21
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 46 UNSUR EKOLOGI DALAM PERIBAHASA BANJAR ( ECOLOGY ELEMENTS IN BANJARESE PROVERBS) Norvia SMP Widya Dharma Banjarmasin, Jl. Bandarmasih Komplek DPR No 4, Banjarmasin Barat, Kalimantan Selatan, Kode Pos 70112 e-mail [email protected] Abstract Ecology Elements in the Banjarese Proverbs. This research is motivated by the researcher's interest in preserving the Banjarese proverbs which is now starting to fade in its meaning due to ignorance of the ecological forms of flora, fauna, and culture which are used as a kias word in Banjarese proverbs. This study aims to describe (1) the ecological form of flora in the Banjarese proverbs (2) the ecological form of fauna in the Banjarese proverbs (3) The form of cultural ecology in the Banjarese proverbs. Sources of data are obtained from books and informants. The book used as a data source is a collection of Banjarese proverbs by Aliansyah Jumbawuya. The results of this study found that of the three classifications there were even more specific classifications, namely, (1) the Banjarese proverbs ecological flora consisting of vegetables, fruits, and wild plants, (2) Banjarese proverbs ecology fauna consisting of fauna habitat in land and water, and (3) the Banjarese proverbs of cultural ecology consists of three categories, namely home architecture, tools and living equipment, and systems of thought. Key words: ecology, oral tradition, Banjarese proverb Abstrak Unsur Ekologi Sastra dalam Paribasa Banjar. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan peneliti untuk melestarikan peribahasa Banjar yang sekarang mulai kabur dalam pemaknaannya akibat ketidaktahuan akan wujud ekologi flora, fauna, dan budaya yang dijadikan kata kias dalam peribahasa Banjar. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan (1) Wujud ekologi flora dalam peribahasa Banjar (2) Wujud ekologi fauna dalam peribahasa Banjar (3) Wujud ekologi budaya dalam peribahasa Banjar. Sumber data didapat dari buku dan informan. Adapun buku yang dijadikan sumber data adalah kumpulan peribahasa Banjar karya Aliansyah Jumbawuya. Hasil penelitian ini menemukan dari tiga klasifikasi tersebut di dapat penggolongan yang lebih spesifik lagi yakni, (1) peribahasa Banjar ekologi flora terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, dan tanaman liar, (2) peribahasa Banjar ekologi fauna terdiri dari fauna habitat di darat dan di air, dan (3) peribahasa Banjar ekologi budaya terdiri dari tiga kategori yakni arsitektur rumah, peralatan dan perlengkapan hidup, dan sistem berpikir. Kata-kata kunci: unsur ekologi, tradisi lisan, paribasa Banjar Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya Vol 11, No 1, April 2021 ISSN 2089-0117 (Print) Page 46 - 66 ISSN 2580-5932 (Online)

UNSUR EKOLOGI DALAM PERIBAHASA BANJAR ( ECOLOGY …

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 46

UNSUR EKOLOGI DALAM PERIBAHASA BANJAR

( ECOLOGY ELEMENTS IN BANJARESE PROVERBS)

Norvia

SMP Widya Dharma Banjarmasin, Jl. Bandarmasih Komplek DPR No 4,

Banjarmasin Barat, Kalimantan Selatan, Kode Pos 70112

e-mail [email protected]

Abstract

Ecology Elements in the Banjarese Proverbs. This research is motivated by the researcher's interest in

preserving the Banjarese proverbs which is now starting to fade in its meaning due to ignorance of the

ecological forms of flora, fauna, and culture which are used as a kias word in Banjarese proverbs. This

study aims to describe (1) the ecological form of flora in the Banjarese proverbs (2) the ecological form

of fauna in the Banjarese proverbs (3) The form of cultural ecology in the Banjarese proverbs. Sources

of data are obtained from books and informants. The book used as a data source is a collection of

Banjarese proverbs by Aliansyah Jumbawuya. The results of this study found that of the three

classifications there were even more specific classifications, namely, (1) the Banjarese proverbs

ecological flora consisting of vegetables, fruits, and wild plants, (2) Banjarese proverbs ecology fauna

consisting of fauna habitat in land and water, and (3) the Banjarese proverbs of cultural ecology

consists of three categories, namely home architecture, tools and living equipment, and systems of

thought.

Key words: ecology, oral tradition, Banjarese proverb

Abstrak

Unsur Ekologi Sastra dalam Paribasa Banjar. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan

peneliti untuk melestarikan peribahasa Banjar yang sekarang mulai kabur dalam pemaknaannya akibat

ketidaktahuan akan wujud ekologi flora, fauna, dan budaya yang dijadikan kata kias dalam peribahasa

Banjar. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan (1) Wujud ekologi flora dalam peribahasa Banjar (2)

Wujud ekologi fauna dalam peribahasa Banjar (3) Wujud ekologi budaya dalam peribahasa Banjar.

Sumber data didapat dari buku dan informan. Adapun buku yang dijadikan sumber data adalah

kumpulan peribahasa Banjar karya Aliansyah Jumbawuya. Hasil penelitian ini menemukan dari tiga

klasifikasi tersebut di dapat penggolongan yang lebih spesifik lagi yakni, (1) peribahasa Banjar ekologi

flora terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, dan tanaman liar, (2) peribahasa Banjar ekologi fauna

terdiri dari fauna habitat di darat dan di air, dan (3) peribahasa Banjar ekologi budaya terdiri dari tiga

kategori yakni arsitektur rumah, peralatan dan perlengkapan hidup, dan sistem berpikir.

Kata-kata kunci: unsur ekologi, tradisi lisan, paribasa Banjar

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya Vol 11, No 1, April 2021

ISSN 2089-0117 (Print) Page 46 - 66

ISSN 2580-5932 (Online)

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

47 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya

PENDAHULUAN

Peribahasa Banjar merupakan tradisi lisan yang sarat dengan berbagai unsur kearifan lokal

diantaranya unsur lingkungan hidup. Kearifan lokal tersebut tercermin dalam pemilihan

kosakata terkait ekologi flora, fauna dan budaya dalam peribahasa Banjar, misalnya unsur

ekologi yang tercermin identik dengan lingkungan alam hutan, huma (sawah), dan sungai. Hal

tersebut mempengaruhi keberagaman flora, fauna dan budaya yang menjadi ciri khas di

lingkungan etnik Banjar, sekaligus menjadi pembeda cara etnik Banjar dalam memahami,

mengungkapkan, dan menginterpretasikan unsur ekologi dalam sebuah karya sastra.

Rafiek (2017, hlm. 237) mengungkapkan bahwa teori ekologi sastra sebagai teori yang

berupaya membuka jalan hubungan antara teori ekologi dengan teori sastra. Kajian ekologi

tidak hanya menganalisis dan membahas kaitan ekologi dengan karya sastra, tapi lebih dari

sekedar itu, lingkungan dikritisi dari segi pemeliharaan dan pelestariannya. Bahkan sampai

pada pengkajian terhadap kerusakan dan kepunahan suatu ekosistem.

Selain ekologi terkait ekosistem flora dan fauna juga terdapat ekologi budaya yang hidup

dan berkembang di lingkungan etnik yang menjadi ke khasan etnik tertentu. Kajian terhadap

hubungan budaya dan sastra membahas tentang corak budaya yang spesifik berdasarkan

keberadaan ekosistem yang ada. Wilayah yang berbeda secara ekosistem akan menghasilkan

corak budaya yang berbeda. Sehingga perlu adanya pemahaman korelasi ekologis, hal demikian

dikarenakan lingkungan jelas memiliki peranan korelatif terhadap sastra. Ketika lingkungan

sedang dibakar hutannya, lingkungan banyak diamuk oleh banjir, lingkungan sedang

dimusnahkan lahar dingin, sastra sering berbicara mengikuti irama lingkungan. Konteks

lingkungan tidak hanya soal teknologi yang berkorelasi pada sastra, melainkan ihwal ritual dan

ideologi juga berinteraksi dengan sastra (Endraswara, 2016, hlm. 5-6)

Penelitian ekologi sastra dalam peribahasa Banjar akan mempertegas pengaruh ekologi

terhadap peribahasa yang dihasilkan oleh individu atau etnik penutur peribahasa. Jika menilik

kondisi masyarakat khususnya etnik Banjar di Kalimantan Selatan, peribahasa Banjar masih

sering didengar atau digunakan. Pemakaian kosa-kata yang mengandung ekologi flora seperti

kaladi, janar, jariaung, dan berbagai macam flora jenis umbi-umbian mencerminkan kondisi

tanah yang subur, gembur dan beriklim tropis. Kemudian terdapat pula kosakata antah, padi,

dan baras menggambarkan etnis Banjar yang tidak asing dengan ekologi huma (bercocok

tanam) dan nasi merupakan makanan pokok bagi etnis suku Banjar sehingga ada peribahasa

Banjar “Nasi sabigi satahun hanyar ada” peribahasa tersebut bermakna nasihat agar

menyayangi nasi, meski cuma sebutir karna untuk mendapatkannya perlu waktu setahun

(proses yang panjang) untuk dapat menikmatinya. Pola tanam yang dilakukan etnik Banjar

memiliki siklus tanam hanya satu kali dalam setahun sehingga proses panen juga hanya satu

kali.

Penelitian ekologi sastra sebelumnya telak dilakukan oleh Margono dan Wahyudi (2017)

dalam seminar nasional bahasa, sastra dan budaya meneliti tentang Penggunaan Leksikon

Hewan dalam Peribahasa Nusantara Sebagai Penanda Kecerdasan Ekologi Bangsa Indonesia.

Penelitian tersebut bertujuan untuk (1) mendeskripsikan dan mengklasifikasikan bentuk

leksikon hewan penanda keceradasan ekologi bangsa Indonesia dalam peribahasa nusantara,

(2) mendeskripsikan penanda kecerdasan ekologi bangsa Indonesia dalam peribahasa

nusantara. Kajian ini bersifat deskriptif kualitatif. Data berupa leksikon penanda kecerdasan

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 48

ekologi. Data bersumber dari bahasa tulis dan dikumpulkan menggunakan metode simak

dengan teknik catat. Analisis data memanfaatkan metode padan referensial dan padan

pragmatik. Hasil penelitian ini adalah (1) leksikon hewan sebagai penanda kecerdasan ekologi

yaitu (a) leksikon hewan buas yang hidup di hutan, (b) leksikon hewan yang dipelihara oleh

manusia, (c) leksikon hewan serangga, dan (d) leksikon hewan ekologi air. (2) Penanda

kecerdasan ekologi bangsa Indonesia dalam peribahasa nusantara direalisasikan dalam bentuk,

karakteristik, dan perilaku hewan yang metaforis. Pemetaforisan ‘kehidupan manusia’ ke dalam

peribahasa sebagai wujud kecerdasan ekologi bangsa Indonesia.

Penelitian ekologi sastra dalam studi ekolinguistik yaitu Bentuk Gramatikal Leksikon

Ekologi dalam Peribahasa Jawa oleh Santoso dan Surakarta (2019) mendeskripsikan makna-

makna metaforis yang terdapat dalam peribahasa Jawa yang mengandung muatan ekologi.

Metode dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Data dalam penelitian

ini berupa peribahasa yang mengandung muatan ekologi yang diambil dari sumber data buku

kumpulan peribahasa Jawa. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan

teknik simak dan catat. Adapun hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini (1) bentuk

gramatikal terdiri dari bentuk dasar, (2) Metafora yang diungkapkan dalam peribahasa jawa

yang mengandung muatan ekologi dapat dianalisis dengan analisis dimensi praksis sosial,

dimana dari analisa tersebut kita dapat mengetahui hubungan antara penutur, mitratutur dengan

lingkungan alam dan sekitarnya.

Penelitian tentang peribahasa Banjar sebelumnya telah dilakukan oleh (Kusasi, 2016) dalam

disertasi yang berjudul Identitas Kebanjaran dalam Peribahasa Banjar. Penelitian ini mengkaji

peribahasa dengan tujuan menemukan identitas orang Banjar melalui nilai-nilai kebanjaran

dilakukanlah penelitian ini dengan maksud mendeskripsikan pembawaan, etnik Banjar yang

dikonstruksikan dalam peribahasa Banjar, perilaku etnik banjar yang dikonstruksikan dalam

peribahasa banjar, etos kerja etnik Banjar yang dikonstruksikan dalam peribahasa Banjar,

penampilan etnik Banjar yang dikonstruksikan dalam peribahasa Banjar, dan pandangan hidup

etnik Banjar yang dikonstruksikan dalam peribahasa Banjar.

Mengingat peribahasa Banjar sebagai salah satu tradisi lisan etnik Banjar yang di dalamnya

berisi gambaran ekologi flora, fauna dan budaya etnik Banjar. Jika dilihat dari pemakaian

peribahasa Banjar yang digunakan atau dituturkan seringkali sulit dipahami atau bahkan sudah

tidak diketahui maknanya. Hal ini tidak menutup kemungkinan dilatar belakangi ketiadaan

unsur ekologi (jarang dijumpai atau bahkan punah atau ketidaktahuan akan arti/ makna

peribahasa Banjar yang dituturkan berdasarkan pemahaman suku Banjar terhadap unsur

lingkungan berupa tumbuhan (flora), hewan (fauna) dan budayanya. Bukan hal yang tidak

mungkin jika tidak dilakukan penelitian tentang ekologi sastra terhadap peribahasa Banjar, akan

menyebabkan hilangnya pemahaman generasi etnik Banjar terhadap peribahasa Banjar yang

berujung pada ketiadaan penutur peribahasa Banjar itu sendiri.

METODE

Penelitian ini berjudul “Unsur Ekologi dalam Peribahasa Banjar” dengan menggunakan

pendekatan penelitian ekologi sastra. Pendekatan ekologi sastra dipilih sebagai acuan

pengkajian dalam penelitian ini guna menganalisis hubungan antara ekologi etnik Banjar

(ekosistem dan budaya) terhadap karya sastra dalam hal ini peribahasa Banjar. Jenis penelitian

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

49 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya

dalam penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif, sehingga dalam

penelitian ini data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka, hal

itu disebabkan adanya penerapan metode kualitatif (Moleong, 2017, hlm 11)

Penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang dimaknai dengan pemahaman

terhadap fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, baik berupa perilaku, persepsi,

tindakan, motivasi, dan lain sebagainya dijabarkan secara menyeluruh dengan memanfaatkan

metode alamiah melalui bahasa dalam konteks analisis secara ilmiah (Moleong, 2017, hlm. 6)

Berdasarkan paparan terkait penelitian kualitatif deskripsi di atas, peneliti menyimpulkan

bahwa penelitian ini secara umum memberikan hasil akhir penelitiannya berupa kata- kata dan

gambar tidak berupa angka-angka.

Sumber data adalah subjek darimana data dapat diperoleh untuk dijadikan bahan penelitian,

walaupun dikatakan bahwa sumber di luar kata dan tindakan merupakan sumber kedua, jelas

hal itu tidak bisa diabaikan. Moleong (2017, hlm. 15) menegaskan dari segi sumber data, bahan

tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah,

sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. Berkenaan dengan sumber data,

dalam penelitian ini menggunakan buku kumpulan peribahasa “1001 Satu Peribahasa Banjar

Pilihan”oleh Aliansyah Jumbawuya.

Ciri penting dalam penelitian kualitatif pada kajian sastra Menurut Endraswara (2016, hlm.

5) antara lain sebagai berikut, (1) peneliti merupakan instrument kunci yang akan membaca

secara cermat sebuah karya sastra; (2) penelitian dilakukan secara deskriptif artinya terurai

dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka; (3) lebih

mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang

banyak mengundang penafsiran; (4) analisis secara induktif; (5) makna merupakan andalan

utama.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian terhadap ekologi sastra dalam peribahasa Banjar meliputi: (a) wujud

ekologi flora dalam peribahasa Banjar; (b) wujud ekologi fauna dalam peribahasa Banjar; dan

(c) wujud budaya dalam peribahasa Banjar.

Wujud Ekologi Flora dalam PeribahasaBanjar

Dalam peribahasa Banjar di bawah ini terdapat penyebutan nama jenis sayuran yaitu

rabung, kaladi, birah dan kacang. Keempat jenis sayuran ini merupakan sayuran yang tumbuh

subur di daerah yang beriklim tropis dan biasa dikonsumsi oleh etnik Banjar.

Rabung

Asal dirabung jua

(Dulunya berasal dari rebung juga.)

Artinya: Jangan meremehkan para orang tua, sebab apa yang dilakukan anak muda

sekarang, dulu juga pernah dilakoni sewaktu mereka remaja.

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 50

Dalam peribahasa Banjar tersebut terdapat wujud ekologi flora yaitu rabung yang dalam

bahasa Indonesia dikenal dengan rebung, Rebung adalah tunas (batang) yang masih muda yang

tumbuh dari akar bambu. Penduduk Indonesia maupun Asia umumnya memanfaatkan rebung

bambu sebagai bahan makanan. Rebung bambu termasuk salah satu sayuran yang disukai

banyak orang karena teksturnya yang renyah dan rasa manis serta aroma khas yang dimilikinya.

Gambar 1. Rabung (rebung)

Sumber: Dokumen Pribadi

Etnik Banjar sangat akrab dengan menu makanan yang berbahan dasar rabung, selain

rasanya yang enak rebung juga mudah ditemukan dipekarangan belakang rumah yang pada

umumnya memang menanam pohon bambu sebagai bahan dasar pembuatan kerajinan

tradisional khas etnik Banjar, seperti lukah, tangguk, nyiru, inanan, dan lain sebagainya.

Rebung biasanya diolah menjadi menu khas etnik Banjar Gangan balamak, rebung dimasak

dengan santan dan bumbu-bumbu khas makanan Banjar.

Penggunaan kata rabung dalam konteks peribahasa Banjar asal dirabung jua

mengungkapkan adanya penegasan suatu proses yang pasti pernah dilalui oleh seseorang, misal

pernah muda sebelum menjadi tua, yang awalnya tidak bisa menjadi bisa atau pernah menjadi

orang yang susah (miskin) sebelum menjadi orang yang sukses. Umpama haur (bambu) yang

asalnya dari rabung (rebung) yakni tunas muda baru berkembang menjadi batang bambu yang

kokoh. Sehingga tidak sepantasnya seseorang berperilaku meremehkan terhadap orang lain,

apalagi kepada orang yang lebih tua.

Tandui dan Binjai

Dapat tandui mambuang binjai

(Setelah mendapat buah tandui buah binjai dicampakkan.)

Artinya: Orang yang begitu dapat teman baru, teman lama langsung dilupakan.

Wujud ekologi flora yang tertuang dalam peribahasa Banjar tersebut terdapat pada kata

tandui dan binjai. Dua jenis buah ini merupakan buah endemik khas Kalimantan. Etnik Banjar

pada umumnya menggunakan dua jenis buah ini sebagai bahan membuat cacapan, sambal acan

atau sambal terasi yang diberi irisan binjai atau tandui untuk memperkuat rasa asam yang khas.

Binjai berukuran relatif lebih besar dibanding buah tandui, memiliki tekstur lebih lembek jika

sudah matang atau tua, memiliki daging buah berwarna putih, berbiji besar dan memiliki aroma

dan rasa asam yang khas. Buah binjai lebih pamiliar sampai sekarang di kalangan etnik Banjar

dibanding buah tandui. Hal ini dikarenakan buah tandui sudah mulai langka ditemukan

dipasaran.

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

51 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya

Gambar 2. Buah Asam Tandui

Sumber: (https://hasanzainuddin.wordpress.com/tag/asam-tandui/)

Buah tandui masuk dalam jenis mangga (mangefera) yang hanya ada di hutan Kalimantan.

Rasanya yang asam membuatnya sering dijadikan cacapan (kuah rasa asam yang dicacap

sebagai pelengkap sajian makanan etnik Banjar) atau pencokkan (rujak) bagi ibu-ibu yang

hamil muda. Seringkali keberadaan atau berbuahnya pohon tandui dikaitkan dengan mitos

bahwa akan banyak perempuan- perempuan yang hamil di daerah dimana pohon tandui

berbuah. Ini dikaitkan dengan gemarnya perempuan etnik Banjar yang sedang mengidam

memakan buah tandui untuk dipencok (rujak).

Buah Binjai adalah buah yang dikategorikan sebagai kerabat dari jenis mangga, baunya

yang harum dan rasanya yang manis bercampur rasa asem yang khas membuat buah binjai

terasa segar jika dimakan. Buah binjai dapat dimakan langsung atau diolah terlebih dahulu,

yang paling sering dilakukan oleh etnik Banjar sebagai campuran sambal, yang dikenal dengan

sambal acan binjai.

Gambar 3. Buah Binjai

Sumber: (http://411buah.blogspot.com/2014/09/binjai.html)

Sifat buah tandui yang langka atau sulit ditemukan dibanding buah binjai yang masih

banyak dijumpai dan sudah pamiliar digunakan dalam sajian makanan khas Banjar membuat

metafor dalam peribahasa Banjar “dapat tandui mambuang binjai” yang memiliki makna

sesuatu hal yang baru atau beruntung jika menemukan buah tandui sehingga wajar buah binjai

yang biasa ditemukan atau mudah didapat dibuang atau dicampakkan.

Bamban

Mahampalas bamban

(Mengempelas bamban.)

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 52

Artinya: Melakukan pekerjaan yang sebetulnya tidak perlu (sia- sia).

Bamban adalah salah satu jenis tanam liar yang banyak dimanfaatkan etnik Banjar sebagai

bahan membuat kerajinan anyaman. Permukaan batang bamban yang halus memudahkan saat

diolah menjadi bahan dasar kerajinan anyaman. Berbagai kerajinan dari bahan dasar bamban

diantaranya bakul, inanan dan yang tersentuh modifikasi seperti tas dari bamban yang mulai

dikembangkan di daerah Hulu Sungai Utara (HSU) sebagai kabupaten yang mengangkat

bamban sebagai salah satu produk unggulan.

Gambar 4. Bamban (Donax canniformis)

Sumber: (https://www.wikiwand.com/id/Bemban)

Kata bamban pada peribahasa Banjar menggambarkan wujud ekologi flora yang masuk

dalam kategori tanaman liar, liar karena pada umumnya tumbuh dengan sendirinya disemak-

semak. Tanaman bamban juga hidup subur dilahannya yang banyak mengandung air, sehingga

jelas jika banyak ditemukan bamban maka daerah tersebut adalah daerah dataran rendah atau

rawa.

Wujud Ekologi Fauna dalam Peribahasa Banjar

Ekologi fauna adalah lingkungan yang berkaitan dengan ekosistem hewan atau binatang,

dalam peribahasa Banjar ditemukan beragam jenis fauna yang dijadikan kiasan untuk

menggambarkan perilaku manusia.

Pilanduk (Kancil)

Akal mamilanduk

(Akal seperti kancil.)

Artinya: Orang yang memiliki akal cerdik, pandai memperdaya, suka memanfaatkan orang

lain.

Pelanduk atau kancil dalam bahasa Banjar disebut pilanduk adalah nama umum bagi

sekelompok hewan menyusui (mamalia) berkuku genap yang tergolong ke

dalam marga Tragulus. Pelanduk adalah anggota keluarga Tragulidae, berkerabat dekat

dengan kijang dan rusa. Nama ilmiah marga ini, Tragulus, berasal dari gabungan dua kata.

Yakni tragos, dari bahasa Yunani yang berarti ‘kambing’, dan akhiran –ulus dari bahasa

Latin yang berarti ‘kecil’. Ini sesuai dengan keadaan tubuhnya yang kecil, yang pada usia

dewasa ukurannya kurang lebih sama dengan kelinci. Pelanduk berhabitat di hutan hujan

tropis Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kancil memiliki ciri-ciri panjang tubuh 20-25

sentimeter dengan warna cokelat kemerahan. Hewan yang disebut juga dengan pelanduk ini

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

53 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya

merupakan hewan herbivora di mana menyukai makanan seperti daun-daunan, sayuran, rumput

dan buah-buahan.

Gambar 5. Pilanduk

Sumber: (https://alamendah.org/2010/02/11/pelanduk-kancil-populer-

tapi-data-deficient/comment-page-5/)

Mamilanduk merupakan kata bentukan dari imbuhan ma- (imbuhan) ntuk menyatakan

perbuatan/ pekerjaan) dan pilanduk (kancil). Seperti yang telah diketahui pada beberapa cerita

rakyat yang hidup di masyarakat sering kali bercerita tentang tokoh Si Kancil, yang

digambarkan sebagai tokoh cerdik, banyak akal, dan terkesan pandai menipu. Perilaku inilah

yang menjadi acuan pemakaian istilah dalam paribasa “akal mamilanduk” terhadap perilaku

manusia yang dianggap kurang atau tidak sesuai dalam etika pergaulan.

Hayam (ayam)

Hayam barumahan

(Ayam yang dihidup di bawah kolong rumah.)

Artinya: Orang yang tidak pernah jauh dari kampung halaman (tidak berani merantau).

(Jumbawuya, 2018, hlm. 48)

Turun hayam naik hayam

(Turun ayam naik ayam.)

Artinya: Orang yang bekerja keras tak kenal waktu istirahat, dari pagi hingga sore terus

membanting tulang.

(Jumbawuya, 2018, hlm. 141)

Pada kedua peribahasa Banjar terdapat wujud ekologi fauna yaitu hayam (ayam). Ayam

adalah jenis hewan peliharaan yang banyak dipelihara masyarakat etnik Banjar. Adanya istilah

hayam burumahan yang artinya ayam yang berada atau dipeliharan di bawah kolong rumah

mengisyaratkan bahwa etnik Banjar memiliki karakteristik dalam hal tempat tinggal yang berupa

rumah panggung. Dan karakteristik rumah panggung yang memiliki kolong tempat memilihara

ayam atau bebek sampai saat ini masih dipertahankan terutama di daerah pedesaan. Hal ini yang

kadang membuat aroma khas dari kotoran yang dipelihara tercium ke dalam rumah jika kolong

rumah jarang dibersihkan.

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 54

Gambar 6. Ayam barumahan

Sumber: Dokumen Pribadi

Etnik Banjar seringkali menggunakan gayang (batang padi sisa hasil perontokkan) untuk

dijadikan alas pada kolong rumah yang dijadikan kandang peliharaan. Hal ini dilakukan supaya

tidak menimbulkan bau dan kolong mudah dibersihkan. Pagi hari hayam akan dikeluarkan dari

kolong rumah untuk dibiarkan bebas mencari makan, dan masuk kolong rumah pada sore

harinya. Ayam yang dipelihara di kolong rumah biasanya lebih mimak (tidak liar) karena

walaupun dikeluarkan dari kolong, hayam tidak akan pergi jauh dari kolongnya. Kebiasaan ini

yang jika dikaitkan ke dalam penciptaan peribahasa Banjar akan memunculkan kesesuaian

antara kebiasaan hayam (ayam) dengan perilaku manusia yang ingin dikiaskan. Selain fauna

yang habitat hidupnya di darat, adapula jenis fauna yang habitat hidupnya di air yang disebutkan

dalam peribahasa Banjar, seperti pada peribahasa Banjar berikut,

Kaya hantayung bakaraut

(seperti siput merayap.)

Artinya: Orang yang bekerja sangat lamban.

(Jumbawuya, 2018, hlm. 74)

Wujud Ekologi Budaya dalam Peribahasa Banjar

Arsetektur Rumah

Wujud ekologi budaya yang berupa benda mati yang dapat diamati ditemukan dalam

arsitektur rumah dan seringkali menjadi ciri khas suatu budaya dalam etnik tertentu, tidak

terkecuali di daerah Kalimantan Selatan ada rumah panggung yang menjadi kebanggaan etnik

Banjar. Dalam wikipidea dijelaskan bahwa Rumah Baanjung (Ba'anjung) adalah nama kolektif

untuk rumah tradisional suku Banjar dan suku Dayak Bakumpai. Suku Banjar biasanya

menamakan rumah tradisonalnya dengan sebutan Rumah Banjar atau Rumah Bahari.

Umumnya, rumah tradisional Banjar dibangun dengan beranjung (bahasa Banjar: ba-anjung),

yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama, karena

itulah disebut Rumah Ba'anjung (ber-anjung).

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

55 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya

Gambar 7. Rumah Adat Etnik Banjar

Sumber: https://borneohit.com/traditional-house-south-borneo.html

Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa jenis

Rumah Banjar yang tidak beranjung. Rumah tradisional Banjar pada umumnya beranjung dua

yang disebut Rumah Ba-anjung Dua, namun kadangkala rumah banjar hanya hanya beranjung

satu, biasanya rumah tersebut dibangun oleh pasangan suami isteri yang tidak memiliki

keturunan. Sebagaimana arsitektur tradisional pada umumnya, demikian juga rumah tradisonal

Banjar berciri-ciri antara lain memiliki perlambang, memiliki penekanan pada atap, ornamental,

dekoratif dan simetris.

Rumah tradisional Banjar adalah jenis rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya

sendiri sejak sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Pada tahun 1871, pemerintah kota

Banjarmasin mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah Bubungan Tinggi di kampung Sungai

Jingah yang merupakan rumah tertua yang pernah dikeluarkan segelnya. Jenis rumah yang

bernilai paling tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang diperuntukan untuk

bangunan Dalam Sultan (kedaton) yang diberi nama Dalam Sirap. Dengan demikian, nilainya

sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai kedhaton (istana kediaman Sultan).

(https://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Bubungan_Tinggi).

Batihang haur dan Batihang ulin

Biar batihang haur asal rumah surang daripada batihang ulin umpun urang

(Meski bertiang bambu asal rumah sendiri, daripada bertiang ulin tapi punya orang.)

Artinya: Barang kepunyaan sendiri bagaimana pun kondisinya lebih membanggakan

daripada barang bagus tapi milik orang.

(Jumbawuya, 2018, hlm. 24)

Tihang atau tiang merupakan salah satu bagian utama dari sebuah rumah, tiang dari kayu

ulin memang menunjukkan prestise tersendiri bagi etnik Banjar yang mampu membangun

rumah dengan bahan kayu ulin, hal ini dikarenakan hanya orang mapan atau kaya yang mampu

membeli kayu ulin yang harganya mahal sesuai dengan kualitas kayu ulin yang dijamin kuat

melebihi kayu jenis lainnya.

Tungkat (Tongkat rumah) dan Galagar (balok kayu)

Urang manyurung tungkat inya manyurung galagar

(Orang menyodorkan tongkat, dia menyodorkan balok . )

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 56

Artinya: Tidak nyambung dalam pembicaraan. Orang- orang focus membicarakan persoalan

tertentu, dia ikut nimbrung bicara topik lain yang sama sekali tidak ada kaitannya.

Gambar 8. Sketsa Tungkat, Galagar, dan Lantai

Sumber: (https://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Bubungan_Tinggi)

Rumah khas etnik Banjar diketahui sebagai rumah panggung, rumah yang menggunakan

tongkat sebagai penopang untuk lantai, berbahan dasar dari kayu. Bentuk rumah panggung

merupakan salah satu kearifan lokal etnik Banjar yang dipertahankan sebagai upaya mencegah

Banjir, dengan rumah panggung aliran air tetap dapat mengalir terlebih jika rumah berada di

pinggiran bantaran sungai biasanya akan jelas terlihat tingginya tongkat peyangga rumah ketika

air surut.

Bubungan (atap)

Jauh lantai pada bubungan

(Jauh lantai dengan atap.)

Artinya: Orang yang suka menghayal setinggi langit, tetapi tidak sesuai kemampuan.

(Jumbawuya, 2018, hlm. 56)

Bubungan adalah bagian atap rumah, yang umumnya berbentuk segi tiga atau trapasium,

dahulu rumah etnik Banjar memiliki bubungan tinggi dan tanpa ada plafon di bagian dalamnya

sehingga jelas terlihat titiwa yaitu bangun segitiga penyangga atap rumah. Rumah etnik Banjar

yang tanpa plafon membuat rumah terasa adem walau tidak ada pendingin ruangan, terlebih

banyaknya jendela yang dibuat sebagai pengatur sirkulasi udara dalam rumah. Namun seiring

berkembangnya peradaban, etnik Banjar mulai mengadaptasi bentuk rumah arsitektur modern

namun tetap mempertahannkan penggunaan kayu sebagai bahan utama bangunan.

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

57 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya

Gambar 9. Bubungan

Sumber: http://eprints.ulm.ac.id/1933/1/Lanting_01-02_2012_hal106-116.pdf

Selain arsitektur rumah, peralatan dan perlengkapan hidup etnik Banjar juga merupakan

bagian dari ekologi budaya etnik Banjar dapat juga ditemukan penyebutannya dalam peribahasa

Banjar seperti berikut,

Perlengkapan dan Peralatan Hidup

Dapur

Bajual dapur ka nagara

(Berjualan dapur ke Nagara.)

Artinya: Tidak tepat sasaran, Misalnya bersedekah kepada orang yang lebih mampu

(mapan). Atau menasihati orang yang justru lebih pintar darinya

(Jumbawuya, 2018, hlm. 16)

Dapur kada bakukus

(Daput tidak berasap.)

Artinya: Hidup kekurangan, sampai- sampai tidak ada lagi yang bisa dimasak.

(Jumbawuya, 2018, hlm. 31)

Dapur adalah tungku tradisional khas etnik Banjar, ada perbedaan pemaknaan antar dapur

sebagai ruangan tempat memasak dengan dapur dalam paribasa Banjar 40 dan 41 yang

dimaksud tersebut. Etnik Banjar menyebut ruangan tempat memasak selain menyebut dapur

(sebagai ruang memasak) juga bisa dengan sebutan Padu (Hulu Sungai Utara) atau Juruk (Hulu

Sungai Tengah).

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 58

Gambar 10. Pengerajin Dapur Nagara

Sumber: (https://kalsel.antaranews.com/foto/52612/dapur-nagara)

Pengerajin dapur nagara banyak terkosentrasi di Desa Bayanan, Kecamatan Daha Selatan.

Jaraknya dari pusat Kota Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) sekitar 35 Km,

dengan waktu sekitar satu jam lamanya menggunakan transportasi darat. Dapur Negara sendiri

terbuat dari tanah liat dicampur dengan pasir yang dapat digunakan sebagai bahan memasak

tradisional sebelum adanya kompor minyak tanah dan kompor gas seperti sekarang ini.

Dapur terbuat dari tanah liat yang dibentuk dengan beragam model, model seperti pada

gambar 2 merupakan yang biasa digunakan oleh masyarakat suku Banjar. Dapur ini yang

biasanya akan ditanam dalam atang yang sudah disiapkan, sehingga dapur memiliki daya tahan

yang lebih kuat untuk digunakan daripada hanya dipakai tanpa atang biasa juga harus

menggunakan kulikar yaitu alat semacam besi yang ditaruh diatas dapur agar dapat memasak

dengan beban yang lebih berat karna jika tidak dapur akan hancur mengingat bahan pembuatan

dapur terbuat dari tanah.

Gambar 11. Atang dapur (tempat memasak)

Sumber: Dokumen Pribadi

Adapun makna dari peribahasa “manjual dapur ka nagara” bermakna sesuatu yang sia-sia,

yang tiada gunanya dilakukan. Pilihan kata Nagara dikarena Nagara adalah suatu wilayah di

Kalimantan selatan tepatnya desa Bayanan, Kecamatan Daha Selatan yang berada di Kabupaten

Hulu Sungai Selatan (Kandangan) yang terkenal dengan pengerajin dapur. Sebagian besar

matapencaharian masyarakatnya adalah sebagai pembuat dapur. Jika dianalogikan peribahasa

tersebut mengungkapkan makna yang sia-sia, karna menjual barang di tempat yang

memproduksinya. Sedangkan paribasa “dapur kada bakukus” kiasan keadaan serba susah,

kekurang, sampai tidak adalagi yang bisa dimasak atau dimakan. Dapur dengan bahan bakar

kayu tentu jika sedang digunakan untuk memasak akan menimbulkan kukus (asap) yang

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

59 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya

mengepul dicerobong atap, sebaliknya jika tidak ada yang dimasak maka tidak akan ada asap

di dapur.

Halu dan Lasung

peribahasa Banjar 42

Halu patah lasung hilang

(Alu patah lesung hilang.)

Artinya:Beruntun didera masalah atau kemalangan.

(Jumbawuya, 2018, hlm. 44)

Halu (Alu) merupakan alat penumbuk padi yang ditumbuk di dalam lasung (lesung). Etnik

Banjar yang pada dasarnya juga sebagai petani tentu dahulu sangat memerlukan kedua benda

ini, sehingga tidak rumah etnik Banjar dibagian barumahan (kolong rumah) juga terdapat

tempat menyimpan lasung dan halu. Selain digunakan untuk menumbuk padi menjadi beras,

juga digunakan untuk menumbuk jagung, kopi, dan beras untuk dijadikan tepung.

Lasung dan halu yang kuat dan tahan lama (awet) dibuat dari batang kayu ulin yang

diameternya besar sehingga dapat membuat lobang yang cukup besar pula, kayu ulin memang

terkenal dengan kekuatannya sehingga jaman dahulu jika memiliki lesung dari kayu ulin

merupakan hal yang sangat membanggakan dan tidak jarang juga menjadi incaran maling karna

jika dijual mahal harganya. Biasanya setiap kali acara bakawinan (pernikahan) atau salamatan

(kenduri) etnik Banjar akan membawa lasung dan halu untuk dipinjamkan selama acara sebagai

alat perlengkapan dalam membuat hidangan dalam acara tersebut. Orang yang sugih (kaya)

mereka tidak akan meminjam namun membuat atau membeli sendiri, biasanya dalam jumlah

banyak lima sampai sepuluh lasung dan halu.

Gambar 12. Lasung dan Halu (lesung dan alu)

Sumber: Dokumen Pribadi

Peribahasa Banjar tersebut menganalogikan keadaan seseorang yang mengalami hal tidak

menyenangkan secara bertubi-tubi. Lasung dan Halu dikategorikan sebagai benda yang

mencerminkan budaya yang mencakup perlengkapan dan peralatan hidup etnik Banjar. Lasung

terbuat dari kayu khas Kalimantan yang berasal dari batang pohon yang besar yakni Kayu Ulin,

hal ini membuat lasung memiliki bobot yang sangat berat, kuat dan tahan lama, kemudian

batang pohon yang sudah dipotong dan dipahat dan diberi lobang dengan kedalamam

bervariasi, lasung dilengkapi dengan halu atau alu yang berfungsi sebagai penumbuk. Lasung

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 60

tidak akan dapat digunakan tanpa penumbuk, Halu biasanya bisa patah jika terlalu lama

digunakan apalagi jika terbuat dari kayu yang bukan ulin. Panjang kurang lebih 2,5 meter, jika

patah maka akan susah menumbuk, maka harus diganti dengan halu lain (satu lesung biasanya

memiliki lebih dari satu alu) apalagi jika lesung yang hilang tambah tidak bisa untuk

menumbuk. Hal inilah yang diistilahkan sebagai kemalangan yang bertubi- tubi.

Lukah, dan Tampirai

Bukah ka hulu kana lukah bukah ka hilir kana tampirai

(Lari ke hulu kena bubu lari ke hilir kena tampirai perangkap ikan yang lebih besar.)

Artinya: Keadaan seseorang yang tidak punya pilihan, serba salah dalam segala situasi yang

berakibat buruk baginya.

(Jumbawuya, 2018, hlm. 77)

Lukah adalah alat untuk menangkap ikan secara tradisional, membuat lukah menjadi

matapencaharian bagi etnik Banjar khususnya yang tinggal di daerah Kabupaten Hulu Sungai

Utara, yakni Desa Tabalong Mati dan Waringin. Berbahan baku bambu yang dipotong-potong

dan diraut hingga menjadi bilah-bilah bambu yang siap dijalin dengan tali rotan. Bentuk lukah

sendiri beragam ada yang panjangnya 1,5 meter sampai 2 meter, dan dengan diameter yang

berbeda-beda pula tergantung jenis ikan yang ingin didapat, jika ingin menangkap ikan kecil

seperti ikan sanggiringa, papuyu, dan sapat maka dengan lukah yang lebih rapat dan ukuran

panjang disesuaikan dengan tempat menaruh lukah, disungai atau di persawahan. Jika di sungai

lukah yang biasa digunakan lebih besar agar lebih kuat menahan arus air.

Gambar13 . Lukah

Sumber: Dokumen Pribadi

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

61 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya

Gambar 14. Tampirai

Sumber: Deswati. 2013:33

Lukah secara umum saat ini memang masih banyak digunakan dalam kesaharian

masyarakat khususnya daerah pedesaan, yang menjadikan lukah sebagai refleksi budaya adalah

terkait kemampuan generasi muda khususnya di daerah yang notabennya pengerajin lukah

sudah mulai berkurang. Pengerajin berusia muda sudah mulai sulit ditemukan, para anak-anak

yang berusia remaja lebih memilih bekerja ke kota. Menjadi pengerajin lukah sudah mulai tidak

menjadi pilihan utama etnik Banjar dalam mata pencahariannya.

Laung (Ikat kepala)

Hangit sampai ka laung-laung

(Gosong sampai ke laung /ikat kepala khas etnik Banjar.)

Artinya: Amblas/ bangkrut/ rugi sampai habis sama sekali.

(Jumbawuya, 2018, hlm. 46)

Laung adalah ikat kepala tradisional khas etnik Banjar yang dipakai oleh laki-laki. Laung

terdiri atas dua pilihan model yakni pertama Laung Tukup artinya laung yang tertutup,

bentuknya menyerupai blangkon, kedua Laung Tinggi berbentuk segitiga dengan bagian atas

tidak tertutup. Laung Tinggi, biasanya diberi hiasan arguci (sejenis payet). Laung dengan hiasan

arguci berwarna kuning emas untuk mempelai pria dalam busana Pengantin Banjar, sedangkan

laung dengan hiasan arguci warna putih untuk busana Nanang Banjar. Khusus di daerah

Kabupaten Kota Baru, pengantin pria menggunakan Laung dari bahan kain berwarna hitam.

Gambar 15. Laung (ikat kepala tradisional etnik Banjar)

Sumber: https://dutatv.com/masdar-perkenalkan-laung-dan-kain-sasirangan-

ke-luar-daerah/

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 62

Peribahasa Banjar “hangit sampai ka laung-laung” mengibaratkan keadaan yang sangat

memprihatinkan kondisinya biasanya masalah ekonomi atau usaha seseorang yang sedang tidak

baik (bangkrut). Laung ibarat harta yang paling akhir dan letaknya di atas kepala saja sudah

hangit (hangus) makna lain dari habis bisa juga dimaknai dengan istilah terjual maka tidak

adalagi yang tersisa dari usaha orang tersebut.

Gasing

Kalimbatan tali gasing

(Terkena sentakan tali gasing.)

Artinya: Orang lain yang berbuat, malah kita yang menanggung akibatnya .

(Jumbawuya, 2018, hlm. 66)

Bagasing merupakan permainan tradisional yang juga bernasib sama dengan balogo.

Gasing sendiri adalah benda yang dibuat sedemikian rupa dari bahan kayu. Seutas tali diikat

pada gasing dan dilemparkan dalam sebuah arena. Gasing terbuat dari sebongkah kayu

berbentuk lonjong (simetris radial) dengan diameter sekitar 10-15 centimeter. Tinggi sebuah

gasing adalah sekitar 15-20 centimeter dengan salah satu ujung dibuat lancip dan memiliki

permukaan yang licin. Pada ujungnya, dipasang bahan logam sebagai poros putaran biasanya

menggunakan paku. Jenis kayu yang biasa digunakan antara lain kayu, mahoni dan ulin.

Sementara, tali penariknya cukup kuat terbuat dari sutra daun nana, berdiameter sekitar 0,5

centimeter dengan panjang 1-1,5 meter. Tali dililitkan ke gasing pada bagian ujung atas.

Kemudian ujung tali lainnya, dikaitkan ke jari pemain. Cara bermain gasing dilemparkan ke

bawah seperti membanting sesuatu, sehingga tali yang melilitnya membuat gasing tersebut

berputar. Sebuah gasing dapat berputar sekitar 2-5 menit.

Gambar 16. Gasing

Sumber: (https://gramho.com/explore-hashtag/BAGASING)

Area permainan yang digunakan berupa dua buah lingkaran. Lingkaran dalam berdiameter

1 meter sementara lingkaran luar berdiameter 5 meter. Setiap lingkaran memiliki nilai yang

berbeda. Begasing dilombakan secara berpasangan atau satu-lawan-satu. Kedua pemain harus

berusaha agar gasingnya berputar selama mungkin dan tetap berada di area permainan. Dalam

beberapa babak, para pemain gasing secara bergantian akan berusaha menjatuhkan gasing milik

lawan. Gasing yang terlempar keluar dari area permainan atau lebih dulu berhenti berputar

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

63 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya

dinyatakan kalah. Poin akan diberikan pada pemain yang berhasil mengeluarkan gasing lawan

atau gasingnya mampu berputar paling lama.

Makanan tradisional juga menjadi kata kiasan dalam peribahasa Banjar. Seperti yang

terdapat dapat peribahasa Banjar berikut,

Pajaan

Jangan mambuka pajaan

(Jangan membuka wadah membusukkan ikan.)

Artinya: Jangan sekali- kali membuka rasia pribadi kalau memang tidak ingin

mempermalukan diri sendiri.

(Jumbawuya, 2018, hlm. 55)

Pajaan biasa disebut juga wadi adalah teknik permentasi ikan khas etnik Banjar dengan

menggunakan garam, nasi, atau beras yang disangrai. Ikan yang telah dicampur dengan bahan

tersebut kemudian disimpan didalam wadah biasanya bentuknya toples agar dapat ditutup rapat

untuk menghindari belatung pada ikan karena adanya angin yang masuk kedalam wadah.

Gambar 17. Pajaan

Sumber: (https://nationalgeographic.grid.id/read/13286526/wadi-

fermentasi-ikan-ala-dayak-dan-banjar)

Pajaan dapat bertahan hingga berbulan- bulan bahkan ada yang tahunan, teknik pengawetan

ikan seperti ini akan menimbulkan aroma khas (seperti aroma busuk) dan cenderung membuat

rasa ikan menjadi asin. Tapi inilah uniknya iwak pajaan yang baunya menyengat akibat proses

pembusukan ikan menjadi penggugah selera bagi etnik Banjar. Adapun jika dikaitkan dengan

pemakaian kata pajaan dalam paribasa Banjar karena memiliki kesamaan maksud. Pajaan jika

dibuka akan menimbulkan aroma busuk atau bau tidak sedap sedangkan rahasia atau lebih

tepatnya aib diri seseorang jika diberitahu kepada orang lain nantinya juga akan

mempermalukan diri orang tersebut.

Sistem Berpikir

Etnik Banjar yang agamis memiliki sistem berpikir yang religius, hal tersebut dituangkan

dalam peribahasa Banjar yang mengandung nasihat dalam memilih jodoh seperti pada

peribahasa berikut,

Baik sakit di mata daripada sakit di hati

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 64

(Lebih baik sakit di mata daripada sakit di hati)

Artinya: dalam memilih jodoh agar lebih mengutamakan akhlak ketimbang rupa, apa guna

berwajah tampan dan cantik kalau tabiat sering menyakiti.

(Jumbawuya, 2018, hlm. 15)

Peribahasa Banjar yang mencerminkan budaya etnik Banjar kaitannya dengan sistem

berpikir etnik Banjar seringkali juga menjadi kritik bagi sikap seseorang yang dituju oleh

peribahasa seperti dalam peribahasa Banjar berikut,

Ampun surang disintak, ampun urang dikair

(Punya sendiri di tarik/ disimpan, punya orang lain di ambil.)

Artinya: Seseorang yang memiliki sikap egois yang selalu ingin mendapatkan atau

menggunakan benda orang lain sedangkan benda miliknya disimpan.

(Jumbawuya, 2018, hlm. 4)

Peribahasa yang bermuata kritik terhadap sikap atau perilaku negatif menjadi alternatif

untuk menyampaikan kritik secara halus, karena terkadang tidak semua orang memahami

maksud dari peribahasa Banjar yang dituturkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pada penelitian ini disimpulkan bahwa dalam pilihan kata (diksi) yang dijadikan sebagai

kiasan peribahasa Banjar selalu mengandung maksud, tujuan, dan objek berupa benda- benda

dan makhluk hidup yang terdapat di alam semesta. Hal demikian memperkuat kenyataan bahwa

dalam penciptaan sastra lisan yaitu peribahasa Banjar tersebut tergambar bagaimana hubungan

dan saling ketergantungan antara manusia dengan segala komponen organisme yang terdapat

dalam ekosistem alam. Adapun wujud ekologi yang melatari konteks kehadiran peribahasa

Banjar pada masyarakat etnik Banjar dapat golongkan menjadi tiga yakni wujud ekologi flora,

wujud ekologi fauna, dan wujud ekologi budaya.

Wujud ekologi flora dalam peribahasa Banjar yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu (a)

sayuran yakni rabung, kaladi, dan birah, (b) buah yakni tandui, binjai, dan (3) tanaman liar

yakni bamban. Dan jika dianalisis berdasarkan kesesuaian wujud ekologi flora yang digunakan

sebagai metafor dalam peribahasa Banjar yang diciptakan maka terdapat adanya pengamatan

etnik Banjar terhadap karakteristik ekologi flora yang digunakan sehingga memiliki kesesuaian

makna.

Wujud ekologi fauna dalam peribahasa Banjar adalah lingkungan yang berkaitan

dengan ekosistem hewan atau binatang, dalam peribahasa Banjar ditemukan jenis fauna yang

dijadikan kiasan untuk menggambarkan perilaku manusia. Ragam jenis fauna tersebut seperti

pilanduk (kancil), hayam (ayam), dan hantayung (siput). Sedangkan wujud ekologi budaya

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

65 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya

dalam peribahasa Banjar dapat dilihat 4 hal yakni Arsitektur rumah, peralatan dan perlengkapan

hidup, pakaian, permainan tradisional, makanan tradisional, dan sistem berpiki etnik Banjar.

Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ini, peneliti memberikan saran kepada masyarakat

khususnya etnik Banjar agar melestarikan sastra lisan yakni peribahasa Banjar agar tidak punah.

peribahasa Banjar banyak memuat wujud ekologi, baik wujud ekologi flora, wujud ekologi

fauna, dan wujud ekologi budaya etnik Banjar sehingga sepatutnya ekologi etnik Banjar dijaga

dan dilestarikan keberadaannya agar peribahasa Banjar menjadi lebih mudah dipahami oleh

generasi yang akan datang.

DAFTAR RUJUKAN

Endraswara, S. (2016). Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, dan

Penerapan. In Yogyakarta: Caps. CAPS (Center for Academic Publishing Service).

http://jateng.tribunnews.com/2016/03/18/sejarah-rebung-dan-manfaat-untuk-kesehatan-

ternyata-bisa-cegah-stroke diakses 02 April 2020.

https://www.wikiwand.com/id/Bira diakses 02 April 2020.

https://hasanzainuddin.wordpress.com/tag/asam-tandui/ diakses 05 April 2020.

http://411buah.blogspot.com/2014/09/binjai.html diakses 05 April 2020.

https://www.wikiwand.com/id/Bemban diakses 12 April 2020.

https://id.wikipedia.org/wiki/Bambu_ater diakses 22 April 2020.

https://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Bubungan_Tinggi diakses 02 April 2020.

https://www.dreamstime.com/photos-images/wood-nails.html diakses 12 April 2020.

https://kalsel.antaranews.com/foto/52612/dapur-nagara diakses 22 April 2020.

https://www.indonesiakaya.com/photo/detail/jelajah-indonesia/mengintip-keunikan-rumah-

adat-khas-banjar-kalimantan-selatan diakses 22 April 2020.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbkaltim/pola-tata-ruang-antara-rumah-banjar/ diakses

05 April 2020.

https://nationalgeographic.grid.id/read/13286526/wadi-fermentasi-ikan-ala-dayak-dan-banjar

diakses 22 April 2020.

Jumbawuya, A. (2018). 1001 Satu peribahasa Banjar pilihan. Penika Publisher.

Kusasi, Z. A . (2016). Identitas Kebanjaran dalam Peribahasa Banjar. Disertasi Program Studi

Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang.

Margono dan Wahyudi. (2017). Leksikon Hewan Penanda Kecerdasan Ekologi Bangsa

Indonesia dalam Peribahasa Nusantara. Jurnal Nasional Bahasa Dan Sastra, 207–215.

Moleong, L. J. (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). In PT. Remaja Rosda

Karya (p. 6).

Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 66

Rafiek, M. (2017). Teori sastra, dari kelisanan sampai perfilman. Program Studi Magister

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat dan

Pustaka Pelajar.

Santoso, T., & Surakarta, U. M. (2019). Kbsp leksikon ekologi masyarakat jawa dalam

paribasan jawa. September.