Upload
eta-ar
View
227
Download
1
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
INDONESIA FOREST AND CLIMATE SUPPORT
Panduan Pengelolaan
dan Pemantauan Nilai
Konservasi Tinggi
In Collaboration with
This publication has been prepared for the United States Agency for International
Development, under USAID Contract Number EPP-I-00-06-0008, Order Number AID-497-
TO-11-00002.
This publication is made possible by the support of the American People through the United States
Agency for International Development (USAID). The contents of this document are the sole
responsibility of Tetra Tech ARD and do not necessarily reflect the views of USAID or the United
States Government.
Tetra Tech ARD
159 Bank Street, Suite 300
Burlington, VT 05401
Tel: (802) 658-3890
Hal | 3
Panduan
Pengelolaan dan
Pemantauan
Nilai Konservasi Tinggi
Disusun oleh :
Panel Teknis Jaringan Nilai Konservasi Tinggi Indonesia
Aisyah Sileuw, Dwi R. Muhtaman, Dr Harnios Arief, Kresno Santoso, Dr. Lilik Budi Prasetyo,
Pupung Nurwata, Dr. Irdika Mansyur, Sigit Setyanto, Wahyu F. Riva, Wibowo A. Djatmiko,
Yana Suryadinata.
Didukung oleh Didik Prasetyo dan Yokyok Hadiprakarsa dari IFACS-USAID dan Sutji Shinto
dari Jaringan NKT Indonesia.
Citasi : Jaringan NKT Indonesia. 2013. Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai
Konservasi Tinggi. IFACS-USAID. Jakarta.
Kegiatan ini dibiayai oleh USAID melalui program IFACS (Indonesia Forest and Climate Support). Isi dari
panduan ini bukan merupakan representasi dari USAID.
Hal | 4
Kata Pengantar
Penerapan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di Indonesia tidaklah selalu berjalan sesuai yang
diharapkan. Banyak tantangan berkaitan dengan interpretasi, kualitas penilaian yang
beragam dan masih lemahnya berbagi pengetahuan dan koordinasi antara pemangku
kepentingan yang terlibat dengan perlindungan NKT. Saat ini sudah terdapat panduan
identifikasi NKT di Indonesia yang dibuat hampir 10 tahun lalu, dan telah mengalami revisi
untuk menyesuaikan kondisi lapangan. Dari Kondisi yang ada saat ini, terdapat beberapa
catatan yang harus segera diperbaiki tentang pelaksanaan NKT di Indonesia, diantaranya
adalah pemahaman dan interpertasi terhadap konsep NKT, metodologi identifikasi dan
panduan yang memadai untuk penerapannya pada ekosistem yang berbeda (non-hutan).
Pada saat konsep NKT dilaksanakan, satuan pengelola harus memikirkan bagaima NKT
tersebut dikelola dan dipantau secara berkala, sehingga tujuan pengelolaan dapat tercapai
dengan maksimal. Selain itu, seberapa besar para pihak termasuk para pembuat kebijakan
terlibat dalam proses pengelolaan dan pemantauan NKT. Siapa yang akan bertanggung
jawab mengelola NKT, terlebih apabila NKT yang teridentifikasi berada di dalam wilayah
satuan pengelolaan dan di luar wilayah kelola yang diberikan.
Melihat kondisi seperti ini, Jaringan Nilai Konservasi Tinggi Indonesia mengambil inisiatif
untuk menyusun sebuah Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi
untuk berbagai sektor usaha konsesi sumber daya alam, yaitu IUPHHK-HA (hutan alam),
IUPHHK-HT (hutan tanaman), perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan usaha
pertanian/perkebunan skala kecil. Seluruh panduan tersebut akan terhubung dengan
pengelolaan dan pemantauan skala lansekap. Panduan ini bersifat sederhana dan
melengkapi beberapa panduan yang sudah disusun oleh beberapa pihak, serta merujuk
kepada beberapa panduan atau pedoman yang terkait dengan NKT seperti biodiversitas,
ekosistem, jasa lingkungan dan sosial budaya.
Panduan ini diharapkan bisa menjawab tentang perlunya pengelolaan untuk meningkatkan
nilai konservasi tinggi yang tersebar luas di wilayah Indonesia, khususnya di kawasan
budidaya. Semoga dengan adanya panduan ini dapat bermanfaat bagi para pemangku
kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Tim Penyusun
Hal | 5
Ucapan Terima Kasih
Jaringan NKT Indonesia merupakan organisasi berbasis anggota yang mempunyai mandat
untuk mendorong penggunaan NKT sebagai alat dalam meningkatkan dan memelihara nilai-
nilai konservasi tinggi yang ada di wilayah Indonesia. Sebagian besar nilai ini tersebar luas
di dalam wilayah kawasan yang diperuntukkan sebagai wilayah produksi pengelolaan
sumberdaya alam.
Jaringan NKT Indonesia menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada tim panel NKT-
NI yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan curahan pemikiran. Para ahli: Prof Lilik
Budi Prasetyo, Yana Suryadinata, Wahyu Riva, Kresno Santoso, Dr Harnios Arief, Aisyah
Sileuw, Pupung Nurwata, Sigit Setyanto, Wibowo A. Djatmiko, Dr. Irdika Mansyur memberi
pengetahuan dan pengalamannya dalam menyusun panduan pengelolaan dan pemantauan
NKT di Indonesia. Panduan ini merupakan diharapkan bisa melengkapi kebutuhan panduan
tentang penerapan NKT di Indonesia.
Jaringan NKT Indonesia juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para anggota
yang sudah banyak terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok dan hadir dalam workshop-
workshop untuk menyusun panduan ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
USAID-IFACS yang telah mendukung proses penyusunan panduan ini, melalui workshop
dan pertemuan-pertemuan regular dengan melibatkan para ahli. Kami sampaikan terima
kasih kepada Tropenbos Indonesia yang juga mendukung kegiatan-kegiatan Jaringan
termasuk dalam penyusunan dokumen ini.
Jaringan NKT Indonesia menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas dukungan berbagai
pihak baik untuk kelangsungan Jaringan maupun dalam menyusun dokumen penting ini.
Semoga semua upaya bermanfaat bagi Indonesia yang lebih baik dan berkelanjutan.
Hal | 6
Daftar isi
Kata Pengantar ..................................................................................................................... 4
Ucapan Terima Kasih............................................................................................................ 5
Daftar isi................................................................................................................................ 6
Daftar Gambar ...................................................................................................................... 8
Daftar Tabel .......................................................................................................................... 8
Daftar Singkatan ................................................................................................................... 9
1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 10
1.2. Ruang Lingkup .................................................................................................... 11
1.3. Tujuan ................................................................................................................. 11
1.4. Prasyarat ............................................................................................................ 11
1.5. Struktur Panduan ini............................................................................................ 11
1.6. Tim Penyusun ..................................................................................................... 12
1.7. Proses Penyusunan Panduan Pengelolaan dan Pemantauan ............................ 13
2.1. Sejarah Konsep Nilai Konservasi Tinggi.............................................................. 15
2.2. Pelaksanaan Konsep Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Sumber Daya Alam di
Indonesia ......................................................................................................................... 17
2.3.1. Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan Alam (HPH)
18
2.3.2. Permasalahan Pengeloaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan Tanaman
(HTI) 18
2.3.3. Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Pertambangan ... 19
Nilai Konservasi Tinggi di Konsep Tata Ruang.................................................................... 19
2.4. Identifikasi, Pengelolaan dan Pemantaun Nilai Konservasi Tinggi....................... 20
2.5. Ragam Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi
Sumber Daya Alam di Indonesia ..................................................................................... 22
2.6. Sumber untuk informasi tambahan ...................................................................... 22
3.1. Definisi Pengelolaan ........................................................................................... 23
3.2. Tujuan Pengelolaan ............................................................................................ 23
3.3. Prinsip-prinsip Pengelolaan................................................................................. 23
3.4. Skala Pengelolaan, dan Keluaran ....................................................................... 24
3.5. Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan NKT (RPP-NKT) .. 24
Hal | 7
3.5.1. Menentukan tujuan pengelolaan NKT ........................................................... 26
3.5.2. Analisa ancaman-ancaman terhadap NKT ................................................... 28
3.5.3. Mengidentifikasi intervensi untuk mitigasi ancaman terhadap NKT ............... 32
3.5.4. Menyusun Rencana Pengelolaan NKT ......................................................... 32
3.5.5. Dukungan Sumberdaya dalam Pengelolaan ................................................. 33
3.6. Pengelolaan partisipatif. ...................................................................................... 33
3.7. Sumber untuk informasi tambahan ...................................................................... 35
4.1. Definisi Pemantauan ........................................................................................... 36
4.2. Tujuan Pemantuan .............................................................................................. 36
4.3. Prinsip-prinsip Pemantauan ................................................................................ 37
4.4. Skala Pemantauan dan Keluaran ........................................................................ 37
4.5. Metode Pemantauan NKT ................................................................................... 37
4.5.1. Pemantauan Ekologis ......................................................................................... 37
4.5.2. Pemantauan yang bersifat Partisipatif ................................................................. 38
4.6. Penggunaan Hasil Pemantauan .......................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 42
Lampiran 1: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Alam ...................................... 45
Lampiran 2: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Tanaman ............................... 67
Lampiran 3: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Perkebunan Sawit.......................... 148
Lampiran 4: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Areal Tambang .............................. 167
Lampiran 6: Pengelolaan Lanskap NKT ........................................................................ 191
Hal | 8
Daftar Gambar Gambar 1: penerapan konsep NKT untuk berbagai tujuan. Sumber www.hcvnetwork.org . 17
Gambar 2. Contoh sederhana sebuah model konseptual untuk satu tujuan pengelolaan,
ancaman dan intervensi. ..................................................................................................... 25
Gambar 3. Tahapan pembangunan pengelolaan dan pemantauan NKT - Adaptasi dari
Good Practives guilnes for High Conservation Value assessments: A Practical guide for
practitioners and auditors [3] ............................................................................................... 26
Gambar 4. Ilustrasi peta potensi ancaman secara spasial hasil analisa Multiple Criteria
Evaluation (MCE) beserta hasil pemetaan ancaman secara partisiparif dengan Unit
Pengelola ............................................................................................................................ 30
Gambar 5. Ilustrasi model konseptual untuk memetakan ancaman beserta intervensi untuk
mengurangi/menghilangkan ancaman terhadap sasaran pengelolaan. ............................... 32
Daftar Tabel Tabel 1. Contoh beberapa tujuan pengelolaan NKT ........................................................... 27
Tabel 2. Parameter-parameter ancaman yang dipergunakan dalam mengidentifikasi potensi
ancaman secara spasial ..................................................................................................... 28
Tabel 3. Empat kelompok tingkatan ancaman untuk membantu pengukuran tingkat
ancaman (Di modifikasi dari WCS-LLP [5]) ......................................................................... 31
Tabel 4. Ilustrasi penentuan prioritas ancaman menggunakan system pembobotan dan
kriteria ancaman (Adaptasi dari WCS-LLP[5]). .................................................................... 31
Hal | 9
Daftar Singkatan
BMP Best practise management
DAS Daerah Aliran Sungai
FSC Forest Stweardship Council
NKT Nilai Konservasi Tinggi
NKTF Nilai Konservasi Tinggi Forest
NKT-NI Nilai Konservasi Tinggi Network Indonesia
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MTCC Malaysian Timber Certification Council
NGO Non Govermental Organization
RSPO Roundtable Sustainabel Palm Oil
SOP Standard Operational Procedure
Hal | 10
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konsep Hutan Bernilai Konservasi Tinggi pertama kali di perkenalkan oleh Forest
Stewardship Council (FSC) untuk sektor kehutanan dalam kerangka sertifikasi pengelolaan
hutan berkelanjutan. Konsep ini merupakan bagian dari prinsip yang harus dipenuhi dalam
skema sertifikasi pengelolaan hutan alam berkelanjutan yang dipergunakan oleh FSC.
Prinsip ini terdapat dalam prinsip kesembilan dari kriteria dan indikator yang harus dipenuhi
oleh pengelola hutan alam (http://www.fsc.org/pc.html).
Berdasarkan standar FSC, pada prinsip 9, terdapat empat hal penting yang harus dilakukan
berkaitan dengan NKT oleh setiap unit pengelolaan hutan dalam proses penilaian sertifikasi,
yaitu: bahwa setiap unit pengelolaan hutan diwajibkan untuk:
1. Mengidentifikasi Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (NKT) yang ada di dalam kawasan
konsesinya;
2. Konsultasi publik dalam proses sertifikasi harusmenekankan pada sifat-sifat konservasi
yang teridentifikasi dan pilihan-pilihan pengelolaannya ;
3. Mengelola area hutan tersebut supaya dapat memelihara atau meningkatkan nilai-nilai
yang teridentifikasi;
4. Memonitor keberhasilan pengelolaan kawasan hutan itu.
Meskipun pada awalnya konsep NKT digunakan dalam konteks sertifikasi pengelolaan
hutan, namun hingga saat ini berkembang dan dapat diterapkan untuk berbagai
penggunaan termasuk misalnya pada perencanaan tataguna lahan, advokasi konservasi,
perencanaan dan desain pembelian bahan baku yang bertanggungjawab serta kebijakan-
kebijakan investasi. Dalam pelaksanaannya di lapangan masih banyak ditemukan berbagai
permasalahan yang berhubungan dengan interpretasi, metode pendekatan, analisa dan
standar peloporan yang berbeda satu sama lain. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah
kesulitan para pengelola sumberdaya alam dalam menindaklanjuti hasil identifikasi NKT
yaitu adanya rencana pengelolaan untuk dapat memelihara atau meningkatkan NKT dan
pemantauan terhadap NKT yang teridentifikasi di dalam masing-masing unit pengelolaan.
Pemantauan ini untuk mengukur dan mengetahui tingkat keberhasilan pengelolaan NKT.
Sampai saat ini belum ada panduan yang menjadi rujukan bagi para pengelola sumberdaya
alam untuk mengelola dan memantau NKT yang sudah teridentifikasi.
Tercatat lebih dari 10 unit pengelolaan hutan alam yang sudah mendapatkan sertifikat FSC
di Indonesia,hanya sebagian kecil saja yang sudah melakukan pengelolaan dan
pemantauan NKT dengan benar. Kondisi ini hampir sama di sektor perkebunan kelapa
sawit, dimana sudah cukup banyak unit pengelolaan sudah mendapatkan sertifikat
Roundtable Sustainable palm Oil (RSPO).
Hal | 11
Atas kondisi tersebut, Jaringan Nilai Konservasi Tinggi Indonesia/High Conservation Value-
Indonesia Network mengembangkan panduan pengelolaan dan pemantuan NKT untuk
berbagai sektor seperti Kehutanan (hak pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman),
perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan produk pertanian skala kecil lainnya.
1.2. Ruang Lingkup
Panduan ini disusun untuk pengelolaan dan pemantauan NKT di dalam kawasan konsesi
secara umum, baik di dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan, perkebunan kelapa
sawit, pertambangan dan pertanian skala kecil. Yang dimaksud pengelolaan sumberdaya
alam pada sektor hutan, kelapa sawit dan pertambangan dalam dokumen ini adalah satuan
usaha dengan skala besar. Sementara itu sektor pertanian yang dimaksud dalam dokumen
ini adalah khusus untuk pertanian skala kecil (khusus untuk pertanian skala kecil sawit,
kebun kopi, kebun coklat).
1.3. Tujuan
Tujuan dari panduan ini adala memberi arahan dan panduan bagi para pengelola
sumberdaya alam hutan, perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan pertanian skala kecil
(sesuai dengan regulasi yang berlaku) dalam membuat rencana pengelolaan dan
pemantauan wilayah-wilayah yang mempunyai kanduangan nilai konservasi tinggi.
1.4. Prasyarat
Beberapa prasyarat yang harus terpenuhi untuk menyusun sebuah rencana rencana pengelolaan dan pemantauan NKT, antara lain : - Sudah tersedia dokumen hasil identifikasi kawasan bernilai konservasi tinggi untuk unit
pengelolaan, yang berisi tentang nilai-nilai NKT yang ada di dalam kawasan unit pengelolaan. Dokumen hasil identifikasi ini harus masih relavan dan terkini dengan situasi dan kondisi di dalam wilayah unit pengelolaan1;
- Tersedia data pendukung seperti peta-peta, laporan hasil kajian atau laporan lain yang mendukung tentang keberadaan NKT;
- Tersedia divisi atau unit yang akan menjadi penanggung jawab dalam menyusun atau mengawal proses penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan.
1.5. Struktur Panduan ini
Panduan ini disusun dalam beberapa bab yang berbeda dengan isi dan tujuan yang
berbeda.
Bab 1 berisi latar belakang, ruang lingkup, tujuan, prasyarat, dan struktur panduan. Dalam
Bab ini juga dijelaskan mengenai tim penyusun dan proses penyusunan panduan
pengelolaan dan pemantauan ini.
Bab 2 berisi tentang konsep, sejarah dan pelaksanaan NKT di Inodnesia. Tantangan dalam
penerapan NKT pada kawasan konsesi Hutan Alam. Hutan Tanaman Industri, Tambang dan
penerapan NKT di konsep tata ruang juga didiskusikan dalam Bab ini. Bab ini juga
1 Dokumen hasil identifikasi untuk unit pengelolaan yang melakukan kegiatan konversi paling lambat
6 bulan sesudah melakukan kegiatan identifikasi harus segera menyusun rencana pengelolaan. Begitu juga dengan unit pengelolaan sumberdaya alam yang lainnya. Unit yang melakukan konversi di utamakan untuk segera membuat rencana pengelolaan karena laju kegiatan komversi akan sangat berdampak kepada kondisi dan situasi keberadaan NKT di wilayah tersebut.
Hal | 12
mejelaskan tentang bagaimana identifikasi, pengeloaan dan pemantauan NKT dilakukan,
termasuk ragam pengelolaan dan pemantauan NKT pada kawasan konsesi hutan alam,
hutan tanaman, tambang, perkebunan skala kecil (smallholders), dan pada tingkatan
bentang alam/landscape.
Bab 3 berisi tentang konsep pengelolaan, definisi, skala dan keluaran yang diharapkan.
Selain itu juga dibahas tentang bagaimana menyusun rencana pengelolaan NKT sampai
pelaksanaan dilapangan. Dalam bab ini juga secara terpisah akan di jelaskan beberapa hal
khusus yang berhubungan dengan pengelolaan diberbagai sektor pengelolaan sumberdaya
alam seperti pengelolaan hutan, perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan petani skala
kecil, khususnya dalam konteks sertifikasi. Di dalam bab ini juga dibahas tentang konsep
pengelolaan dalam konteks lanskap yang luas.
Bab 4 berisi tentang konsep pemantauan, definisi, skala dan keluaran yang diharapkan.
Selain itu juga dibahas tentang bagaimana menyusun pemantuan NKT sampai pelaksanaan
di lapangan. Dalam bab ini dibahas tentang konsep pemantauan secara ekologis termasuk
di dalamnya tahapan dalam pemantauan ekologis, protokol pemantauan ekologis,
pengambilan data, dan ambang batas. Untuk konteks sosial dan budaya, konsep yang
dipergunakan adalah pemantauan secara partisipatif termasuk di dalamnya adalah tahap
pemantauan sosial dan budaya. Bagaimana cara menggunakan hasil pemantuan untuk
perbaikan dalam pengelolaan dibahas dalam bab ini termasuk juga pemantauan dalam
skala landskap.
Bab 5 berisi tentang kesimpulan dari tahapan-tahapan dalam pengelolaan dan pemantauan
NKT.
Lampiran-Lampiran adalah panduan secara khusus bagaimana NKT dapat dikelola dan
dipantau oleh satuan pengelola, di dalam lampiran terbagi menjadi: (1) Panduan
Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk pengusahaan hutan alam (HPH), (2) Panduan
Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk pengusahaan hutan tanaman (HTI), (3) Panduan
Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk perkebunan kelapa sawit, (4) Panduan
Pengelolaan dan Pemantauan NKT untuk pertambangan, dan (5) Panduan Pengelolaan dan
Pemantauan NKT untuk pertanian skala kecil. Di dalam panduan ini dibahas bagaimana
kegiatan konsesi dapat terintegrasi dengan pengelolaan dan pemantauan NKT.
Panduan ini disusun dalam bentuk satu model utuh, sehingga pengguna atau pembaca
diharapkan membaca secara keseluruhan bab mulai dari Bab 1, Bab 2, Bab 3, Bab 4, dan
Bab 5 sampai dengan lampiran untuk mengetahui dan memahami tentang bagaimana
penyusunan dan pelaksanaan pengelolaan serta pemantauan Nilai Konservasi Tinggi dapat
dilakukan oleh satuan kelola konsesi sumberdaya alam.
1.6. Tim Penyusun
Tim penyusun panduan ini terdiri beberapa orang yang merupakan praktisi dan ahli untuk
masing-masing bidang/sektor usaha konsesi sumberdaya alam dan NKT yang relevan
seperti, ekologi, sosial budaya dan lanskap. Tim bekerja secara individual dan kelompok
melalui workshop dan Focus Group Discussion (FGD).
Anggota tim panel adalah Prof Lilik Budi Prasetyo, Dr. Semiarto adji , Yana Suryadinata,
Wahyu Riva, Kresno Santoso, Dr Harnios Arief, Aisyah Sileuw, Pupung Nurwata, Sigit
Hal | 13
Setyanto, Wibowo A. Djatmiko, Dwi R. Muhtaman, Sutji Shinto dan didukung oleh Didik
Prasetyo dan Yokyok Hadiprakarsa dari IFACS-USAID.
1.7. Proses Penyusunan Panduan Pengelolaan dan Pemantauan
Panduan pengelolaan dan pemantauan NKT ini diinisiasi oleh USAID-IFACS dan JNKTI dan
disusun oleh 11 orang yang tergabung dalam tim ahli yang dipilih berdasarkan pengalaman
dan kemampuannya dalam kerja-kerja yang berkaitan dengan NKT. Proses dimulai pada
bulan Mei 2012 sampai dengan sekarang melalui beberapa tahapan yaitu:
1. 29 Mei 2012
Kegiatan:
IPB ICC Bogor. Expert meeting.
Pertemuan awal dihadiri oleh tim ahli, USAID IFACS, JNKTI dan para Expert Panel yang
bertujuan untuk berdiskusi bersama dengan tujuan terbentuk sebuah rancangan/outline
yang akan menjadi pegangan bersama anggota panel dalam menyusun draft rencana
pengelolaan dan pemantauan HCV di berbagai sektor atau komoditi.
Tujuan: Pertemuan ini diharapkan tim ahli mendapat gambaran tentang maksud dan tujuan
dari panduan pengelolaan dan pemantauan HCV.
2. 30 Mei 2012
Kegiatan:
IPB ICC Bogor. Pre workshop
Tujuan utama dari worksop ini adalah menyampaikan hasil-hasil dan proses pembelajaran
dari kegiatan identifikasi, pengelolaan dan pemantauan HCV yang dilakukan di berbagai
sektor/komoditi dengan segala prestasi dan permasalahannya.
Pre workshop ini diisi dengan para pembicara dari berbagai sector dan diharapkan akan ada
gambaran secara sektoral tentang prestasi dan permasalahan dalam melakukan proses
identifikasi, pengelolaan dan pemantauan HCV. Para ahli mendapatkan gambaran prestasi/
permasalahanya dan bisa segara membuat sebuah draft panduan tentang pengelolaan dan
pemantauan HCV di masing-masing sektor/komoditi.
3. 3 Juli 2012
Kegiatan:
Tropenbos Indonesia. Expert meeting
Pertemuan ini dihadiri oleh para expert untuk mengevaluasi draft awal panduan yang telah
disusun. Draft panduan ini memang berapa kali mengalami bongkar pasang, untuk menjadi
sebuah panduan yang lengkap dan sistimatis.
4. 12 Juli 2012
Kegiatan:
IPB ICC Bogor. Workshop pengenalan draft Pengelolaan dan Pemantauan
Tujuan utama dari workshop ini adalah untuk membuat dan mengembangkan pedoman
pengelolaan dan pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada konsesi hutan alam dan
tanaman, perkebunan kelapa sawit, pertambangan, petani skala kecil-menengah, dan
lansekap di Indonesia.
Hal | 14
Pada Workshop ini mulai dikenalkan draft awal yang telah tersusun.
Peserta mencakup beberapa stakeholder dari lembaga pemerintah, praktisi, pengamat,
LSM, akademisi, peneliti, petani dari UKM, dan perusahaan swasta, serta anggota jaringan
NKT Indonesia. Diharapkan draft panduan mendapat banyak masukan melalui diskusi-
diskusi kelompok, sehingga tim ahli dapat lebih menyempurnakan panduan ini.
5. 13 Juli 2012
Kegiatan:
Expert meeting
Berdasarkan masukan-masukan dari peserta workshop sehari sebelumnya, para tim ahli
kembali berdiskusi untuk menyempurnakan draft panduan.
6. 22 Oktober 2012
Kegiatan:
Expert meeting
Pertemuan ini adalah untuk finalisasai draft panduan pengelolaan dan pemantauan HCV.
Dihadiri oleh tim ahli, dan diharapkan pada pertemuan ini dapat diperoleh draft final
panduan pengelolaan dan pemantauan NKT.
7. November 2012
Kegiatan:
Konsultasi publik
Sebelum panduan ini di uji cobakan, akan diadakan konsultasi public di tingkat kabupaten,
Aceh, Papua dan Kalimantan.
8. Februari 2013
Kegiatan:
Uji Coba
Draft Panduan akan di ujicobakan di beberapa perusahaan
9. Februari – Maret 2013
Kegiatan:
Final draft
Penyempurnaan draft panduan menjadi final draft
10. Maret 2013
Kegiatan:
Workshop
Workshop ini sebagai workshop penutup dari rangkaian penyusunan panduan. Sekaligus
peluncuran Panduan Pengelolaan dan Pemantauan HCV Area.
Hal | 15
BAB 2 Konsep NKT
Bab ini membahas tentang sejarah dari konsep Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan
hubungannya dengan sertifikasi. Kemudian penggunaan konsep tersebut dalam Konteks
sertifikasi pengelolaan sumberdaya alam hutan dan pemakaian konsep ini diluar sertifikasi.
Hal lain yang dibahas adalah komponen penting dalam penilaian NKT yaitu identifikasi,
pengelolaan dan pemantauan. Di bahas juga sekilas tentang pentingnya NKT dalam
Konteks bentang alam atau lanskap.
2.1. Sejarah Konsep Nilai Konservasi Tinggi
Nilai Konservasi Tinggi (NKT) yang diperkenalkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) pada tahun 1999 untuk sektor kehutanan dalam kerangka sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan. Konsep ini menjadi salah satu prinsip dalam standard FSC yang harus dipenuhi oleh pengelola hutan (http://www.fsc.org/pc.html). Nilai Konservasi Tinggi didefinisikan sebagai nilai biologi,ekologi, sosial atau budaya yang dianggap sangat penting pada skala nasional, regional dan global. Tabel berikut ini menjelaskan tonggak-tonggak
penting dalam perkembangan konsep NKT.
Tahun Perkembangan konsep NKT
1999 FSC mulai mengembangkan konsep ini dengan istilah HCVF (High Conservation Value Forest). HCVF dijabarkan ke dalam empat nilai, sebagai berikut:
i) Wilayah-wilayah keanekaragaman hayati yang penting di tingkat global, regional atau nasional.
ii) Wilayah-wilayah yang memberikan jasa-jasa lingkungan yang sangat penting.
iii) Wilayah-wilayah yang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal
iv) Wilayah-wilayah yang sangat penting untuk melestarikan identitas budaya dari masyarakat lokal.
2003 Proforest dan Rainforest Alliance mengembangkan global toolkit tentang mengidentifikasi, mengelola dan memantau Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (HCVF). Toolkit ini menjelaskan bahwa HCVF memiliki enam nilai (HCVs) yang terdiri dari: HCV1. Wilayah hutan yang memiliki konsentrasi nilai keanekaragaman
hayati yang penting secara global, regional atau nasional (misalnya, species endemik, terancam punah, refugia).
HCV2. Wilayah hutan yang memiliki tingkat lanskap luas yang penting secara global, regional atau national, yang berada di dalam unit pengelolaan di mana populasi yang viabel dari spesies-spesies berada dalam pola-pola distribusi dan kelimpahan alami.
HCV3. Wilayah hutan yang berada dalam ekosistem yang jarang, terancam dan hampir punah.
HCV4. Wilayah hutan yang memberikan jasa lingkungan dalam situasi yang sangat penting.
HCV5. Wilayah hutan yang sangat fundamental untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal.
HCV6. Wilayah hutan yang sangat penting bagi identitas budaya
Hal | 16
tradisional (wilayah yang memiliki nilai penting budaya, ekologi, ekonomi atau agama yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal).
2003 Toolkit global ini kemudian diikuti dengan pengembangan toolkit nasional di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Vietnam, China, Polandia, Rumania, Bulgaria, Bolivia, Ecuador, Canada, Gabon, Ghana dan Kamerun. Toolkit-toolkit nasional ini juga berisi tentang identifikasi, pengelolaan dan pemantauan hutan dengan nilai konservasi tinggi.
2005 RSPO (Roundtable for Sustainable Palm Oil) mengadopsi NKT dalam Prinsip dan Kriterianya.
2006 Pada tanggal 30-31 January HCV Resource Network dikembangkan oleh Kelompok Advisory yang terdiri dari berbagai organization dengan minat dalam konsep NKT dan pengembangan HCV Resource Network.
2008 Revisi Toolkit NKT Indonesia. Pada bulan Juni 2008 para pihak di Indonesia meluncurkan Panduan Identifikasi Nilai Konservasi Tinggi di Indonesia.
2009 Konsep NKT diadopsi dalam standard komoditas lain seperti RTRS (Roundtable on Responsible Soy), Bon Sucro (sustainable sugarcane plantation) and RSB (roundtable for sustainable Biofuel)
2012 FSC menyepakati revisi Prinsip dan Kriteria untuk Pengelolaan Hutan yang bertanggungjawab, termasuk definisi NKT di dalamnya. NKT1. Keragaman Spesies. Konsentrasi keanekaragaman biologi yang
meliputi spesies endemik, dan spesies jarang, terancam atau hampir punah, yang penting di tingkat global, regional dan nasional.
NKT2. Ekosistem dan mosaic tingkat lanskap. Ekosistem tingkat lanskap yang luas dan mosaik ekosistem yang penting pada tingkat global, regional dan nasional, dan yang memiliki populasi yang viable dari spesies-spesies utama, atau spesies-spesies yang ada dalam pola-pola distribusi dan kelimpahan secara alami.
NKT 3. Ekosistem dan habitat. Ekosistem, habitat atau refugia yang jarang, terancam atau hampir punah.
NKT 4. Jasa ekosistem yang sangat penting. Jasa ekosistem dasar dalam situasi yang sangat penting, yang meliputi perlindungan daerah tangkapan air dan pengendalian erosi pada tanah-tanah dan kelerengan yang rentan.
NKT 5. Kebutuhan masyarakat. Situs-situs dan sumberdaya yang fundamental untuk memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat lokal atau masyarakat adat (misalnya, mata pencaharian, kesehatan, gizi dan air), yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat.
NKT 6. Nilai-nilai Budaya. Situs-situas, sumberdaya, habitat dan lanskap yang penting secara global atau nasional dari aspek arkaelogi atau sejarah, dan/atau penting secara budaya, ekologi, ekonomi atau agama/keramat untuk budaya tradisi masyarakat lokal atau masyarakat adat. Nilai-nilai ini diidentifikasi melalui pendekatan dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat.
Hal | 17
2.2. Pelaksanaan Konsep Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi
Sumber Daya Alam di Indonesia
Dalam perjalanannya, konsep HCV ini diadopsi untuk berbagai tujuan, meskipun awalnya
hanya digunakan dalam konteks sertifikasi pengelolaan hutan yang bertanggungjawab
dalam standard FSC. Gambar berikut menunjukkan beragamnya penggunaan konsep HCV
untuk berbagai tujuan.
Gambar 1: penerapan konsep NKT untuk berbagai tujuan. Sumber www.hcvnetwork.org
2.3. Permasalahan dalam penerapan NKT pada beberapa sektor
pengelolaan sumberdaya alam
Permasalahan umum yang paling sering dihadapi dalam pengelolaan nilai konservasi tinggi
di beberapa sektor adalah:
Tidak adanya dukungan legalitas pada kawasan NKT.
Kurangnya data dan informasi, terutama data yang berhubungan dengan konteks
spasial.
Pemahaman tentang definisi operasional NKT, KBKT dan KPBKT, sehingga batas
pengelolaan dan pemantauan menjadi tidak jelas.
Khusus NKT 5 dan NKT 6 yang bersifat dinamis, sulit untuk membuat rencana
pengelolaan jangka panjang.
Kompatibilitas dengan proses-proses lain seperti AMDAL, dsb.
Sementara itu, permasalahan khusus yang dihadapi dalam mengelola NKT pada masing-
masing sektor juga tidak kalah kompleksnya. Sebagai contoh, ketika unit pengelolaan
kebun sawit menetapkan sebuah KPBKT, dia akan berhadapan dengan permasalahan
tentang status hukum dari kawasan itu. Contoh lain, ketika sebuah IUPHHK menetapkan
untuk menyisihkan 75,000 hektar sebagai kawasan NKT, apakah mereka masih
Nilai Konservasi Tinggi
Pengelolaan Hutan
Sertifikasi mandatori (PHAPL,
ISPO, ISO, dll)
Sertifikasi Voluntari (FSC,
RSPO, dll)
Rencana Tataguna Lahan
Rancangan Perkebunan
Perluasan komoditi pertanian
Kebijakan Komitmen
Pembelian bertanggung-
jawab
Investasi
Advokasi Konservasi
Melobi Pemerintah
Kampanye Pasar
Hal | 18
berkewajiban membayar Dana Reboisasi dan PSDH dan pajak-pajak terkait atas areal ini
yang tidak akan mereka eksploitasi? Permasalahan lain seperti ini dibahas secara lebih
spesifik dalam dokumen sektor.
2.3.1. Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan
Alam (HPH)
Secara umum dalam pelaksanaan di lapangan, konsep NKT cukup sulit di lakukan oleh
pihak unit pengelolaan baik dalam kegiatan identifikasi, pengelolaan dan pemantauan NKT
karena berbagai hal, diantaranya :
- Karena bersifat sukarela dan tidak ada pengakuan secara legal dari pemerintah maka
jarang sekali pihak unit pengelolaan hutan alam mau melakukan kegiatan ini;
- Pemahaman konsep NKT dan isu-isu konservasi di tingkat pemegang ijin pengelolaan
hutan alam masih sangat terbatas:
- Para pemegang ijin pengelolaan hutan alam sangat tertarik apabila kegiatan ini secara
langsung atau dalam jangka pendek dapat langsung dirasakan secara ekonomis (benefit
dari kegiatan tersebut dapat langsung dirasakan) sedangkan isu yang berhubungan
dengan NKT keuntungan atau benefitnya tidak dapat di rasakan dalam jangka pendek.
Benefit dari melakukan konsep NKT secara tidak langsung di rasakan oleh berbagai
pihak seperti kualitas air dan jasa lingkungan lainnya. Kegiatan ini akan bisa di rasakan
dalam jangka waktu lama;
- Keterbatasan sumberdaya manusia dalam memahami dan melaksanakan konsep ini
masih sangat terbatas;
- Keterbatasan panduan atau petunjuk yang mudah di pahami dan dilaksanakan oleh staf
di tingkat lapangan
2.3.2. Permasalahan Pengeloaan NKT pada Pengusahaan Konsesi Hutan
Tanaman (HTI)
Penilaian dan identifikasi kawasan NKT dalam hutan tanaman pada umumnya dilakukan oleh Unit Management guna memenuhi persyaratan sertifikasi FSC. Kendala dan isu-isu penting yang muncul dalam tahap penilaian adalah hilangnya areal-areal yang diindikasikan mengandung NKT sebagai akibat keterlanjuran dalam kegiatan pembukaan lahan. Hal ini terjadi karena kebutuhan penilaian NTK dilakukan pada saat kegiatan HTI sudah operasional. Implikasi dari keterlanjuran tersebut adalah terjadinya perubahan kawasan NKT menjadi areal tanaman pokok, tanaman unggulan dan tanaman kehidupan. Kondisi ini seringkali menimbulkan kekhawatiran dari pihak Unit Management khususnya dalam menghadapi proses audit. Isu lain yang merupakan isu penting adalah temuan jenis-jenis pohon dilindungi yang kondisinya menyebar dan soliter seperti ramin dan kempas, mengingat dalam konteks penilaian kawasan NKT harus menetapkan luas areal tersebut.
Unit Management seringkali menghadapi kendala dalam melakukan pengelolaan dan pemantauan terhadap kawasan NKT, khususnya pada NKT yang sudah terlanjur hilang. Isu penting lainnya adalah pengelolaan dan pemantauan satwa liar yang sifatnya mobile dan dalam hal ini harus memerlukan kepakaran khusus. Seringkali Unit Mangement menganggap bahwa pengelolaan dan pemantauan terhadap kawasan NKT adalah berdiri sendiri sehingga akan menimbulkan beban baru bagi Unit Mangement khususnya dalam menyiapkan divisi baru. Pada hal, dalam konteks pengelolaan dan pemantauan NKT tersebut dapat diintegrasikan dengan kegiatan lain seperti Rencana Kelola Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan yang sudah disusun dalam dokumen AMDAL.
Hal | 19
2.3.3. Permasalahan Pengelolaan NKT pada Pengusahaan Konsesi
Pertambangan
Usaha pertambangan merupakan usaha yang unik terkait dengan pengelolaan dan pemantauan NKT-nya yang tidak sama dengan pengusahaan hutan alam, hutan tanaman, maupun perkebunan. Keberadaan bahan tambang menyebar di bawah tanan dan bersifat tidak kontinyu, tidak seperti kayu dan produk perkebunan yang berada di permukaan tanah yang sebarannya pada umumnya kontinyu, juga tidak dapat diatur keberadaannya berdasar blok-blok sesuai keinginan pemangku kepentingan. Oleh karena itu tidak seluruh areal konsesi akan ditambang, tetapi hanya blok-blok dimana cadangan bahan tambang berada.
Secara ringkas digambarkan kegiatan pertambangan terbuka dilakukan dengan menghilangkan seluruh vegetasi yang ada di permukaan tanah diikuti dengan pemindahan tanah dan batuan penutup. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku seperti tersebut di atas, maka perusahaan pertambangan wajib untuk melakukan reklamasi dengan menata kembali muka bumi (lansekap); mengendalikan erosi dan sedimentasi dengan membuat saluran drainase, kolam sedimentasi, dan penanaman tanaman penutup tanah; dan melakukan revegetasi (untuk kawasan hutan). Lereng-lereng yang dihasilkan dari penumpukan material limbah dipantau stabilitasnya untuk mengantisipasi terjadinya longsor (Mansur, 2010).
Dari gambaran di atas dapat diperhatikan bahwa bahan tambang dapat berada di mana saja, termasuk di bawah Kawasan NKT. Kegiatan pertambangan terbuka pasti mengganggu ekosistem, bahkan menghilangkan keanekaragaman flora yang ada di permukaan lahan di areal yang ditambang. Oleh karena itu, dalam beberapa kondisi gangguan terhadap obyek atau kawasan NKT tidak dapat dihindari. Khusus untuk usaha pertambangan, seharusnya identifikasi dan deliniasi obyek dan kawasan NKT di areal yang akan diajukan ijin untuk usaha pertambangan dilakukan pada saat pelaksanaan AMDAL dan ditegaskan apa rekomendasi untuk penanganannya. Jika obyek atau kawasan NKT memang dianggap sangat penting untuk dipertahankan, maka sebaiknya dikeluarkan dari areal yang akan diberikan ijin usaha pertambangan, atau tidak diberikan ijin untuk areal tersebut. Namun demikian, karena lokasi tambang terpisah-pisah dalam luasan-luasan yang relatif kecil, serta gangguannya bersifat sementara (tidak selamanya), maka beberapa obyek atau kawasan NKT masih dapat dikelola dengan baik dengan melakukan beberapa adaptasi.
Nilai Konservasi Tinggi di Konsep Tata Ruang Dewasa ini, pembangunan daerah semakin gencar seiring dengan perluasan pemanfaatan lahan untuk investasi di semua wilayah Indonesia. Akibatnya, kebutuhan akan ruang semakin meningkat, menuntut akan penataan ruang dengan beragam pertimbangan multi aspek antara sosial, ekologi dan ekonomi. Penataan ruang yang seimbang untuk semua kebutuhan merupakan faktor penentu terjaminnya ketersediaan sumber daya alam secara berkelanjutan yang akan berdampak terhadap kepaduan pembangunan pada tingkatan kabupaten dan propinsi.
Dalam proses penataan ruang yang lebih baik dibutuhkan berbagai masukan informasi yang dapat mengakomodasi semua kebutuhan. Kerangka Nilai konservasi Tinggi (NKT) di rancang untuk menangkap semua nilai penting dalam aspek keruangan wilayah yang dirasakan menjadi alat bantu penting dalam proses penataan ruang wilayah. Melihat peluang ini pada tahun 2005-2006, WWF Indonesia melalui program Trans fly ecoregion membantu pemerintah daerah Kabupatan Merauke dalam melakukan revisi tata ruang dengan menggunakan kerangka NKT sebagai pamasukan data strategis. Hasil dari dari pendekatan ini sudah tertuang dalam Dokumen Peta Rencana Tata Ruang. Wilayah Kabupaten Merauke. Keberhasilan penggunakan kerangka NKT dalam proses penataan
Hal | 20
ruang di Kabupaten Merauke menjadikan tonggak awal peran penting kerangka NKT dalam penataan ruang di Indonesia.
Pada tahun 2010, Fauna and Flora International – Indonesia Programme melakukan hal serupa untuk membantu pemerintah daerah Kabupaten Ketapang dalam melakukan revisi penataan ruangnya. Selain berpotensi sebagai alat bantu strategis dalam penataan ruang, kerangka NKT juga memiliki potensi kompatibiltas dengan proses Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang merupakan kelengkapan wajib setiap penataan ruang di Indonesia
2.4. Identifikasi, Pengelolaan dan Pemantaun Nilai Konservasi
Tinggi
Dalam pelaksanaan dilapangan, kegiatan NKT ini menggunakan dua tahap pendekatan,
yaitu:
1. Mengidentifikasikan areal-areal di dalam atau di dekat suatu Unit Pengelolaan,
pemanfaatan hasil hutan yang mengandung nilai-nilai sosial, budaya dan/atau ekologis
yang luar biasa penting, dan
2. Menjalankan suatu sistem pengelolaan dan pemantauan untuk menjamin
pemeliharaan dan atau peningkatan nilai-nilai tersebut.
Untuk melakukan identifikasi NKT diperlukan suatu perangkat (toolkit2) di dalam
pelaksanaannya. Di Indonesia saat ini mempunyai sebuah alat sebagai panduan
yaitu"Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Tinggi di Indonesia." Panduan tersebut
diterbitkan pada tahun 2007 (2008). Panduan ini hingga sekarang menjadi rujukan utama
dalam setiap identifikasi NKT di Indonesia baik untuk kehutanan maupun perkebunan sawit.
Dalam panduan atau Interpretasi Nasional Indonesia 2003, di dalamnya tercantum proses
dan tatacara melakukan identifikasi, pengelolaan dan pemantauan, sedangkan dalam
panduan terbaru (tahun 2008, revisi kembali tahun 2010) tidak diketemukan lagi bagian
pengelolaan dan pemantauan. Panduan terakhir yang masih jadi rujukan nasional saat ini di
Indonesia adalah Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Tinggi di Indonesia, sehingga perlu
adanya panduan khusus untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan NKT untuk
berbagai sektor.
Identifikasi, pengelolaan dan pemantuan merupakan kegiatan yang satu sama lain saling
berhubungan dengan erat. Keberhasilan dalam melakukan identifikasi NKT akan
memudahkan dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan. Hasil kegiatan
pengelolaan dapat di ukur tingkat keberhasilannya melalui proses pemantauan. Hasil
2 Sebuah panduan global di susun oleh ProForest pada tahun 2003, sebuah panduan yang bisa
digunakan di seluruh dunia. Panduan global ini mulai dimanfaatkan oleh beberapa negara seperti Vietnam, China, Kamerun, Bulgaria, PNG dan termasuk Indonesia. Mereka menginterpretasikan panduan global pada Konteks lokal masing-masing negara. Berdasarkan hasil interpretasi stakeholder lokal dibuatlah panduan interpretasi nasional. Di Indonesia pada tahun 2003 diterbitkan panduan Interpretasi Nasional Indonesia atas global toolkit. Berbagai kegiatan identifikasi NKT mulai dari tahun 2003 menggunakan rujukan Interpretasi Nasional Indonesia 2003. Dalam perjalanannya ternyata, dari 2003 hingga 2006 ada beberapa masalah khususnya yang berkaitan dengan interpertasi. Sehingga pada tahun 2006 sekelompok praktisi dan organisasi yang kerap menggunakan NKT sepakat untuk melakukan merevisi atas Panduan Interpretasi Nasional Indonesia 2003. Kemudian pada tahun 2007 beberapa praktisi dan stakeholder berkumpul untuk merevisi toolkit yang telah ada dengan memasukkan kriteria nilai-nilai spesifik, seperti ekonomi, ekologi, sosial dan budaya.
Hal | 21
pemantauan dapat dipakai kembali sebagai bagian dari revisi atau perbaikan-perbaikan
untuk pengelolaan di masa yang akan datang.
Hal | 22
2.5. Ragam Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Sumber Daya Alam di Indonesia
Pengelolaan dan pemantauan NKT di Indonesia beragam dan terus berkembang. Secara
umum dan dalam kaitan penggunaan Buku Panduan ini, pengolaan dan pemantauan NKT
dapat dibedakan sbb:
Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Hutan Alam
(HPH)
Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Hutan Tanaman
Industri (HTI)
Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konsevasi Tinggi pada Konsesi Perkebunan
Kelapa Sawit
Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada Konsesi Pertambangan
Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada perkebunan/pertanian
skala menengah
Pengeloaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi pada skala bentang
alam/landscape
Sebagai referensi bagi pembaca, Panduan ini memuat Panduan Pengeloaan dan
Pemantauan NKT yang lebih rinci dari masing-masing jenis konsesi di atas di atas, yang
tercantum dalam Lampiran 1-6 yang disiapkan oleh Tim .
2.6. Sumber untuk informasi tambahan
- Principe and Criteria FSC http://www.fsc.org/principles-and-criteria.34.htm
- A Sourcebook for Landscape Analysis of Nilai Konservasi Tinggi Forests,
http://www.NKTnetwork.org/resources.
- Managing Biodiversity in the Landscape.
http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.
- Practitioner Guide to Managing NKTF in Indonesia a case study from East Kalimantan.
http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.
Hal | 23
Bab III Pengelolaan NKT
Bab ini membahas tentang definisi, tujuan, skala dan hasil dari pengelolaan Nilai
Konservasi Tinggi (NKT), pentingnya menyusun rencana pengelolaan NKT serta bagaimana
metode dalam menyusun rencana pengelolaan NKT. Perencanaan pengelolaan yang
dimaksud dalam bab ini adalah perencanaan pengelolaan masing-masing nilai NKT yang
teridentifikasi atau ditemukan dalam suatu kawasan pengelolaan perusahaan.
3.1. Definisi Pengelolaan
Pengelolaan NKT adalah upaya yang dilakukan melalui proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan terhadap NKT yang teridentifikasi
dalam suatu kawasan untuk mempertahankan atau meningkatkan NKT di dalam kawasan
tersebut. Kunci utama dalam pengelolaan NKT adalah bahwa strategi-strategi yang
dirancang harus mempertahankan atau meningkatkan nilai. Hal ini berarti akan ada
perbedaan pengelolaan antara sektor ataupun konsesi tergantung dari nilai NKT yang
teridentifikasi.
3.2. Tujuan Pengelolaan
Tujuan utama dalam pengelolaan NKT adalah mempertahankan atau meningkatkan nilai–
niai konservasi tinggi yang teridentifikasi atau ditemukan dalam suatu kawasan.
3.3. Prinsip-prinsip Pengelolaan
Dalam Pengelolaan kawasan NKT, maka ada tiga prinsip dasar yang harus selalu
dipertimbangkan dengan baik dan benar, yaitu:
a) Prinsip Keutuhan (holistic); berarti bahwa penyelenggaraan pengelolaan NKT harus
selalu mempertimbangkan seluruh komponen pembentuk ekosistem alami, baik
komponen penyusun rantai makanan dan rantai energi maupun komponen biotik
maupun abiotiknya. Prinsip keutuhan ini juga berkaitan dengan kondisi/karakter
lingkungannya, baik ditinjau dari sisi biofisik, ekonomi, politik dan sosial budaya
masyarakat. Prinsip ini memperhatikan dan dapat memenuhi kepentingan seluruh
pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap kawasan unit pengelolaan
umumnya dan NKT khususnya serta mampu mendukung kehidupan mahluk hidup
(selain manusia) dan keberlanjutan keberadaan alam semesta;
b) Prinsip Keterpaduan (integrated); berarti bahwa penyelenggaraan pengelolaan NKT
harus berlandaskan pada keselarasan interaksi antar komponen penyusun ekosistem
serta keselarasan interaksi ekosistem dengan para pihak yang tergantung dan
berkepentingan terhadap NKT yang meliputi aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan
aspek sosial-budaya;
c) Prinsip partisipatif; berarti melibatkan masyarakat dan para pihak lain dalam
mengidentifikasi, mengelola dan memantau NKT. Prinsip berlaku tidak hanya untuk
HCV sosial tetapi juga bisa mencakup HCV ekologi.
Hal | 24
d) Prinsip Keberlanjutan/Kelestarian (sustainability); berarti bahwa fungsi dan manfaat
ekosistem hutan dalam segala bentuknya harus dapat dinikmati oleh umat manusia dan
seluruh kehidupan di muka bumi lintas generasi secara bekelanjutan dengan potensi
dan kualitas yang sekurang-kurangnya sama (tidak menurun). Jadi tidak boleh terjadi
pengorbanan (pengurangan) fungsi dan manfaat ekosistem hutan yang harus dipikul
suatu generasi tertentu akibat keserakahan generasi sebelumnya.
3.4. Skala Pengelolaan, dan Keluaran
Skala pengelolaan NKT pada panduan ini terfokus kepada pengelolaan NKT dalam unit-unit
pengelolaan (contoh: unit pengelolaan hutan, pertanian skala kecil, kebun/estate, Kuasa
Pertambangan) dengan melihat juga aspek bentang alam (lanskap). Namun pengelolaan
suatu kawasan bernilai konservasi tinggi harus melihat dari semua aspek yang ada secara
menyeluruh (holistik), dalam hal ini konsep bentang alam menjadi hal yang sangat penting.
Di harapkan keluaran dari panduan pengelolaan ini adalah adanya arahan atau teknik dan
metode dalam penyusunan rencana pengelolaan terhadap masing-masing NKT yang
teridentifikasi atau diketemukan dalam suatu unit pengelolaan.
3.5. Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan
NKT (RPP-NKT)
Penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan NKT (RPP-NKT) bertujuan untuk
mengembangkan rencana aksi pengelolaan NKT yang adaftif bagi kawasan konsesi melalui
proses pembangunan keterlibatan perwakilan dari para pihak. Dalam penyusunan RPP-NKT
digunakan pendekatan pengelolaan berbasiskan wilayah, yaitu nilai-nilai konservasi tinggi
yang teridentifikasi akan dibangun rencana pengelolaannya berdasarkan kerangka
pengelolaan adaptif (adaptif collaborative management3).
Untuk membantu pembangunan RPP-NKT, secara umum sebuah model konseptual -
Conceptual Model [2] akan di bangun secara partisipatif dari banyak pihak dalam unit
pengelolaan untuk merunut rencana terperinci pengelolaan berdasarkan ancaman-ancaman
yang sedang dan akan berlangsung di dalam dan di luar unit pengelolaan. Gambaran umum
dari model konseptual dapat dilihat dalam ilustrasi sederhana di bawah ini (Gambar 2).
3 Pendekatan ACM adalah suatu proses yang bertujuan mendorong para pemangku kepentingan
untuk bekerja sama dalam merencanakan, melaksana kan, mengamati, dan mengambil pelajaran dari pelaksanaan rencana mereka di masa lalu
Hal | 25
Prasyarat utama yang mengawali proses RPP-NKT adalah adanya hasil identifikasi yang sesuai dengan Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia (Konsorsium Revisi NKT Toolkit Indonesia, 2008). Kemudian untuk langkah selanjutnya bisa dilihat dalam diagram di bawah ini.
Gambar 2. Contoh sederhana sebuah model konseptual untuk satu tujuan pengelolaan, ancaman dan intervensi.
Hal | 26
Gambar 3. Tahapan pembangunan pengelolaan dan pemantauan NKT - Adaptasi dari Good Practives guilnes for High Conservation Value assessments: A Practical guide for practitioners and auditors [3]
3.5.1. Menentukan tujuan pengelolaan NKT
Dalam prosesnya RP-NKT didasarkan pada tujuan-tujuan pengelolaan NKT di dalam atau
sekitar kawasan yang ditentukan berdasarkan hasil identifikasi para pihak yang bertujuan
untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan ancaman terhadap NKT. RP-NKT
memprioritaskan intervensi yang sesuai dengan tujuan perusahaan, mendapat dukungan
dari pihak manajemen perusahaan, memiliki sumber dana lokal, dan berdampak langsung
dalam mengurangi ancaman terhadap kelangsungan hidup NKT dan habitatnya pada
sebuah periode tertentu.
Langkah awal dalam memulai pengelolaan NKT adalah menentukan tujuan dari pengelolaan
untuk masing-masing NKT yang telah diidentifikasi.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tujuan pengelolaan NKT diantaranya
adalah:
- memperhatikan tingkat dan ambang batas yang akan dipertahankan berdasarkan
ketersediaan informasi yang terbaik;
- penentuan tujuan pengelolaan dilakukan oleh kelompok yang mewakili para pihak
yang terkait dengan pengelolaan NKT dalam sebuah unit pengelolaan;
- perwakilan dari para pihak diberikan informasi tambahan berdasarkan kondisi
faktual, yang didasari atas ketersedian informasi terbaik dalam menentukan
parameter-parameter atau ambang batas yang ingin dicapai dalam mengelola NKT.
Hal | 27
Tabel 1. Contoh beberapa tujuan pengelolaan NKT
NKT Nilai-nilai/Target pengelolaan Tujuan pengelolaan
1.2 Ditemukan satwa orangutan (Pongo pygmaeus) yang tergolong Kritis (Critical Endangered)
Melindungi populasi satwa beserta habitatnya dari kepunahan lokal di dalam konsesi.
2.1 Wilayah inti seluas 27,028.33 hektar yang ada di dalam areal unit pengelolaan.
Mempertahan bentangan hutan yang utuh di dalam unit pengelolaan yang tersambung dengan bentangan hutan yang lebih luas di sekitarnya
4.1
Hutan di tepi sungai/danau (riparian) yang tergenang secara teratur dan sub-DAS yang menyediakan air bersih untuk desa disekitarnya.
Mempertahankan wilayah yang bisa menyediakan air bersih bagi masyarakat yang ada di bagian hilir unit pengelolaan.
6 Nilai budaya dan spiritual di beberapa lokasi spesifik yang berada di dekat desa.
Melindungi wilayah-wilayah yang ada di dalam unit pengelolaan yang penting bagi identitas dan budaya masyarakat sekitar hutan. Melindungi spesies tertentu yang berhubungan dengan budaya masyarakat.
Catatan Khusus :
Dalam kasus tertentu parameter dapat berupa angka-angka yang bisa diperoleh sebagai bagian dari data kualitas dan kuantitas. Sebagai contoh dalam NKT 4.1 “ Hutan di tepi sungai/danau (riparian) yang tergenang secara teratur dan sub-DAS yang menyediakan air bersih untuk desa disekitarnya” parameter yang dapat diukur antara lain kualitas air, tingkat kekeruhan air, sedimentasi terlarut. Parameter-paremater ini sewaktu dilakukan pemantauan dapat diukur dan diperoleh hasilnya.
Pengukuran-pengukuran parameter dalam pengelolaan dan pemantauan NKT diperlukan adanya ambang batas atau persyaratan minimum yang harus dipenuhi, hal ini merupakan bagian penting dalam pengelolaan. Ambang batas diperlukan sebagai bagian dari nilai-nilai yang mesti dipertahankan, dipelihara atau ditingkatkan nilainya. Sebagai contoh untuk NKT 4.1 di atas yang berhubungan dengan riparian, ambang batas yang diperlukan di antaranya larangan penebangan di kiri-kanan sungai sejauh 100 meter, tidak menebang di kelerengan lebih dari 45 persen. Ambang batas ini bisa berhubungan dengan aturan-aturan pemerintah yang sudah ditetapkan. Ataupun juga secara ilmiah disepakati sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan. Contoh aturan tentang besarnya tingkat bahaya erosi.
Hal | 28
3.5.2. Analisa ancaman-ancaman terhadap NKT
Tahapan ke-dua adalah menentukan ancaman terhadap masing-masing NKT yang
ditemukan dalam konsesi, ancaman ini bisa datang dari dalam kegiatan konsesi ataupun
dari luar konsesi (internal dan external), termasuk ancaman yang bersifat langsung (direct)
maupun tidak langsung (indirect). Unit manajemen tidak perlu melakukan identifikasi
ancaman-ancaman NKT. Ancaman-ancaman NKT sudah diidentifikasi dalam laporan hasil
identifikasi NKT. Ancaman-ancaman yang dianalisa dalam panduan ini didasarkan pada
laporan hasil identifikasi NKT. Kecuali jika laporan hasil identifikasi dianggap tidak memadai
maka unit manajemen harus melakukan analisa ancaman lagi.
Analisa sumber ancaman dilakukan untuk masing-masing sasaran pengelolaan NKT dan
habitatnya di dalam kawasan. Analisa ini diharapkan dapat menentukan ancaman utama
dan paling mendesak untuk segera diatasi agar memungkinkan untuk memilih intervensi
paling taktis dalam mengurangi atau menghilangkan sumber-sumber ancaman. Tanpa
pemahaman yang jelas tentang ancaman, para pengelola atau pelaksana di lapangan
mungkin hanya melakukan cara-cara pengelolaan yang tidak akan memberikan dampak
bahkan mungkin akan menurunkan NKT itu sendiri.
Dalam mengidentifikasi dan mengukur ancaman secara langsung terhadap NKT dilakukan
secara konseptual untuk melihat runutan sebab akibat sebuah ancaman dan secara spasial
untuk melihat lokasi potensi ancaman yang sudah terjadi maupun dimasa yang akan datang
[2] . Saat ini terdapat berbagai pendekatan analisa ancaman dapat mempergunakan
berbagai pendekatan yang bisa dipergunakan [4], salah satunya adalah pendekatan yang
dikembangkan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) dengan menggunakan konseptual
model [2, 5]. Sebagai awalan, sumber-sumber ancaman terhadap NKT bisa menggunakan
rujukan ilmiah terbaik yang tersedia untuk menentukan parameter dan batas tepi terhadapan
ancaman. Selanjutnya, sumber-sumber ancaman dimasa lampau dan sedang berlangsung
dapat diidentifikasi oleh para pihak unit pengelola berdasarkan informasi yang tersedia dan
dibantu dengan pemetaan partisipatif.
Selain identifikasi terhadap sumber-sumber ancaman, potensi ancaman secara spasial juga
perlu diidentifikasi untuk membantu unit pengelola dalam mengarahkan pengelolaan dan
pemantauan. Identifikasi potensi ancaman secara spasial menggunakan pendekatan
Multicriteria Critieria Evaluation (MCE) beberapa parameter fisik yang merupakan pemicu
perubahan terhadap ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati berdasarkan hasil
beberapa penelitian [6-8]. Beberapa parameter spasial yang digunakan dapat dilihat dalam
tabel di bawah ini:
Tabel 2. Parameter-parameter ancaman yang dipergunakan dalam mengidentifikasi potensi
ancaman secara spasial
Jenis ancaman Asumsi ilmiah
Deforestasi Hutan terdegradasi atau hilang yang di akibatkkan oleh aktivitas manusia memliki kecenderungan untuk terjadi di lokasi yang sama, umumnya terkait dengan factor aksesibilitas [7]
Pemukiman Keberadaan pemukiman berasosiasi dengan akses menuju hutan. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak pemukiman
Hal | 29
Jenis ancaman Asumsi ilmiah
tersebut ke kawasan hutan [9]
Jaringan jalan Jaringan jalan merupakan sumber utama akses menuju kawasan hutan. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak ke jaringan jalan tersebut ke kawasan hutan[8]
Kebakaran lahan Kebakaran lahan berdampak terhadap tutupan lahan secara drastis. Ancaman ini semakin berkurang di saat jauh dari riwayat kebakaran lahan
Tambang Aktivitas tambang yang menggunakan open pit mining secara nyata merubah tutupan lahan secara drastic. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak areal pertambangan ke kawasan hutan
HPH/HTI Aktivitas penebangan pohon di dalam HPH merubah struktur vegetasi kawasan hutan. Ancaman ini semakin berkurang di saat semakin jauh jarak areal HPH/HTI ke kawasan hutan [10]
Status kawasan hutan
Kawasan hutan yang sudah di tentukan sebagai Hak Produksi Terbatas (HPT) dan Areal Penggunaan Lain (APL) memberikan dampak terhadap degradasi habitat banyak satwa liar.
Selain penentuan sumber-sumber ancaman secara langsung, tingkatan ancaman juga perlu
diidentifikasi untuk menentukan skala prioritas intervensi. Tingkatan ancaman
dikelompokkan berdasarkan dampak yang dimunculkan, tingkatan ancaman dikelompokkan
ke dalam 4 kelompok utama, yaitu:
1. Dampak, merupakan derajat, baik secara langsung maupun tidak langsung
memberikan dampak terhadap keseluruhan NKT,
2. Trend, merupakan kecenderungan yang mungkin terjadi yang di akibatkan adanya
perubahan terhadap proporsi area terkena dampak atau intervensi,
3. Proporsi area terkena dampak, merupakan luasan wilayah yang terkena dampak
dari sebuah kegiatan,
4. Waktu pemulihan, merupakan satuan rentang waktu proses pemulihan dari yang
terkena dampak.
Hal | 30
Gambar 4. Ilustrasi peta potensi ancaman secara spasial hasil analisa Multiple Criteria Evaluation (MCE) beserta hasil pemetaan ancaman secara partisiparif dengan Unit Pengelola
Hal | 31
Tabel 3. Empat kelompok tingkatan ancaman untuk membantu pengukuran tingkat ancaman
(Di modifikasi dari WCS-LLP [5])
Dampak Skor Trend Skor Proporsi area terkena dampak
Skor Waktu Pemulihan
Skor
Rendah 0 Tidak akan terjadi dalam 10 tahun kedepan?
0 0 0 Cepat 0
Sedang 1 Dapat terjadi dalam kurun waktu 3-10 tahun
1 0-10% 1 Pemulihan dalam waktu 1-10 tahun
1
Tinggi 2 Dapat terjadi dalam kurun waktu 1-3 tahun
2 11-25% 2 Pemulihan dalam waktu 11-100 tahun
2
Fatal 3
Ancaman sedang terjadi harus segera dilakukan tindakan
3 26-50% 3 Pemulihan lebih dari 100 tahun atau tidak pulih
3
> 50% 4
Dengan mengacu ke-empat kelompok tingkatan ancaman pada tabel 3, penentuan prioritas
ancaman dapat dilakukan dengan pemberian skor (scorring) untuk setiap komponen tingkat
ancaman, kemudian nilai bobot tersebut akan dijumlahkan dengan perhitungan [(Trend +
Waktu Pemulihan) x Dampak x Proporsi area terkena dampak] [5]. Kemudian jumlah akhir
akan di urutkan, ancaman dengan peringkat pertama merupakan ancaman yang perlu
mendapatkan perhatian. Sebagai contoh ilustrasi perhitungan penentuan prioritas ancaman
bisa dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4. Ilustrasi penentuan prioritas ancaman menggunakan system pembobotan dan kriteria
ancaman (Adaptasi dari WCS-LLP[5]).
Ancaman Dampak Trend Proporsi area terkena dampak
Waktu Pemulihan
Total Ranking
Fragmentasi habitat 2 1 3 3 24 3
Perburuan untuk peliharaan
3 1 3 2 27 2
Perburuan untuk makanan
4 1 3 2 36 1
Hal | 32
3.5.3. Mengidentifikasi intervensi untuk mitigasi ancaman terhadap NKT
Tahapan ini menentukan intervensi-intervensi yang bertujuan untuk mengurangi atau
menghilangkan sumber ancaman. Informasi yang didapatkan dari bagian-bagian
sebelumnya akan sangat penting dalam analisa ini. Merupakan sebuah kerugian jika sebuah
intervensi yang direncanakan akan menjadi tidak praktis untuk dilaksanakan, diakibatkan
beberapa hal, seperti: masalah biaya, kekurangan dukungan masyarakat, ketidaksanggupan
dalam menangani ancaman tidak langsung, sesuatu yang mengakibatkan ancaman muncul
kembali ataupun akibat intervensi tersebut tidak efektif.
3.5.4. Menyusun Rencana Pengelolaan NKT
Sebagaimana yang digunakan di dalam analisa ancaman di atas, hanya ancaman yang
bersifat langsung terhadap NKT yang akan dilakukan intervensi yang akan tertuang dalam
rencana pengelolaan. Tidak semua ancaman dapat dilakukan intervensi, umumnya berupa
ancaman tidak langsung, namun dengan memetakannya secara menyeluruh dapat
memudahkan dalam mengembangkan rencana pengelolaan (Gambar 4). Prioritas ancaman
yang memiliki peringkat sedang sampai tinggi perlu mendapatkan perhatian dan harus
dituangkan dalam rencana pengelolaan.
Gambar 5. Ilustrasi model konseptual untuk memetakan ancaman beserta intervensi untuk mengurangi/menghilangkan ancaman terhadap sasaran pengelolaan.
Hal | 33
3.5.5. Dukungan Sumberdaya dalam Pengelolaan
Pengelolaan NKT dan KBKT kawasan Bernilai Konservasi Tingg pada dasarnya memiliki
tanggungjawab yang sangat besar agar kelestarian produksi, ekologi/lingkungan dan sosial
budaya masyarakat dapat terjaga dalam jangka panjang. Kemudian kegiatan pengelolaan
ini pun memiliki spektrum yang sangat luas dengan melibatkan banyak pihak sehingga untuk
tercapainya tujuan pengelolaan NKT/KBKT setiap unit manajemen harus memiliki suatu
badan/divisi khusus yang menangani NKT/KBKT. Kemudian badan/divisi ini harus didukung
pula oleh sumberdaya manusia handal dan profesional (sekurang-kurang tiga tenaga ahli
utama yang meliputi tenaga ahli ekologi/lingkungan, jasa lingkungan dan sosial budaya
masyarakat), sarana prasarana dan sumber dana yang cukup.
Badan/Divisi ini diberi mandat untuk dapat menjamin keberlangsungan kegiatan-kegiatan
pengelolaan ekologi/lingkungan, jasa lingkungan dan sosial/budaya masyarak. Dalam
proses untuk mencapai tujuan pengelolaan tersebut di atas badan/divisi ini harus melibatkan
pihak-pihak terkait, terutama masyarakat lokal, sesuai dengan tingkat kepentingan
pengelolaannya.
Kriteria keberhasilan badan/divisi pengelolaan ekologi/lingkungan adalah terbangunnya
suatu sistem manajemen yang adaptif, didasarkan data/informasi ilmiah yang terukur, serta
diambil dengan metode yang baik dan benar. Manajemen adaptif adalah suatu proses yang
terencana dan terukur untuk mendukung keputusan manajemen agar tercapainya sasaran
manajemen yang lebih baik.
Agar kapasitas pengelolaan NKT/KBKT dalam suatu unit manajemen dari waktu ke waktu
terus meningkat maka divisi/badan pengelola sebaiknya menyusun standar-standar
pengelolaan terbaik sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi pengelolaan.
standar-standar tersebut disusun berdasarkan azas transparansi, terukur (measurable) dan
dapat dipertanggunggugatkan (accountable) sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat,
kabupaten dan propinsi, Rencana Pengelolaan Unit Manajemen, kondisi lokal spesifik,
kearifan tradisional, teknologi terkini, kesiapan sumberdaya manusia dan alokasi dana yang
telah dikonsultasikan dengan pakar dibidangnya masing-masing serta telah disepakati oleh
para pihak.
3.6. Pengelolaan partisipatif.
Untuk melakukan pengelolaan NKT 5 dan NKT 6 (NKT Sosial) yang berhubungan dengan
kebutuhan dasar, sosial dan budaya masyarakat setempat. Diperlukan pendekatan
pengelolaan yang melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya. Pendekatan ini di sebut
sebagai “pengelolaan partisipatif”
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah, pengumpulan
data, analisis data, dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini
adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis dalam
Kontekss pengembangan masyarakat. Dalam Konteks pengelolaan NKT Sosial,
pengelolaan secara partisipatif dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu.
1) Konsultasi dengan masyarakat, beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk
melakukan konsultasi dengan masyarakat dalam merencanakan pengelolaan NKT
Sosial secara partisipatif adalah :
Hal | 34
a. Mengembangkan peta-peta yang menunjukkan sumberdaya alam yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Peta-peta ini harus
dibuat sebelum ada kegiatan produksi di dalam suatu unit pengelolaan. Peta-
peta sumberdaya masyarakat harus menunjukkan kawasan-kawasan kunci yang
diperlukan untuk menyediakan akses atau untuk melestarikan sumber-sumber
daya alam yang kritis.
b. Melaksanakan konsultasi-konsultasi dengan staf operasional lapangan, anggota
masyarakat atau lembaga-lembaga lain yang relevan (misalnya lembaga
akademik, badan-badan pemerintah, LSM) untuk mengevaluasi potensi dampak
yang merusak dari kegiatan operasional terhadap sumberdaya yang ada.
c. Membuat kesepakatan dengan masyarakat tentang kawasan-kawasan yang
harus dikeluarkan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya alam, karena
mengandung sumberdaya yang tinggi bagi masyarakat. Strategi-strategi untuk
mengontrol akses harus semaksimum mungkin konsisten dengan aturan-aturan
dan kelembagaan adat. Jika memungkinkan, pemerintah lokal (daerah) harus
diyakinkan untuk menyetujui penetapan-penetapan semacam itu sebagai suatu
dukungan pemerintah dalam perlindungan kawasan-kawasan tersebut terhadap
ancaman-ancaman lain.
d. Mengembangkan SOP (Standard Operational Procedure) pengelolaan dan
pemantauan NKT Sosial untuk memastikan bahwa staf yang bertanggungjawab
dalam operasional sadar akan keputusan-keputusan secara prosedur dan tahu
apa yang harus dilakukan untuk menerapkannya.
2) Pemetaan partisipatif, pemetaan partisipatif adalah pemetaan yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat mengenai tempat/wilayah di mana mereka hidup . Pemetaan
partisipatif merupakan satu metode pemetaan yang menempatkan masyarakat sebagai
pelaku pemetaan wilayahnya, sekaligus juga akan menjadi penentu perencanaan
pengembangan wilayah mereka sendiri. Pemetaan partisipatif juga dapat dilakukan
sebelum adanya identifikasi NKT, atau pada saat identifikasi NKT atau untuk kebutuhan
pengelolaan NKT yang telah teridentifikasi. Dalam Konteks pengelolaan NKT Sosial,
beberapa tahapan yang dapat dilakukan adalah:
a. Memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang pemetaan partisipatif.
Dalam tahap ini dapat disampaikan pengertian, ciri-ciri dan manfaat dari
pemetaan pertisipatif.
b. Bersama-sama dengan masyarakat melakukan konfirmasi kembali terhadap
lokasi-lokasi yang telah teridentifikasi NKT Sosial (untuk pemenuhan kebutuhan
dasar dan identitas budaya) untuk didiskusikan bersama, termasuk menyepakati
kembali nilai-nilai yang terkandung didalam areal yang teridentifikasi NKT.
c. Menggambarkan secara jelas (meskipun melalui sketsa), lokasi-lokasi yang
diindikasikan sebagai NKT Sosial dan mendiskusikan bagaimana cara
mengelolanya, siapa yang bertanggung jawab, dan kapan pengelolaan akan
dilakukan.
d. Menyepakati hasil diskusi dengan masyarakat dan dijadikan sebagai acuan atau
panduan bagi perusahaan dalam pengelolaan NKT Sosial yang dilakukan secara
partisipatif.
3) Pengelolaan konflik secara partisipatif. Rencana pengelolaan NKT Sosial juga harus
mencakup mekanisme penyelesaian konflik, antara lain kasus-kasus dimana beberapa
anggota masyarakat percaya bahwa sumberdaya alam telah dirusak, dan untuk kasus-
kasus dimana kawasan konservasi atau aturan-aturan yang disepakati bersama telah
Hal | 35
dilanggar. Untuk itu dibutuhkan beberapa hal dalam pengelolaan konflik secara
partisipatif adalah :
a. Kesepakatan tentang perwakilan dari masyarakat dan perusahaan yang akan
bertanggungjawab untuk menyelesaikan kasus konflik.
b. Kesepakatan tentang prosedur kompensasi standar dan jumlah uang untuk tipe-
tipe kerusakan yang mungkin terjadi (misalnya kerusakan pohon buah-buahan,
pohon penghasil madu dan lain-lain).
c. Kesepakatan ini harus didokumentasikan secara tertulis oleh perwakilan dari
kedua belah pihak. Perusahaan harus menyimpan catatan tertulis dari semua
konflik dan langkah-langkah yang telah diambil untuk menyelesaikannya.
d. Aspek penting lain dari suatu rencana pengelolaan kolaborasi adalah
mengidentifikasi kemungkinan konflik-konflik antara aspek ekologi dan sosial
pada NKT dengan cara mendiskusikannya dengan masyarakat. Jika perlu,
perusahaan dan masyarakat harus mengembangkan suatu strategi untuk
menjamin partisipasi masyarakat di dalam konservasi aspek-aspek ekologi NKT.
Situasinya akan sulit jika nilai-nilai ekologi dan sosial secara langsung
berlawanan, misal menyangkut perburuan satwa langka. Dalam kasus-kasus
semacam itu, perusahaan harus memulai suatu program pendidikan lingkungan
dan sosialisasi sebelum menegosiasikan suatu kesepakatan dengan masyarakat
untuk memodifikasi kebiasaan-kebiasaannya. Bantuan dari luar, misalnya dari
badan-badan penegak hukum, LSM atau institusi akademik mungkin diperlukan.
3.7. Sumber untuk informasi tambahan
- Practitioner Guide to Managing NKT in Indonesia a case study from East Kalimantan.
http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.
- Assessment, management and monitoring of Nilai Konservasi Tinggi Forest,A practical
guide for forest managers. http://www.NKTnetwork.org/resources/.
- Biodiversity Conservation, a guide for USAID staff and partners.
- The Conservation MeasuresPartnership. Open standart for the practice of conservation.
- Rujukan buku Participatory Conservation Planning Manual. The Nature Conservancy
,2004.
Hal | 36
Bab IV Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi
Bab ini membahas tentang definisi, tujuan, skala dan hasil dari pemantauan Nilai
Konservasi Tinggi (NKT), pentingnya menyusun pemantauan NKT serta bagaimana teknik
atau metode dalam menyusun pemantauan NKT. Pemantauan NKT yang di maksud dalam
bab ini adalah untuk melihat atau mengukur tingkat keberhasilan dari pelaksanaan
pengelolaan masing-masing nilai – NKT yang teridentifikasi atau di ketemukan ada dalam
suatu kawasan yang pengelolaan (NKT1 sampai NKT 6).
4.1. Definisi Pemantauan
Pemantauan ( Monitoring) di definisikan sebagai sebuah kegiatan menyelidiki bagaimana
keadaan-keadaan berubah dalam perjalanan waktu. Dengan kata kunci adalah
pengumpulan dan evaluasi data secara periodi terhadap tujuan, sasaran dan kegiatan yang
sudah ditetapkan4.
Dalam Konteks NKT, pemantauan adalah proses pengontrolan terhadap tingkat
keberhasilan pengelolaan NKT yang teridentifikasi dalam suatu kawasan, apakah NKT
tersebut dapat dipertahankan atau meningkat di dalam kawasan tersebut. Kunci utama
dalam pemantauan NKT adalah bahwa harus ada strategi-strategi yang dirancang untuk
mengukur, menilai , efektivitas hasil dari pengelolaan NKT. Pemantuan sangat penting
fungsinya untuk menilai keberhasilan kegiatan pengelolaan. Tanpa adanya proses
pemantauan sangat sulit mengukur apakah kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan itu
dapat dilaksanakan atau berhasil . Pemantaun dapat membantu para pelaksana dilapangan
untuk melihat bagian-bagian mana yang sesuai dengan rencana dan bagian mana yang
tidak berhasil. Oleh sebab itu pemantauan merupakan bagian intergral dari siklus
pengelolaan adaptif5.
4.2. Tujuan Pemantuan
Tujuan utama dari proses pemantuan NKT adalah menyelidiki bagaimana kondisi NKT
terkini yang berubah dalam perjalanan waktu, dengan cara melakukan kegiatan
pengumpulan dan evaluasi data secara periodik di hubungkan dengan tujuan, sasaran dan
kegiatan-kegiatan pengelolaan yang sudah ditetapkan.
4 Margolui dan Salafsky,1998. Dikutip dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi
tinggi di Indonesia. The Nature Conservancy 2002. 5 Di dalam pengelolaan adaptif , pemantauan adalah suatu komponen yang sangat penting karena
pemantuan menyediakan suatu landasan untuk mengevaluasi hasil dari suatu praktek pengelolaan dan mengidentifikasi perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mencapai peningkatan di masa yang akan datang. Bentuk pengelolaan yang efektif yang di ketahui sebagai pengelolaan adaptif yaitu menyiapkan program-program kegiatan dan pemantuan sesuai sesuai dengan rancangan yang sudah ditentukan oleh para pengelola unit/ konsesi. Dari hal tersebut para pengelola banyak belajar tentang sistem yang dikelola dan mengevaluasi praktek pengelolaan mana yang paling efektif.
Hal | 37
4.3. Prinsip-prinsip Pemantauan
Prinsip dari sebuah rencana pemantauan atau program pemantauan harus memiliki hal
sebagai berikut :
- Memiliki sasaran pemantauan yang jelas;
- Di rencanakan sebelumnya dan merupakan bagian dari rencana-rencana tersebut;
- Pemantuan harus mengikuti metode-metode yang sudah baku;
- Dilaksanakan secara teratur dan sesuai dengan periode yang sudah di tentukan;
- Di dalamnya termasuk rencana rinci untuk analisis, interpretasi dan di integrasikan ke
dalam rencana-rencana jangka panjang;
- Rencana pemantauan harus sedehana dan lugas.
4.4. Skala Pemantauan dan Keluaran
Skala pemantauan NKT pada panduan ini terfokus kepada pemantauan NKT dalam unit-unit
pengelolaan (contoh: unit pengelolaan hutan, pertanian skala kecil, kebun/estate, Kuasa
Pertambangan) dengan melihat juga aspek bentang alam (lanskap). Pemantauan NKT
akan sangat tergantung dengan pengelolaannya karena itu pemantauan NKT dalam
dokumen ini mengikuti pengelolaannya. Pengelolaan dan pemantauan suatu kawasan
bernilai konservasi tinggi harus melihat dari semua aspek yang ada secara menyeluruh
(holistik), dalam hal ini konsep bentang alam menjadi hal yang sangat penting.
Di harapkan keluaran dari panduan pemantauan ini adalah adanya arahan atau teknik dan
metode dalam penyusunan rencana pengelolaan terhadap masing-masing NKT yang
teridentifikasi atau diketemukan dalam suatu unit pengelolaan.
4.5. Metode Pemantauan NKT
Pada dasarnya metode pemantauan NKT terbagi menjadi dua bagian besar yaitu:
1) Pemantauan secara ekologis untuk pemantuan NKT1, NKT 2, NKT3, NKT4 dan;
2) Pemantauan yang bersifat partisipatif yang berhubungan dengan masyarakat (
kebutuhan dasar dan budaya, NKT5 dan NKT).
4.5.1. Pemantauan Ekologis
Pemantauan ekologis dipergunakan karena beberapa hal :
1) Hasil pemantauan dapat memberikan peringatan kepada unit pengelola dari perubahan
ekologi yang tidak diinginkan yang terjadi di dalam konsesi;
2) Pemantauan ekologis merupakan kebutuhan obyektif untuk mengevaluasi apakah
kegiatan pengelolaan NKT yang berhubungan dengan melestarikan keanekaragaman
hayati sudah di capai atau belum;
3) Pemantauan ekologis adalah sebuah kebutuhan untuk mengevaluasi dampak jangka
panjang dari aktivitas manusia dan gangguan terhadap keanekaragaman hayati;
4) Pemantauan ekologis dapat memberikan wawasan kepada para pengelola di dalam
sebuah unit pengelolaan tentang fungsi ekosistem yang kompleks.
Hal | 38
Beberapa metode yang disarankan dan biasa digunakan untuk pengumpulan data dan jenis
data yang dikumpulkan untuk melakukan pemantauan ekologis6 antara lain :
1) Penginderaan jarak Jauh dan sistem informasi geografis7;
2) Plot sample permanen ( vegetasi)8;
3) Transek Satwaliar9;
4) Spesies indikator10;
5) Pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air11.
6) Survey Temuan12;
7) Kajian Perburuan di masyarakat13
8) Wawancara dengan masyarakat14.
4.5.2. Pemantauan yang bersifat Partisipatif
Pemantuan yang bersifat partisipatif adalah kegiatan pemantauan yang melibatkan
masyarakat di dalamnya. Metode ini utamanya digunakan dalam pendekatan pengelolaan
dan pemantuan NKT 5 dan NKT 6. Belum ada metode baku di dalam melakukan
pemantauan yang berhubungan dengan NKT ini. Unit pengelola di sarankan untuk
mengembangkan metode-metode yang mungkin bisa melibatkan masyarakat dalam proses
pemantauan ini. Ada beberapa hal yang harus ada di dalam komponen metode tersebut
antara lain :
- Definisi dan parameter yang akan dipantau dengan mudah dipahami masyarakat;
- Indikator tersebut harus sederhana, bahasa yang dipakai mudah dan dimengerti
masyarakat, aturan-aturan dalam metode tersebut gampang dipahami;
- Masyarakat sebagai bagian dari pengambil keputusan;
6 Diambil dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi tinggi di Indonesia. The
Nature Conservancy 2002. 7 Penginderaan jarak jauh menggunakan sarana citra satelit atau potret udara untuk memeriksa
perubahan-perubahan yang terjadi pada vegetasi dan tutupan hutan. Sedangkan software untuk melakukan kegiatan tersebut ada dalam satu sistem pemetaan yang biasa di sebut sistem informasi geografis (SIG-Geografical information system). 8 Sample plot permanen adalah kegiatan untuk memantau pertumbuhan dan kematian pohon yang
terdapat dalam suatu kawasan hutan. 9 Transek hidupan liar adalah jalur-jalur panjang yang terdapat dalam suatu unit pengelolaan
khususnya hutan, tempat melakukan survey kehidupan liar yang menggunakan cara atau metode baku tentang kehidupan liar di tempat tersebut seperti jejak, kotoran, sarang, suara, bau dan sebagainya. 10
Spesies indikator sering di jadikan patokan dalam pemantauan. Beberapa spesies yang telah disarankan menjadi indikator-indikator ekologis antara lain burung-burung frugivora dan insektivora terestrial, owa, dan serangga atau spesies-spesies kunci atau spesies payung. 11
Pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air menjadi salah satu indikator yang penting dalam pemantuan NKT khususnya pemantauan lingkungan,hal ini berhubungan khususnya dengan NKT 4. 12
Metode ini melibatkan semua elemen di dalam perusahaan dalam membantu pemantuan satwa liar yang diketemukan dalam aktivitas harian, contoh: supir mobil angkutan yang menemukan satwaliar di dalam perjalanan dalam konsesi bisa melaporkan temuannya kepada petugas di divisi yang menangani tentang lingkungan, begitu juga staf-staf lain yang bisa melakukan hal yang sama. 13
Kajian perburuan di masyarakat dilakukan untuk memantau berapa banyak atau berapa intensitas perburuan terhadap satwaliar yang dilakukan oleh masyarakat dalam periode tertentu. 14
Kegiatan ini penting juga dengan melibatkan masyarakat setempat dalam mendapatkan informasi tentang kehidupan satwaliar yang ada di dalam dan sekitar unit pengelolaan. Kegiatannya berupa wawancara, qusioner dan diskusi kelompok.
Hal | 39
Dibawah ini di sampaikan beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan
pemantauan NKT 5 & NKT 6 secara partisipatif adalah:
1. Sosialisasikan kepada masyarakat tentang NKT yang telah teridentifikasi sebelumya;
2. Diskusikan dengan masyarakat tentang perubahan apa saja yang sedang dan akan
terjadi dan bagaimana kecenderungan kecenderungan ke depannya terkait dengan
keberadaan NKT ini.
3. Kembangkan dan laksanakan rencana pemantauan secara partisipatif dengan
mendiskusikan tentang indikator atau parameter apa saja yang akan dipantau, siapa
yang akan memantau dan kapan akan dilakukan pemantauan.
4. Susunlah rencana pemantauan secara partisipatif ini sedetail mungkin dan sejelas
mungkin agar masyarakat dapat memahami serta dapat berpartisipasi dalam kegiatan
pemantauan.
5. Buatlah komitmen dan kesepakatan dengan masyarakat untuk mematuhi dan menaati
rencana serta pelaksanaan dari pemantauan NKT ini.
6. Masukkan rencana pemantauan NKT ini ke dalam rencana pemantauan strategi
konservasi perusahaan yang dapat disinergikan dengan rencana pemantauan aspek
lainnya.
7. Integrasikan kegiatan ini kedalam kegiatan rutin masyarakat yang tidak mengganggu
keseharian mereka.
4.6. Penggunaan Hasil Pemantauan
Pemantauan ekologis ataupun partisipatif akan sangat berguna kalau di lakukakan analisa
lebih lanjut, hasil-hasil kegiatan ini akan sangat bermanfaat dalam melakukan perbaikan-
perbaikan dalam sistem pengelolaan lebih lanjut. Sesuai dengan sistem pengelolaan adaptif
yang diadopsi dalam panduan ini (lihat gambar 6).
Hal | 40
Struktur Minimum dok Pengelolaan dan Pemantauan
Ringkasan
Bab ini berisi tentang ihktisar dari rencana pengelolaan dan pemantauan NKT yang isinya antara lain latar belakang, tujuan dari pengelolaan dan pemantauan, cakupan, tim penyusun dan kegiatan dalam pengelolaan dan pemantauan NKT.
Pendahuluan Bab pendahuluan berisi tentang latar belakang dari penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan NKT.
Tujuan Bab tujuan menggambarkan tentang maksud dan tujuan adanya kegiatan pengelolaan dan pemantauan NKT
Cakupan Bab cakupan berisi tentang cakupan dan ruang lingkup dari rencana pengelolaan dan pemantauan NKT
Tim Penyusun Bab ini berisi tentang anggota tim yang menyusun rencana pengelolaan danpemantauan NKT, juga ringkasan keahlian dari masing-masing anggota tim.
Kegiatan-kegiatan pengelolaan dan pemantauan (PIC, bujet, waktu, metode)
Bab ini merupakan inti dari laporan pengelolaan dan pemantauan NKT, yang berisi tentang rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam proses pengelolaan dan pemantauan NKT, di dalam bab ini di juga di jelaskan tentang Tindakan yang harus diambil dalam pengelolaan dan pemantauan,Tujuan,Apa yang perlu di kelola dan diawasi,Bagaimana mengelola dan mengawasinya, siapa yang akan bertanggung jawab, Kapan mereka akan melakukannya,bagaimana orang yang bertanggung jawab akan melaporkan temuan mereka.
Lampiran (peta, desain tehnis dll.) Bab ini berisi tentang lampira utama berupa data-data pendukung yang diperlukan di dalam kegiatan pengelolaan dan pemantauan NKT, seperti metode, peta-peta dan catatan lainnya.
Hal | 41
Bab V Penutup
Keberhasilan dalam melakukan pengelolaan dan pemantauan NKT di berbagai sektor
pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, sangat tergantung kepada komitmen dari para
pemangku kepentingan di dalam menjaga dan meningkatkan nilai-nilai yang sangat penting
ini. Komitmen ini juga harusnya di dukung oleh kebijakan dan regulasi-regulasi yang relavan.
Komitmen dari pihak unit pengelola dalam hal ini harus juga di dukung oleh komitmen
pemerintah setempat melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung juga keterlibatan
masyarakat sangat di perlukan. Karena mereka ini memiliki kontribusi yang menetukan
berhasil tidaknya kegiatan pengelolaan NKT.
Selain komitmen, perangkat lain yang penting adalah adanya bimbingan dan panduan yang
memadai kepada para pemangku kepentingan di dalam menjalankan pengelolaan dan
pemantauan NKT. Tugas ini salah satunya menjadi tanggung jawab pihak NKT-NI melalui
anggotanya yang harus memberikan bimbingan secara teknis atau konsep. Keberadaan
panduan menjadi sangat penting sekali karena bisa jadi adanya keterbatasan waktu atau
tenaga bagi para anggota NKT-NI dalam melakukan pendampingan, panduan yang ada
saat ini bukan lah merupakan panduan yang bersifat statis akan tetapi akan berkembang
secara terus menerus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ditemukan di lapangan.
Untuk itu pendekatan pengelolaan adaptif menjadi landasan utama dalam panduan yang
ada saat ini. Karena dengan konsep ini, panduan yang ada saat ini di harapkan akan terus
berkembang dan lebih baik lagi serta kredibel.
Hal | 42
DAFTAR PUSTAKA
Anand, MO, J. Krishnaswamy, A. Kumar and A. Bali. 2010. Sustaining biodiversity conservation in human-modified landscapes in the Western Ghats: Remnant forests matter. Biological Conservation, 143 (2010) : 2363-2374
Blouin, M.S. dan E.F.Connor. 1985. Is there a best shape for Nature Reserve. Biological Conservation 32 (1985) : 277-288
Deshaye, Jean dan P. Morisset. 1989, Species-area Relationships and the SLOSS Effect in Subartic Archipheago. Biological Conservation 48 (1989) : 265-276
Diamon, J.M. 1975. The island dilemma: Lesson of modern biogeographics studies for the design of the natural reserves. Biol. Conserv. (1975) : 129 – 146.
FSC (2000) FSC Principles and Criteria. Document 1.2. Forest Stewardship Council. Bonn, Germany.
Forman & Godron. 1989. Landscape Ecology.
Frohn, Robert C. 1998. Remote Sensing fro Landscape Ecology. Lewis Pub. Washington DC. 99 p
Gascon, C, TE. Lovejoy, RO. Bierregaard Jr.,J R. Malcolm,PC. Stou€er, H L. Vasconcelos, WF. Laurance, B. Zimmerman, M.Tocher, and S. Borges.1999. Matrix habitat and species richness in tropical forest remnants. Biologi Conservation, 91 (1999) 223 -229
Giambelluca, TW., A.D. Ziegler, M.. A. Nullet, D.M. Truong and L.T. Tran. 2003. Transpiration in a small tropical forest patch. Agric.and Forest Meteorology, 117 (2003): 1-22
Jarvie, J. Hiller, M., and A. Salim (2002) NKTF Guidelines for Forest Managers in Indonesia. Sponsored by The Nature Conservancy and The United States Forest Service.
Jennings, S and J. Jarvie (2004) A Sourcebook for Landscape Analysis of Nilai Konservasi Tinggi Forests. ProForest. Oxford. UK.
Jennings, S. Nussbaum, R., and T. Sysnnott (2002) A Toolkit for identifying and managing Nilai Konservasi Tinggi Forests: Review Draft 1. Prepared by ProForest. Oxford. UK
Jennings, S. (2004). NKTF for Conservation Practitioners. ProForest. Oxford. UK
Jennings, S. Nussbaum, R. Judd, N. and T Evans. (2003) The Nilai Konservasi Tinggi Forest Toolkit (Parts 1 – 3). ProForest. Oxford.
Kunin, W.E. 1997. Sample shape, spatial scale & species counts:Implication for reserve design. Biological Conservation, 82 (1997): 369-377
Laurance, WF. 1991. Edge Effects in Tropical Forest Fragments: Application of a Model for the Design of Nature Reserves. Biological Conservation 57 (1991): 205-219
McGariga, K. 1994. Fragstat : Spatial pattern analysis program for quantifying landscape structure. Forest Science Department, Oregon State University, Corvallis,141pp
Hal | 43
McGariga, K., S.Tagil, and S.A. Cushman. 2009. Surface metrics: an alternative to patch metrics for the quantification of landscape structure. Landscape Ecology (2009) 24: 433-450
Meijaard, E., S. Stanley, E.H.B. Pollard, A. Gouyon & G. Paoli. 2006. Nilai Konservasi Tinggi Forest in East Kalimantan. A Guide for Practioners. The Nature Conservancy – East
Kalimantan Program, Samarinda, Indonesia.
Proforest/SmartWood (2003) Identifying, Managing and Monitoring Nilai Konservasi Tinggi Forests in Indonesia: A Toolkit for Forest Managers and other Stakeholders. SmartWood Asia Pacific Program.
Salafsky, N., R. Margoluis, and K. Redford (2001) Adaptive Management : A tool for conservation practitioners. Biodiversity Support Program. Washington DC
SmartWood (2003) Identifying, Managing and Monitoring Nilai Konservasi Tinggi Forests in Indonesia: A Toolkit for Forest Managers and other Stakeholders. SmartWood Asia Pacific Program.
Saunders, S.C., J.Chen, T. D. Drummer and T. R. Crow. 1999. Modeling temperature gradients across edges over time in a managed landscape. Forest Ecology & Management, 117 (1999) : 17-31
Sharon Kingsland. 2002. Designing nature reserves: adapting ecology to real-world problems, Endeavour Vol. 26(1) 2002
Simberloff, D.S. dan L.G. Abele. 1975. Island Biogeography Theory and Conservation Practice. Science 191 : 285-286
Spittlehouse, R.S. Adams, and R.D. Winkler.2004. Forest, Edge, and Opening Microclimate at Sicamous Creek. Ministry of Forests Forest Science Program, British Columbia
Stewart, C; P. George, T. Rayden and R. Nussbaum. 2008. Pedoman Pelaksanaan
Penilaian Nilai Konservasi Tinggi. Edisi I-Mei 2008. Proforest.
Tim Rayden. 2008 . Assessment, management and monitoring of Nilai Konservasi Tinggi
Forest (NKTF).A practical guide for forest managers . ProForest, Oxford
TNC - LLFO. (2002). Participatory Conservation Planning: A methodology for Community
consultation. The Nature Conservancy. Palu, Indonesia.
TNC (2000) The Five-S framework for site conservation : a practitioners handbook of Site
Conservation Planning and measuring conservation success. The Nature
Conservancy, Arlington VA, USA
Tropenbos. 2008. Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia.
Konsorsium Revisi NKT Toolkit Indonesia. Tropenbos International Indonesia
Programme.
Konsorsium Revisi, H.C.V.T.I., Panduan identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi TInggi di
Indoneesia2008, Balikpapan, Indonesia: Tropenbos International Indonesia
Programme. 125 Halaman-125 Halaman.
Sanderson, E.W., et al., A conceptual model for conservation planning based on landscape
species requirements. Landscape and urban planning, 2002. 58(1): p. 41-56.
Hal | 44
Good Practives guilnes for High Conservation Value assessments: A Practical guide for
practitioners and auditors, ed. C. Stewart, et al.2008, Oxford, United Kingdom:
ProForest.
Rao, M., A. Johnson, and N. Bynum, Assessing Threats in Conservation Planning and
Management. Lesson in Conservation, 2007(1): p. 44-71.
WCS. Living Landscape Program. 2007; Available from:
http://www.wcslivinglandscapes.com/Home.aspx.
Laurance, W.F. and R.O. Bierregaard, Tropical Forest Remnants: Ecology, Management,
and Conservation of Fragmented Communities1997: University of Chicago Press,
Chicago.
Kinnaird, M.F., et al., Deforestation Trends in a Tropical Landscape and Implications for
Endangered Large Mammals. Conservation biology, 2003. 17(1): p. 245-257.
Gaveau, D.L.A., H. Wandono, and F. Setiabudi, Three decades of deforestation in southwest
Sumatra: Have protected areas halted forest loss and logging, and promoted re-
growth? Biological Conservation, 2007. 134(4): p. 495-504.
Linkie, M., R.J. Smith, and N. Leader-Williams, Mapping and predicting deforestation
patterns in the lowlands of Sumatra. Biodiversity and Conservation, 2004. 13(10): p.
1809-1818.
Wilson, K., et al., Conserving biodiversity in production landscapes. Ecological Applications,
2010.
Ecological monitoring of forest management in the humid tropics: a guide for forest
managers and certifiers with special reference to Nilai Konservasi Tinggi Forests.
http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.
Nilai Konservasi Tinggis and Biodiversity: identification, management and monitoring. FSC
Briefing Note, developed by ProForest.
http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-
29.6584228415/NKT_briefing_note_high_res.pdf.
Practical Toolkit for identifying and monitoring biodiversity within oil palm landscapes, ZSL
September 2011. http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-
29.6584228415/ZSL.
Assessment, Management & Monitoring of Nilai Konservasi Tinggis: A practical guide for
forest managers, Tim Rayden: 2008, ProFores.
http://www.NKTnetwork.org/resources/
Guidelines on Management and Monitoring Of Nilai Konservasi Tinggi For Sustainable Palm
Oil Production In Indonesia, NKT RSPO Indonesian Working Group (NKT-RIWG).
http://www.NKTnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415.
Hal | 45
Lampiran 1: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Alam
Oleh:
Yana Suryadinata
Wahyu Riva
1. Pendahuluan
Konsep Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) muncul pertama kali pada tahun 1999
sebagai ‘Principle 9’ dari standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan
oleh Forest Stewardship Council (FSC). Konsep ini dirancang dengan tujuan untuk
membantu para pengelola hutan alam dalam usaha usaha peningkatan keberlanjutan
usahanya dengan tetap memperhatikan keberlangsungan kehidupan sosial dan lingkungan
hidup di dalam dan sekitar areal konsesinya. Di dalam prinsip ke -9 standar FSC, terdapat
empat hal penting yang harus dilakukan berkaitan dengan nilai konservasi tinggi (NKT) oleh
setiap unit pengelolaan hutan alam dalam proses penilaian standar pengelolaan hutan yang
berkelanjutan, yaitu bahwa setiap unit pengelolaan hutan diwajibkan untuk:
5. Mengidentifikasi Hutan Bernilai Konservasi Tinggi yang ada di dalam kawasan
konsesinya;
6. Konsultasi publik dalam proses sertifikasi harus menekankan pada sifat-sifat konservasi
yang teridentifikasi dan pilihan-pilihan pengelolaannya ;
7. Mengelola area hutan tersebut supaya dapat memelihara atau meningkatkan nilai-nilai
yang teridentifikasi;
8. Memonitor keberhasilan pengelolaan kawasan hutan itu.
Pengelolaan dan pemantauan wilayah yang mempunyai NKT menjadi sangat penting
karena salah satu prinsip dasar dari konsep KBKT adalah bahwa wilayah-wilayah dimana
dijumpai atribut yang mempunyai NKT tidak selalu harus menjadi daerah dimana
pengusahaan hasil hutan tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, konsep NKT mensyaratkan
agar pengusahaan hasil hutan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan dan
atau peningkatan NKT tersebut.
Di Indonesia, saat ini banyak para pemegang ijin pengelolaan hutan alam yang mengikuti
standar pengelolaan hutan alam lestari secara sukarela, salah satu tujuan dari keterlibatan
para pemegang ijin adalah keinginan agar produk hasil hutan berupa kayu dapat di jual di
pasar internasional dan produk mereka merupakan produk yang dihasilkan dari pengelolaan
yang memperhatikan aspek lingkungan dan sosial budaya di sekitarnya. Ketersedian
rencana pengelolaan dan pemantauan NKT menjadi salah satu kebutuhan utama bagi para
pengelola hutan alam, sebagai panduan bagi para manager dan staf dilapangan dalam
memelihara atau meningkatkan NKT-NKT yang terdapat di dalam konsesinya.
Hal | 46
2. Tahapan Operasional di pengelolaan Hutan Alam
Sistem pengelolaan hutan alam di Indonesia mewajibkan para pemegang ijin untuk
melakukan kegiatan pengusahaan hutan di dalam konsesinya di dalam satu sistem
silvikultur yang sudah di tetapkan dan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan.
Rencana Kehutanan dalam sistem pengelolaan alam terdiri dari Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam untuk jangka waktu 10 tahun dan rencana kerja
tahunan usaha (RKT) untuk jangka waktu 1 tahunan.
Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan, yang
meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan, guna menjamin
kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan TPTI adalah sistem silvikultur
yang meliputi cara penebangan dengan batas diameter dan permudaan hutan. Untuk
mencapai sasaran yang diharapkan dalam pelaksanaan TPTI, maka ditetapkan tahapan
pelaksanaan TPTI dan tata waktu pelaksanaannya sebagai berikut: penataan areal kerja,
inventarisasi tegakan sebelum penebangan, pembukaan wilayah hutan, penebangan,
pembebasan, inventarisasi tegakan tinggal, pengadaan bibit, penanaman/pengayaan,
pemeliharaan tahap pertama, pemeliharaan lanjutan, pembebasan, penjarangan,
perlindungan dan penelitian.
Tabel 1. Tahapan dalam pelaksanaan sistem TPTI
No Tahapan Kegiatan TPTI Waktu pelaksanaan
1 Penataan Areal Kerja Et-3
2 Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan Et - 2
3 Pembukaan Wilayah Hutan Et - 1
4 Penebangan Et
5 Pembebasan Et + 1
6 Inventarisasi Tegakan Tinggal Et + 1
7 Pengadaan Bibit Et + 2
8 Penanaman/Pengayaan Et + 2
9 Pemeliharaan Tahap Pertama Et + 3
10 Pemeliharaan Lanjutan ( pembebasan,
penjarangan)
Et + 4, Et + 9, Et +14 ,Et +19
11 Perlindungan dan Penelitian Terus menerus
Keterangan: Et adalah simbol tahun penebangan.
Hal | 47
Semua aktivitas dalam sistem silvikultur ini memberikan dampak postif atau negatif
terhadap lingkungan sekitarnya secara ekologi, sosial dan budaya. Kawasan yang bernilai
konservasi tinggi yang di temukan di dalam konsesi sangat dipengaruhi oleh aktivitas-
aktivitas ini baik secara langsung ataupun tidak. Contoh kegiatan yang berpengaruh
terhadap NKT antara lain pembukaan wilayah hutan, penebangan, kegiatan-kegiatan
tersebut memberikan dampak terhadap satwaliar dengan terbukanya tajuk, hilangnya
sumber pakan dan rusaknya habitat (NKT 1), timbulnya erosi dan sedimentasi (NKT4), dan
berkurangnya sumber bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (
NKT5).
Kemungkinan dampak dari kegiatan pengelolaan kawasan hutan yang didalamnya
mengandung NKT akan sangat tergantung pada tipologi, karakteristik, dan kondisi pada
areal konsesi hutan alam. Perubahan-perubahan yang terjadi di lapangan dapat terjadi
pada skala besar maupun dalam skala kecil dan pada tingkat ekosistem maupun bentang
alam. Adanya kegiatan pengelolaan hutan yang kemungkinan dapat menurunkan kualitas
dan kuantitas NKT dapat dipulihkan dalam jangka pendek, jangka menengah maupun
jangka panjang. Setiap dampak negatif dari pengelolaan hutan yang terjadi pada suatu NKT
dapat dikurangi melalui pengelolaan hutan yang baik. Salah satu contoh pengelolaan hutan
yang baik untuk aspek produksi adalah dengan menerapkan teknik penebangan berdampak
rendah (reduced impact logging/RIL). Penerapan RIL secara benar dan tepat dilapangan
dapat mengurangi dampak negatif yang terjadi pada suatu areal yang diindikasikan
didalamnya terdapat NKT.
Untuk menentukan strategi pengelolaan yang sesuai maka diperlukan informasi mengenai
bentuk-bentuk ancaman terhadap nilai yang melekat pada masing-masing NKT. Ancaman
merupakan bentuk proses atau kegiatan yang dapat menyebabkan suatu nilai memberikan
respon dalam bentuk perubahan nilai itu sendiri atau sebuah indikasi atau peringatan akan
terjadinya kerusakan atau pengaruh negatif terhadap nilai. Nilai dari ancaman tersebut juga
dapat diketahui apakah tinggi atau rendah. Juga perlu diidentifikasi sumber dari ancaman
dan potensi dari ancaman tersebut. Informasi tentang ancaman ini penting untuk
menentukan strategi pengelolaan NKT yang teridentifikasi.
3. Pengelolaan dan Pemantauan NKT
Kunci utama dalam pengelolaan NKT adalah bahwa strategi-strategi yang dirancang harus
mempertahankan atau meningkatkan nilai. Hal ini berarti akan ada perbedaan pengelolaan
antara konsesi satu dengan yang lainnya tergantung dari nilai NKT yang teridentifikasi atau
ditemukan. Dalam standar pengelolaan hutan skema FSC, aspek pengelolaan NKT
tercantum dalam prinsip 9.3 :
“ 9.3. Rencana pengelolaan hendaknya meliputi dan mengimplementasikan tindakan-
tindakan spesifik untuk menjamin pemeliharaan dan atau peningkatan sifat-sifat konservasi
yang dapat di terapkan secara konsisten dengan pendekatan kehati-harian. Tindakan-
tindakan ini hendaknya secara spesifik dimasukan dalam ringkasan rencana pengelolaan
yang tersedia bagi publik”.
Tahapan dalam pengembangan rencana pengelolaan NKT dilakukan terhadap atribut dari
NKT yang teridentifikasi ada dalam kawasan konsesi pengelolaan hutan. Untuk menyusun
Hal | 48
rencana ini menggunakan pendekatan kehati-hatian15 (precautionary approach) perlu
dilakukan agar pengelolaan tepat sasaran. Pengelolaan NKT pada suatu areal konsesi
hutan alam tidak harus dilakukan secara terpisah dengan kegiatan pengelolaan hutan
lainnya. Pengelolaan NKT dapat diintegrasikan dengan kegiatan lainnya yang relevan.
Misalnya, untuk NKT Mempertahankan wilayah yang bisa menyediakan air bersih bagi
masyarakat yang ada di bagian hilir unit pengelolaan. Dengan merestorasi kawasan-
kawasan yang sudah terdegradasi hutannya dengan penanaman kembali jenis-jenis lokal
yang banyak ditebang, mempertahankan wilayah lindung khususnya kiri-kanan sungai,
penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan dan di lakukan dengan benar ( NKT 4).
Sementara itu, untuk NKT 5 dan NKT 6, kegiatan ini dapat diintegrasikan ke dalam program
sosial yang telah disusun oleh unit manajemen, misalnya melalui program Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan atau kelola sosial. Selain itu, kegiatan pengelolaan NKT dapat juga
disinergikan dengan hasil penilaian dampak sosial dan pelaksanaan rencana Kelola dan
rencana pemantauan untuk aspek sosial. Harapannya dengan diintegrasikan dan
disinergikan pengelolaan NKT dengan kegiatan pengelolaan hutan lainnya, akan
memudahkan bagi manager, staf, atau pekerja dilapangan dalam mengelola NKT di areal
konsesi hutan alamnya.
Untuk memudahkan pihak unit pengelola dalam melaksanakan pengelolaan NKT, maka
disusun suatu matrik rencana pengelolaan NKT yang dapat dijadikan sebagai contoh
panduan praktis bagi para pengelola, staf, dan pekerja unit pengelolaan hutan, baik yang
terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan di bidang ekologi, produksi, dan
sosial.
15
Hal ini bisa terjadi apabila anda ragu dengan NKT, maka diasumsikan bahwa NKT ada dan perlu penyelidikan lanjut terhadap dampak kegiatan terhadap NKT. Dasar pemikiran dari penyusunan rencana pengelolaan terhadap NKT yang teridentifikasi adalah adanya keinginan untuk memelihara dan atau meningkatkan NKT yang ada serta rencana pengelolaan yang jelas dan terperinci.
Hal | 49
Tabel 2. Contoh Matrik Rencana Pengelolaan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di pengelolaan hutan alam
NKT Nilai-Nilai Ancaman Kawasan yang di kelola Strategi dan tindakan Pengelolaan
1.1 Kawasan lindung Perladangan
Penebangan liar
Penambangan emas
Rencana perkampungan
Rencana
kebun/sawit/karet/coklat
Penebangan tidak
terencana
Buffer zone hutan
lindung dan kawasan
lindung yang ada di
dalam areal konsesi
Penyuluhan kepada masyarakat tentang larangan
penebangan liar di dalam kawasan konsesi;
Pemasangan poster yang berhubungan dengan
himbauan untuk tidak melakukan penebangan liar;
Pengajuan keberatan tentang rencana tambang emas
di dalam konsesi ;
Tidak melakukan penebangan di wilayah tersebut
(NKT1.1);
Upaya pengendalian perladangan;
Melaksanakan sistem RIL dalam penebangan sesuai
dengan SOPnya.
1.2 Tumbuhan/flora
terancam punah
jenis-jenis
Dipterocarpaceae
(CR)
- Penebangan tidak
terencana di dalam
konsesi
- Penebangan liar
- Perladangan
- Pemukiman
Seluruh areal konsesi
khususnya hutan dataran
rendah dan sub
pegunungan
- Kerjasama dengan aparat penegak hukum dalam
penyuluhan tentang penebangan liar
- Menyisakan pohon-pohon jenis CR (diameter lebih
dari 60 cm) untuk tidak di tebang di setiap hektar
petak tebang;
- Melatih terus staf tentang pengenalan jenis pohon;
- Merestorasi kembali hutan dengan menanami
Hal | 50
- Penambangan emas
- Rencana kebun sawit
lahan rusak dan gundul dengan jenis-jenis CR;
- Daerah konsentrasi sebaran jenis-jenis CR
tersebut di atas perlu mendapat perhatian khusus,
misalnya dijadikan areal konservasi genetik,
sebagai sumber genetik bagi jenis-jenis vegetasi
penting tersebut – sebagai bank gen jenis-jenis
vegetasi;
- Mengidentifikasi habitat dan kondisi habitat yang
harus dilindungi sebelum penebangan dilakukan
bersamaan dengan inventarisasi sebelum
penebangan.
1.3 Semua jenis
yang
teridentifikasi
dalam NKT 1.2
ditambah jenis
lain yang
dianggap langka,
terancam
(endangered),
rentan
(vulnerable),
endemik atau
dilindungi oleh
Pemerintah
Indonesia yang
mampu bertahan
hidup (viable
- Perburuan liar
- Perdagangan satwa
- Penebangan tidak
terencana
- Penebangan liar
- Perladangan
- Penambangan emas
- Rencana kebun sawit
Habitat Enam jenis
mamalia dan satu jenis
burung tergolong ke
dalam kriteria di atas,
yakni: Hylobates muelleri
(owa kalawat), Manis
javanica (trenggiling
peusing), Felis planiceps
(kucing tandang),
Cynogale bennettii
(musang air),
Sundasciurus hippurus
(bajing ekor kuda),
Ratufa affinis (jelarang
bilalang), dan burung
Ciconia stormi (bangau
storm). Jenis dari marga
- Membuat himbauan untuk masyarakat tentang
pelarangan perburuan terhadap flora-fauna langka
dan dilindungi ;
- Perusahaan membuat aturan tentang
perlindungan flora-fauna langka dan dilindungi di
dalam unit pengelolaan ;
- Bekerjasama dengan pihak universitas setempat
atau LSM yang bergerak dalam pelestarian alam
khususnya flora-fauna langka dan dilindungi;
- Kampanye penyadartahuan tentang perlindungan
flora-fauna langka dan dilindungi terhadap
masyarakat sekitar konsesi dan karyawan ;
- Pendidikan lingkungan mendorong masyarakat
tidak berburu flora-fauna langka dan dilindungi ;
Hal | 51
population). Dipterocarpaceae yang
ditemukan di dalam areal
PT. A
- Mengidentifikasi saltlick (sepan-air mineral);
- Membuat aturan pelarangan perburuan terhadap
flora-fauna langka dan dilindungi bagi staf
perusahaan;
- Membuat SOP yang berhubungan dengan
identifikasi satwaliar dengan mengintergrasikan
dengan kegiatan ITSP;
- Memperbaiki dan melaksanakan teknik RIL
dengan benar di lapangan ;
- Penanaman di tempat-tempat terbuka dengan
menggunakan jenis lokal terutama yang terancam
punah, langka dan dilindungi;
- Membuat sample plot permanen ;
- Membiakan jenis-jenis tumbuhan dari jenis langka
dan hampir punah.
2.1 Wilayah inti
seluas 74,000.03
dan wilayah
penyangga
seluas
120,000,05hektar
yang ada di
dalam areal
konsesi
- Penebangan
- Konversi lahan
- Fragmentasi
Wilayah inti seluas
74,000.03 hektar dan
wilayah penyangga
seluas 120,000.05 hektar
yang ada di dalam areal
konsesi
- Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak
rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan
dilakukan dengan benar ;
- Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan
lebar cukup sesuai prosedur peraturan dan RIL;
- Membuat aturan pelarangan berburu hidupan liar
khusunya bagi staf perusahaan
- Mempertahankan sebagai satu unit pengelolaan
Hal | 52
hutan
- Pemantauan perladangan dan pembukaan
pemukiman baru
2.2 Kawasan
Bentang alam
yang memiliki
rentang beda
ketinggian dan
zona ekokline
pada ketinggian
500 meter
- Penebangan
- Konversi lahan
- Fragmentasi
Kawasan Bentang alam
yang memiliki rentang
beda ketinggian dan
zona ekokline pada
ketinggian 500 meter
- Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak
rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan
dilakukan dengan benar;
- Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan
lebar cukup sesuai prosedur ;
- Konektivitas antara ekosistem hutan dengan
lanskap yang lebih luas;
- Membuat koridor satwa kalau diperlukan.
2.3 Jenis predator
tingkat tinggi dan
jenis indikator
lain yang
memerlukan
ruang habitat
luas tetapi
berkepadatan
rendah
- Penebangan tidak
terencana;
- Penebangan liar;
- Perburuan;
- Perdagangan
satwa;
- Perladangan;
- Perubahan fungsi
lahan
Semua hutan
dipterokarpa dataran
rendah dan sub
pegunungan didalam
wilayah konsesi
- Penerapan sistem RIL sangat penting untuk
diterapkan dan dilakukan dengan benar;
- Mencegah fragmentasi habitat dengan
pembuatan jalan yang efektif, pemeliharaan
kesinambungan tajuk dan kanopi hutan;
- Mencegah perburuan terhadap satwaliar baik
untuk staf maupun masyarakat.
3 Ekosistem Hutan
Dipterocarpaceae
- Perubahan fungsi
lahan untuk sawit atau
Semua hutan dataran - Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah
terdegradasi hutannya dengan penanaman
Hal | 53
dataran rendah di
dalam areal.
lading;
- Penebangan tidak
terencana;
- Penebangan liar
rendah di dalam konsesi kembali jenis-jenis lokal yang banyak
ditebang;
- Penerapan sistem RIL penting untuk
diterapkan dan di lakukan dengan benar ;
- Terdapat Kawasan-kawasan yang tidak
ditebang dan merupakan representatif dari
jenis ekosistem yang ada di dalam unit
pengelolaan.
4.1 Hutan di tepi
sungai/danau
(riparian) yang
tergenang secara
teratur dan sub-
DAS yang
menyediakan air
bersih untuk desa
disekitarnya.
- Perladangan
- Penebangan liar
- Penambangan emas
- Perubahan fungsi
lahan
- Hutan Riparian
- Embung dan mata air
- Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah
terdegradasi hutannya dengan penanaman
kembali jenis-jenis lokal yang banyak ditebang;
- Mempertahankan wilayah lindung khususnya kiri-
kanan sungai;
- Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan
dan di lakukan dengan benar.
4.2 Kawasan
mempunyai
tingkat bahaya
erosi berat
sampai sangat
berat di dalam
areal.
- Penebangan - Wilayah-wilayah
yang mempunyai
potensi TBE
Berat menjadi
wilayah yang
perlu menjadi
perhatian utama
dengan tidak
mengampingkan
wilayah lain yang
- Penanaman areal terbuka pasca penebangan (
bekas Tpk dan TPN) ;
- Menutup jalan logging , jalan cabang dan jalan
sarad yang sudah tidak dipakai ( deactivasi);
- Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan
dan di lakukan dengan benar.
Hal | 54
nilai TBE di
bawahnya. .
4.3 Hutan dengan
pepohonan tinggi
dan lapisan
bawah yang
lembab dan
wilayah yang
dapat mencegah
peluasan
kebakaran
- Perubahan fungsi
kawasan hutan;
- Perladangan, kebun
sawit, tambang ;
- Keberadaan illegal
logging yang bila tidak
tertanggulangi dapat
merusak tipe-tipe
ekosistem tertentu
- Kawasan hutan yang
berada dekat
perkampungan dan
ladang.
- Melakukan sosialisasi bahaya kebakaran hutan
buat masyarakat ;
- Pengetatan/pengawasan akses keluar masuk
kawasan konsesi buat pihak luar ;
- Membuat larangan membakar lahan bagi
karyawan perusahaan;
- Pemasangan poster;
- Patroli hutan.
5 Pemenuhan
kebutuhan dasar
masyarakat di
sekitar areal
konsesi
- Pembukaan wilayah
hutan
- Penebangan
- Perburuan binatang
yang dilindungi oleh
masyarakat
- Daerah sekitar 20
nama sungai, anak-
sungai dan mata air
yang mereka
manfaatkan
- Membuat kesepakatan bersama antara
masyarakat dengan unit pengelola tentang
wilayah-wilayah yang diperbolehkan masyarakat
untuk mengambil hasil hutan non kayu dan produk
lain selain kayu untuk pemenuhan kebutuhan
dasarnya;
- Pembalakan ramah lingkungan (RIL) tampaknya
sangat perlu dilakukan karena RIL akan mampu
menekan potensi erosi yang akan memberikan
dampak buruk pada aliran sungai, terutama
sungai-sungai yang memiliki nilai vital bagi
kehidupan masyarakat.
6 Nilai budaya dan
spiritual di
beberapa lokasi
- Pembukaan wilayah
hutan
- Sebaran situs
arkeologi
- Melindungi kawasan-kawasan yang dianggap oleh
masyarakat sebagai tempat ritual/budaya yang
Hal | 55
spesifik yang
berada di dekat
desa.
- Penebangan - Sebaran kegiatan
ritual
- Sebaran
sumberdaya alam
hayati untuk
pemenuhan
kebutuhan
budaya
ada di dalam areal;
- Membuat kesepakatan bersama dengan
masyarakat tentang lokasi-lokasi penting secara
budaya dan tidak menebang di radius yang
disepakati;
- Membuat prosedur (SOP) untuk unit pengelola
apabila menemukan wilayah-wilayah penting
budaya sewaktu kegiatan inventarisasi atau
kegiatan sebelum penebangan;
- Membuat kesepakatan dengan masyarakat untuk
memberikan akses masuk hutan untuk
mendapatkan tumbuhan atau binatang untuk
keperluan budaya;
- Bekerjasama dengan universitas setempat untuk
melakukan penelitian dan pendokumentasian
tentang budaya masyarakat di dalam dan sekitar
areal.
Hal | 56
Semua program pengelolaan akan di ikuti dengan adanya program pemantauan untuk
melihat seberapa efektiv atau berhasilnya kegiatan pengelolaan adalah salah satu kunci dari
prinsip 9 FSC sebagaimana tercantum dalam 9.4
“ Pemantauan tahunan akan dilakukan untuk menilai efektivitas langkah-langkah yang
diterapkan untuk memelihara atau meningkatkan sifat-sifat konservasi yang dapat
diterapkan “
Pemantauan merupakan bagian penting dalam konsep pengelolaan adaptif16. Ada beberapa
hal yang mesti diperhatikan dalam menyusun rencana pemantuan antara lain :
- Sederhana, dan mudah dipahami oleh staf lapangan
- Memberikan aturan yang jelas kapan di mulai dan kapan berhenti;
- Murah biayanya;
- Memiliki sasaran yang jelas;
- Di rencanakan sebelumnya dan melekat dengan rencana pengelolaan;
Pada dasarnya metode pemantauan dalam NKT di pengelolaan hutan alam terbagi menjadi
dua bagian besar yaitu pemantauan secara ekologis untuk pemantuan NKT 1, NKT 2, NKT
3, dan pemantauan yang bersifat partisipatif yang berhubungan dengan kebutuhan dasar
dan budaya.
Untuk memudahkan pihak unit pengelola dalam melaksanakan pemantaun NKT, maka
disusun suatu matrik rencana pemantuan NKT yang dapat dijadikan sebagai contoh
panduan praktis bagi para pengelola, staf, dan pekerja unit pengelolaan hutan, baik yang
terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan di bidang ekologi, produksi, dan
sosial
16
Lihat konsep Adaptif dalam panduan utama
Hal | 58
Tabel 3. Contoh Matrik Rencana Pemantauan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di pengelolaan hutan alam
NKT Nilai-Nilai Tujuan Strategi dan tindakan
Pengawasan
Periode Penanggung
Jawab
1.1 Kawasan lindung di dalam
konsesi
- Memastikan bahwa
tidak ada
penebangan di dalam
kawasan lindung;
- Memastikan ada
proses
penyadartahuan di
masyarakat tentang
kawasan ini;
- Adanya peraturan
perusahaan tentang
larangan perburuan
dan pengambilan
sumberdaya alam
dari wilayah.
- Pemantauan bisa dilakukan
setelah penebangan selesai
di setiap Rencana karya
tahunan (RKT);
- Laporan periodik tetang
proses penyadartahuan dan
sosialisasi ;
- Terdapat data tentang
pengambilan Hasil Hutan
Non Kayu oleh masyarakat
- Pemantauan tutupan hutan
- Pertiga
bulan/enam
bulan
Perencanaan
dan lingkungan,
sosial.
1.2 Tumbuhan/flora terancam
punah
jenis-jenis Dipterocarpaceae
(CR)
- Mepemantauan
habitat tumbuhan
terancam punah
yang ada di dalam
areal ;
- Memperbaharui
- Melakukan
pemantauantumbuhan
kategori CR melalui survey
berkala bersamaan dengan
ITSP;
- Terdapat standar survey
- Pertahun Lingkungan
Perencanaan,
produksi
Hal | 59
data/up-date tentang
spesies CR di dalam
areal;
tumbuhan terancam punah
(CR) yang jelas;
- Peloporan tentang
pelatihan;
- Pelaporan penanaman
lahan kosong dan rusak
secara periodik;
- Pelaporan tentang
pelaksanaan RIL
1.3 Semua jenis yang
teridentifikasi dalam NKT 1.2
ditambah jenis lain yang
dianggap langka, terancam
(endangered), rentan
(vulnerable), endemik atau
dilindungi oleh Pemerintah
Indonesia yang mampu
bertahan hidup (viable
population).
- Memonitor berapa
banyak jenis langka
dan dilindungi secara
global, nasional dan
lokal yang ada di
dalam areal;
- Adanya upaya nyata
dari pihak unit
pengelola untuk
mempertahankan
jenis-jenis langka dan
dilindungi secara
global, nasional dan
lokal yang ada di
dalam areal.
- Pemantauan dengan
pengamatan reguler di
petak/sample permanen
plot ;
- Membuat check list satwa
liar yang dilindungi yang
ditemui di lapangan untuk
staf, driver logging, dll
- Melakukan survey satwa
liar di jalur-jalur atau sample
plot permanen secara
periodik ;
- Memplotkan hasil temua
satwa liar dalam peta yang
terintegrasi dengan sistem
GIS;
- Pertahun/
enam bulan/
tiga bulan
Lingkungan
Perencanaan,
produksi
Hal | 60
- Melibatkan masyarakat
dalam melakukan
pemantauan melalui
pengawasan perburuan
satwa liar di kampung;
- Pelaporan tentang
pelaksanaan RIL;
- Pelaporan kegiatan
penyadartahuan atau
sosialisasi di kampung;
- Ada database tentang
kondisi satwaliar;
- Penegakan aturan tentang
larangan perburuan bagi
staf perusahaan;
- Laporan pertumbuhan
tanaman yang di tanam di
tempat-tempat terbuka dan
rusak.
2.1 Wilayah inti seluas 74,000.03
hektar dan wilayah penyangga
seluas 120,000.05 hektar yang
ada di dalam areal.
- Memastikan sistem
RIL di jalankan.
- Memastikan bahwa
perubahan tutupan
lahan dapat di
pantau;
- Laporan reguler tentang
RIL;
- Laporan periodik tentang
perburuan;
- Pertahun Lingkungan
dan
Perencanaan
Hal | 61
- Memastikan bahwa
perluasan
perladangan dapat
dipantau;
- Memastikan adanya
pematauan
perburuan
2.2 Kawasan Bentang alam yang
memiliki rentang beda
ketinggian dan zona ekokline
pada ketinggian 500 meter
- Memastikan bahwa
praktek-praktek di
lapangan sesuai
dengan sistem RIL
yang ada saat ini;
- Memastikan bahwa
perubahan tutupan
lahan dapat di
monitor;
- Memastikan bahwa
perluasan
perladangan dapat
dimonitor.
- Pemantauan RIL bisa
dilakukan setelah
penebangan selesai di
setiap Rencana Karya
Tahunan (RKT);
- Pemantauan tutupan hutan;
- Pemantauan perladangan.
- Pertahun Lingkungan
dan Produksi
2.3 Jenis predator tingkat tinggi
dan jenis indikator lain yang
memerlukan ruang habitat luas
tetapi berkepadatan rendah
- Memastikan tidak
terjadinya konversi
hutan di dalam areal;
- RIL dilaksana di
lapangan
- Pemantauan bisa dilakukan
setelah penebangan selesai
di setiap Rencana Karya
Tahunan (RKT) untuk RIL;
- Pemantauan tutupan hutan;
- Pertahun Lingkungan,
Produksi dan
sosial
Hal | 62
- Memastikan
fragmentasi habitat di
tekan se efektif
mungkin;
- Memastikan adanya
upaya untuk
mencegah perburuan
terhadap satwaliar
baik untuk staf
maupun masyarakat.
- Pemantauan perladangan,
- Pemantauan perburuan
3 Ekosistem Hutan
Dipterocarpaceae dataran
rendah di dalam areal.
- Tutupan hutan
terpantau secara
periodik;
- RIL dilaksanakan di
lapangan;
- Memastikan adanya
kegiatan restorasi
kawasan-kawasan
yang sudah
terdegradasi
hutannya ;
- Memastiakan adanya
kawasan yang tidak
ditebang dan
merupakan
representatif dari
jenis ekosistem yang
- Laporan pemantauan
pertumbuhan tanaman dan
luas yang ditanami;
- Pemantauan RIL dilakukan
setelah penebangan selesai
di setiap Rencana Karya
Tahunan (RKT);
- Pemantauan kawasan yang
merupakan representif dari
ekosistem yang ada di
areal.
- Pertahun Lingkungan
Produksi,
Perlindungan
Hutan
Hal | 63
ada di dalam unit
pengelolaan.
4.1 Hutan di tepi sungai/danau
(riparian) yang tergenang
secara teratur dan sub-DAS
yang menyediakan air bersih
untuk desa disekitarnya.
- Memastikan adanya
upaya untuk
melakukan restorasi;
- Sistem RIL
dilaksanakan dengan
benar dan sungguh-
sungguh;
- Memastikan
mempertahankan
wilayah lindung
khususnya kiri-kanan
sungai.
- Pelaporan berkala tentang
kegiatan restorasi
(pertumbuhan tanaman dan
luas);
- Laporan pemantauan
pertumbuhan tanaman dan
luas yang ditanami;
- Pemantauan RIL dilakukan
setelah penebangan selesai
di setiap Rencana Karya
Tahunan (RKT);
- Pertahun Lingkungan
Produksi,
Perencanaan
4.2 Kawasan mempunyai tingkat
bahaya erosi berat sampai
sangat berat di dalam areal.
- Memastikan sistem
RIL dilakukan
dengan benar dan
sungguh-sungguh;
- Memastikan tutupan
hutan di monitor di
seluruh areal;
- Memastikan ada
kegiatan pemantauan
sedimentasi dan
erosi
- Pemantauan RIL bisa
dilakukan setelah
penebangan selesai di
setiap Rencana Karya
Tahunan (RKT);
- Menggunakan perangkat
lunak GIS dan remote
Sensing untuk pematauan
tutupan hutan;
- Laporan pemantauan
sedimentasi dan erosi
- Pertahun Lingkungan
Perencanaan,
produksi
Hal | 64
- Memastikan adanya
Penanaman areal
terbuka pasca
penebangan ;
- Memastikan adanya
kegiatan menutup
jalan logging , jalan
cabang dan jalan
sarad yang sudah
tidak dipakai (
deactivasi)
- Laporan penanaman
- Laporan kegiatan deactivasi
5 Pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat di sekitar konsesi
- Adanya upaya untuk
Membuat kesepakatan
bersama antara
masyarakat dengan unit
pengelola tentang
wilayah-wilayah yang
diperbolehkan
masyarakat untuk
mengambil hasil hutan
non kayu dan produk lain
selain kayu untuk
pemenuhan kebutuhan
dasarnya;
- Ada kepastian RIL
dilakukan di dalam
areal.
- Daftar kesepakatan antara
pihak masyarakat dengan
unit pengelola;
- Laporan pemantauan
perladangan;
- Laporan tentang hasil hutan
non kayu yang
dimanfaatkan oleh
masyarakat
- Perenam bulan Bidang Sosial
Hal | 65
6 Nilai budaya dan spiritual di
beberapa lokasi spesifik yang
berada di dekat desa.
- Memastikan adanya
upaya perlindungan
situs atau tempat-
tempat penting
masyarakat yang ada
di dalam a areal;
- Memastikan adanya
kesepakatan tentang
lokasi-lokasi penting
secara budaya dan
tidak menebang di
radius yang
disepakati;
- Memastikan adanya
kesepakatan dengan
masyarakat untuk
memberikan akses
masuk hutan untuk
mendapatkan
tumbuhan atau
binatang untuk
keperluan budaya.
- Laporan kesepakatan
antara unit pengelola
dengan masyarakat;
- Peta wilayah-wilayah
budaya penting dalam peta
kerja unit pengelola;
- Dokumetasi tentang temuan
baru yang berhubungan
dengan budaya;
- Laporan periodik tentang
kegiatan yang berhubungan
dengan budaya
- Perenam bulan Bidang Sosial
Hal | 66
4. Kesimpulan
Pengelolaan dan pemantauan NKT merupakan tugas yang tidak mudah dan membutuhkan
waktu yang sangat panjang juga biaya yang tidak sedikit. Tugas ini bukan hanya untuk
kepentingan dalam kontek sertifikasi saja (FSC), hasil dari kegiatan ini akan dapat di
rasakan dalam jangka panjang terutama berhubungan dengan kesehatan hutan, kelestarian
atau keberlanjutan pengelolaan hutan juga jasa-jasa lain yang berasal dari hutan.
Panduan pengelolaan dan pemantuan ini adalah salah satu sarana untuk membantu para
pengelola hutan di dalam menjaga, memelihara dan meningkatkan nilai-nilai konservasi
yang maha tinggi yang terdapat di dalam hutan yang ada di dalam unit pengelolaan.
Panduan ini bersifat sangat dinamis karena temuan-temuan baru serta metode yang efektif
akan memperkaya panduan ini untuk bisa membantu pengelolaan dan pemantauan NKT di
masa yang akan datang.
5. Daftar Bacaan
Anonimous. 2010. Laporan Pengelolaan dan pemantauan NKT . tidak dipublikasikan.
Meijaard, E., S. Stanley, E.H.B. Pollard, A. Gouyon & G. Paoli. 2006. High Conservation
Value Forest in East Kalimantan. A Guide for Practioners. The Nature Conservancy – East
Kalimantan Program, Samarinda, Indonesia.
Meijaard E., Sheil D., Nasi R., Augeri D., Rosenbaum B., Iskandar D., Setyawati T., Lambert
F. R. (1992) The consequences of selective logging for Bornean lowland forest birds.
Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series B 335, 443-457.
The Nature Conservancy. 2003. The Five-S Framework for Site Conservation .A
Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation
Success.
The Nature Conservancy. 2004. Participatry ConservationPlanning Mannual. Conservation
Training and Resource Center Applied.
Tim Rayden. 2008 . Assessment, management and monitoring of High Conservation Value
Forest (NKTF).A practical guide for forest managers . ProForest, Oxford
WWF, 2007. Ecological Monitoring of Forestry Management in the Humid Tropics: A Guide
for Forestry Operators and Certifiers with Emphasis on High Conservation Value Forests.
Translated from Monitoreo Ecológico del Manejo Forestal en el Trópico Húmedo: Una Guía
Para Operadores Forestales y Certificadores con Ènfasis en Bosques de Alto Valor Para la
Conservación of WWF-Central America.
Hal | 67
Lampiran 2: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Hutan Tanaman
Oleh:
Harnios Arief dan Kresno Dwi Santosa
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang
pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang
dominan dalam pemanfaatkan hasil hutan. Kebijakan pengelolaan hutan berbasis HPH
beserta kebijakan pengembangan industrialisasi kehutanan secara ekonomi telah banyak
memberikan kontribusi besar bagi proses pembangunan nasional. Selama kurang lebih tiga
dekade, sektor kehutanan merupakan salah satu roda penggerak utama pembangunan
nasional.
Pengusahaan hutan alam melalui sistem Hak Pengusahaan Hutan dengan sistem silvikultur
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan dan
jauh dari “kelestarian”. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas dan
kuantitas hutan serta penurunan produksi kayu bulat sebagai bahan baku industry
perkayuan. Sehubungan dengan berkurangnya potensi hutan alam, sebagai upaya untuk
merehabilitasi hutan dan lahan yang tidak produktif dan yang sudah terlanjur rusak, serta
dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu untuk industri, maka pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1990 tentang Program
Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Sejak tahun 1990 dimulailah Pola manajemen
Hak Pengusaaan Hutan Tanaman Industir (HP-HTI), atau sering juga disebut Hutan
Tanaman Industri (HTI). Kebijakan ini diharapkan sebagai jawaban kebutuhan bahan baku
kayu untuk industry yang berkesinambungan.
Hutan tanaman industri yang diharapkan dapat mengurangi beban hutan alam dalam
memasok bahan baku industri masih jauh dari harapan baik luas maupun kualitasnya. Sejak
dicanangkan program ini hanya mampu membuat hutan sekitar 2,5 juta ha, padahal target
yang ditetapkan pemerintah sebesar satu juta ha per tahun. Sasaran pembangunan
kehutanan menurut Rencana Strategis Departemen Kehutanan Tahun 2005 - 2009, antara
lain bertambahnya Hutan Tanaman Industri minimal seluas 1 juta ha/tahun sebagai basis
pengembangan ekonomi kehutanan.
1.2. Pengertian
Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan potensi
dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya (satu
atau lebih sistem silvikultur) dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil
hutan kayu maupun non kayu.
1.3. Tujuan Pembangunan HTI
1. Meningkatkan produktivitas hutan produksi, dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan
baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/pro-
growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), pemberdayaan ekonomi masyarakat
sekitar hutan (pro-poor) dan perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-enviroment);
Hal | 68
2. Mendorong daya saing produk industri perkayuan (penggergajian, kayu lapis, pulp &
paper, meubel dll) untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor
1.4. Areal Pengusahaan HTI
Mengacu pada peraturan pemerintah yang sudah diterbitkan yaitu PP No 7 Tahun 1990
Pasal 5 ayat 1, hutan tanaman industry dibangun pada areal hutan produksi (HP) yang
sudah tidak produktif berdasarkan criteria yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Kriteria
Hutan Produksi tidak Produktif diatur dalam SK Menhut No. 200/Kpts-II/1994, yaitu :
1) Pohon inti yang berdiameter > 20 cm, kurang dari 25 batang/ha.
2) Pohon induk < 10 batang/ha.
3) Permudaan alamnya kurang, yaitu : semai < 1000 batang/ha, dan atau pancang <
240 batang/ha, dan atau tiang < 75 batang/ha.
1.5. Sistem Silvikultur
Berdasarkan Permenhut No. P.11/Menhut-II/2009 bahwa istem silvikultur HTI harus sesuai
dengan tapaknya (Tebang pilih, Tebang Habis, atau Tebang Jalur).
1.6. Penataan Ruang HTI
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008 tanggal 6 Februari
2008 tentang Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri
Dalam Hutan Tanaman,...bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan hutan tanaman
wajib melaksanakan Deliniasi Makro terhadap areal kerjanya untuk mengetahui luas dan
lokasi hutan alam (bekas tebangan), areal non hutan dan areal yang sudah ada tanaman.
Terhadap areal yang masih berupa hutan alam (bekas tebangan) harus dilakukan Deliniasi
Mikro untuk mengetahui luas dan lokasi huta alam yang harus dipertahankan karena
mempunyai nilai konservasi tinggi dan yang dibuka untuk hutan tanaman. Hasil Deliniasi
Mikro ini selanjutnya dijadikan dasar dalam penyusunan rencana percepatan pembangunan
hutan tanaman yang sekaligus dijadikan sebagai arahan dan pedoman dalam penyusunan
Rencana Kerja dan Rencana Kerja Tahunan UPHHK-HT.
Kegiatan penilaian dan deliniasi bertujuan untuk menilai secara keseluruhan terhadap areal
kerja IUPHHK-HT, sehingga dapat dilakukan deliniasi secara makro dalam satuan luas dan
dikelompokkan menjadi :
a. Areal yang ditanami
b. Areal lahan kosong, padang alang-alang dan semak belukar
c. Areal hutan alam (bekas tebangan)
Hasil penilaian dan deliniasi makro selanjutnya dilanjutkan dengan deliniasi mikro
khususnya terhadap areal-areal yang masih berhutan untuk dapat diketahui :
Areal hutan alam yang harus dipertahankan, dijaga dan dilindungi sebagai areal
hutan produksi alam, dan atau kawasan lindung dan atau kawasan konservasi
bernilai tinggi sesuai dengan kriteria yang berlaku.
Areal hutan alam yang layak dialokasikan sebagai areal pengembangan tanaman
pokok, tanaman unggulan, areal pengembangan tanaman kehidupan dan areal
Hal | 69
pembangunan sarana prasarana dengan perimbangan luas sesuai ketentuan tata
ruang hutan tanaman yang berlaku.
Penilaian dan deliniasi mikro terhadap areal hutan alam yang harus dipertahankan, dijaga
dan dilindungi sebagai areal hutan alam produksi alam, dan atau kawasan lindung dan atau
kawasan hutan bernilai konservasi tinggi dilakukan dengan cara mengukur, mencatat,
memberi tanda, mendeliniasi dan memetakan areal hutan dimaksud kemudian dilanjutkan
dengan melakukan penandaan batas tetap di lapangan oleh perusahaan. Kriteria yang
dipergunakan dalam penataan ruang HTI ini adalah mengacu pada Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008 tanggal 6 Februari 2008, dilakukan tahapan analisis
10 (sepuluh) kriteria sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 101/Menhut-
II/2004 tanggal 24 Maret 2004 jls Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 23/Menhut-II/2005
tanggal 25 Juli 2005 dan Nomor P.44/Menhut-II/2005 tanggal 26 Desember 2005 tentang
Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer
Hasil Hutan Kayu. Kriteria tersebut adalah :
1. Kawasan hutan yang mempunyai kelerangan, kepekaan jenis tanah dan intensitas
hujan dengan skoring sama dengan dan/atau lebih besar dari 175 sesuai dengan
Kep.Men. Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara
Penetapan Hutan Lindung.
Tabel 1 Kriteria Penetapan Hutan Lindung sesuai SK Menteri Pertanian Nomor
837/Kpts/Um/II/1980.
No Nilai Tertimbang//Pembobotan*)
20 15 10
Leren
g (%) Uraian Jenis Tanah Uraian
Intensitas Hujan
(mm/hari hujan) Uraian
1 0-8 Datar
Aluvial, Glei, Planosol,
Hidromorf, Kelabu,
Laterita Air Tanah
Tidak
peka s/d 13,6
Sangat
rendah
2 8-15 Landai Latosol Agak
peka 13,6-20,7 Rendah
3 15-25 Agak
curam
Brown forest soil,
mediteran, andosol,
laterits non calcis
brown,
Kurangp
eka 20,7-27,7 Sedang
4 25-45 Curam Grumusol, podsol,
podsolik Peka 27,7-34,8 Tinggi
5 > 45
Sanga
t
curam
Regosol, litosol,
organosol, renzina
Sangat
peka 34,8 ke atas Sangat tinggi
Keterangan : *) Nilai tertimbang/pembobotan dari setiap faktor dikalikan dengan nilai
kelasnya, kemudian nilai perkalian setiap faktor tersebut dijumlahkan. Bila hasil
Hal | 70
penjumlahan sama dengan atau lebih dari 175 menunjukkan bahwa wilayah yang
bersangkutan perlu dijadikan, dibina, dan dipertahankan sebagai hutan lindung.
2. Kawasan hutan dengan kelerangan lebih dari 40 % dan atau dengan kelerengan
lebih dari 15 % untuk tanah yang sangat peka terhadap erosi.
3. Kawasan hutan dengan ketinggian sama dengan atau lebih tinggi dari 2.000 mdpl
4. Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih dari 3
(tiga) meter.
5. Kawasan hutan dengan radius dan jarak sampai dengan :
500 meter dari tepi waduk atau danau
200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa
100 meter dari tepi kiri kanan sungai
50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai
2 kali kedalaman juran dari tepi jurang
130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai
6. Buffer zone atau kawasan penyangga hutan lindung dan atau kawasan hutan
konservasi
7. Kawasan pelestarian plasma nutfah
8. Kawasan perlindungan satwa liar
9. Kawasan cagar budaya dan atau ilmu pengetahuan
10. Kawasan rawan terhadap bencana alam.
1.7. Implementasi Penilaian Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di area HTI
Pembangunan Hutan Tanaman pada prinsipnya adalah untuk pemenuhan bahan baku
industri primer hasil hutan kayu yang terdiri atas kegiatan atas kegiatan-kegiatan
perencanaan, penyiapan lahan (land clearing) dan pemanfaatan kayu hasil land clearing,
pembuatan jaringan jalan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pada akhir
daur dilakukan pemanenan.
Didalam perencanaan pembangunan hutan tanaman, pemerintah dalam hal ini Departemen
Kehutanan sudah mengatur mengenai deliniasi makro dan mikro yang harus dilaksanakan
oleh para pemegang hak pengusahaan hutan tanaman untuk menetapkan tata ruang HTI
guna memperoleh areal effektif bagi pengembangan tanaman pokok.
Dalam pembangunan HTI di setiap unit usaha telah diatur tata penggunaan lahannya/tata
ruangnya sebagai berikut :
a. Areal Tanaman Pokok ± 70 %
b. Areal Tanaman Unggulan ± 10 %
c. Areal Tanaman Kehidupan ± 5 %
Hal | 71
d. Kawasan Lindung ± 10 %
e. Sarana Prasarana ± 5 %
Berdasarkan dari alokasi yang sudah ditetapkan tersebut maka Deliniasi Makro dan
Deliniasi Mikro difokuskan kepada alokasi ruang yang digunakan dalam mendukung
operasional kegiatan pengusahaan hutan tanaman dan bukan sebagai best practices dalam
mewujudkan pengelolaan hutan tanaman secara lestari.
Sejalan dengan dikembangkannya Panduan Penilaian NKT Hutan Indonesia yang
dimaksudkan sebagai suatu protokol standar dalam melakukan penilaian NKT yang dapat
menjamin mutu, transparansi, dan integritas aplikasinya di Indonesia. Hal ini dilakukan
terutama dengan menjelaskan tahap-tahap yang disyaratkan oleh proses penilaian NKT
secara lebih jelas dan rinci, mendefinisikan hak dan kewajiban para pihak terkait, serta
menyediakan Panduan dalam mengumpulkan data dan informasi yang memenuhi standar
minimum rentang waktu dan mutu.
Implementasi NKT pada hutan tanaman adalah melengkapi dari Deliniasi Makro dan Mikro
yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penilaian NKT merupakan penilaian terhadap
fungsi dan nilai konservasi tinggi yang terdapat pada suatu areal yang tidak dipisahkan oleh
dimensi alokasi lahan atau tata ruang. Area NKTbisa ditemukan di areal tanaman pokok,
areal tanaman unggulan, areal tanaman kehidupan, kawasan lindung dan sarana prasarana.
Pembukaan hutan tanaman yang sudah mengacu pada Deliniasi Makro dan Mikro
dimungkinkan masih berdampak terhadap hilangnya area NKT yang berada dalam Unit
Manajemen tersebut. Oleh karena itu, penilaian NKT pada hutan tanaman merupakan
implementasi pengelolaan berbasis pada prinsip kehati-hatian.
Kegiatan pengusahaan hutan tanaman industri (HTI) merupakan salah satu kegiatan
pengembangan kehutanan didalam kawasan budidaya kehutanan, dengan satu atau dua
jenis tanaman saja. Kegiatan ini dilakukan dengan merubah kawasan hutan produksi dan
atau hutan sekunder (log over forest) yang cenderung masih menyimpan keanekaragaman
hayati tinggi menjadi kawasan hutan tanaman yang monokultur. Dengan demikian terjadi
degradasi keanekaragaman jenis alamiah baik jenis-jenis flora maupun fauna.
Apabila berdasarkan identifikasi ternyata didalam Unit Managemen (UM) HTI tersebut (i)
mempunyai kawasan lindung atau konservasi didalamnya, (ii) diperkirakan memberikan
fungsi pendukung kepada kawasan lindung atau konservasi, dan (iii) kegiatan UM HTI
diperkirakan akan berdampak pada fungsi daerah lindung atau konservasi yang dekat
dengannya, maka kondisi tersebut akan dianggap NKT. Kegiatan pengelolaan di dalam UP
harus memastikan agar fungsi pendukung tersebut dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.
Kegiatan pengelolaan dikembangkan dengan perencanaan yang tepat dan berpegang pada
prinsip kehati-hatian yang dapat menjamin keberlangsungan fungsi-fungsi kawasan tersebut
sebagai kawasan konservasi dengan tetap memperhatikan asek-aspek ekologi, sosial-
budaya dan ekonomi.
1.8. Pengelolaan dan Pemantauan NKT dalam HTI
Hutan tanaman industry didalam pembangunannya melalui beberapa tahapan kegiatan yaitu
pembukaan lahan (land clearing), pemeliharaan dan pemanenan serta replanting
(penanaman kembali) sesuai dengan daur jenis tanaman yang diusahakan (misalnya untuk
jenis akasia daurnya 5 (lima) tahun). Terkait dengan kegiatan pengelolaan dan
pemantauan area NKT, maka harus mempertimbangkan parameter-parameter yang rentang
terhadap perubahan (biofisik, biologi dan sosial ekonomi budaya) dan posisi UM dalam
Hal | 72
skala landscape. Kondisi ini tentunya akan berdampak pada tata cara pengelolaan dan
pemantauan terhadap area NKT yang sudah ditetapkan. Selain itu, tata cara pengelolaan
dan pemantauan NKT juga dipengaruhi oleh tipe ekosistem dari unit manajemen (tanah
mineral dan lahan gambut).
Pengelolaan dilakukan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas dari area NKT, sedangkan
pemantauan dilakukan untuk menilai indicator-indikator keberhasilan dari kegiatan
pengelolaan. Salah satu contoh parameter lingkungan yang menjadi indicator keberhasilan
pengelolaan NKT adalah ketersediaan air yang berfungsi penting dalam pengendalian banjir
bagi daerah hilir (NKT 4.1.), dimana untuk tipe ekosistem tanah mineral dan lahan gambut
menjadi isu penting dalam kegiatan pembangunan HTI. Dalam konteks pengelolaan, maka
fokus kegiatan harus diarahkan pada upaya-upaya konservasi tanah dan air seperti
pembuatan terasering, sediment trap dan penanaman penutup tanah pada tanah mineral
serta penerapan tata air (water management) dengan teknologi eco hydro buffer,
pengamatan water level untuk tipe ekosistem lahan gambut.
2. Pengelolaan Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi
Pengelolaan adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan
pengontrolan terhadap NKT yang teridentifikasi dalam suatu kawasan untuk
mempertahankan atau meningkatkan NKT di dalam kawasan tersebut. Kunci utama dalam
pengelolaan NKT adalah bahwa strategi-strategi yang dirancang harus mempertahankan
atau meningkatkan nilai. Hal ini berarti akan ada perbedaan pengelolaan antara konsesi
satu dengan yang lainnya tergantung dari nilai NKT yang teridentifikasi atau ditemukan.
Dalam sertifikasi pengelolaan hutan skema FSC, aspek pengelolaan NKT tercantum dalam
prinsip 9.3 :
“ 9.3. Rencana pengelolaan hendaknya meliputi dan mengimplementasikan tindakan-
tindakan spesifik untuk menjamin pemeliharaan dan atau peningkatan sifat-sifat konservasi
yang dapat di terapkan secara konsisten dengan pendekatan kehati-harian. Tindakan-
tindakan ini hendaknya secara spesifik dimasukan dalam ringkasan rencana pengelolaan
yang tersedia bagi publik”.
Tahapan dalam pengembangan rencana pengelolaan NKT dilakukan terhadap atribut dari
NKT yang teridentikasi ada dalam kawasan konsesi pengelolaan hutan. Untuk menyusun
rencana ini menggunakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) perlu
dilakukan agar pengelolaan tepat sasaran. Hal ini bisa terjadi apabila anda ragu dengan
NKT, maka diasumsikan bahwa NKT ada dan perlu penyelidikan lanjut terhadap dampak
kegiatan terhadap NKT. Dasar pemikiran dari penyusunan rencana pengelolaan terhadap
NKT yang teridentifikasi adalah adanya keinginan untuk memelihara dan atau meningkatkan
NKT yang ada serta rencana pengelolaan yang jelas dan terperinci.
2.1. Konsep Dasar Pengelolaan NKT
Konsep pengelolaan Nilai Konservasi Tinggi di dalam suatu kawasan UP IUPHHK-HTI pada
prinsipnya adalah konsep pengelolaan bagian ekosistem di dalam kawasan UP yang tidak
dapat dipisahkan dengan ekosistem lanskap secara utuh, dimana kawasan UP berada, dan
kondisi sosial budaya masyarakat di luar kawasan yang secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh terhadap kawasan UP. Prinsip dasar pengelolaan ekosistem
adalah:
1. Ekosistem adalah sistem ekologi yang bekerja di dalam bentang alam merupakan
sistem yang sangat kompleks dan dinamis sesuai dengan perubahan waktu
Hal | 73
sehingga sistem pengelolaannya harus bersifat adaptif dengan didasarkan data
monitoring komponen ekologi dan sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang
diukur, dianalisis dan disimpan dalam sistem informasi manajemen yang baik secara
berkala.
2. Deskripsi kondisi ekosistem wilayah di dalam berbagai skala geografi harus
diintegrasikan dalam dokumen perencanaan kawasan sehingga dinamika ekologi
dan sosial budaya masyarakat di luar kawasan yang dapat mempengaruhi ekosistem
di dalam kawasan dapat diantisipasi dengan baik.
3. Kelestarian ekosistem sangat tergantung pula dengan luasan ekosistem dan tingkat
konektivitas ekosistemnya sehingga di dalam pengelolaannya dibutuhkan
kerjasama/kolaborasi berbagai pihak. Agar konektivitas ekosistem tercapai maka
dalam penyusunan tujuan dan program pengelolaannya harus melibatkan
multipihak.
4. Pengelolaan ekosistem lestari menyebabkan terbukanya pemanfaatan produk dan
jasa ekosistem guna mempertahankan keseimbangan ekologis. Pemanfaatan ini
akan meningkat nilai ekonomis kawasan konservasi, baik untuk kepentingan
pengelolaan kawasan maupun masyarakat, terutama masyarakat lokal.
5. Penelitian seharusnya diintegrasikan dengan pengelolaan sehingga kualitas
pengelolaannya dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah.
Pengelolaan NKT di dalam kawasan unit pengelola (UP) khususnya dan pengelolaan
ekosistem umumnya di Indonesia sangat erat hubungan dengan tanggungjawab UP
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1994 Tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati
dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Kemudian kegiatan
pengelolaan ini juga sangat erat kaitannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; Keputusan Menteri Pertanian Nomor
837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung; Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/1995 jo Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
246/Kpts-II/1996 tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri; Keputusan
Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Menurut UU No. 5 tahun 1990, ekosistem adalah “sistem hubungan timbal balik antara
unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati, yang saling tergantung dan saling
pengaruh mempengaruhi. Sedangkan Sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati
di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam
hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan
membentuk ekosistem. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem di dalam kawasan UP tidak
dapat dipisahkan dengan ekosistem dalam bentang alamnya.
Paradigma pengelolaan bentang alam saat ini harus mengedepankan manfaat multiguna
dari setiap kawasan UP Hutan Tanaman Industri sehingga keseimbangan ekosistem dan
terakomodasikannya keinginan dan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Oleh karena itu
prinsip-prinsip pengelolaan tersebut harus tersirat di dalam setiap perencanaan kawasan
IUPHHKT-HTI. Dengan kata lain pengelolaan ekosistem lestari harus selalu memperhatikan
Hal | 74
keseimbangan nilai-nilai ekonomi kawasan yang didasarkan pada kemampuan/daya dukung
ekosistem dan keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Pemanfaatan multi guna disini tidak berarti seluruh komponen ekosistem dapat
dimanfaatkan secara kontinyu, tetapi pemanfaatan disini dikaitkan dengan upaya untuk
mempertahankan keseimbangan ekologis sehingga komponen-komponen yang telah
melebihi daya dukung atau telah melebihi batas ambang minimumnya agar tetap dapat
bertahan hidup saja yang dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu peningkatan nilai ekonomis
jenis-jenis yang belum/sedikit dikenal harus dikembangkan sehingga mempunyai nilai yang
berarti. Untuk mencapai tujuan pemanfaatan multiguna tersebut para pihak pengelola harus
mengenal/memahami sistem ekologi kawasan yang dikelolanya dan nilai-nilai minimum
komponen ekosistem agar dapat lestari yang hal ini harus dilakukan melalui sistem
pengukuran, analisis dan penyimpanan data yang baik.
Pengelolaan ekosistem lestari harus mengintegrasikan secara optimum keinginan dan
kebutuhan sosial, landskap ekologi potensial, dan ekonomi yang mempertimbangkan
teknologi. Langkah-langkah berikut menggambarkan bagaimana proses-proses evaluasi
yang mungkin dapat digunakan untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem :
1. Memetakan keinginan dan kebutuhan masyarakat yang berpengaruh terhadap
pencapaian kelestarian unit usaha dan ekosistem.
2. Analisis potensi-potensi ekologis sehingga dapat dicari titik temu dengan kebutuhan
masyarakat. Analisis ini harus mencakup pula daerah toleransi makhluk hidup untuk dapat
bertahan hidup dalam jangka panjang, kondisi ekologis saat ini, dan kondisi lanskap ekologi
yang seharusnya dibutuhkan oleh ekosistem sehingga sistem ekologi di dalam kawasan
tersebut dapat bertahan dalam jangka panjang.
3. Jika kondisi lanskap ekologi kawasan IUPHHK-HTI lebih kecil dari yang seharusnya
maka, maka hal ini harus disosialisasikan kepada masyarakat yang akan terkena pengaruh
dari ketidakcukupan lanskap ekologi tersebut. Oleh karena itu kesadaran masyarakat
terhadap sistem dan potensi ekologis kawasan merupakan hal penting di dalam pencapaian
kelestarian ekosistemnya.
4. Untuk mencapai pengelolaan ekosistem lestari maka konsep pengelolaan harus
diterima dan dipahami oleh masyarakat, kemudian baru dapat diterapkan teknologi tepat
guna yang berguna untuk meningkatkan nilai-nilai ekonomis kawasan dan ekosistem.
5. Analisis kebutuhan manusia yang dapat dipenuhi dalam kaitannya dengan nilai-nilai
ekonomi kawasan dan ekosistem. Jika sumberdaya (ekonomi dan teknologi) tidak tersedia
untuk memenuhi kebutuhan lanskap ekologi yang seharusnya, maka sosialisasi kepada
masyarakat masyarakat menjadi komponen penting dan secara bersama-sama (kolaborasi)
mencari jalan penyelesaiannya. Poin 5 ini sangat penting dilakukan karena kebutuhan-
kebutuhan ekonomi di Indonesia saat ini hanya bersifat untuk pemenuhan kebutuhan jangka
pendek sehingga kepentingan ekologis yang akan sangat berpengaruh pada kualitas hidup
manusia yang akan datang seringkali diabaikan.
Langkah-langkah tersebut di atas merupakan suatu alternatif bentuk pemenuhan kebutuhan
manusia yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekologi, teknologi, dan
ekonomi. Langkah tersebut membutuhkan informasi yang baik dan hasilnya harus
disampaikan kepada masyarakat sehingga setiap permasalahan yang mungkin timbul akibat
ketidakseimbangan antara keinginan dan kebutuhan manusia dengan potensi ekologis
kawasan dapat diselesaikan melalui mekanisme publik yang berlaku. Konsekuensi dasar
Hal | 75
dari pengelolaan kawasan dan ekosistem lestari adalah harus tingginya pemahaman para
pengelola terhadap potensi dan interaksi ekologi. Beberapa pertimbangan yang harus
diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi dan ekosistem lestari disajikan di
bawah ini.
Pertimbangan Kemantapan Kawasan
Kemantapan kawasan adalah faktor kunci yang harus di penuhi terlebihi dahulu agar
pengelolaan IUPHHK-HTI dapat lestari. Pertimbangan kemantapan kawasan disini berarti
kemantapan ditinjau dari aspek legal maupun pengakuan masyarakat sehingga di lapangan
tidak ditemukan berbagai gangguan yang dapat berpengaruh terhadap kelestarian kawasan.
Pengakuan dari masyarakat tentang penting kawasan harus berimplikasi pula terhadap
perencanaan dan penggunaan lahan sehingga lanskap ekologi kawasan dapat terpenuhi
atau membangun lanskap ekologi yang dapat mendukung sistem ekologi yang ada di dalam
kawasan.
Pencapaian kemantapan kawasan harus dilakukan melalui mekanisme pemberitahuan
kepada masyarakat tanpa paksaan sehingga tidak menimbulkan konflik yang dapat
mengganggu sistem ekologi di dalam kawasan. Kemantapan kawasan dapat dicapai
melalui:
1. Sosialisasi batas kawasan dan penyelesaian batas melalui mekanisme masyarakat
sehingga tercapai pengakuan kawasan secara legal dan para pihak.
2. tercapainya kesepakatan zona-zona di dalam kawasan oleh multi pihak yang
didasarkan pada daya dukung ekologis dan keinginan serta kebutuhan masyarakat
sehingga dapat mendukung tujuan pengelolaan kawasan konservasi dan
terakomodasikannya kepentingan para pihak.
3. Terkendalikannya perambahan kawasan secara efektif
4. Luasan ekosistem alam yang berfungsi baik dalam perlindungan sistem penyangga
kehidupan mamadai
5. Tersedianya sistem manajemen di bidang kemantapan kawasan.
6. Tersedianya tenaga profesional di bidang kemantapan kawasan
7. Kecukupan alokasi dana untuk mempertahankan kemantapan kawasan.
Pertimbangan Sosial
Kebutuhan dan keinginan manusia yang dituangkan dalam bentuk kebijakan, rencana
pengelolaan dan keputusan pelaksanaan kegiatan harus didefinisikan dan dimasukkan
dalam setiap tujuan pengelolaan kawasan. Salah satu tantangan terbesar dalam
pengelolaan ekosistem adalah menjamin kebutuhan publik sesuai dengan potensi
ekosistem. Pengetahuan dan pengalaman ilmuwan dan para pengelola sumberdaya alam
harus dimanfaatkan dalam memberikan pemahaman kepada publik dan pimpinan politik
untuk dapat menghasilkan keputusan yang baik sesuai dengan daya dukung ekosistem,
Hal | 76
mengalokasikan dananya sesuai dengan kebutuhan dan konsekuensi-konsekuensi lainnya
dalam pengelolaan kawasan.
Sudut pandang dan alternatif tindakan yang diambil merupakan langkah penting yang dapat
mempengaruhi kebutuhan publik dan langkah-langkah ini seharusnya dipertimbangkan dan
dituangkan dalam setiap rencana pengelolaan. Adanya dinamika sistem ekologi yang juga
sangat dipengaruhi oleh dinamika komponen penyusunnya, pengaruh gangguan dari luar
sistem, intensitas dan lama gangguan, hilangnya/punahnya komponen penyusun sistem
ekologi, berfluktuatifnya kebutuhan manusia sejalan dengan pertambahan penduduk dan
kemajuan teknologi mengharuskan pihak pengelola menyusun suatu kebijakan yang bersifat
fleksibel sehingga perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dapat diantisipasi sedini
mungkin.
Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam mendukung pengelolaan kawasan lestari
merupakan faktor kunci keberhasilan pengelolaan ini. Paradigma dan pendekatan terbaru
dalam implementasi pengelolaan kawasan i, seperti analisis sumberdaya terpadu,
peningkatan pembagian informasi (informationsharing) dengan masyarakat terkait kondisi
ekologi dan kecenderungan pengaruh kawasan terhadap masyarakat. Proses analisis
sumberdaya terpadu harus digunakan juga guna meminimalkan konflik antara berbagai
kelompok pengguna melalui pengembangan yang saling menguntung yang didasarkan
kondisi ekologi dan kesesuaian kondisi lanskap ekologi pada masa yang akan datang.
Sebagai tambahan, kolaborasi multipihak (sebagai contoh kerja bersama antar kelompok-
kelompok yang berbeda yang tidak berhubungan satu dengan lainnya yang dapat
mempengaruhi isu-isu penting pada masa yang akan datang) seharusnya ditingkatkan guna
mencegah terjadinya konflik sosial yang mungkin muncul akibat pengelolaan ekosistem.
Kriteria pertimbangan sosial dalam pengelolaan kawasan lestari pada umumnya terdiri dari
tiga kriteria, yaitu: 1) tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan
sumberdaya alam di dalam kawasan; 2) terjaminnya ruang kelola masyarakat dan 3)
terwujudnya kontribusi kawasan dalam pengembangan pendidikan dan pengetahuan baru
tentang sumberdaya alam dan lingkungan. Indikator pencapaian kriterian tersebut adalah :
1. Kriteria tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan
sumberdaya alam di dalam kawasan: a) terbukanya akses masyarakat untuk
melakukan kegiatan budaya/ritual yang telah dilakukan secara lintas generasi; b)
terkendalikannya konflik penggunaan kawasan untuk kegiatan budaya/ritual; c)
Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam melalui penerapan hukum adat dan
kelembagaan lokal; d) Terlindunginya ekosistem-ekosistem unik melalui penerapan
hukum adat dan kelembagaan lokal; e) Terlindunginya spesies-spesies penting
melalui penerapan hukum adat dan kelembagaan lokal; f) Berkembangnya
pemanfaatan sumberdaya alam Berbasis kearifan lokal; g) Tersedianya sistem
manajemen yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal dengan
kawasan UP; h) Tersedianya tenaga profesional di bidang sosial budaya; i)
Tersedianya alokasi dana untuk menangani permasalahan sosial budaya.
2. Kriteria terjaminnya ruang kelola masyarakat: a) Terbentuknya zona yang
menyediakan ruang kelola masyarakat; b) Terkendalikannya konflik pemanfaatan
sumberdaya alam di dalam kawasan; c) Berkembangnya pemanfaatan lestari di
dalam ruang kelola masyarakat guna menopang kehidupan sehari-hari.
3. Kriteria terwujudnya kontribusi kawasan konservasi dalam pengembangan
pendidikan dan pengetahuan baru tentang sumberdaya alam dan lingkungan: a)
Hal | 77
Berkembangnya program pendidikan berbasis ekosistem alam yang terdapat di
dalam kawasan; b) Berkembangnya program penelitian mengenai pengelolaan
ekosistem alam lestari; c) Berkembangnya program pendidikan berbasis ekosistem
unik dan spesies-spesies penting yang terdapat di dalam kawasan; d)
Berkembangnya program penelitian mengenai pengelolaan spesies flora dan fauna
secara lestari; e) Berkembangnya program penelitian untuk menggali potensi SDA
yang ada di dalam kawasan; f) Terbangunnya sistem informasi sumberdaya alam di
dalam kawasan yang menunjang pendidikan dan penelitian
Pertimbangan Ekologi
Kualitas interaksi antar komponen ekologi, baik interaksi antar komponen biotik maupun
antar komponen biotik dan abiotik, dan kondisi setiap komponen penyusun ekosistem
merupakan faktor kunci yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan kawasan dan
ekosistemnya. Kesehatan ekosistem harus senantiasa terjaga sehingga dapat mendukung
keinginan dan kebutuhan masyarakat yang dari waktu ke waktu terus meningkat. Ekosistem
hutan hujan tropika Indonesia adalah salah satu paru-paru dunia yang keberadaan dan
kualitas ekosistemnya terus menjadi pusat perhatian dunia, terutama dalam kaitannya
dengan mempertahankan kualitas lingkungan hidup manusia dunia yang baik.
Beberapa prinsip utama yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan pengelolaan
ekosistem adalah :
1. Teori hirarki: teori ini didasarkan pada bentuk dan pola-pola lanskap (sebagai contoh
komunitas vegetasi) yang harus dipahami oleh setiap pengelola kawasan, terutama dalam
kaitannya dengan fenomena spasial dan temporal. Untuk dapat mempertahankan bentuk
dan pola lanskap tersebut dalam kondisi yang seharusnya setiap manajer pengelola
kawasan harus selalu melakukan monitoring pada berbagai tingkat sistem ekologi dalam
jangka waktu tertentu. Dinamika ekologi sejalan dengan perubahan waktu (sebagai contoh :
proses suksesi) merupakan salah satu komponen yang harus selalu di evaluasi sehingga
dapat diambil tindakan yang cepat dan tepat apabila terjadi penyimpangan. Hal lain yang
perlu di evaluasi adalah tingkat gangguan yang dapat mempengaruhi keseimbangan sistem
ekologi kawasan, seperti kebakaran, banjir, penyebaran penyakit, perburuan liar,
perambahan, penebangan liar, dll.
2. Strategi konservasi: Konservasi keragaman (sebagai contoh: jenis, proses ekosistem
dan pola lanskap) adalah metoda utama untuk pemeliharaan daya lenting dan produktivitas
sistem ekologi. Pendekatan tradisional konservasi keragaman adalah pendekatan spesies
ke spesies dengan penekanannya pada pemeliharaan spesies langka, terancam punah dan
spesies sensitif. Pendekatan konservasi jenis saat ini lebih ditekankan pada
keanekaragaman hayati karena penekanan perlindungan dan pelestarian pada satu jenis
saja telah terbukti menyebabkan gangguan keseimbangan ekosistem yang cukup signifikan
yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya kualitas hidup jenis yang dikelola
tersebut. Aplikasi dari konsep ini membutuhkan pemahaman tentang variabilitas dan
dinamika sistem ekologi. Oleh karena itu pemahaman pengelolaan sistem ekologi sebagai
suatu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipecah-pecah berdasarkan kepentingan
manusia sesaat saja harus dipahami oleh para pihak pengelola kawasan dan ekosistem
demi mencapai tujuan pengelolaan kawasan dan ekosistem lestari.
Kriteria pertimbangan ekologi guna mencapai kelestarian ekologi/lingkungan lestari adalah:
1) tergalangnya hubungan harmonis budaya lokal dengan pengelolaan sumberdaya alam di
dalam kawasan; 2) terjaminnya ruang kelola masyarakat dan 3) terwujudnya kontribusi
Hal | 78
kawasan konservasi dalam pengembangan pendidikan dan pengetahuan baru tentang
sumberdaya alam dan lingkungan. Indikator pencapaian kriterian tersebut adalah : a)
Terbentuknya zona yang menjamin terpeliharanya proses-proses ekologis secara efektif.; b)
terkendalikannya pemanfaatan haram terhadap sumberdaya alam secara efektif; c)
terpeliharanya struktur dan fungsi ekosistem alam di dalam kawasan; d) terpeliharanya
habitat spesies penciri (flagship species) taman nasional; e) Terpeliharanya fungsi
hidroorologis kawasan; f) terpulihkannya fungsi ekosistem yang yang terdegradasi; g)
terpeliharanya eksistensi ekosistem-ekosistem unik di dalam kawasan; h) terpeliharanya
populasi “viable” spesies penting di dalam kawasan; i) terkendalikannya integritas ekosistem
sumberdaya alam yang dimanfaatkan; j) tersedianya sistem manajemen di bidang
kelestarian fungsi ekosistem; k) tersedianya tenaga profesional di bidang kelestarian spesies
penting; dan l) kecukupan alokasi dana untuk menjamin kelestarian ekosistem, jenis dan
genetik di dalam kawasan.
Pertimbangan Ekonomi dan Teknologi
Untuk meningkatkan manfaat dan nilai-nilai ekonomi sumberdaya alam hayati di dalam
kawasan maka pengembangan penelitian terhadap jenis-jenis yang tidak dimanfaatkan dan
atau sedikit diketahui serta pengembangan program-program pemanfaatan jasa lingkungan,
terutama ekowisata, menjadi suatu keharusan apabila pihak pengelola dituntut untuk dapat
memenuhi tujuan pelestarian kawasan dan ekosistem. Pengembangan nilai-nilai ekonomi
sumberdaya alam di dalam kawasan- dapat dipercepat dengan cara membangun kolaborasi
multi pihak, baik dengan masyarakat lokal yang kaya akan kearifan tradisional, ilmuwan,
para praktisi, dll.
Pengelolaan ekosistem yang bertujuan untuk meningkat nilai-nilai ekonomi di dalam suatu
kawasan seharusnya difasilitasi oleh payung hukum yang kuat dan pelaku-pelaku
konservasi dapat saja diberikan insentif untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan
konservasi. Kondisi tersebut di atas sangat dibutuhkan mengingat kebijakan lama yang
berpihak pada perlindungan dan pelestarian saja telah terbukti tidak memberikan kontribusi
ekonomi nyata bagi pemerintah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kebijakan
tersebut menyebabkan terdegradasinya sebagian kawasan akibat gangguan manusia,
seperti perambahan, penebangan liar, perburuan liar, dll.
Untuk dapat mencapai kelestarian kawasan dan ekosistem didasarkan pertimbangan
ekonomi dan teknologi ada tiga kriteria yang harus diperhatikan, yaitu : 1) Tersedianya
akses manfaat ekonomi bagi pembangunan wilayah; 2) Tersedianya insentif ekonomi bagi
pelaku konservasi; dan 3) Tersedianya akses pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi
budidaya. Ketiga kriteria tersebut dapat dicapai melalui beberapa indikator, seperti :
1) Tersedianya akses manfaat ekonomi bagi pembangunan wilayah: a) Terbentuknya
zona yang secara jelas menyediakan akses pemanfaatan sumberdaya alam bagi
pembangunan wilayah; b) Terkendalikannya konflik pemanfaatan sumberdaya alam
di dalam kawasan; c) Terlindunginya ekosistem-ekosistem alam dari aktivitas
ekonomi yang berorientasi pada pembangunan wilayah; d) Terlindunginya
ekosistem-ekosistem unik dari akvititas ekonomi yang berorientasi dalam
pambangunan wilayah; e) Terlindunginya spesies-spesies penting dari akvititas
ekonomi yang berorientasi dalam pambangunan wilayah; f) Berkembangnya aktivitas
ekonomi ramah lingungan yang memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan
wilayah; g) Tersedianya sistem manajemen di bidang pemanfaatan sumberdaya
alam dalam konteks pembangunan wilayah; h) Tersedianya tenaga profesional di
bidang pemanfaatan sumberdaya alam; dan i) Tersedianya alokasi dana untuk
Hal | 79
mengembangkan pemanfaatan sumberdaya alam dalam konteks pembangunan
wilayah.
2) Tersedianya insentif ekonomi bagi pelaku konservasi; a) Tersedianya sistem insentif
bagi masyarakat yang turut aktif dalam pengamanan kawasan; b) Tersedianya
sistem insentif bagi masyarakat yang turut aktif dalam perlindungan sistem
penyangga kehidupan; c) Tersedianya sistem insentif bagi masyarakat yang turut
aktif dalam melindungi spesies-spesies penting di dalam dan sekitar kawasan; d)
Tersedianya sistem insentif bagi masyarakat membudidayakan flora dan fauna di
luar kawasan; e) Tersedianya alokasi dana untuk pengembangan sistem insentif bagi
pelaku konservasi
3) Tersedianya akses pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budidaya: a)
Terkendalikannya konflik pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budidaya; b)
Terpeliharanya sumber plasma nutfah bagi budidaya yang bersumber dari spesies-
spesies penting; c) Berkembangnya budidaya flora-fauna di luar kawasan yang
menopang kelestarian populasi alamnya; d) Tersedianya sistem manajemen di
bidang pemanfaatan sumber plasma nutfah bagi budidaya; e) Tersedianya tenaga
profesional di bidang budidaya plasma nutfah; f) Tersedianya alokasi dana untuk
mengembangkan budidaya plasma nutfah
2.2. Prinsip Dasar Pengelolaan NKT
Dalam Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi berbasis ekosistem, maka ada tiga
prinsip dasar yang harus selalu dipertimbangkan dengan baik dan benar, yaitu:
a. Prinsip Keutuhan (holistic); berarti bahwa penyelenggaraan Pengelolaan Kawasan
Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) harus selalu mempertimbangkan seluruh komponen
pembentuk ekosistem alami, baik komponen penyusun rantai makanan dan rantai energi
maupun komponen biotik maupun abiotiknya, serta kondisi/karakter lingkungannya, baik
ditinjau dari sisi biofisik, ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat.) serta
memperhatikan dan dapat memenuhi kepentingan seluruh pihak yang tergantung dan
berkepentingan terhadap Kawasan UP umumnya dan KBKT khususnya serta mampu
mendukung kehidupan mahluk hidup (selain manusia) dan keberlanjutan keberadaan alam
semesta.
b. Prinsip Keterpaduan (integrated); berarti bahwa penyelenggaraan pengelolaan
KBKT harus berlandaskan pada keselarasan interaksi antar komponen penyusun ekosistem
serta keselarasan interaksi ekosistem dengan para pihak yang tergantung dan
berkepentingan terhadap KBKT yang meliputi aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek
sosial-budaya.
c. Prinsip Keberlanjutan/Kelestarian (sustainability); berarti bahwa fungsi dan
manfaat ekosistem hutan dalam segala bentuknya harus dapat dinikmati oleh umat manusia
dan seluruh kehidupan di muka bumi lintas generasi secara bekelanjutan dengan potensi
dan kualitas yang sekurang-kurangnya sama (tidak menurun). Jadi tidak boleh terjadi
pengorbanan (pengurangan) fungsi dan manfaat ekosistem hutan yang harus dipikul suatu
generasi tertentu akibat keserakahan generasi sebelumnya.
Untuk mewujudkan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem di muka,
diperlukan tiga komponen kegiatan dan/atau sikap utama, yaitu :
Hal | 80
a. Penataan ruang yang bersifat rasional dalam setiap kesatuan bentang alam (
landscape scenario)
Kesatuan bentang alam yang dipergunakan harus merupakan kesatuan ekologis, bukan
kesatuan politik atau administrasi pemerintahan. Untuk keperluan ini dapat dipergunakan
ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai kesatuan ekosistem. Selanjutnya setiap
kesatuan lahan dalam ekosistem DAS tersebut ditetapkan fungsi penggunaannya sesuai
dengan watak fisik lahannya, sedangkan pemanfaatan setiap kesatuan lahan ini tidak boleh
melebihi daya dukung lahan tersebut. Proses ini hendaknya dilakukan dengan melibatkan
seluruh pihak yang berkepentingan dengan prinsip kebersamaan. Sesuai dengan
karakteristik sebagian besar lahan dalam DAS serta tingkat aksesibilitasnya terhadap pusat
pertumbuhan ekonomi wilayahnya, maka akan dapat ditentukan tujuan utama (skenario)
pengelolaan sumberdaya alam dalam wilayah DAS. Setelah skenario pengelolaan DAS
ditetapkan, maka pengelolaan setiap kesatuan ekosistem dalam DAS harus mendukung
pencapaian tujuan utamanya.
b. Komitmen yang kuat terhadap tata ruang yang telah disepakati
Seluruh pihak yang berada dan terkait dengan penggunaan ruang dalam setiap kesatuan
ekosistem (DAS) harus memiliki komitmen yang sama dan kuat untuk mempertahankan tata
ruang yang sudah disepakati bersama secara konsisten.
c. Kebersamaan dalam perumusan kebijakan dan penyelenggaraan program
pengelolaan (colaborative management )
Kebijakan dan program yang akan dilakukan dalam rangka pengelolaan hutan dalam setiap
ekosistem DAS hendaknya disusun dan dilaksanakan secara bersama dengan
memperhatikan prinsip-prinsip hak dan kewajiban yang proporsional dan berkeadilan
(sesuai undang-undang), keterbukaan, demokratis, dan bertanggunggugat. Untuk ini, maka
pengembangan sistem pengelolaan kolaboratif (colabarative management) dalam
pengelolaan hutan merupakan sebuah kewajiban.
Mengingat sifat-sifat biofisik, keadaan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat dalam setiap
ekosistem DAS bersifat spesifik (berbeda satu sama lain), maka tujuan pengelolaan,
rumusan macam-macam bentuk dan intensitas kegiatan pengelolaan harus ditetapkan untuk
setiap kesatuan pengelolaannya dan sesuai dengan sifat-sifat biofisik, keadaan ekonomi
dan sosial-budaya masyarakatnya (adaptive management ).
2.3. Interaksi antara Hasil Identifikasi NKT dan Kebutuhan Pengelolaan
Temuan areal NKT hutan sebagai hasil kegiatan identifikasi merupakan tahap awal dari
kegiatan pengelolaan dan pemantauan areal NKT disuatu UM-HTI. Temuan areal NKT
yang dihasilkan dalam tahap identifikasi meliputi jenis NKT, lokasi detail dan luas areal yang
mendukung nilai tersebut. Hubungan antara temuan hasil identifikasi NKT dengan
pengelolaan terletak pada bentuk interaksi operasionalisasi manajemen hutan tanaman
yang dilakukan dalam suatu UM-HTI dengan nilai bersangkutan. Interaksi UM-HTI dengan
nilai NKT dapat terjadi secara internal (langsung) atau eksternal (tidak langsung). Interaksi
internal dapat terjadi bila lokasi NKT berada di dalam areal UM-HTI sehingga praktek-
praktek yang dilakukan secara langsung dapat memberikan dampak pada nilai tersebut.
Sedangkan interaksi eksternal terjadi pada areal NKT yang berada diluar areal UM-HTI
tetapi masih terkena dampak praktek-praktek dan manajemen perkebunan. Di samping
lokasi NKT temuan lain yang akan menentukan pengelolaan NKT adalah kualitas dari nilai
yang ada.
Hal | 81
Nilai NKT yang terdapat dalam satu areal bisa ditemukan dalam bentuk tunggal, yaitu
dimana dalam satu areal hanya mengandung satu nilai NKT, dan juga dapat ditemukan
secara jamak yaitu dalam satu areal terdiri dari lebih dari satu nilai NKT yang saling
tumpang tindih (overlapping). Keberadaan areal NKTF baik secara tunggal maupun jamak
akan berdampak terhadap tata cara pengelolaan terhadap areal termaksud. Aral NKT yang
saling overlapping memerlukan prioritas pengelolaan, dimana dalam konteks ini satu
tindakan pengelolaan terhadap satu nilai NKT akan memberikan pengaruh terhadap nilai
NKT lainnya.
Penyusunan program pengelolaan NKT didasarkan pada interaksi UM-HTI dengan nilai dari
NKT. Kajian interaksi tersebut akan menghasilkan semua kemungkinan ancaman yang
dapat terjadi terhadap nilai NKT. Program pengelolaan areal NKT pada dasarnya adalah
menyusun tindakan untuk meminimalkan dampak negatif dari ancaman tersebut atau kalau
memungkinkan menghilangkannya serta meningkatkan nilai NKT. Dengan alur pikir tersebut
disusun tabel pedoman pengelolaan NKT yang dapat menjadi panduan bagi perkebunan
dalam menyusun program pengelolaan NKT.
2.4. Mengembangkan Strategi-Strategi Pengelolaan NKT
Dalam menyusun rencana pengelolaan areal NKT, diperlukan strategi-strategi khusus agar
pengelolaan NKT sesuai dengan sasaran yang sudah ditetapkan, dapat diukur, diverifikasi di
lapangan dan ada indicator keberhasilan yang jelas. Oleh karena itu, pengetahuan
terhadap tahapan-tahapan penhyusunan perencanaan pengelolaan NKT ini, harus
diketahui. Pemahaman terhadap tahapan-tahapan tersebut diperlukan untuk dapat dipakai
oleh para penyusun rencana pengelolaan NKT di tingkat lapangan, khusunya para manajer
hutan tanaman. Tahapan –tahapan kunci dalam menyusun rencana pengelolaan NKT
seperti di bawah ini :
1. Menentukan masing-masing tujuan pengelolaan untuk setiap NKT
Tahapan pertama yang harus di lakukan adalah menentukan tujuan dari pengelolaan
masing-masing nilai-nilai atau NKT yang diketemukan dalam areal UM-HTI. Pengelolaan
masing-masing nilai NKT mempunyai tujuan yang spesifik, mengingat tiap-tiap NKT
mempunyai keunikan atau kekhasan tersendiri, walaupun masih ada keterkaitan yang erat
antar tiap-tiap nilai tersebut. Dalam Panduan Identifikasi Areal Bernilai Konservasi Tinggi
di Indonesia 2008, sudah dicantumkan mengenai saran tindak pengelolaan, walaupun
masih bersifat umum. Saran tindak pengelolaan tersebut dapat dijadikan dasar dalam
membangun tujuan dari pengelolaan areal NKT yang sudah diidentifikasi.
Tujuan pengelolaan harus disertai dengan target dalam hal ini adalah tingkat dan ambang
batas yang akan dipertahankan dari kegiatan pengelolaan tersebut. Tingkat dan ambang
batas tersebut harus dapat diukur dan diverifikasi di lapangan. Obyektif dan tujuan dari
pengelolaan hendaknya didiskripsikan diawal, karena terkait dengan implementasi kegiatan
yang akan dilakukan di lapangan. Selain itu, pihak pengelola harus menetapkan ambang
batas dan parameter dari kegiatan pengelolaan yang bisa menunjukkan bahwa pengelolaan
berjalan efektif atau tidak, dengan cara mengamati indicator dari parameter tersebut.
Tujuan pengelolaan dari masing-masing NKT adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Tujuan Pengelolaan areal NKT
Hal | 82
NKT Sub NKT Tujuan Pengelolaan
1 1.1. Kawasan yang Mempunyai atau
Memberikan Fungsi Pendukung
Keanekaragam-an Hayati bagi
Kawasan Lindung dan/atau
Konservasi
Mempertahankan status
kawasan dan fungsi
pendukungnya sehingga tujuan
ditetapkannya kawasan lindung
tersebut dapat tercapai
1.2. Spesies Hampir Punah Mempertahan dan/atau
meningkatkan spesies atau sub-
spesies hampir punah yang
teridentifikasi ada di dalam
kawasan UM dan/atau di sekitar
kawasan UM yang dianggap
akan menga-lami dampak jarak
jauh (off-site) dari kegiatan UM.
Kegiatan penge-lolaan yang
dilakukan dalam UP harus
diusahakan agar ma-sing-
masing individu spesies
tersebut dapat bertahan hidup.
1.3. Kawasan yang Merupakan Habitat
Bagi Populasi Spe-sies yang
Terancam, Penye-baran Terbatas
atau Dilin-dungi yang Mampu
Bertahan Hidup (Viable Population)
Memelihara dan/atau
meningkatkan populasi spesies
yang mampu bertahan hidup
(viable population) dalam
habitat yang ada di dalam
kawasan UM
1.4. Kawasan yang Merupakan Habitat
bagi Spesies atau Sekumpulan
Spesies yang Digunakan Secara
Temporer
Melindungi dan/ atau
memelihara habitat kunci
(keystone habitat) satwa-liar
dalam sebuah lanse-kap di
dalam kawasan UM dimana
terdapat kumpulan individu atau
spesies yang digunakan secara
temporer.
2 2.1. Kawasan Bentang Alam Luas yang
Memiliki Kapasitas untuk Menjaga
Proses dan Dinamika Ekologi
Secara Alami
Melindungi areal ini dan zonal
penyangga se-hingga fungsi-
fungsi lansekap alami di mana
proses ekosistem alami
berlangsung dan berpo-tensi
untuk tetap berjalan dalam
jangka panjang di masa
mendatang.
2.2. Kawasan Alam yang Berisi Dua
atau Lebih Ekosistem dengan
Garis Batas yang Tidak Terputus
(berkesinambungan
Melindungi, melestarikan
dan/atau memelihara kawasan
yang mengandung tingkat kea-
nekaragaman hayati tinggi yang
berada pada dua atau lebih
Hal | 83
NKT Sub NKT Tujuan Pengelolaan
ekosistem alami dengan garis
batas yang tidak terputus atau
memelihara zona transisi
(ekoton) di antara dua atau
lebih ekosistem.
2.3. Kawasan yang Berisi Populasi dari
Perwakilan Spesies Alami yang
Mampu Bertahan Hidup
Memelihara dan meelstarikan
lansekap dengan potensi
istimewa sehingga populasi dari
perwakilan spesies alami dapat
terpelihara dalam jangka
panjang
3 Kawasan yang Mempunyai
Ekosistem Langka atau Terancam
Punah
Melindungi dan melestarikan
ekosistem langka atau
terancam punah
4 4.1. Kawasan atau Ekosistem Penting
untuk Penyedia Air dan Pengendali
Banjir bagi Masyarakat Hilir
Menjaga dan memelihara hutan
spesifik (berawan, karst,
riparian, lahan basah, punggung
gunung, rawa tawar, bakau,
danau dan padang rumput)
dalam kondisi baik agar dapat
mengatur fungsi air di bagian
hilir.
4.2. Kawasan yang Penting bagi
Pengendalian Erosi dan
Sedimentasi
Menurunkan laju erosi dan
sedimentasi sungai yang
berakibat berku-rangnya
kualitas ekosi-stem perair-an
4.3. Kawasan yang berfungsi sebagai
sekat alam untuk mencegah
meluasnya kebakaran hutan dan
lahan
Melindungi dan
mempertahankan kawasan
yang mempunyai karakterirstik
khusus yang mampu
melindung/ mencegah
kebakaran lahan atau hutan
dalam skala yang luas
5 5 Kawasan yang Mempunyai Fungsi
Penting untuk Pemenuhan
Kebutuh-an Dasar Masyarakat
Lokal
menentukan dan/ atau
melindungi dan/atau
memelihara kawasan yang
mempunyai fungsi penting
sebagai sumber penghi-dupan
bagi masyarakat lokal, baik
untuk memenuhi kebutuhan
Hal | 84
NKT Sub NKT Tujuan Pengelolaan
secara langsung
(subsisten/dikonsumsi sen-diri)
maupun secara tidak langsung
(komersial), yaitu dengan cara
menjual produk (hasil hutan
atau sumberdaya alam lainnya)
untuk mendapatkan uang tunai.
6 6 Kawasan yang berfungsi sebagai
identitas budaya masyarakat lokal
Mempertahankan keberadaan
kawasan yang berfungsi
sebagai identitas budaya
masyarakat lokal
Sumber : Rencana Kelola PT XX, 2010
Untuk penetapan kawasan lindung di areal UM-HTI, salah satu acuan yang bisa
dipergunakan adalah Dokumen Deliniasi Makro-Deliniasi Mikro sesuai dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008 tanggal 6 Februari 2008. Tata cara
penetapan kawasan lindung dalam hutan tanaman industry adalah sebagai beriku :
1) Kawasan hutan yang mempunyai kelerangan, kepekaan jenis tanah dan intensitas hujan
dengan skoring sama dengan dan/atau lebih besar dari 175 sesuai dengan Kep.Men.
Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan
Lindung.
Tabel 2 Kriteria Penetapan Hutan Lindung sesuai SK Menteri Pertanian Nomor
837/Kpts/Um/II/1980.
No Nilai Tertimbang//Pembobotan*)
20 15 10
Leren
g (%) Uraian Jenis Tanah Uraian
Intensitas
Hujan
(mm/hari
hujan)
Uraian
1 0-8 Datar
Aluvial, Glei, Planosol,
Hidromorf, Kelabu,
Laterita Air Tanah
Tidak
peka s/d 13,6
Sangat
rendah
2 8-15 Landai Latosol Agak
peka 13,6-20,7 Rendah
3 15-25 Agak
curam
Brown forest soil,
mediteran, andosol,
laterits non calcis
brown,
Kuran
gpeka 20,7-27,7 Sedang
Hal | 85
4 25-45 Curam Grumusol, podsol,
podsolik Peka 27,7-34,8 Tinggi
5 > 45
Sanga
t
curam
Regosol, litosol,
organosol, renzina
Sanga
t peka 34,8 ke atas
Sangat
tinggi
Keterangan : *) Nilai tertimbang/pembobotan dari setiap faktor dikalikan dengan nilai
kelasnya, kemudian nilai perkalian setiap faktor tersebut dijumlahkan. Bila hasil
penjumlahan sama dengan atau lebih dari 175 menunjukkan bahwa wilayah yang
bersangkutan perlu dijadikan, dibina, dan dipertahankan sebagai hutan lindung.
2. Kawasan hutan dengan kelerangan lebih dari 40 % dan atau dengan kelerangan
lebih dari 15 % untuk tanah yang sangat peka terhadap erosi.
3. Kawasan hutan dengan ketinggian sama dengan atau lebih tinggi dari 2.000 mdpl
4. Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih dari 3
(tiga) meter.
5. Kawasan hutan dengan radius dan jarak sampai dengan :
500 meter dari tepi waduk atau danau
200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa
100 meter dari tepi kiri kanan sungai
50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai
2 kali kedalaman juran dari tepi jurang
130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai
11. Buffer zone atau kawasan penyangga hutan lindung dan atau kawasan hutan
konservasi
12. Kawasan pelestarian plasma nutfah
13. Kawasan perlindungan satwa liar
14. Kawasan cagar budaya dan atau ilmu pengetahuan
15. Kawasan rawan terhadap bencana alam.
Untuk mempermudah pengelola dalam menetapkan tujuan berdasarkan nilai-nilai yang
terkandung dalam suatu areal NKT, maka dapat dilihat pada contoh Tabel 3, berikut :
Hal | 86
Tabel 3. Contoh Tujuan dari pengelolaan NKT
NKT Nilai-Nilai Tujuan Pengelolaan
1.1 Kawasan Lindung Gambut Melindungi dan melestarikan kawasan
lindung gambut beserta isinya dalam
jangka panjang sehingga ciri-ciri khusus
dan fungsinya (seperti fungsi-fungsi
ekologis, keanekaragaman hayati,
perlindungan sumber air, populasi
hewan yang mampu bertahan hidup
(viable population) maupun kombinasi
dari unsur-unsur tersebut), dapat
dipertahankan dalam jangka panjang.
4.1 Sebagian dari areal HTI
merupakan bagian dari Micro
peat dome yang berfungsi
sebagai penyedia air dan
pengendali banjir. yaitu berupa
kubah gambut kecil (micro peat
dome)
Mempertahankan fungsi dan keberadaan
micro peat dome sebagai areal penyedia
air dan pengendali banjir bagi
masyarakat pada bagian hilir
Sumber : Laporan Penilaian NKTF PT. XXX, 2010
Setelah menentukan objektif atau tujuan dari masing-masing NKT, hal yang perlu di
perhatikan adalah menentukan parameter-parameter yang akan di pakai dalam
pengelolaan. Parameter tersebut bisa berbentuk kaidah atau aturan-aturan yang ditetapkan
atau dalam kasus tertentu parameter dapat berupa angka-angka yang bisa di peroleh
sebagai bagian dari data kualitas dan kuantitas. Sebagai contoh dalam NKT 4.1 “ areal
peatdome yang berfungsi sebagai penyedia air dan pengendalian bajir”, maka parameter
yang dapat di ukur antara lain kedalaman air tanah pada musim kemarau, beda elevasi
muka air sungai pada musim hujan dan musim kemarau dan kandungan TSS (Total
Soved Solid) pada musim hujan dan musim kemarau. Parameter-paremater ini sewaktu
diakukan pemantauan dapat di ukur dan di peroleh hasilnya.
Pengukuran terhadap parameter dalam pengelolaan dan pemantauan NKT harus
ditetapkan ambang batas atau persyaratan minimum yang harus dipenuhi, hal ini
merupakan bagian penting dalam pengelolaan. Ambang batas diperlukan sebagai bagian
dari nilai-nilai yang mesti di pertahankan, dipelihara atau di tingkatkan nilainya. Sebagai
contoh untuk NKT 4.1 diatas yang berhubungan dengan kawasan lindung gambut, ambang
batas yang di perlukan diantaranya adalah kedalaman air tanah maksimum pada musim
kemarau 15 cm, beda elevasi muka air sungai pada musim hujan dan musim kemarau tidak
melebihi pengukuran awal dan kandungan TSS tidak mengalami perubahan dari
pengukuran awal. Ambang batas ini bisa berdasarkan pada aturan-aturan pemerintah yang
sudah di tetapkan atau berdasarkan scientific approach yang disepakati sesuai dengan
kaidah-kaidah ilmu pengetahuan.
Hal | 87
2. Mengukur dan mengidentifikasi ancaman-ancaman terhadap masing-masing NKT
yang menjadi fokus pengelolaan.
Pada dasarnya kegiatan pengelolaan areal NKT adalah menekan seminimal mungkin
ancaman atau sumber ancaman yang muncul terhadap areal NKT tersebut. Mengingat
keunikan dari tiap-tiap NKT yang terkandung dalam suatu areal, maka kegiatan yang
berpotensi mengancam areal tersebut juga spesifik. Oleh karena itu, penentuan ancaman
terhadap masing-masing NKT penting untuk dipetakan, baik ancaman yang bersifat internal
maupun ancaman eksternal
Pengelola harus memahami kegiatan-kegiatan yang berpotensi menjadi sumber ancaman,
baik kegiatan dari luar maupun kegiatan dari dalam UM. Pemahaman yang jelas terhadap
ancaman ataupun sumber ancaman oleh pihak pengelola, akan berdampak terhadap tata
cara pengelolaan areal NKT di lapangan secara efektif, efisien dan meningkatnya kualitas
dan kuantitas areal NKT. Sebaliknya, tanpa pemahaman yang jelas tentang ancaman, para
pengelola atau pelaksana dilapangan mungkin hanya melakukan cara-cara pengelolaan
yang tidak akan memberikan dampak bahkan mungkin akan menurunkan NKT itu sendiri.
Panduan atau metode yang bisa diadopsi untuk mengukur dan mengidentifikasi ancaman
antara lain dikembangkan oleh The Nature Conservancy17.
Secara konsep teori ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Konsep 3- S ( the Nature Conservancy, 2003)
Hal yang akan kita pergunakan dalam pendekatan untuk mengidentifikasi ancaman adalah
bagian dari Tekanan (Stressess)18 , Sumber ( Sources)19 dan strategi (Strategies).
Ilustrasi ancaman dapat di gambarkan sebagai berikut :
17
The Five-S Framework for Site Conservation .A Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation Success. The Nature Conservancy (2003). 18
Ancaman adalah mengacu kepada perubahan-perubahan spesifik dalam suatu nilai /HCV. 19
Sumber adalah mengacu kepada proses-proses yang menyebabkan suatu tekanan.
Sistem (system ) Tekanan (stresses)
Sumber (Sources )
Strategi (Strategies) Pemangku
kepentingan
(stakeholders)
Hal | 88
Tabel 5. Contoh Identifikasi Ancaman Sumber dan Strategi Pengelolaannya
Tekanan (ancaman) Sumber Strategi
Turunnya kualitas perairan
air sungai
Internal : Kegiatan PWH
(pembukaan wilayah hutan
atau landclearing)
External : penambangan
pasir oleh masyarakat
Sosialisasi Penting
Bufferzone Sungai Divisi
Planning
Pembukaan lahan pada
musim kemarau.
Sosialisasi pada para
penambang dan pengaturan
pengambilan pasir
Hilangnya fungsi daerah
resapan air dan jenis-jenis
vegetasi dilindungi
Internal : Kegiatan PWH dan
landclearing
Sosialisasi pada divis
planning mengenai areal-
areal resapan air, agar tidak
dilakukan landclearing.
Dari ilustrasi diatas, hal penting dalam menyelesaikan atau mencari jalan keluar dari
ancaman adalah adanya perencanaan jangka pendek dan jangka panjang untuk
mengatasi masalah yang di sebabkan oleh ancaman. Dari ilustrasi ini di harapkan para
perencana di lapangan dapat mengidentifikasi ancaman , sumber serta strategi yang akan di
pakai dalam menanggulanginya baik dalam jangka pendek atau dalam jangka panjang20.
Ancaman terhadap NKT bisa datang dari berbagai hal termasuk dari dalam aktivitas
pengelolaan hutan itu sendiri. Ancaman Internal ( dari dalam unit pengelolaan),
ancaman ini berasal dari aktivitas sehari-hari yang terjadi di dalam konsesi. Seperti kegiatan,
pembukaan wilayah hutan ( landclearing). Pendekatan untuk ancaman dari
dalam relatif lebih mudah untuk menekannya, beberapa aktivitas dapat dilakukan untuk
menekan ancaman dari dalam seperti penggunaan best practise management (BMP),
peningkatan kapasitas staf, pengembangan standar operasional kerja (SOP).
Ancaman Eksternal ( dari luar unit pengelolaan), ancaman ini berasal dari luar konsesi,
misalnya aktivitas yang berasal dari masyarakat yang ada di sekitar konsesi seperti
perladangan, perburuan, perambahan lahan, pembakaran lahan pada waktu pembukaan
ladang dan penambangan pasir. Pendekatan untuk menekan ancaman ini dilakukan
dengan melakukan konsultasi dengan masyarakat atau penduduk lokal dan stakeholder
kunci, kegiatan penyadartahuan.
Tabel 6. Contoh ancaman yang berasal dari dalam dan luar konsesi
NKT Dampak Sumber Ancaman
- 1 dan 3 - Hilangnya jenis/ kepunahan - Land Clearing – PWH (Internal)
20
Untuk lebih jelas dapat langsung membaca The Five-S Framework for Site Conservation .A Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation Success. The Nature Conservancy (2003). Di situ dijelaskan secara terperinci dan secara teknis.
Hal | 89
- Perubahan kompisisi jenis - Kebakaran hutan dan lahan
(external)
- 1,2,3,4 - Hilangnya jenis/ kepunahan
- Perubahan kompisisi jenis
- Fragmentasi
- Peningkatan erosi dan
sedimentasi
- Peningkatan debit air sungai
- Meningkatnya resiko kebakaran
- Turunnya kesuburan tanah
- Land clearing-PWH (Internal)
- Kegiatan perladangan (external)
- Perambahan (external)
- 5 - Berkurangnya ikan dan hewan
buruan
- Berkurangnya sayur dan
buahan
- Berkurangnya hasil hutan non
kayu
- Berkurangnya bahan bangunan
- Perubahan dari hutan sekunder
menjadi hutan hutan tanaman
yang monokultur
Sumber : panduan bagi praktisi: mengelola NKTF di Indonesia (TNC, 2006)
3. Mengidentifikasi langkah-langkah mitigasi secara partisipatif.
Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan oleh Pihak Pengelola adalah mengidentifikasi
langkah-langkah mitigasi terhadap ancaman masing-masing NKT secara internal dengan
melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan dan berkompeten. Pengelolaan NKT
memerlukan sumberdaya manusia dan mempunyai keahlian di bidang biologi, jasa
lingkungan dan sosial budaya. Untuk dapat melakukan mitigasi maka pihak UM-HTI harus
melibatkan para pemangku kepentingan yang berkompeten. Kekhususan NKT yang
dikandung pada suatu areal memerlukan bidang keahlian seperti ahli biologi dan
konservasi keanekaragaman hayati untuk dapat memberikan masukan untuk pengelolaan
NKT 1-3, ahli hidrologi atau ahli tanah untuk membantu memberikan masukan untuk
pengelolaan NKT 5 dan ahli antropologi (NKT6) atau ahli lainnya. Selain itu, pelibatan para
pemangku kepentingan di lokasi yaitu masyarakat yang berdiam di dalam atau sekitar
konsesi (NKT5 dan NKT 6) menjadi prioritas dalam membangun pengelolaan partisipatif.
4. Menggunakan pendekatan pengelolaan pencegahan ( precautionary
management ).
Tahapan ke empat ini adalah salah satu bagian terpenting dalam pengelolaan NKT, dalam
tahap ini para pengelola harus mengambil tindakan nyata terbaik berdasarkan informasi
yang ada (termasuk dari tahap satu sampai tiga) dan pentingnya kegiatan pemantuan
sebagai salah satu pusat informasi tentang efektif tidaknya kegiatan pengelolaan.
Hal | 90
Jika ancaman yang ada dapat di identifikasi dan di tekan secara optimal dan rencana
pengelolaan telah di susun maka pendekatan yang pakai untuk menindak lanjuti
pengelolaan NKT adalah dengan apa yang disebut “manajemen pencegahan”
(precautionary management) dalam hal ini konsep Pengelolaan Adaptif yang akan di
sarankan.
Tabel 4. Contoh rencana pengelolaan NKT dalam suatu konsesi pengelolaan hutan alam
NKT Nilai-Nilai Tujuan
Pengelolaan
Strategi dan tindakan Pengelolaan
1.2 Perlindungan
Satwa Harimau
Sumatra
Melindungi dan
menjaga
keberadaan
Harimau Sumatra
agar tidak punah
karena adanya
rusaknya habitat dan
konflik dengan
manusia.
- Memetakan daerah jelajah harimau dalam
skala landscape.
- Mengumpulkan informasi mengenai
pertemuan, bekas tapak dan cakaran, serta
hal-hal yang terkait dengan keberadaan
harimau Sumatra, baik dengan karyawan atau
masyarakat.
- Sosialisasi kepada masyarakat dalam dan
luar kawasan konsesi terkait Himbuan dan
larangan berburu harimau Sumatra
- Melakukan Deliniasi/batas di lapangan pada
tempat yang merupakan daerah harimau
Sumatra untuk mempermudah pengelolaan
4.1 Hutan di tepi
sungai/danau
yang tergenang
secara teratur
dan sub-DAS
yang
menyediakan air
bersih untuk
desa
disekitarnya.
Mempertahankan
wilayah yang bisa
menyediakan air
bersih bagi
masyarakat yang
ada di bagian hilir
unit pengelolaan.
- Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah
terdegradasi hutannya dengan penanaman
kembali jenis-jenis lokal yang banyak
ditebang;
- Mempertahankan wilayah lindung khususnya
kiri-kanan sungai;
Sumber : Rekomendasi Pengelolaan NKT PT XXX (2010)
5. Mengembangkan Pengelolaan Adapatif.
Pengelolaan adaptif adalah suatu proses sistematik untuk secara terus menerus
meningkatkan praktek-praktek pengelolaan lewat belajar terus menerus dari hasil kegiatan-
kegiatan terdahulu, dan kemudian memperbaiki praktek-praktek selanjutnya untuk masa
depan. Komponen awalnya adalah adanya kegiatan identifikasi NKT, kemudian
penyusunan rencana pengelolaan dari NKT tersebut kemudian penyusunan rencana
pemantauan. Dokumen rencana pengelolaan terdiri dari:
Hal | 91
1. Rangkuman hasil identifikasi Nilai Konservasi Tinggi beserta peta Kawasan Bernilai
Konservasi Tinggi.
2. Hasil identifikasi ancaman, dimana di dalamnya terkandung jenis, sebaran, dan
besaran ancaman.
3. Teknologi pengendalian ancaman dan pengelolaan Nilai-Nilai Konservasi Tinggi
4. Tata waktu pengelolaan
5. Alokasi Anggaran
6. Pihak-pihak yang terlibat dan
7. Desain teknis, seperti desain papan informasi, terasering, dll.
Kemudian dokumen ini juga harus disampaikan kepada publik secara transparan.
Implementasi dari kegiatan pengelolaan inipun sebaiknya harus melibatkan pihak-pihak
terkait sehingga dapat berjalan dengan baik, efektifi dan efisien, terutama pengelolaan yang
terkait dengan bentang alam.
Rencana pemantauan merupakan salah satu perencanaan yang sangat penting dalam
konteks ini, karena melalui kegiatan hasil pemantuan pratek-praktek pengelolaan dapat di
perbaiki. tujuan dilakukan pemantauan adalah untuk mendapatkan gambaran apakah
tindakan pengelolaan telah berlangsung sesuai dengan tujuan pengelolaannya.
Kegiatannya berupa penilaian parameter setiap objek secara berkala dan apabila
memungkinkan dapat melibatkan pihak-pihak terkait sehingga proses penilaiannya dapat
lebih objektif. Kegiatan pemantauan ini harus direncanakan dengan baik, dimana
komponen pemantauannya sedapat mungkin : 1) mudah dilaksanakan; 2) terukur; 3)
transparan; dan 4) dilakukan secara berkala sesuai dengan karakter setiap parameter yang
dipantau. Berapa pertanyaan berikut ini dapat membantu untuk menyusun dokumen
pemantauan seperti :
Apa yang akan dipantau dan kenapa?
Bagaimana Anda akan melakukannya?
Siapa yang akan melakukannya, dan seberapa sering?
Dengan siapa Anda akan mendiskusikan hasil, dan bagaimana Anda akan
menggunakannya?
Kemudian dari hasil-hasil penilaian parameter objek tersebut dilakukan analisis dan
evaluasi. Tujuan dari evaluasi ini adalah merumuskan tindakan pengelolaan selanjutnya
sehingga tujuan pengelolaan sesuai dengan yang telah ditentukan.
Revisi rencana pengelolaan didasarkan data/informasi hasil evaluasi; adalah tindakan
yang sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen adaptif, dimana tindakan pengelolaan
sedapat mungkin disesuai dengan kondisi objek yang dikelola dan jenis ancamannya. Hal
ini berarti apakah objek telah mengalami perubahan sehingga harus dilakukan perubahan
tindakan pengelolaan atau kondisi tindakan pengelolaan sudah tidak sesuai lagi mengingat
adanya perubahan-perubahan, baik perubahan teknologi pengelolaan maupun kondisi
eksternal disekitar objek yang dikelola.
Hal | 92
6. Mengembangkan rencana jangka panjang dalam melakukan pemantauan hasil
pengelolaan untuk setiap nilai NKT.
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari serangkaian kegiatan pengelolaan , tahap ini akan
di bahas secara khusus dalam bab pemantauan NKT.
Gambar Manajemen Adaptif Pengelolaan NKT
HASIL IDENTIFIKASI ANCAMAN
ANCAMAN NKT 4
ANCAMAN NKT 1 -3
ANCAMAN NKT 5 - 6
HASIL IDENTIFIKASI
NKT 5 - 6
NKT 1-3
NKT 4
TUJUAN PENGELOLAAN
RENCANA PENGELOLAAN
IMPLEMENTASI PROGRAM
PEMANTAUAN
EVALUASI
Hal | 94
3. Pemantuan Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi
Pemantauan adalah salah satu kunci dari prinsip 9 FSC sebagaimana tercantum dalam 9.4
“ Pemantauan tahunan akan dilakukan untuk menilai efektivitas langkah-langkah yang
diterapkan untuk memelihara atau meningkatkan sifat-sifat konservasi yang dapat
diterapkan “
Semua program pengelolaan akan di barengi dengan adanya program pemantauan untuk
melihat seberapa efektiv atau berhasilnya kegiatan pengelolaan. Pemantauan adalah
sebagai sebuah kegiatan menyelidiki bagaimana keadaan-keadaan berubah dalam
perjalanan waktu. Dengan kata kunci adalah pengumpulan dan evaluasi data secara periodi
terhadap tujuan, sasaran dan kegiatan yang sudah ditetapkan21. Pemantauan adalah proses
pengontrolan terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan NKT yang teridentifikasi dalam
suatu kawasan, apakah NKT tersebut dapat dipertahankan atau meningkat di dalam
kawasan tersebut. Kunci utama dalam pemantauan NKT adalah bahwa harus ada strategi-
strategi yang dirancang untuk mengukur, menilai , efektivitas hasil dari pengelolaan NKT.
Pemantuan sangat penting fungsinya untuk menilai keberhasilan kegiatan pengelolaan.
Tanpa adanya proses pemantauan sangat sulit mengukur apakah kegiatan-kegiatan yang
sudah direncanakan itu dapat dilaksanakan atau berhasil . Pemantauan dapat membantu
para pelaksana dilapangan untuk melihat bagian-bagian mana yang sesuai dengan
rencana dan bagian mana yang tidak berhasil.
Pemantauan merupakan bagian penting dalam konsep pengelolaan adaptif (lihat gambar 2
di atas). Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam menyusun rencana pemantuan
antara lain :
- Sederhana, dan mudah dipahami oleh staf lapangan
- Memberikan aturan yang jelas kapan di mulai dan kapan berhenti;
- Murah biayanya;
- Memiliki sasaran yang jelas;
- Di rencanakan sebelumnya dan melekat dengan rencana pengelolaan;
- Mengikuti metode-metode baku
- Dilakukan sesuai dengan jadwal tertentu;
- Mempunyai alat analisi dan dapat di intergrasikan dengan kegiatan di masa yang akan
datang.
Kebijakan Pemerintah Yang Relevan Dengan Pemantauan NKT
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 32 Tahun 1990 Tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung
21
Margolui dan Salafsky,1998. Dikutip dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi tinggi di Indonesia. The Nature Conservancy 2002.
Hal | 95
Definisi
a. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan
nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.
b. Pengelolaan Kawasan Lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian
pemanfaatan kawasan lindung.
c. Kawan Resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk
meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (aktifer) yang
berguna sebagai sumber air.
d. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai
buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
e. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air.
f. Kawasan Rawan Bencana Alam, adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi
mengalami bencana alam.
Tujuan dan Sasaran
a. Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan
fungsi lingkungan hidup.
b. Sasaran pengelolaan fungsi lindung terhadap tanah air, iklim, tumbuhan dan satwa
serta nilai sejarah dan budaya bangsa adalah :
- Mengingat fungsi lindung terhadap tanah air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai
sejarah dan budaya bangsa;
- Memertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe esksistem, dan keunikan
alam.
Pokok-Pokok Kebijaksanaan Kawasan Lindung
a. Pasal 11 :
Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup
bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediann kebutuhan air
tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang
bersangkutan.
b. Pasal 12 :
Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi struktur tanah yang mudah
meresapkan air dan bentuk geomofologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-
besaran.
c. Pasal 15 :
Hal | 96
Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi sungai dari kegiatan
manusia yang dapat menganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan
dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
d. Pasal 16 :
Kriteria sempadan sungai adalah :
- Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan
anak sungai yang berada di luar pemukiman.
- Untuk sungai di kawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan
cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 – 15 meter.
e. Pasal 19 :
Perlindungan terhadap kawasan sekitar mata air dilakukan untuk melindungi mata air dari
kegiatan budidaya yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya.
f. Pasal 20 :
Kriteria kawasan sekitar mata air adalah sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di
sekitar mata air.
g. Pasal 32 :
Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia
dan kegiatannya dari bencana disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh
perbuatan manusia.
h. Pasal 33 :
Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidentifikasi sering dan
berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung, gempa bumi, dan tanah
longsor.
Penetapan Kawasan Lindung
a. Pasal 34 :
(1). Pemerintah Daerah Tingkat I menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sebagai kawasan lindung daerah masing-masing dalam suatu
Peraturan Daerah Tingkat I, disertai dengan lampiran penjelasan dan peta dengan tingkat
ketelitian minimal skala 1 : 250.000 serta memperhatikan kondisi wilayah yang
bersangkutan.
(2). Dalam menetapkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (I),
Pemerintah Daerah Tingkat I harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penetapan wilayah tertentu sebagai bagian dari kawasan lindung.
(3). Pemerintah Daerah Tingkat I menjabarkan lebih lanjut kawasan lindung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) bagi daerahnya ke dalam peta dengan
tingkat ketelitian minimal skala 1 : 100.000 dalam bentuk Peraturan Daerah Tingkat II.
(4). Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terpadu dan
lintas sektoral dengan mempertimbangkan masukan dari Pemerintah Daerah Tingkat II.
Hal | 97
b. Pasal 35 :
Apabila dalam penetapan wilayah tertentu terjadi perbenturan kepentingan antar sekotr,
Pemerintah Daerah Tingkat I dapat mengajukan kepada Tim Pengelola Tata Ruang
Nasional untuk memperoleh saran penyelesaian.
c. Pasal 36 :
(1). Pemerintah Daerah Tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan
tanggung-jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung.
(2). Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengumumkan kawasan-kawasan
lindung sebagaimana dimaksud dalam apasal 34 kepada masyarkat.
Pengendalian Kawasan Lindung
a. Pasal 37 :
(1). Di dalam kawasan suaka alam dan kawasan cagar budaya dilarang melakukan
kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak
mengubah benteng alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada.
(2). Di dalam kawasan suaka alam dan kawasan cagar budaya dilarang melakukan
kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak
mengubah benteng alam, kondisi penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada.
(3). Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai
dampak penting terhadap lingkungan hidup dikenakan ketentuan-ketentuan yang berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
(4). Apabila menurut Analisis mengenai Dampak Lingkungan kegiatan budidaya
menganggu fungsi lindung harus dicegah perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan
lindung dikembalikan secara bertahap.
b. Pasal 38 :
(1). Dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di dalam
kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan
lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.
(2). Apabila ternyata di kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat
indikasi adanya deposit mineral atau air tanah atau kekayaan alam lainnya yang bisa
diusahakan dinilai amat berharga bagi Negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung
tersebut dapat dizinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3). Pengelolaan kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
dengan tetap memelihara fungsi lindung kawasan yang bersangkutan.
(4). Apabila penambangan bahan galian dilakukan penambang bahan galian tersebut
wajib melaksanakan upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup dan melaksanakan
rehabilitasi daerah bekas penambangannya, sehingga kawasan lindung dapat berfungsi
kembali.
Hal | 98
(5). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4),
diatur lebih lanjut oleh Menteri yang berwenang setelah mendapat pertimbangan dari Tim
Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.
c. Pasal 39 :
(1). Pemerintah Daerah tingkat II wajib mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan
lindung.
(2). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan pemantauan,
pengawasan dan penertiban.
(3). Apabila Pemerintah Daerah Tingkat II tidak dapat menyelesaikan pengendalian
pemanfaatan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), wajib
diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk diproses langkah tindak lanjutnya.
(4). Apabila Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak dapat menyelesaikan pengendalian
pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), wajib diajukan kepada Tim koordinasi
Pengelolaan Tata Ruang Nasional.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Difinisi
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disebut RTRWN adalah
arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara.
b. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
c. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
d. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan Tata Ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
e. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan Tata Ruang.
f. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan/atau aspek fungsional.
g. Wilayah nasional adalah seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
h. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.
i. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan.
Hal | 99
j. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan denganfungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi danpotensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.
Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Nasional
Pasal 4
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional meliputi kebijakan dan strategi
pengembangan struktur ruang dan pola ruang.
Pasal 6
Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
meliputi:
a. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung;
b. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya; dan
c. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis nasional.
Pasal 7
(1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a meliputi:
a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
b. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan hidup.
(2) Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup
meliputi:
a. menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut,dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi;
b. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas
paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan
kondisiekosistemnya; dan
c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun
akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan
memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.
(3) Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi:
a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup;
b. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak
negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
Hal | 100
c. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung
menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup
tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
e. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin
kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
f. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya
secara bijaksana dan sumberdaya alam yang terbarukan untuk menjamin
kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan
g. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di
kawasan rawan bencana
Kawasan Lindung Nasional
Pasal 51
Kawasan lindung nasional terdiri atas:
a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasanbawahannya;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya;
d. kawasan rawan bencana alam;
e. kawasan lindung geologi; dan
f. kawasan lindung lainnya.
Pasal 52
(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasanbawahannya terdiri atas:
a. kawasan hutan lindung; b. kawasan bergambut; dan c. kawasan resapan air.
(2) Kawasan perlindungan setempat terdiri atas:
a. sempadan pantai; b. sempadan sungai; c. kawasan sekitar danau atau waduk; dan
d. ruang terbuka hijau kota.
(3) Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya,terdiri atas:
a. kawasan suaka alam; b. kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya; c. suaka
margasatwa dan suaka margasatwa laut; d. cagar alam dan cagar alam laut; e. kawasan
pantai berhutan bakau; f. taman nasional dan taman nasional laut; g. taman hutan raya; h.
taman wisata alam dan taman wisata alam laut; dan i. kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan.
Hal | 101
(4) Kawasan rawan bencana alam terdiri atas:
a. kawasan rawan tanah longsor; b. kawasan rawan gelombang pasang; dan c. kawasan
rawan banjir.
(5) Kawasan lindung geologi terdiri atas:
a. kawasan cagar alam geologi; b. kawasan rawan bencana alam geologi; dan c. kawasan
yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.
(6) Kawasan lindung lainnya terdiri atas:
a. cagar biosfer; b. ramsar; c. taman buru; d. kawasan perlindungan plasma nutfah; e.
kawasan pengungsian satwa; f. terumbu karang; dan g. kawasan koridor bagi jenis satwa
atau biota laut yang dilindungi.
Pasal 53
(3) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanahsebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (5) huruf c terdiri atas:
a. kawasan imbuhan air tanah; dan
b. sempadan mata air.
Kriteria Kawasan Lindung Nasional
Pasal 55
(1) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a
ditetapkan dengan kriteria:
a. kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan
yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima)
atau lebih;
b. kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh
persen); atau
c. kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di
atas permukaan laut.
(3) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c
ditetapkan dengan kriteria kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan
air hujan dan sebagai pengontrol tata air permukaan.
Pasal 56
(2) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b ditetapkan
dengan kriteria:
a. daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebarpaling sedikit 5 (lima)
meter dari kaki tanggul sebelah luar;
Hal | 102
b. daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman
dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai; dan
c. daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman
dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai.
Pasal 58
(1) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) huruf a
ditetapkan dengan kriteria kawasan berbentuk lereng yang rawan terhadap perpindahan
material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah,atau material campuran.
Pasal 59
(5) Kawasan pengungsian satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf e
ditetapkan dengan kriteria:
a. merupakan tempat kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut;
b. merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa; dan
c. memiliki luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan
kehidupan serta berkembangbiaknya satwa.
(7) Kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (6) huruf g ditetapkan dengan kriteria:
a. berupa kawasan memiliki ekosistem unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang
kehidupan; dan
Pasal 62
(2) Kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf b
ditetapkan dengan kriteria:
a. daratan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan
fungsi mata air; dan
b. wilayah dengan jarak paling sedikit 200 (dua ratus) meter dari mata air.
Penetapan Kawasan Strategis Nasional
Pasal 80
Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup ditetapkan dengan kriteria:
a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati;
b. merupakan aset nasional berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi
perlindungan ekosistem, flora dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan
akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan;
c. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang
menimbulkan kerugian negara;
d. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro;
Hal | 103
e. menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup;
f. rawan bencana alam nasional; atau
g. sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas
terhadapkelangsungan kehidupan.
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Kawasan Lindung Nasional
Pasal 99
(3) Peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang
memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada;
dan
c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun
yang diajukan izinnya.
Pasal 100
(2) Peraturan zonasi untuk sempadan sungai dan kawasansekitar danau/waduk disusun
dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan
untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air; pendirian bangunan dibatasi
hanya untuk menunjangfungsi taman rekreasi; dan
c. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 106
2) Peraturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan
b. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Ketentuan Umum
a. Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah.
b. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya menjaga
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah.
Hal | 104
c. Identifikasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengenal jenis, keadaan
umum status populasi dan tempat hidupnya yang dilakukan di dalam habitatnya.
d. Inventansasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengetahul kondisi dan
status populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan di dalam
dan di luar habitatnya maupun di lembaga konservasi.
e. Jenis tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut species atau anak-
anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam maupun di luar
habltatnya.
f. Populasi adalah kelompok individu dan jenis tertentu di tempat tertentu yang secara
alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk mencapai
keseimbangan populasi secara dinamis sesuai dengan kondisi habitat beserta
lingkungannya.
Tujuan
a. Menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dan bahaya kepunahan;
b. Menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;
c. Memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada agar dapat
dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.
Upaya Pengawetan
a. Penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
b. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
c. Pemeliharaan dan pengembangbiakan.
Pengelolaan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Habitatnya
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan
Pemerintah ini tidak mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan jenis tumbuhan dan
satwa pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam.
Pengawetan Jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam
habitatnya (in situ). Dalam mendukung kegiatan tersebut dapat dilakukan kegiatan
pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan populasi.
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan dalam bentuk
kegiatan :
a. Identifikasi:
b. Inventarisasi;
c. Pemantauan;
d. Pembinaan habitat dan populasinya;
Hal | 105
e. Penyelamatan jenis;
f. Pengkajian, penelitian dan pengembangan.
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar babitatnya (ex-situ) dilakukan dalam bentuk
kegiatan :
a. Pemeliharaan;
b. Pengembangbiakan;
c. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
d. Rehabilitasi satwa;
e. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.
4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993 tentang garis
sempadan sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas
sungai
Ketentuan Umum
a. Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan
pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kana
dan kirinya sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan;
b. Garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai;
c. Daerah sempadan adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai termasuk
sungai buatan, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi sungai;
d. Daerah manfaat sungai adalah mata air, palung sungai dan daerah
sempadan yang telah dibebaskan;
e. Daerah penguasaan sungai adalh dataran banjir, daerah retensi;
bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan;
f. Bekas sungai adalah sungai yang tidak berfungsi lagi;
g. Tepi sungai adalah batas luar palung sungai yang mempunyai variasi
bentuk
h. Tanggul adalah bangunan pengendali sungai yang dibangun dengan
persyaratan teknis tertentu untuk melindungi daerah sekitar sungai
terhadap limpasan air sungai;
i. Banjir rencana adalah banjir yang kemungkinan terjadi dalam kurun waktu
tertentu.
Maksud dan Tujuan
a. Penetapan garis sempadan sungai dimaksudkan sebagai upaya
agar kegiatan perlindungan, pengembangan, penggunaan dan
Hal | 106
pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai termsuk
danau dan waduk dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya.
b. Penetapan garis sempadan sungai bertujuan:
- Agar fungsi sungai termasuk danau dan waduk tidak terganggu oleh aktifitas
yang berkembang di sekitarnya;
- Agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya
yang ada di sungai dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjada
fungsi sungai;
- Agar daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya dapat dibatasi.
Tata Cara Penetapan
a. Penetapan garis sempadan sungai dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
- Untuk sungai-sungai yang menjadi kewenangan Menteri batas garis sempadan
sungai ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan Direktur
Jenderal;
- Untuk sungai- sungai yang dilimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah
Daerah, batas garis sempadan sungai ditetapkan dengan Peraturan Daerah
berdasarkan usulan dari Dinas;
- Untuk sungai-sungai yang dilimpahkan kewenangan pengelolaannya kepada
Badan Hukum tertentu, batas garis sempadan sungai ditetaplan dengan
Peraturan Menteri berdasarkan usulan dari Badan Hukum tertentu yang
bersangkutan.
b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
- Melakukan survei;
- Menentukan dimensi penampang sungai berdasarkan rencana pembinaan
sungai yang bersangkutan
- Penetapan batas garis sempadan sungai.
Kriteria
Kriteria penetapan garis sempadan sungai terdiri dari:
a. Sungai bertanggul :
- Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan, ditetapkan
sekurang-kurangnya 5 (lima) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.
- Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan, ditetapkan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.
b. Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan
Hal | 107
- Penetapan garis sempadan sungai tak bertanggul di luas kawasan perkotaan
diperkotaan didasarkan pada kriteria:
Sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas 500
(lima ratus) Km2 atau lebih;
Sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas
kuran dari 500 (lima ratus) Km2.
- Penetapan garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan
pada sungai besar dilakukan ruas per ruas dengan mempertimbangkan luas
daerah pengaliran sungai pada ruas yang bersangkutan.
- Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan pada
sungai besar ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter, sedangkan pada
sungai kecil sekurang-kurangnya 50 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu
ditetapkan.
c. Sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan.
- Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga) meter, garis sempadan
ditetapkan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) meter dihitung dari tepi sungai pada
waktu ditetapkan.
- Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 (tiga) meter sampai dengan 20
(dua puluh) meter, garis sempadan ditetaplan sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.
- Sungai yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 (dua puluh) meter,
garis sempadan sungai sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) meter dihitung dari tepi
sungai pada waktu ditetapkan.
Penetapan garis sempadan danau, waduk, mata air, dan sungai yang terpengaruh pasang
surut air laut mengikuti kriteria yang telah ditetapkan dalam Keputusan RI Nomor 32 Tahun
1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, sebagai berikut:
a. Untuk danau dan waduk, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 50(lima
puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
b. Untuk mata air, garis sempadan ditetapkan sekurang- kurangnya 200 (dura ratus)
meter di sekitar mata air.
c. Untuk sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, garis sempadan ditetapkan
sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari tepi sungai, dan berfungsi sebagai jalur
hijau.
Pemanfaatan Daerah Sempadan
Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-
kegiatan tertentu sebagai berikut:
a. Untuk budidaya pertanian, dengan jenis tanaman yang diizinkan;
b. Untuk kegiatan niaga, penggalian, dan penimbunan;
Hal | 108
c. Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan , serta
rambu-rambu pekerjaan;
d. Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan pipa air minum;
e. Untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik umum
maupun kereta api;
f. Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan
kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian
dan keamanan fungsi serta fisik sungai;
g. Untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan
pembuangan air. Pasal 12
h. Pada daerah sempadan dilarang:
a. Membuang sampah, limbah padat atau cair;
b. Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha.
Kebijakan lainnya
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air
3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai
4. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 376/Kpts-II/1998 Tentang
Kriteria Penyediaan Hutan Untuk Perkebunan Budidaya Kelapa Sawit.
Strategi Pemantauan NKT
Pemantauan adalah salah satu bagian penting dari pengelolaan karena dari kegiatan ini
dapat diketahui apakah tujuan manajemen dapat tercapai atau tidak. Keberadaan
data/informasinya sangat bermanfaat apabila ada perubahan manajemen. Kegiatan
pemantauan sangat penting guna mengelola ekologi/lingkungan karena sistem ekologi
memiliki sifat dinamis terutama apabila ada tindakan pengelolaan di dalamnya sehingga
pemantauan berguna untuk membatasi terjadinya penyimpangan dari tujuan pengelolaan.
Kegiatan ini juga sangat penting guna terpeliharanya fungsi-fungsi sistem yang dibangun
dalam rangka peningkatan produktivitas unit-unit pengelolaan dan kesejahteraan hidup
manusia.
Untuk tercapainya pemantauan yang efektif dan efisien berdasarkan role pada rencana
pengelolaan, maka beberapa tahapan sebagai strategi dalam pemantauan yang harus
dilakukan adalah
Hal | 109
1. Review dokumen
Melakukan tinjauan (review) dokumen Hasil Identifikasi NKT dan Dokumen Perencanaan
dan Pengelolaan NKT. Tujuan review ini untuk mengetahui :
1) Rekomendasi NKT harus dikelola sesuai hasil identifikasi NKT
2) Mengetahui rencana pengelolaan NKT sebagai tindak lanjut rekomendasi identifikasi
NKT.
Hasil review ini menjadi bahan Tim UP untuk melakukan review laporan atau rekaman hasil
pengelolaan NKT.
2. Review laporan
Berdasarkan hasil review dokumen diatas, maka UP perlu melakukan review terhadap
laporanlaporan atau dokumen rekaman-rekaman hasil kegiatan pengelolaan NKT. Dalam
tahap ini UP perlu melakukan pemeriksaan kelengkapan laporan, rekaman serta dokumen-
dokumen (SOP) yang harus dipenuhi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pedoman
Pengelolaan NKT.
Tujuan melakukan review laporan ini adalah untuk mendapatkan bahan-bahan sebelum UP
melakukan pemantauan NKT di Lapangan. Dalam review ini beberapa hal yang ditemukan
baik yang sesuai (Conform) maupun yang tidak sesuai (Non Conformance) sebaiknya
diindentifikasi.
3. Periksa indikator keberhasilan pengelolaan
Berdasarkan hasil review laporan pada tahap 2 diatas, Langkah selanjutnya UP harus
melakukan pemeriksaan (Check) dilapangan (site) terhadap pemenuhan persyaratan
Indikator Keberhasilan Pengelolaan sebagaimana yang tertulis dalam dokumen Pengelolaan
NKT. Metode untuk proses pemeriksaan dilakukan dengan pengukuran atau pemeriksaan
langsung dan wawancara kepada petugas lapangan atau masyarakat.
Bilamana terdapat temuan ketidaksesuaian (Non Conformance) , maka sebaiknya UP
mengidentifikasi dan mendokumentasikan temuan ini, agar dapat memudahkan untuk
melakukan Tindakan Perbaikan (Corrective Action).
4. Susun rencana perbaikan terhadap temuan ketidaksesuaian tersebut.
Berdasarkan hasil temuan dalam pemeriksaan indikator pengelolaan, maka UP harus
membuat rencana tindakan perbaikan (Corrective action) yang terdokumentasi. Dokumen
rencana tindakan perbaikan (Corrective action) ini sebaiknya dibuat secara lengkap,
mencakup kegiatan yang akan dilakukan, target waktu penyelesaian, serta pihak yang akan
melakukan verifikasi terhadap tindakan perbaikan.
5. Pelaksanaan perbaikan.
Berdasarkan rencana tindakan perbaikan ( Corrective action ), maka UP melakukan
tindakan perbaikan. Perbaikan seharusnya dilakukan sesuai dengan sesuai kegiatan yang
direncanakan dan target waktu yang ditetapkan.
Hal | 110
6. Internal Audit.
Tahap akhir dari kegiatan Pemantauan ini adalah Internal Audit, yang bertujuan untuk
melalukan pemeriksaan terhadap hasil-hasil tindakan perbaikan. Dalam internal audit ini
perlu diperiksa :
1) kelengkapan dokumen yang harus dipenuhi
2) kondisi lapangan
3) waktu penyelesaian apakah sesuai target yang ditetapkan.
Dalam internal audit ini UP juga perlu menetapkan status tindakan perbaikan, apakah sudah
selesai (closed) atau tindakan perbaikan masih belum selesai (open). Tim Internal Audit
perlu mendokumentasikan hasil internal audit ini dan disebutkan hal –hal yang sudah closed
dan masih Open.
SISTEM PEMANTAUAN NKT
Tindakan pengelolaan pada masing-masing NKT menghasilkan suatu indikator keberhasilan
yang ditandai dengan tolok ukur dari keberhasilan tidakan pengelolaan tersebut. Oleh
karena itu, teknik pemantauannya adalah:
1. membandingkan dokumen dengan fakta dilapangan;
2. melakukan wawancara dengan para pihak;
3. melakukan pengambilan contoh dilapangan atau jika dimungkinkan
untuk dilakukan sensus;
4. uji statistic (jika diperlukan)
5. pada akhir pemantauan dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Hal | 111
Rencana Kegiatan Pemantauan NKT
1. Pengukuhan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi
1.1. Indikator yang dipantau
Pelaksanaan tata batas
Kondisi dan peletakan pal batas/polet
1.2. Tujuan pemantauan
Tujuan pemantauan adalah mengetahui apakah pengukuhan KBKT telah dilaksanakan dan
telah sesuai dengan yang telah diatur dalam SOP pengukuhan kawasan baik lokasi maupun
peletakkannnya, serta kondisi pal batas.
1.3. Pemantauan
Alat dan bahan : Berita Aacara Tata Batas (BATB), Peta kerja, GPS, kamera,
kompas, tally sheet, meteran (100 m), dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran :
Koordinat peletakan pal batas/polet (sample)
Pengukuran jarak antar pal batas/polet (sample)
Kondisi pal batas/polet
Metode analisis data :
Cross check dengan BATB dan peta kerja
Deskriptif kondisi pal batas/polet
Lokasi pemantauan : Batas dan Pal batas/poletan KBKT
Periode Pemantauan : 1. Pemantauan pelaksanaan tatabatas dilakukan satu
kali setelah dilakukan pengukuhan batas KBKT
2. Pemantauan kondisi pal batas/polet dilakukan setiap
semester (6 bulan)
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana pemantauan adalah staf urusan informasi
geografis.
2. Media Informasi
2.1. Indikator yang dipantau
Pemasangan/peletakaan papan informasi
Tingkat keberhasilan informasi pasif (papan informasi, poster/leaflet dan
promosi/iklan)
2.2. Tujuan pemantauan
Tujuan pemantauan adalah mengetahui apakah informasi atau sosialisasi pasif yang telah
disampaikan tersebut informatif serta merubah persepsi negatif ke posistif dari masyarakat
mengenai arti pentingnya menjaga lingkungan.
Hal | 112
2.3. Pemantauan
Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran :
Cross check peletakkan papan informasi dan
kondisinya
Penyebaran kuesioner untuk mengetahui persepsi
dan pemahaman masyarakat terhadap KBKT
Metode analisis data :
Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan dan dianalisis
secara kualitatif maupun kuantitatif (persentase)
Lokasi pemantauan : Masyarakat, dunia pendidikan, Pemda
Periode Pemantauan : Pemantauan dilakukan setiap semester (6 bulan)
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana pemantauan adalah staf lingkungan
sosial.
3. Pengamanan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi
3.1. Indikator yang dipantau
Tingkat keamanan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi
3.2. Tujuan pemantauan
Tujuan pemantauan adalah Terjaganya Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi
dari kerusakan yang diakibatkan oleh berbagai bentuk gangguan keamanan,
baik yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran maupun oleh
bencana alam (banjir, longsor dan sebagainya).
Terjaganya keutuhan dan kelestarian Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi
Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran :
Pemantauan dilaksanakan secara bersamaan pada
saat patroli
Mencatat jenis gangguan yang ditemukan kemudian
dipetakan ke dalam peta kerja
Metode analisis data :
Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitaif
Lokasi pemantauan : Areal KBKT
Periode Pemantauan : Pemantauan dilakukan setiap semester (6 bulan) maupun
secara acak
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana pemantauan adalah tim keamanan dan
berkoordinasi dengan staf lingkungan sosial dan aparat
penegak hukum (kepolisian daerah).
Hal | 113
4. Kawasan Resapan Air
4.1. Indikator yang dipantau
Curah hujan
Rasio Debit maksimum dan minimum
Erosi dan sedimentasi
Kelembaban, kekerasan tanah dan infiltrasi air kedalam tanah
4.2. Tujuan pemantauan
Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi
resapan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan pemeliharaan
dan pembangunan kawasan resapan air yang telah rancang dapat terwujud dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan.
4.3. Metode Pemantauan
1) Curah hujan
Alat dan bahan : Alat penakar curah hujan dan alat tulis
Metode pengukuran :
Gambar 1. Teknik pemasangan Penakar Curah Hujan
1. Lakukan pemantauan dan pengukuran
sedikitnya satu kali dalam 24 jam.
2. Waktu pengukuran pada pagi hari ± pukul
07.00 pagi.
3. Cara mengukur dilakukan dengan
mengalirkan atau menuangkan air hujan yang
ditampung alat dengan menggunakan gelas
Hal | 114
ukur.
4. Pembacaan dilakukan dengan melihat tinggi
muka air dengan skala yang tertulis pada
gelas ukur. Pada saat pembacaan skala,
posisi gelas ukur harus tegak lurus.
5. Data yang diperoleh dari hasil pemantauan
dicatat, dengan ketentuan:
Hujan yang kurang dari 0,5 mm, ditulis 0 (nol).
Tidak ada hujan, ditandai (-)
Kondisi alat rusak, ditulis (R)
Hujan tidak teratur, ditulis (x)
6. Pastikan bahwa pelaksanaan pengukuran
curah hujan sudah dijalankan dengan benar.
Metode analisis data :
Data curah hujan diperoleh merupakan data curah hujan
harian dan apabila dijadikan data bulanan tinggal dijumlahkan.
Catatan :
Untuk mengukur curah hujan dengan menggunakan gelas
ukur yang tidak memiliki konversi jumlah curah hujan (gelas
ukur standar) maka penghitungan curah hujan dilakukan
dengan menggunakan rumus :
Tinggi Curah Hujan (mm) = volume tampungan /
luas penampang penakar Curah Hujan
Lokasi pemantauan : Stasiun pemantauan curah hujan
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan setelah hari hujan.
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik.
2) Rasio Debit Maksimum dan Minimum
Alat dan bahan : Alat tulis dan hitung serta data hasil pengukuran debit dalam
satu tahun
Metode pengukuran :
Diperoleh dari hasil pengukuran debit air per kejadian hujan
Metode analisis data :
Mengidentifikasi data debit yang paling tinggi (maksimum)
dan data debit yang paling rendah (minimum) dalam satu
tahun pengukuran debit. Kemudian dihitung rasio antara
debit maksimum dan minimum. Indikatornya semakin kecil
nilai rasio tersebut maka semakin baik fungsi area resapan
Hal | 115
airnya.
Kualitas Qmak/Qmin
Sangat baik < 50
Baik 50 - 150
Sedang 150 - 250
Buruk 250 - 500
Sangat buruk > 500
Lokasi pemantauan : Sungai/ Parit
Periode Pemantauan :
Perhitungan dilakukan setiap tahun sekali
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik
3) Erosi dan sedimentasi
Alat dan
bahan
:
Bak erosi, Stick ukur, Botol sampel alat tulis menulis
Metode
penguk
uran :
1. Pengukuran Lapangan (Metode Bak Erosi)
Gambar 2. Bak erosi
Setelah bak pengukur erosi terpasang, setelah hujan maka curah hujan yang
jatuh pada petak ukur akan menimbulkan aliran permukaan dan mengangkut
material tanah ke bak kontrol. Bila curah hujan tinggi maka aliran permukaan
akan besar sehingga terjadi limpasan air dan keluar melalui lima lubang yang
salah satunya dihubungkan dengan drum penampung. Drum penampung
menampung limpasan air dan sedimen dari bak penampung melalui satu lubang.
Hal | 116
Mengambil dan menimbang seluruh material yang terangkut pada bak kontrol.
Mengambil sample sedimen sebanyak 600 ml. Mencatat data – data pendukung
berupa :
% kemiringan lokasi
Penutupan tanah dalam petak kecil
Curah hujan harian, bulanan dan tahunan
Hari hujan bulanan dan tahunan
2. Pengukuran Lapangan (Metode Stik Pemantauan Erosi)
Merupakan sebuah tongkat pengukur perubahan tinggi muka lapisan tanah akibat
adanya erosi permukaan (Gambar 3).
Gambar 3. Metode stik pemantauan erosi
Metode
Hal | 117
analisis
data :
1000
1. TSS = ( A – B ) mg / L
ml sampel
2. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun kualitatif yang
kemudian besarannya dibandingkan dengan rona awal dan hasil
pemantauan periode sebelumnya.
Lokasi
pemant
auan :
Sempadan Sungai dan areal rawan erosi
Periode
Pemant
auan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari hujan.
Institusi
Pemant
auan :
Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik
3) Kelembaban, kekerasan tanah dan infiltrasi air kedalam tanah
Alat dan bahan : Hygrometer, soil pentrometer, permeameter infiltration dan
tulis menulis
Metode pengukuran :
Pengecekan terhadap kondisi tanah (sample) dengan
penggunaan alat secara digital
Metode analisis data :
Data ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif kualitatif
maupun kuantitatif, kemudian dibandingkan dengan data hasil
pemantauan pada rona awal
Lokasi pemantauan : Kawasan resapan air
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari
hujan
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik
5. Pemantauan Sempadan Sungai
5.1. Indikator yang dipantau
Hal | 118
Keanekaragaman flora,
Keanekaragaman fauna,
Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi,
Kualitas dan kuantitas perairan
Erosi dan sedimentasi
5.2. Tujuan pemantauan
Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi
sempadan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan
pemeliharaan dan pembangunan sempadan yang telah ditetapkan dapat terwujud dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan.
5.3. Metode Pemantauan
1) Keanekaragaman Flora
Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, meteran (50-
100 m), pita ukur, tambang plastik, kantong plastik besar,
alkohol 70 %, sprayer, label, gunting stek dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran :
Pengukuran keanekaragaman flora dilakukan dengan
cara inventarisasi flora dengan metode garis berpetak
di petak contoh permanen yang telah ditetapkan pada
saat inventarisasi flora.
Gambar 3.4. Metode Garis Berpetak
Luas petak contoh 1 ha untuk tiap-tiap lokasi atau
disesuaikan dengan kondisi area. Penentuan jumlah
lokasi pemantauan, didekati dengan perbedaan tipe
tutupan lahan (terbuka, semak belukar, tanaman)
Metode analisis data :
Data dianalis untuk mengetahui kerapatan (K),
frekuensi (F), Dominansi (D(untuk tingkat tumbuhan
bawah dan semai tidak digunakan)), indeks nilai
penting (INP), indeks keanekaragaman jenis (H’).
Jenis-jenis vegetasi yang ada dikelompokkan
berdasarkan statusnya menurut IUCN, CITES dan PP
Hal | 119
No. 7 Tahun 1999. Selain itu, diidentifikasi juga jenis-
jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pakan
satwaliar.
Data dan informasi yang diperoleh dari setiap periode
pengamatan dianalisis deskriptif kuantitatif maupun
kualitatif dengan cara membandingkan dengan data
awal atau pemantauan periode sebelumnya.
Lokasi pemantauan : Sempadan sungai dan sungai
Periode Pemantauan : Pemantauan dilakukan setiap enam bulan sekali
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana pemantauan adalah staf lingkungan
biologi.
2) Keanekaragaman Fauna
Alat dan bahan: Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, meteran,
tambang plastik, alat-alat tulis, gips, teropong, buku panduan
identifikasi mamalia, avifauna, reptil dan herpetofauna.
Contoh buku panduan satwa (jenis burung) dapat dilihat pada
Gambar 6.
Metode pengukuran:
Pengukuran keanekaragaman satwaliar. Metode kombinasi ini
digunakan sekaligus untuk pengamatan terhadap mamalia,
reptilia dan aves, yakni pengamatan mamalia dengan
menerapkan metode jalur sedangkan pengamatan reptilia dan
burung dengan menerapkan metode titik.
Gambar 5. Metode kombinasi antara PA (point abundance)
dengan transek jalur
Metode analisis data:
Hasil data lapangan diolah untuk mengetahui
keanekaragaman dan kelimpahan satwaliar pada
kelompok mamalia, avifauna, reptilia dan
herpetofauna.
Jenis-jenis satwaliar yang ada dikelompokkan
berdasarkan statusnya menurut IUCN, CITES dan PP
No. 7 Tahun 1999.
Data dan informasi yang diperoleh dari setiap periode
• A • B
• Pararlon
• 2
m
• 22 m
• 20 cm
• 40 cm
• 2
5 cm
Hal | 120
pengamatan dianalisis secara deskriptif kuantitatif
maupun kualitatif dengan cara membandingkan
dengan data awal atau pemantauan periode
sebelumnya.
Lokasi pemantauan :
Sempadan sungai dan sungai
Periode Pemantauan :
Pemantauan keanekaragaman satwaliar dilakukan setiap 6
bulan sekali
Institusi Pemantauan :
Institusi pelaksana pemantauan keanekaragaman satwaliar
adalah staf lingkungan biologi.
Gambar 6. Contoh Buku Panduan Pengenalan Jenis Burung untuk Kegiatan Pemantauan
Fauna
3) Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi
Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, hand counter,
pita ukur/kaliper, meteran, dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran :
1. Parameter yang diamati: 1) Persentase tumbuh, 2)
tinggi (cm) dan diameter (mm), 3) hama dan penyakit.
2. Persentase tumbuh
Dievaluasi 1 bulan setelah tanam, dan diulangi
pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Survey
harus dilakukan pada seluruh tanaman
Hal | 121
Hitung dan catat jumlah seedling yang gagal tumbuh
( mati, stagnasi, kekuningan dan merana), dengan
mengikuti seluruh strip planting, tiap luasan 1 ha.
Tancapkan ajir pada tanaman yang gagal hidup
sebagai tanda untuk penyulaman.
Hitung prosentase seedling yang hidup, yaitu
jumlah yang ditanam (PS)-jumlah yang gagal (FS)
dibagi dengan jumlah yang ditanam x 100%
3. Pemberian label untuk monitoring pertumbuhan
tanaman
Interval waktu 3,6,9 dan 12 bulan setelah tanam
Untuk tiap species pohon yang ditanam ambil
sample 20 seedling secara acak dan pasang label
yang memuat informasi tentang : nama jenis, waktu
tanam dan treatment
Label harus permanent, tahan air dan cuaca, serta
tidak menarik bagi masyarakat lokal.
Label kemungkinan hilang, untuk itu maka posisi
tanaman yang berlabel perlu di petakan
4. Pengukuran tingi (cm) dan diameter (m)
Pada tanaman berlabel, berikan tanda, 5 cm diatas
permukaan tanah dimana pengukuran tinggi dan
diameter secara constant aka dilakukan
Pengukuran diameter (mm) dengan caliper
dilakukan dua kali (d1 dan d2) pada posisi yang
berbeda tepat pada posisi marker. Hasilnya berupa
rata-rata (d1+d2/2) dicatat pada tally sheet.
Pengukuran tingi (cm) dilakukan dengan mistar
dimula dari marker sampai titik paling ujung.
Hasilnya dicatat pada tally sheet
Metode analisis data :
1. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi, yang
diarahkan terhadap beberapa parameter yaitu : (1)
rata-rata tinggi dan diameter batang tanaman; (2)
prosentase tumbuh; (3 prosentase kerusakan tanaman;
(4) prosentase tanaman yang terkenan serangan hama
dan penyakit. Data ditabulasikan dan dibuat dalam
bentuk histogram atau grafik.
2. Untuk mengetahui perubahan atau kecenderungan
(trend) keberhasilan tanaman dari satu periode ke
periode berikutnya dilakukan analisis deskriptif
Hal | 122
kuantitatif dan kualitatif.
Lokasi pemantauan : Sempadan sungai dan sungai
Periode Pemantauan :
Pemantauan tingkat keberhasilan rehabilitasi tanaman
dilakukan setiap semester
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan biologi.
4) Kualitas dan Kuantitas Perairan
Alat dan bahan : Flowmeter digital, cawan secy, botol sample, oven,
timbangan, pH meter digital, peralatan tulis
Metode pengukuran :
1. Pengukuran debit air
2. Pengukuran padatan terlarut
Pengambilan sampel air, kemudian diukur berapa pedatan
yang terlarut ke dalam air tersebut
3. pH air; untuk mengetahui apakah perairan dalam
kondisi normal, asam ataukah basa
4. Tingkat kekeruhan
Pengukuran langsung dititik pengamatan berapa persen
tingkat kekeruhan pada air.
Metode analisis data :
1. Q = A * V ; Q = m3/detik, A = m2, V = m/detik
1.000
2. TSS = ( A – B ) mg / L
ml sampel
3. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun
kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan
dengan rona awal dan hasil pemantauan periode
sebelumnya.
Lokasi pemantauan : Sempadan Sungai
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari
hujan.
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik.
Hal | 123
5) Tingkat Erosi dan sedimentasi
Alat dan bahan : Bak erosi, Stick ukur, Peralatan tulis, Botol sampel alat tulis
menulis
Metode pengukuran :
1. Pengukuran Lapangan (Metode Bak Erosi)
3. Pengukuran Lapangan (Metode Stik Pemantauan Erosi)
Metode analisis data :
1000
1. TSS = ( A – B ) mg / L
ml sampel
2. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun
kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan
dengan rona awal dan hasil pemantauan periode
sebelumnya.
Lokasi pemantauan : Sempadan Sungai.
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari
hujan.
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik
6. Sempadan Parit
6.1. Indikator yang dipantau
Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi,
Kualitas dan kuantitas perairan
Erosi dan sedimentasi
6.2. Tujuan pemantauan
Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi
sempadan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan
pemeliharaan dan pembangunan sempadan yang telah ditetapkan dapat terwujud dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan.
6.3. Metode Pemantauan
1) Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi
Hal | 124
Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, hand counter,
pita ukur/kaliper, meteran, dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran :
1. Parameter yang diamati: 1) Persentase tumbuh, 2) tinggi
(cm) dan diameter (mm), 3) hama dan penyakit.
2. Persentase tumbuh
Dievaluasi 1 bulan setelah tanam, dan diulangi
pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Survey
harus dilakukan pada seluruh tanaman
Hitung dan catat jumlah seedling yang gagal tumbuh
( mati, stagnasi, kekuningan dan merana), dengan
mengikuti seluruh strip planting, tiap luasan 1 ha.
Tancapkan ajir pada tanaman yang gagal hidup
sebagai tanda untuk penyulaman.
Hitung prosentase seedling yang hidup, yaitu
jumlah yang ditanam (PS)-jumlah yang gagal (FS)
dibagi dengan jumlah yang ditanam x 100%
3. Pemberian label untuk monitoring pertumbuhan tanaman
Interval waktu 3,6,9 dan 12 bulan setelah tanam
Untuk tiap species pohon yang ditanam ambil
sample 20 seedling secara acak dan pasang label
yang memuat informasi tentang : nama jenis, waktu
tanam dan treatment
Label harus permanent, tahan air dan cuaca, serta
tidak menarik bagi masyarakat lokal.
Label kemungkinan hilang, untuk itu maka posisi
tanaman yang berlabel perlu di petakan
4. Pengukuran tingi (cm) dan diameter (m)
Pada tanaman berlabel, berikan tanda, 5 cm diatas
permukaan tanah dimana pengukuran tinggi dan
diameter secara constant aka dilakukan
Pengukuran diameter (mm) dengan caliper
dilakukan dua kali (d1 dan d2) pada posisi yang
berbeda tepat pada posisi marker. Hasilnya berupa
rata-rata (d1+d2/2) dicatat pada tally sheet.
Pengukuran tingi (cm) dilakukan dengan mistar
dimula dari marker sampai titik paling ujung.
Hasilnya dicatat pada tally sheet
Metode analisis data : 1. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi, yang
diarahkan terhadap beberapa parameter yaitu : (1) rata-
Hal | 125
rata tinggi dan diameter batang tanaman; (2) prosentase
tumbuh; (3 prosentase kerusakan tanaman; (4) prosentase
tanaman yang terkenan serangan hama dan penyakit.
Data ditabulasikan dan dibuat dalam bentuk histogram
atau grafik.
2. Untuk mengetahui perubahan atau kecenderungan (trend)
keberhasilan tanaman dari satu periode ke periode
berikutnya dilakukan analisis deskriptif kuantitatif dan
kualitatif.
Lokasi pemantauan : Sempadan parit
Periode Pemantauan :
Pemantauan tingkat keberhasilan rehabilitasi tanaman
dilakukan setiap semester .
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan biologi.
2) Kualitas dan Kuantitas Perairan
Alat dan bahan : Flowmeter digital, cawan secy, botol sample, oven,
timbangan, pH meter digital, peralatan tulis
Metode pengukuran :
1. Pengukuran debit air
2. Pengukuran padatan terlarut
Pengambilan sampel air, kemudian diukur berapa pedatan
yang terlarut ke dalam air tersebut
3. pH air; untuk mengetahui apakah perairan dalam kondisi
normal, asam ataukah basa
4. Tingkat kekeruhan
Pengukuran langsung dititik pengamatan berapa persen
tingkat kekeruhan pada air.
Metode analisis data :
1. Q = A * V ; Q = m3/detik, A = m2, V = m/detik
1.000
2. TSS = ( A – B ) mg / L
ml sampel
3. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun
kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan
dengan rona awal dan hasil pemantauan periode
sebelumnya.
Hal | 126
Lokasi pemantauan : Sempadan parit
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari
hujan.
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik.
3) Tingkat Erosi dan sedimentasi
Alat dan bahan : Bak erosi, Stick ukur, Peralatan tulis, Botol sampel alat tulis
menulis
Metode pengukuran :
1. Pengukuran Lapangan (Metode Bak Erosi)
2. Pengukuran Lapangan (Metode Stik Pemantauan Erosi)
Metode analisis data :
1000
3. TSS = ( A – B ) mg / L
ml sampel
4. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun
kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan
dengan rona awal dan hasil pemantauan periode
sebelumnya.
Lokasi pemantauan : Sempadan parit
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari
hujan.
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik
7. Sempadan Waduk/ Embung air
7.1. Indikator yang dipantau
Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi,
Kualitas dan kuantitas perairan
7.2. Tujuan pemantauan
Hal | 127
Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan terhadap fungsi
sempadan dan fungsi lainnya. Penilaian dampak ini sangat penting agar tujuan
pemeliharaan dan pembangunan sempadan yang telah ditetapkan dapat terwujud dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan.
7.3. Metode Pemantauan
1) Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi
Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tally sheet, hand counter,
pita ukur/kaliper, meteran, dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran :
1. Parameter yang diamati: 1) Persentase tumbuh, 2) tinggi
(cm) dan diameter (mm), 3) hama dan penyakit.
2. Persentase tumbuh
Dievaluasi 1 bulan setelah tanam, dan diulangi
pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Survey
harus dilakukan pada seluruh tanaman
Hitung dan catat jumlah seedling yang gagal tumbuh
( mati, stagnasi, kekuningan dan merana), dengan
mengikuti seluruh strip planting, tiap luasan 1 ha.
Tancapkan ajir pada tanaman yang gagal hidup
sebagai tanda untuk penyulaman.
Hitung prosentase seedling yang hidup, yaitu
jumlah yang ditanam (PS)-jumlah yang gagal (FS)
dibagi dengan jumlah yang ditanam x 100%
3. Pemberian label untuk monitoring pertumbuhan tanaman
Interval waktu 3,6,9 dan 12 bulan setelah tanam
Untuk tiap species pohon yang ditanam ambil
sample 20 seedling secara acak dan pasang label
yang memuat informasi tentang : nama jenis, waktu
tanam dan treatment
Label harus permanent, tahan air dan cuaca, serta
tidak menarik bagi masyarakat lokal.
Label kemungkinan hilang, untuk itu maka posisi
tanaman yang berlabel perlu di petakan
4. Pengukuran tingi (cm) dan diameter (m)
Pada tanaman berlabel, berikan tanda, 5 cm diatas
permukaan tanah dimana pengukuran tinggi dan
diameter secara constant aka dilakukan
Pengukuran diameter (mm) dengan caliper
Hal | 128
dilakukan dua kali (d1 dan d2) pada posisi yang
berbeda tepat pada posisi marker. Hasilnya berupa
rata-rata (d1+d2/2) dicatat pada tally sheet.
Pengukuran tingi (cm) dilakukan dengan mistar
dimula dari marker sampai titik paling ujung.
Hasilnya dicatat pada tally sheet
Metode analisis data :
1. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi, yang
diarahkan terhadap beberapa parameter yaitu : (1) rata-
rata tinggi dan diameter batang tanaman; (2) prosentase
tumbuh; (3 prosentase kerusakan tanaman; (4) prosentase
tanaman yang terkenan serangan hama dan penyakit.
Data ditabulasikan dan dibuat dalam bentuk histogram
atau grafik.
2. Untuk mengetahui perubahan atau kecenderungan (trend)
keberhasilan tanaman dari satu periode ke periode
berikutnya dilakukan analisis deskriptif kuantitatif dan
kualitatif.
Lokasi pemantauan : Sempadan waduk/embung
Periode Pemantauan :
Pemantauan tingkat keberhasilan rehabilitasi tanaman
dilakukan setiap semester dimulai tahun 2012.
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan biologi.
2) Kualitas dan Kuantitas Perairan
Alat dan bahan : Flowmeter digital, cawan secy, botol sample, oven,
timbangan, pH meter digital, peralatan tulis
Metode pengukuran :
1. Pengukuran debit air
2. Pengukuran padatan terlarut
Pengambilan sampel air, kemudian diukur berapa pedatan
yang terlarut ke dalam air tersebut
3. pH air; untuk mengetahui apakah perairan dalam kondisi
normal, asam ataukah basa
4. Tingkat kekeruhan
Pengukuran langsung dititik pengamatan berapa persen
tingkat kekeruhan pada air.
Metode analisis data :
1. Q = A * V ; Q = m3/detik, A = m2, V = m/detik
1.000
Hal | 129
2. TSS = ( A – B ) mg / L
ml sampel
3. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif maupun
kualitatif yang kemudian besarannya dibandingkan
dengan rona awal dan hasil pemantauan periode
sebelumnya.
Lokasi pemantauan : Sempadan badan-badan air
Periode Pemantauan :
Pemantauan dilakukan dalam waktu setiap saat setelah hari
hujan.
Institusi Pemantauan : Institusi pelaksana adalah staf lingkungan fisik.
8. Habitat Satwaliar
8.1. Pengertian
Habitata adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu, dimana suatu spesies atau
komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang
hidup di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung
pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas optimum habitat untuk mendukung
populasi suatu organisme disebut
8.2. Indikator dan Tujuan Pemantauan
8.2.1 Indikator yang dipantau
Kelimpahan, distribusi dan seks rasio populasi spesies satwaliar yang terancam
punah/langka/dilindungi.
Habitat satwaliar terancam punah/langka/dilindungi
Efektivitas SOP
8.2.2. Tujuan pemantauan
Tujuan pemantauan adalah untuk menilai dampak kegiatan pengelolaan UM terhadap
kelestarian satwaliar
8.3. Metode Pemantauan
8.3.1. Kelimpahan, distribusi dan seks rasio populasi spesies satwaliar yang terancam
punah/langka/dilindungi.
Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tallt sheet, meteran,
teropong, gips, dan alat-alat tulis.
Hal | 130
Metode pengukuran : Pengukuran kelimpahan, distribusi dan seks rasio satwaliar
yang dilakukan dalam petak contoh permanen, baik dalam jalur maupun metoda IPA yang
telah ditetapkan sebelumnya pada tahun pertama dalam bentuk unit contoh permanen dan
daerah-daerah konsentrasi satwa.
Metode analisis data : Analisis kuantitatif dan pemetaan yang kemudian hasilnya
dibandingkan dengan rona awal dan periode pemantauan sebelumnya.
Lokasi pemantauan : Kawasan UM
Periode Pemantauan : Pemantauan dilakukan enam bulan sekali
Institusi Pemantauan : staf lingkungan biologi
8.3.2. Habitat Satwaliar
Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tallt sheet, meteran,
tambang plastik, pita ukur, kantong plastik, timbangan, gunting pohon, dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran : Pengukuran kualitas dan kuantitas habitat satwaliar yang
meliputi kelimpahan pakan, cover, dan ketersediaan air minum yang dilakukan dengan cara
inventarisasi kelimpahan pakan, cover dan ketersediaan air di di petak contoh permanen
yang telah ditetapkan pada saat tahun pertama. Pada saat pengukuran dilakukan pula uji
tingkat gangguan akibat aktivitas kebun khususnya dan kegiatan manusia lainnya di dalam
kawasan UM.
Metode analisis data : Analisis kualitatif dan kuantitatif kelimpahan pakan, cover dan
ketersediaan air yang kemudian besarannya dibandingkan dengan rona awal dan periode
pemantauan sebelumnya.
Lokasi pemantauan : Seluruh kawasan UM
Periode Pemantauan : Pemantauan kondisi habitat satwaliar dilakukan dua kali dalam
setahun.
Institusi Pemantauan : Staf Lingkungan Biologi.
8.3.3. Efektifitas SOP Pengelolaan Satwaliar
Alat dan bahan : Peta kerja, GPS, kamera, kompas, tallt sheet, meteran,
dokumen SOP dan alat-alat tulis.
Metode pengukuran : Pengukuran tingkat implementasi SOP pengelolaan satwaliar
yang dilakukan oleh unit manajemen
Metode analisis data : Analisis kuantitaif uji kompetensi staf unit manajemen dan
analisis kualitatif penerap SOP untuk setiap level staf dalam pelaksanaan kegiatannya di
lapangan.
Lokasi pemantauan : Seluruh staf unit manajemen
Hal | 131
Periode Pemantauan : Pemantauan dilakukan dua kali dalam setahun setelah
sosialisasi SOP dilaksanakan
Institusi Pemantauan : Dewan Direksi
9. Kawasan yang Memiliki Fungsi Penting Bagi MasyarakatLokal
Pemantauan dilakukan untuk melihat indikator kinerja pengelolaan. Pemantauan yang
dilakukan meliputi:
1) Pemantauan terhadap kegiatan pemeliharaan dan perawatan kawasan yang memiliki
fungsi penting bagi masyarakat lokal
2) Pemantauan terhadap perkembangan realisasi kegiatan pengelolaan kawasan yang
memiliki fungsi penting bagi masyarakat lokal
3) Pemantauan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dan kemungkinan gangguan
terhadap keberadaan kawasan yang memiliki fungsi penting bagi masyarakat lokal
10. Situs Budaya
Pemantauan dilakukan untuk melihat indikator kinerja pengelolaan. Pemantauan yang
dilakukan meliputi:
1) Pemantauan terhadap kegiatan pemeliharaan dan perawatan bukti historis Situs
Budaya
2) Pemantauan terhadap perkembangan realisasi kegiatan pengelolaan Situs Budaya
3) Pemantauan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dan kemungkinan gangguan
terhadap keberadaan Situs Budaya.
11. Evaluasi Keberhasilan Pemantauan
11.1. Pengertian
Evaluasi keberhasilan pemantauan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi perlu dilakukan
agar dapat diketahui efektifitas kegiatan pemantauan yang telah berjalan. Kegiatan evaluasi
dilakukan pada periode tertentu dari pelaksanaan program kegiatan (formative) dan di akhir
program kegiatan (summative). Evaluasi keberhasilan pemantauan dilakukan 2 (dua) kali
selama jangka pemantauan yaitu tahun ke 2 dan tahun ke 4 pada saat akan berakahirnya
kegiatan. Hasil evaluasi bisa dipakai sebagai pedoman bagi Direksi untuk mengambil
kebijakan selanjutnya.
Kegiatan evaluasi menghasilkan butir-butir pembelajaran (lessons learned) atas
keberhasilan dan kegagalan suatu program kegiatan dan umpan balik (feedback) untuk
perbaikan strategi, rencana, dan implementasi program kegiatan pada masa-masa
berikutnya. Pemantauan dan evaluasi sangat penting untuk memungkinkan terjadinya
perbaikan terus-menerus (continuous improvement) dari pengelolaan Unit Manajemen.
Hal | 132
11.2. Indikator dan Tujuan Evaluasi dari Kegiatan Pemantauan
A. Indikator yang dievaluasi dari kegiatan pemantauan
Implementasi dan capaian kegiatan pemantauan
Kualitas dan kompetensi SDM pemantau
Kualitas pelaporan kegiatan pemantauan
B. Tujuan evaluasi dari kegiatan pemantauan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memeriksa kinerja program kegiatan pemantauan Kawasan
Bernilai Konservasi Tinggi yang meliputi; capaian (achievements), dampak, efektivitas,
efisiensi dan keberlanjutan.
11.3. Kegiatan Evaluasi
A. Implementasi dan Capaian Kegiatan Pemantauan
Alat dan bahan : Form (daftar isian), form BA, quisoner dan alat tulis menulis
Metode pengukuran : Pengamatan langsung di lapangan saat kegiatan pemantauan
dilakukan dan wawancara dengan pihak-pihak terkait.
Pengamatan lapang dimaksudkan untuk melihat secara
langsung jalannya kegiatan pemantauan, apakah sudah
sesuai dengan prosedur (SOP) dan atau target waktu yang
telah ditetapkan atau belum. Wawancara dilakukan untuk
manambah data dan informasi agar dihasilkan kesimpulan
evaluasi yang benar.
Metode analisis data : Analisis kuantitatif/kualitatif dan deskriptif untuk seluruh
kegiatan pemantauan KBKT yang nantinya dibandingkan
dengan hasil evaluasi periode berikutnya.
Lokasi : Unit Manajemen Kebun
Periode : Dilakukan 2 (dua) kali selama jangka waktu kegiatan
pemantauan, dimulai pada tahun ke 2 dan tahun ke 4.
Institusi Pelaksana : Institusi pelaksana evaluasi kegiatan pemantauan adalah staf
urusan lingkungan fisik, biologi, sosial dan informasi
B. Kualitas dan Kompetensi SDM Pemantau
Alat dan bahan : Form (daftar isian), form BA, quisoner dan alat tulis menulis.
Metode pengukuran : Uji tertulis, uji praktek dan wawancara
Metode analisis data : Skoring
Lokasi : Unit Manajemen
Periode : Dilakukan 2 (dua) kali selama jangka waktu kegiatan
Hal | 133
pemantauan, dimulai pada tahun ke 2 dan tahun ke 4.
Institusi Pelaksana : Institusi pelaksana evaluasi kegiatan pemantauan adalah staf
urusan lingkungan fisik, biologi, sosial dan informasi
C. Kualitas Pelaporan Kegiatan Pemantauan
Alat dan bahan : Form (daftar isian), form BA, dokumen laporan kegiatan
pemantauan dan alat tulis menulis.
Metode pengukuran : Review dokumen laporan kegiatan
Metode analisis data : Analisis kuantitatif dan kualitatif
Lokasi : Unit Manajemen.
Periode : Dilakukan 1 (satu) tahun sekali selama jangka waktu kegiatan
pemantauan.
Institusi Pelaksana : Institusi pelaksana evaluasi kegiatan pemantauan adalah staf
urusan lingkungan fisik, biologi, sosial dan informasi
Mengembangkan Strategi-Strategi Pemantauan NKT
Sampai saat ini belum ada metode yang baku dalam melakukan pemantauan NKT di hutan
alam, hal ini juga belum adanya hasil-hasil penelitian yang mendukung seberapa efektif
tentang pemantauan NKT. Pada dasarnya metode pemantauan dalam NKT terbagi menjadi
dua bagian besar yaitu pemantauan secara ekologis untuk pemantuan NKT1, NKT 2,
NKT3, dan pemantauan yang bersifat partisipatif yang berhubungan dengan masyarakat
( kebutuhan dasar dan budaya-NKT5 dan NKT 6).
Pemantauan ekologis dipergunakan karena beberapa hal : (1)Hasil pemantauan dapat
memberikan peringatan kepada unit pengelola dari perubahan ekologi yang tidak diinginkan
yang terjadi di dalam konsesi; (2)pemantauan ekologis merupakan kebutuhan obyektif untuk
mengevaluasi apakah kegiatan pengelolaan NKT yang berhubungan dengan melestarikan
keanekaragaman hayati sudah di capai atau belum; (3) pemantauan ekologis adalah
sebuah kebutuhan untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dari aktivitas manusia dan
gangguan terhadap keanekaragaman hayati; (4) pemantauan ekologis dapat memberikan
wawasan kepada para pengelola di dalam sebuah unit pengelolaan tentang fungsi
ekosistem yang kompleks.
Beberapa metode yang disarankan untuk pengumpulan data dan jenis data yang
dikumpulkan untuk melakukan pemantauan ekologis22 antara lain : (1) Penginderaan jarak
Jauh dan sistem informasi geografis23, (2) plot sample permanen ( vegetasi)24, (3) Transek
Satwaliar25, (4) Spesies indikator26, (5) pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air27.
22
Diambil dari panduan bagi praktisi : mengelola hutan bernilai konservasi tinggi di Indonesia. The Nature Conservancy 2002. 23
Penginderaan jarak jauh menggunakan sarana citra satelit atau potret udara untuk memeriksa perubahan-perubahan yang terjadi pada vegetasi dan tutupan hutan. Sedangkan software untuk melakukan kegiatan tersebut ada dalam satu sistem pemetaan yang biasa di sebut sistem informasi geografis (SIG-Geografical information system).
Hal | 134
Contoh pengelolaan dan pemantauan NKT di dalam konsesi Hutan alam dapat dilihat dalam
lampiran 1 dan lampiran 2.
4. Daftar Pustaka
Anonimous. 2010. Laporan Pengelolaan dan pemantauan NKT PT. A . tidak dipublikasikan.
Meijaard, E., S. Stanley, E.H.B. Pollard, A. Gouyon & G. Paoli. 2006. High Conservation
Value Forest in East Kalimantan. A Guide for Practioners. The Nature Conservancy – East
Kalimantan Program, Samarinda, Indonesia.
Meijaard E., Sheil D., Nasi R., Augeri D., Rosenbaum B., Iskandar D., Setyawati T., Lambert
F. R. (1992) The consequences of selective logging for Bornean lowland forest birds.
Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series B 335, 443-457.
The Nature Conservancy. 2003. The Five-S Framework for Site Conservation .A
Practitioner’s Handbook for Site Conservation Planning and Measuring Conservation
Success.
The Nature Conservancy. 2004. Participatry ConservationPlanning Mannual. Conservation
Training and Resource Center Applied.
Tim Rayden. 2008 . Assessment, management and monitoring of High Conservation Value
Forest (NKTF).A practical guide for forest managers . ProForest, Oxford
WWF, 2007. Ecological Monitoring of Forestry Management in the Humid Tropics: A Guide
for Forestry Operators and Certifiers with Emphasis on High Conservation Value Forests.
Translated from Monitoreo Ecológico del Manejo Forestal en el Trópico Húmedo: Una Guía
Para Operadores Forestales y Certificadores con Ènfasis en Bosques de Alto Valor Para la
Conservación of WWF-Central America.
24
Sample plot permanen adalah kegiatan untuk memantau pertumbuhan dan kematian pohon yang terdapat dalam suatu kawasan hutan. 25
Transek hidupan liar adalah jalur-jalur panjang yang terdapat dalam suatu unit pengelolaan khususnya hutan, tempat melakukan survey kehidupan liar yang menggunakan cara atau metode baku tentang kehidupan liar di tempat tersebut seperti jejak, kotoran, sarang, suara, bau dan sebagainya. 26
Spesies indikator sering di jadikan patokan dalam pemantauan. Beberapa spesies yang telah disarankan menjadi indikator-indikator ekologis antara lain burung-burung frugivora dan insektivora terestrial, owa, dan serangga. 27
Pengukuran erosi, sedimentasi dan kualitas Air menjadi salah satu indikator yang penting dalam pemantuan HCV khususnya pemantauan lingkungan,hal ini berhubungan khususnya dengan HCV 4.
135 | H a l
5. Strategi Pengelolaan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di PT.A
NKT Nilai-Nilai Ancaman Kawasan yang di kelola Strategi dan tindakan Pengelolaan
1.1 Kawasan lindung Perladangan
Penebangan liar
Penambangan emas
Rencana perkampungan
Rencana
kebun/sawit/karet/coklat
Penebangan tidak
terencana
Buffer zone hutan
lindung dan kawasan
lindung yang ada di
dalam areal konsesi
Penyuluhan kepada masyarakat tentang larangan
penebangan liar di dalam kawasan konsesi;
Pemasangan poster yang berhubungan dengan
himbauan untuk tidak melakukan penebangan liar;
Pengajuan keberatan tentang rencana tambang emas
di dalam konsesi PT. A;
Tidak melakukan penebangan di wilayah tersebut
(NKT1.1);
Upaya pengendalian perladangan;
Melaksanakan sistem RIL dalam penebangan sesuai
dengan SOPnya.
1.2 Tumbuhan/flora
terancam punah
jenis-jenis
Dipterocarpaceae
(CR)
- Penebangan tidak
terencana di dalam
konsesi
- Penebangan liar
- Perladangan
- Pemukiman
Seluruh areal konsesi
PT. A khususnya hutan
dataran rendah dan sub
pegunungan
- Kerjasama dengan aparat penegak hukum dalam
penyuluhan tentang penebangan liar
- Menyisakan pohon-pohon jenis CR (diameter lebih
dari 60 cm) untuk tidak di tebang di setiap hektar
petak tebang;
- Melatih terus staf PT. A tentang pengenalan jenis
pohon;
136 | H a l
- Penambangan emas
- Rencana kebun sawit
- Merestorasi kembali hutan dengan menanami
lahan rusak dan gundul dengan jenis-jenis CR;
- Daerah konsentrasi sebaran jenis-jenis CR
tersebut di atas perlu mendapat perhatian khusus,
misalnya dijadikan areal konservasi genetik,
sebagai sumber genetik bagi jenis-jenis vegetasi
penting tersebut – sebagai bank gen jenis-jenis
vegetasi;
- Mengidentifikasi habitat dan kondisi habitat yang
harus dilindungi sebelum penebangan dilakukan
bersamaan dengan inventarisasi sebelum
penebangan.
1.3 Semua jenis
yang
teridentifikasi
dalam NKT 1.2
ditambah jenis
lain yang
dianggap langka,
terancam
(endangered),
rentan
(vulnerable),
endemik atau
dilindungi oleh
Pemerintah
Indonesia yang
mampu bertahan
- Perburuan liar
- Perdagangan satwa
- Penebangan tidak
terencana
- Penebangan liar
- Perladangan
- Penambangan emas
- Rencana kebun sawit
Habitat Enam jenis
mamalia dan satu jenis
burung tergolong ke
dalam kriteria di atas,
yakni: Hylobates muelleri
(owa kalawat), Manis
javanica (trenggiling
peusing), Felis planiceps
(kucing tandang),
Cynogale bennettii
(musang air),
Sundasciurus hippurus
(bajing ekor kuda),
Ratufa affinis (jelarang
bilalang), dan burung
Ciconia stormi (bangau
- Membuat himbauan untuk masyarakat tentang
pelarangan perburuan terhadap flora-fauna langka
dan dilindungi ;
- Perusahaan membuat aturan tentang
perlindungan flora-fauna langka dan dilindungi di
dalam unit pengelolaan ;
- Bekerjasama dengan pihak universitas setempat
atau LSM yang bergerak dalam pelestarian alam
khususnya flora-fauna langka dan dilindungi;
- Kampanye penyadartahuan tentang perlindungan
flora-fauna langka dan dilindungi terhadap
masyarakat sekitar konsesi dan karyawan ;
- Pendidikan lingkungan mendorong masyarakat
137 | H a l
hidup (viable
population).
storm). Jenis dari marga
Dipterocarpaceae yang
ditemukan di dalam areal
PT. A
tidak berburu flora-fauna langka dan dilindungi ;
- Mengidentifikasi saltlick (sepan-air mineral);
- Membuat aturan pelarangan perburuan terhadap
flora-fauna langka dan dilindungi bagi staf
perusahaan;
- Membuat SOP yang berhubungan dengan
identifikasi satwaliar dengan mengintergrasikan
dengan kegiatan ITSP;
- Memperbaiki dan melaksanakan teknik RIL
dengan benar di lapangan ;
- Penanaman di tempat-tempat terbuka dengan
menggunakan jenis lokal terutama yang terancam
punah, langka dan dilindungi;
- Membuat sample plot permanen ;
- Membiakan jenis-jenis tumbuhan dari jenis langka
dan hampir punah.
2.1 Wilayah inti
seluas
74,743.93hektar
dan wilayah
penyangga
seluas
120,366.07hektar
yang ada di
dalam areal PT.
- Penebangan
- Konversi lahan
- Fragmentasi
Wilayah inti seluas
74,743.93 hektar dan
wilayah penyangga
seluas 120,366.07 hektar
yang ada di dalam areal
PT. A
- Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak
rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan
dilakukan dengan benar ;
- Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan
lebar cukup sesuai prosedur peraturan dan RIL;
- Membuat aturan pelarangan berburu hidupan liar
khusunya bagi staf perusahaan
138 | H a l
A - Mempertahankan PT. A sebagai satu unit
pengelolaan hutan
- Pemantauan perladangan dan pembukaan
pemukiman baru
2.2 Kawasan
Bentang alam
yang memiliki
rentang beda
ketinggian dan
zona ekokline
pada ketinggian
500 meter
- Penebangan
- Konversi lahan
- Fragmentasi
Kawasan Bentang alam
yang memiliki rentang
beda ketinggian dan
zona ekokline pada
ketinggian 500 meter
- Penerapan sistem pemanenan kayu berdampak
rendah (RIL) sangat penting untuk diterapkan dan
dilakukan dengan benar;
- Pembuatan jalan angkutan tidak banyak dengan
lebar cukup sesuai prosedur ;
- Konektivitas antara ekosistem hutan dengan
lanskap yang lebih luas;
- Membuat koridor satwa kalau diperlukan.
2.3 Jenis predator
tingkat tinggi dan
jenis indikator
lain yang
memerlukan
ruang habitat
luas tetapi
berkepadatan
rendah
- Penebangan tidak
terencana;
- Penebangan liar;
- Perburuan;
- Perdagangan
satwa;
- Perladangan;
- Perubahan fungsi
lahan
Semua hutan
dipterokarpa dataran
rendah dan sub
pegunungan didalam
wilayah konsesi
- Penerapan sistem RIL sangat penting untuk
diterapkan dan dilakukan dengan benar;
- Mencegah fragmentasi habitat dengan
pembuatan jalan yang efektif, pemeliharaan
kesinambungan tajuk dan kanopi hutan;
- Mencegah perburuan terhadap satwaliar baik
untuk staf maupun masyarakat.
139 | H a l
3 Ekosistem Hutan
Dipterocarpaceae
dataran rendah di
dalam areal PT.
A
- Perubahan fungsi
lahan untuk sawit atau
lading;
- Penebangan tidak
terencana;
- Penebangan liar
Semua hutan dataran
rendah di dalam konsesi
PT. A
- Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah
terdegradasi hutannya dengan penanaman
kembali jenis-jenis lokal yang banyak
ditebang;
- Penerapan sistem RIL penting untuk
diterapkan dan di lakukan dengan benar ;
- Terdapat Kawasan-kawasan yang tidak
ditebang dan merupakan representatif dari
jenis ekosistem yang ada di dalam unit
pengelolaan.
4.1 Hutan di tepi
sungai/danau
(riparian) yang
tergenang secara
teratur dan sub-
DAS yang
menyediakan air
bersih untuk desa
disekitarnya.
- Perladangan
- Penebangan liar
- Penambangan emas
- Perubahan fungsi
lahan
- Hutan Riparian
- Embung dan mata air
- Merestorasi kawasan-kawasan yang sudah
terdegradasi hutannya dengan penanaman
kembali jenis-jenis lokal yang banyak ditebang;
- Mempertahankan wilayah lindung khususnya kiri-
kanan sungai;
- Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan
dan di lakukan dengan benar.
4.2 Kawasan
mempunyai
tingkat bahaya
erosi berat
sampai sangat
berat di dalam
areal PT. A
- Penebangan - Wilayah-wilayah
yang mempunyai
potensi TBE
Berat menjadi
wilayah yang
perlu menjadi
perhatian utama
dengan tidak
- Penanaman areal terbuka pasca penebangan (
bekas Tpk dan TPN) ;
- Menutup jalan logging , jalan cabang dan jalan
sarad yang sudah tidak dipakai ( deactivasi);
- Penerapan sistem RIL penting untuk diterapkan
dan di lakukan dengan benar.
140 | H a l
mengampingkan
wilayah lain yang
nilai TBE di
bawahnya. .
4.3 Hutan dengan
pepohonan tinggi
dan lapisan
bawah yang
lembab dan
wilayah yang
dapat mencegah
peluasan
kebakaran
- Perubahan fungsi
kawasan hutan;
- Perladangan, kebun
sawit, tambang ;
- Keberadaan illegal
logging yang bila tidak
tertanggulangi dapat
merusak tipe-tipe
ekosistem tertentu
- Kawasan hutan yang
berada dekat
perkampungan dan
ladang.
- Melakukan sosialisasi bahaya kebakaran hutan
buat masyarakat ;
- Pengetatan/pengawasan akses keluar masuk
kawasan konsesi buat pihak luar ;
- Membuat larangan membakar lahan bagi
karyawan perusahaan;
- Pemasangan poster;
- Patroli hutan.
Strategi Pemantauan terhadap Nilai-nilai konservasi Tinggi di PT. A
NKT Nilai-Nilai Tujuan Strategi dan tindakan
Pengawasan
Periode Penanggung
Jawab
1.1 Kawasan lindung di dalam
konsesi PT. A
- Memastikan bahwa
tidak ada
penebangan di dalam
kawasan lindung;
- Pemantauan bisa dilakukan
setelah penebangan selesai
di setiap Rencana karya
tahunan (RKT);
- Pertiga
bulan/enam
bulan
Perencanaan
dan lingkungan,
social.
141 | H a l
- Memastikan ada
proses
penyadartahuan di
masyarakat tentang
kawasan ini;
- Adanya peraturan
perusahaan tentang
larangan perburuan
dan pengambilan
sumberdaya alam
dari wilayah PT. A.
- Laporan periodik tetang
proses penyadartahuan dan
sosialisasi ;
- Terdapat data tentang
pengambilan Hasil Hutan
Non Kayu oleh masyarakat
- Pemantauan tutupan hutan
1.2 Tumbuhan/flora terancam
punah
jenis-jenis Dipterocarpaceae
(CR)
- Mepemantauan
habitat tumbuhan
terancam punah
yang ada di dalam
areal PT. A;
- Memperbaharui
data/up-date tentang
spesies CR di dalam
areal PT. A;
- Melakukan
pemantauantumbuhan
kategori CR melalui survey
berkala bersamaan dengan
ITSP;
- Terdapat standar survey
tumbuhan terancam punah
(CR) yang jelas;
- Peloporan tentang
pelatihan;
- Pelaporan penanaman
lahan kosong dan rusak
secara periodik;
- Pelaporan tentang
- Pertahun Lingkungan
Perencanaan,
produksi
142 | H a l
pelaksanaan RIL
1.3 Semua jenis yang
teridentifikasi dalam NKT 1.2
ditambah jenis lain yang
dianggap langka, terancam
(endangered), rentan
(vulnerable), endemik atau
dilindungi oleh Pemerintah
Indonesia yang mampu
bertahan hidup (viable
population).
- Memonitor berapa
banyak jenis langka
dan dilindungi secara
global, nasional dan
lokal yang ada di
dalam areal PT. A;
- Adanya upaya nyata
dari pihak PT. A
untuk
mempertahankan
jenis-jenis langka dan
dilindungi secara
global, nasional dan
lokal yang ada di
dalam areal PT. A.
- Pemantauan dengan
pengamatan reguler di
petak/sample permanen
plot ;
- Membuat check list satwa
liar yang dilindungi yang
ditemui di lapangan untuk
staf, driver logging, dll
- Melakukan survey satwa
liar di jalur-jalur atau sample
plot permanen secara
periodik ;
- Memplotkan hasil temua
satwa liar dalam peta yang
terintegrasi dengan sistem
GIS;
- Melibatkan masyarakat
dalam melakukan
pemantauan melalui
pengawasan perburuan
satwa liar di kampung;
- Pelaporan tentang
pelaksanaan RIL;
- Pelaporan kegiatan
- Pertahun/
enam bulan/
tiga bulan
Lingkungan
Perencanaan,
produksi
143 | H a l
penyadartahuan atau
sosialisasi di kampung;
- Ada database tentang
kondisi satwaliar;
- Penegakan aturan tentang
larangan perburuan bagi
staf perusahaan;
- Laporan pertumbuhan
tanaman yang di tanam di
tempat-tempat terbuka dan
rusak.
2.1 Wilayah inti seluas 74,743.93
hektar dan wilayah penyangga
seluas 120,366.07 hektar yang
ada di dalam areal PT. A
- Memastikan sistem
RIL di jalankan.
- Memastikan bahwa
perubahan tutupan
lahan dapat di
pantau;
- Memastikan bahwa
perluasan
perladangan dapat
dipantau;
- Memastikan adanya
pematauan
perburuan
- Laporan reguler tentang
RIL;
- Laporan periodik tentang
perburuan;
- Pertahun Lingkungan
dan
Perencanaan
144 | H a l
2.2 Kawasan Bentang alam yang
memiliki rentang beda
ketinggian dan zona ekokline
pada ketinggian 500 meter
- Memastikan bahwa
praktek-praktek di
lapangan sesuai
dengan sistem RIL
yang ada saat ini;
- Memastikan bahwa
perubahan tutupan
lahan dapat di
monitor;
- Memastikan bahwa
perluasan
perladangan dapat
dimonitor.
- Pemantauan RIL bisa
dilakukan setelah
penebangan selesai di
setiap Rencana Karya
Tahunan (RKT);
- Pemantauan tutupan hutan;
- Pemantauan perladangan.
- Pertahun Lingkungan
dan Produksi
2.3 Jenis predator tingkat tinggi
dan jenis indikator lain yang
memerlukan ruang habitat luas
tetapi berkepadatan rendah
- Memastikan tidak
terjadinya konversi
hutan di dalam areal
PT. A;
- RIL dilaksana di
lapangan
- Memastikan
fragmentasi habitat di
tekan se efektif
mungkin;
- Memastikan adanya
upaya untuk
mencegah perburuan
- Pemantauan bisa dilakukan
setelah penebangan selesai
di setiap Rencana Karya
Tahunan (RKT) untuk RIL;
- Pemantauan tutupan hutan;
- Pemantauan perladangan,
- Pemantauan perburuan
- Pertahun Lingkungan,
Produksi dan
sosial
145 | H a l
terhadap satwaliar
baik untuk staf
maupun masyarakat.
3 Ekosistem Hutan
Dipterocarpaceae dataran
rendah di dalam areal PT. A
- Tutupan hutan
terpantau secara
periodik;
- RIL dilaksanakan di
lapangan;
- Memastikan adanya
kegiatan restorasi
kawasan-kawasan
yang sudah
terdegradasi
hutannya ;
- Memastiakan adanya
kawasan yang tidak
ditebang dan
merupakan
representatif dari
jenis ekosistem yang
ada di dalam unit
pengelolaan.
- Laporan pemantauan
pertumbuhan tanaman dan
luas yang ditanami;
- Pemantauan RIL dilakukan
setelah penebangan selesai
di setiap Rencana Karya
Tahunan (RKT);
- Pemantauan kawasan yang
merupakan representif dari
ekosistem yang ada di areal
PT. A
- Pertahun Lingkungan
Produksi,
Perlindungan
Hutan
4.1 Hutan di tepi sungai/danau
(riparian) yang tergenang
secara teratur dan sub-DAS
yang menyediakan air bersih
- Memastikan adanya
upaya untuk
melakukan restorasi;
- Sistem RIL
- Pelaporan berkala tentang
kegiatan restorasi
(pertumbuhan tanaman dan
luas);
- Pertahun Lingkungan
Produksi,
Perencanaan
146 | H a l
untuk desa disekitarnya. dilaksanakan dengan
benar dan sungguh-
sungguh;
- Memastikan
mempertahankan
wilayah lindung
khususnya kiri-kanan
sungai.
- Laporan pemantauan
pertumbuhan tanaman dan
luas yang ditanami;
- Pemantauan RIL dilakukan
setelah penebangan selesai
di setiap Rencana Karya
Tahunan (RKT);
4.2 Kawasan mempunyai tingkat
bahaya erosi berat sampai
sangat berat di dalam areal
PT. A
- Memastikan sistem
RIL dilakukan
dengan benar dan
sungguh-sungguh;
- Memastikan tutupan
hutan di monitor di
seluruh areal PT. A;
- Memastikan ada
kegiatan pemantauan
sedimentasi dan
erosi
- Memastikan adanya
Penanaman areal
terbuka pasca
penebangan ;
- Memastikan adanya
kegiatan menutup
jalan logging , jalan
- Pemantauan RIL bisa
dilakukan setelah
penebangan selesai di
setiap Rencana Karya
Tahunan (RKT);
- Menggunakan perangkat
lunak GIS dan remote
Sensing untuk pematauan
tutupan hutan;
- Laporan pemantauan
sedimentasi dan erosi
- Laporan penanaman
- Laporan kegiatan deactivasi
- Pertahun Lingkungan
Perencanaan,
produksi
147 | H a l
cabang dan jalan
sarad yang sudah
tidak dipakai (
deactivasi)
4.3 Hutan dengan pepohonan
tinggi dan lapisan bawah yang
lembab dan wilayah yang
dapat mencegah peluasan
kebakaran
- Memantau
kebakaran lahan dan
hutan
- Laporan penyuluhan
tentang kebakaran hutan;
- Laporan kebakaran hutan
dan lahan di sekitar areal
unit pengelolaan PT. A;
- Laporan pemantauan
perladangan.
- Pemantauan dan
Pengukuran Tingkat
Bahaya Kebakaran
menggunakan metode
KBDI (Keetch-Byram
Dryness Indeks);
- Laporan curah Hujan.
- Pertahun Lingkungan
Perencanaan.
Hal | 148
Lampiran 3: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Perkebunan Sawit
Oleh:
Aisyah Sileuw dan Pupung Firman Nurwatha
Bogor Juli 2012
Pengantar
Tidak diragukan lagi bahwa perkebunan sawit memiliki peran ekonomi yang penting dalam
pembangunan Indonesia. Dengan jumlah ekspor CPO yang makin meningkat akan
menjadikan peluang pemerintah mendapatkan pendapatan dari sektor ini. Selain itu,
pembukaan lapangan pekerjaan, pembangunan daerah-daerah yang masih terisolasi
merupakan hal-hal yang membanggakan. Namun cerita kelam tentang perkebunan sawit
juga tak kalah banyaknya, mulai dari tingginya angka deforestasi, hilangnya spesies-spesies
penting bagi sebuah ekosistem, konflik lahan dan berbagai masalah lingkungan dan sosial
lainnya.
Sektor Perkebunan Kelapa Sawit
Minat terhadap pengembangan komoditi kelapa sawit terus meningkat, baik datangnya dari
perusahaan maupun perorangan. Ketika minat itu direalisasikan, alih fungsi lahan menjadi
kebun kelapa sawit tidak bisa dielakkan. Alih fungsi lahan tersebut tidak saja mengganti
komoditi, misalnya dari karet menjadi kelapa sawit, tetapi terjadi juga dari lahan hutan
menjadi perkebunan kelapa sawit.
Pemerintah telah mengatur penataan dan alih fungsi lahan untuk perkebunan. Secara garis
besar ada tiga pihak yang berperan dalam penataan lahan untuk perkebunan. Pihak-pihak
tersebut adalah Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah Kabupaten, dan
Kementrian Kehutanan. Untuk melegalkan hak kelola atas lahan, mulai dari pemberiaan ijin
lokasi sampai dengan terbitnya sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), Pemerintah Daerah
mengatur lebih banyak tahapan daripada Badan Pertanahan Nasional mupun Kementerian
Kehutanan. (PERLU DIGAMBARKAN DALAM GRAFIK)
Operasional Unit Management
Perusahaan perkebunan mendapat hak kelola legal atas lahan dalam bentuk Surat Izin
Lokasi hingga sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Operasional kebun dalam wujud fisik
dilapangan dimulai ketika sudah mengantongi Surat Izin lokasi. Secara ringkas, kegiatan
fisik yang mengubah bentuk tutupan ruang (alih fungsi lahan) dikelompokkan menjadi
tahapan yaitu penentuan areal tanam (plantable area) dan area tertanam (planted area.
Dalam hal ini, plantable area dimulai sejak survey kelayakan, pembebasan lahan,
pembersihan lahan (land clearing) termasuk pembuatan jalan kebun, hingga lahan siap
tanam. Planted area adalah ketika areal-areal yang layak tanam sudah dipetakan dan sudah
ditanami. Dalam banyak kejadian, pengelompokkan ini tidak betul-betul dapat dibedakan
secara nyata. Namun untuk tujuan penggambaran secara ringkas proses operasional unit
mangement dalam konteks pengelolaan HCV HCV, pengelompokkan tersebut dapat
menunjukkan dimana pengelolaan dan pemantauan HCV diletakkan.
Hal | 149
Jika tahapan pembangunan perkebunan kelapa sawit dikaitkan dalam konteks HCV, maka
kegiatan asessmen HCV harus sudah dilakukan di area pencadangan. Kajian ini bersifat
penilaian resiko (risk assessmen) untuk memastikan area-area yang dikemudian hari akan
berubah menjadi perkebunan kelapa sawit adalah bukan area-area HCV atau area-area
yang secara signifikan harus dikelola dengan benar karena akan berpengaruh terhadap
area HCV. Kajian HCV secara menyeluruh (full assessment) dilakukan di dalam unit kelola
yang sudah memiliki batas legal wilayah kelola yang jelas (Izin Lokasi, HGU). Hasil dari
kajian HCV secara menyeluruh mulai dari level lansekap hingga kajian menyeluruh di dalam
batas kelola legal, adalah terpetakannya area-area HCV didalam unit kelola kebun.
Pengelolaan dan pemantauan HCV dimulai dan sejalan dengan proses pembangunan dan
pengelolaan kebun, mulai dari tahapan pemilahan lahan (plantable area) dan perubahan
tutupan lahan (planted area) (Gambar _____). Integrasi rencana pengelolaan dan
pemantauan HCV ke dalam operasional perkebunan akan mengefektifkan sumberdaya dan
hasil guna dari pengelolaan kebun secara keseluruhan.
Gambar Integrasi operasional kebun dengan pengelolaan dan pemantauan HCV
Tantangan, dampak dan intensitas yang dihadapi oleh sektor
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini terdiri dari kebun baru atau akan segera di
bangun dan kebun yang sudah jadi yang banyak diantaranya segera akan melakukan
peremajaan tanaman kelapa sawit (replanting). Masing-masing kebun memiliki tantangan
yang satu sama lain bisa berlainan dalam hal pengelolaan HCV. Namun tantangan utama
dalam pengelolaan HCV di perkebunan kelapa sawit adalah berubahnya tutupan lahan
hutan atau habitat alami flora fauna menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Selain itu,
dalam konteks penguasaaan lahan, umumnya perkebunan kelapa sawit yang dibangun
berada di areal-areal yang dikuasai dan dikontrol oleh masyarakat.
Ijin Lokasi
Plantable area
Planted area
Peremajaan/Replanting
HCV risk assessment-level lansekap
Pengelolaan dan Monitoring HCV
Area pencadangan
HCV full Assessment HCV area
HGU
HCV re-assessment?
Hal | 150
Perubahan tutupan hutan atau habitat alami satwa menjadi sulit dikontrol sejak awal
pembangunan kebun karena bebera hal:
- Waktu ijin lokasi yang terbatas. Ijin lokasi diberikan pemerintah selama tiga tahun. Pada
rentang waktu tersebut, pihak perusahaan harus membuktikan ada lahan yang dibuka
sesui dengan peruntukannya, sehingga penataan kebun berlomba dengan pembuktian
luas areal bukaan untuk menjamin tidak dicabutnya ijin lokasi.
- Waktu yang terbatas ini juga tidak memberi keleluasaan terhadap penilaian HCV
sekaligus merancang pengelolaannya yang terintegrasi dengan pembangunan kebun.
- Area kebun seringkali kehilangan konektifitas dengan hutan atau habitan alami yang ada
di sekitar kebun, bahkan antar kantung habitat satwa di dalam kebun itu sendiri. Hal ini
terjadi karena di sekitar kebun adalah lahan-lahan yang dikuasai dan dikelola oleh
masyarakat (di luar otoritas dan jangkauan perusahaan). Ketika ada akses jalan yang
lebih baik, maka lahan-lahan masyarakat tersebut akan semakin intensif digunakan.
Akibatnya, koridor yang menghubungkan area-area HCV di dalam izin lokasi seringkali
terputus, satwa terperangkap dalam pulau-pulau kecil
- Tantangan lain adalah adanya Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Seringkali area berhutan di
dalam ijin lokasi menjadi target penebangan kayu secara legal atas nama IPK.
Ada area-area yang awalnya teridentifikasi sebagai areal HCV di dalam Ijin lokasi, tetapi
pada saat hak legal pengelolaan lahan berubah menjadi HGU, maka rea HCV tersebut
berada diluar kelola perusahaan. Tidak ada bukti yang kuat bahwa area-area HCV di luar
wilaya kebun dan berada di lahan masyarakat akan bertahan lama, umumnya akan segera
menghilang. Dalam hal ini, NPP (New Planting Prosedur) yang disaratkan oleh RSPO,
nampak seperti sebuah cara ideal untuk segera mengamankan area HCV. Namun pada
kenyataanya prosedur NPP lebih berguna sebagai alat bantu perusahaan untuk
mengetahuai luas tanam efektif (area HCV bukan termasuk lahan produktif) yang akan
dijadikan HGU. Jika sudah demikian, area HCV yang tersingkir jarang sekali ada yang
memasukannya ke dalam HGU.
Kebun yang sudah lama atau yang sudah jadi biasanya relatif stabil untuk luas lahan, jarang
terjadi pengurangan. Namun demikian, secara ekosistem sudah mengalami degradasi
sehingga kandungan nilai HCV cenderung rendah, elemen-elemen HCV telah banyak yang
hilang. Konektifitas antar kantung habitat sangat jarang dijumpai, area-area HCV cendeung
terfragmentasi dalam area-area kecil yang tersebar dan terpisah satu dengan lainnya.
Kebun-kebun lama lebih memerlukan upaya rehabilitasi/restorasi habitat.
Pengelolaan area HCV diperkebunan kelapa sawit
Pengelolaan HCV dilakukan untuk melindungi, memelihara dan meningkatkan nilai-nilai
penting yang ada di area HCV. Untuk itu, orientasi pengelolaan hCV adalah mencapai
keadaan-keadaan ideal yang diinginkan untuk seluruh HCV. Untuk mencapai kondisi yang
diharapkan, maka monitoring (pemantauan) dan evaluasi dilaksanaan sejalan dengan
pengelolaan HCV.
Hal | 151
Pengelolaan HCV pada dasarnya terdiri dari dua hal, yaitu mengelola area dimana nilai
penting ada dan area-area yang menjadi penunjang area HCV tersebut. Dengan kata lain,
ada pengelolaan HCV set aside (area HCV) dan ada pula mengelola perlakuan terhadap
area HCV dan pendukungnya (managing area).
Dalam konteks HCV dengan nilai penting melekat pada biodiversity (HCV1, HCV2 dan
HCV3), secara ringkas ada dua hal utama yang perlu dikelola, yaitu pengelolaan habitat
(ruang) dan pengelolaan species isi (species). Pengelolaan species juga dikelompokkan ke
dalam dua kategori, yakni species penting yang memiliki nilai keterancaman tinggi, dan
species dengan tingkat keterancaman rendah dan mereka ada di area HCV.
Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan Evaluasi adalah dua kegiatan pokok yang dilaksanakan sejalan dengan
pelaksanaan pengelolaan HCV. Tujuan dari pemantauan adalah untuk memeriksa apakah
kegiatan berjalan seperti yang direncanakan, apakah keluaran (output) yang telah
ditetapkan dapat dicapai, dan apakah investasi sumberdaya (manusia, dana, waktu) sesuai
rencana. Sedangkan tujuan dari evaluasi adalah untuk menilai capaian (achievements),
efektivitas, efisiensi, dampak (impacts), dan keberlanjutan (sustainability) program kegiatan.
Sementara tujuan
Pemantauan dan evaluasi ditujukan pada seperangkat indikator (key performance
indicators) dan dilaksanakan secara sistematis, konsisten, dan terdokumentasi. Pemantauan
dilakukan secara berkala bergantung pada jenis kegiatan dan indikator yang dinilai. Evaluasi
dilakukan pada akhir periode waktu rencana pengelolaan, yaitu pada akhir tahun setiap
perioda pengelolaan yang ditetapkan (summative evaluation) dan pada setiap akhir tahun
(formative evaluation).
Hasil dari pemantauan pada intinya adalah berupa bahan masukan untuk perbaikan
pelaksanaan kegiatan agar lebih efektif dan efisien menghasilkan keluaran (output). Hasil
dari evaluasi adalah butir-butir pembelajaran (lessons learned), baik dari kegagalan atau
ketidakberhasilan maupun dari keberhasilan (key success factors). Hasil dari pemantauan
dan evaluasi adalah bahan masukan yang sangat penting untuk perbaikan ke depan
(continuous improvement), baik perbaikan pelaksanaan kegiatan, perbaikan strategi,
perbaikan substansi dan proses perencanaan, perbaikan kebijakan, maupun perbaikan
alokasi sumberdaya untuk pengelolaan HCV perusahaan.
Ada tiga langkah penting dalam pemantauan
1. Mengukur keluaran dari setiap program (objectives), oleh karenanya, indikator harus
ditetapkan ketika menyusun program-program pengelolaan
2. Membandingkan keluaran dari tindakan-tindakan yang dilakukan dengan keluaran yang
direncanakan, dan menentukan penyimpangan-penyimpangan apabila ada
3. Mengoreksi penyimpangan yang tidak menguntungkan dengan tindakan perbaikan
korektif (corective actions)
Hal | 152
Merancang Pemantauan
Setelah tujuan pemantauan ditetapkan dengan jelas, kemudian buatlah rancangan
pelaksanaan. Dalam merancang pemantauan perlu dipertimbangkan mengenai metode,
lokasi/tempat dan waktu (frekuensi dan durasi) pelaksanaan pemantauan.
Misalnya, jika tujuan pengelolaan HCV1 mengenai habitat satwa, maka sedikitnya ada dua
hal pokok yang akan dipantau, yaitu
1. perubahan ruang (habitat) untuk keberlanjutan kehidupan satwa dan
2. kecenderung ragam spesies satwa yang menempati ruang yang telah disediakan
tersebut
Perubahan ruang
Data dasar/kondisi awal yang perlu diketahui diantaranya adalah (namun tidak terbatas
pada):
- Lokasi (per estate): jumlah, letak/posisi, luas tiap area, tipe habitat, kondisi dan
seterusnya yang penting untuk diketahui dan dikelola
- Habitat buatan: jenis habitat, kepemilikan, bentuk kelola, rotasi/umur tanam, dan aspek-
aspek lainnya
- Habitat alami: tipe habitat, vegetasi, kondisi, gangguan dan seterusnya.
Setiap komponen kondisi awal tersebut perlu digali dan dibuatkan perinciannya supaya
perubahan-perubahan yang terjadi dapat dibaca dengan seksama. Misalnya, jika habitat
satwa penting terdapat pada area yang dikelola masyarakat (enclave, hutan karet
campuran), hal yang perlu dirinci adalah bagaimana kondisi habitatnya, bagaimana
pengelolaan perkebunan karet itu berlangsung termasuk informasi mengenai daur
ulang/peremajaan karet seperti apa yang terjadi dan kapan. Untuk merinci membuat data
dasar tersebut jelas memerlukan survey lapangan termasuk berdialog dengan
pemilik/pengelola kebun karet. Begitu juga dengan area-area lainnya perlu digali lebih
dalam untuk memahami kondisi terkini.
Setelah kondisi awal diketahui, dirinci dan didokumentasi dengan baik dalam bentuk data
dasar, makan perlu ditetapkan bentuk pengelolaannya. Ragam pilihan pengelolaan
terhadap kondisi awal tergantung pada tujuannya, apakah dari setiap kondisi awal tersebut
hanya akan dipertahankan saja, diperbaiki atau ditingkatkan. Pilihan pengelolaan tersebut
menjadi bahan untuk melakukan pemantauan perubahan. Misalnya untuk habitat hutan
karet campuran tadi, dalam kurun waktu tertentu apakah telah terjadi perubahan umur
tanaman karet, apakah pengelolaanya berubah dari tanaman karet campuran menjadi
tanaman karet intensif, juga apakah telah terjadi perubahan kepemilikan. Tabel di bawah
adalah contoh ringkas mengenai opsi/pilihan komponen pemantauan ruang (habitat).
Hal | 153
Contoh opsi/pilihan komponen pemantauan ruang/habitat untuk satwa
Data dasar/kondisi awal (?)
Pengelolaan (?) Pemantauan perubahan (?)
lokasi (per estate)
- jumlah
- posisi/letak
- luas tiap area
- tipe habitat
- kondisi habitat
- dst.
lokasi (per estate)
- dipertahankan/ditambah
- dipertahankan
- dipertahankan/ditambah
- dipertahankan
- dipertahankan/diperbaiki
- dst.
lokasi (per estate)
- Berkurang/Tetap/Bertambah
- Tetap/berubah
- Berkurang/Tetap/Bertambah
- Tetap/Berubah
- Memburuk/Tetap/Membaik
- dst.
Habitat buatan (tiap lokasi)
- Tutupan lahan
- kepemilikan
- bentuk kelola
- rotasi/umur tanam
- dst.
Habitat buatan
- dipertahankan/dirubah
- dipertahankan/dirubah
- dipertahankan/dirubah
- dipertahankan/dirubah
- dst.
Habitat buatan
- Tetap/Berubah
- Tetap/Berubah
- Tetap/Berubah
- Tetap/Berubah
- dst.
Habitat alami (tiap lokasi)
- tipe habitat
- vegetasi
- kondisi
- ragam tingkat
gangguan
- dst.
Habitat alami
- dipertahankan
- dipertahankan/diperkaya
- dipertahankan/diperbaiki
- dikurangi/dihilangkan
- dst.
Habitat alami
- Tetap/Berubah
- Tetap/Berubah
- Memburuk/Tetap/Membaik
- Meningkat/Tetap/Berkurang
- dst.
Dst.... Dst.... Dst....
Setiap perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu segera didokumentasikan sebagai bahan
untuk memperbaiki atau memperbaharui bentuk dan tindakan pengelolaan. Proses-prose
perbaikan pengelolaan adalah hal penting untuk mencapai tujuan utama pengelolaan yaitu
menyediakan ruang bagi satwa liar. Buatlah jadwal pemantauan habitat yang dapat
mengimbangi kecepatan perubahan supaya hasil pemantauan habitat dapat berdaya guna.
Hal | 154
Berikut ini adalah contoh lembar data untuk pemantauan perubahan habitat alami. Lembar
data pemantauan habitat ini dapat diperbaharui sesuai kebutuhan.
LEMBAR DATA HABITAT
Tanggal: Estate:
Observer: Blok: /Koordinat:
Diketahui oleh: Tipe Habitat:
Catatan
Tinggi Tajuk Rendah
<20m
Tengah-
Tinngi
<20-50m
Tinggi
50-
100m
Sangat
Tinggi
>100m
Kepadatan
Tajuk
Terbuka
<20%
Jarang
20-50%
Tebal
50-
80%
Tertutup
>80%
Kepadatan
Strata
Menengah
(jarak
pandang)
Terbuka
>50m
Sedang
10-50m
Tebal
<10m
Penutup
Tanah -
Seresah
Daun
Jarang
<20%
Sedang
20-50%
Tebal
50-
80%
Sangat
Tebal
>80%
Penutup
Tanah -
Vegetasi
<0.5m
Jarang
<20%
Sedang
20-50%
Tebal
50-
80%
Sangat
Tebal
>80%
Kemiringan
(derajat)
Lahan
Datar
<10
Agak
Miring
10-25
Cura
m
25-45
Sangat
Curam
>45
Air
Permukaan
Tidak
ada Kolam
Sung
ai
meng
alir
Dekat
Sungai
sekitar
<500m
Hal | 155
Gangguan
Perburu
an
Satwa
Peneban
gan
pohon
Jalur
lintas
an
orang
Gulma/
weeds
Makanan
Satwa
Tumbuh
an
Berbung
a
Tumbuh
an
Berbuah
Observasi lainnya:
Ragam spesies satwa
Pada waktu identifikasi HCV dilaksanakan, telah berhasil diidentifikasi sejumlah spesies
yang ada di wilayah perkebuan. Data awal tiap spesies yang telah diperoleh meliputi jenis,
status, lokasi dan habitatnya. Dalam konteks HCV, status spesies yang dimaksud adalah
nilai penting spesies merujuk pada ketentuan yang disepakati secara internasional (IUCN
dan CITES). Data-data spesies yang telah ada perlu disusun sebagai data dasar. Untuk
membuat data dasar yang lebih baik, hasil temuan tersebut masih perlu diperbaharui
(update) dan diperkaya dengan melakukan penggalian informasi lebih lanjut.
Untuk tujuan pengelolaan, berdasarkan statusnya, spesies satwa liar di setiap wilayah
kebun dapat dikelompokkan menjadi dua , yaitu: spesies penting (redlist IUCN, CITES
Appendix I) dan spesies umum (non-redlist IUCN atau CITES). Berikut ini adalah beberapa
komponen yang dapat membantu dalam membuat data dasar untuk setiap spesies penting:
• Nama spesies, status dan tipe umum (penjelajah atau residen), biasanya satwa
berukuran besar cenderung penjelajah.
• Tanggal perjumpaan atau pertemuan dengan suatu spesies;
• Jumlah individu yang dijumpai atau dilaporkan dalam satu pertemuan;
• Lokasi pertemuan, catat koordinatnya atau nama estate dan blok dimana sebuah
spesies dijumpai atau dilaporkan;
• Habitat, gunakan istilah tipe habitat yang telah disepakati;
• Deteksi keberadaan, telihat/terdengar langsung, atau dari sisa aktifitas yang
ditinggalkan, atau berupa berita dari masyarakat;
• Aktivitas satwa ketika dijumpai, meliputi makan, istirahat, bergerak atau bersuara.
Dalam satu waktu bisa terjadi dua atau aktifitas di temukan;
• Gangguan yang terjadi, bisa berupa perburuan, perusakan habitat atau keduanya
terjadi, atau gangguan lainnya terhadap kehidupan satwa;
Hal | 156
• Observer atau pengamat atau yang melaporkan pertemuan satwa perlu di
cantumkan untuk verifikasi bila ada diperlukan;
• Keterangan, hal yang perlu dijelaskan sehubungan dengan spesies yang dijumpai.
Contoh lembar data dasar untuk setiap spesies penting
Spesies :
Status : IUCN/CITES/UU
Tipe : penjelajah/residen
Tanggal
Jml
Lokasi Habitat
Deteksi
Aktivitas Gangguan O
bs.
Ket. Estate
Blok
LD
TK
IN
M I G B Per
Hab
Lain
Deteksi : LD=lihat dengar; TK=tanda kehadiran; IN=informasi
Aktivitas : M=Makan; I=Istirahat; G=Bergerak/Pindah; B=Bersuara/berbunyi
Gangguan : Per=perburuan; Hab=habitat rusak; Lain=gangguan lainnya
Obs : Observer
Hal | 157
Lembar data dasar harus selalu diperbaharui dengan menambahkan infromasi dari hasil
survey lapangan, baik yang sengaja dilakukan ataupun yang berdasarkan kesempatan
(opportunistic). Semakin banyak dan lengkap informasi yang ditambahkan akan semakin
terlihat jelas potret satwa penting di wilayah perkebunan. Bila setiap catatan lokasi
perjumpaan dipetakan akan terlihat sebarannya, juga bagi spesies penjelajah akan diketahui
jalur lintasanya. Ragam habitat yang digunakan serta bagaimana mereka beraktifitas dalam
habitat-habitat tersebut dapat diketahui. Catatn gangguang yang terkumpul dapat membantu
merancang penanggulangannya.
Jika melihat tujuan pemantauan satwa adalah melihat kecenderungan satwa apa saja yang
menggunakan ruang yang telah disediakan, maka tahap awal pemantauan yang dilakukan
untuk spesies penting adalah menambah pemahaman kita terhadap spesies tesebut.
Berikut ini adalah contoh lembar pemantauan satwa penting.
Contoh lembar data satwa species penting
LEMBAR DATA SPESIES PENTING
Species:
Tanggal: Estate:
Waktu: [pagi] [sore];
Lamanya:......... jam Lokasi/Blok:
Observer: Tipe Habitat:
Diketahui oleh: Cuaca:
Observasi
Juml
ah
Indvi
du
Perilaku*) Arah
pindah**)
M I G B U T S B
Deteksi langsung
Terlihat
Terdengar
Lainnya
Tanda kehadiran
Bekas tapak (footprint)
Hal | 158
Cakaran
Sisa makan
Sarang
Kulit/sisik/selongsong
Lainnya
Informasi***)
Sebelum 1 Minggu
1 - 4 minggu
4 - 12 minggu
Terllihat
Terdengar
Jejak kehadiran
Bekas tapak (footprint)
Cakaran
Sisa makan
Sarang
Kulit/sisik/selongsong
Lainnya
Gangguan/Ancaman
Perburuan
Kerusakan habitat
Lainnya:
Hasil observasi lainnya: (misalnya: makan buah pohon ara, dsb.)
*) : M=Makan; I=Istirahat; G=Bergerak/Pindah; B=Bersuara/berbunyi
**) : U=Utara; T=Timur; S=Selatan; B=Barat
***) : Setiap informan dicatat: nama, pekerjaan, alamat
Hal | 159
Spesies yang tidak termasuk kedalam redlist IUCN atau CITES Appendix I jumlahnya lebih
banyak dan lebih sering di jumpai. Oleh karena itu data dasar dan model pemantauan yang
digunakan dapat berbeda dengan sepesies penting. Untuk membuat data dasar spesies
yang umum dapat dibuatkan daftar spesies berdasarkan kelompok kelasnya, serta memberi
ruang untuk mencantumkan kehadiran atau ketidak hadirannya dalam setiap kegiatan
pemantauan.
Melakukan pemantauan untuk satwa yang umum membutuhkan persipan yang memadai.
Metode pemantauan banyak/multi spesies satwa dalam tiap kelompok tidak cocok bila
menggunakan cara pemantauan untuk spesies penting.
Pemantauan multi spesies
Untuk pemantauan multi spesies, pilih dan tetapkan lokasi-lokasi yang akan dijadikan petak
contoh (sampel plot) permanen yang bisa mewakili setiap tipe habitat. Jika di dalam
kawasan HGU terdapat tiga tipe habitat, maka petak contoh dibuat pada setiap tipe habitat
tersebut. Biasanya area yang dicadangkan untuk satwa liar di wilayah HGU kebun sawit
bukan merupakan area yang kompak, tetapi terpencar dalam petak-petak kecil. Beberapa
pertimbangan untuk meletakkan plot permanen:
- Di habitat alami, buatlah petak contoh pada area yang menjadi wakil dari tipe sebuah
habitat alami. Setiap tipe habitat minimal ada satu petak contoh perwakilan, tetapi bila
habitat alami cukup luas, buatlah lebih dari satu petak contoh supaya bisa mewakili luas
tipe habitat tesebut.
- Di habitat buatan berupa kebun karet campuran (enclave), petak contoh bisa dibuat
setelah mendapat ijin dari pemilik enclave. Bila pola tanam karet dan umur karet cukup
beragam, ambil satu sampel dari setiap kondisi yang beragam tersebut.
- Untuk Sawit, pertimbangkan tahun tanam, misalnya buat perwakilan petak contoh di
area tanam pertiga tahun atau perlima tahun, atau yang sekiranya cukp berbeda dari
segi keragaman hayati.
- Petak contoh di kebun karet da kebun sawit hanya dilakukan untuk kegiatan
pemantauan keragaman burung
Hal | 160
I. Lampiran
Lampiran 1.Contoh ringkasan identifikasi dan rekomendas ipengelolaan HCV dan deliniasi HCVMA pada PT. Perkebunan Anak Negeri
Pasaman (PANP), Kabupaten Landak, Kalimantan Barat (Daemeter, 2008).
HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA
Pola
Spasial
Status
Pemetaan
Status
Pemeta-
an
Catatan Hubungan
dengan
HCVMA lain
1.1 Ada Diskrit
namun
terdistribusi
secara luas
Sebagian
(tidak
semua
sungai dan
penyangga
dapat
dipetakan
saat ini
karena
keterbatasa
n data)
Untuk memelihara fungsi
kawasan lindung, dalam hal ini
(a) perlindungan zona
penyangga di sepanjang
sungai sebagaimana
disyaratkan oleh hukum, dan
(b) areal hutan lindung lokal
sebagian a. Zona riparian akan
dipelihara, di mana lebar
penyangga akan
bervariasi menurut lebar
sungai sebagai berikut:
<3m = 5m
penyangga
3-8m = 10m
penyangga
8-10m = 20m
penyangga
30m = 50m
penyangga
>30m = 100m
penyangga
1.2, 1.3, 4.1, 5
Hal | 161
HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA
Pola
Spasial
Status
Pemetaan
Status
Pemeta-
an
Catatan Hubungan
dengan
HCVMA lain
(lebar penyangga untuk masing-
masing tepi sungai).
Diakui bahwa penyangga
riparian yang ditanami padi oleh
masyarakat lokal mungkin tidak
akan tersedia bagi PANP untuk
pengelolaan dan/atau restorasi
1.2 Ada Diskrit Selesai Untuk memaksimalkan
kedayaberlangsungan jenis
Critically Endangered yang
jelas ada atau yang mungkin
ada dalam wilayah hutan alam
yang tersisa di estate tersebut
Selesai a. hutan alam yang tersisa
b. Koridor (hutan sekunder
yang masih ada)
1.3, 3, 4.1, 4.2
1.3 Ada Menyebar
secara luas
di seluruh
estate
Selesai Untuk mendeliniasi dan
melindungi habitat dengan
kualitas yang mencukupi untuk
populasi HCV 1.3 yang ada
dalam estate. Unsur-unsur
utama dalam strategi untuk
pengelolaan adalah (i)
perlindungan wilayah hutan
Selesai a. hutan alam yang masih
ada
b. koridor
1.1, 1.2, 3, 4.1,
4.2, 5 dan 6
Hal | 162
HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA
Pola
Spasial
Status
Pemetaan
Status
Pemeta-
an
Catatan Hubungan
dengan
HCVMA lain
alam yang masih ada dan (ii)
memaksimalkan konektifitas
hutan melalui koridor, zona
riparian dan HCVMA yang lain
(misal, zona perlindungan
erosi)
1.4 Ada Diskrit
namun
terdistribusi
secara luas
Belum
selesai
Untuk memelihara fungsi dan
melindungi akses ke situs
(gua) di mana konsentrasi
temporal dari salah satu atau
lebih spesies (kelelawar)
berkumpul
Belum
lengkap
Sehubungan dengan pemetaan
partisipatif untuk HCV 5 dan 6
(lihat bagian bawah), lokasi-
lokasi gua harus dipetakan dan
penyangga selebar 50m harus
ditandai dan dipelihara.
Kelelawar dan hidupan liar yang
tinggal di gua tidak boleh
diganggu dan akses ke gua
harus terpelihara
5
2.1 Tidak
ada
- - - - - -
2.2 Tidak
ada
- - - - - -
2.3 Tidak - - - - - -
Hal | 163
HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA
Pola
Spasial
Status
Pemetaan
Status
Pemeta-
an
Catatan Hubungan
dengan
HCVMA lain
ada
3 Ada Diskrit Selesai Untuk mempertahankan
wilayah hutan alam yang
masih ada dalam estate yang
mewakili ekosistem jarang dan
hampir punah
Selesai Semua wilayah hutan alam yang
tersisa ditunjuk sebagai
ekosistem yang hampir punah
dan harus mempertahankannya
sebagai hutan alam
Semua wilayah hutan
yang masih ada
merupakan HCVMA
untuk HCV3; sebagian
besari diklasifikasikan
sebagai Zona
Perlindungan Aktif
(Kategori 1), sementara
yang lain sebagai Zona
Perlindungan Pasif
(Kategori 2)
Blok hutan utama akan
dihubungkan satu sama
lain dengan Blok Hutan
Gunung Seboro ke
bagian selatan PANP
melalui koridor
1.2, 1.3, 4.1,
4.2, 5, 6
Hal | 164
HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA
Pola
Spasial
Status
Pemetaan
Status
Pemeta-
an
Catatan Hubungan
dengan
HCVMA lain
konservasi yang terdiri
dari petak hutan yang
lebih kecil, hutan
sekunder dan wilayah
rehabilitasi terbatas
melalui penanaman
pohon
4.1 Ada Diskrit
namun
terdistribusi
secara luas
Sebagian
(tidak
semua
sungai
dipetakan)
Untuk menjamin
keberlangsungan ketersediaan
air bersih bagi masyarakat
lokal, khususnya dengan
memelihara perlindungan
penyangga riparian yang
memadai dan pencegahan
erosi
Sebagia
n
Tiga elemen kunci dari usulan
pengelolaan HCV 4.1 adalah (i)
perlindungan zona penyangga
hutan di sepanjang sungai dan
(ii) praktek pengendalian erosi
sebagaimana dijelaskan dalam
HCV 4.2 serta (iii) perlindungan
zona riparian akan memerlukan
pengelolaan aktif dan
pendekatan ke masyarakat
untuk mencegah dibukanya
hutan untuk ladang (hal ini tidak
mungkin dilakukan di zona
riparian yang sudah tertanam
padi oleh masyarakat lokal).
Lihar persyaratan luasan zona
penyangga pada HCV 1.1
1.1, 1.3, 4.2, 5
dan 6
Hal | 165
HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA
Pola
Spasial
Status
Pemetaan
Status
Pemeta-
an
Catatan Hubungan
dengan
HCVMA lain
4.2 Ada Diskrit
namun
terdistribusi
secara luas
sebagian Untuk mencegah erosi yang
disebabkan oleh
pembangunan perkebunan
sawit, khususnya pada
wilayah-wilayah tangkapan air
yang penting
Sebagia
n
(meliputi
wilayah
indikatif
dan
definitif)
Usulan pengelolaan HCV 4.2
meliputi Kategori I dan Kategori
2 dengan pelaksanaan prosedur
untuk menghindari wilayah-
wilayah yang tidak sesuai buat
penanaman dan melakukan
operasional dengan dampak
rendah pada wilayah-wilayah
yang rentan
1.2, 1.3, 1.4
dan 3
4.3 Tidak
ada
- - - - - -
5 Ada Diskrit
namun
terdistribusi
secara luas
Sebagian
(peta sketsa
dan titik
GPS saja)
Untuk menjamin
keberlangsungan ketersediaan
kebutuhan dasar yang berasal
dari hutan atau ekosistem
alam lainnya
Sebagia
n (peta
sketsa
dan titik
GPS)
Pengelolaan HCV5 akan dicapai
melalui (i) delineasi wilayah
yang harus dilindungi dengan
menggunakan metode
pemetaan partisipatif dan (ii)
pelaksanaan kegiatan
pengendalian kualitas air dan
erosi secara teliti sebagaimana
yang dijelaskan dalam HCV 4.1
dan 4.2
1.1-1.3, 3, 4.1,
4.2, 6
6 Ada Diskrit Sebagian
(peta sketsa
Untuk mengidentifikasi dan
melindungi wilayah yang
Sebagia
n (peta
Pengelolaan HCV 6 sebagian
besar akan dipenuhi dengan
5
Hal | 166
HCV Temuan HCVA Tujuan Pengelolaan HCVMA
Pola
Spasial
Status
Pemetaan
Status
Pemeta-
an
Catatan Hubungan
dengan
HCVMA lain
dan titik
GPS saja)
dianggap penting bagi
masyarakat lokal untuk
pemeliharaan identitas budaya
tradisional
sketsa
dan titik
GPS
saja)
delineasi wilayah yang harus
dilindungi dengan menggunakan
metode pemetaan partisipatif
Hal | 167
Lampiran 4: Pengelolaan dan Pemantauan NKT di Areal Tambang
Oleh: Irdika Mansyur
Latar Belakang
Konsep Nilai Konservasi Tinggi masih belum dijadikan sebagai dasar acuan pengelolaan
nilai-nilai konservasi pada konsesi pertambangan di Indonesia, bahkan di dunia. Secara
eksplisit bentuk identifikasi dan pengelolaan serta pemantauan NKT belum tercantum di
dalam rencana kelola perusahaan, walaupun telah banyak bentuk pengelolaan yang
tersedia yang dibuat secara terpisah, seperti pengelolaan biodiversiti, pengelolaan sosial
masyarakat, pengelolaan kesehatan masyarakat, dll. Bentuk pengelolaan tersebut pada
umumnya didasarkan pada kemungkinan atau resiko dampak yang disebabkan oleh
aktivitas pertambangan secara langsung. Sedangkan untuk kawasan konsesi perusahaan
yang tidak ditujukan sebagai kawasan produksi biasanya tidak dikelola secara intensif,
padahal dimungkinan pada daerah tersebut memiliki nilai konservasi tinggi yang penting.
Beberapa peraturan pemerintah Indonesia terkait pengelolaan pada konsesi pertambangan
seperti Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral RI Nomor: 18 Tahun 2008
tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan, Peraturan
Pemerintah Nomor: 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Paskatambang, serta Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor: P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi Hutan. Pada
peraturan-peraturan tersebut telah diatur perlindungan terhadap lingkungan, termasuk tata
air, dan keanekaragaman hayati, serta memperhatikan nilai-nilai sosial budaya setempat.
Konsep Nilai Konservasi Tinggi yang telah diaplikasikan pada usaha konsesi hutan dan
perkebunan serta pertanian, sangat memungkinkan diterapkan pada konsesi pertambangan.
Konsep ini membahas nilai konservasi tinggi pada tingkat lokal yaitu area kerja perusahaan
dan tingkat regional atau global yaitu kawasan di sekitar perusahaan yang meliputi nilai
ekologi, jasa lingkungan, sosial dan budaya. Dengan demikian panduan pengelolaan dan
pemantauan Nilai Konservasi Tinggi dapat digunakan oleh unit kelola perusahaan
pertambangan dalam mempertahankan nilai penting konservasi secara menyeluruh dan
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam panduan ini dijelaskan secara ringkas gambaran umum kegiatan pertambangan yang
pada umumnya tersebar mengikuti keberadaan bahan tambangnya, serta bagaimana
bentuk pengelolaan nilai konservasi tinggi dapat diterapkan.
Kegiatan Umum Pertambangan Terbuka
Kegiatan pertambangan terbuka secara umum dilakukan dalam 3 tahap utama, yaitu:
1. Tahap Pengembangan Proyek, yaitu tahap awal persiapan untuk mencari sumber
mineral serta persiapan sarana dan prasarana.
Pada tahap ini terdapat beberapa aktivitas yang akan dilakukan, yaitu:
a. Eksplorasi, merupakan aktivitas untuk mengidentifikasi sumber bahan mineral tinggi
yang berada di dalam area konsesi pertambangan. Beberapa aktivitas yang
dilakukan di saat eksplorasi adalah survei geologi, analisa geokimia, dan analisa geo
fisika. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi penentuan titik eksplorasi dapat
Hal | 168
diketahui secara pasti, namun pengambilan sampel di lapangan masih diperlukan
untuk memastikan tingkat kandungan mineralnya. Pada tahap pengambilan sampel
pada umumnya akan mengganggu kondisi ekologi kawasan, dan mungkin kondisi
sosial masyarakat. Oleh sebab itu rencana pengelolaan perlu dibuat untuk
meminimalisasi dampak yang disebabkan.
b. Uji kelayakan, adalah aktivitas untuk menentukan apakah hasil eksplorasi sesuai
dengan perhitungan untung rugi usaha pertambangan yang akan dilakukan pada
skala besar dan dalam jangka waktu yang lama. Pada kegiatan ini juga akan dihitung
evaluasi ekonomi terhadap seluruh aktivitas pertambangan, seperti seberapa
lengkap infrastruktur akan dibangun. Proses perencanaan yang berhubungan
dengan nilai konservasi keanekaragaman hayati, jasa lingkungan, dan sosial
selayaknya dapat dijadikan lampiran di dalam dokumen uji kelayakan.
c. Pembangunan konstruksi tambang, meliputi berbagai pembangunan sarana dan
prasarana pertambangan, seperti pembuatan akses/jalan, pembangunan
infrastruktur, pembersihan lahan pertambangan, dan pemindahan kawasan
penduduk apabila lokasi penambanngan berada pada tempat tinggal masyarakat.
Integrasi pengelolaan NKT akan banyak dilakukan pada kegiatan ini.
2. Tahap Operasi, merupakan tahap penambangan bahan mineral.
Apabila tahap pengembangan proyek dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat,
tahap operasi membutuhkan waktu yang sangat lama, tergantung dari cadangan mineral
yang tersimpan dan seberapa sulit bahan mineral mentah tersebut diekstraksi. Terdapat
beberapa kegiatan yang akan dilakukan pada tahap ini, yaitu:
a. Pembangunan infrastruktur tambahan, dengan berjalannya proses penambangan,
secara otomatis diperlukan tambahan infrastruktur pendukung. Kegiatan ini tentu
akan merubah rencana kelola yang dibuat pada tahap persiapan, akan tetapi hal
tersebut dapat didesain dan dipersiapkan sebelumnya.
b. Ekstraksi dan pengolahan bahan mineral, pembongkaran tutupan permukaan,
pengambilan bahan mineral mentah, serta proses pemisahan target mineral tambang
akan menimbulkan dampak nilai konservasi tinggi baik secara ekologi maupun
sosial. Proses pemisahan mineral tambang akan menyisakan bahan buangan yang
biasa disebut tailing, keberadaaan tailing dalam jumlah yang sangat besar secara
otomatis akan menimbulkan dampak keberadaan nilai konservasi ekologi dan sosial,
sehingga perlu dibuat rencana kelola yang baik.
3. Tahap Penutupan, adalah tahap rehabilitasi lahan bekas tambang. Kegiatan yang sering
dikenal oleh banyak pihak adalah reklamasi lahan paskatambang, yaitu kegiatan untuk
mengembalikan dan merehabilitasi lahan bekas tambang untuk dapat kembali kepada
kondisi yang mendekati keadaaan sebelum dilakukan proses penambangan.
Hal | 169
Kegiatan pertambangan pada umumnya, walaupun areal konsesi yang diperoleh sangat
luas, namun kawasan pemanfaatannya adalah kecil dan terbagi dalam blok-blok kecil yang
terpisah-pisah mengikuti keberadaan cadangan bahan tambangnya. Disamping luasan
yang terganggu relatif kecil dibandingkan usaha konsesi lainnya, gangguan terhadap satu
blok hanya bersifat sementara. Setelah bahan tambang diambil, areal operasi akan
dikembalikan mendekati rona awal atau sesuai peruntukannya.
Potensi Ancaman NKT pada sektor pertambangan
Aktivitas penambangan secara langsung akan mengancam keberadaan NKT pada areal
konsesi, karena banyak kegiatan yang menghilangkan lahan dalam tahap pengambilan
bahan tambang. Namun bentuk ancaman yang berasal dari luar aktivitas penambangan juga
dapat mungkin terjadi, kondisi ini merupakan dampak tidak langsung kehadiran konsesi
tambang. Beberapa bentuk ancaman tersebut diantaranya:
Hal | 170
NILAI KONSERVASI TINGGI
TA
HA
P P
ER
SIA
PA
N
Eksp
lora
si
Uji
Ke
laya
kan
Ko
nstr
uksi
TA
HA
P
OP
ER
AS
ION
AL
Infr
astr
uktu
r
Ekstr
aksi d
an
Pe
ng
ola
ha
n
TA
HA
P P
EN
UT
UP
AN
Re
hab
ilita
si la
ha
n
1.1
Kawasan yang berisi
atau menyediakan
Fungsi Dukungan
Keanekaragaman Hayati
untuk Kawasan
Perlindungan atau
Konservasi
• - •
• •
1.2 Spesies Hampir Punah • - • • • •
1.3
Kawasan yang berisi
Habitat Layak untuk
Populasi Spesies
Langka, Endemik dan
Dilindungi
• - •
• •
•
1.4
Kawasan-kawasan
sementara yang
mendukung spesies atau
kelompok spesies
(spesies kunci)
dipertahankan
• - •
• •
•
2.1
Lanskap Alamiah Besar
dengan kemampuan
Menjaga Proses dan
Dinamika Ekologi
Alamiah
• - •
• •
2.2
Lanskap Alamiah yang
berisi dua atau Lebih
Ekosistem Berkelanjutan
• - •
• •
2.3
Kawasan yang berisi
Perwakilan Populasi
Spesies Paling Sering
Muncul
• - •
• •
•
3 Ekosistem Langka atau
Terancam • - •
• •
•
Hal | 171
4.1
Kawasan atau
Ekosistem Penting untuk
Penyediaan Air dan
Pencegahan Banjir untuk
Masyarakat Hilir
• - •
• •
4.2
Kawasan Penting untuk
Pencegahan Erosi dan
Sedimentasi
• - •
• •
•
4.3
Kawasan yang Berfungsi
Sebagai Sekat Alam
untuk Mencegah
Meluasnya Kebakaran
Hutan dan Lahan
• - •
• •
5.a
Kawasan Alamiah Kritis
untuk Pemenuhan
Kebutuhan Dasar
Masyarakat Lokal
• - •
• •
•
5.b
Kebutuhan dasar tapi
tidak digunakan terus
atau ada alternatifnya
• - •
• •
•
6
Kawasan Kritis untuk
Mempertahankan
Identitas Budaya dari
Komunitas Lokal
• - •
• •
•
Hal | 172
Bentuk Kegiatan Pengelolaan
No. Tahapan Kegiatan Nilai Konservasi Tinggi Kegiatan Pengelolaan
1. Penebangan pohon dan pembersihan lahan
NKT 1.1, NKT 1.3, NKT 1.4, NKT 3, dan NKT 6
Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
NKT 1.2 Identifikasi, kharakterisasi, pengumpulan benih dan anakan alam sebelum kegiatan penebangan pohon dan pembersihan lahan dilakukan, untuk diselamatkan dan diperbanyak secara vegetatif di persemaian, selanjutnya ditanam kembali di blok yang sama.
NKT 2.1 dan NKT 2.2 Identifikasi dan kharakterisasi, dapat dibuka untuk ditambang secara bertahap namun harus segera direklamasi untuk menjaga fungsi-fungsi ekologinya seperti semula
NKT 2.3 Identifikasi dan kharakterisasi, dapat dibuka untuk ditambang secara
bertahap namun harus segera direklamasi untuk menjaga fungsi-
fungsi ekologinya seperti semula.
Species pohon dan tanaman lain dapat diselamatkan dengan cara
diambil benih dan bibit alaminya sebelum pembersihan lahan untuk
diselamstkan dan diperbanyak di persemaian untuk nanti ditanam
kembali.
Species satwa karena penambangan dilakukan secara bertahap,
maka satwa akan mengungsi ke hutan sekitarnya.
Membuat aturan yang jelas agar karyawan dan masyarakat tidak
mengambil atau menangkat flora dan fauna yang termasuk obyek
NKT
Hal | 173
NKT 4.1 Melakukan kajian untuk menyediakan alternatif pengganti fungsi
penyedia air dan pengendali banjir sementara (misal dengan
mengalihkan aliran sungai, mencegah pencemaran air bawah tanah,
dan penggunaan bangunan sipil)
Setelah kawasan tersebut selesai ditambang harus segera
dikembalikan fungsinya seperti semula.
NKT 4.2 Mengganti fungsi sementara dengan bangunan sipil dan teknik vegetatif.
NKT 4.3 Pembersihan lahan akan secara otomatis menjadi sekat bakar yang efektif.
NKT 5 Memberikan alternatif pengganti kepada masyarakat lokal untuk
memenuhi kebutuhan dasar/ dengan kompensasi.
Setelah penambangan berakhir harus segera direklamasi untuk
mengembalikan fungsi semula.
2. Pemindahan dan penyimpanan tanah
NKT 1, NKT 3, dan NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
NKT 2, NKT 4 dan NKT 5 Mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi yang dapat merusak
obyek NKT.
Membuat saluran drainase dan kolam sedimentasi
Menjaga kualitas tanam selama dalam penyimpanan agar dapat
digunakan sebagai media tumbuh obyek NKT dikemudian hari.
3. Pemindahan dan penyimpanan
NKT 1, NKT 3, dan NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
Hal | 174
overburden NKT 2, NKT 4, dan NKT 5 Identifikasi dan kharakterisasi jenis batuan PAF dan NAF.
Mencegah terjadinya AAT
Memberikan perlakuan AAT yang terbentuk sebelum air dari lahan
tambang dilepaskan ke perairan umum
4. Pengambilan bahan tambang
NKT 1, NKT 3, dan NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
NKT 2, NKT 4, dan NKT 5 Mencegah pencemaran udara oleh debu dari aktivitas alat berat
kendaraan angkutan, kegiatan peledakan, serta dari stock pile bahan
tambang, tanah, maupun overburden.
Mencegah pencemaran air oleh AAT, dengan membangun saluran
drainase dan kolam sedimentasi.
5. Penataan lahan dengan mengembalikan overburden dan menebarkan tanah
NKT 1, NKT 3, dan NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
NKT 2, NKT 4, dan NKT 5 Mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi, serta terbentuknya AAT yang keluar ke perairan umum
6. Penanaman tanaman penutup tanah
NKT 1, NKT 2, NKT 3, NKT 4, dan NKT 5
Pemilihan jenis tanaman penutup tanah yang tidak invasif, contohnya
widelia dan asistasia.
Pengendalian pertumbuhan tanaman penutup tanah yang bersifat
merambat dan melilit agar tidak mematikan pohon-pohon di
sekitarnya.
Sedapat mungkin menggunakan jenis tanaman lokal.
NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
Hal | 175
7.
Penanaman pohon pionir dan pohon jenis daur panjang (klimaks)
NKT 1, NKT 2, NKT 4, dan NKT 5
Pemilihan jenis pohon pionir dan klimaks lokal dengan prioritas utama yang termasuk ke dalam obyek NKT
NKT 3 dan NKT 6 Identifikasi, kharakterisasi, deliniasi, eksklusi pada saat kegiatan FS dan AMDAL
Hal | 176
Lampiran 5: Pengelolaan dan Pemantauan NKT Pada Petani Kecil (Smallholders)
Oleh:
Wibowo Agung Djatmiko
Sigit Budhi Styanto
1. Pendahuluan
Para Petani Kecil / Smallholders punya karakter yang khas, terutama karena kecil -- luasan
lahan kecil, modal kecil, tingkat kemampuan pengetahuannya juga masih kecil dan tingkat
barganing-nya juga kecil -- letak lahannya terpecah serta kewenangannya tidak di satu
tangan.
1.1. Latar Belakang
Pembangunan dan pelestarian lingkungan sering dipandang sebagai sesuatu yang saling
berseberangan, karena pembangunan pada satu sisi dapat mengancam lingkungan pada
sisi yang lainnya. Pada kenyataannya pembangunan dan lingkungan adalah sesuatu yang
saling erat berhubungan. Pembangunan yang berkelanjutan sulit untuk dicapai jika aspek
lingkungan dan sosial gagal dikelola. Salah satu cara untuk menilai hubungan antara
pembangunan dan pelestarian lingkungan adalah dengan menggunakan konsep NKT atau
HCV (High Conservation Value).
Konsep NKT didesain dengan tujuan untuk membantu pengelola pembangunan dalam
usahanya untuk meningkatkan keberlanjutan sosial dan lingkungan dalam setiap
kegiatanya. Salah satu prinsip dasar konsep NKT adalah bahwa wilayah-wilayah yang
mempunyai atau dijumpai atribut-atribut yang mempunyai nilai konservasi tinggi tidak selalu
harus menjadi suatu kawasan yang tidak boleh ada pembangunan. Konsep NKT justru
mensyaratkan agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan cara menjamin pemeliharaan
dan/atau meningkatkan nilai NKT tersebut. Sehingga, dengan konsep ini akan didapatkan
suatu keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dan sosial dengan
pembangunan ekonomi jangka panjang.
Tahapan penting yang harus dilakukan berkaitan dengan NKT oleh setiap unit manajemen
harus melakukan (1) Mengidentifikasi areal NKT didalam wilayah dikelolanya. (2) Konsultasi
publik dengan para pihak dalam proses penetapan NKT yang teridentifikasi dengan pilihan-
pilihan pengelolaannya, (3) Mengelola agar dapat memelihara dan meningkatkan nilai-nilai
yang teridentifikasi dan (4) Memonitor keberhasilan pengelolaan di wilayah kelolanya.
Khusus untuk NKT pada smallholder -- tahapan awal merupakan hal yang sangat penting --
mulai dari perencanaan, kesepakatan awal tentang areal wilayah yang akan dikelola dalam
kawasan lansekap, unit manajemen kelola dan sosialisasi-sosialisasi para pihak kepada
mereka yang berkepentingan agar konsisten mengikuti kesepakatan dan tatanan yang
Hal | 177
dibangun dan yang strategi kepada mereka yang tidak berkepentingan tetapi didalam
wilayah kelola agar juga dapat berperan.
Gambar 1.1: Sosialisasi
stakeholder (para pihak) yang
terlibat hingga mereka mengerti
tujuan dan manfaat kegiatan
yang nantinya akan
meningkatkan partisipasi
mereka.
Gambar 1.2: Kegiatan
Partisipatory mapping,
(pemetaan partisipatif) salah satu
kegiatan yang penting untuk
dilakukan bersama masyarakat
sebelum identifikasi dilakukan
sebagai bahan referensi (kanan).
1.2. Ruang Lingkup
Panduan ini dipergunakan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan NKT secara
khusus dalam pengelolaan sumberdaya alam di dalam atau di sekitar kawasan bentang
alam atau lansekap untuk petani kecil bidang pertanian, perkebunan atau hutan rakyat atau
lainnya -- misalnya pertambangan rakyat -- yang relevan.
1.3. Tujuan
Memberi arahan dan panduan bagi masyarakat dan para petani kecil untuk pengelola
sumberdaya alam di dalam atau disekitar kawasan bentang alam atau lanskap dalam
membuat rencana pengelolaan dan pemantauan di areal-areal yang mempunyai nilai
konservasi tinggi.
Hal | 178
2. Karakter Pengelolaan Sumberdaya Alam oleh Smallholder
Smallholder, para petani yang menanam komoditas pertanian yang kadang-kadang
bersamaan dengan tanaman / komoditas lain sebagai mata pencaharian, yang sebagian
besar pekerjanya adalah anggota keluarganya dan usaha budidaya tersebut menjadi
sumber utama mata pencaharian dengan keterbatasan luas areal budidaya.
Luasan umumnya kecil-kecil, smallholder merupakan golongan terbesar dalam kelompok
petani di Indonesia -- khususnya di Pulau Jawa -- mengusahakan dalam tekanan lingkungan
penduduk lokal yang meningkat. Sumberdayanya terbatas -- luasan sekitar 0,25 hektar
lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar Jawa, jika mempunyai lahan tegalan luasan
sekitar 0,5 hektar di Jawa dan 1,0 hektar di luar Jawa -- sehingga menciptakan tingkat
kesejahteraan hidup yang rendah. Bergantung pada produksi yang subsisten dan belum /
kurang memperoleh pelayanan seperti kesehatan, pendidikan dan layanan lainnya
(kekurangan modal dan tidak / memiliki tabungan terbatas, pengetahuan juga terbatas dan
kurang dinamis.`
Gambar 2.1: Para petani istirahat makan siang setelah bergotong-royong mengolah
sawahnya yang pemilikannya kecil-kecil (kiri), Lokasi kebun terpecah dan bermacam-
macam komoditas yang ditanam (kanan). (Photo by Aliansi Desa Sejahtera)
Pengelolaan lahan, biasanya lakukan sendiri bersama keluarganya atau berkelompok dan
mempunyai relasi dengan Perusahaan yang berbeda-beda, dari hasil pengamatan
dilapangan secara umum dibedakan menjadi:
a. Petani kecil Plasma, petani kecil yang sudah terikat suatu kesepakatan dengan suatu
unit managemen (baik perusahaan, koperasi atau usaha bersama). Di kebun kelapa
sawit dibedakan atas Plasma full management, dimana semua dibawah kendali
perusahaan mulai dari pembukaan / pembangunan kebun, penanaman, perawatan,
panen, pengangkutan dan sebagainya. Petani dapat bekerja sebagai karyawan yang
terikat dengan peraturan perusahaan. Petani mendapatkan pendapatan secara
kolektif dari hasil penjualan TBS yang telah dipotong biaya operasional termasuk
cicilan biaya pembangunan kebun.
Hal | 179
Juga terdapat petani kecil yang masih terikat suatu kesepakatan dengan suatu unit
managemen seperti Plasma full management tetapi sudah di konversi dimana perawatan,
panen, pengangkutan dan sebagainya telah diserahkan kepada KUD atau kelompok tani
karena cicilan biaya pembangunan kebun telah lunas. Petani tetap dapat bekerja sebagai
pekerja harian yang dibayarkan sesuai kesepakatan tingkat kelompok. Petani mendapatkan
pendapatan secara kolektif dari hasil penjualan TBS yang telah dipotong biaya operasional
kebun yang semua administrasi tetap dikelola oleh koperasi.
b. Petani kecil Outgrowers, petani kecil yang tidak mempunyai ikatan langsung dengan
perusahaan, sebagai contoh suplai TBS di kebun kelapa sawit biasanya lewat
pengumpul TBS desa pengumpul besar (sebagai penyuplai beberapa PKS
dengan melakukan sortasi sederhana suplier SPB sebagai pemegang kuota
suplai TBS PKS perusahaan PKS).
Petani kecil outgrower ada juga karena merasa banyak kendala jika dikelola secara pribadi,
maka sesama petani dengan jumlah antara 20 orang dalam satu hamparan kecil seluas
sekitar 20-30 ha membentuk suatu usaha bersama secara gotong royong, dikelola bersama-
sama dengan pendapatan diatur proposional sesuai dengan luasan lahannya.
c. Petani kecil Independen, petani kecil yang secara tradisional bebas menanam dan
mengelola secara pribadi, mandiri komoditas pertaniannya dan menjual hasil
produksinya ke pasar / pengumpul tanpa ikatan.
Letak dan posisi lahan dalam hamparan / sistem lansekap, sebagian besar terletak
terpecah-pecah dengan luasan kecil dengan komoditas pertanian yang dibudidayakan
multiproduk (bermacam dan bervariasi) dengan satu atau lebih komoditas utama dan
komoditas lainnya. Keadaan ini juga menjadi salah satu kendala mengapa proses sosialisasi
dengan kegiatan-kegiatan intensif sangat diperlukan untuk memberikan informasi yang
cukup kepada petani
Areal NKT, tidak menutup kemungkinan hasil dari identifikasi areal NKT nantinya akan
terdapat di wilayah-wilayah tertentu seperti di lahan publik bagian dari wilayah desa atau
tanah ulayat. Bahkan dimungkinkan juga terdapat di wilayah lahan multi-pemilik atau lahan
pemilikan pribadi dengan beragam permasalahannya.
Pengelolaan dan pemantauan merupakan langkah lanjutan dari hasil identifikasi NKT yang
dapat dijaga dan kemungkinan ditingkatkan, termasuk distribusi dan lokasi dari NKT tersebut
dalam upaya pengamanan kawasan di tingkat lansekap. Pendekatan pengelolaan dan
pemantauan NKT dari sisi ancamannya juga menjadi bagian penting dalam penyusunan
pedoman dan juga bergantung pada kondisi kawasan NKT, waktu dan anggaran yang
tersedia. Identifikasi akan ancaman terhadap kawasan NKT juga merupakan hasil penilaian
tim penilai NKT pada saat proses identifikasi. Berdasarkan temuan-temuan hasil penilaian,
arah dan tujuan pengelolaan dan pemantauan akan menjadi lebih tegas dan jelas sehingga
Hal | 180
upaya untuk mencari solusi pengelolaan dari pihak pengelola menjadi lebih terarah dan
terencana.
Langkah penting dalam melakukan proses pengelolaan dan pemantauan berdasarkan
temuan hasil penilaian NKT adalah melakukan identifikasi temuan dan ancaman serta
mencari hubungan dengan kebutuhan pengelolaan NKT pada Unit Manajemen (UM) dan
tanggung jawab pengelolaan dan pemantauannya. Temuan hasil identifikasi areal-areal NKT
merupakan titik awal dari pengelolaan dan pemantauan NKT disuatu kawasan di tingkat
lansekap. Temuan berupa jenis NKT dan lokasi areal luasannya yang mendukung nilai
tersebut. Hubungan antara temuan hasil identifikasi NKT dengan pengelolaan dan
pemantauan terletak pada interaksi operasional unit manajemen yang dilakukan.
Gambar 2.2: Contoh hasil partisipatory mapping tingkat Desa, dapat menjadi referensi
dalam identifikasi NKT (Sumber: Halom Rimba)
3. Pendekatan Pengelolaan NKT pada Smallholders
3.1. Pendekatan Lansekap
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penguasaan lahan oleh petani smallholder umumnya
kecil-kecil dan gabungannya belum tentu membentuk suatu hamparan yang utuh. Padahal
pola dan sebaran wilayah-wilayah dengan NKT (KBKT, kawasan bernilai konservasi tinggi)
tidak mengikuti pola kepemilikan. Bisa jadi ditemukan adanya KBKT yang sebagian
areanya, atau bahkan seluruhnya, berada di luar lahan milik petani smallholder. Contohnya
adalah aliran sungai dan anak-anak sungai (beserta sempadannya) di wilayah petani
Hal | 181
smallholder, yang pada umumnya dipandang sebagai area publik atau -- paling tidak --
menjadi urusan administrasi kampung atau desa.
Contoh lain adalah area-area perlindungan setempat seperti tutupan hutan kecil di sekitar
mata air, atau di puncak-puncak perbukitan, atau di sekeliling tempat-tempat yang
dikeramatkan, termasuk tutupan vegetasi yang rapat yang sering dijumpai di pekuburan-
pekuburan. Wilayah-wilayah ini, yang mungkin memiliki NKT jasa lingkungan, religi, dan
atau perlindungan ragam hayati, umumnya tidak dimiliki perorangan dan di bawah
penguasaan adat atau kampung.
Para petani yang lahannya dilalui atau berbatasan dengan aliran sungai, misalnya, dapat
saja dianggap bertanggungjawab dan dibebani urusan pengelolaan NKT di wilayahnya itu.
Namun hal ini akan menjadi: (1) tidak adil, karena hanya sebagian petani yang akan
menanggung urusan NKT -- yang seharusnya menjadi kepentingan semua orang yang
hidup di lingkungan tersebut, dan (2) tidak efektif, jika pengelolaan NKT hanya dilakukan di
sebagian area atau lahan yang dikuasai petani, sementara di luar wilayah itu dibiarkan tidak
terkelola.
Dengan demikian jelas konsep NKT baru akan relevan dan efektif dibicarakan dalam skala
lansekap, satuan wilayah yang cukup luas. Mengingat sifat-sifat NKT sendiri yang tidak
memandang pemilikan dan pemanfaatan lahan, serta yang menjadi kepentingan semua
pihak di lingkungan terkait, pendekatan lansekap dalam pengelolaan NKT menjadi
keniscayaan. Dalam lansekap ini akan tergabung bukan hanya area kelola petani
smallholder, namun juga pola-pola penggunaan lahan lainnya termasuk pemukiman -- jika
ada -- dalam satu kesatuan lahan. Pendekatan ini teristimewa akan menjadi sangat relevan
apabila cukup banyak area kelola smallholder yang bergabung atau dapat digabungkan
dalam wilayah lansekap tersebut.
Untuk unit-unit kelola smallholder yang berbentuk area kompak yang cukup luas dan telah
jelas batas-batasnya, misalnya area hutan desa atau hutan kemasyarakatan (HKm),
pendekatan ini dapat saja tidak memasukkan area-area penggunaan lain yang berada di
luar batas hutan desa atau hutan kemasyarakatan, dan membatasi diri pada wilayah kelola
yang sudah ditetapkan Pemerintah.
3.2. Unit Pengelola
Konsekuensi langsung dari pengelolaan NKT dengan pendekatan lansekap, ialah perlu
adanya lembaga atau unit kelola wilayah, yang memiliki otoritas untuk menetapkan,
menyusun dan menyelenggarakan pengelolaan dan pemantauan NKT ini. Bergantung pada
kesepakatan setempat, unit kelola ini dapat saja dilekatkan pada lembaga administrasi
wilayah setempat, semisal pemerintah desa atau kampung, atau dimandatkan sebagai
tanggung jawab kelompok tani atau koperasi tani yang terkait.
Memang benar bahwa tuntutan untuk melaksanakan identifikasi dan pengelolaan NKT saat
ini lebih banyak didorong oleh kepentingan bisnis, ketimbang oleh kebutuhan pengelolaan
lingkungan setempat. Meski demikian, tetap saja kedua-dua pertimbangan mengisyaratkan
perlunya otoritas pengelolaan pada aras yang lebih tinggi daripada kelola rumahtangga
petani.
Hal | 182
Tugas Unit Pengelola ini di antaranya adalah menyusun rencana kelola (dan pemantauan)
KBKT, memastikan dan memperjelas batas-batasnya di lapangan, menyelenggarakan
tindakan-tindakan pengelolaan selanjutnya, memastikan bahwa tujuan-tujuan pengelolaan
NKT dapat tercapai, serta memantau dan mengevaluasi keberhasilan pengelolaan NKT.
Sebagai dasar legitimasi Unit Pengelola, diperlukan adanya kesepakatan di antara
stakeholder di tingkat lokal mengenai kewenangan, hak, dan kewajiban Unit Pengelola.
Kesepakatan ini diperlukan terutama karena Unit Pengelola harus punya kewenangan untuk
mengatur dan melakukan tindakan-tindakan pengelolaan di area-area KBKT, baik itu milik
publik maupun pribadi.
3.3. Alat Kelengkapan Pengelolaan
Terkait dengan karakter smallholder, yang umumnya bersifat sederhana, tradisional, banyak
menyerap kebiasaan lokal, dan sangat bervariasi dari satu tempat ke lain tempat,
pendekatan dalam penyusunan RK-RP (rencana kelola dan pantau) NKT pada smallholder
lebih ditekankan pada aspek substansi ketimbang aspek format yang seragam. Yang lebih
penting adalah bahwa hal-hal atau informasi dasar yang diperlukan bagi berlangsungnya
suatu kegiatan pengelolaan dan pemantauan NKT tersedia untuk dibaca oleh semua pihak
yang berkepentingan.
Format penyampaian materi atau substansi pun boleh dikombinasikan dengan kebiasaan
dan pengetahuan lokal. Secara substansial NKT, beberapa aturan adat lokal bisa jadi telah
tersedia, untuk diadopsi ke dalam sistem perlindungan NKT yang relevan di suatu lokasi.
Misalnya, adat atau kebiasaan orang-orang di sekitar Rinjani, Lombok, untuk melarang
perburuan hewan-hewan di area HKm sengon-kopi (kecuali hewan yang menjadi hama
kebun), bisa diadopsi untuk melindungi dan mengelola NKT 1 di wilayah itu. Kebiasaan
orang-orang di pedesaan Jawa untuk melindungi mata-mata air dengan tidak menebang
pohon di sekitar mata air tersebut, bisa diadopsi untuk melindungi NKT 4. Dan seterusnya.
Jadi, konsep NKT dan perlindungannya bisa jadi tidak terlalu asing bagi komunitas-
komunitas tertentu, dan jika benar demikian, situasi tersebut bisa dimanfaatkan untuk
menopang perlindungan dan pengelolaan NKT yang diusulkan.
Selanjutnya, pun dapat digunakan ‘alat-kelengkapan pengelolaan’ yang diadaptasikan
dengan kondisi sederhana:
Kesepakatan atau norma sebagai ganti SOP. Contohnya awig-awig. Di kalangan
masyarakat pedesaan pada umumnya, konsep SOP (standard operational
procedures) hampir tidak dikenal. Akan tetapi kesepakatan menyangkut kebiasaan
atau tindakan tertentu, yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan, biasa
dijumpai di komunitas tradisional seperti itu. Pengelolaan NKT bisa menggunakan
norma atau awig-awig untuk memastikan dipenuhinya suatu kondisi tertentu,
ketimbang memaksakan diri menggunakan SOP atau aturan-aturan lain yang
didatangkan dari luar.
Pencatatan pengetahuan lokal, untuk melengkapi informasi dasar (baseline info)
yang diperlukan bagi penyusunan suatu rencana pengelolaan dan pemantauan.
Termasuk pula penggunaan nama-nama lokal (belakangan dapat dicarikan nama
ilmiahnya) untuk mencatat kekayaan ragamhayati setempat; pemanfaatan teknologi
lokal untuk melakukan kegiatan pengelolaan NKT, dan lain-lain.
Hal | 183
Adaptasi kebiasaan atau tradisi pengelolaan, untuk memperkuat RK-RP wilayah-
wilayah NKT. Adat kebiasaan tertentu, seperti pengelolaan ‘lubuk larangan’ di
wilayah Jambi, atau ‘sasi laut’ di wilayah Maluku tengah, jika ada, sangat penting
untuk diintegrasikan atau diadaptasi dalam rencana kelola. Penggunaan pranata
adat lokal yang sesuai akan mempermudah pemahaman, yang selanjutnya
diharapkan akan mempertinggi efektifitas rencana kelola yang disusun.
Demikian pula, penggunaan lembaga adat atau lembaga desa yang ada (misalnya
‘ulu-ulu’ pengelola air di Jawa) dapat dipertimbangkan pula di sini.
Format dokumen RK-RP NKT tidak perlu dibuat kaku, hanya saja sebaiknya mampu
memenuhi minimum requirement. Dokumen harus jelas memuat nilai-nilai penting
yang akan dikelola, lokasi-lokasinya (KBKT) dan luas masing-masing, kondisinya
yang aktual atau terbaru –termasuk ancaman-ancaman terhadapnya, tujuan
pengelolaan (dan pemantauan) NKT/KBKT, tindakan-tindakan atau rencana kegiatan
untuk mencapai tujuan itu, serta unit yang bertanggung jawab. Lebih jauh lagi,
dokumen harus bersifat operasional; yakni dapat dan memang digunakan oleh para
petani smallholder untuk memandu kegiatan-kegiatan pengelolaan dan pemantauan
NKT di lahan-lahan mereka. Mengenai kebutuhan informasi minimum ini diuraikan
lebih mendalam di bagian berikutnya.
Hal | 184
4. Rencana Pengelolaan NKT
4.1. Strategi Pengelolaan NKT
Tiga tujuan utama pengelolaan NKT terlukis dalam skema berikut:
Gambar 4.1. Skema strategi pengelolaan NKT
Melindungi. Tujuan pertama dalam mengelola NKT adalah melindungi nilai penting itu dari
kerusakan atau penurunan kualitas, baik karena degradasi lingkungan ataupun karena
tekanan-tekanan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Termasuk ke dalam upaya
melindungi adalah memperjelas batas-batas wilayah KBKT di lapangan, agar diketahui oleh
pihak-pihak yang berkepentingan; serta proses sosialisasi keberadaan dan tujuannya, agar
memperoleh cukup dukungan yang diperlukan.
Memelihara. Setelah terlindungi, upaya berikutnya adalah memelihara dan
mempertahankan nilai-nilai penting yang ada sehingga dapat berlangsung selama mungkin,
sepanjang masa pengelolaan produksi atau bahkan lebih. Bentuk-bentuk upaya
pemeliharaan ini akan sangat bervariasi, bergantung kepada nilai penting atau NKT yang
dikelola, status kondisi NKT pada saat pengelolaan, ancaman-ancaman yang ada, serta
sumberdaya yang tersedia.
Meningkatkan. Pada jangka panjang, tujuan pengelolaan NKT ialah sedapat mungkin
meningkatkan nilai-nilai penting yang dipunyai oleh KBKT; agar manfaat dan nilainya dapat
terus dinikmati oleh lingkungan. Upaya meningkatkan nilai ini bukanlah sesuatu hal yang
mudah dikerjakan, akan tetapi selalu diperlukan untuk memberi arah bagi pengelolaan di
masa depan.
4.2. Tahapan Kegiatan
Sebagaimana telah diuraikan dengan lebih rinci dalam dokumen utama Panduan ini, tahap-
tahap penyusunan rencana kelola dan rencana pemantauan disarankan untuk mengikuti
bagan pada Gambar 4.2.
Inventarisasi Kondisi Aktual dan Identifikasi Ancaman. Langkah pertama yang perlu
dilakukan adalah memeriksa ulang dan memastikan kondisi aktual NKT/KBKT beserta
ancaman-ancaman yang dihadapinya. Dalam dokumen kajian penetapan NKT, data awal
mengenai kondisi NKT dan KBKT ini biasanya telah tersaji. Akan tetapi sering terdapat
selang waktu yang cukup signifikan antara saat kajian awal dengan saat penyusunan
Melindungi
Memelihara Meningkatkan
Hal | 185
dokumen rencana pengelolaan; sehingga ada kemungkinan lingkungannya telah banyak
berubah. Tahapan ini bermaksud untuk memastikan bahwa rencana pengelolaan dan
pemantauan akan disusun berdasarkan situasi terbaru, baik kondisi potensi maupun
ancaman, masing-masing NKT dan KBKT.
Gambar 4.2. Bagan penyusunan pengelolaan HCV
Tujuan Pengelolaan. Tujuan pengelolaan ini harus dibuat untuk masing-masing NKT, dan
dirinci untuk masing-masing KBKT. Tujuan pengelolaan NKT ini memuat kondisi tertentu
yang ingin dicapai di masa depan, dalam jangka pendek atau jangka panjang, sebagai
Inventarisasi kondisi aktual dan identifikasi ancaman-ancaman
terhadap masing-masing NKT dan KBKT
Menentukan tujuan masing-masing pengelolaan untuk setiap NKT dan
KBKT
Identifikasi langkah-langkah mitigasi
ancaman HCV lebih lanjut.
Menggunakan pendekatan
pengelolaan pencegahan
(precautionary management)
Mengembangkan rencana jangka
panjang dalam melakukan
pemantauan hasil pengelolaan untuk
setiap nilai HCV.
Hal | 186
akibat dari tindakan-tindakan pengelolaan yang direncanakan. Tujuan pengelolaan
ditentukan dengan memperhatikan kondisi dan ancaman yang dihadapi NKT/KBKT.
Sedapat mungkin, pengucapan tujuan ini juga memuat suatu tolok ukur bagi
ketercapaiannya.
Uraian-uraian yang lebih rinci mengenai setiap tahapan di atas telah termuat di dalam
dokumen utama Panduan Pengelolaan dan Pemantauan NKT.
4.3. Rencana Kelola NKT di Kawasan Smallholder
Sebagaimana telah didiskusikan pada bagian-bagian terdahulu, dokumen rencana kelola
NKT (dan rencana pemantauannya) bisa jadi bentuknya sangat sederhana; akan tetapi
diharapkan tidak meninggalkan beberapa hal pokok, seperti:
Deskripsi NKT/KBKT
Peta lokasi
Tujuan pengelolaan
Rincian aktivitas terkait
Waktu dan pelaksana kegiatan
Deskripsi NKT/KBKT. Deskripsi ini terutama berisi ringkasan kondisi terbaru, termasuk
ancaman, sebagaimana tercatat dalam proses pemeriksaan ulang KBKT; dan luasnya.
Peta lokasi. Jika tersedia peta-peta yang memenuhi standar kartografi, adalah lebih baik.
Akan tetapi jika hanya tersedia denah atau sketsa lapangan, sebagaimana biasa dihasilkan
dari proses PRA (Participatory Rural Appraisal), pun telah memadai. Yang penting, peta itu
dapat menunjukkan lokasi-lokasi KBKT yang dikelola sesuai dengan kondisi lapangan;
serta dapat digunakan sebagai panduan untuk memeriksa lokasi.
Tujuan pengelolaan. Lihat uraian pada bagian sebelumnya.
Rincian aktivitas. Untuk setiap tujuan, boleh jadi ada beberapa aktivitas yang perlu
dirancang agar tujuan itu tercapai. Akan tetapi sebaliknya, bisa jadi ada satu aktivitas yang
berkontribusi pada ketercapaian lebih dari satu tujuan. Misalnya, aktivitas penanaman
pohon (rehabilitasi tutupan hutan) di suatu sempadan sungai bisa berdampak pada tujuan
perlindungan aliran air dan tebing sungai, sementara di sisi lain membantu ketercapaian
tujuan pemulihan habitat satwa (koridor) di wilayah riparian.
Waktu dan pelaksana. Waktu pelaksanaan dan pelaksana (atau penanggung jawab)
kegiatan perlu dimuat, setidaknya bagi kepentingan evaluasi dan pemantauan. Contoh
tabulasi sederhana rencana kelola NKT tersedia pada Tabel 4.1 di bagian belakang.
Hal | 187
4.4. Rencana Pemantauan NKT di Kawasan Smallholder
Format rencana pemantauan NKT bagi smallholder juga dapat dibuat sederhana, dan tidak
perlu disajikan tersendiri, terpisah dari rencana pengelolaan. Dengan informasi dasar yang
sama, rencana pemantauan dapat dibuat sangat ringkas dalam bentuk tabulasi. Contohnya
dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.1. Contoh tabel rencana pengelolaan
N
o.
Nama
Lokasi*
Tujuan
Pengelolaan Rencana Kegiatan Waktu
Pelaksan
a
1. Mata air
“Telaga
Biru”
1. Melindungi
mata air
dan
sempadann
ya, dengan
radius 50
meter (NKT
4)
2. Melindungi
habitat
satwa
penting,
terutama
sarang
elang jawa
(NKT 1)
1. Memperjelas
tata batas
wilayah yang
dilindungi di
sekitar mata
air. Panjang
batas sekitar
350 m keliling
2. Memulihkan
tutupan
vegetasi yang
rusak di
sebagian
wilayah
sempadan
mata air
(seluas sekitar
0,5 ha)
1. Bulan ke-
1
2. Bulan ke-
4 s/d ke-
6
Bagian
Lingkunga
n,
berkoordi
nasi
dengan
kelompok
tani di
dusun
Telaga
Biru
2. Sempad
an
sungai
Keruh
1. Melindungi
dan
memperbai
ki fungsi
sempadan
sungai,
dengan
lebar rata-
rata 25
meter (NKT
4)
2. Memulihkan
fungsi
sempadan
sungai
sebagai
habitat
1. Menandai
batas-batas
sempadan
sungai,
sepanjang 4,3
km
2. Menanami
sempadan
dengan jenis-
jenis pohon
cepat tumbuh,
jenis pakan
satwa, serta
beberapa jenis
pohon lokal
yang terancam
kepunahan
1. Bulan ke-
1 hingga
ke-3
2. Bulan ke-
5 s/d ke-
12
Bagian
Lingkunga
n,
berkoordi
nasi
dengan
kelompok-
kelompok
tani di
sepanjang
aliran
sungai
Hal | 188
satwa (NKT
1)
3. Meningkatk
an nilai
sempadan
sungai
sebagai
tempat
pelestarian
jenis-jenis
pohon
langka
(NKT 1)
(lihat pada
Lampiran)
3. Keramat
“Bukit
Batu”
1. Melindungi
lingkungan
tempat
yang
dikeramatka
n
masyarakat
(NKT 6)
2. Melindungi
wilayah
bukit dari
erosi yang
berlebihan
dan tanah
longsor
(NKT 4)
3. Melindungi
habitat
satwa
penting,
terutama
tempat
hidup owa-
owa dan
trenggiling
(NKT 1)
1. Menandai
batas-batas
wilayah yang
dilindungi di
kaki bukit
2. Mempertahank
an tutupan
vegetasi yang
ada
3. Memperbaiki
jalan naik
menuju tempat
keramat, serta
jalan patroli
hutan
1. Bulan ke-
6 hingga
ke-9
2. Sepanjan
g waktu
3. Bulan ke-
5 s/d ke-
12
Bagian
Lingkunga
n,
berkoordi
nasi
dengan
kelompok
tani dusun
Bukit Batu
dan
aparat
Desa
Catatan: *Uraian mengenai kondisi aktual KBKT, luasan, ancaman yang dihadapinya, dan
lain-lain informasi yang penting, dimuat pada bagian lain rencana kelola dan tidak dimuat
dalam tabel ringkas ini. Juga peta-peta yang terkait.
Hal | 189
Tabel 4.2. Contoh tabel rencana pemantauan
No. Nama Lokasi Tujuan Pemantauan Rencana Kegiatan Waktu Pelaksana
1. Mata air “Telaga
Biru”
1. Memantau efektifitas
perlindungan mata air
dan sempadannya
(NKT 4), dan
2. Efektifitas
perlindungan habitat
satwa penting,
terutama sarang
elang jawa (NKT 1)
1. Pemeriksaan tata batas
wilayah yang dilindungi di
sekitar mata air
2. Pemantauan kondisi
tutupan vegetasi di
wilayah sempadan mata
air
3. Pemantauan kondisi
sarang elang jawa di
pohon rasamala
Ketiga kegiatan
pemantauan itu
dilakukan dua kali
setahun: pada bulan
ke-4 dan ke-10
Pemantauan juga
dilakukan sewaktu-
waktu, jika ada
kegiatan di lokasi
Bagian
Lingkungan,
berkoordinasi
dengan kelompok
tani di dusun
Telaga Biru
2. Sempadan sungai
Keruh
Pemantauan fungsi dan
kondisi sempadan sungai
sebagai:
1. Pelindung aliran air dan
badan sungai (NKT 4)
2. Habitat aneka jenis
satwa (NKT 1)
3. Tempat pelestarian
jenis-jenis pohon langka
(NKT 1)
1. Pemeriksaan tata batas
sempadan sungai
2. Pemantauan
pertumbuhan jenis-jenis
pohon yang ditanam di
sempadan sungai
3. Pemantauan kehadiran
jenis-jenis satwa di
sempadan sungai
Pemeriksaan tata batas
dilakukan dua kali
setahun: pada bulan ke-
5 dan ke-11
Pemantauan jenis-jenis
pohon dan satwa
dilakukan 3x setahun:
bulan ke-4, ke-8 dan ke-
12
Bagian
Lingkungan,
berkoordinasi
dengan
kelompok-
kelompok tani di
sepanjang aliran
sungai
3. Keramat “Bukit Pemantauan fungsi
lingkungan Bukit Batu
1. Pemeriksaan tata batas
wilayah yang dilindungi di
Pemeriksaan tata batas
dilakukan 2x setahun:
Bagian
Lingkungan,
Hal | 190
Batu” sebagai:
1. Tempat yang
dikeramatkan
masyarakat (NKT 6)
2. Pelindung dari erosi
yang berlebihan dan
tanah longsor (NKT 4)
3. Habitat satwa penting,
terutama tempat hidup
owa-owa dan trenggiling
(NKT 1)
kaki bukit
2. Pemantauan kondisi
tempat keramat
3. Pencatatan pengunjung
tempat keramat
4. Pemantauan kondisi
tutupan vegetasi yang ada
5. Pemantauan keberadaan
owa-owa dan trenggiling
pada bulan ke-6 dan ke-
12
Pencatatan pengunjung
dilakukan setiap saat
Pemantauan kondisi
tempat keramat,
vegetasi dan satwa
dilakukan 3x setahun:
bulan ke-4, ke-8 dan ke-
12
berkoordinasi
dengan kelompok
tani dusun Bukit
Batu dan aparat
Desa
Hal | 191
Lampiran 6: Pengelolaan Lanskap NKT
Oleh: Lilik Budi Prasetyo
1. Pendahuluan
1.1. Pengertian Lanskap
Pengertian lanskap sangat beragam, tergantung dari disiplin ilmu dari orang yang
mendefinisikan lanskap. Pada konteks pengelolaan NKT pengertian lanskap lebih cocok bila
dipandang dari sudut disiplin ilmu ekologi lanskap, yaitu ilmu yang mempelajari struktur,
fungsi dan perubahan lanskap (Forman & Godron, 1986).
Zonneveld (1979) mengatakan bahwa lanskap adalah sebuah bagian dari permukaan bumi,
yang berisi ekosistem yang kompleks, yang terbentuk dari aktivitas batuan, air, tanaman,
binatang dan manusia. Dari sudut pandang lanskap ekologi, lanskap didefiisikan sebagai
bentang lahan yang disusun dari berbagai elemen/unit pembentuk lanskap yang saling
berinteraksi (Forman and Godron, 1986). Lebih jauh mereka membedakan struktur lanskap
menjadi elemen berupa patch, matrix, dan corridor. Patch adalah area homogen yang dapat
dibedakan dari daerah di sekelilingnya. Matrix adalah patch yang mendominasi lanskap,
sedangkan corridor adalah patch yg berbentuk memanjang. Konsep patch dan matrix
diinspirasi dari teori biogeografi pulau yang dikemukakan oleh McArthur & Wilson (1963).
Patch disetarakan dengan small island, dan matrix disetarakan dengan lautan (ocean), yang
membatasi pergerakan species di dalam lanskap. Teori Biogeografi menjelaskan bahwa
keanekaragaman species tergantung dari luas pulau dan jarak dari mainland. Semakin
dekat dengan mainland dan semakin luas,maka keanekaragaman species patch/island
semakin tinggi. Mainland dalam teori ini disetarakan dengan patch yang berukuran las.
Pendekatan ini telah diterima dan menjadi dasar kajian ekologi lanskap.
1.2. Pembentukan dan Struktur Patch
Dilihat dari proses pembentukannya, patch dapat digolongkan menjadi 3, yaitu disturbance
patch (patch yang terganggu), remnant patch dan environmental patch. Disturbance Patch
adalah patch yang terbentuk karena adanya gangguan/disturbance dari aktivitas manusia.
Environmental patch karena proses alami, sedangkan remnant patch adalah patch yang
terbentuk karena gangguan pada totalitas matrix dan menyisakan patch alami yang tidak
terganggu.
Pada proses pembentukan Disturbance patch, struktur habitat asli mengalami gangguan
sehingga fungsi habitat tersebut akan berubah. Komposisi species yang menempati habitat
baru akan berbeda dengan sebelumnya. Species baru datang/berkolonisasi, sedangkan
species yang tidak bisa beradaptasi dengan habitat baru akan keluar/beremigrasi ke habitat
di sekitarnya dan dapat menyebabkan kelangkaan local (local extinction). Pembentukan
environmental patch bisa terjadi secara mendadak (letusan Gunung berapi) atau perubahan
seirama dengan pergantian musim, seperti perubahan savanna menjadi rawa (swamp) di
Merauke, Papua. Proses yang bertahap dapat memberikan waktu bagi species untuk
beremigrasi dan beradaptasi. Sebaliknya pembentukan patch pada saat letusan gunung
berapi akan menyebabkan banyak kepunahan local species, namun kemudian ketika
letusan berhenti proses suksesi primer berlangsung dan ekosistem baru terbentuk. Remnant
Hal | 192
patch terbentuk karena sebagian besar patch mengalami perubahan, dan menyisakan patch
vegetasi asli.
Patch terdiri dari bagian tepi (edge) dan interior (core/interior). Edge adalah bagian dari
patch yang mendapat pengaruh iklim mikro (micro climate) dari dua patch yang berbeda.
Thomas et al. (1979), mendefinisikan edge sebagai tempat pertemuan dua komunitas
tumbuhan yang berbeda. Menurutnya edge mempunyai kelimpahan jenis dan species yang
besar, karena efek aditif dari fauna karena adanya pertemuan patch/matriks yang berbeda.
Namun Lovejoy et al. (1986) menemukan hal yang sebaliknya, terutama biodiversity fauna
primata. Hal ini mungkin disebabkan primata membutuhkan tajuk yg rapat untuk berpindah
dan jauh dari disturbance/ gangguan manusia. Respon fauna terhadap edge berbeda-beda.
Pada prinsipnya dibagi dua, yaitu menyukai edge (edge exploiter) dan menghindari edge
(edge avoider). Species yg menyukai edge maka kelimpahannya di edge lebih tinggi dari di
interior, sedangkan yg menghindari edge kelimpahan species akan menurun.
Efek tepi telah dikenal banyak diketahui para ahli, namun penentuan pengaruh edge masih
dalam perdebatan. Edge dapat ditentukan dengan melihat factor biotik (penutupan tajuk),
factor abiotic (iklim mikro), struktur (tinggi/kerapatan pohon) atau perbedaan fungsi (misal
kecepatan dekomposisi). Pengukuran menggunaan factor yang berbeda tidak selalu
mendapatkan lebar edge yang sama. Pengukuran dengan mengamati gradient suhu,
Saunders, Chena, Drummer dan Crow (1999) menemukan lebar edge bervariasi dari 0-40
m. Penelitian ini berbeda dengan yang ditemukan oleh Laurance (1992), bahwa pengaruh
edge akan dapat mencapai 400 meter dari batas hutan.
Dalam terminologi lanskap ekologi Edge dapat diartikan sebagai tempat pertemuan patch
ataupun matriks yang berbeda.. Lebih jauh Thomas mengatakan bahwa dilihat dari struktur
lansekapnya, edge dapat dibedakan menjadi Inherent dan induced edge (Gambar 8).
(a) Inherent edge : Edge yang terbentuk dari pertemuan dua komunitas berbeda
atau komunitas yang berbeda tingkat suksesinya.
(b) Induced edge : Edge yang terbentuk karena adanya disturbance, misalnya
pembukaan lahan, logging, kebakaran, dll
1.3. Daya dukung Patch/Fragment
Diamond (1975) menemukan hubungan antara luas area dan jumlah species. Semakin
besar luas area, maka akan semakin tinggi jumlah species yang dapat ditampung. Sehingga
Diamond menyarankan areal tunggal yang luas untuk tujuan konservasi species. Tidak
semua ahli sepakat dengan pendapat Diamond (1975). Deshaye dan Morissset (1989)
menemukan bahwa pada sebuah areal diatas 12 ha, tidak ada bedanya antara Single Large
(SL) Or Several Small (SS) (SLOSS). Hal ini disebabkan (a) habitat cukup luas untuk
menampung semua jenis species, (b) masih dapat menjamin kelangsungan species langka
(rare). Debat species-area relationship ini masih terus berlangsung. Pada kenyataan di
lapang, fragment NKT adalah fragment yang tidak begitu luas. Pada teori Biogeografi
kekayaan species (daya tampung) akan meningkat dengan meningkatnya area yang
dinyatakan dengan hubungan S = Az (S= keanekaragaman, A = Area, dan z konstanta, yang
nilainya tergantung dari kondisi habitat). Berdasar hal itu maka daya tampung/daya dukung
area akan meningkat apabila kondisi habitat diperbaiki.
Hal | 193
1.4. Koridor (Corridor) dan pergerakan species
Koridor adalah patch yang memanjang, yang dapat terbentuk secara alamiah (natural) atau
bentukan manusia (man made). Koridor selalu diasosiasikan dengan hutan, walaupun
koridor dapat juga berupa penutupan lahan non hutan. Jaringan Sungai, jaringan jalan,
jembatan, vegetasi di kanan kiri sungai, belukar, dan lahan pertanian dapat dikategorikan
sebagai koridor Tipe penutupan lahan koridor menentukan fungsinya dalam ekologi.
Koridor dapat berfungsi sebagai habitat, menghalangi pergerakan (barier), membantu
pergerakan species (conduit), atau sebagai penyaring pergerakan satwa (filter). Koridor
dapat berfungsi habitat apabila species dapat berkembang biak di dalam koridor, karena
habitatnya sesuai. Sebaliknya koridor dapat berfungsi sebagai barier apabila tipe habitat
koridor tidak cocok dengan kebutuhan hidup species tersebut. Koridor berupa hutan yang
rapat, dapat memfasiltasi pergerakan beragam species, baik species edge hutan ataupun
species interior hutan, apabila koridor tersebut cukup lebar. Untuk avifauna, koridor tidak
selalu harus terkoneksi secara fisik, stepping stone koridor juga dapat membantu
pergerakan species.
2. Pengelolaan dan Pemantauan Lanskap pada unit pengelolaan yang mempunyai
NKT
2.1. Pengelolaan Lanskap
Sebuah unit pengelolaan/managemen (baik berupa HTI, Perkebunan atau Tambang), dapat
dipandang sebagai sebuah lanskap, yang mempunyai struktur, sehingga dapat dirinci
elemen pembentuknya menjadi patch (edge dan interior), matriks dan koridor. Pada sebuah
perkebunan kelapa sawit, hamparan sawit dapat dikategorikan sebagai matriks, sisa-sisa
hutan sekunder/belukar (remnant vegetation), dan riparian/jaringan utilitas sebagai koridor.
Demikian juga areal pertambangan , areal yang ditambang dapat dikategorikan sebagai
matriks dan vegetasi yang tersisa sebagai patch.
Perkebunan Sawit, dan Pertambangan adalah sebuah lanskap yang terfragmentasi, dimana
patch (remnant forest/secondary forest/bush) yang berukuran kecil terpisah oleh matriks
sawit yang sangat luas. Pada kurun waktu yang panjang, proses fragmentasi akan
menyebabkan isolasi antar patch di dalam unit pengelolaan atau dengan kawasan di
sekitarnya. Kondisi ini akan mendorong kepada kepunahan local species. Tindakan
pengelolaan secara umum yang harus dilakukan adalah sbb:
a) Mempertahankan / Meningkatkan Konektivitas
Pada unit manajemen yang belum beroperasi, konektivitas antar patch NKT harus
dipertahankan, sedangkan Unit Manajemen yg sudah beroperasi konektivitas harus
ditingkatkan.
Pengelolaan ditujukan untuk menjamin konektivitas lanskap fragment NKT di dalam unit
manajemen. Apabila dimungkinkan konektivitas diusahakan dengan daerah di luar unit
manajemen yang mempunyai habitat sama yang lebih luas, baik berupa unit manajemen
sejenis atau kawasan konservasi. Konektivitas dapat berupa pembangunan fragment baru
yang berdekatan (berfungsi sbg stepping stone corridor) atau koridor yang secara fisik
tersambung dengan memanfaatkan kawasan lindung di kanan kiri sungai (riparian).
Hal | 194
b) Pengkayaan habitat (Habitat enrichment)
Pengkayaan habitat pada fragment NKT akan meningkatkan keanekaragaman dan daya
tapung, serta dapat mengikatkan fungsi fragment NKT sebagai koridor. Tindakan ini
dilakukan dengan menggunakan species pohon asli di unit manajemen. Perbaikan kualitas
habitat NKT juga akan dapat menurunkan tingkat predasi, karena ketersediaan pelindung
(cover) lebih baik.
c) Mempertahanan Habitat Mikro
Pada species herpetofauna, unit lanskap dapat bersifat sangat kecil. Genangan (embung)
atau kubangan di dalam hamparan kebun sawit/HTI (tidak dapat terdeteksi dengan remote
sensing), bagi herpetofauna adalah merupakan patch, habitat yang cocok untuk
berkembang biak. Sehingga menjaga dan menambah patch tersebut akan mendukung
upaya konservasi species tsb.
2.2. Pemantauan Lanskap
a) Pemantauan struktur lanskap dengan menggunakan citra satelit
Struktur lanskap dapat dipantau dengan menggunakan data citra satelit dengan berbagai
pilihan tingkat ketelitian. Pemantauan struktur lanskap ditujukan pada keutuhan struktur
secara periodik (2-3 tahun sekali).
b) Pemantauan fungsi lanskap
Fungsi lanskap tidak dapat dideteksi dengan menggunakan data citra, tetapi dengan
melakukan inventarisasi keanekaragaman hayati di unit menagemen.
Hal | 195
Daftar Bacaan
Deshaye, Jean dan P. Morisset. 1989, Species-area Relationships and the SLOSS Effect
in Subartic Archipheago. Biological Conservation 48 (1989) : 265-276
Diamond (1975)
Forman & Godron. 1989. Landscape Ecology.
Laurance, WF. 1991. Edge Effects in Tropical Forest Fragments: Application of a Model for
the Design of Nature Reserves. Biological Conservation 57 (1991): 205-219
Lovejoy et al. (1986)
McArthur & Wilson (1963).
Saunders, S.C., J.Chen, T. D. Drummer and T. R. Crow. 1999. Modeling temperature
gradients across edges over time in a managed landscape. Forest Ecology & Management,
117 (1999) : 17-31