Conservasi Museum Dan Tekstil

  • Upload
    nievand

  • View
    102

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Konservasi tekstilTekstil Sejarah tekstil dimulai dari masa prasejarah Serat dipintal_Menjadi benang (dari serat yang pendek menjadi serat yang panjang_ shg mungkin untuk menggunakan wol,katun dan sutra untuk membuat tekstil Tekstil : kombinasii dari serat, pewarna dan finishes. Beberapa ditambah dengan didekorasi dengan benang lain (bordir) atau material lain spt kerang, tulang dan logam Sebelum abad ke 20, yang dikenal adalah serat alam - serat hewan : rambut, woll, sutra -serat tanaman : steams (batang), daun , bijian Abad 20 mulai dikenal serat sintetis, yaitu serat alam (selulosa dan protein) dan serat artificial termasuk rayon,selulosa asetat, triasetat, karet alam Serat yang dibuat di lab :nylon, ppoliester, poliurethan Serat Hewan Serat hewan terbuat dari rantai protein, sehingga sifatnya ditentukan berdasarkan sifat protein. Rambut biasanya tidak dipintal, tetapi misalnya sebagai bantalan (rambut kuda) Ada juga yang dipintal menjadi benang, cahmere (goat), angora,(rabbit/goat) mohair(rabbit) Wool dari domba.kualitas nya tergantung :kesehatannya, proses pencukuran dan teknik Pembersihan Wol punya kerutan yg menyebabkan serat menyatu dan mudah di pintal Sutra terbuat dari kepompong ulat sutra. Strukturnya kaku, shg tidak mudah melar

Serat tumbuhan komposisi utama selulosa. Sifat dasarnya tergantung dari bagaimana ia menarik air. Serat dari batang, daun, biji serat dipisahkan, dibersihkan dan dipintal menjadi benang. Setiap proses ini akan berdampak pd kualitas tekstil Serat tumbuhan Flax --. Dipintal mjd linen Flax direndam dalam air, sehingga bag dalam terlepas_ prosesnya retting Sifat linen antara lain : kuat jika basah, tahan thd panas, sulit untuk diputihkan / bleach Serat dari daun kuat, cocok untuk jaket, sandals dan keranjang : sisal, rafia, abaca, yucca Katun dari biji seed, murni selulosa Contoh deteriorasi / kerusakan pada tekstil dan penyebab Berlubang Ngengat Berjamur RH tinggi pudar Cahaya Robek Gaya fisik Terlipat Gaya fisik luntur air Bagaimana mengatasinya ? Kuratif _ pembersihan noda Preventif

Pembersihan kimia, dengan menggunakan pelarut kimia Membersihkan ?? Menghilangkan noda noda yang berbahaya (korosi, karat dsb)_ berasal dari bahan tambahan pada tekstil Menghilangkan kotoran yang berasal dari koleksi itu sendiri Mengurangi lipatan / kerutan) sehingga akan menolong dalam proses pelurusan How ? Pertanyaan : jika pembersihan sangat dibutuhkan, bagaimana saya akan mengurangi resiko kerusakan mekanis dan kerusakan kimia pada koleksi ? Jawab : Dengan memilih metode pembersihan yang sesuai dengan karakter koleksi Apa artinya pembersihan yang sesuai ? - Efektif dalam menghilangkan noda yang tidak diinginkan - Aman untuk digunakan : tahu resiko untuk kesehatan,keselamatan, dan lingkungan - Tidak berbahaya untuk koleksi, atau meninggalkan sisa / residu pada koleksi 3 tipe pembersihan: Pembersihan kering pada permukaan , dengan bantuan sikat, vacuum cleaner (pembersihan mekanik) Pembersihan basah, dengan cara dicuci PEMBERSIHAN KERING DENGAN : - Sikat - Kuas - Spon - vacuum cleaner - dan Menggunakan kain strimin / jaring PEMBERSIHAN BASAH (PENCUCIAN) Manfaat : Menghilangkan dan melarutkan sebagian besar kotoran yang melekat Resiko yang mungkin: Air akan melarutkan beberapa material yang lunak Jika air yang digunakan tidak murni kemungkinan akan meninggalkan deposit Air sendiri kurang efektif untuk membersihkan, biasanya harus ditambahkan surfaktan (sabun atau deterjen)._ pembersihan kimia WARNING!!!!! Selalu lakukan tes efek air pada koleksi sebelum penggunaan Sangat penting melakukan pengeringan setelah pemakaian air pada koleksi

DUNIA KONSERVASI MUSEUM PEMBERSIHAN KIMIA dengan menggunakan pelarut organik MANFAAT: - Dapat melarutkan beberapa kotoran yang tidak larut dengan air (sisa lem, lilin, cat atau noda berminyak) - Tidak membahayakan pada koleksi yang sensitif air (dengan air akan rusak) Resiko yang mungkin : - kemungkinan masih mengandung air (pelarut teknis) - dapat melarutkan beberapa material - dapat menimbulkan masalah kesehatan - mudah terbakar - dapat menimbulkan masalah pada lingkungan (limbah B3) SELALU LAKUKAN TES PELARUT ORGANIK SEBELUM DIGUNAKAN Dalam penataan pameran Stabil Tidak merusak koleksi Enak dipandang mata Cooperation between conservator and exhibit preparator Sudah membaca tulisan saya sebelumnya mengenai penghilangan debu di koleksi dalam vitrin ? atau memandikan bhairawa ? atau penyelamatan si gaja dumpak ? Saya anggap sudah pada membacanya.. ( yang belum baca, buka arsip tulisan yaaaa) Pertanyaan saya berikutnya.. Mengapa tindakan tersebut yang dipilih ? Harus ada alasan yang baik mengapa , kami , tim konservasi memilih memandikan Bhairawa dan teman2nya sedang untuk koleksi debu dalam vitrin tindakan yang dipilih adalah mengangkat debunya saja dan mengembalikannya ke tempat asalnya. Yang kami lakukan tersebut merupakan TINDAKAN atau ACTION dari apa yang kami amati sebelumnya. Kami melakukan kegiatan yang disebut MONITORING. Monitoring merupakan tindakan observasi atau pengamatan yang dilakukan secara berkala dan kontinu..Dilakukan selama jangka waktu tertentu, sehingga menghasilkan data yang terbaca. Data yang diperoleh menjadi dasar dari tindakan yang akan dilakukan selanjutnya. Jadi kalau tidak berkala dan berulang, namanya bukan monitoring, tapi hasil pengamatan biasa. Kegiatan monitoring yang dipilih bukan observasi atau pengamatan, karena kami ingin keputusan yang diambil bukanlah tindakan buruburu, tapi sudah berdasarkan fakta. Monitoring hanya memberikan data, bukan tindakan. Data yang diberikan akan membantu kita memilih tindakan yang benar dengan memprhatikan unsur-unsur yang terlibat. Jadi kalau ada yang bilang sudah dilakukan monitoring kok masih juga ada, artinya perlu dilakukan koreksi.. karena Monitoring tidak akan merubah apapun kecuali dilakukan TINDAKAN atas data yang diperoleh hasil dari monitoring. Jika kita melihat secara keseluruhan mengenai perlindungan koleksi di lingkungan museum, terdapat 5 tahap perlindungan YANG SALING BERKAITAN. yaitu ;

1. AVOID : pencegahan. Sedapat mungkin kita mencegah agen perusak mendekati koleksi.., kalau tidak bisa dihindari kita lakukan tindakan.... 2. BLOCK : menghalangi agen perusak tersebut masuk, mendekati atau mengenai koleksi. Kalau ternyata tanpa kita tahu agen perusak sudah sampai, tidak dapat dihalangi, maka langkah berikutnya adalah.... 3. DETECT : kita mendeteksi keberadaan agen perusak koleksi tersebut. Nah...pada bagian deteksi inilah dilakukan MONITORING. Apabila hasil monitoring memberikan data atau gambaran bahwa telah terjadi "sesuatu" maka harus segera dilakukan langkah..... 4. RESPOND : adalah menindaklanjuti , mau diapakan koleksinya ? atau lingkungannya? Agar koleksi menjadi lebih baik dan ..... 5. RECOVER : kondisi dimana tindakan /treatment sudah dilakukan dan melakukan tindakan pencegahan yaitu kembali ke langkah no 1. Agen perusak koleksi menurut Stefan Michalski dari Canadian Conservation Institute, dan juga yang dipakai dalam CollAsia2010 adalah : Prinsip monitoring ini dapat diterapkan pada beberapa faktor yang terukur antara lain temperatur dan kelembaban, debu, cahaya dan serangga. Mudah-mudahan dengan dengan dilakukan pengamatan secara kontinyu atau monitoring, maka kerusakan dapat diminimalisir dan koleksi dapat "hidup nyaman aman dan tentram" di museum... SEMOGA...... ^-^

DUNIA KONSERVASI MUSEUM: Vitrin dengan kriteria konservasi Vitrin atau lemari pajang merupakan satu dari bagian terpenting di dalam museum. Fungsinya adalah tempat meletakkan objek atau koleksi yang akan dipamerkan kepada pengunjung. Koleksi di tata sedemikian untuk menarik minat pengunjung datang melalui pameran, yang ada di dalam museum, baik itu pameran tetap maupun pameran temporer. Namun demikian tata pameran harus dilakukan dengan baik dan benar agar jgn sampai mengakibatkan koleksi menjadi rusak karena cara menyimpan dan memamerkan koleksi tersebut tidak mempertimbangkan faktor kestabilan dan kerusakan koleksi. Kecepatan kerusakan koleksi selama berada di museum tergantung dari (1) stabilitas material koleksi, apakah koleksi tersebut kuat atau rapuh, apakah termasuk koleksi organik atau anorganik), (2) tempat penyimpanan koleksi apakah di dalam storage atau dipajang dalam vitrin, dan material vitrin (kayu, besi, stainless steel ) dan (3) tergantung dari lingkungan yang langsung mengenai koleksi,yaitu lingkungan mikro. Melihat betapa penting fungsi vitrin sebagai lingkungan pertama koleksi, maka perlu diketahui kriteria konservasi, yang menjadi dasar pertimbangan untuk desainer pameran dalam membuat vitrin. Dengan memenuhi kriteria konservasi ini, maka diharapkan vitrin tersebut telah memenuhi standar konservasi yang telah ditetapkan. Kriteria konservasi yang menjadi dasar dalam membuat vitrin adalah sebagai berikut: 1. Lingkungan di dalam vitrin memiliki temperatur dan kelembaban relatif (RH) yang sesuai dengan jenis koleksi 2. Jumlah cahaya / paparan (nilai lux, nilai uv) yang mengenai koleksi selama pameran berlangsung telah diperhitungkan

3. Menahan gas-gas polutan langsung mengenai koleksi, yaitu yang berasal dari luar vitrin (asap rokok, polusi) maupun yang berasal dari material vitrin (kayu, plywood, lem, kain) 4. Menghindari tekanan-tekanan fisik langsung pada koleksi akibat salah / kurang terencana dalam membuat tatakan atau tempat koleksi berdiri (mounting). Jika kriteria ini dipenuhi, maka kita akan mendapatkan vitrin standar. Vitrin standar adalah vitrin yang: - terbuat dari material yang tidak berbahaya dan di dalamnya terdapat pengontrol lingkungan (temperatur, kelembaban dan cahaya). - harus dalam keadaan tertutup rapat (sealed), untuk menahan debu dan polutan dari luar masuk, serta tetap menjaga temperatur dan kelembaban dalam ruangan vitrin tetap stabil. - Pencahayaan yang diterima koleksi selama pameran juga harus dipertimbangkan. Lokasi pencahayaan tergantung dari tipe vitrin yang dipilih. Untuk vitrin dinding, lampu berada didalam vitrin, dan untuk itu harus dibuat tempat tersendiri, yang mudah dicapai. Untuk vitrin tipe pedestal, lampu berada di ruang pamer, dan dicari sudut yang tidak membuat cahaya memantul pada kaca. Kriteria konservasi diatas harus selalu menjadi pertimbangan desainer pameran dalam membuat vitrin yang akan digunakan untuk pameran di museum. Pemilihan konsentrasi terhadap lingkungan mikro merupakan konsekuensi dari sulitnya untuk mengontrol lingkungan makro di museum, yaitu lingkungan di ruangan dan di luar museum. DUNIA KONSERVASI MUSEUM: Textile exhibition preparation Sekarang sedang ada pameran tekstil Minangkabau di Museum Nasional, sampai tanggal 30 April 2008, bekerjasama dengan Museum Adityawarman Padang dan anjungan Sum Bar TMII. Bagus, krn menampilkan kekayaan tekstil yang beragam teknik pembuatan dan makna di balik motif, seperti motif pucuk rebung, daun sirih dll

Kita di bidang konservasi dan penyajian juga sibuk mempersiapkan, bagaimana menata koleksi agar tetap aman selama di pamerkan. Berikut yang kami lakukan. 1. Sebagai penunjang, terdapat rumah miniatur minang. Tentunya harus dibersihin, karena ini adalah langkah pertama sebelum masuk kebagian yang lain (sesuai dengan alur pengunjung yang sdh dibuat) Yang dilakukan pertama adalah cek kondisinya. Apakah ada bagian yang rapuh ? serta lihat materialnya. Untuk rumah ini, semua terbuat dari kayu yang di cat, dan atapnya dari rumbia, yang sudah mulai terlepas. Kerusakan fisik tidak ada, yang terlihat adalah akumulasi debu di sana sini. Atas dasar itu, maka diputuskan: - atap rumbia dibersihkan dengan cara penyedotan, dengan bantuan kain strimin / jaring agar rumbia tidak keangkat. -House wall cleaned with dry cleaning using wet wipe chloth. Organic Solvent is prohibited caused it could broke the paint. Using Water spraying is prohibited too, because the moisture will getting high. - Dinding rumah dibersihkan dengan pembersihan kering dengan kain yang dilembabkan. Tidak menggunakan pelarut krn dapat merusak cat nya. Juga dihindarkan pemakaian air, karena akan menyebabkan rumah yang terbuat dari kayu akan menjadi lembab 2. For cloth collection, there are two kind exhibition, hanging or put on vitrine floor. - Hanging application - See the condition. easy broke or not - Consider the gravitation point, balancing until weight point homogen. - If cloth too heavy, the below part of chloth should be put on the vitrine floor.

- Avoid the folding works - Hanging by using roll (made from PE pipe, covering by paper and black chloth) 2. Untuk kain, ada 2 teknik pemajangan, di gantung atau flat pada dasar vitrin - koleksi yang digantung : -Collection which put on floor of vitrine application. -Avoid folding works - If cloth too long, Folding work could be apply by using suporter below it (like a roll), So, the new folding will not make a "folding marks" - koleksi yang flat di dasar vitrin : dipajang sesuai dengan ukuran vitrin usahakan tidak ada bagian yang terlipat apabila panjang kain lebih panjang dari vitrin, dan harus ada pelipatan, maka yang dilakukan adalah membuatnya terlipat dengan adanya penguat dibagian bawahnya (seperti rol), sehingga lipatan baru tidak membekas pada kainnya. For some case, the edge of chloth have folding mark, and looks permanent. It couldn't be ironing, because as a culture heritage, it contain feature such as gold weave. As conclusion, the edge of cloth is sewed to base of vitrine with easy sewing that easy put off. Pada beberapa kasus, bagian tepi kain terlipat dan susah untuk diluruskan. Kalau kain biasa gampang, di setrika saja. Tapi, ini lain... karena kain ini bcb dan penuh dengan ornamen (misalnya pd songket, penuh dengan benang emas). Padahal kain ini sudah terpilih oleh kurator untuk di pajang. Untuk mengatasinya, ujung kain di jahit pd bagian dasar vitrin, dengan jahitan yang mudah di lepas (jelujur). This is the temporary sewing, only for hold in exhibition period. After exhibition, this sewing will put off and there are some method to unfold the folding cloth. (Of course, do not ironing )

Jahitan ini bersifat sementara, hanya sebagai 'pemegang' selama koleksi ini dipamerkan. Setelah pameran, jahitan ini dibuang. Dan akan ada teknik khusus dalam meluruskan kain ini (yang jelas, bukan di setrika) 14 April 2008 Team involved : Pak Acil, Ita, Nung, Yeni, Suroyo, Slamet, Herman, Aan, Lisa Pak Dian, Dina, Masudi DUNIA KONSERVASI MUSEUM: Pertimbangan Dalam Melakukan Kegiatan Konservasi Koleksi di Museum Nasional Pertimbangan Dalam Melakukan Kegiatan Konservasi Koleksi di Museum Nasional Fungsi Museum antara lain sebagai penghubung antara masyarakat dengan benda cagar budaya yang biasa disebut dengan koleksi, yaitu bagaimana museum dapat memanfaatkan koleksi yang dimiliki untuk menarik minat masyarakat agar datang ke museum dan menikmati koleksi. Selain itu museum juga memiliki kewajiban bagaimana koleksi koleksi yang dimiliki tetap aman dan terlindungi di dalam museum. Jangan sampai di dalam museum, yang justru harus terlindungi malah timbul kerusakan baru akibat salah simpan atau salah dalam penanganannya. Bagian yang menangani perlindungan dan preservasi koleksi di Museum Nasional adalah Seksi Konservasi dan Restorasi, pada Bidang Konservasi dan Penyajian. Dalam setiap kegiatannya staf seksi konservasi (sering disebut sebagai konservator) berusaha keras agar dalam bekerja tidak menimbulkan kerusakan baru. Paradigma melindungi koleksi selalu membayangi setiap kegiatan yang dilakukan. Kegiatan teknis konservasi yang selama ini dilakukan langsung pada koleksi, seperti penghilangan debu, pengurangan korosi, penyemprotan rayap sebenarnya merupakan bagian dari seluruh kegiatan konservasi benda cagar budaya di museum. Kegiatan lainnya adalah konservasi preventif yang bertujuan untuk memperpanjang hidup koleksi, yaitu dengan cara mengetahui apa penyebab kerusakan pada koleksi, dan mengerti bagaimana bisa terjadi kerusakan. Terakhir, yang dapat dikelompokkan dalam konservasi adalah

konservasi sebagai ilmu (ilmu konservasi, sains). Menurut Chiari dan Leona pada bidang ini konservasi dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu; (1) arkeometri, mempelajari benda-benda budaya termasuk yang ada di museum untuk tujuan mengetahui apa materialnya (terbuat dari apa), kapan koleksi dibuat, dimana dibuat dan bagaimana peralatan itu dibuat; (2) Studi mengenai perubahan yang terjadi pada koleksi dan apa yang menyebabkan terjadinya degradasi, dan (3) Pengembangan, yaitu kemampuan dalam menciptakan atau memodifikasi peralatan yang sudah ada untuk dapat digunakan dalam kegiatan konservasi. Setelah diketahui betapa pentingnya peranan konservasi dalam mempertahankan kelangsungan hidup koleksi yang ada dalam museum, perlu diketahui tindakan-tindakan yang dilakukan konservator dalam melakukan kegiatannya. Kegiatan konservasi koleksi museum dilakukan dengan pertimbangan -pertimbangan yang benar, artinya konservator telah tahu resiko yang akan dihadapi jika terjadi kesalahan. Hal ini karena jika kita salah melakukan tindakan, bisa jadi akan timbul kerusakan yang baru dan kemungkinan nilai sejarah yang terkandung didalamnya akan hilang. Penting dilakukan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan sebelum melakukan tindakan konservasi, yaitu: bahwa yang dilakukan adalah lebih bersifat konservasi jangka panjang, dan sebelum melakukan kegiatan telah diketahui jenis bahan apa yang ada pada koleksi, serta mengapa dan bagaimana koleksi dapat mengalami kerusakan saat disimpan di museum, dan bagaimana kita mengatasi kerusakan tersebut. Ketika melakukan tindakan konservasi sebaiknya lebih diterapkan pendekatan penyelesaian masalah (problem solving) daripada pendekatan resep (recipe approach) karena setiap objek unik dan tidak ada satu penyelesaian untuk mengatasi semuanya (no one right solution). Latar belakang pemikiran tersebut adalah untuk dapat memutuskan tindakan apa yang akan dan harus dilakukan, tindakan apa yang tidak

akan dilakukan pada koleksi. Dan keputusan yang diambil (melakukan atau tidak) telah memiliki alasan yang masuk akal. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah melakukan prosedur diagnostik kerusakan dengan dilatari pengetahuan-pengetahuan antara lain; apa koleksi kita, terbuat dari apa, apakah berasal dari bahan organik (material dari tumbuhan dan hewan) atau anorganik (mineral, logam), bagaimana lingkungannya; mengapa dan bagaimana dapat terjadi kerusakan, apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kerusakan dan bagaimana kita melindungi agar terhindar dari kerusakan. Tahu koleksi dan teknik pembuatannya Sebagai pekerja yang selalu bergaul dengan koleksi, pengetahuan mengenai jenis bahan dan teknik pembuatan sangat penting untuk diketahui. Koleksi yang berasal dari bahan organik berbeda sifatnya dengan koleksi anorganik. Koleksi yang terbuat dari bahan organik lebih rapuh daripada koleksi anorganik karena lebih rentan dan mudah dipengaruhi lingkungan. Pengetahuan mengenai teknik atau cara koleksi tersebut dibuat juga menjadi dasar dalam melakukan tindakan konservasi. Jangan sampai apa yang dilakukan justru membuat koleksi rusak. Tahu gedung dan lingkungannya Pengetahuan mengenai gedung, konstruksi dan lingkungannya sangat membantu konservator dalam melakukan kegiatannya. Koleksi museum yang berada di dalam museum, dapat kita anggap disimpan di dalam kotak, dimana kotak tersebut berada dalam kotak yang lebih besar. Dengan demikian, kita dapat mengetahui lingkungan yang berada di sekitar koleksi. Lingkungan mikro, adalah lingkungan yang langsung mengenai koleksi, seperti ruangan vitrin dan lingkungan makro, yaitu lingkungan di dalam dan luar gedung. Juga perlu diketahui bagaimana konstruksinya, apakah terbuat dari kayu, batu atau beton, terdapat kaca atau tidak. Bagaimana orientasi terhadap matahari, bagaimana pengaruh hujan terhadap koleksi yang ada di dalam ruangan. Apakah ada tempiasan dari hujan dsb. Perlu diketahui juga bagaimana akses terhadap lingkungan luar, bagaimana kondisi pintu, jendela, ventilasi, apakah memiliki ukuran besar, kecil, sehinga tahu kemana arah angin bertiup. Selain itu harus

diketahui pula bagaimana lingkungan disekitar : jalur air (pipa), polusi, tahu darimana asalnya uap air. Konservator perlu mengetahui dimana koleksi tersebut diletakkan, apakah didalam ruang pamer, didalam vitrin atau diluar vitrin, atau didalam ruang penyimpan. Hal ini karena letak asal koleksi berpengaruh pula pada cara konservator melakukan tindakan. Tahu mengapa dan bagaimana dapat terjadi kerusakan pada koleksi Kerusakan pada koleksi di museum dapat terjadi karena adanya faktor kerusakan, yaitu pertama faktor Iklim yang tidak sesuai, disebabkan fluktuasi temperatur dan kelembaban relatif (RH) pada lingkungan disekitar koleksi. Koleksi organik lebih bereaksi dengan kelembaban disekitarnya karena pada koleksi organik mengandung sejumlah air di dalamnya, dan selalu berusaha menyeimbangkan dengan kandungan uap air yang ada di sekitarnya. Faktor kedua adalah cahaya, yang bersifat kumulatif. Sinar ultraviolet pada cahaya akan merubah struktur dari material dan sinar inframerah dapat membakar material karena sifatnya yang lebih panas. Kerusakan akibat cahaya pada koleksi museum tergantung dari jenis koleksinya. Koleksi anorganik tidak sensitif terhadap cahaya kecuali jika pada permukaannya terdapat cat atau vernish akan menjadi sensitif. Sedangkan koleksi organik sensitif terhadap cahaya dengan tiga tingkat sensitivitas, yaitu : sensitif (koleksi lukisan, kayu, kulit), sangat sensitif (kertas, tekstil) , dan sangat sangat sensitif (koleksi foto). Faktor kerusakan yang ketiga berasal dari lingkungan, seperti serangga, jamur, lumut, Hewan (burung, tikus), polusi udara, dan debu. Faktor terakhir, yang sering tanpa disadari adalah manusia. Seringkali kerusakan ditimbulkan karena tidak hati-hatinya pekerja museum dalam memegang dan membawa koleksi saat dipindahkan, atau pun ketika melakukan kegiatan konservasi. Staf konservasi telah dibekali ilmu dalam melakukan kegiatannya, sehingga kerusakan akibat salah memegang (terutama kerusakan fisik) dapat diminimalisasi.

Setelah mengetahui faktor- faktor yang dapat menimbulkan kerusakan, konservator mengetahui apa yang semestinya dilakukan, yaitu dengan mengurangi faktor-faktor yang menimbulkan kerusakan sehingga kerusakan tidak muncul kembali. Tindakan konservasi Sebelum melakukan tindakan konservasi perlu difikirkan apakah yang akan dilakukan akan memiliki efek pada 100 -200 tahun yang akan datang. Intinya, apa yang akan kita lakukan saat ini, akankah berpengaruh pada koleksi di masa yang akan datang. Apakah koleksi yang dikonservasi tersebut akan berubah pada 100 tahun yang akan datang. Hal ini penting dilakukan karena jika terjadi perubahan pada koleksi disebabkan perlakuan sekarang, maka di masa yang akan datang makna dan nilai koleksi akan berubah dan kita akan kehilangan nilai yang sebenarnya dari koleksi. Dalam melakukan kegiatannya, prosedur yang harus dilakukan yaitu mencatat kondisi koleksi (condition report), melihat kerusakan dan menganalisis kerusakan dengan mempertimbangkan faktor-faktor kerusakan diatas. Setelah dianalisis, diambil keputusan tindakan apa yang akan dilakukan , atau tidak melakukan kegiatan apapun untuk mengatasi kerusakan tersebut. Ketika sebuah koleksi diterima oleh staf konservasi, dilakukan pengamatan yang menyeluruh. Apakah hanya akan dilakukan restorasi, apakah akan dilakukan tindakan preventif dan atau kuratif, atau semua dilakukan, atau justru tidak melakukan apa-apa. Apakah kerusakan yang ada pada koleksi saat ini ini berbahaya untuk kelangsungan hidup koleksi itu sendiri? Apakah terdapat bagian yang lepas, longgar dan sebagainya. Apakah kegiatan / treatment konservasi yang akan dilakukan pada koleksi sangat penting untuk dilakukan saat ini (dengan catatan resiko yang akan didapat telah diketahui). Konservasi kuratif dilakukan apabila memang diperlukan. Untuk tindakan perwatan sebaiknya dipilih konservasi preventif, yang dilakukan untuk mengurangi penyebab dari kerusakan / deteriorasi. Kegiatan konservasi preventif ini dilakukan secara langsung pada

koleksi atau tidak langsung dengan cara memodifikasi lingkungan dimana koleksi itu berada. Pada akhirnya, meskipun beban perawatan koleksi merupakan tugas dan tanggungjawab seksi konservasi, namun sebenarnya perlindungan koleksi yang ada di museum merupakan tanggungjawab seluruh karyawan museum. Untuk itu mari kita bahu membahu dalam merawat dan melindungi koleksi, karena hal ini merupakan tanggungjawab kita untuk meneruskannya kepada generasi yang akan datang. Jakarta, Desember 2005

PencahayaanDUNIA KONSERVASI MUSEUM: PENYAJIAN DAN PAMERAN KOLEKSI MUSEUM: DILEMA PENCAHAYAAN DIANTARA PENATAAN DAN KONSERVASI bagian pertama Pendahuluan Ketika pengunjung mendatangi museum, ia sudah mulai bertanya, informasi apa yang akan diperoleh dengan mengunjungi museum ini. Apabila yang dikunjungi adalah museum khusus, setidaknya ia sudah mulai memperkirakan apa yang akan ditemukan. Misalnya saat datang ke museum tekstil, ia tahu akan menemukan banyak sekali tekstil dari berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai macam jenis dan motif. Namun ia ingin mendapatkan informasi yang lebih dari itu, antara lain gambaran mengenai perkembangan tekstil dari dulu hingga sekarang, cara membuatnya, hingga bagaimana cara pemeliharaan dan perawatannya. Atau apabila pergi ke museum wayang, tentu di benak si pengunjung itu ingin tahu wayang apa saja yang (pernah) ada di Indonesia, daerah mana saja yang memiliki wayang, adakah perbedaan antara wayang di suatu daerah dengan wayang di daerah lain, dan juga ingin tahu bagaimana cara memainkan wayang. Tentunya apabila informasi yang ingin dicari ternyata ada di museum yang dikunjungi, tentu pengunjung akan puas. Kepuasan itu akan bertambah apabila ternyata pengetahuan yang diperoleh lebih dari yang ia bayangkan. Pengunjung dapat memperoleh informasi yang diinginkan hanya dengan cara berkeliling dari suatu ruangan ke ruangan lain dengan melihat dan membaca apa yang tertera di dalam ruang pamer. Artinya koleksi beserta pendukungnya telah menjalankan tugasnya sebagai pembawa informasi dan telah melakukan komunikasi yang baik dengan pengunjung. Komunikasi yang baik di dalam museum dapat

terjadi apabila koleksi di ruang pamer beserta sarana pendukungnya telah ditata sedemikian baik dan jelas mengikuti konsep yang telah dibuat oleh pengelola museum. Dengan demikian penataan dan penyajian di ruang pamer memiliki peranan penting dalam menginformasikan keberadaan koleksi yang dimiliki museum. Namun demikian memperhatikan penyajian di ruang pamer ini harus tetap

kemampuan menerjemahkan apa yang menjadi konsep untuk diterapkan di dalam ruang 3 dimensi. Sehingga konsep yang tadinya hanya ada di kepala dapat diterima oleh masyarakat luas. Sebagai contoh adalah keadaan yang terjadi di Museum Nasional sekarang. Museum Nasional pada awal berdirinya merupakan tempat penyimpanan benda-benda kuno dan sistem penyajian koleksi merupakan warisan dari jaman Belanda dan belum ada perubahan yang mendasar. Pendekatan yang dipakai kurang jelas, misalnya pada koleksi Etnografi digunakan pendekatan berdasarkan regional wilayahwilayah yang ada di Indonesia, namun pada koleksi-koleksi lain digunakan juga pendekatan kronologis, yaitu dalam penyajian koleksi prasejarah arkeologi dan sejarah. Selain itu terdapat juga pendekatan berdasarkan bahan, yaitu koleksi perunggu, emas, terakota dan keramik dan pendekatan berdasarkan disiplin ilmu, yaitu koleksi geografi dan numismatik (mata uang). Seiring dengan perkembangan waktu pendekatan yang terlalu banyak ini ternyata tidak dapat lagi dipertahankan, karena terlalu banyak fokus yang diambil, sehingga tujuan semula yang ingin memberikan informasi kepada pengunjung malah tidak sampai. Pengunjung memang memperhatikan koleksi yang dipajang, tapi nuansa yang ada di balik objek itu tidak tersampaikan, dengan kata lain koleksi tidak mampu bercerita apa sebenarnya yang ada dibelakang koleksi ini. Disamping itu pula karena koleksi di dalam museum harus menyesuaikan dengan ruangan yang ada, maka ruangan museum terasa penuh dan desain tata pameran juga terlihat mengabaikan nilainilai estetikanya. Maka berdasarkan hal tersebut, dengan adanya pembangunan gedung baru, konsep penataan pameran tetap museum Nasional mulai dirubah. Hal ini karena museum Nasional ingin sekali pengunjung yang datang akan pulang membawa informasi yang diperoleh. Lalu diputuskan konsep penataan yang dipilih adalah konsep tematik, yaitu semua koleksi yang di display memiliki alur cerita yang sejalan dengan pendekatan yang telah disepakati. Pendekatan yang dipakai dalam hal ini adalah ekologi budaya, yaitu di dalam kehidupan masyarakat senantiasa terdapat unsur-unsur kebudayaan

(i) sifat koleksi sebagai benda cagar budaya, yaitu tidak dapat diperbaharui, terbatas, baik itu dalam bentuk, jumlah dan jenisnya serta mudah rusak dan (ii) jenis koleksi, apakah terbuat dari bahan organik (kayu, kertas, lukisan, kain, bambu), atau dari bahan anorganik (logam emas, perak,tembaga, perunggu, kuningan, besi keramik, tanah liat dan batu). DUNIA KONSERVASI MUSEUM: Penataan vs Pencahayaan di Museum bagian 2 II. Konsep Penataan dan Penyajian Koleksi Telah diketahui museum didefinisikan sebagai suatu tempat penting bagi pelestarian benda budaya dan alam yang dijadikan koleksi, dirawat, dijaga dan disajikan bagi kepentingan umat manusia sekarang dan masa yang akan datang (Hari Untoro,2004). Dengan demikian, salah satu tugas pengelola museum antara lain menyajikan koleksi yang dimiliki, berupa warisan budaya yang memiliki sifat unik dan tidak dapat digantikan. Agar dapat menarik pengunjung untuk datang, maka tidak salah jika museum dibuat semenarik mungkin sehingga tidak ada kesan bahwa museum itu gudang. Untuk membuat penyajian yang menarik, harus memiliki konsep apa yang ingin disajikan serta pendekatan apa yang akan digunakan, karena merupakan titik awal dalam membuat alur cerita yang akan dinikmati pengunjung saat berkeliling. Selain itu dibutuhkan pula

yang bersifat universal yang disebut sebagai inti budaya yang terdiri dari masyarakat sosial, kehidupan politik dan pola kepercayaan yang selalu terikat dengan kegiatan mata pencaharian dan susunan kehidupan ekonominya. Unsur-unsur yang bersifat universal tersebut akan menampakkan evolusi yang sejajar dengan berbagai kebudayaan. Disamping inti budaya terdapat juga unsur-unsur sekunder seperti teknologi, sistem pengetahuan dan kesenian yang juga menampakkan perkembangan yang khas. Alur cerita dibuat sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada masyarakat. Dengan mengikuti alur perjalanan, maka pengunjung seperti dituntun untuk melihat hubungan dan perkembangan tersebut selama perjalanannya mengelilingi museum. Dengan menata koleksi sedemikian rupa, pengunjung diajak menjelajahi dimensi waktu masa lalu, melihat dinamika kehidupan manusia dan hasil karyanya guna memahami kehidupan sosial dan sejarahnya, serta untuk memperoleh pengetahuan dan pelajaran yang baru mengenai sejarah peradaban. DUNIA KONSERVASI MUSEUM: Pencahayaan Bagian III I. Penataan Koleksi di Ruang Pamer Setelah konsep alur cerita disepakati, langkah berikutnya adalah membuat konsep tersebut menjadi nyata, yaitu melalui penerapan tiga dimensi dalam ruang pamer. Disini dituntut peranan maksimal dari desainer peata pameran sehingga mampu membuat pegunjung terkesan dan informasi yang ingin diberikan sampai pada pengunjung. Kurator membuat bagaimana koleksi memiliki nilai sense of knowledge yang tinggi, namun desainer yang harus mampu menerjemahkan menjadi sense of visual. Koleksi ditata sesuai dengan alur cerita, dapat ditempatkan di dalam vitrin atau diluar vitrin dengan memperhatikan nilai-nilai estetika dan juga faktor keamanan koleksi dan konservasi koleksi. Faktor keamanan antara lain menjaga agar koleksi tidak tercuri dengan menempatkan kamera di berbagai sudut serta menjaga dari bahaya kebakaran dengan menempatkan alarm, smoke detector (detektor

asap) dan alat pemadam kebakaran. Pertimbangan kaidah konservasi juga harus diperhatikan, yaitu menjaga kondisi lingkungan dengan mengontrol temperatur, kelembaban dan cahaya dalam vitrin dan ruang pamer. Sebagai pendukung, disekitar koleksi harus diberi label yang menceritakan latar belakang koleksi. Pembuatan label juga bukan perkara yang mudah. Label harus dibuat ringkas dan padat, sehingga dalam waktu singkat pengunjung dapat mengambil intisari dari koleksi tersebut dan pulang dengan membawa informasi. Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam penataan adalah cahaya. Karena dengan adanya cahaya yang jatuh menimpa koleksi dapat menimbulkan apresiasi bentuk dan warna koleksi yang lebih mendalam serta menjadikan koleksi lebih menarik. Disamping itu dengan adanya cahaya, label lebih mudah terbaca terutama untuk pengunjung yang berusia tua. Namun perlu ditekankan, cahaya yang digunakan jangan sampai merusak koleksi. Hal ini karena dari beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan pada koleksi, kerusakan akibat cahaya adalah yang paling parah. Berdasarkan pernyataan ini, sepertinya terdapat pertentangan antara penyajian yang menarik dengan kaidah konservasi koleksi. Untuk mengatasinya harus dicari jalan tengah diantaranya sehingga keduanya dapat berjalan seiringan. DUNIA KONSERVASI MUSEUM: Efek Pencahayaan pada koleksi Bagian IV I. Efek Pencahayaan pada Koleksi Seperti telah disebutkan diatas, cahaya memegang peranan penting dalam penyajian koleksi. Cahaya merupakan sebuah bentuk radiasi elektromagnetik yang disebut radiasi. Cahaya yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan (visible light, cahaya tampak) adalah yang berada pada panjang gelombang antara 400 700 nanometer (nm). Sedangkan yang dibawah 400 nm disebut cahaya ultraviolet dan yang berada diatas 700 nm adalah cahaya infra merah. Kerusakan dapat berasal dari ketiga jenis cahaya. Sinar ultra violet dan cahaya tampak

dapat menyebabkan perubahan stuktur kimia materi sedangkan sinar infra merah dapat menaikkan suhu sehingga memiliki efek membakar, dan sinar tampak. Jenis cahaya yang umum ditemukan di museum adalah sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang berasal dari cahaya matahari (sunlight), cahaya siang (daylight) atau pun cahaya buatan (artificial light) seperti lampu tabung (fluoresens), lampu pijar atau lampu halogen. Pada koleksi museum kerusakan akibat cahaya karena adanya faktorfaktor sebagai berikut: a. Adanya sejumlah cahaya ultraviolet dalam sumber cahaya yang sering disebut nilai UV dengan satuan mikrowatt per lumen (mW/lumen). Nilai ini tergantung dari sejumlah cahaya yang digunakan. Nilai UV tertinggi berasal dari cahaya matahari (sunlight) dan cahaya siang (daylight). Untuk lampu buatan, lampu halogen dan fluoresense memiliki nilai UV yang sedang, sedangkan lampu pijar hampir tidak memiliki kandungan UV dalam cahayanya. Rekomendasi internasional untuk koleksi yang sensitif, seperti lukisan dan cat nilai UV nya harus dijaga agar tetap dibawah 75 mikrowatt/ lumen. b. Adanya nilai intensitas iluminasi cahaya, yaitu terang tidaknya cahaya yang mengenai koleksi. Nilai ini dinyatakan dalam satuan lux (lumen / cm2 ). Makin tinggi intensitas cahaya maka nilai lux akan makin tinggi. Sebagai perbandingan nilai 10 lux = cahaya 1 batang lilin. Koleksi yang sangat sensitif seperti tekstil direkomendasikan dibawah 50 lux. Sedangkan koleksi yang tidak terlalu sensitif seperti cat minyak dan gading direkomendasikan tetap di bawah 200 lux. Berdasarkan sensitifitas koleksi terhadap cahaya, terdapat 3 kelompok koleksi, yaitu: i. Koleksi sangat sensitif, yaitu tekstil, kertas, lukisan cat air, foto berwarna, Kekuatan terhadap cahaya adalah 50 lux untuk 3000 jam pameran / tahun atau 150 lux untuk 250 jam/tahun

ii. Koleksi sensitif; yaitu koleksi cat minyak, foto hitam putih, tulang, kayu. Kekuatan terhadap cahaya adalah 200 lux untuk 3000 jam pameran/tahun iii. Koleksi kurang sensitif; yaitu koleksi batu, logam, gelas, keramik. Koleksi jenis ini tahan terhadap cahaya c. Lamanya waktu paparan cahaya yang bersifat kumulatif pada koleksi, yang akan mempercepat terjadinya kerusakan. Makin sering koleksi terkena cahaya, berarti makin banyak intensitas cahaya yang mengenai koleksi, maka koleksi makin rusak. Pengaruh cahaya terhadap koleksi telah diuji coba oleh Canadian Conservation Institution dengan menggunakan uji yang disebut sebagai standar wool biru (the blue wool standard). Dari blue wool standard ini dapat dilihat derajat pemudaran cahaya . Untuk mengetahui seberapa besar akumulasi nilai lux yang telah diterima koleksi selama dipamerkan, berikut diberikan contoh perhitungan. Contoh: Pada vitrin yang berisi koleksi kain songket diukur nilai intensitas cahayanya, yaitu sebesar 30 lux. Kain tersebut telah dipamerkan selama 10 tahun tanpa dilakukan penggantian. Selama rentang waktu 10 tahun itu, berapa lama koleksi mendapat paparan cahaya ??. Apakah paparan tersebut telah melewati batas yang disarankan?? Bagaimana dapat dijelaskan kondisi seperti ini? Penyelesaian: - Koleksi dalam sehari dipamerkan selama 6 jam, maka sehari I = 6x30 = 180 lux/hari - Untuk seminggu (6 hari kerja), I = 6 x 180 lux = 1080 lux / minggu - Untuk sebulan (4 minggu) I = 4 x 1080 = 4320 lux / bulan - Untuk setahun (12 bulan) , I = 12 x 4320 = 51.840 lux / tahun. Karena standar yang diberikan, untuk paparan 50 lux sebaiknya hanya dipamerkan 3000 jam pameran/tahun = 50 x 3000 = 150.000 lux ,

maka Untuk 30 lux, sebaiknya dipamerkan selama 150.000 / 30 = 5000 jam pameran. Apabila satu hari dipamerkan selama 6 jam, maka koleksi dengan intensitas cahaya 30 lux, sebaiknya dipamerkan selama 5000/ 6 = 833 hari = 27 bulan = 2 tahun 3 bulan. Dengan demikian waktu pamer selama 10 tahun itu sudah melewati batas yang ditentukan. (karena selama 10 tahun koleksi telah terkena paparan cahaya sebanyak: 10 x 51.840 = 518.400 lux.!!!!). Saran yang dapat diberikan pada kasus seperti inji adalah cepat angkat koleksi dang anti dengan koleksi yang lain. DUNIA KONSERVASI MUSEUM: Solusi bagian V Manajemen Penanganan Cahaya Tidak dapat dipungkiri, pencahayaan pada koleksi yang dipamerkan menimbulkan kenyamanan visual bagi pengunjung museum. Hal ini dikarenakan dengan adanya cahaya dapat menimbulkan efek 3 dimensi dari koleksi terutama pada koleksi yang ingin ditonjolkan dan mudah untuk membaca label. Namun pemakaian yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan permanen pada koleksi, terutama untuk koleksi yang sensitif terhadap cahaya. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan pengaturan dan manajemen pencahayaan pada koleksi dengan lebih memperhatikan penggunaan jenis lampu yang dipakai. Disamping itu hal-hal lain yang disarankan dalam manajemen pencahayaan koleksi antara lain: 1. Mengurangi cahaya matahari (daylight) yang masuk ke koleksi 2. Apabila memang lampu halogen diperlukan, maka pilih lampu halogen yang telah memiliki UV filter. 3. Menggunakan lampu fluoresens yang nilai UV nya lebih rendah, dan kemudian ditutup dengan filter UV sebagai perisai yang dapat ditempatkan disekitar tabung. 4. Menggunakan lampu yang memiliki tombol pengatur cahaya (dimmer).

5. Gunakan saklar atau pengatur waktu dalam mengontrol cahaya, yang pada waktu tertentu akan mati. 6. Mengurangi nilai lux lampu dengan cara menjauhkan sumber cahaya dari koleksi yang dipajang. 7. Selalu memberikan semacam pelindung atau filter pada sumber cahaya. 8. Mendesain ruang pameran yang akomodatif dengan mata pengunjung. Hal ini memberikan kesempatan mata pengunjung untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan. Sebagai contoh, pada pintu masuk ruangan, ditempatkan lampu dengan kekuatan 500 lux, memasuki ruangan mendekati koleksi lampunya 200 lux, yang akan menuntun pengunjung hingga ke depan koleksi yang memiliki lampu 50 lux. Dengan demikian pengunjung pun merasa nyaman, karena tidak langsung ke tempat gelap. 9. Melakukan teknik yang telah dikenal sejak lama yaitu dengan menempatkan kain polos di depan koleksi, yang dapat dibuka oleh pengunjung yang akan menikmatinya. 10. Pada vitrin-vitrin tertentu yang memiliki koleksi sensitif, lampu berada diluar vitrin dan hanya dinyalakan oleh pengunjung yang ingin melihat. 11. Melakukan pembatasan waktu penempatan koleksi pada display atau dengan kata lain melakukan pergantian koleksi yang di display secara kontinyu. Dalam jangka waktu tertentu, koleksi diambil, lalu disimpan kembali dalam ruang penyimpanan dan tempatnya digantikan dengan koleksi lain yang sejenis. Dapat digunakan perbandingan 1: 3. Artinya apabila dalam setahun koleksi dipamerkan selama 3 bulan, maka 9 bulan berikutnya koleksi disimpan di dalam storage.

DUNIA KONSERVASI MUSEUM: Apa itu Konservasi? Banyak pertanyaan ke saya, sebenarnya konservasi itu apaan sih? apa bedanya dengan pemeliharaan? apa artinya sama dengan pembersihan atau ngelap koleksi? Pertanyaan seperti itu membuat saya sadar, bahwa yang pertama kali harus saya lakukan di dalam tulisan-tulisan saya ini adalah istilah konservasi, sehingga kita semua punya paradigma yang sama, punya pandangan yang sama. Konservasi itu arti sebenarnya adalah pemeliharaan koleksi. Yaitu bagaimana koleksi yang disimpan di museum dijaga, dan dirawat sehingga tidak rusak dan bertahan hingga masa yang akan datang. Paradigma konservasi itu selalu bergeser dari masa ke masa. Dulu banget, yang namanya pemeliharaan itu,diprioritaskan langsung pada koleksi, artinya semua perlakuan ditujukan pada koleksi. Misalnya kita lihat koleksi koin perunggu penuh dengan noda kebiruan (yang berarti sudah ada korosi). Maka pemeliharaan yang kita lakukan adalah menghilangkan korosi yang ada di permukaan. Biasanya kita merendam dengan larutan sesqucarbonat sehingga noda biru terangkat. Atau menghilangkan tarnish pada koleksi perak dengan menggunakan calcium karbonat yang sudah dibuat pasta. Untuk sekarang, rasanya tindakan seperti itu harus dipikir-pikir dulu deh. Maksudnya prioritas kesekian. Bukan tindakan itu tidak baik, bukan (saya sendiri sudah melakukan penelitian kecil-kecilan seberapa banyak sih sesqu yang dibutuhkan untuk mengangkat korosi, tapi tidak merusak koin?). Sampai sekarang pun kita masih melakukan. Namun, alangkah baiknya jika sebelumnya pertanyaan kita ke arah lain dulu. Kenapa sih korosi biru itu muncul pada koin?, dari sebelum masuk museum, atau sudah (kalau sudah berarti , pertanyaan berikutnya, emangnya tu koin disimpen dimana? gimana kondisi vitrinnya. tertutup? lembab? basah? Bener deh, kalau kita amati kondisi lingkungannya baru kita bisa mengambil kesimpulan apa yang mau kita lakukan. Jadi kalo udah tahu penyebabnya, penyebabnya diberesin dulu, terus dilakukan

treatment pada oleksi, kemudian disimpan atau dipajang lagi. Tapi, .. tempat penyimpanannya sudah direnovasi atau di rebersihin, jadi.., kecil kemungkinan korosi atau tarnish akan muncul lagi.. Begitu, Kesimpulannya konservasi yang ingin saya kampanyekan di blog ini adalah pertama preventif dulu, baru kemudian kuratif. Mencegah lebih baik daripada mengobati kok..... Karena musuh koleksi di Indonesia adalah debu,lembab, serangga...Jadi perhatiin 3 in 1 ini dulu. Maka koleksi kita akan terpelihara Sampai jumpa di artikel berikutnya konservasi koleksi di dalam vitrin Debu adalah musuh terbesar museum dan galeri di negara tropis dan penuh polusi seperti di Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya secara regular, vitrin di dalam ruangan dibersihkan. Untuk mengetahui bagaimana melakukan konservasi koleksi yang berada di dalam vitrin, berikut langkah2 sederhana, namun aman bagi koleksi. 1. Sudah dilakukan pengamatan sebelumnya, koleksi dan vitrin mana yang menjadi target. 2. Amati koleksi, apakah bisa dikeluarkan atau tidak. Apakah aman jika dikeluarkan.Aman disini artinya untuk keselamatan koleksi itu sendiri. 3. Perhatikan sekeliling vitrin di galeri, apakah ada pengunjung atau tidak.., dan sebaiknya ada space untuk meletakkan koleksi yang diambil dari vitrin. 4. Lakukan pemotretan mengenai posisi koleksi, untuk mempermudah meletakkannya kembali. 5. Koleksi dan mountingnya (tatakan) diambil dari vitrin, diletakkan di tempat aman. 6. Dilakukan pembersihan. Biasanya yang ada pada koleksi adalah akumulasi debu. Oleh karena itu dilakukan pengangkatan debu secara hati2 pada setiap koleksi dan mountingnya.

7. Selama koleksi dikeluarkan, vitrin yang kosong dibersihkan dari debu.Dapat dilakukan dengan menggunakan vacuum cleaner. 8. Setelah vitrin bersih, koleksi dimasukkan kembali ketempatnya masing-masing sesuai dengan foto sebelum nya yang telah diambil. Saran : 1. Karena hanya mengangkat debu, sebaiknya tidak menggunakan bahan kimia. Bahkan tidak perlu menggunakan alkohol. 2. Yang perlu dilakukan hanyalah dengan menggunakan kain katun yang telah dilembabkan. 3. Jangan menggunakan kemoceng atau kuas, karena dapat membuat goresan pada permukaan koleksi, dan debu pun tidak terangkat.., cuma pindah tempat doang... ^_^ 4. Apabila koleksi tidak dapat diangkat (karena harus mengangkat mountingnya), maka pembersihan koleksi langsung dilakukan ditempatnya. Sebaiknya dilakukan pembersihan debu pada vitrin dulu (tanpa vacuum cleaner, baru kemudian koleksinya). 5. Sebelum berpindah vitrin, pastikan semua koleksi sudah masuk kedalam vitrin dan cek juga vitrinnya, apakah ada benda tertinggal didalamnya... Selamat mencoba!!!

KEGIATAN WORKSHOP KONSERVASI TEKSTIL DI LEIDEN Edisi Bahasa Indonesia Bulan Agustus 2005, workshop konservasi koleksi tekstil yang merupakan bagian dari program Collasia 2010 dibuka. Saya mengikuti kegiatan ini sebagai asisten pengajar sedangkan untuk pesertanya dipilih rekan saya, Hari Budiarti, juga berasal dari Museum Nasional. (Pada program CollAsia di Thailand bulan Januari 2005 saya sebagai peserta. Ketik itu temanya adalah Exhibit Conservation atau Konservasi koleksi pada Pameran). Sebagai salah satu dari asisten pengajar, saya memiliki tugas dan tanggungjawab sebagai berikut: - mempersiapkan sarana dan prasarana sebelum dan sesudah kursus berlangsung - mendampingi peserta dalam melakuka diskusi kelompok - Membuat kartu nama/bussiness card untuk peserta yang tidak memiliki kartu. - Membuat dokumentasi kegiatan untuk diserahkan kepada panitia/organizing commitee, yaitu untuk ICCROM (Roma), SPAFA (Thailand) dan RMV (museum Ethnology) selaku tuan rumah - menjadi asisten pendamping RMV dalam melayani kebutuhan peserta dilingkungan RMV. Diary workshop Senin / 22 Agustus 2005 Sebagai asisten kursus,mulai mempersiapkan objek yang akan digunakan sebagai bahan diskusi selama workshop. Barang-barang tersebut merupakan kumpulan koleksi tekstil yang sengaja di beli di pasar daerah Thailand, Indonesia dan Filipina. Namun karena ingin memberi kesan sebagai barang koleksi untuk peserta, dan juga untuk menjaga agar tidak ada kontaminasi dari negara tersebut masuk ke RMV, maka koleksi tersebut dimasukkan ke dalam ruang karantina. Di dalam ruang karantina koleksi dipilih lagi, dan untuk koleksi yang

memiliki jejak / sisa insek, koleksi dimasukkan ke dalam kantung plastik dan kemudian dimasukkan dalam freezer dengan suhu minus 24oC. Proses ini disebut deep freezing. Maksud dari proses ini adalah agar insek yang kemungkinan masih ada pada tekstil akan mati pada suhu dingin. Proses ini berlangsung hingga 24 jam. Selasa / 23 Agustus Mengambil koleksi dari freezer, dan kemudian menempatkan di dalam ruang karantina dengan suhu normal. Kegiatan ini dimaksudkan agar koleki beradaptasi dengan suhu kamar / suhu ruang yang ada di RMV. Kegiatan ini juga dimaksudkan agar tidak terjadi proses tegang/ regangan pada tekstil, karena adanya perubahan cuaca yang cukup drastis dari iklim tropis ke iklim dingin. Selain itu juga sebagai asisten kursus, mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung seperti kartu peserta, pass masuk museum , alat-alat tulis, ruangan dan obatobatan. Rabu / 24 Agustus Kegiatan dimulai dengan acara pidato pembukaan oleh Graeme Scott selaku tuan rumah dan Katriina Simila sebagai wakil dari ICCROM dan melakukan tur keliling RMV. Graeme Scott memaparkan kondisi RMV 15 tahun yang lalu yang sama dengan hampir kebanyakan museum di Asia Tenggara, namun dengan sebuah rencana (Delta Plan) maka penataan museum dan storage yang baru dapat terwujud. Siang hari kegiatan dilanjutkan dengan perkenalan diantara sesama peserta, asisten dan pengajar. Kegiatan diakhiri dengan pemberian materi dan tujuan kegiatan kursus, terutama modul 1 dan modul 2 yaitu antara lain: - membuat jaringan yang profesional antara konservator se Asia Tenggara - untuk mengetahui pengertian tekstil, materi dan sifatnya - penekanan bahwa pekerja museum adalah agen yang aktif terhadap koleksi

- untuk mempelajari bahwa object memiliki arti yang berbeda - Mempelajari biografi koleksi dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi dalam membuat dokumentasi, melakukan konservasi dan memamerkan koleksi. Kamis / 25 Agustus dimulai dengan mengidentifikasi pakaian yang digunakan, yaitu material, teknik dan asal dari tekstil tersebut. Seringkali material diberikan dengn nama yang berbeda, padahal sebenarnya sama. Lalu peserta dibagi menjadi 4 grup, dan dilakukan aktivitas dengan cara menyebarkan koleksi pada masing-masing grup, dan tiap grup menentukan koleksi mana yang termasuk tekstil, mana yang tidak. Lalu kemudian tiap grup mengidentifikasi dan melakukan presentasi kepada semua orang, mengapa mereka mengkategorikan sebagai tekstil, dengan alasan yang masuk akal dan logis. Siang harinya didiskusikan kembali, dan peserta sepakat, yang dimaksud tekstil adalah jika dipintal dan bersifat fleksibel. Tekstil bukan berarti apa yang bisa dikenakan. Untuk itu dalam bekerja di museum pendefinisian tekstil tidak kaku, tergantung dari museum bagamana mengklasifikasi koleksi. Jumat / 26 Agustus dimulai dengam perkenalan tentang meeting 3 tahunan ICOM CC yang akan berlangsung di Denhaag. Meeting ini juga menjadi ajang peserta bertemu dengan para kolega dari seluruh dunia. Untuk itu identitas diri seperti kartu nama / bussiness card sangat penting. Peserta juga diajarkan dalam proses menenun yang sangat sederhana menggunakan alat tenun dari karton. Dalam melakukan kegiatan tersebut, peserta menyadari bahwa dalam membuat tekstil itu tidak gampang, dengan demikian pekerja museum akan makin menyadari dan menghargai koleksi tekstil yang ada di museum masing-masing. Peserta juga diberikan pengertian mengenai perbedaan filamen dan fiber. Kegiatan dilanjutkan dengan dokumentasi koleksi. Sebuah koleksi ditempatkan ditengah-tengah jauh dari peserta. Setiap peserta

membuat dokumentasi dan menggambar apa yang dilihat dari tempat duduknya. Karena berada pada tempat yang berbeda, hampir semua peserta memiliki persepsi yang berbeda terhadap benda yang dilihatnya. Kegiatan ini melatih kesadaran bahwa dalam membuat dokumentasi koleksi harus melihat koleksi seutuhnya, sehingga kita tahu apa dan bagaimana sebenarnya koleksi tersebut. Kegiatan dilanjutkan dengan presentasi Dinah Eastop dari Tekstil Conservation Centre Southampton Inggris mengenai Haddon string figure, yang bercerita bagaimana preservasi objek, tidak hanya tangible tetapi juga intangible heritage. Selanjutnya dilakukan presentasi Farideh Fekrsanati dari RMV mengenai pendokumentasian di RMV, ada tiga level, level dasar, diisi oleh registrar , level A diidsi oleh curator ethnografi, dan level B diisi oleh conservator. Kegiatan dilanjutkan dengan melakukan latihan pembuatan dokumentasi pada koleksi. Peserta dibagi kelompok yang terdiri atas 2 orang. Lalu dilakukan pula dokumentasi pada koleksi yang ada di Galeri Indonesia. Tiap kelompok memilih 2 koleksi tekstil, lalu kemudian cari dokumentasi yang ada pada koleksi tersebut, dan mengapa memilih koleksi tersebut. Ternyata alasan memilih koleksi adalah berdasarkan desain, teknik dan makna yang ada pada koleksi. Sabtu / 27 Agustus sebenarnya hari Libur. Namun pagi harinya dimanfaatkan untuk mengunjungi museum Hortus Botanicus, yaitu Kebun Raya yang ada di Leiden. Kegiatan di dalam Hortus Botanicus adalah mencari pohonpohon yang merupakan asal pembuatan tekstil, seperti pisang, palem kapas dan sebagainya. Senin / 29 Agustus, pagi hari Katriina Simila mengulas minggu lalu adalah pelajaran mengenai apa itu tekstil. Dan pada minggu ini adalah mengerti mengapa koleksi tekstil tersebut menjadi koleksi museum dan mengapa koleksi tekstil yang ada di Museum ini sangat penting. Pelajaran selanjutnya adalah dari Dinah Eastop mengenai konsep ide dari biografi objek. Biografi berarti riwayat hidup koleksi.

Dalam melakukan konservasi koleksi, biografi objek sangat penting karena menjadi dasar dalam melakukan konservasi dan preservasi terhadap koleksi.Sore hari kegiatan dilanjutkan dengan presentasi setiap peserta mengenai museum dan koleksinya, serta misi dan visi dari museum tempat mereka bekerja. Selasa / 30 Agustus kegiatan dimulai dengan melakukan diskusi mengenai SE Asian textile collections dan tantangannya. Disini ditekankan tantangan bukan permasalahan (karena hal ini berakibat pada kinerja konservator) antara lain : - kurangnya tenagakerja yang profesional - kurangnya informasi mengenai pengaruh iklim tropis pterhadap koleksi, - kasus storage yang ruangan tidak pernah bertambah namun koleksi nya bertambah terus - mengenai AC yang hanya dinyalakan pada jam kerja. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan presentasi Dinah Eastop mengenai nilai dari noda dan kerutan pada tekstil. Seringkali ternyata koleksi tersebut di simpan di museum karena adanya noda atau karena kerutannya. Dalam melakukan pembersihan terhadap noda, harus ada keputusan yang profesional dalam menanganinya. Apakah memang perlu dibesihkan dan dihilangkan, dan apa kerugian dan keuntungan yang dapat diambil jika dibersihkan. Keadaan ini dapat menjadi bahan diskusi antara konservator dan kurator. Siang hari dipertunjukkan film Angkor Wat dan Toy Story 2. Pada film Aggkor Wat diperlihatkan bagaimana komunitas masyarakat setempat mempengaruhi nilai dari koleksi, dan pada Toy Story 2 dipelajari bagaimana sulitnya mengambil keputusan, kapan koleksi tersebut menjadi koleksi museum atau hanya dianggap sebagai bagan dari komunitas anak-anak.

Rabu / 31 Agustus adalah melakukan diskusi tentang Angkor Watt dan Toy Story 2. Lalu dilanjutkan dengan kunjungan ke galeri Amerika dan Jepang dan membuat list mengenai penyebab rusaknya koleksi, dan juga mengantisipasi bagaimana konservasi jangka panjangnya. Disamping itu juga mengidentifikasi 3 faktor kerusakan dari 9 faktor kerusakan pada koleksi yang akan didiskusikan. Faktor-faktor kerusakan nya antara lain; insect, cahaya, perubahan cepat pada RH, temperatur, storage, polusi, faktor manusia, bencana alam, kurang budget, debu, jamur, peminjaman dan transportasi, kondisi objek itu sendiri, fotografi dan salah penganan selama dokumentasi, pemakaian secara fungsional atau display, dan kualitas material yang buruk. Dalam melakukan aktivitas konservasi perlu dilakukan dokumentasi pada koleksi kenapa kita mumeutuskan melakukan hal ini. Hal ini sangat perlu untuk masa depan dari objek itu sendiri. Kegiatan dilanjutkan dengan presentasi Dinah mengenai Penyebab kerusakan pada koleksi tekstil. Ada 4 jenis kerusakan pada koleksti tekstil, yaitu : - Kerusakan fisik dan mekani, misalnya robek atau lubang - Kerusakan kimia, misalnya karena pengaruh cahaya yang dapat dilihat dibawah mikroskop - Kerusakan biologi, akibat adanya insect - Dan kerusakan budaya, yaitu adanya perubahan pada tekstil karena terkontaminasi pestisida. Kerusakan pada tekstil seringkali merupakan kombinasi dari jenis kerusakan diatas dan merupakan kondisi yang kompleks. Kerusakan pada tekstil dapat terjadi karena: - Faktor inherent, yaitu penyebab kerusakan yang berasal dari koleksi itu sendiri dan

- Faktor eksternal, yang berasal dari luar seperti cahaya, kelembaban relatif dan transportasi - Gabungan faktor internal dan eksternal. Grup kemudian pergi ke Textile research Center yang berada dalam komplek RMV dengan direkturnya Dr. Gillian Vogelsang-Eastwood. Kemudian dilakukan aktivitas dalam grup sesuai dengan kelompokmya. Kegiatan ini bertujuan mencari kerusakan yang ada padat iap objek dan bagaimana mengatasinya. Setelah itu ke Gallery dan mencari kerusakan yang ada koleksi di GAllery dan bagaimana penaganannya Kamis / 1 September dimulai dengan melakukan presentasi Dinah yaitu mengapa harus dilakukan pembersihan (cleaning). Kita harus menganalisis debu dan noda yang ada pada tekstil, baru kemudian memutuskan, apakah harus diberishkan. KIta harus tahu mengapa harus dibersihkan. Untuk koleksi yang memiliki bau yang tidak sedap, apakah harus dibersihkan kita harus juga mempertimbangkan efeknya terhadap konservasi dan pameran. Bisa jadi bau tersebut merupakan tanda dari adanya kerusakan pada koleksi. Dinah melanjutkan presentasi dengan mengapa harus dibersihkan dan pendokumentasikan alasan mengapa harus dibersihkan.. JIka noda itu adalah significan jangan dibersihkan, tapi kalaiu tidak berarti, bersihkan saja.Ada 3 tipe cleaning dalam konservasi textil, yaitu surface cleaning dengan sikat / brush, dengan pelarut atau dry cleanin dan wet cleaning atau divuvi. Pilihan yang mana dipilih tergantung dari jenis tekstil serta materi yang ada pada tekstil. Kegiatan selanjutnya adalah presentasi Farideh mengenai cleaning di RMV. Karena RMV tidak terlau tahu bagaimana sejarah koleksi maka RMV hanya membersihkan debu secara periodik. Keputusan untuk membersihkan tergantung dari jenis objek yang akan dibersihkan. membersihkannya dengan vacuum cleaner atau sikat, dan sering menggunakan jaring. Disamping itu sebelumnya dicek dulu kestabilan dari materialnya.

Kegiatan selanjutnya adalah latihan dalam melakukan keputusan clean or not pada objek. Peserta disuruh mengamati objek, dan apa keputusan dalam melakukan pembersihan, jenis pembersihan apa yang dipilih, apa keuntungan dari membersihkan objek ini,d an apa kerugiannya. Bagaimana mengurangi resiko kerugiannya Jumat 2 September presentasi Foekje Boersma mengenai preservasi koleksi dan 9 agen perusak koleksi, yaitu (1) gaya fisik, (2) pencurian vandalisme, (3) kebakaran, (4) air, (5) serangga, insek, (6) kontaminats (misal debu), (7) cahaya, (8) RH dan (9) T yang tidak sesuai. Fokus utama adalah pada RH dan T yang tidak sesuai. Perubahan pada T akan menyebabkan perubahan pada RH Selanjutnya presentasi Graeme mengenai pengalamannya dalam menangani koleksi pada iklim dan temperatur tropis. Siang hari kegiatan dilanjutkan mengenai cahaya, lalu kemudian peserta turun ke Galleri untuk mengukur cahaya dan RH dan T serta menganalisis pengaruhnya pada koleksi. Hari Senin tanggal 5 September 2006. Kegiatan dimulai oleh Agnes Brokerhof dari ICN mengenai risk management. Risk merupakan kemungkinan dari kehilangan. Pada konteks budaya kehilangan nilai dari koleksi karena penyebab yang spesifik. Pda sesi ini peserta diminta mengklasifikasikan penyebab dan efek pada 10 1 faktor, yaqitu physical force, air, api / kebakaran, kriinalitas, pest, contaminatnt, cahaya, T yamg tidak sesuai, RH yang tidak sesuai dan dissosiasi. Kemudian membuat skenario bagaimana kerusakan itu terjadi. Kemudian menghitung skala probabilitas dan loss of values dengan menggunakan rumus yang diberikan. Siang harinya peserta melakukan kunjungan ke storage RMV di Gravenshande.Dan melakukan risk management disana. Selasa / 6 September

diskusi dengan Agnes mengenai Risk management dilanjutkan dengan membuat grafik dari hasil kunjungan ke Gravenshande.. Kemudian dilanjutknan dengan presentasi Agnes mengenai integrated pest management di Museum. Ada 4 penyebab tipe insek yang dapat merusak yaitu yang melubangi, yang mengigit, yang crwlwers dan yang hanya mengunjungi tetapi berjalan Ada beberapa tahap dalam IPM, yang pertama adalah mencegah insek datang ke koleksi. HAl ini dapat berjalan dengan adanya housekeeping yang baik, menempatkan objek 15 cm dari lantai dan pemeliharaan gedung. Langkah kedua adalah menghalangi semua pintu masuk serangga. Hal ini dapat dilakukan dengan menselaing gedung, membungkus atau menutupi objek dan selalu membuajka kemungkinan objek selalu ada di ruang karantina. Kedua langkah diatas adalah tinfdakan preventive konservation. LAngkah yang ke tiga adalah mendeteksi kerusakan pada koleksi. HAl ini mungkin dengan jalan inspelsi visual, menggunakan trap, mengidentifikasi jenis insek ,menentukan aktivitas dan mendokumentasi hasil temuan. Langkah ke empat adalah untuk mengkondisikan insek yang ada pada objek agar tidak menyebar atau melakukan kerusakan lebih jauh pada koleksi., Dapat dilkukan engan cara tahu bagian objek yang terkena, mengisolasi objek yang terkena dan mengetahui sumber darimana insek berasal. LAngkah yang keloima adalah melakukan traetment melalui pest control dan metode toksi dan non toksik metode. Non toxic menggunakan low tempeartur, hihg tempertaur dn low oksigen. Pemilihan metode tergantung dari kondisi objek, tipe insek, kecepatan kerusakan dan efisiensi. JIka insek ada dalam objek paling baik adalah melakukan penetrasi langsiung pada objek. jika insek hanya melakukan kunjungan maka ruanganjuga diteatment. Kegiatan dilanjutkan dengan membuat kantong untukkk temperatur insek yang bisa dilakukan di negara masing-masing. Rabu tanggal 7 September melakukan presentasi Mengenai keputusan dipamerkan atau tidak sebuah koleksi ditinjau dari sudut etnografi. Sesi berikutnya adalah high

kasus bendera milik bekas presiden Filipia Manuel Roxas yang dipinjam dari Museum Manuel Roxas Filipina. Semua peserta diminta menilai bendera dan memberikan argumentasi apa yang akan dilakukan noda yang ada pada bendera. Apakah harus dibersihkan atau tetap dipertahankan. Jika akan dibersihkan tindakan apa yang akan dilakukan. Siang harinya grup mengunjungi gedung penyimpan (storage) di Gravenshande, dan melakukan tur mengunjungi storage dipimpin Graeme Scott. Peserta menanyakan fasilitas yang dimiliki RMV. Kamis 8 September dilakukan di RMV mengenai preservasi tekstil yang digunakan sebagai kostum. Karena seringkali dalam pemakaiannya tekstil tersebut mengalami ketegamngan ketika dipakai. Hari Jumat tanggal 9 September dilakukan evaluasi selama workshop berlangsung. Peserta memberikan masukan kepada panitia apa yang telah didapat selama kursus berlangsung. Pada hari ini juga Ita Yulita sebagai asisten kursus memberikan presentasi mengenai apa yang telah dilakukan setelah pulang dari kursus di Bangkok, dan apa yang diterapkan dan mengapa hal ini bisa diterapkan Senin tanggal 12 September hingga Jumat tanggal 17 September mengikuti ICOM CC meeting di Denhag. Meeting ini merupakan meeting ke 14 dan diikuti oleh hampir 1000 peserta dari 75 negara di dunia. Hari Sabtu tanggal 18 September seluruh kegiatan ditutup dengan resmi dengan pidato singkat dari direktru RMV dan pemberian sertifikat kepada peserta oleh directur ICCROM.