40
LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama Penderita : Ny. Y Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 20 tahun Alamat : Bantaeng Tanggal Pemeriksaan : 19/3/2015 Nama RS : RS. Ibnu Sina Anamnesis : Autoanamnesis B. ANAMNESIS Keluhan Utama : Nyeri perut Anamnesis Terpimpin : Dialami sejak ± 1 minggu sebelum masuk RS. Nyeri dirasakan terutama di bagian perut kanan bawah. Awalnya terasa nyeri ulu hati kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan seperti diremas. Mual ada, muntah tidak ada, Demam tidak ada, riwayat demam ada sejak 1 minggu yang lalu Batuk dan sesak tidak ada BAB : belum BAB 2 hari terakhir BAK : Lancar, warna kuning. Riwayat BAK berpasir dan keruh tidak ada Riwayat penyakit sebelumnya: 1

Case Report 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

case anestesi

Citation preview

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama Penderita: Ny. Y

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur: 20 tahun

Alamat: Bantaeng

Tanggal Pemeriksaan: 19/3/2015

Nama RS: RS. Ibnu Sina

Anamnesis: Autoanamnesis

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Nyeri perut

Anamnesis Terpimpin:

Dialami sejak 1 minggu sebelum masuk RS. Nyeri dirasakan terutama di bagian perut kanan bawah. Awalnya terasa nyeri ulu hati kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan seperti diremas. Mual ada, muntah tidak ada,

Demam tidak ada, riwayat demam ada sejak 1 minggu yang lalu

Batuk dan sesak tidak ada

BAB : belum BAB 2 hari terakhir

BAK : Lancar, warna kuning. Riwayat BAK berpasir dan keruh tidak ada

Riwayat penyakit sebelumnya:

Riwayat menderita keluhan yang sama sebelumnya tidak ada

Riwayat maag ada

Riwayat dirawat di RS.Bantaeng 1 minggu yang lalu

C. PEMERIKSAAN FISIS

Status Present:

Sakit Sedang/Gizi cukup/ Composmentis

Tanda Vital:

Tensi: 120/80 mmHg

Nadi: 80kali/ menit(Reguler, kuat angkat)

Pernapasan: 24kali/ menit(Thoracoabdominal)

Suhu: 37,0oC(axilla)

Kepala:

Ekspresi: meringis

Simetris Muka: Simetris kiri dan kanan

Deformitas: (-)

Rambut: Hitam, lurus, sulit dicabut

Mata:

Eksoptalmus/ Enoptalmus: (-)

Gerakan: Kesegala arah

Tekanan Bola Mata: Tidak dilakukan pemeriksaan

Kelopak Mata: Edema palpebra (-), ptosis (-)

Konjungtiva: Anemis (+)

Sklera: Ikterus (-)

Kornea: Jernih, reflex kornea (+)

Pupil : Bulat, isokor, 2,5mm/2,5mm, RCL +/+, RCTL +/+

Telinga:

Tophi: (-)

Pendengaran: Tidak ada kelainan

Nyeri Tekan di Proc. Mastoideus: (-)

Hidung:

Perdarahan: (-)

Sekret: (-)

Mulut:

Bibir: Kering (-), stomatitis (-)

Gigi Geligi: Karies (-)

Gusi: Candidiasis oral (-), perdarahan (-)

Farings: Hiperemis (-)

Tonsil: T1 T1, hiperemis (-)

Lidah: Kotor (-), tremor (-), hiperemis (-)

Leher:

Kel. Getah Bening: Tidak teraba, nyeri tekan (-)

Kel. Gondok: Tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-)

DVS: R-2 cmH2O

Pembuluh Darah: Bruit (-)

Kaku Kuduk: (-)

Tumor: (-)

Dada:

Inspeksi: Simetris hemithoraks kiri dan kanan

Bentuk: Normochest

Pembuluh Darah: Bruit (-)

Buah Dada: Tidak ada kelainan

Sela Iga: Tidak ada pelebaran

Paru:

Palpasi:

Fremitus Raba: Kiri = Kanan

Nyeri Tekan: (-)

Perkusi:

Paru Kiri: Sonor

Paru Kanan: Sonor

Batas Paru Hepar: ICS V-VI anteriordextra

Batas Paru Belakang Kanan :Vertebra thorakal X dextra

Batas Paru Belakang Kiri :Vertebra thorakal XI sinistra

Auskultasi:

Bunyi Pernapasan:Vesikuler

Bunyi Tambahan:

Ronkhi- - Wheezing - -

- - - -

- - - -

Jantung:

Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi: Ictus cordis teraba

Perkusi:Pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung kanan:linea parasternalis dextra, batas jantung kiri: linea midclavicularis sinistra)

Auskultasi:

BJ I/II: Murni reguler

Bunyi Tambahan: Bising (-)

Perut:

Inspeksi: Cembung, ikut gerak napas

Auskultasi: peristaltik (+) kesan normal

Palpasi: nyeri tekan (+) di seluruh dinding perut, massa tumor (-)

Hati: sulit dinilai karena nyeri

Limpa: sulit dinilai karena nyeri

Ginjal: Ballotement (-)

Lain-lain: Kulit tidak ada kelainan

Perkusi: Timpani (+) , Shifting dullness (-)

Alat Kelamin: Tidak dilakukan pemeriksaan

Anus dan Rektum: tidak dilakuka pemeriksaan

Punggung: Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)

Palpasi: Gibbus (-)

Nyeri Ketok: (-)

Auskultasi: Rh -/-Wh -/-

Gerakan: Dalam batas normal

Ekstremitas

Superior et inferior dalam batas normal.

Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

DARAH RUTIN

WBC

9,3 x 103/uL

4 - 10 x 103/uL

RBC

x 106/uL

46 x 106/uL

HGB

9,7 g/dL

12 - 16 g/dL

HCT

%

37 48%

PLT

439 x 103/uL

150-400 x 103/uL

Neutrophil

x 103/uL

52.0-75.0 x 103/uL

Monosit

x 103/uL

2.0-8.0 x 103/uL

Limfosit

x 103/uL

20.0-40.0 x 103/uL

Eosinofil

x 103/uL

1-3 x 103/uL

Basofil

x 103/uL

0.00-0.10 x 103/uL

Pemeriksaan USG

Kesan : apendicitis perforans + gravid tunggal hidup 13 minggu

D. DIAGNOSIS SEMENTARA

Apendisitis

E. PENATALAKSANAAN AWAL

IVFD RL 28 tetes/ menit

Ranitidin amp/ 8 jam/ IV

PEMBAHASAN

Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi.

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses. Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Pemeriksaan palpasi antara lain :

1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney

2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum

3. Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis

4. Rovsing sign (+)

5. Obturator sign (+)

6. Psoas sign (+)

I. FISIOLOGI NYERI

Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin.

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengangangguan komunikasi.

Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri.

Gambar 2.1-1. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeriakut akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan atau trauma

Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi.

11

II. MEKANISME NYERI

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakanjaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan danmenghilangkan respon inflamasi.

Sensitisasi Perifer

Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators)dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambangaktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatanpada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

Gambar 2.2-1. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral.

Sensitisasi Sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptordi sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera.Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent).

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akanterjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.

III. NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawabterhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas,dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panasatau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitasnociceptor-like.Seratserat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.

Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yangpotensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.

IV. PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi,dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).

Proses Transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubahmenjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atautrauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer

Proses Transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan prosestransduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus danmelibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakansebagai persepsi nyeri.

Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesikendogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornuposterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak.Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untukanalgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.

Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi,transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.

Gambar 2.4-1. Pain Pathway

PENILAIAN NYERI

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.

Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini:

1.Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 2.7-1. Wong Baker Faces Pain Rating Scale

2.Verbal Rating Scale (VRS)

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala limapoin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Gambar 2.7-2. Verbal Rating Scale

3.Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkanangka 0 5 atau 0 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.7-3. Numerical Rating Scale

4.Visual Analogue Scale (VAS)

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue analgetic).

Gambar 2.7-4. Visual Analogue Scale

2.8PENANGANAN NYERI

Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu :

1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama

2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat

3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga

4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan

5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi

6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan

7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non farmakologik.

Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi).

Farmakologis

Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesikoral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal danopioid intraspinal.

Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri paska pembedahan.

Tabel 2.8-1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri

Tabel 2.8-2. Pilihan terapi untuk penanganan nyeri berdasarkan jenis operasi

Pedoman terapi pemberian analgesia untuk penanganan nyeri paska pembedahan berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakan penderita yang direkomendasikan oleh WHO dan WFSA. Dimana terapi analgesia yang diberikan pada intensitas nyeri yang lebih rendah, dapat digunakan sebagai tambahan analgesia pada tingkat nyeri yang lebih tinggi.

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari :

1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.

2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein.

3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :

1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3

2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

Analgesia Multimodal

Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Dimana analgesi multimodal melakukan intervensi nyeri secara berkelanjutan pada ketiga proses perjalanan nyeri, yakni:

Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan AINS

Penekanan pada proses transmisi dengan anestetik lokal (regional)

Peningkatan proses modulasi dengan opioid

Analgesia multimodal merupakan suatu pilihan yang dimungkinkan dengan penggunaan parasetamol dan AINS sebagai kombinasi dengan opioid atau anestesi lokal untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang mengalami nyeri paska pembedahan ditingkat sedang sampai berat. Analgesia multimodal selain harus diberikan secepatnya (early analgesia), juga harus disertai dengan inforced mobilization (early ambulation) disertai dengan pemberian nutrisi nutrisi oral secepatnya (early alimentation).

Analgesia Preemptif

Analgesia preemptif artinya mengobati nyeri sebelum terjadi, terutama ditujukan pada pasien sebelum dilakukan tindakan operasi (pre-operasi). Pemberian analgesia sebelum onset dari rangsangan melukai untuk mencegah sensistisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri selanjutnya. Analgesia preemptif mencegah kaskade neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan luka. Dengan cara demikian keluhan nyeri paska bedah akan sangat menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri paska pembedahan tanpa memakai cara analgesia preemptif. Bisa diberikan obat tunggal, misalnya opioid, ketorolak, maupun dikombinasikan dengan opioid atau AINS lainnya, dilakukan 20 30 menit sebelum tindakan operasi.

PCA (Patient Control Analgesia)

Pasien dikontrol nyerinya dengan memberikan obat analgesik itu sendiri dengan memakai alat (pump), dosis diberikan sesuai dengan tingkatan nyeri yang dirasakan. PCA bisa diberikan dengan cara Intravenous Patient Control Analgesia (IVPCA) atau Patient Control Epidural Analgesia (PCEA), namun dengan cara ini memerlukan biaya yang mahal baik peralatan maupun tindakannya.

Non-Farmakologis

Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna walaupun digunakan secara tersendiri atau digunakan sebagai adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.

Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk membantu penanganan nyeri paska pembedahan, seperti menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk nyeri kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri kepala), terapi psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada sistem saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation).

1. Terapi dan Modalitas Fisik

Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur, aplikasi panas atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk menutup gerbang bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit juga dapat menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.

Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh. Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh individu yang penuh perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang positif.

Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri pascaoperasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis rematoid.

Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.

Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.

Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot, dan artritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera traumatik saat masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran darah, panas mungkin meredekan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.

Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat, terkilir). Dingin dapat disalurkan dalam bentuk berendam atau komponen air dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema serta perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.

2. Strategi kognitif-perilaku

Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan biofeedback. Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku menekankan salah satu relaksasi atau pengelihatan, pada praktik keduanya tidak dapat dipisahkan.

Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas, ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.

Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi, membaca buku, mendengar musik, dan melakukan percakapan.

Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Tehnik ini sering dikombinasikan dengan relaksasi.

Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga bergantung pada kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke bayangan-bayangan yang paling konstruktif.

Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik tertentu kepada pasien sehingga pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot, kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan gelombang otak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation of Societies of Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm

2. Conn D, Murdoch J. Manajemen Nyeri Akut. In : Kedokteran Perioperatif. Oxford University Press ; 2000. p.57-69.

3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a femoral catheter by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an anterior cruciate ligament outpatient procedure. Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.

4. Guyton, A C & Hall, J E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, editor Bahasa Indonesia : Irawati Setiawan Edisi 9. Jakarta: EGC. 1997

5. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds. Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book; 1992:253-68

6. Jensen MP, Martin SA, Cheung R. The meaning of pain relief in a clinical trial. The Journal of Pain. 2005 ; 6 (6) : 400-6.

7. Jensen MP, Chen C, Brugger AM. Interpretation of visual analog scale ratings and change scores : a reanalysis of two clinical trial of postoperative pain. The Journal of Pain. 2003 ; 4(7) : 401-7.

8. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill Livingstone. 2006

9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pain Managament. In : Morgan GE, editor. Clinical Anesthesiology, 4thed. Lange Medical Books/McGraw-Hill ; 2006. p. 359-412.

10. Tanra AH. Pengelolaan Nyeri Paska Bedah. Pertemuan Ilmiah Berkala (PIB) IX IDSAI. Medan ; 2002 : 413.

11. Wikipedia. Paracetamol. The Free Encyclopedia. Available from : http://en.wikipedia.org/wiki/Paracetamol.

12. Wikipedia. Ketorolak. The Free Encyclopedia. Available from : http://en.wikipedia.org/wiki/Ketorolak.