Women Peace Movement in Wajir, Kenya

Embed Size (px)

DESCRIPTION

This paper is made by International Relations Students of Universitas Gadjah Mada to answer following question: “Bagaimana peran women peace movement dalam upaya resolusi konflik Wajir, Kenya pada tahun 1991-1998?”. Women Peace Movement in Wajir ,Kenya is one of the most successful peace movement. Metode collective peace movement yang mengedepankan nirkekerasan dan konsep positive peace dengan komunikasi yang baik dan melibatkan seluruh aktor dalam aspek menyeluruh terbukti efektif dalam menciptakan perdamaian di Wajir. Peace movement berhasil mengubah cultural repertoire masyarakat yang terbiasa menggunakan menggunakan perang sebagai sebuah alat resolusi konflik menjadi sebuah kultur yang peaceful.

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar Belakang"If your house is on fire, do you wait for someone else to put it out?No, you move quickly and do what you can." -Dekha, Founder, Wajir Peace Group-Perang dan damai adalah konsep dominan politik internasional dalam kacamata studi hubungan internasional. Hubungan konfliktual antar negara sebagai kerangka besar politik internasional, kini bertransformasi menjadi lebih kompleks dengan adanya aktor baru dan isu yang lebih modern. Asumsi tersebut diperlihatkan dengan fenomena bahwa perang era kontemporer tidak hanya disebabkan oleh konflik antar negara, namun dapat dipicu oleh konflik antar individu atau kelompok di masyarakat di suatu negara, salah satunya adalah perang saudara atau civil war. Kondisi yang terjadi kemudian membawa diskursus baru mengenai bagaimana aktor internasional dapat mencegah dan mengatasi konflik. Salah satu konsep yang dianggap dapat menjelaskan bagaimana pencegahan dan penyelesaian konflik atau perang saudara (civil war) adalah konsep peace movement. Di dalam paper ini kami akan menggunakan konsep peace movement di dalam konflik Wajir, di Kenya bagian utara.Konflik Wajir terjadi sejak tahun 1991 sampai 1998 yang dilatarbelakangi oleh perebutan sumber daya dan perebutan kekuasaan di dalam politik nasional. Konflik ini semakin memburuk akibat adanya gelombang pengungsi dari Somalia dan Ethiopia yang menambah banyaknya aktor yang terlibat di dalam permasalahan perebutan sumber daya alam. Sebagai respon dari konflik yang berkepanjangan ini, pada tahun 1993 muncul sekelompok wanita di Wajir yang datang membawa ide-ide gerakan nirkekerasan dalam rangka menciptakan perdamaian. Pergerakan mereka berawal dari diskusi para wanita yang dilakukan di pasar tentang bagaimana cara menyelesaikan konflik yang terjadi. Setelah itu mereka berhasil mendekati pimpinan-pimpinan dari beberapa kelompok yang berkonflik dan berhasil menciptakan code of conduct yang menandai berakhirnya konflik. Women peace movement di Wajir ini merupakan salah satu contoh dari peace group yang berhasil melakukan deekskalasi konflik melalui cara-cara nirkekerasan dan collective peace movement. Peace movement merupakan salah satu alternatif upaya penyelesaian dan pencegahan konflik jangka panjang. Mereka percaya bahwa konflik adalah sesuatu yang kultural dan tertanam melalui interaksi sosial. Sehingga, jika budaya penyelesaian suatu permasalahan di suatu kelompok adalah dengan berperang, maka mereka cenderung akan terus berperang jika ada permasalahan dengan kelompok lain. Fenomena peace movement yang muncul di Wajir ini unik dan menarik untuk dipelajari, terutama melihat peran wanita dan keberhasilannya dalam menyelesaikan konflik.1.2. Rumusan Masalah Dalam paper ini, penulis ingin melihat; Bagaimana peran women peace movement dalam upaya resolusi konflik Wajir, Kenya pada tahun 1991-1998?1.3. Kerangka KonseptualDalam menjawab rumusan masalah yang diajukan, penulis menggunakan kerangka konseptual, yaitu:Peace MovementDiawali dari pemikiran yang berangkat pada asumsi bahwa perang atau konflik terjadi karena habbit manusia yang dapat menimbulkan perang. Perang terjadi karena cultural repertoire. Solusi untuk mengaratasi perang semacam ini adalah dengan peace movement yang dalam studi HI berkembang dalam lingkup studi perdamaian.Studi perdamaian menawarkan kebijakan dan agenda politik untuk mendorong perilaku non-kekerasan dan menciptakan perdamaian. Tujuan ideal dari pendukung studi perdamaian adalah tercapainya positive peace dan menentang sekedar negative peace.[footnoteRef:1] Cakupan studi perdamaian termasuk mengenai teori konflik dan proses resolusi konflik, pencegahan yang berhubungan dengan disiplin ilmu lain seperti psikologi, politik, sosiologi, ekonomi, dan hubungan internasional. [1: W. Carsnaes,et.al. Handbook Hubungan Internasional. Penerbitan Nusa Media, Bandung, 2013, p.733.]

Aplikasi bentuk studi perdamaian adalah peace movement yang beranggapan bahwa pencegahan dan penyelesaian konflik dapat dimulai dari diri sendiri. Proses perdamaian tidak diperoleh secara instan, memakan waktu lama, bertahap, setapak demi setapak. Namun, dilihat sebagai cara paling realistik untuk mengubah lingkungan internasional. Peace movement tidak berlangsung secara single act, namun berlangsung dalam tahapan, kondisi, dan waktu tertentu. Peace movement dapat dilakukan dan dimaknai dalam beragam makna dan tradisi perdamaian: religious pacifism, liberal internationalism, the woman,s peace movement, non-violent revolution, etc.[footnoteRef:2] [2: N. Young, Peace Movement in History, dalam D. Barash (ed.), Approaches to Peace: a Reader in Peace Studies, Oxford University Press, New York, 2000, p.229.]

Peace movement umumnya mengusung term atau konsep aksi nir kekerasan (non-violent action) yang merujuk pada metode protes baik penolakan dan pengungkapan ide, non kooperasi, dan intrevensi yang tidak menyertakan kekerasan atau aksi fisik destruktif.[footnoteRef:3] [3: G. Sharp, Civilian Resistence as a National Defense, dalam D. Barash (ed.), Approaches to Peace: a Reader in Peace Studies, Oxford University Press, New York, 2000, p.192.]

1.4. Argumentasi UtamaPeran wanita dalam woman peace movement cukup signifikan dalam konfik Wajir, Kenya. Woman peace movement berkontribusi dalam mempelajari dan menganalisis konflik yang terjadi antar kelompok untuk menghindari konflik menuju fase ekskalasi konflik. Peran wanita dalam konflik ini juga memfasilitasi hubungan komunikasi antar kelompok dan parlemen lokal yang dimulai dengan membentuk hubungan komunikasi wanita antar kelompok di pasar-pasar. Wanita dalam konflik Wajir berhasil membentuk The Wajir Women Association for Peace yang turut andil dalam peace building pasca konflik dan menjaga perdamaian dari konflik sebelumnya dapat tetap berlangsung terus-menerus.

BAB IIPEMBAHASAN2.1. Konflik WajirWajir merupakan salah satu distrik yang berada di kawasan timur laut Kenya yang berbatasan darat dengan negara tanduk Afrika lainnya seperti Etiopia dan Somalia. Sebagaimana daerah perbatasan lainnya, cukup banyak suku yang berdiam di Wajir seperti Ajuraan, Ogaden, dan Degodia yang kebanyakan dari mereka berasal dari Somalia.[footnoteRef:4] Sebagian besar penduduk di Wajir merupakan penduduk nomaden yang sangat bergantung pada keadaan alam seperti curah hujan, musim dan ketersediaan air bersih. Kelangkaan air bersih menjadi permasalahan yang cukup serius di Wajir mengingat kekeringan selalu menjadi penyebab utama kematian di kawasan ini. Salah satu bencana kekeringan yang paling parah terjadi sepanjang tahun 1991 hingga 1992 dimana hampir 80% binatang ternak mati dan ratusan penduduk mengungsi. Kelangkaan sumber daya dan kurangnya distribusi pangan yang sesuai menjadi awal munculnya ketegangan di wilayah ini. Banyak dari penggembala dan petani mengungsi dari bagian timur laut menuju wilayah timur di pesisir Meru, Kitui dan Lamu. Persaingan perebutan air menyebabkan konflik yang cukup hebat.[footnoteRef:5] [4: Ken Menkhaus (2008), The rise of a mediated state in northern Kenya: the Wajir story and its implications for state-building, Political Science Department of Davidson College (daring), diakses dari http://www.gap.ugent.be/africafocus/pdf/08-21-2-KMenkhaus.pdf pada 22 Mei 2013, p. 21] [5: Anonymous (2012), Kenya: Early Droughts Prompts Conflict, Irin News (daring), diakses dari http://www.irinnews.org/report/95957/kenya-early-drought-prompts-conflict pada 21 Mei 2014]

Kelangkaan sumberdaya ternyata tidak mampu dikontrol oleh pemerintah Kenya. Gejolak politik di Kenya bagian utara juga menjadi permasalahan baru yang memperparah ketegangan antar suku di Wajir. Pada Desember 1992, instabilitas politik yang diakibatkan oleh persaingan politik pada saat pemilu semakin memecahbelah tiga suku besar di Wajir.[footnoteRef:6] Karakteristik pemilu daerah di Kenya dimana keterwakilan masih didasarkan pada aspek kesukuan memang masih sangat kuat. Suku Ajuraan yang merupakan suku asli Wajir, mulai tergeserkan oleh suku Degodia yang merupakan kelompok pendatang dari Somalia. Migrasi Degodia yang cukup besar pada tahun 1980an di Kenya dianggap sebagai sebuah ancaman bagi suku Ajuraan baik secara politis melalui hak pilih atau dalam kehidupan sosial. Betapa tidak, beberapa representasi daerah yang berasal dati suku Degodia mempergunakan kekuasaannya untuk memberikan hak pilih bagi kaum pendatang. Masuknya senjata yang diberikan melalui perbatasan Somalia dan Kenya seiring dengan pecahnya perang saudara yang terjadi di Somalia, semakin memperburuk ketegangan antar suku yang terjadi.[footnoteRef:7] [6: Anonymous, Somali Woman: Peace Maker in Wajir, Kenya, Irenees.net (daring), diakses dari http://www.irenees.net/bdf_fiche-experience-752_fr.html pada 22 Mei 2014] [7: Monica Kathina Juma (2000), Unveiling Women as Pillars of Peace :Peace Building in Communities Fractured by Conflict in Kenya, World Bank (daring), diakses dari http://lnweb90.worldbank.org/CAW/cawDoclib.nsf/vewAfrica/2662DA99837757A085256CC50070864A/$file/unveiling+women.pdf pada 21 Mei 2014]

Berbagai tindak kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan serta penjarahan menyeruak sebagai bentuk konflik antar suku hampir di seluruh wilayah Wajir. Dari tahun 1992 hingga 1995, tercatat hampir 1.500 orang meninggal, lebih dari 600 korban luka, hampir 500 perusahaan di Wajir dijarah atau dihancurkan, dan diperkirakan kerugian nilai ternak sebesar $900,000 hilang.[footnoteRef:8] Konflik Wajir menjadi salah satu perang sipil yang cukup rumit karena terjadi tidak hanya dalam dimensi sosial namun juga dalam dimensi politik. Kondisi geografis Kenya yang tidak menguntungkan pun menjadi faktor utama yang harus diperhatikan dalam upaya resolusi konflik antar suku ini.Konflik ini mulai dapat diminimalisasi pada akhir tahun 1993. Beberapa LSM kemanusiaan, organisasi sosial hingga gerakan dari kelompok-kelompok sosial bekerjasama untuk menangani konflik antar suku yang terjadi di Wajir ini. Salah satu aksi sosial yang cukup menarik dalam upaya menangani konflik Wajir ini adalah bentuk peace movement yang dilakukan oleh wanita-wanita melalui berbagai aspek pendekatan [8: Ken Menkhaus, p 28]

2.2 Upaya Resolusi Konflik WajirUpaya resolusi konflik juga dapat diartikan sebagai sebuah upaya membangun perdamaian, mengurangi dan menghentikan kekerasan. Berkaca pada konflik Wajir, banyak kaum wanita dan anak-anak yang mendapatkan dampak buruknya. Hal tersebut justru mendorong para wanita ini untuk melakukan tindakan pro-aktif nirkekerasan. Di sini menjadi menarik karena gerakan sekelompok wanita ini berhasil menjadi gerbang utama menuju perdamaian selama konflik ini berlangsung, padahal peran kaum wanita tidak diikutsertakan dalam situasi decision-making process atau kegiatan politik formal pemerintah.Para wanita pada saat itu memahami situasi Wajir yang begitu mencekam dan mengancam keamanan masyarakat, termasuk mereka. Pemerintah pada saat itu tidak lagi mampu menjamin keamanan negara. Melihat keadaan tersebut, seorang wanita berupaya untuk mempengaruhi wanita lain akan perlunya tindakan dari para wanita untuk menghentikan situasi Wajir yang penuh kekerasan. Sehingga muncul rasa percaya diri dari para wanita, bahwa mereka sebenarnya dapat berbuat sesuatu, apalagi konflik tersebut juga sangat berbahaya bagi anak-anak mereka. Mereka memulai tindakan mereka dengan mendekati pasar yang pada saat itu telah menjadi arena keributan bahkan perkelahian wanita, akibat situasi konflik di Wajir. Lima wanita yang bekerja di pemerintahan bertemu untuk mendiskusikan upaya menghadapi konflik.[footnoteRef:9] [9: M.K. Juma, Unveiling Women as Pillars of Peace : Peace Building in Communities Fractured by Conflict inKenya, UNDP, 2000, p.22.]

Situasi pasar yang menjadi arena konflik para perempuan tersebut, dilihat sebagai kesempatan untuk upaya menghadapi konflik. Kelima wanita yang mengupayakan aksi damai tersebut melakukan sharing dengan wanita pasar, mereka pun mengakui bahwa selama ini frustasi melihat situasi konflik. Setelah mereka melakukan diskusi, dibentuklah komite yang terdiri atas 10 orang dan diketuai oleh seorang wanita yang dituakan, dimana komite ini bertugas untuk mengawasi kegiatan pasar setiap harinya.[footnoteRef:10] Tujuannya adalah agar setiap wanita memiliki akses ke pasar tanpa diskriminasi, dengan dibuatnya aturan-aturan tentang kegiatan bisnis di pasar, siapa yang melanggar akan dikeluarkan. Adanya komite pengawas tersebut membuat ketegangan yang setiap hari terjadi di pasar mereda. [10: Ibid]

Kesuksesan menghentikan kekerasan yang terjadi di pasar, membuat para wanita memiliki rasa percaya diri untuk membawa aksi mereka ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu pemerintahan. Di sinilah tercetus Wajir Women Association for Peace. Setelah organisasi ini terbentuk, mereka membuka rekrutmen anggota. Mereka mencari anggota dari berbagai lapisan masyarakat, dari berbagai golongan pekerjaan, dari yang muda hingga orang tua, tentu dengan tujuan untuk menghentikan konflik. Aksi-aksi yang dilakukan oleh Wajir Women Association for Peace ini terbilang berhasil dalam meredakan situasi konflik. Mereka mencari dukungan dari orang-orang tua, dan terbentuk The Council of Elders for Peace. Dalam upaya mendapatkan dukungan kaum tua, orang-orang tua tersebut tentu bukan hanya wanita, ada juga laki-laki. Para laki-laki pada awalnya tidak bersedia untuk mendukung keinginan para wanita, namun seseorang dari salah satu suku angkat bicara dan mempengaruhi yang lainnya, akan diperlukannya perdamaian serta mengajak kaum tua untuk juga ikut dalam aksi perdamaian. Dari dukungan ini terlihat bahwa kaum wanita mampu mempengaruhi laki-laki untuk kembali peduli dengan upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik, dengan metode peace movement yang ditawarkan oleh kaum wanita. Setelah berhasil memperoleh dukungan dari kaum tua dan laki-laki, mereka mencoba masuk ke dalam golongan muda. Hal ini dilakukan karena golongan muda yang terlibat langsung dalam konflik. Dalam pertemuan, para kaum muda membuat dua objektif terkait peran mereka dalam koflik, yaitu kontribusi dalam sustainable peace dengan membantu menyelesaikan konflik, dan ikut serta dalam proyek pembangunan. Kaum muda juga membentuk Youth for Peace.Aksi sekelompok wanita yang mencakup berbagai level ini turut memberikan dampak atas pesan perdamaian yang terus disebarkan. Pesan-pesan perdamaian tersebut pun mulai disebarkan dari satu desa ke desa yang lain. Pesan-pesan perdamaian tersebut disampaikan kepada semua kalangan masyarakat. Aksi yang dilakukan oleh kaum wanita yang memanfaatkan berbagai sektor pun sebenarnya dapat membuka jalan bagi penyelesaian konflik. Mereka tidak hanya mengangkat isu wanita, tetapi juga berbagai isu yang menjadi ancaman bagi masyarakat ketika konflik berlangsung. Aksi kaum wanita di Wajir telah memprakarsai terbentuknya Wajir Peace and Development Commitee (WPDC) dan berbagai gerakan perdamaian yang muncul di Wajir. Women peace movement yang turut melibatkan seluruh lapisan masyarakat, telah berhasil membuat situasi konflik di Wajir semakin mereda. Aksi-aksi nirkekerasan yang dilakukan dapat mengurangi aksi kekerasan yang selama ini digunakan untuk menghadapi konflik. Mereka pada akhirnya bersedia untuk gencatan senjata. Pada 1997 ratusan senjata diserahkan kepada polisi.[footnoteRef:11] Sekolah-sekolah juga kembali dibuka, berbagai bisnis juga mulai berjalan lancar, pembangunan kembali dilakukan. Dari sini dapat terlihat bagaimana peran wanita yang dapat mempercepat terwujudnya perdamaian, dengan mempersatukan seluruh lapisan masyarakat dan memberdayakan mereka untuk turut menyuarakan perdamaian. Upaya kaum wanita dimulai dari pembicaraan sesama wanita, kemudian meningkat pada kaum tua, kemudian kaum muda, dan pemerintah. Bergabungnya seluruh lapisan masyarakat tersebut lah yang mendorong perdamaian tercapai. [11: M.K. Juma, p. 32.]

Gerakan ini juga disokong oleh kalangan pebisnis untuk mendanai kegiatan gerakan perdamaiannya. Langkah konkrit selanjutnya dilakukan selama pertemuan berlangsung juga berupa mengajak warga sipil, terutama kaum pria untuk menyerahkan senjatanya dan dikembalikan ke pihak yang berwajib. Cara yang dilakukan oleh komunitas wanita ini yaitu dengan mendatangi ke rumah-rumah warga, berbicara dengan wanita yang tinggal di rumah tersebut, seperti ibu, saudara peremuan, atau istri agar menyarankan pria untuk tidak menggunakan senjatanya. Perjanjian yang diajukan apabila berhasil menyerahkan senjata yaitu berupa pekerjaan di sektor publik oleh pemerintah. Metode tersebut cukup efektif dan praktiknya kemudian disebarluaskan kepada keluarga-keluarga di seluruh wilayah Wajir.Terdapat tiga pendekatan mekanisme peacebuilding yang dilakukan oleh para wanita-wanita dalam upaya resolusi konflik Wajir, antara lain;a. Peacebuilding with UrgencySekelompok wanita dari tiga etnis berbeda, dari suku Ajuraan, Ogaden, dan Degodia ini membentuk komunitas Rapid Response Team dalam menanggapi insiden kekerasan yang terjadi antara korban dan pelaku. Tujuan dari pembentukan tim ini karena menyadari bahwa kriminalitas dapat muncul atau meningkat eskalasi konflik antara tiga etnis yang bertikai. Adapun mandat yang mereka miliki berbunyi listen continuously and act immediately.[footnoteRef:12] Setelah mendapakan laporan, mereka dengan segara mengunjungi korban dan kemudian memberikan kebutuhan yang mereka butuhkan dan menghimbau korban untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Kelompok ini memposisikan perdamaian sebagai kondisi yang darurat yang harus segera dilakukan, sehingga perdamaian dirasa efektif untuk ditegakkan. Selain itu, gerakan perdamaian yang dilakukan sekelompok wanita ini adalah dengan cara dialog, mengunjngi korban dengan segera setelah insiden terjadi sebelum korban membalas. [12: M.K. Juma, Unveiling Women as Pillars of PeaceL Peace Building in Communities Fractured by Conflict in Kenya, United Nations Development Program (daring), diakses pada 24 Mei 2014 p.27]

b. Peacebuilding through InclusivenessDalam upaya resolusi konflik, pembentukan komunitas atau melakukan gerakan perdamaian perlu dilakukan secara seksama, dengan melibatkan berbagai pihak. Semakin banyak yang bergabung, semakin terbuka dan efektif proses perdamaian akan terwujud. Seperti yang telah disebutkan oleh Dekha, keanggotaan WPG yang terdiri dari beragam etnis ini sifatnya inklusif, tidak terlepas dari laki-laki maupun anak-anak. Tujuan lain yaitu agar membuat mereka semakin merasa saling bertanggung jawab atas perdamaian dan mengutamakan peace building. Para masyarakat Wajir menyebutnya dengan perdamaian kolektif dimana hal ini melibatkan semua lapisan masyarakat, semua masyarakat dianggap penting dalam menegakkan perdamaian sehingga mereka bersungguh-sungguh bergabung dengan gerakan ini. Terutama bagi mereka yang sudah memiliki akses terdekat untuk memperluas gerakan ini yaitu mulai dari suami, anak-anak, dan orang tua mereka.c. Peacebuilding with Optimisim Pendekatan ini dilakukan oleh para wanita dengan membuat festival perdamaian. Melalui kegiatan-kegiatan perdamaian akan membawa nilai optimisme, kebanggaan untuk menghargai perilaku-perilaku positif yang telah dilakukan oleh para etnis ini. Sehubungan dengan hal tersebut, nilai ini dapat memberikan pengaruh positif berupa semangat, inspirasi dan mengilhami wanita lain di seluruh dunia untuk memimpin komunitas mereka dengan cara yang sama, langkah yang positif, dalam upaya mengusung tinggi perdamaian.Berdasarkan pergerakan yang dilakukan oleh para wanita tersebut, ternyata tengah memberi sebuah hasil yang dicapai yaitu pelucutan senjata di wilayah Wajir. Benang merah yang dapat ditarik dari gerakan perdamaian diatas bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk menjadi katalis perdamaian di waktu yang takterduga. Namun, peran gerakan perdamaian yang dilakukan oleh perempuan tersebut tidak hanya dapat meresolusi konflik antara tiga etnis di Wajir, tetapi juga membentuk sebuah mekanisme kerjasama baru antara pemerintah dengan warga sipil dalam manajemen konflik di Kenya.2.3 Dampak Peace-building Movement Wajir Women Peace GroupDalam menciptakan perdamaian, Wajir Women Peace Group mengusung nilai-nilai nirkekerasan dan collective peace movement yang merupakan upaya penyelesaian dan pencegahan konflik jangka panjang. Tujuan yang ingin dicapai melalui collective peace movement bukanlah negative peace semata yang dinilai hanya dpat meredam konflik untuk sementara waktu saja tetapi positive peace yang tercipta melalui kesadaraan setiap pihak yang bertikai dan membuka jalan bagi terciptanya sustainable peace di masa mendatang. Oleh karena itu, suatu collective peace movement harus dapat memberi dampak positif yang mencakup lingkup pribadi pihak-pihak yang berkonflik, hubungan antar pihak yang berkonflik, transformasi struktural dan pemeliharaan budaya cinta damai.[footnoteRef:13] Atas tujuan tersebut, Wajir Women Peace Group telah berhasil memberi dampak positif dalam keempat lingkup tersebut. [13: S. Fisher, dkk. Working with Conflict: Skills & Strategiesfor Action, edisi Bahasa Indonesia Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, diterjemahkan oleh S. N. Karikasari, dkk, The British Council, Jakarta, 2001, p. 158.]

1. Dampak terhadap pribadi-pribadi yang bertikaiPada level individu, Wajir Women Peace Group tersebut memiliki dampak menyebarkan kesadaraan pada para wanita mengenai pentingnya menciptakan perdamaian untuk mengakhiri bahaya perang yang mengancam keselamatan keluarga, saudara serta anak-anak mereka. Para wanita juga menjadi tergerak dan menyadari bahwa sifat alamiah mereka yang peduli akan keutuhan keluarga tersebut sangat dibutuhkan dalam mengawali terciptanya perdamaian. Mereka kemudian mendorong para suami, pemuda dan tetua dalam keluarga mereka untuk memahami bahaya dan kerugian perang serta arti penting perdamaian. Pergaulan yang dilakukan oleh kaum wanita di Wajir cenderung lebih luas daripada pria, yaitu mencakup antar suku, lalu banyak juga dari wanita-wanita tersebut yang melakukan pernikahan lintas suku, sehingga dengan hanya memberikan pemahaman dalam lingkup keluarga mereka saja itu sudah merupakan awal dalam menciptakan kesalingpahaman antar suku.Pada level komunitas, dampak paling signifikan dari Wajir Women Peace Group dapat dilihat sebagai mediator alami yang menghubungkan dan menengahi klan-klan regional yang bertikai. Wajir Women Peace Group berhasil mempertemukan tiga puluh tetua paling berpengaruh dari masing-masing suku yang saling bersitegang tersebut untuk mengadakan diskusi terbuka. Tetua-tetua tersebut kemudian setuju untuk menyepakati code of conduct yang dikenal dengan Al Fatah Declaration guna bersama-sama menciptakan perdamaian dan kemudian lahirlah The Council of Elders for Peace.[footnoteRef:14] [14: A. Fallonn, Women of Wajir, Africa Faith and Justice Network (daring), 26 Agustus 2009, , diakses 27 Mei 2014.]

2. Dampak terhadap hubungan antar pihak dalam konflikSelain berhasil mejembatani suku-suku yang berkonflik seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, Wajir Women Peace Group juga berhasil membawa dampak positif terhadap hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Dengan memfasilitasi hubungan komunikasi antara parlemen lokal dengan masyarakat melalui dialog-dialog umum, Wajir Women Peace Group secara bertahap mampu mengembalikan hubungan baik antara pemerintah dan masyarakat untuk mempererat kerjasama dalam menciptakan perdamaian serta mengembalikan wibawa dan kewenangan pemerintah dalam mengatur masyarakat yang merupakan hal terpenting dalam menciptakan dan menjaga perdamaian.[footnoteRef:15] [15: S. Fisher, dkk. Working with Conflict: Skills & Strategiesfor Action, edisi Bahasa Indonesia Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, diterjemahkan oleh S. N. Karikasari, dkk, The British Council, Jakarta, 2001, p. 148]

3. Dampak StrukturalWajir Women Peace Group berhasil menciptakan berbagai dampak positif dalam bidang struktural, seperti dibukanya kembali pasar dengan sistem manajemen dan pengawasan yang bertujuan untuk menghindari konflik antar suku yang bersangkutan dengan ketersediaan sumberdaya. Lalu, dampak positif di bidang struktural lain adalah terciptanya Wajir Peace of Development Commitee pada 1995 dengan anggota lintas kalangan seperti pria, pemuda, koalisi pejabat pemerintahan, kepala-kepala suku tradisional, perangkat keamanan, tokoh agama, pebisnis, perwakilan-perwakilan dari berbagai NGO dan organisasi perdamaian dari dalam maupun luar negeri dengan menjadikan District Commissioner sebagai chair person. Peace movement yang turut melibatkan seluruh lapisan masyarakat tersebut kemudian berhasil meredakan situasi konflik hingga akhirnya pihak-pihak yang bertikai bersedia untuk melakukan gencatan senjata pada 1997 dimana ratusan senjata diserahkan kepada polisi.[footnoteRef:16] WPDC ini lalu diresmikan sebagai institusi dalam pemerintahan yang bertugas dalam menjaga perdamaian yang tetap terus beroperasi setelah perang usai.[footnoteRef:17] [16: M.K. Juma, Unveiling Women as Pillars of PeaceL Peace Building in Communities Fractured by Conflict in Kenya, United Nations Development Program (daring), diakses 27 Mei 2014, p. 32] [17: A. Fallonn, Women of Wajir, Africa Faith and Justice Network (daring), 26 Agustus 2009, , diakses 27 Mei 2014.]

Kesuksaesan WPDC dalam menciptakan perdamaian kemudian menyebabkan penyebaran model peace-building tersebut ke wilayah yang lain. NGO dan donor internasional, dewan nasional serta gereja-gereja kemudian terlibat dalam memfasilitasi dan mendukuntuk pembentukan komite perdamaian lokal. Pada tahun 2001, pemerintah membetuk National Steering Committee on Peacebuilding and Conflict Management dengan tujuan untuk merumuskan kebijakan nasional mengenai pengelolaan konflik dan menyediakan koordinasi untuk berbagai inisiatif perdamaian, termasuk komite perdamaian lokal. Dengan begitu, Wajir peace movement tidak hanya berhasil menyelesaikan konflik antar suku di Wajir, tetapi juga berhasil membentuk suatu mekanisme kerjasama baru antara pemerintah dengan warga sipil dalam manajemen konflik di Kenya.[footnoteRef:18] [18: Infrastructure for Peace International Network, Kenya: The Wajir Peace and Development Committee/ Infrastructure for Peace (daring), , diakses 27 Mei 2014.]

4. Dampak dalam pemeliharaan perdamaianSelama masa pertikaian, Wajir Women Peace Group membentuk Rapid Response Team untuk menanggapi insiden kekerasan yang terjadi antara korban dan pelaku agar kekerasan tidak dibalas dengan kekerasan dimana kemudian akan menyebabkan lingkaran balas dendam dalam budaya konflik. Segera setelah terjadinya tindak kriminal atau kekerasan, para wanita tersebut mengunjungi keluarga korban untuk menyampaikan simpati dan memberikan penghormatan yang layak bagi korban sesuai tradisi masyarakat setempat yaitu dengan membawakan berbagai persembahan dan mengadakan kebaktian belasungkawa. Rapid Response Team membuktikan bahwa Wajir Women Peace Group konsisten dalam melaksanakan collective peace movement yang menuntut tindakan aktif dan sigap untuk mencegah eskalasi konflik.[footnoteRef:19] [19: E. D. Reinhardt, Kenyan Women Lead Peace Effort, National Catholic Reporter Online (daring), 26 April 2002, , diakses 27 Mei 2014.]

Untuk menciptakan sustainable peace, Wajir Women Peace Group juga mengadakan aksi-aksi yang sekiranya mampu membawa dampak berkesinambungan. Dalam memelihara perdamaian yang telah tercipta, penanaman jiwa cinta damai juga dilakukan terhadap kaum muda yaitu dengan memperkenalkan pendidikan perdamaian di sekolah dan menciptakan Peace Education Network yang kemudian menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Kemudian dibentuk juga Youth for Peace Group yang berhasil meyakinkan para pemuda untuk menyerahkan senjata-senjata yang mereka miliki dengan imbalan mendapatkan pekerjaan dimana dalam melaksanakan misi tersebut, para aktivis perdamaian bekerja sama dengan para pengusaha lokal. Dampak selanjutnya dalam bidang pendidikan dan pembangunan adalah keberhasilan pembukaan kembali Youth Polytechnic yang kemudian menawarkan kesempatan pendidikan kepada para mantan tentara guna membekali para pemuda tersebut keterampilan yang akan memungkinkan mereka untuk mengejar mata pencaharian dan pekerjaan alternatif.[footnoteRef:20] Untuk terus memelihara perdamaian, hal-hal yang berpotensi menyebabkan ketidakstabilan dalam masyarakat, diantaranya pengangguran dan kemiskinan memang harus diatasi, maka dari itu, selain pemuda, WPDC juga menghimbau para warga sipil, terutama kaum pria untuk menyerahkan senjata kepada pihak yang berwajib dengan imbalan mendapatkan pekerjaan di sektor publik oleh pemerintah.[footnoteRef:21] Dengan begitu, budaya kekerasan dan kepemilikan senjata akan tergantikan oleh budaya rajin bekerja dalam kondisi yang cinta damai. [20: D. Ruto, Homegrown Peace Initiative: The Case of Wajir District, Peace Bulletin, vol. 2, no. 4, Agustus 2003, p. 7, , diakses 27 Mei 2014.] [21: A. Fallonn, Women of Wajir, Africa Faith and Justice Network (daring), 26 Agustus 2009, , diakses 27 Mei 2014.]

2.4 AnalisisDalam menilai signifikansi peran sebuah peace movement, para pengamat harus merujuk kembali pada tujuan konseptualnya. Pertama, peace movement berangkat dari asumsi bahwa perang terjadi karena manusia terbiasa oleh sebuah cultural repertoire untuk menggunakan perang sebagai sebuah alat resolusi konflik. Sehingga, untuk menghentikan perang, kebiasaan tersebut harus dirubah dari sebuah kultur yang violent menjadi sebuah kultur yang peaceful. Tujuan utama dari sebuah peace movement adalah meciptakan perubahan tersebut. Namun tak hanya itu; kedua, karena perang terjadi akibat sebuah kultur (sesuatu yang mempengaruhi semua penduduk), maka cara mencegahnya tidak bisa hanya dengan mengubah sikap para elite yang membuat kebijakan perang, namun harus melalui proses yang melibatkan semua lapisan masyarakat. Selain bertujuan untuk merubah kultur yang ada, peace movement juga bertujuan untuk memastikan perubahan inklusif ini.Menggunakan kedua parameter tersebut, 1) apakah peace movement berhasil mengubah violent cultural repertoire dan 2) apakah perubahan tersebut terjadi di semua lapisan masyarakat, dapat disimpulkan bahwa peran Wajir Women for Peace Group (WPG) sebagai sebuah peace movement dalam upaya resolusi konflik Wajir, Kenya pada tahun 1991-1998 cukup signifikan. Hal ini dapat diindikasikan dari dua hal. Pertama, WPG telah berhasil mengubah cultural repertoire yang membiasakan para penduduk suku untuk menggunakan perang sebagai mekanisme resolusi konflik mereka, menjadi sebuah cultural repertoire yang membiasakan para penduduk suku untuk menggunakan cara-cara damai sebagai mekanisme resolusi konflik mereka. Dan kedua, WPG telah berhasil menyisipkan peaceful culture secara gradual di setiap lapisan masyarakat, mulai dari para wanita, yang kemudian merembet ke para tetua, dan juga pemuda.Dalam mengubah violent cultural repertoire yang ada diantara suku Ajuraan, Ogaden, dan Degodia, WPG menggunakan berbagai strategi, diantaranya adalah mengadakan dialog antar penduduk, festival perdamaian, pendidikan keliling sekolah,menciptakan institusi-institusi, dan lain-lain. Namun berbagai strategi tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga strategi dasar. Pertama, adalah strategi konstruktif; strategi yang merekonstruksi paham damai dan persepsi musuh antar suku. Hal ini dilakukan melalui 3 hal; dialog antar kepala suku dan tokoh masyarakat, pendeklarasian surat Al-Fatah sebagai pedoman untuk mengembalikan perdamaian dimasa depan, dan Festival of Peace. Dengan membuka dialog antar kepala suku dan tokoh masyarakat, WPG membuka mata masing-masing pihak bahwa sesungguhnya mereka semua lelah dan tidak ingin lanjut berperang. Tanpa adanya dialog yang termediasi seperti ini, masing-masing suku akan selalu curiga bahwa suku lain akan menyerang dan justru menyerang terlebih dahulu. Dengan mendeklarasikan Al-Fatah sebagai pedoman perdamaian, WPG menunjukkan bahwa diantara ketiga suku tersebut, terdapat sebuah kesamaan (dalam kasus Wajir, persamaan tersebut adalah persamaan agama) yang dapat dijadikan pintu masuk untuk upaya negosiasi dan paham toleransi. Tanpa adanya deklarasi tersebut, masing-masing suku akan terus memiliki persepsi bahwa suku lawannya adalah musuh yang memiliki nilai dan kepentingan yang bertolak belakang, sehingga tidak ada gunanya bernegosiasi. Dan dengan mengadakan Festival of Peace, WPG menunjukkan bahwa perdamaian adalah sesuatu yang positif dan menyenangkan. Hal ini menimbulkan optimisme di kalangan pendukung perdamaian dan memotivasi mereka untuk ikut serta dalam upaya-upaya WPG. Alhasil, kultur kekerasan (seperti kultur saling curiga sehingga ada perlunya untuk menyerang, kultur bahwa negosiasi tidak dapat berhasil, dan kultur pesimistis terhadap perdamaian) mulai tergantikan dengan kultur-kultur damai (paham bahwa antar suku tidak perlu saling curiga dan saling menyerang, bahwa negosiasi dapat berhasil, dan perdamaian merupakan sesuatu yang harus disambut dengan optimisme yang tinggi).Strategi kedua adalah strategi pragmatis; strategi yang menunjukkan bahwa cara damai lebih bermanfaat daripada cara kekerasan. Dalam melucuti senjata para lelaki, dan membujuk para istri dan keluarga mereka bahwa pelucutan senjata adalah hal yang baik, WPG bekerja sama dengan pemerintah dan mendatangi para wanita yang tinggal di rumah tersebut, seperti ibu, saudara peremuan, atau istri agar menyarankan pria untuk tidak menggunakan senjatanya, dengan janji jika mereka berhasil melakukan hal tersebut, mereka akan dijanjikan pekerjaan yang tetap di sektor publik. Dengan upaya seperti ini, WPG meyakinkan masyarakat bahwa menukar cara-cara kekerasan dengan cara-cara damai memiliki manfaat tersendiri, dan sesuatu yang sebaiknya dilakukan. Strategi ini sangat efektif untuk merubah pikiran beberapa kalangan, melihat bahwa dalam mereka dalam kondisi perang dan harus bersikap pragmatis.Strategi terakhir, adalah strategi institusionalisasi nilai-nilai perdamaian. Dengan ditanamkannya nilai-nilai dari kultur perdamaian, dan meyakinkan bahwa kultur perdamaian itu bermanfaat, WPG paham bahwa untuk melindungi nilai-nilai tersebut dan memastikan mereka akan terus tertanam di masyarakat, perlu adanya institusi kongkrit yang dapat mengawasi implementasi nilai-nilai tersebut. Atas dasar ini, diciptakanlah institusi-institusi lokal seperti The Council of Elders for Peace, dimana para tetua suku dapat berdialog untuk mencari jalan tengah antara kepentingan masing-masing suku, serta membahas kewajiban, hak, dan batasan antar suku, Peace Education Network, yang bertujuan untuk memantau implementasi kurikulum pendidikan damai di sekolah-sekolah Wajir, dan Rapid Response Team untuk menanggapi insiden kekerasan yang terjadi antara korban dan pelaku agar kekerasan tidak dibalas dengan kekerasan dimana kemudian akan menyebabkan lingkaran balas dendam dalam budaya konflik. Dengan institusi-institusi tersebut, peaceful culture yang telah ditanamkan oleh WPG dapat secara konstan dipantau perkembangan penanamannya.Melalui ketiga strategi ini, WPG berhasil merubah violent cultural repertoire yang ada, dengan sebuah peaceful culture; bahwa sesungguhnya tidak ada yang menginginkan perang, bahwa negosiasi dapat dilakukan, dan bahwa menyelesaikan konflik dengan damai juga dan bahkan lebih bermanfaat. Selain itu, WPG juga menginstitusionalisasi nilai tersebut untuk memastikan penanamannya di masyarakat. Hal ini menandakan bahwa WPG telah memenuhi tujuan pertama sebuah peace movement, dan mengindikasikan bahwa perannya, memang, signifikan dalam upaya resolusi konflik di Wajir, Kenya pada tahun 1991-1998.Dalam upaya menanamkan perubahan kultur secara inklusif, WPG mengandalkan institusi-institusi yang dia dirikan untuk menjadi wadah partisipasi bagi berbagai aktor di masyarakat. Setiap institusi lokal yang didirikan oleh WPG secara spesifik mewadahi aktor tertentu, dan dengan jumlah yang banyak, berbagai aktor di masyarakat dapat diakomodasi partisipasinya. Secara umum, terdapat 3 macam institusi yang mewadahi 3 aktor secara spesifik.Pertama adalah WPG itu sendiri. Women Wajir Peace Group disini berperan untuk mewadahi partisipasi wanita-wanita di wajir. Hal ini dilakukan dengan WPG bergerak dari rumah ke rumah untuk meyakinkan para wanita di rumah tersebut untuk ikut membujuk para lelakinya untuk menghenmtikan perang. Contoh yang WPG lakukan adalah, yang telah disebutkan diatas, mendatangi perumahan-perumahan di Wajir untuk upaya pelucutan senjata melalui wanita. Selain pelucutan senjata, WPG juga berperan dalam mengawasi pasar di Wajir dan memastikan bahwa antara penjual dan pembeli (yang semuanya adalah wanita) tidak saling mendiskriminasi (seperti melarang akses beras dari suku Ajuraan ke wanita-wanita suku Ogaden dan Degodia). Dengan upaya-upaya yang dilakukan WPG, nilai-nilai perdamaian tertanam di kalangan wanita.Kedua adalah The Council of Elders for Peace. Dewan ini berperan untuk mewadahi partisipasi para tetua dan tokoh masyarakat (para lelaki) masing-masing suku dalam menumbuhkan kultur yang damai. Dewan ini memiliki mekanisme yang berbeda dari WPG dalam menanamkan nilai damai ke para lelaki; karena para tetua dan tokoh masyarakat menganggap dirinya tinggi diantara penduduk Wajir, mereka tidak rela turun ke rumah-rumah untuk menyebarkan nilai damai, mereka cenderung memilih cara-cara yang politis dan intelektual. Dengan paham ini, The Council of Elders for Peace memiliki mekanisme diskusi dan musyawarah antar suku untuk menyebarkan nilai-nilai damai. Di dalamnya, para tetua dapat mengangkat isu dan saling bernegosiasi untuk menemukan solusinya. Dengan ini, nilai-nilai perdamaian seperti negosiasi dan toleransi dapat tertanam di kalangan lelaki.Ketiga adalah Youth for Peace Group (YPG). Institusi ini berperan untuk mewadahi partisipasi para pemuda Wajir. Disini, para pemuda Wajir dapat ikut serta mengsosialisasikan nilai damai melalui pendidikan, advokasi, dan fasilitasi kebutuhan pemuda lainnya. Youth for Peace Group ini secara spesifik diadakan untuk menggaet para pemuda, karena pemuda disini tidak dapat berpartisipasi dalam Council of Elders, dan juga enggan untuk berpartisipasi dengan urusan-urusan yang dinilai kewanitaan oleh WPG. Contoh hasil kerja Youth for Peace Group adalah diyakinkannya para pemuda untuk menyerahkan senjata-senjata yang mereka miliki dengan imbalan mendapatkan pekerjaan. Selain itu, institusi pemuda ini berhasil membuka kembali Youth Polytechnic yang kemudian menawarkan kesempatan pendidikan kepada para mantan tentara guna membekali para pemuda tersebut keterampilan yang akan memungkinkan mereka untuk mengejar mata pencaharian dan pekerjaan alternatif. Dengan ini, paham bahwa perdamaian itu lebih bermanfaat daripada konflik dapat tertanam di kalangan pemuda.Dengan ketiga institusi tersebut, WPG berhasil menanamkan peaceful culture ke berbagai kalangan masyarakat yang memiliki karakterisasi berbeda-beda; WPG sendiri berhasil menanamkan nilai damai ke para wanita di perumahan dan pasar, Council of Elders berhasil menananmkan nilai toleransi dan negosiasi diantara para lelaki yang enggan berpartisipasi di WPG, dan YPG berhasil menanmkan paham bahwa perdamaian lebih bermanfaat daripada konflik ke pemuda-pemuda yang tak bisa ikut Council of Elders.

BAB IIIKESIMPULANPerang era kontemporer tidak hanya disebabkan oleh konflik antar negara, namun dapat dipicu oleh konflik antar individu atau kelompok di masyarakat di suatu negara, salah satunya adalah perang saudara atau civil war. Kondisi yang terjadi kemudian membawa diskursus baru mengenai bagaimana aktor internasional dapat mencegah dan mengatasi konflik. Konsep-konsep seperti Realisme dan Liberalisme tidak dapat menjelaskan tentang bagaimana menyelesaikan konflik diluar konflik antar negara. Salah satu konsep yang dianggap dapat menjelaskan bagaimana pencegahan dan penyelesaian konflik atau perang saudara (civil war) adalah konsep peace movement. Gejolak politik di Kenya bagian utara juga menjadi permasalahan baru yang memperparah ketegangan antar suku di Wajir. Pada Desember 1992, instabilitas politik yang diakibatkan oleh persaingan politik pada saat pemilu semakin memecahbelah tiga suku besar di Wajir. Berbagai tindak kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan serta penjarahan menyeruak sebagai bentuk konflik antar suku hampir di seluruh wilayah Wajir. Konflik ini berlangsung cukup lama, pemerintah kehilangan power-nya dalam menangani masalah ini, sedangkan cara-cara militer justru memperburuk keadaan konflik. Women Peace Group di Wajir muncul membawa metode-metode nir-kekerasan yang melibatkan semua aktor yang berkonflik untuk mau menuju kata damai. Metode collective peace movement yang mengedepankan nirkekerasan dan konsep positive peace dengan komunikasi yang baik dan melibatkan seluruh aktor dalam aspek menyeluruh terbukti efektif dalam menciptakan perdamaian di Wajir. Peace movement berhasil mengubah cultural repertoire masyarakat yang terbiasa menggunakan menggunakan perang sebagai sebuah alat resolusi konflik menjadi sebuah kultur yang peaceful.

1