19
POJOK RISET ASOSIASI IKAN TARGET SEKITAR TERUMBU BUATAN DAN KERAMBA JARING APUNG DI SELAT LEMBEH KOTA BITUNG Oleh : (Hetty M.P.Ondang*, Nova M. Tumanduk*) Abstract Floating net cages (KJA) is one means of marine aquaculture (mariculture) are placed in water will act as FADs or fish aggregating devices (FAD) as a gathering place for various types of fish. Similarly to the artificial reef will serve as the breeding (nursery grounds) for various types of fish. In general, the target fish belonging -Fish economically important fishes associated with artificial reefs and floating net which interact in the mornings and afternoons differ in amount and kind, this is because of differences in the nature and behavior based on the type of fish species. The target fish population changes from day to night fish in diurnal seen mostly during the day will take refuge in the reef and replaced by a nocturnal species that are not visible during the day. The fish-eating plankton are usually widely spread around the reefs during the day and hide or take refuge in the crevices of the reef at night, it is a cause of differences in the amount of the target fish species associated with artificial reefs and floating net. Thus the association structure of the target fish around the artificial reefs and floating net can be concluded that as a shelter and as a visitor species. 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produksi perikanan di Indonesia berdasarkan sebaran wilayahnya, memperlihatkan bahwa Koridor Ekonomi Sulawesi merupakan wilayah yang memiliki produksi perikanan laut terbesar. Dalam pengembangan kegiatan ekonomi utama perikanan ini, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi; antara lain persaingan di pasar global, dimana beberapa produk perikanan dari negara lain seperti Thailand dan Vietnam, memiliki daya saing yang sangat tinggi. Berdasarkan potensi dan tantangan pengembangan kegiatan perikanan tersebut, maka diperlukan dukungan terkait regulasi dan kebijakan; salah satunya ialah mengembangkan minapolitan berbasiskan perikanan tangkap dan minapolitan berbasis perikanan budidaya yang berkelanjutan. Salah satu konsep pemecahan masalah adalah pengembangan perikanan rakyat terpadu antara local resources based, community based dan market based, yang harus dipandang dari sisi pembangunan pedesaan wilayah pesisir. Model pengembangan yang perlu Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 10

(10 22) pojok riset, asosiasi ikan target. ok

Embed Size (px)

Citation preview

POJOK RISET

ASOSIASI IKAN TARGET SEKITAR TERUMBU BUATAN DAN KERAMBA JARING APUNG

DI SELAT LEMBEH KOTA BITUNG 

Oleh :(Hetty M.P.Ondang*, Nova M. Tumanduk*)

AbstractFloating net cages (KJA) is one means of marine aquaculture (mariculture) are placed

in water will act as FADs or fish aggregating devices (FAD) as a gathering place for various types of fish. Similarly to the artificial reef will serve as the breeding (nursery grounds) for various types of fish.

In general, the target fish belonging -Fish economically important fishes associated with artificial reefs and floating net which interact in the mornings and afternoons differ in amount and kind, this is because of differences in the nature and behavior based on the type of fish species. The target fish population changes from day to night fish in diurnal seen mostly during the day will take refuge in the reef and replaced by a nocturnal species that are not visible during the day. The fish-eating plankton are usually widely spread around the reefs during the day and hide or take refuge in the crevices of the reef at night, it is a cause of differences in the amount of the target fish species associated with artificial reefs and floating net. Thus the association structure of the target fish around the artificial reefs and floating net can be concluded that as a shelter and as a visitor species.

1. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang

Produksi perikanan di Indonesia berdasarkan sebaran wilayahnya, memperlihatkan bahwa Koridor Ekonomi Sulawesi merupakan wilayah yang memiliki produksi perikanan laut terbesar. Dalam pengembangan kegiatan ekonomi utama perikanan ini, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi; antara lain persaingan di pasar global, dimana beberapa produk perikanan dari negara lain seperti Thailand dan Vietnam, memiliki daya saing yang sangat tinggi. Berdasarkan potensi dan tantangan pengembangan kegiatan perikanan tersebut, maka diperlukan dukungan terkait regulasi dan kebijakan; salah satunya ialah mengembangkan minapolitan berbasiskan perikanan tangkap dan minapolitan berbasis perikanan budidaya yang berkelanjutan.

Salah satu konsep pemecahan masalah adalah pengembangan perikanan rakyat terpadu antara local resources based, community based dan market based, yang harus dipandang dari sisi pembangunan pedesaan wilayah pesisir. Model pengembangan yang perlu dirumuskan adalah bagaimana memilih teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan yang bisa spesifik lokasi, sesuai dengan

jenis ikan target dan habitatnya, serta kombinasi alat dan kemampuan yang ada, dengan mempertimbangkan faktor-faktor biologi, ekonomi, sosial budaya masyarakat lokal, kelembagaan dan lingkungan (Reppie, 2004).

Keramba jaring apung (KJA) sebagai sarana budidaya laut (marinculture) jika terpasang baik pada suatu perairan laut, juga akan berfungsi sebagai rumpon atau fish aggregating devices (FAD), yang akan menarik berbagai jenis ikan untuk berkumpul. Demikian juga, terumbu buatan yang ditempatkan di sekitar KJA akan berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground) ikan-ikan ekonomis penting. Kondisi ini akan membantu memulihkan kualitas habitat perairan dan memberikan nilai tambah berupa produksi, baik berupa tangkapan ikan-ikan konsumsi, maupun ikan-ikan muda sebagai benih alami untuk dibudidaya dalam keramba jaring apung, ataupun sebagai pakan tambahan ikan-ikan budidaya.

Terumbu buatan adalah habitat buatan yang dibangun di laut dan diletakkan di dasar perairan yang tidak produktif dengan meniru beberapa karakteristik terumbu alam dengan maksud memperbaiki terumbu karang yang telah rusak, sehingga dapat memikat jenis-jenis organisme laut

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 10

POJOK RISET

untuk hidup dan menetap serta meningkatkan produksi perikanan.

Namun informasi ilmiah tentang asosiasi ikan target di KJA yang dipadukan dengan terumbu buatan belum tersedia. FAO (1995) melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries, menyarankan pengembangan kebijakan penggunaan habitat buatan untuk meningkatkan stok populasi ikan dan peluang pemanfaatannya, serta melakukan penelitian-penelitian tentang impak struktur terhadap organisme laut dan lingkungan.

1.2. Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk:

1) Mempelajari struktur asosiasi ikan target di sekitar terumbu buatan dan keramba jaring apung.

2) Mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan utama yang mempengaruhi asosiasi ikan target di sekitar terumbu buatan dan keramba jaring apung.

3) Menganalisa kelimpahan spesies target yang berasosiasi di sekitar terumbu buatan dan keramba jaring apung.

1.3. Manfaat PenelitianHasil penelitian ini diharapkan dapat

berguna sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan pengembangan secara efektif terumbu buatan dan Keramba Jaring Apung di Selat Lembeh Kota Bitung. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi awal tentang asosiasi ikan yang ada di terumbu buatan dan Keramba Jaring Apung.

2. TINJAUAN PUSTAKA2.1. Terumbu buatan

Terumbu buatan didefinisikan oleh European Artificial Reef Research Network (EARRN) sebagai suatu struktur yang dengan sengaja ditempatkan di dasar perairan, dan meniru beberapa karakteristik terumbu karang alami (Pickering et al. 1998; Baine, 2001). Seaman and Jensen (2000) menambahkan juga bahwa definisi terumbu buatan telah berkembang lebih luas sebagai reef-building, dimana termasuk di dalamnya adalah kapal tenggelam, anjungan produksi gas dan minyak bumi, pemecah gelombang, proteksi pantai, dermaga dan berbagai

struktur yang berbentuk seperti terumbu buatan tetapi untuk kepentingan lain.

Sifat dari material terumbu buatan yang digunakan adalah memenuhi syarat-syarat khusus, seperti mampu tahan lama di dalam air, aman dan tidak bersifat racun. Biasanya terbuat dari timbunan bahan-bahan yang sifatnya berbeda satu sama lain seperti ban bekas, cetakan semen atau beton, bangkai kerangka kapal, badan mobil bekas,dan sebagainya.

Terumbu buatan setelah beberapa waktu ditempatkan di dasar perairan, akan ditumbuhi oleh berbagai jenis biota penempel seperti algae, karang lunak dan biota penempel lainnya yang diantaranya merupakan jenis makanan ikan; sehingga dengan demikian ikan akan datang ke terumbu, selain untuk mencari tempat berlindung juga mencari makan dan pada akhirnya akan berkembang biak di terumbu buatan tersebut (Wasilun dan Murniyati, 1997).

Seamen dan Jensen (2000), mencatat bahwa minimal terdapat 13 jenis tujuan penggunaan terumbu buatan, yaitu : 1. Meningkatkan produksi perikanan

rakyat;2. Meningkatkan produksi perikanan

komersial;3. Lokasi budidaya laut dan marine

ranching;4. Meningkatkan recreational fishing

(memancing dan spear);5. Lokasi rekreasi skin diving;6. Lokasi pariwisata bawah laut

(submarine tourism);7. Mengendalikan mortalitas penangkapan

ikan; 8. Mengendalikan life history organism

laut; 9. Melindungi habitat ikan;10. Daerah konservasi keanekaragaman

hayati laut; 11. Mengurangi degradasi dan kehilangan

habitat;12. Meningkatkan kualitas air dan kulaitas

habitat; 13. Penelitian dan pendidikan.

Menurut Soesilo dan Budiman (2003), salah satu tujuan penanaman terumbu buatan yaitu untuk menumbuhkan kembali terumbu karang yang telah rusak. Terumbu Karang di Indonesia, kondisinya mengalami penurunan drastis hingga 90% dalam lima puluh tahun terakhir akibat

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 11

POJOK RISET

penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Total terumbu karang Indonesia yang mencapai 85.200 km2, terluas ke dua di dunia setelah Great Barrier Reef itu tercatat 40 persen diantaranya berada dalam kondisi rusak, rusak sedang 24 persen, dan sangat baik hanya enam persen. Hasil survey P2O LIPI (2006) menyebutkan bahwa hanya 5,23% terumbu karang di Indonesia yang berada di dalam kondisi yang sangat baik. Ancaman utama yang tercatat adalah : pembangunan daerah pesisir, polusi laut, sedimentasi dan pencemaran dari darat, overfishing (penangkapan ikan berlebih), destruktif fishing (penangkapan ikan dengan cara merusak), dan pemutihan karang (coral bleaching ).

Menurut Dartnall & Jones (1986), ikan karang dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok berdasarkan tujuan pengelolaan, yaitu kelompok ikan target (ekonomis/ konsumsi), kelompok ikan mayor (berperan dalam rantai makanan). Dalam hal ini yang dimaksud dengan ikan target adalah ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting seperti Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae dan Haemulidae.

Komunitas ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu karang, merupakan jumlah yang paling berlimpah, dengan keanekaragaman spesies sebanding dengan keanekaragaman spesies karang batu. Tingginya keanekaragaman ini disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang, dimana semua tipe habitat tersebut diisi oleh spesies ikan karang (Emor, 1993 dalam Unstain et al. 2011).

2.2 Keramba Jaring ApungMetode keramba jaring apung

merupakan teknik akuakultur yang paling produktif dan intensif, dengan konstruksi yang tersusun dari keramba-keramba jaring yang dipasang pada rakit terapung di perairan pantai (Sunyoto, 2000). Beberapa keuntungan yang dimiliki metode keramba jaring apung adalah tingginya padat penebaran, jumlah dan mutu air yang selalu memadai, tidak memerlukan pengolahan tanah, mudah mengendalikan pemangsa dan mudah dalam pemanenan (Kordi, 2001).

Karamba jaring apung terdiri dari : 1. Rakit dan pelampung di permukaan laut

akan berfungsi sebagai rumpon atau fish aggregating devices (FAD), yang menarik berbagai jenis ikan untuk berkumpul di sekitarnya.

2. Jaring pemeliharaan ikan yang digantung dibawahnya akan berperan sebagai fish attractor, menarik perhatian ikan-ikan kecil untuk berlindung di sekitarnya.

3. Tali jangkar dapat bertindak sebagai squid attractor, merangsang cumi atau sotong untuk melekatkan telurnya. Disamping itu penempelan biota filter feeder pada tali jangkar dapat memulihkan kualitas perairan.

4. Tumpukan-tumpukan batu jangkar di dasar perairan akan berfungsi sebagai artificial reefs yang merupakan tempat berlindung ikan-ikan ekonomis penting.

2.3. Fish Aggregating Devices (FAD)

Rumpon telah menjadi salah satu alternatif untuk menciptakan daerah penangkapan buatan dan manfaat keberadaannya cukup besar. Sebelum mengenal rumpon, nelayan menangkap ikan dengan cara mengejar ikan atau menangkap kelompok ikan di laut, kini dengan semakin berkembangnya rumpon maka pada saat musim penangkapan lokasi penangkapan menjadi pasti di suatu tempat.

Ikan berkumpul disekitar rumpon untuk mencari makan. Rumpon atau fish aggregating devices merupakan salah satu alat bantu yang ditempatkan mengapung di permukaan laut untuk mengumpulkan ikan-ikan pelagis sehingga memudahkan operasi penangkapannya. Manfaat penggunaan rumpon antara lain adalah untuk menghemat waktu dan bahan bakar dalam pengejaran gerombolan ikan (dengan telah ditentukan daerah penangkapan maka tujuan penangkapan oleh nelayan dapat menghemat bahan bakar, karena mereka tidak lagi mencari dan menangkap kelompok renang ikan dengan menyisir laut yang luas), meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya; dan meningkatkan mutu hasil tangkapan ditinjau dari jenis ikan dan komposisi ukuran.

2.4. Asosiasi Ikan di Habitat Buatan

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 12

POJOK RISET

Ikan karang merupakan organisme yang jumlah biomassanya terbesar dan juga merupakan organisme besar yang mencolok dapat ditemui di dalam ekosistem terumbu karang. Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman dan produktivitas biologinya. Banyak celah dan lubang di terumbu karang yang memberikan tempat tinggal, perlindungan tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan hewan invertebrata yang ada disekitarnya.

Kecenderungan dari ikan-ikan karang adalah mereka tidak berpindah-pindah dan selalu berada pada daerah tertentu dan sangat terlokasi walaupun masih banyak (Nybakken, 1988). Beberapa kelompok besar ikan yang mendiami terumbu karang antara lain, kelompok ikan famili Pomancentridae, Labridae, Chaetodontidae, Apogonidae, Scaridae, Serranidae, Siganidae, Lutjanidae, dan Gobiidae (Allen dan Steene, 1994).

Pertanyaan apakah habitat buatan dapat memberikan kontribusi terhadap produksi baru stock ikan target, sampai saat ini masih merupakan kontroversi (Pickering dan Whitemarsh, 1997; Bohnsack et al., 1997; Miller dan Falace, 2000). Dua mekanisme yang sering disebutkan bahwa habitat buatan dapat meningkatkan produksi perikanan adalah: (1) jika shelter membatasi produksi ikan, maka tambahan shelter yang diberikan oleh habitat buatan akan dapat mengumpulkan sumberdaya ikan lebih banyak dari daerah pantai untuk masuk ke dalam biomasa ikan, dan tingkat dimana mekanisme ini dapat menaikan produksi ikan akan sangat bergantung pada jumlah makanan yang tersedia pada substrat habitat dan perairan sekitarnya; (2) jika makanan membatasi populasi ikan, maka produksi primer baru dan produksi sekunder organisme penempel dasar yang didukung oleh habitat buatan, akan menyokong rantai makanan baru yang pada akhirnya akan meningkatkan biomasa ikan.

Kedua mekanisme tersebut pada kenyataannya tidaklah berdiri sendiri-sendiri tetapi saling berinteraksi (Bohnsack et al., 1991), terutama di daerah habitat tropis oligotropik. Peningkatan heterogenitas struktur akan memberikan sudut-sudut dan celah-celah bagi sedimen dan bahan-bahan organik untuk berakumulasi dan dimineralisasikan kembali. Jadi, disamping

memberikan area permukaan untuk produser primer, maka mekanisme lainnya adalah: peningkatan kompleksitas struktur habitat buatan akan dapat menaikan produktivitas dalam sistem oligotropik.

Jika suatu species ikan atau invertebrata tertentu yang menjadi target, maka kebutuhan makanannya haruslah diidentifikasi. Beberapa kasus menunjukkan bahwa habitat buatan dapat meningkatkan kelimpahan ikan karena ketersediaan shelter, dimana sumber bahan makanan yang ada di habitat buatan kurang penting bagi ikan yang menempatinya. Ikan-ikan tersebut mencari makan di daerah yang luas termasuk di habitat berdasar pasir dan berumput yang berdekatan. Oleh karena itu, pendugaan produktivitas primer dan produktivitas sekunder yang lebih rendah di daerah habitat buatan dan sekitarnya, akan membantu dalam mengestimasi jumlah makanan yang tersedia untuk mendukung produktivitas sekunder ikan-ikan yang menetap di habitat buatan.

2.5. Faktor Lingkungan Utama Yang Mempengaruhi Asosiasi Ikan

a. Suhu Suhu merupakan parameter yang

paling mudah diamati, dan dari banyak penelitian diketahui bahwa ikan sangat peka terhadap perubahan suhu kurang dari 0,10C, contohnya ikan teleostei mampu mendeteksi perubahan suhu 0,030C. Tiap spesies ikan menghendaki suhu optimum, dan perubahan suhu berpengaruh pada proses metabolisme, sehingga mempengaruhi aktivitas ikan dalam mencari makan dan pertumbuhan ikan muda selain itu juga mempengaruhi massa air laut (Brotowidjoyo, 1995).

Suhu adalah salah satu faktor penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Pada umumnya bagi organisme yang tidak dapat mengatur suhu tubuhnya memiliki proses metabolisme yang meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu 10 0C (Nybakken, 1988).

b. Kecepatan arus Arus air laut mentransportasikan telur

ikan, larva ikan dan ikan-ikan kecil dan sifat-sifat lingkungan laut secara lokal berubah oleh arus air laut. Dalam air yang tenang arah mobilitas ikan bersifat random dan kenaikan tingkat aktivitas ikan berlangsung

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 13

POJOK RISET

karena kenaikan kecepatan arus, namun kenaikan tingkat aktivitasnya memperlihatkan keragaman yang bergantung pada spesies (Brotowidjoyo, dkk 1995).

Sirkulasi air di perairan pesisir semi tertutup seperti selat, teluk dan estuaria sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Dalam kurun waktu antara air surut dan air pasang (6 – 12 jam) massa air laut mengalir dari laut lepas menuju pantai atau memasuki teluk/estuaria. Sebaliknya pada kurun waktu antara air pasang dan air surut massa air laut akan mengalir kembali menuju laut lepas (Dahuri dkk., 1996).

c. KecerahanKecerahan air merupakan ukuran

transparansi perairan dan pengukuran cahaya sinar matahari didalam air dapat dilakukan dengan menggunakan lempengan/kepingan Secchi disk. Jumlah cahaya yang diterima oleh phytoplankton diperairan asli bergantung pada intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam permukaan air dan daya perambatan cahaya didalam air. 

Masuknya cahaya matahari kedalam air dipengaruhi juga oleh kekeruhan air (turbidity). Sedangkan kekeruhan air menggambarkan tentang sifat optik yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat didalam perairan. Definisi yang sangat mudah adalah kekeruhan merupakan banyaknya zat yang tersuspensi pada suatu perairan.

Kekeruhan air dapat dianggap sebagai indikator kemampuan air dalam meloloskan cahaya yang jatuh kebadan air, apakah cahaya tersebut kemudian disebarkan atau diserap oleh air. Semakin kecil tingkat kekeruhan suatu perairan, semakin dalam cahaya dapat masuk kedalam badan air, dan demikian semakin besar kesempatan bagi vegetasi akuatis untuk melakukan proses fotosintesis (Brotowidjoyo, dkk 1995).

d. Salinitas Hampir semua organisme laut hanya

hidup pada ruang perairan yang mempunyai perubahan salinitas yang sangat kecil (Hutabarat dan Evans, 2000). Salinitas berpengaruh terhadap osmoregulasi ikan dan berpengaruh besar terhadap fertilisasi dan perkembangan telur, sebagian besar

organisme bersifat stenohaline yaitu hanya mampu beradaptasi terhadap perubahan salinitas yang sempit (Laevastu dan Hayes, 1981).

Salinitas berkaitan erat dengan gejala tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas di sekitarnya. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya (Laevastu dan Hayes, 1981).

Salinitas air berpengaruh pada reproduksi, distribusi dan lamanya hidup ikan serta orientasi migrasi. Variasi salinitas air yang jauh dari pantai (off shore) relatif kecil, sebaliknya di daerah pantai variasi salinitas relatif besar karena percampuran dengan penambahan air tawar dari sungai. Salinitas air laut bebas (jauh dari pantai) bervariasi antara 30 – 36 psu dan hasil tangkapan baik bila salinitas 34,7 psu dan bila di atas 35 psu hasil tangkapan rendah (Brotowidjoyo, dkk 1995).

e. pH Organisme air yang dapat hidup

dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat asam maupun yang sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Baur,1987 dalam Barus 2002). Keasaman air atau pH air sangat berperan penting bagi kehidupan ikan, pada umumnya pH yang sangat cocok untuk semua jenis ikan berkisar antara 6,7 – 8,6. Namun begitu ada beberapa jenis ikanyang karena lingkungan hidup aslinya di rawa – rawa, mempunyai ketahanan untuk tetap bertahan hidup pada kisaran pH yang sangat rendah ataupun tinggi yaitu antara 4–9 (Susanto,1995).

3. Tempat dan Waktu Penelitian

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 14

POJOK RISET

Penelitian ini dilakukan di perairan Selat Lembeh Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara, pada posisi geografis 10 23’ 23” - 10

35’ 39” LU dan 1250 1’ 43” - 1250 18’ 13” BT dengan sasaran penelitian yakni perairan sekitar penempatan karamba jaring apung dimana terumbu buatan diletakkan (terlihat pada Gambar 01). Waktu penelitian mulai dari persiapan sampai penyusunan laporan hasil berlangsung selama 4 (empat) bulan, yaitu dari bulan September sampai Desember 2013.

Gambar 01. Lokasi Penelitian(Sumber : JICA Study Team, 2012)

Bahan dan Alat PenelitianTabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No. Alat dan Bahan Kegunaan1. Karamba jaring apung, 1

unitTempat pemeliharaan ikan

2. Terumbu buatan 9 (Sembilan) unit

Sebagai habitat buatan, salah satu tujuan/manfaat untuk memperbaiki ekosistem yang telah rusak

3. Perlengkapan selam (SCUBA) 2 unit

untuk mengamati keadaan bawah air

4. Snorkel, 2 set untuk mengamati keadaan bawah air

5. Perahu bermotor tipe pelang 40 PK, 1 unit

Alat transportasi

6. Timbangan duduk dan meteran

Mengukur berat dan panjang ikan

7. Jaring insang/Gill net, 2 set Menangkap ikan8. Alat tangkap pancing dan

jaring insang;Menangkap ikan

9. Alat ukur kualitas air (indicator pH, salinometer, refraktometer, secchi disk, thermometer, layangan air)

Mengukur kualitas perairan

10. Buku petunjuk identifikasi, A field guide for anglers and divers (Allen, 2000); Tropical Reef-Fishes of The Western Pacific Indonesian and

Identifikasi ikan

Adjancent Waters (Kuiter, 1992).

11. Kamera bawah air Dokumentasi12. Alat tulis menulis Pencatat data13. Modul Solar Cell, satu buah; Untuk penerangan pada

malam hari14. Cool box dan es. Menyimpan ikan sampel

Untuk desain terumbu buatan terbuat dari bahan cor semen dimana dibuat sebanyak 9 unit, terdiri dari 3 macam ukuran yang berbeda dengan bentuk kubus atau segi empat sama sisi. Terumbu Buatan I dengan ukuran panjang 80 cm, lebar 80 cm, tinggi 25 cm, terumbu buatan III dengan ukuran ukuran panjang 60 cm, lebar 60 cm, tinggi 25 cm dan terumbu buatan III dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm, tinggi 25 cm (terlihat pada gambar 02 dibawah ini)

02. Desain Terumbu Buatan(Sumber : Samuel, Hamel. Dkk. 2012))

3.3. Metode PenelitianPenelitian ini didasarkan pada metode

deskriptif, yaitu suatu metode dalam menyelidiki suatu objek atau suatu kelas

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 15

3.2.

POJOK RISET

peristiwa pada masa sekarang (Nasir, 1999). Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

3.4. Teknik Pengumpulan DataStruktur asosiasi ikan di sekitar

keramba jaring apung diamati dengan teknik Underwater visual census (UVC) oleh dua orang SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus) divers setiap minggu selama sebulan. Teknik ini paling sering digunakan untuk mengumpulkan data populasi, assemblage dan life-history ikan serta makro-invertebrata (Bortone and Kimmel, 1991; Bortone et al. 2000).

Kehadiran spesies ikan pada berbagai habitat diamati berdasarkan stationary points atau point-count method (Bortone et al. 2000); yaitu melakukan pengamatan dari posisi yang relatif tetap pada suatu area geometris (sirkular atau kuadran) dalam waktu tertentu (selama 5 menit) secara berulang. Point-count dapat dilakukan dari luar atau di tengah area dengan radius antara 3 – 15 m bergantung pada daya pandang, tetapi Bortone et al (2000) menetapkan radius 5,64 m sebagai standar.

Teknik pengumpulan data untuk mendekati tujuan penelitian yang telah ditetapkan, yaitu mempelajari struktur asosiasi ikan target di sekitar terumbu buatan dan keramba jaring apung, dilakukan dengan cara meletakkan 9 (sembilan) unit terumbu buatan di bawah penempatan keramba jaring apung. Jarak penempatan terumbu buatan dari keramba jaring apung sekitar 10 – 15 meter didepan keramba jaring apung. Dan jarak antara terumbu buatan satu dengan lainnya sekitar 5-7 meter. Waktu pengamatan dilakukan pada siang hari (pukul 09.00 – 15.00 wita), dan pada malam hari (pukul 16.00 – 22.00 wita) dilakukan pengamatan dengan memeriksa setiap lubang dengan menggunakan senter kedap air disamping itu dilakukan juga pengambilan sampel ikan dengan menggunakan alat tangkap pancing (hand line) dan gill net. Fenomena biologi lainnya dicatat secara in situ pada polyvinyl chloride boards. Sebelum pengamatan, penyelam dilatih mengidentifikasi jenis-jenis ikan dengan menggunakan buku identifikasi (Allen, 1999; Sardjono, 1979 dan Rudie H.

Kuiter, 1992), mengestimasi panjang total ikan dari model-model ikan species target pada radius 5 m dari struktur buatan. Dilakukan juga pengambilan sampel ikan untuk menghitung biomasa tiap spesies ikan yang berasosiasi dengan mengukur panjang dan berat dari ikan yang tertangkap.

3.5. Teknik Analisis Data Kelimpahan spesies ikan di sekitar

keramba jaring apung dianalisis dengan beberapa indeks seperti yang dikemukakan oleh Ludwig dan Reynold (1988), sebagai berikut:(1) Indeks keragaman (diversity indices) :a.Shannon,sIndex,

……..

(1)Kriteria nilai keanekaragaman indeks

Shannon menurut Magurran (1988) sebagai berikut :a. H’ < 1.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendahb. H’ = 1.5 – 3.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang c. H’ > 3.5 menunjukkan keanekaragaman tergolong tinggi.dimana: S = Jumlah spesies, pi = Proporsi individu spesies ke i, A = 0, 1, dan 2N = Jumlah individu pada semua S spesies, ni = Jumlah individu spesies ke i

(2) Indeks kekayaan (richness indices):

Margalef’sIndex, , ………… (2)

Kriteria nilai indeks kekayaan (richness indices) menurut Magurran (1988) sebagai berikut :a. R1 < 3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendahb. R1 = 3.5 – 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedangc. R1 > 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong tinggi dimana : S = Jumlah total spesies dalam komunitas, n = jumlah total individu dalam spesies.

(3). Biomasa ikanUntuk menghitung biomasa tiap

spesies ikan yang berasosiasi, digunakan

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 16

POJOK RISET

formula hubungan panjang berat dari ikan sampel yang ditangkap di perairan sekitarnya selama penelitian, yaitu:

W = aLb ……………………………………… (3) atau Log W = Log a + b Log L

dimana: W = Berat individu ikan, L = Panjang baku ikan (mm)

a,b = Konstanta

nilai b < 3 artinya pertambahan panjang tidak secepat pertambahan berat

nilai b = 3 artinya pertambahan panjang dan berat seimbang

nilaii b > 3 pertambahan panjang lebih lambat dari pertambahan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1. Asosiasi Ikan Target di Sekitar

Terumbu Buatan dan Keramba Jaring ApungBerdasarkan hasil pengamatan dengan

menggunakan snorkling dan hasil tangkapan dengan menggunakan jaring gill net dan pancing tangan yang dioperasikan sebanyak 4 (empat) kali pengamatan selama 1 (satu) bulan. Dimana waktu pengamatan selama 1 (satu) bulan dibagi menjadi 2 (dua) waktu pengamatan, yakni waktu pagi hari dan sore hari. Jumlah total individu ikan yang teramati, baik secara visual maupun dengan menggunakan alat tangkap gill net dan pancing tercatat untuk species target terdiri dari 16 famili dan 24 spesies dengan jumlah total individu 382. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 2, sedangkan rinciannya disajikan pada Lampiran 1, dan 2.

Tabel 2. Jumlah species target di sekitar struktur terumbu buatan berdasarkan waktu pengamatan.Pengamatan Waktu Pengamatan Famili Spesies Individu

I Pagi 7 5 32Sore 6 4 21Sub total 5 8 53

II Pagi 5 8 35Sore 5 7 35Sub Total 7 10 70

III Pagi 6 8 57Sore 9 12 70Sub total 9 13 115

IV Pagi 8 10 64Sore 8 11 80Sub total 10 14 144Jumlah total 10 46 382

Jumlah jenis ikan target spesies berdasarkan data Tabel 2, terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah individu sejak awal pengamatan dilakukan. Tentunya hal ini dipengaruhi oleh keberadaan terumbu

buatan dan keramba jaring apung yang memberikan dampak signifikan terhadap kehadiran yang berasosiasi disekitar daerah penempatan terumbu buatan dan keramba jaring apung.

Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 2, dapat dijelaskan pula bahwa secara umum ikan target yang tergolong ikan ekonomis penting yang berasosiasi dengan terumbu buatan dan keramba jaring apung berdasarkan jumlah individu yang berinteraksi pada pagi dan sore berbeda dari segi jumlah. Untuk pengamatan pagi jumlah individu yang teramati selama 4 kali pengamatan berjumah 188 individu sedangkan untuk pengamatan sore berjumlah 206 individu.

Melihat perbedaan jumlah individu yang berinteraksi dan berasosiasi disebabkan adanya perbedaan sifat atau tingkah laku ikan berdasarkan jenis spesies. Populasi ikan target berubah dari siang ke malam hari, di mana ikan-ikan diurnal yang terlihat sebagian besar pada siang hari akan berlindung di dalam terumbu dan digantikan oleh sejumlah kecil spesies nocturnal yang tidak terlihat pada siang hari. Ikan pemakan planktonlah yang biasanya banyak tersebar disekeliling terumbu pada siang hari, dan bersembunyi atau berlindung di celah-celah terumbu pada malam hari. Inilah yang memungkinkan timbulnya perbedaan jumlah spesies ikan target yang berasosiasi dengan terumbu buatan dan keramba jaring apung.

Pada Gambar 3 disajikan grafik total individu yang berasosiasi disekitar terumbu buatan dan keramba jaring apung berdasarkan waktu pengamatan, dimana jumlah total spesies yang berasosiasi dengan lebih banyak pada waktu sore hari.

Gambar 3. Grafik jumlah total individu target spesies yang teramati disekitar terumbu buatan dan keramba jaring apung.

Untuk mengetahui efektifitas dari terumbu buatan sebagai pengganti terumbu karang alami yang rusak, maka dapat di lihat dari keanekaragaman jenis ikannya. Pada penelitian ini nilai keanekaragaman

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 17

POJOK RISET

difokuskan pada ikan target, karena memiliki nilai ekonomis.

4.2. Kelimpahan Target SpesiesKehadiran species target seperti yang

terjasi pada Gambar 4 menunjukan bahwa keberadaan terumbu buatan dan keramba jaring apung mampu menarik spesies ikan target. Baik pagi maupun sore hari, kunjungan target spesies semakin banyak seiring dengan waktu keberadaan terumbu buatan dan keramba jaring apung. Hal ini diduga bahwa sisa-sisa makan yang terbawa arus laut pada keramba jaring apung, mampu memikat dan menarik spesies target untuk berasosiasi.

Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (indeks Shannon) spesies target seperti yang tersaji pada Lampiran 2, sebesar H’ = 2,57. Hal ini berarti bahwa nilai keanekaragaman jenis spesies target tergolong sedang (H’ = 1.5 – 3.5), artinya bahwa penyebaran komunitas spesies target diperairan beragam dan tidak didominasi oleh satu spesies saja. Kondisi ini tentunya dipengaruhi oleh waktu pengamatan yang dilakukan selama 2 bulan, sehingga asosiasi yang terbentuk antara ikan target dengan keberadaan terumbu buatan dan keramba jaring apung hanya sebatas waktu pengamatan. Dengan melihat grafik seperti yang terjadi pada Gambar 3, dapat diasumsikan bahwa terjadi peningkatan jumlah individu seiring dengan periode waktu pengamatan. Jadi dapat disimpulkan secara umum bahwa dengan bertambahnya periode pengamatan, maka jumlah individu target spesies yang berasosiasi juga akan semakin bertambah jumlahnya.

Hasil perhitungan indeks keseragaman atau indeks dominasi (indeks simpson) spesies target seperti yang terjadi pada Lampiran 2, sebesar 0,11. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai indeks keseragaman kecil, yang berarti bahwa penyebaran individu setiap jenis spesies target relatif tidak merata dan ada kecenderungan terjadi dominansi oleh satu genera dari jenis yang ada. Hal dapat dilihat pada data yang tersaji pada Lampiran 1, dimana menunjukkan bahwa ada beberapa spesies target yang jumlahnya mendominasi selama pengamatan dilakukan yakni dari famili Pomancentridae dengan jumlah individu 86 ekor, famili Carangide dengan

jumlah individu 49 ekor dan dari famili Acanthuridae sebnyak 44 ekor.

Hasil perhitungan indeks kekayaan (richness indices) seperti yag tersaji pada Lampiran 2 diperoleh nilai R = 2,523, dimana nilai ini menunjukkan bahwa kekayaan jenis spesies target tergolong rendah. Hal ini disebabkan periode waktu pengamatan yang relatif singkat, sehingga diduga bahwa terumbu buatan yang telah dipasang disekitar keramba jaring apung belum menarik spesies terget berasosiasi. Tentu ini ada hubungannya dengan struktur terumbu buatan yang belum berfungsi secara maksimal sebagai tempat mencari makan bagi ikan target. Ada dugaan bahwa jika keberadaan terumbu buatan semakin lama, maka akan terbentuk karang-karang muda sehingga akan mengundang berbagai spesies target yang datang ke lokasi tersebut.

4.3. Biomasa IkanUkuran panjang dan berat tubuh ikan

target yang tertangkap selama penelitian, disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Ukuran panjang dan berat ikan target yang tertangkapNo. Ikan Berat (gram) Panjang

(cm) ln L (panjang) ln W (berat)

17

433,761200116 1,324738086

2 5,2 29,5 3,384390263 1,2191737613

5 21 3,044522438 1,113344054

4 1,2 17,5 2,862200881 1,0515908685

0,9 11,5 2,442347035 0,892959477

6 29 34 3,526360525 1,2602663267

16 15,2 2,721295428 1,001108027

8 0,6 13 2,564949357 0,9419387359

14 23,5 3,157000421 1,149622343

10 36 38 3,63758616 1,29132031911

50 21,5 3,068052935 1,121043137

12 450 30 3,401197382 1,22412754113

600 43 3,761200116 1,324738086

14 50 13,1 2,57261223 0,94492181515

100 28 3,33220451 1,2036341

Berdasarkan data pada Tabel 3, bahwa ikan target yang diukur panjang dan berat tubuhnya, memiliki ukuran yang berbeda-beda antara ikan yang satu dengan

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 18

POJOK RISET

ikan yang lainnya. Adapun ukuran ikan yang terpanjang adalah 43 cm, dengan beratnya yakni 7 gram, sedangkan ukuran yang terpendek yakni 11,5 cm dengan beratnya adalah 0,9 gram.

Dalam suatu pengukuran pertambahan panjang dan berat ikan, terdapat nilai b yang ikut menentukan dalam pengukuran tersebut. Untuk menghitung biomasa tiap spesies ikan yang berasosiasi, digunakan formula hubungan panjang berat dari ikan sampel yang ditangkap di perairan sekitarnya selama penelitian. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai persamaan hubungan antara panjang dan berat tubuh ikan target yakni y = 0,3246x + 0,1155 dengan nilai R2 = 0,9965, seperti yang tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik hubungan panjang dan berat tubuh ikan target yang tertangkapdengan pancing dan gill net.

Berdasarkan nilai persamaan pada grafik tersebut diatas, diperoleh nilai b = 0, 3246 dan nilai a = 0, 1155. Hal ini menjelaskan bahwa dengan nilai b < 3 menunjukkan bahwa pertambahan panjang tubuh ikan tidak secepat pertambahan berat tubuhnya. Artinya bahwa pola pertumbuhan ikan bersifat allometrik negatif, dimana pertambahan panjang pada ikan tersebut  lebih cepat berbanding pertambahan bobot.

4.4. Faktor-Faktor Lingkungan Utama Yang Mempengaruhi Asosiasi Ikan

A. Suhu

Suhu air menjadi faktor pembatas utama yang menentukan pertumbuhan dan kehidupan ikan. Suhu yang tinggi akan meningkatkan jumlah konsumsi oksigen sehingga dapat menyebabkan kematian. Suhu berpengaruh terhadap kelarutan gas-gas di dalam air dan kehidupan organisme di dalamnya. semakin tinggi suhu di perairan maka semakin tinggi pula metabolisme ikan sehingga dalam proses tersebut maka ikan membutuhkan banyak energi untuk kelangsungan kehidupannya.

Hasil pengukuran suhu perairan disekitar lokasi penelitian seperti yang disajikan pada Tabel 4, berkisar antara 29 – 30 OC dengan nilai rata-rata suhu perairan 29,4 OC. Kisaran suhu ini masih merupakan toleransi bagi ikan-ikan target untuk berinteraksi dan berasosiasi disekitar keramba jaring apung dan terumbu buatan.

B. SalinitasSalinitas berkaitan erat dengan gejala

tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas di sekitarnya. Ikan cenderung untuk memilih medium dengan kadar salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya.

Hasil pengukuran parameter salinitas perairan disekitar lokasi penelitian seperti yang disajikan pada Tabel 4, berkisar 31 - 32 psu dengan nilai rata-rata 31,5 psu. Nilai salinitas ini masih merupakan toleransi bagi ikan-ikan target untuk berinteraksi dan berasosiasi disekitar keramba jaring apung dan terumbu buatan.

C. Kecepatan ArusArus air laut mentransportasikan telur

ikan, larva ikan dan ikan-ikan kecil dan sifat-sifat lingkungan laut secara lokal berubah oleh arus air laut. Dalam air yang tenang arah mobilitas ikan bersifat random dan kenaikan tingkat aktivitas ikan berlangsung karena kenaikan kecepatan arus, namun kenaikan tingkat aktivitasnya memperlihatkan keragaman yang bergantung pada spesies ikan.

Hasil pengukuran kecepatan arus permukaan perairan disekitar lokasi penelitian seperti yang disajikan pada Tabel 4, berkisar 0,19 – 0,26 m/detik dengan nilai rata-rata 0,22 m/detik. Nilai kecepatan arus cukup berfluktuasi, hal ini disebabkan perairan lokasi penelitian memiliki arus yang

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 19

POJOK RISET

cukup kuat terutama pada saat menjelang malam hari pada saat terjadi peristiwa pasang-surut.

D. KecerahanKekeruhan air berbeda dengan yang

lain, karena langsung dapat dilihat oleh panca indera. Jika keruhnya oleh plankton, hal itu sangat baik untuk nafsu makan namun jika keruhnya karena lumpur yang terlalu tebal itu akan menggangu. Kandungan lumpur yang terlalu pekat dalam air akan mengganggu penglihatan organisme sehingga menjadi salah satu sebab kurangnya nafsu makan.

Hasil pengukuran tingkat kecerahan perairan disekitar lokasi penelitian seperti yang disajikan pada Tabel 4, cukup besar yakni berkisar 16 – 19 meter. Nilai ini cukup baik, karena kemampuan cahaya matahari mampu menembus sampai pada kedalaman antara 16 – 19 meter.

E. pHOrganisme air dapat hidup dalam

suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat asam maupun yang sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.

Hasil pengukuran nilai pH perairan di lokasi penelitian seperti yang disajikan pada Tabel 4, cukup stabil yakni 8. Nilai ini masih masuk dalam interval nilai pH yang ideal bagi organisme.

Tabel 4. Hasil pengukuran parameter lingkungan perairan di lokasi penelitian

Hasil Pengukuran

Parameter Lingkungan PerairanSuhu Salinitas Kecepatan

Arus (m/detik)

pH Kecerahan (meter)

I Pagi 29 31 0,20 8 17Sore 29 32 0,22 8 18

II Pagi 29 31 0,24 8 16Sore 30 31 0,26 8 18

III Pagi 30 32 0,19 8 17Sore 30 32 0,21 8 19

IV Pagi 29 31 0,20 8 17Sore 30 32 0,21 8 18

Rerata 29,4 31,5 0,22 8 17,5

5. KESIMPULAN DAN SARAN5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :1. Struktur asosiasi ikan target di sekitar

terumbu buatan dan keramba jaring apung yakni menjadikan areal tersebut sebagai shelter dan visitor.

2. Hasil pengukuran parameter lingkungan perairan secara umum masih dalam batas toleransi sehingga ikan target tetap melakukan aktivias di sekitar lokasi penelitian.

3. Nilai indeks keragaman ikan target yakni 2,57; nilai indeks keseragaman 0,11; nilai indeks kekayaan sebesar 2,52 serta nilai hubungan panjang dan berat tubuh ikan target sebesar 0, 3246.

5.2. Saran1. Monitoring jangka panjang diperlukan

untuk memprediksi dampak penempatan terumbu buatan dan keramba jaring apung yang lebih nyata terhadap biota laut dan habitat lingkungan sekitarnya.

2. Perlu dikaji jenis ikan-ikan non target yang berasosiasi disekitar penempatan terumbu buatan dan keramba jaring apung.

DAFTAR PUSTAKAAllen, G.R. & R. Steene, 1994. Indo-Pasific Coral

Reef Field Guide. Tropical Reef Research. Singapore. 378 p

Allen, G. 1999. A field Guide for anglers and Divers. Marine Fishes of Sout. East Asia. 292 p.

Baine M. 2001. Artificial reefs: a review of their design, application, management and performance. Ocean and Coastal Management. 44: 241 – 259.

Barus T. A. 2002.  Pengantar Limnologi.  USU-Press.  Medan

Bohnsack JA, Johnson DL, Ambrose RF. 1991. Ecology of artificial habitats and fishes (61 – 107). In: Seaman W Jr, Sprague LM, editors. Artificial habitats for marine and freshwater fisheries. Academic Press, San Diego.

Bohnsack JA, Ecklund AM, Szmant AM. 1997. Artificial reef research: is there more than the attraction-production issue? Fisheries 22:14-16.

Bortone S.A.and Kimmel J.J. 1991. Environmental assesment and monitoring of artificial reefs (177 – 236). In: Seaman W Jr, Sprague LM. (eds). Artificial habitats for marine and freshwater fisheries. Academic Press, San Diego.

Bortone S.A. MA Samoilys and P. Francour. 2000. Fish and macroinvertebrate evaluation methods (127 – 164). In: Seaman W Jr.

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 20

POJOK RISET

Artificial reef evaluation, with application to natural marine habitats. CRC Press New York.

Brotowijoyo, M. D., D. Tribawono, dan E. Mulbyantoro. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty. Yogyakarta.

Dahuri R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta.

Dartnall A.J. Jones M. 1986. A Manual of Survey Methods; Living Resources in Coastal Areas. ASEAN-Australia Cooperative Program On Marine Science Handbook. Townsville; Australian Institude of Marine Science. 166 p.

Gunarso, 1985. Tingkah Laku Ikan dalam hubungan dengan metode dan teknik Penangkapan Ikan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. IPB. Bogor.

Hutabarat dan Evans, 2000. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

JICA Study Team, 2002. The Study on the Integrated Coral Reef Management Plan in North Sulawesi in The Republic of Indonesia. Draft Final Report Volume I. Japan International Cooperation Agency. Ministry of Marine Affairs and Fisheries Goverment of Indonesia. Regional Planning. Research and Development Agency North Sulawesi Province. 41 p.

Kordi, 2001. Pembesaran Kerapu bebek di Keramba Jaring Apung. Penerbit Kanisius. 132 hal.

Magurran, E. A. 1988. Ecological diversity and its measurement. University Press Cambridge.

Miller MW, Falace A. 2000. Evaluation method for trophic resource – nutrients, primary production and associated assemblages (95 – 126). In: Seaman W Jr. Artificial reef evaluation, with application to natural marine habitats. CRC Press New York.

Nybakken, J. W. 1998. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit Gramedia Jakarta. 459 hal.

Laevastu, T. and M. L. Hayes. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Books. Farnham. 199 p.

Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical Ecology. A primer on methods and computing. John Wiley and Sons. New York. 337 p.

Pickering H, Whitemarsh D. 1997. Artificial reefs and fisheries exploitation: a review of the attraction versus production debate, the influence on design and its significance for policy. Fisheries Research. 31: 39 – 59.

Pickering, H., D. Whitemarsh and A. Jensen. 1998. Artificial reefs as a tool to aid rehabilitation of coastal ecosystems: Investigating the potential. Mar.Pollut. Bull. Vol. 37 No. 8: 505 – 514.

Reppie E. 2004. Perikanan tangkap yang bertanggung jawab:Studi kasus di Kepulauan Nanusa, Kabupaten KepulauanTalaud, Propinsi Sulawesi Utara. (Materi Kuliah Lapangan Musim Panas di Karatung Kabupaten Kepulauan Talaud, 8 Juli – 6 Agustus 2004,

diselenggarakan oleh Yayasan Laut Lestari Indonesia bekerjasama dengan Dir. Jen P3K, DKP RI).

Rudie H. K., 1992. Tropical Reff-Fishes of The Western Pacific Indonesia and Adjacent Waters. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta-Indonesia. 314 hal.

Sardjono, I. 1979. Buku pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut Bagian I. Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. 170 hal.

Samuel, H. Jerry D. Kalesaran dan Hetty Ondang, 2010. Struktur komunitas Ikan di Sekitar Keramba Jaring Apung Sebagai Peluang Sport Fishing. Hasil Penelitian Dosen APB.

Samuel, H. Daniel, N. Palehel, M dan Hetty, O. 2012. Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Dengan Metode IMTA Dikoneksikan Pada Terumbu Karang Buatan Sebagai Model Pengelolaan Perairan Di Selat Lembeh Kota Bitung. Hasil Penelitian Dosen APB.

Seaman, W. Jr. and A.C. Jensen. 2000. Purposes and practices of artificial reef evaluation (1 – 19). In Seaman, W.Jr. Artificial reef evaluation, with application to natural marine habitats. CRC Press New York.

Silvestre, G. H. J. H. Matdanan, P. H. Y. Sharifuddin, M. W. R. N. De Silva and T. E. Chua (eds.). 1992. The Coastal Resources of Brunei Darussalam : Status, Utilization and Management. ICLARM Conference Proceeding 34, 214 pp.

Sunyoto P. 2000. Pembesaran kerapu dengan keramba jaring apung. PT Penebar Swadaya, Cetakan V. 65 hal.

Susanto, 1995. Studi Hubungan Faktor-Faktor Oseanografi dan Meteorologi Terhadap Penangkapan Ikan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya dengan mempergunakan Set Gill net. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. FPIK-IPB. Bogor.

Soesilo, I dan Budiman. 2003. Laut Indonesia. Teknologi dan Pemanfaatannya. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LISPI), 305 hal.

Trubus. 2000. Rahasia membesarkan kerapu bebek. Trubus No. 362 Edisi Januari 2000. TH. XXXI. 16 hal.

Unstain, N. W. J. R, Mennofatria B, Dietriech G. B, Achmad F. 2011. Struktur Komunitas Ikan Target di Terumbu Karang Pulau Hogow dan Putus-Putus Sulawesi Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. Vol. VII-2, Agustus 2011. p. 60 – 65.

Wasilun dan Murniyati. 1997. Pengembangan Terumbu Karang Buatan Sebagai Alternatif Teknologi Rehabilitasi Kerusakan Terumbu Karang. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. III(2): 10 – 14.

http://www.google.com./29-2-2013

*) Dosen Akademi Perikanan Bitung

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 21

Lampiran. Beberapa Jenis Ikan Target yang teramati dan tertangkap di sekitar terumbu buatan

POJOK RISET

Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 22

Caranx sp

Chromis sp

Kerapu Lumpur(Jenis Epinephelus suilus )

Elagastis bipinnulatus