27
ISLAM DAN ISLAM DAN UNIVERSUM-SIMBOLIK UNIVERSUM-SIMBOLIK URANG URANG BANJAR BANJAR Oleh: Irfan Noor Oleh: Irfan Noor * * Abstract: Abstract: One of significant role of religion in society is to provide instruments of legitimation for involvement of man in society. Without this legitimation, man always will be "marginalized" from his involvement in society as social creature. This is what every religion wants to show in every social and historical strata and what Islam has done with Banjarese society. The choice of religion as basic identity of Banjarese society is an effort to legitimate their social existence as ethnic-group among the others. Persoalan interaksi Islam dengan budaya, termasuk budaya Banjar, pada intinya Persoalan interaksi Islam dengan budaya, termasuk budaya Banjar, pada intinya melibatkan suatu “pertarungan” atau setidaknya “ketegangan” antara doktrin agama yang melibatkan suatu “pertarungan” atau setidaknya “ketegangan” antara doktrin agama yang dipercaya bersifat absolut karena berasal dari Tuhan, dengan nilai-nilai budaya, tradisi, adat dipercaya bersifat absolut karena berasal dari Tuhan, dengan nilai-nilai budaya, tradisi, adat istiadat yang merupakan produk manusia, sehingga selalu tidak selaras dengan ajaran-ajaran istiadat yang merupakan produk manusia, sehingga selalu tidak selaras dengan ajaran-ajaran Ilahiyah. Hal ini bisa terjadi lantaran ketika agama memberikan manusia sejumlah konsepsi Ilahiyah. Hal ini bisa terjadi lantaran ketika agama memberikan manusia sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas yang didasarkan bukan pada pengalaman empiris kemanusiaan mengenai konstruksi realitas yang didasarkan bukan pada pengalaman empiris kemanusiaan melainkan dari otoritas ketuhanan, maka pada saat yang bersamaan konstruksi realitas melainkan dari otoritas ketuhanan, maka pada saat yang bersamaan konstruksi realitas transenden itu bagi manusia bukan satu-satunya paradigma yang membentuk atau transenden itu bagi manusia bukan satu-satunya paradigma yang membentuk atau mempengaruhi manusia. Manusia, melalui kemampuan nalar yang menghasilkan pengetahuan mempengaruhi manusia. Manusia, melalui kemampuan nalar yang menghasilkan pengetahuan atau bahkan dari pengalaman empirisnya, membangun konstruksi realitasnya sendiri, yang atau bahkan dari pengalaman empirisnya, membangun konstruksi realitasnya sendiri, yang mungkin berbeda ( mungkin berbeda ( vis-a-vis vis-a-vis ) dengan agama. ) dengan agama. Irfan Noor adalah dosen fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Alumnus program studi Ilmu Filsafat Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta ini juga aktif sebagai staf peneliti di Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK-3) Banjarmasin. 1

Universum Simbolik Orang Banjar

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Universum Simbolik Orang Banjar

ISLAM DANISLAM DANUNIVERSUM-SIMBOLIK UNIVERSUM-SIMBOLIK URANG URANG BANJARBANJAR

Oleh: Irfan NoorOleh: Irfan Noor∗∗

Abstract:Abstract:

One of significant role of religion in society is to provide instruments of legitimation for involvement of man in society. Without this legitimation, man always will be "marginalized" from his involvement in society as social creature. This is what every religion wants to show in every social and historical strata and what Islam has done with Banjarese society. The choice of religion as basic identity of Banjarese society is an effort to legitimate their social existence as ethnic-group among the others.

Persoalan interaksi Islam dengan budaya, termasuk budaya Banjar, pada intinyaPersoalan interaksi Islam dengan budaya, termasuk budaya Banjar, pada intinya

melibatkan suatu “pertarungan” atau setidaknya “ketegangan” antara doktrin agama yangmelibatkan suatu “pertarungan” atau setidaknya “ketegangan” antara doktrin agama yang

dipercaya bersifat absolut karena berasal dari Tuhan, dengan nilai-nilai budaya, tradisi, adatdipercaya bersifat absolut karena berasal dari Tuhan, dengan nilai-nilai budaya, tradisi, adat

istiadat yang merupakan produk manusia, sehingga selalu tidak selaras dengan ajaran-ajaranistiadat yang merupakan produk manusia, sehingga selalu tidak selaras dengan ajaran-ajaran

Ilahiyah. Hal ini bisa terjadi lantaran ketika agama memberikan manusia sejumlah konsepsiIlahiyah. Hal ini bisa terjadi lantaran ketika agama memberikan manusia sejumlah konsepsi

mengenai konstruksi realitas yang didasarkan bukan pada pengalaman empiris kemanusiaanmengenai konstruksi realitas yang didasarkan bukan pada pengalaman empiris kemanusiaan

melainkan dari otoritas ketuhanan, maka pada saat yang bersamaan konstruksi realitasmelainkan dari otoritas ketuhanan, maka pada saat yang bersamaan konstruksi realitas

transenden itu bagi manusia bukan satu-satunya paradigma yang membentuk atautransenden itu bagi manusia bukan satu-satunya paradigma yang membentuk atau

mempengaruhi manusia. Manusia, melalui kemampuan nalar yang menghasilkan pengetahuanmempengaruhi manusia. Manusia, melalui kemampuan nalar yang menghasilkan pengetahuan

atau bahkan dari pengalaman empirisnya, membangun konstruksi realitasnya sendiri, yangatau bahkan dari pengalaman empirisnya, membangun konstruksi realitasnya sendiri, yang

mungkin berbeda (mungkin berbeda (vis-a-visvis-a-vis) dengan agama.) dengan agama.

Irfan Noor adalah dosen fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Alumnus program studi Ilmu Filsafat Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta ini juga aktif sebagai staf peneliti di Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK-3) Banjarmasin.

1

Page 2: Universum Simbolik Orang Banjar

Konstruksi realitas yang bersifat kemanusiaan inilah yang kemudian dikenal sebagaiKonstruksi realitas yang bersifat kemanusiaan inilah yang kemudian dikenal sebagai

tradisi, adat atau secara umum disebut “budaya” kemanusiaan. Tradisi atau adat ini, tentu saja,tradisi, adat atau secara umum disebut “budaya” kemanusiaan. Tradisi atau adat ini, tentu saja,

dapat dipengaruhi oleh konstruksi realitas transenden tadi melalui interaksi tertentu. Namundapat dipengaruhi oleh konstruksi realitas transenden tadi melalui interaksi tertentu. Namun

demikian, ketegangan tercipta ketika kedua bentuk konstruksi realitas itu “bersikukuh”demikian, ketegangan tercipta ketika kedua bentuk konstruksi realitas itu “bersikukuh”

mempertahankan eksistensi masing-masing. Sebaliknya, ketegangan itu “menyusut” ketikamempertahankan eksistensi masing-masing. Sebaliknya, ketegangan itu “menyusut” ketika

salah satu pihak memberikan akomodasi kepada pihak lainnya. Dilihat dari segi ini, makasalah satu pihak memberikan akomodasi kepada pihak lainnya. Dilihat dari segi ini, maka

ketegangan yang terjadi di dalam interaksi Islam dengan budaya boleh jadi bersifat perennial,ketegangan yang terjadi di dalam interaksi Islam dengan budaya boleh jadi bersifat perennial,

terus berkelanjutan. Bahkan, “pertarungan” atau setidaknya “ketegangan” antara agama denganterus berkelanjutan. Bahkan, “pertarungan” atau setidaknya “ketegangan” antara agama dengan

budaya telah menjadi gejala universal semua masyarakat yang secara sengaja membangunbudaya telah menjadi gejala universal semua masyarakat yang secara sengaja membangun

sistem religinya lewat akomodasi terhadap produk sistem kepercayaan yang ada di luar prosessistem religinya lewat akomodasi terhadap produk sistem kepercayaan yang ada di luar proses

internal kebudayaan setempat. internal kebudayaan setempat.

Membaca kerangka pikir demikian, tentunya, sangat menarik jika refleksi ini diturunkanMembaca kerangka pikir demikian, tentunya, sangat menarik jika refleksi ini diturunkan

untuk membaca interaksi dan akomodasi Islam dengan kebudayaan dalam masyarakat Banjar.untuk membaca interaksi dan akomodasi Islam dengan kebudayaan dalam masyarakat Banjar.

Menarik lantaran Islam, yang menjadi sumber “pertarungan” atau “ketegangan” tersebut,Menarik lantaran Islam, yang menjadi sumber “pertarungan” atau “ketegangan” tersebut,

diasumsikan oleh banyak pakar, telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abaddiasumsikan oleh banyak pakar, telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad

silam.silam.11 Menariknya lagi, akomodasi masyarakat Banjar yang begitu rupa terhadap Islam tidak Menariknya lagi, akomodasi masyarakat Banjar yang begitu rupa terhadap Islam tidak

justru menyurutkan adanya dinamika “pertarungan” atau “ketegangan” antara keduanya.justru menyurutkan adanya dinamika “pertarungan” atau “ketegangan” antara keduanya.

Mengapa demikian ? Tentunya, penelisikan atas masalah ini akan menjadi penting sebagai suatuMengapa demikian ? Tentunya, penelisikan atas masalah ini akan menjadi penting sebagai suatu

usaha untuk memahami kembali bagaimana interaksi dan akomodasi Islam dengan budayausaha untuk memahami kembali bagaimana interaksi dan akomodasi Islam dengan budaya

secara lebih spesifik dalam konteks masyarakat Banjar.secara lebih spesifik dalam konteks masyarakat Banjar.

Manusia dan MasyarakatManusia dan MasyarakatBerbicara tentang interaksi dan akomodasi agama dengan budaya dalam sebuah

masyarakat yang dikaitkan dengan titik-tolak identifikasi sosialnya, pada dasarnya, berbicara

tentang apa yang menjadi dasar-pijak masyarakat itu dalam mempertahankan kelangsungan dan

kohesivitas eksistensinya di tengah-tengah entitas komunitas lainnya. Oleh karena itu, jika

memang penelisikan ini ditujukan untuk mengungkap problem dasar pijak suatu masyarakat

dalam rangka memperjelas pola interaksi dan akomodasi agama dan budaya, maka

sesungguhnya penelisikan ini, mau tidak mau, akan bersinggungan dengan persoalan hakikat

1 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm. 504.

2

Page 3: Universum Simbolik Orang Banjar

masyarakat itu sendiri. Mengapa penelisikan ini harus bermuara demikian ? Jawabannya tidak

lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Peter L. Berger,2 menyangkut hakikat masyarakat itu

yang bersifat konstruktif (socially constructed). Hal ini karena masyarakat bukanlah sesuatu yang

hadir secara alamiah dan tumbuh dari suatu esensinya yang ontologis, namun merupakan

buatan, konstruksi, dan dan produk manusia sendiri, yang hanya ada sebagai produk aktivitas

manusia.3 Dengan kata lain, masyarakat ada lantaran untuk memenuhi kebutuhan dasar

manusia itu sendiri yang diciptakan dalam keadaan yang “belum selesai”. Oleh karena itulah,

masyarakat tidak merupakan bagian dari “kodrat alam”, dan tidak dijabarkan dari “hukum-

hukum alam”. Dalam konteks inilah, Berger lalu menandaskan suatu karakter dari masyarakat

manusia yang menjadi inti dari realitas dunia sosial manusia, sebagai berikut:

Masyarakat terdiri dan diselenggarakan oleh manusia yang melakukan aktivitas. Pola-polanya selalu berhubungan dengan ruang dan waktu, tidak tersedia di alam, tidak juga bisa disimpulkan secara apa pun dari “hakikat manusia”.4

Oleh karena masyarakat itu pada hakikatnya bersifat konstruktif, maka tidak aneh

kemudian jika diasumsikan bahwa kebudayaan yang terstruktur dalam masyarakat juga tidak

pernah memiliki stabilitas yang kokoh sebagaimana dunia alamiah. Watak inheren dari dunia

sosial adalah perubahan. Asumsi ini tampak sekali dari penjelasan Berger sebagai berikut:

“Kebudayaan ... tetap merupakan sesuatu yang sangat berbeda dari alam justru karena merupakan hasil dari aktivitas manusia sendiri ... Karena itu strukturnya secara inheren adalah rawan dan ditakdirkan untuk berubah ...”.5

Jika problem watak masyarakat yang bersifat konstruktif (socially constructed) ini ditelaah

lebih jauh secara filosofis berdasar teori Universum Simbolik yang dibangun Peter L. Berger,

maka titik-tolak problem ini tidak lain ada pada hakikat manusia itu sendiri. Mengapa titik-

tolaknya ada di sana ? Jawabnya, menurut Berger, karena hakikat manusia itu sendiri tidaklah

dibentuk dari suatu substratum yang mendasari kodratnya, namun diandaikan atas eksistensi

2 Penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada Prof. Dr. M. Amin Abdullah dan Prof. Dr. Michel Sastrapratedja, SJ., yang semasa penulisan tugas akhir untuk memperoleh gelar magister di bidang Ilmu Filsafat, penulis mendapatkan bimbingan yang tak ternilai harganya dalam memahami keseluruhan struktur pemikiran Peter L. Berger.

3 Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, (New York: Anchor Books, 1967), hlm. 52.

4 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Element of a Sociological Theory of Religion, (New York: Anchor Books, 1969), hlm. 7.

5 Peter L. Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 6.

3

Page 4: Universum Simbolik Orang Banjar

yang sadar akan dunia. Secara fenomenologis, eksistensi yang dikonsepsikan oleh Berger di sini,

tentunya, mengandung arti ontologis, yakni suatu “keterlibatan” di-dalam-dunia. Hanya melalui

“keterlibatan” di-dalam-dunia inilah kehadiran manusia dapat bermakna “menjadi manusia”.6

Artinya, manusia dalam konteks tersebut secara terus menerus harus melakukan suatu proses

eksternalisasi diri, yang tidak lain merupakan proses bereksistensi secara sosial. Oleh karena

itulah, kedirian manusia tidaklah bermakna “Aku” yang terisolasi, tetapi Aku yang selalu

melibati dunia.

Berger merumuskan ungkapan ini sebagai berikut:

... tidak ada kodrat (nature) insani dalam arti suatu substratum yang telah ditetapkan secara biologis dan yang menentukan keanekaragaman bentukan-bentukan sosio-kultural. Yang ada hanyalah kodrat insani dalam arti konstanta-konstanta antropologis ... yang membatasi dan memungkinkan bentukan-bentukan sosio-kultural manusia. Tetapi bentuknya yang khusus dari keinsanian itu ditentukan oleh bentukan-bentukan sosio-kultural itu dan berkaitan dengan variasi-variasinya yang sangat banyak itu. Sementara bisa saja dikatakan bahwa manusia mempunyai kodrat, adalah lebih berarti untuk mengatakan bahwa manusia mengkonstruksi kodratnya sendiri; atau lebih sederhana lagi, bahwa manusia menghasilkan dirinya sendiri.7

Dalam konteks inilah, pertama-tama, bisa dipahami bahwa “keterlibatan” di-dalam-

dunia bagi manusia merupakan keharusan antropologis. Keberadaan manusia tidak mungkin

berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Keberadaan

manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas.8

Asumsi ini, tentunya, jika dilihat melalui perspektif Heidegger menunjukkan ciri hakiki

dari manusia yang paling umum, yakni “ada-di-dalam-dunia”. “Ada-di-dalam”, dalam

perspektif eksistensialisme, menunjukkan bahwa kedirian manusia sangat ditentukan oleh

bentuk keterlibatannya dengan dunia. Tidak ada cara berada manusia yang dapat digambarkan

tanpa keterlibatannya dengan dunia.9 Heidegger menyatakan hal ini sebagai berikut:

“Dunia Dasein (manusia) adalah suatu dunia-bersama (mitwelt). ‘Ada-di-dalam’ adalah Ada-bersama yang lain. Dengan demikian, ada-dalam-diri-mereka-sendiri dalam dunia adalah Dasein-bersama (mit Dasein)”.10

6 William A. Luijpen, William A. Luijpen, O.S.A., Existential Phenomenology, translt. by Albert Dondeyne, (New York: Duquesne Univ. Press, 1960), hlm. 19.

7 Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 49.8 Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 70. 9 Martin Heidegger, Being and Time, translt. by John Macquarrie & Edward Robinson, (San

Fransisco: Harper, 1962), hlm. 365.10 Martin Heidegger, Being and Time…, hlm. 155.

4

Page 5: Universum Simbolik Orang Banjar

“Ada-di-dalam-dunia” di sini, tentunya, bagi manusia bukan merupakan “ada-yang-

pasif”, namun justru merupakan “ada-yang-aktif”. Oleh karena itu, sudah barang tentu,

keaktivan ini merupakan sumber semua aktivitas manusia yang “ada-di-dalam-dunia”. Jika

memang masyarakat dan kebudayaan diasumsikan sebagai hasil aktivitas manusia, maka sudah

barang tentu juga “ada-manusia-di-dalam-dunia” merupakan titik-tolak yang paling

fundamental bagi suatu keberadaan masyarakat dan kebudayaan.

Namun demikian, walaupun masyarakat dan kebudayaan merupakan konstruksi

manusia itu sendiri, namun kehadiran masyarakat dan kebudayaan mempunyai potensi untuk

menghasilkan berbagai konstruksi objektif yang independen, yang eksistensinya tidak bisa

dinafikan atau diabaikan begitu saja. Bahkan, ada kecenderungan untuk mempengaruhi balik

pola dan corak tindakan individu manusia. Hal ini karena aktivitas manusia yang telah menjadi

realitas objektif ini mampu mengkondisikan manusia, baik secara individu maupun sosial,

untuk menyesuaikan diri dengan produknya. Masalah ini dapat terjadi karena bentang historis

manusia individual, pada dasarnya, lebih pendek jika dibandingkan dengan bentang historis

masyarakat yang telah ada dengan berbagai tingkat keluasan unit yang berbeda.11 Ini artinya,

dunia adalah sekitarku yang tidak berada di sana begitu saja, tetapi dipengaruhi dan

mempengaruhi aku.12

Kondisi ini bisa diilustrasikan melalui ungkapan Marx sebagai berikut:

“Manusia memang pembuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya secara sesukanya; mereka tidak membuat sejarah dalam lingkungan yang mereka pilih sendiri, tetapi dalam lingkungan yang secara langsung dihadapi dari masa lalu. Tradisi dari semua generasi yang telah tiada menekan seperti suatu mimpi buruk dalam benak orang yang masih hidup”.13

Oleh karena itu, masyarakat dan kebudayaan secara dialektis merupakan kenyataan

subjektif sekaligus juga kenyataan objektif. Inilah yang dimaksud dengan manusia dan

masyarakat-kebudayaan selalu mengalami proses dialektika yang terus-menerus. Di sini,

hubungan individu-manusia dengan sosialitasnya tidak bisa dipahami dalam kerangka kausalitas

11 Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 8.12 Karlina Leksono-Supeli, Aku dalam Semesta: Suatu Kajian Filsafat atas Hubungan Subjek-Objek di

dalam Kosmologi, (Tesis MA), (Jakarta: Program Pascasarjana UI, 1994), hlm. 64.13 Dikutip dari kutipan langsung Ritzer dalam George Ritzer, Classical Sociological Theory, (New

York: McGraw-Hill Int., 1996), hlm. 154.

5

Page 6: Universum Simbolik Orang Banjar

linear, sebagaimana kecenderungan kuat yang muncul pada pemahaman “ilmu-ilmu positif”

terhadap realitas sosial.14 Hal ini karena kedua proses tersebut bukan merupakan hubungan

kausal linear, sehingga tidak tepat jika dinyatakan bahwa proses yang satu merupakan sebab

dan proses yang lain merupakan akibat. Dalam kerangka seperti ini, setiap momentum proses

merupakan sebab sekaligus akibat, atau akibat sekaligus sebab. Artinya, “sebab” dan “akibat” di

tingkat realitas sosial selalu bersifat saling mengandaikan.15

Sampai pada masalah ketidaklinearan hubungan “sebab” dan “akibat” antara manusia

dan dunianya (masyarakat – kebudayaan) inilah, dan ditambah lagi oleh sifat dari dunia sosial

yang memiliki watak untuk berubah, muncullah persoalan yang sangat fundamental dalam

wilayah eksistensi manusia. Persoalan tersebut adalah suatu kenyataan yang memiliki dimensi

ganda. Pertama, justru karena watak inheren manusia selalu memberi keharusan untuk

keterlibatan aktif dan watak inheren dunia sosial adalah perubahan, maka selalu terbuka

kemungkinan bagi manusia untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan realitas objektifnya

atau menolaknya sama sekali realitas objektif yang ada dihadapannya. Penolakan berarti

kemungkinan bagi manusia untuk membentuk realitas objektif yang baru. Kedua, dengan

penolakan pula bahwa dunia sosial selalu dihadapkan pada tingkat kerawanan yang tinggi

terhadap berbagai gejala instabilitas. Artinya, tidak ada jaminan yang bisa menetapkan bahwa

tatanan sosial objektif yang sekarang ini bisa tetap bertahan dan terus-menerus menjadi

pegangan bersama masyarakat. Dengan demikian, wilayah eksistensi manusia dalam suatu

dunia sosial selalu rawan terhadap anomi dan chaos.16

Potensi anomalis ini semakin rentan lagi karena titik-tolak pengalaman manusia yang

sesungguhnya di dalam dunia sosial adalah pengalaman sehari-hari. Sementara rentang historis

yang melingkupi kehidupan sosialnya berada di luar jangkauan pengalaman sehari-hari tiap

individu yang tinggal di dalamnya. Dalam konteks inilah, manusia dalam kehidupan sosialnya

14 Lihat penjelasan yang lebih rinci pada kedua buku Peter L. Berger, Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective, (England: Penguin Books, 1963), dan Peter L. Berger, Sociology Reinterpreted: An Essay on Method and Vocation, (Englanda: Penguin, 1963).

15 Finn Collin, Social Reality, (London: Routledge, 1997), hlm. 64-79. Lihat juga penjelasan yang paling baru tentang masalah dialektika sosial ini dalam perspektif teori strukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens dalam Anthony Giddens, The Constitution of Society; Outline of the Theory of Structuration, (Cambridge: Polity Press, 1984), khususnya bab I & II, hlm. 1-109. Lihat juga beberapa kajian kritis tentang masalah ini dalam David Held (ed.), Social Theory of Modern Societies, (New York: Cambridge Univ. Press, 1989).

16 Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 70-89.

6

Page 7: Universum Simbolik Orang Banjar

selalu dihadapkan dengan apa yang oleh kaum eksistensialis sebut sebagai “pengalaman

batas”.17 Berger menyebut situasi ini dengan “keberhinggaan eksistensial”, dimana manusia

dalam memasuki dunia sosial yang memiliki rentang waktu yang luas tidak mampu terlibat

secara penuh karena ia dibatasi oleh titik-tolak pengalaman sehari-harinya.18

Anomali dan Kebutuhan terhadap LegitimasiBerbicara tentang potensi anomalis yang inheren dalam masyarakat dan kebudayaan,

mau tidak mau, akan bersinggungan dengan pembahasan tentang dasar legitimasi masyarakat

dan kebudayaan yang bersifat objektif atas individu-individu yang mendiaminya.

Legitimasi di sini berfungsi sebagai struktur dasar kemasuk-akalan (plausibility)

masyarakat dan kebudayaan yang objektif di tingkat individu-individu yang mendiaminya.19

Masalah ini sering mempengaruhi setiap proses penerimaan atau penyerapan yang terus-

menerus realitas objektif dalam struktur kesadaran subjektif individu-manusia dalam tahap

internalisasi-nya, sehingga mengganggu kesesuaian pengetahuan individu dengan cadangan

pengetahuan yang ada pada masyarakat. Jika ini terjadi, maka muncul suatu a-simetri antara

masyarakat dan individu yang menghuninya.

Dalam konteks ketidak-simetrian inilah, sesungguhnya, gejala-gejala anomali dan chaos

menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Artinya, manusia, dalam situasi tersebut, berada

dalam kondisi yang selalu dihadapkan dengan proses marjinalisasi situasi-situasi kehidupan,

yakni keluar dari batas-batas tatanan yang telah ditentukan. Dalam situasi ini, terjadi semacam

diskontinuitas hubungan manusia dengan asumsi-asumsi dasar yang melandasari tatanan

masyarakat yang dihuninya. Pada situasi inilah, manusia sering diganggu penerimaannya yang

begitu saja terhadap karakteristik kenyataan hidup sehari-hari sebagai “yang tertib dan tertata”.

Oleh karena itulah, untuk bertahan dalam situasi demikian, manusia sudah sepatutnya

memerlukan legitimasi atas tatanan sosial objektif yang di diaminya.

Legitimasi di sini menyangkut “prosedur” yang mampu membangun struktur kemasuk-

akalan (plausibility structure) dunia sosial objektif di hadapan individu-individu yang

mendiaminya, sehingga mampu memberikan padanya kelangsungan yang terus-menerus.

17 Alfred Schutz, On Phenomenology and Social Relation, Edited and with Introduction by Helmut R. Wagner, (Chicago: The Univ. of Chicago Press, 1970), hlm. 252-254.

18 Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 21-23. 19 Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 92.

7

Page 8: Universum Simbolik Orang Banjar

Begitu pentinganya prosedur seperti ini lantaran masyarakat dan kebudayaan itu sendiri

merupakan kenyataan historis, yang sampai pada generasi baru sebagai tradisi, sementara

bentang historis manusia-individual lebih pendek dibandingkan dengan bentang historis dunia

sosial dengan berbagai tingkat keluasan unit yang berbeda. Dengan demikian, legitimasi

merupakan prosedur untuk tetap “berorientasi realitas (tetap berada dalam realitas yang

didefinisikan secara resmi) dan “kembali ke realitas (kembali dari situasi marjinal ke nomos

yang ditetapkan).20 Prosedur ini dijalankan untuk memberikan kesahihan kognitif kepada

tatanan yang sudah diobjektifikan.21

Sampai pada level bahasan di atas, ada berbagai bentuk dan tingkatan legitimasi, dari

yang paling sederhana sampai yang paling lengkap, yang diperlukan oleh suatu tatanan sosial.

Di antara berbagai bentuk dan tingkatan legitimasi tersebut, adalah legitimasi dalam bentuk

“universum-simbolik” yang terbukti sepanjang sejarah sangat penting dalam sejarah

masyarakat-manusia. Dianggap sangat penting karena luasnya kemampuannya dalam

mengintegrasikan berbagai bidang makna dan tatanan kelembagaan untuk diabsahkan secara

kognitif dalam suatu totalitas simbolis.22 Atas dasar kemampuan dari bentuk legitimasi inilah, ia

mampu menentukan batas-batas kenyataan sosial,23 sehingga secara lebih jauh mampu

bertindak sebagai pedoman kognitif sosial individu dalam masyarakat.24

Sementara di antara sekian banyak instrumen legitimasi tingkat universum simbolik itu

sendiri adalah agama. Hal ini karena agama, secara historis, mampu menciptakan naungan

berupa tata lambang demi keterpaduan masyarakat. Tata lambang ini memuat berbagai makna,

nilai, dan kepercayaan dalam suatu masyarakat yang “disatupadukan” dalam penefsiran atas

realitas. Agama mampu menghubungkan hidup manusia dengan kosmos sebagai keseluruhan.

Kemampuan tersebut didasarkan atas kemampuan dari agama dalam mentransendir

dan menintegrasikan manusia atas berbagai “batas-batas” realitas yang melingkupi wilayah

eksistensi hidupnya sehari-hari. Dengan kemampuan inilah, agama bisa menjadi dasar dari

proyeksi manusia dalam mengatasi keberhinggaan eksistensialnya (to transcend the finitude of

20 Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 24.21 Peter L. Berger, The Social Construction of Reality…, hlm. 93.22 Peter L. Berger, The Social Construction of Reality…, hlm. 137.23 Peter L. Berger, The Social Construction of Reality…, hlm. 146.24 Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 21-22.

8

Page 9: Universum Simbolik Orang Banjar

individual existence). Keberhinggaan eksistensial di sini adalah “situasi batas”, yang oleh Schutz

disebut sebagai “daerah-daerah makna yang terbatas” (the finite provinces of meaning).25

Dengan kemampuan ini, konstruksi-konstruksi historis dari aktivitas manusia dengan

sendirinya dapat dibimbing oleh agama untuk dilihat dari suatu titik yang tertinggi, yang meng-

atas-i (transcend) sejarah maupun manusia.26 Agama, melalui titik tertinggi tersebut,

menempatkan semua pengalaman-pengalaman individu dan berbagai tatanan sosialnya dalam

konteks suatu sejarah yang meng-atas-i mereka semua.27 Hal ini bisa dilakukan karena agama

mampu memberikan realitas-realitas itu suatu status kognitif yang lebih tinggi, yang secara total

mampu memberi dasar dalam meng-atas-i semua dimensi yang hanya manusiawi.28 Oleh karena

itu, jelaslah sampai pada konteks ini, bahwa apa yang dimaksud dengan tujuan fundamental

dari legitimasi agama adalah transformasi produk manusia menjadi faktisitas supramanusiawi

dan nonmanusiawi.29 Hal ini, tentunya, agar kehadiran dunia sosial bagi individu menjadi

kewajaran yang semestinya.30

Agama dan Transendensi Realitas SosialBerbicara tentang dimensi transendentalitas agama, secara tidak langsung, berbicara

tentang persoalan yang sangat fundamental bagi setiap proses eksistensi sosial manusia, yakni

kebutuhan akan transendensi itu sendiri. Kebutuhan akan transendensi ini tidak lain,

sebagaimana yang dijelaskan di atas, merupakan ungkapan atas “pengalaman batas” yang selalu

melingkupi setiap proses eksistensi sosial manusia. Adapun transendensi yang dilakukan oleh

manusia itu sendiri tidak bisa bersifat total tanpa disandarkan pada “Yang Mutlak Lain” yang

bersifar kudus sebagai tujuannya yang paling purna. Dalam hal inilah, agama menjadi sangat

penting karena suasana keagamaan mampu menciptakan situasi yang bersifat demikian.31

Dalam konteks ini, Van der Leeuw, menggambarkan fungsi sosial agama sebagai:

Perluasan kehidupan sampai batas-batas yang paling jauh. Manusia religius ingin suatu kehidupan yang lebih kaya, lebih dalam dan lebih luas; ia menginginkan kuasa untuk 25 Alfred Schutz, On Phenomenology and Social Relation…, hlm. 253.26 Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 33.27 Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 40.28 Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 43-82.29 Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 89.30 Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 24.31 Norman Geisler & Corduan Winfried, Philosophy of Religion, (Michigan: Grand Rafids, 1988),

hlm.39.

9

Page 10: Universum Simbolik Orang Banjar

dirinya. Dengan kata lain, manusia ingin mencari di dalam dan pada kehidupan suatu keunggulan agar ia dapat menggunakan atau agar ia dapat memujanya”.32

Asumsi ini ditekankan karena menyangkut apa yang telah dijelaskan sebelumnya

tentang karakter kedirian manusia, yang dianggap masih selalu dalam proses “menjadi”.

Manusia, singkatnya, merupakan mahluk yang “belum selesai”. Manusia, dalam hal ini,

menerima kehidupan tidak begitu saja. Ia mencari kuasa untuk meningkatkan kehidupannya,

untuk memberi makna yang lebih luas dalam dan pada kehidupannya.33 Pencarian manusia

akan kuasa ini tidak hanya membawanya sampai ke batas, tetapi manusia juga tahu bahwa ia

sampai ke daerah asing. Manusia sadar bahwa ada sesuatu yang me-nyambutnya, sesuatu “Yang

Mutlak Lain”.34

Dalam konteks kapasitas itulah, agama mampu memberikan apa yang disebut oleh Paul

Tillich the universal ultimate concern. Agama dengan demikian sebagaimana Eliade ungkapkan juga

merupakan solusi paradigmatik bagi setiap krisis eksistensial. Hal ini mengingat agama

dipercaya mampu membawa ke asal-usul yang transenden, sehingga memungkinkan manusia

mentransendir situasi personal dan akhirnya memperoleh akses dengan dunia lain.35

Apa yang telah menjadi asumsi tentang kapasitas transendensi agama di atas,

sesungguhnya, tidaklah bisa dilepaskan dari pola struktur pengalaman agama itu sendiri.

Artinya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Rodolf Otto dalam bukunya The Idea of the Holy,

pengalaman agama itu memiliki kekhasan tersendiri dalam keseluruhan pengalaman manusia

karena merupakan pengalaman yang terjadi dalam “ruang bagian sebelah dalam” (inner space)

manusia. Dalam “ruang sebelah dalam” tersebut, ada suatu struktur a-priori terhadap sesuatu

yang irasional. Struktur ini persis sebagaimana struktur a priori terhadap rasionalitas manusia

sebagaimana yang dikemukakan oleh Kant dalam filsafat-nya mengenai akal-budi manusia.

Struktur tersebut, menurut Otto, terletak dalam “perasaan hati”. Salah satu struktur a

priori yang irasional yang merupakan perlengkapan jiwa manusia ini adalah “kesadaran

beragama” (sensus religiusus). Jika setiap kesadaran itu sifanya intensional, maka kesadaran

beragama pun bersifat demikian. Artinya, manusia dalam kesadaran beragama keluar dari

32 Van deer Leeuw, Religion in Essence and Manifestation, (New York: Gloucester, 1967), hlm. 112.33 Van deer Leeuw, Religion in Essence and Manifestation …, hlm. 150.34 Van deer Leeuw, Religion in Essence and Manifestation…, hlm. 160.35 Mircea Eliade, The Sacred and The Profan, (New York: Harper and Row Publ., 1957), hlm.

210-211.

10

Page 11: Universum Simbolik Orang Banjar

dirinya sendiri menuju “Yang Maha Lain” yang mampu menciptakan kekudusan. Kesadaran

beragama, dengan demikian, adalah kesadaran akan “Yang Kudus”. Ini artinya, kesadaran

beragama adalah bentuk kepekaan kepada “Yang Kudus”. Kesadaran beragama inilah yang

membuat manusia mengalami hal-hal yang sifatnya duniawi sebagai petunjuk dari hal-hal

“Yang Ilahi”. Pengalaman inilah yang menyediakan bahan untuk “mengisi” gagasan “Allah”,

yang menurut Kant semata-mata formal. Artinya, ia dirumuskan begitu saja, dan manusia

melalui ini secara intuitif dan afektif mampu melihat misteri “Yang Ilahi” melalui penampakan

simbol-simbol duniawi.36

Dari semua struktur pengalaman keagamaan tersebut, secara fenomenologis, cenderung

menciptakan perasaan “ketergantungan yang total”. Itulah sebabnya Schleiermacher

menggambarkan pengalaman agama sebagai “perasaan ketergantungan mutlak” (feeling of

absolute dependence).37 Perasaan ini muncul karena manusia terhadap “Yang Kudus” mengalami

suatu perasaan misterium tremendum (menakutkan) dan misterium fascinosum (mempesona).38

Perasaan yang saling bertentangan itu timbul dari sifat-sifat objek perasaan-perasaan

keagamaan manusia. Di satu pihak, objek perasaan itu dialami sebagai bersifat tak terhampiri,

dahsyat, dan luar biasa. Sesuai dengan sifat-sifat ini, manusia merasa dirinya sebagai “mahluk”,

merasa dirinya sebagai ciptaan saja. Perasaan keterciptaan (creature-consciousness) ini merupakan

pantulan subjektif dari sifat yang dimiliki oleh objek pengalaman beragama itu. Di pihak lain,

Yang Ilahi dialami sebagai suatu misteri yang menentramkan hati manusia yang gelisah.39

Perasaan-perasaan inilah yang sesungguhnya memungkinkan agama menjadi prosedur bagi

suatu transendensi dalam “pengalaman batas”.

Agama, dengan kemampuan transendensi ini, pada akhirnya mampu memberikan basis

legitimasi bagi eksistensi sosial manusia. Pasalnya, melalui transendensi ini, terjadi semacam

transformasi produk-produk sosial yang sekedar manusiawi menjadi faktisitas supramanusiawi

dan non-manusiawi. Muaranya adalah terbentuk dasar kognitif dan ontologis bagi kestabilan

dunia sosial yang menjadi tempat tinggal manusia untuk jangka waktu yang lebih lama. Dengan

demikian, berbagai bentuk kerawanan dari anomi dan chaos dapat dihindari sebagai fakta

kestabilan dunia sosial dan proses eksistensi sosial manusia yang di dalamnya.

36 Rodolf Otto, The Idea of the Holy…, (England: Penguin Books, 1959), hlm. 143-148.37 Rodolf Otto, The Idea of the Holy…, hlm. 9.38 Rodolf Otto, The Idea of the Holy…, hlm. 12-13.39 Rodolf Otto, The Idea of the Holy…, hlm. 19-24.

11

Page 12: Universum Simbolik Orang Banjar

Islam dan Masyarakat BanjarA. Islam dan Konstruksi Identitas Banjar

Jika kerangka teori di atas dijadikan kerangka pikir untuk memahami keterkaitan yang

begitu kuat antara Islam dan masyarakat Banjar sebagaimana yang selama ini diasumsikan oleh

banyak pakar, tentunya, sedikit banyak akan menjawab persoalan yang mendasar tentang

mengapa Islam itu menjadi begitu identik bagi masyarakat Banjar, dan juga mengapa

masyarakat Banjar menjadikan agama sebagai identitas simboliknya.

Atas dasar kerangka teori yang menjelaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan itu

sifatnya konstruktif, maka begitu pula dengan masyarakat Banjar itu sendiri. Masyarakat Banjar

bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tapi ia merupakan konstruksi historis secara sosial suatu

kelompok manusia yang menginginkan suatu komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di

kepulauan Kalimantan ini. Artinya, masyarakat Banjar bukanlah suatu kodrat alamiah yang

dijabarkan dari “hukum-hukum alam”, tapi merupakan produk aktivitas manusia.

Hal ini bisa dilihat melalui gambaran historis masyarakat Banjar itu sendiri. Mungkin

memang benar adanya bahwa cikal-bakal nenek moyang orang-orang Banjar adalah pecahan

sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu, berimigrasi secara besar-

besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya. Peristiwa perpindahan besar-besaran

sukubangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti nenek moyang sukubangsa Banjar,

diperkirakan terjadi pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya.40 Imigrasi besar-besaran dari

sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satu gelombang sekaligus.

Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali suku Dayak Bukit yang sekarang ini

mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang yang

pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan.

Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang menjadi

kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar.41 Dari cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi

dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar.42

40Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm.31.

41 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar;…, hlm.25.42 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 504-505.

12

Page 13: Universum Simbolik Orang Banjar

Alfani Daud menjelaskan perihal tentang cikal-bakal masyarakat Banjar ini sebagai

berikut:

Pada abad ke-16 ... masyarakat Banjar terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan ambilinial bubuhan, yang menempati wilayah pemukiman tertentu dan yang masing-masing merupakan unit pemerintahan sendiri-sendiri yang otonom. Beberapa pemukiman bubuhan membentuk sebuah kampung, dan salah seorang tokoh bubuhan yang paling berpengaruh dalam kampung itu diakui sebagai penguasa dalam kampung tersebut. Beberapa buah kampung dikoordinasi oleh seorang lurah, yaitu tokoh bubuhan yang paling berpengaruh dalam lingkungan tersebut. Beberapa kelurahan (tempat kedudukan seorang lurah) ditempatkan dalam koordinasi seorang lalawangan, yang dapat disamakan dengan bupati di kerajaan-kerajaan bubuhan yang paling terkemuka dalam wilayahnya. Puncak dari semuanya ini ialah bubuhan raja-raja, yaitu kaum bangsawan tinggi kerabat dekat raja. Demikianlah masyarakat Banjar diatur dalam kelompok-kelompok kerabat bubuhan secara hirarkis.43

Walaupun demikian adanya bahwa cikal-bakal masyarakat Banjar dapat dikembalikan

pada pecahan sukubangsa Melayu yang berimigrasi dari Sumatera, namun bukan berarti

penjelasan yang bersifat primordialistik di atas merupakan satu-satunya yang dapat menjelaskan

secara tepat asal-usul keberadaan etnik Banjar. Boleh jadi teori di atas hanyalah merupakan

salah satu dari beberapa teori lain yang menjelaskan bahwa etnik Banjar merupakan bentuk

pertemuan berbagai kelompok etnik yang memiliki asal-usul beragam yang dihasilkan dari

sebuah sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titik-berangkat pada

proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai syarat bagi berdirinya Kesultanan Banjar

pada tanggal 24 September 1526 oleh Pangeran Samudera. 44

Proses Islamisasi yang dilakukan Demak sebagai syarat berdirinya kerajaan baru itu,

pada dasarnya, bila ditinjau dari perspektif sosio-historis politik saat itu terkait dengan dua hal

yang sangat penting. Pertama, terkait dengan situasi sengketa perebutan tahta yang terjadi di

kalangan internal elite kerajaan Hindu-Jawa yang bernama negara Daha sepeninggal Maharaja

43 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar..., hlm. 541.44 A. Gazali Usman, Sistem Politik dan Pemerintahan dalam Perjalanan Sejarah Masyarakat Banjar,

(Makalah pada Seminar Sistem Nilai Budaya Masyarakat Banjar dan Pembangunan yang diselenggarakan oleh IAIN Antasari pada tanggal 28-30 Januari 1985 di Banjarmasin), hlm. 11. Lihat juga beberapa penjelasan yang lebih detail pada A. Hafiz Anshary AZ., Islam di Selatan Borneo Sebelum Kerajaan Banjar, [Orasi Ilmiah yang disampaikan dalam rangka pembukaan kuliah semester ganjil tahun 2002/2003 IAIN Antasari, Senin 2 September 2002], (Banjarmasin: IAIN Antasari, 2002), hlm. 14-24. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 251. Lihat juga Ahmad Basuni, Nur Islam Di Kalimantan Selatan (Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan), (Surabaya: Bina Ilmu, 1989), hlm.25-30.

13

Page 14: Universum Simbolik Orang Banjar

Sukarama, yakni antara Pangeran Samudera, yang memang mendapatkan titah pemegang

kekuasaan, dengan Pangeran Tumanggung, yang tidak lain putra tertua dari Maharaja sendiri.45

Lantaran usia Pangeran Samudera saat itu masih berumur tujuh tahun, maka konflik itu

akhirnya bermuara dengan larinya sang Pangeran berusia muda itu ke wilayah perairan Sungai

Barito.46 Pelarian politik yang akhirnya berujung pada pertemuan Pengeran Samudera dengan

Patih Balit, seorang Melayu di muara sungai Kuin, sebuah kampung yang bernama Banjar,

menjadi momentum baginya untuk membangun kekuatan tandingan. Momentum itu adalah

ketika Patih Balit yang sarat dengan visi politik menyarankan sang Pangeran untuk meminta

bantuan Kerajaan Demak, kerajaan Islam di pantai utara Jawa, untuk menghancurkan kekuatan

Pangeran Tumanggung yang saat itu mengusai Kerajaan Daha.47

Adapun rekaman proses permintaan bantuan itu secara baik dinarasikan kembali dalam

suatu dialog antara Patih Balit yang menjadi utusan Pangeran Samudera dengan Sultan Demak

dalam Hikajat Banjar sebagai berikut:

Datang Patih Balit itu membawa surat Sultan Demak, maka disuruh baca oleh Mangkubumi. Bunyinya: “Salam sembah putra andika pangeran di Banjarmasih sampai kepada Sultan Demak. Putra andika mencatu nugraha tatulung bantu tatayang sampian, karena putra andika barabut karajaan lawan patuha itu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putra andika mancatu nugraha tatulung Bantu tatayang sampian. Adapun lamun manang putra andika mangawula kepada andika. Maka persembahan putra andika: intan sapuluh, pekat saribu gulung, tatudung saribu buah, damar batu saribu kindai, jaranang sapuluh pikul, lilin sapuluh pikul. Demikianlah bunyinya surat itu. Maka sambah Patih Balit: “Tiada dua-dua yang diharap putra andika nugraha sampian itu”. Banyak tiada tersebut. Maka kata Sultan Demak: Mau aku itu membantu lamun anakku Raja Banjarmasih itu masuk agama Islam. Lamun tiada masuk Islam tidak mau aku bertulung. Patih Balit kembali dahulu berkata damikian, maka kata Patih Balit: “Hinggih”.48

Kedua, proses Islamisasi yang dilakukan Demak sebagai syarat berdirinya kerajaan baru

itu terkait erat dengan usaha Demak dalam membangun mata rantai kekuatan Islam Nusantara

sebagai pertahanan bersama Kerajaan-kerajaan Islam untuk menghabisi sisa-sisa kekuatan

Majapahit yang Hindu dan menghadapi penetrasi Portugis yang Katolik di bidang ekonomi

perdagangan dan politik di beberapa kawasan di Nusantara.

45 M. Suriansyah Ideham, dkk. (Tim Editor), Sejarah Banjar, (Banjarmasin: Balitbangda Pemprov. Kalsel, 2003), hlm. 47.

46 J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, ...hlm. 382.47 J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, ...hlm. 398.48 J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, ...hlm. 428.

14

Page 15: Universum Simbolik Orang Banjar

Mengapa teori tentang keberadaan etnik Banjar harus dimulai dari mulai berdirinya

Kesultanan Islam Banjar ? Jawabannya tidak lain karena Banjar sebelum berdirinya Kesultanan

Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah kesatuan identitas suku atau agama,

namun lebih tepat merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang

menjadi tempat tinggal. Kenyataan ini terungkap dalam penjelasan Idwar Saleh sebagai berikut:

Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk di Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. ....Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah group atau kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan.49

Asumsi di atas diungkapkan karena dua hal penting. Pertama, pada mulanya kata

"Banjar" adalah sebutan untuk kampung yang dihuni oleh orang-orang suku Melayu yang

sekarang dikenal sebagai kampung tertentu di sekitar Kuin Cerucuk sekarang. Orang-orang

Ngaju menyebut orang-orang Melayu yang menghuni kawasan di sepanjang sungai itu sebagai

Banjar Masih yang berarti "kampung-kampung orang Melayu".50 Kedua, jika asal-usul etnik

Banjar dikembalikan sepenuhnya pada garis keturunan Melayu-Sumatera, maka penjelasannya

akan bertentangan dengan kenyataan bahwa Melayu pada saat itu, abad ke-16, merupakan

komunitas yang minoritas di tengah-tengah suku yang ada di Kalimantan Selatan. Bahkan,

kampung Banjar pada waktu itu merupakan satu-satunya kampung Melayu yang terletak di

tengah-tengah kampung Dayak Ngaju yang menggunakan bahasa Brangas,51 sehingga tidak

mungkin dapat dikatakan sebagai inti nenek moyang etnik Banjar. Fakta lain juga menunjukkan

bahwa orang-orang yang berlatar belakang etnis Banjar yang tinggal di pulau Sumatera dan

Semenanjung Malaya pada umumnya mengakui daerah Banjar sebagai daerah asal-usul nenek

moyang mereka. Etnik Banjar yang tinggal di pulau Sumatera merupakan anak, cucu, intah, piat

dari para imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar. Pertama, pada

tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigran 49 M. Idwar Saleh, Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya Sampai Akhir

Abad-19, (Banjarmasin: Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan, 1986), hlm. 12.

50 M. Idwar Saleh, Banjarmasih, (Banjarbaru: Museum Negeri Lambung Mangkurat Prov. Kalimantan Selatan, 1981/1982), hlm. 16; Lihat juga A. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi Perdagangan dan Agama Islam, (Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press, 1995), hlm. xi.

51 M. Suriansyah Ideham, dkk. (Tim Editor), Sejarah Banjar…, hlm. 65.

15

Page 16: Universum Simbolik Orang Banjar

ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang

saudara antara sesama bangsawan Kerajaan Banjar, yakni Pangeran Tahmidullah. Mereka harus

melarikan diri dari wilayah Kerajaan Banjar karena sebagai musuh politik mereka sudah dijatuhi

hukuman mati, sehingga darah mereka sudah dihalalkan untuk ditumpahkan. Kedua, pada tahun

1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi

imigrannya kali ini adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar.

Mereka harus melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura karena

posisi mereka sudah terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda yang menjadi musuh

mereka dalam Perang Banjar sudah berhasil menguasai kota-kota besar di wilayah Kerajaan

Banjar. Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke pulau

Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya karena Sultan Muhammad Seman yang

menjadi Raja di Kerajaan Banjar ketika itu mati syahid di tangan pasukan militer Belanda.52

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Islamisasi yang dilakukan oleh Demak bisa

dikatakan sebagai titik awal dalam pembentukan identitas baru tersebut. Etnis Banjar, oleh

karenanya, merupakan sebuah proses konstruksi sosio-historis dan bukannya sesuatu yang

given, apalagi suatu kodrat alamiah yang dijabarkan dari "hukum-hukum alam".

B. Islam sebagai Universum Simbolik Masyarakat BanjarOleh karena keberadaan masyarakat merupakan sesuatu yang bersifat konstruktif, maka

pada masyarakat awal muncul suatu usaha untuk dapat memelihara struktur ini melalui suatu

mekanisme tertentu. Mekanisme yang dibangun dalam usaha tersebut tidak lain, sebagaimana

yang diungkapkan oleh Peter L. Berger adalah membangun bentuk-bentuk perilaku sosial

tertentu, yang pada awalnya sesungguhnya hanya diberi sifat religius dan belakangan

berkembang menjadi bersifat religius. 53 Artinya, menambah muatan keagamaan pada tatanan

yang merupakan hasil dari konstruksi manusia, pada dasarnya, merupakan usaha manusia untuk

membentuk suatu kosmos sakral. Dengan kata “sakral” dimaksudkan sebagai kualitas yang

52 Tajuddin Noor Ganie, "Konstruksi Identitas Etnis Banjar di Kalimantan Selatan", dalam Harian Radar Banjarmasin, (Kamis 9 Desember 2004), hlm. 3.

53 Peter L. Berger, The Sacred Canopy, ... hlm. 88.

16

Page 17: Universum Simbolik Orang Banjar

berada di luar tatanan manusiawi, yang tujuannya sebagai mekanisme pemelihara struktur yang

dibangun secara sosial tadi.54

Dalam konteks keberadaan masyarakat Banjar awal, usaha dalam membangun bentuk-

bentuk perilaku sosial yang bersifat religius sebagai mekanisme pemelihara itu dapat ditelisik

dalam perjalanan lebih lanjut Kesultanan Banjar. Penelusuran atas sumber-sumber historis

Banjar menunjukkan bahwa dengan berdirinya Kesultanan Banjar memang tidak lantas

menjadikan Islam sebagai referensi sosial yang utama dalam perilaku-perilaku masyarakatnya.55

Adapun titik berangkat mulai berkembangnya bentuk-bentuk perilaku sosial yang bersifat

religius tersebut baru terjadi ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang kembali dari

Mekkah56 pada tahun 1772 di masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I, melakukan proses

intensifikasi peningkatan pengetahuan keislaman pada masyarakat Banjar saat itu,57 dan proses

ini kemudian menemukan bentuk formalnya pada tahun 1835, atau sekitar lima puluh tahun

sesudah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari meninggal dunia, ketika dikukuhkannya secara

formal Undang-Undang Sultan Adam yang diberlakukan kepada seluruh rakyat Kesultanan

Banjar sebagai dasar orientasi sosial beragama masyarakat Banjar.58

Oleh karena itulah, baru setelah dikukuhkannya Undang-Undang Sultan Adam inilah

baru bisa dikatakan merupakan titik berangkat terjadinya proses peneguhan kontruksi identitas

masyarakat Banjar sebagai dasar ikatan bersama masyarakatnya. Dengan adanya Undang-

Undang ini, maka terbentuklah mekanisme pemelihara identitas bagi masyarakat Banjar sebagai

wujud dari usaha peneguhan secara utuh konstruksi sosial yang telah dibangunnya.

Sebagai wujud dari peneguhan dan mekanisme pemelihara konstruksi identitas

masyarakat Banjar, maka sudah tentu Undang-Undang Sultan Adam pada level perjalanan 54 Peter L. Berger, The Sacred Canopy, ... , hlm. 25.55 J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, ...hlm. 430.56 Lihat A. Hafiz Anshari, “Peran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di dalam Pengembangan

Islam di Kalimantan Selatan”, dalam Majalah Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Khazanah, Vol. I, No. 1, Januari-Februari 2002 (Banjarmasin: IAIN Antasari), hlm. 19.

57 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar …, hlm. 54. 58 Lihat naskah Kitab Undang-Undang Sultan Adam 1825, disalin ulang oleh Artum Artha dan

dicetak oleh penerbit Murya Artha di Banjarmasin tahun 1988. Undang-Undang ini ditetapkan pada jam 09.00 pagi hari Kamis tanggal 15 Muharram 1251 H oleh Sultan Adam. Dalam Undang-Undang itu diatur secara pokok mengenai keyakinan dan ibadah, masalah kehidupan bermasyarakat, seperti penggunaan tanah, masalah suami-istri, dakwah, keadilan, sampai pada tugas-tugas pejabat Kerajaan. Sebagai contoh dari isi Undang-Undang tersebut, Pasal Pertama, misalnya, menyebutkan seluruh rakyat wajib menganut I'tikad Ahlu Sunah wal Jama'ah dan dalam pasal kedua disebutkan keharusan membuat langgar (mushalla) di tiap kampung.

17

Page 18: Universum Simbolik Orang Banjar

konstruksi identitas ini berperan sekali dalam membangun oposisi binner yang tak dapat

terhindarkan atas kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang ada di daerah ini. Asumsi bisa

dikemukan dengan melihat salah-satu pasal dari Undang-Undang tersebut:

"Adapoen parkara jang partama akoe soeroehkan sakalian ra'jatkoe laki-laki dan bini-bini baratikat dalal al soenat waldjoemaah dan djangan ada saseorang baratikat dengan atikat ahal a'bidaah maka siapa-siapa jang tadangar orang jang baratikat lain daripada atikat soenat waldjoemaah koesoeroehkan hakim itoe manoebatkan dan mangdjari taikat yang batoel lamoen anggan inja daripada toebat bapadah hakim itu kajah diakoe."59

Tampak sekali di situ formalisasi agama merupakan salah satu tujuan dari diterapkannya

Undang-Undang ini. Tentunya, pada satu sisi, proses peneguhan ini sangatlah diperlukan dalam

suatu masyarakat yang ingin memapankan diri sebagai satu kesatuan etnik dari kelompok

masyarakat lainnya yang ada di sekitarnya. Sementara pada sisi yang bersamaan, peneguhan ini

juga merupakan suatu yang merefleksikan simbolisasi kesatuan sosial tempat individu-individu

itu mengikatkan diri di dalamnya berhadapan dengan kesatuan lainnya. Adapun pola ikatannya

ini sendiri mencerminkan apa yang dimaksud Durkheim dengan kesatuan mekanis, dimana

suatu agama identik dengan masyarakat tertentu sebagai kelompok yang berbeda dengan

kelompok masyarakat lainnya.60

Proses di atas semakin menjadi keharusan historis dan sosial ketika suatu masyarakat

tertentu lebih mendasarkan pola hidup-bersamanya pada struktur budaya pesisir yang

cenderung bersifat sangat kosmopolitan terhadap pengaruh budaya lain, sebagaimana yang

tercermin pada struktur budaya Banjar. Hal ini karena wilayah pesisir, sebagai kontras dari

wilayah pedalaman, memiliki kecenderungan yang sangat intens terlibat kontak dan interaksi

dengan pengaruh dari luar. Dengan kecenderungan seperti itu, sistem budaya Banjar bisa

dikategorikan sebagai sistem yang tidak memiliki ketiadaan daya resistensinya yang dapat

memperkokoh struktur budaya tersebut.61 Posisi ini, tentunya, sangatlah memerlukan perangkat

daya rekat yang tinggi agar mampu memperkokoh kestabilan budaya tersebut di hadapan

59 Naskah Kitab Undang-Undang Sultan Adam 1825, hlm. 4.60 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh Aswab

Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya 1981), hlm.14-18.61 Azyumardi Azra, “Interaksi dan Akomodasi Islam ...”, hlm.187. Bandingkan dengan ulasan

Nurcholish Madjid tentang ciri khas dan perbedaan antara budaya pesisir dan budaya pedalaman pada Nurcholish Madjid, “Potensi Dukungan Budaya Nasional Bagi Reformasi Sosial-Politik” dalam Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 131-159.

18

Page 19: Universum Simbolik Orang Banjar

ancaman dari luar. Dalam posisi inilah, sesungguhnya, Islam harus dilihat dalam memerankan

fungsi sosialnya dalam struktur masyarakat Banjar.

Fungsi sosial agama yang demikian inilah yang pada akhirnya menempatkan agama

menjadi identitas simbolik suatu masyarakat. Dalam konteks fungsi sosial ini, agama tidak lagi

sekedar berfungsi sebagai aspek integratif, tapi lebih jauh mampu bertindak sebagai aspek

kognitif sekaligus ontologis. Hal ini, sebagaimana Clifford Geertz ungkapkan, karena simbol-

simbol keagamaan tertentu yang telah dibangun dalam masyarakat mampu memuat makna dari

hakikat dunia dan nilai-nilai yang diperlukan seseorang untuk hidup di dalam masyarakatnya.

Simbol-simbol keagamaan macam begitu mampu untuk menggiring bagaimana seseorang

merasa cocok untuk dunianya. Bilamana kecocokan sudah dijadikan kepercayaan umum, maka

tidak mengherankan jika tujuan utama sebuah masyarakat diperteguh kembali dan diulang-

ulang dalam berbagai bentuk perilaku keagamaan.62

Demikianlah posisi Islam dan masyarakat Banjar bisa dipahami. Artinya, Islam dalam

konteks asal-usul dan konstruksi masyarakat Banjar selain berfungsi sebagai sesuatu yang

merefleksikan tempat ikatan sosial itu dikokohkan, juga secara lebih mendasar menjadi

landasan transenden yang memberi dasar ontologis dan eksistensial bagi individu-individu yang

terlibat di dalamnya.

Dari penjelasan tentang mekanisme pemelihara konstruksi identitas inilah seharusnya

dipahami mengapa terjadi sejak berabad-abad urang Banjar selalu diidentikkan dengan Islam,63

yang tidak lain karena memang merupakan kebutuhan dasar dari sebuah usaha untuk

meneguhkan konstruksi sosial masyarakat Banjar yang telah dibangun. Oleh karena itulah, tidak

heran identifikasi urang Banjar dengan Islam itu seakan-akan telah menjadi konsensus, walau

dalam banyak kasus praktek-praktek keagamaan yang terjadi dalam masyarakat Banjar tidaklah

seluruhnya dapat dicari referensinya dalam ajaran Islam.64 Asumsi ini tergambar secara jelas

ketika kasus-kasus orang-orang Dayak di daerah ini memeluk agama Islam dikatakan sebagai

“menjadi orang Banjar”.65 Asumsi ini sesungguhnya ingin menegaskan bahwa keberislaman

62Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman dari bab 4 - 6 pada buku The Interpretation of Cultures, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 1-48.

63 Alfani Daud,Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 4.64 Alfani Daud,Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 5.65 Alfani Daud,Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 5.

19

Page 20: Universum Simbolik Orang Banjar

selain merupakan aspek integratif tapi juga lebih mendasar lagi sebagai aspek ontologis dan

kognitif urang Banjar dalam berhadapan dengan kelompok masyarakat lainnya.

Alfani Daud menegaskan hal tersebut sebagai berikut:

Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri) di samping sebagai “menjadi orang Banjar”.66

Adapun kenyataan bahwa oposisi binner yang terbentuk antara masyarakat Banjar dan

masyarakat Dayak sebagai akibat dari konstruksi agama di atas merupakan kenyataan yang

harus dibaca pada pasca berdirinya Kerajaan Banjar, tepatnya pada era dikukuhkannya Undang-

Undang Sultan Adam, dan bukannya pada masa sebelumnya. Kenapa harus dibaca demikian ?

Jawabnya tidak lain karena menyangkut dua hal utama. Pertama, jika persoalan oposisi binner

ini dikembalikan kepada titik awal perkembangan Islam di kawasan ini, maka penjelasannya

tentunya akan bertentangan dengan kenyataan bahwa Islam yang masuk ke daerah Banjar pada

sebelum dan masa berdirinya Kesultanan Banjar merupakan Islam yang bercorak sufistik.67

Kenyataan ini haruslah diakui mengingat proses Islamisasi yang berlangsung dalam kurun abad

ke-13 sampai abad ke-16 di beberapa daerah di kawasan Nusantara terjadi pada saat tasawuf

dan tarekat tengah menjadi wacana utama dalam kegiatan intelektual keagamaan Nusantara.68

Tentunya, maraknya wacana intelektual keagamaan seperti ini pada saat itu justru merupakan

“berkah” tersendiri bagi proses Islamisasi masyarakat di Nusantara. Hal ini lantaran aspek

yang paling kompromistis terhadap budaya lokal dalam tradisi Islam adalah tasawuf.69 Oleh

karena itu, jika memang proses Islamisasi masyarakat di kawasan Banjar telah berlangsung jauh

sebelum Kerajaan Banjar berdiri dan mengalami intensitasnya pada saat berdirinya Kesultanan

Islam Banjar, maka bisa dipastikan orientasi Islam yang mula-mula berkembang di kawasan ini

66 Alfani Daud,Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 504.67 M. Zurkani Jahja, "Karakteristik Sufisme di Nusantara abad ke-17 dan 18", dalam Jurnal

Kebudayaan KANDIL, edisi 4, Thn. II, Februari 2004, hlm. 20-37.68 Martin van Bruinessen, “Origins and Development of Sufi Orders (Tarekat) in Southeast

Asia”, dalam Indonesian Journal for Islamic Studies, Studia Islamika, Vol. I, No. 1 (April – June), 1994, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah), hlm. 3-6.

69 Jajat Burhanuddin, “Tradisi Keilmuan dan Intelektual”, dalam Taufik Abdullah, et.all, (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 5 (Asia Tenggara), (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 142.

20

Page 21: Universum Simbolik Orang Banjar

juga mengikuti orientasi Islam yang berkembang di Nusantara pada abad 15-16, yakni suatu

orientasi sufistik berhaluan wujûdiyyah. Ini artinya mustahil bagi Islam di masa Kerajaan Banjar

menjadi sebab terjadinya proses oposisi binner atas komunitas di luar dirinya. Hal ini

dikarenakan suasana sufistik yang umumnya berkembang saat itu memiliki kecenderungan kuat

untuk merumuskan ajaran agama dengan adaptasi budaya lokal. Kedua, karena menyangkut

struktur masyarakat Banjar itu sendiri yang berintikan kesatuan berbagai kelompok bubuhan,

maka lebih tepat kiranya untuk melihat persoalan oposisi binner itu dalam kerangka kebutuhan

pada saat berdirinya Kesultanan Banjar. Hal ini mengingat posisi masyarakat yang berintikan

kesatuan berbagai kelompok bubuhan itu, tentunya, sangatlah membutuhkan sistem penanda

yang tegas agar dapat membedakan dengan kelompok masyaraka lain sebagai dasar penegas

ikatan yang telah disepakati secara sosial. Selain itu, oposisi binner yang terbentuk ini juga

harus dipahami sebagai cara simbolik masyarakat Banjar dalam melakukan perlawanan

kulturalnya atas berbagai pengaruh yang datang dari luar sebagai akibat posisinya sebagai

kelompok masyarakat pesisir. Kenyataan seperti ini semakin tampak jelas bila dilihat ketika

pada pertengahan abad ke-17 masyarakat Banjar dihadapkan dengan kedatangan Portugis yang

beragama Katolik dan menjalin hubungan baik dengan orang-orang Dayak Ngaju.70 Dalam

konteks historis ini, tentunya, dapat dibaca bahwa agama merupakan penanda identitas yang

bersifat situasional yang dengan sadar dapat dilekatkan pada suatu kolektif suku-bangsa, baik

oleh suku-bangsa itu sendiri, maupun oleh suku bangsa lainnya. Pada kasus-kasus tertentu,

seseorang atau sekelompok orang yang pindah agama tidak saja berakibat pada terjadinya

perubahan dalam hal identitas agamanya, tetapi juga dapat berakibat pada terjadinya perubahan

dalam hal identitas suku-bangsanya.

Dalam kasus masyarakat Banjar, memang, terjadi pengecualian dari gejala umum di

atas, yakni sebagaimana yang terjadi pada suku Bakumpai dan suku Baraki, yang meskipun

sudah memeluk agama Islam dan mempergunakan bahasa Banjar sebagai bahasa pergaulannya,

namun mereka tidak disebut orang Banjar, tetapi tetap disebut orang Bakumpai atau orang

Baraki. Namun demikian, secara umum, konstruksi identitas agama yang terbentuk sebagai

akibat dari terjadinya perpindahan agama dalam kasus orang Dayak merupakan gejala yang

70 Idwar Saleh, Sejarah Bandjarmasin: Selajang Pandang Mengenai Bangkitnja Kerajaan Bandjarmasin, Posisi, Funksi dan Artinja Dalam Sedjarah Indonesia Dalam Abad Ketudjuhbelas. (Bandung: Balai Pendidikan Guru, 1958), hlm. 16.

21

Page 22: Universum Simbolik Orang Banjar

bersifat umum terjadi di masyarakat di daerah ini. Oleh karena itu, fungsi sosial Islam dalam

masyarakat Banjar bukanlah sekedar menjadi keyakinan suatu komunitas tapi juga menjadi

universum simbolik, yakni sebagai payung sosial yang memberi fungsi sebagai dasar integrasi

dalam komunitas tersebut.

Pada dasarnya, model identifikasi diri yang terjadi dalam masyarakat Banjar di atas

bukanlah merupakan suatu fenomena tunggal. Kenyataan seperti ini juga dapat ditemukan

faktanya di Kalimantan Barat. Konon mereka yang menikah dan masuk Islam tidak lagi

mengakui dan tidak diakui lagi sebagai Dayak. Pernikahan pihak Dayak dengan Melayu, dan yang

(selalu) diikuti dengan perpindahan agama disebut sebagai masuk Melayu. Ada oposisi binner

yang kuat yang tumbuh di sana, sebagaimana di masyarakat Banjar, bahwa Dayak itu non-

muslim, dan Melayu itu muslim. Ketika orang Dayak masuk Islam, dalam kasus perkawinan

misalnya, yang artinya menjadi muslim, maka ia dianggap masuk Melayu. Di daerah tersebut,

sejauh catatan dan anggapan yang berkembang, seorang Dayak yang masuk Islam kehilangan

(dihilangkan) status dirinya sebagai orang Dayak.

John Bamba, menulis, “Di Kalimantan Barat, jika seseorang Dayak memeluk agama Islam,

mereka cenderung menolak identitas mereka sebagai Dayak dan dianggap masuk Melayu. Di Kalimantan

Barat, Melayu tidak mesti seseorang yang berasal dari etnis Melayu sebab orang Dayak yang memeluk agama

Islam juga menjadi Melayu.”71 Fakta yang paling dekat dengan asumsi Bamba di atas bisa merujuk

pada protes warga Dayak Kalimantan Barat yang berdemo di depan DPRD setempat,

memprotes terpilihnya 5 utusan daerah dengan komposisi 3 Melayu, 1 Dayak dan 1 Tionghoa.

Padahal, sebelumnya dicoba dibuat kesepakatan bahwa komposisi utusan perwakilan

Kalimantan Barat di MPR berkaitan dengan Pemilu 1999 tersebut adalah 2 Melayu, 2 Dayak,

dan 1 Tionghoa.

Dalam demo yang memprotes komposisi etnik perwakilan Kalimantan Barat di MPR

tersebut, para pengunjuk rasa menolak keberadaan Zainuddin Isman sebagai seorang terpilih

yang dianggap sebagai wakil dari masyarakat etnik Dayak. Yang bersangkutan adalah memang

warga Dayak dan beragama Islam. Seorang pengunjuk rasa tegas berteriak, “Tidak ada Dayak

yang beragama Islam”. Bahkan Piet Herman, Sekretaris Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat

71 John Bamba, “Menggalang Solidaritas Mempertegas Identitas” dalam Janis B. Alcorn (ed.), Pelajaran dari Masyarakat Dayak, (Pontianak: WWF-BSP dan Institut Dayakologi, 2001), hlm. 87.

22

Page 23: Universum Simbolik Orang Banjar

meminta, “kalau dia mengaku Dayak, coba dia membuat pernyataan yang disebarkan lewat media massa

bahwa dia orang Dayak. Mau nggak ?”.72

Melihat kenyataan di atas, apakah penanda identitas itu merupakan sesuatu yang baku ?

Tentu tidak jawabnya. Hal ini karena penanda identitas adalah sebuah proses konstruksi,

sebuah gambaran yang diciptakan dan dibangun oleh berbagai bentuk narasi, teks, dan

dikuatkan oleh tradisi dan praksis sosial. Oleh karena itu, mungkin saja peneguhan sebuah

penanda identitas akan mengalami titik-balik, sehingga terjadi upaya rekonstruksi ke arah

penafsiran baru penanda identitas.

C. Universum Simbolik dan Dinamika Interaksi Agama-MasyarakatMengapa titik-balik ke arah penafsiran baru penanda identitas itu bisa dilakukan ?

Untuk menjawab persoalan ini, mau tidak mau, harus ditelisik pada bagaimana sesungguhnya

pola interaksi dan akomodasi agama dan budaya itu terjadi. Sebagaimana yang diungkapkan

oleh Berger, karena masyarakat itu pada hakikatnya bersifat konstruktif, maka tidak aneh

kemudian jika diasumsikan bahwa kebudayaan yang terstruktur dalam masyarakat juga tidak

pernah memiliki stabilitas yang kokoh sebagaimana dunia alamiah. Watak inheren dari dunia

sosial adalah perubahan. Asumsi ini tampak sekali dari penjelasan Berger sebagai berikut:

“Kebudayaan ... tetap merupakan sesuatu yang sangat berbeda dari alam justru karena merupakan hasil dari aktivitas manusia sendiri ... Karena itu strukturnya secara inheren adalah rawan dan ditakdirkan untuk berubah ...”.73

Artinya, walaupun masyarakat dan kebudayaan merupakan konstruksi manusia itu

sendiri, namun kehadiran masyarakat dan kebudayaan mempunyai potensi untuk menghasilkan

berbagai konstruksi objektif yang independen, yang eksistensinya tidak bisa dinafikan atau

diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, masyarakat dan kebudayaan secara dialektis merupakan

kenyataan subjektif sekaligus juga kenyataan objektif, sehingga hubungan antar keduanya selalu

mengalami proses dialektika yang terus-menerus. Di situ selalu terdapat dinamika. Dalam pola

hubungan seperti ini, tentu saja, selalu terbuka kemungkinan bagi manusia untuk menerima

dan menyesuaikan diri dengan realitas objektifnya atau menolaknya sama sekali realitas objektif

72 Kalimantan Riview, edisi Nopember 1999.73 Peter L. Berger, The Sacred Canopy …, hlm. 6.

23

Page 24: Universum Simbolik Orang Banjar

yang ada dihadapannya. Penolakan berarti kemungkinan bagi manusia untuk membentuk

realitas objektif yang baru.

Adapun titik balik perubahan dalam kebudayaan biasanya terjadi ketika muncul

ketidak-simetrian antara struktur kesadaran subjektif dengan realitas objektif kebudayaan

tersebut. Jika ini terjadi, menurut Berger, maka gejala-gejala anomi sebagai titik-balik perubahan

kebudayaan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Artinya, masyarakat, dalam situasi

tersebut, berada dalam kondisi yang selalu dihadapkan dengan proses marjinalisasi situasi-

situasi kehidupan, yakni keluar dari batas-batas tatanan yang telah ditentukan.

Dalam masyarakat Banjar, untuk tetap bertahannya hubungan simetris antara struktur

kesadaran subjektif dengan realitas objektif identitas keagamaan yang ada, maka prosedur yang

berjalan adalah bukan tetap bertahannya secara ketat skriptualisme agama, namun justru terjadi

proses domestifikasi agama ke dalam sistem budaya setempat. Hal ini mengingat, semakin

besar perbedaan atau bahkan antagonisme antara nilai-nilai doktrinal dengan nilai-nilai sosial,

maka akan semakin tinggi resistensi bagi daya penerimaan masing-masing aspek. Oleh karena

itulah, sangat diperlukan upaya-upaya yang bersifat akomodatif antara salah satu pihak, atau

dari kedua belah pihak.74

Mengapa demikian ? Jawabannya tentu terkait dengan apa yang oleh Berger tadi sebut

sebagai gejala anomi, yakni suatu kondisi yang menghadapkan masyarakat pada proses

marjinalisasi dengan kebudayaannya,75 yakni keluar dari batas-batas tatanan yang telah

ditentukan.76

Jika memang demikian, maka secara internal agama itu sendiri, bisa dipahami mengapa

sering terjadi ketidak-simetrian antara agama di tingkat doktrin dengan agama di tingkat

perilaku sosial, sebagaimana yang terjadi dalam banyak kasus masyarakat Banjar. Ketidak-

simetrian ini terjadi karena agama di tingkat perilaku sosial harus selalu melakukan proses

kontekstualisasi yang terus-menerus dengan kondisi sosial yang melingkupinya. Hal ini karena

apapun yang menjadi dasar dialektika agama dan masyarakat menyangkut bentuk penerimaan

salah satu pihak atau masing-masing elemen tersebut. Oleh karena itu, bahwa Islam dan

74 Azyumardi Azra, “Interaksi dan Akomodasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan”, dalam Aswab Mahasin, dkk. (ed), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa; Aneka Budaya Nusantara, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996), hlm.192.

75 Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 70-89.76 Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality…, hlm. 89.

24

Page 25: Universum Simbolik Orang Banjar

masyarakat Banjar identik memang benar adanya, namun yang perlu digarisbawahi

keberislaman masyarakat Banjar lebih mencerminkan apa yang disebut A. D. Nock sebagai

adhesi, yakni menerima Islam dengan bersandarkan pada kerangka kontekstualisasi yang terus-

menerus.77

Dalam kasus masyarakat Banjar, penerimaan yang tinggi terhadap Islam sufistik pada

masa masyarakat Banjar awal di wilayah ini, misalnya, sesungguhnya mencerminakan suatu pola

karakterisasi budaya yang terjadi di daerah ini. Bentuk karakterisasi budaya ini adalah kesadaran

kosmologis yang mewarnai pola perilaku yang teraktualisasi dalam tindakan-tindakan sosial

masyarakat Banjar. Adapun kesadaran kosmologis yang dimaksud, tentunya, menyangkut pola

hubungan mikro-makro kosmis yang banyak disandarkan pada dimensi spiritual.

Jika asumsi ini dibaca secara antropologis, maka apa yang disebut dengan kebudayaan

tidaklah lepas dari dua komponen pokok, yakni isi dan bentuk. Sementara bentuk kebudayaan

terdiri atas sistem budaya– ide-ide dan gagasan-gagasan, sistem sosial– tingkah laku dan

tindakan, dan produk budaya yang bersifat material, maka isi kebudayaan terdiri atas tujuh

unsur universal, yakni bahasa, ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, organisasi sosial,

agama dan kesenian.

Oleh karena sistem budaya yang terdiri atas nilai-nilai budaya dan norma-norma etik,

maka nilai budaya yang berupa gagasan-gagasan biasanya dipandang sangat penting karena

bersifat menunjang bagi proses keberlangsungan hidup manusia yang ada di dalamnya.

Walaupun eksistensinya bersifat kabur, namun keberadaannya secara emosional disadari secara

utuh. Dengan demikian, nilai budaya bersifat sangat menentukan karakteristik suatu lingkungan

kebudayaan dimana nilai tersebut dianut. Nilai kebudayaan, langsung atau tidak langsung, ikut

mewarnai tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk-produk kebudayaan yang bersifat

material.78

Oleh karena itu, jika pembacaan ini diturunkan sebagai landasan refleksi atas

keberadaan Islam di daerah ini, maka tentunya keberadaan perilaku-perilaku keagamaan yang

diturunkan dari karakteristik budaya itu tidaklah tanpa imbas. Pengaruh budaya pada perilaku

sosial yang teraktualisasikan dalam tindakan-tindakan masyarakat Banjar itu tercermin dalam

77 Azyumardi Azra, “Interaksi dan Akomodasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan”, hlm. 192-193.

78 Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1984).

25

Page 26: Universum Simbolik Orang Banjar

berbagai upacara adat dan kebiasaan tertentu di kalangan masyarakat tersebut.79 Upacara dan

kebiasaan itu antara lain, upacara mandi hamil tujuh bulan, upacara tapung-tawar kelahiran,

upacara batimbang anak, upacara kematian,80 dan upacara membaca manâqib.81 Kesemua

upacara adat dan kebiasaan itu banyak didasarkan pada karakter budaya yang menjadi cermin

dari kesadaran kosmologis masyarakatnya. Di tingkat perilaku aktual inilah seringkali terjadi

adaptasi yang bersifat kultural antara praktek keagamaan dengan corak budaya setempat.

Proses adaptasi ini sering terjadi atas dasar sistem kosmologi sosial yang melekat dalam struktur

budaya tersebut. Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika Islam yang telah menjadi ciri

identitas masyarakat Banjar sejak berabad-abad lalu ini tetap bertahan sampai sekarang sebagai

identitas sosial masyarakatnya.

Jika memang demikian, mungkinkah identitas keislaman ini akan mengalami titik balik,

sehingga akan muncul upaya rekonstruksi ke arah penafsiran baru tentang identitas urang-urang

Banjar ? Tentu saja mungkin, sejauh keislaman yang melekat pada diri urang-urang Banjar sudah

tidak dapat lagi mengakomodasi dan berinteraksi dengan realitas objektif yang menjadi dunia

sosial mereka. Artinya, apa yang menjadi kesadaran kosmologis urang-urang Banjar sudah tidak

dapat lagi dicarikan dasar referensinya pada apa yang menjadi sumber identitasnya. Jika itu

terjadi, maka mau tidak mau, proses yang berjalan adalah proses rekonstruksi identitas lama

merupakan sesuatu yang tak terhindarkan.

Mengapa demikian ? Karena penanda identitas, pada dasarnya, bukanlah semata-mata

cerminan emosional dari ikatan solidaritas kelompok sosial semata, tapi lebih jauh

mencerminkan apa yang oleh Berger sebut sebagai perangkat legitimasi bagi suatu keterlibatan

sosial yang penuh.82 Oleh karena itu, penanda identitas harus sepenuhnya mampu memberi

dasar proyeksi bagi proses-proses sosial yang tengah dan akan terjadi di dalam masyarakatnya.

Penutup

79 Tim Peneliti Fakultas Ushuluddin, Laporan Penelitian: Islam di Kalimantan Selatan (Studi tentang Corak Keagamaan Umat Islam, (Banjarmasin: IAIN Antasari, 1985), hlm. 19-37.

80 Lihat uraian lebih lengkap, Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar…, hlm. 227-500.81 Murjani Sani, Upacara Manakib: Studi Nilai yang Mungkin Dikembangkan, dalam Jurnal Ilmiah

Ilmu Ushuluddin, No. 1, Vol. 2, April 2003, (Banjarmasin: Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari), hlm. 1-20.

82 Peter L. Berger, The Sacred Canopy…, hlm. 24.

26

Page 27: Universum Simbolik Orang Banjar

Posisi agama dalam masyarakat, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bahasan

sebelumnya, sesungguhnya menunjukkan arti penting keabsahan dasar bagi proses eksistensi

sosial manusia dalam dunia sosial. Tanpa adanya dasar yang absah tersebut, manusia akan

selalu mengalami proses marjinalisasi dari seluruh keterlibatan penuhnya dengan dunia sosial

sebagai mahluk sosial yang paling purna di muka bumi ini. Peran penting agama adalah

memberikan perangkat legitimasi bagi suatu keterlibatan sosial yang penuh. Inilah yang

ditunjukkan oleh agama dalam setiap strata sosial dan historis manapun, termasuk juga apa

yang ditunjukkan oleh Islam dalam masyarakat Banjar. Pilihan atas agama sebagai dasar

identitas bagi masyarakat Banjar merupakan bentuk usaha dalam memberi legitimasi atas

eksistensi sosial mereka sebagai sebuah kelompok-etnik di tengah-tengah kelompok-etnik

lainnya. Mengapa demikian ? Jawabannya, tentu, karena manusia atau pun secara khusus

manusia Banjar secara filosofis sangatlah membutuhkan dasar bagi proyeksi dan

transendensinya dalam menjalani proses-proses sosial. Hal ini karena, eksistensi manusia

bukanlah eksistensi tanpa batas-batas tertentu []

27