Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN SIMULASI PHET (PHYSICS EDUCATION AND TECHNOLOGY)
DALAM MUATAN PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR
Desi RusnitaSDN 4 Kepahiang
abstract
This article was aimed to describe the utilization of information and communication technology-based learning media in an applications, namely learning media PhET simulation. In the content of science learning was in elementary schools, in which many learning materials were still abstract so students do not understand the learning concept. The teacher has tried to use learning media in the learning process in the classroom, but on certain materials were difficult to teach in real terms. This certainly has implications for learning outcomes. Affective, cognitive, and psychomotor learning outcomes have not yet reached the established criteria. PhET simulation media involved students in scientific exploration and to increased students' interest in science. PhET simulations are designed to make learning fun, interactive, and connected to the real world. PhET simulation helps students understand the concept of learning, especially in science learning in elementary schools, where much natural science material is still abstract and requires semi-concrete or concrete media to inform students, one alternative is the use of learning media for PhET simulation.
Keywords: Learning Media, PhET Simulation, Scienceg Landscapes | V 64 ol. 6, No. 2, Spring 2013
PENDAHULUAN
Pembelajaran IPA di sekolah dasar memiliki karakteristik belajar dengan
pendekatan saintifik dan menemukan konsep. Dalam mengajarkan muatan
pelajaran IPA, guru terkadang tidak mempertimbangkan adanya konsep awal
yang dimiliki siswa. Guru juga kadang kurang mempertimbangkan bahwa
materi-materi yang diajarkan sifatnya abstrak, sedangkan perkembangan
siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkret. Pada tahap
operasional kongkret membutuhkan pembelajaran yang kongkret dengan
fakta-fakta yang bisa diamati siswa secara langsung. Hal demikian sering
terlupakan oleh guru. Kekhilafan guru akan hal ini dapat menyebabkan
konsep yang terbentuk dalam struktur kognitif siswa tidak sempurna. Pada
akhirnya akan terjadi kesalahan konsep (miskonsepsi)
Tujuan belajar ilmu pengetahuan agar siswa dapat memiliki penguasaan
konsep, keterampilan proses dan sikap, hal ini berlaku secara menyeluruh.
1
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Kegiatan pembelajaran dirancang sedemikian rupa atau dipilih sehingga dapat
berhubungan dengan kebutuhan dan pengalaman sehari-hari siswa, untuk
menumbuhkan rasa ingin tahu dengan melibatkan mereka aktif dalam
pembelajaran dan berusaha untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada
kehidupan nyata.
Sebaiknya pembelajaran IPA secara aktif dapat mengkonstruksi
pembentukan konsep-konsep yang sudah ada dalam diri siswa dengan konsep
yang selanjutnya akan dipelajari. Pemahaman konsep sangat penting bagi
siswa. Tentunya guru perlu memahami konsep yang diajarkan terlebih dahulu.
Meskipun dalam praktiknya guru sudah menggunakan berbagai metode, model
pembelajaran, maupun berbagai media pembelajaran, terkadang siswa masih
belum bisa memahami konsep yang telah diajarkan. Mereka masih bingung
menerima materi yang diajarkan. Masih ada hal-hal abstrak yang mereka
amati.
Sebagai contoh dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar, beberapa
materi tentang pencernaan, pernapasan, perpindahan panas, peredaran darah,
kelistrikan, dan lainnya. Materi tersebut dipraktikkan oleh guru bersama siswa
menggunakan alat peragapun masih ada hal-hal abstrak yang belum bisa
mereka saksikan secara kongkret. Misalnya pada materi perpindahan panas
secara konduksi, konveksi, dan radiasi. Siswa dapat mendefinisikan
pengertiannya, namun secara nyata mereka tidak bisa melihat bagaimana
panas dapat mengalir, dan melalui apa. Tentunya akan terjadi kesalahan
konsep dalam kognitif siswa.
Untuk itu diperlukan suatu media yang dapat menunjukkan bagaimana
hal-hal yang abstrak itu dapat divisualisasikan secara nyata, sehingga dapat
terlihat nyata, yaitu dengan media simulasi PhET (Physics Education
Technology).
Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis akan mengkaji lebih dalam
lagi tentang media simulasi. penulis ingin mengkaji apakah media
pembelajaran PhET dan bagaimana pemanfaatan dan penerapannya pada
pembelajaran IPA di sekolah dasar. Adapun tujuan dari pengkajian artikel ini
2
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
adalah untuk mencari informasi mengenai pemanfaatan media simulasi PhET
pada pembelajaran IPA di sekolah dasar.
MEDIA PEMBELAJARAN
Dalam bahasa Latin kata media berasal dari kata medius yang secara
harfiah berarti tengah, perantara atau pengantar. Mustaji (2013:1) mengatakan
media adalah sarana fisik yang berisi pesan atau sarana untuk menyampaikan
pesan. Sumber belajar meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik dan
lingkungan.
Cecep Kustandi, dkk (2011:8) menyebutkan bahwa media
pembelajaran adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar dan
berfungsi untuk memperjelas makna pesan yang disampaikan, sehingga dapat
mencapai tujuan pembelajaran dengan lebih baik dan sempurna. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa media pembelajaran adalah perantara dalam
proses pembelajaran yang berfungsi untuk menjelaskan sebuah konsep
sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Heinich dalam Mustaji (2013:7) mengklasifikasikan media ke dalam
dua kelompok yaitu media yang tidak diproyeksikan dan media yang
diproyeksikan. Media yang tidak diproyeksikan misalnya benda nyata, tiruan
benda, model, mock-up, multimedia kit, bahan cetak,herbarium, insectarium,
benda pajangan, dan sebagainya. Sedangkan benda yang diproyeksikan
misalnya Overhead Projector (OHP), komputer multimedia yang
diproyeksikan, film suara, slide suara, filmstrips, video, opaque, presentasi
multimedia, dan sebagainya. Media dapat pula diklasifikasikan berdasarkan
fungsinya dalam pembelajaran, yaitu media sebagai alat bantu pembelajaran
atau mediayang digunakan untuk belajar mandiri.
Secara garis besar fungsi media dalam pembelajaran sebagai alat bantu
pembelajaran dan media yang dapat digunakan untuk belajar sendiri tanpa
bantuan pendidik. Media sebagai alat bantu pengajaran berarti media tersebut
masih bergantung pada pendidik. Lebih lanjut Mustaji (2013:6) menjelaskan
fungsi media pembelajaran sebagai berikut: 1) memperjelas konsep; 2)
menyederhanakan materi pelajaran yang kompleks; 3) menampakdekatkan
3
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
yang jauh dan menampakjauhkan yang dekat; 4) menampakbesarkan yang
kecil dan menampakkecilkan yang besar, 5) menampakcepatkan dan
menampaklambatkan proses; 6) memperlambat gerakan yang cepat (slow
motion); 7) menampakgerakkan yang statis dan menampakstatiskan yang
gerak; 8) menampilkan suara dan warna sesuai aslinya.
Prinsip-prinsip pemilihan media pembelajaran merujuk pada
pertimbangan seorang guru dalam memilih dan menggunakan media
pembelajaran untuk digunakan atau dimanfaatkan dalam kegiatan belajar
mengajar. Prinsip pemilihan media dalam pembelajaran menurut Rayandra
Asyar (2012:82) adalah sebagai berikut: 1) Kesesuaian Media yang dipilih
harus sesuai dengan tujuan pembelajaran, karakteristik peserta didik dan
materi yang dipelajari, serta metode atau pengalaman belajar yang diberikan
kepada peserta didik. 2) Kejelasan sajian. Seharusnya, jenis media dan sumber
belajar diracang dengan mempertimbangkan ruang lingkup materi
pembelajaran serta memperhatikan tingkat kesulitan penyajiannya. 3)
Kemudahan akses, Media seharusnya mudah diakses oleh siswa dan dalam
pengadaannya memerhatikan alat pendukung, lokasi, serta kondisi. 4)
Keterjangkauan, Keterjangkauan di sini berkaitan dengan besar kecilnya biaya
yang diperlukan untuk mendapatkan media. 5) Ketersediaan, Ketersediaan
suatu media perlu dipertimbangkan. Apabila media yang diperlukan tidak
tersedia, maka perlu media pengganti. 6) Kualitas, Dalam pemilihan media
pembelajaran, kualitas media hendaknya diperhatikan. Sebaiknya, dipilih
media yang berkualitas tinggi. 7) Ada alternatif . Dalam pemilihan media,
salah satu prinsip yang juga penting diperhatikan adalah bahwa guru tidak
tergantung hanya pada media tertentu saja. 8) Interaktivitas ,Media yang baik
adalah media yang dapat memberikan komunikasi dua arah secara interaktif.
9) Organisasi, Pertimbangan lain yang juga tidak bisa diabaikan adalah
dukungan organisasi. Misalnya diperolehnya dukungan dari pimpinan sekolah
atau pimpinan yayasan. Lalu apakah di sekolah terdapat pusat penyimpanan
ataukah tidak. 10) Kebaruan, Kebaruan dari media yang akan dipilih juga
harus menjadi pertimbangan sebab media yang lebih baru biasanya lebih baik
dan lebih menarik bagi siswa. Pemilihan media perlu disesuaikan dengan
4
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
kebutuhan, situasi, dan kondisi setiap pembelajaran. Guru dapat memilih atau
membuat media berdasarkan isi, tujuan pembelajaran, serta karakteristik
siswa
MEDIA SIMULASI PHET
Udin Syaefudin Sa’ud (2005:129) simulasi adalah sebuah replikasi atau
visualisasi dari perilaku sebuah sistem, misalnya sebuah perencanaan
pendidikan, yang berjalan pada kurun waktu yang tertentu. Selain itu, menurut
Nagara (2002:340) Simulasi adalah metode pelatihan yang memperagakan
sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang sebenarnya.
Dapat disimpulkan simulasi merupakan metode atau teknik dalam
pembelajaran untuk memeragakan sesuatu yang mirip dengan keadaan yang
sebenarnya. Teknik simulasi digunakan dalam pembelajaran, terutama dalam
desain instruksional yang berorientasi pada tujuan-tujuan tingkah laku.
Latihan-latihan keterampilan menuntut praktik yang dilaksanakan di dalam
situasi kehidupan nyata
PhET (Physics Education Technology) merupakan merupakan
proyek di University of Colorado yang mengembangkan serangkaian simulasi
fisika dengan memanfaatkan kecanggihan komputer untuk menangani
masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan alat lain (Finkelstein, 2005:2).
PhET adalah program simulasi computer interaktif berbasis penelitian untuk
belajar dan mengajarkan fisika, kimia, matematika, dan ilmu-ilmu lainnya.
Simulasi-simulasi PhET merupakan gambar bergerak (animasi),
interaktif dan dibuat seperti layaknya permainan dimana siswa dapat belajar
dengan melakukan eksplorasi. Simulasi-simulasi tersebut menekankan
korespondensi antara fenomena nyata dan simulasi komputer kemudian
menyajikannya dalam model-model konseptual fisis yang mudah dimengerti
oleh para siswa.
Proyek Simulasi Interaktif PhET (http://phet.colorado.edu) telah mulai
mendesain fitur-fitur inklusif ke rangkaian simulasi HTML5 yang baru.
Dengan 130+ simulasi matematika dan sains, termasuk lebih dari 30 simulasi
kimia - proyek PhET bertujuan untuk memastikan bahwa semua siswa
5
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
memiliki akses ke sumber daya pendidikan terbuka ini. Fitur inklusif meliputi:
navigasi keyboard, deskripsi text-to-speech dan pendengaran, dan sonifikasi.
Fitur-fitur ini akan memungkinkan siswa untuk terlibat dengan simulasi dalam
berbagai mode, dengan representasi visual, auditori, dan tekstual tersedia,
bersama dengan opsi yang diperluas untuk metode input dan output (keyboard,
pembaca layar, dll.). Fitur-fitur inklusif ini berpotensi meningkatkan
efektivitas simulasi untuk semua siswa - termasuk mereka yang cacat.
PhET dapat dapat dijalankan secara online atau di download secara
gratis dari website PhET (http://www.phet.colorado.edu). Sejak 2002, proyek
Simulasi Interaktif PhET di University of Colorado Boulder telah dilibatkan
penelitian seputar strategi desain simulasi yang efektif untuk mendukung
pembelajaran sains berbasis inkuiri. Secara offline PhET dapat menggunakan
java dan flash atau menggunakan web browser standar dengan syarat flash dan
java telah ter-instal. Simulasi PhET sangat interaktif dimana pada simulasi ini
siswa dapat menggunakan secara mandiri ataupun di bantu oleh guru dalam
penggunaannya.
PhET menyediakan simulasi percobaan, animasi yang interaktif, dan
lingkungan permainan dimana siswa belajar melalui eksplorasi. Untuk
eksplorasi secara kuantitatif, simulasi PhET ini memiliki alat-alat ukur di
dalamnya seperti penggaris, stop-watch, voltmeter, dan termometer. Kita
tinggal memakainya untuk mengukur suatu besaran. Melalui media simulasi
PhET seolah-olah kita memiliki laboratorium fisika sendiri, namun yang kita
miliki ialah laboratorium virtual.
Menurut Perkins, dkk (2013) media simulasi PhET sangat tepat di
untuk kegiatan eksplorasi di laboratorium untuk kelompok kecil. Hal yang
sama juga disampaikan Finkelstein (2005) bahwa media simulasi PhET
memiliki karakteristik kegiatan pembelajaran yang melibatkan siswa dan
interaktif, adanya umpan balik dan dengan pendekatan konstruktivis.
Simulasi yang disediakan PhET sangat interaktif yang mengajak
peserta didik untuk belajar dengan cara mengeksplorasi secara langsung.
Simulasi PhET ini membuat suatu animasi fisika yang abstrak atau tidak dapat
dilihat oleh mata telanjang, seperti : atom, elektron, foton, dan medan magnet.
6
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Interaksi yang dilakukan berupa menekan tombol, menggeser benda atau
memasukkan sesuatu. Kemudian saat itu juga akibat dari interaksi yang
dilakukan akan segera terlihat langsung oleh siswa.
PhET menekankan hubungan antara fenomena kehidupan nyata dan
ilmu yang mendasari, dan membantu membuat model visual dan konseptual.
Simulasi PhET awalnya dikembangkan di dan diuji untuk universitas dan
sekolah tinggi, tetapi kemudian berkembang bagi siswa mulai dari sekolah
dasar.
Untuk membantu peserta didik memahami konsep visual, program
simulasi PhET menghidupkan apa yang terlihat oleh mata melalui penggunaan
grafis dan kontrol intuitif seperti klik dan Tarik, slider dan tombol radio. PhET
diproduksi menggunakan proses desain interaktif. Untuk setiap simulasi ada
tim dari 3-5 desainer termasuk pengembang perangkat lunak professional,
seorang ahli ilmu konten, pendidik, dan ahli komunikasi. Tim ini dimulai
dengan memproduksi daftar rinci tujuan pembelajaran berdasarkan
pengalaman mengajar mereka sendiri dan topik penelitian ke dalam
pemahaman peserta didik. Tim PhET kemudian menghasilkan desain
antarmuka pengguna awal untuk simulasi didasarkan pada tujuan
pembelajaran dan penelitian bagaimana siswa belajar. Desain awal disajikan
untuk seluruh tim PhET sebagai umpan balik, dan kemudian pengembang
perangkat lunak menghasilkan versi awal dari simulasi. Sebanyak 4-6 siswa
bermain dengan simulasi kemudian dilakukan wawancara untuk
mengungkapkan masalah dalam desain simulasi , dimana siswa tidak belajar
konten yang relevan, mempelajari hal yang salah, dan/atau mengalami
kesulitan menggunakan kontrol. Simulasi ini kemudian didesain ulang, dan
wawancara lebih lanjut dilakukan sesuai kebutuhan.
Simulasi yang di-posting ke website PhET dengan kode “under
contruction” merupakan posting-an setelah wawancara awal. Setelah
dilakukan wawancara lebih lanjut dan menunjukkan bahwa simulasi bekerja
dengan baik, berikutnya diuji lebih lanjut dengan menggunakannya dalam
kontek kelas. Masalah yang mungkin muncul diperbaiki lebih lanjut, yang
kemudian menjadi versi final dan di-posting ke website dengan tanda centang.
7
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Bahkan setelah versi final di-posting, perubahan kecil dapat dilakukan jika ada
umpan balik dari pengguna.
Selain tujuan mempromosikan pemahaman konseptual siswa tentang
sains, simulasi PhET bertujuan untuk melibatkan siswa dalam eksplorasi
ilmiah dan untuk meningkatkan minat siswa dalam sains. Simulasi PhET
dirancang untuk menjadi menyenangkan dan interaktif, untuk terhubung ke
dunia nyata, untuk memberikan banyak representasi, dan untuk
memungkinkan siklus penyelidikan yang cepat. Proyek PhET dipandu oleh
penelitian kognitif tentang bagaimana orang belajar, penelitian berbasis
disiplin pada pemahaman konseptual siswa, dan penelitian tentang desain alat
pendidikan.
Pada zaman sekarang, penting sekali membelajarkan peserta didik
untuk melakukan praktik. Tentunya sudah tidak jaman lagi bagi guru IPA
umumnya untuk tidak melaksanakan praktikum di laboratorium dengan alasan
klasik tidak tersedianya fasilitas sarana-prasarana laboratorium IPA. Physics
Education Technology atau PhET merupakan sebuah solusi yang tanggap
jaman terhadap perkembangan teknologi pembelajaran. PhET dikembangkan
oleh Universitas Colorado di Boulder Amerika (University of Colorado at
Boulder) dalam rangka menyediakan simulasi pengajaran dan pembelajaran
MIPA berbasis laboratorium maya (virtual laboratory) yang memudahkan
guru dan siswa dalam pembelajaran
Adapun kelebihan Software aplikasi PhET adalah, simulasi interaktif
PhET sangat menarik sekali karena sangat asyik, mudah, dan menyenangkan
sekali. Selain online langsung, Simulasi interaktif PhET juga dapat digunakan
secara offline di kelas atau dirumah. Simulasi ini ditulis dalam Java dan Flash
dan dapat dijalankan dengan menggunakan web browser baku selama plug-in
Flash dan Java sudah terpasang . tidak perlu bingung tidak mempunyai
softwarenya karena di PhET sendiri menyediakan download paket simulasi +
Java + flash.
Dengan kata lain, simulasi-simulasi interaktif PhET merupakan
simulasi yang ramah pengguna (user friendly) dan gratis di download untuk
kepentingan pengajaran di kelas atau dapat digunakan untuk kepentingan
8
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
belajar individu, softwarer PhET juga tidak mudah terserang virus dan hang
dan juga memiliki file lebih kecil. Simulasi-simulasi interaktif PhET
merupakan gambar bergerak (animasi), interaktif dan dibuat seperti layaknya
permainan dimana siswa dapat belajar dengan melakukan eksplorasi.
Simulasi-simulasi tersebut menekankan korespondensi antara fenomena nyata
dan simulasi komputer kemudian menyajikannya dalam model-model
konseptual fisis yang mudah dimengerti oleh para siswa.
Kekurangan PhET Simulation sebagai media pembelajaran yang
berbasis laboratorium virtual, di antaranya sebagai berikut :
1. Keberhasilan pembelajaran berbantuan laboratorium virtual bergantung
pada kemandirian siswa untuk mengikuti proses pembelajaran.
2. Akses untuk melaksanakan kegiatan laboratorium virtual bergantung pada
jumlah fasilitas komputer yang disediakan sekolah.
3. Siswa dapat merasa jenuh jika kurang memahami tentang penggunaan
komputer sehingga dapat menimbulkan respon yang pasif untuk
melaksanakan percobaan virtual.
Manfaat dari simulasi PhET yang telah diuji dapat diuraikan sebagai
berikut : 1) Dapat dijadikan suatu pendekatan yang membutuhkan keterlibatan
dan interaksi dengan siswa; 2) Memberikan feedback yang dinamis ; 3)
Mendidikan siswa agar memiliki pola berfikir kontruktivisme, dimana siswa
dapat menggabungkan pengetahuan awal dengan temuan-temuan virtual dari
simulasi yang dijalankan ; 4) Membuat pembelajaran lebih menarik karena
siswa dapat belajar sekaligus bermain pada simulasi tersebut ; 5)
Menvisualisasi konsep-konsep fisika dalam bentuk model. Seperti elektron,
photon, molekul, dan lainnya.
Beberapa penelitian yang relevan, Adams W. K. 2010, dengan Judul
“Student Engagement and Learning With PhET Interactive Simulations”
Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa dengan menggunakan PhET
Interaktif simulasi siswa lebih terlibat dalam pengetahuan yang eksplorasi dan
meningkatkan hasil belajar serta lebih dalam konsep-konsep ilmiah. Selain itu
Finkelstein, Noah dkk. 2006. Dengan Judul “PhET: Interactive Simulations
for Teaching and Learning Physics”. University of Colorado at Boulder. Dari
9
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
penelitian yang dilakukan terdapat peningkatan hasil belajar serta membangun
pemahaman konseptual yang kuat pada mata pelajaran fisika melalui
eksplorasi. Dengan demikian sangat menguatkan jika media simulasi PhET
dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran di kelas.
PENERAPAN MEDIA SIMULASI PHET DALAM PEMBELAJARAN
IPA DI SEKOLAH DASAR
Media pembelajaran simulasi PhET dapat diterapkan di sekolah dasar
pada materi kelistrikan khususnya dan terbukti dapat meningkatkan
pemahaman konsep dan mereduksi miskonsepsi yang dialami siswa. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh salah seorang guru di
SDN 8 Kepahiang, Ramon S. Putrama pada tahun 2015. Didukung juga oleh
penelitian yang dilakukan oleh Azni Aslinda, ada pengaruh yang signifikan
melalui PhET Simulation terhadap pemahaman konsep siswa. Dengan
demikian media PhET dapat diterapkan di sekolah dasar.
Pembelajaran dengan menggunakan laboratorium virtual PhET tidak
membutuhkan waktu yang lama dalam pelaksanaannya dibandingkan
pembelajaran dengan menggunakan laboratorium nyata (riil). Sehingga guru
tetap dapat menyelesaikan materi tepat pada waktunya dan siswa tetap dapat
melakukan.
Dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam banyak sekali materi
yang memerlukan praktikum dalam pembelajarannya. Artinya secara fisik
siswa perlu memerhatikan proses sehingga akan menghasilkan suatu konsep
dalam pemikiran mereka. Siswa mengerti apa yang sedang dipelajari.
Kenyataannya, materi-materi IPA banyak yang tidak bisa secara fisik langsung
disaksikan misalnya, proses pencernaan, pernapasan, perpindahan panas,
peredaran darah, kelistrikan, dan lainnya. ada keterbatasan panca indera untuk
menyaksikan proses tersebut. Phisics Education Technology dapat menjadi
salah satu alternatif media pembelajaran untuk menjawab permasalahan
tersebut. PhET dapat menampilkan materi- materi yang tidak bisa disaksikan
langsung pada benda kongkritnya, dikemas dalam bentuk animasi dan simulasi
interaktif sehingga siswa juga dapat menyaksikan bagaimana proses suatu
10
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
fenomena terjadi. Simulasi PhET bersifat kontekstual seperti yang ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari sampai ke hal-hal mikroskopis yang tidak dapat
dibayangkan atau tergambarkan secara nyata. Misalnya simulasi radiasi
elektromagnetik yang dapat divisualisasikan sehingga pengguna dapat
mengetahui proses radiasi tersebut secara makro dan dapat melakukan analisis
kuantitatifnya. Contoh lainnya simulasi PhET dapat meniru perilaku sistem
nyata, suatu strategi pembelajaran yang dapat mempermudah memahami
konsep berdasarkan informasi yang terkandung pada rangkaian listrik,
menarik, membangkitkan kesadaran tentang konsep atau prinsip, menuntut
partisipasi aktif, dan belajar banyak hal. Berikut beberapa tampilan pada media
simulasi PhET
Gambar 1. Tampilan simulasi PhET di computer
Gambar 2. Pilihan Simulasi PhET di sekolah dasar
11
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Gambar 3. Contoh simulasi rangkaian listrik
TEORI YANG MENDASARI PENGGUNAAN MEDIA SIMULASI
PHET DI SEKOLAH DASAR.
Psikolog Swiss Jean Piaget mengembangkan sebuah teori tentang
bagaimana manusia berkembang dan memahami dunianya. Dari persfektif
Piaget, manusia selalu berusaha memahami lingkungan, kematangan
biologisnya, interaksinya dengan lingkungan, dan pengalaman sosialnya saling
berkombinasi dan memengaruhi bagaimana mereka memikirkan berbagai hal.
Arends (2008:327) menjelaskan pembagian tahapan-tahapan
perkembangan kognitif oleh Piaget menjadi empat yaitu : 1) tahap
sensorimotor (lahir-2 tahun), mulai mengenali objek-objek, dapat meniru; 2)
tahap preokupasional (2-7 tahun), mengembangkan penggunaan Bahasa,
mengembangkan kemampuan untuk berpikir secara simbolis, dapat melihat
dari sudut pandang orang lain, belum memiliki operasi mental biologis pada
tahap ini; 3) tahap operasional kongkrit (7-11 tahun), dapat menyelesaikan
masalah secara logis, mampu mengklasifikasikan; 4) tahap operasional formal
(11-15/dewasa), dapat menyelesaikan berbagai masalah abstrak, memiliki
kepedulian terhadap isu-isu sosial.
Siswa sekolah dasar sesuai dengan teori perkembangan kognitif Piaget
berada pada tahap operasional konkret (7-11 tahun). Ciri pokok perkembangan
pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas
dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekelan (Budiningsih, 2012:38).
Proses dan perkembangan belajar anak sekolah dasar memiliki kecenderungan
berawal dari hal-hal yang kongkret, memandang sesuatu yang dipelajari
sebagai suatu kebutuhan terpadu dan melalui proses manipulatif. Oleh karena
itu pembelajaran di sekolah dasar harus direncanakan, dilaksanakan, dan pada
gilirannya dinilai berdasarkan kecenderungan-kecenderungan di atas.
12
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Media simulasi PhET dapat membantu penanaman konsep siswa pada
banyak materi-materi IPA dengan cara memvisualisasikan hal-hal yang
abstrak sehingga dapat dilihat secara langsung. Media simulasi PhET bersifat
semi kongkret sehingga sesuai dengan tahap perkembangan kognitif siswa di
sekolah dasar.
Contoh penerapan media simulasi PhET dalam pembelajaran IPA
tentang rangkaian listrik. Simulasi yang digunakan adalah Circuit Contruction
Kit (DC Only) yang memungkinkan siswa untuk membangun rangkaian
baterai virtual, kabel, lampu, resistor, saklar, dan (dalam versi AC) kapasitor
dan induktor. Selain itu disediakan juga voltmeter dan anmeter sebagai alat
untuk mengukur tegangan dan arus listrik yang terjadi pada rangkaian.
Simulasi dapat digunakan untuk mengganti atau melengkapi percobaan
dengan peralatan nyata. keunggulannya adalah bahwa simulasi memungkinkan
siswa untuk melihat model visual untuk aliran (elecktron maya yang mengalir
melalui kabel), peralatan tidak pernah rusak atau habis dipakai, dan siswa
dapat mencoba-coba tanpa takut terjadi hubungan arus pendek listrik. Simulasi
PhET memberikan kemudahan bagi siswa.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Media pembelajaran dapat menjadi salah satu alternatif dalam
memudahkan penyampaian informasi dalam proses pembelajaran. Salah
satunya adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
komputer, yaitu menggunakan media pembelajaran berbantuan komputer.
Media simulasi PhET dapat membantu penanaman konsep siswa pada banyak
materi-materi IPA di sekolah dasar. Media PhET memberika pengaruh
terhadap pembelajaran IPA di sekolah dasar.. Media simulasi PhET bisa
menjadi alternatif dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar.
Saran
Dalam menerapkan media simulasi PhET sebagai guru kita perlu
mengondisikan sarana dan prasarana, misalnya ketersediaan komputer di
sekolah. Agar maksimal penerapannya dan siswa memahami, dalam
13
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
pembelajaran tersedia komputer (laptop) dan LCD. Siswa juga sudah
mempunyai kemampuan awal (dasar) dalam menggunakan komputer.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, W.K.2010. Student Engagement and Learning with PhET Interactive Simulations”. Boulder: publicato online il 23 Luglio 2010 DOI 10. 1393/ncc/ i2010-10623-0.
Arends, R.2008. Learning To Teach. Toronto: McGraw-Hill International Companies, Inc 1221 Avenue of Amiricas New York.
Arsyad, A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo persada.
Asyhar, R. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Referensi Jakarta.
Aslinda, Azni. 2018. Pengaruh Phet Simulation Terhadap Peningakatan Pemahaman Konsep Siswa. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung. http://digilib.unila.ac.id/view/divisions/Fisika/2018.type.html. Diakses pada 31Maret 2019.
Budiningsih, A. 2012. Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Cecep kustandi dan Bambang Sutcipto. 2013. Media Pembelajaran. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Finkelstein, N. dkk. 2005a. When learning about the real world is better done virtually: A study of substituting computer simulations for laboratory equipment edu/physics/ EducationIssues/papers/CCK.
Finkelstein, N.D. and Pollock, S.J. 2005b. Replicating and Understanding Successful Innovations: Implementing Tutorials in IntroductorPhysics, Physical Review, Spec Top: Physics Education Research.
Finkelstein, N.D. et al. 2005c. When learning about the real world is better done virtually: a study of substituting computer simulations for laboratory equipment, Physical Review, Special Topics: Physics Education Research.
14
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Mustaji. (2013). Media Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press.
Perkins, K, dkk. (2013a). About PhET (online), tersedia di: http://phet.colorado.edu (diakses pada 13 Februari 2019)
Perkins, dkk. (2014b). Blending Implicit Scaffolding and Games in PhET Interactive Simulations , The International Conference of the Learning Sciences (ICLS) : Learning and becoming in practice (online), Boulder, CO (Vol. 3, pp 1201-1202). tersedia di https://phet.colorado.edu/en/research. Diakses pada 14 Maret 2019
Sinkiriwang,Putrama. (2016).Remediasi Miskonsepsi Ipa Materi Kelistrikan Sekolah Dasar Menggunakan Strategi Poe Berbantuan Media Simulasi Physics Education Technology Phet.https://docplayer.info/29591939-Remediasi-miskonsepsi-ipa-materi-kelistrikan sekolah-dasar-menggunakan-strategi-poe-berbantuan-media-simulasi-physics-education technology-phet.html . diakses pada 31 Maret 2019.
Syaefudin, Udin., Syamsuddin, Abin. 2005.Perencanaan Pendidikan Pendekatan Komprehensif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
15
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
PENGGUNAAN KARTU BILANGAN SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN AKTIFITAS SISWA DALAM
PEMBELAJARAN OPERASI HITUNG PERKALIAN DI KELAS DUA SEKOLAH DASAR
Mery Meilina HerawatiSDIT IQRA’ 2 Kota Bengkulu
abstract
One of the mathematics learning goals that it can be applied to increase student activities by learning to use number card props. By using a number card could be teaching aids in multiplication learning attract students' attention, it means learning while playing in groups. Because in completing group assignments, each group works together and helps to understand a teaching material. The purpose of this study was to determine student activities by using the number card props on the subject of multiplication operations in second grade. This type of research is Classroom Action Research. This research was conducted in two cycles. The subject of this research is the second grade students, amounting to 27 students. Data collection was carried out using student observation sheets. The data obtained were analyzed by quantitative descriptive. The results of classroom action research that have been carried out using the multiplication card number props in the second class show an increase. The average score of student activity in cycle I was 84.75% and increased in cycle II to 97.5%.
Keywords: number cards, activities, multiplication
PENDAHULUAN
Rasa takut terhadap pembelajaraan matematika sering kali
menghinggap perasaan siswa di Sekolah Dasar. Hal ini antara lain disebabkan
oleh penekanan berlebihan pada menghafal semata, penekanan pada kecepatan
berhitung, pengajaran oteriter, kurangnya variasi dalam proses belajar
mengajar dan penekanan berlebihan pada prestasi individu.
Matematika yang tercantum dalam kurikulum SD adalah matematika
yang telah dipilih dan disederhanakan dan disesuaikan dengan perkembangan
berfikir siswa SD. Mengajarkan matematika kepada siswa SD sesungguhnya
16
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
tidaklah terlalu sulit. Hal utama untuk menarik minat belajar siswa terhadap
matematika dengan cara menciptakan suasana senang dalam belajar
matematika. Salah satu caranya adalah dengan memasukkan materi
pembelajaran dalam suasana permainan.
Keberhasilan dari suatu pembelajaran merupakan tujuan utama
seorang guru sebagai pelaksana pendidikan di sekolah. Oleh karena itu
berbagai upaya dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam
pembelajaran komponen utamanya adalah guru dan siswa di samping
komponen-komponen lain sebagai pendukung. Ditinjau dari komponen guru,
maka seorang guru harus mampu membimbing siswa sehingga dapat
mengembangkan pengetahuannya sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarinya.
Ditinjau dari komponen siswa, keberhasilan belajar sangat ditentukan
oleh kemampuan berlatih dan juga konsep-konsep awal yang telah diterima
sebelumnya. Pada kenyataannya ketidak berhasilan siswa dalam belajar sering
kali diakibatkan karena kempuan berlatih sangat kurang dan minimnya konsep
awal yang diterima. Sering kali kita mendengar bahwa matematika dipandang
sebagai mata pelajaran yang kurang diminati atau dihindari oleh sebagian
siswa, padahal siswa seharusnya menyadari bahwa kemampuan logis, rasional,
kritis, cermat, dan efektif yang menjadi ciri matematika sangat dibutuhkan.
Karena itu kreatifitas dalam mengajarkan matematika merupakan faktor kunci
agar matematika menjadi pelajaran yang menarik di kelas.
Informasi dan pengalaman peneliti mengajarkan konsep dasar
perkalian pada siswa kelas dua SD mempunyai kesulitan tersendiri baik dalam
pemahaman konsep dasar maupun penyelesaian yang berkaitan dengan
perkalian. Kesulitan tersebut terjadi karena susahnya siswa dalam memahami
penjelasan guru, serta monotonnya metode pengenalan konsep dasar perkalian
oleh guru. Guru biasanya hanya menjelaskan bahwa perkalian adalah
penjumlahan berulang, dengan memberikan contoh di papan tulis, lalu siswa
disuguhkan dengan lembar kerja siswa. Kurangnya alat peraga juga makin
memparah kondisi, sehingga belajar matematika memang menjadi suatu yang
sangat menakutkan.
17
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Bermain adalah salah satu kebiasaan yang sangat digemari siswa SD.
Untuk itu peneliti mencoba membuat seperangkat permainan yang berupa
kartu bilangan yang nantinya akan digunakan sebagai alat peraga saat belajar
perkalian. Dengan permainan yang coba diciptakan oleh peneliti, diharapkan
mampu menarik minat anak dalam belajar.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keaktifan siswa
dengan menggunakan alat peraga kartu bilangan pada operasi perkalian di
kelas Dua.
Keaktifan Siswa
Menurut Silberman (Daryanto, 2009:3) keaktifan artinya siswa
melakukan sebagian besar dari pekerjaan. Mereka menggunakan otaknya
untuk mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan masalah, dan menerapkan
apa yang mereka pelajari. Belajar aktif berjalan dengan cepat, menyenangkan,
memberi dukungan, dan melibatkan diri terutama siswa perlu “ melakukannya
“ berusaha memahaminya sendiri, mencari contoh-contoh, menerapkan
keterampilan-keterampilan, dan melakukan tugas-tugas yang bergantung pada
pengetahuan yang sudah dimiliki atau harus dimiliki.
Kegiatan belajar, subjek didik/siswa harus aktif berbuat. Dengan kata
lain, bahwa dalam belajar sangat diperlukannya aktifitas. Tampa aktifitas,
proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik. (Sadirman, 2011:97)
Pembelajaran Matematika
Pembelajaran adalah upaya untuk menciptakan iklim dan pelayanan
terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat dan kebutuhan peserta didik yang
beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dan siswa (Syaiful, 2006:1).
Tidak dipungkiri lagi bahwa matematika banyak memiliki kegunaan
dan kegunaan matematika tidak hanya tertuju pada peningkatan kemampuan
perhitungan campuran kuantitatif saja tetapi juga untuk penataan cara berfikir,
khususnya dalam pembentukan kemampuan analisis, membuat sintesis dan
evaluasi hingga mampu memecahkan masalah.
Enam tahap yang berurutan dalam belajar matematika, antara lain:
a. Permainan Bebas ( Free Play )
18
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Dalam permainan bebas tahap belajar konsep yang terdiri dari aktivitas
yang tidak terstruktur dan tidak terarahkan yang memungkinkan siswa
mengadakan eksperimen dan manipulasi benda-benda konkrit dan abstrak dan
unsur-unsur konsep yang dipelajari. Pada tahap ini adalah tahap yang
terpenting karena pengalaman pertama.
b. Permainan yang Menggunakan Aturan ( Games)
Pada tahap ini merupakan tahap belajar konsep setelah didalam periode
tertentu permainan bebas terlaksana. Siswa mulai meneliti polapola dan
keteraturan yang terdapat didalam konsep itu. Siswa memperhatikan aturan-
aturan tertentu yang terdapat didalam konsep, aturan-aturan itu ada kalanya
berlaku untuk suatu konsep, namun tidak berlaku untuk konsep yang lain.
c. Permainan Mencari Kesamaan Sifat ( Searching for Comunalities )
Tahap ini berlangsung setelah siswa memainkan permainan yang
disertai aturan yang telah disebutkan diatas. Siswa dibantu untuk dapat melihat
kesamaan struktur yang mentranslasikan dari suatu permainan yang lain,
sedang sifat-sifat abstrak yang diwujudkan dalam permainan itu tetap tidak
berubah dengan translasi.
d. Permainan Representasi
Dalam permainan reprentasi siswa mencari kesaman sifat dari situasi
yang serupa dan mencari gambaran konsep tersebut, tentu saja biasanya
menjadi lebih abstrak daripada situasi yang disajikan.
e. Permainan dengan Simbolisasi
Dalam tahap ini permainannya menggunakan simbol-simbol yang
merupakan tahap belajar konsep dimana siswa perlu merumuskan representasi
dari setiap konsep yang menggunakan simbol matematika atau perumusan
verbal yang sesuai.
f. Permainan Formalitas
Pada tahap permainan ini merupakan tahap belajar konsep akhir.
Setelah siswa mempelajari suatu konsep dan struktur matematika yang saling
19
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
berhubungan, siswa harus mengurutkan sifat-sifat itu untuk dapat merumuskan
sifat-sifat baru.
Kartu Bilangan
a. Prinsip penggunaan kartu bilangan
Kartu bilangan disini maksudnya adalah sebuah kartu yang terbuat
dari kertas tebal berbentuk persegi panjang, yang tertuliskan bilangan. Kartu
bilangan didesain mirip dengan kartu remi atau bridge, warna disesuaikan agar
lebih menarik. Contoh bentuk kartu bilangan sebagai berikut: Ada 4 warna
yaitu biru, kuning, hijau dan merah. Warna biru untuk bilangan pengali, warna
kuning untuk bilangan yang di kalikan, warna hijau untuk proses perkalian
atau proses penjumlahan berulangnya, warna merah untuk hasil dari proses
perkalian.
b. Penggunaan Kartu Perkalian
Cara penggunaan kartu perkalian ini dilakukan secara berkelompok
dan jumlah siswa kelompok disesuaikan dengan kondisi siswa dalam kelas.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
1. Mula-mula siswa dibagi menjadi beberapa kelompok.
2. Setiap kelompok terdiri dari 5 anak.
3. Guru membagikan 1 set kartu perkalian dan lembar evaluasi pada
masing-masing kelompok.
4. Guru kemudian menjelaskan bagaimana cara penggunaan kartu
perkalian.
5. Siswa melakukan hompimpa.
6. Siswa yang menang, melakukan permainan terlebih dahulu dan
siswa yang mendapat giliran berikutnya yang mengisi lembar
evaluasi.
7. Kartu diacak, kemudian siswa mengambil 2 kartu dan disusun
mendatar dengan posisi terbuka.
20
23
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
8. Kemudian salah satu siswa yang lain mengurutkan proses konsep
dasar operasi perkalian.
9. Jika siswa yang mengurutkan kartu proses konsep dasar perkalian
maka siswa yang lain menghitung hasilnya dan meletakkan kartu untuk
hasil perkalian.
10. Kemudian jika siswa yang bertugas sudah berhasil menyelesaikan
proses perkalian, siswa yang bertugas mengisi lembar evaluasi
memberi tanda silang pada lembar evaluasi permainan sesuai dengan
nama siswa yang bermain.
11. Siswa melakukan terus menerus sampai waktu yang ditentukan habis
(setiap siswa 10 menit).
12. Setiap siswa bergiliran sampai seluruh kelompok dapat mencoba atau
seluruh anggota kelompok dapat giliran bermain menggunakan kartu
bilangan.
13. Setelah bermain beberapa tahap, guru sebagai pengamat dan penilai,
mengevaluasi lembar pengamatan kemudian mengumumkan
kelompok mana yang lebih cepat selesai dan paling baik hasilnya.
METODE PENELITIAN
21
++2 2 2
6=2x3
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Penelitian dilakukan pada kelas dua. Subjek dalam penelitian ini adalah
siswa kelas dua, yang terdiri dari satu kelas dengan siswa sebanyak 27 siswa.
Siswa laki-laki sebanyak 15 siswa dan siswa perempuan sebanyak 12 siswa.
Penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan kelas yaitu
model spiral tindakan kelas menurut Hopkins (dalam Aqib, 2006:31) dengan
pelaksanaannya dua siklus dalam proses pelaksanaannya. Langkah-langkah
dalam penelitian ini adalah refleksi awal, Rencana tindakan, Implementasi
tindakan.
Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu lembar observasi siswa.
Observasi dilakukan pengamatan terhadap semua kegiatan siswa saat proses
belajar mengajar berlangsung. Observer dalam penelitian ini adalah peneliti
dan teman sejawat dari peneliti sendiri.
Teknik analisis data yaitu data yang diperoleh akan dianalisis dengan
menggunakan lembar observasi siswa untuk setiap aspek yang diamati.
Kategori yang digunakan baik (B), cukup (C), dang kurang (K) dengan
memberi tanda conteng (v). Data hasil observasi siswa akan dianalisis dengan
skala penilaian.
Rata-rata ¿jumlah skor
jumlah pengamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan pembelajarn dengan menggunakan alat peraga kartu
bilangan pada pokok bahasan perkalian di kelas dua pada mata pelajaran
matematika telah dilaksanakan sesuai dengan skenario pembelajaran yang
telah dibuat. Langkah-langkah pembelajaran secara sistemtis yaitu guru
membuka pelajaran, menyampaikan tujuan pembelajaran dan menyampaikan
materi pelajaran materi perkalin dengan menggunakan kartu bilangan,
selanjutnya guru membentuk kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari
5-6 siswa. Setelah kelompok terbentuk, dilanjutkan siswa berdiskusi dengan
kelompoknya bermain menggunkan kartu bilangan, dilanjutkan dengan
menuliskan hasil permainan menggunakan kartu bilangan perkalian pada
lembar evaluasi proses perkalian yang telah di bagikan oleh guru.
22
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Peningkatan aktifitas belajar siswa pada mata pelajaran matematika
menggunakan alat peraga kartu bilangan dilihat dari rata-rata hasil observasi
aktifitas siswa terlihat dari siklus I sampai siklus dua, yang dapat disajikan
pada tabel berikut ini:
Hasil lembar observasi guru dan siswa dapat dilihat pada tabel 1
berikut ini :
Tabel.1 Hasil Lembar Aktifitas Siswa
Siklus I Jumlah Skor Rata-rataAktifitas 169,5 84,75%Siklus II Jumlah Skor Rata-rataAktifitas 195 97,5%
Berdasarkan hasil lembar observasi guru dan siswa pada tabel 1 pada
I dan siklus II diketahui bahwa keaktifan siswa selama pembelajaran
matematika dengan menggunakan kartu bilangan pada kategori baik. Hal ini
dapat dilihat dari peningkatan aktifitas siswa sebesar 84,75% pada siklus I dan
meningkat pada siklus II sebesar 97,5%.
Tabel 2. Lembar evaluasi permainan menggunakan alat peraga bilangan
Siklus I (banyak kelompok) Hasil yang didapatPertemuan ke 1 : 1 kelompok 16 proses perkalianPertemuan ke 2 : 2 kelompok 18 proses perkalianSiklus II (banyak kelompok) Hasil yang didapatPertemuan ke 1 : 3 kelompok 20 proses perkalianPertemuan ke 2 : 4 kelompok 20 proses perkalian
Berdasarkan tabel 2 hasil lembar observasi permainan kartu bilangan
proses perkalian setiap kelompok, terlihat bahwa pada siklus I pertemuan 1
dan pertemuan ke 2 ada 3 kelompok yang melakukan proses perkalian yang
terbanyak. Pada siklus II pertemuan 1 dan pertemuan 2 ada 7 kelompok yang
berhasil mendapatkan 20 proses perkalian dengan menggunakan kartu
bilangan pada pokok bahasan perkalian. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran menggunakan kartu bilangan pada pembelajaran pokok bahasan
perkalian dapat meningkatkan pemahaman konsep dasar perkalian pada siswa.
Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan alat
peraga bilangan di kelas dua tidak terlepas dari adanya kendala-kendala baik
dari pihak guru maupun siswa. Kendala-kendala tersebut yaitu : sikap
23
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
individualitas siswa dan kurangnya kerjasama dalam kelompok dan sebagai
guru dibutuhkan kesabaran yang lebih untuk memotivsi siswa terlibat aktif
dalam pembelajaran.
SIMPULAN DAN SARAN
Pelaksanaan kegiatan tindakan kelas di kelas dua disimpulkan bahwa
dengan menggunkan permainan kartu bilangan pada pokok bahasan perkalian,
aktifitas siswa selama proses pembelajaran adalah baik. Penggunaan
permainan kartu bilangan pada pokok bahasan perkalian, aktifitas siswa dalam
pembelajaran dapat menumbuh kembangkan kerjasama antar siswa dalam
kelompok.
Saran-saran penelitian ini adalah 1. Kepada guru matematika di SD
agar dapat menerapkan pembelajaran dengan menggunakan kartu bilangan
untuk meningkatkan prestasi belajar dan mengajar terhadap pelajaran
matematika pada pokok bahasan perkalian. Pembelajaran dengan
menggunakan kartu bilangan ini dikembangkan untuk pokok bahasan lain
dalam pembelajaran matematika. 2. Walaupun pembelajaran dengan
menggunakan kartu bilangan ini baik. Namun subjek yang diambil masih
terbatas pada siswa kelas dua saja. Untuk penelitian ini selanjutnya disarankan
subjek diperluas pada kelas lainnya kemudian dilihat apakah pembelajaran
dengan menggunkan kartu bilangan ini masih efektif.
Dokumentasi
24
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
DAFTAR PUSTAKA
Ani, C.T.2004. Psikologi Belajar. Semarang: UPT UNNES Press
Aqib, Zainal. 2006. Penelitin Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya
Daryanto. 2018. Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Tindakan Sekolah. Yogyakarta: Gava Media
Daryanto. 2009. Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inofatif. Jakarta
Irene,dkk. 2017. 2b Bermain di Lingkunganku. Jakarta. Erlangga
Sardiman.2011. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syaiful. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta
Sadirman. 1986. Faktor yang mempengaruhi motivasi belajar. Melalui https://www.kajianpustaka.com. diakses tanggal 1 Maret 2019
25
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARANMAKE AND MATCH UNTUK MENINGKATKAN HASIL
BELAJAR SISWA KELAS III SD NEGERI 1 KOTA BENGKULU PADA MUATAN PELAJARAN PKn
Lilik Muharian SariSDN 01 Kota Bengkulu
abstract
Make and Match (MaM) learning model was a Cooperative Learning model where children were required to find opponents or partners from their drawing groups with groups of images held by other groups. This Make and Match (MaM) learning model had a positive influence on student learning outcomes, seen from differences in the results of achieving the value they got in cycle 1 and cycle II. This study was aimed to improve the learning outcomes and learning activities of students in class IIIB of SD Negeri 1 Bengkulu Municipality on Theme 5 Subtheme 1 content of PKn Proud of Indonesian Diversity. The number of students in class IIIB was 28 people. The average achievement of the grade grades in the pre cycle 65.35, then cycle 1 66.79 without using learning media aids while in cycle 2 there was an increase to 83.93 using learning media aids. Learning outcomes data were assessed by means of average and classical learning completeness of students. Based on the results of research conducted in 2 cycles increased in the results and learning activities of students.
Keywords: Classroom action research, MaM, PKn
26
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
PENDAHULUAN
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata
pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan pada jenjang Sekolah
Dasar (SD). Ruminiati (2007: 1.15) menyatakan bahwa pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu pelajaran yang
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan cenderung pada
pendidikan afektif. Pendidikan Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai
wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang
berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan
dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai individu
dan anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meskipun pada saat sekarang ini pelajaran PKn di tingkat satuan
pendidikan dasar tidak lagi menjadi mata pelajaran bidang studi akan tetapi
terintegrasi kedalam tematik mengikuti pola aturan kurikulum 2013 yang
berlaku saat ini. Pembelajaran tematik adalah pembelajaran terpadu yang
memakai tema untuk mengkaitkan beberapa mata pelajaran sehingga peserta
didik mendapatkan pengalaman yang bermakna. Penerapan Model
Pembelajaran Make And Match (MaM) untuk meningkatkan hasil belajar
peserta didik di kelas IIIB SD Negeri 1 Kota Bengkulu pada Tema 5 Subtema
1 muatan pelajaran PKn materi tentang “ Bangga Akan Keberagaman Bangsa
Indonesia“. Model pembelajaran ini diterapkan selain untuk meningkatkan
hasil belajar peserta didik juga untuk memotivasi peserta didik agar lebih
semangat pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung, ini dikarena
peserta didik terkadang merasa PKn merupakan pelajaran yang sangat
membosankan.
Adapun proses indentifikasi masalah yang penulis lakukan adalah
memfokuskan kepada peserta didik yang masih memperoleh nilai di bawah
angka 75 yang merupakan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), peserta
didik tersebut dianggap masih belum memahami tentang materi yang
disampaikan, peserta didik juga terlihat masih kurang aktif dalam berdiskusi
dan kurang terampil dalam berkomunikasi dengan teman sebaya. Berdasarkan
hasil pengamatan dan identifikasi masalah yang telah penulis lakukan, maka
27
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
penulis mencari faktor penyebab dari masalah yang telah diamati dalam
beberapa kali pertemuan dengan cara melakukan refleksi, bertanya kepada
peserta didik apa yang menjadi kendala mereka dalam proses pembelajaran
dan melakukan diskusi dengan teman sejawat sebagai bahan pertimbangan
untuk masukan dan saran.
Dari hasil diskusi yang dilakukan dengan teman sejawat penulis
menyimpulkan bahwa penyebab peserta didik belum memahami materi yang
guru sampaikan karena guru tidak menggunakan alat peraga sebagai media
untuk memudahkan peserta didik memahami materi yang sedang diajarkan,
dan juga proses pembelajaran yang sifatnya mononton dari awal sampai akhir
proses pembelajaran, yang pada akhirnya mendorong penulis untuk mencoba
menerapkan model pembelajaran Make and Match ini yang dicobakan di kelas
IIIB SD Negeri 1 Kota Bengkulu pada Tema 5 Subtema 1 muatan pelajaran
Pkn “Bangga Akan Keberagaman Bangsa Indonesia” .
METODE
Metode yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah Penelitian
Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Adapun langkah penelitian ini
dapat terlihat pada gambar siklus PTK dibawah ini:
Gambar 1. Siklus PTK
28
PELAKSANAAN
PERENCANAAN
PENGAMATAN
REFLEKSI
REFLEKSI
PELAKSANAAN
PENGAMATAN
PERENCANAAN
Siklus
Siklus
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Subjek penelitian ini adalah peserta didik di kelas IIIB SD Negeri 1
Kota Bengkulu yang berjumlah 28 orang dan dilaksanakan di SD Negeri 1
Kota Bengkulu. Waktu pelaksanaan tanggal 14 Januari sampai dengan tanggal
04 Februari 2019 dalam 3 siklus ( pra siklus, siklus I, dan siklus II) yang
dibantu rekan sejawat sebagai observer. Desain prosedur pada proses
pembelajaran melalui empat tahapan yaitu; perencanaan, pelakasanaan,
pengamatan dan refleksi.
Mengapa Make and Match? Karena model pembelajaran ini dirasa
mudah untuk diterapkan dan dapat membuat aktivitas belajar peserta didik
lebih bersemangat. Hal ini sejalan dengan pendapat Isjoni (2007:77) yang
menyatakan bahwa Make a Match (MaM) merupakan model pembelajaran
mencari pasangan sambil belajar konsep dalam suasana yang menyenangkan.
Maka dari itu Make and Match (MaM) dianggap sesuai menjadi model
pembelajaran untuk meningkatkan keaktifan peserta didik dalam
pembelajaran PKn pada tema 5 subtema 1 materi tentang Bangga Akan
Keberagaman Bangsa Indonesia.
Tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah data
kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan sejak awal penelitian
samapai akhir pembelajaran untuk melihat optimalisasi pada media yang
digunakan selama proses pembelajaran. Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan tehnik analisis kualitatif statis sederhana
sebagai berikut : Jumlah nilai siswa
Rata-rata nilai evaluasi Jumlah siswa keseluruhan
Jumlah nilai siswa diatas 70Presentase Ketuntasan X 100%
Jumlah siswa keseluruhan
Adapun tujuan yang ingin dicapai tujuan dari penulisan dan penelitian
ini selain untuk meningkatkan hasil belajar juga untuk meningkatkan
keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar serta guru ingin
memberikan contoh nyata melalui Bangga Akan Keberagaman Bangsa
29
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Indonesia dalam kelompok belajar yang menuntut kerjasama dalam tim
(Cooperative Learning), memberikan latihan dan bimbingan secara
menyeluruh pada pembelajaran muatan pelajaran PKn pada Tema 5 Subtema 1
materi tentang Rasa Bangga Akan Keberagaman Bangsa Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada proses penelitian menggunakan model pembelajaran Make a
Match (MaM) yang merupakan salah satu jenis model pembelajaran
Cooperative Learning yang memerlukan kerjasama dalam tim. Teknik ini
dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik ini
adalah peserta didik mencari pasangan sambil belajar. Peserta didik dalam
memahami suatu konsep atau topik dibawa kepada suasana yang
menyenangkan (Rusman, 201:223).
Model Make a Match atau mencari pasangan merupakan salah satu
alternatif yang dapat diterapkan kepada peserta didik. Penerapan metode ini
dimulai dari teknik yaitu peserta didik disuruh mencari pasangan kartu yang
merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, peserta didik yang dapat
mencocokkan kartunya diberi poin. Gambar 2. Model Kartu Make and Match
Tampak Depan
Pada gambar diatas adalah contoh kartu yang digunakan dalam model
pembelajaran Make and Match yang digunakan pada muatan pelajaran PKn
Tema 5 Subtema 1 materi Bangga Akan Keberagaman Bangsa Indonesia,
yang menjadi bahan penelitian yang sedang diterapkan di kelas III B SD
Negeri 1 Kota Bengkulu.
30
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Gambar 3. Model Kartu Make and MatchTampak Belakang
Pada gambar diatas adalah gambar kartu Make and Match (MaM)
tampak belakang yang berisi tentang identitas dari provinsi yang menjadi
bahan pertanyaan dalam proses pembelajaran.
Langkah-Langkah Pembelajaran Make And Match
Langkah-langkah penerapan model Make a Match sebagai berikut.
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik
yang cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya
kartu jawaban.
2. Setiap peserta didik mendapatkan sebuah kartu yang bertuliskan
soal/jawaban.
3. Tiap peserta didik memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.
4. Setiap peserta didik mencari pasangan kartu yang cocok dengan
kartunya.
5. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas
waktu diberi poin.
6. Jika peserta didik tidak dapat mencocokkan kartunya dengan kartu
temannya (tidak dapat menemukan kartu soal atau kartu jawaban) akan
mendapatkan hukuman, yang telah disepakati bersama.
7. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat
kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.
31
KARTU IDENTITAS PROVINSI
Provinsi ini terletak di pulau Sumatera Nama ibukotanya NAD Julukannya adalah kota Serambi Mekkah Nama rumah adatnya rumoh Aceh Nama baju adatnya Peukayan Linto Baro Nama senjata tradisionalnya rencong Nama-nama suku yang ada disana gayo, singkil, tamiang Nama Tariannya seudati, saman Judul lagu daerahnya bungong jeumpa Nama Flora yang terkenal disana bunga jeumpa Nama Fauna yang berasal darisana Cempala Kuneng Nama makanan khasnya timphan Siapakah aku ? ....
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
8. Peserta didik juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 peserta didik lainnya
yang memegang kartu yang cocok.
9. Guru bersama-sama dengan peserta didik membuat kesimpulan terhadap
materi pelajaran.
Kelebihan Model Pembelajaran Make And Match
Kelebihan model Make a Match menurut Miftahul Huda (2013: 253)
adalah:
1. Dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik, baik secara kognitif
maupun fisik karena ada unsur permainan, metode ini menyenangkan
2. Meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap materi yang dipelajari
dan dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik
3. Efektif sebagai sarana melatih keberanian peserta didik untuk tampil
presentasi
4. Efektif melatih kedisiplinan peserta didik menghargai waktu untuk
belajar.
Kelemahan Model Pembelajaran Make And Match
Menurut Miftahul Huda (2013: 254) kelemahan model pembelajaran
Make a Match adalah:
1. Jika strategi ini tidak dipersiapkan dengan baik, akan banyak waktu yang
terbuang;
2. Pada awal-awal penerapan metode, banyak peserta didik yang akan malu
berpasangan dengan lawan jenisnya;
3. Jika guru tidak mengarahkan peserta didik dengan baik, akan banyak
peserta didik yang kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan;
4. Guru harus hati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada peserta
didik yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu;
5. Menggunakan metode ini secara terus menerus akan menimbulkan
kebosanan.
Pada proses prasiklus atau data awal diketahui bahwa hasil belajar
siswa rata-rata 65, ini menunjukkan bahwa pembelajaran belum tuntas secara
klasikal, karena KKM yang ditetapkan adalah 75. Ini dapat terlihat pada tabel
32
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
dibawah ini yang merupakan hasil nilai belajar pada saat tes awal dilakukan
pada proses prasiklus tanpa menggunakan media gambar model Make and
Match (MaM). Ini berarti hasil nilai belajar yang telah dicapai pada prasiklus
masih belum memenuhi syarat atau masih kurang 15 point lagi untuk
mencapai nilai kriteria ketuntasan minimal. Tabel 1. Hasil Nilai Belajar Peserta Didik Pra Siklus
No Nama Peserta Didik Nilai Ketuntasan
1 PD 1 70 Belum Tuntas2 PD 2 70 Belum Tuntas3 PD 3 70 Belum Tuntas4 PD 4 60 Belum Tuntas5 PD 5 50 Belum Tuntas6 PD 6 60 Belum Tuntas7 PD 7 70 Belum Tuntas8 PD 8 100 Tuntas9 PD 9 80 Tuntas10 PD 10 60 Belum Tuntas11 PD 11 70 Belum Tuntas12 PD 12 70 Belum Tuntas13 PD 13 60 Belum Tuntas14 PD 14 60 Belum Tuntas15 PD 15 70 Belum Tuntas16 PD 16 60 Belum Tuntas17 PD 17 80 Tuntas18 PD 18 50 Belum Tuntas19 PD 19 60 Belum Tuntas20 PD 20 70 Belum Tuntas21 PD 21 70 Belum Tuntas22 PD 22 70 Belum Tuntas23 PD 23 60 Belum Tuntas24 PD 24 50 Belum Tuntas25 PD 25 80 Tuntas26 PD 26 60 Belum Tuntas27 PD 27 50 Belum Tuntas28 PD 28 60 Belum TuntasJumlah Nilai 1830Rata-rata nilai 65,35
Setelah melihat hasil pada proses pembelajaran prasiklus ternyata
belum memuaskan maka penulis melakukan penelitian dan tindakan lanjutan
pada siklus 1, dimana pada proses pembelajaran siklus I ini penulis mulai
menerapkan model pembelajaran Make and Match (MaM) dengan
menggunakan media gambar.
Berdasarkan hasil refleksi tindakan perbaikan pembelajaran pada
siklus I, masih ada beberapa peserta didik yang ragu dan tidak terlibat aktif
33
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
dalam melakukan demonstrasi. Penulis memberi pengarahan agar semua
peserta didik terlibat aktif dalam melakukan permaianan Make and Match
(MaM), baik dalam diskusi kelompok maupun kerja sama dalam
menyelesaikan tugas. Pada siklus I hasil evaluasi peserta didik masih banyak
yang rendah dan belum mencapai hasil yang maksimal, ini terlihat masih ada
18 peserta didik yang nilainya dibawah KKM dan tingkat ketuntasan kelas
masih 35%.
Maka dari hasil observasi kegiatan tersebut diatas, ternyata proses
pembelajaran dan tindakan perbaikan lanjutan pada siklus I belum juga
terlaksana dengan baik. Terlihat dari hasil nilai belajar peserta didik yang
belum tercapai sesuai kriteria ketuntasan minimal, kemungkinan yang bisa saja
terjadi dikarenakan kesiapan penulis dalam menyampaikan materi dirasakan
belum maksimal meski ada sedikit peningkatan dari proses sebelumnya
(prasiklus) terjadi sedikit peningkatan sekitar 35% dari hasil awal prasiklus
hanya 14%.
Dengan demikian maka tindakan perbaikan lanjutan pada siklus II
dilaksanakan dengan persiapan yang matang dan peserta didik diingatkan
untuk dapat mengikuti proses siklus II ini dengan baik. Penulis
mempersiapkan media gambar model pembelajaran Make and Match berupa
kartu-kartu yang dicetak dengan pola gambar berwarna dan terlihat lebih
menarik perhatian peserta didik untuk mengetahui dan mengenal lebih jauh
tentang keberagaman yang dimiliki Indonesia dan pada akhirnya membuat
susana belajar dan hasil nilai tercapai sesuai kriteria ketuntasan minimal
(KKM).Tabel 2. Hasil Nilai Belar Peserta Didik Siklus 1 dan Siklus 2
Tema 5 Subtema 1 Muatan PKn
No Nama PesertaDidik
Penilaian 2 SiklusSiklus 1 Ketuntasan Siklus 2 Ketuntasan
1 PD 1 70 Belum Tuntas 80 Tuntas2 PD 2 80 Tuntas 80 Tuntas3 PD 3 70 Belum Tuntas 90 Tuntas4 PD 4 60 Belum Tuntas 80 Tuntas5 PD 5 90 Tuntas 80 Tuntas6 PD 6 60 Belum Tuntas 80 Tuntas7 PD 7 70 Belum Tuntas 90 Tuntas8 PD 8 100 Tuntas 100 Tuntas9 PD 9 80 Tuntas 90 Tuntas10 PD 10 90 Tuntas 100 Tuntas
34
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
11 PD 11 70 Belum Tuntas 100 Tuntas12 PD 12 70 Belum Tuntas 80 Tuntas13 PD 13 60 Belum Tuntas 80 Tuntas14 PD 14 60 Belum Tuntas 70 Belum Tuntas15 PD 15 70 Belum Tuntas 80 Tuntas16 PD 16 80 Tuntas 80 Tuntas17 PD 17 60 Belum Tuntas 80 Tuntas18 PD 18 50 Belum Tuntas 70 Belum Tuntas19 PD 19 60 Belum Tuntas 90 Tuntas20 PD 20 70 Belum Tuntas 90 Tuntas21 PD 21 80 Tuntas 80 Tuntas22 PD 22 70 Belum Tuntas 80 Tuntas23 PD 23 60 Belum Tuntas 90 Tuntas24 PD 24 50 Belum Tuntas 80 Tuntas25 PD 25 80 Tuntas 90 Tuntas26 PD 26 80 Tuntas 100 Tuntas27 PD 27 50 Belum Tuntas 80 Tuntas28 PD 28 80 Tuntas 60 Belum TuntasJumlah Nilai 1970 2350Rata-rata Kelas 70,35 83,93
Dari data tabel diatas terlihat bahwa hasil nilai belajar peserta didik
pada siklus I mengalami peningkatan setelah diterapkan model pembelajaran
Make and Match dari jumlah ketuntasan yang pada awal prasiklus hanya
sekitar 14% meningkat menjadi 35% di siklus I dan 98% pada siklus II, hal
ini menandakan bahwa peningkatan hasil nilai belajar peserta didik yang
signifikan antara prasiklus, siklus I dan siklus II setelah penerapan model
pembelajaran Make and Match dan kesiapan penulis dalam penyampaian
materi diirasa cukup hanya batas siklus II saja
Tabel 3. Perbandingan Hasil Nilai Belajar dan PeningkatanNilai Rata – Rata Peserta Didik di Kelas IIIB Pada Pra siklus, Siklus 1 dan 2
No Ketuntasan Pra Siklus Siklus I Siklus IIJumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Tuntas 4 14%
10 35%
25 98%
2 Belum Tuntas 24 80%
18 64%
3 10%
3 Nilai rata -rata 65,35 70,35 83,93
Tabel diatas terlihat perbandingan jumlah ketuntasan yang diperoleh
pada setiap siklusnya, ini menandakan bahwa penerapan model pembelajaran
Make and Match (MaM) di kelas IIIB SD Negeri 1 Kota Bengkulu pada
muatan pelajaran PKn tema 5 subtema 1 materi tentang Bangga Akan
35
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Keberagaman Bangsa Indonesia benar dapat meningkatkan nilai hasil belajar
peserta didik, aktivitas di kelas lebih bersemangat, lebih hidup dan belajarpun
jadi lebih menyenangkan.Grafik 1. Ketuntasan Kelas IIIB SDN 1
Prasiklus Siklus I Siklus II0%
10%20%30%40%50%60%70%80%90%
Setelah melihat hasil yang didapat oleh peserta didik selama proses
penelitian ini berlangsung selama lebih kurang 3 minggu, maka secara
keseluruhan dari hasil nilai rata-rata maupun ketuntasan belajar yang telah
dicapai diperoleh informasi bahwa pemanfaatan model pembelajaran Make
and Match ini berhasil meningkatkan nilai hasil belajar khususnya di kelas
IIIB SD Negeri 1 Kota Bengkulu dengan menerapkan model pembelajaran
Make and Match (MaM) pada muatan pelajaran PKn pada tema 5 subtema 1
materi tentang Bangga Akan Keberagaman Bangsa Indonesia ini.
SIMPULAN
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan, maka
didapat simpulan dan saran sebagai berikut:
1. Bahwa model pembelajaran Make and Match (MaM) juga dapat
meningkatkan aktivitas dan semangat belajar peserta didik khususnya
di kelas IIIB SD Negeri 1 Kota Bengkulu.
2. Bahwa penerapan model pembelajaran Make And Match (Mam) dapat
meningkatkan nilai hasil belajar peserta didik khususnya di kelas
IIIBSD Negeri 1 Kota Bengkulu muatan pelajaran Tema 5 Subtema 1
Materi Tentang “ Bangga Akan Keberagaman Bangsa Indonesia“,
yang ditandai dengan meningkatnya nilai hasil belajar mulai dari pra
36
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
siklus 65,35 kemudian di siklus I 70,35 kemudian meningkat di siklus
II 83,93.
SARAN
1. Bagi guru, selalu dapat menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan, terutama bagi peserta didik usia Sekolah Dasar,
khususnya kelas IIIB SD Negeri 1 Kota Bengkulu. Karena suasana
belajar yang menyenangkan akan dapat menumbuhkan semangat
belajar pada peserta didik.
2. Bagi siswa, dengan adanya media pembelajaran hendaknya peserta
didik dapat aktif dan melibatkan diri dalam proses pembelajaran
sehingga hasil belajar yang akan dicapai dapat maksimal
3. Bagi sekolah, memberikan motivasi kepada guru-guru yang lain agar
dapat menggunakan dan menciptakan media pembelajaran yang sesuai
dan menyenangkan demi tercapainya tujuan pembelajaran serta
senantiasa mendukung peningkatan kualitas sekolah melalui perbaikan
proses pembelajaran oleh guru.
DAFTAR PUSTAKA
Gofur, Abdul. 2017. Model Pembelajaran Make A Match. http://abdulgopuroke.blogspot.com/2017/03/model-pembelajaran make-match.html Diakses pada 29 Maret 2019
Mihtahul Huda. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riadi, Muchlisin. 2015. Model Pembelajaran tipe Make A Match.https://www.kajianpustaka.com/2015/03/model-pembelajaran-tipe-make-match.html. Diakses pada 29 Maret 2019
37
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Ruminiati. 2007. Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan SD. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.
Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Syahrul, M. 2016. Pengertian, Landasan, Karakteristik, Langkah-Langkah, Prinsip dan Tahapan Pelaksanaan serta Keuntungan PembelajaranTematik. https://www.wawasanpendidikan.com/2016/07 Diakses pada 29 Maret 2019
MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY-BASED LEARNINGPADA MATERI FOTOSINTESIS DALAM
MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERTANYA DAN BERFIKIR KRITIS DI KELAS VII.1 SMP NEGERI 10
KOTA BENGKULU
M. RozaliSMP Negeri 02 Kota Bengkulu
abstrak
The research was conducted to find out the increase in critical questioning and thinking skills by applying the Inquiry Based Learning (IBL) learning
38
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
model with 6 levels of learning sequences, namely Discovery Learning, Interactive Demonstration, Inquiry Lesson, Inquiry Laboratory, Real-World Applications and Hypothetical Inquiry. The method was descriptive qualitative. Through this research, the results of the pretest and posttest of this learning activity showed a very significant improvement seen from the average scores of students. It can be seen from the average pretest score in this inquiry-based learning activity is 51.37 while the average posttest is 84.87. Based on these results, it can be seen an increase in the average pretest score to the average posttest score which is very significant, namely an increase in score of 33.50. Besides the improvement in learning achievement in observations also seen an increase in students' skills in asking questions and critical thinking skills. namely 17.24% of students who have very good grades, 44.82% of students have good grades, 34.48% of students have enough grades and 3.48% of students have less grades. Thus it can be said that the implementation of inquiry-based learning (IBL) in grade VII.1 students of SMPN 10 Bengkulu City in the 2018/2019 academic year was very effective and appropriate, and was able to encourage the skills of asking questions and critical thinking.
Keywords: Implementation, Inquiry-Based Learning (IBL), Learning Sequence
PENDAHULUAN
Pembelajaran berbasis inkuiri adalah cara ampuh untuk memahami
sains dimana peserta didik diberikan kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan, merencanakan penyelidikan untuk menjawab pertanyaan,
mengumpulkan data/bukti berdasarkan hasil penyelidikan dari berbagai
sumber, mengkomunikasikan dan mempertahankan hasil penyelidikannya,
dimana dalam pembelajaran inkuiri memiliki enam level, antara lain:
Discovery Learning, Interactive Demonstration, Inquiry Lesson, Inquiry
Laboratory, Real-World Applications dan Hypothetical Inquiry. (Kaniawati, I.,
2017)
Enam level pembelajaran inkuiri tersebut diurutkan berdasarkan
kecerdasan intelektual dan pihak pengontrol (peran guru dan siswa dalam
pembelajaran). Kemampuan intelektual adalah kemampuan berpikir siswa
dalam membentuk pengetahuan. Adapun pihak pengontrol adalah peran guru
dalam memfasilitasi siswa dalam membangun pengetahuan dan keterampilan
proses sains yang dipelajari. Kaitan antara kemampuan intelektual dan pihak
pengontrol dapat terlihat pada Gambar 1.
39
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Gambar 1. Keberkaitan pihak pengontrol dan kemampuan intelektual pada level of inquiry (Wenning, 2005 dalam Asep Agus, dkk. 2018)
Pembelajaran IBL ini telah dikembangkan oleh P4TKIPA terdiri dari 2
unit. Salah satu unit yang dikembangkan pada materi topik fotosintesis.
Dimana pembelajaran topik fotosintesis termasuk bagian dari materi Energi
Dalam Sistem Kehidupan. Pada Kurikulum 2013 konsep ini disajikan untuk
siswa SMP kelas VII semester I (Widodo W., Rachmadiarti F., Hidayati S.N.
2016 ).
Topik fotosintesis yang disampaikan mencakup konsep-konsep:
1. Komponen fotosintesis
2. Tempat berlangsungnya proses fotosintesis
3. Proses fotosintesis
4. Produk Fotosintesis
5. Faktor-Faktor yang mempengaruhi fotosintesis
6. Aplikasi konsep fotosintesis dalam kehidupan sehari-hari
Topik ini disampaikan menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri
dengan level of inquiry (Wenning, 2013 dalam Asep Agus, dkk. 2018)Topik
fotosintesis disampaikan dalam dua kali pertemuan, melalui lima level of
inquiry dengan rincian sebagai berikut.
Pertemuan ke-1 (3 X 40 menit): Level 1) Discovery learning,
2) Interactive demonstrations,
3) Inquiry lessons,
Pertemuan ke-2 (2 X 40 menit): Level 4) Inquiry Labs,
5) Real-world applications.
Penerapan pembelajaran berbasis inkuiri (IBL) pada materi
Fotosintesis untuk peserta didik kelas VII.1 SMP Negeri 10 Kota Bengkulu
untuk menjawab permasalahan bagaimana hasil implementasi IBL dan
peningkatan keterampilan bertanya serta berfikir kritis pada peserta didik.
40
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Selain untuk tujuan implementasi hasil diklat guru yang diikuti oleh penulis,
penerapan strategi inkuiri ini sangatlah menarik bagi para peserta didik.
Mereka merasa tertantang untuk menemukan sendiri sesuatu melalui tahap-
tahap tertentu. Penerapannya pun mendorong para peserta didik untuk mampu
berpikir tingkat tinggi HOTS (Higher Order Thinking Skill). Sehingga dapat
meningkatkan keterampilan bertanya dan berfikir kritis.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif secara kualitatif. Penelitian
dilaksanakan di kelas VII. 1 SMP Negeri 10 Kota Bengkulu dengan jumlah
peserta didik 29 orang. Penelitian dilakukan dengan 2 (dua) kali pertemuan
dengan alokasi waktu 5 JP (5 x 40 menit) pada materi materi fotosintesis
menggunakan model pembelajaran berbasis inkuiri (IBL) dengan menerapkan
5 (lima ) level yakni Discovery Learning, Interactive Demonstration, Inquiry
Lesson, Inquiry Laboratory, Real-World Applications. Dalam unit fotosintesis
yang dikembangkan oleh P4TKIPA Bandung level Hypothetical Inquiry tidak
di lakukan karena untuk level ini biasanya digunakan untuk peserta didik
SMA.
Pertemuan ke-1 (3 X 40 menit): Level 1) Discovery learning, 2) Interactive demonstrations, 3) Inquiry lessons,
Pertemuan ke-2 (2 X 40 menit): Level 4) Inquiry Labs, 5) Real-world applications.
Data hasil tes siswa pada penelitian ini diolah dengan melihat
perbandingan hasil pretes dan postes untuk melihat tingkat pemahaman
konsep materi fotosintesis sebagai topik penelitian.
Untuk data keterampilan bertanya dan berfikir kritis siswa teknik
pengumpulan data melalui pengamatan langsung oleh observer di kelas
dengan menceklis kegiatan siswa dari lembar observasi yang telah disiapkan.
Data keterampilan bertanya dan berfikir kritis siswa tadi dianalisa
secara diskriptif dengan melihat persentase hasil pertemuan satu dan
pertemuan dua. Dimana data tersebut digunakan untuk merefleksi proses
pembelajaran yang telah dilaksanakan pada pertemuan I dan pertemuan II.
Data observasi ini diolah secara deskriptif. Selanjutnya, penilaian keterampilan
41
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
bertanya dan berfikir kritis berpedoman pada rubrik penilaian. Setiap butir
observasi pada lembar observasi diberi kreteria penilaian dan skor pada table
berikut :
Tabel 1. kriteria penilaian untuk lembar observasi
Skor Rubrik penilaian
1 jika tidak pernah bertanya dan menjawab, pasif dalam pembelajaran, serta tidak punya ide dan solusi
2 jika kadang-kadang bertanya dan menjawab, aktif dalam pembelajaran, serta punya ide dan solusi
3 jika Selalu aktif bertanya dan menjawab,aktif dalam pembelajaran, sertapunya ide dan solusi pada saat pembelajaran
Sumber : Sudjana (2005)
Untuk kepentingan analisa data data diatas digunakan rumus mencari
kisaran nilai :
jadi, untuk kisaran skor penilaian lembar observasi ketrampilan bertanya dan
berfikir kritis di konfersi seperti pada table berikut:
Tabel 2. Pedoman konversi nilai
Skor Kualifikasi< 2,25 Kurang2,26 – 5,49 Cukup5,50 – 7,25 Baik7,26 – 9,00 Sangat baik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada waktu OJL (On Job Learning) peneliti sepakat dengan
pendamping (observer) dari P4TKIPA Bandung (bu Ai Deti dan Ibu Sumarni)
untuk dilaksanakan hari rabu dan kamis tanggal 19 dan 20 Oktober 2018 di
SMP N 10. Untuk pelaksanaan peneliti menggunakan kelas VII 1 SMP Negeri
10 Kota Bengkulu. Pelaksanaan OJL dilakukan dalam dua kali pertemuan
dengan menggunakan 5 (lima) level dalam pembelajaran berbasis inkuiri.
a. Pertemuan pertama, untuk level 1,2 dan 3 (level Discovery Learning,
Interactive Demonstration, dan Inquiry Lesson) dilaksanakan Hari
Rabu, tanggal 19 Oktober 2018 (3 JP), sedangankan
42
Kisaran Nilai = Skor Tertinggi = 9 = 2,25Banya Kualifikasi 4
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
b. Pertemuan kedua, untuk level 4 dan 5 (level Inquiry Labs dan Real-
world Application) dilakukan, hari kamis, tanggal 20 Oktober 2018
(2JP)
Pada pertemuan pertama, materi yang dibahas adalah mengidentifikasi
komponen yang terlibat dalam fotosintesis, memprediksi hasil proses
fotosintesis, menjelaskan proses perubahan energi pada reaksi fotosintesis, dan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Sebelum
pembelajaran dimulai, peserta didik diminta mengerjakan pretes. Setelah itu,
pembelajaran diawali dengan kegiatan pendahuluan, meliputi memberi salam,
mengajak berdoa, mengecek kehadiran peserta didik, diberikan apersepsi dan
pembangunan konsep tentang fotosintesis (level Discovery Learning). Pada
kegiatan inti, diawali dengan membagikan LKPD (Lembar Kerja Pengamatan
dan Diskusi) dengan kegiatan untuk mengamati bagian – bagian tanaman
(akar, batang, daun). Selanjutnya, peserta didik diajak mengamati demonstrasi
dari guru dari uji sach dan demonstrasi ingenhouz (level Interactive
Demonstration). Dari demonstrasi ini peserta didik dapat memprediksi hasil
uji sach dan ingenhouz, dalam pengamatan disini peserta didik keterampilan
dalam mengajukan pertanyaan masih sedikit, sehingga peneliti harus lebih
aktif memancing keterampilan bertanya dan berfikir kristis peserta didik
dengan mengajukan pertanyaan arahan (Leading Question). Di akhir
pertemuan pertama ini peserta didik diajak untuk merencanakan percobaan
pengaruh cahaya terhadap proses fotosintesis (level Inquiry Lesson), yaitu
dengan melihat jumlah gelembung yang dihasilkan tanaman air (Tanaman dari
Danau Dendam) terhadap intensitas cahaya. Di akhir pertemuan pertama
peneliti melakukan refleksi dengan pendamping (observer)
Memasuki pertemuan kedua, guru mengawali dengan kegiatan masuk
ke level inquiry laboratory. Pada tahapan level ini peserta didik melakukan
percobaan yang telah mereka rancang sebelumnya. Selama percobaan guru
berperan sebagai fasilitator. Setelah peserta didik melakukan percobaan
tersebut kemudian guru memberi leading questions untuk mereka jawab
berdasarkan percobaannya, sehingga mereka dapat memahami hubungan
antara pengaruh cahaya terhadap fotosintesis terbukti dari jumlah gelembung
43
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
yang dihasilkan. Ternyata gelembung yang dihasilkan tanaman air yang
diletakkan di bawah cahaya matahari langsung (terang) gelembung yang
dihasilkan lebih banyak jika diletakkan di tempat yang redup (kurang Cahaya).
Guru memberi umpan balik dan penegasan. Selanjutnya,peserta didik diminta
untuk memberikan solusi jika mereka menjadi pemimpin di suatu kota atau
provinsi jika kota yang mereka pimpin penuh dengan polusi udara (level Real-
world Application). Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi mereka. Di
akhir kegiatan, guru meminta refleksi peserta didik dan melaksanakan postes.
Perolehan skor pretes dan postes peserta didik selengkapnya terlampir dalam
tabel.3 nilai hasil pretest dan posttest.
Tabel 3. Nilai Pretest dan Posttest
No Peserta didik NilaiPre Test Post Test
1 Siswa 1 4 72 Siswa 2 5 73 Siswa 3 5 84 Siswa 4 5 85 Siswa 5 6 96 Siswa 6 7 107 Siswa 7 5 88 Siswa 8 7 99 Siswa 9 5 810 Siswa 10 4 811 Siswa 11 5 812 Siswa 12 4 913 Siswa 13 5 914 Siswa 14 7 915 Siswa 15 5 816 Siswa 16 4 917 Siswa 17 6 818 Siswa 18 5 819 Siswa 19 5 820 Siswa 20 4 821 Siswa 21 4 922 Siswa 22 6 923 Siswa 23 5 1024 Siswa 24 5 925 Siswa 25 6 926 Siswa 26 5 8
44
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
27 Siswa 27 4 928 Siswa 28 6 929 Siswa 29 5 8Jumlah Nilai 149 246rata-rata nilai 51.37 84.87
Rata-rata skor pretes dalam kegiatan pembelajaran berbasis inkuiri ini
adalah 51,37 sedangkan rata-rata postes adalah 84,87. Berdasarkan hasil
tersebut, dapat dilihat adanya kenaikan rata-rata skor pretes ke rata-rata skor
postes yang sangat signifikan, yaitu kenaikan skor sebesar 33,50. Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran hari itu cukup berhasil.
Adapun perolehan rerata skor pretes dan postes secara inidividu,
ditunjukkan dalam Grafik berikut:
Grafik. 1. Hasil Pretes dan Postes Peserta didik
Pre test Post test0
50
100
Nilai Rata-Rata
Nilai Rata-Rata
Secara umum pada tiap level IBL terutama pada tigkat level Inquiri
labs peserta didik menunjukkan adanya peningkatan keterampilan bertanya
pada saat proses pembelajaran. Hal ini bisa dilihat dari lembar observasi
keterampilan bertanya dan berfikir kritis. Dimana secara kategori predikat
keterampilan ilmiah bisa dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4. Keterampilan Bertanya dan Berfikir Kritis
NO NAMA SISWA
Aktif Bertanya dan Menjawab
Aktif Dalam Pembelajaran
Berfikir Kritis Jumlah Keterangan
1 Siswa 1 3 2 2 7 Baik2 Siswa 2 1 3 1 5 Cukup3 Siswa 3 3 3 2 8 SangatBaik4 Siswa 4 2 3 2 7 Baik5 Siswa 5 3 3 1 7 Baik6 Siswa 6 1 3 1 5 Cukup7 Siswa 7 1 3 1 5 Cukup8 Siswa 8 2 3 2 7 Baik9 Siswa 9 1 3 1 5 Cukup10 Siswa 10 3 2 2 7 Baik11 Siswa 11 3 3 2 8 SangatBaik12 Siswa 12 2 3 2 7 Baik13 Siswa 13 2 3 1 6 Baik14 Siswa 14 1 2 1 4 Kurang
45
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
15 Siswa 15 2 3 1 6 Baik16 Siswa 16 2 3 1 6 Baik17 Siswa 17 3 3 2 8 SangatBaik18 Siswa 18 2 3 1 6 Baik19 Siswa 19 1 3 1 5 Cukup20 Siswa 20 1 3 1 5 Cukup21 Siswa 21 2 3 3 8 SangatBaik22 Siswa 22 1 3 1 5 Cukup23 Siswa 23 2 3 1 6 Baik24 Siswa 24 2 2 1 5 Cukup25 Siswa 25 2 3 1 6 Baik26 Siswa 26 2 3 1 6 Baik27 Siswa 27 3 3 2 8 SangatBaik28 Siswa 28 1 3 1 5 Cukup29 Siswa 29 1 3 1 5 Cukup
Di awal pembelajaran dengan model inkuri ditemukan ada beberapa
siswa yang masih belum terbiasa dari situasi yang membingungkan. Hal ini
sesuai pendapat Suchman (dalam Rustaman:2003) menyatakan jika siswa
dihadapkan pada situasi demikian maka secara alami siswa akan termotivasi
untuk memecahkan kebingungan tersebut. Lebih jauh lagi ini akan
meningkatkan kesadaran siswa akan proses inkuiri yang mereka miliki dan
mereka akan mempelajari prosedur ilmiah secara langsung dari situasi yang
dihadapi. Inkuiri berasal dari suatu keyakinan bahwa siswa memiliki
kebebasan dalam belajar. Model pembelajaran ini menuntut partisipasi aktif
siswa dalam berinkuiri atau penyelidikan ilmiah.
Keterlibatan dalam pembelajaran mengandung makna proses skill dan
attitude yang memberikan kesempatan untuk mencari pemecahan-pemecahan
pada pertanyaan-pertanyaan dan isu-isu ketika membangun pengetahuan baru.
Aplikasi yang bermanfaat dari pembelajaran inkuiri membutuhkan beberapa
faktor, yaitu konteks pertanyaan-pertanyaan, kerangka pertanyaan, fokus
pertanyaan, dan level-level yang berbeda dari pertanyaan.
Namun pada penilaian keterampilan bertanya dan berfikir kritis peserta
didik kelas VII 1. SMP Negeri 10, ini menunjukkan keragaman yang terlihat
selama pembelajaran. Hal ini bisa dilihat dari tabel nilai keterampilan bertanya
dan berfikir kritis peserta didik selama proses pembelajaran.
Tabel 5. Persentase Nilai Keterampilan Bertanya Dan Berfikir Kritis
46
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
No JumlahPeserta didik NilaiKategori Keterangan Persentase
1 5 7,5 – 9 SangatBaik 17,24%2 13 6 - 7,4 Baik 44,82%3 10 4,5 - 5,9 Cukup 34,48%4 1 ≤ 4,4 Kurang 3,48%
Dari data di atas ada 17,24% peserta didik yang memiliki nilai yang
sangat baik pada pembelajaran, 44,82% bersikap baik, 34,48% bersikap cukup
dan 3,48% kurang. Keterampilan ilmiah terbentuk dari seiring dengan proses-
proses ilmiah yang dilakukan peserta didik . Nilai keterampilan bertanya dan
berfikir kritis yang muncul pada peserta didik kelas VII 1 pada saat
pembelajaran dengan model IBL ini mencerminkan kebiasaan pada
pembelajaran sehari-hari, dimana peserta didik kebanyakan menunggu apa
yang disampaikan oleh guru, hanya sekali-kali bertanya bila diberi kesempatan
guru untuk bertanya. Peserta didik belum terbiasa menanyakan hal-hal yang
belum diketahuinya peserta didik akan menunggu informasi yang diberikan
oleh guru. Stimulus yang diberikan oleh guru kurang direspon oleh peserta
didik sehingga guru masih harus memberikan arahan untuk menggiring
pertanyaan dan ketika jawaban itu ada dari peserta didik hanya beberapa orang
yang berani berpendapat, hal ini bisa terlihat dari diagram pie dibawah ini.
17%
45%
34%
3%
Diagram Nilai Keterampilan bertanya dan berfikir kritis
baikcukup
kurang sangat baik
Dari diagram diatas terlihat ternyata sekitar 17 % peserta didik yang
memiliki kreteria yang memenuhi pembelajaran aktif, selalu bertanya, dan
mempunyai gagasan dan solusi setiap permasalahan yang ditemukan pada saat
pembelajaran. Selebihnya hampir 45 % peserta didik sudah baik yakni aktif
47
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
bertanya tetapi belum bisa memberikan solusi dikarenakan masih menunggu
arahan dari guru untuk menyelesaikan persoalan yang ditemukan. Secara
umum tujuan pembelajaran IBL dapat meningkatkan keterampilan bertanya
dan berfikir kritis peserta didik.
2. Permasalahan yang Dihadapi
Meskipun hasil postes menunjukkan kenaikan yang signifikan bila
dibandingkan dengan hasil pretes, penulis selaku guru pengajar mengalami
beberapa permasalah dalam mengimplementasikannya. Adapun permasalahan
teridentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Guru sebagai fasilitator belum sepenuhnya mampu menggali kemampuan
awal peserta didik melalui variasi tehnik bertanya sehingga kemampuan
awal/dasar peserta didik belum tergali secara maksimal.
b. Dalam praktek uji sach bahan untuk daun yang akan di praktekkan ada
kendala dalam uji prakteknya walaupun daun tersebut sudah seminggu yang
lalu di tutupi pakai kertas alumunium foil, sehingga ketika di tetesi lugol
warna yang diharapkan kurang tampak/jelas
c. Guru belum bisa mengelola waktu sesuai skenario sehingga kegiatan
pembelajaran tidak dapat dilaksanakan secara maksimal sesuai skenario.
3. Langkah-langkah Pemecahan Masalah
Adapun langkah–langkah yang harus dilakukan untuk mencari solusi
permasahan di atas adalah sebagai berikut :
a. Guru diharapkan terus melatih kemampuan bertanya dan mengembangkan
variasi teknik-teknik ketrampilan bertanya untuk memberikan motivasi,
dorongan, arahan, bimbingan dalam menggali kemampuan awal atau dasar
peserta didik dengan harapan peserta didik bisa terbawa ikut terlibat masuk
dalam setiap kegiatan pembelajaran sehingga memacu berpikir kritis dan
dapat menikmati kegiatan dengan kesadaran.
b. Untuk percobaan sach ada baiknya guru menutup dau yang akan di
praktekkan mencari daun yang tipis dan waktu penutupan lebih dari
seminggu
48
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
c. Dari pengalaman kegiatan pembelajaran berbasis inkuiri mengendalikan
waktu perlu mendapatkan perhatian khusus. Pada materi Fotosintesis waktu
yang disediakan 5 jam x (40 menit ) terasa kurang cukup dikarenakan guru
harus sabar saat memberikan berbagai teknik pertanyaan untuk mengiring
peserta didik berfikir kritis dengan berbagai macam tehnik pertanyaan yang
dapat mendorong, mengali, mengarahkan dan membimbing untuk
menemukan atau memecahkan permasalahan sendiri
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Inquiry-Based Learning (IBL) adalah cara ampuh untuk memahami
sains dimana peserta didik diberikan kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan, merencanakan penyeledikan untuk menjawab pertanyaan,
mengumpulkan data/bukti berdasarkan hasil penyelidikan dari berbagai
sumber, mengkomunikasikan dan mempertahankan hasil penyelidikannya,
dimana dalam pembelajaran inkuiri memiliki enam level, antara lain: Discover
Learning, Interactive Demonstration, Inquiri Lesson, Inquiry Laboratory,
Real-Word Applications dan Hypothetical Inquiry.
Peneliti telah merancang dan mengimplementasikan IBL di kelas.
Dalam implementasinya peneliti mendapati bahwa materi Fotosintesis dapat
dipahami oleh peserta didik dengan baik. Materi tersebut dipahami peserta
didik melalui serangkaian langkah-langkah tertentu sesuai sintaks IBL. Hasil
pretes dan postes kegiatan pembelajaran ini menunjukkan peningkatan yang
sangat signifikan, baik secara rata-rata skor, maupun skor individu peserta
didik. Peningkatan ini menunjukkan bahwa penerapan kegiatan pembelajaran
berbasis inkuiri (IBL) cukup berhasil.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi inquiry-
based learning (IBL) pada unit materi fotosintesis untuk peserta didik kelas
VII.1 SMPN 10 Kota Bengkulu tahun pelajaran 2018/2019 sangat efektif dan
tepat, serta mampu mendorong ketrampilan berkomunikasi dan berpikir kritis.
Saran
49
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Saran-saran yang dapat disampaikan sebagai hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Skenario pre dan postes sebaiknya dari awal sudah dipertimbangkan agar
tidak mengurangi alokasi waktu proses pembelajaran. Penyiapan alat dan
bahan sebaiknya disiapkan oleh laboran
b. Guru lebih inovatif dalam mengembangkan pembelajaran IPA berbasis
inkuiri level , sehingga pembelajaran tidak monoton dan lebih
menyenangkan.
c. Dengan mengacu pada uraian kesimpulan di atas, bahwa penerapan IBL
sangat efektif dan tepat serta mampu mendorong ketrampilan
berkomunikasi dan berpikir kritis pada peserta didik, maka penulis
menyarankan agar guru-guru, khususnya mata pelajaran IPA, untuk
mencoba merancang dan menerapkan IBL dalam pembelajarannya.
50
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
DAFTAR PUSTAKA
Kaniawati, I. 2017. Konsep dan Level Inkuiri. Handout. Bandung: PPPPTK IPA
Rustaman. 2003. Modul-Modul Pembelajaran . Bandung. PT. Raja Grafindo Persada.
Sudjana, Nana. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya
Sulaeman, A.A. 2018. Fotosintesis Unit Pembelajaran IPA SMP Berbasis Inkuiri. Bandung: PPPPTK IPA
Widodo W., Rachmadiarti F., Hidayati S.N. 2016. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VII SMP/MTs. Jakarta. Kemendikbud
51
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP NEGERI 10
KOTA BENGKULU PADA PEMBELAJARAN IPA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
INVESTIGASI KELOMPOK (MPIK)
Yuliza WidartiSMPN 10 Kota Bengkulu
abstract
This research has been conducted on 32 students of class VIII A in the 2018/2019 school year, which was aimed to find out how to improve students' critical thinking skills through the application of the Group Investigation Learning Model. This research is a classroom action research (CAR) with two cycles and the data for each cycle were analyzed qualitatively and quantitatively to determine corrective actions in the next cycle. Data were analyzed descriptively by determining cognitive values on critical thinking skills and percentages classically. The critical thinking ability of students has increased which includes: in the first cycle obtained an average of 62.83 and in the second cycle an average of 77.09 was obtained with a good category. By applying the group investigation learning model (MPIK) students' critical thinking skills can be improved.
Keywords: Group Investigation, Critical Thinking
PENDAHULUAN
Dalam pengajaran IPA dibutuhkan kemampuan pemikiran dan skill
yang cukup bagi individu dan manusia. IPA pada hakikatnya meliputi empat
unsur utama yaitu sikap,proses,produk,dan aplikasi sehingga tercapat tujuan
dari pembelajaran yang diharapkan. Oleh karena itu, pembelajaran IPA
seharusnya dapat meningkatkan kesadaran diri peserta didik untuk
membangun kemampuan belajar IPA akan hal-hal baru. Pada penerapan
kurikulum 2013 pembelajaran lebih mengacu pada aplikasi dunia nyata yang
disesuaikan dengan materi yang diajarkan.
Berdasarkan hasil observasi yang diperoleh terlihat bahwa pengetahuan
kognitif peserta didik dalam pembelajaran IPA masih kurang ini terlihat dari
hasil ulangan harian khususnya soal hitungan yang berupa soal uraian dijawab
secara singkat tanpa urutan sistematis dalam tahapan kognitif yang diharapkan.
52
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Untuk itu dalam pemberian soal yang cenderung berupa soal HOTS peserta
didik perlu dilatih dalam pengerjaan soal secara sistematis.
Dalam lingkup sekolah, guru mata pelajaran IPA seharusnya dapat
mengajarkan IPA dengan melibatkan peserta didik, dengan menggunakan
aktivitas praktis, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berpikir
sendiri, sehingga peserta didik mampu mengembangkan ide-ide dan
menyadari potensi pada dirinya. Oleh karena itu, dalam proses pengajaran
selalu ada hubungan timbal balik antara guru dan peserta didik, sebab dalam
proses tersebut tidak terlepas dari komponen-komponen (materi pelajaran,
tujuan yang akan dicapai, peserta didik yang belajar, guru yang mengajar) dan
berbagai metode pengajaran yang saling berhubungan dengan yang lainnya.
Kurangnya keaktifan peserta didik dan perolehan nilai rata-rata baik
pada latihan soal yang diberikan atau ulangan harian ditunjukkan rendahnya
frekuensi peserta didik mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan kurangnya
kemampuan peserta didik menerapkan rumus-rumus/jawaban yang
membutuhkan alasan dalam menyelesaikan soal-soal atau permasalahan IPA.
Jika diadakan diskusi kelompok, peserta didik yang yang memiliki
pengetahuan diatas rata-rata yang terlihat aktif. Peserta didik tidak terbiasa
dilatih dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan berpikir dalam
memecahkan masalah.
Maka dalam mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan suatu
upaya untuk menerapkan suatu model pembelajaran yang mendorong
kemampuan peserta didik dalam berpikir yaitu melalui model pembelajaran
Investigasi kelompok dengan pendekatan berbasis masalah. Upaya untuk
melaksanakan pembelajaran dengan kegiatan penyelidikan bertujuan untuk
melatih peserta didik bertanya dan berpikir kritis serta mengusahakan berbagai
kemungkinan jawaban dari suatu masalah.
Menurut Muliana (2016) menyatakan bahwa “kompetesi penting yang
harus dimiliki setiap individu pada era globalisasi adalah berpikir kritis yang
tertuang dalam tujuan kurikulum 2013”.
Dalam konteks berpikir, berpikir kritis menurut Ennis (1995)
merupakan kemampuan dalam merumuskan masalah, memberikan argumen,
53
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
mengemukakan pertanyaan dan memberikan jawaban, kemampuan siswa
memecahkan masalah dari sudut pandang yang berbeda, dan kemampuan
siswa mengambil keputusan.
Rifa'I dan sartika (2018) menarik kesimpulan sebagai berikut “Hasil
belajar matematis peserta didik yang memperoleh pembelajaran investigasi
kelompok lebih baik daripada hasil belajar matematis peserta didik yang
memperoleh pembelajaran konvensional”.
Sedangkan menurut Ummul (2015) menyimpulkan bahwa:
“peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapat penerapan
dengan model pembelajaran investigasi kelompok lebih baik dari siswa yang
mendapat pembelajaran konvensional”.
Di dalam model pembelajaran investigasi kelompok ini terdapat 3
materi utama, yaitu penyelidikan (inquiry), pengetahuan (knowledge), dan
dinamika belajar kelompok (the dynamics of the learning group).
(Winataputra, 2001).Diagram 1. kegiatan MPIK melalui tahapan kemampuan berpikir:
Langkah Pokok MPIKTahapan Kemampuan Berpikir Kritis
s
Keterangan : pada tahapan 3, 4, dan 5 siswa telah Mencari jawaban atas permasalahan yang diberikanberdasarkan tahapan berpikir.
54
3. Perumusan tugas belajar
4. mengambil keputusan
3. memecahkan masalah dari sudut pandang berbeda
1. merumuskan masalah dan memberikan argumen
2. mengemukakan pertanyaan dan memberikan jawaban
1. Situasi Bermasalah
6. Perulangan
5. Analisis kemajuan
4. Kegiatan belajar
2. Eksplorasi
Situasi Bermasalah
Eksplorasi
Perumusan Tugas Belajar
Kegiatan Belajar
Analisis Kemajuan
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Berdasarkan uraian tersebut perlu diterapkan model pembelajaran
investigasi kelompok (MPIK) di kelas VIII A SMP N 10 karena menekankan
pada kegiatan aktif siswa dan mengembangkan pemahaman melalui berbagai
kegiatan yang biasanya dimulai dengan soal-soal atau permasalahan-
permasalahan. Yenda (2015). Untuk itu melalui penerapan model
pembelajaran Investigasi Kelompok (MPIK) bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran IPA tingkat SMP.
METODE
Peserta didik dikelompokkan menjadi 6 kelompok dengan tingkat
kemampuan bervariasi (tinggi, sedang, dan rendah) yang berdasarkan pada
hasil tes awal. Setelah kelompok terbentuk, guru mengkondisikan kelas
sehingga masing-masing anggota kelompok bisa duduk berdekatan dan
memungkinkan untuk melakukan diskusi tentang materi yang dibahas melalui
tahapan model pembelajaran Investigasi Kelompok. Diagram 2. Model Pembelajaran Investigasi Kelompok(MPIK)
KEGIATANGURU
LANGKAHPOKOK
KEGIATANPESERTA DIDIK
1. Menyajikan situasi 1. 1. Mengamati Situasi BermasalahBermasalah
2. Membimbing Proses 2. - Melakukan eksplorasi
Ekplorasi - Menemukan situasi permasalahan
3. Memacu Diskusi 3. - Merumuskan apa yang Kelompok harus dilakukan
- Mengatur pembagian tugas
dalam kelompok
4. Memantau Kegiatan 4. - Belajar Individual atau
Belajar kelompok - Cari tugas yang
harus Dikerjakan5. Mengecek Kemajuan 5.
Mengecek proses dan hasil Belajar Kelompok penelitian kelompok
55
Perulangan
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
6. Mendorong Tindakan 6. Melakukan tindak lanjut
Pelaksanaan Kegiatan
Langkah-langkah yang dilakukan untuk melaksanakan tindakan pada
siklus I dan II adalah :
1) Melaksanakan KBM dengan MPIK pada materi Gerak Benda dan
Makhluk Hidup yaitu :
a. Tahap situasi bermasalah. Siswa dihadapkan pada situasi
bermasalah untuk menyelesaikan permasalahan yang mencakup
materi Gerak Lurus
b. Tahap eksplorasi. Siswa melakukan eksplorasi (dengan cara
menghimpun informasi/data dari berbagai sumber-sumber yang
relevan dengan situasi bermasalah) sebagai reaksi terhadap situasi
bermasalah. Pada tahapan ini, guru menjelaskan tahapan berpikir
yang dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan yaitu : 1)
merumuskan masalah dan memberikan argumen, (2) mengemukakan
pertanyaan dan memberikan jawaban, (3) memecahkan masalah dari
sudut pandang yang berbeda, dan (4) mengambil keputusan. Dalam
kegiatannya, guru membimbing siswa dalam proses eksplorasi.
c. Tahap perumusan tugas belajar. Siswa dalam kelompok
merumuskan tugas-tugas belajar dan mengorganisasikannya untuk
membangun suatu proses penyelidikan. Dalam tahapan ini, siswa
menyelesaikan permasalahan sesuai dengan tahapan berpikir.
d. Tahap kegiatan belajar. Dalam kegiatan investigasi kelompok ini,
guru memantau kegiatan siswa sesuai dengan pembagian tugas
masing-masing dan melihat kebersamaan dalam kelompok.
e. Tahap analisis kemajuan. Siswa menganalisis kemajuan dan proses
belajar yang dilakukan dalam proses kegiatan kelompok/individual.
f. Tahap perulangan. Guru memberikan penjelasan tentang
permasalahan yang belum diselesaikan oleh siswa, dan untuk siswa
yang telah dapat menyelesaikannya akan diberikan permasalahan
56
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
kembali agar siswa dapat berlatih dalam proses berpikir melalui
pemecahan masalah.
2) Dilakukan evaluasi belajar
Evaluasi hasil belajar dilakukan dengan memberikan tes tertulis
yang menuntun siswa untuk berpikir sesuai dengan materi yang mereka
pelajari dalam proses pembelajaran dengan MPIK.
Tabel.1. Tahapan berpikir kritis.
Materi Siklus/Sub Materi
Tahapan Berpikir Indikator
Gerak Benda dan Makhluk Hidup
I/ GERAK
LURUS
II/ GERAK
LURUS
I. Merumuskan masalah dan memberikan argument
Menterjemahkan masalah dengan menganalisis masalah- kunci permasalahan- Analisis masalah- Analisis gambar
II. Mengemukakan pertanyaan dan memberikan jawaban
Penyusunan rancangan penyelesaian- Penentuan variabel dalam SI- Penentuan persamaan yang
sesuai dengan situasi masalah- Memberikan solusi
permasalahanIII. Menghasilkan jawaban bervariasi/memecahkan masalah dari sudut pandang berbeda
Solusi Lain- Persamaan umum yang digunakan
- HasilIV. Mengambil keputusan Kesimpulan secara keseluruhan
Data diolah berdasarkan tahap-tahap dalam penyelesaian yang
dilakukan peserta didik. Jumlah skor tiap-tiap soal ditetapkan berdasarkan
kesepakatan dengan guru bidang studi yang disesuaikan dengan kesulitan soal.
a. Nilai Keterampilan Berpikir kritis setiap siswa diperoleh dengan rumus
:
Keterangan :
NP = nilai yang dicari atau diharapkanR = skor mentah yang diperoleh siswaSM = skor maksimum dari tes yang ditentukan100 = bilangan tetapPurwanto (2008).
Tabel 1. Kategori Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Per Individu Berdasarkan Perolehan Nilai.
No. Rentang Nilai Kategori1 N>80 Sangat Baik2 60<N≤80 Baik
57
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
3 40<N≤60 Cukup Baik4 20<N≤40 Kurang Baik5 N≤20 Sangat kurang
(Poerwanti, 2008).
b. Nilai persentase keterampilan berpikir kritis siswa secara klasikal
diperoleh dengan rumus :
Tabel 2. Kriteria Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Secara Klasikal dalam Satuan Persen (%)
≥80 Sangat Baik60 – 79 Baik40 – 59 Cukup Baik20 – 39 Kurang Baik≤20 Sangat kurang
(Poerwanti, 2008).
Lembar Observasi Guru dan Peserta didik
- Rata-rata skor =
jumlah skorjumlah observer
- Skor tertinggi = (Jumlah butir observer) x (Skor tertinggi tiap
butir)
- Kisaran nilai untuk tiap kriteria =
skor tertinggi keseluruhan¿ skor tertinggi tiap butir observasi ¿¿
¿
Tabel 3. Kriteria observasi guru dan siswaGuru SiswaJumlah butir obervasi = 13 Jumlah butir obervasi = 12Skor tertinggi = 3 Skor tertinggi = 3Skor tertinggi tiap butir = 39 Skor tertinggi tiap butir = 36Kisaran nilai untuk tiap kriteria = 13 Kisaran nilai untuk tiap kriteria = 12Kisaran untuk kriteria pengamatan : 1 – 13 (Kurang), 14 – 26 (Cukup), 15 – 39 (Baik)
Kisaran untuk kriteria pengamatan :1– 12 (Kurang), 13 – 24 (Cukup), 25 – 36 (Baik)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan rekan sejawat
guru IPA sebagai observer yaitu sebagai berikut:Tabel 4. Hasil observasi kegiatan guru pada pembelajaran.
Tahap Indikator Pengamat
58
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
I II IIIIntiTahap ISituasi Bermasalah
3. Guru menyajikan situasi bermasalah ke dalam bentuk LKS yang mengarahkan peserta didik dalam kegiatan investigasi kelompok
2 2 2
Tahap IIEksplorasi
4. Guru menjelaskan tahapan penyelesaian permasalahan dalam kegiatan IK
5. Guru membimbing peserta didik menemukan kunci permasalahan dalam kegiatan eksplorasi
2
2
1
1
3
2
Tahap IIIPerumusan tugas Belajar
6. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan jawaban permasalahan dan membimbing peserta didik dalam kegiatan investigasi kelompok
2 2 3
Tahap IVKegiatan Belajar
7. Guru memantau kegiatan kelompok dalam melakukan kegiatan investigasi kelompok
8. Guru membimbing peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memecahkan permasalahan
3
3
2
2
3
2
Tahap VAnalisis Kemajuan
9. Guru melakukkan evaluasi terhadap proses pencapaian hasil kegiatan investigasi
10. Guru meminta salah satu peserta didik untuk memberikan jawaban dari permasalahan yang diberikan
2
2
2
2
2
2
Tahap VIPerulangan
11. Guru melakukan perulangan kembali terhadap permasalahan yang sulit diselesaikan oleh peserta didik
12. Guru memberikan tes siklus yang berisi situasi bermasalah
3
3
2
2
2
2
Akhir13. Guru memberikan kesimpulan 2 2 2
Jumlah Skor 26 20 25Total Skor 71
Rata-rata skor 23,67Kategori Cukup
Hasil penilaian dari aktivitas guru pada pembelajaran diperoleh dengan
kategori cukup dengan rata-rata skor 23,67.
Tabel 5. Hasil observasi kegiatan peserta didik pada pembelajaran.
Tahap Indikator PenilaianI II III
AwalOrientasi peserta didik
1. Peserta didik mencari dan mengajukan permasalahan2. Peserta didik membentuk kelompok yang terdiri dari 4
orang yang heterogen
33
33
32
IntiTahap ISituasi Bermasalah
3. Masing-masing peserta didik memahami permasalahan yang diberikan
3 3 3
Tahap IIEksplorasi
4. Peserta didik menanyakan kesulitan dalam mencari penyelesaian suatu masalah kepada guru/teman
3 3 3
Tahap IIIPerumusan Tugas Belajar
5. Peserta didik aktif dalam kegiatan IK dengan bekerja sama menyelesaikan permasalahan yang ada
3 3 3
Tahap IVKegiatan Belajar
6. Peserta didik melakukan kegiatan belajar individual dan kelompok dalam melaksanakan penyelidikan
7. Peserta didik bekerjasama dan berdiskusi untuk memecahkan masalah
2
3
2
3
3
3
59
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
8. Peserta didik aktif mengkomunikasikan hasil jawabannya
3 3 3
Tahap VAnalisis Kemajuan
9. Peserta didik mengecek kembali proses dan hasil penyelesaian permasalahan
10. Peserta didik dapat menyimpulkan hasil investigasi
2
3
2
3
3
3
Tahap VIPerulangan
11. Peserta didik menyelesaikan permasalahan sesuai dengan tahapan-tahapan berpikir
3 3 3
Akhir12. Peserta didik mengetahui penyelesaian atas
permasalahan3 3 3
Jumlah skor 34 34 35Total Skor 103Rata-rata skor 34,33Kategori Baik
Pada hasil observasi terhadap siswa juga dikategorikan Baik dengan
rata-rata skor 34,33.
Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik
Tes dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis peserta
didik yang ditunjukkan oleh kemampuan peserta didik menyelesaikan
permasalahan sesuai tahapan berpikir. Tabel 6. Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis
NoNama
SIKLUS1 2
KD
1 Ad 83 952 Ag 65 753 As 70 854 Am 70 855 An 80 956 Ap 50 707 Fr 50 708 Fa 50 609 Ga 55 6010 Ha 56 7011 Hr 54 6512 Hs 58 8013 Hi 80 8514 Hl 70 8515 Ir 70 8016 Is 80 9217 Ju 82 9218 Mu 78 8819 Ma 70 8420 Mg 60 8321 Na 70 8622 No 66 8523 Ra 60 80
60
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
24 Rh 70 8525 Ry 45 7526 Ri 54 7527 Rp 62 7828 Si 56 7529 To 40 5030 Tr 55 5631 Vi 42 5532 Wi 60 68
Persentase kemampuan menyelesaikan permasalahan sesuai tahapan berpikir
kategori sangat baik berjumlah 8 orang dengan persentase 8% dari 32 peserta
didik, kategori baik berjumlah 16 orang dengan persentase 16%, kategori
cukup berjumlah 8 orang dengan persentase 8%.
NT NR rata-rata0
20
40
60
80
100
83
4062.84
rata-rataNilai terendahNilai tertinggi
Grafik 1. Skor Hasil siklus 1
Dari grafik di atas persentase tahapan berpikir rata-rata adalah 62,84%,
dengan nilai terendah 40. Dari grafik dapat diketahui, bahwa jika pada tahapan
I peserta didik belum menjawab secara lengkap dan tepat maka ini akan
berpengaruh pada tahapan berikutnya, sehingga dari diagram tersebut terdapat
penurunan pada tiap tahapan berpikir
NT NR rata-rata0
20
40
60
80
100
95
5677.09
rata-rata
Nilai terendah
Nilai tertinggi
Grafik 2. Skor Hasil siklus II
61
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Pada hasil siklus II melalui observasi siswa diketahui aktivitas siswa
dalam penyelesaian tahapan permasalahan menunjukkan hasil yang baik. Hal
ini juga terlihat pada hasil kemampuan berpikir kritis peserta didik
Untuk mengetahui kemampuan berpikir masing-masing peserta didik
melalui tahapan penyelesaian permasalahan, diadakan tes akhir (post test)
untuk masing-masing individu yang terdiri atas 3 permasalahan kembali.
Ruang lingkup permasalahan tersebut disesuaikan dengan tingkat kesulitan
taksonomi Bloom dan sesuai dengan kisi-kisi tes kemampuan berpikir.
I II III IV I II III IV I II III IV0
20
40
60
80
100 90 8794
8493
95.33
81.40 75.23
47.76
61
41.6750.67
I
II
III
IV
Permasalahan1 Permasalahan2 Permasalahan3
Nila
i (%
)
Grafik 3. Tahapan Berpikir Siswa Post Test (N =32)
Dari grafik diatas, untuk post test seluruh materi Gerak Benda dan Makhluk
Hidup, diketahui bahwa peserta didik telah mampu menyelesaikan setiap
tahapan penyelesaian permasalahan. Ini ditunjukkan dengan 90,47% mampu
menyelesaikan pada tahapan merumuskan masalah dan memberikan argumen,
88,73 % pada tahapan mengemukakan pertanyaan dan memberikan jawaban.
Pada tahapan memberikan jawaban bervariasi dari sudut pandang berbeda
capaian baru 68% ini dikarenakan peserta didik dalam menganalisa jawaban
yang bervariasi hampir sebagian peserta didik memiliki keseragaman analisa
jawaban dan pada tahapan mengambil kesimpulan juga hanya mencapai
50,98% dalam hal ini siswa belum terarah dalam membuat kesimpulan
jawaban berupa analisa keseluruhan jawaban. Untuk itu dalam penelitian ini
pada tahapan ketiga dan keempat masih perlu diarahkan kembali ke siswa
sehingga setiap tahapan berpikir kritis akan tercapai.
62
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut : Pembelajaran IPA dengan MPIK pada materi
Gerak Benda dan Makhluk Hidup berpengaruh terhadap cara belajar siswa
yang menunjukkan keaktifan peserta didik dalam pembelajaran sehingga dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan menggunakan
tahapan-tahapan berpikir dalam menyelesaikan permasalahan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka disarankan :
peserta didik sebaiknya sering melatih mengerjakan atau menyelesaikan soal-
soal essay kaya konteks sehingga kemampuan berpikir peserta didik dapat
terlatih dengan baik. Bagi guru diharapkan sering memberikan latihan soal
dengan menerapkan langkah-langkah pemecahan masalah.
63
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
DAFTAR PUSTAKA
Ennis, R. 1995. Critical Thinking. New Jersey: Prentice Hall.
Firiah, Ummul. 2015. Penerapan Model Pembelajaran Investigasi Kelompok Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP Negeri 10 Banda Aceh. Etd.unsyiah.ac.id/index.php/p=show_detail&id=13923. Di akses 30 Maret 2019.
Poerwanti,Endang,dkk.2008. Assesmen Pembelajaran SD. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Purwanto, Ngalim. 2008. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Rosdakarya.
Putri,Bella Yenda. 2012. Model Pembelajaran Investigasi Kelompok dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa dalam Pembelajaran Matematika. https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/prisma/article/download/21425/10165/. Diakses 29 maret 2019
Rusdian, Rifa'I dan Sartika, Nenden.2008. Penerapan Pembelajaran Investigasi Kelompok terhadap Hasil Belajar Matematis Peserta didik Sekolah Menengah Pertama. https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/analisa/article/view/1960 . diakses 29 maret 2019
Sari, Muliana, dkk. 2016. Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VIII-di SMP Negeri 1 Gambut. jurnal.fkip.uns.ac.id/index php/snmpm/article/view/10831. Diakses 30 Maret 2019.
Winataputra, Udin, S. 2001. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jakarta Pusat: Direktorat Jenderal PendidikanTinggi Depdiknas.
64
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DENGAN TEKNIK GNT TERHADAP HASIL BELAJAR PADA KONSEP ORGANISASI KEHIDUPAN
KELAS VII SMP
Eka SusitaSMPN 04 Mukomuko
abstractThis study was intended to analyse the impact of cooperative learning model of STAD with technique on student’s the learning achievement of biological organization concept at class VII in SMPN 04 Mukomuko. The metode used was quasi experiment research using two group pretest – posttest design. The population was the students at class VII in SMPN 04 Mukomuko. The sample was taken by using simple random sampling technique in which the sample taken VII c as an experiment class ( which used GNT technique of STAD cooperative learning model), and VII b as the controlling class (which used cooperative learning STAD model). The instrument was about achievement test formed 20 multiple choice question. The data analysed in this study was t-test, and based on the calculation ot t-test showed t-count 3.87 and t-table 1.67 at the significance level of 5%. Which means t-count > t-table ( 3.87 > 1.67). The result showed that can be there was an impact of cooperative learning STAD model with technique on students’ the learning achievement on the biological organization concept at class VII in SMPN 04 Mukomuko.
Keyword: STAD, Cooperative learning model, GNT technique, learning achievement
PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab 1 Pasal 1 (2003:2) mengatakan bahwa “ Pendidikan merupakan
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar siswa secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dalam
masyarakat”. Melalui pembelajaran pendidik dapat memberikan ilmu dan
pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta sikap dan kepercayaan
pada siswa. Setiap proses apapun bentuknya, memiliki tujuan yang sama,
yaitu mencapai hasil yang memuaskan. Begitu pula proses pembelajaran yang
diselenggarakan dengan tujuan agar siswa mencapai hasil yang memuaskan
terhadap materi yang diajarkan. Oleh karena itu , berbagai upaya perlu
65
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
dilakukan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang
diajarkan.
Pujiati (2008) berpendapat bahwa banyak siswa yang belum mencapai
KKM 75, karena masalah-masalah seperti masalah belajar siswa di kelas,
desain dan strategi pembelajaran di kelas, media ajar, sumber belajar, sistem
penilaian, proses evaluasi, atau metode dan model pembelajaran yang kurang
tepat. Sehingga setiap sekolah menetapkan batas ketuntasan belajar yang
bervariasi, bahkan kurang dari 75 % batas yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Masalah ketuntasan dalam belajar merupakan masalah penting
bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar IPA. Menurut Pratowo (2011)
masalah lain yang ada dalam pembelajaran IPA adalah kebanyakan guru
dalam mengelola pembelajarannya secara konvensional, proses pembelajaran
seperti ini dapat menimbulkan kejenuhan, kurangnya sikap antusias siswa,
dan dapat pula menyebabkan kurangnya pemahaman siswa terhadap materi
yang diajarkan. Untuk itu guru perlu melakukan perubahan paradigma dalam
menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru, khususnya
pada proses pembelajaran IPA. Langkah yang dapat dilakukan untuk menarik
minat belajar siswa adalah seorang guru harus mampu mengembangkan
berbagai metode atau model pembelajaran yang dapat meningkatkan
konsentrasi siswa salah satunya adalah dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD).
Slavin (2013) menyatakan bahwa STAD merupakan model
pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok – kelompok
kecil, yang anggota-anggotanya memiliki tingkat kemampuan yang berbeda.
Model STAD dapat ditunjang dengan media pembelajaran seperti LKS,
handout, dan modul . Kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe
STAD ini, agar siswa berlatih berfikir , berani bertanya, dan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan diri serta diharapkan
mampu memecahkan masalah sendiri. Pembelajaran kooperatif tipe STAD
membutuhkan dukungan pengalaman siswa baik berupa pengetahuan awal
maupun kemampuan bertanya jawab. Oleh karena itu diperlukan teknik yang
tepat untuk mendukung Proses Pembelajaran, salah satu teknik yang dapat
66
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
digunakan adalah teknik Guided Note Taking (GNT). Sulistyoningrum,
Santoso dan Arianto (2012) dari hasil penelitiannya tentang pengaruh Strategi
pembelajaran GNT dengan mengoptimalakan alat peraga dapat disimpulkan
sebagai berikut: Strategi pembelajaran GNT dengan mengoptimalkan alat
peraga berpengaruh nyata terhadap hasil belajar Biologi siswa ranah kognitif,
afektik, dan psikomorik.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tehnik GNT
terhadap hasil belajar pada konsep organisasi kehidupan kelas VII SMPN 04
Mukomuko. Dari hasil penelitian Williams dan Eggert (2002) menunjukkan
bahwa penggunaan teknik GNT adalah salah satu teknik yang bermanfaat
dalam proses pembelajaran. Mencatat penjelasan guri sambil mendengarkan
ceramah membantu memperkuat penerimaan informasi dalam memori.
Dalam hal ini siswa telah banyak banyak melakukan kegiatan belajar yaitu
mendengarkan, menghafal dan memahami sambil mengambil catatan.
Murpy dan Cross (2002) menyebutkan bahwa siswa dengan catatan
terbimbing mendapatkan nilai akhir tinggi dari pada siswa tanpa catatan.
Jahidin (2010) dengan penelitiannya yang berjudul pengaruh startegi
pembelajaran terhadap penguasaan konsep biologi menyimpulkan bahwa
strategi kooperatif tipe STAD lebih efektif meningkatkan pengusaan konsep
biologi dibanding strategi konvensional.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat
pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan
teknik GNT terhadap hasil belajar Siswa pada konsep organisasi kehidupan
kelas VII SMPN 04 Mukomuko ?
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan teknik GNT terhadap hasil
belajar siswa SMPN 04 Mukomuko kelas VII pada konsep Organisasi
Kehidupan.
METODE
67
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi
eksperimen atau eksperimen semu, yakni metode penelitian yang dilakukan
dengan pengontrolan sesuai dengan kondisi yang ada (Arikunto, 2010).
Desain penelitian yang digunakan adalah two group pretest-posttest design,
yaitu desain yang dilakukan terhadap dua kelas subjek. Desain ini
menggunakan dua kelas, dimana kelas eksperimen menggunakan model
kooperatif tipe STAD dengan teknik GNT dan kelas kontrol menggunakan
model kooperatif tipe STAD saja. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas
VII SMPN 04 Mukomuko. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan
data yaitu tes hasil belajar yang berupa tes objektif yang berbentuk pilihan
ganda. Materi tes yang diberikan adalah tentang konsep organisasi kehidupan.
Tes tersebut disusun berdasarkan ranah kognitif taksonomi Bloom, pada
jenjang C1 (mengingat), C2 (memahami), C3 (menerapkan), dan C4
( menganalisis).Tes ini berjumlah 20 butir soal yang dilakukan dua kali
terhadap siswa.Tes pertama diberikan kepada siswa sebelum dilakukan
pembelajaran (pretest) dan tes kedua diberikan kepada siswa setelah
dilakukan pembelajaran (posttest). Serta sebagai data pendukung
menggunakan lembar observasi guru dan siswa selama pembelajaran
berlangsung.
DATA DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Belajar
Temuan penelitian untuk hasil belajar pretest dan hasil posttest pada
kelas eksperimen dan kelas kontrol tersaji pada distribusi frekuensi sebagai
berikut:Tabel 1
Statistik Deskriptif Hasil PenelitianStatistik Hasil Belajar Kelas
EksperimenHasil Belajar Kelas Kontrol
Pretest Postest Pretes Posttest
Nilai terendah 15 60 15 50
Nilai Tertinggi 55 90 55 85
Mean 41,5 78,93 35,63 72,3
Varians 130,720 54,46 89,648 34,510
Jumlah Sample 31 31 30 30
68
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Berdasarkan hasil perhitungan pretest terlihat bahwa pada kelas
eksperimen, nilai yang paling banyak banyak diperoleh siswa berada pada
interval 36-42 yaitu sebanyak 8 siswa artinya dari 31 siswa yang paling
banyak adalah mendapatkan nilai pada interval 36-42 atau sebesar 25,80 %.
Sedangkan perhitungan pada kelas kontrol, nilai yang paling banyak
diperoleh terletak pada interval 36-42 yaitu sebanyak 8 siswa atau sebesar
26,67 %. Berdasarkan perbandingan data hasil belajar possttest siswa pada
tabel 4.1, hasil belajar kelas eksperimen yang diberi teknik GNT pada
pembelajaran kooperatif STAD lebih tinggi dari pada hasil belajar kelas
kontrol yang hanya diberi model pembelajaran kooperatif tipe STAD saja.
Hal ini tersebut dapat dilihat dari rata-rata kelas eksperimen sebesar 75,50
dengan rentang nilai 60-90. Sedangkan rata-rata kelas kontrol hanya 70,00
dengan rentang nilai 50-85 dengan jumlah sample untuk kelas eksperimen 31
siswa dan kelas kontrol 30 siswa.
2. Data Peningkatan Hasil Belajar ( N-Gain)
Menghitung skor Gain yang dinormalisasi berdasarkan rumus menurut
Archambaul (2008) yaitu:
N-Gain ¿skor postest−skor pretest
skor maks−skor pretes x 100
Hasil skor Gain Ternormalisasi dibagi dalam tiga kategori yaitu:Tabel 2
Kreteria Gain Ternormalisasi
Persentase Klasifikasi
N-Gain > 70 Tinggi
30 ≤ N-Gain ≤ 70 Sedang
N-Gain < 30 rendah
(Sumber: Archambaul, 2008)
Pada penelitian ini diperoleh peningkatan hasil belajar siswa (N-Gain)
seperti tertera pada table dibawah ini:Tabel 3
Persentase Peningkatan Hasil Belajar N-GainKategori Frekuensi Persentase %
Eksperimen KontrolTinggi 40 30Sedang 60 70
69
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Rata-rata 0,71( Tinggi) 0,6 ( Sedang)
Responden kelas eksperimen sebanyak 31 siswa, data rata-rata N-Gain
hasil belajar yang diperoleh adalah menunjukkan bahwa nilai rata-rata N-
Gain siswa kelas eksperimen adalah 0,71 dengan kategori tinggi . Sedangkan
pada kelas kontrol dengan responden sebanyak 30 orang, dan rata-rata N-
Gain hasil belajar yang diperoleh adalah 0,6 menunjukkan rata-rata N-Gain
kelas kontrol dengan sedang .
Berdasarkan persentase tabel 3, siswa kelas eksperimen yang
termasuk dalam kreteria tinggi sebanyak 13 siswa, 18 siswa berada pada
kreteria sedang dan tidak ada yang berkreteria rendah, maka dapat dikatakan
bahwa peningkatan hasil belajar siswa kelas eksperimen pada konsep
Organisasi Kehidupan termasuk tinggi. Pada kelas kontrol terdapat 7 siswa
yang termasuk kreteria tinggi, 23 siswa kreteria sedang, dan tidak ada juga
yang kreteria rendah, maka dapat dikatakan bahwa peningkatan hasil belajar
siswa kelas kontrol pada konsep Organisasi Kehidupan termasuk sedang.
3. Hasil Pengujian Prasyarat Analisis dan Pengujian Hipotesis
Hasil pengujian prasyarat analisis menggunakan uji normalitas dan uji
homogenitas.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas data ini dilakukan untuk mengetahui apakah sample
yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Setelah data nilai pretest
terkumpul, maka dapat dilakukan uji prasyarat analisis data yaitu uji
normalitas menggunakan rumus liliefors dan diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4
Hasil Uji Normalitas Pretest
αEksperimen Kontrol Keterangan
L hitung(Lo)
L table( Lt)
L hitung(Lo)
L tabel( Lt)
Sample terdistribusi
normal0,05 0,194 0,155 0,102 0,158
Dari hasil penghitungan uji normalitas data pretest terlihat pada tabel
4 untuk normalitas pretest kelas eksperimen diperoleh nilai L hitung < L
tabel maka sampel pada kelas eksperimen berdistribusi normal. Untuk
normalitas kelas kontrol diperoleh nilai Lhitung < L tabel maka sampel pada
70
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
kelas kontrol berdistribusi normal. Sedangkan hasil penghitungan uji
normalitas data posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5Hasil Uji Normalitas Posttest
αEksperimen Kontrol Keterangan
L hitung(Lo)
L tabel( Lt)
L hitung(Lo)
L tabel( Lt)
Sample terdistribusi
normal0,05 0,1357 0,155 0,1314 0,158
Dari hasil penghitungan uji normalitas data posttest terlihat pada tabel
4 untuk normalitas posttes kelas eksperimen diperoleh nilai L hitung < L
tabel maka sample pada kelas eksperimen berdistribusi normal. Untuk
normalitas kelas kontrol diperoleh nilai Lhitung < Ltabel maka sampel pada
kelas kontrol berdistribusi normal.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah kedua
kelompok sample berasal dari populasi yang homogen atau tidak . Uji
homogenitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Fisher, dengan
kreteria pengujian yaitu apabila F hitung < F Tabel diukur pada taraf
signifikan 0,05 , kedua kelompok dikatakan homogen. Jika F hitung > F tabel
maka kedua kelompok tidak homogen. Beradasarkan pengujian homogenitas
belajar pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh hasil sebagai
berikut:Tabel 6
Hasil Uji homogenitas pretest
`Varians Taraf signifikan
F hitung
F tabel Keterangan
Eksperimen Kontrol130,720 89,648 0,05 1,458 1,85 Data homogen
Dari hasil penghitungan, F hitung < F tabel (1,458 < 1,85 ) maka Ho
diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada saat dilakukan pretes kedua
kelompok berasal dari populasi yang homogen. Berdasarkan kesimpulan ini
dapat dikatakan sampel yang diambil pada kedua kelas adalah merupakan
71
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
sampel yang memiliki kemapuan yang sama. Selanjutnya berdasarkan hasil
penghitungan uji homogenitas data pada kedua kelas untuk nilai posttest
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 7
Hasil Uji homogenitas posttest
`Varians Taraf
signifikan
F
hitung
F tabel Keterangan
Eksperimen Kontrol
54,46 34,510 0,05 1,578 1,85 Data homogen
Dari hasil penghitungan, F hitung < F tabel (1,578 < 1,85 ) maka Ho
diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada saat dilakukan posttest
kedua kelompok berasal dari populasi yang homogen. Artinaya, tidak
terdapat perbedaan latar belakang maupun kemampuan dari sampel yang
mempengaruhi hasil penelitian.
c. Uji Hipotesis Penelitian
Uji Pretest yang dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk mengetahui
kemampuan awal yang sama antara kelas eksperimen dan kelas Kontrol.
Hasil penghitungan Uji-t pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat
dilihat pada tabel berikut:Tabel 8
Hasil uji –t pretestT hitung T tabel kesimpulan
1,19 1,67 Tolak Ha dan terima Ho
Berdasarkan penghitungan didapat t hitung < t tabel sehingga t hitung
didalam daerah penerimaan Ho atau dapat dikatakan Ho diterima. Artinya
nilai rata-rata pretest kedua kelas sama. Dengan mengasumsikan nilai pretest
konsep organisasi kehidupan sebagai kemampuan awal , maka kedua kelas
dikatakan memeliki kemampuan awal yang sama. Pengujian Ho yang
menyatakan bahwa tidak ada pengaruh hasil belajar biologi siswa yang diajar
72
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
dengan teknik GNT pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan
hasil belajar siswa yang hanya diberi model pembelajaran kooperatif tipe
STAD saja digunakan uji –t posttest. Dengan kreteria pengujian yaitu, jika t
hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak, sedangkan jika t hitung > t
tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil penghitungan uji –t kelas
eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel berikut:Tabel 4.8
Hasil Uji-t PosttestT hitung T tabel kesimpulan
3,87 1,67 Tolak Ho dan terima Ha
Berdasarkan penghitungan didapat t hitung > t tabel. Sehingga t
hitung diluar daerah penerimaan Ho atau dapat dikatakan Ho ditolak.
Artinya , terdapat pengaruh hasil belajar siswa yang dengan teknik GNT
pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan hasil belajar siswa
yang hanya diberi model pembelajaran kooperatif tipe STAD saja.
Dari hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan didapat hasil
bahwa thitung > ttabel dan dapat dikatakan Ho ditolak. Artinya, hipotesis
alternatif ( Ha) diterima, yang menyatakan terdapat pengaruh hasil belajar
siswa yang dengan teknik GNT pada model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dengan hasil belajar siswa yang hanya diberi model pembelajaran
kooperatif tipe STAD saja pada taraf signifikan 5 %. Hal ini didukung dengan
penelitian pratisara ( 2011) yang menyatakan bahwa Guided Note Taking
meningkatkan hasil belajar siswa ranah kognitif. Slameto (1995 ) menyatakan
bahwa hasil belajar merupakan akibat dari proses belajar, dimanapun siswa
berada mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk belajar dan
memahami sesuatu. Karena itu berlajar berlangsung terus-menerus
berdasarkan pengalaman, pergaulan, dan komunikasi dengan orang lain.
Adanya perbedaan hasil belajar pada kedua kelas tersebut disebabkan
perbedaan perlakuan pada saat proses pembelajaran yang dilakukan, proses
pembelajaran pada kelas kontrol hanya menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dimana siswa hanya diberikan materi dengan ceramah
tanpa melibatkan siswa secara aktif. Sementara proses pembelajaran pada
73
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
kelas eksperimen menggunakan teknik GNT pada model pembelajaran tipe
STAD, yaitu pembelajaran yang mampu meningkatkan aktivitas siswa secara
keseluruhan dan siswa terlihat sangat aktif mendengar penjelasan guru sambil
membuat catatan poin –poin penting materi pelajaran melalui pengisian hand-
out yang diberikan kepada siswa. Zaini, Munthe dan Aryuni ( sebagaimana
dikutip dalam Musrifah, 2013) mendefinisikan teknik GNT merupakan teknik
pembelajaran dimana seorang guru menyiapkan bagan atau skema atau lain
yang dapat membantu perseta didik dalam membuat catatan ketika guru
menerangkan. GNT atau catatan terbimbing dirancang supaya metode
ceramah yang digunakan oleh guru mendapat perhatian siswa.
SIMPULAN
Pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievment Division
(STAD ) dengan tipe Guided Note Taking ( GNT) berpengaruh secara
signifikan terhadap hasil belajar siswa pada Konsep Organisasi Kehidupan
kelas VII SMPN 04 Mukomuko. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata hasil
belajar siswa yang diajarkan dengan teknik GNT lebih tinggi dibanding
dengan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan tipe STAD saja dengan
hasil penghitungan t hitung = 3,87 > ttabel = 1,67 . Hasil belajar kedua kelas
berbeda signifikan.
SARAN
Pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan teknik GNT yang bisa
meningkatkan hasil belajar sebaiknya dilakukan dengan langkah – langkah
sebagai berikut: 1) Dalam menggunakan model kooperatif tipe STAD dengan
teknik GNT ,guru harus senatiasa memberikan bimbingan dan arahan kepada
siswa agar catatan yang dihasilkan dari handout sesuai dengan apa yang
menjadi rangkuman dalam pembelajaran, 2) Pemilihan kelompok kooperatif
STAD harus benar-benar homogen, 3) Pembelajaran kooperatif tipe STAD
dengan teknik GNT dapat dijadikan alternatif serta variasi dalam teknik
pembelajaran.
74
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
DAFTAR PUSTAKA
Archambault, J. 2008.The Effekof Developing Kinematics Concepts Graphically Prior to Introducing Algebraic Problem Solving Techiques. Action Research Required For The Master Of NaturalScience Degree With Concentration in Physics Arizona State University. Jurnal EduBio Tropika, 3 (2) : 51-97, Oktober 2015
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dyah Erlina Sulistianingrum, Slamet Santoso, dan Joko Arianto. (2012). Pengaruh Strategi GNT Dengan Mengoptimalkan Penggunaan Alat Peraga.Jurnal Pendidikan Biologi
Irma Pujiati. (2008). Peningkatan Motivasi dan ketuntasan Belajar Matematika Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD.Jurnah Ilmiah kependidikan, 1.2008.70.
Jahidin.(2010). Pengaruh Strategi Pembelajaran Terhadap Penguasaan Konsep Biologi.Jurnal Evaluasi Pendidikan
Murphy, T. M, and Cross. ( 2002 ). Should Student get the instructor’s lecture notes. Journal of Bilogical Education, Vol 5, No. 36, 72-75
Musrifah. (2013). Pengaruh Teknik GNT Pada Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VII Pada Konsep Organisasi Kehidupan. Jakarta: Tugas Akhir Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pratisara, A. ( 2011 ). Strategi Guided Note Taking berbantuan Media Cakram Padat (cp) Pembelajaran pada Materi Sistem Regulasi Manusia di SMA Institut Indonesia Semarang.Skripsi S1. Semarang: Pendidikan Biologi UNNES.
75
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Pratowo,A. (2011). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Diva Press
Slameto. ( 2003 ). Belajar dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Asdi Mahasatya
Slavin, Robert E.( 2013). Cooperatif Learning Teori Riset dan Praktik. Bandung.
Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tenatang sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: 2003.
Williams, R.L. dan Eggert, A. (2002 ). Notetaking Predictors of test performance.Teaching of Psychology.
76
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
PENERAPAN MODEL PBM BERBANTUAN ALAT PERAGA BUPE UNTUK MENINGKATKAN
AKTIVITAS DAN HASIL PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS IV SDN 01 KOTA BENGKULU
Desi AndrianiSD Negeri 01 Kota Bengkulu
abstract
This study was to describe the application of the problem-based learning model (PBM) assisted by BUPE teaching aids to improve the activities and learning outcomes of Mathematics in class IV B at SDN 1 Bengkulu Municipality. Against the backdrop of the lack of teaching aids that are less interesting and the low activity and results of learning mathematics, student learning outcomes were still under the minimal criteria score, to overcome the problems above are needed teaching aids learning mathematics that was able to present concrete visualization of abstract concepts. Therefore the researchers applied BUPE teaching aids in combination with a problem based learning model. The research methodology used CAR, with 36 subjects. Data collection techniques were observation, documentation and testing. The results of the study proved that the average learning activity in cycle 1 an average score of 54 this was classified as lacking and in the second cycle a score of 79 was considered sufficient. The average pre and post test results increased, namely pre test 60 to 79 cycles 1 and 85 in cycles 2, mastery learning from 64% to 86.1% cycle 1 and in cycle 2 to 90%. The conclusion of this study was the increase in activity and the results of mathematics learning for fourth grade students of SDN 1 Bengkulu Municipality.
Keywords: PBM Model, BUPE, activities, learning outcomes.
PENDAHULUANPembelajaran di harapkan dapat mengubah perilaku siswa dari yang
belum tahu menjadi tahu, dari yang belum baik menjadi baik. Begitu pula
yang dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran matematika di sekolah
77
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
dasar. Keberhasilan siswa dalam pembelajaran dapat di lihat dari hasil
evaluasi yang dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Untuk melihat bagaimana taraf keberhasilan guru dalam pembelajaran siswa
secara tepat dan dapat dipercaya, kita memerlukan informasi yang didukung
oleh data yang objektif dan memadai tentang indikator–indikator perubahan
perilaku dan pribadi para siswa. Peran guru menjadi fungsi keberhasilan
dalam misi pendidikan dan pembelajaran di sekolah, selain bertanggung
jawab untuk mengatur, mengarahkan, dan menciptakan suasana kondusif
yang mendorong siswa untuk melaksanakan pembelajaran.
Keberhasilan pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru di mulai
dari perencanaan pembelajaran yang baik. Memilih model dan alat peraga
yang tepat dalam pembelajaran matematika akan menarik minat siswa untuk
lebih memahami materi yang di ajarkan siswa.
Guru merupakan orang yang sangat berperan dalam penyelenggaraan
pembelajaran di kelas. Agar pembelajaran berhasil, guru harus aktif di
antaranya dalam hal mendorong siswa untuk aktif belajar dan memberikan
pengalaman belajar yang memadai kepada siswa, keterlibatan siswa dalam
pembelajaran mampu memberikan kesempatan yang luas pada siswa untuk
terlibat dalam proses pemecahan masalah di dalam lingkungan belajar
sebagaimana realita yang ada. Terutama pembelajaran matematika sangat di
butuhkan oleh siswa dalam pemecahan masalah sehari-hari yang berkaitan
dengan realita di kehidupanya
Sebagian besar materi matematika memerlukan penanaman konsep
awal yang mendalam agar siswa dapat lebih memahami materi-materi
berikutnya yang lebih lengkap. Kurangnya penanaman konsep awal tentang
pecahan akan menyebabkan siswa mengalami kesulitan-kesulitan dalam
penyelesaian soal-soal yang berhubungan dengan materi pecahan (Sutrisno,
2008:2).
Dalam memahami materi pembelajaran matematika seorang guru
harus memahami aktivitas belajar siswa yang baik agar pembelajaran dapat
terlaksana dengan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang di inginkan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aktivitas artinya adalah
78
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
“kegiatan/keaktifan”. W.J.S. Poewadarminto (2002) menjelaskan aktivitas
sebagai suatu kegiatan atau kesibukan. Belajar menurut Dimyati dan
Mudjiono (1999:7) merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks.
Selanjutnya Sardiman (1994:24) menyatakan: “Belajar sebagai suatu proses
interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya yang mungkin berwujud
pribadi, fakta, konsep ataupun teori”. Dengan demikian aktivitas belajar
adalah segala kegiatan yang dilakukan dalam proses interaksi (antara guru
dan siswa) untuk mencapai tujuan pembelajaran. Aktivitas yang
dimaksudkan adalah pada siswa, sebab dengan adanya aktivitas siswa dalam
pembelajaran akan berdampak terciptanya situasi belajar aktif.
Belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman
atau pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku
(Hudoyo, 1979:107). Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam tingkah
laku manusia. Proses tersebut tidak akan terjadi apabila tidak ada suatu yang
mendorong pribadi yang bersangkutan. Hasil belajar merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran, karena pembelajaran merupakan
proses, sedangkan hasil belajar merupakan hasil dari pembelajaran. Untuk itu
para ahli mengemukakan pendapatnya yang berbeda-beda sesuai dengan
pandangan yang mereka anut. Hasil belajar adalah hasil pengukuran dari
penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun
kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada
periode tertentu.
Belajar matematika merupakan suatu bentuk pembelajaran
menggunakan bahasa simbol dan membutuhkan penalaran serta pemikiran
yang logik dalam pembuktiannya. Dalam belajar matematika pengalaman
belajar yang lalu memegang peranan untuk memahami konsep-konsep baru.
Materi pembelajaran yang di ambil oleh peneliti adalah materi Pecahan.
Menurut Nuharini ( 2016:17) Pecahan adalah pembagian dua bilangan bulat
dengan bilangan yang dibagi disebut pembilang dan bilangan pembagi
disebut penyebut.
.Aktivitas siswa yang baik akan menhasilkan pembelajaran yang
sesuai dengan tujuan hal ini juga di pengaruhi oleh model pembelajaran yang
79
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
di pilih oleh guru. Satu diantara banyak model pembelajaran, model
pembelajaran berbasis masalah menjadi pertimbangan peneliti untuk
mencobanya.
Menurut Husnidar (2014:73) menghendaki agar siswa aktif untuk
memecahkan masalah yang sedang dihadapinya. Agar siswa aktif diperlukan
desain bahan ajar yang sesuai dengan mempertimbangkan pengetahuan siswa
serta guru dapat memberikan bantuan atau intervensi berupa petunjuk
(scaffolding) yang mengarahkan siswa untuk menemukan solusinya.
Menurut Faturrohman ( 2006:5) menarik kesimpulan :“pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan adanya permasalahan. Masalah yang dijadikan pembelajaran dapat muncul dari mahasiswa atau dosen. Sehingga mahasiswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dijadikan pembelajaran”
Pembelajaran yang di dasarkan pada banyaknya permasalahan yang
membutuhkan penyelidikan autentik yaitu penyelesaian nya ta dari
permasalahan nyata (Trianto 2011:67) menurut Trianto pembelajaran berbasis
masalah ada 5 sintak yang harus di perhatikan yaitu fase 1. Orientasi siswa
kepada masalah. Fase 2. Mengorganisasikan siswa, fase 3. Membimbing
penyelidikan individu dan kelompok, Fase 4. Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya, Fase 5. Menganalisa dan mengevalusi proses
pemecahan masalah.
Model pembelajaran berbasis masalah di padukan dengan sebuah alat
peraga yang di beri nama BUPE. Alat peraga bunga pecahan ( BUPE )
merupakan alat peraga berbentuk bunga yang jumlah kelompaknya
disesuaikan dengan jumlah pecahan dan terbuat dari kain flannel dan karton
padi.
Gambar 1. Media BUPE
Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa dalam penyajian
materi pelajaran guru masih menggunakan media yang kurang menarik. Nilai
yang diperoleh siswa dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk
nilai KKM mata pelajaran matematika pada tahun pelajaran 2018/2019 yaitu
80
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
70 sedangkan diperoleh nilai KKM mata pelajaran matematika hanya 60. Satu
cara menyelesaikan permasalahan di atas penulis mengadakan Penilaian
Tindakan Kelas (PTK) dengan judul Penerapan Model PBM berbantuan alat
peraga BUPE untuk meningkatkan aktivitas dan hasil pembelajaran
matematika di Kelas IV B SDN 1 Kota Bengkulu.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Apakah ada peningkatan aktivitas dan hasil pembelajaran dengan
menggunakan BUPE pada pembelajaran Matematika di Kelas IV B Sekolah
Dasar Negeri 1 Kota Bengkulu ?
Manfaat dari penelitian ini adalah meningkatnya aktivitas dan hasil
pembelajaran matematika di kelas IV B SDN 1 Kota Bengkulu yang
berakibat meningkatnya pemahaman siswa terhadap materi matematika
khususnya meteri tentang pecahan di Kelas IV B SDN 1 Kota Bengkulu.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Adapun pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini gabungan antara Kualitatif dan
kuantitatif. Desain Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan kelas yang terdiri
atas 2 siklus. Penelitian ini menggunakan model Kemmis dan Mc.Taggart
(Arikunto, 2014:137) yaitu: 1) perencanaan; 2) pelaksanaan ; 3) observasi dan
4) refleksi. Waktu pelaksanaan penelitian bulan Agustus 2018 di Kelas 4 B
SD Negeri 1 Kota Bengkulu dengan jumlah siswa 36 orang siswa yang terdiri
atas 17 siswa laki-laki dan 19 siswa perempuan.Tabel 1. Metode dan Instrumen penelitian
NO
Jenis data Metode Instrumen Pelaksanaan
1 Aktivitas belajar
Observasi Lembar observasi
Pembelajaran berlangsung
2 Hasil belajar Tes Tes Akhir pembelajaran
Berdasarkan tabel 1 di atas untuk mengukur penilaian konsep
berdasarkan hasil belajar siswa yang diberikan berupa tes di akhir pembelajar
hal ini dianalisis menggunakan kriteria ketuntasan minimal (KKM) SDN 1
Kota Bengkulu yaitu 70, dan aktivitas belajar menggunakan lembar observasi
81
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
yang di analisis secara deskriptif untuk melihat aktivitas belajar siswa dengan
skor sangat baik jika skor 90 sampai 100, kriteria baik jika skor 80 sampai 89,
kriteria cukup jika skor 70 sampai 79 dan kriteria kurang jika skor 0 sampai
69. Aktivitas berhasil jika minimal kriteria aktivitas siswa terkatogori cukup.
Peningkatan pemahaman konsep dari penelitian tindakan kelas di
hentikan jika ketuntasan belajar minimal 75% dari jumlah siswa diatas KKM
70 dan tingkat aktivitas belajar siswa rata-rata minimal 70.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertemuan pertama peneliti memberikan soal pre tes dengan waktu 1
x 35 menit. Siswa mengerjakan soal dengan baik dalam waktu 30 menit yang
dilaksanakan pada hari Rabu, 8 Agustus 2018 yang sebelumnya sudah di
laksanakan pembelajaran yang belum menggunakan media pembelajaran
dengan KKM 70.
Penulis bersama observer menentukan indikator materi tentang bentuk
bentuk pecahan dan menyiapkan rencana pembelajaran, lembar observasi dan
soal tes.
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis
masalah melalui tahapan yaitu :
Fase 1 Orientasi siswa kepada masalah: Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran, menjelaskan alat dan bahan yang digunakan kan untuk
pembelajaran dan siswa terlibat aktif dalam pemecahan masalah.
Fase 2 Mengorganisasikan siswa: Siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah
pecahan, siswa dibentuk menjadi 6 kelompok yang setiap kelompok terdiri
atas 6 orang siswa.
Fase 3 Membimbing penyelidikan individu dan kelompok: Siswa untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah pecahan
82
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Fase 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya: Siswa
merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan
berbagi tugas dengan teman dalam diskusi kelompok masing masing.
Fase 5 Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah:
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi pecahan dan meminta kelompok
presentasi hasil diskusi.
Hasil belajar siswa dalam bentuk histogram seperti yang terlihat pada grafik 1
Grafik 1. Hasil pre tes dan post test siswa
Berdasarkan hasil pre test diperoleh rata-rata nilai siswa 60 dan
ketuntasan 64%. Sedangkan untuk hasil post testnya diperoleh nilai rata –
rata 79 dan ketuntasan 86,1%. Secara klasikal ketuntasan belajar siswa 86,1
% sehingga disimpulkan pembelajaran dengan penerapan model
pembelajaran berbasis masalah berbantuan alat peraga BUPE dikategorikan
tuntas, karena kelas dianggap tuntas dalam pembelajaran matematika di SDN
1 Kota Bengkulu apabila 70% dari jumlah siswa memperoleh nilai lebih dari
70 tetapi berdasarkan hasil refleksi di siklus 1 aktivitas pembelajaran masih
memperoleh skor 54 dengan kriteria kurang, berdasarkan data ini peneliti
melanjutkan di siklus ke 2.
Pelaksanaan siklus 2 ini pelaksanaannya hampir sama dengan siklus 1
yang membedakan indikator materinya tentang membandingkan pecahan
biasa, untuk pengelompokan siswa di siklus 1 siswa di beri kebebasan
menetukan teman sendiri sedangkan disiklus 2 anggota kelompok di buat
heterogen dan guru yang menentukan.
Aktivitas dan hasil belajar siswa dapat di lihat di grafik di bawah ini.
83
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Grafik 2. Aktivitas pembelajaran siswa
Grafik 3. Grafik hasil pembelajaran
Berdasarkan hasil siklus 1 diperoleh rata-rata nilai siswa 79 dan
ketuntasan 86,1 %. Untuk hasil belajar diperoleh nilai rata – rata 85 dan
ketuntasan 90 %.
Secara klasikal ketuntasan belajar siswa 90% sehingga disimpulkan
pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah
berbantuan alat peraga BUPE dikategorikan tuntas, karena kelas dianggap
tuntas dalam pembelajaran matematika di SDN 1 Kota Bengkulu apabila 70%
dari jumlah siswa memperoleh nilai lebih dari 70 tetapi bersadarkan hasil
refleksi di siklus 1 aktivitas pembelajaran masih memperoleh skor 54 dengan
kriteria kurang, dan siklus ke 2 menjadi 79 dengan kriteria Cukup. Hal ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya dari Wulandari ( 2019:12) Penerapan
model Pembelajaran Berbasis Masalah pada proses pembelajaran siswa kelas
SMP Negeri 14 Pekanbaru telah dapat membuat siswa menjadi lebih aktif
dalam kegiatan pembelajaran. Siswa juga lebih berpartisipasi aktif dalam
kegiatan diskusi kelompok sehingga siswa dapat lebih memahami konsep
materi yang diajarkan dan dapat secara mandiri dalam penyelesaian masalah.
Berdasarkan hal inilah siklus 2 kita hentikan.
84
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Gambar 2. Pembelajaran PBM berbantuan BUPE
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas dapat disimpulkan penerapan
model pembelajaran berbasis masalah berbantuan media BUPE dapat
meningkatkan aktivitas pembelajaran hal ini terbukti adanya peningkatan
aktivitas pembelajaran dari skor 54 menjadi 79 dengan kriteria dari kurang
menjadi cukup, dan meningkatnya hasil pembelajaran siswa nilai Pretest 60
menjadi 79 siklus 1 dan 85 siklus ke 2 dengan ketuntasan belajar dari 64 %
menjadi 86,1% siklus 1 dan siklus ke 2 menjadi 90%.
Saran
Saran dari penelitian ini hendaknya guru menggunakan media dan model
pembelajaran dalam melaksanakan pembelajaran matematika karena
karakteristik siswa sekolah dasar lebih memahami konsep jika menggunakan
benda nyata tanpa menghayalkan dan menggunakan model pembelajaran
yang lebih menyenangkan.
85
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2011. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Hudoyo, Herman. 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya didepan kelas. Surabaya : IKIP Surabaya.
Husnidar, 2014. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis Siswa.
Jurnal Didaktik Matematika. file:///C:/Users/ASUS/Downloads/SM.pdf. Diundah 30 Maret 2019
Faturrohaman. 2006. Model-model Pembelajaran. Publikasi pada pelatihan guru Traumatik.Universitas Negeri Yogyakarta. http://staffnew.uny.ac.id/upload/pengabdian/model-model-pembelajaran.pdf di unduh tanggal 30 Maret 2019
Nuharini. 2016. Buku Guru Mari Belajar Matematika untuk SD Kelas IV. Jawa Tengah: Usaha Makmur.
Poewardarminto. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Sardiman, 1994. Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Surabaya : Usaha Nasional.
Sutrisno, 2008. Study tentang Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal-soal Operasi Hitung Bilangan Pecahan di Kelas V SDIT IQRA’ Kota Bengkulu. Bengkulu. UMB.
Trianto. 2011. Model-model Pembelajaran Inovatif berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka
Wulandari Tri. 2019. The Implementation Of Problem Based Learning Model To Increase The Outcomes Of Mathmatich Leraning Of The Students Of Class In SMP NEGERI 14 PEKANBARU. Jurnal. JOM FKIP – UR Volume 6
86
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Edisi 1 JANUARI – JUNI 2019. file:///C:/Users/ASUS/Downloads/SM%20(1).pdf. Di unduh tanggal 30 Maret 2019
PENGGUNAAN MEDIA KARBU UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR
PPKN DI KELAS V SDN 01 KOTA BENGKULU
SyarmayeniSDN 01 Kota Bengkulu
abstract
This Classroom Action Research was aimed to improve PPKn learning activities and aotcomes. The Subject of this Classroom Action Research was 30 students of class VA SDN 1 Kota Bengkulu. Data collection technique was used a test. Processing data was used qualitative analysis techniques using simple statistics. The results obtained were an increasing in learning activities. Before the cycle there were 25 students not yet be in minimal ctriteria level. In cycle I, there were 12 students or 40% of students not yet be in minimal criteria level. After reflecting and doing improvement in cycle II only 3 students or 10% not be in minimal criteria level. Minimal criteria level in SDN 1 Kota Bengkulu is 70.Based on the results obtained in terms of mastery learning and class averages, it was concluded that PPKn learning by using karbu media could improve learning activities outcomes seen from the values before using the karbu media average class 60. The average increased from 70 in cycles 1 to 81 in cycles 2.
Keywords: media karbu, learning activities, PPKn
PENDAHULUAN
Hasil evaluasi siswa pada semester 1 tahun pelajaran 2018/2019 pada
tanggal 28 Juli 2018 masih rendah. Hasil evaluasi menunjukkan 83% (25
siswa dari 30 siswa) belum mencapai nilai KKM 70. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya aktivitas siswa dalam belajar. Strategi yang digunakan untuk
meningkatkan aktivitas belajar siswa dengan menggunakan media.
Munir (2008: 138) Media berasal dari kata Medium yang artinya
perantara atau pengantar. Dengan demikian media pembelajaran dapat
diartikan sebagai perantara sampainya pesan belajar (message learning) dari
87
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
sumber pesan (message resource) kepada penerima pesan (message receive),
sehingga terjadi interaksi belajar mengajar. Media dalam penelitian ini berupa
kartu yang dirancang oleh guru. Kartu tersebut berisi butir-butir yang ada di
dalam kelima sila Pancasila, sehingga dinamakan kartu butir-butir yang
selanjutnya dinamakan karbu. Karbu terdiri dari 45 kartu, setiap kartu
memuat 1 butir Pancasila.
Wulandari dan Sukirno (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan
bahwa aktivitas siswa dapat meningkat dengan menggunakan media
monopoli. Mursalina (2014) menyatakan bahwa media kartu pintar efektif
terhadap aktivitas dan hasil belajar.
Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
adalah salah satu mata pelajaran pokok di sekolah dasar. Dalam kaitannya
dengan pembentukan warga negara Indonesia yang demokratis dan
bertanggung jawab, pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn) memiliki peranan yang strategis dan penting, yaitu membentuk sikap
siswa dalam berperilaku keseharian, sehingga diharapkan setiap individu
mampu menjadi pribadi yang baik, pribadi yang mengamalkan nilai-nilai
pancasila dan norma-norma konstitusi di sekolah.
Berdasarkan paparan masalah yang telah dijelaskan, guru perlu
merancang pembelajaran yang lebih menarik. Pembelajaran yang menarik ini
bisa dicapai melalui penciptaan media pembelajaran yang dapat
menumbuhkan antusiasme peserta didik. Hal lain yang dapat dilakukan guru
adalah melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran. Guru juga
perlu mendesain pembelajaran sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat
menghasilkan sebuah produk yang dapat mengembangkan kemampuan,
keterampilan dan kreativitas serta dapat mengkomunikasikannya dengan baik.
Uraian di atas menjadi acuan bagi penulis sebagai guru PPKn SD untuk
melakukan perbaikan terhadap pembelajaran PPKn dengan merancang
pembelajaran dengan menggunakan media kartu butir-butir Pancasila (karbu).
Butir-butir Pancasila yang sebelumnya berjumlah 36 butir, sekarang
sudah berjumlah 45 butir. Berikut ini 45 butir –butir Pancasila :Tabel 1 Butir-butir Pancasila
88
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Materi pembelajaran PPKn di kelas 5 semester 1 meliputi:
mengidentifikasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari (KD 3.1),
memahami hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga dalam
kehidupan sehari-hari (KD 3.2), menelaah keberagaman sosial budaya
masyarakat (KD 3.3), menggali manfaat persatuan dan kesatuan untuk
membangun kerukunan hidup (KD 3.4), Media karbu digunakan guru untuk
membantu siswa mengidentifikasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari.
Media ini dirancang pada kertas kambing dengan ukuran 7cm x 10cm,
yang berisi butir-butir Pancasila. Pada sisi depan terdapat gambar lambang
sila dari Pancasila dan sisi belakangnya berisi tentang salah satu butir dari
Pancasila. Berikut ini gambaran media karbu:
89
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Sisi depan Sisi belakang
Gambar 1 Rancangan Media Karbu
Media ini dibuat sebanyak 45 buah, sesuai jumlah butir-butir dalam
Pancasila. Tulisan di ketik dengan menggunakan komputer, kemudian diprint
dan digunting.
Langkah-langkah penyajian program pembelajaran dapat dilihat pada
tabel 2.Tabel 2 Rancangan Media Karbu
Kegiatan
Awal
a. Penyampaian tujuan
pembelajaran serta tugas-
tugas yang harus dilakukan
selama proses pembelajaran.
b. Pembagian kelompok.
c. Memotivasi siswa dengan
memberikan apersepsi berupa
pertanyaan yang mengarah
pada materi pembelajaran.
Kegiatan
inti
a. Guru memulai pembelajaran
dengan memberikan
informasi singkat tentang
materi sesuai indikator
pembelajaran Siswa diberi
tugas berkelompok
b. Guru membagikan media
karbu dan lembar kerja
c. Siswa berdiskusi dan
membagi tugas di dalam
kelompok, masing masing
siswa mendapat satu tugas
90
Sila pertamaKetuhanan Yang Maha Esa
BUTIR 1Bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
untuk memahami butir-butir
Pancasila yang terdapat pada
media karbu.
d. Siswa mempresentasikan
hasil kerja kelompok
Kegiatan
penutup
a. Pengumuman kelompok
terbaik
b. Evaluasi
c. Menyimpulkan pelajaran
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilakukan di
SD Negeri 1 Kota Bengkulu tahun ajaran 2018/2019 semester 1. Subjek
penelitian adalah siswa kelas VA yang berjumlah 30 orang. Penelitian
dilakukan pada bulan Agustus 2018. Penelitian ini dilakukan 2 siklus. Setiap
siklus terdiri dari 4 tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, tindakan,
pengamatan.
Penelitian tindakan kelas merupakan suatu upaya untuk mencermati
kegiatan belajar sekelompok peserta didik dengan memberikan sebuah
tindakan yang dimunculkan (Mulyasa, 2013:11). Tindakan yang diberikan
dalam penelitian ini berupa penggunaan media kartu butir-butir (karbu).
Cara penggunaan media karbu adalah sebagai berikut:
1. Media karbu dibagikan kepada setiap kelompok.
2. Siswa memperlajari dan memahami setiap informasi yang ada di media
karbu.
3. siswa berdiskusi sesuai lembar kerja.
4. siswa bertanya jawab dengan teman satu kelompok untuk memantapkan
saat mempresentasikan hasil kelompok.
91
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Tindakan siklus 1 dilakukan untuk menemukan dan mengidentifikasi
kelemahan pada pra siklus, kemudian siklus 2 untuk memperbaiki kelemahan
siklus 1.
Teknik pengumpulan data pada penelitian adalah data kualitatif
melalui teknik tes dan obervasi. Tes dilakukan pada setiap akhir siklus yang
digunakan untuk mengetahui prestasi belajar siswa. Tes uji kompetensi
dilaksanakan pada materi tematik yang memuat mupel PPKn KD 3.1
Mengidentifikasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Observasi
dilaksanakan pada saat pembelajaran berlangsung.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu soal tes pilihan
ganda, lembar pengamatan aktivitas belajar, dan lembar pengamatan
pelaksanaan pembelajaran. Soal tes pilihan ganda digunakan untuk menilai
hasil belajar siswa. Lembar aktivitas belajar digunakan untuk menilai
aktivitas belajar siswa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya
atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif,
baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, di samping
menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar,
dan rasa percaya diri sendiri (E.Mulyasa, 2006). Indikator keberhasilan dalam
penelitian ini adalah meningkatnya aktivitas belajar yang dicapai oleh siswa
selama proses pembelajaran berlangsung dengan menggunakan media kartu
sekurang-kurangnya aktivitas belajar siswa dapat mencapai 75%. Aktivitas
belajar dalam penelitian ini adalah (1) aktivitas bertanya, (2) aktivitas
berpendapat, (3) aktivitas mengungkapkan kembali, (4) mencatat hal-hal
penting. Berikut ini tabel aktivitas dan hasil belajar siswa pada siklus 1 dan
siklus 2 menggunakan media karbu:Tabel 1 Aktivitas Belajar
N
o
Siklus Aktivitas 1 Aktivitas 2 Aktivitas
3
Aktivitas
4
1 S1 18 10 18 20
2 S2 12 23 25 29
92
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
Pada siklus 1 aktivitas 1 siswa yang bertanya terdapat 18 siswa atau
60% menurun menjadi 12 siswa atau 40%. Aktivitas 2 siswa yang
berpendapat meningkat dari 10 siswa atau 33% meningkat menjadi 23 siswa
atau 76%. Aktivitas 3 siswa yang mengungkapkan kembali meningkat dari 18
siswa atau 83%. Aktivitas 4 siswa yang mencatat hal penting terdapat 20
siswa atau 67% meningkat menjadi 29 siswa atau 97%. Secara umum
aktivitas siswa meningkat kecuali pada aktivitas 1 yaitu aktivitas siswa
bertanya terjadi penurunan dikarenakan siswa sudah mulai terlibat aktif dan
terbiasa dalam menggunakan media karbu. Berbeda pada siklus 1 siswa lebih
banyak mendekati guru dan bertanya bagaimana cara menggunakan media
karbu dan cara mengerjakan LKS.Tabel 2 Hasil evaluasi
No Siklus Rata-rata Tertinggi Terendah % Tuntas
1 S1 70 90 30 60
2 S2 81 100 50 90
Pada Siklus 1 sebanyak 18 orang sudah menguasai dan 12 orang
belum menguasai kompetensi dasar karena memperoleh nilai kurang dari 70.
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) muatan pelajaran PPKn adalah 70.
Ketuntasan kelas 60% dengan nilai rata-rata kelas 70. Terdapat 12 orang
siswa memperoleh nilai di bawah KKM. Pada Siklus 2 meningkat siswa yang
menguasai kompetensi dasar 27 orang dan yang belum menguasai kompetensi
dasar sebanyak 3 orang. Ketuntasan kelas 90% dengan rata-rata nilai 81.
Dengan melihat hasil yang diperoleh maka secara ketuntasan belajar
maupun rata-rata kelas, disimpulkan bahwa pembelajaran PPKn dengan
menggunakan media karbu berhasil dengan baik dalam mengidentifikasi
nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan
tujuan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dikemukan oleh (Aqib,
2018:13) yaitu peningkatan atau perbaikan kualitas proses dan hasil
pembelajaran.
93
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran PPKn dengan menggunakan media karbu dapat meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar siswa dalam mengidentifikasi nilai-nilai pancasila
dalam kehidupan sehari-hari.
Saran
Saran yang ingin disampaikan melalui tulisan ini adalah walaupun
PPKn di sekolah dasar diajarkan oleh guru kelas, namun harus tetap kreatif
dalam mengembangkan pembelajaran PPKn terutama dalam pengembangan
media pembelajaran. Sebagai guru diharapkan mampu mencari metode
pembelajaran PPKn yang interaktif agar siswa tidak merasa bosan.
94
Jurnal Pendidikan Bumi Rafflesia Copyright 2019 by LPMP BengkuluTahun ke-8, No. 2, Desember 2019
DAFTAR PUSTAKA
E.Mulyasa. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa. 2013. Pengembangan dan implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Munir.2008.Kurikulum Berbasis Teknologi dan Informasi.Bandung: Alfabeta.
Mursalina. 2014. Keefektifan Kartu Pintar Pengetahuan Terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Struktur Bumi. Jurnal of Eelementary Education Volume 3 No 2. Diakses 24 Maret 2019.
Wulandari, Erma dan Sukirno. 2012. Penerapan Model Cooperative Learning Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) Berbantu Media Monopoli Dalam Peningkatan Aktivitas Belajar Akuntasi Siswa Kelas X Akutansi 2 SMK Negeri 1 Godean Tahun Ajaran 2011/2012. Jurnal Pendidikan Akutansi Indonsia X (1) hal 135-161. Diakses 24 Maret 2019
95