Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Baja AISI 1045
Baja AISI 1045 merupakan salah satu dari jenis baja karbon rendah
dengan kandungan karbon sebesar ( 0,43 – 0,50 % C berat ) yang sering
digunakan dipasaran karena banyak memiliki keunggulan dan harganya yang
lumayan terjangkau. AISI sendiri merupakan kepanjangan dari ( American Iron
and Steel Institute ) angka 10 merupakan kode yang menunjukan plain carbon dan
kode xxx setelahnya merupakan besar dari komposisi karbon.
Baja AISI 1045 juga memiliki beberapa karakteristik diantaranya sifat
mampu mesin yang baik, Wear resistance-nya baik dan sifat mekaniknya
menengah.
2.1.1 Struktur Baja AISI 1045
Baja yang mempunyai kandungan karbon sebesar 0,43 – 0,50 % dan
termasuk dari golongan dari baja karbon menengah ini sering digunakan dalam
dunia industri seperti pada pembuatan baut, kapak, roda gigi pada kendaraan
bermotor atau komponen automotif dan lainya, ini mempenyai komposisi kimia
yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 .
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Baja AISI 1045
Komposisi kimia baja AISI 1045
Kode C% Si% Mn% Mo% P% S%
AISI 0,4 0,1 0,060 0,025 0,004 0,005
1045 0,43 0,3 0,90 - max max
Sesuai dengan fungsi pada roda gigi yang harus mampu menahan keausan
yang diakibatkan oleh gesekan dengan rantai. Ketahanan aus sendiri didefinisikan
5
sebagai ketahanan terhadap abrasi atau ketahahanan terhadap pengurangan
dimensi yang diakibatkan oleh suatu gesekan. Pada umumnya ketahanan
berbanding lurus dengan kekerasan.
2.1.2 Klasifikasi Baja AISI 1045
Baja dengan kandungan karbon menengah ini mempunyai sifat mampu
tempa, cold drawing, machining, heat treating ( termasuk flampe hardening ) dan
juga memiiki sifat ketahanan terhadap aus yang baik melalui perlakuan flampe
atau induction hardening. Baja jenis ini merupakan salah satu bahan untuk
pembuatan baut, poros, piston rods, pump shafts, machinery part dan lainya ini
juga memiliki sifat mekanik yang dapat dilihat pada Tabel 2.2 .
Tabel 2.2 Sifat Mekanik Baja AISI 1045
Sifat Mekanik Baja AISI 1045
Kekuatan Tarik (σu ) 580 kg/mm2
Kekuatan Luluh (σy ) 305 kg/mm2
Perpanjangan ( Elongation ) 16 %
2.2 Sifat Mekanik Material
Sifat mekanik material merupakan sifat yang berhubungan dengan
kekuatan dari material saat menerima pembebanan, Sifat-sifat mekanik dari
material meliputi Kekerasan, Tegangan tarik, Tegangan geser, tegangan puntir,
tegangan, tegangan lengkung, kerapuhan, creep dan fatique. Sifat – sifat inilah
yang dimiliki oleh material dalam penggunaanya, Oleh sebab itu seberapa besar
dan berapa lama material dapat bertahan dari sifat-sifat yang dilikinya itu maka
harus diketahui dulu agar saat pemilihan material mendapatkan kualitas dan mutu
yang terstarndarkan.
6
2.2.1 Kekerasan
Kekerasan merupakan ketahanan dari suatu material atau bahan terhadap
deformasi, Bisa juga diartikan sebagai reaksi dari suatu material atau bahan yang
telah mencapai batasnya dapat bertahan. Kekerasan dari suatu bahan atau material
sendiri juga memiliki nilai yang dapat diketahui dengan cara memberikan
pembebanan atau tekanan tertentu terhadap material ataupun benda uji dengan
beban tertentu, Dari pembebanan tersebut akan menimbulkan bekas sehinnga
dapat dilakuakan pengukuran dari kekerasan.
Pengujian dari kekerasan sendiri juga memiliki beberapa metode yang
diantaranya adalah Brinell, Rockwell dan vickers. Pada pengujian ini juga sama
seperti pengujian statik lainya yaitu dilakukan pengukuran ketahanan terhadap
deformasi material setelah pembebanan. Metode pengujian kekerasan dapat dilihat
dari Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Pengujian Kekerasan (Callister 2014)
7
2.2.2 Kekuatan Tarik
Gambar 2.2 Kurva Tengangan vs Regangan
Kekuatan tarik merupakan tegangan maksimal dari suatu material pada
saat dilakukan penarikan atau diregangkan hingga mencapai batasnya, Proses dari
pengujian tarik sendiri memiliki tujuan utama untuk mengetahui kekuatan tarik
dari bahan uji agar bahan atau material siap digunakan saat menerima
pembebanan dalam bentuk tarikan pada saat menjadi konstruksi, Pembebanan
tarik dilakukan dengan memberikan pembebanan pada benda dengan gaya yang
berlawanan pada benda dengan arah yang menjauh dari titik tengah atau dengan
cara memberikan gaya tarik pada salah satu ujung benda dan ujung lainya diikat.
Kekuatan tarik sendiri berbanding terbalik dengan kekerasan dimana
beberapa bahan atau matrial akan mengalami deformasi saat meregang dan
mengakibatkan terjadinya perubahan ukuran sebelum material atau bahan itu
putus yang sering disebut elastis (ductile).Pada gambar 2.1 diatas merupakan
8
gambar dari kurva stress – strain. Dimana digambarkan skema saat bahan atau
material menerima beban tarik yang kemudian masuk kedaerah titik luluh dan
material mengalami deformasi elastis sebelum putus atau patah. Kurva tegangan
regangan dapat dilihat pada Gambar 2.2.
2.2.3 Keuletan
Keuletan merupakan kemampuan suatu bahan atau material untuk
bertambah panjang atau melar saat menerima beban atau tarikan. Bisa dilihat dari
variable Regangan maksimum gambar 2.2 menunjukan nilai keuletan dari suatu
bahan (ductility) yang biasanya sening dianotasikan dengan bertambah panjang
suatu dimensi dan dinyatakan dengan sebuah presentasi perpanjangan (%). Nilai
dari perpanjangan sendiri bisa dihitung dari perpanjangan akhir (L1) pada saat
waktu putus dengan panjang awal (L0) yang dilakukan sebelum pengujian atau
biasa disebut gage lenght bisa dilihat pada Persamaan 2.1.
𝑒 = ( 𝐿1 − 𝐿0 )
𝐿0 𝑥 100% … … … … … … (2.1)
2.2.4 Keausan
Keausan merupakan ketahanan dari material terhadap beberapa komponen
mesin yang bekerja pada gesekan yang dapat mengakibatkan kerusakan pada
dimensi suatu komponen atau material tersebut yang selanjutnya akan terus
merambat hingga material atau komponen tersebut tidak dapat bekerja secara
maksimal, hal ini terjadi karena pergerakan relatif pada tekanan selalu terjadi
friksi pada bidang yang terkontraksi sehingga mengakibatkan abrasi pada bidang
dimensi komponen.
9
Untuk meminimalisir terjadinya keausan pada logam yang biasanya terjadi
pada komponen mesin yang saling bergesekan seringkali digunakan pelumas agar
nilai abrasi dapat ditekan.
2.2.5 Lelah (Fatigue)
Lelah atau Fatigue merupakan fenomena terjadinya kerusakan pada
material yang dikarenakan pembebanan yang berulang-ulang, perlu diketahui
bahwa apabila tengangan yang berulang terjadi pada logam maka logam tersebut
akan mengalami patah pada tegangan yang jauh lebih rendah dibandingkan
dengan tegangan yang dibutuhkan untuk menimbulkan perpatahan pada beban
statik.
Kerusakan yang diakibatkan oleh beban berulang ini bisa disebut juga
dengan patah lelah (fatigue failures), karena pada umumnya perpatahan tersebut
terjadi setelah periode pemakaian yang cukup lama. Mekanisme terjadinya
kegagalan fatigue dapat dibagi menjadi tiga fasa yaitu :
Awal retak (initiation crack)
Perambatan retak (crack propagation)
Perpatahan akhir (fracture failure)
Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fatigue pada
sebuah material atau komponen diantaranya yaitu :
I. Faktor kelembapan lingkungan
Faktor kelembapan lingkungan ini sangat mempengaruhi kekuatan
lelah dari suatu material dikarenakan pada lingkungan yang memiliki
10
tingkat kelembapan tinggi dapat membentuk pit korosi dan retakan
pada permukaan spesimen sehingga menyebabkan terjadinya
kegagalan dari suatu material akan lebih cepat terjadi.
II. Tipe pembebanan
Tipe pembebanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kekuatan lelah sebagaimana yang diteliti oleh (Ogawa, 1989) bahwa
baja S45S yang diberikan tipe pembebanan lentur putar dan aksial
mempunyai kekuatan lelah yang berbeda, baja S45S yang diberi
pembebanan aksial akan mempunyai kekuatan lelah yang lebih rendah
dibandingkan dengan baja yang menerima pembebanan lentur putar.
III. Faktor putaran
Faktor putaran merupakan faktor selanjutnya yang dapat
mempengaruhi kekuatan lelah, sebagaimana yang telah diteliti oleh
(Iwatomo, 1989) bahwa putaran antara 750 rpm sampai dengan
putaran 1500 rpm mempunyai kekuatan lelah yang hampir sama
namun apabila putaran 50 rpm menurunkan kekuatan lelah jauh lebih
besar dari putaran 750 rpm dan 1500 rpm, sehingga putaran yang
berada diantara 750 rpm sampai 1500 rpm tidak mempengaruhi
kekuatan lelah yang signifikan.
IV. Faktor suhu
Faktor dari suhu juga menjadi faktor yang sangat mempengaruhi dari
kekuatan lelah dikarenakan suhu dapat menaikan konduktifitas
11
elekrtolit lingkungan sehingga dapat menyebabkan proses oksidasi
menjadi cepat.
V. Faktor tegangan sisa
Faktor tegangan sisa mungkin muncul saat pembuatan spesimen
direduksi dengan cara melakukan pemakanan pahat sehalus mungkin
terhadap spesimen agar pemakan pahat tidak menimbukan tegangan
sisa maupun tegangan lentur pada spesimen.
VI. Faktor komposisi kimia
Pengaruh faktor komposisi kimia terhadap kekuatan lelah diharapkan
menyerupai untuk semua spesimen uji dengan pemilihan bahan yang
diproduksi dalam satu kali proses pembuatan, dengan harapan
mendapat kondisi pengujian yang standar untuk seluruh spesimen uji.
2.2.6 Melar (Creep)
Melar atau Creep merupakan terjadinya deformasi secara continue dan
pelan-penan dalam jangka waktu yang cukup lama apabila dibebani secara terus-
menerus. Hal ini juga terjadi pada suhu yang rendah juga namun melar atau creep
seringkali terjdi pada suhu yang dekat dengan titik cair.
Oleh karena itu diperlukan perencanaan untuk komponen suhu rendah
didasarkan pada kekuatan lelah akan tetapi untuk suhu yang lebih tinggi lebih baik
didasarkan pada kekuatan melar, karena waktu dari pembebahan memiliki
pengaruh yang cukup besar. Menurut kinetika hubungan ini dapat digunakan
untuk mengetahui laju dari melar (creep) dapat dilihat pada Persamaan 2.2.
12
é = 𝐴𝑒−𝑄/𝑅𝑇 … … … … … … (2.2)
Dimana :
e' : Laju Melar
A : Konstanta
Q : Energi dalam deformasi
R : Konstanta Gas
T : Suhu
2.2.7 Konsep fasa
Fasa merupakan suatu daerah tertentu yang terdiri dari beberapa atom dan
ada permukaan yang mengikatnya. Fasa berhubungan dengan keadaan meterial
yang terpisah dan dapat diamati, istilah ini bisa diterapkan pada material kristalin
maupun pada material non kristalin dan konsep fasa merupakan cara yang mudah
untuk menyatakan struktur dari suatu materi.
Diagram fasa sangat berguna saat akan menggambarkan skema struktur
metalik, keramik dan yang paling utama untuk mengidentifikasi fasa yang ada
serta menyajikan data komposisi. Namun pada diagram fasa ini juga memiliki
keterbatasan dan keterbatasan yang paling utama adalah diagram fasa tidak
memberikan informasi mengenai bentuk struktur dan disrtibusi dari fasa itu
sendiri, karena dari kedua hal tersebut berperan penting dalam menentukan
perilaku mekanik dari material. Keterbatasan dari diagaram fasa selanjutnya ialah
diagram fasa hanya menggambarkan kondisi dalam keadaan setimbang. Gambar
diagram fasa Ferrous – Fe3c dapat dilihat pada Gambar 2.3.
13
Gambar 2.3 Diagram fasa Ferrous – Fe3c (Callister, 2014)
Pada gambar diagram fasa Ferrous – Fe3c diatas dapat dilihat bagian dari
sistem Fe-C yang menjadi dasar untuk memahami mikrostruktur paduan Fe yang
disebut baja dan besi cor. Terlihat baja sangat responsif terhadap perlakuan panas
karena adanya perbedaan besar dalam kelarutan padat dalam austenit dan ferit
serta eksistensi dari eutectoid. Dimana terdapat beberapa garis temperatur
perubahan fasa dan merupakan titik kesetimbangan yang dideteksi selama analisa
thermal pada 727o C dan 1147o C.
Dimana pada diagram fasa fe - Fe3c dapat ditarik kesimpulan bahwa
adanya perubahan fasa yang terbentuk dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya
ialah komposisi kimia, temperatur transformasi, dan laju dari pendinginan.
14
2.3 Peningkatan Kekuatan dan Ketangguhan dengan perilaku panas
Kekuatan material merupakan parameter yang sangat penting dalam dunia
industri, Namun kekuatan bukan satu-satunya parameter yang harus diperhatikan
saat akan menggunakan material diperlukan juga beberapa sifat penting lainya
sseperti keuletan yang diperlukan untuk membebaskan konsentrasi tegangan
melalui deformasi elastis agar material dapat bertahan terhadap patahan.
Untuk mengetahui proses perubahan yang terjadi pada mikrostruktur baja
selama proses Heat treatment digunakan diagram tranformasi. Diagram
transformasi seringkali digunakan untuk menunjukan hubungan antara cooling
rate dengan mikrostruktur yang terbentuk. Diagram tranformasi sendiri memiliki
dua jenis diagram yang sering digunakan diantara lain :
2.3.1 Diagram Transformasi Isothermal
Melihat kembali reaksi eutektoid pada Fe – C pada Persamaan 2.3
... ... ... ... ... 2.3
Telah diketahui bahwa struktur perlite merupakan produk mikrosrtuktur dari hasil
transformasi ini. Diagram ini sering digunakan pada saat proses perlakuan panas
tertentu seperti austempering maupun martempering. Gambar diagram
transformasi isothermal untuk baja karbon 0,45% dapat dilihat pada Gambar 2.3.
15
Gambar 2.3 Diagram transformasi isotermal untuk baja karbon 0,45%
A : austenite, F : Proeutectoid ferrit, P : Perlite, B : Bainit, M : Martensit.
(Callister, 2014)
2.3.2 Diagram Transformasi Pendinginan Kontinyu (CCT)
Isothermal heat treatment bukan suatu cara yang mudah untuk dilakukan,
karena beberapa dari baja paduan harus cepat saat didinginkan dan dipertahankan
suhunya dari suhu tinngi diatas suhu eutectoidnya. Oleh karena itu beberapa
pendinginan baja menggunakan pendinginan secara kontinyu ke suhu normal
maupun ke suhu kamar. Namun diagram ini harus sering diperbarui dikarenakan
perubahan mikro akan terjadi setiap waktu, kurva awal terjadinya reaksi dan
reaksi akhir bisa disebut sebagai Continous cooling transformation (CCT)
diagrams. (Callister, 2014). Gambar diagram CCT AISI 1045 dapat diihat pada
Gambar 2.4.
16
Gambar 2.4 Diagram CCT AISI 1045 ( SIJ Metal Ravne d.o.o, 2016 )
Perlakuan panas pada baja memiliki berbeda – beda fungsi sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki material dan sesuai dengan yang diinginkan oleh
rekayasawan. Dalam proses perlakuan panas ini diklasifikasikan menjadi dua
proses yaitu :
1. Perlakuan panas agar mendapatkan sifat kekerasan ( Hardening )
2. Perlakuan panas agar mendapatkan sifat ulet ( Softening )
2.3.3 Hardening
Hardening merupakan proses pemanasan baja yang dilakukan hingga
tempereratur mencapai daerah kritis dan kemudian dilanjutkan dengan
pendinginan yang dilakukan secara cepat. Jika kadar karbon diketahui, maka
temperatur pemanasanya bisa dilihat dari diagram Fe – C. Akan tetapi bila unsur
paduan tidak terlihat atau tidak diketahui maka akan perlu dilakukan percobaan
16
untuk mengetahui daerah pemanasanya. Cara yang tepat yaitu melakukan
pemanasan dan pendinginan dibeberapa potong baja dari bebagai suhu dan
kemudian disusul dengan pengujian kekerasan maupun pengamatan
mikroskopik.
Jika baja hipoutektoid didinginkan secara perlahan – lahan maka struktur
austenite akan berubah menjadi struktur ferite dan perlite, dengan begitu baja
akan menjadi susunan yang demikian ulet. Dan jika baja dilakukan pendinginan
dengan cepat maka akan menghasilkan struktur dan susunan yang lain pula, yaitu
baja akan bertambah kekerasanya namun tinggkat keuletanya menjadi berkurang.
Pendinginan yang dilakukan secara cepat dengan pendinginan yang dilakukan
didalam air akan mendapatkan struktur martensite. Martensite merupakan
susunan struktur yang keras namun juga getas, Suhu untuk pemanasanya mulai
dari 875oC – 9800oC.
2.3.4 Quenching
Quenching merupakan proses dari beberapa faktor yang saling berkaitan
atau saling berhubungan, yang pertama yaitu jenis media pendingin serta kondisi
proses yang digunakan, selanjutnya yang kedua adalah komposisi kimia dan
hardenability dari logam. Hardenability sendiri merupakan komposisi kimia dan
ukuran butir pada temperatur tertentu. Selain itu dimensi dari sebuah logam juga
memiliki pengaruh terhadap hasil dari proses quenching itu sendiri.
Faktor utama dilakukannya proses pendinginan quenching sendiri ialah
untuk menghasilkan struktur baja atau logam dengan sifat kekerasan tinggi.
Sekaligus agar dapat terakumulasi dengan tensile strength dan yield strength,
melaui proses perubahan dari austenit ke martensite. Perlakuan proses
17
pendinginan dari quenching akan mendapat hasil yang optimal apabila selama
proses transformasi struktur austenit dapat dirubah secara keseluruhan menjadi
bentuk struktur martensite. Hal terpenting yang harus dilakukan agar dapat
menggaransi keberhasilan dari proses quenching dan menunjang terbentuknya
martensite khususnya harus memperhatiakan hal – hal berikut seperti temperatur
pengerasan, waktu tahan, laju pemanasan, metode pendinginan, media pendingin
dan hardenability.
Media pendinginan proses quenching sendiri dapat dibedakan menjadi
beberapa macam media diantaranya iyalah :
1. Media air
2. Media oli
3. Media udara
4. Media air garam
2.3.5 Annealing
Annealing merupakan suatu perlakuan panas (heat treatment) yang sering
dilakukan pada logam atau paduan logam dengan proses pembuatan satu produk.
Tidak jarang proses annealing ini diawali dengan memanaskan logam (paduan)
hingga suhu tertentu, selanjutnya melakukan proses penahanan pada suhu tertentu
pula hingga dapat mencapai perubahan struktur sesuai dengan yang diinginkan
kemudian dilakukan pendinginan pada logam atau paduan tersebut dengan laju
pendinginan yang sangat lambat, Dalalm proses Annealing ini suhu pemanasanya
mulai dari 850oC – 9500oC.
Tujuan dilakukanya proses annealing ini adalah :
18
1. Melunakan material logam
2. Menghilangkan tegangan sisa
3. Menghaluskan butir – butir dari logam
2.3.6 Tempering
Tempering merupakan proses pemanasan kembali baja yang telah
dikeraskan dengan tujuan agar memperoleh kombinasi dari kekuatan, duktilitas
dan ketangguhan yang tinggi. Pada proses ini, material yang telah dipanaskan
sampai temperatur austenite dan setelah itu dilakukan penahan waktu pada
temperatur tertentu dan didinginkan diudara terbuka. Proses ini merupakan proses
memanaskan kembali baja yang sudah dikeraskan karena sebelumnya telah
dilakukan proses pengerasan baja (hardening). Tujuan utama dilakukanya proses
tempering yaitu agar mengembalikan keuletan atau meningkatkan keuletanya
akan tetapi kekerasan dan kekuatan akan mengalami penurunan. Sebagian besar
baja atau logam paduan yang telah dikeraskan akan bersifat rapuh dan akan
kurang cocok saat akan digunakan.
Namun melalui proses tempering ini sifat kekerasan dan kerapuhan dapat
diturunkan sampai memenuhi syarat penggunaan, proses tempering yang terdiri
dari pemanasan kembali baja yang telah dipananaskan atau dikeraskan pada suhu
dibawah suhu kritis dan disusul dengan pendinginan, meskipun pada proses ini
menghasilkan baja yang lebih lunak, proses ini berbeda dengan proses anil
karena diproses ini sifat – sifat dari material dapat dikendalikan dengan cermat.
Proses tempering sendiri harusnya dilakukan sesegera mungkin setelah
pengejutan dikarenakan tegangan kekerasan pada umumnya akan timbul beberapa
saat setelah dilakukanya pengejutan,
19
Proses tempering sendiri dibagi menjadi beberapa temperatur yang
memiliki fungsinya sendiri – sendiri yaitu :
a. 100o C – 200o C yaitu bertujuan untuk menghilangkan tegangan sisa
b. 200o C – 300o C yaitu bertujuan untuk menurunkan kekerasan
c. 300o C – 720o C yaitu bertujuan menurunkan kekerasan serta menaikan
keuletan
2.4 Penahan Waktu ( Holding Time )
Penahan waktu (Holding time) merupakan salah satu faktor yang memberi
pengaruh pada saat proses transformasi dikarenakan apabila penahanan waktu
yang digunakan tidak tepat atau terlalu cepat akan mengakibatkan transformasi
itu tidak sempurna dan menjadi tidak homogen, selain itu jika waktu penahanya
terlalu cepat pula akan mengakibatkan tingkat kekerasan menjadi rendah, hal ini
dikarenakan tidak cukupnya jumlah karbida yang larut dalam larutan. Sedangkan
jika penahan waktu dilakukan terlalu lama transformasi akan terjadi namun akan
diikuti dengan pertambahan jumlah butir sehingga dapat menurunkan
ketangguhan dari material uji.
Penahan waktu (Holding time) dilakukan agar mendapatkan struktur yang
homogen sehingga struktur austenitnya akan menjadi homogen pula atau terjadi
kelarutan karbida kedalam austenit dan difusi karbon serta unsur paduanya
2.5 Metalografi
Metalografi merupakan cara pemeriksaan terhadap mikeostruktur dari
bahan logam agar megetahui keadaan dari struktur bahan, dalam hubungan
dengan sifat bahan sebelum maupun sesudah dilakukannya proses perlakuan
panas (heat treatment). Sebagaimana yang telah dipelajari bahwa sifat dari bahan
20
khususnya yang berasal dari bahan logam sangat dipengaruhi oleh struktur serta
komposisi dari unsur logam tersebut.
Oleh karena itu dalam suatu proses perbaikan sifat dari bahan sering
dilakukan dengan merubah struktur dari bahan tersebut melalui proses perlakuan
panas (heat treatment).
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan penelitian yang dilakukan oleh seseorang
sebelum melakukan penelitian agar pada saat akan melakukan penelitian akan
mendapatkan informasi yang sesuai dengan apa yang akan diteliti.
Sasmita, dan kawan – kawan ( 2014 ) melakukan penelitian tentang
Pengaruh Heat Treatment Tempering dengan variasi Holding Time terhadap
sifat mekanik Baja AAR Grade B+. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil
bahwa semakin lama Holding Time dilakukan pada proses tempering baja AAR
Grade B+ setelah proses Normalizing akan menurunkan rata – rata kekuatan tarik
baja 64,5 kg/mm2 pada Holding Time 3 jam, 64,33 kg/mm2 pada Holding Time
3,5 jam dan 62,9 kg/mm2 pada Holding time 4 jam serta Yield point 34,04 kg/mm
pada 3 jam Holding Time, 42,98 kg/mm pada 3,5 Holding Time dan 42,07 kg/mm
pada 4 jam Holding Time. Elongation sebesar 28,53% pada 3 jam Holding Time,
30,04% pada 3,5 jam Holding Time, 30,86% pada 4 jam Holding Time. Reduction
sebesar 54,67% pada 3 jam Holding Time, 55,02% pada 3,5 jam Holding Time
dan 56,02% pada 4 jam Holding Time dan mendapatkan kekerasan sebesar 153
BHN dari 3 jam Holding Time, 148 BHN dari 3,5 jam Holding Time dan 146
BHN dari 4 jam dilakukanya Holding Time.
21
Berdasarkan dari hasil penelitan tersebut menjelaskan bahwa nilai dari
kekuatan tarik, yield point, Reduction dan kekerasan dengan variasi Holding Time
3 jam, 3,5 jam dan 4 jam tetap memenuhi standar dari baja AAR Grade B+.
Selain itu, Hariyadi ( 2006 ) juga melakukan penelitian tentang Pengaruh
suhu Tempering terhadap kekerasan, Kekuatan tarik dan struktur mikro
pada baja K-460. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa dari proses
tempering yang dilakukan dengan suhu 100oC, 200oC, 300oC dan 400oC. Nilai
kekerasan bertambah setelah dilakukanya proses Heat Treatment berkisar antara
40 HRC. Dengan suhu Temper yang semakin tinggi yaitu sebesar 400oC
mendapakkan harga kekerasan sebesar 54 HRC hasil ini tentu lebih kecil dengan
suhu Temper yang lebih kecil. Struktur mikro pada suhu 100oC dan 200oC
mendapatkan stuktur martensit, Sedangkan pada suhu 300oC dan 400oC
memperlihatkan struktur partikel karbida yang bulat pada matriks martensit. Serta
kekuatan tarik maksimun dicapai pada suhu tempering 100oC sebesar 2014,8
Mpa.
22