124
1 PELESTARIAN ARSIP : Menyelamatkan Warisan Budaya Bangsa Dr. Dewi Ladiawati, M.Si. Abstract: Tropical area has a variety of crucial problems related to with archival activities, particularly in keeping archives. Fungus, a high temperature and relative humidity are the causes of damaging archives. Silent attacks of insects do worsen the bad condition of archives. This paper will discuss archive preservation in order to save them as part of the national heritage. Besides, this study will show the aims and functions or infrastructure necessary for the preservation of archives. Key Words: archives, archivist, preservation, tropical climete, insect, fungus, temperature, humidity. PENDAHULUAN Salah satu warisan yang perlu dilestarikan oleh setiap generasi dari masa ke masa adalah arsip. Hal ini karena arsip dapat digunakan sebagai sumber informasi dan kajian bagi berbagai disiplin ilmu seperti sejarah, arkeologi, hukum, arsitektur, dan lainnya. Hasil penelitian dari sumber arsip dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian preservasi arsip perlu dilakukan semaksimal mungkin, terutama bagi negara berkembang yang beriklim tropis. Indonesia merupakan negara tropis yang terdiri dari tujuh pulau besar dan ribuan pulau kecil. Pada umumnya kawasan tropis didefinisikan sebagai kawasan darat

PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

  • Upload
    hadien

  • View
    234

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

1

PELESTARIAN ARSIP :

Menyelamatkan Warisan Budaya Bangsa

Dr. Dewi Ladiawati, M.Si.

Abstract:

Tropical area has a variety of crucial problems related to with archival activities,

particularly in keeping archives. Fungus, a high temperature and relative humidity are

the causes of damaging archives. Silent attacks of insects do worsen the bad condition of

archives. This paper will discuss archive preservation in order to save them as part of

the national heritage. Besides, this study will show the aims and functions or

infrastructure necessary for the preservation of archives.

Key Words: archives, archivist, preservation, tropical climete, insect, fungus,

temperature, humidity.

PENDAHULUAN

Salah satu warisan yang perlu dilestarikan oleh setiap generasi dari masa ke

masa adalah arsip. Hal ini karena arsip dapat digunakan sebagai sumber informasi dan

kajian bagi berbagai disiplin ilmu seperti sejarah, arkeologi, hukum, arsitektur, dan

lainnya. Hasil penelitian dari sumber arsip dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan. Dengan demikian preservasi arsip perlu dilakukan semaksimal mungkin,

terutama bagi negara berkembang yang beriklim tropis.

Indonesia merupakan negara tropis yang terdiri dari tujuh pulau besar dan

ribuan pulau kecil. Pada umumnya kawasan tropis didefinisikan sebagai kawasan darat

Page 2: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

2

dan air. Dengan mendominasi sekitar 40 % dari seluruh permukaan darat bumi ini,

kawasan tropis menjadi tempat tinggal hampir separuh penduduk dunia. Kawasan ini

pada umumnya bersuhu panas, dan memiliki sedikit perubahan musim. Ada perbedaan

cuaca di kawasan tropis, namun 90 % dari kawasan ini mencakup wilayah bercuaca

panas dan lembab. 10 % sisanya berbentuk seperti gurun, dan ditandai dengan hawa

panas dan kering (Baish, 1987).

Secara garis besar hanya ada tiga kawasan cuaca yang dipertimbangkan.

Pertama, zona sangat panas dan gersang, termasuk gurun, dengan cuaca laut yang

kering dan panas. Kedua, zona lembab - hangat, termasuk cuaca khatulistiwa seperti

Indonesia. Ketiga, zona sedang, termasuk cuaca dataran tinggi tropis. Pembagian ke

dalam tiga zona cuaca ini bersifat umum dengan cuaca yang berbeda. Kondisi lokal bisa

juga sangat berbeda dengan cuaca suatu kawasan yang ada, tergantung pada topografi,

ketinggian dan lingkungannya, yang bersifat alami atau dibangun oleh manusia. Adanya

kondisi seperti kandungan udara dingin, angin lokal, kumpulan air, urbanisasi,

ketinggian dan permukaan tanah bisa mempengaruhi cuaca lokal (Gut, 1933).

MASALAH PELESTARIAN ARSIP DI DAERAH TROPIS

Pada umumnya temperatur tinggi dan kelembaban relatif memainkan peranan

penting dalam proses kemerosotan kimia dan biologi, serta memberikan suasana yang

kondusif bagi pembiakan serangga tropis (Arnoult, 1995). Ada beberapa faktor yang

membuat kehidupan arsip sangat sulit di kawasan Asia/Pasifik, terutama pada negara

berkembang, seperti: cuaca tropis, kerusuhan politik/ perang, kurangnya pengetahuan

Page 3: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

3

tentang kebutuhan melestarikan arsip oleh pemerintah, perbedaan bahasa dan

keahlian membaca arsip.

Pendanaan kegiatan kearsipan termasuk preservasi, berkaitan erat dengan

sistem politik yang berlaku. Pemerintah di sebagian besar negara berkembang

memberikan prioritas yang sangat rendah pada kegiatan kearsipan. Anggaran untuk

kegiatan arsip sering sangat rendah sehingga tidak tersedia dana yang memadai untuk

melakukan perawatan arsip, menyediakan tempat penyimpanan yang layak bagi

khasanah arsip, serta mengelola ruang pelayanan arsip dengan sarana dan prasarana yang

memadai. Pelestarian arsip dianggap sebagai barang mewah. Tidak jarang terjadi

pemangkasan anggaran bagi kegiatan pelestarian arsip. Dengan demikian perlu

disosialisasikan bahwa pemerintah harus mengakui arti penting arsip serta kebutuhan

untuk melestarikan warisan suatu bangsa, agar dapat mengalokasikan anggaran untuk

kegiatan pelestarian arsip.

Proses kerusakan arsip di daerah tropis sangat kompleks. Secara umum dapat

dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal adalah perusak arsip yang disebabkan dari dalam media arsip, yang berkaitan erat

dengan proses pembuatan bahan seperti keasaman kertas, dan unsur lainnya seperti tinta.

Sumber keasaman yang berasal dari dalam kertas antara lain residu dari bahan kimia

yang digunakan pada waktu pembuatan kertas, seperti lignin, alum rosin, dan zat

pemutih. Adapun faktor eksternal yaitu faktor dari luar arsip, seperti pengaruh unsur

fisika, kimia, biologi, faktor penggunaan dan penanganan yang salah, serta bencana alam

dan musibah. Faktor fisika terdiri dari cahaya, suhu dan kelembaban udara, serta debu.

Faktor kimia meliputi senyawa gas, dan polusi udara. Faktor biologi mencakup jamur,

Page 4: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

4

bakteri, serangga, binatang pengerat. Faktor penggunaan dan penanganan arsip yang

salah, seperti perpindahan, pameran, reproduksi. Faktor bencana alam dan musibah

meliputi kebakaran, banjir, perang, bencana alam, dan pencurian.

Panas yang berlangsung hampir selama setahun memacu laju kerusakan pada

arsip. Pada prinsipnya setiap kenaikan 100 C pada temperatur akan mengurangi separuh

kehidupan arsip (Thomson, 1994). Radiasi ultraviolet dan unsur energi dalam sinar

dengan temperatur tinggi akan mengakibatkan percepatan oksidasi dan hidrolis.

Dampak kontaminasi kimiawi akan sangat besar ketika udara berada pada titik jenuh

dan pengembunan terjadi. Di dalamnya, kandungan senyawa tinggi telah berdampak

pada material organis. Ketika kelembaban dan temperatur tinggi dibiarkan tak terkontrol,

kemerosotan terjadi sangat cepat, sehingga menciptakan lingkungan yang layak bagi

agen-agen biologi. Jamur tidak aktif dalam kelembaban yang relatif rendah, namun

ketika mencapai 70 %, maka jamur akan hidup dan berkembang biak. Di samping hal

tersebut di atas, hama dan serangga merupakan perusak arsip yang sangat cepat, karena

sedikit demi sedikit mereka memakan kertas yang merupakan media arsip konvensional

(Baish, 1987).

APAKAH PELESTARIAN ITU?

A. Pengertian Pelestarian Arsip

Secara konsep, istilah pelestarian arsip sering disebut juga dengan istilah

Preservasi (Preservation) Arsip. Preservasi atau pelestarian arsip adalah perlindungan

Page 5: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

5

fisik arsip terhadap kerusakan atau unsur perusak (Terminologi Kearsipan Nasional,

2002). Di dalam Terminologi Kearsipan Nasional (2002), disebutkan ada pelestarian

arsip langsung dan tidak langsung. Pelestarian arsip langsung adalah menyediakan

prasarana dan sarana perlindungan arsip, termasuk bangunan, metode, penyimpanan

arsip dan perbaikan fisik. Pelestarian tidak langsung adalah mengusahakan alih media

dari arsip kertas ke mikrofilm, kaset video, kaset rekaman suara dan sebagainya.

Peter Walne (1988) mendefinisikan preservasi adalah tindakan perlindungan

arsip terhadap kerusakan, atau dari faktor yang melemahkan kondisi arsip, dan

perbaikan terhadap arsip yang rusak. MacKenzie (1996), memberikan definisi dengan

pengertian yang sangat luas yang dapat mencakup keseluruhan bidang pelestarian arsip.

Definisi yang ia utarakan sebagai berikut :

1. Preservasi, arti saat ini dalam bidang kearsipan, mengacu kepada segala sesuatu

yang mendukung ke arah perbaikan fisik koleksi (khasanah arsip).

2. Konservasi, berpadunya fisik arsip dengan bahan-bahan pendukung perbaikan,

dan ini hanya merupakan bagian dari pelestarian arsip.

3. Pelestarian tidak langsung, mencakup bangunan, metode penyimpanan arsip,

jaminan terhadap keamanan dan penanganannya.

4. Pelestarian dengan pengganti (duplikasi) atau format ulang. Ini berarti membuat

reproduksi arsip, biasanya dengan microfilm, dan kemudian menggunakan

kopian (copy) untuk menggantikan yang asli, sehingga mengurangi risiko robek

atau membusuk pada arsip asli dan mempertahankan kondisinya.

Page 6: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

6

Ada definisi lain yang menarik dari Memori Program Dunia (Memory of the

World-website) yang memisahkan antara pengertian pelestarian atau preservasi dan

konservasi. Menurut pendapatnya, sebagi berikut:

1. Preservasi adalah pemrograman dan pengorganisasian semua kegiatan konservasi

koleksi arsip secara umum.

2. Konservasi adalah sebuah konsep yang mencakup konservasi preventif

(pencegahan) yang bermaksud mengurangi risiko penurunan: kontrol lingkungan,

perawatan dan perlindungan rutin koleksi arsip dengan menggunakan

penanganan yang memadai, sarana anti pencurian dan membuat dokumen tiruan

bagi dokumen asli yang sering digunakan.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa preservasi atau

pelestarian arsip adalah tindakan perlindungan dan perawatan terhadap arsip sehingga

dapat disimpan dan dimanfaatkan dalam jangka waktu lama. Berdasarkan pada

pengertian ini, maka kegiatan preservasi meliputi kegiatan pemeliharaan, penyimpanan,

dan pengamanan arsip baik fisik maupun informasinya.

Secara garis besar, kegiatan utama pelestarian arsip terdiri dari dua hal. Pertama,

pemeliharaan arsip dari berbagai faktor perusak, baik yang disebabkan oleh faktor

internal maupun faktor eksternal. Penanganan dilakukan sesuai dengan prosedur yang

ditetapkan, baik peralatan, kondisi ruang penyimpanan, suhu dan kelembaban ruang

penyimpanan, keamanan, restorasi yakni melakukan perbaikan terhadap arsip yang sudah

rapuh. Kedua, reproduksi arsip dalam rangka pelestarian informasi yang terkandung

dalam media arsip.

Page 7: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

7

B. Tujuan dan Fungsi

Dalam melakukan kegiatan pelestarian arsip terdapat tujuan dan fungsi. Tujuan

utama pelestarian arsip yakni untuk melindungi fisik arsip agar tahan lama,

menghindarkan kerusakan sehingga kandungan informasinya dapat terjaga semaksimal

mungkin. Hal ini dilakukan mengingat siklus alam menunjukkan bahwa semua unsur zat

organis akan merosot.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelestarian arsip, yaitu :

1. Mempertahankan otentisitas dan reliabilitas arsip;

2. Arsip permanen;

3. Menyimpan arsip berdasarkan medianya;

4. Ruang penyimpanan yang bersih dengan suhu dan kelembaban udara yang stabil,

200 C, serta AC selama 24 jam per hari dalam setahun;

5. Melakukan perawatan terhadap arsip yang rapuh atau rusak dengan hati-hati.

Di dalam melakukan pelestarian arsip terdapat beberapa fungsi, yaitu:

1. Perlindungan. Arsip dilindungi dari berbagai unsur perusak;

2. Pengawetan. Dengan dirawat secara baik, arsip bisa menjadi lebih tahan lama;

3. Kesehatan. Dengan perawatan yang baik, arsip menjadi bersih, bebas dari debu,

jamur, binatang perusak, sehingga petugas dan pengguna arsip menjadi terlindung

dari penyakit;

4. Pendidikan. Petugas dan pengguna arsip harus belajar cara memakai dan merawat

arsip. Mereka tidak boleh membawa makanan dan minuman ke ruang

penyimpanan dan layanan arsip;

Page 8: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

8

5. Kesabaran. Merawat arsip memerlukan kesabaran;

6. Keindahan. Dengan melakukan pelestarian arsip yang baik, maka ruang

penyimpanan arsip menjadi lebih indah, sehingga memberikan motivasi kerja para

petugas kearsipan dan meningkatkan minat baca para pengguna arsip.

C. Sarana dan Prasarana

Dalam melakukan pelestarian arsip yang baik perlu didukung oleh sarana dan

prasarana yang memadai, sesuai standar yang berlaku Sarana dan prasarana yang harus

ada adalah:

1. Gedung dan ruang penyimpanan yang representative.

2. Pedoman dan standar pelestarian arsip.

3. Laboratorium.

4. Peralatan dan alih media.

5. Rak arsip, lemari arsip, AC, dehumidifier, thermometer, hygrometer,

thermohygrometer, trolley, leafcaster, rewinder, video tape cleaner, film cleaner,

telecine, stein back, kamera microfilm, mesin prosesing, komputer, scanner.

6. Wadah penyimpan arsip terdiri dari boks, amplop, can.

D. Proses Pelestarian Arsip

Di dalam melakukan pelestarian arsip terdapat beberapa tahapan yang harus

dilalui. Tahapan-tahapan tersebut terdiridari :

Page 9: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

9

1. Persiapan

Dalam melakukan persiapan, kegiatan yang dilakukan adalah:

a. Menempatkan arsip hasil akuisisi pada ruang transit untuk diseleksi dan

dibersihkan dari berbagai faktor perusak arsip;

b. Memindahkan arsip yang sudah diseleksi dan dibersihkan ke ruang

penyimpanan;

c. Merawat atau memperbaiki arsip yang rusak.

2. Pemeliharaan

Pemeliharaan arsip dilakukan untuk menjamin bahwa arsip disimpan di tempat

yang baik dan aman dengan fasilitas lengkap dan dapat ditemukan secara cepat.

Dalam pemeliharaan, kegiatan yang dilakukan adalah :

a. Menata arsip sesuai dengan grupnya;

b. Menyimpan dan menata arsip sesuai dengan format dan medianya;

c. Mengatur kestabilan suhu dan kelembaban udara ruang penyimpanan arsip;

d. Mengontrol fisik arsip secara rutin;

e. Mengontrol lingkungan tempat penyimpanan arsip;

f. Menindaklanjuti hasil temuan kontrol terhadap fisik dan lingkungan arsip.

3. Perawatan/ Restorasi

Perawatan atau restorasi arsip adalah tindakan yang dilakukan dalam memperkuat

kondisi fisik arsip yang mengalami kerusakan atau mengalami penurunan kualitas

secara fisik. Termasuk di dalamnya penggunaan metode yang dianggap tepat.

Kegiatan yang dilakukan adalah:

a. Mendaftar arsip yang akan diperbaiki;

Page 10: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

10

b. Mencatat jenis, metode dan rangkaian tindakan perawatan yang pernah

dilakukan terhadap arsip yang bersangkutan;

c. Melaksanakan perawatan secara tepat dan hati-hati;

d. Melakukan pemeriksaan secara berkala.

4. Reproduksi

Reproduksi adalah melakukan penggandaan arsip baik menggunakan peralatan

optik maupun fotografik. Contoh reproduksi adalah fotokopi, pembuatan foto,

mikrofilm, reproduksi kaset, dan film. Jenis reproduksi arsip terdiri dari mengkopi

dan alih media. Mengkopi adalah kegiatan menggandakan arsip dengan format

hasil penggandaan yang sama dengan aslinya. Contohnya, dari format kertas

digandakan menjadi format kertas. Tidak demikian halnya dengan alih media,

meskipun merupakan kegiatan penggandaan tetapi hasilnya akan berbeda dengan

aslinya. Contohnya, format asli film reel dialihmediakan ke format video

tape/kaset, format asli kertas dialihmediakan ke mikrofilm, digital dan

sebagainya.

Arsiparis harus memahami tentang pembuatan media arsip. Hal tersebut akan

berguna dalam memilih bentuk media untuk menyimpan, daya tahan setiap media, dan

dampak berbagai media arsip. Arsiparis harus turut aktif dalam pembuatan reproduksi

untuk menentukan media apa yang memadai; kertas daur ulang dapat digunakan jika

arsip tidak disimpan lebih dari 10 tahun, tetapi kertas yang bebas asam digunakan untuk

arsip yang diperlukan lebih lama. Mikrofilm untuk jangka waktu lama harus diproses

secara cermat menurut standar tertinggi, dan disimpan di ruang penyimpanan yang

Page 11: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

11

memadai. Lain halnya dengan mikrofilm yang tidak untuk jangka waktu lama, tidak

memerlukan banyak perhatian pada pengolahan, penyimpanan dan penanganan.

Dalam melakukan reproduksi terutama bagi arsip media baru harus hati-hati

dalam menentukan media, karena adanya perkembangan tipe dan model yang sangat

cepat dalam peralatan media baru. Usahakan untuk memilih media dan peralatan

penunjang yang berkualitas, serta tidak terlalu cepat pergantiannya agar mudah diakses.

Ada tiga tujuan utama melakukan reproduksi, yaitu :

1. Mengawetkan gambar dan suara dalam keadaan stabil untuk batas waktu yang

lama.

2. Menentukan keamanan dan melindungi informasi jika aslinya rusak atau hilang.

3. Membuat duplikasi sebagai pengganti yang asli agar tidak cepat rusak karena

sering dipinjam dan digunakan.

Pembuatan macam-macam duplikasi sangat penting untuk menjamin bahwa

masing-masing media mudah diidentifikasi, baik dalam kegunaan maupun jenisnya.

Akan lebih baik jika dalam reproduksi menggunakan pemberian kode warna, yakni

merah untuk duplikasi pemeliharaan dan perlindungan, hijau untuk duplikasi, dan biru

duplikasi untuk referensi.

E. Orang yang Bertanggung jawab

Siapa yang bertanggung jawab bagi pelestarian arsip ? Jawabannya adalah

petugas arsip atau Arsiparis, dan semua orang yang bekerja di bagian yang berhubungan

langsung dengan arsip, seperti di bagian pengolahan, penyimpanan dan layanan arsip,

Page 12: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

12

serta laboratorium. Orang-orang yang melakukan perbaikan arsip tergolong sebagai ahli

teknik yang bertugas melaksanakan perbaikan. Mereka juga menganjurkan dan

melaksanakan kegiatan pelestarian secara umum, seperti mengontrol lingkungan tempat

menyimpan arsip dan mengontrol fisik arsip. Para teknisi ini melaksanakan prosedur

pelestarian di bawah arahan tenaga konservator terlatih atau petugas arsip yang

berpengalaman.

Manajer atau orang yang paling bertanggung jawab di bagian khasanah arsip,

bertanggung jawab bagi pelestarian secara umum, seperti menjamin kondisi lingkungan

tempat penyimpanan khasanah arsip cukup memadai dan layak pakai, memperhatikan

ada tidaknya penyakit pada arsip, serta menjamin keberadaan fisik arsip senantiasa

berada pada tempatnya. Setiap staf maupun petugas arsip hendaknya diberitahu atau

diarahkan menuju pelestarian arsip, penanganan reproduksi yang cermat untuk

mengurangi kerusakan, pengangkutan arsip secara hati-hati, dan mendidik pengguna

tentang bagaimana sebaiknya akses dan penanganan mereka dalam menggunakan arsip,

menasihatkan pada pembuatan reproduksi arsip kertas agar hati-hati.

PERKEMBANGAN PELESTARIAN ARSIP DI INDONESIA

Di negara-negara berkembang dengan laju perekonomian rendah, tampak bahwa

fasilitas dan kondisi politik hampir tidak mendukung kebutuhan untuk menjamin warisan

budaya bangsa. Demikian pula halnya dengan Indonesia sebagai negara berkembang

dengan laju perekonomian yang belum mencapai taraf yang diharapkan, alokasi dana

untuk kegiatan kearsipan masih jauh dari yang diharapkan. Seringkali anggaran untuk

Page 13: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

13

kegiatan pelestarian arsip dikurangi untuk menunjang kegiatan lain yang dianggap “lebih

penting.” Hal tersebut terjadi di pemerintahan tingkat pusat maupun daerah. Hendaknya

mereka ingat bahwa masih perlu mengatur pelayanan nasional bagi perlindungan warisan

budaya bangsa, daripada membangun sebuah mall besar, sehingga mereka yang ingin

melestarikan sisa-sisa peninggalan masa lalu harus bersabar.

Di tengah kondisi seperti di atas, Arsip Nasional RI (ANRI) sebagai lembaga

yang bertanggung jawab di bidang kearsipan, memberi angin segar di bidang pelestarian

arsip, disaat terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami yang melanda Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tanggal 26 Desember 2004 lalu. Bencana yang

menelan korban jiwa, menghancurkan gedung dan harta rakyat Aceh termasuk buku dan

surat tanah, juga melenyapkan arsip sebagai bukti sejarah peradaban dan perkembangan

rakyat Aceh. Upaya yang dilakukan ANRI adalah mencari bantuan dari negara lain.

Jepang melalui Tokyo Reservation and Concervation Centre (TRCC) dan Japan

International Corporation (JIC), bersedia bekerjasama dengan ANRI dan Badan

Pertanahan Nasional (BPN) dalam menangani arsip pertanahan yang rusak akibat

bencana tsunami di NAD.

ANRI sebagai lembaga yang bertanggung jawab di bidang penyelamatan dan

pembinaan kearsipan nasional melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

mengeluarkan Surat Edaran MENPAN Nomor SE/06/M.PAN/3/2005 tentang Program

Perlindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap

musibah/bencana; serta Nomor SE/07/M.PAN/3/2005 tentang Pendataan, Penyelamatan

dan Pelestarian Dokumen/Arsip Negara. Keluarnya dua Surat Edaran ini memberikan

semangat baru bagi ANRI untuk menyelamatkan arsip sebagai memori kolektif bangsa.

Page 14: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

14

Setelah melakukan berbagai macam proses, maka diputuskan cara penanganan

arsip pertanahan yang terendam lumpur. Seluruh arsip yang rusak parah direndam dalam

etanol (alkohol 70%), dan arsip yang kerusakannya tidak parah dibersihkan dengan cairan

etanol. Arsip tersebut lalu dikeringkan dan didata oleh Arsiparis ANRI. Selanjutnya

dimasukkan ke dalam rak pengering untuk dibawa ke Jakarta. Sebanyak 13 ton arsip

pertanahan dibawa dari NAD dengan menggunakan pesawat Hercules. Setiba di Jakarta,

arsip yang terdiri dari buku tanah, surat ukur, warkah, serta surat keputusan hak atas

tanah, dimasukkan ke dalam Cold Storage dengan suhu -40 C. Kemudian dimasukkan ke

dalam Vacuum Freeze Dry Chamber , mesin pengering yang didatangkan dari Jepang

untuk dipinjamkan kepada ANRI. Arsip yang sudah hancur dan susah dibuka karena

lengket oleh lumpur serta tercemar berbagai bakteri/jamur yang berbahaya, ternyata dapat

dibuka lagi. Pada peringatan satu tahun bencana tsunami di NAD tanggal 26 Desember

2005, arsip pertama hasil perbaikan di ANRI diserahkan kembali kepada rakyat Aceh.

Berdasarkan uraian di atas, terbukti bahwa pelestarian arsip sangat penting bagi

kelangsungan hidup suatu bangsa. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara , arsip

merupakan bukti pertanggungjawaban nasional, sebab arsip mempunyai nilai guna

administratif, hukum, keuangan, penelitian, pendidikan, dan sejarah. Dengan pentingnya

kandungan nilai tersebut, maka tindakan pelestarian arsip sangatlah perlu.

PENUTUP

Arsip merupakan hasil dari kegiatan organisasi atau lembaga dalam menjalankan

tujuannya. Arsip tercipta secara otomatis dan tidak secara sengaja dibuat. Itu sebabnya

Page 15: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

15

arsip bersifat unik. Arsip merupakan memori kolektif bangsa yang memiliki nilai

tersendiri. Nilainya tidak bisa diukur dengan materi. Oleh sebab itu pelestarian arsip

perlu dilakukan dalam rangka turut serta menjaga warisan budaya bangsa. Dengan

melakukan pelestarian arsip berarti menumbuhkan jiwa nasionalis berbangsa. Bangsa

yang menghargai arsip adalah bangsa yang bermartabat.

Pelestarian arsip perlu dilakukan secara benar dan berkelanjutan oleh tenaga ahli

terlatih, karena jika arsip yang dikerjakan rusak maka tidak bisa dicari gantinya. Arsip

berguna bagi masyarakat luas sebagai sumber ilmu pengetahuan, karena bersifat netral

dalam mengungkapkan kebenaran, sehingga menjadi sumber yang dapat memberikan

keuntungan sebagai bukti. Dengan demikian maka pelestarian arsip di Indonesia bukan

hanya tanggungjawab ANRI, tetapi merupakan tanggungjawab seluruh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Arnoult, J. Proceedings of the Pan-African Conference on the preservation and conservation of library and archival materials. Nairobi, Kenya: 21-25 June 1993. The Hague: IFLA, 1995.

Arsip Nasional RI. Terminologi Kearsipan Nasional. ANRI, Jakarta, 2002. ---------------------- “Rekonstruksi Penyelamatan Arsip Badan Pertanahan Nasional

NAD.” Media Kearsipan Nasional. Edisi 46, 2006, hal. 8-12. ---------------------- “Peranan Arsip Dalam Menumbuhkan Jiwa Nasionalis, “ Media

Kearsipan Nasional. Edisi 47, 2007, hal. 55.

Page 16: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

16

Baish, M. Special problems of conservation in the tropics. Conservation

Administration News 31: 4-5, 1987. Gut, P. Climate Responsive Building. St. Gallen:SKAT, 1993. Harvey, Ross. “Preservation,” dalam Keeping Archives. Editor Judith Ellis. The

Australian Society of Archivist, 1993. MacKenzie, G.P. “Establishing a Preservation Programme,” Janus I, 1996, p.86-99. Penn, Ira A. Records Management Handbook. England: Gower Publishing Limited,

1994. Surat Edaran MENPAN Nomor SE/06/M.PAN/3/2005 tentang Program Perlindungan ,

Pengamanan dan Penyelamtan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap musibah/bencana

Surat Edaran MENPAN Nomor SE/07/M.PAN/3/2005 tentang Pendataan, Penyelamatan

dan Pelestarian Dokumen/ Arsip Negara Teygeler, Rene Preservation of Archives in Tropical Climates. Paris-The hague-

Jakarta, 2001. Thomson, G. The Museum Environment. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994. Walne, Peter. Dictionary of Archival Terminology. Munchen, 1986.

Page 17: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

1

Hurricane Katrina

Experiences and Lessons Learned

Alfred E. Lemmon

Abstrak :

Dalam tulisan ini, Lemmon berbagi pengalaman dan mengungkapkan pelajaran

yang dapat diambil dari kejadian bencana Badai Katrina yang menyapu Kota New

Orleansn Negara bagian Lousiana, Amerika Serikat, terutama yang menimpa dua

institusi yakni : Pusat Dokumentasi Sejarah New Orleans dan Keuskupan Agung New

Orleans ( The Historic New Orleans Collection an Archdiocese of New Orleans).

Pelajaran pertama yang dapat dipetik yaitu bagaimana rencana konstruksi

infrastruktur yang tidak memadai, sebab ketika bencana terjadi sambungan telepon kabel

maupun selular terputus; padamnya jaringan listrik; kebutuhan untuk segera membangun

kontak dengan pejabat instansi dan segenap staf dan upaya untuk memperoleh jaminan

ijin untuk memeriksa seluruh koleksi yang ada.

Pengalaman mengajarkan untuk menghadapi bencana yang sewaktu-waktu dapat

terjadi, rencana antisipasi yang baik merupakan suatu hal yang mutlak. Betapa dari

kejadian ini seluruh arsip yang ada ditemukan dalam keadaan utuh sebab telah dialih

mediakan dalam bentuk microfilm dan samasekali bahan arsip yang mengandung nilai

sejarah tidak mengalami kerusakan. Ada beberapa langkah kegiatan yang perlu

dilakukan : meninjau kembali rencana penanganan bencana; adanya kebijakan

[penjaminan yang baik terutama atas bahan-bahan dokumentasi dan koleksi yang bernilai

tinggi, jaminan social dan kesehatan serta seluruh program layanan untuk kepentingan

Page 18: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

2

yang mendesak; pembelajaran individual dalam menghadapi tantangan dengan cara

selalu memperbarui ketrampilan secara berkelanjutan.

Dengan begitu permasalahan mendasar dan pengalaman kedua lembaga yang ada

di Kota New Orleans tersebut dalam menghadapi bencana Badai Katrina patut dijadikan

pelajaran. Bagaimana mereka merumuskan dengan seksama antisipasi atas kemungkinan

bencana yang akan terjadi dan pengaruhnya terhadap hilangnya arsip serta langkah-

langkah yang diambil untuk mengamankannya; dibutuhkan rencana kegiatan untuk

melatih segenap staf dan mendorong mereka untuk bersikap kreatif dalam menghadapi

situasi darurat; diperlukan rencana tanggap darurat dan pemulihan bencana guna

melindungi dan menjamin tetap berjalannya roda organisasi, dan tata kerja dan bila

mungkin perbaikan atas arsip yang rusak, ini semua sebagai unsure yang wajib

divantumkan dalam pedoman penanganan bencana.

Introduction

Recent and not so recent disasters have drawn attention to the vulnerability of

archives, libraries, and museums. However, the following observation by Associated

Press writer David B. Caruso is most sobering.

Millions of rare artifacts in museums and libraries across the United States are slowing disintegrating because of improper storage, according to a survey said to be the largest-ever look at the condition of such collections. Damage is occurring at institutions of all sizes, but is worse at smaller-town museums and historical societies. The survey of conditions at 3,370 museums, libraries and archives found that many lacked the basic environmental controls that prevent photographs from losing color, keep rare books from crumbling to dust and protect military uniforms from being devoured by insects. A quarter was deemed potentially vulnerable to damaging fluctuations in temperature, light and humidity. Another 65 percent had already sustained damage in their collections.

Page 19: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

3

Only one in five institutions have a paid staff dedicated to storing material, and fewer than one in three had an up-to-date assessment of the overall conditions of their collection. Eighty percent of the institutions lacked a plan for detailing with how their objects might be saved if a natural disaster occurs.1

According to a March 29, 2005 media alert from “Earth Observatory,” more than one-

third of the United States’ population lives in hazard-prone areas.2 Chief among the

causes of disasters are: Blizzards and snowstorms, drought, earthquake, epidemic,

famine, flood, forest fire, hailstorm, heat wave, hurricanes, ice storm, landslides and

mudslides, tornados, tsunami, and volcanic eruptions. During the twentieth century, the

United States suffered major natural disasters such as: 6 major blizzards and snowstorms

(including the so called “Storm of the Century” of 1950 with hurricane force winds and

heavy snow across 22 states); a ten year drought (1930-1940); 8 major earthquakes; 3

major epidemics (including the 1949-1952 polio epidemic and the 1918 influenza

epidemic with more than 500,000 deaths), 10 floods (including the 1927 Mississippi

River flood); 7 major forest fires, 2 stifling major heat waves; 26 hurricanes (with the

1926 hurricane that struck Miami cost the equivalent of more than $84 billion present-

day U.S. dollars); 28 ferocious tornado systems, a tsunami; and volcanic eruption. Such

a litany is indeed monotonous, but it underscores the importance of the topic at hand.3

From the late 1980s to late1990s a combination of improvements in weather forecasting

and warning systems combined with improved building codes have greatly reduced the

number of fatalities from natural disasters in the U.S. The trend in 1998 indicated that

the states most affected by the costs of hurricanes (Florida, North Carolina, and Texas)

and earthquakes (California and Washington) also had the largest increase in both

population and revenue.4

Page 20: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

4

It should also be noted that natural disasters are more frequent and costly. On

December 30, 1999, the U. S. Geological Survey issued a warning that “The costs of

natural disasters – lives lost, homes destroyed, economies disrupted – have skyrocketed

in this century, as the world’s population has grown and has moved into areas that are

vulnerable to earthquakes, hurricanes, landslides, and other natural hazards. Keep in

mind the following information from the Independent Insurance Agents of America.

Prior to 1987, the United States had not experienced a natural disaster with insured losses

greater than $1 billion. Since that time, there have been 8 such events.5 But there is

reason for hope. By understanding how and where these natural events occur, so that we

can build and live safely on the earth, and by providing real-time information about

floods, earthquakes, and other hazards, so that we can respond effectively when disaster

strikes, the USGS is helping to build stronger, safer communities that are resilient to

natural disasters.6

The solution is proper planning according to the association. A major problem is

adequate building codes appropriate to the region. The August 21, 2006, report of Len

Tylka, as President of the Florida Homebuilders Association, shows how building codes

can reduce damage:

But since Hurricane Andrew, there have been dramatic improvements. Today’s building code is one of the strongest in the country. Homes built under the new code that experienced Hurricane’s Charley and Ivan performed as they were designed – lives were saved and property damage was minimized. FEMA praised Florida’s code for reducing the overall amount of damage. But to make sure the code is as strong as it should be, the Commission engaged the country’s best scientific minds to evaluate its strength. This scientific review was supported by the Governor and insurance industry, and the home building industry agreed to accept its results7 “Sound, up-to-date and successful building codes are essential for construction,

but codes must also be enforced and continuously updated to effectively contribute to

Page 21: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

5

disaster mitigation,” according to Leonard C. Brevik, National Association of

Professional Insurance Agents CEO in his 2006 address to the National Council on

Insurance Legislators. He further noted additional costs are not more expensive and are

“well worth the investment” and cited recent findings that “structures built to higher

standards are 77 percent less likely to be damaged.” After highlighting disaster

prevention as a means to save lives, suffering, loss of property and jobs, he ended his

presentation with the sobering observation that not all can be mitigated as: "the nature of

Nature is that the unanticipated will sometimes happen, despite our best efforts."8

It should be clear that several factors are basic to disaster preparedness. But the

most basic of all considerations begin with the choice of topographical location for

library, archive, or museum. The1878 Topographical and Drainage Map of New Orleans

and the Surrounding Area by Thomas Hardee, is the key to understanding Hurricane

Katrina impact on New Orleans. The 1878 map clearly outlines neighborhoods of the

city historically subject to flooding and those areas that have not suffered flooding. As

the 20th century developed, citizens eventually trusted in technology and developed the

“low, swampy terrain behind the natural levees of the river and the lake,” an area that

historically has proven to have drainage problems.9 The accuracy of Hardee’s map is

reflected in Katrina’s damage, as the very areas depicted with drainage problems

suffered the most. Furthermore, Barthélemy Lafon’s Plan of the City and Environs Of

New Orleans, Taken from actual Survey (1816), clearly depicts the limit of the 1816

flood that covered the rear of the city, flooding the low swampy ground behind the

natural levee of the river.”10 Institutions depicted in areas as prone to flooding in the

1816 and 1878 maps are precisely those that suffered the greatest losses. It is critical to

remember that New Orleans, like many major cities in the United States, is in a region of

Page 22: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

6

adverse geography. As seen in the Katrina experience, the location of topography must

be a critical factor in the location and subsequent development of construction projects.

The experience of Katrina has reaffirmed that the construction of archives,

libraries, and museums must adhere to all building codes and sound curatorial

principal. The use of extensive glass walls, the use of basements, proper placement

of mechanical systems, and a host of other architectural decisions are the beginning

of a disaster plan. A disaster plan alone is not adequate. Staff members must be

trained to be able to respond efficiently and effectively.

Two case studies

My observations in this paper are based primarily upon the experiences of two

institutions – The Historic New Orleans Collection, a privately funded museum/research

center, and the Archdiocese of New Orleans, the second oldest Catholic diocese in the

United States, whose original territory stretched from Key West, Florida to Southern

Canada. Both institutions had disaster plans and both plans functioned properly, though

one institution had relatively minor damage and the other sustained severe damage.

The Historic New Orleans Collection

Upon learning of an impending hurricane on the Saturday morning, August 27,

the disaster plan was implemented. Staff members called a previously assigned

telephone number to receive instructions. Upon arrival, staff members returned all items

to their proper location in vaults. Staff and public areas were totally secured. Items on

exhibit on ground floor exhibition rooms were stored on the second floor. By being on

the second floor, they would be safe from potential flooding, while the floor above

served as protection in the event of roof failure.

Page 23: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

7

Previously prepared visquin curtains were lowered over all shelves, all equipment

was secured and protected, and “snakes” were placed in front of all doorways to inhibit

the flow of water, within the building, in the event of flooding. Windows were secured

with pre-cut plywood. Once the building was properly secured, an “emergency response

cart” was positioned at the emergency entrance.11 Within a matter of 5 hours, the

building had been successfully secured. On Sunday morning, August 28, the storm had

greatly strengthened. Preparations were reviewed and additional precautions undertaken

where deemed necessary.

In the aftermath of the hurricane, staff learned that the buildings survived with

relatively minor damage. The institution is located in an area not prone to flooding and a

top priority is the maintenance of all buildings. However, staff soon learned that the

well-designed disaster plan was not adequate due to the situation as a result of the storm:

1.Contact lists, even with alternate numbers, were rendered basically useless, as

telephone lines and cell phone towers were equally destroyed. In fact, land lines

functioned much better than cell phones. E-mail was unavailable due to the lack of

electricity. The major challenge was to reestablish communications, both with staff and

government officials. Contact numbers for the appropriate government officials and

agencies had been rendered useless. In the days after Katrina, communications became

increasingly difficult with staff members. Upon realizing the severity of the damage,

many staff members left their original evacuation point to be with relatives who could

assist them with a long-term evacuation. Once reaching their ultimate point of refuge,

most acquired new cell phones and/or established new e-mail addresses. Slowly the staff

was reassembled when the director of systems established a “Google Group” and a “staff

only page” on our web site.

Page 24: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

8

On September 8, ten days after the storm, we received assistance from the

Louisiana National Guard and the state police to return in a convoy to New Orleans to

secure collections and evacuate previously designated “priority items.” The Director of

the research center coordinated communications with the state police, the fine arts

moving company, the executive director, director of museum programs, financial officer,

the institution’s building supervisor and the staff member responsible for the computer

system. Given the elevated risk of fire and a prolonged period without electricity, it was

a critical action. Fortunately, both of our fine arts movers had taken appropriate

precautions prior to the storm. As they had crews in place, we were able to evacuate the

priority collections and move them to the Alexandria Museum of Art, a small museum

with state of the art facilities about 6 hours distant from New Orleans.

Due to curfews and travel difficulties, staff had 5 hours to inspect and evacuate

collections from 3 sites. The work had to be accomplished with no electricity or

elevators. Fortunately, the emergency response carts were placed near the entrance to

the building. Additionally, certain collections deemed “priority” are stored in preferred

locations, regardless of the classification number, specifically for ease of retrieval in an

emergency situation. Therefore, all priority manuscripts were grouped together in one

vault, all priority rare books in another, and in a third all of the priority visual collections.

Furthermore, each storage container for these items is identified by a reflector to assist in

the ease of retrieval.

Movers and staff formed an assembly line, material carefully was removed, an

emergency evacuation inventory form completed, and the trucks loaded. In the process,

however, several valuable lessons were learned. Flashlight batteries lose power far faster

than imaginable in an emergency situation. Secondly, in preparing the collections for the

Page 25: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

9

hurricane, we used carts to store books that were being processed. It was a fatal mistake

and cost valuable time as each of those books had to be removed in order to use the carts

to evacuate priority items. With the priority books being in phase boxes, it was very

easy to simply place them on a cart and shrink wrap the cart.

Arriving at the Alexandria Museum of Art, we faced another challenge as the

only available vault had no shelving units. Coca Cola delivery crates were placed on the

floor, and materials carefully placed on top of them. Visual collections remained in their

respective print cases on Coca Cola crates. Books remained on the carts. Paintings

remained wrapped carefully in ethafoam and mover’s blankets. During the unpacking,

any containers damaged in the move were photographed, and made a notation on the

emergency evacuation inventory form.

The evacuation trip did reveal one physical need at our New Orleans off-site

storage facility requiring immediate attention: None of our regular contractors had

received permission to return to the city to work, however, through stroke of luck, a

contactor who was cleared to enter New Orleans to assist a hospital was able to help us.

This underscores just how quickly a well prepared disaster plan was rendered useless and

the importance of creative solutions.

On September 15 we were given permission to return to New Orleans a second

time. The purpose of the trip was to remove additional items, and inspect the facilities

another time. Our local fine arts mover had a pass from the Office of Emergency

Management to enter New Orleans, the city was stable, and a police escort was not

necessary. Controls into the city were still tight however. Indeed, it took more than one

hour for the appropriate papers to be checked at the entry point into New Orleans. All

cars in our convoy had magnetic signs identifying them as “rescue” vehicles.

Page 26: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

10

Citizens and businesses were allowed to return to New Orleans based upon zones

(postal codes). Senior staff members who could return did so immediately. Even though

electrical service to the zone where the institution is located, it was necessary to bring

every supply imaginable for both the institution and individuals. The initial days were

spent preparing the buildings to greet returning staff members and working with the

HVAC service company. Other measures were undertaken immediately. Special

security badges for all staff members were prepared. Normally a routine task, the lack of

operating businesses required the badges to be made in a nearby city. Even then it took

two days to make them as opposed to the few minutes required under normal

circumstances. As movement within the city was still limited, the badge listed the

addresses of all of the institution’s facilities. Staff members were required to complete a

new staff contact questionnaire. As addresses, telephone numbers, and e-mail addresses

had changed for a large number of staff members, this was mandatory. They were

required to list two contact people, one of whom had to be outside of the greater New

Orleans metropolitan region. Finally, on October 3, staff members who could return to

work did return to work, over a month after Katrina struck New Orleans.

The first assignment upon return was a thorough cleaning of the building. The

top of every shelving unit was vacuumed. All items on shelves were removed; the items

were checked for any sign of stress due to the hurricane or the aftermath. Shelves were

cleaned with alcohol. At the same time, the all buildings were monitored, on multiple

occasions, for potential environmental hazards. On October 12, the museum division of

the institution reopened, and one week later, the research center reopened.

Construction and disaster response companies were highly visible. Dangers

associated with construction soon became immediately apparent. A construction crew

Page 27: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

11

placed a trash bin adjacent to the off site storage facility. Unfortunately, it caught fire. A

security guard noticed immediately. As a result damage was minimal. Had it not been

observed and immediate action taken, however, a major disaster would have resulted.

When conditions were stable, the evacuated priority collections were returned

from Alexandria. Staff was sent to Alexandria to inventory and prepare the material for

transfer. Upon arrival in New Orleans, everything was again inventoried, inspected for

damages, and the evacuation condition reports updated where necessary.

Daily life remained severely impacted for months. The institution’s mailing list,

and e-mail list were no longer accurate. Due to the vast needs in the region, obtaining

routine archival supplies was a challenge. Receiving supplies was additionally hindered

as United Parcel Service in New Orleans had lost all but 4 trucks.

As work resumed, the disaster plan was updated to address the challenges of a

major regional disaster. Among changes was the evacuation of the institution’s van.

While accession records are routinely microfilmed and a copy stored off site, the

microfilms were not stored with the priority collections, nor was a set evacuated. A

complete set of all microfilmed accession records are now stored with the priority

collections. Our emergency response carts were updated to include items such as hard

hats, hammers, and safety goggles to name just a few. Routine daily procedures were

updated, including emptying refrigerators in the staff lounges every Friday. In addition,

in the event of a hurricane, all groceries must be removed from the refrigerator and staff

lounge. Magnetic gates leading to the research center were rendered useless with the

absence of electricity. They are now equipped with padlocks in the event of electrical

failure. An agreement with a hotel chain was arranged to house essential staff in the

immediate aftermath of a disaster.

Page 28: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

12

Generic self-carboning rescue inventory forms have been added to the disaster

carts. Department heads have been issued laptop computers. Every staff member has

been issued a new, separate e-mail account not reliant on the institution’s server. Critical

numbers and contact information were distributed to staff members in a readily available

simple format.

However, the final, critical lesson learned was simple: staff must be trained to

respond in a practical, creative and intelligent fashion to a disaster as time does not

permit consulting a disaster plan. The written disaster plan should be considered as a

training manual for response to a disaster. In the end the two most difficult commodities

to locate were communication and access to accurate information - the very two

prerequisites for which the recovery efforts depend.

In the months after Katrina, The Historic New Orleans Collection experienced

new ways of serving the community. Staff members were dispatched to local shopping

centers to operate information centers on how families could salvage lost treasures. As

the institution was able to re-open within six weeks to the public, staff members were

critical in providing information to the press. Immediately, the institution launched a

major documentation project. Staff photographers documented all neighborhoods of the

city, ephemera documenting the rebuilding effort have been systematically collected, and

major oral history project documenting the first responders was initiated. The focus of

the oral history project has been the first-responders. As first-responders came from

throughout the country, it was necessary for staff to travel throughout the country to

interview them. An exhibition “City of Hope: New Orleans after Katrina” was

developed specifically to demonstrate how the city has handled and survived prior

floods. A significant educational component was developed that included lectures on

Page 29: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

13

topography, history of flooding, and legal issues. On the one-year anniversary of

Katrina, a special reception was held honoring the first-responders, who assisted

thousands of individuals and families in the hours and days after the disaster.

As a gift to the community, the institution proceeded with a planned major

exhibition “Common Routes: St. Domingue●Louisiana.” Opening six months after the

city was devastated, more than three dozen museums and individual collectors from

throughout the United States, Spain and France loaned items to the exhibition. The

exhibition, designed to explore the historical relation between the two former French

colonies, had been planned for three years and in the wake of Katrina:

“The Historic New Orleans Collection renewed its commitment to presenting this

exhibition to the public. Although many Louisianans have been displaced, and

all have been shaken, our unique cultural heritage remains a rallying point. May

this exploration of our common routes help to inspire those who are committed to

rebuilding our beloved region.” 12

In the aftermath of Katrina, France responded very quickly to the needs of its former

colony. Within two months, the French Minister of Culture and Media Renaud

Donnedieu de Vabres, Ambassador Jean-David Levitte, and Consul General Pierre

Lebovic began a highly ambitious program to assist the cultural heritage of the

devastated region. On March 2, 2007, 400 Years of French Presence in Louisiana:

Treasures from the Bibliothèque nationale de France opened at The Historic New

Orleans Collection. The same day Femme, Femme, Femme, an exhibition depicting the

evolution of women drawn from museums in France, opened at the New Orleans

Museum of Art. Both exhibitions are part of the French contribution to the recovery

effort, as well as the on-going educational and musical exchange programs.

Page 30: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

14

Archives of the Archdiocese of New Orleans

The importance of a good disaster plan is more critical for the less fortunate. The

Archdiocese of New Orleans has a cooperative agreement with the Diocese of Baton

Rouge. The early records from the French and Spanish colonial periods and the ante-

bellum period were stored in a building that suffered significant water damage.

Fortunately, none of the components of that historic archive were harmed. However, due

to lack of basic services and the fragility of the building, it had to be moved to Baton

Rouge.

The damage was a result of a broken sprinkler pipe and not flooding. The other

two major archival facilities for the archdiocese were in heavily flooded areas. Finally,

every building owned by the archdiocese was damaged, including administrative offices,

churches, schools, and numerous social services support facilities. The archivist of the

Diocese of Baton Rouge immediately became involved in the rescue effort of the archive

the Archdiocese of New Orleans. In that instance, the lesson learned is not the

importance of the first 48 hours, but what to do in the first 48 days after a major disaster.

Four months after Katrina, they were still rescuing bound volumes of documents.

Unfortunately, given the vast size of the Archdiocese of the New Orleans, the process

continued for months. In addition, to the Diocese of Baton Rouge assisting them, once

housing was available, archivists from other dioceses and institutions came to come to

help. Such “assistance” visits were usually a week or two in length.

Plastic buckets became the archival container de rigeur. Coca Cola crates

became critical in the sorting and initial care of damaged documents. Ten months after

Katrina, they were working with bound volumes of documents stored on shelves. With

the water and the passage of time, they expanded. The archivist had to choose one

Page 31: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

15

bound volume to sacrifice to be able to save others. They were still using hammers and

crowbars to force open filing cabinets. Fortunately, they had had a very active

microfilming project. All of their records were basically microfilmed through early

2005. The Archives of the Archdiocese have now added some very minor, but critical

changes to their disaster plan. For example, they learned that records of churches that

had used a certain type of paper and indelible ink pens could easily be restored.

Whereas, other types of papers and pens made any salvage effort impossible.

The Archives of the Archdiocese of New Orleans also learned that the impact of

Katrina changed their daily functions. With so many documents such as birth

certificates, marriage certificates, and death records being destroyed in civil repositories,

the Archives of the Archdiocese, as a sacramental record is accepted by the United States

government and financial institutions, is now the primary source of much needed

documentation for the collection of life insurance policies, social security, Medicare, and

a host of other critical services. Today, they handle more than 750 requests for such

documents a week.

In addition, the Archives of the Archdiocese of New Orleans and the Diocese of

Baton Rouge have done a particularly good job of educating individuals about the

challenges they face by provided regular updates, with photographs of progress being

made. The web-site address is www.diobr.org/archives.

Common experiences among all institutions

Common problems experiences by all institutions, no matter what the damage

situation was: 1. Location of archives, 2. basic construction of archives, 3. the staff

actually being trained how to respond in a disaster as opposed to having a disaster plan,

4. the need for improved communications and information, 5. lack of electricity as the

Page 32: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

16

major source of damage, 6. lack of a regional disaster plan, 7. lack of special provisions

for cultural institutions, and 8. knowing how to work with a disaster recovery company.

1. Know your topography.

As mentioned earlier, we can not prevent natural disasters from recurring; many

communities are located in an “adverse geography.” While we can not reverse nature or

geography, we can build more intelligently. Building more intelligently requires

knowledge of the region and informed decisions as to where archival repositories should

actually be built.

2. Building intelligently.

Once the decision is made as to where to build a facility, care must be taken to

place mechanical systems in a location where they will suffer the least amount of damage

in the event of a storm. Buildings with mechanicals on the ground floor suffered

tremendous damage and, in many cases, were operating a year after Katrina. In contrast,

buildings with the mechanical equipment placed appropriately were fully operational

within a matter of weeks. Buildings with the mechanicals in the basement were rendered

basically useless for over a year.

The United States National Oceanographic and Atmospheric Administration has

very detailed guidelines on a variety of topics, such as protecting windows during a

storm. However, most people and institutions do not know how to protect windows

properly, nor know of the existence of these recommendations. Stan Goldenberg, of

NOAA, is the author of a highly useful paper entitled “A Short Lesson in Building

Effective Shutters.”13

Page 33: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

17

The web site of the agency has a tremendous amount of useful information

applicable for any institution devoted to cultural heritage. The web site is:

www.nhc.noaa.gov. The site addresses a wide variety of issues. Additionally, the

Institute for Business and Home Safety has a wide variety of brochures available and a

highly useful web site.14 The web site (www.ibhs.org) has valuable, printable pamphlets

on topics such as earthquakes, floods, freezing weather, hail, hurricanes, tornados, water

damage, wildfires, maintenance, recovery, disaster, and safety review.

3. Training for a disaster.

It is not enough to merely have a disaster plan. The staff must train for a disaster.

The staff must learn to find creative solutions to problems encountered. In many cases

supplies will not be readily available and a conservator not immediately available.

Therefore, practicing building a humidifying chamber with a large, plastic storage box, a

plastic crate and water can be critical. In many cases, it is more than just having a ready

solution; it is being trained to think of solutions when normal procedures are not

possible.

4. Improved communications and information.

One of the major challenges was securing of accurate information. We readily

learned that information was often inaccurate. Broadcasts showed “the French Quarter

under 5 feet of water.” The neighborhood shown was not the French Quarter, however,

but a section of the city several miles away. Statements made by elected officials were

often abbreviated to the point that they did not reflect the actual situation or

circumstances. Local radio commentators were reporting news phoned into them,

without verifying the information prior to airing it. In short, communication and access

to accurate information – two things upon which the recovery efforts depended upon –

Page 34: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

18

were the two most difficult commodities to locate. Another major long term problem in

the recovery effort has been videos of the damage in the days immediately after the

hurricane. A videos shown on television without a date imprinted on it can be very

misleading. Film footage days and months old was being shown constantly and as a

result was misleading the public as to the actual situation. The lack of communication

was a critical component of the disaster. Institutions had problems communicating with

government authorities, but larger institutions in particular frequently had problematic

internal communication problems.

Communication must be a regular part of any institution’s disaster plan. Regular

communication must exist between the institution and local emergency response units,

such as police and fire. The basic fact is that if you experience a disaster you do not have

time to explain to first responders who you are and what you do. It is critical to have

ongoing dialogue with such agencies and have routine visits of your facility.

5. The lack of electricity

At this point in time, it appears that most of the damage suffered by cultural

institutions were not as a result of the flood waters or wind damage, but a result of the

lack of electricity for extended periods of time, resulting in materials being subjected to

unsafe temperature and humidity conditions.

6. Even though there have been numerous regional disasters in North America,

institutions have been slow to develop regional disaster plans, and instead focused on

disaster plans that affected only one institution. The great ice storms of Montreal in

1961, 1986 and 1998 – the last of which left parts of Montreal without electricity for 6

months;15 the hurricanes of the Southeastern United States and the flooding in the

Central United States serve as reminders of the need for regional disaster plans.

Page 35: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

19

Libraries in San Diego, California have developed a “disaster response network,” and a

consortium of institutions including, but not limited to, California State University, San

Bernardino Library, California State Polytechnic University and the University of

California, Riverside was established. Both of these response networks have made their

mission statement, recommendations, and agreements for mutual aid available.16 The

amount of information currently available via the internet is vast. “Disaster preparedness

and response: A Primer on Disaster Preparedness, Management and Response: Paper-

Based Materials” is particularly valuable.17 It contains emergency preparedness plans for

institutions such as Harvard University18 and the Massachusetts Institute of

Technology.19

7. Lack of special provisions for cultural institutions

In the wake of Katrina, it was painfully obvious that there was no plan in place to

assist professionals in determining damage to their institutions. While it was

theoretically possible for some institutions to return to assess and care for collections,

there were no government provisions to assist them with such a task in the initial days

after the disaster. Institutions did what they could through highly creative means without

government aid. Cultural institutions must be part of the regional disaster planning

process. It is critical that institutions documenting the identity of individuals, ownership

of land, judicial records and others necessary to rebuild the affected area be given top

priority.

8. Knowing how to work with a disaster recovery company.

It is important to realize that experiencing such a disaster affects every aspect of

one’s life. People working for cultural institutions, in the vast majority of cases, do so

out of basically altruistic motives. At the same time, the same individuals in such a

Page 36: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

20

disaster have frequently lost everything they owned. To put it simply, the ability to make

informed decisions can be potentially impaired due to the trauma of the event.

Disaster response companies have many options available to address a wide

variety of needs. However, due to the stressful nature of the situation, it could well be

advisable that, prior to making decisions concerning treatment of items or addressing the

overall condition of a facility, that an outside colleague be used to help guide an

institution in making the proper decision. The assisting individual does not need to be on

site. Indeed, it may not be possible for the person to be on site. It is critical, though, that

before making major decisions to double-check the proposed solution

Finally, as custodians of the human record of the area affected by a major

disaster, the personnel of cultural institutions are in a key position to assure that the

cultural heritage of the region is preserved. In many cases, it will actually mean

educating people about the importance of the cultural heritage of the affected region, as

opposed to the popularized version of the region’s heritage. While many staff members

will be busy assessing damage, rescuing collections, and preparing to resume operations,

other staff members will inevitably be called upon by authorities to provide historical

context of the disaster and the news media to provide accurate information on the

affected community. Providing such information is critical to the rebuilding effort and

clearly demonstrates the importance of such an institution as custodian of the cultural

memory.

Page 37: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

21

DAFTAR PUSTAKA

1Chicago Sun Times, December 5, 2005 2Insurance Information Institute Media: Hot Topics and Updates, November, 2006,

(http://www.iii.org/media/hottopics/insurance/financialmar/) noted: “As commercial and residential development along the Atlantic and Gulf coasts mushroomed in the 1980s, insurers' exposure to hurricane losses soared. A study by AIR Worldwide estimated that the value of insured coastal property exposed to hurricane losses at $6.7 trillion in 2004 or 36 percent of the value of all property in coastal states. In Florida alone, a state with coastal properties that amount to 79 percent of its total property values insured coastal properties were valued at more than $1.9 trillion. New York was close second.” The build-up of property values coincided with a lull in hurricane activity. But Hurricane Andrew (1992) and the Northridge earthquake (1994) and an unusually high number of major hurricanes in the 2004 and 2005, culminating with Hurricanes Katrina, Wilma and Rita which together caused close to $56 billion in insured property damage according to ISO, have drawn attention to the risks the insurance industry now faces. Sophisticated modeling of disaster scenarios suggest that a major hurricane hitting Miami could cost insurers as much as $80 billion. Before Hurricane Andrew, the outside range of insured damage from a major disaster was thought to be about $8 billion.

3 Earth Observatory is a freely-accessible publication of NASA available on the Internet. Its purpose is to provide the public with new satellite imagery and scientific information on the earth’s climate and environmental change. For a compilation of the 100 worse natural disasters worldwide in the twentieth-century consult: http://www.disastercenter.com/disaster/TOP100C.html. Additionally The U.S. Natural Hazard Statistics provide statistical information on fatalities, injuries and damages caused by weather related hazards. These statistics are compiled by the Office of Services and the National Climatic Data Center from information contained in Storm Data, a report comprising data from NWS forecast offices in the 50 states, Puerto Rico, Guam and the Virgin Islands.

4 G. van der Vink, R. M. Allen, J. Chapin, M. Crooks, W. Fraley, J. Krantz, A. M. Lavigne, A. LeCuyer, E. K. MacColl, W. J. Morgan, B. Ries, E. Robinson, K. Rodriquez, M. Smith, and K. Sponberg, Department of Geosciences, Princeton University, Princeton, N.J. “Why the United States Is Becoming More Vulnerable to Natural Disasters” Eos, (1998, 553). The article can be viewed electronically at http://www.agu.org/sci_soc/articles/eisvink.html. The American Geophysical Union website is an excellent source of information on natural disasters.

5 “Statement of David Daniel on behalf of the Independent Insurance Agents and Brokers

of America before the Subcommittee on Capital Markets, Insurance and Government Sponsored Enterprises, Committee on Financial Services, United

Page 38: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

22

States House of Representatives,” September 13,2006, (financialservices.house.gov/media/pdf/091306dd.pdf).

6 Tom Ross, Neal Lott, “A Climatology of 1980-2003: Extreme Weather and Climate

Events,” Technical Report 2003-01, (Ashville, NC: National Climatic Data Center, NOAA/NESDIS, US Department of Commerce, 2003). Included in this study is an analysis of billion dollar climate and weather disasters from 1980-2003. Also consult: David E. Alexander, Natural Disasters, (Springer, 1993) According to the Mission Statement of the USGS, the agency serves the Nation by providing reliable scientific information to: describe and understand the Earth; minimize loss of life and property from natural disasters; manage water, biological, energy, and mineral resources; and enhance and protect our quality of life. (http://www.usgs.gov/stratplan/vision.html). Leslie Haggin Geary, “Disaster-proof your disaster insurance: How to protect your home when Mother Nature kicks in the door,” June 20, 2002, (http://money.cnn.com/2002/06/18/pf/yourhome/q_disasterinsure/index.htm).

7 http://www.fhba.com/index.cfm?referer=content.contentItem&ID=1080

8 Dave Kaiser, “Legislators hear insurance industry's resounding voice after the storm” Insurance Journal, March 20, 2006. (http://www.insurancejournal.com/magazines/southeast/2006/03/20/features/68726.htm)

9 Alfred E. Lemmon, John T. Magill, Jason R. Wiese, Charting Louisiana; Five Hundred

Years of Maps, (New Orleans: Historic New Orleans Collection, 2003), 335 10 317 11 The contents of an emergency cart should not only include material needed to assist in

the recovery effort of the institution’s holdings, but also the basic necessities that the workers will need in an adverse situation, including, but not limited to, items such as M[eals] R[eady] to E[at], high energy food bars (with a 5 year shelf life), first aid kits, water purification tablets, emergency blankets, port-a-potty toilet seat lids, toilet chemical pouches, toilet liners, and 5 gallon plastic buckets to serve as actual toilets.

12Priscilla Lawrence, “Preface,” Common Routes: St. Domingue●Louisiana, (New

Orleans: The Historic New Orleans Collection, 2006), 8 13 http://www.aoml.noaa.gov/hrd/shutters/index2.html

14 Among brochures available are: “Keep Wind and Water Out: A Guide to High Wind Protection;” “Is Your Home Protected from Hurricane Disaster?” “Manufactured Home Inspection Checklist;” “Still Standing: Trim Your Risk of Tree Problems;”

Page 39: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

23

“Roofing the Right Way;” and “You Can Go Home Again: Returning Home after a Natural Disaster.” Free single copies of these publications are available by calling the Institute toll-free at 1-866-657-4247.

15 Mark Abley, editor, Stories from the Ice Storm, (Toronto: McClelland and Stewart,

Inc, 1999). 16 http://orpheus.ucsd.edu/sildrn/list.html and http://www.ieldrn.org/MissHist.htm . 17 http://palimpsest.stanford.edu/bytopic/disasters/ 18 http://preserve.harvard.edu/emergencies/hurriances.html 19 http://libraries.mit.edu/preservation/disasterresponse.html

Alfred E. Lemmon Director of The Williams Research Center, a division of

The Historic New Orleans Collection 533 Royal St.

New Orleans, La. 70130 USA [email protected]

Page 40: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

1

PENGUJIAN IDENTIFIKASI KERUSAKAN ARSIP

FILM AKIBAT ASAM DI ARSIP NASIONAL RI

Roby Syafurjaya dan Sari Hasanah

Abstract:

Cellulose acetate-based film archives can’t be avoided from decomposition and

deterioration caused by theirs own base material or improper storage condition. This

deterioration can be shown by blocking on the film rolls, acid smell (vinegar syndrome),

or silvering out on the film surface. The test on film storage rooms of the National

Archives of Indonesia (second, third, and fourth floors of G building) in 2006 showed

that the temperature and relative humidity are not stable and do not fulfill the standard

of storage room. Based on the acidity of 2000 film archives rolls (± 7.5 % from all

collections of film archives in National Archives of Indonesia), 99.7 % of the 16 mm film

archives are in good condition and only 50 % of the 35 mm film archives are in good

condition. Improper storage condition will increase the acidity double in the next 2-15

years so the film archives will be difficult to be saved.

Keyword : film archives, blocking, vinegar syndrome, silvering out, film storage, film

deteriorations.

Arsip film berbahan dasar selulosa acetate tidak terlepas dari proses dekomposisi dan

deteriorasi yang diakibatkan baik oleh bahan penyusun film itu sendiri maupun karena

kondisi penyimpanan yang tidak sesuai. Proses deteriorasi pada film dapat ditandai

dengan pengerasan pada gulungan film, bau asam (vinegar sindrome) dan atau keluarnya

lapisan endapan perak berwarna putih pada film (silvering out). Hasil pengujian pada

Page 41: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

2

ruang penyimpanan film Arsip Nasional RI gedung G lantai 2,3 dan 4 di tahun 2006

menunjukan bahwa kondisi suhu dan kelembaban masih belum stabil dan tidak sesuai

dengan standar ruang penyimpanan. Hasil pengujian kondisi keasaman terhadap 2000

reel arsip film (± 7.5% dari koleksi arsip film di ANRI) menunjukan bahwa 99,7% arsip

film 16 mm berada dalam kondisi baik dan hanya 50% arsip film 35 mm yang berada

dalam kondisi baik. Dengan kondisi penyimpanan yang tidak sesuai dengan ketentuan

dikhawatirkan arsip film akan naik kondisi pH-nya menjadi 2 kali lipat pada 2 – 15 tahun

kedepan sehingga sulit untuk diselamatkan.

Keyword : Arsip film, bloking, vinegar syndrome, cermin perak, penyimpanan film,

deteriorasi arsip film

P E N D A H U L U A N

A. Latar Be lakang

Khasanah arsip film di Arsip Nasional mempunyai jumlah dan peranan yang cukup

signifikan. Hingga saat ini koleksi arsip film yang disimpan di ruang penyimpanan arsip

film sudah mencapai 160.000 reel film dalam berbagai jenis copy dan ukuran. Mengingat

media penciptaan film itu sendiri yang sangat mudah terdeteriorasi maka sangatlah

mungkin kondisi arsip film yang disimpan menjadi sangat bervariasi baik kualitas

fisiknya maupun informasinya. Keberadaan arsip film sebagai bahan

pertanggungjawaban nasional menuntut tindakan pelestarian yang maksimal untuk

menjaga kondisi arsip film selalu dalam keadaannya yang terbaik, baik kondisi fisik

maupun informasinya.

Terjadinya proses kerusakan pada arsip film dapat terjadi karena faktor internal

Page 42: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

3

dan eksternal. Faktor internal berasal dari bahan penyusun film dan prosesing film itu

sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah kondisi lingkungan di mana arsip film

disimpan. Dengan kata lain, faktor internal merupakan faktor bawaan pada media

penciptaan arsip film itu sendiri sehingga tidak dapat dirubah sedangkan faktor eksternal

merupakan faktor lingkungan dimana arsip film itu disimpan.

Bahan dasar arsip film yang terdiri selulosa asetat tidak terlepas dari proses

dekomposisi dan deteriorasi yang diakibatkan baik oleh bahan penyusun film itu sendiri

maupun karena kondisi penyimpanan yang tidak sesuai. Proses deteriorasi pada film

dapat ditandai dengan pengerasan pada gulungan film, bau asam dan atau keluarnya

lapisan endapan perak berwarna putih pada film. Endapan perak yang dihasilkan akan

sangat berbahaya baik bagi arsip film itu sendiri maupun bagi pengelola (petugas),

karena mengandung bahan kimia berbahaya seperti perak nitrat dan bahan lainnya yang

berasal dari emulsi film. Apabila kondisi ini tidak segera dihentikan maka film sebagai

bahan informasi dan memori kolektif bangsa akan mengalami kerusakan atau bahkan

musnah. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan pencegahan dan penanganan yang

cepat dan tepat untuk mencegah musnahnya arsip film tersebut. Tindakan pencegahan

yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan mengidentifikasi kerusakan arsip

secepat mungkin sebelum kerusakan berlanjut. Identifikasi ini dapat dilakukan dengan

identifikasi kondisi keasaman pada arsip film.

Kondisi lingkungan terutama suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap

perubahan fisik film. Akibat suhu dan kelembaban ruang penyimpanan yang tidak

konstan, menyebabkan beberapa koleksi film yang tersimpan di ANRI mengalami

kerusakan. Ciri-ciri kerusakan ini ditandai dengan keluarnya lapisan perak nitrat pada

film (silvering out) dan keluarnya bau asam yang khas seperti cuka dari film (vinegar

syndrome). Proses lebih lanjut dari kerusakan ini adalah terjadinya pengerasan pada

Page 43: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

4

gulungan film (blocking), sehingga film menjadi lengket satu sama lain dan

menyebabkan hilangnya image yang ada pada film. Hal ini dapat mengakibatkan

hilangnya informasi yang terdapat dalam arsip.

Untuk menanggulangi kerusakan lebih lanjut yang dapat mengakibatkan

musnahnya informasi dalam arsip film maka diperlukan identifikasi yang cepat dan tepat

mengenai kondisi arsip film dan kondisi penyimpanannya sehingga dapat ditentukan

langkah langkah penanganannya untuk menyelamatkan arsip film tersebut.

B . Tujuan

Tujuannya dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi kondisi arsip film yang disimpan di Arsip Nasional RI

terutama kondisi keasamannya sebagai tahap awal terjadinya kerusakan.

2. Mengidentifikasi kondisi ruang penyimpanan arsip film di Arsip Nasional RI

terutama suhu dan kelembaban yang sangat berpengaruh terhadap kondisi arsip

film.

T I N J A U A N P U S T A K A

A. Ars ip F i lm

1. Pengertian

Arsip film adalah arsip yang isi informasinya terekam dalam medium seluloid

yang menyajikan citra bergerak (moving image) dalam rangkaian gambar fotografik dan

Page 44: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

5

suara pada bahan dasar film, yang penciptaannya menggunakan rancangan teknis dan

artistik dengan peralatan khusus.

Arsip film mempunyai beragam jenis dan bentuk yang berbeda, baik ukuran, jenis

bahan penyusun dan citra pembentuk image. Berdasarkan ukurannya (gauge) arsip film

dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu film 8 mm, 16 mm, 35 mm, dan 70 mm.

Sedangkan berdasarkan bahan penyusunnya maka dapat dibedakan menjadi film nitrat,

film asetat dan film polyester tergantung dari jenis bahan yang digunakan sebagai plastik

support. Berdasarkan citra pembentuk image film maka arsip film dapat dibedakan

menjadi film berwarna dan hitam putih.

2. Jenis Film

Selama periode awal abad 19 hingga abad 20, terdapat beberapa jenis film

berdasarkan bahan penyusun dasar yang digunakannya yaitu :

a. Film nitrat

Film nitrat mempunyai lapisan dasar selulosa-nitrat (cellulose nitrate).

Polimer selulosa nitrat mempunyai sifat yang kurang stabil dan mudah

terbakar, jika terdeteriorasi polimer nitrat ini dapat menjadi menguning,

lengket, mengkerut, tergantung dari tingkat deteriorasi yang terjadi. Film

fotografik nitrat disebut juga seluloid, nitroselulose, flamable film, pyroxolin

atau flame film.

b. Film asetat

Film base selulosa ester biasanya mengacu pada triasetat, diasetat atau

asetat. Film jenis ini pada awal penggunaannya dikembangkan menjadi film

Page 45: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

6

untuk jangka simpan permanen, namun ternyata film ini tidak lebih stabil dari

film nitrat. Tingkat perkiraan waktu hidup/waktu simpan adalah 100 tahun

pada suhu 700F (210C). Perbedaannya dengan film base nitrat adalah selulosa

ester ini tidak mudah terbakar. Kebanyakan film produksi abad 20-an adalah

film selulosa ester termasuk juga didalamnya film dan tranparansi yang

diproduksi saat ini. Film berwarna pada umumnya merupakan film asetat.

o Selulosa asetat (asetat, selulosa asetat propionat, dan selulosa asetat

butirat), pertama kali dikembangkan sekitar tahun 1935an, dan

merupakan film asetat pertama yang digunakan untuk menggantikan film

nitrat.

o Selulosa diasetat, film jenis ini dikembangkan pada tahun 1937an untuk

menggantikan film nitrat dan asetat. Seperti halnya film asetat, diasetat

tidak mempunyai jangka simpan yang lebih lama dari nitrat. Film jenis

ini mudah kehilangan warna, mengerut dan bergelombang seiring dengan

waktu. Kondisi penyimpanan, khususnya suhu dan kelembaban

mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kerusakan film ini.

Selulosa diasetat mulai digantikan oleh triasetat pada tahun 1948.

o Selulosa triasetat, merupakan film ester asetat generasi terakhir yang

pernah diproduksi. Pertama kali diproduksi pada tahun 1948 sebagai film

citra bergerak dan menjadi umum digunakan pada tahun 1949. Pada awal

tahun 1960an film jenis ini mulai dilaporkan terdeteriorasi pada kondisi

penyimpanan yang panas dan lembab.

c. Film Poliester (polietilen tereptalat)

Page 46: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

7

Film Poliester, mengacu pada lapisan dasar plastik film yang mulai digunakan

sejak tahun 1950an. Poliester mempunyai komposisi yang lebih stabil dan

mempunyai waktu hidup yang lebih lama dibandingkan dengan asetat.

Umumnya film yang bertanda estar atau cronar merupakan film base

poliester. Film jenis ini mempunyai jangka simpan yang lebih lama hingga

kurang lebih 500 tahun.

3. Konstuksi Film

Arsip film mempunyai konstruksi yang khusus, serta biasanya tersusun atas 3

komponen penting, yaitu :

a. Base/Bahan dasar plastik sebagai support

Merupakan lapisan pembawa atau penguat pada film, bagian ini menjadi

dasar di mana image gambar atau informasi film disimpan. Bagian ini

mempunyai karakteristik yang transparan, kuat dan fleksibel. Pada umumnya

polimer penyusun base film ini adalah selulosa triasetat, polimer lainnya

adalah selulosa diasetat, selulosa nitrat dan poliester. Bagian ini juga

umumnya didukung lagi oleh lapisan pelindung/backing layer yang bahan

penyusunnya adalah gelatin atau polimer seperti Polivinil-alkohol (PVA).

Lapisan pelindung ini berfungsi untuk melindungi film dari perubahan fisik

yang diakibatkan oleh perubahan dimensi dan volume image sebagai akibat

perubahan suhu dan kondisi penyimpanan.

Page 47: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

8

Gambar 1.  Konstruksi Arsip Film 

b. Emulsi Gelatin

Bagian emulsi ini mengandung materi/bahan pembentuk image pada film.

Pada film berwarna, bagian emulsi ini terdiri dari berbagai lapisan pembentuk

image. Sedangkan pada film hitam putih pada umumnya hanya mempunyai

tidak lebih dari 2 lapisan berbeda. Bagian emulsi ini sangat tipis dan sangat

mudah terkena kerusakan fisik seperti abrasi atau gores. Emulsi gelatin ini

juga bersifat hidroskopik dan sangat mudah menyerap uap air dari udara,

serta sensitif terhadap perubahan pH, sehingga jika film mulai terdekomposisi

atau terkena serangan jamur maka dapat dengan mudah terlarut dalam air dan

perawatan akuatik (aqueous treatment) tidak dapat digunakan.

Image 

Emulsi 

Base/support 

Backing layer / Lapisan 

belakang

Page 48: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

9

c. Image yang tersusun atas pewarna/color dyes dan atau perak nitrat

Image perak dalam film terbentuk dari ekspose perak halida oleh cahaya.

Gambar pada film hitam-putih terdiri dari partikel logam perak yang halus.

Image pada film berwarna terdiri dari berbagai lapisan bahan pewarna (color

dyes). Kedua jenis image ini dapat terdeteriorasi sebagai akibat dari efek

pencahayaan dan reaksi bahan-bahan kimia yang disebabkan oleh polutan

dari luar maupun dari base film itu sendiri yang terdekomposisi.

Asam yang diserap dari lingkungan atau dari bagian film itu sendiri dapat

bereaksi dengan perak membentuk senyawa perak yang memyebabkan

memudarnya warna pada image film.

Senyawa–senyawa sulfur juga dapat bereaksi dengan perak pada image

membentuk senyawa perak yang menimbulkan warna kekuningan atau

kecoklatan pada image film.

4. Identifikasi Jenis Dasar Film

Jenis dasar film dapat ditentukan dengan uji polarisasi (polarization test), uji nyala

(burn test), uji apung (float test) dan uji difenilamin (diphenylamine test).

a. Uji tanda (mark test)

Film dengan dasar asetat biasanya mempunyai tanda tulisan safety film pada

bagian pinggir strip film.

b. Uji polarisasi

Uji ini dapat digunakan untuk menentukan jenis film dengan dasar polyester.

Film dengan jenis polyester akan terpolarisasi pada saat diterpakan sinar

Page 49: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

10

melalui filter polarisasi membentuk spektrum penuh seperti pelangi pada film

tersebut. Sedangkan pada film dasar asetat hanya menampakan cahaya yang

berkelip tanpa adanya spektrum pelangi. Pengujian ini merupakan pengujian

tanpa merusak contoh sehingga sangat dianjurkan penggunaannya

dibandingkan dengan pengujian lainnya untuk arsip film.

c. Uji nyala (burn test)

Pengujian ini dilakukan dengan membakar contoh film. Film nitrat akan

terbakar secara spontan dan terus terbakar secara konsisten hingga habis

dengan warna nyala putih hingga kekuningan. Sedangkan film asetat hanya

akan meleleh dan nyala akan padam begitu api dijauhkan. Film nitrat akan

mengeluarkan bau khas seperti kamper sedangkan film asetat akan

mengeluarkan bau asam setat.

d. Uji apung (float test)

Pengujian ini dilakukan dengan mengapungkan sebagian kecil contoh film

kedalam larutan trikloroetane. Film ester asetat akan mengapung pada

permukaan larutan, film nitrat tenggelam dan film polyester akan melayang di

dalam larutan.

e. Uji difenilamin (spot test)

Pengujian ini dilakukan dengan meneteskan larutan difenilamin (dalam 90%

H2SO4) keatas permukaan contoh film. Pada permukaan Film nitrat akan

berubah menjadi biru gelap, sedangkan pada selulosa ester dan polyester

hanya akan membentuk warna biru terang/biru pucat (NPS, Meuseum Hand

Book, 1999;11) .

Page 50: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

11

B . K e r u s a k a n A r s i p F i l m

1. Vinegar syndrome

Bahan penyusun film itu sendiri dapat terdekomposisi menghasilkan asam yang

akan mempercepat proses kerusakan film lebih lanjut, proses ini dikenal dengan vinegar

syndrome. Mekanisme ini terjadi karena adanya group asetyl pada base film yang

terlepas karena udara lembab, panas dan asam bergabung dengan uap air membentuk

asam asetat (vinegar). Ditandai dengan terciumnya bau asam asetat/ cuka dari film.

Reaksi kimia yang menyebabkan proses deteriorasi pada film merupakan reaksi

autokatalitik. Ini berarti hasil dari proses asam (deteriorasi) dapat mengkatalisasi

terjadinya reaksi deteriorasi selanjutnya. Sekali proses ini dimulai maka reaksi kerusakan

selanjutnya terjadi sangat cepat.

2. Silvering out

Image pada film tidak terlepas dari proses dekomposisi dan deteriorasi yang

diakibatkan oleh bahan penyusun itu sendiri. Image pada film mengandung emulsi yang

disusun oleh perak nitrat dan atau bahan pewarna/dyes. Emulsi film dapat mengalami

deteriorasi yang ditandai dengan pengerasan pada gulungan rol film dan keluarnya

endapan perak nitrat berwarna putih pada bagian emulsi film. Proses ini dikenal dengan

nama Silvering out.

Silvering out juga dapat terjadi pada foto positif yang ditandai dengan

terbentuknya lapisan cermin perak (mirroring) pada bagian foto. Silvering out ini juga

dapat diakibatkan oleh proses oksidasi perak yang terjadi dalam film atau foto.

Page 51: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

12

Selain silvering out, beberapa jenis kerusakan pada arsip film juga sebagai berikut :

Bergelombangnya permukaan film, vinegar syndrome, pengerutan pada permukaan film

(shrinkage) yang mengakibatkan berubahnya dimensi film, timbulnya gelembung udara

pada image film, pemisahan lapisan emulsi.

3. Faktor penyebab

Terjadinya kerusakan arsip film baik silvering out maupun vinegar syndrome dapat

terjadi karena faktor internal dan ekternal. Faktor internal berasal dari bahan penyusun

film dan prosesing film sendiri, sedangkan faktor ekternal adalah kondisi lingkungan

dimana arsip film disimpan.

Faktor internal penyebab terjadinya silvering out disebabkan karena image yang

terbentuk pada film berasal dari ekspose perak halida oleh cahaya, dimana perak

merupakan logam yang sangat reaktif dan sangat mudah bereaksi dengan oksidator dan

senyawa polutan lainnya seperti asam atau sulfur. Senyawa oksidator dan perak dapat

bereaksi membentuk oksida perak yang bergerak secara bebas dalam emulsi film. Efek

ini dapat terlihat pada saat perak oksida tersebut telah mencapai permukaan dan

menyebabkan timbulnya lapisan cermin perak dan memudarnya image pada film

(NFSA).

Faktor internal lainnya diakibatkan oleh prosesing film yang tidak benar, kondisi

film yang basah dan residu tiosulfat yang masih tersisa pada saat prosesing arsip film

dapat mempercepat proses kerusakan pada arsip film dan foto.

Faktor eksternal lingkungan penyimpanan yang mempengaruhi terjadinya proses

kerusakan adalah suhu, kelembaban, polutan dari udara serta bahaya yang berasal dari

air, cahaya, jamur, serangga, serangan mikrobiologi, kontak dengan bahan kimia dalam

Page 52: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

13

bentuk padat, cair dan gas dan kerusakan akibat kontak fisik (ISO 5466:1992).

Sedangkan kondisi yang paling berpengaruh terhadap akselerasi proses kerusakan adalah

kondisi kelembaban dan suhu penyimpanan film serta polutan seperti sulfur dan senyawa

asam yang dapat bereaksi dengan perak pada film (NFSA). Nilai suhu dan kelembaban

berdasarkan Standar Internasional (ISO) untuk penyimpanan arsip film adalah

maksimum 21 oC dan 15 s/d 40 %.

Akselerasi proses kerusakan pada arsip dapat diasumsikan berdasarkan tabel

standar kerusakan film berdasarkan standar Image Permanent Institute seperti

ditunjukan pada tabel 1 dan 2 berikut :

Tabel 1. Estimasi Waktu Kerusakan (tahun)

Pada Film Asetat Baru (Keasaman 0,5) Pada Suhu dan Kelembaban Tertentu*

No RH

Suhu 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%

1. -1 0C 2000 1500 1000 700 500 400 300

2. 2 0C 1250 900 700 500 350 250 200

3. 4 0C 800 600 450 350 250 175 150

4. 7 0C 600 400 300 250 175 125 100

5. 10 0C 400 300 200 150 125 90 70

6. 13 0C 250 200 150 100 80 60 50

7. 16 0C 175 125 100 80 60 45 35

8. 18 0C 125 90 70 50 40 30 25

9. 21 0C 90 70 50 40 30 25 17

10. 24 0C 60 45 35 25 20 16 13

11. 27 0C 45 35 25 20 15 12 9

12. 29 0C 30 25 18 14 11 9 7

13. 32 0C 20 17 13 10 8 6 5

14. 35 0C 16 12 10 7 6 5 4

15. 38 0C 11 9 7 5 4 3 3

16. 41 0C 8 7 5 4 3 3 2

17. 43 0C 6 5 4 3 2 2 2

18. 46 0C 4 4 3 2 2 1 1

Page 53: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

14

19. 49 0C 3 3 2 2 1 1 1

Keterangan : * waktu yang dibutuhkan oleh film baru (fresh film) untuk mencapai keasaman 0,5.

Tabel 2. Estimasi Waktu Kerusakan (Tahun) Pada Film Asetat Yang Mulai Terdegradasi (Keasaman 0,5-1,0) Pada Suhu dan Kelembaban Tertentu*

No RH

Suhu

20% 50% 80%

1. -1 0C 540 110 30

2. 2 0C 350 75 25

3. 4 0C 230 50 15

4. 7 0C 150 35 10

5. 10 0C 100 25 9

6. 13 0C 65 15 6

7. 16 0C 45 10 5

8. 18 0C 30 7 4

9. 21 0C 20 5 3

10. 24 0C 15 4 2

11. 27 0C 10 2 2

12. 29 0C 7 2 1

13. 32 0C 5 1 1

14. 35 0C 3 1 1

15. 38 0C 2 1 1

16. 41 0C 2 <1 <1

17. 43 0C 1 <1 <1

18. 46 0C 1 <1 <1

19. 49 0C 1 <1 <1

Keterangan: * waktu yang dibutuhkan oleh film untuk meningkat keasamannya dari 0,5 menjadi 1,0

Sumber : IPI (Image Permanence Institute), Rochester Institute of Technology

H A S I L P E N G U J I A N D A N P E M B A H A S A N

Kegiatan ini merupakan studi pendahuluan yang dibatasi hanya pada arsip film

Page 54: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

15

yang disimpan di ruang penyimpanan arsip film gedung F lantai 2, 3 dan 4 Arsip

Nasional RI, pengujian terhadap jenis film lainnya hanya sebagai pembanding.

A. Pera la tan da n Baha n

Peralatan dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Peralatan

a. Alat untuk memeriksa kondisi lingkungan ruang penyimpanan

1) Thermohygrograph;

2) Thermohygrometer SWEMA AIR;

3) UV light monitor ELSEC;

4) Air Flow Tester TESTO;

5) UV/light illumination;

b. Peralatan Pengujian

1) pH meter HORIBA;

2) Neraca Analitik;

3) Desikator;

4) Burner/bunsen;

5) Peralatan gelas lainnya.

Page 55: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

16

2. Bahan

a. Bahan pembuatan indikator ABC

1) Bromocresolgreen indikator;

2) Akuadest;

3) Larutan NaOH 0,1 N;

4) Kertas saring/kertas serap;

5) Ethanol;

6) Kertas indikator.

b. Bahan Pengujian

1) pH indikator universal;

2) A-D strips paper check;

3) Buffer pH 4 dan 7.

B. Metode Penguj ian

1. Identifikasi Kondisi Ruang Penyimpanan

Pengukuran kondisi ruang penyimpanan arsip film dilakukan secara rutin selama 8

bulan (Maret s/d Desember 2006) dengan periode waktu secara acak sebanyak 3 kali

dalam satu bulan. Pelaksanaan pengukuran dilakukan perlantai sebanyak 10 titik baik

normal storage maupun cool storage untuk parameter suhu dan kelembaban. Hasilnya

Page 56: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

17

pengukuran dirata-ratakan dan dibandingkan dengan standar ruang penyimpanan dan

estimasi waktu kerusakan arsip film berdasarkan tabel IPI.

2. Identifikasi Umum Arsip Film Koleksi Arsip Nasional RI

Arsip film ditentukan jenis dasarnya (nitrat, asetat atau poliester) dengan

menggunakan uji tanda, uji apung, dan uji nyala. Pengujian dilakukan terhadap contoh

film yang rusak dan status dimusnahkan atau pada bagian film yang tidak mengandung

image/informasi (bagian leader). Sampling dilakukan secara acak berdasarkan format

ukuran (35 mm dan 16 mm) sehingga dianggap mewakili jenis arsip film.

3. Identifikasi Kondisi Arsip Film

Identifikasi kondisi arsip film dilakukan secara acak yang mewakili koleksi arsip

film diruang penyimpanan arsip gedung F lantai 2. jumlah sampel yang diuji sebanyak

2000 reel film pada ruang normal storage dan 2000 reel film pada ruang cool storage (±

7.5% dari koleksi arsip film) yang terdiri dari 1000 reel film 16 mm dan 1000 reel film

35 mm.

Sampel diuji dengan menggunakan indikator ABC dan dibandingkan dengan

indikator pH Universal. Penampakan warna indikator dibandingkan dengan tabel standar

warna dan dicatat grade kondisi arsip film. Data kondisi arsip film diolah dengan

menghitung prosentase kondisi arsip film dengan masing masing grade dan nilai pHnya.

Sebagai bahan perbandingan dilakukan juga pengujian terhadap mikrofilm, mikrofiche,

rekaman suara dan video.

Gambar 2.   Indikator ABC Dalam Satu Cetakan 

Page 57: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

18

C . H a s i l P e n g u j i a n d a n P e m b a h a s a n

1 . K o n d i s i R u a n g P e n y i m p a n a n

Salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi arsip film adalah

lingkungan penyimpanan arsip itu sendiri, yaitu kondisi suhu dan kelembaban. Oleh

karena itu kegiatan pengujian ini diawali dengan pengukuran kondisi ruang penyimpanan

terutama kondisi suhu dan kelembaban.

Pengukuran dilakukan pada sepuluh titik dan kemudian hasilnya dirata-ratakan.

Nilai interval suhu dan kelembaban ditunjukan pada tabel berikut ini :

Tabel 3. Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban di Ruang Penyimpanan Gedung F

No Ruang Suhu (OC) Kelembaban (%RH) StandarRange Interval Range interval

1 Lantai 2 Maks 210C, 15-40% RH ; Fluktuasi kelembaban dan suhu maks 5 %, 2 OC

Cool storage 13.4-24.1 10.7 48.7-71.4 22.7

Normal storage 19.7-25.4 5.7 46.3-66.9 20.6 2 Lantai 3

Cool storage 14.1-22.3 8.2 48.3-70.3 20.0

Normal storage 18.2-23.5 5.3 47.8-63.4 15.6 3 Lantai 4

Cool storage 13.7-24.1 10.2 51.2-68.2 17.0

Normal storage 19.3-24.5 5.2 45.2-60.1 14.9

Data pada tabel diatas menunjukan bahwa kondisi suhu dan kelembaban ruang

penyimpanan masih belum sesuai standar yang ditentukan. Kondisi suhu di ruang

penyimpanan arsip film umumnya berada diatas standar maksimum yang ditetapkan

Page 58: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

19

yaitu 21 OC dan fluktuasi tidak lebih dari 2OC. Kondisi kelembaban umumnya berada diatas

atandar yang diperkenankan yaitu maksimum 40% dengan fluktuasi tidak lebih dari 5 %. Kondisi

ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kerusakan pada arsip film. Suhu yang tinggi dapat

mengurangi kelenturan film dan mengurangi kualitas warna dan image pada film. Aspek

penting dari suhu adalah pengaruhnya terhadap kelembaban di ruang penyimpanan,

penurunan temperatur drastis dapat menyebabkan meningkatnya kelembaban. Tingkat

perubahan suhu yang tinggi umumnya dapat pula menyebabkan perubahan kelembaban.

Kondisi kelembaban diatas 60 % untuk jangka waktu yang lama dapat

menyebabkan kerusakan pada lapisan emulsi gelatin pada film, serta menyebabkan

pertumbuhan jamur yang akan mengakibatkan emulsi film menjadi lunak dan lengket.

Kelembaban tinggi juga dapat menyebabkan perubahan pada emulsi perak dan warna

pada film. Penyimpanan pada kelembaban yang rendah dapat mencegah pertumbuhan

jamur dan mengurangi tingkat degradasi pada film, namun hal ini juga dapat

menyebabkan lapisan gelatin dan base pada film menjadi mengkerut dan retak.

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan kondisi suhu dan kelembaban diruang

penyimpanan baik cool storage maupun normal storage yang tidak stabil, semua

ruangan menunjukan kondisi fluktuasi suhu dan kelembaban yang besar melebihi

standar. Berdasarkan pengukuran dan dibandingkan dengan tabel estimasi IPI, jika suhu

dan kelembaban penyimpanan film mencapai 240C;70% maka hanya dibutuhkan waktu

selama 40 tahun bagi arsip film untuk dapat terdeteriorasi menghasilkan asam.

Selanjutnya jika sudah dalam kondisi asam, reaksi autokatalitik akan membuat film

semakin terdeteriorasi dan hanya membutuhkan waktu 3 tahun bagi film untuk

terdegradasi menghasilkan asam hingga asam yang dihasilkan menjadi 2 kalinya.

2 . I d e n t i f i k a s i U m u m A r s i p F i l m

Page 59: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

20

Koleksi arsip film yang disimpan di Ruang Penyimpanan Arsip Gedung F Arsip

Nasional RI mencapai kurang lebih 160.000 reel film dari berbagai jenis dan kondisi

yang berbeda. Secara umum dari sejumlah besar arsip tersebut merupakan jenis film

dengan base asetat, seperti dibuktikan dengan pengujian terhadap sampel arsip yang

dicuplik dari arsip film yang direstorasi atau yang dalam status musnah. Hasil pengujian

ditunjukan pada tabel berikut :

Tabel 3. Hasil Identifikasi Arsip Film

No Sampel Reel Float test Burn test Marking test

1 Reel film 16 mm Base asetat Base asetat Tulisan “Safety film”

2 Reel film 35 mm Base asetat Base asetat Tulisan “Safety film”

Pengujian identifikasi film juga ditunjukan pada gambar berikut :

Hal ini menunjukan bahwa semua arsip film merupakan base asetat yang sangat

mungkin untuk terdeteriorasi menghasilkan asam asetat yang ditunjukan dengan bau

asam cuka yang khas.

(a) Burn test  (b) Float test  (c) Edge marking 

Gambar 4.  Pengujian Identifikasi Film  

Page 60: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

21

3 . P e n g u j i a n K o n d i s i A r s i p F i l m

Hasil pengujian kondisi arsip film yang dilakukan ditunjukan pada tabel berikut :

Tabel 4. Hasil Pengujian Kondisi Arsip Film

No Jenis Film Grade Jumlah Prosentase Range pH Keterangan

1 Film 16 mm Grade A 996 99.6 >5 Kondisi baik

Grade B 1 0.1 4-5 Mulai terdegradasi

Grade C 3 0.2 <4 Terdegradasi, kondisi asam

2 Film 35 mm Grade A 500 50.0 >5 Kondisi baik

Grade B 111 11.1 4-5 Mulai terdegradasi

Grade C 83 38.9 <4 Terdegradasi, kondisi asam

Berdasarkan hasil pengujian dapat terlihat bahwa sampel film 16 mm umumnya

berada dalam kondisi baik (grade A). Lain halnya dengan kondisi sampel arsip film 35

mm, hasil pengujian menunjukan bahwa hanya 50 % arsip film yang berada dalam

kondisi baik sedangkan sedangkan sisanya mulai terdegradasi dan mengeluarkan asam.

Kondisi arsip film 35 mm yang disimpan di ruang penyimpanan Arsip Nasional RI

dikhawatirkan sudah mencapai fase autokatalisis (proses percepatan reaksi kimia dengan

sendirinya atau dengan zat katalis yang dihasilkan oleh senyawa itu sendiri) dimana

sebagian besar film telah terdeteriorasi mengeluarkan asam yang dapat menjadi katalis

Page 61: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

22

yang mempercepat terjadinya reaksi kerusakan yang berlanjut pada film. Hal ini dapat

ditunjukan oleh hasil pengujian dimana 50% sampel arsip film mempunyai grade B dan

C, dengan kondisi pH yang kurang dari 5. hal ini ditambah lagi dengan kondisi yang

fluktuatif dan tidak sesuai dengan standar, maka dikhawatirkan tingkat kerusakan film

dapat menjadi lebih besar.

Jika kita asumsikan bahwa arsip film yang disimpan di depo ANRI dalam kondisi

baik, maka film base asetat dengan kondisi penyimpanan suhu 13,4 – 24,10C dan

kelembaban 48,7 – 71.4% RH (seperti tabel 1 diatas), maka menurut standar IPI, film

akan mulai terdegradasi vinegar syndrome (keasaman film mencapai 0,5) pada umur

penyimpanan antara kira-kira 16 s/d 150 tahun.

Tetapi jika didasarkan pada hasil pengujian tingkat kerusakan arsip film dengan

kertas indikator ABC yang menunjukkan sebagian arsip film 35 mm sudah mengalami

gejala vinegar syndrome maka dengan kondisi suhu dan kelembaban seperti diatas,

hanya dibutuhkan waktu 2–15 tahun bagi arsip film untuk terdegradasi hingga meningkat

keasamannya menjadi 2 kali lipat dari 0,5 menjadi 1,0 dan seterusnya sehingga kondisi

film tidak dapat diselamatkan lagi.

Dari gambaran diatas terlihat bahwa arsip film tidak sama seperti halnya arsip

kertas yang dapat disimpan lama. Arsip film khususnya dengan base asetat dapat

terdegradasi dengan sendirinya selama di tempat penyimpanan. Jika kondisi suhu dan

kelembaban ruang penyimpanan yang tidak sesuai dibiarkan berlanjut maka masalah

deteriorasi arsip film ini akan semakin besar, serta tindakan preservasi yang dibutuhkan

menjadi lebih sulit dan membutuhkan biaya yang besar.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan fisik arsip film adalah

dengan memisahkan fisik arsip film yang sudah terdeteriorasi dari film yang kondisinya

Page 62: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

23

baik untuk menghindarkan kontak asam dari udara ruangan penyimpanan. Sedangkan

untuk arsip film yang sudah mulai terdeteriorasi perlu dilakukan pengangin-anginan dan

lain-lain, tetapi masih perlu dilakukan pengujian. Untuk menyelamatkan informasinya

adalah dengan sesegera mungkin melakukan alih media ke bentuk arsip lainnya, agar

hasil alih media dengan kualitas terbaik.

P E N U T U P

A. Kes impulan

Berdasarkan data data yang diperoleh dari pengujian dapat disimpulkan beberapa

hal sebagai berikut :

1. Secara keseluruhan kondisi ruang penyimpanan arsip film di lantai 2, 3, dan 4,

masih belum sesuai standar yang dipersyaratkan menurut standar penyimpanan

arsip film, ISO 5466 : 1992, dimana kondisi penyimpanan arsip film sebaiknya

diatur pada suhu maksimum 21oC dan kelembaban 15 – 40% RH dengan fluktuasi

maksimum 2 oC dan kelembaban 5 %.

2. Koleksi arsip film di ANRI umumnya film dengan jenis dasar asetat.

3. Kondisi fisik arsip film 16 mm di ruang penyimpanan arsip film di gedung F lantai

2, 99% dalam kondisi baik, sedangkan arsip film 35 mm hanya 50 % yang berada

dalam kondisi baik.

B. Saran

Page 63: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

24

1. Sebaiknya kegiatan monitoring ruangan penyimpanan arsip film dilakukan secara

rutin setiap hari terutama pemeriksaan setting AC dan dehumidifier agar kondisi

ruangan penyimpanan yang ideal dapat dicapai. Karena dengan kondisi ruang

penyimpanan yang ada sekarang dikhawatirkan arsip film akan naik kondisi pH-

nya menjadi 2 kali lipat pada 2 – 15 tahun kedepan sehingga sulit untuk

diselamatkan.

2. Perlunya dipasang air cleaner diruangan penyimpanan arsip film untuk menjamin

sirkulasi udara yang baik dan menyerap bau asam dari arsip film terutama diruang

cool storage, karena diruang tersebut tersimpan negatif dan stock shoot film

sebagai master arsip.

3. Perlunya dipasang alat pengukur suhu dan kelembaban yang baru

(thermohygrometer) karena hasil pengukuran alat yang terpasang sekarang sudah

tidak valid.

4. Sebaiknya alih media arsip film ke bentuk media arsip lainnya lebih ditingkatkan

lagi mengingat deteriorasi arsip film akan terus berlangsung dengan sendirinya

apalagi dengan kondisi saat ini.

5. Perlu dilakukan pendataan kondisi arsip secara menyeluruh agar dapat dilakukan

langkah perbaikan secepatnya sebelum kerusakan pada arsip film berlanjut.

Page 64: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

25

DAFTAR PUSTAKA

Arsip Nasional RI,. Manajemen Arsip Audio Visual, Modul. Pusat Diklat Arsip Nasional RI. 2001.

Elise Calvi,. Preserving Access to Research Materials on Cellulose-Acetate Base Microfilm in the University of Delaware Library, Preservation Department, University of Delaware Library, July 2003

ISO 5466,. Processed Safety Photographic Films, Storage Practices, 1992 (E).

James Reilly,. IPI Storage Guide for Acetate Film. Rochester, NY: Image Permanence Institute, 1996

Robley, Les-Paul,. Vinegar Syndrome Articles, American Sinematographer June 1996 Edition.

Arsip Nasional RI,. Pedoman Pengelolaan Arsip Film, Jakarta, Arsip Nasional RI, 2002.

Unger, Carol,. Storage Microfilms : What Are They Doing in The Dark. AbbeyNewsLetter Volume 16 No. 4, August 1992.

http: //www.nfsa.afc.gov

http : // palimpset.stanford.edu/byorg/abbey/an/an16/an16-4/an16-407.html

Page 65: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

Notulen Rapat Rencana Kerja Penerbitan Jurnal Ilmiah Kearsipan Pusjibang Siskar Arsip Nasional RI

Tanggal : 01 Mei 2007 Pukul : 10.00 s.d 12.00 Tempat : Ruang Rapat Gedung C Lt.8

Rapat yang dihadiri tim kerja memutuskan beberapa langkah sebagai berikut: 1.Susunan Redaksi dengan komposisi: - Pelindung : Djoko Utomo Ahmadsyah Naina - Pimpinan Redaksi : Sumrahyadi - Dewan Redaksi : Toto Widyarsono Sambudi SW - Redaktur : - Ketua : Bambang Barlian - Sekretaris : Lily Tifa - Anggota : Tamsir Oloan EHP Marpaung Nurarta Situmorang Dwi Yuli Astuti Samsrini Marwati Nur Mas Intan BM - Layout : Furqon Imamsyah Ahda Dwinda Meigita - Distributor : Hendro Subekti Anggariyani Kurniasih - Alamat Redaksi : Arsip Nasional RI Jl.Ampera Raya No.7 Jakarta 12560 Telp.(021)7805851 Fax.(021)7810280- 7805812 http:www.anri.go.id e-mail:info@anri. go.id

2.Tema yang ditetapkan : “Penyelamatan Arsip” 3.Artikel : - Bencana

- Preservasi - Penyusutan - Alih Media

4.Format tulisan : - Makalah terdiri dari15- 20 halaman - Spasi ganda - Jenis huruf times new roman - Tulisan merupakan hasil kajian pribadi/tim - Tulisan belum pernah dipublikasikan,dimuat/dicetak - Tulisan diterima paling lambat tgl 29 juni 2007

Page 66: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

Susunan Redaksi:

Pelindung : Djoko Utomo Ahmadsyah Naina Pimpinan Redaksi : Sumrahyadi Dewan Redaksi : Sauki Hadiwardoyo

Mustari Irawan Toto Widyarsono

Sambudi SW Redaktur : Ketua : Bambang Barlian Sekretaris : Lily Tifa Anggota : Tamsir Oloan EHP Marpaung Nurarta Situmorang Dwi Yuli Astuti Samsrini Marwati Nur Mas Intan BM Sriyanto Layout : Sri Wulandari

Furqon Imamsyah Ahda Dwinda Meigita Distributor : Hendro Subekti Anggariyani Kurniasih Alamat Redaksi : Arsip Nasional RI Jl.Ampera Raya No.7 Jakarta 12560 Telp.(021)7805851 Fax.(021)7810280- 7805812 http:www.anri.go.id e-mail:info@anri. go.id T e m a : Penyelamatan Arsip

(Pasca bencana, Preservasi, Penyusutan, Alih Media, dll)

Kriteria Penulisan : 1. Tulisan merupakan hasil penelitian/hasil kajian (Lapangan/Pustaka baik perorangan

maupun tim) atau karya tulis ilmiah. 2. Makalah ditulis menggunakan kertas A4 dengan jenis hurup Times New Roman dan

jumlah halaman 15 sampai dengan 20 memakai spasi ganda. 3. Tulisan belum pernah dipublikasikan atau belum pernah dimuat/dicetak dalam media

lain. 4. Makalah/tulisan yang masuk ke redaksi tidak dapat dikembalikan dan menjadi milik

dewan redaksi 5. Bagi tulisan yang memenuhi kriteria dan dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kearsipan akan

diberikan imbalan yang menyenangkan. 6. Tulisan Diterima redaksi paling lambat tanggal 29 Juni 2007

Page 67: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

Dalam rangka penyusunan Jurnal Ilmiah Kearsipan, dengan ini Redaksi Jurnal Ilmiah Kearsipan memberikan kesempatan kepada seluruh pegawai ANRI untuk berpartisipasi dalam membuat tulisan/makalah yang akan dimuat dalam Jurnal Kearsipan Edisi II, dengan kriteria sebagai berikut : T e m a : Penyelamatan Arsip

(Pasca bencana, Preservasi, Penyusutan, Alih Media, dll) Kriteria Penulisan :

1. Tulisan merupakan hasil penelitian/hasil kajian (Lapangan/Pustaka baik perorangan maupun tim) atau karya tulis ilmiah.

2. Makalah ditulis menggunakan kertas A4 dengan jenis hurup Times New Roman dan jumlah halaman 15 sampai dengan 20 memakai spasi ganda.

3. Tulisan belum pernah dipublikasikan atau belum pernah dimuat/dicetak dalam media lain.

4. Makalah/tulisan yang masuk ke redaksi tidak dapat dikembalikan dan menjadi milik dewan redaksi

5. Bagi tulisan yang memenuhi kriteria dan dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kearsipan akan diberikan imbalan yang menyenangkan.

6. Tulisan Diterima redaksi paling lambat tanggal 29 Juni 2007

Page 68: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

1

STRATEGI PEMILIHAN PROGRAM PRIORITAS

PRESERVASI ARSIP STATIS DENGAN TEKNIS

ANALISIS SWOT:

Studi Kasus Preservasi Arsip Audio-Visual dan Elektronik pada

Direktorat Preservasi, ARSIP NASIONA RI

Drs. AZMI MSi

Abstract:

Archives preservation is one form among the keeping archives (textual, audio-visual and electronic media), which follow by certain technique in order to keep the archives in long period of time and its information is used properly. As a matter of fact, archives preservation is know as a generic term for totality of measures maintaining the integrity of the archives and the information contained them. It includes all the managerial and financial consideration, storage and accomodation provisions, staffing levels, policies techniques and methode involved in safeguarding the holding of archival institutions.

There are someffactors influence the archives preservation performance, specially the audio-visual and electronic archives around the Directorate of Preservation, which influence to the archives rescuing in the National Archives of the Republic of Indonesia (ANRI). Now day, there are known to be 3 (three) main issued in connected the audio-visual and electronic archives preservation in ANRI : low of human resources the capability; no certain standard operational procedure (SOP) for archives preservation; limit of infrastructure and tool.

As part of a good government, ANRI has the responsibility to protect an to guarantee the public rigth toward the collective memory of the nations which kept within the audio-visual and electronic archives. One of the ANRI’s main task is connected to how the audio-visual and electronic archives collection could be safed and preserved for public interest.

Strategy in choosing the actual issued in priority program of archives preservation, by refering the urgency, serious, and growth, as the rational and measurable technique analysis to increase the ANRI’s performance in keeping audio-visual and electronic archives as part of the collective memory of the nations.

SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) technique analysis

Page 69: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

2

model describes in detail both the internal and external environment to find out factors, which cause the influenced to the successful of ANRI in preservationing the the audio-visual and electronic archives. Through SWOT technique analysis which influenced the ANRI’s successful in archives management is categoried into Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats as the basic to definite the target, goal and strategy in deciding the ANRI’s main priority program for the preservation, so ANRI has a advantage in reaching the vition and misson as the archival institutions. Key Words:: Preservation, Programme, Swot Analysis, Audiovisual Records, Electronic Records, Directour of Preservation.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sebagai lembaga pemerintah

nondepartemen (LPND) yang salah satu tugas pokoknya adalah melestarikan dan

menyediakan arsip sebagai bahan pertanggungjawaban nasional dalam rangka

kehidupan kebangsaan. Keberadaan ANRI dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan bangsa tidak terlepas dari adanya kebutuhan untuk menciptakan

manajemen pemerintahan yang efisien dan efektif. Informasi mengenai

penyelenggaraan negara dan pemerintahan perlu dikelola dengan baik sebagai memori

kolektif bangsa dan menjadi sumber informasi publik bagi generasi kini dan mendatang.

Sebagai bagian dari pemerintahan yang baik, ANRI berkewajiban melindungi

dan menjamin hak publik terhadap memori koleksi bangsa (good government is good

recordkeeping). Substansi tugas pokok ANRI melekat pada bagaimana khasanah arsip

yang disimpannya, yakni informasi terekam tentang penyelengaraan negara yang

memiliki nilai historis yang disebut dengan istilah arsip statis (achives) dapat

diselamatkan dan dilestarikan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat.

Page 70: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

3

Pengaruh globalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdampak

kepada berbagai ragam informasi arsip statis yang harus diselamatkan dan dilestarikan

oleh ANRI. Salah satu dampak globalisasi tersebut adalah semakin meningkatnya

kesadaran masyarakat terhadap dukungan data dan informasi yang bersumber dari arsip

audio-visual dan elekronik. Hal ini membawa konsekuensi logis terhadap kebutuhan

penyelamatan dan pelestarian arsip audio-visual dan elekronik yang memadai.

Salah satu faktor penentu keberhasilan pelestarian arsip audio-visual dan

elekronik dalam rangka penyelamatan arsip statis sebagai informasi publik adalah

tersedianya Standar Operasional Prosedur (SOP) preservasi audio-visual dan elekronik.

Preservasi arsip merupakan salah satu bentuk penyelamatan arsip yang dilakukan agar

informasi yang disimpan di dalamnya dapat digunakan sebaik-baiknya oleh pengguna

arsip.

Kesiapan ANRI dalam menyediakan SOP preservasi audio-visual dan elekronik

yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan preservasi audio-visual dan elekronik,

merupakan kewajiban konstitusional seperti disebutkan pada Pasal 6 ayat a dan Pasal 9

ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2007 bahwa pemerintah mempertinggi mutu

penyelenggaraan kearsipan nasional dengan penyelenggaraan kearsipan yang

membimbing ke arah kesempurnaan. Pasal 9 ayat 1 menyebutkan Arsip Nasional Pusat

wajib menyimpan, memelihara dan menyelamatkan arsip sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 huruf b UU ini dari Lembaga-lembaga Negara dan Badan-badan Pemerintahan

Pusat.

Dalam konteks preservasi arsip audio-visual dan elekronik untuk peningkatan

akses dan mutu layanan arsip statis kepada publik, maka penyusunan SOP preservasi

Page 71: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

4

arsip audio-visual dan elekronik merupakan upaya untuk mewujudkan layanan prima di

ANRI. Hal ini merupakan bagian dari implementasi UU Nomor 43 Tahun 1999

tentang Pegawai Negeri Sipil, yakni aparatur dituntut memberikan pelayanan

prima agar masyarakat memperoleh kepuasan atas layanan yang telah

diterimanya.

Lemahnya strategi dalam penentuan program kerja prioritas preservasi

arsip statis, yang berdampak terhadap kurang optimalnya kinerja preservasi arsip

audio-visual dan elektronik di ANRI, menarik perhatian penulis untuk menulis makalah

dengan judul : “ Strategi Pemilihan Program Prioritas Preservasi Arsip Statis

dengan Teknis Analisis SWOT: Studi Kasus Preservasi Arsip Audio-Visual dan

Elektronik pada Direktorat Preservasi, Arsip Nasional RI”

B. Limitasi Studi

Studi ini memiliki keterbatasan pada hal-hal berikut :

1. Studi hanya membahas kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronika

tidak membahas kinerja preservasi arsip jenis lainnya;

2. Studi ini merupakan studi kasus pada Direktorat Preservasi di ANRI, sehingga

fenomena yang terjadi tidak dapat digeneralisasikan untuk kasus-kasus di tempat

lainnya;

3. Studi ini hanya didasarkan data sekunder dari dokumen dan data hasil observasi

lapangan, sehingga ketepatan analisis kurang optimal;

4. Studi dilakukan dalam waktu singkat, sehingga pengumpulan data dan

pembahasan dilakukan kurang menyeluruh.

Page 72: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

5

C. Metodologi

1. Rasionalisasi Pendekatan

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung dengan data-data

kuantitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati (Moleong,2004:4).

2. Model Analisis

Model analisis yang digunakan dalam studi ini adalah analisis SWOT

(Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats), yaitu suatu proses memerinci

keadaan lingkungan internal dan eksternal guna mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan organisasi ke dalam katagori strengths,

weaknesses, opportunities, threats, sebagai dasar untuk menentukan tujuan,

sasaran dan strategi mencapainya, sehingga organisasi memiliki keunggulan

meraih masa depan yang lebih baik (Sianipar, 2003:23).

3. Teknik Pengunpulan Data

Dalam studi ini, penulis menggunakan pengumpulan data kualitatif dengan

teknik studi pustaka terhadap dokumen resmi yang berkaitan dengan preservasi

seperti buku, pedoman, makalah, laporan tahunan dan dokumen resmi lainnya

yang diterbitkan ANRI). Teknik pengumpulan data lainnya adalah survei atau

observasi lapangan ke unit-unit kerja yang melaksanakan fungsi pelestarian arsip

audio-visual dan elektronik di lingkungan Direktorat Preservasi ANRI.

Page 73: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

6

D. Isu Aktual

Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja preservasi arsip audio-visual dan

elektronik pada Direktorat Preservasi yang berpengaruh terhadap tingkat keselamatan

arsip statis di ANRI. Berdasarkan hasil pengamatan sementara penulis, ada tiga isu

utama yang berkembang saat ini, yaitu:

1. Rendahnya kompetensi SDM;

2. Belum adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) preservasi arsip;

3. Terbatasnya prasarana dan sarana.

Untuk menetapkan prioritas isu aktual dari tiga permasalahan yang diidentifikasi

tersebut, penulis menggunakan teknik analisis Model Urgensi, Serious, Growth (USG) ,

sebagai berikut:

Tabel 1 : Diagram Urgensi, Serious, Growth

NO. MASALAH URGENSI SERIOUS GROWTH TOTAL

1. Rendahnya kompetensi SDM 5 5 4 14

2.

Terbatasnya prasarana dan sarana

5 5 3 13

3.

Belum tersedianya standar operasional prosedur (SOP) preservasi arsip audio-visual dan elektronik

5 5 5 15*)

*) Masalah yang diprioritaskan untuk diselesaikan adalah masalah yang memiliki total skor tertinggi berdasarkan skala nilai 1- 5. Nilai terendah 1 dan nilai tertinggi 5.

Page 74: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

7

Berdasarkan hasil analisis terhadap isu-isu aktual yang di kemukakan di atas,

penulis menyimpulkan bahwa isu utama dan menjadi prioritas harus segera dihadapi

dan dicarikan solusinya, yaitu “ belum tersedianya standar operasional prosedur

preservasi (SOP) arsip audio-visual dan elektronik, sehingga perlu adanya SOP

preservasi arsip audio-visual dan elekronik agar kinerja preservasi arsip di ANRI

dapat berjalan dengan optimal”.

Sebagai salah satu upaya (sasaran) yang harus dilakukan dalam jangka pendek

dan sangat segera harus dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah

”menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik, dalam rangka

pelestarian arsip statis di ANRI dan meningkatkan akses dan mutu layanan arsip

statis kepada masyarakat”.

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Konsepsi Sistem Preservasi Arsip

Sebuah sistem terbentuk dari komponen-komponen yang berintegrasi atau

bekerjasama satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu, di mana tidak dapat dicapai

oleh masing-masing komponen secara independen (Dephub 2006:5). Sistem preservasi

arsip merupakan suatu sistem yang dibentuk oleh komponen-komponen :

1. Komponen liveware (Manusia: Arsiparis, Konservator), sebagai pelaku kegiatan

preservasi;

2. Komponen hardware (sarana dan prasarana kearsipan : gedung/depo, ruang

penyimpanan, ruang perawatan, ruang reproduksi, video evaluator, rewinder

Page 75: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

8

machine, rak, boks, can, spool, leader, dlll), sebagai tempat kegiatan dan

peralatan pendukung kerja preservasi arsip;

3. Komponen environment (Lingkungan: cuaca dan faktor alam), sebagai faktor

luar yang turut mempengaruhi kelancaran sistem preservasi arsip;

4. Komponen software (Peraturan perundangan-perundangan, standarisasi, manual

sebagai perangkat lunak yang berfungsi mengatur dan mengontrol sistem

preservasi arsip).

5. Lingkungan organisasional, sebagai internal sistem preservasi arsip yang lebih

melihat kepada kebijakan-kebijakan lembaga dalam mengatur sistem preservasi

arsip.

Mengacu kepada sistem preservasi kearsipan nasional, maka sistem preservasi

merupakan entitas yang terdiri dari preservasi arsip berbasis bahan dasar kertas, audio-

visual dan elektronik yang meliputi aspek manusia, sarana dan prasarana, lingkungan,

lingkungan organisasi, peraturan perundang-undangan, standar dan pedoman yang

saling berinteraksi, membentuk satu sistem preservasi kearsipan yang efisien dan

efektif. Model sistem preservasi arsip secara sederhana dapat digambarkan seperti pada

gambar 1 berikut ini.

Gambar 1 : Model Sistem Preservasi Arsip

Page 76: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

9

Software

Environment

Liveware

HardwareArchives

PreservationSystem

MODEL SISTEM PRESERVASI ARSIP

B. Preservasi

Secara konsep, istilah preservasi arsip sering disebut juga dengan istilah

“Pelestarian”. Preservasi atau pelestarian arsip adalah proses dan kerja dalam rangka

perlindungan fisik arsip terhadap kerusakan atau unsur perusak dan restorasi/reparasi

bagian arsip yang rusak atau arsip yang rusak. Preservasi langsung adalah menyediakan

prasarana dan sarana perlindungan arsip, termasuk bangunan, metode, penyimpanan

arsip dan perbaikan fisik. Preservasi tidak langsung adalah mengusahakan substitusi

atau alih media, misalnya melakukan penggandaan dan alih media ke mikrofilm atau

kaset video, kaset rekaman suara, dan lain-lain. (Terminologi Kearsipan nasional,

2002).

Preservasi arsip merupakan salah satu bentuk penyelamatan arsip yang

dilakukan agar data dan informasi yang disimpan di dalamnya dapat digunakan sebaik-

baiknya oleh generasi sekarang maupun generasi yang mendatang. Senada dengan hal

Page 77: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

10

itu, Ellis dalam buku Keeping Archives (1993: 476) mendefiniskan preservasi sebagai

tindakan yang memungkinkan bahan arsip baik fisik maupun informasi yang terkandung

didalamnya dapat disimpan dan dipertahankan selama mungkin.

Pada sisi lain Ellis (1993:476) mendefinisikan preservasi sebagai tindakan yang

memungkinkan bahan arsip baik media fisiknya maupun informasinya yang terkandung

di dalamnya dapat disimpan dan dipertahankan selama mungkin. Michael Roper (1989),

mendefinisikan preservasi adalah keseluruhan tindakan pemeliharaan kesatuan dan isi

informasi arsip, yang meliputi semua aspek pelestarian arsip, keuangan, sarana, sumber

daya manusia, metode dan teknik, serta penyimpanannya dalam rangka penyelamatan

khasanah arsip. Peter Walne (1988), mendefinisikan preservasi adalah keseluruhan

proses dan tindakan dalam rangka perlindungan arsip terhadap kerusakan atau dari

faktor-faktor yang melemahkan kondisi arsip dan perbaikan terhadap arsip yang rusak.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa preservasi atau

pelestarian arsip adalah tindakan perlindungan dan perawatan arsip sehingga dapat

disimpan dan dimanfaatkan dalam jangka waktu lama. Berdasarkan pada pengertian ini,

maka kegiatan preservasi meliputi kegiatan pemeliharaan, perawatan, penyimpanan,

perlindungan atau pengamanan arsip baik fisik maupun informasinya. Dengan kata lain

pelestarian atau preservasi arsip secara umum bertujuan untuk melindungi fisik arsip

agar tahan lama, menghindarkan kerusakan sehingga kandungan informasinya dapat

terjaga selamanya.

Kegiatan preservasi arsip secara umum terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu:

1. Pemeliharaan arsip dari ancaman faktor-faktor perusak, baik yang bersumber

dari internal maupun eksternal. Dalam hal ini dilakukan kegiatan penyimpanan

Page 78: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

11

arsip sesuai dengan standar penyimpanan : gedung, ruang penyimpanan,

peralatan, suhu dan kelembaban udara;

2. Perawatan dan perbaikan arsip yang rusak sebagai akibat pemeliharaan yang

kurang baik, bencana, salah dalam penggunaan, dan sebagainya;

3. Reproduksi arsip dalam rangka pelestarian informasi arsip : alih media, copy.

Preservasi arsip mempunyai tujuan untuk melindungi fisik arsip agar tahan lama,

menghindarkan kerusakan sehingga kandungan informasinya dapat terjaga selamanya.

Karena itu ketika melakukan preservasi arsip ada beberapa prinsip-prinsip preservasi

yang harus diperhatikan, yaitu :1) dilaksanakan dengan mempertahankan otentisitas dan

realibilitas arsip, 2) dilaksanakan sejak dinyatakan sebagai arsip, 3) penyimpanan arsip

memperhatikan jenis media rekamnya, 4) penyimpanan arsip dilaksanakan pada ruang

simpan yang memenuhi syarat, dengan suhu dan kelembaban udara yang stabil, 5)

perawatan arsip dilaksanakan dengan tingkat ketelitian yang tinggi (ketahanan dan

eviden suatu arsip).

Martoatmodjo (1994:6) menyebut preservasi dengan istilah pelestarian, yang

mempunyai beberapa fungsi, yaitu : 1) Perlindungan : arsip dilindungi dari serangga,

manusia, jamur, panas matahari, air, dsb. 2) Pengawetan : dengan dirawat baik-baik,

arsip menjadi bisa lebih lama digunakan, 3) Kesehatan : dengan pelestarian yang baik,

arsip menjadi bersih, bebas dari debu, jamur, binatang perusak dan sumber penyakit, 4)

Pendidikan : user dan petugas kearsipan sendiri harus belajar bagaimana cara memakai

dan merawat arsip, 5) Kesabaran : merawat arsip ibarat merawat bayi atau orang tua,

sehingga harus sabar, 6) Sosial : pelestarian tidak bisa dikerjakan oleh seorang diri,

petugas kearsipan harus mengikutsertakan user untuk tetap merawat arsip, 7) Ekonomi :

Page 79: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

12

dengan pelestarian yang baik, arsip menjadi lebih awet dan biaya operasional kantor

dapat dihemat, 8) Keindahan : dengan pelestarian yang baik, penataan fisik arsip akan

lebih mudah, ruang penyimpanan menjadi indah, sehingga memberikan motivasi kerja

para petugas kearsipan.

Pelaksanaan preservasi arsip akan sangat tergantung dari tingkat kemampuan

masing-masing organisasi. Untuk menjelaskan pelaksanaan preservasi arsip, Teygeler

(2001:34) mengembangkan model preservasi arsip yang dikenal dengan model piramida

konservasi (coservation pyramid). Pada bagian bawah model piramid ini merupakan

bagian yang penting untuk semua koleksi, dan bagian puncak merupakan tindakan

khusus bagi konservator. Secara keseluruhan “preservation pyramid“ terdiri dari 4

komponen, yaitu : 1) konservasi preventif (preventive conservation), 2) konservasi pasif

(passive conservation), 3) konservasi aktif (active conservation), 4) restorasi

(restoration).

Gambar 2: Model Piramida Conservation

Restoration

Active

Passive conservationPreventive

ti

Gambar. Piramida Preservasi (preservation pyramid)

Page 80: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

13

1. Preventive conservation (konservasi preventif)

Adalah semua tindakan langsung atau tidak langsung untuk mencegah atau

mengurangi kerusakan objek, berkaitan dengan pemenuhan ketentuan kondisi

lingkungan, dan cara akses objek secara baik untuk memperpanjang daya hidupnya.

Dimulai dari garis kebijaksanaan yang tegas meliputi pelatihan, pendirian sikap dan

profesionalisme semua staf.

Tugas utama lembaga kearsipan adalah menjamin khasanah/koleksi arsip statis

senantiasa tersedia untuk diakses dan dimanfaatkan baik bagi generasi kini dan generasi

mendatang. Karena itu daripada harus memperbaiki arsip yang rusak adalah jauh lebih

efisien dan efektif melakukan pencegahan/pengurangan kerusakan arsip. Walaupun

kerusakan bahan akan terus berlangsung, tetapi sesungguhnya dapat diperlambat, di

mana ilmu pengetahuan dapat memberikan saran tentang cara-cara untuk mempanjang

jangka hidup objek. Pencegahan adalah lebih baik daripada pengobatan, khususnya

untuk yang tidak mempunyai cukup dana dan juga merupakan cara yang paling aman

terhadap keselamatan seluruh koleksi.

2. Passive conservation (konservasi pasif)

Adalah tindakan langsung atau tidak langsung yang berhubungan dengan cara

memperpanjang daya hidup objek. Meliputi pemeliharaan tempat penyimpanan yang

baik; sirkulasi udara, air purification (penyaringan udara), pemasangan air

conditioning, kebersihan depot dan pengontrolannya. Hal yang paling utama dalam

passive conservation adalah melakukan survei mengenai kondisi fisik dari koleksi.

3. Active conservation (konservasi aktif)

Page 81: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

14

Adalah semua tindakan langsung atau tidak langsung yang bertujuan untuk

mempanjang jangka hidup objek. Meliputi pemasukan objek dalam boks,

pembungkusan kembali objek, pembersihan objek, deasidifikasi dan pemusnahan hama.

Pada tahapan ini, kegiatan active conservation dapat dilakukan oleh orang-orang yang

bukan konservator.

4. Restoration (restorasi, perbaikan)

Adalah semua tindakan untuk memperpanjang jangka hidup objek sesuai dengan

kaidah-kaidah estetika dan etika, dengan mempertahankan keutuhannya yang

berhubungan dengan sejarah. Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh konservator yang

sangat terlatih. Pada tahapan ini, untuk merestorasi objek akan memerlukan biaya yang

mahal dan menghabiskan banyak waktu.

C. Norma, Standar, Pedoman dan Manual

Dalam perangkat pelaksanaan tugas kepemerintahan pedoman merupakan bagian

dari sistem NSPM (Norma, Standar, Pedoman dan Manual). Keempat aspek tersebut

berada pada jenjang berbeda. Norma berada pada jenjang paling atas, standar pada

jenjang kedua, pedoman dan manual pada masing-masing pada jenjang ketiga dan

keempat.

Badan Litbang Departemen Perhubungan (2005) memberikan definsi NSPM

sebagai berikut : 1) Norma adalah aturan/ketentuan yang mengikat sebagai panduan

atau pengendalian dalam melaksanakan kegiatan, 2) Standar adalah spesifikasi teknis

atau sesuatu yang diberlakukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan, 3)

Page 82: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

15

Pedoman adalah acuan yang bersifat umum yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dapat

disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan daerah/instansi setempat, 4) Manual

adalah acuan operasional yang penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan dan

karakteristik setempat.

Standardisasi sebagai unsur pendukung keselamatan arsip, mempunyai peranan

penting dalam mengoptimalisasi pendayagunaan sumber daya yang ada. Tujuan

standardisasi preservasi arsip adalah terwujudnya jaminan mutu produk dan jasa

preservasi arsip guna menunjang tercapainya tujuan-tujuan strategis penyelenggaraan

kearsipan statis, seperti peningkatan akses dan mutu pelayanan, pengurangan terjadinya

musibah/bencana, efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan sumber daya yang ada.

Standar adalah suatu spesifikasi teknis atau sesuatu yang diberlakukan sebagai

patokan dalam melakukan kegiatan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak terkait

dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keamanan, keselamatan, lingkungan,

perkembangan IPTEK, pengalaman, perkembangan masa kini dan mendatang untuk

memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

KERANGKA TRANSFORMASI VISI DAN MISI ANRI

Tahun 1971 adalah tahun lahirnya sebuah undang-undang yang menjadi payung

hukum penyelenggaraan kearsipan di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 7 tahun

1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan. Kemudian didasarkan kepada

Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1974 Arsip Nasional RI (ANRI) menjadi

sebuah lembaga nondepartemen yang berkedudukan di ibukota negara dan berada

Page 83: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

16

langsung di bawah serta bertanggungjawab kepada Presiden.

Untuk kepentingan pertanggungjawaban nasional kepada generasi mendatang,

menjamin kesinambungan pelaksanaan pembangunan secara terus menerus perlu

diselamatkannya bahan-bahan bukti yang nyata, otentik dan reliabel mengenai

kehidupan kebangsaan yang pada umumnya dan penyelenggaraan pemerintahan negara

pada khususnya baik mengenai masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan

datang.

Mengantisipasi globalisasi dan perubahan lingkungan strategis lainnya,

serta untuk memberikan mutu pelayanan yang prima kepada masyarakat dalam

bidang kearsipan, maka ANRI pun dituntut untuk melakukan berbagai perbaikan

ke arah kesempurnaan layanan arsip untuk menciptakan citra positif lembaga ini.

Hal ini penting mengingat bahwa kedaulatan dan kepentingan rakyatlah yang

harus senantiasa dikedepankan, karena rakyat saat ini menuntut terwujudnya

“tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)” yang ditandai dengan

empat pilar elemen utama yang saling keterkaitan satu sama lainnya yaitu :

transparansi, partisipasi, penegakan hukum dan akuntabilitas.

Dalam rangka mendukung terciptanya Good Governance serta merespon terhadap

perubahan sosial dan perubahan dalam lingkungan strategis, ANRI telah

merumusan visi lembaga yakni menjadikan arsip sebagai simpul pemersatu bangsa.

Untuk mendukung visi tersebut telah ditetapkan misi lembaga yaitu:

1. Memberdayakan arsip sebagai tulang punggung manajemen

pemerintahan dan pembangunan;

2. Memberdayakan arsip sebagai bukti akuntabilitas kinerja aparatur;

Page 84: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

17

3. Memberdayakan arsip sebagai bahan bukti sah di pengadilan;

4. Menjadikan arsip sebagai memori kolektif dan jati diri bangsa, warisan

nasional dan bukti pertanggungjawaban nasional;

5. Memberikan akses seluas-luasnya untuk kepentingan pemerintahan dan

pembangunan, masyarakat, penelitian dan ilmu pengetahuan demi

kemaslahatan bangsa sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang

berlaku.

Perwujudan misi yang berhubungan dengan pembahasan tulisan ini adalah misi

pada poin 4 dan 5, yaitu menjadikan arsip sebagai memori kolektif dan jati diri

bangsa, warisan nasional dan bukti pertanggungjawaban nasional, serta

memberikan akses seluas-luasnya untuk kepentingan pemerintahan dan

pembangunan, masyarakat, penelitian dan ilmu pengetahuan demi kemaslahatan

bangsa sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku.

Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam bidang preservasi arsip audio-visual dan

elektronik merupakan salah satu pengembangan tupoksi ANRI dalam rangka

menjabarkan misi ANRI yang keenam, yaitu melestarikan dan memanfaatkan arsip

konvensional dan media baru.

KINERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI

Belum optimalnya kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain prasarana dan sarana, volume khasanah

arsip, kompetensi SDM kualitas bahan/material arsip dan belum tersedianya SOP

Page 85: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

18

preservasi. Hal ini berpengaruh langsung terhadap kelestarian khasanah arsip statis dan

berdampak pula terhadap tingkat kualitas layanan informasi arsip statis kepada

masyarakat peminat arsip. Tabel 2 di bawah ini yang menggambarkan kondisi prasarana

dan sarana berdasarkan kegunaannya yang tersedia pada Direrktorat Preservasi.

Tabel 2 : Prasarana dan Sarana berdasarkan kegunaanya

Pada Subdit Pengolahan Arsip Media Baru

Sumber: Direktorat Preservasi, ANRI 2007

Kondisi prasarana dan sarana yang tersedia saat ini apabila mengacu kepada

konsep preservasi arsip belum memadai lagi, sehingga menjadi kendala tersendiri dalam

preservasi arsip audio-visual dan elektronik.

Permasalahan lain yang dihadapi Direktorat Preservasi dalam melestarikan arsip

audio-visual dan elektronik, adalah banyak volume/jumlah khasanah arsip yang harus

diolah. Masalah ini merupakan peluang bagi unit tetapi sekaligus bisa menjadi ancaman

apabila tidak ditangani dengan baik. Tabel 3 di bawah ini menggambarkan

jumlah/volume arsip audio-visual dan elektronik yang tersimpan di ANRI berdasarkan

jenis medianya.

No

Jenis

Kegunaan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

8. 9.

Depo/repository Ruang restorasi arsip Ruang reproduksi Ruang laboratorium Telesine Audio reproduction machine Video tape evaluator (VHS, U-matic, Betacam) Rewinder machine Recleaning tape recorder

Penyimpanan Perawatan Alih media Pengujian bahan dan peralatan Alih media film Alih media rekaman suara Perawatan arsip video Perawatan arsip film dan mikrofilm Perawatan arsip rekaman suara

Page 86: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

19

Tabel 3: Jumlah Khasanah Arsip Audio-Visual dan Elektronik

Sumber: Direktorat Preservasi, ANRI 2007.

Aspek lain yang mempengaruhi kinerja preservasi arsip audio-visual dan

elektronik adalah kompetensi SDM yang bertugas memelihara dan merawat arsip.

Umumnya kompetensi SDM preservasi rendah, mereka sebagian tamatan SLTA dengan

latar belakang kearsipan yang minim. Arsiparis yang ditempatkan pada unit kerja

preservasi umumnya Arsiparis Tingkat Keterampilan dengan kemampuan teknologi

informasi yang rendah. Preservasi arsip audio-visual dan elektronik senantiasa

mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga sistem

preservasi arsip jenis ini tidak hanya bersandar pada upaya manual. Dengan demikian

SDM preservasi (Staf, Konservator, Arsiparis) bahkan kalau memungkinkan

pejabatanya pun harus memiliki kompetensi teknis kearsipan, khususnya bidang

preservasi arsip dan didukung dengan kemampuan dalam bidang teknologi informasi

yang memadai.

Tabel 4 dan 5 berikut ini menggambarkan SDM (staf dan Arsiparis) di luar

pejabat struktural berdasarkan tingkat pendidikan pada Direktorat Preservasi per Juli

2007 yang tersedia berdasarkan kualifikasi pendidikannya.

No

Jenis Arsip

Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Arsip film Arsip Video Arsip Audio (kaset, oral history) Arsip Foto Arsip Microfilm Arsip Microfiche CD

116.952 reel 37.216 kaset 27.309 kaset

1.600.245 lembar 2760 can

7540 lembar 48 keping

Page 87: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

20

Tabel 4 : SDM (Staf dan Arsiparis) Direktorat Preservasi Berdasarkan Tkt. Pendidikan, per Juni 2007

NO

Tingkat Pendidikan

Jumlah

%

1.

2.

3.

4.

Sarjana S1

Diploma III

SLTA (SMA, SMEA, STM, KPAA)

SMP

5 orang

6 orang

45 orang

4 orang

8,33 %

10 %

75 %

6,66 %

Jumlah

60 orang

100 %

Sumber: Bagian Kepegawaian ANRI, 2007

Tabel 5 : SDM (Staf dan Arsiparis) Unit Kerja Penyimpanan, Restorasi ARMEDBAR dan Laboratorium Berdasarkan Tkt. Pendidikan, per Juni 2007

NO

Tingkat Pendidikan

Jumlah

%

1.

2.

3.

4.

Sarjana S1

Diploma III

SLTA (SMA, SMEA, STM)

SMP

4 orang

4 orang

13 orang

2 orang

18,20 %

18,20 %

59,10 %

9,10 %

Jumlah

22 orang

100 %

Pokok-pokok pengembangan dan peningkatan kinerja di masa yang akan datang

yang berhubungan dengan preservasi arsip audio-visual dan elektronik tidak terlepas

Page 88: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

21

dari pijakan dan pedoman tugas pokok, fungsi dan program-program prioritas ANRI

secara keseluruhan. Peningkatan kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik

semata-mata hanyalah upaya untuk mengoptimalkan berbagai sumber daya yang ada

dan telah dimiliki oleh ANRI, khususnya yang ada di lingkungan preservasi arsip media

baru, Direktorat Preservasi. Diharapkan dengan mengembangkan sistem preservasi arsip

audio-visual dan elektronik yang ada dapat terciptanya peningkatan kinerja preservasi

arsip media baru, yang pada akhirnya adalah pada peningkatan kinerja ANRI sebagai

lembaga pembina kearsipan nasional.

Berdasarkan visi, misi, program-program prioritas dan strategi pembangunan

kearsipan nasional seperti telah diuraikan di atas, penulis perlu merumuskan tujuan yang

ingin dicapai di masa yang akan datang dengan tetap mempertimbangkan berbagai

sumber daya yang ada dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Tujuan yang ingin dicapai

pada masa yang akan datang adalah “meningkatnya kinerja presrvasi arsip statis”,

sehingga kondisi kinerja preservasi arsip statis sebagai informasi publik saat sekarang dapat

berubah seperti yang diinginkan.

Sasaran merupakan bagian integral dari proses perencanaan strategis instansi

pemerintah, untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan rencana jangka panjang dan

meletakkan dasar yang kuat untuk menilai dan memantau kinerja organisasi. Atas dasar

tujuan tersebut di atas, maka ditetapkan sasaran jangka pendek untuk pencapaian tujuan

yang diinginkan, yaitu: “meningkatnya kinerja preservasi arsip audio-visual dan

elektronik”.

Page 89: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

22

ANALISIS DAN PROGRAM

A. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

Dalam upaya mewujudkan keadaan yang diinginkan. Direktorat Preservasi

memiliki potensi positif sebagai kekuatan pendorong dan memiliki kelemahan-

kelemahan yang merupakan kekuatan penghambat. Selain itu sesuai dengan

karakteristik kegiatan yang melibatkan unit kerja lain, juga dapat memberikan dampak

positif dan negatif. Dampak positif karena dapat menciptakan peluang-peluang, namun

di sisi lain juga dapat menjadi ancaman-ancaman bagi kelancaran pencapaian tujuan dan

sasaran organisasi.

Peningkatan kinerja presrvasi arsip audio-visual dan elektronik dapat dilakukan

dengan melakukan analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang

mempengaruhi peningkatan kinerja tersebut. Metode yang dapat digunakan adalah

metode analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats).

Langkah pertama yang ditempuh melakukan inventarisasi faktor-faktor internal

dan eksternal. Kemudian melakukan identifikasi faktor mana yang masuk faktor

kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) pada faktor internal, serta peluang

(opportunities) dan ancaman (treats) pada faktor eksternal.

1. Identifikasi Faktor Internal

Setelah dilakukan inventarisasi terhadap faktor-faktor internal maka dapat

diidentifikasi faktor kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses).

Page 90: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

23

a. Kekuatan (strengths), merupakan pendorong internal untuk mencapai

tujuan dan sasaran, antara lain meliputi : tersedianya kewenangan,

tersedianya Arsiparis, motivasi kerja pegawai tinggi.

b. Kelemahan (weaknesses), merupakan penghambat dari faktor internal

untuk mencapai tujuan dan sasaran, antara lain meliputi : tidak

tersedianya SOP preservasi arsip, minimnya prasarana dan sarana,

anggaran terbatas.

2. Identifikasi Faktor Eksternal

Setelah dilakukan inventarisasi terhadap faktor-faktor eksternal maka dapat

diidentifikasi faktor peluang (opportunities) dan ancaman (threats).

a. Peluang (opportunities), merupakan pendorong eksternal untuk mencapai

tujuan dan sasaran, antara lain meliputi: volume khasanah/koleksi arsip

besar, meningkatnya pengguna arsip audio-visual dan elektronik, adanya

standar internasional pengelolaan arsip.

b. Ancaman (threats), merupakan penghambat dari faktor eksternal untuk

mencapai tujuan dan sasaran, antara lain meliputi : rendahnya akses

publik terhadap arsip, rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip,

rendahnya pengolahan arsip.

Identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal yang dapat mempengruhi

kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik dapat dilihat pada tabel 6 di bawah

ini.

Page 91: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

24

Tabel 6: Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

No Faktor Internal Strenghts Weaknesses

S1 Tersedia kewenangan W1 Terbatasnya prasarana dan sarana

S2 Tersedia Arsiparis W2 Belum adanya SOP preservasi AV dan elektronik

S3 Motivasi kerja pegawai tinggi W3 Terbatasnya anggaran

NO Faktor Eksternal Opportunities Threaths

O1 Volume khasanah/koleksi arsip besar

T1 Rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip

O2

Meningkatnya pengguna arsip arsip AV dan elektronik

T2 Rendahnya akses publik terhadap arsip

O3 Adanya standar internasional pengelolaan arsip

T3 Rendahnya pengolahan arsip

B. Evaluasi dan Pemilihan Faktor Kunci Keberhasilan

1. Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal

Setelah dilakukan identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal sebagaimana

terdapat pada tabel 6 di atas tahap selanjutnya adalah melakukan penilaian/evaluasi

terhadap faktor-faktor tersebut. Penilaian dilakukan untuk menentukan faktor-faktor

yang memiliki nilai lebih dibandingkan dengan faktor-faktor lain, baik dari segi

urgensinya, dukungan atau kontribusi maupun keterkaitan faktor terhadap misi

organisasi. Penilaian terhadap aspek-aspek tersebut masing-masing diuraikan sebagai

berikut.

a. Penentuan nilai urgensi (NU) dan bobot faktor (BF)

Penilaian menggunakan model rating scale (skala nilai) dari nilai terendah 1 sampai

nilai tertinggi 5. Selanjutnya ditentukan bobot setiap faktor (BF), dengan rumus BF

= NU/jumlah NU kali 100%. Jumlah NU untuk faktor internal (strengths dan

Page 92: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

25

weaknesses) dan eksternal (opportunities dan threats) sehingga didapatkan bobot

masing-masing faktor, sebagaimana dapat dilihat pada tabeI 8.

b. Penentuan nilai dukungan (ND) dan nilai bobot dukungan (NBD) dari nilai terendah

1 sampai nilai tertinggi 5. Selanjutnya ditentukan nilai bobot dukungan setiap faktor

(BF), dengan rumus NBD= ND x BF, sehingga didapatkan nilai bobot dukungan

masing-masing faktor, hasilnya dapat dilihat pada tabel 8.

c. Penentuan nilai keterkaitan (NK), nilai rata-rata keterkaitan (NRK) dan nilai bobot

keterkaitan (NBK). Penilaian keterkaitan antarfaktor (NK) menggunakan skala

penilaian dari nilai terendah 1 sampai nilai tertinggi 5. Selanjutnya ditentukan nilai

rata-rata keterkaitan setiap faktor (BF), dengan rumus NRK = TNK / Jumlah N-1.

TNK adalah total nilai keterkaitan faktor, jumlah N adalah jumlah faktor internal

dan eksternal yang dinilai yaitu sebanyak 12 - 1 = 11, sehingga didapatkan nilai

rata-rata keterkaitan masing-masing faktor.

Setelah mengetahui nilai rata-rata keterkaitan (NRK) setiap faktor, dilakukan

perhitungan nilai bobot keterkaitan (NBK) dengan cara mengalikan NRK dengan

BF, yang hasilnya dapat dilihat pada tabeI 8.

d. Penentuan total nilai bobot (TNB)

Perhitungan total nilai bobot (TNB) menggunakan rumus TNB = NBD + NBK.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa faktor yang mempunyai nilai tertinggi

dianggap faktor strategis. Faktor-faktor dengan nilai tertinggi pertama dan kedua

dari masing-masing unsur strengths, weaknesses, opportunities, dan threats dipilih

sebagai faktor kunci keberhasilan (FKK), yang selanjutnya akan menjadi acuan

Page 93: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

26

dalam perumusan tujuan.

Penilaian faktor internal berkaitan dengan urgensi dari setiap faktor menggunakan pendekatan komparasi, seperti tabel 7 berikut ini.

Tabel 7: Nilai Urgensi

NO FAKTOR INTERNAL FFAAKKTTOORR LLEEBBIIHH UURRGGEENN BBOOBBOOTT AA BB CC DD EE FF TTOOTTAALL

A B C

Tersedianya kewenangan Tersedianya Arsiparis

Motivasi kerja pgw tinggi

XX AA

CC

AA XX BB

CC BB XX

DD DD CC

EE EE EE

AA BB CC

22 22 33

1144 %% 1144 %% 2200 %%

D E

F

Terbatasnya prasarana dan sarana Belum ada SOP preservasi AV dan Elektronik Terbatasnya anggaran

DD EE

AA

BB EE

BB

CC EE

CC

XX EE

DD

EE XX

FF

DD EE

XX

22 55

11

1144 %%

3333,,33 %%

66,,77 %%

22 33 33 33 44 11 1155 110000 %%

NO FAKTOR EKSTERNAL FFAAKKTTOORR LLEEBBIIHH UURRGGEENN BBOOBBOOTT AA BB CC DD EE FF TTOOTTAALL

A B C

OPPORTUNITIES (PELUANG) Volume khasanah/koleksi arsip besar Meningkatnya pengguna arsip Adanya standar internasional

XX AA CC

AA XX CC

CC CC XX

AA BB DD

AA EE EE

AA BB FF

44 22 22

2266,,66 %% 1144 %% 1144 %%

D E F

THREATS (ANCAMAN) Rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip Rendahnya akses publik terhadap arsip Rendahnya pengolahan arsip

AA AA AA

BB EE BB

DD EE BB

XX EE FF

EE XX FF

FF FF XX

11 44 22

66,,77 %% 2266,,66 %% 1144 %%

JUMLAH 44 22 22 11 33 33 1155 110000 %%

Page 94: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

27

Tabel 8: Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal

No. FAKTOR INTERNAL NU

BF % ND NBD NILAI KETERKAITAN NRK NBK TNB FKK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

STRENGHTS (kekuatan)

1 Tersedianya Arsiparis 2 7.00 5 0.35 X 5 4 5 5 4 5 4 4 4 4 4 4.36 0.30 0.65 2

2 Motivasi kerja pgw tinggi 2 7.00 5 0.35 5 X

4 4 4 4 5 4 3 4 4 5 4.18 0.29 0.64

3 Tersedianya kewenangan 3 10.00 4 0.40 4 4 X 5 5 5 5 4 4 5 4 4 4.45 0.44 0.98 1

2.27 Weaknesses (kelemahan)

4 Terbatasnya prasarana dan sarana 2 7.00 4 0.35 4 3 4 X

5 5 5 4 4 4 4 4 4.00 0.28 0.63 2

5 Belum ada SOP preservasi arsip AV dan Elektronik

5 17.00 5 0.85 5 4 5 5 X

4 5 5 5 5 5 5 4.81 0.81 1.66 1

6 Terbatasnya anggaran 1 3.40 4 0.14 4 4 5 5 4 X

4 4 4 3 3 3 3.90 0.13 0.27

2.56 Opportunities (peluang)

7 Volume khasanah/koleksi arsip besar

4 13.40 5 1.09 5 5 5 5 5 4 X

5 3 4 4 4 4.45 0.59 1.68 1

8 Meningkatnya pengguna arsip AV dan elektronik

2 7.00 4 0.67 4 4 4 5 4 4 5 X

4 4 5 4 4.27 0.29 0.96 2

9 Adanya standar internasional 2 7.00 4 0.35 4 3 4 4 5 4 3 4 X

4 5 4 3.63 0.25 0.60

3.24 Threats (ancaman)

10 Rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip

1 3.40 4 0.14 4 4 5 4 5 3 4 4 4 X 5 4 4.18 0.51 0.65 2

11 Rendahnya akses publik terhadap arsip

4 13.40 4 0.54 4 4 4 4 5 3 4 5 5 5 X 5 4.36 0.89 1.43 1

12 Rendahnya pengolahan arsip 2 7.00 4 0.35 4 5 4 4 5 3 4 4 4 4 5 X 4.18 0.36 0.71

30 100% 2.67

Page 95: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

2. Penentuan Faktor Kunci Keberhasilan

Langkah selanjutnya, untuk melihat peta kekuatan internal dan eksternal

berdasarkan hasil evaluasi keterkaitan dari masing-masing faktor, dilakukan pemetaan

dengan membandingkan TNB Kekuatan = 2,27; Kelemahan = 2,56); Peluang= 3,24)

dan Ancaman = 2,67), maka organisasi berada pada kuadran III. Hal ini menunjukkan

bahwa Direktorat Preservasi memiliki faktor kunci keberhasilan yang dapat digunakan

sebagai acuan utama dalam memprojeksikan tujuan, yakni kelemahan kunci dan

peluang kunci. Berdasarkan suatu pertimbangan logis, bahwa dengan optimalisasi

kelemahan kunci dapat disusun suatu tujuan antara berupa perubahan atau perbaikan

kelemahan kunci tertentu yang dianggap masih potensial meraih kesempatan kunci.

Tujuan yang dirumuskan berorientasi pada perubahan atau perbaikan salah satu

kelemahan kunci. Untuk mencapai tujuan itu harus diperhitungkan kemampuan

memanfaatkan peluang kunci dan kemampuan mengatasi kelemahan kunci. Faktor

kunci keberhasilan (FKK) dapat dibuat dalam suatu format seperti pada tabel 9.

Tabel 9: Faktor-Faktor Kunci Keberhasilan

FAKTOR INTERNAL

No Strengths (Kekuatan) No Weaknesses (Kelemahan) 1. Adanya kewenangan 1 Belum SOP preservasi AV dan elektrnik 2. Tersedianya Arsiparis 2 Prasarana dan sarana terbatas

FAKTOR EKSTERNAL

No Opportunities (Peluang) No Threats (Ancaman) 1. Khasanah/koleksi arsip besar T1 Rendahnya akses publik terhadap arsip 2. Meningkatkan pengguna arsip T2 Rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan

arsip

Page 96: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

S = 2 27

3. Peta Posisi Kekuatan Organisasi Direktorat Prservasi

Berdasarkan total nilai bobot (TNB) dari strengths, weaknesses, opportunities

dan threats, maka dapat diketahui peta kekuatan organisasi Direktorat Preservasi

dalam upaya meningkatkan kinerja publikasi hasil penelitian tansportasi berada

pada kwadran III. Hal ini menunjukkan bahwa Direktorat Preservasi memiliki faktor

kunci keberhasilan yang dapat digunakan sebagai acuan utama dalam memproyeksikan

tujuan, yakni kelemahan kunci dan kesempatan kunci kekuatan. Hal tersebut dapat

digambarkan dalam gambar 3..

Gambar 3 : Posisi Kekuatan Organisasi

W = 2,56

T = 2,67 O = 3,24

O – T = 0,57

S-W = 0,29

Page 97: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

S – W = 2,27 – 2,56 = 0,29

O – T = 2,67 – 3,24 = 0,57

C. Tujuan, Sasaran dan Kinerja

1. Tujuan

Memperhatikan peta posisi kekuatan organisasi yang berada pada kuadran III, maka

dapat dirumuskan alternatif tujuan dengan menggunakan faktor kunci keberhasilan, yaitu

dengan jalan mengatasi kelemahan kunci dan memanfaatkan peluang kunci seoptimal

mungkin sebagaimana yang tercantum dalam tabel 10.

Table 10: Perumusan Tujuan (pada kuadran III)

Faktor Kekuatan Kungi (FKK) Alternatif Tujuan

Kelemahan Kunci Peluang Kunci

1. Belum ada SOP Preservasi AV dan Elektronik

1. Khasanah/Koleksi Arsip Besar

Menyusun SOP Preservasi AV dan Elektronik

2. Terbatasnya Prasarana dan Sarana

2. Meningkatnya Pengguna Arsip

Menambah Prasarana dan Sarana

Selanjutnya dari dua alternatif tujuan tersebut, ditentukan satu tujuan yang

mempunyai nilai tertinggi dengan memakai skaia nilai 1 sampai 5 berdasarkan nilai

manfaatnya (M), dan nilai kemampuan mengatasi kelemahan (KML), serta kemampuan

mengatasi ancaman (KMA). Nilai-nilai M, KML, dan KMA dari setiap faktor kunci

dijumlahkan sehingga menghasilkan total nilai (TN). Total nilai yang paling besar

dipilih sebagai tujuan prioritas yang akan dicapai, seperti pada tabel 11 berikut ini.

Page 98: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

Table 11: Penilaian dan Penentuan Tujuan (pada kwadran III)

Faktor Kekuatan Kunci (FKK) Alternatif Tujuan

M KM

L KMA TN

Kelemahan Kunci Peluang Kunci

1. Belum ada SOP Preservasi AV dan Elektronik

1. Volmume Khasanah/Koleksi Arsip Besar

Menyusun SOP preservasi arsip statis

5 5 5 14*

2. Terrbatasnya Prasarana dan Sarana

2. Meningkatnya Pengguna Arsip

Menambah Prasaranan dan sarana

5 4 4 13

Dari matriks penilaian di atas, ditentukan prioritas tujuan yaitu menyusun SOP

preservasi arsip statis.

2. Sasaran dan Kinerja

Langkah selanjutnya adalah menyusun sasaran tahunan untuk mencapai tujuan.

Sasaran yang hendak dicapai adalah menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan

elektronik. Tujuan dan sasaran peningkatan kinerja preservasi arsip audio-visual dan

elektronik dalam kurun waktu 1 atau 5 tahun ke depan dengan indikator kinerja sebagai

berikut: a) Input : uang, SDM, komputer, ATK, referensi, 2) Process : menyusun SOP

preservasi arsip audio-visual dan elektronik, 3) Output : naskah SOP preservasi arsip

audio-visual dan elektronik, 4) Outcome : preservasi arsip audio-visual dan elektronik

dilaksanakan berdasarkan standar, 5) Benefit : arsip audio-visual dan elektronik dapat

diselamatkan dari faktor-faktor perusak dan dilestarikan selama mungkin, 6) Impact :

akses, mutu layanan dan pemanfaatan arsip statis untuk kepentingan publik meningkat.

D. Strategi dan Program

Page 99: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

Setelah tujuan, sasaran dan kinerja ditetapkan, perlu juga ditetapkan strategi

pelaksanaannya yang ditujukan untuk memadukan atau mengintegrasikan antar faktor

kunci keberhasilan agar terjadi sinergi dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain,

strategi merupakan sarana untuk mencapai tujuan.

Dengan memperhatikan bahwa peta posisi organisasi berada pada kwadran III,

maka strategi yang akan diterapkan adalah strategi perlunya stabilitas, yang merupakan

perpaduan antara kelemahan kunci dan peluang kunci (strength and opportunity) yang

selanjutnya disebut strategi WO, yaitu mengurangi/memperbaiki kelemahan dengan

memanfaatkan peluang.

Diagram 1 menunjukkan penyusunan formulasi strategi SWOT yang akan

diambil, yaitu yang menggunakan pola interaksi perpaduan kelemahan kunci 1 dan 2

dengan peluang 1 dan 2. Dengan pola ini, dalam setiap kuadran terdapat dua alternatif

strategi.

Page 100: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

Diagram 1 : Formulasi Strategi SWOT

FKK INTERNAL

FKK EKSTERNAL

Strengths

(Kekuatan)

1. Adanya kewenangan

2. Tersedianya Arsiparis

Weaknesses (Kelemahan)

1. Belum ada SOP preservasi AV dan elektronik

2. Terbatasnya prasarana dan sarana

Opportunities (Peluang)

1. Volume khasanah/koleksi arsip

besar 2. Meningkatnya pengguna arsip

Strategi SO

1.1 Manfaatkan kewenangan guna

mengatasi volume khasanah/koleksi arsip yang besar

1.2 Manfaatkan kewenangan guna mengatasi meningkatnya pengguna arsip

2.1 Manfaatkan teresedianya Arsiparis guna mengatasi volume arsip yang besar

2.2 Tingkatkan pelayanan arsip

Strategi WO

1.1 Susun SOP preservasi AV dan

elektronik dalam melestarikan volume khasanah/koleksi arsip besar

1.2 Susun SOP preservasi AV dan elektronik dalam mengatasi meningkatnya pengguna arsip

2.1 Tambahkan prasarana dan sarana dalam mempreservasi Volume khasanah/koleksi arsip besar

2.2 Tambahkan prasarana dan sarana dalam mengatasi meningkatnya pengguna arsip

Threaths

(Ancaman)

1. Rendahnya akses publik thp arsip 2. Rendahnya pemanfaatan dan

penggunaan arsip

Strategi ST

1.1 Manfaatkan kewenangan guna

meningkatkan akses publik thp arsip

1.2 Manfaatkan kewenangan guna meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip

2.1 Manfaatkan tersedianya Arsiparis guna meningkatkan akses publik thp arsip

2.2 Manfaatkan tersedianya Arsiparis guna meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip

Strategi WT

1.1 Tingkatkan akses publik thp arsip melalui penyusunan SOP preservasi AV dan elektronik

1.2 Tingkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip penyusunan SOP preservasi AV dan elektronik

2.1 Tingkatkan akses publik thp arsip melalui penambahan prasarana dan sarana

2.2 Tingkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip melalui penambahan prasarana dan sarana.

Alternatif Strategi WO dipilih karena merupakan alternatif yang berada pada

kwadran III sesuai dengan peta posisi kekuatan organisasi Direktorat Prerservasi yang

Page 101: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

telah dibahas pada bagian sebelumnya.

Pemilihan strategi sesuai dengan peta posisi kekuatan organisasi ini dinamakan

pemilihan strategi dengan pendekatan strategi fokus. Setelah alternatif strategi WO

dipilih, langkah selanjutnya adalah penentuan satu strategi dari beberapa alternatif yang

ada melalui teori tapisan, yaitu berdasarkan tiga kriteria berikut: 1) efektivitasnya dalam

mencapai sasaran (efektivitas), 2) sumber daya yang digunakan paling efisien (biaya),

3) kepraktisan dalam melaksanakannya (kemudahan). Tabel 12 berikut ini ditunjukkan

pemilihan strategi dengan teori tapisan.

Tabel 12: Teori Tapisan

No Alternatif Strategi Efektivitas Kemudahan Biaya Total Ket.

1. Manfaatkan kewenangan guna mengatasi volume khasanah/koleksi arsip yang besar

3 4 4 12

2 Susun SOP preservasi AV dan elektronik dalam melestarikan volume khasanah/koleksi arsip besar

5 5 5 15*

3. Manfaatkan kewenangan guna meningkatkan akses publik thp arsip

4 4 4 12

4. Tingkatkan akses publik thp arsip melalui penyusunan SOP preservasi AV dan elektronik

5 5 4 14

Dari Tabel 12 di atas, alternatif yang prioritas adalah menyusun SOP preservasi

arsip audio-visual dan elektronik. Untuk menjamin terlaksananya strategi dengan baik

dalam mencapai sasaran kinerja, maka disusun suatu kebijakan operasional sebagai

pedoman atau acuan dalam menjabarkan strategi ke dalam program dan kegiatan.

Kebijakan operasional ini merupakan acuan pedoman yang memberikan arah program

dan kegiatan serta sumber daya yang diberdayakan.

Page 102: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

Tabel 13 di bawah ini menunjukkan keseluruhan langkah peningkatan kinerja

yang dimulai dari tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program dan kegiatan.

Tabel 13 : Strategi, Kebijakan, Program, dan Kegiatan

Tujuan Sasaran Strategi Kebijakan Program Kegiatan

Menyusun SOP preservasi arsip statis

Menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan eektronik

Susun SOP preservasi AV dan elektronik

Peningkatan sistem preservasi arsip statis

Penyusunan SOP arsip audio-visual dan elektronik

1. Mengidentifikasi masalah

2. Mengumpulkan referensi dan data

3. Menyusun naskah SOP

4. Menyelenggarakan ekspose

5. Melaksanakan sosialisasi

6. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa kebijakan operasional yang akan diambil oleh

Direktorat Preservasi adalah peningkatan sistem preservasi arsip statis. Kebijakan

tersebut diimplementasikan ke dalam satu program yaitu penyusunan SOP preservasi

arsip audio-visual dan elektronik dengan kegiatan-kegiatan :

1) Mengidentifikasi masalah, 2) Mengumpulkan referensi dan data, 3) Menyusun

naskah SOP, 4) Menyelenggarakan ekspose SOP, 5) Melaksanakan sosialisasi SOP, 6)

Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terhadap permasalahan pada makalah ini, maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Page 103: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

1. Masalah yang perlu segera diatasi, diidentifikasi dengan teknik analisis

Model Urgensi, Serious, Growth (USG), yaitu “ belum tersedianya SOP

preservasi arsip auidio-visual dan elektronik, sehingga perlu disusun SOP

preservasi arsip audio-visual dan elektronik”;

2. Hasil identifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi

pelaksanaan tupoksi Direktorat Preservasi, ditemukan faktor kunci

keberhasilan, yakni :

a. Kekuatan : tersedianya kewenangan, tersedianya Arsiparis

b. Kelemahan : belum adanya SOP preservasi arsip audio-visual dan

elektronik, terbatasnya prasarana dan sarana

c. Peluang : khasanah/koleksi arsip besar, meningkatnya pengguna arsip

d. Ancaman : rendahnya akses publik terhadap arsip, rendahnya

pemanfaatan dan penggunaan arsip.

3. Berdasarkan hasil penilaian dan penentuan alternatif tujuan. maka yang menjadi

prioritas adalah menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik.

Dari rumusan tujuan ini ditentukan sasaran yang terukur , yaitu meningkatnya

sistem preservasi arsip audio-visual dan elektronik;

4. Melalui diagram formulasi strategi SWOT dengan mengkombinasikan faktor-

faktor yang ada di setiap unsur SWOT ditemukan alternatif strategi. Sesuai peta

kekuatan, Direktorat Preservasi berada di kwadran III, maka strategi yang

dipilih adalah strategi WO, yaitu menyusun standar operasional prosedur (SOP)

preservasi arsip-audio visual dan elektronik dalam rangka melestarikan volume

khasanah arsip yang besar.

Page 104: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

B. Saran

Penyusunan standar operasional prosedur (SOP) preservasi arsip-audio visual dan

elektronik merupakan salah satu alternatif tujuan dalam peningkatan kinerja preservasi

pada Direktorat Preservasi ANRI, maka agar pelaksanaan kegiatan tidak mendapat

kendala di lapangan sebaiknya dilakukan hal-hal berikut ini.

1. Perlu adanya peningkatan koordinasi kerja dengan unit kerja terkait, seperti Pusat

Pengkajian dan Pengembangan Sistem Kearsipan, Direktorat Pemanfaatan dan

Pendayagunaan Arsip, , Direktorat Pengolahan dan Direktorat Akuisisi Arsip;

2. Perlu dilakukan peningkatan terhadap prasarana dan sarana;

3. Perlu adanya standar peningkatan kompetensi SDM;

4. Perlu langkah-langkah kerja yang disusun secara terencana;

5. Perlu adanya kebijakan anggaran yang pro preservasi.

Page 105: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, Edy Topo, dan Desi Fernanda. Membangun Kepemerintahan yang Baik. Bahan Ajar Diklat Pim Tingkat III, LAN, 2005.

Ellis, Judith. Eds Keeping Archives. Port Melbourne: Thorpe, 1993. Entang, dkk. Isu Aktual Sesuai Tema. Bahan Ajar Diklat Pim Tingkat III, LAN, 2005. Hadiwardoyo,Sauki .Terminologi Kearsipan, ANRI, 2002. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu

Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat. Keputusan Kepala ANRI Nomor: Kep.03 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Arsip Nasional Republik Indonesia . Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/ 7/2003

tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik Keputusan Presiden RI Nomor 105 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Arsip Statis Martoatmodjo, Karmidi .Pelesetarian Bahan Pustaka. Universitas Terbuka, Diknas,

1994. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan

Penerapan Standar Pelayanan Minimal; Sianipar, J.P.G, dan Entang . Teknik-teknik Anaisis Manajemen., Bahan Ajar Diklat Pim

Tingkat III, LAN, 2005. Teygeler, Rene’. Preservation of Archives in Tropical Climates: An annoted

bibliography, Paris, The Hague, Jakarta: 2001. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan

(Lembaran Negara RI Tahun 1971 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2964)

UNESCO . Preservation For Achives and Libraries. Paris : Unesco, 2001. Weda, Suwardi. Pengaruh Motivasi dan Disiplin Kinerja terhadap Efektivitas

Kepemimpinan Kepala SMU di Kota Makasar. Tesis Program Pascasarjana, Universitas Negeri Makasar, 2002.

Wallace, Patria E, at,al. Records Management :Integrated Information System. Englewood Clifft: Prentice Hall, 1992.

Page 106: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

1

PENYELEMATAN ARSIP VOC :

IDENTIFIKASI KERUSAKAN PADA ARSIP HOGE

REGERING

Arsiparis Pengolahan Arsip VOC

Abstact :

The VOC presence in and around Monsoon Asia resulted not only in warehouses packed

with spices, textiles, porcelain and silk, but also in shiploads of documents. Most of the

papers found in VOC archives were produced by locally-stationed Company officials, but

much was also produced by the peoples with whom they interacted: kings and noblemen,

traders and middlemen, shippers and shahbandars (harbor masters).

The information network that the VOC built up for its business operations is impressive

indeed. Data on political, economic, cultural, religious, and social circumstances over a

broad area circulated between hundreds of VOC officials and dozens of establishments

around the world and the administrative centers in the Netherlands and at Batavia, now the

city of Jakarta.

Once the center of VOC administration in Asia, Jakarta maintains almost half of the VOC

archives worldwide, nearly 15,000 VOC files occupying an pressive 1,800 meters of shelf

space.

Time and the tropical climate have not been kind to the VOC archives. A fact-finding

mission the repositories of VOC archival papers in Asia revealed widespread damage to the

paper records from climate and conditions of storage as well as wear and tear resulting

from the consultation of the documents. These are clear threats to the archives survival.

Key Words: VOC archives, Information, maintains, tropical climate, repositories, damage,

archives survival.

Page 107: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

2

PENDAHULUAN

Saat ini Arsip Nasional RI sedang berbenah diri dalam upaya untuk memberi layanan

prima bagi masyarakat. Membangun obsesi untuk menjadikan ruang layanan arsip sebagai

tempat yang representatif bagi peneliti menjadi tujuan utama bagi ANRI dalam memenuhi

tugas dan fungsinya sebagai lembaga penyimpan arsip statis. Hal pokok yang menjadi kunci

keberhasilan dalam memberi layanan prima bagi peneliti adalah : ketersediaan sarana

penemuan kembali, kondisi fisik arsip yang baik, serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang

berkwalitas.

Salah satu masalah besar bagi ANRI sebagai instansi yang bertanggungjawab

terhadap kelestarian arsip adalah menjaga kondisi fisik arsip itu sendiri. Arsip yang

disimpan di ANRI meliputi arsip periode VOC (1602 - 1800), periode Hindia Belanda

(1800-1811), periode Inggris (1811-1816). Mengingat sebagian arsip tersebut sudah berusia

ratusan tahun dan iklim tropis Indonesia menjadikan beberapa khasanah arsip, terutama

arsip periode VOC mengalami kerusakan. Tidak menutup kemungkinan bahwa kerusakan

akan menyebar dan menular ke arsip-arsip lain dikemudian hari. Sebagaimana diketahui

bahwa iklim tropis negara-negara Asia menjadi salah satu penyebab utama kerusakan kertas.

Apabila tidak tertangani dengan baik maka dapat dipastikan bahwa kondisi fisik arsip akan

kritis dan dapat terjadi bencana kearsipan, "the calamity of archive" mengingat

beragam/kompleksnya kerusakan yang dialami.

Pada arsip Hoge Regering, sebagai salah satu khasanah yang berasal dari periode

VOC, semua kategori kerusakan dapat ditemukan seperti : Band en Blockschade

Page 108: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

3

(ippervlakte schade, rug beschadiging, iersleten naaiwerk, gebroken binding, vervorming,

losse fragmenten), chemische schade (brand, foxing, ink-en/of kopervraat, plakband en/of

tapeschade, roest en oxidatie, verzuring, oude reparaties), mechanische schade (scheuren,

randbeschadeging, mechanische verkleving, verpakkingschade, geweld en/of oorlogschade),

plaag schade (schade door insecten, insectengangen, schade door knaagdieren) dan vocht

schade (vlekken en verkleuring, vervilting, schimmelvorming, verkleving). Peningkatan

kerusakan yang diakibatkan oleh kelima hal tersebut, tidak datang secara tiba-tiba seperti

halnya ancaman banjir, kebakaran atau bencana alam lain, namun kerusakan berjalan dengan

pasti dan akhirnya informasi akan hilang.

Dengan gambaran tersebut di atas, perlu dilakukan sebuah kajian yang bertujuan

mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan yang telah terjadi pada arsip VOC. Arsip Hoge

Regering diambil sebagai contoh bagi kajian awal ini, dengan pertimbangan:

1. Secara umum, arsip Hoge Regering dapat mewakili arsip periode VOC (kurun waktu

arsip yang paling tua yang dimiliki oleh ANRI), dan volume khasanah arsipnya cukup

besar (lebih dari 4500 nomor berkas).

2. Keseluruhan tahap pengolahan arsip telah selesai dikerjakan. Hasil akhir berupa sebuah

inventaris arsip telah berada di ruang layanan informasi untuk digunakan oleh peneliti,

dan penataan fisik serta penyimpanan arsip sudah selesai dilaksanakan. Dengan

demikian penghitungan data untuk mengisi variabel-variabel penelitian dapat dilakukan

dengan tingkat validitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. Sebagian dari fisik arsip ini belum direstorasi, sehingga dimungkinkan kerusakan akan

lebih cepat bertambah.

Page 109: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

4

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih jelas mengenai

kondisi arsip periode VOC, khususnya arsip Hoge Regering. Penanganan masalah kerusakan

arsip dalam waktu sesegera mungkin dan berkesinambungan, diharapkan dapat mencegah

"the calamity of archive" dan tidak berkembang menjadi "the calamity for the informational

world".

A. KERANGKA TEORI

Secara menyeluruh, arsip dapat dikatakan sebagai ingatan kolektif suatu bangsa,

yang akan memungkinkan sebuah negara belajar dari sejarahnya di masa lampau dan

memvisualisasikan masa depan yang hendak dirancangnya. Arsip secara umum dikenal

sebagai kumpulan dokumen berharga yang terbatas penggunaannya sebagai catatan sejarah,

kini telah berkembang menjadi sistem informasi yang dapat dipergunakan sebagai bahan

pengambilan keputusan dimasa kini maupun dimasa mendatang.

Arsip yang tertua yang disimpan di Arsip Nasional RI adalah arsip VOC. (Gaastra,

Femme S.: 1991) Dutch in 1602 opgerichte Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) is

van alle handelscompagnieen uit de zeventiende en achttiende eeuw ongetwijfeld de meest

succesvolle geweest. De VOC slaagde er spoedig na haar oprichting in de Portugezen, die

al een eeuw eerder hun handelsimperium in Azie gevestigd hadden, ver terug te dringen en

als mededinger in de Europees-Aziatische handel nagenoeg uit te schakelen. Seluruh kantor

VOC di Asia berkantor pusat di Batavia. Pada waktu yang bersamaan, mengingat letaknya

yang strategis Batavia juga merupakan tempat terpenting dan menjadi satu-satunya

pelabuhan kedatangan dan keberangkatan kapal dan dari Eropa. Sebagai Kantor Pusat di

Page 110: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

5

Batavia dibentuk perangkat administrasi dengan pimpinan Hoge Regering yang terdiri atas

Gubernur Jenderal dan Raad van Indie tentu saja fungsi utamanya adalah mengatur lalu

lintas perdagangan antar factori seperti Jepang, Srilangka, Afrika Selatan, Malaka, dan lain-

lain. Ramainya jalur pelayaran dan korespondensi antara negeri induk dengan kantor-kantor

dagang menjadikan Batavia menjadi pusat administrasi. Hal ini dapat terlihat hingga

sekarang dimana arsip VOC di Jakarta hampir lebih dari separuh arsip VOC yang ada

diseluruh dunia.

Arsip Nasional RI sebagai lembaga penyimpan arsip statis bertanggung jawab

terhadap keadaan arsip yang berada didalamnya, seperti disyaratkan pada Keputusan

Presiden RI No. 105 tahun 2004 tentang Pengelolaan Arsip Statis dalam Pasal 15: (1)

Perawatan arsip statis oleh Arsip Nasional Republik Indonesia, Lembaga Kearsipan

Provinsi, dan/atau Lembaga Kearsipan Kabupaten/Kota dilaksanakan melalui kegiatan

pencegahan dan restorasi terhadap terjadinya kerusakan; (2) Perawatan arsip statis melalui

kegiatan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan terhadap kondisi fisik

dan informasi yang dikandung dalam arsip statis; (3) Perawatan arsip statis melalui kegiatan

restorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan terhadap kondisi fisik arsip statis

yang mengalami kerusakan.

Ada 4 faktor penyebab kerusakan pada arsip, yaitu: 1. Biologi; 2. Fisika; 3. Kimia; 4.

Manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor biologi banyak menimpa arsip di negara-

negara yang berada di daerah tropis. Termasuk kategori ini antara lain adalah bakteri, jamur

dan segala jenis serangga. Untuk kerusakan yang disebabkan faktor fisika yang berperan

adalah cahaya, panas dan uap air. Ketiganya menyebabkan terjadinya reaksi foto kimia,

hidrolisa atau oksidasi di dalam kertas. Adapun faktor kimia disebabkan karena adanya gas

Page 111: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

6

asam, debu atau asap yang terkandung di dalam udara dan juga akibat reaksi kimia yang

disebabkan oleh zat-zat yang terkandung di dalam arsip dalam hal ini kertas itu sendiri.

Disamping 3 faktor diatas, faktor manusia mempunyai peranan sangat besar, karena faktor

ini dapat mempercepat atau memperlambat kerusakan kertas. Kelalaian tangan manusia

dapat menyebabkan rusaknya arsip dalam penggunaan, pengepakan dan penyimpanan.

Untuk menangani kerusakan dan mempertahankan keberlangsungan arsip perlu

dilakukan preservasi. Menurut Paul Conways (Ellis, Judith: 1993) Preservasi kearsipan

adalah pengambilalihan, pengorganisasian dan pendistribusian sumber-sumber (manusia,

peralatan, penganggaran) untuk menjamin pembatasan yang cukup dalam bidang sejarah dan

mempertahankan nilai informasi budaya serta aksesibilitas untuk generasi sekarang dan

yang akan datang.

Sementara itu (Teygeler, Rene.: 2001) MacKenzie gives very broad definitions,

which more or less cover the whole field of conservation : (1) Preservation, in its current

meaning in the archive world, refers to everything which contributes to the physical well-

being of the collections; (2) Conservation, or direct physical intervention with the material,

is only one part of preservation; (3) Indirect preservation includes the building, archive

storage methods security against threats, and handling; (4) Preservation by substitution or

reforming. This means making copies of the records, normally on microfilm, and then using

the copies in place of the originals, thereby reducing tear and wear on the latter and

preserving their condition.

Pengambilan tindakan yang tepat dalam menangani kerusakan arsip sangat

membantu pengguna agar tetap memperoleh informasi yang mereka butuhkan tanpa harus

kecewa karena arsip yang dicari dalam keadaan rusak. Untuk itu diperlukan identifikasi

Page 112: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

7

kerusakan arsip yang dapat dilakukan bersamaan ketika menata arsip menjadi sebuah jalan

masuk, sebagai salah satu langkah prioritas penanganan terhadap arsip-arsip yang harus

segera dilakukan perbaikan.

Seperti disebutkan dalam Keputusan Presiden RI No. 105 tahun 2004 tentang

Pengelolaan Arsip Statis, dalam pasal 17, yaitu: (1) Kegiatan restorasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 ayat(3) dilakukan dengan: a. mencatat kerusakan kondisi fisik

yang terjadi pada arsip statis; b. menentukan metode dan rangkaian tindakan perbaikan

kondisi fisik arsip statis yang mengalami kerusakan; c. melaksanakan tindakan perbaikan

kondisi fisik arsip statis sesuai dengan metode dan rangkaian tindakan perbaikan

sebagaimana dimaksud dalam huruf b.; (2) Pelaksanaan kegiatan restorasi sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keutuhan informasi yang

dikandung dalam arsip statis.

B. PEMBAHASAN

Dalam melaksanakan pengolahan arsip, Arsiparis biasa menggunakan sarana

pendeskripsian berupa kartu fisches. Namun untuk arsip periode VOC hal ini tidak

dilakukan. Peran kartu digantikan dengan sebuah formulir pendiskripsian yang memuat

seluruh unsur-unsur pendiskripsian. Halaman pertama dari formulir digunakan untuk

mendeskripsikan informasi arsip itu sendiri, sedangkan pada halaman kedua (ke-2) terdapat

"Schade Identificatie Formulier". Sehingga selain berperan sebagai pencatat informasi arsip,

formulir tersebut juga digunakan sebagai instrumen pengumpulan data, pencatatan dan

pengidentifikasian kerusakan yang terjadi pada setiap item/nomor arsip. Data hasil

Page 113: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

8

pencatatan dianalisa dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dan disajikan dalam bentuk

tabel dan diagram.

Contoh formulir

Schade Identificatie Formulier

Archief (blok) Datum Inventaris nummer Naam schadeopnemer Object identificatie gebonden 0 Niet gebonden 0 Schade Categorie

Code Ernstig Zeer Ernstig

Definitie

Band & Block schade B Ernstig : rusak parah Zeer Ernstig : sangat rusak parah Chemische schade C

Mechanische schade M Plaag schade P Vocht schade V Kenmerken van de geconstateerde schade (X) OPMERKINGEN Oppervlakte schade B Rug beschadiging B Versleten naaiwerk B Gebroken binding B Vervorming B Losse fragmenten B Brand C Foxing C Ink-en/of Kopervraat C Plakband en/of tapeschade C Roest en oxidatie C Verzuring (bros, brittle) C Oude reparaties C Scheuren M Randbeschadeging M Mechanische verkleving M Verpakkingschade M Geweld en/of oorlogschade M Schade door insecten P Insectengangen P Schade door knaagdieren P Vlekken en verkleuring V Vervilting V Schimmelvorming V Verkleving V Overig

Page 114: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

9

Pengumpulan data kerusakan arsip dilakukan melalui pemeriksaan pada seluruh arsip

khasanah Hoge Regering dengan cara :

1. Memberi tanda pada formulir kerusakan (formulier schade), mengenai jenis kerusakan

yang ditemukan pada setiap nomor arsip.

2. Melakukan penghitungan pada setiap jenis kerusakan.

3. Penggambaran hasil penghitungan data dituangkan kedalam bentuk tabel atau diagram

dengan tujuan mempermudah dan memperjelas hasil penghitungan data.

Tabel 1. Hasil Penghitungan Hasil Identifikasi Jumlah Arsip Rusak Berdasarkan

Jenis Kerusakan Jumlah Total Arsip Restorasi Tingkat Kerusakan

HR HR Rusak

B C M P V Belum Sudah E ZE

406 717 242 357 381 4536 846 771 75 727 44

Keterangan : B : Band en block schade P : kerusakan (Plaag schade) C : Chemische schade V : kerusakan (Vocht schade) M : Mechanische schade E : rusak parah (Ernstig) ZE : rusak sangat parah (Zeer ernstig)

Berdasarkan data tahun 2002 ketika melakukan kegiatan rekonstruksi terhadap arsip

Hoge Regering, diperoleh data bahwa dari 4536 nomor yang diidentifikasi terdapat 846

nomor mengalami kerusakan atau sekitar 19 %, sementara sisanya sebanyak 3690 nomor

atau 81 % berada dalam kondisi relatif cukup baik. Jumlah tersebut merupakan akumulasi

terhadap kelima jenis kerusakan sebagaimana tercantum dalam Diagram 1.

Page 115: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

10

Diagram 1.

Dalam diagram 1 tampak bahwa prosentasi kerusakan yang mencapai 19 %, melebihi

standar batas kerusakan yang dapat ditoleransi. Menurut Judith Ellis dalam Keeping

Archives, Amerika mensyaratkan batas toleransi tingkat kerusakan dalam satu khasanah

arsip antara 6 % - 10 %. Dengan prosentasi kerusakan yang hampir mendekati angka 20 %

dapat disimpulkan telah terjadi kerusakan yang cukup signifikan pada arsip Hoge Regering.

Secara keseluruhan arsip Hoge Regering berjumlah 4536 nomor. Dari hasil identifikasi

diperoleh data bahwa 846 nomor arsip mengalami kerusakan, dimana sebanyak 771 nomor

(91 %) belum direstorasi sementara yang sudah direstorasi sebanyak 75 nomor (9%) (lihat

diagram 2).

Prosentasi Arsip Hoge Regering dalam kondisi rusak

81%

19%

Jumlah total arsipHoge Regeringdalam kondisibaik

Jumlah total arsipHoge Regeringdalam kondisi rusak

Page 116: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

11

Diagram 2.

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa arsip yang belum direstorasi, sebanyak 44

nomor ( 6% dari jumlah yang belum direstorasi) mengalami kerusakan sangat parah,

tergolong dalam kategori zeer ernstig. Sisanya sebanyak 727 nomor atau 94 % dari jumlah

yang belum direstorasi mengalami kerusakan parah atau masuk dalam kategori ernstig

(lihat diagram 3).

Diagram 3.

Kondisi fisik arsip Hoge Regering dapat dikategorikan kedalam empat (4) kategori,

yaitu : Baik (Goed), Sedang (Matig), Rusak Parah (Ernstig), Sangat rusak parah (Zeer

Ernstig). Korelasi antara arsip yang belum direstorasi dan tingkat kerusakan menunjukkan

adanya hubungan kausalitas. Arsip yang telah direstorasi berada pada kondisi matig,

Prosentasi Arsip Hoge Regering Yang Sudah dan Yang Belum di Restorasi

9%

91%

Sudah direstorasi

Belum di restorasi

Prosentasi Tingkat Kerusakan Pada Arsip Hoge Regering Yang Belum di Restorasi

94%

6%Ernstig (rusak parah)

Zeer ernstig (sangatrusak parah)

Page 117: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

12

sehingga tidak dimasukkan dalam penghitungan. Walaupun begitu kondisinya juga tidak

dapat digolongkan dalam kategori goed.

Tingkat kerusakan pada arsip yang belum direstorasi, dapat dikelompokkan menjadi

dua (2) kategori : Ernstig dan Zeer ernstig. Identifikasi menunjukkan bahwa arsip yang

belum pernah mendapat perawatan/restorasi sebagaimana tersebut di atas, berada dalam

kondisi yang lebih buruk dibanding dengan yang telah direstorasi. Hal ini sangat beralasan

karena proses restorasi merupakan satu upaya mengurangi kerusakan. Metode laminasi yang

dipergunakan oleh ANRI pada waktu itu (tahun 1979), menggunakan bahan dasar kertas

yang bebas asam dan lem. Proses ini membuat kertas rapuh menjadi lebih kuat, sehingga

umur arsip lebih bertahan untuk jangka waktu panjang.

Pengamatan lebih lanjut terhadap arsip Hoge Regering yang mengalami kerusakan

menunjukkan bahwa jenis kerusakan tersebut mencakup :

1. Band en block schade adalah kerusakan yang terjadi pada sampul (cover) dan atau

blok arsip yang dijilid. Kerusakan meliputi : kekeliruan penjilidan, lepasnya jahitan

pada jilidan, rusaknya punggung jilidan, rusak/hilangnya sampul muka dari jilidan,

hilangnya sebagian isi jilidan . Gambar 1 contoh Band en Blokschade (B)

Gambar 1 Contoh Band en blokschade (B)

De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998

Page 118: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

13

2. Chemische schade merupakan kerusakan pada arsip akibat berbagai faktor baik dari

dalam maupun dari luar yang bersifat kimiawi. Kerusakan tersebut antara lain berupa

kerusakan yang diakibatkan oleh kebakaran, terbentuknya noda-noda dari bahan-bahan

yang terbuat dari metal seperti karat yang berasal dari paperklip, pengikisan kertas

yang diakibatkan oleh tinta (ink corrosion), bekas yang ditinggalkan oleh selotip yang

menempel, kertas rapuh. Gambar 2 contoh chemische scade.

Gambar 2. Contoh Chemische schade (C)

De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998

3. Mechanische schade adalah kerusakan yang disebabkan oleh faktor manusia.

Termasuk kedalam jenis kerusakan ini antara lain: kerusakan yang diakibatkan oleh

penggunaan arsip itu sendiri dan tindakan pengrusakan yang dilakukan oleh pengguna

seperti menggunting, memotong dengan pisau, dan lain-lain. Gambar 3 contoh

Mechanische schade.

Page 119: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

14

Gambar 3. Contoh Mechanische schade (M)

De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998

4. Plaag schade meliputi dua kategori yaitu kerusakan yang disebabkan oleh serangga

dan binatang pengerat. Serangga yang biasanya menimbulkan kerusakan pada kertas

arsip antara lain : kecoa, kutu buku (silverfish), rayap, tikus dan lain sebagainya.

Hewan-hewan ini merusak dengan cara memakan bahan kertas, membuat sarang

(lubang) atau meninggalkan jejak berupa noda kecoklatan. Gambar 4 contoh Plaag

Schade.

Gambar 4. Contoh Plaag schade (P)

De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998

Page 120: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

15

5. Vocht schade adalah kerusakan yang diakibatkan oleh kelembaban lingkungan yang

ditunjukkan dengan terbentuknya noda-noda berwarna lebih kecoklatan, tumbuhnya

jamur dan perubahan warna kertas arsip. Gambar 5 contoh Vocht Schade

Gambar 5. Contoh Vocht schade (V)

De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998

Dari hasil pendataan yang telah dilakukan, sebagaimana tercantum pada tabel 1,

kerusakan terbanyak adalah Chemische schade. Kerusakan ini disebabkan oleh bahan-bahan

yang berasal dari dalam kertas maupun faktor dari luar kertas. Bahan dasar kertas seperti

serat tumbuhan mengandung selulosa, ditambah bahan lain seperti lem dapat mengalami

perubahan akibat dari proses kimiawi yang berlangsung antara serat itu sendiri dengan

bahan perekatnya. Pengaruh dari luar seperti kebersihan, suhu udara dan kelembaban relatif

disekitarnya semakin mempercepat timbulnya kerusakan lebih lanjut pada arsip tersebut

(lihat diagram 4 dan 5).

Page 121: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

16

Diagram 4.

Diagram 5.

Disamping kerusakan secara kimiawi, arsip juga dapat mengalami kerusakan

dikarenakan rusaknya cover atau pelindung arsip. Termasuk dalam kerusakan jenis ini

adalah akibat penggunaan yang tidak hati-hati atau ceroboh pada waktu mengeluarkan dan

memasukkan arsip kedalam boksnya sehingga kertas terlipat, sobek (patah) dan kehilangan

informasi.

Sebagai tindak lanjut dari pendataan kondisi fisik arsip yang belum direstorasi, maka

mulai tahun 2003 telah dilakukan restorasi arsip Hoge Regering. Restorasi arsip Hoge

Regering dilakukan menggunakan metode Leaf Casting dengan cara mengisikan bubur

kertas kedalam arsip rusak ( berlubang ) akibat korosi oleh tinta maupun karena serangga

T abel Jenis K erusakan

0

200

400

600

800

1J en is K e ru sak an

Ju

mla

h K

eru

sa

ka

n B lock en bandscha de

C hem ischescha de

M echa nischescha de

P laag schade

V o ght schade

P rosentasi B erdasar Jenis K erusakan

19%

34%12%

17%

18%

B lock en bandschade

C hem ischeschade

M echanischeschade

P laag schade

V oght schade

Page 122: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

17

dan binatang pengerat. Metode tersebut berbeda dengan metode laminasi atau Katpalia

Methode. Prinsip dasar metode laminasi adalah melapisi arsip menggunakan dua lembar

kertas tipis dan diberi perekat.

Metoda Leaf Casting dipilih dengan pertimbangan kertas akan menjadi lebih kuat

karena terisinya lubang-lubang kertas termasuk juga pori-pori kertas dengan bubur kertas.

Pada proses restorasi, penjilidan arsip tidak lagi dilakukan karena dalam salah satu proses

penjilidan, arsip mendapat tekanan yang cukup kuat (di-press) sehingga dapat memperburuk

kondisi arsip. Dalam proses akhir rekonstruksi arsip dan restorasi terhadap arsip yang

rusak, arsip dibungkus dengan kertas pembungkus dan boks yang bebas asam.

C. KESIMPULAN

Dari hasil kajian menunjukkan bahwa hampir 20 % dari arsip Hoge Regering

mengalami kerusakan dan ke lima jenis kerusakan teridentifikasi didalam khasanah arsip ini.

Kerusakan disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu faktor kimia, fisika dan

biologi serta manusia. Faktor kimia merupakan faktor yang paling berperan dalam

menimbulkan kerusakan pada arsip VOC. Ada hubungan kausalitas antara kondisi arsip

dengan tindakan restorasi. Arsip yang sudah mengalami restorasi dalam hal ini dilaminasi

kondisinya lebih baik dibanding dengan yang belum di restorasi.

Dalam melakukan restorasi, khususnya dengan metoda Leaf Casting yang akhir-akhir

ini diterapkan, maka penjilidan arsip tidak dilakukan lagi sebagai upaya untuk mengurangi

kerusakan arsip.

Untuk meminimalkan kerusakan arsip maka ada beberapa hal penting yang perlu

diperhatikan :

Page 123: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

18

1. Kondisi ruang penyimpanan arsip harus selalu dalam kondisi stabil baik suhu,

kelembaban, dan kebersihannya.

2. Pemilihan bahan material arsip yang bebas asam.

3. Perlakuan arsip secara tepat, baik dalam tahap pengolahan, pemindahan, penyimpanan

serta penggunaannya.

Proses identifikasi kerusakan dilakukan bersamaan dengan proses pengolahan arsip.

Hal ini dilakukan sebagai langkah awal proses restorasi, dimana data tersebut dapat

dipergunakan untuk menentukan prioritas penanganan terhadap arsip-arsip yang rusak.

Page 124: PELESTARIAN ARSIP : Dr. Dewi Ladiawati, M.Si

19

DAFTAR PUSTAKA

Eusman, Elmer,. Conservation of Objects Damaged by Iron Gall Ink. 2001.

Gaastra, Femme S,.De Geschiedenis van de VOC. Leiden, 1991.

ICA,Comma.International Journal on Archives,2001.

Suhardi, Hardi dan Yayan Daryan,. Terminologi Kearsipan Indonesia. Jakarta, 1998.

Arsip Nasional Republik Indonesia-Nationaal Archief Denhaag. Inventaris van het archief

van de Gouverneur-Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering) 1611-1811.

Jakarta, 2002.

Ellis, Judith. Keeping Archives, Second Edition. The Australian Society of Archivistic Inc,

1993.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2004 tentang,. Pengelolaan

Arsip Statis.

National Archives of India. Repair and Preservation of Records. New Delhi, 1998.

Arsip Nasional Republik Indonesia,. Pemeliharaan dan Penjagaan Arsip. Jakarta, 1980.

Teygeler, Rene. Preservation of Archives in Tropical Climates. ICA, 2001.

Restaurator. International Journal for the Preservation of Library and Archivan Material,

Vol. 16. Munksgaard-Copenhagen, 1995.

TANAP. Brochure. 2001

TIM PENULIS

1. Dwi Nurmaningsih (360 000 437)

2. Euis Shariasih (360 000 649)

3. Kris Hapsari (360 000 588)

4. Risma Manurung (360 000 622)