41
Analisis Penyakit Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Pemukiman Industri Karet PT. Muara Kelinggi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang Tahun 2011 Oleh: iwi, Siti Fatimah ST, MKM, Dr. Amar Muntaha SKM, M.Kes, Ir. Mardiaty MTe- mail: [email protected] ABSTRACT Pursuant To Decree Minister for Public Health No:424/Menkes/Sk/Vi,2006, widespread Wormy disease, either in rural and also in urban. high Infection number, but infection intensity (amount of worm in stomach) differing. Result of worm survey in elementary school in some provinsi in the year 1986-1991 showing prevalensi about 60%-80%, while for all age range from 40%-60%. This research aim to know worm disease analysis (with research variable that is respondent characteristic, environmental sanitation, and PHBS responder) at elementary schoolchild in region settlement of rubber industry PT. Muara Kelingi II Rt 15 Rw 05 District Gandus Sub-District Gandus Palembang year 2011. Design research is descriptive quantitative research using cross sectional study. The sampling technique used in this study is the non random sampling with purposive sampling technique with a sample of 48 respondents, this research is conducted in April-Mei. Instrumens used in the form of questionnaires, interview, observation, and also inspection of faeces by using Eosin technique. With results showed that the number of patiens the frequency of worm infestation in elementary schoolchild as much as 6,2%, the frequancy of more sex on male farmers as much as 58,3%, the frequency of worm infestation more on respondents who the kind made from cement as much as 79,2%, did not have good PHBS of using the footwear as much as 18,8%, did not have good PHBS hand washing as much as 12,5%, did not have good PHBS cutting nail as much as 20,8%, and have PHBS eat raw food as much as 17,7%. While for variables of age at elementary schoolchild have risk for intestinal worms exposed to the incident at age 6-13 year. This matter prove that at elementary school children at age 6-13 year have risk to experience of occurence of worm disease, whit the key to eradicating worm disease is to repairing environmental sanitation and PHBS respondents. Therefore require to perform a of guidance about environmental sanitation and PHBS in the effort degrading worm disease prevalensi at elemantary schoolchild residing in the industrial settlement region, and to be expected by there is role and also old fell ow in effort and prevention medication of worm disease. Key Word : Worm Disease, Elemntary Schoolchild ABSTRAK Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:424/MENKES/SK/VI,2006, penyakit kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei cacingan di sekolah dasar di beberapa provinsi pada tahun 1986- 1991 menunjukkan prevalensi sekitar60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis penyakit kecacingan (dengan variabel penelitian yaitu karakteristik responden, sanitasi lingkungan, dan PHBS responden) pada anak sekolah dasar di wilayah pemukiman industry karet PT. Muara Kelingi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan

Analisis Penyakit Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Pemukiman Industri Karet PT

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kesehatan

Citation preview

Analisis Penyakit Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Pemukiman Industri Karet PT. Muara Kelinggi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus PalembangTahun 2011Oleh:Era Pratiwi, Siti Fatimah ST, MKM, Dr. Amar Muntaha SKM, M.Kes, Ir. Mardiaty MTe-mail:[email protected] To Decree Minister for Public Health No:424/Menkes/Sk/Vi,2006, widespread Wormy disease, either in rural and also in urban. high Infection number, but infection intensity (amount of worm in stomach) differing. Result of worm survey in elementary school in some provinsi in the year1986-1991showing prevalensi about60%-80%,while for all age range from40%-60%.This research aim to know worm disease analysis (with research variable that is respondent characteristic, environmental sanitation, and PHBS responder) at elementary schoolchild in region settlement of rubber industry PT. Muara Kelingi II Rt 15 Rw 05 District GandusSub-DistrictGandus Palembang year 2011.Design research is descriptive quantitative research using cross sectional study. The sampling technique used in this study is the non random sampling with purposive sampling technique with a sample of 48 respondents, this research is conducted inApril-Mei.Instrumens used in the form of questionnaires, interview, observation, and also inspection of faeces by using Eosin technique. With results showed that the number of patiens the frequency of worm infestation in elementary schoolchild as much as 6,2%, the frequancy of more sex on male farmers as much as 58,3%, the frequency of worm infestation more on respondents who the kind made from cement as much as 79,2%, did not have good PHBS of using the footwear as much as 18,8%, did not have good PHBS hand washing as much as 12,5%, did not have good PHBS cutting nail as much as 20,8%, and have PHBS eat raw food as much as 17,7%. While for variables of age at elementary schoolchild have risk for intestinal worms exposed to the incident at age6-13year.This matter prove that at elementary school children at age6-13year have risk to experience of occurence of worm disease, whit the key to eradicating worm disease is to repairing environmental sanitation and PHBS respondents. Therefore require to perform a of guidance about environmental sanitation and PHBS in the effort degrading worm disease prevalensi at elemantary schoolchild residing in the industrial settlement region, and to be expected by there is role and also old fell ow in effort and prevention medication of worm disease.Key Word: Worm Disease, Elemntary SchoolchildABSTRAKBerdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:424/MENKES/SK/VI,2006, penyakit kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei cacingan di sekolah dasar di beberapa provinsi pada tahun1986-1991menunjukkan prevalensi sekitar60%-80%,sedangkan untuk semua umur berkisar antara40%-60%.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis penyakit kecacingan (dengan variabel penelitian yaitu karakteristik responden, sanitasi lingkungan, dan PHBS responden) pada anak sekolah dasar di wilayah pemukiman industry karet PT. Muara Kelingi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011.Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan pendekatancross sectional. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalahnon random samplingdengan tehnikpurposive samplingdengan sampel sebanyak 48 responden, penelitian ini dilakukan pada bulanApril-Mei.Instrument yang digunakan berupa kuesioner, wawancara, observasi, serta pemeriksaan tinja dengan menggunakanEosin.Dengan hasil penelitian menunjukkan jumlah frekuensi penderita kecacingan pada anak sekolah dasar sebanyak 6,2%, frekuensi jenis kelamin lebih banyak pada anaklaki-lakisebanyak 58,3%, frekuensi kecacingan lebih banyak pada responden yang memiliki jenis lantai yang terbuat dari semen sebanyak 79,2%, tidak memiliki PHBS menggunakan alas kaki yang baik sebanyak 18,8%, tidak memiliki PHBS mencuci tangan yang baik sebanyak 12,5%, tidak memiliki PHBS memotong kuku yang baik sebanyak 20,8%, dan memiliki PHBS makan makanan mentah sebanyak 17,7%. Sedangkan untuk variabel umur pada anak sekolah dasar mempunyai resiko untuk terkena penyakit kecacingan pada usia6-13tahun.Hal ini membuktikan bahwa padaanak-anaksekolah dasar pada usia6-13tahun mempunyai resiko untuk mengalami kejadian penyakit kecacingan, dengan itu kunci untuk pemberantassan penyakit kecacingan adalah memperbaiki sanitasi lingkungan dan PHBS responden. Oleh karena itu perlu diadakannya pengarahan tentang sanitasi lingkungan dan PHBS dalam upaya menurunkan prevalensi penyakit kecacingan pada anak sekolah dasar yang berada di wilayah pemukiman industri tersebut, dan diharapkan ada peran serta orang tua dalam usaha pencegahan dan pengobatan penyakit kecacingan .Kata Kunci: Penyakit Kecacingan, Siswa SD1BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangDi dunia saat ini, lebih dari 2 milyar penduduk terinfeksi cacing.Prevalensiyang tinggi ditemukan terutamaNegara-negaranon industri (Negara sedang berkembang). MenurutWorld Health Organization(WHO) 2001, diperkirakan 800 juta/1 milyar penduduk terinfeksiAscaris,700-900juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta terinfeksiTrichuris(Kailani, 2010).Kondisi hygiene dan sanitasi yang buruk dapat memberikan banyak peluang bagi timbulnya berbagai penyakit infeksi. Salah satu diantaranya adalah infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, yaituAscaris lumbricoides, Trichiuris trichiura, Necator americanusdanAncylostoma duodenaleyang sampai saat ini masih merupakan masalah kesehtan pada masyarakat, karena prevalensi dan intensitas kecacingan masih cukup tinggi (Sitorus, 2008).Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacing ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya hingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit ini.Infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah sampai pada saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan prevalensi kecacingan di Indonesia juga masih cukup tinggi, yaitu sekitar60-80%.Hal ini terutama disebabkan oleh kebersihan perorangan, sanitasi lingkungan yang rendah. Dan seorang anak yang berhubungan dengan tanah mempunyai peluang lebih besar terinfeksi atau pun mengalami kecacingan (Ropiah, 2010).Kecacingan adalah suatu bentuk infeksi oleh cacing yang ditularkan melalui perantara tanah kepada manusia. Infeksi cacing dewasa menyebabkan gangguan pencernaan, perdarahan, anemia, alergi dan iritasi usus sedangkan bentuk larvanya dapat menyebabkan reaksi alergi dan kelainan jaringan di tempat hidupnya. Kondisi yang kronis akibat kecacingan akan menurunkan dayatahan tubuh dan pada orang dewasa akan menurunkan produktivitas kerja (Sitorus, 2008).Penyakit infeksi cacing masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, terutama infeksi cacing usus. Cacing usus umumnya termasuk golongan nematoda dan penularannya dengan perantara tanah (Soil Transmitted Helminths / STH). Cacing usus golonganSTHyang masih menjadi persoalan kesehatan masyarakat di Indonesia yaituAscaris lumbricoides,Trichuris trichiura,Necator americanusdanAncylostoma duodenale(Wiguna, 2008).Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006. Penyakit kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei cacingan di sekolah dasar di beberapa provinsi pada tahun1986-1991menunjukkan prevalensi sekitar 60%- 80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara40%-60%.Daerah endemi dengan insidenAscaris lumbricoidesdanTrichuris trichiuratinggi salah satunya di daerah kumuh kota Jakarta, infeksiAscaris lumbricoidesdanTrichuris trichiurasudah ditemukan pada bayi yang berumur kurang dari satu tahun. Pada umur satu tahunAscaris lumbricoidesdapat ditemukan pada80-100%di antarakelompok-kelompokanak tersebut, untukTrichuris trichiuraangkanya lebih sedikit, yaitu 70%. Usia anak yang termuda mendapat infeksiAscaris lumbricoidesadalah 6 minggu, sedangkanTrichuris trichiuraadalah 41 minggu. Ini terjadi di lingkungan tempat kelompok anak terdeteksi di saluran air terbuka dan di halaman sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan,bermain-maindi tanah di sekitar rumah, maka khususnya anak balita terus menerus mendapatkan reinfeksi (Ariyasta, 2010).Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan berupaya untuk menurunkan prevalensi kecacingan melalui Program Pengendalian Penyakit Cacingan yang salah satu tujuan khususnya menurunkan prevalensi kecacingan hingga berada pada angka di bawah 10% pada tahun 2010. Dengan menurunnya prevalensi kecacingan ini diharapkan dapat menunjang peningkatan mutu sumber daya manusia guna mewujudkan manusia Indonesia yang sehat. Prevalensi kecacingan ini sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain tergantung dari beberapa faktor antara lain daerah penelitian (desa atau kota, kumuh, dll) (Wiguna, 2008).2Diantara keempat macam cacing tersebut,A. lumbricoidesadalah yang tertinggi prevalensinya dan umumnya penderita menderita infeksi ganda. Penyakit kecacingan ini umumnya tidak akut dan tidak fatal tetapi menyebabkan penyakit kronis yang sulit diukur invaliditasnya. Gejala klinis ditimbulkan terutama berupa sakit perut, diare, anemia dan gizi kurang (Kailani, 2009).Poespoprodjo, 1999 yang dikutip dari Kailani (2009), mengatakan bahwa menurut laporan pembangunan Bank Dunia, di negara berkembang diperkirakan diantara anak perempuan usia514tahun, penyakit cacingan merupakan 12% dari beban kesakitan total sementara pada anaklaki-laki11%. Karena itu kecacingan merupakan penyumbang tunggal terbesar beban kesakitan pada kelompok usia tersebut.Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Margono dkk (1980) dan Ismid (1981) di Jakarta Pusat pada anak sekolah dasar, ditemukan prevalensi cacing Ascaris lumbricoidesmasing-masing76,6% dan 87,5%. Sedangkan di Palembang berdasarkan penelitian Zamzul Zit (1986) dan Iskandar (1988), prevalensi A. lumbricoides pada anak sekolah dasar berkisar antara60-90%(Sitorus, 2008).Penelitian lain juga dilakukan Karmila tahun2001-2002pada petugas pengangkut sampah di 19 Ilir Palembang, diperoleh bahwa 50% positif terinfeksi kecacingan dan semuanya menderita cacing Ascaris lumbricoides. Pada tahun 2003 oleh Yusruliani, padaanak-anakpemulung yang berusia6-9tahun yang ada di TPA Kecamatan Sukarame Palembang, hasil yang didapatkan adalah 52% positif terinfeksi cacing usus terdiri dari Ascari lumbricoides berkisar 28%, Trichiuris trichiura 24% serta untuk telur dan larva cacing tambang berkisar 0% (Yusruliani (2003) dikutip Sitorus 2008).Masyarakat yang tinggal di wilayah pemukiman industri karet merupakan kelompok masyarakat yang sangat rentan terinfeksi kecacingan terutama padaanak-anakusia sekolah dasar. Hal ini disebabkan karena lingkungan tempat tinggal yang kotor dan usia pada usia tersebut mereka banyak sekali berhubungan dengan tanah. Selain itu dapat juga terjadi akibat dari perilaku yang tidak sehat darianak-anakitu sendiri, seperti tidak menggunakan alas kaki.Dari hasil survei cacingan di sekolah dasar di beberapa provinsi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006 menunjukkan prevalensi sekitar60%-80%,penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis penyakit kecacingan pada anak Sekolah Dasar di wilayah pemukiman industri karet PT. Muara Kelingi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011.1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:424/MENKES/SK/VI,2006, permasalahan dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya distribusi frekuensi Penyakit kecacingan pada anak sekolah dasar di wilayah pemukiman industry karet PT. Muara Kelingi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011.1.4 Tujuan Penelitian1.4.1 Tujuan UmumUntuk mengetahui distribusi frekuensi Penyakit kecacingan pada anak Sekolah Dasar di wilayah pemukiman industry karet PT. Muara Kelingi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011.1.4.2Tujuan Khusus1.Untuk mengetahui Distribusi Frekuensi kejadian penyakit kecacingan pada anak Sekolah Dasar di wilayah pemukiman PT. Muara Kelinggi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011.2.Untuk mengetahui Distribusi Frekuensi umur dan pendapatan responden terhadap penyakit kecacingan pada anak Sekolah Dasar di wilayah pemukiman PT. Muara Kelinggi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011.3.Untuk mengetahui distribusi proporsi sanitasi lingkungan responden terhadap Penyakit kecacingan pada anak Sekolah Dasar di wilayah pemukiman PT. Muara Kelinggi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011.4.Untuk mengetahui distribusi proporsi PHBS responden terhadap Penyakit kecacingan pada anak Sekolah Dasar di wilayah pemukiman PT. Muara Kelinggi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011.1.6Ruang LingkupPenelitian akan dilakukan terhadap anak Sekolah Dasar di wilayah pemukiman industry karet PT. Muara Kelingi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang Tahun 2011. Penulis akan menggambarkan distribusi frekuensi dan distribusi proporsi penyakit kecacingan pada anak sekolah dasar di wilayah tersebut.Hal ini perlu dilakukan karena penulis ingin mengetahui distribusi frekuensi terhadap penyakit kecacingan pada anak sekolah dasar3dengan cara pengambilan sampel berupa tinja dari objek penelitian dan akan diperiksa di laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Palembang untuk mengetahui ada tidaknya cacing atau telur cacing pada sampel. Penelitian ini dilakukan pada bulanApril-Mei2011.BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Pemukiman2.1.1 Pengertian PemukimanPemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan hutan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan atau pedesaan. Pemukiman berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU RI No. 4 Tahun 1992).Kawasan pemukiman didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, tempat bekerja yang memberi pelayanan dan kesempatan kerja terbatas yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan pemukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan terstuktur yang memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal (UU RI No. 4 Tahun 1992).2.1.2Syarat-syaratpemukiman yang sehat1.Syarat Perumahan dan lingkungan pemukimanPersyaratan kesehatan perumahan yangmeliputi persyaratan lingkungan perumahan dan pemukiman serta persyaratan rumah itu sendiri, sangat diperlukan karena pembangunan perumahan berpengaruh sangat besar terhadap peningkatan derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat (Sanropie (1992) dikutip dari Ropiah, 2010).2.2 Penyakit cacinganManusia merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus (cacing perut), yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing tersebut terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale) dan cacning cambuk (Trichiuris trichiura).Jenis-jeniscacing tersebut banyak ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia. Pada umumnya telur cacing bertahanpada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh manusia yang merupakan hospes defenitifnya (Sitorus, 2008).Kecacingan merupakan salah satu mikro organisme penyebab penyakit dari kelompokhelminth(cacing), membesar dan hidup dalam usus halus manusia. Cacing ini terutama tumbuh dan berkembang pada penduduk di daerah yang beriklim panas dan lembab dengan sanitasi yang buruk. Terutamanya padaanak-anak,cacing- cacing tersebut adalah cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang serta cacing pita (Ali, 2007).Menurut Damayanti (2009), menyatakan bahwa penyakit cacing usus jarang menyebabkan kematian, namun infeksi yang kronis pada anak- anak secara signifikan dapat menyebabkan menurunnya kondisi gizi dan kesehatan sehingga pertumbuhan menjadi terhambat (stunting), anemia, defisiensi vitamin, menurunnya daya tahan tubuh , gangguan kemampuan untuk belajar (kognitif).Prevalensi infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminth) masih cukup tinggi dan infeksi cacing ini dapat menyebabkan masalah kesehatan masyarakat, khususnya pada anak yang masih dalam usia sekolah dasar. Golongan anak sekolah dasar merupakan kelompok usia yang rentan terhadap infeksi cacing. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan bermain anak yang tidak memperhatikan kebersihan diri dan lingkungannya. Demikian pula dengan mengkonsumsi makanan yang dijual di sekolah, tanpa memperhatikanhygieneserta sanitasi makanan dan lingkungan (Silitongga, 2008).Penyakit Cacinganhospes defenitifbeberapa nematoda usus (cacing perut), yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing perut terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminthes). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenaledanNecator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura).Jenis-jenistersebut banyak ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia. Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh manusia yang merupakan hospes defenitif (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006).4

2.2.1Ascaris Lumbricoides(cacing gelang)1.Morfologi dan Daur HidupAscaris lumbricoidesmerupakan salah satu jenis dari soil transmitted helminthes, yaitu cacing yang memerlukan perkembangan di dalam tanah untuk menjadi infektif.Ascaris lumbricoidesmerupakan nematoda parasit yang paling banyak menyerang manusia dan cacing ini disebut juga cacing bulat atau cacing gelang. Cacing dewasa berwarna agak kemerahan atau putih kekuningan, bentuknya silindris memanjang, ujung anterior tumpul memipih dan ujung posteriornya agak meruncing. Terdapatgari-garislateral yang biasanya mudah dilihat, ada sepasang, warnanya memutih sepanjang tubuhnya. Bagian kepalanya dilengkapi dengan tiga buah bibir yaitu satu di bagian mediodorsal dan dua lagi berpasangan di bagian latero ventral. Terdapat sepasang papilla, di bagian pusat di antara ketiga bibir terdapat lubang mulut (bukal kaviti) yang berbentuk segitiga dan kecil. Pada bagian posterior terdapat anusnya yang melintang. Cacing dewasa yang jantan berukuran panjang 15cm-31cmdengan diameter 1mm-4mm adapun cacing betina panjang ukurannya 20 cm- 35cm. Seekor cacing Ascaris lumbricoides betina setiap harinya dapat menghasilkan 200.000 telur (Irianto, 2009).Telur yang dibuahi besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini, bila tertelan manusia dapat menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe. Yang kemudian dialirkan ke jantung, mengikuri aliran darah ke paru- paru. Larva diparu-parumenembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva tertelan ke dalam eosophagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur, diperlukan waktu kurang lebih dua bulan (Sitorus, 2008).Dalam Ngastiyah (1997) yang dikutip Sudita (2010) juga menemukan bahwaAscaris lumbricoidesterdapat di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dengan sanitasi yang masih belum baik. Angka kejadian di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu hampir pada semua anak yang berusia1-10tahun terdapat infestasiAscaris,sedangkan pada orang dewasa diperkirakan 60% (Jakarta). Di negeri yang sudah maju, angka ini sangat rendah,misalnya Eropa Barat hanya 10%, Skandinavia 3% dan Italia 50%.Telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru- paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui dindingalveolusmasuk ronggaalveolus, kemudian naik ketracheamelaluibronchiolesdanbronchus. Daritrachealarva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalameosophaguslalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 1998).Gambar 2.1: Morfologi dan Duar HidupAscaris Lumbricoides2. PatofisiologiMenurut Effendy (1997) yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006:7) disamping itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk keparu-parusehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dindingalveolusyang disebutsindroma loeffer. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan.Kadang-kadangpenderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat terutama padaanak-anakdapat terjadi gangguan penyerapan makanan (mal absorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (ileus obstructive).3.Gejala Klinis dan DiagnosisGejala penyakit cacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan penyakit- penyakit lain. Pada permulaan mungkin adabatuk-batukdaneosinifilia. Orang (anak) yang5menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, dan konsentrasi belajar kurang. Padaanak-anakyang menderitaAscaris lumbricoidesperutnya nampak buncit (karena jumlah cacing dan perut kembung), biasanya matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes), dan seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, dan nafsu makan berkurang. Karena orang(anak-anak)masih dapat berjalan dan seklah atau bekerja, sering kali tidak dianggap sakit, sehingga terjadi salah diagnosis dan salah pengobatan. Padahal secara ekonomis sudah menunjukkan kerugian yaitu menurunkan produktifitas kerja dan menguranggi kemampuan belajar. Karena gejala klinik yang tidak khas, sering diadakan pemeriksaan tinja untuk membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukantelur-telurcacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (dengan cara menghitung jumlah telur cacing). Karena gejala klinis yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukantelu-telurcacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (dengan cara menghitung jumlah telur cacing) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006:7).Cara menegakkan diagnosis penyakit ini adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis Askariasis. Selain tiu, diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah, maupun melalui tinja (Sitorus, 2008).4.PengobatanPengobatan dapat dilakukan secara individu atau massal pada masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakanbermacam-macamobat misalnya Preparat, piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau mebendazole.Oksantel-pirantelpamoat adalah obat yang dapat digunakan untuk infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura. (Sitorus, 2008).Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harganya murah (terjangkau) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006:7).Garam piperazin sangat infektif terhadapascariasisdan dapat dipakai dengan aman. Dosis tunggal akan menyembuhkan75-85%dari semua infeksi. Pengobatan 2 hariberturut-turutdapatmenyembuhkankira-kira90% dari semua infeksi.Pepirazindapat diberikan setiap waktu, karena makanan di dalam usus hanya sedikit atau sama sekali tidak mempengaruhi efeknya terhadapAscaris(Rukmono, 1979).5.EpidemiologiDi Indonesia, prevalensi Askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara60-90%.Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat pembuangan sampah. Dinegara-negaratertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat, kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara25-30C merupakanhal-halyang sangat baik untuk berkembangnya telur A. lumbricoides menjadi infektif (Sitorus, 2008).Cacing ini terdapat di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dengan suhu panas dan sanitasi lingkungan yang jelek. Semua umur dapat terinfeksi dengan cacing jenis ini,anak-anaklebih mudah terinfeksi karena sering bermain dengan tanah yang terkontaminasi cacing, pada kelompok anak tersebut lebih mudah terinfeksi. Tidak ada perbedaan berdasarkan kedua jenis kelamin.Ascarismemerlukan tanah berpasir sehingga prevalensi cacing pada daerah ini cukup tinggi. Telur cacing dapat dirusak dengan sinar matahari langsung selama 12 jam dan sangat cepat mati pada temperatur di atas 40C (Rampengan, 2008).Telur cacing keluar bersama tinja pada tempat yang lembab dan tidak terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif. Infeksi cacing ini terjadi apabila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan dan minuman serta dapat pula melalui tangan yang kotor (tercemar tanah dengan telur cacing) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006).2.2.2Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necatoramericanus)1.Morfologi dan Daur HidupHospes parasit ini adalah manusia, cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan9.000-10.000butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantankira-kira0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti S dan C berada didalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut: telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah1-1,5hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva6

rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larvafilariformyang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup7-8minggu di tanah. Telur cacing tambang yang besarnyakira-kira60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larvarabditiformpanjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larvafilariformpanjangnya kurang labih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus keparu-paru.Diparu-parumenembus pembuluh darah masuk kebronchuslalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:424/MENKES/SK/VI, 2006:10).2. PatofisiologiCacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secraperlahan-lahansehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Tetapi kekurangan darah (anemia) ini biasanya tidak dianggap sebagai penyakit cacingan karena kekurangan darah bisa terjadi oleh banyak sebab (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006:11).3. Gejala Klinik dan DiagnosisGejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar berkurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun, dan anemia (anemia hipokrom micrositer). Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006:11).4. PengobatanPengobatan denganTetrakloretilen(sangat baik membunuhNecator),Befenium hidroksinaftoat(Alcopar), efektif terhadapAncylostoma duodenaledanAscaris,Tiabendazolefektif padaAncylostoma,Heksilresorsinolcukup infektif padaAncylostomaterutama padaAscarisdan kurang efektif bagiTrichiuris(Simangunsong, 1996).5. EpidemiologiInsidenstertinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%.Kebiasaan deteksi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu) penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untukN. americanus28-32C,sedangkan untukA. duodenalelebih rendah(23-25C)(Gandahusada, 1998:15).2.2.3 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)1.Morfologi dan daur hidupManusia merupakan hospes cacing ini. cacing betina panjangnya sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk kedalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar3.000-5.000butir. Telur berukuran50-54mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar bewarna kekuning- kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan infektif) dalam waktu3-6minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentyk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar30-90hari (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006).Gambar 2.2: Daur hidup cacingTrichuris trichiura2.PatofisiologiCacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan7rektum,kadang-kadangterlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekas. Cacing ini memasikan kepalanya ke dalam mukosa usus sehingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradagan pada mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006).Trichiurisbiasanya dianggap cacing nonpatogen dan komensal di dalam usus, tetapi dalam jumlah yang banyak dan daya tahan penderita kurang baik, tidak jarang menyebabkan kelainan tertentu. Bagian posterior akan melekat pada mukosa usus. Oleh karenaTrichiuristidak mempunyai fase migrasi dalam jaringan, parasit ini tidak menyebabkan reaksi sistemik. AdanyaTrichiurisdalam kolon merangsang reaksi peradangan, hal ini mungkin akibat pengaruh sekresi, yang ditandai denganinfiltrasi eosinofilik. Degenerasieosinofilmenyebabkan terbentuknyaKristal-kristalCharcot-Leyden.Seperti pada cacing yang lain, rangsangan pada system imunologis terjadi juga. Pada kenyataannya, penderita dengan infeksi berat juga terinfeksi cacing tambang dan gangguan gizi (Rampengan, 2008).3.Gejala Klinik dan DiagnosaInfeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi cacing cambuk yang berta dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disentri, anemia, berat badan menurun dan kadang- kadang terjadiprolapses rectum. Infeksi cacing cambuk yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006).4.PengobatanBerbagai antelmintik yang berspektrum luas dapat pula digunakan untuk mengobatitrikuriasis, meskipun hasilnya kurang memuaskan dibandingkan jika dipergunakan untukaskariassis, cacing tambang atau memberantas cacing kremi (enterobiasis). Trikuris dapat diobati dengan:a.Bephenium hydroxynaphthoate(Alcopar), dengan dosis tunggal 5 gramb.Levamisole(Ascaridil, Askamex, Ketrax), pemberian dosis tunggal sebanyak 2,5 mg per kilogram berat badan.c.Mebendazol(Totamin, Vercid, Vermox), dosis 2x100 mg per hari selama 3 hari (Soedarto (1996) dikutip Ariyasta 2010).5.EpidemiologiPenyebaran penyakit ini adalah terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur cacing cambuk, telur tumbuh dalam tanah liat, lembab dan tanah dengan suhu optimal 30C. Infeksi cacing cambuk terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar atau melalui tangan yang kotor (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:424/MENKES/SK/VI, 2006:9).Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimumkira-kira30C. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara30-90%(Gandahusada, 1998:19).Dahulu infeksi cacing cambuk sulit sekali di obati. Obat seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk (Trichuris trichiura) adalah Albendazol/Mebendazol dan Oksantel pamoete (Gandahusada, 2000).2.3Faktor Hygiene Perorangan dan Sanitasi Lingkungan dengan kejadian Penyakit CacinganMenurutHendrick L. Blumyang dikutipNotoadmodjo (1997:146) masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat komplek yang paling berkaitan denganmasalah-masalahlain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula pemecahan masalah kesehatannya sendiri, tetapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap masalahsehat-sakitatau kesehatan tersebut. Secara garis besar faktor- faktor yang mempengaruhi, baik individu, kelompok, maupun masyarakat, dikelompokkan menjadi empat berdasarkan urutan besarnya atau pengaruh terhadap kesehatan yaitu sebagai berikut: lingkungan yang mencakup lingkungan (fisik, social, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya), perilaku, pelayana kesehatan, dan keturunan. Keempat faktor tersebut di samping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secar optimal, bila mana8keempat faktor tersebutbersama-samamempunyai kondisi yang optimal pula.Faktor-faktoryang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, untuk hal iniHendrick L. Blummenjelaskan secara ringkas sebagi berikut:1.Lingkungan yaitu karakter fisik alamiah dari lingkungan seperti iklim, keadaan tanah, dan topografi berhubungan langsung dengan kesehatan sebagaimana halnya interaksi ekonomi, budaya, dankekuatan-kekuatanlain yang mempunyai andil dalam keadaan sehat.2.Perilaku yaitu perilaku perorangan dan kebiasaan yang ,engabaikan hygiene perorangan.3.Keturunan atau pengaruh factor geneik adalah sifat alami didalam diri seseorang yang dianggap mempunyai pengaruh primer dan juga sebagai penyebab penyakit.4.Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh unit pelayanan kesehatan dan pembinaan kesehatan lingkungan.Usaha pencegahan penyakit cacingan yaiu sebagai berikut:a.Hati-hatibilamakan-makananmentah atau setengah matang terutama pada tempat- tempat dimana sanitasi masih kurang,b.Masak bahan makanan sampai matang,c.Selalu mencuci tangan setelah dari kamar mandi/WC,d.Selalu mencuci tangan dengan sabun setelah bermain , sebelum memegang makanan,e.Infeksi cacing tambang bisa dihindari dengan selalu mengenakan alas kaki, genakan disinfektan setiap hari di tempat mandi dan tempat buang air besar (Dikutip dari Ariyasta, 2010).2.3.1Faktor Hygiene Perorangan1.Kebiasaan memakai alas kakiKesehatan anak sangat penting karena kesehatan semasa kecil menentukan kesehatan padda masa dewasa. Anak yang sehat akan menjadi manusia dewasa yang sehat. Membina kesehatan semasa anak berarti mempersiapkan terbentuknya generasi yang sehat akan memperkuat ketahanan bangsa. Pembinaan kesehatan anak dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, ayah, ibu, saudara, anggota keluarga anak itu sendiri serta anak yang bersangkutan. Anak harus menjaga kesehatannya sendiri, salah satunya membiasakan memakai alas/sandal (Departemen Kesehatan R.I, 1990 dikutip oleh Yulianto, 2007).Menurut Gandahusada (2000) dikutip Ariyasta, 2010, menyatakan tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untukNecator americanus28-32C sedangkan untukAncylostoma duodenalelebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah memakai sandal atau sepatu.2.Kebiasaaan mencuci tanganAnak-anakpaling sering terserang penyakit cacingan karena biasanyajari-jaritangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan, namun demikian sesekali orang dewasa juga perutnya terdapat cacing. Cacing yang paing sering ditemui ialah cacing gelang, cacing tambang, cacing benang (Oswari, 1991 dikutip Ariyasta, 2010).3.Kebiasaan Memotong KukuMenurut Departemen Kesehatan R.I (2001) dikutip Yulianto, 2007. Menyatakan bahwa usaha pencegahan penyakit cacingan atara lain : menjaga kebersihan badan, kebersihan lingkungan dengan baik, makanan dan minuman yang baik dan bersih, memakai alas kaki, membuang air besar di jamban (kakus), memelihara kebersihan diri dengan baik seperti memotong kuku dan mencuci tangan sebelum makan.4.Kebiasaan MakanKebiasaan penggunaanfecesmanusia sebagai pupuk tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah, persedian air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran akan meningkatkan jumlah penderitaHelminthiasis.Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, menyebabkan terjadinya penularan penyakit cacing tertentu. Misalnya, kebiasaan makan secara mentah atau setengah matang, ikan, kerang, daging dan sayuran. Bila dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacingnya menjadi lengkap sehingga terjadi infeksi pada manusia (Entjang, 2003 dikutip Ariyasta, 2010).2.3.2 Faktor Sanitasi Lingkungan1.Kepemilikan JambanBertambahnya penduduk yang tidak seimbang dengan area pemukiman timbul masalah yang disebabkan oleh pembuangan kotoran manusia yang meningkat. Penyebaran penyakit yang bersumber pada kotoran manusia9(feaces) dapat melalui berbagai macam jalan atau cara.Nampak jelas bahwa peranan tinja dalam penyebaran penyakit sangat besar. Di samping dapat langsung mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, air, tanah, serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya), danbagian-bagiantubuh dapat terkontaminasi oleh tinja tersebut.Benda-bendayang telah terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang sudah menderita suatu penyakit tertentu merupakan penyebab penyakit bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk, akan mempercepat penyebaranpenyakit-penyakityang ditularkan lewat tinja. Penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain : typus, disentri, kolera, danbermaca-macamcacing (cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, cacing pita),schistosomiasis, dan sabagainya (Notoadmodjo, 1997:159).Jamban adalah bangunan untuk tempat buang air besar dan buang air kecil. Buang air besar dan buang air kecil harus di dalam jamban, jangan di sungai atau di sembarang tempat karena dapat menimbulkan penyakit.Syarat-syaratjamban sehat adalah sebagai berikut :a.Jamban harus mempunyai dinding dan pintu agar orang yang berada didalamnya tidak terlihat.b.Jamban sebaiknya mempunyai atap untuk perlindungan terhadap hujan dan panas, cahaya dapat masuk ke dalam jamban karena cahaya matahari berguna untuk mematikan kuman,c.Lantai terbuat dari bahan yang tidak tembus air seperti semen atau papan yang disusun rapat. Hak ini perlu agar air kotor tidak meresap ke dalam tanah dan lantai mudah dubersihkan,d.Jamban harus mempunyai ventilasi yang cukup untuk pertukaran udara agar udara di dalam jamban tetap segar,e.Lubang penampungan kotoran letaknya antara 10 sampai 15 meter dari sumber air bersih agar sumber air tidak tercemar,f.Di dalam jamban harus tersedia air bersih dan sabun untuk membersihkan diri, untuk jamban mudel cemplung.g.Lubang jamban harus mempunyai tutup yang rapat agar lalat, kecoa, dan serangga lain tidak dapat keluar masuk tempat penampungan kotoran,h.Lubang saluran air kotor pada lantai letaknya lebih rendah daripada lubangjamban, jamban sebaiknya tidak dibuat di tempat yang digenangi air.i.Untuk daerah rawa atau daerah yang sering banjir letak lantai jamban dibuat lebih tinggi dari pada permukaan air yang tertinggi pada waktu: banjir, jamban sebaiknya diberi lampu untuk penerangan,j.Lubang penampungan kotoran harus mempunyai pipa saluran udara yang cukup tinggi agar gas yang timbul dapat disalurkan ke luar (Ningsih,2010).Jamban model leher angsa dapat dibangun di dalam rumah secara tersendiri atau digabung dengan kamar mandi. Model ini disebut model leher angsa karena saluran kotorannya bengkok seperti leher angsa. Bila disiram dengan air, kotoran akan terdorong ke lubang penampungan, tetapi masih ada sisa air yang tertinggal di dalam saluran yang bengkok tersebut. Air yang tertingal ini menutup saluran kotoran sehingga bau yang berasal dari lubang tidak dapat keluar. Air ini juga berfungsi mencegah keluar masuknya lalat dan serangga lain ke dalam lubang penampungan kotoran (Ariyasta, 2010).Jamban model cemplung adalah jamban yang paling sederhana. Jamban dibangun langsung diatas lubang penampungan kotoran. Lubang penampungan kotoran digali sedalam 2 sampai 3 meter dengan lingkaran tengankira-kira80 cm (Suharto, 1997 dikutip Ariyasta 2010).Menurut Depkes R.I (1995) dikutip Yulianto, 2007. Menyatakaan bahwa dalam pemeliharaan jamban dengan baik, adapun pemeliharaannya adalah: lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering, tidak ada sampah berserakan. Rumah jamban dengan keadaan yang baik, lantai selalu bersih tidaak ada kotoran yang terlihat, lalat dan kecoa tidak ada, tersedianya alat pembersih, bila ada bagian yang rusak segera diperbaiki atau diganti.2.Lantai RumahDepartemen Kesehatan R.I (1990) dikutip Ariyasta, 2010. Bahwa, Rumah sehat secara sederhana yaitu bangunan rumah harus cukup kuat, lantainya mudah dibersihkan, lantai rumah dapat terbuat dari : ubin, plesteran, dan tanah yang dipadatkan.Sedangkan menurut Notoatmodjo (1997:149)syarat-syaratrumah yang sehat jenis lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim penghujan. Lantai10rumah dapat terbuat dari : ubin atau semen, kayu, dan tanah yang disiram kemudian dipadatkan.3.Ketersedian Air BersihDepartemen Kesehatan R.I (1990) dikutip Ariyasta, 2010. Menyatakan bahwa air sehat adalah air bersih yang dapat digunakan untuk kegiatan manusia dan harus terhindar dari kuman penyakit dan bebas daribahan-bahankimia yang dapat tercemari air bersih tersebut, dengan akibat orang yang memanfaatkannya bisa jatuh sakit.Akibat air yang tidak sehat dapat menimbulkan: gangguan kesehatan seperti penyakit perut (kolera, diare, disentri, keracunan, dan penyakit perut lainnya), penyakit cacingan (misalnya: cacing pita, cacing gelang, cacing kremi, demam keong, kaki gajah), gangguan teknis seperti: pipa air tersumbat, pipa berkarat, bak air yang berlumut, gangguan dalam segi kenyamanan seperti: air keruh, air berbau, air rasa asin atau asam, timbul bercakkecoklat-coklatanpada kloset atau WC dan westafel tempat cuci tangan yang terkena air mengandung zat besi yang berlebihan.Mengetahui tanda air bersih yaiu air bersih secar fisik dapat dibedakan melalui indera kita antara lain dapat dilihat, dirasa, dicium, dan diraba yaitu : air tidak boleh bewarna harus jernih atau bening sampai kelihatan dasar tempat ait itu dan tidak boleh keruh harus bebas dari pasir, debu, lumpur, sampah, busa, dan kotoran lainnya.Air juga tidak boleh berbau haus bebas dari bahan kimia industri maupun bahan kimia rumah tangga seperti bau busuk, bau belerang, dan air haru sesuai dengan suhu sekitarnya atau lebih rendah, tidak boleh suhunya lebih tinggi.2.4Faktor yang mempengaruhi KejadianPenyakit Kecacingan.MenurutPeter J. Hotes(2003) dikutip oleh Yulianto, 2007 mengemukakan bahwafaktor-faktorresiko (risk factors) yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain :1.Lingkungana.Penyakit cacingan biasnya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota atau daerah pinggiran (Peter J. H otes,2003:17).b.Sedangkan menurutPhiri(2000) yang di kutipPeter J. Hotesbahwa jumlah prevalensiAscaris lumbricoidesbanyak ditemukan di daerah perkotaan.c.Sedangkan menurutAlbonicoyang dikutipPeter J. Hotesbahwa jumlahprevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakatnya sebagian besar masih hidup dalam kekurangan.2. TanahPenyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telurTrichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal 30C (Depkes R.I 2004, dikutip Ropiah, S).Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar 25C-30Csangat baik untuk berkembangnya telurAscaris lumbricoidessampai menjadi bentuk infektif (Gandahusada, 2000:11).Sedangkan untuk pertumbuhan larvaNecator americanusyaitu memerlukan suhu optimum28C-32Cdan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untukAncylostoma duodenalelebih rendah yaitu23C-25Ctetapi umumnya lebih kuat (Gandahusada, 2000:15).3. IklimPenyebarabAscaris lumbricoidesdanTrichuris trichiurayaitu daerah tropis, karena tingkat kelembapannya cukup tinggi. Sedangkan untukNecator americanusdanAncylostoma duodenalepenyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi terutama di daerah perkebunan dan pertambangan (Onggowaluyo, 2002 dikutip oleh Ariyasta, 2010).4.PerilakuPerilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah (Peter J. Hotes,2003 dikutip Ariyasta 2010).Anak-anakpaling sering terserang penyakit cacingan karena biasanyajari-jarimereka dimasukkan ke dalam mulut atau makan nasi tanpa cuci tangan (Oswari, 1991dikutip Ningsih 2010).5.Sosial EkonomiSosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut Tshikuka (1995) dikutip (Peter J. Hotes, 2003 dikutip dari Ariyasta , 2010) yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No 902 tentang upah minimum Sektoral Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2011 adalah Rp. 1.100.900,- (Keputusan Gubernur Sumatera11

Selatan. No 902/KPTS/DISNAKERTRANS/2010).6.Status GiziCacingan dapat mempegaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbs), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik, anemia, kecerdasan dan produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Depkes R.I, 2006 dikutip Ariyasta, 2010).2.5Pemeriksaan TinjaSecara umumnya penyakit kecacingan terutama yang disebabkan oleh Nematoda usus sepertiAscaris lumbricoides(cacing gelang),Necator americanusdanAncylostoma duodenale(cacing tambang), danTrichuris trichiura(cacing cambuk) dapat didiagnosa dengan cara menemukan telur dan larva cacing pada tinja penderita. Oleh sebab itu, untuk mengetahui apakah responden menderita kecacingan atau tidak, perlu dilakukan pemeriksaan tinja. Tehnik yang biaa digunakan untuk mendiagnosis kecacingan yaitu TehnikKato Katz.Yakni, pemeriksaan tin ja untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing dalam tinja dan mengidentifikasi jenis telur cacing.a.Prinsip metodeKato Katz: feces diambil kemudian di oleskan pada gelas objek, lalu ditutup dengan selopan yang sudah direndam dalam larutan malachite green selama18-24jam. Biarkan sela20-30menit, kemudian diperiksa dengan mikroskop dengan pembesaran objektif 10 x dan 40 x.b.Alat dan bahan yang digunakan :1.Mikroskop2.Gelas benda3.Kertas selofan (cellophane tape)ukuran 26 x 28 mm.4.Larutan gliserin hijau malakit (malachite green) (100 ml gliserin, 100 ml air, 1 ml larutan hijau malakit dalam air 3%) kertas selofan sebelum dipakai, direndam terlebih dahulu dalam larutan gliserin hijau malakit selama 24 jam.5.Tutup botol karet6.Tinja/feaces.c.Tata cara/ prosedur kerja1.60-70mg contoh tinja(kira-kirasebesar kacang tanah) di letakkan di atas gelas benda.2.Tutup tinja dengan kertas selofan.3.Tekan sediaan antara selofan dan gelas benda dengan tutup karet.4.Diamkan selama -1jam pada suhu kamar.5.Periksa seluruh sediaan di bawah mikroskop dengan sumber cahaya yang terang (Prasetyo, 1996 dikutip Ariyasta, 2010).2.6Kerangka TeoriTeori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teoriGordonatau yang sering disebut sebagai (segitiga Epidemiologi(Host-Agent-Environment) yang dikutip didalam Sitorus, 2008.HOSTAGENT

Anak Sekolah Dasar-Ascaris lumbricoides

1.Karakteristik- Necator americanus

Responden- Ancylostoma

(umur, jenisduodenale

kelamin,- Trichuris trichiura

pendapatan

keluarga)

2.Sanitasi Lingkungan (jenis lantai, jamban keluarga, ketersedian air bersih)3.PHBS Responden (memakai alas kaki, mencuci tangan, memotong kuku, makan makanan mentah)ENVIRONMENTLingkungan Pemukiman Industri KaretPT. Muara Kelinggi IIGambar 2.4Kerangka TeoriApabila terjadi gangguan keseimbangan pada proses interaksi tersebut, host akan dirugikan sehinggahostakan jatuh sakit. Bila faktor lingkungan member kesempatan kepadaagentuntuk berkembang sehingga akan merugikan kesehatan host; atau daya tahanhostmenurun akibat faktor internalhostsehinggaagentmendapat peluang lebih besar untuk mengganggu kesehatanhost(Munijaya, 1999 dikutip Sitorus, 2008).12

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN3.1 Kerangka KonsepDalam teoriGordon(segitiga epidemiologi) mengacu pada kerangka konsep, dimana variabelIndependennya terdiri dari Karakteristik Responden (umur, jenis kelamin, pengetahuan dan pendapatan), sanitasi lingkungan (jenis lantai), PHBS responden (memakai alas kaki, mencuci tangan, memotong kuku dan makan makanan mentah) dan variabeldependennya yaitu penyakit kecacingan pada anak Sekolah Dasar. Seperti pada bagan 3.1:Variable IndependenVariabel Dependen

KarakteristikUmum Responden:-Umur-Jenis Kelamin-PendapatanSanitasiPenyakit

LingkunganKecacingan

-Jenis LantaiPada Anak

Sekolah Dasar

PHBS Responden:-Memakai Alas Kaki-Mencuci Tangan-Memotong Kuku-Makanan MentahBagan 3.1Kerangka KonsepBAB IVMETODE PENELITIAN4.1 Desain PenelitianPenelitian ini merupakan jenis penelitian bersifatdeskriptif kuantitatifdengan menggunakan pendekatan cross sectional, dimana variabel- variabel yang termasuk faktor resiko (Independen) dan variabel yang termasuk efek (Dependen) diobservasi sekaligus dalam waktu yang sama atau pengukuran faktor bebas dan faktor terikat dilakukan pada waktu bersamaan (Notoatmodjo, 2010:37).4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 PopulasiPopulasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 1996). Populasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah anak Sekolah Dasar yang berada di wilayah pemukiman industri PT. Muara Kelinggi II Rt 15 Rw 05 Kelurahan Gandus Kecamatan Gandus Palembang Tahun 2011.4.2.2 SampelSampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2004 yang dikutip dari Evi Yulianto 2007).Jenis sampel non Probabilitas, karena sampel dipilih secara acak purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus sebagai berikut:2n = Z 1 / 2P (1 P) 2dKeterangan :n: Jumlah sampel minimal

: derajat kemaknaan 5%P: Proporsi, bila peneliti tidak mengetahui nilai

P dalam populasi, maka P=0,5

2

Z21- : 1,96 untuk tingkat kepercayaan 95%

d: derajat presisi (tingkat kepercayaan

/ketepatan yang diinginkan sebesar 10%)

P(1-P): 0,25

(Lemeshowet al.1990:dikutipdari

Notoatmodjo, 2010)

Berdasarkanrumus diatas,makabesar

sampel minimal yang akan akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:n=2

(1,96) x 0,5 (0,25)

(0,1)

n=48,02 dibulatkan menjadi 48 anak.4.3. Instrumen PenelitianInstrumen penelitian adalah alat ukur atau alat pengumpulan data (instrumen) yang akan digunakan untuk memperoleh data penelitian, instrumen dalam penelitian ini yaitu13uji laboratorium, kuesioner (Notoatmodjo, 2010:54).4.4 Cara dan Alat Pengumpulan DataData variabel IndependenData variabelindependenyaitu meliputi karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendapatan), sanitasi lingkungan (jenis lantai), PHBS responden (memakai alas kaki, mencuci tangan, memotong kuku, makan makanan mentah), serta dilakukan pemeriksaan laboratorium kandungan telur cacing di dalam feces responden, dan keseluruhan data ini diperoleh dengan cara observasi, wawancara dan kuesioner yang dinyatakan langsung kepada responden.Data variabel DependenData variabeldependenyaitu berupa kejadian kecacingan pada anak Sekolah Dasar itu sendiri, dan data ini akan diperoleh melalui pemeriksaanfeacesdi laboratorium BalaiTehnik Kesehatan Lingkungan Palembang menggunakan mesinEosin.Pengambilan spesimen berupafeacespada responden untuk kemudian dilakukan pemeriksaan, dilakukan dengan cara memberikan tempat untuk di isi dengan feces sendiri pada saat sore hari dan responden mengisi tempat yang telah diberikan untuk di isi feces pada saat Buang Air Besar (BAB) pada pagi harinya yang kemudian tempat tersebut dikembalikan lagi kepada sang peneliti. Tempat atau wadah yang telah diberikan kode berdasarkan nomor kuesioner dan dibungkus kembali dengan plastik dengan maksud agar tidak menimbulkan bau, spesimen tersebut segera diperiksa pada hari pengambilan spesimen tersebut.4.5 Validitas Data dan ReabilitasValiditas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu memangbenar-benarmengukur terhadap sesuatu yang diukur. Untuk mengetahui apakah suatu kuesioner yang disusun tersebut mampu mengukur apa yang hendak akan diukur, maka diperlukan uji reabilitas data dan uji validitas data, dimana penulis mengambil 10% dari populasi (Nototmodjo, 2010:164). Dimana dari 3 variabel Independen, maka didapatkanlah 60 soal yang belum di uji validitasnya. Setelah dilakukan uji validitas dan reabilitas, maka didapatkanlah pertanyaan kuesioner yang validnya sebanyak 22 pertanyaan, yang kemudian digunakan didalam kuesioner penelitian.4.6 Pengolahan DataPengolahan data yang dilakukan antara lain (Notoadmodjo, 2010):1.Editing(pengeditan data)Editing adalah kegiatan pengecekan terhadap isisan kuesioner, apakah jawaban yang di isi belum lengkap, belun jelas, kurang relevan, dan konsisten maka kuesioner segera dikembalikan kepada responden untuk diperbaiki. Bila sudah selesai dilakukan tahap ke dua.2.Coding(Pengkodean)Suatu proses dimana pertanyaan- pertanyaan yang telah di jawab diklasifikaikan menurut jenis dan macamnya sehingga bentuknya menjadi lebih ringkas.3.Entry(Pemasukan data)Suatu proses dimanadata-datayang telah diberi kode tersebut dipindahkan ke dalam suatu media untuk mengolah data.4.TabulatingYakni, suatu pengelompokkan data ke dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.4.7Pengumpulan Data1. Data PrimerData primer terdiri dari hasil pemeriksaan tinja menggunakan metodeKato- Katzdan hasil pengisian kuesioner oleh orang tua siswa anak Sekolah Dasar di wilayah Pemukiman Industri Karet PT. Muara Kelingi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011.2. Data SekunderData yang diperoleh dari KelurahanGandus Palembang Tahun 2011.4.8 Teknik Analisa DataTehnik Analisis yang digunakan peneliti didalam penelitian ini yaituunivariat, yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung dari jenis datanya. Untuk data numerik digunakan nilai mean ataurata-rata,median dan standar deviasi (Notoatmodjo, 2010:182).14BAB VHASIL PENELITIAN5.1 Gambaran Umum Tempat PenelitianKelurahan Gandus yang memiliki luas 3.250 Ha adalah salah satu dari 5 (lima) kelurahan yang ada di dalam wilayah Kecamatan Gandus Kota Palembang yang memiliki keadaan alam dan bentuk permukaan tanahnya sebagian besar berbentuk daratan dan sebagian lagi berbentuk rawa/lebak. Adapun batas wilayah Kelurahan Gandus dapat dilihat sebagai berikut :-Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Bukit Baru-Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Musi-Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Pulokerto-Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Karang Jaya.Dalam pelaksanaan tugassehari-haridi Kantor Lurah Gandus terdapat 8 (Delapan) orang pegawai dan dibantu oleh 6 Ketua RW dan 26 Ketua RT. Tempat penelitian yang dijadikan lokasi pengambilan sampel yaitu RT 15 di Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang. Jumlah anak Sekolah Dasar sebanyak 61 orang. Dengan jumlah anak Sekolah Dasarlaki-lakinya43 orang dan anak Sekolah Dasar perempuannya 18 orang.5.2 Hasil Univariat 5.2.1 Variabel Dependen1. Kejadian Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar.Berdasarkan hasil penelitian variabel kejadian penyakit kecacingan pada anak sekolah dasar di wilayah pemukiman industri karet PT. Muara kelinggi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011 yang diperiksa melaluifecesdigolongan menjadi dua kategori yaitu positif dan negatif, yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:Tabel 5.1DistribusiProporsiKejadian

PenyakitKecacinganpadaAnak

Sekolahpada Dasardi Wilayah

PemukimanIndustriKaretPT.

Muara Kelinggi II Rt 15 Rw 05

KecamatanGandusKelurahan

Gandus Palembang tahun 2011.

NoKejadianJumlahPersentase

Penyakitn(%)

Kecacingan

pada Anak

Sekolah Dasar

1Positif36,2

2Negatif4593,8

Total48100

(sumber: Pratiwi. E, 2011)Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan hasil penelitian frekuensi anak Sekolah Dasar yang positif menderita penyakit kecacingan sebanyak 3 responden (6,2%) dengan ditemukannya jenis cacing yang ada padafecesresponden yaitu cacing gelang (Ascari lumbicoides).5.3 Variabel Independen 5.3.1 UmurBerdasarkan hasil penelitian variabel karakteristik umur responden dapat dilihat pada tabel bawah ini:Tabel 5.2Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden pada Anak Sekolah Dasar di Wilayah Pemukiman Industri Karet PT. Muara Kelinggi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011.Min-Std.95% CI

VariabelMeanDeviatioInterval

max

nfor Mean

Umur9,506-131.9578.93-

10.07

(sumber: Pratiwi. E,2011)

Dari distribusi frekuensi responden menurut umur di wilayah pemukiman industri karet PT. Muara Kelinggi II Rt 15 Rw 05 Kecamatan Gandus Kelurahan Gandus Palembang tahun 2011 diatas, diketahui bahwa distribusi normal, karena hasil dari pembagian nilai skwenes dan SE