195
INDONESIA FOREST AND CLIMATE SUPPORT Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi In Collaboration with

Hcvni m n m guide book

  • Upload
    eta-ar

  • View
    227

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

INDONESIA FOREST AND CLIMATE SUPPORT

Panduan Pengelolaan

dan Pemantauan Nilai

Konservasi Tinggi

In Collaboration with

This publication has been prepared for the United States Agency for International

Development, under USAID Contract Number EPP-I-00-06-0008, Order Number AID-497-

TO-11-00002.

This publication is made possible by the support of the American People through the United States

Agency for International Development (USAID). The contents of this document are the sole

responsibility of Tetra Tech ARD and do not necessarily reflect the views of USAID or the United

States Government.

Tetra Tech ARD

159 Bank Street, Suite 300

Burlington, VT 05401

Tel: (802) 658-3890

Hal | 3

Panduan

Pengelolaan dan

Pemantauan

Nilai Konservasi Tinggi

Disusun oleh :

Panel Teknis Jaringan Nilai Konservasi Tinggi Indonesia

Aisyah Sileuw, Dwi R. Muhtaman, Dr Harnios Arief, Kresno Santoso, Dr. Lilik Budi Prasetyo,

Pupung Nurwata, Dr. Irdika Mansyur, Sigit Setyanto, Wahyu F. Riva, Wibowo A. Djatmiko,

Yana Suryadinata.

Didukung oleh Didik Prasetyo dan Yokyok Hadiprakarsa dari IFACS-USAID dan Sutji Shinto

dari Jaringan NKT Indonesia.

Citasi : Jaringan NKT Indonesia. 2013. Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai

Konservasi Tinggi. IFACS-USAID. Jakarta.

Kegiatan ini dibiayai oleh USAID melalui program IFACS (Indonesia Forest and Climate Support). Isi dari

panduan ini bukan merupakan representasi dari USAID.

Hal | 4

Kata Pengantar

Penerapan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di Indonesia tidaklah selalu berjalan sesuai yang

diharapkan. Banyak tantangan berkaitan dengan interpretasi, kualitas penilaian yang

beragam dan masih lemahnya berbagi pengetahuan dan koordinasi antara pemangku

kepentingan yang terlibat dengan perlindungan NKT. Saat ini sudah terdapat panduan

identifikasi NKT di Indonesia yang dibuat hampir 10 tahun lalu, dan telah mengalami revisi

untuk menyesuaikan kondisi lapangan. Dari Kondisi yang ada saat ini, terdapat beberapa

catatan yang harus segera diperbaiki tentang pelaksanaan NKT di Indonesia, diantaranya

adalah pemahaman dan interpertasi terhadap konsep NKT, metodologi identifikasi dan

panduan yang memadai untuk penerapannya pada ekosistem yang berbeda (non-hutan).

Pada saat konsep NKT dilaksanakan, satuan pengelola harus memikirkan bagaima NKT

tersebut dikelola dan dipantau secara berkala, sehingga tujuan pengelolaan dapat tercapai

dengan maksimal. Selain itu, seberapa besar para pihak termasuk para pembuat kebijakan

terlibat dalam proses pengelolaan dan pemantauan NKT. Siapa yang akan bertanggung

jawab mengelola NKT, terlebih apabila NKT yang teridentifikasi berada di dalam wilayah

satuan pengelolaan dan di luar wilayah kelola yang diberikan.

Melihat kondisi seperti ini, Jaringan Nilai Konservasi Tinggi Indonesia mengambil inisiatif

untuk menyusun sebuah Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi

untuk berbagai sektor usaha konsesi sumber daya alam, yaitu IUPHHK-HA (hutan alam),

IUPHHK-HT (hutan tanaman), perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan usaha

pertanian/perkebunan skala kecil. Seluruh panduan tersebut akan terhubung dengan

pengelolaan dan pemantauan skala lansekap. Panduan ini bersifat sederhana dan

melengkapi beberapa panduan yang sudah disusun oleh beberapa pihak, serta merujuk

kepada beberapa panduan atau pedoman yang terkait dengan NKT seperti biodiversitas,

ekosistem, jasa lingkungan dan sosial budaya.

Panduan ini diharapkan bisa menjawab tentang perlunya pengelolaan untuk meningkatkan

nilai konservasi tinggi yang tersebar luas di wilayah Indonesia, khususnya di kawasan

budidaya. Semoga dengan adanya panduan ini dapat bermanfaat bagi para pemangku

kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.

Tim Penyusun

Hal | 5

Ucapan Terima Kasih

Jaringan NKT Indonesia merupakan organisasi berbasis anggota yang mempunyai mandat

untuk mendorong penggunaan NKT sebagai alat dalam meningkatkan dan memelihara nilai-

nilai konservasi tinggi yang ada di wilayah Indonesia. Sebagian besar nilai ini tersebar luas

di dalam wilayah kawasan yang diperuntukkan sebagai wilayah produksi pengelolaan

sumberdaya alam.

Jaringan NKT Indonesia menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada tim panel NKT-

NI yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan curahan pemikiran. Para ahli: Prof Lilik

Budi Prasetyo, Yana Suryadinata, Wahyu Riva, Kresno Santoso, Dr Harnios Arief, Aisyah

Sileuw, Pupung Nurwata, Sigit Setyanto, Wibowo A. Djatmiko, Dr. Irdika Mansyur memberi

pengetahuan dan pengalamannya dalam menyusun panduan pengelolaan dan pemantauan

NKT di Indonesia. Panduan ini merupakan diharapkan bisa melengkapi kebutuhan panduan

tentang penerapan NKT di Indonesia.

Jaringan NKT Indonesia juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para anggota

yang sudah banyak terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok dan hadir dalam workshop-

workshop untuk menyusun panduan ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada

USAID-IFACS yang telah mendukung proses penyusunan panduan ini, melalui workshop

dan pertemuan-pertemuan regular dengan melibatkan para ahli. Kami sampaikan terima

kasih kepada Tropenbos Indonesia yang juga mendukung kegiatan-kegiatan Jaringan

termasuk dalam penyusunan dokumen ini.

Jaringan NKT Indonesia menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas dukungan berbagai

pihak baik untuk kelangsungan Jaringan maupun dalam menyusun dokumen penting ini.

Semoga semua upaya bermanfaat bagi Indonesia yang lebih baik dan berkelanjutan.

Hal | 6

Daftar isi

Kata Pengantar ..................................................................................................................... 4

Ucapan Terima Kasih............................................................................................................ 5

Daftar isi................................................................................................................................ 6

Daftar Gambar ...................................................................................................................... 8

Daftar Tabel .......................................................................................................................... 8

Daftar Singkatan ................................................................................................................... 9

1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 10

1.2. Ruang Lingkup .................................................................................................... 11

1.3. Tujuan ................................................................................................................. 11

1.4. Prasyarat ............................................................................................................ 11

1.5. Struktur Panduan ini............................................................................................ 11

1.6. Tim Penyusun ..................................................................................................... 12

1.7. Proses Penyusunan Panduan Pengelolaan dan Pemantauan ............................ 13

2.1. Sejarah Konsep Nilai Konservasi Tinggi.............................................................. 15

2.2. Pelaksanaan Konsep Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Sumber Daya Alam di

Indonesia ......................................................................................................................... 17

2.3.1. Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan Alam (HPH)

18

2.3.2. Permasalahan Pengeloaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan Tanaman

(HTI) 18

2.3.3. Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Pertambangan ... 19

Nilai Konservasi Tinggi di Konsep Tata Ruang.................................................................... 19

2.4. Identifikasi, Pengelolaan dan Pemantaun Nilai Konservasi Tinggi....................... 20

2.5. Ragam Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi

Sumber Daya Alam di Indonesia ..................................................................................... 22

2.6. Sumber untuk informasi tambahan ...................................................................... 22

3.1. Definisi Pengelolaan ........................................................................................... 23

3.2. Tujuan Pengelolaan ............................................................................................ 23

3.3. Prinsip-prinsip Pengelolaan................................................................................. 23

3.4. Skala Pengelolaan, dan Keluaran ....................................................................... 24

3.5. Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan NKT (RPP-NKT) .. 24

Hal | 7

3.5.1. Menentukan tujuan pengelolaan NKT ........................................................... 26

3.5.2. Analisa ancaman-ancaman terhadap NKT ................................................... 28

3.5.3. Mengidentifikasi intervensi untuk mitigasi ancaman terhadap NKT ............... 32

3.5.4. Menyusun Rencana Pengelolaan NKT ......................................................... 32

3.5.5. Dukungan Sumberdaya dalam Pengelolaan ................................................. 33

3.6. Pengelolaan partisipatif. ...................................................................................... 33

3.7. Sumber untuk informasi tambahan ...................................................................... 35

4.1. Definisi Pemantauan ........................................................................................... 36

4.2. Tujuan Pemantuan .............................................................................................. 36

4.3. Prinsip-prinsip Pemantauan ................................................................................ 37

4.4. Skala Pemantauan dan Keluaran ........................................................................ 37

4.5. Metode Pemantauan NKT ................................................................................... 37

4.5.1. Pemantauan Ekologis ......................................................................................... 37

4.5.2. Pemantauan yang bersifat Partisipatif ................................................................. 38

4.6. Penggunaan Hasil Pemantauan .......................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 42

Lampiran 1: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Alam ...................................... 45

Lampiran 2: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Tanaman ............................... 67

Lampiran 3: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Perkebunan Sawit.......................... 148

Lampiran 4: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Areal Tambang .............................. 167

Lampiran 6: Pengelolaan Lanskap NKT ........................................................................ 191

Hal | 8

Daftar Gambar Gambar 1: penerapan konsep NKT untuk berbagai tujuan. Sumber www.hcvnetwork.org . 17

Gambar 2. Contoh sederhana sebuah model konseptual untuk satu tujuan pengelolaan,

ancaman dan intervensi. ..................................................................................................... 25

Gambar 3. Tahapan pembangunan pengelolaan dan pemantauan NKT - Adaptasi dari

Good Practives guilnes for High Conservation Value assessments: A Practical guide for

practitioners and auditors [3] ............................................................................................... 26

Gambar 4. Ilustrasi peta potensi ancaman secara spasial hasil analisa Multiple Criteria

Evaluation (MCE) beserta hasil pemetaan ancaman secara partisiparif dengan Unit

Pengelola ............................................................................................................................ 30

Gambar 5. Ilustrasi model konseptual untuk memetakan ancaman beserta intervensi untuk

mengurangi/menghilangkan ancaman terhadap sasaran pengelolaan. ............................... 32

Daftar Tabel Tabel 1. Contoh beberapa tujuan pengelolaan NKT ........................................................... 27

Tabel 2. Parameter-parameter ancaman yang dipergunakan dalam mengidentifikasi potensi

ancaman secara spasial ..................................................................................................... 28

Tabel 3. Empat kelompok tingkatan ancaman untuk membantu pengukuran tingkat

ancaman (Di modifikasi dari WCS-LLP [5]) ......................................................................... 31

Tabel 4. Ilustrasi penentuan prioritas ancaman menggunakan system pembobotan dan

kriteria ancaman (Adaptasi dari WCS-LLP[5]). .................................................................... 31

Hal | 9

Daftar Singkatan

BMP Best practise management

DAS Daerah Aliran Sungai

FSC Forest Stweardship Council

NKT Nilai Konservasi Tinggi

NKTF Nilai Konservasi Tinggi Forest

NKT-NI Nilai Konservasi Tinggi Network Indonesia

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

MTCC Malaysian Timber Certification Council

NGO Non Govermental Organization

RSPO Roundtable Sustainabel Palm Oil

SOP Standard Operational Procedure

Hal | 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konsep Hutan Bernilai Konservasi Tinggi pertama kali di perkenalkan oleh Forest

Stewardship Council (FSC) untuk sektor kehutanan dalam kerangka sertifikasi pengelolaan

hutan berkelanjutan. Konsep ini merupakan bagian dari prinsip yang harus dipenuhi dalam

skema sertifikasi pengelolaan hutan alam berkelanjutan yang dipergunakan oleh FSC.

Prinsip ini terdapat dalam prinsip kesembilan dari kriteria dan indikator yang harus dipenuhi

oleh pengelola hutan alam (http://www.fsc.org/pc.html).

Berdasarkan standar FSC, pada prinsip 9, terdapat empat hal penting yang harus dilakukan

berkaitan dengan NKT oleh setiap unit pengelolaan hutan dalam proses penilaian sertifikasi,

yaitu: bahwa setiap unit pengelolaan hutan diwajibkan untuk:

1. Mengidentifikasi Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (NKT) yang ada di dalam kawasan

konsesinya;

2. Konsultasi publik dalam proses sertifikasi harusmenekankan pada sifat-sifat konservasi

yang teridentifikasi dan pilihan-pilihan pengelolaannya ;

3. Mengelola area hutan tersebut supaya dapat memelihara atau meningkatkan nilai-nilai

yang teridentifikasi;

4. Memonitor keberhasilan pengelolaan kawasan hutan itu.

Meskipun pada awalnya konsep NKT digunakan dalam konteks sertifikasi pengelolaan

hutan, namun hingga saat ini berkembang dan dapat diterapkan untuk berbagai

penggunaan termasuk misalnya pada perencanaan tataguna lahan, advokasi konservasi,

perencanaan dan desain pembelian bahan baku yang bertanggungjawab serta kebijakan-

kebijakan investasi. Dalam pelaksanaannya di lapangan masih banyak ditemukan berbagai

permasalahan yang berhubungan dengan interpretasi, metode pendekatan, analisa dan

standar peloporan yang berbeda satu sama lain. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah

kesulitan para pengelola sumberdaya alam dalam menindaklanjuti hasil identifikasi NKT

yaitu adanya rencana pengelolaan untuk dapat memelihara atau meningkatkan NKT dan

pemantauan terhadap NKT yang teridentifikasi di dalam masing-masing unit pengelolaan.

Pemantauan ini untuk mengukur dan mengetahui tingkat keberhasilan pengelolaan NKT.

Sampai saat ini belum ada panduan yang menjadi rujukan bagi para pengelola sumberdaya

alam untuk mengelola dan memantau NKT yang sudah teridentifikasi.

Tercatat lebih dari 10 unit pengelolaan hutan alam yang sudah mendapatkan sertifikat FSC

di Indonesia,hanya sebagian kecil saja yang sudah melakukan pengelolaan dan

pemantauan NKT dengan benar. Kondisi ini hampir sama di sektor perkebunan kelapa

sawit, dimana sudah cukup banyak unit pengelolaan sudah mendapatkan sertifikat

Roundtable Sustainable palm Oil (RSPO).

Hal | 11

Atas kondisi tersebut, Jaringan Nilai Konservasi Tinggi Indonesia/High Conservation Value-

Indonesia Network mengembangkan panduan pengelolaan dan pemantuan NKT untuk

berbagai sektor seperti Kehutanan (hak pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman),

perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan produk pertanian skala kecil lainnya.

1.2. Ruang Lingkup

Panduan ini disusun untuk pengelolaan dan pemantauan NKT di dalam kawasan konsesi

secara umum, baik di dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan, perkebunan kelapa

sawit, pertambangan dan pertanian skala kecil. Yang dimaksud pengelolaan sumberdaya

alam pada sektor hutan, kelapa sawit dan pertambangan dalam dokumen ini adalah satuan

usaha dengan skala besar. Sementara itu sektor pertanian yang dimaksud dalam dokumen

ini adalah khusus untuk pertanian skala kecil (khusus untuk pertanian skala kecil sawit,

kebun kopi, kebun coklat).

1.3. Tujuan

Tujuan dari panduan ini adala memberi arahan dan panduan bagi para pengelola

sumberdaya alam hutan, perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan pertanian skala kecil

(sesuai dengan regulasi yang berlaku) dalam membuat rencana pengelolaan dan

pemantauan wilayah-wilayah yang mempunyai kanduangan nilai konservasi tinggi.

1.4. Prasyarat

Beberapa prasyarat yang harus terpenuhi untuk menyusun sebuah rencana rencana pengelolaan dan pemantauan NKT, antara lain : - Sudah tersedia dokumen hasil identifikasi kawasan bernilai konservasi tinggi untuk unit

pengelolaan, yang berisi tentang nilai-nilai NKT yang ada di dalam kawasan unit pengelolaan. Dokumen hasil identifikasi ini harus masih relavan dan terkini dengan situasi dan kondisi di dalam wilayah unit pengelolaan1;

- Tersedia data pendukung seperti peta-peta, laporan hasil kajian atau laporan lain yang mendukung tentang keberadaan NKT;

- Tersedia divisi atau unit yang akan menjadi penanggung jawab dalam menyusun atau mengawal proses penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan.

1.5. Struktur Panduan ini

Panduan ini disusun dalam beberapa bab yang berbeda dengan isi dan tujuan yang

berbeda.

Bab 1 berisi latar belakang, ruang lingkup, tujuan, prasyarat, dan struktur panduan. Dalam

Bab ini juga dijelaskan mengenai tim penyusun dan proses penyusunan panduan

pengelolaan dan pemantauan ini.

Bab 2 berisi tentang konsep, sejarah dan pelaksanaan NKT di Inodnesia. Tantangan dalam

penerapan NKT pada kawasan konsesi Hutan Alam. Hutan Tanaman Industri, Tambang dan

penerapan NKT di konsep tata ruang juga didiskusikan dalam Bab ini. Bab ini juga

1 Dokumen hasil identifikasi untuk unit pengelolaan yang melakukan kegiatan konversi paling lambat

6 bulan sesudah melakukan kegiatan identifikasi harus segera menyusun rencana pengelolaan. Begitu juga dengan unit pengelolaan sumberdaya alam yang lainnya. Unit yang melakukan konversi di utamakan untuk segera membuat rencana pengelolaan karena laju kegiatan komversi akan sangat berdampak kepada kondisi dan situasi keberadaan NKT di wilayah tersebut.

Hal | 12

mejelaskan tentang bagaimana identifikasi, pengeloaan dan pemantauan NKT dilakukan,

termasuk ragam pengelolaan dan pemantauan NKT pada kawasan konsesi hutan alam,

hutan tanaman, tambang, perkebunan skala kecil (smallholders), dan pada tingkatan

bentang alam/landscape.

Bab 3 berisi tentang konsep pengelolaan, definisi, skala dan keluaran yang diharapkan.

Selain itu juga dibahas tentang bagaimana menyusun rencana pengelolaan NKT sampai

pelaksanaan dilapangan. Dalam bab ini juga secara terpisah akan di jelaskan beberapa hal

khusus yang berhubungan dengan pengelolaan diberbagai sektor pengelolaan sumberdaya

alam seperti pengelolaan hutan, perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan petani skala

kecil, khususnya dalam konteks sertifikasi. Di dalam bab ini juga dibahas tentang konsep

pengelolaan dalam konteks lanskap yang luas.

Bab 4 berisi tentang konsep pemantauan, definisi, skala dan keluaran yang diharapkan.

Selain itu juga dibahas tentang bagaimana menyusun pemantuan NKT sampai pelaksanaan

di lapangan. Dalam bab ini dibahas tentang konsep pemantauan secara ekologis termasuk

di dalamnya tahapan dalam pemantauan ekologis, protokol pemantauan ekologis,

pengambilan data, dan ambang batas. Untuk konteks sosial dan budaya, konsep yang

dipergunakan adalah pemantauan secara partisipatif termasuk di dalamnya adalah tahap

pemantauan sosial dan budaya. Bagaimana cara menggunakan hasil pemantuan untuk

perbaikan dalam pengelolaan dibahas dalam bab ini termasuk juga pemantauan dalam

skala landskap.

Bab 5 berisi tentang kesimpulan dari tahapan-tahapan dalam pengelolaan dan pemantauan

NKT.

Lampiran-Lampiran adalah panduan secara khusus bagaimana NKT dapat dikelola dan

dipantau oleh satuan pengelola, di dalam lampiran terbagi menjadi: (1) Panduan

Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk pengusahaan hutan alam (HPH), (2) Panduan

Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk pengusahaan hutan tanaman (HTI), (3) Panduan

Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk perkebunan kelapa sawit, (4) Panduan

Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk pertambangan, dan (5) Panduan Pengelolaan dan

Pemantauan NKT untuk pertanian skala kecil. Di dalam panduan ini dibahas bagaimana

kegiatan konsesi dapat terintegrasi dengan pengelolaan dan pemantauan NKT.

Panduan ini disusun dalam bentuk satu model utuh, sehingga pengguna atau pembaca

diharapkan membaca secara keseluruhan bab mulai dari Bab 1, Bab 2, Bab 3, Bab 4, dan

Bab 5 sampai dengan lampiran untuk mengetahui dan memahami tentang bagaimana

penyusunan dan pelaksanaan pengelolaan serta pemantauan Nilai Konservasi Tinggi dapat

dilakukan oleh satuan kelola konsesi sumberdaya alam.

1.6. Tim Penyusun

Tim penyusun panduan ini terdiri beberapa orang yang merupakan praktisi dan ahli untuk

masing-masing bidang/sektor usaha konsesi sumberdaya alam dan NKT yang relevan

seperti, ekologi, sosial budaya dan lanskap. Tim bekerja secara individual dan kelompok

melalui workshop dan Focus Group Discussion (FGD).

Anggota tim panel adalah Prof Lilik Budi Prasetyo, Dr. Semiarto adji , Yana Suryadinata,

Wahyu Riva, Kresno Santoso, Dr Harnios Arief, Aisyah Sileuw, Pupung Nurwata, Sigit

Hal | 13

Setyanto, Wibowo A. Djatmiko, Dwi R. Muhtaman, Sutji Shinto dan didukung oleh Didik

Prasetyo dan Yokyok Hadiprakarsa dari IFACS-USAID.

1.7. Proses Penyusunan Panduan Pengelolaan dan Pemantauan

Panduan pengelolaan dan pemantauan NKT ini diinisiasi oleh USAID-IFACS dan JNKTI dan

disusun oleh 11 orang yang tergabung dalam tim ahli yang dipilih berdasarkan pengalaman

dan kemampuannya dalam kerja-kerja yang berkaitan dengan NKT. Proses dimulai pada

bulan Mei 2012 sampai dengan sekarang melalui beberapa tahapan yaitu:

1. 29 Mei 2012

Kegiatan:

IPB ICC Bogor. Expert meeting.

Pertemuan awal dihadiri oleh tim ahli, USAID IFACS, JNKTI dan para Expert Panel yang

bertujuan untuk berdiskusi bersama dengan tujuan terbentuk sebuah rancangan/outline

yang akan menjadi pegangan bersama anggota panel dalam menyusun draft rencana

pengelolaan dan pemantauan HCV di berbagai sektor atau komoditi.

Tujuan: Pertemuan ini diharapkan tim ahli mendapat gambaran tentang maksud dan tujuan

dari panduan pengelolaan dan pemantauan HCV.

2. 30 Mei 2012

Kegiatan:

IPB ICC Bogor. Pre workshop

Tujuan utama dari worksop ini adalah menyampaikan hasil-hasil dan proses pembelajaran

dari kegiatan identifikasi, pengelolaan dan pemantauan HCV yang dilakukan di berbagai

sektor/komoditi dengan segala prestasi dan permasalahannya.

Pre workshop ini diisi dengan para pembicara dari berbagai sector dan diharapkan akan ada

gambaran secara sektoral tentang prestasi dan permasalahan dalam melakukan proses

identifikasi, pengelolaan dan pemantauan HCV. Para ahli mendapatkan gambaran prestasi/

permasalahanya dan bisa segara membuat sebuah draft panduan tentang pengelolaan dan

pemantauan HCV di masing-masing sektor/komoditi.

3. 3 Juli 2012

Kegiatan:

Tropenbos Indonesia. Expert meeting

Pertemuan ini dihadiri oleh para expert untuk mengevaluasi draft awal panduan yang telah

disusun. Draft panduan ini memang berapa kali mengalami bongkar pasang, untuk menjadi

sebuah panduan yang lengkap dan sistimatis.

4. 12 Juli 2012

Kegiatan:

IPB ICC Bogor. Workshop pengenalan draft Pengelolaan dan Pemantauan

Tujuan utama dari workshop ini adalah untuk membuat dan mengembangkan pedoman

pengelolaan dan pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada konsesi hutan alam dan

tanaman, perkebunan kelapa sawit, pertambangan, petani skala kecil-menengah, dan

lansekap di Indonesia.

Hal | 14

Pada Workshop ini mulai dikenalkan draft awal yang telah tersusun.

Peserta mencakup beberapa stakeholder dari lembaga pemerintah, praktisi, pengamat,

LSM, akademisi, peneliti, petani dari UKM, dan perusahaan swasta, serta anggota jaringan

NKT Indonesia. Diharapkan draft panduan mendapat banyak masukan melalui diskusi-

diskusi kelompok, sehingga tim ahli dapat lebih menyempurnakan panduan ini.

5. 13 Juli 2012

Kegiatan:

Expert meeting

Berdasarkan masukan-masukan dari peserta workshop sehari sebelumnya, para tim ahli

kembali berdiskusi untuk menyempurnakan draft panduan.

6. 22 Oktober 2012

Kegiatan:

Expert meeting

Pertemuan ini adalah untuk finalisasai draft panduan pengelolaan dan pemantauan HCV.

Dihadiri oleh tim ahli, dan diharapkan pada pertemuan ini dapat diperoleh draft final

panduan pengelolaan dan pemantauan NKT.

7. November 2012

Kegiatan:

Konsultasi publik

Sebelum panduan ini di uji cobakan, akan diadakan konsultasi public di tingkat kabupaten,

Aceh, Papua dan Kalimantan.

8. Februari 2013

Kegiatan:

Uji Coba

Draft Panduan akan di ujicobakan di beberapa perusahaan

9. Februari – Maret 2013

Kegiatan:

Final draft

Penyempurnaan draft panduan menjadi final draft

10. Maret 2013

Kegiatan:

Workshop

Workshop ini sebagai workshop penutup dari rangkaian penyusunan panduan. Sekaligus

peluncuran Panduan Pengelolaan dan Pemantauan HCV Area.

Hal | 15

BAB 2 Konsep NKT

Bab ini membahas tentang sejarah dari konsep Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan

hubungannya dengan sertifikasi. Kemudian penggunaan konsep tersebut dalam Konteks

sertifikasi pengelolaan sumberdaya alam hutan dan pemakaian konsep ini diluar sertifikasi.

Hal lain yang dibahas adalah komponen penting dalam penilaian NKT yaitu identifikasi,

pengelolaan dan pemantauan. Di bahas juga sekilas tentang pentingnya NKT dalam

Konteks bentang alam atau lanskap.

2.1. Sejarah Konsep Nilai Konservasi Tinggi

Nilai Konservasi Tinggi (NKT) yang diperkenalkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) pada tahun 1999 untuk sektor kehutanan dalam kerangka sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan. Konsep ini menjadi salah satu prinsip dalam standard FSC yang harus dipenuhi oleh pengelola hutan (http://www.fsc.org/pc.html). Nilai Konservasi Tinggi didefinisikan sebagai nilai biologi,ekologi, sosial atau budaya yang dianggap sangat penting pada skala nasional, regional dan global. Tabel berikut ini menjelaskan tonggak-tonggak

penting dalam perkembangan konsep NKT.

Tahun Perkembangan konsep NKT

1999 FSC mulai mengembangkan konsep ini dengan istilah HCVF (High Conservation Value Forest). HCVF dijabarkan ke dalam empat nilai, sebagai berikut:

i) Wilayah-wilayah keanekaragaman hayati yang penting di tingkat global, regional atau nasional.

ii) Wilayah-wilayah yang memberikan jasa-jasa lingkungan yang sangat penting.

iii) Wilayah-wilayah yang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal

iv) Wilayah-wilayah yang sangat penting untuk melestarikan identitas budaya dari masyarakat lokal.

2003 Proforest dan Rainforest Alliance mengembangkan global toolkit tentang mengidentifikasi, mengelola dan memantau Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (HCVF). Toolkit ini menjelaskan bahwa HCVF memiliki enam nilai (HCVs) yang terdiri dari: HCV1. Wilayah hutan yang memiliki konsentrasi nilai keanekaragaman

hayati yang penting secara global, regional atau nasional (misalnya, species endemik, terancam punah, refugia).

HCV2. Wilayah hutan yang memiliki tingkat lanskap luas yang penting secara global, regional atau national, yang berada di dalam unit pengelolaan di mana populasi yang viabel dari spesies-spesies berada dalam pola-pola distribusi dan kelimpahan alami.

HCV3. Wilayah hutan yang berada dalam ekosistem yang jarang, terancam dan hampir punah.

HCV4. Wilayah hutan yang memberikan jasa lingkungan dalam situasi yang sangat penting.

HCV5. Wilayah hutan yang sangat fundamental untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal.

HCV6. Wilayah hutan yang sangat penting bagi identitas budaya

Hal | 16

tradisional (wilayah yang memiliki nilai penting budaya, ekologi, ekonomi atau agama yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal).

2003 Toolkit global ini kemudian diikuti dengan pengembangan toolkit nasional di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Vietnam, China, Polandia, Rumania, Bulgaria, Bolivia, Ecuador, Canada, Gabon, Ghana dan Kamerun. Toolkit-toolkit nasional ini juga berisi tentang identifikasi, pengelolaan dan pemantauan hutan dengan nilai konservasi tinggi.

2005 RSPO (Roundtable for Sustainable Palm Oil) mengadopsi NKT dalam Prinsip dan Kriterianya.

2006 Pada tanggal 30-31 January HCV Resource Network dikembangkan oleh Kelompok Advisory yang terdiri dari berbagai organization dengan minat dalam konsep NKT dan pengembangan HCV Resource Network.

2008 Revisi Toolkit NKT Indonesia. Pada bulan Juni 2008 para pihak di Indonesia meluncurkan Panduan Identifikasi Nilai Konservasi Tinggi di Indonesia.

2009 Konsep NKT diadopsi dalam standard komoditas lain seperti RTRS (Roundtable on Responsible Soy), Bon Sucro (sustainable sugarcane plantation) and RSB (roundtable for sustainable Biofuel)

2012 FSC menyepakati revisi Prinsip dan Kriteria untuk Pengelolaan Hutan yang bertanggungjawab, termasuk definisi NKT di dalamnya. NKT1. Keragaman Spesies. Konsentrasi keanekaragaman biologi yang

meliputi spesies endemik, dan spesies jarang, terancam atau hampir punah, yang penting di tingkat global, regional dan nasional.

NKT2. Ekosistem dan mosaic tingkat lanskap. Ekosistem tingkat lanskap yang luas dan mosaik ekosistem yang penting pada tingkat global, regional dan nasional, dan yang memiliki populasi yang viable dari spesies-spesies utama, atau spesies-spesies yang ada dalam pola-pola distribusi dan kelimpahan secara alami.

NKT 3. Ekosistem dan habitat. Ekosistem, habitat atau refugia yang jarang, terancam atau hampir punah.

NKT 4. Jasa ekosistem yang sangat penting. Jasa ekosistem dasar dalam situasi yang sangat penting, yang meliputi perlindungan daerah tangkapan air dan pengendalian erosi pada tanah-tanah dan kelerengan yang rentan.

NKT 5. Kebutuhan masyarakat. Situs-situs dan sumberdaya yang fundamental untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal atau masyarakat adat (misalnya, mata pencaharian, kesehatan, gizi dan air), yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat.

NKT 6. Nilai-nilai Budaya. Situs-situas, sumberdaya, habitat dan lanskap yang penting secara global atau nasional dari aspek arkaelogi atau sejarah, dan/atau penting secara budaya, ekologi, ekonomi atau agama/keramat untuk budaya tradisi masyarakat lokal atau masyarakat adat. Nilai-nilai ini diidentifikasi melalui pendekatan dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat.

Hal | 17

2.2. Pelaksanaan Konsep Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi

Sumber Daya Alam di Indonesia

Dalam perjalanannya, konsep HCV ini diadopsi untuk berbagai tujuan, meskipun awalnya

hanya digunakan dalam konteks sertifikasi pengelolaan hutan yang bertanggungjawab

dalam standard FSC. Gambar berikut menunjukkan beragamnya penggunaan konsep HCV

untuk berbagai tujuan.

Gambar 1: penerapan konsep NKT untuk berbagai tujuan. Sumber www.hcvnetwork.org

2.3. Permasalahan dalam penerapan NKT pada beberapa sektor

pengelolaan sumberdaya alam

Permasalahan umum yang paling sering dihadapi dalam pengelolaan nilai konservasi tinggi

di beberapa sektor adalah:

Tidak adanya dukungan legalitas pada kawasan NKT.

Kurangnya data dan informasi, terutama data yang berhubungan dengan konteks

spasial.

Pemahaman tentang definisi operasional NKT, KBKT dan KPBKT, sehingga batas

pengelolaan dan pemantauan menjadi tidak jelas.

Khusus NKT 5 dan NKT 6 yang bersifat dinamis, sulit untuk membuat rencana

pengelolaan jangka panjang.

Kompatibilitas dengan proses-proses lain seperti AMDAL, dsb.

Sementara itu, permasalahan khusus yang dihadapi dalam mengelola NKT pada masing-

masing sektor juga tidak kalah kompleksnya. Sebagai contoh, ketika unit pengelolaan

kebun sawit menetapkan sebuah KPBKT, dia akan berhadapan dengan permasalahan

tentang status hukum dari kawasan itu. Contoh lain, ketika sebuah IUPHHK menetapkan

untuk menyisihkan 75,000 hektar sebagai kawasan NKT, apakah mereka masih

Nilai Konservasi Tinggi

Pengelolaan Hutan

Sertifikasi mandatori (PHAPL,

ISPO, ISO, dll)

Sertifikasi Voluntari (FSC,

RSPO, dll)

Rencana Tataguna Lahan

Rancangan Perkebunan

Perluasan komoditi pertanian

Kebijakan Komitmen

Pembelian bertanggung-

jawab

Investasi

Advokasi Konservasi

Melobi Pemerintah

Kampanye Pasar

Hal | 18

berkewajiban membayar Dana Reboisasi dan PSDH dan pajak-pajak terkait atas areal ini

yang tidak akan mereka eksploitasi? Permasalahan lain seperti ini dibahas secara lebih

spesifik dalam dokumen sektor.

2.3.1. Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan

Alam (HPH)

Secara umum dalam pelaksanaan di lapangan, konsep NKT cukup sulit di lakukan oleh

pihak unit pengelolaan baik dalam kegiatan identifikasi, pengelolaan dan pemantauan NKT

karena berbagai hal, diantaranya :

- Karena bersifat sukarela dan tidak ada pengakuan secara legal dari pemerintah maka

jarang sekali pihak unit pengelolaan hutan alam mau melakukan kegiatan ini;

- Pemahaman konsep NKT dan isu-isu konservasi di tingkat pemegang ijin pengelolaan

hutan alam masih sangat terbatas:

- Para pemegang ijin pengelolaan hutan alam sangat tertarik apabila kegiatan ini secara

langsung atau dalam jangka pendek dapat langsung dirasakan secara ekonomis (benefit

dari kegiatan tersebut dapat langsung dirasakan) sedangkan isu yang berhubungan

dengan NKT keuntungan atau benefitnya tidak dapat di rasakan dalam jangka pendek.

Benefit dari melakukan konsep NKT secara tidak langsung di rasakan oleh berbagai

pihak seperti kualitas air dan jasa lingkungan lainnya. Kegiatan ini akan bisa di rasakan

dalam jangka waktu lama;

- Keterbatasan sumberdaya manusia dalam memahami dan melaksanakan konsep ini

masih sangat terbatas;

- Keterbatasan panduan atau petunjuk yang mudah di pahami dan dilaksanakan oleh staf

di tingkat lapangan

2.3.2. Permasalahan Pengeloaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan

Tanaman (HTI)

Penilaian dan identifikasi kawasan NKT dalam hutan tanaman pada umumnya dilakukan oleh Unit Management guna memenuhi persyaratan sertifikasi FSC. Kendala dan isu-isu penting yang muncul dalam tahap penilaian adalah hilangnya areal-areal yang diindikasikan mengandung NKT sebagai akibat keterlanjuran dalam kegiatan pembukaan lahan. Hal ini terjadi karena kebutuhan penilaian NTK dilakukan pada saat kegiatan HTI sudah operasional. Implikasi dari keterlanjuran tersebut adalah terjadinya perubahan kawasan NKT menjadi areal tanaman pokok, tanaman unggulan dan tanaman kehidupan. Kondisi ini seringkali menimbulkan kekhawatiran dari pihak Unit Management khususnya dalam menghadapi proses audit. Isu lain yang merupakan isu penting adalah temuan jenis-jenis pohon dilindungi yang kondisinya menyebar dan soliter seperti ramin dan kempas, mengingat dalam konteks penilaian kawasan NKT harus menetapkan luas areal tersebut.

Unit Management seringkali menghadapi kendala dalam melakukan pengelolaan dan pemantauan terhadap kawasan NKT, khususnya pada NKT yang sudah terlanjur hilang. Isu penting lainnya adalah pengelolaan dan pemantauan satwa liar yang sifatnya mobile dan dalam hal ini harus memerlukan kepakaran khusus. Seringkali Unit Mangement menganggap bahwa pengelolaan dan pemantauan terhadap kawasan NKT adalah berdiri sendiri sehingga akan menimbulkan beban baru bagi Unit Mangement khususnya dalam menyiapkan divisi baru. Pada hal, dalam konteks pengelolaan dan pemantauan NKT tersebut dapat diintegrasikan dengan kegiatan lain seperti Rencana Kelola Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan yang sudah disusun dalam dokumen AMDAL.

Hal | 19

2.3.3. Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi

Pertambangan

Usaha pertambangan merupakan usaha yang unik terkait dengan pengelolaan dan pemantauan NKT-nya yang tidak sama dengan pengusahaan hutan alam, hutan tanaman, maupun perkebunan. Keberadaan bahan tambang menyebar di bawah tanan dan bersifat tidak kontinyu, tidak seperti kayu dan produk perkebunan yang berada di permukaan tanah yang sebarannya pada umumnya kontinyu, juga tidak dapat diatur keberadaannya berdasar blok-blok sesuai keinginan pemangku kepentingan. Oleh karena itu tidak seluruh areal konsesi akan ditambang, tetapi hanya blok-blok dimana cadangan bahan tambang berada.

Secara ringkas digambarkan kegiatan pertambangan terbuka dilakukan dengan menghilangkan seluruh vegetasi yang ada di permukaan tanah diikuti dengan pemindahan tanah dan batuan penutup. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku seperti tersebut di atas, maka perusahaan pertambangan wajib untuk melakukan reklamasi dengan menata kembali muka bumi (lansekap); mengendalikan erosi dan sedimentasi dengan membuat saluran drainase, kolam sedimentasi, dan penanaman tanaman penutup tanah; dan melakukan revegetasi (untuk kawasan hutan). Lereng-lereng yang dihasilkan dari penumpukan material limbah dipantau stabilitasnya untuk mengantisipasi terjadinya longsor (Mansur, 2010).

Dari gambaran di atas dapat diperhatikan bahwa bahan tambang dapat berada di mana saja, termasuk di bawah Kawasan NKT. Kegiatan pertambangan terbuka pasti mengganggu ekosistem, bahkan menghilangkan keanekaragaman flora yang ada di permukaan lahan di areal yang ditambang. Oleh karena itu, dalam beberapa kondisi gangguan terhadap obyek atau kawasan NKT tidak dapat dihindari. Khusus untuk usaha pertambangan, seharusnya identifikasi dan deliniasi obyek dan kawasan NKT di areal yang akan diajukan ijin untuk usaha pertambangan dilakukan pada saat pelaksanaan AMDAL dan ditegaskan apa rekomendasi untuk penanganannya. Jika obyek atau kawasan NKT memang dianggap sangat penting untuk dipertahankan, maka sebaiknya dikeluarkan dari areal yang akan diberikan ijin usaha pertambangan, atau tidak diberikan ijin untuk areal tersebut. Namun demikian, karena lokasi tambang terpisah-pisah dalam luasan-luasan yang relatif kecil, serta gangguannya bersifat sementara (tidak selamanya), maka beberapa obyek atau kawasan NKT masih dapat dikelola dengan baik dengan melakukan beberapa adaptasi.

Nilai Konservasi Tinggi di Konsep Tata Ruang Dewasa ini, pembangunan daerah semakin gencar seiring dengan perluasan pemanfaatan lahan untuk investasi di semua wilayah Indonesia. Akibatnya, kebutuhan akan ruang semakin meningkat, menuntut akan penataan ruang dengan beragam pertimbangan multi aspek antara sosial, ekologi dan ekonomi. Penataan ruang yang seimbang untuk semua kebutuhan merupakan faktor penentu terjaminnya ketersediaan sumber daya alam secara berkelanjutan yang akan berdampak terhadap kepaduan pembangunan pada tingkatan kabupaten dan propinsi.

Dalam proses penataan ruang yang lebih baik dibutuhkan berbagai masukan informasi yang dapat mengakomodasi semua kebutuhan. Kerangka Nilai konservasi Tinggi (NKT) di rancang untuk menangkap semua nilai penting dalam aspek keruangan wilayah yang dirasakan menjadi alat bantu penting dalam proses penataan ruang wilayah. Melihat peluang ini pada tahun 2005-2006, WWF Indonesia melalui program Trans fly ecoregion membantu pemerintah daerah Kabupatan Merauke dalam melakukan revisi tata ruang dengan menggunakan kerangka NKT sebagai pamasukan data strategis. Hasil dari dari pendekatan ini sudah tertuang dalam Dokumen Peta Rencana Tata Ruang. Wilayah Kabupaten Merauke. Keberhasilan penggunakan kerangka NKT dalam proses penataan

Hal | 20

ruang di Kabupaten Merauke menjadikan tonggak awal peran penting kerangka NKT dalam penataan ruang di Indonesia.

Pada tahun 2010, Fauna and Flora International – Indonesia Programme melakukan hal serupa untuk membantu pemerintah daerah Kabupaten Ketapang dalam melakukan revisi penataan ruangnya. Selain berpotensi sebagai alat bantu strategis dalam penataan ruang, kerangka NKT juga memiliki potensi kompatibiltas dengan proses Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang merupakan kelengkapan wajib setiap penataan ruang di Indonesia

2.4. Identifikasi, Pengelolaan dan Pemantaun Nilai Konservasi

Tinggi

Dalam pelaksanaan dilapangan, kegiatan NKT ini menggunakan dua tahap pendekatan,

yaitu:

1. Mengidentifikasikan areal-areal di dalam atau di dekat suatu Unit Pengelolaan,

pemanfaatan hasil hutan yang mengandung nilai-nilai sosial, budaya dan/atau ekologis

yang luar biasa penting, dan

2. Menjalankan suatu sistem pengelolaan dan pemantauan untuk menjamin

pemeliharaan dan atau peningkatan nilai-nilai tersebut.

Untuk melakukan identifikasi NKT diperlukan suatu perangkat (toolkit2) di dalam

pelaksanaannya. Di Indonesia saat ini mempunyai sebuah alat sebagai panduan

yaitu"Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Tinggi di Indonesia." Panduan tersebut

diterbitkan pada tahun 2007 (2008). Panduan ini hingga sekarang menjadi rujukan utama

dalam setiap identifikasi NKT di Indonesia baik untuk kehutanan maupun perkebunan sawit.

Dalam panduan atau Interpretasi Nasional Indonesia 2003, di dalamnya tercantum proses

dan tatacara melakukan identifikasi, pengelolaan dan pemantauan, sedangkan dalam

panduan terbaru (tahun 2008, revisi kembali tahun 2010) tidak diketemukan lagi bagian

pengelolaan dan pemantauan. Panduan terakhir yang masih jadi rujukan nasional saat ini di

Indonesia adalah Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Tinggi di Indonesia, sehingga perlu

adanya panduan khusus untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan NKT untuk

berbagai sektor.

Identifikasi, pengelolaan dan pemantuan merupakan kegiatan yang satu sama lain saling

berhubungan dengan erat. Keberhasilan dalam melakukan identifikasi NKT akan

memudahkan dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan. Hasil kegiatan

pengelolaan dapat di ukur tingkat keberhasilannya melalui proses pemantauan. Hasil

2 Sebuah panduan global di susun oleh ProForest pada tahun 2003, sebuah panduan yang bisa

digunakan di seluruh dunia. Panduan global ini mulai dimanfaatkan oleh beberapa negara seperti Vietnam, China, Kamerun, Bulgaria, PNG dan termasuk Indonesia. Mereka menginterpretasikan panduan global pada Konteks lokal masing-masing negara. Berdasarkan hasil interpretasi stakeholder lokal dibuatlah panduan interpretasi nasional. Di Indonesia pada tahun 2003 diterbitkan panduan Interpretasi Nasional Indonesia atas global toolkit. Berbagai kegiatan identifikasi NKT mulai dari tahun 2003 menggunakan rujukan Interpretasi Nasional Indonesia 2003. Dalam perjalanannya ternyata, dari 2003 hingga 2006 ada beberapa masalah khususnya yang berkaitan dengan interpertasi. Sehingga pada tahun 2006 sekelompok praktisi dan organisasi yang kerap menggunakan NKT sepakat untuk melakukan merevisi atas Panduan Interpretasi Nasional Indonesia 2003. Kemudian pada tahun 2007 beberapa praktisi dan stakeholder berkumpul untuk merevisi toolkit yang telah ada dengan memasukkan kriteria nilai-nilai spesifik, seperti ekonomi, ekologi, sosial dan budaya.

Hal | 21

pemantauan dapat dipakai kembali sebagai bagian dari revisi atau perbaikan-perbaikan

untuk pengelolaan di masa yang akan datang.

Hal | 22

2.5. Ragam Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Sumber Daya Alam di Indonesia

Pengelolaan dan pemantauan NKT di Indonesia beragam dan terus berkembang. Secara

umum dan dalam kaitan penggunaan Buku Panduan ini, pengolaan dan pemantauan NKT

dapat dibedakan sbb:

Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Hutan Alam

(HPH)

Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Hutan Tanaman

Industri (HTI)

Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konsevasi Tinggi pada Konsesi Perkebunan

Kelapa Sawit

Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Pertambangan

Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada perkebunan/pertanian

skala menengah

Pengeloaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada skala bentang

alam/landscape

Sebagai referensi bagi pembaca, Panduan ini memuat Panduan Pengeloaan dan

Pemantauan NKT yang lebih rinci dari masing-masing jenis konsesi di atas di atas, yang

tercantum dalam Lampiran 1-6 yang disiapkan oleh Tim .

2.6. Sumber untuk informasi tambahan

- Principe and Criteria FSC http://www.fsc.org/principles-and-criteria.34.htm

- A Sourcebook for Landscape Analysis of Nilai Konservasi Tinggi Forests,

http://www.NKTnetwork.org/resources.

- Managing Biodiversity in the Landscape.

http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.

- Practitioner Guide to Managing NKTF in Indonesia a case study from East Kalimantan.

http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.

Hal | 23

Bab III Pengelolaan NKT

Bab ini membahas tentang definisi, tujuan, skala dan hasil dari pengelolaan Nilai

Konservasi Tinggi (NKT), pentingnya menyusun rencana pengelolaan NKT serta bagaimana

metode dalam menyusun rencana pengelolaan NKT. Perencanaan pengelolaan yang

dimaksud dalam bab ini adalah perencanaan pengelolaan masing-masing nilai NKT yang

teridentifikasi atau ditemukan dalam suatu kawasan pengelolaan perusahaan.

3.1. Definisi Pengelolaan

Pengelolaan NKT adalah upaya yang dilakukan melalui proses perencanaan,

pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan terhadap NKT yang teridentifikasi

dalam suatu kawasan untuk mempertahankan atau meningkatkan NKT di dalam kawasan

tersebut. Kunci utama dalam pengelolaan NKT adalah bahwa strategi-strategi yang

dirancang harus mempertahankan atau meningkatkan nilai. Hal ini berarti akan ada

perbedaan pengelolaan antara sektor ataupun konsesi tergantung dari nilai NKT yang

teridentifikasi.

3.2. Tujuan Pengelolaan

Tujuan utama dalam pengelolaan NKT adalah mempertahankan atau meningkatkan nilai–

niai konservasi tinggi yang teridentifikasi atau ditemukan dalam suatu kawasan.

3.3. Prinsip-prinsip Pengelolaan

Dalam Pengelolaan kawasan NKT, maka ada tiga prinsip dasar yang harus selalu

dipertimbangkan dengan baik dan benar, yaitu:

a) Prinsip Keutuhan (holistic); berarti bahwa penyelenggaraan pengelolaan NKT harus

selalu mempertimbangkan seluruh komponen pembentuk ekosistem alami, baik

komponen penyusun rantai makanan dan rantai energi maupun komponen biotik

maupun abiotiknya. Prinsip keutuhan ini juga berkaitan dengan kondisi/karakter

lingkungannya, baik ditinjau dari sisi biofisik, ekonomi, politik dan sosial budaya

masyarakat. Prinsip ini memperhatikan dan dapat memenuhi kepentingan seluruh

pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap kawasan unit pengelolaan

umumnya dan NKT khususnya serta mampu mendukung kehidupan mahluk hidup

(selain manusia) dan keberlanjutan keberadaan alam semesta;

b) Prinsip Keterpaduan (integrated); berarti bahwa penyelenggaraan pengelolaan NKT

harus berlandaskan pada keselarasan interaksi antar komponen penyusun ekosistem

serta keselarasan interaksi ekosistem dengan para pihak yang tergantung dan

berkepentingan terhadap NKT yang meliputi aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan

aspek sosial-budaya;

c) Prinsip partisipatif; berarti melibatkan masyarakat dan para pihak lain dalam

mengidentifikasi, mengelola dan memantau NKT. Prinsip berlaku tidak hanya untuk

HCV sosial tetapi juga bisa mencakup HCV ekologi.

Hal | 24

d) Prinsip Keberlanjutan/Kelestarian (sustainability); berarti bahwa fungsi dan manfaat

ekosistem hutan dalam segala bentuknya harus dapat dinikmati oleh umat manusia dan

seluruh kehidupan di muka bumi lintas generasi secara bekelanjutan dengan potensi

dan kualitas yang sekurang-kurangnya sama (tidak menurun). Jadi tidak boleh terjadi

pengorbanan (pengurangan) fungsi dan manfaat ekosistem hutan yang harus dipikul

suatu generasi tertentu akibat keserakahan generasi sebelumnya.

3.4. Skala Pengelolaan, dan Keluaran

Skala pengelolaan NKT pada panduan ini terfokus kepada pengelolaan NKT dalam unit-unit

pengelolaan (contoh: unit pengelolaan hutan, pertanian skala kecil, kebun/estate, Kuasa

Pertambangan) dengan melihat juga aspek bentang alam (lanskap). Namun pengelolaan

suatu kawasan bernilai konservasi tinggi harus melihat dari semua aspek yang ada secara

menyeluruh (holistik), dalam hal ini konsep bentang alam menjadi hal yang sangat penting.

Di harapkan keluaran dari panduan pengelolaan ini adalah adanya arahan atau teknik dan

metode dalam penyusunan rencana pengelolaan terhadap masing-masing NKT yang

teridentifikasi atau diketemukan dalam suatu unit pengelolaan.

3.5. Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan

NKT (RPP-NKT)

Penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan NKT (RPP-NKT) bertujuan untuk

mengembangkan rencana aksi pengelolaan NKT yang adaftif bagi kawasan konsesi melalui

proses pembangunan keterlibatan perwakilan dari para pihak. Dalam penyusunan RPP-NKT

digunakan pendekatan pengelolaan berbasiskan wilayah, yaitu nilai-nilai konservasi tinggi

yang teridentifikasi akan dibangun rencana pengelolaannya berdasarkan kerangka

pengelolaan adaptif (adaptif collaborative management3).

Untuk membantu pembangunan RPP-NKT, secara umum sebuah model konseptual -

Conceptual Model [2] akan di bangun secara partisipatif dari banyak pihak dalam unit

pengelolaan untuk merunut rencana terperinci pengelolaan berdasarkan ancaman-ancaman

yang sedang dan akan berlangsung di dalam dan di luar unit pengelolaan. Gambaran umum

dari model konseptual dapat dilihat dalam ilustrasi sederhana di bawah ini (Gambar 2).

3 Pendekatan ACM adalah suatu proses yang bertujuan mendorong para pemangku kepentingan

untuk bekerja sama dalam merencanakan, melaksana kan, mengamati, dan mengambil pelajaran dari pelaksanaan rencana mereka di masa lalu

Hal | 25

Prasyarat utama yang mengawali proses RPP-NKT adalah adanya hasil identifikasi yang sesuai dengan Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia (Konsorsium Revisi NKT Toolkit Indonesia, 2008). Kemudian untuk langkah selanjutnya bisa dilihat dalam diagram di bawah ini.

Gambar 2. Contoh sederhana sebuah model konseptual untuk satu tujuan pengelolaan, ancaman dan intervensi.

Hal | 26

Gambar 3. Tahapan pembangunan pengelolaan dan pemantauan NKT - Adaptasi dari Good Practives guilnes for High Conservation Value assessments: A Practical guide for practitioners and auditors [3]

3.5.1. Menentukan tujuan pengelolaan NKT

Dalam prosesnya RP-NKT didasarkan pada tujuan-tujuan pengelolaan NKT di dalam atau

sekitar kawasan yang ditentukan berdasarkan hasil identifikasi para pihak yang bertujuan

untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan ancaman terhadap NKT. RP-NKT

memprioritaskan intervensi yang sesuai dengan tujuan perusahaan, mendapat dukungan

dari pihak manajemen perusahaan, memiliki sumber dana lokal, dan berdampak langsung

dalam mengurangi ancaman terhadap kelangsungan hidup NKT dan habitatnya pada

sebuah periode tertentu.

Langkah awal dalam memulai pengelolaan NKT adalah menentukan tujuan dari pengelolaan

untuk masing-masing NKT yang telah diidentifikasi.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tujuan pengelolaan NKT diantaranya

adalah:

- memperhatikan tingkat dan ambang batas yang akan dipertahankan berdasarkan

ketersediaan informasi yang terbaik;

- penentuan tujuan pengelolaan dilakukan oleh kelompok yang mewakili para pihak

yang terkait dengan pengelolaan NKT dalam sebuah unit pengelolaan;

- perwakilan dari para pihak diberikan informasi tambahan berdasarkan kondisi

faktual, yang didasari atas ketersedian informasi terbaik dalam menentukan

parameter-parameter atau ambang batas yang ingin dicapai dalam mengelola NKT.

Hal | 27

Tabel 1. Contoh beberapa tujuan pengelolaan NKT

NKT Nilai-nilai/Target pengelolaan Tujuan pengelolaan

1.2 Ditemukan satwa orangutan (Pongo pygmaeus) yang tergolong Kritis (Critical Endangered)

Melindungi populasi satwa beserta habitatnya dari kepunahan lokal di dalam konsesi.

2.1 Wilayah inti seluas 27,028.33 hektar yang ada di dalam areal unit pengelolaan.

Mempertahan bentangan hutan yang utuh di dalam unit pengelolaan yang tersambung dengan bentangan hutan yang lebih luas di sekitarnya

4.1

Hutan di tepi sungai/danau (riparian) yang tergenang secara teratur dan sub-DAS yang menyediakan air bersih untuk desa disekitarnya.

Mempertahankan wilayah yang bisa menyediakan air bersih bagi masyarakat yang ada di bagian hilir unit pengelolaan.

6 Nilai budaya dan spiritual di beberapa lokasi spesifik yang berada di dekat desa.

Melindungi wilayah-wilayah yang ada di dalam unit pengelolaan yang penting bagi identitas dan budaya masyarakat sekitar hutan. Melindungi spesies tertentu yang berhubungan dengan budaya masyarakat.

Catatan Khusus :

Dalam kasus tertentu parameter dapat berupa angka-angka yang bisa diperoleh sebagai bagian dari data kualitas dan kuantitas. Sebagai contoh dalam NKT 4.1 “ Hutan di tepi sungai/danau (riparian) yang tergenang secara teratur dan sub-DAS yang menyediakan air bersih untuk desa disekitarnya” parameter yang dapat diukur antara lain kualitas air, tingkat kekeruhan air, sedimentasi terlarut. Parameter-paremater ini sewaktu dilakukan pemantauan dapat diukur dan diperoleh hasilnya.

Pengukuran-pengukuran parameter dalam pengelolaan dan pemantauan NKT diperlukan adanya ambang batas atau persyaratan minimum yang harus dipenuhi, hal ini merupakan bagian penting dalam pengelolaan. Ambang batas diperlukan sebagai bagian dari nilai-nilai yang mesti dipertahankan, dipelihara atau ditingkatkan nilainya. Sebagai contoh untuk NKT 4.1 di atas yang berhubungan dengan riparian, ambang batas yang diperlukan di antaranya larangan penebangan di kiri-kanan sungai sejauh 100 meter, tidak menebang di kelerengan lebih dari 45 persen. Ambang batas ini bisa berhubungan dengan aturan-aturan pemerintah yang sudah ditetapkan. Ataupun juga secara ilmiah disepakati sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan. Contoh aturan tentang besarnya tingkat bahaya erosi.

Hal | 28

3.5.2. Analisa ancaman-ancaman terhadap NKT

Tahapan ke-dua adalah menentukan ancaman terhadap masing-masing NKT yang

ditemukan dalam konsesi, ancaman ini bisa datang dari dalam kegiatan konsesi ataupun

dari luar konsesi (internal dan external), termasuk ancaman yang bersifat langsung (direct)

maupun tidak langsung (indirect). Unit manajemen tidak perlu melakukan identifikasi

ancaman-ancaman NKT. Ancaman-ancaman NKT sudah diidentifikasi dalam laporan hasil

identifikasi NKT. Ancaman-ancaman yang dianalisa dalam panduan ini didasarkan pada

laporan hasil identifikasi NKT. Kecuali jika laporan hasil identifikasi dianggap tidak memadai

maka unit manajemen harus melakukan analisa ancaman lagi.

Analisa sumber ancaman dilakukan untuk masing-masing sasaran pengelolaan NKT dan

habitatnya di dalam kawasan. Analisa ini diharapkan dapat menentukan ancaman utama

dan paling mendesak untuk segera diatasi agar memungkinkan untuk memilih intervensi

paling taktis dalam mengurangi atau menghilangkan sumber-sumber ancaman. Tanpa

pemahaman yang jelas tentang ancaman, para pengelola atau pelaksana di lapangan

mungkin hanya melakukan cara-cara pengelolaan yang tidak akan memberikan dampak

bahkan mungkin akan menurunkan NKT itu sendiri.

Dalam mengidentifikasi dan mengukur ancaman secara langsung terhadap NKT dilakukan

secara konseptual untuk melihat runutan sebab akibat sebuah ancaman dan secara spasial

untuk melihat lokasi potensi ancaman yang sudah terjadi maupun dimasa yang akan datang

[2] . Saat ini terdapat berbagai pendekatan analisa ancaman dapat mempergunakan

berbagai pendekatan yang bisa dipergunakan [4], salah satunya adalah pendekatan yang

dikembangkan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) dengan menggunakan konseptual

model [2, 5]. Sebagai awalan, sumber-sumber ancaman terhadap NKT bisa menggunakan

rujukan ilmiah terbaik yang tersedia untuk menentukan parameter dan batas tepi terhadapan

ancaman. Selanjutnya, sumber-sumber ancaman dimasa lampau dan sedang berlangsung

dapat diidentifikasi oleh para pihak unit pengelola berdasarkan informasi yang tersedia dan

dibantu dengan pemetaan partisipatif.

Selain identifikasi terhadap sumber-sumber ancaman, potensi ancaman secara spasial juga

perlu diidentifikasi untuk membantu unit pengelola dalam mengarahkan pengelolaan dan

pemantauan. Identifikasi potensi ancaman secara spasial menggunakan pendekatan

Multicriteria Critieria Evaluation (MCE) beberapa parameter fisik yang merupakan pemicu

perubahan terhadap ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati berdasarkan hasil

beberapa penelitian [6-8]. Beberapa parameter spasial yang digunakan dapat dilihat dalam

tabel di bawah ini:

Tabel 2. Parameter-parameter ancaman yang dipergunakan dalam mengidentifikasi potensi

ancaman secara spasial

Jenis ancaman Asumsi ilmiah

Deforestasi Hutan terdegradasi atau hilang yang di akibatkkan oleh aktivitas manusia memliki kecenderungan untuk terjadi di lokasi yang sama, umumnya terkait dengan factor aksesibilitas [7]

Pemukiman Keberadaan pemukiman berasosiasi dengan akses menuju hutan. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak pemukiman

Hal | 29

Jenis ancaman Asumsi ilmiah

tersebut ke kawasan hutan [9]

Jaringan jalan Jaringan jalan merupakan sumber utama akses menuju kawasan hutan. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak ke jaringan jalan tersebut ke kawasan hutan[8]

Kebakaran lahan Kebakaran lahan berdampak terhadap tutupan lahan secara drastis. Ancaman ini semakin berkurang di saat jauh dari riwayat kebakaran lahan

Tambang Aktivitas tambang yang menggunakan open pit mining secara nyata merubah tutupan lahan secara drastic. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak areal pertambangan ke kawasan hutan

HPH/HTI Aktivitas penebangan pohon di dalam HPH merubah struktur vegetasi kawasan hutan. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak areal HPH/HTI ke kawasan hutan [10]

Status kawasan hutan

Kawasan hutan yang sudah di tentukan sebagai Hak Produksi Terbatas (HPT) dan Areal Penggunaan Lain (APL) memberikan dampak terhadap degradasi habitat banyak satwa liar.

Selain penentuan sumber-sumber ancaman secara langsung, tingkatan ancaman juga perlu

diidentifikasi untuk menentukan skala prioritas intervensi. Tingkatan ancaman

dikelompokkan berdasarkan dampak yang dimunculkan, tingkatan ancaman dikelompokkan

ke dalam 4 kelompok utama, yaitu:

1. Dampak, merupakan derajat, baik secara langsung maupun tidak langsung

memberikan dampak terhadap keseluruhan NKT,

2. Trend, merupakan kecenderungan yang mungkin terjadi yang di akibatkan adanya

perubahan terhadap proporsi area terkena dampak atau intervensi,

3. Proporsi area terkena dampak, merupakan luasan wilayah yang terkena dampak

dari sebuah kegiatan,

4. Waktu pemulihan, merupakan satuan rentang waktu proses pemulihan dari yang

terkena dampak.

Hal | 30

Gambar 4. Ilustrasi peta potensi ancaman secara spasial hasil analisa Multiple Criteria Evaluation (MCE) beserta hasil pemetaan ancaman secara partisiparif dengan Unit Pengelola

Hal | 31

Tabel 3. Empat kelompok tingkatan ancaman untuk membantu pengukuran tingkat ancaman

(Di modifikasi dari WCS-LLP [5])

Dampak Skor Trend Skor Proporsi area terkena dampak

Skor Waktu Pemulihan

Skor

Rendah 0 Tidak akan terjadi dalam 10 tahun kedepan?

0 0 0 Cepat 0

Sedang 1 Dapat terjadi dalam kurun waktu 3-10 tahun

1 0-10% 1 Pemulihan dalam waktu 1-10 tahun

1

Tinggi 2 Dapat terjadi dalam kurun waktu 1-3 tahun

2 11-25% 2 Pemulihan dalam waktu 11-100 tahun

2

Fatal 3

Ancaman sedang terjadi harus segera dilakukan tindakan

3 26-50% 3 Pemulihan lebih dari 100 tahun atau tidak pulih

3

> 50% 4

Dengan mengacu ke-empat kelompok tingkatan ancaman pada tabel 3, penentuan prioritas

ancaman dapat dilakukan dengan pemberian skor (scorring) untuk setiap komponen tingkat

ancaman, kemudian nilai bobot tersebut akan dijumlahkan dengan perhitungan [(Trend +

Waktu Pemulihan) x Dampak x Proporsi area terkena dampak] [5]. Kemudian jumlah akhir

akan di urutkan, ancaman dengan peringkat pertama merupakan ancaman yang perlu

mendapatkan perhatian. Sebagai contoh ilustrasi perhitungan penentuan prioritas ancaman

bisa dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 4. Ilustrasi penentuan prioritas ancaman menggunakan system pembobotan dan kriteria

ancaman (Adaptasi dari WCS-LLP[5]).

Ancaman Dampak Trend Proporsi area terkena dampak

Waktu Pemulihan

Total Ranking

Fragmentasi habitat 2 1 3 3 24 3

Perburuan untuk peliharaan

3 1 3 2 27 2

Perburuan untuk makanan

4 1 3 2 36 1

Hal | 32

3.5.3. Mengidentifikasi intervensi untuk mitigasi ancaman terhadap NKT

Tahapan ini menentukan intervensi-intervensi yang bertujuan untuk mengurangi atau

menghilangkan sumber ancaman. Informasi yang didapatkan dari bagian-bagian

sebelumnya akan sangat penting dalam analisa ini. Merupakan sebuah kerugian jika sebuah

intervensi yang direncanakan akan menjadi tidak praktis untuk dilaksanakan, diakibatkan

beberapa hal, seperti: masalah biaya, kekurangan dukungan masyarakat, ketidaksanggupan

dalam menangani ancaman tidak langsung, sesuatu yang mengakibatkan ancaman muncul

kembali ataupun akibat intervensi tersebut tidak efektif.

3.5.4. Menyusun Rencana Pengelolaan NKT

Sebagaimana yang digunakan di dalam analisa ancaman di atas, hanya ancaman yang

bersifat langsung terhadap NKT yang akan dilakukan intervensi yang akan tertuang dalam

rencana pengelolaan. Tidak semua ancaman dapat dilakukan intervensi, umumnya berupa

ancaman tidak langsung, namun dengan memetakannya secara menyeluruh dapat

memudahkan dalam mengembangkan rencana pengelolaan (Gambar 4). Prioritas ancaman

yang memiliki peringkat sedang sampai tinggi perlu mendapatkan perhatian dan harus

dituangkan dalam rencana pengelolaan.

Gambar 5. Ilustrasi model konseptual untuk memetakan ancaman beserta intervensi untuk mengurangi/menghilangkan ancaman terhadap sasaran pengelolaan.

Hal | 33

3.5.5. Dukungan Sumberdaya dalam Pengelolaan

Pengelolaan NKT dan KBKT kawasan Bernilai Konservasi Tingg pada dasarnya memiliki

tanggungjawab yang sangat besar agar kelestarian produksi, ekologi/lingkungan dan sosial

budaya masyarakat dapat terjaga dalam jangka panjang. Kemudian kegiatan pengelolaan

ini pun memiliki spektrum yang sangat luas dengan melibatkan banyak pihak sehingga untuk

tercapainya tujuan pengelolaan NKT/KBKT setiap unit manajemen harus memiliki suatu

badan/divisi khusus yang menangani NKT/KBKT. Kemudian badan/divisi ini harus didukung

pula oleh sumberdaya manusia handal dan profesional (sekurang-kurang tiga tenaga ahli

utama yang meliputi tenaga ahli ekologi/lingkungan, jasa lingkungan dan sosial budaya

masyarakat), sarana prasarana dan sumber dana yang cukup.

Badan/Divisi ini diberi mandat untuk dapat menjamin keberlangsungan kegiatan-kegiatan

pengelolaan ekologi/lingkungan, jasa lingkungan dan sosial/budaya masyarak. Dalam

proses untuk mencapai tujuan pengelolaan tersebut di atas badan/divisi ini harus melibatkan

pihak-pihak terkait, terutama masyarakat lokal, sesuai dengan tingkat kepentingan

pengelolaannya.

Kriteria keberhasilan badan/divisi pengelolaan ekologi/lingkungan adalah terbangunnya

suatu sistem manajemen yang adaptif, didasarkan data/informasi ilmiah yang terukur, serta

diambil dengan metode yang baik dan benar. Manajemen adaptif adalah suatu proses yang

terencana dan terukur untuk mendukung keputusan manajemen agar tercapainya sasaran

manajemen yang lebih baik.

Agar kapasitas pengelolaan NKT/KBKT dalam suatu unit manajemen dari waktu ke waktu

terus meningkat maka divisi/badan pengelola sebaiknya menyusun standar-standar

pengelolaan terbaik sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi pengelolaan.

standar-standar tersebut disusun berdasarkan azas transparansi, terukur (measurable) dan

dapat dipertanggunggugatkan (accountable) sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat,

kabupaten dan propinsi, Rencana Pengelolaan Unit Manajemen, kondisi lokal spesifik,

kearifan tradisional, teknologi terkini, kesiapan sumberdaya manusia dan alokasi dana yang

telah dikonsultasikan dengan pakar dibidangnya masing-masing serta telah disepakati oleh

para pihak.

3.6. Pengelolaan partisipatif.

Untuk melakukan pengelolaan NKT 5 dan NKT 6 (NKT Sosial) yang berhubungan dengan

kebutuhan dasar, sosial dan budaya masyarakat setempat. Diperlukan pendekatan

pengelolaan yang melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya. Pendekatan ini di sebut

sebagai “pengelolaan partisipatif”

Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah, pengumpulan

data, analisis data, dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini

adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis dalam

Kontekss pengembangan masyarakat. Dalam Konteks pengelolaan NKT Sosial,

pengelolaan secara partisipatif dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu.

1) Konsultasi dengan masyarakat, beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk

melakukan konsultasi dengan masyarakat dalam merencanakan pengelolaan NKT

Sosial secara partisipatif adalah :

Hal | 34

a. Mengembangkan peta-peta yang menunjukkan sumberdaya alam yang

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Peta-peta ini harus

dibuat sebelum ada kegiatan produksi di dalam suatu unit pengelolaan. Peta-

peta sumberdaya masyarakat harus menunjukkan kawasan-kawasan kunci yang

diperlukan untuk menyediakan akses atau untuk melestarikan sumber-sumber

daya alam yang kritis.

b. Melaksanakan konsultasi-konsultasi dengan staf operasional lapangan, anggota

masyarakat atau lembaga-lembaga lain yang relevan (misalnya lembaga

akademik, badan-badan pemerintah, LSM) untuk mengevaluasi potensi dampak

yang merusak dari kegiatan operasional terhadap sumberdaya yang ada.

c. Membuat kesepakatan dengan masyarakat tentang kawasan-kawasan yang

harus dikeluarkan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya alam, karena

mengandung sumberdaya yang tinggi bagi masyarakat. Strategi-strategi untuk

mengontrol akses harus semaksimum mungkin konsisten dengan aturan-aturan

dan kelembagaan adat. Jika memungkinkan, pemerintah lokal (daerah) harus

diyakinkan untuk menyetujui penetapan-penetapan semacam itu sebagai suatu

dukungan pemerintah dalam perlindungan kawasan-kawasan tersebut terhadap

ancaman-ancaman lain.

d. Mengembangkan SOP (Standard Operational Procedure) pengelolaan dan

pemantauan NKT Sosial untuk memastikan bahwa staf yang bertanggungjawab

dalam operasional sadar akan keputusan-keputusan secara prosedur dan tahu

apa yang harus dilakukan untuk menerapkannya.

2) Pemetaan partisipatif, pemetaan partisipatif adalah pemetaan yang dilakukan oleh

kelompok masyarakat mengenai tempat/wilayah di mana mereka hidup . Pemetaan

partisipatif merupakan satu metode pemetaan yang menempatkan masyarakat sebagai

pelaku pemetaan wilayahnya, sekaligus juga akan menjadi penentu perencanaan

pengembangan wilayah mereka sendiri. Pemetaan partisipatif juga dapat dilakukan

sebelum adanya identifikasi NKT, atau pada saat identifikasi NKT atau untuk kebutuhan

pengelolaan NKT yang telah teridentifikasi. Dalam Konteks pengelolaan NKT Sosial,

beberapa tahapan yang dapat dilakukan adalah:

a. Memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang pemetaan partisipatif.

Dalam tahap ini dapat disampaikan pengertian, ciri-ciri dan manfaat dari

pemetaan pertisipatif.

b. Bersama-sama dengan masyarakat melakukan konfirmasi kembali terhadap

lokasi-lokasi yang telah teridentifikasi NKT Sosial (untuk pemenuhan kebutuhan

dasar dan identitas budaya) untuk didiskusikan bersama, termasuk menyepakati

kembali nilai-nilai yang terkandung didalam areal yang teridentifikasi NKT.

c. Menggambarkan secara jelas (meskipun melalui sketsa), lokasi-lokasi yang

diindikasikan sebagai NKT Sosial dan mendiskusikan bagaimana cara

mengelolanya, siapa yang bertanggung jawab, dan kapan pengelolaan akan

dilakukan.

d. Menyepakati hasil diskusi dengan masyarakat dan dijadikan sebagai acuan atau

panduan bagi perusahaan dalam pengelolaan NKT Sosial yang dilakukan secara

partisipatif.

3) Pengelolaan konflik secara partisipatif. Rencana pengelolaan NKT Sosial juga harus

mencakup mekanisme penyelesaian konflik, antara lain kasus-kasus dimana beberapa

anggota masyarakat percaya bahwa sumberdaya alam telah dirusak, dan untuk kasus-

kasus dimana kawasan konservasi atau aturan-aturan yang disepakati bersama telah

Hal | 35

dilanggar. Untuk itu dibutuhkan beberapa hal dalam pengelolaan konflik secara

partisipatif adalah :

a. Kesepakatan tentang perwakilan dari masyarakat dan perusahaan yang akan

bertanggungjawab untuk menyelesaikan kasus konflik.

b. Kesepakatan tentang prosedur kompensasi standar dan jumlah uang untuk tipe-

tipe kerusakan yang mungkin terjadi (misalnya kerusakan pohon buah-buahan,

pohon penghasil madu dan lain-lain).

c. Kesepakatan ini harus didokumentasikan secara tertulis oleh perwakilan dari

kedua belah pihak. Perusahaan harus menyimpan catatan tertulis dari semua

konflik dan langkah-langkah yang telah diambil untuk menyelesaikannya.

d. Aspek penting lain dari suatu rencana pengelolaan kolaborasi adalah

mengidentifikasi kemungkinan konflik-konflik antara aspek ekologi dan sosial

pada NKT dengan cara mendiskusikannya dengan masyarakat. Jika perlu,

perusahaan dan masyarakat harus mengembangkan suatu strategi untuk

menjamin partisipasi masyarakat di dalam konservasi aspek-aspek ekologi NKT.

Situasinya akan sulit jika nilai-nilai ekologi dan sosial secara langsung

berlawanan, misal menyangkut perburuan satwa langka. Dalam kasus-kasus

semacam itu, perusahaan harus memulai suatu program pendidikan lingkungan

dan sosialisasi sebelum menegosiasikan suatu kesepakatan dengan masyarakat

untuk memodifikasi kebiasaan-kebiasaannya. Bantuan dari luar, misalnya dari

badan-badan penegak hukum, LSM atau institusi akademik mungkin diperlukan.

3.7. Sumber untuk informasi tambahan

- Practitioner Guide to Managing NKT in Indonesia a case study from East Kalimantan.

http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.

- Assessment, management and monitoring of Nilai Konservasi Tinggi Forest,A practical

guide for forest managers. http://www.NKTnetwork.org/resources/.

- Biodiversity Conservation, a guide for USAID staff and partners.

- The Conservation MeasuresPartnership. Open standart for the practice of conservation.

- Rujukan buku Participatory Conservation Planning Manual. The Nature Conservancy

,2004.

Hal | 36

Bab IV Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi

Bab ini membahas tentang definisi, tujuan, skala dan hasil dari pemantauan Nilai

Konservasi Tinggi (NKT), pentingnya menyusun pemantauan NKT serta bagaimana teknik

atau metode dalam menyusun pemantauan NKT. Pemantauan NKT yang di maksud dalam

bab ini adalah untuk melihat atau mengukur tingkat keberhasilan dari pelaksanaan

pengelolaan masing-masing nilai – NKT yang teridentifikasi atau di ketemukan ada dalam

suatu kawasan yang pengelolaan (NKT1 sampai NKT 6).

4.1. Definisi Pemantauan

Pemantauan ( Monitoring) di definisikan sebagai sebuah kegiatan menyelidiki bagaimana

keadaan-keadaan berubah dalam perjalanan waktu. Dengan kata kunci adalah

pengumpulan dan evaluasi data secara periodi terhadap tujuan, sasaran dan kegiatan yang

sudah ditetapkan4.

Dalam Konteks NKT, pemantauan adalah proses pengontrolan terhadap tingkat

keberhasilan pengelolaan NKT yang teridentifikasi dalam suatu kawasan, apakah NKT

tersebut dapat dipertahankan atau meningkat di dalam kawasan tersebut. Kunci utama

dalam pemantauan NKT adalah bahwa harus ada strategi-strategi yang dirancang untuk

mengukur, menilai , efektivitas hasil dari pengelolaan NKT. Pemantuan sangat penting

fungsinya untuk menilai keberhasilan kegiatan pengelolaan. Tanpa adanya proses

pemantauan sangat sulit mengukur apakah kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan itu

dapat dilaksanakan atau berhasil . Pemantaun dapat membantu para pelaksana dilapangan

untuk melihat bagian-bagian mana yang sesuai dengan rencana dan bagian mana yang

tidak berhasil. Oleh sebab itu pemantauan merupakan bagian intergral dari siklus

pengelolaan adaptif5.

4.2. Tujuan Pemantuan

Tujuan utama dari proses pemantuan NKT adalah menyelidiki bagaimana kondisi NKT

terkini yang berubah dalam perjalanan waktu, dengan cara melakukan kegiatan

pengumpulan dan evaluasi data secara periodik di hubungkan dengan tujuan, sasaran dan

kegiatan-kegiatan pengelolaan yang sudah ditetapkan.

4 Margolui dan Salafsky,1998. Dikutip dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi

tinggi di Indonesia. The Nature Conservancy 2002. 5 Di dalam pengelolaan adaptif , pemantauan adalah suatu komponen yang sangat penting karena

pemantuan menyediakan suatu landasan untuk mengevaluasi hasil dari suatu praktek pengelolaan dan mengidentifikasi perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mencapai peningkatan di masa yang akan datang. Bentuk pengelolaan yang efektif yang di ketahui sebagai pengelolaan adaptif yaitu menyiapkan program-program kegiatan dan pemantuan sesuai sesuai dengan rancangan yang sudah ditentukan oleh para pengelola unit/ konsesi. Dari hal tersebut para pengelola banyak belajar tentang sistem yang dikelola dan mengevaluasi praktek pengelolaan mana yang paling efektif.

Hal | 37

4.3. Prinsip-prinsip Pemantauan

Prinsip dari sebuah rencana pemantauan atau program pemantauan harus memiliki hal

sebagai berikut :

- Memiliki sasaran pemantauan yang jelas;

- Di rencanakan sebelumnya dan merupakan bagian dari rencana-rencana tersebut;

- Pemantuan harus mengikuti metode-metode yang sudah baku;

- Dilaksanakan secara teratur dan sesuai dengan periode yang sudah di tentukan;

- Di dalamnya termasuk rencana rinci untuk analisis, interpretasi dan di integrasikan ke

dalam rencana-rencana jangka panjang;

- Rencana pemantauan harus sedehana dan lugas.

4.4. Skala Pemantauan dan Keluaran

Skala pemantauan NKT pada panduan ini terfokus kepada pemantauan NKT dalam unit-unit

pengelolaan (contoh: unit pengelolaan hutan, pertanian skala kecil, kebun/estate, Kuasa

Pertambangan) dengan melihat juga aspek bentang alam (lanskap). Pemantauan NKT

akan sangat tergantung dengan pengelolaannya karena itu pemantauan NKT dalam

dokumen ini mengikuti pengelolaannya. Pengelolaan dan pemantauan suatu kawasan

bernilai konservasi tinggi harus melihat dari semua aspek yang ada secara menyeluruh

(holistik), dalam hal ini konsep bentang alam menjadi hal yang sangat penting.

Di harapkan keluaran dari panduan pemantauan ini adalah adanya arahan atau teknik dan

metode dalam penyusunan rencana pengelolaan terhadap masing-masing NKT yang

teridentifikasi atau diketemukan dalam suatu unit pengelolaan.

4.5. Metode Pemantauan NKT

Pada dasarnya metode pemantauan NKT terbagi menjadi dua bagian besar yaitu:

1) Pemantauan secara ekologis untuk pemantuan NKT1, NKT 2, NKT3, NKT4 dan;

2) Pemantauan yang bersifat partisipatif yang berhubungan dengan masyarakat (

kebutuhan dasar dan budaya, NKT5 dan NKT).

4.5.1. Pemantauan Ekologis

Pemantauan ekologis dipergunakan karena beberapa hal :

1) Hasil pemantauan dapat memberikan peringatan kepada unit pengelola dari perubahan

ekologi yang tidak diinginkan yang terjadi di dalam konsesi;

2) Pemantauan ekologis merupakan kebutuhan obyektif untuk mengevaluasi apakah

kegiatan pengelolaan NKT yang berhubungan dengan melestarikan keanekaragaman

hayati sudah di capai atau belum;

3) Pemantauan ekologis adalah sebuah kebutuhan untuk mengevaluasi dampak jangka

panjang dari aktivitas manusia dan gangguan terhadap keanekaragaman hayati;

4) Pemantauan ekologis dapat memberikan wawasan kepada para pengelola di dalam

sebuah unit pengelolaan tentang fungsi ekosistem yang kompleks.

Hal | 38

Beberapa metode yang disarankan dan biasa digunakan untuk pengumpulan data dan jenis

data yang dikumpulkan untuk melakukan pemantauan ekologis6 antara lain :

1) Penginderaan jarak Jauh dan sistem informasi geografis7;

2) Plot sample permanen ( vegetasi)8;

3) Transek Satwaliar9;

4) Spesies indikator10;

5) Pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air11.

6) Survey Temuan12;

7) Kajian Perburuan di masyarakat13

8) Wawancara dengan masyarakat14.

4.5.2. Pemantauan yang bersifat Partisipatif

Pemantuan yang bersifat partisipatif adalah kegiatan pemantauan yang melibatkan

masyarakat di dalamnya. Metode ini utamanya digunakan dalam pendekatan pengelolaan

dan pemantuan NKT 5 dan NKT 6. Belum ada metode baku di dalam melakukan

pemantauan yang berhubungan dengan NKT ini. Unit pengelola di sarankan untuk

mengembangkan metode-metode yang mungkin bisa melibatkan masyarakat dalam proses

pemantauan ini. Ada beberapa hal yang harus ada di dalam komponen metode tersebut

antara lain :

- Definisi dan parameter yang akan dipantau dengan mudah dipahami masyarakat;

- Indikator tersebut harus sederhana, bahasa yang dipakai mudah dan dimengerti

masyarakat, aturan-aturan dalam metode tersebut gampang dipahami;

- Masyarakat sebagai bagian dari pengambil keputusan;

6 Diambil dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi tinggi di Indonesia. The

Nature Conservancy 2002. 7 Penginderaan jarak jauh menggunakan sarana citra satelit atau potret udara untuk memeriksa

perubahan-perubahan yang terjadi pada vegetasi dan tutupan hutan. Sedangkan software untuk melakukan kegiatan tersebut ada dalam satu sistem pemetaan yang biasa di sebut sistem informasi geografis (SIG-Geografical information system). 8 Sample plot permanen adalah kegiatan untuk memantau pertumbuhan dan kematian pohon yang

terdapat dalam suatu kawasan hutan. 9 Transek hidupan liar adalah jalur-jalur panjang yang terdapat dalam suatu unit pengelolaan

khususnya hutan, tempat melakukan survey kehidupan liar yang menggunakan cara atau metode baku tentang kehidupan liar di tempat tersebut seperti jejak, kotoran, sarang, suara, bau dan sebagainya. 10

Spesies indikator sering di jadikan patokan dalam pemantauan. Beberapa spesies yang telah disarankan menjadi indikator-indikator ekologis antara lain burung-burung frugivora dan insektivora terestrial, owa, dan serangga atau spesies-spesies kunci atau spesies payung. 11

Pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air menjadi salah satu indikator yang penting dalam pemantuan NKT khususnya pemantauan lingkungan,hal ini berhubungan khususnya dengan NKT 4. 12

Metode ini melibatkan semua elemen di dalam perusahaan dalam membantu pemantuan satwa liar yang diketemukan dalam aktivitas harian, contoh: supir mobil angkutan yang menemukan satwaliar di dalam perjalanan dalam konsesi bisa melaporkan temuannya kepada petugas di divisi yang menangani tentang lingkungan, begitu juga staf-staf lain yang bisa melakukan hal yang sama. 13

Kajian perburuan di masyarakat dilakukan untuk memantau berapa banyak atau berapa intensitas perburuan terhadap satwaliar yang dilakukan oleh masyarakat dalam periode tertentu. 14

Kegiatan ini penting juga dengan melibatkan masyarakat setempat dalam mendapatkan informasi tentang kehidupan satwaliar yang ada di dalam dan sekitar unit pengelolaan. Kegiatannya berupa wawancara, qusioner dan diskusi kelompok.

Hal | 39

Dibawah ini di sampaikan beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan

pemantauan NKT 5 & NKT 6 secara partisipatif adalah:

1. Sosialisasikan kepada masyarakat tentang NKT yang telah teridentifikasi sebelumya;

2. Diskusikan dengan masyarakat tentang perubahan apa saja yang sedang dan akan

terjadi dan bagaimana kecenderungan kecenderungan ke depannya terkait dengan

keberadaan NKT ini.

3. Kembangkan dan laksanakan rencana pemantauan secara partisipatif dengan

mendiskusikan tentang indikator atau parameter apa saja yang akan dipantau, siapa

yang akan memantau dan kapan akan dilakukan pemantauan.

4. Susunlah rencana pemantauan secara partisipatif ini sedetail mungkin dan sejelas

mungkin agar masyarakat dapat memahami serta dapat berpartisipasi dalam kegiatan

pemantauan.

5. Buatlah komitmen dan kesepakatan dengan masyarakat untuk mematuhi dan menaati

rencana serta pelaksanaan dari pemantauan NKT ini.

6. Masukkan rencana pemantauan NKT ini ke dalam rencana pemantauan strategi

konservasi perusahaan yang dapat disinergikan dengan rencana pemantauan aspek

lainnya.

7. Integrasikan kegiatan ini kedalam kegiatan rutin masyarakat yang tidak mengganggu

keseharian mereka.

4.6. Penggunaan Hasil Pemantauan

Pemantauan ekologis ataupun partisipatif akan sangat berguna kalau di lakukakan analisa

lebih lanjut, hasil-hasil kegiatan ini akan sangat bermanfaat dalam melakukan perbaikan-

perbaikan dalam sistem pengelolaan lebih lanjut. Sesuai dengan sistem pengelolaan adaptif

yang diadopsi dalam panduan ini (lihat gambar 6).

Hal | 40

Struktur Minimum dok Pengelolaan dan Pemantauan

Ringkasan

Bab ini berisi tentang ihktisar dari rencana pengelolaan dan pemantauan NKT yang isinya antara lain latar belakang, tujuan dari pengelolaan dan pemantauan, cakupan, tim penyusun dan kegiatan dalam pengelolaan dan pemantauan NKT.

Pendahuluan Bab pendahuluan berisi tentang latar belakang dari penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan NKT.

Tujuan Bab tujuan menggambarkan tentang maksud dan tujuan adanya kegiatan pengelolaan dan pemantauan NKT

Cakupan Bab cakupan berisi tentang cakupan dan ruang lingkup dari rencana pengelolaan dan pemantauan NKT

Tim Penyusun Bab ini berisi tentang anggota tim yang menyusun rencana pengelolaan danpemantauan NKT, juga ringkasan keahlian dari masing-masing anggota tim.

Kegiatan-kegiatan pengelolaan dan pemantauan (PIC, bujet, waktu, metode)

Bab ini merupakan inti dari laporan pengelolaan dan pemantauan NKT, yang berisi tentang rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam proses pengelolaan dan pemantauan NKT, di dalam bab ini di juga di jelaskan tentang Tindakan yang harus diambil dalam pengelolaan dan pemantauan,Tujuan,Apa yang perlu di kelola dan diawasi,Bagaimana mengelola dan mengawasinya, siapa yang akan bertanggung jawab, Kapan mereka akan melakukannya,bagaimana orang yang bertanggung jawab akan melaporkan temuan mereka.

Lampiran (peta, desain tehnis dll.) Bab ini berisi tentang lampira utama berupa data-data pendukung yang diperlukan di dalam kegiatan pengelolaan dan pemantauan NKT, seperti metode, peta-peta dan catatan lainnya.

Hal | 41

Bab V Penutup

Keberhasilan dalam melakukan pengelolaan dan pemantauan NKT di berbagai sektor

pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, sangat tergantung kepada komitmen dari para

pemangku kepentingan di dalam menjaga dan meningkatkan nilai-nilai yang sangat penting

ini. Komitmen ini juga harusnya di dukung oleh kebijakan dan regulasi-regulasi yang relavan.

Komitmen dari pihak unit pengelola dalam hal ini harus juga di dukung oleh komitmen

pemerintah setempat melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung juga keterlibatan

masyarakat sangat di perlukan. Karena mereka ini memiliki kontribusi yang menetukan

berhasil tidaknya kegiatan pengelolaan NKT.

Selain komitmen, perangkat lain yang penting adalah adanya bimbingan dan panduan yang

memadai kepada para pemangku kepentingan di dalam menjalankan pengelolaan dan

pemantauan NKT. Tugas ini salah satunya menjadi tanggung jawab pihak NKT-NI melalui

anggotanya yang harus memberikan bimbingan secara teknis atau konsep. Keberadaan

panduan menjadi sangat penting sekali karena bisa jadi adanya keterbatasan waktu atau

tenaga bagi para anggota NKT-NI dalam melakukan pendampingan, panduan yang ada

saat ini bukan lah merupakan panduan yang bersifat statis akan tetapi akan berkembang

secara terus menerus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ditemukan di lapangan.

Untuk itu pendekatan pengelolaan adaptif menjadi landasan utama dalam panduan yang

ada saat ini. Karena dengan konsep ini, panduan yang ada saat ini di harapkan akan terus

berkembang dan lebih baik lagi serta kredibel.

Hal | 42

DAFTAR PUSTAKA

Anand, MO, J. Krishnaswamy, A. Kumar and A. Bali. 2010. Sustaining biodiversity conservation in human-modified landscapes in the Western Ghats: Remnant forests matter. Biological Conservation, 143 (2010) : 2363-2374

Blouin, M.S. dan E.F.Connor. 1985. Is there a best shape for Nature Reserve. Biological Conservation 32 (1985) : 277-288

Deshaye, Jean dan P. Morisset. 1989, Species-area Relationships and the SLOSS Effect in Subartic Archipheago. Biological Conservation 48 (1989) : 265-276

Diamon, J.M. 1975. The island dilemma: Lesson of modern biogeographics studies for the design of the natural reserves. Biol. Conserv. (1975) : 129 – 146.

FSC (2000) FSC Principles and Criteria. Document 1.2. Forest Stewardship Council. Bonn, Germany.

Forman & Godron. 1989. Landscape Ecology.

Frohn, Robert C. 1998. Remote Sensing fro Landscape Ecology. Lewis Pub. Washington DC. 99 p

Gascon, C, TE. Lovejoy, RO. Bierregaard Jr.,J R. Malcolm,PC. Stou€er, H L. Vasconcelos, WF. Laurance, B. Zimmerman, M.Tocher, and S. Borges.1999. Matrix habitat and species richness in tropical forest remnants. Biologi Conservation, 91 (1999) 223 -229

Giambelluca, TW., A.D. Ziegler, M.. A. Nullet, D.M. Truong and L.T. Tran. 2003. Transpiration in a small tropical forest patch. Agric.and Forest Meteorology, 117 (2003): 1-22

Jarvie, J. Hiller, M., and A. Salim (2002) NKTF Guidelines for Forest Managers in Indonesia. Sponsored by The Nature Conservancy and The United States Forest Service.

Jennings, S and J. Jarvie (2004) A Sourcebook for Landscape Analysis of Nilai Konservasi Tinggi Forests. ProForest. Oxford. UK.

Jennings, S. Nussbaum, R., and T. Sysnnott (2002) A Toolkit for identifying and managing Nilai Konservasi Tinggi Forests: Review Draft 1. Prepared by ProForest. Oxford. UK

Jennings, S. (2004). NKTF for Conservation Practitioners. ProForest. Oxford. UK

Jennings, S. Nussbaum, R. Judd, N. and T Evans. (2003) The Nilai Konservasi Tinggi Forest Toolkit (Parts 1 – 3). ProForest. Oxford.

Kunin, W.E. 1997. Sample shape, spatial scale & species counts:Implication for reserve design. Biological Conservation, 82 (1997): 369-377

Laurance, WF. 1991. Edge Effects in Tropical Forest Fragments: Application of a Model for the Design of Nature Reserves. Biological Conservation 57 (1991): 205-219

McGariga, K. 1994. Fragstat : Spatial pattern analysis program for quantifying landscape structure. Forest Science Department, Oregon State University, Corvallis,141pp

Hal | 43

McGariga, K., S.Tagil, and S.A. Cushman. 2009. Surface metrics: an alternative to patch metrics for the quantification of landscape structure. Landscape Ecology (2009) 24: 433-450

Meijaard, E., S. Stanley, E.H.B. Pollard, A. Gouyon & G. Paoli. 2006. Nilai Konservasi Tinggi Forest in East Kalimantan. A Guide for Practioners. The Nature Conservancy – East

Kalimantan Program, Samarinda, Indonesia.

Proforest/SmartWood (2003) Identifying, Managing and Monitoring Nilai Konservasi Tinggi Forests in Indonesia: A Toolkit for Forest Managers and other Stakeholders. SmartWood Asia Pacific Program.

Salafsky, N., R. Margoluis, and K. Redford (2001) Adaptive Management : A tool for conservation practitioners. Biodiversity Support Program. Washington DC

SmartWood (2003) Identifying, Managing and Monitoring Nilai Konservasi Tinggi Forests in Indonesia: A Toolkit for Forest Managers and other Stakeholders. SmartWood Asia Pacific Program.

Saunders, S.C., J.Chen, T. D. Drummer and T. R. Crow. 1999. Modeling temperature gradients across edges over time in a managed landscape. Forest Ecology & Management, 117 (1999) : 17-31

Sharon Kingsland. 2002. Designing nature reserves: adapting ecology to real-world problems, Endeavour Vol. 26(1) 2002

Simberloff, D.S. dan L.G. Abele. 1975. Island Biogeography Theory and Conservation Practice. Science 191 : 285-286

Spittlehouse, R.S. Adams, and R.D. Winkler.2004. Forest, Edge, and Opening Microclimate at Sicamous Creek. Ministry of Forests Forest Science Program, British Columbia

Stewart, C; P. George, T. Rayden and R. Nussbaum. 2008. Pedoman Pelaksanaan

Penilaian Nilai Konservasi Tinggi. Edisi I-Mei 2008. Proforest.

Tim Rayden. 2008 . Assessment, management and monitoring of Nilai Konservasi Tinggi

Forest (NKTF).A practical guide for forest managers . ProForest, Oxford

TNC - LLFO. (2002). Participatory Conservation Planning: A methodology for Community

consultation. The Nature Conservancy. Palu, Indonesia.

TNC (2000) The Five-S framework for site conservation : a practitioners handbook of Site

Conservation Planning and measuring conservation success. The Nature

Conservancy, Arlington VA, USA

Tropenbos. 2008. Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia.

Konsorsium Revisi NKT Toolkit Indonesia. Tropenbos International Indonesia

Programme.

Konsorsium Revisi, H.C.V.T.I., Panduan identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi TInggi di

Indoneesia2008, Balikpapan, Indonesia: Tropenbos International Indonesia

Programme. 125 Halaman-125 Halaman.

Sanderson, E.W., et al., A conceptual model for conservation planning based on landscape

species requirements. Landscape and urban planning, 2002. 58(1): p. 41-56.

Hal | 44

Good Practives guilnes for High Conservation Value assessments: A Practical guide for

practitioners and auditors, ed. C. Stewart, et al.2008, Oxford, United Kingdom:

ProForest.

Rao, M., A. Johnson, and N. Bynum, Assessing Threats in Conservation Planning and

Management. Lesson in Conservation, 2007(1): p. 44-71.

WCS. Living Landscape Program. 2007; Available from:

http://www.wcslivinglandscapes.com/Home.aspx.

Laurance, W.F. and R.O. Bierregaard, Tropical Forest Remnants: Ecology, Management,

and Conservation of Fragmented Communities1997: University of Chicago Press,

Chicago.

Kinnaird, M.F., et al., Deforestation Trends in a Tropical Landscape and Implications for

Endangered Large Mammals. Conservation biology, 2003. 17(1): p. 245-257.

Gaveau, D.L.A., H. Wandono, and F. Setiabudi, Three decades of deforestation in southwest

Sumatra: Have protected areas halted forest loss and logging, and promoted re-

growth? Biological Conservation, 2007. 134(4): p. 495-504.

Linkie, M., R.J. Smith, and N. Leader-Williams, Mapping and predicting deforestation

patterns in the lowlands of Sumatra. Biodiversity and Conservation, 2004. 13(10): p.

1809-1818.

Wilson, K., et al., Conserving biodiversity in production landscapes. Ecological Applications,

2010.

Ecological monitoring of forest management in the humid tropics: a guide for forest

managers and certifiers with special reference to Nilai Konservasi Tinggi Forests.

http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.

Nilai Konservasi Tinggis and Biodiversity: identification, management and monitoring. FSC

Briefing Note, developed by ProForest.

http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-

29.6584228415/NKT_briefing_note_high_res.pdf.

Practical Toolkit for identifying and monitoring biodiversity within oil palm landscapes, ZSL

September 2011. http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-

29.6584228415/ZSL.

Assessment, Management & Monitoring of Nilai Konservasi Tinggis: A practical guide for

forest managers, Tim Rayden: 2008, ProFores.

http://www.NKTnetwork.org/resources/

Guidelines on Management and Monitoring Of Nilai Konservasi Tinggi For Sustainable Palm

Oil Production In Indonesia, NKT RSPO Indonesian Working Group (NKT-RIWG).

http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.

Hal | 45

Lampiran 1: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Alam

Oleh:

Yana Suryadinata

Wahyu Riva

1. Pendahuluan

Konsep Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) muncul pertama kali pada tahun 1999

sebagai ‘Principle 9’ dari standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan

oleh Forest Stewardship Council (FSC). Konsep ini dirancang dengan tujuan untuk

membantu para pengelola hutan alam dalam usaha usaha peningkatan keberlanjutan

usahanya dengan tetap memperhatikan keberlangsungan kehidupan sosial dan lingkungan

hidup di dalam dan sekitar areal konsesinya. Di dalam prinsip ke -9 standar FSC, terdapat

empat hal penting yang harus dilakukan berkaitan dengan nilai konservasi tinggi (NKT) oleh

setiap unit pengelolaan hutan alam dalam proses penilaian standar pengelolaan hutan yang

berkelanjutan, yaitu bahwa setiap unit pengelolaan hutan diwajibkan untuk:

5. Mengidentifikasi Hutan Bernilai Konservasi Tinggi yang ada di dalam kawasan

konsesinya;

6. Konsultasi publik dalam proses sertifikasi harus menekankan pada sifat-sifat konservasi

yang teridentifikasi dan pilihan-pilihan pengelolaannya ;

7. Mengelola area hutan tersebut supaya dapat memelihara atau meningkatkan nilai-nilai

yang teridentifikasi;

8. Memonitor keberhasilan pengelolaan kawasan hutan itu.

Pengelolaan dan pemantauan wilayah yang mempunyai NKT menjadi sangat penting

karena salah satu prinsip dasar dari konsep KBKT adalah bahwa wilayah-wilayah dimana

dijumpai atribut yang mempunyai NKT tidak selalu harus menjadi daerah dimana

pengusahaan hasil hutan tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, konsep NKT mensyaratkan

agar pengusahaan hasil hutan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan dan

atau peningkatan NKT tersebut.

Di Indonesia, saat ini banyak para pemegang ijin pengelolaan hutan alam yang mengikuti

standar pengelolaan hutan alam lestari secara sukarela, salah satu tujuan dari keterlibatan

para pemegang ijin adalah keinginan agar produk hasil hutan berupa kayu dapat di jual di

pasar internasional dan produk mereka merupakan produk yang dihasilkan dari pengelolaan

yang memperhatikan aspek lingkungan dan sosial budaya di sekitarnya. Ketersedian

rencana pengelolaan dan pemantauan NKT menjadi salah satu kebutuhan utama bagi para

pengelola hutan alam, sebagai panduan bagi para manager dan staf dilapangan dalam

memelihara atau meningkatkan NKT-NKT yang terdapat di dalam konsesinya.

Hal | 46

2. Tahapan Operasional di pengelolaan Hutan Alam

Sistem pengelolaan hutan alam di Indonesia mewajibkan para pemegang ijin untuk

melakukan kegiatan pengusahaan hutan di dalam konsesinya di dalam satu sistem

silvikultur yang sudah di tetapkan dan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan.

Rencana Kehutanan dalam sistem pengelolaan alam terdiri dari Rencana Kerja Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam untuk jangka waktu 10 tahun dan rencana kerja

tahunan usaha (RKT) untuk jangka waktu 1 tahunan.

Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan, yang

meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan, guna menjamin

kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan TPTI adalah sistem silvikultur

yang meliputi cara penebangan dengan batas diameter dan permudaan hutan. Untuk

mencapai sasaran yang diharapkan dalam pelaksanaan TPTI, maka ditetapkan tahapan

pelaksanaan TPTI dan tata waktu pelaksanaannya sebagai berikut: penataan areal kerja,

inventarisasi tegakan sebelum penebangan, pembukaan wilayah hutan, penebangan,

pembebasan, inventarisasi tegakan tinggal, pengadaan bibit, penanaman/pengayaan,

pemeliharaan tahap pertama, pemeliharaan lanjutan, pembebasan, penjarangan,

perlindungan dan penelitian.

Tabel 1. Tahapan dalam pelaksanaan sistem TPTI

No Tahapan Kegiatan TPTI Waktu pelaksanaan

1 Penataan Areal Kerja Et-3

2 Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan Et - 2

3 Pembukaan Wilayah Hutan Et - 1

4 Penebangan Et

5 Pembebasan Et + 1

6 Inventarisasi Tegakan Tinggal Et + 1

7 Pengadaan Bibit Et + 2

8 Penanaman/Pengayaan Et + 2

9 Pemeliharaan Tahap Pertama Et + 3

10 Pemeliharaan Lanjutan ( pembebasan,

penjarangan)

Et + 4, Et + 9, Et +14 ,Et +19

11 Perlindungan dan Penelitian Terus menerus

Keterangan: Et adalah simbol tahun penebangan.

Hal | 47

Semua aktivitas dalam sistem silvikultur ini memberikan dampak postif atau negatif

terhadap lingkungan sekitarnya secara ekologi, sosial dan budaya. Kawasan yang bernilai

konservasi tinggi yang di temukan di dalam konsesi sangat dipengaruhi oleh aktivitas-

aktivitas ini baik secara langsung ataupun tidak. Contoh kegiatan yang berpengaruh

terhadap NKT antara lain pembukaan wilayah hutan, penebangan, kegiatan-kegiatan

tersebut memberikan dampak terhadap satwaliar dengan terbukanya tajuk, hilangnya

sumber pakan dan rusaknya habitat (NKT 1), timbulnya erosi dan sedimentasi (NKT4), dan

berkurangnya sumber bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (

NKT5).

Kemungkinan dampak dari kegiatan pengelolaan kawasan hutan yang didalamnya

mengandung NKT akan sangat tergantung pada tipologi, karakteristik, dan kondisi pada

areal konsesi hutan alam. Perubahan-perubahan yang terjadi di lapangan dapat terjadi

pada skala besar maupun dalam skala kecil dan pada tingkat ekosistem maupun bentang

alam. Adanya kegiatan pengelolaan hutan yang kemungkinan dapat menurunkan kualitas

dan kuantitas NKT dapat dipulihkan dalam jangka pendek, jangka menengah maupun

jangka panjang. Setiap dampak negatif dari pengelolaan hutan yang terjadi pada suatu NKT

dapat dikurangi melalui pengelolaan hutan yang baik. Salah satu contoh pengelolaan hutan

yang baik untuk aspek produksi adalah dengan menerapkan teknik penebangan berdampak

rendah (reduced impact logging/RIL). Penerapan RIL secara benar dan tepat dilapangan

dapat mengurangi dampak negatif yang terjadi pada suatu areal yang diindikasikan

didalamnya terdapat NKT.

Untuk menentukan strategi pengelolaan yang sesuai maka diperlukan informasi mengenai

bentuk-bentuk ancaman terhadap nilai yang melekat pada masing-masing NKT. Ancaman

merupakan bentuk proses atau kegiatan yang dapat menyebabkan suatu nilai memberikan

respon dalam bentuk perubahan nilai itu sendiri atau sebuah indikasi atau peringatan akan

terjadinya kerusakan atau pengaruh negatif terhadap nilai. Nilai dari ancaman tersebut juga

dapat diketahui apakah tinggi atau rendah. Juga perlu diidentifikasi sumber dari ancaman

dan potensi dari ancaman tersebut. Informasi tentang ancaman ini penting untuk

menentukan strategi pengelolaan NKT yang teridentifikasi.

3. Pengelolaan dan Pemantauan NKT

Kunci utama dalam pengelolaan NKT adalah bahwa strategi-strategi yang dirancang harus

mempertahankan atau meningkatkan nilai. Hal ini berarti akan ada perbedaan pengelolaan

antara konsesi satu dengan yang lainnya tergantung dari nilai NKT yang teridentifikasi atau

ditemukan. Dalam standar pengelolaan hutan skema FSC, aspek pengelolaan NKT

tercantum dalam prinsip 9.3 :

“ 9.3. Rencana pengelolaan hendaknya meliputi dan mengimplementasikan tindakan-

tindakan spesifik untuk menjamin pemeliharaan dan atau peningkatan sifat-sifat konservasi

yang dapat di terapkan secara konsisten dengan pendekatan kehati-harian. Tindakan-

tindakan ini hendaknya secara spesifik dimasukan dalam ringkasan rencana pengelolaan

yang tersedia bagi publik”.

Tahapan dalam pengembangan rencana pengelolaan NKT dilakukan terhadap atribut dari

NKT yang teridentifikasi ada dalam kawasan konsesi pengelolaan hutan. Untuk menyusun

Hal | 48

rencana ini menggunakan pendekatan kehati-hatian15 (precautionary approach) perlu

dilakukan agar pengelolaan tepat sasaran. Pengelolaan NKT pada suatu areal konsesi

hutan alam tidak harus dilakukan secara terpisah dengan kegiatan pengelolaan hutan

lainnya. Pengelolaan NKT dapat diintegrasikan dengan kegiatan lainnya yang relevan.

Misalnya, untuk NKT Mempertahankan wilayah yang bisa menyediakan air bersih bagi

masyarakat yang ada di bagian hilir unit pengelolaan. Dengan merestorasi kawasan-

kawasan yang sudah terdegradasi hutannya dengan penanaman kembali jenis-jenis lokal

yang banyak ditebang, mempertahankan wilayah lindung khususnya kiri-kanan sungai,

penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan dan di lakukan dengan benar ( NKT 4).

Sementara itu, untuk NKT 5 dan NKT 6, kegiatan ini dapat diintegrasikan ke dalam program

sosial yang telah disusun oleh unit manajemen, misalnya melalui program Pembinaan

Masyarakat Desa Hutan atau kelola sosial. Selain itu, kegiatan pengelolaan NKT dapat juga

disinergikan dengan hasil penilaian dampak sosial dan pelaksanaan rencana Kelola dan

rencana pemantauan untuk aspek sosial. Harapannya dengan diintegrasikan dan

disinergikan pengelolaan NKT dengan kegiatan pengelolaan hutan lainnya, akan

memudahkan bagi manager, staf, atau pekerja dilapangan dalam mengelola NKT di areal

konsesi hutan alamnya.

Untuk memudahkan pihak unit pengelola dalam melaksanakan pengelolaan NKT, maka

disusun suatu matrik rencana pengelolaan NKT yang dapat dijadikan sebagai contoh

panduan praktis bagi para pengelola, staf, dan pekerja unit pengelolaan hutan, baik yang

terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan di bidang ekologi, produksi, dan

sosial.

15

Hal ini bisa terjadi apabila anda ragu dengan NKT, maka diasumsikan bahwa NKT ada dan perlu penyelidikan lanjut terhadap dampak kegiatan terhadap NKT. Dasar pemikiran dari penyusunan rencana pengelolaan terhadap NKT yang teridentifikasi adalah adanya keinginan untuk memelihara dan atau meningkatkan NKT yang ada serta rencana pengelolaan yang jelas dan terperinci.

Hal | 49

Tabel 2. Contoh Matrik Rencana Pengelolaan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di pengelolaan hutan alam

NKT Nilai-Nilai Ancaman Kawasan yang di kelola Strategi dan tindakan Pengelolaan

1.1 Kawasan lindung Perladangan

Penebangan liar

Penambangan emas

Rencana perkampungan

Rencana

kebun/sawit/karet/coklat

Penebangan tidak

terencana

Buffer zone hutan

lindung dan kawasan

lindung yang ada di

dalam areal konsesi

Penyuluhan kepada masyarakat tentang larangan

penebangan liar di dalam kawasan konsesi;

Pemasangan poster yang berhubungan dengan

himbauan untuk tidak melakukan penebangan liar;

Pengajuan keberatan tentang rencana tambang emas

di dalam konsesi ;

Tidak melakukan penebangan di wilayah tersebut

(NKT1.1);

Upaya pengendalian perladangan;

Melaksanakan sistem RIL dalam penebangan sesuai

dengan SOPnya.

1.2 Tumbuhan/flora

terancam punah

jenis-jenis

Dipterocarpaceae

(CR)

- Penebangan tidak

terencana di dalam

konsesi

- Penebangan liar

- Perladangan

- Pemukiman

Seluruh areal konsesi

khususnya hutan dataran

rendah dan sub

pegunungan

- Kerjasama dengan aparat penegak hukum dalam

penyuluhan tentang penebangan liar

- Menyisakan pohon-pohon jenis CR (diameter lebih

dari 60 cm) untuk tidak di tebang di setiap hektar

petak tebang;

- Melatih terus staf tentang pengenalan jenis pohon;

- Merestorasi kembali hutan dengan menanami

Hal | 50

- Penambangan emas

- Rencana kebun sawit

lahan rusak dan gundul dengan jenis-jenis CR;

- Daerah konsentrasi sebaran jenis-jenis CR

tersebut di atas perlu mendapat perhatian khusus,

misalnya dijadikan areal konservasi genetik,

sebagai sumber genetik bagi jenis-jenis vegetasi

penting tersebut – sebagai bank gen jenis-jenis

vegetasi;

- Mengidentifikasi habitat dan kondisi habitat yang

harus dilindungi sebelum penebangan dilakukan

bersamaan dengan inventarisasi sebelum

penebangan.

1.3 Semua jenis

yang

teridentifikasi

dalam NKT 1.2

ditambah jenis

lain yang

dianggap langka,

terancam

(endangered),

rentan

(vulnerable),

endemik atau

dilindungi oleh

Pemerintah

Indonesia yang

mampu bertahan

hidup (viable

- Perburuan liar

- Perdagangan satwa

- Penebangan tidak

terencana

- Penebangan liar

- Perladangan

- Penambangan emas

- Rencana kebun sawit

Habitat Enam jenis

mamalia dan satu jenis

burung tergolong ke

dalam kriteria di atas,

yakni: Hylobates muelleri

(owa kalawat), Manis

javanica (trenggiling

peusing), Felis planiceps

(kucing tandang),

Cynogale bennettii

(musang air),

Sundasciurus hippurus

(bajing ekor kuda),

Ratufa affinis (jelarang

bilalang), dan burung

Ciconia stormi (bangau

storm). Jenis dari marga

- Membuat himbauan untuk masyarakat tentang

pelarangan perburuan terhadap flora-fauna langka

dan dilindungi ;

- Perusahaan membuat aturan tentang

perlindungan flora-fauna langka dan dilindungi di

dalam unit pengelolaan ;

- Bekerjasama dengan pihak universitas setempat

atau LSM yang bergerak dalam pelestarian alam

khususnya flora-fauna langka dan dilindungi;

- Kampanye penyadartahuan tentang perlindungan

flora-fauna langka dan dilindungi terhadap

masyarakat sekitar konsesi dan karyawan ;

- Pendidikan lingkungan mendorong masyarakat

tidak berburu flora-fauna langka dan dilindungi ;

Hal | 51

population). Dipterocarpaceae yang

ditemukan di dalam areal

PT. A

- Mengidentifikasi saltlick (sepan-air mineral);

- Membuat aturan pelarangan perburuan terhadap

flora-fauna langka dan dilindungi bagi staf

perusahaan;

- Membuat SOP yang berhubungan dengan

identifikasi satwaliar dengan mengintergrasikan

dengan kegiatan ITSP;

- Memperbaiki dan melaksanakan teknik RIL

dengan benar di lapangan ;

- Penanaman di tempat-tempat terbuka dengan

menggunakan jenis lokal terutama yang terancam

punah, langka dan dilindungi;

- Membuat sample plot permanen ;

- Membiakan jenis-jenis tumbuhan dari jenis langka

dan hampir punah.

2.1 Wilayah inti

seluas 74,000.03

dan wilayah

penyangga

seluas

120,000,05hektar

yang ada di

dalam areal

konsesi

- Penebangan

- Konversi lahan

- Fragmentasi

Wilayah inti seluas

74,000.03 hektar dan

wilayah penyangga

seluas 120,000.05 hektar

yang ada di dalam areal

konsesi

- Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak

rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan

dilakukan dengan benar ;

- Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan

lebar cukup sesuai prosedur peraturan dan RIL;

- Membuat aturan pelarangan berburu hidupan liar

khusunya bagi staf perusahaan

- Mempertahankan sebagai satu unit pengelolaan

Hal | 52

hutan

- Pemantauan perladangan dan pembukaan

pemukiman baru

2.2 Kawasan

Bentang alam

yang memiliki

rentang beda

ketinggian dan

zona ekokline

pada ketinggian

500 meter

- Penebangan

- Konversi lahan

- Fragmentasi

Kawasan Bentang alam

yang memiliki rentang

beda ketinggian dan

zona ekokline pada

ketinggian 500 meter

- Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak

rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan

dilakukan dengan benar;

- Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan

lebar cukup sesuai prosedur ;

- Konektivitas antara ekosistem hutan dengan

lanskap yang lebih luas;

- Membuat koridor satwa kalau diperlukan.

2.3 Jenis predator

tingkat tinggi dan

jenis indikator

lain yang

memerlukan

ruang habitat

luas tetapi

berkepadatan

rendah

- Penebangan tidak

terencana;

- Penebangan liar;

- Perburuan;

- Perdagangan

satwa;

- Perladangan;

- Perubahan fungsi

lahan

Semua hutan

dipterokarpa dataran

rendah dan sub

pegunungan didalam

wilayah konsesi

- Penerapan sistem RIL sangat penting untuk

diterapkan dan dilakukan dengan benar;

- Mencegah fragmentasi habitat dengan

pembuatan jalan yang efektif, pemeliharaan

kesinambungan tajuk dan kanopi hutan;

- Mencegah perburuan terhadap satwaliar baik

untuk staf maupun masyarakat.

3 Ekosistem Hutan

Dipterocarpaceae

- Perubahan fungsi

lahan untuk sawit atau

Semua hutan dataran - Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah

terdegradasi hutannya dengan penanaman

Hal | 53

dataran rendah di

dalam areal.

lading;

- Penebangan tidak

terencana;

- Penebangan liar

rendah di dalam konsesi kembali jenis-jenis lokal yang banyak

ditebang;

- Penerapan sistem RIL penting untuk

diterapkan dan di lakukan dengan benar ;

- Terdapat Kawasan-kawasan yang tidak

ditebang dan merupakan representatif dari

jenis ekosistem yang ada di dalam unit

pengelolaan.

4.1 Hutan di tepi

sungai/danau

(riparian) yang

tergenang secara

teratur dan sub-

DAS yang

menyediakan air

bersih untuk desa

disekitarnya.

- Perladangan

- Penebangan liar

- Penambangan emas

- Perubahan fungsi

lahan

- Hutan Riparian

- Embung dan mata air

- Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah

terdegradasi hutannya dengan penanaman

kembali jenis-jenis lokal yang banyak ditebang;

- Mempertahankan wilayah lindung khususnya kiri-

kanan sungai;

- Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan

dan di lakukan dengan benar.

4.2 Kawasan

mempunyai

tingkat bahaya

erosi berat

sampai sangat

berat di dalam

areal.

- Penebangan - Wilayah-wilayah

yang mempunyai

potensi TBE

Berat menjadi

wilayah yang

perlu menjadi

perhatian utama

dengan tidak

mengampingkan

wilayah lain yang

- Penanaman areal terbuka pasca penebangan (

bekas Tpk dan TPN) ;

- Menutup jalan logging , jalan cabang dan jalan

sarad yang sudah tidak dipakai ( deactivasi);

- Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan

dan di lakukan dengan benar.

Hal | 54

nilai TBE di

bawahnya. .

4.3 Hutan dengan

pepohonan tinggi

dan lapisan

bawah yang

lembab dan

wilayah yang

dapat mencegah

peluasan

kebakaran

- Perubahan fungsi

kawasan hutan;

- Perladangan, kebun

sawit, tambang ;

- Keberadaan illegal

logging yang bila tidak

tertanggulangi dapat

merusak tipe-tipe

ekosistem tertentu

- Kawasan hutan yang

berada dekat

perkampungan dan

ladang.

- Melakukan sosialisasi bahaya kebakaran hutan

buat masyarakat ;

- Pengetatan/pengawasan akses keluar masuk

kawasan konsesi buat pihak luar ;

- Membuat larangan membakar lahan bagi

karyawan perusahaan;

- Pemasangan poster;

- Patroli hutan.

5 Pemenuhan

kebutuhan dasar

masyarakat di

sekitar areal

konsesi

- Pembukaan wilayah

hutan

- Penebangan

- Perburuan binatang

yang dilindungi oleh

masyarakat

- Daerah sekitar 20

nama sungai, anak-

sungai dan mata air

yang mereka

manfaatkan

- Membuat kesepakatan bersama antara

masyarakat dengan unit pengelola tentang

wilayah-wilayah yang diperbolehkan masyarakat

untuk mengambil hasil hutan non kayu dan produk

lain selain kayu untuk pemenuhan kebutuhan

dasarnya;

- Pembalakan ramah lingkungan (RIL) tampaknya

sangat perlu dilakukan karena RIL akan mampu

menekan potensi erosi yang akan memberikan

dampak buruk pada aliran sungai, terutama

sungai-sungai yang memiliki nilai vital bagi

kehidupan masyarakat.

6 Nilai budaya dan

spiritual di

beberapa lokasi

- Pembukaan wilayah

hutan

- Sebaran situs

arkeologi

- Melindungi kawasan-kawasan yang dianggap oleh

masyarakat sebagai tempat ritual/budaya yang

Hal | 55

spesifik yang

berada di dekat

desa.

- Penebangan - Sebaran kegiatan

ritual

- Sebaran

sumberdaya alam

hayati untuk

pemenuhan

kebutuhan

budaya

ada di dalam areal;

- Membuat kesepakatan bersama dengan

masyarakat tentang lokasi-lokasi penting secara

budaya dan tidak menebang di radius yang

disepakati;

- Membuat prosedur (SOP) untuk unit pengelola

apabila menemukan wilayah-wilayah penting

budaya sewaktu kegiatan inventarisasi atau

kegiatan sebelum penebangan;

- Membuat kesepakatan dengan masyarakat untuk

memberikan akses masuk hutan untuk

mendapatkan tumbuhan atau binatang untuk

keperluan budaya;

- Bekerjasama dengan universitas setempat untuk

melakukan penelitian dan pendokumentasian

tentang budaya masyarakat di dalam dan sekitar

areal.

Hal | 56

Semua program pengelolaan akan di ikuti dengan adanya program pemantauan untuk

melihat seberapa efektiv atau berhasilnya kegiatan pengelolaan adalah salah satu kunci dari

prinsip 9 FSC sebagaimana tercantum dalam 9.4

“ Pemantauan tahunan akan dilakukan untuk menilai efektivitas langkah-langkah yang

diterapkan untuk memelihara atau meningkatkan sifat-sifat konservasi yang dapat

diterapkan “

Pemantauan merupakan bagian penting dalam konsep pengelolaan adaptif16. Ada beberapa

hal yang mesti diperhatikan dalam menyusun rencana pemantuan antara lain :

- Sederhana, dan mudah dipahami oleh staf lapangan

- Memberikan aturan yang jelas kapan di mulai dan kapan berhenti;

- Murah biayanya;

- Memiliki sasaran yang jelas;

- Di rencanakan sebelumnya dan melekat dengan rencana pengelolaan;

Pada dasarnya metode pemantauan dalam NKT di pengelolaan hutan alam terbagi menjadi

dua bagian besar yaitu pemantauan secara ekologis untuk pemantuan NKT 1, NKT 2, NKT

3, dan pemantauan yang bersifat partisipatif yang berhubungan dengan kebutuhan dasar

dan budaya.

Untuk memudahkan pihak unit pengelola dalam melaksanakan pemantaun NKT, maka

disusun suatu matrik rencana pemantuan NKT yang dapat dijadikan sebagai contoh

panduan praktis bagi para pengelola, staf, dan pekerja unit pengelolaan hutan, baik yang

terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan di bidang ekologi, produksi, dan

sosial

16

Lihat konsep Adaptif dalam panduan utama

Hal | 57

Hal | 58

Tabel 3. Contoh Matrik Rencana Pemantauan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di pengelolaan hutan alam

NKT Nilai-Nilai Tujuan Strategi dan tindakan

Pengawasan

Periode Penanggung

Jawab

1.1 Kawasan lindung di dalam

konsesi

- Memastikan bahwa

tidak ada

penebangan di dalam

kawasan lindung;

- Memastikan ada

proses

penyadartahuan di

masyarakat tentang

kawasan ini;

- Adanya peraturan

perusahaan tentang

larangan perburuan

dan pengambilan

sumberdaya alam

dari wilayah.

- Pemantauan bisa dilakukan

setelah penebangan selesai

di setiap Rencana karya

tahunan (RKT);

- Laporan periodik tetang

proses penyadartahuan dan

sosialisasi ;

- Terdapat data tentang

pengambilan Hasil Hutan

Non Kayu oleh masyarakat

- Pemantauan tutupan hutan

- Pertiga

bulan/enam

bulan

Perencanaan

dan lingkungan,

sosial.

1.2 Tumbuhan/flora terancam

punah

jenis-jenis Dipterocarpaceae

(CR)

- Mepemantauan

habitat tumbuhan

terancam punah

yang ada di dalam

areal ;

- Memperbaharui

- Melakukan

pemantauantumbuhan

kategori CR melalui survey

berkala bersamaan dengan

ITSP;

- Terdapat standar survey

- Pertahun Lingkungan

Perencanaan,

produksi

Hal | 59

data/up-date tentang

spesies CR di dalam

areal;

tumbuhan terancam punah

(CR) yang jelas;

- Peloporan tentang

pelatihan;

- Pelaporan penanaman

lahan kosong dan rusak

secara periodik;

- Pelaporan tentang

pelaksanaan RIL

1.3 Semua jenis yang

teridentifikasi dalam NKT 1.2

ditambah jenis lain yang

dianggap langka, terancam

(endangered), rentan

(vulnerable), endemik atau

dilindungi oleh Pemerintah

Indonesia yang mampu

bertahan hidup (viable

population).

- Memonitor berapa

banyak jenis langka

dan dilindungi secara

global, nasional dan

lokal yang ada di

dalam areal;

- Adanya upaya nyata

dari pihak unit

pengelola untuk

mempertahankan

jenis-jenis langka dan

dilindungi secara

global, nasional dan

lokal yang ada di

dalam areal.

- Pemantauan dengan

pengamatan reguler di

petak/sample permanen

plot ;

- Membuat check list satwa

liar yang dilindungi yang

ditemui di lapangan untuk

staf, driver logging, dll

- Melakukan survey satwa

liar di jalur-jalur atau sample

plot permanen secara

periodik ;

- Memplotkan hasil temua

satwa liar dalam peta yang

terintegrasi dengan sistem

GIS;

- Pertahun/

enam bulan/

tiga bulan

Lingkungan

Perencanaan,

produksi

Hal | 60

- Melibatkan masyarakat

dalam melakukan

pemantauan melalui

pengawasan perburuan

satwa liar di kampung;

- Pelaporan tentang

pelaksanaan RIL;

- Pelaporan kegiatan

penyadartahuan atau

sosialisasi di kampung;

- Ada database tentang

kondisi satwaliar;

- Penegakan aturan tentang

larangan perburuan bagi

staf perusahaan;

- Laporan pertumbuhan

tanaman yang di tanam di

tempat-tempat terbuka dan

rusak.

2.1 Wilayah inti seluas 74,000.03

hektar dan wilayah penyangga

seluas 120,000.05 hektar yang

ada di dalam areal.

- Memastikan sistem

RIL di jalankan.

- Memastikan bahwa

perubahan tutupan

lahan dapat di

pantau;

- Laporan reguler tentang

RIL;

- Laporan periodik tentang

perburuan;

- Pertahun Lingkungan

dan

Perencanaan

Hal | 61

- Memastikan bahwa

perluasan

perladangan dapat

dipantau;

- Memastikan adanya

pematauan

perburuan

2.2 Kawasan Bentang alam yang

memiliki rentang beda

ketinggian dan zona ekokline

pada ketinggian 500 meter

- Memastikan bahwa

praktek-praktek di

lapangan sesuai

dengan sistem RIL

yang ada saat ini;

- Memastikan bahwa

perubahan tutupan

lahan dapat di

monitor;

- Memastikan bahwa

perluasan

perladangan dapat

dimonitor.

- Pemantauan RIL bisa

dilakukan setelah

penebangan selesai di

setiap Rencana Karya

Tahunan (RKT);

- Pemantauan tutupan hutan;

- Pemantauan perladangan.

- Pertahun Lingkungan

dan Produksi

2.3 Jenis predator tingkat tinggi

dan jenis indikator lain yang

memerlukan ruang habitat luas

tetapi berkepadatan rendah

- Memastikan tidak

terjadinya konversi

hutan di dalam areal;

- RIL dilaksana di

lapangan

- Pemantauan bisa dilakukan

setelah penebangan selesai

di setiap Rencana Karya

Tahunan (RKT) untuk RIL;

- Pemantauan tutupan hutan;

- Pertahun Lingkungan,

Produksi dan

sosial

Hal | 62

- Memastikan

fragmentasi habitat di

tekan se efektif

mungkin;

- Memastikan adanya

upaya untuk

mencegah perburuan

terhadap satwaliar

baik untuk staf

maupun masyarakat.

- Pemantauan perladangan,

- Pemantauan perburuan

3 Ekosistem Hutan

Dipterocarpaceae dataran

rendah di dalam areal.

- Tutupan hutan

terpantau secara

periodik;

- RIL dilaksanakan di

lapangan;

- Memastikan adanya

kegiatan restorasi

kawasan-kawasan

yang sudah

terdegradasi

hutannya ;

- Memastiakan adanya

kawasan yang tidak

ditebang dan

merupakan

representatif dari

jenis ekosistem yang

- Laporan pemantauan

pertumbuhan tanaman dan

luas yang ditanami;

- Pemantauan RIL dilakukan

setelah penebangan selesai

di setiap Rencana Karya

Tahunan (RKT);

- Pemantauan kawasan yang

merupakan representif dari

ekosistem yang ada di

areal.

- Pertahun Lingkungan

Produksi,

Perlindungan

Hutan

Hal | 63

ada di dalam unit

pengelolaan.

4.1 Hutan di tepi sungai/danau

(riparian) yang tergenang

secara teratur dan sub-DAS

yang menyediakan air bersih

untuk desa disekitarnya.

- Memastikan adanya

upaya untuk

melakukan restorasi;

- Sistem RIL

dilaksanakan dengan

benar dan sungguh-

sungguh;

- Memastikan

mempertahankan

wilayah lindung

khususnya kiri-kanan

sungai.

- Pelaporan berkala tentang

kegiatan restorasi

(pertumbuhan tanaman dan

luas);

- Laporan pemantauan

pertumbuhan tanaman dan

luas yang ditanami;

- Pemantauan RIL dilakukan

setelah penebangan selesai

di setiap Rencana Karya

Tahunan (RKT);

- Pertahun Lingkungan

Produksi,

Perencanaan

4.2 Kawasan mempunyai tingkat

bahaya erosi berat sampai

sangat berat di dalam areal.

- Memastikan sistem

RIL dilakukan

dengan benar dan

sungguh-sungguh;

- Memastikan tutupan

hutan di monitor di

seluruh areal;

- Memastikan ada

kegiatan pemantauan

sedimentasi dan

erosi

- Pemantauan RIL bisa

dilakukan setelah

penebangan selesai di

setiap Rencana Karya

Tahunan (RKT);

- Menggunakan perangkat

lunak GIS dan remote

Sensing untuk pematauan

tutupan hutan;

- Laporan pemantauan

sedimentasi dan erosi

- Pertahun Lingkungan

Perencanaan,

produksi

Hal | 64

- Memastikan adanya

Penanaman areal

terbuka pasca

penebangan ;

- Memastikan adanya

kegiatan menutup

jalan logging , jalan

cabang dan jalan

sarad yang sudah

tidak dipakai (

deactivasi)

- Laporan penanaman

- Laporan kegiatan deactivasi

5 Pemenuhan kebutuhan dasar

masyarakat di sekitar konsesi

- Adanya upaya untuk

Membuat kesepakatan

bersama antara

masyarakat dengan unit

pengelola tentang

wilayah-wilayah yang

diperbolehkan

masyarakat untuk

mengambil hasil hutan

non kayu dan produk lain

selain kayu untuk

pemenuhan kebutuhan

dasarnya;

- Ada kepastian RIL

dilakukan di dalam

areal.

- Daftar kesepakatan antara

pihak masyarakat dengan

unit pengelola;

- Laporan pemantauan

perladangan;

- Laporan tentang hasil hutan

non kayu yang

dimanfaatkan oleh

masyarakat

- Perenam bulan Bidang Sosial

Hal | 65

6 Nilai budaya dan spiritual di

beberapa lokasi spesifik yang

berada di dekat desa.

- Memastikan adanya

upaya perlindungan

situs atau tempat-

tempat penting

masyarakat yang ada

di dalam a areal;

- Memastikan adanya

kesepakatan tentang

lokasi-lokasi penting

secara budaya dan

tidak menebang di

radius yang

disepakati;

- Memastikan adanya

kesepakatan dengan

masyarakat untuk

memberikan akses

masuk hutan untuk

mendapatkan

tumbuhan atau

binatang untuk

keperluan budaya.

- Laporan kesepakatan

antara unit pengelola

dengan masyarakat;

- Peta wilayah-wilayah

budaya penting dalam peta

kerja unit pengelola;

- Dokumetasi tentang temuan

baru yang berhubungan

dengan budaya;

- Laporan periodik tentang

kegiatan yang berhubungan

dengan budaya

- Perenam bulan Bidang Sosial

Hal | 66

4. Kesimpulan

Pengelolaan dan pemantauan NKT merupakan tugas yang tidak mudah dan membutuhkan

waktu yang sangat panjang juga biaya yang tidak sedikit. Tugas ini bukan hanya untuk

kepentingan dalam kontek sertifikasi saja (FSC), hasil dari kegiatan ini akan dapat di

rasakan dalam jangka panjang terutama berhubungan dengan kesehatan hutan, kelestarian

atau keberlanjutan pengelolaan hutan juga jasa-jasa lain yang berasal dari hutan.

Panduan pengelolaan dan pemantuan ini adalah salah satu sarana untuk membantu para

pengelola hutan di dalam menjaga, memelihara dan meningkatkan nilai-nilai konservasi

yang maha tinggi yang terdapat di dalam hutan yang ada di dalam unit pengelolaan.

Panduan ini bersifat sangat dinamis karena temuan-temuan baru serta metode yang efektif

akan memperkaya panduan ini untuk bisa membantu pengelolaan dan pemantauan NKT di

masa yang akan datang.

5. Daftar Bacaan

Anonimous. 2010. Laporan Pengelolaan dan pemantauan NKT . tidak dipublikasikan.

Meijaard, E., S. Stanley, E.H.B. Pollard, A. Gouyon & G. Paoli. 2006. High Conservation

Value Forest in East Kalimantan. A Guide for Practioners. The Nature Conservancy – East

Kalimantan Program, Samarinda, Indonesia.

Meijaard E., Sheil D., Nasi R., Augeri D., Rosenbaum B., Iskandar D., Setyawati T., Lambert

F. R. (1992) The consequences of selective logging for Bornean lowland forest birds.

Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series B 335, 443-457.

The Nature Conservancy. 2003. The Five-S Framework for Site Conservation .A

Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation

Success.

The Nature Conservancy. 2004. Participatry ConservationPlanning Mannual. Conservation

Training and Resource Center Applied.

Tim Rayden. 2008 . Assessment, management and monitoring of High Conservation Value

Forest (NKTF).A practical guide for forest managers . ProForest, Oxford

WWF, 2007. Ecological Monitoring of Forestry Management in the Humid Tropics: A Guide

for Forestry Operators and Certifiers with Emphasis on High Conservation Value Forests.

Translated from Monitoreo Ecológico del Manejo Forestal en el Trópico Húmedo: Una Guía

Para Operadores Forestales y Certificadores con Ènfasis en Bosques de Alto Valor Para la

Conservación of WWF-Central America.

Hal | 67

Lampiran 2: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Tanaman

Oleh:

Harnios Arief dan Kresno Dwi Santosa

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang

dominan dalam pemanfaatkan hasil hutan. Kebijakan pengelolaan hutan berbasis HPH

beserta kebijakan pengembangan industrialisasi kehutanan secara ekonomi telah banyak

memberikan kontribusi besar bagi proses pembangunan nasional. Selama kurang lebih tiga

dekade, sektor kehutanan merupakan salah satu roda penggerak utama pembangunan

nasional.

Pengusahaan hutan alam melalui sistem Hak Pengusahaan Hutan dengan sistem silvikultur

Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan dan

jauh dari “kelestarian”. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas dan

kuantitas hutan serta penurunan produksi kayu bulat sebagai bahan baku industry

perkayuan. Sehubungan dengan berkurangnya potensi hutan alam, sebagai upaya untuk

merehabilitasi hutan dan lahan yang tidak produktif dan yang sudah terlanjur rusak, serta

dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu untuk industri, maka pemerintah

menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1990 tentang Program

Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Sejak tahun 1990 dimulailah Pola manajemen

Hak Pengusaaan Hutan Tanaman Industir (HP-HTI), atau sering juga disebut Hutan

Tanaman Industri (HTI). Kebijakan ini diharapkan sebagai jawaban kebutuhan bahan baku

kayu untuk industry yang berkesinambungan.

Hutan tanaman industri yang diharapkan dapat mengurangi beban hutan alam dalam

memasok bahan baku industri masih jauh dari harapan baik luas maupun kualitasnya. Sejak

dicanangkan program ini hanya mampu membuat hutan sekitar 2,5 juta ha, padahal target

yang ditetapkan pemerintah sebesar satu juta ha per tahun. Sasaran pembangunan

kehutanan menurut Rencana Strategis Departemen Kehutanan Tahun 2005 - 2009, antara

lain bertambahnya Hutan Tanaman Industri minimal seluas 1 juta ha/tahun sebagai basis

pengembangan ekonomi kehutanan.

1.2. Pengertian

Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan potensi

dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya (satu

atau lebih sistem silvikultur) dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil

hutan kayu maupun non kayu.

1.3. Tujuan Pembangunan HTI

1. Meningkatkan produktivitas hutan produksi, dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan

baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/pro-

growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), pemberdayaan ekonomi masyarakat

sekitar hutan (pro-poor) dan perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-enviroment);

Hal | 68

2. Mendorong daya saing produk industri perkayuan (penggergajian, kayu lapis, pulp &

paper, meubel dll) untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor

1.4. Areal Pengusahaan HTI

Mengacu pada peraturan pemerintah yang sudah diterbitkan yaitu PP No 7 Tahun 1990

Pasal 5 ayat 1, hutan tanaman industry dibangun pada areal hutan produksi (HP) yang

sudah tidak produktif berdasarkan criteria yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Kriteria

Hutan Produksi tidak Produktif diatur dalam SK Menhut No. 200/Kpts-II/1994, yaitu :

1) Pohon inti yang berdiameter > 20 cm, kurang dari 25 batang/ha.

2) Pohon induk < 10 batang/ha.

3) Permudaan alamnya kurang, yaitu : semai < 1000 batang/ha, dan atau pancang <

240 batang/ha, dan atau tiang < 75 batang/ha.

1.5. Sistem Silvikultur

Berdasarkan Permenhut No. P.11/Menhut-II/2009 bahwa istem silvikultur HTI harus sesuai

dengan tapaknya (Tebang pilih, Tebang Habis, atau Tebang Jalur).

1.6. Penataan Ruang HTI

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008 tanggal 6 Februari

2008 tentang Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri

Dalam Hutan Tanaman,...bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan hutan tanaman

wajib melaksanakan Deliniasi Makro terhadap areal kerjanya untuk mengetahui luas dan

lokasi hutan alam (bekas tebangan), areal non hutan dan areal yang sudah ada tanaman.

Terhadap areal yang masih berupa hutan alam (bekas tebangan) harus dilakukan Deliniasi

Mikro untuk mengetahui luas dan lokasi huta alam yang harus dipertahankan karena

mempunyai nilai konservasi tinggi dan yang dibuka untuk hutan tanaman. Hasil Deliniasi

Mikro ini selanjutnya dijadikan dasar dalam penyusunan rencana percepatan pembangunan

hutan tanaman yang sekaligus dijadikan sebagai arahan dan pedoman dalam penyusunan

Rencana Kerja dan Rencana Kerja Tahunan UPHHK-HT.

Kegiatan penilaian dan deliniasi bertujuan untuk menilai secara keseluruhan terhadap areal

kerja IUPHHK-HT, sehingga dapat dilakukan deliniasi secara makro dalam satuan luas dan

dikelompokkan menjadi :

a. Areal yang ditanami

b. Areal lahan kosong, padang alang-alang dan semak belukar

c. Areal hutan alam (bekas tebangan)

Hasil penilaian dan deliniasi makro selanjutnya dilanjutkan dengan deliniasi mikro

khususnya terhadap areal-areal yang masih berhutan untuk dapat diketahui :

Areal hutan alam yang harus dipertahankan, dijaga dan dilindungi sebagai areal

hutan produksi alam, dan atau kawasan lindung dan atau kawasan konservasi

bernilai tinggi sesuai dengan kriteria yang berlaku.

Areal hutan alam yang layak dialokasikan sebagai areal pengembangan tanaman

pokok, tanaman unggulan, areal pengembangan tanaman kehidupan dan areal

Hal | 69

pembangunan sarana prasarana dengan perimbangan luas sesuai ketentuan tata

ruang hutan tanaman yang berlaku.

Penilaian dan deliniasi mikro terhadap areal hutan alam yang harus dipertahankan, dijaga

dan dilindungi sebagai areal hutan alam produksi alam, dan atau kawasan lindung dan atau

kawasan hutan bernilai konservasi tinggi dilakukan dengan cara mengukur, mencatat,

memberi tanda, mendeliniasi dan memetakan areal hutan dimaksud kemudian dilanjutkan

dengan melakukan penandaan batas tetap di lapangan oleh perusahaan. Kriteria yang

dipergunakan dalam penataan ruang HTI ini adalah mengacu pada Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008 tanggal 6 Februari 2008, dilakukan tahapan analisis

10 (sepuluh) kriteria sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 101/Menhut-

II/2004 tanggal 24 Maret 2004 jls Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 23/Menhut-II/2005

tanggal 25 Juli 2005 dan Nomor P.44/Menhut-II/2005 tanggal 26 Desember 2005 tentang

Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer

Hasil Hutan Kayu. Kriteria tersebut adalah :

1. Kawasan hutan yang mempunyai kelerangan, kepekaan jenis tanah dan intensitas

hujan dengan skoring sama dengan dan/atau lebih besar dari 175 sesuai dengan

Kep.Men. Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara

Penetapan Hutan Lindung.

Tabel 1 Kriteria Penetapan Hutan Lindung sesuai SK Menteri Pertanian Nomor

837/Kpts/Um/II/1980.

No Nilai Tertimbang//Pembobotan*)

20 15 10

Leren

g (%) Uraian Jenis Tanah Uraian

Intensitas Hujan

(mm/hari hujan) Uraian

1 0-8 Datar

Aluvial, Glei, Planosol,

Hidromorf, Kelabu,

Laterita Air Tanah

Tidak

peka s/d 13,6

Sangat

rendah

2 8-15 Landai Latosol Agak

peka 13,6-20,7 Rendah

3 15-25 Agak

curam

Brown forest soil,

mediteran, andosol,

laterits non calcis

brown,

Kurangp

eka 20,7-27,7 Sedang

4 25-45 Curam Grumusol, podsol,

podsolik Peka 27,7-34,8 Tinggi

5 > 45

Sanga

t

curam

Regosol, litosol,

organosol, renzina

Sangat

peka 34,8 ke atas Sangat tinggi

Keterangan : *) Nilai tertimbang/pembobotan dari setiap faktor dikalikan dengan nilai

kelasnya, kemudian nilai perkalian setiap faktor tersebut dijumlahkan. Bila hasil

Hal | 70

penjumlahan sama dengan atau lebih dari 175 menunjukkan bahwa wilayah yang

bersangkutan perlu dijadikan, dibina, dan dipertahankan sebagai hutan lindung.

2. Kawasan hutan dengan kelerangan lebih dari 40 % dan atau dengan kelerengan

lebih dari 15 % untuk tanah yang sangat peka terhadap erosi.

3. Kawasan hutan dengan ketinggian sama dengan atau lebih tinggi dari 2.000 mdpl

4. Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih dari 3

(tiga) meter.

5. Kawasan hutan dengan radius dan jarak sampai dengan :

500 meter dari tepi waduk atau danau

200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa

100 meter dari tepi kiri kanan sungai

50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai

2 kali kedalaman juran dari tepi jurang

130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai

6. Buffer zone atau kawasan penyangga hutan lindung dan atau kawasan hutan

konservasi

7. Kawasan pelestarian plasma nutfah

8. Kawasan perlindungan satwa liar

9. Kawasan cagar budaya dan atau ilmu pengetahuan

10. Kawasan rawan terhadap bencana alam.

1.7. Implementasi Penilaian Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di area HTI

Pembangunan Hutan Tanaman pada prinsipnya adalah untuk pemenuhan bahan baku

industri primer hasil hutan kayu yang terdiri atas kegiatan atas kegiatan-kegiatan

perencanaan, penyiapan lahan (land clearing) dan pemanfaatan kayu hasil land clearing,

pembuatan jaringan jalan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pada akhir

daur dilakukan pemanenan.

Didalam perencanaan pembangunan hutan tanaman, pemerintah dalam hal ini Departemen

Kehutanan sudah mengatur mengenai deliniasi makro dan mikro yang harus dilaksanakan

oleh para pemegang hak pengusahaan hutan tanaman untuk menetapkan tata ruang HTI

guna memperoleh areal effektif bagi pengembangan tanaman pokok.

Dalam pembangunan HTI di setiap unit usaha telah diatur tata penggunaan lahannya/tata

ruangnya sebagai berikut :

a. Areal Tanaman Pokok ± 70 %

b. Areal Tanaman Unggulan ± 10 %

c. Areal Tanaman Kehidupan ± 5 %

Hal | 71

d. Kawasan Lindung ± 10 %

e. Sarana Prasarana ± 5 %

Berdasarkan dari alokasi yang sudah ditetapkan tersebut maka Deliniasi Makro dan

Deliniasi Mikro difokuskan kepada alokasi ruang yang digunakan dalam mendukung

operasional kegiatan pengusahaan hutan tanaman dan bukan sebagai best practices dalam

mewujudkan pengelolaan hutan tanaman secara lestari.

Sejalan dengan dikembangkannya Panduan Penilaian NKT Hutan Indonesia yang

dimaksudkan sebagai suatu protokol standar dalam melakukan penilaian NKT yang dapat

menjamin mutu, transparansi, dan integritas aplikasinya di Indonesia. Hal ini dilakukan

terutama dengan menjelaskan tahap-tahap yang disyaratkan oleh proses penilaian NKT

secara lebih jelas dan rinci, mendefinisikan hak dan kewajiban para pihak terkait, serta

menyediakan Panduan dalam mengumpulkan data dan informasi yang memenuhi standar

minimum rentang waktu dan mutu.

Implementasi NKT pada hutan tanaman adalah melengkapi dari Deliniasi Makro dan Mikro

yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penilaian NKT merupakan penilaian terhadap

fungsi dan nilai konservasi tinggi yang terdapat pada suatu areal yang tidak dipisahkan oleh

dimensi alokasi lahan atau tata ruang. Area NKTbisa ditemukan di areal tanaman pokok,

areal tanaman unggulan, areal tanaman kehidupan, kawasan lindung dan sarana prasarana.

Pembukaan hutan tanaman yang sudah mengacu pada Deliniasi Makro dan Mikro

dimungkinkan masih berdampak terhadap hilangnya area NKT yang berada dalam Unit

Manajemen tersebut. Oleh karena itu, penilaian NKT pada hutan tanaman merupakan

implementasi pengelolaan berbasis pada prinsip kehati-hatian.

Kegiatan pengusahaan hutan tanaman industri (HTI) merupakan salah satu kegiatan

pengembangan kehutanan didalam kawasan budidaya kehutanan, dengan satu atau dua

jenis tanaman saja. Kegiatan ini dilakukan dengan merubah kawasan hutan produksi dan

atau hutan sekunder (log over forest) yang cenderung masih menyimpan keanekaragaman

hayati tinggi menjadi kawasan hutan tanaman yang monokultur. Dengan demikian terjadi

degradasi keanekaragaman jenis alamiah baik jenis-jenis flora maupun fauna.

Apabila berdasarkan identifikasi ternyata didalam Unit Managemen (UM) HTI tersebut (i)

mempunyai kawasan lindung atau konservasi didalamnya, (ii) diperkirakan memberikan

fungsi pendukung kepada kawasan lindung atau konservasi, dan (iii) kegiatan UM HTI

diperkirakan akan berdampak pada fungsi daerah lindung atau konservasi yang dekat

dengannya, maka kondisi tersebut akan dianggap NKT. Kegiatan pengelolaan di dalam UP

harus memastikan agar fungsi pendukung tersebut dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.

Kegiatan pengelolaan dikembangkan dengan perencanaan yang tepat dan berpegang pada

prinsip kehati-hatian yang dapat menjamin keberlangsungan fungsi-fungsi kawasan tersebut

sebagai kawasan konservasi dengan tetap memperhatikan asek-aspek ekologi, sosial-

budaya dan ekonomi.

1.8. Pengelolaan dan Pemantauan NKT dalam HTI

Hutan tanaman industry didalam pembangunannya melalui beberapa tahapan kegiatan yaitu

pembukaan lahan (land clearing), pemeliharaan dan pemanenan serta replanting

(penanaman kembali) sesuai dengan daur jenis tanaman yang diusahakan (misalnya untuk

jenis akasia daurnya 5 (lima) tahun). Terkait dengan kegiatan pengelolaan dan

pemantauan area NKT, maka harus mempertimbangkan parameter-parameter yang rentang

terhadap perubahan (biofisik, biologi dan sosial ekonomi budaya) dan posisi UM dalam

Hal | 72

skala landscape. Kondisi ini tentunya akan berdampak pada tata cara pengelolaan dan

pemantauan terhadap area NKT yang sudah ditetapkan. Selain itu, tata cara pengelolaan

dan pemantauan NKT juga dipengaruhi oleh tipe ekosistem dari unit manajemen (tanah

mineral dan lahan gambut).

Pengelolaan dilakukan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas dari area NKT, sedangkan

pemantauan dilakukan untuk menilai indicator-indikator keberhasilan dari kegiatan

pengelolaan. Salah satu contoh parameter lingkungan yang menjadi indicator keberhasilan

pengelolaan NKT adalah ketersediaan air yang berfungsi penting dalam pengendalian banjir

bagi daerah hilir (NKT 4.1.), dimana untuk tipe ekosistem tanah mineral dan lahan gambut

menjadi isu penting dalam kegiatan pembangunan HTI. Dalam konteks pengelolaan, maka

fokus kegiatan harus diarahkan pada upaya-upaya konservasi tanah dan air seperti

pembuatan terasering, sediment trap dan penanaman penutup tanah pada tanah mineral

serta penerapan tata air (water management) dengan teknologi eco hydro buffer,

pengamatan water level untuk tipe ekosistem lahan gambut.

2. Pengelolaan Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi

Pengelolaan adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan

pengontrolan terhadap NKT yang teridentifikasi dalam suatu kawasan untuk

mempertahankan atau meningkatkan NKT di dalam kawasan tersebut. Kunci utama dalam

pengelolaan NKT adalah bahwa strategi-strategi yang dirancang harus mempertahankan

atau meningkatkan nilai. Hal ini berarti akan ada perbedaan pengelolaan antara konsesi

satu dengan yang lainnya tergantung dari nilai NKT yang teridentifikasi atau ditemukan.

Dalam sertifikasi pengelolaan hutan skema FSC, aspek pengelolaan NKT tercantum dalam

prinsip 9.3 :

“ 9.3. Rencana pengelolaan hendaknya meliputi dan mengimplementasikan tindakan-

tindakan spesifik untuk menjamin pemeliharaan dan atau peningkatan sifat-sifat konservasi

yang dapat di terapkan secara konsisten dengan pendekatan kehati-harian. Tindakan-

tindakan ini hendaknya secara spesifik dimasukan dalam ringkasan rencana pengelolaan

yang tersedia bagi publik”.

Tahapan dalam pengembangan rencana pengelolaan NKT dilakukan terhadap atribut dari

NKT yang teridentikasi ada dalam kawasan konsesi pengelolaan hutan. Untuk menyusun

rencana ini menggunakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) perlu

dilakukan agar pengelolaan tepat sasaran. Hal ini bisa terjadi apabila anda ragu dengan

NKT, maka diasumsikan bahwa NKT ada dan perlu penyelidikan lanjut terhadap dampak

kegiatan terhadap NKT. Dasar pemikiran dari penyusunan rencana pengelolaan terhadap

NKT yang teridentifikasi adalah adanya keinginan untuk memelihara dan atau meningkatkan

NKT yang ada serta rencana pengelolaan yang jelas dan terperinci.

2.1. Konsep Dasar Pengelolaan NKT

Konsep pengelolaan Nilai Konservasi Tinggi di dalam suatu kawasan UP IUPHHK-HTI pada

prinsipnya adalah konsep pengelolaan bagian ekosistem di dalam kawasan UP yang tidak

dapat dipisahkan dengan ekosistem lanskap secara utuh, dimana kawasan UP berada, dan

kondisi sosial budaya masyarakat di luar kawasan yang secara langsung maupun tidak

langsung berpengaruh terhadap kawasan UP. Prinsip dasar pengelolaan ekosistem

adalah:

1. Ekosistem adalah sistem ekologi yang bekerja di dalam bentang alam merupakan

sistem yang sangat kompleks dan dinamis sesuai dengan perubahan waktu

Hal | 73

sehingga sistem pengelolaannya harus bersifat adaptif dengan didasarkan data

monitoring komponen ekologi dan sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang

diukur, dianalisis dan disimpan dalam sistem informasi manajemen yang baik secara

berkala.

2. Deskripsi kondisi ekosistem wilayah di dalam berbagai skala geografi harus

diintegrasikan dalam dokumen perencanaan kawasan sehingga dinamika ekologi

dan sosial budaya masyarakat di luar kawasan yang dapat mempengaruhi ekosistem

di dalam kawasan dapat diantisipasi dengan baik.

3. Kelestarian ekosistem sangat tergantung pula dengan luasan ekosistem dan tingkat

konektivitas ekosistemnya sehingga di dalam pengelolaannya dibutuhkan

kerjasama/kolaborasi berbagai pihak. Agar konektivitas ekosistem tercapai maka

dalam penyusunan tujuan dan program pengelolaannya harus melibatkan

multipihak.

4. Pengelolaan ekosistem lestari menyebabkan terbukanya pemanfaatan produk dan

jasa ekosistem guna mempertahankan keseimbangan ekologis. Pemanfaatan ini

akan meningkat nilai ekonomis kawasan konservasi, baik untuk kepentingan

pengelolaan kawasan maupun masyarakat, terutama masyarakat lokal.

5. Penelitian seharusnya diintegrasikan dengan pengelolaan sehingga kualitas

pengelolaannya dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah.

Pengelolaan NKT di dalam kawasan unit pengelola (UP) khususnya dan pengelolaan

ekosistem umumnya di Indonesia sangat erat hubungan dengan tanggungjawab UP

sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang

Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1994 Tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati

dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Kemudian kegiatan

pengelolaan ini juga sangat erat kaitannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun

2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan

Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; Keputusan Menteri Pertanian Nomor

837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung; Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/1995 jo Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

246/Kpts-II/1996 tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri; Keputusan

Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Menurut UU No. 5 tahun 1990, ekosistem adalah “sistem hubungan timbal balik antara

unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati, yang saling tergantung dan saling

pengaruh mempengaruhi. Sedangkan Sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati

di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam

hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan

membentuk ekosistem. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem di dalam kawasan UP tidak

dapat dipisahkan dengan ekosistem dalam bentang alamnya.

Paradigma pengelolaan bentang alam saat ini harus mengedepankan manfaat multiguna

dari setiap kawasan UP Hutan Tanaman Industri sehingga keseimbangan ekosistem dan

terakomodasikannya keinginan dan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Oleh karena itu

prinsip-prinsip pengelolaan tersebut harus tersirat di dalam setiap perencanaan kawasan

IUPHHKT-HTI. Dengan kata lain pengelolaan ekosistem lestari harus selalu memperhatikan

Hal | 74

keseimbangan nilai-nilai ekonomi kawasan yang didasarkan pada kemampuan/daya dukung

ekosistem dan keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Pemanfaatan multi guna disini tidak berarti seluruh komponen ekosistem dapat

dimanfaatkan secara kontinyu, tetapi pemanfaatan disini dikaitkan dengan upaya untuk

mempertahankan keseimbangan ekologis sehingga komponen-komponen yang telah

melebihi daya dukung atau telah melebihi batas ambang minimumnya agar tetap dapat

bertahan hidup saja yang dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu peningkatan nilai ekonomis

jenis-jenis yang belum/sedikit dikenal harus dikembangkan sehingga mempunyai nilai yang

berarti. Untuk mencapai tujuan pemanfaatan multiguna tersebut para pihak pengelola harus

mengenal/memahami sistem ekologi kawasan yang dikelolanya dan nilai-nilai minimum

komponen ekosistem agar dapat lestari yang hal ini harus dilakukan melalui sistem

pengukuran, analisis dan penyimpanan data yang baik.

Pengelolaan ekosistem lestari harus mengintegrasikan secara optimum keinginan dan

kebutuhan sosial, landskap ekologi potensial, dan ekonomi yang mempertimbangkan

teknologi. Langkah-langkah berikut menggambarkan bagaimana proses-proses evaluasi

yang mungkin dapat digunakan untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem :

1. Memetakan keinginan dan kebutuhan masyarakat yang berpengaruh terhadap

pencapaian kelestarian unit usaha dan ekosistem.

2. Analisis potensi-potensi ekologis sehingga dapat dicari titik temu dengan kebutuhan

masyarakat. Analisis ini harus mencakup pula daerah toleransi makhluk hidup untuk dapat

bertahan hidup dalam jangka panjang, kondisi ekologis saat ini, dan kondisi lanskap ekologi

yang seharusnya dibutuhkan oleh ekosistem sehingga sistem ekologi di dalam kawasan

tersebut dapat bertahan dalam jangka panjang.

3. Jika kondisi lanskap ekologi kawasan IUPHHK-HTI lebih kecil dari yang seharusnya

maka, maka hal ini harus disosialisasikan kepada masyarakat yang akan terkena pengaruh

dari ketidakcukupan lanskap ekologi tersebut. Oleh karena itu kesadaran masyarakat

terhadap sistem dan potensi ekologis kawasan merupakan hal penting di dalam pencapaian

kelestarian ekosistemnya.

4. Untuk mencapai pengelolaan ekosistem lestari maka konsep pengelolaan harus

diterima dan dipahami oleh masyarakat, kemudian baru dapat diterapkan teknologi tepat

guna yang berguna untuk meningkatkan nilai-nilai ekonomis kawasan dan ekosistem.

5. Analisis kebutuhan manusia yang dapat dipenuhi dalam kaitannya dengan nilai-nilai

ekonomi kawasan dan ekosistem. Jika sumberdaya (ekonomi dan teknologi) tidak tersedia

untuk memenuhi kebutuhan lanskap ekologi yang seharusnya, maka sosialisasi kepada

masyarakat masyarakat menjadi komponen penting dan secara bersama-sama (kolaborasi)

mencari jalan penyelesaiannya. Poin 5 ini sangat penting dilakukan karena kebutuhan-

kebutuhan ekonomi di Indonesia saat ini hanya bersifat untuk pemenuhan kebutuhan jangka

pendek sehingga kepentingan ekologis yang akan sangat berpengaruh pada kualitas hidup

manusia yang akan datang seringkali diabaikan.

Langkah-langkah tersebut di atas merupakan suatu alternatif bentuk pemenuhan kebutuhan

manusia yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekologi, teknologi, dan

ekonomi. Langkah tersebut membutuhkan informasi yang baik dan hasilnya harus

disampaikan kepada masyarakat sehingga setiap permasalahan yang mungkin timbul akibat

ketidakseimbangan antara keinginan dan kebutuhan manusia dengan potensi ekologis

kawasan dapat diselesaikan melalui mekanisme publik yang berlaku. Konsekuensi dasar

Hal | 75

dari pengelolaan kawasan dan ekosistem lestari adalah harus tingginya pemahaman para

pengelola terhadap potensi dan interaksi ekologi. Beberapa pertimbangan yang harus

diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi dan ekosistem lestari disajikan di

bawah ini.

Pertimbangan Kemantapan Kawasan

Kemantapan kawasan adalah faktor kunci yang harus di penuhi terlebihi dahulu agar

pengelolaan IUPHHK-HTI dapat lestari. Pertimbangan kemantapan kawasan disini berarti

kemantapan ditinjau dari aspek legal maupun pengakuan masyarakat sehingga di lapangan

tidak ditemukan berbagai gangguan yang dapat berpengaruh terhadap kelestarian kawasan.

Pengakuan dari masyarakat tentang penting kawasan harus berimplikasi pula terhadap

perencanaan dan penggunaan lahan sehingga lanskap ekologi kawasan dapat terpenuhi

atau membangun lanskap ekologi yang dapat mendukung sistem ekologi yang ada di dalam

kawasan.

Pencapaian kemantapan kawasan harus dilakukan melalui mekanisme pemberitahuan

kepada masyarakat tanpa paksaan sehingga tidak menimbulkan konflik yang dapat

mengganggu sistem ekologi di dalam kawasan. Kemantapan kawasan dapat dicapai

melalui:

1. Sosialisasi batas kawasan dan penyelesaian batas melalui mekanisme masyarakat

sehingga tercapai pengakuan kawasan secara legal dan para pihak.

2. tercapainya kesepakatan zona-zona di dalam kawasan oleh multi pihak yang

didasarkan pada daya dukung ekologis dan keinginan serta kebutuhan masyarakat

sehingga dapat mendukung tujuan pengelolaan kawasan konservasi dan

terakomodasikannya kepentingan para pihak.

3. Terkendalikannya perambahan kawasan secara efektif

4. Luasan ekosistem alam yang berfungsi baik dalam perlindungan sistem penyangga

kehidupan mamadai

5. Tersedianya sistem manajemen di bidang kemantapan kawasan.

6. Tersedianya tenaga profesional di bidang kemantapan kawasan

7. Kecukupan alokasi dana untuk mempertahankan kemantapan kawasan.

Pertimbangan Sosial

Kebutuhan dan keinginan manusia yang dituangkan dalam bentuk kebijakan, rencana

pengelolaan dan keputusan pelaksanaan kegiatan harus didefinisikan dan dimasukkan

dalam setiap tujuan pengelolaan kawasan. Salah satu tantangan terbesar dalam

pengelolaan ekosistem adalah menjamin kebutuhan publik sesuai dengan potensi

ekosistem. Pengetahuan dan pengalaman ilmuwan dan para pengelola sumberdaya alam

harus dimanfaatkan dalam memberikan pemahaman kepada publik dan pimpinan politik

untuk dapat menghasilkan keputusan yang baik sesuai dengan daya dukung ekosistem,

Hal | 76

mengalokasikan dananya sesuai dengan kebutuhan dan konsekuensi-konsekuensi lainnya

dalam pengelolaan kawasan.

Sudut pandang dan alternatif tindakan yang diambil merupakan langkah penting yang dapat

mempengaruhi kebutuhan publik dan langkah-langkah ini seharusnya dipertimbangkan dan

dituangkan dalam setiap rencana pengelolaan. Adanya dinamika sistem ekologi yang juga

sangat dipengaruhi oleh dinamika komponen penyusunnya, pengaruh gangguan dari luar

sistem, intensitas dan lama gangguan, hilangnya/punahnya komponen penyusun sistem

ekologi, berfluktuatifnya kebutuhan manusia sejalan dengan pertambahan penduduk dan

kemajuan teknologi mengharuskan pihak pengelola menyusun suatu kebijakan yang bersifat

fleksibel sehingga perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dapat diantisipasi sedini

mungkin.

Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam mendukung pengelolaan kawasan lestari

merupakan faktor kunci keberhasilan pengelolaan ini. Paradigma dan pendekatan terbaru

dalam implementasi pengelolaan kawasan i, seperti analisis sumberdaya terpadu,

peningkatan pembagian informasi (informationsharing) dengan masyarakat terkait kondisi

ekologi dan kecenderungan pengaruh kawasan terhadap masyarakat. Proses analisis

sumberdaya terpadu harus digunakan juga guna meminimalkan konflik antara berbagai

kelompok pengguna melalui pengembangan yang saling menguntung yang didasarkan

kondisi ekologi dan kesesuaian kondisi lanskap ekologi pada masa yang akan datang.

Sebagai tambahan, kolaborasi multipihak (sebagai contoh kerja bersama antar kelompok-

kelompok yang berbeda yang tidak berhubungan satu dengan lainnya yang dapat

mempengaruhi isu-isu penting pada masa yang akan datang) seharusnya ditingkatkan guna

mencegah terjadinya konflik sosial yang mungkin muncul akibat pengelolaan ekosistem.

Kriteria pertimbangan sosial dalam pengelolaan kawasan lestari pada umumnya terdiri dari

tiga kriteria, yaitu: 1) tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan

sumberdaya alam di dalam kawasan; 2) terjaminnya ruang kelola masyarakat dan 3)

terwujudnya kontribusi kawasan dalam pengembangan pendidikan dan pengetahuan baru

tentang sumberdaya alam dan lingkungan. Indikator pencapaian kriterian tersebut adalah :

1. Kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan

sumberdaya alam di dalam kawasan: a) terbukanya akses masyarakat untuk

melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi; b)

terkendalikannya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual; c)

Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan

kelembagaan lokal; d) Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan

hukum adat dan kelembagaan lokal; e) Terlindunginya spesies-spesies penting

melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal; f) Berkembangnya

pemanfaatan sumberdaya alam Berbasis kearifan lokal; g) Tersedianya sistem

manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan

kawasan UP; h) Tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya; i)

Tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya.

2. Kriteria terjaminnya ruang kelola masyarakat: a) Terbentuknya zona yang

menyediakan ruang kelola masyarakat; b) Terkendalikannya konflik pemanfaatan

sumberdaya alam di dalam kawasan; c) Berkembangnya pemanfaatan lestari di

dalam ruang kelola masyarakat guna menopang kehidupan sehari-hari.

3. Kriteria terwujudnya kontribusi kawasan konservasi dalam pengembangan

pendidikan dan pengetahuan baru tentang sumberdaya alam dan lingkungan: a)

Hal | 77

Berkembangnya program pendidikan berbasis ekosistem alam yang terdapat di

dalam kawasan; b) Berkembangnya program penelitian mengenai pengelolaan

ekosistem alam lestari; c) Berkembangnya program pendidikan berbasis ekosistem

unik dan spesies-spesies penting yang terdapat di dalam kawasan; d)

Berkembangnya program penelitian mengenai pengelolaan spesies flora dan fauna

secara lestari; e) Berkembangnya program penelitian untuk menggali potensi SDA

yang ada di dalam kawasan; f) Terbangunnya sistem informasi sumberdaya alam di

dalam kawasan yang menunjang pendidikan dan penelitian

Pertimbangan Ekologi

Kualitas interaksi antar komponen ekologi, baik interaksi antar komponen biotik maupun

antar komponen biotik dan abiotik, dan kondisi setiap komponen penyusun ekosistem

merupakan faktor kunci yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan kawasan dan

ekosistemnya. Kesehatan ekosistem harus senantiasa terjaga sehingga dapat mendukung

keinginan dan kebutuhan masyarakat yang dari waktu ke waktu terus meningkat. Ekosistem

hutan hujan tropika Indonesia adalah salah satu paru-paru dunia yang keberadaan dan

kualitas ekosistemnya terus menjadi pusat perhatian dunia, terutama dalam kaitannya

dengan mempertahankan kualitas lingkungan hidup manusia dunia yang baik.

Beberapa prinsip utama yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan pengelolaan

ekosistem adalah :

1. Teori hirarki: teori ini didasarkan pada bentuk dan pola-pola lanskap (sebagai contoh

komunitas vegetasi) yang harus dipahami oleh setiap pengelola kawasan, terutama dalam

kaitannya dengan fenomena spasial dan temporal. Untuk dapat mempertahankan bentuk

dan pola lanskap tersebut dalam kondisi yang seharusnya setiap manajer pengelola

kawasan harus selalu melakukan monitoring pada berbagai tingkat sistem ekologi dalam

jangka waktu tertentu. Dinamika ekologi sejalan dengan perubahan waktu (sebagai contoh :

proses suksesi) merupakan salah satu komponen yang harus selalu di evaluasi sehingga

dapat diambil tindakan yang cepat dan tepat apabila terjadi penyimpangan. Hal lain yang

perlu di evaluasi adalah tingkat gangguan yang dapat mempengaruhi keseimbangan sistem

ekologi kawasan, seperti kebakaran, banjir, penyebaran penyakit, perburuan liar,

perambahan, penebangan liar, dll.

2. Strategi konservasi: Konservasi keragaman (sebagai contoh: jenis, proses ekosistem

dan pola lanskap) adalah metoda utama untuk pemeliharaan daya lenting dan produktivitas

sistem ekologi. Pendekatan tradisional konservasi keragaman adalah pendekatan spesies

ke spesies dengan penekanannya pada pemeliharaan spesies langka, terancam punah dan

spesies sensitif. Pendekatan konservasi jenis saat ini lebih ditekankan pada

keanekaragaman hayati karena penekanan perlindungan dan pelestarian pada satu jenis

saja telah terbukti menyebabkan gangguan keseimbangan ekosistem yang cukup signifikan

yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya kualitas hidup jenis yang dikelola

tersebut. Aplikasi dari konsep ini membutuhkan pemahaman tentang variabilitas dan

dinamika sistem ekologi. Oleh karena itu pemahaman pengelolaan sistem ekologi sebagai

suatu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipecah-pecah berdasarkan kepentingan

manusia sesaat saja harus dipahami oleh para pihak pengelola kawasan dan ekosistem

demi mencapai tujuan pengelolaan kawasan dan ekosistem lestari.

Kriteria pertimbangan ekologi guna mencapai kelestarian ekologi/lingkungan lestari adalah:

1) tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam di

dalam kawasan; 2) terjaminnya ruang kelola masyarakat dan 3) terwujudnya kontribusi

Hal | 78

kawasan konservasi dalam pengembangan pendidikan dan pengetahuan baru tentang

sumberdaya alam dan lingkungan. Indikator pencapaian kriterian tersebut adalah : a)

Terbentuknya zona yang menjamin terpeliharanya proses-proses ekologis secara efektif.; b)

terkendalikannya pemanfaatan haram terhadap sumberdaya alam secara efektif; c)

terpeliharanya struktur dan fungsi ekosistem alam di dalam kawasan; d) terpeliharanya

habitat spesies penciri (flagship species) taman nasional; e) Terpeliharanya fungsi

hidroorologis kawasan; f) terpulihkannya fungsi ekosistem yang yang terdegradasi; g)

terpeliharanya eksistensi ekosistem-ekosistem unik di dalam kawasan; h) terpeliharanya

populasi “viable” spesies penting di dalam kawasan; i) terkendalikannya integritas ekosistem

sumberdaya alam yang dimanfaatkan; j) tersedianya sistem manajemen di bidang

kelestarian fungsi ekosistem; k) tersedianya tenaga profesional di bidang kelestarian spesies

penting; dan l) kecukupan alokasi dana untuk menjamin kelestarian ekosistem, jenis dan

genetik di dalam kawasan.

Pertimbangan Ekonomi dan Teknologi

Untuk meningkatkan manfaat dan nilai-nilai ekonomi sumberdaya alam hayati di dalam

kawasan maka pengembangan penelitian terhadap jenis-jenis yang tidak dimanfaatkan dan

atau sedikit diketahui serta pengembangan program-program pemanfaatan jasa lingkungan,

terutama ekowisata, menjadi suatu keharusan apabila pihak pengelola dituntut untuk dapat

memenuhi tujuan pelestarian kawasan dan ekosistem. Pengembangan nilai-nilai ekonomi

sumberdaya alam di dalam kawasan- dapat dipercepat dengan cara membangun kolaborasi

multi pihak, baik dengan masyarakat lokal yang kaya akan kearifan tradisional, ilmuwan,

para praktisi, dll.

Pengelolaan ekosistem yang bertujuan untuk meningkat nilai-nilai ekonomi di dalam suatu

kawasan seharusnya difasilitasi oleh payung hukum yang kuat dan pelaku-pelaku

konservasi dapat saja diberikan insentif untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan

konservasi. Kondisi tersebut di atas sangat dibutuhkan mengingat kebijakan lama yang

berpihak pada perlindungan dan pelestarian saja telah terbukti tidak memberikan kontribusi

ekonomi nyata bagi pemerintah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kebijakan

tersebut menyebabkan terdegradasinya sebagian kawasan akibat gangguan manusia,

seperti perambahan, penebangan liar, perburuan liar, dll.

Untuk dapat mencapai kelestarian kawasan dan ekosistem didasarkan pertimbangan

ekonomi dan teknologi ada tiga kriteria yang harus diperhatikan, yaitu : 1) Tersedianya

akses manfaat ekonomi bagi pembangunan wilayah; 2) Tersedianya insentif ekonomi bagi

pelaku konservasi; dan 3) Tersedianya akses pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi

budidaya. Ketiga kriteria tersebut dapat dicapai melalui beberapa indikator, seperti :

1) Tersedianya akses manfaat ekonomi bagi pembangunan wilayah: a) Terbentuknya

zona yang secara jelas menyediakan akses pemanfaatan sumberdaya alam bagi

pembangunan wilayah; b) Terkendalikannya konflik pemanfaatan sumberdaya alam

di dalam kawasan; c) Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam dari aktivitas

ekonomi yang berorientasi pada pembangunan wilayah; d) Terlindunginya

ekosistem-ekosistem unik dari akvititas ekonomi yang berorientasi dalam

pambangunan wilayah; e) Terlindunginya spesies-spesies penting dari akvititas

ekonomi yang berorientasi dalam pambangunan wilayah; f) Berkembangnya aktivitas

ekonomi ramah lingungan yang memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan

wilayah; g) Tersedianya sistem manajemen di bidang pemanfaatan sumberdaya

alam dalam konteks pembangunan wilayah; h) Tersedianya tenaga profesional di

bidang pemanfaatan sumberdaya alam; dan i) Tersedianya alokasi dana untuk

Hal | 79

mengembangkan pemanfaatan sumberdaya alam dalam konteks pembangunan

wilayah.

2) Tersedianya insentif ekonomi bagi pelaku konservasi; a) Tersedianya sistem insentif

bagi masyarakat yang turut aktif dalam pengamanan kawasan; b) Tersedianya

sistem insentif bagi masyarakat yang turut aktif dalam perlindungan sistem

penyangga kehidupan; c) Tersedianya sistem insentif bagi masyarakat yang turut

aktif dalam melindungi spesies-spesies penting di dalam dan sekitar kawasan; d)

Tersedianya sistem insentif bagi masyarakat membudidayakan flora dan fauna di

luar kawasan; e) Tersedianya alokasi dana untuk pengembangan sistem insentif bagi

pelaku konservasi

3) Tersedianya akses pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budidaya: a)

Terkendalikannya konflik pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budidaya; b)

Terpeliharanya sumber plasma nutfah bagi budidaya yang bersumber dari spesies-

spesies penting; c) Berkembangnya budidaya flora-fauna di luar kawasan yang

menopang kelestarian populasi alamnya; d) Tersedianya sistem manajemen di

bidang pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budidaya; e) Tersedianya tenaga

profesional di bidang budidaya plasma nutfah; f) Tersedianya alokasi dana untuk

mengembangkan budidaya plasma nutfah

2.2. Prinsip Dasar Pengelolaan NKT

Dalam Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi berbasis ekosistem, maka ada tiga

prinsip dasar yang harus selalu dipertimbangkan dengan baik dan benar, yaitu:

a. Prinsip Keutuhan (holistic); berarti bahwa penyelenggaraan Pengelolaan Kawasan

Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) harus selalu mempertimbangkan seluruh komponen

pembentuk ekosistem alami, baik komponen penyusun rantai makanan dan rantai energi

maupun komponen biotik maupun abiotiknya, serta kondisi/karakter lingkungannya, baik

ditinjau dari sisi biofisik, ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat.) serta

memperhatikan dan dapat memenuhi kepentingan seluruh pihak yang tergantung dan

berkepentingan terhadap Kawasan UP umumnya dan KBKT khususnya serta mampu

mendukung kehidupan mahluk hidup (selain manusia) dan keberlanjutan keberadaan alam

semesta.

b. Prinsip Keterpaduan (integrated); berarti bahwa penyelenggaraan pengelolaan

KBKT harus berlandaskan pada keselarasan interaksi antar komponen penyusun ekosistem

serta keselarasan interaksi ekosistem dengan para pihak yang tergantung dan

berkepentingan terhadap KBKT yang meliputi aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek

sosial-budaya.

c. Prinsip Keberlanjutan/Kelestarian (sustainability); berarti bahwa fungsi dan

manfaat ekosistem hutan dalam segala bentuknya harus dapat dinikmati oleh umat manusia

dan seluruh kehidupan di muka bumi lintas generasi secara bekelanjutan dengan potensi

dan kualitas yang sekurang-kurangnya sama (tidak menurun). Jadi tidak boleh terjadi

pengorbanan (pengurangan) fungsi dan manfaat ekosistem hutan yang harus dipikul suatu

generasi tertentu akibat keserakahan generasi sebelumnya.

Untuk mewujudkan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem di muka,

diperlukan tiga komponen kegiatan dan/atau sikap utama, yaitu :

Hal | 80

a. Penataan ruang yang bersifat rasional dalam setiap kesatuan bentang alam (

landscape scenario)

Kesatuan bentang alam yang dipergunakan harus merupakan kesatuan ekologis, bukan

kesatuan politik atau administrasi pemerintahan. Untuk keperluan ini dapat dipergunakan

ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai kesatuan ekosistem. Selanjutnya setiap

kesatuan lahan dalam ekosistem DAS tersebut ditetapkan fungsi penggunaannya sesuai

dengan watak fisik lahannya, sedangkan pemanfaatan setiap kesatuan lahan ini tidak boleh

melebihi daya dukung lahan tersebut. Proses ini hendaknya dilakukan dengan melibatkan

seluruh pihak yang berkepentingan dengan prinsip kebersamaan. Sesuai dengan

karakteristik sebagian besar lahan dalam DAS serta tingkat aksesibilitasnya terhadap pusat

pertumbuhan ekonomi wilayahnya, maka akan dapat ditentukan tujuan utama (skenario)

pengelolaan sumberdaya alam dalam wilayah DAS. Setelah skenario pengelolaan DAS

ditetapkan, maka pengelolaan setiap kesatuan ekosistem dalam DAS harus mendukung

pencapaian tujuan utamanya.

b. Komitmen yang kuat terhadap tata ruang yang telah disepakati

Seluruh pihak yang berada dan terkait dengan penggunaan ruang dalam setiap kesatuan

ekosistem (DAS) harus memiliki komitmen yang sama dan kuat untuk mempertahankan tata

ruang yang sudah disepakati bersama secara konsisten.

c. Kebersamaan dalam perumusan kebijakan dan penyelenggaraan program

pengelolaan (colaborative management )

Kebijakan dan program yang akan dilakukan dalam rangka pengelolaan hutan dalam setiap

ekosistem DAS hendaknya disusun dan dilaksanakan secara bersama dengan

memperhatikan prinsip-prinsip hak dan kewajiban yang proporsional dan berkeadilan

(sesuai undang-undang), keterbukaan, demokratis, dan bertanggunggugat. Untuk ini, maka

pengembangan sistem pengelolaan kolaboratif (colabarative management) dalam

pengelolaan hutan merupakan sebuah kewajiban.

Mengingat sifat-sifat biofisik, keadaan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat dalam setiap

ekosistem DAS bersifat spesifik (berbeda satu sama lain), maka tujuan pengelolaan,

rumusan macam-macam bentuk dan intensitas kegiatan pengelolaan harus ditetapkan untuk

setiap kesatuan pengelolaannya dan sesuai dengan sifat-sifat biofisik, keadaan ekonomi

dan sosial-budaya masyarakatnya (adaptive management ).

2.3. Interaksi antara Hasil Identifikasi NKT dan Kebutuhan Pengelolaan

Temuan areal NKT hutan sebagai hasil kegiatan identifikasi merupakan tahap awal dari

kegiatan pengelolaan dan pemantauan areal NKT disuatu UM-HTI. Temuan areal NKT

yang dihasilkan dalam tahap identifikasi meliputi jenis NKT, lokasi detail dan luas areal yang

mendukung nilai tersebut. Hubungan antara temuan hasil identifikasi NKT dengan

pengelolaan terletak pada bentuk interaksi operasionalisasi manajemen hutan tanaman

yang dilakukan dalam suatu UM-HTI dengan nilai bersangkutan. Interaksi UM-HTI dengan

nilai NKT dapat terjadi secara internal (langsung) atau eksternal (tidak langsung). Interaksi

internal dapat terjadi bila lokasi NKT berada di dalam areal UM-HTI sehingga praktek-

praktek yang dilakukan secara langsung dapat memberikan dampak pada nilai tersebut.

Sedangkan interaksi eksternal terjadi pada areal NKT yang berada diluar areal UM-HTI

tetapi masih terkena dampak praktek-praktek dan manajemen perkebunan. Di samping

lokasi NKT temuan lain yang akan menentukan pengelolaan NKT adalah kualitas dari nilai

yang ada.

Hal | 81

Nilai NKT yang terdapat dalam satu areal bisa ditemukan dalam bentuk tunggal, yaitu

dimana dalam satu areal hanya mengandung satu nilai NKT, dan juga dapat ditemukan

secara jamak yaitu dalam satu areal terdiri dari lebih dari satu nilai NKT yang saling

tumpang tindih (overlapping). Keberadaan areal NKTF baik secara tunggal maupun jamak

akan berdampak terhadap tata cara pengelolaan terhadap areal termaksud. Aral NKT yang

saling overlapping memerlukan prioritas pengelolaan, dimana dalam konteks ini satu

tindakan pengelolaan terhadap satu nilai NKT akan memberikan pengaruh terhadap nilai

NKT lainnya.

Penyusunan program pengelolaan NKT didasarkan pada interaksi UM-HTI dengan nilai dari

NKT. Kajian interaksi tersebut akan menghasilkan semua kemungkinan ancaman yang

dapat terjadi terhadap nilai NKT. Program pengelolaan areal NKT pada dasarnya adalah

menyusun tindakan untuk meminimalkan dampak negatif dari ancaman tersebut atau kalau

memungkinkan menghilangkannya serta meningkatkan nilai NKT. Dengan alur pikir tersebut

disusun tabel pedoman pengelolaan NKT yang dapat menjadi panduan bagi perkebunan

dalam menyusun program pengelolaan NKT.

2.4. Mengembangkan Strategi-Strategi Pengelolaan NKT

Dalam menyusun rencana pengelolaan areal NKT, diperlukan strategi-strategi khusus agar

pengelolaan NKT sesuai dengan sasaran yang sudah ditetapkan, dapat diukur, diverifikasi di

lapangan dan ada indicator keberhasilan yang jelas. Oleh karena itu, pengetahuan

terhadap tahapan-tahapan penhyusunan perencanaan pengelolaan NKT ini, harus

diketahui. Pemahaman terhadap tahapan-tahapan tersebut diperlukan untuk dapat dipakai

oleh para penyusun rencana pengelolaan NKT di tingkat lapangan, khusunya para manajer

hutan tanaman. Tahapan –tahapan kunci dalam menyusun rencana pengelolaan NKT

seperti di bawah ini :

1. Menentukan masing-masing tujuan pengelolaan untuk setiap NKT

Tahapan pertama yang harus di lakukan adalah menentukan tujuan dari pengelolaan

masing-masing nilai-nilai atau NKT yang diketemukan dalam areal UM-HTI. Pengelolaan

masing-masing nilai NKT mempunyai tujuan yang spesifik, mengingat tiap-tiap NKT

mempunyai keunikan atau kekhasan tersendiri, walaupun masih ada keterkaitan yang erat

antar tiap-tiap nilai tersebut. Dalam Panduan Identifikasi Areal Bernilai Konservasi Tinggi

di Indonesia 2008, sudah dicantumkan mengenai saran tindak pengelolaan, walaupun

masih bersifat umum. Saran tindak pengelolaan tersebut dapat dijadikan dasar dalam

membangun tujuan dari pengelolaan areal NKT yang sudah diidentifikasi.

Tujuan pengelolaan harus disertai dengan target dalam hal ini adalah tingkat dan ambang

batas yang akan dipertahankan dari kegiatan pengelolaan tersebut. Tingkat dan ambang

batas tersebut harus dapat diukur dan diverifikasi di lapangan. Obyektif dan tujuan dari

pengelolaan hendaknya didiskripsikan diawal, karena terkait dengan implementasi kegiatan

yang akan dilakukan di lapangan. Selain itu, pihak pengelola harus menetapkan ambang

batas dan parameter dari kegiatan pengelolaan yang bisa menunjukkan bahwa pengelolaan

berjalan efektif atau tidak, dengan cara mengamati indicator dari parameter tersebut.

Tujuan pengelolaan dari masing-masing NKT adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Tujuan Pengelolaan areal NKT

Hal | 82

NKT Sub NKT Tujuan Pengelolaan

1 1.1. Kawasan yang Mempunyai atau

Memberikan Fungsi Pendukung

Keanekaragam-an Hayati bagi

Kawasan Lindung dan/atau

Konservasi

Mempertahankan status

kawasan dan fungsi

pendukungnya sehingga tujuan

ditetapkannya kawasan lindung

tersebut dapat tercapai

1.2. Spesies Hampir Punah Mempertahan dan/atau

meningkatkan spesies atau sub-

spesies hampir punah yang

teridentifikasi ada di dalam

kawasan UM dan/atau di sekitar

kawasan UM yang dianggap

akan menga-lami dampak jarak

jauh (off-site) dari kegiatan UM.

Kegiatan penge-lolaan yang

dilakukan dalam UP harus

diusahakan agar ma-sing-

masing individu spesies

tersebut dapat bertahan hidup.

1.3. Kawasan yang Merupakan Habitat

Bagi Populasi Spe-sies yang

Terancam, Penye-baran Terbatas

atau Dilin-dungi yang Mampu

Bertahan Hidup (Viable Population)

Memelihara dan/atau

meningkatkan populasi spesies

yang mampu bertahan hidup

(viable population) dalam

habitat yang ada di dalam

kawasan UM

1.4. Kawasan yang Merupakan Habitat

bagi Spesies atau Sekumpulan

Spesies yang Digunakan Secara

Temporer

Melindungi dan/ atau

memelihara habitat kunci

(keystone habitat) satwa-liar

dalam sebuah lanse-kap di

dalam kawasan UM dimana

terdapat kumpulan individu atau

spesies yang digunakan secara

temporer.

2 2.1. Kawasan Bentang Alam Luas yang

Memiliki Kapasitas untuk Menjaga

Proses dan Dinamika Ekologi

Secara Alami

Melindungi areal ini dan zonal

penyangga se-hingga fungsi-

fungsi lansekap alami di mana

proses ekosistem alami

berlangsung dan berpo-tensi

untuk tetap berjalan dalam

jangka panjang di masa

mendatang.

2.2. Kawasan Alam yang Berisi Dua

atau Lebih Ekosistem dengan

Garis Batas yang Tidak Terputus

(berkesinambungan

Melindungi, melestarikan

dan/atau memelihara kawasan

yang mengandung tingkat kea-

nekaragaman hayati tinggi yang

berada pada dua atau lebih

Hal | 83

NKT Sub NKT Tujuan Pengelolaan

ekosistem alami dengan garis

batas yang tidak terputus atau

memelihara zona transisi

(ekoton) di antara dua atau

lebih ekosistem.

2.3. Kawasan yang Berisi Populasi dari

Perwakilan Spesies Alami yang

Mampu Bertahan Hidup

Memelihara dan meelstarikan

lansekap dengan potensi

istimewa sehingga populasi dari

perwakilan spesies alami dapat

terpelihara dalam jangka

panjang

3 Kawasan yang Mempunyai

Ekosistem Langka atau Terancam

Punah

Melindungi dan melestarikan

ekosistem langka atau

terancam punah

4 4.1. Kawasan atau Ekosistem Penting

untuk Penyedia Air dan Pengendali

Banjir bagi Masyarakat Hilir

Menjaga dan memelihara hutan

spesifik (berawan, karst,

riparian, lahan basah, punggung

gunung, rawa tawar, bakau,

danau dan padang rumput)

dalam kondisi baik agar dapat

mengatur fungsi air di bagian

hilir.

4.2. Kawasan yang Penting bagi

Pengendalian Erosi dan

Sedimentasi

Menurunkan laju erosi dan

sedimentasi sungai yang

berakibat berku-rangnya

kualitas ekosi-stem perair-an

4.3. Kawasan yang berfungsi sebagai

sekat alam untuk mencegah

meluasnya kebakaran hutan dan

lahan

Melindungi dan

mempertahankan kawasan

yang mempunyai karakterirstik

khusus yang mampu

melindung/ mencegah

kebakaran lahan atau hutan

dalam skala yang luas

5 5 Kawasan yang Mempunyai Fungsi

Penting untuk Pemenuhan

Kebutuh-an Dasar Masyarakat

Lokal

menentukan dan/ atau

melindungi dan/atau

memelihara kawasan yang

mempunyai fungsi penting

sebagai sumber penghi-dupan

bagi masyarakat lokal, baik

untuk memenuhi kebutuhan

Hal | 84

NKT Sub NKT Tujuan Pengelolaan

secara langsung

(subsisten/dikonsumsi sen-diri)

maupun secara tidak langsung

(komersial), yaitu dengan cara

menjual produk (hasil hutan

atau sumberdaya alam lainnya)

untuk mendapatkan uang tunai.

6 6 Kawasan yang berfungsi sebagai

identitas budaya masyarakat lokal

Mempertahankan keberadaan

kawasan yang berfungsi

sebagai identitas budaya

masyarakat lokal

Sumber : Rencana Kelola PT XX, 2010

Untuk penetapan kawasan lindung di areal UM-HTI, salah satu acuan yang bisa

dipergunakan adalah Dokumen Deliniasi Makro-Deliniasi Mikro sesuai dengan Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008 tanggal 6 Februari 2008. Tata cara

penetapan kawasan lindung dalam hutan tanaman industry adalah sebagai beriku :

1) Kawasan hutan yang mempunyai kelerangan, kepekaan jenis tanah dan intensitas hujan

dengan skoring sama dengan dan/atau lebih besar dari 175 sesuai dengan Kep.Men.

Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan

Lindung.

Tabel 2 Kriteria Penetapan Hutan Lindung sesuai SK Menteri Pertanian Nomor

837/Kpts/Um/II/1980.

No Nilai Tertimbang//Pembobotan*)

20 15 10

Leren

g (%) Uraian Jenis Tanah Uraian

Intensitas

Hujan

(mm/hari

hujan)

Uraian

1 0-8 Datar

Aluvial, Glei, Planosol,

Hidromorf, Kelabu,

Laterita Air Tanah

Tidak

peka s/d 13,6

Sangat

rendah

2 8-15 Landai Latosol Agak

peka 13,6-20,7 Rendah

3 15-25 Agak

curam

Brown forest soil,

mediteran, andosol,

laterits non calcis

brown,

Kuran

gpeka 20,7-27,7 Sedang

Hal | 85

4 25-45 Curam Grumusol, podsol,

podsolik Peka 27,7-34,8 Tinggi

5 > 45

Sanga

t

curam

Regosol, litosol,

organosol, renzina

Sanga

t peka 34,8 ke atas

Sangat

tinggi

Keterangan : *) Nilai tertimbang/pembobotan dari setiap faktor dikalikan dengan nilai

kelasnya, kemudian nilai perkalian setiap faktor tersebut dijumlahkan. Bila hasil

penjumlahan sama dengan atau lebih dari 175 menunjukkan bahwa wilayah yang

bersangkutan perlu dijadikan, dibina, dan dipertahankan sebagai hutan lindung.

2. Kawasan hutan dengan kelerangan lebih dari 40 % dan atau dengan kelerangan

lebih dari 15 % untuk tanah yang sangat peka terhadap erosi.

3. Kawasan hutan dengan ketinggian sama dengan atau lebih tinggi dari 2.000 mdpl

4. Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih dari 3

(tiga) meter.

5. Kawasan hutan dengan radius dan jarak sampai dengan :

500 meter dari tepi waduk atau danau

200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa

100 meter dari tepi kiri kanan sungai

50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai

2 kali kedalaman juran dari tepi jurang

130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai

11. Buffer zone atau kawasan penyangga hutan lindung dan atau kawasan hutan

konservasi

12. Kawasan pelestarian plasma nutfah

13. Kawasan perlindungan satwa liar

14. Kawasan cagar budaya dan atau ilmu pengetahuan

15. Kawasan rawan terhadap bencana alam.

Untuk mempermudah pengelola dalam menetapkan tujuan berdasarkan nilai-nilai yang

terkandung dalam suatu areal NKT, maka dapat dilihat pada contoh Tabel 3, berikut :

Hal | 86

Tabel 3. Contoh Tujuan dari pengelolaan NKT

NKT Nilai-Nilai Tujuan Pengelolaan

1.1 Kawasan Lindung Gambut Melindungi dan melestarikan kawasan

lindung gambut beserta isinya dalam

jangka panjang sehingga ciri-ciri khusus

dan fungsinya (seperti fungsi-fungsi

ekologis, keanekaragaman hayati,

perlindungan sumber air, populasi

hewan yang mampu bertahan hidup

(viable population) maupun kombinasi

dari unsur-unsur tersebut), dapat

dipertahankan dalam jangka panjang.

4.1 Sebagian dari areal HTI

merupakan bagian dari Micro

peat dome yang berfungsi

sebagai penyedia air dan

pengendali banjir. yaitu berupa

kubah gambut kecil (micro peat

dome)

Mempertahankan fungsi dan keberadaan

micro peat dome sebagai areal penyedia

air dan pengendali banjir bagi

masyarakat pada bagian hilir

Sumber : Laporan Penilaian NKTF PT. XXX, 2010

Setelah menentukan objektif atau tujuan dari masing-masing NKT, hal yang perlu di

perhatikan adalah menentukan parameter-parameter yang akan di pakai dalam

pengelolaan. Parameter tersebut bisa berbentuk kaidah atau aturan-aturan yang ditetapkan

atau dalam kasus tertentu parameter dapat berupa angka-angka yang bisa di peroleh

sebagai bagian dari data kualitas dan kuantitas. Sebagai contoh dalam NKT 4.1 “ areal

peatdome yang berfungsi sebagai penyedia air dan pengendalian bajir”, maka parameter

yang dapat di ukur antara lain kedalaman air tanah pada musim kemarau, beda elevasi

muka air sungai pada musim hujan dan musim kemarau dan kandungan TSS (Total

Soved Solid) pada musim hujan dan musim kemarau. Parameter-paremater ini sewaktu

diakukan pemantauan dapat di ukur dan di peroleh hasilnya.

Pengukuran terhadap parameter dalam pengelolaan dan pemantauan NKT harus

ditetapkan ambang batas atau persyaratan minimum yang harus dipenuhi, hal ini

merupakan bagian penting dalam pengelolaan. Ambang batas diperlukan sebagai bagian

dari nilai-nilai yang mesti di pertahankan, dipelihara atau di tingkatkan nilainya. Sebagai

contoh untuk NKT 4.1 diatas yang berhubungan dengan kawasan lindung gambut, ambang

batas yang di perlukan diantaranya adalah kedalaman air tanah maksimum pada musim

kemarau 15 cm, beda elevasi muka air sungai pada musim hujan dan musim kemarau tidak

melebihi pengukuran awal dan kandungan TSS tidak mengalami perubahan dari

pengukuran awal. Ambang batas ini bisa berdasarkan pada aturan-aturan pemerintah yang

sudah di tetapkan atau berdasarkan scientific approach yang disepakati sesuai dengan

kaidah-kaidah ilmu pengetahuan.

Hal | 87

2. Mengukur dan mengidentifikasi ancaman-ancaman terhadap masing-masing NKT

yang menjadi fokus pengelolaan.

Pada dasarnya kegiatan pengelolaan areal NKT adalah menekan seminimal mungkin

ancaman atau sumber ancaman yang muncul terhadap areal NKT tersebut. Mengingat

keunikan dari tiap-tiap NKT yang terkandung dalam suatu areal, maka kegiatan yang

berpotensi mengancam areal tersebut juga spesifik. Oleh karena itu, penentuan ancaman

terhadap masing-masing NKT penting untuk dipetakan, baik ancaman yang bersifat internal

maupun ancaman eksternal

Pengelola harus memahami kegiatan-kegiatan yang berpotensi menjadi sumber ancaman,

baik kegiatan dari luar maupun kegiatan dari dalam UM. Pemahaman yang jelas terhadap

ancaman ataupun sumber ancaman oleh pihak pengelola, akan berdampak terhadap tata

cara pengelolaan areal NKT di lapangan secara efektif, efisien dan meningkatnya kualitas

dan kuantitas areal NKT. Sebaliknya, tanpa pemahaman yang jelas tentang ancaman, para

pengelola atau pelaksana dilapangan mungkin hanya melakukan cara-cara pengelolaan

yang tidak akan memberikan dampak bahkan mungkin akan menurunkan NKT itu sendiri.

Panduan atau metode yang bisa diadopsi untuk mengukur dan mengidentifikasi ancaman

antara lain dikembangkan oleh The Nature Conservancy17.

Secara konsep teori ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1. Konsep 3- S ( the Nature Conservancy, 2003)

Hal yang akan kita pergunakan dalam pendekatan untuk mengidentifikasi ancaman adalah

bagian dari Tekanan (Stressess)18 , Sumber ( Sources)19 dan strategi (Strategies).

Ilustrasi ancaman dapat di gambarkan sebagai berikut :

17

The Five-S Framework for Site Conservation .A Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation Success. The Nature Conservancy (2003). 18

Ancaman adalah mengacu kepada perubahan-perubahan spesifik dalam suatu nilai /HCV. 19

Sumber adalah mengacu kepada proses-proses yang menyebabkan suatu tekanan.

Sistem (system ) Tekanan (stresses)

Sumber (Sources )

Strategi (Strategies) Pemangku

kepentingan

(stakeholders)

Hal | 88

Tabel 5. Contoh Identifikasi Ancaman Sumber dan Strategi Pengelolaannya

Tekanan (ancaman) Sumber Strategi

Turunnya kualitas perairan

air sungai

Internal : Kegiatan PWH

(pembukaan wilayah hutan

atau landclearing)

External : penambangan

pasir oleh masyarakat

Sosialisasi Penting

Bufferzone Sungai Divisi

Planning

Pembukaan lahan pada

musim kemarau.

Sosialisasi pada para

penambang dan pengaturan

pengambilan pasir

Hilangnya fungsi daerah

resapan air dan jenis-jenis

vegetasi dilindungi

Internal : Kegiatan PWH dan

landclearing

Sosialisasi pada divis

planning mengenai areal-

areal resapan air, agar tidak

dilakukan landclearing.

Dari ilustrasi diatas, hal penting dalam menyelesaikan atau mencari jalan keluar dari

ancaman adalah adanya perencanaan jangka pendek dan jangka panjang untuk

mengatasi masalah yang di sebabkan oleh ancaman. Dari ilustrasi ini di harapkan para

perencana di lapangan dapat mengidentifikasi ancaman , sumber serta strategi yang akan di

pakai dalam menanggulanginya baik dalam jangka pendek atau dalam jangka panjang20.

Ancaman terhadap NKT bisa datang dari berbagai hal termasuk dari dalam aktivitas

pengelolaan hutan itu sendiri. Ancaman Internal ( dari dalam unit pengelolaan),

ancaman ini berasal dari aktivitas sehari-hari yang terjadi di dalam konsesi. Seperti kegiatan,

pembukaan wilayah hutan ( landclearing). Pendekatan untuk ancaman dari

dalam relatif lebih mudah untuk menekannya, beberapa aktivitas dapat dilakukan untuk

menekan ancaman dari dalam seperti penggunaan best practise management (BMP),

peningkatan kapasitas staf, pengembangan standar operasional kerja (SOP).

Ancaman Eksternal ( dari luar unit pengelolaan), ancaman ini berasal dari luar konsesi,

misalnya aktivitas yang berasal dari masyarakat yang ada di sekitar konsesi seperti

perladangan, perburuan, perambahan lahan, pembakaran lahan pada waktu pembukaan

ladang dan penambangan pasir. Pendekatan untuk menekan ancaman ini dilakukan

dengan melakukan konsultasi dengan masyarakat atau penduduk lokal dan stakeholder

kunci, kegiatan penyadartahuan.

Tabel 6. Contoh ancaman yang berasal dari dalam dan luar konsesi

NKT Dampak Sumber Ancaman

- 1 dan 3 - Hilangnya jenis/ kepunahan - Land Clearing – PWH (Internal)

20

Untuk lebih jelas dapat langsung membaca The Five-S Framework for Site Conservation .A Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation Success. The Nature Conservancy (2003). Di situ dijelaskan secara terperinci dan secara teknis.

Hal | 89

- Perubahan kompisisi jenis - Kebakaran hutan dan lahan

(external)

- 1,2,3,4 - Hilangnya jenis/ kepunahan

- Perubahan kompisisi jenis

- Fragmentasi

- Peningkatan erosi dan

sedimentasi

- Peningkatan debit air sungai

- Meningkatnya resiko kebakaran

- Turunnya kesuburan tanah

- Land clearing-PWH (Internal)

- Kegiatan perladangan (external)

- Perambahan (external)

- 5 - Berkurangnya ikan dan hewan

buruan

- Berkurangnya sayur dan

buahan

- Berkurangnya hasil hutan non

kayu

- Berkurangnya bahan bangunan

- Perubahan dari hutan sekunder

menjadi hutan hutan tanaman

yang monokultur

Sumber : panduan bagi praktisi: mengelola NKTF di Indonesia (TNC, 2006)

3. Mengidentifikasi langkah-langkah mitigasi secara partisipatif.

Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan oleh Pihak Pengelola adalah mengidentifikasi

langkah-langkah mitigasi terhadap ancaman masing-masing NKT secara internal dengan

melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan dan berkompeten. Pengelolaan NKT

memerlukan sumberdaya manusia dan mempunyai keahlian di bidang biologi, jasa

lingkungan dan sosial budaya. Untuk dapat melakukan mitigasi maka pihak UM-HTI harus

melibatkan para pemangku kepentingan yang berkompeten. Kekhususan NKT yang

dikandung pada suatu areal memerlukan bidang keahlian seperti ahli biologi dan

konservasi keanekaragaman hayati untuk dapat memberikan masukan untuk pengelolaan

NKT 1-3, ahli hidrologi atau ahli tanah untuk membantu memberikan masukan untuk

pengelolaan NKT 5 dan ahli antropologi (NKT6) atau ahli lainnya. Selain itu, pelibatan para

pemangku kepentingan di lokasi yaitu masyarakat yang berdiam di dalam atau sekitar

konsesi (NKT5 dan NKT 6) menjadi prioritas dalam membangun pengelolaan partisipatif.

4. Menggunakan pendekatan pengelolaan pencegahan ( precautionary

management ).

Tahapan ke empat ini adalah salah satu bagian terpenting dalam pengelolaan NKT, dalam

tahap ini para pengelola harus mengambil tindakan nyata terbaik berdasarkan informasi

yang ada (termasuk dari tahap satu sampai tiga) dan pentingnya kegiatan pemantuan

sebagai salah satu pusat informasi tentang efektif tidaknya kegiatan pengelolaan.

Hal | 90

Jika ancaman yang ada dapat di identifikasi dan di tekan secara optimal dan rencana

pengelolaan telah di susun maka pendekatan yang pakai untuk menindak lanjuti

pengelolaan NKT adalah dengan apa yang disebut “manajemen pencegahan”

(precautionary management) dalam hal ini konsep Pengelolaan Adaptif yang akan di

sarankan.

Tabel 4. Contoh rencana pengelolaan NKT dalam suatu konsesi pengelolaan hutan alam

NKT Nilai-Nilai Tujuan

Pengelolaan

Strategi dan tindakan Pengelolaan

1.2 Perlindungan

Satwa Harimau

Sumatra

Melindungi dan

menjaga

keberadaan

Harimau Sumatra

agar tidak punah

karena adanya

rusaknya habitat dan

konflik dengan

manusia.

- Memetakan daerah jelajah harimau dalam

skala landscape.

- Mengumpulkan informasi mengenai

pertemuan, bekas tapak dan cakaran, serta

hal-hal yang terkait dengan keberadaan

harimau Sumatra, baik dengan karyawan atau

masyarakat.

- Sosialisasi kepada masyarakat dalam dan

luar kawasan konsesi terkait Himbuan dan

larangan berburu harimau Sumatra

- Melakukan Deliniasi/batas di lapangan pada

tempat yang merupakan daerah harimau

Sumatra untuk mempermudah pengelolaan

4.1 Hutan di tepi

sungai/danau

yang tergenang

secara teratur

dan sub-DAS

yang

menyediakan air

bersih untuk

desa

disekitarnya.

Mempertahankan

wilayah yang bisa

menyediakan air

bersih bagi

masyarakat yang

ada di bagian hilir

unit pengelolaan.

- Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah

terdegradasi hutannya dengan penanaman

kembali jenis-jenis lokal yang banyak

ditebang;

- Mempertahankan wilayah lindung khususnya

kiri-kanan sungai;

Sumber : Rekomendasi Pengelolaan NKT PT XXX (2010)

5. Mengembangkan Pengelolaan Adapatif.

Pengelolaan adaptif adalah suatu proses sistematik untuk secara terus menerus

meningkatkan praktek-praktek pengelolaan lewat belajar terus menerus dari hasil kegiatan-

kegiatan terdahulu, dan kemudian memperbaiki praktek-praktek selanjutnya untuk masa

depan. Komponen awalnya adalah adanya kegiatan identifikasi NKT, kemudian

penyusunan rencana pengelolaan dari NKT tersebut kemudian penyusunan rencana

pemantauan. Dokumen rencana pengelolaan terdiri dari:

Hal | 91

1. Rangkuman hasil identifikasi Nilai Konservasi Tinggi beserta peta Kawasan Bernilai

Konservasi Tinggi.

2. Hasil identifikasi ancaman, dimana di dalamnya terkandung jenis, sebaran, dan

besaran ancaman.

3. Teknologi pengendalian ancaman dan pengelolaan Nilai-Nilai Konservasi Tinggi

4. Tata waktu pengelolaan

5. Alokasi Anggaran

6. Pihak-pihak yang terlibat dan

7. Desain teknis, seperti desain papan informasi, terasering, dll.

Kemudian dokumen ini juga harus disampaikan kepada publik secara transparan.

Implementasi dari kegiatan pengelolaan inipun sebaiknya harus melibatkan pihak-pihak

terkait sehingga dapat berjalan dengan baik, efektifi dan efisien, terutama pengelolaan yang

terkait dengan bentang alam.

Rencana pemantauan merupakan salah satu perencanaan yang sangat penting dalam

konteks ini, karena melalui kegiatan hasil pemantuan pratek-praktek pengelolaan dapat di

perbaiki. tujuan dilakukan pemantauan adalah untuk mendapatkan gambaran apakah

tindakan pengelolaan telah berlangsung sesuai dengan tujuan pengelolaannya.

Kegiatannya berupa penilaian parameter setiap objek secara berkala dan apabila

memungkinkan dapat melibatkan pihak-pihak terkait sehingga proses penilaiannya dapat

lebih objektif. Kegiatan pemantauan ini harus direncanakan dengan baik, dimana

komponen pemantauannya sedapat mungkin : 1) mudah dilaksanakan; 2) terukur; 3)

transparan; dan 4) dilakukan secara berkala sesuai dengan karakter setiap parameter yang

dipantau. Berapa pertanyaan berikut ini dapat membantu untuk menyusun dokumen

pemantauan seperti :

Apa yang akan dipantau dan kenapa?

Bagaimana Anda akan melakukannya?

Siapa yang akan melakukannya, dan seberapa sering?

Dengan siapa Anda akan mendiskusikan hasil, dan bagaimana Anda akan

menggunakannya?

Kemudian dari hasil-hasil penilaian parameter objek tersebut dilakukan analisis dan

evaluasi. Tujuan dari evaluasi ini adalah merumuskan tindakan pengelolaan selanjutnya

sehingga tujuan pengelolaan sesuai dengan yang telah ditentukan.

Revisi rencana pengelolaan didasarkan data/informasi hasil evaluasi; adalah tindakan

yang sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen adaptif, dimana tindakan pengelolaan

sedapat mungkin disesuai dengan kondisi objek yang dikelola dan jenis ancamannya. Hal

ini berarti apakah objek telah mengalami perubahan sehingga harus dilakukan perubahan

tindakan pengelolaan atau kondisi tindakan pengelolaan sudah tidak sesuai lagi mengingat

adanya perubahan-perubahan, baik perubahan teknologi pengelolaan maupun kondisi

eksternal disekitar objek yang dikelola.

Hal | 92

6. Mengembangkan rencana jangka panjang dalam melakukan pemantauan hasil

pengelolaan untuk setiap nilai NKT.

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari serangkaian kegiatan pengelolaan , tahap ini akan

di bahas secara khusus dalam bab pemantauan NKT.

Gambar Manajemen Adaptif Pengelolaan NKT

HASIL IDENTIFIKASI ANCAMAN

ANCAMAN NKT 4

ANCAMAN NKT 1 -3

ANCAMAN NKT 5 - 6

HASIL IDENTIFIKASI

NKT 5 - 6

NKT 1-3

NKT 4

TUJUAN PENGELOLAAN

RENCANA PENGELOLAAN

IMPLEMENTASI PROGRAM

PEMANTAUAN

EVALUASI

Hal | 93

Konsep pengelolaan adaptif Nilai-Nilai Konservasi Tinggi

Hal | 94

3. Pemantuan Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi

Pemantauan adalah salah satu kunci dari prinsip 9 FSC sebagaimana tercantum dalam 9.4

“ Pemantauan tahunan akan dilakukan untuk menilai efektivitas langkah-langkah yang

diterapkan untuk memelihara atau meningkatkan sifat-sifat konservasi yang dapat

diterapkan “

Semua program pengelolaan akan di barengi dengan adanya program pemantauan untuk

melihat seberapa efektiv atau berhasilnya kegiatan pengelolaan. Pemantauan adalah

sebagai sebuah kegiatan menyelidiki bagaimana keadaan-keadaan berubah dalam

perjalanan waktu. Dengan kata kunci adalah pengumpulan dan evaluasi data secara periodi

terhadap tujuan, sasaran dan kegiatan yang sudah ditetapkan21. Pemantauan adalah proses

pengontrolan terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan NKT yang teridentifikasi dalam

suatu kawasan, apakah NKT tersebut dapat dipertahankan atau meningkat di dalam

kawasan tersebut. Kunci utama dalam pemantauan NKT adalah bahwa harus ada strategi-

strategi yang dirancang untuk mengukur, menilai , efektivitas hasil dari pengelolaan NKT.

Pemantuan sangat penting fungsinya untuk menilai keberhasilan kegiatan pengelolaan.

Tanpa adanya proses pemantauan sangat sulit mengukur apakah kegiatan-kegiatan yang

sudah direncanakan itu dapat dilaksanakan atau berhasil . Pemantauan dapat membantu

para pelaksana dilapangan untuk melihat bagian-bagian mana yang sesuai dengan

rencana dan bagian mana yang tidak berhasil.

Pemantauan merupakan bagian penting dalam konsep pengelolaan adaptif (lihat gambar 2

di atas). Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam menyusun rencana pemantuan

antara lain :

- Sederhana, dan mudah dipahami oleh staf lapangan

- Memberikan aturan yang jelas kapan di mulai dan kapan berhenti;

- Murah biayanya;

- Memiliki sasaran yang jelas;

- Di rencanakan sebelumnya dan melekat dengan rencana pengelolaan;

- Mengikuti metode-metode baku

- Dilakukan sesuai dengan jadwal tertentu;

- Mempunyai alat analisi dan dapat di intergrasikan dengan kegiatan di masa yang akan

datang.

Kebijakan Pemerintah Yang Relevan Dengan Pemantauan NKT

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 32 Tahun 1990 Tentang

Pengelolaan Kawasan Lindung

21

Margolui dan Salafsky,1998. Dikutip dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi tinggi di Indonesia. The Nature Conservancy 2002.

Hal | 95

Definisi

a. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi

kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan

nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

b. Pengelolaan Kawasan Lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian

pemanfaatan kawasan lindung.

c. Kawan Resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk

meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (aktifer) yang

berguna sebagai sumber air.

d. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai

buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk

mempertahankan kelestarian fungsi sungai.

e. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai

manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air.

f. Kawasan Rawan Bencana Alam, adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi

mengalami bencana alam.

Tujuan dan Sasaran

a. Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan

fungsi lingkungan hidup.

b. Sasaran pengelolaan fungsi lindung terhadap tanah air, iklim, tumbuhan dan satwa

serta nilai sejarah dan budaya bangsa adalah :

- Mengingat fungsi lindung terhadap tanah air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai

sejarah dan budaya bangsa;

- Memertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe esksistem, dan keunikan

alam.

Pokok-Pokok Kebijaksanaan Kawasan Lindung

a. Pasal 11 :

Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup

bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediann kebutuhan air

tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang

bersangkutan.

b. Pasal 12 :

Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi struktur tanah yang mudah

meresapkan air dan bentuk geomofologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-

besaran.

c. Pasal 15 :

Hal | 96

Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi sungai dari kegiatan

manusia yang dapat menganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan

dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.

d. Pasal 16 :

Kriteria sempadan sungai adalah :

- Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan

anak sungai yang berada di luar pemukiman.

- Untuk sungai di kawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan

cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 – 15 meter.

e. Pasal 19 :

Perlindungan terhadap kawasan sekitar mata air dilakukan untuk melindungi mata air dari

kegiatan budidaya yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya.

f. Pasal 20 :

Kriteria kawasan sekitar mata air adalah sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di

sekitar mata air.

g. Pasal 32 :

Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia

dan kegiatannya dari bencana disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh

perbuatan manusia.

h. Pasal 33 :

Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidentifikasi sering dan

berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung, gempa bumi, dan tanah

longsor.

Penetapan Kawasan Lindung

a. Pasal 34 :

(1). Pemerintah Daerah Tingkat I menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 sebagai kawasan lindung daerah masing-masing dalam suatu

Peraturan Daerah Tingkat I, disertai dengan lampiran penjelasan dan peta dengan tingkat

ketelitian minimal skala 1 : 250.000 serta memperhatikan kondisi wilayah yang

bersangkutan.

(2). Dalam menetapkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (I),

Pemerintah Daerah Tingkat I harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan penetapan wilayah tertentu sebagai bagian dari kawasan lindung.

(3). Pemerintah Daerah Tingkat I menjabarkan lebih lanjut kawasan lindung

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) bagi daerahnya ke dalam peta dengan

tingkat ketelitian minimal skala 1 : 100.000 dalam bentuk Peraturan Daerah Tingkat II.

(4). Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terpadu dan

lintas sektoral dengan mempertimbangkan masukan dari Pemerintah Daerah Tingkat II.

Hal | 97

b. Pasal 35 :

Apabila dalam penetapan wilayah tertentu terjadi perbenturan kepentingan antar sekotr,

Pemerintah Daerah Tingkat I dapat mengajukan kepada Tim Pengelola Tata Ruang

Nasional untuk memperoleh saran penyelesaian.

c. Pasal 36 :

(1). Pemerintah Daerah Tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan

tanggung-jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung.

(2). Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengumumkan kawasan-kawasan

lindung sebagaimana dimaksud dalam apasal 34 kepada masyarkat.

Pengendalian Kawasan Lindung

a. Pasal 37 :

(1). Di dalam kawasan suaka alam dan kawasan cagar budaya dilarang melakukan

kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak

mengubah benteng alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada.

(2). Di dalam kawasan suaka alam dan kawasan cagar budaya dilarang melakukan

kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak

mengubah benteng alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada.

(3). Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai

dampak penting terhadap lingkungan hidup dikenakan ketentuan-ketentuan yang berlaku

sebagaimana dimaksud dalam Peraturan pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

(4). Apabila menurut Analisis mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budidaya

menganggu fungsi lindung harus dicegah perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan

lindung dikembalikan secara bertahap.

b. Pasal 38 :

(1). Dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di dalam

kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan

lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.

(2). Apabila ternyata di kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat

indikasi adanya deposit mineral atau air tanah atau kekayaan alam lainnya yang bisa

diusahakan dinilai amat berharga bagi Negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung

tersebut dapat dizinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(3). Pengelolaan kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan

dengan tetap memelihara fungsi lindung kawasan yang bersangkutan.

(4). Apabila penambangan bahan galian dilakukan penambang bahan galian tersebut

wajib melaksanakan upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup dan melaksanakan

rehabilitasi daerah bekas penambangannya, sehingga kawasan lindung dapat berfungsi

kembali.

Hal | 98

(5). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4),

diatur lebih lanjut oleh Menteri yang berwenang setelah mendapat pertimbangan dari Tim

Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.

c. Pasal 39 :

(1). Pemerintah Daerah tingkat II wajib mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan

lindung.

(2). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan pemantauan,

pengawasan dan penertiban.

(3). Apabila Pemerintah Daerah Tingkat II tidak dapat menyelesaikan pengendalian

pemanfaatan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), wajib

diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk diproses langkah tindak lanjutnya.

(4). Apabila Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak dapat menyelesaikan pengendalian

pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), wajib diajukan kepada Tim koordinasi

Pengelolaan Tata Ruang Nasional.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Difinisi

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disebut RTRWN adalah

arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara.

b. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan

makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

c. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

d. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan Tata Ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

e. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan Tata Ruang.

f. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur

terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif

dan/atau aspek fungsional.

g. Wilayah nasional adalah seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

h. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.

i. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi

kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya

buatan.

Hal | 99

j. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan denganfungsi utama untuk

dibudidayakan atas dasar kondisi danpotensi sumber daya alam, sumber daya

manusia, dan sumber daya buatan.

Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Nasional

Pasal 4

Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional meliputi kebijakan dan strategi

pengembangan struktur ruang dan pola ruang.

Pasal 6

Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

meliputi:

a. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung;

b. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya; dan

c. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis nasional.

Pasal 7

(1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

huruf a meliputi:

a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

b. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan

lingkungan hidup.

(2) Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup

meliputi:

a. menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut,dan ruang udara, termasuk

ruang di dalam bumi;

b. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas

paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan

kondisiekosistemnya; dan

c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun

akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan

memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.

(3) Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat

menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi:

a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup;

b. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak

negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung

perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;

Hal | 100

c. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau

komponen lain yang dibuang ke dalamnya;

d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung

menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup

tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;

e. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin

kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;

f. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya

secara bijaksana dan sumberdaya alam yang terbarukan untuk menjamin

kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan

kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan

g. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di

kawasan rawan bencana

Kawasan Lindung Nasional

Pasal 51

Kawasan lindung nasional terdiri atas:

a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasanbawahannya;

b. kawasan perlindungan setempat;

c. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya;

d. kawasan rawan bencana alam;

e. kawasan lindung geologi; dan

f. kawasan lindung lainnya.

Pasal 52

(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasanbawahannya terdiri atas:

a. kawasan hutan lindung; b. kawasan bergambut; dan c. kawasan resapan air.

(2) Kawasan perlindungan setempat terdiri atas:

a. sempadan pantai; b. sempadan sungai; c. kawasan sekitar danau atau waduk; dan

d. ruang terbuka hijau kota.

(3) Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya,terdiri atas:

a. kawasan suaka alam; b. kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya; c. suaka

margasatwa dan suaka margasatwa laut; d. cagar alam dan cagar alam laut; e. kawasan

pantai berhutan bakau; f. taman nasional dan taman nasional laut; g. taman hutan raya; h.

taman wisata alam dan taman wisata alam laut; dan i. kawasan cagar budaya dan ilmu

pengetahuan.

Hal | 101

(4) Kawasan rawan bencana alam terdiri atas:

a. kawasan rawan tanah longsor; b. kawasan rawan gelombang pasang; dan c. kawasan

rawan banjir.

(5) Kawasan lindung geologi terdiri atas:

a. kawasan cagar alam geologi; b. kawasan rawan bencana alam geologi; dan c. kawasan

yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.

(6) Kawasan lindung lainnya terdiri atas:

a. cagar biosfer; b. ramsar; c. taman buru; d. kawasan perlindungan plasma nutfah; e.

kawasan pengungsian satwa; f. terumbu karang; dan g. kawasan koridor bagi jenis satwa

atau biota laut yang dilindungi.

Pasal 53

(3) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanahsebagaimana dimaksud

dalam Pasal 52 ayat (5) huruf c terdiri atas:

a. kawasan imbuhan air tanah; dan

b. sempadan mata air.

Kriteria Kawasan Lindung Nasional

Pasal 55

(1) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a

ditetapkan dengan kriteria:

a. kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan

yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima)

atau lebih;

b. kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh

persen); atau

c. kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di

atas permukaan laut.

(3) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c

ditetapkan dengan kriteria kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan

air hujan dan sebagai pengontrol tata air permukaan.

Pasal 56

(2) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b ditetapkan

dengan kriteria:

a. daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebarpaling sedikit 5 (lima)

meter dari kaki tanggul sebelah luar;

Hal | 102

b. daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman

dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai; dan

c. daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman

dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai.

Pasal 58

(1) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) huruf a

ditetapkan dengan kriteria kawasan berbentuk lereng yang rawan terhadap perpindahan

material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah,atau material campuran.

Pasal 59

(5) Kawasan pengungsian satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf e

ditetapkan dengan kriteria:

a. merupakan tempat kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut;

b. merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa; dan

c. memiliki luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan

kehidupan serta berkembangbiaknya satwa.

(7) Kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 52 ayat (6) huruf g ditetapkan dengan kriteria:

a. berupa kawasan memiliki ekosistem unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang

kehidupan; dan

Pasal 62

(2) Kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf b

ditetapkan dengan kriteria:

a. daratan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan

fungsi mata air; dan

b. wilayah dengan jarak paling sedikit 200 (dua ratus) meter dari mata air.

Penetapan Kawasan Strategis Nasional

Pasal 80

Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan

hidup ditetapkan dengan kriteria:

a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati;

b. merupakan aset nasional berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi

perlindungan ekosistem, flora dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan

akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan;

c. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang

menimbulkan kerugian negara;

d. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro;

Hal | 103

e. menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup;

f. rawan bencana alam nasional; atau

g. sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas

terhadapkelangsungan kehidupan.

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Kawasan Lindung Nasional

Pasal 99

(3) Peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang

memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;

b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada;

dan

c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun

yang diajukan izinnya.

Pasal 100

(2) Peraturan zonasi untuk sempadan sungai dan kawasansekitar danau/waduk disusun

dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;

b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan

untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air; pendirian bangunan dibatasi

hanya untuk menunjangfungsi taman rekreasi; dan

c. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 106

2) Peraturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan

b. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air.

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Ketentuan Umum

a. Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah.

b. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya menjaga

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah.

Hal | 104

c. Identifikasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengenal jenis, keadaan

umum status populasi dan tempat hidupnya yang dilakukan di dalam habitatnya.

d. Inventansasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengetahul kondisi dan

status populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan di dalam

dan di luar habitatnya maupun di lembaga konservasi.

e. Jenis tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut species atau anak-

anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam maupun di luar

habltatnya.

f. Populasi adalah kelompok individu dan jenis tertentu di tempat tertentu yang secara

alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk mencapai

keseimbangan populasi secara dinamis sesuai dengan kondisi habitat beserta

lingkungannya.

Tujuan

a. Menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dan bahaya kepunahan;

b. Menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;

c. Memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada agar dapat

dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.

Upaya Pengawetan

a. Penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;

b. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;

c. Pemeliharaan dan pengembangbiakan.

Pengelolaan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Habitatnya

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan

Pemerintah ini tidak mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan jenis tumbuhan dan

satwa pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana diatur dalam

Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kawasan suaka alam dan kawasan

pelestarian alam.

Pengawetan Jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam

habitatnya (in situ). Dalam mendukung kegiatan tersebut dapat dilakukan kegiatan

pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan populasi.

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan dalam bentuk

kegiatan :

a. Identifikasi:

b. Inventarisasi;

c. Pemantauan;

d. Pembinaan habitat dan populasinya;

Hal | 105

e. Penyelamatan jenis;

f. Pengkajian, penelitian dan pengembangan.

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar babitatnya (ex-situ) dilakukan dalam bentuk

kegiatan :

a. Pemeliharaan;

b. Pengembangbiakan;

c. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;

d. Rehabilitasi satwa;

e. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.

4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993 tentang garis

sempadan sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas

sungai

Ketentuan Umum

a. Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan

pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kana

dan kirinya sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan;

b. Garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai;

c. Daerah sempadan adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai termasuk

sungai buatan, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan

kelestarian fungsi sungai;

d. Daerah manfaat sungai adalah mata air, palung sungai dan daerah

sempadan yang telah dibebaskan;

e. Daerah penguasaan sungai adalh dataran banjir, daerah retensi;

bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan;

f. Bekas sungai adalah sungai yang tidak berfungsi lagi;

g. Tepi sungai adalah batas luar palung sungai yang mempunyai variasi

bentuk

h. Tanggul adalah bangunan pengendali sungai yang dibangun dengan

persyaratan teknis tertentu untuk melindungi daerah sekitar sungai

terhadap limpasan air sungai;

i. Banjir rencana adalah banjir yang kemungkinan terjadi dalam kurun waktu

tertentu.

Maksud dan Tujuan

a. Penetapan garis sempadan sungai dimaksudkan sebagai upaya

agar kegiatan perlindungan, pengembangan, penggunaan dan

Hal | 106

pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai termsuk

danau dan waduk dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya.

b. Penetapan garis sempadan sungai bertujuan:

- Agar fungsi sungai termasuk danau dan waduk tidak terganggu oleh aktifitas

yang berkembang di sekitarnya;

- Agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya

yang ada di sungai dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjada

fungsi sungai;

- Agar daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya dapat dibatasi.

Tata Cara Penetapan

a. Penetapan garis sempadan sungai dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

- Untuk sungai-sungai yang menjadi kewenangan Menteri batas garis sempadan

sungai ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan Direktur

Jenderal;

- Untuk sungai- sungai yang dilimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah

Daerah, batas garis sempadan sungai ditetapkan dengan Peraturan Daerah

berdasarkan usulan dari Dinas;

- Untuk sungai-sungai yang dilimpahkan kewenangan pengelolaannya kepada

Badan Hukum tertentu, batas garis sempadan sungai ditetaplan dengan

Peraturan Menteri berdasarkan usulan dari Badan Hukum tertentu yang

bersangkutan.

b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui

kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

- Melakukan survei;

- Menentukan dimensi penampang sungai berdasarkan rencana pembinaan

sungai yang bersangkutan

- Penetapan batas garis sempadan sungai.

Kriteria

Kriteria penetapan garis sempadan sungai terdiri dari:

a. Sungai bertanggul :

- Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan, ditetapkan

sekurang-kurangnya 5 (lima) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.

- Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan, ditetapkan

sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.

b. Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan

Hal | 107

- Penetapan garis sempadan sungai tak bertanggul di luas kawasan perkotaan

diperkotaan didasarkan pada kriteria:

Sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas 500

(lima ratus) Km2 atau lebih;

Sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas

kuran dari 500 (lima ratus) Km2.

- Penetapan garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan

pada sungai besar dilakukan ruas per ruas dengan mempertimbangkan luas

daerah pengaliran sungai pada ruas yang bersangkutan.

- Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan pada

sungai besar ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter, sedangkan pada

sungai kecil sekurang-kurangnya 50 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu

ditetapkan.

c. Sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan.

- Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga) meter, garis sempadan

ditetapkan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) meter dihitung dari tepi sungai pada

waktu ditetapkan.

- Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 (tiga) meter sampai dengan 20

(dua puluh) meter, garis sempadan ditetaplan sekurang-kurangnya 15 (lima belas)

meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

- Sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 (dua puluh) meter,

garis sempadan sungai sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) meter dihitung dari tepi

sungai pada waktu ditetapkan.

Penetapan garis sempadan danau, waduk, mata air, dan sungai yang terpengaruh pasang

surut air laut mengikuti kriteria yang telah ditetapkan dalam Keputusan RI Nomor 32 Tahun

1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, sebagai berikut:

a. Untuk danau dan waduk, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 50(lima

puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

b. Untuk mata air, garis sempadan ditetapkan sekurang- kurangnya 200 (dura ratus)

meter di sekitar mata air.

c. Untuk sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, garis sempadan ditetapkan

sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari tepi sungai, dan berfungsi sebagai jalur

hijau.

Pemanfaatan Daerah Sempadan

Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-

kegiatan tertentu sebagai berikut:

a. Untuk budidaya pertanian, dengan jenis tanaman yang diizinkan;

b. Untuk kegiatan niaga, penggalian, dan penimbunan;

Hal | 108

c. Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan , serta

rambu-rambu pekerjaan;

d. Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan pipa air minum;

e. Untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik umum

maupun kereta api;

f. Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan

kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian

dan keamanan fungsi serta fisik sungai;

g. Untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan

pembuangan air. Pasal 12

h. Pada daerah sempadan dilarang:

a. Membuang sampah, limbah padat atau cair;

b. Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha.

Kebijakan lainnya

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati

dan Ekosistemnya

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air

3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai

4. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 376/Kpts-II/1998 Tentang

Kriteria Penyediaan Hutan Untuk Perkebunan Budidaya Kelapa Sawit.

Strategi Pemantauan NKT

Pemantauan adalah salah satu bagian penting dari pengelolaan karena dari kegiatan ini

dapat diketahui apakah tujuan manajemen dapat tercapai atau tidak. Keberadaan

data/informasinya sangat bermanfaat apabila ada perubahan manajemen. Kegiatan

pemantauan sangat penting guna mengelola ekologi/lingkungan karena sistem ekologi

memiliki sifat dinamis terutama apabila ada tindakan pengelolaan di dalamnya sehingga

pemantauan berguna untuk membatasi terjadinya penyimpangan dari tujuan pengelolaan.

Kegiatan ini juga sangat penting guna terpeliharanya fungsi-fungsi sistem yang dibangun

dalam rangka peningkatan produktivitas unit-unit pengelolaan dan kesejahteraan hidup

manusia.

Untuk tercapainya pemantauan yang efektif dan efisien berdasarkan role pada rencana

pengelolaan, maka beberapa tahapan sebagai strategi dalam pemantauan yang harus

dilakukan adalah

Hal | 109

1. Review dokumen

Melakukan tinjauan (review) dokumen Hasil Identifikasi NKT dan Dokumen Perencanaan

dan Pengelolaan NKT. Tujuan review ini untuk mengetahui :

1) Rekomendasi NKT harus dikelola sesuai hasil identifikasi NKT

2) Mengetahui rencana pengelolaan NKT sebagai tindak lanjut rekomendasi identifikasi

NKT.

Hasil review ini menjadi bahan Tim UP untuk melakukan review laporan atau rekaman hasil

pengelolaan NKT.

2. Review laporan

Berdasarkan hasil review dokumen diatas, maka UP perlu melakukan review terhadap

laporanlaporan atau dokumen rekaman-rekaman hasil kegiatan pengelolaan NKT. Dalam

tahap ini UP perlu melakukan pemeriksaan kelengkapan laporan, rekaman serta dokumen-

dokumen (SOP) yang harus dipenuhi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pedoman

Pengelolaan NKT.

Tujuan melakukan review laporan ini adalah untuk mendapatkan bahan-bahan sebelum UP

melakukan pemantauan NKT di Lapangan. Dalam review ini beberapa hal yang ditemukan

baik yang sesuai (Conform) maupun yang tidak sesuai (Non Conformance) sebaiknya

diindentifikasi.

3. Periksa indikator keberhasilan pengelolaan

Berdasarkan hasil review laporan pada tahap 2 diatas, Langkah selanjutnya UP harus

melakukan pemeriksaan (Check) dilapangan (site) terhadap pemenuhan persyaratan

Indikator Keberhasilan Pengelolaan sebagaimana yang tertulis dalam dokumen Pengelolaan

NKT. Metode untuk proses pemeriksaan dilakukan dengan pengukuran atau pemeriksaan

langsung dan wawancara kepada petugas lapangan atau masyarakat.

Bilamana terdapat temuan ketidaksesuaian (Non Conformance) , maka sebaiknya UP

mengidentifikasi dan mendokumentasikan temuan ini, agar dapat memudahkan untuk

melakukan Tindakan Perbaikan (Corrective Action).

4. Susun rencana perbaikan terhadap temuan ketidaksesuaian tersebut.

Berdasarkan hasil temuan dalam pemeriksaan indikator pengelolaan, maka UP harus

membuat rencana tindakan perbaikan (Corrective action) yang terdokumentasi. Dokumen

rencana tindakan perbaikan (Corrective action) ini sebaiknya dibuat secara lengkap,

mencakup kegiatan yang akan dilakukan, target waktu penyelesaian, serta pihak yang akan

melakukan verifikasi terhadap tindakan perbaikan.

5. Pelaksanaan perbaikan.

Berdasarkan rencana tindakan perbaikan ( Corrective action ), maka UP melakukan

tindakan perbaikan. Perbaikan seharusnya dilakukan sesuai dengan sesuai kegiatan yang

direncanakan dan target waktu yang ditetapkan.

Hal | 110

6. Internal Audit.

Tahap akhir dari kegiatan Pemantauan ini adalah Internal Audit, yang bertujuan untuk

melalukan pemeriksaan terhadap hasil-hasil tindakan perbaikan. Dalam internal audit ini

perlu diperiksa :

1) kelengkapan dokumen yang harus dipenuhi

2) kondisi lapangan

3) waktu penyelesaian apakah sesuai target yang ditetapkan.

Dalam internal audit ini UP juga perlu menetapkan status tindakan perbaikan, apakah sudah

selesai (closed) atau tindakan perbaikan masih belum selesai (open). Tim Internal Audit

perlu mendokumentasikan hasil internal audit ini dan disebutkan hal –hal yang sudah closed

dan masih Open.

SISTEM PEMANTAUAN NKT

Tindakan pengelolaan pada masing-masing NKT menghasilkan suatu indikator keberhasilan

yang ditandai dengan tolok ukur dari keberhasilan tidakan pengelolaan tersebut. Oleh

karena itu, teknik pemantauannya adalah:

1. membandingkan dokumen dengan fakta dilapangan;

2. melakukan wawancara dengan para pihak;

3. melakukan pengambilan contoh dilapangan atau jika dimungkinkan

untuk dilakukan sensus;

4. uji statistic (jika diperlukan)

5. pada akhir pemantauan dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)

Hal | 111

Rencana Kegiatan Pemantauan NKT

1. Pengukuhan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi

1.1. Indikator yang dipantau

Pelaksanaan tata batas

Kondisi dan peletakan pal batas/polet

1.2. Tujuan pemantauan

Tujuan pemantauan adalah mengetahui apakah pengukuhan KBKT telah dilaksanakan dan

telah sesuai dengan yang telah diatur dalam SOP pengukuhan kawasan baik lokasi maupun

peletakkannnya, serta kondisi pal batas.

1.3. Pemantauan

Alat dan bahan : Berita Aacara Tata Batas (BATB), Peta kerja, GPS, kamera,

kompas, tally sheet, meteran (100 m), dan alat-alat tulis.

Metode pengukuran :

Koordinat peletakan pal batas/polet (sample)

Pengukuran jarak antar pal batas/polet (sample)

Kondisi pal batas/polet

Metode analisis data :

Cross check dengan BATB dan peta kerja

Deskriptif kondisi pal batas/polet

Lokasi pemantauan : Batas dan Pal batas/poletan KBKT

Periode Pemantauan : 1. Pemantauan pelaksanaan tatabatas dilakukan satu

kali setelah dilakukan pengukuhan batas KBKT

2. Pemantauan kondisi pal batas/polet dilakukan setiap

semester (6 bulan)

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana pemantauan adalah staf urusan informasi

geografis.

2. Media Informasi

2.1. Indikator yang dipantau

Pemasangan/peletakaan papan informasi

Tingkat keberhasilan informasi pasif (papan informasi, poster/leaflet dan

promosi/iklan)

2.2. Tujuan pemantauan

Tujuan pemantauan adalah mengetahui apakah informasi atau sosialisasi pasif yang telah

disampaikan tersebut informatif serta merubah persepsi negatif ke posistif dari masyarakat

mengenai arti pentingnya menjaga lingkungan.

Hal | 112

2.3. Pemantauan

Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera dan alat-alat tulis.

Metode pengukuran :

Cross check peletakkan papan informasi dan

kondisinya

Penyebaran kuesioner untuk mengetahui persepsi

dan pemahaman masyarakat terhadap KBKT

Metode analisis data :

Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan dan dianalisis

secara kualitatif maupun kuantitatif (persentase)

Lokasi pemantauan : Masyarakat, dunia pendidikan, Pemda

Periode Pemantauan : Pemantauan dilakukan setiap semester (6 bulan)

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana pemantauan adalah staf lingkungan

sosial.

3. Pengamanan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi

3.1. Indikator yang dipantau

Tingkat keamanan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi

3.2. Tujuan pemantauan

Tujuan pemantauan adalah Terjaganya Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi

dari kerusakan yang diakibatkan oleh berbagai bentuk gangguan keamanan,

baik yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran maupun oleh

bencana alam (banjir, longsor dan sebagainya).

Terjaganya keutuhan dan kelestarian Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi

Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera dan alat-alat tulis.

Metode pengukuran :

Pemantauan dilaksanakan secara bersamaan pada

saat patroli

Mencatat jenis gangguan yang ditemukan kemudian

dipetakan ke dalam peta kerja

Metode analisis data :

Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitaif

Lokasi pemantauan : Areal KBKT

Periode Pemantauan : Pemantauan dilakukan setiap semester (6 bulan) maupun

secara acak

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana pemantauan adalah tim keamanan dan

berkoordinasi dengan staf lingkungan sosial dan aparat

penegak hukum (kepolisian daerah).

Hal | 113

4. Kawasan Resapan Air

4.1. Indikator yang dipantau

Curah hujan

Rasio Debit maksimum dan minimum

Erosi dan sedimentasi

Kelembaban, kekerasan tanah dan infiltrasi air kedalam tanah

4.2. Tujuan pemantauan

Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi

resapan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan pemeliharaan

dan pembangunan kawasan resapan air yang telah rancang dapat terwujud dalam jangka

waktu yang telah ditetapkan.

4.3. Metode Pemantauan

1) Curah hujan

Alat dan bahan : Alat penakar curah hujan dan alat tulis

Metode pengukuran :

Gambar 1. Teknik pemasangan Penakar Curah Hujan

1. Lakukan pemantauan dan pengukuran

sedikitnya satu kali dalam 24 jam.

2. Waktu pengukuran pada pagi hari ± pukul

07.00 pagi.

3. Cara mengukur dilakukan dengan

mengalirkan atau menuangkan air hujan yang

ditampung alat dengan menggunakan gelas

Hal | 114

ukur.

4. Pembacaan dilakukan dengan melihat tinggi

muka air dengan skala yang tertulis pada

gelas ukur. Pada saat pembacaan skala,

posisi gelas ukur harus tegak lurus.

5. Data yang diperoleh dari hasil pemantauan

dicatat, dengan ketentuan:

Hujan yang kurang dari 0,5 mm, ditulis 0 (nol).

Tidak ada hujan, ditandai (-)

Kondisi alat rusak, ditulis (R)

Hujan tidak teratur, ditulis (x)

6. Pastikan bahwa pelaksanaan pengukuran

curah hujan sudah dijalankan dengan benar.

Metode analisis data :

Data curah hujan diperoleh merupakan data curah hujan

harian dan apabila dijadikan data bulanan tinggal dijumlahkan.

Catatan :

Untuk mengukur curah hujan dengan menggunakan gelas

ukur yang tidak memiliki konversi jumlah curah hujan (gelas

ukur standar) maka penghitungan curah hujan dilakukan

dengan menggunakan rumus :

Tinggi Curah Hujan (mm) = volume tampungan /

luas penampang penakar Curah Hujan

Lokasi pemantauan : Stasiun pemantauan curah hujan

Periode Pemantauan :

Pemantauan dilakukan setelah hari hujan.

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik.

2) Rasio Debit Maksimum dan Minimum

Alat dan bahan : Alat tulis dan hitung serta data hasil pengukuran debit dalam

satu tahun

Metode pengukuran :

Diperoleh dari hasil pengukuran debit air per kejadian hujan

Metode analisis data :

Mengidentifikasi data debit yang paling tinggi (maksimum)

dan data debit yang paling rendah (minimum) dalam satu

tahun pengukuran debit. Kemudian dihitung rasio antara

debit maksimum dan minimum. Indikatornya semakin kecil

nilai rasio tersebut maka semakin baik fungsi area resapan

Hal | 115

airnya.

Kualitas Qmak/Qmin

Sangat baik < 50

Baik 50 - 150

Sedang 150 - 250

Buruk 250 - 500

Sangat buruk > 500

Lokasi pemantauan : Sungai/ Parit

Periode Pemantauan :

Perhitungan dilakukan setiap tahun sekali

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik

3) Erosi dan sedimentasi

Alat dan

bahan

:

Bak erosi, Stick ukur, Botol sampel alat tulis menulis

Metode

penguk

uran :

1. Pengukuran Lapangan (Metode Bak Erosi)

Gambar 2. Bak erosi

Setelah bak pengukur erosi terpasang, setelah hujan maka curah hujan yang

jatuh pada petak ukur akan menimbulkan aliran permukaan dan mengangkut

material tanah ke bak kontrol. Bila curah hujan tinggi maka aliran permukaan

akan besar sehingga terjadi limpasan air dan keluar melalui lima lubang yang

salah satunya dihubungkan dengan drum penampung. Drum penampung

menampung limpasan air dan sedimen dari bak penampung melalui satu lubang.

Hal | 116

Mengambil dan menimbang seluruh material yang terangkut pada bak kontrol.

Mengambil sample sedimen sebanyak 600 ml. Mencatat data – data pendukung

berupa :

% kemiringan lokasi

Penutupan tanah dalam petak kecil

Curah hujan harian, bulanan dan tahunan

Hari hujan bulanan dan tahunan

2. Pengukuran Lapangan (Metode Stik Pemantauan Erosi)

Merupakan sebuah tongkat pengukur perubahan tinggi muka lapisan tanah akibat

adanya erosi permukaan (Gambar 3).

Gambar 3. Metode stik pemantauan erosi

Metode

Hal | 117

analisis

data :

1000

1. TSS = ( A – B ) mg / L

ml sampel

2. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun kualitatif yang

kemudian besarannya dibandingkan dengan rona awal dan hasil

pemantauan periode sebelumnya.

Lokasi

pemant

auan :

Sempadan Sungai dan areal rawan erosi

Periode

Pemant

auan :

Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari hujan.

Institusi

Pemant

auan :

Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik

3) Kelembaban, kekerasan tanah dan infiltrasi air kedalam tanah

Alat dan bahan : Hygrometer, soil pentrometer, permeameter infiltration dan

tulis menulis

Metode pengukuran :

Pengecekan terhadap kondisi tanah (sample) dengan

penggunaan alat secara digital

Metode analisis data :

Data ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif kualitatif

maupun kuantitatif, kemudian dibandingkan dengan data hasil

pemantauan pada rona awal

Lokasi pemantauan : Kawasan resapan air

Periode Pemantauan :

Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari

hujan

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik

5. Pemantauan Sempadan Sungai

5.1. Indikator yang dipantau

Hal | 118

Keanekaragaman flora,

Keanekaragaman fauna,

Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi,

Kualitas dan kuantitas perairan

Erosi dan sedimentasi

5.2. Tujuan pemantauan

Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi

sempadan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan

pemeliharaan dan pembangunan sempadan yang telah ditetapkan dapat terwujud dalam

jangka waktu yang telah ditetapkan.

5.3. Metode Pemantauan

1) Keanekaragaman Flora

Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, meteran (50-

100 m), pita ukur, tambang plastik, kantong plastik besar,

alkohol 70 %, sprayer, label, gunting stek dan alat-alat tulis.

Metode pengukuran :

Pengukuran keanekaragaman flora dilakukan dengan

cara inventarisasi flora dengan metode garis berpetak

di petak contoh permanen yang telah ditetapkan pada

saat inventarisasi flora.

Gambar 3.4. Metode Garis Berpetak

Luas petak contoh 1 ha untuk tiap-tiap lokasi atau

disesuaikan dengan kondisi area. Penentuan jumlah

lokasi pemantauan, didekati dengan perbedaan tipe

tutupan lahan (terbuka, semak belukar, tanaman)

Metode analisis data :

Data dianalis untuk mengetahui kerapatan (K),

frekuensi (F), Dominansi (D(untuk tingkat tumbuhan

bawah dan semai tidak digunakan)), indeks nilai

penting (INP), indeks keanekaragaman jenis (H’).

Jenis-jenis vegetasi yang ada dikelompokkan

berdasarkan statusnya menurut IUCN, CITES dan PP

Hal | 119

No. 7 Tahun 1999. Selain itu, diidentifikasi juga jenis-

jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pakan

satwaliar.

Data dan informasi yang diperoleh dari setiap periode

pengamatan dianalisis deskriptif kuantitatif maupun

kualitatif dengan cara membandingkan dengan data

awal atau pemantauan periode sebelumnya.

Lokasi pemantauan : Sempadan sungai dan sungai

Periode Pemantauan : Pemantauan dilakukan setiap enam bulan sekali

Institusi Pemantauan :

Institusi pelaksana pemantauan adalah staf lingkungan

biologi.

2) Keanekaragaman Fauna

Alat dan bahan: Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, meteran,

tambang plastik, alat-alat tulis, gips, teropong, buku panduan

identifikasi mamalia, avifauna, reptil dan herpetofauna.

Contoh buku panduan satwa (jenis burung) dapat dilihat pada

Gambar 6.

Metode pengukuran:

Pengukuran keanekaragaman satwaliar. Metode kombinasi ini

digunakan sekaligus untuk pengamatan terhadap mamalia,

reptilia dan aves, yakni pengamatan mamalia dengan

menerapkan metode jalur sedangkan pengamatan reptilia dan

burung dengan menerapkan metode titik.

Gambar 5. Metode kombinasi antara PA (point abundance)

dengan transek jalur

Metode analisis data:

Hasil data lapangan diolah untuk mengetahui

keanekaragaman dan kelimpahan satwaliar pada

kelompok mamalia, avifauna, reptilia dan

herpetofauna.

Jenis-jenis satwaliar yang ada dikelompokkan

berdasarkan statusnya menurut IUCN, CITES dan PP

No. 7 Tahun 1999.

Data dan informasi yang diperoleh dari setiap periode

• A • B

• Pararlon

• 2

m

• 22 m

• 20 cm

• 40 cm

• 2

5 cm

Hal | 120

pengamatan dianalisis secara deskriptif kuantitatif

maupun kualitatif dengan cara membandingkan

dengan data awal atau pemantauan periode

sebelumnya.

Lokasi pemantauan :

Sempadan sungai dan sungai

Periode Pemantauan :

Pemantauan keanekaragaman satwaliar dilakukan setiap 6

bulan sekali

Institusi Pemantauan :

Institusi pelaksana pemantauan keanekaragaman satwaliar

adalah staf lingkungan biologi.

Gambar 6. Contoh Buku Panduan Pengenalan Jenis Burung untuk Kegiatan Pemantauan

Fauna

3) Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi

Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, hand counter,

pita ukur/kaliper, meteran, dan alat-alat tulis.

Metode pengukuran :

1. Parameter yang diamati: 1) Persentase tumbuh, 2)

tinggi (cm) dan diameter (mm), 3) hama dan penyakit.

2. Persentase tumbuh

Dievaluasi 1 bulan setelah tanam, dan diulangi

pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Survey

harus dilakukan pada seluruh tanaman

Hal | 121

Hitung dan catat jumlah seedling yang gagal tumbuh

( mati, stagnasi, kekuningan dan merana), dengan

mengikuti seluruh strip planting, tiap luasan 1 ha.

Tancapkan ajir pada tanaman yang gagal hidup

sebagai tanda untuk penyulaman.

Hitung prosentase seedling yang hidup, yaitu

jumlah yang ditanam (PS)-jumlah yang gagal (FS)

dibagi dengan jumlah yang ditanam x 100%

3. Pemberian label untuk monitoring pertumbuhan

tanaman

Interval waktu 3,6,9 dan 12 bulan setelah tanam

Untuk tiap species pohon yang ditanam ambil

sample 20 seedling secara acak dan pasang label

yang memuat informasi tentang : nama jenis, waktu

tanam dan treatment

Label harus permanent, tahan air dan cuaca, serta

tidak menarik bagi masyarakat lokal.

Label kemungkinan hilang, untuk itu maka posisi

tanaman yang berlabel perlu di petakan

4. Pengukuran tingi (cm) dan diameter (m)

Pada tanaman berlabel, berikan tanda, 5 cm diatas

permukaan tanah dimana pengukuran tinggi dan

diameter secara constant aka dilakukan

Pengukuran diameter (mm) dengan caliper

dilakukan dua kali (d1 dan d2) pada posisi yang

berbeda tepat pada posisi marker. Hasilnya berupa

rata-rata (d1+d2/2) dicatat pada tally sheet.

Pengukuran tingi (cm) dilakukan dengan mistar

dimula dari marker sampai titik paling ujung.

Hasilnya dicatat pada tally sheet

Metode analisis data :

1. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi, yang

diarahkan terhadap beberapa parameter yaitu : (1)

rata-rata tinggi dan diameter batang tanaman; (2)

prosentase tumbuh; (3 prosentase kerusakan tanaman;

(4) prosentase tanaman yang terkenan serangan hama

dan penyakit. Data ditabulasikan dan dibuat dalam

bentuk histogram atau grafik.

2. Untuk mengetahui perubahan atau kecenderungan

(trend) keberhasilan tanaman dari satu periode ke

periode berikutnya dilakukan analisis deskriptif

Hal | 122

kuantitatif dan kualitatif.

Lokasi pemantauan : Sempadan sungai dan sungai

Periode Pemantauan :

Pemantauan tingkat keberhasilan rehabilitasi tanaman

dilakukan setiap semester

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan biologi.

4) Kualitas dan Kuantitas Perairan

Alat dan bahan : Flowmeter digital, cawan secy, botol sample, oven,

timbangan, pH meter digital, peralatan tulis

Metode pengukuran :

1. Pengukuran debit air

2. Pengukuran padatan terlarut

Pengambilan sampel air, kemudian diukur berapa pedatan

yang terlarut ke dalam air tersebut

3. pH air; untuk mengetahui apakah perairan dalam

kondisi normal, asam ataukah basa

4. Tingkat kekeruhan

Pengukuran langsung dititik pengamatan berapa persen

tingkat kekeruhan pada air.

Metode analisis data :

1. Q = A * V ; Q = m3/detik, A = m2, V = m/detik

1.000

2. TSS = ( A – B ) mg / L

ml sampel

3. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun

kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan

dengan rona awal dan hasil pemantauan periode

sebelumnya.

Lokasi pemantauan : Sempadan Sungai

Periode Pemantauan :

Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari

hujan.

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik.

Hal | 123

5) Tingkat Erosi dan sedimentasi

Alat dan bahan : Bak erosi, Stick ukur, Peralatan tulis, Botol sampel alat tulis

menulis

Metode pengukuran :

1. Pengukuran Lapangan (Metode Bak Erosi)

3. Pengukuran Lapangan (Metode Stik Pemantauan Erosi)

Metode analisis data :

1000

1. TSS = ( A – B ) mg / L

ml sampel

2. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun

kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan

dengan rona awal dan hasil pemantauan periode

sebelumnya.

Lokasi pemantauan : Sempadan Sungai.

Periode Pemantauan :

Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari

hujan.

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik

6. Sempadan Parit

6.1. Indikator yang dipantau

Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi,

Kualitas dan kuantitas perairan

Erosi dan sedimentasi

6.2. Tujuan pemantauan

Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi

sempadan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan

pemeliharaan dan pembangunan sempadan yang telah ditetapkan dapat terwujud dalam

jangka waktu yang telah ditetapkan.

6.3. Metode Pemantauan

1) Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi

Hal | 124

Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, hand counter,

pita ukur/kaliper, meteran, dan alat-alat tulis.

Metode pengukuran :

1. Parameter yang diamati: 1) Persentase tumbuh, 2) tinggi

(cm) dan diameter (mm), 3) hama dan penyakit.

2. Persentase tumbuh

Dievaluasi 1 bulan setelah tanam, dan diulangi

pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Survey

harus dilakukan pada seluruh tanaman

Hitung dan catat jumlah seedling yang gagal tumbuh

( mati, stagnasi, kekuningan dan merana), dengan

mengikuti seluruh strip planting, tiap luasan 1 ha.

Tancapkan ajir pada tanaman yang gagal hidup

sebagai tanda untuk penyulaman.

Hitung prosentase seedling yang hidup, yaitu

jumlah yang ditanam (PS)-jumlah yang gagal (FS)

dibagi dengan jumlah yang ditanam x 100%

3. Pemberian label untuk monitoring pertumbuhan tanaman

Interval waktu 3,6,9 dan 12 bulan setelah tanam

Untuk tiap species pohon yang ditanam ambil

sample 20 seedling secara acak dan pasang label

yang memuat informasi tentang : nama jenis, waktu

tanam dan treatment

Label harus permanent, tahan air dan cuaca, serta

tidak menarik bagi masyarakat lokal.

Label kemungkinan hilang, untuk itu maka posisi

tanaman yang berlabel perlu di petakan

4. Pengukuran tingi (cm) dan diameter (m)

Pada tanaman berlabel, berikan tanda, 5 cm diatas

permukaan tanah dimana pengukuran tinggi dan

diameter secara constant aka dilakukan

Pengukuran diameter (mm) dengan caliper

dilakukan dua kali (d1 dan d2) pada posisi yang

berbeda tepat pada posisi marker. Hasilnya berupa

rata-rata (d1+d2/2) dicatat pada tally sheet.

Pengukuran tingi (cm) dilakukan dengan mistar

dimula dari marker sampai titik paling ujung.

Hasilnya dicatat pada tally sheet

Metode analisis data : 1. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi, yang

diarahkan terhadap beberapa parameter yaitu : (1) rata-

Hal | 125

rata tinggi dan diameter batang tanaman; (2) prosentase

tumbuh; (3 prosentase kerusakan tanaman; (4) prosentase

tanaman yang terkenan serangan hama dan penyakit.

Data ditabulasikan dan dibuat dalam bentuk histogram

atau grafik.

2. Untuk mengetahui perubahan atau kecenderungan (trend)

keberhasilan tanaman dari satu periode ke periode

berikutnya dilakukan analisis deskriptif kuantitatif dan

kualitatif.

Lokasi pemantauan : Sempadan parit

Periode Pemantauan :

Pemantauan tingkat keberhasilan rehabilitasi tanaman

dilakukan setiap semester .

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan biologi.

2) Kualitas dan Kuantitas Perairan

Alat dan bahan : Flowmeter digital, cawan secy, botol sample, oven,

timbangan, pH meter digital, peralatan tulis

Metode pengukuran :

1. Pengukuran debit air

2. Pengukuran padatan terlarut

Pengambilan sampel air, kemudian diukur berapa pedatan

yang terlarut ke dalam air tersebut

3. pH air; untuk mengetahui apakah perairan dalam kondisi

normal, asam ataukah basa

4. Tingkat kekeruhan

Pengukuran langsung dititik pengamatan berapa persen

tingkat kekeruhan pada air.

Metode analisis data :

1. Q = A * V ; Q = m3/detik, A = m2, V = m/detik

1.000

2. TSS = ( A – B ) mg / L

ml sampel

3. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun

kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan

dengan rona awal dan hasil pemantauan periode

sebelumnya.

Hal | 126

Lokasi pemantauan : Sempadan parit

Periode Pemantauan :

Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari

hujan.

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik.

3) Tingkat Erosi dan sedimentasi

Alat dan bahan : Bak erosi, Stick ukur, Peralatan tulis, Botol sampel alat tulis

menulis

Metode pengukuran :

1. Pengukuran Lapangan (Metode Bak Erosi)

2. Pengukuran Lapangan (Metode Stik Pemantauan Erosi)

Metode analisis data :

1000

3. TSS = ( A – B ) mg / L

ml sampel

4. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun

kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan

dengan rona awal dan hasil pemantauan periode

sebelumnya.

Lokasi pemantauan : Sempadan parit

Periode Pemantauan :

Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari

hujan.

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik

7. Sempadan Waduk/ Embung air

7.1. Indikator yang dipantau

Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi,

Kualitas dan kuantitas perairan

7.2. Tujuan pemantauan

Hal | 127

Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi

sempadan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan

pemeliharaan dan pembangunan sempadan yang telah ditetapkan dapat terwujud dalam

jangka waktu yang telah ditetapkan.

7.3. Metode Pemantauan

1) Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi

Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, hand counter,

pita ukur/kaliper, meteran, dan alat-alat tulis.

Metode pengukuran :

1. Parameter yang diamati: 1) Persentase tumbuh, 2) tinggi

(cm) dan diameter (mm), 3) hama dan penyakit.

2. Persentase tumbuh

Dievaluasi 1 bulan setelah tanam, dan diulangi

pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Survey

harus dilakukan pada seluruh tanaman

Hitung dan catat jumlah seedling yang gagal tumbuh

( mati, stagnasi, kekuningan dan merana), dengan

mengikuti seluruh strip planting, tiap luasan 1 ha.

Tancapkan ajir pada tanaman yang gagal hidup

sebagai tanda untuk penyulaman.

Hitung prosentase seedling yang hidup, yaitu

jumlah yang ditanam (PS)-jumlah yang gagal (FS)

dibagi dengan jumlah yang ditanam x 100%

3. Pemberian label untuk monitoring pertumbuhan tanaman

Interval waktu 3,6,9 dan 12 bulan setelah tanam

Untuk tiap species pohon yang ditanam ambil

sample 20 seedling secara acak dan pasang label

yang memuat informasi tentang : nama jenis, waktu

tanam dan treatment

Label harus permanent, tahan air dan cuaca, serta

tidak menarik bagi masyarakat lokal.

Label kemungkinan hilang, untuk itu maka posisi

tanaman yang berlabel perlu di petakan

4. Pengukuran tingi (cm) dan diameter (m)

Pada tanaman berlabel, berikan tanda, 5 cm diatas

permukaan tanah dimana pengukuran tinggi dan

diameter secara constant aka dilakukan

Pengukuran diameter (mm) dengan caliper

Hal | 128

dilakukan dua kali (d1 dan d2) pada posisi yang

berbeda tepat pada posisi marker. Hasilnya berupa

rata-rata (d1+d2/2) dicatat pada tally sheet.

Pengukuran tingi (cm) dilakukan dengan mistar

dimula dari marker sampai titik paling ujung.

Hasilnya dicatat pada tally sheet

Metode analisis data :

1. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi, yang

diarahkan terhadap beberapa parameter yaitu : (1) rata-

rata tinggi dan diameter batang tanaman; (2) prosentase

tumbuh; (3 prosentase kerusakan tanaman; (4) prosentase

tanaman yang terkenan serangan hama dan penyakit.

Data ditabulasikan dan dibuat dalam bentuk histogram

atau grafik.

2. Untuk mengetahui perubahan atau kecenderungan (trend)

keberhasilan tanaman dari satu periode ke periode

berikutnya dilakukan analisis deskriptif kuantitatif dan

kualitatif.

Lokasi pemantauan : Sempadan waduk/embung

Periode Pemantauan :

Pemantauan tingkat keberhasilan rehabilitasi tanaman

dilakukan setiap semester dimulai tahun 2012.

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan biologi.

2) Kualitas dan Kuantitas Perairan

Alat dan bahan : Flowmeter digital, cawan secy, botol sample, oven,

timbangan, pH meter digital, peralatan tulis

Metode pengukuran :

1. Pengukuran debit air

2. Pengukuran padatan terlarut

Pengambilan sampel air, kemudian diukur berapa pedatan

yang terlarut ke dalam air tersebut

3. pH air; untuk mengetahui apakah perairan dalam kondisi

normal, asam ataukah basa

4. Tingkat kekeruhan

Pengukuran langsung dititik pengamatan berapa persen

tingkat kekeruhan pada air.

Metode analisis data :

1. Q = A * V ; Q = m3/detik, A = m2, V = m/detik

1.000

Hal | 129

2. TSS = ( A – B ) mg / L

ml sampel

3. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun

kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan

dengan rona awal dan hasil pemantauan periode

sebelumnya.

Lokasi pemantauan : Sempadan badan-badan air

Periode Pemantauan :

Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari

hujan.

Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik.

8. Habitat Satwaliar

8.1. Pengertian

Habitata adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu, dimana suatu spesies atau

komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang

hidup di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung

pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas optimum habitat untuk mendukung

populasi suatu organisme disebut

8.2. Indikator dan Tujuan Pemantauan

8.2.1 Indikator yang dipantau

Kelimpahan, distribusi dan seks rasio populasi spesies satwaliar yang terancam

punah/langka/dilindungi.

Habitat satwaliar terancam punah/langka/dilindungi

Efektivitas SOP

8.2.2. Tujuan pemantauan

Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan UM terhadap

kelestarian satwaliar

8.3. Metode Pemantauan

8.3.1. Kelimpahan, distribusi dan seks rasio populasi spesies satwaliar yang terancam

punah/langka/dilindungi.

Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tallt sheet, meteran,

teropong, gips, dan alat-alat tulis.

Hal | 130

Metode pengukuran : Pengukuran kelimpahan, distribusi dan seks rasio satwaliar

yang dilakukan dalam petak contoh permanen, baik dalam jalur maupun metoda IPA yang

telah ditetapkan sebelumnya pada tahun pertama dalam bentuk unit contoh permanen dan

daerah-daerah konsentrasi satwa.

Metode analisis data : Analisis kuantitatif dan pemetaan yang kemudian hasilnya

dibandingkan dengan rona awal dan periode pemantauan sebelumnya.

Lokasi pemantauan : Kawasan UM

Periode Pemantauan : Pemantauan dilakukan enam bulan sekali

Institusi Pemantauan : staf lingkungan biologi

8.3.2. Habitat Satwaliar

Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tallt sheet, meteran,

tambang plastik, pita ukur, kantong plastik, timbangan, gunting pohon, dan alat-alat tulis.

Metode pengukuran : Pengukuran kualitas dan kuantitas habitat satwaliar yang

meliputi kelimpahan pakan, cover, dan ketersediaan air minum yang dilakukan dengan cara

inventarisasi kelimpahan pakan, cover dan ketersediaan air di di petak contoh permanen

yang telah ditetapkan pada saat tahun pertama. Pada saat pengukuran dilakukan pula uji

tingkat gangguan akibat aktivitas kebun khususnya dan kegiatan manusia lainnya di dalam

kawasan UM.

Metode analisis data : Analisis kualitatif dan kuantitatif kelimpahan pakan, cover dan

ketersediaan air yang kemudian besarannya dibandingkan dengan rona awal dan periode

pemantauan sebelumnya.

Lokasi pemantauan : Seluruh kawasan UM

Periode Pemantauan : Pemantauan kondisi habitat satwaliar dilakukan dua kali dalam

setahun.

Institusi Pemantauan : Staf Lingkungan Biologi.

8.3.3. Efektifitas SOP Pengelolaan Satwaliar

Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tallt sheet, meteran,

dokumen SOP dan alat-alat tulis.

Metode pengukuran : Pengukuran tingkat implementasi SOP pengelolaan satwaliar

yang dilakukan oleh unit manajemen

Metode analisis data : Analisis kuantitaif uji kompetensi staf unit manajemen dan

analisis kualitatif penerap SOP untuk setiap level staf dalam pelaksanaan kegiatannya di

lapangan.

Lokasi pemantauan : Seluruh staf unit manajemen

Hal | 131

Periode Pemantauan : Pemantauan dilakukan dua kali dalam setahun setelah

sosialisasi SOP dilaksanakan

Institusi Pemantauan : Dewan Direksi

9. Kawasan yang Memiliki Fungsi Penting Bagi MasyarakatLokal

Pemantauan dilakukan untuk melihat indikator kinerja pengelolaan. Pemantauan yang

dilakukan meliputi:

1) Pemantauan terhadap kegiatan pemeliharaan dan perawatan kawasan yang memiliki

fungsi penting bagi masyarakat lokal

2) Pemantauan terhadap perkembangan realisasi kegiatan pengelolaan kawasan yang

memiliki fungsi penting bagi masyarakat lokal

3) Pemantauan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dan kemungkinan gangguan

terhadap keberadaan kawasan yang memiliki fungsi penting bagi masyarakat lokal

10. Situs Budaya

Pemantauan dilakukan untuk melihat indikator kinerja pengelolaan. Pemantauan yang

dilakukan meliputi:

1) Pemantauan terhadap kegiatan pemeliharaan dan perawatan bukti historis Situs

Budaya

2) Pemantauan terhadap perkembangan realisasi kegiatan pengelolaan Situs Budaya

3) Pemantauan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dan kemungkinan gangguan

terhadap keberadaan Situs Budaya.

11. Evaluasi Keberhasilan Pemantauan

11.1. Pengertian

Evaluasi keberhasilan pemantauan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi perlu dilakukan

agar dapat diketahui efektifitas kegiatan pemantauan yang telah berjalan. Kegiatan evaluasi

dilakukan pada periode tertentu dari pelaksanaan program kegiatan (formative) dan di akhir

program kegiatan (summative). Evaluasi keberhasilan pemantauan dilakukan 2 (dua) kali

selama jangka pemantauan yaitu tahun ke 2 dan tahun ke 4 pada saat akan berakahirnya

kegiatan. Hasil evaluasi bisa dipakai sebagai pedoman bagi Direksi untuk mengambil

kebijakan selanjutnya.

Kegiatan evaluasi menghasilkan butir-butir pembelajaran (lessons learned) atas

keberhasilan dan kegagalan suatu program kegiatan dan umpan balik (feedback) untuk

perbaikan strategi, rencana, dan implementasi program kegiatan pada masa-masa

berikutnya. Pemantauan dan evaluasi sangat penting untuk memungkinkan terjadinya

perbaikan terus-menerus (continuous improvement) dari pengelolaan Unit Manajemen.

Hal | 132

11.2. Indikator dan Tujuan Evaluasi dari Kegiatan Pemantauan

A. Indikator yang dievaluasi dari kegiatan pemantauan

Implementasi dan capaian kegiatan pemantauan

Kualitas dan kompetensi SDM pemantau

Kualitas pelaporan kegiatan pemantauan

B. Tujuan evaluasi dari kegiatan pemantauan

Kegiatan ini dimaksudkan untuk memeriksa kinerja program kegiatan pemantauan Kawasan

Bernilai Konservasi Tinggi yang meliputi; capaian (achievements), dampak, efektivitas,

efisiensi dan keberlanjutan.

11.3. Kegiatan Evaluasi

A. Implementasi dan Capaian Kegiatan Pemantauan

Alat dan bahan : Form (daftar isian), form BA, quisoner dan alat tulis menulis

Metode pengukuran : Pengamatan langsung di lapangan saat kegiatan pemantauan

dilakukan dan wawancara dengan pihak-pihak terkait.

Pengamatan lapang dimaksudkan untuk melihat secara

langsung jalannya kegiatan pemantauan, apakah sudah

sesuai dengan prosedur (SOP) dan atau target waktu yang

telah ditetapkan atau belum. Wawancara dilakukan untuk

manambah data dan informasi agar dihasilkan kesimpulan

evaluasi yang benar.

Metode analisis data : Analisis kuantitatif/kualitatif dan deskriptif untuk seluruh

kegiatan pemantauan KBKT yang nantinya dibandingkan

dengan hasil evaluasi periode berikutnya.

Lokasi : Unit Manajemen Kebun

Periode : Dilakukan 2 (dua) kali selama jangka waktu kegiatan

pemantauan, dimulai pada tahun ke 2 dan tahun ke 4.

Institusi Pelaksana : Institusi pelaksana evaluasi kegiatan pemantauan adalah staf

urusan lingkungan fisik, biologi, sosial dan informasi

B. Kualitas dan Kompetensi SDM Pemantau

Alat dan bahan : Form (daftar isian), form BA, quisoner dan alat tulis menulis.

Metode pengukuran : Uji tertulis, uji praktek dan wawancara

Metode analisis data : Skoring

Lokasi : Unit Manajemen

Periode : Dilakukan 2 (dua) kali selama jangka waktu kegiatan

Hal | 133

pemantauan, dimulai pada tahun ke 2 dan tahun ke 4.

Institusi Pelaksana : Institusi pelaksana evaluasi kegiatan pemantauan adalah staf

urusan lingkungan fisik, biologi, sosial dan informasi

C. Kualitas Pelaporan Kegiatan Pemantauan

Alat dan bahan : Form (daftar isian), form BA, dokumen laporan kegiatan

pemantauan dan alat tulis menulis.

Metode pengukuran : Review dokumen laporan kegiatan

Metode analisis data : Analisis kuantitatif dan kualitatif

Lokasi : Unit Manajemen.

Periode : Dilakukan 1 (satu) tahun sekali selama jangka waktu kegiatan

pemantauan.

Institusi Pelaksana : Institusi pelaksana evaluasi kegiatan pemantauan adalah staf

urusan lingkungan fisik, biologi, sosial dan informasi

Mengembangkan Strategi-Strategi Pemantauan NKT

Sampai saat ini belum ada metode yang baku dalam melakukan pemantauan NKT di hutan

alam, hal ini juga belum adanya hasil-hasil penelitian yang mendukung seberapa efektif

tentang pemantauan NKT. Pada dasarnya metode pemantauan dalam NKT terbagi menjadi

dua bagian besar yaitu pemantauan secara ekologis untuk pemantuan NKT1, NKT 2,

NKT3, dan pemantauan yang bersifat partisipatif yang berhubungan dengan masyarakat

( kebutuhan dasar dan budaya-NKT5 dan NKT 6).

Pemantauan ekologis dipergunakan karena beberapa hal : (1)Hasil pemantauan dapat

memberikan peringatan kepada unit pengelola dari perubahan ekologi yang tidak diinginkan

yang terjadi di dalam konsesi; (2)pemantauan ekologis merupakan kebutuhan obyektif untuk

mengevaluasi apakah kegiatan pengelolaan NKT yang berhubungan dengan melestarikan

keanekaragaman hayati sudah di capai atau belum; (3) pemantauan ekologis adalah

sebuah kebutuhan untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dari aktivitas manusia dan

gangguan terhadap keanekaragaman hayati; (4) pemantauan ekologis dapat memberikan

wawasan kepada para pengelola di dalam sebuah unit pengelolaan tentang fungsi

ekosistem yang kompleks.

Beberapa metode yang disarankan untuk pengumpulan data dan jenis data yang

dikumpulkan untuk melakukan pemantauan ekologis22 antara lain : (1) Penginderaan jarak

Jauh dan sistem informasi geografis23, (2) plot sample permanen ( vegetasi)24, (3) Transek

Satwaliar25, (4) Spesies indikator26, (5) pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air27.

22

Diambil dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi tinggi di Indonesia. The Nature Conservancy 2002. 23

Penginderaan jarak jauh menggunakan sarana citra satelit atau potret udara untuk memeriksa perubahan-perubahan yang terjadi pada vegetasi dan tutupan hutan. Sedangkan software untuk melakukan kegiatan tersebut ada dalam satu sistem pemetaan yang biasa di sebut sistem informasi geografis (SIG-Geografical information system).

Hal | 134

Contoh pengelolaan dan pemantauan NKT di dalam konsesi Hutan alam dapat dilihat dalam

lampiran 1 dan lampiran 2.

4. Daftar Pustaka

Anonimous. 2010. Laporan Pengelolaan dan pemantauan NKT PT. A . tidak dipublikasikan.

Meijaard, E., S. Stanley, E.H.B. Pollard, A. Gouyon & G. Paoli. 2006. High Conservation

Value Forest in East Kalimantan. A Guide for Practioners. The Nature Conservancy – East

Kalimantan Program, Samarinda, Indonesia.

Meijaard E., Sheil D., Nasi R., Augeri D., Rosenbaum B., Iskandar D., Setyawati T., Lambert

F. R. (1992) The consequences of selective logging for Bornean lowland forest birds.

Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series B 335, 443-457.

The Nature Conservancy. 2003. The Five-S Framework for Site Conservation .A

Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation

Success.

The Nature Conservancy. 2004. Participatry ConservationPlanning Mannual. Conservation

Training and Resource Center Applied.

Tim Rayden. 2008 . Assessment, management and monitoring of High Conservation Value

Forest (NKTF).A practical guide for forest managers . ProForest, Oxford

WWF, 2007. Ecological Monitoring of Forestry Management in the Humid Tropics: A Guide

for Forestry Operators and Certifiers with Emphasis on High Conservation Value Forests.

Translated from Monitoreo Ecológico del Manejo Forestal en el Trópico Húmedo: Una Guía

Para Operadores Forestales y Certificadores con Ènfasis en Bosques de Alto Valor Para la

Conservación of WWF-Central America.

24

Sample plot permanen adalah kegiatan untuk memantau pertumbuhan dan kematian pohon yang terdapat dalam suatu kawasan hutan. 25

Transek hidupan liar adalah jalur-jalur panjang yang terdapat dalam suatu unit pengelolaan khususnya hutan, tempat melakukan survey kehidupan liar yang menggunakan cara atau metode baku tentang kehidupan liar di tempat tersebut seperti jejak, kotoran, sarang, suara, bau dan sebagainya. 26

Spesies indikator sering di jadikan patokan dalam pemantauan. Beberapa spesies yang telah disarankan menjadi indikator-indikator ekologis antara lain burung-burung frugivora dan insektivora terestrial, owa, dan serangga. 27

Pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air menjadi salah satu indikator yang penting dalam pemantuan HCV khususnya pemantauan lingkungan,hal ini berhubungan khususnya dengan HCV 4.

135 | H a l

5. Strategi Pengelolaan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di PT.A

NKT Nilai-Nilai Ancaman Kawasan yang di kelola Strategi dan tindakan Pengelolaan

1.1 Kawasan lindung Perladangan

Penebangan liar

Penambangan emas

Rencana perkampungan

Rencana

kebun/sawit/karet/coklat

Penebangan tidak

terencana

Buffer zone hutan

lindung dan kawasan

lindung yang ada di

dalam areal konsesi

Penyuluhan kepada masyarakat tentang larangan

penebangan liar di dalam kawasan konsesi;

Pemasangan poster yang berhubungan dengan

himbauan untuk tidak melakukan penebangan liar;

Pengajuan keberatan tentang rencana tambang emas

di dalam konsesi PT. A;

Tidak melakukan penebangan di wilayah tersebut

(NKT1.1);

Upaya pengendalian perladangan;

Melaksanakan sistem RIL dalam penebangan sesuai

dengan SOPnya.

1.2 Tumbuhan/flora

terancam punah

jenis-jenis

Dipterocarpaceae

(CR)

- Penebangan tidak

terencana di dalam

konsesi

- Penebangan liar

- Perladangan

- Pemukiman

Seluruh areal konsesi

PT. A khususnya hutan

dataran rendah dan sub

pegunungan

- Kerjasama dengan aparat penegak hukum dalam

penyuluhan tentang penebangan liar

- Menyisakan pohon-pohon jenis CR (diameter lebih

dari 60 cm) untuk tidak di tebang di setiap hektar

petak tebang;

- Melatih terus staf PT. A tentang pengenalan jenis

pohon;

136 | H a l

- Penambangan emas

- Rencana kebun sawit

- Merestorasi kembali hutan dengan menanami

lahan rusak dan gundul dengan jenis-jenis CR;

- Daerah konsentrasi sebaran jenis-jenis CR

tersebut di atas perlu mendapat perhatian khusus,

misalnya dijadikan areal konservasi genetik,

sebagai sumber genetik bagi jenis-jenis vegetasi

penting tersebut – sebagai bank gen jenis-jenis

vegetasi;

- Mengidentifikasi habitat dan kondisi habitat yang

harus dilindungi sebelum penebangan dilakukan

bersamaan dengan inventarisasi sebelum

penebangan.

1.3 Semua jenis

yang

teridentifikasi

dalam NKT 1.2

ditambah jenis

lain yang

dianggap langka,

terancam

(endangered),

rentan

(vulnerable),

endemik atau

dilindungi oleh

Pemerintah

Indonesia yang

mampu bertahan

- Perburuan liar

- Perdagangan satwa

- Penebangan tidak

terencana

- Penebangan liar

- Perladangan

- Penambangan emas

- Rencana kebun sawit

Habitat Enam jenis

mamalia dan satu jenis

burung tergolong ke

dalam kriteria di atas,

yakni: Hylobates muelleri

(owa kalawat), Manis

javanica (trenggiling

peusing), Felis planiceps

(kucing tandang),

Cynogale bennettii

(musang air),

Sundasciurus hippurus

(bajing ekor kuda),

Ratufa affinis (jelarang

bilalang), dan burung

Ciconia stormi (bangau

- Membuat himbauan untuk masyarakat tentang

pelarangan perburuan terhadap flora-fauna langka

dan dilindungi ;

- Perusahaan membuat aturan tentang

perlindungan flora-fauna langka dan dilindungi di

dalam unit pengelolaan ;

- Bekerjasama dengan pihak universitas setempat

atau LSM yang bergerak dalam pelestarian alam

khususnya flora-fauna langka dan dilindungi;

- Kampanye penyadartahuan tentang perlindungan

flora-fauna langka dan dilindungi terhadap

masyarakat sekitar konsesi dan karyawan ;

- Pendidikan lingkungan mendorong masyarakat

137 | H a l

hidup (viable

population).

storm). Jenis dari marga

Dipterocarpaceae yang

ditemukan di dalam areal

PT. A

tidak berburu flora-fauna langka dan dilindungi ;

- Mengidentifikasi saltlick (sepan-air mineral);

- Membuat aturan pelarangan perburuan terhadap

flora-fauna langka dan dilindungi bagi staf

perusahaan;

- Membuat SOP yang berhubungan dengan

identifikasi satwaliar dengan mengintergrasikan

dengan kegiatan ITSP;

- Memperbaiki dan melaksanakan teknik RIL

dengan benar di lapangan ;

- Penanaman di tempat-tempat terbuka dengan

menggunakan jenis lokal terutama yang terancam

punah, langka dan dilindungi;

- Membuat sample plot permanen ;

- Membiakan jenis-jenis tumbuhan dari jenis langka

dan hampir punah.

2.1 Wilayah inti

seluas

74,743.93hektar

dan wilayah

penyangga

seluas

120,366.07hektar

yang ada di

dalam areal PT.

- Penebangan

- Konversi lahan

- Fragmentasi

Wilayah inti seluas

74,743.93 hektar dan

wilayah penyangga

seluas 120,366.07 hektar

yang ada di dalam areal

PT. A

- Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak

rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan

dilakukan dengan benar ;

- Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan

lebar cukup sesuai prosedur peraturan dan RIL;

- Membuat aturan pelarangan berburu hidupan liar

khusunya bagi staf perusahaan

138 | H a l

A - Mempertahankan PT. A sebagai satu unit

pengelolaan hutan

- Pemantauan perladangan dan pembukaan

pemukiman baru

2.2 Kawasan

Bentang alam

yang memiliki

rentang beda

ketinggian dan

zona ekokline

pada ketinggian

500 meter

- Penebangan

- Konversi lahan

- Fragmentasi

Kawasan Bentang alam

yang memiliki rentang

beda ketinggian dan

zona ekokline pada

ketinggian 500 meter

- Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak

rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan

dilakukan dengan benar;

- Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan

lebar cukup sesuai prosedur ;

- Konektivitas antara ekosistem hutan dengan

lanskap yang lebih luas;

- Membuat koridor satwa kalau diperlukan.

2.3 Jenis predator

tingkat tinggi dan

jenis indikator

lain yang

memerlukan

ruang habitat

luas tetapi

berkepadatan

rendah

- Penebangan tidak

terencana;

- Penebangan liar;

- Perburuan;

- Perdagangan

satwa;

- Perladangan;

- Perubahan fungsi

lahan

Semua hutan

dipterokarpa dataran

rendah dan sub

pegunungan didalam

wilayah konsesi

- Penerapan sistem RIL sangat penting untuk

diterapkan dan dilakukan dengan benar;

- Mencegah fragmentasi habitat dengan

pembuatan jalan yang efektif, pemeliharaan

kesinambungan tajuk dan kanopi hutan;

- Mencegah perburuan terhadap satwaliar baik

untuk staf maupun masyarakat.

139 | H a l

3 Ekosistem Hutan

Dipterocarpaceae

dataran rendah di

dalam areal PT.

A

- Perubahan fungsi

lahan untuk sawit atau

lading;

- Penebangan tidak

terencana;

- Penebangan liar

Semua hutan dataran

rendah di dalam konsesi

PT. A

- Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah

terdegradasi hutannya dengan penanaman

kembali jenis-jenis lokal yang banyak

ditebang;

- Penerapan sistem RIL penting untuk

diterapkan dan di lakukan dengan benar ;

- Terdapat Kawasan-kawasan yang tidak

ditebang dan merupakan representatif dari

jenis ekosistem yang ada di dalam unit

pengelolaan.

4.1 Hutan di tepi

sungai/danau

(riparian) yang

tergenang secara

teratur dan sub-

DAS yang

menyediakan air

bersih untuk desa

disekitarnya.

- Perladangan

- Penebangan liar

- Penambangan emas

- Perubahan fungsi

lahan

- Hutan Riparian

- Embung dan mata air

- Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah

terdegradasi hutannya dengan penanaman

kembali jenis-jenis lokal yang banyak ditebang;

- Mempertahankan wilayah lindung khususnya kiri-

kanan sungai;

- Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan

dan di lakukan dengan benar.

4.2 Kawasan

mempunyai

tingkat bahaya

erosi berat

sampai sangat

berat di dalam

areal PT. A

- Penebangan - Wilayah-wilayah

yang mempunyai

potensi TBE

Berat menjadi

wilayah yang

perlu menjadi

perhatian utama

dengan tidak

- Penanaman areal terbuka pasca penebangan (

bekas Tpk dan TPN) ;

- Menutup jalan logging , jalan cabang dan jalan

sarad yang sudah tidak dipakai ( deactivasi);

- Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan

dan di lakukan dengan benar.

140 | H a l

mengampingkan

wilayah lain yang

nilai TBE di

bawahnya. .

4.3 Hutan dengan

pepohonan tinggi

dan lapisan

bawah yang

lembab dan

wilayah yang

dapat mencegah

peluasan

kebakaran

- Perubahan fungsi

kawasan hutan;

- Perladangan, kebun

sawit, tambang ;

- Keberadaan illegal

logging yang bila tidak

tertanggulangi dapat

merusak tipe-tipe

ekosistem tertentu

- Kawasan hutan yang

berada dekat

perkampungan dan

ladang.

- Melakukan sosialisasi bahaya kebakaran hutan

buat masyarakat ;

- Pengetatan/pengawasan akses keluar masuk

kawasan konsesi buat pihak luar ;

- Membuat larangan membakar lahan bagi

karyawan perusahaan;

- Pemasangan poster;

- Patroli hutan.

Strategi Pemantauan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di PT. A

NKT Nilai-Nilai Tujuan Strategi dan tindakan

Pengawasan

Periode Penanggung

Jawab

1.1 Kawasan lindung di dalam

konsesi PT. A

- Memastikan bahwa

tidak ada

penebangan di dalam

kawasan lindung;

- Pemantauan bisa dilakukan

setelah penebangan selesai

di setiap Rencana karya

tahunan (RKT);

- Pertiga

bulan/enam

bulan

Perencanaan

dan lingkungan,

social.

141 | H a l

- Memastikan ada

proses

penyadartahuan di

masyarakat tentang

kawasan ini;

- Adanya peraturan

perusahaan tentang

larangan perburuan

dan pengambilan

sumberdaya alam

dari wilayah PT. A.

- Laporan periodik tetang

proses penyadartahuan dan

sosialisasi ;

- Terdapat data tentang

pengambilan Hasil Hutan

Non Kayu oleh masyarakat

- Pemantauan tutupan hutan

1.2 Tumbuhan/flora terancam

punah

jenis-jenis Dipterocarpaceae

(CR)

- Mepemantauan

habitat tumbuhan

terancam punah

yang ada di dalam

areal PT. A;

- Memperbaharui

data/up-date tentang

spesies CR di dalam

areal PT. A;

- Melakukan

pemantauantumbuhan

kategori CR melalui survey

berkala bersamaan dengan

ITSP;

- Terdapat standar survey

tumbuhan terancam punah

(CR) yang jelas;

- Peloporan tentang

pelatihan;

- Pelaporan penanaman

lahan kosong dan rusak

secara periodik;

- Pelaporan tentang

- Pertahun Lingkungan

Perencanaan,

produksi

142 | H a l

pelaksanaan RIL

1.3 Semua jenis yang

teridentifikasi dalam NKT 1.2

ditambah jenis lain yang

dianggap langka, terancam

(endangered), rentan

(vulnerable), endemik atau

dilindungi oleh Pemerintah

Indonesia yang mampu

bertahan hidup (viable

population).

- Memonitor berapa

banyak jenis langka

dan dilindungi secara

global, nasional dan

lokal yang ada di

dalam areal PT. A;

- Adanya upaya nyata

dari pihak PT. A

untuk

mempertahankan

jenis-jenis langka dan

dilindungi secara

global, nasional dan

lokal yang ada di

dalam areal PT. A.

- Pemantauan dengan

pengamatan reguler di

petak/sample permanen

plot ;

- Membuat check list satwa

liar yang dilindungi yang

ditemui di lapangan untuk

staf, driver logging, dll

- Melakukan survey satwa

liar di jalur-jalur atau sample

plot permanen secara

periodik ;

- Memplotkan hasil temua

satwa liar dalam peta yang

terintegrasi dengan sistem

GIS;

- Melibatkan masyarakat

dalam melakukan

pemantauan melalui

pengawasan perburuan

satwa liar di kampung;

- Pelaporan tentang

pelaksanaan RIL;

- Pelaporan kegiatan

- Pertahun/

enam bulan/

tiga bulan

Lingkungan

Perencanaan,

produksi

143 | H a l

penyadartahuan atau

sosialisasi di kampung;

- Ada database tentang

kondisi satwaliar;

- Penegakan aturan tentang

larangan perburuan bagi

staf perusahaan;

- Laporan pertumbuhan

tanaman yang di tanam di

tempat-tempat terbuka dan

rusak.

2.1 Wilayah inti seluas 74,743.93

hektar dan wilayah penyangga

seluas 120,366.07 hektar yang

ada di dalam areal PT. A

- Memastikan sistem

RIL di jalankan.

- Memastikan bahwa

perubahan tutupan

lahan dapat di

pantau;

- Memastikan bahwa

perluasan

perladangan dapat

dipantau;

- Memastikan adanya

pematauan

perburuan

- Laporan reguler tentang

RIL;

- Laporan periodik tentang

perburuan;

- Pertahun Lingkungan

dan

Perencanaan

144 | H a l

2.2 Kawasan Bentang alam yang

memiliki rentang beda

ketinggian dan zona ekokline

pada ketinggian 500 meter

- Memastikan bahwa

praktek-praktek di

lapangan sesuai

dengan sistem RIL

yang ada saat ini;

- Memastikan bahwa

perubahan tutupan

lahan dapat di

monitor;

- Memastikan bahwa

perluasan

perladangan dapat

dimonitor.

- Pemantauan RIL bisa

dilakukan setelah

penebangan selesai di

setiap Rencana Karya

Tahunan (RKT);

- Pemantauan tutupan hutan;

- Pemantauan perladangan.

- Pertahun Lingkungan

dan Produksi

2.3 Jenis predator tingkat tinggi

dan jenis indikator lain yang

memerlukan ruang habitat luas

tetapi berkepadatan rendah

- Memastikan tidak

terjadinya konversi

hutan di dalam areal

PT. A;

- RIL dilaksana di

lapangan

- Memastikan

fragmentasi habitat di

tekan se efektif

mungkin;

- Memastikan adanya

upaya untuk

mencegah perburuan

- Pemantauan bisa dilakukan

setelah penebangan selesai

di setiap Rencana Karya

Tahunan (RKT) untuk RIL;

- Pemantauan tutupan hutan;

- Pemantauan perladangan,

- Pemantauan perburuan

- Pertahun Lingkungan,

Produksi dan

sosial

145 | H a l

terhadap satwaliar

baik untuk staf

maupun masyarakat.

3 Ekosistem Hutan

Dipterocarpaceae dataran

rendah di dalam areal PT. A

- Tutupan hutan

terpantau secara

periodik;

- RIL dilaksanakan di

lapangan;

- Memastikan adanya

kegiatan restorasi

kawasan-kawasan

yang sudah

terdegradasi

hutannya ;

- Memastiakan adanya

kawasan yang tidak

ditebang dan

merupakan

representatif dari

jenis ekosistem yang

ada di dalam unit

pengelolaan.

- Laporan pemantauan

pertumbuhan tanaman dan

luas yang ditanami;

- Pemantauan RIL dilakukan

setelah penebangan selesai

di setiap Rencana Karya

Tahunan (RKT);

- Pemantauan kawasan yang

merupakan representif dari

ekosistem yang ada di areal

PT. A

- Pertahun Lingkungan

Produksi,

Perlindungan

Hutan

4.1 Hutan di tepi sungai/danau

(riparian) yang tergenang

secara teratur dan sub-DAS

yang menyediakan air bersih

- Memastikan adanya

upaya untuk

melakukan restorasi;

- Sistem RIL

- Pelaporan berkala tentang

kegiatan restorasi

(pertumbuhan tanaman dan

luas);

- Pertahun Lingkungan

Produksi,

Perencanaan

146 | H a l

untuk desa disekitarnya. dilaksanakan dengan

benar dan sungguh-

sungguh;

- Memastikan

mempertahankan

wilayah lindung

khususnya kiri-kanan

sungai.

- Laporan pemantauan

pertumbuhan tanaman dan

luas yang ditanami;

- Pemantauan RIL dilakukan

setelah penebangan selesai

di setiap Rencana Karya

Tahunan (RKT);

4.2 Kawasan mempunyai tingkat

bahaya erosi berat sampai

sangat berat di dalam areal

PT. A

- Memastikan sistem

RIL dilakukan

dengan benar dan

sungguh-sungguh;

- Memastikan tutupan

hutan di monitor di

seluruh areal PT. A;

- Memastikan ada

kegiatan pemantauan

sedimentasi dan

erosi

- Memastikan adanya

Penanaman areal

terbuka pasca

penebangan ;

- Memastikan adanya

kegiatan menutup

jalan logging , jalan

- Pemantauan RIL bisa

dilakukan setelah

penebangan selesai di

setiap Rencana Karya

Tahunan (RKT);

- Menggunakan perangkat

lunak GIS dan remote

Sensing untuk pematauan

tutupan hutan;

- Laporan pemantauan

sedimentasi dan erosi

- Laporan penanaman

- Laporan kegiatan deactivasi

- Pertahun Lingkungan

Perencanaan,

produksi

147 | H a l

cabang dan jalan

sarad yang sudah

tidak dipakai (

deactivasi)

4.3 Hutan dengan pepohonan

tinggi dan lapisan bawah yang

lembab dan wilayah yang

dapat mencegah peluasan

kebakaran

- Memantau

kebakaran lahan dan

hutan

- Laporan penyuluhan

tentang kebakaran hutan;

- Laporan kebakaran hutan

dan lahan di sekitar areal

unit pengelolaan PT. A;

- Laporan pemantauan

perladangan.

- Pemantauan dan

Pengukuran Tingkat

Bahaya Kebakaran

menggunakan metode

KBDI (Keetch-Byram

Dryness Indeks);

- Laporan curah Hujan.

- Pertahun Lingkungan

Perencanaan.

Hal | 148

Lampiran 3: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Perkebunan Sawit

Oleh:

Aisyah Sileuw dan Pupung Firman Nurwatha

Bogor Juli 2012

Pengantar

Tidak diragukan lagi bahwa perkebunan sawit memiliki peran ekonomi yang penting dalam

pembangunan Indonesia. Dengan jumlah ekspor CPO yang makin meningkat akan

menjadikan peluang pemerintah mendapatkan pendapatan dari sektor ini. Selain itu,

pembukaan lapangan pekerjaan, pembangunan daerah-daerah yang masih terisolasi

merupakan hal-hal yang membanggakan. Namun cerita kelam tentang perkebunan sawit

juga tak kalah banyaknya, mulai dari tingginya angka deforestasi, hilangnya spesies-spesies

penting bagi sebuah ekosistem, konflik lahan dan berbagai masalah lingkungan dan sosial

lainnya.

Sektor Perkebunan Kelapa Sawit

Minat terhadap pengembangan komoditi kelapa sawit terus meningkat, baik datangnya dari

perusahaan maupun perorangan. Ketika minat itu direalisasikan, alih fungsi lahan menjadi

kebun kelapa sawit tidak bisa dielakkan. Alih fungsi lahan tersebut tidak saja mengganti

komoditi, misalnya dari karet menjadi kelapa sawit, tetapi terjadi juga dari lahan hutan

menjadi perkebunan kelapa sawit.

Pemerintah telah mengatur penataan dan alih fungsi lahan untuk perkebunan. Secara garis

besar ada tiga pihak yang berperan dalam penataan lahan untuk perkebunan. Pihak-pihak

tersebut adalah Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah Kabupaten, dan

Kementrian Kehutanan. Untuk melegalkan hak kelola atas lahan, mulai dari pemberiaan ijin

lokasi sampai dengan terbitnya sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), Pemerintah Daerah

mengatur lebih banyak tahapan daripada Badan Pertanahan Nasional mupun Kementerian

Kehutanan. (PERLU DIGAMBARKAN DALAM GRAFIK)

Operasional Unit Management

Perusahaan perkebunan mendapat hak kelola legal atas lahan dalam bentuk Surat Izin

Lokasi hingga sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Operasional kebun dalam wujud fisik

dilapangan dimulai ketika sudah mengantongi Surat Izin lokasi. Secara ringkas, kegiatan

fisik yang mengubah bentuk tutupan ruang (alih fungsi lahan) dikelompokkan menjadi

tahapan yaitu penentuan areal tanam (plantable area) dan area tertanam (planted area.

Dalam hal ini, plantable area dimulai sejak survey kelayakan, pembebasan lahan,

pembersihan lahan (land clearing) termasuk pembuatan jalan kebun, hingga lahan siap

tanam. Planted area adalah ketika areal-areal yang layak tanam sudah dipetakan dan sudah

ditanami. Dalam banyak kejadian, pengelompokkan ini tidak betul-betul dapat dibedakan

secara nyata. Namun untuk tujuan penggambaran secara ringkas proses operasional unit

mangement dalam konteks pengelolaan HCV HCV, pengelompokkan tersebut dapat

menunjukkan dimana pengelolaan dan pemantauan HCV diletakkan.

Hal | 149

Jika tahapan pembangunan perkebunan kelapa sawit dikaitkan dalam konteks HCV, maka

kegiatan asessmen HCV harus sudah dilakukan di area pencadangan. Kajian ini bersifat

penilaian resiko (risk assessmen) untuk memastikan area-area yang dikemudian hari akan

berubah menjadi perkebunan kelapa sawit adalah bukan area-area HCV atau area-area

yang secara signifikan harus dikelola dengan benar karena akan berpengaruh terhadap

area HCV. Kajian HCV secara menyeluruh (full assessment) dilakukan di dalam unit kelola

yang sudah memiliki batas legal wilayah kelola yang jelas (Izin Lokasi, HGU). Hasil dari

kajian HCV secara menyeluruh mulai dari level lansekap hingga kajian menyeluruh di dalam

batas kelola legal, adalah terpetakannya area-area HCV didalam unit kelola kebun.

Pengelolaan dan pemantauan HCV dimulai dan sejalan dengan proses pembangunan dan

pengelolaan kebun, mulai dari tahapan pemilahan lahan (plantable area) dan perubahan

tutupan lahan (planted area) (Gambar _____). Integrasi rencana pengelolaan dan

pemantauan HCV ke dalam operasional perkebunan akan mengefektifkan sumberdaya dan

hasil guna dari pengelolaan kebun secara keseluruhan.

Gambar Integrasi operasional kebun dengan pengelolaan dan pemantauan HCV

Tantangan, dampak dan intensitas yang dihadapi oleh sektor

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini terdiri dari kebun baru atau akan segera di

bangun dan kebun yang sudah jadi yang banyak diantaranya segera akan melakukan

peremajaan tanaman kelapa sawit (replanting). Masing-masing kebun memiliki tantangan

yang satu sama lain bisa berlainan dalam hal pengelolaan HCV. Namun tantangan utama

dalam pengelolaan HCV di perkebunan kelapa sawit adalah berubahnya tutupan lahan

hutan atau habitat alami flora fauna menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Selain itu,

dalam konteks penguasaaan lahan, umumnya perkebunan kelapa sawit yang dibangun

berada di areal-areal yang dikuasai dan dikontrol oleh masyarakat.

Ijin Lokasi

Plantable area

Planted area

Peremajaan/Replanting

HCV risk assessment-level lansekap

Pengelolaan dan Monitoring HCV

Area pencadangan

HCV full Assessment HCV area

HGU

HCV re-assessment?

Hal | 150

Perubahan tutupan hutan atau habitat alami satwa menjadi sulit dikontrol sejak awal

pembangunan kebun karena bebera hal:

- Waktu ijin lokasi yang terbatas. Ijin lokasi diberikan pemerintah selama tiga tahun. Pada

rentang waktu tersebut, pihak perusahaan harus membuktikan ada lahan yang dibuka

sesui dengan peruntukannya, sehingga penataan kebun berlomba dengan pembuktian

luas areal bukaan untuk menjamin tidak dicabutnya ijin lokasi.

- Waktu yang terbatas ini juga tidak memberi keleluasaan terhadap penilaian HCV

sekaligus merancang pengelolaannya yang terintegrasi dengan pembangunan kebun.

- Area kebun seringkali kehilangan konektifitas dengan hutan atau habitan alami yang ada

di sekitar kebun, bahkan antar kantung habitat satwa di dalam kebun itu sendiri. Hal ini

terjadi karena di sekitar kebun adalah lahan-lahan yang dikuasai dan dikelola oleh

masyarakat (di luar otoritas dan jangkauan perusahaan). Ketika ada akses jalan yang

lebih baik, maka lahan-lahan masyarakat tersebut akan semakin intensif digunakan.

Akibatnya, koridor yang menghubungkan area-area HCV di dalam izin lokasi seringkali

terputus, satwa terperangkap dalam pulau-pulau kecil

- Tantangan lain adalah adanya Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Seringkali area berhutan di

dalam ijin lokasi menjadi target penebangan kayu secara legal atas nama IPK.

Ada area-area yang awalnya teridentifikasi sebagai areal HCV di dalam Ijin lokasi, tetapi

pada saat hak legal pengelolaan lahan berubah menjadi HGU, maka rea HCV tersebut

berada diluar kelola perusahaan. Tidak ada bukti yang kuat bahwa area-area HCV di luar

wilaya kebun dan berada di lahan masyarakat akan bertahan lama, umumnya akan segera

menghilang. Dalam hal ini, NPP (New Planting Prosedur) yang disaratkan oleh RSPO,

nampak seperti sebuah cara ideal untuk segera mengamankan area HCV. Namun pada

kenyataanya prosedur NPP lebih berguna sebagai alat bantu perusahaan untuk

mengetahuai luas tanam efektif (area HCV bukan termasuk lahan produktif) yang akan

dijadikan HGU. Jika sudah demikian, area HCV yang tersingkir jarang sekali ada yang

memasukannya ke dalam HGU.

Kebun yang sudah lama atau yang sudah jadi biasanya relatif stabil untuk luas lahan, jarang

terjadi pengurangan. Namun demikian, secara ekosistem sudah mengalami degradasi

sehingga kandungan nilai HCV cenderung rendah, elemen-elemen HCV telah banyak yang

hilang. Konektifitas antar kantung habitat sangat jarang dijumpai, area-area HCV cendeung

terfragmentasi dalam area-area kecil yang tersebar dan terpisah satu dengan lainnya.

Kebun-kebun lama lebih memerlukan upaya rehabilitasi/restorasi habitat.

Pengelolaan area HCV diperkebunan kelapa sawit

Pengelolaan HCV dilakukan untuk melindungi, memelihara dan meningkatkan nilai-nilai

penting yang ada di area HCV. Untuk itu, orientasi pengelolaan hCV adalah mencapai

keadaan-keadaan ideal yang diinginkan untuk seluruh HCV. Untuk mencapai kondisi yang

diharapkan, maka monitoring (pemantauan) dan evaluasi dilaksanaan sejalan dengan

pengelolaan HCV.

Hal | 151

Pengelolaan HCV pada dasarnya terdiri dari dua hal, yaitu mengelola area dimana nilai

penting ada dan area-area yang menjadi penunjang area HCV tersebut. Dengan kata lain,

ada pengelolaan HCV set aside (area HCV) dan ada pula mengelola perlakuan terhadap

area HCV dan pendukungnya (managing area).

Dalam konteks HCV dengan nilai penting melekat pada biodiversity (HCV1, HCV2 dan

HCV3), secara ringkas ada dua hal utama yang perlu dikelola, yaitu pengelolaan habitat

(ruang) dan pengelolaan species isi (species). Pengelolaan species juga dikelompokkan ke

dalam dua kategori, yakni species penting yang memiliki nilai keterancaman tinggi, dan

species dengan tingkat keterancaman rendah dan mereka ada di area HCV.

Pemantauan dan Evaluasi

Pemantauan dan Evaluasi adalah dua kegiatan pokok yang dilaksanakan sejalan dengan

pelaksanaan pengelolaan HCV. Tujuan dari pemantauan adalah untuk memeriksa apakah

kegiatan berjalan seperti yang direncanakan, apakah keluaran (output) yang telah

ditetapkan dapat dicapai, dan apakah investasi sumberdaya (manusia, dana, waktu) sesuai

rencana. Sedangkan tujuan dari evaluasi adalah untuk menilai capaian (achievements),

efektivitas, efisiensi, dampak (impacts), dan keberlanjutan (sustainability) program kegiatan.

Sementara tujuan

Pemantauan dan evaluasi ditujukan pada seperangkat indikator (key performance

indicators) dan dilaksanakan secara sistematis, konsisten, dan terdokumentasi. Pemantauan

dilakukan secara berkala bergantung pada jenis kegiatan dan indikator yang dinilai. Evaluasi

dilakukan pada akhir periode waktu rencana pengelolaan, yaitu pada akhir tahun setiap

perioda pengelolaan yang ditetapkan (summative evaluation) dan pada setiap akhir tahun

(formative evaluation).

Hasil dari pemantauan pada intinya adalah berupa bahan masukan untuk perbaikan

pelaksanaan kegiatan agar lebih efektif dan efisien menghasilkan keluaran (output). Hasil

dari evaluasi adalah butir-butir pembelajaran (lessons learned), baik dari kegagalan atau

ketidakberhasilan maupun dari keberhasilan (key success factors). Hasil dari pemantauan

dan evaluasi adalah bahan masukan yang sangat penting untuk perbaikan ke depan

(continuous improvement), baik perbaikan pelaksanaan kegiatan, perbaikan strategi,

perbaikan substansi dan proses perencanaan, perbaikan kebijakan, maupun perbaikan

alokasi sumberdaya untuk pengelolaan HCV perusahaan.

Ada tiga langkah penting dalam pemantauan

1. Mengukur keluaran dari setiap program (objectives), oleh karenanya, indikator harus

ditetapkan ketika menyusun program-program pengelolaan

2. Membandingkan keluaran dari tindakan-tindakan yang dilakukan dengan keluaran yang

direncanakan, dan menentukan penyimpangan-penyimpangan apabila ada

3. Mengoreksi penyimpangan yang tidak menguntungkan dengan tindakan perbaikan

korektif (corective actions)

Hal | 152

Merancang Pemantauan

Setelah tujuan pemantauan ditetapkan dengan jelas, kemudian buatlah rancangan

pelaksanaan. Dalam merancang pemantauan perlu dipertimbangkan mengenai metode,

lokasi/tempat dan waktu (frekuensi dan durasi) pelaksanaan pemantauan.

Misalnya, jika tujuan pengelolaan HCV1 mengenai habitat satwa, maka sedikitnya ada dua

hal pokok yang akan dipantau, yaitu

1. perubahan ruang (habitat) untuk keberlanjutan kehidupan satwa dan

2. kecenderung ragam spesies satwa yang menempati ruang yang telah disediakan

tersebut

Perubahan ruang

Data dasar/kondisi awal yang perlu diketahui diantaranya adalah (namun tidak terbatas

pada):

- Lokasi (per estate): jumlah, letak/posisi, luas tiap area, tipe habitat, kondisi dan

seterusnya yang penting untuk diketahui dan dikelola

- Habitat buatan: jenis habitat, kepemilikan, bentuk kelola, rotasi/umur tanam, dan aspek-

aspek lainnya

- Habitat alami: tipe habitat, vegetasi, kondisi, gangguan dan seterusnya.

Setiap komponen kondisi awal tersebut perlu digali dan dibuatkan perinciannya supaya

perubahan-perubahan yang terjadi dapat dibaca dengan seksama. Misalnya, jika habitat

satwa penting terdapat pada area yang dikelola masyarakat (enclave, hutan karet

campuran), hal yang perlu dirinci adalah bagaimana kondisi habitatnya, bagaimana

pengelolaan perkebunan karet itu berlangsung termasuk informasi mengenai daur

ulang/peremajaan karet seperti apa yang terjadi dan kapan. Untuk merinci membuat data

dasar tersebut jelas memerlukan survey lapangan termasuk berdialog dengan

pemilik/pengelola kebun karet. Begitu juga dengan area-area lainnya perlu digali lebih

dalam untuk memahami kondisi terkini.

Setelah kondisi awal diketahui, dirinci dan didokumentasi dengan baik dalam bentuk data

dasar, makan perlu ditetapkan bentuk pengelolaannya. Ragam pilihan pengelolaan

terhadap kondisi awal tergantung pada tujuannya, apakah dari setiap kondisi awal tersebut

hanya akan dipertahankan saja, diperbaiki atau ditingkatkan. Pilihan pengelolaan tersebut

menjadi bahan untuk melakukan pemantauan perubahan. Misalnya untuk habitat hutan

karet campuran tadi, dalam kurun waktu tertentu apakah telah terjadi perubahan umur

tanaman karet, apakah pengelolaanya berubah dari tanaman karet campuran menjadi

tanaman karet intensif, juga apakah telah terjadi perubahan kepemilikan. Tabel di bawah

adalah contoh ringkas mengenai opsi/pilihan komponen pemantauan ruang (habitat).

Hal | 153

Contoh opsi/pilihan komponen pemantauan ruang/habitat untuk satwa

Data dasar/kondisi awal (?)

Pengelolaan (?) Pemantauan perubahan (?)

lokasi (per estate)

- jumlah

- posisi/letak

- luas tiap area

- tipe habitat

- kondisi habitat

- dst.

lokasi (per estate)

- dipertahankan/ditambah

- dipertahankan

- dipertahankan/ditambah

- dipertahankan

- dipertahankan/diperbaiki

- dst.

lokasi (per estate)

- Berkurang/Tetap/Bertambah

- Tetap/berubah

- Berkurang/Tetap/Bertambah

- Tetap/Berubah

- Memburuk/Tetap/Membaik

- dst.

Habitat buatan (tiap lokasi)

- Tutupan lahan

- kepemilikan

- bentuk kelola

- rotasi/umur tanam

- dst.

Habitat buatan

- dipertahankan/dirubah

- dipertahankan/dirubah

- dipertahankan/dirubah

- dipertahankan/dirubah

- dst.

Habitat buatan

- Tetap/Berubah

- Tetap/Berubah

- Tetap/Berubah

- Tetap/Berubah

- dst.

Habitat alami (tiap lokasi)

- tipe habitat

- vegetasi

- kondisi

- ragam tingkat

gangguan

- dst.

Habitat alami

- dipertahankan

- dipertahankan/diperkaya

- dipertahankan/diperbaiki

- dikurangi/dihilangkan

- dst.

Habitat alami

- Tetap/Berubah

- Tetap/Berubah

- Memburuk/Tetap/Membaik

- Meningkat/Tetap/Berkurang

- dst.

Dst.... Dst.... Dst....

Setiap perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu segera didokumentasikan sebagai bahan

untuk memperbaiki atau memperbaharui bentuk dan tindakan pengelolaan. Proses-prose

perbaikan pengelolaan adalah hal penting untuk mencapai tujuan utama pengelolaan yaitu

menyediakan ruang bagi satwa liar. Buatlah jadwal pemantauan habitat yang dapat

mengimbangi kecepatan perubahan supaya hasil pemantauan habitat dapat berdaya guna.

Hal | 154

Berikut ini adalah contoh lembar data untuk pemantauan perubahan habitat alami. Lembar

data pemantauan habitat ini dapat diperbaharui sesuai kebutuhan.

LEMBAR DATA HABITAT

Tanggal: Estate:

Observer: Blok: /Koordinat:

Diketahui oleh: Tipe Habitat:

Catatan

Tinggi Tajuk Rendah

<20m

Tengah-

Tinngi

<20-50m

Tinggi

50-

100m

Sangat

Tinggi

>100m

Kepadatan

Tajuk

Terbuka

<20%

Jarang

20-50%

Tebal

50-

80%

Tertutup

>80%

Kepadatan

Strata

Menengah

(jarak

pandang)

Terbuka

>50m

Sedang

10-50m

Tebal

<10m

Penutup

Tanah -

Seresah

Daun

Jarang

<20%

Sedang

20-50%

Tebal

50-

80%

Sangat

Tebal

>80%

Penutup

Tanah -

Vegetasi

<0.5m

Jarang

<20%

Sedang

20-50%

Tebal

50-

80%

Sangat

Tebal

>80%

Kemiringan

(derajat)

Lahan

Datar

<10

Agak

Miring

10-25

Cura

m

25-45

Sangat

Curam

>45

Air

Permukaan

Tidak

ada Kolam

Sung

ai

meng

alir

Dekat

Sungai

sekitar

<500m

Hal | 155

Gangguan

Perburu

an

Satwa

Peneban

gan

pohon

Jalur

lintas

an

orang

Gulma/

weeds

Makanan

Satwa

Tumbuh

an

Berbung

a

Tumbuh

an

Berbuah

Observasi lainnya:

Ragam spesies satwa

Pada waktu identifikasi HCV dilaksanakan, telah berhasil diidentifikasi sejumlah spesies

yang ada di wilayah perkebuan. Data awal tiap spesies yang telah diperoleh meliputi jenis,

status, lokasi dan habitatnya. Dalam konteks HCV, status spesies yang dimaksud adalah

nilai penting spesies merujuk pada ketentuan yang disepakati secara internasional (IUCN

dan CITES). Data-data spesies yang telah ada perlu disusun sebagai data dasar. Untuk

membuat data dasar yang lebih baik, hasil temuan tersebut masih perlu diperbaharui

(update) dan diperkaya dengan melakukan penggalian informasi lebih lanjut.

Untuk tujuan pengelolaan, berdasarkan statusnya, spesies satwa liar di setiap wilayah

kebun dapat dikelompokkan menjadi dua , yaitu: spesies penting (redlist IUCN, CITES

Appendix I) dan spesies umum (non-redlist IUCN atau CITES). Berikut ini adalah beberapa

komponen yang dapat membantu dalam membuat data dasar untuk setiap spesies penting:

• Nama spesies, status dan tipe umum (penjelajah atau residen), biasanya satwa

berukuran besar cenderung penjelajah.

• Tanggal perjumpaan atau pertemuan dengan suatu spesies;

• Jumlah individu yang dijumpai atau dilaporkan dalam satu pertemuan;

• Lokasi pertemuan, catat koordinatnya atau nama estate dan blok dimana sebuah

spesies dijumpai atau dilaporkan;

• Habitat, gunakan istilah tipe habitat yang telah disepakati;

• Deteksi keberadaan, telihat/terdengar langsung, atau dari sisa aktifitas yang

ditinggalkan, atau berupa berita dari masyarakat;

• Aktivitas satwa ketika dijumpai, meliputi makan, istirahat, bergerak atau bersuara.

Dalam satu waktu bisa terjadi dua atau aktifitas di temukan;

• Gangguan yang terjadi, bisa berupa perburuan, perusakan habitat atau keduanya

terjadi, atau gangguan lainnya terhadap kehidupan satwa;

Hal | 156

• Observer atau pengamat atau yang melaporkan pertemuan satwa perlu di

cantumkan untuk verifikasi bila ada diperlukan;

• Keterangan, hal yang perlu dijelaskan sehubungan dengan spesies yang dijumpai.

Contoh lembar data dasar untuk setiap spesies penting

Spesies :

Status : IUCN/CITES/UU

Tipe : penjelajah/residen

Tanggal

Jml

Lokasi Habitat

Deteksi

Aktivitas Gangguan O

bs.

Ket. Estate

Blok

LD

TK

IN

M I G B Per

Hab

Lain

Deteksi : LD=lihat dengar; TK=tanda kehadiran; IN=informasi

Aktivitas : M=Makan; I=Istirahat; G=Bergerak/Pindah; B=Bersuara/berbunyi

Gangguan : Per=perburuan; Hab=habitat rusak; Lain=gangguan lainnya

Obs : Observer

Hal | 157

Lembar data dasar harus selalu diperbaharui dengan menambahkan infromasi dari hasil

survey lapangan, baik yang sengaja dilakukan ataupun yang berdasarkan kesempatan

(opportunistic). Semakin banyak dan lengkap informasi yang ditambahkan akan semakin

terlihat jelas potret satwa penting di wilayah perkebunan. Bila setiap catatan lokasi

perjumpaan dipetakan akan terlihat sebarannya, juga bagi spesies penjelajah akan diketahui

jalur lintasanya. Ragam habitat yang digunakan serta bagaimana mereka beraktifitas dalam

habitat-habitat tersebut dapat diketahui. Catatn gangguang yang terkumpul dapat membantu

merancang penanggulangannya.

Jika melihat tujuan pemantauan satwa adalah melihat kecenderungan satwa apa saja yang

menggunakan ruang yang telah disediakan, maka tahap awal pemantauan yang dilakukan

untuk spesies penting adalah menambah pemahaman kita terhadap spesies tesebut.

Berikut ini adalah contoh lembar pemantauan satwa penting.

Contoh lembar data satwa species penting

LEMBAR DATA SPESIES PENTING

Species:

Tanggal: Estate:

Waktu: [pagi] [sore];

Lamanya:......... jam Lokasi/Blok:

Observer: Tipe Habitat:

Diketahui oleh: Cuaca:

Observasi

Juml

ah

Indvi

du

Perilaku*) Arah

pindah**)

M I G B U T S B

Deteksi langsung

Terlihat

Terdengar

Lainnya

Tanda kehadiran

Bekas tapak (footprint)

Hal | 158

Cakaran

Sisa makan

Sarang

Kulit/sisik/selongsong

Lainnya

Informasi***)

Sebelum 1 Minggu

1 - 4 minggu

4 - 12 minggu

Terllihat

Terdengar

Jejak kehadiran

Bekas tapak (footprint)

Cakaran

Sisa makan

Sarang

Kulit/sisik/selongsong

Lainnya

Gangguan/Ancaman

Perburuan

Kerusakan habitat

Lainnya:

Hasil observasi lainnya: (misalnya: makan buah pohon ara, dsb.)

*) : M=Makan; I=Istirahat; G=Bergerak/Pindah; B=Bersuara/berbunyi

**) : U=Utara; T=Timur; S=Selatan; B=Barat

***) : Setiap informan dicatat: nama, pekerjaan, alamat

Hal | 159

Spesies yang tidak termasuk kedalam redlist IUCN atau CITES Appendix I jumlahnya lebih

banyak dan lebih sering di jumpai. Oleh karena itu data dasar dan model pemantauan yang

digunakan dapat berbeda dengan sepesies penting. Untuk membuat data dasar spesies

yang umum dapat dibuatkan daftar spesies berdasarkan kelompok kelasnya, serta memberi

ruang untuk mencantumkan kehadiran atau ketidak hadirannya dalam setiap kegiatan

pemantauan.

Melakukan pemantauan untuk satwa yang umum membutuhkan persipan yang memadai.

Metode pemantauan banyak/multi spesies satwa dalam tiap kelompok tidak cocok bila

menggunakan cara pemantauan untuk spesies penting.

Pemantauan multi spesies

Untuk pemantauan multi spesies, pilih dan tetapkan lokasi-lokasi yang akan dijadikan petak

contoh (sampel plot) permanen yang bisa mewakili setiap tipe habitat. Jika di dalam

kawasan HGU terdapat tiga tipe habitat, maka petak contoh dibuat pada setiap tipe habitat

tersebut. Biasanya area yang dicadangkan untuk satwa liar di wilayah HGU kebun sawit

bukan merupakan area yang kompak, tetapi terpencar dalam petak-petak kecil. Beberapa

pertimbangan untuk meletakkan plot permanen:

- Di habitat alami, buatlah petak contoh pada area yang menjadi wakil dari tipe sebuah

habitat alami. Setiap tipe habitat minimal ada satu petak contoh perwakilan, tetapi bila

habitat alami cukup luas, buatlah lebih dari satu petak contoh supaya bisa mewakili luas

tipe habitat tesebut.

- Di habitat buatan berupa kebun karet campuran (enclave), petak contoh bisa dibuat

setelah mendapat ijin dari pemilik enclave. Bila pola tanam karet dan umur karet cukup

beragam, ambil satu sampel dari setiap kondisi yang beragam tersebut.

- Untuk Sawit, pertimbangkan tahun tanam, misalnya buat perwakilan petak contoh di

area tanam pertiga tahun atau perlima tahun, atau yang sekiranya cukp berbeda dari

segi keragaman hayati.

- Petak contoh di kebun karet da kebun sawit hanya dilakukan untuk kegiatan

pemantauan keragaman burung

Hal | 160

I. Lampiran

Lampiran 1.Contoh ringkasan identifikasi dan rekomendas ipengelolaan HCV dan deliniasi HCVMA pada PT. Perkebunan Anak Negeri

Pasaman (PANP), Kabupaten Landak, Kalimantan Barat (Daemeter, 2008).

HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA

Pola

Spasial

Status

Pemetaan

Status

Pemeta-

an

Catatan Hubungan

dengan

HCVMA lain

1.1 Ada Diskrit

namun

terdistribusi

secara luas

Sebagian

(tidak

semua

sungai dan

penyangga

dapat

dipetakan

saat ini

karena

keterbatasa

n data)

Untuk memelihara fungsi

kawasan lindung, dalam hal ini

(a) perlindungan zona

penyangga di sepanjang

sungai sebagaimana

disyaratkan oleh hukum, dan

(b) areal hutan lindung lokal

sebagian a. Zona riparian akan

dipelihara, di mana lebar

penyangga akan

bervariasi menurut lebar

sungai sebagai berikut:

<3m = 5m

penyangga

3-8m = 10m

penyangga

8-10m = 20m

penyangga

30m = 50m

penyangga

>30m = 100m

penyangga

1.2, 1.3, 4.1, 5

Hal | 161

HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA

Pola

Spasial

Status

Pemetaan

Status

Pemeta-

an

Catatan Hubungan

dengan

HCVMA lain

(lebar penyangga untuk masing-

masing tepi sungai).

Diakui bahwa penyangga

riparian yang ditanami padi oleh

masyarakat lokal mungkin tidak

akan tersedia bagi PANP untuk

pengelolaan dan/atau restorasi

1.2 Ada Diskrit Selesai Untuk memaksimalkan

kedayaberlangsungan jenis

Critically Endangered yang

jelas ada atau yang mungkin

ada dalam wilayah hutan alam

yang tersisa di estate tersebut

Selesai a. hutan alam yang tersisa

b. Koridor (hutan sekunder

yang masih ada)

1.3, 3, 4.1, 4.2

1.3 Ada Menyebar

secara luas

di seluruh

estate

Selesai Untuk mendeliniasi dan

melindungi habitat dengan

kualitas yang mencukupi untuk

populasi HCV 1.3 yang ada

dalam estate. Unsur-unsur

utama dalam strategi untuk

pengelolaan adalah (i)

perlindungan wilayah hutan

Selesai a. hutan alam yang masih

ada

b. koridor

1.1, 1.2, 3, 4.1,

4.2, 5 dan 6

Hal | 162

HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA

Pola

Spasial

Status

Pemetaan

Status

Pemeta-

an

Catatan Hubungan

dengan

HCVMA lain

alam yang masih ada dan (ii)

memaksimalkan konektifitas

hutan melalui koridor, zona

riparian dan HCVMA yang lain

(misal, zona perlindungan

erosi)

1.4 Ada Diskrit

namun

terdistribusi

secara luas

Belum

selesai

Untuk memelihara fungsi dan

melindungi akses ke situs

(gua) di mana konsentrasi

temporal dari salah satu atau

lebih spesies (kelelawar)

berkumpul

Belum

lengkap

Sehubungan dengan pemetaan

partisipatif untuk HCV 5 dan 6

(lihat bagian bawah), lokasi-

lokasi gua harus dipetakan dan

penyangga selebar 50m harus

ditandai dan dipelihara.

Kelelawar dan hidupan liar yang

tinggal di gua tidak boleh

diganggu dan akses ke gua

harus terpelihara

5

2.1 Tidak

ada

- - - - - -

2.2 Tidak

ada

- - - - - -

2.3 Tidak - - - - - -

Hal | 163

HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA

Pola

Spasial

Status

Pemetaan

Status

Pemeta-

an

Catatan Hubungan

dengan

HCVMA lain

ada

3 Ada Diskrit Selesai Untuk mempertahankan

wilayah hutan alam yang

masih ada dalam estate yang

mewakili ekosistem jarang dan

hampir punah

Selesai Semua wilayah hutan alam yang

tersisa ditunjuk sebagai

ekosistem yang hampir punah

dan harus mempertahankannya

sebagai hutan alam

Semua wilayah hutan

yang masih ada

merupakan HCVMA

untuk HCV3; sebagian

besari diklasifikasikan

sebagai Zona

Perlindungan Aktif

(Kategori 1), sementara

yang lain sebagai Zona

Perlindungan Pasif

(Kategori 2)

Blok hutan utama akan

dihubungkan satu sama

lain dengan Blok Hutan

Gunung Seboro ke

bagian selatan PANP

melalui koridor

1.2, 1.3, 4.1,

4.2, 5, 6

Hal | 164

HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA

Pola

Spasial

Status

Pemetaan

Status

Pemeta-

an

Catatan Hubungan

dengan

HCVMA lain

konservasi yang terdiri

dari petak hutan yang

lebih kecil, hutan

sekunder dan wilayah

rehabilitasi terbatas

melalui penanaman

pohon

4.1 Ada Diskrit

namun

terdistribusi

secara luas

Sebagian

(tidak

semua

sungai

dipetakan)

Untuk menjamin

keberlangsungan ketersediaan

air bersih bagi masyarakat

lokal, khususnya dengan

memelihara perlindungan

penyangga riparian yang

memadai dan pencegahan

erosi

Sebagia

n

Tiga elemen kunci dari usulan

pengelolaan HCV 4.1 adalah (i)

perlindungan zona penyangga

hutan di sepanjang sungai dan

(ii) praktek pengendalian erosi

sebagaimana dijelaskan dalam

HCV 4.2 serta (iii) perlindungan

zona riparian akan memerlukan

pengelolaan aktif dan

pendekatan ke masyarakat

untuk mencegah dibukanya

hutan untuk ladang (hal ini tidak

mungkin dilakukan di zona

riparian yang sudah tertanam

padi oleh masyarakat lokal).

Lihar persyaratan luasan zona

penyangga pada HCV 1.1

1.1, 1.3, 4.2, 5

dan 6

Hal | 165

HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA

Pola

Spasial

Status

Pemetaan

Status

Pemeta-

an

Catatan Hubungan

dengan

HCVMA lain

4.2 Ada Diskrit

namun

terdistribusi

secara luas

sebagian Untuk mencegah erosi yang

disebabkan oleh

pembangunan perkebunan

sawit, khususnya pada

wilayah-wilayah tangkapan air

yang penting

Sebagia

n

(meliputi

wilayah

indikatif

dan

definitif)

Usulan pengelolaan HCV 4.2

meliputi Kategori I dan Kategori

2 dengan pelaksanaan prosedur

untuk menghindari wilayah-

wilayah yang tidak sesuai buat

penanaman dan melakukan

operasional dengan dampak

rendah pada wilayah-wilayah

yang rentan

1.2, 1.3, 1.4

dan 3

4.3 Tidak

ada

- - - - - -

5 Ada Diskrit

namun

terdistribusi

secara luas

Sebagian

(peta sketsa

dan titik

GPS saja)

Untuk menjamin

keberlangsungan ketersediaan

kebutuhan dasar yang berasal

dari hutan atau ekosistem

alam lainnya

Sebagia

n (peta

sketsa

dan titik

GPS)

Pengelolaan HCV5 akan dicapai

melalui (i) delineasi wilayah

yang harus dilindungi dengan

menggunakan metode

pemetaan partisipatif dan (ii)

pelaksanaan kegiatan

pengendalian kualitas air dan

erosi secara teliti sebagaimana

yang dijelaskan dalam HCV 4.1

dan 4.2

1.1-1.3, 3, 4.1,

4.2, 6

6 Ada Diskrit Sebagian

(peta sketsa

Untuk mengidentifikasi dan

melindungi wilayah yang

Sebagia

n (peta

Pengelolaan HCV 6 sebagian

besar akan dipenuhi dengan

5

Hal | 166

HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA

Pola

Spasial

Status

Pemetaan

Status

Pemeta-

an

Catatan Hubungan

dengan

HCVMA lain

dan titik

GPS saja)

dianggap penting bagi

masyarakat lokal untuk

pemeliharaan identitas budaya

tradisional

sketsa

dan titik

GPS

saja)

delineasi wilayah yang harus

dilindungi dengan menggunakan

metode pemetaan partisipatif

Hal | 167

Lampiran 4: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Areal Tambang

Oleh: Irdika Mansyur

Latar Belakang

Konsep Nilai Konservasi Tinggi masih belum dijadikan sebagai dasar acuan pengelolaan

nilai-nilai konservasi pada konsesi pertambangan di Indonesia, bahkan di dunia. Secara

eksplisit bentuk identifikasi dan pengelolaan serta pemantauan NKT belum tercantum di

dalam rencana kelola perusahaan, walaupun telah banyak bentuk pengelolaan yang

tersedia yang dibuat secara terpisah, seperti pengelolaan biodiversiti, pengelolaan sosial

masyarakat, pengelolaan kesehatan masyarakat, dll. Bentuk pengelolaan tersebut pada

umumnya didasarkan pada kemungkinan atau resiko dampak yang disebabkan oleh

aktivitas pertambangan secara langsung. Sedangkan untuk kawasan konsesi perusahaan

yang tidak ditujukan sebagai kawasan produksi biasanya tidak dikelola secara intensif,

padahal dimungkinan pada daerah tersebut memiliki nilai konservasi tinggi yang penting.

Beberapa peraturan pemerintah Indonesia terkait pengelolaan pada konsesi pertambangan

seperti Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral RI Nomor: 18 Tahun 2008

tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:

P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan, Peraturan

Pemerintah Nomor: 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Paskatambang, serta Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor: P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan. Pada

peraturan-peraturan tersebut telah diatur perlindungan terhadap lingkungan, termasuk tata

air, dan keanekaragaman hayati, serta memperhatikan nilai-nilai sosial budaya setempat.

Konsep Nilai Konservasi Tinggi yang telah diaplikasikan pada usaha konsesi hutan dan

perkebunan serta pertanian, sangat memungkinkan diterapkan pada konsesi pertambangan.

Konsep ini membahas nilai konservasi tinggi pada tingkat lokal yaitu area kerja perusahaan

dan tingkat regional atau global yaitu kawasan di sekitar perusahaan yang meliputi nilai

ekologi, jasa lingkungan, sosial dan budaya. Dengan demikian panduan pengelolaan dan

pemantauan Nilai Konservasi Tinggi dapat digunakan oleh unit kelola perusahaan

pertambangan dalam mempertahankan nilai penting konservasi secara menyeluruh dan

sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dalam panduan ini dijelaskan secara ringkas gambaran umum kegiatan pertambangan yang

pada umumnya tersebar mengikuti keberadaan bahan tambangnya, serta bagaimana

bentuk pengelolaan nilai konservasi tinggi dapat diterapkan.

Kegiatan Umum Pertambangan Terbuka

Kegiatan pertambangan terbuka secara umum dilakukan dalam 3 tahap utama, yaitu:

1. Tahap Pengembangan Proyek, yaitu tahap awal persiapan untuk mencari sumber

mineral serta persiapan sarana dan prasarana.

Pada tahap ini terdapat beberapa aktivitas yang akan dilakukan, yaitu:

a. Eksplorasi, merupakan aktivitas untuk mengidentifikasi sumber bahan mineral tinggi

yang berada di dalam area konsesi pertambangan. Beberapa aktivitas yang

dilakukan di saat eksplorasi adalah survei geologi, analisa geokimia, dan analisa geo

fisika. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi penentuan titik eksplorasi dapat

Hal | 168

diketahui secara pasti, namun pengambilan sampel di lapangan masih diperlukan

untuk memastikan tingkat kandungan mineralnya. Pada tahap pengambilan sampel

pada umumnya akan mengganggu kondisi ekologi kawasan, dan mungkin kondisi

sosial masyarakat. Oleh sebab itu rencana pengelolaan perlu dibuat untuk

meminimalisasi dampak yang disebabkan.

b. Uji kelayakan, adalah aktivitas untuk menentukan apakah hasil eksplorasi sesuai

dengan perhitungan untung rugi usaha pertambangan yang akan dilakukan pada

skala besar dan dalam jangka waktu yang lama. Pada kegiatan ini juga akan dihitung

evaluasi ekonomi terhadap seluruh aktivitas pertambangan, seperti seberapa

lengkap infrastruktur akan dibangun. Proses perencanaan yang berhubungan

dengan nilai konservasi keanekaragaman hayati, jasa lingkungan, dan sosial

selayaknya dapat dijadikan lampiran di dalam dokumen uji kelayakan.

c. Pembangunan konstruksi tambang, meliputi berbagai pembangunan sarana dan

prasarana pertambangan, seperti pembuatan akses/jalan, pembangunan

infrastruktur, pembersihan lahan pertambangan, dan pemindahan kawasan

penduduk apabila lokasi penambanngan berada pada tempat tinggal masyarakat.

Integrasi pengelolaan NKT akan banyak dilakukan pada kegiatan ini.

2. Tahap Operasi, merupakan tahap penambangan bahan mineral.

Apabila tahap pengembangan proyek dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat,

tahap operasi membutuhkan waktu yang sangat lama, tergantung dari cadangan mineral

yang tersimpan dan seberapa sulit bahan mineral mentah tersebut diekstraksi. Terdapat

beberapa kegiatan yang akan dilakukan pada tahap ini, yaitu:

a. Pembangunan infrastruktur tambahan, dengan berjalannya proses penambangan,

secara otomatis diperlukan tambahan infrastruktur pendukung. Kegiatan ini tentu

akan merubah rencana kelola yang dibuat pada tahap persiapan, akan tetapi hal

tersebut dapat didesain dan dipersiapkan sebelumnya.

b. Ekstraksi dan pengolahan bahan mineral, pembongkaran tutupan permukaan,

pengambilan bahan mineral mentah, serta proses pemisahan target mineral tambang

akan menimbulkan dampak nilai konservasi tinggi baik secara ekologi maupun

sosial. Proses pemisahan mineral tambang akan menyisakan bahan buangan yang

biasa disebut tailing, keberadaaan tailing dalam jumlah yang sangat besar secara

otomatis akan menimbulkan dampak keberadaan nilai konservasi ekologi dan sosial,

sehingga perlu dibuat rencana kelola yang baik.

3. Tahap Penutupan, adalah tahap rehabilitasi lahan bekas tambang. Kegiatan yang sering

dikenal oleh banyak pihak adalah reklamasi lahan paskatambang, yaitu kegiatan untuk

mengembalikan dan merehabilitasi lahan bekas tambang untuk dapat kembali kepada

kondisi yang mendekati keadaaan sebelum dilakukan proses penambangan.

Hal | 169

Kegiatan pertambangan pada umumnya, walaupun areal konsesi yang diperoleh sangat

luas, namun kawasan pemanfaatannya adalah kecil dan terbagi dalam blok-blok kecil yang

terpisah-pisah mengikuti keberadaan cadangan bahan tambangnya. Disamping luasan

yang terganggu relatif kecil dibandingkan usaha konsesi lainnya, gangguan terhadap satu

blok hanya bersifat sementara. Setelah bahan tambang diambil, areal operasi akan

dikembalikan mendekati rona awal atau sesuai peruntukannya.

Potensi Ancaman NKT pada sektor pertambangan

Aktivitas penambangan secara langsung akan mengancam keberadaan NKT pada areal

konsesi, karena banyak kegiatan yang menghilangkan lahan dalam tahap pengambilan

bahan tambang. Namun bentuk ancaman yang berasal dari luar aktivitas penambangan juga

dapat mungkin terjadi, kondisi ini merupakan dampak tidak langsung kehadiran konsesi

tambang. Beberapa bentuk ancaman tersebut diantaranya:

Hal | 170

NILAI KONSERVASI TINGGI

TA

HA

P P

ER

SIA

PA

N

Eksp

lora

si

Uji

Ke

laya

kan

Ko

nstr

uksi

TA

HA

P

OP

ER

AS

ION

AL

Infr

astr

uktu

r

Ekstr

aksi d

an

Pe

ng

ola

ha

n

TA

HA

P P

EN

UT

UP

AN

Re

hab

ilita

si la

ha

n

1.1

Kawasan yang berisi

atau menyediakan

Fungsi Dukungan

Keanekaragaman Hayati

untuk Kawasan

Perlindungan atau

Konservasi

• - •

• •

1.2 Spesies Hampir Punah • - • • • •

1.3

Kawasan yang berisi

Habitat Layak untuk

Populasi Spesies

Langka, Endemik dan

Dilindungi

• - •

• •

1.4

Kawasan-kawasan

sementara yang

mendukung spesies atau

kelompok spesies

(spesies kunci)

dipertahankan

• - •

• •

2.1

Lanskap Alamiah Besar

dengan kemampuan

Menjaga Proses dan

Dinamika Ekologi

Alamiah

• - •

• •

2.2

Lanskap Alamiah yang

berisi dua atau Lebih

Ekosistem Berkelanjutan

• - •

• •

2.3

Kawasan yang berisi

Perwakilan Populasi

Spesies Paling Sering

Muncul

• - •

• •

3 Ekosistem Langka atau

Terancam • - •

• •

Hal | 171

4.1

Kawasan atau

Ekosistem Penting untuk

Penyediaan Air dan

Pencegahan Banjir untuk

Masyarakat Hilir

• - •

• •

4.2

Kawasan Penting untuk

Pencegahan Erosi dan

Sedimentasi

• - •

• •

4.3

Kawasan yang Berfungsi

Sebagai Sekat Alam

untuk Mencegah

Meluasnya Kebakaran

Hutan dan Lahan

• - •

• •

5.a

Kawasan Alamiah Kritis

untuk Pemenuhan

Kebutuhan Dasar

Masyarakat Lokal

• - •

• •

5.b

Kebutuhan dasar tapi

tidak digunakan terus

atau ada alternatifnya

• - •

• •

6

Kawasan Kritis untuk

Mempertahankan

Identitas Budaya dari

Komunitas Lokal

• - •

• •

Hal | 172

Bentuk Kegiatan Pengelolaan

No. Tahapan Kegiatan Nilai Konservasi Tinggi Kegiatan Pengelolaan

1. Penebangan pohon dan pembersihan lahan

NKT 1.1, NKT 1.3, NKT 1.4, NKT 3, dan NKT 6

Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL

NKT 1.2 Identifikasi, kharakterisasi, pengumpulan benih dan anakan alam sebelum kegiatan penebangan pohon dan pembersihan lahan dilakukan, untuk diselamatkan dan diperbanyak secara vegetatif di persemaian, selanjutnya ditanam kembali di blok yang sama.

NKT 2.1 dan NKT 2.2 Identifikasi dan kharakterisasi, dapat dibuka untuk ditambang secara bertahap namun harus segera direklamasi untuk menjaga fungsi-fungsi ekologinya seperti semula

NKT 2.3 Identifikasi dan kharakterisasi, dapat dibuka untuk ditambang secara

bertahap namun harus segera direklamasi untuk menjaga fungsi-

fungsi ekologinya seperti semula.

Species pohon dan tanaman lain dapat diselamatkan dengan cara

diambil benih dan bibit alaminya sebelum pembersihan lahan untuk

diselamstkan dan diperbanyak di persemaian untuk nanti ditanam

kembali.

Species satwa karena penambangan dilakukan secara bertahap,

maka satwa akan mengungsi ke hutan sekitarnya.

Membuat aturan yang jelas agar karyawan dan masyarakat tidak

mengambil atau menangkat flora dan fauna yang termasuk obyek

NKT

Hal | 173

NKT 4.1 Melakukan kajian untuk menyediakan alternatif pengganti fungsi

penyedia air dan pengendali banjir sementara (misal dengan

mengalihkan aliran sungai, mencegah pencemaran air bawah tanah,

dan penggunaan bangunan sipil)

Setelah kawasan tersebut selesai ditambang harus segera

dikembalikan fungsinya seperti semula.

NKT 4.2 Mengganti fungsi sementara dengan bangunan sipil dan teknik vegetatif.

NKT 4.3 Pembersihan lahan akan secara otomatis menjadi sekat bakar yang efektif.

NKT 5 Memberikan alternatif pengganti kepada masyarakat lokal untuk

memenuhi kebutuhan dasar/ dengan kompensasi.

Setelah penambangan berakhir harus segera direklamasi untuk

mengembalikan fungsi semula.

2. Pemindahan dan penyimpanan tanah

NKT 1, NKT 3, dan NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL

NKT 2, NKT 4 dan NKT 5 Mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi yang dapat merusak

obyek NKT.

Membuat saluran drainase dan kolam sedimentasi

Menjaga kualitas tanam selama dalam penyimpanan agar dapat

digunakan sebagai media tumbuh obyek NKT dikemudian hari.

3. Pemindahan dan penyimpanan

NKT 1, NKT 3, dan NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL

Hal | 174

overburden NKT 2, NKT 4, dan NKT 5 Identifikasi dan kharakterisasi jenis batuan PAF dan NAF.

Mencegah terjadinya AAT

Memberikan perlakuan AAT yang terbentuk sebelum air dari lahan

tambang dilepaskan ke perairan umum

4. Pengambilan bahan tambang

NKT 1, NKT 3, dan NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL

NKT 2, NKT 4, dan NKT 5 Mencegah pencemaran udara oleh debu dari aktivitas alat berat

kendaraan angkutan, kegiatan peledakan, serta dari stock pile bahan

tambang, tanah, maupun overburden.

Mencegah pencemaran air oleh AAT, dengan membangun saluran

drainase dan kolam sedimentasi.

5. Penataan lahan dengan mengembalikan overburden dan menebarkan tanah

NKT 1, NKT 3, dan NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL

NKT 2, NKT 4, dan NKT 5 Mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi, serta terbentuknya AAT yang keluar ke perairan umum

6. Penanaman tanaman penutup tanah

NKT 1, NKT 2, NKT 3, NKT 4, dan NKT 5

Pemilihan jenis tanaman penutup tanah yang tidak invasif, contohnya

widelia dan asistasia.

Pengendalian pertumbuhan tanaman penutup tanah yang bersifat

merambat dan melilit agar tidak mematikan pohon-pohon di

sekitarnya.

Sedapat mungkin menggunakan jenis tanaman lokal.

NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL

Hal | 175

7.

Penanaman pohon pionir dan pohon jenis daur panjang (klimaks)

NKT 1, NKT 2, NKT 4, dan NKT 5

Pemilihan jenis pohon pionir dan klimaks lokal dengan prioritas utama yang termasuk ke dalam obyek NKT

NKT 3 dan NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL

Hal | 176

Lampiran 5: Pengelolaan dan Pemantauan NKT Pada Petani Kecil (Smallholders)

Oleh:

Wibowo Agung Djatmiko

Sigit Budhi Styanto

1. Pendahuluan

Para Petani Kecil / Smallholders punya karakter yang khas, terutama karena kecil -- luasan

lahan kecil, modal kecil, tingkat kemampuan pengetahuannya juga masih kecil dan tingkat

barganing-nya juga kecil -- letak lahannya terpecah serta kewenangannya tidak di satu

tangan.

1.1. Latar Belakang

Pembangunan dan pelestarian lingkungan sering dipandang sebagai sesuatu yang saling

berseberangan, karena pembangunan pada satu sisi dapat mengancam lingkungan pada

sisi yang lainnya. Pada kenyataannya pembangunan dan lingkungan adalah sesuatu yang

saling erat berhubungan. Pembangunan yang berkelanjutan sulit untuk dicapai jika aspek

lingkungan dan sosial gagal dikelola. Salah satu cara untuk menilai hubungan antara

pembangunan dan pelestarian lingkungan adalah dengan menggunakan konsep NKT atau

HCV (High Conservation Value).

Konsep NKT didesain dengan tujuan untuk membantu pengelola pembangunan dalam

usahanya untuk meningkatkan keberlanjutan sosial dan lingkungan dalam setiap

kegiatanya. Salah satu prinsip dasar konsep NKT adalah bahwa wilayah-wilayah yang

mempunyai atau dijumpai atribut-atribut yang mempunyai nilai konservasi tinggi tidak selalu

harus menjadi suatu kawasan yang tidak boleh ada pembangunan. Konsep NKT justru

mensyaratkan agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan cara menjamin pemeliharaan

dan/atau meningkatkan nilai NKT tersebut. Sehingga, dengan konsep ini akan didapatkan

suatu keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dan sosial dengan

pembangunan ekonomi jangka panjang.

Tahapan penting yang harus dilakukan berkaitan dengan NKT oleh setiap unit manajemen

harus melakukan (1) Mengidentifikasi areal NKT didalam wilayah dikelolanya. (2) Konsultasi

publik dengan para pihak dalam proses penetapan NKT yang teridentifikasi dengan pilihan-

pilihan pengelolaannya, (3) Mengelola agar dapat memelihara dan meningkatkan nilai-nilai

yang teridentifikasi dan (4) Memonitor keberhasilan pengelolaan di wilayah kelolanya.

Khusus untuk NKT pada smallholder -- tahapan awal merupakan hal yang sangat penting --

mulai dari perencanaan, kesepakatan awal tentang areal wilayah yang akan dikelola dalam

kawasan lansekap, unit manajemen kelola dan sosialisasi-sosialisasi para pihak kepada

mereka yang berkepentingan agar konsisten mengikuti kesepakatan dan tatanan yang

Hal | 177

dibangun dan yang strategi kepada mereka yang tidak berkepentingan tetapi didalam

wilayah kelola agar juga dapat berperan.

Gambar 1.1: Sosialisasi

stakeholder (para pihak) yang

terlibat hingga mereka mengerti

tujuan dan manfaat kegiatan

yang nantinya akan

meningkatkan partisipasi

mereka.

Gambar 1.2: Kegiatan

Partisipatory mapping,

(pemetaan partisipatif) salah satu

kegiatan yang penting untuk

dilakukan bersama masyarakat

sebelum identifikasi dilakukan

sebagai bahan referensi (kanan).

1.2. Ruang Lingkup

Panduan ini dipergunakan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan NKT secara

khusus dalam pengelolaan sumberdaya alam di dalam atau di sekitar kawasan bentang

alam atau lansekap untuk petani kecil bidang pertanian, perkebunan atau hutan rakyat atau

lainnya -- misalnya pertambangan rakyat -- yang relevan.

1.3. Tujuan

Memberi arahan dan panduan bagi masyarakat dan para petani kecil untuk pengelola

sumberdaya alam di dalam atau disekitar kawasan bentang alam atau lanskap dalam

membuat rencana pengelolaan dan pemantauan di areal-areal yang mempunyai nilai

konservasi tinggi.

Hal | 178

2. Karakter Pengelolaan Sumberdaya Alam oleh Smallholder

Smallholder, para petani yang menanam komoditas pertanian yang kadang-kadang

bersamaan dengan tanaman / komoditas lain sebagai mata pencaharian, yang sebagian

besar pekerjanya adalah anggota keluarganya dan usaha budidaya tersebut menjadi

sumber utama mata pencaharian dengan keterbatasan luas areal budidaya.

Luasan umumnya kecil-kecil, smallholder merupakan golongan terbesar dalam kelompok

petani di Indonesia -- khususnya di Pulau Jawa -- mengusahakan dalam tekanan lingkungan

penduduk lokal yang meningkat. Sumberdayanya terbatas -- luasan sekitar 0,25 hektar

lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar Jawa, jika mempunyai lahan tegalan luasan

sekitar 0,5 hektar di Jawa dan 1,0 hektar di luar Jawa -- sehingga menciptakan tingkat

kesejahteraan hidup yang rendah. Bergantung pada produksi yang subsisten dan belum /

kurang memperoleh pelayanan seperti kesehatan, pendidikan dan layanan lainnya

(kekurangan modal dan tidak / memiliki tabungan terbatas, pengetahuan juga terbatas dan

kurang dinamis.`

Gambar 2.1: Para petani istirahat makan siang setelah bergotong-royong mengolah

sawahnya yang pemilikannya kecil-kecil (kiri), Lokasi kebun terpecah dan bermacam-

macam komoditas yang ditanam (kanan). (Photo by Aliansi Desa Sejahtera)

Pengelolaan lahan, biasanya lakukan sendiri bersama keluarganya atau berkelompok dan

mempunyai relasi dengan Perusahaan yang berbeda-beda, dari hasil pengamatan

dilapangan secara umum dibedakan menjadi:

a. Petani kecil Plasma, petani kecil yang sudah terikat suatu kesepakatan dengan suatu

unit managemen (baik perusahaan, koperasi atau usaha bersama). Di kebun kelapa

sawit dibedakan atas Plasma full management, dimana semua dibawah kendali

perusahaan mulai dari pembukaan / pembangunan kebun, penanaman, perawatan,

panen, pengangkutan dan sebagainya. Petani dapat bekerja sebagai karyawan yang

terikat dengan peraturan perusahaan. Petani mendapatkan pendapatan secara

kolektif dari hasil penjualan TBS yang telah dipotong biaya operasional termasuk

cicilan biaya pembangunan kebun.

Hal | 179

Juga terdapat petani kecil yang masih terikat suatu kesepakatan dengan suatu unit

managemen seperti Plasma full management tetapi sudah di konversi dimana perawatan,

panen, pengangkutan dan sebagainya telah diserahkan kepada KUD atau kelompok tani

karena cicilan biaya pembangunan kebun telah lunas. Petani tetap dapat bekerja sebagai

pekerja harian yang dibayarkan sesuai kesepakatan tingkat kelompok. Petani mendapatkan

pendapatan secara kolektif dari hasil penjualan TBS yang telah dipotong biaya operasional

kebun yang semua administrasi tetap dikelola oleh koperasi.

b. Petani kecil Outgrowers, petani kecil yang tidak mempunyai ikatan langsung dengan

perusahaan, sebagai contoh suplai TBS di kebun kelapa sawit biasanya lewat

pengumpul TBS desa pengumpul besar (sebagai penyuplai beberapa PKS

dengan melakukan sortasi sederhana suplier SPB sebagai pemegang kuota

suplai TBS PKS perusahaan PKS).

Petani kecil outgrower ada juga karena merasa banyak kendala jika dikelola secara pribadi,

maka sesama petani dengan jumlah antara 20 orang dalam satu hamparan kecil seluas

sekitar 20-30 ha membentuk suatu usaha bersama secara gotong royong, dikelola bersama-

sama dengan pendapatan diatur proposional sesuai dengan luasan lahannya.

c. Petani kecil Independen, petani kecil yang secara tradisional bebas menanam dan

mengelola secara pribadi, mandiri komoditas pertaniannya dan menjual hasil

produksinya ke pasar / pengumpul tanpa ikatan.

Letak dan posisi lahan dalam hamparan / sistem lansekap, sebagian besar terletak

terpecah-pecah dengan luasan kecil dengan komoditas pertanian yang dibudidayakan

multiproduk (bermacam dan bervariasi) dengan satu atau lebih komoditas utama dan

komoditas lainnya. Keadaan ini juga menjadi salah satu kendala mengapa proses sosialisasi

dengan kegiatan-kegiatan intensif sangat diperlukan untuk memberikan informasi yang

cukup kepada petani

Areal NKT, tidak menutup kemungkinan hasil dari identifikasi areal NKT nantinya akan

terdapat di wilayah-wilayah tertentu seperti di lahan publik bagian dari wilayah desa atau

tanah ulayat. Bahkan dimungkinkan juga terdapat di wilayah lahan multi-pemilik atau lahan

pemilikan pribadi dengan beragam permasalahannya.

Pengelolaan dan pemantauan merupakan langkah lanjutan dari hasil identifikasi NKT yang

dapat dijaga dan kemungkinan ditingkatkan, termasuk distribusi dan lokasi dari NKT tersebut

dalam upaya pengamanan kawasan di tingkat lansekap. Pendekatan pengelolaan dan

pemantauan NKT dari sisi ancamannya juga menjadi bagian penting dalam penyusunan

pedoman dan juga bergantung pada kondisi kawasan NKT, waktu dan anggaran yang

tersedia. Identifikasi akan ancaman terhadap kawasan NKT juga merupakan hasil penilaian

tim penilai NKT pada saat proses identifikasi. Berdasarkan temuan-temuan hasil penilaian,

arah dan tujuan pengelolaan dan pemantauan akan menjadi lebih tegas dan jelas sehingga

Hal | 180

upaya untuk mencari solusi pengelolaan dari pihak pengelola menjadi lebih terarah dan

terencana.

Langkah penting dalam melakukan proses pengelolaan dan pemantauan berdasarkan

temuan hasil penilaian NKT adalah melakukan identifikasi temuan dan ancaman serta

mencari hubungan dengan kebutuhan pengelolaan NKT pada Unit Manajemen (UM) dan

tanggung jawab pengelolaan dan pemantauannya. Temuan hasil identifikasi areal-areal NKT

merupakan titik awal dari pengelolaan dan pemantauan NKT disuatu kawasan di tingkat

lansekap. Temuan berupa jenis NKT dan lokasi areal luasannya yang mendukung nilai

tersebut. Hubungan antara temuan hasil identifikasi NKT dengan pengelolaan dan

pemantauan terletak pada interaksi operasional unit manajemen yang dilakukan.

Gambar 2.2: Contoh hasil partisipatory mapping tingkat Desa, dapat menjadi referensi

dalam identifikasi NKT (Sumber: Halom Rimba)

3. Pendekatan Pengelolaan NKT pada Smallholders

3.1. Pendekatan Lansekap

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penguasaan lahan oleh petani smallholder umumnya

kecil-kecil dan gabungannya belum tentu membentuk suatu hamparan yang utuh. Padahal

pola dan sebaran wilayah-wilayah dengan NKT (KBKT, kawasan bernilai konservasi tinggi)

tidak mengikuti pola kepemilikan. Bisa jadi ditemukan adanya KBKT yang sebagian

areanya, atau bahkan seluruhnya, berada di luar lahan milik petani smallholder. Contohnya

adalah aliran sungai dan anak-anak sungai (beserta sempadannya) di wilayah petani

Hal | 181

smallholder, yang pada umumnya dipandang sebagai area publik atau -- paling tidak --

menjadi urusan administrasi kampung atau desa.

Contoh lain adalah area-area perlindungan setempat seperti tutupan hutan kecil di sekitar

mata air, atau di puncak-puncak perbukitan, atau di sekeliling tempat-tempat yang

dikeramatkan, termasuk tutupan vegetasi yang rapat yang sering dijumpai di pekuburan-

pekuburan. Wilayah-wilayah ini, yang mungkin memiliki NKT jasa lingkungan, religi, dan

atau perlindungan ragam hayati, umumnya tidak dimiliki perorangan dan di bawah

penguasaan adat atau kampung.

Para petani yang lahannya dilalui atau berbatasan dengan aliran sungai, misalnya, dapat

saja dianggap bertanggungjawab dan dibebani urusan pengelolaan NKT di wilayahnya itu.

Namun hal ini akan menjadi: (1) tidak adil, karena hanya sebagian petani yang akan

menanggung urusan NKT -- yang seharusnya menjadi kepentingan semua orang yang

hidup di lingkungan tersebut, dan (2) tidak efektif, jika pengelolaan NKT hanya dilakukan di

sebagian area atau lahan yang dikuasai petani, sementara di luar wilayah itu dibiarkan tidak

terkelola.

Dengan demikian jelas konsep NKT baru akan relevan dan efektif dibicarakan dalam skala

lansekap, satuan wilayah yang cukup luas. Mengingat sifat-sifat NKT sendiri yang tidak

memandang pemilikan dan pemanfaatan lahan, serta yang menjadi kepentingan semua

pihak di lingkungan terkait, pendekatan lansekap dalam pengelolaan NKT menjadi

keniscayaan. Dalam lansekap ini akan tergabung bukan hanya area kelola petani

smallholder, namun juga pola-pola penggunaan lahan lainnya termasuk pemukiman -- jika

ada -- dalam satu kesatuan lahan. Pendekatan ini teristimewa akan menjadi sangat relevan

apabila cukup banyak area kelola smallholder yang bergabung atau dapat digabungkan

dalam wilayah lansekap tersebut.

Untuk unit-unit kelola smallholder yang berbentuk area kompak yang cukup luas dan telah

jelas batas-batasnya, misalnya area hutan desa atau hutan kemasyarakatan (HKm),

pendekatan ini dapat saja tidak memasukkan area-area penggunaan lain yang berada di

luar batas hutan desa atau hutan kemasyarakatan, dan membatasi diri pada wilayah kelola

yang sudah ditetapkan Pemerintah.

3.2. Unit Pengelola

Konsekuensi langsung dari pengelolaan NKT dengan pendekatan lansekap, ialah perlu

adanya lembaga atau unit kelola wilayah, yang memiliki otoritas untuk menetapkan,

menyusun dan menyelenggarakan pengelolaan dan pemantauan NKT ini. Bergantung pada

kesepakatan setempat, unit kelola ini dapat saja dilekatkan pada lembaga administrasi

wilayah setempat, semisal pemerintah desa atau kampung, atau dimandatkan sebagai

tanggung jawab kelompok tani atau koperasi tani yang terkait.

Memang benar bahwa tuntutan untuk melaksanakan identifikasi dan pengelolaan NKT saat

ini lebih banyak didorong oleh kepentingan bisnis, ketimbang oleh kebutuhan pengelolaan

lingkungan setempat. Meski demikian, tetap saja kedua-dua pertimbangan mengisyaratkan

perlunya otoritas pengelolaan pada aras yang lebih tinggi daripada kelola rumahtangga

petani.

Hal | 182

Tugas Unit Pengelola ini di antaranya adalah menyusun rencana kelola (dan pemantauan)

KBKT, memastikan dan memperjelas batas-batasnya di lapangan, menyelenggarakan

tindakan-tindakan pengelolaan selanjutnya, memastikan bahwa tujuan-tujuan pengelolaan

NKT dapat tercapai, serta memantau dan mengevaluasi keberhasilan pengelolaan NKT.

Sebagai dasar legitimasi Unit Pengelola, diperlukan adanya kesepakatan di antara

stakeholder di tingkat lokal mengenai kewenangan, hak, dan kewajiban Unit Pengelola.

Kesepakatan ini diperlukan terutama karena Unit Pengelola harus punya kewenangan untuk

mengatur dan melakukan tindakan-tindakan pengelolaan di area-area KBKT, baik itu milik

publik maupun pribadi.

3.3. Alat Kelengkapan Pengelolaan

Terkait dengan karakter smallholder, yang umumnya bersifat sederhana, tradisional, banyak

menyerap kebiasaan lokal, dan sangat bervariasi dari satu tempat ke lain tempat,

pendekatan dalam penyusunan RK-RP (rencana kelola dan pantau) NKT pada smallholder

lebih ditekankan pada aspek substansi ketimbang aspek format yang seragam. Yang lebih

penting adalah bahwa hal-hal atau informasi dasar yang diperlukan bagi berlangsungnya

suatu kegiatan pengelolaan dan pemantauan NKT tersedia untuk dibaca oleh semua pihak

yang berkepentingan.

Format penyampaian materi atau substansi pun boleh dikombinasikan dengan kebiasaan

dan pengetahuan lokal. Secara substansial NKT, beberapa aturan adat lokal bisa jadi telah

tersedia, untuk diadopsi ke dalam sistem perlindungan NKT yang relevan di suatu lokasi.

Misalnya, adat atau kebiasaan orang-orang di sekitar Rinjani, Lombok, untuk melarang

perburuan hewan-hewan di area HKm sengon-kopi (kecuali hewan yang menjadi hama

kebun), bisa diadopsi untuk melindungi dan mengelola NKT 1 di wilayah itu. Kebiasaan

orang-orang di pedesaan Jawa untuk melindungi mata-mata air dengan tidak menebang

pohon di sekitar mata air tersebut, bisa diadopsi untuk melindungi NKT 4. Dan seterusnya.

Jadi, konsep NKT dan perlindungannya bisa jadi tidak terlalu asing bagi komunitas-

komunitas tertentu, dan jika benar demikian, situasi tersebut bisa dimanfaatkan untuk

menopang perlindungan dan pengelolaan NKT yang diusulkan.

Selanjutnya, pun dapat digunakan ‘alat-kelengkapan pengelolaan’ yang diadaptasikan

dengan kondisi sederhana:

Kesepakatan atau norma sebagai ganti SOP. Contohnya awig-awig. Di kalangan

masyarakat pedesaan pada umumnya, konsep SOP (standard operational

procedures) hampir tidak dikenal. Akan tetapi kesepakatan menyangkut kebiasaan

atau tindakan tertentu, yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan, biasa

dijumpai di komunitas tradisional seperti itu. Pengelolaan NKT bisa menggunakan

norma atau awig-awig untuk memastikan dipenuhinya suatu kondisi tertentu,

ketimbang memaksakan diri menggunakan SOP atau aturan-aturan lain yang

didatangkan dari luar.

Pencatatan pengetahuan lokal, untuk melengkapi informasi dasar (baseline info)

yang diperlukan bagi penyusunan suatu rencana pengelolaan dan pemantauan.

Termasuk pula penggunaan nama-nama lokal (belakangan dapat dicarikan nama

ilmiahnya) untuk mencatat kekayaan ragamhayati setempat; pemanfaatan teknologi

lokal untuk melakukan kegiatan pengelolaan NKT, dan lain-lain.

Hal | 183

Adaptasi kebiasaan atau tradisi pengelolaan, untuk memperkuat RK-RP wilayah-

wilayah NKT. Adat kebiasaan tertentu, seperti pengelolaan ‘lubuk larangan’ di

wilayah Jambi, atau ‘sasi laut’ di wilayah Maluku tengah, jika ada, sangat penting

untuk diintegrasikan atau diadaptasi dalam rencana kelola. Penggunaan pranata

adat lokal yang sesuai akan mempermudah pemahaman, yang selanjutnya

diharapkan akan mempertinggi efektifitas rencana kelola yang disusun.

Demikian pula, penggunaan lembaga adat atau lembaga desa yang ada (misalnya

‘ulu-ulu’ pengelola air di Jawa) dapat dipertimbangkan pula di sini.

Format dokumen RK-RP NKT tidak perlu dibuat kaku, hanya saja sebaiknya mampu

memenuhi minimum requirement. Dokumen harus jelas memuat nilai-nilai penting

yang akan dikelola, lokasi-lokasinya (KBKT) dan luas masing-masing, kondisinya

yang aktual atau terbaru –termasuk ancaman-ancaman terhadapnya, tujuan

pengelolaan (dan pemantauan) NKT/KBKT, tindakan-tindakan atau rencana kegiatan

untuk mencapai tujuan itu, serta unit yang bertanggung jawab. Lebih jauh lagi,

dokumen harus bersifat operasional; yakni dapat dan memang digunakan oleh para

petani smallholder untuk memandu kegiatan-kegiatan pengelolaan dan pemantauan

NKT di lahan-lahan mereka. Mengenai kebutuhan informasi minimum ini diuraikan

lebih mendalam di bagian berikutnya.

Hal | 184

4. Rencana Pengelolaan NKT

4.1. Strategi Pengelolaan NKT

Tiga tujuan utama pengelolaan NKT terlukis dalam skema berikut:

Gambar 4.1. Skema strategi pengelolaan NKT

Melindungi. Tujuan pertama dalam mengelola NKT adalah melindungi nilai penting itu dari

kerusakan atau penurunan kualitas, baik karena degradasi lingkungan ataupun karena

tekanan-tekanan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Termasuk ke dalam upaya

melindungi adalah memperjelas batas-batas wilayah KBKT di lapangan, agar diketahui oleh

pihak-pihak yang berkepentingan; serta proses sosialisasi keberadaan dan tujuannya, agar

memperoleh cukup dukungan yang diperlukan.

Memelihara. Setelah terlindungi, upaya berikutnya adalah memelihara dan

mempertahankan nilai-nilai penting yang ada sehingga dapat berlangsung selama mungkin,

sepanjang masa pengelolaan produksi atau bahkan lebih. Bentuk-bentuk upaya

pemeliharaan ini akan sangat bervariasi, bergantung kepada nilai penting atau NKT yang

dikelola, status kondisi NKT pada saat pengelolaan, ancaman-ancaman yang ada, serta

sumberdaya yang tersedia.

Meningkatkan. Pada jangka panjang, tujuan pengelolaan NKT ialah sedapat mungkin

meningkatkan nilai-nilai penting yang dipunyai oleh KBKT; agar manfaat dan nilainya dapat

terus dinikmati oleh lingkungan. Upaya meningkatkan nilai ini bukanlah sesuatu hal yang

mudah dikerjakan, akan tetapi selalu diperlukan untuk memberi arah bagi pengelolaan di

masa depan.

4.2. Tahapan Kegiatan

Sebagaimana telah diuraikan dengan lebih rinci dalam dokumen utama Panduan ini, tahap-

tahap penyusunan rencana kelola dan rencana pemantauan disarankan untuk mengikuti

bagan pada Gambar 4.2.

Inventarisasi Kondisi Aktual dan Identifikasi Ancaman. Langkah pertama yang perlu

dilakukan adalah memeriksa ulang dan memastikan kondisi aktual NKT/KBKT beserta

ancaman-ancaman yang dihadapinya. Dalam dokumen kajian penetapan NKT, data awal

mengenai kondisi NKT dan KBKT ini biasanya telah tersaji. Akan tetapi sering terdapat

selang waktu yang cukup signifikan antara saat kajian awal dengan saat penyusunan

Melindungi

Memelihara Meningkatkan

Hal | 185

dokumen rencana pengelolaan; sehingga ada kemungkinan lingkungannya telah banyak

berubah. Tahapan ini bermaksud untuk memastikan bahwa rencana pengelolaan dan

pemantauan akan disusun berdasarkan situasi terbaru, baik kondisi potensi maupun

ancaman, masing-masing NKT dan KBKT.

Gambar 4.2. Bagan penyusunan pengelolaan HCV

Tujuan Pengelolaan. Tujuan pengelolaan ini harus dibuat untuk masing-masing NKT, dan

dirinci untuk masing-masing KBKT. Tujuan pengelolaan NKT ini memuat kondisi tertentu

yang ingin dicapai di masa depan, dalam jangka pendek atau jangka panjang, sebagai

Inventarisasi kondisi aktual dan identifikasi ancaman-ancaman

terhadap masing-masing NKT dan KBKT

Menentukan tujuan masing-masing pengelolaan untuk setiap NKT dan

KBKT

Identifikasi langkah-langkah mitigasi

ancaman HCV lebih lanjut.

Menggunakan pendekatan

pengelolaan pencegahan

(precautionary management)

Mengembangkan rencana jangka

panjang dalam melakukan

pemantauan hasil pengelolaan untuk

setiap nilai HCV.

Hal | 186

akibat dari tindakan-tindakan pengelolaan yang direncanakan. Tujuan pengelolaan

ditentukan dengan memperhatikan kondisi dan ancaman yang dihadapi NKT/KBKT.

Sedapat mungkin, pengucapan tujuan ini juga memuat suatu tolok ukur bagi

ketercapaiannya.

Uraian-uraian yang lebih rinci mengenai setiap tahapan di atas telah termuat di dalam

dokumen utama Panduan Pengelolaan dan Pemantauan NKT.

4.3. Rencana Kelola NKT di Kawasan Smallholder

Sebagaimana telah didiskusikan pada bagian-bagian terdahulu, dokumen rencana kelola

NKT (dan rencana pemantauannya) bisa jadi bentuknya sangat sederhana; akan tetapi

diharapkan tidak meninggalkan beberapa hal pokok, seperti:

Deskripsi NKT/KBKT

Peta lokasi

Tujuan pengelolaan

Rincian aktivitas terkait

Waktu dan pelaksana kegiatan

Deskripsi NKT/KBKT. Deskripsi ini terutama berisi ringkasan kondisi terbaru, termasuk

ancaman, sebagaimana tercatat dalam proses pemeriksaan ulang KBKT; dan luasnya.

Peta lokasi. Jika tersedia peta-peta yang memenuhi standar kartografi, adalah lebih baik.

Akan tetapi jika hanya tersedia denah atau sketsa lapangan, sebagaimana biasa dihasilkan

dari proses PRA (Participatory Rural Appraisal), pun telah memadai. Yang penting, peta itu

dapat menunjukkan lokasi-lokasi KBKT yang dikelola sesuai dengan kondisi lapangan;

serta dapat digunakan sebagai panduan untuk memeriksa lokasi.

Tujuan pengelolaan. Lihat uraian pada bagian sebelumnya.

Rincian aktivitas. Untuk setiap tujuan, boleh jadi ada beberapa aktivitas yang perlu

dirancang agar tujuan itu tercapai. Akan tetapi sebaliknya, bisa jadi ada satu aktivitas yang

berkontribusi pada ketercapaian lebih dari satu tujuan. Misalnya, aktivitas penanaman

pohon (rehabilitasi tutupan hutan) di suatu sempadan sungai bisa berdampak pada tujuan

perlindungan aliran air dan tebing sungai, sementara di sisi lain membantu ketercapaian

tujuan pemulihan habitat satwa (koridor) di wilayah riparian.

Waktu dan pelaksana. Waktu pelaksanaan dan pelaksana (atau penanggung jawab)

kegiatan perlu dimuat, setidaknya bagi kepentingan evaluasi dan pemantauan. Contoh

tabulasi sederhana rencana kelola NKT tersedia pada Tabel 4.1 di bagian belakang.

Hal | 187

4.4. Rencana Pemantauan NKT di Kawasan Smallholder

Format rencana pemantauan NKT bagi smallholder juga dapat dibuat sederhana, dan tidak

perlu disajikan tersendiri, terpisah dari rencana pengelolaan. Dengan informasi dasar yang

sama, rencana pemantauan dapat dibuat sangat ringkas dalam bentuk tabulasi. Contohnya

dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.1. Contoh tabel rencana pengelolaan

N

o.

Nama

Lokasi*

Tujuan

Pengelolaan Rencana Kegiatan Waktu

Pelaksan

a

1. Mata air

“Telaga

Biru”

1. Melindungi

mata air

dan

sempadann

ya, dengan

radius 50

meter (NKT

4)

2. Melindungi

habitat

satwa

penting,

terutama

sarang

elang jawa

(NKT 1)

1. Memperjelas

tata batas

wilayah yang

dilindungi di

sekitar mata

air. Panjang

batas sekitar

350 m keliling

2. Memulihkan

tutupan

vegetasi yang

rusak di

sebagian

wilayah

sempadan

mata air

(seluas sekitar

0,5 ha)

1. Bulan ke-

1

2. Bulan ke-

4 s/d ke-

6

Bagian

Lingkunga

n,

berkoordi

nasi

dengan

kelompok

tani di

dusun

Telaga

Biru

2. Sempad

an

sungai

Keruh

1. Melindungi

dan

memperbai

ki fungsi

sempadan

sungai,

dengan

lebar rata-

rata 25

meter (NKT

4)

2. Memulihkan

fungsi

sempadan

sungai

sebagai

habitat

1. Menandai

batas-batas

sempadan

sungai,

sepanjang 4,3

km

2. Menanami

sempadan

dengan jenis-

jenis pohon

cepat tumbuh,

jenis pakan

satwa, serta

beberapa jenis

pohon lokal

yang terancam

kepunahan

1. Bulan ke-

1 hingga

ke-3

2. Bulan ke-

5 s/d ke-

12

Bagian

Lingkunga

n,

berkoordi

nasi

dengan

kelompok-

kelompok

tani di

sepanjang

aliran

sungai

Hal | 188

satwa (NKT

1)

3. Meningkatk

an nilai

sempadan

sungai

sebagai

tempat

pelestarian

jenis-jenis

pohon

langka

(NKT 1)

(lihat pada

Lampiran)

3. Keramat

“Bukit

Batu”

1. Melindungi

lingkungan

tempat

yang

dikeramatka

n

masyarakat

(NKT 6)

2. Melindungi

wilayah

bukit dari

erosi yang

berlebihan

dan tanah

longsor

(NKT 4)

3. Melindungi

habitat

satwa

penting,

terutama

tempat

hidup owa-

owa dan

trenggiling

(NKT 1)

1. Menandai

batas-batas

wilayah yang

dilindungi di

kaki bukit

2. Mempertahank

an tutupan

vegetasi yang

ada

3. Memperbaiki

jalan naik

menuju tempat

keramat, serta

jalan patroli

hutan

1. Bulan ke-

6 hingga

ke-9

2. Sepanjan

g waktu

3. Bulan ke-

5 s/d ke-

12

Bagian

Lingkunga

n,

berkoordi

nasi

dengan

kelompok

tani dusun

Bukit Batu

dan

aparat

Desa

Catatan: *Uraian mengenai kondisi aktual KBKT, luasan, ancaman yang dihadapinya, dan

lain-lain informasi yang penting, dimuat pada bagian lain rencana kelola dan tidak dimuat

dalam tabel ringkas ini. Juga peta-peta yang terkait.

Hal | 189

Tabel 4.2. Contoh tabel rencana pemantauan

No. Nama Lokasi Tujuan Pemantauan Rencana Kegiatan Waktu Pelaksana

1. Mata air “Telaga

Biru”

1. Memantau efektifitas

perlindungan mata air

dan sempadannya

(NKT 4), dan

2. Efektifitas

perlindungan habitat

satwa penting,

terutama sarang

elang jawa (NKT 1)

1. Pemeriksaan tata batas

wilayah yang dilindungi di

sekitar mata air

2. Pemantauan kondisi

tutupan vegetasi di

wilayah sempadan mata

air

3. Pemantauan kondisi

sarang elang jawa di

pohon rasamala

Ketiga kegiatan

pemantauan itu

dilakukan dua kali

setahun: pada bulan

ke-4 dan ke-10

Pemantauan juga

dilakukan sewaktu-

waktu, jika ada

kegiatan di lokasi

Bagian

Lingkungan,

berkoordinasi

dengan kelompok

tani di dusun

Telaga Biru

2. Sempadan sungai

Keruh

Pemantauan fungsi dan

kondisi sempadan sungai

sebagai:

1. Pelindung aliran air dan

badan sungai (NKT 4)

2. Habitat aneka jenis

satwa (NKT 1)

3. Tempat pelestarian

jenis-jenis pohon langka

(NKT 1)

1. Pemeriksaan tata batas

sempadan sungai

2. Pemantauan

pertumbuhan jenis-jenis

pohon yang ditanam di

sempadan sungai

3. Pemantauan kehadiran

jenis-jenis satwa di

sempadan sungai

Pemeriksaan tata batas

dilakukan dua kali

setahun: pada bulan ke-

5 dan ke-11

Pemantauan jenis-jenis

pohon dan satwa

dilakukan 3x setahun:

bulan ke-4, ke-8 dan ke-

12

Bagian

Lingkungan,

berkoordinasi

dengan

kelompok-

kelompok tani di

sepanjang aliran

sungai

3. Keramat “Bukit Pemantauan fungsi

lingkungan Bukit Batu

1. Pemeriksaan tata batas

wilayah yang dilindungi di

Pemeriksaan tata batas

dilakukan 2x setahun:

Bagian

Lingkungan,

Hal | 190

Batu” sebagai:

1. Tempat yang

dikeramatkan

masyarakat (NKT 6)

2. Pelindung dari erosi

yang berlebihan dan

tanah longsor (NKT 4)

3. Habitat satwa penting,

terutama tempat hidup

owa-owa dan trenggiling

(NKT 1)

kaki bukit

2. Pemantauan kondisi

tempat keramat

3. Pencatatan pengunjung

tempat keramat

4. Pemantauan kondisi

tutupan vegetasi yang ada

5. Pemantauan keberadaan

owa-owa dan trenggiling

pada bulan ke-6 dan ke-

12

Pencatatan pengunjung

dilakukan setiap saat

Pemantauan kondisi

tempat keramat,

vegetasi dan satwa

dilakukan 3x setahun:

bulan ke-4, ke-8 dan ke-

12

berkoordinasi

dengan kelompok

tani dusun Bukit

Batu dan aparat

Desa

Hal | 191

Lampiran 6: Pengelolaan Lanskap NKT

Oleh: Lilik Budi Prasetyo

1. Pendahuluan

1.1. Pengertian Lanskap

Pengertian lanskap sangat beragam, tergantung dari disiplin ilmu dari orang yang

mendefinisikan lanskap. Pada konteks pengelolaan NKT pengertian lanskap lebih cocok bila

dipandang dari sudut disiplin ilmu ekologi lanskap, yaitu ilmu yang mempelajari struktur,

fungsi dan perubahan lanskap (Forman & Godron, 1986).

Zonneveld (1979) mengatakan bahwa lanskap adalah sebuah bagian dari permukaan bumi,

yang berisi ekosistem yang kompleks, yang terbentuk dari aktivitas batuan, air, tanaman,

binatang dan manusia. Dari sudut pandang lanskap ekologi, lanskap didefiisikan sebagai

bentang lahan yang disusun dari berbagai elemen/unit pembentuk lanskap yang saling

berinteraksi (Forman and Godron, 1986). Lebih jauh mereka membedakan struktur lanskap

menjadi elemen berupa patch, matrix, dan corridor. Patch adalah area homogen yang dapat

dibedakan dari daerah di sekelilingnya. Matrix adalah patch yang mendominasi lanskap,

sedangkan corridor adalah patch yg berbentuk memanjang. Konsep patch dan matrix

diinspirasi dari teori biogeografi pulau yang dikemukakan oleh McArthur & Wilson (1963).

Patch disetarakan dengan small island, dan matrix disetarakan dengan lautan (ocean), yang

membatasi pergerakan species di dalam lanskap. Teori Biogeografi menjelaskan bahwa

keanekaragaman species tergantung dari luas pulau dan jarak dari mainland. Semakin

dekat dengan mainland dan semakin luas,maka keanekaragaman species patch/island

semakin tinggi. Mainland dalam teori ini disetarakan dengan patch yang berukuran las.

Pendekatan ini telah diterima dan menjadi dasar kajian ekologi lanskap.

1.2. Pembentukan dan Struktur Patch

Dilihat dari proses pembentukannya, patch dapat digolongkan menjadi 3, yaitu disturbance

patch (patch yang terganggu), remnant patch dan environmental patch. Disturbance Patch

adalah patch yang terbentuk karena adanya gangguan/disturbance dari aktivitas manusia.

Environmental patch karena proses alami, sedangkan remnant patch adalah patch yang

terbentuk karena gangguan pada totalitas matrix dan menyisakan patch alami yang tidak

terganggu.

Pada proses pembentukan Disturbance patch, struktur habitat asli mengalami gangguan

sehingga fungsi habitat tersebut akan berubah. Komposisi species yang menempati habitat

baru akan berbeda dengan sebelumnya. Species baru datang/berkolonisasi, sedangkan

species yang tidak bisa beradaptasi dengan habitat baru akan keluar/beremigrasi ke habitat

di sekitarnya dan dapat menyebabkan kelangkaan local (local extinction). Pembentukan

environmental patch bisa terjadi secara mendadak (letusan Gunung berapi) atau perubahan

seirama dengan pergantian musim, seperti perubahan savanna menjadi rawa (swamp) di

Merauke, Papua. Proses yang bertahap dapat memberikan waktu bagi species untuk

beremigrasi dan beradaptasi. Sebaliknya pembentukan patch pada saat letusan gunung

berapi akan menyebabkan banyak kepunahan local species, namun kemudian ketika

letusan berhenti proses suksesi primer berlangsung dan ekosistem baru terbentuk. Remnant

Hal | 192

patch terbentuk karena sebagian besar patch mengalami perubahan, dan menyisakan patch

vegetasi asli.

Patch terdiri dari bagian tepi (edge) dan interior (core/interior). Edge adalah bagian dari

patch yang mendapat pengaruh iklim mikro (micro climate) dari dua patch yang berbeda.

Thomas et al. (1979), mendefinisikan edge sebagai tempat pertemuan dua komunitas

tumbuhan yang berbeda. Menurutnya edge mempunyai kelimpahan jenis dan species yang

besar, karena efek aditif dari fauna karena adanya pertemuan patch/matriks yang berbeda.

Namun Lovejoy et al. (1986) menemukan hal yang sebaliknya, terutama biodiversity fauna

primata. Hal ini mungkin disebabkan primata membutuhkan tajuk yg rapat untuk berpindah

dan jauh dari disturbance/ gangguan manusia. Respon fauna terhadap edge berbeda-beda.

Pada prinsipnya dibagi dua, yaitu menyukai edge (edge exploiter) dan menghindari edge

(edge avoider). Species yg menyukai edge maka kelimpahannya di edge lebih tinggi dari di

interior, sedangkan yg menghindari edge kelimpahan species akan menurun.

Efek tepi telah dikenal banyak diketahui para ahli, namun penentuan pengaruh edge masih

dalam perdebatan. Edge dapat ditentukan dengan melihat factor biotik (penutupan tajuk),

factor abiotic (iklim mikro), struktur (tinggi/kerapatan pohon) atau perbedaan fungsi (misal

kecepatan dekomposisi). Pengukuran menggunaan factor yang berbeda tidak selalu

mendapatkan lebar edge yang sama. Pengukuran dengan mengamati gradient suhu,

Saunders, Chena, Drummer dan Crow (1999) menemukan lebar edge bervariasi dari 0-40

m. Penelitian ini berbeda dengan yang ditemukan oleh Laurance (1992), bahwa pengaruh

edge akan dapat mencapai 400 meter dari batas hutan.

Dalam terminologi lanskap ekologi Edge dapat diartikan sebagai tempat pertemuan patch

ataupun matriks yang berbeda.. Lebih jauh Thomas mengatakan bahwa dilihat dari struktur

lansekapnya, edge dapat dibedakan menjadi Inherent dan induced edge (Gambar 8).

(a) Inherent edge : Edge yang terbentuk dari pertemuan dua komunitas berbeda

atau komunitas yang berbeda tingkat suksesinya.

(b) Induced edge : Edge yang terbentuk karena adanya disturbance, misalnya

pembukaan lahan, logging, kebakaran, dll

1.3. Daya dukung Patch/Fragment

Diamond (1975) menemukan hubungan antara luas area dan jumlah species. Semakin

besar luas area, maka akan semakin tinggi jumlah species yang dapat ditampung. Sehingga

Diamond menyarankan areal tunggal yang luas untuk tujuan konservasi species. Tidak

semua ahli sepakat dengan pendapat Diamond (1975). Deshaye dan Morissset (1989)

menemukan bahwa pada sebuah areal diatas 12 ha, tidak ada bedanya antara Single Large

(SL) Or Several Small (SS) (SLOSS). Hal ini disebabkan (a) habitat cukup luas untuk

menampung semua jenis species, (b) masih dapat menjamin kelangsungan species langka

(rare). Debat species-area relationship ini masih terus berlangsung. Pada kenyataan di

lapang, fragment NKT adalah fragment yang tidak begitu luas. Pada teori Biogeografi

kekayaan species (daya tampung) akan meningkat dengan meningkatnya area yang

dinyatakan dengan hubungan S = Az (S= keanekaragaman, A = Area, dan z konstanta, yang

nilainya tergantung dari kondisi habitat). Berdasar hal itu maka daya tampung/daya dukung

area akan meningkat apabila kondisi habitat diperbaiki.

Hal | 193

1.4. Koridor (Corridor) dan pergerakan species

Koridor adalah patch yang memanjang, yang dapat terbentuk secara alamiah (natural) atau

bentukan manusia (man made). Koridor selalu diasosiasikan dengan hutan, walaupun

koridor dapat juga berupa penutupan lahan non hutan. Jaringan Sungai, jaringan jalan,

jembatan, vegetasi di kanan kiri sungai, belukar, dan lahan pertanian dapat dikategorikan

sebagai koridor Tipe penutupan lahan koridor menentukan fungsinya dalam ekologi.

Koridor dapat berfungsi sebagai habitat, menghalangi pergerakan (barier), membantu

pergerakan species (conduit), atau sebagai penyaring pergerakan satwa (filter). Koridor

dapat berfungsi habitat apabila species dapat berkembang biak di dalam koridor, karena

habitatnya sesuai. Sebaliknya koridor dapat berfungsi sebagai barier apabila tipe habitat

koridor tidak cocok dengan kebutuhan hidup species tersebut. Koridor berupa hutan yang

rapat, dapat memfasiltasi pergerakan beragam species, baik species edge hutan ataupun

species interior hutan, apabila koridor tersebut cukup lebar. Untuk avifauna, koridor tidak

selalu harus terkoneksi secara fisik, stepping stone koridor juga dapat membantu

pergerakan species.

2. Pengelolaan dan Pemantauan Lanskap pada unit pengelolaan yang mempunyai

NKT

2.1. Pengelolaan Lanskap

Sebuah unit pengelolaan/managemen (baik berupa HTI, Perkebunan atau Tambang), dapat

dipandang sebagai sebuah lanskap, yang mempunyai struktur, sehingga dapat dirinci

elemen pembentuknya menjadi patch (edge dan interior), matriks dan koridor. Pada sebuah

perkebunan kelapa sawit, hamparan sawit dapat dikategorikan sebagai matriks, sisa-sisa

hutan sekunder/belukar (remnant vegetation), dan riparian/jaringan utilitas sebagai koridor.

Demikian juga areal pertambangan , areal yang ditambang dapat dikategorikan sebagai

matriks dan vegetasi yang tersisa sebagai patch.

Perkebunan Sawit, dan Pertambangan adalah sebuah lanskap yang terfragmentasi, dimana

patch (remnant forest/secondary forest/bush) yang berukuran kecil terpisah oleh matriks

sawit yang sangat luas. Pada kurun waktu yang panjang, proses fragmentasi akan

menyebabkan isolasi antar patch di dalam unit pengelolaan atau dengan kawasan di

sekitarnya. Kondisi ini akan mendorong kepada kepunahan local species. Tindakan

pengelolaan secara umum yang harus dilakukan adalah sbb:

a) Mempertahankan / Meningkatkan Konektivitas

Pada unit manajemen yang belum beroperasi, konektivitas antar patch NKT harus

dipertahankan, sedangkan Unit Manajemen yg sudah beroperasi konektivitas harus

ditingkatkan.

Pengelolaan ditujukan untuk menjamin konektivitas lanskap fragment NKT di dalam unit

manajemen. Apabila dimungkinkan konektivitas diusahakan dengan daerah di luar unit

manajemen yang mempunyai habitat sama yang lebih luas, baik berupa unit manajemen

sejenis atau kawasan konservasi. Konektivitas dapat berupa pembangunan fragment baru

yang berdekatan (berfungsi sbg stepping stone corridor) atau koridor yang secara fisik

tersambung dengan memanfaatkan kawasan lindung di kanan kiri sungai (riparian).

Hal | 194

b) Pengkayaan habitat (Habitat enrichment)

Pengkayaan habitat pada fragment NKT akan meningkatkan keanekaragaman dan daya

tapung, serta dapat mengikatkan fungsi fragment NKT sebagai koridor. Tindakan ini

dilakukan dengan menggunakan species pohon asli di unit manajemen. Perbaikan kualitas

habitat NKT juga akan dapat menurunkan tingkat predasi, karena ketersediaan pelindung

(cover) lebih baik.

c) Mempertahanan Habitat Mikro

Pada species herpetofauna, unit lanskap dapat bersifat sangat kecil. Genangan (embung)

atau kubangan di dalam hamparan kebun sawit/HTI (tidak dapat terdeteksi dengan remote

sensing), bagi herpetofauna adalah merupakan patch, habitat yang cocok untuk

berkembang biak. Sehingga menjaga dan menambah patch tersebut akan mendukung

upaya konservasi species tsb.

2.2. Pemantauan Lanskap

a) Pemantauan struktur lanskap dengan menggunakan citra satelit

Struktur lanskap dapat dipantau dengan menggunakan data citra satelit dengan berbagai

pilihan tingkat ketelitian. Pemantauan struktur lanskap ditujukan pada keutuhan struktur

secara periodik (2-3 tahun sekali).

b) Pemantauan fungsi lanskap

Fungsi lanskap tidak dapat dideteksi dengan menggunakan data citra, tetapi dengan

melakukan inventarisasi keanekaragaman hayati di unit menagemen.

Hal | 195

Daftar Bacaan

Deshaye, Jean dan P. Morisset. 1989, Species-area Relationships and the SLOSS Effect

in Subartic Archipheago. Biological Conservation 48 (1989) : 265-276

Diamond (1975)

Forman & Godron. 1989. Landscape Ecology.

Laurance, WF. 1991. Edge Effects in Tropical Forest Fragments: Application of a Model for

the Design of Nature Reserves. Biological Conservation 57 (1991): 205-219

Lovejoy et al. (1986)

McArthur & Wilson (1963).

Saunders, S.C., J.Chen, T. D. Drummer and T. R. Crow. 1999. Modeling temperature

gradients across edges over time in a managed landscape. Forest Ecology & Management,

117 (1999) : 17-31