Makalah Botek Bioteanol Fix

Embed Size (px)

Citation preview

MAKALAH BOTANI EKONOMI Production of Biofuel Ethanol from Pretreated Seagrass by using Saccharomyces cerevisiae

Disusun oleh : Apriliana Mutia Dewi Onesia Honta Prasasti Nur Alindatus Sa Diyah Dita Dwi Aprilia Wahyu Dewi Iftita (1509100007) (1509100036) (1509100061) (1509100068) (1509100)

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Botani Ekonomi ini dengan tepat pada waktunya, guna memenuhi nilai tugas mata kuliah Botani Ekonomi. Semoga dengan membaca resume ini, para pembaca mampu mendapat pengetahuan yang lebih dalam mengenai Pembuatan bioetanol dengan menggunakan Lamun sebagai bahan dasarnya dan apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekeliruan penyusun memohon maaf. Tak lupa penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan makalah ini.

Surabaya, September 2011

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya populasi manusia maka kebutuhan energi untuk kelangsungan hidup manusia serta aktivitas ekonomi dan sosialnya juga akan meningkat. Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional akibat menurunnya cadangan minyak pada sumur-sumur produksi secara alamiah, padahal dengan pertambahan jumlah penduduk, meningkat pula kebutuhan akan sarana transportasi dan aktivitas industri. Hal ini berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM. Kebijakan tersebut telah menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan bakar nabati sebagai alternatif pengganti BBM. Bahan bakar berbasis nabati diharapkan dapat mengurangi terjadinya kelangkaan BBM, sehingga kebutuhan akan bahan bakar dapat terpenuhi. Bahan bakar berbasis nabati juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan, sehingga lebih ramah lingkungan. Bahan bakar berbasis nabati salah satu contohnya adalah bioetanol. Bioetanol dapat dibuat dari sumber daya hayati yang melimpah di Indonesia. Bioetanol merupakan cairan hasil proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat (pati) menggunakan bantuan mikroorganisme. Dua pertiga luas wilayah Indonesia adalah lautan yang mempunyai potensi sumberdaya alam yang sangat penting bagi kehidupan bangsa. Potensi tersebut perlu dikelola secara tepat agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari bagi kesejahteraan rakyat. Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan adalah lamun, dimana secara ekologis lamun mempunyai bebrapa fungsi penting di daerah pesisir. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme. Biomassa padang lamun secara kasar berjumlah 700 g bahan kering/m2, sedangkan produktifitasnya adalah 700 g karbon/m2/hari. Oleh sebab itu padang lamun merupakan lingkungan laut dengan produktifitas tinggi.

Cymodocea serrulata memiliki komposisi 9,39 % protein, 0,91 gula pereduksi, 7,81 % lemak, 67,09 % abu dan 19,25 % serat kasar. Kandungan korbohidrat Cymodocea serrulata tersebut bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar nabati yaitu bioetanol. Produksi bioetanol dari tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) dengan beberapa metode diantaranya dengan hidrolisis asam dan secara enzimatis. Metode hidrolisis secara enzimatis lebih sering digunakan karena lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan katalis asam. Glukosa yang diperoleh selanjutnya dilakukan proses fermentasi atau peragian dengan menambahkan yeast atau ragi sehingga diperoleh bioetanol sebagai sumber energi. Saccharomyces cerevisiae telah lama digunakan dalam industri alkohol dan minuman beralkohol sebab memiliki kemampuan dalam memfermentasi glukosa menjadi ethanol. Hal yang menarik adalah proses fermentasi ethanol pada khamir tersebut berlangsung pada kondisi aerob. Selain Saccharomyces cerevisiae, Zymomonas mobilis juga sangat potensial, namun bakteri ini perlu dikembangkan lebih lanjut, karena toleransinya yang rendah terhadap garam dalam media dan membutuhkan media yang steril, sehingga menyulitkan untuk aplikasi skala industri. 1.2 Permasalahan Permasalahan yang dihadapi dalam jurnal acuan ini adalah bagaimana mengetahui potensi Cymodoceae serrulata sebagai sumber bioetanol menggunakan metode hidrolisis asam dan bagaimana mengetahui proses yang lebih baik untuk menghasikan bioetanol dari Cymodocea serrulata. 1.3 Tujuan Tujuan dilakukan penelitian dalam jurnal acuan ini adalah untuk mengetahui potensi Cymodoceae serrulata sebagai sumber bioetanol menggunakan metode hidrolisis asam dan mengetahui proses yang lebih baik untuk menghasikan bioetanol dari Cymodocea serrulata.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan adalah lamun, dimana secara ekologis lamun mempunyai bebrapa fungsi penting di daerah pesisir. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme. Menurut Nybakken (1997), biomassa padang lamun secara kasar berjumlah 700 g bahan kering/m2, sedangkan produktifitasnya adalah 700 g karbon/m2/hari. Oleh sebab itu padang lamun merupakan lingkungan laut dengan produktifitas tinggi.

Gambar 2.1 Morfologi Lamun Lamun adalah tumbuhan angiospermae yang seluruh hidupnya berlangsung di lingkungan perairan dangkal. Kenampakan luar lamun memiliki kemiripan dengan kerabatnya yang tumbuh di daratan, yaitu rumput. Lamun merupakan tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbanam di lingkungan laut, berpembuluh, berimpang, berakar dan berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas, tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat berpasir dan pecahan karang (Azkab, 2002). Lamun mempunyai peranan ekologi penting bagi perairan laut dangkal yaitu sebagai habitat biota, produsen primer, penangkap sedimen, serta berperan sebagai pendaur zat hara dan trace elemen (Kiswara, 1985).

Lebih dari 52 jenis lamun yang telah ditemukan. Di Indonesia hanya terdapat 7 genus dan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili yaitu : Hydrocharitacea ( 9 marga, 35 jenis ) dan Potamogetonaceae (3 marga, 15 jenis). Jenis yang membentuk komunitas padang lamun tunggal, antara lain : Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodoceae serulata, dan Thallasiadendron ciliatum. 2.1.1 Kadar Kandungan Lamun Penelitian mengenai kandungan nutrisi lamun telah dilaporkan oleh peneliti Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Kandungan nutrisi yang diukur adalah protein, karbohidrat, lemak, dan serat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lamun dapat dijadikan sumber makanan kesehatan dan obat-obatan.

Tabel 2.1 Kandungan nutrisi lamun dri pantai Bandengan, Jepara, Jawa Tengah 2.2 Cymodocea serrulata Klasifikasi Cymodocea serrulata : Divisi : Anthophyta Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledonae Ordo : Helobiae Famili : Cymodoceae Genus : Cymodocea Species : Cymodoceae serrulata Ciri-ciri : Gambar 2.2 Morfologi Cymodocea serrulata - Ujung daun seperti gergaji, tulang daun 13-17 Cymodocea serrulata memiliki komposisi 9,39 % protein, 0,91 gula pereduksi, 7,81 % lemak, 67,09 % abu dan 19,25 % serat kasar. Kandungan korbohidrat Cymodocea serrulata tersebut bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar nabati yaitu bioetanol.

2.3

Persebaran Lamun di Indonesia Beberapa laporan penelitian telah menyebutkan lokasi-lokasi yang memilki padang

lamun yang potensial, diantaranya di perairan Papua, Sulawesi, Bali, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Indonesia, lamun yang ditemukan terdiri atas tujuh marga (genera). Dari 20 jenis lamun yang dijumpai di perairan Asia Tenggara, 12 di antaranya dijumpai di Indonesia. Penyebaran padang lamun di Indonesia cukup luas, mencakup hampir seluruh perairan Nusantara yakni Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Dari seluruh jenis, jenis Thalassia hemprichii merupakan yang paling dominan di Indonesia. Keanekaragaman hayati lamun yang paling tinggi ada di perairan Teluk Flores dan Lombok, masing-masing ada 11 spesies. Jika dibandingkan, maka keanekaragaman hayati lamun di perairan Indonesia bagian timur ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan bagian barat. Hal ini diduga karena posisi daerah bagian timur yang lebih dekat dengan pusat penyebaran lamun di perairan Indo Pasifik, yaitu Filipina (16 jenis) dan Australia Barat yang memiliki 17 jenis. Padang lamun memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan bagi berbagai kepentingan, misalnya sebagai tempat kegiatan budidaya laut berbagai jenis ikan, kerangkerangan dan tiram.

Gambar 2.3 Distribusi lamun di dunia

Gambar 2.4 Distribusi lamun di Indonesia Perairan Sulawesi Semenanjung Minahasa Propinsi Sulawesi Utara dilaporkan memiliki potensi wilayah pesisir dengan 10 spesies lamun yang telah teridentifikasi (FORPELA, 2003), sementara di Kabupaten Selayar memiliki padang lamun dengan luasan sempit dan tersebar di beberapa kepulauan, yaitu Taka Bonerate, Pasimasunggu, Pasimasunggu Timur, Pasimarannu, dan Pasilambena. Jenis lamun di perairan ini mayoritas adalah Enhalus acoroides, Thallasia hemprichi, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis (Diskan Selayar, 2001 dalam CORMAP, 2006). Perairan Jawa Timur Wimbaningrum, et. al. (2003) melaporkan bahwa lamun teridentifikasi di sekitar rataan terumbu Pantai Bama, Jawa Timur. Jenis lamun yang diperoleh, yaitu Enhalus sp., Halophila sp., Thalassia sp., E. acoroides, H. ovalis, H. ovata, T. hemprichii, Cymodocea sp., Halodule sp., Syringodium sp., sp., C. rotundata. Perairan Pulau Bali Penelitian tentang jenis dan kerapatan padang lamun di Pantai Sanur Bali telah dilaporkan oleh Arthana (2004). Diketahui bahwa spesies lamun yang ditemukan ada tujuh yang tergolong ke dalam dua famili dan empat marga yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium. Penyebaran lamun lebih banyak di tengah lagoon dengan kondisi lebih dalam dan variasi suhu lebih rendah. Perairan Jawa Tengah

Enam jenis lamun yang tumbuh di perairan Bandengan Jepara, yaitu: Cymodocea serrulata, Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Syringodium foliforme, Halodule uninervis dan Thalassodendrom ciliatum (Anonim, 2008). 2.4 Pembuatan Bioetanol Etanol disebut juga dengan etil alcohol, alcohol murni, alcohol absolute atau alcohol saja. Etanol merupakan cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna dan merupakam alcohol yang paling sering digunakan dalam kehidupoan sehari-hari. Etanol termasuk dalam alcohol rantai tunggal dengan rumus kimia C2H5OH dan romos empiris C2H5O. etanol sering disebut dengan EtOH dengan Et merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5). Etanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati seperti, ubi kayu, ubi jalar, jagung atau sagu. Etanol ini kemudian disebut dengan bioetanol. Produksi bioetanool dengan bakan baku seperti di atas dilakukan melaui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat dibedakan berdasarkan zat pembantu yang digunakan, yaitu Hydrolisa asam (misalnya asama sulfat) dan Hydrolisa enzim. Namu yang sering digunakan adalah Hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidart menjadi gula (glukosa larut air) dilakuakan denga penambahan air dan enzim. Kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi etanol dengan menambahkan yeast atau ragi. Umumnya dalam pembuatan bioetanolo melaui tahapan gelatisasi dan fermentasi. Gelatisai adalah proses pengubahan pati menjadi glukosa dengan bantuan enzim dan beberapa perlakuan seperti kenaikan suhu. Sementara itu, ferementasi adalah perubahan dari glukosa menjadi alcohol (etanol). Pembuatan etanol belum selesai pada tahapa ini, setelah pfermenatasi alcohol hanya memilkik kemurnian 30-40% dan belum dikategorikan fuel based etanol. Agar dapat menacapai kemurnian di atas 95%, maka etanol ini harus melewati proses destilasi. 2.5 Saccharomyces cerevisiae Klasifikasi Saccharomyces cerevisiae : Kingdom Division Class Order Family : Fungi : Ascomycota : Hemiascomycetes : Saccharomycetales : Saccharomycetaceae

Genus Species

: Saccharomyces : Saccharomyces cerevisiae

Gambar 2.4 Saccharomyces cerevisiae dari mikroskop Saccharomyces cerevisiae memiliki bentuk sel lonjong (oval), bundar, memanjang dan menghasilkan pseudomiselium (bila sel anak tidak terlepas dari induknya). Ukuran sel khamir antara 5 20 mikron dan merupakan mikroorganisme bersel tunggal. Saccharomyces cerevisiae tidak bergerak sehingga tidak memiliki struktur tambahan di bagian luarnya seperti flagella (Elevri, 2006). Saccharomyces cerevisiae mampu memproduksi alkohol dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi terhadap kadar alkohol yang tinggi (Elevri, 2006). Saccharomyces cerevisiae juga mampu melakukan fermentasi terhadap glukosa, fruktosa, galaktosa, maltosa dan sedikit terhadap rafinosa. Ragi ini melakukan reproduksi vegetatif dengan bertunas secara multipolar (tunas dapat berkembang dari setiap bagian permukaan sel induk). Pertumbuhan ragi memerlukan kondisi lingkungan yang cocok diantaranya gula, pH optimum 4 5 dan suhu optimum 30 C. Saccharomyces cerevisiae telah lama digunakan dalam industri alkohol dan minuman beralkohol sebab memiliki kemampuan dalam memfermentasi glukosa menjadi ethanol. Hal yang menarik adalah proses fermentasi ethanol pada khamir tersebut berlangsung pada kondisi aerob. Selain Saccharomyces cerevisiae, Zymomonas mobilis juga sangat potensial, namun bakteri ini perlu dikembangkan lebih lanjut, karena toleransinya yang rendah terhadap garam dalam media dan membutuhkan media yang steril, sehingga menyulitkan untuk aplikasi skala industri. Oleh karena itu Ragi (Saccharomyces cerevisiae) adalah mikroorganisme penghasil etanol yang paling dikenal saat ini. Dalam pembautan etanol salah satu proses yang dilakukan adalah fermentasi. Ferementasi pada umumnya menggunakan yeast, Saccaharomyces adalah salah satu dari yeast yang biasa digunakan. Spesies dari genus ini mampu mengubah Glukosa menjadi alcohol dan CO2. Saccharomyces merupakan mikroorganisme bersel satu yang tidak berklorofil, tumbuh

baik dalam suhu 30 oC dan pH 4,8. beberapa kelebihan Saccharomyces dalam proses fermentasi adalah cepat berkembang biak, tahan terfadap alcohol tinggi, tahna terhaadap suhu tinggi, stabil dan cepat beradaptasi. Beberapa spesies Saccharomyces mampu memproduksi ethanol hingga 13.01 %. Hasil ini lebih bagus dibanding genus lainnya seperti Candida dan Trochosporon.

BAB III METODOLOGI 3.1 Pengumpulan dan Persiapan Substrat Daun Cymodocea serrulata yang segar dan semi layu dikumpulkan dari sepanjang pantai Thondi, (Lat. 9 44'N 79 dan Lon. 10'E) Ramanathapuram kabupaten, Tamilnadu, India. Daun lamun dikumpulkan dan dicuci dengan air sebanyak tiga kali dan sekali dengan air suling untuk menghapus kristal tanah dan kerikil lainnya. Kemudian daun lamun tersebut dicincang menjadi potongan potongan kecil. Setelah itu, dikeringkan dengan sinar matahari selama empat hari untuk menghilangkan kandungan airnya. 3.2 Fermentasi Media Glukosa 10, Ekstrak Yeast 0.1, Potassium Hidrogen Fosfat 0.5, Magnesium Sulfat 0.1 (100 mL) merupakan media fermentasi. Kemudian media tersebut di autoclave pada suhu 121 C selama 15 menit. Kemudian ditambahkan 1 N NaOH hingga pH mencapai 4,5. Setelah itu medium tersebut didinginkan pada suhu kamar. Kemudian Saccharomyces cerevisiae yang diperoleh diinokulasi (108 sel/ml) ke dalam labu aseptik berbentuk kerucut dan diinkubasi pada suhu 28 C selama 24 jam. 3.3 Asam Hidrolisis Ditimbang dua ratus gram daun lamun yang kering dan 250 ml asam oksalat disemprotkan ke lamun tersebut. Kemudian diaduk rata dan dikukus selama 20 menit. Diekstraksi dengan 300 ml panas air (65 C) dengan menggunakan waterbath termostat dan difiltrasi dengan menggunakan kertas filter Whatman filter paper No 1 (ukuran pori 11 um). Ditambahkan 10 N NaOH sampai pH mencapai 5,3. Kemudian sampel disterilisasi dan didinginkan. Kemudian dicampur dengan medium fermentasi dan diinkubasi selama 72 jam pada suhu ruang. 3.4 Ledakan Uap Ditimbang dua ratus gram lamun kering dan dicampur dengan 200 ml air destilasi. Kemudian diaduk rata. Dilakukan penambahan 10 N NaOH dan 3 N HCl hingga pH menjadi 5,5. Lalu disterilkan dan didinginkan. Setelah itu, sampel dicampur dengan medium fermentasi dan diinkubasi selama 72 jam pada suhu ruang.

3.5

Etanol Estimasi Etanol yang dihasilkan dari medium fermentasi diukur dengan prosedur standar seperti

yang dijelaskan oleh Hormitz (1980). Sekitar 1 ml kaldu fermentasi dicampur dengan 25 ml air dan di suling dengan menggunakan Rotary Flash Evaporator. Diambil 1,5 ml hasil dari destilat dan ditambahkan 2,5 ml larutan potassium dikromat dan ditambahkan air destilasi hingga mencapai 5 ml. Kemudian diinkubasi pada suhu 60 C selama 30 menit. Kepadatan optik diukur pada 600 nm setelah reaksi selesai. Jumlah etanol dihitung dengan menggunakan rumus berikut: Volume etanol (ml.g-1) = Std. Nilai OD OD nilai sampel / Berat sampel. Standar nilai OD dihitung dengan 100% dari etanol murni (AR Grade). 3.6 Jumlah Gula Estimasi Kandungan gula total juga diukur dalam media fermentasi sebelum dan setelah fermentasi proses seperti yang dijelaskan oleh Dubios et al. (1956). 1 ml sampel diambil dan dimasukkan dalam tabung uji. Kemudian ditambahkan 1 ml fenol 5% dan 5 ml asam sulfat pekat.lalu dicampur dan diinkubasi pada 29 C selama 15 menit untuk mengembangkan warna. Kepadatan optik diukur pada 490 nm. Dihitung kandungan gula ditentukan dengan menggunakan D-Glukosa sebagai standar.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Lamun dikenal sebagai kelompok tanaman dengan daun memanjang yang tumbuh di dasar perairan pantai. Lamun merupakan salah satu sumber potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut Indonesia. Tumbuhan lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) dan berpembuluh (vascular plant) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam air laut. Lamun diyakini juga dapat berpotensi sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Bioetanol merupakan etanol yang bahan utamanya dari tumbuhan dan umumnya menggunakan proses farmentasi dari yeast. Bioetanol dapat diolah dari berbagai jenis tanaman berpati, tanaman bergula, serta tanaman berserat. Dalam penelitian kali ini digunakan lamun dengan jenis Cymodocea serrulata, namun tidak menutup kemungkinan digunakannya lamun jenis lain. Di Indonesia sendiri masih terdapat banyak jenis lamun yang juga bias dimanfaatkan sebagai bioetanol, seperti Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Syringodium foliforme, Halodule sp., dan lain-lain. Berikut adalah kandungan beberapa jenis lamun yang ada di Indonesia :

(Kusumawati, 2008) Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa produksi etanol ditemukan maksimum dalam daun lamun segar daripada daun lamun layu. Dalam perlakuan sebelum dilakukannya estimasi menunjukkan bahwa metode hidrolisis asam dapat memproduksi etanol lebih maksimum daripada metode ledakan uap. Pada metode hidrolisis asam menunjukkan bahwa etanol ditemukan maksimum pada daun laun segar sebesar 0,047 mL/g dan minimum pada daun lamun layu sebesar 0,033 mL/g. Sedangkan dalam metode ledakan uap menunjukkan bahwa etanol ditemukan maksimum pada daun lamun segar sebesar 0,0008 mL/g dan minimum pada daun lamun layu sebesar 0,0004 mL/g. Baik metode hidrolisis asam maupun metode ledakan uap, keduanya menunjukkan bahwa produksi etanol mencapai maksimum pada daun lamun segar daripada daun lamun layu.

Selanjutnya dilakukan perhitungan estimasi kandungan total gula pada kedua macam lamun. Dalam metode hidrolisis asam menunjukkan bahwa kandungan total gula ditemukan maksimum sebesar 0,071 g.g-1 pada daun lamun segar dan minimum sebesar 0,045 g.g-1 pada daun lamun layu. Sedangkan dalam metode ledakan uap, menunjukkan bahwa kandungan total gula mencapai maksimum pada daun lamun segar sebesar 0,014 g.g-1 dan minimum pada daun lamun layu sebesar 0,0089 g.g-1. Dalam estimasi diatas juga menunjukkan bahwa daun lamun segar memiliki kandungan total gula yang lebih banyak daripada daun lamun layu. Grafik 4.1. Kandungan Etanol (mL/g) dan Total Gula (g.g-1) Pada Daun Lamun Segar

Grafik 4.2. Kandungan Etanol (mL/g) dan Total Gula (g.g-1) Pada Daun Lamun Layu

Metode hidrolisis asam yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengubah selulosa dari daun lamun menjadi glukosa. Hidrolisa dengan asam akan memutuskan ikatan polisakarida dan sekaligus memasukkan elemen H2O. Hal ini perlu dilakukan karena kandungan selulosa pada lamun cukup tinggi, yaitu berkisar 30-50% dalam semua jaringannya. Selanjutnya, proses fermentasi pun berlangsung. Fermentasi alkohol merupakan proses pembuatan alkohol dengan memanfaatkan aktivitas yeast (Saccharomyces cerevisiae). Proses fermentasi etanol ini dilakukan secara anaerob, yaitu mengubah glukosa menjadi alkohol tanpa adanya oksigen tetapi dalam pembuatan starter dibutuhkan suasana aerob dimana oksigen diperlukan untuk pembiakan sel. Peranan Saccharomyces cerevisiae dalam penelitian ini sangat besar. Penggunaan Saccharomyces cerevisiae dalam produksi etanol secara fermentasi telah banyak dikembangkan di beberapa negara. Hal ini disebabkan karena Saccharomyces cerevisiae dapat memproduksi etanol dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi terhadap alkohol yang tinggi. Saccharomyces cerevisiae dapat bekerja secara optimal pada kisaran pH 4-6. Oleh karena itu, pada metode hidrolisis asam, etanol yang dihasilkan lebih banyak daripada metode ledakan uap. Penurunan etanol pada konsentrasi glukosa berlebih dapat terjadi sebagai efek inhibisi substrat dan produk. Konsentrasi substrat yang terlalu tinggi dapat mengurangi jumlah oksigen terlarut. Walaupun dalam jumlah yang sedikit, oksigen tetap dibutuhkan dalam fermentasi oleh S. cerevisiae untuk menjaga kehidupan dalam konsentrasi sel tinggi. Oksigen dibutuhkan untuk memproduksi ATP dalam glikolisis dan dalam fosforilasi oksidatif. Proses yang terakhir merupakan bentuk reaksi yang paling menonjol untuk memproduksi ATP. Bila tidak ada oksigen (anaerob), NADH dalam mitokondria tidak dapat dioksidasi kembali, maka pembentukan ATP, daur asam sitrat, serta pemecahan nutrisi lain juga terhenti. Sebagai substrat energi tetap hanya glukosa yang pemecahannya menjadi piruvat melalui glikolisis menghasilkan dua molekul ATP (Elevri, 2006). Kandungan glukosa atau gula yang berlebih akan digunakan dalam menghasilkan energi bagi pertumbuhan yeast itu sendiri untuk memperbanyak biomassanya, sehingga akan lebih sedikit menghasilkan etanol. Namun dengan berkurangnya jumlah yeast dalam medium fermentasi juga akan menurunkan konversi alkohol yang dihasilkan. Oleh karena itu, perbandingan glukosa atau gula dan yeast yang digunakan harus sesuai. Yeast merupakan komponen penting dalam proses fermentasi alkohol.

BAB V KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah tumbuhan lamun (Cymodocea serrulata) dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan etanol. Daun lamun yang masih segar akan menghasilkan kandungan etanol yang lebih tinggi dibandingkan daun lamun yang layu. Produksi etanol ini tidak terlepas dari peranan Saccharomyces cerevisiae.

DAFTAR PUSTAKA Arthana, I. W. 2004. Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pantai Sanur Bali. Fakultas Pertanian. Universitas Udayana. Azkab, M. H dan Indra A. 2002. Hubungan Fauna dengan Padang Lamun. PUSLITBANG Oseanologi LIPI : Jakarta Elevri, Putra Asga dan Surya Rosa Putra. 2006. Produksi Etanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae Yang Diamobilisasi Dengan Agar Batang. Akta Kimindo Volume 1 Nomor 2 : 105-114. Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia FMIPA ITS Kiswara W. dan M. Hutomo. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik Lamun. Oseana 10 (1): 20-30 Kusumawati, Rinta. 2008. Jenis dan Kandungan Kimiawi Lamun dan Potensi Pemanfaatannya di Indonesia. Volume 3 hal. 134-139 Nybakken, J. W. 1997. Marine Biology An Eologican Approach. An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc: New York. P2O-LIPI. 1996. Pengembangan pontensi Wilayah Kabupaten Biak Numfor. Prosiding. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Rahman, Fathu. 2009. Cellulose Acetat Membran Filtrasi Berbahan dasar Lamun Laut (Seagrass) tropis. ITB.bogor Ravikumar, S, R. Gokulakrishan, M. Kanagavel, and N. Thajuddin. 2011. Production of Biofuel Ethanol from Pretreated Seagrass by using Saccharomyces cerevisiae. Indian Journal of Science and Technology Volume 4 Nomor 9. School of Marine Science Departement of Oceanography and Coastal Area Studies Alagappa University Thondi Campus Wimbaningrum, R., Choesin, D. N., Nganro, N. N. 2003. Komunitas Lamun di Rataan Terumbu Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Zulkifli dan Efriyeldi. Kandungan Zat Hara dalam Air Poros dan Air Permukaan Padang Lamun Bintan Timur Riau. Jurnal Natur Indonesia 5(2): 139-144 (2003). P. 139 144.