12
1 Dewasa ini, Indonesia mengenal istilah intellectual and developmental disabilities sebagai tuna grahita (Hallahan, Kauffman & Pullen, 2012). Tuna grahita ialah sebutan bagi individu yang mengalami keterbelakangan baik secara intelektual maupun perilaku adaptif (Mangunsong, 2009). Menurut AAIDD, intellectual and developmental disabilities ialah ketidakmampuan atau keterbatasan baik dalam hal fungsi intelektual (intellectual disability) maupun perilaku adaptif (developmental disability), serta muncul sebelum usia 18 tahun (dalam Hallahan dkk, 2012). Pengertian mengenai tuna grahita tersebut sejalan dengan DSM V (APA, 2013) yaitu intellectual developmental disorder ialah gangguan yang muncul selama masa perkembangan yang berkaitan dengan keterbatasan dalam hal intelektual, serta perilaku adaptif yang menyangkut aspek konseptual, sosial dan praktikal. Ketiga aspek ini merupakan aspek yang berperan penting dalam kehidupan seseorang. Aspek konseptual berkaitan dengan kemampuan dalam berbahasa, membaca, menulis, matematika, pengetahuan, dan memori. Aspek sosial berkaitan dengan kemampuan interpersonal, empati, harga diri, mengikuti aturan, menjaga diri. Sedangkan aspek praktikal berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti mengatur uang, memasak, merawat diri, serta menjaga kebersihan. Terkait prevalensi jumlah invididu tuna grahita di Indonesia, berdasar pada data dari Riset Kesehatan Dasar 2013 menyatakan bahwa prevalensi penduduk Indonesia yang mengalami disabilitas ialah 11%. Hasil Sensus Sosial Ekonomi Nasional tahun 2012 menyatakan bahwa persentase penyandang disabilitas di Indonesia ialah sebesar 2,45%. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi tertinggi kedua dengan penyandang disabilitas

intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

1

Dewasa ini, Indonesia mengenal istilah intellectual and developmental

disabilities sebagai tuna grahita (Hallahan, Kauffman & Pullen, 2012). Tuna

grahita ialah sebutan bagi individu yang mengalami keterbelakangan baik secara

intelektual maupun perilaku adaptif (Mangunsong, 2009). Menurut AAIDD,

intellectual and developmental disabilities ialah ketidakmampuan atau

keterbatasan baik dalam hal fungsi intelektual (intellectual disability) maupun

perilaku adaptif (developmental disability), serta muncul sebelum usia 18 tahun

(dalam Hallahan dkk, 2012).

Pengertian mengenai tuna grahita tersebut sejalan dengan DSM V (APA,

2013) yaitu intellectual developmental disorder ialah gangguan yang muncul

selama masa perkembangan yang berkaitan dengan keterbatasan dalam hal

intelektual, serta perilaku adaptif yang menyangkut aspek konseptual, sosial dan

praktikal. Ketiga aspek ini merupakan aspek yang berperan penting dalam

kehidupan seseorang. Aspek konseptual berkaitan dengan kemampuan dalam

berbahasa, membaca, menulis, matematika, pengetahuan, dan memori. Aspek

sosial berkaitan dengan kemampuan interpersonal, empati, harga diri, mengikuti

aturan, menjaga diri. Sedangkan aspek praktikal berkaitan dengan kehidupan

sehari-hari seperti mengatur uang, memasak, merawat diri, serta menjaga

kebersihan.

Terkait prevalensi jumlah invididu tuna grahita di Indonesia, berdasar

pada data dari Riset Kesehatan Dasar 2013 menyatakan bahwa prevalensi

penduduk Indonesia yang mengalami disabilitas ialah 11%. Hasil Sensus Sosial

Ekonomi Nasional tahun 2012 menyatakan bahwa persentase penyandang

disabilitas di Indonesia ialah sebesar 2,45%. Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta merupakan provinsi tertinggi kedua dengan penyandang disabilitas

Page 2: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

2

sebesar 3,89%. Selain itu, data yang diperoleh Pusat Data dan Informasi

(Pusdatin) Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI Tahun 2014 di Indonesia

menyatakan bahwa terdapat 30.701 tuna grahita berusia 10-19 tahun berjenis

kelamin laki-laki yang mengalami kesulitan dalam hal mengurus diri sendiri, pada

jenis kelamin perempuan mencapai 31.029 jiwa. Prevalensi penyandang

disabilitas pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki.

Menurut APA (2013), pengkategorian intellectual developmental disorder

selain berdasar pada skor IQ, berdasar pula pada kemampuan seseorang terkait

tiga aspek penting berupa aspek konseptual, sosial dan praktikal. Semakin tinggi

kebutuhan pada ketiga aspek tersebut, maka semakin berat kategori intellectual

developmental disorder yang dialami, serta semakin besar pula dukungan yang

dibutuhkan. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah kebutuhan pada ketiga

aspek tersebut, maka semakin ringan kategori intellectual developmental

disorder yang dialami, serta semakin sedikit pula dukungan yang dibutuhkan.

Kebutuhan anak tuna grahita berkaitan erat dengan klasifikasi kategori

yang dimiliki. Terdapat empat kategori intellectual developmental disorder berupa

mild, moderate, severe dan profound (Chia & Wong, 2014; APA, 2013; Armatas,

2009; Mangunsong, 2009). Menurut Mangunsong (2009), karakteristik individu

mild ialah mampu didik dari segi pendidikan, memiliki rentang perhatian yang

pendek, sulit berkonsentrasi dalam waktu lama serta terkadang tidak dapat

melaksanakan kegiatan sosial dengan baik. Karakteristik individu moderate ialah

mampu latih pada beberapa keterampilan atau aktivitas tertentu. Idealnya,

individu dapat dilatih untuk mengurus dirinya sendiri serta dalam hal akademik,

dapat membaca atau menulis sederhana. Mengalami keterbatasan dalam hal

memori sehingga membutuhkan tugas dengan instruksi yang singkat, padat,

Page 3: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

3

serta berurutan. Individu dengan karakteristik severe, tidak mampu untuk

mengurus diri sendiri walau pada aktivitas sederhana sehingga membutuhkan

bantuan orang lain. Hal ini menyebabkan individu dengan klasifikasi severe akan

mengalami kesulitan dalam hal bersosialisasi. Pada individu dengan karakteristik

profound, akan mengalami permasalahan yang kompleks yaitu terkait dengan

kondisi fisik, kemampuan intelektual serta membutuhkan program pendidikan

yang tepat.

Hal ini membutuhkan beberapa strategi agar anak tuna grahita mampu

memahami dengan baik keterampilan yang diajarkan, salah satunya dengan

pemberian instruksi yang jelas serta singkat, penggunaan alat bantu, serta

pemberian feedback yang sesuai dengan perilaku yang dimunculkan oleh anak

(Browder, Trela, Courtade, Jimenez, Knight, & Flowers, 2012). Hal ini

dimaksudkan agar keterampilan yang diajarkan kepada anak tuna grahita dapat

berfungsi optimal. Lebih jauh, diharapkan anak mampu mandiri dalam

melaksanakan keterampilan tersebut.

Kemampuan yang berbeda pada setiap kategori anak tuna grahita

menyebabkan hal yang dibutuhkan juga berbeda. Anak tuna grahita

membutuhkan keterampilan dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga

pendidikan yang dapat diberikan ialah terkait pada aktivitas bina diri (Browder,

Trela, & Jimenez, 2007). Selain itu, menurut (Neidert, Dozier, Iwata, & Hafen,

2010; Rai, 2008) anak tuna grahita membutuhkan instruksi yang sistematis untuk

memahami pengajaran pada dirinya. Hal ini bertujuan agar mereka dapat mandiri

dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, tidak membutuhkan pendampingan atau

perhatian khusus dari orang terdekat.

Page 4: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

4

Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah bina diri. Aktivitas

bina diri atau sering disebut pula dengan activity of daily living merupakan

aktivitas keseharian yang dilakukan oleh anak berkebutuhan khusus. Aktivitas

bina diri disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak sehingga bina

diri yang dilatih pada tiap anak menjadi berbeda, hal ini bergantung pada

kemampuan serta kebutuhan tiap anak.

Bina diri menurut Departemen Pendidikan Nasional (2006) mencakup

pada kemampuan dalam merawat diri, mengurus diri, menolong diri, komunikasi,

dan adaptasi lingkungan. Ruang lingkup dalam merawat diri yaitu makan, minum,

serta menjaga kesehatan badan. Ruang lingkup pada mengurus diri mencakup

berpakaian dalam, berpakaian luar, memakai sepatu dan merias diri. Ruang

lingkup dari menolong diri yaitu menjaga keselamatan dan menghindari bahaya.

Ruang lingkup komunikasi yaitu berkomunikasi melalui perbuatan dan lisan,

serta menggunakan kata-kata sosial. Ruang lingkup terakhir, yaitu adaptasi

meliputi adaptasi dengan lingkungan keluarga, sekolah serta masyarakat dengan

cara bekerjasama atau bermain. Anak diharapkan dapat mandiri pada ruang

lingkup keluarga, sekolah serta masyarakat.

Pendidikan bina diri menurut Basuni (2012) merupakan salah satu

program khusus yang termasuk kepada kurikulum bagi anak tuna grahita yang

dimaksudkan agar memiliki kecakapan atau keterampilan merawat diri sehingga

diharap anak tuna grahita mampu melaksanakan sesuatu secara mandiri tanpa

membutuhkan bantuan dari pihak lain. Hal ini kemudian menjadi sangat penting,

agar pendidikan bina diri menjadi bekal di masa depan yang harus diajarkan

sejak dini.

Page 5: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

5

Salah satu aspek utama dalam bina diri ialah merawat diri. Termasuk

pada merawat diri yaitu makan, minum, mandi, menggosok gigi, mencuci muka

serta mencuci tangan. Kebersihan mulut berupa menggosok gigi merupakan

salah satu hal yang penting namun sering terlewat untuk diajarkan serta dilatih

pada anak tuna grahita. Hal ini menyebabkan permasalahan kebersihan mulut

lebih banyak dialami oleh anak tuna grahita dibanding pada anak lainnya (Anders

& Davis, 2010; Stefanovska, Nakova, Radojkova-Nikolovska, & Ristoska, 2010).

Jika hal ini tidak dilatih sejak dini maka dapat menyebabkan kesulitan di masa

mendatang. Selain itu, anak juga akan mengalami penyakit yang berhubungan

dengan gigi dan mulut (Anders & Davis, 2010).

Langkah-langkah menggosok gigi menurut Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan (2014) ialah sebagai berikut, yaitu (1) menyiapkan air di dalam

gelas atau cangkir untuk berkumur, (2) memegang sikat gigi dengan benar, (3)

membuka tutup pasta gigi, (4) mengoleskan pasta gigi ke bulu sikat gigi, (5)

berkumur (untuk gosok gigi cara kering tidak diawali dengan berkumur), (6)

menggosok gigi mulai dari bagian depan, samping, dalam dengan gerakan yang

benar dan tekanan yang wajar, (7) berkumur sampai bersih, (8) melap mulut, dan

(9) menyimpan peralatan dan bahan yang telah digunakan pada tempatnya.

Menggosok gigi merupakan salah satu kebutuhan yang wajib dipenuhi

agar tercapainya kesehatan gigi dan mulut yang terjaga dengan baik.

Menggosok gigi dilakukan minimal dua kali sehari yaitu setelah sarapan dan

sebelum tidur (Depkes, 2004). Menurut Stefanovska dkk (2010) keterampilan

menggosok gigi merupakan keterampilan bina diri yang dapat dilatih kepada

anak tuna grahita. Hal ini berawal dari temuan lapangan yang menyatakan

bahwa sebagian besar anak tuna grahita belum mampu untuk menggosok gigi.

Page 6: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

6

Beberapa penelitian serupa terkait kemandirian anak dengan tuna grahita

telah dilakukan. Samsuri (2013) dalam penelitian tugas akhir menyatakan bahwa

orangtua berperan aktif dalam memandirikan anak tuna grahita. Kemandirian

pada anak tuna grahita membutuhkan pendampingan dan pengulangan latihan

agar kemampuan yang dilatih dapat bertahan pada anak. Kemandirian yang

perlu dilatih mencakup pada mengurus diri yaitu kebersihan mulut, mandi,

berpakaian dan kebutuhan di toilet yaitu buang air kecil serta buang air besar.

Dalam mengajarkan kemandirian, orangtua diharap mampu untuk memberikan

instruksi secara berulang, memberi arahan serta bimbingan, serta mengajarkan

tata cara yang sesuai.

Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Hardiyanti (2016) mengenai

peningkatan kemampuan menggosok gigi pada anak tuna grahita melalui media

boneka gigi. Menggosok gigi merupakan salah satu kebutuhan yang minim

dikuasai anak tuna grahita. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain pola

asuh orangtua yang kurang tepat dan sulitnya merawat gigi pada anak tuna

grahita. Anak tuna grahita tidak menguasai tahapan dalam menggosok gigi,

memiliki kemampuan yang kurang, serta waktu menggosok gigi yang terlalu

singkat. Selain itu, media ajar yang digunakan sangat sederhana sehingga tidak

menarik minat anak dalam menggosok gigi. Melalui media boneka gigi, proses

belajar menggosok gigi menjadi lebih bervariasi serta kemampuan anak tuna

grahita dalam menggosok gigi menjadi meningkat.

Data preliminary research yang telah dilakukan oleh peneliti pada enam

SLB di kota Yogyakarta (November 2016 – Maret 2017) menyatakan bahwa

terdapat banyak permasalahan yang terjadi pada siswa tuna grahita. Hal ini

berkaitan dengan pihak orangtua di rumah dan guru di sekolah. Permasalahan

Page 7: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

7

yang dialami orangtua berupa tidak tega dan pasrah akan keadaan anak. Selain

itu, orangtua juga kurang peka akan kebutuhan anak. Orangtua merasa perlu

untuk membantu anak sehingga memutuskan untuk terlibat langsung, tidak

mengajari atau mendidik cara bina diri yang tepat. Hal ini juga dilakukan oleh

orangtua dengan dalih untuk mempersingkat waktu.

Orangtua mengungkapkan bahwa tidak adanya instrumen berupa

panduan yang tepat dan aplikatif dalam mengajarkan bina diri pada anak tuna

grahita. Orangtua menyampaikan bahwa sebenarnya pemerintah telah

memberikan buku panduan bina diri pada sekolah-sekolah luar biasa, namun

panduan tersebut dinilai kurang aplikatif dalam mengajarkan bina diri. Orangtua

berharap adanya panduan yang berisi langkah-langkah dalam mengajarkan bina

diri pada anak tuna grahita. Dengan adanya panduan tersebut, maka orangtua

dapat lebih maksimal dalam mendidik serta melatih anak tuna grahita sesuai

dengan kebutuhan masing-masing.

Kemampuan bina diri dapat dilakukan di rumah dengan bantuan keluarga

terutama orangtua. Hal ini disebabkan karena orangtua merupakan sosok

terdekat yang dapat mengajari anak tuna grahita dalam melatih keterampilan

menggosok gigi. Orangtua berperan sebagai caregiver yaitu orang terdekat yang

tanpa pamrih memberikan dukungan pada anak yang tidak mampu dalam

menuntaskan aktivitas sehari-hari (Mbugua, Kuria, & Ndetei, 2011; Browne,

2010; Hu dkk, 2010; Savage & Bailey, 2004). Kegiatan menggosok gigi

merupakan salah satu kegiatan yang lebih banyak dilakukan di rumah sehingga

peran orang tua dalam membantu mengoptimalkan kemampuan anak tuna

grahita sangatlah penting (Mohsin, Khan, Doger, & Awan, 2011; Narayan &

Kutty, 2001). Orangtua sebagai pihak terdekat bagi anak di rumah dapat

Page 8: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

8

mengajarkan cara menggosok gigi ketika bangun tidur, setelah makan serta

sebelum tidur.

Orangtua memiliki peran untuk melakukan berbagai aktivitas yang

berhubungan dengan perawatan dan pengasuhan. Selain itu, orangtua juga

berperan dalam memberikan dukungan (Ouellette-Kuntz, Blinkhorn, Rouette,

Blinkhorn, Lunksy, & Weiss, 2014). Hasil penelitian (Greeff & Nolting, 2013)

menunjukkan bahwa bentuk dukungan antara orangtua yaitu ayah dan ibu

seperti penerimaan, pola komunikasi efektif, saling menjaga komitmen, bersikap

positif terhadap tantangan serta adaptasi mampu meningkatkan kemajuan yang

bernilai positif bagi anak tuna grahita. Merawat serta mendidik anak yang

memiliki kebutuhan khusus bukanlah hal yang mudah. Kemampuan serta

pengetahuan orangtua yang kurang terkait bagaimana metode yang tepat dalam

merawat serta mendidik anak berkebutuhan khusus juga merupakan hal yang

patut menjadi perhatian bersama (Thwala, Ntinda, & Hlanze, 2015). Hal tersebut

sekaligus membuat beban kerja orangtua di rumah menjadi bertambah (Peer &

Hillman, 2014; Plant & Sanders, 2007).

Terkait peran ayah dan ibu sebagai orangtua, ibu memiliki peran yang

lebih besar dalam mendidik anak. Tingkat kerentanan ibu dalam merasakan

kelelahan lebih cepat jika dibandingkan pada ayah (Rubin & Schreiber-Divon,

2014; Green, 2013; Kimura & Yamazaki, 2013; Gerstein, Crnic, Blacher, & Baker,

2009) namun demikian, ibu merupakan sosok yang sabar, mampu membimbing

serta mendidik anak jika dibandingkan ayah. Selain itu, ayah yang berperan

dalam mencari nafkah serta ibu yang berperan sebagai ibu rumah tangga

membuat ibu memiliki lebih banyak waktu dalam membimbing serta

mendampingi anak di rumah. Hal ini mengimplikasikan bahwa ibu lebih

Page 9: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

9

memahami karakteristik anak jika dibanding ayah sehingga penanganan terkait

kemandirian pada anak tuna grahita dapat ditangani maksimal oleh ibu.

Sistem pengajaran kepada anak tuna grahita membutuhkan pengajaran

berulang agar dapat memahami dan mengingat langkah-langkah yang diberikan

sesuai instruksi. Instruksi yang diberikan sebaiknya singkat dan jelas karena

anak tuna grahita memiliki daya ingat yang terbatas. Selain itu, penggunaan alat

juga berperan amat penting (Agran, Wehmeyer, Cavin & Palmer, 2010). Hal ini

terbukti mampu untuk meningkatkan keterampilan yang menjadi sasaran bagi

tiap individu. Sistem pengajaran yang tepat bagi anak tuna grahita ialah

behavioral skills training (Miltenberger, 2008). Terdapat empat prosedur dalam

behavioral skills training yaitu modeling, instructions, rehearsal dan feedback.

Menurut Miles & Wilder (2009) behavioral skills training terbukti berhasil dalam

mengajarkan perilaku yang ingin dicapai dari individu.

Dalam membentuk perilaku pada anak tuna grahita dapat menggunakan

pendekatan behavioral. Sundel & Sundel (2005) menyatakan bahwa pengalaman

terus menerus yang dialami individu dapat menyebabkan perilaku tersebut

menjadi menetap. Skinner (Feist & Feist, 2008) menyatakan bahwa terdapat dua

pendekatan dalam behavioral yaitu classical conditioning dan operant

conditioning. Pendekatan mengenai perilaku menggosok gigi pada anak tuna

grahita menggunakan perspektif operant conditioning yaitu jika perilaku yang

ditampilkan oleh individu diikuti oleh konsekuensi positif, maka individu

cenderung untuk menampilkan kembali perilaku tersebut.

Chaining merupakan salah satu strategi instruksi yang berdasar pada

teori ABA atau Applied Behavior Analysis. Applied Behavior Analysis berfokus

pada penggunaan prinsip belajar terutama operant conditioning untuk memahami

Page 10: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

10

serta meningkatkan perilaku tertentu dari seseorang (Sarafino, 2012). Menurut

Martin & Pear (2003) chaining berdasar pada analisis tugas, yaitu setiap sub

perilaku menjadi bagian dari perilaku secara keseluruhan. Chaining memecah

tugas menjadi beberapa langkah kecil, diajarkan secara bertahap sesuai pada

urutan tersebut. Ibu yang menerapkan chaining wajib untuk terlebih dahulu

menganalisa perilaku yang dituju, memecah menjadi beberapa langkah kecil dan

merencanakan pengajaran. Metode chaining meliputi dua tipe yaitu forward

chaining dan backward chaining. Pada forward chaining, anak mengerjakan

langkah pertama dari tugas hingga selesai. Setiap langkah harus dikuasai

terlebih dahulu, sebelum menambah langkah baru. Pada backward chaining,

teknik yang digunakan sama seperti forward chaining namun langkah yang

digunakan berkebalikan, yaitu dari akhir hingga ke awal. Pelaksanaan chaining

melibatkan prompt, modelling, serta pemberian positive reinforcement berupa

pujian (Martin & Pear, 2003).

Peneliti telah melakukan studi literatur mengenai instrumen bina diri

menggosok gigi pada anak tuna grahita. Hasil dari studi literatur tersebut yaitu

Indonesia belum memiliki instrumen bina diri menggosok gigi pada anak tuna

grahita. Negara yang telah menerbitkan instrumen bina diri menggosok gigi pada

anak tuna grahita ialah India pada tahun 1990 dan dicetak ulang pada tahun

2001 dengan judul Tooth Brushing, Skill Training in the Mentally Retarded

Persons, Package for Trainers (Narayan & Kutty, 2001). Hal ini menjadi dasar

bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Proses yang dapat

dilakukan ialah modifikasi.

Uji validasi dilakukan dengan menggunakan validitas isi dan uji empirik

melalui pilot study. Validitas isi yaitu validitas yang diperkirakan melalui pengujian

Page 11: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

11

terhadap kelayakan atau relevansi isi tes yang dinilai oleh penilai ahli (Parsian &

Dunning, 2009; Rozubi & Li, 2015). Validitas isi melihat pada dua hal, yaitu

apakah isi yang terkandung dalam instrumen telah sesuai untuk mengungkap

atribut yang diukur sesuai dengan indikator keperilakuannya dan apakah aitem-

aitem telah mencakup keseluruhan domain isi yang hendak diukur (Azwar,

2013). Hasil penilaian dari para penilai ahli dihitung menggunakan analisis

Aiken’s V. Peneliti akan melibatkan penilai ahli sebanyak 5 orang. Lynn (1986)

menerapkan batasan minimal dan maksimal dalam jumlah penilai ahli yaitu

minimal terdiri dari 5 orang dan maksimal 10 orang. Senada dengan Lynn,

Yaghmaie (2003) juga menyatakan hal serupa yaitu jumlah penilai ahli adalah 5

sampai 10 orang. Validitas isi juga melibatkan penggunaan kata-kata serta

bahasa yang digunakan pada instrumen (Ayriza, 2008). Penggunaan kata dan

bahasa tersebut sebaiknya menggunakan diksi yang sederhana dan mudah

dipahami. Setelah proses validitas isi selesai, peneliti melakukan perbaikan

terhadap instrumen sesuai dengan saran yang diberikan oleh para penilai ahli.

Tahap berikutnya ialah pelaksanaan uji coba di lapangan untuk melihat

validitas secara empirik melalui uji empirik, yaitu pelaksanaan uji coba instrumen

untuk mengetahui apakah pemberian perlakuan berupa program AMANGGI

dapat mengubah keterampilan ibu mengajar dan terjadi perubahan perilaku

kemampuan menggosok gigi pada anak tuna grahita. Dua hal tersebut menjadi

target perubahan perilaku. Target perubahan perilaku dapat terlihat pada

intervensi single case research design melalui grafik ABAB. Hasil uji empirik

terlihat dengan membandingkan hasil pre test dan post test dari tes

pengetahuan, keterampilan ibu serta perubahan perilaku anak.

Page 12: intellectual and developmental disabilities intellectual ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154654/potongan/S2-2018... · 4 Anak tuna grahita memiliki kaitan erat dengan istilah

12

Gambar 1. Alur Berpikir Penelitian

Tujuan penelitian ialah melihat dampak program AMANGGI dalam

meningkatkan keterampilan ibu mengajarkan menggosok gigi pada anak tuna

grahita. Secara teoritis, implikasi dari penelitian ini adalah dapat memberikan

kontribusi atau sumbangan bagi pengembangan keilmuan psikologi pendidikan

serta psikologi anak berkebutuhan khusus. AMANGGI diharap dapat digunakan

oleh ibu, orangtua, caregiver atau pihak terdekat lainnya yang berada serta

berperan pada lingkungan sekitar anak.

Berdasar pada hal tersebut, terdapat dua hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini. Hipotesis pertama ialah AMANGGI memiliki validitas isi yang baik.

Hipotesis kedua ialah program AMANGGI mampu meningkatkan keterampilan

ibu dalam mengajarkan menggosok gigi pada anak tuna grahita (pada subjek

terbatas).

Instrumen Tooth Brushing Skill

Training in the Mentally Retarded

Persons, Package for Trainers

Modifikasi

Validasi dan Pilot Study berupa

Single Case Research Design

Program AMANGGI