181
Vol. 6, No. 3, Desember 2010 Akreditasi: No 816/D/08/2009 BOGOR, INDONESIA JURNAL BIOLOGI INDONESIA ISSN 0854-4425 Zingiberaceae of the Ternate Island: Almost A Hundread Years After Beguin’s Collection Marlina Ardiyani 293 Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp. Isolated from Forest Soil of Gunung Salak National Park Maman Rahmansyah & I Made Sudiana 313 Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate Sebagai Sumber Antibiotik Arif Nurkanto, Febrianti Listyaningsih, Heddy Julistiono & Andria Agusta 325 Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate, Maluku Utara Edi Mirmanto 341 Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa Nitril dan Protein yang Diisolasi Dari Sponge di Perairan Ternate Rini Riffiani & Nunik Sulistinah 353 Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium Untuk Pencarian Gen-gen Terkait Toleransi Kekeringan Menggunakan Transposon Ac/Ds pada padi cv. Batutegi E.S.Mulyaningsih, H.Aswidinnoor, D.Sopandie, P.B.F.Ouwerkerk, S. Nugroho, &I.H. Slamet Loedin 367 Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi pada Pembentukkan Monyet Obes Ria Oktarina, Sri Supraptini Mansjoer, Dewi Apri Astuti, Irma Herawati Suparto & Dondin Sajuthi 383

Jurnal Biologi Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal

Citation preview

Page 1: Jurnal Biologi Indonesia

J. Biol. Indon. Vol 6, No.3 (2010)

Vol. 6, No. 3, Desember 2010

Akreditasi: No 816/D/08/2009

BOGOR, INDONESIA

JURNALBIOLOGIINDONESIA

ISSN 0854-4425

JURNALBIOLOGIINDONESIA

ISSN 0854-4425

Zingiberaceae of the Ternate Island: Almost A Hundread Years After Beguin’s Collection Marlina Ardiyani

293

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp. Isolated from Forest Soil of Gunung Salak National Park Maman Rahmansyah & I Made Sudiana

313

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate Sebagai Sumber Antibiotik Arif Nurkanto, Febrianti Listyaningsih, Heddy Julistiono & Andria Agusta

325

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate, Maluku Utara Edi Mirmanto

341

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa Nitril dan Protein yang Diisolasi Dari Sponge di Perairan Ternate Rini Riffiani & Nunik Sulistinah

353

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium Untuk Pencarian Gen-gen Terkait Toleransi Kekeringan Menggunakan Transposon Ac/Ds pada padi cv. Batutegi E.S.Mulyaningsih, H.Aswidinnoor, D.Sopandie, P.B.F.Ouwerkerk, S. Nugroho, &I.H. Slamet Loedin

367

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi pada Pembentukkan Monyet Obes Ria Oktarina, Sri Supraptini Mansjoer, Dewi Apri Astuti, Irma Herawati Suparto & Dondin Sajuthi

383

Page 2: Jurnal Biologi Indonesia

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 3 (2010)

Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia.Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologiyang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember).

Editor Pengelola

Dr. Ibnu MaryantoDr. I Made Sudiana

Deby Arifiani, S.P., M.ScDr. Izu Andry Fijridiyanto

Dewan Editor Ilmiah

Dr. Abinawanto, F MIPA UIDr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB

Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIPDr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya

Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPIDr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED

Dr. Parikesit, F. MIPA UNPADProf. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia

Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, MalaysiaDr. Srihadi Agung priyono, F. Kedokteran Hewan IPB

Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRADDrs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI

Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPIDr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI

Alamat RedaksiSekretariat

Oscar efendi SSi MSid/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI

Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056Fax. (021) 8765068

Email : [email protected]; [email protected] : http://biologi.or.id

Jurnal ini telah diakreditasi ulang dengan nilai A berdasarkan SK Kepala LIPI 816/D/2009 tanggal 28 Agustus 2009.

Page 3: Jurnal Biologi Indonesia

J. Biol. Indon. Vol 6, No.3 (2010)

KATA PENGANTAR

Jurnal Biologi Indonesia yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN BIOLOGIINDONESIA edisi volume 6 nomor 3 tahun 2010 memuat 13 artikel lengkap. Penulispada edisi ini sangat beragam yaitu dari Departemen Kementerian Pertanian, IPB,Puslit Biologi LIPI, Bioteknologi-LIPI dan Institute of Biology IBL Leiden Univer-sity Netherlands. Topik yang dibahas pada edisi ini meliputi 5 topik dalam bidangBotani, tiga topik tentang mikrobiologi, empat topik tentang zoologi dan satu topikcampuran yang membahas bidang botani dan zoologi. Pada edisi ini yang menarik6 makalah merupakan hasil kajian kawasan pulau-pulau Kecil di Ternate MalukuUtara. Selanjutnya artikel yang memuat serangga pengunjung bunga raflesia dapatdipastikan merupakan artikel sangat jarang dijumpai sehubungan dengan populasibunganya yang sangat sulit diperoleh.

Editor

Page 4: Jurnal Biologi Indonesia

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 3 (2010)

UCAPAN TERIMA KASIH

Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepadapara pakar yang telah turut sebagai penelaah dalam Volume 6, No 3, Juni 2010:

Prof.Dr. Woro.A.Noerdjito Puslit Biologi-LIPIDrs. M. Noerdjito, Puslit Biologi-LIPIDr Yulin Lestari F MIPA-IPBAwal Riyanto, Puslit Biologi-LIPIDrs. Roemantyo, Puslit Biologi-LIPIIr. Titi Juhaeti MSi, Puslit Biologi-LIPIDr. Nuril Hidayati, Puslit Biologi-LIPI

Edisi ini dibiayai oleh DIPA Puslit Biologi-LIPI 2010

Page 5: Jurnal Biologi Indonesia

J. Biol. Indon. Vol 6, No.3 (2010)

DAFTAR ISI

Zingiberaceae of the Ternate Island: Almost A Hundread Years After Beguin’s Collection Marlina Ardiyani

293

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp. Isolated from Forest Soil of Gunung Salak National Park Maman Rahmansyah & I Made Sudiana

313

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate Sebagai Sumber Antibiotik Arif Nurkanto, Febrianti Listyaningsih, Heddy Julistiono & Andria Agusta

325

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate, Maluku Utara Edi Mirmanto

341

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa Nitril dan Protein yang Diisolasi Dari Sponge di Perairan Ternate Rini Riffiani & Nunik Sulistinah

353

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium Untuk Pencarian Gen-gen Terkait Toleransi Kekeringan Menggunakan Transposon Ac/Ds pada padi cv. Batutegi E.S.Mulyaningsih, H.Aswidinnoor, D.Sopandie, P.B.F.Ouwerkerk, S. Nugroho, &I.H. Slamet Loedin

367

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi pada Pembentukkan Monyet Obes Ria Oktarina, Sri Supraptini Mansjoer, Dewi Apri Astuti, Irma Herawati Suparto & Dondin Sajuthi

383

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (Sardinella gibbosa) di Perairan Pesisir Jawa Barat Yunizar Ernawati & Mohammad Mukhlis Kamal

393

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis) di Ecology Park, Cibinong Berdasarkan Sekuen DNA dari Mitokondria d-loop Dwi Astuti & Hellen Kurniati

405

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate, Maluku: Suatu Analisis Tata Ruang Berbasis Vegetasi Roemantyo

415

Komunitas Serangga pada Bunga Rafflesia patma Blume (Rafflesiaceae) di Luar Habitat Aslinya Kebun Raya Bogor Kota Bogor Provinsi Jawa Barat Indonesia Sih Kahono, Sofi Mursidawati & Erniwati

429

Page 6: Jurnal Biologi Indonesia

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 3 (2010)

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Hetty I.P. Utaminingrum & Eko Sulistyadi

443

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya 50% dan Penilaian Karakter Tanaman Berdasarkan Fenotipnya Gatut Wahyu Anggoro Susanto & Titik Sundari

459

Page 7: Jurnal Biologi Indonesia

293

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 293-312 (2010)

Zingiberaceae of the Ternate Island: Almost A Hundread Years AfterBeguin’s Collection

Marlina Ardiyani

Herbarium Bogoriense, Botany Division, Research Center for Biology, Indonesian Instituteof Sciences (LIPI), Jl. Raya Bogor km.46, Cibinong 16912, INDONESIA.

Email: [email protected]

INTRODUCTION

The Zingiberaceae with about 54genera and over 1200 species is thelargest of the eight families comprisingthe monophyletic tropical orderZingiberales. There have beenrevisions of this family for certain areasin Malesia (e.g. Malay Peninsula byHolttum (1950); Borneo by Smith (1985,1986, 1987, 1988, 1989) and Sakai andNagamasu (2000, 2000b, 2003, 2006), butfew taxonomic studies have been carriedout especially in E Wallaceas line.Furthermore, the existing taxonomictreatments are mostly old referenceswithout keys, illustrations and incompletedescriptions of the species. Importantreferences include the monograph bySchumann (1904, 1899) and for the localtreatments, especially in the Mollucasand Papua New Guinea, are by Valeton(1913, 1914) and Smith (1975, 1977).

In order to update the gingers studyof Moluccas, the author has conductedan exploration to the Ternate Island inJuly to August 2009, almost a hundredyears after Beguin’s collectin between1920 and 1922 (Fl. Malesiana Foundation,1974). Ternate is an island in the MalukuIslands of eastern part of Indonesia,located off the west coast of the largerisland of Halmahera. The only collectionof gingers recorded from this island is byBeguin, representing nine species altoge-ther, that are deposited at Herbarium Bo-goriense (BO). The taxonomic treatmentis presented here to support the existingaccounts on the family in this region.

MATERIALS AND METHODS

Collecting methods follow that ofBurtt & Smith (1976) and Poulsen(2006). Since additional floweringmaterial was collected, measurements of

ABSTRAK

Zingiberacea Pulau Ternate: Hampir Seratus Tahun Koleksi Beguin. Ditemukan sepuluhjenis Zingiberaceae yang mewakili lima marga (Alpinia, Etlingera, Hornstedtia, Globba,Boesenbergia) di Pulau Ternate. Alpinia novae-pommeraniae K. Schum. dan A. pubiflora(Benth.) K. Schum. merupakan catatan baru untuk Maluku. Pengkoleksian kembali Alpiniaregia dari lokasi tipe memberikan tambahan informasi baru di mana spesimen tipe (Beguin1234 di herbarium L) tidak lengkap.

Kata kunci: jahe-jahean, Maluku, Pulau Ternate, Beguin.

Page 8: Jurnal Biologi Indonesia

294

Marlina Ardiyani

generative characters that are damagedin herbarium specimens were includedin species description. Herbariumspecimens deposited at BO were alsoexamined.

RESULTS

The recent collection comprised often taxa in five genera, namely Alpinia,Boesenbergia, Etlingera, Globba andHornstedtia. This result is similar toBeguin’s collection from the same areaexcept for the sterile Boesenbergia(Table 1).

The gingers can be found from lowto high altitude. Alpinia regia and A.gigantea were recorded from 700 to1,500 m altitude, while the rest were only

found from the lower altitude includingAlpinia novapommeraniae, A. nutans,Etlingera rosea, E. elatior, Globbamarantina, and Hornstedtia scottiana.

The author also collected severalcultivated species, which are not treatedhere, namely Alpinia purpurata, A.galanga (L.) Willd., A. vittata W. Bull,Costus speciosus (J.König) Sm., Costusglobosus Blume, Curcuma longa L., He-dychium coronarium Koen., Kaempfe-ria sp. and Zingiber cassumanar Roxb.

Wild gingers are not common inTernate, probably due to the absence ofriver in Gamalama mountain, because thehabitat is too dry for this plants. Nutmegand Cloves plantations, however, werefound up to c. 1,100 m alt. (Wallace1996).

Table 1. List of gingers collection by Beguin (1920–1922) and Marlina et al. (2009)

Key to The Genera of Zingiberaceae In Ternate Island(Fertile Species)

1 Lateral staminodes well developed……................................... 1. Globba Lateral staminodes reduced or absent...................................... 2 2 Inflorescence terminal on the leafy shoot................................. 2. Alpinia Inflorescence radical on separate shoot at the base................... 3 3 Labellum and filament connate to form a staminal tube above the insertion of the petals..........................................................

3. Etlingera

Labellum and filament not connate..………….……………… 4. Hornstedtia  

Beguin Marlina et al . (1920–192 2009

1 Alpinia gigantea Blume √ √2 Alpinia nova-pommeraniae K. Schum. √ √3 Alpinia nutans (L.) Roscoe √ √4 Alpinia pubiflora (Benth.) K. Schum. √ √5 Alpinia regia K. Heyne ex R.M. Sm √ √6 Boesenbergia sp. √7 Etlingera rosea B.L. Burtt & R.M. Sm. √ √8 Etlingera elatior (Jack) R.M. Sm. √ √9 Globba marantina L. √ √10 Hornstedtia scottiana (F. Muell.) K. Schum. √ √

Total 9 10

No. Species

Page 9: Jurnal Biologi Indonesia

295

Zingiberaceae of the Ternate Island:

TAXONOMY1. Globba L., Mant. pl. (1771) 170. —Type species: Globba marantina L.Valeton, Nova Guinea, Bot. 8 (1913) 925.Distribution — Thailand, Sumatra,Peninsular Malaysia, Singapore,Sarawak, Brunei, Sabah, Kalimantan,Java, Philippines, Moluccas, Papua NewGuinea.

1. Globba marantina L., Mant. pl.(1771) 170. — Type: Cat.Linn.herb. 45/1 (holo LINN); K.Schum., Pflanzenr. IV, 46 (1904) 156;Zingib. Malesia (2004) 100.

DescriptionTerrestrial herb. Leafy shoot to 45

cm long, with up to 9 leaves per shoot;base to 1 cm diameter, yellow-brown;sheath light green, glabrous; ligule ca. 1mm long, hairy; petiole to 2 mm long, lightgreen, glabrous; lamina elliptic, to 14.5— 5.2 cm, green and glabrous above, palegreen and hairy beneath; base acute;apex caudate. Inflorescence terminal.No flowers found in the specimens, onlybulbs in the inflorescence. Inflorescence

according to Schumann (1904), panicleglobose without bract at the lowest part,bracts 1.2-2.2 cm long, imbricate, elliptic,or suborbicular, slightly acute. Accordingto Holttum (1950), flowers when presentyellow, staminodes longer than corolla-lobes, lip with apex much base of corolla-lobes, anther 4 spurs.Vernacular name:

Not recordedUses:

Not recordedDistribution:

WidespreadEcology and habitat:

In nutmeg plantations.Materials examined:

North Moluccas. Ternate, AkeBobotja, 25 m, 4 October 1920, V.M.A.Beguin 840 (BO!); Ternate, KottaBaroe, ca. 3 m, 6 May 1921, V.M.A.Beguin 1556 (BO!); Ternate, Loboso,c.10 m, 5 March 1938, Anang 121;Ternate, Maliaro (00°47.098’N,27°21.200’E), 425 m, 29 July 2009,Marlina Ardiyani 204 with RudiSamsudin (BO!).

1. Flowers white or greenish white…………………………........... 2 Flowers dark red………….…………….....…………….…….…. 2.1. A. nutans2. Inflorescence branched and secund….………...………….….. 2.2. A. regia Inflorescence branched or not, not secund …..……..……....... 33. Leaves hairy beneath; labellum large c. 3.8 × 4.3 cm; fruits 2.3. A. novae pommeraniae Leaves puberulous or glabrous beneath; labellum small c. 4 12-17 × 7-9.5 mm; fruits glabrous ………….……………………4. Inflorescence not branched; fruits c. 2.5 cm diameter……..… 2.4. A. gigantea Inflorescence not branched; fruits small c. 5 mm diameter … 2.5. A. pubiflora

Key to species of Alpinia

Page 10: Jurnal Biologi Indonesia

296

Marlina Ardiyani

2. Alpinia Roxb., Asiat. Res. 11(1810) 350; Valeton, Nova Guinea, Bot.8 (1913) 937; R.M. Smith, Notes Roy.Bot. Gard. Edinburgh 34 (1975) 180;R.M. Smith, Notes Roy. Bot. Gard.Edinburgh 35 (1977) 195. Distribution:Throughout Malesia.

2.1 Alpinia nutans (L.) Roscoe, Exot.Bot. 2 (1805) 93. (Figure 1)Basionym: Globba nutans L., Mant. pl.(1771) 170. Type: Herb. amboin. 6: 140,t. 62, 63 (1750).Synonym: Alpinia molucana Gagnep.,Bull. Soc. Bot. France 48 (1901) XC.Type: C. Gaudichaud-Beaupré 101,Moluccas, Pulau Lawak (holo P).

Terrestrial herb in dense clump (to13 cm between leafy shoots), withoutstilted-root. Leafy shoot to 7.2 m long,with up to 19 leaves per shoot; base to11 cm diameter, light green with brownscale, rhizome yellowish white inside, mildtaste; sheath green, glabrous; ligule ca.2 cm long, apex acute-rounded, coarseand scarcely hairy, with brown margin;petiole 1.5–2.5 cm long, green, reticulate;lamina lanceolate, 81–150 × 15.5–27 cm,dark green, base rounded, oblique, marginslightly undulate, yellow, ciliate withbrown hairs, apex acute to acuminate,both surfaces glabrous. Inflorescencesnot branched, terminal, with ca. 20flowers, 1 open at a time; peduncle erectthen pendent, to 60 cm long, yellowishgreen, glabrous; peduncular bracts to 51cm long, light green with drying brownapex; spike ca. 76 × 11.5 cm; fertilebracts, spathulate, ca. 8 × 3.6 cm, darkred, margin undulate; bracteole tubular,to 2.5 × 1.5 cm, drying brown. Flowers

3.5–4.2 cm long; calyx ca. 1.6 × 8–10mm, apex 3-toothed with spiny tips, darkred, glabrous, persistent at fruiting stage;corolla tube ca. 1.3 cm long, red; dorsallobe hooded, ca. 14 × 7 mm, marginincurved, red, glabrous; lateral lobeshooded, ca. 11 × 9 mm, margin incurved,red, glabrous; labellum elliptic, ca. 14 × 8mm, apex acute-rounded, dark red,glabrous; filament ca. 15 mm long, red,glabrous; anther ca. 11 × 5 mm; style ca.3.1 cm long, white; stigma white; ovaryto 1 × 1 cm, white-green, glabrous;Infructescences ca. 67.5 × 8.5 cm, withca. 47 capsules. Capsule globose, 1.5–3.1 × 1.8–2.7 cm, light green with reddishbrown tinge when immature, turning toreddish orange or dark red at maturity,glabrous; seeds brown, aril greyishbrown transparent.

Vernacular name:Manoa, Moa, Goloba koi.

Uses:The young shoots are used for

cooking and the mature one for makingrope.Etymology:

The specific epithet Alpinia nutansrefers to the nodding inflorescences.Ecology and habitat:

Widespread in the Ternate Island.Found in disturb forests,and also in cloveand nutmeg plantations.Distribution:

MoluccasMaterials examined:

North Moluccas. Ternate Island:Foramadiahi, 350 m alt., 26 December1920, flowering & fruiting, V.M.A.Beguin 1273 (BO!); Tabahawa, 300 m

Page 11: Jurnal Biologi Indonesia

297

Zingiberaceae of the Ternate Island:

A B C

D E F

GH

br

fe

fr

sefr

Figure 1. Alpinia nutans. A. Infructescence. B. Young inflorescence. C. Old inflorescence. D.Ligule and base of leaf blade. E. Apex of leaf blade. F. Young fruits and bracts: br = bract,fe = fertile bract, fr = fruit. G. Flower. H. Fruits: fr – fruit, seed. M. Ardiyani 203. Photographsby M. Ardiyani.

Page 12: Jurnal Biologi Indonesia

298

Marlina Ardiyani

alt., 15 October 1920, flowering &fruiting, V.M.A.Beguin 944 (BO!, L);Maliaro, 00°47.130’N, 127°21.328’E, 385m alt., 29 July 2009, flowering & fruiting,Marlina Ardiyani & Rudi Samsudin203 (BO!).

2.2. Alpinia regia K. Heyne ex R.M.Sm., Notes Roy. Bot. Gard. Edinburgh35 (1977) 203; Checkl.Zingib.Malesia(2004) 28. Type: V.M.A. Beguin 1234,Moluccas, Pulau Ternate (holo L; isoBO!, E). (Figure 2)

Terrestrial, giant herb in dense clump(to 15 cm between leafy shoots), withstilted-root. Leafy shoot to 5–10 m long,11.5 cm diameter, with up to 13 leavesper shoot; base to 22 cm diameter,orange-brown, glabrous; sheath yellowishgreen with brown spots except dryingorange-brown towards basal part,glabrous; ligule to 4.5 cm long, apexacute-rounded, yellowish brown, hairy;petiole to 11 cm long, winged, basal partear-shaped, crenulate, yellowish green,glabrous; lamina lanceolate, ± plicate,easily torn, to 245 × 45 cm, base cuneate,oblique, apex acute, upper surface darkgreen, lower surface yellowish green,glabrous. Inflorescences 3–4 branches,with ca. 145 flowers, 10–15 open at atime; peduncle erect, to 78 cm long, 2cm diameter, yellowish green, denselytomentose except for lowest beforebranches glabrous; peduncular bracts to85 × 12 cm, drying brown; fertile bractstubular, ca. 1.5 × 1.2 cm, mouth slantingto 2/3 of length, drying brown; bracteoletubular, to 16 × 8 mm, apex asymmetric,light green on lower ¾, brown on upper¼. Flowers glabrous: hermaphrodite

flowers ca. 4.2 cm long; calyx ca. 12 × 6mm, apex 3-toothed, light green withdrying brown edges; corolla tube ca.11× 4.5 mm, cream-white; dorsal lobehooded, ca. 2.2 × 1.2 cm, slightly boat-shaped, apex cucullate, greenish white;lateral lobes lanceolate with slightlyhooded apex, ca. 18 × 8 mm, marginslightly wrinkled; lateral staminodes 3 mmlong, white; labellum lanceolate, ca. 26 ×9.5 mm, apex rounded, fimbriate, cream-white; filament ca. 22 × 8 mm, very thick,white; anther ca. 8 × 1.5 mm, anther crestciliate with short hairs; style ca. 3 cmlong, white; stigma light green; ovary to9 × 8.5 mm, green. Infructescence to 64× 9.5 cm, with ca. 40 capsules. Capsuleglobose, 2.5 × 1.7 cm, green, glabrous;seeds white, aril white.Vernacular name:

Dubele.Uses:

The young shoot eaten raw or usedfor cooking.Etymology:

The epithet regia refers to the habitof the species.Ecology and habitat:

Alpinia regia only can be foundfrom 700 m to 1500 m alt. in Mt.Gamalama near Maliaro. There are onlytwo populations oberved along the trailto the mountain from Maliaro villagebetweeen 00°47.494' N, 127°20.809' Eat 740 m alt. to 00°47.764’N,127°20.749’E at 1003 m alt. In the NorthForamadiahi, the species was collectedat 1400–1450 m alt. by Beguin.Distribution:

Celebes, Moluccas, Papua NewGuinea.

Page 13: Jurnal Biologi Indonesia

299

Zingiberaceae of the Ternate Island:

Figure 2. Alpinia regia. A. Infructescence with some open flowers. B. Infructescence, close-up, shows secund inflorescence. C. Young inflorescence. D. Base of leafy-shoot. E. Liguleand base of winged petiole. F. Petiole. G. Leaves. H. Flowers, close-up. I. Flowers: fe =fertile bract, bl = bracteole, ca = calyx, cl = corolla lobe, la = labellum, ov = ovary, ss =stamen and stigma, fr = fruit. M. Ardiyani 220. Photographs by M. Ardiyani.

A B C

DE

F

G

H

I

feca

la

cl

ov

ss

clclfe

blfr

Page 14: Jurnal Biologi Indonesia

300

Marlina Ardiyani

Materials examined:North Moluccas. Ternate Island:

West Sanoto Besar, 600 m alt., 4 April1922, flowering & fruiting, V.M.A.Beguin 1943 (BO!); Mt. Gamalama,00°47.764’N, 127°20.749’E, 1003 m alt.,1 August 2009, flowering & fruiting,Marlina Ardiyani et al. 220 (BO).Notes. Alpinia regia is rare, since onlytwo populations were found, in Mt.Gamalama and observed to be slow inreaching its giant state. Its young shootsare harvested for food, thus conservationeffort is needed for this species fromextinction in the wild. Smith (1977) statedthat this species has sessile leaves as shedid not observe the basal part of the leafon the material examined. However,based on the recent collection from thetype locality and the isotype specimendeposited in BO, this plant is petiolate;petiole is up to 11 cm long.

2.3. Alpinia novae-pommeraniae K.Schum., Bot. Jahrb. Syst. 27 (1899) 285;Checkl. Zingib. Malesia (2004) 24. Type:F.O. Dahl 131 (syn B, probably lost inSecond World War), O. Warburg 16158(syn B, probably lost in Second WorldWar). (Figure 3)

Terrestrial herb in dense clump (to4.5 cm between leafy shoots), withoutstilted-root. Leafy shoot to 1.6 m long,with up to 7 leaves per shoot; base to 3.5cm diameter, yellow-white; sheathyellowish green, glabrous; ligule to 8 mmlong, slightly bilobed, green, puberulous;petiole to 8.5 cm long, green, puberulous;lamina lanceolate, to 76 × 11 cm, plicate,margin undulate, dark green and glabrousabove, shiny pale green, velvety beneath;

base oblique, obtuse; apex caudate.Inflorescences terminal, ca. 29 cm long,with ca. 9 flowers, 2 open at a time;peduncle erect, to 6.5 cm long, green,velvety; peduncular bracts to 35 cm longforming sheath and lamina, green; nofertile bracts; bracteole enclosing theovary, slit to base on one side, to 25 × 8mm, white, puberulous. Flowers ca. 5 cmlong; ovary to 1 × 6 mm, yellowish green;calyx tubular, 3-toothed, 18.5 mm × 6mm, white, hairy; corolla tube ca. 14.5 ×8 mm, white; dorsal lobe oblong, withslightly hooded apex, ca. 2.5 × 1.65 cm,yellowish white, slightly transparent;lateral lobes lanceolate with round apex,apex slightly hooded, ca. 2.1 × 1.1 cm;lateral staminodes ca. 3.5 mm long,pinkish; labellum obovate, ca. 3.8 × 4.3cm, ca. 1.1 cm wide at the narrowestpart, red with yellow margin and red lines;filament ca. 12 × 3 mm, yellowish greenwith pinkish base; anther ca. 11 × 8.5mm, cream-white; style ca. 3.4 cm long,white; epigynous glands ca. 3 mm long;stigma yellowish white. Infructescencehead to 14 × 7 cm, with ca. 9 fruits perhead, fruit globose, ca. 3 × 2.4 cm, red,hairy; seed black, aril white.Vernacular name:

Madamonge.Uses:

Fruits eaten.Ecology and habitat:

This species was only found in AirTege-tege where there was spring water.This species probably prefers moist areaas it was not found in relatively dryplaces.Distribution:

Moluccas (new records), PapuaNew Guinea.

Page 15: Jurnal Biologi Indonesia

301

Zingiberaceae of the Ternate Island:

A B C

D EF G

H I

fe ov

ca cl cl

cl

lawf

fr

ss

ss

Figure 3. Alpinia novae-pommeraniae. A. Inflorescence. B. Infructescence. C. Ligule andpetiole. D & E. Flowers, close-up. F. Base of leaf blade. G. Apex of leaf blade. H. Flower,side view. I. Flowers: wf = whole flower, fe = fertile bract, ca = calyx, cl = corolla lobe, la= labellum, ov = ovary, ss = stamen and stigma, fr = fruit. M. Ardiyani 231. Photo-graphs by M. Ardiyani.

Page 16: Jurnal Biologi Indonesia

302

Marlina Ardiyani

Material examined:North Moluccas. Ternate, s.d.,

flowering and fruiting, V.M.A. Beguin1263 (BO!); Ternate, Air Tege-tege(00°47’280'’N, 127°21’20.7'’E), 404 m,3 August 2009, flowering and fruiting,Marlina Ardiyani et al. 231(BO!).

2.4. Alpinia gigantea Blume, Enum.pl. Javae (1827) 59; Checkl. Zingib.Malesia (2004) 16. Type: C.G.C.Reinwardt s.n. (holo BO!, syn E).(Figure 4)

DescriptionTerrestrial herb in dense clump, with

stilted-root. Leafy shoot to 4-6 m long;base to 8.5 cm diameter, orange-brown,glabrous; sheath greenish brown,glabrous; ligule to 1.2 cm long, apexacute-rounded, brownish green, coarse;petiole to 4.5 cm long, light green,glabrous; lamina lanceolate, plicate, to124 × 26.5 cm, dark green and glabrousabove, pale green, glabrous beneath; baseacute-rounded; apex acuminate.Inflorescence terminal, to 100 cm long,with ca. 25 flowers, ca. 2 open at a time;spike to 60 × 5.5 cm, not secund;peduncle pendent, to 40 cm long, green,glabrous; peduncular bracts to 67 cmlong, drying brown; fertile bracts formingtube, slit to the base at one side, ca. 2 ×1.2 cm, drying brown; bracteole enclosingthe ovary, tubular, to 15 × 7 mm, lightgreen, glabrous. Male flower ca. 3 cmlong; ovary to 5 × 4 mm light green,glabrous; calyx tubular, 3-toothed, 10 ×6 mm, green with brown edge at apex,glabrous; corolla tube 15 × 5 mm, cream-white; dorsal lobe flat, erect, with slightly

hooded apex and with brown edge, to 15× 9 mm, light green, transparent on sidesand on the lowest part, glabrous; laterallobes elliptic, sides slightly folded, withslightly hooded apex, hooded apex withbrown tinge, to 9.5-12 × 5.5-7 mm, lightgreen, transparent on the lower part;teeth 3 mm long, cream; labellumspathulate, to 12-17 × 7-9.5 mm, creamyellow, wrinkled and white-green atapex, glabrous; filament thick, ca. 9.5-12 × 6.5 mm, cream-white; anther ca.6-8 × 4.5-6.5 mm, cream; epigynousglands ca. 1.5 mm long, cream.Infructescence: fruit elongate, ca. 2.5 ×2 cm, green, glabrous; seed whitetransparent, aril white.Vernacular name:

not recorded.Uses:

not recorded.Etymology:

gigantea means giant though A.regia is much bigger.Ecology and habitat:

In secondary forest. The leafyshoot looks similar to the giant Alpiniaregia.Distribution:

Moluccas.Materials examined:

North Moluccas. Ternate, NorthForamadiahi, V.M.A. Beguin 1489 (BO);Ternate, North Foramadiahi, c.1450 m,14 March 1921, flowering, V.M.A.Beguin 1529 (BO!); Ternate, NorthForamadiahi, c.1400 m, 13 March 1921,flowering, V.M.A. Beguin 1524 (BO!);Ternate, North Foramadiahi, 1450 m, 14March 1921, flowering, V.M.A. Beguin1530 (BO!); Ternate, s.d. , V.M.A.

Page 17: Jurnal Biologi Indonesia

303

Zingiberaceae of the Ternate Island:

Figure 4. Alpinia gigantea. A. Infructescence. B & C. Infructescence, close-up. D. Ligule. E.Base of leaf blade. F. Apex of leaf blade. G. Young inflorescence. H. Male flowers, close-up: fe = fertile bract, bl = bracteole, ca = calyx, cl = corolla lobe, la = labellum, ov = ovary,aborted, st = stamen, fr = fruit. M. Ardiyani 222. Photographs by M. Ardiyani.

A B C

D E F

G

H

fe

bl

ca

cl

clcl

la

st

ov

fr

Page 18: Jurnal Biologi Indonesia

304

Marlina Ardiyani

Beguin 1664 (BO!); Ternate,Gamalama mountain (00°47’54.1'’N,127°21’35.0'’E), 1206 m, 1 August 2009,flowering and fruiting, Marlina Ardiyaniet al. 221(BO); Ternate, Gamalamamountain (00°47’45.7'’N,127°20’44.8'’E), 992 m, 1 August 2009,flowering and fruiting, Marlina Ardiyaniet al. 222 (BO).

2.5. Alpinia pubiflora (Benth.) K.Schum., Pflanzenr. IV, 46 (1904) 313;Checkl. Zingib. Malesia (2004) 27.Basionym: Hellenia pubiflora Benth.,London J. Bot. 2 (1843) 235; Languaspubiflora (Benth.) Merr., Enum. Philipp.fl. pl. 1 (1923) 233.Type:

G.W. Barclay s.n. (August1840)(syn K), Pulau Yapen, R.B. Hindss.n. (syn K).Description

Terrestrial herb with leafy shoot to2.5 m long; ligule to 1.2 cm long, apexacute-rounded; petiole to 5 mm long,glabrous; lamina lanceolate, to 30 × 5 cm,dark green and glabrous above, palegreen, glabrous beneath; base acute;apex acuminate. Inflorescencesbranched, terminal, to 20 cm long, withca. 25 flowers; peduncle erect, to 5 cmlong, green, pubescent. Flowers ca. 1 cmlong, white-green; calyx tubular, 3-toothed, ca. 2.5 cm long, pubescent;corolla tube ca. 3 cm long; dorsal lobeflat, to 25 × 9 mm, pubescent; laterallobes elliptic, sides slightly folded, apexslightly hooded, to 25 × 7 mm; labellumspathulate, to 30 × 9.5 mm, pubescent.Infructescence: fruit round, ca. 5 × 5 mm,green, glabrous.

Vernacular name: not recorded.

Uses:not recorded.

Etymology:pubiflora means the flowers are

pubescent.Ecology and habitat:

In secondary forest.Distribution:

Philippines, Moluccas, West Papua.Materials examined:

North Moluccas. Ternate, c.20 m, 9May 1921, flowering & fruiting, V.M.A.Beguin 1615 (BO!).Notes:

The author did not find this speciesduring the exploration. More work isneeded before we confirm that they areextinct in the wild.

3.Hornstedtia Retz., Observ. bot. 6(1791) 18. Valeton, Nova Guinea, Bot. 8(1913) 927; Checkl.Zingib.Malesia(2004) 111. Type: Hornstedtiascyphifera (J. König) Steud.Distribution:

Sumatra, Peninsular Malaysia,Singapore, Sarawak, Sabah, Kalimantan,Java, Philippines, Sulawesi, Moluccas,West Papua, Papua New Guinea.

3.1 Hornstedtia scottiana (F. Muell.)K. Schum., Pflanzenr. IV, 46 (1904) 194;Checkl.Zingib.Malesia (2004) 116.

Basionym: Elettaria scottiana F.Muell. Lectotype: J. Dallachy s.n.(MEL, designated by Smith, 1987),Queensland; Amomum lycostomumLauterb. & K. Schum. ex K. Schum.,nom. nud., Bot. Jahrb. Syst. 27 (1899)

Page 19: Jurnal Biologi Indonesia

305

Zingiberaceae of the Ternate Island:

305; Hornstedtia lycostoma Lauterb. &K. Schum., Fl. Schutzgeb. Südsee (1900)228. — Type: C.A.G. Lauterbach 2495,2542 (syn B), Papua New Guinea.(Figure 5)

Terrestrial herb in dense clump (to6 cm between leafy shoots), withoutstilted-root. Leafy shoot to 5.35 m long,with up to 33 leaves per shoot; base to6.5 cm diameter, golden brown; sheathgreen, glabrous; ligule 8–13 mm long,apex rounded, dark green, hairy;subsessile or petiolate, petiole ca. 6 mmlong, green, pubescent except glabrouson lower part; lamina lanceolate, ca. 69.5× 14.5 cm, base cuneate, apex acuminate,upper surface green, lower surface palegreen, both surfaces glabrous.Inflorescences radical, 10–15 cm long,erect, ca. 1 flower open at a time;peduncle 4–8 cm long; peduncular bractsslightly boat-shaped, brown, darker onmargin; sterile bracts concave, 7.2–8.5× 3.1 cm, inner part reddish grey, outermaroon, puberulous; fertile bracts boat-conical-shaped, ca. 6.7 × 2.5 cm, pinkishwhite, glabrous; bracteole boat-shaped,45 × 7 mm, apex caudate, translucentwhite with pinkish apex. Flowers to 8 cmlong; calyx tubular, ca. 60 × 8.5 mm,deeply bilobed, transparent tinged withpink at apex and basal part, persistent atfruiting stage; corolla tube ca. 6.4 cmlong, pinkish white at 2/3 lower part, darkred on 1/3 upper; dorsal lobe lanceolate,ca. 17 × 11.5 mm, apex slightly hooded,

with rounded tips, translucent red onmargin; lateral lobes lanceolate, ca. 17 ×8 mm, apex rounded; labellum ovate, ca.1.7 × 1.4 cm, white with median red;filament ca. 6.4 cm long, pinkish white;anther ca. 13 × 4.5 mm, cream-white;style ca. 7.7 cm long, white; stigma white;epigynous glands ca. 4 mm long,yellowish white; ovary to 7 mm, golden-white, hairy. Infructescences ca. 11.5 ×5.5 cm. Capsule elongate, ca. 3.2 × 1.2cm, cream-white with red tinge at apex;seeds black, aril white.

Vernacular name:Goloba kusi; Goloba boboedo.

Uses:Fruits eaten.

Ecology and habitat:In disturbed forests.

Distribution:Moluccas, Papua New Guinea.

Materials examined:North Moluccas. Ternate, Forama-

diahi, 350 m, 9 December 1920,flowering, V.M.A. Beguin 1208 (BO!);Ternate, Foramadiahi, 500 m, 22November 1920, flowering and fruiting,V.M.A.Beguin 1165 (BO!); Ternate,s.d., flowering, V.M.A. Beguin 1272(BO!, L, K); Ternate, s.d., flowering,V.M.A. Beguin 1663 (BO!); Ternate,Maliaro (00°47.112’N, 127°21.452'E),318 m, 31 July 2009, flowering & fruiting,Marlina Ardiyani 219 with RudiSamsudin (BO!).

Key to The Species of Etlingera 1. Peduncle of inflorescence long, to 30 cm; fruit spiny.……….………………4.1. E. rosea

Peduncle of inflorescence short, to 9 cm; fruit smooth………….……....…4.2. E. elatior

Page 20: Jurnal Biologi Indonesia

306

Marlina Ardiyani

A B

C D E

F G

frssla

cl

cabl

fe

ifr ifl

Figure 5. Hornstedtia scottiana. A. Radical inflorescence. B. Inflorescence, close-up withdissection. C. Ligule and base of leaf blade. D. Apex of leaf blade. E. Base of leaf blade. F.Flower, close-up. G. Flowers, close-up: ifr = infructescence with dissection, ifl =inflorescence with dissection, fe = fertile bract, bl = bracteole, ca = calyx, cl = corolla lobe,la = labellum, ov = ovary, ss = stamen and stigma, fr = fruit. M. Ardiyani 219. Photographsby M. Ardiyani.

Page 21: Jurnal Biologi Indonesia

307

Zingiberaceae of the Ternate Island:

4.Etlingera Giseke,Prael. ord. nat. pl.(1792) 209; Valeton, Nova Guinea, Bot.8 (1913) 930; Checkl.Zingib.Malesia(2004) 72. Type: Etlingera littoralis(J. König) Giseke.

Distribution:Thailand, Sumatra, Peninsular

Malaysia, Sarawak, Brunei, Sabah,Kalimantan, Java, Philippines, Sulawesi,Moluccas, West Papua, Papua NewGuinea.

4.1. Etlingera rosea B.L. Burtt &R.M. Sm., Notes Roy. Bot. Gard.Edinburgh 43 (1986) 240., nom. nov.;Donacodes roseus Teijsm. & Binn.,nom. nud., Catalogus van ‘s LandsPlantentuin te Buitenzorg (1854) 58;Cardamomum roseum Kuntze, nom.illeg., Revis. gen. pl. 2 (1891) 687;Amomum roseum K. Schum., nom. illeg.,Pflanzenr. IV, 46 (1904) 256; Geanthusroseus Loes., nom. illeg., Nat.Pflanzenfam. ed. 2, 15,A (1930) 593.Type: J.E. Teijsmann s.n. (BO!, K).(Figure 6)

Terrestrial herb in dense clump (to20 cm between leafy shoots), withoutstilted-root. Leafy shoot ca. 5 m long, withup to 21 leaves per shoot; base to 6.5 cmdiameter, golden brown, hairy; sheathgreen, glabrous; ligule to 1.2 cm long, ±rounded, dark green, glabrous; petiole ca.2.5 cm long, green, glabrous; laminalanceolate, 75 × 15.4 cm, green andglabrous above, pale green and glabrousbeneath; with hairy margin; base round;apex acuminate. Inflorescences to 17 cmlong, arising from base of leafy shoot,erect, with 32 flowers, ca. 8 open at a

time; peduncle to 9 cm long; peduncularbracts boat-shaped, apex rounded,mucronate, creamish yellow; sterilebracts slightly boat-shaped, ca. 3.2 × 1.7cm, apex hooded, acute, spiny, light greenwith yellow-orange tinge except goldenbrown towards the base; fertile bractselongate, folded inward, ca. 4.5 × 1.6 cm,light green with yellow-orange tingeexcept golden brown towards the base,hairy; bracteole boat-shaped, enclosingthe ovary, ca. 1.7 × 1 cm, translucentwith golden brown tinge, hairy. Flowersca. 5 cm long; calyx tubular, ca. 20 × 4mm, apex 3-toothed, golden cream-yellow, hairy; corolla tube 18 × 3 mm,white with yellowish tinge, lobes whitewith yellowish tinge, edges curvedinwards, apex curled inwards; dorsal lobeca. 2.4 cm long, ca. 3 mm wide at base,ca. 6 mm wide at apex, lateral lobes ca.1.9 cm long, ca. 3.5 mm wide; staminaltube ca. 3 mm long, white; labellum ca.2.8 cm long with ca. 9 mm wide at apex,sides overlapped, apex curled outwards;filament ca.13 × 3 cm, white, scarcelyhairy; anther ca. 5.5 mm long, ca. 3.5mm wide, white-yellow, anther crestabsent; epigynous glands ca. 3 mm long;style ca. 3.5 cm long, white; stigma ca.1.5 mm wide, white-yellow; ovary to 6mm long, golden yellow-brown, hairy.Infructescences head to 9 cm long and 6cm diam., subglobular, bracts notpersistent, with ca. 30 fruits per head,fruit ca. 1.8 × 1.7 cm, globular, spiny withcalyx remnant at apex, cream-yellowwith cream-yellow to pink spines, spinesto 3 mm long, curved; seed white, arilwhite transparent.

Page 22: Jurnal Biologi Indonesia

308

Marlina Ardiyani

A B

C

D E

F

Gss

la

clcablfe

fr

ov

Figure 6. Etlingera rosea. A. Inflorescence, close-up. B. Infructescence, close-up. C. Ligule.D. Base of leaf blade. E. Apex of leaf blade. F. Inflorescence and infructescence. G. Flowers,close-up: fe = fertile bract, bl = bracteole, ca = calyx, cl = corolla lobe, la = labellum, ov =ovary, ss = stamen and stigma, fr = fruit. M. Ardiyani 218. Photographs by M. Ardiyani.

Page 23: Jurnal Biologi Indonesia

309

Zingiberaceae of the Ternate Island:

Vernacular name:Goloba Papua.

Uses:Fruits eaten.

Etymology:rosea refers to the colour of the

flower that is pink, but sometimes theflowers are white-yellow.Ecology and habitat:

In disturbed forests.Distribution:

Celebes, Moluccas.Materials examined:

North Moluccas. Ternate,Foramadiahi, 600 m, 22 November 1920,flowering and fruiting, V.M.A. Beguin1167 (BO!); Ternate, s.d., flowering,leg. ign. 1024 (BO!); Ternate, Lagoena,450 m, 12 May 1920, fruiting, V.M.A.Beguin 684 (BO!); Ternate, Maliaro(00°47.112’N, 127°21.452'E), 318 m, 31July 2009, flowering and fruiting, MarlinaArdiyani 218 with Rudi Samsudin(BO!).

4.2. Etlingera elatior (Jack) R.M.Sm., Etlingera elatior (Jack) R.M. Sm.,Notes Roy. Bot. Gard. Edinburgh 43(1986) 244; Checkl.Zingib.Malesia(2004) 75. Basionym: Alpinia elatiorJack, Descriptions of Malayan Plants2(7) (1822) 2; Nicolaia elatior (Jack)Horan., Prodr. Monogr. Scitam. (1862)32. — Type: W. Jack s.n. (1818),specimen lost.Nicolaia intermedia Valeton, Bull. Jard.Bot. Buitenzorg ser. 3, 3 (1921) 133. —Type: Anon. s.n. (HB XI B IV 101) (holoBO), Java: W. Jack s.n. (1818),specimen lost.

Distribution:Widespread.

DescriptionTerrestrial herb in dense clump (to

20 cm between leafy shoots), withoutstilt-rooted. Leafy shoot to 4 m long, withup to 22 leaves per shoot; base to 7 cmdiameter, light green with drying brownscales; sheath light green with greenishbrown marks, glabrous; ligule to 1.6 cmlong, apex slightly bilobed to rounded,yellowish green, glabrous; petiole ca. 2.5cm long, yellowish green, glabrous;lamina lanceolate, ca. 85 × 18.5 cm,yellowish green and glabrous above, lightgreen and glabrous beneath; basecordate, oblique; apex acuminate,oblique. Flowering shoot to 1.5 m long,arising from base of leafy shoot, erect,with ca. 17 flowers open at a time;peduncle to 1.5 m long, glabrous;peduncular bracts ca. 10 cm long, green,glabrous; spike ca. 8 cm long and ca. 2cm wide in lower part, conical-shape;sterile bracts obovate to lanceolate withacute apex, ca. 11 × 7 cm, pink withdarker pink tinge on margin, greenishyellow on lowerpart; fertile bractslanceolate, ca. 7 × 1.7 cm, red with pinktransparent margin, creamish white onlower part, glabrous; bracteole boat-shaped, deeply slit in one side, ca. 2.6 ×1.3 cm, dark pink, transparent, lanceolateto broadly lancelate. Flowers ca. 5 cmlong; corolla tube ca. 1.3 cm long, creamwhite with pink tinge, lobes red, dorsallobe ca. 25 × 7 mm, lateral lobes ca. 25× 5 mm; staminal tube ca. 1 cm long,white; labellum folded on sides, forminga tunnel, ca. 12.8 cm long and ca. 2 cmwide at the widest part, dark red with

Page 24: Jurnal Biologi Indonesia

310

Marlina Ardiyani

yellow margin; filament ca. 25 × 3 mm,white; anther ca. 9 mm long, ca. 3.5 mmwide, red with white tinge; epigynousglands ca. 4 mm long, light yellow; styleca. 3.5 cm long, pink; stigma maroon;ovary to 4.5 mm long, white, hairy; calyxtubular, deeply slit in one side, ca. 3.4 cmlong and ca. 1.3 cm diameter, red,glabrous. Infructescences head to 10 cmlong and ca. 8 cm diam., subglobular, withca. 50 fruits per head, fruit ca. 1.8 × 1.7cm, globular, with brown drying calyxremnant, red.Vernacular name:

Patikala.Uses:

Flowers, fruits and young shoot areused for cooking.Ecology and habitat:

In disturbed forest.Distribution:

Widespread.Materials examined:

North Moluccas. Ternate, 1921,V.M.A. Beguin 1250 (BO!); Ternate,Laguna, 350 m, 24 April 1920, flowering,V.M.A. Beguin 594 (BO!); Ternate,Maliaro (00°47.144’N, 127°21.205'E), 437m, 29 July 2009, flowering and fruiting,Marlina Ardiyani 207 with RudiSamsudin (BO).

Incomplete Species1. Boesenbergia sp.Description

Terrestrial herb, rhizomes smell likeBoesenbergia rotunda. Leafy shoot to45 cm long, with up to 4 leaves per shoot;base to 1.5 cm diameter, red-brown;leafless sheath red; sheath green, glabrous;ligule ca. 1 mm long; petiole to 8 cm long,

green, glabrous; lamina elliptic, to 23 ×10 cm, green and glabrous above, palegreen and glabrous beneath; base acute;apex slightly acuminate.Ecology and habitat:

In nutmeg plantations.Materials examined:

Ternate, Maliaro (00°47.098’N,127°21.200'E), 425 m, 29 July 2009,Marlina Ardiyani 208 with RudiSamsudin (BO!).

ACKNOWLEDGEMENT

The exploration was funded byIptekda Khusus, LIPI (IndonesianInstitute of Sciences) as part of theproject “IPTEKDA KHUSUS TernateExpedition 2009”. The author is indebtedto Dr Ibnu Maryanto who organized theexpedition; Drs Syamsir Andili, Major ofTernate and his staff who have helpedthe team in the field. I appreciate valuablecomments on the manuscript from Ms.Avelinah Julius from FRIM, Malaysia.Many thanks are also due to Dr MarkNewman who helped to identify Alpiniaspecies.

REFERENCES

Blume, CL. 1827. Enumeratio planta-rum Javae. Lugduni Batavorum.

Burtt, BL. & RM. Smith. 1976. Noteson the collection of Zingiberaceae.Flora Malesiana Bull. 29: 2599-2601.

Burtt, BL. & RM. Smith. 1986. Etlinge-ra: the inclusive name for Achasma,Geanthus, and Nicolaia (Zingibera-

Page 25: Jurnal Biologi Indonesia

311

Zingiberaceae of the Ternate Island:

ceae). Notes from the Royal Bot.Garden Edinburgh 43: 235-241.

Giseke, PD. 1792. Praelectiones inOrdines Naturales Plantarum.

Jack, W. 1822. Descriptions ofMalayan Plants 7. MalayanMiscellanies. Sumatra MissionPress, Bencoolen.

Kress, WJ., LM. Prince & KJ. Williams.2002. The phylogeny and a newclassification of the gingers(Zingiberaceae): evidence frommolecular data. Amer. J. Bot.89:1682-1696.

Kress, WJ. 1990. The phylogeny andclassification of the Zingiberales.Ann. Missouri Bot.Garden 77: 698-721.

Newman, M., A. Lhuillier & AD.Poulsen. 2004. Checklist of theZingiberaceae of Malesia. Blumea.Sup. 16: 1-163.

Ngamriabsakul, C., MF. Newman &QCB. Cronk. 2000. Phylogeny anddisjunction in Roscoea (Zingibe-raceae). Edinburgh J. Bot. 57: 39-61.

Poulsen, AD. 2006. Etlingera ofBorneo. Natural History Publi-cations (Borneo), Kota Kinabalu,Malaysia & Royal Botanic GardenEdinburgh, Scotland. 263 pp.

Roxburgh, W. 1812. Descriptions ofseveral of the monandrous plants inIndia, belonging to the natural ordercalled Scitamineae by Linnaeus,Cannae by Jussieu and Drimyrhizaeby Ventenat. Asiatic Research orTrans. Soc. 11: 318-362.

Schumann, K. 1904. Zingiberaceae. InEngler, A. (ed.). Das Pflanzenreich

IV. Vol 46. Wilhelm Engelmann,Leipzig, Germany.

Sakai, S. & H. Nagamasu. 1998.Systematic studies of BorneanZingiberaceae: I. Amomum inLambir Hills, Sarawak. EdinburghJ. Bot.

Sakai, S. & H. Nagamasu. 2000a.Systematic studies of BorneanZingiberaceae: II. Elettaria ofSarawak. Edinburgh J. Bot. 57(2):227—243.

Sakai, S. & H. Nagamasu. 2000b.Systematic studies of BorneanZingiberaceae: III. Tamijia: A new.Edinburgh J. Bot 57: 245—255.

Sakai, S. & H. Nagamasu. 2003.Systematic studies of BorneanZingiberaceae: IV. Alpinioideae ofLambir Hills, Sarawak. EdinburghJ. Bot. 60(2): 181—216.

Sakai, S. & H. Nagamasu. 2006. Syste-matic studies of Bornean Zingibera-ceae V. Zingiberoideae of LambirHills, Sarawak. Blumea 51(1):95—115.

Schumann, KM. 1899. Monographie derZingiberaceae von Malaisien undPapuasien. Botanische Jahrbü-cher für Systematik, Pflanzenges-chichte und Pflanzengeographie27: 259–350.

Smith, RM. 1975. Additional notes onAlpinia sect. Myriocrater. Notesfrom the Royal Bot. GardenEdinburgh 34: 180.

Smith, RM. 1977. Additional notes onAlpinia sect. Myriocrater. Notesfrom the Royal Botanic GardenEdinburgh 35: 195-208.

Page 26: Jurnal Biologi Indonesia

312

Marlina Ardiyani

Smith RM. 1985. A review of BorneanZingiberaceae: 1. (Alpineae p.p.).Notes from the Royal Bot. GardenEdinburgh 42(2): 261-314.

Smith RM. 1986. A review of BorneanZingiberaceae: 2. (Alpineae, conclu-ded). Notes from the Royal BotanicGarden Edinburgh 43(3): 439-466.

Smith, RM. 1986. New combinations inEtlingera Giseke (Zingiberaceae).Notes from the Royal Bot. GardenEdinburgh 43: 243-254.

Smith RM. 1987. A review of BorneanZingiberaceae: 3. (Hedychieae).

Submitted: September 2009Accepted: Maret 2010

Page 27: Jurnal Biologi Indonesia

313

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 313-323 (2010)

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp. Isolated from Forest Soil ofGunung Salak National Park

Maman Rahmansyah & I Made SudianaResearch Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences, Jl. Raya Jakarta Bogor km 46,

Cibinong Science Center, Cibinong 16911, E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Produktivitas Fosfatase Asam pada Bacillus sp. yang Diisolasi dari Tanah Hutan TamanNasional Gunung Salak. Pada pengamatan ini dilakukan karakterisrik bakteri pelarut fosfatyang diisolasi dari tanah hutan Taman Nasional Gunung Salak. Sebanyak 21 koloni hasil isolasidiuji terhadap produktivitas enzim fosfatase berdasar pelarutan media mengandung fosfat.Isolat yang terkuat melarutkan fosfat diidentifikasi sebagai Bacillus sp. Pada pengamatanlanjutan terhadap strain teruji dilakukan penumbuhan pada media cair selama 90 jam inkubasi,dan hasilnya ternyata mampu melarutkan fosfat inorganik (Pi) dari sumber trikalsium fosfat(Ca-Pi) dan alumunium fosfat (Al-Pi) masing-masing pada kisaran 1,2 sampai 152 dan 0.8 sampai25 mg.L-1; dan menunjukkan aktifitas enzim fosfomonoesterase antara 0.2 sampai 1.01 unitpada media yang mengandung larutan para-nitrophenylphosphate sebagai media fosfatorganik (Po) artifisial. Konsumsi glukosa pada media yang diukur selama pertumbuhan sejalanpula dengan produk ortofosfat sebagai akibat adanya aktifitas enzim fosfatase. Peningkatanfosfatase juga sejalan dengan bertambahnya biomassa sel bakteri dan penambahan produkasam glukonat. Penurunan pH dari 7 menjadi 5 diakibatkan peningkatan produk asam glukonatdi dalam media tumbuh. Bakteri pelarut fosfat yang berasal dari tanah hutan Taman NasionalGunung Salak dapat memproduksi fosfatase asam untuk memineralisasi sumber-sumber fosfatmenjadi sumber nutrisi yang siap digunakan oleh akar tumbuhan, dan itu merupakan prediksikuat untuk menjadikan isolat bakteri pelarut fosfat sebagai sumber bahan pupuk hayati.

Kata kunci: Bacillus sp., tanah hutan, fosfatase asam, Ca-Pi, Al-Pi.

INTRODUCTION

Ecology of microbial communitiescan be attributed in part to understandthat these organisms have directlyeffects on ecosystem processes (Beareet al. 1995; Horner-Devine et al. 2004;Fierer & Jackson 2006). Phosphatesolubilizing bacteria (PSB) commonlyfound as adaptive bacteria (Glenn &Mandelstam 1971) in most soils (Chonkar

& Taraedar 1984; Venkateswarlu et al.1984). The population levels ofphosphobacteria were higher in therhizosphere soil, and able to producephytohormones and phosphatasesenzyme under in vitro conditions(Ponmurugan & Gopi 2006). PSB wasable to convert the insoluble phosphatesinto soluble forms by acidification,chelating and exchange reactions, andproduction of gluconic acid (Chen et al.

Page 28: Jurnal Biologi Indonesia

314

Rahmansyah & Sudiana

2006). The soluble forms also maycontribute to their stimulatory effect onplant growth (Hameeda et al. 2006).

Correlation between PSB growthand capacity of phosphatases enzymeactivity, as due to availability ofphosphorous content in the mediumidentified by Barik & Purushothaman(1998). In the other hand, there isincreasing evidence that phosphobacteriaimprove plant caused to biosynthesis ofplant growth substances rather than theiraction in releasing available phosphorous.Subsequently, PSB is requisite for landreclamation and restoration to improvedespoiled land since the genus has usefulproducing plant growth promoter,phosphorus availability to plant, and asthe competitor of plant bacterial pathogen.

In the preliminary work, the fastestgrowing and the widest clearing zoneformation in selective agar media for theisolate of PSB has deprived from forestsoil collected from Gunung SalakNational Park. In the existinginvestigation, culture approach has beenstudied whether the fine isolate and thendelineated as gram-positive bacterium,named Bacillus sp. Some researcher findout that the genus relatively has largenumber of protein phosphatases (Cohen1989; Villafranca et al. 1996), it can beserine/threonine phosphatases whichhave showed wide specificities, and alsotyrosine phosphatases.

The present work was undertakento compare the phosphate-repressibleenzyme formed by the Bacillus sp.Activity of phosphatases enzymesevaluated through the bacterial growthwithin media containing tri-calcium

phosphate and aluminum phosphate asinorganic phosphate, and in the bacterialgrowth containing para-nitrophenylphosphate (pNpp) as organic (artificial)phosphate. The results suggest that thephosphate mineralization capability of thePSB would appropriate to produce plantnutritive value in subsequent work onbiofertilizer function. The presence ofPSB in Gunung Salak National Park isnot only important for ecosystem healthbut also important genetic resources.

MATERIALS AND METHODS

Surface soil samples (up to 20 cmdepth) collected from fields as a bulksamples of various places at forest floorin Gunung Salak National Park; thealtitude is 900 m above sea level; situatedaround S 06046’24.3" - 06046’49.8" andE 106042’09.9" - 106042’25.9"; in June2009. Composite soil sample of each soilcase mixed thoroughly, with then airdried and passed throughout 100 meshsieves for studies.

In the preliminary work, based onthe broadest halozone screen abilitygrowing in selected media, the 21 isolatesrecognized as PSB (Tabel 1). Selectedisolate (GS1) then identified throughanalysis of gene 16S RNA using themethod of Pitcher et al. (1989), andidentified as Bacillus sp.

In the further quantification, thestrain cultured on liquid media containsof phosphorous substances, andincubated on a rotary shaker (180 rpm)at 30ºC. For liquid media, mineralphosphate (5 g·L-1 tri-calcium phosphateor aluminum phosphate) were sterilized

Page 29: Jurnal Biologi Indonesia

315

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp.

separately and then mixed with theautoclaved medium (10 g·L-1 glucose;0.27 g·L-1 NH4·NO3; 0.2 g·L-1 KCl; 0.1g · L - 1 M g S O 4 · 7 H 2 O ; 1 m g · L - 1

MnSO4·6H2O; 1 mg·L-1 FeSO4·7H2O;and 0.1 g·L-1 Yeast extract).

Glucose oxidation to becomegluconic acid is a major mechanism formineral phosphate solubilization. Whengluconic acid content and phosphomo-noesterase activity in the culture mediummeasured, the strain was prepared forpreculturing in LB medium (10 g·L-1

polypeptone, 5 g·L-1 NaCl, 5 g·L-1 Yeastextract, 1 g·L-1 glucose). The precultured

No Strain aGrowth rate

bCa-P dissolution

capacity

1 GS1 +++ 3.1 2 GS2 ++ 2.8 3 GS3 ++ 2.8 4 GS4 + 1.9 5 GS5 + 1.8 6 GS6 + 1.8 7 GS7 + 1.8 8 GS8 + 1.8 9 GS9 + 1.7

10 GS10 + 1.7 11 GS11 + 1,7 12 GS12 + 1,7 13 GS13 + 1,6 14 GS14 + 1.7 15 GS15 + 1.7 16 GS16 + 1,7 17 GS17 + 1,7 18 GS18 + 1,6 19 GS19 + 1.7 20 GS20 + 1.7 21 GS21 + 1,7

was washed twice with 10 mMpotassium phosphate buffer (pH 7.5) andresuspended in the same buffer and atthe same concentration as the originalpre-culture. The suspension (inoculummass 5%, v/v) was then transferred to100 ml glucose minimal mediumcontaining 0.4% glucose and 21 mMpotassium phosphate buffer (pH 6.8); andincubated on a rotary shaker (180 rpm)at 30ºC. For determination of organicacid produced, the strain was cultured inGMS medium containing 10 g·L-1 glucose;2 g·L-1 (NH4)2SO4; 0.3 g·L-1

MgCl2·6H2O; 1 mg·L-1 MnCl2·4H2O; 6

Tabel 1. PSB was common bacteria isolated from Gunung Salak National Park

Remarks: +++ fast growing; ++ medium growing; + slow growing, a Colonies appear after 24 h (+++);after 48 h (++); and after 72 h (+). b Ratio of clear zone areas per colony areas

Page 30: Jurnal Biologi Indonesia

316

Rahmansyah & Sudiana

mg·L-1 FeSO4·7H2O; 6 mg·L-1 NaMoO4;thiamine (20 ì·L-1); tri-calcium phosphate(20 mg·mL-1); and incubated on a rotaryshaker (180 rpm) at 37ºC.

Cells were collected bycentrifugation at different growth periodsin order to verifications the change in pHand P-concentration in the medium.Samples were centrifuged 6000 rpm for10 minutes to receive clear solutions foranalysis. The P-concentration and pHwere determined throughout superna-tants in each investigation. The P-concentration estimated with ascorbicacids methods. The 50 ~ 200 micro-literof the culture filtrate was mixed with 900micro-liter of phosphorus mixed reagents,keep at room temperature for 10 minutes.The P-concentration was measured inspectrophotometer at 880 nm. In orderto observe the effect of culturalconditions for mineral phosphatesolubilizing, bacterial strains were culturedat various insoluble phosphates (tri-calcium phosphate, and aluminumphosphate) at defined concentrations ofglucose conditions.

Five ml of a precultured solutionwas inoculated in 50 ml of medium in a250-ml Erlenmeyer flask. Afterinoculation, the flasks were placed on ashaker and the bacteria were grown at370C for 24 h. The supernatant of eachculture was obtained by centrifugation at10,000 rpm for 10 min. For theexperiment to determine gluconic acid, a0.5 ml aliquot of the culture filtrate passedthrough 0.2 ìm Whatman membranefilter. The organic acids in filtrates wereidentified by high-performance liquidchromatography with a Thermo hypersil

C18 column (250 x 4.6mm). Organicacids were monitored using a UVdetector at 220 nm. The mobile phaseconsisted of 50 mM sodium phosphateand 5 mM tetra-butyl-ammoniumhydrogen sulfate, pH 6.5 (95%), plusacetonitrile (5%) and a flow rate of 0.25ml·min-1.

The protein phosphatases activitywas tested by the ability to hydrolyze p-nitrophenyl phosphate (pNpp) in a buffercontaining 50 mM Tris HCl (pH 7.2).Phosphomonoesterase activity (PME)was measured after incubation at 37ºC(Margesin1996). Phosphatases activitywas determined by measurement of p-nitrophenol in a spectrophotometer at awavelength of 400 nm. PME activity wasexpressed in unit and defined asmicromoles nitrophenol produced by 1 mlenzyme per hour.

Three replicate of flasks and tubeswere used for all in each treatment ofexamination; and also from which theother samples were collected at 4 to 96hours in various sampling interval ofincubation; those were analyzed for theparameters studies. Analysis ofcorrelation and some other statisticalrequirement among mean valuescalculated at various variables amongstthe confidence level of the degree offreedom (Parker 1979).

RESULTS

The isolated bacterium had amarked of insoluble phosphate solubilizingactivities, because the culture grows tovisualize clear zone upward in the regionof the colony forming after 3 days

Page 31: Jurnal Biologi Indonesia

317

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp.

incubation at 30ºC. In estimating theefficacy of phosphate source utilizationby the PSB, result in phosphatases assayof Bacillus sp. in liquid cultures containinginsoluble phosphate analyticallymeasured. Result of the studies havecorrelated in the parameters measure-ment of Ca- and Al-phosphate metabo-lism as inorganic phosphate incorporationto glucose reduction in the substrate, butit does not proper to organic phosphateof para-nitrophenylphosphate. Thehighest production of phosphorussubstance during incubation wasmeasured, and it found in the mediumcontaining tri-calcium phosphate.Gluconic acid production was increasefollowed by pH reduction in the culturemedium (Table 2). This indicates theevenness of phosphatic source utilization,a prominent phenotypic characteristic ofphosphate solubilizing bacterial isolatesin relation to carbon augmentation.

Most bacterial (PSB) populationwas stable after 24 hours incubation.

PSB live activity in culture was closelyfollowed by gluconic acid production ascaused by glucose incorporation. Thephenomenon gives sequence that theoption culture incubation for Bacillus sp.should be after 36 hours and reachingthe limit action in 60 hours incubation(Figure 1). That information becomesuseful to find out the maximum incubationperiod for that bacterial in the propagationculture for biotechnological purpose.

Kinetic potential of unit phosphataseactivities belonging to Bacillus sp. wasmeasured in tri-calcium phosphate andalumunium phosphate solution culturesubstance; and subsequently thosemeasurement acquiesced phosphatequantity of culture in the yield of 150 and25 mg·L-1 respectively, at 88 hoursincubation (Figure 2). The result assumedthe PSB effectively capable to increasesoluble phosphate in their habitat (in soilof forest floor in Gunung Salak NationalPark), because of phytase commonly

Parameters studied of in-vitro culture of Bacillus sp.

Correlation

1. Relationship of Ca-phosphate solubilization vs. glucose reduction in the substrate: y = -24.04x + 3832.7 (r = - 0.91 S)*

2. Relationship of Al-phosphate solubilization vs. glucose reduction in the substrate: y = -199.07x + 4890.1 (r = - 0.95 S)*

3. Relationship of Ca-phosphate to Al-phosphate solubilization in the substrate: y = 23x + 0.38 (r = 0.37 NS)*

4. Relationship of gluconic acid production to pH level for the period of incubation: y = -0.78x + 7.27 (r = - 0.97 S)**

Table 2. Probability levels for statistical significance value in observation

Remarks: * (S) Significant and (NS) non-significant at p0.001 = 0.597; df = 25, with 26 samples **(S) Significant at p0.001 = 0.872; df = 8, with 9 samples

Page 32: Jurnal Biologi Indonesia

318

Rahmansyah & Sudiana

have specify requirement to Ca3+ andAl2+ for its enzyme activity.

Phytate is the major component oforganics forms of P in soil (Richardson1994). Phytase activity can be importantfor stimulating growth under limited P insoil, and supports to improve or transferthe P-solubilizing trait to plant-growth-promoting bacteria (Rodrý´guez et al.2006). Most phytases (myo-inositolhexakisphosphate phosphohydrolases)belong to high molecular weight acidphosphatases, which has capability tohydrolyze of phytic acid to be orthophos-phate inorganic and phosphate estersfrom lower mio-inositol. Phytic acid is aphosphate ester that usually establishesin soil, and it could bond the importantminerals and protein. Phosphomo-noesterase (PME) examined as acidphosphatase under Tris-HCl (pH 7.2)

 

0

1

2

3

4

5

0 20 40 60 80 100 120

Incubation (hour)

Biom.CFU.109

Gluc.103(g.L‐1)

G.Ac.101(mg.L‐1)

buffer in the medium culture solution, butonly low activity of the enzyme detectedin the investigation.

DISCUSSION

Microbial communities in forest soilplay important role in maintaining globalecosystem health. PSB is one of theimportant soil microbes which stimulatedissolution of less soluble-P into solubleform and that available for plant growth.The availability of P in soil is generallylow, and in forest ecosystem most ofphosphate in the form of organic boundphosphate. Those organically boundphosphates should be hydrolyzed byphophatase enzyme produced by soilmicroorganism. Soluble phosphatereleased (H2PO4

-, HPO4= and PO4

=),are then undergoes several biochemical

Figure 1. Bacillus sp. ( ) increased which indicate apart of glucose ( ) consumed; and itwas converted into biomass followed by gluconic acid ( ) increasing in the media

Page 33: Jurnal Biologi Indonesia

319

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp.

transformation, or again bounded to othersoil minerals (Cunningham & Kuiack1992). The availability of phosphate insoil is greatly dependent on soil pH,carbon content, redox potentials, and soilphysical structures. The Strain of GS1identified as Bacillus sp., was able tosolubilize both Ca-P and Al-P. Their abilityto solubize those less soluble phosphatemay indicate that the strain is importantin stimulating phosphate dissolution. Thephysiological mechanism by which Pdissolved is very complex.

Phosphobacteria (PSB) have beenfound to produce some organic acids suchas monocarboxylic acid (acetic, formic),monocarboxylic hydroxy (lactic, glucenic,glycolic), monocarboxylic, ketoglucenic,decarboxylic (oxalic, succinic),dicarboxylic hydroxy (malic, maleic), andtricarboxylic hydroxy (citric) acids in

 

y = ‐0.002x2 + 0.453x + 1.370R² = 0.939

0

4

8

12

16

20

24

28

0 25 50 75 100

y = ‐0.000x2 + 0.024x + 0.030R² = 0.938

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

0 25 50 75 100

y = ‐0.01x2 + 2.804x ‐ 16.59R² = 0.944

0

30

60

90

120

150

180

0 25 50 75 100

Phosph

atases  (Unit) 

Ca‐Pi  Al‐Pi  p‐Npp

Incubation (hour)

Figure 2. Trend of kinetic potential of phosphatase released with Bacillus sp. alteringphosphate inorganic (Ca- and Al-phosphate; Figure 2A & 2B), and phosphate organic(p-nitrophenyl-phosphate; Figure 2C)

order to solubilize inorganic phosphatecompounds (Lal 2002). Phosphobacteriadeprive from rhizosphere soils when wastested under in-vitro condition on theirproduction capacity of growth regulatorsand phosphatase enzyme (Ponmurugan& Gopi 2006). Several soil bacteriaposses the ability to solubilizing insolubleinorganic phosphate and make it availableto plants. The effect is generally due tothe production of organic acids by theseorganisms, and also produce amino acids,vitamins, and growth promotingsubstances like indole acetic acid (IAA)and gibberellic acid (GA3), which help inbetter growth of plants (Richardson2001;Gyaneshwar et al. 2002). Theresults of enzyme activities, including soilphosphatase activity, could be comparednot only with soil physical and chemicalproperties, but also with other biological

Page 34: Jurnal Biologi Indonesia

320

Rahmansyah & Sudiana

factors such as microbial biomass, thelevel of adenosine triphosphate, etc.(Chhonkar & Tarafdar 1984). Falih &Wainwright (1996) found that the activityof phosphatase enzymes increased whena carbon source was added to the soil.Evaluate to the result of experiment here,inform that glucose incorporation provedto cause increasing cell biomass ofBacillus sp. in culture, and gluconic acidincrement (Figure 1); and in the differentway, the medium acidity is plunge to 5from pH 7 as before during 96 hoursincubation.

Alkaline phosphatase of severalbacterial species has been investigatedby Landeweert et al. (2001), and thegenus have differ one from another incertain respects. The genus seems ingeneral to share the property of beingrepressed by phosphate inorganic inEscherichia coli, Bacillus subtilis,Pseudomonas fluorescens andStaphylococcus aureus. PSB is capableof solubilizing accumulated insolublephosphate compound sources in soil by

the production of organic acid, phenoliccompounds, protons, and siderophores.According to Kelly et al. (1984)investigation’s, maximum phosphates(inorganic pyrophosphate) formed at 12hours incubation in Bacillus sp. whendivalent metal Mn2+ occurred in themedium culture, and the inorganicpyrophosphates activity found asintracellular enzyme. In the other studyon the extracellular phosphates activity,Nomoto et al. (1988) found the optimumalkaline phosphate excreted into brothculture fairly stable in pH 5 ~ 12.Extracellular enzymes, includingphosphatases, are important for thedegradation of organic substances in thesoil for organic phosphate mineralization(Hysek & Sarapatka 1998). Thefunctionalities of PSB communities differon the basis of phosphate sources presentin the culture medium in this investigation.Phosphatases activities expressedoptimum in 75 to 100 hours incubation(Figure 2) may cause the MnCl2containing in media culture.

Incubation (hour)

Car

bon

Use

d (1

0-4 ) = Ca-Pi unit-1

= Al-Pi unit-1

= p-NPP unit-1

0

2

4

6

8

10

12

0 25 50 75 100

Incubation (hour)

Glu

coni

c A

cid

(mg.

L-1)

Acidity level (pH

)

pH

Gluconic acid

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0

1

2

3

4

5

6

7

8

0 25 50 75 100

Figure 3. Incorporation of glucose along with phosphatases activities and carbon used by Bacillus

sp. (left), followed by increasing of gluconic acid and pH 7 reduce to pH 5 (right)

Page 35: Jurnal Biologi Indonesia

321

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp.

Gluconic acid is organic acidcompound arise from the oxidation ofglucose. It is produce by the fermentationof glucose by bacteria, and in aqueoussolution at neutral pH the gluconic acidforms the gluconate ion. Chen et al.(2006) investigate the isolates ofphosphobacteria collected fromagriculture soil. The isolates belong togenus of Bacillus , Rhodococcus,Arthrobacter, Serratia, Chryseobac-terium, Delftia, Gordonia andPhyllobacterium were identified. Inother finding, four strains namelyArthrobacter ureafaciens, Phyllobac-terium myrsinacearum, Rhodococcuserythropolis and Delftia sp. reported forthe first time as PSB after confirmingtheir capacity to solubilized considerableamount of tricalcium phosphate in themedium by secreting organic acids. Tenisolates of Bacillus megaterium can donot producing any gluconic acid in theculture along 72 hours incubation. In thecontrary, 96 hour’s incubation of Bacillussp. in this experiment was able to producegluconic acid, and negatively correlatedwith glucose incorporation but positivelycorrelated to cell biomass (Figure 3).

CONCLUSION

Isolate of Bacillus sp. demonstrateclearly in solubilizing tri-calsiumphosphatemore than alumuniumphosphate;Increasing cell population of Bacillus sp.was following in gluconic acid yield asdue to glucose metabolism as carbonsource in culture; Bacillus sp. wascertainly characterized on the basis ofbiochemical reaction, and as due to the

cultural performance in the mediumcontaining inorganic phosphate.

ACKNOWLEDGEMENTS

We acknowledge to the DirectorateGeneral for Higher Education, Ministryof National Education, Republic ofIndonesia, for the financial assistanceprovided for this study in the year 2009.Also, we are grateful to our acquaintancefor critically reading this manuscript

REFERENCES

Barik, SK. & CS. Purushothaman. 1998.Phosphatase activity of two strainof bacteria on orthophosphateenrichment. Proc. Natl. Frontiersin Appl. Environ. Microbial.Dec.11-13, SES, CUSAT. Cochin.pp.165-170.

Beare, MH., DC. Coleman, DA.Crossley Jr., PF. Hendrix & EP.Odum. 1995. A hierarchicalapproach to evaluating thesignificance of soil biodiversity tobiogeochemical cycling. Plant andSoil. 170: 5-22.

Chen,YP., PD. Rekha, AB. Arun, FT.Shen, WA. Lai & CC. Young. 2006.Phosphate solubilizing bacteriafrom subtropical soil and theirtricalcium phosphate solubilizingabilities. App. Soil Ecol. 34:33-41.

Chonkar, PK & JC. Tarafdar. 1984.Accumulation of phosphatase insoils. J. Indian Soc. Soil Sci. 32:266–272.

Page 36: Jurnal Biologi Indonesia

322

Rahmansyah & Sudiana

Cohen, P. 1989. The structure andregulation of protein phosphatases.Annu. Rev. Biochem. 58: 453-508.

Cunningham, JE., & C. Kuiack. 1992.Production of citric and oxalic acidand solubilization of calciumphosphate by Penicillium bilail.Appl. Environ. Microbial.58:1451-1458.

Falih, AMK. & TM. Wainwrigh. 1996.Microbial and enzyme activity insoils amended with natural sourceand easily available carbon. BiolFertil Soils. 21: 177–183.

Fierer, N., & RB. Jackson. 2006. Thediversity and biogeography of soilbacterial communities. PNAS 103(3): 626–631.

Glenn, AR. & J. Mandelstam. 1971.Sporulation in Bacillus subtilis 168,comparison of alkaline phosphatasefrom sporulating and vegetativecells. Biochem. J. 123:129-138.

Gyaneshwar, P., GN. Kumar, LJ. Parekh& PS. Poole. 2002. Role of soilmicroorganism in improving Pnutrition of Plants. Plant soil. 245:83-93.

Hameeda, B., OP. Rupela, G. Reddy &K. Satyavani. 2006. Application ofplant growth promoting bacteriaassociated with compost andmacrofauna for growth promotionof Pearl Millet (Pennisetumglaucum L.). Biol. Fertil. Soils.43: 221-227.

Horner-Devine, MC., M. Lage, JB.Hughes & BJM. Bohannan. 2004.A taxa-area relationship forbacteria. Nature 432: 750-753.

Hysek, J. & B.Sarapatka. 1998.Relationship between phosphataseactive bacteria and phosphataseactivities in forest soils. Biol FertilSoils. 26: 112–115.

Kelly, CT., AM Nash & MW. Fogarty.1984. Effect of manganese onalkaline phosphatase production inBacillus sp. RK11. AppliedMicrobial Biotechnology. 19: 61-66.

Lal, L. 2002. Phosphatic biofertilizers.Agrotechnology PublicationAcademy, Udaipur, India, 224p.

Landeweert, R., E. Hoffland, RD Finlay,TW. Kuyper, N. Van Breemen.2001. Linking plants to rocks,ectomycorrhizal fungi mobilizenutrients from minerals. TrendsEcol. Evol. 16: 248-253.

Margesin, R. 1996. Enzymes Involved inPhosphorus Metabolism: Acid andAlkaline PhosphomonoesteraseActivity with the Substrate p-Nitrophenyl Phosphate. In: Eds. F.Schinner, R. Ohlinger, E. Kandeler& R. Margesin. Methods in SoilBiology. Springer-Verlag, BerlinHeidelberg. p. 213-217.

Nomoto, M., M. Ohsawa, H. Wang, C.Chen & K.Yeh. 1988. Purificationand characterization ofextracellular alkaline phosphatasefrom an alkalophilic bacterium.Agri. Biol.Chem.52(7): 1643-1647.

Parker, RE.1979. Introductory Statisticsfor Biology. Studies in Biology No.43. Edward Arnold Ltd. London.

Pitcher, DG. & RJ. Owen. 1989. Rapidextraction of bacterial genomic

Page 37: Jurnal Biologi Indonesia

323

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp.

DNA with guanidium thiocyanate.Lett.appl. Microbial. 8 : 151-156.

Ponmurugan, P. & C. Gopi. 2006. In vitroproduction of growth regulators andphosphatase activity by phosphatesolubilizing bacteria. Afri. J.Biotech. 5(4): 348-350.

Richardson, AE. 1994. Soil microor-ganisms and phosphorous availabi-lity. In Eds. CE Pankhurst, BMDoube and VVSR Gupta . SoilBiota: Management in Sustaina-ble Farming Systems. . pp. 50–62.CSIRO, Victoria, Australia.

Rodrý´guez, H., R. Fraga, T. Gonzalez& Y. Bashan. 2006. Genetics ofphosphate solubilization and itspotential applications for improving

plant growth-promoting bacteria.Plant and Soil. 287:15–21.

Richardson, AE. 2001. Prospect for usingsoil microorganisms to improve thequisition of phosphorus by plants.Aust. J. Plant Physiol. 58: 797-906.

Venkateswarlu, B., AV. Rao & P. Raina.1984. Evaluation of phosphorussolubilization by microorganismsisolated from arid soils. J. IndianSoc. Soil Sci. 32: 273–277.

Villafranca, JE., CR. Kissinger & HE.Parge.1996. Protein serine/threonine phosphatases. Curr.Opin. Biotechnol. 7: 397-402.

Memasukkan: November 2009Diterima: Maret 2010

Page 38: Jurnal Biologi Indonesia

325

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 325-339 (2010)

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate SebagaiSumber Antibiotik

Arif Nurkanto1, Febrianti Listyaningsih3, Heddy Julistiono1 & AndriaAgusta2

1Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi LIPI, Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta BogorKM 46 Cibinong 16911, e-mail: [email protected]

2 Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI3Jurusan Biologi, F.MIPA Universitas Diponegoro Semarang

ABSTRACTExploration of Soil Actinomycetes Diversity from Ternate as Indigenous Antibiotic Sources.Actinomycetes of soil samples from Ternate, North Moluccas were isolated using SDS-YEmethod in humic acid vitamin agar. Ternate has high abundance of Actinomycetes, approximately6.00 – 487 x 104 CFU/ g soil, depends on habitat types. We have selected 60 isolates andconducted antibiotic screening against pathogenic bacteria and fungi using agar diffusionmethod and found both narrow and broad antibiotic spectrum types . Based on 16S rDNAanalysis, all Actinomycetes with antibiotic activities are belong to the genus Streptomyces. .Minimum Inhibitor Concentration (MIC) value was determined by broth microdilution method.It was found that MIC values varied, depended on microbial tested. We found two isolateswith higher antibiotic activity compared to the commercial antibiotics (chloramphenicol,erythromycin for antibacterial and nystatin, kabicidin for antifungal). Cell destruction analysiscaused antibiotic activities was conducted through leak of protein and nuclatic acid.

Key words : Actinomycetes, soil, Ternate, antibiotic, cell distruction

PENDAHULUAN

Aktinomisetes memegang perananyang amat penting dalam industri farmasikarena kemampuannya dalammemproduksi senyawa metabolit yangbervariasi, baik dari struktur maupunfungsinya. Senyawa metabolit yang dihasilkan oleh aktinomisetes banyak yangmemiliki aktivitas antagonis terhadapbakteri maupun jamur. Atas dasar inimaka aktinomisetes banyak dikem-bangkan dan digunakan sebagai bahanobat dalam penanggulangan berbagai

macam penyakit, baik pada manusiamaupun hewan (Solanki et al. 2008;Hopwood 2007) Pencarian bahan obatbaru berbasis metabolit aktinomisetesterus dilakukan dengan berbagai macammetode pendekatan, baik berupaeksplorasi daerah khusus atau lingkunganunik, pengembangan metode isolasi ,sampai pada teknik rekayasa genetika .

Aktinomisetes merupakan kelompokbakteri yang terdistribusi luas di tanah,serasah, air dan sumber-sumber alamiyang lain (Debananda et al. 2009;Hopwood 2007; Sette et al. 2005) bahkan

Page 39: Jurnal Biologi Indonesia

326

Nurkanto dkk

di lingkungan yang ekstrim sekalipun(Hamdali et al. 2008) . Keragaman danjenis aktinomisetes sangat dipengaruhioleh faktor kimia, fisika dan biologilingkungan di sekitarnya. Identifikasilingkungan ekologi yang baru merupakanfaktor krusial dalam penenemuan jenisbaru dari aktinomisetes yang juga memilikisenyawa metabolit yang baru pula.Lingkungan ekologi baru yang palingsering meghasilkan jenis baru danmetabolit baru diantaanya adalahlingkungan ekstrim seperti gurun pasir,dasar lautan, daerah es dan daerah hutanhujan tropis (Nolan & Cross 1988;Okazaki & Naito 1986; Saadoun &Gharaibeh 2003). Khusus untuk daerahhutan hujan tropis, merupakan targetlingkungan ekologi yang sangat menarikdalam ekplorasi aktinomisetes penghasilsenyawa metabolit tertentu. Hutan hujantropis sangat memungkinkan ditemukan-nya keragaman dan populasi aktinomi-setes yang tinggi dan membuka peluangbesar untuk memperoleh metabolit baru.

Indonesia memiliki daerah hutanhujan tropis salah satu yang terbesar didunia yang merupakan “hot spot” darikeanekaragaman hayati, termasukbakteri. Ternate, salah satu pulau dijajaran Kepulauan Maluku dan MalukuUtara, merupakan salah satu daerahyang menarik untuk dikaji karenapertimbangan beberapa hal. Disampingmerupakan hutan hujan tropis denganlingkungan hangat dan lembab sepanjangtahun, pulau ini juga memiliki kondisitanah yang unik karena sebagain besartersusun atas magma dan lava beku yangrelatif muda hasil erupsi GunungGamalama. Disamping kondisi lingku-

ngannya yang menarik, ekplorasi bakteridi Ternate hamper tidak pernahdilakukan. Hal ini akan memberikaninformasi baru yang penting tentanginventarisasi keanekaragaman aktinomi-setes Indonesia dalam kaitannya sebagaidrug discovery di kawasan Wallacea ini.Penelitian ini bertujuan untuk mendapat-kan aktinomisetes yang terkarakterisasidan teridentifikasi dengan kemampuanantibiotik yang tinggi, untuk pengemba-ngan lebih lanjut.

BAHAN DAN CARA KERJA

Sampel tanah diambil sebanyak 500g, dikeringanginkan selama 7 hari, digerusdengan menggunakan mortar, kemudiandisaring menggunakan saringan tepung.Sampel yang telah kering dilakukanislolasi aktinomisetesnya dengan metodeSodium Dodesyl Sulfat – Yeast Ekstrak(SDS-YE) pada medium Humic VitaminAgar (HVA) (Hayakawa & Nanomura,1987; Hayakawa et al. 2004; Nurkantoet al. 2008) dan diinkubasi selama 14sampai dengan 21 hari pada suhu 28oC.Koloni yang tumbuh dari masing-masingcawan petri dihitung. Koloni yang dihitungdari tiap cawan petri harus lebih dari 10koloni (Lee & Hwan 2002) untukkemudian dikalkulasi dalam perhitungantotal jumlah koloni per gram sampeltanah. Koloni aktinomisetes yang tumbuhdipindahkan ke medium Yeast StrachAgar (YSA) untuk mendapat isolatmurni.

Identifikasi isolat terpilih dilakukanmelalui pendekatan molekular 16SrDNA. Tahapan yang dilakuan berupaekstraksi DNA, amplifikasi menggu-

Page 40: Jurnal Biologi Indonesia

327

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

nakan Polymerase Chain Reaction(PCR), visualisasi hasil PCR, purifikasiDNA hasil amplifikasi, cycle sequencing,sekuen dan analisis data.

Ekstraksi DNA menggunakanmetode GES (Pitcher et al. 1989)dilanjutkan dengan amplifikasi. Primer 20F (5’-GATTTTGATCCTGGCTCAG–3’) dan 1500 R (5-GTTACCTTG-TTACGACTT–3’) 10 pmol masing-masing sebesar 0,625 μL, DNA template5 μL, DMSO 0,5 μL, Go Taq (Promega)sebesar 12,5 μL dan 5,75 μL deionizedwater.

Reaksi PCR dengan menggunakanThermalcycler (Takara Shuzo Co., Ltd.,Shiga, Japan) selama 30 siklus.Pemanasan pertama pada suhu 95 ºCselama 1,5 menit, kemudian dilanjutkandengan 30 siklus yang terdiri daridenaturasi 0,5 menit pada suhu 95 ºC,annealing 0,5 menit pada suhu 50 ºC dan1,5 menit ekstensi pada suhu 72 ºC.Setelah 30 siklus selesai, diikuti 10 menitpada suhu 72 ºC dan pendinginan padasuhu 4 ºC selama 30 menit. Hasilamplifikasi di fraksinasi secaraelektroforesis menggunakan Mupid MiniCell (exu) pada gel agarose 1% dalambuffer TAE (Tris Acetat-EDTA) selama25 menit pada 100 V. Gel hasilelektroforesis direndam dalam larutanethidium bromida dengan konsentrasi 1μL/100 mL selama 20 menit. Hasilpemisahan divisualisasi pada Gel DocPrintgraph (Bioinstrument, ATTO)menggunakan UV transluminator denganmenggunakan standar 100 bp DNAladder (Promega) untuk mengetahui hasildan ukuran pita DNA hasil amplifikasi.

Ke dalam 25 μl sampel produk PCRditambahkan 15 μl larutan PEG (40%PEG 6000 dan 10 mM MgCl2) dan 6 μl 3M sodium asetat. Bolak-balik selama 10menit dan sentrifugasi dengan kecepatan16.100 g selama 25 menit. Supernatandibuang dengan cara dipipet. Pellet DNAdicuci dengan 50 μl etanol 70% sebanyak2 kali. Dan pellet dilarutkan dengan 20 μldH2O ultra pure. Sampel 16s rDNAmurni disimpan pada – 200 C.

Tahap selanjutnya adalah cyclesequencing dengan menggunakan primer520 F (5’-GTGCCAGCAGCCGCGG-3’), 920 R (5’-CCGTCAATTCATTT-GAGTTT-3’), 520 R (5’-ACCGCGGC-TGCTGGC-3’), 920 F (5’-AAACTC-AAATGAATTGACGG-3’), 20 F (5’-GATTTTGATCCTGGCTCAG–3’) dan1500 R (5 –GTTACCTTGTTACGACTT–3’). Komposisi yang digunakanuntuk tiap tabung adalah 0,5 μL primer10 pmol, 1 μ DNA hasil purifikasi, 0,5 μLBig Dye Terminator sequen premix kit(Applied Biosystems Inc., Warington,UK), 5 kali sequen bufer 1,5 μL dandeionized water sampai volume 10 μL.Selanjutnya dilakukan amplifikasi denganPCR sebanyak 40 siklus. Pemanasanpertama pada suhu 96 ºC selama 60 detikdiikuti dengan siklus yang terdiri daridenaturasi 10 detik pada suhu 96 ºC,annealing 5 detik pada suhu 50 ºC.

Preparasi dilakukan denganmencampurkan 10 μL produk cyclesequencing dengan 1 μL 3M Na-acetat,1 μL 125 mM EDTA (pH 8) dan 25 μLethanol absolut kemudian di vortex dandidiamkan selama 15 menit. Tahapberikutnya dilakuan sentrifugasi 16.000xg selama 25 menit pada temperatur

Page 41: Jurnal Biologi Indonesia

328

Nurkanto dkk

dingin (4 0C) . Supernatan dibuang danpelet dicuci dengan 70% athanol untukkemudian disentrifugasi ulang 16.000 xgselama 10 menit. Supernatan dibuang danpelet dikeringanginkan selama 10 menit.Pelet DNA yang sudah kering ditambahdengan 10 μL HiDi-Formamide (AppliedBiosystems Inc., Warington, UK) dan divortex. Sampel kemudian dipanaskan 95ºC selama 2 menit dan segera didinginkandalam es. Tahap selanjutnnya sampeldiinjeksi dengan sekuenser model ABI3130 (Applied Biosystems Inc., Foster,California).

Analisis DNA menggunakanprogram BioEdit dan dilakukan blastpada Bank Gen NCBI dataLibrary.filogenetik analisis menggunakanprogram multiple aligment Clustal Xversi 1.83. Konstruksi pohon filogenetikberdasarkan jarak kekerabatan genetikdengan metode Neighbor joining.Konstruksi jarak evolusi dalam derajatkepercayaan menggunakan bootstrapvalue pada program NJ plot.

Masing-masing isolat aktinomisetesditumbuhkan dengan 100 ml medium cairActino Medium No. 1 (Daigo, Japan)dengan komposisi 5 g polipepton, 3 gekstrak khamir, 1 L H2O, pH 7,2.Inkubasi dilakukan selama 7 hari denganpenggojogan pada rotary shaker dengankecepatan 130 rpm pada suhu 28 oC.

Ekstraksi untuk mendapat produkmetabolit dilakukan dengan menam-bahkan 100 ml larutan etil asetat danmetanol (4 : 1) selama 3 kali, dankemudian dikeringkan dengan rotaryevaporator pada suhu 35 oC. Kristalmetabolit yang terbentuk ditimbang dandilarutkan kembali dengan aseton.

Ekstrak yang diperoleh dianalisis denganteknik KLT (gel silika GF254) denganlarutan pengembang campuran CH2Cl2dan methanol dengan perbandingan 15:1.Kromatogram KLT kemudian dimonitordengan pemaparan sinar UV padapanjang gelombang 254 nm dan pereaksipenampak noda 1% CeSO4 dalam 10%H2SO4 pekat.

Mikroba uji yang digunakan berupabakteri gram positip dan negatip(Escherichia coli NBRC 14237 ,Bacillus subtilis NBRC 3134, Staphy-lococcus aureus NBRC 13276,Micrococcus luteus NBRC 1367) danfungi/yeast (Candida albicans NBRC1594, Saccharomyces cerevisiae NBRC10217 dan Aspergilus niger). Ujiantibiotik yang dilakukan adalah metodedifusi media. Pengujian antibakteridilakukan dengan menuangkan 4 mL toplayer media Mueler Hinton (Difco) 0,5resep yang mengandung 0,2 mL bakteriuji ke atas medium Mueller Hinton agar(ekstrak beef 2g/L, casein 17,5 g/LStrach 1,5 g/L dan agar 17 g/L) dalampetridish. Pengujian antifungi/yeast samadengan pengujian antibakteri, tapi mediayang digunakan adalah Saburoad (Difco,10 g/L pepton, 40 g/L glukosa, 17 g/lagar). Uji antibiotik dilakukan denganmeletakkan paper disc steril yangdicelupkan dalam larutan hasil ekstraksipada agar. Indikasi produk antibiotikdapat diamati dengan terbentuknya zonabening di sekitar paper disc.

Penentuan MIC dilakukan terhadapMikroba uji, yaitu bakteri gram negatif,bakteri gram positip, yeast danfilamentous fungi. Mikroba yangdigunakan sama dengan uji aktivitas

Page 42: Jurnal Biologi Indonesia

329

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

antibiotik. Mikroba tersebut di tumbuhkanpada suhu 35 p C dalam medium cair (Mueller Hinton untuk bakteri, Saboroaduntuk yeast dan fungi). Waktu inkubasitiap mikroba berbeda, mulai dari 12 – 24jam. Tiap interval waktu dilakukanpenghitungan jumlah koloni denganmetode Agar plating hingga diperolehkonsentrasi sel 1 – 5 x 105 CFU/ mL.Metode yang digunakan dalampenentuan MIC adalah BrothMicrodilution Method (Schwalbe et al.2007 ; Rahman et al. 2005 ).

Pengamatan dilakukan dengan 3 kaliulangan pada waktu yang berbeda.Dilakukan juga uji konfirmasi denganmenggunakan metode Agar difusionmethod terhadap hasil MIC yang diperoleh dengan metode BrothMicrodilution method. Hal ini dilakukanuntuk memastikan ada tidaknyapertumbuhan mikroba uji. Untukmengetahui aktivitas dan kemampuandaya hambat ekstrak terhadap mikrobauji, dilakukan uji banding denganmenggunakan antibiotik komersialberupa antibakteri (kloramphenicol daneritromycin) anti yeast dan antifungi(kabicidin dan nystatin).

Uji Kebocoran SelSuspensi mikroba uji yang telah

ditumbuhkan selama 24 jam dalam mediaNB (bakteri) dan YMB (kapang dankhamir) sebanyak 10 ml diambil,ditambahkan 0,5 mL tween 80. larutanbakteri uji disentrifuge dingin dengankecepatan 3500 rpm selama 20 menit.Filtrat dibuang kemudian pelet dalamtabung dicuci dengan buffer fosfat pH7,0 sebanyak dua kali. Larutan buffer

fosfat dan sel mikroba di tambah denganekstrak isolat Aktino dengan konsentrasi1 MIC dan 2 MIC serta kontrol (tanpapenambahan ekstrak), diinkubasi dalaminkubator goyang selama 24 jam.Suspensi di sentrigfuge 3500 rpm selama15 menit, lalu dipisahkan supernatan danpeletnya. Cairan supernatan diambil dandiukur absorbansinya pada panjanggelombang 260 nm dan 280 nm denganmenggunakan spektrofotometri UV/VIS(Shimadzu, Japan).

HASIL

Kelimpahan AktinomisetesPerhitungan kelimpahan aktinomise-

tes yang dilakukan berdasarkan tingkatelevasi gunung Gamalama, mulai dari titikterendah sampai pada puncak gunung.Sampel yang diambil sebanyak 12 titik.Hasil penghitungan total koloniaktinomisetes cukup bervariasi, mulai dariketinggian 8 sampai 1500 m dpl.Berdasarkan analisis statistik mengguna-kan SPSS v.13 (p = 0,95), dari titikpengambilan sampel tidak ditemukanadanya pola penyebaran yangberkorelasi antara ketinggian dankelimpahan (Tabel 1).

Isolasi dan Screening AntibiotikTelah diisolasi sebanyak 60 isolat

untuk di lakukan screening produksiantibiotik terhadap bakteri gram positip,gram negatif, yeast dan jamur berfilamen.Disamping dilakukan pengujian antibiotik,dilakukan juga kuantifikasi senyawametabolit yang produksi oleh masing-masing isolat uji. (Tabel 02). Aktivitasantibiotik ditunjukkan dengan adanya

Page 43: Jurnal Biologi Indonesia

330

Nurkanto dkk

zona bening di sekitar kertas cakram(Gambar 1 dan 2).

Analisis Molekuler 16 S rDNAIdentifikasi molekular dengan 16S

rDNA telah dilakukan terhadap isolataktinomycetes yang memiliki aktivitasantibiotik. Hasil analisis menunjukkanbahwa sebagian besar dari aktinomisetesyang memiliki aktivitas antibiotik adalahkelompok Streptomyces. Fisualisasiproduk PCR dan hasil analisis konstruksipohon filogenetik seperti pada Gambar 3dan 4.

Penentuan Minimum InhibitorConcentration (MIC)

Isolat yang memiliki aktivitasantibiotik tertinggi dan telah di identifikasi

(MG.500.1.1 dan MG 1250.1.2.)dikultivasi ulang dengan skala mediumyang lebih besar (1 liter) dan di ekstrakmetabolitnya. Penentuan MIC ekstrakterpilih dilakukan dengan membanding-kannya dengan antibiotik komersial. Hasilanalisis perhitungan MIC pada Tabel 3.

Analisis Kebocoran SelAnalisis kebocaran sel dilakukan

dengan analisis kandungan protein danasam nukleat yang di keluarkan selsetelah perlakuan. Perlakuan adalah 0MIC, 1 MIC dan 2MIC terhadapap duaekstrak dari 2 isolat di atas. Ekstrak MG500 1.1 diujikan pada E. coli dan S.cerevisiae. Ekstrak 1250 1.2 diujikanpada A. Niger. Hasil analisis seperti padaGambar 5.

Tabel 1. Perhitungan total koloni tiap gram sampel yang terkait dengan faktor lingkungan

Sampel Posisi Ketinggian (m)

pH Subtrak / vegetasi Total koloni (CFU/g

sampel) x 104 A.1 00.53.604 N

127.21.403 E 8 7.0 No vegetation 6,0 ± 0.70

MG.10 00.47.462 N 127.18.072 E

17 7.0 Durio sp. 487,5 ± 95,45

LAGUNA 00.46.000 N 127.20.969 E

250 7.0 Cengkeh (Syngzigium aromaticum)

62,5 ± 3,53

BBL-1 00.46.438 N 127.19.275 E

370 7.0 Lahar hitam 50,0 ± 33,5

BBL-2 00.46.438 N 127.19.275 E

370 7.0 Lahar merah 60,0 ± 14,10

MG.500 00.47.001 N 127.21.325 E

514 6.5 Monoculture pala (Miristrica fragans)

200 ± 21,21

MG.750 00.47.252 N 127.21.118 E

742 6.9 Cengkeh 95 ± 0,00

MG.1000.1 00.47.764 E 127.20.749 E

1000 6.8 Pandan, heterogen 145,0 ± 7,07

MG.1250 00.47.705 N 127.20.864 E

1253 6.0 Pandanus sp. 87,5 ± 17,67

MG.1500 00.47.881 N 127.20.686 E

1463 6.9 Heterogen 42,5 ± 3,53

 

Page 44: Jurnal Biologi Indonesia

331

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

No Isolat Produksi senyawa (mg/ml)

Rerata diameter zona hambat (mm) E.

coli M.

luteus S. aureus B.

subtilis C.

albicans S. cerevisiae A.

niger

1 MG 500.1 2 57,2 - - - - - - -

2 MG 500.1 1 0,3 31 30,5 25 25,5 - 25 -

3 MG 1500.1 6 0,14 - - - - - - -

4 MG 1500.1 5 0,1 - - - - - - -

5 MG 500.1 3 0,04 - - - - - - -

6 MG 500.1 4 0,02 - - - - - - -

7 MG 500.1 5 0,02 - - - - - - -

8 MG 500.1 6 0,04 - 13 10,5 10.5 - - -

9 MG 500.1 7 0,1 - - - - - - -

10 MG 500.1 8 0,58 - - - - - - -

11 MG 1500.1 1 0,02 - - - - - - -

12 MG 1500.1 2 0,18 - - - - - - -

13 MG 1500.1 3 0,04 - - - - - - -

14 MG 1500.1 4 0,18 - - - - - - -

15 MG 1500.1 7 0,06 - - - - - - -

16 LGN 1 1 0,3 - - - - - - -

14 LGN 1 2 0,3 - - - - - - -

18 LGN 1 3 0,38 - - - - - - -

19 LGN 1 4 0,5 - - - - - - -

20 LGN 1 5 0,3 - - - - - - -

21 BBL 2 1 1,57 - - - - - - -

22 BBL 2 2 0,84 - - - - - - -

23 BBL 2 3 0,1 - - - - - - -

24 BBL 2 4 0,56 - - - - - - -

25 BBL 2 5 0,26 - - - - - - -

26 A 1 1 0,5 - - - - - - -

27 A 1 2 0,04 - - - - - - -

28 A 1 3 0,24 - - - - - - -

29 A 1 4 0,28 - - - - - - -

30 A 1 5 1,84 - - - - - - -

31 A 1 6 0,08 17 - - - - - -

32 MG 750.1 5 0,42 - - - - - - -

33 MG 1250 1 1 0,14 - - - - - - -

34 MG 1250 1 2 0.38 - - - - - - 31,7

35 MG 1250 1 3 0,58 - - - - - - -

36 MG 1250 1 4 0,38 - - - - - - -

37 BBL 1 1 0,94 - - - - - - -

 

Tabel 2. Produksi Metabolit dan Kemampuan antibiotik isolat aktinomisetes.

Page 45: Jurnal Biologi Indonesia

332

Nurkanto dkk

No Isolat Produksi senyawa (mg/ml)

Rerata diameter zona hambat (mm) E.

coli M.

luteus S. aureus B.

subtilis C.

albicans S. cerevisiae A.

niger

38 BBL 1 2 2,90 7 8,5 9,5 8,5 - - -

39 BBL 1 3 0,58 - - - - - - -

40 BBL 1 4 0,48 - - - - - - -

41 MG 750.1 1 0,24 - - - - - - -

42 MG 750.1 2 0,14 - - - - - - -

43 MG 750.1 3 0,64 - - - - - - -

44 MG 750.1 4 0,08 - - - - - - -

45 MG 1000.1 1 0,02 - - - - - - -

46 MG 1000.1 2 0,2 - - - - - - -

47 MG 1000.1 3 0,02 - - - - - - -

48 MG 1000.1 4 0,02 - - - - - - -

49 MG 1000.1 5 0,08 - - - - - - -

50 MG 1000.1 6 0,24 - - - - - - -

51 MG 10.1.S 1 1,05 - - - - - - -

52 MG 10.1.S 2 0,2 - - - - - - -

53 MG 10.1.S 3 1,14 - - - - - - -

54 MG 10.1.S 4 0,52 - - - - - - -

55 MG 10.1.S 5 2,19 - - - - - - -

56 MG 10.1.S 6 0,08 - - - - - - -

57 MG 10.1.S 7 0,04 - - - - - - -

58 MG 10.1.S 8 0,2 7,5 - - - - - -

59 MG 10.1.S 9 0,06 - - - - - - -

60 MG 500.1 9 0,58 - - - - - - -

 

Tabel 2. Lanjutan

Isolat yang memiliki aktivitasantibiotik dan telah di identifikasi disimpan dalam bank koleksi kultur di LIPIMicrobial Cultere Collection(LIPIMC), Bidang Mikrobiologi, PusatPenelitian Biologi LIPI dengan nomerkoleksi seperti pada Tabel 4.

PEMBAHASAN

Data yang diperoleh menunjukkanbahwa perbedaan kelimpahan yangterjadi kemungkinan lebih disebabkan

oleh kondisi biologi, kimia dan fisika tanahserta vegetasi naungan, bukan kerenaketinggian tempat. Sampel tanah darihabitat A1 memiliki kepadatan yang jauhlebih rendah dibandingkan yang lain. Halini disebabkan karena struktur tanahadalah larva beku yang keras, sehinggatidak memungkinkan adanya sirkulasiudara yang baik. Disamping itu, lavabelum terdegadasi sehingga memilikikandungan nutrisi yang relatif rendah dantidak sesuai dengan kondisi pertumbuhanaktinomisetes.

Page 46: Jurnal Biologi Indonesia

333

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

Gambar 2. Zona bening yang terbentuk oleh aktivitas anti jamur dari senyawa yangdiproduksi oleh aktinomisetes.

Gambar 1. Zona bening yang terbentuk oleh aktivitas antibakteri dari senyawa yangdiproduksi oleh aktinomisetes.

Dari 60 isolat yang di screening, 10% diantaranya memiliki aktivitasantibiotik, baik yang bersifat arrowspectrum (spesifik menghambat satujenis mikroba tertentu saja) maupunbroad spectrum (menghambat beberapajenis mikroba). Dari hasil konstruksipohon filogenetik berdasarkan parsial 16S rDNA, terlihat bahwa semua isolatmasuk dalam genus Streptomyces. Dari

enam isolat, isolat MG 500.1.1 memilikikedekatan dengan Streptomyceshygroscopicus (99% homologi) danisolat MG 500.1.4 dekat denganStreptomyces resistomycificus (99%homologi). Empat isolat lainnya secarafilogenetik terpisah dari kerabattrdekatnya, sehingga memilikikemungkinan jenis baru.

Page 47: Jurnal Biologi Indonesia

334

Nurkanto dkk

Gambar 3. Fisualisasi PCR product hasil analisis.Analisis (dari kiri : Marker, MG.500.1.1,MG.500.1.4, MG.500.1.6, A.1.6, MG.750.1.2, dan MG.10.1.S.8.).

 

Arthrobacter agilis strain 090-2.1-CV-A-08aStreptomyces pseudovenezuelae strain BUM174623

MG 500 1.4Streptomyces resistomycificus strain 6792

Streptomyces aburaviensis 99% strain AS 4.1869

99

Streptomyces aureus strain 173978Streptomyces griseoaurantiacus strain HBUM174220

Streptomyces bobili strain NBRC 16166Streptomyces puniceus strain NRRL B-2895T

Streptomyces psammoticus strain NBRC 13971

98

Streptomyces phaeofaciens strain NBRC 13372Streptomyces miharaensis strain NBRC 13791

100

100MG 500 1.1

Streptomyces hygroscopicus strain SMUM3697Kitasatospora kifunensis strain HKI 0316

Streptomyces tauricus strain HBUM175010Streptomyces seoulensis strain HBUM174550Arthrobacter citreus

100

34

44

13

87

2

Arthrobacter sulfureus strain CSQ5Streptomyces aureofaciens strain KACC 20180Streptomyces panacagri strain Gsoil 51985Streptomyces kathirae strain s7a

95

Streptomces psammoticus strain IFO 13971Streptomyces violaceoruber strain KCTC 9787Streptomyces cacaoi subsp. cacaoi strain NBRC 12837100

Streptomyces rimosus strain MJM8796Streptomyces prunicolor strain 22-1

97

15Kitasatospora kepongensis strain H 6549Streptacidiphilus luteoalbus strain IS096

MG 500 1.6A 1.6

100

100MG 1250 1.2

43

Streptomyces variabilis strain HBUM173496Streptomyces psammoticus strain K33Streptomyces galilaeus strain HBUM174638Streptomyces galilaeus strain HBUM174638Streptomyces goshikiensis strain 173428"

100

MG 10. 1. S 8

100

100

100Nocardiopsis rosea strain YIM 90094

35

9

21

8

1

32

2

100

4

34

22

100

0.05

Arthrobacter agilis strain 090-2.1-CV-A-08aStreptomyces pseudovenezuelae strain BUM174623

MG 500 1.4Streptomyces resistomycificus strain 6792

Streptomyces aburaviensis 99% strain AS 4.1869

99

Streptomyces aureus strain 173978Streptomyces griseoaurantiacus strain HBUM174220

Streptomyces bobili strain NBRC 16166Streptomyces puniceus strain NRRL B-2895T

Streptomyces psammoticus strain NBRC 13971

98

Streptomyces phaeofaciens strain NBRC 13372Streptomyces miharaensis strain NBRC 13791

100

100MG 500 1.1

Streptomyces hygroscopicus strain SMUM3697Kitasatospora kifunensis strain HKI 0316

Streptomyces tauricus strain HBUM175010Streptomyces seoulensis strain HBUM174550Arthrobacter citreus

100

34

44

13

87

2

Arthrobacter sulfureus strain CSQ5Streptomyces aureofaciens strain KACC 20180Streptomyces panacagri strain Gsoil 51985Streptomyces kathirae strain s7a

95

Streptomces psammoticus strain IFO 13971Streptomyces violaceoruber strain KCTC 9787Streptomyces cacaoi subsp. cacaoi strain NBRC 12837100

Streptomyces rimosus strain MJM8796Streptomyces prunicolor strain 22-1

97

15Kitasatospora kepongensis strain H 6549Streptacidiphilus luteoalbus strain IS096

MG 500 1.6A 1.6

100

100MG 1250 1.2

43

Streptomyces variabilis strain HBUM173496Streptomyces psammoticus strain K33Streptomyces galilaeus strain HBUM174638Streptomyces galilaeus strain HBUM174638Streptomyces goshikiensis strain 173428"

100

MG 10. 1. S 8

100

100

100Nocardiopsis rosea strain YIM 90094

35

9

21

8

1

32

2

100

4

34

22

100

0.05

Gambar 4. Analisis Filigenetik isolat aktinomisetes.

Page 48: Jurnal Biologi Indonesia

335

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

 

No Mikroba Uji Ekstrak (µg/ ml) Antibiotik komersil sebagai pembanding (µg/ ml)

MG 500

1.1 MG

1250 1.2 Chloramphenicol Eritromycin Nistatin Kabicidin

1 Escherichia coli

2 na 16 32 na na NBRC 14237

2 M. luteus

128 na 16 16 na na NBRC 1367

3 S. aureus

128 na 16 0.06 na na NBRC 13276

4 Bacillus subtilis

128 na 8 0.03 na na NBRC 3134

5 Candida albicans

Na na na na 32 32 NBRC 1594

6 S. cerevisiae

16 na na na 64 64 NBRC 10217 7 Aspergillus niger Na 16 na na 16 64

Tabel 3. Penentuan nilai MIC ekstrak uji terhadap bakteri dan fungi dibandingkan dengankontrol antibiotik komersial

Keterangan : na = tidak aktif

 

Gambar 5. Analisis kebocoran sel. A : ekstrak MG 500.1.1 terhadap sel E. coli; B : ekstrakMG 500.1.1 terhadap S. cereviseae dan C : ekstrak MG 1250.1.2 terhadap A. niger.

Page 49: Jurnal Biologi Indonesia

336

Nurkanto dkk

No Nomor kode isolat Nomor isolat di LIPIMC 1 MG 500.1.1 LIPIMC 368 2 MG 500.1.4 LIPIMC 369 3 MG 500.1.6 LIPIMC 370 4 MG 1250.1.2 LIPIMC 371 5 A 1.6 LIPIMC 372 6 MG 10.1.5.8 LIPIMC 373

 

Tabel 4. Registrasi nomor penyimpanan kultur pada LIPIMC

Diketahui bahwa Streptomycesmerupakan genus dari aktinomisetesyang paling banyak memproduksiantibiotik dan molekul bioaktif dibandingkan dengan genus lain dariaktinomisetes (Solanki et al. 2008;Khamma et al. 2008; Goodfellow &Simpson 1987), bahkan juga lebih tinggidibandingkan dengan mikroba lain sepertijamur dan yeast.Isolat yang memilikikemampuan antibiotik dari hasilscreening, dilakukan seleksi lebih lanjutuntuk mendapatkan isolat unggul. Dari 6isolat aktif, dipilih dua isolat untuk dianalisis lebih lanjut. Dua isolat tersebutadalah Streptomyces MG 500.1.1 danStreptomyces MG 1250.1.2. Pemilihanisolat tersebut didasarkan padakemampuan antibiotiknya yang palingtinggi dan sifat khas antibiotiknya yangkebetulan berlawanan. StreptomycesMG 500.1.1 bersifat broad spectrumsedangkan Streptomyces MG 1250.1.2lebih bersifat arrow spectrum.

Uji lanjut MIC dilakukan untukmengetahui dosis minimum dari metabolityang diproduksi oleh kedua isolat terpilihdalam menghambat beberapa jenismikroba. Hasilnya menunjukkan nilaiMIC yang bervariasi terhadap mikrobauji. Senyawa metabolit yang diproduksi

oleh Streptomyces MG 500.1.1menghambat semua mikroba uji kecualiC. albicans dan A. niger. Nilai MICuntuk menghambat E. coli (2 μg/mL)jauh lebih rendah dibandingkan denganantibiotik komersial chloramphenicol danerytromicin. MIC untuk menghambatyeast S. Cerevisiae (16 μg/mL) jugalebih rendah dibandingkan denganantibiotik komersial kabicidin dannystatin. Walaupun demikian, nilai MICterhadap mikroba lain lebih tinggidibandingkan dengan antibiotikkomersial. Nilai MIC dari StreptomycesMG 1250.1.2 terhadap A. niger samadengan nistatin, dan lebih rendahdibandingkan dengan kabicidin.

Nilai MIC yang lebih rendahmenujukkan kemampuan antibiotik yangtinggi. Makin rendah MIC, makin bagusaktivitas antibiotiknya. Dari hasil yangtelah diperoleh, menujukkan hasil yangpositip, dimana kedua ekstrak memilikiaktivitas antibiotik yang lebih tinggidibandingkan dengan antibiotik komersialyang telah lama digunakan untuk obatsaat ini, walaupun masih dalam bentukekstrak campuran.

Data kebocoran dinding selmenunjukkan adanya kerusakan sel olehpengaruh pemberian ekstrak. Kerusakan

Page 50: Jurnal Biologi Indonesia

337

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

yang terjadi berupa rusaknya dinding danmembran sel yang diikuti dengankeluarnya material seluler ke mediumantara lain protein dan asam nukleat yangdiukur nilai absorbansinya pada panjanggelombang 260 dan 280 nm. Hampirsemua antibiotik bekerja dengan merusakmembran sitoplasma. Karena ekstrakyang digunakan bersifat hidrofobik, makamekanisme awal adalah penempelansenyawa ekstrak dengan fosfolipid danlipoprotein pada membran bagian luar.Ekstrak juga kemungkinan berikatandengan peptidoglikan yang bersifathidrofobik, yang mengganggu permea-bilitas membran. Dengan terganggunyapermeabilitas membran sel, maka ekstrakakan masuk ke dalam sitosol sel danmengganggu proses metabolisme selsecara keseluruhan. Menurut Sikkema etal dan Ultee et al. 2002 dalam Miksusantiet al. (2008), adanya akumulasi ekstrakdalam sitoplasma akan menyebabkanmembran mengalami pembengkakan,perubahan permiabilitas dan fluiditas.Akibatnya potensial membran menurun,kerja enzim dalam proses metabolismemenurun yang pada akhirnya menyebab-kan terlepasnya material sel ke luar, yangterdeteksi dengan tingginya protein danasam nukleat. Secara umum pemberianperlakuan 2 MIC menimbulkan kerusa-kan yang lebih berat dibandingkan dengandosis 1 MIC.

KESIMPULAN

Aktinomisetes yang diisolasi darisampel tanah berbagai tipe subtrat danhabitat asal ternate memiliki kelimpahanyang cukup tinggi. Tidak ditemukan

adanya pola kelimpahan aktinomisetesyang dibatasi oleh ketinggian.Berdasarkan analisis 16S rDNA, semuaisolal yang memiliki aktivitas antibiotikmasuk dalam genus Streptomyces.Diperoleh dua strain aktinomisetesStreptomyces MG 500.1.1 danStreptomyces MG 1250.1.2 yangsenyawa metabolitnya memiliki aktivitasantibiotik yang sangat kuat, bahkan lebihkuat dari antibiotik komersial. Metabolitdari Streptomyces MG 500.1.1 lebih kuatmelawan E. coli dan S. cerevisiae,sedangkan Streptomyces MG 1250.1.2pada A.niger. Aktivitas antibiotik ditandaidengan kebocoran sel dan terlepasnyamaterial organik (protein dan asamnukleat). Untuk selanjutnya Perludilakukan isolasi, elusidasi dankarakterisasi metabolit dari kedua strainyang memiliki aktivitas antibiotik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini dibiayai oleh proyekIPTEKDA LIPI 2009. Terimakasihpenulis sampaikan kepada Prof. Dr. IbnuMaryanto sebagai koordinator proyek,Walikota Ternate, semua tim ekspedisiTernate 2009, Dian Alfian dan semuafihak yang membantu penelitian kami.

DAFTAR PUSTAKA

Debananda, S. Ningthoujam, S. Sanasam& S. Nimaichand.2009. Screeningof Actinomycete Isolates fromNiche Habitats in Manipur forAntibiotic Activity. American J.lBiochem. Biotech. 5 (4): 221-225.

Page 51: Jurnal Biologi Indonesia

338

Nurkanto dkk

Goodfellow, M. and KE. Simpson. 1987.Ecology of Streptomyces. AppMicrobial. 2 : 97 – 125.

Hamdali, H., B. Bouizgarne, M. Haûdi ,A. Lebrihi, M. Virolle and Y.Ouhdouch. 2008. Screening forrock phosphate solubilizingActinomyce from Moroccanphosphate mines. App.Soil Ecol.38 : 12 – 19.

Hayakawa, M. & T. Nanomura. 1987.Humic Acid Vitamin Agar, and aNew Medium for the SelectiveIsolation of Soil Actinomycetes. J.Ferment technology 65: 501 –509.

Hayakawa, M., Y.Yoshida & Y. Iimura.2004. Selective isolation ofbioactive soil actinomycetesbelonging to the Streptomycesviolaceusniger phenotypic cluster.J. Appl. Microbiol. 96 : 973–981.

Hopwood, DA,.2007. Streptomyces inNature and Medice . OxfordUniversity Press. New York.

Khamma, S., A. Yokota, & S. Lumyong.2008. Actinomycetes isolated frommedical Plant rhizosphere soil :diversity and screening ofantifungal compounds, indole-3-acetic acid sidorephore production.World J.Microbiol Biotechnol.10.1007.

Lee, YJ. & BK. Hwang. 2002. Diversityof Antifungal Actinomycetes inVarios Vegetative soils of Korea.J. Microbiol 48: 407- 417. NRCResearch Press.

Miksusanti, BSK. Jennie, B. Ponco &G. Trimulyadi. 2008. Cell wallDisruption of Escherchia coli K1.1

by Temu Kunnci (Kaempferiapandurata) Essential Oil. BeritaBiologi. 9 (1) : 1 – 8.

Nolan, R.&T. Cross. 1988. Isolationand screening of actinomycetes.dalam: Goodfellow, M., WilliamsS.T., Mordarski M, editors.Actinomycetes in biotechnology.London: Academic Press. Hlm. 1– 32.

Nurkanto, A, M. Rahmansyah & A.Kanti. 2008. Teknik IsolasiAktinomisetes. LIPI Press.Jakarta.

Okazaki, T. & A. Naito.1986. Studieson actinomycetes isolating fromAustralian soil. dalam: Szabo, G.,S. Biro, M. Goodfellow, editors.Biological biochemical andbiomedical asp.ects of actinomy-cetes. Budapest: Akademiai Kiado.Hlm. 739 – 41.

Pitcher, DG., NA. Saunders and RJ.Owen. 1989. Rapid extraxtion ofbacterial genomic DNA withGuanidium thiocyanate. Lett ApplMicrobiol. 8 : 108 – 114.

Rahman, A, MI Choudhary and WJ.Thomsen. 2005. BioassayTechniques for Drug Develo-ment. Hardwood AcademicPublishers. London.

Saadoun, I. & R. Gharaibeh. 2003. TheStreptomyces flora of Badia regionof Jordan and its potential as asource of antibiotic-resistantbacteria. J. Arid Environ 53: 365– 371.

Schwalbe,R, L. Stele-Moore & AC.Goodwin. 2007. Antimicrobial

Page 52: Jurnal Biologi Indonesia

339

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

Susceptibility Testing Protocols.CRC Press. New York.

Sette, LD., VM. de Oliveira & GP.Manûo. 2005. Isolation andcharacterization of alachlor-degrading actinomycetes from soil.

Antonie van Leeuwenhoek. 87 :81 -89.

Solanki,R, M. Khanna & R. Lal. 2008.Bioactive Compounds from MarineActinomycetes. Indian J.Microbial. 48 : 410 – 431.

Memasukkan: September 2009Diterima: April 2010

Page 53: Jurnal Biologi Indonesia

341

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 341-351 (2010)

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami di Pulau Ternate, MalukuUtara

Edi MirmantoBidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI

Cibinong Science Centre, Jl. Raya Jakarta – Bogor km 46, Cibinong

ABSTRACT

Vegetation Analysis of Natural Forest in Ternate Island, North Maluku. A vegetation analysisof the Ternate natural forest has been conducted by establishing 9 plots of each 30-m x 30-m.All trees (dbh. e”10 cm) within all plots were measured, their positions were determined, andtheir species were identified. In total there were 68 tree species recorded within plots belongingto 34 families. Trichospermum morotainense was the most common species, followed byAlbizia falcataria, Elmerilla ovata, Cordia mixa, and Macaranga longicaudatum. Almost allof the common species such as A. falcataria, Tristiopsis canarioides, Pometia pinnata, E.ovata and Intsia bijuga were found as emergent or canopy trees. According to the ordination(DCCA) analysis there were at least three tree species associations which were related tohabitat characteristics (conditions). However the population’s dominant species varied amongsites, which might be related to the habitat characteristics and/or effects of human activities inthe past.

Keywords: Vegetation, natural forest, Ternate, North Maluku

PENDAHULUAN

Kepulauan Maluku merupakanbagian dari kawasan Malesia yangdikenal memiliki keanekaragaman floradan tipe vegetasi yang tertinggi di dunia(Steenis 1948; Balgooy 1976). Secarageografis posisi kepulauan ini terletak diantara Asia-Malesia Barat dan Australia-Pasifik, sehingga memungkinkanterjadinya percampuran flora dan faunadari 2 wilayah tersebut dan memperkayakeanekaragaman hayati kepulauantersebut. Ternate merupakan salah satupulau kecil yang berada dalam wilayahKepulauan Maluku, dan terletak disebelah pantai Barat pulau Halmahera.

Keberadaan Pulau Ternate cukupmenarik karena sebagian areanya berupaGunung Gamalama, yang keberadaannyamempunyai arti positif dan negatif.Gunung yang masih aktif ini telah meletusbeberapa kali yang menimbulkan kerugiantidak sedikit. Di sisi lain sumberdaya alamyang terdapat di daerah Gunung Gamala-ma merupakan salah satu modal dasardalam pengembangan Kota Ternate.Mengingat letak geografisnya, diperkira-kan masih terdapat flora dan fauna yangkhas Maluku atau bahkan Ternate.

Seperti halnya pulau-pulau kecillainnya, keberadaan vegetasi hutan alamidi P. Ternate merupakan aset yang perludipertahankan. Sebagian besar hutan di

Page 54: Jurnal Biologi Indonesia

342

Edi Mirmanto

pulau kecil merupakan sisa ekosistemalami daratan dengan biodiversitas yangtinggi. Berlangsungnya proses isolasigeografis yang lama telah membentukpola-pola vegetasi yang khas danmembentuk jenis-jenis endemik padasebagian besar pulau-pulau kecil. Disamping itu fungsi dan potensi vegetasihutan di pulau kecil memegang perananpenting, baik secara ekologis maupunekonomis khususnya bagi masyarakatyang menghuni di dalamnya.

Di Ternate, keberadaan hutan alamiberupa spot-spot hutan di antarahamparan tanaman cengkeh dan pala,pada daerah-daerah lereng ke arahpuncak G. Gamalama. Sebagian terdapatdi daerah-daerah sumber air dan daerahkeramat (jere). Keberadaan hutan alamidi pulau ini memegang peranan pentingdalam mempertahankan kestabilanekosistem di daerah tersebut. Untuk itukeberadaan hutan alami di P. Ternateperlu dipertahankan, karena denganrusaknya hutan alami ini akanberpengaruh terhadap ketersediaansumber air yang sangat terbatas. Di lainpihak pengetahuan dan informasi tentangbiodiversitas P. Ternate belum terungkapdan terdokumentasi dengan baik.Sehubungan dengan itu perjalanan keP.Ternate telah dilakukan untuk melaku-kan penelitian dan eksplorasi flora danfauna di P.Ternate.

Tulisan ini merupakan sebagian hasildari kegiatan penelitian tersebut, yangditekankan pada analisis vegetasi hutanalami di pulau Ternate. Tujuan utamaanalis vegetasi adalah untuk mempelajaridan mengungkapkan komposisi flora,struktur hutan dan pola komunitas

vegetasi hutan alami di pulau Ternate dankaitannya dengan kondisi habitatnya.

BAHAN DAN CARA KERJA

Ternate merupakan merupakannama pulau sekaligus nama kota diKepulauan Maluku, yang terletak disebelah pantai Barat pulau Halmahera.Luas P. Ternate sekitar 76 km², dansebagian arealnya berupa GunungGamalama yang tingginya mencapai1.715 m. Adapun Kota Ternate sendiriterbentang antara 0º472 -1º142 LU dan127º222 -127º362 BT. Secaraadministrasi pemerintahan, Ternatetermasuk ke dalam Propinsi MalukuUtara, dengan wilayah yang terbagimenjadi 3 kecamatan, yaitu Moti, TernateUtara, dan Ternate Selatan.

Secara umum curah hujan didaerah penelitian relatif rendah, yaitudengan rata-rata tahunan tercatatsebesar 2.202 mm. Rata-rata curah hujanbulanan bervariasi dari 50 sampai 263mm, dengan curah hujan tertinggi tercatatpada bulan Mei dan Desember, danterendah pada bulan Juni sampaiSeptember (Sumber: Stasiun Meteoro-logi Babullah Ternate). Dengandemikian iklim di daerah penelitian dapatdigolongkan beriklim kering tengah tahun.Suhu udara cukup panas dan tidakterlalu bervariasi, yaitu berkisar antara23,3 dan 31,5 °C.

Sebagian besar penutupan lahan didaerah ini berupa tanaman cengkeh(Syzygium aromaticum) dan pala(Myristica fragrans) dengan umurtanam bervariasi. Di samping itu terdapattanaman lain diantaranya, seperti

Page 55: Jurnal Biologi Indonesia

343

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate,

Artocarpus integra, Cocos nucifera,dan Nephelium lappaceum. Vegetasihutan alami yang ada terutama terdapatpada daerah-daerah ke arah puncak,lereng yang cukup terjal, cagar alam dankeramat (jere). Hutan alami umumnyadalam kondisi cukup baik, dengankerapatan relatif tinggi dan dengan pohonberukuran besar yang cukup banyak.

Sembilan petak pencuplikan datavegetasi dengan ukuran masing-masing30m x 30m dibuat dalam kawasan hutanprimer pegunungan atas dan bawah(sekitar pondok rehabilitasi), hutan primerdataran rendah (Jere Tobana dan sekitarAir Tege-tege), dan hutan sekunder tua(Gambar 2). Masing-masing petakdibagi menjadi 9 anak petak (10m x10m). Setiap pohon dengan diameter 10cm yang terdapat di setiap anak petak,diidentifikasi jenisnya, diukur diameterbatangnya setinggi 1,3 m dari atas tanah,ditaksir tinggi total dan bebas cabang,serta ditentukan posisinya. Setiap jenisyang tercatat dibuat spesimen bukti

Gambar 2. Peta daerah penelitian dan letak petak pencuplikan data vegetasi ( A-I)

ekologi untuk keperluan identifikasi lebihlanjut di Herbarium Bogoriense.

Data yang terkumpul dianalisisdengan mengikuti metode Bray & Curtis(1957), Mueller-Dombois (1983), danGreigh-Smith (1964) untuk mendapatkannilai-nilai frekuensi, kerapatan, dominansi,frekuensi relatif kerapatan relatif,dominansi relatif, dan nilai penting. Jenisdan nilai pentingnya di setiap petakdigunakan sebagai parameter dalamanalisis ordinasi DCCA (DetrendedCorespondence Component Analysis),dengan menggunakan perangkat lunakMVSP 3.1 (Multi Variate StatisticalPackage). Berdasarkan analisis inidiperoleh pengelompokan petak-petakberdasarkan kesamaan komposisijenisnya dan kondisi habitatnya.

HASIL

Komposisi FloristikBerdasarkan hasil pencacahan pada

9 petak pencuplikan data tercatat paling

Page 56: Jurnal Biologi Indonesia

344

Edi Mirmanto

tidak 68 taksa pohon (diameter e” 10 cm)yang tergolong ke dalam 34 suku(Lampiran 1). Dari 34 suku yang tercatat,6 suku di antaranya mempunyai nilaipenting suku (NPS) > 16,0, danditetapkan sebagai suku-suku utama didaerah penelitian. Ke 6 suku tersebutadalah Euphorbiaceae (NPS=34,24),Moraceae (NPS=20,78), Sapindaceae(NPS=27,77), Magnoliaceae (NPS=23,71), Fabaceae (NPS=23,69), danTiliaceae (NPS=16,36). Dua sukupertama tercatat memiliki jumlah jenisyang tertinggi, 3 suku berikutnya dengannilai dominansi yang tertinggi, sedangkan1 suku terakhir dengan kerapatantertinggi.

Heterogenitas pohon secara umumcukup tinggi, yaitu sebagian besar (94,3%) jenis dengan frekuensi < 50 %, danhanya 4 jenis (5,6 %) dengan frekuensi> 50 % (Gambar 2). Ke 4 jenis tersebutyaitu Cordia mixa, Glochidionphilippicum, dan Vernonia arboreayang masing-masing dengan F= 55,5 %,serta Trichospermum morotainensedengan F= 88,9 %. Hal ini menggam-barkan pola persebaran jenis yang tidakmerata, yang kemungkinan berkaitandengan kondisi habitat ataupun karena

campur tangan manusia yang sudahberlangsung sejak lama.

Bedasarkan nilai penting rata-ratajenis (NPR) di atas 10,0 ditentukan 8 jenispohon utama, yaitu bertutut-turutTrichospermum morotainense (NPR=24,13), Albizia falcataria (NPR=21,47),Elmerilla ovata (NPR=19,23), Cordiamixa (NPR=15,52), Macarangalongicaudatum (NPR=14,54), Syzygiumaromaticum (NPR=10,91), Swieteniamahagoni (NPR=10,55), dan Villebru-nea rubescens (NPR=10,04). Jenis-jenispohon tersebut, kecuali Trichospermummorotainense, secara lokal mempunyainilai penting yang tertinggi. KedudukanT. morotainense di petak H digantikanoleh Tristiopsis canarioides (“Ngame”)yang secara lokal sangat dominan karenasemua pohon yang ada berdiameter diatas 150 cm.

Struktur HutanDi dalam 9 petak (30 x 30 m)

pencuplikan data (luas total 0,81 ha)tercacah sebanyak 497 individu pohon(diameter > 10 cm). Sebagian besarpohon yang tercacah berukuran kecil,yaitu sebanyak 83,7 % dengan diameterantara 10 dan 20 cm, namun sebanyak

Gambar 2. Persebaran kelas frekuensi jenis pohon di daerah penelitian P. Ternate

Page 57: Jurnal Biologi Indonesia

345

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate,

3,4 % pohon (17 individu) diantaranyamencapai diameter >100 cm (Gambar 3).Dari 17 individu pohon tersebut terdiriatas 5 jenis, yaitu Albizia falcataria,Bischoffia javanica, Palaquiumobovatum, Pometia pinnata, danTristiopsis canarioides yang mencapaidiameter >200 cm.

Berdasarkan hasil pengukuran tinggipohon, hutan di daerah penelitian secaraumum terdiri atas 3 lapisan kanopi, yaitulapisan I dengan tinggi antara 22,5 dan30 m, lapisan II antara 15 dan 22,5 m,serta lapisan III antara 7,5 dan 15 m.Pohon-pohon menonjol mempunyai tinggidi atas 30 m, dengan pohon tertinggimencapai 38 m diwakili oleh jenis-jenisAlbizia falcataria, Tristiopsiscanarioides , Pometia pinnata,Elmerilla ovate, dan Instia bijuga. Dilain pihak pohon-pohon dengan tinggi <7,5 m merupakan pohon ternaungi yangmeliputi 18,5 % populasi pohon terdiri atasjenis-jenis Bridelia glauca, Cyathea sp.,Glochidion philippicum, Gnetumgnemon, Leea indica, Macarangalongicaudatum, Polyscias nodosa,

Vernonia arborea dan Villebrunearubescens.

Pola VegetasiHasil analisis ordinasi dengan

“DCCA” menunjukkan adanya tigapengelompokan petak pencuplikan data(Gambar 4 ). Kelompok I terdiri atas 4petak (A, B, C, dan D) yang terdapatpada daerah relatif tinggi dengankelerengan tajam, kelompok II terdiriatas 2 petak (G dan I) pada daerah relatifdatar dan rendah, kelompok III terdiriatas 3 petak (E, F, dan H) terdapat padadaerah rendah tetapi dengan kelerengancukup tajam. Keanekaragaman jenis danbasal area pohon di setiap kelompoknampak cukup bervariasi; tertinggi padakelompok I dan terendah pada kelompokIII. Basal area tertinggi tercatat padakelompok II yang merupakan petak-petakpada daerah relatif datar.

Pengelompokan petak pencuplikandata nampak serupa dengan pengelompo-kan atau asosiasi jenis yang dianalisis.Gambar 5 menunjukkan adanyapengelompokan atau asosiasi jenis pohon

Gambar 3. Persebaran kelas diameter pohon di daerah penelitian P. Ternate

Page 58: Jurnal Biologi Indonesia

346

Edi Mirmanto

menurut ketinggian dan kemimiringanhabitat. Di sini terlihat adanya 4 asosiasijenis, yaitu kelompok A merupakan jenis-jenis yang cenderung tumbuh danberkembang pada daerah tinggi tetapidengan kelerengan tidak terlalu tajam.Kelompok B hampir serupa dengankelompok A, tetapi dengan kondisikelerengan habitat lebih terjal. KelompokC tumbuh pada habitat dengan kelerenganpaling tajam, sedangkan kelompok Dpada habitat yang relatif datar.Keberadaan jenis-jenis tersebut eratkaitannya dengan kondisi habitat, tetapinampak juga adanya pengaruh ataucampur tangan manusia. Berdasarkanpengelompokan ini dapat ditentukan 4 tipekomunitas, yaitu kelompok A sebagaikomunitas hutan pegunungan atas,kelompok B sebagai komunitas

Gambar 4. Pengelompokan petak pencuplikan data berdasarkan hasil analisis “DCCA” denganmenggunakan parameter ketinggian, kelerengan, diversitas dan basal area

pegunungan bawah, kelompok C sebagaikomunitas lereng, dan kelompok Dsebagai komunitas dataran rendah.

PEMBAHASAN

Secara keseluruhan jumlah jenisyang tercatat dalam penelitian ini relatifrendah dibandingkan dengan hasilpenelitian dari beberapa pulau kecillainnya, baik Kepulauan Maluku(Mirmanto & Ruskandi 1986); sekitarPapua (Purwaningsih 1995; Simbolon1995, 1998), maupun pulau kecil lainya(Yusuf dkk. 2006; Partomihardjo dkk.2001; 2003; Tagawa 1992). Di sampingitu perbedaan nampak pula dalamkomposisi jenisnya.

Perbedaan dalam jumlah jeniskemungkinan berkaitan dengan perbe-

Page 59: Jurnal Biologi Indonesia

347

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate,

daan dalam jumlah dan ukuran petakserta luas daerah penelitian. Di lain pihakperbedaan komposisi jenis dapatdipahami karena proses pembentukanvegetasi di pulau kecil pada umumnyamelalui berbagai bentuk penyesuaianterhadap lingkungan yang cukupbervariasi. Karena itu setiap pulau kecilkemungkinan akan memiliki keragamanyang unik dan spesifik, baik pada tingkatekosistem (tipe vegetasi) maupun tingkatjenis. Dengan demikian diperkirakanbahwa masing-masing pulau kecilmempunyai tipe vegetasi dengankomposisi jenis yang bervariasi.

Kemungk inan -kemungk inantersebut tidak sepenuhnya berlaku bagikeberadaan vegetasi hutan alami di P.Ternate. Seperti diketahui bahwa sejakzaman penjajahan, P. Ternate dikenalsebagai penghasil rempah-rempahdiantaranya cengkeh dan pala. Ini berarti

Gambar 5. Pengelompokan jenis berdasarkan hasil analisis “DCCA” dengan menggunakanparameter ketinggian dan kelerengan

bahwa keberadaan cengkeh dan pala diTernate sudah ada sejak zaman dulu.Saat ini masih ditemukan pohon cengkehyang diperkirakan berumur ratusan tahundengan diameter batang mencapai lebihdari 2 m. Berdasarkan informasi tersebut,diperkirakan bahwa berkurangnya jenis-jenis pohon alami sudah terjadi sejaklama. Dengan demikian keberadaanhutan alami pada saat penelitiandilakukan, kemungkinan merupakanhutan yang tersisa atau hasil dari reha-bilitasi sebagai upaya untuk mendukungkestabilan ekosistem Ternate.

Terlepas dari sejarah panjang pulauTernate, hasil pencuplikan data vegetasimenunjukkan adanya 4 tipe komunitasyang berkaitan dengan kondisi habitat.Komposisi jenis dan struktur hutan antarkomunitas hutan di daerah penelitianmenunjukkan adanya perbedaan yangcukup nyata. Berdasarkan nilai Indeks

Page 60: Jurnal Biologi Indonesia

348

Edi Mirmanto

Kesamaan (IK) antar komunitas, terlihatadanya gradasi perubahan komposisijenis dari komunitas hutan pegununganatas ke arah komunitas dataran rendah.IK antara komunitas pegunungan atasdan komunitas dataran rendah hanyamencapai 6,78 %, yang menunjukkanperbedaan komposisi jenis yang tinggi. Inidapat dipahami karena hampir semuapetak dalam komunitas dataran rendahberada dalam hutan sekunder tua danhutan campuran dengan tanamanbudidaya. Dengan demikian keaneka-ragaman jenis pohon di dalam komunitasdataran rendah jauh lebih rendahdibandingkan dengan komunitas lainnya.Penurunan atau rendahnya kekayaanjenis pohon pada komunitas dataranrendah kemungkinan berkaitan dengandampak aktivitas manusia, baik dalammelakukan pengelolaan perkebunanmaupun dalam pemanfatan kayu hutan.Dengan demikian dalam komunitasdataran rendah regenerasi alami nyaristidak terjadi. Dilain pihak keberadaankomunitas hutan pegunungan dankomunitas lereng dapat dikatakan tidakmengalami gangguan, ditandai dengankerapatan dan luas bidang dasar yangcukup tinggi. Ini dapat dipahami karenaselain kondisi habitatnya yang berlerengterjal, juga merupakan daerah yangsecara ekologis atau secara adat perludipertahankan. Karena itu hasilpencuplikan data di daerah Jere Tobanamaupun Air Tege-tege menunjukkankerapatan dan luas bidang dasar yangtinggi.

Berdasarkan komposisi jenis pohonyang terdapat pada beberapa petakpencuplikan data, seperti di daerah Jere

Tobana dan Air Tege-tege, menunjukkanhal yang menarik untuk dipelajari lebihlanjut. Beberapa jenis yang tercatat,seperti Albizia falcataria, Swieteniamahagoni, Instia bijuga, Elmerillaovata, dan Tristiopsis canaroides, yangnampaknya bukan tumbuhan asli didaerah penelitian tetapi mampu bertahandan berkembang dengan baik. Hal iniditandai dengan banyaknya individu darijenis-jenis tersebut pada tingkat semai danbelta. Keterdapatan jenis-jenis tersebutdi daerah penelitian kemungkinansebagai hasil rehabilitasi yang dilakukanpada waktu yang silam. Di lain pihakkomposisi jenis pohon di daerahpegunungan atas menunjukkan karakte-ristik jenis-jenis pegunungan. Beberapajenis seperti Villebrunea rubescens,Trema orientalis dan Bischoffiajavanica yang melimpah di daerahpenelitian dikenal sebagai jenis-jenispegunungan, juga terdapat secaramelimpah di daerah G. Halimun dan Salak.

KESIMPULAN

Terdapat 4 komunitas hutan yangtersebar pada kondisi habitat yangbervariasi, yang diperkirakan berkaitandengan karakteristik habitat dan campurtangan manusia dalam usaha menjagakestabilan ekosistem. Beberapa jenisyang tercatat mencirikan sebagai florapegunungan dan beberapa jenis lainnyadiperkirakan sebagai hasil rehabilitasi.Secara keseluruhan keadaan hutan alamidi pulau Ternate perlu tetap dipertahan-kan sebagai stabilisator.

Page 61: Jurnal Biologi Indonesia

349

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate,

DAFTAR PUSTAKA

Balgooy, MMJ. van. 1976. Phytogeo-graphy. In: K. Paijmans (ed.). NewGuinea Vegetation. 1-22.

Greigh-Smith, P. 1964. QuantitativePlant Ecology. Second Edition.Butterworths, London.

Muller-Dombois, D & H. Ellenberg.1974. Aims and Methods ofVegetation Ecology. John Wiley,New York

Mirmanto & Ruskandi. 1986. Analisavegetasi hutan dataran rendah dipulau Geser, Maluku. LaporanPerjalanan. Doc. HB

Partomihardjo, T., EN. Sambas & S.Prawiroatmodjo. 2001. Keanekara-gaman jenis tumbuhan dan tipevegetasi Pulau Nusakambangan.Prosiding Seminar dan Lokakar-ya Nasional Nusakambangan.2001: 39-48.

Partomihardjo, T., Roemantyo & S.Prawiroatmodjo. 2003. Biologicaldiversity of small islands: Case studyon landscape, vegetation and floristicnotes of Nusakambangan Island,Cilacap Indonesia. Global TaxonomyInitiative in Asia. Report and Proc.of First GTI Regional Workshopin Asia. Putrajaya, Malaysia: 106-111.

Purwaningsih. 1995. Komposisi jenis danstruktur vegetasi hutan primer danhutan sekunder pulau Biak, IrianJaya. Dalam: H. Simbolon (ed.).Laporan Teknik 1995. PuslitbangBiologi-LIPI. hal 34-45.

Simbolon, H. 1995. Tipe-tipe vegetasicagar alam pulau Supiori, Kabupa-

ten Biak Numfor, Irian Jaya. Dalam:H. Simbolon (ed.). Laporan Teknik1995. Puslitbang Biologi-LIPI. hal54-72.

Simbolon, H. 1998. Perubahan floristikdan keadaan hutan pada beberapalokasi penelitian di Cagar AlamPulau Yapen Tengah, Irian Jaya.Ekologi Indonesia, 2 (3): 1-11.

Schmidt, FH. & Ferguson, JHA. 1951.Rain fall types based on wet and dryperiod ratios for Indonesia withwestern New Guinea. KementrianPerhubungan, Djawatan Meteoro-logi dan Geofisika, Jakarta.Verhandelingen, No.42.

Steenis, CGGJ. van. 1948. FloraMalesiana, Series I, Vol. IV.Noordhof-Kolff NV, Jakarta.

Tagawa, H. 1992. Primary successionand the effect of first arrival onsubsequent development of foresttypes. Geo J. 28 (2): 175-183.

Yusuf, R., A. Ruskandi†, Wardi &Dirman. 2006. Studi vegetasi P.Karimunjawa dan beberapa pulaukecil lainnya, di kawasan TNKarimunjawa. Dalam: AJ Arief, EBWaluyo, Mulyadi & H. Julistiono(eds.). Laporan Teknik 2006.Pusat Penelitian Biologi-LIPI. hal17-31.

Memasukkan: November 2009Diterima: April 2010

Page 62: Jurnal Biologi Indonesia

350

Edi Mirmanto

Lampiran 1: Lanjutan

SUKU Spesies A B C D E F G H I

FABACEAE Albisia falcataria + + + +

Gliricidia sp. +

Intsia bijuga +

GNETACEAE Gnetum gnemon + + + +

ICACINACEAE

Ghompandra +

LAURACEAE Actinodaphne sp.1 + +

Actinodaphne sp.2 + +

Cinnamomum burmanii +

Litsea garciaae + Litsea sp. + +

LEEACEAE

Leea indica +

MAGNOLIACEAE Elmerillia ovata +

Magnolia candollii +

MELIACEAE

Aglaia sp. + Swietenia mahagoni +

MORACEAE

Artocarpus elasticus + + +

Artocarpus integra + + Ficus septica +

Ficus sp.1 +

Ficus sp.1 +

Ficus sp.2 + +

Ficus sp.3 + +

MYRISTICACEAE

Myristica fragrans + + + +

MYRTACEAE

Eugenia fascigiata + + + +

Eugenia sp. +

Page 63: Jurnal Biologi Indonesia

351

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate,

Lampiran 1: LanjutanSUKU Spesies A B C D E F G H I

Syzygium aromaticum + + +

OLEACEAE

Chionanthus ramiflorus +

PINACEAE Pinus merkusii +

PROTEACEAE Helicia robusta +

ROSACEAE

Prunus arborea +

RUBIACEAE Mycetia SP. +

Wendlandia panniculata + + + +

SABIACEAE Meliosma +

SAPINDACEAE Harpulia cupanirides + Nephelium lappaceum +

Pometia pinnata + Tristiopsis canarioides +

SAPOTACEAE

Palaquium obovatum + Palaquium sp. + Sapotaceae + +

STERCULIACEAE Commersonia batramia +

Sterculia coccinea + +

Sterculia sp.1 + Sterculia sp.2 +

TILIACEAE

Grewia acuminata + Trichospermum morotainense + + + + + + + +

ULMACEAE Trema orientalis + +

URTICACEAE

Villebrunea rubescens + + + +

Page 64: Jurnal Biologi Indonesia

353

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 353-365 (2010)

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa Nitril dan Protein yangDiisolasi Dari Spons di Perairan Ternate

Rini Riffiani & Nunik SulistinahBidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong Science Center

Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong. E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Screening of Nitrile and Protein-Degrading Marine Bacteria Isolated from Sponge in TernateSea Water. Thirty three marine bacteria have been isolated from marine sponge in Ternate byenrichment culture. Screening bacteria-degrading nitrile was done by microtitter plate methodbased on growth ability tested by Iodonitrotetazolium chloride. Product of nitrile degradationwas determined by Gas Chromatography (GC) and the potential bacteria-degrading proteinwas also screened by using selected media which contained casein. The results showed thattwenty one isolates were able to show the clearing zone in selected media. Five isolatescapable of utilizing acetamide as the sole source of carbon and nitrogen. Acetate and ammoniaproduced for hydrolysis acetonitrile by using resting cell of Lysobacter sp.

Key words: Nitrile, bacterium, sponge, Ternate

PENDAHULUAN

Lautan Indonesia merupakan bagianwilayah Indopasifik yang mempunyaikeanekaragaman biota laut terbesar didunia. Dilaporkan bahwa jenis biota lautdi daerah tropis Indonesia 2-3 kali lebihbesar dibandingkan biota laut di daerahsub tropis dan daerah beriklim dingin(Sujatmiko 2000). Terumbu karangmerupakan salah satu sumber daya alamtersebut dan ekosistem terumbu karangmerupakan bagian dari ekosistem lautyang menjadi sumber kehidupan bagiberaneka ragam biota laut. Di dalamekosistem terumbu karang hidup lebihdari 300 jenis karang, 200 jenis ikan danbeberapa jenis moluska, krustasea,spounge, algae dan biota lainnya (VarSoest 1994). Spons merupakan salah satuorganisme laut yang mempunyai potensi

cukup besar karena kandungan senyawabioaktifnya. Binatang laut ini mampuhidup sampai kedalaman 50 meter dibawah permukaan laut. Hasil penelitianjuga menunjukkan bahwa pada porussponge (Microcionia prolifera)ditemukan beberapa jenis bakteri, sepertigenus Pseudomonas, Aerosomonas,Vibrio, Achromobacter, Flavobac-terium, Corynebacterium, dan Micro-coccus (Madri et al. in Reinheimer 1991)

Saat ini eksplorasi mikroba banyakdilakukan karena mikroba mempunyaikemampuan mensintesis enzim-enzimtertentu yang dapat digunakan untukkepentingan industri seperti industripangan, obat, kimia maupun sebagai agenbioremediasi lingkungan tercemar.Beberapa mikroba perombak senyawanitril baik alifatik maupun aromatik telahbanyak ditemukan dan dimanfaatkan

Page 65: Jurnal Biologi Indonesia

354

Riffiani & Sulistinah

untuk mensintesis senyawa-senyawapenting secara komersial, sepertimisalnya untuk memproduksi akrilamidadan S-(+)-Ibuprofen (Yamamoto et al.1990, Nawas et al. 1992). Dilaporkanjuga oleh Sunarko et al. 2007 mikrobapotensial pendegradasi nitril dapatdikembangkan dengan meningkatkankemampuan region, stereo, dan kemose-lektifitasnya untuk menghasilkan produkyang lebih spesifik.

Disamping mikroba pendegradasinitril, beberapa mikroba yang mampumensintesis enzim protease juga banyakdimanfaatkan untuk kepentingan industri,seperti industri deterjen, pengolahan susu,farmasi, dan makanan (Moon &Parulekar 1993). Enzim proteasedilaporkan memiliki nilai ekonomi cukuptinggi karena aplikasinya sangat luas.

Penelitian ini merupakan studi awaluntuk mengisolasi dan menapis mikrobalaut potensial yang mampu mensintesisenzim pendegradasi nitril dan protease.Dari penelitian ini diharapkan diperolehmikroba dari ekosistem laut yangnantinya dapat dimanfaatkan dandikembangkan sebagai agen untukmensintesis senyawa-senyawa organikmaupun dimanfaatkan dibidang pangan,serta dapat memberikan informasimengenai data mikroba laut potensialperairan laut, khususnya di Ternate.

BAHAN DAN CARA KERJA

Isolasi mikroba laut dari sponsdilakukan dengan 3 metode. Metodepertama dilakukan dengan mengisolasilangsung spons (tanpa sterilisasi) melaluipengenceran bertingkat hingga 10-3 yaitu

± 1,0 gram sampel diimasukkan kedalam 9 ml larutan NaCl 0,85%,dihomogenkan dengan menggunakanvortex selama 10 menit, kemudian 50 μlsampel yang telah dihomogenkan diambildan diinokulasikan ke dalam mediaMarine Agar. Koloni yang tumbuhdiisolasi dan dimurnikan untuk pengujianlebih lanjut. Metode kedua dilakukandengan mensterilisasi permukaan sponsdengan cara merendam potongan sponske dalam larutan alkohol 70% selama 10menit, kemudian dibilas dengan akuadessteril sebanyak 2 kali. Selanjutnya sampeldiperlakukan sama dengan metode I.Metode ketiga dilakukan denganmemotong spons yang telah disterilkanmenjadi bagian-bagian yang lebih kecilkemudian langsung ditanam pada mediaMarine Agar.

Media yang digunakan untuk isolasimikroba laut adalah Marine Agardengan komposisi sebagai berikut : 5,0 gpepton, 1,0 g yeast extract, 0,1 g ferriccitrate, 19,45 g sodium chloride, 8,8 gMgCl, 3,24 g sodium sulfate, 1,88 gcalcium chloride, 0,55 pottasium chloride,0,16 g sodium bicarbonate, 15,0 g agar,34,0 mg stronsium chloride, 22,0 mgboric acid, 4,0 mg sodium sillicate, 2,4 mgsodium flouride, 1,6 mg ammonium nitrat,dan 8 mg disodium phosphate, aquadest1000 ml. pH media diatur 7,4±0,2

Media penapisan yang digunakanadalah media mineral dengan komposisisebagai berikut : Na2HPO4 0,357g,KH2PO4 0,1g, MgSO4.7H2O 0,1g,CaCl2.2H2O 0,01g, FeSO4.7H2O0,001g, Yeast Extract 0,01g, Mikroelemen1,0 ml, Aquadest ditambahkan sampaivolume 1000 ml (Meyer & Schlegel 1983;

Page 66: Jurnal Biologi Indonesia

355

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

Pfennig 1974). Adapun komposisi mikro-elemen : ZnSO4.7H2O, MnCl2.4H2O,H3BO3, CoCl2.6H2O, CuCl2.2H2O,NiCl2.6H2O, Na2MO4.2H2O, Na2SeO3,Aquadest 1000 ml.

Penapisan mikroba pendegradasinitril dilakukan dengan menumbuhkanisolat bakteri hasil isolasi ke dalammicrotitter plate steril yang berisi 1 mlmedia mineral yang mengandung senya-wa nitril dengan konsentrasi yangberbeda (dalam hal ini asetonitril/asetamida 100 mM dan benzonitril/benza-mida 25 mM). Microtitter plate yangtelah diinokulasi tersebut diinkubasi diatas mesin pengocok pada kecepatan 110rpm pada suhu 28 oC selama 72 jam.Pada 72 jam inkubasi, pertumbuhanmikroba diuji dengan larutan INT (Iodoni-trotetrazolium) dan aktivitasnya diuji de-ngan reagen Nessler (Oliver et al. 1989).

Sebanyak 100 μl kultur ditambahdengan 14 μl larutan INT 0,5 mg/ml.Perubahan warna yang terbentukmengindikasikan pertumbuhan mikroba.Semakin pekat warna yang terbentukmengindikasikan pertumbuhan semakintinggi.

Sebanyak 198 μl NaOH 0,1 Nditambahkan ke dalam 2 μl kultur,dihomogenkan kemudian ditambahkan 4μl reagen Nessler. Selanjutnya diinkubasipada suhu ruang ± 28oC selama 20 menit.Aktivitas yang tinggi ditandai denganterbentuknya warna kuning tua hinggakecoklatan.

Biomassa dari isolat bakteri terpilihdiproduksi dalam erlenmeyer (1000 ml)yang berisi 500 ml media tumbuh yangmengandung 100 mM asetamida.Selanjutnya kultur diinkubasi di atas

shaker pada suhu ruang (± 28 oC)selama 72 jam. Sel dipanen denganmensentrifuse kultur pada kecepatan9000 rpm selama 30 menit pada suhu 4oC.Sel yang diperoleh dicuci dengan 50 mMbuffer fosfat (KH2PO4) pH 7,2 sebanyak2 kali. Sel tersebut selanjutnya digunakanuntuk penentuan aktivitas enzim danpenentuan produk degradasi nitril.

Konsentrasi substrat dan produkdegradasi ditentukan dengan menggu-nakan GC-Shimadzu 14 B, detektor FID,kolom Porapax Q, suhu kolom 225oC,suhu injektor 240 oC, suhu detektor 240oC (Sunarko et al. 2000). Konsentrasisampel ditentukan dengan rumus sebagaiberikut: (sampel) = Luas area sampel/Luas area standar X (standar)

Pengujian aktivitas enzimatik secarakualitatif dilakukan dengan menumbuh-kan isolat bakteri terpilih pada mediaprotease agar dan diinkubasi pada suhuruang (280C) selama 48 jam. Terbentuk-nya atau zona bening pada mediamengindikasikan bahwa mikroba yangdiuji mampu mensintesis protease.Pengujian aktivitas enzim secara kuanti-tatif dilakukan dengan menambahkansubstrat casein 2% (480 ì l) ke dalam 20mM bufer fosfat pH 7 dan crude enzimsebanyak 120 ì l, kemudian campuranreaksi tersebut dihomogenkan dandiinkubasi di atas shaker pada suhu 300Cselama 30 menit. Selanjutnya ditambah-kan 600 ì l TCA 10% dan diinkubasidalam es selama 30 menit, disentrifugasidengan kecepatan 15.000 rpm, selama 5menit pada suhu 40C dan supernatandiukur pada panjang gelombang 420 nm(Secades & Guijarro 1999).

Identifikasi dilakukan secaramolekular dengan 16S rDNA. Analisis

Page 67: Jurnal Biologi Indonesia

356

Riffiani & Sulistinah

molekuler yang dilakukan berupaekstraksi DNA dan PCR amplifikasi,purifikasi PCR produk dan sekunsing.Ekstraksi DNA menggunakan intragenematrix kit (Biorad) dilanjutkan denganamplifikasi. Hasil optimasi PCR diperolehkomposisi per reaksi sebesar 25 μLdengan menggunakan Primer 9F(5‘GAGTTTGATCCTGGCTCG) dan1510R (5‘GGCTACCTTGTTACGACTT).

Analisis DNA menggunakanprogram BioEdit dan dilakukan blastpada Bank Gen NCBI dataLibrary.Analisis Filogenetik menggunakanprogram multiple aligment Clustal Xversi 1.83. Konstruksi pohon filogenetikberdasarkan jarak kekerabatan genetikdengan metode Neighbor joining danjarak evolusi dalam derajat kepercayaanmenggunakan bootstrap value padaprogram NJ plot.

HASIL

Mikroba Pendegradasi Nitrila.Isolasi dan Penapisan Bakteri LautPendegradasi Nitril

Diperoleh 33 isolat bakteri yang diisolasi dari spons yang diperoleh dariperairan laut Ternate. Penapisan mikrobapendegradasi nitril dengan teknikmicrotitter plate dan uji aktivitas bakterisecara kualitatif ditampilkan pada Tabel

1 dan Gambar 1 dan menunjukkan bahwadari keseluruhan isolat yang diujikemampuan tumbuhnya pada asetamidahanya 15 isolat bakteri yang mamputumbuh. Sedangkan isolat bakteri yangtumbuh pada benzamida relatif lebihsedikit dan aktivitas enzimnya juga relatiflebih rendah dibandingkan padaasetamida (Tabel 1). Warna pink yangterbentuk pada saat penambahanindikator Iodonitrotetrazolium chloride(INT) pada kultur cair mengindikasikanpertumbuhan mikroba, semakin pekatwarna yang terbentuk mengindikasikanpertumbuhan semakin tinggi (Gambar 1).

Secara umum dari hasil pengujianmenunjukkan adanya korelasi positifantara pertumbuhan dan aktivitas enzim.Isolat yang tumbuh dengan baik memilikiaktivitas enzim yang relatif cukup baikpula. Hal ini mengindikasikan, bahwaisolat bakteri yang mampu tumbuh padaamida kemungkinan besar mampumensintesis enzim pendegradasisenyawa nitril.

b. Pola Pertumbuhan Isolat bakteriID 04TR dan ID 13TR pada Aseta-mida 100 mM

Pola pertumbuhan dua isolat bakteriterpilih ID.04.TR dan ID.13.TR padaasetamida 100 mM ditampilkan dalamGambar 2.

Gambar 1. Pengujian pertumbuhan bakteri pada asetamida dan benzamida sebagai substrat

dengan menggunakan microtitter plate. Asetamida (A) dan Benzamida (B)

Page 68: Jurnal Biologi Indonesia

357

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

Setelah masa pertumbuhan ± 72 jampertumbuhan nampaknya mencapaimaksimal. Sedangkan bakteri ID.13.TRmemerlukan fase lag yang cukup panjangyaitu ± 20 jam kemudian masuk ke faseeksponesial. Pertumbuhan isolatID.04.TR lebih baik dibanding isolatID.13.TR. Dengan demikian untukpengujian selanjutnya dipilih satu isolat(ID.04.TR) yang mempunyaikemampuan tumbuh dan aktivitas yanglebih baik.

No Isolat Asetamida 100 mM Benzamida 25 mM Pertumbuhan Aktivitas Pertumbuhan Aktivitas

1 ID.02.TR ++ ++ ++ _

2 ID.03.TR + + _ _

3 ID.04.TR ++++ ++++ _ _

4 ID.06.TR _ ++ + -

5 ID.07.TR + + _ _

6 ID.11.TR + _ _ _

7 ID.13.TR ++ + _ _

8 ID.14.TR _ _ _ _

9 ID.15.TR + + _ _

10 ID.16.TR + _ ++ +

11 ID.21.TR + _ _ _

12 ID.22.TR ++ + ++ +

13 ID.23.TR + ++ - -

14 ID.24.TR ++ + + _

15 ID.29.TR _ ++ _ _

16 ID.30.TR - ++ _ _

17 ID.31.TR + + + +

18 ID.32.TR _ ++ _ -

19 ID.33.TR _ ++ _ -

Tabel 1. Pertumbuhan dan aktivitas isolat bakteri pada asetamida dan benzamida denganteknik penapisan menggunakan microtitter plate

c. Pola Degradasi Isolat bakteriID04TR dan penentuan produkdegradasi.

Pola degradasi dan produk degradasiasetonitril oleh isolat bakteri ID04TRditampilkan pada Gambar 3. Degradasiasetonitril dengan menggunakan sel utuh(whole cell) tampaknya melalui 2 alurreaksi yang melibatkan enzim nitrilhidratase dan amidase. Penurunankonsentrasi asetonitril selama prosesdegradasi dan terbentuknya asam asetatdan ammonia memperkuat dugaanterjadinya proses degradasi asetonitriloleh aktivitas enzim pendegradasi nitril.

Page 69: Jurnal Biologi Indonesia

358

Riffiani & Sulistinah

Profil degradasi asetonitril menggu-nakan gas chromatografi (GC)memperlihatkan adanya penurunankonsentrasi asetonitril selama 180 menitinkubasi (Gambar 4, Tabel 2).

Mikroba Perombak Proteina. Penapisan Mikroba Laut Peng-hasil Enzim Protease

Hasil penapisan mikroba lautpenghasil enzim protease terhadap 36isolat bakteri menunjukkan bahwadijumpai ada 21 isolat diantaranya

memberikan hasil positif yaituterbentuknya clearing zone atau zonabening disekeliling koloni. Zona beningyang terbentuk merupakan indikasi awalbahwa isolat bakteri tersebut mampumensintesis protease. Dari 21 isolathanya 4 isolat yaitu ID.06.TR, ID.09.TR,ID.24.TR dan ID.31.TR mempunyaiaktivitas tinggi dipilih untuk pengujianlebih lanjut secara kuantitatif.Selanjutnya, keempat isolat yang didugamempunyai aktivitas protease tinggiditumbuhkan dalam media cair yang

 

Waktu (menit)

0 50 100 150 200

Ase

toni

tril

(mM

)

20

30

40

50

60

70

80Asetonitril (CH3CN)

Asa

m A

seta

t (m

M)

0

1

2

3

Asam asetat (mM)

Am

mon

ium

(mM

)

0

2

4

6

8

10

Ammonium

Gambar 3. Degradasi asetonitril menggunakan resting cell Lysobacter sp. dan pembentukanproduk metabolitnya.

 

Waktu (Jam)

0 20 40 60 80

Pert

umbu

han

(OD

436

nm

)

0,01

0,1

1

Pertumbuhan Lysobacter sp.

Kontrol (media + Lysobacter sp.)

Pertumbuhan Enterobacteriaceae bacterium

Kontrol (media + Enterobacteriaceae bacterium)

Gambar 2. Pertumbuhan Lysobacter sp. dan Enterobacteriaceae bacterium pada Asetamida(100 mM)

Page 70: Jurnal Biologi Indonesia

359

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

Standar asetonitril Inkubasi 15 menit 30 menit 150 menit 180 menit

peak asetonitril (standar)

peak asetonitril sampel

Gambar 4. Penurunan konsentrasi asetonitril selama proses degradasi menggunakan GasChromatografi (GC)

Tabel 2. Konsentrasi substrat/produk biotransformasi kelima isolat

Waktu

inkubasi

Konsentrasi substrat/produk biotransformasi (mM)

asetonitril asam asetat amonium

15 53,614 1,3754 7,2

60 53,167 0,2960 1,55

90 47,522 0,4232 2,22

120 37,692 0,323 1,90

180 26,144 0,1860 9,70

mengandung casein dan diinkubasiselama 48 jam dengan pengocokan. Hasilpengujian aktivitas memperlihatkanbahwa isolat bakteri ID.19.TR memilikiaktivitas enzim protease yang paling tinggiyaitu sebesar 226,85 (U/ml) dan aktivitasterendah ditunjukkan oleh isolat bakteriID.31.TR sebesar 36,100 U/ml (Gambar5)

b. Identifikasi dan Analisis Filogene-tik Isolat Terpilih

Berdasarkan analisis penjajaranurutan nukleotida parsial gen pengkode

16S rDNA menggunakan programBLAST ditampilkan pada Tabel 3 .

PEMBAHASAN

Penapisan bakteri laut perombaksenyawa nitril dan amida

Hasil penapisan 33 isolat bakterispons menggunakan asetamida danbenzamida menunjukkan bahwa isolatisolat bakteri ID.02.TR (Micrococcusluteus strain G3-6-08) ID.04.TR (Lyso-bacter sp.), ID.13.TR (Enterobacte-riaceae bacterium B12), ID.22.TR

Page 71: Jurnal Biologi Indonesia

360

Riffiani & Sulistinah

(Arthrobacter sp. WPCB190) ID.24.TR (Sphingomonas sp.) dan ID.31.TR(Spons bacterium IS8) mampu tumbuhdalam 100 mM asetamida danmempunyai aktivitas enzim yang relatiflebih baik dibandingkan isolat-isolat yanglainnya. Dari Tabel 1 tampak bahwa isolatyang mempunyai kemampuan tumbuhyang baik memiliki aktivitas enzim yangbaik mampu tumbuh pada asetamidakemungkinan juga mampu mensintesisenzim pendegradasi senyawa nitril. Tabel1 tersebut juga menunjukkan, bahwaLysobacter sp. menunjukkan kemampu-an tumbuh dan aktivitas yang paling baikdibandingkan tiga isolat lain. Dengandemikian bakteri Lysobacter sp. merupa-kan isolat potensial untuk pengujian lebihlanjut.

Penapisan mikroba denganmenggunakan benzamida menunjukkanbahwa hanya 2 isolat bakteri yang mampu

0

50

100

150

200

250

Akt

ivita

s en

zim

pro

teas

e (U

/ml)

ID.06.TR ID.09.TR ID.19.TR ID.31.TR

Isolat bakteri

Gambar 5. Aktivitas enzim protease isolat ID.06.TR, ID.09.TR, ID.19.TR, ID.31.TR

tumbuh dengan baik pada benzamida yaituID.02.TR (Micrococcus luteus strainG3-6-08), dan ID.22.TR (Arthrobactersp. WPCB190) dengan aktivitas enzimyang relatif rendah. Ketidakmampuantumbuh isolat pada benzamida disebabkankarena benzamida merupakan senyawaturunan benzonitril dan tergolong dalamamida aromatik yang sangat toksik.Disamping itu benzamida dan benzonitrilmempunyai kelarutan yang sangat rendahdibandingkan asetamida atau asetonitril,sehingga sulit didegradasi dan dimetabo-lisme sebagai sumber energi, karbon dannitrogen untuk pertumbuhan mikroba.Dilaporkan sedikit mikroba yang mamputumbuh pada benzonitril dan benzamida(Sunarko et al. 2000). Dengan demikianditunjukkan bahwa kemampuan tumbuhisolat bakteri pada asetamida lebih tinggidibandingkan pada benzamida karenaasetamida merupakan senyawa alifatik

Page 72: Jurnal Biologi Indonesia

361

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

No ID Isolat Hasil identifikasi (16S rDNA) Homologi (100 %)

Kemampuan

1 ID.02.TR Micrococcus luteus strain G3-6-08

98 amidase + protease +

2 ID.04TR Lysobacter sp. 99 amidase + protease +

3 ID.12TR Vibrio harveyi 96 protease + 4 ID.13.TR Enterobacteriaceae bacterium B12

89 amidase +

5 ID.19.TR

Sphingomonas phyllosphaerae strain FA2

90 protease +

6 ID.22TR Arthrobacter sp. WPCB190

98 amidase +

7 ID.23.TR Bacillus pumilus strain ST277 96 protease + 8 ID.24. TR Sphingomonas sp. 98 amidase + 9 ID.31.TR

Sponge bacterium IS8

99 amidase + protease +

Tabel 3. Identifikasi 9 isolat bakteri laut potensial hasil penapisan

amida yang cenderung lebih mudahdihidrolisis oleh mikroba.

Biodegradasi asetonitrilDegradasi asetonitril dengan

menggunakan resting cell Lysobactersp. yang ditumbuhkan dalam 100 mMtampaknya melalui 2 jalur reaksi yangmelibatkan enzim nitril hidratase danamidase. Hal ini terbukti denganmenurunnya konsentrasi asetonitrilselama proses degradasi tersebut denganterbentuknya asam asetat dan amoniamemperkuat terjadinya proses degradasiasetonitril oleh aktivitas enzimpendegradasi nitril. Secara umum,biodegradasi senyawa nitril dilaporkanmelalui dua alur reaksi yangmenghasilkan asam karboksilat danammonia (NH4

+) sebagai produkakhirnya (Nagasawa et al. 1987;Kobayashi1991). Pada alur reaksipertama melibatkan enzim nitril hidratase

(E.C. 4.3.2.84) dan amidase (E.C.3.5.1.4), sedangkan reaksi keduamelibatkan enzim nitrilase (E.C.3.5.5.1).Diketahui bahwa degradasi senyawa nitrilalifatik melibatkan nitril-hidratase danamidase, sedangkan degradasi nitrilaromatik hanya melibatkan enzim nitrilasesaja (Nagasawa et al. 1987; Banerjee etal. 2002).

Dari hasil persamaan regresimenunjukkan bahwa Lysobacter spmampu menurunkan konsentrasiasetonitril (190 mM) sampai konsentrasi0 mM dalam waktu 5 jam 35 menit(Gambar 6).

Berdasarkan Uji Korelasi menggu-nakan program SPSS versi 12 (P=0,05),menunjukkan bahwa penurunan konsen-trasi asetonitril ternyata tidak berkorelasidengan terbentuknya asetat dan amonia.Selanjutnya selama penelitian iniditunjukkan bahwa penurunan asetonitril

Page 73: Jurnal Biologi Indonesia

362

Riffiani & Sulistinah

tidak seiring dengan peningkatan asamasetat dan amonia. Hal ini kemungkinankarena asetat dan amonia yang terbentukdigunakan mikroba sebagai sumberkarbon dan nitrogen untuk pertumbuhan.Dilaporkan oleh Langdahl et.al. (1996),asetat yang dihasilkan dari degradasiasetonitril oleh Rhodococcus erythro-polis BL 1 digunakan sebagai sumberkarbon untuk pertumbuhan.

Kemampuan tumbuh Lysobactersp. pada 100 mM asetamida relatif lebihrendah bila dibandingkan Rhodococcuserythropolis BL 1 yang diisolasi darisedimen laut. R erythropolis mamputumbuh pada asetronil hingga konsentrasi1 M, fase lag dicapai ± 50 amonia padafase eksponensial (Langdahl et al. 1996).Dilaporkan juga oleh Sunarko et al. 2000bahwa Corynebacterium sp. D5 yangdiisolasi dari limbah kimia ASTRA jugamampu tumbuh pada asetonitril hingga5% (± 950 mM). Nampak mikroba yangdiisolasi dari lingkungan yang ekstrimmempunyai toleransi yang tinggi terhadapsenyawa pencemar.

 

y = -0,18x + 60,37R2 = 0,9175

0

10

20

30

40

50

60

70

0 50 100 150 200

Bakteri Laut Perombak ProteinBeberapa bakteri yang memiliki

enzim amidase juga memiliki aktivitasprotease yaitu Micrococcus luteus,Lysobacter sp. dan Spons bacterium.Isolat bakteri dengan ID.19.TRteridentifikasi sebagai Sphingomonasphyllosphaerae strain FA2 memilikiaktivitas enzim protease tertinggi yaitu226,85 (U/ml) . Akan tetapi kemampuanS. phyllosphaerae menghasilkan enzimprotease jauh lebih rendah biladibandingkan dengan Bacillus subtilis.Safey & Raouf (2004) melaporkanbahwa B. subtilis memiliki aktivitasspesifik ekstraselular enzim proteasesebesar 6381,71 (unit/mg prot/ml-1).Protease adalah enzim yang menghi-drolisis ikatan peptida pada protein. Enzimini seringkali dibedakan menjadiproteinase dan peptidase. Proteasemengkatalisis hidrolisis molekul proteinmenjadi fragmen-fragmen besar,sedangkan peptidase mengkatalisishidrolisis fragmen polipeptida menjadiasam amino. Protease memegangperanan utama dalam banyak fungsihayati, mulai dari tingkat sel, organ,

Gambar 6. Persamaan regresi penurunan konsentrasi asetonitril oleh Lysobacter sp.

Page 74: Jurnal Biologi Indonesia

363

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

sampai organisme, yaitu dalammelangsungkan reaksi metabolisme danfungsi regulasi (Mell et al. 2000).

Berdasarkan hasil yang diperolehmenunjukkan beberapa bakteri laut yangtelah diisolasi dari sampel spons dariperairan Ternate nampaknya selarasdengan penelitian yang dilakukan olehSuryati et al (2000) bahwa kelimpahanjenis bakteri yang diisolasi dari spons diperairan Spermonde, Sulawesi Selatandidominasi oleh bakteri Vibrio sp.Pseudomonas sp., Spingomonas sp,Flavobacterium sp, Acinetobacter sp,dan Bacillus sp. Meyers et al. (2001)melaporkan bahwa terjadi hubungansimbiosis antara spons dan sejumlah

bakteri, dimana spons menyediakandukungan dan perlindungan bagi bakterisebagai simbion dan simbion menyedia-kan makanan bagi spons.

Hasil analisis filogenik bakteri lautpotensial yang diisolasi dari spons asalPerairan Ternate dapat dilihat padaGambar 7. Pohon filogeni menunjukkanbahwa bakteri potensial yang diisolasi darispons terbagi menjadi enam kelompokbakteri yaitu kelompok bakteriArthrobacter, Bacillus, Lysobacter,Micrococcus , Spingomonas, danSpons bacterium.

Gambar 7. Pohon kekerabatan bakteri potensial yang diisolasi dari sponge perairan Ternate

Page 75: Jurnal Biologi Indonesia

364

Riffiani & Sulistinah

KESIMPULAN

Isolat bakteri ID04TR teridentifikasisebagai Lysobacter sp mampu tumbuhdan memanfaatkan (100mM) asetonitrilsebagai satu-satunya sumber karbon,energi, dan nitrogen. Proses degradasiasetonitril dengan menggunakan restingsel Lysobacter sp melibatkan enzim nitrilhidratase dan amidase. Asam asetat danamonium merupakan produk degradasi.

Isolat bakteri dengan ID 19TRteridentifikasi sebagai Sphingomonasphyllosphaerae strain FA2 mampumerombak protein dan memiliki aktivitasenzim protease tertinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapakan terima kasihkepada Prof. Dr. Ibnu Maryanto sebagaikoordinator Projek IPTEKDA KHUSUSyang telah mendanai kegiatan penelitianini. Ucapan terima kasih jugadisampaikan Arief Nurkanto, S.Si danMunir yang telah banyak membantudalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Banerjee, A., R. Sharma, UC. Banerjee.2002. The nitrile degradingenzymes: current status and futureprospect. Appl. Microbiol.Biotechnol., 60 : 33-34

Kobayashi, M. 1991. Studies on EnzymesInvolved in Nitrile Metabolism in

Rhodococcus rhodochrous. PhD[Thesis].

Langdahl, BR., P. Bisp & K. Ingvorsen.1996. Nitrile hydrolysis byRhodococcus erythropolis BL1,an acetonitrile-tolerant strainisolated from a marine sediment.Microbiol. Letter. 142 : 145-154

Mel, SF, K. Fuller, S. Wimer-Mackin, W.Lencer., & J. Mekalanos. 2000.Association of protease activity inVibrio cholerae Vaccine StrainsWith Decreases in TranscellularEpithelial Resistance of PolarizedT84 Intestinal Epithelial Cells.Infect Immune 68(11):6487-92.

Moon, SH & SJ Parulekar. 1993. Someobservation on protease producingin continuous suspension culturesof Bacillus firmus. Biotech.Bioengin. 41, 43-54

Meyer, O. & HG. Schlegel.1983. Biologyof aerobic carbon monoxideoxidizing bacteria. Ann. Rev.Microbiol. 37 :277-310.

Nagasawa, T., H. Nanba, K. Ryuno, K.Takeuchi & H. Yamada. 1987.Nitrile Hydratase of Pseudomonaschlororaphis B23. Eur. J.Biochem. 162 : 1305-1312.

Nawaz, MS., TM. Heinze & C.ACerniglia. 1992. Metabolism ofBenzonitrile and Butyronitrile byKlebsiella pneumoniae. Appl.Environ. Microbiol. 38: 27-31

Oliver, MH., NK. Harison, JE. Bishop,PJ. Cole & GJ. Lauren. 1989. Arapid and convenient assay forcounting cells cultured in microwellplates : Application for assessment

Page 76: Jurnal Biologi Indonesia

365

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

of growth factors. J. Cell. Scie.92 : 513-518.

Pfennig, N. 1974. Rhodopseudomonasglobiformis sp.A new species ofRhodospirillaceae. Arch. Micro-biol. 100 : 197-206.

Reinheimer, G. 1991. AquaticMicrobiology. 4 th Ed. John Wileyand Sons, Chichester and New York

Secades P., & J.A Guijarro.1999.Purification and Characterizationof an Extrascellular Protease fromthe Fish Pathogen Yersinia ruckeriand Effect of Culture Condition onProduction. App.Envir. Microbiol.65 (9): 3969-3975

Sujatmiko, W. 2000. Inventarisasi JenisSpons Disekitar Perairan PulauLombok dan Garam di PulauSumbawa Nusa Tenggara Barat,Kerjasama: Yayasan RinjaniBahari, Badan Perencanaan danPenerapan Teknologi, BadanPerencanaan dan PembangunanPropinsi Nusa Tenggara Barat.

Sunarko, B., Adityarini, USF. Tambunan& N. Sulistinah. 2000. Isolasi,seleksi dan karakterisasi mikrobapendegradasi asetonitril. BeritaBiologi 5(2) : 177-185.

Sunarko, B., TU. Harwati, AT. Utari, D.Setianingrum & L. Nurhayani.2007. Penapisan mikroba potensialuntuk biokatalis produksi senyawaobat antiinflamasi nonsteroid(AINS). Laporan Teknik Kegia-tan Pusat Penelitian Biotekno-logi DIPA tahun 2006.

Suryati, E., A Parenrengi, & Rosmiati.2000. Penapisan Serta AnalisisKandungan Bioaktif Spons Clathriasp. yang efektif sebagaiAntibiofouling pada teritif (Balanusamphitrit). J.Penel.Perik. Indo. 5(3)

Van Soest, RMW. 1994. DesmosponsDistribution Pattern, In: Eds. VanSoest, R.W.M Van Kompen .T.M.G . Braekman, J.C. Sponsin Time and Space. A.A Balkema,Rotterdam

Yamamoto, K., Y. Ueno, K. Otsubo, K.Kawakami & K. Komatsu. 1990.Production of S- (+)-Ibuprofenfrom a nitrile compound byAcinetobacter sp. Strain AK226.J. App.Envir. Miro. 56 : 3125-3129.

Memasukkan: Desember 2009Diterima: Mei 2010

Page 77: Jurnal Biologi Indonesia

367

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 367-381 (2010)

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium Untuk PencarianGen-gen Terkait Toleransi Kekeringan Menggunakan Transposon Ac/Ds

pada padi cv. Batutegi

E.S.Mulyaningsih1, H.Aswidinnoor2, D.Sopandie2, P.B.F.Ouwerkerk3, S.Nugroho1, I.H. Slamet Loedin1. Email: [email protected]

1Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2Departemen Agronomi Institut PertanianBogor , 3 Institute of Biology IBL Leiden University Netherlands

ABSTRACT

Transformation Strategy for Indonesian Indica Rice in Attempt to Discover Drought-TolerantRelated Genes Using of Transposon Ac/Ds. Attempt to identify, isolate the gene, and study forgene function for several agronomical traits have been done including some drought toleranttraits. Japonica rice cultivars have been used due to its higher efficiencies compared withindica cultivars. Two plasmids namely pNU400 and pUR224 were used to generate mutants ofthese cultivars (Batutegi dan Kasalath cultivars). Those plasmids contain an element calledActivator (Ac) and Dissociator (Ds) respectively. The pNU400 contains GFP (green flourescensprotein) as a selectable marker, whereas the pUR224 contains hygromycine resistant gene andgusA as a reporter gene. Each plasmid was transformed into rice genome of Batutegi andKasalath cultivars by Agrobacterium mediated transformation using three methods oftransformation (A, B and C). The transformation method A was not suitable for both cultivars,where none of plantlets were produced from pNU400 and pUR224 plasmids. The transformationmethod B produced some plantlets from the Kasalath cultivar only using pUR224 plasmid.The transformation method C was the best method to produce transgenic plants from bothcultivars (Batutegi and Kasalath), using both plasmids (pNU400 and pUR224). The PCR analysisshowed that 19 and 9 plants of Batutegi and Kasalath contained both gusA and hpt genesrespectively. None of those plants contained of gusA gene. Southern blot analysis revealed 3independent lines from Batutegi dan 7 independent lines from Kasalath. The integration of Actransposon was analyzed based on expression gfp gene when observed under UV dark reader.This research has proved that indica rice cultivars, especially the Batutegi cultivar of Indonesianorigin, could be transformed. The cultivar could be used as plant model for the indicatransformation.

Key words: transformation, drought tolerant, indica rice, Ac/Ds transposons, Agrobacterium.

PENDAHULUAN

Padi merupakan makanan pokokbagi lebih dari separuh penduduk dunia.Selain itu tanaman padi juga dijadikan

sebagai model untuk studi sistemtransformasi genetik dan fungsi genetiktanaman monokotil. Perbaikan sifattanaman padi secara bioteknologi telahdilakukan untuk mendapatkan tanaman

Page 78: Jurnal Biologi Indonesia

368

Mulyaningsih dkk

dalam genom akan berpindah posisi jikadiinduksi oleh protein Ac transposasepada generasi berikutnya, sehingga dapatdimanfaatkan untuk melakukan mutasi.Jika diperoleh tanaman T0 yang cukupbanyak, diharapkan dari setiap tanamantersebut diperoleh generasi tanaman T1dengan insersi transposon yang berbeda.Insersi transposon diharapkan terjadipada gen penting dan menghasilkanfenotipe tanaman tertentu sehinggafungsi gen yang dirusaknya (knock out)dapat diamati. Pada kenyataannya, tidaksetiap knock out dapat menghasilkanfenotipe baru, hal ini disebabkan olehadanya gen lain yang mampu mengganti-kan fungsi gen yang di-knock out. Olehkarena itu, vektor yang digunakan dalampenelitian ini mempunyai fungsi lain yaitusebagai gen-trap (Gambar 1). Denganfungsi ini meskipun insersi transposontidak memunculkan fenotipe baru, tetapiaktivitas dari promotor gen tersebut dapatdiidentifikasi dengan memperhatikanekspresi gen pelapor yang diintroduksibersama dengan transposon. Denganmelihat pola ekspresi gen pelapor makafungsi gen disekitar daerah insersi dapatdiperkirakan. Identifikasi gen danprediksi fungsi gen prosesnya semakindipercepat dengan telah dilaporkannyaurutan DNA genom dari padi japonicacv. Niponbare (Buell 2002).

Jenis padi indica ditanam dandikonsumsi secara luas di dunia termasukdi Indonesia, tetapi informasi keberhasilantransformasi genetik pada padi jenis inimasih terbatas. Hal ini dikarenakan jenispadi indica umumnya kurang responsif.Transformasi genetik padi indica denganAMT dilaporkan mempunyai efisiensi

yang sesuai harapan. Teknik rekayasagenetik ialah dengan memasukkan gen-gen tertentu yang diinginkan. Salah satusifat yang diinginkan ialah toleransitanaman terhadap cekaman abiotik,diantaranya kekeringan, karenakekeringan dapat menekan pertumbuhandan menurunkan produktivitas tanamansebesar 70% (Bray et al. 2000).

Transformasi genetik sangat pentinguntuk mempelajari sifat genetik danmengetahui fungsi gen. Keberhasilantransformasi genetik padi kultivarjaponica (niponbare) menggunakanAgrobacterium tumefaciens (Agrobac-terium mediated transformation =AMT) sangat penting karena teknik inidapat diaplikasikan untuk kultivar lainnya(Hiei et al. 1994). Sekarang ini transfo-rmasi dengan Agrobacterium pada padidigunakan bukan hanya untuk memasuk-kan satu gen target untuk tujuanperbaikan sifat tetapi juga untuk tujuanmempelajari fungsi gen target dengancara meningkatkan atau menghilangkanekspresinya (Dong et al. 1996; Meijeret al. 2000; Yamaguchi-Shinozaki &Shinozaki 2001; Deng et al. 2002;Scarpella et al. 2005; Hu et al. 2006;Xiao et al. 2007). Selain itu, teknik AMTjuga digunakan untuk membentukpopulasi pustaka mutan menggunakaninsersi T-DNA atau menggunakanelemen loncat (transposon) seperti Ac/Ds dari tanaman jagung atau kom-binasinya (Greco et al. 2004; Izawa etal. 1991; Kolesnik et al. 2004).

Transposon Ac/Ds diintroduksi kedalam genom tanaman padi denganmemanfaatkan T-DNA dari suatu vektorganda. Transposon Ds yang telah masuk

Page 79: Jurnal Biologi Indonesia

369

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

keberhasilan transformasi rendah(Rashid et al. 1996; Nayak et al. 1997;Khanna & Raina 2002). Efisiensitransformasi dapat ditingkatkan terhadapempat kultivar indica dengan melakukanperubahan variasi media dasar (Lin &Zhang, 2005). Hiei dan Komari (2006)dengan menggunakan material eksplanembrio belum masak (imature embryo)melaporkan efisiensi transformasi hingga30% untuk setiap embrio pada 10 kultivarpadi indica yang digunakan.

Berbagai upaya dilakukan untukmeningkatkan nilai efisiensi transformasiantara lain tipe eksplan yang digunakan.Material eksplan yang digunakan dapatberupa kalus yang dihasilkan oleh bagianskutelum benih (Hiei et al. 1994; Rashidet al . 1996; Kumar et al. 2005),transformasi menggunakan benih secaralangsung (Toki et al. 2006), kalus dariembrio belum masak (Dong et al. 1996),embrio belum masak (Hiei & Komari2006) dan tunas pucuk (Hiei et al. 1994).

Tujuan penelitian ini ialah memban-dingkan tiga metode transformasi AMTyaitu metode Hiei et al. 1994, Toki et al.2006 dan Hiei dan Komari 2006 terhadappadi indica gogo Indonesia cv. Batutegidan cv. Kasalath sebagai kultivarpembanding (padi lokal Thai-land), untukmemperoleh metode transformasi palingsesuai untuk kedua kultivar. Tanamantransgenik yang dihasi-lkan merupakanawal untuk membuat pustaka mutan Ac/Ds pada padi indica menggunakan AMT.Hasil penelitian ini juga diharapkanmenjadi informasi penting untukmembuktikan bahwa padi indica cv.Batutegi dapat ditransformasi.

BAHAN DAN CARA KERJA

Benih padi cv. Batutegi danKasalath diperoleh dari Instalasi PenelitianPadi Muara Bogor. Plasmid rekombinanyang digunakan yaitu pNU400 danpUR224 masing-masing mengandungtransposon Ac dan Ds, diperoleh dari Dr.Narayana Uppadhyaya (CSIRO PlantIndustry-Australia).

Benih masak atau benih belummasak (berumur 8-12 hari setelahanthesis) padi cv. Batutegi dan Kasalathdikupas dan disterilisasi. Sterilisasi benihmengikuti metode yang dikemukakanToki et al. 2006. Eksplan berupa benihmasak selanjutnya ditiriskan diatas kertassteril sebelum ditanam pada mediainduksi kalus (Hiei et al. 1994) atau sebe-lum ditransformasi langsung (Toki et al.2006). Pada kedua metode iniselanjutnya eksplan disimpan dalam ruanggelap dengan suhu 26°C. Pada ekplanbenih belum masak, embrio diperolehdengan cara mengeluarkan embrio belummasak dari benih menggunakan pinsetdalam ruang laminar. Embrio yangdiambil berukuran antara 1,3 – 1,8 mmdan material ini selanjutnya digunakanuntuk kegiatan transformasi.

Plasmid rekombinan (pNU400 andpUR224) ditransformasikan ke dalam selkompetan A. tumefaciens srain Agl-1dengan menggunakan elektroporator. A.tumefaciens ditumbuhkan dalam mediumagar yang mengandung 100 mg/lcarbeniksilin dan 50 mg/l kanamisin untukpNU400. Bakteri yang ditransformasidengan plasmid pUR224 ditumbuhkandalam media AB yang mengandung 100mg/l carbeniksilin dan 50mg/l

Page 80: Jurnal Biologi Indonesia

370

Mulyaningsih dkk

spectinomisin. Bakteri ditumbuhkanselama 3 hari pada suhu 28°C. Bakteridiambil dengan menggunakan spatula dandilarutkan menggunakan media AAM(amino acid medium, yang mengandung100 mM asetosiringone) hinggamencapai kerapatan sel tertentu sesuaidengan metode (Tabel 1).Transformasi A.tumefaciens srain Agl1Metode Transformasi A (Hiei et al.1994)

Metode transformasi ke dalam kalusembriogenik menggunakan A.tumefa-ciens seperti yang dikemukakan Hiei etal. (1994) dengan media yangdimodifikasi Loedin dkk. (1997). Benihmasak yang telah disterilisasi ditanampada media induksi kalus IK3 sehinggadiperoleh kalus embriogenik IK3 (mediadasar LS yang mengandung 2,5 mg/l 2,4-D dan dipadatkan dengan 0,2% phytagel).Induksi kalus dilakukan selama 2 minggudalam ruang gelap. Pada saat infeksi,kalus direndam dalam kultur cairAgrobacterium selama 30 menit. Kalusdan bakteri di ko-kultivasi dalam mediaIK3-AS (IK3 yang mengandung 0,1 M

asetosiringone) dan diinkubasi pada suhu25°C selama 3 hari dalam ruang gelap.Untuk transforman menggunakanplasmid pUR224, setelah ko-kultivasikalus dicuci dengan 400 mg/l cefotaximedan diseleksi pada media IK3C250 H50(IK3 yang mengandung 250 mg/lcefotaxime dan 50 mg/l higromisin.Sedangkan untuk transforman pNU400setelah kalus dicuci kemudian ditanampada media yang hanya mengandung 250mg/l cefotaxime. Dua minggu kemudiankalus dipindah ke media seleksiIK3C50H50 (untuk pUR224) atau tanpahigromisin (pNU400). Kalus yang tahanterhadap antibiotik higromisin disubkulturke dalam media regenerasi R3B (LS +0,5 mg/l IAA + 0,3 mg/l BAP dan 0,5%phytagel). Transforman yang berasal daripUR224, planlet yang diperoleh ditanampada media MS tanpa hormon danmengandung 50 mg/l higromisin.

Metode Transformasi B (Toki et al.2006)

Benih masak yang telah disterilselanjutnya diprakultur dalam media

35S hph LB RB UbiP Ds5’ ori-AmpR gusA Ds3’ bar

RB UbiP Ac gfp UbiP LB A

B

Gambar 1. Skema daerah T-DNA dalam vektor transformasi pNU400 dan pUR224.Keterengan: (A). T-DNA vektor pNU400 – iAc : RB (border kanan), Ubi1P-sgfpS65T (gen penanda

dikontrol oleh promotor ubi), Ubi1P-iAc transposon yang sudah didelesi pada posisi 5’ (inaktif)dikontrol oleh peromotor Ubi, LB (border kiri). (B). T-DNA vektor pUR224 – Ds : RB(border kanan), Ubi1P- Ds (disociator), gen ketahanan terhadap ampisilin untuk perbanyakandi E.coli, Ds yang memiliki intron GPA1 dengan splice acceptor (SA) di depan gen penanda gusAyang berfungsi sebagai gene trap, gen ketahanan terhadap basta (bar) yang akan aktif setelah Dsmengalami transposisi, gen penyeleksi ketahanan terhadap higromisin yang dikendalikan olehpromotor 35S, LB (border kiri). Masing-masing T-DNA berada dalam pCAMBIA1300 sebagaivektor back-bone. (Sumber: Dr. Narayana Uppadhyaya, CSIRO Plant Industry-Australia).

Page 81: Jurnal Biologi Indonesia

371

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

induksi kalus (media dasar MS yangmengandung 1 mg/l 2,4-D) dan 3%phytagel sebagai bahan padat. Prakulturdilakukan 4 - 6 hari pada ruang gelapdengan suhu 26°C. Setelah prakultur,benih dimasukkan dalam tabung dandirendam dalam larutan Agrobacteriumsambil dibolak balik selama 1,5 menit,kemudian ditiriskan di atas kertas saringsteril. Benih selanjutnya ditempatkan diatas kertas filter steril (Whatmandiameter 9 cm) yang telah dilembabkandengan 0,5 ml larutan bakteri, laluditempatkan di atas media kokultivasi(MS+1mg/l2,4-D+0,1 M asetosiringone).Kokultivasi dilakukan pada kondisi gelapselama 3 hari pada suhu 25°C.Selanjutnya benih dicuci menggunakanair steril sebanyak 5 kali dan 1 kali denganlarutan yang mengandung 400 mg/lantibiotik cefotaksim untuk mematikanAgrobacterium. Benih dikeringkan diatas kertas saring steril dan dikultur dalammedia seleksi (MS + 1 mg/l 2,4-D + 50mg/l higromisin and 250 mg/lcefotaksime) untuk benih yangditransformasi dengan pUR224 dan padamedia yang sama tanpa higromisin untukbenih yang ditransformasi pNU400.Selama dalam media seleksi, kulturdisimpan dalam kondisi terang dengansuhu 32°C selama 2 minggu. Kalus yangterbentuk dari bagian skutelum benihselanjutnya dipindahkan dalam mediapraregenerasi selama 2 minggu (MS+ 1mg/l kinetin dan 1 mg/l NAA) danditambahkan 50 mg/l higromisin untuktransforman dari pUR224. Selanjutnyakalus di subkultur ke dalam media yangsama sebagai media regenerasi. Untuktransforman yang berasal dari pUR224,

planlet yang diperoleh ditanam padamedia dasar MS tanpa hormon danmengandung 50 mg/l higromisin.

Metode Transformasi C ( Hiei &Komari 2006)

Embrio belum masak yang telahdiperoleh ditempatkan dalam mediakokultivasi NB-As (media dasar N6 + 2mg/l 2,4-D, 1 mg/l NAA, 1 mg/l BA, 0,1M asetosiringone, dan 5,5 g/l agarosetipe 1). Infeksi dengan Agrobacteriumdilakukan pada suhu 25°C dalam gelapselama 7 hari dalam media kokultivasi.Tunas yang terbentuk dipotongmenggunakan skalpel. Setiap langkahsubkuktur yang dilakukan menggunakansuhu 30°C dalam kondisi terang. Embriobelum masak yang telah diinfeksidipindahkan ke dalam media seleksiNBM-1 selama 5 hari (media NB + 2mg/l 2,4-D, 1 mg/l NAA, 0,2 mg/l BA +5 g/l gelrite + 250 mg/l cefotaxim dan100 mg/l timentin) dengan bagianskutelum menghadap ke atas. Kulturdipindahkan ke dalam media seleksiNBM-2 (NBM-1 + 50 mg/l higromisin)selama 3 minggu untuk transforman dariplasmid pUR224 sedangkan transformanpNU400 dipindahkan ke dalam mediaNBM-1. Kalus transforman tahanhigromisin dari pUR224 dipindahkan kemedia pra regenerasi NBPR- hig (mediaNB + 2 mg/l 2,4-D, 2 mg/l NAA, 1 mg/l BA + 7 g/l gelrite + 50 mg/l higromisin)dan kalus transforman pNU400 ke mediaNBPR tanpa higromisin selama 10 hari.Selama dalam media NBPR pengamatanterhadap kalus transforman pNU400yang berpendar dilakukan ketika diamatidi atas lampu UV (dark reader). Kalus

Page 82: Jurnal Biologi Indonesia

372

Mulyaningsih dkk

yang telah cukup besar dan kehijauanasal pUR224 dipindahkan ke dalammedia regenerasi RNM-hig (media NB+ 1 mg/l NAA, 3 mg/l BA + 4 g/l agarosetipe-1 + 40 mg/l higromisin), serta kalusberpendar asal pNU400 dipindahkan kedalam media regenerasi yang samatanpa menggunakan higromisin. Duaminggu kemudian plantlet asal pUR224dipindahkan ke media perakaran (MS+ 2 mg/l NAA + 25 mg/l higromisin)dan tanpa higromisisn untuk pNU400.Plantlet dengan perakaran cukup kuatdipindahkan ke dalam media tanah dalampot. Perbedaan ketiga tekniktransformasi disajikan dalam Tabel 1.Pengamatan dilakukan terhadap :

trimethyl ammonium bromide) terhadaptanaman kontrol (tidak ditransformasi)dan terhadap kandidat tanamantransgenik hasil transformasi.

Metode isolasi adalah sebagaiberikut: daun muda sepanjang 5 cmdimasukan ke dalam tabung 1.5 ml, diberiN2 cair lalu digerus dan ditambahkan 750μl dapar isolasi. Dapar isolasi terdiri daridapar lisis (Tris-HCl pH 7.5 0.2 M,EDTA 0.05 M, NaCl 2 M, dan CTAB2%)], dapar ekstraksi (sorbitol 0.35 M,Tris-HCl pH 7.5 0.1 M, 5 mM EDTA)dan 5% sarkosil. Selanjutnya reaksidiinkubasi pada suhu 65oC selama 1 jam.Kemudian ke dalam tube ditambahkan750μl chloroform:isoamylalkohol(24:1) dan disentrifugasi selama 5 menitpada kecepatan 8.000 rpm pada suhu4oC. Supernatan dipindahkan ke tabungbaru dan ditambah dengan 400 μlisopropanol dingin, lalu disentrifugasiselama 6 menit dengan kecepatan 8.000rpm pada suhu 4oC. Supernatan dibuangdan pelet dicuci dengan 70% etanol.Pelet dalam tabung dikeringkan dandilarutkan dengan 50 μl dapar TE pH 8.0.

Primer yang digunakan ialah gusAforward 5’-TCACCGAAGTTC-ATGCCA GTCC-3’ dan reverse 5’-ACGCTCACACCGATACCATCAG-3’yang spesifik untuk gen penanda gusA,dan hpt forward 5’-GATGCCTCCG-CTCGAAGTAGCG-3’dan reverse 5’-GCATCTCCCGCCGTGCAC-3’ untukgen hpt. Volume untuk 1x reaksi PCRialah 20 μl dengan komposisi sebagaiberikut: 1x dapar PCR, 0.05 mM dNTP,0.05 U Taq polymerase, 0,2 μM masing-masing primer (gusA reverse danforward dan hpt reverse dan forward)

Efisiensi transformsi (%)

pUR224 = Kalus tahan higromisin x 100%

Kalus awal ditransformasi

pNU400 = Kalus berpendar x 100%

Kalus awal ditransformasi

Efisiensi regenerasi (%)

= ∑ kalus beregenerasi x 100%

∑ kalus tahan higromisin/ berpendar

Analisis Integrasi GenMetode PCR (Polimerase chainreaction)

Analisis PCR dilakukan untukmengkonfirmasi adanya transposon (Ds)pada tanaman generasi pertama (T0)hasil transformasi pUR224. Konfirmasiberdasarkan keberadaan gen penandayang ada dalam daerah T-DNA (gusAdan hpt) dalam genom. DNA genomikdiisolasi dengan metode CTAB (hexaecyl

Page 83: Jurnal Biologi Indonesia

373

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

dan 100 ng DNA hasil isolasi sebagaicetakan. Amplifikasi DNA dilakukanmenggunakan alat PCR Thermal Cycler(Biometra), pada kondisi PCR sebagaiberikut satu siklus denaturasi (95oC, 3menit); 30 siklus amplifikasi [denaturasi95oC 1 menit, annealing 55oC 1 menit,sintesis 72oC 1 menit]; 72oC 10 menit(pemanjangan final); 4oC (penyimpa-nan). Hasil PCR dipisahkan dengan alatelektroforesis menggunakan 1% gelagarose selama 45 menit pada tegangan100 volt. Gel diwarnai menggunakanethidium bromida (0,5 mg/liter) untukvisualisasi pita DNA produk PCR.Produk amplifikasi yang diharapkanmuncul masing-masing berukuran 500 pb(pasang basa) untuk gen gusA dan 400pb untuk hpt.

Analisis integrasi Ac dari plasmidpNU400 adalah berdasarkan pendarangfp yang diperoleh. Transforman kalusatau plantlet yang mengandung Ac akanditunjukkan oleh pendaran warna hijaudari kalus atau tanaman tersebut ketikadiamati di bawah UV.

Analisis Southern blot bertujuanuntuk mengetahui pola integrasi gensisipan dan jumlah salinan gen transposonDs dengan menggunakan DNA pelacakhpt pada generasi tanaman pertama(T0). Metode deteksi dengan PCRmaupun Southern blot, memerlukanDNA genom sebagai DNA cetakan yangdianalisis. DNA tanaman diisolasi denganmetoda CTAB. Selanjutnya DNA genomdipotong menggunakan enzim restriksiApaI semalam. Setelah dipisahkandalam agarose gel 0,8%, blottingdilakukan dengan metoda alkali transferke membran nilon bermuatan positif.Analisis pola integrasi T-DNA dilakukandengan hibridisasi Southern mengacukepada protokol kit dari GE Healthcare(Amersham, UK). Hibridisasi Southerndilakukan terhadap tanaman-tanamanhasil transformasi dengan pUR224dengan menggunakan fragmen gen hptsebagai pelacak.

Tabel 1. Perbedaan dalam tiga teknik transformasi yang digunakanPerbedaan Metode A Metode B Metode C

Konsentrasi sel OD 600 0,5 - 1 0,1 0,3 Umur benih masak masak belum masak Material tanaman kalus

embriogenik benih embrio belum

masak Pra inkubasi Tidak Ya Tidak Persiapan kalus Ya Tidak Tidak Waktu infeksi 15 menit 1,5 menit Ditetes langsung Bakteri disertakan saat kokultivasi

Tidak Ya Ya

Waktu kokultivasi 3 hari 3 hari 1 minggu Waktu seleksi I 2 minggu 2 minggu, 1 minggu Waktu seleksi II 2 minggu 2 minggu 3 minggu Pra regenerasi Tidak Ya, suhu 25°C Ya, suhu 30°C

Page 84: Jurnal Biologi Indonesia

374

Mulyaningsih dkk

HASIL

Perbandingan Metode TransformasiHasil transformasi dengan metode

A (Hiei et al. 1994) tidak menghasilkanplantlet transgenik untuk kedua plasmidyang digunakan (pUR224 dan pNU400).Meskipun transformasi pUR224 telahdilakukan terhadap 900 kalus Batutegidan 700 kalus Kasalat. Dengan plasmidpNU400 transformasi dilakukan terhadap780 kalus Batutegi dan 540 kalusKasalath. Dengan metode B (Toki et al.2006), keberhasilan untuk mendapatkantanaman transgenik hanya diperoleh darikultivar kasalath dengan plasmidpUR224. Efisiensi transformasinyasebesar 2,36% dan efisiensi regenerasisebesar 27,27%. Dengan menggunakanplasmid pNU400 tidak diperoleh kalusataupun tanaman transgenik yangberpendar sebagai ciri terekspresinyagen penanda gfp (Tabel 2.).

Hasil transformasi menggunakanmetode C (Hiei dan Komari, 2006) untukcv. Batutegi dan Kasalath menunjukkanbahwa metode ini lebih baik dibanding-kan metode A dan B. Hasil transformasicv. Batutegi dan Kasalath dengan plas-mid pNU400 disajikan pada Tabel 3.

Dengan menggunakan plasmid pUR224diperoleh satu event transformasi padacv kasalath dan dua event pada cv.Batutegi (Tabel 4 dan Gambar 2).

Analisis Integrasi Gen dengan PCRAnalisis PCR dengan menggunakan

primer spesifik untuk gen hpt dan dangusA dilakukan terhadap masing-masing25 tanaman cv. Batutegi dan 17 tanamancv. Kasalath. Tanaman-tanamantersebut merupakan hasil transformasidari plasmid pUR224. Hasil analisisdibedakan antara tanaman yangmengandung hpt dan gusA, mengandunghpt tapi tidak mengandung gusA ,mengandung gusA tetapi tidakmengandung hpt, dan tanaman yang tidakmengandung gusA maupun hpt (Tabel 5dan Gambar 3).

Analisis Integrasi Gen denganSouthern blot

Material tanaman yang digunakanialah yang mengandung gen hpt dan gusAberdasarkan analisis PCR. Jumlahtanaman diuji masing-masing sebanyak12 untuk cv. Batutegi dan 9 untukKasalath. Hasil analisis disajikan dalamTabel 6 dan Gambar 4.

Tabel 2. Transformasi menggunakan metode B (Toki et al. 2006)

Tabel 3. Transformasi menggunakan metode C (Hiei dan Komari, 2006) dengan plasmid pNU400

Kultivar Plasmid Jumlah immature

Kalus GFP+

Kalus GFP + proliferasi

Kalus regenerasi

Efi.transf (%)

Efi. Reg (%)

Kasalath pNU400 20 15 15 10 75.00 66.67 B. Tegi pNU400 60 22 6 19 36.67 86.36

Kultivar Plasmid Jumlah benih

Kalus tahan hpt

Kalus regenerasi

Efisiensi transformasi (%)

Efisiensi Regenerasi (%)

Kasalath pUR224 465 11 3 2.36 27.27

Page 85: Jurnal Biologi Indonesia

375

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

Kultivar Plasmid Jumlah immature

Kalus tahan hpt

Kalus regenerasi

Efi.transf (%)

Efi. Reg (%)

Kasalath pUR224 86 22 11 25.58 50.00 B. Tegi pUR224 62 8 6 12.90 75.00 pUR224 101 2 2 1.98 100.00

Tabel 4. Transformasi menggunakan metode C (Hiei dan Komari, 2006) dengan plasmid pUR224

 

a  b  c  d 

e  f  g 

Gambar 2. Ekspresi gen penanda gfp dari kalus dan tanaman transforman plasmid pNU400pada cv. Kasalath dan Batutegi

Keterangan:a dan b kalus cv. Kasalath diamati pada dark reader (a) dan lampu neon (b)c dan d kalus cv. Batutegi diamati pada dark reader (c) dan lampu neon (d)e dan f plantlet Kasalath dan Batutegi, g Plantlet Kasalat GFP + (kiri) dan GFP- (kanan)

PEMBAHASAN

Padi tipe indica banyak dibudidaya-kan di Asia termasuk Indonesia, namunkeberhasilan transformasi genetiknyamasih terbatas. Kegiatan transformasipadi indica cv. Kasalath sangat sulitdilakukan terlebih pada cv. Batutegi.Diduga bahwa kultivar indica yangdigunakan dalam percobaan digolongkandalam indica grup I, yang sebagian besarmerupakan kultivar rekalsitran untukkegiatan kultur jaringan dan transformasigenetik (Zhang et al. 1998; Wunn et al.1996). Pada padi indica sering dijumpai

bahwa kondisi transformasi danregenerasi yang optimum untuk suatugenotipe, menjadi tidak optimum untukgenotipe lainnya.

Untuk mendapatkan sejumlah kalustahan higromisin dari hasil transformasimenggunakan plasmid pUR224diperlukan jumlah eksplan yang sangatbanyak. Selain itu, meskipun transformasidilakukan sangat intensif, namunkeberhasilannya masih sangat rendahdibandingkan menggunakan padi japonica(cv. Niponbare) yang pernah dilakukansebelumnya (Nugroho dkk. 2007).Kondisi yang sama juga terjadi pada hasil

Page 86: Jurnal Biologi Indonesia

376

Mulyaningsih dkk

Kultivar J. Tan. diuji Jumlah Tanaman Hpt +/Gus+ Hpt +/Gus- Hpt -/Gus-

Batutegi 25 19 4 0 Kasalath 17 9 6 0

Total Total 28 10 0 Total tan. Total tan. 42

Tabel 5. Hasil analisis integrasi gen hpt dan gusA pada cv. Batutegi dan Kasalath

gus, 500 bp hpt, 400 bp

λ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

Gambar 3. Hasil analisis PCR menggunakan primer hpt dan gusA pada padi cv. Batutegi dankasalath

Keterangan:χ hind III; 1. plasmid pUR224; 2. pCambia 1301; 3. K+ pUR224 (cv Nipponbare);4. K- Niponbare ; 5. K- Batutegi ; 6. K- Kasalath; 7.air ; 8 - 23 cv. Transforman Batutegi;24 – 35 transforman Kasalath

Tabel 6. Hasil analisis Southern blot cv. Batutegi dan Kasalath menggunakan DNA pelacak hpt

 

A  B  Batutegi  Kasalath   

          1    2    3    4   5   6    7    8   9  10        1    2    3    4    5    6    7    8    9  10 11 12 13 

Gambar 4. Contoh hasil analisis Southern pada cv. Batutegi (A) dan Kasalath (B) denganDNApelacak hpt.

Keterangan: Kolom 1 dan 2: kontrol plasmid pUR224

No Kode Lajur Jumlah salinan cv. Batutegi cv. Kasalth

1 K1 no. 8 6 2 2 K1 no. 9 7 2 3 K1 no. 10 8 2 4 K2 no. 16 11 1 5 K3 no. 3 Tidak ditampilkan 2 6 K2 no. 2-a 7 1 7 K2 no. 2-b 8 1 8 K2 no. 5 9 1 9 K4 no. 1 10 1 10 K5 no. 2 11 1 11 K7 no. 4 13 4 12 K8 no. 2 14 1

Page 87: Jurnal Biologi Indonesia

377

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

transformasi menggunakan plasmidpNU400 yang membawa transposon Acdengan gen penanda gfp.

Berdasarkan hasil penelitian metodetransformasi A yang paling tidak sesuaiuntuk kedua kultivar. Hasil ini bertolakbelakang dengan percobaan sebelumnyapada padi japonica (cv. Nipponbare)dengan menggunakan kedua plasmidyang sama (pUR224 dan pNU400).Jumlah tanaman transgenik yangdiperoleh lebih dari 1500 dari pUR224dengan nilai efisiensi transformasi 95,6%(Nugroho dkk. 2007). Meskipun metodeB (Toki et al. 2006) dapat digunakanuntuk merakit tanaman transgenikdengan waktu lebih cepat pada padi tipejaponica tetapi pada tipe indicaaplikasinya sangat sulit. Berdasarkanhasil penelitian, metode transformasi C(Hiei &Komari 2006) adalah yang terbaikuntuk kedua kultivar tersebut.

Tingkat kesulitan yang palingdominan ialah terjadinya pencoklatanjaringan setelah dilakukan infeksi denganagrobacterium, diduga ada pengaruhnegatif penggunaan antibiotik sehinggadapat meracuni kalus seperti padapenelitian sebelumnya (Khanna &Raina. 1999). Pada metoda A dan B jugadialami kesulitan terbentuknya kalusembriogenik. Sering pula dihadapi bahwameskipun kalus bersifat embriogeniktetapi kemampuan kalus untukmembentuk plantlet sangat rendah.

Meskipun keberhasilan yangdiperoleh dalam penelitian ini masih relatifkecil, tapi membuktikan bahwa cv.Batutegi padi gogo asal Indonesia dapatditransformasi. Adanya respon dalamkegiatan transformasi pada cv. Batutegi

telah membuka peluang dapat digunakansebagai model untuk kegiatanpembentukan populasi mutan dari jenisindica, atau untuk tujuan perbaikangenetik melalui rekayasa.

Analisis PCR dilakukan untukmelihat keberhasilan integrasi gen sisipandalam genom tanaman. Analisis ini hanyadilakukan terhadap tanaman hasiltransformasi menggunakan plasmidpUR224. Analisis dilakukan denganmenggunakan dua pasang primer spesifikmasing-masing untuk gen penyeleksi hptdan gen penanda gusA. Kedua gen iniberada dalam dalam daerah T-DNA yangsama dengan transposon Ds. AnalisisPCR menunjukkan keberadaan gen-gentersebut, sehingga dapat dipastikanbahwa transposon Ds telah teringrasidalam genom tanaman generasi pertamaini (T0).

Berdasarkan data hasil analisis PCRdiperoleh bahwa dari 25 tanaman cvBatutegi, 19 tanaman diantaranyamenunjukkan keberadaan pita yangberukuran 500 pb (gusA) dan 400 pb(hpt). Sedangkan pada cv. Kasalath dari17 tanaman yang diuji, 9 tanamanmenunjukkan adanya kedua pita hasilamplifikasi. Diperoleh pula informasibahwa tidak ada satupun tanaman yanghanya mengandung pita amplifikasi gusAsaja. Analisis integrasi dengan PCR danSouthern blot hanya dilakukan untuktanaman hasil transformasi denganplasmid pUR224, sementara integrasigen gfp yang membawa transposon Acdilakukan berdasarkan ekspresi gentersebut yang diamati pada alat uv darkreader.

Page 88: Jurnal Biologi Indonesia

378

Mulyaningsih dkk

Analisis Southern blot selainbertujuan untuk mengetahui integrasi gensisipan juga untuk melihat polaintegrasinya dalam genom. Hasil analisisSouthern blot pada cv. Batutegimenujukkan bahwa K1 no. 8, K1 no. 9,K1 no. 10 adalah merupakan galur yangsama (sister line) dengan 2 salinan gensisipan. Tanaman-tanaman tersebutberasal dari embrio yang sama saattransformasi. Diduga tanaman-tanamantersebut berasal dari satu sel yangkemudian berploriferasi membentuktanaman sendiri-sendiri. Galur K2 no.16 dan K3 no. 3 masing-masing memiliki1 dan 2 gen sisipan. Dengan demikianpada cv Batutegi diperoleh 3 galurtanaman yang berbeda. Pada cvKasalath diperoleh 7 galur yang berbedayaitu K2 no. 2-a, K2 no. 2-b, K2 no. 5,K4 no. 1, K5 no. 2, K7 no. 4, K8 no. 2.Meskipun tanaman K2 no. 2-b dan K2no. 5 berasal dari embrio yang sama saattransformasi tetapi diduga merekaberkembang dari sel berbeda. Ketiadaanpita dari hasil hibridisasi Southern padabeberapa galur yang diuji diduga karenakualitas DNA yang kurang baik,meskipun galur-galur tersebut menunjuk-kan keberadaan pita gen hpt saat PCR .

KESIMPULAN

Metode transformasi C (Hiei danKomari 2006) adalah yang terbaik untukcv. Batutegi dan Kasalath.

Diperoleh 19 tanaman cv Batutegidan 9 tanaman cv. Kasalath yangmenunjukkan keberadaan gen gusA danhpt berdasarkan analisis PCR.

Integrasi gen gfp yang membawatransposon Ac dibuktikan berdasarkanekspresi gen tersebut yang berpendar.

Hasil Southern blot menujukkanterdapat 3 galur tanaman berbeda padacv Batutegi dan 7 galur pada Kasalath.

Keberhasilan penelitian inimembuktikan bahwa kultivar Batutegiyang merupakan padi gogo asal Indonesiadapat ditransformasi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasihkepada Dr. Narayanan Upadhyaya andDr Satya Nugroho atas perkenannyamenggunakan plasmid dalam penelitianini. Terima kasih kepada Dr SatyaNugroho dan Dr Ami Estiati atasbantuan penyediaan bahan kimia, diskusidan sarannya. Terimakasih puladisampaikan untuk Nurhayati dan OktriYurika atas bantuannya di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Bray, EA., J. Bailey-Serres, & E.Weretilniyk. 2000. Response toabiotic stresses. In: Eds.GruissemW, Buchannan B, Jones R Bio-chemistry and molecular Biologyof Plants. American Society ofPlant Physiologists, Rockville. Pp1158-1249.

Buell, CR. 2002. Current status of thesequence of the rice genome andprospects for finishing the firstmonocot genome. Plant physiol.4:1585-1586.

Deng, X., J. Philips, AH. Meijer, F.Salamini, & D. Bartels. 2002.

Page 89: Jurnal Biologi Indonesia

379

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

Characterization of five noveldehidration responsive homeodo-main leucin zipper genes fromresurrection plant Craterostigmaplantagineum . Plant Mol.Bio.49:601-610.

Dong. J., W. Teng, WG. Buchhold, &TC. Hall. 1996. Agrobacteriummediated transformation ofJavanica rice. Mol. Breed. 2:267-276.

Greco, R., PB. Ouwerkerk, AJ. Taal,C.Sallaud, E.Guiderdoni, AH.Meijer, & JH.Hoge. 2004. Trans-cription and somatic transpositionof maize En/Spm transposonssystem in rice. Mol.Gen.Genomics. 270: 514-523.

Hiei, Y., S. Otha, T. Komari, &T.Kumashiro. 1994. Efficienttransformation of rice (Oryzasativa L) mediated by Agrobac-terium and sequence analysis ofthe boundaries of the T-DNA.Plant J. 6(0): 001-011.

Hiei, Y., & T. Komari. 2006. Improvedprotocols for transformation ofIndica rice mediated by Agrobac-terium tumefaciens. Plant CellTissue and Organ Culture .85(3):271-283.

Hu H., M. Dai, J. Yao, B. Xiao, X. Li, Q.Zhang, & L. Xiong. 2006.Overexpressing a NAM, ATAF,and CUC (NAC) transcriptionfactor enhances drought resistanceand salt tolerance in rice. PNAS.103(35): 12987-12992.

Izawa. T., C. Miyazaki, M. Yamamoto,R. Terada, S. Lida, & K.Shimamoto. 1991. Introduction

and transposition of maizetransposable element Ac in rice(Oryza sativa L). Mol Gen Genet.227:391-396.

Khanna, HK., SK. Raina. 1999.A g ro b a c t e r i u m - m e d i a t e dtransformation of indica ricecultivars using binary and superbinary vectors. Aust. J. PlantPhysiol. 26: 311-324.

Khanna, HK. & SK. Raina. 2002. Eliteindica transgenic rice plantsexpressing modified cryIAcendotoxin of Bacillus thuringien-sis show enhanced resistance toyellow stem borrer (Scirpophagaincertulas). Transgenic Res.11:411-423.

Kolesnik, T., I. Szeverenyi, D. Bachmann,CS.Kumar, S.Jiang,R.Ramamoorthy. M. Cai, ZG.Ma,V. Sudaresan, & S.Ramachan-dran. 2004. Establishing anefficient Ac/Ds tagging system inrice: large scale analysis of Dsflanking sequences. Plant J.37:301-314

Kumar, KK., S. Maruthasalam, M.Loganathan, D. Sudhakar, & P.Balasubramanian. 2005. Animproved Agrobacterium-mediated transformation protocolfor recalcitrant elite indica ricecultivars. PMB 23:67-73.

Lin, YJ., & Q. Zhang. 2005. Optimisingthe tisuue culture conditions for highefficiency transformation of Indicarica. Plant Cell Rep. 23:540-547.

Meijer, AH., RJ. De Kam, I. d’Erfurth,W. Shen, & JHC. Hoge. 2000.HD-Zip protein of family I and II

Page 90: Jurnal Biologi Indonesia

380

Mulyaningsih dkk

from rice: interaction andfunctional properties. Mol GenGenet. 236: 12-21.

Nayak, P., D. Basu, S. Das, A. Basu, D.Ghosh, NA. Ramakrishnan, M.Ghosh, & KS. Soumitra. 1997.Transgenic elite indica rice plantexpressing cry IAc δ-endotoxin ofBacillus thuringiensis are resistantagainst yellow stem borrer(Scirpophaga incertulas). Proc.Natl. Acad Sci. USA 94:211-216.

Nugroho, S., ES. Mulyaningsih, D. Astuti,& CF. Pantouw. 2007. UpayaPengembangan Populasi padimutan dengan mutasi insersitransposon Ac/Ds pembawa genetrap untuk pencarian gen-genpenting dari padi. ProsidingSimposium, Seminar dan KongresIX PERAGI 2007. Bandung, 15-17 November 2007. hal 105-110.

Rashid, H., S. Yokoi, K. Toriyama, & K.Hinata. 1996. Transgenic plantproduction mediated byAgrobacterium in Indica rice.Plant Cell Rep. 15:727-730.

Scarpella, E., EJ. Simons, & AH. Meijer.2005. Multiple regulatory elementscontribute to the vascular-spesificexpression of the rice HD-Zipgene oshox1 in Arabidopsis.Plant Cell Physiol. 46(8), 1400-1410.

Slamet-Loedin, IH., W. Rahayu, S.Hutajulu, & J.Wibowo. (1997).Penggunaan dua strainAgrobacterium tumefacienssupervirulen untuk ko-kultivasitanaman padi kultivar Cisadane

dan Rojolele. Prosiding SeminarPerhimpunan BioteknologiIndonesia. Surabaya, 12-14 Maret1997. hal 140-148.

Toki, S., N. Hara, K. Ono, H. Onodera,A. Tagiri, S. Oka, & H. Tanaka.2006. Early infection of scutellumtissue with agrobacterium allowshigh-speed transformation of rice.Plant J. 47:969-976.

Wünn, J., A. Kloti, PK. Burkhardt, GCG.Biswass, K. Launis, VA. Iglesias ,& I. Potrykus. 1996. TransgenicIndica rice breeding line IR-58expressing a synthetic cryIAbgene from Bacillus thuringiensisprovides effective insect pestcontrol. Bio.Technol. 14:171-176.

Xiao, B., Y. Huang, N. Tang, & L. Xiong.2007. Over-expression of LEAgene in rice improves droughtresistence under the fieldconditions. Theor. Appl. Genet.DOI 10.1007/s00122-007-0538-9.

Yamaguchi-Shinozaki, K., &K.Shinozaki. 2001. Improving plantdrought, salt and freezing toleranceby gene transfer of a single stress-inducible transcription factor, in:Rice biotechnology: Improvingyield, stress tolerance and grainquality – No. 236. (NovartisFoundation Symposium), Wiley,Chichester, 176-189.

Zhang, S., W. Song, L. Chen, D. Ruan,N. Taylor, P. Ronald, R. Beachy,& C. Fauquet. 1998. Transgenicelite indica varieties, resistant toXanthomonas oryzae pv. Oryzae.Mol. Breed. 4: 551-558.

Page 91: Jurnal Biologi Indonesia

381

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

Memasukkan: Agustus 2009Diterima: Mei 2010

Page 92: Jurnal Biologi Indonesia

383

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 383-392 (2010)

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi pada Pembentukkan Monyet Obes

Ria Oktarina1,4, Sri Supraptini Mansjoer1,2, Dewi Apri Astuti1,2, IrmaHerawati Suparto1,3 & Dondin Sajuthi1,3

1 Primate Research Center Bogor Agriculture University ([email protected]), 2 Department Animal Husbandry Bogor Agriculture University,

3 Department of Chemistry Bogor Agriculture University,4 PT. Bimana Indomedical

ABSTRACT

High Energy Diet to Develop Obese Animal Model in Cynomolgus Monkeys (Macacafascicularis). Obesity is a primary predisposition for diseases such as metabolic syndrome(insulin resistance, blood lipid abnormality, and hypertension), type 2 diabetes, andcardiovascular disease. The effort to overcome obesity is needed by understanding thedevelopment of obesity. Therefore, it is urgent to carry out preclinical trials by using an obeseanimal model however it is still limited. The objective of this research was to study the effect ofhigh energy diet with animal fat and soluble carbohydrate to produce obese cynomolgusmonkeys (Macaca fascicularis). Animals used in this study were 15 adult males dividedequally into three treatment groups and were given diets for 4 months. The 3 groups were 1)receiving diet A consists of beef tallow without egg yolk; 2) receiving diet B consists of beeftallow and egg yolk, (energy 4,207 cal/g, fat 19.62%, and starch 60.34% in both first two diet) 3)receiving diet C consists of monkey chow as control (energy 4,330 cal/g, fat 5.55%, and starch51.38%). Measurement were taken every four weeks for body weight, crown rump length, hipdiameter, abdominal skin thickness, body mass index (BMI), nutrient consumption anddigestibility. Results showed that animals received diet B had significant increase in bodyweight and BMI at week 4 and 8. Hip diameter and abdominal skin thickness were significantstarting at week 4 in animals receiving diet with egg yolk (p<0.05) compared to the other twogroups. Protein consumption and digestibility in group with diet A and B was lower (p<0.05)compared to control animals. However, digestibility for dry matter, fat, starch and energy wereabout 90%, meaning that the rations were considered adequate in developing obese monkey.The diet formula containing tallow and egg yolk increased body weight based on BMI criteriaabove 25 kg/m2.

Key words: obesity, cynomolgus, egg yolk, body mass index, digestibility

PENDAHULUAN

Obesitas adalah kelebihan bobotbadan sebagai akibat dari penimbunanlemak tubuh yang berlebihan. Obesitaspada manusia merupakan masalah yangcukup serius, bahkan saat ini obesitasdianggap penyakit multifaktor kompleks

yang disebabkan oleh interaksi faktorgenetik dan lingkungan (Hill & Peters1998). Departemen Kesehatan (2004)melaporkan bahwa prevalensi obesitasmasyarakat yang tinggal di kota dari 1,1%menjadi 5,3% dan masyarakat yangtinggal di desa dari 0,7% menjadi 4,3%pada tahun 1999. Menurut WHO 2005

Page 93: Jurnal Biologi Indonesia

384

Oktarina dkk

di dunia terdapat 1,6 juta manusia remaja(umur 12 -21 tahun) menderita kelebihanbobot badan dan 400 juta manusiadewasa mengalami obesitas. Obesitasmerupakan predisposisi utama untukterjadinya beberapa penyakit terutamasindrom metabolik (seperti resisteninsulin, abnormal pada lipid darah, danhipertensi), diabetes melitus Tipe 2, danpenyakit kardiovaskular.

Usaha mengatasi masalah obesitassangat diperlukan dengan meningkatkanpemahaman tentang mekanismepencegahan dan khususnya pengobatanterjadinya sindrom metabolik. Olehkarena itu, perlu dilakukan uji preklinisdengan menggunakan hewan modelantara lain tikus, mencit dan satwaprimata seperti monyet bonnet (Macacaradiata), baboon (Papio hamadryas),monyet rhesus (Macaca mulatta) danberuk (Macaca nemestrina). Penggu-naan monyet ekor panjang (Macacafascicularis) sebagai hewan model obesbelum pernah dilaporkan. Secara alami,Putra et al. (2006) telah melaporkanbahwa monyet ekor panjang di Bali dapatmengalami obesitas dan diukur berdasar-kan indeks massa tubuh (IMT) denganrerata 60.

Usaha membentuk hewan modelobes dapat dilakukan secara intervensidengan pemberian pakan yangmengandung tinggi lemak maupunkarbohidrat. Bennet et al. (1995)melaporkan bahwa pakan yangmengandung energi tinggi yaitu 4,2 Kal/kg, terdiri dari lemak 21-31% dankarbohidrat 50-70% (sukrosa dandekstrin) dapat menghasilkan hewan obespada monyet rhesus (Macaca mulatta).

Penelitian ini bertujuan untukmengkaji formula pakan dengan bahanbersumber energi tinggi yang berasal darilemak hewan (tallow dan kuning telur)dan karbohidrat (gandum), untukmendapatkan hewan model monyet ekorpanjang obes.

BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian ini dilaksanakan padabulan Desember 2007 sampai denganJuni 2008 di PT IndoAnilab, Bogor.

Hewan percobaan yang digunakandalam penelitian ini 15 ekor monyet ekorpanjang jantan dewasa, dengan bobotbadan berkisar antara 4–5 kg, nomorprotokol ACUC (Animal Care and UseCommitee) : 01-IA-ACUC-08. Monyetekor panjang berasal dari hasilpenangkaran Pusat Studi Satwa PrimataLembaga Penelitian dan PengabdianKepada Masyarakat-Institut PertanianBogor (PSSP LPPM-IPB). Komposisinutrisi formula pakan perlakuan dapatdilihat pada Tabel 1.

Satu buah pisang dengan bobotkurang lebih 70 g/ekor/hari diberikansebagai pakan tambahan dan air minumyang diberikan ad libitum. Peralatanyang digunakan antara lain kandangindividu stainless steel (squeeze backcage), alat pencampur pakan, alatpengukuran antara lain tongkat ukurmerek FHK, penggaris kaliper merekTricle brand, pita ukur merek Butterfly,dan timbangan bobot badan (merek FiveGoats), timbangan pakan (merekTonata), dan seperangkat alat analisisproksimat.

Page 94: Jurnal Biologi Indonesia

385

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi Pada

Sebanyak 15 ekor monyet ekorpanjang yang akan digunakan dibagisecara acak berdasarkan bobot badanmenjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu :kelompok Pakan A (n= 5 ekor) yangmendapatkan formula pakan yangmengandung GE 4.480 kal/g, Lemak19,62%, dan BETN 59,42%; kelompokPakan B (n= 5 ekor) yaitu pakan obesdengan formula yang mengandung GE4.207 kal/g, Lemak 19,62% dan BETN60,34% dan; kelompok Pakan C ataukontrol (monkey chow) (n= 5 ekor) GE4.330 kal/g, Lemak 5,55% dan BETN51,38%. Waktu pengamatan selamaempat bulan, mulai awal (minggu ke-0),setiap 4 minggu sampai dengan mingguke-16.

Peubah diamati setiap 4 minggusampai dengan minggu ke-16 untukpeubah bobot badan, tinggi duduk (crownrump length) (m), indeks massa tubuhmonyet (IMT) (kg/m2), lingkar pinggang(cm), tebal lipatan kulit perut (cm),konsumsi nutrien (g/ekor), sedangkankecernaan semu nutrien (%) dihitumgpada akhir penelitian.

Semua hasil yang diperoleh disajikandalam nilai rataan, data diolah dengananalisis ragam (ANOVA) dengan pakan

sebagai perlakuan, yang terdiri 3perlakuan dengan 5 ulangan. Analisisdidasarkan pada perbedaan antarperlakuan dengan taraf 5%. Hasilanalisis ragam yang berbeda, dilanjutkandengan uji jarak Tukey.

HASIL

Hasil penelitian pembentukanmonyet obes dengan pakan berenergitinggi, dibahas dengan analisis ragampada bobot badan dan ukuran - ukurantubuh (lingkar pinggang dan tebal lipatankulit perut) dan IMT.

Bobot BadanRataan bobot badan (kg) dan

koefisien keragaman (%) monyet ekorpanjang selama penelitian dapat dilihatpada Tabel 2.

Pada minggu ke-4 dan 8 setelahdiberi pakan kelompok hewan yangmendapat pakan B bobot badannya nyatalebih besar (P<0,05) dari kelompok yangdiberi pakan A dan C, sedangkankelompok monyet ekor panjang yangmendapat pakan A dan C bobot badannyatidak berbeda. Bobot badan monyet ekorpanjang pada minggu ke-12 dan 16

Tabel 1 Kandungan nutrien dalam pakan percobaaan

Keterangan: A=tallow dan gandum; B=tallow, kuning telur dan gandum; C=monkey chow (kontrol);BETN=Bahan ekstrak tanpa N. *Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan TernakFakultas Peternakan IPB 2008.

Kandungan nutrisi Pakan A* Pakan B* Pakan C * Bahan kering (%) 68,09 70,18 92,75 Protein (%) 14,42 15,01 29,39 Lemak (%) 19,62 19,62 5,55 Serat kasar (%) 1,81 1,14 6,02 Gross energi (kal/g) 4.480 4.207 4.330 BETN (%) 59,42 60,34 51,38

Page 95: Jurnal Biologi Indonesia

386

Oktarina dkk

Tabel 2. Rataan bobot badan (kg) dan koefisien keragaman (%) monyet ekor panjang selamapenelitian.

menunjukkan tidak terdapat perbedaanbobot badan.

Ukuran-ukuran TubuhPengukuran antropometri tubuh yang

dapat digunakan sebagai penentuanobesitas adalah dengan melakukanpengukuran lingkar pinggang tebal lipatankulit perut, tinggi duduk, dan IMT. Berikutini hasil pengamatan ukuran-ukuran tubuh(lingkar pinggang, tebal lipatan kulit peruttinggi duduk) selama penelitian.Keragaman juga terjadi pada ukuran-ukuran tubuh dan IMT. Keragamantertinggi terjadi pada kelompok pakan Buntuk parameter lingkar pinggang, teballipatan kulit perut dan IMT.

Hasil pengukuran lingkar pinggangselama penelitian menunjukan bahwaterdapat perbedaan yang nyata (P<0,05)lebih besar pada monyet ekor panjangyang mendapat pakan B, jika dibanding-kan dengan kelompok yang mendapatkanpakan A dan C, sedangkan monyet ekorpanjang yang mendapat pakan A dan Ctidak terdapat perbedaan ukuran lingkarpinggang. Bertambahnya ukuran lingkarpinggang pada kelompok perlakuanpakan B terjadi seiring denganpeningkatan bobot badan pada monyetekor panjang. Pertambahan ukuranlingkar pinggang pada kelompok pakanB dapat dilihat pada Tabel 3.

Adanya penambahan bobot badansangat berpengaruh terhadap pening-katan ukuran lingkar pinggang.Meningkatnya ukuran lingkar pinggangmempunyai hubungan erat denganmeningkatkan resiko terjadinya resikosindrom metabolik pada manusia. Sepertiyang dikemukakan oleh WHO (1997),jika lingkar pinggang lebih dari 90 cmpada pria dan lebih dari 80 cm padawanita dapat meningkatkan resikoterjadinya sindrom metabolik padamanusia. Akan tetapi kriteria lingkarpinggang MEP terhadap resiko terjadinyasindrom metabolik belum ada.

Hasil pengukuran tebal lipatan kulitperut selama penelitian dapat dilihat padaTabel 4. Dari hasil pengukuranmenunjukan bahwa terdapat perbedaanukuran tebal lipatan kulit perut padaminggu ke-4, 8 dan 12, dengan ukuranterbesar (P<0,05) pada kelompok yangmendapat pakan B jika dibandingkandengan kelompok yang mendapat pakanA dan C, sedangkan pada kelompok yangmendapat pakan A dan C tidak terdapatperbedaan ukuran tebal lipatan kulitperut. Pada minggu ke-16 menunjukkanbahwa monyet ekor panjang yangmendapat pakan A, B dan C tidakterdapat perbedaan ukuran lingkarpinggang.

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Perlakuan Awal Minggu ke-4 Minggu ke-8 Minggu ke-12 Minggu ke-16 ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK)

Pakan A 4,72 10,95 4,76b 4,37 4,54b 3,00 4,58 13,16 4,82 18,87 Pakan B 4,64 10,60 4,90a 0,51 5,01a 6,60 5,05 16,43 5,09 17,22 Pakan C 4,66 10,69 4,51b 8,08 4,45b 6,71 4,58 4,98 4,60 5,54

Page 96: Jurnal Biologi Indonesia

387

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi Pada

Perlakuan Awal Minggu ke-4 Minggu ke-8 Minggu ke-12 Minggu ke-16 ( ) (KK) ( ) KK) ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) KK)

Pakan A 29,12 2,91 28,10b ,26 28,00b 3,13 28,30b 2,21 28,54b 2,46 Pakan B 28,94 3,68 31,18a 4,41 32,34a 6,91 32,42a 6,94 32,96a 7,07 Pakan C 29,00 1,84 27,00b 2,84 28,00b 2,44 28,18b 1,72 28,30 b 1,83

Tabel 3. Rataan lingkar pinggang (cm) dan koefisien keragaman (%) monyet ekor panjangselama penelitian.

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Perlakuan Awal Minggu ke-4 Minggu ke-8 Minggu ke-12 Minggu ke-16 ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK)

Pakan A 0,36 18,59 0,36b 9,90 0,39b 7,90 0,40b 8,78 0,40b 9,24 Pakan B 0,39 9,96 0,52a 27,60 0,53a 0,26 0,56a 30,17 0,58a 33,50 Pakan C 0,38 1,99 0,40b 9,52 0,41b 5,01 0,45b 9,30 0,45b 8,63

Tabel 4 Rataan tebal lipatan kulit perut (cm) dan koefisien keragaman (%) monyet ekorpanjang selama penelitian

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata(P<0,05).

Pada ukuran tebal lipatan kulit perutmenunjukkan keragaman yang tinggi dariminggu ke-0, 4, 8 dan 12 pada kelompokpakan B, jika dibandingkan dengankelompok pakan A dan C. Adanyapeningkatan ukuran tebal lipatan kulitperut pada kelompok pakan B selamapenelitian dapat terlihat jelas padaGambar 1.

Tujuan pengukuran tebal lipatan kulitperut pada penelitian ini adalah untukmengetahu tipe obesitas yang terjadi padamonyet ekor panjang. Sama halnyadengan ukuran lingkar pinggang,penambahan bobot badan juga menye-babkan peningkatan ukuran tebal lipatankulit perut pada kelompok pakan B. Samahalnya dengan kejadian peningkatanlingkar pinggang, peningkatan teballipatan kulit perut adalah untukmengetahui adanya penimbunan lemak didaerah subkutan dan abdomen.Penimbunan lemak pada daerah

abdomen dapat meningkatkan terjadinyaresiko penyakit seperti diabetes melitusTipe 2, toleransi terhadap glukosaterganggu, hipertensi, dan dislipidemi.

Tinggi duduk (crown rump length),dengan mengukur dari puncak kepalasampai dengan pangkal ekor denganmenggunakan tongkat ukur. Tinggi dudukmonyet ekor panjang selama penelitiandapat dilihat pada Tabel 5.

Ukuran tinggi duduk pada monyetekor panjang dari awal sampai denganakhir penelitian, menunjukkan tidakadanya penambahan ukuran tinggi duduk.Pada penelitian ini monyet ekor panjangyang digunakan adalah yang sudahberumur dewasa (susunan gigi Molar3/Molar3). Sehingga secara fisiologi tidakada peningkatan ukuran tubuh yangsecara nyata, karena tidak sedang dalammasa pertumbuhan.

Pengukuran tinggi duduk ini bergunauntuk menghitung indeks massa tubuh

Page 97: Jurnal Biologi Indonesia

388

Oktarina dkk

(IMT), karena pengukuran IMT padamonyet ekor panjang didapat dari hasilperhitungan antara bobot badan dibagidengan tinggi duduk (kg/m2).

Hasil pengukuran IMT selamapenelitian dapat dilihat pada Tabel 6menunjukkan bahwa terdapat perbedaanIMT yang lebih besar (P<0,05) padakelompok yang mendapat pakan B diminggu ke-4 dan minggu ke-8, jikadibandingkan dengan kelompok yangmendapat pakan A dan C, sedangkankelompok yang mendapat pakan A danC tidak terdapat perbedaan ukuran IMTselama penelitian. Ukuran IMT padaminggu ke-12 dan 16 terlihat bahwa tidakterdapat perbedaan ukuran IMT antarperlakuan yang mendapat pakan A, B danC.

Adanya peningkatan ukuran IMTpada kelompok pakan B selama penelitian

dapat terlihat jelas pada Gambar 2.Perkembangan bobot badan berpengaruhterhadap peningkatan ukuran lingkarpinggang dan tebal lipatan kulit perut danIMT pada kelompok pakan B.

Dari hasil pengamatan IMT denganmembandingkan antara bobot badan dantinggi duduk kelompok hewan pakan Adan pakan C, masuk dalam kriteriakelebihan berat (over weight) dan preobesitas, sedangkan untuk kelompokhewan pakan B masuk dalam kriteriaobesitas Tipe I.

Analisa PakanAnalisis pakan pada penelitian ini,

bertujuan untuk mengetahui banyaknutrien yang dikonsumsi dan kecernaansemu pakan di dalam feses. Hasilperhitungan konsumsi nutrien dan

Perlakuan Awal Minggu ke-4 Minggu ke-8 Minggu ke-12 Minggu ke-16 ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK)

Pakan A 0,44 4,07 0,44 4,07 0,44 4,11 0,44 4,11 0,44 4,09 Pakan B 0,44 2,29 0,44 2,27 0,44 2,25 0,44 2,25 0,44 2,20 Pakan C 0,44 2,02 0,44 2,02 0,44 1,98 0,44 1,98 0,44 1,95

 Tebal Lipatan Kulit Perut

0

0.2

0.4

0.6

0.8

Minggu-0 Minggu-4 Minggu-8 Minggu-12 Minggu-16

Cm

Pakan A Pakan B Pakan C

Gambar 1. Perkembangan tebal lipatan kulit perut MEP yang mendapat formula pakan A , Bdan C selama penelitian.

Tabel 5. Rataan (cm) dan koefisien keragaman (%) tinggi duduk monyet ekor panjang selamapenelitian.

Page 98: Jurnal Biologi Indonesia

389

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi Pada

kecernaan semu pakan dapat dilihatsebagai berikut.

Konsumsi NutrienHasil pehitungan menunjukan bahwa

tidak terdapat perbedaan (P<0,05)konsumsi bahan kering dan konsumsienergi pada minggu ke-8, sedangkankonsumsi BETN pada minggu ke-12.Rata-rata konsumsi bahan kering, lemak,BETN dan energi kelompok hewan yangmendapat perlakuan pakan B lebih tinggi(P<0,05) jika dibandingkan dengankelompok hewan yang mendapatperlakuan pakan A dan pakan C(Gambar 3).

Pada minggu ke-4, 8 dan 16kelompok yang mendapat pakan B lebihtinggi (P<0,05) mengkonsumsi bahankering jika dibandingkan dengan

kelompok yang mendapat pakan A danC. Pada minggu ke-12 kelompok hewanyang mendapat pakan C menunjukankonsumsi yang lebih tinggi jikadibandingkan dengan MEP yangmendapat pakan A dan B, sedangkanMEP yang mendapat pakan A dan Bmenunjukan tidak terdapatnya perbedaankonsumsi bahan kering.

Konsumsi protein kasar, pada MEPpakan C lebih tinggi (P<0,05) jikadibandingkan dengan MEP pakan A danB, sedangkan MEP yang mendapatpakan A dan B tidak menunjukanperbedaan konsumsi protein. Hal inidisebabkan tingginya kandungan proteinkasar pada pakan C. Menurut Bennet etal. (1995), bahwa kebutuhan protein padaMEP adalah 3,5 g/ekor/hari. Jika dilihatdari kebutuhan protein MEP, pakan yang

Perlakuan Awal Minggu ke-4 Minggu ke-8 Minggu ke-12 Minggu ke-16 ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK) ( ) (KK)

Pakan A 24,51 8,35 23,59b 9,31 23,52b 7,27 23,73 7,58 24,88 13,30 Pakan B 24,19 6,25 25,53a 6,02 26,02a 11,62 26,24 11,60 26,44 12,50 Pakan C 23,94 10,08 23,18b 9,33 22,86b 8,60 23,52 7,31 23,55 7,16

Tabel 6. Rataan (kg/m2 )indeks massa tubuh dan koefisien keragaman (%) monyet ekor panjangselama penelitian.

Gambar 2. Perkembangan indeks massa tubuh MEP yang mendapat formula pakan A , B danC selama penelitian.

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

20

22

24

26

28

Minggu-0 Minggu-4 Minggu-8 Minggu-12 Minggu-16

Kg/m2

Pakan A Pakan B Pakan C

Page 99: Jurnal Biologi Indonesia

390

Oktarina dkk

digunakan sudah mencukupi kriteriakebutuhan akan protein pada MEP. Padakelompok pakan C, meskipunmengandung energi tinggi, akan tetapitidak menyebabkan pertambahan bobotbadan (P<0,05) jika dibandingkan dengankelompok pakan B. Hal ini disebabkankarena energi dalam pakan bersumberdari karbohidrat dan protein, karenaprotein dalam pakan jika dimetabolismedi dalam tubuh berfungsi menghasilkanenzim, hormon, komponen struktural, danprotein darah dari sel dan jaringan. Jikakonsumsi protein berlebih di dalam tubuhakan dibuang bersamaan dengan urin.

Konsumsi lemak dan BETN, padamonyet ekor panjang yang mendapatperlakuan pakan B enam kali lipat lebihtinggi (P<0,05) dan empat kali lipat lebihtinggi (P<0,05) jika dibandingkan dengankelompok pakan C. Tingginya konsumsipada kelompok pakan B, ternyataberpengaruh terhadap pertambahanbobot badan. Selama penelitian padakelompok pakan B bobot badan mening-kat tiap empat minggu pengukuransebanyak 9,7%. Jika dibandingkandengan formula obes Astuti et al. (2007),monyet ekor panjang mengkonsumsilemak 4,7g/ekor/hr. Sedangkan padapenelitian ini kelompok pakan Bmengkonsumsi lemak empat kali lebihtinggi. Energi pada formula pakan Badalah bersumber dari karbohidrat danlemak. Lemak merupakan salah satusumber energi yang disimpan dalamjaringan lemak dengan bentuk trigliserida,di dalam tubuh trigliserida dapatdimobilisasi untuk mensuplai energidengan bantuan enzim lipase. Olehkarena itu penggunaan lemak tinggi

sebagai sumber energi selain karbohidratdiharapkan dapat mendepot lemak tubuh.

Konsumsi energi pada kelompokhewan yang mendapat pakan B lebihtinggi (P<0,05) jika dibandingkan denganmonyet ekor panjang yang mendapatpakan A dan C, dan kedua perlakuantersebut menunjukan tidak terdapatperbedaan konsumsi energi.

Pada pakan C energi tinggi padapakan ternyata tidak menyebabkanpenambahan bobot badan selamapenelitian. Hal ini disebabkan karenasumber energi berasal dari karbohidratdan protein yang tinggi. Nilai kalorikarbohirat dan protein (5,6 Kal) lebihrendah, jika dibandingkan dengan lemakyaitu 9 Kal (Parakkasi, 1983). Sedangkanpada formula pakan B sumber energiberasal dari karbohidrat dan lemak.

Kecernaan Semu PakanPersentase kecernaan semu monyet

ekor panjang di akhir penelitian tidakterdapat perbeda, dengan kisarankecernaan pada masing-masing MEPyang mendapat perlakuan formula pakanA, B dan pakan C seperti pada Tabel 7.Seluruh data kecernaan semu pakanpada perlakuan A, B dan pakan Cmenunjukkan angka lebih dari 90%, yangartinya kualitas ransum yang digunakanbaik. Menurut McDonald et al. (2002)bahwa, faktor-faktor yang mempenga-ruhi kecernaan adalah komposisimakanan, faktor hewan, dan faktorpemberian makanan.

Dari hasil analisis ANOVA diketahuibahwa kecernaan semu protein kasar Adan B lebih rendah (P<0,05) jikadibandingkan dengan pakan C.

Page 100: Jurnal Biologi Indonesia

391

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi Pada

Kecernaan protein kasar yang nyata lebihrendah pada perlakuan A dan B,disebabkan sumber protein pada formulaA dan B (tepung ikan dan bungkil kedelaiyang dipanaskan) kurang dapat dicernapada MEP, jika dibandingkan denganpakan C, dan juga kosentrasi proteinpakan A dan B lebih rendah jikadibandingkan dengan pakan C.

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini kelompok hewanyang mendapat pakan B mengalamipeningkatan bobot badan yang nyatasebesar 9,7% selama pengamatan,sedangkan pada monyet ekor panjangkelompok pakan A adalah sebesar 2,1%dan kelompok perlakuan pakan C terjadipenurunan bobot badan sebesar 1,3%.

Peningkatan bobot badan ini jugaberpengaruh terhadap peningkatanlingkar pinggang, tebal lipatan kulit perutdan IMT (tipe 1). Berdasarkan WorldHealth Organization (1997), IMT yaitu,lebih dari 23,0 berarti kelebihan berat(overweight), 23,0 – 24,9 berarti preobesitas, dan 25,0 – 29,9 berarti obesitasTipe I. Hasil pengamatan Putra et al.(2006), bahwa MEP di daerah pariwisatamenunjukkan rata-rata ukuran IMT 60(kg/m2) atau masuk dalam obesitas TipeII, yang disebabkan faktor lingkungan.Hal ini menunjukkan bahwa kejadianobesitas pada MEP dapat disebabkan olehfaktor lingkungan.

Rata-rata konsumsi energi padakelompok pakan perlakuan B adalah376,68 Kal/ekor/hari lebih tinggi, jikadibandingkan dengan kelompok A danpakan C adalah 305,02 Kal/ekor/hari dan

300,11 Kal/ekor/hari. Konsumsi energiyang tinggi pada kelompok pakan Bberiringan dengan adanya konsumsi yangtinggi pada bahan kering, lemak danBETN. Pada penelitian Bennet et al.(1995) melakukan intragastric feedingdengan kandungan energi pakan 600 –1050 Kal/hari pada monyet rhesus(Macaca mulatta) dan hasilnya dapatmeningkatkan bobot badan sebanyak 20-67% selama 9 tahun, sedangkan padapenelitian ini kelompok pakan B dapatmeningkatkan bobot badan sebanyak9,7% selama penelitian (enam belasminggu). Energi tinggi yang sama padasetiap formula pakan perlakuan, tenyataterdapat perbedaan konsumsi energi(P<0,05) pada kelompok pakan B, hal inidisebabkan penambahan kuning teluryang menyebabkan konsumsi yang lebihtinggi.

Dari data kecernaan semu pakandapat diketahui bahwa pakan yangperlakuan yang digunakan tercerna baikoleh tubuh yang artinya mempunyaikualitas yang baik, sehingga diharapkanpenggunaan karbohidrat dan lemaksebagi sumber energi dapat di metabolisoleh tubuh dan disimpan dalam bentuklemak tubuh.

Parakkasi (1983) menyatakanbahwa daya cerna lemak dipengaruhioleh faktor panjangnya rantai dari asam-asam lemak, berat molekul, asam lemakjenuh atau tidak jenuh, umur hewan, pHdalam usus, dan sumber-sumber protein.Dari nilai kecernaan semu pakan padakelompok yang mendapat formula pakanA dan B, menunjukkan bahwa daya cernasemu (99%) yang sama baik jikadibandingkan dengan pakan C, yang

Page 101: Jurnal Biologi Indonesia

392

Oktarina dkk

artinya sumber lemak yang digunakanpada pakan A dan B tercerna baik olehtubuh.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pusat Studi Satwa PrimataLembaga Penelitian dan PengabdianKepada Masyarakat-Institut PertanianBogor (PSSP LPPM-IPB), atas bantuanpemberian fasilitas hewan penelitian.

PT. IndoAnilab dan staff, atasbantuan dan izin penggunaan fasilitaspenelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, DA., IH. Suparto, D. Sajuthi, &IN. Budiarsa. 2007. Nutrient Intakeand Digestibility of CynomolgusMonkey (Macaca fascicularis)Fed with Obese Diet Compared toMonkey chow. InternationalSymposium on Food SecurityAgricultural development andEnviromental Conservation inSoutheast and East Asia; Bogor, 4– 6 2007. Bogor.

Bennet, BT. CR. Abee, & R.Henrickson. 1995. NonhumanPrimates in Biomedical Re-search. Academic Press.

Departermen kesehatan RI. 2004.Kecendrungan Masalah Gizi

dan Tantangan di Masa Datang.Jakarta.

Hill, JO., & JC. Peters.1996.Enviromental contribution to theobesity epidemic. Science280:1371-1374

McDonald, P. RA. Edwards, JFD.Greenhalgh, & CA. Morgan CA.2002. Animal Nutrition. 6th Ed. Prentice Hall. London.

National Reseacrh Council. 2003.Nutrient Requirement Consum-tion of Nonhuman Primate. Ed2nd Rev. Washington DC: TheNational Academic Press.

Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi danMakanan Ternak Monogastrik.Bandung: Angkasa.

Putra, IGAA., IN. Wandia, IG. Soma, &D. Sajuthi. 2006. Index massatubuh dan morfometri monyet ekorpanjang (Macaca fascicularis) diBali. J vet 7:119 – 124.

[WHO] The World Health Organization.2005. Prevelence of Obesity. http://www.who. int /mediacentre /factsheets/fs311/en/index.html.[10 September 2007].

[WHO] The World Health Organization.1997. Obesity: preventing andmanaging the global epidemic.http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/index.html.[10September 2007].

Memasukkan: Januari 2010Diterima: Mei 2010

Page 102: Jurnal Biologi Indonesia

393

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 393-403 (2010)

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif IkanTembang (Sardinella gibbosa) di Perairan Pesisir Jawa Barat

Yunizar Ernawati,1 & Mohammad Mukhlis Kamal1

1)Dept. Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-IPB, Jln Lingkar Kampus IPB Dramaga,Bogor 16680; Telp/Fax. 02518622932, Email: [email protected] /

[email protected]

ABSTRACT

Effect of Exploitation Rate on Reproductive Performance in Goldstripe Sardinella (Sardinellagibbosa) in West Java Coastal Waters. The research objective was to explore the effect ofexploitation rate on reproductive performance of goldstripe sardinella (Sardinella gibbosa).Three sites located in West Java coasts were selected representing coastal areas adjacent tothe Indian Ocean (Palabuhan Ratu), Java Sea (Blanakan), and Sunda Strait (Labuan), for fishcollection during May-July 2009. Fish samples were collected and the length was measuredprior to sex determination, observation on gonad morphology as well as gonad maturitydetermination, examination on fecundity and eggs diameter, and protein content analysis.Estimation on exploitation rate (E) was calculated based on length data performance fromwhich the result was correlated with reproductive parameters including the length at firstmaturity, fecundity, eggs distribution and diameter, and protein content analysis. By sitesbasis, variation in E was consistently shown only by eggs protein content in which the lowerthe E estimation the higher the protein contents. However, in response to E, there wereinconsistencies shown by the length at first maturity, fecundity, and eggs diameter. Suchinconsistencies are thought to be associated with population structure of matured female, andvariability in the habitat conditions which determines the magnitude of fish stock.

Key words: Sardinella gibbosa, exploitation rate, reproductive performance

PENDAHULUAN

Ikan tembang (Sardinella gibbosa)adalah ikan pelagis kecil yang ditemukanmenyebar di perairan Teluk Persia,Afrika Timur termasuk Madagaskar,Indonesia, Taiwan, Korea, Laut Arafuradan Australia bagian utara. Spesies inihidup bergerombol di perairan pesisirpada kedalaman antara 10-70 m,ditangkap dengan purse seine, seinenets, dan set net (www.fishbase.org;Fischer & Whitehead 1974; Allen 2000).

Jenis ini termasuk ikan ekonomis pentingdan merupakan salah satu targettangkapan perikanan artisanal di pesisirIndonesia.

Menurut Widodo (1988) dari 52%total tangkapan ikan pelagis di Indonesia,6,16% adalah ikan tembang. Berda-sarkan data Dinas Perikanan JawaTengah, Raharjo (1995) melaporkanpotensi lestari ikan pelagis kecil di LautJawa dengan tolok ukur purse seinesebesar 132.240 ton/tahun. Pada tahun2002, tingkat pemanfaatannya di propinsi

Page 103: Jurnal Biologi Indonesia

394

Ernawati, & Kamal

sebesar 132.240 ton/tahun. Pada tahun2002, tingkat pemanfaatannya di propinsitersebut sudah mencapai 154,96% dari525.610 ton potensi lestari. Laju eksploi-tasi ikan pada kondisi tangkap lebih(overfishing) mengakibatkan penurunanbiomas tangkapan dan jumlah ikanberukuran besar (King 1997). Dengandemikian, struktur populasi ikan akandidominasi oleh individu berumur mudadan berukuran kecil, yang dapatmereduksi keragaan reproduksi. Hasilpenelitian terhadap beragam spesies ikanlaut, dari beberapa peneliti (Kjesbu 1989;Chambers & Legget 1996; Chambers &Waiwood 1996; Chambers 1997; Trippelet al. 1997; Trippel 1998; Platten 2004),berhasil membuktikan bahwa tekananpenangkapan menurunkan keragaanreproduksi yang diawali denganpenurunan ukuran ikan memijah pertamakali (length at first spawner). Berikut-nya, pada ikan betina, kondisi ini akanmenurunkan fekunditas dan ukurandiameter telur, sehingga viabilitas embriodan larva menjadi rendah, yang puncak-nya dapat mengurangi keberhasi-lanrekrutmen ikan di alam.

Penelitian ini bertujuan untukmengkaji keterkaitan laju eksploitasidengan keragaan reproduksi ikantembang. Pendekatan yang digunakanadalah eksplorasi langsung dari datapanjang dan parameter reproduksi ikanyang tertangkap dari tiga lokasi di pesisirJawa Barat.

BAHAN DAN CARA KERJA

Lokasi penelitian dibagi berdasarkanaktifitas perikanan dan batas perairan

pesisir, yakni Teluk Palabuhan Ratu yangberbatasan dengan Samudera Indonesia,Pesisir Blanakan yang berbatasandengan Pantai Utara Jawa, dan PantaiLabuan yang berbatasan dengan SelatSunda, selanjutnya disebut sebagai PR,BL, dan LN (Gambar 1). Pengambilancontoh ikan dilakukan di tempatpendaratan ikan (TPI) selama Mei, Juni,dan Juli 2009 dengan interval satu bulan.

Pengambilan contoh ikan tembangdilakukan pada pendaratan pagi hari yangdiambil secara acak dari setiap bakul.Karena data yang dibutuhkan hanya datapanjang ikan, maka semua ikan contohyang diambil diukur panjang totalnyadengan menggunakan mistar padaketelitian 0,1 cm. Adapun sampel untukpengamatan paremater reproduksi dilaboratorium langsung disimpan di dalamcool box tanpa pengukuran panjangterlebih dahulu. Sampel ini ditranspor-tasikan ke Bogor untuk disimpan dalamfreezer pada suhu -30oC sebelumdianalisis lebih lanjut.

Untuk mengetahui parameterreproduksi dilakukan pengamatanterhadap jenis kelamin, tingkatkematangan gonad (TKG), fekunditas,diameter telur, dan kandungan proteintelur di laboratorium. Ikan yang disimpandalam freezer dikeluarkan dan dibiarkansampai tidak beku sebelum diukurpanjang-berat masing-masing denganketelitian 0,1 mm dan 0,01 g. Selanjutnyaikan dibedah untuk diamati jeniskelaminnya melalui pengenalan ciriseksual primer, dilanjutkan denganpengamatan morfologi dan TKG(Effendie (1979). Untuk ikan betina,pengamatan lanjutan dilakukan dengan

Page 104: Jurnal Biologi Indonesia

395

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif

penghitungan fekunditas dan pengukurandiameter telur. Sebagian telur dikondisi-kan kembali pada suhu -30oC untukdianalisis kadar proteinnya.

Penentuan laju eksploitasi (E)berdasarkan data ukuran panjang ikanyang dicatat di lapangan dan dilaboratorium. Perhitungan dilakukandengan bantuan program FISAT II versi1.2.2 untuk mencari nilai panjangmaksimum (Linf), koefisien pertumbuhan(k), dan laju mortalitas total ikan (Z)(Pauly 1984; Sparre & Venema 1999).Dengan memasukkan data suhu perairan(T), laju mortalitas alami (M) diketahuimenurut rumus empiris Pauly (1984)yaitu:Log(M) = -0,0066 – 0,279Log(Linf) +0,6543(k) + 0,4634(T).

Selanjutnya mortalitas akibat penang-kapan (F) dihitung sebagaiF = Z – M, sehingga E = F/Z.

Ukuran ikan pertama kali memijahdiduga dengan kurva logistik, yakni 50%dari seluruh ikan yang tertangkap yangditemukan matang gonad. Fekunditastotal (F) ditentukan dengan metodegabungan volumetrik dan gravimetrik.Hubungan F dengan panjang total ikan(L) ditentukan berdasarkan persamaanF = a Lb ; a dan b = konstanta hasil regresi(Effendie, 1979). Penghitungan kadarprotein (%) menggunakan persamaan(Simamora 2000):

= (T – B) x 0,014 x Normalitas HCl x 6,25 x 100 bobot sampel

T = ml tiran, N = 0,030246 N

Data yang diperoleh baik sebagainilai rataan (statistik parametrik) maupunnilai tengah (non-parametrik) dibanding-kan pada selang kepercayaan 95%(Fowler & Cohen, 1997).

Gambar 1. Sketsa lokasi pengambilan contoh ikan tembang (S. gibbosa) di Palabuhan Ratu,Blanakan, dan Labuan.

Pelabuhan Ratu

Labuan Blanakan

Page 105: Jurnal Biologi Indonesia

396

Ernawati, & Kamal

HASIL

Komposisi tangkapan ikan tembangIkan tembang yang terkumpul dari

tiga lokasi pengambilan contoh selamapenelitian berjumlah 625 ekor, di manaikan tembang terbesar ditemukan di PR,sedangkan yang terkecil mendominasihasil tangkapan LB. (Tabel 1). Berdasar-kan panjang, ukuran panjang ikantembang dibagi menjadi 11 kelas denganinterval 8 mm. Jumlah ikan terbanyakterdapat pada kelas ukuran 149-158 mm(BL), diikuti 129-138 mm (PR), dan 119-128 mm (LB) (Gambar 2). Secara rerataikan tembang BL memiliki ukuranterbesar (P<0,05) dibandingkan denganPR dan LB. Ukuran tangkap ikantembang PR lebih besar dibandingkandengan LB (P<0,05).

Laju eksploitasi ikan tembangNilai dugaan laju eksploitasi (E)

berkisar antara 0,53-0,64, di mana yangtertinggi adalah LB, diikuti BL dan PR(Tabel 2). Nilai E>0,5 merupakan indikasidari kondisi tangkap lebih terutama akibatpenangkapan, di mana penurunan

populasi paling cepat terjadi di LB.Membandingkan Gambar 2 dengan Tabel3, meskipun ikan terbesar tertangkap diPR, tetapi menurut jumlah ikan pada kelasukuran 149-156 mm proporsinya palingtinggi ditemukan di BL, sehingga rerataukuran terbesar diperoleh di lokasitersebut. Nilai Linf dan k terhadap E diLB tidak seperti yang diharapkan, yakniE tertinggi berasosiasi dengan Linfterendah dan k tertinggi .

Ukuran ikan pertama kali memijahJumlah ikan yang ber-TKG IV

sebanyak 87 ekor (13,9% total sampel),yang terdiri dari 12 dan 10 (PR), 25 dan15 (BL), dan 17 dan 8 ekor (LB). Padatitik potong 50% ukuran memijah, ukuranjantan adalah 153,5; 157; dan 140 mm,sedangkan betina adalah 163; 165; dan142,5 mm pada ketiga lokasi tersebut.Ikan tembang betina memijah padaukuran yang lebih besar dibandingkandengan ikan jantan di PR dan BL(P<0,05), sedangkan di LB tidak berbedanyata. Secara keseluruhan, ukuran ikanmemijah pertama kali terbesar di BL, danterkecil di LB (P<0.05). Meskipun E

Lokasi Bulan pengambilan contoh pada tahun 2009 Total Mei Juni Juli Palabuhan Ratu P (mm) 137,81 ± 8,73 155,61 ± 15,33 n.a 142,63 ± 13,45 B (g) 24,78 ± 4,68 33,59 ± 9,78 n.a 27,16 ± 7,54 N 151 56 n.a 207 Blanakan P (mm) 165,66 ± 9,13 158,20 ± 9,37 154,77 ± 6,65 158,53 ± 9,26 B (g) 43,48 ± 7,38 38,68 ± 6,81 35,62 ± 4,60 38,53 ± 6,83 N 44 60 78 182 Labuan P (mm) 151,09 ± 5,70 130,91 ± 9,21 120,75 ± 5,52 134,01 ± 14,42 B (g) 30,94 ± 3,99 20,78 ± 4,49 15,49 ± 2,37 22,28 ± 7,40 N 77 78 81 236

Tabel 1. Komposisi tangkapan ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan panjang, berat danjumlah sampel menurut tempat dan waktu.

Page 106: Jurnal Biologi Indonesia

397

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif

 

010203040506070

Jum

lah

ikan

010203040506070

Kelas ukuran panjang (mm)10

9-116

117-1

24

125-1

32

133-1

40

141-1

48

149-1

56

157-1

64

165-1

72

173-1

80

181-1

88

189-1

960

10203040506070

N=207

N=182

N=236

PR

BL

LB

Gambar 2. Distribusi ukuran ikan tembang (S. gibbosa) di setiap lokasi penelitian

Gambar 3. Ukuran pertama kali memijah pada ikan tembang (S. gibbosa).

 

Panjang total (mm)

0 212

012

412

813

213

614

014

414

815

215

616

016

416

817

217

618

018

418

819

219

620

00

25

50

75

100

Prop

orsi

kem

atan

gan

(%)

0

25

50

75

100Palabuhan RatuBlanakanLabuan

jantan

betina

Lokasi Linf k M Z F E

PR 203,18 0.97 1,97 4,20 2,23 0,53

BL 192,68 1.10 2,15 4,99 2,83 0,57

LB 203,18 0.60 1,44 3,95 2,51 0,64

Tabel 2. Nilai dugaan parameter L” (per tahun), k (per tahun), M, Z, F, dan E populasi ikantembang (S. gibbosa) di Teluk Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL) dan Labuan (LB).

Page 107: Jurnal Biologi Indonesia

398

Ernawati, & Kamal

lebih rendah, namun ikan di PR memijahlebih cepat dibandingkan dengan BL yangE nya lebih tinggi (0,53 : 0,57).

Fekunditas ikan tembangFekunditas total ikan tembang (S.

gibbosa) secara keseluruhan antara10.872-149.853 butir. Median fekunditastertinggi ditemukan di BL yaitu 63.261butir pada panjang rata-rata 165 mm.Sedangkan median fekunditas rata-rataterendah terdapat di PR, meskipunsebaran nilai maksimum dan minimumlebih luas dibandingkan LB (Gambar 4).Hasil konsisten diperoleh di BL, yakniukuran memijah terbesar berasosiasidengan fekunditas tertinggi (P<0,05).Tidak ada hubungan antara panjangdengan fekunditas ikan (R2 < 20%).

Meskipun ukuran panjang total berbedasatu sama lain (P<0,05), namunfekunditas ikan PR dan LB tidak berbedanyata.

Diameter telurJumlah butir telur yang diukur

diameternya berjumlah 8.700 terdiri dari2.200 (diameter 0,40 ± 0,12 mm), 4.000(0,36 ± 0,10), dan 2.500 (0,36 ± 0,11 mm)(Gambar 5)dari lokasi PR, BL, dan LB.Morfologi telur ikan tembang secaraumum berbentuk bulat. Sebarandiameter telur memperlihatkan bahwatelur ikan tembang di PR lebih besardibandingkan lokasi lainnya (P<0,05).Ukuran diameter telur ikan antara BL danLB tidak berbeda nyata. Lokasi PRdengan E terkecil dan memiliki ukuran

 

Lokasi pengambilan contoh

Panj

ang

tota

l (m

m)

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

Feku

ndita

s to

tal (

butir

)

0.0

2.0e+4

4.0e+4

6.0e+4

8.0e+4

1.0e+5

1.2e+5

1.4e+5

1.6e+5

Palabuhan Ratu Blanakan Labuan

Gambar 4. Panjang total (histogram) dan fekunditas (box plot) ikan tembang (S. gibbosa).

 

Lokasi pengambilan contoh

Palabuhan Ratu Blanakan Labuan

Dia

met

er te

lur (

mm

)

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

0.50

0.55

Gambar 5. Distribusi ukuran diameter telur ikan tembang (S. gibbosa).

Page 108: Jurnal Biologi Indonesia

399

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif

ikan terbesar, diameter telur nya terbesar.

Kandungan protein telurSecara rerata, kandungan protein

telur ikan tembang tertinggi ditemukan diPR (24,88%), disusul BL (22,54%), danLB (20,79%), yang mana PR berbedanyata dengan LB (P<0,05) (Gambar 6).Meskipun perbedaan konsentrasi tersebutsatu sama lain tidak berbeda nyata,namun ikan tembang PR dengan Eterkecil dan diamater telur terbesarcenderung mengandung protein teluryang lebih banyak.

PEMBAHASAN

Eksplorasi analisis terhadap datapanjang ikan tembang diperoleh nilaikisaran E antara 0,53 – 0.64. Denganmenggunakan E sebagai proxy tingkatpemanfaatan terhadap stok unit ikantembang di tiga lokasi, respon dari kera-gaan reproduksi ikan tersebut ditemukankonsisten pada prosentase kandunganprotein telur. Protein merupakankomponen dominan kuning telur,sedangkan jumlah dan komposisinyamenentukan besar kecilnya ukuran telur(Kamler, 1992; Riis-Vestergaard 2002).

Parameter reproduksi lainnya yaituukuran pertama kali memijah, fekunditas,dan diamater telur memperlihatkanrespon yang variatif antar lokasi terhadapE. Gejala penurunan ukuran pertama kalimemijah merupakan respon yang biasaditemukan di perairan dengan intensitaspenangkapan yang tinggi. Hal inidikarenakan eksploitasi akan menghilang-kan terlebih dahulu ikan-ikan yangberukuran lebih besar dan berumur lebihtua (King 1997; Oddone et al. 2005;Cubillos et al. 2008). Meskipun E terting-gi di LB direspon dengan baik olehukuran pertama kali memijah yangterkecil, namun hasil yang berlawananditemukan antara PR dengan di BL.Demikian pula halnya fekunditas tertinggitidak ditemukan di PR melainkan di BL.Sebaliknya untuk diameter telur, lajueksploitasi terendah di PR direspondengan ukuran diameter telur terbesar,namun tidak ada perbedaan yangsignifikan antara BL dan LB. MenurutPlatten (2004), diameter telur yang lebihkecil ditemukan pada populasi ikan betinadi daerah penangkapan yang intensif.Ukuran telur dipakai untuk menentukankualitas kandungan kuning telur (Effendie1979), yaitu yang berukuran besar

 

Lokasi pengambilan contoh

Kan

dung

an p

rote

in (%

)

0

5

10

15

20

25

30

35

Palabuhan Ratu Blanakan Labuan

Gambar 6. Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) pada 3 lokasi penelitian

Page 109: Jurnal Biologi Indonesia

400

Ernawati, & Kamal

mempunyai kualitas yang lebih baik danakan menghasilkan larva yang berukuranlebih besar daripada telur yang berukurankecil (Kjesbu 1989; Chambers &Waiwood 1996; Chambers 1997; Trippelet al. 1997; Trippel 1998; Platten 2004),sehingga dapat menentukan sintasanlarva dan keberhasilan rekrutmen.

Adanya inkonsistensi antara lajueksploitasi dengan data keragaanreproduktif pada ikan tembang dapatdisebabkan oleh faktor internal dan faktoreksternal. Faktor internal dipengaruhioleh ukuran dan frekuensi pemijahaninduk ikan. Banyak peneliti (Kjesbu1989; Chambers & Waiwood 1996;Chambers 1997; Trippel et al. 1997;Trippel 1998; Platten 2004) memperolehbukti berdasarkan eksperimen labora-torium bahwa fekunditas dan ukurandiameter telur bergantung kepadakualitas dan frekuensi pemijahan dariinduk betina. Induk yang berumur tuadan berukuran besar memiliki fekunditasyang lebih tinggi, diameter telur yang lebihbesar, dan kandungan protein yang lebihtinggi. Kemudian induk yang telahmemiliki pengalaman memijah sebelum-nya (repeated spawner) akan memper-lihatkan superioritasnya terhadap indukyang baru pertama kali memijah (firstspawner). Contoh terbaru dari Vande-perre & Methven (2006), pada ikan cod(Gadus morhua) memperkuat bukti-bukti tersebut. Pada penelitian ini yangberbasis kepada data dan informasi dilapangan tidak dapat membedakanapakah induk tersebut sudah pernahmemijah sebelumnya atau untuk yangpertama kali. Hal ini sulit dilakukankarena ikan tembang (S. gibbosa)

termasuk ikan yang berukuran kecildengan panjang maksimum antara 17-19cm.

Faktor eksternal penyebab inkonsis-tensi antara E dengan respon keragaanreproduktif adalah variasi kondisi habitatyang berimplikasi perbedaan besaranstok ikan tembang dan aktifitas perikanantembang. Berdasarkan data statistikperikanan di tiga lokasi selama 5-10tahun, produksi tangkapan PR, BL, danLB dalam ton/tahun adalah 218,65±89,90(tahun 1996-2005), 4560,46±1075,49(tahun 2002-2006), dan 2062,82±472,18(tahun 2001-2005) ton/tahun. Informasiini meng-gambarkan adanya perbedaandalam kegiatan perikanan tembang diketiga lokasi tersebut, di mana hasiltangkapan tertinggi terjadi di BL,sedangkan terendah di PR. Perairan BLmerupakan perairan tipikal pantai utaraJawa yang dangkal dengan kedalamanrata-rata 20 m, memiliki hutan mangrovebinaan yang terpelihara. Sebagai contoh,hasil-hasil penelitian sebelumnya(Martosubroto & Sudrajat 1974; Mansonet al. 2005) menyimpulkan bahwaekosistem mangrove sangat pentingperanannya dalam menyumbangproduksi tangkapan ikan di wilayah pesisir,baik perikanan demersal maupun pelagis.Luasan perairan dangkal dan kondisimangrove di PR dan LB tidak seluas dansebaik BL, sehingga dapat diduga bahwahabitat dan produktivitas baik secarakuantitas maupun kualitas di BL lebih baikdibanding PR dan LB. Dengan demikiandapat diduga bahwa populasi ikantembang di perairan Blanakan tertinggidaripada lokasi lainnya.

Page 110: Jurnal Biologi Indonesia

401

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif

KESIMPULAN

Hubungan antara laju eksploitasi dengankeragaan reproduktif ikan tembang hanyasecara direspon oleh kandunganprosentase protein telur, yakni kandunganprotein tertinggi berasosiasi dengantingkat eksploitasi terendah. Parameterreproduksi lainnya yaitu ukuran memijahpertama kali, fekunditas, dan diametertelur berfluktuatif dan tidak konsistendengan pola E. Inkonsistensi tersebutdiduga tidak dilakukannya pemisahanantara individu betina pemijah pertamadengan pemijah ulangan, serta dipenga-ruhi oleh kondisi habitat dan besaran stok.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan terimakasihkepada Dilmaga Hari, S.Pi., MuhamadAnhar, Rikky J Simanjutak, S.Pi, danAlsade Sihotang yang mengumpulkansampel ikan tembang dari ketiga lokasi,proses analisis di laboratorium, danmengolah sebagian data penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

ABL Tour & Travel. 2010. Map of WestJava; www.com/jabar/map.htm.

Allen, G.A. 2000. A field guide foranglers and divers: marinefishes of south-east Asia.Periplus Editions (HK) Ltd.Singapore.

Chambers, R.C. 1997. Environmentalinfluences on egg and propagulesize in marine fishes. Dalam :Chambers, R.C. & E.A. Trippel(eds.). Early Life History and

Recruitment in Fish Populations.Fish and Fisheries Series 21.Chapman & Hall, London, UK.63-102.

Chambers, R.C. & K.G. Waiwood.1996. Maternal and seasonaldifferences in egg size andspawning characteristics of captiveAtlantic cod, Gadus morhua L.Canadian J.Fish.Aqua. Sci. 53:1986-2003.

Chambers, R.C. & W.C. Leggett. 1996.Maternal influences on variation inegg sizes in temperate marinefishes. J. Fish Bio. 36: 180 – 196.

Cubillos, L., C. Gatica & R. Serra. 2008.Short review of natural mortalityand size at first maturity on jackmackerel (Trachurus murphyi) inthe Southeastern Pacific. ChileanJack Mackerel Workshop.CHJMWS pap # 14.

Effendie, M.I. 1979. Metoda BiologiPerikanan. Yayasan Dewi Sri;Bogor. 111h.

Fischer, W, & P.J.P. Whitehead. 1974.FAO species identification sheetsfor fishery purposes. EasternIndian Ocean (fishing area 57) andWest Central Pacific (fishing area71). Vol.3. Rome, Italy.

Fowler, J. & L. Cohen. 1997. Practicalstatistics for field biology. JohnWiley & Sons Inc. Chichester,New York, Brisbane, TorontoSingapore.

Kamler, E. 1992. Early life history offish: An energetic approach.Chapman & Hall, London.

King, M. 1997. Fisheries biology,assessment and management.

Page 111: Jurnal Biologi Indonesia

402

Ernawati, & Kamal

Fishing News Book, BlackwellScience Inc. USA, Canada, andAustralia.

Kjesbu, O.S. 1989. The spawningactivity of cod, Gadus morhua L.J. Fish Biol. 34: 195-206.

Manson, F.J., N.R. Loneragan, B.D.Harch, G.A. Skilleter & L.Williams. 2005. A broad-scaleanalysis of links between coastalfisheries production and mangroveextent: A case study for north-eastern Australia. Fish. Res. 74:69-85.

Martosubroto, P. & Sudrajat. 1974. Astudy on some ecological aspectand fisheries of Segara Anakan inIndonesia. Publ. of FisheriesResearch Institution. LPPL, 1/73:73-84.

Oddone, M.C., L. Paesch & W. Norbis.2005. Size at first sexual maturityof two species of rajoid skates,genera Atlantoraja and Dipturus(Pisces, Elasmobranchii, Rajidae)from the south-western AtlanticOcean. J. App. Ichth. 21(1): 70-72.

Pauly, D. 1984. Fish populationdynamics in tropical waters : amanual for use with program-mable calculators. ICLARM.Manila. Filipina.

Pauly, D. & R. Froese. 2010. Speciessummary; www.fishbase.org/Summary/ speciesSummary.php?ID=1 508&genusname= Sardinella& s p e c i e s n a m e = g i b b o s a &lang=English.

Platten, J.R. 2004. The Reproduction,Growth, Feeding and Impacts of

Exploitation of the Venus Tuskfish(Choerodon venustus) With someimplications for its management.[PhD Thesis]. Queensland:University of Queensland.

Raharjo, R. 1995. Analisis Hasil Tangkapdan Musim Penangkapan ikantembang (S. fimbriata) di PantaiUtara Jawa Teangah yang didarat-kan di PPI Juwana. [Skripsi].Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Riis-Vestergaard, J. 2002. Energydensity of marine pelagic fish eggs.J. Fish Biol. 60: 1511-1528.

Simamora, D. 2000. Kajian morfologi,perilaku, habitat dan analisisproksimat anjing tanah (Gryllotal-pa sp.) dari Balige Sumatera Utara[tesis]. Bogor: Institut PertanianBogor. Bogor. 73 hlm.

Sparre, P. & S.C. Venema. 1999.Introduksi pengkajian stok ikantropis buku-i manual (EdisiTerjemahan). Kerjasama Organi-sasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitiandan Pengembangan Perikanan,Badan Penelitian dan Pengemba-ngan Pertanian. Jakarta.

Trippel, E.A., O.S. Kjesbu & P. Solemdal.1997. Effect of adult age and sizestructure on reproductive output inmarine fishes. Dalam Chambers,R.C. & E.A. Trippel (eds.). EarlyLife History and Recruitment inFish Populations. Fish and Fishe-ries Series 21. Chapman & Hall,London, UK. 31-62.

Trippel, E.A. 1998. Egg size and viabilityand seasonal offspring production

Page 112: Jurnal Biologi Indonesia

403

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif

of young Atlantic cod. Trans.Amer. Fish. Soc. 127: 339-359.

Vandeperre, F. & D.A. Methven. 2006.Do bigger fish arrive and spawn atthe spawning ground before smallerfish: Cod (Gadus morhua)predation on beach sapwningcapelin (Malotus villosus) fromcoastal Newfoundland. Estu.Coas. Shelf Sci. 71: 391-400.

Memasukkan: Januari 2010Diterima: Mei 2010

Widodo, J. 1988. Dynamic pool analysisof the ikan layang (Decapterussp.) fishery in the Java Sea. Mar.Fish. Res.J. 48: 67-78.

Page 113: Jurnal Biologi Indonesia

405

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 405-414 (2010)

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis) di EcologyPark, Cibinong Berdasarkan Sekuen DNA dari Mitokondria d-loop

Dwi Astuti & Hellen KurniatiBidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Cibinong Science Centre, Jl. Raya Jakarta-

Bogor KM 46, Cibinong. Email: [email protected]

ABSTRACT

Genetic Diversity of Amphibia (Rana nicobariensis) at Ecology Park, Cibinong Based onDNA Sequences of Mitochomndrial d-Loop. The 397- base pairs from ten nucleotide sequencesof mitochondrial d-loop region were determined and analyzed in object to study the geneticdiversity of frog Rana nicobariensis at Ecology Park, Cibinong, West Java. There were sixhaplotypes from 10 individuals collected from Ecology Park. Haplotype and nucleotide oramino acid diversities in Ecology Park were 0.964 and 0.0064 respectively.

Key words: Genetic diversity, Rana nicobariensis, Ecology Park Cibinong, DNA sequences,mitochondrial-d-loop

PENDAHULUAN

R. nicobariensis adalah jenis kodokyang distribusinya sangat luas di AsiaTenggara yaitu mulai dari Thailand bagianselatan, Semenanjung Malaysia,Kepulauan Nicobar, Filipina, Sumatra,Kalimantan dan Jawa (IUCN 2009).Jenis kodok ini termasuk dalam kelompokjenis non-hutan, yang banyak dijumpaipada hasil modifikasi manusia (Inger &Lian 1996; Inger & Stuebing 1996).

Areal Ecology Park di Cibinongmerupakan suatu ekosistem lahan basahyang dibuat pada tahun 2000. Habitatini telah dihuni 11 jenis kodok yangtermasuk dalam kelompok non-hutan(Kurniati & Astuti 2009). Melihatekosistem lahan basah di areal EcologyPark yang masih relatif baru, maka adakemungkinan bahwa fauna amfibia yangada di area ini berasal dari berbagai

populasi di sekitarnya atau dari lokasi lain.Dari 11 jenis kodok yang dijumpai diEcologi Park, salah satunya, yaitu R.nicobariensis mempunyai distribusivertikal yang luas, mulai dari 0 metersampai 1500 meter dari permukaan laut(dpl) (Kurniati et al. 2000; Kurniati 2006),dan merupakan satu dari jenis kodok yangmendominasi di area tersebut dan belumpernah dikaji keragaman genetiknya.Kajian keragaman genetik sudah banyakdilakukan dengan menggunakan penandadari DNA mitokondria. Maka, penelitianini bertujuan untuk mengetahui kera-gaman genetik di antara individu-individuR. nicobariensis pada Ecology Parkberdasarkan penanda molekuler genommitokondria ruas d-loop. Dalam penelitianini juga dianalisis individu-individu R.nicobariensis dari Halimun dan Sibolgasebagai pembanding.

Page 114: Jurnal Biologi Indonesia

406

Dwi Astuti & Hellen Kurniati

DNA mitokondria (mtDNA) memili-ki nilai penting dalam berbagai kajiankeragaman genetik. Total panjang darimtDNA telah dideterminasi pada 56 jenishewan vertebrata (Boore 1999) danberukuran mulai dari 16 hingga 20 kbp(kilo base pairs), tetapi kadang-kadangberukuran 15 hingga 21 kbp (Sano et al.2005). mtDNA ini berbentuk lingkarandan terdiri dari 37 gen 2 rRNAs, 13 genpengkode protein, 22 tRNAs, dan daerahnon-coding yang biasa disebut ControlRegion atau d-loop yang mengandungsinyal untuk replikasi dan transkripsiDNA (Wolstenholme 1992).

Pada kelompok hewan amfibia, telahdipublikasikan sekuen utuh dari mtDNApada jenis-jenis Xenopus laevis (Roe etal. 1985), Typholonectes natans(Zardoya & Meyer 2000), dan enam jenisranoid (Ranoidae): R. Nigromacu-lata(Sumida et al. 2001), Fejervaryalimnochairs (Liu et al. 2005), Buergeriabuergeri (Sano et al. 2004), Rhacopho-rus schegelii (Sano et al. 2005) danPolypedates megacephalus (Zhang etal. 2005). Sedangkan secara parsial,fragmen DNA d-loop pada beberapajenis dari amfibia dari Ranoidae (e.g.Feller & Hedges 1998; Sumida et al.2000; Macey et al. 2001) juga telahdipublikasikan. D-loop sangat potensidigunakan untuk mengkaji variasi,keragaman dan struktur genetik populasipada satu jenis hewan. D-loop di dalammtDNA merupakan bagian yangmemiliki kecepatan evolusi tinggi (Brown1985), juga memilki fragmen pendekyang konservatif (Clayton 1992). Padabeberapa kelompok hewan, daerahnoncoding dari mitokondrial DNA juga

disebut sebagai suatu control regionatau diplacement loop (d-loop) regiondan dapat menjadi suatu marka genetikdi dalam pengungkapan struktur genetikapopulasi dan filogeni intraspecies (Hoelzel1993; Pollock et al.2000; Bruford et al.2003; Ross et al. 2003)

BAHAN DAN CARA KERJA

Koleksi material sumber DNA .Sepuluh material DNA dikoleksi dari

10 individu R. nicobariensis dilakukandi areal Ecology Park Cibinong(Gambar 1) selama lima kali survei.Sebagai pembanding dianalisis jugamaterial DNA yang dikoleksi dariHalimun Jawa Barat dan Sibolga,Sumatra Utara sebanyak 7 sampel.

Analisis DNA mitokondria d-loopMaterial DNA diekstrasi dari koleksi

jaringan dan daging yang dipreservasidalam ethanol absolute, denganmenggunakan “DNA Mini QIAGENKIT”. Metode ekstraksi yang dipakaimengikuti standar protokol yangdianjurkan QIAGEN KIT dengan sedikitmodifikasi pada tahap inkubasi-2 yaitudengan suhu 56º C, dan tahap pencuciandengan larutan AW2. Molekul DNAyang diperoleh disimpan dalam freezeratau refrigerator dan selanjutnyadigunakan sebagai template dalam prosesamplifikasi fragmen d-loop memaluiPCR.

Amplifikasi fragmen DNA padadaerah d-loop dilakukan denganmenggunakan sepasang primer DNA,yaitu 327-L dan 885-H (Jing Zhong etal., 2008), pada kondisi PCR 96 ºC-4

Page 115: Jurnal Biologi Indonesia

407

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis)

menit, 30 siklus dari (94 ºC-1 menit , 50ºC- 1 menit, 72 ºC- 1, 5 menit), dan 72ºC-7 menit. Larutan reaksi PCR dibuatdalam 30μL dengan komponen dankonsentrasi akhir terdiri dari 1 μL DNA,10X Taq Buffer, 0,2 mM dNTPs, 2 mMMgCl2, 0,1 U Taq DNA Polimerase(ApliTaqGold/Takara), primer 327-L dan885-H masing-masing 0,25 mM, dan airnanopure.

Fragmen d-loop yang berhasildiamplifikasi, kemudian dimurnikan dandisekuen runutan basa nukleotidanya.Sekuensing dilakukan dua arah (Forwarddan Reverse), masing-masing denganmenggunakan primer 327-L dan 885-H.

Urutan basa pada daerah d-loophasil dari proses sekuensing, kemudiandianalisis alignment (saling disejajarkan)dengan bantuan perangkat lunakProSequen. Oleh karena prosessekuensing tidak berhasil mensekuensemua basa nukleotida dengan jelas,maka bagian data sekuen DNA yangtidak jelas tidak digunakan dalam analisisberikutnya. Sehingga jumlah basa

nukleotida yang dianalisis untukmengetahui keragaman genetik diantaraindividu-individu R. nicobariensis hanyasepanjang 395 pasang basa.

Analisis data sekuen juga dilakukanuntuk mengetahui beberapa karakterurutan basa nukleotida pada d-loopRana yang dianalisis, diantaranya adalahmenghitung komposisi basa . Data danhasil analisis jarak genetik dan sekuendivergensi, variasi sekuen, dan nilaidiversitas nucleotida atau asam amino (pi(ð) berdasarkan Tajima’s Neutrality Testdiantara individu-individu R. nicobarien-sis baik di dalam maupun diantarapopulasi diperoleh dengan bantuanperangkat lunak MEGA 3. Tipe, jumlah,nilai diversitas haplotipe (Hd) dihitungdengan bantuan perangkat lunakDNAsp. Untuk mengetahui pengelompo-kan dan kedekatan diantara individu-individu R. nicobariensis, makadikonstruksi pohon neigborn-joining(NJ) dengan bantuan perangkat lunakMEGA-3, dan 2 individu Rananigromaculata (GenBank AY612275

 

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel material sumber DNA R. nicobariensis

Page 116: Jurnal Biologi Indonesia

408

Dwi Astuti & Hellen Kurniati

dan AY612276) digunakan sebagaispesies outgroup.

HASIL

Amplifikasi fragmen d-loop denganmenggunakan sepasang primer 327-Ldan 885-H tidak mudah dilakukan padaR. nicobariensis. Namun demikian pada17 individu, d-loop dapat diamplifikasidan menghasilkan fragmen DNA diatasatau sekitar 500 bp. Pada awalnya,primer ini dipilih karena pada publikasisebelumnya ( Zhong Jing et al. 2008)fragmen d-loop yang dihasilkanmenunjukkan adanya variasi sekuenDNA yang tinggi diantara individu-individu maupun populasi pada margaFejervarian.

Pada penelitian ini data sekuen DNAd-loop dari spesies ingroup yang akandianalisis adalah sepanjang 395-bp,sedangkan data sekuen dari spesiesoutgroup pada posisi yang sama hanyaada sepanjang 377-bp. Semua datasekuen dari spesies ingroup ketikadisejajarkan dengan data sekuen spesiesoutgroup, terdapat 2 basa yangmengalami delesi sehingga panjang situsspesies ingroup menjadi 397-bp. Jadipanjang situs sekuen dari spesies ingrouplebih panjang 20 situs dari spesiesoutgroup. Oleh karena itu untukmengkonstruksi pohon filogeni dengananalisis NJ, maka data sekuen yangdigunakan hanya sepanjang 375-bp (377situs). Sedangkan untuk analisis variasigenetik diantara R. nicobariensisdigunakan data sekuen sepanjang 395-bp (397 situs).

Hasil analisis data sekuen d-loopsepanjang 395-bp pada semua individuR.nicobariensis yang diteliti, menunjuk-kan bahwa presentase basa timin (T) =27,7 %, sitosin (C) = 26,2 %, adenin (A)= 33,9 %, dan guanin (G) = 12 %. Jaditimin + adenin (AT) sebesar 61, 6 %dan sitosin + guanin (GC) = 38,4 %. Darikomposisi tersebut menunjukkan bahwakomposisi AT jauh lebih banyak dari GC,dengan kata lain sekuen d-loop padaRana ini adalah AT-rich. Substitusi basayang bersifat transversi (ts = 6) terjadilebih banyak dibandingkan yang bersifattransisi (ti =4), sehingga rasio ti/tv adalah0,7.

Rata-rata jarak genetik berdasarkanKimura 2-parameter diantara individupada populasi Ecology Park adalah0.0065 ± 0.0025, sedangkan pada analisislain yang diambil dari Halimun 0.0106 ±0.0036 dan 0.0068 ± 0.0031 pada Sibolga.Sementara rata-rata jarak genetik antarapopulasi Ecology Park –Halimunadalah 0.0170 ± 0.0064, Ecology Park-Sibolga adalah 0.0212 ± 0.0065, danHalimun-.Sibolga adalah 0.0241± 0.0066.Jadi, divergensi sekuen berdasarkan padaEcology Park adalah 0.65 %, dansecara berturut-turut pada Halimun danSibolga adalah 1,06 % dan 164. 0,68 %.

Hoplotipe dalam populasi R.nicobariensis.

Sekuen DNA sepanjang 395-bp (397situs) dari tiap individu R. nicobariensispada Ecology Park Cibinong dan jugadari Kawasan Gn. Halimun, dan Sibolgayang dianalisis memperlihatkan adanyasejumlah haplotipe. Dari 17 individu yangdianalisis terdapat 13 haplotipe, 6

Page 117: Jurnal Biologi Indonesia

409

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis)

haplotipe diantaranya dijumpai pada 10individu yang terdapat pada EcologyPark. Enam tipe haplotipe pada EcologyPark terdiri dari Hap-1 (1 individu), Hap-2R (2 individu), Hap-3R (3 individu),Hap-4R (1 individu), Hap-5R (1 individu),dan Hap-6R (2 individu). Sedangkan tipehaplotipe lainnya terdapat pada sampelyang berasal dari Halimun dan Sibolga.Jumlah dan tipe haplotipe dari R.nicobariensis digambarkan pada Tabel1.

Dari analisis data sekuen DNA yangdiperlihatkan pada Tabel 1 terlihat bahwa,di dalam sekuen DNA d-loop sepanjang395-bp (397 situs) pada R. nicobariensisdari populasi Ecology Park, terjadisubstitusi basa pada 6 situs sekuen, yaituberturut-turut situs nomer 51, 58, 225,244, 359, dan 379.

Nilai diversitas haplotipe R.nicobariensis pada Ecology Parkadalah 0,889 sedangkan pada Halimundan Sibolga secara berturut-turut adalah1,000, dan 1,000, dan semua 3 populasiadalah 0,971. Nilai diversitas nucleotidaatau asam amino (pi (ð) pada populasi diEcology Park berdasarkan Tajima’sNeutrality Test sebesar 0,0058 ,sedangkan di Halimun dan Sibolga adalah0.0093 dan 0.0067, dan pada 3 populasiadalah 0.0144. Homogeinity testdiantara individu-individu pada EcologyPark menghasilkan nilai yang bervariasidari 0,1010 hingga 1,0000, dimana nilai1,000 berjumlah 26 dari 45 pasangan datasekuen yang ada, sedangkan padaHalimun 0,3200-1,0000, dan 1,000 padaSibolga.

Table 1. Haplotipe dari 17 individu R. nicobariensis pada 3 lokasi berbeda, yaitu EcologyPark(EPn), Taman Nasional Gunung Halimun (Hal) dan Sibolga (Sib).

No. Kode

sampel jaringan

Posisi basa nukleotida Kode

haplotipe (Hap)

22

34 51 58

101

133

144

173

225

226

244

282

314

330

359

379

1 EPn1 A A G C A T T C T A A C A G C C Hap-1R 2 EPn2 . . . T . . . . . . T . . . . T Hap-2R 3 EPn3 . . . . . . . . . . T . . . . T Hap-3R 4 EPn4 . . . T . . . . . . T . . . . T Hap-2R 5 EPn5 . . . . . . . . . . T . . . . T Hap-3R 6 EPn7 . . C T . . . . . . . . . . A T Hap-4R 7 EPn8 . . . T . . . . C . T . . . A T Hap-5R 8 EPn11 . . C T . . . . . . T . . . A T Hap-6R 9 EPn12 . . C T . . . . . . T . . . A T Hap-6R 10 EPn6 . . . . . . . . . . T . . . . T Hap-3R 11 Hal5 G . . T C . C G . . . . . . . T Hap-7R 12 Hal2 G . . T . . C G . . T . G A . T Hap-8R 13 Hal3 G C . T . . C G . . T . G . . T Hap-9R 14 Hal7 G C . T . . C . . . T T G . . T Hap-10R 15 Sib2 G . C T C A . . C T T T . . A . Hap-11R 16 Sib4 G C C T . A . . C T T T . . A T Hap-12R 17 Sib6 G C C T . A . . C T T T . . . T Hap-13R  

Page 118: Jurnal Biologi Indonesia

410

Dwi Astuti & Hellen Kurniati

Analisis neighbor-joining (NJ)Analisis NJ dilakukan untuk

mengetahui pengelompokan dari individu-individu R. nicobariensis yang diteliti.Pohon NJ dikonstruksi berdasarkananalisis seluruh jumlah substitusi basayang terjadi baik yang bersifat transisidan transversi, dan menggunakan R.nigromaculata sebagi spesies outgroup(Gambar 2). Pada pohon NJ terlihatbahwa semua individu dari EcologyPark membentuk kluster tersendiri,memisah dari individu-individu yang dariHalimun maupun Sibolga.

PEMBAHASAN

Haplotipe sebanyak 6 tipe dengannilai diversitas haplotipe dan diversitas

nukleotida yang terjadi di dalam populasiR. nicobariensis pada Ecology ParkCibinong menunjukkan bahwa terdapatkeragaman genetik diantara individu-individu yang diteliti. Hal ini dikarenakanoleh sifat sekuen DNA pada daerahmitokondria d-loop yang sudah diketahuimemiliki kecepatan substitusi basa DNAyang sangat cepat, sehingga sangatmungkin terjadi variasi genetik di antaraindividu-individu R. nicobarien-sis.Seperti yang telah dikatakan oleh Brown(1985) bahwa d-loop di dalam mtDNAmerupakan bagian yang memilikikecepatan evolusi tinggi.

Gambaran keragaman genetik inijuga dapat diasumsikan bahwa individu-individu pada populasi Ecology Park

R. nicobariensis EPn5

R. nicobariensis EPn3

R. nicobariensis EPn6

R. nicobariensis EPn1R. nicobariensis EPn2R. nicobariensis EPn4

C

R. nicobariensis EPn12R. nicobariensis EPn8

R. nicobariensis EPn11R. nicobariensis EPn7

R. nicobariensis Hal5R. nicobariensis Hal7

R. nicobariensis Hal12R. nicobariensis Hal3

R. nicobariensis Sib2R. nicobariensis Sib4

R. nicobariensis Sib6

R. nigromaculata

R. nigromaculata

43

83

100

5143

42

5363

46

61

49

0,01 

Ecology Park, Cibinong Jawa Barat 

Halimun, Jawa Barat 

Sibolga,  Sumatera 

Spesies outgroup 

Gambar 2. Pohon neigbor-joining (NJ) dari individu-individu R. nicobariensis berdasarkananalisis 375-bp (377 situs) pada DNA mitokondria d-loop. Angka-angka yang terteradi atas menunjukkan nilai bootstrap diatas 40 % .

Page 119: Jurnal Biologi Indonesia

411

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis)

tersebut kemungkinan berasal daribeberapa induk yang berbeda. Individu-individu tersebut mungkin berasal dariinduk-induk yang berbeda baik padapopulasi yang sama di daerah asalnya,atau berasal dari induk-induk padapopulasi yang berbeda pada daerah asalyang sama, ataupun berasal dari induk-induk pada populasi di daeral asal yangberbeda.

Seperti diketahui bahwa EcologyPark merupakan ekosistem bentukanbaru dimana kemungkinan keragamanjenis fauna termasuk amfibia kodok R.nicobariensis jumlah individunya relatifsedikit dibandingkan pada lokasi atauekosistem lain yang sudah lamaterbentuk, bahkan sepanjang survepengambilan sampel di Ecology Parktidak dijumpai kodok betina maupun telurkodok. Maka kemungkinannya, dugaanadanya keragaman genetik maupunadanya haplotipe-haplotipe DNA diantaraindividu-individu kodok yang diteliti,dikarenakan sebagian atau seluruhindividu-individu kodok tersebut awalnyabukan penghuni asli di Ecology Park,namun berasal dari lokasi lain baik lokasiatau ekosistem disekitar Ecology Parkmaupun dari lokasi atau ekosistem yanglebih jauh.

Menurut Inger & Voris (1993),penyebaran individu kodok yang biasanyadalam bentuk berudu dipengaruhi olehkoneksi habitat; hutan dengankeragaman jenis yang tinggi akanmembagi kekayaan jenis kodok tersebutkepada habitat lain dalam prosespemulihan apabila ada koneksi berupaparit-parit atau sungai-sungai yangmenghubungkannya. Berudu-berudu

yang penyebarannya secara pasif karenaterbawa oleh air atau banjir akanbertahan hidup pada habitat yang cocokbagi bentukan dewasanya (Cushman2006). Melihat fenomena ini,kemungkinan besar individu-individukodok R. nicobariensis datang keEcology Park masih dalam fase berududan kemudian tumbuh menjadi kodokdewasa di areal Ecology Park. Sepertidiketahui bahwa anak kodok yang masihdalam fase berudu hidup di dalam air,sehingga aliran air sungai atau air hujanbanjir, sangat memungkinkan membawaberudu kodok menuju Ecology Park.

Jika fenomena itu benar, maka adaprospek baik untuk konservasi faunakhususnya amfibia R. nicobariensis diEcology Park, karena kemungkinanterjadinya inbreeding masih relatif kecil.Namun diketahui bahwa selama survelapangan, di Ecology Park hanyadijumpai kodok-kodok jantan. Jadi untukmeningkatkan populasi kodok R.nicobariensis di Ecology Park jugaperlu dilakukan “introduce” induk betinasehingga kodok-kodok jantan dan betinadapat melakukan proses perkembangbiakan.

Meskipun terjadi haplotipe sebanyak6 pada 10 individu R. nicobariensis yangditeliti, namun nilai diversitas nukleotidaatau asam amino (pi (ð) pada populasi diEcology Park dan juga pada kesemua3 populasi (Ecology Park, Halimun, danSibolga) relatif lebih kecil jikadibandingkan dengan nilai diversitas padapopulasi dan spesies kodok lain(Fejervarya multistriata). Penelitiansebelumnya dengan menggunakanprimer DNA yang sama dan pada posisi

Page 120: Jurnal Biologi Indonesia

412

Dwi Astuti & Hellen Kurniati

fragmen DNA yang sama, diversitasnucleotida diantara individu pada satupopulasi jenis Fejervarya multistriataadalah 0,000 – 0,0130 dan 0,017 padasemua populasi (Zhong et al. 2008), dannilai diversitas haplotipenya sebesar 0,969untuk semua populasi dan bervariasi dari0,0000 hingga 1,000 di dalam populasi.Ini menunjukkan bahwa keragamangenetik di antara individu-individu R.nicobariensis pada Ecology Parkrelatif lebih kecil dibandingkankeragaman genetik pada spesies kodoklain berdasarkan segmen DNA yangsama pada DNA mitokondria d-loop.

Jarak genetik atau nilai divergensisekuen DNA diantara individu R.nicobariensis pada ekology park relatiflebih kecil dibandingkan dengan populasimaupun spesies lain. Pada amfibia kodokdi China, divergensi sekuen dari kodokPalaearctic adalah berkisar antara 0,24% - 2, 71 % (Zang et al. 2004), 1, 32 %pada Chinese giant salamander Andriasdavadianus (Tao et al. 2005), dan 1,7% pada Taipeh tree frog, Rhacophorustaipeianus (Yang et al. 1994).

KESIMPULAN

Terdapat keragaman genetik diantara individu R. nicobariensis diEcology Park Cibinong, meskipun relatiflebih kecil jika dibandingkan denganindividu pada populasi dan spesies kodoklain. R. nicobariensis yang ada diEcology Park sebagian atau semuanyakemungkinan bukan asli penghunikawasan tersebut, melainkan berasaldari kawasan lain. Perlu dilakukanpenelitian lanjutan untuk memprediksi

dari mana asal usul dari individu-individukodok di Ecology Park , sehingga perludilakukan koleksi dan analisis terhadapsampel material DNA dari individu-individu R. nicobariensis pada beberapapopulasi di Bogor dan daerah sekitarnya.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini dibiayai oleh ProgramInsentif Dikti Th. 2009. Terima kasihdisampaikan kepada sdr. Tri WahyuLaksono yang telah membantu dalampengambilan sampel DNA di lapangan,juga kepada sdri. Inda Natali dan AniekBudi Dharmayanti yang telah membantudalam proses penelitian DNA dilaboratorium genetik, Bidang ZoologiPuslit Biologi-LIPI.

DAFTAR PUSTAKA

Boore, JL. 1999. Animal mitochondrialgenomes. Nucleic Acids Res. 27:1767-1780.

Brown, WM. 1985. Evolution of theanimal mitokondrial genome. InMolecular Evolutionary Genetics.Plenum Press. New York. Pp 95-130.

Bruford, MW, DG. Bradley, & G. Luikart.2003. DNA markers reveal thecomplexity of livestock domestica-tion. Nat. Rev. Genet. 4:900-910

Clayton, DA. 1982. Replication of animalmitochondrial DNA. Cell 28: 693-705

Cushman, SA. 2006. Effects of habitatloss and fragmentation on amphi-bians: A review and prospec-tus.Biol. Conser 128(2): 231-240.

Page 121: Jurnal Biologi Indonesia

413

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis)

Feller G & SB. Hedges. 1998.Molecular evidence for the earlyhistory of living amphibians. Mol.Phylo. Evol. 9: 509-516.

Hoelzel AR. 1993. Evolution by DNAturnover in the control region ofvertebrate mitochondrial DNA.Curr Opin Genet Develop 3:891-895

Inger, RF & TF. Lian. 1996. Thenatural history of amphibiansand reptiles in Sabah.NaturalHistory Publication (Borneo). KotaKinabalu.

Inger, RF. & RB. Stuebing. 1997. AField Guide to the Frogs ofBorneo. Borneo Natural HistoryPublishers, Kota Kinabalu,Malaysia.

Inger, RF & HK. Voris. 1993. AComparison of AmphibianCommunities through Time andFrom Place to Place in BorneanForests. J. Trop. Ecol. 9(4): 409-433.

IUCN 2009. IUCN Red List ofThreatened Species. Version2009.2.<www.iucnredlist.org>.Downloaded on 20 January 2010.

Kurniati, H., W. Crampton, A. Goodwin,A. Locket & A. Sinkins. 2000.Herpetofauna diversity of Ujungkulon National Park: An inventoryresults in 1990. J. Biol. Res. 6 (2):113-128.

Kurniati, H. 2006. The amphibiansspecies in Gunung HalimunNational Park, West Java,Indonesia. Zoo Indonesia 15(2):107-120.

Kurniati, H & D. Astuti. 2009. KeragamanJenis dan Genetik Amfibia diEkosistem Buatan “Ecology Park”Kampus LIPI Cibinong. LaporanAkhir Program Insentif BagiPeneliti dan Perekayasa LembagaIlmu Pengetahuan Indonesia.Depdiknas dan LIPI, Cibinong,Desember 2009. 33 hal.

Liu et ZQ, YQ. Wang, & B. Su. 2005.The mitochondrial genomeorganization of tree frog, Fejervaryalimnocharis (Amphibia: Anura): anew gene order in the mtDNA. Gene346: 145-151.

Macey, JR., JL. Strasburg , JA.Brisson,VT. Vredenburg, M. Jennings, &A.Larson. 2001. Molecular phyloge-netics of Western North Americanfrog oh the Rana boylii species group.Mol. Phyloenet. Evol. 19: 131-143

Pollock, DD., JA. Eisen, NA. Doggett, &MP. Cummings. 2000. A case forevolutionary Genomics and thecomprehensive examination ofsequence biodiversity. Mol. Biol

Evol 17:1776-1788Roe, BA, DP. Ma, RK. Wilson & JFH.

Wong. 1985. The complete nucleo-tide sequence of the Xenopus laevismitochondrial genome. J. Biol. Chem.260: 9759-9774.

Ross, HA, GM. Lento, ML. Dalebout, M.Good, G. Ewing, & P. McLaren.2003. DNA surveillance: web-basedmolecular identification of whale,dolphins, and porpoises. J. Hered94: 111-114

Sano, N., A. Kurabayashi, T. Fujii, H.Yonekawa, & M. Sumida. 2004.

Page 122: Jurnal Biologi Indonesia

414

Dwi Astuti & Hellen Kurniati

Complete nucleotide sequence andgene rearrangement of themitochondrial genome of the bell-ring frog, Buergeria buergeri (familyRhacophoridae). Genes andGenet. Syst 79: 151-163.

Sano N, A. Kurabayashi, T. Fujii, H.Yonekawa, & M.Sumida. 2005.Complete nucleotide sequence of themitochondrial genome of theSchlegel’s tree frog Rhacophorus

schlegelii (family Rhacophoridae).Genes & Genet. Syst. 80:213-214.

Sumida, M., H. Kaneda, Y. Kato,Y.Kanamori, H. Yonekawa &Nishioka M. 2000. Sequencevariation and structural conservationin the D-loop region and flankinggenes of mitochondrial DNA fromJapanese pond frogs. Genes Genet.Syst. 75: 79- 92.

Sumida, M, Y. Kanamori, H. Kaneda, &Y. Kato. 2001. Complete nucleotidesequence and rearrangement of themitochondrial genome of theJapanese pond frog Rananigromaculata. Genes and Genet.Syst. 76(5): 311-325.

Tao, FY., Wang XM, Zheng HX, & FangSG. 2005. Genetic structure andgeographic subdivision of fourpopulations of the Chinesesalamander (Andrias davidianus).

Zool Res 26: 162-167.

Wolstenholme, DR. 1992. Animalmitochondrial DNA: structure andevolution. Mitokondrial Genomes.Academi Press. New York. Pp. 173-216.

Yang YJ, YS. Lin YS, JL. Wu & CF. Hui.1994. Variation in mitochondrialDNA and population structure of theTaipeh treefrog Rhacophorustaipeianus in Taiwan. Mol. Ecol3: 219-228.

Zardoya, R., & A. Meyer. 2000.Mitochondrial evidence on the phylo-genetic position of caecilians (Am-phibian: Gymnophiona). Genetics155: 765-775

Zhang. XF, KY. Zhou,& Q. Chang.2004. Population genetic structureof Pelophylax nigromaculata inChinese mainland based on mtDNAcontrol region sequences. ActaGenet Sin 31: 1232-1240.

Zhang, P., H. Zhou, D. Liang, YF. LiuYQ. Chen, & LH. Qu. 2005. Thecomplete mitochondrial genome ofa tree frog, Polypedates megace-phalus (Amphibia: Rhacophoridae),and a novel gene organization inliving amphibians. Gene 346: 133-143

Zhong. J., ZQ. Liu & YQ. Wang. 2008.Phylogeography of Rice Frog,Fejervarya multistriata (Anura:Ranidae), from China based onntDNA d-loop sequencces. Zoo.Sci. 25: 811-820.

Memasukkan: Januari 2010Diterima: Juni 2010

Page 123: Jurnal Biologi Indonesia

415

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 415-428 (2010)

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate, Maluku: SuatuAnalisis Tata Ruang Berbasis Vegetasi

Roemantyo

Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Jl. Raya Jakarta – Bogor, Km 46, CibinongScience Centre, Cibinong. Email: [email protected]

ABSTRACT

Land Use Model of Moti Island, Ternate, Moluccas: A Vegetation Based Spatial Design Analysis.The Moti Island was dominated by mountain areas and humitropepts soil type which havehigh organic matter and low subsoil base saturated values. Geologically, it is a volcanic rockwith andesite composition includes lava, breccias and tuffs volcanic. Combined with highrainfall, width of island (24.6 km2) and very steep mountain (950 m asl.) the island has becomefragile when not well managed. Compared to the other district, the productivity of this area waslow because the natural resources have not been well developed yet. The shortage ofbiodiversity data of Moti Island has become major obstacles in developing Moti Island. Thisresearch was conducted to develop land use models as basic knowledge for spatial designanalyses of Moti Island. Detail discussion on developing Digital Elevation Model of land useand slope area based on vegetation data was presented in this paper.

Key words: Moti, land use, digital elevation model (DEM), spatial designing analyses

PENDAHULUAN

Pulau Moti merupakan salah satudari gugusan sederetan pulau-pulau kecilkepulauan Halmahera yang terletak disebelah barat pulau besar Halmahera.Pulau-pulau tersebut antara lain adalahpulau Ternate, Tidore, Mare, Moti,Makian, serta pulau-pulau lain yangterletak di sebelah selatannya. Secaraadministratif pemerintahan, pulau Motimasuk di dalam Kota Ternate. Luas pulauMoti sekitar 24,6 km2 dan tergolong telahdihuni sejak lama seperti pulau lain didalam wilayah Kota Ternate yaitu pulauTernate, Hiri, Mayau, Tifure. Sedangkan

pulau lain yang ukurannya lebih kecilseperti pulau Maka, Mano dan Guridastatusnya tidak dihuni (Kantor StatistikKota Ternate, 2008). Secara geografispulau ini membentang pada koordinat 127,38 – 127, 44 derajat bujur timur dan 0,43– 0,48 derajat lintang utara yang dibatasilaut Maluku di sebelah utara, barat danselatan dan selat Halmahera di sebelahtimur. Jarak pulau ini dengan ibukotaKota Ternate sekitar 29 km yang hanyadapat dicapai dengan kapal selamakurang lebih 1 – 2 jam pelayaran.

Penduduk kawasan pulau Moti iniumumnya merupakan penduduk aslidengan jumlah populasi kira-kira 4797

Page 124: Jurnal Biologi Indonesia

416

Roemantyo

jiwa pada tahun 2007 (Kantor StatistikKota Ternate 2008) yang jikadibandingkan dengan seluruh pendudukyang ada di 4 kecamatan Kota Ternateadalah yang paling kecil jumlahnya (2– 3 %). Jika menggunakan perkiraanpertambahan jumlah penduduk Indo-nesia dengan pertumbuhan rata-rata1,1 % (Badan Pusat Statistik RepublikIndonesia 2009), maka pada tahun 2010ini jumlah penduduk pulau Moti akanmencapai angka kira-kira lebih dari5000 jiwa. Penduduk ini tersebar diseluruh kawasan pulau terutama disekitar kawasan pantai dengan matapencaharian sebagian besar sebagainelayan dan petani kebun pala dancengkeh. Secara administratif pulauMoti berada di wilayah kecamatanMoti dengan 6 kelurahan, yaituMotikota, Figur, Tadenas. Tafaga,Tafamutu, dan Takofi sesuai denganPeraturan Daerah (PERDA) Nomor 10Tahun 2001 tentang pembentukanKecamatan Moti.

Kawasan ini tampak belumtereksplorasi dengan baik sumberdayaalamnya, meskipun potensi kawasan inisecara tradisional telah dikembangkanseperti pada sektor perkebunan,pertanian lahan kering dan perikanan.Belum tertatanya dengan baikpemanfaatkan lahan kawasan sertaterbatasnya data sumberdaya alamkawasan ini menjadi salah satu kendalauntuk pengembangan wilayah inisehingga produktifitasnya kawasan inimasih rendah hingga saat ini. Sebagaipulau yang berukuran sedang (24.6km2), pulau Moti memiliki sumber dayaalam yang cukup untuk mendukung

pembangunannya. Untuk maksudtersebut penggunaannya harus ditatasehingga dapat mendukung secaramandiri kebutuhan masyarakatsetempat dengan aman dan berke-lanjutan. Dengan demikian produkti-vitasnya dapat lebih ditingkatkandengan tanpa mengganggu kualitassistem ekologi setempat. Ketergan-tungan akan pangan yang mengakibat-kan biaya hidup tinggi dapat dihindarkansehingga produk yang dihasilkan olehmasyarakat setempat selain untukmenunjang kehidupan juga dapatdisisihkan sebagian untuk meningkat-kan kualitas sumber daya masyarakatsetempat baik dari segi ekonomi, tingkatsosial dan pengetahuan melaluipendidikan yang lebih baik. Penelitianini dilakukan untuk mendapatkan datadasar sebagai modal pembuatan modelpemanfaatan lahan untuk kawasanpulau Moti ini. Model yang diperolehakan di analisis secara spasial untukmendapatkan tata ruang yang cocokberbasis pada data vegetasi, sehinggakawasan ini dapat lebih diberdayakansecara aman dan berkelanjutan.

BAHAN DAN CARA KERJA

Bahan yang diperlukan adalahpeta-peta yang meliputi peta digital rupabumi dan topografi 1: 250.000(Bakosurtanal 1999), AMS sheet NA52 1944 1: 1.000.000 (US ArmyTophographic Command 1970), petatutupan lahan, peta status lahan dansistem lahan 1 : 250.000 (Re PPProt1989), peta geologi 1: 1.000.000(Clarke, 1989), citra satelit topografi

Page 125: Jurnal Biologi Indonesia

417

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

(SRTM) dan citra satelit Ikonos Juni,2006. Data sekunder lain dikumpulkandari Badan Pusat Statistik (2009) untukdata kependudukan, pertanian,perikanan, dan perkebunan, serta datacurah hujan yang dikumpulkan dariStasiun Meteorologi Baabulah Ternate(Kantor Statistik Ternate 2008) dandata iklim tahunan dari Agro-ClimaticMap of Maluku and Irian Jaya 1 :4.500.000 (Oldeman dkk 1980).

Data primer dikumpulkan dilapangan dengan cara mengambilcuplikan tentang pola penggunaan lahanyang ada untuk dicatat posisi koordinat,ketinggian serta pemanfaatannyalahannya dengan menggunakan GPS.Berdasarkan data lapangan tersebutkemudian hasil cuplikan dipetakan padacitra ikonos dengan memperhitungkanfaktor perubahan fisik pemanfaatankawasan dan tutupan lahan (vegetasi).Hal ini diperlukan mengingat adaperbedaan waktu antara pengambilandata di lapangan dan data Citra Ikonos.Catatan perubahan fisik merupakandata baru sehingga perubahan-perubahan yang terjadi dapat dipantaudengan membandingkan kondisisebelumnya pada citra Ikonos.Selanjutnya data peta (spasial) dan datapenggunaan lahan dan perubahannyasebagai data tekstual dianalisis untukmendapatkan peta tata ruang kawasan.Proses penentuan pengabungan dataspasial dan tekstual dapat dilihat padabagan alir seperti pada Gambar 1.

Analisis terhadap kawasan lindung,penyangga, dan pemanfaatan ataubudidaya tanaman tahunan dilakukanterhadap hasil digitasi pemanfaatan

lahan dan interpretasi akhir. Denganmenggunakan parameter fisikkemiringan lereng, jenis tanah menurutkepekaannya terhadap erosi dan curahhujan harian rata-rata kemudiandianalisis status penggunaan lahannya.Penetapan penggunaan satuan lahankemudian mengikuti metode dan kriteriayang digunakan oleh Balai RehabilitasiLahan dan Konservasi Tanah,Departemen Kehutanan dan PeraturanPemerintah Republik Indonesia No. 26Tahun 2008 tentang Rencana TataRuang Nasional (Asdak 2002 danDepartemen Pekerjaan Umum 2008.).Satuan lahan dengan skor lebih dari 175diklasifikasikan sebagai kawasanlindung. Satuan lahan dengan skorantara 125 dan 174 diklasifikasikansebagai kawasan penyangga. Satuanlahan dengan skor kurang atau samadengan 124 diklasifikasi dengankawasan budidaya tanaman tahunanseperti perkebunan, tanaman industri.Sedangkan satuan lahan dengankriteria seperti dalam penetapankawasan budidaya tahunan sertaterletak di tanah milik, tanah adat dantanah negara diklasifikasikan sebagaikawasan tanaman budidaya semusim.Penentuan penggunaan lahan jugamempertimbangkan hal-hal khusus lainseperti yang diatur dalam PeraturanPemerintah No. 26 Tahun 2008 pasal55.

Koreksi geometrik dilakukandengan menggunakan perangkat lunakErdas Imagine 9.1 dimana peta rupabumi (Bakosurtanal 1999) dipakaisebagai referensi. Sedangkan citraSRTM diolah dengan menggunakan

Page 126: Jurnal Biologi Indonesia

418

Roemantyo

Gambar 1: Bagan alir kerja analisis Tata Ruang pulau Moti

perangkat lunak Global Mapper9 untukmendapatkan data topografi denganbeda ketinggian 5 m. Analisis dataspasial dan tektual selanjutnyamenggunakan perangkat lunakArcView 3.3 untuk mendapatkan nilaisudut dan arah kelerengan lahan.Sedangkan perangkat lunak Microsoftaccess digunakan untuk memudahkanproses query dan pengelompokkan danpenggabungan data spasial dantekstual.

HASIL

Kondisi fisiografi kawasan P. MotiDari citra SRTM (Shuttle Radar

Topographic Mission), tampak denganjelas bahwa pulau Moti merupakankawasan dengan permukaan yang

bergunung-gunung dan berbatu.Kawasan yang tertinggi pulau inimencapai ketinggian sekitar 930 – 950m dpl yaitu terletak di puncak gunungTuanane (lihat Gambar 2). Secaraumum pulau Moti ini merupakan bagiandari lingkup lempeng bergerak bumiaktif yang dimulai dari KepulauanFilipina, Sangihe Talaud dan Minahasayang dikelilingi oleh lengkung Sulawesidan Pulau Sangihe di mana keduanyaberkarakter vulkanis (Clarke 1989).

Umumnya lahannya memiliki tipetanah humitropepta dengankarakteristik agak lapuk dan kaya akanbahan organik, sedikit berkapur dengantingkat kejenuhan basa tanah bawahbernilai rendah. Sedangkan di dataranyang lebih rendah bercampur dengantanah liat dan abu vulkanis. Di kawasan

Page 127: Jurnal Biologi Indonesia

419

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

dataran lebih tinggi sering dipenuhidengan bebatuan vulkanis (andesit)dengan ukuran yang cukup besar dilereng-lereng maupun di bagianlembahnya berupa pecahan-pecahanyang lebih kecil bercampur dengantanah liat dan kapur (RePPProt 1989).Air tanah sangat dalam dan langkaterutama di kawasan pegunungan ataudataran yang lebih tinggi, namun didataran yang lebih rendah air cukupdangkal dan mudah diperoleh. Dari dataiklim, kawasan ini tergolong dalamkawasan yang mempunyai curah hujan

Gambar 2: Citra Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)

yang cukup tinggi, dimana hampirselama 3-4 bulan penuh kawasan inicukup lembab (Oldeman dkk. 1980).Jumlah hari hujan dan curah hujandapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Meskipun data curah hujan dan harihujan diambil dari Stasiun MeteorologiBaabulah di pulau Ternate yangberjarak 29 km, namun dari petaIsohyat, pulau Moti masih masukdalam tipe yang sama (Oldeman, dkk.,1980). Dari histogram hari hujan dancurah hujan dapat diperoleh gambaransecara umum bahwa sebagian

Page 128: Jurnal Biologi Indonesia

420

Roemantyo

kawasan pulau Moti ini tergolong cukuptinggi intesitas dan curah hujannya.Hampir di sepanjang tahun ada hujandan curah hujan dengan intensitas hujantinggi tampak terjadi pada bulanNopember hingga Januari dan sekitarbulan Juni. Sedang pada bulan Pebruarihingga Mei curah hujan danintensitasnya sedang.

Gambar 3 : Histogram hari hujan tiap bulan dari tahun 2003 – 2007. Sumber: StasiunMeteorologi Baabulah Ternate (Kantor Statistik Ternate, 2008)

Gambar 4: Histogram curah hujan bulanan dari tahun 2003 – 2007. Sumber: StasiunMeteorologi Baabulah Ternate (Kantor Statistik Ternate, 2008)

VegetasiDari peta tutupan lahan dan status

lahan yang dipublikasikan tahun 1989oleh Direktorat Jendral PenyiapanPemukiman, Departemen Transmigrasi(RePPProt 1989), sebagian besarkawasan pulau Moti diklasifikasikansebagai kawasan yang ditutupi olehhutan. Hutan tersebut tumbuh pada

Page 129: Jurnal Biologi Indonesia

421

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

lahan pegunungan berkapur danbelukar dengan status sebagai hutanlindung di bagian tengah pulau danhutan produksi yang dapat dikonversidi bagian dekat dengan perkampungan.Sedangkan data dari Dinas Pertaniandan Kehutanan Kota Ternate (KantorStatistik Kota Ternate 2008)menyebutkan bahwa kawasanhutannya hanya meliputi luas 6937,32hektar (kira-kira 9% dari luas pulau)sebagian besar (4914,7 hektar) masihdigolongkan sebagai hutan lindung yangtumbuh di atas batu kapur dan sebagianyang lain (2022,62 hektar) merupakanhutan yang dapat dikonversi terutamadi dataran rendah dekat pantai.Pembagian dan batas hutan lindung danhutan yang dapat dikonversi dilapangan masih kurang jelas, mengingatsebagian besar kawasan telah di milikidan ditanami penduduk. Bagian puncakgunung dan lereng-lereng curam sajayang tampak sebagian masih utuhvegetasinya dengan jenis-jenis pohonhutan yang berukuran besar. Jikadibandingkan dengan data peta tutupanlahan dan status lahan (RePPProt,1989), tampaknya telah terjadi konversihutan lindung menjadi lahan budidayapertanian dan perkebuan atau areapenggunaan lain (APL). Observasilapangan dan interpretasi citra Ikonos2006 menunjukkan bahwa hutandengan densitas tinggi (primer) masihtampak tersisa di puncak-puncakgunung dan lembah lembah yangcuram. Sedangkan kawasan yangrelatif datar dan dataran rendah sudahberupa kebun/ladang, semak danbelukar. Selanjutnya interpretasi citra

Ikonos dengan mengacu pada cuplikanpengamatan langsung di lapanganmenunjukkan bahwa kebun pala dancengkih sudah merambah sampai padadaerah-daerah yang beresiko tinggiterhadap bencana tanah longsor (lihatGambar 4). Dari citra Ikonos tampakpula lahan-lahan baru yang dibukauntuk ditanami dengan tanamanperkebunan seperti pala, cengkih dankakao. Sedangkan di dataran rendahumumnya ditanami dengan kelapa,beberapa jenis buah-buahan dan jenis-jenis tanaman pangan penghasilkarbohidrat seperti ubi kayu, ubi jalardan pisang.

Jika ditinjau dari pemanfaatannyatampak sebagian besar kawasan pulautelah digunakan sebagai ladangpertanian lahan kering, kebun pala(Myristica fragans) dan cengkih(Syzygium aromaticum). Di beberapatempat kedua jenis pohon tersebutsudah tumbuh besar dengan diameterpohon lebih dari 40 cm. Memang secaraalami pala dan cengkih merupakantumbuhan asli kawasan ini (Backer danBakhuizen van den Brink 1968),sehingga tidak mengherankan jikakedua jenis ini cukup mendominasi dikawasan ini. Identifikasi terhadap citraSatelit Ikonos menunjukkan bahwaindeks vegetasi cukup tinggi, karenahampir seluruh pulau Moti tertutupdengan tetumbuhan (lihat Gambar 4),baik yang tumbuh liar maupun yangditanam (Utaminingrum 2010). Namunjika dilihat dari data statistik,produktifitas hasil pertanian danperkebunan kawasan ini masih sangatrendah. Tidak banyak komoditi

Page 130: Jurnal Biologi Indonesia

422

Roemantyo

pertanian dan perkebunan yangdiusahakan di sini. Kalaupundiusahakan, produksinya masih lebihrendah jika dibandingkan dengandaerah lain di Kota Ternate (KantorStatistik Kota Ternate, 2008). Beberapajenis tanaman pangan yang ditanam disini antara lain jagung (Zea mays), ubikayu (Manihot utilissima), ubi jalar(Ipoemoea batatas). Sedang tanamanperkebunan yang ditanam antara lainkelapa (Cocos nucifera), pala(Myristica fragans), cengkih(Syzygium aromaticum) dan kakao(Theobroma cacao). SedangkanRePPProt, (1989) telah mengidentifikasilahan-lahan yang memiliki kesesuaianuntuk dikembangkan sebagai lahanproduktif di dataran rendah kurang dari450 m dpl sebagai ladang atau lahanpertanian lahan kering. Pada saat ituvegetasi yang teridentifikasi adalahpadang rumput, belukar, dan dibeberapa tempat tanpa vegetasi,sehingga kawasan ini dapat denganmudah dikonversi untuk tanamanpertanian

Pemanfaatan LahanInterpretasi pemanfaatan lahan

dengan citra Ikonos dan data cuplikanlapangan selain mendapatkan nilaiindeks vegetasi juga diperolehgambaran tentang pemanfaatan lahan.Kawasan yang berhasil diidentifikasiberjumlah 5085 titik pemanfaatan lahanyang kemudian dikelompokkan dalam5 golongan besar, yaitu: (1)pemanfaatan lahan untuk hutansebanyak 1449 tit ik lokasi, (2)pemanfaatan lahan untuk kebun 3447

titik lokasi, (3) pemanfaatan lahanuntuk usaha perikanan 1 lokasi, (4)fasilitas umum dan pemukiman 88 lokasidan (5) lahan yang tidak dimanfaatkan(lahan terbuka) 100 lokasi.

1. Pemanfaatan lahan untuk hutanKawasan ini merupakan hutan

lindung, maupun kawasan hutan lainyang terdapat mulai dari pantai hinggapuncak gunung. Di daerah pantaiterdapat hutan mangrove dan hutanpantai. Hutan mangrove terdapat di 39lokasi sedangkan hutan pantai ada di6 lokasi. Di daratan terdapat semakbelukar, hutan sekunder dan hutanprimer. Semak, semak belukar danhutan sekunder biasanya terletak didataran yang lebih rendah, sedangkanhutan primer umumnya terletak dipuncak-puncak gunung atau dilereng-lerang yang terjal. Semak belukarbiasanya terdapat dari ketinggian 5 –700 m dpl., sedangkan hutan sekunderditemukan pada ketinggian 50 – 875 mdpl. Hutan-hutan primer ditemukanpada ketinggian 195 – 930 m dpl.

2. Pemanfaatan lahan untuk kebunPada saat pegamatan tercatat ada

beberapa jenis tanaman keras kebunyang diusahakan di pulau Moti, yaitucengkih, durian (Durio zibethinus),kakao, kelapa, kenari (Canarium sp.),pala, dan jeruk (Citrus sp.).Kemungkinan tanaman kenari yang adaberasal dari tumbuhan liar, namunkarena bijinya memiliki nilai ekonomi,maka jenis ini kemudian dipelihara.Selain tanaman keras ada beberapajenis tanaman yang berumur pendek

Page 131: Jurnal Biologi Indonesia

423

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

yang diusahakan antara lain pisang(Musa acuminata × balbisiana) dansingkong. Selain itu masih ada beberapajenis tumbuhan liar yang kemudiandimanfaatkan sebagai sumber panganyaitu sagu (Metroxylon sagu) yangbanyak tumbuh di tempat-tempat yangsedikit berair dan lembab. Pemanfaatanlahan untuk kebun dapat ditemukanmulai dari pinggir pantai hinggaketinggian 770 m dpl.

3. Pemanfaatan lahan untuk usahaperikanan

Usaha perikanan lebih banyakdilakukan oleh nelayan di laut, namuntercatat ada usaha baru yaitu denganpembukan kolam untuk pemancingan diMoti Kota.

Gambar 4: Tampilan indeks vegetasi pada Citra Satelit Ikonos 2006

4. Pemanfaatan lahan untuk fasilitasumum dan pemukiman

Pemukiman dan fasilitas umummeliputi kawasan perkampungan,sarana jalan, bagunan/gedungpemerintah dan sekolah, tempat mataair, sarana dan tempat ibadah , makamdan sarana olah raga. Fasilitas umumdan pemukiman ini umumnya terletakdi dataran rendah di dekat pantai.

5. Lahan yang tidak dimanfaatkan(lahan terbuka).

Lahan terbuka disini adalah lahanyang tidak atau belum dimanfaatkan.Lahan-lahan terbuka di kelurahanMotikota umumnya terletak dariketinggian 45 hingga 520 m dpl.Sedangkan di kelurahan lain seperti

Page 132: Jurnal Biologi Indonesia

424

Roemantyo

Tadenas, Tafaga, Tafamutu, Figur danTakofi terletak pada ketinggian kurangdari 130 m dpl. Lahan terbuka dikelurahan Tadenas, Tafaga, Tafamutu,Figur dan Takofi cenderung untukdipersiapkan sebagai kebun atauladang. Sedangkan di Motikota lebihsering merupakan lahan yangditerlantarkan atau lahan yangdisiapkan untuk dibangun gedung.

Jika dibandingkan diantara statuspemanfaatan lahan yang ditemukanselama survai lapangan, maka lahanuntuk kebun adalah yang paling banyakditemukan yaitu mencapai 67,8 %,kemudian diikuti dengan lahan untukhutan (28,50 %), lahan terbuka tidakatau belum dimanfaatkan (1,96 %),fasilitas umum (1,73%) dan perikanan(0.01%). Analisis terhadap hasil digitasipemanfaatan lahan yang ditumpangsusunkan pada peta model elevasi(DEM = Digital Elevation Model)diperoleh gambaran pemanfaatan lahansecara 3 dimensi seperti pada Gambar6.

Dari peta Model Elevasi Digital,tampak jelas bahwa usaha tani untukperkebunan tanaman keras sudahmasuk ke dalam kawasan hutan hinggasampai pada ketinggian 700 m dpl.Kawasan yang banyak dipakai sebagaikebun umumnya berada di sebelahtimur, yaitu antara kelurahan Motikotadan Tadenas. Kebun di keduakelurahan ini lebih beragamdibandingkan dengan 4 kelurahan laindimana beberapa jenis tanaman industriselain kelapa, pala dan cengkih ditanamdan dikembangkan jenis lain antara lainseperti durian, jeruk, kenari, dan kakao.

Selain itu beberapa jenis tanamanpalawija juga tercatat di tanam dikawasan ini seperti jagung, kacangtanah, singkong, ubi jalar dan vanilimeskipun jumlahnya tidak begitubanyak. Pengembangan kolamperikanan sudah mulai tampak,meskipun masih dalam taraf untukpemancingan. Usaha ini ditemukan dikelurahan Motikota.

Pada peta model kelerenganpemanfaatan lahan (lihat Gambar 7)tampak bahwa kawasan hutanumumnya merupakan kawasan yangberelereng lebih dari 40 %. Kawasantersebut meliputi hampir suluruhpuncak bukit dan beberapa punggungbukit di kelurahan Tafaga, Takofi, Figurdan Tafamutu. Sedangkan di kawasankelurahan Motikota dan Tadenas sudutkelerengan pada umumnya kurang dari40 %

PEMBAHASAN

Dari data yang terkumpul,kawasan pulau Moti tergolong sebagaikawasan bergunung vulkanis darilempeng bergerak bumi aktif.Banyaknya batuan andesit yang besardan pecahan-pecahan batuan yanglebih kecil karena mudah lapuk danbercampur dengan tanah liat dan kapurmengakibatkan kawasan ini sangatpeka terhadap erosi atau lepasnyabatuan (Clarke 1989). Kekayaan tanahakan unsur hara yang bercampurdengan abu vulkanis, menjadikan lahankawasan ini cukup subur, sehinggamemudahkan jenis-jenis tetumbuhancepat mengalami permudaan.

Page 133: Jurnal Biologi Indonesia

425

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

Ditunjang dengan curah hujan yangrelatif cukup tinggi, serta keadaan yangcukup lembab selama 3 – 4 bulan(Oldeman, dkk., 1980) maka beberapajenis pohon dapat tumbuh dengan baik,meskipun lahannya cukup berpori dansulit untuk mendapatkan air tanahterutama di kawasan pegunungan.Tampaknya faktor-faktor kesuburantanah dan iklim tersebut mendorongmasyarakat untuk terus merambahkawasan hutan lindung untuk ditanamidengan jenis-jenis pohon penghasildevisa negara seperti cengkeh, pala,kenari dan kakao. Pada saat penyiapanlahan dengan pembukaan lahan hutan

Gambar 6: Peta Model Elevasi Digital (DEM – Digital Elevation Model) PemanfaatanLahan Pulau Moti

(semak belukar, hutan sekunder,maupun di hutan-hutan primer ditebanghabis) maka ancaman terhadap erosisangat tinggi. Hal ini mengingat dikawasan pegunungan biasanyamerupakan kawasan dengan sudutkelerengan lebih dari 40 %. Jikavegetasi telah dibuka maka dengancurah hujan yang tinggi dapatmenyebabkan banjir bandang karena airhujan akan langsung turun ke dataranyang lebih rendah tanpa adatetumbuhan yang menghambat. Dalamjangka waktu yang lama, jika terdapattanah-tanah yang terbuka makakemampuan lahan untuk menahan dan

Page 134: Jurnal Biologi Indonesia

426

Roemantyo

menyimpan air akan berkurang danterganggu. Dengan demikian fungsihidrologi kawasan ini dalammengkoservasi air menurun denganakibat air tanah untuk keperluanmasyarakat menjadi terbatas.

Mengacu pada Peraturan Peme-rintah Nomor 26 tahun 2008 tentangRencana Tata Ruang WilayahNasional, dengan memperhitungkancriteria kawasan lindung, sebagianbesar kawasan hutan di pulau Moti inimemiliki nilai skor diatas 175. Karenaitu maka kawasan tersebut harussegera dibatasi penggunaannya, selainuntuk mengurangi ancaman terhadapbencana alam tanah longsor, banjir

bandang, juga untuk konservasi airtanah bagi pulau Moti. Dari ModelElevasi Digital (DEM) sudutkelerengan bukit Pulau Moti, dapatdiperoleh gambaran awal kawasanmana saja yang harus segera dibatasipenggunaannya. Demikian pula melaluipeta tersebut dapat dengan mudahdiidentifikasi kawasan mana saja yangcocok dan aman digunakan untuk usahapertanian dan perkebunan. Dari warnalagenda pada peta tersebut (lihatGambar 7), kawasan aman untuk usahabudidaya diindikasikan dengan spotwarna hijau dengan skor sama denganatau lebih kecil dari 124. Sedangkanspot warna warna kuning merupakan

Gambar 7: Peta Model Elevasi Digital (DEM) Sudut Kelerengan Bukit Pulau Moti

Page 135: Jurnal Biologi Indonesia

427

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

kawasan penyangga dengan skorantara 125 dan 174. Sedangkankawasan yang berwarna jingga hinggakemerah-merahan menunjukkankawasan tersebut kurang aman untukdijadikan kawasan budidaya denganskor di atas 175. Karena itu kawasanini harus ditetapkan sebagai kawasanlindung.

Dari peta-peta yang dihasilkanpada penelitian ini, terutama peta ModelElevasi Digital (DEM – DigitalElevation Model) Pemanfaatan LahanPulau Moti dan peta Model ElevasiDigital (DEM) Sudut Kelerengan BukitPulau Moti, maka penyusunan modeltata ruang untuk pegembangankawasan dapat dilakukan dengan lebihmudah.

KESIMPULAN

Pemanfaatan lahan di kawasanpulau Moti perlu ditata dengan baikuntuk mengurangi resiko bencana alamtanah longsor, banjir bandang pada saathujan, krisis air dimasa yang akandatang. Kawasan hutan perludipertahankan keberadaaannya,terutama yang terletak di ketinggian diatas 600 m dpl. dan memiliki tingkatkelerengan lebih dari 40 %. Kemudiankawasan ini ditetapkan sebagaikawasan lindung. Selain sebagai daerahuntuk menangkap air hujan, hutan inijuga diperlukan sebagai sumber bibitdan plasma nutfah beberapa jenistanaman perkebunan yang ditanam olehmasyarakat setempat seperti kenari,pala dan cengkih. Pada beberapatempat di kawasan pengunungan pada

ketinggian di atas 600 m dpl. dengantingkat kelerengan lebih dari 40% dantelah terlanjur diusahakan olehpenduduk dengan menanami kenari,cengkeh dan pala, disarankan untuktidak dipanen. Hal ini dimaksudkan agarketiga jenis pohon tersebut tumbuhmeliar kembali untuk kemudian menjadistok bibit maupun plasma bagipengembangan jenis tumbuhan di masayang akan datang.

Tingkat kerusakan hutan danekosistem kawasan pulau Moti masihdapat dihambat lajunya, yaitu denganmembangun model pengembangankawasan dengan membuat rencanatata ruang yang lebih rinci. Data awaltelah terkumpul berupa peta-petamodel elevasi digital penggunaan lahandan kelerengan bukit yang berbasisvegetasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasihkepada Pusat Penelitian Biologi – LIPIsehingga penulis memperolehkesempatan melakuan penelitian inihingga selesai. Disamping itu kepadasdr Hetty I.P. Utaminigrum S.Kom.yang telah banyak membantu penulisdalam mengumpulkan data lapangandan memproses digitalisasi peta.Pengambilan dala lapangan dibiayaioleh DIPA Puslit Biologi-LIPI danIPTEKDA LIPI.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 2002. Hidrologi danPengelolaan Daerah Aliran

Page 136: Jurnal Biologi Indonesia

428

Roemantyo

Sungai. Gajah Mada UniversityPress. Cetakan Kedua. 618halaman.

Backer C. A and R.C. Bakhuizen vanden Brink, 1968. Flora of JavaI. N.V.P. Noordhoff, Groningen,Netherlands.

Badan Pusat Statistik, 2009. StatistikIndonesia 2009. Badan PusatStatistik, Republik Indonesia.

Bakosurtanal, 1999. Peta Rupa BumiDigital, Tata Guna Lahan,Status Lahan dan Topografi.Skala 1: 250.000. Bakosurtanal.

Clarke, M.C.G. 1989, Geological Mapof Indonesia: With Emphasis onLithology. Atlas of The LandsResources of Indonesia. ANational Review. Ministry ofTransmigration, DirectorateGeneral of Settlements Prepara-tion. Jakarta.

Departemen Pekerjaan Umum, 2008.Peraturan Pemerintah Repu-blik Indonesia Nomor 26 Tahun2008 Tentang Rencana TataRuang Wilayah Nasional .Departemen Pekerjaan Umum,Direktorat Jendral PenataanRuang. Jakarta.

Kantor Statistik Kota Ternate, 2008.Data Curah Hujan Harian danHari hujan di Stasiun Meteoro-logi Babullah. Kantor StatistikTernate, Kota Ternate.

Oldeman, L.R., R. Irsal, and Muladi.1980. Agroclimatic Map ofMaluku and Irian Jaya.CentralResearch Institute for Agricul-ture, Indonesia.

Space Imaging 2006, IKONOS, LevelStandard Geometrically Corrected,GeoEye, 6/6/2006.

Re PPProt, 1989. Review of Phase IResults, Java and Bali. LandResources Departement, Over-seas Development AdministrationUnited Kingdom and DirektoratJendral Bina Program. Direk-torat Jendral Penyiapan Pemu-kiman, Depatemen Transmigrasi.Jakarta.

US Army Tophographic Command.1970. Map of Ternate. Departe-men of Defense, United State ofAmerica, Washington DC. 1302Edition 4 TPC.

Utaminingrum HIP. 2010. Pengumpu-lan dan Pengolahan Data TutupanLahan Pulau Moti, Ternate.Laporan Perjalanan Penelitian diPulau Moti, Maluku Utara, PusatPenelitian Biologi LIPI, 2010

Memasukkan: Juni 2010Diterima: Agustus 2010

Page 137: Jurnal Biologi Indonesia

429

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 429-442 (2010)

Komunitas Serangga pada Bunga Rafflesia patma Blume (Rafflesiaceae)di Luar Habitat Aslinya Kebun Raya Bogor Kota Bogor Provinsi Jawa

Barat Indonesia

Sih Kahono1), Sofi Mursidawati2) & Erniwati1)1)Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, 2)Kebun Raya Bogor, Pusat Konservasi

Eksitu-LIPI. Email: [email protected]

ABSTRACT

Insects Community on the Flower of Rafflesia patma Blume (Rafflesiaceae) in its Non NativeHabitat of Bogor Botanical Gardens, Bogor City, Province of West Java, Indonesia. The studywas conducted at the Bogor Botanical Gardens, Bogor, West Java, Indonesia using a bloomingfemale flower of R. patma. The insects were directly counted in the morning, noon, and afternoonon both fresh blooming and rotten R. patma . Twenty three insect species were collectedduring the study belonging to the order Coleoptera (2 families, 2 species, 5 individuals),Diptera (9 families, 18 species, 1176 individuals), and Hymenoptera (2 family, 4 species, 13individuals). Number of individuals of each insect species captured were frequently less than1.35% from total captured. There were specialization of flies visiting fresh opening flower andthe rotten one. Six species, Leiomyza laevigata (Asteiidae), Chrysomya megacephala, andHemipyrellia tagaliana (Calliphoridae), Stegana coleoptrata (Drosophilidae), Heteromyzaoculata and Tephrochlamys rufiventris (Heleomyzidae) were predicted as important pollinatorsof R. patma.

Key words: Insect community, flower, Rafflesia patma, non native habitat, Bogor BotanicGarden.

PENDAHULUAN

Rafflesia adalah nama genus yangdiabadikan dari nama Sir StamfordRaffles, termasuk kelompok tumbuhanberbunga famili Rafflesiaceae. Salah satujenis yang paling terkenal adalahRafflesia arnoldii ditemukan diSumatera berukuran diameter kuranglebih tiga feet. Kurang-lebih ada 16 jenisRaflesia telah ditemukan di pulauSumatera, Jawa, Kalimantan termasukSabah dan Sarawak (Nais 2001; 2004)dan Filipina (Yahya et al. 2010). Sudah

sejak lama jenis-jenis Rafflesiadikategorikan sebagai jenis langka dandilindungi perundang-undangan (Anonim2010; Wiriadinata 2007; Walter & Gillett1998).

Seluruh jenis Rafflesia menempelpada inang spesifiknya yaitu Tetrastigmaspp. (Vitaceae) sehingga kelangsunganhidupnya mutlak tergantung pada inangtersebut (Barkman et al. 2004; Latiff &Mat-Salleh 1991). Penelitian biologi danekologi Rafflesia masih sangat sedikit(Nais 2001) sehingga masih banyakrahasia biologi dan natural history dariRafflesia belum diketahui. Demikian pula

Page 138: Jurnal Biologi Indonesia

430

Kahono dkk

pengetahuan biologi reproduksi danseluruh prosesnya termasuk penyer-bukan bunga masih sangat terbatas(Zuhud et al. 1998; Anonim 2010).Padahal, pengetahuan ini sangat pentingdalam upaya pengembangbiakan yangdapat dipakai untuk mendukung programkonservasi di dalam habitat asli (in-situ)maupun di luar habitat aslinya (ex-situ).

Penyerbukan pada bunga Rafflesiatidak bisa dipisahkan dengan seranggapenyerbuknya karena bunga tersebutberumah dua (dioeciously flower) ataubunga jantan dan betina terdapat padaindividu bunga yang berbeda (Meiyer1997), sehingga serangga menjadi sangatpenting peranannya mentransferserbuksari dari bunga jantan ke putikbunga betina. Beberapa penelitianterdahulu mengungkapkan bahwa lalatdikenal sebagai penyerbuk bungaRafflesia pada umumnya (Beaman et al.1988; Priatna et al. 1989; Ong 2004). Biladibandingkan dengan jumlah jenisRafflesia yang ada dan aspek-aspekpenting yang seharusnya diketahui makapenelitian penyerbuk dan penyerbukanpada bunga ini sangat jarang dilakukan.Sedikitnya penelitian dan publikasi dapatdisebabkan karena jarangnya perjumpa-an dengan bunga Rafflesia.

Salah satu dari tiga jenis Rafflesiayang dijumpai di pulau Jawa adalahRafflesia patma yang ditemukan dihabitat yang khusus terutama di kawasanlindung atau konservasi seperti dikawasan konservasi seperti Cagar AlamPangandaran Ciamis dan LeuweungSancang Garut (Jawa Barat) (Herdiyanti2009; Priatna et al. 1989; Ngatari,komunikasi pribadi).

Walaupun penyerbukan pada bungaR. patma mutlak memerlukan bantuanagen penyerbuk, namun sampai saat inisangat sedikit dilakukan penelitian tentangserangga penyerbuknya. Karaktermorfologi bunga R. patma yangberwarna orange kusam, berbau ’anyir’spesifik seperti pembusukan materitumbuhan, permukaan bunga yang luasdan terbuka dapat sebagai penarik bagiserangga terutama kelompok lalat(Diptera) dan kumbang (Coleoptera)yang tertarik pada aroma busuk (Free1993; Faegri & Pijl 1971). Seperti padaumumnya bunga Rafflesia, makapenelitian penyerbuk pada R. patma dihabitatnya baru dilakukan secarakualitatif yang sederhana di Cagar AlamLeuweng Sancang, Garut, propinsi JawaBarat (Priatna et al. 1989). Lalatdiperkirakan sebagai kelompok pentingdalam proses penyerbukan R. patmakarena sifat bunga yang berumah duasehingga transportasi serbuksari daribunga jantan ke putik bunga betinamemerlukan bantuan akomodasi dariserangga yang mampu memindahkannya.

Kebun Raya Bogor (KRB) yangberfungsi sebagai tempat konservasieksitu bagi tumbuhan Indonesia,penelitinya telah berhasil menumbuhkanbunga R. patma yang berasal dari habitataslinya di Cagar Alam Pangandaran,Ciamis Jawa Barat di dalam KRB.Keberhasilan menumbuhkan R. patma diKRB merupakan kesuksesan pertama didunia menum-buhkan Rafflesia di luarhabitatnya, sehingga penelitian inimerupakan penelitian pertama tentangserangga pengunjung bunga R. Patma diluar habitat aslinya. Walaupun penelitian

Page 139: Jurnal Biologi Indonesia

431

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

serangga pengunjung bunga ini hanyadilakukan pada bunga R. patma berjeniskelamin betina, namun informasi inisangat penting bila dikaitkan denganwaktu kunjungan dari pagi hingga sorepada periode bunga sedang mekar. Adakecenderungan kemiripan jenis-jenis ataukelompok serangga penyerbuk dengantipe dan bentuk bunga pasangannya(Barth 1991; Faegri & Pijl 1971; Free1993), sehingga pendugaan terhadapjenis-jenis serangga yang potensialsebagai penyerbuk bunga R. patma dapatdimungkinkan dengan menganalisiskeanekaragaman dan populasi seranggayang bertepatan dengan waktu pemeka-ran bunga. Selain itu morfologi serangga,aktifitas dan perilakunya menjadi faktorpenting yang dapat dipakai untukmengkarakterisasi serangga sebagaipenyerbuk suatu jenis bunga tertentu(Barth 1991; Faegri & Pijl 1971; Free1993).

Penelitian komunitas seranggapengunjung bunga R. patma dilakukanjuga pada bunga layu untuk mengetahuiperbedaan dan kesamaan terhadapkeanekaragaman, populasi, dan aktifitaskunjungan serangga pada bunga R. patmaantara yang sedang mekar dengan yanglayu. Penelitian ini bertujuan untukmengetahui keanekaragaman dankelimpahan serangga pengunjung bungaR. patma dan aktifitas kunjungannyapada perbungaan R. patma yang sedangmekar dan layu, sehingga akan diketahuijenis-jenis serangga yang dimungkinkansebagai penyerbuknya.

BAHAN DAN CARA KERJA

Penelitian ini dilakukan di dalamlokasi pembibitan ‘Kandang Badak’dalam Kebun Raya Bogor, kota Bogor,propinsi Jawa Barat. Pengamatandilakukan dari tanggal 20 sampai 26 Juli2010.

Penelitian ini diawali denganpengamatan pendahuluan yang dilakukanpada malam hari menjelang bunga R.patma mekar yaitu tanggal 20 Juli 2010malam saat bunga mulai membuka satuper satu sampai akhirnya bunga mekarpenuh pada dini hari tanggal 21 Juli 2010.Pada awal bunga membuka pada dini haritercium aroma ‘anyir’ atau membusukyang menguat. Pengamatan ini untukmelihat ada tidaknya serangga malamyang datang ke bunga saat bunga mulaimembuka sampai mekar penuh. Penga-matan yang sama dilakukan pada malamhari berikutnya.

Penelitian komunitas dan kunjunganharian serangga pengunjung bunga R.patma di luar habitat aslinya mengguna-kan satu bunga betina R. patma di KebunRaya Bogor, yang mulai mekar padatanggal 21 Juli 2010. Bunga ini beradadalam satu habitat buatan yang samadengan dua bunga yang telah mekarsebelumnya (pada bulan Juni 2010).Pada habitat tersebut beberapa bunga R.patma yang masih kuncup atau dalambentuk seperti umbi yang ada didalamnya.

Serangga yang dihitung adalahserangga yang hinggap pada bagian-bagian bunga yang dapat dilihat denganmata (Sofiyanti et al. 2007). Pengamatanserangga pengunjung bunga R. patma

Page 140: Jurnal Biologi Indonesia

432

Kahono dkk

terutama dilakukan pada (1) saat bungamekar penuh (warna bunga orangekusam) selama dua hari tanggal 21-22Juli 2010, dan (2) saat bunga layu (warnabunga berubah menjadi kehitaman) padatanggal 25-26 Juli 2010. Penghitunganserangga dilakukan pada pagi, siang, dansore hari masing-masing selama 30 menit,pagi (jam 06:00, 07:00, dan 08:00 WIB,masing-masing selama 10 menit), siang(jam 11:00, 12:00, dan 13:00 WIB, masing-masing selama 10 menit), dan sore (jam14:00, 15:00, dan 16:00 WIB, masing-masing selama 10 menit).

Pengambilan spesimen seranggadilakukan untuk jenis-jenis yang belumdiketahui namanya yang memerlukanidentifikasi. Pada jenis-jenis seranggapengunjung bunga layu jumlahnya sangatbanyak sehingga tidak mungkin dihitungsecara langsung, oleh karena itudilakukan penangkapan dengan netserangga masing-masing sekali padapagi, siang, dan sore.

Pengawetan, identifikasi danfotografi terhadap serangga yang telahdikoleksi dilakukan di LaboratoriumEntomologi, Bidang Zoologi, PusatPenelitian Biologi-LIPI. Setiap spesimenyang diambil dibuat spesimen kering,diidentifikasi secara morfo-species,dicocokkan dengan buku dan referensibaku yaitu Rudnitski (1991; 1993) danColles & McAlpine (1970). Spesimenjuga dibandingkan dengan spesimenkoleksi ilmiah Laboratorium EntomologiBidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi- LIPI, dibuat foto, dan diberi nomorsetiap jenisnya agar terhindar dari kesala-han dalam menghitung populasinya.

Data yang diperoleh adalah datakomunitas yang terdiri dari keanekara-gaman jenis dan jumlah individunya padasetiap watu pengamatan. Untukkeperluan analisis data maka dilakukanrekapitulasi atau kombinasi dua hari datapada pagi, siang, dan sore, pada bungamekar dan layu. Jumlah individualserangga yang ditemukan pada setiappengamatan dianalisis langsung dandikaitkan dengan analisa karaktermorfologi dan perilakunya yang disajikandalam tabel dan gambar. Keanekara-gaman dan kemerataan speciespengunjung bunga pada masing-masingwaktu pengamatan dan kondisi bungasangat jelas diketahui melalui tabel dangambar. Untuk melihat pola kunjunganhariannya maka data keanekaragamandan populasi serangga dikaitkan denganwaktu pengamatan dan kondisi bungamekar dan layu.

HASIL

Komunitas serangga pengunjungbunga mekar dan layu

Pada pengamatan malam haripertama tanggal 20 Juni sampai dini haritanggal 21 Juni 2010 dan malam hariberikutnya menunjukkan bahwa dari awalbunga R. patma betina membuka sudahtercium aroma agak ‘anyir’ atau sepertibau pembusukan walaupun tidak begitukuat dirasakan. Pada saat itu tidakditemukan serangga yang datang kebunga tersebut pada malam hari. Dataini menunjukkan bahwa serangga yangaktif mengunjungi bunga R. patma bukanserangga malam.

Page 141: Jurnal Biologi Indonesia

433

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

Penelitian komunitas ini menemukanserangga pengunjung bunga R. patma diKebun Raya Bogor sebanyak 23 jenis (14famili, 1194 individu) terdiri dari tiga ordoyaitu Coleoptera, Diptera, dan Hymenop-tera. Ordo yang paling banyak anggota-nya adalah Diptera (10 famili, 18 jenis,1176 individu), diikuti berturut-turut olehHymenoptera (2 famili, 3 jenis, 13individu), dan Coleoptera (2 famili, 2 jenis,5 individu) (Tabel 1 dan Gambar 1).

Jumlah individu yang mengunjungibunga saat mekar dan layu setiap jenisserangga pada umumnya sangat sedikitdi bawah 1,35% dari total individu.Jumlah individu yang tertinggi adalahChrymomyza amoena (453 individu atau37,94%), diikuti berturut-turut olehMicrodroso-phila claytonae (231 atau19,35%), Pterogramma palliceps (160atau 13,40%), Drosophila colorata (90atau 7,54%), Microdrosophila sp. (80atau 6,70%), Chrysomya megacephala(32 atau 2,68%), Heteromyza oculata(28 atau 2,35%), Stegana coleoptrata(25 atau 2,09%) (Tabel 1). Lima jenislalat (Anthomyza gracilis, Chrysomyamegacephala, Heteromyza oculata,Lispe Canadensis, dan Lecanocerus

compressicerps) berkunjung pada bungamekar maupun bunga layu (Tabel 3).

Jumlah seluruh individu setiap ordoserangga pengunjung bunga R. patmapada pengamatan pagi, siang, dan soredi Kebun Raya Bogor menunjukkanbahwa yang terbanyak pada pagi hariadalah ordo Diptera dan Coleoptera, danpada siang hari pada Hymenoptera(Gambar 2 dan Tabel 2).

Keanekaragaman serangga yangmengunjungi bunga mekar dan bungalayu ada 5 jenis semuanya termasukkelompok lalat (Diptera) yaitu Anthomy-za gracilis, Chrysomya megacephala,Heteromyza oculata, Lispe canadensis,dan Lecanocerus compressicerps(Tabel 3).

Komunitas dan fluktuasi harianserangga pada bunga sedang mekar

Ditemukan lima jenis lalat yanghanya mengunjungi bunga R. patma yangsedang mekar yaitu Astiosoma flave-olum, Leiomyza laevigata, Hemipyrel-lia tagaliana, Stegana coleoptrata, danTephrochlamys rufiventris (Tabel 3,Gambar 3). Serangga yang mengunjungitersebut tidak nampak terlihat fluktuasi

Gambar 1. Proporsi jumlah jenis dari seluruh jenis serangga pengunjung bunga R. patma diKebun Raya Bogor (kiri). Jumlah jenis serangga yang mengunjungi bunga R. patmayang sedang mekar saja, bunga yang layu saja, dan bunga layu maupun layu (kanan).

Coleoptera29%

Diptera1878%

Hymenoptera3

13%Mekar,

5

Mekar &

Layu, 5

Layu, 11

Page 142: Jurnal Biologi Indonesia

434

Kahono dkk

Ordo/Jenis Famili Jumlah Persentase

COLEOPTERA

1 Hydrophylidae sp. Hydrophylidae 3 0,25

2 Staphilinidae sp. Staphilinidae 2 0,17

Sub-total 5 0,42

DIPTERA

1 Anthomyza gracilis Anthomyzidae 11 0,92

2 Astiosoma flaveolum Asteiidae 1 0,08

3 Leiomyza laevigata Asteiidae 15 1,26

4 Chrysomya megacephala Calliphoridae 32 2,68

5 Hemipyrellia tagaliana Calliphoridae 7 0,59

6 Nanomyina litorea Dolichopodidae 2 0,17

7 Chrymomyza amoena Drosophilidae 453 37,94

8 Drosophila colorata Drosophilidae 90 7,54

9 Microdrosophila sp. Drosophilidae 80 6,70

10 Drosophila albomicans Drosophilidae 231 19,35

11 Stegana coleoptrata Drosophilidae 25 2,09

12 Heteromyza oculata Heleomyzidae 28 2,35

13 Tephrochlamys rufiventris Heleomyzidae 16 1,34

14 Lispe canadensis Muscidae 11 0,92

15 Hypocerides nectcus Phoridae 2 0,17

16 Lecanocerus compressicerps Phoridae 8 0,67

17 Pterogramma palliceps Sphaeroceridae 160 13,40

18 Amphicnephes pullus Platystomatidae 4 0,34

Sub-total 1176 98,49

HYMENOPTERA

1 Trigona laeviceps Apidae 1 0,08

2 Formicidae sp. Formicidae 1 0,08

3 Aenictus sp. Formicidae 11 0,92

Sub-total 13 1,09

Total 1194 100,00

Tabel 1. Keanekaragaman, kelimpahan, dan persentase dari jumlah total individu seranggapengunjung bunga R. patma di Kebun Raya Bogor

Page 143: Jurnal Biologi Indonesia

435

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

Ordo

Bunga Mekar Bunga Layu

pagi siang sore pagi siang sore

n j n j n j n j n j n j

Coleoptera 0 0 0 0 0 0 3 1 0 0 2 1

Diptera 53 10 57 9 33 7 442 8 319 9 272 8

Hymenoptera 1 1 0 0 0 0 0 0 10 2 2 1

Tabel 2. Jumlah individu (n) dan jenis (j) dari setiap ordo serangga pengunjung bunga R.patma pada bunga mekar dan layu pada setiap waktu pengamatan (pagi, siang, dan sore)di Kebun Raya Bogor

Gambar 2. Jumlah seluruh individu dari setiap ordo serangga pengunjung bunga R. patmapada setiap waktu pengamatan (pagi, siang, dan sore) di Kebun Raya Bogor

Gambar 3. Jumlah seluruh individu dari setiap ordo serangga pengunjung bunga R. patmasedang mekar pada setiap waktu pengamatan (pagi, siang, dan sore) di Kebun RayaBogor

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

pagisiang

sore

30

2

495

376

305

1 102

Coleoptera Diptera Hymenoptera

0

10

20

30

40

50

60

pagisiang

sore

00

0

5357

33

10

0

Coleoptera Diptera Hymenoptera

Page 144: Jurnal Biologi Indonesia

436

Kahono dkk

Gambar 4. Jumlah seluruh individu dari setiap ordo serangga pengunjung bunga R. patmalayu pada setiap waktu pengamatan (pagi, siang, dan sore) di Kebun Raya Bogor

jenis dan populasi dari pagi sampai soreatau tidak seperti yang terjadi pada bungalain yang mengindikasi bunga pengun-jungnya berbeda antara pagi dan sore.

Komunitas dan fluktuasi harianserangga pada bunga layu

Ditemukan dua jenis kumbang(Hydropilidae sp. dan Staphilinidae sp.),dua jenis dari Hymenoptera (T. laevicepsdan Aenictus sp.) pada bunga R. patmayang layu, tetapi jumlahnya sangatsedikit. Tujuh jenis lalat (Nanomyinalitorea, Chrymomyza amoena, Droso-phila colorata, Microdrosophila sp.,Drosophila albomicans, Hypoceridesnectcus, Pterogramma palliceps, danAmphicnephes pullus) berkunjunghanya pada bunga layu (Tabel 3).

Jumlah individu lalat yang ditemukanpada bunga layu sangat banyak mencapai442 individu, namun ada sedikit fluktuasilalat pada pagi sampai sore hari. Jumlahindividu lalat paling tinggi pada pagi harikemudian menurun pada siang danterendah pada sore hari (Gambar 4).

PEMBAHASANPada penelitian ini dilakukan

pengamatan malam pada bunga yangsedang mekar untuk melihat seranggamalam yang datang ke bunga R. patma,namun tidak menemukan seranggamalam yang datang pada bunga. Dataini menunjukkan bahwa serangga malamtidak dimungkinkan sebagai penyerbukbunga ini.

Hasil pengamatan memperlihatkanbahwa tidak terjadinya fluktuasiserangga yang menonjol pada pagidibandingkan dengan siang dan sore haribaik pada bunga mekar maupun bungalayu, dapat diartikan bahwa tidak terjadiperubahan kondisi bunga yang menyolokpada pagi dibandingkan dengan siang dansore hari atau tidak seperti layaknya padabeberapa jenis bunga tanaman pertanianyang diketahui ada perkembangan danperubahan bunga sepanjang hari (Uji etal. 2010). Seperti layaknya pada bungayang waktu mekarnya berbeda yaitupada pagi sampai sore hari ternyataberpengaruh pada variasi keanekaraga-man dan populasi serangga pengunjungbunganya (Kahono 2001; Atmowidi2008; Rianti 2009). Sebaliknya, untuk

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

pagisiang

sore

30

2

442

319

272

0 102

Coleoptera Diptera Hymenoptera

Page 145: Jurnal Biologi Indonesia

437

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

No. Ordo

Famili MEKAR LAYU

Jenis pa si so pa si so Coleoptera:

1 Hydrophylidae sp. Hydrophylidae 3 2 Staphilinidae sp. Staphilinidae 2

Diptera: 1 Anthomyza gracilis Anthomyzidae 6 1 2 2 2 Astiosoma flaveolum Asteiidae 1 3 Leiomyza laevigata Asteiidae 8 3 4 4 Chrysomya megacephala Calliphoridae 5 13 8 3 3 5 Hemipyrellia tagaliana Calliphoridae 2 2 3 6 Nanomyina litorea Dolichopodidae 2 7 Chrymomyza amoena Drosophilidae 205 155 93 8 Drosophila colorata Drosophilidae 38 26 26 9 Microdrosophila sp. Drosophilidae 45 20 15

10 Drosophila albomicans Drosophilidae 88 72 71 11 Stegana coleoptrata Drosophilidae 9 12 4 12 Heteromyza oculata Heleomyzidae 11 9 7 1 13 Tephrochlamys rufiventris Heleomyzidae 5 6 5 14 Lispe canadensis Muscidae 3 7 1 15 Hypocerides nectcus Phoridae 2

16 Lecanocerus compressicerps Phoridae 3 4 1

17 Pterogramma palliceps Sphaeroceridae 62 38 60 18 Amphicnephes pullus Platystomatidae 1 3

Hymenoptera: 1 Trigona laeviceps Apidae 1 2 Formicidae sp. Formicidae 1 3 Aenictus sp. Formicidae 9 2

Tabel 3. Keanekaragaman dan kelimpahan serangga pengunjung bunga R. patma berdasarkanwaktu pengamatan di Kebun Raya Bogor

kasus waktu mekar bunga R. patma terusritme kunjungan serangga antara pagi,siang dan sore tidak dijumpai. Perbedaanhanya dijumpai terlihat jika kitamembandingkan serangga pengunjungantara saat bunga mekar dan layu. Pada

kasus bunga ini, walaupun tidak terlihatperbedaan serangga pengunjungnya yaituantara pagi dan siang bukan berartibahwa tidak terjadi perubahan fisiologisbunga R. patma, namun sayangnyahingga saat penulisan ini, proses fisiologis

Page 146: Jurnal Biologi Indonesia

438

Kahono dkk

bunga ini saat mekar hingga layu belumada peneliti yang mendata danmencatatnya sehingga tidak dapatdiketahui penyebab ketidak-fluktuasianserangga pengunjung.

Kelompok lalat (Diptera) palingbanyak mengunjungi bunga R. patmakarena ketertarikannya kepada aromabunga tersebut. Strategi mengeluarkanbau busuk seperti bangkai menyebabkanlalat tertarik pada bunga ini. Oleh karenaitu lalat tersebut disebut juga carrion flies(Beaman et al. 1988; Rudnitski 1991;1993) dan diduga lalat sebagaipenyerbuknya. Lalat Sarcophaga sp.,lalat buah Drosophila sp., lalat hijauLucilia sp., dan lalat biru Protocal-liphora sp. Dijumpai sebagai penyerbukbunga R. patma di CA LeuweungSancang Garut (Jawa Barat) (Priatna etal. 1989).

Pada kasus pembungaan bunga ini,ternyata ada spesialisasi jenis seranggayang berkunjung pada bunga mekar sajaatau bunga layu saja, atau berkunjungpada keduanya.

Kecuali semut Formicidae sp danlalat Astiosoma flaveolum, makasepuluh jenis tersebut diduga yang palingdimungkinkan sebagai penyerbuk bungaR. patma. Dugaan tersebut didasarkanpada fakta bahwa mereka aktif dengansengaja mengunjungi bunga R. patmayang mengeluarkan aroma attractant,tubuh memiliki rambut-rambut yangdimungkinkan untuk menempel serbuksari, dan waktu kunjungan bertepatandengan bunga yang sedang mekar. Lalatjuga disebutkan sebagai penyerbuk padajenis-jenis Rafflesia (Herdiyanti 2009;Priatna et al. 1999). Seluruh jenis yang

termasuk ordo Coleoptera danHymenoptera, dan lalat Astiosomaflaveolum walaupun mengunjungi bungapada saat bunga sedang mekar tetapisangat kecil kemungkinannya sebagaipenyerbuk bunga R. patma karenakedatangannya secara eksidental sajadan tidak aktif. Seluruh jenis Coleopteradan Hymenoptera tidak berpotensisebagai penyerbuk karena kedatangan-nya hanya eksidental mengunjungi bungaR. patma. Selain itu ada tujuh jenis lalat(Nanomyina litorea, Chrymomyzaamoena, Drosophila colorata, Micro-drosophila sp., Drosophila albomi-cans, Hypocerides nectcus, Pterogra-mma palliceps, dan Amphicnephespullus) hanya ditemukan pada bungalayu saja sehingga pertemuan denganbunga yang sedang mekar tidak terjadisehingga fungsinya lebih sebagaipemakan zat-zat yang ada pada bungalayu daripada sebagai penyerbuk R.patma.

Untuk menentukan jenis seranggayang nyata-nyata sebagai penyerbuksuatu bunga berumah dua seperti bungaR. patma ini diperlukan dua bunga jantandan betina yang mekar bersamaan.Sayangnya, ketidak beradaan bungajantan dan dalam penelitian ini hanyamenggunakan bunga betina tunggal,sehingga penentuan jenis lalat penyerbukbunga R. patma tidak bisa disimpulkan.Berbagai analisis dapat dilakukan denganberbagai pendekatan morfologi, perilaku,dan pendekatan biologi lainnya dapatdigunakan sebagai bahan pertimbanganpenting (Dafni 1992). Aspek perilakumisalnya lalat datang pada saat bungasedang mekar, memiliki aktifitas terbang

Page 147: Jurnal Biologi Indonesia

439

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

dan pindah tinggi pada bagian-bagianpenting bunga dan antar bunga. Jenis-jenis lalat yang berkunjung pada bungaR. patma mekar saja atau juga yangmengunjungi bunga mekar dan layudiduga menjadi jenis yang potensialsebagai penyerbuk. Perilaku atauaktifitas dari lalat yang aktif terbangberpindah-pindah ke bagian-bagian dalamdari bunga dimana organ kelamin beradadan bagian luar tubuh lalat yang dipenuhidengan rambut-rambut yang dapatmenempelkan serbuksari menjadi bahanpertimbangan penting dalam memperki-rakan jenis mana yang memiliki kemung-kinan kuat sebagai penyerbuk bunga R.patma. Berdasarkan data tersebut makajenis-jenis lalat yang diduga memilikikemampuan tinggi menyerbuki bunga R.patma adalah Leiomyza laevigata(Asteiidae), Chrysomya megacephaladan Hemipyrellia tagaliana (Calliphori-dae), Stegana coleoptrata (Drosophili-dae), Heteromyza oculata dan Tephro-chlamys rufiventris (Heleomyzidae).Sedangkan yang kurang potensial sebagaipenyerbuk adalah Anthomyza gracilis(Anthomyzidae), Lispe Canadensis(Muscidae), dan Lecanocerus compres-sicerps (Phoridae). Penelitian lanjutandiperlukan untuk menentukan tingkatskala potensial dari ke-sepuluh jenis lalattersebut sebagai penyerbuk bunga R.patma terutama pada saat bunga jantandan betina mekar bersamaan. Jenis apayang potensial sebagai penyerbukdihubungkan dengan strategipenyerbukannya di waktu yang akandatang.

Sebagian besar jenis dan individu dariDrosophila mendatangi bunga R. patma

setelah bunga mulai layu, kecenderungansemakin banyak pada hari ke tiga danseterusnya. Pada Saat bunga dikoleksioleh staf Kebun Raya Bogor padatanggal 29 Juli 2010 atau sembilan harisetelah bunga mekar masih banyakdijumpai lalat Drosophila spp. Walaupunjumlahnya sudah sangat menurun. GenusDrosophila selama ini dikenal sebagaifruit flies yang karakteristik pada buahlewat matang atau buah yang membusuk(Nais 2004; Anonim 2010; Markow &O’Grady 2006). Drosophila mengambilmaterial dari bunga R. patma yangmembusuk dan dimungkinkan menaruhtelurnya pada bagian bunga yang lunakuntuk pertumbuhan larvanya. Sayang-nya, bunga tersebut diambil untukspesimen koleksi ilmiah Kebun RayaBogor sehingga pembuktian tentangpemanfaatan bunga untuk media bagiDrosophila belum dapat dibuktikan.Pada bunga layu banyak peranannyasebagai perombak dan banyak jenismemanfaatkan bunga lapuk sebagaipakan anakannya.

Berbagai keterbatasan syarat hidup,adaptasi pada lingkungan yang spesifik,penurunan kualitas dan kuantitas habitatalam yang terus terjadi menjadi penyebabsemakin jarangnya bunga ini. Selainbahwa jenis ini di alam sudah jarang,beberapa faktor lain yang menyebabkanjenis bunga ini menjadi langka adalah sifatparasitismenya yang mutlak spesifik(Barkman et al. 2004; Latiff & Mat-Salleh 1991); bunga berumah dua(Meiyer 1997), tidak seimbangnya rasioseks (Nais 2001) sehingga jarang bungabetina terserbuki (Brown 1912), dan

Page 148: Jurnal Biologi Indonesia

440

Kahono dkk

faktor mortalitas bunga yang yang tinggi(Nais 2004; Emmons et al. 1991).

Selama pengamatan tidak ditemukankelompok binatang lain yang tercatatmengunjungi bunga. Hanya seekor kodokRana sp. yang berada di bawah atau disekitar bunga R. patma untuk memburulalat-lalat yang mengunjungi bunga.

KESIMPULAN

- Ditemukan sebanyak 23 jenisserangga pengunjung bunga R. patmadi luar habitat aslinya Kebun RayaBogor, 18 jenis diantaranya adalahlalat.

- Jenis-jenis lalat yang diduga dapatsebagai penyerbuknya bunga R.patma adalah Leiomyza laevigata(Asteiidae), Chrysomya megace-phala dan Hemipyrellia tagaliana(Calliphori-dae), Stegana coleoptra-ta (Drosophili-dae), Heteromyzaoculata dan Tephrochlamys rufiven-tris (Heleomyzidae)

SARAN

- Dalam upaya konservasi eksitu R.patma perlu mempertimbangkan agarpembungaan yang terjadi di luarhabitat tidak sia-sia denganmengupayakan terjadinya waktumekar bunga jantan dan betina terjadibersamaan. Hal ini penting untuk agarpenyerbukan dapat terjadi sehinggaterbentuk biji yang dalam ditumbuh-kembangkan.

- Bila dimungkinkan dengan membuatstok serbuk sari yang masih aktif

sehingga dapat diserbukkan padabunga betina yang mekar kemudian.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih disampaikan kepadaKepala Kebun Raya Bogor melalui stafadministrasi yang terkait yang telahmemberikan ijin kepada kami dalammenggunakan bunga R. patma untukpenelitian ini. Bapak Ngatari yang telahmemberikan banyak informasi tentangbunga R. patma dan Sdr. Sarino yangtelah membantu melakukan pengamatan.Penelitian ini merupakan bagian darikegiatan penelitian rutin yang selama inikami lakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Rafflesia: BiologicalSciences. Dalam http://homepages.wmich.edu/~tbarkman/rafflesia/Rafflesia.html. WesternMichigan University.

Atmowidi, T. 2008. Keanekaragamandan Perilaku Kunjungan SeranggaPenyerbuk Serta PengaruhnyaDalam Pembentukan Biji TanamanCaisin (Brassica rapa L.:Cruciferae). [Disertasi]. SekolahPascasarjana IPB.

Barkman, TJ., SH. Lim, K. Mat-Salleh,and J. Nais. 2004. MitohondrialDNA sequences reveal thephotosynthetic relative onRafflesia, the world’s largestflower. PNAS. 1001 (3): 787-792.

Barth, FG. 1991. Insect and flowers.The Biology of Partnership. NweJersey: Princeton Univ. Press.

Page 149: Jurnal Biologi Indonesia

441

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

Beaman RS., PJ. Decker, JH. Beaman.1988. Pollination of Rafflesia(Rafflesiaceae). Amer. J. Bot. 75(8): 1148-1162.

Brake, I. & Bächli, G. 2008. Drosophili-dae (Diptera). In World Catalogueof Insects, pp. 1-412.

Brown, WH. 1912. The relation ofRafflesia manillana to its host.Philippine J. Sci.Bot.7: 209"236.

Colles, DH. & DK. McAlpine. 1970.Diptera. In Waterhouse (ed.) 1970.The Insect of Australia. MelbourneUniversity Press.

Dafni, A. 1992. Pollination Ecology: APractical Approach. Oxford Univ.Press.

Emmons, LH., J. Nais, & A. Briun.1991. The fruit and consumers ofRafflesia keithii (Rafflesiaceae).Biotropica 23 (2): 197-199.

Faegri K. & L van der Pijl. 1971. Theprinciples of pollination ecology.Pergamon Press. 291 pp.

Free JB. 1993. Insect Pollination ofcrops. Second edition. AcademicPress. 684 pp.

Herdiyanti, PR. 2009. Pemetaankesesuaian habitat Rafflesiapatma Blume di Cagar AlamLeuweung Sancang Garut JawaBarat. Skripsi. DepartemenKonservasi Sumberdaya Hutandan Ekowisata, Fakultas Kehuta-nan, IPB.

Kahono, S. 2001. Peranan dan Permasa-lahan Serangga Penyer-buk diIndonesia. Fauna Indonesia . 5(2): 9-16.

Koorder, S.H. 1917. Notiz ûber eineneue abbildung von Rafflesiahasseltii Sur.

Latiff, A. & K. Mat-Salleh. 1991.Rafflesia. In: Kew, R. (ed.). TheState of Nature Conservation inMalaysia. Kuala Lumpur: Mala-yan Nature Society-InternationalDevelopment and Research Centreof Canada.

Latiff, A. & M. Wong. 2003. A newspecies of Rafflesia from peninsu-lar Malaysia. Folia Malaysiana 4:135-146.

Markow, TA. & PM. O’Grady (2006).Drosophila: A guide to speciesidentification and use. London, UK,Elsevier Inc.

Meiyer, W. 1997. Rafflesiaceae. FloraMalesiana. Series I Vol 13: 1-42.

Nais J. 2001. Rafflesia of the World.Sabah Parks, Kota Kinabalu.

Nais, J. 2004. Rafflesia Bunga Terbesardi Dunia. Kuala Lumpur: DewanBahasa dan Pustaka. Dalam:Http://en.wikipedia.org/wiki/Rafflesia. 1 Agustus 2010.

Ong, LP. 2004. Biologi Rafflesiahasseltii Tanjung Datu, Sara-wak. [Thesis]. Bangi: Pusat StudiSains Sekitaran dan Sumber Alam,Fakulti Sains dan Teknologi,Universiti Kebangasaan Malaysia.

Priatna, DR, EAM. Zuhud, HS. Alikodra.1989. Kajian ekologis Rafflesiapatma Blume di Cagar AlamLeuweung Sancang Jawa Barat.Media Konservasi 2 (2): 1-7.

Remsen, J. & P. O’Grady (2002).Phylogeny of Drosophilinae(Diptera: Drosophilidae), with

Page 150: Jurnal Biologi Indonesia

442

Kahono dkk

comments on combined analysisand character support. Mol. Phylo.Evol. 24:249-264.

Rianti, P., 2009. Keragaman, Efektifitas,dan Perilaku Kunjungan SeranggaPenyerbuk Pada Tanaman JarakPagar (Jatropha curcas L.:Euphorbiaceae). [Tesis] MagisterSains. Departemen Biologi.Sekolah Pascasarjana IPB.

Rudnitski, SM. (ed.). 1991. Manual ofNearctic Diptera. Volume 1.Canadian Government PublishingCentre.

Rudnitski, SM. 1993. Manual of NearcticDiptera. Volume 2. Monograph/Agriculture Canada; 27-28.

Sofiyanti N, K. Mat-Salleh, D. Purwanto,E. Syahputra. 2007. The Note onMorphology of Rafflesia hasseltiiSurigar from Bukit Tiga PuluhNational Park, Riau. Biodiversitas9( 1): 257-261.

Uji, T., Erniwati & S. Kahono. 2010.Kajian biologi bunga pada beberapatanaman pertanian musiman untukmendukung manajemen penyerbu-

kannya. J. Tekno. Lingkungan(accepted).

Wiriadinata H. 2007. Tumbuhan. Dalam:Noerdjito M & I Maryanto (eds.).Jenis-jenis hayati yang dilindungiperundang-undangan Indone-sia.Cetakan ke-tiga. LIPI Press.

Walter, KS. & Gillett, H.J. 1998. 1997IUCN Red List of ThreatenedPlants. IUCN, Gland, Switzerlandand Cambridge, UK.

Yahya AF, JO Hyun, JH Lee, TB Choi,BY Sun & PG Lapitan. 2010.Distribution pattern, reproductivebiology, Cytotaxonomic study andCONSERVATIONof Rafflesiamanillana in Mt. Makiling,Laguna, Philippines. Journal ofTropical Forest Science 22(2):118–126.

Zuhud, EAM, A. Hikmat, & N. Jamil.1998. Rafflesia Indonesia,Keanekaragaman, Ekologi danPelestariannya. Bogor: YayasanPembinaan Suaka Alam dan SuakaMargasatwa Indonesia (TheIndonesia Wildlife Foundation) danLaboratorium KonservasiTumbuhan, Institut PertanianBogor.

Memasukkan: Agustus 2010Dioterima: September 2010

Page 151: Jurnal Biologi Indonesia

443

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 443-458 (2010)

PENDAHULUAN

Pulau Moti termasuk dalam kategoripulau kecil sesuai dengan kriteria yangterdapat dalam Keputusan MenteriKelautan dan Perikanan No.41/2000 JoKep. Menteri Kelautan dan PerikananNo. 67/2002. Luas pulau ini hanya sekitar24.6 km2 dengan jumlah penduduk tidak

lebih dari 4.797 jiwa (Anonim 2008 a),secara fisik geografis pulau ini masukdalam wilayah Maluku Utara merupa-kan gugusan pulau dalam kawasanWallacea dimana tingkat keanekaragamanhayati cukup tinggi.

Tingginya tingkat keanekaragamanhayati ini didukung oleh variasi jenisvegetasi (Utaminingrum & Roemantyo

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung di Pulau Moti,Ternate, Maluku Utara

Hetty I.P. Utaminingrum & Eko Sulistyadi

Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Cibinong Science Centre, Jl. Raya Jakarta Bogor KM 46,Cibinong. Email: [email protected]

ABSTRACT

Study on the relationships between vegetation coverage and bird distribution in Moti Island,Ternate, North Moluccas. Research study on relationships between vegetation coverage andbird distribution in Moti Island, Ternate, Moluccas was conducted on May 2010. The objectiveof this research is to understand the bird species occurrence on a vegetation type as anindicator for environment quality determination in small Moti Island. Data on the occurrenceof bird species in the every vegetation type was collected and recorded using explorationmethod. The bird species were identified for the scientific name, local name, their activities,location or coordinate position and their vegetation or habitat. The data then compiled andtabulated for the spatial analyses using Ikonos image and topographic (SRTM) maps data.The data output from the spatial analyses then analyzed using Principle Component Analyses(PCA) to get the most important factors of vegetation cover types that influenced the occurrenceof the bird species. The results showed that about 34 bird species, belong to 20 families and 29genera have occurred in the Moti Island. About 13 vegetation types were recorded as naturalsites of bird species for feeding, playing and breeding grounds. Analyzing data using PCAshowed that at least 3 vegetation types have played as important sites for bird species in thisarea. The sites were mangrove, secondary forest and mixed gardens. The roles of both threeimportant vegetation types and bird species as environment quality indicators were in detaildiscussed in this paper. The discussion also includes how to develop fisherman villages inMoti Island using its own natural resources and biodiversity.

Key words: Moti Island, birds distribution, vegetation coverage, spatial analyses

Page 152: Jurnal Biologi Indonesia

444

Utaminingrum & Sulistyadi

2010) dan jumlah satwa burung(Sulistyadi 2010) yang ditemukan dipulau Moti. Tutupan vegetasi mempu-nyai peranan penting dalam kelangsu-ngan hidup bagi satwa yang adadisekitarnya. Beberapa tahun terakhirsebagian besar wilayah pulau Moti initelah berubah menjadi areal perkebunanterutama kebun pala, kenari, cengkih dankelapa. Berkurangnya luasan vegetasi,adanya perubahan fungsi hutan danpenggunaannya serta sulitnya diperolehair tanah di daerah pegunungan (Roe-mantyo 2010) tentunya akan mempe-ngaruhi keanekaragaman hayati dikawasan tersebut.

Keunikan tumbuhan dan satwapulau Moti ini belum pernah diungkapsecara rinci tampak dari data spesimenkoleksi dan herbarium yang tersimpan diMuseum Zoologicum Bogoriense danHerbarium Bogoriense masih sangatterbatas. Karena itu kajian tentangsatwa dalam hubungannya dengantutupan vegetasi perlu dilakukan. Dalampenelitian ini akan diteliti hubungan antaratutupan vegetasi dan satwa burung yangada di pulau Moti. Kajian ini bertujuanuntuk melihat kecenderungan keterdapa-tan satwa burung pada tipe tutupanvegetasi yang dapat menjadi salah satuindikator bagi baik tidaknya kualitaslingkungan secara umum di kawasanpulau Moti.

BAHAN DAN CARA KERJA

Dalam penelitian ini bahan yangdigunakan untuk pengolahan data spasialantara lain beberapa peta digital yaituberupa peta rupa bumi 1:250.000

(Bakosurtanal 1999), peta tematik tutupanlahan, 1:250.000 (Re PPProt 1989) danCitra IKONOS Juni 2006 (Space Imaging,2006), citra satelit topografi (SRTM -Shuttle Radar Topographic Mission).

Peralatan yang digunakan adalahperalatan lapangan dan peralatanlaboratorium. Peralatan lapangan dibagimenjadi dua terdiri dari peralatan untukpengamatan burung (binokuler, jaring danbuku panduan lapangan Burung-BurungWallacea) dan peralatan untuk pengumpulandata spasial (GPS, altimeter, kompas,kamera digital, alat tulis). Peralatanlaboratorium terdiri dari alat bedah danprosesing spesimen burung, sedangkanperalatan laboratorium untuk pengolahandata spasial berupa perangkat keraskomputer (personal komputer), perangkatlunak GIS (Geographical InformationSystem) yang berkemampuan raster danvector (ArcView 3.3), perangkat lunakpengolah Citra (ErdasImagine 9.1 danGlobal Mapper 9), perangkat lunakpengolah data dari GPS (MapSource),perangkat lunak pengolah data tekstual(Microsoft Access), printer warna untukmencetak peta dan untuk analisis statistikmenggunakan perangkat lunak SPSS 12for Windows.

Penelitian lapangan dilakukan dipulau Moti, kecamatan Moti, KotaTernate, propinsi Maluku Utara padatanggal 1 – 17 Mei 2010. Ada 6 kelurahanyang dijadikan obyek observasi satwaburung yaitu Motikota, Figur, Tadenas,Tafaga, Tafamutu, dan Takofi.Mengingat topografi kawasan sangatterjal maka data primer keterdapatansatwa burung dikumpulkan denganmengambil contoh secara acak

Page 153: Jurnal Biologi Indonesia

445

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

(eksplorasi) di dataran rendah dan didataran tinggi dengan cara membuat jalurdan titik pengamatan pada peta denganGPS. Di dataran rendah ekplorasidilakukan dengan mengambil cuplikan di6 kelurahan (Motikota, Figur, Tadenas.Tafaga, Tafamutu, dan Takofi) mulai daripinggir pantai sampai pada ketinggian100 m dpl. Sedangkan untuk datarantinggi eksplorasi dilakukan di kelurahanMotikota dan Tadenas sampai padaketinggian 700 m dpl. Data yang dikum-pulkan antara lain nama jenis dan jumlahindividu satwa burung, macam aktifitas,waktu beraktifitas, nama jenis tumbuhantempat beraktifitas dan nama lokasi(kelurahan atau kampung). Posisi seluruhketerdapatan satwa burung dicatatkoordinat (latitude dan longitude),ketinggian (altitude) dengan mengguna-kan alat bantu GPS (Global ositioningSystem).

Identifikasi terhadap nama ilmiahburung menggunakan acuan dari BrianJ.C. dan K. D. Bishop (1997). Analisisterhadap posisi keterdapatan satwaburung terhadap tutupan lahan dilakukanterhadap hasil digitasi pemanfaatan lahandan interpretasi akhir yang dilakukan olehUtaminingrum dan Roemantyo (2010),sedangkan klasifikasi keterdapatan satwaburung secara vertikal digunakan denganmenumpang susunkan data pada petacitra topografi (SRTM). Sebelummelakukan penggabungan data spasialdengan data tekstual, terlebih dahulu citraSatelit Ikonos + SRTM dikoreksigeometriknya dengan menggunakanperangkat lunak Erdas Imagine 9.1 padapeta rupa bumi (Bakosurtanal 1999)sebagai referensi. Citra SRTM diolah

dengan menggunakan perangkat lunakGlobal Mapper 9 untuk mendapatkandata topografi dengan beda ketinggian 5m. Analisis data spasial dan tekstual iniselanjutnya diolah dengan menggunakanperangkat lunak ArcView 3.3 untukmendapatkan hubungan antara kelasketinggian, tipe vegetasi dan jenis satwaburung. Agar proses query lebih mudah,pengelompokan dan penggabungan dataspasial dengan data tekstual digunakanperangkat lunak Microsoft Access.Sedangkan untuk menganalisis hubunganantara tipe-tipe vegetasi dengankehadiran jenis dan jumlah satwa burungdigunakan perangkat lunak SPSS 12 forWindows.

Normalisasi dan standarisasi datadilakukan sebelum data dianalisis.Seluruh nilai yang diperoleh sebelumdianalisis dinormalisasi dan distandarisasidengan metode analisis Kluster (Kreb1989)

Normalisasi data diperlukan untukmembuat data proporsional, yaitu denganmenggunakan rumus:

dimana, P = Nilai proporsional n1 = Nilai asli ke i N1 = Penjumlahan seluruh nilai

Sedangkan standarisasi datadilakukan dengan menggunakan metodetransformasi dengan menggunakanrumus:

xI = log(x + 1)dimana,

Σ

P =

n1

Σ N1

Page 154: Jurnal Biologi Indonesia

446

Utaminingrum & Sulistyadi

xI = nilai data yang telah di transformasix = nilai asli.

Jika nilai proporsional masih 0, makanilai tersebut diganti dengan nilai 0.1 untukpenghitungan kalkulasi proporsi.

HASIL

Jenis satwa burung yang ditemukanObservasi yang dilakukan di 6

kelurahan yaitu Motikota, Figur, Tadenas,Tafaga, Tafamutu, dan Takofi meliputi 293titik koordinat di 58 lokasi pengamatanyang tersebar dari pinggir laut hinggakawasan pegunungan yang terjal padaketinggian 700 m dpl. Tercatat ada sekitar34 jenis nama satwa burung yang tercatathidup dikawasan ini, meliputi 20 suku, 29marga. Suku Accipitridae adalah yangpaling banyak ditemukan, yaitu dengan 5jenis dengan 3 marga yaitu Accipiter,Haliastur dan Milvus. Kemudian disusuldengan suku Columbidae 4 jenis,Alcedinidae 3 jenis, Cucculidae, Psittaci-dae, Nectariniidae, Campephagidae danSturnidae masing-masing 2 jenis. Sisanyasebanyak 12 suku berupa satwa burungdengan masing-masing 1 marga dan 1jenis. Daftar jenis satwa burung yang telahdiidentifikasi disajikan pada Tabel 1.

Dari Tabel 1 tercatat paling tidakterdapat 4 jenis yang endemik Malukuyaitu Elang kecil maluku, Cekakak biruputih, Kapasan halmahera, Walik topi biru.Disamping itu tercatat pula jenis-jenisburung yang endemik di pulau lain tetapiditemukan di pulau ini seperti Elang alapekor totol endemik di Sulawesi, Bondoljawa endemik di Sumatra, Jawa dan Timor,serta burung Gosong kelam yang endemik

dari Papua. Beberapa jenis yang laintercatat sebagai satwa burung migran.

Sebaran vertikal satwa burungMeskipun pulau Moti luasnya hanya

sekitar 24.6 km2, dengan topografi yangbergunung-gunung terjal mulai dari pantaihingga puncak gunung Tuaname (930 –950 m dpl.) yang berjarak kira-kira 2,5 –3 km dari Motikota ini tampak menjadisalah satu pembatas sebaran satwaburung. Sebaran burung secara vertikalmenunjukkan adanya perbedaan jumlahperjumpaan jenis burung yang ditemukandi masing-masing zona ketinggian.Analisis spasial sebaran burung denganpeta topografi yang diolah dari citraSRTM digambarkan pada histogramperjumpaan satwa burung di masing-masing ketinggian di Pulau Moti (Gambar1). Dari gambaran histogram perjumpaansatwa burung, tampak bahwa totalperjumpaan terhadap satwa burungpaling banyak terjadi di dataran rendahkurang dari 100 m dpl yaitu mencapailebih dari 140 individu. Pada ketinggiandiatas 100 m total perjumpaan indoviduburung cenderung berkurang drastismenjadi sekitar 30 ekor/individu.Demikian juga jumlah jenis burung yangdijumpai di dataran rendah lebih banyakdibandingkan dengan lokasi yang lebihtinggi. Pada ketinggian kurang dari 50 mdpl ditemukan sekitar 30 jenis burung, danjenis yang ditemukan pada ketinggiansekitar 100 m dpl sudah di bawah 20 jenis,Perjumpaan satwa burung dan jenisnyamulai tampak bertambah lagi padaketinggian 500 m dpl dan cenderungmenurun kembali pada ketinggian lebih

Page 155: Jurnal Biologi Indonesia

447

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

Tabel 1. Jenis-jenis satwa burung yang ditemukan di P. Moti, Ternate, Maluku

Keterangan:S: Sumatera; K: Kalimantan; J: Jawa: C: Sulawesi; M: Maluku; T: Timor; P: Papua. <spesies tercatat diFilipina atau Asia Tenggara> Spesies tercatat di Kepulauan Bismarck, Solomon dan Australia; N<Spesies migran dari bagian utara ke Indonesia (100% sub spesies yang melintas di Indonesia bermigrasi);N> spesies migran dari bagian selatan ke Indonesia (100% subspesies yang melintas di Indonesiabermigrasi), E: Spesies endemik Indonesia, F: Spesies yang diperkirakan feral.

Suku Nama ilmiah Nama daerah Sebaran Endemik

Accipitridae Accipiter erythrauchen Gray, 1861 Elang kecil maluku M E

Accipitridae Accipiter soloensis Horsfield, 1821 Elang alap cina SKJCMTP N<

Accipitridae Accipiter trinotatus Bonaparte, 1850 Elang alap ekor totol C E

Accipitridae Haliastur indus Boddaert, 1783 Elang bondol SKJCMTP <>

Accipitridae Milvus migrans Boddaert, 1783 Elang paria SKJCMTP <>

Alcedinidae Halcyon diops Temminck, 1824 Cekakak biru putih M E

Alcedinidae Halcyon saurophaga Gould, 1843 Cekakak pantai MP -

Ardeidae Egretta sacra Gmelin, 1789. Kuntul karang SKJCMTP N<>

Artamidae Artamus leucorynchus Linnaeus, 1771. Kekep babi SKJCMTP <>

Bucerotidae Rhyticeros plicatus J.R.Forst., 1781 Julang irian MP >

Campephagidae Coracina papuensis Gmelin, 1788 Kepudang sungu kartula MTP >

Campephagidae Lalage aurea Temminck, 1827 Kapasan halmahera M E

Columbidae Chalcophaps indica Linnaeus, 1758 Delimukan zamrud SKJCMTP

Columbidae Ptilinopus monacha Temminck, 1824 Walik topi biru M E

Columbidae Ptilinopus superbus Temminck, 1809 Walik raja CMTP

Columbidae Streptopelia chinensis Scopoli, 1768. Tekukur biasa SKJFFT <F

Corvidae Corvus orru Bonaparte, 1850. Gagak orru MTP >

Cuculidae Cacomantis variolosus Vigors & Horsfield, 1826 Wiwik rimba CMTP >

Cuculidae Eudynamys scolopacea Linnaeus, 1758 Tuwur asia SKJCMTP <

Estrildidae Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore,1858 Bondol jawa SJT E

Megapodiidae Megapodius freycinet Gaimard, 1823 Gosong kelam MP E

Meropidae Merops ornatus Latham, 1801. Kirik-kirik Australia JCMTP >

Monarchidae Myiagra alecto Temminck, 1827. Sikatan kilap MTP >

Nectariniidae Cinnyris jugularis Linnaeus, 1766. Madu sriganti SKJCMTP <>

Nectariniidae Leptocoma sericea Lesson & Garnot, 1828. Madu hitam CMP >

Pachycephalidae Pachycephala pectoralis Latham, 1802. Kancilan emas JCMTP >

Ploceidae Passer montanus Linnaeus, 1758 Gereja SKJCMTP <F

Psittacidae Eclectus roratus Müller, 1776. Nuri bayan MTP >

Psittacidae Tanygnathus megalorynchos Boddaert, 1783 Betet kelapa paruh besar CMTP -

Rhipiduridae Rhipidura leucophrys Latham, 1802 Kipasan kebun MP >

Sturnidae Aplonis metallica Temminck, 1824. Perling ungu CMTP >

Sturnidae Aplonis mysolensis Gray, 1862. Perling maluku CMP E

Oriolidae Oriolus phaeochromus Gray, 1860 Kepudang halmahera M E

Alcedinidae Ceyx lepidus Temminck, 1836 Udang merah kerdil CMP -

 

Page 156: Jurnal Biologi Indonesia

448

Utaminingrum & Sulistyadi

dari 600 m dpl. Meskipun bertambahjumlah perjumpaan maupun jenisnya tidaklebih dari 20.

Hasil analisis dengan menggunakancitra satelit terhadap sebaran satwaburung di pulau Moti ini menunjukkanbahwa dari sekitar 293 titik pengamatanperjumpaan satwa burung terbanyakterdapat di kelurahan Tadenas dengantotal perjumpaan jenis satwa burung 60kali dan 126 individu di 83 titikpengamatan, kemudian disusul dikelurahan Motikota dengan totalperjumpaan sebanyak 49 kali dan jumlahindividu 203 di 101 titik pengamatan,Tafaga 43 kali dengan 77 individu di 64titik, Figur 23 kali dengan 47 individu di25 titik pengamatan, Tafamutu 13 kalidengan 47 individu di 16 titik pengamatan

dan Takofi 4 kali dengan 6 individu di 4titik pengamatan. Memang data yangdikumpulkan dari Takofi sangat terbatas,selain jaraknya cukup jauh, medannyasangat sulit ditempuh dan cukup terjalbentang alamnya.

Jika data posisi pengamatanditumpang susunkan pada peta tutupanvegetasi pulau Moti (Utaminingrum danRoemantyo, 2010), maka dapat diperolehrincian informasi seperti pada Tabel 2.Paling sedikit ada sekitar 4 golonganbesar tutupan vegetasi di pulau Moti inidimana burung sering dijumpai, yaituhutan (hutan mangrove, hutan sekunder,semak, dan semak belukar), kebun danladang (kebun campuran, kebun kakao,kebun kelapa, kebun pala, kebunsingkong), kawasan pemukiman dan

0

20

40

60

80

100

120

140

160

Keting

gian 0

-50

Keting

gian 5

1 - 10

0

Keting

gian 10

1-200

Keting

gian 20

1 -300

Keting

gian 3

01 - 4

00

Keting

gian 401

- 500

Keting

gian 5

01-60

0

Keting

gian >

614

Total perjumpaan

Total jenis

Gambar 1. Diagram perjumpaan satwa burung di masing-masing ketinggian di Pulau Moti

Page 157: Jurnal Biologi Indonesia

449

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

fasilitas umum seperti sumber air bersihdan lapangan terbuka (Tabel 2). Daridata perjumpaan satwa burung, jumlahindividu di masing masing titikpengamatan tampak bahwa kebuncampuran menjadi tempat yang seringdidatangi oleh burung, kemudian disusuloleh semak dan semak belukar. Kebuncampuran merupakan ladang di hutan(jauh dari kampung) atau kebun yangberdekatan dengan pemukimanpenduduk. Dalam kebun campurandijumpai berbagai jenis tanaman kerasseperti pala (Myristica fragans), cengkih(Syzygium aromaticum), jenis buah-buahan seperti mangga (Mangiferaindica), jambu air (Syzygium aqueum),jambu batu (Psidium guajava), papaya(Carica papaya), jeruk (Citrus spp),nenas (Annanas comosus) maupuntanaman semusim seperti singkong(Manihot utilissima), ubi jalar(Ipoemoea batatas), cabai besar danrawit (Capsicum spp.) dan beberapajenis sayuran lain. Beberapa kebuntanaman keras yang ditanami secaramonokultur seperti kebun kenari jugasering didatangi oleh satwa burung.Sedang pada semak-semak belukar,umumnya satwa burung ini terbang diatas tajuk semak belukar dan kemudianmasuk di antara rerimbunan semak.Beberapa jenis satwa burung ditemukanmembuat sarang dan berkembangbiak dikawasan semak ini.

Kawasan lain yang disukai satwaburung adalah hutan sekunder. Hutan-hutan sekunder umumnya memilikitegakan pohon yang besar dan agakjarang. Satwa burung menyukai tempatini terutama pada siang hari, sering

terbang di bawah tajuk pohon. Posisi titikdan jalur pengamatan burung yangditumpang susunkan pada citra Ikonosmenunjukkan dengan jelas hubunganantara tutupan vegetasi dengan jalurpengamatan (Gambar2)

Observasi dilakukan di setiap sisipulau Moti mulai dari utara yaitukelurahan Motikota pada vegetasi man-grove dan perkebunan. Ke arah timurmenuju Tadenas antara ketinggian 10 dan700 m dpl. observasi pada vegetasi hutanmangrove, hutan sekunder, semakbelukar, kebun campuran hinggaperkebunan. Sedangkan di kelurahanlainnya titik dan jalur pengamatan hanyadibuat di dataran rendah, mengingatmedan cukup sulit dan terjal sepertitampak pada model elevasi dijital tutupanvegetasi dan sebaran posisi pengamatanburung di pulau Moti.

Uji korelasi dan analisis komponenutama (PCA) tutupan vegetasidengan kehadiran dan jumlah jenisburung.

Hasil uji korelasi antara tutupanvegetasi dengan kehadiran jumlah jenisburung dapat dilihat pada matrik korelasiantara tutupan vegetasi dengan variabeldata keterdapatan/kehadiran jumlah jenisburungyang ditemukan (lihat lampiran 1).Dari data matrik korelasi dapat dilihatbahwa korelasi antar tutupan lahantertinggi terdapat pada lokasi-lokasi mataair dan kebun kakao (0.884), hutanmangrove dan kebun singkong (0.826),kebun kakao dan semak belukar (0.802),semak belukar dengan pemukiman(0.724), kebun singkong dengan tanah

Page 158: Jurnal Biologi Indonesia

450

Utaminingrum & Sulistyadi

terbuka (0.723), pemukiman dengan mataair (0.618), dan semak belukar denganmataair (0.660). Jika dilihat secaraspasial (Gambar 2) jarak antara titikpengamatan di masing-masing tutupanlahan tidak terlalu jauh. Jika diukurjaraknya masih di bawah 1000 meter,dimana beberapa jenis burung kawasantersebut masih dalam jangkauanterbangnya (home range).

Hasil analisis dengan menggunakankomponen utama (PCA) menunjukkanhubungan antara kehadiran jenis burungdengan variabel tutupan vegetasidipengaruhi oleh 3 komponen/faktorutama dengan total nilai keragamansebesar 72.560%. Komponen pertamamenjelaskan sebesar 47.490%,komponen kedua 17.425% dankomponen ketiga 7.645%. Dari hasil

Tabel 2. Perjumpaan jenis satwa burung pada berbagai tipe tutupan vegetasi di Pulau Moti

Keterangan: *) Sumber: Analisis Tutupan Lahan Kawasan Pulau Moti, Ternate, Maluku (Utaminingrum &Roemantyo 2010)

Kelurahan Tutupan Lahan*) Jumlah perjumpaan

jenis

Junmlah Individu

Titik Pengamatan

Cakupan ketinggian

(m dpl) Figur Kebun Campuran 8 20 10 50 Figur Pemukiman 9 18 9 50 Figur Kebun Kelapa 6 9 6 50 Motikota Hutan Sekunder 6 23 9 400 Motikota Kebun Campuran 21 82 44 200 Motikota Kebun kakao 5 18 10 50 Motikota Kebun Singkong 2 5 2 50 Motikota Mata Air 2 3 2 300 Motikota Semak 13 72 34 600 Tadenas Hutan Mangrove 1 1 1 50 Tadenas Hutan Sekunder 16 38 24 300 Tadenas Kebun Campuran 14 32 20 700 Tadenas Kebun Kenari 19 38 28 50 Tadenas Kebun Pala 5 6 5 50 Tadenas Kebun Singkong 5 11 5 100 Tafaga Hutan Mangrove 9 12 18 50 Tafaga Kebun Campuran 15 40 27 50 Tafaga Kebun Kelapa 4 4 4 50 Tafaga Semak Belukar 10 15 10 50 Tafaga Tanah Terbuka 5 6 5 50 Tafamutu Kebun Campuran 4 6 4 50 Tafamutu Pemukiman 9 17 12 50 Takofi Hutan Mangrove 4 6 4 50

 

Page 159: Jurnal Biologi Indonesia

451

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

Gambar 2. Peta Model elevasi digital tutupan lahan dan sebaran burung P. Moti.

analisis terhadap data jenis dan jumlahburung pada seluruh tipe tutupan vegetasidengan 13 komponen yang ada padaTabel 3 menunjukkan bahwa ada 3komponen faktor tutupan vegetasi yangpaling berpengaruh terhadap kehadiranjenis dan jumlah individu burung. Ketigafaktor tersebut adalah hutan mangrove,hutan sekunder, dan kebun campuran.Dari ketiga faktor tersebut tipe tutupanhutan sekunder merupakan yang palingbanyak di kunjungi oleh jenis burung,kemudian disusul dengan kebuncampuran dan yang terakhir adalah hutanmangrove

Tipe tutupan vegetasi yang berupahutan mangrove merupakan ekosistemyang spesifik dan berlokasi di kawasanpantai. Vegetasinya selalu hijau

sepanjang tahun dan jenis-jenis utamamangrove umumnya berbunga danberbuah sepanjang tahun (Backer danBakhuizen van den Brink, 1968). Jenis-jenis tersebut memang sebagai tempatberlindung dan mencari makan berbagaijenis satwa termasuk burung, terutamapada saat jenis vegetasi lain sedang tidakberbunga/berbuah atau musim kemarau/kering. Tipe tutupan vegetasi hutansekunder dan kebun campuran yangposisinya sering berdekatan/berbatasan dantumpang tindih perlu di analisis lebih rincipengaruhnya (Tabel 2 dan Gambar2).Untuk itu dibuat analisis untukmembedakannya dengan membuat grafikdiagram sebar.

Pada grafik diagram sebar (Gambar3 ab) terlihat ada hubungan antara tiap

Page 160: Jurnal Biologi Indonesia

452

Utaminingrum & Sulistyadi

faktor. Dari hubungan tiap faktor tersebutdiperoleh nilai komulatif yang paling besaryaitu hubungan faktor 1 dengan faktor 2.Hubungan antara kedua faktor tersebutdapat dilihat bahwa ada 3 jenis burung yangkehadirannya secara positif dipengaruhioleh tutupan vegetasi hutan sekunder,kebun campuran dan hutan mangroveyaitu burung madu hitam, perling ungudan perling maluku. Pada faktor initerlihat jenis burung madu hitammerupakan kelompok tersendiri yangdipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasikebun campuran. Selain madu hitam adajenis burung lain yang seringmengunjungi tutupan vegetasi ini diantaranya gagak orru, kipasan kebun,perling ungu, kapasan halmahera, madusriganti, betet kelapa paruh besar danbondol jawa. Sedangkan jenis burung lainyang sering hadir pada tutupan vegetasihutan mangrove antara lain kekep babi,kepudang sungu kartula, kipasan kebun,

sikatan kilap, walik topi biru dan cekakakpantai.Pada hutan sekunder jenis burungyang hadir di antaranya perling ungu,perling maluku, nuri bayan, madu hitam,gagak orru dan betet kelapa paruh besar.

Jenis-jenis burung lain yang hanyaterlihat berkunjung sekali atau beberapakali hadir pada ketiga tutupan vegetasitersebut antaralain cekakak pantai,cekakak biru putih, burung gereja,tekukur biasa, gosong kelam, kepudanghalmahera, nuri bayan, walik raja,kepudang sungu kartula, julang irian,kancilan emas, kirik-kirik australia, kuntulkarang, dan wiwik rimba. Jenis-jenis inimenyebar rata di setiap tutupan vegetasidi kawasan pulau ini, terutama padasemak belukar dan tanah terbuka.Sedangkan jenis burung lain sepertidelimukan zamrud, elang alap cina, elangalap ekor totol, elang bondol, elang kecilmaluku, elang paria, kekep hitam, tuwur

Tabel 3. Matrik analisis komponen utama terhadap seluruh tutupan vegetasi

Komponen Tutupan Vegetasi 1 2 3

1 hutan mangrove .114 .890 .137 2 hutan sekunder .298 .241 .601 3 kebun campuran .127 .705 -.389 4 kebun kakao .950 -.101 -.084 5 kebun kelapa -.013 .082 .051 6 kebun kenari .384 -.193 .444 7 kebun pala .188 -.241 -.228 8 kebun singkong .389 .848 .037 9 mata air .931 -.142 -.223 10 pemukiman .768 .235 .183 11 semak .674 .257 .425 12 semak belukar .829 -.174 .203 13 tanah terbuka .012 .798 -.293  

Page 161: Jurnal Biologi Indonesia

453

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

Gambar 3. Grafik sebaran hubungan jenis burung dengan tipe tutupan vegetasi dengan nilaivarian pada faktor 1=47.490%, faktor 2 = 17.425%, dan fakor 3 = 7.645%

-1 0 1 2 3 4 5 6

Faktor 1

-2

0

2

4

6

Fakt

or 2

ab

cd

ef g

h

i

k

l

mnp

q

r

t

u

w

x

yaa bb ccee

ff

hh ii

-1 0 1 2 3 4 5 6

Faktor 1

-3

-2

-1

0

1

Fakt

or 3

a

b

c

d

e

fg

h

ij

kl

m

n

o

qrs

t

u

v

w

x

y

z

aa

bb

cc

dd

ee

ffhh

ii

jj

kk

Keterangan :a. betet kelapa paruh besar, b. bondol jawa, c. cekakak biru putih, d.cekakak pantai, e.delimukan zamrud, f. elang alap cina, g. elang alap ekor totol, h. elang bondol, i. elang kecil maluku, j.elang paria, l. gagak orru, m. gereja, n. gosong kelam, o. julang irian, p. kancilan emas, q. kapasanhalmahera, r. kekep babi, s. kepudang halmahera, t. kepudang sungu kartula, u. kipasan kebun, v.kirik-kirik australia, w. kuntul karang, x. madu hitam, y. madu sriganti, aa. Nuri bayan, bb. Perlingmaluku, cc. perling ungu, dd. kipasan kebun, ee. sikatan kilap, ff. tekukur biasa, gg. tuwur asia, hh.udang merah kerdil, ii. walik raja, jj. walik topi biru, kk. wiwik rimba.

Page 162: Jurnal Biologi Indonesia

454

Utaminingrum & Sulistyadi

asia, udang merah kerdil hanya terlihatmengelompok dan juga hanya beberapakali datang ke tutupan vegetasi kebuncampuran.

PEMBAHASAN

Kehadiran burung pada berbagaitipe tutupan lahan di pulau Motimenunjukkan bahwa ada salingketergantungan antara satwa burung danvegetasi. Paling tidak selama observasiyang dilakukan pada bulan Mei 2010 ada34 jenis burung yang ditemukan dikawasan ini. Umumnya jenis burungtersebut menghuni dataran rendahdibawah 200 m dpl.

Di kawasan ini banyak dijumpaikebun campuran dengan variasi jenistumbuhan yang cukup tinggi, karenaselain jenis-jenis tumbuhan yangdibudidayakan tidak jarang jugaditemukan jenis-jenis tumbuhan liar yangdibudidayakan seperti kenari, pala yangmerupakan jenis asli (Backer danBakhuizen v.d. Brink, 1968). Kawasanini umumnya berbatasan dengan hutan(hutan sekunder, semak, belukar). Daripengamatan lapangan tampak bahwasaat observasi dilakukan banyak di antaratumbuhan sedang berbunga dan berbuah.Adanya bunga dan buah juga menariksatwa lain seperti serangga yang umumnyamerupakan pakan dari jenis-jenis burung.Selain itu memang beberapa jenis buahjuga merupakan pakan satwa burungyang tampak dari aktifitas mereka dalammendapatkan pakan dan tempatberlindung/bermain.

Keterkaitan antara tutupan lahandengan kehadiran jenis burung sangat

dipengaruhi oleh faktor ketersediaansumber pakan, tingkat penutupan vegetasiserta heterogenitas jenis vegetasi.Berbagai jenis tumbuhan menghasilkanbunga dan buah yang merupakan sumberpakan jenis burung frugivora, selain ituberbagai jenis tumbuhan juga sangatdisukai oleh berbagai jenis serangga yangjuga merupakan pakan yang potensialbagi berbagai jenis burung insektivora.

Dari hasil analisis hubungan korelasiantara tutupan lahan tampak bahwabeberapa tipe tutupan lahan salingmemiliki keterdekatan jika ditinjau darivariasi dan jumlah kehadiran jenis burung.Beberapa kemungkinan adalah telahterjadi perubahan status fungsi kawasan(Roemantyo, 2010) sementara kondisilingkungan belum sepenuhnya berubahsecara total, sehingga jenis-jenis satwaburung masih sering berkunjungwalaupun tumbuhannya sudah mulaiberubah. Indikasi ini tampak daridekatnya kawasan hutan mangrovedengan kebun di dataran rendah yangumumnya ditanami dengan jenis tanamanpertanian seperti singkong. Dari citrasatelit yang diambil pada tahun 2006,tampak dengan jelas bahwa adaperbedaan status tutupan lahan dengankondisi terakhir pada bulan Mei 2010(Utaminingrum & Roemantyo 2010).

Pada beberapa lokasi tampakbahwa ada kemungkinan kawasan hutantelah berubah menjadi kebun antara lainkebun kakao. Demikian pula padakawasan mata air tampak sebelumnyaadalah kawasan hutan, begitu juga denganbeberapa semak belukar pada tahun 2006telah berubah menjadi pemukiman padasaat observasi lapangan.Indikasi

Page 163: Jurnal Biologi Indonesia

455

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

perubahan tipe ekosistem tampak darikehadiran dan jumlah jenis burung yangrelatif sama nilai koreksinya.

Hasil analisis dengan menggunakankomponen utama (PCA) tampak bahwaada 3 faktor utama yang berpengaruhterhadap kehadiran burung. Tutupanvegetasi hutan mangrove merupakankawasan yang penting bagi jenis burungterutama pada saat jenis-jenis vegetasilain tidak menghasilkan bunga/buah padamusim kemarau. Jenis-jenis burung yangmenghuni pada vegetasi semak belukarakan langsung menuju ke kawasan hutanmangrove yang selalu hijau. Tentunyatidak semua burung bisa menuju ke hutanmangrove karena keterbatasan kemampuanterbang baik secara horizontal maupunvertikal. Beberapa jenis burung di datarantinggi akan mengalami hambatan untukmencapai dataran rendah/pantai.Sebagian burung mungkin hanya mamputerbang sampai pada ketinggian tertentusaja. Kawasan yang relatif lebih mudahdijangkau oleh jenis-jenis burung yanghidup di dataran tinggi adalah hutansekunder dan kebun campuran yangumumnya terdapat pada ketinggian lebihdari 100 m dpl. karena itu kedua kawasanini juga cukup penting bagi penyediaansumber pakan. Demikian pula jenis-jenislain yang menyukai kawasan hutansekunder juga akan mendapatkan pakanyang cukup melimpah di kawasan inikarena tingginya keanekaragaman jenistumbuhan yang ada. Hutan sekunder disiniadalah hutan yang memiliki tajuk/kanopiyang rendah dan lebih banyak tumbuhanprimernya yang umumnya tidak terlalutinggi.

Dari grafik diagram sebar terlihatbahwa ada jenis-jenis burung yangcenderung mengelompok dan memisah-kan diri. Hal ini dikarenakan sebagianbesar pengelompokan dipengaruhi olehadanya faktor jenis, kerapatan danpenutupan vegetasi. Pada tipe tutupanvegetasi kebun campuran terlihat lebihmendominasi sebagian besar kawasandengan tingkat vegetasi yang lebih tinggisehingga menyebabkan lebih banyak jenisdan individu burung tercatat di tipetutupan vegetasi ini dibandingkan denganjenis burung yang tercatat ditipe tutupanvegetasi hutan mangrove dan hutansekunder. Pada grafik (Gambar 3) jugaterlihat adanya pengelompokan jenis-jenispredator seperti elang bondol, elang paria,elang alap ekor totol, elang alap cina,elang kecil maluku mengelompok menjadisatu pada tutupan vegetasi kebuncampuran. Keberadaan jenis burungpemakan biji dan serangga inikemungkinan besar akan menjadimangsa yang potensial bagi burung-burung pemangsa tersebut. Umumnyakebun campuran berisi berbagai jenistumbuhan yang menghasilkan buah danbiji seperti kenari, pala beberapa jenispohon buah-buahan dan palawija.Kawasan tutupan vegetasi kebuncampuran ini biasanya berbatasanlangsung dengan semak belukar yangmemiliki kanopi rendah. Kondisi inimemudahkan jenis-jenis predator dalammendapatkan mangsa sebagai pakanuntuk menunjang kelangsungan hidupnya.

Page 164: Jurnal Biologi Indonesia

456

Utaminingrum & Sulistyadi

KESIMPULAN

Ada kecenderungan ketergantunganjenis satwa burung dengan tipe tutupanvegetasi yang ada di pulau Moti. Darisekitar 34 jenis burung yang ditemukanmenunjukkan bahwa keberadaannyadipengaruhi paling tidak 3 tipe tutupan lahanutama yaitu hutan mangrove, hutansekunder, dan kebun campuran. Tercatatada 4 jenis burung endemik malukuterdapat di kawasan ini yaitu Elang kecilmaluku, cekakak biru putih, kapasanhalmahera dan walik topi biru.Ditemukannya jenis-jenis endemikkawasan lain mengindikasikan kawasanini dapat dikatakan masih cukup baikkondisi lingkungannya.

Pentingnya kawasan yangbervegetasi akan memberikan jaminanterjaga kehidupan satwa dan tumbuhandi pulau Moti ini, paling tidak kondisivegetasi pulau Moti masih bisamendukung kehidupan satwa burungselama setahun penuh. Bahkan jenis-jenis burung yang beasal dari pulau dankawasan yang jauh dari pulau initernyata ditemukan bisa hidup di kawasanini dengan baik. Dipihak lain vegetasidapat mengalami proses regenerasisecara alami yang tentunya dibantu olehsatwa burung yang melakukanpenyerbukan dan pemencaran biji.Hadirnya jenis burung tersebutmembuktikan lingkungan kawasan inimasih terjaga kualitasnya, meskipun adaindikasi perubahan fungsi kawasan hutanmenjadi kawasan budidaya.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasihkepada Drs. Roemantyo dan Prof. Dr.Ibnu Maryanto yang telah membantupenulis dalam menganalisis data.Penelitian ini terlaksana berkat dana darianggaran DIPA Pusat Penelitian Biologi-LIPI dan IPTEKDA tahun 2010.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008 a. Statistik Kependudu-kan Kota Ternate. from http://www.ternatekota.go.id/?cont=Info-Kota&val=Statistik, 25 Mei 2010

Backer CA & RC. Bakhuizen van denBrink, 1968. Flora of Java I.N.V.P. Noordhoff, Groningen,Netherlands.

Bakosurtanal. 1999. Peta Rupa BumiDigital, Tata Guna Lahan, StatusLahan dan Topografi. Skala 1:250.000. Bakosurtanal.

Brian J. Coates & K. David Bishop, 1997.A Guide to the Birds of WallaceaSulawesi, the Moluccas andLesser Sunda Islands, Indone-sia. Dove Publications Pty. Ltd. 534hal.

Krebs, CJ. 1989. Ecological Metho-dology. Harper 8 Row Publisher,New York, 654 hal.

Re PPProt. 1989. Review of Phase IResults, Java and Bali. LandResources Departement, Over-seas Development AdministrationUnited Kingdom and DirektoratJendral Bina Program. Direk-torat

Page 165: Jurnal Biologi Indonesia

457

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

Memasukkan : Juli 2010Diterima : September 2010

Jendral Penyiapan Pemu-kiman,Depatemen Transmigrasi. Jakarta.

Roemantyo, 2010. Model PemanfaatanLahan Pulau Moti, Kota Ternate,Maluku: Suatu Analisis TataRuang Berbasis Vegetasi. JurnalBiologi Indonesia 6(3) (Inpress).

Space Imaging 2006, IKONOS, LevelStandard Geometrically Corrected,GeoEye, 6/6/2006.

Sulistyadi, E 2010. Komunitas BurungPulau Moti Ternate Maluku Utara.Laporan IPTEKDA 2010. LIPI

Utaminingrum, H.I.P. & Roemantyo,2010. Analisis Tutupan LahanKawasan Pulau Moti, Ternate,Maluku. Laporan IPTEKDA2010.LIPI

Page 166: Jurnal Biologi Indonesia

458

Utaminingrum & SulistyadiL

ampi

ran

1. M

atrik

kor

elas

i ant

ara

tutu

pan

vege

tasi

den

gan

kete

rdap

atan

/keh

adira

n je

nis d

an ju

mla

h bu

rung

.

hu

tan

man

grov

e hu

tan

seku

nder

ke

bun

cam

pura

n ke

bun

kaka

o ke

bun

kela

pa

kebu

n ke

nari

kebu

n pa

la

kebu

n si

ngko

ng

mat

a ai

r pe

muk

iman

sem

ak

sem

ak

belu

kar

tana

h te

rbuk

a hu

tan

man

grov

e 1.

000

.354

.5

12

-.015

.0

86

-.024

-.3

37

.826

.0

04

.308

.2

69

-.077

.6

07

huta

n se

kund

er

.354

1.

000

-.162

.2

20

.119

.1

28

-.247

.3

34

.210

.3

16

.362

.1

62

.077

kebu

n ca

mpu

ran

.512

-.1

62

1.00

0 .0

86

.217

-.1

47

-.148

.4

95

.057

.2

33

.195

-.0

27

.509

kebu

n ka

kao

-.015

.2

20

.086

1.

000

-.031

.3

26

.154

.2

63

.884

.6

36

.569

.8

02

-.005

kebu

n ke

lapa

.0

86

.119

.2

17

-.031

1.

000

-.050

-.0

52

-.077

-.0

14

.002

.0

70

-.047

-.0

83

kebu

n ke

nari

-.024

.1

28

-.147

.3

26

-.050

1.

000

.150

.0

66

.258

.2

76

.311

.5

08

-.259

kebu

n pa

la

-.337

-.2

47

-.148

.1

54

-.052

.1

50

1.00

0 .0

13

.182

.0

34

.119

.2

22

.043

ke

bun

sing

kong

.8

26

.334

.4

95

.263

-.0

77

.066

.0

13

1.00

0 .2

38

.500

.4

42

.183

.7

23

mat

a ai

r .0

04

.210

.0

57

.884

-.0

14

.258

.1

82

.238

1.

000

.618

.4

75

.660

-.0

73

pem

ukim

an

.308

.3

16

.233

.6

36

.002

.2

76

.034

.5

00

.618

1.

000

.568

.7

24

.076

sem

ak

.269

.3

62

.195

.5

69

.070

.3

11

.119

.4

42

.475

.5

68

1.00

0 .5

43

.043

se

mak

be

luka

r -.0

77

.162

-.0

27

.802

-.0

47

.508

.2

22

.183

.6

60

.724

.5

43

1.00

0 -.1

20

tana

h te

rbuk

a .6

07

.077

.5

09

-.005

-.0

83

-.259

.0

43

.723

-.0

73

.076

.0

43

-.120

1.

000

 

Page 167: Jurnal Biologi Indonesia

459

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 459-471 (2010)

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya 50%dan Penilaian Karakter Tanaman Berdasarkan Fenotipnya

Gatut Wahyu Anggoro Susanto & Titik Sundari

Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-Umbian, Malang

ABSTRACT

The Examination of 15 Soybean Genotypes at 50% Light Intensity and Evaluation of Crop’sPhenotypic Characters. Sunlight is one of the important plant growth requirements. In orderto understand morphological character changes in the crops due to different light intensity, 15genotypes of soybean consisted of Willis, D3578-3/3072-11, Seulawah, Aochi/W-62, Kaba,IAC 100/Brr-1, MLGG 0081, MLGG 0059, MLGG 0120, 9837/Kawi, D-6-185, IAC 100, MLGG0383-1, Pangrango, MLGG 0069 and MLGG 0122 were tested. The research was conducted inKendalpayak (grey Alluvial soil type, 450 above sea level, C3 climate type), Malang at dryseason in 2006. The research design was Randomize Complete Block under two differentenvironmental conditions, with three replications. The experiment was conducted under fulland 50 %light intensity. The results indicated that the reduction of light intensity as much as50 % resulted in some changes in phenotypic characters such as size and lifespan of the 15genotype being tested, included the increase of plant height, the longer distance betweennodes, the decrease in node number, the smaller size of stem diameter, the decrease on thenumber of leaves, the narrower of the leaf ‘s width and the decrease in pod number. Lessenedseed weight, the low weight of 100 seeds, the lowering level of the leaf’s greenness, and theaccelerate age of flowering and harvesting. IAC 100, MLGG 0383-1 and IAC 100/BBR-1 producedhigh under 50% of light intensity.

Keywords : Soybean (Glycine max (L) Merrill), light intensity, phenotypic

PENDAHULUAN

Cahaya penting bagi pertumbuhantanaman, tetapi naungan sering menjadifaktor pembatas dalam budidayatanaman, baik pada tanaman perkebunan,pertanian maupun kehutanan. Tanamanyang menerima intensitas cahaya lebihrendah (ternaungi) sampai pada batastingkat naungan tertentu, tanaman tidakakan mampu berproduksi , misalnya pada

sistem pola tumpangsari antara tanamansemusim (tanaman pangan) dengantanaman tahunan (tanaman perkebunan),dimana kanopi daun tanaman tahunandapat menutupi masuknya sinar matahariyang diperlukan oleh tanamandibawahnya. Dalam kondisi demikian,genotipe toleran diharapkan lebihberperan untuk memanfaatkan lingku-ngan tercekam intensitas cahaya rendah,selain itu juga untuk meningkatkan

Page 168: Jurnal Biologi Indonesia

460

Susanto & Sundari

intensifikasi lahan, khususnya di lahandengan intensitas cahaya rendah akibatternaungi oleh tanaman.

Intensitas cahaya matahari yangdibutuhkan tanaman merupakan sumber-daya umum yang dipersaingkan (Blum1982; Badrun 1986) walaupun keterse-diaannya melimpah, tetapi persaingantersebut dapat terjadi antar individu daunmaupun antar tanaman. Intensitascahaya 50% atau naungan 50% dapatdikategorikan intensitas cahaya rendah,dimana kondisi tersebut dapat mengaki-batkan menurunkan hasil biji hingga 50%(Stepphun et al. 2005). Tanaman kedelaiyang tumbuh di lingkugan ternaungi akanterjadi penurunan aktifitas fotosintesis,sehingga alokasi fotosintat ke organreproduksi menjadi lebih berkurang(Osumi et al. 1998), tentunya hal ini akanmengakibat-kan jumlah polong berkurang,ukurtan biji akan menjadi kecil maupunhasil biji berkurang. Intensitas cahayasebesar 60% atau naungan 40% dapatmenyebabkan penurunan hasil biji kedelaihingga 32% (Whigham & Minor 1978).

Salah satu upaya yang dapatdilakukan untuk mengantisipasi tingginyakehilangan hasil biji kedelai tersebutadalah dengan menanam kedelai toleranintensitas cahaya rendah atau naungan.Genotipe atau varietas kedelai berdayahasil biji tinggi dan toleran intensitascahaya rendah merupakan alternatifpaling sesuai dalam meningkatkanproduktivitas lahan dengan polatumpangsari, baik di bawah tegakantanaman perkebunan atau hutan yangmasih muda, maupun pada polatumpangsari dengan tanaman pangan lain.Untuk itu sangatlah penting melakukan

pengujian tanaman kedelai gunamengetahui perubahan-perubahankarakter tanaman akibat cekamanintensitas cahaya 50%.

BAHAN DAN CARA KERJA

Bahan yang digunakan adalah 15genotipe kedelai terdiri dari D.3578-3/3072-11, Aochi/W-62, Kaba, IAC100/Brr-1, MLGG 0081, MLGG 0059, MLGG0120, 9837/Kawi, D-6-185, IAC 100,MLGG 0383-1, MLGG 0069, MLGG0122, Seulawah, Willis dan Pangrango.Penelitian dilakukan di kebun percobaanKendapayak, Malang (jenis tanah Alluvialkelabu, elevasi 450 m dpl, tipe iklim C3)pada musim kering I (MK I) tahun 2007.Rancangan percobaan yang digunakanadalah Acak Kelompok Lengkap di duakondisi lingkungan, diulang tiga kali.Lingkungan yang digunakan adalahintensitas cahaya penuh (100%) danintensitas cahaya 50% (naungan 50%).

Untuk mendapatkan intensitascahaya sebesar 50% digunakan dua lapisparanet hitam yang terbuat dari plastik,dipasang pada ketinggian 2,0 m di ataspermukaan tanah. Perlakuan intensitascahaya 50% mulai sejak tanam hinggadipanen. Setiap genotipe ditanam padaplot berukuran 6,0 m x 3,0 m. Jarak tanam40 cm x 15 cm, dua benih per lubangtanam. Pemupukan diberikan bersamaantanam dengan dosis Urea 50, SP36 100dan KCl 75 kg/ha dan tanaman dipeliharasecara intensif. Pengukuran dilakukansecara destruktif terhadap dua tanamancontoh. Pengamatan meliputi komponenhasil, hasil biji, diameter batang, tingkatkehijauan daun diukur dengan

Page 169: Jurnal Biologi Indonesia

461

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

menggunakan klorofilmeter, panjang bukudan jumlah daun. Pengukuran luas daunmengguna-kan metode gravimetri(perbandingan bobot sub-sampel daunyang diambil dengan cara melubangidaun dengan alat pelubang yang sudahdiketahui jari-jarinya) yang sebelumnyasudah dikalibrasi dengan leaf area meter.Pengamatan-pengamatan tersebutdilakukan pada umur dua, empat, enamdan delapan minggu setelah tanam(MST) dan panen.

HASIL

Intersitas cahaya matahari diukurpada pukul 11.00, 12.00 dan 13.00 wibsetiap hari selama percobaan. Besarnyaintensitas cahaya di tempat normal(intensitas 100%) antara 1050 hingga1225 lux dengan rata-rata 1200 lux,sedangkan pada intensitas 50% antara575 hingga 625 lux dengan rata-rata 610lux, yang merupakan setengah dariintensitas cahaya penuh, makaselanjutnya disebut intensitas cahaya50%. Rata-rata suhu harian pada kondisiintensitas cahaya 100% lebih tinggidaripada intensitas cahaya 50%, ditempat normal berkisar 29o hingga 31o

C, sedangkan pada intensitas cahaya50% berkisar 28o hingga 30o C.

Interaksi intensitas cahaya dengangenotipe terlihat juga pada tinggi tanamanumur enam MST, sedangkan pada umurdua, empat dan delapan MST perbedaantinggi tanaman disebabkan olehkeragaman genotipe (Tabel 1). Rata-ratatinggi tanaman di tempat denganintensitas cahaya 50% cenderung lebihtinggi. Tinggi tanaman umur delapanMST pada intensitas 100% berkisar 64,84cm sedangkan pada intensitas 50%berkisar 75,98 cm.

Interaksi antara intensitas cahayadengan genotipe tidak berbeda nyatapada karakter panjang buku (jarak ruasantar buku) (Tabel 2), tetapi akibatintensitas cahaya 50% jarak ruas antarbuku berkecenderungan menjadi lebihpanjang. Pada umur delapan MST,panjang buku di tempat normal berkisar4,23 cm sedangkan di tempat intensitascahaya 50% berkisar 7,59c m (selisih3,36 cm).

Interaksi intensitas cahaya dengangenotipe berpengaruh nyata terhadapjumlah buku per tanaman pada umurenam dan delapan MST, tetapi tidakberpengaruh nyata pada umur dua dan

Parameter Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) pada Umur Pengamatan (MST)

Dua Empat Enam Delapan Intensitas cahaya - 100% 17,50 34,39 51,89 64,84

- 50% 30,54 46,21 55,27 75,98 Koefisien keragaman (%) 16,23 18,08 5,80 14,09 Intensitas cahaya (I) ** ** ** ** Genotipe (G) ** tn ** ** Interaksi I x G tn tn ** tn

Tabel 1. Analisis Varian dan Tinggi Tanaman (cm) pada 15 Genotipe Kedelai.

Keterangan: : * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji á 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada tarafuji á 5%

Page 170: Jurnal Biologi Indonesia

462

Susanto & Sundari

empat MST. Jumlah buku di tempatintensitas cahaya 100% lebih banyak(berkisar tiga buku) dibandingkan padaintensitas cahaya 50%. Pada umur duaMST, perbedaan jumlah buku dipengaruhioleh keragaman genotipe, pada umurempat MST jumlah buku relatif samayaitu berkisar 12 buku (Tabel 3).

Perlakuan intensitas cahaya 50%mengakibatkan sebagian besar genotipeyang diuji relatif mengalami penguranganukuran diameter batang. Interaksiintensitas cahaya dengan genotipeberpengaruh nyata terhadap diameterbatang pada umur dua dan enam MST,tetapi tidak berpengaruh nyata pada umurempat dan delapan MST. Perbedaandiameter batang pada umur delapan MSTdisebabkan keragaman genotipe (Tabel

4). Tanaman yang berumur dua dan enamMST menunjukkan ukuran diameterbatang yang berbeda antar perlakuansedangkan umur empat dan delapanMST ukuran diameter relatif sama.

Interaksi intensitas cahaya dengangenotipe berbeda nyata untuk jumlahdaun antar genotipe pada umur 4, 6 dan8 MST, tetapi tidak berbeda nyata padaumur dua MST (Tabel 5). Jumlah dauntanaman pada intensitas 100% lebihbanyak dibanding-kan dengan di tempatintensitas cahaya 50%. Di tempatintensitas cayaha 50%, saat tanamanberumur delapan MST jumlah daun rata-rata berkurang sebanyak 11 daun.

Luas daun per tanaman di duatingkat intensitas cahaya berbeda nyata,menunjukkan genotipe mempunyai

Parameter Rata-rata Panjang Buku (cm) pada Umur Pengamatan (MST)

Dua Empat Enam Delapan Intensitas cahaya - 100% 4,73 4,66 4,90 4,23 - 50% 4,60 6,70 6,87 7,59 Koefisien keragaman (%) 18,83 14,16 18,90 20,39 Intensitas cahaya (I) tn ** ** ** Genotipe (G) * ** tn tn Interaksi I x G tn tn tn tn

Tabel 2. Analisis Varian dan Panjang Buku 15 Genotipe Kedelai.

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji á 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada tarafuji á 5%.

Parameter Rata-rata Jumlah Buku pada Umur Pengamatan (MST) Dua Empat Enam Delapan

Intensitas cahaya - 100% 6 12 20 23 - 50% 7 11 16 20 Koefisien keragaman (%) 14,79 17,53 16,95 14,62 Intensitas cahaya (I) ** * ** ** Genotipe (G) * tn ** ** Interaksi I x G tn tn * *

Tabel 3. Analisis Varian dan Jumlah Buku Per Tanaman dari 15 Genotipe Kedelai.

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji á 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada tarafuji á 5%

Page 171: Jurnal Biologi Indonesia

463

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

respon yang berbeda terhadap perubahanintensitas cahaya. Perlakuan intensitascahaya 50% mengakibatkan pengura-ngan terhadap luas daun per tanamanterhadap sebagian besar genotipe yangdiuji. Pada umur delapan MST luas daunsebesar 1227,1 cm2 sedangkan padaintensitas cahaya 50% menjadi 793,8 cm2

(Tabel 6).Tingkat kehijauan daun ditentukan

dari hasil pembacaan alat klorofilmeter.Semakin tinggi nilai pembacaanklorofilmeter suatu daun, warna daunsemakin hijau. Tingkat kehijauan dauntidak dipengaruhi oleh intensitas cahayadi semua tingkatan umur tetapi padaintensitas 50% daun berwarna relatif

lebih muda dibandingkan pada intensitascahaya 100%, dengan perbedaan nilaitingkat kehijauan daun sebesar 3,15(Tabel 7).

Perbedaan berat kering polong,jumlah polong isi, jumlah polong hampadan hasil biji per tanaman diakibatkan olehpengaruh intensitas cahaya (Tabel 8).Perlakuan intensitas cahaya 50%menyebabkan berkurangnya berat keringpolong, jumlah polong isi dan hasil biji pertanaman. Perlakukan intensitas cahaya50% menyebabkan berat kering polongmenurun rata-rata sebesar 3,32 gmaupun menurunnya jumlah polongberkisar 12 polong isi yang diikuti olehjumlah polong hampanya (Table 8).

Parameter Rata-rata Diameter Batang (mm) pada Umur Pengamatan

(MST) Dua Empat Enam Delapan

Intensitas cahaya - 100% 1,78 2,18 5,40 5,23 - 50% 1,68 2,13 5,01 4,29 Koefisien keragaman (%) 19,52 17,26 13,42 15,28 Intensitas cahaya (I) * tn ** ** Genotipe (G) ** tn ** ** Interaksi I x G * tn * tn

Tabel 4. Analisis Varian dan Diameter Batang dari 15 Genotipe Kedelai.

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji á 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata padataraf uji á 5%.

Parameter Rata-rata Jumlah Daun per Tanaman pada Umur Pengamatan

(MST) Dua Empat Enam Delapan

Intensitas cahaya - 100% 15 29 54 47 - 50% 17 25 43 33 Koefisien keragaman (%) 17,37 14,31 17,62 10,69 Intensitas cahaya (I) ** ** ** ** Genotipe (G) tn ** ** ** Interaksi I x G tn ** ** **

Tabel 5. Analisis Varian dan Jumlah Daun per Tanaman dari 15 Genotipe Kedelai.

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji á 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata padataraf uji á 5%.

Page 172: Jurnal Biologi Indonesia

464

Susanto & Sundari

Hasil biji per tanaman masing-masing genotipe menunjukkan perbedaandi dua perlakuan intensitas cahaya (Tabel9). Hasil biji tertinggi pada perlakuanintensitas cahaya 100% dicapai genotipeMLGG 0059 dan terendah dicapaiSeulawah. Pada perlakuan intensitascahaya 50%, hasil biji per tanamantertinggi dicapai genotipe IAC 100/Brr-1 dan terendah dicapai genotipe 9837/KAWI-D-6-185. Interaksi intensitascahaya dan genotipe berpengaruh nyataterhadap bobot 100 biji. Bobot 100 bijijuga menggambarkan ukuran biji. Ukuranbiji masing-masing genotipe memberikanrespon berbeda akibat perlakuanperbedaan intensitas cahaya (Tabel 9).

Bobot 100 biji terbesar pada perlakuanintensitas cahaya 100% dicapai olehMLGG 0383-1 (11,08 g/100 biji) danterkecil oleh Seulawah (4,35 g/100 biji).Sedangkan pada intensitas cahaya 50%,bobot 100 biji terbesar dicapai MLGG0383-1 (8,69 g/100 biji) dan terkecil olehWilis (3,55 g/100 biji). Perlakuanintensitas cahaya 50% menyebabkanmenurunnya bobot 100 biji, dimana palingbesar pada varietas Kaba yaitu 2,25 g,sebaliknya 9837/KAWI,D-6-185 justrumengalami peningkatan terbesar yaitu1,09 g.

Tanaman yang mendapat intensitascahaya 50% menyebabkan perubahanumur berbunga dan umur panen sebagian

Parameter Rata-rata Luas daun (cm2/tanaman) pada Umur Pengamatan

(MST) Dua Empat Enam Delapan

Intensitas cahaya - 100% 233,8 502,7 1646,1 1227,1 - 50% 384,5 460,1 1254,7 793,8 Koefisien keragaman (%) 8,90 14,04 13,36 6,63 Intensitas cahaya (I) ** * ** ** Genotipe (G) ** ** ** ** Interaksi I x G ** ** ** **

Tabel 6. Analisis Varian dan Luas Daun (cm2/tanaman) dari 15 Genotipe Kedelai.

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji á 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada tarafuji á 5%

Parameter Rata-rata Tingkat Kehijauan Daun pada Umur (MST)

Dua Empat Enam Delapan Intensitas cahaya - 100% 30,40 29,29 40,84 39,31 - 50% 29,14 26,82 40,96 36,46 Koefisien keragaman (%) 15,75 19,79 13,07 10,76 Intensitas cahaya (I) tn tn tn * Genotipe (G) tn tn tn * Interaksi I x G tn tn tn tn

Tabel 7. Analisis Varian dan Tingkat Kehijauan Daun dari 15 Genotipe Kedelai.

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji á 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyatapada taraf uji á 5%.

Page 173: Jurnal Biologi Indonesia

465

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

Parameter Berat Kering Polong Isi (g/tan) Panen Jumlah Polong Isi Jumlah Polong

Hampa Intensitas cahaya - 100% 7,52 43 17 - 50% 4,84 31 13 Koefisien keragaman (%) 12,06 8,75 15,21 Intensitas cahaya (I) ** ** ** Genotipe (G) ** ** ** Interaksi I x G ** ** **

Tabel 8. Analisis Varian dan Rata-rata Bobot Kering Polong (g/tanaman), Jumlah PolongIsi dan Hampa dari 15 Genotipe Kedelai.

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji á 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada tarafuji á 5%.

Genotipe Hasil Biji (g/tanaman) Bobot Biji (g/100 biji)

Intensitas Cahaya (%) 100 50 Selisih 100 100 Selisih

WILIS 3.85 1.32 -2.53 4.62 3.55 -1.07 D,3578,3/3072-11 2.80 1.59 -1.21 7.16 5.57 -1.59 KABA 2.50 1.76 -0.74 10.44 8.19 -2.25 SEULAWAH 1.35 2.20 0.85 4.35 4.47 0.12 MLGG 0059 6.35 1.44 -4.91 6.08 5.86 -0.22 MLGG 0120 2.85 2.21 -0.64 4.39 4.28 -0.11 MLGG 0081 3.25 1.07 -2.18 7.65 8.00 0.35 AOCHI/W-62 2.35 3.14 0.79 4.87 3.86 -1.01 IAC 100/BRR-1 3.45 4.61 1.16 6.85 6.62 -0.23 9837/KAWI,D-6-185 4.16 0.88 -3.28 7.25 8.34 1.09 IAC 100 1.45 3.56 2.11 6.23 5.42 -0.81 MLGG 0383-1 4.20 4.58 0.38 11.08 8.69 -2.39 PANGRANGO 3.65 2.98 -0.67 7.62 8.17 0.55 MLGG 0122 2.95 0.73 -2.22 7.12 6.70 -0.42 MLGG 0069 2.90 2.62 -0.28 8.09 7.02 -1.07 Rata-rata 3,20 2,31 6,92 6,31 Koefisien keragaman (%) 21.32 4.87

Intensitas cahaya (I) ** ** Genotipe (G) ** ** Interaksi I x G ** **

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji á 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada tarafuji á 5%. Nilai selisih diperoleh dari nilai intensitas cahaya 50% dikurangi intensitas cahaya100%.

Tabel 9. Hasil Kering Biji (g/tanaman) dan Bobot 100 Biji (g/100 biji) dari 15 Genotip Kedelai.

Page 174: Jurnal Biologi Indonesia

466

Susanto & Sundari

genotipe kedelai (Tabel 10). Penguranganintensitas cahaya sebesar 50% menye-babkan empat genotipe mengalamikelambatan berbunga, tujuh genotipemengalami percepatan berbunga danempat genotipe tidak mengalami peruba-han umur berbunga. MLGG 0120mengalami keterlambatan berbungahingga sembilan hari sebaliknya IAC 100/Brr-1 berbunga lebih cepat tujuh hari.Umur panen menunjukkan keragamanyaitu berkatagori dalam (85-90 hst)hingga sangat dalam (> 90 hst), demikianpula pada perlakuan intensitas cahaya50%. Terdapat enam genotipe padaperlakuan intensitas cahaya 50%berumur lebih pendek.

Hasil biji setiap genotipe menunjuk-kan keragaman. Pada perlakuanintensitas cahaya 100%, hasil biji tertinggidicapai genotipe D,3578,3/3072-11 danterendah dicapai AOCHI/W-62. Padacekaman intensitas cahaya 50%, pero-lehan hasil biji tertinggi dicapai MLGG0383-1 dan terendah dicapai AOCHI/W-62. Genotipe MLGG 0059 mengalamipenurunan hasil biji terbesar yaitu 989,5g sedangkan IAC 100 justru mengalamipeningkatan hasil biji sebesar 1178,3 g.

PEMMBAHASAN

Suhu udara di sekitar tanamanmerupakan salah satu faktor pentingdalam pertumbuhan tanaman. Suhuudara selama penelitian pada intensitas50% lebih rendah antara 1o hingga 2o C.Penelitian dilakukan di hamparan sawahbekas tanaman padi yang diberi naunganbuatan terbuat dari paranet plastikberwarna hitam dengan tingkat intensitas

cahaya 50%. Di sekitar tempat pengujiantidak terdapat halangan, sehinggamenyebabkan aliran udara tidakterhalang, diduga kuat kondisi demikianyang menyebabkan suhu udara di bawahnaungan di tempat penelitian menjadilebih rendah. Hal ini berbeda kondisinaungan yang terdapat pada hutan-hutanyang dikelilingi oleh tanaman-tanamanyang rimbun, dimana aliran udara dibagian bawah tanaman tahunan dapatterhalang oleh tanaman tersebut. Haltersebut berbeda dengan penelitian yangdilakukan oleh Zaman (2003), bahwasuhu udara pada kondisi intensitas cahayarendah (ternaungi) akan mengalamipeningkatan, walaupun jumlah radiasiyang diterima lebih sedikit. SelanjutnyaSchau et al. (1978) mengemukakanbahwa terjadi peningkatan suhu uadaradi dalam naungan (intensitas cahayarendah) pada siang hari. Kemungkinanbesar perbedaan tersebut disebabkanoleh kondisi penelitian yang berbeda.Perbedaan suhu udara pada umur duahingga delapan MST kedua perlakuansemakin besar, hal ini berkaitan dengankondisi lingkungan di dalam naunganseiring dengan pertumbuhan danperkembangan tanaman.

Pada intensitas cahaya 50%, saattanaman Wilis berumur enam MSTmengalami penurunan tinggi tanamansebesar 15,9 cm, sebaliknya AOCHI/W-62 justru mengalami peningkatan tinggitanaman sebesar 29,6 cm. Peningkatantinggi tanaman merupakan respontanaman karena kekurangan cahaya.Intensitas cahaya 50% mengakibatkansebagian besar genotipe mengalamietiolasi, karena terjadi redistribusi

Page 175: Jurnal Biologi Indonesia

467

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

pertumbuhan maristem di bagian pucukakibat maristem mengalami kesulitandalam mendapatkan suplai makanan daripembuluh, produksi dan distribusi auksinyang tinggi, sehingga merangsangpemanjangan sel yang mendorongmeningkatnya tinggi tanaman (Garnerdet al. 1985; Sugito 1999). Tanamanmengalami pemanjangan di buku batang(jarak antar ruas pada batang) akibatkekurangan cahaya. Tanaman yangmendapat intensitas cahaya rendahcenderung sedikit bercabang, tanamanlebih banyak untuk menaikkan aspekbatangnya menuju ke puncak kanopi(Uchimiya 2001), hal tersebut berhubu-ngan dengan tanaman yang mengalami

etiolasi maupun kandungan auksin padatanaman (Garner et al. 1985).

Timbulnya interaksi menunjukkanbahwa genotipe memberikan responberbeda terhadap perbedaan perlakuanintensitas cahaya, untuk karakter jumlahbuku cenderung lebih sedikit dandiameter batang lebih kecil padaintensitas cahaya 50%. Perkembanganbatang membutuhkan akumulasi bahankering lebih besar dibandingkan daun.Oleh karena itu berkurangnya sinarmatahari yang diterima tanaman selamafase vegetatif mengakibatkan terganggu-nya proses fotosintesis, yang berakibatpada berkurangnya fotosintat yangdialokasikan untuk perkembangan

Genotipe

Umur Berbunga (hr) Umur Panen (hr) Hasil Biji Plot (g/18 m2)

Intensitas Cahaya (%) 100 50 Selisih 100 50 Selisih 100 50 Selisih

WILIS 50 48 -2 99 94 -5 287,5 233,5 -54,0 D,3578,3/3072-11 39 39 0 88 88 0 1679,6 932,3 -747,3 KABA 39 39 0 101 94 -7 743,1 434,2 -308,9 SEULAWAH 41 41 0 94 94 0 744,8 204,2 -540,6 MLGG 0059 41 41 0 94 94 0 1433,0 443,5 -989,5 MLGG 0120 41 50 9 88 94 6 265,0 207,5 -57,5 MLGG 0081 41 46 5 88 90 2 509,2 599,2 90,0 AOCHI/W-62 40 37 -3 94 94 0 112,9 175,4 62,5 IAC 100/BRR-1 43 36 -7 94 88 -6 964,0 1169,0 205,0 9837/KAWI,D-6-185 41 40 -1 94 94 0 988,5 339,2 -649,3 IAC 100 50 49 -1 94 94 0 416,6 1594,9 1178,3 MLGG 0383-1 42 39 -3 94 88 -6 1448,6 1604,2 155,6 PANGRANGO 43 46 3 94 92 -2 1390,3 434,6 -955,7 MLGG 0122 39 43 4 94 94 0 566,5 408,8 -157,7 MLGG 0069 39 37 -2 94 88 -6 1638,0 902,0 -736,1 Rata-rata 42 42 94 93 879,2 629,9 Koefisien keragaman (%) 9,6 3,5 18,73 Intensitas cahaya (I) * * * Genotipe (G) * * * Interaksi I x G * * *

Tabel 10. Umur Berbunga dan Panen serta Hasil Biji (g/18 m2) dari 15 Genotipe Kedelai.

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji á 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata padataraf uji á 5%.

Page 176: Jurnal Biologi Indonesia

468

Susanto & Sundari

batang. Tanaman yang menerimaintensitas cahaya rendah (ternaungi)mengakibatkan batang tanamancenderung kecil dibanding kondisiintensitas cahaya penuh, disebabkan olehxilem kurang berkembang karenapembesaran sel-sel pada batangterhambat (Wirnas 2005).

Jumlah daun umur enam dan delapanMST menunjukkan perubahan peringkatjumlah daun dari setiap genotipe, artinyagenotipe yang memiliki jumlah daunterbanyak pada intensitas 50% padawaktu umur sebelumnya tidak selalumenunjukkan jumlah daun terbanyak padaumur berikutnya, begitu pula pada jumlahdaun pada intensitas cahaya penuh.Tanaman yang kekurangan intensitascahaya mengakibatkan jumlah daun pertanaman berkurang (Squire 1990).Berkurangnya jumlah daun yangterbentuk berhubungan erat denganpengurangan luas daun. Pola tersebutserupa dengan pelitian lain yangmenyatakan bahwa tanaman kedelaiyang dinaungi sejak tanam akanmengalami penurunan luas daun (Hariani2002; Squire 1990). Luas daun tanamanumur dua MST di tempat intensiascahaya 50%, sebagian besar genotipemerespon dengan memperlebar daunnya,tetapi mulai umur empat hingga delapanMST berangsur-angsur luas daunnyamenjadi menyusut. Diantara genotipeyang diuji tidak menunjukkan konsistensi-nya menempati peringkat yang sama padapengamatan umur berbeda, terdapatgenotipe yang memperlebar luas daunnyadan mempersempit luas daunya padaintensias cahaya 50%. AOCHI/W-62merupakan genotipe yang menun-jukkan

responnya terhadap intensitas cahaya50% dengan memperlebar ukurandaunnya mulai pengukuran umur duahingga delapan MST.

Adaptasi tanaman terhadap inten-sitas cahaya rendah dilakukan denganmeningkatkan luas daun per unit yangmerupakan upaya tanaman dalammengefisiensikan penangkapan energicahaya untuk fotosintesis secara normalpada kondisi intensitas cahaya rendah(Levitt 1980; Djukri & Purwoko 2003).Pada umur delapan MST perbedaankehijauan daun hanya karena keragamangenotipe, hal ini kemungkian besar karenaumur panen yang berbeda sehingga umurpanen tanaman yang lambat, daun masihhijau sedangkan pengamatan dilakukandiwaktu umur tanaman sama. Tingkatkehijauan daun berkaitan dengankandungan pigmen daun yang berwarnahijau (klorofil) (Lakitan 1993), dimanaterdapat dua jenis klorofil, yaitu klorofil a(C55H72o5N4Mg) yang mengendalikanwarna hijau tua dan klorofil b(C55H70O6N4Mg) yang mengendalikanwarna hijau terang (hijau muda) (Miller1959 cit Sundari 2006). Daun tanamandikotil yang ternaungi lebih banyakmengandung klorofil, terutama klorofil b(Lakitan 1993), seperti dalam penelitianyang menunjukkan tingkat kehijauan dauntanaman kedelai lebih terang pada kondisiintensitas 50%.

Interaksi nyata terjadi antaraintensitas cayaha dengan berat keringpolong. Semakin sedikit energi matahariyang diterima oleh tanaman, prosesfotosintesis yang terjadi juga akanberkurang, yang berakibat padaberkurangnya akumulasi bahan kering ke

Page 177: Jurnal Biologi Indonesia

469

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

organ tersebut. (Katayama et al. 1998).Namun demikian, fotosintat yangterbentuk tidak hanya ditentukan olehseberapa besar kemampuan penghasilfotosintat akan tetapi juga ditentukan olehpengguna fotosintat baik dalam ukuranmaupun jumlah (Katayama et al.1998).

Penurunan jumlah polong dapatdisebabkan oleh kekurangan cahayauntuk fotosíntesis sehingga tanaman yangsedang berbunga dan masa pembentukanpolong akan mudah gugur (Jiang & Egli1993). Jumlah polong hampa yangterbentuk pada cekaman cahaya hingga50% menjadi lebih sedikit, kemungkinanjuga berkaitan dengan jumlah polong yangterbentuk, hanya MLGG 0059 yang tidakberpengaruh adanya cekaman tersebut(Tabel 8). MLGG 0058 jika ditanam padaintensitas cahaya 50% bobot biji pertanaman menjadi menurun sebesar 4,91g (dari 6,35 g menjadi 1,44 g) tertinngidaripada genotipe lainnya, sedangkanIAC 100 mengalami peningkatan hasil bijiper tanaman tertinggi yaitu sebesar 2,11g (dari 1,45 g menjadi 3,56 g). Cahayaterserap merupakan faktor penting dalamproses fotosintesis, pertumbuhan danhasil biji tanaman (Board & Harville1996; Zhao & Oosterhius 1998).Intensitas cahaya 50% menyebabkanpenurunan hasil biji dari sebagian besargenotipe yang diuji. Pengurangan cahayaterserap mengakibatkan penguranganaktifitas fotosintesis, sehingga alokasifotosintat ke organ reproduksi berkurang(Osumi et al. 1998) dan sebagaiakibatnya hasil biji menurun.

Intensitas cahaya 50% berpengaruhnyata terhadap bobot 100 biji. Tanamanyang mendapat intensitas cahaya 50%

akan terjadi penurunan aktifitasfotosintesis, sehingga alokasi fotosintat keorgan reproduksi menjadi berkurang(Osumi et al. 1998) maka akanmenyebabkan bobot biji menjadi lebihringan. Berkaitan perubahan umurpanen, rata-rata suhu udara harian dilingkungan intensitas cahaya 50% lebihrendah daripada intensitas cahaya 100%,hal itu seharusnya tanaman yangmendapat suhu udara lebih tinggi akancepat berbunga walaupun jumlah radiasiyang diterima tanaman lebih sedikit(Zaman 2003), dan kemungkian terdapatfaktor lain dalam penelitian ini tidakdiprediksikan.

Umur tanaman kedelai padaintensitas cahaya 50% menunjukkankeragaman. Pada intensitas cahayarendah kondisi suhu udara lebih rendah,tetapi memiliki umur panen yang lebihcepat, tetapi Zaman (2003) mengung-kapkan bahwa kondisi lingkungannaungan cenderung memiliki suhu udarayang lebih tinggi sehingga umur panenlebih cepat jika dibandingkan denganintensitas cahaya penuh. Dalampenelitian terjadi kondisi lain dimana suhulingkungan di naungan lebih rendah, halini kemungkinan besar naungan yangdibuat mendapat aliran udara yang cukupsehingga lingkungan di naungan tidakseperti kondisi sebenarnya, hal inilah yangmerupakan salah satu kelemahan dalampengijuan tanaman dalam naunganbuatan. Cekaman intensitas cahayasebesar 50% menyebabkan penurunanhasil biji per plot. Faktor penting yangdapat mempengaruhi hasil kedelai adalahcahaya yang diterima oleh tanaman(Jomol et al. 2000) dan apabila tanaman

Page 178: Jurnal Biologi Indonesia

470

Susanto & Sundari

kedelai ternaungi dengan intensitasnaungan 30% dapat menurunkan hasilsebesar 30-50% (Ashadi et al. 1997).

KESIMPULAN

Intensitas cahaya 50% mengakibat-kan perubahan karakter tanaman kedelaimeliputi batang lebih tinggi, jarak antarbuku lebih panjang, jumlah bukuberkurang, diameter batang mengecil,jumlah daun berkurang, luas daunmengecil, jumlah polong berkurang, bobotbiji berkurang, bobot 100 biji mengecil,tingkat kehijauan daun rendah, memper-cepat umur berbunga dan panen.

Genotipe IAC 100, MLGG 0383-1dan IAC 100/BRR-1 memiliki hasil bijilebih tinggi pada kondisi intensitas cahaya50%.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih diperuntukankepada koordinator teknis KP.Kendalpayak Malang (Pak Slamet) yangmembantu dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Ashadi, DM. Arsyad, H. Zahara, &Darmiyati. 1997. Pemuliaan kedelaiuntuk toleran naungan dantumpangsari. Buletin Agro Biop.1:15-20.

Badrun. 1986. Tumpangsari jagungdengan beberapa jenis sayuran.Hasil Penelitian Tanaman Pa-ngan, Balitan Bogor. Padi.1: 95-105.

Blum, A. 1982. Evidence for geneticvariability in drought resistance andits applications in plant breeding. In:Drought Resistance in CropsWith Emphasis on Rice. IRRI.Philipina. 56-68.

Board, JE. & BG. Harville. 1996. Growthdynamic during the vegetatifperiode affect yield of narrow-row,late planted soybean. Agron. J. 88:567-572.

Djukri & Purwoko, B. 2003. Pengaruhnaungan paranet terhadap sifattoleransi tanaman talas. J. IlmuPertanian. 10: 17-25.

Garnerd, FP., RB. Pearce, & RL.Mitchel. 1985. Physiology of CropPlants. The Iowa State UniversityPress.

Hariani, K. 2002. http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2002-hariani-4918-bradyrhizo.

Jiang, H. & DB. Egli. 1993. Shadeinduced changes in flower and podnumber and flower and fruitabscission in soybean. Agron. J. 85:221-225.

Jomol, PM., SJ. Herbert, S. Zhang, AAF.Rautenkranz, & GV. Litchfield.2000. Diffrential renponse ofsoybean yield components to thetiming of light enrichment. Agron.J. 92: 1156-1161.

Katayama, K., LU. de la Cruz, S.Sakurai, & K. Osumi. 1998. Effectof shelter trees on growth and yieldof pechai (Brassica chinensis L.),mungbean (Vigna radiate L.) andmaize (Zea mays L.). JARQ .32(2):139-144.

Page 179: Jurnal Biologi Indonesia

471

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

Lakitan, B. 1993. Dasar-dasarFisiologi Tumbuhan. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Levitt, J. 1980. Responses of Plants toEnvironmental Stresses. Water,Radiation, Salt, and OtherStresses. Vol II. Academic Press,Inc. London, Ltd.

Osumi, K., K. Katayama, LU. de la Cruz,& AC. Luna. 1998. Fruit bearingbehavior of 4 legumes cultivatedunder shaded conditions. JARQ.32: 145-151.

Schou, JB., DL. Jeffer, & JG. Streeter.1978. Effects of reflector, blackboards, or shades applied atdifferent stages of plantdevelopment on yield of soybeans.Crop Sci. 18: 29-34.

Squire, GR. 1990. The Physiology ofTropical Crop Production. C.A.B.International, Wallingford. Oxon-OX108DE.UK.

Stepphun, H., MT. Van Genuchten, &CM. Grieve. 2005. Root-zonesalinity: I. Selecting aproduct-yieldindekx and response function forcrop tolerance. Crop Sci. 45:209-220.

Sugito, Y. 1999. Ekologi Tanaman.Fakultas Pertanian. UniversitasBrawijaya. Malang.

Sundari, T. 2006. Respon, mekanismedan seleksi ketahanan kacang hijauterhadap naungan. [Disertasi].Yogyakarta. Universitas GadjahMada. Yogyakarta.

Uchimiya, H. 2001. Genetic engineeringfor abiotic stress tolerance in plants.SCOPAS. http://www.google.com/search?:abioticstress.

Whigham, DK. & HC. Minor. 1978.Agronomic characteristics andenvironment strees. 5. In.Geoffrey. A. Norman (eds.)Soybean, Physiology, Agronomyand Utilization. Geoffrey. NewYork, San Francisco, London.Academic Press. Inc. 77-10.

Wirnas, D. 2005. Analisa kuantitatif danmolekuler dalam rangkamempercepat perakitan varietasbaru kedelai toleran terhadapintensitas cahaya rendah. http://www. tomotou. Net/pps702_9145/desta_wirnapdf.

Zaman, MZ. 2003. Respon pertumbuhandan hasil beberapa varietas kedelai(Glycine max (L) Merrill) terhadapintensitas penaungan. [Skripsi].Malang: Universitas Brawijaya.Malang.

Zhao, D. & D. Oosterhius. 1998. Cottonresponse to shade at differentgrowth stages: Nonstructuralcarbohydrate composition. CropSci. 38:1196-1203.

Memasukkan: Juli 2010Diterima: September 2010

Page 180: Jurnal Biologi Indonesia

J. Biol. Indon. Vol 6, No.3 (2010)

PANDUAN PENULIS

Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan:JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata),PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPANTERIMA KASIH (jika diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA.

Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasukgambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masing-masing 2,5 cm dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Romanberukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalambentuk grafik/diagram harus asli (bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan).Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halam terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol α,β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalambahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplartanpa nama dan lembaga penulis).

Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harusdiikuti nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali.

Daftar pustaka ditulis secara abjad menggunakan sistem nama-tahun. Contoh penulisanpustaka acuan sebagai berikut :

Jurnal :Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate

production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354.Buku :Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge.Bab dalam Buku :Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood,

& N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington.248-277.

Abstrak :Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak

Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 –18 Oktober 1982. 42.Prosiding :Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease

ekstrasellular dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional IndustriEnzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158.

Skripsi, Tesis, Disertasi :Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di

Indonesia.[Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.Informasi dari Internet :Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information

for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/lorCp.1.html.

Page 181: Jurnal Biologi Indonesia

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 3 (2010)

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (Sardinella gibbosa) di Perairan Pesisir Jawa Barat Yunizar Ernawati & Mohammad Mukhlis Kamal

393

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis) di Ecology Park, Cibinong Berdasarkan Sekuen DNA dari Mitokondria d-loop Dwi Astuti & Hellen Kurniati

405

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate, Maluku: Suatu Analisis Tata Ruang Berbasis Vegetasi Roemantyo

415

Komunitas Serangga pada Bunga Rafflesia patma Blume (Rafflesiaceae) di Luar Habitat Aslinya Kebun Raya Bogor Kota Bogor Provinsi Jawa Barat Indonesia Sih Kahono, Sofi Mursidawati & Erniwati

429

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Hetty I.P. Utaminingrum & Eko Sulistyadi

443

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya 50% dan Penilaian Karakter Tanaman Berdasarkan Fenotipnya Gatut Wahyu Anggoro Susanto & Titik Sundari

459