11
Vol. 1, No. 1, April 2002 Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 33 SELENIUM DAN KURANG YODIUM 1 Satoto 2 ABSTRACT Iodine deficiency disorders (IDD) is still one of public health nutrition problems in many countries, including Indonesia. Through various efforts the IDD prevalence is reducing, but still unsatisfactory. It is widely accepted that iodine deficiency is caused mainly by low availability of iodine in the soil. However, role of some other substances is of attentions for the last decade, including goitrogenic substances. Other micronutrients might play important role. The paper is concentrating on the relationship of selenium and iodine deficiency. Selenium is one of essential micronutrients. The requirement is quite low and (theoretically) easy to be toxic in higher doses. It can be found in seafood, organ and small amount in plants. It is consumed as inorganic selenium, selenomethio-nine and selenocycteine. The absorption is passive in a high proportion, hence it does not play in homeostasis of selenium. Through complex protein-related transport and transfers, the main role of selenium is as selenoprotein in various forms, i.e.: (i) Gluthation peroxidase (GPx); (ii) Thioredoxin reductase; (iii) Iodothyronine deiodinase; (iv) Selenoprotein P; (v) Selenoprotein W; and (vi) Selenophosphate synthetase. The interrelationship between iodine and selenium in the soil need to be clarified. Although the issue is still interesting to search, most researchers agree that selenium plays important role in iodine metabolism through the following mechanism:(i) role of iodothyronie deiodinase which catalyses the conversion of T4 to T3 (and T3 to T2) as the most important path of thyroid hormon metabolism; (ii) role of GPx as main antioxidant which protect cell membrane (of also thyroid gland) to process thyroid metabolism; moreover GPx acts as balancer of availability of T4 and T3, especially in the important organs such as brain and heart, and very specially in foetus; (iii) estrogen sulfotransferase which control development estrogen to prevent excess which is potential to depress thyroid function. Role of interaction of selenium deficiency and goitrogenic overload is also found to be very important. Those all brings us to think of selenium-iodine balance in relation to the development of thyroid hormone. The above feature of selenium implies to include selenium consideration in all IDD policy. Including selenium assess-ment in the soil in IDD endemic areas, with high priority for areas where iodine content of soil is not seriously low or IDD prevalence is fail to reduce by iodine supplementation only. When both iodine and selenium deficiency is found or assumed, mixed iodine and selenium supplementation should be considered in a gradual doses based on the severity of the problem. Keywords: selenium, iodine, interaction, selenoprotein. 1 Disajikan dalam Temu Nasional GAKY, Semarang 4-5 Nopember 2001 2 Guru Besar FK UNDIP

Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

  • Upload
    dikka

  • View
    131

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

Vol. 1, No. 1, April 2002 Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 33

SELENIUM DAN KURANG YODIUM1

Satoto2

ABSTRACT

Iodine deficiency disorders (IDD) is still one of public health nutrition problems in many countries, includingIndonesia. Through various efforts the IDD prevalence is reducing, but still unsatisfactory.

It is widely accepted that iodine deficiency is caused mainly by low availability of iodine in the soil. However,role of some other substances is of attentions for the last decade, including goitrogenic substances. Othermicronutrients might play important role. The paper is concentrating on the relationship of selenium and iodinedeficiency.

Selenium is one of essential micronutrients. The requirement is quite low and (theoretically) easy to be toxicin higher doses. It can be found in seafood, organ and small amount in plants. It is consumed as inorganicselenium, selenomethio-nine and selenocycteine. The absorption is passive in a high proportion, hence it doesnot play in homeostasis of selenium.

Through complex protein-related transport and transfers, the main role of selenium is as selenoprotein invarious forms, i.e.: (i) Gluthation peroxidase (GPx); (ii) Thioredoxin reductase; (iii) Iodothyronine deiodinase; (iv)Selenoprotein P; (v) Selenoprotein W; and (vi) Selenophosphate synthetase.

The interrelationship between iodine and selenium in the soil need to be clarified. Although the issue is stillinteresting to search, most researchers agree that selenium plays important role in iodine metabolism throughthe following mechanism:(i) role of iodothyronie deiodinase which catalyses the conversion of T4 to T3 (and T3to T2) as the most important path of thyroid hormon metabolism; (ii) role of GPx as main antioxidant whichprotect cell membrane (of also thyroid gland) to process thyroid metabolism; moreover GPx acts as balancer ofavailability of T4 and T3, especially in the important organs such as brain and heart, and very specially in foetus;(iii) estrogen sulfotransferase which control development estrogen to prevent excess which is potential todepress thyroid function. Role of interaction of selenium deficiency and goitrogenic overload is also found to bevery important. Those all brings us to think of selenium-iodine balance in relation to the development of thyroidhormone.

The above feature of selenium implies to include selenium consideration in all IDD policy. Including seleniumassess-ment in the soil in IDD endemic areas, with high priority for areas where iodine content of soil is notseriously low or IDD prevalence is fail to reduce by iodine supplementation only.

When both iodine and selenium deficiency is found or assumed, mixed iodine and selenium supplementationshould be considered in a gradual doses based on the severity of the problem.

Keywords: selenium, iodine, interaction, selenoprotein.

1 Disajikan dalam Temu Nasional GAKY, Semarang 4-5 Nopember 2001

2 Guru Besar FK UNDIP

Page 2: Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD)iJohn T. Dunn

34

PENDAHULUAN

Gangguan akibat kurang yodium (GAKY)meru-pakan salah satu masalah gizimasyarakat di Indo-nesia. Diperkirakan padatahun 1994, 42 juta orang menderita GAKYdalam berbagai bentuk manifes-tasi kliniknya.Kira-kira sepuluh juta di antaranya dalambentuk kretin, bentuk paling parah dan me-netap (irreversible) dari GAKY.1,2 Melaluiberbagai intervensi secara nasional, diantaranya ialah yo-disasi garam danpembagian kapsul yodium di daerah endemisberat dan sedang, telah terjadi pe-nurunanprevalensi GAKY. Secara nasional terjadipenurunan prevalensi dari 37.2% di tahun 1982menjadi 27.7% di tahun 1990.2

Kurang yodium merupakan sebab utamaGAKY. Oleh karena itu prevalensi paling tinggidari GAKY memusat di wilayah-wilayah yangkandungan yo-dium dalam tanah (dan air) diwilayah tersebut sa-ngat kurang atau tidakmengandung yodium sama sekali, dan polamakan penduduknya mencermin-kan masukansumber yodium yang rendah. Namun beberapafaktor lain diduga berpengaruh atas ter-jadinyaGAKY. Yang sudah dikenal secara luas ialahgolongan kimiawi yang disebut goitrogen, yangantara lain dihasilkan oleh ubi kayu yangmengan-dung cyanogenic glycoside yangdalam tubuh di-ubah menjadi thiocyanate,goitrin yang dihasilkan oleh spesies Brasiccaseperti kubis, brokoli, yang dihasilkan olehspesies Lathyrus, yang dihasilkan oleh sorgum,dan lain-lain.3,4

Dalam berbagai kajian mutakhir ditemukanbah-wa selain goitrogen juga didapati adanyaberbagai zat gizi yang berpengaruh terhadap

metabolisme yodium, yang pada gilirannyaberpengaruh terha-dap kejadian, kegawatandan prognosis GAKY. Te-lah diidentifikasikanantara lain ialah seng (Zn), vitamin A, tembaga(Cu), tembaga (Pb) selenium (Se) dan berbagaizat gizimikro lain.5,6,7 Makalah di bawah inisecara khusus membahas hubungan antaraselenium dengan kurang yodium.

GIZI SELENIUM

Selenium termasuk salah satu zat gizimikroesensial yang diperlukan tubuh dalam jumlahsa-ngat kecil, namun mudah sekali menjadiracun da-lam jumlah yang lebih besar.8

Selenium pertama kali ditemukan pada tahun1930-an, melalui pene-muan penyakit alkalis,suatu gejala keracunan khro-nis akibatmakanan yang mengandung selenium terlalutinggi. Lebih dari 20 tahun kemudian dite-mukan adanya nekrosis hati akibat kekuranganse-lenium pada ternak. Fungsi selenium barudiidenti-fikasikan pada tahun 1973. Secaragaris besar, sele-nium berfungsi dalamselenium-dependent enzy-mes yang jugadikenal sebagai selenoprotein.9

Selenium didapat dari berbagai pangan,yang paling kaya selenium ialah jeroan ternakdan ikan laut, disusul dengan daging ternak.Kandungan se-lenium dalam sumber pangannabati sangat ber-variasi bergantung padakandungan selenium da-lam tanah.10,11

Pengetahuan tentang kebutuhan dankecukupan yang dianjurkan (RDA) tentang se-lenium berubah pesat berdasarkan metoda danpemahaman tentang metabolisme gizimikro. DiAmerika Serikat, pada tahun 1980 RDAselenium untuk orang dewasa ialah 50-200mcg, sedang dalam tahun 1989 berubah

Page 3: Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

Vol. 1, No. 1, April 2002 Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 35

menjadi 70 dan 55 mcg bagi laki-laki danperempuan dewasa.12 Sedang di banyak negerabelum ditetapkan, termasuk di Indonesia.

Selenium masuk ke dalam tubuh manusiadalam dua bentuk, ialah bentuk anorganik danbentuk organik, terdiri dari seleno methionineyang berasal dari pangan nabati dan

selenocycteine yang berasal dari panganhewani. Kedua bentuk ini menimbul-kanimplikasi berbeda pada bentuk selenium dalamjaringan (Gambar 1). Sedang metabolismedalam sel secara visual digambarkan dalamGambar 2.12

Gambar 1. Hubungan bentuk selenium dalam makanan dan selenium dalam jaringan4

selenomethioninein methionine pool

regulatedselenium

metabolism

dietary forms tissue

selenomethionine selenomethioninein proteins

selenocysteinein selenoproteins

Selenocysteine,inorganic selenium

excretorymetabolites

transportform

secretedselenoproteins

selenomethionine

selenocysteine

inorganicselenium

selenoproteins

freeselenocysteine

sec-tRNA[ser]sec

other formsof selenium

selenide selenophosphate

jk

l

m n

o

p

q

r

Page 4: Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

Vol. 1, No. 1, April 200236 Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD)

Gambar 2. Metabolisme selenium4

Catatan: 1. jalur transulforasi; 2. pemecahan proteolitik protein; 3. selenocysteine betalyase; 4. reduksi olehgluthation; 5. selenophosphate synthetase; 6. metilasi; 7. perubahan sulfur dalamm tRNA olehselenium; 8. penggantian oksigen dalam serine oleh selenium membentuk celenocysteine; 9. dedkodeUGA dalam mRNA dengan insersiselenocycteine ke dalam struktur orimwer protein.

Gambar 3. Sintesis selenoprotein4

Keterangan:(1) seryl tRNA ligase; (2) selenocysteine synthetase; (3) selenophosphate synthetase (4) elongation factor

Diduga absorbsi selenium dalam lumen ususti-dak berperan dalam pengaturanhomoeostatis sele-nium. Dalam bentukselenomethionine, selenium diserap hampir100%, sedang dalam bentuk sele-nocysteinesedikit lebih rendah. Walaupun absorbsiselenium anorganik dipengaruhi oleh berbagaifak-tor lumen usus, namun diperkirakan masihdi atas 50%.

Dua macam selenoprotein, ialahselenoprotein P dan GPx ekstraselulerdiidentifikasikan keberadaan-nya dalamplasma, keduanya mengandung seleno-cysteine dalam struktur dasarnya, sehingga

diduga keduanya adalah bentuk transportasiselenium da-lam plasma. Sedang mekanismesintesis dan peng-gabungan selenocysteinemenjadi selenoprotein nampaknya sangatkompleks, dimulai dengan transfer RNA yangunik dan secara bertahap de-ngan bantuanberbagai enzim menjadi seleno-protein,sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 3.9

Homeostasis dari selenium diatur dalammeka-nisme ekskresi. Apabila masukanselenium mening-kat dari tingkat kurang kecukup, dan sebagian be-sar diabsorbsi dalamlumen usus, maka ekskresi se-lenium lewaturine ditingkatkan sebagai mekanis-me utamahomeostasis. Sedang bila masukan lebih tinggi

excretorymetabolites

transportform of Se

tRNA [ser]sec + ser

Se 2- + ATP

Selenoprotein

ser-tRNA [ser]sec

SePO 3-

3

sec-tRNA [ser]sec

j

kl

m

Page 5: Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

Vol. 1, No. 1, April 2002 Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 37

lagi, maka ekskresi lewat paru meningkat pulasebagai mekanisme sekunder homeostasis. Da-lam kedua mekanisme tersebut ekskresisebagian besar dalam bentuk methylselenium

Dikenal banyak macam selenoprotein padama-nusia dan binatang, di antaranya ialah: (i)Glutha-tion peroxidase (GPx) yang terdiri dariGPx sel, GPx plasma, GPx fosfolipid dan GPxgastrointestinal, ke-semuanya berfungsisebagai enzim antioksidasi; (ii) Thioredoxinreductase, yang bergabung dengan thioredoxinmeregenerasi beberapa sistem antioksi-dan;(iii) Iodothyronine deiodinase dalam 3 tipe: I, IIdan III, kesemuanya berperan dalammetabolisme yodium dalam katalisasideiodinasi thyroxin; (iv) Selenoprotein P,fungsinya belum jelas, diduga da-lam prosesantioksidasi dalam sel endotel; (v) Sele-noprotein W yang diduga berperan dalammeta-bolisme otot; dan (vi) Selenophosphatesynthetase, yang berperan dalam perubahanselenocycteine menjadi selenoprotein.5,8,9,10

Dua bentuk kurang selenium yang palingdike-nal ialah penyakit Keshan berupakardiomiopati dan penyakit Kashin-Beck dalambentuk osteoar-thropathy. Sementara berbagaibentuk kurang sele-nium juga ditemukandalam kaitan dengan Kurang-Energi Protein,AIDS, alkoholisme, dan short bowel syndrome.Sementara selenosis endemis, yang umumdikenal di kalangan binatang, diduga terjadipada manusia pula. Gangguan kulit,polyneurosis, alopecia dan perubahan kukudiduga merupakan tanda dari toksisitasselenium.13

INTERRELASI SELENIUM DAN YODIUM

Ada tidaknya interaksi antara selenium danyo-dium masih diperdebatkan. Sebagian besarpeneliti menyatakan adanya interaksi yangsignifikan.9,12,14 Sementara peneliti lain

menemukan temuan yang berbeda.15,16,17 Rotiet al (1996) mendapatkan bah-wa administrasiselenium pada perempuan yang euthyroid tidakmengubah fungsi thyroid sama se-kali.18 Jugacukup menarik untuk diamati bahwa Zagrodzkimenemukan interaksi hanya pada perem-puan,yang ia duga berkait dengan respons sex-linked hormone terhadap efektifitas interaksiterse-but.19 Sementara beberapa peneliti16 lebihmelihat interaksi tersebut dalam kerangka yanglebih besar yang melibatkan zat gizimikro lain,termasuk Fe, Cu, dan Zn.

Secara hipotetik, interaksi antara dua ataulebih zat gizi, terutama zat gizimikro, dapatterjadi di berbagai tingkatan, mulai padatingkat ketersedia-an dalam tanah, air dantumbuh-tumbuhan yang ada di wilayahtertentu, dalam proses absorbsi, dan yangutama10 dalam proses metabolisme.

Bagan Mulder (Gambar 4) memperlihatkanada-nya interaksi antara berbagai zat gizimikrodalam tanah.20 Ditunjukkannya tentangsinergisme atau antagonisme antar satu atausekelompok zat gizi-mikro dengan satu atausekelompok zat gizimikro lain. Konsekuensinyaialah adanya dampak gizi ma-nusia (danbinatang) terhadap interaksi tersebut, yangmerupakan wilayah kajian menarik mengenaihubungan hortikultura dengan pangan dan gizi.Sayangnya dalam bagan tersebut tidaktercantum selenium atau yodium. Demikianpula bagan yang dikemukakan oleh Anke et al(1996) yang memper-lihatkan peran berbagaisubstansi terhadap keja-dian kurang yodiumdalam tanah, tidak mencan-tumkan selenium didalamnya.21

Page 6: Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

Vol. 1, No. 1, April 200238 Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD)

Gambar 4. Interaksi Zat Gizimikro dalam

Tanah18

Gambar 5. Interaksi dari Yodium21

Sementara itu, mengacu beberapa penelitianyang ada, ketersediaan selenium dalam tanahdan air sangat bervariasi, dari yang sangattinggi ke yang sangat rendah sampai hampirtidak tersedia sama sekali. Beberapa penelitianlain juga mengkaji ketersediaan selenium danyodium dalam tanah. 22,23 Di Srilanka misalnya,Fordyce et al. (2000) men-dapatkan temuanmenarik bahwa selenium dan yo-dium terdapatrelatif cukup dalam tanah, namunbioavailabilitasnya terganggu oleh lempung(clay?) dan beberapa substansi organik. Melihattingginya variasi antara ketersediaan seleniumdan yodium dalam penelitian-penelitiantersebut, kesimpulan sementara yang dapatdiambil ialah bahwa tidak terjadi interaksi yangpenting antar kedua zat gizi-mikro tersebutdalam tanah.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya,absorb-si selenium lebih bersifat pasif.Selenomethionine yang berasal dari panganhewani hampir diserap seluruhnya, sedangabsorbsi selenocysteine dari pangan nabatidipengaruhi oleh substansi lain di luarselenium, namun tidak dipengaruhi profil sele-nium dan zat gizimikro lain dalam tubuhmanusia. Sementara itu, absorbsi yodiumadalah juga pasif, dalam arti semua bentukyang dikonsumsi akan di-serap secara cepatdalam lumen usus. Selanjutnya, kelebihanmasukan yodium dikeluarkan melalui urine.Sehingga mekanisme absorbsi juga bukanbagian utama dari homeostasis yodium dalamtubuh.24 Dari gambaran tersebut di atas, kesim-pulan sementara yang dapat dipetik ialah tidakadanya interaksi antara selenium denganyodium dalam proses absorbsi.

Dari berbagai penelitian, baik penelitianbina-tang maupun penelitian manusia yangmendu-kung, disepakati bahwa interaksiselenium dan yo-dium dalam metabolismesangat kompleks, dan terkait erat denganfungsi-fungsi selenium dalam selenoprotein.Menurut Dreher dan Kohrle (1996)pengetahuan tersebut masih belum lengkap.Anali-sis lanjutan yang lebih komprehensifdiperlukan un-tuk lebih memahami efekkurang selenium terha-dap proteksi sel thyroidterhadap proses oksidasi, kurang yodium danekses yodium.25 Di bawah ini dikaji satu persatufungsi-fungsi tersebut dalam kajian terpisahantara satu dengan fungsi lain.

Selenoprotein yang terpenting yang terlibatda-lam interaksi metabolisme yodium ialahenzim io-dotyronine deiodinase, terutamatype-I (D1-I). En-zim ini merupakan katalisatorutama dalam peru-bahan thyroxin (T4–tyroidprohormone) menjadi triiodotyronine (T3-hormon tyroid aktif seluler). Juga degradasi

Mg

Br

Zn-def

SCN

thuiouracilegoitrin

glucose nolate

I-surplus

I

Page 7: Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

Vol. 1, No. 1, April 2002 Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 39

lanjut T3 menjadi T2. Mekanisme inimerupakan sistem kompensatoris tubuh untukmempertahankan level T3 dalam tubuh. Bilayo-dium tidak tersedia cukup, maka tubuhmening-katkan produksi enzim ini beberapakali (atau belas kali) bila tersedia selenium danprotein yang cukup. Akibatnya terjadipeningkatan konversi T4 → T3, yang juga akanmeningkatkan konversi T3 → T2, yang padagilirannya memperburuk keadaanhypothyroidism sendiri.

Salah satu selenoprotein yang juga pentingda-lam interaksi dengan metabolisme yodiumialah gluthation peroxidase (GPx), sebagaiantioksidan utama dalam tubuh manusia danbinatang. GPx mencegah oksidasi lipid danlemak tubuh lain, oleh karenanya GPxmelindungi semua membran sel yang terbuatdari lemak dari proses peroksidasi, yang padagilirannya mencegah terjadinya ganggu-anfungsi membran sel untuk dilalui berbagai nu-trien. Termasuk melindungi membran selkelenjar tiroid untuk dapat dilalui olehtransport yodium. Demikian pula melindungiterjadinya gangguan proses perubahan T4menjadi T3 dalam semua sel dalam tubuhmanusia. Sebagai konsekuensi, defisi-ensiselenium menyebabkan berkurangnya pasokanT3 ke dalam sel-sel tubuh, suatu bentukhypothy-roidism fungsional. Menarik jugauntuk dikaji bah-wa H2O2 diperlukan dalamproses pembentukan hormon thyroid, namunjumlah H2O2 yang berlebih-an menyebabkanpeningkatan produksi T4 dan merusak selkelenjar thyroid sendiri, yang lebih jauh lagiberisiko menjadi kanker thyroid. Di sini peranGPx sangat penting sebagai penjagakeseimbangan dengan mengurangi produksiH2O2 dan akibatnya produksi T4 dikurangi,dan disesuaikan dengan ke-butuhan tubuh dankondisi sel-sel kelenjar thy-roid.10,11,14,19

Ada temuan lain yang menarik. Secara klinispada binatang coba ditemukan bahwa kurangselenium meningkatkan kadar T3 di jantung,yang dapat menimbulkan kenaikan denyutjantung dan palpitasi.10 Dalam kaitan denganselenoprotein ini, Corvilan et al. (1993)menemukan bahwa kurang selenium yangmenghambat konversi T4 → T3menGAKYbatkan pemeliharaan kecukupan T4da-lam otak janin dan pada gilirannya berperandalam mencegah terjadinya kretin neurologispada neo-natus.26

Selenium juga memiliki fungsi esensialuntuk pembentukan estrogen sulfotransferase,suatu en-zim yang berfungsi memecahestrogen. Sehingga kurang selenium dapatmenyebabkan peredaran estrogen yangberlebihan dalam tubuh, yang pada gilirannyamenekan fungsi-fungsi thyroid, di sam-pingmengganggu keseimbangan estrogen-proges-teron dalam tubuh.

Pelajaran yang menarik ialah saran umumdok-ter bagi penderita penyakit HashimotoThyroiditis untuk mengurangi masukanyodium. Alasannya menjadi lebih pasti denganmemasukkan peran selenium dalampenjelasannya. Masukan yodium menyebabkanpeningkatan proses pembentukan hormonthyroid yang juga meningkatkan H2O2, yangmemiliki efek lebih merusak sel-sel kelenjaryodium, bila selenium juga kurang. Sehinggapem-berian selenium bersama-sama denganyodium memberikan hasil yang lebih baik.5,10

Interaksi selenium dengan substansi laindalam berasosiasi dengan metabolisme yodiummenarik sekali untuk dikaji. Contempre et al.(1996) menje-laskan bahwa myxedematouscretinism yang ba-nyak terjadi di AfrikaTengah, berbeda dengan manifestasi klinikkretin di banyak bagian lain di dunia, mencolok

Page 8: Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

Vol. 1, No. 1, April 200240 Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD)

pada hypothyroidisme, atrofi ke-lenjar danmyxedema. Keadaan ini terjadi terutama akibatkurang yodium dan kurang selenium terjadisecara bersama-sama.27 Menyikapi hal tersebut,da-lam penelitiannya di Tibet Moreno-Reyes etal (1996) mendapatkan bahwa dalam keadaansama-sama kurang yodium dan kurangselenium, myx-edematous cretinism tidakdidapati banyak di ne-gara tersebut. Dalammembandingkan dengan kaji-an di AfrikaTengah, ia mendapatkan bahwa di Tibet tidakterjadi pembebanan berlebih (overload) darithiocyanate. Sehingga mereka menyimpulkanbahwa kejadian myxedema tersebutdipengaruhi oleh interaksi pengaruh daripembebanan berlebih dari thiocyanate dankurang selenium.28 Thilly (1996) menjelaskanbahwa thiocyanate bersama-sama kurangselenium menyebabkan gangguan oksidasikelenjar melalui stimulasi TSH dan aksi oksidasioleh thiocyanate sendiri.29

Keseimbangan hormonal pada foetus danneo-natus di daerah kurang yodium dankurang sele-nium menempati posisi yangsangat unik. Di dae-rah semacam ini, kurangselenium menjadi protek-tor dari kelenjarthyroid terhadap mitigasi hypo-thyroxinemiapada janin, yang bisa menyebabkan kerusakanotak dan kretin setelah bayi dilahirkan.29

Simpul dari sajian tersebut ialah keeratan in-teraksi selenium dan yodium dalam konsepkeseim-bangan ketat antara kedua zatgizimikro tersebut. Kecukupan keduanyaadalah kondisi terbaik. Defi-siensi ringankeduanya saling mengisi membentukkeseimbangan baru. Perubahan keseimbangande-ngan suplementasi salah satu zat gizimikroini di-duga malahan menimbulkan masalahbaru atau memperberat masalah yang ada.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Konsep keseimbangan selenium-yodiumlayak dijadikan basis kebijakan. Di bawah inidisajikan implementasi kebijakan tersebut.

Secara hipotetik, daerah-daerah yangtanahnya kurang yodium kemungkinan jugakurang zat gizi-mikro yang lain, termasukselenium. Maka menjadi sangat layak untukjuga memeriksa kandungan selenium dalamtanah tersebut. Sebagai tambahan, layak puladiperiksa kandungan substansi goitro-gendalam berbagai pangan nabati yang ada, khu-susnya sumber-sumber thiocyanate.

Perhatian serius juga layak diberikan untukdae-rah endemis GAKY yang kandunganyodium dalam tanah tidak sangat buruk.Misalnya wilayah Maluku.30 Juga daerahendemis yang endemisitas-nya tidak dapatditekan dengan hanya suplemen-tasi yodium.Tentu saja bersama-sama dengan ana-lisisfaktor goitrogenik di wilayah tersebut.

Di daerah yang tanahnya kekuranganyodium dan kurang selenium secara bersama-sama, layak pula diperiksa (pada sampelpopulasi) kecukupan selenium darah padapenduduk. Perdebatan ten-tang metodapemeriksaan masih hangat. Pemerik-saanselenium serum (yang menggambarkan peru-bahan jangka pendek dalam makanan)selenium darah atau selenium eritrosit atauselenium rambut atau selenium kuku(perubahan jangka panjang masukan), ataukombinasi 2-3 metoda dapat dipe-riksadengan AAS. Secara teoritis, pemeriksaan GPx,terutama di daerah yang kurang selenium,sangat disarankan. Namun sampai saat inibelum ada baku yang dapat diacu.31

Bila didapati atau diduga ada keadaankurang selenium yang berasosiasi dengankurang yodium, baik dalam tanah, apalagidalam serum manusia, perhatian ekstra perlu

Page 9: Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

Vol. 1, No. 1, April 2002 Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 41

diberikan. Sebagian peneliti-an menganjurkanuntuk pemberian kombinasi an-tara yodiumdan selenium secara bertahap bagi penderitakurang yodium, dimulai dengan dosis rendah.Misalnya dimulai dengan 100 mcg seleni-umper hari meningkat sampai 400-600 mcg perhari (dengan catatan bahwa kecukupan yangdian-urkan ialah 55 mcg per hari bagiperempuan dewa-sa dan 70 mcg per hari bagilaki-laki dewasa). Se-dang yodium juga dimulaidengan dosis rendah yang meningkat.Contohnya mulai dengan 1 ‘kelp’ (ukuransejenis rumput laut, kandungan yodiumnyatidak jelas), meningkat sampai 4-6 ‘kelp’ setiaphari. Pemberian suplementasi yodium sajakurang dianjurkan karena tidak memperbaikikeadaan, bahkan meningkatkan kerusakanjaringan akibat rendahnya aktifitas GPx selamastimulasi thyroid. Sedang pemberian seleniumsaja akan memperbu-ruk keadaanhypothyroidism melalui peningkatan GPx secaraberlebihan.10

Ada pendapat yang sedikit berbeda. Dalampe-nelitian Zimmerman et al (2000), denganmedian UI 29 mcg/l dan selenium serum 14.8± 10.7 mcg/l, anak-anak yang mendapat 200mg yodium dalam minyak per-oral, makasetelah satu tahun terjadi penurunan bermaknaTSH.32 Diduga dalam keadaan kurang seleniumringan atau sedang, khusus untuk anak-anak,suplementasi tunggal yodium belum terlalumengganggu keseimbangan selenium-yodi-umyang ada.

EPILOG

Sudah waktunya untuk melihat masalah gizi-mikro dalam kacamata komprehensif. Denganme-nempatkan interrelasi gizimikro secarajernih, baik dalam menganalisis masalahmaupun dalam me-rancang upaya pemecahanmasalah yang ada.

RUJUKAN

1. Latief DK.Recent progress in IDD elimination inIndonesia. International Symposium on Iodine,Nutrition and Humen Development, Dhaka,1995.

2. Kodyat BA, Thaha AR, Minarto. Penuntasanmasalah gizi kurang. Proceeding WidyakaryaNasional Pa-ngan dan Gizi VI, Jakarta,1998:755-808.

3. Brody T. Nutritional biochemistry. San Diego;Aca-demic Press, 1993:526-527.

4. Hathcock JN, Rader JI. Food additives, contami-nants, and natural toxins. In: Shils ME, Olson JA,Shike M, Ross C. Modern nutrition in health anddisease. 9th ed. Philadelphia: Lippincot Williamsand Wilkins. 1998:1835-60.

5. Vanderpas JB et al. Iodine and seleniumdeficiency associated with cretinism in northernZaire. Am J Clin Nutr 2000:1087-93.

6. Hampel R, Kuhlberg T, Scheider KP, Glass A,Zollner H. Serum zinc and goiter epidemiologyin Germany. CD Rom Proceeding of 6th ThyroidSymposium. Graz-Eggenberg. 1996:211-5.

7. Freake HC, Govoni KE, Guda K, Huang C, ZinnSA. Action and interactions of thyroid hormoneand zinc status in growing rats. J.Nutr.2001:1135-41.

8. Rayman MP. The importance of selenium tohuman health. Lancet 2000:233-41.

9. Burk BF, Levander OA. Selenium. In: Shils ME,Olson JA, Shike M, Ross C. Modern nutrition inhealth and disease. 9th ed. Philadelphia:Lippincot Williams and Wilkins. 1998:265-76.

10. www.ithyroid.com/selenium.html.

11. www.orst.edu/dept/lpi/infocentre/minerals/selenium/selenium.html.

12. Levander OA, Burk BF. Selenium. In: Ziegler EE,Filer LJ. Eds. Present knowledge in n utrition.Washing-ton: ILSI Press 1996:320-8.

13. McLaren DS. Clinical manifestations of humanvitamin and mineral disorders: A resume. In:Shils ME, Olson JA, Shike M, Ross C. Modernnutrition in health and disease. 9th ed.

Page 10: Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

Vol. 1, No. 1, April 200242 Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD)

Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins.1998:486-503.

14. Hotz CS, Fitzpatrick DW, Trick KD, L’Abbe MR.Dietary iodine and selenium interact to affectthy-roid hormone metabolism of rats. J Nutr,127:1214-8.

15. Untoro J, Ruz M, Gross R. Low environmentalselenium availability as amn additionaldeterminant for goiter in East Java, Indonesia?Biol Trace Elem Res 1999;70:127-36.

16. Ozata M, Salk M, Aydin A, Sayin S, Oktenil C,Beyhan Z, et al. Iodine and zinc, but notselenium and copper deficiency exists in a maleTurkish population with endemic goitter. BiolTrace Elem Res, 1999; 69:211-16.

17. Erdogan MF, Erdogan G, Sav H, Gullu S, KamelN. Endemic goitre, thyocyanate overload andselenium status in school-age children. BiolTrace Elem Res. 2001; 79:121-31.

18. Roti E, Minoia C, Minelli R, Salvi M. Seleniumadministration does not change thyroid functionin euthyroid subjects. CD Rom Proceeding of6th Thyroid Symposium. Graz-Eggenberg.1996:48-51.

19. Zagrodzki P, Szmigiel H, Ratajczak R, SzybinskiZ, Zachwieja Z. The role of selenium in iodinemeta-bolism in children with goiter. EnvironHlth Per-spect, 2000; 108:67-71.

20. Bennett P. Organic gardening. Brooksvale:National (1992). p. 63-6.

21. Anke M, Glei M, Muller M, Angelow L, Illing-Ghunter H, Seiferi M, Arnhold W. Trace and ultratrace elements in human and animal physiology.CD Rom Proceeding of 6th Thyroid Symposium.Graz-Eggenberg. 1996:1-12.

22. Great Britain House of Common Fifth Report onAgriculture, London, 1999.

23. Fordyce FM, Johnson CC, Navaratna UR,Appleton JD, Dissanayake CB. Selenium ANDiodine in soil, rice and drinking water in relationto endemic goitre in Srilanka. Sci Tot Environ2000; 263:127-41.

24. Hetzel BS, Clugston GA. Iodine. In: Shils ME,Olson JA, Shike M, Ross C. Modern nutrition in

health and disease. 9th ed. Philadelphia:Lippincot Williams and Wilkins. 1998:253-64..

25. Dreher I, Kohrle J. The role of selenium andselenoprotein in thyroid tissue. CD RomProceeding of 6th Thyroid Symposium. Graz-Eggenberg. 1996: 208-10.

26. Corvilan B, Cotempre B, Longombe AO, GoyensP, Gervy-Decoster C, Lamy F, et al. Seleniumand the thyroid: how the relationship wasestablished. Am J Clin Nutr, 1993; 57 (Suppl2):244-9.

27. Contempre B, Many MC, Duale GL, Denef JF,Dumont JE. Selenium and iodine in thyroidfunction: The combined deficiency in theetiology of the involution of the thyroid leadingto myxedematous cretinism. CD RomProceeding of 6th Thyroid Sym-posium. Graz-Eggenberg. 1996:35-9.

28. Moreno-Reys R, Suetens C, Mathieu F, begaux F,Tenzin P, Neve J, Vanderpas J. Very severeselenium and iodine deficiency in rural Tibet.CD Rom Pro-ceeding of 6th Thyroid Symposium.Graz-Eggenberg. 1996:81-4.

29. Thylly CH, Moreno-Reyes R, Hindlet JF, CoppensM, Swenne B. Iodine and selenium deficiencyand thiocyanate overload in two goiterendemias. CD Rom Proceeding of 6th ThyroidSymposium. Graz-Eggenberg. 1996:275-9.

30. Thaha AR, Hadju V. Coastal goite in eastern partof Indonesia. Paper presented in 8th AsianCongress of Nutrition. Seoul,1999.Zimmermann MB, Adou P, Torresani T,Zeder C, Hurrell RF. Effect of oral iodized oil onthyroid size and thyroid hormone metabolism inchildren with concurrent selenium and iodinedeficiency. Eur J Clin Nutr. 2000; 54:209-13.

31. Gibson RS. Principle of nutritional assessment.New York; Oxford University Press. 1990: 532-42.

32. Zimmermann MB, Adou P, Torresanni T, ZederC, Hurrell RF. Effect of oral iodized oil onthyroid size and thyroid hormone metabolism inchildren with concurrent selenium and iodibnedeficiency. Eur J Clin Nutr. 2000, 54:209-13.

Page 11: Satoto, Jurnal Gaky Indonesia

Vol. 1, No. 1, April 2002 Jurnal GAKY Indonesia (Indonesian Journal of IDD) 43