25
KASUS 1 Donor Ginjal Psikotik Seorang wanita berumur 22 tahun telah berada di bawah pengobatan untuk mengatasi sakit kejiwaan yang telah dideritanya sejak usia 18 tahun. Wanita tersebut telah kehilangan ayahnya semenjak ia masih muda dan kedua saudari perempuannya juga telah berumah tangga. Keluarga mereka sekarang dirawat oleh paman wanita tersebut yang selalu baik dan murah hati terhadap mereka. Namun, kondisi dari si paman sekarang membutuhkan transplantasi ginjal dan hanya wanita tersebut yang memungkinkan untuk mendonorkan ginjalnya. Departemen nefrologi menganjurkan untuk mengkonsultasikan ke psikiater terlebih dahulu dikarenakan wanita ini sedang berada dalam tahap pengobatan yang tidak teratur. Wanita ini juga memiliki tingkat pengetahuan yang kurang dikarenakan penyakit kejiwaan yang dialaminya apabila ingin diberikan informed consent. Sebenarnya kondisinya bisa ditingkatkan dalam waktu tiga bulan apabila dilakukan pengobatan secara rutin, setelah itu baru dapat dilakukan evaluasi ulang untuk menentukan seberapa besar peningkatan kemampuannya dalam memahami informed consent yang akan diberikan.

Gabungan 2 Case

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cd

Citation preview

KASUS 1

Donor Ginjal Psikotik

Seorang wanita berumur 22 tahun telah berada di bawah pengobatan untuk mengatasi sakit kejiwaan yang telah dideritanya sejak usia 18 tahun. Wanita tersebut telah kehilangan ayahnya semenjak ia masih muda dan kedua saudari perempuannya juga telah berumah tangga. Keluarga mereka sekarang dirawat oleh paman wanita tersebut yang selalu baik dan murah hati terhadap mereka. Namun, kondisi dari si paman sekarang membutuhkan transplantasi ginjal dan hanya wanita tersebut yang memungkinkan untuk mendonorkan ginjalnya. Departemen nefrologi menganjurkan untuk mengkonsultasikan ke psikiater terlebih dahulu dikarenakan wanita ini sedang berada dalam tahap pengobatan yang tidak teratur. Wanita ini juga memiliki tingkat pengetahuan yang kurang dikarenakan penyakit kejiwaan yang dialaminya apabila ingin diberikan informed consent. Sebenarnya kondisinya bisa ditingkatkan dalam waktu tiga bulan apabila dilakukan pengobatan secara rutin, setelah itu baru dapat dilakukan evaluasi ulang untuk menentukan seberapa besar peningkatan kemampuannya dalam memahami informed consent yang akan diberikan.

Ibunya sendiri merasa bahwa dirinya yang berhak dalam memberikan keputusan terkait masalah pendonoran tersebut sebagai ibu dari si gadis ini. Nyawa dari pamannya sedang dalam bahaya dan apabila terjadi sesuatu terhadap pamannya, maka keluarganya akan menderita. Sedangkan si gadis yang menderita penyakit kejiwaan tadi, apabila mendonorkan ginjalnya tidak akan membahayakan dirinya sama sekali dan hanya si gadis ini yang dapat menyelamatkan hidup dari pamannya. Ibu dari si gadis berkata bahwa keputusan terakhir harus diserahkan kepada keluarga dan para dokter tidak boleh menganggu-gugat keputusan yang telah ditentukan oleh pihak keluarga.

PERTANYAAN

1. Siapakah yang berhak dalam memberikan keputusan atas informed consent yang diberikan pada kasus diatas?

Jawab:

Pada kasus diatas yang seharusnya berhak untuk memutuskan tetap si pendonor ginjal itu sendiri yaitu wanita yang sedang memiliki penyakit kejiwaan tersebut walaupun tingkat wawasan yang dimiliki oleh gadis tersebut sangat kurang namun sebenaenya masih bisa ditingkatkan dengan dilakukannya pengobatan yang rutin. Akan tetapi pada kasus diatas kondisi si paman sudah parah dan sangat membutuhkan donor ginjal dari si gadis untuk bertahan hidup sehingga keputusan yang berhak memutuskan diserahkan kepada keluarga dari si gadis, seperti ibunya sendiri.

2. Apakah pihak dokter dibenarkan dalam menolak penerimaan pasien dengan gangguan kejiwaan sebagai pendonor ginjal? Mengapa?

Jawab:

Tidak. Alasannya karena setiap pasien yang mengalami gangguan kejiwaan yang masih memiliki kondisi kedua ginjal yang normal dan apabila setelah pasien mendonorkan ginjalnya tidak berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan tubuhnya, maka pasien tersebut juga memiliki hak untuk mendonorkan ginjalnya. Apabila dokter menolak penerimaan pasien yang mau mendonorkan ginjalnya hanya karena kemampuan wawasannya yang kurang sehingga tidak bisa menerima informed consent, hal tersebut bisa diatasi dengan dilakukannya pengobatan yang rutin untuk meningkatkan kemampuan wawasan si pasien. Selain itu keputusan selanjutnya diserahkan kepada pihak keluarga. Pemberian informed consent memiliki keputusan tertinggi yang berada di tangan pasien, atau seperti pada kasus dpaat diserahkan kepada pihak keluarga dalam pengambilan keputusan.

3. Sudah jelas dalam kasus tersebut dinyatakan bahwa si ibu akan pergi membawa gadis tersebut ke tempat dokter yang lain untuk bisa melaksanakan operasi transplantasi ginjal tersebut. Apakah hal tersebut mengartikan bahwa si dokter sudah bebas dari tanggung jawabnya dalam kasus ini?

Jawab:

Sebenarnya apabila si ibu ingin membawa anaknya yang menderita penyakit kejiwaan tadi ke tempat lain yang bisa melakukan transplantasi ginjalnya, maka si dokter awal yang menangani kasus tersebut sudah lepas dari tanggung jawab apapun terkait kasus tersebut. Dokter sudah tidak perlu campur tangan lagi walaupun memang dokter tersebut sudah melanggar respect for autonomy karena tidak menghargai keputusan pihak keluarga pasien. Namun di sisi lain, dokter telah menerapkan prinsip kaidah dasar bioetika beneficience dan non-maleficience.

4. Tentukan fakta dari kedua saudari perempuan pasien sehingga tidak memungkinkan untuk menjadi pendonor ginjal bagi paman mereka?

Jawab:

Fakta dari kedua saudari perempuan pasien sehingga tidak memungkinkan untuk menjadi pendonor ginjal bagi paman mereka adalah status dari kedua saudari perempuan pasien yang sudah menikah dan berumah tangga. Tentu setelah kedua saudari perempuan pasien menikah akan tambah tanggung jawab maupun kewajibannya, sehingga peran sosial yang akan didapat juga akan semakin besar dibandingkan dengan pasien sendiri.

5. Diskusikan aspek kaidah etika dibandingkan aspek hukum pada kasus tersebut!

Jawab:

Berdasarkan aspek kaidah etikanya, maka dari kasus tersebut sang dokter telah melanggar kaidah bioetika respect for autonomy karena tidak menjunjung tinggi keputusan pihak keluarga pasien. Sedangkan si dokter juga telah menerapkan aspek kaidah bioetika beneficience dan non-maleficience karena dilihat dari kondisi kejiwaan dan kondisi keseluruhan dari si pasien yang akan mendonorkan ginjalnya tentu tidak mungkin dilakukan transplantasi begitu saja, sedangkan pasien yang mempunya ginjal yang akan didonorkannya tidak mengetahui bahwa akan diambil organ dari dalam tubuhnya. Hal ini juga dokter sudah menerapkan aspek hukum karena tidak begitu saja menerima permintaan keluarga pasien untuk melakukan transplantasi pendonoran ginjal dari si pasien yang menderita penyakit kejiwaan tersebut. Meskipun pihak keluarga pasien dari si ibu tetap memaksa keputusan dari informed consent yang diberikan tetap harus dilakukan transplantasi dan hal tersebut merupakan keputusan tertinggi sebelum tiap tindakan medis dilakukan, namun dari aspek hukum hal ini sudah sangat illegal. Pendonor ginjal yang memiliki organ yang akan didonorkan adalah si wanita yang memiliki sakit kejiwaan tersebut, tentu ia harus tahu bahwa akan dilakukan transplantasi ginjal yang ia miliki kepada pamannya.

KASUS 2

Wanita Yang Dipaksa Untuk Mendonorkan Ginjalnya

Dokter: Kami telah merintis proses transplantasi ginjal dan kami telah menemukan bahwa hasil kami dapat dibandingkan dengan pusat kemajuan di Barat. Landasan yang sangat penting dari kebijakan kami adalah bahwa kita tidak menerima donor yang tidak terkait/berhubungan. Banyak rumah sakit di negara kita memungkinkan sumbangan yang tidak terkait/tidak behubungan secara kekerabatan. Permintaan untuk transplantasi jauh lebih besar dari donor yang tersedia. Kami tidak memiliki kebijakan yang disetujui pemerintan mengenai pengambilan organ pada mayat/kadaver. Jadi pasien harus bergantung pada kerabat yang bersedia mendonor atau membelinya di pasar. Beberapa orang mampu membeli dan mereka membuat permintaan ginjal dari donor yang bersedia walau tidak terdapat hubungan kekerabatan. Para pendonor sangat memerlukan uang dan dokter memberitahu mereka bahwa mereka bisa hidup dengan satu ginjal. Orang yang tidak bersalah, miskin, tidak ada hubungan atau memiliki hubungan kekerabatan jauh, yang dipaksa atau bahkan tertipu untuk memberikan ginjalnya. Kadang-kadang mereka bahkan tidak tahu itu. Mereka mungkin tidak diberi uang atau diberikan kurang dari apa yang dijanjikan. Ini bukan hal baru, kami telah menerima beberapa laporan. Implikasi sangat serius yang mana telah terlihat di banyak negara berkembang.Kami memiliki kasus lain, di mana pendonor jelas sepupu pertama pasien dan tampaknya bersedia mendonor, namun kami merasa tidak pasti/janggal tentang dia (si pendonor) dan mengirimnya untuk penilaian kejiwaan. Mereka menemukan bahwa ia memiliki kecerdasan yang subnormal dan tidak tahu tentang masalah, prosedur dan apa dimaksudkan akan dilakukan padanya. Kami menolak. Pasien dan keluarganya, bahkan orang tua pendonor, marah atas penolakan kami.

1. Mempertimbangkan konteks yang diuraikan oleh dokter. Gambarkan/jelaskan dilema etik yang terjadi. Pada kondisi tersebut, bagaimana Anda melihat masing-masing hak pasien dan hak pendonor?

Pada kasus tersebut, seorang pasien membutuhkan transplantasi ginjal dan telah didapatkan donor yang cocok yaitu sepupu pasien sendiri. Di sisi lain, pendonor tersebut mengalami gangguan intelegensia sehingga tidak dapat memahami prosedur, fungsi dan efek yang akan terjadi pada dirinya bila melakukan transplantasi ginjal. Tentu saja hal ini menjadi dilema etik yang mengharuskan dokter untuk memilih melakukan transplantasi untuk menyelamatkan seorang pasien dengan kondisi pendonor yang seperti itu atau tidak melakukan transplantasi tersebut sebagai pertimbangan terhadap kondisi pendonor yang tidak memiliki pengetahuan mengenai proses transplantasi ini.

Pada kasus, tindakan dokter terhadap calon pendonor :

Dokter telah melaksanakan prinsip etika Otonomi dan Non-maleficence dengan memberikan informed consent kepada calon pendonor dan menolak melakukan tindakan ketika dokter mengetahui bahwa pendonor tidak memiliki kemampuan untuk memahami efek yang terjadi pada dirinya di masa depan.

Dokter telah mematuhi perundang-undangan bahwa pendonor harus mengetahui dan mengerti resiko yang akan dihadapinya, selain itu orang tersebut tidak boleh mengalami tekanan psikologi karena dapat memperparah penyakit psikosis yang sedang diderita oleh pendonor. Hal ini yang menyebabkan dokter menolak pendonor. Pada kasus, tindakan dokter terhadap resipien (pasien):

Pada keputusan ini, kaidah dasar Beneficence pasien mungkin menjadi terabaikan.

Namun, dokter tidak bisa disalahkan karena dokter juga terikat kepada peraturan rumah sakit dan perundang-undangan.

Maka, dokter telah melakukan tindakan yang tepat dalam kasus ini.

Sebelum seseorang memutuskan menjadi donor hidup, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang akan dihadapinya, selain itu orang tersebut tidak boleh mengalami tekanan psikologi. Sehingga yang dapat menjadi donor hidup adalah seseorang yang sudah berhak melakukan perbuatan hukum, yaitu apabila sudah cukup umur dan sehat akalnya. Menurut hukum perdata di Indonesia, seseorang dikatakan sudah cukup umur jika sudah berumur 21 tahun atau sudah menikah.

Syarat transplantasi organ dari donor hidup,yaitu :

Resiko yang dihadapi oleh donor harus proporsional dengan manfaat yang didatangkan oleh tindakan tersebut atas diri penerima.

Pengangkatan organ tubuh tidak boleh mengganggu secara serius kesehatan donor atau fungsi tubuhnya.

Perkiraan penerimaan organ tersebut oleh penerima.

Donor wajib memutuskan dengan penuh kesadaram dan bebas, dengan mengetahui resiko yang mungkin terjadi.

Dokter berhak untuk menolak dilakukan transplantasi ginjal dari pendonor ke pasien, karena pendonor memiliki tingkat intelegensi yang subnormal dari hasil pemeriksaan psikolog tidak berkompeten.

Pasien dan keluarga yang memerlukan ginjal untuk transplantasi, seharusnya mengerti dengan kebijakan itu dan tidak memaksa dilakukan transplantasi, karena akan dikenai hukum pidana atau perdata yang sudah diatur di negara tersebut.

Dokter juga telah melakukan keawajibannya yang sesuai dengan Kaidah dasar bioetik autonomy dan KODEKI pasal 3 yakni Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.

Syarat menjadi pendonor, yaitu harus berkompeten, ada keinginana untuk mendonor, bebas dari paksaan, sehat medis dan psikologis, dan mengetahui resiko dan keuntungan yang mungkin di dapat dari donor tersebut

Berdasarkan prinsip bioetika medis; Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pelaksanaan transplantasi; dan PP No.18 tahun 1981, donor organ hidup harus dilakukan secara otonomi individu dan pendonor harus mengetahui serta mengerti resiko yang akan dihadapinya, baik resiko di bidang medis, pembedahan maupun resiko untuk kehidupannya lebih lanjut, serta tidak boleh mengalami tekanan psikologi.

Jika dilihat, dari sisi pasien maka dokter tersebut belum melakukan dengan baik salah satu prinsip bioetik, yaitu beneficent karena dokter tersebut menolak pendonor dan menyebabkan pasien tidak bisa mendapat donor ginjal. Sedangkan apabila dilihat dari sisi pendonor dokter sudah bersikap dengan benar menolak pendonor karena syarat seseorang dapat mendonorkan organnya adalah mengetahui dengan jelas dan dengan sadar ingin mendonorkan organnya. Pendonor memiliki hak untuk mengetahui dengan jelas segala prosedur yang akan dilakukan pada saat melakukan operasi donor ginjal.

2. Apakah pendonor menjadi pasien selama prosesnya?

Dalam kasus tersebut, pendonor merupakan sepupu dari pasien dan secara sukarela mau melakukan transplantasi ginjal. Akan tetapi setelah dilakukan penilaian psikiatri, pendonor memiliki kecerdasan dibawah normal dan tidak mengetahui mengenai masalah ini, prosedur, serta dampak yang terjadi pada dirinya pascaoperasi transplantasi ginjal.

Saat ini dapat dikatakan pendonor sebenarnya merupakan seorang pasien psikiatri, yang seharusnya mendapatkan terapi hingga dirinya mampu menerima penjelasan mengenai prosedur serta dampak dari transplantasi ginjal yang akan membuat dirinya hanya memiliki 1 buah ginjal. Informed consent yang didapatkan langsung dari pendonor dengan kecerdasan yang cukup diperlukan karena artinya pendonor mengetahui tindakan apa yang akan dilakukannya serta telah mengetahui dampak apa yang mungkin akan terjadi kepadanya. Dengan kecerdasan dibawah normal dikhawatirkan pasien mengalami kerugian yang tidak dia ketahui akibat dari tindakan yang dilakukannya tersebut

Apabila pendonor tersebut tetap mendonorkan 1 buah ginjalnya tanpa mengetahui dampak apa yang akan terjadi kepadanya, bisa saja suatu saat dia akan menjadi pasien yang juga memerlukan transplantasi ginjal, misalnya karena satu-satunya ginjal yang ia miliki mengalami gangguan dan 1 ginjal sebelumnya telah ia donorkan kepada orang lain tanpa sepengetahuannya. Tentu hal tersebut merugikan bagi pendonor. Maka dari itu, keputusan dokter untuk menolak transplantasi ginjal tersebut merupakan hal yang tepat walaupun menimbulkan kekecewaan pada keluarga pasien.

3. Bandingkan kasus di mana operasi dilakukan dengan kasus satu di mana ia menolak. Bagaimana mungkin ada dua keputusan yang berbeda dalam dua kasus ini? Diskusikan nilai etik yang terlibat dalam keputusan yang berbeda?

Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat. tansplantasi adalah terapi pengganti (alternatif) yang rnerupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan organnya karena hasilnya lebih memuaskan dibandingkan dengan terapi konservatif. Kendala lain yang dihadapi Indonesia dewasa ini dalam menetapkan terapi transplantasi, adalah terbatasnya jumlah donor keluarga (Living Related Donor, LRD) dan donasi organ jenazah. Semua upaya dalam bidang transplantasi tubuh, jaringan dan sel manusia itu tentu memerlukan peninjauan dari sudut hukum dan etika kedokteran

Peraturan Perundang-undangan No. 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedali mayat anatomis dan transplantasi alat sertajaringan tubuh manusia, tercantum pasal pasal 15

1. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberi tahu oleh dokter yang merawatnya temasuk dokter konsultan mengenai operasi, akibat-akibatnya, dan kemungkinan yang dapat terjadi.2. Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar, bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.

Peraturan Perundang-undangan Pasal 34 ayat 2 menyatakan bahwa pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya.

Inti dari persetujuan (informed consent)adalah persetujuan haruslah didapat sesudah pasien mendapat informasi yang adekuat. Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental.Informed consent yang terlaksana selama ini, penandatanganan persetujuan lebih sering dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian terhadap kesiapan mental pasien sehingga beban demikian diarnbil alih oleh keluarga pasien atau atas alasan lain.Untuk pasien di bawah umur 21 tahun, dan pasien pasien gangguan jiwa yang menandatangani adalah orangtua/ wai /keluarga terdekat.Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didainpingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medik segera, tidak diperlukan persetujuan dari siapa pun (pasal 11 bab IV Permenkes No. 585).

Penolakan Informed Consent

Tidak selamanya pasien atau keluarga setujudengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam situasi demikian,kalangan doker maupun kalangan kesehatan lainnya harus memahami bahwa pasien atau keluarga mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan. Ini disebut sebagai infomed refusal. Tidak ada hak dokteryang dapat memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun dokter menganggap penolakan bisa berakibat gawat atau kematian pada pasien. Bila dokter gagal dalam meyakinkan pasien pada alternatif tindakan yang diperlukan, untuk keamanan di kemudian hari, sebaiknya dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan. Dalam kaitan transaksi terapeutik dokter dengan pasien, pernyataan penolakan pasien atau keluarga ini dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik. Dengan demikian, apayang terjadi di belakang hari tidak menjadi tanggung jawab dokter atau rumah sakit lagi.

MenurutDeclaration of Lisbon (1981): The Rights ofthe Patient disebutkan beberapa hak pasien,diantaranya hak memilih dokter, hak dirawat dokter yang bebas, hak menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi, hak atas kerahasiaan, hak mati secara bermartabat, hak atas dukungan moral atau spiritual. Di jelaskan disini bahwa setiap pasien mempunyai hak yang sama dalam sebuah peraturan universal atau per-undang-undangan indonesia. Tetapi dalam beberapa kontek hak pasien tidak berlaku karena di takutkan pemberian hak ini akan berdampak buruk bagi kehidupan pasien. Contoh kecilnya dalam pemberian keputusan informed consent tidak semua pasien dapat memberikannya karena disana ada syarat seorang pasien yang boleh memberikan keputusan, yaitu :

1. Pasien tersebut sudah dewasa.

2. Pasien dalam keadaan sadar

3. Pasien dalam keadaan sehat akal.

Undang- Undang No. 36 tahun 2009 menyatakan bahwa adanya hak menerima atau menolak sebagian atau seluruhpertolongan (kecuali tak sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat). Jadi, jika pasien sudah memenuhi kriteria dalam pemberian keputusan, setiap keputusan dan ketetapan yang di ambil pasien baik menolak atau pun menerima sebuah pengobatan akan sah karena telah mencakup kriteria di atas.

Pada kasus pertama, berdasarkan aspek kaidah etik terlihat sang dokter telah melanggar kaidah bioetika respect for autonomy karena tidak menjunjung tinggi keputusan pihak keluarga pasien. Sedangkan si dokter juga telah menerapkan aspek kaidah bioetika beneficience dan non-maleficience karena dilihat dari kondisi kejiwaan dan kondisi keseluruhan dari si pasien yang akan mendonorkan ginjalnya tentu tidak mungkin dilakukan transplantasi begitu saja, sedangkan pasien yang mempunyai ginjal yang akan didonorkannya tidak mengetahui bahwa akan diambil organ dari dalam tubuhnya. Hal ini juga dokter sudah menerapkan aspek hukum karena tidak begitu saja menerima permintaan keluarga pasien untuk melakukan transplantasi pendonoran ginjal dari si pasien yang menderita penyakit kejiwaan tersebut. Meskipun pihak keluarga pasien dari si ibu tetap memaksa keputusan dari informed consent yang diberikan tetap harus dilakukan transplantasi dan hal tersebut merupakan keputusan tertinggi sebelum tiap tindakan medis dilakukan, namun dari aspek hukum hal ini sudah sangat illegal. Pendonor ginjal yang memiliki organ yang akan didonorkan adalah si wanita yang memiliki sakit kejiwaan tersebut, tentu ia harus tahu bahwa akan dilakukan transplantasi ginjal yang ia miliki kepada pamannya. Meskipun pendonor memiliki dua saudari perempuan yang sehat tetapi sudah menikah tentunya akan ada tambahan tanggung jawab maupun kewajiban bagi kedua saudarinya, sehingga peran sosial yang akan didapat juga akan semakin besar dibandingkan dengan pasien sendiri.

Pada kasus kedua, dokter telah melaksanakan prinsip etika otonomi dan non-maleficence dengan memberikan informed consent kepada calon pendonor dan menolak melakukan tindakan ketika dokter mengetahui bahwa pendonor tidak memiliki kemampuan untuk memahami efek yang terjadi pada dirinya di masa depan.

Seorang pasien membutuhkan transplantasi ginjal dan telah didapatkan donor yang cocok yaitu sepupu pasien sendiri. Pada sisi lain, pendonor tersebut mengalami gangguan intelegensia sehingga tidak dapat memahami prosedur, fungsi dan efek yang akan terjadi pada dirinya bila melakukan transplantasi ginjal. Tentu saja hal ini menjadi dilema etik yang mengharuskan dokter untuk memilih melakukan transplantasi untuk menyelamatkan seorang pasien dengan kondisi pendonor yang seperti itu atau tidak melakukan transplantasi tersebut sebagai pertimbangan terhadap kondisi pendonor yang tidak memiliki pengetahuan mengenai proses transplantasi ini.

Dokter telah mematuhi perundang-undangan bahwa pendonor harus mengetahui dan mengerti resiko yang akan dihadapinya, selain itu orang tersebut tidak boleh mengalami tekanan psikologi karena dapat memperparah penyakit psikosis yang sedang diderita oleh pendonor. Hal ini yang menyebabkan dokter menolak pendonor. Pada kasus, tindakan dokter terhadap resipien (pasien):

Pada keputusan ini, kaidah dasar Beneficence pasien mungkin menjadi terabaikan.

Namun, dokter tidak bisa disalahkan karena dokter juga terikat kepada peraturan rumah sakit dan perundang-undangan.

Maka, dokter telah melakukan tindakan yang tepat dalam kasus ini.

Berdasarkan prinsip bioetika medis; Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pelaksanaan transplantasi; dan PP No.18 tahun 1981, donor organ hidup harus dilakukan secara otonomi individu dan pendonor harus mengetahui serta mengerti resiko yang akan dihadapinya, baik resiko di bidang medis, pembedahan maupun resiko untuk kehidupannya lebih lanjut, serta tidak boleh mengalami tekanan psikologi.

Jika dilihat, dari sisi pasien maka dokter tersebut belum melakukan dengan baik salah satu prinsip bioetik, yaitu beneficent karena dokter tersebut menolak pendonor dan menyebabkan pasien tidak bisa mendapat donor ginjal. Sedangkan apabila dilihat dari sisi pendonor dokter sudah bersikap dengan benar menolak pendonor karena syarat seseorang dapat mendonorkan organnya adalah mengetahui dengan jelas dan dengan sadar ingin mendonorkan organnya. Pendonor memiliki hak untuk mengetahui dengan jelas segala prosedur yang akan dilakukan pada saat melakukan operasi donor ginjal.

Apabila dokter menolak penerimaan pasien yang mau mendonorkan ginjalnya hanya karena kemampuan wawasannya yang kurang (kasus satu) sehingga tidak bisa menerima informed consent, hal tersebut bisa diatasi dengan dilakukannya pengobatan yang rutin untuk meningkatkan kemampuan wawasan si pasien. Selain itu keputusan selanjutnya diserahkan kepada pihak keluarga. Pemberian informed consent memiliki keputusan tertinggi yang berada di tangan pasien, atau seperti pada kasus dpaat diserahkan kepada pihak keluarga dalam pengambilan keputusan.

Pada kedua kasus, pendonor dalam suatu sisi memiliki kesamaan mengenai kekurangan aspek psikis yang memungkinkan kedua pasien tidak mengerti hal yang akan dilakukan terhadap dirinya. Saat ini dapat dikatakan pendonor sebenarnya merupakan seorang pasien psikiatri, yang seharusnya mendapatkan terapi hingga dirinya mampu menerima penjelasan mengenai prosedur serta dampak dari transplantasi ginjal yang akan membuat dirinya hanya memiliki satu buah ginjal. Informed consent yang didapatkan langsung dari pendonor dengan kecerdasan yang cukup diperlukan karena artinya pendonor mengetahui tindakan apa yang akan dilakukannya serta telah mengetahui dampak apa yang mungkin akan terjadi kepadanya. Dengan kecerdasan dibawah normal dikhawatirkan pasien mengalami kerugian yang tidak dia ketahui akibat dari tindakan yang dilakukannya tersebut.

Sebelum seseorang memutuskan menjadi donor hidup, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang akan dihadapinya, selain itu orang tersebut tidak boleh mengalami tekanan psikologi. Sehingga yang dapat menjadi donor hidup adalah seseorang yang sudah berhak melakukan perbuatan hukum, yaitu apabila sudah cukup umur dan sehat akalnya. Menurut hukum perdata di Indonesia, seseorang dikatakan sudah cukup umur jika sudah berumur 21 tahun atau sudah menikah.

Syarat transplantasi organ dari donor hidup, yaitu:

Resiko yang dihadapi oleh donor harus proporsional dengan manfaat yang didatangkan oleh tindakan tersebut atas diri penerima.

Pengangkatan organ tubuh tidak boleh mengganggu secara serius kesehatan donor atau fungsi tubuhnya.

Perkiraan penerimaan organ tersebut oleh penerima.

Donor wajib memutuskan dengan penuh kesadaram dan bebas, dengan mengetahui resiko yang mungkin terjadi.

Dokter berhak untuk menolak dilakukan transplantasi ginjal dari pendonor ke pasien, karena pendonor memiliki tingkat intelegensi yang subnormal dari hasil pemeriksaan psikolog tidak berkompeten.

Pasien dan keluarga yang memerlukan ginjal untuk transplantasi, seharusnya mengerti dengan kebijakan itu dan tidak memaksa dilakukan transplantasi, karena akan dikenai hukum pidana atau perdata yang sudah diatur di negara tersebut.

Dokter juga telah melakukan keawajibannya yang sesuai dengan Kaidah dasar bioetik autonomy dan KODEKI pasal 3 yakni Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.

Syarat menjadi pendonor, yaitu harus berkompeten, ada keinginana untuk mendonor, bebas dari paksaan, sehat medis dan psikologis, dan mengetahui resiko dan keuntungan yang mungkin di dapat dari donor tersebut

DAFTAR PUSTAKA:

Hanafiah J. Etika kedokteran dan hukum kedokteran. Ed4. Jakarta: EGC; 2008.