Upload
hadien
View
234
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
PELESTARIAN ARSIP :
Menyelamatkan Warisan Budaya Bangsa
Dr. Dewi Ladiawati, M.Si.
Abstract:
Tropical area has a variety of crucial problems related to with archival activities,
particularly in keeping archives. Fungus, a high temperature and relative humidity are
the causes of damaging archives. Silent attacks of insects do worsen the bad condition of
archives. This paper will discuss archive preservation in order to save them as part of
the national heritage. Besides, this study will show the aims and functions or
infrastructure necessary for the preservation of archives.
Key Words: archives, archivist, preservation, tropical climete, insect, fungus,
temperature, humidity.
PENDAHULUAN
Salah satu warisan yang perlu dilestarikan oleh setiap generasi dari masa ke
masa adalah arsip. Hal ini karena arsip dapat digunakan sebagai sumber informasi dan
kajian bagi berbagai disiplin ilmu seperti sejarah, arkeologi, hukum, arsitektur, dan
lainnya. Hasil penelitian dari sumber arsip dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Dengan demikian preservasi arsip perlu dilakukan semaksimal mungkin,
terutama bagi negara berkembang yang beriklim tropis.
Indonesia merupakan negara tropis yang terdiri dari tujuh pulau besar dan
ribuan pulau kecil. Pada umumnya kawasan tropis didefinisikan sebagai kawasan darat
2
dan air. Dengan mendominasi sekitar 40 % dari seluruh permukaan darat bumi ini,
kawasan tropis menjadi tempat tinggal hampir separuh penduduk dunia. Kawasan ini
pada umumnya bersuhu panas, dan memiliki sedikit perubahan musim. Ada perbedaan
cuaca di kawasan tropis, namun 90 % dari kawasan ini mencakup wilayah bercuaca
panas dan lembab. 10 % sisanya berbentuk seperti gurun, dan ditandai dengan hawa
panas dan kering (Baish, 1987).
Secara garis besar hanya ada tiga kawasan cuaca yang dipertimbangkan.
Pertama, zona sangat panas dan gersang, termasuk gurun, dengan cuaca laut yang
kering dan panas. Kedua, zona lembab - hangat, termasuk cuaca khatulistiwa seperti
Indonesia. Ketiga, zona sedang, termasuk cuaca dataran tinggi tropis. Pembagian ke
dalam tiga zona cuaca ini bersifat umum dengan cuaca yang berbeda. Kondisi lokal bisa
juga sangat berbeda dengan cuaca suatu kawasan yang ada, tergantung pada topografi,
ketinggian dan lingkungannya, yang bersifat alami atau dibangun oleh manusia. Adanya
kondisi seperti kandungan udara dingin, angin lokal, kumpulan air, urbanisasi,
ketinggian dan permukaan tanah bisa mempengaruhi cuaca lokal (Gut, 1933).
MASALAH PELESTARIAN ARSIP DI DAERAH TROPIS
Pada umumnya temperatur tinggi dan kelembaban relatif memainkan peranan
penting dalam proses kemerosotan kimia dan biologi, serta memberikan suasana yang
kondusif bagi pembiakan serangga tropis (Arnoult, 1995). Ada beberapa faktor yang
membuat kehidupan arsip sangat sulit di kawasan Asia/Pasifik, terutama pada negara
berkembang, seperti: cuaca tropis, kerusuhan politik/ perang, kurangnya pengetahuan
3
tentang kebutuhan melestarikan arsip oleh pemerintah, perbedaan bahasa dan
keahlian membaca arsip.
Pendanaan kegiatan kearsipan termasuk preservasi, berkaitan erat dengan
sistem politik yang berlaku. Pemerintah di sebagian besar negara berkembang
memberikan prioritas yang sangat rendah pada kegiatan kearsipan. Anggaran untuk
kegiatan arsip sering sangat rendah sehingga tidak tersedia dana yang memadai untuk
melakukan perawatan arsip, menyediakan tempat penyimpanan yang layak bagi
khasanah arsip, serta mengelola ruang pelayanan arsip dengan sarana dan prasarana yang
memadai. Pelestarian arsip dianggap sebagai barang mewah. Tidak jarang terjadi
pemangkasan anggaran bagi kegiatan pelestarian arsip. Dengan demikian perlu
disosialisasikan bahwa pemerintah harus mengakui arti penting arsip serta kebutuhan
untuk melestarikan warisan suatu bangsa, agar dapat mengalokasikan anggaran untuk
kegiatan pelestarian arsip.
Proses kerusakan arsip di daerah tropis sangat kompleks. Secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal adalah perusak arsip yang disebabkan dari dalam media arsip, yang berkaitan erat
dengan proses pembuatan bahan seperti keasaman kertas, dan unsur lainnya seperti tinta.
Sumber keasaman yang berasal dari dalam kertas antara lain residu dari bahan kimia
yang digunakan pada waktu pembuatan kertas, seperti lignin, alum rosin, dan zat
pemutih. Adapun faktor eksternal yaitu faktor dari luar arsip, seperti pengaruh unsur
fisika, kimia, biologi, faktor penggunaan dan penanganan yang salah, serta bencana alam
dan musibah. Faktor fisika terdiri dari cahaya, suhu dan kelembaban udara, serta debu.
Faktor kimia meliputi senyawa gas, dan polusi udara. Faktor biologi mencakup jamur,
4
bakteri, serangga, binatang pengerat. Faktor penggunaan dan penanganan arsip yang
salah, seperti perpindahan, pameran, reproduksi. Faktor bencana alam dan musibah
meliputi kebakaran, banjir, perang, bencana alam, dan pencurian.
Panas yang berlangsung hampir selama setahun memacu laju kerusakan pada
arsip. Pada prinsipnya setiap kenaikan 100 C pada temperatur akan mengurangi separuh
kehidupan arsip (Thomson, 1994). Radiasi ultraviolet dan unsur energi dalam sinar
dengan temperatur tinggi akan mengakibatkan percepatan oksidasi dan hidrolis.
Dampak kontaminasi kimiawi akan sangat besar ketika udara berada pada titik jenuh
dan pengembunan terjadi. Di dalamnya, kandungan senyawa tinggi telah berdampak
pada material organis. Ketika kelembaban dan temperatur tinggi dibiarkan tak terkontrol,
kemerosotan terjadi sangat cepat, sehingga menciptakan lingkungan yang layak bagi
agen-agen biologi. Jamur tidak aktif dalam kelembaban yang relatif rendah, namun
ketika mencapai 70 %, maka jamur akan hidup dan berkembang biak. Di samping hal
tersebut di atas, hama dan serangga merupakan perusak arsip yang sangat cepat, karena
sedikit demi sedikit mereka memakan kertas yang merupakan media arsip konvensional
(Baish, 1987).
APAKAH PELESTARIAN ITU?
A. Pengertian Pelestarian Arsip
Secara konsep, istilah pelestarian arsip sering disebut juga dengan istilah
Preservasi (Preservation) Arsip. Preservasi atau pelestarian arsip adalah perlindungan
5
fisik arsip terhadap kerusakan atau unsur perusak (Terminologi Kearsipan Nasional,
2002). Di dalam Terminologi Kearsipan Nasional (2002), disebutkan ada pelestarian
arsip langsung dan tidak langsung. Pelestarian arsip langsung adalah menyediakan
prasarana dan sarana perlindungan arsip, termasuk bangunan, metode, penyimpanan
arsip dan perbaikan fisik. Pelestarian tidak langsung adalah mengusahakan alih media
dari arsip kertas ke mikrofilm, kaset video, kaset rekaman suara dan sebagainya.
Peter Walne (1988) mendefinisikan preservasi adalah tindakan perlindungan
arsip terhadap kerusakan, atau dari faktor yang melemahkan kondisi arsip, dan
perbaikan terhadap arsip yang rusak. MacKenzie (1996), memberikan definisi dengan
pengertian yang sangat luas yang dapat mencakup keseluruhan bidang pelestarian arsip.
Definisi yang ia utarakan sebagai berikut :
1. Preservasi, arti saat ini dalam bidang kearsipan, mengacu kepada segala sesuatu
yang mendukung ke arah perbaikan fisik koleksi (khasanah arsip).
2. Konservasi, berpadunya fisik arsip dengan bahan-bahan pendukung perbaikan,
dan ini hanya merupakan bagian dari pelestarian arsip.
3. Pelestarian tidak langsung, mencakup bangunan, metode penyimpanan arsip,
jaminan terhadap keamanan dan penanganannya.
4. Pelestarian dengan pengganti (duplikasi) atau format ulang. Ini berarti membuat
reproduksi arsip, biasanya dengan microfilm, dan kemudian menggunakan
kopian (copy) untuk menggantikan yang asli, sehingga mengurangi risiko robek
atau membusuk pada arsip asli dan mempertahankan kondisinya.
6
Ada definisi lain yang menarik dari Memori Program Dunia (Memory of the
World-website) yang memisahkan antara pengertian pelestarian atau preservasi dan
konservasi. Menurut pendapatnya, sebagi berikut:
1. Preservasi adalah pemrograman dan pengorganisasian semua kegiatan konservasi
koleksi arsip secara umum.
2. Konservasi adalah sebuah konsep yang mencakup konservasi preventif
(pencegahan) yang bermaksud mengurangi risiko penurunan: kontrol lingkungan,
perawatan dan perlindungan rutin koleksi arsip dengan menggunakan
penanganan yang memadai, sarana anti pencurian dan membuat dokumen tiruan
bagi dokumen asli yang sering digunakan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa preservasi atau
pelestarian arsip adalah tindakan perlindungan dan perawatan terhadap arsip sehingga
dapat disimpan dan dimanfaatkan dalam jangka waktu lama. Berdasarkan pada
pengertian ini, maka kegiatan preservasi meliputi kegiatan pemeliharaan, penyimpanan,
dan pengamanan arsip baik fisik maupun informasinya.
Secara garis besar, kegiatan utama pelestarian arsip terdiri dari dua hal. Pertama,
pemeliharaan arsip dari berbagai faktor perusak, baik yang disebabkan oleh faktor
internal maupun faktor eksternal. Penanganan dilakukan sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan, baik peralatan, kondisi ruang penyimpanan, suhu dan kelembaban ruang
penyimpanan, keamanan, restorasi yakni melakukan perbaikan terhadap arsip yang sudah
rapuh. Kedua, reproduksi arsip dalam rangka pelestarian informasi yang terkandung
dalam media arsip.
7
B. Tujuan dan Fungsi
Dalam melakukan kegiatan pelestarian arsip terdapat tujuan dan fungsi. Tujuan
utama pelestarian arsip yakni untuk melindungi fisik arsip agar tahan lama,
menghindarkan kerusakan sehingga kandungan informasinya dapat terjaga semaksimal
mungkin. Hal ini dilakukan mengingat siklus alam menunjukkan bahwa semua unsur zat
organis akan merosot.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelestarian arsip, yaitu :
1. Mempertahankan otentisitas dan reliabilitas arsip;
2. Arsip permanen;
3. Menyimpan arsip berdasarkan medianya;
4. Ruang penyimpanan yang bersih dengan suhu dan kelembaban udara yang stabil,
200 C, serta AC selama 24 jam per hari dalam setahun;
5. Melakukan perawatan terhadap arsip yang rapuh atau rusak dengan hati-hati.
Di dalam melakukan pelestarian arsip terdapat beberapa fungsi, yaitu:
1. Perlindungan. Arsip dilindungi dari berbagai unsur perusak;
2. Pengawetan. Dengan dirawat secara baik, arsip bisa menjadi lebih tahan lama;
3. Kesehatan. Dengan perawatan yang baik, arsip menjadi bersih, bebas dari debu,
jamur, binatang perusak, sehingga petugas dan pengguna arsip menjadi terlindung
dari penyakit;
4. Pendidikan. Petugas dan pengguna arsip harus belajar cara memakai dan merawat
arsip. Mereka tidak boleh membawa makanan dan minuman ke ruang
penyimpanan dan layanan arsip;
8
5. Kesabaran. Merawat arsip memerlukan kesabaran;
6. Keindahan. Dengan melakukan pelestarian arsip yang baik, maka ruang
penyimpanan arsip menjadi lebih indah, sehingga memberikan motivasi kerja para
petugas kearsipan dan meningkatkan minat baca para pengguna arsip.
C. Sarana dan Prasarana
Dalam melakukan pelestarian arsip yang baik perlu didukung oleh sarana dan
prasarana yang memadai, sesuai standar yang berlaku Sarana dan prasarana yang harus
ada adalah:
1. Gedung dan ruang penyimpanan yang representative.
2. Pedoman dan standar pelestarian arsip.
3. Laboratorium.
4. Peralatan dan alih media.
5. Rak arsip, lemari arsip, AC, dehumidifier, thermometer, hygrometer,
thermohygrometer, trolley, leafcaster, rewinder, video tape cleaner, film cleaner,
telecine, stein back, kamera microfilm, mesin prosesing, komputer, scanner.
6. Wadah penyimpan arsip terdiri dari boks, amplop, can.
D. Proses Pelestarian Arsip
Di dalam melakukan pelestarian arsip terdapat beberapa tahapan yang harus
dilalui. Tahapan-tahapan tersebut terdiridari :
9
1. Persiapan
Dalam melakukan persiapan, kegiatan yang dilakukan adalah:
a. Menempatkan arsip hasil akuisisi pada ruang transit untuk diseleksi dan
dibersihkan dari berbagai faktor perusak arsip;
b. Memindahkan arsip yang sudah diseleksi dan dibersihkan ke ruang
penyimpanan;
c. Merawat atau memperbaiki arsip yang rusak.
2. Pemeliharaan
Pemeliharaan arsip dilakukan untuk menjamin bahwa arsip disimpan di tempat
yang baik dan aman dengan fasilitas lengkap dan dapat ditemukan secara cepat.
Dalam pemeliharaan, kegiatan yang dilakukan adalah :
a. Menata arsip sesuai dengan grupnya;
b. Menyimpan dan menata arsip sesuai dengan format dan medianya;
c. Mengatur kestabilan suhu dan kelembaban udara ruang penyimpanan arsip;
d. Mengontrol fisik arsip secara rutin;
e. Mengontrol lingkungan tempat penyimpanan arsip;
f. Menindaklanjuti hasil temuan kontrol terhadap fisik dan lingkungan arsip.
3. Perawatan/ Restorasi
Perawatan atau restorasi arsip adalah tindakan yang dilakukan dalam memperkuat
kondisi fisik arsip yang mengalami kerusakan atau mengalami penurunan kualitas
secara fisik. Termasuk di dalamnya penggunaan metode yang dianggap tepat.
Kegiatan yang dilakukan adalah:
a. Mendaftar arsip yang akan diperbaiki;
10
b. Mencatat jenis, metode dan rangkaian tindakan perawatan yang pernah
dilakukan terhadap arsip yang bersangkutan;
c. Melaksanakan perawatan secara tepat dan hati-hati;
d. Melakukan pemeriksaan secara berkala.
4. Reproduksi
Reproduksi adalah melakukan penggandaan arsip baik menggunakan peralatan
optik maupun fotografik. Contoh reproduksi adalah fotokopi, pembuatan foto,
mikrofilm, reproduksi kaset, dan film. Jenis reproduksi arsip terdiri dari mengkopi
dan alih media. Mengkopi adalah kegiatan menggandakan arsip dengan format
hasil penggandaan yang sama dengan aslinya. Contohnya, dari format kertas
digandakan menjadi format kertas. Tidak demikian halnya dengan alih media,
meskipun merupakan kegiatan penggandaan tetapi hasilnya akan berbeda dengan
aslinya. Contohnya, format asli film reel dialihmediakan ke format video
tape/kaset, format asli kertas dialihmediakan ke mikrofilm, digital dan
sebagainya.
Arsiparis harus memahami tentang pembuatan media arsip. Hal tersebut akan
berguna dalam memilih bentuk media untuk menyimpan, daya tahan setiap media, dan
dampak berbagai media arsip. Arsiparis harus turut aktif dalam pembuatan reproduksi
untuk menentukan media apa yang memadai; kertas daur ulang dapat digunakan jika
arsip tidak disimpan lebih dari 10 tahun, tetapi kertas yang bebas asam digunakan untuk
arsip yang diperlukan lebih lama. Mikrofilm untuk jangka waktu lama harus diproses
secara cermat menurut standar tertinggi, dan disimpan di ruang penyimpanan yang
11
memadai. Lain halnya dengan mikrofilm yang tidak untuk jangka waktu lama, tidak
memerlukan banyak perhatian pada pengolahan, penyimpanan dan penanganan.
Dalam melakukan reproduksi terutama bagi arsip media baru harus hati-hati
dalam menentukan media, karena adanya perkembangan tipe dan model yang sangat
cepat dalam peralatan media baru. Usahakan untuk memilih media dan peralatan
penunjang yang berkualitas, serta tidak terlalu cepat pergantiannya agar mudah diakses.
Ada tiga tujuan utama melakukan reproduksi, yaitu :
1. Mengawetkan gambar dan suara dalam keadaan stabil untuk batas waktu yang
lama.
2. Menentukan keamanan dan melindungi informasi jika aslinya rusak atau hilang.
3. Membuat duplikasi sebagai pengganti yang asli agar tidak cepat rusak karena
sering dipinjam dan digunakan.
Pembuatan macam-macam duplikasi sangat penting untuk menjamin bahwa
masing-masing media mudah diidentifikasi, baik dalam kegunaan maupun jenisnya.
Akan lebih baik jika dalam reproduksi menggunakan pemberian kode warna, yakni
merah untuk duplikasi pemeliharaan dan perlindungan, hijau untuk duplikasi, dan biru
duplikasi untuk referensi.
E. Orang yang Bertanggung jawab
Siapa yang bertanggung jawab bagi pelestarian arsip ? Jawabannya adalah
petugas arsip atau Arsiparis, dan semua orang yang bekerja di bagian yang berhubungan
langsung dengan arsip, seperti di bagian pengolahan, penyimpanan dan layanan arsip,
12
serta laboratorium. Orang-orang yang melakukan perbaikan arsip tergolong sebagai ahli
teknik yang bertugas melaksanakan perbaikan. Mereka juga menganjurkan dan
melaksanakan kegiatan pelestarian secara umum, seperti mengontrol lingkungan tempat
menyimpan arsip dan mengontrol fisik arsip. Para teknisi ini melaksanakan prosedur
pelestarian di bawah arahan tenaga konservator terlatih atau petugas arsip yang
berpengalaman.
Manajer atau orang yang paling bertanggung jawab di bagian khasanah arsip,
bertanggung jawab bagi pelestarian secara umum, seperti menjamin kondisi lingkungan
tempat penyimpanan khasanah arsip cukup memadai dan layak pakai, memperhatikan
ada tidaknya penyakit pada arsip, serta menjamin keberadaan fisik arsip senantiasa
berada pada tempatnya. Setiap staf maupun petugas arsip hendaknya diberitahu atau
diarahkan menuju pelestarian arsip, penanganan reproduksi yang cermat untuk
mengurangi kerusakan, pengangkutan arsip secara hati-hati, dan mendidik pengguna
tentang bagaimana sebaiknya akses dan penanganan mereka dalam menggunakan arsip,
menasihatkan pada pembuatan reproduksi arsip kertas agar hati-hati.
PERKEMBANGAN PELESTARIAN ARSIP DI INDONESIA
Di negara-negara berkembang dengan laju perekonomian rendah, tampak bahwa
fasilitas dan kondisi politik hampir tidak mendukung kebutuhan untuk menjamin warisan
budaya bangsa. Demikian pula halnya dengan Indonesia sebagai negara berkembang
dengan laju perekonomian yang belum mencapai taraf yang diharapkan, alokasi dana
untuk kegiatan kearsipan masih jauh dari yang diharapkan. Seringkali anggaran untuk
13
kegiatan pelestarian arsip dikurangi untuk menunjang kegiatan lain yang dianggap “lebih
penting.” Hal tersebut terjadi di pemerintahan tingkat pusat maupun daerah. Hendaknya
mereka ingat bahwa masih perlu mengatur pelayanan nasional bagi perlindungan warisan
budaya bangsa, daripada membangun sebuah mall besar, sehingga mereka yang ingin
melestarikan sisa-sisa peninggalan masa lalu harus bersabar.
Di tengah kondisi seperti di atas, Arsip Nasional RI (ANRI) sebagai lembaga
yang bertanggung jawab di bidang kearsipan, memberi angin segar di bidang pelestarian
arsip, disaat terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami yang melanda Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tanggal 26 Desember 2004 lalu. Bencana yang
menelan korban jiwa, menghancurkan gedung dan harta rakyat Aceh termasuk buku dan
surat tanah, juga melenyapkan arsip sebagai bukti sejarah peradaban dan perkembangan
rakyat Aceh. Upaya yang dilakukan ANRI adalah mencari bantuan dari negara lain.
Jepang melalui Tokyo Reservation and Concervation Centre (TRCC) dan Japan
International Corporation (JIC), bersedia bekerjasama dengan ANRI dan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dalam menangani arsip pertanahan yang rusak akibat
bencana tsunami di NAD.
ANRI sebagai lembaga yang bertanggung jawab di bidang penyelamatan dan
pembinaan kearsipan nasional melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
mengeluarkan Surat Edaran MENPAN Nomor SE/06/M.PAN/3/2005 tentang Program
Perlindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap
musibah/bencana; serta Nomor SE/07/M.PAN/3/2005 tentang Pendataan, Penyelamatan
dan Pelestarian Dokumen/Arsip Negara. Keluarnya dua Surat Edaran ini memberikan
semangat baru bagi ANRI untuk menyelamatkan arsip sebagai memori kolektif bangsa.
14
Setelah melakukan berbagai macam proses, maka diputuskan cara penanganan
arsip pertanahan yang terendam lumpur. Seluruh arsip yang rusak parah direndam dalam
etanol (alkohol 70%), dan arsip yang kerusakannya tidak parah dibersihkan dengan cairan
etanol. Arsip tersebut lalu dikeringkan dan didata oleh Arsiparis ANRI. Selanjutnya
dimasukkan ke dalam rak pengering untuk dibawa ke Jakarta. Sebanyak 13 ton arsip
pertanahan dibawa dari NAD dengan menggunakan pesawat Hercules. Setiba di Jakarta,
arsip yang terdiri dari buku tanah, surat ukur, warkah, serta surat keputusan hak atas
tanah, dimasukkan ke dalam Cold Storage dengan suhu -40 C. Kemudian dimasukkan ke
dalam Vacuum Freeze Dry Chamber , mesin pengering yang didatangkan dari Jepang
untuk dipinjamkan kepada ANRI. Arsip yang sudah hancur dan susah dibuka karena
lengket oleh lumpur serta tercemar berbagai bakteri/jamur yang berbahaya, ternyata dapat
dibuka lagi. Pada peringatan satu tahun bencana tsunami di NAD tanggal 26 Desember
2005, arsip pertama hasil perbaikan di ANRI diserahkan kembali kepada rakyat Aceh.
Berdasarkan uraian di atas, terbukti bahwa pelestarian arsip sangat penting bagi
kelangsungan hidup suatu bangsa. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara , arsip
merupakan bukti pertanggungjawaban nasional, sebab arsip mempunyai nilai guna
administratif, hukum, keuangan, penelitian, pendidikan, dan sejarah. Dengan pentingnya
kandungan nilai tersebut, maka tindakan pelestarian arsip sangatlah perlu.
PENUTUP
Arsip merupakan hasil dari kegiatan organisasi atau lembaga dalam menjalankan
tujuannya. Arsip tercipta secara otomatis dan tidak secara sengaja dibuat. Itu sebabnya
15
arsip bersifat unik. Arsip merupakan memori kolektif bangsa yang memiliki nilai
tersendiri. Nilainya tidak bisa diukur dengan materi. Oleh sebab itu pelestarian arsip
perlu dilakukan dalam rangka turut serta menjaga warisan budaya bangsa. Dengan
melakukan pelestarian arsip berarti menumbuhkan jiwa nasionalis berbangsa. Bangsa
yang menghargai arsip adalah bangsa yang bermartabat.
Pelestarian arsip perlu dilakukan secara benar dan berkelanjutan oleh tenaga ahli
terlatih, karena jika arsip yang dikerjakan rusak maka tidak bisa dicari gantinya. Arsip
berguna bagi masyarakat luas sebagai sumber ilmu pengetahuan, karena bersifat netral
dalam mengungkapkan kebenaran, sehingga menjadi sumber yang dapat memberikan
keuntungan sebagai bukti. Dengan demikian maka pelestarian arsip di Indonesia bukan
hanya tanggungjawab ANRI, tetapi merupakan tanggungjawab seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arnoult, J. Proceedings of the Pan-African Conference on the preservation and conservation of library and archival materials. Nairobi, Kenya: 21-25 June 1993. The Hague: IFLA, 1995.
Arsip Nasional RI. Terminologi Kearsipan Nasional. ANRI, Jakarta, 2002. ---------------------- “Rekonstruksi Penyelamatan Arsip Badan Pertanahan Nasional
NAD.” Media Kearsipan Nasional. Edisi 46, 2006, hal. 8-12. ---------------------- “Peranan Arsip Dalam Menumbuhkan Jiwa Nasionalis, “ Media
Kearsipan Nasional. Edisi 47, 2007, hal. 55.
16
Baish, M. Special problems of conservation in the tropics. Conservation
Administration News 31: 4-5, 1987. Gut, P. Climate Responsive Building. St. Gallen:SKAT, 1993. Harvey, Ross. “Preservation,” dalam Keeping Archives. Editor Judith Ellis. The
Australian Society of Archivist, 1993. MacKenzie, G.P. “Establishing a Preservation Programme,” Janus I, 1996, p.86-99. Penn, Ira A. Records Management Handbook. England: Gower Publishing Limited,
1994. Surat Edaran MENPAN Nomor SE/06/M.PAN/3/2005 tentang Program Perlindungan ,
Pengamanan dan Penyelamtan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap musibah/bencana
Surat Edaran MENPAN Nomor SE/07/M.PAN/3/2005 tentang Pendataan, Penyelamatan
dan Pelestarian Dokumen/ Arsip Negara Teygeler, Rene Preservation of Archives in Tropical Climates. Paris-The hague-
Jakarta, 2001. Thomson, G. The Museum Environment. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994. Walne, Peter. Dictionary of Archival Terminology. Munchen, 1986.
1
Hurricane Katrina
Experiences and Lessons Learned
Alfred E. Lemmon
Abstrak :
Dalam tulisan ini, Lemmon berbagi pengalaman dan mengungkapkan pelajaran
yang dapat diambil dari kejadian bencana Badai Katrina yang menyapu Kota New
Orleansn Negara bagian Lousiana, Amerika Serikat, terutama yang menimpa dua
institusi yakni : Pusat Dokumentasi Sejarah New Orleans dan Keuskupan Agung New
Orleans ( The Historic New Orleans Collection an Archdiocese of New Orleans).
Pelajaran pertama yang dapat dipetik yaitu bagaimana rencana konstruksi
infrastruktur yang tidak memadai, sebab ketika bencana terjadi sambungan telepon kabel
maupun selular terputus; padamnya jaringan listrik; kebutuhan untuk segera membangun
kontak dengan pejabat instansi dan segenap staf dan upaya untuk memperoleh jaminan
ijin untuk memeriksa seluruh koleksi yang ada.
Pengalaman mengajarkan untuk menghadapi bencana yang sewaktu-waktu dapat
terjadi, rencana antisipasi yang baik merupakan suatu hal yang mutlak. Betapa dari
kejadian ini seluruh arsip yang ada ditemukan dalam keadaan utuh sebab telah dialih
mediakan dalam bentuk microfilm dan samasekali bahan arsip yang mengandung nilai
sejarah tidak mengalami kerusakan. Ada beberapa langkah kegiatan yang perlu
dilakukan : meninjau kembali rencana penanganan bencana; adanya kebijakan
[penjaminan yang baik terutama atas bahan-bahan dokumentasi dan koleksi yang bernilai
tinggi, jaminan social dan kesehatan serta seluruh program layanan untuk kepentingan
2
yang mendesak; pembelajaran individual dalam menghadapi tantangan dengan cara
selalu memperbarui ketrampilan secara berkelanjutan.
Dengan begitu permasalahan mendasar dan pengalaman kedua lembaga yang ada
di Kota New Orleans tersebut dalam menghadapi bencana Badai Katrina patut dijadikan
pelajaran. Bagaimana mereka merumuskan dengan seksama antisipasi atas kemungkinan
bencana yang akan terjadi dan pengaruhnya terhadap hilangnya arsip serta langkah-
langkah yang diambil untuk mengamankannya; dibutuhkan rencana kegiatan untuk
melatih segenap staf dan mendorong mereka untuk bersikap kreatif dalam menghadapi
situasi darurat; diperlukan rencana tanggap darurat dan pemulihan bencana guna
melindungi dan menjamin tetap berjalannya roda organisasi, dan tata kerja dan bila
mungkin perbaikan atas arsip yang rusak, ini semua sebagai unsure yang wajib
divantumkan dalam pedoman penanganan bencana.
Introduction
Recent and not so recent disasters have drawn attention to the vulnerability of
archives, libraries, and museums. However, the following observation by Associated
Press writer David B. Caruso is most sobering.
Millions of rare artifacts in museums and libraries across the United States are slowing disintegrating because of improper storage, according to a survey said to be the largest-ever look at the condition of such collections. Damage is occurring at institutions of all sizes, but is worse at smaller-town museums and historical societies. The survey of conditions at 3,370 museums, libraries and archives found that many lacked the basic environmental controls that prevent photographs from losing color, keep rare books from crumbling to dust and protect military uniforms from being devoured by insects. A quarter was deemed potentially vulnerable to damaging fluctuations in temperature, light and humidity. Another 65 percent had already sustained damage in their collections.
3
Only one in five institutions have a paid staff dedicated to storing material, and fewer than one in three had an up-to-date assessment of the overall conditions of their collection. Eighty percent of the institutions lacked a plan for detailing with how their objects might be saved if a natural disaster occurs.1
According to a March 29, 2005 media alert from “Earth Observatory,” more than one-
third of the United States’ population lives in hazard-prone areas.2 Chief among the
causes of disasters are: Blizzards and snowstorms, drought, earthquake, epidemic,
famine, flood, forest fire, hailstorm, heat wave, hurricanes, ice storm, landslides and
mudslides, tornados, tsunami, and volcanic eruptions. During the twentieth century, the
United States suffered major natural disasters such as: 6 major blizzards and snowstorms
(including the so called “Storm of the Century” of 1950 with hurricane force winds and
heavy snow across 22 states); a ten year drought (1930-1940); 8 major earthquakes; 3
major epidemics (including the 1949-1952 polio epidemic and the 1918 influenza
epidemic with more than 500,000 deaths), 10 floods (including the 1927 Mississippi
River flood); 7 major forest fires, 2 stifling major heat waves; 26 hurricanes (with the
1926 hurricane that struck Miami cost the equivalent of more than $84 billion present-
day U.S. dollars); 28 ferocious tornado systems, a tsunami; and volcanic eruption. Such
a litany is indeed monotonous, but it underscores the importance of the topic at hand.3
From the late 1980s to late1990s a combination of improvements in weather forecasting
and warning systems combined with improved building codes have greatly reduced the
number of fatalities from natural disasters in the U.S. The trend in 1998 indicated that
the states most affected by the costs of hurricanes (Florida, North Carolina, and Texas)
and earthquakes (California and Washington) also had the largest increase in both
population and revenue.4
4
It should also be noted that natural disasters are more frequent and costly. On
December 30, 1999, the U. S. Geological Survey issued a warning that “The costs of
natural disasters – lives lost, homes destroyed, economies disrupted – have skyrocketed
in this century, as the world’s population has grown and has moved into areas that are
vulnerable to earthquakes, hurricanes, landslides, and other natural hazards. Keep in
mind the following information from the Independent Insurance Agents of America.
Prior to 1987, the United States had not experienced a natural disaster with insured losses
greater than $1 billion. Since that time, there have been 8 such events.5 But there is
reason for hope. By understanding how and where these natural events occur, so that we
can build and live safely on the earth, and by providing real-time information about
floods, earthquakes, and other hazards, so that we can respond effectively when disaster
strikes, the USGS is helping to build stronger, safer communities that are resilient to
natural disasters.6
The solution is proper planning according to the association. A major problem is
adequate building codes appropriate to the region. The August 21, 2006, report of Len
Tylka, as President of the Florida Homebuilders Association, shows how building codes
can reduce damage:
But since Hurricane Andrew, there have been dramatic improvements. Today’s building code is one of the strongest in the country. Homes built under the new code that experienced Hurricane’s Charley and Ivan performed as they were designed – lives were saved and property damage was minimized. FEMA praised Florida’s code for reducing the overall amount of damage. But to make sure the code is as strong as it should be, the Commission engaged the country’s best scientific minds to evaluate its strength. This scientific review was supported by the Governor and insurance industry, and the home building industry agreed to accept its results7 “Sound, up-to-date and successful building codes are essential for construction,
but codes must also be enforced and continuously updated to effectively contribute to
5
disaster mitigation,” according to Leonard C. Brevik, National Association of
Professional Insurance Agents CEO in his 2006 address to the National Council on
Insurance Legislators. He further noted additional costs are not more expensive and are
“well worth the investment” and cited recent findings that “structures built to higher
standards are 77 percent less likely to be damaged.” After highlighting disaster
prevention as a means to save lives, suffering, loss of property and jobs, he ended his
presentation with the sobering observation that not all can be mitigated as: "the nature of
Nature is that the unanticipated will sometimes happen, despite our best efforts."8
It should be clear that several factors are basic to disaster preparedness. But the
most basic of all considerations begin with the choice of topographical location for
library, archive, or museum. The1878 Topographical and Drainage Map of New Orleans
and the Surrounding Area by Thomas Hardee, is the key to understanding Hurricane
Katrina impact on New Orleans. The 1878 map clearly outlines neighborhoods of the
city historically subject to flooding and those areas that have not suffered flooding. As
the 20th century developed, citizens eventually trusted in technology and developed the
“low, swampy terrain behind the natural levees of the river and the lake,” an area that
historically has proven to have drainage problems.9 The accuracy of Hardee’s map is
reflected in Katrina’s damage, as the very areas depicted with drainage problems
suffered the most. Furthermore, Barthélemy Lafon’s Plan of the City and Environs Of
New Orleans, Taken from actual Survey (1816), clearly depicts the limit of the 1816
flood that covered the rear of the city, flooding the low swampy ground behind the
natural levee of the river.”10 Institutions depicted in areas as prone to flooding in the
1816 and 1878 maps are precisely those that suffered the greatest losses. It is critical to
remember that New Orleans, like many major cities in the United States, is in a region of
6
adverse geography. As seen in the Katrina experience, the location of topography must
be a critical factor in the location and subsequent development of construction projects.
The experience of Katrina has reaffirmed that the construction of archives,
libraries, and museums must adhere to all building codes and sound curatorial
principal. The use of extensive glass walls, the use of basements, proper placement
of mechanical systems, and a host of other architectural decisions are the beginning
of a disaster plan. A disaster plan alone is not adequate. Staff members must be
trained to be able to respond efficiently and effectively.
Two case studies
My observations in this paper are based primarily upon the experiences of two
institutions – The Historic New Orleans Collection, a privately funded museum/research
center, and the Archdiocese of New Orleans, the second oldest Catholic diocese in the
United States, whose original territory stretched from Key West, Florida to Southern
Canada. Both institutions had disaster plans and both plans functioned properly, though
one institution had relatively minor damage and the other sustained severe damage.
The Historic New Orleans Collection
Upon learning of an impending hurricane on the Saturday morning, August 27,
the disaster plan was implemented. Staff members called a previously assigned
telephone number to receive instructions. Upon arrival, staff members returned all items
to their proper location in vaults. Staff and public areas were totally secured. Items on
exhibit on ground floor exhibition rooms were stored on the second floor. By being on
the second floor, they would be safe from potential flooding, while the floor above
served as protection in the event of roof failure.
7
Previously prepared visquin curtains were lowered over all shelves, all equipment
was secured and protected, and “snakes” were placed in front of all doorways to inhibit
the flow of water, within the building, in the event of flooding. Windows were secured
with pre-cut plywood. Once the building was properly secured, an “emergency response
cart” was positioned at the emergency entrance.11 Within a matter of 5 hours, the
building had been successfully secured. On Sunday morning, August 28, the storm had
greatly strengthened. Preparations were reviewed and additional precautions undertaken
where deemed necessary.
In the aftermath of the hurricane, staff learned that the buildings survived with
relatively minor damage. The institution is located in an area not prone to flooding and a
top priority is the maintenance of all buildings. However, staff soon learned that the
well-designed disaster plan was not adequate due to the situation as a result of the storm:
1.Contact lists, even with alternate numbers, were rendered basically useless, as
telephone lines and cell phone towers were equally destroyed. In fact, land lines
functioned much better than cell phones. E-mail was unavailable due to the lack of
electricity. The major challenge was to reestablish communications, both with staff and
government officials. Contact numbers for the appropriate government officials and
agencies had been rendered useless. In the days after Katrina, communications became
increasingly difficult with staff members. Upon realizing the severity of the damage,
many staff members left their original evacuation point to be with relatives who could
assist them with a long-term evacuation. Once reaching their ultimate point of refuge,
most acquired new cell phones and/or established new e-mail addresses. Slowly the staff
was reassembled when the director of systems established a “Google Group” and a “staff
only page” on our web site.
8
On September 8, ten days after the storm, we received assistance from the
Louisiana National Guard and the state police to return in a convoy to New Orleans to
secure collections and evacuate previously designated “priority items.” The Director of
the research center coordinated communications with the state police, the fine arts
moving company, the executive director, director of museum programs, financial officer,
the institution’s building supervisor and the staff member responsible for the computer
system. Given the elevated risk of fire and a prolonged period without electricity, it was
a critical action. Fortunately, both of our fine arts movers had taken appropriate
precautions prior to the storm. As they had crews in place, we were able to evacuate the
priority collections and move them to the Alexandria Museum of Art, a small museum
with state of the art facilities about 6 hours distant from New Orleans.
Due to curfews and travel difficulties, staff had 5 hours to inspect and evacuate
collections from 3 sites. The work had to be accomplished with no electricity or
elevators. Fortunately, the emergency response carts were placed near the entrance to
the building. Additionally, certain collections deemed “priority” are stored in preferred
locations, regardless of the classification number, specifically for ease of retrieval in an
emergency situation. Therefore, all priority manuscripts were grouped together in one
vault, all priority rare books in another, and in a third all of the priority visual collections.
Furthermore, each storage container for these items is identified by a reflector to assist in
the ease of retrieval.
Movers and staff formed an assembly line, material carefully was removed, an
emergency evacuation inventory form completed, and the trucks loaded. In the process,
however, several valuable lessons were learned. Flashlight batteries lose power far faster
than imaginable in an emergency situation. Secondly, in preparing the collections for the
9
hurricane, we used carts to store books that were being processed. It was a fatal mistake
and cost valuable time as each of those books had to be removed in order to use the carts
to evacuate priority items. With the priority books being in phase boxes, it was very
easy to simply place them on a cart and shrink wrap the cart.
Arriving at the Alexandria Museum of Art, we faced another challenge as the
only available vault had no shelving units. Coca Cola delivery crates were placed on the
floor, and materials carefully placed on top of them. Visual collections remained in their
respective print cases on Coca Cola crates. Books remained on the carts. Paintings
remained wrapped carefully in ethafoam and mover’s blankets. During the unpacking,
any containers damaged in the move were photographed, and made a notation on the
emergency evacuation inventory form.
The evacuation trip did reveal one physical need at our New Orleans off-site
storage facility requiring immediate attention: None of our regular contractors had
received permission to return to the city to work, however, through stroke of luck, a
contactor who was cleared to enter New Orleans to assist a hospital was able to help us.
This underscores just how quickly a well prepared disaster plan was rendered useless and
the importance of creative solutions.
On September 15 we were given permission to return to New Orleans a second
time. The purpose of the trip was to remove additional items, and inspect the facilities
another time. Our local fine arts mover had a pass from the Office of Emergency
Management to enter New Orleans, the city was stable, and a police escort was not
necessary. Controls into the city were still tight however. Indeed, it took more than one
hour for the appropriate papers to be checked at the entry point into New Orleans. All
cars in our convoy had magnetic signs identifying them as “rescue” vehicles.
10
Citizens and businesses were allowed to return to New Orleans based upon zones
(postal codes). Senior staff members who could return did so immediately. Even though
electrical service to the zone where the institution is located, it was necessary to bring
every supply imaginable for both the institution and individuals. The initial days were
spent preparing the buildings to greet returning staff members and working with the
HVAC service company. Other measures were undertaken immediately. Special
security badges for all staff members were prepared. Normally a routine task, the lack of
operating businesses required the badges to be made in a nearby city. Even then it took
two days to make them as opposed to the few minutes required under normal
circumstances. As movement within the city was still limited, the badge listed the
addresses of all of the institution’s facilities. Staff members were required to complete a
new staff contact questionnaire. As addresses, telephone numbers, and e-mail addresses
had changed for a large number of staff members, this was mandatory. They were
required to list two contact people, one of whom had to be outside of the greater New
Orleans metropolitan region. Finally, on October 3, staff members who could return to
work did return to work, over a month after Katrina struck New Orleans.
The first assignment upon return was a thorough cleaning of the building. The
top of every shelving unit was vacuumed. All items on shelves were removed; the items
were checked for any sign of stress due to the hurricane or the aftermath. Shelves were
cleaned with alcohol. At the same time, the all buildings were monitored, on multiple
occasions, for potential environmental hazards. On October 12, the museum division of
the institution reopened, and one week later, the research center reopened.
Construction and disaster response companies were highly visible. Dangers
associated with construction soon became immediately apparent. A construction crew
11
placed a trash bin adjacent to the off site storage facility. Unfortunately, it caught fire. A
security guard noticed immediately. As a result damage was minimal. Had it not been
observed and immediate action taken, however, a major disaster would have resulted.
When conditions were stable, the evacuated priority collections were returned
from Alexandria. Staff was sent to Alexandria to inventory and prepare the material for
transfer. Upon arrival in New Orleans, everything was again inventoried, inspected for
damages, and the evacuation condition reports updated where necessary.
Daily life remained severely impacted for months. The institution’s mailing list,
and e-mail list were no longer accurate. Due to the vast needs in the region, obtaining
routine archival supplies was a challenge. Receiving supplies was additionally hindered
as United Parcel Service in New Orleans had lost all but 4 trucks.
As work resumed, the disaster plan was updated to address the challenges of a
major regional disaster. Among changes was the evacuation of the institution’s van.
While accession records are routinely microfilmed and a copy stored off site, the
microfilms were not stored with the priority collections, nor was a set evacuated. A
complete set of all microfilmed accession records are now stored with the priority
collections. Our emergency response carts were updated to include items such as hard
hats, hammers, and safety goggles to name just a few. Routine daily procedures were
updated, including emptying refrigerators in the staff lounges every Friday. In addition,
in the event of a hurricane, all groceries must be removed from the refrigerator and staff
lounge. Magnetic gates leading to the research center were rendered useless with the
absence of electricity. They are now equipped with padlocks in the event of electrical
failure. An agreement with a hotel chain was arranged to house essential staff in the
immediate aftermath of a disaster.
12
Generic self-carboning rescue inventory forms have been added to the disaster
carts. Department heads have been issued laptop computers. Every staff member has
been issued a new, separate e-mail account not reliant on the institution’s server. Critical
numbers and contact information were distributed to staff members in a readily available
simple format.
However, the final, critical lesson learned was simple: staff must be trained to
respond in a practical, creative and intelligent fashion to a disaster as time does not
permit consulting a disaster plan. The written disaster plan should be considered as a
training manual for response to a disaster. In the end the two most difficult commodities
to locate were communication and access to accurate information - the very two
prerequisites for which the recovery efforts depend.
In the months after Katrina, The Historic New Orleans Collection experienced
new ways of serving the community. Staff members were dispatched to local shopping
centers to operate information centers on how families could salvage lost treasures. As
the institution was able to re-open within six weeks to the public, staff members were
critical in providing information to the press. Immediately, the institution launched a
major documentation project. Staff photographers documented all neighborhoods of the
city, ephemera documenting the rebuilding effort have been systematically collected, and
major oral history project documenting the first responders was initiated. The focus of
the oral history project has been the first-responders. As first-responders came from
throughout the country, it was necessary for staff to travel throughout the country to
interview them. An exhibition “City of Hope: New Orleans after Katrina” was
developed specifically to demonstrate how the city has handled and survived prior
floods. A significant educational component was developed that included lectures on
13
topography, history of flooding, and legal issues. On the one-year anniversary of
Katrina, a special reception was held honoring the first-responders, who assisted
thousands of individuals and families in the hours and days after the disaster.
As a gift to the community, the institution proceeded with a planned major
exhibition “Common Routes: St. Domingue●Louisiana.” Opening six months after the
city was devastated, more than three dozen museums and individual collectors from
throughout the United States, Spain and France loaned items to the exhibition. The
exhibition, designed to explore the historical relation between the two former French
colonies, had been planned for three years and in the wake of Katrina:
“The Historic New Orleans Collection renewed its commitment to presenting this
exhibition to the public. Although many Louisianans have been displaced, and
all have been shaken, our unique cultural heritage remains a rallying point. May
this exploration of our common routes help to inspire those who are committed to
rebuilding our beloved region.” 12
In the aftermath of Katrina, France responded very quickly to the needs of its former
colony. Within two months, the French Minister of Culture and Media Renaud
Donnedieu de Vabres, Ambassador Jean-David Levitte, and Consul General Pierre
Lebovic began a highly ambitious program to assist the cultural heritage of the
devastated region. On March 2, 2007, 400 Years of French Presence in Louisiana:
Treasures from the Bibliothèque nationale de France opened at The Historic New
Orleans Collection. The same day Femme, Femme, Femme, an exhibition depicting the
evolution of women drawn from museums in France, opened at the New Orleans
Museum of Art. Both exhibitions are part of the French contribution to the recovery
effort, as well as the on-going educational and musical exchange programs.
14
Archives of the Archdiocese of New Orleans
The importance of a good disaster plan is more critical for the less fortunate. The
Archdiocese of New Orleans has a cooperative agreement with the Diocese of Baton
Rouge. The early records from the French and Spanish colonial periods and the ante-
bellum period were stored in a building that suffered significant water damage.
Fortunately, none of the components of that historic archive were harmed. However, due
to lack of basic services and the fragility of the building, it had to be moved to Baton
Rouge.
The damage was a result of a broken sprinkler pipe and not flooding. The other
two major archival facilities for the archdiocese were in heavily flooded areas. Finally,
every building owned by the archdiocese was damaged, including administrative offices,
churches, schools, and numerous social services support facilities. The archivist of the
Diocese of Baton Rouge immediately became involved in the rescue effort of the archive
the Archdiocese of New Orleans. In that instance, the lesson learned is not the
importance of the first 48 hours, but what to do in the first 48 days after a major disaster.
Four months after Katrina, they were still rescuing bound volumes of documents.
Unfortunately, given the vast size of the Archdiocese of the New Orleans, the process
continued for months. In addition, to the Diocese of Baton Rouge assisting them, once
housing was available, archivists from other dioceses and institutions came to come to
help. Such “assistance” visits were usually a week or two in length.
Plastic buckets became the archival container de rigeur. Coca Cola crates
became critical in the sorting and initial care of damaged documents. Ten months after
Katrina, they were working with bound volumes of documents stored on shelves. With
the water and the passage of time, they expanded. The archivist had to choose one
15
bound volume to sacrifice to be able to save others. They were still using hammers and
crowbars to force open filing cabinets. Fortunately, they had had a very active
microfilming project. All of their records were basically microfilmed through early
2005. The Archives of the Archdiocese have now added some very minor, but critical
changes to their disaster plan. For example, they learned that records of churches that
had used a certain type of paper and indelible ink pens could easily be restored.
Whereas, other types of papers and pens made any salvage effort impossible.
The Archives of the Archdiocese of New Orleans also learned that the impact of
Katrina changed their daily functions. With so many documents such as birth
certificates, marriage certificates, and death records being destroyed in civil repositories,
the Archives of the Archdiocese, as a sacramental record is accepted by the United States
government and financial institutions, is now the primary source of much needed
documentation for the collection of life insurance policies, social security, Medicare, and
a host of other critical services. Today, they handle more than 750 requests for such
documents a week.
In addition, the Archives of the Archdiocese of New Orleans and the Diocese of
Baton Rouge have done a particularly good job of educating individuals about the
challenges they face by provided regular updates, with photographs of progress being
made. The web-site address is www.diobr.org/archives.
Common experiences among all institutions
Common problems experiences by all institutions, no matter what the damage
situation was: 1. Location of archives, 2. basic construction of archives, 3. the staff
actually being trained how to respond in a disaster as opposed to having a disaster plan,
4. the need for improved communications and information, 5. lack of electricity as the
16
major source of damage, 6. lack of a regional disaster plan, 7. lack of special provisions
for cultural institutions, and 8. knowing how to work with a disaster recovery company.
1. Know your topography.
As mentioned earlier, we can not prevent natural disasters from recurring; many
communities are located in an “adverse geography.” While we can not reverse nature or
geography, we can build more intelligently. Building more intelligently requires
knowledge of the region and informed decisions as to where archival repositories should
actually be built.
2. Building intelligently.
Once the decision is made as to where to build a facility, care must be taken to
place mechanical systems in a location where they will suffer the least amount of damage
in the event of a storm. Buildings with mechanicals on the ground floor suffered
tremendous damage and, in many cases, were operating a year after Katrina. In contrast,
buildings with the mechanical equipment placed appropriately were fully operational
within a matter of weeks. Buildings with the mechanicals in the basement were rendered
basically useless for over a year.
The United States National Oceanographic and Atmospheric Administration has
very detailed guidelines on a variety of topics, such as protecting windows during a
storm. However, most people and institutions do not know how to protect windows
properly, nor know of the existence of these recommendations. Stan Goldenberg, of
NOAA, is the author of a highly useful paper entitled “A Short Lesson in Building
Effective Shutters.”13
17
The web site of the agency has a tremendous amount of useful information
applicable for any institution devoted to cultural heritage. The web site is:
www.nhc.noaa.gov. The site addresses a wide variety of issues. Additionally, the
Institute for Business and Home Safety has a wide variety of brochures available and a
highly useful web site.14 The web site (www.ibhs.org) has valuable, printable pamphlets
on topics such as earthquakes, floods, freezing weather, hail, hurricanes, tornados, water
damage, wildfires, maintenance, recovery, disaster, and safety review.
3. Training for a disaster.
It is not enough to merely have a disaster plan. The staff must train for a disaster.
The staff must learn to find creative solutions to problems encountered. In many cases
supplies will not be readily available and a conservator not immediately available.
Therefore, practicing building a humidifying chamber with a large, plastic storage box, a
plastic crate and water can be critical. In many cases, it is more than just having a ready
solution; it is being trained to think of solutions when normal procedures are not
possible.
4. Improved communications and information.
One of the major challenges was securing of accurate information. We readily
learned that information was often inaccurate. Broadcasts showed “the French Quarter
under 5 feet of water.” The neighborhood shown was not the French Quarter, however,
but a section of the city several miles away. Statements made by elected officials were
often abbreviated to the point that they did not reflect the actual situation or
circumstances. Local radio commentators were reporting news phoned into them,
without verifying the information prior to airing it. In short, communication and access
to accurate information – two things upon which the recovery efforts depended upon –
18
were the two most difficult commodities to locate. Another major long term problem in
the recovery effort has been videos of the damage in the days immediately after the
hurricane. A videos shown on television without a date imprinted on it can be very
misleading. Film footage days and months old was being shown constantly and as a
result was misleading the public as to the actual situation. The lack of communication
was a critical component of the disaster. Institutions had problems communicating with
government authorities, but larger institutions in particular frequently had problematic
internal communication problems.
Communication must be a regular part of any institution’s disaster plan. Regular
communication must exist between the institution and local emergency response units,
such as police and fire. The basic fact is that if you experience a disaster you do not have
time to explain to first responders who you are and what you do. It is critical to have
ongoing dialogue with such agencies and have routine visits of your facility.
5. The lack of electricity
At this point in time, it appears that most of the damage suffered by cultural
institutions were not as a result of the flood waters or wind damage, but a result of the
lack of electricity for extended periods of time, resulting in materials being subjected to
unsafe temperature and humidity conditions.
6. Even though there have been numerous regional disasters in North America,
institutions have been slow to develop regional disaster plans, and instead focused on
disaster plans that affected only one institution. The great ice storms of Montreal in
1961, 1986 and 1998 – the last of which left parts of Montreal without electricity for 6
months;15 the hurricanes of the Southeastern United States and the flooding in the
Central United States serve as reminders of the need for regional disaster plans.
19
Libraries in San Diego, California have developed a “disaster response network,” and a
consortium of institutions including, but not limited to, California State University, San
Bernardino Library, California State Polytechnic University and the University of
California, Riverside was established. Both of these response networks have made their
mission statement, recommendations, and agreements for mutual aid available.16 The
amount of information currently available via the internet is vast. “Disaster preparedness
and response: A Primer on Disaster Preparedness, Management and Response: Paper-
Based Materials” is particularly valuable.17 It contains emergency preparedness plans for
institutions such as Harvard University18 and the Massachusetts Institute of
Technology.19
7. Lack of special provisions for cultural institutions
In the wake of Katrina, it was painfully obvious that there was no plan in place to
assist professionals in determining damage to their institutions. While it was
theoretically possible for some institutions to return to assess and care for collections,
there were no government provisions to assist them with such a task in the initial days
after the disaster. Institutions did what they could through highly creative means without
government aid. Cultural institutions must be part of the regional disaster planning
process. It is critical that institutions documenting the identity of individuals, ownership
of land, judicial records and others necessary to rebuild the affected area be given top
priority.
8. Knowing how to work with a disaster recovery company.
It is important to realize that experiencing such a disaster affects every aspect of
one’s life. People working for cultural institutions, in the vast majority of cases, do so
out of basically altruistic motives. At the same time, the same individuals in such a
20
disaster have frequently lost everything they owned. To put it simply, the ability to make
informed decisions can be potentially impaired due to the trauma of the event.
Disaster response companies have many options available to address a wide
variety of needs. However, due to the stressful nature of the situation, it could well be
advisable that, prior to making decisions concerning treatment of items or addressing the
overall condition of a facility, that an outside colleague be used to help guide an
institution in making the proper decision. The assisting individual does not need to be on
site. Indeed, it may not be possible for the person to be on site. It is critical, though, that
before making major decisions to double-check the proposed solution
Finally, as custodians of the human record of the area affected by a major
disaster, the personnel of cultural institutions are in a key position to assure that the
cultural heritage of the region is preserved. In many cases, it will actually mean
educating people about the importance of the cultural heritage of the affected region, as
opposed to the popularized version of the region’s heritage. While many staff members
will be busy assessing damage, rescuing collections, and preparing to resume operations,
other staff members will inevitably be called upon by authorities to provide historical
context of the disaster and the news media to provide accurate information on the
affected community. Providing such information is critical to the rebuilding effort and
clearly demonstrates the importance of such an institution as custodian of the cultural
memory.
21
DAFTAR PUSTAKA
1Chicago Sun Times, December 5, 2005 2Insurance Information Institute Media: Hot Topics and Updates, November, 2006,
(http://www.iii.org/media/hottopics/insurance/financialmar/) noted: “As commercial and residential development along the Atlantic and Gulf coasts mushroomed in the 1980s, insurers' exposure to hurricane losses soared. A study by AIR Worldwide estimated that the value of insured coastal property exposed to hurricane losses at $6.7 trillion in 2004 or 36 percent of the value of all property in coastal states. In Florida alone, a state with coastal properties that amount to 79 percent of its total property values insured coastal properties were valued at more than $1.9 trillion. New York was close second.” The build-up of property values coincided with a lull in hurricane activity. But Hurricane Andrew (1992) and the Northridge earthquake (1994) and an unusually high number of major hurricanes in the 2004 and 2005, culminating with Hurricanes Katrina, Wilma and Rita which together caused close to $56 billion in insured property damage according to ISO, have drawn attention to the risks the insurance industry now faces. Sophisticated modeling of disaster scenarios suggest that a major hurricane hitting Miami could cost insurers as much as $80 billion. Before Hurricane Andrew, the outside range of insured damage from a major disaster was thought to be about $8 billion.
3 Earth Observatory is a freely-accessible publication of NASA available on the Internet. Its purpose is to provide the public with new satellite imagery and scientific information on the earth’s climate and environmental change. For a compilation of the 100 worse natural disasters worldwide in the twentieth-century consult: http://www.disastercenter.com/disaster/TOP100C.html. Additionally The U.S. Natural Hazard Statistics provide statistical information on fatalities, injuries and damages caused by weather related hazards. These statistics are compiled by the Office of Services and the National Climatic Data Center from information contained in Storm Data, a report comprising data from NWS forecast offices in the 50 states, Puerto Rico, Guam and the Virgin Islands.
4 G. van der Vink, R. M. Allen, J. Chapin, M. Crooks, W. Fraley, J. Krantz, A. M. Lavigne, A. LeCuyer, E. K. MacColl, W. J. Morgan, B. Ries, E. Robinson, K. Rodriquez, M. Smith, and K. Sponberg, Department of Geosciences, Princeton University, Princeton, N.J. “Why the United States Is Becoming More Vulnerable to Natural Disasters” Eos, (1998, 553). The article can be viewed electronically at http://www.agu.org/sci_soc/articles/eisvink.html. The American Geophysical Union website is an excellent source of information on natural disasters.
5 “Statement of David Daniel on behalf of the Independent Insurance Agents and Brokers
of America before the Subcommittee on Capital Markets, Insurance and Government Sponsored Enterprises, Committee on Financial Services, United
22
States House of Representatives,” September 13,2006, (financialservices.house.gov/media/pdf/091306dd.pdf).
6 Tom Ross, Neal Lott, “A Climatology of 1980-2003: Extreme Weather and Climate
Events,” Technical Report 2003-01, (Ashville, NC: National Climatic Data Center, NOAA/NESDIS, US Department of Commerce, 2003). Included in this study is an analysis of billion dollar climate and weather disasters from 1980-2003. Also consult: David E. Alexander, Natural Disasters, (Springer, 1993) According to the Mission Statement of the USGS, the agency serves the Nation by providing reliable scientific information to: describe and understand the Earth; minimize loss of life and property from natural disasters; manage water, biological, energy, and mineral resources; and enhance and protect our quality of life. (http://www.usgs.gov/stratplan/vision.html). Leslie Haggin Geary, “Disaster-proof your disaster insurance: How to protect your home when Mother Nature kicks in the door,” June 20, 2002, (http://money.cnn.com/2002/06/18/pf/yourhome/q_disasterinsure/index.htm).
7 http://www.fhba.com/index.cfm?referer=content.contentItem&ID=1080
8 Dave Kaiser, “Legislators hear insurance industry's resounding voice after the storm” Insurance Journal, March 20, 2006. (http://www.insurancejournal.com/magazines/southeast/2006/03/20/features/68726.htm)
9 Alfred E. Lemmon, John T. Magill, Jason R. Wiese, Charting Louisiana; Five Hundred
Years of Maps, (New Orleans: Historic New Orleans Collection, 2003), 335 10 317 11 The contents of an emergency cart should not only include material needed to assist in
the recovery effort of the institution’s holdings, but also the basic necessities that the workers will need in an adverse situation, including, but not limited to, items such as M[eals] R[eady] to E[at], high energy food bars (with a 5 year shelf life), first aid kits, water purification tablets, emergency blankets, port-a-potty toilet seat lids, toilet chemical pouches, toilet liners, and 5 gallon plastic buckets to serve as actual toilets.
12Priscilla Lawrence, “Preface,” Common Routes: St. Domingue●Louisiana, (New
Orleans: The Historic New Orleans Collection, 2006), 8 13 http://www.aoml.noaa.gov/hrd/shutters/index2.html
14 Among brochures available are: “Keep Wind and Water Out: A Guide to High Wind Protection;” “Is Your Home Protected from Hurricane Disaster?” “Manufactured Home Inspection Checklist;” “Still Standing: Trim Your Risk of Tree Problems;”
23
“Roofing the Right Way;” and “You Can Go Home Again: Returning Home after a Natural Disaster.” Free single copies of these publications are available by calling the Institute toll-free at 1-866-657-4247.
15 Mark Abley, editor, Stories from the Ice Storm, (Toronto: McClelland and Stewart,
Inc, 1999). 16 http://orpheus.ucsd.edu/sildrn/list.html and http://www.ieldrn.org/MissHist.htm . 17 http://palimpsest.stanford.edu/bytopic/disasters/ 18 http://preserve.harvard.edu/emergencies/hurriances.html 19 http://libraries.mit.edu/preservation/disasterresponse.html
Alfred E. Lemmon Director of The Williams Research Center, a division of
The Historic New Orleans Collection 533 Royal St.
New Orleans, La. 70130 USA [email protected]
1
PENGUJIAN IDENTIFIKASI KERUSAKAN ARSIP
FILM AKIBAT ASAM DI ARSIP NASIONAL RI
Roby Syafurjaya dan Sari Hasanah
Abstract:
Cellulose acetate-based film archives can’t be avoided from decomposition and
deterioration caused by theirs own base material or improper storage condition. This
deterioration can be shown by blocking on the film rolls, acid smell (vinegar syndrome),
or silvering out on the film surface. The test on film storage rooms of the National
Archives of Indonesia (second, third, and fourth floors of G building) in 2006 showed
that the temperature and relative humidity are not stable and do not fulfill the standard
of storage room. Based on the acidity of 2000 film archives rolls (± 7.5 % from all
collections of film archives in National Archives of Indonesia), 99.7 % of the 16 mm film
archives are in good condition and only 50 % of the 35 mm film archives are in good
condition. Improper storage condition will increase the acidity double in the next 2-15
years so the film archives will be difficult to be saved.
Keyword : film archives, blocking, vinegar syndrome, silvering out, film storage, film
deteriorations.
Arsip film berbahan dasar selulosa acetate tidak terlepas dari proses dekomposisi dan
deteriorasi yang diakibatkan baik oleh bahan penyusun film itu sendiri maupun karena
kondisi penyimpanan yang tidak sesuai. Proses deteriorasi pada film dapat ditandai
dengan pengerasan pada gulungan film, bau asam (vinegar sindrome) dan atau keluarnya
lapisan endapan perak berwarna putih pada film (silvering out). Hasil pengujian pada
2
ruang penyimpanan film Arsip Nasional RI gedung G lantai 2,3 dan 4 di tahun 2006
menunjukan bahwa kondisi suhu dan kelembaban masih belum stabil dan tidak sesuai
dengan standar ruang penyimpanan. Hasil pengujian kondisi keasaman terhadap 2000
reel arsip film (± 7.5% dari koleksi arsip film di ANRI) menunjukan bahwa 99,7% arsip
film 16 mm berada dalam kondisi baik dan hanya 50% arsip film 35 mm yang berada
dalam kondisi baik. Dengan kondisi penyimpanan yang tidak sesuai dengan ketentuan
dikhawatirkan arsip film akan naik kondisi pH-nya menjadi 2 kali lipat pada 2 – 15 tahun
kedepan sehingga sulit untuk diselamatkan.
Keyword : Arsip film, bloking, vinegar syndrome, cermin perak, penyimpanan film,
deteriorasi arsip film
P E N D A H U L U A N
A. Latar Be lakang
Khasanah arsip film di Arsip Nasional mempunyai jumlah dan peranan yang cukup
signifikan. Hingga saat ini koleksi arsip film yang disimpan di ruang penyimpanan arsip
film sudah mencapai 160.000 reel film dalam berbagai jenis copy dan ukuran. Mengingat
media penciptaan film itu sendiri yang sangat mudah terdeteriorasi maka sangatlah
mungkin kondisi arsip film yang disimpan menjadi sangat bervariasi baik kualitas
fisiknya maupun informasinya. Keberadaan arsip film sebagai bahan
pertanggungjawaban nasional menuntut tindakan pelestarian yang maksimal untuk
menjaga kondisi arsip film selalu dalam keadaannya yang terbaik, baik kondisi fisik
maupun informasinya.
Terjadinya proses kerusakan pada arsip film dapat terjadi karena faktor internal
3
dan eksternal. Faktor internal berasal dari bahan penyusun film dan prosesing film itu
sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah kondisi lingkungan di mana arsip film
disimpan. Dengan kata lain, faktor internal merupakan faktor bawaan pada media
penciptaan arsip film itu sendiri sehingga tidak dapat dirubah sedangkan faktor eksternal
merupakan faktor lingkungan dimana arsip film itu disimpan.
Bahan dasar arsip film yang terdiri selulosa asetat tidak terlepas dari proses
dekomposisi dan deteriorasi yang diakibatkan baik oleh bahan penyusun film itu sendiri
maupun karena kondisi penyimpanan yang tidak sesuai. Proses deteriorasi pada film
dapat ditandai dengan pengerasan pada gulungan film, bau asam dan atau keluarnya
lapisan endapan perak berwarna putih pada film. Endapan perak yang dihasilkan akan
sangat berbahaya baik bagi arsip film itu sendiri maupun bagi pengelola (petugas),
karena mengandung bahan kimia berbahaya seperti perak nitrat dan bahan lainnya yang
berasal dari emulsi film. Apabila kondisi ini tidak segera dihentikan maka film sebagai
bahan informasi dan memori kolektif bangsa akan mengalami kerusakan atau bahkan
musnah. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan pencegahan dan penanganan yang
cepat dan tepat untuk mencegah musnahnya arsip film tersebut. Tindakan pencegahan
yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan mengidentifikasi kerusakan arsip
secepat mungkin sebelum kerusakan berlanjut. Identifikasi ini dapat dilakukan dengan
identifikasi kondisi keasaman pada arsip film.
Kondisi lingkungan terutama suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap
perubahan fisik film. Akibat suhu dan kelembaban ruang penyimpanan yang tidak
konstan, menyebabkan beberapa koleksi film yang tersimpan di ANRI mengalami
kerusakan. Ciri-ciri kerusakan ini ditandai dengan keluarnya lapisan perak nitrat pada
film (silvering out) dan keluarnya bau asam yang khas seperti cuka dari film (vinegar
syndrome). Proses lebih lanjut dari kerusakan ini adalah terjadinya pengerasan pada
4
gulungan film (blocking), sehingga film menjadi lengket satu sama lain dan
menyebabkan hilangnya image yang ada pada film. Hal ini dapat mengakibatkan
hilangnya informasi yang terdapat dalam arsip.
Untuk menanggulangi kerusakan lebih lanjut yang dapat mengakibatkan
musnahnya informasi dalam arsip film maka diperlukan identifikasi yang cepat dan tepat
mengenai kondisi arsip film dan kondisi penyimpanannya sehingga dapat ditentukan
langkah langkah penanganannya untuk menyelamatkan arsip film tersebut.
B . Tujuan
Tujuannya dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi kondisi arsip film yang disimpan di Arsip Nasional RI
terutama kondisi keasamannya sebagai tahap awal terjadinya kerusakan.
2. Mengidentifikasi kondisi ruang penyimpanan arsip film di Arsip Nasional RI
terutama suhu dan kelembaban yang sangat berpengaruh terhadap kondisi arsip
film.
T I N J A U A N P U S T A K A
A. Ars ip F i lm
1. Pengertian
Arsip film adalah arsip yang isi informasinya terekam dalam medium seluloid
yang menyajikan citra bergerak (moving image) dalam rangkaian gambar fotografik dan
5
suara pada bahan dasar film, yang penciptaannya menggunakan rancangan teknis dan
artistik dengan peralatan khusus.
Arsip film mempunyai beragam jenis dan bentuk yang berbeda, baik ukuran, jenis
bahan penyusun dan citra pembentuk image. Berdasarkan ukurannya (gauge) arsip film
dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu film 8 mm, 16 mm, 35 mm, dan 70 mm.
Sedangkan berdasarkan bahan penyusunnya maka dapat dibedakan menjadi film nitrat,
film asetat dan film polyester tergantung dari jenis bahan yang digunakan sebagai plastik
support. Berdasarkan citra pembentuk image film maka arsip film dapat dibedakan
menjadi film berwarna dan hitam putih.
2. Jenis Film
Selama periode awal abad 19 hingga abad 20, terdapat beberapa jenis film
berdasarkan bahan penyusun dasar yang digunakannya yaitu :
a. Film nitrat
Film nitrat mempunyai lapisan dasar selulosa-nitrat (cellulose nitrate).
Polimer selulosa nitrat mempunyai sifat yang kurang stabil dan mudah
terbakar, jika terdeteriorasi polimer nitrat ini dapat menjadi menguning,
lengket, mengkerut, tergantung dari tingkat deteriorasi yang terjadi. Film
fotografik nitrat disebut juga seluloid, nitroselulose, flamable film, pyroxolin
atau flame film.
b. Film asetat
Film base selulosa ester biasanya mengacu pada triasetat, diasetat atau
asetat. Film jenis ini pada awal penggunaannya dikembangkan menjadi film
6
untuk jangka simpan permanen, namun ternyata film ini tidak lebih stabil dari
film nitrat. Tingkat perkiraan waktu hidup/waktu simpan adalah 100 tahun
pada suhu 700F (210C). Perbedaannya dengan film base nitrat adalah selulosa
ester ini tidak mudah terbakar. Kebanyakan film produksi abad 20-an adalah
film selulosa ester termasuk juga didalamnya film dan tranparansi yang
diproduksi saat ini. Film berwarna pada umumnya merupakan film asetat.
o Selulosa asetat (asetat, selulosa asetat propionat, dan selulosa asetat
butirat), pertama kali dikembangkan sekitar tahun 1935an, dan
merupakan film asetat pertama yang digunakan untuk menggantikan film
nitrat.
o Selulosa diasetat, film jenis ini dikembangkan pada tahun 1937an untuk
menggantikan film nitrat dan asetat. Seperti halnya film asetat, diasetat
tidak mempunyai jangka simpan yang lebih lama dari nitrat. Film jenis
ini mudah kehilangan warna, mengerut dan bergelombang seiring dengan
waktu. Kondisi penyimpanan, khususnya suhu dan kelembaban
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kerusakan film ini.
Selulosa diasetat mulai digantikan oleh triasetat pada tahun 1948.
o Selulosa triasetat, merupakan film ester asetat generasi terakhir yang
pernah diproduksi. Pertama kali diproduksi pada tahun 1948 sebagai film
citra bergerak dan menjadi umum digunakan pada tahun 1949. Pada awal
tahun 1960an film jenis ini mulai dilaporkan terdeteriorasi pada kondisi
penyimpanan yang panas dan lembab.
c. Film Poliester (polietilen tereptalat)
7
Film Poliester, mengacu pada lapisan dasar plastik film yang mulai digunakan
sejak tahun 1950an. Poliester mempunyai komposisi yang lebih stabil dan
mempunyai waktu hidup yang lebih lama dibandingkan dengan asetat.
Umumnya film yang bertanda estar atau cronar merupakan film base
poliester. Film jenis ini mempunyai jangka simpan yang lebih lama hingga
kurang lebih 500 tahun.
3. Konstuksi Film
Arsip film mempunyai konstruksi yang khusus, serta biasanya tersusun atas 3
komponen penting, yaitu :
a. Base/Bahan dasar plastik sebagai support
Merupakan lapisan pembawa atau penguat pada film, bagian ini menjadi
dasar di mana image gambar atau informasi film disimpan. Bagian ini
mempunyai karakteristik yang transparan, kuat dan fleksibel. Pada umumnya
polimer penyusun base film ini adalah selulosa triasetat, polimer lainnya
adalah selulosa diasetat, selulosa nitrat dan poliester. Bagian ini juga
umumnya didukung lagi oleh lapisan pelindung/backing layer yang bahan
penyusunnya adalah gelatin atau polimer seperti Polivinil-alkohol (PVA).
Lapisan pelindung ini berfungsi untuk melindungi film dari perubahan fisik
yang diakibatkan oleh perubahan dimensi dan volume image sebagai akibat
perubahan suhu dan kondisi penyimpanan.
8
Gambar 1. Konstruksi Arsip Film
b. Emulsi Gelatin
Bagian emulsi ini mengandung materi/bahan pembentuk image pada film.
Pada film berwarna, bagian emulsi ini terdiri dari berbagai lapisan pembentuk
image. Sedangkan pada film hitam putih pada umumnya hanya mempunyai
tidak lebih dari 2 lapisan berbeda. Bagian emulsi ini sangat tipis dan sangat
mudah terkena kerusakan fisik seperti abrasi atau gores. Emulsi gelatin ini
juga bersifat hidroskopik dan sangat mudah menyerap uap air dari udara,
serta sensitif terhadap perubahan pH, sehingga jika film mulai terdekomposisi
atau terkena serangan jamur maka dapat dengan mudah terlarut dalam air dan
perawatan akuatik (aqueous treatment) tidak dapat digunakan.
Image
Emulsi
Base/support
Backing layer / Lapisan
belakang
9
c. Image yang tersusun atas pewarna/color dyes dan atau perak nitrat
Image perak dalam film terbentuk dari ekspose perak halida oleh cahaya.
Gambar pada film hitam-putih terdiri dari partikel logam perak yang halus.
Image pada film berwarna terdiri dari berbagai lapisan bahan pewarna (color
dyes). Kedua jenis image ini dapat terdeteriorasi sebagai akibat dari efek
pencahayaan dan reaksi bahan-bahan kimia yang disebabkan oleh polutan
dari luar maupun dari base film itu sendiri yang terdekomposisi.
Asam yang diserap dari lingkungan atau dari bagian film itu sendiri dapat
bereaksi dengan perak membentuk senyawa perak yang memyebabkan
memudarnya warna pada image film.
Senyawa–senyawa sulfur juga dapat bereaksi dengan perak pada image
membentuk senyawa perak yang menimbulkan warna kekuningan atau
kecoklatan pada image film.
4. Identifikasi Jenis Dasar Film
Jenis dasar film dapat ditentukan dengan uji polarisasi (polarization test), uji nyala
(burn test), uji apung (float test) dan uji difenilamin (diphenylamine test).
a. Uji tanda (mark test)
Film dengan dasar asetat biasanya mempunyai tanda tulisan safety film pada
bagian pinggir strip film.
b. Uji polarisasi
Uji ini dapat digunakan untuk menentukan jenis film dengan dasar polyester.
Film dengan jenis polyester akan terpolarisasi pada saat diterpakan sinar
10
melalui filter polarisasi membentuk spektrum penuh seperti pelangi pada film
tersebut. Sedangkan pada film dasar asetat hanya menampakan cahaya yang
berkelip tanpa adanya spektrum pelangi. Pengujian ini merupakan pengujian
tanpa merusak contoh sehingga sangat dianjurkan penggunaannya
dibandingkan dengan pengujian lainnya untuk arsip film.
c. Uji nyala (burn test)
Pengujian ini dilakukan dengan membakar contoh film. Film nitrat akan
terbakar secara spontan dan terus terbakar secara konsisten hingga habis
dengan warna nyala putih hingga kekuningan. Sedangkan film asetat hanya
akan meleleh dan nyala akan padam begitu api dijauhkan. Film nitrat akan
mengeluarkan bau khas seperti kamper sedangkan film asetat akan
mengeluarkan bau asam setat.
d. Uji apung (float test)
Pengujian ini dilakukan dengan mengapungkan sebagian kecil contoh film
kedalam larutan trikloroetane. Film ester asetat akan mengapung pada
permukaan larutan, film nitrat tenggelam dan film polyester akan melayang di
dalam larutan.
e. Uji difenilamin (spot test)
Pengujian ini dilakukan dengan meneteskan larutan difenilamin (dalam 90%
H2SO4) keatas permukaan contoh film. Pada permukaan Film nitrat akan
berubah menjadi biru gelap, sedangkan pada selulosa ester dan polyester
hanya akan membentuk warna biru terang/biru pucat (NPS, Meuseum Hand
Book, 1999;11) .
11
B . K e r u s a k a n A r s i p F i l m
1. Vinegar syndrome
Bahan penyusun film itu sendiri dapat terdekomposisi menghasilkan asam yang
akan mempercepat proses kerusakan film lebih lanjut, proses ini dikenal dengan vinegar
syndrome. Mekanisme ini terjadi karena adanya group asetyl pada base film yang
terlepas karena udara lembab, panas dan asam bergabung dengan uap air membentuk
asam asetat (vinegar). Ditandai dengan terciumnya bau asam asetat/ cuka dari film.
Reaksi kimia yang menyebabkan proses deteriorasi pada film merupakan reaksi
autokatalitik. Ini berarti hasil dari proses asam (deteriorasi) dapat mengkatalisasi
terjadinya reaksi deteriorasi selanjutnya. Sekali proses ini dimulai maka reaksi kerusakan
selanjutnya terjadi sangat cepat.
2. Silvering out
Image pada film tidak terlepas dari proses dekomposisi dan deteriorasi yang
diakibatkan oleh bahan penyusun itu sendiri. Image pada film mengandung emulsi yang
disusun oleh perak nitrat dan atau bahan pewarna/dyes. Emulsi film dapat mengalami
deteriorasi yang ditandai dengan pengerasan pada gulungan rol film dan keluarnya
endapan perak nitrat berwarna putih pada bagian emulsi film. Proses ini dikenal dengan
nama Silvering out.
Silvering out juga dapat terjadi pada foto positif yang ditandai dengan
terbentuknya lapisan cermin perak (mirroring) pada bagian foto. Silvering out ini juga
dapat diakibatkan oleh proses oksidasi perak yang terjadi dalam film atau foto.
12
Selain silvering out, beberapa jenis kerusakan pada arsip film juga sebagai berikut :
Bergelombangnya permukaan film, vinegar syndrome, pengerutan pada permukaan film
(shrinkage) yang mengakibatkan berubahnya dimensi film, timbulnya gelembung udara
pada image film, pemisahan lapisan emulsi.
3. Faktor penyebab
Terjadinya kerusakan arsip film baik silvering out maupun vinegar syndrome dapat
terjadi karena faktor internal dan ekternal. Faktor internal berasal dari bahan penyusun
film dan prosesing film sendiri, sedangkan faktor ekternal adalah kondisi lingkungan
dimana arsip film disimpan.
Faktor internal penyebab terjadinya silvering out disebabkan karena image yang
terbentuk pada film berasal dari ekspose perak halida oleh cahaya, dimana perak
merupakan logam yang sangat reaktif dan sangat mudah bereaksi dengan oksidator dan
senyawa polutan lainnya seperti asam atau sulfur. Senyawa oksidator dan perak dapat
bereaksi membentuk oksida perak yang bergerak secara bebas dalam emulsi film. Efek
ini dapat terlihat pada saat perak oksida tersebut telah mencapai permukaan dan
menyebabkan timbulnya lapisan cermin perak dan memudarnya image pada film
(NFSA).
Faktor internal lainnya diakibatkan oleh prosesing film yang tidak benar, kondisi
film yang basah dan residu tiosulfat yang masih tersisa pada saat prosesing arsip film
dapat mempercepat proses kerusakan pada arsip film dan foto.
Faktor eksternal lingkungan penyimpanan yang mempengaruhi terjadinya proses
kerusakan adalah suhu, kelembaban, polutan dari udara serta bahaya yang berasal dari
air, cahaya, jamur, serangga, serangan mikrobiologi, kontak dengan bahan kimia dalam
13
bentuk padat, cair dan gas dan kerusakan akibat kontak fisik (ISO 5466:1992).
Sedangkan kondisi yang paling berpengaruh terhadap akselerasi proses kerusakan adalah
kondisi kelembaban dan suhu penyimpanan film serta polutan seperti sulfur dan senyawa
asam yang dapat bereaksi dengan perak pada film (NFSA). Nilai suhu dan kelembaban
berdasarkan Standar Internasional (ISO) untuk penyimpanan arsip film adalah
maksimum 21 oC dan 15 s/d 40 %.
Akselerasi proses kerusakan pada arsip dapat diasumsikan berdasarkan tabel
standar kerusakan film berdasarkan standar Image Permanent Institute seperti
ditunjukan pada tabel 1 dan 2 berikut :
Tabel 1. Estimasi Waktu Kerusakan (tahun)
Pada Film Asetat Baru (Keasaman 0,5) Pada Suhu dan Kelembaban Tertentu*
No RH
Suhu 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%
1. -1 0C 2000 1500 1000 700 500 400 300
2. 2 0C 1250 900 700 500 350 250 200
3. 4 0C 800 600 450 350 250 175 150
4. 7 0C 600 400 300 250 175 125 100
5. 10 0C 400 300 200 150 125 90 70
6. 13 0C 250 200 150 100 80 60 50
7. 16 0C 175 125 100 80 60 45 35
8. 18 0C 125 90 70 50 40 30 25
9. 21 0C 90 70 50 40 30 25 17
10. 24 0C 60 45 35 25 20 16 13
11. 27 0C 45 35 25 20 15 12 9
12. 29 0C 30 25 18 14 11 9 7
13. 32 0C 20 17 13 10 8 6 5
14. 35 0C 16 12 10 7 6 5 4
15. 38 0C 11 9 7 5 4 3 3
16. 41 0C 8 7 5 4 3 3 2
17. 43 0C 6 5 4 3 2 2 2
18. 46 0C 4 4 3 2 2 1 1
14
19. 49 0C 3 3 2 2 1 1 1
Keterangan : * waktu yang dibutuhkan oleh film baru (fresh film) untuk mencapai keasaman 0,5.
Tabel 2. Estimasi Waktu Kerusakan (Tahun) Pada Film Asetat Yang Mulai Terdegradasi (Keasaman 0,5-1,0) Pada Suhu dan Kelembaban Tertentu*
No RH
Suhu
20% 50% 80%
1. -1 0C 540 110 30
2. 2 0C 350 75 25
3. 4 0C 230 50 15
4. 7 0C 150 35 10
5. 10 0C 100 25 9
6. 13 0C 65 15 6
7. 16 0C 45 10 5
8. 18 0C 30 7 4
9. 21 0C 20 5 3
10. 24 0C 15 4 2
11. 27 0C 10 2 2
12. 29 0C 7 2 1
13. 32 0C 5 1 1
14. 35 0C 3 1 1
15. 38 0C 2 1 1
16. 41 0C 2 <1 <1
17. 43 0C 1 <1 <1
18. 46 0C 1 <1 <1
19. 49 0C 1 <1 <1
Keterangan: * waktu yang dibutuhkan oleh film untuk meningkat keasamannya dari 0,5 menjadi 1,0
Sumber : IPI (Image Permanence Institute), Rochester Institute of Technology
H A S I L P E N G U J I A N D A N P E M B A H A S A N
Kegiatan ini merupakan studi pendahuluan yang dibatasi hanya pada arsip film
15
yang disimpan di ruang penyimpanan arsip film gedung F lantai 2, 3 dan 4 Arsip
Nasional RI, pengujian terhadap jenis film lainnya hanya sebagai pembanding.
A. Pera la tan da n Baha n
Peralatan dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Peralatan
a. Alat untuk memeriksa kondisi lingkungan ruang penyimpanan
1) Thermohygrograph;
2) Thermohygrometer SWEMA AIR;
3) UV light monitor ELSEC;
4) Air Flow Tester TESTO;
5) UV/light illumination;
b. Peralatan Pengujian
1) pH meter HORIBA;
2) Neraca Analitik;
3) Desikator;
4) Burner/bunsen;
5) Peralatan gelas lainnya.
16
2. Bahan
a. Bahan pembuatan indikator ABC
1) Bromocresolgreen indikator;
2) Akuadest;
3) Larutan NaOH 0,1 N;
4) Kertas saring/kertas serap;
5) Ethanol;
6) Kertas indikator.
b. Bahan Pengujian
1) pH indikator universal;
2) A-D strips paper check;
3) Buffer pH 4 dan 7.
B. Metode Penguj ian
1. Identifikasi Kondisi Ruang Penyimpanan
Pengukuran kondisi ruang penyimpanan arsip film dilakukan secara rutin selama 8
bulan (Maret s/d Desember 2006) dengan periode waktu secara acak sebanyak 3 kali
dalam satu bulan. Pelaksanaan pengukuran dilakukan perlantai sebanyak 10 titik baik
normal storage maupun cool storage untuk parameter suhu dan kelembaban. Hasilnya
17
pengukuran dirata-ratakan dan dibandingkan dengan standar ruang penyimpanan dan
estimasi waktu kerusakan arsip film berdasarkan tabel IPI.
2. Identifikasi Umum Arsip Film Koleksi Arsip Nasional RI
Arsip film ditentukan jenis dasarnya (nitrat, asetat atau poliester) dengan
menggunakan uji tanda, uji apung, dan uji nyala. Pengujian dilakukan terhadap contoh
film yang rusak dan status dimusnahkan atau pada bagian film yang tidak mengandung
image/informasi (bagian leader). Sampling dilakukan secara acak berdasarkan format
ukuran (35 mm dan 16 mm) sehingga dianggap mewakili jenis arsip film.
3. Identifikasi Kondisi Arsip Film
Identifikasi kondisi arsip film dilakukan secara acak yang mewakili koleksi arsip
film diruang penyimpanan arsip gedung F lantai 2. jumlah sampel yang diuji sebanyak
2000 reel film pada ruang normal storage dan 2000 reel film pada ruang cool storage (±
7.5% dari koleksi arsip film) yang terdiri dari 1000 reel film 16 mm dan 1000 reel film
35 mm.
Sampel diuji dengan menggunakan indikator ABC dan dibandingkan dengan
indikator pH Universal. Penampakan warna indikator dibandingkan dengan tabel standar
warna dan dicatat grade kondisi arsip film. Data kondisi arsip film diolah dengan
menghitung prosentase kondisi arsip film dengan masing masing grade dan nilai pHnya.
Sebagai bahan perbandingan dilakukan juga pengujian terhadap mikrofilm, mikrofiche,
rekaman suara dan video.
Gambar 2. Indikator ABC Dalam Satu Cetakan
18
C . H a s i l P e n g u j i a n d a n P e m b a h a s a n
1 . K o n d i s i R u a n g P e n y i m p a n a n
Salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi arsip film adalah
lingkungan penyimpanan arsip itu sendiri, yaitu kondisi suhu dan kelembaban. Oleh
karena itu kegiatan pengujian ini diawali dengan pengukuran kondisi ruang penyimpanan
terutama kondisi suhu dan kelembaban.
Pengukuran dilakukan pada sepuluh titik dan kemudian hasilnya dirata-ratakan.
Nilai interval suhu dan kelembaban ditunjukan pada tabel berikut ini :
Tabel 3. Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban di Ruang Penyimpanan Gedung F
No Ruang Suhu (OC) Kelembaban (%RH) StandarRange Interval Range interval
1 Lantai 2 Maks 210C, 15-40% RH ; Fluktuasi kelembaban dan suhu maks 5 %, 2 OC
Cool storage 13.4-24.1 10.7 48.7-71.4 22.7
Normal storage 19.7-25.4 5.7 46.3-66.9 20.6 2 Lantai 3
Cool storage 14.1-22.3 8.2 48.3-70.3 20.0
Normal storage 18.2-23.5 5.3 47.8-63.4 15.6 3 Lantai 4
Cool storage 13.7-24.1 10.2 51.2-68.2 17.0
Normal storage 19.3-24.5 5.2 45.2-60.1 14.9
Data pada tabel diatas menunjukan bahwa kondisi suhu dan kelembaban ruang
penyimpanan masih belum sesuai standar yang ditentukan. Kondisi suhu di ruang
penyimpanan arsip film umumnya berada diatas standar maksimum yang ditetapkan
19
yaitu 21 OC dan fluktuasi tidak lebih dari 2OC. Kondisi kelembaban umumnya berada diatas
atandar yang diperkenankan yaitu maksimum 40% dengan fluktuasi tidak lebih dari 5 %. Kondisi
ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kerusakan pada arsip film. Suhu yang tinggi dapat
mengurangi kelenturan film dan mengurangi kualitas warna dan image pada film. Aspek
penting dari suhu adalah pengaruhnya terhadap kelembaban di ruang penyimpanan,
penurunan temperatur drastis dapat menyebabkan meningkatnya kelembaban. Tingkat
perubahan suhu yang tinggi umumnya dapat pula menyebabkan perubahan kelembaban.
Kondisi kelembaban diatas 60 % untuk jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan kerusakan pada lapisan emulsi gelatin pada film, serta menyebabkan
pertumbuhan jamur yang akan mengakibatkan emulsi film menjadi lunak dan lengket.
Kelembaban tinggi juga dapat menyebabkan perubahan pada emulsi perak dan warna
pada film. Penyimpanan pada kelembaban yang rendah dapat mencegah pertumbuhan
jamur dan mengurangi tingkat degradasi pada film, namun hal ini juga dapat
menyebabkan lapisan gelatin dan base pada film menjadi mengkerut dan retak.
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan kondisi suhu dan kelembaban diruang
penyimpanan baik cool storage maupun normal storage yang tidak stabil, semua
ruangan menunjukan kondisi fluktuasi suhu dan kelembaban yang besar melebihi
standar. Berdasarkan pengukuran dan dibandingkan dengan tabel estimasi IPI, jika suhu
dan kelembaban penyimpanan film mencapai 240C;70% maka hanya dibutuhkan waktu
selama 40 tahun bagi arsip film untuk dapat terdeteriorasi menghasilkan asam.
Selanjutnya jika sudah dalam kondisi asam, reaksi autokatalitik akan membuat film
semakin terdeteriorasi dan hanya membutuhkan waktu 3 tahun bagi film untuk
terdegradasi menghasilkan asam hingga asam yang dihasilkan menjadi 2 kalinya.
2 . I d e n t i f i k a s i U m u m A r s i p F i l m
20
Koleksi arsip film yang disimpan di Ruang Penyimpanan Arsip Gedung F Arsip
Nasional RI mencapai kurang lebih 160.000 reel film dari berbagai jenis dan kondisi
yang berbeda. Secara umum dari sejumlah besar arsip tersebut merupakan jenis film
dengan base asetat, seperti dibuktikan dengan pengujian terhadap sampel arsip yang
dicuplik dari arsip film yang direstorasi atau yang dalam status musnah. Hasil pengujian
ditunjukan pada tabel berikut :
Tabel 3. Hasil Identifikasi Arsip Film
No Sampel Reel Float test Burn test Marking test
1 Reel film 16 mm Base asetat Base asetat Tulisan “Safety film”
2 Reel film 35 mm Base asetat Base asetat Tulisan “Safety film”
Pengujian identifikasi film juga ditunjukan pada gambar berikut :
Hal ini menunjukan bahwa semua arsip film merupakan base asetat yang sangat
mungkin untuk terdeteriorasi menghasilkan asam asetat yang ditunjukan dengan bau
asam cuka yang khas.
(a) Burn test (b) Float test (c) Edge marking
Gambar 4. Pengujian Identifikasi Film
21
3 . P e n g u j i a n K o n d i s i A r s i p F i l m
Hasil pengujian kondisi arsip film yang dilakukan ditunjukan pada tabel berikut :
Tabel 4. Hasil Pengujian Kondisi Arsip Film
No Jenis Film Grade Jumlah Prosentase Range pH Keterangan
1 Film 16 mm Grade A 996 99.6 >5 Kondisi baik
Grade B 1 0.1 4-5 Mulai terdegradasi
Grade C 3 0.2 <4 Terdegradasi, kondisi asam
2 Film 35 mm Grade A 500 50.0 >5 Kondisi baik
Grade B 111 11.1 4-5 Mulai terdegradasi
Grade C 83 38.9 <4 Terdegradasi, kondisi asam
Berdasarkan hasil pengujian dapat terlihat bahwa sampel film 16 mm umumnya
berada dalam kondisi baik (grade A). Lain halnya dengan kondisi sampel arsip film 35
mm, hasil pengujian menunjukan bahwa hanya 50 % arsip film yang berada dalam
kondisi baik sedangkan sedangkan sisanya mulai terdegradasi dan mengeluarkan asam.
Kondisi arsip film 35 mm yang disimpan di ruang penyimpanan Arsip Nasional RI
dikhawatirkan sudah mencapai fase autokatalisis (proses percepatan reaksi kimia dengan
sendirinya atau dengan zat katalis yang dihasilkan oleh senyawa itu sendiri) dimana
sebagian besar film telah terdeteriorasi mengeluarkan asam yang dapat menjadi katalis
22
yang mempercepat terjadinya reaksi kerusakan yang berlanjut pada film. Hal ini dapat
ditunjukan oleh hasil pengujian dimana 50% sampel arsip film mempunyai grade B dan
C, dengan kondisi pH yang kurang dari 5. hal ini ditambah lagi dengan kondisi yang
fluktuatif dan tidak sesuai dengan standar, maka dikhawatirkan tingkat kerusakan film
dapat menjadi lebih besar.
Jika kita asumsikan bahwa arsip film yang disimpan di depo ANRI dalam kondisi
baik, maka film base asetat dengan kondisi penyimpanan suhu 13,4 – 24,10C dan
kelembaban 48,7 – 71.4% RH (seperti tabel 1 diatas), maka menurut standar IPI, film
akan mulai terdegradasi vinegar syndrome (keasaman film mencapai 0,5) pada umur
penyimpanan antara kira-kira 16 s/d 150 tahun.
Tetapi jika didasarkan pada hasil pengujian tingkat kerusakan arsip film dengan
kertas indikator ABC yang menunjukkan sebagian arsip film 35 mm sudah mengalami
gejala vinegar syndrome maka dengan kondisi suhu dan kelembaban seperti diatas,
hanya dibutuhkan waktu 2–15 tahun bagi arsip film untuk terdegradasi hingga meningkat
keasamannya menjadi 2 kali lipat dari 0,5 menjadi 1,0 dan seterusnya sehingga kondisi
film tidak dapat diselamatkan lagi.
Dari gambaran diatas terlihat bahwa arsip film tidak sama seperti halnya arsip
kertas yang dapat disimpan lama. Arsip film khususnya dengan base asetat dapat
terdegradasi dengan sendirinya selama di tempat penyimpanan. Jika kondisi suhu dan
kelembaban ruang penyimpanan yang tidak sesuai dibiarkan berlanjut maka masalah
deteriorasi arsip film ini akan semakin besar, serta tindakan preservasi yang dibutuhkan
menjadi lebih sulit dan membutuhkan biaya yang besar.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan fisik arsip film adalah
dengan memisahkan fisik arsip film yang sudah terdeteriorasi dari film yang kondisinya
23
baik untuk menghindarkan kontak asam dari udara ruangan penyimpanan. Sedangkan
untuk arsip film yang sudah mulai terdeteriorasi perlu dilakukan pengangin-anginan dan
lain-lain, tetapi masih perlu dilakukan pengujian. Untuk menyelamatkan informasinya
adalah dengan sesegera mungkin melakukan alih media ke bentuk arsip lainnya, agar
hasil alih media dengan kualitas terbaik.
P E N U T U P
A. Kes impulan
Berdasarkan data data yang diperoleh dari pengujian dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut :
1. Secara keseluruhan kondisi ruang penyimpanan arsip film di lantai 2, 3, dan 4,
masih belum sesuai standar yang dipersyaratkan menurut standar penyimpanan
arsip film, ISO 5466 : 1992, dimana kondisi penyimpanan arsip film sebaiknya
diatur pada suhu maksimum 21oC dan kelembaban 15 – 40% RH dengan fluktuasi
maksimum 2 oC dan kelembaban 5 %.
2. Koleksi arsip film di ANRI umumnya film dengan jenis dasar asetat.
3. Kondisi fisik arsip film 16 mm di ruang penyimpanan arsip film di gedung F lantai
2, 99% dalam kondisi baik, sedangkan arsip film 35 mm hanya 50 % yang berada
dalam kondisi baik.
B. Saran
24
1. Sebaiknya kegiatan monitoring ruangan penyimpanan arsip film dilakukan secara
rutin setiap hari terutama pemeriksaan setting AC dan dehumidifier agar kondisi
ruangan penyimpanan yang ideal dapat dicapai. Karena dengan kondisi ruang
penyimpanan yang ada sekarang dikhawatirkan arsip film akan naik kondisi pH-
nya menjadi 2 kali lipat pada 2 – 15 tahun kedepan sehingga sulit untuk
diselamatkan.
2. Perlunya dipasang air cleaner diruangan penyimpanan arsip film untuk menjamin
sirkulasi udara yang baik dan menyerap bau asam dari arsip film terutama diruang
cool storage, karena diruang tersebut tersimpan negatif dan stock shoot film
sebagai master arsip.
3. Perlunya dipasang alat pengukur suhu dan kelembaban yang baru
(thermohygrometer) karena hasil pengukuran alat yang terpasang sekarang sudah
tidak valid.
4. Sebaiknya alih media arsip film ke bentuk media arsip lainnya lebih ditingkatkan
lagi mengingat deteriorasi arsip film akan terus berlangsung dengan sendirinya
apalagi dengan kondisi saat ini.
5. Perlu dilakukan pendataan kondisi arsip secara menyeluruh agar dapat dilakukan
langkah perbaikan secepatnya sebelum kerusakan pada arsip film berlanjut.
25
DAFTAR PUSTAKA
Arsip Nasional RI,. Manajemen Arsip Audio Visual, Modul. Pusat Diklat Arsip Nasional RI. 2001.
Elise Calvi,. Preserving Access to Research Materials on Cellulose-Acetate Base Microfilm in the University of Delaware Library, Preservation Department, University of Delaware Library, July 2003
ISO 5466,. Processed Safety Photographic Films, Storage Practices, 1992 (E).
James Reilly,. IPI Storage Guide for Acetate Film. Rochester, NY: Image Permanence Institute, 1996
Robley, Les-Paul,. Vinegar Syndrome Articles, American Sinematographer June 1996 Edition.
Arsip Nasional RI,. Pedoman Pengelolaan Arsip Film, Jakarta, Arsip Nasional RI, 2002.
Unger, Carol,. Storage Microfilms : What Are They Doing in The Dark. AbbeyNewsLetter Volume 16 No. 4, August 1992.
http: //www.nfsa.afc.gov
http : // palimpset.stanford.edu/byorg/abbey/an/an16/an16-4/an16-407.html
Notulen Rapat Rencana Kerja Penerbitan Jurnal Ilmiah Kearsipan Pusjibang Siskar Arsip Nasional RI
Tanggal : 01 Mei 2007 Pukul : 10.00 s.d 12.00 Tempat : Ruang Rapat Gedung C Lt.8
Rapat yang dihadiri tim kerja memutuskan beberapa langkah sebagai berikut: 1.Susunan Redaksi dengan komposisi: - Pelindung : Djoko Utomo Ahmadsyah Naina - Pimpinan Redaksi : Sumrahyadi - Dewan Redaksi : Toto Widyarsono Sambudi SW - Redaktur : - Ketua : Bambang Barlian - Sekretaris : Lily Tifa - Anggota : Tamsir Oloan EHP Marpaung Nurarta Situmorang Dwi Yuli Astuti Samsrini Marwati Nur Mas Intan BM - Layout : Furqon Imamsyah Ahda Dwinda Meigita - Distributor : Hendro Subekti Anggariyani Kurniasih - Alamat Redaksi : Arsip Nasional RI Jl.Ampera Raya No.7 Jakarta 12560 Telp.(021)7805851 Fax.(021)7810280- 7805812 http:www.anri.go.id e-mail:info@anri. go.id
2.Tema yang ditetapkan : “Penyelamatan Arsip” 3.Artikel : - Bencana
- Preservasi - Penyusutan - Alih Media
4.Format tulisan : - Makalah terdiri dari15- 20 halaman - Spasi ganda - Jenis huruf times new roman - Tulisan merupakan hasil kajian pribadi/tim - Tulisan belum pernah dipublikasikan,dimuat/dicetak - Tulisan diterima paling lambat tgl 29 juni 2007
Susunan Redaksi:
Pelindung : Djoko Utomo Ahmadsyah Naina Pimpinan Redaksi : Sumrahyadi Dewan Redaksi : Sauki Hadiwardoyo
Mustari Irawan Toto Widyarsono
Sambudi SW Redaktur : Ketua : Bambang Barlian Sekretaris : Lily Tifa Anggota : Tamsir Oloan EHP Marpaung Nurarta Situmorang Dwi Yuli Astuti Samsrini Marwati Nur Mas Intan BM Sriyanto Layout : Sri Wulandari
Furqon Imamsyah Ahda Dwinda Meigita Distributor : Hendro Subekti Anggariyani Kurniasih Alamat Redaksi : Arsip Nasional RI Jl.Ampera Raya No.7 Jakarta 12560 Telp.(021)7805851 Fax.(021)7810280- 7805812 http:www.anri.go.id e-mail:info@anri. go.id T e m a : Penyelamatan Arsip
(Pasca bencana, Preservasi, Penyusutan, Alih Media, dll)
Kriteria Penulisan : 1. Tulisan merupakan hasil penelitian/hasil kajian (Lapangan/Pustaka baik perorangan
maupun tim) atau karya tulis ilmiah. 2. Makalah ditulis menggunakan kertas A4 dengan jenis hurup Times New Roman dan
jumlah halaman 15 sampai dengan 20 memakai spasi ganda. 3. Tulisan belum pernah dipublikasikan atau belum pernah dimuat/dicetak dalam media
lain. 4. Makalah/tulisan yang masuk ke redaksi tidak dapat dikembalikan dan menjadi milik
dewan redaksi 5. Bagi tulisan yang memenuhi kriteria dan dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kearsipan akan
diberikan imbalan yang menyenangkan. 6. Tulisan Diterima redaksi paling lambat tanggal 29 Juni 2007
Dalam rangka penyusunan Jurnal Ilmiah Kearsipan, dengan ini Redaksi Jurnal Ilmiah Kearsipan memberikan kesempatan kepada seluruh pegawai ANRI untuk berpartisipasi dalam membuat tulisan/makalah yang akan dimuat dalam Jurnal Kearsipan Edisi II, dengan kriteria sebagai berikut : T e m a : Penyelamatan Arsip
(Pasca bencana, Preservasi, Penyusutan, Alih Media, dll) Kriteria Penulisan :
1. Tulisan merupakan hasil penelitian/hasil kajian (Lapangan/Pustaka baik perorangan maupun tim) atau karya tulis ilmiah.
2. Makalah ditulis menggunakan kertas A4 dengan jenis hurup Times New Roman dan jumlah halaman 15 sampai dengan 20 memakai spasi ganda.
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan atau belum pernah dimuat/dicetak dalam media lain.
4. Makalah/tulisan yang masuk ke redaksi tidak dapat dikembalikan dan menjadi milik dewan redaksi
5. Bagi tulisan yang memenuhi kriteria dan dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kearsipan akan diberikan imbalan yang menyenangkan.
6. Tulisan Diterima redaksi paling lambat tanggal 29 Juni 2007
1
STRATEGI PEMILIHAN PROGRAM PRIORITAS
PRESERVASI ARSIP STATIS DENGAN TEKNIS
ANALISIS SWOT:
Studi Kasus Preservasi Arsip Audio-Visual dan Elektronik pada
Direktorat Preservasi, ARSIP NASIONA RI
Drs. AZMI MSi
Abstract:
Archives preservation is one form among the keeping archives (textual, audio-visual and electronic media), which follow by certain technique in order to keep the archives in long period of time and its information is used properly. As a matter of fact, archives preservation is know as a generic term for totality of measures maintaining the integrity of the archives and the information contained them. It includes all the managerial and financial consideration, storage and accomodation provisions, staffing levels, policies techniques and methode involved in safeguarding the holding of archival institutions.
There are someffactors influence the archives preservation performance, specially the audio-visual and electronic archives around the Directorate of Preservation, which influence to the archives rescuing in the National Archives of the Republic of Indonesia (ANRI). Now day, there are known to be 3 (three) main issued in connected the audio-visual and electronic archives preservation in ANRI : low of human resources the capability; no certain standard operational procedure (SOP) for archives preservation; limit of infrastructure and tool.
As part of a good government, ANRI has the responsibility to protect an to guarantee the public rigth toward the collective memory of the nations which kept within the audio-visual and electronic archives. One of the ANRI’s main task is connected to how the audio-visual and electronic archives collection could be safed and preserved for public interest.
Strategy in choosing the actual issued in priority program of archives preservation, by refering the urgency, serious, and growth, as the rational and measurable technique analysis to increase the ANRI’s performance in keeping audio-visual and electronic archives as part of the collective memory of the nations.
SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) technique analysis
2
model describes in detail both the internal and external environment to find out factors, which cause the influenced to the successful of ANRI in preservationing the the audio-visual and electronic archives. Through SWOT technique analysis which influenced the ANRI’s successful in archives management is categoried into Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats as the basic to definite the target, goal and strategy in deciding the ANRI’s main priority program for the preservation, so ANRI has a advantage in reaching the vition and misson as the archival institutions. Key Words:: Preservation, Programme, Swot Analysis, Audiovisual Records, Electronic Records, Directour of Preservation.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sebagai lembaga pemerintah
nondepartemen (LPND) yang salah satu tugas pokoknya adalah melestarikan dan
menyediakan arsip sebagai bahan pertanggungjawaban nasional dalam rangka
kehidupan kebangsaan. Keberadaan ANRI dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan bangsa tidak terlepas dari adanya kebutuhan untuk menciptakan
manajemen pemerintahan yang efisien dan efektif. Informasi mengenai
penyelenggaraan negara dan pemerintahan perlu dikelola dengan baik sebagai memori
kolektif bangsa dan menjadi sumber informasi publik bagi generasi kini dan mendatang.
Sebagai bagian dari pemerintahan yang baik, ANRI berkewajiban melindungi
dan menjamin hak publik terhadap memori koleksi bangsa (good government is good
recordkeeping). Substansi tugas pokok ANRI melekat pada bagaimana khasanah arsip
yang disimpannya, yakni informasi terekam tentang penyelengaraan negara yang
memiliki nilai historis yang disebut dengan istilah arsip statis (achives) dapat
diselamatkan dan dilestarikan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat.
3
Pengaruh globalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdampak
kepada berbagai ragam informasi arsip statis yang harus diselamatkan dan dilestarikan
oleh ANRI. Salah satu dampak globalisasi tersebut adalah semakin meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap dukungan data dan informasi yang bersumber dari arsip
audio-visual dan elekronik. Hal ini membawa konsekuensi logis terhadap kebutuhan
penyelamatan dan pelestarian arsip audio-visual dan elekronik yang memadai.
Salah satu faktor penentu keberhasilan pelestarian arsip audio-visual dan
elekronik dalam rangka penyelamatan arsip statis sebagai informasi publik adalah
tersedianya Standar Operasional Prosedur (SOP) preservasi audio-visual dan elekronik.
Preservasi arsip merupakan salah satu bentuk penyelamatan arsip yang dilakukan agar
informasi yang disimpan di dalamnya dapat digunakan sebaik-baiknya oleh pengguna
arsip.
Kesiapan ANRI dalam menyediakan SOP preservasi audio-visual dan elekronik
yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan preservasi audio-visual dan elekronik,
merupakan kewajiban konstitusional seperti disebutkan pada Pasal 6 ayat a dan Pasal 9
ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2007 bahwa pemerintah mempertinggi mutu
penyelenggaraan kearsipan nasional dengan penyelenggaraan kearsipan yang
membimbing ke arah kesempurnaan. Pasal 9 ayat 1 menyebutkan Arsip Nasional Pusat
wajib menyimpan, memelihara dan menyelamatkan arsip sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf b UU ini dari Lembaga-lembaga Negara dan Badan-badan Pemerintahan
Pusat.
Dalam konteks preservasi arsip audio-visual dan elekronik untuk peningkatan
akses dan mutu layanan arsip statis kepada publik, maka penyusunan SOP preservasi
4
arsip audio-visual dan elekronik merupakan upaya untuk mewujudkan layanan prima di
ANRI. Hal ini merupakan bagian dari implementasi UU Nomor 43 Tahun 1999
tentang Pegawai Negeri Sipil, yakni aparatur dituntut memberikan pelayanan
prima agar masyarakat memperoleh kepuasan atas layanan yang telah
diterimanya.
Lemahnya strategi dalam penentuan program kerja prioritas preservasi
arsip statis, yang berdampak terhadap kurang optimalnya kinerja preservasi arsip
audio-visual dan elektronik di ANRI, menarik perhatian penulis untuk menulis makalah
dengan judul : “ Strategi Pemilihan Program Prioritas Preservasi Arsip Statis
dengan Teknis Analisis SWOT: Studi Kasus Preservasi Arsip Audio-Visual dan
Elektronik pada Direktorat Preservasi, Arsip Nasional RI”
B. Limitasi Studi
Studi ini memiliki keterbatasan pada hal-hal berikut :
1. Studi hanya membahas kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronika
tidak membahas kinerja preservasi arsip jenis lainnya;
2. Studi ini merupakan studi kasus pada Direktorat Preservasi di ANRI, sehingga
fenomena yang terjadi tidak dapat digeneralisasikan untuk kasus-kasus di tempat
lainnya;
3. Studi ini hanya didasarkan data sekunder dari dokumen dan data hasil observasi
lapangan, sehingga ketepatan analisis kurang optimal;
4. Studi dilakukan dalam waktu singkat, sehingga pengumpulan data dan
pembahasan dilakukan kurang menyeluruh.
5
C. Metodologi
1. Rasionalisasi Pendekatan
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung dengan data-data
kuantitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati (Moleong,2004:4).
2. Model Analisis
Model analisis yang digunakan dalam studi ini adalah analisis SWOT
(Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats), yaitu suatu proses memerinci
keadaan lingkungan internal dan eksternal guna mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan organisasi ke dalam katagori strengths,
weaknesses, opportunities, threats, sebagai dasar untuk menentukan tujuan,
sasaran dan strategi mencapainya, sehingga organisasi memiliki keunggulan
meraih masa depan yang lebih baik (Sianipar, 2003:23).
3. Teknik Pengunpulan Data
Dalam studi ini, penulis menggunakan pengumpulan data kualitatif dengan
teknik studi pustaka terhadap dokumen resmi yang berkaitan dengan preservasi
seperti buku, pedoman, makalah, laporan tahunan dan dokumen resmi lainnya
yang diterbitkan ANRI). Teknik pengumpulan data lainnya adalah survei atau
observasi lapangan ke unit-unit kerja yang melaksanakan fungsi pelestarian arsip
audio-visual dan elektronik di lingkungan Direktorat Preservasi ANRI.
6
D. Isu Aktual
Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja preservasi arsip audio-visual dan
elektronik pada Direktorat Preservasi yang berpengaruh terhadap tingkat keselamatan
arsip statis di ANRI. Berdasarkan hasil pengamatan sementara penulis, ada tiga isu
utama yang berkembang saat ini, yaitu:
1. Rendahnya kompetensi SDM;
2. Belum adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) preservasi arsip;
3. Terbatasnya prasarana dan sarana.
Untuk menetapkan prioritas isu aktual dari tiga permasalahan yang diidentifikasi
tersebut, penulis menggunakan teknik analisis Model Urgensi, Serious, Growth (USG) ,
sebagai berikut:
Tabel 1 : Diagram Urgensi, Serious, Growth
NO. MASALAH URGENSI SERIOUS GROWTH TOTAL
1. Rendahnya kompetensi SDM 5 5 4 14
2.
Terbatasnya prasarana dan sarana
5 5 3 13
3.
Belum tersedianya standar operasional prosedur (SOP) preservasi arsip audio-visual dan elektronik
5 5 5 15*)
*) Masalah yang diprioritaskan untuk diselesaikan adalah masalah yang memiliki total skor tertinggi berdasarkan skala nilai 1- 5. Nilai terendah 1 dan nilai tertinggi 5.
7
Berdasarkan hasil analisis terhadap isu-isu aktual yang di kemukakan di atas,
penulis menyimpulkan bahwa isu utama dan menjadi prioritas harus segera dihadapi
dan dicarikan solusinya, yaitu “ belum tersedianya standar operasional prosedur
preservasi (SOP) arsip audio-visual dan elektronik, sehingga perlu adanya SOP
preservasi arsip audio-visual dan elekronik agar kinerja preservasi arsip di ANRI
dapat berjalan dengan optimal”.
Sebagai salah satu upaya (sasaran) yang harus dilakukan dalam jangka pendek
dan sangat segera harus dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah
”menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik, dalam rangka
pelestarian arsip statis di ANRI dan meningkatkan akses dan mutu layanan arsip
statis kepada masyarakat”.
KERANGKA KONSEPTUAL
A. Konsepsi Sistem Preservasi Arsip
Sebuah sistem terbentuk dari komponen-komponen yang berintegrasi atau
bekerjasama satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu, di mana tidak dapat dicapai
oleh masing-masing komponen secara independen (Dephub 2006:5). Sistem preservasi
arsip merupakan suatu sistem yang dibentuk oleh komponen-komponen :
1. Komponen liveware (Manusia: Arsiparis, Konservator), sebagai pelaku kegiatan
preservasi;
2. Komponen hardware (sarana dan prasarana kearsipan : gedung/depo, ruang
penyimpanan, ruang perawatan, ruang reproduksi, video evaluator, rewinder
8
machine, rak, boks, can, spool, leader, dlll), sebagai tempat kegiatan dan
peralatan pendukung kerja preservasi arsip;
3. Komponen environment (Lingkungan: cuaca dan faktor alam), sebagai faktor
luar yang turut mempengaruhi kelancaran sistem preservasi arsip;
4. Komponen software (Peraturan perundangan-perundangan, standarisasi, manual
sebagai perangkat lunak yang berfungsi mengatur dan mengontrol sistem
preservasi arsip).
5. Lingkungan organisasional, sebagai internal sistem preservasi arsip yang lebih
melihat kepada kebijakan-kebijakan lembaga dalam mengatur sistem preservasi
arsip.
Mengacu kepada sistem preservasi kearsipan nasional, maka sistem preservasi
merupakan entitas yang terdiri dari preservasi arsip berbasis bahan dasar kertas, audio-
visual dan elektronik yang meliputi aspek manusia, sarana dan prasarana, lingkungan,
lingkungan organisasi, peraturan perundang-undangan, standar dan pedoman yang
saling berinteraksi, membentuk satu sistem preservasi kearsipan yang efisien dan
efektif. Model sistem preservasi arsip secara sederhana dapat digambarkan seperti pada
gambar 1 berikut ini.
Gambar 1 : Model Sistem Preservasi Arsip
9
Software
Environment
Liveware
HardwareArchives
PreservationSystem
MODEL SISTEM PRESERVASI ARSIP
B. Preservasi
Secara konsep, istilah preservasi arsip sering disebut juga dengan istilah
“Pelestarian”. Preservasi atau pelestarian arsip adalah proses dan kerja dalam rangka
perlindungan fisik arsip terhadap kerusakan atau unsur perusak dan restorasi/reparasi
bagian arsip yang rusak atau arsip yang rusak. Preservasi langsung adalah menyediakan
prasarana dan sarana perlindungan arsip, termasuk bangunan, metode, penyimpanan
arsip dan perbaikan fisik. Preservasi tidak langsung adalah mengusahakan substitusi
atau alih media, misalnya melakukan penggandaan dan alih media ke mikrofilm atau
kaset video, kaset rekaman suara, dan lain-lain. (Terminologi Kearsipan nasional,
2002).
Preservasi arsip merupakan salah satu bentuk penyelamatan arsip yang
dilakukan agar data dan informasi yang disimpan di dalamnya dapat digunakan sebaik-
baiknya oleh generasi sekarang maupun generasi yang mendatang. Senada dengan hal
10
itu, Ellis dalam buku Keeping Archives (1993: 476) mendefiniskan preservasi sebagai
tindakan yang memungkinkan bahan arsip baik fisik maupun informasi yang terkandung
didalamnya dapat disimpan dan dipertahankan selama mungkin.
Pada sisi lain Ellis (1993:476) mendefinisikan preservasi sebagai tindakan yang
memungkinkan bahan arsip baik media fisiknya maupun informasinya yang terkandung
di dalamnya dapat disimpan dan dipertahankan selama mungkin. Michael Roper (1989),
mendefinisikan preservasi adalah keseluruhan tindakan pemeliharaan kesatuan dan isi
informasi arsip, yang meliputi semua aspek pelestarian arsip, keuangan, sarana, sumber
daya manusia, metode dan teknik, serta penyimpanannya dalam rangka penyelamatan
khasanah arsip. Peter Walne (1988), mendefinisikan preservasi adalah keseluruhan
proses dan tindakan dalam rangka perlindungan arsip terhadap kerusakan atau dari
faktor-faktor yang melemahkan kondisi arsip dan perbaikan terhadap arsip yang rusak.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa preservasi atau
pelestarian arsip adalah tindakan perlindungan dan perawatan arsip sehingga dapat
disimpan dan dimanfaatkan dalam jangka waktu lama. Berdasarkan pada pengertian ini,
maka kegiatan preservasi meliputi kegiatan pemeliharaan, perawatan, penyimpanan,
perlindungan atau pengamanan arsip baik fisik maupun informasinya. Dengan kata lain
pelestarian atau preservasi arsip secara umum bertujuan untuk melindungi fisik arsip
agar tahan lama, menghindarkan kerusakan sehingga kandungan informasinya dapat
terjaga selamanya.
Kegiatan preservasi arsip secara umum terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu:
1. Pemeliharaan arsip dari ancaman faktor-faktor perusak, baik yang bersumber
dari internal maupun eksternal. Dalam hal ini dilakukan kegiatan penyimpanan
11
arsip sesuai dengan standar penyimpanan : gedung, ruang penyimpanan,
peralatan, suhu dan kelembaban udara;
2. Perawatan dan perbaikan arsip yang rusak sebagai akibat pemeliharaan yang
kurang baik, bencana, salah dalam penggunaan, dan sebagainya;
3. Reproduksi arsip dalam rangka pelestarian informasi arsip : alih media, copy.
Preservasi arsip mempunyai tujuan untuk melindungi fisik arsip agar tahan lama,
menghindarkan kerusakan sehingga kandungan informasinya dapat terjaga selamanya.
Karena itu ketika melakukan preservasi arsip ada beberapa prinsip-prinsip preservasi
yang harus diperhatikan, yaitu :1) dilaksanakan dengan mempertahankan otentisitas dan
realibilitas arsip, 2) dilaksanakan sejak dinyatakan sebagai arsip, 3) penyimpanan arsip
memperhatikan jenis media rekamnya, 4) penyimpanan arsip dilaksanakan pada ruang
simpan yang memenuhi syarat, dengan suhu dan kelembaban udara yang stabil, 5)
perawatan arsip dilaksanakan dengan tingkat ketelitian yang tinggi (ketahanan dan
eviden suatu arsip).
Martoatmodjo (1994:6) menyebut preservasi dengan istilah pelestarian, yang
mempunyai beberapa fungsi, yaitu : 1) Perlindungan : arsip dilindungi dari serangga,
manusia, jamur, panas matahari, air, dsb. 2) Pengawetan : dengan dirawat baik-baik,
arsip menjadi bisa lebih lama digunakan, 3) Kesehatan : dengan pelestarian yang baik,
arsip menjadi bersih, bebas dari debu, jamur, binatang perusak dan sumber penyakit, 4)
Pendidikan : user dan petugas kearsipan sendiri harus belajar bagaimana cara memakai
dan merawat arsip, 5) Kesabaran : merawat arsip ibarat merawat bayi atau orang tua,
sehingga harus sabar, 6) Sosial : pelestarian tidak bisa dikerjakan oleh seorang diri,
petugas kearsipan harus mengikutsertakan user untuk tetap merawat arsip, 7) Ekonomi :
12
dengan pelestarian yang baik, arsip menjadi lebih awet dan biaya operasional kantor
dapat dihemat, 8) Keindahan : dengan pelestarian yang baik, penataan fisik arsip akan
lebih mudah, ruang penyimpanan menjadi indah, sehingga memberikan motivasi kerja
para petugas kearsipan.
Pelaksanaan preservasi arsip akan sangat tergantung dari tingkat kemampuan
masing-masing organisasi. Untuk menjelaskan pelaksanaan preservasi arsip, Teygeler
(2001:34) mengembangkan model preservasi arsip yang dikenal dengan model piramida
konservasi (coservation pyramid). Pada bagian bawah model piramid ini merupakan
bagian yang penting untuk semua koleksi, dan bagian puncak merupakan tindakan
khusus bagi konservator. Secara keseluruhan “preservation pyramid“ terdiri dari 4
komponen, yaitu : 1) konservasi preventif (preventive conservation), 2) konservasi pasif
(passive conservation), 3) konservasi aktif (active conservation), 4) restorasi
(restoration).
Gambar 2: Model Piramida Conservation
Restoration
Active
Passive conservationPreventive
ti
Gambar. Piramida Preservasi (preservation pyramid)
13
1. Preventive conservation (konservasi preventif)
Adalah semua tindakan langsung atau tidak langsung untuk mencegah atau
mengurangi kerusakan objek, berkaitan dengan pemenuhan ketentuan kondisi
lingkungan, dan cara akses objek secara baik untuk memperpanjang daya hidupnya.
Dimulai dari garis kebijaksanaan yang tegas meliputi pelatihan, pendirian sikap dan
profesionalisme semua staf.
Tugas utama lembaga kearsipan adalah menjamin khasanah/koleksi arsip statis
senantiasa tersedia untuk diakses dan dimanfaatkan baik bagi generasi kini dan generasi
mendatang. Karena itu daripada harus memperbaiki arsip yang rusak adalah jauh lebih
efisien dan efektif melakukan pencegahan/pengurangan kerusakan arsip. Walaupun
kerusakan bahan akan terus berlangsung, tetapi sesungguhnya dapat diperlambat, di
mana ilmu pengetahuan dapat memberikan saran tentang cara-cara untuk mempanjang
jangka hidup objek. Pencegahan adalah lebih baik daripada pengobatan, khususnya
untuk yang tidak mempunyai cukup dana dan juga merupakan cara yang paling aman
terhadap keselamatan seluruh koleksi.
2. Passive conservation (konservasi pasif)
Adalah tindakan langsung atau tidak langsung yang berhubungan dengan cara
memperpanjang daya hidup objek. Meliputi pemeliharaan tempat penyimpanan yang
baik; sirkulasi udara, air purification (penyaringan udara), pemasangan air
conditioning, kebersihan depot dan pengontrolannya. Hal yang paling utama dalam
passive conservation adalah melakukan survei mengenai kondisi fisik dari koleksi.
3. Active conservation (konservasi aktif)
14
Adalah semua tindakan langsung atau tidak langsung yang bertujuan untuk
mempanjang jangka hidup objek. Meliputi pemasukan objek dalam boks,
pembungkusan kembali objek, pembersihan objek, deasidifikasi dan pemusnahan hama.
Pada tahapan ini, kegiatan active conservation dapat dilakukan oleh orang-orang yang
bukan konservator.
4. Restoration (restorasi, perbaikan)
Adalah semua tindakan untuk memperpanjang jangka hidup objek sesuai dengan
kaidah-kaidah estetika dan etika, dengan mempertahankan keutuhannya yang
berhubungan dengan sejarah. Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh konservator yang
sangat terlatih. Pada tahapan ini, untuk merestorasi objek akan memerlukan biaya yang
mahal dan menghabiskan banyak waktu.
C. Norma, Standar, Pedoman dan Manual
Dalam perangkat pelaksanaan tugas kepemerintahan pedoman merupakan bagian
dari sistem NSPM (Norma, Standar, Pedoman dan Manual). Keempat aspek tersebut
berada pada jenjang berbeda. Norma berada pada jenjang paling atas, standar pada
jenjang kedua, pedoman dan manual pada masing-masing pada jenjang ketiga dan
keempat.
Badan Litbang Departemen Perhubungan (2005) memberikan definsi NSPM
sebagai berikut : 1) Norma adalah aturan/ketentuan yang mengikat sebagai panduan
atau pengendalian dalam melaksanakan kegiatan, 2) Standar adalah spesifikasi teknis
atau sesuatu yang diberlakukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan, 3)
15
Pedoman adalah acuan yang bersifat umum yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dapat
disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan daerah/instansi setempat, 4) Manual
adalah acuan operasional yang penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan dan
karakteristik setempat.
Standardisasi sebagai unsur pendukung keselamatan arsip, mempunyai peranan
penting dalam mengoptimalisasi pendayagunaan sumber daya yang ada. Tujuan
standardisasi preservasi arsip adalah terwujudnya jaminan mutu produk dan jasa
preservasi arsip guna menunjang tercapainya tujuan-tujuan strategis penyelenggaraan
kearsipan statis, seperti peningkatan akses dan mutu pelayanan, pengurangan terjadinya
musibah/bencana, efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan sumber daya yang ada.
Standar adalah suatu spesifikasi teknis atau sesuatu yang diberlakukan sebagai
patokan dalam melakukan kegiatan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak terkait
dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keamanan, keselamatan, lingkungan,
perkembangan IPTEK, pengalaman, perkembangan masa kini dan mendatang untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
KERANGKA TRANSFORMASI VISI DAN MISI ANRI
Tahun 1971 adalah tahun lahirnya sebuah undang-undang yang menjadi payung
hukum penyelenggaraan kearsipan di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 7 tahun
1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan. Kemudian didasarkan kepada
Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1974 Arsip Nasional RI (ANRI) menjadi
sebuah lembaga nondepartemen yang berkedudukan di ibukota negara dan berada
16
langsung di bawah serta bertanggungjawab kepada Presiden.
Untuk kepentingan pertanggungjawaban nasional kepada generasi mendatang,
menjamin kesinambungan pelaksanaan pembangunan secara terus menerus perlu
diselamatkannya bahan-bahan bukti yang nyata, otentik dan reliabel mengenai
kehidupan kebangsaan yang pada umumnya dan penyelenggaraan pemerintahan negara
pada khususnya baik mengenai masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan
datang.
Mengantisipasi globalisasi dan perubahan lingkungan strategis lainnya,
serta untuk memberikan mutu pelayanan yang prima kepada masyarakat dalam
bidang kearsipan, maka ANRI pun dituntut untuk melakukan berbagai perbaikan
ke arah kesempurnaan layanan arsip untuk menciptakan citra positif lembaga ini.
Hal ini penting mengingat bahwa kedaulatan dan kepentingan rakyatlah yang
harus senantiasa dikedepankan, karena rakyat saat ini menuntut terwujudnya
“tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)” yang ditandai dengan
empat pilar elemen utama yang saling keterkaitan satu sama lainnya yaitu :
transparansi, partisipasi, penegakan hukum dan akuntabilitas.
Dalam rangka mendukung terciptanya Good Governance serta merespon terhadap
perubahan sosial dan perubahan dalam lingkungan strategis, ANRI telah
merumusan visi lembaga yakni menjadikan arsip sebagai simpul pemersatu bangsa.
Untuk mendukung visi tersebut telah ditetapkan misi lembaga yaitu:
1. Memberdayakan arsip sebagai tulang punggung manajemen
pemerintahan dan pembangunan;
2. Memberdayakan arsip sebagai bukti akuntabilitas kinerja aparatur;
17
3. Memberdayakan arsip sebagai bahan bukti sah di pengadilan;
4. Menjadikan arsip sebagai memori kolektif dan jati diri bangsa, warisan
nasional dan bukti pertanggungjawaban nasional;
5. Memberikan akses seluas-luasnya untuk kepentingan pemerintahan dan
pembangunan, masyarakat, penelitian dan ilmu pengetahuan demi
kemaslahatan bangsa sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang
berlaku.
Perwujudan misi yang berhubungan dengan pembahasan tulisan ini adalah misi
pada poin 4 dan 5, yaitu menjadikan arsip sebagai memori kolektif dan jati diri
bangsa, warisan nasional dan bukti pertanggungjawaban nasional, serta
memberikan akses seluas-luasnya untuk kepentingan pemerintahan dan
pembangunan, masyarakat, penelitian dan ilmu pengetahuan demi kemaslahatan
bangsa sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam bidang preservasi arsip audio-visual dan
elektronik merupakan salah satu pengembangan tupoksi ANRI dalam rangka
menjabarkan misi ANRI yang keenam, yaitu melestarikan dan memanfaatkan arsip
konvensional dan media baru.
KINERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI
Belum optimalnya kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain prasarana dan sarana, volume khasanah
arsip, kompetensi SDM kualitas bahan/material arsip dan belum tersedianya SOP
18
preservasi. Hal ini berpengaruh langsung terhadap kelestarian khasanah arsip statis dan
berdampak pula terhadap tingkat kualitas layanan informasi arsip statis kepada
masyarakat peminat arsip. Tabel 2 di bawah ini yang menggambarkan kondisi prasarana
dan sarana berdasarkan kegunaannya yang tersedia pada Direrktorat Preservasi.
Tabel 2 : Prasarana dan Sarana berdasarkan kegunaanya
Pada Subdit Pengolahan Arsip Media Baru
Sumber: Direktorat Preservasi, ANRI 2007
Kondisi prasarana dan sarana yang tersedia saat ini apabila mengacu kepada
konsep preservasi arsip belum memadai lagi, sehingga menjadi kendala tersendiri dalam
preservasi arsip audio-visual dan elektronik.
Permasalahan lain yang dihadapi Direktorat Preservasi dalam melestarikan arsip
audio-visual dan elektronik, adalah banyak volume/jumlah khasanah arsip yang harus
diolah. Masalah ini merupakan peluang bagi unit tetapi sekaligus bisa menjadi ancaman
apabila tidak ditangani dengan baik. Tabel 3 di bawah ini menggambarkan
jumlah/volume arsip audio-visual dan elektronik yang tersimpan di ANRI berdasarkan
jenis medianya.
No
Jenis
Kegunaan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
Depo/repository Ruang restorasi arsip Ruang reproduksi Ruang laboratorium Telesine Audio reproduction machine Video tape evaluator (VHS, U-matic, Betacam) Rewinder machine Recleaning tape recorder
Penyimpanan Perawatan Alih media Pengujian bahan dan peralatan Alih media film Alih media rekaman suara Perawatan arsip video Perawatan arsip film dan mikrofilm Perawatan arsip rekaman suara
19
Tabel 3: Jumlah Khasanah Arsip Audio-Visual dan Elektronik
Sumber: Direktorat Preservasi, ANRI 2007.
Aspek lain yang mempengaruhi kinerja preservasi arsip audio-visual dan
elektronik adalah kompetensi SDM yang bertugas memelihara dan merawat arsip.
Umumnya kompetensi SDM preservasi rendah, mereka sebagian tamatan SLTA dengan
latar belakang kearsipan yang minim. Arsiparis yang ditempatkan pada unit kerja
preservasi umumnya Arsiparis Tingkat Keterampilan dengan kemampuan teknologi
informasi yang rendah. Preservasi arsip audio-visual dan elektronik senantiasa
mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga sistem
preservasi arsip jenis ini tidak hanya bersandar pada upaya manual. Dengan demikian
SDM preservasi (Staf, Konservator, Arsiparis) bahkan kalau memungkinkan
pejabatanya pun harus memiliki kompetensi teknis kearsipan, khususnya bidang
preservasi arsip dan didukung dengan kemampuan dalam bidang teknologi informasi
yang memadai.
Tabel 4 dan 5 berikut ini menggambarkan SDM (staf dan Arsiparis) di luar
pejabat struktural berdasarkan tingkat pendidikan pada Direktorat Preservasi per Juli
2007 yang tersedia berdasarkan kualifikasi pendidikannya.
No
Jenis Arsip
Jumlah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Arsip film Arsip Video Arsip Audio (kaset, oral history) Arsip Foto Arsip Microfilm Arsip Microfiche CD
116.952 reel 37.216 kaset 27.309 kaset
1.600.245 lembar 2760 can
7540 lembar 48 keping
20
Tabel 4 : SDM (Staf dan Arsiparis) Direktorat Preservasi Berdasarkan Tkt. Pendidikan, per Juni 2007
NO
Tingkat Pendidikan
Jumlah
%
1.
2.
3.
4.
Sarjana S1
Diploma III
SLTA (SMA, SMEA, STM, KPAA)
SMP
5 orang
6 orang
45 orang
4 orang
8,33 %
10 %
75 %
6,66 %
Jumlah
60 orang
100 %
Sumber: Bagian Kepegawaian ANRI, 2007
Tabel 5 : SDM (Staf dan Arsiparis) Unit Kerja Penyimpanan, Restorasi ARMEDBAR dan Laboratorium Berdasarkan Tkt. Pendidikan, per Juni 2007
NO
Tingkat Pendidikan
Jumlah
%
1.
2.
3.
4.
Sarjana S1
Diploma III
SLTA (SMA, SMEA, STM)
SMP
4 orang
4 orang
13 orang
2 orang
18,20 %
18,20 %
59,10 %
9,10 %
Jumlah
22 orang
100 %
Pokok-pokok pengembangan dan peningkatan kinerja di masa yang akan datang
yang berhubungan dengan preservasi arsip audio-visual dan elektronik tidak terlepas
21
dari pijakan dan pedoman tugas pokok, fungsi dan program-program prioritas ANRI
secara keseluruhan. Peningkatan kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik
semata-mata hanyalah upaya untuk mengoptimalkan berbagai sumber daya yang ada
dan telah dimiliki oleh ANRI, khususnya yang ada di lingkungan preservasi arsip media
baru, Direktorat Preservasi. Diharapkan dengan mengembangkan sistem preservasi arsip
audio-visual dan elektronik yang ada dapat terciptanya peningkatan kinerja preservasi
arsip media baru, yang pada akhirnya adalah pada peningkatan kinerja ANRI sebagai
lembaga pembina kearsipan nasional.
Berdasarkan visi, misi, program-program prioritas dan strategi pembangunan
kearsipan nasional seperti telah diuraikan di atas, penulis perlu merumuskan tujuan yang
ingin dicapai di masa yang akan datang dengan tetap mempertimbangkan berbagai
sumber daya yang ada dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Tujuan yang ingin dicapai
pada masa yang akan datang adalah “meningkatnya kinerja presrvasi arsip statis”,
sehingga kondisi kinerja preservasi arsip statis sebagai informasi publik saat sekarang dapat
berubah seperti yang diinginkan.
Sasaran merupakan bagian integral dari proses perencanaan strategis instansi
pemerintah, untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan rencana jangka panjang dan
meletakkan dasar yang kuat untuk menilai dan memantau kinerja organisasi. Atas dasar
tujuan tersebut di atas, maka ditetapkan sasaran jangka pendek untuk pencapaian tujuan
yang diinginkan, yaitu: “meningkatnya kinerja preservasi arsip audio-visual dan
elektronik”.
22
ANALISIS DAN PROGRAM
A. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
Dalam upaya mewujudkan keadaan yang diinginkan. Direktorat Preservasi
memiliki potensi positif sebagai kekuatan pendorong dan memiliki kelemahan-
kelemahan yang merupakan kekuatan penghambat. Selain itu sesuai dengan
karakteristik kegiatan yang melibatkan unit kerja lain, juga dapat memberikan dampak
positif dan negatif. Dampak positif karena dapat menciptakan peluang-peluang, namun
di sisi lain juga dapat menjadi ancaman-ancaman bagi kelancaran pencapaian tujuan dan
sasaran organisasi.
Peningkatan kinerja presrvasi arsip audio-visual dan elektronik dapat dilakukan
dengan melakukan analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi peningkatan kinerja tersebut. Metode yang dapat digunakan adalah
metode analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats).
Langkah pertama yang ditempuh melakukan inventarisasi faktor-faktor internal
dan eksternal. Kemudian melakukan identifikasi faktor mana yang masuk faktor
kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) pada faktor internal, serta peluang
(opportunities) dan ancaman (treats) pada faktor eksternal.
1. Identifikasi Faktor Internal
Setelah dilakukan inventarisasi terhadap faktor-faktor internal maka dapat
diidentifikasi faktor kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses).
23
a. Kekuatan (strengths), merupakan pendorong internal untuk mencapai
tujuan dan sasaran, antara lain meliputi : tersedianya kewenangan,
tersedianya Arsiparis, motivasi kerja pegawai tinggi.
b. Kelemahan (weaknesses), merupakan penghambat dari faktor internal
untuk mencapai tujuan dan sasaran, antara lain meliputi : tidak
tersedianya SOP preservasi arsip, minimnya prasarana dan sarana,
anggaran terbatas.
2. Identifikasi Faktor Eksternal
Setelah dilakukan inventarisasi terhadap faktor-faktor eksternal maka dapat
diidentifikasi faktor peluang (opportunities) dan ancaman (threats).
a. Peluang (opportunities), merupakan pendorong eksternal untuk mencapai
tujuan dan sasaran, antara lain meliputi: volume khasanah/koleksi arsip
besar, meningkatnya pengguna arsip audio-visual dan elektronik, adanya
standar internasional pengelolaan arsip.
b. Ancaman (threats), merupakan penghambat dari faktor eksternal untuk
mencapai tujuan dan sasaran, antara lain meliputi : rendahnya akses
publik terhadap arsip, rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip,
rendahnya pengolahan arsip.
Identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal yang dapat mempengruhi
kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik dapat dilihat pada tabel 6 di bawah
ini.
24
Tabel 6: Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
No Faktor Internal Strenghts Weaknesses
S1 Tersedia kewenangan W1 Terbatasnya prasarana dan sarana
S2 Tersedia Arsiparis W2 Belum adanya SOP preservasi AV dan elektronik
S3 Motivasi kerja pegawai tinggi W3 Terbatasnya anggaran
NO Faktor Eksternal Opportunities Threaths
O1 Volume khasanah/koleksi arsip besar
T1 Rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip
O2
Meningkatnya pengguna arsip arsip AV dan elektronik
T2 Rendahnya akses publik terhadap arsip
O3 Adanya standar internasional pengelolaan arsip
T3 Rendahnya pengolahan arsip
B. Evaluasi dan Pemilihan Faktor Kunci Keberhasilan
1. Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal
Setelah dilakukan identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal sebagaimana
terdapat pada tabel 6 di atas tahap selanjutnya adalah melakukan penilaian/evaluasi
terhadap faktor-faktor tersebut. Penilaian dilakukan untuk menentukan faktor-faktor
yang memiliki nilai lebih dibandingkan dengan faktor-faktor lain, baik dari segi
urgensinya, dukungan atau kontribusi maupun keterkaitan faktor terhadap misi
organisasi. Penilaian terhadap aspek-aspek tersebut masing-masing diuraikan sebagai
berikut.
a. Penentuan nilai urgensi (NU) dan bobot faktor (BF)
Penilaian menggunakan model rating scale (skala nilai) dari nilai terendah 1 sampai
nilai tertinggi 5. Selanjutnya ditentukan bobot setiap faktor (BF), dengan rumus BF
= NU/jumlah NU kali 100%. Jumlah NU untuk faktor internal (strengths dan
25
weaknesses) dan eksternal (opportunities dan threats) sehingga didapatkan bobot
masing-masing faktor, sebagaimana dapat dilihat pada tabeI 8.
b. Penentuan nilai dukungan (ND) dan nilai bobot dukungan (NBD) dari nilai terendah
1 sampai nilai tertinggi 5. Selanjutnya ditentukan nilai bobot dukungan setiap faktor
(BF), dengan rumus NBD= ND x BF, sehingga didapatkan nilai bobot dukungan
masing-masing faktor, hasilnya dapat dilihat pada tabel 8.
c. Penentuan nilai keterkaitan (NK), nilai rata-rata keterkaitan (NRK) dan nilai bobot
keterkaitan (NBK). Penilaian keterkaitan antarfaktor (NK) menggunakan skala
penilaian dari nilai terendah 1 sampai nilai tertinggi 5. Selanjutnya ditentukan nilai
rata-rata keterkaitan setiap faktor (BF), dengan rumus NRK = TNK / Jumlah N-1.
TNK adalah total nilai keterkaitan faktor, jumlah N adalah jumlah faktor internal
dan eksternal yang dinilai yaitu sebanyak 12 - 1 = 11, sehingga didapatkan nilai
rata-rata keterkaitan masing-masing faktor.
Setelah mengetahui nilai rata-rata keterkaitan (NRK) setiap faktor, dilakukan
perhitungan nilai bobot keterkaitan (NBK) dengan cara mengalikan NRK dengan
BF, yang hasilnya dapat dilihat pada tabeI 8.
d. Penentuan total nilai bobot (TNB)
Perhitungan total nilai bobot (TNB) menggunakan rumus TNB = NBD + NBK.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa faktor yang mempunyai nilai tertinggi
dianggap faktor strategis. Faktor-faktor dengan nilai tertinggi pertama dan kedua
dari masing-masing unsur strengths, weaknesses, opportunities, dan threats dipilih
sebagai faktor kunci keberhasilan (FKK), yang selanjutnya akan menjadi acuan
26
dalam perumusan tujuan.
Penilaian faktor internal berkaitan dengan urgensi dari setiap faktor menggunakan pendekatan komparasi, seperti tabel 7 berikut ini.
Tabel 7: Nilai Urgensi
NO FAKTOR INTERNAL FFAAKKTTOORR LLEEBBIIHH UURRGGEENN BBOOBBOOTT AA BB CC DD EE FF TTOOTTAALL
A B C
Tersedianya kewenangan Tersedianya Arsiparis
Motivasi kerja pgw tinggi
XX AA
CC
AA XX BB
CC BB XX
DD DD CC
EE EE EE
AA BB CC
22 22 33
1144 %% 1144 %% 2200 %%
D E
F
Terbatasnya prasarana dan sarana Belum ada SOP preservasi AV dan Elektronik Terbatasnya anggaran
DD EE
AA
BB EE
BB
CC EE
CC
XX EE
DD
EE XX
FF
DD EE
XX
22 55
11
1144 %%
3333,,33 %%
66,,77 %%
22 33 33 33 44 11 1155 110000 %%
NO FAKTOR EKSTERNAL FFAAKKTTOORR LLEEBBIIHH UURRGGEENN BBOOBBOOTT AA BB CC DD EE FF TTOOTTAALL
A B C
OPPORTUNITIES (PELUANG) Volume khasanah/koleksi arsip besar Meningkatnya pengguna arsip Adanya standar internasional
XX AA CC
AA XX CC
CC CC XX
AA BB DD
AA EE EE
AA BB FF
44 22 22
2266,,66 %% 1144 %% 1144 %%
D E F
THREATS (ANCAMAN) Rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip Rendahnya akses publik terhadap arsip Rendahnya pengolahan arsip
AA AA AA
BB EE BB
DD EE BB
XX EE FF
EE XX FF
FF FF XX
11 44 22
66,,77 %% 2266,,66 %% 1144 %%
JUMLAH 44 22 22 11 33 33 1155 110000 %%
27
Tabel 8: Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal
No. FAKTOR INTERNAL NU
BF % ND NBD NILAI KETERKAITAN NRK NBK TNB FKK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
STRENGHTS (kekuatan)
1 Tersedianya Arsiparis 2 7.00 5 0.35 X 5 4 5 5 4 5 4 4 4 4 4 4.36 0.30 0.65 2
2 Motivasi kerja pgw tinggi 2 7.00 5 0.35 5 X
4 4 4 4 5 4 3 4 4 5 4.18 0.29 0.64
3 Tersedianya kewenangan 3 10.00 4 0.40 4 4 X 5 5 5 5 4 4 5 4 4 4.45 0.44 0.98 1
2.27 Weaknesses (kelemahan)
4 Terbatasnya prasarana dan sarana 2 7.00 4 0.35 4 3 4 X
5 5 5 4 4 4 4 4 4.00 0.28 0.63 2
5 Belum ada SOP preservasi arsip AV dan Elektronik
5 17.00 5 0.85 5 4 5 5 X
4 5 5 5 5 5 5 4.81 0.81 1.66 1
6 Terbatasnya anggaran 1 3.40 4 0.14 4 4 5 5 4 X
4 4 4 3 3 3 3.90 0.13 0.27
2.56 Opportunities (peluang)
7 Volume khasanah/koleksi arsip besar
4 13.40 5 1.09 5 5 5 5 5 4 X
5 3 4 4 4 4.45 0.59 1.68 1
8 Meningkatnya pengguna arsip AV dan elektronik
2 7.00 4 0.67 4 4 4 5 4 4 5 X
4 4 5 4 4.27 0.29 0.96 2
9 Adanya standar internasional 2 7.00 4 0.35 4 3 4 4 5 4 3 4 X
4 5 4 3.63 0.25 0.60
3.24 Threats (ancaman)
10 Rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip
1 3.40 4 0.14 4 4 5 4 5 3 4 4 4 X 5 4 4.18 0.51 0.65 2
11 Rendahnya akses publik terhadap arsip
4 13.40 4 0.54 4 4 4 4 5 3 4 5 5 5 X 5 4.36 0.89 1.43 1
12 Rendahnya pengolahan arsip 2 7.00 4 0.35 4 5 4 4 5 3 4 4 4 4 5 X 4.18 0.36 0.71
30 100% 2.67
2. Penentuan Faktor Kunci Keberhasilan
Langkah selanjutnya, untuk melihat peta kekuatan internal dan eksternal
berdasarkan hasil evaluasi keterkaitan dari masing-masing faktor, dilakukan pemetaan
dengan membandingkan TNB Kekuatan = 2,27; Kelemahan = 2,56); Peluang= 3,24)
dan Ancaman = 2,67), maka organisasi berada pada kuadran III. Hal ini menunjukkan
bahwa Direktorat Preservasi memiliki faktor kunci keberhasilan yang dapat digunakan
sebagai acuan utama dalam memprojeksikan tujuan, yakni kelemahan kunci dan
peluang kunci. Berdasarkan suatu pertimbangan logis, bahwa dengan optimalisasi
kelemahan kunci dapat disusun suatu tujuan antara berupa perubahan atau perbaikan
kelemahan kunci tertentu yang dianggap masih potensial meraih kesempatan kunci.
Tujuan yang dirumuskan berorientasi pada perubahan atau perbaikan salah satu
kelemahan kunci. Untuk mencapai tujuan itu harus diperhitungkan kemampuan
memanfaatkan peluang kunci dan kemampuan mengatasi kelemahan kunci. Faktor
kunci keberhasilan (FKK) dapat dibuat dalam suatu format seperti pada tabel 9.
Tabel 9: Faktor-Faktor Kunci Keberhasilan
FAKTOR INTERNAL
No Strengths (Kekuatan) No Weaknesses (Kelemahan) 1. Adanya kewenangan 1 Belum SOP preservasi AV dan elektrnik 2. Tersedianya Arsiparis 2 Prasarana dan sarana terbatas
FAKTOR EKSTERNAL
No Opportunities (Peluang) No Threats (Ancaman) 1. Khasanah/koleksi arsip besar T1 Rendahnya akses publik terhadap arsip 2. Meningkatkan pengguna arsip T2 Rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan
arsip
S = 2 27
3. Peta Posisi Kekuatan Organisasi Direktorat Prservasi
Berdasarkan total nilai bobot (TNB) dari strengths, weaknesses, opportunities
dan threats, maka dapat diketahui peta kekuatan organisasi Direktorat Preservasi
dalam upaya meningkatkan kinerja publikasi hasil penelitian tansportasi berada
pada kwadran III. Hal ini menunjukkan bahwa Direktorat Preservasi memiliki faktor
kunci keberhasilan yang dapat digunakan sebagai acuan utama dalam memproyeksikan
tujuan, yakni kelemahan kunci dan kesempatan kunci kekuatan. Hal tersebut dapat
digambarkan dalam gambar 3..
Gambar 3 : Posisi Kekuatan Organisasi
W = 2,56
T = 2,67 O = 3,24
O – T = 0,57
S-W = 0,29
S – W = 2,27 – 2,56 = 0,29
O – T = 2,67 – 3,24 = 0,57
C. Tujuan, Sasaran dan Kinerja
1. Tujuan
Memperhatikan peta posisi kekuatan organisasi yang berada pada kuadran III, maka
dapat dirumuskan alternatif tujuan dengan menggunakan faktor kunci keberhasilan, yaitu
dengan jalan mengatasi kelemahan kunci dan memanfaatkan peluang kunci seoptimal
mungkin sebagaimana yang tercantum dalam tabel 10.
Table 10: Perumusan Tujuan (pada kuadran III)
Faktor Kekuatan Kungi (FKK) Alternatif Tujuan
Kelemahan Kunci Peluang Kunci
1. Belum ada SOP Preservasi AV dan Elektronik
1. Khasanah/Koleksi Arsip Besar
Menyusun SOP Preservasi AV dan Elektronik
2. Terbatasnya Prasarana dan Sarana
2. Meningkatnya Pengguna Arsip
Menambah Prasarana dan Sarana
Selanjutnya dari dua alternatif tujuan tersebut, ditentukan satu tujuan yang
mempunyai nilai tertinggi dengan memakai skaia nilai 1 sampai 5 berdasarkan nilai
manfaatnya (M), dan nilai kemampuan mengatasi kelemahan (KML), serta kemampuan
mengatasi ancaman (KMA). Nilai-nilai M, KML, dan KMA dari setiap faktor kunci
dijumlahkan sehingga menghasilkan total nilai (TN). Total nilai yang paling besar
dipilih sebagai tujuan prioritas yang akan dicapai, seperti pada tabel 11 berikut ini.
Table 11: Penilaian dan Penentuan Tujuan (pada kwadran III)
Faktor Kekuatan Kunci (FKK) Alternatif Tujuan
M KM
L KMA TN
Kelemahan Kunci Peluang Kunci
1. Belum ada SOP Preservasi AV dan Elektronik
1. Volmume Khasanah/Koleksi Arsip Besar
Menyusun SOP preservasi arsip statis
5 5 5 14*
2. Terrbatasnya Prasarana dan Sarana
2. Meningkatnya Pengguna Arsip
Menambah Prasaranan dan sarana
5 4 4 13
Dari matriks penilaian di atas, ditentukan prioritas tujuan yaitu menyusun SOP
preservasi arsip statis.
2. Sasaran dan Kinerja
Langkah selanjutnya adalah menyusun sasaran tahunan untuk mencapai tujuan.
Sasaran yang hendak dicapai adalah menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan
elektronik. Tujuan dan sasaran peningkatan kinerja preservasi arsip audio-visual dan
elektronik dalam kurun waktu 1 atau 5 tahun ke depan dengan indikator kinerja sebagai
berikut: a) Input : uang, SDM, komputer, ATK, referensi, 2) Process : menyusun SOP
preservasi arsip audio-visual dan elektronik, 3) Output : naskah SOP preservasi arsip
audio-visual dan elektronik, 4) Outcome : preservasi arsip audio-visual dan elektronik
dilaksanakan berdasarkan standar, 5) Benefit : arsip audio-visual dan elektronik dapat
diselamatkan dari faktor-faktor perusak dan dilestarikan selama mungkin, 6) Impact :
akses, mutu layanan dan pemanfaatan arsip statis untuk kepentingan publik meningkat.
D. Strategi dan Program
Setelah tujuan, sasaran dan kinerja ditetapkan, perlu juga ditetapkan strategi
pelaksanaannya yang ditujukan untuk memadukan atau mengintegrasikan antar faktor
kunci keberhasilan agar terjadi sinergi dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain,
strategi merupakan sarana untuk mencapai tujuan.
Dengan memperhatikan bahwa peta posisi organisasi berada pada kwadran III,
maka strategi yang akan diterapkan adalah strategi perlunya stabilitas, yang merupakan
perpaduan antara kelemahan kunci dan peluang kunci (strength and opportunity) yang
selanjutnya disebut strategi WO, yaitu mengurangi/memperbaiki kelemahan dengan
memanfaatkan peluang.
Diagram 1 menunjukkan penyusunan formulasi strategi SWOT yang akan
diambil, yaitu yang menggunakan pola interaksi perpaduan kelemahan kunci 1 dan 2
dengan peluang 1 dan 2. Dengan pola ini, dalam setiap kuadran terdapat dua alternatif
strategi.
Diagram 1 : Formulasi Strategi SWOT
FKK INTERNAL
FKK EKSTERNAL
Strengths
(Kekuatan)
1. Adanya kewenangan
2. Tersedianya Arsiparis
Weaknesses (Kelemahan)
1. Belum ada SOP preservasi AV dan elektronik
2. Terbatasnya prasarana dan sarana
Opportunities (Peluang)
1. Volume khasanah/koleksi arsip
besar 2. Meningkatnya pengguna arsip
Strategi SO
1.1 Manfaatkan kewenangan guna
mengatasi volume khasanah/koleksi arsip yang besar
1.2 Manfaatkan kewenangan guna mengatasi meningkatnya pengguna arsip
2.1 Manfaatkan teresedianya Arsiparis guna mengatasi volume arsip yang besar
2.2 Tingkatkan pelayanan arsip
Strategi WO
1.1 Susun SOP preservasi AV dan
elektronik dalam melestarikan volume khasanah/koleksi arsip besar
1.2 Susun SOP preservasi AV dan elektronik dalam mengatasi meningkatnya pengguna arsip
2.1 Tambahkan prasarana dan sarana dalam mempreservasi Volume khasanah/koleksi arsip besar
2.2 Tambahkan prasarana dan sarana dalam mengatasi meningkatnya pengguna arsip
Threaths
(Ancaman)
1. Rendahnya akses publik thp arsip 2. Rendahnya pemanfaatan dan
penggunaan arsip
Strategi ST
1.1 Manfaatkan kewenangan guna
meningkatkan akses publik thp arsip
1.2 Manfaatkan kewenangan guna meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip
2.1 Manfaatkan tersedianya Arsiparis guna meningkatkan akses publik thp arsip
2.2 Manfaatkan tersedianya Arsiparis guna meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip
Strategi WT
1.1 Tingkatkan akses publik thp arsip melalui penyusunan SOP preservasi AV dan elektronik
1.2 Tingkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip penyusunan SOP preservasi AV dan elektronik
2.1 Tingkatkan akses publik thp arsip melalui penambahan prasarana dan sarana
2.2 Tingkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip melalui penambahan prasarana dan sarana.
Alternatif Strategi WO dipilih karena merupakan alternatif yang berada pada
kwadran III sesuai dengan peta posisi kekuatan organisasi Direktorat Prerservasi yang
telah dibahas pada bagian sebelumnya.
Pemilihan strategi sesuai dengan peta posisi kekuatan organisasi ini dinamakan
pemilihan strategi dengan pendekatan strategi fokus. Setelah alternatif strategi WO
dipilih, langkah selanjutnya adalah penentuan satu strategi dari beberapa alternatif yang
ada melalui teori tapisan, yaitu berdasarkan tiga kriteria berikut: 1) efektivitasnya dalam
mencapai sasaran (efektivitas), 2) sumber daya yang digunakan paling efisien (biaya),
3) kepraktisan dalam melaksanakannya (kemudahan). Tabel 12 berikut ini ditunjukkan
pemilihan strategi dengan teori tapisan.
Tabel 12: Teori Tapisan
No Alternatif Strategi Efektivitas Kemudahan Biaya Total Ket.
1. Manfaatkan kewenangan guna mengatasi volume khasanah/koleksi arsip yang besar
3 4 4 12
2 Susun SOP preservasi AV dan elektronik dalam melestarikan volume khasanah/koleksi arsip besar
5 5 5 15*
3. Manfaatkan kewenangan guna meningkatkan akses publik thp arsip
4 4 4 12
4. Tingkatkan akses publik thp arsip melalui penyusunan SOP preservasi AV dan elektronik
5 5 4 14
Dari Tabel 12 di atas, alternatif yang prioritas adalah menyusun SOP preservasi
arsip audio-visual dan elektronik. Untuk menjamin terlaksananya strategi dengan baik
dalam mencapai sasaran kinerja, maka disusun suatu kebijakan operasional sebagai
pedoman atau acuan dalam menjabarkan strategi ke dalam program dan kegiatan.
Kebijakan operasional ini merupakan acuan pedoman yang memberikan arah program
dan kegiatan serta sumber daya yang diberdayakan.
Tabel 13 di bawah ini menunjukkan keseluruhan langkah peningkatan kinerja
yang dimulai dari tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program dan kegiatan.
Tabel 13 : Strategi, Kebijakan, Program, dan Kegiatan
Tujuan Sasaran Strategi Kebijakan Program Kegiatan
Menyusun SOP preservasi arsip statis
Menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan eektronik
Susun SOP preservasi AV dan elektronik
Peningkatan sistem preservasi arsip statis
Penyusunan SOP arsip audio-visual dan elektronik
1. Mengidentifikasi masalah
2. Mengumpulkan referensi dan data
3. Menyusun naskah SOP
4. Menyelenggarakan ekspose
5. Melaksanakan sosialisasi
6. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan
Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa kebijakan operasional yang akan diambil oleh
Direktorat Preservasi adalah peningkatan sistem preservasi arsip statis. Kebijakan
tersebut diimplementasikan ke dalam satu program yaitu penyusunan SOP preservasi
arsip audio-visual dan elektronik dengan kegiatan-kegiatan :
1) Mengidentifikasi masalah, 2) Mengumpulkan referensi dan data, 3) Menyusun
naskah SOP, 4) Menyelenggarakan ekspose SOP, 5) Melaksanakan sosialisasi SOP, 6)
Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan terhadap permasalahan pada makalah ini, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Masalah yang perlu segera diatasi, diidentifikasi dengan teknik analisis
Model Urgensi, Serious, Growth (USG), yaitu “ belum tersedianya SOP
preservasi arsip auidio-visual dan elektronik, sehingga perlu disusun SOP
preservasi arsip audio-visual dan elektronik”;
2. Hasil identifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi
pelaksanaan tupoksi Direktorat Preservasi, ditemukan faktor kunci
keberhasilan, yakni :
a. Kekuatan : tersedianya kewenangan, tersedianya Arsiparis
b. Kelemahan : belum adanya SOP preservasi arsip audio-visual dan
elektronik, terbatasnya prasarana dan sarana
c. Peluang : khasanah/koleksi arsip besar, meningkatnya pengguna arsip
d. Ancaman : rendahnya akses publik terhadap arsip, rendahnya
pemanfaatan dan penggunaan arsip.
3. Berdasarkan hasil penilaian dan penentuan alternatif tujuan. maka yang menjadi
prioritas adalah menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik.
Dari rumusan tujuan ini ditentukan sasaran yang terukur , yaitu meningkatnya
sistem preservasi arsip audio-visual dan elektronik;
4. Melalui diagram formulasi strategi SWOT dengan mengkombinasikan faktor-
faktor yang ada di setiap unsur SWOT ditemukan alternatif strategi. Sesuai peta
kekuatan, Direktorat Preservasi berada di kwadran III, maka strategi yang
dipilih adalah strategi WO, yaitu menyusun standar operasional prosedur (SOP)
preservasi arsip-audio visual dan elektronik dalam rangka melestarikan volume
khasanah arsip yang besar.
B. Saran
Penyusunan standar operasional prosedur (SOP) preservasi arsip-audio visual dan
elektronik merupakan salah satu alternatif tujuan dalam peningkatan kinerja preservasi
pada Direktorat Preservasi ANRI, maka agar pelaksanaan kegiatan tidak mendapat
kendala di lapangan sebaiknya dilakukan hal-hal berikut ini.
1. Perlu adanya peningkatan koordinasi kerja dengan unit kerja terkait, seperti Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Sistem Kearsipan, Direktorat Pemanfaatan dan
Pendayagunaan Arsip, , Direktorat Pengolahan dan Direktorat Akuisisi Arsip;
2. Perlu dilakukan peningkatan terhadap prasarana dan sarana;
3. Perlu adanya standar peningkatan kompetensi SDM;
4. Perlu langkah-langkah kerja yang disusun secara terencana;
5. Perlu adanya kebijakan anggaran yang pro preservasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, Edy Topo, dan Desi Fernanda. Membangun Kepemerintahan yang Baik. Bahan Ajar Diklat Pim Tingkat III, LAN, 2005.
Ellis, Judith. Eds Keeping Archives. Port Melbourne: Thorpe, 1993. Entang, dkk. Isu Aktual Sesuai Tema. Bahan Ajar Diklat Pim Tingkat III, LAN, 2005. Hadiwardoyo,Sauki .Terminologi Kearsipan, ANRI, 2002. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu
Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat. Keputusan Kepala ANRI Nomor: Kep.03 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Arsip Nasional Republik Indonesia . Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/ 7/2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik Keputusan Presiden RI Nomor 105 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Arsip Statis Martoatmodjo, Karmidi .Pelesetarian Bahan Pustaka. Universitas Terbuka, Diknas,
1994. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal; Sianipar, J.P.G, dan Entang . Teknik-teknik Anaisis Manajemen., Bahan Ajar Diklat Pim
Tingkat III, LAN, 2005. Teygeler, Rene’. Preservation of Archives in Tropical Climates: An annoted
bibliography, Paris, The Hague, Jakarta: 2001. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan
(Lembaran Negara RI Tahun 1971 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2964)
UNESCO . Preservation For Achives and Libraries. Paris : Unesco, 2001. Weda, Suwardi. Pengaruh Motivasi dan Disiplin Kinerja terhadap Efektivitas
Kepemimpinan Kepala SMU di Kota Makasar. Tesis Program Pascasarjana, Universitas Negeri Makasar, 2002.
Wallace, Patria E, at,al. Records Management :Integrated Information System. Englewood Clifft: Prentice Hall, 1992.
1
PENYELEMATAN ARSIP VOC :
IDENTIFIKASI KERUSAKAN PADA ARSIP HOGE
REGERING
Arsiparis Pengolahan Arsip VOC
Abstact :
The VOC presence in and around Monsoon Asia resulted not only in warehouses packed
with spices, textiles, porcelain and silk, but also in shiploads of documents. Most of the
papers found in VOC archives were produced by locally-stationed Company officials, but
much was also produced by the peoples with whom they interacted: kings and noblemen,
traders and middlemen, shippers and shahbandars (harbor masters).
The information network that the VOC built up for its business operations is impressive
indeed. Data on political, economic, cultural, religious, and social circumstances over a
broad area circulated between hundreds of VOC officials and dozens of establishments
around the world and the administrative centers in the Netherlands and at Batavia, now the
city of Jakarta.
Once the center of VOC administration in Asia, Jakarta maintains almost half of the VOC
archives worldwide, nearly 15,000 VOC files occupying an pressive 1,800 meters of shelf
space.
Time and the tropical climate have not been kind to the VOC archives. A fact-finding
mission the repositories of VOC archival papers in Asia revealed widespread damage to the
paper records from climate and conditions of storage as well as wear and tear resulting
from the consultation of the documents. These are clear threats to the archives survival.
Key Words: VOC archives, Information, maintains, tropical climate, repositories, damage,
archives survival.
2
PENDAHULUAN
Saat ini Arsip Nasional RI sedang berbenah diri dalam upaya untuk memberi layanan
prima bagi masyarakat. Membangun obsesi untuk menjadikan ruang layanan arsip sebagai
tempat yang representatif bagi peneliti menjadi tujuan utama bagi ANRI dalam memenuhi
tugas dan fungsinya sebagai lembaga penyimpan arsip statis. Hal pokok yang menjadi kunci
keberhasilan dalam memberi layanan prima bagi peneliti adalah : ketersediaan sarana
penemuan kembali, kondisi fisik arsip yang baik, serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkwalitas.
Salah satu masalah besar bagi ANRI sebagai instansi yang bertanggungjawab
terhadap kelestarian arsip adalah menjaga kondisi fisik arsip itu sendiri. Arsip yang
disimpan di ANRI meliputi arsip periode VOC (1602 - 1800), periode Hindia Belanda
(1800-1811), periode Inggris (1811-1816). Mengingat sebagian arsip tersebut sudah berusia
ratusan tahun dan iklim tropis Indonesia menjadikan beberapa khasanah arsip, terutama
arsip periode VOC mengalami kerusakan. Tidak menutup kemungkinan bahwa kerusakan
akan menyebar dan menular ke arsip-arsip lain dikemudian hari. Sebagaimana diketahui
bahwa iklim tropis negara-negara Asia menjadi salah satu penyebab utama kerusakan kertas.
Apabila tidak tertangani dengan baik maka dapat dipastikan bahwa kondisi fisik arsip akan
kritis dan dapat terjadi bencana kearsipan, "the calamity of archive" mengingat
beragam/kompleksnya kerusakan yang dialami.
Pada arsip Hoge Regering, sebagai salah satu khasanah yang berasal dari periode
VOC, semua kategori kerusakan dapat ditemukan seperti : Band en Blockschade
3
(ippervlakte schade, rug beschadiging, iersleten naaiwerk, gebroken binding, vervorming,
losse fragmenten), chemische schade (brand, foxing, ink-en/of kopervraat, plakband en/of
tapeschade, roest en oxidatie, verzuring, oude reparaties), mechanische schade (scheuren,
randbeschadeging, mechanische verkleving, verpakkingschade, geweld en/of oorlogschade),
plaag schade (schade door insecten, insectengangen, schade door knaagdieren) dan vocht
schade (vlekken en verkleuring, vervilting, schimmelvorming, verkleving). Peningkatan
kerusakan yang diakibatkan oleh kelima hal tersebut, tidak datang secara tiba-tiba seperti
halnya ancaman banjir, kebakaran atau bencana alam lain, namun kerusakan berjalan dengan
pasti dan akhirnya informasi akan hilang.
Dengan gambaran tersebut di atas, perlu dilakukan sebuah kajian yang bertujuan
mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan yang telah terjadi pada arsip VOC. Arsip Hoge
Regering diambil sebagai contoh bagi kajian awal ini, dengan pertimbangan:
1. Secara umum, arsip Hoge Regering dapat mewakili arsip periode VOC (kurun waktu
arsip yang paling tua yang dimiliki oleh ANRI), dan volume khasanah arsipnya cukup
besar (lebih dari 4500 nomor berkas).
2. Keseluruhan tahap pengolahan arsip telah selesai dikerjakan. Hasil akhir berupa sebuah
inventaris arsip telah berada di ruang layanan informasi untuk digunakan oleh peneliti,
dan penataan fisik serta penyimpanan arsip sudah selesai dilaksanakan. Dengan
demikian penghitungan data untuk mengisi variabel-variabel penelitian dapat dilakukan
dengan tingkat validitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Sebagian dari fisik arsip ini belum direstorasi, sehingga dimungkinkan kerusakan akan
lebih cepat bertambah.
4
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih jelas mengenai
kondisi arsip periode VOC, khususnya arsip Hoge Regering. Penanganan masalah kerusakan
arsip dalam waktu sesegera mungkin dan berkesinambungan, diharapkan dapat mencegah
"the calamity of archive" dan tidak berkembang menjadi "the calamity for the informational
world".
A. KERANGKA TEORI
Secara menyeluruh, arsip dapat dikatakan sebagai ingatan kolektif suatu bangsa,
yang akan memungkinkan sebuah negara belajar dari sejarahnya di masa lampau dan
memvisualisasikan masa depan yang hendak dirancangnya. Arsip secara umum dikenal
sebagai kumpulan dokumen berharga yang terbatas penggunaannya sebagai catatan sejarah,
kini telah berkembang menjadi sistem informasi yang dapat dipergunakan sebagai bahan
pengambilan keputusan dimasa kini maupun dimasa mendatang.
Arsip yang tertua yang disimpan di Arsip Nasional RI adalah arsip VOC. (Gaastra,
Femme S.: 1991) Dutch in 1602 opgerichte Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) is
van alle handelscompagnieen uit de zeventiende en achttiende eeuw ongetwijfeld de meest
succesvolle geweest. De VOC slaagde er spoedig na haar oprichting in de Portugezen, die
al een eeuw eerder hun handelsimperium in Azie gevestigd hadden, ver terug te dringen en
als mededinger in de Europees-Aziatische handel nagenoeg uit te schakelen. Seluruh kantor
VOC di Asia berkantor pusat di Batavia. Pada waktu yang bersamaan, mengingat letaknya
yang strategis Batavia juga merupakan tempat terpenting dan menjadi satu-satunya
pelabuhan kedatangan dan keberangkatan kapal dan dari Eropa. Sebagai Kantor Pusat di
5
Batavia dibentuk perangkat administrasi dengan pimpinan Hoge Regering yang terdiri atas
Gubernur Jenderal dan Raad van Indie tentu saja fungsi utamanya adalah mengatur lalu
lintas perdagangan antar factori seperti Jepang, Srilangka, Afrika Selatan, Malaka, dan lain-
lain. Ramainya jalur pelayaran dan korespondensi antara negeri induk dengan kantor-kantor
dagang menjadikan Batavia menjadi pusat administrasi. Hal ini dapat terlihat hingga
sekarang dimana arsip VOC di Jakarta hampir lebih dari separuh arsip VOC yang ada
diseluruh dunia.
Arsip Nasional RI sebagai lembaga penyimpan arsip statis bertanggung jawab
terhadap keadaan arsip yang berada didalamnya, seperti disyaratkan pada Keputusan
Presiden RI No. 105 tahun 2004 tentang Pengelolaan Arsip Statis dalam Pasal 15: (1)
Perawatan arsip statis oleh Arsip Nasional Republik Indonesia, Lembaga Kearsipan
Provinsi, dan/atau Lembaga Kearsipan Kabupaten/Kota dilaksanakan melalui kegiatan
pencegahan dan restorasi terhadap terjadinya kerusakan; (2) Perawatan arsip statis melalui
kegiatan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan terhadap kondisi fisik
dan informasi yang dikandung dalam arsip statis; (3) Perawatan arsip statis melalui kegiatan
restorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan terhadap kondisi fisik arsip statis
yang mengalami kerusakan.
Ada 4 faktor penyebab kerusakan pada arsip, yaitu: 1. Biologi; 2. Fisika; 3. Kimia; 4.
Manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor biologi banyak menimpa arsip di negara-
negara yang berada di daerah tropis. Termasuk kategori ini antara lain adalah bakteri, jamur
dan segala jenis serangga. Untuk kerusakan yang disebabkan faktor fisika yang berperan
adalah cahaya, panas dan uap air. Ketiganya menyebabkan terjadinya reaksi foto kimia,
hidrolisa atau oksidasi di dalam kertas. Adapun faktor kimia disebabkan karena adanya gas
6
asam, debu atau asap yang terkandung di dalam udara dan juga akibat reaksi kimia yang
disebabkan oleh zat-zat yang terkandung di dalam arsip dalam hal ini kertas itu sendiri.
Disamping 3 faktor diatas, faktor manusia mempunyai peranan sangat besar, karena faktor
ini dapat mempercepat atau memperlambat kerusakan kertas. Kelalaian tangan manusia
dapat menyebabkan rusaknya arsip dalam penggunaan, pengepakan dan penyimpanan.
Untuk menangani kerusakan dan mempertahankan keberlangsungan arsip perlu
dilakukan preservasi. Menurut Paul Conways (Ellis, Judith: 1993) Preservasi kearsipan
adalah pengambilalihan, pengorganisasian dan pendistribusian sumber-sumber (manusia,
peralatan, penganggaran) untuk menjamin pembatasan yang cukup dalam bidang sejarah dan
mempertahankan nilai informasi budaya serta aksesibilitas untuk generasi sekarang dan
yang akan datang.
Sementara itu (Teygeler, Rene.: 2001) MacKenzie gives very broad definitions,
which more or less cover the whole field of conservation : (1) Preservation, in its current
meaning in the archive world, refers to everything which contributes to the physical well-
being of the collections; (2) Conservation, or direct physical intervention with the material,
is only one part of preservation; (3) Indirect preservation includes the building, archive
storage methods security against threats, and handling; (4) Preservation by substitution or
reforming. This means making copies of the records, normally on microfilm, and then using
the copies in place of the originals, thereby reducing tear and wear on the latter and
preserving their condition.
Pengambilan tindakan yang tepat dalam menangani kerusakan arsip sangat
membantu pengguna agar tetap memperoleh informasi yang mereka butuhkan tanpa harus
kecewa karena arsip yang dicari dalam keadaan rusak. Untuk itu diperlukan identifikasi
7
kerusakan arsip yang dapat dilakukan bersamaan ketika menata arsip menjadi sebuah jalan
masuk, sebagai salah satu langkah prioritas penanganan terhadap arsip-arsip yang harus
segera dilakukan perbaikan.
Seperti disebutkan dalam Keputusan Presiden RI No. 105 tahun 2004 tentang
Pengelolaan Arsip Statis, dalam pasal 17, yaitu: (1) Kegiatan restorasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat(3) dilakukan dengan: a. mencatat kerusakan kondisi fisik
yang terjadi pada arsip statis; b. menentukan metode dan rangkaian tindakan perbaikan
kondisi fisik arsip statis yang mengalami kerusakan; c. melaksanakan tindakan perbaikan
kondisi fisik arsip statis sesuai dengan metode dan rangkaian tindakan perbaikan
sebagaimana dimaksud dalam huruf b.; (2) Pelaksanaan kegiatan restorasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keutuhan informasi yang
dikandung dalam arsip statis.
B. PEMBAHASAN
Dalam melaksanakan pengolahan arsip, Arsiparis biasa menggunakan sarana
pendeskripsian berupa kartu fisches. Namun untuk arsip periode VOC hal ini tidak
dilakukan. Peran kartu digantikan dengan sebuah formulir pendiskripsian yang memuat
seluruh unsur-unsur pendiskripsian. Halaman pertama dari formulir digunakan untuk
mendeskripsikan informasi arsip itu sendiri, sedangkan pada halaman kedua (ke-2) terdapat
"Schade Identificatie Formulier". Sehingga selain berperan sebagai pencatat informasi arsip,
formulir tersebut juga digunakan sebagai instrumen pengumpulan data, pencatatan dan
pengidentifikasian kerusakan yang terjadi pada setiap item/nomor arsip. Data hasil
8
pencatatan dianalisa dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dan disajikan dalam bentuk
tabel dan diagram.
Contoh formulir
Schade Identificatie Formulier
Archief (blok) Datum Inventaris nummer Naam schadeopnemer Object identificatie gebonden 0 Niet gebonden 0 Schade Categorie
Code Ernstig Zeer Ernstig
Definitie
Band & Block schade B Ernstig : rusak parah Zeer Ernstig : sangat rusak parah Chemische schade C
Mechanische schade M Plaag schade P Vocht schade V Kenmerken van de geconstateerde schade (X) OPMERKINGEN Oppervlakte schade B Rug beschadiging B Versleten naaiwerk B Gebroken binding B Vervorming B Losse fragmenten B Brand C Foxing C Ink-en/of Kopervraat C Plakband en/of tapeschade C Roest en oxidatie C Verzuring (bros, brittle) C Oude reparaties C Scheuren M Randbeschadeging M Mechanische verkleving M Verpakkingschade M Geweld en/of oorlogschade M Schade door insecten P Insectengangen P Schade door knaagdieren P Vlekken en verkleuring V Vervilting V Schimmelvorming V Verkleving V Overig
9
Pengumpulan data kerusakan arsip dilakukan melalui pemeriksaan pada seluruh arsip
khasanah Hoge Regering dengan cara :
1. Memberi tanda pada formulir kerusakan (formulier schade), mengenai jenis kerusakan
yang ditemukan pada setiap nomor arsip.
2. Melakukan penghitungan pada setiap jenis kerusakan.
3. Penggambaran hasil penghitungan data dituangkan kedalam bentuk tabel atau diagram
dengan tujuan mempermudah dan memperjelas hasil penghitungan data.
Tabel 1. Hasil Penghitungan Hasil Identifikasi Jumlah Arsip Rusak Berdasarkan
Jenis Kerusakan Jumlah Total Arsip Restorasi Tingkat Kerusakan
HR HR Rusak
B C M P V Belum Sudah E ZE
406 717 242 357 381 4536 846 771 75 727 44
Keterangan : B : Band en block schade P : kerusakan (Plaag schade) C : Chemische schade V : kerusakan (Vocht schade) M : Mechanische schade E : rusak parah (Ernstig) ZE : rusak sangat parah (Zeer ernstig)
Berdasarkan data tahun 2002 ketika melakukan kegiatan rekonstruksi terhadap arsip
Hoge Regering, diperoleh data bahwa dari 4536 nomor yang diidentifikasi terdapat 846
nomor mengalami kerusakan atau sekitar 19 %, sementara sisanya sebanyak 3690 nomor
atau 81 % berada dalam kondisi relatif cukup baik. Jumlah tersebut merupakan akumulasi
terhadap kelima jenis kerusakan sebagaimana tercantum dalam Diagram 1.
10
Diagram 1.
Dalam diagram 1 tampak bahwa prosentasi kerusakan yang mencapai 19 %, melebihi
standar batas kerusakan yang dapat ditoleransi. Menurut Judith Ellis dalam Keeping
Archives, Amerika mensyaratkan batas toleransi tingkat kerusakan dalam satu khasanah
arsip antara 6 % - 10 %. Dengan prosentasi kerusakan yang hampir mendekati angka 20 %
dapat disimpulkan telah terjadi kerusakan yang cukup signifikan pada arsip Hoge Regering.
Secara keseluruhan arsip Hoge Regering berjumlah 4536 nomor. Dari hasil identifikasi
diperoleh data bahwa 846 nomor arsip mengalami kerusakan, dimana sebanyak 771 nomor
(91 %) belum direstorasi sementara yang sudah direstorasi sebanyak 75 nomor (9%) (lihat
diagram 2).
Prosentasi Arsip Hoge Regering dalam kondisi rusak
81%
19%
Jumlah total arsipHoge Regeringdalam kondisibaik
Jumlah total arsipHoge Regeringdalam kondisi rusak
11
Diagram 2.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa arsip yang belum direstorasi, sebanyak 44
nomor ( 6% dari jumlah yang belum direstorasi) mengalami kerusakan sangat parah,
tergolong dalam kategori zeer ernstig. Sisanya sebanyak 727 nomor atau 94 % dari jumlah
yang belum direstorasi mengalami kerusakan parah atau masuk dalam kategori ernstig
(lihat diagram 3).
Diagram 3.
Kondisi fisik arsip Hoge Regering dapat dikategorikan kedalam empat (4) kategori,
yaitu : Baik (Goed), Sedang (Matig), Rusak Parah (Ernstig), Sangat rusak parah (Zeer
Ernstig). Korelasi antara arsip yang belum direstorasi dan tingkat kerusakan menunjukkan
adanya hubungan kausalitas. Arsip yang telah direstorasi berada pada kondisi matig,
Prosentasi Arsip Hoge Regering Yang Sudah dan Yang Belum di Restorasi
9%
91%
Sudah direstorasi
Belum di restorasi
Prosentasi Tingkat Kerusakan Pada Arsip Hoge Regering Yang Belum di Restorasi
94%
6%Ernstig (rusak parah)
Zeer ernstig (sangatrusak parah)
12
sehingga tidak dimasukkan dalam penghitungan. Walaupun begitu kondisinya juga tidak
dapat digolongkan dalam kategori goed.
Tingkat kerusakan pada arsip yang belum direstorasi, dapat dikelompokkan menjadi
dua (2) kategori : Ernstig dan Zeer ernstig. Identifikasi menunjukkan bahwa arsip yang
belum pernah mendapat perawatan/restorasi sebagaimana tersebut di atas, berada dalam
kondisi yang lebih buruk dibanding dengan yang telah direstorasi. Hal ini sangat beralasan
karena proses restorasi merupakan satu upaya mengurangi kerusakan. Metode laminasi yang
dipergunakan oleh ANRI pada waktu itu (tahun 1979), menggunakan bahan dasar kertas
yang bebas asam dan lem. Proses ini membuat kertas rapuh menjadi lebih kuat, sehingga
umur arsip lebih bertahan untuk jangka waktu panjang.
Pengamatan lebih lanjut terhadap arsip Hoge Regering yang mengalami kerusakan
menunjukkan bahwa jenis kerusakan tersebut mencakup :
1. Band en block schade adalah kerusakan yang terjadi pada sampul (cover) dan atau
blok arsip yang dijilid. Kerusakan meliputi : kekeliruan penjilidan, lepasnya jahitan
pada jilidan, rusaknya punggung jilidan, rusak/hilangnya sampul muka dari jilidan,
hilangnya sebagian isi jilidan . Gambar 1 contoh Band en Blokschade (B)
Gambar 1 Contoh Band en blokschade (B)
De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998
13
2. Chemische schade merupakan kerusakan pada arsip akibat berbagai faktor baik dari
dalam maupun dari luar yang bersifat kimiawi. Kerusakan tersebut antara lain berupa
kerusakan yang diakibatkan oleh kebakaran, terbentuknya noda-noda dari bahan-bahan
yang terbuat dari metal seperti karat yang berasal dari paperklip, pengikisan kertas
yang diakibatkan oleh tinta (ink corrosion), bekas yang ditinggalkan oleh selotip yang
menempel, kertas rapuh. Gambar 2 contoh chemische scade.
Gambar 2. Contoh Chemische schade (C)
De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998
3. Mechanische schade adalah kerusakan yang disebabkan oleh faktor manusia.
Termasuk kedalam jenis kerusakan ini antara lain: kerusakan yang diakibatkan oleh
penggunaan arsip itu sendiri dan tindakan pengrusakan yang dilakukan oleh pengguna
seperti menggunting, memotong dengan pisau, dan lain-lain. Gambar 3 contoh
Mechanische schade.
14
Gambar 3. Contoh Mechanische schade (M)
De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998
4. Plaag schade meliputi dua kategori yaitu kerusakan yang disebabkan oleh serangga
dan binatang pengerat. Serangga yang biasanya menimbulkan kerusakan pada kertas
arsip antara lain : kecoa, kutu buku (silverfish), rayap, tikus dan lain sebagainya.
Hewan-hewan ini merusak dengan cara memakan bahan kertas, membuat sarang
(lubang) atau meninggalkan jejak berupa noda kecoklatan. Gambar 4 contoh Plaag
Schade.
Gambar 4. Contoh Plaag schade (P)
De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998
15
5. Vocht schade adalah kerusakan yang diakibatkan oleh kelembaban lingkungan yang
ditunjukkan dengan terbentuknya noda-noda berwarna lebih kecoklatan, tumbuhnya
jamur dan perubahan warna kertas arsip. Gambar 5 contoh Vocht Schade
Gambar 5. Contoh Vocht schade (V)
De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998
Dari hasil pendataan yang telah dilakukan, sebagaimana tercantum pada tabel 1,
kerusakan terbanyak adalah Chemische schade. Kerusakan ini disebabkan oleh bahan-bahan
yang berasal dari dalam kertas maupun faktor dari luar kertas. Bahan dasar kertas seperti
serat tumbuhan mengandung selulosa, ditambah bahan lain seperti lem dapat mengalami
perubahan akibat dari proses kimiawi yang berlangsung antara serat itu sendiri dengan
bahan perekatnya. Pengaruh dari luar seperti kebersihan, suhu udara dan kelembaban relatif
disekitarnya semakin mempercepat timbulnya kerusakan lebih lanjut pada arsip tersebut
(lihat diagram 4 dan 5).
16
Diagram 4.
Diagram 5.
Disamping kerusakan secara kimiawi, arsip juga dapat mengalami kerusakan
dikarenakan rusaknya cover atau pelindung arsip. Termasuk dalam kerusakan jenis ini
adalah akibat penggunaan yang tidak hati-hati atau ceroboh pada waktu mengeluarkan dan
memasukkan arsip kedalam boksnya sehingga kertas terlipat, sobek (patah) dan kehilangan
informasi.
Sebagai tindak lanjut dari pendataan kondisi fisik arsip yang belum direstorasi, maka
mulai tahun 2003 telah dilakukan restorasi arsip Hoge Regering. Restorasi arsip Hoge
Regering dilakukan menggunakan metode Leaf Casting dengan cara mengisikan bubur
kertas kedalam arsip rusak ( berlubang ) akibat korosi oleh tinta maupun karena serangga
T abel Jenis K erusakan
0
200
400
600
800
1J en is K e ru sak an
Ju
mla
h K
eru
sa
ka
n B lock en bandscha de
C hem ischescha de
M echa nischescha de
P laag schade
V o ght schade
P rosentasi B erdasar Jenis K erusakan
19%
34%12%
17%
18%
B lock en bandschade
C hem ischeschade
M echanischeschade
P laag schade
V oght schade
17
dan binatang pengerat. Metode tersebut berbeda dengan metode laminasi atau Katpalia
Methode. Prinsip dasar metode laminasi adalah melapisi arsip menggunakan dua lembar
kertas tipis dan diberi perekat.
Metoda Leaf Casting dipilih dengan pertimbangan kertas akan menjadi lebih kuat
karena terisinya lubang-lubang kertas termasuk juga pori-pori kertas dengan bubur kertas.
Pada proses restorasi, penjilidan arsip tidak lagi dilakukan karena dalam salah satu proses
penjilidan, arsip mendapat tekanan yang cukup kuat (di-press) sehingga dapat memperburuk
kondisi arsip. Dalam proses akhir rekonstruksi arsip dan restorasi terhadap arsip yang
rusak, arsip dibungkus dengan kertas pembungkus dan boks yang bebas asam.
C. KESIMPULAN
Dari hasil kajian menunjukkan bahwa hampir 20 % dari arsip Hoge Regering
mengalami kerusakan dan ke lima jenis kerusakan teridentifikasi didalam khasanah arsip ini.
Kerusakan disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu faktor kimia, fisika dan
biologi serta manusia. Faktor kimia merupakan faktor yang paling berperan dalam
menimbulkan kerusakan pada arsip VOC. Ada hubungan kausalitas antara kondisi arsip
dengan tindakan restorasi. Arsip yang sudah mengalami restorasi dalam hal ini dilaminasi
kondisinya lebih baik dibanding dengan yang belum di restorasi.
Dalam melakukan restorasi, khususnya dengan metoda Leaf Casting yang akhir-akhir
ini diterapkan, maka penjilidan arsip tidak dilakukan lagi sebagai upaya untuk mengurangi
kerusakan arsip.
Untuk meminimalkan kerusakan arsip maka ada beberapa hal penting yang perlu
diperhatikan :
18
1. Kondisi ruang penyimpanan arsip harus selalu dalam kondisi stabil baik suhu,
kelembaban, dan kebersihannya.
2. Pemilihan bahan material arsip yang bebas asam.
3. Perlakuan arsip secara tepat, baik dalam tahap pengolahan, pemindahan, penyimpanan
serta penggunaannya.
Proses identifikasi kerusakan dilakukan bersamaan dengan proses pengolahan arsip.
Hal ini dilakukan sebagai langkah awal proses restorasi, dimana data tersebut dapat
dipergunakan untuk menentukan prioritas penanganan terhadap arsip-arsip yang rusak.
19
DAFTAR PUSTAKA
Eusman, Elmer,. Conservation of Objects Damaged by Iron Gall Ink. 2001.
Gaastra, Femme S,.De Geschiedenis van de VOC. Leiden, 1991.
ICA,Comma.International Journal on Archives,2001.
Suhardi, Hardi dan Yayan Daryan,. Terminologi Kearsipan Indonesia. Jakarta, 1998.
Arsip Nasional Republik Indonesia-Nationaal Archief Denhaag. Inventaris van het archief
van de Gouverneur-Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering) 1611-1811.
Jakarta, 2002.
Ellis, Judith. Keeping Archives, Second Edition. The Australian Society of Archivistic Inc,
1993.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2004 tentang,. Pengelolaan
Arsip Statis.
National Archives of India. Repair and Preservation of Records. New Delhi, 1998.
Arsip Nasional Republik Indonesia,. Pemeliharaan dan Penjagaan Arsip. Jakarta, 1980.
Teygeler, Rene. Preservation of Archives in Tropical Climates. ICA, 2001.
Restaurator. International Journal for the Preservation of Library and Archivan Material,
Vol. 16. Munksgaard-Copenhagen, 1995.
TANAP. Brochure. 2001
TIM PENULIS
1. Dwi Nurmaningsih (360 000 437)
2. Euis Shariasih (360 000 649)
3. Kris Hapsari (360 000 588)
4. Risma Manurung (360 000 622)