Upload
phungdieu
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
KERJA
2.1. Kajian Pustaka
Penelitian mengenai diskresi dilakukan oleh Joseph G. Haubrich dan
Joseph A. Ritter tahun 2000, dengan judul “Dynamic Commitment and Incomplete
Policy Rules”, yang dimuat pada “Journal of Money, Credit and Banking”, Vol.
32, No. 4, Part 1 (Nov., 2000)”, yang diterbitkan oleh “The Ohio State University
Press”. Penelitian ini mengkaji diskresi dalam dinamika komitmen dan peraturan
kebijakan yang tidak lengkap di Amerika Serikat. Peraturan yang dimaksud
adalah peraturan yang bersifat masih sederhana dan belum mengatur secara
mendetail.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan penelitian kuantitatif
dan kualitatif. Hasil penelitian mengungkapkan model pengukuran potential loss
dalam memilih diskresi atau melaksanakan suatu peraturan yang ada. Penelitian
Haubrich dan Ritter ini membuka wawasan bagi penelitian ini sebagai dasar
pemikiran untuk membandingkan potential loss diskresi yang dilakukan oleh PD
Jati Mandiri Kota Cimahi, mengingat Perwal No.7 tahun 2006 yang mendasari
struktur organisasi dan tata kelola PD Jati Mandiri bersifat incomplete rule,
dimana Perwal tersebut belum mengantisipasi dinamika bisnis yang dihadapi PD
Jati Mandiri pada tahun-tahun berikutnya.
Penelitian selanjutnya tentang diskresi adalah penelitian yang dilakukan
oleh Donald C. Hambrick dan Eric Abrahamson. Penelitian ini berjudul “Assesing
19
Managerial Discretion across Industries: A Multimethod Approach”. Penelitian
ini di publikasikan dalam ”The Academy of Management Journal”, Vol. 38, No. 5
(Oct., 1995). Penelitian ini mengkaji realitas diskresi manajerial pada 17 sektor
industri di Amerika Serikat.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan penelitian kuantitatif
dan kualitatif. Dari hasil penelitian ini diperoleh pemeringkatan tingkat diskresi
manajerial pada berbagai sektor industri yang dikaji. Penelitian Hambrick dan
Abrahamson ini membuka wawasan bagi penelitian ini sebagai dasar pemikiran
untuk digunakan sebagai pendekatan dan pembanding potensi diskresi yang
dilakukan oleh PD Jati Mandiri Kota Cimahi pada bidang-bidang bisnisnya.,
mengingat divisi-divisi bisnis PD Jati Mandiri pada bidang Teknologi Informasi,
Perumahan, Perdagangan dan Pengairan, merupakan bidang-bidang yang dikaji
oleh Hambrick dan Abrahamson dalam penelitiannya.
Penelitian selanjutnya tentang diskresi adalah penelitian yang dilakukan
oleh Mason A. Carpenter dan Brian A. Golden. Penelitian ini berjudul “Perceived
Managerial Discretion: A Study of Cause and Effect”. Penelitian ini
dipublikasikan pada ”Strategic Management Journal”, Vol. 18, No. 3 (Mar.,
1997). Penelitian ini Mengkaji tentang mengkonstruksi persepsi diskresi
manajerial untuk mengidentifikasi konsekuensi penting tentang persepsi diskresi.
Penelitian ini bersifat eksplanatif dengan pendekatan penelitian kuantitatif.
Dari hasil penelitian ini diperoleh Dengan memahami determinan dan
konsekuensi dari persepsi diskresi manajerial akan berdampak kritis terhadap riset
manajemen srategis. Penelitian Carpenter dan Golden ini membuka wawasan bagi
20
penelitian ini sebagai dasar pemikiran untuk digunakan sebagai pendekatan dan
pembanding memahami determinan dan konsekuensi dari persepsi diskresi
manajerial yang akan berdampak kritis terhadap riset manajemen srategis sebagai
dasar melaksanakan diskresi yang dilakukan oleh PD Jati Mandiri Kota Cimahi.
Tabel 2.1. Perbandingan beberapa Penelitian tentang Diskresi
Kriteria Haubrich &
Ritter
Hambrick &
Abrahamson
Carpenter &
Golden
Bonti
Tempat U.S.A. U.S.A. U.S.A. Cimahi, Jawa
Barat,
Indonesia
Jumlah Variabel 2 Variabel 1 Variabel 1 Variabel 1 variabel
Latar Belakang Ada masalah Ada Masalah Ada Masalah Ada Masalah
Unit Kajian State of the art Studi
Hubungan
Studi
Pengaruh
Implementasi
Pendekatan Kuantitatif dan
kualitatif
Kuantitatif dan
kualitatif
Kuantitatif Kualitatif
Analisis Deskriptif SIC Analytical
level &
Deskriptif
MANOVA
dan regresi,
Eksplanatif
Deskriptif
Kajian Mengkaji
diskresi dalam
dinamika
komitmen dan
peraturan
kebijakan yang
tidak lengkap di
Amerika Serikat
Mengkaji
Realitas
diskresi
manajerial
pada 17 sektor
industri di
Amerika
Serikat
Mengkaji
tentang
mengkonstruk
si persepsi
diskresi
manajerial
untuk
menidentifika
si konsekuensi
penting
tentang
persepsi
diskresi
Mengkaji
tentang
diskresi
kebijakan
perubahan
struktur
organisasi
PD Jati
Mandiri
sebagai suatu
strategi
adaptasi
organisasi
Simpulan/
Temuan
Model
pengukuran
potential loss
dalam memilih
diskresi atau
melaksanakan
suatu peraturan
yang ada.
Diperoleh
pemeringkatan
tingkat
diskresi
manajerial
pada berbagai
sektor industri
yang dikaji.
Dengan
memahami
determinan
dan
konsekuensi
dari persepsi
diskresi
manajerial
akan
21
berdampak
kritis terhadap
riset
manajemen
srategis.
Sumber: Penelitian 2012
2.2. Kerangka Pemikiran
2.2.1. Diskresi
2.2.1.1. Diskresi dalam Administrasi Negara
Perkembangan konsep "negara hukum" sekarang ini telah menghasilkan
suatu konsep negara hukum kesejahteraan (social service state; welvaarstaat).
Dalam suatu negara hukum yang demikian ini, tugas negara sebagai public
servant adalah menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial
(yang oleh Lemaire disebut dengan : bestuurszorg) bagi masyarakatnya, jadi,
tugas negara bukan hanya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban saja. Oleh
karena itu maka negara melakukan campur tangan hampir di setiap sektor
kehidupan masyarakat, yang menyebabkan semakin besarnya keterlibatan
administrasi negara di dalamnya.
Salah satu alasan nyata bagi pertumbuhan kekuasaan administrasi negara di
negara-negara demokrasi modern adalah dengan pudarnya falsafah laissez faire
dan meningkatnya peranan negara dalam bidang sosial-ekonomi. Seperti
diketahui, laissez faire menginginkan sedikitnya peranan negara dalam
mengontrol usaha-usaha pribadi dalam masyarakat dan besarnya peranan individu
dalam melakukan kebebasan berkontrak. Falsafah ini ternyata justru menimbulkan
penderitaan bagi manusia, karena ia mengakibatkan terjadinya eksploitasi oleh
kelompok masyarakat yang kuat terhadap kelompok masyarakat yang lemah.
22
Berdasarkan hal tersebut maka timbul pemikiran-pernikiran mengenai konsep
negara kesejahteraan.
Friedmann dalam bukunya The Rule of Law and The Welfare State
menyebutkan adanya lima fungsi dan negara kesejahteraan, yaitu sebagai
protector. provider, regulator, entrepreneur, dan sebagai arbitrator.
Dalam rangka menjalankan fungsi ini, negara harus memiliki lembaga-
lembaga dan standar perlakuan yang menjamin terselenggaranya kesejahteraan
sosial. Sebagai wakil rakyat secara keseluruhan, negara harus mengatur dan
menjalankan keadilan diantara sektor-sektor masyarakat yang berbeda. Lembaga
dan standar perlakuan tadi dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya
keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan melalui suatu sistem
administrasi negara, maka perilaku dan tindakan suatu sistem administrasi negara
harus diatur melalui suatu hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara.
Hukum Administrasi Negara ini mengikat pula kepada berbagai perusahaan
milik negara maupun pemerintah daerah, termasuk Perusahaan Daerah (PD) Jati
Mandiri Kota Cimahi. Segala tindakan dan perilaku PD Jati Mandiri harus
didasarkan kepada berbagai perturan yang telah ditetapkan kepadanya sebagai
suatu perusahaan daerah. Dengan demikian PD Jati Mandiri dalam setiap tindakan
dan perilakunya harus tunduk terhadap HukumAdministrasi Negara yang berlaku.
Perkembangan konsep negara hukum seperti telah disinggung pada awal
tulisan ini, erat kaitannya dengan peranan Hukum Administrasi Negara di
dalamnya. Pada konsep polizeistaat boleh dikatakan belum berkembang Hukum
Administrasi Negara, barulah pada nachtwakerstaat Hukum Administrasi Negara
23
mulai muncul, meskipun sangat terbatas. Pada welvaarstaat peranan Hukum
Administrasi Negara menjadi semakin luas dan dominan. Hal ini menunjukkan
semakin aktifnya negara terlibat dan melakukan campur tangan dalam setiap
aspek kehidupan masyarakat. Sangatlah sulit membayangkan suatu negara modern
pada saat ini tanpa adanya Hukum Administrasi Negara di dalamnya. Posisi
hukum dalam administrasi negara dijelaskan dalam definisi administrasi publik
menurut David H. Rosenbloom dan Robert S. Kravchuck dalam bukunya “Public
Administration, Understanding Management, Politics and Law in The Public
Sector” (2006:5) adalah: “Public administration is the use of managerial,
political, and legal theories and processes to fulfill legislative, executive, and
judicial mandates for the profision of governmental regulatory and service
functions”.
Akan tetapi mengingat sedemikian luasnya aspek kehidupan sosial dan
kesejahteraan masyarakat yang digeluti itu, maka sudah barang tentu tidak setiap
permasalahan yang dihadapi dan tindakan yang akan diambil oleh administrasi
negara telah tersedia aturannya. dalam keadaan seperti ini membawa administrasi
negara kepada suatu kosekuensi khusus, yaitu memerlukan kemerdekaan
bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian
soal-soal genting yang timbul dengan sekonyong-konyong dan yang peraturan
penyelesaiannya belum ada. Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan
kebijaksanaan sendiri ini, dalam Hukum Administrasi Negara disebut dengan
pouvoir discrétionnaire, freies Ermessen, discretion atau dapat pula disebut
dengan diskresi.
24
Adanya freies Ermessen ini bukannya tidak menimbulkan masalah, karena
kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak warga negara menjadi semakin
besar. Oleh karena itu bagaimana mengontrol kekuasaan administrasi negara agar
tidak disalahgunakan (yang tecermin melalui onrechtmatigegeoverheidsdaad,
detournementde pouvoir atau ultra vires, ataupun abus de droit), merupakan
permasalahan yang relevan untuk dikaji.
Di sinilah arti penting peranan Hukum Administrasi Negara, sebab di satu
pihak ia dipergunakan untuk memungkinkan agar administrasi negara dapat
menjalankan fungsinya (sebagai landasan kerja), tetapi di lain pihak Hukum
Administrasi Negara diperlukan untuk melindungi warga masyarakat terhadap
sikap tindak administrasi negara dan untuk melindungi administrasi negara itu
sendiri.
Agar freies Ermessen yang ada pada administrasi negara tersebut tidak
disalahgunakan, maka diperlukan adanya tolok ukur pembatasan terhadap
penggunaannya. Dengan perkataan lain ada batas toleransi yang mesti dipenuhi
oleh administrasi negara dalam menggunakan freies Ermessen ini.
Berdasarkan uraian di atas nyatalah bahwa freies Ermessen atau diskresi
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam Hukum Administrasi Negara
dan Ilmu Administrasi Negara, sehingga adanya kajian mengenai makna dan
peranan freies Ermessen atau diskresi dalam Hukum Administrasi Negara dan
Ilmu Administrasi Negara akan menjadi sangat penting untuk lebih dikaji lebih
dalam lagi.
25
2.2.2. Pengertian freies Ermessen dan Diskresi
Istilah freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan
dari kata frei dan freie yang artinya : bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan
orang bebas. Sedangkan kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan,
menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi secara
etimologis, freies Ermessen dapat diartikan sebagai "orang yang bebas
mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil
keputusan".
Selain itu istilah freies Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair atau
diskresi, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti :
menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada
undang-undang.
Dalam kepustakaan Ilmu Hukum Administrasi Negara telah banyak pakar
yang memberikan batasan mengenai istilah ini. Prajudi Atmosudirdjo (1981:85)
mengatakan:
" ... asas diskresi (discretie; freies Ermessen), artinya, pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan asas legalitas" Senada dengan pendapat tersebut, Sjachran Basah (1981:85) mengatakan
bahwa diperlakukannya freies Ermessen oleh administrasi negara itu :
" .... dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri.......................terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang penting yang timbul tiba-tiba. Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak cepat membuat penyelesaian. Namun keputusan-keputusan yang diambil menyelesaikan masalah-masalah itu, harus dapat dipertanggungjawabkan”.
26
Pada bagian lain dari buku tersebut freies Ermessen itu diartikan sebagai
"kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu" "keleluasaan dalam menentukan
kebijakan-kebijakan melalui sikap tindak administrasi negara yang harus dapat
dipertanggungjawabkan".
Amrah Muslimin (1985:73) mengartikan freies Ermessen sebagai "lapangan
bergerak selaku kebijaksanaannya" atau "kebebasan kebijaksanaan".
Dari beberapa pendapat yang dikutip sebelumnya, pada hakikatnya tidak
terdapat perbedaan yang prinsip, sebab inti hakikat yang dikandung adalah sama,
yaitu adanya kebebasan bertindak bagi administrasi negara untuk menjalankan
fungsinya secara dinamis guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang
mendesak, sedangkan aturan untuk itu belum ada. Namun, harus diingat bahwa
kebebasan bertindak administrasi negara tersebut bukan kebebasan dalam arti
yang seluas-luasnya dan tanpa batas, melainkan tetap terikat kepada batas-batas
tertentu yang diperkenankan oleh Hukum Administrasi Negara.
Sehubungan dengan hal ini, Hans J. Wolf (dikutip dari Markus Lukman,
1989:145-146) dalam bukunya Vtrwaltungsrecht jilid 1, mengatakan bahwa freies
Ermessen tidak boleh diartikan secara berlebihan seakan-akan badan atau pejabat
administrasi negara boleh bertindak sewenang-wenang atau tanpa dasar dan
dengan dasar-dasar yang tidak jelas ataupun dengan pertimbangan yang subjektif-
individual. Oleh karena itu, menurut Wolf, lebih baik jika dikatakan mereka
bertindak berdasarkan kebijaksanaan. Biarkan urusan tersebut, sebaiknya
pengertian freies Ermessen ini diberikan arti yang netral sebagai :
" .... power to choose between alternative courses of action".
27
Sebagai konsekuensi diberikannya freies Ermessen kepada administrasi
negara, maka administrasi negara memiliki pouvoir discretionnaire dan oleh
karena itu dapat bertindak sebagai vrijbestuur. Dalam kaitan ini, timbul
kekhawatiran dari kaum legis bahwa hal tersebut bertentangan dengan asas
legalitas, terutama prinsip wetmatigeheid van bestuur, yang artinya semua
perbuatan dalam pemerintahan itu harus berdasarkan pada wewenang yang
diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan.
Penulis berpendapat bahwa memang dalam suatu negara kesejahteraan,
prinsip wetmatigeheid van bestuur tidak dapat lagi dipertahankan secara kaku.
Kenyataan ini didukung oleh fakta bahwa apabila prinsip ini dianut secara kaku,
maka administrasi negara akan sulit mengantisipasi setiap perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat, karena setiap saat harus menunggu peraturan
perundang-undangan terlebih dahulu.
Pada sisi lain, badan legislatif pun tidak dapat sepenuhnya menangani
semua perkembangan yang terjadi, disebabkan beberapa kelemahan yang ada
padanya, seperti yang dikatakan Sidney Low yang dikutip oleh Amrah Muslimin
(1985:73); bahwa anggota badan legislatif terdiri dari "amatir-amatir" yang tidak
sepenuhnya menguasai persoalan, disamping itu besarnya jumlah anggota
legislatif pada akhirnya akan menyulitkan dalam mengambil suatu keputusan.
Itulah sebabnya dalam suatu negara modern, peranan administrasi negara
sebagai penyelenggara pemerintahan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan
peranan legislatif. Sehingga administrasi negara tidak hanya sekedar
28
melaksanakan undang-undang (legisme), melainkan demi terselenggaranya negara
hukum dalam arti materil, memerlukan adanya freies Ermessen.
Dengan diberikannya freies Ermessen ini maka administrasi negara tidak
dapat lagi menunggu perintah dari badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi
legislatif. Dalam hal demikian administrasi negaralah yang membuat peraturan
penyelesaian yang diperlukan itu. Ini berarti bahwa sebagian kekuasaan yang
dipegang oleh badan legislatif, diserahkan kepada administrasi negara sebagai
eksekutif. Hal ini menjadi kenyataan di setiap welfarstate. Dalam hal ini telah
terjadi apa yang dalam kepustakaan dikenal sebagai delegatie van wetgeving
bevoegheid.
Uraian yang dikemukakan sebelumnya menunjukkan cukup pentingnya
kegunaan freies Ermessen dalam negara hukum materil, karena ternyata di
dalamnya terkait banyak aspek dan dimensi yang kesemuanya berpolar pada:
kekuasaan (dalam wujud pouvoir discretionnaire, vrij bestuur, delegatie van
wetgeving bevoegheid) dan hukum (dalam wujud asas legalitas, prinsip
wetmatigeheid van bestuur dan rechtssouvereiniteit).
2.2.3. Siapakah atau Badan Negara Manakah yang dalam Konkretonya
Memiliki freies Ermessen
Dengan adanya freies Ermessen menyebabkan administrasi negara memiliki
kekuasaan bertindak dalam menghadapi persoalan-persoalan yang mendesak
dikarenakan aturannya belum ada, yang terwujud melalui kebijakannya. Pada
dasarnya hal ini berarti bahwa administrasi negara menentukan "apakah
29
hukumnya" bagi persoalan tersebut, dan masalah ini erat kaitannya dengan
masalah pertanggungjawabannya.
Untuk melihat siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan maka harus
diketahui terlebih dahulu badan administrasi negara mana yang memiliki freies
Ermessen: apakah legislatif, eksekutif, atau yudikatif?. Jadi, dengan adanya
kepastian mengenai pemegang freies Ermessen ini, kita dapat memastikan
penanggungjawabnya. Oleh karena itu maka perlu dijawab apakah atau siapakah
yang dimaksud dengan administrasi negara itu ?.
Dari berbagai batasan mengenai administrasi negara yang terdapat dalam
berbagai kepustakaan, penulis mengutip pendapat Sjachran Basah (1985:2) yang
menyatakan bahwa :
" ... administrasi negara, yakni alat perlengkapan negara (tingkat Pusat dan
Daerah), yang menyelenggarakan seluruh kegiatan bernegara dalam
menyelenggarakan pemerintahan".
Sekilas timbul kesan bahwa batasan di atas merupakan pengertian dalam arti
yang luas. Akan tetapi bila kita pelajari secara seksama, ternyata kita dapati
pengertian administrasi negara dalam arti sempit. Sebab, demikian menurut
Sjachran Basah, meskipun dalam rangka "menjalankan seluruh kegiatan bernegara
dalam menyelenggarakan pemerintahan" itu, administrasi negara melakukan
sikap-tindak yang berwujud trifungsi, namun hal tersebut janganlah digaduhkan
atau dihubungkan dengan teori triaspolitica dari Montesquieu.
Dengan perkataan lain sikap-tindak administrasi negara yang berwujud
trifungsi tadi (yang berupa: membuat peraturan perundang-undangan dalam arti
materiil yang bukan berbentuk undang-undang dan berderajat di bawah undang-
30
undang, melakukan tindakan administrasi yang nyata dan aktif, serta menjalankan
fungsi peradilan) bukanlah arti triaspolitica Montesquieu. Dengan menggunakan
cara berfikir teori sisa (residu théorie atau aftrek théorie), pengertian administrasi
negara dapat dipertegas sebagai: "gabungan jabatan-aparat administrasi- yang
dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian dan tugas pemerintah yang
tidak dilakukan oleh badan pengadilan maupun badan legislatif.
Adanya sikap-tindak administrasi negara yang berwujud trifungsi tersebut
merupakan konsekuensi logis dari suatu negara kesejahteraan. Dalam konteks
inilah pentingnya pembicaraan mengenai freies Ermessen dan delegatie van
wetgeving bevoegheid dilihat.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa freies Ermessen
memang sebaiknya dipegang oleh pemerintah beserta seluruh jajarannya, baik
tingkat pusat maupun tingkat daerah. Karena itu dalam penggunaan freies
Ermessen yang melanggar atau merugikan hak warga negara, maka terhadap
pemerintah (eksekutif) dapat dimintai pertanggungjawaban melalui pengadilan.
Pandangan ini kiranya sesuai dengan maksud Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986. Hal ini berlaku pula bagi badan usaha milik negara, terutama yang sumber
pendanaannya masih menggantungkan diri kepada anggaran negara.
Secara akademik ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk
memperkuat pendapat penulis tadi, yaitu:
a. pemerintah (eksekutif) memiliki aparat, keahlian, dan sarana yang lebih
lengkap bila dibandingkan dengan kedua badan hukum lainnya (legislatif
dan yudikatif);
31
b. pemerintah (eksekutif)-lah yang sehari-hari secara riel berhubungan
dengan masyarakat, oleh karenanya ia lebih mengetahui dinamika dan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga apabila terjadi
persoalan yang mendesak ia akan cepat mengetahui dan mengambil
tindakan;
c. keanggotaan badan legislatif yang relatif besar akan mempersulit dalam
mengambil suatu tindakan yang cepat. Lagi pula, badan ini tidak memiliki
anggota, keahlian, dan sarana yang selengkap pemerintah (eksekutif);
d. bila freies Ermessen diberikan pula kepada badan yudikatif, maka jika
terjadi pelanggaran terhadap hak warga negara, kepada badan yang
manakah gugatan warga negara akan ditujukan? Jadi, kebebasan yang ada
pada hakim itu bukan kebebasan atau keleluasaan dalam arti freies
Ermessen, sebab ini-hakikat dari freies Ermessen adalah mengenai
"kebijakannya". Jelas bahwa meskipun freies Ermessen itu pada akhirnya
menentukan "apakah hukumnya" terhadap suatu persoalan yang konkret,
tetapi dilihat dari hakikat fungsinya berbeda dengan penentuan hukum
oleh hakim.
2.2.4. Peranan freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara
Dari berbagai pendapat para pakar seperti yang telah dikemukakan, penulis
sampai pada suatu kesimpulan bahwa freies Ermessen adalah:
"kebebasan atau keleluasan bertindak administrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan".
32
Dengan adanya freies Ermessen ini maka administrasi negara dapat
menjalankan fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan kepentingan
umum, sehingga dalam menghadapi hal-hal yang sifatnya penting dan mendesak
yang aturannya belum tersedia itu, administrasi negara atas inisiatifnya sendiri
dapat langsung bertindak tanpa menunggu instruksi lagi. Jadi, administrasi negara
dapat langsung dengan berpijak kepada asas kebijaksanaan. Dengan demikian
sifatnya adalah spontan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa freies Ermessen merupakan kekecualian
terhadap asas legalitas dalam arti yang sempit dengan prinsip wetmatigeheid van
bestuur-nya. Hal ini bukan berarti dikesampingkannya sama sekali asas legalitas,
karena sikap-tindak administrasi negara harus dapat diuji berdasarkan peraturan
perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan
hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini tetap dipergunakan asas legalitas, hanya
saja dalam pengertian yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada
ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti algemene beginselen van behoorlijk
bestuur. Hal ini tercermin melalui rumusan penulis di muka yang tercakup dalam
kata-kata "dapat dipertanggungjawabkan".
Sehubungan dengan hal itu, Prajudi Atmosudirdjo (1981:77-78)
menyatakan:
"Diskresi diperlukan sebagai pelengkap daripada asas legalitas, yaitu asas
hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi
negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang".
33
Melihat perkembangan yang semakin cepat dalam masyarakat pada suatu
negara modern saat ini, maka dituntut pula kesiapan administrasi negara untuk
mengantisipasi perkembangan yang terjadi itu. Dalam hal ini, sudah barang tentu
asas legalitas (dalam arti mematigeheid van bestuur) tidak dapat lagi
dipertahankan secara kaku. Sebab, adrninistrasi negara bukan hanya terompet dari
suatu peraturan perundang-undangan, melainkan dalam melaksanakan tugasnya
itu mereka wajib bersikap aktif demi terselenggaranya tugas-tugas pelayanan
publik, yang kesemuanya itu tidak dapat ditampung oleh hukum yang tertulis saja.
Oleh karenanya maka diperlukan freies Ermessen.
Apabila kita hubungan dengan pendapat Sjachran Basah sebagaimana
dikemukakan pada halaman terdahulu, maka implementasi freies Ermessen
melalui sikap-tindak administrasi negara ini dapat berwujud :
a. membentuk peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang
secara materil mengikat umum;
b. mengeluarkan beschikking yang bersifat konkret, final, dan individual;
c. melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif;
d. menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam hal "keberatan" dan
"banding administrasi".
Bertitik tolak dari uraian tersebut maka diperlukan freies Ermessen dalam
Hukum Administrasi Negara dapat dimanfaatkan untuk mengisi celah atau
kekosongan hukum (rechtsvacuum), sehingga memperlancar gerak administrasi
negara. Dengan demikian freies Ermessen berperan dalam mengisi, melengkapi,
dan mengembangkan Hukum Administrasi Negara.
34
Dengan mendinamiskan studi tentang freies Ermessen dan implementasi
dari freies Ermesen dalam bentuk pouvoir discretion atau discretion atau diskresi
dalam studi Administrasi Negara atau Administrasi Publik, maupun pada studi
Kebijakan Publik, akan sangat membantu Administrasi Publik dan Kebijakan
Publik dalam menjawab tantangan perkembangan permasalahan publik yang
semakin dinamis dan belum terakomodasi dalam peraturan-peraturan yang ada.
Sehingga tidak boleh ada lagi pejabat publik yang tidak mengambil keputusan
terhadap suatu permasalahan publik dikarenakan ketiadaan aturan yang
mengaturnya.
2.2.5. Batas Toleransi Sebagai Tolok Ukur freies Ermessen
Menilik pada batasan mengenai freies Ermessen yang dikemukakan
sebelumnya, ternyata di dalamnya terkandung adanya tiga unsur pokok bagi suatu
freies Ermessen. Ketiga unsur pokok tersebut sekaligus merupakan batas toleransi
sebagai kunci tolok ukur dan freies Ermessen.
Adapun ketiga unsur pokok yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Adanya kebebasan atau Keleluasaan Administrasi Negara untuk
Bertindak atas Inisiatif sendiri;
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam suatu negara hukum
modern semua sikap-tindak administrasi negara tidak lagi bersifat wetmatig,
melainkan juga rechtsmatig. Artinya semua sikap tindak administrasi negara
hendaklah tetap berada dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum,
bukan yang dengan tegas dilarang oleh hukum. Kebebasan atau keleluasaan
35
administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri ini, harus pula
berpegang pada hal tersebut.
Berkaitan dengan hal ini Prajudi Atmosudirdjo (1981:85) membagi freies
Ermessen menjadi dua macam, yaitu "diskresi bebas" dan "diskresi terikat".
Dikatakan oleh beliau bahwa :
" .. diskresi bebas, bilamana undang-undang yang menentukan batas- batasnya, dan diskresi terikat, bilamana undang-undang menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih salah satu yang oleh pejabat administrasi dianggap paling dekat".
Berdasarkan pendapat ini dapat dikatakan bahwa kebebasan atau keleluasan
administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri itu dapat berupa :
a. dalam batas-batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
(terjadi diskresi bebas);
b. memilih salah satu alternatif yang paling mungkin sebagaimana ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan (terjadi diskresi terikat).
2. Untuk menyelesaikan Persoalan-persoalan yang Mendesak yang
Belum Ada Aturannya untuk itu;
Kesulitan utama yang muncul adalah apakah kriteria atau tolak ukur untuk
adanya "persoalan-persoalan yang mendesak" muncul secara tiba-tiba itu ?
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menggunakan istilah "dalam hal ihwal
kepentingan yang memaksa", sedangkan penjelasannya menggunakan istilah
"dalam keadaan yang genting yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas
dan tepat". Dalam kepustakaan Hukum Tata Usaha Negara, hal ini disebut
dengan noodverordeningsrecht dan yang menurut UUD 1945 kewenangan
36
berada pada Presiden sebagai kepala eksekutif. Jika kita melihat Pasal 12 UUD
1945 yang mengatur tentang "negara dalam keadaan bahaya”, memungkinkan
Presiden selaku kepala negara berinisiatif melakukan tindakan yang cepat dan
tepat guna mengatasi bahaya yang mungkin akan timbul.
Hal yang terakhir ini disebut dengan staatsnoodrecht. Wewenang
Presiden ini, baik selaku kepala eksekutif maupun sebagai kepala negara, tidak
dapat dilaksanakan oleh menteri atau pejabat administrasi bawahan lainnya.
Oleh karena itu keadaan mendesak dan keadaan darurat seperti ini tidak dapat
dijadikan tolok ukur bagi menteri atau pejabat administrasi negara bawahan
lainnya dalam melaksanakan tugas pelayanan publik. Namun hal ini tidak
berarti mereka tidak dapat melakukan tindakan administrasi berdasarkan
keadaan mendesak atau keadaan darurat, misalnya kewenangan Kepala
Wilayah menurut Pasal 81 UU No. 5 Tahun 1974 di bidang politik-polisional
(politioneelbeleia). Oleh karena itu perlu dirumuskan kriteria atau tolok ukur
"persoalan-persoalan penting yang mendesak", dan dalam kaitan ini menurut
Marcus Lukman (1989:165), hal tersebut sekurang-kurangnya mengandung
unsur sebagai berikut:
a. persoalan-persoalan yang muncul harus menyangkut kepentingan umum,
yaitu : kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas,
kepentingan rakyat banyak/bersama, serta kepentingan pembangunan;
b. munculnya persoalan tersebut secara tiba-tiba, berada di luar rencana yang
telah ditentukan;
c. untuk menyelesaikan persoalan tersebut, peraturan perundang-undangan
belum mengaturnya atau hanya mengatur secara umum, sehingga
administrasi negara mempunyai kebebasan untuk menyelesaikannya atas
inisiatif sendiri;
37
d. prosedurnya tidak dapat diselesaikan menurut administrasi yang normal,
atau jika diselesaikan menurut prosedur administrasi yang normal justeru
kurang berdayaguna dan berhasil guna;
e. persoalan tersebut tidak diselesaikan dengan cepat, maka akan
menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum. 3. Harus Dapat Dipertanggungjawabkan;
Oleh karena administrasi negara memasuki semua sektor kehidupan
masyarakat, maka:
" ... administrasi negara memiliki keleluasan dalam menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan.Walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun secara hukum?'
Memang dapat dirasakan bahwa tanggung jawab secara moral terlalu
abstrak untuk menilainya, tetapi disinilah letak moral pejabat administrasi negara
dipertaruhkan. Akan tetapi Sjachran Basah(1981:98-99) menyatakan bahwa
tanggung jawab secara moral itu adalah tanggung jawab :
" .... kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama."
Pertanggungjawaban secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa itu
pengaturan dasarnya terdapat dalam UUD 1945 dan TAP MPR Nomor
II/MPR/1978 tentang P4. Dengan demikian penerapan freies Ermessen secara
moral harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam
pelbagai peraturan perundang-undangan, secara tersebar telah dimuat tuntutan
adanya pemberian pertanggungjawaban secara moral ini, yaitu dengan dimuatnya
masalah "sumpah/janji" jabatan seperti yang terdapat dalam :
a. UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Di Daerah (Pasal
18 ayat (1) sampai dengan ayat (4));
38
b. UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Pasal 8 ayat (1) dan
(2));
c. PP Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil (Pasal
1 dan 2);
d. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1959 tentang Sumpah Jabatan Pegawai
Negeri Sipil dan Anggota Angkatan Bersenjata (Pasal 2);
e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1974 tentang Persyaratan
dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Daerah (Pasal 8 ayat (1) dan (2));
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1974 tentang Persyaratan
dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris DPRD (Pasal 7 ayat (1) dan (2)).
Khusus untuk Sumpah/Janji Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal
9 UUD 1945 sedangkan sumpah/janji Pemangku Sementara Jabatan Presiden
diatur dalam Pasal 6 ayat (3) TAP MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan
Presiden dan/atau Wakil Presiden RI berhalangan.
Menurut Sjachran Basah, mengenai tanggungjawab secara hukum dapat
dikemukakan dua batas yaitu “batas-atas” dan “batas-bawah”. Yang dimaksud
dengan "batas-atas" ialah ketaatasasan ketentuan perundang-undangan
berdasarkan asas taat-asas, yaitu peraturan yang ungkat derajatnya rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Adapun
batas-batas ini berupa UUD 1945 jo. TAP MPR Nomor XX/MPRS/1966 serta
TAP MPR Nomor V/MPR/1973.
Sedangkan yang dimaksud dengan "batas-bawah", ialah peraturan atau
sikap-tindak adrninistrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar
39
hak dan kewajiban asasi warga. Adapun batas-bawah ini adalah UUD 1945 jo.
TAP MPR Nomor II/MPR/ 1973 pada bidang "hukum" butir 3.e. tentang
penyusunan perundang-nndangan yang menyangkut hak dan kewajiban asasi
warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 jo. Repelita
Bab 27, yang pada hakekatnya, merupakan penjabaran Pasal27 ayat (Z) UUD
1945 sebagai kunci tolok ukur.
Kemungkinan untuk menentukan apakah freies Ermessen akan bertambah
menjadi ermessenfehler atau fehlerfrei, Sjachran Basah (Beberapa Permasalahan
Pokok Sebelum Realisasi Efektif Pengadilan :, Dimuat dalam "Bunga Rampai
HTN dan HAN", FH UII, hlm. 98 - 99.) berpendapat:
"Secara yuridis dalam menentukan ermessenfehler itu, adalah batas toleransi, sebagai kunci tolok ukur di atas, yang secara hukum, berupa : (i) batas-atas, yang dapat dibandingkan dengan penglihatan dari luar, atau
secara eksteren yang menyangkut ermessensuberschreitung dan ermessensunterscreitungáúam hal ini dapat dibanding-hubungkan dengan Pasal 53 ayat (2) huruf a UU Nomor 5 Tahun 1986.
(ii) Batas-bawah, yang dapat dihubungkan dengan penglihatan dari dalam, atau intern yang menyangkut ermessenbranch. Dalam hal ini dapat dibanding-hubungkan dengan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c UU Nomor 5 Tahun 1986.
Berdasarkan uraian mengenai pertanggungjawaban secara hukum ini, dapat
disimpulkan bahwa ukuran tanggung jawab secara hukum adalah sebagai berikut :
a. tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan baik secara
vertikal maupun secara horizontal (batas-atas);
b. sejauh mungkin mempertimbangkan hak dan kepentingan warga negara atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak (batas-bawah);
c. harus sesuai dengan tujuan pemberian wewenang.
40
Dengan adanya berbagai tolok ukur seperti dikemukakan tersebut
diharapkan bahwa penggunaan freies Ermessen, jangan sampai menimbulkan
kerugian atau melanggar hak warga negara. Artinya pejabat administrasi negara
wajib manusiawi dalam mengorbankan hak perorangan demi kepentingan umum,
dan sejauh mungkin tetap memperhatikan kesejahteraannya.
Kunci dan semuanya itu memang berada pada manusianya yaitu para
pejabat administrasi negara itu sendiri. Hal ini sebenarnya telah dirumuskan oleh
penjelasan umum IV, UUD 1945 yang berbunyi:
" ... yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidupnya negara ialah
semangat para penyelenggara negara, semangat pemimpin pemerintahan".
Disinilah letak kedinamisan pelaksanaan freies Ermessen bagi administrasi
negara dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan publik.
2.2.5. Kerangka Umum Diskresi Administrasi Negara Menurut Kerangka
Umum Hukum Administrasi Negara (KUHAN)
Adapun kerangka umum diskresi menurut Kerangka Hukum Administrasi
Negara (KUHAN) yang disusun oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN),
(2011:39) adalah: (pada halaman berikutnya)
41
Gambar 2.1. Kerangka Umum Diskresi Menurut KUHAN
Sumber: LAN (2011:39)
Diskresi
Prasyarat
Kondisional
Syarat Umum
Produk Tindakan
Diskresi
• Terjadi kekosongan hukum
• Peraturan per-UU-an yang ada tidak jelas
atau multitafsir
• Ada pendelegasian berdasarkan per-UU-an
• Diperlukan untuk memenuhi kepentingan
umum
• Mendesak dengan alasan dan motif yang
memiliki dasar
• Perlu keputusan secara cepat, efisien dan
efektif dalam rangka pelaksanaan UUD dan
UU
• Bencana alam dan negara dalam keadaan
darurat
• Pejabat yang mengambil tindakan diskrersi
memiliki kewenangan sesuai masalah yang
terjadi
• Memenuhi unsur yuridis, nilai-nilai moral
dan kearifan
• Memperhatikan rambu-rambu/batas aturan
hukum
• Dapat dipertanggungjswabkan secara moral
• Tidak dimuati kepentingan pribadi
• Terukur dan seimbang
• Dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
di kemudian hari
• Mengutamakan keadilan,kesejahteraan dan
kepentingan umum
• Tidak bertentangan dengan hukum/per-UU-
an lainnya
• Tidak bertentangan dengan HAM
• Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
dan kesusilaan
• Memperhatikan pemberian kewenangan
diskresi
• Dapat dipertanggungjawabkan sesuai asas-
asas pemerintahan yang baik
• Didasarkan pada pertimbangan dan
perbuatan hukum pejabat lainnya
• Didasarkan pada fakta yang benar
42
Sebagai salah satu manifestasi delegasi dalam bentuk UU yang meletakkan
kerangka dan batas batas tertentu (kaderwet atau Raamwetten) kepada pemerintah.
Amrah Muslimin berpendapat bahwa diskresi adalah kebebasan kebijakan.
Thomas J. Aaron (1964 : 9) di dalam bukunya "the control of Policy
Discrettion" mendefinisikan diskresi sebagai berikut:
“............ is a power or authority conferred by law of act on the basic of
judgement or conscience, and it use more an idea of morals than law".
Dengan penekanan argumentasi bahwa administrasi negara tidak boleh
menolak mengambil keputusan hanya karena tak ada peraturannya, Prajudi
Atmosudirdjo (1986 : 77-78) mengartikan diskresi sebagai:
" .......... kebebasan bertindak atau mengambil keputusan daripada para
pejabat Administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut
pendapatnya sendiri".
Pengertian diskresi yang lebih sederhana tetapi dipandang sangat esensial,
dapat dipahami melalui pemikiran yang dikemukakaan Stanley de Smith (1989 :
571) yang menurutnya Diskresi dimaksudkan sebagai:"...., implies power to
choose between alternative course of action". Sementara menurut Syahran Basah
(1986 : 219) adalah : “kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu"; ataupun
juga merupakan "keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan. walaupun
demikian sikap-tindaknya itu haruslah dipertanggungjawabkan, baik secara moral
maupun hukum".
Penyelenggaraan pemerintahan, dalam arti proses sebagai proses kegiatan
dari admihistrasi negara, adalah untuk merealisasikan tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya. Dalam kelompok pemerintahan welfare state tujuan itu adalah
meningkatkan kesejahteraan rakyat (umum). Pada keadaan seperti itu administrasi
43
negara menjadi mandiri, paling tidak di dalam hal menentukan dan menetapkan
prioritas-prioritas operasionalisasi. Dengan perkataan lain, bahwa pemberian
pouvoir discretionnaire menyebabkan terjadinya perluasan kekuasaan
adminsitrasi negara.
Setidak-tidaknya ada dua masalah penting yang perlu diperhatikan dari
perluasan kekuasaan administrasi negara, sebagai dampak pemberian pouvoir
discretionnaire. Pertama, perluasan tersebut dapat menimbulkan ketegangan
(spaningen) dalam kehidupan masyarakat. Ketegangan itu menurut W.F. Prins
(1962 : 37)adalah antara kekuasaan (gezag) dengan kemerdekaan (vrijheid).
Sedangkan menurut Wiarda adalah antara kekuasaan (gezag) dengan keadilan
(gerechtigheid). Kedua, adalah kemungkinan timbulnya praktek-praktek
pemerintahan Negara organis.
Negara organis adalah Negara yang mempunyai kemauan dan kepentingan
sendiri sebagaimana halnya seorang individu. Negara mengadakan campur tangan
ke dalam segala urusan masyarakat atas dasar kepentingan dan kemauannya
sendiri. Dalam Negara organis ini, kepentingan dan kemauan negara yang
diselenggarakan administrasi negara adalah identik dengan kesejahteraan maupun
kemajuan masyarakatnya.
Berbagai aspek positif tentu tersirat dalam Negara organis. Inisiatif secara
aktif dan agresif dalam mencampuri seluruh bidang kehidupan sosial ekonomi
masyarakat, akan dapat memacu atau mempercepat upaya pencapaian tujuan (ide-
ide) Negara. Kondisi demikian terlebih-Iebih lagi pada kelompok Negara
berkembang. Sebaliknya, aspek negative juga relative banyak tersirat di
44
dalamnya. Hal ini antara lain adalah dalam menetapkan prioritas-prioritas yang
harus ditingkatkan. Secara keseluruhan, aspek-aspek negatif dari praktek negara
organis dirasakan cukup tercermin dalam slogan dari Sjahran Basah (1986 : 48) :
"memang kemakmuran dibutuhkan, akan tetapi keadilan lebih dibutuhkan”.
Di dalam penyelenggaraan pemerintahan dikenal beberapa asas yang
kerapkali dijadikan salah satu batu uji (tolak ukur) terhadap baik atau tidak
baiknya pemerintahan suatu Negara. Agar suatu pemerintahan dapat
diklasifikasikan sebagai pemerintahan yang baik, oleh Crince Le Roy dalam
Koesoemahatmaja (1990 : 107-108) dikemukakan sebelas asas (prinsip) yang
harus dipenuhi, yaitu:
1. Asas kepastian hukum
2. Asas Keseimbangan
3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan
4. Asas bertindak cermat atau seksama
5. Asas motivasi
6. Asas tidak menyalahgunakan wewenang
7. Asas permainan tidak layak
8. Asas pemenuhan pengharapan yang ditimbulkan
9. Asas keadilan
10. Asas meniadakan akibat dari keputusan yang dibatalkan
11. Asas perlindungan cara hidup pribadi
Oleh Koentjoro Purbopranoto (1981 : 30), kesebelas asas tersebut dimodifikasi
sesuai dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan semangat UUD 1945. Hal ini
45
dengan menambah dua asas hingga seluruhnya menjadi tiga belas asas. Dua asas
yang ditambah adalah:
1. Asas kebijaksanaan (sapientia), dan
2. Asas penyelenggaraan kepentingan umum
Pada hakikatnya diskresi adalah salah satu bentuk tindakan pemerintahan
atau kewenangan pejabat negara/pemerintahan yang digunakan dalam mengambil
keputusan untuk mengatasi masalah berdasarkan pada pertimbangan pribadi dan
hati nuraninya dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku, asas-asas
umum pemerintahan yang baik serta norma-norma yang berkembang di
masyarakat, dan ditujukan untuk keperluan kepentingan umum.
2.2.6.1. Prasyarat Kondisi Tindakan Diskresi
Pada hakikatnya, syarat-syarat kondisi melakukan tindakan diskresi adalah
sebagai berikut
a. Apabila terjadi kekosongan hukum atau peraturan perundang-undangan
terkait situasi, keadaan atau permasaiahan tertentu yang harus diatasi, belum
ada, atau tidak mengatur,
b. Apabila rumusan peraturannya perundang-undangannya bersifat samar dan
menimbulkan multitafsir.
c. Apabila ada pendelegasian berdasarkan perundang-undangan
d. Apabila diperlukan untuk pemenuhan kepentingan umum
e. Apabila mendesak dan alasannya memiliki dasar serta dibenarkan motif
perbuatannya
f. Apabila diperlukan keputusan yang lebih cepat, efisien, dan efektif dalam
46
mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia dan Undang-undang,
g. Apabila untuk mengatasi suatu kasus dan permasalahan umum yang bersifat
darurat, bencana alam, atau Negara dalam keadaan darurat
h. Pejabat mengambil tindakan diskresi memiliki hak atau kewenangan.,
2.2.6.2. Syarat Umum Produk Tindakan Diskresi
Syarat-syarat umum sebuah produk hasil tindakan diskresi, pada
hakikatnya adalah sebagai berikut.
1. Harus memenuhi unsur yuridis, nilai-nilai moral dan kearifan pada situasi
sekompleks apa pun.
2. Harus memperhatikan rambu-rambu atau batas-batas aturan/hukum yang
berlaku
3. Harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral (noodzakelijk),
4. Tidak dimuati kepentingan pribadi (zakelijk), antara pejabat dengan
produk diskresi
5. Harus terukur atau seimbang antara tindakan dengan berat ringannya
kesalahan (even redig), serta tepat situasi (doelmatig).
6. Harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum di kemudian hari;
7. Harus mengutamakan keadilan, kesejahteraan dan kepentingan
umum/masyarakat.
8. Tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan
lainnya
47
9. Tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
10. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
11. Wajib memperhatikan tujuan dari pemberian kewenangan diskresi
12. Harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai asas-asas umum pemerintahan
yang baik
13. Harus adanya persetujuan dari masyarakat, jika diskresi akan merugikan.
14. Harus didasarkan pada pertimbangan dan perbuatan hukum pejabat
negara/pemerintahan lainnya
15. Harus didasarkan pada fakta yang benar.
2.2.6.3. Asas-Asas Pembentukan Produk Hukum Administrasi Negara
Melalui Diskresi
Dalam membentuk suatu produk Hukum Administrasi Negara melalui
tindakan diskresi harus memenuhi asas-asas sebagai berikut:
a. Isi pengaturan dari produk Hukum Administrasi Negara yang
diuat'menggunakan asas diskresi harus memenuhi asas-asas umum
pemerintahan yang baik yaitu:
1 ) Kepastian hukum
2) Keseimbangan
3) Kesamaan
4) Bertindak cermat
5) Motivasi
6) Tidak mencampuradukkan kewenangan
7) Permainan yang layak
48
8) Keadilan atau kewajaran
9) Menanggapi pengharapan yang wajar
10) Meniadakan suatu akibat keputusan-keputusan yang batal
11) Perlindungan pandangan hidup pribadi
12) Kebijaksanaan .
13) Pelaksanaan kepentingan umum:
a. Tindakan diskresi yang dilakukan dalam rangka pembentukan produk suatu
Hukum Administrasi Negara, harus menggambarkan tindakan yang
mengutamakan asas-asas:
1) Kepastian hukum;
2) Keseimbangan;
3) Kecermatan/kehati-hatian;
4) Ketajaman dalam menentukan sasaran;
5) Kebijakan;
6) Gotong royong.
2.2.6.4. Extraordinary Freies Ermessen
Istilah freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan
dari kata frel dan freie yang artinya : bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan
orang bebas. Sedangkan kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan,
menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi secara
etimologis, freies Ermessen dapat .diartikan sebagai orang yang
mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil
keputusan.
49
Selain itu istilah freis Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair,
yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat berarti: menurut
wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada undang-
undang.
Dalam kepustakaan IImu Hukum Administrasi Negara telah banyak pakar
yang memberikan bataswan mengenai istilah ini. Prajudi Atmosudirdjo
mengatakan: " .... asas diskresi (discretie; freies Ermessen), artinya, pejabat tidak
boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan 'tidak ada peraturannya', dan
oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat
sendiri asalkan tidak melanggar asas yurudiktas dan asas legalitas... "
Asas legalitas berarti bahwa setiap tindakan (keputusan) administrasi
negara harus diambil berdasarkan atas suatu ketentuan undang-undang.
Sedangkan yang dimaksud dengan asas yuridiktas bahwa setiap tindakan
(keputusan) yang diambil oleh administrasi negara tidak boleh melanggar hukum
(onrechmatige overheidsdaad). Dengan lain perkataan, setiap tindakan
(keputusan) administrasi negara harus wetmatige dan rechmatige.
Senada dengan pendapat tersebut, Sjahran basah mengatakan bahwa
diperlakukannya freies Ermessen oleh administrasi Negara itu:
“ .....dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak, atas inisiatif sendiri. ...
terutama dalam penyelesaiaan persoalan-persoalan yang penting yang timbul
secara tiba-tiba. Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak
cepat, membuat penyelesaian. Namun keputusan-keputusan yang diambil untuk
menyelesaikan masalah":masalah itu, harus dapat dipertanggungjawabkan'
50
Extraordinary freies ermessen hanya dilakukan apabila telah terpenuhi
kriteria atau persyaratan sebagai berikut:
1. Telah terjadinya kondisi darurat yang nyata, sangat akut dan tiba-tiba.
2. Telah dipertimbangkannya secara cermat bahwa tidak ada pilihan lain
kecuali melakukan suatu tindakan yang berpotensi melanggar hukum.
3. Telah diperhitungkannya secara cermat bahwa kerugian yang ditimbulkan
akibat dilakukannya tindakan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan
tujuan atau maksud dilakukannya tindakan tersebut.
4. Telah dipertimbangkannya secara cermat bahwa tindakan tersebut hanya
untuk hal yang bersifat kepentingan umum yang harus segera dilindungi,
dan pihak yang dirugikan hanya dalam jumlah yang sangat sedikit.
5. Telah dipersiapkannya kompensasi untuk pihak yang dirugikan.
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, maka penulis berharap
dapat mengkaji tepat atau tidaknya diskresi kebijakan yang dilakukan oleh PD Jati
Mandiri Kota Cimahi dengan mengacu kepada terpenuhi atau tidaknya kriteria
atau persyaratan dilaksanakannya suatu diskresi.
2.4. Hipotesis Kerja
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka penulis merumuskan
hipotesis kerja sebagai berikut:
Ketepatan pelaksanaan diskresi pada Perusahaan Daerah Jati Mandiri Kota
Cimahi tergantung terhadap kriteria dan persayaratan Tindakan Diskresi.