Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Hlm. 469-492, Desember 2016
@Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 469
DAYA DUKUNG PERAIRAN UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT
LAUT Eucheuma cottonii DI KABUPATEN LUWU DAN KOTA PALOPO, TELUK
BONE, SULAWESI SELATAN
WATERS CARRYING CAPACITY FOR DEVELOPMENT OF SEAWEED CULTURE
OF Eucheuma cottonii IN LUWU AND PALOPO DISTRICTS, BONE BAY, SOUTH
SULAWESI
Waluyo1*, Yonvitner2, Etty Riani2, dan Taslim Arifin3
1Sekolah Pascasarjana, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, FPIK-IPB, Bogor
*E-mail: [email protected] 2Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-IPB, Bogor
3Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang, Jakarta
ABSTRACT
In seaweed Eucheuma cottonii cultures, a water carrying capacity is an important factor to optimize the seaweed culture. Carrying capacity can be determined by an ecological footprint production
(EFp) analysis. This research was conducted in May 2015 (1st transitional season) and September
2015 (2nd transitional season) in Luwu and Palopo distircts, South Sulawesi. Map and land use were analyzed using GIS (Geographic Information Systems). The result showed that the ecological foot-
print production (EFP) in Luwu waters was 67.88 ton/capita/year or equivalent to 235,823.93 tons/
year. However, based on the analysis of the water availability for seaweed was 59,781.79 hectares, it
can produce seaweed (biocapacity) for 1,437,779.60 tons/year and the number of farmers that allows for use the waters is 21,432 capita. The ecological footprint production (EFp) in Palopo waters is
3.08 ton/capita/year, or equivalent to 4,589.99 tons/year. Water availability analysis is 1,771.
41 hectares are able to produce seaweed (biocapacity) for 18,287.46 ton/year and the number of far-mers that allows for use the waters is 635 farmers capita. The results comparison between biocapa-ci-
ty and ecological footprint, ecological status for Luwu and Palopo waters are still in sustainable use.
Keywords: seaweed cultivation, ecological footprint, waters carrying capacity
ABSTRAK
Dalam budidaya rumput laut Eucheuma cottonii, daya dukung perairan (waters carrying capacity) sa-ngat penting untuk mengetahui kapasitas optimum budidaya rumput laut pada suatu perairan. Pende-
katan untuk menentukan daya dukung digunakan dengan analisis ecological footprint production
(EFp). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2015 (musim peralihan 1) dan September 2015 (musim peralihan 2) di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Pemetaan dan analisis kese-
suaian lahan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak sistem informasi geografis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ecological footprint produksi (EFP) di perairan Kabupaten Luwu adalah 67,88 ton/kapita/tahun atau setara dengan 235.823,93 ton/tahun. Sedangkan berdasarkan analisis keterse-
diaan perairan, dengan ketersediaan perairan seluas 59.781,79 hektar mampu memproduksi rumput
laut (biocapacity) sebanyak 1.437.779,60 ton/tahun dengan daya dukung (carrying capacity) jumlah
pembudidaya yang memungkinkan untuk memanfaatkan lahan sebanyak 21.432 kapita. Ecological footprint produksi (EFP) di perairan Kota Palopo adalah 3,08 ton/kapita/tahun atau setara dengan
4.589,99 ton/tahun. Sedangkan berdasarkan analisis ketersediaan perairan adalah 1.771,41 hektar
mampu untuk memproduksi rumput laut (biocapacity) sebanyak 18.287,46 ton/tahun dan daya dukung (carrying capacity) jumlah pembudidaya sebanyak 635 kapita. Berdasarkan hasil perbandingan antara
biocapacity dan ecological footprint, maka status ekologi di perairan Kabupaten Luwu dan Kota Palo-
po masih dalam kondisi pemanfaatan yang berkelanjutan.
Kata kunci: budidaya rumput laut, ekologikal footprint, daya dukung perairan
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
470 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
I. PENDAHULUAN
Rumput laut merupakan komoditas
unggulan di Provinsi Sulawesi Selatan, khu-
susnya di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo.
Berdasarkan Dinas Kelautan dan Perikanan
(DKP) Kabupaten Luwu dan DKP Kota
Palopo tahun 2015, produksi rumput laut ke-
ring jenis Eucheuma cottonii sejak tahun
2010-2014 di kedua daerah tersebut setiap
tahun terus mengalami peningkatan. Hasil
produksi rumput laut di Kabupaten Luwu ta-
hun 2010 dan 2014 sebesar 183.202,80 ton
dan 356.385,50 ton dengan persentase kenai-
kan rata-rata tiap tahun sebesar 18,50%
(DKP Kabupaten Luwu, 2015). Sedangkan
produksi rumput laut di Kota Palopo tahun
2010 dan 2014 sebesar 2.227,04 ton dan
3.112,31 ton dengan persentase kenaikan
rata-rata setiap tahun sebesar 40,38% (DKP
Kota Palopo, 2015). Selain itu, luas lahan
yang dimanfaatkan untuk areal budidaya
rumput laut setiap tahun juga mengalami pe-
ningkatan, dimana luas lahan yang diman-
faatkan untuk budidaya rumput laut di Kabu-
paten Luwu tahun 2014 sebesar 10.469,24
hektar (DKP Kabuaten Luwu, 2015) dan di
Kota Palopo sebesar 313,60 hektar (DKP Ko-
ta Palopo, 2015).
Berdasarkan data DKP Kabupaten
Luwu (2015) rata-rata produktivitas rumput
laut dari tahun 2008-2014 mencapai sebesar
24,05 ton/hektar/tahun. Adapun produktifi-
tas rumput laut di Kota Palopo dari tahun
2008 – 2014 mencapai 10,32 ton/hektar/
tahun (DKP Kota Palopo, 2015). Produk-
tivitas perairan di Kabupaten Luwu sangat
tinggi disebabkan diantaranya adalah lahan
perairan budidaya yang luas dan jumlah
pembudidaya rumput laut yang lebih banyak
dibandingkan dengan di Kota Palopo. Rata –
rata pembudidaya di Kabupaten Luwu pada
tahun 2008-2014 mencapai 3.472 kapita, se-
dangkan di Kota Palopo hanya sebanyak
1.503 kapita.
Produktivitas rumput laut di perairan
selain dipengaruhi oleh luasan lahan budida-
ya, juga sangat dipengaruhi oleh kualitas per-
airan. Sedangkan kualitas serta produktivitas
perairan sangat dipengaruhi oleh seberapa
besar masukan bahan organik dan anorganik
yang berasal dari daratan yang masuk ke per-
airan melalui aliran sungai. Sebagai contoh
perairan di Kecamatan Bua, Kabupaten Lu-
wu, beban masukan utama adalah limbah do-
mestik serta limbah dari pabrik kayu lapis
(plywood) yang tepat berada di dekat Muara
Sungai Bua. Sedangkan perairan di Kecama-
tan Ponrang, Kabupaten Luwu, beban utama
perairan adalah limbah domestik serta limbah
dari tambak yang berupa residu pupuk, pesti-
sida, sisa pakan serta bahan organik lainnya.
Adapun di perairan Kota Palopo, beban uta-
ma perairan adalah limbah dari kegiatan di
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Ponrap serta
Pelabuhan Perikanan Indonesia (PPI). De-
ngan demikian, karakteristik masukan dari
run off sangat mempengaruhi kualitas dan
produktivitas perairan, yang selanjutnya akan
mempengaruhi pertumbuhan rumput laut.
Berdasarkan beberapa data tersebut di
atas yang menunjukkan bahwa perairan di
Kabupaten Luwu dan Kota Palopo mempu-
nyai potensi yang sangat besar untuk budi-
daya rumput laut, maka sangat diperlukan
usaha pengelolaan secara terpadu sehingga
akan dapat mempertahankan dan meningkat-
kan baik dari faktor produksi maupun
kualitas rumput laut di Kabupaten Luwu dan
Kota Palopo. Salah satu cara yang dapat di-
gunakan dalam pengelolaan secara terpadu
usaha pemanfaatan perairan untuk budidaya
rumput laut adalah dengan mengetahui sebe-
rapa besar daya dukung (carrying capacity)
suatu perairan yang dapat mendukung usaha
budidaya rumput laut. Daya dukung perairan
diperlukan untuk menentukan kapasitas opti-
mum budidaya rumput laut. Daya dukung
(carrying capacity) pada penelitian ini men-
cakup berapa luas lahan perairan tersebut
yang dapat dimanfaatkan secara optimal, ber-
apa besar perairan tersebut dapat mempro-
duksi rumput laut, serta berapa banyak sum-
berdaya manusia yang memungkinkan dapat
memanfaatkan lahan yang tersedia. Dengan
mengetahui tingkat pemanfaatan dan daya
Waluyo et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Desember 2016 471
dukung suatu perairan, maka akan dapat di-
jadikan landasan dalam pengelolaan suatu
perairan sehingga tingkat pemanfaatan tidak
melebihi daya dukung yang ada.
Mengetahui berapa besar daya du-
kung suatu perairan yang dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan budidaya rumput laut meru-
pakan hal yang sangat penting untuk penge-
lolaan yang berkelanjutan. Salah satu pen-
dekatan yang dapat diterapkan dalam pe-
ngelolaan usaha budidaya rumput laut secara
berkelanjutan pada penelitian ini adalah de-
ngan analisis ecological footprint (EF). Pen-
dekatan EF didasarkan pada tingkat pe-
manfaatan terhadap suatu sumberdaya dan
produktivitas lahan (perairan) yang ada (bio-
capacity/BC) (Bastianoni et al., 2013).
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui daya dukung (carrying
capacity) perairan untuk budidaya rumput
laut jenis Eucheuma cottonii dengan pen-
dekatan analisis Ecological Footprint (EF).
Manfaat penelitian ini adalah diharapkan
dapat digunakan sebagai alat bantu pe-
rencanaan dan pengelolaan budidaya rumput
laut secara terpadu dan berkelanjutan, baik
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah maupun
stakeholders lainnya.
II. METODOLOGI
2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan dua
tahap, yaitu tahap 1 dilaksanakan pada bulan
Mei 2015 (musim peralihan 1) dan tahap 2
pada bulan September 2015 (musim perali-
han 2) di perairan pesisir Kabupaten Luwu
dan Kota Palopo, Teluk Bone, Sulawesi Sela-
tan. Pengambilan data primer dilakukan pada
18 titik stasiun. Peta lokasi penelitian ditam-
pilkan pada Gambar 1.
2.2. Data
Data primer perairan yang diambil
dan dianalisis secara in situ meliputi suhu air
laut, salinitas, pH, oksigen terlarut dan arus.
Data suhu dan oksigen terlarut diukur meng-
gunakan DO meter, salinitas menggunakan
refraktometer, pH menggunakan pH meter
dan arus menggunakan current meter dan
dari data HyCom + NCODA bulan Mei dan
Septetember 2015.
Data yang dianalisis di laboratorium
Balai Penelitian dan Pengembangan Budi-
daya Air Payau, Maros, Sulawesi Selatan
meliputi data total suspended solid (TSS),
chemical oxygen demand (COD), nitrat, fos-
fat, amoniak, klorofil-a, serta logam berat Pb,
Cd dan Hg. Semua contoh air untuk parame-
ter perairan tersebut diambil menggunakan
botol niskin pada kedalaman 2 meter.
Bahan questionare digunakan untuk
mendapatkan data sosial dan ekonomi usaha
budidaya rumput laut. Questionare tersebut
dibagikan ke beberapa stakeholders diantara-
nya adalah Kepala Dinas Kelautan dan Peri-
kanan (DKP), kepala bidang, staf DKP Ka-
bupaten Luwu dan Palopo, pengusaha rum-
put laut serta pembudidaya rumput laut, de-
ngan total responden sebanyak 30 orang.
2.3. Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk me-
ngetahui daya dukung perairan yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rum-
put laut. Daya dukung perairan meliputi 3
komponen utama yang harus diketahui, yaitu:
1) berapa besar tingkat pemanfaatan perairan
(dalam hal ini adalah Ecological Footprint
Produksi/EFP), 2) berapa besar ketersediaan
perairan (Biocapacity/BC) yang mampu un-
tuk mendukung kegiatan tersebut, serta, 3)
berapa banyak jumlah sumberdaya manusia
yang memungkinkan untuk memanfaatkan
ketersediaan ruang perairan yang ada. De-
ngan membandingkan antara Biocapacity ter-
hadap Ecological Footprint maka menghasil-
kan berapa besar daya dukung perairan.
2.3.1. Analisis Pemanfaatan Ruang Per-
airan
Analisis pemanfaatan ruang perairan
pada penelitian ini adalah analisis ecological
footprint produksi (EFP) yang didasarkan pa-
da tingkat produksi rumput laut terhadap
jumlah pembudidaya, dengan persamaan se-
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
472 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
bagai berikut (Ewing et al., 2010):
EFP = ............................................... (1)
Keterangan: EFp : Ecological Footprint, Pro-
duksi rumput laut (ton/kapita), P : Produksi
rumput laut (ton), YN : Jumlah Pembudidaya
(kapita).
2.3.2. Analisis Ketersediaan Ruang Per-
airan
Analisis ketersediaan ruang perairan
didasarkan pada kesesuaian perairan untuk
mendukung budidaya rumput laut. Konsep
ini berdasarkan pada parameter fisika, kimia
dan biologi perairan yang secara ekologis
merupakan prasyarat kelayakan dalam budi-
daya rumput laut. Untuk itu digunakan teknik
Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk me-
ngetahui luas perairan yang sesuai untuk
budidaya rumput laut. Penentuan tingkat ke-
sesuaian menggunakan metode skoring dan
pembobotan terhadap beberapa parameter
dan menggunakan teknik overlay dari bebe-
rapa parameter yang ada. Kriteria yang di-
gunakan dalam penyusunan matrik kese-
suaian untuk menentukan kesesuaian lokasi
budidaya rumput laut mengacu pada criteria
yang telah disusun oleh beberapa sumber ter-
kait seperti pada Tabel 1.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian.
Waluyo et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Desember 2016 473
Tabel 1. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut Eucheuma cottonii.
Parameter Satuan
Kesesuaian
Sangat
sesuai
Sesuai Tidak
sesuai
Nilai Bobot Skor Sumber
Fosfat mg/l 0,2 –
0,5
0,1 – 0,2
& 0,5 - 1
< 0,1 &
> 1
- - - Harrison
(2001)
Nitrat mg/l 0,9 –
3,2
0,1 - < 0,9
& 3,3 –
3,4
< 0,1 &
> 3,4
- - - Anonim
(2002)
Amonia mg/l < 0,3 0.3-0.5 > 0.3 - - - Aslan (1998)
Arus m/s 0,2 –
0,3
0,1 – 0,2
& 0,3 –
0,4
< 0,1 &
> 0,4
Arianti et al.
(2007)
Suhu °C 24 –
30
20 - 24 < 20 &
> 30
- - - Setiyanto et
al. (2008)
Salinitas ‰ 30 –
32
22 – 30 &
32 - 34
< 22 &
> 34
- - - Gazali (2013)
pH 6,5 –
8,5
4 – 6,5 &
8,5 - 9
< 4 & >
9.5
- - - Gazali (2013)
DO mg/l > 6 4 – 6 < 4 - - - Dahuri (1998)
COD mg/l 10 -
90
91 – 100 > 100 - - - Aslan (1998)
Clorofil-a mg/l 3,5 -
10
0,2 - < 3,5 < 0,2 - - - Radiarta et al.
(2003)
Kekeruhan mg/l ≤ 10 < 10 - <
40
> 40 - - - Adipu et al.
(2013)
Kecerahan m > 3 1 - 3 < 1 - - - Sulistyowati
(2003)
Total skor - - -
Parameter pada penelitian ini dike-
lompokkan ke dalam tiga kategori (kelas)
yaitu yang memiliki kategori sangat sesuai
(S1) diberi skor kelas (30), kategori sesuai
(S2) diberi skor kelas 20, dan tidak sesuai
(N) diberi skor kelas 10, serta setiap para-
meter diberikan bobot sesuai dengan tingkat
pengaruh yang dominan. Selanjutnya untuk
menyimpulkan tingkat kesesuaian perairan
maka dilakukan penjumlahan nilai akhir selu-
ruh parameter pada stasiun yang bersang-
kutan (Y = ) (Prahasta,
2002).
Total skor dari hasil perkalian nilai
parameter dengan bobotnya tersebut selanjut-
nya dipakai untuk menentukan kelas kese-
suaian lahan budidaya rumput laut berdasar-
kan karakteristik kualitas perairan dengan
perhitungan sebagai berikut (Prahasta, 2002):
Y = .......................................... (2)
Keterangan : Y : nilai akhir, Ai : faktor pembo-
bot, Xn : nilai tingkat kesesuaian lahan.
Nilai interval kelas berdasarkan Rauf
(2007) sebagai berikut :
I = ........................... (3)
Keterangan : I : interval kelas kesesuaian
perairan, ai: faktor pembobot, Xn: nilai ting-
kat kesesuaian perairan, k: jumlah kelas kese-
suaian perairan yang diinginkan. Berdasarkan
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
474 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
kategori kelas kesesuaian budidaya rumput
laut, maka digunakan untuk menghitung bio-
capacity dengan rumus sebagai berikut
(Bala and Hossain, 2009):
Biocapacity = Luas kesesuaian lahan x
faktor yield ...................... (4)
Keterangan: Biocapacity: Kemampuan, per-
airan yang tersedia untuk memproduksi rum-
put laut (ton), Luas: Luas lahan berdasarkan
kesesuaian (hektar), Faktor yield: Produk-
tivitas rumput laut lokal (ton/hektar/tahun).
2.3.3. Daya Dukung Perairan
Daya dukung perairan merupakan ke-
mampuan sebuah sistem untuk mendukung
kegiatan pada tingkat tertentu, dalam hal ini
adalah kegiatan budidaya rumput laut jenis
Eucheuma cottonii. Untuk menghitung daya
dukung perairan dengan membandingkan
antara biocapacity (BC) dan ecological foot-
print produksi (EFP) dengan rumus berdasar-
kan Yonvitner et al. (2007) yaitu:
CC = ............................................... (5)
Keterangan: CC: Carrying Capacity (kapi-
ta), BC: Biocapacity (ton), EFP: Ecological
Footprint Produksi (ton/kapita).
Berdasarkan hasil perbandingan bio-
capacity dan ecological footprint dapat me-
nentukan status ekologi. Overshoot ekologi
apabila BC < EF, sedangkan surplus ekologi
apabila BC > EF (Rees, 1996), sehingga
dapat mengetahui apakah pengelolaan ter-
sebut berkelanjutan atau tidak.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Rumput Laut Kabupaten Luwu
dan Kota Palopo
Metode budidaya untuk rumput laut
Eucheuma cottonii di Kabupaten Luwu dan
Kota Palopo menggunakan metode long line
dan dilakukan dengan membentuk kelompok
dengan jumlah anggota rata-rata 10 orang,
serta ada yang dilakukan secara perorangan.
Rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh setiap
pembudidaya adalah 1 hektar, dengan jum-
lah rata-rata tali ris sebanyak 500 tali, dimana
setiap tali ris memiliki panjang 25 meter.
Jarak antar tali ris sekitar 80 cm dan jarak
antar bibit rumput laut yang diikat adalah 10
cm. Dari 500 tali ris tersebut, 100 tali ris di-
persiapkan untuk dijadikan bibit untuk
ditanam pada periode tanam yang akan da-
tang, sehingga jumlah tali ris rumput laut
yang benar-benar untuk dipanen adalah 400
tali. Selain itu, berdasarkan informasi dari
para pembudidaya bahwa untuk setiap taliris
dengan panjang 25 meter akan menghasilkan
produksi rumput laut kering sebanyak 5 kg,
sehingga dengan total 400 tali ris akan meng-
hasilkan panen rumput kering sebanyak
2.000 kg (2 ton rumput laut kering).
Waktu yang dibutuhkan 1 kali siklus
budidaya sampai panen adalah 45 hari, se-
hingga dalam 1 tahun dapat panen rumput
laut sebanyak 8 kali. Akan tetapi setelah pa-
nen dilakukan, terdapat waktu untuk per-
siapan penanaman kembali bibit rumput laut
untuk siklus budidaya selanjutnya, sehingga
rata-rata total waktu yang dibutuhkan untuk
persiapan penanaman bibit rumput laut yang
baru dalam setahun membutuhkan waktu se-
kitar 2 bulan. Dengan demikian, dalam 1 ta-
hun para pembudidaya dapat panen se-
banyak 6 kali, atau dapat memproduksi
rumput laut kering sebanyak 12 ton/tahun.
Pada bulan Mei dan September 2015, harga
rumput laut kering Eucheuma cottonii di
Kabu-paten Luwu serta di Makassar adalah
Rp. 10.500/kg. Dengan harga tersebut, maka
pembudidaya dapat menghasilkan nilai pro-
duksi sebesar Rp. 126.000. 000/tahun.
Berdasarkan hasil penelitian menun-
jukkan bahwa hasil panen rumput kering dari
pembudidaya dikumpulkan dan ditampung
oleh pengusaha rumput laut (pengepul) di
Dusun Pantai Bahari, Desa Raja, Kecamatan
Bua, Kabupaten Luwu. Pengusaha tersebut
mengirim rumput laut kering Eucheuma cot-
tonii ke Kota Makassar sebanyak 2 kali da-
lam 1 minggu, dimana sekali pengiriman se-
banyak kurang lebih 18 ton. Dengan demi-
Waluyo et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Desember 2016 475
kian dalam 1 minggu pengusaha pengirim
rumput laut kering sebanyak 36 ton/minggu
atau 144 ton/bulan.
3.2. Profil Sebaran Parameter Oseano-
grafi
Suhu air laut merupakan salah satu
parameter yang sangat menentukan keberha-
silan budidaya pada rumput laut Eucheuma
cottonii. Hal ini disebabkan bahwa suhu air
laut sangat mempengaruhi laju fotosintesis
dan tingkat pertumbuhan, dimana laju foto-
sintesis maksimum pada kisaran suhu 24-
30°C (Glenn and Doty, 1981), 23-30°C
(Mairth et al., 1995), 25-30°C (Ding et al.,
2013; Redmond, 2014) dan fotosintesis akan
menurun pada kisaran suhu 35-40°C (Glenn
and Doty, 1981; Mairth et al., 1995),
pertumbuhan menurun pada suhu dibawah
20°C (Mairth et al., 1995). Berdasarkan hasil
pengukuran bahwa rata-rata suhu pada mu-
sim peralihan 1 sebesar 30,30°C dengan sim-
pangan baku 0,65°C dan musim peralihan 2
sebesar 28,08°C dengan simpangan baku
sebesar 0,78°C. Dengan demikian kisaran
suhu tersebut sangat sesuai untuk memaksi-
malkan laju fotosintesis serta pertumbuhan
rumput laut.
Salinitas air laut sangat mempenga-
ruhi kandungan karagenan serta pertumbuhan
rumput laut Eucheuma cottonii. Berdasarkan
Ding et al. (2013) menyatakan bahwa tingkat
pertumbuhan tertinggi pada salinitas 25-30
‰, sedangkan menurut Yong et al. (2013)
salinitas yang optimum untuk pertumbuhan
Eucheuma cottonii adalah 25-35 ‰. Sedang-
kan kandungan karagenan tertinggi pada sa-
linitas 25 ‰ (Hayasi et al., 2010). Berda-
sarkan hasil analisis di lapangan menun-
jukkan bahwa rata-rata salinitas pada musim
peralihan 1 adalah 33,69 ‰ dengan simpa-
ngan baku 6,04 ‰ dan musim peralihan 2 se-
besar 34,53 ‰ dengan simpangan baku 1,07
‰. Berdasarkan Gazali (2013) menyatakan
bahwa dengan rata-rata salinitas 33,69-34,53
‰ sesuai untuk pertumbuhan rumput laut
Eucheuma cottonii.
Nutrien adalah elemen yang sangat
penting bagi alga, dimana apabila kekurang-
an nutrien maka tidak mungkin alga akan
tumbuh dan berkembang biak dengan
optimal. Berdasarkan Hurd et al. (2014) me-
nyatakan bahwa terdapat elemen nutrien
yang menjadi faktor pembatas bagi partum-
buhan dan perkembangbiakan rumput laut.
Faktor pembatas yang paling utama adalah
unsur nitrogen (N), selanjutnya adalah fosfor
(P) serta zat besi (Fe). Akan tetapi pada
penelitian ini hanya parameter nitrat dan
fosfat sebagai unsur nutrien. Secara umum
sebaran nitrat pada musim peralihan 1
cenderung lebih tinggi daripada musim
peralihan 2. Rata-rata konsentrasi nitrat pada
musim peralihan 1 adalah 0,48 mg/l dengan
simpangan baku 0,12 mg/l, sedangkan rata-
rata pada musim peralihan 2 sebesar 0,20
mg/l dengan simpangan baku 0,22 mg/l.
Nilai rata-rata fosfat pada musim peralihan 1
sebesar 0,06 mg/l dengan simpangan baku
0,07 mg/l dan peralihan 2 sebesar 0,13 mg/l
dengan simpangan baku 0,02 mg/l.
Nilai pH memberikan gambaran apa-
kah air termasuk dalam kategori asam (pH <
7) atau basa (pH > 7). Apabila nilai pH air
laut cukup ekstrim maka dapat mempeng-
aruhi fisiologi organisme, menyebabkan ke-
matian pada organisme serta mempengaruhi
toksisitas beberapa polutan seperti amoniak
dan logam berat. Nilai pH air laut biasanya
pada kisaran 7,5-8,5, sedangkan nilai pH
yang sesuai untuk budidaya laut adalah ber-
kisar antara 7,8-8,4 (Prema 2013). Berdasar-
kan kajian yang dilakukan oleh Tee et al.
(2015) terhadap pertumbuhan Kappaphycus
alvarezii dengan kondisi pH yang berbeda-
beda, dengan asumsi parameter lainnya ada-
lah konstan dan pada selang kepercayaan
0,05 menunjukkan bahwa pertumbuhan ter-
tinggi pada pH 8,4 yaitu 3,57 cm/hari atau
sekitar 0,34%/hari. Sedangkan pada pH basa
yang ekstrim yaitu 9 menunjukkan pertumbu-
han harian adalah 2,44 cm/hari atau sekitar
0,42 %/hari dan pada kondisi asam dengan
pH 6 pertumbuhan harian mencapai 0,61 cm/
hari atau sekitar 0,07 %/hari. Kondisi pH
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
476 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
yang optimum untuk pertumbuhan K. alva-
rezii menunjukkan bahwa pertumbuhan akan
optimum pada kondisi perairan yang sedikit
lebih basa (pH berkisar 7,5-8,0) (Yong et al.,
1990). Berdasarkan hasil analisis di lapang-
an, nilai pH pada musim peralihan 1 rata-rata
sebesar 8,08 dengan simpangan baku 0,94
dan peralihan 2 sebesar 8,17 dengan sim-
pangan baku 0,28. Dengan demikian pH
perairan Kabupaten Luwu dan Kota Palopo
sangat sesuai untuk Eucheuma cottonii (Kap-
paphycus alvarezii).
Pergerakan arus adalah faktor kunci
yang mengontrol atau mempengaruhi per-
tumbuhan rumput laut. Hal ini memainkan
peran penting dalam mencegah peningkatan
pH (yang disebabkan oleh konsumsi karbon
dioksida) serta berfungsi dalam memasok
nutrien di perairan. Kecepatan arus yang se-
suai dan optimum untuk pertumbuhan rum-
put laut Eucheuma cottonii adalah sekitar 20
cm/detik (Prema, 2013). Berdasarkan Hurd et
al. (1996) menyatakan bahwa kecepatan arus
juga akan mempengaruhi proses penyerapan
nutrien, dimana laju penyerapan maksimum
pada kecepatan arus 0,04-0,06 meter/detik.
Berdasarkan hasil analisis di lapangan, rata-
rata kecepatan arus pada musim peralihan 1
sebesar 0,13 meter/detik dengan simpangan
baku 0,03 meter/detik dan peralihan 2 sebe-
sar 0,15 meter/detik dengan simpangan baku
0,05 meter/detik. Dengan demikian, dengan
rata-rata kecepatan arus 0,13-0,15 meter/
detik sesuai untuk rumput laut (Setiyanto et
al., 2008).
Berdasarkan hasil pengukuran oksi-
gen terlarut (dissolved oxygen/DO) di per-
airan Kabupaten Luwu dan Kota Palopo pada
musim peralihan 1 dan peralihan 2 mempu-
nyai pola sebaran DO yang sama, dimana
sebaran spasial konsentrasi DO menunjukkan
bahwa kecenderungan perairan di Kota Palo-
po dan Luwu bagian utara memiliki konsen-
trasi DO yang lebih rendah dibandingkan di
Luwu bagian selatan. Pada musim peralihan
1 rata-rata konsentrasi DO sebesar 6,30 mg/l
dengan simpangan baku 0,38 mg/l, sedang-
kan pada musim peralihan 2 memiliki rata-
rata DO sebesar 6,34 mg/l dengan simpangan
ba-ku 0,47 mg/l. Dengan demikian rata-rata
konsentrasi DO tersebut sangat sesuai untuk
rumput laut (Dahuri, 1998).
Secara umum kondisi perairan pada
musim peralihan 1 cenderung memiliki ke-
keruhan yang relatif lebih rendah dibanding-
kan dengan musim peralihan 2. Musim per-
alihan 1 memiliki kekeruhan rata-rata sebesar
0,19 mg/l dengan simpangan baku 0,02 mg/l,
sedangkan pada musim peralihan 2 kekeruh-
an rata-rata 54,86 mg/l dengan simpangan
baku 29,45 mg/l. Berdasarkan kriteria kese-
suaian lahan untuk budidaya rumput laut
Eucheuma cottonii, maka pada musim per-
alihan 1 dengan rata-rata kekeruhan 0,19
mg/l sangat sesuai untuk budidaya rumput
laut, akan tetapi pada musm peralihan 2
dengan rata-rata 54,86 mg/l tidak sesuai
untuk budidaya rumput laut. Secara ke-
seluruh bahwa kondisi perairan di Kabupaten
Luwu dan Kota Palopo memiliki kekeruhan
yang relatif rendah.
Rata-rata konsentrasi untuk chemical
oxygen demand (COD) pada musim per-
alihan 1 sangat tinggi hingga mencapai 963,5
mg/l dengan simpangan baku 93,82 mg/l
kemungkinan disebabkan terdapat bahan
organik yang sangat sulit untuk diuraian oleh
bakteri di perairan. Berdasarkan KLH (1988)
menjelaskan bahwa ambang batas maksimum
COD di perairan adalah ≤40 mg/l.
Konsentrasi amoniak pada musim
peralihan 1 dan musim peralihan 2 memiliki
pola dan konsentrasi sebaran yang berbeda.
Sebaran spasial amoniak pada musim per-
alihan 1 di Kecamatan Bua dan Belopa cen-
derung memiliki konsentrasi amoniak yang
tinggi hingga menyebar sampai di luar batas
4 mill laut, dengan konsentrasi mencapai
0,24 mg/l. Begitu juga di Kecamatan Larom-
pong dengan konsentrasi amoniak yang cu-
kup tinggi mencapai 0,22 mg/l. Akan tetapi
konsentrasi amoniak pada musim peralihan 2
secara umum cenderung lebih rendah dengan
kisaran 0,01-0,02 mg/l. Berdasarkan kriteria
kesesuaian parameter amoniak untuk budi-
daya rumput laut, maka dengan konsentrasi
Waluyo et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Desember 2016 477
0,01-0,24 mg/l baik pada musim peralihan 1
dan peralihan 2 sangat sesuai untuk budidaya
rumput laut jenis Eucheuma cottonii.
Klorofil-a di lokasi penelitian pada
musim peralihan 1 dan musim peralihan 2
secara umum mempunyai pola dan konsen-
trasi yang hampir sama, akan tetapi terdapat
lokasi dengan konsentrasi klorofil-a yang
sangat tinggi dibandingkan dengan perairan
sekitarnya, yaitu mencapai 8,7mg/l pada
musim peralihan 1 di Kecamatan Ponrang
Selatan. Rata-rata konsentrasi klorofil-a pada
musim peralihan 1 sebesar 6,08 mg/l dengan
simpangan baku 0,60 mg/l, sedangkan pada
musim peralihan 2 sebesar 0,91 mg/l dengan
simpangan baku 0,85 mg/l.
Hasil penelitian diketahui bahwa nilai
terendah logam berat Pb adalah 0,137 mg/l
dan tertinggi 0,233 mg/l dengan rata-rata
0,186 mg/l dan simpangan baku 0,03 mg/l.
Nilai Pb tersebut termasuk sangat tinggi,
sebab batas maksimum Pb yang aman bagi
organisme laut adalah 0,0085 mg/l (AMWQ,
2008; PHILMINAQ, 2006). Pada Rumput
laut memiliki kemampuan untuk menyerap
logam berat memiliki dinding sel yang
mengandung polisakarida, sehingga rumput
laut disebut sebagai biofilter (Yulianto et al.,
2006). Konsentrasi Pb diserap oleh rumput
laut Eucheuma cottonii sehingga semakin
tinggi konsentrasi Pb di perairan maka besar
konsentrasi Pb di jaringan rumput laut juga
semakin tinggi. Dengan demikian apabila
rumput laut dengan konsentrasi Pb yang
tinggi dikonsumsi oleh manusia, maka dapat
mempengaruhi kesehatan manusia tersebut.
Hasil analisis konsentrasi Cd hanya ter-
deteksi 1 stasiun saja, dengan nilai 0,026
mg/l, dimana nilai tersebut masih dalam
batas aman di perairan. Sedangkan nilai Hg
tidak terdeteksi di perairan. Data parameter
oseanografi di perairan Kabupaten Luwu dan
Kota Palopo ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data parameter oseanografi di lokasi penelitian.
Parameter
Musim peralihan 1 Musim peralihan 2 Baku
mutu Sumber Rata-
rata
Simpangan
baku
Rata-
rata
Simpangan
baku
Suhu (oC) 30,30 0,65 28,08 0,78 24-30 Glenn and Doty
(1981)
Salinitas
(‰)
33,69 6,04 34,53 1,07 25-35 Yong et al. (2013);
Ding et el. (2013);
Hayasi et al. (2010)
pH 7,42 0,94 8,17 0,28 7,8-8,4 Prema (2013)
Arus (m/s) 0,13 0,03 0,15 0,05 0,04-0,06 Hurd et al. (1996)
DO (mg/l) 6,30 0,38 6,34 0,47 >5 PHILMINAQ (2006)
COD (mg/l) 963,5 93,82 23,57 7,31 ≤40 KLH (1988)
TSS (mg/l) 0,19 0,02 54,86 29,45 <10 PHILMINAQ (2006)
Nitrat (mg/l) 0,48 0,12 0,20 0,22 0,9-3,2 Anonim (2002)
Fosfat (mg/l) 0,05 0,07 0,13 0,02 0,2-0,5 Harrison (2001)
Amoniak
(mg/l)
0,18 0,03 0,01 0,01 <0,3 Aslan (1998)
Clorofil-a
(mg/l)
6,08 0,60 0,90 0,85 Tidak
blooming
KLH (1988)
Pb (mg/l) 0,186 0,03 <0,00853 AMWQ (2008)
Cd (mg/l) <0,013 AMWQ (2008)
Hg (mg/l) tt1 0,000163 AMWQ (2008) 1tt = tidak terdeteksi, 2 standar untuk rumput laut Eucheuma cottonii, 3standar untuk biota laut
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
478 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
3.3. Kesesuaian Perairan pada Rumput
Laut
Menentukan kesesuaian perairan di
Kabupaten Luwu dan Kota Palopo untuk
budidaya rumput laut jenis Eucheuma
cottonii, maka dilakukan overlay dari bebera-
pa parameter oseanografi. Akan tetapi se-
belum melakukan overlay, terlebih dahulu
dilakukan skoring dan pembobotan dari se-
tiap parameter tersebut untuk setiap kriteria
kesesuaian. Selanjutnya dilakukan overlay
dari setiap parameter tersebut untuk menda-
patkan peta kesesuaian perairan dengan
menggunakan software ArcGIS versi 10.
Data skoring dan pembobotan kesesuaian
rumput laut ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Matrik kesesuaian rumput laut Eucheuma cottonii.
No Parameter Satuan Kesesuaian Kisaran Skor1 Bobot
(%)2
Nilai
total
1 Fosfat mg/l S1 0,2 – 0,5 30 14 420
(Harrison,
2001)
S2 0,1 – 0,2 & 0,5 - 1 20
280
N < 0,1 & > 1 10
140
2 Nitrat mg/l S1 0,9 – 3,2 30 14 420
(Anonim,
2002)
S2 0,1- < 0,9 & 3,3 –
3,4
20
280
N < 0,1 & > 3,4 10
140
3 Amoniak mg/l S1 < 0,3 30 5 150
(Aslan, 1998) S2 0,3 – 0,5 20
100
N > 0,5 10
50
3 Arus m/s S1 0,2 – 0,3 30 10 300
(Arianti et al.,
2007)
S2 0,1 – 0,2 & 0,3 –
0,4
20
200
N < 0,1 & > 0,4 10 100
4 Suhu oC S1 24 - 30 30 8 240
(Setiyanto et
al., 2008)
S2 20 - 24 20
160
N < 20 & > 30 10 80
5 Salinitas ‰ S1 30-32 30 13 390
(Gazali, 2013) S2 22-30 & 32-34 20
260
N < 22 & > 34 10 130
6 pH S1 6,5 – 8,5 30 8 240
(Gazali, 2013) S2 4 – 6,5 & 8,5 – 9,5 20
160
N < 4 & > 9,5 10 80
7 DO mg/l S1 > 6 30 5 150
(Dahuri,
1998)
S2 4 - 6 20
100
N < 4 10 50
8 COD mg/l S1 10 - 90 30 5 150
(Aslan, 1998) S2 91 - 100 20
100
N > 100 10 50
9 Clorofil-a mg/l S1 3,5 - 10 30 5 150
(Radiarta et
al., 2003)
S2 0,2 - < 3,5 20
100
Waluyo et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Desember 2016 479
No Parameter Satuan Kesesuaian Kisaran Skor1 Bobot
(%)2
Nilai
total
N < 0,2 10 50
10 Kekeruhan mg/l S1 ≤ 10 30 8 240
(Adipu et al.,
2013)
S2 < 10 - < 40 20
160
N > 40 10 80
11 Jarak dari
pantai
m S1 150 - 1500 30 5
150
(Sulistyowati,
2003)
S2 1200 - 2000 20 100
N > 2000 10 50
Total 100 1Skor berdasarkan Prahasta (2002). 2Bobot berdasarkan pertimbangan pengaruh variable dominan.
3.3.1. Kesesuaian Perairan Musim Per-
alihan Satu
Kesesuaian perairan pada musim per-
alihan 1 di Kabupaten Luwu dengan kategori
sangat sesuai (S1) seluas 23.661,16 hektar,
kategori sesuai (S2) 24.217,03 hektar dan
tidak sesuai (N) 21.712,43 hektar. Apabila
dengan asumsi kategori sangat sesuai (S1)
dan sesuai (S2) digabungkan menjadi per-
airan yang layak dan sesuai untuk rumput
laut, maka total luas yang sesuai adalah
47.878,19 hektar. Selain itu, berdasarkan
lokasi rencana Daerah Perlindungan Laut
(DPL) di Kabupaten Luwu dengan luas
280,48 hektar, dimana DPL tersebut masuk
di dalam wilayah dengan kategori sesuai
(S2), maka luas sangat sesuai tetap yaitu
23.661,16 hektar, sesuai menjadi 23.936,55
hektar, sehingga total luasan yang layak dan
sesuai setelah dikurangi luasan DPL menjadi
47.597,71 hektar.
Luas kesesuaian perairan di Kota Pa-
lopo pada musim peralihan 1 dengan kategori
sangat sesuai (S1) adalah 1.475,49 hektar,
kategori sesuai (S2) 3.973,11 hektar serta
kategori tidak sesuai (N) 3.264,15 hektar.
Apabila dengan asumsi kategori sangat se-
suai (S1) dan kategori sesuai (S2) digabung-
kan menjadi perairan yang layak dan sesuai
untuk budidaya rumput laut, maka total luas-
an yang sesuai di Kota Palopo adalah 5.448,
60 hektar.
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian
perairan pada musim peralihan 1, secara um-
um perairan Kota Palopo terdapat lokasi
yang sesuai khususnya di sekitar dekat pan-
tai, sedangkan perairan Kabupaten Luwu di
Kecamatan Bua dan Ponrang Selatan sangat
sesuai untuk budidaya rumput laut. Akan te-
tapi di Kecamatan Larompong secara umum
tidak sesuai untuk budidaya rumput laut.
3.3.2. Kesesuaian Perairan Musim Per-
alihan Dua
Kesesuaian perairan pada musim per-
alihan 2 di Kabupaten Luwu dengan kategori
sangat sesuai (S1) seluas 16.124,54 hektar,
kategori sesuai (S2) 36.360,92 hektar dan
tidak sesuai (N) 17.105,16 hektar. Apabila
dengan asumsi kategori sangat sesuai (S1)
dan sesuai (S2) digabungkan menjadi per-
airan yang layak dan sesuai untuk rumput
laut, maka total luas yang sesuai adalah 52.
485,46 hektar. Selain itu, berdasarkan lokasi
rencana DPL di Kabupaten Luwu dengan
luas 280,48 hektar, dimana DPL tersebut ma-
suk di dalam wilayah dengan kategori sesuai
(S2), maka luas kategori sangat sesuai tetap
yaitu 16.124,54 hektar, kategori sesuai men-
jadi 36.080,44 hektar, sehingga total luasan
yang layak dan sesuai setelah dikurangi luas-
an DPL menjadi 52.204,98 hektar.
Luas kesesuaian perairan di Kota Pa-
lopo pada musim peralihan 2 dengan kategori
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
480 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
sangat sesuai (S1) adalah 0 hektar, kategori
sesuai (S2) 0,1608 hektar serta kategori tidak
sesuai (N) 8.712,58 hektar. Apabila dengan
asumsi kategori sangat sesuai (S1) dan kate-
gori sesuai (S2) digabungkan menjadi per-
airan yang layak dan sesuai untuk budidaya
rumput laut, maka total luasan yang sesuai di
Kota Palopo adalah 8.712,58 hektar.
Hasil analisis kesesuaian perairan pa-
da musim peralihan 2, secara umum perairan
Kota Palopo tidak sesuai untuk budidaya
rumput laut. Sedangkan perairan di Kabu-
paten Luwu terdapat lokasi dengan kategori
sangat sesuai (S1) dan sesuai (S2), akan teta-
pi sebagian besar didominasi dengan kategori
sesuai (S2). Kecamatan di Kabupaten Luwu
yang secara umum sesuai untuk rumput laut
Eucheuma cottonii adalah Kecamatan Bua
dan Belopa, sedangkan yang sangat sesuai
adalah di Kecamatan Larompong. Hal ini
sesuai dengan data DKP Kabupaten Luwu
(2011) tentang lokasi unggulan budidaya
rumput laut Eucheuma cottonii yang menya-
takan bahwa lokasi unggulan budidaya rum-
put laut Eucheuma cottonii berada di per-
airan pesisir Kecamatan Belopa Utara, La-
rompong Selatan dan Bua.
3.3.4. Kesesuaian Perairan Total Dua
Musim
Lebih mencerminkan dan menggam-
barkan kesesuaian perairan untuk budidaya
rumput laut Eucheuma cottonii selama 1
tahun, yang merupakan representatif gabung-
an dari musim peralihan 1 dan peralihan 2,
maka dilakukan overley peta kesesuaian dari
2 musim tersebut. Hal ini dilakukan agar
dapat dijadikan dasar dalam membuat
kebijakan baik oleh Pemerintah Daerah dan
atau stakeholder terkait dalam menentukan
lokasi yang benar-benar aman dan sangat
sesuai untuk budidaya rumput laut. Beberapa
alasan pertimbangan dalam membuat ke-
bijakan penentuan lokasi yang sesuai untuk
budidaya rumput laut diantaranya adalah
bahwa apabila masyarakat pembudidaya
rumput laut mampu untuk malakukan adap-
tasi terhadap perubahan musim yang diikuti
dengan perubahan lokasi dan kesesuaian
lahan budidaya, maka masyarakat pembu-
didaya bisa melakukan budidaya pada lokasi
yang sangat sesuai dan sesuai untuk setiap
musim tersebut. Akan tetapi apabila masya-
rakat pembudidaya tidak mampu untuk me-
lakukan adaptasi terhadap perubahan mu-
sim, maka pembudidaya disarankan untuk
memilih lokasi yang benar-benar aman dan
sangat sesuai untuk budidaya rumput laut
yaitu lokasi kesesuaian gabungan dari musim
peralihan 1 dan peralihan 2.
Berdasarkan hasil analisis gabungan
kesesuaian dari musim peralihan 1 dan per-
alihan 2, maka dihasilkan peta kesesuaian
yang mencerminkan representatif kesesuaian
dalam 1 tahun. Berdasarkan hasil dari ana-
lisis menunjukkan bahwa secara umum per-
airan di Kota Palopo dan sebagian besar
perairan Luwu bagian utara tidak sesuai
untuk budidaya rumput laut. Sedangkan di
perairan Kabupaten Luwu bagian selatan se-
cara umum sesuai untuk budidaya rumput
laut, tetapi khusus di Kecamatan Ponrang Se-
latan sangat sesuai untuk budidaya rumput
laut. Luas perairan di Kabupaten Luwu deng-
an kategori sangat sesuai (S1) adalah
13.618,85 hektar, kategori sesuai (S2)
46.882,26 hektar dan kategori tidak sesuai
(N) adalah 9.089,49 hektar. Apabila dengan
asumsi kategori sangat sesuai (S1) dan sesuai
(S2) digabungkan menjadi perairan yang la-
yak dan sesuai untuk rumput laut, maka total
luas yang sesuai adalah 60.501,11 hektar.
Selain itu, berdasarkan lokasi rencana DPL di
Kabupaten Luwu dengan luas 280,48 hektar,
dimana DPL tersebut masuk di dalam wi-
layah dengan kategori sesuai (S2), maka luas
kategori sangat sesuai tetap yaitu 13.618,85
hektar, kategori sesuai menjadi 46.162,94
hektar, sehingga total luasan yang layak dan
sesuai setelah dikurangi luasan DPL menjadi
59.781,79 hektar.
Luas perairan di Kota Palopo dengan
kategori sangat sesuai (S1) adalah 0 hektar,
kategori sesuai (S2) adalah 1.771,41 hektar
dan tidak sesuai (N) 6.941,33 hektar. Apabila
dengan asumsi kategori sangat sesuai (S1)
Waluyo et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Desember 2016 481
dan sesuai (S2) digabungkan menjadi perair-
an yang layak dan sesuai untuk rumput laut,
maka total luas yang sesuai adalah 1.771,41
hektar. Data hasil kesesuaian perairan disaji-
kan pada Tabel 4, dan Tabel 5, serta Gambar
2 dan Gambar 3.
3.4. Pemanfaatan Ruang Perairan
Analisis pemanfaatan ruang perairan
untuk budidaya rumput laut di Kabupaten
Luwu dan Kota Palopo dilakukan dengan
pendekatan Ecological Footprint. Analisis
Ecological Footprint (EF) adalah analisis
yang menyatakan suatu daerah ekologis yang
produktif untuk memberikan sumber daya
laut sebagai pasokan konsumsi bagi pendu-
duk di daerah yang bersangkutan (Adrianto,
2010).
Produksi rumput laut pada Eucheuma
cottonii di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo
mulai tahun 2008-2014 cenderung mengala-
mi peningkatan, akan tetapi jumlah nelayan
pembudidaya di kedua daerah tersebut me-
nunjukkan trend yang tidak sama. Jumlah
pembudidaya Kabupaten Luwu setiap tahun
mengalami peningkatan, akan tetapi di Kota
Palopo cenderung mengalami penurunan.
Berdasarkan data produksi dan jumlah pem-
budidaya, maka akan dapat dihitung EFP
masing-masing daerah tersebut.
Nilai EFP rumput laut di Kabupaten
Luwu menunjukkan bahwa perairan dengan
rata-rata luas pemanfaatan eksisting 9.709,24
hektar dan dimanfaatkan oleh pembudidaya
rumput laut sebanyak 3.472 kapita, maka
perairan tersebut mampu menghasilkan pro-
duksi rumput laut (EFP) sebanyak 67,8883
ton/kapita/tahun. Demikian juga dengan EFP
di Kota Palopo dengan luas lahan rata-rata
sebesar 438,61 hektar dan dimanfaatkan oleh
Tabel 4. Kesesuaian ruang perairan untuk rumput laut Eucheuma cottonii.
No Kriteria
Luas Lahan (Ha)
Kab. Luwu Kota Palopo
Musim
peralihan 1
Musim
peralihan 2
Musim
peralihan 1
Musim
peralihan 2
1 Sangat sesuai (S1) 23.661,16
23.661,161
16.124,54
16.124,541
1.475,49 -
2 Sesuai (S2) 24.217,03
23.936,551
36.360,92
36.080,441
3.973,11 0,1608
3 Tidak sesuai (N) 21.712,43
21.712,431
17.105,16
17.105,161
3.264,15 8,712,58
Total (S1+S2) 47.878,19
47.597,711
52.485,46
52.204,981
5.448,60 0,1608
1Luas lahan setelah dikurangi DPL (Luas DPL = 280,48 ha).
Tabel 5. Kesesuaian perairan total 2 musim di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo.
No Kriteria
Luas Lahan Perairan (Ha)
Kab. Luwu Kota Palopo
Luas awal Luas dikurangi DPL1 Luas
1 Sangat sesuai (S1) 13.618,85 13.618,85 -
2 Sesuai (S2) 46.882,26 46.162,94 1.771,41
3 Tidak sesuai (N) 9.089,49 9.089,49 6.941,33
Total (S1+S2) 60.501,11 59.781,79 1.771,41 1Luas DPL = 280,48 ha.
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
482 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Perbandingan luas lahan perairan eksisting dengan luas kesesuaian lahan (a.
musim peralihan 1, b. musim peralihan 2, c. total dua musim).
Waluyo et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Desember 2016 483
(a)
(b)
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
484 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
(c)
Gambar 3. Luas kesesuaian lahan (a. musim peralihan 1, b. musim peralihan 2, c. total dua
musim).
Pembudidaya rumput laut sebanyak
1.503 kapita, perairan tersebut menghasilkan
rumput laut (EFP) sebanyak 3,0876 ton/
kapita/tahun. Nilai EFP di Kabupaten Luwu
lebih tinggi dibandingkan dengan di Kota
Palopo disebabkan tingkat produksi yang
tinggi serta lahan budidaya yang lebih luas.
Dengan lahan yang lebih luas mempunyai
peluang dan potensi menghasilkan produksi
rumput laut yang lebih banyak. Hasil analisis
EFP di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo
disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 4.
3.5. Ketersediaan Ruang Perairan
Ketersediaan ruang perairan untuk
budidaya rumput laut Eucheuma cottonii di
Kabupaten Luwu dan Kota Palopo akan
menggambarkan 2 komponen utama, yaitu 1)
berapa luas keseluruhan suatu perairan terse-
but yang mampu untuk mendukung budidaya
rumput laut, serta, 2) seberapa besar produk
rumput laut yang bisa dicapai (dengan asum-
si pemakaian keseluruhan terhadap keterse-
diaan lahan yang ada). Analisis ketersediaan
ruang perairan pada penelitian ini dibatasi
hanya untuk peruntukkan budidaya rumput
laut jenis Eucheuma cottonii, sehingga tidak
menganalisis peruntukkan pemanfaatan ke-
giatan lainnya dan dihubungkan dengan ren-
cana zonasi.
Analisis biocapacity didasarkan pada
kesesuaian perairan yang mendukung budi
daya rumput laut. Untuk mengetahui kese-
suaian ruang perairan yang dapat diman-
faatkan budidaya rumput laut secara spasial
menggunakan konsep evaluasi kesesuaian
lahan. Konsep ini berdasarkan pada parame-
ter fisika, kimia dan biologi perairan yang
secara ekologis merupakan prasyarat kelaya-
kan dalam budidaya rumput laut. Untuk itu
digunakan teknik Sistem Informasi Geografis
(SIG) untuk mengetahui luas perairan yang
sesuai untuk budidaya rumput laut di
Kabupaten Luwu dan Kota Palopo. Secara
spasial, perairan Kabupaten Luwu dan Kota
Palopo untuk pengembangan rumput laut Eu-
cheuma cottonii dikelompokkan dalam 3
kategori yaitu kelas sangat sesuai (S1), sesuai
(S2) dan tidak sesuai (N).
Waluyo et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Desember 2016 485
Tabel 6. Ecological footprint produksi rumput laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Luwu
dan Kota Palopo.
No Tahun
Pembudidaya (Kapita) Produksi (Ton/Tahun) EFP (Ton/Kapita)
Kab.
Luwu
Kota
Palopo Kab. Luwu
Kota
Palopo
Kab.
Luwu
Kota
Palopo
1 2008 3.456 1.543 174.875,44 2.195,51 50,6005 1,4229
2 2009 3.465 1.569 178.361,34 2.219,83 51,4751 1,4148
3 2010 3.473 1.578 183.202,80 2.227,04 52,7506 1,4113
4 2011 3.476 1.464 229.017,00 3.416,25 65,8852 2,3335
5 2012 3.476 1.479 256.257,85 6.416,00 73,7221 4,3381
6 2013 3.479 1.479 272.667,60 12.543,00 78,3753 8,4807
7 2014 3.480 1.407 356.385,50 3.112,31 102,4096 2,2120
Rata-rata 3.472 1.503 235.823,93 4.589,99 67,8883 3,0876
Gambar 4. Ecological footprint produksi (EFP) rumput laut Eucheuma cottonii di Kabupaten
Luwu dan Kota Palopo.
Perhitungan biocapacity pada pene-
litian ini membagi menjadi biocapacity
parsial (berdasarkan masing-masing kategori
kelas S1 dan S2) serta biocapacity total (total
luas lahan perairan dari kategori kelas S1 dan
S2). Nilai biocapacity di Kabupaten Luwu
dan Kota Palopo juga dihitung untuk setiap
musim yang berbeda, yaitu biocapacity pada
musim peralihan 1 (bulan Mei 2015) dan bio-
capacity musim peralihan 2 (bulan Septem-
ber 2015).
3.5.1. Biocapacity Musim Peralihan Satu
Berdasarkan analisis pada biocapacity
parsial di perairan Kabupaten Luwu pada
musim peralihan 1 dengan kategori sangat
sesuai (S1) sebesar 569.061,80 ton dan ka-
tegori sesuai (S2) sebesar 575.685,06 ton.
Biocapacity total mencapai 1.144.746,86 ton
yang artinya bahwa apabila dengan asumsi
pemanfaatan seluruh lahan yang tersedia
seluas 47.597,71 hektar, maka perairan ter-
sebut mampu untuk menghasilkan produksi
rumput laut sebanyak 1.144.746,86 ton/
tahun.
Biocapacity parsial di perairan Kota
Palopo pada musim peralihan 1 dengan kate-
gori sangat sesuai (S1) 15.232,48 ton, se-
dangkan pada kategori perairan yang sesuai
(S2) mampu memproduksi rumput laut seba-
nyak 41.017,09 ton. Biocapacity total di Kota
Palopo sebesar 56.249,56 ton yang artinya
bahwa apabila dengan asumsi pemanfaatan
seluruh lahan yang tersedia seluas 5.448,60
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
486 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
hektar, maka perairan tersebut mampu untuk
menghasilkan produksi rumput laut sebanyak
56.249,56 ton/tahun.
3.5.2. Biocapacity Musim Peralihan Dua
Berdasarkan analisis biocapacity par-
sial di perairan Kabupaten Luwu pada musim
peralihan 2 dengan kategori sangat sesuai
(S1) sebesar 387.802,62 ton dan kategori
sesuai (S2) sebesar 867.751,21 ton. Bioca-
pacity total mencapai 1.255.553,83 ton yang
artinya bahwa apabila dengan asumsi peman-
faatan seluruh lahan yang tersedia seluas
52.204,98 hektar, maka perairan tersebut
mampu untuk menghasilkan produksi rumput
laut sebanyak 1.255.553,83 ton/tahun.
Biocapacity parsial di perairan Kota
Palopo pada musim peralihan 2 dengan kate-
gori sangat sesuai (S1) 0 ton, disebabkan ke-
sesuaian lahan perairan dengan kategori sa-
ngat sesuai tidak ada (0 hektar), sedangkan
pada kategori perairan yang sesuai (S2)
mampu memproduksi rumput laut sebanyak
1,66 ton. Biocapacity total di Kota Palopo
sebesar 1,66 ton yang artinya bahwa apabila
dengan asumsi pemanfaatan seluruh lahan
yang tersedia seluas 0,1608 hektar, maka
perairan tersebut mampu untuk menghasilkan
produksi rumput laut sebanyak 1,66 ton/
tahun.
3.5.3. Biocapacity Gabungan Dua Musim
Berdasarkan analisis biocapacity ga-
bungan 2 musim yang merupakan gabungan
dari musim peralihan 1 dan peralihan 2 di
perairan Kabupaten Luwu, maka didapatkan
hasil bahwa perairan dengan kategori sangat
sesuai (S1) sebesar 327.539,62 ton dan
kategori sesuai (S2) sebesar 1.110.239,98
ton. Apabila dengan asumsi kategori S1 dan
S2 digabungkan maka Biocapacity total men-
capai 1.437.779,60 ton yang artinya bahwa
apabila dengan asumsi pemanfaatan seluruh
lahan yang tersedia seluas 59.781,79 hektar,
maka perairan tersebut mampu untuk meng-
hasilkan produksi rumput laut sebanyak
1.437.779,60 ton/tahun.
Biocapacity gabungan 2 musim di
perairan Kota Palopo didapatkan hasil bahwa
perairan dengan kategori sangat sesuai (S1) 0
ton, sedangkan pada kategori sesuai (S2)
adalah 18.287,46 ton. Apabila dengan asumsi
kategori S1 dan S2 digabungkan maka
Biocapacity total di Kota Palopo mencapai
sebesar 18.287,46 ton yang artinya bahwa
apabila dengan asumsi pemanfaatan seluruh
lahan yang tersedia seluas 1.771,41 hektar,
maka perairan tersebut mampu untuk meng-
hasilkan produksi rumput laut sebanyak 18.
287,46 ton/tahun. Hasil analisis biocapacity
ditampilkan pada Tabel 7 dan Gambar 5.
3.6. Daya Dukung Perairan
Daya dukung perairan merupakan ke-
mampuan sebuah sistem untuk mendukung
kegiatan pada tingkat tertentu (UNEP, 1999),
dalam hal ini adalah kegiatan budidaya
rumput laut jenis Eucheuma cottonii. Dengan
kata lain, daya dukung terkait dengan sistem
wilayah pesisir yang memiliki batas-batas
tertentu atau memiliki ambang batas terhadap
suatu kegiatan (MacLeod and Cooper, 2005).
Untuk mengetahui daya dukung suatu per-
airan, terdapat 3 komponen utama yang harus
diketahui, yaitu: 1) berapa besar tingkat pe-
manfaatan perairan (dalam hal ini adalah
Ecological Footprint Produksi/EFP), 2) bera-
pa besar ketersediaan ruang perairan (Bioca-
pacity/BC) yang mampu untuk mendukung
kegiatan tersebut, serta, 3) berapa banyak
jumlah sumberdaya manusia (kapita) yang
memungkinkan untuk memanfaatkan keterse-
diaan ruang perairan yang ada. Dengan
membandingan antara Biocapacity terhadap
Ecological Footprint maka menghasilkan
berapa besar daya dukung perairan.
3.6.1. Daya Dukung Musim Peralihan
Satu
Berdasarkan hasil analisis daya du-
kung dengan pendekatan EF di Kabupaten
Luwu pada musim peralihan 1 menunjukkan
bahwa tingkat pemanfaatan perairan (EFP)
adalah 67,8883 ton/kapita (235.823,93 ton/
tahun), sedangkan ketersediaan ruang per-
Waluyo et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Desember 2016 487
airan (Biocapacity/BC) adalah 47.597,71
hektar yang mampu untuk memproduksi
rumput laut sebanyak 1.144.746,86 ton/
tahun. Apabila menggunakan asumsi bahwa
pemanfaatan seluruh ketersediaan lahan
perairan yang ada (47.597,71 hektar), maka
daya dukung jumlah sumberdaya manusia
yang mungkin untuk dapat memanfaatkan
lahan tersebut adalah 17.064 kapita.
Hasil analisis daya dukung perairan di
Kota Palopo pada musim peralihan 1 me-
nunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan per-
airan (EFP) adalah 3.0876 ton/kapita (4.589,
99 ton/tahun), sedangkan ketersediaan ruang
perairan (Biocapacity/BC) adalah 5.448,60
hektar yang mampu untuk memproduksi
rumput laut sebanyak 56.249,56 ton/tahun.
Tabel 7. Biocapacity perairan di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo.
Musim
Kabupaten Luwu Kota Palopo
Produks
i (Ton)1
BC Parsial (Ton) BC Total
(Ton)
Produ
ksi
(Ton)1
BC Parsial (Ton) BC
Total
(Ton) S1 S2 S1 S2
Peralih
an 1 235.823
,93
569.061
,80
575.685,0
6
1.144.746
,86 4.589,
99
15.232,
48
41.017,
09
56.249,
56
Peralih
an 2
387.802
,62
867.751,2
1
1.255.553
,83
0 1,66 1,66
Total 2
musim
32.539,
62
1.110.239
,98
1.437.779
,60
0 18.287,
46
18.287,
46 1Rata-rata produksi eksisting per tahun (2008 – 2014).
(a)
(b)
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
488 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
(c)
Gambar 5. Perbandingan ecological footprint produksi (EFP) dengan biocapacity (BC)
rumput laut Eucheuma cottonii, a). musim peralihan 1, b). musim peralihan 2, c).
total 2 musim.
Apabila menggunakan asumsi bahwa
pemanfaatan seluruh ketersediaan lahan per-
airan yang ada (5.448,60 hektar), maka daya
dukung jumlah sumberdaya manusia yang
mungkin untuk dapat memanfaatkan lahan
tersebut adalah 1.954 kapita.
3.6.2. Daya Dukung Musim Peralihan
Dua
Berdasarkan hasil analisis daya du-
kung dengan pendekatan EF di Kabupaten
Luwu pada musim peralihan 2 menunjukkan
bahwa tingkat pemanfaatan perairan (EFP)
adalah 67,8883 ton/kapita (235.823,93 ton/
tahun), sedangkan ketersediaan ruang per-
airan (Biocapacity/BC) adalah 52.204,98
hektar yang mampu untuk memproduksi
rumput laut sebanyak 1.255.553,83 ton/
tahun. Apabila menggunakan asumsi bahwa
pemanfaatan seluruh ketersediaan lahan per-
airan yang ada (52.204,98 hektar), maka daya
dukung jumlah sumberdaya manusia yang
mungkin untuk dapat memanfaatkan lahan
tersebut adalah 18.716 kapita.
Daya dukung perairan di Kota Palopo
pada musim peralihan 2 menunjukkan bahwa
tingkat pemanfaatan perairan (EFP) adalah
3,0876 ton/kapita (4.589,99 ton/tahun), se-
dangkan ketersediaan ruang perairan (Bio-
capacity/BC) adalah 0,1608 hektar yang
mampu untuk memproduksi rumput laut
sebanyak 1,66 ton/tahun. Apabila menggu-
nakan asumsi bahwa pemanfaatan seluruh
ketersediaan lahan perairan yang ada (0,1608
hektar), maka daya dukung jumlah sumber-
daya manusia yang mungkin untuk dapat
memanfaatkan lahan tersebut adalah 0,60
kapita, atau setara dengan 1 kapita.
3.6.3. Daya Dukung Total Dua Musim
Berdasarkan hasil analisis daya du-
kung perairan total 2 musim di Kabupaten
Luwu menunjukkan bahwa tingkat peman-
faatan perairan (EFP) adalah 67.8883 ton/
kapita (235.823,93 ton/tahun), sedangkan
ketersediaan ruang perairan (Biocapacity/
BC) adalah 59.781,79 hektar yang mampu
untuk memproduksi rumput laut sebanyak
1.437.779,60 ton/tahun. Apabila mengguna-
kan asumsi bahwa pemanfaatan seluruh ke-
tersediaan lahan perairan yang ada (59.
781,79 hektar), maka daya dukung jumlah
sumberdaya manusia yang mungkin untuk
dapat memanfaatkan lahan tersebut adalah
21.432 kapita.
Daya dukung perairan total 2 musim
di Kota Palopo menunjukkan bahwa tingkat
pemanfaatan perairan (EFP) adalah 3.0876
ton/kapita (4.589,99 ton/tahun), sedangkan
ketersediaan ruang perairan (Biocapacity/
BC) adalah 1.771,41 hektar yang mampu
untuk memproduksi rumput laut sebanyak
18.287,46 ton/tahun. Apabila menggunakan
asumsi bahwa pemanfaatan seluruh keterse-
Waluyo et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Desember 2016 489
diaan lahan perairan yang ada (1.771,41
hektar), maka daya dukung jumlah sumber-
daya manusia yang mungkin untuk dapat
memanfaatkan lahan tersebut adalah 635
kapita. Hasil analisis daya dukung perairan
disajikan pada Tabel 8.
3.7. Status Ekologi
Status ekologi mencerminkan apakah
tingkat pemanfaatan perairan melebihi dari
kemampuan suatu perairan untuk mendukung
kegiatan tersebut dan atau sebaliknya.
Apabila tingkat pemanfaatan ruang perairan
melebihi kemampuan ketersediaan lahan,
maka status ekologi mengalami overshoot.
Apabila tingkat pemanfaatan perairan lebih
kecil daripada kemampuan ketersediaan
lahan, maka status ekologi tersebut surplus.
Status ekologi dinyatakan sebagai perbedaan
antara Biocapacity dan Ecological Footprint.
Menurut Rees (1996) menyatakan
bahwa status overshoot apabila BC < EF,
sedangkan surplus ekologi apabila BC > EF.
Dengan mengetahui status ekologi tersebut
akan dapat memberikan pendugaan suatu
wilayah apakah dalam pengelolaan sumber-
daya tersebut berkelanjutan atau tidak.
Berdasarkan hasil analisis tingkat peman-
faatan ruang perairan (EFP) serta keter-
sediaan kemampuan ruang perairan (BC)
pada musim peralihan 1, maka status ekologi
di Kabupaten Luwu mengalami surplus
ekologi (BC > EFP, atau 1.144.746,86 ton/
tahun > 67,88 ton/kapita/tahun atau setara
dengan 235.823,93 ton/tahun), begitu juga
dengan status ekologi di Kota Palopo meng-
alami surplus ekologi (BC > EFP, atau
56.249,56 ton/tahun > 3,08 ton/kapita/tahun
atau setara dengan 4.589,99 ton/tahun).
Berdasarkan hasil analisis tingkat
pemanfaatan ruang perairan (EFP) serta
ketersediaan kemampuan ruang perairan
(BC) pada musim peralihan 2, maka status
ekologi di Kabupaten Luwu mengalami
surplus ekologi (BC > EFP, atau 1.255.553,
83 ton/tahun > 67,88 ton/kapita/tahun atau
setara dengan 235.823,93 ton/tahun, sedang-
kan di Kota Palopo mengalami overshoot
(BC < EFP, atau 1,66 ton/tahun < 3,08
ton/kapita/tahun atau setara dengan 4.589,99
ton/tahun).
Hasil analisis tingkat pemanfaatan
ruang perairan (EFP) serta ketersediaan
kemampuan ruang perairan (BC) total 2
musim, didapatkan bahwa status ekologi di
Kabupaten Luwu secara umum mengalami
surplus ekologi (BC > EFP, dimana
1.437.779,60 ton/tahun > 67,88 ton/ kapita/
tahun atau setara dengan 235.823,93 ton/
tahun). Begitu juga dangan status ekologi di
Kota Palopo secara umum mengalami
surplus ekologi (BC > EFP, dimana
18.287,46 ton/tahun >3,08 ton/kapita/tahun
atau setara dengan 4.589,99 ton/tahun).
Tabel 8. Daya dukung perairan untuk rumput laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Luwu dan
Kota Palopo.
Musim
Kabupaten Luwu Kota Palpo
EFP
(Ton/Kapita) BC (Ton)
Daya
Dukung
(Kapita)
EFP
(Ton/Kapita) BC (Ton)
Daya
Dukung
(Kapita)
Peralihan
1
67,8883
1.144.746,86 17.064
3,0876
56.249,56 1.954
Peralihan
2 1.255.553,83 18.716 1,66 0,60 ≈ 1
Total 2
musim 1.437.779,60 21.432 18.287,46 635
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
490 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis daya dukung
perairan pada setiap musim serta gabungan
dua musim yang menggambarkan represen-
tatif daya dukung perairan selama 1 tahun di
Kabupaten Luwu dan Kota Palopo, maka
dapat dijadikan acuan dan pertimbangan
ilmiah untuk pengambilan kebijakan dalam
pengelolaan dan pengembagan usaha budi-
daya rumput laut di kedua wilayah tersebut.
Dengan mempertimbangkan potensi tersebut,
maka usaha budidaya rumput laut diharapkan
menghasilkan produksi yang lebih optimal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut dan Pesisir (P3SDLP),
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelaut-
an dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang telah menfasilitasi penelitian
ini. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi Sela-
tan yang telah membantu analisis laboratori-
um kualitas air. Terima kasih juga kepada
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Luwu dan Kota Palopo, Sulawesi Selatan
yang telah memberikan dukungan dalam
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adipu, Y., C. Lumenta, E. Kaligis, dan H.J.
Sinjal. 2013. Kesesuaian lahan budi-
daya laut di perairan Kabupaten Boo-
lang Mongondow Selatan, Sulawesi
Utara. J. Perikanan dan Kelautan
Tropis, 9(1):19-26.
Adrianto, L. 2010. Fishery resources app-
ropriation as sustainability indicator:
An ecological footprint approach.
Bogor. PKSPL IPB. 2hlm.
ASEAN Marine Water Quality (AMWQ).
2008. Management guidelines and
nonitoring manual. Jakarta. The
ASEAN Secretariat. 146p.
Anonim. 2002. Modul sosialisasi dan orien-
tasi penataan ruang, laut, pesisir dan
pulau-pulau kecil. Jakarta. Ditjen Pe-
sisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direk-
torat Tata Ruang Laut, Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil. 11hlm.
Arianti, R.W., L. Sya’rani, dan E. Arini.
2007. Analisis kesesuaian perairan
pulau karimunjawa dan pulau kemu-
jan sebagai lahan budidaya rumput
laut menggunakan Sistem Informasi
Geografis. J. Pasir Laut, 3(1):27-45.
Aslan, L.M. 1998. Budidaya rumput laut.
Kanisius. Yokyakarta. 114hlm.
Bala, B.K. and Md.A. Hossain. 2009. Integ-
rated management of coastal zone for
food security. Final Report. Bang-
ladesh. Department of Farm Power
and Machinery, Bangladesh Agricul-
tural University. 19p.
Bastianoni, S., V. Niccolucci, E. Neri, G.
Cranston, A. Galli, and M. Wacke-
rnagel. 2013. Sustainable Develop-
ment: Ecological Footprint in Acco-
unting. In Encyclopedia of Envi-
ronmental Management. New York:
Taylor and Francis, 2467-2481pp.
Dahuri, R.1998. The application of carryng
capacity concept for sustainable cos-
tal resources development in Indone-
sia. J. Pengelolaan Sumber Daya Pe-
sisir dan Lautan Indonesia, 1(1):22-
31.
Ding, L., Y. Ma, B. Huang, and S. Chen.
2013. Effects of seawater salinity and
temperature on growth and pigment
contents in Hypnea cervicornis J.
agardh (Gigartinales, Rhodophyta).
(Lin H, Ed). Hindawi Publishing
Corporation. J. BioMed Research
International, 2013: 1-10.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Luwu (DKP). 2015. Laporan tahunan
perikanan Kabupaten Luwu Tahun
2010-2014. Belopa. DKP Kab. Luwu.
31hlm.
Waluyo et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 2, Desember 2016 491
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Palopo
(DKP). 2015. Laporan tahunan DKP
Kota Palopo Tahun 2010-2014. Palo-
po. DKP Kota Palopo. 42hlm.
Ewing, B., A. Reed, A. Galli, J. Kitzes, and
M. Wackernagel. 2010. Calculation
methodology for the national foot-
print Accounts. 2010 Edition. Oak-
land: Global Footprint Network. 3p.
Gazali, I. 2013. Evaluasi dampak pembua-
ngan limbah cair pabrik kertas terha-
dap kualitas air Sungai Klinter Kabu-
paten Nganjuk. J. Keteknikan Per-
tanian Tropis dan Biosistem, 1(2):1-8.
Glenn, E.P. and M.S. Doty. 1981. Photo-
synthesis and respiration of the tro-
pical red seaweeds, Eucheuma stria-
tum (Tambalang and Elkhorn varie-
ties) and E. denticulatum. J. Aquatic
Botany, 10:353-364.
Harrison, P.J. and C.L. Hurd. 2001. Nutrient
physiology of seaweeds: Application
of concepts to aquaculture. J. Cahiers
de Biologie Marine, 42:71-82.
Hayashi, L., G.S.M. Faria, B.G. Nunes, C.S.
Zitta, L.A. Scariot, T. Rover, M.R.L.
Felix, and Z.L. Bouzon. 2010. Effects
of salinity on the growth rate, carra-
geenan yield, and cellular structure of
Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta,
Gigartinales) cultured in vitro. J. Appl
Phycol, 23(3):439-447.
Hurd, C.L., P.J. Harrison, K. Bischof, and
C.S. Lobban. 2014. Seaweed ecology
and physiology. 2nd ed. Cambridge.
Cambridge University Press. 238-
349pp.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
1988. Keputusan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang
Pedoman Penetapan Baku Mutu Ling-
kungan. Jakarta. 21hlm.
Mairh, O.P., S.T. Zodape, A. Tewari, and
M.R. Rajyaguru. 1995. Culture of
marine red alga Kappaphycus Stria-
tum (Schmitz) Doty on the Saurashtra
Region, West Coast of India. Indian.
J. Mar Sci., 24:24-31.
MacLeod, M. and J.A.G. Cooper. 2005.
Carrying capacity in coastal areas.
Encyclopedia of coastal science.
Springer. Schwartz M. 226p.
Mitigating Impact from Aquaculture in the
Philippines. 2006. Water quality
criteria and standards for freshwater
and marine aquaculture. <URL:http://
www.aquaculture.asia/files/PMNQ%
20WQ%20standard%202.pdf. [Acce-
ssed 20 December 2015].
Prahasta, E. 2002. Konsep-konsep dasar
sistem Informasi Geografis. Ban-
dung. CV Informatika. 57Hlm.
Prema, D. 2013. Site selection and water
quality in mariculture: CMFRI manu-
el customized training book. Karala.
Central Marine Fisheries Research
Institute. 36-39pp.
Radiarta, I., S.E. Wardoyo, B. Priyono, dan
O. Praseno. 2003. Aplikasi sistem
informasi geografis untuk penentuan
lokasi pengembangan budidaya laut
di Teluk Ekas, Nusa Tenggara Barat.
J. Penelitian Perikanan Indonesia,
9(1):67-71.
Redmond, S., L. Green, C. Yarish, J. Kim,
and C. Neefus. 2014. New England
seaweed culture handbook-nursery
systems.Connecticut Sea Grant CTSG
-14-01: 92.
Rees, W.E. 1996. Revisiting carrying capa-
city: area-based indicators of sus-
tainability. J. Population and Envi-
ronment, (17):195-215.
Setiyanto, D., I. Efendi, dan K.J. Antara.
2008. Pertumbuhan Kappaphycus
alvarezii var Maumare, var Sacol dan
Eucheuma cottonii di Perairan Musi
Buleleng. J. Ilmu Kelautan, 13(3):
171-176.
Tee, M.Z., Y.S. Yong, K.F. Rodrigues, and
W.T.L. Yong. 2015. Growth rate
analysis and protein identification of
Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta,
Gigartinales) under pH induced stress
Daya Dukung Perairan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut . . .
492 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt82
culture. J. Aquaculture Reports,
2:112-116.
United Nations Environment Programme
(UNEP). 1999. Carrying capacity as-
sessment for tourism development.
Coastal Area Management Program-
me (CAMP). FUKAMATROUH.
Egypt. 4p.
Yong, W.T.L., S.H. Ting, Y.S. Yong, V.Y.
Thien, S.H. Wong, W.L. Chin, K.F.
Rodrigues, and A. Anton. 2013. Opti-
mization of culture conditions for the
direct regeneration of Kappaphycus
alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae).
J. Appl Phycol, 25(5), DOI 10.1007.
Yonvitner, S.B. Susilo, G. Rakasiwi, dan
A.A. Taurusman. 2007. Daya dukung
pulau-pulau kecil dengan pendekatan
ecological footprint : Kasus di Pulau
Wetar. Bogor. PKSPL IPB. 12hlm.
Yulianto, B., Raden, A., dan T. Agung. 2006.
Daya serap rumput laut (Gracilaria
sp.) terhadap logam berat tembaga
(Cu) sebagai biofilter. J. Kelautan,
11(2): 72-78.
Diterima : 4 Maret 2016
Direview : 7 Juni 2016
Disetujui : 10 Agustus 2016