Upload
gesit-r-widianti
View
118
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PENERAPAN POLA ASUH ORANGTUA YANG KONSISTEN SEBAGAI UPAYA PREVENTIF BAGI GANGGUAN SCHIZOPHRENIA PARANOIDParanoid Schizophrenia Disorder is a psychological disorder that easily found on various institutional and mental rehabilitation in Jakarta. Based on various studies and theories that obtained under the benchmark internationally and in Indonesia, this disorder is more dominated on several fac
Citation preview
PENERAPAN POLA ASUH ORANGTUA YANG KONSISTEN SEBAGAI
UPAYA PREVENTIF BAGI GANGGUAN SCHIZOPHRENIA PARANOID
Denrich Suryadi
Email: [email protected]
Dosen tetap Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Paranoid Schizophrenia Disorder is a psychological disorder that easily found on various institutional and mental rehabilitation in Jakarta. Based on various studies and theories that obtained under the benchmark internationally and in Indonesia, this disorder is more dominated on several factors, including economic factors, heredity, and family stressors. Family stressor factor is one major factor which involves is ambiguous parental upbringing role. The family itself is a core part of society and in Indonesia, the family is an important factor in forming the character and personality of children. Heredity factors have contributed to how the individual will have a tendency to experience disorder Schizophrenia, but the factor of ambiguous parenting styles will act as a trigger of these disorder. Currently efforts are needed such as socialization to how family factors impact the community on ways to teach parents the importance of the type of authoritative (democratic) consistently as well as communication patterns and the close relationship between parents and children in order to prevent increased predisposition of Paranoid Schizophrenia in Indonesia. This preventive program can be implemented through public seminars and counseling for parents, teachers and counselors, as well as articles that appeared in the media as a means of socialization of Schizophrenia disorders, particularly Paranoid Schizophrenia.
Keywords: Paranoid Schizophrenia Disorder, parenting styles
Latar Belakang Permasalahan
Semakin tingginya persaingan dan tuntutan dalam memenuhi kebutuhan dapat
menyebabkan seseorang mengalami stress atau merasa tertekan. Jika seseorang
mengalami stress maka ia akan cenderung mengalami atau menunjukkan gejala
gangguan kejiwaan sehingga ia menjadi maladaptif terhadap lingkungan. Gangguan
kejiwaan merupakan masalah klinis dan sosial yang harus diatasi karena gangguan
1
sangat meresahkan masyarakat baik dalam bentuk dampak penyimpangan perilaku
maupun semakin tingginya jumlah penderita gangguan jiwa.
Di Indonesia, berdasarkan profil kesehatan nasional tercatat bahwa jumlah penderita
gangguan jiwa selama tahun 1989 sampai dengan 1991 berkisar sekitar 1,8% penduduk
Indonesia. Sedangkan pada tahun berikutnya 1992 sampai dengan 1993 meningkat
menjadi 2,1 % (Departemen Kesehatan, 1994). Menurut Sensus Kesehatan Mental
Rumah Tangga (SKMRT) yang dilakukan oleh Jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia
menemukan bahwa 185 dari 1000 penduduk menunjukkan gejala-gejala gangguan jiwa
(BPS, 2000). Dalam sebuah terbitan Kompas (2003), sebuah sensus yang diadakan
oleh Dinas Bina Mental dan Kesehatan Sosial DKI Jakarta mencatat bahwa penderita
cacat mental psikotik di Jakarta memang terus bertambah. Sebagai perbandingan, pada
tahun 2001, tercatat ada 2010 penderita psikotik atau tuna laras. Pada tahun 2002,
jumlah tuna laras menjadi 2337 orang atau meningkat sebanyak 327 orang.
Data ini juga diperoleh Warner dan Girolamo melalui survei pada tahun 1995 bahwa
dari segi usia, gangguan mental awal pemicu SPD diperkirakan terjadi pada usia 24,3
tahun untuk pria dan usia 27,5 tahun untuk wanita. Sedangkan gejala awal SPD muncul
pada usia 26,5 tahun bagi pria dan 30,6 tahun bagi wanita. Fakta ini menyebabkan
keprihatinan yang sangat membutuhkan perhatian sebab terlihat bahwa gangguan ini
muncul pada usia produktif sehingga kemampuan individu yang seharusnya dapat
berfungsi secara efektif dalam segala aspek kehidupan seperti perawatan diri, hubungan
dengan keluarga, pekerjaan, pendidikan, serta kehidupan sosial menjadi menurun
bahkan tidak berfungsi sama sekali. Ketiadaan fungsi kehidupan seperti ini
dikhawatirkan akan memengaruhi kualitas kesejahteraan yang seharusnya diperoleh
oleh setiap individu. Individu yang mengalami gejala skizofrenia akan menyebabkan
individu mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain secara normal karena
2
adanya hambatan bagi mereka untuk melibatkan diri dalam percakapan,
mempertahankan hubungan, dan untuk menjalani pekerjaan (Nolen-Hoeksema, 2000).
Definisi Schizophrenia
Definisi Schizophrenia yang diperkenalkan oleh Eugen Bleuer (Nolen-Hoeksema,
2000) berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata Schizein yang berarti “to split“
(terpisah) dan Phren yang berarti “mind“ (pikiran). Bleuer meyakini bahwa gangguan ini
melibatkan terpisahnya fungsi psikis yakni asosiasi mental, pemikiran, dan emosi yang
seharusnya terintegrasi. Menurut Alloy, Jacobson, dan Acocella (1999), Skizofrenia
merupakan label yang diberikan pada suatu kelompok psikosis, di mana terjadi
penurunan fungsi-fungsi yang ditandai dengan kekacauan pikiran, persepsi dan suasana
hati, tingkah laku yang aneh, dan penghindaran sosial. Sedangkan menurut Neale,
Davison, dan Haaga (1996), Skizofrenia adalah suatu kelompok gangguan psikosis
yang dikarakterisasikan dengan adanya gangguan pikiran, emosi dan tingkah laku,
pikiran yang tidak terhubungkan, persepsi dan perhatian yang keliru, hambatan dalam
aktivitas motorik, emosi yang datar dan tidak sesuai, dan kurangnya toleransi terhadap
stres dalam hubungan interpersonal. Gangguan ini diikuti dengan gejala penarikan diri
terhadap lingkungan dan realitas menuju sebuah kehidupan delusi dan halusinasi.
Salah satu gangguan kejiwaan Skizofrenia yang banyak ditemui kasusnya pada
berbagai rumah sakit jiwa adalah Skizofrenia Paranoid Disorder. Secara khusus, Neale,
et al. (1996) mendefinisikan Skizofrenia Paranoid Disorder (SPD) adalah individu
skizofrenia mengalami delusi tersistematisasi, seperti grandiose delusions (melebih-
lebihkan), delusional jealousy (tuduhan tidak beralasan), halusinasi dan acuan ide yang
menghubungkan keadaan pribadi dengan hal-hal di luar diri yang sama sekali tidak
berhubungan.
3
Schizofrenia Paranoid Disorder menurut Neale, et al. (1996) adalah skizofrenia di
mana individu mengalami delusi tersistematisasi, seperti grandiose delusions (melebih-
lebihkan), delusional jealousy (tuduhan tidak beralasan), halusinasi dan acuan ide yang
menghubungkan keadaan pribadi dengan hal-hal di luar diri yang sama sekali tidak
berhubungan. Sedangkan kriteria berdasarkan DSM IV TR (2000) yaitu pemenuhan
kriteria nomor A pada Skizofrenia terpenuhi, adanya keterpakuan dengan satu atau lebih
delusi yang disertai halusinasi auditori, serta tidak ada gejala yang menonjol seperti:
bicara tidak terorganisir, perilaku katatonik dan tidak terorganisir, dan afek datar atau
tidak sesuai.
Gejala paranoia terdiri atas pola kognitif yang berbeda dan menunjukkan perilaku
yang tertuju pada lingkungan, sehingga individu yang paranoid akan terlihat lebih
waspada dan selalu berjaga-jaga agar dapat mengamati lingkungan sekitar mereka
secara hati-hati, kaku, dan menggunakan pikiran yang pendek. Weiner (1982)
mengemukakan bahwa individu paranoid akan melihat dunia sebagai tempat yang
penuh permusuhan dan berbahaya sehingga ia harus selalu berhati-hati dan mencurigai
akan cara mereka menghadapi dunia itu.
Sedangkan menurut Nolen-Hoeksema (2001), SPD memiliki gejala delusi dan
halusinasi yang dominan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penganiayaan dan
waham kebesaran. Individu dengan SPD juga akan kadang terlihat bijaksana dan
bersungguh-sungguh ketika menceritakan bahwa ada seseorang yang merencanakan
untuk melawan dirinya. Mereka sangat sensitif terhadap pernyataan yang menentang
delusi yang dimilikinya. Kadang individu SPD terlihat bersikap sombong, merasa lebih
daripada orang lain atau terlihat menyendiri dan penuh kecurigaan. Mereka bahkan
dapat melakukan percobaan bunuh diri atau melakukan tindak kekerasan terhadap
orang lain. Kombinasi antara gejala paranoid dan perilaku skizofrenia akan
memperlihatkan gangguan berpikir dan persepsi yang dihasilkan menunjukkan gejala
4
yang dramatis sama dengan adanya delusi penganiayaan/pengejaran seperti: “Makanan
saya diracuni” atau “Semua orang mengejar saya”. Weiner (1982) juga mencatat gejala-
gejala lain yang muncul pada gejala SPD adalah delusi grandiose (kebesaran) seperti
“Misi saya di dunia adalah untuk menyelamatkan umat manusia” atau “Saya memiliki
penglihatan dan pendengaran manusia super”. Sementara halusinasi mengenai
penganiayaan atau grandiose yang ditemukan oleh Weiner (1966); Arietti (1974) berupa:
“Suara-suara itu selalu mengatakan bahwa ada sesuatu buruk menimpa saya” atau
“Saya diberitahukan bahwa saya akan dipermalukan” (dikutip oleh Weiner, 1982).
Awal kecenderungan timbulnya gejala SPD biasanya muncul lebih lama
dibandingkan dengan gejala bentuk skizofrenia lainnya. Beberapa episode gejala SPD
biasanya sering dipicu oleh adanya stres/tekanan yang dialami individu pada masa
remisi/rawat jalan. Dengan demikian, Nolen-Hoeksema (2001) memandang bahwa pada
pasien SPD, dugaan prognosis lebih baik karena pasien SPD lebih mampu untuk hidup
secara mandiri, memiliki pekerjaan, dan masih dapat menjalani fungsi kognitif dan sosial
dengan lebih baik.
Predisposisi Gejala Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia dapat terjadi pada setiap orang pada titik tertentu hidupnya, namun lebih
banyak ditemui pada individu yang secara genetik memiliki predisposisi terhadap
skizofrenia. Gejala awal psikotik umumnya muncul pada masa remaja akhir sampai
masa dewasa awal (Susic, 2004). Hal yang sama juga dicatat oleh sensus yang
diadakan di Kanada (2002) bahwa awal gejala skizofrenia dimulai pada masa dewasa
awal dengan perkiraan antara remaja akhir sampai dengan pertengahan usia 30-an.
Sebanyak 75% dari populasi individu yang mengidap skizofrenia mengalami gejala-
gejala awal antara usia 16 sampai dengan 25 tahun (Susic, 2004). Gejala ini tidak biasa
terjadi pada usia setelah 30 tahun dan biasanya jarang terjadi setelah usia 40 tahun.
5
Kecenderungan ini juga didukung oleh Nolen-Hoeksema (2001) bahwa individu yang
mengalami skizofrenia pada umumnya mulai memperlihatkan gejala pada masa remaja
akhir atau dewasa awal.
Menurut Weiner (1966); Abrietti (1974), gejala SPD lebih sering terdiagnosis pada
pria dibandingkan wanita dan indikasi status paranoid yang kronis akan jelas terlihat
lebih banyak pada orang yang berusia lebih lanjut dibandingkan pada remaja (dikutip
oleh Weiner, 1982). Individu yang mengalami skizofrenia pada berbagai tipe akan
membutuhkan perawatan medis secara terus-menerus sepanjang hidup mereka (Nolen-
Hoeksema, 2001). Hal ini diakibatkan karena skizofrenia dipandang sebagai gangguan
yang akan dialami seumur hidup.
Dari segi usia, gangguan mental awal pemicu SPD diperkirakan terjadi pada usia
24,3 tahun untuk pria dan usia 27,5 tahun untuk wanita (Warner & Girolamo, 1995).
Sedangkan gejala awal SPD muncul pada usia 26,5 tahun bagi pria dan 30,6 tahun bagi
wanita. Iacono dan Besier (1992) menemukan kecenderungan signifikan munculnya
gejala SPD pada pria lebih besar dibandingkan dengan wanita (dikutip oleh Warner &
Girolamo, 1995).
Banyak penelitian dilakukan untuk berusaha menemukan faktor-faktor penyebab
munculnya SPD selain faktor genetika (bawaan/herediter) yang diturunkan oleh
orangtua skizofrenia kepada anaknya. Di antaranya ditemukan bahwa adanya faktor
tekanan sosial ekonomi yang berhubungan dengan kemiskinan dan kondisi hidup serba
tertekan memicu munculnya gejala tersebut (Eaton, 1985 dalam Warner & Girolamo,
1995; Weiner, 1982 ), faktor hambatan dalam hubungan sosial dan afek antara orangtua
dan anak (Mishler & Waxler, 1975; Surtiyana, 1982/1983), faktor penganiayaan pada
anak (Stevenson, 1989), faktor ketidakharmonisan keluarga, hambatan komunikasi,
serta kemungkinan terjadinya early life trauma (Weiner, 1982). Dari berbagai penelitian
mengenai SPD ini, dilaporkan bahwa sebagian besar penderita gangguan ini mengalami
6
pengalaman hidup sebagai anak yang teraniaya, mengalami penolakan dan kritik secara
berlebihan dari orangtua, permusuhan secara nyata maupun tidak langsung (Mishler &
Waxler (1975); Ross, Roff & Knight (1981); (Hefner & De Heiden (1997)), mengalami
tekanan sosial ekonomi, mengalami hambatan komunikasi dengan orangtua,
menghadapi perceraian atau ketidakharmonisan keluarga (Weiner, 1982), sikap
orangtua yang kasar dan tidak memperhatikan kebutuhan afeksi anak (Surtiyana,
1982/1983; Andersen & Clark (2002)).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang mengalami SPD
dalam hidupnya. Gejala SPD yang mereka munculkanpun terjadi dalam bebagai
periode waktu yang berbeda. Hal ini dapat berbeda karena setiap orang akan memiliki
latar belakang dan jalan kehidupan yang berbeda satu sama lainnya. Dari berbagai
periode waktu kehidupan para pasien yang berbeda satu sama lain, akan dapat terlihat
bagaimana berbagai peristiwa yang memengaruhi mereka secara psikologis secara
langsung akan memengaruhi kondisi psikis mereka pada saat ini.
Tahapan perkembangan mulai dari timbulnya gejala SPD sampai dengan
terdiagnosanya para responden secara posistif terhadap SPD mengalami tahap-tahap
perubahan gejala psikis yang beragam. Beberapa faktor perkembangan sangat umum
ditemui sepanjang tahapan perubahan pemikiran dan perilaku yang bersifat paranoid.
Yang banyak ditemui menurut Meyer dan Salmon (1988) adalah perilaku orangtua yang
memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung, yaitu ketika saat
berusaha untuk membela diri secara proyektif, menyalahkan sang anak, maupun
pengalaman lingkungan seperti isolasi sosial dan perbedaan bahasa yang dapat
menyebabkan pola perilaku paranoid.
Gangguan ini muncul berdasarkan urutan tahap transisi perubahan perilaku dan
karakteristik gejala sebagai berikut (Meyer & Salmon, 1988) sebagai berikut, tahap
pertama adalah General Distancing. Pada tahap ini, anak akan mengalami dan
7
menerima sebuah konsep mengenai dirinya bahwa ia ditolak dengan dipermalukan
ketika masih kanak-kanaknya, mengalami penyiksaan, maupun trauma lingkungan yang
menciptakan adanya jarak emosional terhadap orang lain.
Tahap kedua, Distrust yaitu adanya masa kurangnya perhatian secara emosional
dan interpersonal yang seharusnya didapatkan dalam suatu hubungan/relasi yang
normal, mengembangkan sikap ketidakpercayaan terhadap orang lain dan dunia secara
umum. Selanjutnya tahap ketiga, yaitu Selective Perception and Thinking yaitu adanya
rasa tidak percaya (distrust) akan menyebabkan pemisahan persepsi mengenai
informasi yang diterima secara lebih selektif dan melalui tahap pemrosesan informasi,
maka hubungan individu SPD dengan dunia menjadi semakin ‘jauh’.
Tahap keempat yaitu Anxiety and anger ketika individu berupaya menekan
kecemasan dan ketidakpastian yang dialaminya secara disadari dengan memandang
orang lain sebagai sumber permasalahan. Alam tahap ini, akan ada kecenderungan
perilaku permusuhan (hostile) yang dipenuhi dengan perasaan marah dan curiga
sehingga pola interpersonalnya secara langsung akan semakin menjauh.
Tahap kelima, Distorted insight di mana terjadi pemisahan jarak dan sikap
permusuhan akan menjadi lebih terfokus dengan berkembangnya perasaan “melihat
segalanya dengan lebih jelas” sebagai iluminasi paranoid. Tahap yang terakhir yaitu
Deterioration ditandai dengan munculnya spesifikasi target dan penerimaan memicu
berpisahnya pemikiran individu SPD dengan realitas sehingga mengakibatkan delusi
sehingga lebih membuatnya terisolasi secara emosional dan kognitif.
Hasil penelitian terkait dengan faktor stressor utama penyebab Schizophrenia
Paranoid Disorder
Penelitian yang dilakukan oleh Suryadi dan Satiadarma (2005) mengambil data dari
10 responden yang terdiri dari 6 responden pria dan 4 responden wanita dengan metode
8
wawancara (alloanamnesa, autoanamnesa), tes psikologis, dan observasi. Berdasarkan
taraf pendidikan, 4 responden memiliki taraf pendidikan tingkat SMP (baik lulus/belum
lulus); 5 responden dengan taraf pendidikan tingkat SMA (baik lulus/belum lulus); dan 1
responden yang memiliki pendidikan tingkat sarjana (S1). Berdasarkan status sosial
ekonomi, 8 responden berasal dari kalangan sosial ekonomi bawah sedangkan 2
responden lainnya berasal dari kalangan status ekonomi menengah ke atas, sehingga
dikatakan bahwa faktor sosioekonomik dapat memberikan kontribusi kemunculan gejala
SPD namun tidak dapat dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan. Berdasarkan data
demografis juga terlihat bahwa kemunculan gejala SPD awal pada responden terjadi
antara rentang usia 18 sampai dengan 29 tahun dan rentang usia antara 32 sampai
dengan 40 tahun yang terbilang dalam rentang usia produktif..
Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa adanya faktor stresor yang
berasal dari keluarga merupakan faktor penyebab dominan gangguan SPD pada 10
responden ini (Suryadi & Satiadarma, 2005). Faktor stresor keluarga ini bervariasi yaitu:
adanya trauma yang dialami pada masa awal kehidupan, pola asuh orangtua yang
otoriter maupun permisif, hubungan interpersonal antara anggota keluarga, serta pola
komunikasi dalam keluarga yang kurang baik. Stresor keluarga dikatakan sebagai faktor
penyebab dominan karena berdasarkan pengumpulan data, para responden seluruhnya
mengalami masa kanak-kanak yang diliputi dengan pengalaman traumatis dan
sepanjang perjalanan hidupnya saat ini pada masa dewasa, mereka berada dalam
lingkungan keluarga yang kurang kondusif, seperti kurangnya komunikasi,
ketidakkonsistenan pola asuh yang diterapkan ayah dan ibu, kurangnya pemenuhan
kebutuhan afeksi disertai dengan pola asuh permisif, serta pola asuh otoriter yang
membuat mereka hidup dalam tuntutan /harapan orangtua yang ketat dan tinggi.
Pengkondisian Anak Resilien untuk Mencegah SPD
9
Secara umum, Papalia, et.al (2004) mengutip Masten dan Coatsworth (1998) yang
memaparkan temuan mengenai karakteristik anak dan remaja yang memiliki resiliensi.
Dengan kemampuan resiliensi ini, anak dan remaja mampu mempertahankan
ketenangan dan kompetensi mereka menghadapi tantangan maupun ancaman, atau
bahkan kejadian-kejadian traumatis. Mereka mampu mengarahkan, membalikkan
keadaan, bertahan pada apa yang menjadi keyakinannya untuk mengupayakan
perkembangan positif bagi dirinya. Faktor protektif yang terpenting untuk membantu
anak dan remaja mengatasi stres dan memiliki resiliensi adalah faktor hubungan
keluarga dan fungsi kognitif yang baik.
Dengan mengasah kemampuan resiliensi anak, diharapkan mereka akan lebih
tangguh dalam mengadapi segala tantangan, hambatan, serta tekanan baik secara
internal maupun eksternal yang mungkin akan mereka hadapi di lingkungannya. Berikut
karakteristik anak dan remaja yang memiliki resiliensi menurut Masten dan Coatsworth
(1998, h.212 seperti dikutip oleh Papalia, et.al., 2004) yaitu, bahwa secara individual,
anak harus memiliki fungsi intelektual yang baik, mampu menampilkan diri, mudah
bergaul, supel, memiliki self-efficacy dan self-esteem yang tinggi yang tertampilkan
melalui adanya rasa percaya diri. Dari keluarga, seorang anak membutuhkan hubungan
dekat dengan figur orangtua yang penuh perhatian dan penerapan pola asuh
Authoritative yang memberikan kehangatan namun juga mengkondisikan anak dengan
pengharapan untuk berprestasi serta kontrol disiplin dan moral yang baik. Berdasarkan
konteks eksternal keluarga, faktor yang mampu memengaruhi pembentukan resiliensi
anak adalah adanya jejaring sosial anak yang lebih luas pada keluarga besarnya,
jejaring sosial di sekolah maupun wadah keagamaan, serta menekankan pentingnya
faktor pendidikan bagi anak khususnya dalam membina fungsi kognitif dan mental anak.
Faktor protektif lainnya menurut Eisenberg, et.al, 1997; Masten, 2001; Masten, et.al,
1990; Masten & Coatsworth, 1998; E.E. Werner, 1993 yang dapat dijadikan acuan bagi
10
para orangtua sebagai langkah preventif membentuk mental anak yang lebih stabil
(dikutip oleh Papalia, et.al, 2004) yaitu, kepribadian anak. Anak-anak yang memiliki
resiliensi mudah menyesuaikan diri, ramah, disukai, mandiri, serta peka terhadap orang
lain. Mereka cukup kompeten dan memiliki self-esteem yang tinggi. Mereka juga kreatif,
berdayaguna, mandiri, mampu mengatur dan memotivasi diri sendiri. Dalam hal ini, pola
asuh demokratis merupakan pola asuh yang sesuai karena melibatkan adanya
penerapan disiplin dengan tanpa mengabaikan kemauan, pendapat, maupun perasaan
anak.
Faktor kedua yaitu pengurangan risiko. Anak-anak yang menghadapi hanya salah
satu faktor signifikan sebagai penyebab gangguan psikiatris (seperti putusnya hubungan
orangtua, status sosial rendah, ibu yang mengalami gangguan, seorang ayah yang
kriminal, dan lain-lain) biasanya lebih mampu mengatasi stres daripada anak yang
menghadapi lebih dari satu faktor risiko tersebut.
Faktor ketiga yaitu pengalaman sebagai kompensasi. Lingkungan sekolah yang
mendukung atau keberhasilan dalam belajar, olahraga, musik, atau dengan anak
maupun orang dewasa lainnya dapat membantu untuk memperbaiki kehidupan
rumah/keluarga yang tidak harmonis. Dalam tahap dewasa, sebuah pernikahan yang
harmonis mampu berperan sebagai kompensasi hubungan yang buruk pada awal
kehidupan sebagai anak-anak.
Peran Orangtua dalam Mencegah SPD
Orangtua seharusnya menyadari bahwa peran mereka sangat penting (sebagai agen
utama) melalui pemberian dukungan, penerimaan, serta perubahan pada pola asuh,
komunikasi, serta hubungan interpersonal antar anggota keluarga. Hal ini memang
didukung dengan adanya fakta bahwa pada individu yang mengalami SPD, terapi yang
diberikan secara lengkap berupa terapi individual maupun mengikutsertakan keluarga
11
pasien (terapi keluarga), yang diberikan oleh tenaga profesional yang kompeten seperti
psikolog karena memang faktor stressor keluarga sebagai faktor penyebab dominan
SPD seharusnya didiskusikan dan dipertanggungjawabkan bersama dalam suatu
keluarga sehingga individu memperoleh lingkungan kondusif untuk ‘sembuh’.
Sebagai upaya preventif, para orangtua agar lebih mempersiapkan lingkungan
keluarga yang kondusif bagi pertumbuhan mental anak-anak mereka. Dengan
perbedaan karakteristik serta sifat yang dimiliki anak-anak, kita sebagai orangtua
sebaiknya waspada dengan segala kemungkinan seperti pemberian kebutuhan afeksi,
pola asuh, cara berkomunikasi, serta jalinan hubungan interpersonal yang memiliki
dampak baik atau buruk bagi kerentanan kondisi psikologis mereka. Orangtua juga
sebaiknya mampu untuk introspeksi diri dan peka terhadap kebutuhan anak sehingga
mampu menyeimbangkan antara pemenuhan kebutuhan dengan pendidikan/penerapan
disiplin yang baik.
Pola asuh yang diterapkan orangtua seharusnya bersifat konsisten antara ayah dan
ibu. Kekonsistenan dimulai dari adanya kesepakatan antara ayah dan ibu dalam
mengasuh anak, tipe pola asuh Autoritative sangat dianjurkan mengetahui bahwa pola
asuh ini memberikan kebebasan yang bertanggungjawab sehingga di satu sisi, anak
memperoleh kebutuhan afeksi dan di sisi lain, mereka juga dilatih untuk
mengembangkan rasa percaya diri dan tanggungjawabnya sebagai individu baik secara
kognitif maupun moral. Hal yang sangat dihindari adalah ketika masing-masing orangtua
memiliki pola asuh yang berbeda sehingga anak akan mempersepsikan dan belajar
moral secara ambigu. Kekonsistenan juga dibutuhkan ketika ayah dan ibu menerapkan
pola asuh tersebut pada anak. Sebaiknya orangtua sepakat akan penerapan
aturan/disiplin maupun pemerolehan afeksi bagi setiap anak. Jika ayah memberikan
hukuman maka ibu akan berlaku sama, demikian pula sebaliknya. Tidak ada
kesenjangan antara orangtua serta perlakuan yang diterima bagi setiap anak.
12
Penerapan pola asuh yang buruk dan inkonsisten adalah apabila ayah bersikap sangat
otoriter sedangkan ibu bersikap permisif, tidak peduli. Hal tersebut akan menyebabkan
anak menjadi bingung sehingga fungsi kognitif serta persepsinya akan menjadi ambigu.
Demikian pula dengan pola komunikasi antara orangtua dan anak yang seharusnya
terjalin dengan baik dan konsisten. Ayah maupun ibu sebaiknya memiliki porsi yang
sama dalam berkomunikasi dengan anak. Hal yang dapat dilakukan orangtua adalah
dengan membiasakan diri berkomunikasi atau berdiskusi dengan anak. Masing-masing
ayah dan ibu dapat memiliki pendekatan komunikasi yang berbeda namun keduanya
harus menyediakan waktu untuk mendengarkan anaknya.
Sebagai orangtua atau anggota keluarga, sudah seharusnya menyediakan
lingkungan keluarga yang kondusif bagi perkembangan psikologis seorang anak.
Lingkungan keluarga yang kondusif dapat dimulai dengan pola hubungan antar suami-
istri atau ayah dan ibu yang baik, pola asuh yang memberikan kasih sayang,
penerimaan, serta disiplin yang baik serta pola komunikasi yang jelas dan selalu terjalin
erat antara orangtua dan anak. Hal lainnya yang juga tidak kalah penting untuk
diperhatikan adanya perlunya untuk menghindari pemberian hukuman fisik yang
termasuk sebagai penganiayaan terhadap anak yang dapat menimbulkan trauma dan
efeknya dalam jangka panjang yang menyebabkan kerentanan psikologis anak yang
bersangkutan.
Dengan adanya pemaparan mengenai karakteristik anak dan remaja yang memiliki
resiliensi, diharapkan setiap anggota masyarakat lebih waspada dan sadar bahwa ada
harapan dan kesempatan untuk mencegah semakin banyaknya gejala gangguan
psikologis seperti SPD khususnya terhadap anak dan anggota keluarga.
13
Daftar Pustaka
Alloy, L. B., Jacobson, N. S., & Acocella, J. (1999). Abnormal psychology: Current perspectives. (edisi ke-4). Boston: McGraw-Hill College.
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. (edisi ke-4, Text Revision). Washington: APA.
Biro Pusat Statistik (2000). Sensus Kesehatan Jiwa Rumah Tangga Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik.
Canadian clinical practice guidelines for the treatment of schizophrenia. Canadian Psychiatric Association. Can J Psychiatry, 1998,43:Supp.2.
Childhood abuse and the positive symptoms of schizophrenia. 2002. Ross, C. A., Anderson, G., & Clark, P. Hospital & Community Psychiatry, 45, 489-491.
Epidemiology of schizophrenia. Hafner, H. & Der Heiden, W. Can J Psychiatry, 1997,42:Supp2.
Family Characteristics, childhood symptoms, and adult outcome in schizophrenia. Roff, J. D., & Knight, R. Journal of Abnormal Psychology, 1981, 90, 6, hal.510-520.
Http:// www. Mental Illnesses.com/ Report on mental illnesses in Canada. 2002.
Http: //www. Psychotreatment.com/Schizophrenia:It’s cause and consequences (Paul Susic MA Licensed Psychologist Ph.D Candidate, 1999. revised Feb 5th, 2004).
Metropolitan: Orang gila di tengah stresnya penduduk Jakarta. Ivvaty, S. Kompas, 11 Juli 2003, 14/XXXIX, hal.19.
Meyer, R. G., & Salmon, P. 1988. Abnormal psychology (edisi ke-2). Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Ministry of Health Republic of Indonesia. (1994). Indonesia Health Profile 1994. Jakarta: Centre of Health Data.
Mischler, E. G., & Waxler, N. E. (1975). An experimental study of family processes and schizophrenia. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Neale, J. M., Davison, G. C., & Haaga, D. A. F. (1996). Exploring abnormal psychology. New York: John Wiley & Sons.
Nolen-Hoeksema, S. (2000). Abnormal psychology. (Edisi ke-2). Boston: McGraw-Hill.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human Development (edisi ke-9). New York: McGraw-Hill.
14
Stevenson, O. (1989). Child abuse: Public policy and professional practice. London: Harvester Wheatshef.
Surtiyana, A. (1982/1983). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya gangguan paranoid (Suatu penelitian terhadap kasus-kasus dari bagian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi UI). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (karya tidak diterbitkan).
Suryadi,D. & Satiadarma, M.P. (2005). Faktor stresor keluarga sebagai faktor penyebab dominan schizophrenia paranoid disorder. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara (karya tidak diterbitkan).
Warner, R. & Girolamo, G. (1995). Schizophrenia: Epidemiology of mental disorders and psychosocial problems. Geneva: World Health Organization.
Weiner, I. B. (1982). Child and adolescent psychopatology. New York: John Wiley & Sons, Inc.
World Health Organization. (1975). Schizophrenia: A multinational study (Public Health Paper, hal.63). Geneva: World Health Organization.
15