11
Perubahan Iklim dan Dampaknya Terhadap Ketahanan Pangan Abstrak Global warming is a situation when the earth temperature increase because of the green house effect. The main effect of global warming is the climate change. The climate change is also have many effect, and one of them is food availability. A lot of disaster and extreme climate change that happen nowadays, is become the main source of food rarity. Indonesian agriculture is very depend on the season variety and very sensitive to season change. The extreme climate change make the harvest moon to be unusual, and the harvest product will decrease. At the same time, the farmer behavior in selling their product are different. Most of the farmer only sell their harvest on the first harvest moon. In the orde baru period, this problem can be solved by Badan Urusan Logistik (Bulog). But because of the limited ability of the government, the emptyness in the market will be filled by another source, such as private enterprise. To fix those problems, we must do preventive effort to decrease the impact of climate change, such as decreasing the use of fossil fuels, keeping the forest, water source management, and the goverment must make some policy to maintain the foood availabillity. Keywords: Global Warming,Climate Change, Food Availability.

Global Warming Dan Ketahanan Pangan (Kurnia N. Dan Yunash E.N.)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Global Warming Dan Ketahanan Pangan (Kurnia N. Dan Yunash E.N.)

Perubahan Iklim dan Dampaknya Terhadap Ketahanan

Pangan

Abstrak

Global warming is a situation when the earth temperature increase because

of the green house effect. The main effect of global warming is the climate change.

The climate change is also have many effect, and one of them is food availability. A

lot of disaster and extreme climate change that happen nowadays, is become the

main source of food rarity. Indonesian agriculture is very depend on the season

variety and very sensitive to season change. The extreme climate change make the

harvest moon to be unusual, and the harvest product will decrease. At the same

time, the farmer behavior in selling their product are different. Most of the farmer only

sell their harvest on the first harvest moon. In the orde baru period, this problem can

be solved by Badan Urusan Logistik (Bulog). But because of the limited ability of the

government, the emptyness in the market will be filled by another source, such as

private enterprise. To fix those problems, we must do preventive effort to decrease

the impact of climate change, such as decreasing the use of fossil fuels, keeping the

forest, water source management, and the goverment must make some policy to

maintain the foood availabillity.

Keywords: Global Warming,Climate Change, Food Availability.

Pemanasan global? Akhir–akhir ini kata-kata ini semakin sering terdengar di

serukan oleh orang-orang, apakah sebenarnya pemanasan global lalu apa yang

dapat diakibatkan dari adanya pemanasan global?

Secara garis besar pemanasan global atau global warming merupakan

suatu keadaan meningkatnya suhu permukaan bumi akibat dari adanya efek rumah

kaca ataupun efek umpan balik. Lalu apa yang dapat diakibatkan? Jawaban dari

pertanyaan ini dapat sangat luas dan beragam, namun efek yang paling menonjol

terjadi dari adanya global warming adalah adanya perubahan iklim (climate change).

Yang dimaksud dengan perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim,

khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam

jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial). Disamping

Page 2: Global Warming Dan Ketahanan Pangan (Kurnia N. Dan Yunash E.N.)

itu harus dipahami bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia

(anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil

dan alih-guna lahan. Jadi perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor alami,

seperti tambahan aerosol dari letusan gunung berapi, tidak diperhitungkan dalam

pengertian perubahan iklim. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan

yang telah menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya

dalam bentuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Gas-

gas inilah yang selanjutnya menentukan peningkatan suhu udara, karena sifatnya

yang seperti kaca, yaitu dapat meneruskan radiasi gelombang-pendek yang tidak

bersifat panas, tetapi menahan radiasi gelombang-panjang yang bersifat panas,

akibatnya atmosfer bumi makin memanas dengan laju yang setara dengan laju

perubahan konsentrasi GRK.

Menurut IPCC (2001) dalam dekade terakhir ini pertumbuhan CO2 adalah

sebesar 2900 juta ton/tahun, sementara pada dekade sebelumnya adalah sebesar

1400 juta ton/tahun. Sedang CH4 justru mengalami penurunan dari 37 juta ton/tahun

pada dekade terdahulu menjadi 22 juta ton/tahun pada dekade terakhir. Demikian

pula halnya dengan N2O meskipun kecil juga mengalami penurunan dari 3,9

menjadi 3,8 juta ton/tahun. Dari data-data tersebut tentunya dapat diketahui bahwa

terjadi peningkatan CO2 yang sangat besar, dan diketahui jika dalam satu tahun

terjadi peningkatan sebesar 2900 juta ton, bisa di bayangkan berapa besar jumlah

yang akan diperoleh dalam kurun waktu beberapa decade kedepan. Peningkatan

CO2 juga akan berdampak pada peningkatan suhu rata-rata bumi Pada zaman

praindustri (sebelum tahun 1850) konsentrasi CO2 masih sekitar 290 ppm, sedang

pada tahun 1990 konsentrasinya telah meningkat menjadi 353 ppm. Peningkatan

suhu rata-rata bumi sebesar 0,5 oC telah dicatat. Dengan pola konsumsi energi dan

pertumbuhan ekonomi seperti sekarang, maka diperkirakan pada tahun 2100

konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat dibanding zaman industri, yaitu

sekitar 580 ppm. Peningkatan yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi,

sehingga akan menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait

dengan pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami dan keanekaragaman hayati,

produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia.

Pola dan distribusi curah hujan terjadi dengan kecenderungan bahwa

daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi makin basah.

Konsekuensi-nya adalah bahwa kelestarian sumberdaya air juga akan terganggu. Di

Page 3: Global Warming Dan Ketahanan Pangan (Kurnia N. Dan Yunash E.N.)

Indonesia dikenal 3 macam pola distribusi hujan, yaitu pola monsun (monsoonal),

ekuatorial dan lokal. Pertama, daerah yang sangat dipengaruhi oleh monsun

memiliki pola hujan dengan satu pucak (unimodal). Ciri dari pola ini adalah adanya

musim hujan dan kemarau yang tajam dan masing-masing berlangsung selama

kurang lebih 6 bulan, yaitu Oktober - Maret sebagai musim hujan dan April –

September sebagai musim kemarau. Kedua, daerah yang dekat dengan ekuator

dipengaruhi oleh sistem ekuator dengan pola hujan yang memiliki dua puncak

(bimodal), yaitu pada bulan Maret dan Oktober saat matahari berada di dekat

ekuator. Ketiga, daerah dengan pola hujan lokal, dicirikan oleh bentuk pola hujan

unimodal dengan puncak yang terbalik dibandingkan dengan pola hujan monsun

yang disebutkan di atas. Perubahan iklim (khususnya suhu dan curah hujan) tidak

hanya menyebabkan perubahan volume defisit atau surplus air, tetapi juga periode

daerah itu mengalami surplus atau defisit. Dalam suatu studi hidrologi daerah aliran

sungai (DAS) di daerah ekuatorial seperti Sulawesi, perubahan iklim (dengan

konsentrasi CO2 atmosfer 2 kali lipat dibanding konsentrasi pada zaman pra-industri

yang hanya 280 ppm) akan menyebabkan DAS tersebut tidak mengalami defisit

sementara surplusnya meningkat dua kali lipat. Sedang DAS di daerah monsun

seperti Jawa, surplus air hanya sekitar 30% dengan periode defisit yang lebih

pendek dibanding jika iklim tidak berubah (Murdiyarso, 1994).

Dampak dari perubahan iklim juga sangat beragam salah satunya adalah

dalam sektor pertanian, sektor ini akan sangat terpengaruh dengan semakin

ekstrimnya perubahan iklim. Sektor pertanian akan terpengaruh melalui penurunan

produktivitas pangan yang disebabkan oleh peningkatan sterilitas serealia,

penurunan areal yang dapat diirigasi dan penurunan efektivitas penyerapan hara

serta penyebaran hama dan penyakit. Di beberapa tempat di negara maju (lintang

tinggi) peningkatan konsentrasi CO2 akan meningkatkan produktivitas karena

asimilasi meningkat, tetapi di daerah tropis yang sebagian besar negara

berkembang, peningkatan asimilasi tersebut tidak signifikan dibanding respirasi yang

juga meningkat. Secara keseluruhan jika adaptasi tidak dilakukan, dunia akan

mengalami penurunan produksi pangan hingga 7 persen. Namun dengan adaptasi

yang tingkatnya lanjut, artinya biayanya tinggi, produksi pangan dapat distabilkan.

Dengan kata lain stabilisasi produksi pangan pada iklim yang berubah akan

memakan biaya yang sangat tinggi, misalnya dengan meningkatkan sarana irigasi,

pemberian input (bibit, pupuk, insektisida/pestisida) tambahan. Di Indonesia dengan

Page 4: Global Warming Dan Ketahanan Pangan (Kurnia N. Dan Yunash E.N.)

skenario konsentrasi CO2 dua kali lipat dari saat ini produksi padi akan meningkat

hingga 2,3 persen jika irigasi dapat dipertahankan. Tetapi jika sistem irigasi tidak

mengalami perbaikan produksi padi akan mengalami penurunan hingga 4,4 persen

(Matthews et al.,1995).

Suhu yang lebih hangat akan menyebabkan pergeseran spesies vegetasi

dan ekosistem. Daerah pegunungan akan kehilangan banyak spesies vegetasi

aslinya dan digantikan oleh spesies vegetasi dataran rendah. Bersamaan dengan itu

kondisi sumberdaya air yang berasal dari pegunungan juga akan mengalami

gangguan. Selanjutnya stabilitas tanah di daerah pegunungan juga terganggu dan

sulit mempertahankan keberadaan vegetasi aslinya. Dampak ini tidak begitu nyata di

daerah lintang rendah atau daerah berelevasi rendah. Jika kebakaran hutan makin

sering dijumpai di Indonesia, agak sulit menghubungkan antara kejadian tersebut

dengan perubahan iklim, sebab sebagian besar (kalau tidak seluruhnya) kejadian

kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia yang berkaitan dengan

pembukaan lahan. Bahwa kejadiannya bersamaan dengan kejadian El-Nino karena

fenomena ini memberikan kondisi cuaca yang kering yang mempermudah terjadinya

kebakaran. Namun seperti diuraikan di atas El-Nino adalah fenomena alam yang

terkait dengan peristiwa iklim ekstrem dalam variabilitas iklim, bukan perubahan iklim

dalam arti seperti yang diuraikan di atas. Meningkatnya jumlah penduduk

memberikan tekanan pada penyediaan air, terutama pada daerah perkotaan. Saat

ini sudah banyak penduduk perkotaan yang mengalami kesulitan mendapatkan air

bersih, terutama mereka yang berpendapatan dan berpendidikan atau

berketerampilan rendah. Dampak perubahan iklim yang menyebabkan perubahan

suhu dan curah hujan akan memberikan pengaruh terhadap ketersediaan air dari

limpasan permukaan, air tanah dan bentuk reservoir lainnya. Pada tahun 2080 akan

terdapat 2 hingga 3,5 milyar orang akan mengalami kekurangan air. Pada beberapa

daerah aliran sungai (DAS) penting di Indonesia ketersediaan air permukaan

diperkirakan akan meningkat karena meningkatnya suplus dan menurunnya defisit.

Di DAS Citarum, Jawa Barat peningkatan tersebut mencapai 32%, di DAS Brantas

Jawa Timur 34%, dan di DAS Saadang, Sulawesi Selatan 132% (Murdiyarso, 1994).

Sebagai konsekuensinya kejadian banjir akan meningkat karena

menurunnya daya tampung sungai akibat peningkatan limpasan permukaan dan

menurunnya daya tampung sungai dan waduk akibat peningkatan erosi dan

sedimentasi. Secara global catatan bencana banjir menunjukkan peningkatan yang

Page 5: Global Warming Dan Ketahanan Pangan (Kurnia N. Dan Yunash E.N.)

signifikan selama 40 tahun terakhir dengan kerugian ekonomis ditaksir sekitar US$

300 milyar pada dekade terakhir dibanding hanya US$ 50 milyar pada dekade tahun

1960-an. Kawasan pesisir merupakan daerah yang paling rentan dari akibat

kenaikan muka-laut. Dalam 100 tahun terakhir, muka laut telah naik antara 10-25

cm. Meskipun kenyataannya sangat sulit mengukur perubahan muka-laut, tetapi

perubahan tersebut dapat dihubungkan dengan peningkatan suhu yang selama ini

terjadi. Dalam 100 tahun perubahan suhu telah meningkatkan pemuaian volume air

laut dan meningkatkan ketinggiannya. Demikian juga penambahan volume air laut

juga terjadi akibat melelehnya gletser dan es di kedua kutub bumi. Dari berbagai

skenario, peningkatan tersebut berkisar antara 13 hingga 94 cm dalam 100 tahun

mendatang. Dengan panjang pantainya yang lebih dari 80.000 km, di mana lebih

dari 50 persen diantaranya merupakan pantai landai, Indonesia cukup rentan

terhadap kenaikan muka-laut seperti negara-negara yang berpantai landai seperti

Bangladesh. Kenaikan muka laut hingga 1,5 m dapat berpengaruh terhadap 17 juta

penduduk Bangladesh. Tetapi hanya dengan kenaikan 1 m dampak sosial-ekonomi

terhadap pertanian pantai di beberapa kabupaten di Jawa Barat bagian utara sudah

sangat besar (Parry et al., 1992).Transmisi beberapa penyakit menular sangat

dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim. Parasit dan vektor penyakit sangat peka

terhadap faktor-faktor iklim, khususnya suhu dan kelembaban. Penyakit yang

tersebar melalui vektor (vector-borne diseases,VBDs) seperti malaria, demam

berdarah (dengue) dan kaki gajah (schistosomiosis) perlu diwaspadai karena

transmisi penyakit seperti ini akan makin meningkat dengan perubahan iklim. Di

banyak negara tropis penyakit ini merupakan penyebab kematian utama.

Dari berbagai dampak akibat perubahan iklim tersebut terdapat salah satu

aspek yang cukup penting untuk menjadi sebuah sorotan dunia, yakni menyangkut

aspek ketersediaan pangan/ ketahanan pangan. Banyaknya bencana-alam,

perubahan iklim yang ekstrim akhir-akhir ini menjadi sumber pokok terjadinya

kelangkaan bahan pangan. Perlu dimengerti bahwa pangan bukan berarti hanya

komoditas tanaman pangan, apalagi hanya beras saja. Tetapi mencakup pula

produk hortikultura, peternakan, perikanan, dan perkebunan, baik dalam bentuk

primer maupun olahan. Dengan demikian, proses produksi pangan tidak hanya

dihasilkan oleh kegiatan subsektor pertanian, hortikultura, peternakan, perkebunan,

perikanan, dan kehutanan, tetapi juga oleh industri pengolahan pangan.

Page 6: Global Warming Dan Ketahanan Pangan (Kurnia N. Dan Yunash E.N.)

Usaha tani padi di Indonesia sangat diwarnai dan tergantung kepada variasi

musim/iklim dan sangat rentan terhadap perubahan musim. Hal ini ditunjukkan oleh

selalu adanya luasan yang terkena dampak perubahan iklim (baik musim kering

maupun hujan). Apalagi akhir-akhir ini dimana di Indonesia terjadi pola perubahan

iklim yang cukup ekstrim, dimana musim kering dan musim hujan yang menjadi tidak

menentu membuat perubahan pola tanam tanaman pangan menjadi semakin tidak

tentu, dan dari hal tersebut berimbas pada tidak tentunya musim panen dan

berlanjut pada turunnya produk pertanian. Semakin banyaknya jumlah penduduk

akan mendorong pula penambahan lahan untuk bermukim yang selanjutnya

berimbas pada semakin maraknya penggunaan lahan pertanian, ataupun

pembukaan hutan untuk menambah jumlah lahan bermukim. Dari hal-hal tersebut

dapat diketahui bahwa jumlah produksi pangan dari sektor pertanian juga akan turun

seiring dengan semakin kecilnya lahan pertanian.

Ketergantungan terhadap kondisi alam juga ditunjukkan oleh

terkonsentrasinya periode tanam, sehingga sebagai konsekuensinya, periode panen

sebagian besar terjadi pada bulan Januari sampai April. Pada periode tersebut lebih

dari 60 persen produksi tahun yang bersangkutan dihasilkan.

Memang, selama beberapa puluh tahun ini, teknologi telah mampu

menggeser puncak panen, dari satu titik, pada periode sebelum tahun 1960-an

menjadi dua titik pada periode setelahnya. Puncak panen kedua terjadi pada bulan

Juli-Agustus dengan jumlah yang relatif lebih sedikit, dan menurun setelahnya. Di

mana pada bulan Desember adalah bulan panen yang paling kecil. Hal ini

mengindikasikan bahwa pada bulan-bulan September-Desember, produksi beras

selalu yang paling kecil dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.

Pada saat yang bersamaan, perilaku petani dalam menjual hasil

produksinya pada periode kedua musim panen tersebut juga berbeda. Pada puncak

panen pertama (Januari - April), sebagian besar petani menjual hasil produksinya

(padi), sementara pada puncak panen kedua (Juli-Agustus), justru sebagian besar

petani tidak menjual hasil produksinya.

Dengan perilaku seperti ini, di mana panen pada bulan Oktober termasuk

yang paling kecil, dan sebagian besar petani tidak menjual hasil produksinya, maka

pasar beras domestik dapat diperkirakan sangat tipis. Pada masa Orde Baru,

lonjakan harga yang biasanya terjadi pada bulan-bulan ini dapat diatasi oleh operasi

pasar yang dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog).

Page 7: Global Warming Dan Ketahanan Pangan (Kurnia N. Dan Yunash E.N.)

Namun dengan semakin terbatasnya kemampuan pemerintah (dan Bulog),

maka kekosongan pasar akan diisi oleh sumber-sumber lain, yaitu pedagang

swasta, baik dari beras yang diproduksi dalam negeri dan dibeli pada periode

sebelumnya, maupun impor yang juga telah diantisipasi sebelumnya. Trauma

terhadap impor beras ini tampaknya digerakkan oleh situasi pada tahun 1999,

dimana lebih dari 4,7 juta ton beras masuk kedalam pasar domestik. Apabila dilihat

secara jeli, dalam dua tahun ini impor beras menunjukkan kecenderungan

penurunan yang cukup signifikan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan upaya-upaya yang

mana dapat mengatasi ataupun mengurangi dampak dari perubahan iklim, baik

berupa pencegahan, seperti mengurangi penggunan bahan bakar fosil untuk

kendaraan. Menjaga kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia yang juga berfungsi

sebagai sumber utama pengubah karbondioksida menjadi oksigen, mengingat

karbon dioksida merupakan penyumbang terbesar efek rumah kaca, menghemat

penggunan energi dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Untuk pengurangan

dampak pada sektor pangan perlu dilakukan pengelolaan sumberdaya air dimana air

berfungsi sebagai elemen fital untuk tumbuh organisme, dalam hal ini adalah

tanaman pangan. Selain itu juga perlu ditetapkan kebijakan-kebijakan yang

mengatur bagaimana menjaga tetap tersedianya pangan, selain itu juga perlu

kebijakan yang mengatur distribusi pangan.

Namun dari semua itu perlu dilakukan upaya pencegahan dengan

pengubahan pola dan perilaku manusia sejak dini terhadap tindakan-tindakan

manusia yang tidak ramah lingkungan. Perlu diberikan pendidikan sejak dini tentang

global warming sehingga timbul kesadaran manusia tentang pentingnya menjaga

kelestarian lingkungan.