1
Dewasa ini, Indonesia mengenal istilah intellectual and developmental
disabilities sebagai tuna grahita (Hallahan, Kauffman & Pullen, 2012). Tuna
grahita ialah sebutan bagi individu yang mengalami keterbelakangan baik secara
intelektual maupun perilaku adaptif (Mangunsong, 2009). Menurut AAIDD,
intellectual and developmental disabilities ialah ketidakmampuan atau
keterbatasan baik dalam hal fungsi intelektual (intellectual disability) maupun
perilaku adaptif (developmental disability), serta muncul sebelum usia 18 tahun
(dalam Hallahan dkk, 2012).
Pengertian mengenai tuna grahita tersebut sejalan dengan DSM V (APA,
2013) yaitu intellectual developmental disorder ialah gangguan yang muncul
selama masa perkembangan yang berkaitan dengan keterbatasan dalam hal
intelektual, serta perilaku adaptif yang menyangkut aspek konseptual, sosial dan
praktikal. Ketiga aspek ini merupakan aspek yang berperan penting dalam
kehidupan seseorang. Aspek konseptual berkaitan dengan kemampuan dalam
berbahasa, membaca, menulis, matematika, pengetahuan, dan memori. Aspek
sosial berkaitan dengan kemampuan interpersonal, empati, harga diri, mengikuti
aturan, menjaga diri. Sedangkan aspek praktikal berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari seperti mengatur uang, memasak, merawat diri, serta menjaga
kebersihan.
Terkait prevalensi jumlah invididu tuna grahita di Indonesia, berdasar
pada data dari Riset Kesehatan Dasar 2013 menyatakan bahwa prevalensi
penduduk Indonesia yang mengalami disabilitas ialah 11%. Hasil Sensus Sosial
Ekonomi Nasional tahun 2012 menyatakan bahwa persentase penyandang
disabilitas di Indonesia ialah sebesar 2,45%. Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta merupakan provinsi tertinggi kedua dengan penyandang disabilitas
2
sebesar 3,89%. Selain itu, data yang diperoleh Pusat Data dan Informasi
(Pusdatin) Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI Tahun 2014 di Indonesia
menyatakan bahwa terdapat 30.701 tuna grahita berusia 10-19 tahun berjenis
kelamin laki-laki yang mengalami kesulitan dalam hal mengurus diri sendiri, pada
jenis kelamin perempuan mencapai 31.029 jiwa. Prevalensi penyandang
disabilitas pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki.
Menurut APA (2013), pengkategorian intellectual developmental disorder
selain berdasar pada skor IQ, berdasar pula pada kemampuan seseorang terkait
tiga aspek penting berupa aspek konseptual, sosial dan praktikal. Semakin tinggi
kebutuhan pada ketiga aspek tersebut, maka semakin berat kategori intellectual
developmental disorder yang dialami, serta semakin besar pula dukungan yang
dibutuhkan. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kebutuhan pada ketiga
aspek tersebut, maka semakin ringan kategori intellectual developmental
disorder yang dialami, serta semakin sedikit pula dukungan yang dibutuhkan.
Kebutuhan anak tuna grahita berkaitan erat dengan klasifikasi kategori
yang dimiliki. Terdapat empat kategori intellectual developmental disorder berupa
mild, moderate, severe dan profound (Chia & Wong, 2014; APA, 2013; Armatas,
2009; Mangunsong, 2009). Menurut Mangunsong (2009), karakteristik individu
mild ialah mampu didik dari segi pendidikan, memiliki rentang perhatian yang
pendek, sulit berkonsentrasi dalam waktu lama serta terkadang tidak dapat
melaksanakan kegiatan sosial dengan baik. Karakteristik individu moderate ialah
mampu latih pada beberapa keterampilan atau aktivitas tertentu. Idealnya,
individu dapat dilatih untuk mengurus dirinya sendiri serta dalam hal akademik,
dapat membaca atau menulis sederhana. Mengalami keterbatasan dalam hal
memori sehingga membutuhkan tugas dengan instruksi yang singkat, padat,
3
serta berurutan. Individu dengan karakteristik severe, tidak mampu untuk
mengurus diri sendiri walau pada aktivitas sederhana sehingga membutuhkan
bantuan orang lain. Hal ini menyebabkan individu dengan klasifikasi severe akan
mengalami kesulitan dalam hal bersosialisasi. Pada individu dengan karakteristik
profound, akan mengalami permasalahan yang kompleks yaitu terkait dengan
kondisi fisik, kemampuan intelektual serta membutuhkan program pendidikan
yang tepat.
Hal ini membutuhkan beberapa strategi agar anak tuna grahita mampu
memahami dengan baik keterampilan yang diajarkan, salah satunya dengan
pemberian instruksi yang jelas serta singkat, penggunaan alat bantu, serta
pemberian feedback yang sesuai dengan perilaku yang dimunculkan oleh anak
(Browder, Trela, Courtade, Jimenez, Knight, & Flowers, 2012). Hal ini
dimaksudkan agar keterampilan yang diajarkan kepada anak tuna grahita dapat
berfungsi optimal. Lebih jauh, diharapkan anak mampu mandiri dalam
melaksanakan keterampilan tersebut.
Kemampuan yang berbeda pada setiap kategori anak tuna grahita
menyebabkan hal yang dibutuhkan juga berbeda. Anak tuna grahita
membutuhkan keterampilan dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga
pendidikan yang dapat diberikan ialah terkait pada aktivitas bina diri (Browder,
Trela, & Jimenez, 2007). Selain itu, menurut (Neidert, Dozier, Iwata, & Hafen,
2010; Rai, 2008) anak tuna grahita membutuhkan instruksi yang sistematis untuk
memahami pengajaran pada dirinya. Hal ini bertujuan agar mereka dapat mandiri
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, tidak membutuhkan pendampingan atau
perhatian khusus dari orang terdekat.
4
Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah bina diri. Aktivitas
bina diri atau sering disebut pula dengan activity of daily living merupakan
aktivitas keseharian yang dilakukan oleh anak berkebutuhan khusus. Aktivitas
bina diri disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak sehingga bina
diri yang dilatih pada tiap anak menjadi berbeda, hal ini bergantung pada
kemampuan serta kebutuhan tiap anak.
Bina diri menurut Departemen Pendidikan Nasional (2006) mencakup
pada kemampuan dalam merawat diri, mengurus diri, menolong diri, komunikasi,
dan adaptasi lingkungan. Ruang lingkup dalam merawat diri yaitu makan, minum,
serta menjaga kesehatan badan. Ruang lingkup pada mengurus diri mencakup
berpakaian dalam, berpakaian luar, memakai sepatu dan merias diri. Ruang
lingkup dari menolong diri yaitu menjaga keselamatan dan menghindari bahaya.
Ruang lingkup komunikasi yaitu berkomunikasi melalui perbuatan dan lisan,
serta menggunakan kata-kata sosial. Ruang lingkup terakhir, yaitu adaptasi
meliputi adaptasi dengan lingkungan keluarga, sekolah serta masyarakat dengan
cara bekerjasama atau bermain. Anak diharapkan dapat mandiri pada ruang
lingkup keluarga, sekolah serta masyarakat.
Pendidikan bina diri menurut Basuni (2012) merupakan salah satu
program khusus yang termasuk kepada kurikulum bagi anak tuna grahita yang
dimaksudkan agar memiliki kecakapan atau keterampilan merawat diri sehingga
diharap anak tuna grahita mampu melaksanakan sesuatu secara mandiri tanpa
membutuhkan bantuan dari pihak lain. Hal ini kemudian menjadi sangat penting,
agar pendidikan bina diri menjadi bekal di masa depan yang harus diajarkan
sejak dini.
5
Salah satu aspek utama dalam bina diri ialah merawat diri. Termasuk
pada merawat diri yaitu makan, minum, mandi, menggosok gigi, mencuci muka
serta mencuci tangan. Kebersihan mulut berupa menggosok gigi merupakan
salah satu hal yang penting namun sering terlewat untuk diajarkan serta dilatih
pada anak tuna grahita. Hal ini menyebabkan permasalahan kebersihan mulut
lebih banyak dialami oleh anak tuna grahita dibanding pada anak lainnya (Anders
& Davis, 2010; Stefanovska, Nakova, Radojkova-Nikolovska, & Ristoska, 2010).
Jika hal ini tidak dilatih sejak dini maka dapat menyebabkan kesulitan di masa
mendatang. Selain itu, anak juga akan mengalami penyakit yang berhubungan
dengan gigi dan mulut (Anders & Davis, 2010).
Langkah-langkah menggosok gigi menurut Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (2014) ialah sebagai berikut, yaitu (1) menyiapkan air di dalam
gelas atau cangkir untuk berkumur, (2) memegang sikat gigi dengan benar, (3)
membuka tutup pasta gigi, (4) mengoleskan pasta gigi ke bulu sikat gigi, (5)
berkumur (untuk gosok gigi cara kering tidak diawali dengan berkumur), (6)
menggosok gigi mulai dari bagian depan, samping, dalam dengan gerakan yang
benar dan tekanan yang wajar, (7) berkumur sampai bersih, (8) melap mulut, dan
(9) menyimpan peralatan dan bahan yang telah digunakan pada tempatnya.
Menggosok gigi merupakan salah satu kebutuhan yang wajib dipenuhi
agar tercapainya kesehatan gigi dan mulut yang terjaga dengan baik.
Menggosok gigi dilakukan minimal dua kali sehari yaitu setelah sarapan dan
sebelum tidur (Depkes, 2004). Menurut Stefanovska dkk (2010) keterampilan
menggosok gigi merupakan keterampilan bina diri yang dapat dilatih kepada
anak tuna grahita. Hal ini berawal dari temuan lapangan yang menyatakan
bahwa sebagian besar anak tuna grahita belum mampu untuk menggosok gigi.
6
Beberapa penelitian serupa terkait kemandirian anak dengan tuna grahita
telah dilakukan. Samsuri (2013) dalam penelitian tugas akhir menyatakan bahwa
orangtua berperan aktif dalam memandirikan anak tuna grahita. Kemandirian
pada anak tuna grahita membutuhkan pendampingan dan pengulangan latihan
agar kemampuan yang dilatih dapat bertahan pada anak. Kemandirian yang
perlu dilatih mencakup pada mengurus diri yaitu kebersihan mulut, mandi,
berpakaian dan kebutuhan di toilet yaitu buang air kecil serta buang air besar.
Dalam mengajarkan kemandirian, orangtua diharap mampu untuk memberikan
instruksi secara berulang, memberi arahan serta bimbingan, serta mengajarkan
tata cara yang sesuai.
Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Hardiyanti (2016) mengenai
peningkatan kemampuan menggosok gigi pada anak tuna grahita melalui media
boneka gigi. Menggosok gigi merupakan salah satu kebutuhan yang minim
dikuasai anak tuna grahita. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain pola
asuh orangtua yang kurang tepat dan sulitnya merawat gigi pada anak tuna
grahita. Anak tuna grahita tidak menguasai tahapan dalam menggosok gigi,
memiliki kemampuan yang kurang, serta waktu menggosok gigi yang terlalu
singkat. Selain itu, media ajar yang digunakan sangat sederhana sehingga tidak
menarik minat anak dalam menggosok gigi. Melalui media boneka gigi, proses
belajar menggosok gigi menjadi lebih bervariasi serta kemampuan anak tuna
grahita dalam menggosok gigi menjadi meningkat.
Data preliminary research yang telah dilakukan oleh peneliti pada enam
SLB di kota Yogyakarta (November 2016 – Maret 2017) menyatakan bahwa
terdapat banyak permasalahan yang terjadi pada siswa tuna grahita. Hal ini
berkaitan dengan pihak orangtua di rumah dan guru di sekolah. Permasalahan
7
yang dialami orangtua berupa tidak tega dan pasrah akan keadaan anak. Selain
itu, orangtua juga kurang peka akan kebutuhan anak. Orangtua merasa perlu
untuk membantu anak sehingga memutuskan untuk terlibat langsung, tidak
mengajari atau mendidik cara bina diri yang tepat. Hal ini juga dilakukan oleh
orangtua dengan dalih untuk mempersingkat waktu.
Orangtua mengungkapkan bahwa tidak adanya instrumen berupa
panduan yang tepat dan aplikatif dalam mengajarkan bina diri pada anak tuna
grahita. Orangtua menyampaikan bahwa sebenarnya pemerintah telah
memberikan buku panduan bina diri pada sekolah-sekolah luar biasa, namun
panduan tersebut dinilai kurang aplikatif dalam mengajarkan bina diri. Orangtua
berharap adanya panduan yang berisi langkah-langkah dalam mengajarkan bina
diri pada anak tuna grahita. Dengan adanya panduan tersebut, maka orangtua
dapat lebih maksimal dalam mendidik serta melatih anak tuna grahita sesuai
dengan kebutuhan masing-masing.
Kemampuan bina diri dapat dilakukan di rumah dengan bantuan keluarga
terutama orangtua. Hal ini disebabkan karena orangtua merupakan sosok
terdekat yang dapat mengajari anak tuna grahita dalam melatih keterampilan
menggosok gigi. Orangtua berperan sebagai caregiver yaitu orang terdekat yang
tanpa pamrih memberikan dukungan pada anak yang tidak mampu dalam
menuntaskan aktivitas sehari-hari (Mbugua, Kuria, & Ndetei, 2011; Browne,
2010; Hu dkk, 2010; Savage & Bailey, 2004). Kegiatan menggosok gigi
merupakan salah satu kegiatan yang lebih banyak dilakukan di rumah sehingga
peran orang tua dalam membantu mengoptimalkan kemampuan anak tuna
grahita sangatlah penting (Mohsin, Khan, Doger, & Awan, 2011; Narayan &
Kutty, 2001). Orangtua sebagai pihak terdekat bagi anak di rumah dapat
8
mengajarkan cara menggosok gigi ketika bangun tidur, setelah makan serta
sebelum tidur.
Orangtua memiliki peran untuk melakukan berbagai aktivitas yang
berhubungan dengan perawatan dan pengasuhan. Selain itu, orangtua juga
berperan dalam memberikan dukungan (Ouellette-Kuntz, Blinkhorn, Rouette,
Blinkhorn, Lunksy, & Weiss, 2014). Hasil penelitian (Greeff & Nolting, 2013)
menunjukkan bahwa bentuk dukungan antara orangtua yaitu ayah dan ibu
seperti penerimaan, pola komunikasi efektif, saling menjaga komitmen, bersikap
positif terhadap tantangan serta adaptasi mampu meningkatkan kemajuan yang
bernilai positif bagi anak tuna grahita. Merawat serta mendidik anak yang
memiliki kebutuhan khusus bukanlah hal yang mudah. Kemampuan serta
pengetahuan orangtua yang kurang terkait bagaimana metode yang tepat dalam
merawat serta mendidik anak berkebutuhan khusus juga merupakan hal yang
patut menjadi perhatian bersama (Thwala, Ntinda, & Hlanze, 2015). Hal tersebut
sekaligus membuat beban kerja orangtua di rumah menjadi bertambah (Peer &
Hillman, 2014; Plant & Sanders, 2007).
Terkait peran ayah dan ibu sebagai orangtua, ibu memiliki peran yang
lebih besar dalam mendidik anak. Tingkat kerentanan ibu dalam merasakan
kelelahan lebih cepat jika dibandingkan pada ayah (Rubin & Schreiber-Divon,
2014; Green, 2013; Kimura & Yamazaki, 2013; Gerstein, Crnic, Blacher, & Baker,
2009) namun demikian, ibu merupakan sosok yang sabar, mampu membimbing
serta mendidik anak jika dibandingkan ayah. Selain itu, ayah yang berperan
dalam mencari nafkah serta ibu yang berperan sebagai ibu rumah tangga
membuat ibu memiliki lebih banyak waktu dalam membimbing serta
mendampingi anak di rumah. Hal ini mengimplikasikan bahwa ibu lebih
9
memahami karakteristik anak jika dibanding ayah sehingga penanganan terkait
kemandirian pada anak tuna grahita dapat ditangani maksimal oleh ibu.
Sistem pengajaran kepada anak tuna grahita membutuhkan pengajaran
berulang agar dapat memahami dan mengingat langkah-langkah yang diberikan
sesuai instruksi. Instruksi yang diberikan sebaiknya singkat dan jelas karena
anak tuna grahita memiliki daya ingat yang terbatas. Selain itu, penggunaan alat
juga berperan amat penting (Agran, Wehmeyer, Cavin & Palmer, 2010). Hal ini
terbukti mampu untuk meningkatkan keterampilan yang menjadi sasaran bagi
tiap individu. Sistem pengajaran yang tepat bagi anak tuna grahita ialah
behavioral skills training (Miltenberger, 2008). Terdapat empat prosedur dalam
behavioral skills training yaitu modeling, instructions, rehearsal dan feedback.
Menurut Miles & Wilder (2009) behavioral skills training terbukti berhasil dalam
mengajarkan perilaku yang ingin dicapai dari individu.
Dalam membentuk perilaku pada anak tuna grahita dapat menggunakan
pendekatan behavioral. Sundel & Sundel (2005) menyatakan bahwa pengalaman
terus menerus yang dialami individu dapat menyebabkan perilaku tersebut
menjadi menetap. Skinner (Feist & Feist, 2008) menyatakan bahwa terdapat dua
pendekatan dalam behavioral yaitu classical conditioning dan operant
conditioning. Pendekatan mengenai perilaku menggosok gigi pada anak tuna
grahita menggunakan perspektif operant conditioning yaitu jika perilaku yang
ditampilkan oleh individu diikuti oleh konsekuensi positif, maka individu
cenderung untuk menampilkan kembali perilaku tersebut.
Chaining merupakan salah satu strategi instruksi yang berdasar pada
teori ABA atau Applied Behavior Analysis. Applied Behavior Analysis berfokus
pada penggunaan prinsip belajar terutama operant conditioning untuk memahami
10
serta meningkatkan perilaku tertentu dari seseorang (Sarafino, 2012). Menurut
Martin & Pear (2003) chaining berdasar pada analisis tugas, yaitu setiap sub
perilaku menjadi bagian dari perilaku secara keseluruhan. Chaining memecah
tugas menjadi beberapa langkah kecil, diajarkan secara bertahap sesuai pada
urutan tersebut. Ibu yang menerapkan chaining wajib untuk terlebih dahulu
menganalisa perilaku yang dituju, memecah menjadi beberapa langkah kecil dan
merencanakan pengajaran. Metode chaining meliputi dua tipe yaitu forward
chaining dan backward chaining. Pada forward chaining, anak mengerjakan
langkah pertama dari tugas hingga selesai. Setiap langkah harus dikuasai
terlebih dahulu, sebelum menambah langkah baru. Pada backward chaining,
teknik yang digunakan sama seperti forward chaining namun langkah yang
digunakan berkebalikan, yaitu dari akhir hingga ke awal. Pelaksanaan chaining
melibatkan prompt, modelling, serta pemberian positive reinforcement berupa
pujian (Martin & Pear, 2003).
Peneliti telah melakukan studi literatur mengenai instrumen bina diri
menggosok gigi pada anak tuna grahita. Hasil dari studi literatur tersebut yaitu
Indonesia belum memiliki instrumen bina diri menggosok gigi pada anak tuna
grahita. Negara yang telah menerbitkan instrumen bina diri menggosok gigi pada
anak tuna grahita ialah India pada tahun 1990 dan dicetak ulang pada tahun
2001 dengan judul Tooth Brushing, Skill Training in the Mentally Retarded
Persons, Package for Trainers (Narayan & Kutty, 2001). Hal ini menjadi dasar
bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Proses yang dapat
dilakukan ialah modifikasi.
Uji validasi dilakukan dengan menggunakan validitas isi dan uji empirik
melalui pilot study. Validitas isi yaitu validitas yang diperkirakan melalui pengujian
11
terhadap kelayakan atau relevansi isi tes yang dinilai oleh penilai ahli (Parsian &
Dunning, 2009; Rozubi & Li, 2015). Validitas isi melihat pada dua hal, yaitu
apakah isi yang terkandung dalam instrumen telah sesuai untuk mengungkap
atribut yang diukur sesuai dengan indikator keperilakuannya dan apakah aitem-
aitem telah mencakup keseluruhan domain isi yang hendak diukur (Azwar,
2013). Hasil penilaian dari para penilai ahli dihitung menggunakan analisis
Aiken’s V. Peneliti akan melibatkan penilai ahli sebanyak 5 orang. Lynn (1986)
menerapkan batasan minimal dan maksimal dalam jumlah penilai ahli yaitu
minimal terdiri dari 5 orang dan maksimal 10 orang. Senada dengan Lynn,
Yaghmaie (2003) juga menyatakan hal serupa yaitu jumlah penilai ahli adalah 5
sampai 10 orang. Validitas isi juga melibatkan penggunaan kata-kata serta
bahasa yang digunakan pada instrumen (Ayriza, 2008). Penggunaan kata dan
bahasa tersebut sebaiknya menggunakan diksi yang sederhana dan mudah
dipahami. Setelah proses validitas isi selesai, peneliti melakukan perbaikan
terhadap instrumen sesuai dengan saran yang diberikan oleh para penilai ahli.
Tahap berikutnya ialah pelaksanaan uji coba di lapangan untuk melihat
validitas secara empirik melalui uji empirik, yaitu pelaksanaan uji coba instrumen
untuk mengetahui apakah pemberian perlakuan berupa program AMANGGI
dapat mengubah keterampilan ibu mengajar dan terjadi perubahan perilaku
kemampuan menggosok gigi pada anak tuna grahita. Dua hal tersebut menjadi
target perubahan perilaku. Target perubahan perilaku dapat terlihat pada
intervensi single case research design melalui grafik ABAB. Hasil uji empirik
terlihat dengan membandingkan hasil pre test dan post test dari tes
pengetahuan, keterampilan ibu serta perubahan perilaku anak.
12
Gambar 1. Alur Berpikir Penelitian
Tujuan penelitian ialah melihat dampak program AMANGGI dalam
meningkatkan keterampilan ibu mengajarkan menggosok gigi pada anak tuna
grahita. Secara teoritis, implikasi dari penelitian ini adalah dapat memberikan
kontribusi atau sumbangan bagi pengembangan keilmuan psikologi pendidikan
serta psikologi anak berkebutuhan khusus. AMANGGI diharap dapat digunakan
oleh ibu, orangtua, caregiver atau pihak terdekat lainnya yang berada serta
berperan pada lingkungan sekitar anak.
Berdasar pada hal tersebut, terdapat dua hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini. Hipotesis pertama ialah AMANGGI memiliki validitas isi yang baik.
Hipotesis kedua ialah program AMANGGI mampu meningkatkan keterampilan
ibu dalam mengajarkan menggosok gigi pada anak tuna grahita (pada subjek
terbatas).
Instrumen Tooth Brushing Skill
Training in the Mentally Retarded
Persons, Package for Trainers
Modifikasi
Validasi dan Pilot Study berupa
Single Case Research Design
Program AMANGGI