunan baru yang lebih
modern. Kondisi ini sangat memprihatikan
mengingat kota ini memiliki cagar budaya
yang sangat berpotensi bila dikembangkan
akan menjadi aset daerah.
Untuk itu perlu adanya perhatian
khusus untuk cagar budaya yang terdapat di
Tanjung Pura ini seperti melakukan
pelestarian kawasan dan bangunan-bangunan
guna untuk melindungi, merawat,
mempertahankan dengan cara membuat
konsep penataan dan perawatan yang baik
sehingga nantinya Tanjung Pura dapat
menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun
manca negara untuk datang ke kota ini.
Selain itu perlu melakukan pendataan
dan pendokumentasian dari tiap-tiap
bangunan bersejarah yang masih ada gunanya
untuk refrensi bagi para wisatawan dan juga
untuk pendidikan sejarah bagi generasi
penerus bangsa agar tidak melupakan sejarah
bangsanya. Selain itu diharapkan hasil
penelitian ini nantinya dapat digunakan oleh
pemerintah setempat sebagai acuaan dalam
melakukan pelestarian dan perawatan
kawasan dan bangunan cagar budaya yang
ada di Tanjung Pura.
1.2 Rumusan Permasalahan
Pelestarian merupakan suatu upaya
perlindungan, pengembangan dan
pemanfaatan bangunan atau lingkungan
konservasi yang mendayagunakan benda-
benda cagar budaya untuk kepentingan
agama, sosial, ekonomi, pariwisata,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan. Wilayah yang ditetapkan sebagai
benda cagar budaya mutlak ditetapkan untuk
kepentingan perlindungan dan pemanfaatan,
yang terdiri dari mintakatkan inti, penyangga
dan pengembangan. Jika berbicara tentang
pelestarian suatu kawasan dan bangunan tidak
terlepas dari pengguna bangunan yang
dilestarikan dan juga pemerintah daerah.
Sehingga ada beberapa permasalahan yang
akan dihadapi dalam pelestarian ini, yaitu :
a. Bagaimana memberi masukan kepada
pemerintah daerah setempat tentang
pentingnya dilakukan pelestarian
kawasan dan bangunan-bangunan
bersejarah di Tanjung Pura sebagai
cagar budaya yang mampu
mendatangkan income dengan
memberikan konsep pelestarian berupa
desain rancangan pelestarian.
b. Bagaimana merancang satu kawasan
wisata arsitektur dan budaya di jalan
utama Tanjung Pura yang merupakan
jalan lintas Sumatera, perlu
perencanaan sirkulasi alternatif
kendaraan untuk lintas Sumatera.
2. KAJIAN LITERATUR
2.1 Citra Kota
Sebuah kota adalah gambaran bersama
dari apa yang disajikan dari realitas fisik kota.
Menurut analisis Lynch (1973) image atau
citra kota dibagi menjadi lima elemen yaitu:
a. Pathways (jalur): merupakan jalur-
jalur sirkulasi yang digunakan oleh
orang untuk melakukan pergerakan.
b. Districts (kawasan): bagian kota yang
indah dikenal / sebuah kota yang
terdiri dari lingkungan bagiannya.
c. Edges (tepian): pengakhiran dari
sebuah distrik, juga merupakan
peralihan dari suatu tempat dengan
aktivitas yang berbeda. Apabila dua
distrik dihubungkan pada edge maka
terbentuklah sebuah seam sebuah area
hingga mungkin menjadi suatu
penghubung untuk dua buah
lingkungan.
d. Landmark (tengeran): elemen-elemen
yang menonjol dari elemen
disekitarnya yang mudah dilihat atau
diingat oleh orang-orang.
e. Nodes (simpul): pusat aktivitas, nodes
merupakan bagian dari landmark
tetapi berbeda dari landmark karena
fungsinya yang giat.
2.2 Karakter Fisik Kawasan
Menurut Trancik (1986) untuk
mengetahui bentuk arsitektural dari sebuah
kawasan, dapat diketahui dari tiga teori dalam
perancangan kota yaitu figure ground,
linkage, dan place. Ketiga teori tersebut
sebagai alat yang berguna untuk menelusuri
bangunan atau kawasan yang pernah eksis
dalam cerita sejarah.
a. Figure Ground : merupakan poin
awal dalam memahami suatu bentuk
arsitektural kawasan. Analisis figure
ground ini merupakan alat yang kuat
untuk mengidentifikasi tekstur dan
pattern (pola) dari suatu urban fabric.
Pola kawasan secara tekstural dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok
(Zahnd, 1999: 80) :
• Susunan kawasan yang bersifat
homogen dengan suatu pola
penataan
• Susunan kawasan yang bersifat
heterogen dengan dua atau lebih
pola berbenturan
• Susunan kawasan yang bersifat
menyebar dengan kecenderungan
kacau
b. Linkage
Menurut Shirvani (1985), linkage
menggambarkan keterkaitan elemen
bentuk dan tatanan massa bangunan,
dimana pengertian bentuk dan tatanan
massa bangunan tersebut akan
meningkatkan fungsi kehidupan dan
makna dari tempat tersebut.
2.3 Konservasi
Secara umum, konservasi dipahami
sebagai upaya untuk melestarikan,
melindungi, menjaga dan memelihara benda
cagar budaya serta lingkungan binaan
sehingga makna dari tempat tersebut dapat
dipertahankan. Bahkan dalam arti yang luas
konservasi mencakup secara kulturan dimana
objek tersebut berada. Undang-undang
tentang benda cagar budaya sendiri
menjelaskan bahwa benda yang berumur
lebih dari 50 tahun yang memiliki tolak ukur
kelangkaan, kesejarahan, estetika,
superlativitas dan kejamaakan dapat
dikategorikan sebagai benda cagar budaya
yang dapat di konservasi.
Konservasi sebagai sebuah disiplin
ilmu dari arsitektur yang amat luas.
Pengertian konservasi tidak terbatas pada
pelestarian suatu bangunan atau lingkungan
binaan semata, konservasi memiliki
pengertian yang luas, meliputi berbagai
tindakan dan upaya berkaitan dengan
penyelamatan bangunan bersejarah.
Menurut Catanese, J.C dan Synder dan
(1979) dalam buku Konservasi Laporan KKL
Singapura 2000 (Andreas Didik. S, dkk) ada 6
tolak ukur untuk mengkaji suatu bangunan
atau lingkungan binaan (konservasi), yaitu :
a. Estetika (ditekankan pada nilai estetis
dan aritektural yang tinggi dalam hal
bentuk, struktur, tata ruang dan
ornamenya).
b. Kejamakan (ditekankan pada
seberapa jauh karya arsitektur
tersebut mewakili suatu ragam atau
jenis spesifik khusus).
c. Kelangkaan (suatu benda yang sangat
langka, tidak dimiliki oleh daerah
lain),
d. Kesejarahan (tempat suatu peristiwa
yang sangat penting).
e. Memperkuat kawasan didekatnya
(bangunan atau lingkungan perkotaan
yang mempunyai investasi
didalamnya akan meningkatkan citra
dan kualitas kawasan didekatnya).
f. Keistimewaan (mempunyai
keistimewaan yang tidak dimiliki
oleh bangunan atau bagian kota lain,
misalnya terpanjang, tertua, yang
pertama, tertinggi dan lain
sebagainya).
Menurut James Semple Kerr (1983)
dalam buku Konservasi Laporan KKL
Singapura 2000 (Andreas Didik. S, dkk)
menambahkan 3 tolak ukur lainnya, yaitu:
a. Nilai sosial (untuk bangunan-
bangunan yang bermakna untuk
masyarakat banyak).
b. Nilai komersial (sehubungan dengan
peluangnya untuk dimanfaatkan bagi
kegiatan ekonomis).
c. Nilai ilmiah (berkaitan dengan
peranan pendidikan dan
pengembangan ilmu).
2.4 Prinsip-Prinsip Konservasi
Tindakan konservasi memiliki
prinsip-prinsip dasar yang harus terlebih
dahulu dipahami agar nantinya akan
memberikan hasil yang baik dan dalam hal ini
Feilden memberikan istilah coherence, atau
hasil yang akan memiliki kontinuitas dengan
lingkungan urban dimana obyek itu berada.
Prinsip dasar konservasi sebagaimana
diungkapkan oleh Feilden adalah:
a. Konservasi dilandasi atas penghargaan
terhadap keadaan semula dari suatu
tempat dan sesedikit mungkin
melakukan intervensi fisik
bangunannya, supaya tidak mengubah
bukti-bukti sejarah yang dimilikinya.
b. Maksud konservasi adalah untuk
menangkap kembali makna kultural
dari suatu tempat dan harus bisa
menjamin keamanan dan
pemeliharaannya di masa datang.
c. Konservasi disuatu tempat harus
mempertimbangkan segenap aspek
yang berkaitan dengan makna
kulturalnya, tanpa menekankan pada
salah satu aspek saja dengan
mengorbankan aspek lainnya.
d. Suatu bangunan atau hasil karya
bersejarah harus tetap berada pada
lokasi historisnya. Pemindahan
seluruh atau sebagian dari suatu
bangunan tidak diperkenankan kecuali
bila hal itu merupakan satu-satunya
jalan untuk menjaga kelestariannya.
e. Kebijakan konservasi yang sesuai
untuk suatu tempat harus didasarkan
pada pemahaman terhadap makna
kultural dan kondisi fisik bangunnya.
2.5 Nilai-Nilai Konservasi
Konservasi haruslah menekankan dan
memberikan perhatian pada peningkatan
nilai-nilai kultural masyarakatnya (cultural
property). Nilai-nilai kultural yang terdapat
dalam konservasi menurut Feilden adalah :
a. Nilai Emosional
Nilai emosional mencakup
keindahan, kontinuitas, identitas,
spritual dan simbolik serta hal-hal
emosional yang menakjubkan.
b. Nilai Kultural
Nilai-nilai kultural berkaitan dengan
dokumentasi, kesejarahan,
arkeologikal, bagian dari kota, land
scape atau ekologi, teknologi dan
ilmu pengetahuan.
c. Nilai guna (use value)
Nilai guna meliputi kegunaan,
ekonomi, sosial, politik dan etnik.
Dalam tindakan konservasi.
Ketiga nilai diatas haruslah
memperoleh perhatian secara
proporsional, tindakan konservasi
haruslah meliputi baik nilai emosional,
kultural dan juga nilai ekonomi (use
value) untuk mendapatkan totalitas
hasil bagi komunitas dimana obyek
konservasi berada.
2.6 Sejarah Kota Tanjung Pura
Sejarah kota Tanjung Pura tidak
terlepas dari sejarah Kesultanan Langkat yang
berdiri pada tanggal 12 Rabiul Awal 1163 H
(17 Agustus 1750). Pada tahun 1870 Raja
Tengku Musa menjadi raja Kerajaan Langkat
menggantikan ayahnya Raja Ahmad. Ketika
itu, beliau memindahkan ibukota Kerajaan
Langkat ke Kota Pati. Beliau memerintah di
Istana pertama beliau di Istana Rumah Putih
dengan wilayahnya dari Binjai sampai dengan
Tamiang. Di Kota Pati, Raja Musa
mempersiapkan penerusnya yaitu anak
bungsunya Pangeran Tengku Abdul Aziz.
Pangeran Tengku Hamzah lalu memisahkan
diri dari Istana Darul Aman dan membangun
kediamannya sendiri dekat dengan Pekan
Kota Pati. Kejadian ini sungguh menjadi
perhatian rakyat sehingga Pangeran Tengku
Hamzah disebut Pangeran Tanjung. Sebutan
ini diberikan karena kediaman Pangeran ini
berada di Tanjung Sungai, antara sungai
Batang Durian (Sungai Mati) dengan sungai
Batang Serangan. Kemudian didekat rumah
Pangeran Hamzah terdapat Gapura (pintu
Gerbang) ke kota ke Pekan Kota Pati, di
tepiannya terdapat sungai Batang Durian
tempat anak-anak bangsawan mandi di
sungai. Selanjutnya kota Pati berubah nama
menjadi Tanjung Pura diambil dari sebutan-
sebutan itu tadi.
Menurut Laporan John Anderson
selaku wakil Inggris di Penang pada masa
Raja Tengku Musa, Kerajaan Langkat
berkembang pesat dalam segi ekonominya
yaitu dalam sektor perkebunan dan hasil
hutan yang sangat menguntungkan seperti
rotan, damar, rotan, lilin, buah-buahan hutan,
gambir, emas (dari Bahorok), gading,
tembakau dan beras. Bahkan ekspor Lada
Langkat ke Penang dan Singapure mencapai
20.000 pikul (±800.000 kg). Sehingga rakyat
hidup makmur dan yang bagi rakyat yang
kurang mampu Raja memberi santunan serta
hak dan pinjam pakai tanah perladangan. Raja
Tengku Musa juga mendirikan Istana barunya
tak jauh dari Istana Kota Pati (Rumah
Maktab) yang diberi nama Istana Darul Aman
bergaya Arab dan Melayu.
Pada tahun 1875 Raja Tengku Musa
mendatangkan Syekh Abdul Wahab dari
Rokan, Siak-Riau. Syekh Abdul Wahab
bersama Raja Tengku Musa kemudian
mendirikan Pesantren di daerah Babusalam di
seberang Kota Tanjung Pura. Pesantren
menjadi pusat Dakwah Tariqat
Naqsabandiyah dan daerahnya diberinama
Babusalam. Pesantren ini menjadi pusat
pendidikan dakwah Islam pertama di Sumatra
Timur. Oleh Syekh Abdul Wahab, Raja
Tengku Musa diberi gelar Khalifah karena
jasanya terhadap penyebaran Islam di tanah
Langkat dan Sumatra Timur.
Pada tahun 1877 dengan diakuinya
kesultanan Langkat oleh Belanda dan
Kesultanan Siak. Oleh karena itu, Kerajaan
Langkat berubah menjadi Kesultanan Langkat
dan Raja Tengku Musa diberi gelar Sultan
Tengku Musa al Muazzamsyah.Di era
pemerintahan kolonial Belanda, Kesultanan
dibagi dalam dua bentuk pemerintahan yakni
pemerintahan tradisional kesultanan yang
dipimpin oleh Sultan di Tanjung Pura dan
pemerintahan Kolonial Belanda yang
dipimpin oleh Asissten Residen yang
berkedudukan di kota Binjai. Kedua
pemerintahan baik Sultan selaku pemilik
wilayah yang sah dan pemerintahan kolonial
Belanda sebagai wakil pemerintah Hindia-
Belanda berjalan bersama dalam memimpin
wilayah yang sama Diana pelaksanaanya
terjadi dualisme. Tugas dan kekuasaan
residen Belanda hanyalah mendampingi
Sultan bagi orang-orang asing, sedangkan
Sultan tetap berkuasa pada penduduk pribumi.
Demi terlaksananya roda pemerintahan pada
tahun 1881 Langkat dibagi menjadi dua roda
Wonder afdeling yaitu Langkat Hulu dan
Langkat Hilir. Sultan Musa menunjuk anak
sulungnya yaitu Tengku Hamzah menjadi
wakil sultan di Langkat Hulu.
Syekh Abdul Wahab Babussalam
mengajurkan kepada Sultan Tengku Musa
untuk mendirikan masjid di Tanjung Pura.
Pada tahun 1899 mulailah dibangun masjid
terbesar yang ada di kesultanan Langkat
bahkan di Sumatra Timur yang kita kenal
sekarang ini ialah Masjid Raya Azizi. Tak
lama kemudian, Sultan Tengku Musa
mangkat dan digantikan putra mahkotanya
yaitu Sultan Tengku Abdul Aziz. Sultan
Tengku Musa mewasiatkan untuk
melanjutkan pembangunan Masjid Raya
Azizi. Karena belum adanya jalan raya, bahan
bangunan Masjid Azizi di angkut melalui
sungai. Sultan Tengku Abdul Aziz memangku
jabatannya di Istananya yang ia bangun di
depan Istana Ayahnya yaitu Darul Salam
(Darussalam). Istana Darul Salam ini
bercirikan arsitektur Melayu dan Cina. Pada
tahun 1902, Masjid Raya Azizi selesai
dibangun. Tidak hanya Masjid Raya Azizi,
Sultan Tengku Abdul Aziz juga membangun
Madrasah Aziziah, Madrasah Jamaiyah
Mahmudiyah dan Madrasah Mashlurah di
belakang Masjid Raya Azizi. Masa
kepemimpinan Sultan Tengku Mahmud
dibangun sarana kesehatan yakni Rumah
Sakit Tanjung Pura dan Kantor Pos pada
tahun 1930.
Pada tanggal 12 Maret 1942, tentara
Jepang mengambil alih kepemerintahan
Belanda di Tanjung Pura dan Langkat yang
dipimpin oleh Kagiyama sebagai Gunseibu.
Banyak rakyat di kota Tanjung Pura dipaksa
untuk ikut ke dalam Romusha yakni Sistem
kerja paksa Jepang. Pada waktu itu
dibangunlah proyek lapangan terbang Jepang
di Padang Cermin Kecamatan Selesai dan
Tanjung Beringin kecamatan Hinai dekat kota
Tanjung Pura. Pada tanggal 17 Agustus 1945,
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan
tetapi baru tanggal 6 September 1945 berita
tersebut sampai ke Tanjung Pura dan Langkat
melalui telegram berangkai. Tanjung Pura
mengibarkan pertama kali bendera Merah
Putih di Watertorren (Menara Air) di Jalan
Langkat dan persimpangan Jalan Merdeka
dan Jalan Pemuda.
Pada tanggal 22 Juli 1947, Belanda
dan tentara NICA menguasai kota Stabat.
Pada waktu itu terjadi pertempuran antara
pemuda dan Belanda di pinggiran Sungai
Wampu. Dikhawatirkan Tanjung Pura akan
diduduki Belanda, para pemuda membumi
hanguskan kota Tanjung Pura, terutama
istana, gedung dan rumah-rumah yang tidak
berpenghuni akibat revolusi sosial. Pada
tanggal 30 Juli 1947, istana-istana dan
gedung-gedung kesultanan dibom dan hancur
terbakar. Terjadilah Tanjung Pura lautan api.
Pada tanggal 3 Agustus 1947 pasukan
Belanda berhasil masuk ke Tanjung Pura dan
membuat markas di Tanjung Pura di
Madrasah Jamiyah Mahmudiyah. Di Tanjung
Pura terjadi pertempuran selama 10 hari.
Akhirnya para pemuda ditarik mundur ke
Gebang. Selanjutnya Belanda masuk ke
Pangkalan Brandan dan terjadi pertempuran.
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Pengambilan Data dan Alat
yang digunakan
Penelitian dilakukan di Tanjung Pura
Kabupaten Langkat. Dilakukan pengukuran
pada kawasan dengan menggunakan alat GPS
lalu digambarkan dengan menggunakan
software desain yaitu Autocad dan Ilustrator.
Tiap zona kawasan memiliki bangunan-
bangunan bersejarah, maka diambil beberapa
bangunan untuk mewakili tiap kawasan.
Dilakukan pengukuran pada tiap bangunan
dengan menggunakan meteran, lalu membuat
sketsa tiap bangunan dengan menggunakan
kertas milimeter, dan digambarkan dengan
menggunakan software desain Autocad dan
Ilustrator. Selain itu dilakukan
pendokumentasian setiap bangunan dengan
menggunakan kamera digital.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan pada
penelitian ini yaitu survei data primer dan
survei data skunder. Untuk data primer
didapat dengan cara observasi langsung
dilapangan, dilakukan pengukuran,
pembuatan sketsa, pendokumentasian dengan
kamera digital dan video. Sedangkan untuk
data skunder didapatkan dengan cara studi
literatur dari perpustakaan daerah di Medan,
perpustakaan Melayu, Museum Tanjung
Pura, dan wawancara dengan ahli sejarah di
Tanjung Pura.
Untuk pengambilan sampel bangunan
bersejarah di setiap kawasan dilakukan
dengan melihat kriteria konservasi yaitu, usia
bangunan, estetika, landmark sebuah
kawasan, dan gaya arsitektural.
3.3 Prosedur Penelitian
Tahapan pelaksanaan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a. Tahap survei data skunder yaitu
mengumpulkan data literatur yang
di dapat dari perpustakaan daerah
di Medan, perpustakaan Melayu di
Medan, Museum Tanjung Pura
dan wawancara dengan ahli
sejarah dari Tanjung Pura.
b. Tahap survei data primer,
observasi langsung di lapangan
yaitu Tanjung Pura :
• melakukan pemetaan
bangunan-bangunan bersejarah
• membagi zona kawasan
berdasarkan ciri bangunan yang
terdapat ditiap zonanya
• pendataan tiap-tiap bangunan
bersejarah di setiap zona
kawasan, dilakukan
pengukuran, pembuatan sketsa
dan pendokumentasian dengan
kamera digital untuk
mengambil detail-detail
arsitektur sehingga
memudahkan dalam
penggambaran
c. Tahap penggambaran yaitu data
primer yang didapatkan
dilapangan digambarkan dengan
menggunakan software desain
Autocad dan Ilustrator.
d. Tahap pembuatan konsep yaitu
membuat konsep rancangan untuk
kawasan perkotaan (zona Melayu
dan zona Pecinan) yang akan
dijadikan obyek wisata sejarah,
konsep rancangan dituangkan
dalam gambar desain, seperti
desain pedestrian, desain parkir,
desain sirkulasi, dan lain-lain.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembagian Kawasan di Kota Tanjung
Pura
Dari hasil survey dan pengamatan
langsung di lapangan dengan melihat
arsitektur (bangunan-bangunan) yang ada
maka kota Tanjung Pura dapat dibagi menjadi
3 kawasan. Dan dari 3 kawasan tersebut,
diambil masing-masing 1 (satu) bangunan
yang bisa dijadikan vocal point mewakili tiap
kawasan yaitu :
a. Mesjid Azizi untuk kawasan Melayu
b. Klenteng untuk kawasan Pecinan
c. Kantor Pos untuk kawasan Belanda
Gambar 4.1 Bangunan yang mewakili tiap
kawasan sebagai Vocal Point
Sumber : Hasil Survey, 2014
Setelah menentukan satu bangunan di
tiap kawasan sebagai vocal point dan
pemetaan bangunan bersejarah berdasarkan
ciri-ciri fasadenya, maka didapatkan tiga
kawasan di Tanjung Pura, sebagai berikut :
Gambar 4.2 Pembagi Kawasan berdasarkan
Arsitektur yang dominan
Sumber : Hasil Survey, 2014
4.1.1 Pemetaan dan Pendataan
Bangunan di Kawasan Melayu
Gambar 4.3 Pemetaan di Kawasan Melayu Sumber : Hasil Survey, 2014
Dari hasil survey yang telah
dilakukan di Kota Tanjung Pura bahwa
Sungai Mati yang saat ini tidak berfungsi
akan difungsikan kembali dengan melakukan
pengerukan sehingga Sungai Mati ini akan
berfungsi kembali sebagai kanal pengendali
banjir di kota Tanjung Pura ini. Selain itu
dengan difungsikannya kembali Sungai Mati,
secara ekonomis diharapkan akan dapat
dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber
pendapatan baru, dimana masyarakat dapat
memanfaatkan aliran sungai ini sebagai objek
wisata alternatif seperti memancing atau
wisata air lainnya.
Langkah-langkah konservasi yang
dapat dilakukan di kawasan Melayu ini yaitu
dengan penataan kembali bangunan-bangunan
di kawasan ini agar bangunan-bangunan lama
yang masuk dalam kategori pelestarian lebih
menonjol dari bangunan-bangunan baru.
Untuk kawasan permukiman penduduk, perlu
adanya penataan kembali agar menghilangkan
kesan kumuh, dengan membuat jaringan
drainase kota dan memfungsikan kembali
kolam Raja yang berada di bagian belakang
bangunan masjid sebagai area rekreasi dan
sebagai folder yang berfungsi sebagai
pengendali banjir di kawasan ini. Dan
penataan permukiman ini juga dapat
dikembangkan menjadi kawasan sentra
industri pengerajin makanan khas Melayu
Langkat yang akan berdampak pada
pelestarian makanan khas Melayu Langkat.
Penataan permukiman masyarakat
Melayu ini dapat dikembangkan sehingga
fungsi rumah bukan hanya sebagai tempat
tinggal namun dapat juga dimanfaatkan
sebagai home stay (penginapan murah),
perubahan fungsi ini akan memberikan nilai
ekonomis bagi masyarakat dimana wisatawan
yang berkunjung ke kawasan ini akan dapat
melihat kehidupan masyarakat Melayu
Langkat yang masih asli dengan menginap di
rumah-rumah penduduk untuk menikmati
budaya masyarakatnya.
4.1.2 Pemetaan dan Pendataan
Bangunan di Kawasan Pecinan
Gambar 4.4 Kawasan Pecinan
Sumber : Hasil Survey, 2014
Kondisi eksisting pertokoan lama di
kawasan pecinan di kota Tanjung Pura saat
ini telah banyak mengalami perubahan secara
visual fasade bangunannya. Perubahan terjadi
pada fasade, struktur maupun jumlah lantai.
Dilihat dari kondisi tersebut,
pelestarian yang dapat dilakukan ada 2 (dua)
alternatif, yaitu :
a. Mengembalikan bentuk fasade
bangunan pertokoan yang telah
berubah ke bentuk semula
b. Membiarkan bentuk-bentuk yang
telah berubah, namun pertokoan-
pertokoan yang belum mengalami
perubahan harus dipertahankan dan
mengusulkan kepada pemerintah
daerah agar izin perubahan
bangunan pertokoan hanya bisa
dilakukan pada bagian belakang
bangunan, sehingga fasade depan
bangunan pertokoan dapat
dipertahankan kelestariannya.
Pelestarian yang dapat dilakukan
pada pertokoan lama di Kawasan Pecinan ini
adalah penataan lebih terhadap fungsi rumah
bukan hanya sebagai tempat tinggal dan
pertokoan biasa namun dapat dimanfaatkan
sebagai penginapan murah (home stay)
sehingga dapat memberikan nilai ekonomi
bagi masyarakat dimana wisatawan yang
berkunjung ke Kawasan Pecinaan ini akan
dapat menikmati budaya kehidupan
masyarakat Tionghua dan menjadikan
kawasan ini sebagai kawasan wisata kuliner.
Kondisi lain yang harus dilakukan
perbaikan adalah tinggi level muka jalan dan
sistem drainase. Tinggi muka jalan saat ini
telah mengalami perubahan ketinggian yang
sangat besar menyebabkan muka lantai
bangunan pertokoan semakin rendah dan hal
ini menyebabkan bangunan pertokoan sering
mengalami banjir. Untuk itu perlu adanya
perencanaan drainase yang baik dikawasan ini
dan folder yang pada masa lampau dijadikan
sebagai penampung air hujan akan
dikembalikan fungsinya seperti awal.
4.1.3 Pemetaan dan Pendataan
Bangunan di Kasawan Belanda
Gambar 4.5 Kawasan Belanda
Sumber : Hasil Survey, 2014
Pada kawasan Belanda terdapat
beberapa bangunan bergaya kolonial yang
sekarang mengalami kerusakan-kerusakan
pada fasade, lingkungan dan struktur
bangunannya, hal ini disebabkan bangunan
tersebut tidak dihuni (kosong) dan tidak jelas
siapa pemiliknya.
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat
dilakukan perawatan dan pengikut sertakan
masyarakat dalam tindakan pelestarian yang
dilakukan. Tindakan pelestarian yang dapat
dilakukan pada bangunan-bangunan tersebut
adalah dengan cara rehabilitasi. Lingkungan
dikawasan Belanda juga harus dilakukan
penataan untuk meningkatkan kualitas
lingkungannya dengan cara tindakan
konservasi tidak langsung (preservation of
deterioration).
Pada kawasan Belanda terdapat kolam
penampung folder yang saat ini tidak terawat
dan tidak berfungsi disebabkan oleh telah
ditempati oleh permukiman masyarakat. Hal
tersebut mengakibatkan terjadi banjir
dikawasan Belanda dan kota Tanjung Pura
umumnya akibat tidak dapat ditampungnya
air dari sungai dan hujan. Melihat kondisi
tersebut, kolam penampung folder tersebut
harus dikembalikan ke kondisi awalnya
sehingga dapat berfungsi seperti semestinya.
Selain itu, kolam penampung folder ini harus
dilakukan tindakan konservasi untuk menata
lingkungannya yaitu dengan jalan konservasi
tidak langsung (preservation of
deterioration).
4.2 Rancangan Pelestarian
Dari hasil survey yang dilakukan data
bangunan-bangunan bersejarah di ketiga
kawasan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kawasan Melayu terdapat sekitar 10
bangunan bersejarah yang berkaitan
dengan kesultanan Langkat
b. Kawasan Pecinan terdapat sekitar 200
ruko dan 1 kelenteng
c. Kawasan Belanda terdapat sekitar 16
bangunan yang terdata
Hasil pendataan bangunan-bangunan cagar
budaya di 3 kawasan tersebut berupa
dokumentasi foto-foto. Sedangkan untuk
kawasan yang akan dijadikan obyek wisata
adalah kawasan lintas Sumatera yaitu dari
jalan Mesjid Raya hingga jalan Sudirman,
dapat dilihat pada gambar 5.6. Zona berwarna
kuning adalah zona rencana pelestarian.
Gambar 4.6 Kawasan Pelestarian yang
direncanakan
Sumber : Hasil survey, 2014
Zona ini diambil karena merupakan
pusat Kota Tanjung Pura dan terdapat vocal
point yang sangat menarik yaitu keberadaan
Masjid Azizi. Pelestarian dilakukan pada
kawasan dan bangunan-bangunan yang
terdapat di zona ini.
Untuk pelestarian kawasan dilakukan:
a. Kawasan Melayu sebagai pusat
aktifitas kegiataan peribadatan
islami, pendidikan dan wisata
sejarah serta permukiman akan
mengalami penataan dengan
dilengkapi fasilitas pendukung.
Dan Kawasan Pecinaan sebagai
pusat aktifitas perdagangan dan
perniagaan, wisata sejarah, wisata
kuliner, peribadatan khonghucu
dan Buddha serta permukiman
juga dilakukan penataan.
b. Zona kuning tidak dapat dilalui
oleh kendaraan bermotor, untuk
jalur kendaraan (jalan lintas
Sumatera) dialihkan dengan
membuat jalan alternatif.
c. Membuat rancangan drainase
kota sehingga agar tidak terjadi
banjir ̧ akan dilakukan
pembenahan dan perbaikan untuk
disesuaikan dengan sistem folder
kota yang akan dihidupkan
kembali.
d. Merencanakan ruang terbuka
untuk umum, taman, kegiatan
bazar, jalur hijau, dan lain-lain.
e. Merancang pedestrian yang baik
di kawasan sehingga wisatawan
akan nyaman menikmati wisata
sejarah, arsitektur dan kuliner
f. Mengembalikan gapura lama
sebagai pintu masuk ke kawasan
g. Merancang fasilitas pendukung
seperti sarana parkir kendararaan,
tempat peminjaman sepeda, area
kuliner dan suvenir.
h. Sungai Sei Batang Serangan dan
Sungai Sei Batang Durian yang
mengelilingi kota Tanjung Pura
akan dibenahi dan ditata dengan
baik dipersiapkan untuk jalur
transportasi wisata air.
Gambar 4.7 Kawasan Pelestarian yang
direncanakan
Sumber : Hasil survey, 2014
Gambar 4.8 Potensi Kawasan Pelestarian sebagai
Obyek Wisata
Sumber : Hasil survey, 2014
Gambar 4.9 Konsep Pelestarian Kawasan Wisata
Sumber : Hasil survey, 2014
Untuk pelestarian Bangunan di zona
kuning, akan dilakukan :
a. Bentuk bangunan bersejarah akan
dikembalikan ke wajah aslinya.
b. Ketinggian pada bangunan baru
tidak boleh melebihi bangunan
bersejarah yang dilestarikan.
c. Tidak diperbolehkan untuk
melakukan perubahan dan atau
penambahan yang
menghilangkan bentuk asli dari
bangunan bersejarah.
d. Apabila diperlukan penambahan
fisik pada bangunan yang
dikonservasi tidak boleh terlihat
merubah bentuk asli dari
bangunan tersebut.
e. Pada bangunan bersejarah yang
tinggal puing-puing akan
dilakukan pemagaran dan
penataan lansekap disekitarnya.
5 KESIMPULAN
Kota Tanjung Pura merupakan kota
yang memiliki kekayaan budaya dan sejarah
yang sangat perlu dilestarikan. Perkembangan
kota Tanjung Pura dapat dilihat dari
keberadaan bangunan-bangunan tua yang
menyimpan banyak sejarah dimasa lampau.
Sayangnya saat ini satu persatu situs sejarah
tersebut mulai hilang dan rusak. Untuk itu
pelestarian kota Tanjung Pura saat ini
sangatlah dianjurkan agar cagar budaya
berupa bangunan-bangunan tidak menghilang
satu persatu. Dengan mengembalikan wajah
kawasan kota akan memunculkan karakter
dari kota Tanjung Pura sehingga memiliki
keunikan tersendiri yang menjadi daya tarik
wisatawan untuk datang ke Tanjung Pura.
Zona pelestarian yang di ambil adalah
jalan Masjid Raya sampai jalan Sudirman,
untuk zona ini dijadikan kawasan bersejarah,
kawasan budaya dan menjadikannya sebagai
kawasan wisata. Diharapkan dengan
pelestarian ini akan meningkatkan taraf
perekonomian masyarakat setempat. Untuk
perkembangan kota selanjutnya diselaraskan
dengan kondisi sejarah kota Tanjung Pura.
6 REFERENSI
Budiharjo, Eko. Cetakan II 2011. Penataan
Ruang dan Pembangunan Perkotaan.
Bandung: PT. Alumni.
Daniel Perret, 2010, Kolonialisme dan
Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatra
Timur, Kepustakaan Populer Gramedia,
Jakarta.
Arifin, Zainal, 2009, Sekilas Tragedi
Bersejarah Brandan Bumi Hangus, Mitra,
Medan.
Arifin, Zainal, 2009, Langkat dalam Sejarah
dan Perjuangan Kemerdekaan, Mitra, Medan.
Dirjen Ciptakarya, 1998, Penataan Bangunan
dan Lingkungan. Departemen Pekerjaan
Umum, Jakarta.
Broadbend. 1994, New down Town : Ideas
City of Tomorow. URA &PMB.Singapore.
Aldo Rossi. 1991, The Architecture of The
City, MIT Press. Cambridge.
Lynch, Kevin, 1973, The Image of The City,
London-England: The MIT Press.
Allan Dobby, 1978, Conservation and
Planning, Hutchinson, London
Kartika Yuliana K, 2013, Upaya Pelestarian
Kampung Kauman Semarang Sebagai
Kawasan Wisata Budaya, Jurnal Teknik PWK
Volume 2 Nomor 2, 2013
Arie Setiana Putra (2013), Perencanaan Jalur
Interpretasi Wisata Warisan Sejarah Budaya
di Pusat Kota Denpasar, E-Jurnal
Agroekoteknologi Tropika, Vol. 2, No. 2,
April 2013
Yulita Titik S, 2011, Model Pengelolaan
Bangunan Cagar Budaya Berbasis
Partisipasi Masyarakat Sebagai Upaya
Pelestarian Warisan Budaya, SERI KAJIAN
ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari
2011
Novesty Noor Azizu, 2011, Pelestarian
Kawasan Bentteng Keraton Buton, Jurnal
Tata Kota dan Daerah Volume 3, Nomor 1,
Juli 2011
Fathurrahman Mansur, 2006, Konservasi Dan
Revitalisasi Bangunan Lama di Lingkungan
Kota Donggala, Majalah Ilmiah “Mektek”
Tahun Viii No.2 Mei 2006
Tri Prasetyo Utomo, 2005, Tipologi dan
Pelestarian Bangunan Bersejarah; Sebuah
Pemahaman melalui Proses Komunikasi,
Ornamen Jurnal Seni Rupa STSI Surakarta,
Vol 2, No. 1 Januaru 2005