33
18 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS KERJA 2.1. Kajian Pustaka Penelitian mengenai diskresi dilakukan oleh Joseph G. Haubrich dan Joseph A. Ritter tahun 2000, dengan judul “Dynamic Commitment and Incomplete Policy Rules”, yang dimuat pada “Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 32, No. 4, Part 1 (Nov., 2000)”, yang diterbitkan oleh “The Ohio State University Press”. Penelitian ini mengkaji diskresi dalam dinamika komitmen dan peraturan kebijakan yang tidak lengkap di Amerika Serikat. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang bersifat masih sederhana dan belum mengatur secara mendetail. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian mengungkapkan model pengukuran potential loss dalam memilih diskresi atau melaksanakan suatu peraturan yang ada. Penelitian Haubrich dan Ritter ini membuka wawasan bagi penelitian ini sebagai dasar pemikiran untuk membandingkan potential loss diskresi yang dilakukan oleh PD Jati Mandiri Kota Cimahi, mengingat Perwal No.7 tahun 2006 yang mendasari struktur organisasi dan tata kelola PD Jati Mandiri bersifat incomplete rule, dimana Perwal tersebut belum mengantisipasi dinamika bisnis yang dihadapi PD Jati Mandiri pada tahun-tahun berikutnya. Penelitian selanjutnya tentang diskresi adalah penelitian yang dilakukan oleh Donald C. Hambrick dan Eric Abrahamson. Penelitian ini berjudul “Assesing

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …media.unpad.ac.id/thesis/170720/2009/170720090505_2_3160.pdf · Pendekatan Kuantitatif dan kualitatif Kuantitatif dan kualitatif Kuantitatif

Embed Size (px)

Citation preview

18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

KERJA

2.1. Kajian Pustaka

Penelitian mengenai diskresi dilakukan oleh Joseph G. Haubrich dan

Joseph A. Ritter tahun 2000, dengan judul “Dynamic Commitment and Incomplete

Policy Rules”, yang dimuat pada “Journal of Money, Credit and Banking”, Vol.

32, No. 4, Part 1 (Nov., 2000)”, yang diterbitkan oleh “The Ohio State University

Press”. Penelitian ini mengkaji diskresi dalam dinamika komitmen dan peraturan

kebijakan yang tidak lengkap di Amerika Serikat. Peraturan yang dimaksud

adalah peraturan yang bersifat masih sederhana dan belum mengatur secara

mendetail.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan penelitian kuantitatif

dan kualitatif. Hasil penelitian mengungkapkan model pengukuran potential loss

dalam memilih diskresi atau melaksanakan suatu peraturan yang ada. Penelitian

Haubrich dan Ritter ini membuka wawasan bagi penelitian ini sebagai dasar

pemikiran untuk membandingkan potential loss diskresi yang dilakukan oleh PD

Jati Mandiri Kota Cimahi, mengingat Perwal No.7 tahun 2006 yang mendasari

struktur organisasi dan tata kelola PD Jati Mandiri bersifat incomplete rule,

dimana Perwal tersebut belum mengantisipasi dinamika bisnis yang dihadapi PD

Jati Mandiri pada tahun-tahun berikutnya.

Penelitian selanjutnya tentang diskresi adalah penelitian yang dilakukan

oleh Donald C. Hambrick dan Eric Abrahamson. Penelitian ini berjudul “Assesing

19

Managerial Discretion across Industries: A Multimethod Approach”. Penelitian

ini di publikasikan dalam ”The Academy of Management Journal”, Vol. 38, No. 5

(Oct., 1995). Penelitian ini mengkaji realitas diskresi manajerial pada 17 sektor

industri di Amerika Serikat.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan penelitian kuantitatif

dan kualitatif. Dari hasil penelitian ini diperoleh pemeringkatan tingkat diskresi

manajerial pada berbagai sektor industri yang dikaji. Penelitian Hambrick dan

Abrahamson ini membuka wawasan bagi penelitian ini sebagai dasar pemikiran

untuk digunakan sebagai pendekatan dan pembanding potensi diskresi yang

dilakukan oleh PD Jati Mandiri Kota Cimahi pada bidang-bidang bisnisnya.,

mengingat divisi-divisi bisnis PD Jati Mandiri pada bidang Teknologi Informasi,

Perumahan, Perdagangan dan Pengairan, merupakan bidang-bidang yang dikaji

oleh Hambrick dan Abrahamson dalam penelitiannya.

Penelitian selanjutnya tentang diskresi adalah penelitian yang dilakukan

oleh Mason A. Carpenter dan Brian A. Golden. Penelitian ini berjudul “Perceived

Managerial Discretion: A Study of Cause and Effect”. Penelitian ini

dipublikasikan pada ”Strategic Management Journal”, Vol. 18, No. 3 (Mar.,

1997). Penelitian ini Mengkaji tentang mengkonstruksi persepsi diskresi

manajerial untuk mengidentifikasi konsekuensi penting tentang persepsi diskresi.

Penelitian ini bersifat eksplanatif dengan pendekatan penelitian kuantitatif.

Dari hasil penelitian ini diperoleh Dengan memahami determinan dan

konsekuensi dari persepsi diskresi manajerial akan berdampak kritis terhadap riset

manajemen srategis. Penelitian Carpenter dan Golden ini membuka wawasan bagi

20

penelitian ini sebagai dasar pemikiran untuk digunakan sebagai pendekatan dan

pembanding memahami determinan dan konsekuensi dari persepsi diskresi

manajerial yang akan berdampak kritis terhadap riset manajemen srategis sebagai

dasar melaksanakan diskresi yang dilakukan oleh PD Jati Mandiri Kota Cimahi.

Tabel 2.1. Perbandingan beberapa Penelitian tentang Diskresi

Kriteria Haubrich &

Ritter

Hambrick &

Abrahamson

Carpenter &

Golden

Bonti

Tempat U.S.A. U.S.A. U.S.A. Cimahi, Jawa

Barat,

Indonesia

Jumlah Variabel 2 Variabel 1 Variabel 1 Variabel 1 variabel

Latar Belakang Ada masalah Ada Masalah Ada Masalah Ada Masalah

Unit Kajian State of the art Studi

Hubungan

Studi

Pengaruh

Implementasi

Pendekatan Kuantitatif dan

kualitatif

Kuantitatif dan

kualitatif

Kuantitatif Kualitatif

Analisis Deskriptif SIC Analytical

level &

Deskriptif

MANOVA

dan regresi,

Eksplanatif

Deskriptif

Kajian Mengkaji

diskresi dalam

dinamika

komitmen dan

peraturan

kebijakan yang

tidak lengkap di

Amerika Serikat

Mengkaji

Realitas

diskresi

manajerial

pada 17 sektor

industri di

Amerika

Serikat

Mengkaji

tentang

mengkonstruk

si persepsi

diskresi

manajerial

untuk

menidentifika

si konsekuensi

penting

tentang

persepsi

diskresi

Mengkaji

tentang

diskresi

kebijakan

perubahan

struktur

organisasi

PD Jati

Mandiri

sebagai suatu

strategi

adaptasi

organisasi

Simpulan/

Temuan

Model

pengukuran

potential loss

dalam memilih

diskresi atau

melaksanakan

suatu peraturan

yang ada.

Diperoleh

pemeringkatan

tingkat

diskresi

manajerial

pada berbagai

sektor industri

yang dikaji.

Dengan

memahami

determinan

dan

konsekuensi

dari persepsi

diskresi

manajerial

akan

21

berdampak

kritis terhadap

riset

manajemen

srategis.

Sumber: Penelitian 2012

2.2. Kerangka Pemikiran

2.2.1. Diskresi

2.2.1.1. Diskresi dalam Administrasi Negara

Perkembangan konsep "negara hukum" sekarang ini telah menghasilkan

suatu konsep negara hukum kesejahteraan (social service state; welvaarstaat).

Dalam suatu negara hukum yang demikian ini, tugas negara sebagai public

servant adalah menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial

(yang oleh Lemaire disebut dengan : bestuurszorg) bagi masyarakatnya, jadi,

tugas negara bukan hanya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban saja. Oleh

karena itu maka negara melakukan campur tangan hampir di setiap sektor

kehidupan masyarakat, yang menyebabkan semakin besarnya keterlibatan

administrasi negara di dalamnya.

Salah satu alasan nyata bagi pertumbuhan kekuasaan administrasi negara di

negara-negara demokrasi modern adalah dengan pudarnya falsafah laissez faire

dan meningkatnya peranan negara dalam bidang sosial-ekonomi. Seperti

diketahui, laissez faire menginginkan sedikitnya peranan negara dalam

mengontrol usaha-usaha pribadi dalam masyarakat dan besarnya peranan individu

dalam melakukan kebebasan berkontrak. Falsafah ini ternyata justru menimbulkan

penderitaan bagi manusia, karena ia mengakibatkan terjadinya eksploitasi oleh

kelompok masyarakat yang kuat terhadap kelompok masyarakat yang lemah.

22

Berdasarkan hal tersebut maka timbul pemikiran-pernikiran mengenai konsep

negara kesejahteraan.

Friedmann dalam bukunya The Rule of Law and The Welfare State

menyebutkan adanya lima fungsi dan negara kesejahteraan, yaitu sebagai

protector. provider, regulator, entrepreneur, dan sebagai arbitrator.

Dalam rangka menjalankan fungsi ini, negara harus memiliki lembaga-

lembaga dan standar perlakuan yang menjamin terselenggaranya kesejahteraan

sosial. Sebagai wakil rakyat secara keseluruhan, negara harus mengatur dan

menjalankan keadilan diantara sektor-sektor masyarakat yang berbeda. Lembaga

dan standar perlakuan tadi dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya

keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan melalui suatu sistem

administrasi negara, maka perilaku dan tindakan suatu sistem administrasi negara

harus diatur melalui suatu hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara.

Hukum Administrasi Negara ini mengikat pula kepada berbagai perusahaan

milik negara maupun pemerintah daerah, termasuk Perusahaan Daerah (PD) Jati

Mandiri Kota Cimahi. Segala tindakan dan perilaku PD Jati Mandiri harus

didasarkan kepada berbagai perturan yang telah ditetapkan kepadanya sebagai

suatu perusahaan daerah. Dengan demikian PD Jati Mandiri dalam setiap tindakan

dan perilakunya harus tunduk terhadap HukumAdministrasi Negara yang berlaku.

Perkembangan konsep negara hukum seperti telah disinggung pada awal

tulisan ini, erat kaitannya dengan peranan Hukum Administrasi Negara di

dalamnya. Pada konsep polizeistaat boleh dikatakan belum berkembang Hukum

Administrasi Negara, barulah pada nachtwakerstaat Hukum Administrasi Negara

23

mulai muncul, meskipun sangat terbatas. Pada welvaarstaat peranan Hukum

Administrasi Negara menjadi semakin luas dan dominan. Hal ini menunjukkan

semakin aktifnya negara terlibat dan melakukan campur tangan dalam setiap

aspek kehidupan masyarakat. Sangatlah sulit membayangkan suatu negara modern

pada saat ini tanpa adanya Hukum Administrasi Negara di dalamnya. Posisi

hukum dalam administrasi negara dijelaskan dalam definisi administrasi publik

menurut David H. Rosenbloom dan Robert S. Kravchuck dalam bukunya “Public

Administration, Understanding Management, Politics and Law in The Public

Sector” (2006:5) adalah: “Public administration is the use of managerial,

political, and legal theories and processes to fulfill legislative, executive, and

judicial mandates for the profision of governmental regulatory and service

functions”.

Akan tetapi mengingat sedemikian luasnya aspek kehidupan sosial dan

kesejahteraan masyarakat yang digeluti itu, maka sudah barang tentu tidak setiap

permasalahan yang dihadapi dan tindakan yang akan diambil oleh administrasi

negara telah tersedia aturannya. dalam keadaan seperti ini membawa administrasi

negara kepada suatu kosekuensi khusus, yaitu memerlukan kemerdekaan

bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian

soal-soal genting yang timbul dengan sekonyong-konyong dan yang peraturan

penyelesaiannya belum ada. Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan

kebijaksanaan sendiri ini, dalam Hukum Administrasi Negara disebut dengan

pouvoir discrétionnaire, freies Ermessen, discretion atau dapat pula disebut

dengan diskresi.

24

Adanya freies Ermessen ini bukannya tidak menimbulkan masalah, karena

kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak warga negara menjadi semakin

besar. Oleh karena itu bagaimana mengontrol kekuasaan administrasi negara agar

tidak disalahgunakan (yang tecermin melalui onrechtmatigegeoverheidsdaad,

detournementde pouvoir atau ultra vires, ataupun abus de droit), merupakan

permasalahan yang relevan untuk dikaji.

Di sinilah arti penting peranan Hukum Administrasi Negara, sebab di satu

pihak ia dipergunakan untuk memungkinkan agar administrasi negara dapat

menjalankan fungsinya (sebagai landasan kerja), tetapi di lain pihak Hukum

Administrasi Negara diperlukan untuk melindungi warga masyarakat terhadap

sikap tindak administrasi negara dan untuk melindungi administrasi negara itu

sendiri.

Agar freies Ermessen yang ada pada administrasi negara tersebut tidak

disalahgunakan, maka diperlukan adanya tolok ukur pembatasan terhadap

penggunaannya. Dengan perkataan lain ada batas toleransi yang mesti dipenuhi

oleh administrasi negara dalam menggunakan freies Ermessen ini.

Berdasarkan uraian di atas nyatalah bahwa freies Ermessen atau diskresi

mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Hukum Administrasi Negara

dan Ilmu Administrasi Negara, sehingga adanya kajian mengenai makna dan

peranan freies Ermessen atau diskresi dalam Hukum Administrasi Negara dan

Ilmu Administrasi Negara akan menjadi sangat penting untuk lebih dikaji lebih

dalam lagi.

25

2.2.2. Pengertian freies Ermessen dan Diskresi

Istilah freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan

dari kata frei dan freie yang artinya : bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan

orang bebas. Sedangkan kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan,

menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi secara

etimologis, freies Ermessen dapat diartikan sebagai "orang yang bebas

mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil

keputusan".

Selain itu istilah freies Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair atau

diskresi, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti :

menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada

undang-undang.

Dalam kepustakaan Ilmu Hukum Administrasi Negara telah banyak pakar

yang memberikan batasan mengenai istilah ini. Prajudi Atmosudirdjo (1981:85)

mengatakan:

" ... asas diskresi (discretie; freies Ermessen), artinya, pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan asas legalitas" Senada dengan pendapat tersebut, Sjachran Basah (1981:85) mengatakan

bahwa diperlakukannya freies Ermessen oleh administrasi negara itu :

" .... dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri.......................terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang penting yang timbul tiba-tiba. Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak cepat membuat penyelesaian. Namun keputusan-keputusan yang diambil menyelesaikan masalah-masalah itu, harus dapat dipertanggungjawabkan”.

26

Pada bagian lain dari buku tersebut freies Ermessen itu diartikan sebagai

"kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu" "keleluasaan dalam menentukan

kebijakan-kebijakan melalui sikap tindak administrasi negara yang harus dapat

dipertanggungjawabkan".

Amrah Muslimin (1985:73) mengartikan freies Ermessen sebagai "lapangan

bergerak selaku kebijaksanaannya" atau "kebebasan kebijaksanaan".

Dari beberapa pendapat yang dikutip sebelumnya, pada hakikatnya tidak

terdapat perbedaan yang prinsip, sebab inti hakikat yang dikandung adalah sama,

yaitu adanya kebebasan bertindak bagi administrasi negara untuk menjalankan

fungsinya secara dinamis guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang

mendesak, sedangkan aturan untuk itu belum ada. Namun, harus diingat bahwa

kebebasan bertindak administrasi negara tersebut bukan kebebasan dalam arti

yang seluas-luasnya dan tanpa batas, melainkan tetap terikat kepada batas-batas

tertentu yang diperkenankan oleh Hukum Administrasi Negara.

Sehubungan dengan hal ini, Hans J. Wolf (dikutip dari Markus Lukman,

1989:145-146) dalam bukunya Vtrwaltungsrecht jilid 1, mengatakan bahwa freies

Ermessen tidak boleh diartikan secara berlebihan seakan-akan badan atau pejabat

administrasi negara boleh bertindak sewenang-wenang atau tanpa dasar dan

dengan dasar-dasar yang tidak jelas ataupun dengan pertimbangan yang subjektif-

individual. Oleh karena itu, menurut Wolf, lebih baik jika dikatakan mereka

bertindak berdasarkan kebijaksanaan. Biarkan urusan tersebut, sebaiknya

pengertian freies Ermessen ini diberikan arti yang netral sebagai :

" .... power to choose between alternative courses of action".

27

Sebagai konsekuensi diberikannya freies Ermessen kepada administrasi

negara, maka administrasi negara memiliki pouvoir discretionnaire dan oleh

karena itu dapat bertindak sebagai vrijbestuur. Dalam kaitan ini, timbul

kekhawatiran dari kaum legis bahwa hal tersebut bertentangan dengan asas

legalitas, terutama prinsip wetmatigeheid van bestuur, yang artinya semua

perbuatan dalam pemerintahan itu harus berdasarkan pada wewenang yang

diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan.

Penulis berpendapat bahwa memang dalam suatu negara kesejahteraan,

prinsip wetmatigeheid van bestuur tidak dapat lagi dipertahankan secara kaku.

Kenyataan ini didukung oleh fakta bahwa apabila prinsip ini dianut secara kaku,

maka administrasi negara akan sulit mengantisipasi setiap perkembangan yang

terjadi dalam masyarakat, karena setiap saat harus menunggu peraturan

perundang-undangan terlebih dahulu.

Pada sisi lain, badan legislatif pun tidak dapat sepenuhnya menangani

semua perkembangan yang terjadi, disebabkan beberapa kelemahan yang ada

padanya, seperti yang dikatakan Sidney Low yang dikutip oleh Amrah Muslimin

(1985:73); bahwa anggota badan legislatif terdiri dari "amatir-amatir" yang tidak

sepenuhnya menguasai persoalan, disamping itu besarnya jumlah anggota

legislatif pada akhirnya akan menyulitkan dalam mengambil suatu keputusan.

Itulah sebabnya dalam suatu negara modern, peranan administrasi negara

sebagai penyelenggara pemerintahan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan

peranan legislatif. Sehingga administrasi negara tidak hanya sekedar

28

melaksanakan undang-undang (legisme), melainkan demi terselenggaranya negara

hukum dalam arti materil, memerlukan adanya freies Ermessen.

Dengan diberikannya freies Ermessen ini maka administrasi negara tidak

dapat lagi menunggu perintah dari badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi

legislatif. Dalam hal demikian administrasi negaralah yang membuat peraturan

penyelesaian yang diperlukan itu. Ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang

dipegang oleh badan legislatif, diserahkan kepada administrasi negara sebagai

eksekutif. Hal ini menjadi kenyataan di setiap welfarstate. Dalam hal ini telah

terjadi apa yang dalam kepustakaan dikenal sebagai delegatie van wetgeving

bevoegheid.

Uraian yang dikemukakan sebelumnya menunjukkan cukup pentingnya

kegunaan freies Ermessen dalam negara hukum materil, karena ternyata di

dalamnya terkait banyak aspek dan dimensi yang kesemuanya berpolar pada:

kekuasaan (dalam wujud pouvoir discretionnaire, vrij bestuur, delegatie van

wetgeving bevoegheid) dan hukum (dalam wujud asas legalitas, prinsip

wetmatigeheid van bestuur dan rechtssouvereiniteit).

2.2.3. Siapakah atau Badan Negara Manakah yang dalam Konkretonya

Memiliki freies Ermessen

Dengan adanya freies Ermessen menyebabkan administrasi negara memiliki

kekuasaan bertindak dalam menghadapi persoalan-persoalan yang mendesak

dikarenakan aturannya belum ada, yang terwujud melalui kebijakannya. Pada

dasarnya hal ini berarti bahwa administrasi negara menentukan "apakah

29

hukumnya" bagi persoalan tersebut, dan masalah ini erat kaitannya dengan

masalah pertanggungjawabannya.

Untuk melihat siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan maka harus

diketahui terlebih dahulu badan administrasi negara mana yang memiliki freies

Ermessen: apakah legislatif, eksekutif, atau yudikatif?. Jadi, dengan adanya

kepastian mengenai pemegang freies Ermessen ini, kita dapat memastikan

penanggungjawabnya. Oleh karena itu maka perlu dijawab apakah atau siapakah

yang dimaksud dengan administrasi negara itu ?.

Dari berbagai batasan mengenai administrasi negara yang terdapat dalam

berbagai kepustakaan, penulis mengutip pendapat Sjachran Basah (1985:2) yang

menyatakan bahwa :

" ... administrasi negara, yakni alat perlengkapan negara (tingkat Pusat dan

Daerah), yang menyelenggarakan seluruh kegiatan bernegara dalam

menyelenggarakan pemerintahan".

Sekilas timbul kesan bahwa batasan di atas merupakan pengertian dalam arti

yang luas. Akan tetapi bila kita pelajari secara seksama, ternyata kita dapati

pengertian administrasi negara dalam arti sempit. Sebab, demikian menurut

Sjachran Basah, meskipun dalam rangka "menjalankan seluruh kegiatan bernegara

dalam menyelenggarakan pemerintahan" itu, administrasi negara melakukan

sikap-tindak yang berwujud trifungsi, namun hal tersebut janganlah digaduhkan

atau dihubungkan dengan teori triaspolitica dari Montesquieu.

Dengan perkataan lain sikap-tindak administrasi negara yang berwujud

trifungsi tadi (yang berupa: membuat peraturan perundang-undangan dalam arti

materiil yang bukan berbentuk undang-undang dan berderajat di bawah undang-

30

undang, melakukan tindakan administrasi yang nyata dan aktif, serta menjalankan

fungsi peradilan) bukanlah arti triaspolitica Montesquieu. Dengan menggunakan

cara berfikir teori sisa (residu théorie atau aftrek théorie), pengertian administrasi

negara dapat dipertegas sebagai: "gabungan jabatan-aparat administrasi- yang

dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian dan tugas pemerintah yang

tidak dilakukan oleh badan pengadilan maupun badan legislatif.

Adanya sikap-tindak administrasi negara yang berwujud trifungsi tersebut

merupakan konsekuensi logis dari suatu negara kesejahteraan. Dalam konteks

inilah pentingnya pembicaraan mengenai freies Ermessen dan delegatie van

wetgeving bevoegheid dilihat.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa freies Ermessen

memang sebaiknya dipegang oleh pemerintah beserta seluruh jajarannya, baik

tingkat pusat maupun tingkat daerah. Karena itu dalam penggunaan freies

Ermessen yang melanggar atau merugikan hak warga negara, maka terhadap

pemerintah (eksekutif) dapat dimintai pertanggungjawaban melalui pengadilan.

Pandangan ini kiranya sesuai dengan maksud Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986. Hal ini berlaku pula bagi badan usaha milik negara, terutama yang sumber

pendanaannya masih menggantungkan diri kepada anggaran negara.

Secara akademik ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk

memperkuat pendapat penulis tadi, yaitu:

a. pemerintah (eksekutif) memiliki aparat, keahlian, dan sarana yang lebih

lengkap bila dibandingkan dengan kedua badan hukum lainnya (legislatif

dan yudikatif);

31

b. pemerintah (eksekutif)-lah yang sehari-hari secara riel berhubungan

dengan masyarakat, oleh karenanya ia lebih mengetahui dinamika dan

perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga apabila terjadi

persoalan yang mendesak ia akan cepat mengetahui dan mengambil

tindakan;

c. keanggotaan badan legislatif yang relatif besar akan mempersulit dalam

mengambil suatu tindakan yang cepat. Lagi pula, badan ini tidak memiliki

anggota, keahlian, dan sarana yang selengkap pemerintah (eksekutif);

d. bila freies Ermessen diberikan pula kepada badan yudikatif, maka jika

terjadi pelanggaran terhadap hak warga negara, kepada badan yang

manakah gugatan warga negara akan ditujukan? Jadi, kebebasan yang ada

pada hakim itu bukan kebebasan atau keleluasaan dalam arti freies

Ermessen, sebab ini-hakikat dari freies Ermessen adalah mengenai

"kebijakannya". Jelas bahwa meskipun freies Ermessen itu pada akhirnya

menentukan "apakah hukumnya" terhadap suatu persoalan yang konkret,

tetapi dilihat dari hakikat fungsinya berbeda dengan penentuan hukum

oleh hakim.

2.2.4. Peranan freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara

Dari berbagai pendapat para pakar seperti yang telah dikemukakan, penulis

sampai pada suatu kesimpulan bahwa freies Ermessen adalah:

"kebebasan atau keleluasan bertindak administrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan".

32

Dengan adanya freies Ermessen ini maka administrasi negara dapat

menjalankan fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan kepentingan

umum, sehingga dalam menghadapi hal-hal yang sifatnya penting dan mendesak

yang aturannya belum tersedia itu, administrasi negara atas inisiatifnya sendiri

dapat langsung bertindak tanpa menunggu instruksi lagi. Jadi, administrasi negara

dapat langsung dengan berpijak kepada asas kebijaksanaan. Dengan demikian

sifatnya adalah spontan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa freies Ermessen merupakan kekecualian

terhadap asas legalitas dalam arti yang sempit dengan prinsip wetmatigeheid van

bestuur-nya. Hal ini bukan berarti dikesampingkannya sama sekali asas legalitas,

karena sikap-tindak administrasi negara harus dapat diuji berdasarkan peraturan

perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan

hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini tetap dipergunakan asas legalitas, hanya

saja dalam pengertian yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan

pada peraturan perundang-undangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada

ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti algemene beginselen van behoorlijk

bestuur. Hal ini tercermin melalui rumusan penulis di muka yang tercakup dalam

kata-kata "dapat dipertanggungjawabkan".

Sehubungan dengan hal itu, Prajudi Atmosudirdjo (1981:77-78)

menyatakan:

"Diskresi diperlukan sebagai pelengkap daripada asas legalitas, yaitu asas

hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi

negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang".

33

Melihat perkembangan yang semakin cepat dalam masyarakat pada suatu

negara modern saat ini, maka dituntut pula kesiapan administrasi negara untuk

mengantisipasi perkembangan yang terjadi itu. Dalam hal ini, sudah barang tentu

asas legalitas (dalam arti mematigeheid van bestuur) tidak dapat lagi

dipertahankan secara kaku. Sebab, adrninistrasi negara bukan hanya terompet dari

suatu peraturan perundang-undangan, melainkan dalam melaksanakan tugasnya

itu mereka wajib bersikap aktif demi terselenggaranya tugas-tugas pelayanan

publik, yang kesemuanya itu tidak dapat ditampung oleh hukum yang tertulis saja.

Oleh karenanya maka diperlukan freies Ermessen.

Apabila kita hubungan dengan pendapat Sjachran Basah sebagaimana

dikemukakan pada halaman terdahulu, maka implementasi freies Ermessen

melalui sikap-tindak administrasi negara ini dapat berwujud :

a. membentuk peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang

secara materil mengikat umum;

b. mengeluarkan beschikking yang bersifat konkret, final, dan individual;

c. melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif;

d. menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam hal "keberatan" dan

"banding administrasi".

Bertitik tolak dari uraian tersebut maka diperlukan freies Ermessen dalam

Hukum Administrasi Negara dapat dimanfaatkan untuk mengisi celah atau

kekosongan hukum (rechtsvacuum), sehingga memperlancar gerak administrasi

negara. Dengan demikian freies Ermessen berperan dalam mengisi, melengkapi,

dan mengembangkan Hukum Administrasi Negara.

34

Dengan mendinamiskan studi tentang freies Ermessen dan implementasi

dari freies Ermesen dalam bentuk pouvoir discretion atau discretion atau diskresi

dalam studi Administrasi Negara atau Administrasi Publik, maupun pada studi

Kebijakan Publik, akan sangat membantu Administrasi Publik dan Kebijakan

Publik dalam menjawab tantangan perkembangan permasalahan publik yang

semakin dinamis dan belum terakomodasi dalam peraturan-peraturan yang ada.

Sehingga tidak boleh ada lagi pejabat publik yang tidak mengambil keputusan

terhadap suatu permasalahan publik dikarenakan ketiadaan aturan yang

mengaturnya.

2.2.5. Batas Toleransi Sebagai Tolok Ukur freies Ermessen

Menilik pada batasan mengenai freies Ermessen yang dikemukakan

sebelumnya, ternyata di dalamnya terkandung adanya tiga unsur pokok bagi suatu

freies Ermessen. Ketiga unsur pokok tersebut sekaligus merupakan batas toleransi

sebagai kunci tolok ukur dan freies Ermessen.

Adapun ketiga unsur pokok yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Adanya kebebasan atau Keleluasaan Administrasi Negara untuk

Bertindak atas Inisiatif sendiri;

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam suatu negara hukum

modern semua sikap-tindak administrasi negara tidak lagi bersifat wetmatig,

melainkan juga rechtsmatig. Artinya semua sikap tindak administrasi negara

hendaklah tetap berada dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum,

bukan yang dengan tegas dilarang oleh hukum. Kebebasan atau keleluasaan

35

administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri ini, harus pula

berpegang pada hal tersebut.

Berkaitan dengan hal ini Prajudi Atmosudirdjo (1981:85) membagi freies

Ermessen menjadi dua macam, yaitu "diskresi bebas" dan "diskresi terikat".

Dikatakan oleh beliau bahwa :

" .. diskresi bebas, bilamana undang-undang yang menentukan batas- batasnya, dan diskresi terikat, bilamana undang-undang menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih salah satu yang oleh pejabat administrasi dianggap paling dekat".

Berdasarkan pendapat ini dapat dikatakan bahwa kebebasan atau keleluasan

administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri itu dapat berupa :

a. dalam batas-batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan

(terjadi diskresi bebas);

b. memilih salah satu alternatif yang paling mungkin sebagaimana ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan (terjadi diskresi terikat).

2. Untuk menyelesaikan Persoalan-persoalan yang Mendesak yang

Belum Ada Aturannya untuk itu;

Kesulitan utama yang muncul adalah apakah kriteria atau tolak ukur untuk

adanya "persoalan-persoalan yang mendesak" muncul secara tiba-tiba itu ?

Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menggunakan istilah "dalam hal ihwal

kepentingan yang memaksa", sedangkan penjelasannya menggunakan istilah

"dalam keadaan yang genting yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas

dan tepat". Dalam kepustakaan Hukum Tata Usaha Negara, hal ini disebut

dengan noodverordeningsrecht dan yang menurut UUD 1945 kewenangan

36

berada pada Presiden sebagai kepala eksekutif. Jika kita melihat Pasal 12 UUD

1945 yang mengatur tentang "negara dalam keadaan bahaya”, memungkinkan

Presiden selaku kepala negara berinisiatif melakukan tindakan yang cepat dan

tepat guna mengatasi bahaya yang mungkin akan timbul.

Hal yang terakhir ini disebut dengan staatsnoodrecht. Wewenang

Presiden ini, baik selaku kepala eksekutif maupun sebagai kepala negara, tidak

dapat dilaksanakan oleh menteri atau pejabat administrasi bawahan lainnya.

Oleh karena itu keadaan mendesak dan keadaan darurat seperti ini tidak dapat

dijadikan tolok ukur bagi menteri atau pejabat administrasi negara bawahan

lainnya dalam melaksanakan tugas pelayanan publik. Namun hal ini tidak

berarti mereka tidak dapat melakukan tindakan administrasi berdasarkan

keadaan mendesak atau keadaan darurat, misalnya kewenangan Kepala

Wilayah menurut Pasal 81 UU No. 5 Tahun 1974 di bidang politik-polisional

(politioneelbeleia). Oleh karena itu perlu dirumuskan kriteria atau tolok ukur

"persoalan-persoalan penting yang mendesak", dan dalam kaitan ini menurut

Marcus Lukman (1989:165), hal tersebut sekurang-kurangnya mengandung

unsur sebagai berikut:

a. persoalan-persoalan yang muncul harus menyangkut kepentingan umum,

yaitu : kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas,

kepentingan rakyat banyak/bersama, serta kepentingan pembangunan;

b. munculnya persoalan tersebut secara tiba-tiba, berada di luar rencana yang

telah ditentukan;

c. untuk menyelesaikan persoalan tersebut, peraturan perundang-undangan

belum mengaturnya atau hanya mengatur secara umum, sehingga

administrasi negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaikannya atas

inisiatif sendiri;

37

d. prosedurnya tidak dapat diselesaikan menurut administrasi yang normal,

atau jika diselesaikan menurut prosedur administrasi yang normal justeru

kurang berdayaguna dan berhasil guna;

e. persoalan tersebut tidak diselesaikan dengan cepat, maka akan

menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum. 3. Harus Dapat Dipertanggungjawabkan;

Oleh karena administrasi negara memasuki semua sektor kehidupan

masyarakat, maka:

" ... administrasi negara memiliki keleluasan dalam menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan.Walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun secara hukum?'

Memang dapat dirasakan bahwa tanggung jawab secara moral terlalu

abstrak untuk menilainya, tetapi disinilah letak moral pejabat administrasi negara

dipertaruhkan. Akan tetapi Sjachran Basah(1981:98-99) menyatakan bahwa

tanggung jawab secara moral itu adalah tanggung jawab :

" .... kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama."

Pertanggungjawaban secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa itu

pengaturan dasarnya terdapat dalam UUD 1945 dan TAP MPR Nomor

II/MPR/1978 tentang P4. Dengan demikian penerapan freies Ermessen secara

moral harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam

pelbagai peraturan perundang-undangan, secara tersebar telah dimuat tuntutan

adanya pemberian pertanggungjawaban secara moral ini, yaitu dengan dimuatnya

masalah "sumpah/janji" jabatan seperti yang terdapat dalam :

a. UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Di Daerah (Pasal

18 ayat (1) sampai dengan ayat (4));

38

b. UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Pasal 8 ayat (1) dan

(2));

c. PP Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil (Pasal

1 dan 2);

d. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1959 tentang Sumpah Jabatan Pegawai

Negeri Sipil dan Anggota Angkatan Bersenjata (Pasal 2);

e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1974 tentang Persyaratan

dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Daerah (Pasal 8 ayat (1) dan (2));

f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1974 tentang Persyaratan

dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris DPRD (Pasal 7 ayat (1) dan (2)).

Khusus untuk Sumpah/Janji Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal

9 UUD 1945 sedangkan sumpah/janji Pemangku Sementara Jabatan Presiden

diatur dalam Pasal 6 ayat (3) TAP MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan

Presiden dan/atau Wakil Presiden RI berhalangan.

Menurut Sjachran Basah, mengenai tanggungjawab secara hukum dapat

dikemukakan dua batas yaitu “batas-atas” dan “batas-bawah”. Yang dimaksud

dengan "batas-atas" ialah ketaatasasan ketentuan perundang-undangan

berdasarkan asas taat-asas, yaitu peraturan yang ungkat derajatnya rendah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Adapun

batas-batas ini berupa UUD 1945 jo. TAP MPR Nomor XX/MPRS/1966 serta

TAP MPR Nomor V/MPR/1973.

Sedangkan yang dimaksud dengan "batas-bawah", ialah peraturan atau

sikap-tindak adrninistrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar

39

hak dan kewajiban asasi warga. Adapun batas-bawah ini adalah UUD 1945 jo.

TAP MPR Nomor II/MPR/ 1973 pada bidang "hukum" butir 3.e. tentang

penyusunan perundang-nndangan yang menyangkut hak dan kewajiban asasi

warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 jo. Repelita

Bab 27, yang pada hakekatnya, merupakan penjabaran Pasal27 ayat (Z) UUD

1945 sebagai kunci tolok ukur.

Kemungkinan untuk menentukan apakah freies Ermessen akan bertambah

menjadi ermessenfehler atau fehlerfrei, Sjachran Basah (Beberapa Permasalahan

Pokok Sebelum Realisasi Efektif Pengadilan :, Dimuat dalam "Bunga Rampai

HTN dan HAN", FH UII, hlm. 98 - 99.) berpendapat:

"Secara yuridis dalam menentukan ermessenfehler itu, adalah batas toleransi, sebagai kunci tolok ukur di atas, yang secara hukum, berupa : (i) batas-atas, yang dapat dibandingkan dengan penglihatan dari luar, atau

secara eksteren yang menyangkut ermessensuberschreitung dan ermessensunterscreitungáúam hal ini dapat dibanding-hubungkan dengan Pasal 53 ayat (2) huruf a UU Nomor 5 Tahun 1986.

(ii) Batas-bawah, yang dapat dihubungkan dengan penglihatan dari dalam, atau intern yang menyangkut ermessenbranch. Dalam hal ini dapat dibanding-hubungkan dengan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c UU Nomor 5 Tahun 1986.

Berdasarkan uraian mengenai pertanggungjawaban secara hukum ini, dapat

disimpulkan bahwa ukuran tanggung jawab secara hukum adalah sebagai berikut :

a. tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan baik secara

vertikal maupun secara horizontal (batas-atas);

b. sejauh mungkin mempertimbangkan hak dan kepentingan warga negara atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak (batas-bawah);

c. harus sesuai dengan tujuan pemberian wewenang.

40

Dengan adanya berbagai tolok ukur seperti dikemukakan tersebut

diharapkan bahwa penggunaan freies Ermessen, jangan sampai menimbulkan

kerugian atau melanggar hak warga negara. Artinya pejabat administrasi negara

wajib manusiawi dalam mengorbankan hak perorangan demi kepentingan umum,

dan sejauh mungkin tetap memperhatikan kesejahteraannya.

Kunci dan semuanya itu memang berada pada manusianya yaitu para

pejabat administrasi negara itu sendiri. Hal ini sebenarnya telah dirumuskan oleh

penjelasan umum IV, UUD 1945 yang berbunyi:

" ... yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidupnya negara ialah

semangat para penyelenggara negara, semangat pemimpin pemerintahan".

Disinilah letak kedinamisan pelaksanaan freies Ermessen bagi administrasi

negara dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan publik.

2.2.5. Kerangka Umum Diskresi Administrasi Negara Menurut Kerangka

Umum Hukum Administrasi Negara (KUHAN)

Adapun kerangka umum diskresi menurut Kerangka Hukum Administrasi

Negara (KUHAN) yang disusun oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN),

(2011:39) adalah: (pada halaman berikutnya)

41

Gambar 2.1. Kerangka Umum Diskresi Menurut KUHAN

Sumber: LAN (2011:39)

Diskresi

Prasyarat

Kondisional

Syarat Umum

Produk Tindakan

Diskresi

• Terjadi kekosongan hukum

• Peraturan per-UU-an yang ada tidak jelas

atau multitafsir

• Ada pendelegasian berdasarkan per-UU-an

• Diperlukan untuk memenuhi kepentingan

umum

• Mendesak dengan alasan dan motif yang

memiliki dasar

• Perlu keputusan secara cepat, efisien dan

efektif dalam rangka pelaksanaan UUD dan

UU

• Bencana alam dan negara dalam keadaan

darurat

• Pejabat yang mengambil tindakan diskrersi

memiliki kewenangan sesuai masalah yang

terjadi

• Memenuhi unsur yuridis, nilai-nilai moral

dan kearifan

• Memperhatikan rambu-rambu/batas aturan

hukum

• Dapat dipertanggungjswabkan secara moral

• Tidak dimuati kepentingan pribadi

• Terukur dan seimbang

• Dapat dipertanggungjawabkan secara hukum

di kemudian hari

• Mengutamakan keadilan,kesejahteraan dan

kepentingan umum

• Tidak bertentangan dengan hukum/per-UU-

an lainnya

• Tidak bertentangan dengan HAM

• Tidak bertentangan dengan ketertiban umum

dan kesusilaan

• Memperhatikan pemberian kewenangan

diskresi

• Dapat dipertanggungjawabkan sesuai asas-

asas pemerintahan yang baik

• Didasarkan pada pertimbangan dan

perbuatan hukum pejabat lainnya

• Didasarkan pada fakta yang benar

42

Sebagai salah satu manifestasi delegasi dalam bentuk UU yang meletakkan

kerangka dan batas batas tertentu (kaderwet atau Raamwetten) kepada pemerintah.

Amrah Muslimin berpendapat bahwa diskresi adalah kebebasan kebijakan.

Thomas J. Aaron (1964 : 9) di dalam bukunya "the control of Policy

Discrettion" mendefinisikan diskresi sebagai berikut:

“............ is a power or authority conferred by law of act on the basic of

judgement or conscience, and it use more an idea of morals than law".

Dengan penekanan argumentasi bahwa administrasi negara tidak boleh

menolak mengambil keputusan hanya karena tak ada peraturannya, Prajudi

Atmosudirdjo (1986 : 77-78) mengartikan diskresi sebagai:

" .......... kebebasan bertindak atau mengambil keputusan daripada para

pejabat Administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut

pendapatnya sendiri".

Pengertian diskresi yang lebih sederhana tetapi dipandang sangat esensial,

dapat dipahami melalui pemikiran yang dikemukakaan Stanley de Smith (1989 :

571) yang menurutnya Diskresi dimaksudkan sebagai:"...., implies power to

choose between alternative course of action". Sementara menurut Syahran Basah

(1986 : 219) adalah : “kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu"; ataupun

juga merupakan "keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan. walaupun

demikian sikap-tindaknya itu haruslah dipertanggungjawabkan, baik secara moral

maupun hukum".

Penyelenggaraan pemerintahan, dalam arti proses sebagai proses kegiatan

dari admihistrasi negara, adalah untuk merealisasikan tujuan yang telah ditentukan

sebelumnya. Dalam kelompok pemerintahan welfare state tujuan itu adalah

meningkatkan kesejahteraan rakyat (umum). Pada keadaan seperti itu administrasi

43

negara menjadi mandiri, paling tidak di dalam hal menentukan dan menetapkan

prioritas-prioritas operasionalisasi. Dengan perkataan lain, bahwa pemberian

pouvoir discretionnaire menyebabkan terjadinya perluasan kekuasaan

adminsitrasi negara.

Setidak-tidaknya ada dua masalah penting yang perlu diperhatikan dari

perluasan kekuasaan administrasi negara, sebagai dampak pemberian pouvoir

discretionnaire. Pertama, perluasan tersebut dapat menimbulkan ketegangan

(spaningen) dalam kehidupan masyarakat. Ketegangan itu menurut W.F. Prins

(1962 : 37)adalah antara kekuasaan (gezag) dengan kemerdekaan (vrijheid).

Sedangkan menurut Wiarda adalah antara kekuasaan (gezag) dengan keadilan

(gerechtigheid). Kedua, adalah kemungkinan timbulnya praktek-praktek

pemerintahan Negara organis.

Negara organis adalah Negara yang mempunyai kemauan dan kepentingan

sendiri sebagaimana halnya seorang individu. Negara mengadakan campur tangan

ke dalam segala urusan masyarakat atas dasar kepentingan dan kemauannya

sendiri. Dalam Negara organis ini, kepentingan dan kemauan negara yang

diselenggarakan administrasi negara adalah identik dengan kesejahteraan maupun

kemajuan masyarakatnya.

Berbagai aspek positif tentu tersirat dalam Negara organis. Inisiatif secara

aktif dan agresif dalam mencampuri seluruh bidang kehidupan sosial ekonomi

masyarakat, akan dapat memacu atau mempercepat upaya pencapaian tujuan (ide-

ide) Negara. Kondisi demikian terlebih-Iebih lagi pada kelompok Negara

berkembang. Sebaliknya, aspek negative juga relative banyak tersirat di

44

dalamnya. Hal ini antara lain adalah dalam menetapkan prioritas-prioritas yang

harus ditingkatkan. Secara keseluruhan, aspek-aspek negatif dari praktek negara

organis dirasakan cukup tercermin dalam slogan dari Sjahran Basah (1986 : 48) :

"memang kemakmuran dibutuhkan, akan tetapi keadilan lebih dibutuhkan”.

Di dalam penyelenggaraan pemerintahan dikenal beberapa asas yang

kerapkali dijadikan salah satu batu uji (tolak ukur) terhadap baik atau tidak

baiknya pemerintahan suatu Negara. Agar suatu pemerintahan dapat

diklasifikasikan sebagai pemerintahan yang baik, oleh Crince Le Roy dalam

Koesoemahatmaja (1990 : 107-108) dikemukakan sebelas asas (prinsip) yang

harus dipenuhi, yaitu:

1. Asas kepastian hukum

2. Asas Keseimbangan

3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan

4. Asas bertindak cermat atau seksama

5. Asas motivasi

6. Asas tidak menyalahgunakan wewenang

7. Asas permainan tidak layak

8. Asas pemenuhan pengharapan yang ditimbulkan

9. Asas keadilan

10. Asas meniadakan akibat dari keputusan yang dibatalkan

11. Asas perlindungan cara hidup pribadi

Oleh Koentjoro Purbopranoto (1981 : 30), kesebelas asas tersebut dimodifikasi

sesuai dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan semangat UUD 1945. Hal ini

45

dengan menambah dua asas hingga seluruhnya menjadi tiga belas asas. Dua asas

yang ditambah adalah:

1. Asas kebijaksanaan (sapientia), dan

2. Asas penyelenggaraan kepentingan umum

Pada hakikatnya diskresi adalah salah satu bentuk tindakan pemerintahan

atau kewenangan pejabat negara/pemerintahan yang digunakan dalam mengambil

keputusan untuk mengatasi masalah berdasarkan pada pertimbangan pribadi dan

hati nuraninya dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku, asas-asas

umum pemerintahan yang baik serta norma-norma yang berkembang di

masyarakat, dan ditujukan untuk keperluan kepentingan umum.

2.2.6.1. Prasyarat Kondisi Tindakan Diskresi

Pada hakikatnya, syarat-syarat kondisi melakukan tindakan diskresi adalah

sebagai berikut

a. Apabila terjadi kekosongan hukum atau peraturan perundang-undangan

terkait situasi, keadaan atau permasaiahan tertentu yang harus diatasi, belum

ada, atau tidak mengatur,

b. Apabila rumusan peraturannya perundang-undangannya bersifat samar dan

menimbulkan multitafsir.

c. Apabila ada pendelegasian berdasarkan perundang-undangan

d. Apabila diperlukan untuk pemenuhan kepentingan umum

e. Apabila mendesak dan alasannya memiliki dasar serta dibenarkan motif

perbuatannya

f. Apabila diperlukan keputusan yang lebih cepat, efisien, dan efektif dalam

46

mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia dan Undang-undang,

g. Apabila untuk mengatasi suatu kasus dan permasalahan umum yang bersifat

darurat, bencana alam, atau Negara dalam keadaan darurat

h. Pejabat mengambil tindakan diskresi memiliki hak atau kewenangan.,

2.2.6.2. Syarat Umum Produk Tindakan Diskresi

Syarat-syarat umum sebuah produk hasil tindakan diskresi, pada

hakikatnya adalah sebagai berikut.

1. Harus memenuhi unsur yuridis, nilai-nilai moral dan kearifan pada situasi

sekompleks apa pun.

2. Harus memperhatikan rambu-rambu atau batas-batas aturan/hukum yang

berlaku

3. Harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral (noodzakelijk),

4. Tidak dimuati kepentingan pribadi (zakelijk), antara pejabat dengan

produk diskresi

5. Harus terukur atau seimbang antara tindakan dengan berat ringannya

kesalahan (even redig), serta tepat situasi (doelmatig).

6. Harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum di kemudian hari;

7. Harus mengutamakan keadilan, kesejahteraan dan kepentingan

umum/masyarakat.

8. Tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan

lainnya

47

9. Tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia

10. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

11. Wajib memperhatikan tujuan dari pemberian kewenangan diskresi

12. Harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai asas-asas umum pemerintahan

yang baik

13. Harus adanya persetujuan dari masyarakat, jika diskresi akan merugikan.

14. Harus didasarkan pada pertimbangan dan perbuatan hukum pejabat

negara/pemerintahan lainnya

15. Harus didasarkan pada fakta yang benar.

2.2.6.3. Asas-Asas Pembentukan Produk Hukum Administrasi Negara

Melalui Diskresi

Dalam membentuk suatu produk Hukum Administrasi Negara melalui

tindakan diskresi harus memenuhi asas-asas sebagai berikut:

a. Isi pengaturan dari produk Hukum Administrasi Negara yang

diuat'menggunakan asas diskresi harus memenuhi asas-asas umum

pemerintahan yang baik yaitu:

1 ) Kepastian hukum

2) Keseimbangan

3) Kesamaan

4) Bertindak cermat

5) Motivasi

6) Tidak mencampuradukkan kewenangan

7) Permainan yang layak

48

8) Keadilan atau kewajaran

9) Menanggapi pengharapan yang wajar

10) Meniadakan suatu akibat keputusan-keputusan yang batal

11) Perlindungan pandangan hidup pribadi

12) Kebijaksanaan .

13) Pelaksanaan kepentingan umum:

a. Tindakan diskresi yang dilakukan dalam rangka pembentukan produk suatu

Hukum Administrasi Negara, harus menggambarkan tindakan yang

mengutamakan asas-asas:

1) Kepastian hukum;

2) Keseimbangan;

3) Kecermatan/kehati-hatian;

4) Ketajaman dalam menentukan sasaran;

5) Kebijakan;

6) Gotong royong.

2.2.6.4. Extraordinary Freies Ermessen

Istilah freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan

dari kata frel dan freie yang artinya : bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan

orang bebas. Sedangkan kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan,

menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi secara

etimologis, freies Ermessen dapat .diartikan sebagai orang yang

mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil

keputusan.

49

Selain itu istilah freis Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair,

yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat berarti: menurut

wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada undang-

undang.

Dalam kepustakaan IImu Hukum Administrasi Negara telah banyak pakar

yang memberikan bataswan mengenai istilah ini. Prajudi Atmosudirdjo

mengatakan: " .... asas diskresi (discretie; freies Ermessen), artinya, pejabat tidak

boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan 'tidak ada peraturannya', dan

oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat

sendiri asalkan tidak melanggar asas yurudiktas dan asas legalitas... "

Asas legalitas berarti bahwa setiap tindakan (keputusan) administrasi

negara harus diambil berdasarkan atas suatu ketentuan undang-undang.

Sedangkan yang dimaksud dengan asas yuridiktas bahwa setiap tindakan

(keputusan) yang diambil oleh administrasi negara tidak boleh melanggar hukum

(onrechmatige overheidsdaad). Dengan lain perkataan, setiap tindakan

(keputusan) administrasi negara harus wetmatige dan rechmatige.

Senada dengan pendapat tersebut, Sjahran basah mengatakan bahwa

diperlakukannya freies Ermessen oleh administrasi Negara itu:

“ .....dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak, atas inisiatif sendiri. ...

terutama dalam penyelesaiaan persoalan-persoalan yang penting yang timbul

secara tiba-tiba. Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak

cepat, membuat penyelesaian. Namun keputusan-keputusan yang diambil untuk

menyelesaikan masalah":masalah itu, harus dapat dipertanggungjawabkan'

50

Extraordinary freies ermessen hanya dilakukan apabila telah terpenuhi

kriteria atau persyaratan sebagai berikut:

1. Telah terjadinya kondisi darurat yang nyata, sangat akut dan tiba-tiba.

2. Telah dipertimbangkannya secara cermat bahwa tidak ada pilihan lain

kecuali melakukan suatu tindakan yang berpotensi melanggar hukum.

3. Telah diperhitungkannya secara cermat bahwa kerugian yang ditimbulkan

akibat dilakukannya tindakan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan

tujuan atau maksud dilakukannya tindakan tersebut.

4. Telah dipertimbangkannya secara cermat bahwa tindakan tersebut hanya

untuk hal yang bersifat kepentingan umum yang harus segera dilindungi,

dan pihak yang dirugikan hanya dalam jumlah yang sangat sedikit.

5. Telah dipersiapkannya kompensasi untuk pihak yang dirugikan.

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, maka penulis berharap

dapat mengkaji tepat atau tidaknya diskresi kebijakan yang dilakukan oleh PD Jati

Mandiri Kota Cimahi dengan mengacu kepada terpenuhi atau tidaknya kriteria

atau persyaratan dilaksanakannya suatu diskresi.

2.4. Hipotesis Kerja

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka penulis merumuskan

hipotesis kerja sebagai berikut:

Ketepatan pelaksanaan diskresi pada Perusahaan Daerah Jati Mandiri Kota

Cimahi tergantung terhadap kriteria dan persayaratan Tindakan Diskresi.