35
PATHOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG KRONIK Prof dr Bambang Irawan SpPD [K], SpJP [K], FIHA, FasCC, FInaSIM Bagian Jantung dan kedokteran Vaskuler FK UGM Yogyakarta ABSTRACT Congestive heart failure is a clinical syndrome that precipitates generalized organ dysfunction. Cardiovascular system are governed by physical law; are regulated by autonomic, hormonal, and local controls; and is subject to complex reflex feedback mechanisms. Myocardial failure is the term used to discribed myocardial muscle dysfunction, it may result from damage of myocardial caused by ischemia, infarction, myopathy, and myocarditis as well as associated with mechanical restriction as seen in valvular disorders, increased aortic impedance, and pericardial restriction.

Patofisiologi gagal jantung

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Patofisiologi gagal jantung

Citation preview

Page 1: Patofisiologi gagal jantung

PATHOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG KRONIK

Prof dr Bambang Irawan SpPD [K], SpJP [K], FIHA, FasCC, FInaSIM

Bagian Jantung dan kedokteran VaskulerFK UGM Yogyakarta

ABSTRACT

Congestive heart failure is a clinical syndrome that precipitates generalized organ dysfunction. Cardiovascular system are governed by physical law; are regulated by autonomic, hormonal, and local controls; and is subject to complex reflex feedback mechanisms. Myocardial failure is the term used to discribed myocardial muscle dysfunction, it may result from damage of myocardial caused by ischemia, infarction, myopathy, and myocarditis as well as associated with mechanical restriction as seen in valvular disorders, increased aortic impedance, and pericardial restriction.Circulatory failure is a general term that refers to the inability of the cardiovascular system to perform its basic function of meeting tissue metabolic requirements. Sympathoadrenergic stimulation, cardiac dilation, myocardial hypertrophy, renal response and increased tissue oxygen extraction are mechanism of compensation. This paper reviewed concepts to understanding the pathophysiology of congestive heart failure.

Keywords: heart failure preload afterload compensated decompensated

Page 2: Patofisiologi gagal jantung

Pengantar

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang sangat luas baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Di Eropa diperkirakan jumlah penderita gagal jantung mencapai beberapa juta [1], sedangkan di USA sekitar 4,8 juta dan rata-rata 400.000 – 700.000 penderita baru tiap tahunnya [2]. Diperkirakan hampir 23 juta orang di dunia ini menderita gagal jantung [3]. Sejak awal tahun 1980an pasien keluar rumah sakit akibat gagal jantung meningkat sampai 150% dan pada kelompok geriatri merupakan penyebab utama perawatan dirumah sakit. Pada golongan usia diatas 65 tahun insidensinya mencapai 10 dari 1000 populasi dan hampir 50% penderita harus dirawat kembali setelah 2 – 3 bulan keluar dari rumah sakit. Angka kematian di rumah sakit akibat gagal jantung akut mencapai 5 – 8% dan angka kematian 1 tahun setelah keluar dari rumah sakit mencapai 60% [4]. Dari tahun 1990 sampai dengan 1999 jumlah penderita gagal jantung yang dirawat di rumah sakit meningkat dari sekitar 810.000 menjadi lebih dari 1 juta dimana gagal jantung sebagai diagnose primer dan dari 2,4 juta menjadi 3,6 juta baik sebagai diagnose primer atau sekunder [5] Sekitar 20 juta penderita gangguan fungsi jantung tanpa keluhan, dan mulai terjadi keluhan klinis dalam waktu 1 – 5 tahun mendatang, setiap tahun lebih dari 3,5 juta penderita harus dirawat di rumah sakit dan pada usia diatas 65 tahun gagal jantung ini merupakan penyebab utama penderita dirawat di rumah sakit. Jumlah kematian akibat gagal jantung baik primer maupun sekunder meningkat sampai 6 kalinya dalam kurun waktu 40 tahun belakangan ini, pada gagal jantung derajad ringan risiko kematian setiap tahunnya meningkat menjadi derajad yang lebih tinggi dari 5% - 10% menjadi sekitar 30 – 40% [3]. Di USA biaya perawatan di rumah sakit akibat gagal jantung mencapai dua kali biaya perawatan semua bentuk kanker [6].Oleh karena itu diperlukan guidelines mengenai baik pencegahan, diagnosa maupun penanganan gagal jantung kronis tersebut. Beberapa guidelines telah diumumkan sejak 14 tahun yang lalu. Guideline pertama diumumkan oleh US Dept of Health and Human Services pada tahun 1994 [7], yang ke dua atau yang pertama oleh Task force of working group on Heart Failure dari The American College of Cardiology dan The American Heart Association pada tahun 1995 [8] yang kemudian direvisi dan dipublikasikan pada tahun 2001 [9] dan pada tahun 2005 telah dilakukan update guidelines [5]. Tahun 1997 working group dari The European Society of Cardiology juga mempublikasikan guidelines[10]. Pada dokumen Guidelines tahun 2001 tercantum bahwa dengan perkembangan yang pesat berbagai penelitian baik pharmacological maupun non pharmacological approaches, ditemukannya penderita-penderita gagal jantung secara klinis dengan fraksi ejeksi yang normal maka kedua badan organisasi ini menyadari keterbatasan bukti klinis pada pengobatan golongan penderita-penderita tersebut. Atas alasan ini maka guidelines tersebut harus selalu di revisi dan di update. Pada dokumen tersebut di identifikasi 4 tingkatan dalam klasifikasi sindroma gagal jantung. Pada 2 tingkatan pertama [ A dan B] secara klinis belum termasuk gagal jantung, dan dikelompokan sebagai golongan yang mempunyai risiko terjadinya sindroma gagal jantung. Kelompok A dimasukan pada mereka dengan penyakit jantung koroner, hipertensi dan penyakit diabetes namun belum mengalami hipertrofi dan gangguan fungsi ventrikel kiri, dan pada mereka yang sudah mengalami hipertrofi dengan atau tanpa gangguan fungsi ventrikel kiri namun tanpa keluhan klinis

Page 3: Patofisiologi gagal jantung

dikatagorikan pada tingkat B. Tingkat C pada mereka dengan riwayat atau sedang mengalami gagal jantung secara klinis dengan dasar penyakit jantung, tingkat D pada mereka dengan gagal jantung refrakter yang perlu penanganan spesialistis bahkan sampai kemungkinan transplantasi jantung. Pembagian tingkatan ini berbeda dengan klasifikasi klas fungsional dari New York Heart Association [NYHA]. Sebagai contoh walaupun klas fungsional NYHA bisa selalu berubah dengan pengobatan, namun pada penderita dengan tingkatan C tidak akan bisa menurun menjadi tingkat B [tidak pernah mengalami gagal jantung secara klinis].Setiap rekomendasi harus selalu dicantumkan klasifikasi dari rekomendasi tersebut dan tingkatan bukti [level of evidence].

Klasifikasi dari rekomendasi

Klas I: Kondisi dimana ada kejadian dan atau kesepakatan bersama yang menyimpulkan bahwa tindakan ataupun terapi yang dijalankan baik, bermanfaat ataupun berdaya guna.Klas II: Kondisi dimana ada pertentangan kejadian dan atau perbedaan pendapat Tentang manfaat tindakan atau terapi yang dijalankan.Klas IIa: Pertentangan ataupun perbedaan pendapat tersebut lebih dominan kearah yang bermanfaat.Klas IIb: Pertentangan ataupun perbedaan pendapat tersebut lebih dominan kearah tidak bermanfaat.Klas III: Kondisi dimana ada kejadian dan atau kesepakatan bersama yang Menyimpulkan bahwa tindakan ataupun terapi yang dijalankan tidak berguna bahkan pada beberapa kasus membahayakan.

Level of Evidence

A : Data didapat dari kumpulan penelitian klinis secara acak atau meta – analis.B : Data didapat dari satu penelitian klinis secara acak atau beberapa penelitian tidak secara acak.C : Hanya dari hasil konsensus para pakar, studi-studi kasus atau standard pelayanan.

Gagal jantung adalah termin umum yang dipakai untuk menggambarkan keadaan secara pathofisiologik dimana terjadi gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh ketidakmampuan ventrikel memompa darah sesuai dengan venous return sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dari berbagai sistem organ didalam tubuh.. Hal tersebut bisa diakibatkan oleh keadaan overload volume yang abnormal, pressure overload, disfungsi miokard, gangguan pengisian ventrikel atau meningkatnya kebutuhan metabolik. Sindroma klinik gagal jantung disebabkan oleh cardiac failure, istilah yang biasa dipakai untuk menggambarkan berbagai tipe dari disfungsi pompa jantung yang menyebabkan gagal jantung. Dari berbagai penyebab yang paling banyak mengakibatkan gagal jantung kronis adalah disfungsi miokard dengan istilah myocardial failure.

Page 4: Patofisiologi gagal jantung

Myocardial failure dibagi menjadi dua tipe, disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik untuk lebih menekankan dominasi terjadi gangguan kontraksi atau relaksasi jantung. Subyek dengan myocardial failure bisa bermanifestasi keluhan gagal jantung ataupun disfungsi ventrikel tanpa keluhan.Gagal jantung kronis lebih bersifat lambat perjalanan penyakitnya dan lebih menimpa pada sistema sirkulasi sistemis, sistema sirkulasi sistemis lebih bisa mengalami adaptasi dan toleransinya besar karena pembuluh darahnya lebih besar, lebih mudah meregang dan lebih mudah menyesuaikan dan bertahan lebih lama terhadap ketidakseimbangan vaskuler dibandingkan dengan sistema Paru. Oleh karena itu gambaran klinik gagal jantung kronis lebih berupa keluhan keluhan bendungan sistemis sedangkan gagal jantung akut lebih berupa keluhan keluhan bendungan paru dan menurunnya perfusi sistemis. Gagal jantung kronis sering terdapat pada penderita rawat jalan yang pernah mengalami gagal miokard [disfungsi miokard dimana miokardium tidak mampu mencapai adequate contractile tension]. Kerusakan tersebut dapat diakibatkan oleh iskemia miokard, infark miokard, kardiomiopathi dan miokarditis. Gagal jantung kronis ini lebih cenderung berupa depresi cardiac out-put, gangguan pengaturan air dan garam oleh ginjal dan gejala bendungan sistemis. Lebih banyak terdapat pada penderita dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner dan atau infark miokard. Pendapatan klinis bisa berupa berkurangnya kemampuan toleransi kemampuan phisik, rasa lelah [fatigue], sesak nafas saat aktif, penambahan berat badan, edema, desakan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali dan serous effusions, tergantung dari parah tidaknya gangguan jantung [11].Prognosa penderita gagal jantung kronis kurang begitu baik, dimana angka mortalitas bisa mencapai 50% dalam 4 tahun [10], oleh karena itu diperlukan lebih banyak lagi penelitian-penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki baik angka morbiditas maupun mortalitas gagal jantung kronis. Hal yang paling penting adalah identifikasi se awal mungkin penderita-penderita dengan risiko tinggi agar dapat dilakukan pencegahan dengan baik.

Kontrol neurohumoral Jantung

Pada prinsipnya saraf autonom yang mengatur frekuensi jantung adalah simpathis yang bersifat merangsang jantung dan para simphatis yang bersifat menghambat jantung, kedua sistem ini akan mengatur irama maupun kekuatan jantung. Didalam medula serebral terdapat kumpulan neuron yang disebut pusat kardio- aselerasi. Dari pusat ini saraf simpathis berjalan didalam spinal cord ke saraf jantung dan saraf dari sinus node, AV node, junctional tissue dan sebagian kecil miokardium Kalau pusat ini dirangsang impuls saraf diteruskan ke serabut simpathis sehingga keluar hormon nor-epineprin pada tempat sinapsisnya. Substansi ini ber-aksi pada reseptor adrenegik dan akibatkan meningkatnya frekuensi maupun kontraktilitas jantung. Di medula serebral juga terdapat grup lain yang bersifat kardio-inhibitor, dari pusat ini keluar serabut para-simpathis dn mencapai jantung lewat saraf Vagus. Saraf Vagus ini meng –inervasi sinus node dan AV node. Kalau saraf ini dirangsang, keluar asetil-kolin yang akibatkan frekuensi jantung turun.

Page 5: Patofisiologi gagal jantung

Gagal jantung fase kompensata

Gagal jantung merupakan suatu sindroma yang sudah lama diketemukan bahkan jauh sebelum William Harvey menemukan sistem sirkulasi darah [11]. Gagal jantung merupakan istilah umum yang dipakai untuk menggambarkan fungsi jantung yang tidak normal sehingga mengakibatkan ketidakmampuan ventrikel untuk memompa darah sesuai dengan venous return dan kebutuhan metabolik sistem organ tubuh. Hal ini bisa disebabkan oleh keadaan abnormalitas volume over-load, pressure over-load, disfungsi miokard, gangguan pengisian jantung ataupun peningkatan kebutuhan metabolisme [tabel 1].

Table 1. Conditions causing heart failure

Abnormal volume load Abnormal pressure load

Myocardial dysfunction

Filling disorders Increasedmetabolic demand

Aortic incompetenceMitral incompetenceTricuspid incompetence OvertransfusionLeft-to-right shuntsSecondary hypervolemia

Aortic stenosisIdiopathic hypertrophicsubaortic stenosisCoarctation of the aorta Hypertension Primary Secondary

Cardiomyopathy MyocarditisCoronary artery diseaseIschemiaInfarctionDysrhythmias Toxic disorders Presbycardia

Mitral stenosisTricuspid stenosisCardiac tamponade Restrictive pericarditis

AnemiasThyrotoxicosis FeverBeriberiPaget's disease Arteriovenous fistulas

Fungsi dasar jantung adalah memompa darah dari ventrikel dari sistem venous yang bertekanan rendah ke sitem arterial yang bertekanan tinggi. Kegagalan fungsi ini akibatkan kegagalan untuk mengosongkan depot venous dan menurunnya aliran darah yang dipompakan jantung ke sistem arteri. Hal ini akibatkan meningkatnya volume darah venous di sistem sirkulasi sistemis maupun pulmonal dan turunnya volume darah yang dipompakan ke arteri pulmonalis dan aorta. Secara hemodinamika hal ini akibatkan meningkatnya tekanan akhir diastolis dari ventrikel, meningkatnya tekanan venous baik sistemik maupun pulmonal dan turunnya cardiac out-put. Indikator klinis berupa aktifnya mekanisme kompensasi, menurunnya cardiac reserve, menumpuknya cairan ekstra-seluler dan terganggunya perfusi jaringan atau organ. Gagal jantung kongesti merupakan termin yang dipakai untuk menggambarkan manifestasi klinis akibat bendungan sirkulasi. Bersama dengan adanya bendungan sirkulasi terjadi penurunan kontraktilitas miokardium secara bertahap yang berakibat menurunnya fungsi pompa dari jantung.Beberapa termin yang perlu diketahui adalah:

Gagal miokard

Ini menggambarkan kegagalan otot jantung didalam membangun kontraktilitas yang adekuat. Kerusakan ini bisa disebabkan oleh iskemia, infark, miopathi maupun miokarditis. Kelainan lain seperti keterbatasan pengisian maupun pengosongan ventrikel seperti pada gangguan katup, kenaikan tahanan aorta dan perikard efusi

Page 6: Patofisiologi gagal jantung

dapat jaga akibatkan gagal miokard. Demikian juga gagal miokard dapat disebabkan oleh gangguan perfusi koroner akibat sumbutan atau disebabkan oleh gangguan baik irama maupun konduksi jantung. Gagal miokard yang berlanjut akibatkan ggal sirkulasi.

Gagal sirkulasi

Ini menggambarkan ketidakmampuan sistem kardiovaskuler untuk menjalankan fungsi utamanya sehubungan dengan kebutuhan metabolik jaringan. Hal ini dapat disebabkan oleh baik gagal miokard maupun disfungsi sirkulasi yang non-kardiak. Gagal sirkulasi dapat terjadi baik akibat kenaikan maupun penurunan volume darah intra-vaskuler ataupun berubahnya tonus vaskuler. Beberapa kondisi non-kardiak yang akibatkan meningkatnya volume darah adalah tranfusi darah yang berlebihan, penumpukan cairan baik ekstra maupun intra-vaskuler akibat disfungsi ginjal maupun gastro-intestinal, terapi steroid dan meningkatnya venous return akibat fistula arteri-venosa. Kondisi yang akibatkan volume darah berkurang seperti luka bakar, perdarahan akibat trauma maupun operasi, kondisi yang pengaruhi tonus vaskuler seperti infeksi, defisiensi vitamin dan anemia berat. Kondisi non kardiak ini tidak berhubungan langsung dengan gagal miokard, namun kalau kondisi ini tidak diatasi akibatkan kerusakan miokard permanen dan akhirnya terjadi gagal jantung.

Gagal jantung simtomatis dan asimtomatis

Istilah gagal jantung kronis merupakan istilah yang condong terdapatnya keluhan atau tanda fisik sedangkan atas dasar pemeriksaan ekhokardiografi terdapat sekitar 50% penderita dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang asimtomatik. Studi baik atas dasar epidemiologi maupun populasi mendapatkan sampai dengan 50% penderita gagal jantung kronis dengan preserved left ventricular ejection fraction. Penyebab gagal jantung kronis dengan preserved ejection fraction berbeda dengan yang dengan reduced cardiac function. Preserved function gagal jantung kronis lebih berhubungan dengan riwayat hipertensi daripada penyakit jantung koroner.

Siklus jantung

Sistolis ventrikel dimulai dengan periode meningkatnya tekanan menjelang terpompanya darah keluar, pada saat tekanan ventrikel melampaui tekanan aorta [ventrikel kiri] dan arteri pulmonal [ventrikel kanan] darah terpancar ke sistema sirkulasi sistemis dan pulmonal.Penurunan tekanan ventrikel kiri [fase relaksasi] akibatkan penutupan katub aorta kalau tekanan tersebut berada dibawah tekanan aorta. Saat tekanan ventrikel berada dibawah tekanan atrium, katub mitral [kiri] dan katub trikuspid [kanan] terbuka dan aliran darah masuk dari atrium ke ventrikel atas dasar sedotan ventrikel, pada akhir diastolis terjadi kontraksi atrium untuk melengkapi fase diastolis. Sehingga fungi pompa jantung tergantung baik pada fungsi sistolis maupun diastolis, karena stroke volume tergantung pada volume darah dalam ventrikel pada akhir diastolis. Banyak

Page 7: Patofisiologi gagal jantung

penderita gagal jantung dengan relatif preserved systolic function dimana sangat mungkin gangguannya terjadi pada fungsi diastolis. Fungsi kontraktilitas jantung tergantung pada faktor, pertama faktor kontraktilitas intrinsik atau keadaan inotropik, kedua preload [load volume] ini tergantung pada venous return dan volume ventrikel pada akhir diastolik, ketiga afterload [load pressure atau resistensi] terhadap kekuatan jantung memompa darah dan ke-empat frekuensi jantung. Inotropik tergantung pada jantung tergantung pada : 1. faktor instrinsik pada kardiomiosit, 2. suplai darah dari koroner dan 3 faktor ekstrinsik seperti simpatho-adrenergik dan sistem renin-angiotensin-aldosteron.Kenaikan baik preload [volume ventrikel] maupun afterload [tekanan ventrikel] meningkatkan stress dinding ventrikel dan meningkatnya ketebalan dinding ventrikel menurunkan stress pada dinding ventrikel. Efek kronis dari meningkatnya stress dinding ventrikel dan hal ini bisa mengakibatkan disfungsi miokard menjadi gagal jantung sistolis. Perubahan struktur dan fungsi ventrikel akibat workload atau wall stress disebut remodeling.Adaptasi olah raga isotonik misalnya lari meningkatkan volume akhir diastolis sehingga meningkatkan stroke volume disini terjadi dilatasi ventrikel namun terdapat juga penebalan ventrikel kiri [hipertrofi] hal ini disebabkan oleh adaptasi ventrikel untuk menurunkan tegangan ventrikel akibat volume overload. Adaptasi akibat olah raga isometrik seperti angkat besi mengakibatkan terutama peningkatan ketebalan otot jantung karena peningkatan kerja disini akibat meningkatnya tahanan terhadap kerja ventrikel [afterload] dan bukan terhadap peregangan ventrikel [preload].

Respon jantung terhadap stres pathologik atau injuri

Penyebab utama gagal jantung sistolik adalah miokard infark [karena bagian otot yang sehat harus menggantikan kerja otot yang nekrose] atau kondisi yang menciptakan peningkatan baik tekanan [afterload] maupun volume [preload] yang berlebihan dan kronis pada dinding jantung. Pada keadaan dimana fungsi jantung berkurang akibat injuri atau stres [misal infark jantung] akan terjadi respon akut dan kronis. Respon akut berupa meningkatnya aktifasi sistem simpathiko-adrenergik dan frekuensi jantung untuk meningkatkan cardiac output. Neuro-humoral sistemik juga terpengaruh dengan meningkatnya volume sirkulasi darah sehingga venous return meningkat dan cardiac output bisa dipertahankan lewat meningkatnya cadangan preload. Vasokonstriksi sistemik terjadi untuk mempertahankan tekanan darah [walaupun terpaksa meningkatkan afterload].Respon adaptasi ini bisa menormalkan cardiac output pada kondisi istirahat sehingga tidak menimbulkan keluhan. Respon kronis atau remodeling, terjadi perubahan struktur jantung secara progresif. Perubahan struktural ini terjadi akibat pengaruh sistem neuro-humoral sebagai respon defisit kontraktilitas yang menetap. Meningkatnya aktifitas sitokain atau growth factor baik sistemik maupun lokal merangsang modifikasi baik seluler maupun ekstraseluler. Secara umum hipertrofi kardiomiosit dan turn over matriks ekstraseluler berakibat pada bertambahnya ukuran ketebalan dinding dan besarnya volume ventrikel, perubahan ini awalnya mampu mempertahankan stroke volume yang adekuat.Pada stenose aorta terjadi afterload yang meningkat sehingga menimbulkan hipertrofi ventrikel tanpa terjadi peregangan miosit sehingga terjadi hipertrofi konsentrik.

Page 8: Patofisiologi gagal jantung

Sebaliknya pada regurgitasi mitral terjadi peningkatan preload , peningkatan tegangan ventrikel akibat peregangan atau dilatasi ventrikel, hipertrofi ventrikel tipe ini berupa tipe eksentrik. Demikian juga pada infark miokard, terjadi perubahan load kardiak walaupun disini terjadi perubahan pre dan afterload regional sehingga terjadi perubahan yang lebih kompleks lagi.

Gagal jantung kanan dan kiri

Secara klinis sering dipakai istilah gagal jantung kiri dan kanan tergantung didapatnya indikator klinik [tabel 2].

Table 2. Clinical indicators of right and left ventricular failure

Left ventricular failure Right ventricular failure

SUBJECTIVE INDICATORS (behaviors reported by patient)

WeaknessFatigueMemory loss and confusionBreathlessnessCoughInsomniaAnorexiaPalpitationsDiaphoresis

OBJECTIVE INDICATORS (findings observed by clinician) TachycardiaDecreased S1

S3 and S4

Moist ralesPleural effusionDiaphoresisPulsus alternalls

Weight gainTransient ankle swellingand pigmentationAbdominal distention Subcostal painGastric distressAnorexia, nausea

EdemaAscitesLeft parasternal liftIncrdased jugular venouspressureHepatomegalyNeck vein pulsations anddistentionPositive hepatojugular reflux

Gagal jantung kanan berupa kegagalan pengosongan depot darah venous pada sirkulasi sistemis sehingga terjadi peningkatan tekanan venosa sistemis, akibatkan distensi vena jugularis, hepatomegali, edema perifer dan asites. Gagal jantung kiri berupa menurunnya stroke volume ventrikel kiri dan kegagalan untuk pengosongan sistem venosa pulmonal, akibatkan tekanan venosa sistem pulmanal meningkat dan turunnya cardiac out-put sehingga secara klinis berupa keluhan sesak nafas, kelemahan, kelelahan, confusion, bendungan paru, hipotensi dan kematian.Walaupun kedua sistem ini [ventrikel kiri dan kanan] bekerja secara terpisah namun secara keseluruhan ada dalam satu sistem sirkulasi, oleh karenanya gagal jantung

Page 9: Patofisiologi gagal jantung

yang terjadi pada satu sisi akhirnya akibatkan gagal jantung pada sisi yang lain. Gagal jantung hanya pada satu sisi sangat jarang terjadi.

Backward and forward failure

Kedua istilah ini dipakai untuk konstilasi indikator klinis dari gagal sirkulasi. Forward failure atau teori low out-put merupakan kumpulan keadaan klinis tidak adekuatnya pengiriman darah dalam sistem arteri. Backward failure atau teori kongesti merupakan manifestasi klinis berupa meningkatnya tekanan venosa baik sistemik maupun pulmonal sebagai akibat kegagalan ventrikel ventrikel tersebut dalam tugasnya untuk mengosongkan darah venosa. Kalau kondisi ini sebagai akibat gagal miokard, akibatkan turunnya cardiac out-put dan beberapa tanda sebagai akibat forward failure. Karena kondisi ini kurang mencerminkan gambaran klinis gagal jantung kongesti yang tepat dan akurat maka istilah ini jarang dipakai. Pada gambar satu terlihat hubungan backward and forward failure dengan gagal jantung kongesti.

Gambar 1

Fig. 1. Congestive heart failure-clinical indicators. Schematic representation of complex interaction of forward and backward effects of, right and left heart dysfunction. NOTE: They all lead to development of one or more groups of clinical indicators characteristic of the syndrome "congestive heart failure."

Mekanisme kompensasi

Kalau jantung dalam kondisi harus bekerja keras, maka mekanisme kompensasi akan mulai bekerja untuk mmpertahankan fungsi jantung sebagai alat pompa darah. Mekanisme kompensasi tersebut adalah: perangsangan simpathis, dilatasi jantung, hipertrofi miokard, retensi cairan lewat ginjal, vaso-kontriksi perifer dan meningkatnya ekstraksi oksigen oleh jaringan Kalau sampai terjadi gagal jantung cardiac out-put turun, meningkatnya rangsang simpathis dan menurunnya rangsang para-simpathis. Baik frekuensi jantung maupun kontraktilitas miokard meningkat

Page 10: Patofisiologi gagal jantung

akibatkan meningkatnya fungsi pompa jantung sampai 100% [12]. Efek simpathis pada sistem vaskuler perifer meningkatkan tahanan perifer dan rata-rata tekanan pengisian sistemik oleh karenanya meningkatkan venous return, preload dan afterload. Peningkatan preload akibatkan meningkatnya kontraktilitas otot jantung sesuai hukum Frank-Starling. Fase awal dari gagal jantung ini diikuti oleh kondisi kompensasi akibat partial recovery dari jantung dan konservasi cairan oleh ginjal. Menurunnya perfusi ginjal akibat gagal jantung akibatkan turunnya fungsi glomerulus dan akibatkan aktifnya sistem rennin, angiotensin, aldosteron yang semua ini merupakan kompensasi ginjal.Mekanisme ini meningkatkan resistensi perifer, meningkatkan reabsorbsi air dan garam sehingga meningkatkan volume darah dan meningkatkan systemic filling presure dan venous return. Baik preload, afterload, frekuensi nadi maupun kontraktilitas meningkat akibatkan cardiac-output paling tidak mendekati normal sehingga sirkulasi bejalan baik kembali. Kondisi ini akibatkan secara klinis volume darah, tekanan darah sistemik maupun tekanan vena pulmonalis meningkat dan tekanan vena sistemik juga meningkat sedang. Gagal jantung fase dekompensata terjadi pada saat gangguan jantung terus saja berlangung dan bahkan lebih meningkat dan mekanisme kompensasi ini tidak mampu memperbaiki gangguan hemodinamika tersebut, terjadi mekanisme feedback yang mengakibatkan keluhan maupun mundurnya status klinisnya. Cardiac output makin terganggu, gejala akibat bendungan makin meningkat dan mulai ada keluhan sesak nafas maupun edema. New York Heart Association membuat klasifikasi derajad gagal jantung sesuai dengan keadaan klinis [tabel 3].

Table 3. Classiftcation of heart failure

Congestive heart failure

Cardiac reserve(functional capacity)

Cardiac status Prognosis

None

Mild

Moderate

Severe

Moderate to heavy activity no symptoms

Moderate or ordinary activities of daily living dyspnea

Mild activities dyspnea

Dyspnea at rest

Uncompromised

Slightly compromised

Moderately compromised

Severely compromised

Good

Good with therapy

Fair with therapy

Guarded in spite of therdpy

Adapted from 8th Edition, Nomenclature and Criteria for Diagnosis of Diseases of the Heart and Great Vessels, The Criteria Committee of the New York Heart Association, Little, Brown & Company, 1979.

Kondisi sangat keterbatasan tenaga jantung akibatkan turunnya cardiac output dan menimbulkan keluhan weakness, fatigue, dizziness, dyspnea, hipotension walaupun dalam kondisi istirahat.

Page 11: Patofisiologi gagal jantung

Perangsangan simpathis

Reflek simpathis merupakan respons mekanisme kompensasi paling awal pada gagal jantung sebagai akibat perangsangan sistem simpatho-adrenergik. Perangsangan ini pada jantung akibatkan meningkatnya heart rate, contractility, cardiac output, stroke volume, kecepatan jalannya rangsang jantung dan kebutuhan jantung akan oksigen dan pada sirkulasi perifer akibatkan meningkatnya vaso konstriksi baik arteri maupun vena sehingga resistensi vaskuler sistemik meningkat, redistribusi aliran darah meningkat dan vasokonstriksi renal juga meningkat.Reflek sistem simpathis ini dipicu oleh menurunnya cardiac output. Kondisi turunnya tekanan darah, stroke volume, pulse pressure dan cardiac filling ini akibatkan perangsangan baro-reseptor, reseptor peregangan atrial ataupun reseptor yang terletak di miokardium untuk menghantarkan rangsang tersebut ke pusat kardioregulator di otak. Otak mengirim rangsang tersebut ke serabut saraf simpathis yang terletak di medula adrenal, jantung, arteri dan vena. Serabut simpathis ini mengeluarkan substansi neuro-transmiter, nor-epinephrin ke reseptor sinapsis adrenergik sehingga meningkatkan pelepasan katekhol-amin kedalam sirkulsi oleh medula adrenal dan mengakibatkan meningkatnya frekuensi jantung dan kontraktilitas untuk meningkatkan stroke volume dan cardiac output, vaso-kontriksi arteri untuk meningkatkan tekanan darah dan pendistribusian aliran darah perifer ke organ vital, veno-kontriksi untuk mengubah volume vaskuler ke vena vena besar sehingga meningkatkan pengisian jantung dan kontraksi ventrikel sesuai dengan hukum Frank-Starling, vasokontriksi ginjal untuk merangsang retensi air dan garam guna meningkatkan tekanan darah. Jaringan perangsangan simpatho-adrenergik berguna untuk menaikkan cardiac output dan pendistribusian kembali aliran darah perifer ke organ vital. Walaupun demikian dalam perjalanan proses gagal jantung adaptasi baik kardiak maupun perifer ini sering akibatkan gangguan pada fungsi pompa jantung. Sehingga pengobatan gagal jantung akhir-akhir ini ditujukan juga terhadap efek negatif adaptasi tersebut.

Adaptasi Kardiak

Terdapat banyak serabut terminal saraf simpathis yang terlokasi di semua bagian jantung, dan dengan perangsangan saraf tersebut serabut terminal tersebut menghasilkan sejumlah besar nor-epineprin. Substansi ini merangsang reseptor beta 1 mengakibatkan meningkatnya frekuensi jantung dengan jalan perangsangan baik di SA node maupun mempercepat perjalanan rangsang pada AV node. Kontraktilitas miokard meningkat akibat perangsangan reseptor beta 2 yang ada di miokardium. Stimulasi neuro-humoral yang menetap ber-efek pada kardiomiosit, menimbulkan terdapatnya matriks dan berbagai tipe sel yang lain diantara miokardium. Pelepasan katekholamin secara kronis merangsang hipertrofi miosit dan fibrosis intersisial. Sistem adrenergik juga merangsang kematian miosit lewat apoptosis dan nekrosis.Perangsangan kronis katekholamin juga akibatkan adrenoreceptor down regulation dan hiperfosforilasi banyak protein pada sinyal sinyalnya intraseluler sehingga menurunkan kemampuannya transduce signals. Hal ini akibatkan menurunnya kemampuan mekanisme kompensasi untuk meningkatkan cardiac output.

Page 12: Patofisiologi gagal jantung

Metabolisme kalsium yang berperan didalam excitation-contraction coupling didalam miosit juga terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan kontraktilitas dan meningkatkan risiko aritmia. Sistem simpathis juga sangat dekat dengan sistem renin-angiotensin-aldosteron [RAAS], namun sistem RAAS ini bisa beraksi tanpa stimulasi sistem simpathis.Aktifasi RAAS secara umum terjadi akibat respon hipoperfusi renal, namun secara lokal aldosteron dan angiotensin bisa terjadi akibat meningkatnya tegangan dinding miokard dan mekanisme ini lebih penting pada pathofisiologi gagal jantung. RAAS ini merangsang vaso konstriksi dan retensi air dan garam oleh ginjal sehingga tekanan darah dan preload meningkat. Namun demikian aldosteron dan angiotensin mempunyai efek langsung pada sel jantung. Aktifasi RAAS merangsang fibrosis miokard [deposisi kolagen], hipertrofi miosit, seluler apoptosis dan nekrose dan akibatkan kekakuan dan hipo-kontraktil miokard. Meningkatnya pelepasan enzim perusak, adanya matriks kolagen ekstraseluler dan meningkatnya miosit yang mati dapat akibatkan dilatasi ventrikel. Sistem neuro-humoral lain yang ikut andil pada progresi gagal jantung diantaranya arginin-vasopresor, hormon anti-diuretik yang ber-efek retensi air di ginjal sehingga meningkatkan preload dan endothelin yang berpotensi mirip angiotensin II, mengakibatkan vaso-konstriksi merangsang kematian miosit dan fibrosis miokard. Peptida natri-uretik termasuk peptida atrial dan brain natri-uretik terlepas dari miokardium akibat peregangan merangsang ekskresi natrium ginjal, vaso-dilatasi dan ber-interferensi pada sintesa aldosteron. Diluar sistem neuro-humoral sitokain juga ikut terbentuk pada perkembangan gagal jantung yang juga punya andil dalam perangsangan hipertrofi miosit, apoptosis dan nekrose. Sitokain bersama dengan RAAS dan endothelin mengganggu fungsi normal endotel vaskuler sehingga menurunkan perfusi miokard, menurunkan kontraktilitas miokard, vaso-konstriksi dan meningkatkan afterload. Stress oksidatif yaitu produksi spesies reaktif oksigen yang berlebihan atau kurangnya anti-oksidan juga punya peran progresinya gagal jantung. Berbagai sumber spesies reaktif oksigen menjadi aktif dalam perjalanan progresi menjadi gagal jantung secara klinis.

Adaptasi perifer

Adaptasi disini juga akibat generalisasi meningkatnya perangsangan simpatho-adrenergik. Perangangan simpathis pada reseptor alfa adrenergik pada arteriolae akibatkan vaso-konstriksi. Sedangkan veno-konstriksi terjadi akibat perangsangan jejaring serabut simpathis didalam vena. Kondisi ini merupakan auto-regulasi untuk mempertahankan sirkulasi yang baik pada organ vital. Keadaan adaptasi yang merugikan sistem kardiak maupun perifer pada gagal jantung dapat dilihat pada tabel 4 dan tabel 5.

Tabel 4

Page 13: Patofisiologi gagal jantung

MAJOR DETERMINANTS OF MYOCARDIAL OXYGEN CONSUMPTION

1. Heart rate2. Contractility3. Ventricular wall tension4. Ventricular mass5. Afterload6. Activation energy7. Metabolism resulting from catecholarnine levels

Table 5. Effects of altered peripheral circulation on cardiac function

Adaptive mechanism Positive effects Negative effects

Arterial vasoconstriction

Venoconstriction

Redistribution of blood flow

Blood pressure Perfusion to vital organs Oxygen supply Venous retum Cardiac filling Preload Cardiac contractility (byFrank-Starling law) Perfusion to heart Myocardial oxygen supply Cardiac function Perfusion to brain Preservation of CNScontrols

Systemic vascular resistance Afterload Cardiac function Excessive venous return Excessive cardiac filling Depressed cardiac function

Perfusion to kidney Retention of salt Retention of water Cardiac load Perfusion to skin Thermal tolerance Body temperature Metabolic oxygen requirements Cardiac burden

Distribusi kembali aliran darah

Adaptasi sirkulasi perifer pada gagal jantung mirip yang terjadi akibat stres yang normal seperti kegiatan fisik. Vaso konstriksi renal, kutaneal, splannik dan lainnya

Page 14: Patofisiologi gagal jantung

ikut berperan pada resistensi vaskuler secara total pada derajad lebih tinggi dari normal. Hal ini membantu menjaga tekanan arterial yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan aliran darah lewat arteri yang melebar pada otot yang bekerja, otak dan sirkulasi koroner [13]. Pada penderita gagal jantung apabila melakukan aktifitas fisik sekecil apapun, perubahan sirkulasi regional menjadi sangat berlebihan. Hal ini akibat depresi fungsi jantung yang membatasi kapasitas jantung untuk menaikkan cardiac output oleh rangsang simpathiko-adrenergik. Oleh karena itu sirkulasi sentral dipertahankan dengan cara menurunkan aliran darah ke ginjal, gaster dan kulit. Pada keadaan fungsi jantung sangat terganggu, distribusi kembali aliran darah bisa terjadi walaupun pada keadaan istirahat. Respon adaptasi ini punya baik efek positip maupun negatip terhadap fungsi kardio-sirkulasi. Efek positip berupa vaso-dilatasi sirkulasi serebral untuk menyokong mekanisme feedback pada sirkulasi koroner agar bisa memenuhi kebutuhan oksigen miokard. Efek negatif adalah terjadinya vaso-konstriksi renal maupun kutan yang menetap sehingga mengganggu sirkulasi darah disitu. Vaso-konstriksi renal merangsang produksi angiotensin II yang merupakan vaso-konstriktor kuat sehingga meningkatkan afterlod dan mengaktifkan reabsorbsi baik air maupun garam pada tubulus renalis. Kondisi ini akan makin memperberat beban jantung. Oleh karena itu pemberian diet rendah garam [sodium] untuk mengurangi retensi cairan, diuretika untuk mengurangi volume intra-vaskuler dan pemberian penghambat angiotensin II maupun produksinya sangat lah tepat pada gagal jantung. Penghambat beta belakangan ini juga dianjurkan diberikan guna menekan aktifitas simpathis yang merugikan pada gagal jantung kronis. Stress maupun kegiatan fisik pada penderita gagal jantung terjadi vaso-konstriksi maksimal di kutan. Hal ini dipikirkan simpathis menghambat kontrol termal hipothalamus untuk meningkatkan suhu badan [14] oleh karena itu penderita gagal jantung kurang toleransi pada suhu yang tinggi, sehingga pada penderita gagal jantung dianjurkan menghindari udara panas dan tidak melakukan aktifitas fisik pada udara panas, karena panas juga akan meningkatkan kecepatan metabolisme di kulit dan kebutuhan oksigen juga meningkat pada suhu yang meningkat. Pada penderita gagal jantung juga terjadi intoleransi terhadap kegiatan fisik disamping keterbatasannya cadangan tenaga jantung. Olah raga pada orang normal akan meningkatkan tekanan darah sedangka pada penderita gagal jantung tidak terjadi ataupun meningkat sedikit, oleh karena itu penderita akan mudah terjadi hipotensi maupun sinkope pada saat olah raga.

Manifestasi klinis perangsangan simpathis,

Tanda perangsangan simpathis yang paling awal pada gagal jantung berupa meningkatnya frekuensi jantung pada kondisi istirahat. Yang lebih spesifik berupa peningkatan frekuensi nadi yang sangat ekstrem walau dengan aktifitas yang minimal seperti merubah posisi tidurnya. Peningkatan vaso-konstriksi ditunjukkan dengan peningkatan tekanan darah secara transien sedang veno-konstriksi terlihat melalui distensinya vena jugularis. Dengan meningkatnya gagal jantung, cardiac output drop dan vaso-konstriksi renal maupun kutan makin nyata. Depresi pada renal terlihat sebagai oligo-uri atau abnormalitas tes fungsi ginjal dan pada kutan terlihat sebagai menurunnya suhu kulit dan pucat. Manifestasi peningkatan tonus simpathis ini menunjukkan hasil akhir low output failure dan shok kardiogenik.

Page 15: Patofisiologi gagal jantung

Dilatasi jantung

Gagal jantung akibatkan tekanan pengisian ventrikel meningkat dan terjadi dilatasi ventrikel sebagai akibat venous return yang meningkat akibat efek samping dari perangsangan simpathis, kelainan pathologis dari volume over-load atau penambahan volume darah akibat retensi air dan garam. Meningkatnya volume ventrikel saat diastolis akibatkan mekanisme Frank-Starling terjadi sebagai mekanisme kompensasi. Makin banyak volume darah yang mesti dipompa oleh ventrikel makin banyak pula darah yang dipompakan lewat aorta [12]. Makin teregang otot ventrikel akibat volume saat diastolis makin meningkat kekuatan kontraksi otot ventrikel tersebut. Peregangan serabut otot ventrikel tersebut mengakibatkan memanjangnya serabut otot tersebut, keadaan ini akibatkan aktivasi force generating cross-bridges of actin and myosin filaments sehingga meningkatkan kekuatan kontraksi. Kekuatan kontraksi terjadi secara maksimal kalau panjang filamen mencapai 2,2 milimikron [15], apabila panjang filamen tersebut melewati angka tersebut maka mulai terjadi perubahan tingkat seluler sehingga akan menurunkan kekuatan maupun kecepatan kontraksi.Didalam batas-batas fungsional normal, peningkatan preload akibatkan peningkatan kontraksi jantung dan respon ini akibatkan cardiac output normal atau hampir normal walaupun sudah mulai terjadi peningkatan pulmonary and, or venous pressures. Apabila gangguan hemodinamika dan disfungsi miokard ini terus berlangsung, mulai terjadi gagal pompa jantung yang makin meningkat yang digambarkan dengan meningkatnya volume akhir diastolis dan dilatasi ventrikel. Hal ini akibatkan kontraktilitas menurun sehingga terjadi congestive heart failure.Sehingga terapi ditujukan pada peningkatan kontraktilitas, manipulasi preload, afterload dan frekuensi jantung agar kembali ke mekanisme Frank Sterling yang normal [gambar 2]

Fig. 2. Frank-Starling curve. Schematic representation of theoretical relationship of myocardial fiber length and left ventricular stroke work. The ascending limb illustrates a progressive increaie in stroke

Page 16: Patofisiologi gagal jantung

work corresponding to increase in presystolic myocardial fiber length to optimum stretch of 2.2 µm. Plateau illustrates a stable relatiotiship between fiber length and stroke work; descending limb represents point where fiber length is no longer related to ventricular work. It is uncertain if descending limb can be plotted against preload or excessive stretch or if it results from increased afterload.

Kurve fungsi ventrikel kiri

Kurva fungsi ventrikel kiri dipakai sebagai parameter untuk menentukan indeks penampilan ventrikel kiri. Cardiac index atau cardiac output dipakai untuk mengukur kerja atau kontraktilitas ventrikel kiri, left ventricular end diastolic pressure atau pulmonary wedge pressure digunakan untuk mengukur preload. Secara normal distensi ventrikel kiri akibat meningkatkan volume darah saat diastolis maksimal [akhir] atau preload tanpa meningkatkan secara nyata tingginya tekanan pengisian.Kontraktilitas optimal terjadi pada peregangan serabut otot sampai 2,2 milimikron atau tekanan 12 sampai dengan 18 mmHg [16]. Secara teoritis meningkatnya tekanan diats angka tersebut akibatkan turunnya kontraktilitas. Pada saat ada serangan jantung terjadi penurunan cardiac output sesaat yang diikuti dengan meningkatnya rangsang simpatho-adrenergik. Hal ini meningkatkan frekuensi dan kontraktilitas jantung dan akibatkan kurve fungsi ventrikel kiri bergeser ke kiri [gambar 3]. Terjadi periode hiperfungsi dimana cardiac output meningkat tanpa perubahan tekanan pengisian, seperti yang terjadi pada sindroma high output failure.Dengan progresinya gagal jantung mekanisme kompensasi dari rangsang simpatho-adrenergik, hipertrofi miokard dan retensi air dan garam oleh ginjal meningkatkan tonus ventrikel, meningkatkan volume darah dan menurunkan ventricular compliance. Faktor-faktor ini mengakibatkan pergesaran kuve fungsi ventrikel bergesar ke kanan, peningkatan tekanan pengisian tidak meningkatkan cardiac output.

Page 17: Patofisiologi gagal jantung

Fig. 3. Left ventricular functidn curves. Curve,4: represents cardiac output at physiological filling pressures. Curve B: represents cardiac hyperfunction caused by sympathoadrenergic stimulation yielding marked increase in cardiac output at physiological filling pressures. Curve C: represents compensased heart failure reflecting normal cardiac output with elevated filling pressures. Curve D: represents decompensated severe heart failure illustrating a marked decrease in cardiac output in spite of high filling pressures. Shift to left, as occurs when cardiac function moves from curve B to ,4, represents increase in ventricular contractility reiulting from sympathetic stimulation. Shift to right, as occurs when ventricular function moves from curve C to D, represents depressed cardiac contractility resulting from hemodynamic burden or intrinsic myocardial dysfunction.

Hipertrofi miokard

Hipertrofi miokard terjadi akibat mekanisme kompensasi terhadap perubahan hemodinamika yang tetap bertahan yang terdapat pada gagal jantung baik akut maupun kronis. Akibat stres sel otot jantung ukurannya membesar [hipertrofi] dan jumlahnya bertambah [hiperplasi]. Sel yang alami hipertrofi ini membutuhkan energi yang lebih banyak karena penambahan massanya serta berkurangnya fungsi kontraktilnya. Oleh karenanya dengan kondisi yang berkepanjangan akibatkan terjadinya gagal jantung. Oleh karenanya terapi gagal jantung ditujukan pada perbaikan hemodinamika dan menurunkan ukuran jantung.

Kompensasi ginjal

Fungsi ginjal pegang peran kunci pada gagal jantung. Pada gagal jantung terjadi vaso-konstriksi akibat efek simpathis dan ini akibatkan perfusi ke ginjal berkurang. Turunnya perfusi ginjal akibatkan perangsangan pada aparatus jungtaglumerular dan mengaktif sistem renin-angiotensin-aldosteron [RAAS]. Retensi baik air dan garam terjadi, pada awalnya masih bisa di atasi oleh jantung, akan tetapi dengan makin beratnya gagal jantung akan terjadi akhirnya kondisi klinis gagal jantung akibat jantung tidak mampu lagi melakukan kompensasi.

Gagal jantung diastolik dan sistolik

Gagal jantung diastolik adalah gagal jantung akibat ketidakmampuan ventrikel untuk menampung darah secara adekuat pada tekanan pengisian yang normal [17]. Penyebabnya adalah menurunnya kemampuan relaksasi ventrikel dan atau kekakuan ventrikel. Preload yang menurun ini mengakibatkan penurunan cardiac output. Diagnosis gagal jantung distolik ditegakkan atas dasar: ada tanda definit gagal jantung [keluhan klinis, rotgenologis, efek obat, indeks jantung rendah, natri-uretik peptide tipe B] dan tanda obyektif fungsi sistolis normal [fraksi ejeksi 50% atau lebih] dan tanda obyektif disfungsi diastolik [abnormalitas relaksasi ventrikel kiri/indek destensi pada pemeriksaan kateterisasi]. Ada beberapa komponen guna mempermudah diagnoa gagal jantung diastolik diantaranya adanya faktor presipitasi dan adanya faktor etiologis. Sebagai contoh adalah kemungkinan gagal jantung diastolik dimana terdapat hipertrofi konsentrik ventrikel kiri, dengan episode atrial fibrilasi dan adanya hipertensi yang tidk terkontrol sebagai dasarnya.

Page 18: Patofisiologi gagal jantung

Penentuan diagnosa ada tiga langkah, langkah pertama tentukan dulu adanya gagal jantung kronis [tabel 5], langkah kedua pastikan fungsi sistolik normal, langkah ketiga identifikasi etiologi gagal jantung diastolik.

Table 6. Framingham Hearth Study criteria for CHF

Major criteria Minor criteria- Paroxysmal noctural dyspnea - Bilateral ankle edema- Jugular venous distention - Nocturnal dyspnea- Pulmonary rales - Dyspnea on ordinary exertion- Radiographic cardiomegaly - Hepatomegaly- Acute pulmonary edema - Pleural effusion- Third heart sound - Decrease in vital capacity by 1/3 - Central venous pressure > 16 cm H20 - Heart rate > 120 beats/minute - Hepatojugular reflex- Autopsy: pulmonary edema, visceral congestion or cardiomegaly- Weight loss > 4.5 kg in 5 days in response to treatment for CHF

Diagnosis of Hearth Failure :two major, or one major + two minor criteria [18].

Hal yang menyokong adanya kemungkinan gagal jantung sistolik adalah gambaran elektrokardiografi adanya old myocardial infarction anterior atau left bundle branch block dan riwayat revaskularisasi. Sedangkan data adanya tekanan darah tinggi yang nyata lebih mengarah ke gagal jantung diastolik, sedangkan diabetes dan obesitas merupakan tambahan faktor risiko.

Terjadinya edema pada gagal jantung

Gagal jantung ringan: hemodinamika renalPada gagal jantung ringan atau awal terjadinya penurunan tekanan perfusi ginjal secara langsung disebabkan oleh turunnya cardiac output perangsangan simpatho-adrenergik diman aliran darah dikirim ke organ yang lebih vital seperti otak dan jantung sedangkan darah yang menuju ginjal berkurang. Terjadi auto-regulasi pada ginjal dengan turunnya ekskresi air dan garam dalam urin. Retensi air dan garam ini akan menambah volume cairan darah dan cairan intersisial. Kompensasi ini menimbulkan keadaan stabilitas yang baru, dimana tekanan perfusi arterial kembali normal namun disertai dengan meningginya tekanan venosa dan tertimbunnya cairan intersisial. Mekanisme yang terjadi adalah vasokonstriksi arteola eferen dan terjadi redistribusi aliran darah intrarenal. Kedua faktor hemodinamika ini meningkatkan re-absorbsi air dan garam oleh tubulus proksimalis.

Gagal jantung sedang: mekanisme RAASSelama phase ini efek hemodinamika renal diperkuat dengan aktifasi dari sistem RAAS. Penurunan tekanan perfusi, volume intravaskular dalam ginjal, perangsangan simphato-adrenergik pada sel-sel jungtaglumeralis akibatkan pengeluaran renin oleh sel-sel jungtaglumeralis. Plasma renin ini akan mengubah angiotensinogen yang dihasilkan hepar menjadi angiotensin I. Selama perjalanannya ke paru angiotensin I

Page 19: Patofisiologi gagal jantung

diubah oeh enzim angiotensin converting enzyme menjadi angiotensin II. Agen berefek vaso-konstriksi dan dapat merangsang sekresi aldoteron oleh kelenjar adrenal.Aldosteron pengaruhi tubulus distalis untuk reabsorbsi secara aktif natrium maupun klorida. Sehingga pada gagal jantung sedang terjadi kenaikan baik preload maupun afterload.

Gagal jantung lanjutPada kondisi ini semua usaha kompensasi ginjal tidak berhasil memperbaiki volume darah arterial secara efektif dan perfusi ginjal tetap kurang sehingga menimbulkan terbentuknya edema yang lebih banyak lagi serta gangguan elektrolit.Vaso-konstriksi baik aferen maupun eferen ginjal akibatkan penurunan GFR yang sangat nyata. Terjadilah meningkatnya blood urea nitrogen yang merupakan pre-renal azotemia, oligo-urin, ginjal jadi refrakter terhadap obat diuretika karena obat tidak bisa mencapai tempat aksinya di nephron.Pada gagal jantung yang lanjut terjadi peningkatan sekresi hormon anti-diuretik dan hal ini akibatkan tidak mampunya pengeluaran cairan badan yang berlebihan.Faktor lain yang mempengaruhi edema adalah efek hormon natri-uretik dan prostaglandin ginjal pada retensi cairan. Tak adanya hormon natri-uretik pada penderita gagal jantung kongestip akibatkan retensi cairan yang berat dan terbentuknya edema.

Perubahan pada fungsi paruTekanan hidrostatik kapiler paru normalnya antara 10 sampai dengan 12 mmhg sedangkan tekanan onkotik 25mmhg, sehingga ada perbedaan tekanan kedalam 15 mmhg yang dapat menjaga agar alveoli tetap kering. Didalam paru cairan dan koloid bergerak secara kontinyu dari vasa pulmonal ke ruang intersisial. Cairan ini dikosongkan dengan kecepatan tetap oleh sistem limphatik yang kemudian menghantarnya ke sistem vena sistemis. Mekanisme ini mempertahankan volume cairan intersisial yang minimal agar pertukaran gas di alveo-kapiler berjalan normal. Gangguan fungsi ataupun mekanisme ini akibatkan bendungan paru pada gagal jantung [gambar 4].

Page 20: Patofisiologi gagal jantung

Fig. 4. Alveolar-capillary membrane. Graphic representation of microscopic structure of alveolar-capillary membrane and perivascular space. NOTE: Low pulmonary vascular pressure favors negative pressure gradieitt across the membrane into extracellular compartment. This together with lymphatic drainage maintains tight interstitial space to keep alveoli dry.

Peningkatan tekanan kapiler paru sering merupakan anda awal gagal jantung kiri. Akibat gagal jantung kiri, tekanan akhir diastolik ventrikel meningkat dan diteruskan ke atrium kiri, vena pulmonalis dan akhirnya ke kapiler paru. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru melampaui tekanan onkotik pada membran alveo-kapiler akibatkan aliran cairan dan protein dari kapiler paru kedalam jaringan paru. Paru alami bendungan sehingga ventilasi turun yang diakibatkan oleh: meningkatnya cairan jaringan bersama dengan hidrothoraks mengurangi ruang intrathoraks yang diperlukan dalam pernafasan, cairan jaringan menurunkan elastisitas paru sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen dan kerja untukbernafas, bendungan jaringan berinterferensi dengan difusi oksigen di alveo-kapiler akibatkan hipoksia dan hiperkapnia.Dalam perjalanan gagal jantung, bendungan paru berkembang sehubungan kondisi hemodinamika, fungsi ventrikel dan drainase limphatik. Dapat dibagi menjadi 3 derajad atau tingkatan. Pertama bendungan paru awal, kedua edema intersisial, stadium ke tiga edema alveolar.

Stadium IPada fase awal bendungan paru, peningkatan aliran cairan dan koloid dari kapiler paru menembus jaringan intersisial terjadi dengan proporsi meningkatnya drainase limphatik. Terdapat sangat sedikit cairan yang terdapat pada jaringan intersisial. Pada keadaan ini penderita akan merasa sesak nafas pada saat melakukan aktifitas, terutama kalau kongesti diakibatkan oleh hipofungsi ventrikel kiri. Pada pemeriksaan fisik mungkin terdengan ronkhi basah halus saat inspirasi. Pada pemeriksaan rontgenologis terlihat vena dan arteri pulmonalis sedikit menonjol akibat meningkatnya volume vaskuler paru.

Stadium IIEdema intersisial terjadi kalau tekanan hidrostatik kapiler paru melebihi 18 mmhg. Hal ini akibatkan ketidak seimbangan tahanan pada dinding kapiler sehingga cairan dari ruang intravaskuler paru mengalir kedalam ruang intersisial. Kecepatan filtrasi cairan dari ruang intravaskuler kedalam ruang intersisial lebih cepat dibandingkan kecepatan drainase oleh sistem limphatik.Edema intersisial pertama terjadi pada ruang sekitar bronkhiole, venule dan arteriole. Hal ini menurunkan elastisitas jaringan paru sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen dan tenaga untuk bernafas. Pada kondisi ini secara klinis penderita bisa mengeluh sesak nafas dengan aktifitas yang relatif ringan, meningginya tekanan vaskuler paru dan menurunnya kelenturan paru. Bisa terjadi ortopnea dan mengeluh batuk tidak produktif. Bisa juga terjadi paroxysmal nocturnal dyspnea .Pada pemeriksaan mulai terdengan ronkhi basah pada basal paru. Pada rontgenologis terlihat garis Kerly B.

Stadium IIIPada saat tekanan hidrostatik kapiler paru meningkat ke level 25 sampai 28 mmhg, tekanan ini melewati tekanan kedalam plasma onkotik sehingga secara cepat terjadi ekstravasasi cairan dari ruang intravaskuler dan ruang intersisial kedalam alveoli. Pada awal edema alveoli, cairan tersebut terkumpul di sudut alveoli. Hal ini akibatkan

Page 21: Patofisiologi gagal jantung

tekanan intersisial sekitar sudut tersebut menjadi lebih negatip dan akibatkan lebih cepat lagi transfer cairan di area ini. Dengan progresinya edema, alveoli jadi penuh cairan sehingga tak bisa untuk mengambil oksigen.

Gambaran klinikSesak nafas merupakan tanda utama gagal jantung kiri, frekuensi pernafasan bisa mencapai 20 sampai 40/menit. Kerja otot pernafasan meningkat mengakibatkan tekanan negatip intra-pleural. Hal ini akan terlihat sebagai pernafasan cuping hidung, retraksi fosa supra-klavikulare dan ruang interkostal. Pada pemeriksaan perkusi terdengan redup pada daerah dada dan pada auskultasi terdengan whizing dan ronkhi basah. Suara jantung kadang sukar terdengar karena banyaknya suara tambahan yang mengganggu, namun biasanya terdengan suara jantung ketiga.Kulit terasa dingin dan pucat. Hal ini menunjukkan adanya hipoksia, cardiac output yang turun dan mekanisme kompensasi simpatho-adrenergik.Tekanan darah dan frekuensi jantung biasanya meningkat akibat rangsang simphatis. Pada saat terjadi edema paru, bersama dengan menurunnya fungsi ventrikel kiri, tekanan darah mulai menurun dan bisa sampai terjadi shok.

Ringkasan

Gagal jantung merupakan gangguan fungsi jantung yang dimulai dengan fase kompensata, dimana sistem neuro-humoral berefek untuk meningkatkan kondisi senormal mungkin walaupun terjadi berbagai perubahan hemodinamika maupun anatomis. Pada fase dekompensata mulailah terjadi sesak nafas yang telah ditandai dengan klas fungsional menurut New York Heart Association.Penemuan kasus seawal mungkin dan mencegahnya sebelum terjadinya gagal jantung yang merupakan rentetan yang tidak bisa kembali merupakan hal yang sangat dianjurkan agar baik angka mobiditas maupun mortalitas dapat ditekan serendah mungkin.

Daftar Pustaka

1. Task Force of Working Group on Heart Failure of The European Society of Cardiology. 1997. The treatment of Heart Failure.Eur Heart J;18:736-53.

2. Massie MB, Shah NB. 1997. Evolving trends in the epidemiologic factors of heart failure: rational for preventive strategies and comprehensive disease management.Am Heart J;133:703-12.

3. Cleland JG, Khand A, Clark A. 2001. The heart failure epidemic: exactly how big is it? Eur Heart J;22(8):623-6.

4. American Heart Association. 2005. Heart and stroke statistical update. Dallas, TX: American Heart Association, 2005.

5. ACC/AHA Task Force on Practice. Guidelines. 2005. Guideline Update for the Diagnosis and Management of Chronic Heart Failure in the Adult – Summary Article. J Am Coll Cardiol;46:1116-43.

6. O’Connell JB, Bristow MR. 1994. Economic impact of heart failure in the US: time for a different approach. J Heart Lung Transplant;13:S107-12.

7. Heart Failure Guidelines panel. 1994. Heart failure: Evaluation and care of patients with Left Ventricular Systolic Dysfunction. Rockville, MD, US Dept

Page 22: Patofisiologi gagal jantung

of Health and Human Services, Agency for Health Care Policy and Research, 1994.

8. ACC/AHA Task Force on Practice Guidelines. 1995. Guideline for the Evaluation and Management of Heart Failure. Circulation;93:2764-84.

9. Hunt SA, Baker DW, Chin MH, et al. 2001. ACC/AHA guidelines for the evaluation and management of chronic heart failure in the adult: executive summary: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association. Task Force on Practice Guidelines [Committee to revise the 1995 Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure].J Am Coll Cardiol;38:2101-13.

10. Task Force of The Working Group on Heart Failure of The European Society of Cardiology. 1997. The Treatment of Heart Failure. Eur Heart J;18:736-53.

11. Michaelson CR. 1983. Pathophysiology of heart failure: a conceptual framework for understanding clinical indicators and therapeutic modalities. In Cydney R Machaelson [ed] Congestive Heart Failure. The Mosby Company, St Louis Toronto.

12. Guyton AC. 1981. Textbook of medical physiology, ed 6, philadelphia, WB Saunders Co.

13. Ross G. 1978. Essentials of Human Physiology. Chicago, Year Book Medical Publishers.

14. Zelis R. 1976. Peripheral circulatory control mechanisms in congestive heart failure. In Mason, DT., editor. Congestive Heart Failure mechanisms, evaluation and treatment. NY. Yorke Medical Books.

15. Braunwald E. 1981. Pathophysiology of heart failure. In Braunwald E editor: Heart Disease: a Texbook of cardiovascular medicine. Philadelphia, WB Saunders Co.

16. Swan HJC, Parmley W. 1979. Congestive heart failure. In Sodeman WA. And Sodeman TM, editor; Pathologic physiology mechanisms of disease. Philadelphia WB Saunders Co.

17. Zile MR, Brutsaert DL. 2002. New concepts in diastolic dysfunction and diastolic heart failure. Circulation.105;11:1387-93.

18. McKee PA, Castelli WP, McNamara PM, et al. 1971. The natural history of congestive heart failure : the Framingham study. N Engl J Med;285:1441-6.

-----------------------------------------------------------------------------------------

Page 23: Patofisiologi gagal jantung