Upload
kurnia-de-cahyo-uchiha
View
113
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Perubahan Iklim dan Dampaknya Terhadap Ketahanan
Pangan
Abstrak
Global warming is a situation when the earth temperature increase because
of the green house effect. The main effect of global warming is the climate change.
The climate change is also have many effect, and one of them is food availability. A
lot of disaster and extreme climate change that happen nowadays, is become the
main source of food rarity. Indonesian agriculture is very depend on the season
variety and very sensitive to season change. The extreme climate change make the
harvest moon to be unusual, and the harvest product will decrease. At the same
time, the farmer behavior in selling their product are different. Most of the farmer only
sell their harvest on the first harvest moon. In the orde baru period, this problem can
be solved by Badan Urusan Logistik (Bulog). But because of the limited ability of the
government, the emptyness in the market will be filled by another source, such as
private enterprise. To fix those problems, we must do preventive effort to decrease
the impact of climate change, such as decreasing the use of fossil fuels, keeping the
forest, water source management, and the goverment must make some policy to
maintain the foood availabillity.
Keywords: Global Warming,Climate Change, Food Availability.
Pemanasan global? Akhir–akhir ini kata-kata ini semakin sering terdengar di
serukan oleh orang-orang, apakah sebenarnya pemanasan global lalu apa yang
dapat diakibatkan dari adanya pemanasan global?
Secara garis besar pemanasan global atau global warming merupakan
suatu keadaan meningkatnya suhu permukaan bumi akibat dari adanya efek rumah
kaca ataupun efek umpan balik. Lalu apa yang dapat diakibatkan? Jawaban dari
pertanyaan ini dapat sangat luas dan beragam, namun efek yang paling menonjol
terjadi dari adanya global warming adalah adanya perubahan iklim (climate change).
Yang dimaksud dengan perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim,
khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam
jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial). Disamping
itu harus dipahami bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia
(anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil
dan alih-guna lahan. Jadi perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor alami,
seperti tambahan aerosol dari letusan gunung berapi, tidak diperhitungkan dalam
pengertian perubahan iklim. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan
yang telah menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya
dalam bentuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Gas-
gas inilah yang selanjutnya menentukan peningkatan suhu udara, karena sifatnya
yang seperti kaca, yaitu dapat meneruskan radiasi gelombang-pendek yang tidak
bersifat panas, tetapi menahan radiasi gelombang-panjang yang bersifat panas,
akibatnya atmosfer bumi makin memanas dengan laju yang setara dengan laju
perubahan konsentrasi GRK.
Menurut IPCC (2001) dalam dekade terakhir ini pertumbuhan CO2 adalah
sebesar 2900 juta ton/tahun, sementara pada dekade sebelumnya adalah sebesar
1400 juta ton/tahun. Sedang CH4 justru mengalami penurunan dari 37 juta ton/tahun
pada dekade terdahulu menjadi 22 juta ton/tahun pada dekade terakhir. Demikian
pula halnya dengan N2O meskipun kecil juga mengalami penurunan dari 3,9
menjadi 3,8 juta ton/tahun. Dari data-data tersebut tentunya dapat diketahui bahwa
terjadi peningkatan CO2 yang sangat besar, dan diketahui jika dalam satu tahun
terjadi peningkatan sebesar 2900 juta ton, bisa di bayangkan berapa besar jumlah
yang akan diperoleh dalam kurun waktu beberapa decade kedepan. Peningkatan
CO2 juga akan berdampak pada peningkatan suhu rata-rata bumi Pada zaman
praindustri (sebelum tahun 1850) konsentrasi CO2 masih sekitar 290 ppm, sedang
pada tahun 1990 konsentrasinya telah meningkat menjadi 353 ppm. Peningkatan
suhu rata-rata bumi sebesar 0,5 oC telah dicatat. Dengan pola konsumsi energi dan
pertumbuhan ekonomi seperti sekarang, maka diperkirakan pada tahun 2100
konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat dibanding zaman industri, yaitu
sekitar 580 ppm. Peningkatan yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi,
sehingga akan menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait
dengan pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami dan keanekaragaman hayati,
produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia.
Pola dan distribusi curah hujan terjadi dengan kecenderungan bahwa
daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi makin basah.
Konsekuensi-nya adalah bahwa kelestarian sumberdaya air juga akan terganggu. Di
Indonesia dikenal 3 macam pola distribusi hujan, yaitu pola monsun (monsoonal),
ekuatorial dan lokal. Pertama, daerah yang sangat dipengaruhi oleh monsun
memiliki pola hujan dengan satu pucak (unimodal). Ciri dari pola ini adalah adanya
musim hujan dan kemarau yang tajam dan masing-masing berlangsung selama
kurang lebih 6 bulan, yaitu Oktober - Maret sebagai musim hujan dan April –
September sebagai musim kemarau. Kedua, daerah yang dekat dengan ekuator
dipengaruhi oleh sistem ekuator dengan pola hujan yang memiliki dua puncak
(bimodal), yaitu pada bulan Maret dan Oktober saat matahari berada di dekat
ekuator. Ketiga, daerah dengan pola hujan lokal, dicirikan oleh bentuk pola hujan
unimodal dengan puncak yang terbalik dibandingkan dengan pola hujan monsun
yang disebutkan di atas. Perubahan iklim (khususnya suhu dan curah hujan) tidak
hanya menyebabkan perubahan volume defisit atau surplus air, tetapi juga periode
daerah itu mengalami surplus atau defisit. Dalam suatu studi hidrologi daerah aliran
sungai (DAS) di daerah ekuatorial seperti Sulawesi, perubahan iklim (dengan
konsentrasi CO2 atmosfer 2 kali lipat dibanding konsentrasi pada zaman pra-industri
yang hanya 280 ppm) akan menyebabkan DAS tersebut tidak mengalami defisit
sementara surplusnya meningkat dua kali lipat. Sedang DAS di daerah monsun
seperti Jawa, surplus air hanya sekitar 30% dengan periode defisit yang lebih
pendek dibanding jika iklim tidak berubah (Murdiyarso, 1994).
Dampak dari perubahan iklim juga sangat beragam salah satunya adalah
dalam sektor pertanian, sektor ini akan sangat terpengaruh dengan semakin
ekstrimnya perubahan iklim. Sektor pertanian akan terpengaruh melalui penurunan
produktivitas pangan yang disebabkan oleh peningkatan sterilitas serealia,
penurunan areal yang dapat diirigasi dan penurunan efektivitas penyerapan hara
serta penyebaran hama dan penyakit. Di beberapa tempat di negara maju (lintang
tinggi) peningkatan konsentrasi CO2 akan meningkatkan produktivitas karena
asimilasi meningkat, tetapi di daerah tropis yang sebagian besar negara
berkembang, peningkatan asimilasi tersebut tidak signifikan dibanding respirasi yang
juga meningkat. Secara keseluruhan jika adaptasi tidak dilakukan, dunia akan
mengalami penurunan produksi pangan hingga 7 persen. Namun dengan adaptasi
yang tingkatnya lanjut, artinya biayanya tinggi, produksi pangan dapat distabilkan.
Dengan kata lain stabilisasi produksi pangan pada iklim yang berubah akan
memakan biaya yang sangat tinggi, misalnya dengan meningkatkan sarana irigasi,
pemberian input (bibit, pupuk, insektisida/pestisida) tambahan. Di Indonesia dengan
skenario konsentrasi CO2 dua kali lipat dari saat ini produksi padi akan meningkat
hingga 2,3 persen jika irigasi dapat dipertahankan. Tetapi jika sistem irigasi tidak
mengalami perbaikan produksi padi akan mengalami penurunan hingga 4,4 persen
(Matthews et al.,1995).
Suhu yang lebih hangat akan menyebabkan pergeseran spesies vegetasi
dan ekosistem. Daerah pegunungan akan kehilangan banyak spesies vegetasi
aslinya dan digantikan oleh spesies vegetasi dataran rendah. Bersamaan dengan itu
kondisi sumberdaya air yang berasal dari pegunungan juga akan mengalami
gangguan. Selanjutnya stabilitas tanah di daerah pegunungan juga terganggu dan
sulit mempertahankan keberadaan vegetasi aslinya. Dampak ini tidak begitu nyata di
daerah lintang rendah atau daerah berelevasi rendah. Jika kebakaran hutan makin
sering dijumpai di Indonesia, agak sulit menghubungkan antara kejadian tersebut
dengan perubahan iklim, sebab sebagian besar (kalau tidak seluruhnya) kejadian
kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia yang berkaitan dengan
pembukaan lahan. Bahwa kejadiannya bersamaan dengan kejadian El-Nino karena
fenomena ini memberikan kondisi cuaca yang kering yang mempermudah terjadinya
kebakaran. Namun seperti diuraikan di atas El-Nino adalah fenomena alam yang
terkait dengan peristiwa iklim ekstrem dalam variabilitas iklim, bukan perubahan iklim
dalam arti seperti yang diuraikan di atas. Meningkatnya jumlah penduduk
memberikan tekanan pada penyediaan air, terutama pada daerah perkotaan. Saat
ini sudah banyak penduduk perkotaan yang mengalami kesulitan mendapatkan air
bersih, terutama mereka yang berpendapatan dan berpendidikan atau
berketerampilan rendah. Dampak perubahan iklim yang menyebabkan perubahan
suhu dan curah hujan akan memberikan pengaruh terhadap ketersediaan air dari
limpasan permukaan, air tanah dan bentuk reservoir lainnya. Pada tahun 2080 akan
terdapat 2 hingga 3,5 milyar orang akan mengalami kekurangan air. Pada beberapa
daerah aliran sungai (DAS) penting di Indonesia ketersediaan air permukaan
diperkirakan akan meningkat karena meningkatnya suplus dan menurunnya defisit.
Di DAS Citarum, Jawa Barat peningkatan tersebut mencapai 32%, di DAS Brantas
Jawa Timur 34%, dan di DAS Saadang, Sulawesi Selatan 132% (Murdiyarso, 1994).
Sebagai konsekuensinya kejadian banjir akan meningkat karena
menurunnya daya tampung sungai akibat peningkatan limpasan permukaan dan
menurunnya daya tampung sungai dan waduk akibat peningkatan erosi dan
sedimentasi. Secara global catatan bencana banjir menunjukkan peningkatan yang
signifikan selama 40 tahun terakhir dengan kerugian ekonomis ditaksir sekitar US$
300 milyar pada dekade terakhir dibanding hanya US$ 50 milyar pada dekade tahun
1960-an. Kawasan pesisir merupakan daerah yang paling rentan dari akibat
kenaikan muka-laut. Dalam 100 tahun terakhir, muka laut telah naik antara 10-25
cm. Meskipun kenyataannya sangat sulit mengukur perubahan muka-laut, tetapi
perubahan tersebut dapat dihubungkan dengan peningkatan suhu yang selama ini
terjadi. Dalam 100 tahun perubahan suhu telah meningkatkan pemuaian volume air
laut dan meningkatkan ketinggiannya. Demikian juga penambahan volume air laut
juga terjadi akibat melelehnya gletser dan es di kedua kutub bumi. Dari berbagai
skenario, peningkatan tersebut berkisar antara 13 hingga 94 cm dalam 100 tahun
mendatang. Dengan panjang pantainya yang lebih dari 80.000 km, di mana lebih
dari 50 persen diantaranya merupakan pantai landai, Indonesia cukup rentan
terhadap kenaikan muka-laut seperti negara-negara yang berpantai landai seperti
Bangladesh. Kenaikan muka laut hingga 1,5 m dapat berpengaruh terhadap 17 juta
penduduk Bangladesh. Tetapi hanya dengan kenaikan 1 m dampak sosial-ekonomi
terhadap pertanian pantai di beberapa kabupaten di Jawa Barat bagian utara sudah
sangat besar (Parry et al., 1992).Transmisi beberapa penyakit menular sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim. Parasit dan vektor penyakit sangat peka
terhadap faktor-faktor iklim, khususnya suhu dan kelembaban. Penyakit yang
tersebar melalui vektor (vector-borne diseases,VBDs) seperti malaria, demam
berdarah (dengue) dan kaki gajah (schistosomiosis) perlu diwaspadai karena
transmisi penyakit seperti ini akan makin meningkat dengan perubahan iklim. Di
banyak negara tropis penyakit ini merupakan penyebab kematian utama.
Dari berbagai dampak akibat perubahan iklim tersebut terdapat salah satu
aspek yang cukup penting untuk menjadi sebuah sorotan dunia, yakni menyangkut
aspek ketersediaan pangan/ ketahanan pangan. Banyaknya bencana-alam,
perubahan iklim yang ekstrim akhir-akhir ini menjadi sumber pokok terjadinya
kelangkaan bahan pangan. Perlu dimengerti bahwa pangan bukan berarti hanya
komoditas tanaman pangan, apalagi hanya beras saja. Tetapi mencakup pula
produk hortikultura, peternakan, perikanan, dan perkebunan, baik dalam bentuk
primer maupun olahan. Dengan demikian, proses produksi pangan tidak hanya
dihasilkan oleh kegiatan subsektor pertanian, hortikultura, peternakan, perkebunan,
perikanan, dan kehutanan, tetapi juga oleh industri pengolahan pangan.
Usaha tani padi di Indonesia sangat diwarnai dan tergantung kepada variasi
musim/iklim dan sangat rentan terhadap perubahan musim. Hal ini ditunjukkan oleh
selalu adanya luasan yang terkena dampak perubahan iklim (baik musim kering
maupun hujan). Apalagi akhir-akhir ini dimana di Indonesia terjadi pola perubahan
iklim yang cukup ekstrim, dimana musim kering dan musim hujan yang menjadi tidak
menentu membuat perubahan pola tanam tanaman pangan menjadi semakin tidak
tentu, dan dari hal tersebut berimbas pada tidak tentunya musim panen dan
berlanjut pada turunnya produk pertanian. Semakin banyaknya jumlah penduduk
akan mendorong pula penambahan lahan untuk bermukim yang selanjutnya
berimbas pada semakin maraknya penggunaan lahan pertanian, ataupun
pembukaan hutan untuk menambah jumlah lahan bermukim. Dari hal-hal tersebut
dapat diketahui bahwa jumlah produksi pangan dari sektor pertanian juga akan turun
seiring dengan semakin kecilnya lahan pertanian.
Ketergantungan terhadap kondisi alam juga ditunjukkan oleh
terkonsentrasinya periode tanam, sehingga sebagai konsekuensinya, periode panen
sebagian besar terjadi pada bulan Januari sampai April. Pada periode tersebut lebih
dari 60 persen produksi tahun yang bersangkutan dihasilkan.
Memang, selama beberapa puluh tahun ini, teknologi telah mampu
menggeser puncak panen, dari satu titik, pada periode sebelum tahun 1960-an
menjadi dua titik pada periode setelahnya. Puncak panen kedua terjadi pada bulan
Juli-Agustus dengan jumlah yang relatif lebih sedikit, dan menurun setelahnya. Di
mana pada bulan Desember adalah bulan panen yang paling kecil. Hal ini
mengindikasikan bahwa pada bulan-bulan September-Desember, produksi beras
selalu yang paling kecil dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.
Pada saat yang bersamaan, perilaku petani dalam menjual hasil
produksinya pada periode kedua musim panen tersebut juga berbeda. Pada puncak
panen pertama (Januari - April), sebagian besar petani menjual hasil produksinya
(padi), sementara pada puncak panen kedua (Juli-Agustus), justru sebagian besar
petani tidak menjual hasil produksinya.
Dengan perilaku seperti ini, di mana panen pada bulan Oktober termasuk
yang paling kecil, dan sebagian besar petani tidak menjual hasil produksinya, maka
pasar beras domestik dapat diperkirakan sangat tipis. Pada masa Orde Baru,
lonjakan harga yang biasanya terjadi pada bulan-bulan ini dapat diatasi oleh operasi
pasar yang dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog).
Namun dengan semakin terbatasnya kemampuan pemerintah (dan Bulog),
maka kekosongan pasar akan diisi oleh sumber-sumber lain, yaitu pedagang
swasta, baik dari beras yang diproduksi dalam negeri dan dibeli pada periode
sebelumnya, maupun impor yang juga telah diantisipasi sebelumnya. Trauma
terhadap impor beras ini tampaknya digerakkan oleh situasi pada tahun 1999,
dimana lebih dari 4,7 juta ton beras masuk kedalam pasar domestik. Apabila dilihat
secara jeli, dalam dua tahun ini impor beras menunjukkan kecenderungan
penurunan yang cukup signifikan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan upaya-upaya yang
mana dapat mengatasi ataupun mengurangi dampak dari perubahan iklim, baik
berupa pencegahan, seperti mengurangi penggunan bahan bakar fosil untuk
kendaraan. Menjaga kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia yang juga berfungsi
sebagai sumber utama pengubah karbondioksida menjadi oksigen, mengingat
karbon dioksida merupakan penyumbang terbesar efek rumah kaca, menghemat
penggunan energi dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Untuk pengurangan
dampak pada sektor pangan perlu dilakukan pengelolaan sumberdaya air dimana air
berfungsi sebagai elemen fital untuk tumbuh organisme, dalam hal ini adalah
tanaman pangan. Selain itu juga perlu ditetapkan kebijakan-kebijakan yang
mengatur bagaimana menjaga tetap tersedianya pangan, selain itu juga perlu
kebijakan yang mengatur distribusi pangan.
Namun dari semua itu perlu dilakukan upaya pencegahan dengan
pengubahan pola dan perilaku manusia sejak dini terhadap tindakan-tindakan
manusia yang tidak ramah lingkungan. Perlu diberikan pendidikan sejak dini tentang
global warming sehingga timbul kesadaran manusia tentang pentingnya menjaga
kelestarian lingkungan.