Upload
anonymous-z56uhsox
View
301
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
irid
Citation preview
PENANGANAN PARTUS PREMATORUS DENGAN RETENSIO
PLASENTA PADA NY.RD DI RSUD PARIAMAN
Oleh:
Liganda Endo Mahata 1010312006
Osharinanda Monita 1010312106
Rurin Ardiyanti 1110311024
Preseptor:
Dr. Aladin, Sp.OG(K)
Dr. Mutiara Islam, Sp.OG(K)
BAGIAN OBSETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD PARIAMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20-37
minggu dihituung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). Persalinan preterm pada
umumnya adalah sekitar 6-10%. Hanya 1,5% persalinan terjadi pada umur kehamilan kurang
dari 32 minggu dan 0,5% pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Namun, kelompok ini
merupakan 2/3 dari kematian neonatal.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Amerika, menunjukkan bahwa
persalinan preterm akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi perdarahan post partum
akibat retensio plasenta. Hasil survey yang dilakukan di RSUD Raden Mattaher Jambi
tercatat bahwa jumlah penderita retensio plasenta tahun 2011 yaitu 49 kasus (5,3%) per 924
persalinan normal dan tahun 2012 terdapat 54 kasus (6,1%)per 892 persalinan normal. Di
RSU H. Damanhuri Barabai insidens perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta
dilaporkan berkisar 16%–17%. WHO memperkirakan sekitar 10% kelahiran hidup
mengalami komplikasi perdarahan pasca persalinan. Perdarahan yang bertanggung jawab atas
sekitar 28% kematian ibu, sering tidak dapat diperkirakan karena terjadi tiba-tiba. Hal ini
menunjukkan penanganan yang kurang optimal dan kegagalan sistem pelayanan kesehatan
menangani kegawatdaruratan obsetri dan neonatal secara cepat dan tepat. Manajemen aktif
kala tiga mempercepat persalinan plasenta dan dapat mencegah atau mengurangi perdarahan
post partum. 1
Berdasarkan uraian diatas, maka kelompok kami tertarik untuk melaporkan kasus
mengenai penatalaksanaan partus prematorus imminens dengan retensio plasenta pada Ny.X
di RSUD Pariaman.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah penatalaksanaan pasien retensio plasenta dengan adhesi plasenta pada
partus prematorus?
1.3 Tujuan
Tujuan ditulisnya laporan kasus ini adalah untuk mengetahui penatalakasanaan pasien
retensio plasenta dengan adhesi plasenta pada Ny.X di RSUD Pariaman
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Retensio Plasenta
2.1.1 Definisi Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta yang tetap tertinggal dalam uterus setengah jam
setelah anak lahir. 1
2.1.2 Epidemiologi
Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%–60%) kematian ibu
melahirkan di Indonesia. Insidens perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta
dilaporkan berkisar 16%–17% Di RSU H. Damanhuri Barabai, selama 3 tahun (1997–1999)
didapatkan 146 kasus rujukan perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta. Dari
sejumlah kasus tersebut, terdapat satu kasus (0,68%) berakhir dengan kematian ibu.
2.1.3 Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea,
pernah kuret berulang dan multiparitas.1
2.1.4 Etiologi
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh
perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi
tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta
lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak dan harus diantisipasi segera dengan melakukan Placenta
manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.1
2.1.5 Klasifikasi
Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan
oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta bila
implantasi menembus desidua basalis dan Nitabutch Layer, disebut sebagai plasenta inkreta
bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta prekreta bila vili korialis
sampai menembus perimetrium. Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam
uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan perdarahan post partum primer atau
(lebih sering) sekunder1
2.1.6 Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi
otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel
miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan
kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri
mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai
mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika jaringan penyokong plasenta
berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus.
Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar
memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di
uterus berada di antara serat-serat oto miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-
serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah
terjepit serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan
ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga
persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta, namun
dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari
ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari
dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan
plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan
otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat
melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun,
daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga
rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan
akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase
kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam
waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada
pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dankonsistensinya semakin padat,
uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina,
serta tali pusat yang keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya
maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah
bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini
oleh adanya tekanan inter- abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang
sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan
artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah
dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta :
1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan
tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta
pembentukan constriction ring.
2. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa;
implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta.
3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang tidak
perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak
ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat
menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi
terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
Plasenta pada kehamilan aterem akan mengalami perubahan berupa sel-sel jaringan
ikat yang dipisahkan dengan banyak matriks antar sel yang longgar menjadi lebih padat
danberbentuk kumparan dan tersusun lebih rapat. Perubahan lainya berupa berkurangnya
ketebalan sinsitium,pengurangan parsial sitotrofoblas, dengan jaringan ikat minimal.
Plasenta pada partus prematurus masih belum mengalami pematangan, sehingga jaringan
ikatnya masi tebal sehingga kejadian retensio plasenta meningkat.
2.1.7 Diagnosis Retensio Plasenta
A. Klinis
1. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi
mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel
fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak
lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis
tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
3. Perdarahan yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.
4. Placenta tidak segera lahir > 30 menit.
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit
(Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang
disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
2. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT) dan
activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting
Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang
disebabkan oleh faktor lain.
3. USG melihat adanya sisa jaringan plasenta setelah dilakukan manual plasenta.
C. Diagnosa Banding
Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada miometrium
tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.
2.1.8 Tatalaksana Retensio Plasenta
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
a. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang
berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau
larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi,
tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang
dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl
0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips
oksitosin untuk mempertahankan uterus.
d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual
plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio
plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti
forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir,
tali pusat putus.
e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan
dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya
pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di
rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan
kuretase pada abortus.
f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat
uterotonika melalui suntikan atau per oral.
g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi
sekunder.
2.1.9 Komplikasi dan Prognosis Retensio Plasenta
A. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:
1. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.
2. Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan
perfusi organ.
3. Sepsis
4. Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak
selanjutnya.
B. Prognosis Retensio Plasenta
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya
serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting.
2.2 Partus prematorus
2.2.1 Definisi Partus prematorus
Persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20-37
minggu dihituung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). WHO menyatakan bahwa
bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang. Himpunan
kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan
preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.1
2.2.2 Epidemiologi
Persalinan preterm pada umumnya adalah sekitar 6-10%. Hanya 1,5% persalinan
terjadi pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu dan 0,5% pada kehamilan kurang dari 28
minggu. Namun, kelompok ini merupakan 2/3 dari kematian neonatal. Kesulitan utama dalam
persalinan preterm ialah perawatan bayi preterm, yang semakin muda usia kehamilannya
semakin besar morbiditas dan mortalitas. Penelitian lain menunjukkan bahwa umur
kehamilan dan berat bayi lahir saling berkaitan dengan risiko kematian perinatal. Pada
kehamilan umur 32 minggu dengan berat bayi >1.500 gram keberhasilan hidup sekitar 85%,
sedang pada umur kehamilan sama dengan berat janin <1.500 gram angka keberhasilan hanya
sekitar 59%. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan persalinan preterm tidak hanya
tergantung umur kehamilan, tetapi juga berat bayi lahir. 1
Permasalahan yang terjadi pada persalinan preterm bukan sasja pada kematian
perinatal, melainkan bayi prematur ini sering pula disertai dengan kelainan, baik kelainan
jangka pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek yang sering terjadi adalaj
RDS (Respiratory Distress Syndrome), perdarahan intra/periventrikular, NEC (Necrotizing
Entero Colitis), displasi bronko-pulmonar, sepsis dan patern duktus arteriosus. Adapun
kelainan jangka panjang sering berupa kelainan neurologik seperti serebral palsi, retinopati,
retardasi mental, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan prestasi sekolah yang
kurang baik. Dengan melihat permasalahan yang dapat terjadi pada bayi preterm, maka
menunda persalinan
preterm bila mungkin, masih tetap memberi suatu keuntungan. 1
2.2.3 Faktor Risiko
Untuk memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan prematur harus dicermati
beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi, menyebabkan persalinan prematur atau
seorang dokter terpaksa mengakhiri kehamilan pada saat kehamilan belum genap bulan.
Kondisi selama kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm adalah: 1
Janin dan plasenta
- Perdarahan trimester awal
- Perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa)
- Ketuban Pecah Dini (KPD)
- Pertumbuhan janin terhambat
- Cacat bawaan lahir
- Kehamilan ganda/ Gameli
- Polihidramnion
Ibu
- Penyakit berat pada ibu
- Diabetes mellitus
- Preekalmpsia/ hipertensi
- Infeksi saluran kemih/ genital/ intrauterin
- Penyakit infeksi dengan demam
- Stress psikologik
- Kelainan bentuk uterus/ serviks
- Riwayat persalinan preterm/ abortus berulang
- Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)
- Pemakaian obat narkotik
- Trauma
- Perokok berat
- Kelainan imunologi/ kelainan resus
2.2.4 Etiologi
Persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinasi
keadaan obsetrik, sosiodemografi, dan faktor medik mempunyai pengaruh terhadap
terjadinya persalinan prematur. Kadang hanya risiko tunggal dijumpai seperti distensi
berlebih uterus, ketuban pecah dini, atau trauma. Banyak kasus persalinan prematur sebagai
akibat proses patogenik yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak
terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks, yaitu: 1
1. aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun janin,
akibat stress pada ibu atau janin.
2. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sitemik
3. Perdarahan desidua
4. Peregangan uterus patologik
5. Kelainan pada uterus atau serviks
2.2.5 Diagnosis Partus Prematurus
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8
menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah
terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The American
Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis PPI ialah sebagai
berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan
kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan diagnosis PPI :
1. Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, golongan ABO, faktor rhesus,
urinalisis, bakteriologi vagina, amniosentesis : surfaktan, gas dan PH darah janin.
2. USG untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, besar janin, kativitas biofisik,
cacat kongenital, letak dan maturasi plasenta, volume cairan tuba dan kelainan
uterus
2.2.6 Tatalaksana Partus Prematorus
Ibu hamil yang diidentifikasi memiliki risiko persalinan preterm dan yang mengalami
gejala persalinan preterm membakat harus ditangani seksama untuk meningkatkan keluaran
neonatal.
1. Akselerasi pematangan fungsi paru
Terapi glukokortikoid, misalnya dengan betamethasone 12 mg im. 2 x selang 24
jam. Atau dexamethasone 5 mg tiap 12 jam (im) sampai 4 dosis. Thyrotropin releasing
hormone 400 ug iv, akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang dapat meningkatkan
produksi surfaktan. Suplemen inositol juga merupakan pilihan karena inositol merupakan
komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan.
2. Pemberian tokolitik
Indeks tokolitik > 8 menunjukkan kontraindikasi pemberian tokolitik
0 1 2 3 4
Kontraksi Tidak ada Irregular Regular - -
Ketuban
pecah
Tidak ada - Tinggi/tidak
jelas
- Rendah/pecah
Perdarahan Tidak ada Spotting Perdarahan - -
Pembukaan Tidak ada 1 cm 2 cm 3 cm 4 cm
Nifedipin 10 mg diulang tiap 30 menit, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya hanya
diperlukan 20 mg dan dosis perawatan 3 x 10 mg.
Golongan beta-mimetik
Salbutamol Perinfus : 20-50 µg/menit Per oral : 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance)
atau
Terbutalin Per infuse : 10-15 µg/menit, Subkutan: 250 µg setiap 6 jam. Per oral : 5-
7.5 mg setiap 8 jam (maintenance)
Efek samping : Hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi
miokardial, edema paru
A. Kontraindikasi penundaan persalinan3,4,5
Mutlak
Gawat janin, korioamnionitis, perdarahan antepartum yang banyak.
Relatif
Gestosis; diabetes mellitus (beta-mimetik), pertumbuhan janin terhambat, pembukaan
serviks lebih dari 4 cm.
B. Cara persalinan3,4,5
1. Janin presentasi kepala : pervaginam dengan episiotomi lebar dan perlindungan
forseps terutama pada bayi < 35 minggu.
2. Indikasi seksio sesarea :
Janin sungsang
Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
Gawat janin, bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
ologohidramnion, dan cairan amnion berbau. bila syarat pervaginam tidak
terpenuhi
Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan
sebagainya).
Lindungi bayi dengan handuk hangat, usahakan suhu 36-37 C ( rawat intensif di
bagian NICU ), perlu dibahas dengan dokter bagian anak.
Bila bayi ternyata tidak mempunyai kesulitan (minum, nafas, tanpa cacat) maka
perawatan cara kangguru dapat diberikan agar lama perawatan di rumah sakit berkurang.
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : NY.RW
Umur : 27 Tahun
Alamat : KOTO TANGAH
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Masuk: 24 November 2015
Anamnesis: Autoanamensis (24 November 2015 Time: 03.30 )
Keluhan Utama : Nyeri Pinggang yang menjalar ke ari-ari sejak 8 jam sebelum masuk
rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang:
Nyeri pinggang yang menjalar ke ari-ari sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit
Keluar lendir campur darah dari kemaluan sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit
Keluar darah yang banyak dari kemaluan tidak ada
Keluar air- air yang banyak dari kemaluan tidak ada
Tidak haid sejak 9 bulan yang lalu
HPHT : lupa
Gerak anak dirasakan sejak 4 bulan yang lalu
Riwayat Hamil Muda: Mual (-) Muntah (-) Perdarahan (-)
ANC: dengan Bidan, 3 kali, Sekali sebulan
Riwayat Hamil Tua: Mual (-) Muntah (-) Perdarahan (-)
Riwayat Menstruasi: Menarche Usia 14 tahun, Haid teratur, 10-15 hari, 2-3 kali ganti
pembalut/ hari
Riwayat Obstetri: merupakan kehamilan pertama
Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak ada riwayat penyakit hipertensi, Diabetes mellitus,jantung, Ginjal, Hati dan
Paru
Riwayat Penyakity Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan
Riwayat Perkawinan:
1 kali,
Riwayat Kontrsepsi:
Tidak Ada
Riwayat Imunisasi :
1 kali, Tetanus Toxoid, di Bidan
PEMERIKSAAN FISIK
Status Umum
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan Darah : 110/ 70 mmHg
Frekuensi Nadi : 88x/ menit
Frekuensi nafas : 22x /menit
Suhu : 37 ˚C
Mata : Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Kelenjar tiroid tidak membesar
Thoraks : Cor : BJ I II murni, Gallop (-) Bunyi jantung Tambahan (-)
Pulmo : vesikuler +/+ , Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomenn : Status Obstetrikus
Genitalia : Status Obstetrikus
Ekstremitas : Akral hangat, edem -/-
STATUS OBSTETRIKUS
Muka : Kloasma Gravidarum (+)
Mamae : membesar, Areola papil hiperpigmentasi
Abdomen :
Inspeksi : Tampak membuncit sesuai masa kehamilan, TFU 35 cm
Palpasi : L1: FUT pertengahan pusat dan Prosesus Ximphoideus.
Teraba bagian bulat, lunak noduler
L2 : Teraba tahanan terbesar pada sebelah kanan
Teraba bagian kecil-kecil sebelah kiri
L3 : Teraba bagian bulat, keras, terfiksir
L4 : Konvergen
HIS : + 2-3 x/30/5
TBA :
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bu (+) N, Djj 130 -140x/menit,140-150x/menit
Genitalia : I V/U tenang PPV (-)
VT : Pembukaan 3-4 jari
Ketuban (+)
Kepala H I-II , Sutura sagitalis melintang
Pemeriksaan Laboratorium (5 Oktober 2015)
Haemoglobin : 10,1 g/dl
Leukosit : 7017 /mm3
Trombosit : 413.000/ mm3
Hematokrit : 30,4%
Diagnosis Kerja :
GP1A0H0 Parturien Preterem 33-34 minggu Kala 1 fase Laten + Janin Hidup Tunggal Intra
Uterin Presentasi Kepala HI-II sutura sagitalis melintang.
Sikap : Kontrol KU, Vital Sign, HIS
Pantau Kemajuan Persalinan
Rencana: Persalinan Pervaginam
FOLLOW UP
Senin, 5 Oktober 2015 Pukul 20.00 WIB
S/
Telah lahir Bayi laki-laki preterem, pada pukul 20.00 secara spontan, BB 1100 gr,
Apgar Score 7/8.
Plasenta belum lahir
Perdarahan (+)
O/ KU Kes TD HR RR T
Sedang CMC 110/70mmHg 90x/i 22x/i 36,8°C
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Abdomen : TFU pertengahan pusat dan supra pubis, kontraksi baik
Genital : V/U tenang, Bekas episiotomi arah jam 4. PPV (+)
A/ P2 A0 H2 + Retensio Plasenta
Sikap/ Resusitasi Neonatus, bayi rawat di perina
Injeksi Oxytosin : metargin: 1:1 amp
IVFD RL drip oxytosin: metergin : 1: 1 amp 20tts/ mnt
P/ Bimanual Plasenta
Pukul 20.45 WIB
S/ Telah dilakukan bimanual plasenta namun plasenta belum lahir sempurna
Perdarahan pervaginam (+)
O/ KU Kes TD HR RR T
Sedang CMC 110780mmHg 74x/i 22x/i 36,8°C
Mata : konjungtiva anemis (-) Sklera ikterik (-)
Abdomen : TFU pertengahan pusat dan supra pubis, kontraksi uterus baik
Genital : V/U tenang, perdarahan pervaginam (+)
A/ P2AoH2 + retensio Plasenta
P/ Rencana Kuretase
LAPORAN OPERASI (Senin, 5 Oktober 2015 Pukul 21.00)
Pasien tidur terlentang, posisi litotomi, dalam anestesi TIVA
Dilakuakn tindakan septik antiseptic
Dilakukan pemasangan speculum sims atas bawah,tenakulum jam 11
Dilakukan pemasangan sonde, 10,9
Keluar jaringan plasenta bercampur darah
Perdarahan ± 150 cc
Pukul 21.00 WIB
S/ Telah dilakukan kuretase, berhasil dikeluar jaringan sebanyak 30 gram, perdarahan
ada sekitar 150 cc
O/ KU Kes TD HR RR T
Sedang CMC 110780mmHg 74x/i 22x/i 36,8°C
Mata : konjungtiva anemis (-) Sklera ikterik (-)
Abdomen : TFU pertengahan pusat dan supra pubis, kontraksi uterus baik
Genital : V/U tenang, Perdarahan pervaginam (-)
A/ P2A0H2 post kuretase atas indikasi retensio plasenta
P/
Kontrol kondisi umu, vital sign, PPV
Amoxicilin 3x100 (po)
Asam Mefenamat 3x1 (po)
SF 1X1 (po)
Vit C 2x1 (po)
Metilergometrin 3x1 (po)
Selasa, 6 Oktober 2015
S/ Perdarahan dari kemaluan (-)
Demam (-)
O/ KU Kes TD HR RR T
Sedang CMC 120/80mmHg 74x/i 22x/i 36,8°C
Mata : konjungtiva anemis (-) Sklera ikterik (-)
Abdomen : kontraksi uterus baik
Genital : V/U tenang, Perdarahan pervaginam (-)
P/
Amoxicilin 3x100 (po)
Asam Mefenamat 3x1 (po)
SF 1X1 (po)
Vit C 2x1 (po)
Pasien dipulangkan
BAB IV
DISKUSI
Pada kasus ini, Ny RD 27 tahun, datang pada tanggal 5 Oktober 2015 pukul 15.50
WIB dengan diagnosis G1P1A0H1 Parturien Preterm 33-34 minggu Kala I fase Laten + Janin
Hidup Tunggal Intra Uterin Presentasi Kepala HI-II sutura sagitalis melintang. Dari
anamnesis didapatkan bahwa tanda-tanda inpartu sudah dirasakan sejak 7 jam yang lalu dan
ketuban masih utuh. Dari pemeriksaan VT ditemukan sudah memasuki kala I fase aktif
dengan pembukaan 3-4 jari, selaput ketuban masih ada, dan kepala teraba di HI-II, sutura
sagitalis melintang.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalami Partus Prematurus Imminens (PPI) spontan dengan selaput amnion masih
utuh. PPI adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20-37 minggu dihitung
dari HPHT.1 Secara epidemiologi PPI spontan dengan selaput amnion masih utuh merupakan
insiden terbanyak dari jenis PPI, yaitu sekitar 40-45%.1 Faktor risiko terjadinya PPI bisa dari
janin dan plasenta ataupun dari ibu. Pada kasus ini, diduga faktor yang menyebabkan
terjadinya PPI berasal dari janin dan plasenta. Hal ini dikuatkan dengan TFU 25 cm dan bayi
yang lahir BBLSR 1100 gr, dimana diduga bayi mengalami Intra Uterine Growth Restriction
(IUGR) atau Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT). IUGR ditentukan bila berat janin kurang
dari 10% dari berat yang harus dicapai pada usia kehamilan tertentu.1 Pada usia kehamilan
33-34 minggu normalnya berat badan janin sudah mencapai 2500 gr, tetapi pada kasus ini
berat badan janin hanya mencapai 1100 gr, jauh dibawah persentil 10 dari berat yang
seharusnya. Oleh karena itu, diduga faktor risiko dari PPI pada kasus ini yaitu berasal dari
janin, IUGR.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium sebelum partus didapatkan Hb 13,9 gr/dl,
leukosit 14.350/mm3, trombosit 279.000/mm3, dan Ht 39%. Tidak ditemukan adanya kelainan
dari hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin. Pada ibu hamil jumlah leukosit berkisar
6000-17000/m3 sehingga pada pasien ini leukosit masih dalam batas normal.8 Sayangnya
pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin post partus untuk menilai
perkembangan pasien.
Pada pukul 20.00 WIB, dilatasi serviks pasien lengkap (pembukaan lengkap) dan
persalinan dipimpin oleh dokter, dilakukan episiotomi arah jam 4, lahir anak laki-laki dengan
BBLSR 1100 gr, AS 7/8. Pada pasien ini indikasi dilakukan episiotomi yaitu untuk
mengurangi trauma kepala pada bayi preterm. Lalu, dilakukan resusitasi bayi baru lahir dan
bayi langsung dibawa ke bagian perinatologi. Setelah bayi lahir, dilakukan manajemen kala
tiga berupa injeksi oksitosin satu ampul intravena, peregangan tali pusat terpadu, dan masase
fundus uteri. Setelah 15 menit dilakukan peregangan tali pusat terpadu, plasenta tidak juga
keluar, lalu diulangi lagi pemberian oksitosin satu ampul dan metargin satu ampul injeksi
intravena. Selain injeksi, juga diberikan IVFD RL drip oksitosin : metergin dengan
perbandingan 1:1 amp sebanyak 20 tpm. Tujuan dari pemberian uterotonika tersebut yaitu
untuk merangsang kontraksi otot polos uterus sehingga dapat mempercepat pelepasan
plasenta dan mencegah terjadinya perdarahan post partum. Setelah 30 menit anak lahir,
seharusnya plasenta sudah keluar dari kavum uteri, tetapi pada kasus ini plasenta belum juga
lahir walaupun sudah dilakukan manajemen aktif kala tiga, hal ini yang disebut dengan
retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan manajemen aktif kala tiga bisa
disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Pada kasus ini, perdarahan
masih aktif dan akhirnya dilakukan manual plasenta. Manual plasenta adalah tindakan untuk
melepas plasenta secara manual (menggunakan sarung tangan panjang) dari tempat
implantasinya dan kemudian melahirkannya keluar dari kavum uteri.1
Setelah dilakukan manual plasenta pukul 20.45 WIB, ditemukan adanya kotiledon
yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari
ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah
terjahit. Untuk itu, dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara kuretase dalam anastesi
TIVA dan pemberian uterotonika. Pada pukul 21.00 WIB telah dilakukan kuratase atas
indikasi retensio plasenta dan berhasil dikeluarkan jaringan sebanyak 30 gram, perdarahan
sekitar 150 cc. Pasien diberikan obat makan berupa amoxicilin untuk pencegahan infeksi,
asam mefenamat sebagai analgetik, dan metilergometrin sebagai uterotonika untuk
mengurangi perdarahan uterus serta SF untuk membantu perbaikan Hb dan Vit C untuk
membantu penyerapan zat besi.
Kejadian retensio plasenta pada pasien dengan PPI ini dikarenakan pada masa
preterem plasenta belum mengalami pematangan, berupa pemadatan matriks plasenta yang
sebelumnya longgar, dan berkurangnya ketebalan sinsitium serta sitotrofoblas dengan
jaringan ikat, sehingga ikatan antara plasenta dan uterus pada masa preterem masih kuat
akibatnya plasenta sulit untuk dilahirkan secara spontan.
Pada tanggal 6 Oktober 2015, pasien sudah tidak ada perdarahan per vaginam lagi dan
pasien dipulangkan.
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus Ny. RD, 27 tahun, dengan diagnosis awal diagnosis
G1P1A0H1 Parturien Preterm 33-34 minggu Kala I fase Laten + Janin Hidup Tunggal Intra
Uterin Presentasi Kepala HI-II sutura sagitalis melintang. Pasien mengalami Partus
Prematurus Imminens (PPI) spontan dengan selaput amnion masih utuh. Diduga faktor risiko
terjadinya PPI pada pasien yaitu karena adanya IUGR.
Pada pukul 20.00 WIB, dilatasi serviks telah lengkap dan lahir anak laki-laki dengan
BBLSR 1100 gr, AS 7/8. Setelah bayi lahir, dilakukan manajemen kala tiga berupa injeksi
oksitosin satu ampul intravena, peregangan tali pusat terpadu, dan masase fundus uteri.
Tetapi setelah 30 menit anak lahir, plasenta tidak juga lahir, dan hal ini disebut dengan
retensio plasenta. Untuk penatalakasanaan retensio plasenta dilakukan manual plasenta, tetapi
plasenta yang keluar tidak lengkap dan perdarahan masih berlanjut sehingga dilakukan
kuratase pada pasien ini untuk membersihkan sisa-sisa plasenta yang tertinggal. Kontraksi
uterus pasien baik. Setelah dipastikan bahwa tidak ada perdarahan post partum, pasien dapat
dipulangkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknjosastro H. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, Sarwono P
2. Ratu MN, Firmansyah, Fetritura Y. 2006. Hubungan faktor risiko ibu bersalin dengan
retensio plasenta. Jurnal Universitas Jambi
3. Romero R, HSU, Apostolos. Preterm Delivery: a risk factor for pretained placenta.
American Journal of Obstetric and Gynecology, 1990: 23-7.
4. Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu kebidanan patologi dan fisiologi persalinan (Human
labor and birth). Yogjakarta: YEM.
5. Hariadi R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya: Himpunan Kedokteran
Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
6. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD.
2006. Obstetri Williams ed. 21. Jakarta: EGC
7. Sosa CG. Althabe F, Belizan JM, Buekens P. Risk Factor for Postpartum Hemorrhage
in Vaginal Deliveries in a Latin-American Population. Obstetric&Ginecology Journal.
June 2009. 113(6):1313-19.
8. Chernecky CC, Berger BJ. 2008. Laboratory test and Diagnostic Procedure 5th
edition. Saunders-Elsivier