16
1 WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

Warta FKKM Edisi April 2006

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Mimpi 3 juta hektar, Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan jalan lambatnya spt siput .. Gagalkah program ini ?

Citation preview

Page 1: Warta FKKM Edisi April 2006

1WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

Page 2: Warta FKKM Edisi April 2006

2 WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

Pemimpin UmumDidik Suharjito

Pemimpin RedaksiMuayat Ali Muhshi

Dewan RedaksiHaryadi HimawanArief BudimantaBestari RadenNana SuparnaSih YuniatiSaid Awad

RedakturMuhammad AS

Tata LetakMuhammad AS

SirkulasiTotok Sadianto

Alamat RedaksiJl. Cisangkui Blok B VI No. 1Bogor Baru, Bogor 16152Telp./Fax. (0251) 323090,E-mail: [email protected]

[email protected]

http:// www.kehutananmasyarakat.com www.fkkm.org

w.a.r.t.a. fkkm. Diterbitkan oleh ForumKomunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), sebagaimedia informasi dan komunikasi antar anggota jaringan,serta masyarakat kehutanan maupun non kehutananyang berminat terhadap masalah-masalah kehutananmasyarakat dan perubahan kebijakan kehutanan In-donesia. Redaksi mengundang para ahli, praktisi danpemerhati untuk menulis secara bebas, kreatif, sambilberkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan tidakselalu mencerminkan pendapat dan visi penerbit.Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tulisanyang akan dimuat, tanpa mengubah maksud dan isinya.Kontribusi naskah atau tulisan dapat dikirimkan kealamat redaksi melalui pos atau email.

FORUM KOMUNIKASI KEHUTANAN MASYARAKAT

Volume 9 Nomor 04, April 2006ISSN : 1410-8550

WARTA

Pembaca yang budiman,

Hingar-bingar Gerakan Rehabilitasi Hutan (GERHAN/GN-RHL) muncul lagi. Lama tak bersua, isu ini kembali mencuatdi berbagai media massa. Seperti biasa, banyak yang bilanggerakan ini gagal.

Gerhan pun didera isu korupsi. Menurut kabar beberapa orangsudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)Dugaan bahwa proyek yang melibatkan uang trilunan ini telahdimanfaatkan untuk kepentingan segelintir orang memangsudah kerap didengar, tapi gelagatnya tak pernah kelihatan.Kita berharap KPK bisa mengusut tuntas korupsi dalamproyek Gerhan ini.

Untuk meramaikan konstelasi GERHAN, edisi ini kamimenggakat isu tersebut. Kami ambil dari sisi kebijakan danbagaimana implementasinya di lapangan. Koresponden kamidari Greenpress menyumbangkan laporan pelaksanaanGerhan dari pedalaman Sulawesi Tenggara.

Selamat membaca.�

Redaksi

Dari Kami

Page 3: Warta FKKM Edisi April 2006

3WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

GERHAN Gagal?OLEH MUHAMMAD AS

BETUL. Hutan Indonesia perlu direhabilitasi. Tapibagaimana? Jika kita percaya pada data, laju kerusakanhutan kita 3,6 kali lebih cepat daripada laju rehabilitasi.Itu artinya kita tanam pohon sampai boyok pegal-pegalsekalipun tak akan mampu menyalip laju kerusakan hutanyang mencapai 2,83 juta hektar per tahun itu.

Bukannya kami tidak setuju dengan rehabilitasi. Kamitetap sepakat itu. Rehabilitasi adalah keharusan. Tak adacara lain selain mengembalikan hutan kita yang sudahgundul itu seperti sedia kala dengan caramenghijaukannya kembali. Yang membuat kami herankenapa langkah ini tak pernah berhasil. Padahal kalaupunhutan ditebang, bila kemudian dibiarkan, secara alamisaja di areal tersebut akan tumbuh tanaman kembali.Tentu saja jika tak diganggu.

Dulu di tahun 1960-an pemerintah pernahmeluncurkan program penghijauan. Kemudian pada 1970muncul program INPRES penghijauan dan reboisasi.Sekarang ada Program Gerakan Rehabilitasi Hutan danLahan (GERHAN/GN-RHL). Tapi lihatlah apa yangsudah dicapai? Tiga juta hektar dari target Gerhanmisalnya realisasinya masih jauh dari memuaskan. Dibeberapa propinsi, tingkat keberhasilannya tak sampai10 persen. Tingkat degradasi hutan pun terus meningkat.Tahun 2002 misalnya, degredasi hutan mencapai 59,7juta hektar, sementara lahan kritis di dalam dan sekitarhutan telah mencapai 42,1 juta hektar.

Lalu apa yang salah dengan program-programtersebut? Macam-macam yang jadi alasan, dari lokasipenananan yang tidak bener lah, bibit yang tidak baguslah,seretnya biaya, kurangnya koordinasi, konflik lahan,hingga yang paling menyakitkan : duit program inidikorupsi. Sudah jamak didengar kepala proyekGERHAN tiba-tiba beli mobil gress setelah proyekselesai.

Temuan Indonesia Cooruption Watch (ICW) danGreenomics menunjukkan setidaknya ada 15 titik dugaanpotensi KKN dalam pengggaran GERHAN. DugaanKKN sudah mulai tercium sejak penentuan lokasiGERHAN sampai urusan persetujuan anggaran denganDPR. Karena dikorupsi, anggaran yang sampai ketingkat lapangan pun jadi seret dan seringkali terlambatdatang. Implikasinya jadi berabe : penyusunan RTTjadi amburadul, kualitas bibit jelek, salah pilih bibit, telat

nanam, tanaman pun jadi layu dan akhirnya mati.Maka upaya pemerintah untuk melakukan audit

penganggaran dan penggunaan Dana Reboisasi yangdigunakan untuk kegiatan GERHAN pantaslah dilakukan.Audit ini perlu dilakukan terhadap semua lini departemenyang terkiat program tersebut secara proporsional.Auditor ini sebaiknya bukan hanya ditujukan kepadaDepartemen Kehutanan saja, sebab mekanisme anggarandan penentuan sasaran lokasi GERHAN tidak dilakukansecara independen oleh Departemen Kehutanan sendiri.Gerhan adalah kerja kroyokan antara Menko Kesra,Menko Perekonomian, dan Menko Polkam. Menko Kesrabertindak sebagai ketua GERHAN, yang kelompokkerjanya beranggotakan tujuh menteri departemen, duamenteri negara, serta Kapolri dan Panglima TNI.

Sistem pengelolaan hutan pun harus diperbaiki. Revisikebijakan pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia harussegera dilakukan jika kegiatan tersebut mau selamat.Revisi ini menyangkut bagaimana kita memperbaiki tatakelola hutan, pemanfaatann dan penggunaannya. Adayang bilang hutan Indonesia itu ibarat rumah yang belumpunya pintu, jendela, kunci, tapi sudah diisi barang-barangberharga.

Revisi juga perlu dilakukan terhadap kebijakanpenggunaan Dana Reboisasi, pedoman serta SK-SKmenteri terkait soal kegiatan GERHAN.

GERHAN adalah program bersama, koordinasi antarstakeholders mesti diperjelas. Jangan seperti sekarang,antar instansi seperti kehilangan arah kewenangan.Cukuplah pemerintah membuat pedoman umumsementara pemerintah propinsi menyiapkan petunjukpelaksanaannya, menyusun RTT dan mengawasipelakasaannya.

Hal penting lain yang perlu dilakukan adalahmelibatkan peran serta masyarakat. Ajak masyarakatmembuat usulan kegiatan seraya melibatkan mereka dalampenguatan kelembagaan dan penyusunan rancangan teknisdalam tiap kegiatan yang akan diikutinya. Ajak merekapula untuk mengindentifikasi lokasi-lokasi mana di sekitardaerahnya yang perlu direboisasi.

Dan masih banyak lagi yang perlu diperbaiki. GERHANsemoga saja nasibnya tidak sama dengan program penghijauansebelum-sebelumnya : cuma orientasi politik jangka pandekbelaka lagi menghambur-hamburkan uang negara. Dan targettiga juta hektar bukan sekedar mimpi belaka. �

Page 4: Warta FKKM Edisi April 2006

4 WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

OLEH : MUHAMMAD AS

Di Gedung Petani Center Institut PertanianBogor, Darori mencoba menjelaskansemuanya. Dia berbicara tenang bagaimanamenyelamatkan hutan indonesia dengan

sebuah gerakan moral menanam pohon :GerakanRehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL).

Sebagai Dirjen Rehablitasi Hutan dan PerhutananSosial (RLPS) Departemen Kehutanan, Darori memangbertugas menjawab pesoalan GN-RHL yang terusmendapat sorotan publik karena dinilai tak kunjungberhasil setelah berjalan lebih dari tiga tahun.

kerugiannya mencapai Rp 832,1milyar.

Di Pulau jawa nasibnya idem.Ancaman bencana alam hampirmerata di semua kabupatensepanjang tahun 1999-2003.Propinsi Jawa Tengah tercacatmemiliki rekor tertinggi terkenabanjir dan longsor dari seluruhpropinsi yang ada di Indonesia.

Secara nasional, data Bakornastahun 2005 mencatat antara tahun1999 sampai dengan Desember2004 terjadi 402 kali kejadian

banjir, 193 kali kebakaran, 294 kaliterjadi longsor, 58 kali terjadigempa bumi, 102 kali angggintopan, dan 82 kali terjadi konfliksosial.

Dan keadaan buruk itu harussegera dihentikan.

Tak mau nasibnya sepertisebelum-sebelumnya, GN-RHLdibuat agak beda. Program inimelibatkan banyak orang .D aripresiden, menteri, gubernur,walikota, LSM, mahasiswa, dosen,TNI, sampai petani di desa-desa. “Ini adalah gerakan moral,” kataDarori.

Mimpi Tiga Juta Hektar

FOTO

WAR

TA/ A

DIE

Sebetulnya, ini memang lagulama. Sebelum GN-RHL muncul,pada 1960-an pemerintah sudahpernah meluncurkan programserupa. Di tahun 1970 munculprogram INPRES penghijauan danreboisasi. Tapi kerusakan hutanjalan terus. Banjir, longsor, erosi,kekeringan malah jadi seringterjadi. Sampai tahun 2002misalnya, degredasi hutanmencapai 59,7 juta hektar,sementara lahan kritis di dalam dansekitar hutan telah mencapai 42,1juta hektar.

Di beberapa provinsi perubahanpenutupan hutan begitu cepat. DataWWF tahun 2003, menunjukkandi Propinsi Riau, perubahanpenutupan pada 1990 masih 63%,tapi di tahun 2002 angkanya anjlokjadi 39%. Diperkirakan pada 2005penutupan hutan di provinsitersebut tinggal 12 % saja.

Buntut dari perubahan itu, ditahun 2003 Riau dilanda banjir.Diperkirakan 105 Sekolah Dasar,7 Sekolah Menengah, 3 SMU dan99 Puskesmas di 5 kecamatanterendam banjir. Angka

Uang yang digelontorkanjumlahnya tak main-main, hinggamencapai triliunan rupih. Di tahunpertama saja, uang yang terkucurbuat program ini mencapai 1,2triliun. Tahun 2004 jumlahnyameningkat menjadi 1,7 Triliun, dantahun 2005 angkanya naik jadi duakali lipat, 2,8 triliun.

Hingga tahun 2007, pemerintahmenargetkan tiga juta hektar lahansudah direhabilitasi terutama padaDaerah Aliran Sungai (DAS)prioritas, dimana lokasi rawan

Page 5: Warta FKKM Edisi April 2006

5WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

bencana sering terjadi. Targetsasarannya adalah 100,7 juta hektaryang terdiri dari 59,2 juta hektar didalam kawasan hutan dan 41,5 jutahektar di luar kawasan.

Setelah tiga tahun berjalan,pemerintah menyebut program iniberjalan suskes. Tapi tak sedikityang mengatakan program denganbiaya triliunan rupiah ini justrugagal.

Data Departemen Kehutananmenyebutkan, pada 2003 realisasitananam telah mencapai 295.455hektar atau 98 % dari target300.000 hektar. Pada 2004,realisasinya mencapai 430.628 jutahektar atau 86% dari target 500ribu hektar.

Betukah? Mari kita lihatfaktanya. Di Jawa Barat, BP DASCimanuk-Citaduy melaporkan,pada 2003 pengadaan bibit hanyamencapai 14%, sementarapenanaman hanya mencapai kurangdari 5 %.

Di Kalteng kecepatandeforestasi sekitar 200.000 hektar

per tahun, sementara kemampuanreboisasi pemda hanya 100.000hektar per tahun.

Di Kaltim, reboisasi kawasanhutan dengan Dana AlokasiKhusus Dana Reboisasi (DAK-DR)untuk kawasan 89.947,88 hektarpada 2002-2004 jauh lebih kecildaripada nilai laju deforestasi350.000-500.000 ha per tahun.

Pakar kehutanan HariadiKartodiharjo bahkan berani bilangGN-RHL secara konsep maupunteknis sudah dan akan terusmengalami kegagalan.

Hariadi berani mengatakan itusetelah dia jalan-jalan ke sejumlahdaerah untuk menilai program ini.Di Riau misalnya, dia menemukanparadoks antara konsep di tingkatpusat dengan kenyataan dilapangan. Dia membuat pemetaanmasalah yang dihadapi GNRHL diseluruh kabupaten.kota di Riau atastiga aspek : perencanaan,pembinaan dan pengedalianpenerimaan, pembinaan danpengendalian penggunaan.

Mimpi Tiga Juga Hektar

Hasilnya, pelaksanaan RHL-DAKDR punya masalah dalampersoalan perencanaan, pembinaan,prasyarat pengelolaan hutan dankeuangan. Di seluruh kabupaten/kota mereka punya masalahdengan data dan informsi, waktupembuatan rancangan, sosialasi,kepastian kawasan, satuan harga,dan dana pendamping.

“Sebaiknya program tersebutditunda sebelum evaluasi dan revisikebijakan dilakukan,”katanya.

Yang dimaksud revisi kebijakanmenurut Hariadi adalah Revisi PP 35tahun 2002 tentang dana reboisasi,revisi PP 34/2002 tentang tata hutan,pemanfaatan dan penggunaan hutanterkait dengan kesatuan pengelolaanhutan yang menjadi prasarat investasikehutanan mapun revisi SK-SKmenteri terkait. Hariadi mengatakanrehabilitasi hutan dan lahan tanpaadanya pengelolaan hutan yang benartak ada gunanya. “ ni sepertimeletakkan barang berharga dipinggir jalan,” ucapnya. �

(KOMPAS. MIOL)

FOTO

WAR

TA/ M

UH

AMM

AD A

S

Page 6: Warta FKKM Edisi April 2006

6 WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

Dari Selatan Untuk Selatan

GERHAN itu“Mahluk” Apa Ya...

FOTO WARTA

Masyarakat di Kecamatan Tampo Muna, SulawesiTenggara tak tahu banyak soal GERHAN. Mereka takutmenanam jati pilihan pemerintah.

OLEH : MARWAN AZIZ

GERHAN ITU sejenis “mahluk” apa ya?”. Itukata La Kontu, seorang petani di sebuahrumah sederhana tapi bahan bangunannyasemuanya terbuat dari kayu jati.

Setelah sebelumnya pelaksanaan Proyek GerakanRehabilitasi Lahan dan Hutan (GERHAN/GN-RHL)tahun 2004-2005 sempat tertunda karena alasanadministrasi dan birokrasi, kini proyek yang rencananyaakan diimplementasikan tahun ini kembali mendapatkantantangan dari berbagai kelompok masyarakat. DiKecamatan Tampo Muna tepatnya di Kelurahan Tampodan Napabano, masyarakat enggan terlibat dalam proyektersebut terutama pada proses penanaman tanaman jati.

Menurut sejumlah wargakengganan tersebut bukan lantaranmereka menolak proyek GN-RHLtapi karena proses sosialisasi GN-RHL yang menurut mereka tidakjelas. Dari soal apa itu GN-RHL,proses penanaman, sampai dengankewenangan warga terhadap hasiltanaman GN-RHL. Akibatnyawarga tampak kebingungan dantampak ketakutan terhadap proyekGN-RHL. Apalagi jati merupakansatu-satunya tanaman yang dipilihdalam proyek GN-RHL diKabupaten Muna.

Pemilihan tanaman jati atauTectona grandis.L itumenimbulkan traumatik bagisebagian masyarakat Munakhususnya yang berdomisili danberkebun di sekitar hutan produksidi Tampo. “Hutan jati disini sudahdihabiskan, lantas kami disuruhtanam lagi yang nikmati hasil nantisiapa,”keluh Sarjono WargaTampo pada sejumlah aktifis GreenPress yang menemuinya dikebunnya.

Warga masih ingat betulkejadian penggusuran masyarakatKontu yang diwarnai aksikekesaran oleh Pemda Muna yangmengklaim daerah Kontu sebagaikawasan hutan lindung. Dulumasyarakat menanam jati di situ.Setelah besar dan berdiri megah,

Page 7: Warta FKKM Edisi April 2006

7WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

pemerintah mengambil alih.Kejadian itu jadi momok yangmenakutkan bagi warga KelurahanNapabalono dan Tampo ketikaharus menanam jati.

“Jangan-jangan kalau tegakanjati sudah besar, kami tak bisa lagiberkebun karena kebun kami akandiklaim lagi sebagai kawasan hutanyang tak boleh kami sentuh,”kataLa Kontu.

Sejumlah kalanganmemproyeksikan kejadian Kontubakal terulang di KecamatanNapabalono yang juga terpilihsebagai lokasi proyek GN-RHL.Mengingat Kontu dan Napabalonomemiliki berbagai kesamaan. ApalagiPemda Muna yang masih melihatmasyarakat sebagai sumber masalahdari hancurnya hutan jati Muna,masyarakat belum dilirik sebagaipartner pemerintah dalam menjagadan melestarikan hutan, ditambahdengan karakter pemda Muna yanglebih mengedapankan pendekatankekerasan daripada tindakanpersuasif terhadap warganya sendiri.

Selain itu pemda juga takmemikirkan penyangga kebutuhanhidup masyarakat sehari-hari yangtelah memberdayakan bekas lahanhutan jati yang telah gundul akibatmaraknya tindak illegal loggingdengan menanam berbagai jenistanaman pangan atau lebih dikenalsebagai agroforestry. Di lahantersebut, warga menanam berbagaijenis tanaman jangka pendek danjangka panjang (tumpang sari)yang selama ini menjadi penopangkelangsung hidup masyarakatMuna seperti ubi kayu, jagung danjambu mete serta kakao.

Dari hasil budidaya pertaniantersebut warga Napabalano danTampo setidaknya mampumemenuhi kebutuhan hari-harinyatak tergantung pada beras yang kiniharganya makin mahal dan takterjangkau.

“Satu hari saya biasa panen ubienam karung, sebagian saya pakai

untuk bahan makanan dan sebagianlagi kami jual ke luardaerah,”ungkap La Ode Kadimusalah seorang warga Napabalono.

Sayang, inisiatif warga takmendapatkan dukunganPemerintah Kabupaten (Pemkab)Muna, bahkan pemkab Muna saatini hanya mengedepankan proyekjatinisasi melalui proyek GN-RHLtanpa melihat inisiatif lokal yangmulai tumbuh di masyarakat.

GN-RHL MUNA dimulai

pada Desember 2004. Awalnyaada sosialisasi oleh Dishut Muna.Sarjono dan kawan-kawannyayang telah lama memanfaatkanlahan areal hutan produksi yangtelah gundul diundang untukmenghadiri acara tersebut. Saat ituDishut Muna berjanji akanmembuat kesepakatan kerjasamaantara masyarakat dengan instansiterkait, mulai dari mekanismesampai pembagian hasil bila proyekGN-RHL terlaksana.

Dari situ, Sarjono dan kawan-kawannya lalu menindaklanjuti.Mereka membentuk kelompok danmemilih ketua-ketua kelompoksecara partisiapatif. Ada sepuluhkelompok GN-RHL yangterbentuk di dua kelurahan Tampodan Napabalano.

Saat memasuki implementasitahapan penyaluran bibit jati proyekGN-RHL pada awal maret lalu,mulailah terjadi polemik. Pasalnyatanpa sepengetahuan mereka, bibitjati sudah disalurkan kepada orangyang tidak dikenal dalam kelompokyang sudah dibentuk sebelumnya.

“Kami tidak mengerti kenapaada orang yang mengaku ketua

GERHANbukanrehabilitasilahan, tapigerakanhancur-hancuran,”kata La OdeAbidin

Mimpi Tiga Juga Hektar

Page 8: Warta FKKM Edisi April 2006

8 WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

kelompok tani GN-RHL yangbukan dari pilihan warga,” ungkapSarjono.

Kelompok Sarjono protes.Mereka lalu mengirim surat kepadaPlh Unit Pelakasana Tehnis Daerah(UPTD) Muna Utara I. Suratnyaditembuskan kepada Dishut KabMuna. Kelompok Sarjonomempertanyakan keberadaan ketuakelompok yang tidak dipilih secaramusyawarah itu dan kejelasanSurat Perjanjian Kerjasama(SPKS) yang dijanjikan pemerintahsaat sosialisasi lalu.

Malang, surat merekabukannya mendapatkan jawaban,Plh Ka Unit Pelaksana TehnisDaerah (UPTD) Muna Utara Imalah mengeluarkan surat perintahpenanam kepada mereka. Surattersebut dinilai Sarjono cs bernadaancaman.

“Surat itu berbunyi apabilasampai hari minggu tanggal 12Maret 2006 saudara belummelakukan penanaman akanmelakukan penanaman sendiri padalokasi,” tutur Sarjono sambilmemperlihatkan surat yangditandatangani oleh La Iji Plh KaUPTD Muna Utara I tertanggal 6Maret.

Sarjono dan beberapa ketuakelompok tani lainnya bukannyamenolak proyek GN-RHL.Sarjono Cs hanya meminta tiga hal.Pertama, Pemda Muna perlumemperhatikan bahwa masihbanyak lahan gundul yang belumdiolah yang bisa dijadikan lokasipelaksanaan GN-RHL. Kedua,pemerintah Muna tak melarangmasyarakat membuka areal seluas250 hektar di dua Kelurahan Tampodan Napabalano yang sejak tigatahun terakhir telah dimanfaatkanuntuk menanam tanaman jangkapendek sebagai penyanggakehidupan mereka sehari-hari.Ketiga, apabila proyek GN-RHLtetap akan dilaksanakan,pemerintah diminta menerbitkanSPKS-nya dulu.

Mereka juga memintakejelasan sikap pemerintah yangtiba-tiba menunjuk ketua kelompokyang bukan hasil musyawarahanggota kelompok.

“Bukannya kami menolak, tapikeinginan kami itu harus dijawabdulu oleh pemerintah,” ungkapSarjono yang diamini oleh La Kontudan La Ode Talibo. Sarjono dan LaKontu keduanya adalah ketuakelompok tani.

Sementara itu, La Ode AbidinKetua Kelompok Makmur yangditemui di lahan petak dua tidakjauh dari lokasi penyaluran bibityang telah didrop oleh pihak PTDaka, membenarkan jika dirinyamemang ditunjuk bukan olehanggota kelompok, “sebenarnyasaya tidak ditunjuk langsung olehpetani,” ungkap lelaki kelahiranTampo 52 tahun lalu.

La Ode Abidin ditunjuklangsung oleh pimpinan proyekGN-RHL Muna. Sayang dia lupasiapa nama yang menunjuknya“Tidak tau siapa namanya, tapi sayadipanggil di kantor kelurahan danketemu beberapa orang lalu sayaditunjuk sebagai ketua,” jelas lelakiyang mengaku baru setahunmembuka lahan pertanian diTampo. Sebelumnya ia membukalahan di Dolo tak jauh dari Tampo.

Di Kelurahan Napabalano,tumpukan bibit jati dalam wadahpolibeg sudah mengering dan tidakteratur bahkan sudah ada yang matinamun tak kunjung ditanam.Hanya La Ode Abidin seorang diriyang menerima bibit jati itu,sementara kelompok lain ogahmenerima.

“Saya bertanggungjawab hanyauntuk petak dua sebagaipertanggujawaban sebanyak tigapuluh ribu duaratus lima puluhanakan,” rinci La Ode Abidin,sambil menjelaskan dalam satupetak beranggotakan 25-30 orangberdasarkan aturan yang pernahdibacanya.

Sejak bibit jati didrop duaminggu yang lalu, kata La OdeAbidin, baru satu orangmasyarakat yang menanan di lahanseluas 25 are. Sementara anggaranpenanam sudah diterimanyasebesar Rp 51.250.000 melaluirekening bank atas nama dirinyasebagai ketua kelompok. Uang itusaat ini sudah dibagikan kepadaanggota kelompoknya, masing-masing orang mendapat 850 ribu.

Untuk membuktikan jika bibitjati sudah ditanam, La Ode Abidinimenunjuk lahan Wa Ode Eteseluas 25 are. Dilahan garapan WaOde Ete, bibit jati setinggi 30 cmitu ditanam dengan jarak 3 meterdisela pohon jagung yang baruberumur dua minggu.

Wa Ode Ete menuturkan jikadirinya sama sekali tidak mengertitentang kegiatan kelompok, iabahkan tidak pernah mengikutisosialisasi proyek GN-RHL. Iahanya dikasih uang sebesar Rp 50ribu untuk menanam bibit . “Sayatidak tau itu kelompok, saya hanyaikut saja kata orang,” tutur jandaberanak dua ini dengan raut wajahpucat.

Sementara Kepala PelaksanaHarian KUPTD Muna Utara 1 LaIji, saat ditemui dikediamannya,membenarkan surat perintahpenanaman jati kepada para ketuakelompok. Alasannya sebab bibitjati sudah didatangkan di lokasiGN-RHL.

Menyinggung soal adanya duaketua kelompok dalam satu petak,La Iji mengatakan sama sekali tidakmengetahui proses pembentukan,sebab dirinya baru saja ditugaskandi Tampo, “Saya datang ketuakelompok sudah ada,” terangnya.Namun ia pernah menyarankankepada seorang ketua kelompokuntuk kembali bermusyawarah tapihasilnya tidak pernah diterimanya.

Saat ditanya berapa jumlah jatiyang telah diterima dilokasi GN-RHL, lelaki asli Tampo itu

Page 9: Warta FKKM Edisi April 2006

9WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

mengungkapkan belum menerimalaporan, “Selama ini saya belummenerima laporan dari ketuakelompok berapa banyak bibit yangmereka terima, seharusnya merekakasitau saya,” ungkap La Iji serayamenambahkan dirinya hanyamengetahui jika satu hektarselayaknya menerima 1.100 anakanbibit.

Kepala Dinas KehutananKabupaten Muna La Ode KardiniSE saat ditemui terpisah di KotaMuna mengaku sudah mengetahuipersis penolakan masyarakatTampo terhadap proyek GN-RHLtersebut.

Namun menurutnya, semuaakan tetap dilakukan berdasarkanpetunjuk teknis (juknis) danpetunjuk pelaksanaan (Juklak) daripusat. Disitulah peran mereka. Meski demikian, Ia sempatmembuat akronim dari GERHANitu,” Sebetulnya GERHAN bukanrehabilitasi lahan, tapi gerakanhancur-hancuran,” kata La OdeKardini.

Menurutnya model GN-RHLsangat tidak bagus, sebabdipisahkan antara pengadaaan bibitdan proses penanamannya.“Pengadaan bibit dilakukan olehprovinsi dan penanamannya dikabupaten. Proses penanamantertunda atau ada yang bermasalah,tingkat dua yang disalahkan. Potensi kegagalan sangat besar,”katanya.

Kardini mencontohkan, bila dilokasi penanaman sudah siap,namun bibit dari provinsi belumjuga datang, maka ketika musimkemarau tiba potensi kegagalannyaakan sangat besar. “Sekarang tibamusim kemarau, saya tanam mati,tidak tanam juga mati, yangbertanggungjawab itu tingkat II,”keluhnya sambil mencontohkan jikaproyek GN-RHL tahun 2005bibitnya belum datang. Bibit yangtersalur di Kabupaten Muna saat iniadalah proyek tahun 2004 lalu.

Dia melanjutkan jika prosespenanaman tertunda maka yangakan disalahkan adalah pemerintahkabupaten tingkat II bukanprovinsi, “makanya banyak pihakyang menentang proyek GN-RHLini termasuk DPR RI dan kalanganperguruan tinggi.”

Batasan yang dilakukaninstansinya, hanyalah pada levelpengawasan untuk pembentukankelompok dan penyiapan lahan. Pemerintah kecamatan dankelurahan setempat punmempunyai peran. Bahkan TNIdilibatkan dalam melakukanmonitoring sebab ada anggaranuntuk itu yang disediakan langsungdari pusat.

Menyinggung pelaksanaan GN-RHL di Tampo terkait adanya duaorang ketua kelompok pada satupetak, Kadishut Muna malahmenuduh kelompok Sarjono cssebagai kelompok tandingan yangsengaja tidak mau menyukseskanproyek GN-RHL, “Ada yangkeluar jadi ya diganti saja,” katanyadengan nada tinggi.

Menurutnya, kelompok LaKontu cs sudah beberapa kalidiundang rapat, namun takmenghadiri sehingga demikesuksesan proyek GN-RHLpihaknya mengganti ketuakelompok yang telahmengundurkan diri.

Soal dana penanaman, Kardinimengaku sama sekali tidak tahusebab pencairannya langsung kerekening ketua kelompokpenanaman. “Kalau yang seperti itukami juga kurang apa. Kamiundang, mereka tidak datang.Masyarakat minta sosialisasi lagi,kami lakukan. Bahkan bersamaDPRD dan kejaksaan tapi tidakhadir juga. Bagaimana ceritanyaitu. Mereka tidak menghargaikami,” katanya dengan nada tanya,didampingi beberapa stafnya danKapolres Muna.

Ia menuturkan, semua prosessudah jelas. Dari penanamanhingga fase panen, bahkan draftPerda untuk bagi hasil tanaman jatiGN-RHL nanti sementara digodokdi DPRD Muna. Tiga opsi untukbesaran presentase pembagianmasih dibahas. “Yang berkembangini adalah apakah 30 :70, 40:60atau 50:50, yang pasti hakmasyarakat lebih besar, tapikecenderungan kami, yang lebihbesar untuk masyarakat. Kesimpulannya, tidak adapemerintah yang akanmenyengsarakan rakyatnya,” tegasKardini lagi.

Menyangkut permintaan petanidi Tampo agar pemerintahsebaiknya menghijaukan lahanlainnya sebelum menanami kebunmereka. Kardini mengatakan soallokasi itu telah dipetakan dan sesuaipetunjuk teknis serta jumlahanggaran. Soal penolakan petaniuntuk melakukan penanaman. Kadishut menegaskan semua adaaturan yang jelas. Proses hukumbagi yang melakukan penghalanganterhadap proyek pemerintah akandiberlakukan.

Mengenai alokasi dana GN-RHL, pihaknya sama sekali tidakmengetahui sebab anggaran tidaklewat tingkat II, “Saya tidak tauberapa anggarannya,” katanyasambil menambahkan jika plotanggaran untuk setiap kelompokjuga langsung dari pusat, melaluibank yang akan dikirimkan kepadapara ketua kelompok.

Namun dirinya tidak mengertimengapa petunjuk pelaksanaan(juklak) mensyaratkan ketuakelompok yang memegang uang,“Tapi dalam juklak peluncuran danaitu bukan lewat bendahara, tapilewat ketua kelompok, ini kan adapelanggaran asas,” tutur alumniUniversitas Sulawesi Tenggara(Unsultra) itu, sambil menyalahkansi pembuat juklak. �

Mimpi Tiga Juga Hektar

Page 10: Warta FKKM Edisi April 2006

10 WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

OLEH: YULI NUGRHOHO

Masyarakat Lokal, KelasMenengah, dan PolitikKonservasi Thailand

Kelas menengah Thailand sangat besarpengaruhnya dalam mewarnai kehidupanpolitik di Thailand. Hal ini bisa dilihat dari

besarnya pengaruh mereka, terutama kelas menengahperkotaan (Bangkok), dalam mengkonstruksi wacanapolitik. Namun sayangnya, tidak semua wacana yangdireproduksi kelas menengah merupakan masalahmendasar yang benar-benar dihadapi rakyat Thailand.

Jika demikian, bagaimana permasalahan mendasardan keseharian rakyat bisa diangkat menjadi wacanabersama secara nasional? Kasus Community ForestryBill (CFB) mungkin bisa menjadi contoh dimanamasyarakat lokal dan berbagai komponen masyarakatsipil yang lain, melakukan berbagai upaya (politik)menjadikan isu hak masyarakat untuk tinggal dalamareal hutan sebagai wacana nasional selama lebih dari10 tahun.

Dua kelompokPada tahun 1991 Departemen Kehutanan Thailand

mengajukan draft CFB, yang antara lain ingin mengaturketerlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan.Pengaturan ini penting mengingat kebijakan kehutanannasional tahun 1985 menargetkan luas hutan tetapsebesar 40% dari total luas negara, yang terdiri atas15% hutan produksi dan 25% hutan atau kawasankonservasi.

Pencapaian target luas hutan tetap inilah yangdikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan karenamenyangkut keberadaan masyarakat lokal dan lahanpertaniannya yang sudah ada jauh sebelum arealtersebut (akan) ditetapkan menjadi hutan tetap negara.Catatan Departemen Pertanian dan Koperasi Thailandmenunjukkan pada tahun 1998 setidaknya ada 3 jutaorang yang menempati 16,5 juta hektar calon arealhutan lindung dan atau lahan publik yang lain.

Sosialisasi dan konsultasi publik draft CFB segerasaja membuat masyarakat Thailand terbagi menjadi 2kelompok, yaitu antara yang setuju dengan yang tidak

setuju terhadap keberadaan masyarakat lokal dalamareal hutan. Kelompok yang setuju berpendapat bahwamasyarakat lokal berhak untuk tetap tinggal di dalamhutan, mengingat keberadaan mereka sudah ada jauhsebelum areal tersebut ditetapkan menjadi hutannegara. Apalagi terbukti selama ini, dengankearifannya, mereka mampu mengelola hutan secaralestari. Hal ini bisa dilihat setidaknya pada 8.000kelompok masyarakat yang berhasil mengelola arealhutan secara berkelanjutan.

Dalam pada itu, kelompok yang tidak setuju dengankeberadaan masyarakat dalam areal hutan (kelompokkonservasionis) berpendapat bahwa melegalkankeberadaan mereka hanya akan menjadi preseden bagikehadiran kelompok masyarakat yang lain, yang padaakhirnya akan mengancam kelestarian hutan. Apalagisebagian besar hutan lindung merupakan wilayahdengan tingkat kelerangan yang tinggi, sertamerupakan kawasan perlindungan sumber mata air.Kelompok ini khawatir dengan terulangnya bencanabanjir besar sebagaimana terjadi pada tahun 1998,yang diyakini sebagai akibat rusaknya kawasan hutandi wilayah utara Thailand, tempat dimana sebagianbesar kelompok masyarakat pengelola hutan berada.

Pro dan kontra inilah yang menyebabkan Parlementidak bisa segera mengesahkan draft CFB tersebut.Disamping juga disebabkan oleh beberapa kaliParlemen dibekukan, serta beragamnya draft CFByang beredar dan diajukan ke Parlemen. Sampaidengan tahun 2000 setidaknya terdapat 5 draft CFB,yaitu versi pemerintah (Departemen Kehutanan), 3versi dari 3 partai politik yang berbeda, dan versimasyarakat.

Patut dicatat di sini keberhasilan masyarakatmengajukan draft CFB versi mereka pada tanggal 1Maret 2000 bersama dengan dukungan 52.698 tandatangan, yang merupakan pertama kalinya dalamsejarah konstitusi di Thailand. Konstitusi tahun 1997memang memungkinkan masyarakat dengan

KolomK

olo

m

Page 11: Warta FKKM Edisi April 2006

11WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

dukungan minimal 50.000 tanda tangan untukmengajukan sebuah peraturan atau perundangan keParlemen.

Meskipun akhirnya Parlemen menyetujui draft CFBversi pemerintah pada bulan November 2000,masyarakat lokal bisa menerima karena sudah banyakmengakomodir kepentingan mereka termasuk hakmereka untuk tinggal dan mengelola kawasan hutanlindung. Namun demikian kegembiraan masyarakatlokal tidak berlangsung lama, karena persetujuanParlemen ini dibatalkan oleh Senat pada bulan Maret2001, atas lobi kelompok konservasionis.

Pembatalan oleh Senat semakin menguatkanperbedaan pandangan antara 2 kelompok yang prodan kontra. Dalam bahasa Pinkaew Laungaramsri(Daniel, 2002), seorang antropolog dari UniversitasChiang Mai, perbedaan antara 2 kelompok sudahmencerminkan perbedaan dan konflik kelas antaramasyarakat kelas bawah (pedesaan) yang hidupnyatergantung pada sumberdaya hutan denganmasyarakat kelas menengah (elite perkotaan) yangingin melestarikan hutan tanpa gangguan masyarakatdi dalamnya.

Modal Sosial dan PolitikKeberhasilan masyarakat lokal mengangkat

kepentingan dan hak mereka untuk tinggal di kawasanhutan menjadi wacana nasional selama lebih dari 10tahun tidak terlepas dari solidnya mereka (yang terdiridari berbagai etnis) menyatukan diri dalam berbagaiorganisasi rakyat dan aliansi/jaringan diantara mereka.Keberhasilan mereka mengumpulkan 50.000 lebihtanda tangan untuk mendukung draft CFB versi merekabisa menjadi contoh bagaimana rapinya merekamengorganisir diri. Dukungan aktor lain di luarmasyarakat lokal juga patut dicatat di sini, khususnyadari kalangan LSM dan akademisi.

Solidnya organisasi rakyat dan eratnya jalinankerjasama dengan kalangan LSM dan akademis telahmenjadi modal sosial bagi mereka, khususnya dalamberhadapan dengan kelas menengah perkotaan sebagaiinti kelompok konservasionis. Meskipun kelompokkonservasionis jumlahnya lebih sedikit tetapi merekamempunyai akses politik yang lebih baik ke pusat-pusat kekuasan, seperti Senat dan birokrasi pemerintah.Hal ini terbukti dari keberhasilan mereka melobi Senatuntuk membatalkan keputusan Parlemen yang telahmenyetujui draft CFB versi pemerintah.

Modal sosial yang kuat inilah yang kemudianbanyak membantu kerja-kerja politik dalammengangkat isu hak masyarakat untuk tinggal di dalamkawasan hutan menjadi wacana nasional. Berbagaikerja politik telah dilakukan oleh masyarakat lokal

dengan dukungan LSM dan akademisi, diantaranya:mobilisasi suara pemilih, partisipasi langsung dalamproses legislasi, protes/demonstrasi, lobi, membangunwacana, dan mempengaruhi negara donor (ReginaBirner dan Heidi Wittmer, 2003).

Mobilisasi suara menjelang pemilihan umum untukditukar dengan dukungan partai politik, partisipasilangsung dalam proses legislasi melalui penggalangandukungan tanda tangan, dan protes atau demonstrasike Parlemen merupakan upaya politik yang dilakukankhususnya oleh masyarakat lokal dan LSM. Upayaini membutuhkan dukungan logistik yang tidak sedikitmengingat sebagian besar masyarakat lokal bertempattinggal di pegunungan di Thailand utara. Patut dicatatdi sini tingginya komitmen masyarakat lokal dalammemperjuangkan aspirasi mereka, sehingga merekarela berkorban meninggalkan keluarga dan lahanpertanian selama berbulan-bulan ke Bangkok. Bahkanpernah terjadi demonstrasi dilakukan dengan cara jalankaki dari Chiang Mai menuju Bangkok sejauh ratusankilometer.

Sedangkan upaya politik lain, seperti lobi ke politisidan birokrat, membangun wacana, dan mempengaruhinegara donor banyak dilakukan oleh LSM danakademisi. Keterlibatan kaum akademisi dipandangpenting mengingat status sosial mereka sebagai“aajaan” (guru) yang membuat pendapat dan opinimereka didengar oleh masyarakat luas. Terlebihmereka bersedia mengorbankan waktu dan tenaganyamenjadi “konsultan” sukarela bagi gerakan masyarakatserta memproduksi wacana di media massa. Hal inidilakukan antara lain dengan mempolitisasi isu, denganmengkaitkan wacana CFB dengan isu hak asasimanusia dan diskriminasi etnis minoritas. Hal inidilakukan mengingat sebagian besar masyarakat lokaladalah etnis minoritas non Thai seperti Karen, Hmong,Akha, Lisu, dan sebagainya; yang mendapatkanperlakuan diskriminasi misalnya dengan tidakmendapatkan bukti kewarganegaraan Thailand.

Meskipun berbagai upaya politik sebagaimanatersebut di atas telah dilakukan, hingga sekarang CFBbelum disahkan oleh Parlemen. Namun demikianbanyak pihak beranggapan bahwa kelak bila CFBdisahkan akan mulus dalam penerapannya di lapangan.Hal ini disebabkan oleh semua perbedaan pandangantelah diperdebatan dan diwacanakan secara partisipatifselama lebih dari 10 tahun terakhir. �

Chiang Mai, 22 Maret 2006

Penulis adalah Direktur Eksekutif (non aktif)Yayasan Damar Yogyakarta. Fellow API/ NipponFoundation Program berafiliasi di RCSD Chiang

Mai University – Thailand.

Page 12: Warta FKKM Edisi April 2006

12 WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

KAKINYA terjerat

rantai. Ia takmampu duduk dan

berbaring. Dari tubuh besarnyaterlihat terbalut kulit dengan tulangbelulang menonjol. Pada beberapabagiannya terdapat luka. Mukanya

cekung, mungkin stres.

Diperkirakan sudah sepuluhhari gajah itu terikat di perkebunankaret masyarakat, Kelurahan BalaiRaja, Kecamatan Pinggir,Kabupaten Bengkalis. Semunyaberjumlah sepuluh ekor. Kesepuluhgajah itu adalah bagian daritujuhbelas gajah yang beberapaminggu sebelumnya masuk ke

perkampungan Balai Raja.

Pertengahan Februari lalu,kawanan gajah itu mengamuk.Tiga rumah warga, serta puluhanhektar tanaman perkebunan danpalawija rusak. Karena ketakutan,selama dua pekan wargamengungsi ke kantor kelurahan.

“Kami tidak mengira, jika gajahditangkap jadi begini, telantar dankurus kering. Kasihan,” ujar KetuaPosko Amuk Gajah Duri BertonPanjaitan.

Inilah konflik antara manusiadan gajah yang tak pernahdiperkirakan sebelumnya. Konflik

Gajah Vs ManusiaKonflik antara manusia dengan gajah terus terjadi di Riau.Banyak yang mati karena ditangkap.

kebun sawit di bekas hutanMahato, perbatasan Riau danSumatera Utara - diduga akibatdiracun - serta mengamuknya 17ekor gajah ke perkampunganpenduduk di desa Balai Raja, Duri,Kabupaten Bengkalis, Riau itu.

Kedua kasus ini ditengaraiterjadi akibat dibukanya hutan blokLibo - yang merupakan salah satu

habitat penting gajah Sumatra -menjadi pemukiman, perkebunandan HTI. Perusahaan pulp dankertas raksasa di area tersebut AsiaPulp and Paper (APP), misalnya,membeli kayu atau menebang diblok hutan ini.

“Semua konversi hutan alamharus segera dihentikan,” kata AdiSusmianto, Direktur Konservasi

ini telah berulangkali terjadi denganinsiden yang berakhir tragis. Sejaktahun 2000, 16 orang tewas dan45 ekor gajah mati baik karenadiracun atau ditembak dengansenjata rakitan.

Dalam dua pekan terakhir,sedikitnya dua insiden konflik gajahterjadi di Riau, yang berujung padamatinya enam ekor gajah di sebuah

FOTO

WW

F IN

DO

NES

IA/S

YAM

SUAR

DI

BeritaB

erita

Page 13: Warta FKKM Edisi April 2006

13WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

MUHAMMAD AS

Keragaman Hayati, Ditjen PHKA“Laju pengurangan hutan alam diRiau akibat konversi, baik karenapembalakan kayu, maupunperubahan peruntukan lahanmenjadi perkebunan danpemukiman, telah mengancamhabitat penting bagi satwadilindungi seperti gajah dan harimausumatera”.

Rumah bagi kedua satwadilindungi ini semakin menyusut.Dalam tujuh tahun terakhir,populasi gajah sumatera telahberkurang dari 700 ekor menjadi350 ekor saja.

Blouch and Simbolon TechnicalReport menyebutkan pada 1985populasi gajah sumatera di Riaumasih sekitar 1067 -1617 ekor disebelas kantung sebaran gajah, tapipada 1999 menurut laporanBKSDA Riau, populasinyamenurun drastis menjadi 709 ekordi 16 kantung pada 1999,

terungkap. Jika satwa dilindungitersebut mati, maka kematian akibatpenangkapan di Riau telahmencapai 73%.

Koordinator Program GajahRiau World Wide Fund for Nature(WWF), Nurcholis Fadlimengatakan untuk menyelamatkanGajah Sumatera di Riau tak adajalan lain selain menghentikankonversi hutan. “Kondisi gajah kinisangat kritis karena tidak lagimemiliki habitat,” katanya.

Habitat yang dimaksud adalahhutan alam yang menjadi tempattinggal hewan berbelalai ini, yangkondisinya telah rusak akibat izinkonversi hutan yang mengubahhutan alam menjadi hutan produksi.Hutan yang tadinya tempat tinggalgajah, kini dijadikan wilayahterbatas untuk Hak PengusahaanHutan (HPH), Izin PemanfaatanKayu, areal perkebunan tanamansejenis baik Hutan Tanaman

Industri (HTI) maupunperkebunan sawit, sertapemukiman penduduk.

Bagi organisasi konservasiseperti WWF, penangkapanadalah alternatif terakhir dalampengurangan konflik antaramanusia dan gajah.

Kini, sebagai upaya pemecahanmasalah konflik antara gajah danmanusia yang akhir-akhir ini marakterjadi di Provinsi Riau, DitjenPerlindungan Hutan danKonservasi Alam (PHKA)bersama WWF-Indonesia akansegera memberlakukan usulanProtokol Mitigasi Konflik Gajahyang telah lama dipersiapkan diRiau. �

Kami tidak mengira, jika gajah

ditangkap jadi begini, telantar dan

kurus kering. Kasihan

sementarapada 2003 hanya tinggalsekitar 353-431 di 15 kantung.Data terakhir dihimpun WWF danBKSDA Riau tahun 2004.

Penangkapan gajah kerap kalidilakukan sebagai satu-satunyacara menangani konflik manusiadengan gajah ini. Sekitar 201 gajahditangkap oleh pemerintahsetempat. Penangkapan yang tidakprofesional berulangkalimenyebabkan kematian gajah.

WWF Riau menyebut, 45 ekorgajah (22%) mati akibatpenangkapan tersebut. Sekitar 102ekor menghilang tanpa diketahuijejaknya setelah ditangkap. Adakemungkinan bahwa gajah-gajahtersebut juga telah mati walaupunkematiannya tidak pernah

FOTO WWF INDONESIA/SYAMSUARDI

Page 14: Warta FKKM Edisi April 2006

14 WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

0251-323090

PEMERINTAH menargetkansumbangan sektor kehutananpada 2014 bisa mencapai U$20 miliar. Untuk mencapainyapemerintah akan terusmengenjot pembangunanhutan tanaman industri.

Sampai dengan tahun 2010pemerintah menargetkan limajuta ha HTI sudah terbangun.Pada 2009 seluruh industripulp dan kertas hanya bolehmenggunakan bahan baku dariHTI.

Pada 1994, sektorkehutanan menyumbangkandevisa 9,6 miliar dolar ASTahun ini angkanya lebih kecil,

sektor ini baru mampumenyumbang $ 7,8 miliar sampai8 miliar dolar AS per tahun.

Apakah angka itu bisa dicapaiditengah luas kondisi hutanIndonesia yan terus menyusut?“Kenapa tidak bisa? Target 20miliar dolar AS pada 2014 bukanisapan jempol. Kita akan seriusmembenahi sektor kehutanan,”kata Menteri Kehutanan, MSKaban.

Luas kawasan hutanIndonesia tercatat tinggal sekitar120 juta hektare (ha). Dari jumlahitu, sebanyak 59 juta ha dalamkondisi rusak parah dan harussegera direhabilitasi. �

(SUARA PEMBAHARUAN)

2004 KehutananSumbang U$ 20 Juta

DUNIA internasional dimintamenolak kayu asal Indonesiameski kayu tersebut dilengkapidokumen. Hal itu disampaikanMenteri Kehutanan MS Kabandi depan dua belas duta besarnegara-negara sahabat dan 24duta besar Indonesia untuknegara-negara sahabat.

Kebijakan itu terkaitdengan kebijakan Indonesiayang melarang ekspor kayu logdan gergajian. Artinya bila adajenis kayu ini yang keluar dari

Indonesia, bisa dipastikan ilegal.Kaban bilang, pemerintah

Indonesia mengaku sedangsangat serius memerangi illegallogging. Hanya, pemerintahmenghadapi kesulitan karenasebagian cukong dan aktorintelektual pencurian kayu beradadi luar negeri. Akibat praktekpencurian kayu ini, kerugiannegara mencapai Rp 1 triliunsetiap tahun atau Rp 83 miliarsehari. �

(KORAN TEMPO)

Tolak Kayu Indonesia

DUAPULUH Hak Pengusahaan Hutan (HPH)

menyerahkan izinnya kepada pemerintah.

Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan

Hadi Susanto Pasaribu menjelaskan,

pengembalian izin itu terjadi karena

perusahaan tidak mampu mengamankan

hutan yang mengalami penjarahan.

Pemegang hak pengusahaan hutan juga

mengalami konflik tata batas karena

terjadinya tumpang-tindih lahan. “Dan

perusahaan terancam bangkrut,” katanya

Dari 20 perusahaan yang

mengembalikan izin itu, tujuh perusahaan

sudah dicabut tanpa syarat apa pun.

Sedangkan tiga di antaranya sudah dicabut

dengan syarat harus memenuhi terlebih

dulu kewajiban mereka. Kewajiban itu

antara lain penyelesaian tata batas dan

pembayaran tunggakan dana reboisasi dan

provisi sumber daya hutan. Sisanya,

sebanyak 10 perusahaan, masih

memegang izin hak pengusahaan hutan.

Saat ini tercatat 286 perusahaan

memiliki hak pengusahaan hutan. Dari

jumlah itu, 126 perusahaan di antaranya

berstatus aktif, sedangkan 160 lainnya

berstatus tidak aktif. Perusahaan yang

mengembalikan izinnya kepada pemerintah

ini termasuk dalam perusahaan yang

berstatus tidak aktif. � (KORAN TEMPO)

20 HPH“Menyerah”

FOTO

EIA

/TEL

APAK

FOTO WARTA

Page 15: Warta FKKM Edisi April 2006

15WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006

PEMBANGUNAN kehutanan di Indonesia selama beberapa dekadeterakhir, telah menghasilkan berbagai persoalan akut. Persoalan-persoalanyang muncul ke permukaan, diantaranya adalah tingkat deforestasi (kerusakanhutan) yang sangat tinggi, dan marjinalisasi/dehumanisasi masyarakat lokalyang parah. Dua keadaan ini membawa akibat pada tidak adanya hubunganyang bagus antara pembangunan kehutanan di satu pihak, denganmasyarakat lokal yang hidupnya bergantung pada SDH di pihak lain.Sementara, pembangunan kehutanan adalah sebuah proses yang melibatkanbanyak pihak.

Melihat kondisi ini, perlu ada perubahan paradigma pembangunankehutanan, dari stated based kepada community based, dan dari timbermanagement kepada forest resources management. Pilihan ini, akanmemberikan peluang bagi masyarakat lokal dalam mengakses sumberdayahutan untuk kehidupan mereka.

Karena itulah, para pihak yang merasa terpanggil untuk merubah kondisiini mendeklarasikan sebuah forum multistakeholder pada 24 September1997, yang bernama Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM).

Sebagai forum multipihak, FKKM membuka diri terhadap semua pihakuntuk terlibat di dalamnya dalam memperkuat Kehutanan Masyarakat danPerbaikan Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia.

Visi FKKM: Cara pandang pengelolaan hutan oleh masyarakat, harusberdasar pada sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat,melalui organisasi masyarakat yang berlandaskan pada prinsip-prinsipkeadilan, transparansi, pertanggungjawaban, dan keberlanjutan aspekekologi, ekonomi dan sosial budaya.

Misi FKKM: Berperan sebagai pendorong (motivator) gerakan menuju carapandang kehutanan masyarakat di Indonesia. Mendukung proses-proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melaluipenyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitasdan perumusan kebijakan.

Sosok FKKM: Sebagai forum dialog dan belajar bersama antar pihak,tentang kehutanan masyarakat dan perbaikan kebijakan kehutanan diIndonesia. �

Berperan Bersama untuk Pengembangan Kehutanan Masyarakat dan Perbaikan Kebijakan Kehutanandi Indonesia

FFFFForum Korum Korum Korum Korum Komunikomunikomunikomunikomunikasi Kasi Kasi Kasi Kasi Kehutanan Masyehutanan Masyehutanan Masyehutanan Masyehutanan Masyarararararakakakakakatatatatat(Indonesian Communication Forum on Community Forestry)

Pengurus FKKMKoordinator DPN: Dr. Ir. Didik Suharjito, M.Sc(IPB); Anggota DPN: Ir. Haryadi Himawan, M.BA(Dept. Kehutanan), Ir. Sih Yuniati, MBA (NGO), Drs. SaidAwad, M.H (Pemda), Bestari Raden (Masyarakat Adat), Ir. Nana Suparna (Pengusaha), Dr San Afri Awang (Pendiri, UGM), dan Ir. Arief Budimanta, M.Sc(Konsultan)

Sekretaris Eksekutif: Ir. Muayat Ali Muhshi; Staf Seknas: M. Abd. Syukur, Adie Usman Musa, Titik Wahyuningsih, dan Totok S.Alamat Seknas: Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1 Bogor Baru, Bogor 16152 Telp./Fax. (0251) 323090, E-mail: [email protected], [email protected]

FASILITATOR WILAYAH FKKMSyafrizaldi (Sumatra Barat), Maggara Silalahi (Riau), Wisma Wardana (Jambi); Hazairin (Lampung); Suraya Uang Kahathur (Jawa Barat); Fahrizal (Kalbar);Adri Ali Ayub (Kalteng), Humaidi (NTB); Harisetijono (NTT); M. Natsir Abbas (Sulteng); Ruslan (Sultra); Restu (Sulsel); Abdul Ma’at (Ketapang)

Bingung..cari bacaan

kehutanan

masyarakat?

klik saja

www.kehutananmasyarakat.com

Kabar dari BandungBuat akang-akang di FKKM,

kok gak ada kabar sama sekali ‘makita-kita di Dewan PemerhatiKehutanan dan Lingkungan TatarSunda (DPKLTS). Apa kita bedaaliran dalam rangka mencari solusibagi hutan kita yang sekarat ini.

Saya informasikan sedikitkegiatan kita saat ini, setelah sekianlama mengarap bagaimanamemproteksi dan merehabilitasihutan dengan kegiatan di hutanternyata masyarakat masih belumberanjak dari tidurnya yang lelapuntuk dapat mengerti danmemahami arti penting keberadaanhutan bagi kehidupan. Atas dasarhal tersebut kita berkegiatan agakturun sedikit ke kawasan pertanianyang ada disekitar hutan. Saat inikita mengembangkan padi organikyang peningkatan produksinyamencapai 100-210% danmasyarakat senang apalagi petani.Petani yang bahagia ini kita jadikanprajurit yang militan untukmemproteksi hutan sekitar

daerahnya dengan alasan apabilahutan rusak suplay air ke lahansawah mereka akan terganggu danberakibat pada penurunan kualitasdan kuantitas padi yang saat iniprestasi petani antara 10,5-20 ton/ha. Demikian sekilas berita dariBandung, Semoga ke depanhubungan harmonis bisa terwujuddemi hutan anak cucu kita di waktuyang ga tahu sampai kiamatdatang. Haturnuhun.

Dhanny HatawinangunBandung

Terima kasih suratnya.Beberapa tahun ini kita akui sudahjarang bertemu dengan DPKLTSdimana anda salah satupenggiatnya. Yang kami ingatAnda dengan DPKLTS-nya adalahsalah satu kelompok yang gigihberjuang untuk keselamatan hutandi Bandung, Beda aliran? Entahlahtapi yang jelas visi kita untukmendorong kehutanan masyarakattetap sama. Kalau beda cara bolehsaja bukan? (red)

SURAT

Page 16: Warta FKKM Edisi April 2006

16 WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006