34
TRANSFORMASI NEGARA INDONESIA Transformation of The State of Indonesia Diterjemahkan dari Richard J. Robison, "The Transformation of the State in Indonesia," Bulletin of Concerned Asian Scholars, Vol. 3, No. 2 (Januari-Maret 1982).R. J. Robison

JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Diterjemahkan dari Richard J. Robison, "The Transformation of the State in Indonesia," Bulletin of Concerned Asian Scholars, Vol. 3, No. 2 (Januari-Maret 1982).R. J. Robison

Citation preview

Page 1: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

TRANSFORMASI NEGARA INDONESIA Transformation of The State of Indonesia

Diterjemahkan dari Richard J. Robison, "The Transformation of the State in Indonesia,"

Bulletin of Concerned Asian Scholars, Vol. 3, No. 2 (Januari-Maret 1982).R. J. Robison

Page 2: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

TRANSFORMASI NEGARA INDONESIA

Transformasi Negara Indonesia

Diterjemahkan dari Richard J. Robison, "The Transformation of the State in

Indonesia," Bulletin of Concerned Asian Scholars, Vol. 3, No. 2 (Januari-Maret

1982).

R. J. Robison

Pengantar

Bangkitnya kembali minat pada negara dalam masyarakat-masyarakat pasca-kolonial

sebagian besar adalah akibat dari kemerosotan teori ketergantungan sebagai alat umum

analisis terhadap masyarakat dan ekonomi "Dunia Ketiga" dan gerak ke arah satu

pendekatan yang berdasarkan atas konsepsi mode produksi dan formasi sosial.

Konsekuensinya, pusat analisis dipindah dari struktur-struktur global sirkulasi modal ke

pertarungan kelas di dalam formasi sosial tertentu pinggiran. Perdebatan sekitar

pemindahan ini sangat luas, untuk pengantar lihat Robert Brenner, "The Origins of

Capitalist Development: A Critique of Neo-Smithian Marxism," New Left Review, No. 104

(1977); J. Taylor, "Neo-Marxism and Underdevelopment A Sociological Phantasy," Journal

of Contemporary Asia, Vol. 4, No. 1 (1974); Colin Leys, "Underdevelopment and

Dependency Theory: Critical Notes," Journl of Contemporay Asia, Vol. 7, No. 1 (1977).

Tulisan ini bukanlah tempat mengikuti perdebatan yang rumit sekitar merosotnya teori

ketergantungan itu, tapi kutipan berikut dari Leys dengan ringkas mengemukakan inti

pokok dari kritik-kritik terhadapnya: Yang menciptakan ketergantungan bukanlah "transfer

surplus" yang diperoleh modal metropol dari pinggiran-nya metropol, betapa pun

pentingnya yang terakhir ini. Transfer surplus itu harus dipandang sebagai akibat dari

struktur-struktur di pinggiran yang menentang investasi produktif dari tenaga-surplus yang

harus diperoleh, tapi gagal mewujudkan surplus relatif peluang kerja C. Leys, "Capital

Accumulation, Class Formation and Dependency The Significance of the Kenyan Case,"

Socialist Register (1978), h. 245.

Setelah kita tinggalkan pemikiran bahwa masyarakat Dunia Ketiga terkungkung oleh

hukum besi penghisapan surplus pada tingkat dunia, maka dimungkinkan melihat aneka

ragam bentuk sosial dan ekonomi yang berkembang sesuai dengan konfigurasi spesifik

formasi dan pertarungan kelas di masing-masing masyarakat, bukannya proses tunggal

yang disebut keterbelakangan. Negara tidak lagi bisa dilihat sebagai administrator proses

Page 3: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

penghisapan surplus, melainkan sebagai suatu komponen terpadu dalam formasi dan

konflik kelas serta menjadi bagian dari transformasi bentuk-bentuk serta hubungan-

hubungan produksi. Formasi sosial di Indonesia yang telah berkembang sejak abad yang

lalu, mencakup suatu konfigurasi rumit produksi komoditi kecil (di dalamnya termasuk

produksi petani-penyakap/tuan tanah dan produsen kecil maupun produksi kerajinan dan

pertukangan) serta berbagai tingkat produksi komersial dan kapitalis. Proses revolusi dan

industrialisasi kapitalis berlangsung amat lamban. Indonesia belum menjadi masyarakat

borjuasi dan proletariat, tapi sebagian terbesar masih terdiri dari tuan tanah dan petani-

penyakap, produsen komoditi kecil dan pejabat negara, serta petani tak bertanah dan

penganggur.Namun demikian negara di Indonesia sejak abad lalu telah menjadi negara

kapitalis, yang menciptakan kondisi bagi akumulasi modal dan menjamin dominasi sosial

dari berbagai kelompok borjuasi. Tetapi perkembangan negara ini telah melewati berbagai

tahap yang khas, yang berkaitan dengan transformasi struktur kelas, taraf produksi

kapitalis, dan pertarungan politik. Hanya dalam konteks tahap-tahap khas inilah,

transformasi atau peralihan bentuk dan fungsi negara di Indonesia dapat dipahami.

Periode-periode yang terpenting ialah:

1. 1870-1940: Periode enclave atau kantong-kantong produksi yang menghasilkan

komoditi ekspor (terutama gula di Jawa, karet dan kopi di Sumatra). Dalam periode ini

negara terutama mewakili kepentingan modal Belanda.

2. 1941-1958: Periode ini memperlihatkan kemerosotan ekonomi enclave dan produksi

komoditi ekspor yang disebabkan oleh situasi ekonomi dunia maupun melemahnya

investasi modal Belanda dan merosotnya daya-mampu borjuasi Belanda dalam

mendominasi aparatus negara. Negara republik yang menggantikannya berada dalam

kekosongan ("vacuum") kekuasaan sosial karena lemah dan terpecah-belahnya kekuatan

kelas sosial.

3. 1958-1965: Negara melakukan nasionalisasi terhadap ekonomi kolonial yang runtuh,

dan melakukan mediasi (perantaraan) dalam kemelut pertentangan yang semakin sengit

antara persekutuan sosial-politik yang bertujuan revolusi sosial di satu pihak, dengan

persekutuan yang bertujuan membangkitkan kembali kapitalisme di lain pihak. Periode ini

berakhir dengan kemenangan kekuatan-kekuatan kapitalis dan kalahnya kekuatan revolusi

sosial.

Page 4: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

4. 1965-1981: Negara Orde Baru yang didominasi militer mengkonsolidasikan kekuasaan

atas dasar persekutuan antara modal asing, pemodal Tionghoa (cukong), dan modal besar

pribumi;

negara bersandar pada sistem produksi kapitalis yang digerakkan investasi Amerika

Serikat dan Jepang dalam sektor sumber daya dan energi serta dalam produksi industri

ekspor dan substitusi impor yang semakin meningkat. Percepatan transformasi ini merasuki

kekuasaan sosial ekonomi borjuasi dan kedudukan oligarki birokrat-militer.

Warisan Kolonial

Negara yang bersifat kapitalis di Indonesia baru muncul pada bagian akhir abad

kesembilan-belas. Sebelumnya, di masa VOC (Kompeni Dagang India Timur) dan di masa

pemerintahan Belanda selama Tanam Paksa (sekitar 1830-1870), negara berfungsi

menyediakan tenaga-kerja untuk perkebunan negara, mengumpulkan produk-produk, dan

menjalankan atau men-subkontrakkan berbagai monopoli dagang.

Pada paruh kedua abad kesembilan-belas, borjuasi Belanda mulai menekan monopoli

negara ini dan membuka negeri jajahan bagi investasi modal swasta. Pada 1970 undang-

undang tanah baru memungkinkan para kapitalis Belanda menyewa tanah-tanah luas yang

"tidak digunakan" untuk tujuan pertanian perkebunan dan melengkapi kapitalis ini dengan

sewa tanah milik desa jangka pendek (21 tahun). Negara tidak lagi camput tangan

langsung dalam proses produksi yang memaksakan penyediaan tenaga kerja dan

menjamin penyerahan hasil bumi, melainkan menjamin kondisi umum bagi eksistensi dan

reproduksi ekonomi perkebunan kolonial. J.S. Furnivall, The Structure of the Netherlands

Indies Economy (New York: Institute of Pacific Relations, 1942).

Selain menciptakan dasar hukum untuk pemilikan tanah swasta, negara menetapkan

undang-undang tenaga kerja dan penyewaan tanah desa oleh prabrik-pabrik gula. Misalnya

negara jajahan menetapkan pajak tinggi dan pembatasan pemilikan kecil produksi karet

pada tahun 1932, yang secara efektif membatasi produksi pemilik kecil pada 71,5% dari

ekspor perkebunan, mengurangi produksi pemilik kecil dari 300.000 ton menjadi 145.000

ton (20 sen per kilo dari 5 sen per kilo) dan mengurangi perkebunan karet dari 220.000 ton

menjadi 205.000 ton (62 sen per kilo dari 30 sen per kilo). Lihat R. Anspach, "The

Problems of a Plural Economy and Its Effects on Indonesian Economic Structure," tesis

Ph.D., University of California, Berkeley, 1963 (University Microfilsm, 1980), h. 82; George

McT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, NY: Cornell University Press,

Page 5: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

1952), h. 23. Dasa-warsa 1920-an negara juga menghancurkan tumbuhnya suatu kelas

kulak petani gula di Jawa dengan melarang pemilikan kebun tebu oleh penggilingan dari

petani pemilik (Anspach, op. cit., h. 82).

Pada saat yang sama, bentuk aparatus negara mulai berubah. Dulu para pejabat digaji

dengan persentasi hasil bumi yang dikumpulkan secara paksa atau dengan tanah apanase

untuk bisa mengumpulkan upeti. Bentuk-bentuk imbalan ini lambat-laun diganti dengan

gaji berupa uang. Onghokham, "The Residency of Madiun, Priyayi, and Peasant in the

Ninteenth Century," tesis Ph.D. Yale University, 1975 (University Microfilms, 1978).

Pada dekade awal abad ke-20, investasi di bidang manufaktur mulai merambah

perekonomian perkebunan kolonial itu. Borjuasi pribumi, Tionghoa, dan terutama Belanda

mulai menghasilkan komoditi manufaktur yang dulunya diimpor atau diproduksi sektor

produksi komoditi kecil. Negara bergeser, mulai melancarkan industri kapitalis untuk

substitusi impor dengan cara menyediakan prasarana (infrastruktur) yang rumit, meluas

dan melindunginya dari impor produk manufaktur asing, terutama Jepang.

Perkembangan industri substitusi impor 1930-an dan peranan negara dalam memberikan

perlindungan, subsidi, dan menyediakan infrastruktur dibahas oleh P. Siteen, "Industrial

Development of the Netherlands Indies," Bulletin 2 Netherlands and the Netherlands Indies

Council of the Institute of Pacific Relations, 1942.

Ketika kekuasaan berpindah dari tangan Belanda ke Indonesia tahun 1949, negara republik

yang baru ini tak mampu berbuat apa-apa, kecuali melanjutkan pengadaan kondisi umum

bagi eksistensi sektor produksi enclave kolonial. Hal ini pada hakekatnya disebabkan

karena seluruh struktur sosial dan proses akumulasi bersandar pada enclave produksi

komiditi di mana pabrik gula di Jawa menjadi lambang utamanya. Modal keuangan Belanda

dalam bentuk bank yang berkaitan dengan hasil tanaman perkebunan dan kumpulan

perusahaan niaga tetap menjadi kekuatan ekonomi yang utama, yang menunjang proses

akumulasi. Di dalam formasi sosial kolonial ini perkembangan kelas-kelas [borjuis] pribumi

demikian lemah dan terpecah-belah untuk bisa menjadi basis bagi tantangan politik

terhadap ekonomi ekspor kolonial.

Barangkali kelas domestik yang paling kokoh dan jelas ialah para pedagang Tionghoa.

Sampai pertengahan abad kesembilan-belas, mereka digunakan penguasa tradisional

maupun kolonial sebagai pemungut pajak dan pemegang monopoli-monopoli dagang

negara. Dengan berkembangnya perkebunan, produksi kecil komerial dan meluarnya

Page 6: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

produksi komoditi, pedagang Tionghoa mulai membangun jaringan dagang dan kredit

domestik dalam bidang produksi beras, barang kelontong, peminjaman uang, dan

pengolahan produksi pertanian kecil-kecilan, seperti penggilingan padi dan kincir gula.

Dengan dihapusnya pembatasan atas cara pemukiman pada tahun 1908, mereka mulai

menyebar ke pedalaman, menggantikan kaum pedagang kecil Jawa dan Sumatra di tingkat

desa. Pada akhir masa kolonial, jelas mereka telah menguasai jaringan niaga dan kredit

domestik,namun demikian perlu diingat bahwa pada hakekatnya mereka tetap merupakan

borjuasi saudagar dan borjuasi kecil yang berpusat pada lingkaran keluarga dan kerabat.

Pandangan umum terbaik tentang perkembangan golongan Tionghoa dalam perekonomian

jajahan dikemukakan oleh Kahin, op. cit., bab 1.

Meskipun mempunyai kekuatan ekonomi, orang Tionghoa tak bisa mendapatkan dominasi

politik pada masa pasca-kolonila karena permusuhan dari penduduk pribumi dalam

kehidupan kemasyarakatan tidak memungkinkan mereka memegang kekuasaan politik.

Namun demikian jelas kedudukan ekonomi orang Tionghoa telah kokoh tertanam dalam

kondisi ekonomi-ekspor kolonial yang ada. Tetapi kelas borjuasi pribumi juga tidak mampu

menjadi suatu basis sosial untuk transformasi politik tata sosial-ekonomi kolonial. Sebagian

besar kalangan bisnis pribumi terdiri dari produsen kecil dan pedagang kecil pengusaha

tanaman berskala kecil. Organisasi politik dan ekonomi dari borjuasi pribumi berawal-mula

dari pembentukan Sarekat Dagang Islam, yang pada 1911 mencoba menghadapi

tantangan Tionghoa, dengan cara mengamankan kendalinya atas jalur dagang, terutama

dalam industri batik dan tekstil. Pada awal 1930-an, arus ekspansi ini berhenti, tidak saja

karena gagal merebut kontrol atas perdagangan dari tangan Tionghoa, tapi juga karena

basis kekuatan ekonomi dalam masyara

kat kini semakin beralih ke akumulasi modal. Di lapangan usaha tradisional manufaktur

pribumi (rokok kretek, tekstil, batik, minuman dan makanan), para produsen pribumi

makin terkalahkan oleh akumulasi modal Belanda dan Tionghoa yang lebih maju.

Pemandangan umum yang sangat berguna mengenai borjuasi pribumi dan borjuasi kecil di

masa penjajahan dapat dibaca dalam J.S. Sutter, "Indonesianisasi," tesis Ph.D., 1959

(University Microfilms), Bagian Pertama dan Bagian Kedua bab IV. Untuk kasus yang

khusus lihat Lance Castles, Religion, Politics and Economic Behavior in Java: The Kudus

Cigarette Industry, Yale University Cultural Report Series No. 15 (New Haven: Yale

University Press, 1967).

Page 7: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

Kelemahan sosial-ekonomi borjuasi pribumi ini tercermin pada runtuhnya peran mereka

sebagai inti gerakan politik nasionalis pada 1920-an. Gerakan nasionalis 1930-an tidak

didominasi oleh satu partai berdasarkan kelas sosial manapun, melainkan oleh

cendekiawan kota yang berpendidikan Belanda dan para pejabat pribumi pemerintahan

kolonial. Bersama dengan pimpinan militer Indonesia pada masa Revolusi, mereka

merupakan kekuatan politik yang paling strategis di Indonesia setelah masa kolonial.

Juga tak ada kelas tuan tanah pribumi yang kuat dan tampil ke depan gelanggang.

Masyarakat Jawa pra-kolonial (Jawa ada-lah pusat pengolahan pertanian) bukanlah

masyarakat feodal yang dikuasai oleh bangsawan pemilik tanah berdasarkan keturunan

kebangsawanan, melainkan oleh suatu kelas penguasa berbasarkan hak-hak

mengumpulkan surplus petani yang dibagi-bagikan dalam jaringan patronase pribadi yang

dikuasai oleh Raja. Dengan berkembangnya pertanian komersial antar pertengahan dan

akhir abad ke 19, mereka tidak bisa berubah menjadi kelas pemilik tanah swasta,

melainkan menjadi pejabat yang digaji oleh negara kolonial. Perubahan priyayi dari

pemilikan upeti menjadi pegawai bergaji dibahas oleh Onghokham, op. cit., h. 109-150.

Walaupun hak pemilikan tanah swasta dan komersialisasi produksi pertanian semakin

mantap di bawah kolonialisme setelah pertengahan abad ke-19, tak juga muncul suatu

kelas tuan tanah yang dominan dalam ekonomi dan tangguh dalam politik. Tidak ada

polarisasi yang jelas antara petani tak bertanah dan buruh tani di satu pihak dengan tuan

tanah di lain pihak.

Pemilikan tanah menjadi berkeping-keping dan membingungkan, sedangkan kancah politik

desa bukan ditentukan oleh persaingan antara kubu tuan tanah dan petani tanpa tanah,

melainkan oleh jaringan tuan-hamba yang rumit yang memediasi pertarungan kepentingan

sosial dari berbagai kelas. Proses perkembangan kelas yang nyata dalam masyarakat desa

baru muncul setelah kemerdekaan dan baru berkembang pesat pada dekade 1960-an dan

1970-an. Pada saat yang sama para produsen kecil, terutama di Sumatra, sangat terpukul

oleh depresi, oleh pembatasan pemerintah, dan tetap merupakan kekuatan sosial ekonomi

yang relatif terpecah-belah dan tidak berdaya. Jadi kolonialisme di Indonesia tidak

melahirkan suatu hacienda [perkebunan swasta yang besar] yang dikuasai pribumi, tidak

juga melahirkan satu kelas kulak [petani kaya] pribumi.

Page 8: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

Negara Republik dalam Formasi Sosial Kolonial: 1949-1958Selama dekade pertama,

kekuasaan politik di republik baru ini berada di tangan koalisi partai politik yang didominasi

cendekiawan kota berpendidikan Belanda, satu koalisi yang sering goyah dan silih berganti.

Tak satupun dari partai-partai ini yang bersandar atas basis sosial yang kuat dan tangguh,

dan konflik politik cenderung berbentuk pertengkaran memperebutkan jabatan politik.

Negara baru ini memegang kontrol kekuasaan yang goyah atas militer dan menghadapi

berbagai tantangan kedaerahan. Sebagai pimpinan gerakan nasionalis 1930-an dan 1940-

an, para pemimpin partai semuanya menentang bentuk-bentuk imperialisme dan

kapitalisme serta menjanjikan peralihan menuju suatu perekonomian nasional yang

sosialistis, meskipun rumusannya tidak jelas. Tetapi segera setelah memegang kekuasaan,

mereka langsung menghadapi kesulitan-kesulitan besar dalam membenahi perekonomian

kolonial. Pendapatan negara maupun tatanan sosial yang ada bersandarkan pada produksi

ekspor tanaman dan tambang yang dibiayai dan dikelola oleh borjuasi Belanda dan

Tionghoa. Tidak ada kelas pribumi pengumpul modal yang mampu mengikuti jejak usaha

dan permodalan Belanda dan Tionghoa, atau mampu menciptakan suatu sistem ekonomi

alternatif selain kembali ke (regresi) produksi komoditi kecil. Kelas pribumi pengumpul

modal ini pun tidak mampu memegang kendali atas kekuasaan politik untuk dapat

memaksa negara bertindak sesuai dengan kepentingan-kepentingan mereka. Tidak ada

partai politik yang mempunyai ketangguhan ideologis atau basis kekuasaan sosial yang

diperlukan untuk melancarkan gerak yang kuat ke arah perubahan mendasar

perekonomian kolonial. Imobilitas negara ini sebagian besar adalah akibat kekosongan

basis kekuasaan social Perubahan terus-menerus koalisi, kecepatan naik dan turunnya

pemerintahan dan langkanya konflik atas dasar politik disebabkan oleh keadaan bahwa

partai polirik cenderung dipersatukan oleh jalinan hubungan patronase dan bukan dalam

pelembagaan atas dasar kekuasaan kelas. Sulitnya akumulasi kekuatan yang kohesif dan

bersisiplin baik diuraikan oleh Mortimer dalam banyak analisisnya mengenai PKI. Lihat

khususnya Rex Mortimer, "Class, Social Cleavage and Indonesian Communism," Indonesia,

No. 8 (1969).

Namun demikian, kepentingan-kepentingan sosial ekonomi segera muncul dan tampil di

gelanggang politik ketika pertarungan untuk mengendalikan perekonomian kolonial mulai

berlangsung. Yang paling kuat dari kakuatan-kekuatan politik-ekonomi ini ialah kaum

politiko-birokrat (selanjutnya disebut P-B)yang menguasai jabatan-jabatan kekuasaan dan

wewenang di partai dan aparatus negara. Ciri penting P-B baru ini ialah terjadinya

Page 9: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

percampuran antara kekuasaan politik dan otoritas birokrasi dikuasainya aparatus negara

oleh sekelompok kecil pemimpin partai. Wahana yang digunakan untuk mendapatkan

kekuasaan negara ini ialah partai-partai politik dan faksi-faksi yang memegang kontrol atas

sektor-sektor strategis aparatus negara sebagai barang jarahan, membagi-bagikan di

kalangan mereka depertemen-departemen yang mengontrol perdagangan dan kebijakan

ekonomi, bank-bank negara dan perusahaan-perusahaan negara. Jabatan-jabatan yang

strategis di bidang ekonomi ditempati oleh para pejabat partai dan militer, pendukung

politik dan kerabat mereka, dengan tujuan untuk membiayai operasi politik oleh faksi-faksi

yang bersangkutan dan memberikan basis untuk membangun kekayaan pribadi

paraindividu pemegang kekuasaan. Dengan menggunakan kekuasaan yang diperolehnya

untuk membagi-bagikan lisensi, konssesi, kredit dan kontrak, P-B bisa mengamankan

posisi-posisi monopoli di sektor impor sebagai distributor komoditi atau sekedar sebagai

penyalur lisensi. Ada banyak sumber tentang hal ini. Lihat J.L. Rocamora, "Nationalism in

Search of an Ideology," tesis Ph.D. Cornell University, 1974, h. 18-185; Herbert Feith, The

Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca, NY: Cornell University Press,

1962), h. 125; Sutter, op. cit., h. 997-1072.

Borjuasi pedagang dan produksi komoditi serta borjuasi kecil tradisional pribumi juga

berusaha menggantikan Belanda.Tapi mereka tak pernah bisa memperoleh akses pada

sarana politik untuk mengambil-alih Belanda, yakni kontrol atas lisensi, konsesi dan

kontrak,atau untuk memperluas melampaui perdagangan dan produksi komoditi kecil atas

dasar akumulasi modal. Selama 1950-an sejarah panjang pertarungan antara P-B dengan

borjuasi pribumi dan borjuasi kecil berlangsung, yang termanifestasi dalam pertarungan

mem-perebutkan lisensi impor yang dibagikan melalui program Benteng, dan dalam konflik

tentang kebijakan fiskal pemerintah pusat yang menimbulkan kerusakan besar pada

produsen luar Jawa dan mendorong pemberontakan daerah menentang Jakarta pada akhir

1950-an Pengkajian yang lengkap tentang program Benteng dikemukakan oleh K. Thomas

dan J. Panglaykim, Indonesia

The Effects of Past Policies and President Suharo's Plans for the Future (Melbourne: CEDA,

1973), bab II. Pentingnya konflik antara importir di Jakarta dengan produsen di luar Jawa

menjadi tema kontrol dalam H. Schmitt, "Post Colonial Politics: A Suggested Interpretation

of the Indonesian Experience, 1950-1958," Australian Journal of Politics and History, Vol.

IX, No. 2 (1963).

Page 10: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

Kekuatan ketiga terdiri dari PNI sayap kiri dan PKI(Partai Komunis Indonesia) beserta

dengan organisasi-organisasi buruh dan tani yang berkaitan dengannya. Kelompok-

kelompok ini tidak hanya bertujuan memperoleh kepentingan-kepentingan Belanda, tapi

juga melakukan pembenahan struktural yang radikal pada tatanan sosial-ekonomi yang

ada hal mana meliputi perwujudan suatu ekonomi industri nasional, yang berdasar pada

modal korporat negara, dan

penentangan mendasar paa struktur penguasaan tanah di pedalaman.

Tantangan Nasional terhadap Ekonomi Kolonial: 1958-1965 Pengambil-alihan ekonomi

kolonial mulai sejak 1957 dengan upaya serikat kerjaa yang secara sepihak memantapkan

kendali atas perusahaan-perusahaan Belanda. Perkembangan ini menjadi isyarat bagi

kalangan militer dan mereka bergerak mengambil-alih kendali perusahaan-perusahaan

Belanda serta memulai mendominasdi atas sektor eperusahaan negara yang lahir dari

kepentingan-kepentingan Belanda yang disitaAchmad Sanusi, "The Dynamics of the

Nationalization of Dutch Enterprise in Indonesia," tesis Ph.D., Indiana University, 1963.

Dilatar-belakangi nasionalisasi dan tantangan pemberontakan daerah, Presiden Sukaaarno

menghapuskanm pemerintahan partai dan memantapkan suatu bentuk kekuasaan yang

populis dan totaliter, mealalui koalisi yang goyah dan sulit antara kekuatan-kekuatan

nasional, termasuk PKI dan militer bersama dengan borjuasi pribumi yang dulu berharap

memasuki kepentingan permodalan Belanda. Namun, anasionalisme ekonomi ternyata

mengambil bentuk kapitalisme negara.

Sampai derajat tertentu, kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai "Ekonomi

Terpimpin" memang telah membuka peluang bagi perkembangan modal industri nasional,

baik oleh negara maupun swasta. Banyak upaya dilakukan untuk memaksakan investasi

domestik beralih dari impor ke industri. Impor-impor komoditi yang potensial bisa digarap

di Indonesia, dibatasi. Program-program skala besar untuk meminjam uang dari luar

negeri dijalankan dalam rangka menciptakan industri nasional dalam produksi baja dan

pemubatan kapal. Dengan kredit, kontrak, dan hak monopoli dari negara, beberapa

kelompok bisnis swasta pribumi dan perusahaan-perusahaan negara berhasil melangkah ke

dalam usaha manufaktur Thomas dan Panglaykim, op. cit., bab III; R.J. Robison,

"Capitalism and Bureaucratic State in Indonesia, 1965-1975," tesis Ph.D., Sydney

University, 1977, bab III; Lance Castles, "Socialism and Private Business: The Latest

Phase," Bulletin of Indonesian Economic Studies, No. 1 (1966).

Page 11: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

Tetapi eksperimen Sukarno untuk mewujudkan suatu perekonomian industrial nasional

gagal karena berbagai sebab, yang ter-penting diantaranya ialah karena tak ada suatu

borjuasi nasional (baik pribumi maupun Tionghoa) yang mampu menyediakan basis bagi

akumulasi, organisasi korporasi, manajemen, dan keahlian teknis. Sukarno tidak

menguasai struktur partai dengan koherensi ideologi atau disiplin politik dan organisasi

politik di tingkat massa untuk bisa menjalankan organisasi sosial, perencanaan ekonomi,

dan manajemen yang mutlak bagi transformasi yang mendasar itu. Sebaliknya, ia terpaksa

membagikan kontrol atas kapitalisme negara ke-pada para pejabat sipil dan militer yang

memandang perusaahaan dagang negara yang baru dan wewenang negara untuk

mengatur perdaga-ngan dan industri J. Panglaykim, _An Indonesian Experience ... Its State

Trading Corporation (Jakarta: University of Indonesia, 1967). Negara membentuk jawatan

khusus untuk mengkoordinasikan dan mengontrol alokasi bahan mentah impor, kredit mata

uang asing, kredit investasi, serta kuota produksi cabang-cabang industri tertentu. Jawa

tan-jawatan itu dikenal sebagai OPS dan GPS. terutama sebagai sarana yang lebih efektif

untuk memperoleh kontrol atas sistem distribusi. Mereka lebih memu-satkan diri pada

pengumpulan upeti daripada usaha akumulasi modal. Akibatnya Ekonomi Terpimpin hanya

sedikit lebih dari pengambilan-alihan oleh faksi politiko-militer kontrol atas akses ke

perdagangan dan produksi yang ditegakkan dalam perekonomian kolonial yang ada.

Tanpa aparatus negara atau borjuasi nsional yang mampu menyediakan basis kokoh untuk

akumulasi dan manajemen untuk menggantikan Belanda, perekonomian Indonesia mulai

berantakan. Hal ini sudah tampak sejak 1963 ketika negara mulai memediasi pengunduran

dari tujuan-tujuan yang lebih ketat perekonomian terencana yang didominasi negara.

Tetapi proses disintegrasi ekonomi berjalan maju terus tanpa bisa dicegah. Inflasi dengan

cepat membumbung sampai lebih dari 600%, arus impor barang konsumsi dan suku

cadang terhenti sedang prasarana ekonomi kacau dan berantakan.Disintegrasi ekonomi

pada periode ini telah dicatat beberapa penulis. Lihat Thomas dan Panglaykim, op. cit.; T.K.

Tan (ed.), Sukarno's Guided Indonesia (Brisbane: Jacaranda, 1967), terutama tulisan-

tulisan oleh T.K. Tan, Herbert Feith, dan H.W. Arndt. "Pendapatan ekspor dari perkebunan

merossot karena produksi perkebunan ini terrkena akibat dari rendahnya pemeliharaan dan

investasi serta buruknya manajemen. Kehancuran berkeping-keping ini sangat

berpengaruh pada unsur-unsur masyarakat yang paling terpadu dalam struktur-struktur

enclace produksi dan impor komoditi yang dulu dikuasai oleh Belanda: para pejabat,

negara, kelas-kelas menengah kota dan borjuasi pedagang domestik. Bagi orang-orang ini

Page 12: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

dan bagi kaum militer, solusinya semakin jelas terletak pada pembangunan kembali

perekonomian kapitalis dan masuknya kembali modal asing sebagai basis bagi akumulasi.

Oleh sebab kontradiksi sosial-politik yang timbul pada masa itu, penghancuran negara

Sukarnois dan penyatuan kembali dengan perekonomian kapitalis dunia semakin mendesak

bagi kaum militer, para pejabat negara, borjuasi pedagang dan kelas-kelas menengah

kota. Ancaman ini pada pokoknya datang dari PKI dan organisasi buruh dan taninya.

Kekuatan-kekuatan rakyat yang turut serta dalam persekutuan nasional yang goyah ini

melihat perobahan sosial mendasar sebagai komponen yang diperlukan demi nasionalis me

ekonomi an mulai melancarkan aksi-aksi sosial dan politik. Di pedalaman pertarungan

memperebutkan tanah melahirkan ancaman yang semakin meningkat bagi kelas-kelas

pemilik tanah terutama Muslim Rex Mortimer, The Indonesian Communist Party and Land

Reform, 1959-1965, Monash Papers on Southeast Asia, No. 1, 1972, Centre of Southeast

Asian Studies, Monash University, Melbourne.Setelah kudeta militer 1965, negara Orde

Baru yang terdiri dari kepentingan-kepentingan persekutuan militer, mahasiswa, kelas-

kelas menengah kota, borjuasi pedagang pribumi, dan tuan tanah mulai melancarkan

penyingkiran basis sosial dan politik perlawanan terhadap kontra-revolusi. Kelemahan

politik Sukarno, PKI dan kekuatan-kekuatan lain yang mendukung nasionalisme ekonomi

terungkap oleh kenyataan langkanya perlawanan terorgani

sir terhadap pembantaian massal, pembersihan dan pemenjaraan besar-besaran yang

menghabisi kekuatan mereka pada 1965 dan 1966. Donald Hindley, "Alirans and the Fall of

the Old Order," Indonesia, No. 9 (1970).

Negara Orde Baru, 1965-1981: Rekonstruksi Kekuasaan Politik Walaupun Demokrasi

Terpimpin Sukarno sifatnya pepulis dalam arti bahwa kebijakan dan retorika yang ditujukan

untuk khalayak massal dipandang mutlak bagi legitimasi negara, yang merupakan negara

otoriter itu. Lembaga-lembaga pemerintahan, partai politik, dan parlemen yang dipilih

melalui pemilihan umum digantikan oleh kekuasaan presidan dan parlemen yang diangkat.

Partisipasi politik disalurkan melalui organisasi-organisasi yang disponsori dan dikendalikan

negara, yang mewakili kelompok-kelompok "fungsional" dalam masyarakat. "Kelompok

fungsional" mendapatkan tempat sentral dalam pendekatan korporatis yang baru.

Kelompok-kelompok seperti petani, buruh, pegawai pemerintah, wanita, pemuda, militer

dan pengusaha punya wakil di parlemen yang diangkat oleh presiden. Setiap kelompok

fungsional juga punya organnisasi nasional yang disponsori dan dikendalikan negara yang

ditujukan untuk menjadi penghubung antara kelompok bersangkutan dengan negara.

Page 13: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

Selain peralihan menuju populisme otoriter, perkembangan politik terpenting selama

Demokrasi Terpimpin ialah munculnya militer yang menempati posisi kuasa di dalam

aparatus negara. Kekuasaan ini ditunjang oleh kontrol atas terminal-terminal ekonomi yang

strategis dalam tubuh negara (terutama perusahaan-perusahaan dagang dan perusahaan

minyak milik negara) yang menyediakan sumber keuangan di luar anggaran resmi negara

dan memberi kan basis bagi persekutuan dengan borjuasi asing dan Tionghoa.

Dengan berdirinya Orde Baru pada akhir 1965 kekuasan politik telah kokoh digenggaman

militer, khususnya faksi yang berkaitan dengan Jenderal Soeharto. Latar belakang priyayi

rendah Jawa Tengah mereka berbeda tajam dengan cendekiawan kota berpendidikan

Belanda yang dulu menguasai pemerintahan-pemerintahan partai. Golongan militer segera

mengambil-alih posisi-posisi kekuasaan yang menentukan di dalam aparatus negara:

kepresidenan, kementerian-kementerian yang strategis secara politik dan ekonomi dan

kedudukan-kedudukan kunci dalam birokrasi daerah dan pusat.

Maka semakin jelas bahwa para bekas sekutu dalam pertarungan melawan persekutuan

nasionalis revolusioner pada 1965 dan 1966, kini juga tidak mendapat kursi kekuasaan

yang lebih besar daripada di masa Sukarno. Ciri-ciri korporatis yang utama pada Demokrasi

Terpimpin masih dipertahankan termasuk kekuasaan presiden yang lebih tinggi daripada

parlemen dan penyaluran politik serikat buruh, asosiasi bisnis, dan kelompok-kelompok lain

ke dalam organisasi-organisasi yang disponsori dan dikendalikan oleh negara. Kekuasaan

negara semakin diperkuat dengan mengembangkan kompleks aparatus yang dirancang

untuk memobilisasi dukungan publik (Golkar) atau memberangus oposisi (Bakin,

Kopkamtib).

Telah banyak studi yang meneliti proses umum bagaimana militer memusatkan kekuasaan

di dalam aparatus negara dan terus-menerus menyingkirkan kelompok-kelompok lain dari

hak untuk berpartisipasi politik; hal ini tidak perlu dibahas panjang lebar di sini. Lihat K.

Ward, The Indonesian Elections of 1971: An East Java Case Study, Monash Papers on

Southeast Asia, No. 2, 1974, Karl Jackson, "Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework

for Analysis of Power and

Communications in Indonesia," dalam Karl Jackson (ed.), Political Power and

Communication in Indonesia (Berkeley: University of California Press, 1978).

Page 14: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

Jika rezim Sukarno membenarkan bentuk otoriternya sebagai cara yang paling efektif

untuk mencapai konsesus massa, Orde Baru mengabsahkan otoriterismenya sebagai cara

mewujudkan keinginan massa yang dikemukakan oleh para ilmuwan dan teknokrat. Orde

Baru

bisa digambarkan sebagai otoriterisme teknokratis, sedang rezim Sukarno otoriterisme

populis. Basis ideologis otoriterisme teknokratis bersumber dari asumsi bahwa

pembangunan bisa dirancang dan dijalankan secara ilmiah dan obyektif oleh para pejabat

negara. Jelas-jelas bersandar pada ilmu sosial Amerika Utara 1950-an dan 1960-an,

mereka menganggap pertarungan politik dan ideologi politik ketinggalan zaman dari

pengetahuan ilmiah baru. Fungsi negara ialah menciptakan strategi ilmiah bagi

pertumbuhan ekonomi dan sekaligus menerapkan kontrol politik dan stabilitas sosial demi

kepentingan perkembangan jangka panjang. Karena itu pembangunan ekonomi menjadi

bekal ideologis dan faktor pengabsahan negara otoriter teknokratis dalam melancarkan

depolitisasi dan represi.

Secara lebih konrit, bentuk negara yang otoriter teknokratis dan otonom terhadap kontrol

oleh kekuatan sosial merupakan hasil dari kelemahan politik kelas-kelas sosial dan

diperolehnya kekuasaan negara oleh militer dan diperolehnya posisi ekonomi strate gis

Negara Orde Baru. Melalui Pertamina (perusahaan minyak milik negara), negara langsung

menyedot sumber keuangan yang meliputi lebih dari 505 pendapatan ekspor, 65%

investasi dari 13% GNP (produk nasional bruto) dan melebihi seluruh anggaran

pembangunan. Jika di sini kita tambahkan kontrol langsung negara atas pendapatan ekspor

hasil tambang dan bantuan asing (hutang luar negeri kini besarnya US$ 19,5 milyar dan

kewajiban pembayaran kembali menelan 20% dari pendapatan ekspor tiap tahun), maka

jelas bahwa negara memperoleh sebagian besar pendapatan langsung dari pemerintah-

pemerintah asing atau dari perusahaan-perusahaan negara dan perusahaan-perusahaan

asing yang terlibat dalam ekspoitasi sumber alam dan energi.

Lihat Ho Kwon Ping, "Back to the Drawing Board," Far Eastern Economic Review, 27 April

1979. Jadi sumber-sumber utama kekayaan di Indonesia tidak berada di tangan satu kelas

domestik manapun tapi di tangan negara.

Terakhir, perlu kita ingat bahwa kontradiksi-kontradiksi sosial yang mendasar yang muncul

sejak periode 1949-65, yaitu antara tuan tanah dan petani tak bertanah, modal dan tenaga

kerja, dan juga pembelahan sosial di dalam berbagai faksi borjuasi dan antara masyarakat

seumumnya dengan politiko-birokrat. Orde Baru terpaksa memelihara aparatus keamanan

Page 15: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

dalam negeri dan intelijen yang semakin kompleks dan efektif untuk menjaga agar konflik

yang semakin meningkat ini tidak kembali menjadi konflik politik.

Maka jelas bahwa negara Orde Baru telah berhasil memantapkan oronominya di hadapan

kekuatan-kekuatan kelas sosial dan kontrol politiknya serta kepentingan-kepentingan yang

diwakili oleh partai-partai politik. Namun demikian, negara ini juga mewakili kepentingan

umum dari persekutuan antara borjuasi asing, domestik dan kelas kulak/tuan tanah.

Negara kini merupakan sumber kondisi-kondisi bagi akumulasi kapital, memediasi integrasi

konflik sosial dan politik yang digerakkan oleh proses akumulasi.

Rekonstruksi Kapitalisme

Satu aspek sentral dari debat mengenai fungsi negara pasca-kolonial ialah sampai tingkat

mana borjuasi nasional menguasai proses reproduksi kapitalisme di Dunia Ketiga dan

sampai tingkat mana negara melayani kepentingan-kepentingan borjuasi metropolitan atau

menjadi pendorong perkembangan modal nasional. Alavi, dalam kasus Pakistan,

mengemukakan bahwa sementara negara mampu memberikan kredit dan keuntungan-

keuntungan komersial lainnya kepada borjuasi nasional, pada akhirnya borjuasi tidaklah

menggantikan modal asing tapi justru menggabungkan diri dengan modal asing. Secara

tersirat Alavi berpendapat bahwa negara tidak bisa mereproduksi di dalam borjuasi

nasional, sumber daya korporat, teknologis, dan modal yang dimiliki modal asing. Alavi

menulis: .... pada saat yang dahulunya "borjuasi nasional" itu bertambah dan berkehendak

memperluas usahanya dari industri-industri yang teknologinya relatif rendah (seperti

tekstil) ke industri-industri yang menggunakan teknologi sangat canggih (seperti petro-

kimia, pupuk) mereka tidak mempunyai akses untuk memperoleh teknologi industri maju.

Sumber daya dan skala operasi mereka yang kecil itu menghambat kemungkinan

pengembangan teknologi sendiri. ... karena itu mereka mau tidak mau harus mencari

kerja-sama dengan borjuasi negeri-negeri maju metropolitan atau dengan negara-negara

sosialis. Konsep borjuasi "nasional" yang dianggap menjadi anti-imperialis ketika tumbuh

semakin besar, sehingga kontradiksinya dengan imperialisme semakin tajam, adalah

sesuatu yang bersumber dari analisis tentang pengalaman kolonial bukannya pasca-

kolonial. Hamza Alavi, "The State in Post-Colonial Societies," dalam K. Gough dan P.

Sharma (eds.), Imperialism and Revolution in South Asia (New York: Monthly Review Press,

1973), h. 164-165.

Leys berpendapat bahwa negara Kenya terikat dalam proses perkembamgam kapitalisme

nasionaal dan menyediakan kondisi-bagi konsolidasi dan ekspansi modal nasional: Fungsi

Page 16: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

pokok negara ialah menyingkirkan monopoli yang dipegang modal asing dan

menggantikannya dengan monopoli modal Afrika serta melengkapi modal-modal

perorangan Afrika dengan modal uang negara dan teknologi yang dilindungi negara, supaya

memungkinkan mereka menduduki ruangan yang diciptakan buat mereka di sektor-sektor

ekonomi yang baru saja bisa diperoleh. Leys, 11978, loc. cit., h. 251.

Leys menegaskan bahwa strategi ini bukanlah hasil pandangan modern dari birokrasi

otonom tapi bahwa peeeraan negara itu secara kuat berdasar pada "... kekuasaan kelas

borjuasi Afrika

yang ada dan akumulasi modal yang telah dicapai."Ibid.

Banyak upaya untuk merumuskan negara sebagai sesuatu yang bertindak untuk

kepentingan borjuasi metropolitan atau nasional pada umumnya tidak bermanfaat.

Pemilikan modal dalam setiap formasi sosial akan selalu terdiri dari borjuasi nasional dan

borjuasi asing. Komponen nasional akan bergantung pada kedudukan relatif basis modal

borjuasi nasional terhadap modal-modal lainnya tapi juga pada tipe spesifik investasi

modal. Modal asing cenderung dominan dalam sektor-sektor teknologi tinggi dan padat

modal seperti minyak, tambang, dan sektor-sektor industri yang lebih kompleks. Modal

nasional umumnya ingin berintegrasi dengan modal asing dalam sektor-sektor itu tapi juga

akan memperoleh perlindungan negara dan subsidi untuk menggantikan modal asing ketika

baasis modal dan sumber-daya teknologi mereka telah memungkinkan mereka beroperasi

sendiri.

Penelitian Cardoso H. Cardoso, "Associated Dependent Development: Theoretical and

Practical Implications," dalam Alfred Stepan (ed.), Authoritarian Brazil (New Haven: Yale

University Press, 1973).

menyajikan beberapa pemahaman mengenai daya hidup formasi-formasi sosial kapitalis

nasional di Dunia Ketiga. Pertama ia menemukan bahwa dominasi yang telah dicapai oleh

borjuasi nasional dengan cepat dipatahkan apabila modal asing memutuskan untuk

meningkatkan kompelsitas dan ruang lingkup produksi kapitalis di Brasil. Pergeseran-

pergeseran struktural dalam proses akumulasi di "pusat-pusat" industri [negeri kapitalis

maju] memaksa borjuasi metropolitan memindahkan sektor-sektor penting produksi

industrinya ke Brasil. Dalam situasi baru ini borjuasi nasional yang ada tidak mampu

mempertahankan dominasinya dalam proses akumulasi. Kedua, kekuatan sosial dan politik

Page 17: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

borjuasi nasional tidak memadai untuk menjamin kedudukannya sebagai kelas penguasa

dalam menghadapi kontradiksi-kontradiksi sosial ekonomi yang muncul di dalam

kapitalisme nasional. Tantangan-

tantangan politik persekutuan buruh dan tani mengancam dominasi mereka. Karena

kelemahan mendasar kedudukan mereka mereka memilih berintegrasi dengan modal asing

dan menyerahkan tugas mengamankan kedudukan mereka kepada rezim militer otoriter.

Suatu revolusi borjuis berlangsung,dilahirkan oleh gerakan politik yang

reaksioner.Perubahan ini revolusioner dalam arti bahwa ia mendorong borjuasi setempat

untuk menyesuaikan diri dengan irama perkembangan kapitalisme internasional, yang

dengan demikian menegakkan subordinasi efektif perekonomian nasional kepada bentuk-

bentuk modern dominasi ekonomi. Ibid, h. 163.

Pada kasus Indonesia, modal nasional negara dan swasta ternyata tidak mampu

menghasilkan modal yang diperlukan untuk menunjang keberlanjutan suatu perekonomian

kapitalis yang independen, tidak juga mampu mengokohkan kedudukan politik borjuasi

sebaagai kelas penguasa. Situasi ini berubah setelah 1965 dengan didirikannya negara

militer otoriter yang didominassi oleh oligarki birokrat-militer dan dengan masuknya modal

asing untuk melengkapi proses akumulasi modal.

Salah satu unsur maha-pentingnya ialah perundingan kembali persetujuan kredit dengan

negeri-negeri kapitalis Barat dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank

Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Antara 1965 dan 1980, hutang yang

besarnya US$ 2,6 milyar meningkat menjadi lebih dari US$ 19 milyar, menegaskan

pentingnya kredit luar negeri bagi perekonomian kapitalis Indonesia. Tahun 1967 undang-

undang penanaman modal asing diberlakukan sebagai basis untuk investasi korporasi yang

didominasi Amerika dan Jepang, yang meyediakan konsesi-konsesi pajak dan pembebasan

bea impor bahan-bahan baku dan suku cadang serta menjamin repatriasi laba dan

melindungi dari nasionalisasi. Robison, 1977, h. 119-123.

Maka modal asing dengan cepat menempati kembali peran dominannya dalam

perekonomian Indonesia, meliputi lebih dari separuh investasi yang dilakukan dengan

ketentuan undang-undang penanaman modal (asing dan dalam negeri), jika dihitung tanpa

menyertakan investasi di bidang perminyakan, perbankan, pinjaman-pinjaman asing dalam

usaha domestik serta komponen informal Singapura dan Hongkong dalam investasi

Page 18: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

domestik yang secara nominal adalah investasi Tionghoa dalam negeri. 33 Investasi

Yang Disetujui sampai 1978 (dalam US$)

Keterangan (Dikonversi dari Rp)

Asing Domestik

Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan

846 1500

Pertambangan 1655 100

Manufaktur 4860 5520

Properti, hotel dan

perdagangan

630 680

Total 7985 7800

Lihat juga J. Palmer, The Indonesian Economy Since 1965 (London: Cass, 1978), bab 5.

Campur tangan negara untuk menjamin kepentingan-kepentingan modal domestik dalam

perekonomian kapitalis yang baru ini bentuknya ialah kebijakan umum fiskal, pemberian

langsung monopoli, kontrak, dan kredit oleh kelas P-B dan melalui kegitan-kegiatan

perusahaan-perusahaan negara.

Para perancang ekonomi Orde Baru pada umumnya menganut filsafat ekonomi yang

menganggap masuknya modal asing secara spontan akan menggalakkan akumulasi modal

domestik. Mengenai tinjauan atas posisi kaum teknokrat lihat Bruce Glassburner, "Political

Economy and the Suharto Regime," Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol XIV, No. 3

(1978). Tetapi desakan-desakan dari bisnis domestik memaksa mereka mengambil

langkah-langkah langsng yang menjamin partisipasi modal domestik. Pada 1968

dibelakukan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) yang memberi

keuntungan kepada borjuassi domestik sama dengan keuntungan yang diberikan kepada

penenam modal asing delapan-belas bulan sebelumnya. Robison, 1977, op. cit., h. 437-

445. Kredit negara tersedia bagi penanam modal di bawah program penanaman modal

dalam negeri (PMDN). Ibid., bab 9.

Page 19: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

Belakangan negara membatasi pemasukan modal asing ke sektor-sektor investasi yang

dianggap telah jenuh ataupun bisa dikembangkan oleh modal dalam negeri. Pembatasan ini

meliputi investasi dalam bidang kehutanan, farmasi, konstruksi dan perbankan.

Kelompok-kelompok bisnis di Indonesia juga menganggap negara mampu membantu

mereka, sebagai perusahaan individual, dengan kredit, kontrak, monopoli, konsesi, dan

lisensi negara. Prosesnya berlangsung sebagai berikut: komando-komando militer atau

faksi-faksi P-B atau orang-per-orang dalam P-B mendapatkan kontrol atas alokasi konsesi,

kontrak, dan monopoli negara; ini bisa dijual kontan atau digunakan untuk membentuk

basis usaha patungan antara

pemilik konsesi dengan kelompok-kelompok bisnis asing, Tionghoa, atau pribumi tertentu,

konsesi ini ditukar menjadi saham. Untuk keperluan ini P-B mendirikan kelompok usahanya

sendiri yang bisa dimiliki oleh komando militer atau faksi politik tertentu, dan digunakan

sebagai sumber penghasilan bagi kebutuhan politik faksinya, atau bisa juga dimiliki oleh

perorangan dan keluarganya dari kalangan P-B dan digunakan sebagai basis akumulasi

kekayaaan. Untuk rincian mengenai persekutuan-persekutuan bisnis spesifik lihat Robison,

"Toward a Class Analysis of the Military-bureaucratic State in Indonesia," Indonesia, No. 25

(1978). Apapun kasusnya, usaha-usaha ini adalah sarana menyalurkan kekuasaan negara

ke dalam proses akumulasi modal.

Negara juga mengarahkan sumber daya dan kekuasaannya ke dalam proses akumulasi

melalui perusahaan-perusahaan milik negara yang secara nominal dikontrol oleh menteri

dan secara finansial bertanggung-jawab kepada Negara. Berbagai kategori perusahaan

negara ini menjalankan bermacam-macam fungsi langsung:

a) Perusahaan negara dalam bidang pekerjaan umum, komunikasi, transportasi, dan

perbankan menyediakan infrastruktur ekonomi untuk akumulasi modal.

b) Perusahaan negara di bidang sumber daya alam menyediakan infrastruktur, bertindak

sebagai pangkalan alokasi konsesi minyak, mineral, dan hutan, mengawasi perjanjian

bagi hasil dan memungut pendapatan negara.

c) Perusahaan negara yang giat dalam bidang investasi, biasanya dalam usaha patungan,

di bidang properti, konstruksi, sumber alam atau industri. Yang paling penting ialah

Pertamina, yang mengadakan usaha patungan di bidang produksi pupuk, pertanian

sawah, properti dan manufaktur. PT Pembangunan Jaya (dengan gubernur Jakarta

sebagai pemegang saham besar) adalah kelompok usaha lain yang melakukan usaha

patungan di bidang properti dan konstruksi.

Page 20: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

d) Perusahaan negara yang menjalankan fungsi mengatasi krisis-krisis sosial dan

ekonomi. Yang paling penting ialah badan penyediaan komoditi pokok, BULOG, yang

menjalankan koordinasi penyediaan, distribusi, daan pengenda lian harga bidang yang

sangat peka secara politik, yakni beras. Bulog juga menjadi sumber penting pendapatan

untuk militer dan berbagai faksi P-B yang mengontrol alokasi lisensi distribusi, dan dana

negara dikontrol oleh Bulog. Lihat Robison, 1977, op. cit., 242-248; Harold Crouch,

Army & Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1978), bab 11.

Sementara perusahaan-perusahaan negara memberikan pendapatan penting bagi negara

dan dikorup oleh kalangan P-B, perusahaan-perusahaan ini juga menjalankan tugas

penting dalam proses akumulasi dalam keadaan tidak-adanya borjuasi nasional yang kuat.

Sebagian struktur korporasi negara melanjutkan tujuan-tujuan Ekonomi Terpimpin

mendapatkan pemilikan nasional dan mengontrol sektor-sektor strategis perekonomian

nasional. Tetapi, sebagai cerminan dari menguatnya kekuasaan ekonomi dan politik

berbagai borjuasi di Indonesia masa Orde Baru, struktur korporasi ini semakin diperlakukan

untuk menegakkan prakondisi bagi akumulasi modal swasta, asing dan domestik. Masalah

pokok yang diajukan di sini ialah bahwa peran utama kapitalisme negara ditentukan oleh

struktur kekuasaan politik dan sosial dalam formasi sosial. Kekuasaan negara pada

umumnya digunakan untuk membangun suatu perekonomian industri nasional di mana

terdapat persekutuan populis borjuasi nasional dan kekuatan rakyat. Sementara modal

asing mendapatkan peran ekonomi yang dominan kapitalisme negara memberikan kondisi

keberadaan modal asing dan dalam negeri. Di bawah kekuasaan Orde Baru, kelompok-

kelompok bisnis P-B dan perusahaan-perusahaan negara terutama melakukan usaha

patungan dengan perusahaan-perusahaan asing. Lihat J. Petras, "State Capitalism in the

Third World," Journal of Contemporary Asia, Vol. 6, No. 4 (1976); J. Leal, "The MExican

State: 11915-1973, An Historical Interpretation," Latin American Perspectivcs, Vol 11, No.

2 (1975); R. Munck, "State, Capital & Crisis in Brazil 1929-1979," The Insurgent

Sociologist, Vol. IX, No. 4

(1980).

Negara dan Struktur Persekutuan Borjuasi Pemilikan modal domestik di Indonesia dapat

dibagi menjadi lima kategori utama:

a) Modal negara

b) Modal Tionghoa yang beroperasi dalam sektor-sektor berskala menengah dan besar

c) Modal pribumi yang beroperasi dalam sektor-sektor menengah dan besar

Page 21: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

d) Modal Tionghoa yang beroperasi dalam sektor perdagangan kecil, manufaktur kecil, dan

sektor jasa

e) Modal pribumi yang beroperasi dalam sektor perdangan kecil, manufaktur kecil, dan

sektor jasa.

Konflik antara modal asing dan domestik masih lemah. memang banyak cendekiawan

liberal yang sangat meresahkan tingkat dominasi ekonomi ekonomi asing, tapi kemampuan

mereka untuk melancarkan tindakan politik yang efektif sangat terbatas.Dalam mencari

dukungan untuk program-program reformasi politik dan ekonomi, intelektual liberal telah

bekerja sepenuhnya di dalam struktur-struktur kekuasaan bukannya mencari sekutu dari

buruh atau tani. Karena sangat berkembangnya aparatus intelijen dan keamanan rezim

sekarang ini tentu saja sulit membentuk aliansi populer. Tetapi usaha-usaha untuk

membangun aliansi di tingkat atas telah terbukti tidak efektif. Setelah Januari 1974, militer

mengakhiri periode kritik dengan cara membreidel selamanya lima koran dan

memenjarakan sejumlah besar pembangkang. Kritikus-kritikus kelas menengah dari rezim

ini bisa juga tidak diberi izin kerja, lisensi bisnis, kredit bank negara, dan izin ke luar

negeri. (Lihat pernyataan Jenderal Yoga Sugama, kepala BAKIN, Juni 1980, dalam Far

Eastern Economic Review, 27 Juni 1980, h. 26.

Kritik yang menarik terhadap modal asing justru datang dari kelomok CSIS (suatu

komponen penelitian dan intelijen dari faksi politiknya Jenderal Ali Murtopo) yang

menyatakan bahwa modal nasional tidak bisa berkembang dengan baik di dalam struktur

yang sekarang. Mereka menegaskan pentingnya perlindungan negara yang sistematis dan

koordinasi pengembangan kapitalisme nasional dan pengendalian modal asing. Lihat J.

Panglaykim, "Organisasi Bisnis Dalam Rangka Pembangunan Ekonomi di Asia Tenggara,"

dalam Persoalan Masa Kini: Perusahaan-Perusahaan Multi-Nasional (Jakarta: Yayasan

Proklamasi, Center for Stategic and

International Studies, 1974); J. Panglaykim, "Struktur Domestik Dalam Interdependensi

Dunia," Analisa Masalah-Masalah Internasional, Tahun II, No. 12 (1973).

Usul-usul mereka didasarkan atas konsepsi tentang modal asing yang beroperasi di dalam

unit-unit ekonomi yang secara nasional terintegrasi, dengan negara menyediakan suatu

kerangka koordinasi, perlindungan, dan keuangan tapi dengan pemilikan modal sebagian

besar di tangan swasta. Konsepsi ini diambil dari model yang dilancarkan oleh negara Meiji

Page 22: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

[Jepang abad yang lalu], negara Singapura saat ini dan prinsip-prinsip yang mendasari OPS

dan GPS Ekonomi Terpimpin.

Penciptaan bentuk korporat kapitalisme nasional seperti itu memerlukan bentuk-bentuk

campor tangan negara yang kompleks dan sangat terorganisir yang berada di luar

kemampuan apartatus negara sekarang ini. Juga tampaknya mustahil dalam waktu dekat

aparatus negara Indonesia bisa ditransformasi seperti negara Singapura dan Meiji. Basis

yang mungkin bagi bentuk kapitalisme negara seperti itu ialah perusahaan minyak negara,

Pertamina, yang bertindak sebagai payung, finansir, dan pemberi kontrak pada seluruh

ragam kelompok bisnis. Setelah krisis finansial yang dihadapi Pertamina tahun 1975 dan

1976, kaum teknokrat bisa mendapatkan kontrol, setidak-tidaknya untuk sementara, dan

menyingkirkan sebagian besar kepentingan industri. Untuk tinjauan mengenai aspek sari

struktur Pertamina ini lihat Robison, 1977, op. cit., h. 249-258 dan 312-325.

Ini terutamakarena P-B dan borjuasi domestik besar mendapati bahwa kondisi-kondisi

akumulasi telah cukup baik disedikan oleh struktur-struktur yang sekarang. Perusahaan-

perusahaan patungan dengan perusahaan-perusahaan asing memberikan akses kepada

modal dan teknologi sementara persekutuan antara faksi-faksi tertentu P-B dengan

kelompok-kelompok bisnis tertentu memberi saluran akses kepada kredit, kontrak, lisensi,

dan konsesi negara.

Konflik yang lebih mendasar terjadi antara borjuasi pribumi yang lebih kecil dengan

borjuasi Tionghoa. Konflik ini terutama dilahirkan oleh borjuasi pribumi yang beroperasi

dalam sektor produksi kapitalis kecil sampai menengah dan menggabungkan diri dengan ke

sektor produksi komoditi kecil. Borjuasi dan borjuasi kecil ini pada umumnya gagal

mengembangkan kekuasaan ekonomi melalui perluasan basis akumulasi modal atau

melalui perlindungan faksi-faksi P-B. Oleh sebab itu mereka secara politik aktif menentang

ekspansi borjuasi Tionghoa, memprotes persekutuan antara P-B dengan kelompok-

kelompok bisnis asing dan Tionghoa. Tantangan umum berlandasan kelas ini meluap

melampaui kepentingan ekonomi langsung dan diasosiasikan dengan tantangan luass

politik/kultural Islam terhadap Jakarta dan terhadap karakter abangan negara yang

didominasi militer ini. Gerakan-gerakan politik yang mewakili kepentingan-kepentingan

borjuasi kecil pribumi selalu mengambil ciri Islam yang kuat. Di tahun 1973 dan 1974,

koran-koran yang mengartikulasikan kepentingan-kepentingan

Page 23: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

borjuasi kecil pribumi, Abadi dan Nusantara, tidak hanya mengkritik persekutuan P-

B/modal Cina/modal asing atas dasar ekonomi tetapi mengambil bentuk Islam yang keras.

Kombinasi sentimen-sentimen Islam dengan borjuasi kecil pribumi juga menjadi ciri

gerakan Asaat di akhir 1950-an. Lihat Herbert Feith dan Lance Castles (ed.), Indonesian

Political Thinking, 1945-1965 (Ithaca: Cornell University Press, 1970).

Kita harus membedakan bagian dari borjuasi pribumi ini dengan borjuasi pribumi dari

unsur-unsur yang telah berhasil memasuki persekutuan politik-ekonomi yang mengikat

faksi-faksi politik P-B pada kelompok bisnis Tionghoa dan asing maupun mereka yang

menjadi dimensi P-B dalam persekutuan tsb. Terjadi pertambahan jumlah kelompok bisnis

pribumi yang memperluas basis modal mereka dan beroperasi pada skala besar dalam

aliansi dengan P-B, modal Tionghoa dan modal asing. Sementara unsur penting

pembentukan basis modal mereka ini ialah patronase negara dalam berbagai bentuknya,

banyak dari perusahaan-perusahaan ini

sekarang cukup besar untuk menggerakkan akumulasi pada basis yang sama dengan

modal asing dan Tionghoa. Beberapa dari kelompok ini lahir sebelum Orde Baru berdiri

(misalnya Ning, Sudarpo, Kowara, Abidin). Yang lainnya muncul dari Orde Baru (Ponco

Sutowo, Probosutejo, Sukamdani). Perusahaan-perusahaan ini selalu punya bahaya hancur

kalau patronnya jatuh tetapi hal ini akan tergantung pada tingkat ketergantungan

kelompok terhadap lisensi atau konsesi atau apakah berhasil mengembangkan basis

modalnya sendiri. Lihat Robison, 1977, op. cit., bab 5 dan 7.

Bisa dikemukakan bahwa bagian dari borjuasi pribumi yang kita bicarakan ini merupakan

sisa-sisa yang sedang runtuh era kapitalis dagang/produksi komoditi kecil sebelumnya.

Tetapi borjuasi ini ternyata terbukti bertahan selama proses transisi ke bentuk-bentuk dan

hubungan-hubungan produksi kapitalis.Peranan borjuasi kecil dalam revolusi Iran

memperlihatkan kebertahanan kelas ini dalam apa yang secara umum dianggap sebagai

salah satu formasi sosial kapitalis yang paling maju di Dunia Ketiga.

Dengan pertalian-pertalina politik dan sosial mereka dengan partai-partai Islam dan kelas-

kelas pemilik tanah di Jawa, borjuasi kecil pribumi di Indonesia terus-menerus menjadi

persoalan bagi Negara.

Antara 1949 dan 1965 bebarapa pedagang pribumi terkemuka, dengan basis modal yang

kokoh dalam kegiatan niaga dan manufaktur, serta kaitan perlindungan politik telah

Page 24: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

berhasil memasuki bidang usaha impor, distribusi, perakitan mesin dan mobil asing,

malahan juga manufaktur berskalam besar, meskipun sedikit di antaranya bisa hidup terus

di masa Orde Baru. Tetapi sebagian terbesar akumulator pribumi tetap dalam tingkat

borjuasi kecil atau produksi komoditi kecil.

Konflik antara borjuasi pribumi kecil dan P-B terlukiskan dengan bagus dalam dua situasi

yang berkembang pada 1950-an. Program Benteng yang berlangsung antara 1950 dan

1955, dimaksudkan untuk memperkuat importir pribumi dengan memberikan hak istimewa

mendapatkan lisensi impor dan kredit untuk memulai usaha. Tetapi sementara lisensi bisa

menjadi sumber utama akumulasi modal borjuasi kecil Muslim, lisensi-lisensi itu juga

menjadi sumber keuangan potensial bagi politiko-birokrat. Akibatnya, lisensi-lisensi diambil

oleh partai-patai politik, P-B perorangan, para pendukung dan kerabatnya. Seringkali

lisensi-lisensi

impor itu disalurkan ke kelompok-kelompok bisnis yang dikendalikan oleh partai-partai

politik dan bank-bank tapi umumnya dijual kepada kelompok-kelompok dagang yang ada,

terusama Tionghoa. Borjuasi dan borjuasi kecil pribumi hanya menguasai lisensi hanya bila

mereka punya akses ke patronase. LIhat Sutter, 1959, op. cit., h. 1020-1032.

Dimensi kedua dari konflik ini berkisar sekitar masalah kebijakan moneter negara. Seperti

dikemukakan Schmitt, Schmitt, 1963. inflasi dalam negeri dan nilai tukar rupiah yang tinggi

secara artifisial telah menciptakan rezeki untuk para importir Jakarta tapi menghancrukan

produsen/pengekspor di luar Jawa dan produsen manufaktur kecil di Jawa.

Kedudukan ekonomi borjuasi kecil yang terus-menerus memburuk tercermin pula dalam

kedudukan politik yang semakin melemah. Telah sejak 1955 negara mendesakkan

masuknya kegiatan-kegiatan politik kelas ini ke lembaga perwakilan yang dikontrol negara

dan kooptasi resmi organisasi bisnis ini terus berlanjut di bawah Ekonomi Terpimpin

(Bamunas, Badan Musyawarah Usahawan Nasional) dan Orde Baru (Kadin, Kamar Dagang

dan Industri). Gerakan anti-Cina Asaat yang keras pada akhir 1950-an tidak mendapat

dukungan dari partai politik manapun, sedang kepentingan-kepentingan borjuasi kecil

pribumi terpukul ketika pemberontakan daerah dikalahkan dan perpindahan ke Demokrasi

Terpimpin semakin mengokohkan kekuasaan di tangan P-B Jakarta.

Page 25: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

Nasionalisasi ekonomi di masa Ekonomi Terpimpin tidak memberikan perlindungan, kredit,

dan subsidi yang lebih besar kepada borjuasi kecil pribumi. Memang modal negara

dipandang

sebagai wahana yang tepat untuk akumulasi nasional. Selain itu inflasi, kelangkaan dan

rusaknya prasarana berakibat buruk khususnya bagi borjuasi pribumi kecil yang tidak

mampu mengalihkan modal mereka ke daerah yang lebih terjamin selama iklim bisnis

belum membaik. Inflasi di masa Ekonomi Terpimpin memaksa borjuasi domestik

mengamankan dana dalam bentuk komoditi (suku cadang adalah yang paling mewah) atau

mengirimkan uang mereka ke luar negeri. Borjuasi Tionghoa adalah yang paling bisa

mentransfer modal karena punya akses ke jaringan finansial Tionghoa luar negeri. Lihat

Robison, 1977, op. cit., h. 98-105.

Dengan diberlakukannya UUPMDN pada tahun 1968, penanam modal dalam negeri

memperoleh berbagai keringanan pajak dan konsesi impor serta berhak mendapatkan

kredit negara. Karena terpukul oleh inflasi, aset cair kelas borjuasi dan borjuasi kecil

pribumi tidak lagi memadai, tidak hanya untuk melakukan ekspansi basis modalnya tapi

sebagai syarat kolateral untuk investasi dalam kerangka UUPMDN. Akibatnya hanya 17%

kredit investasi negara di bawah PMDN yang mengalir ke borjuasi pribumi dan diperkirakan

bahwa hanya 20% modal yang ditanam di bawah ketentuan PMDN yang milik pribumi.

Untuk tinjauan mengenai kesulitan-kesulitan kredit borjuasi dan borjuasi kecil pribumi di

masa Orde Baru lihat Robison, 1977, op. cit., h. 133-135. Lihat juga artikel "Kredit PMDN

Antara Koneksi dan Investasi," Tempo, 9 Desember 1973.

Tentu saja sebagian terbesar dari borjuasi kecil pribumi beroperasi di luar PMDN dan

karena itu mereka sangat dirugikan oleh penanam modal PMDN yang memperoleh

keistimewaan pajak dan akses pada bahan mentah dan teknologi impor yang lebih murah.

Protes borjuasi kecil pribumi mendapatkan kekuatan pada awal dekade 1970-an sejalan

dengan gerakan yang berkaitan dengan ketidak-puasan mahasiswa terhadap pemerintahan

militer dan arah strategi ekonomi. Surat kabar Muslim Abadi dan Nusantara khususnya

mengambil sikap anti-Cina dan sikap kritis terhadap persekutuan politik antara P-B dengan

kelompok-kelompok bisnis Tionghoa. Ini terutama berkaitan dengan semakin sulitnya

masalah yang dihadapi oleh para produsen tekstil pribumi dan umumnya berkaitan dengan

ketegangan sosial yang selalu ada antara orang Indonesia pribumi dengan Tiongho, yang

Page 26: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

merupakan faktor penyumbang timbulnya huru-hara Bandung Oktober 1973 dan Jakarta

Januari 1974.

Sejumlah kajian yang bagus sekali tentang disintegrasi borjuasi kecil pribumi bisa

ditemukan dalam pers Indonesia. Lihat Tempo, 2 Desember 1972; Topik, 1 Maret 1972,

Progress, No. 7 (1972). Untuk tinjauan lihat S. Joedono, "Partisipasi Pengusaha Nasional

Ekonomi Lemah," dalam S. Joedono et al., (eds.), Prospek Perekonomian Indonesia 1974

(Jakarta: Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas

Indonesia, 1973).

Setelah kerusuhan Jakarta, pemerintah bertindak meredam ketegangan dengan

melancarkan serangkaian peraturan baru yang dimaksudkan untuk membenahi

ketimpangan yang dirasakan di mana-mana antara modal pribumi, Tionghoa, dan asing.

Tindakan itu meliputi:

1) Persyaratan bahwa kredit dari bank negara hanya tersedia bagi perusahaan pribumi;

2) Persyaratan bahwa dalam tempo 10 tahun perusahaan yang menanam modal

dengan ketentuan UUPMDN 75% sahamnya dimiliki pemodal pribumi, dan perusahaan

yang menanam modal dengan ketentuan UUPMA 51% dimiliki oleh pemodal pribumi;

3) Program akselerasi kredit dan bimbingan bagi bisnis kecil pribumi.

Persyaratan pertama langsung menghadapi kenyataan struktur pemilikan modal dan

organisasi modal korporasi. Borjuasi pribumi selama ini menerima andil yang kecil kredit

bank negara karena tidak punya pengaruh politik, juga karena tidak punya basis modal dan

organisasi yang memadai untuk menggunakan uang itu secara efektif. Berdasarkan kriteria

normal perbankan, risiko kredit untuk mereka lebih buruk dibandingkan dengan bisnis

Tionghoa yang kuat. Mengenai persyaratan kedua, terungkap bahwa negara maupun

borjuasi pribumi tidak memiliki sumber keuangan yang cukup untuk membeli saham. Ir.

Suhud, ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing (BKPM) mengungkapkan keragu-

raguan mengenai kemampuan negara maupun borjuasi pribumi untuk menjalankan

kebijakan ini (Kompas, 23 Februari 1974) dan, bersama dengan para teknokrat lainnya

menjelaskan kepada investor Amerika bahwa proposal transfer ini tidak feasible dan agar

modal asing tidak mengkuatirkan transfer saham secara paksa. Lihat American Indonesian

Chamber of Commerce New Opportunities Seminar, New York, Septeeember 1975. Pada

umumnya kemampuan negara untuk mendesak Tionghoa sangat dibatasi oleh kenyataan

bahwa modal Tionghoa telah tak terpisahkan dari struktur kapitalisme yang sekarang tegak

Page 27: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

di Indoneisa dan oleh karena persekutuan bisnis konkret yang mereka pada para

pemegang kekuasaan politiko-birokrat penting. Di setiap kasus, bila pengalaman masa lalu

berlanjut kaum pribumi yang mendapat keuntungan dari kebijaksanaan transfer pemilikan

dan pemberian kredit akan selalu kaum politiko-birokrat atau borjuasi besar pribumi yang

telah memasuki kerangka persekutuan bisnis dan politik antara modal asing, moal

Tionghoa, dan kekuasaan P-B.

Masalah sentral yang dihadapi negara Orde Baru ialah bahwa perlindungan nyata

kepentingan borjuasi pribumi sebenarnya tidak selaras dengan kenyataan perkembangan

kekuatan produksi dalam kapitalisme Indonesia. Paling-paling ia hanya bisa berupaya

menyuap mereka dengan kredit lunak: itulah makna penting keputusan menempatkan

perhatian besar pada kredit untuk bisnis skala kecil (KIK-Kredit Investasi Kecil) dan

membentuk sarana negara untuk memberi pelayanan kredit dan bimbingan bagi pengusaha

pribumi. Lihat Robison, 1977,, _op. cit_., h. 437-440. Meskipun ini semua jelas tidak

memadai untuk perubahan mendasar kedudukan borjuasi dan borjuasi kecil pribumi,

kredit-kredit itu punya nilai politik karena dapat mengimbangi atau meringankan krisis

sehari-hari kalangan bisnis kecil dan dengan demikian melibatkan energi pengusaya

pribumi dalam memperoleh kredit negara bukannya dalam protes.

Basis yang lebih menjanjikan bagi munculnya kelas akumulator kecil pribumi ditemukan di

kawasan desa di mana perkembangan produksi komersial dan percepatan transformasi ke

bentuk-bentuk dan hubungan-hubungan kapitalis berlangsung disertai dengan pemusatan

pemilikan tanah dan peningkatan investasi modal dan kerja upahan. Frans Husken,

"Landlord, Sharecroppers & Agricultural Labourers Changing Labour Relations in Rural

Java," Journal of Contemporary Asia, Vol. 9, No. 2 (1979); William Collier, "Tebasan

System, High Yielding Varieties & Rural Change," Prisma, Vol. 1, No. 1 (1975);

Boedhisantoso, Rice Harvesting in Krawang Region in Relation to High Yielding Varieties,

Monash University, Centre of Southeast Asian Studies, Working Paper No. 6.

Kelas-kelas tuan tanah adalah sekutu yang Рpenting dari militer di masa 1965-1966 ketika

Orde Baru membentuk dirinya. Kelas-kelas tuan tanah/kulak desa menjadi landasan yang

penting dan strategis dari dukungan politik negara Orde Baru. Dalam tempo lima-belas

tahun setelah kup, negara Orde Baru memberikan basis bagi konsolidasi dan

pengembangan kelas tuan tanah/kulak melalui penyediaan kredit dan prasarana desa

berbarengan dengan program pengenalan bibit-bibit unggul , insektisida, dan pupuk dalam

Page 28: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

produksi pertanian. Jelas bahwa pembiayaan negara untuk pembangunan desa, dalam

bentuk kredit-kredit BIMAS dan dana INPRES menguntungkan kelass pemilik tanah yang

semakin terkonsentrasi. Pengkajian mengenai bentuk-bentuk perubahan hubungan

produksi dan perkembangan kelas kulak di desa-desa Jawa sedang berada pada tahap

awal. Salah satu karya terbaik ialah A. Booth dan R.M. Sundrum, "Trends & Determinants

of Income Distribution in Indonesia," dalam H.W. Arndt (ed.), Development & Equality:

Indonesia in the Nineteen Seveties, akan terbit.

Posisi Politiko-Birokrat (P-B)

Dalam masyarakat yang sistem perekonomian dominannya kapitalis, selalu terdapat

pemisahan antara politik dan ekonomi. Berbeda dengan masyarakat feodal, proses

produksi dijalankan bukan dengan paksaan politik tapi berlangsung dalam konteks

hubungan-hubungan ekonomi antara pemilik modal dengan buruh upahan yang bebas.

Akibatnya kelas penguasa dipisahkan dari negara meskipun negara melayani

kepentingannya. Kita tidak bisa menemukan logika yang mengatur hubungan antara

negara dengan masyarakat hanya dengan cara mempelajari latar-belakang sosial ataupun

pandangan ideologis mereka yang menduduki aparatus negara. Hubungan ini pertama-

tama bersifat struktural. Negara menjadi ekspresi politik proses-proses spesifik formasi

kelas dan konflik kelas serta ekspresi umum akumulasi modal. Tugas negara ialah

menjamin kondisi politik bagi dominasi borjuasi dan menyediakan prasarana bagi proses

akumulasi.

Sementara negara relatif otonom dalam arti ia bukanlah instrumen dari satu kelas atau

fraksi kelas, negara tidak mampu mendesakkan perubahaan struktural mendasar pada orde

sosial kecuali ia ditegakkan kembali atas dasar keseimbangan kekuasaan sosial dan politik

yang baru. Perubahan-perubahan besar pada tubuh negara Indonesia tahun 1949, 1957-

1959, dan 1965 telah terjadi mengikuti perkembangan yang telah dicapai dalam

keseimbangan kekuasaan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia.

Tapi kita hanya dapat memahami sepenuhnya negara Orde Baru jika kita melihat kaum

politiko-birokrat (P-B) sebagai kekuatan politik yang independen yang punya kepentingan-

kepentingan sosial ekonomi sendiri yang timbul dari digenggamnya aparatus negara.

Page 29: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

Pengambilan aparatus negara dan fusi kekuasaan politik dan kewenangan birokratis ini

membuatnya berbeda dengan pejabat-pajabat negara di negeri-negeri kapitalis industri.

Dikemukakan bahwa olitiko-birokrat di Dunia Ketiga adalah sejenis kelas negara dalam

dirinya karena pemilikan dan kontrol atas alat-alat produksi yang ada dalam aparatus

negara. Lihat Samir Amin, Unequal Development (Sussex: the Harvester Prss, 1976), h.

25; Claude Meillassoux, "A Class Analysis of the Bureaucratic Process in Mali," Journal of

Development Studies, Vol. 6, No. 2 (1970); I. shivji, Class Struggles in Tanzania (London:

Heinemann, 1976). Saya tidak hendak membahas persoalan-persoalan yang timbul dari

debat yang amat sangat kompleks ini lebih jauh daripada yang telah dikerjakan selain

menegaskan bahwa saya tidak bermaksud menggambarkan P-B tidak lebih dari kekuatan

politik yang kohesif. P-B telah menciptakan aparatus negara yang kuat, terpusat dan

otonom dari kendali politik langsung partai-partai politik yang mewakili kepentingan-

kepentingan kelas-kelas sosial. Dalam hal ini P-B menjadi oligarki birokratik-militer dari

suatu negara "bonapartist," yakni relatif otonom dari kontrol politik kekuatan-kekuatan

sosial tapi bertugas dalam jangka panjang mereproduksi orde sosial-ekonomi dalam mana

kepentingan-kepentingan kelas dominan tertanam. Konsep Bonapartisme digunakan

secara paling khusus oleh Alavi dan Cardoso untuk menjelaskan dominasi politik dan

otonomi oligarki politiko-birokrat dalam situasi kelas penguasa tidak mampu memperoleh

dominasi politik langsung.

Dalam situasi ini perkembangan-perkembangan historis spesifik kepentingan-kepentingan

politik dan ekonomi P-B menjadi faktor penentu bagi peran negara pada periode konflik

sosial.

Pada akhir masa Ekonomi Terpimpin, kalangan militer sebagai faksi dominan P-B. bertindak

melawan kekuatan-kekuatan revolusi sosial untuk kepentingan perekonomian kapitalis

mengamankan basis kelembagaan kekuasaan politik-nya menghadapi tantangan partai

politik berbasis massa. Langkah pemapanan kembali investasi modal asing juga dirancang

untuk memugar basis sumber penghasilan negara yang terancam oleh disintegrasi Ekonomi

Terpimpin. Sarana paling efektif untuk mengamankan sumber penghasilan negara sebagai

basis yang kokoh ialah dengan cara meremajakan pendapatan ekspor melalui investasi

modal asing, hutang dan bantuan luar negeri, dan rangsangan bagi akumulasi modal dalam

negeri melalui masuknya modal asing. Jalan perkembangan kapitalis juga memperkuat

kekuatan sosial ekonomi para sekutu politik P-B (tuan tanah, borjuasi domestik, dan kelas-

kelas menengah) dalam konflik mereka dengan kekuatan-kekuatan revolusi politik.

Page 30: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

Tindakan militer campur-tangan dan memihak borjuasi juga dipengaruhi oleh adanya

kaitan ekonomi konkret antara keduanya. Pada dekade sebelum kup 1965, militer telah

membuat jaringan luas persekutuan bisnis dengan modal asing dan Tionghoa melalui

kontrol militer atas pangkalan-pangkalan strategis kewenangan ekonomi yang meliputi

perusahaan-perusahaan negara. Persekutuan-persekutuan seperti itu memberikan

pendaptan bagi faksi P-B, pejabat perorangan, keluarga dan kerabatnya, dengan demikian

menyebabkan PB punya kepentingan kuat dalam usaha ekonomi partner-partner bisnisnya.

Setelah 1965, persekutuan bisnis ini tumbuh membesar terutama sebagai usaha

patungan.Untuk rinciannya lihat Robison, 1977, op. cit.

Ada dua faktor yang mengancam kedudukan P-B sebagai penguasa, aparatus negara:

konflik politik antara P-B dan kelas menengah, dan kontradiksi umum antara kebutuhan

akumulasi modal dan perkembangan kekuatan-kekuatan produksi di satu pihak dengan

penggunaan kekuasaan ekonomi negara yang diperoleh P-B untuk menunjang basis politik

posisi mereka dan mengisi kantong pribadinya.

Setiap formasi sosial kapitalis membutuhkan satu kekuatan sosial manajer, teknisi, dan

cendekiawaan (yang umumnya disebut kelas menengah). Kelas sosial ini relatif

berpengaruh karena kedudukannya yang strategis dalam lembaga-lembaga manajemen,

informasi, administrasi dan pendidikan dalam masyarakat. Salah satu kelemahan utama

Orde Baru ialah kegagalannya mengatasi permusuhan umum antara dirinya dengan kelas

menengah. Meskipun banyak kritik dari cendekiawan liberal terhadap kebijakan Orde Baru

dan banyak seruan untuk keadilan sosial dan pemerataan ekonomi Kritik liberal yang

menyeluruh ada dalam "buku putih" mahasiswa 1978 diterjemahkan dalam Indonesia,

ĠNo.

25 (1978). Faksi politik Muslim, PPP (suatu fusi yang dipaksakan partai-partai politik

Muslim), juga mengemukakan kritik yang didasarkan pada gagasan tentang keadilan sosial,

kesamaan ekonomi, dan demokrasi politik.

Lihat H.A. Chalid Mawardi, Pemandangan Umum Persatuan Pembangunan Atas Pidato

Pertanggung Jawaban Presiden Mandataris MPR, 15 Maret 1978.

kelas-kelas menengah ini bukanlah ancaman mendasar terhadap struktur kapitalisme di

Indonesia. Pertama, para pengkritik dari cendekiawan kelas menengah ini tidak

mengembangkan persekutuan yang terorganisir dengan kelompok-kelompok sosial lain,

dan karena itu mereka tetap menjadi artikulator ketidak-puasan bukannya suatu kekuatan

Page 31: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

politik yang tangguh. Hal ini diperlihatkan oleh manuver-manuver politik yang memuncak

pada kerusuhan 15 Januari di Jakarta tahun 1974. Lihat Harold Crouch, "The 15th January

Affair in Indonesia," Djason House Papers, Vol. I, No. 1 (1974); Robison, 1977, op. cit., bab

8.

Kedua, dan ini lebih penting, lapisan atas dari kelasss-kelas menengah kota pada umumnya

turut menikmati perkembangan kapitalisme di Indonesia. Kepentingan-kepentingan mereka

bertentangan dengan kepentingan kelas-kelas bawah. Gaji pegawai negeri selalu naik lebih

tinggi daripada inflasi, selalu ada kesempatan bekerja dengan upah tinggi dalam

perusahaan-per-usahaan asing, dan semakin banyak lapisan atas kelas menengah

mendapat akses rumah yang mewah dan aman di real estate. Peningkatan standar

kehidupan kelas menengah memberikan akses pada barang-barang konsumen yang

semakin banyak jenisnya. Mereka adalah unsur sosial istimewa dan tampaknya mustahil

mereka akan mendukung perubahan sosial mendasar yang akan menyusun kembali,

mengalokasikan kembali kekayaan sosial, mengusir modal asing atau mau mengalami

hidup melarat atau menderita dalam pergolakan yang akan disertai dengan upaya

sistematis membangun perekonomian kapitalis Indonesia di atas landasan akumulasi

modal dan kontrol ekonomi domestik.

Oposisi mereka terhadap P-B yang didominasi militer timbul dari kebencian luas akan hak-

hak istimewa yang diambil militer untuk dirinya sendiri, sifat otoriter dari pemerintahan

militer, korupsi P-B, dan kesewenang-wenangan dalam bidang hukum. Akibatnya mereka

pada umumnya hanya menginginkan dihentikannya peran ekonomi dan politik militer,

regularisasi birokrasi, liberalisasi politik dan ditegakkannya negara hukum.

Walaupun kelas-kelas menengah tidak punya basis politik untuk menantang P-B, sebagai

kelompok politik mereka cukup strategis. Puas tidaknya mereka pada Orde Baru tergantung

pada terus berlanjutnya perkembangan kemakmuran relatif mereka, yang didasarkan pada

hutang luar negeri, investasi modal asing, pendapatan ekspor dan impor komoditi yang

terus bertambah. Jika kerangka yang rapuh ini hancur, kelas-kelas menengah bisa diduga

mencari sekutu-sekutu politik yang baru.

Ancaman kedua terhadap P-B datang bukan dari prospek runtuhnya kapitalisme Indonesia,

tapi justru dari pengokohannya. Ketika investasi dalam bentu-bentuk produksi industri

yang lebih kompleks dan padat modal meningkat, meningkat pula tuntutan akan sistem

Page 32: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

transport dan komunikasi yang bisa diandalkan, administrasi yang efektif fungsi-fungsi

negara (misalnya duane, pajak) dan kebijakan fiskal yang teratur dan pasti. Dalam

kapitalisme industri negara paling efektif menyediakan kondisi akumulasi modal melalui

kebijakan umum fiskal dan moeter serta pembangunan prasarana yang melayani

kepentingan-kepentingan umum kelas borjuasi, bukannya alokasi spesifik konsesi-konsesi

kepada satu-per-satu perusahaan.

Pada saat itu, P-B menyerap porsi yang besar anggaran negara dari pembangunan

prasarana ke proyek-proyek politik dan pribadinya sendiri. Campur-tangan mereka dalam

alokasi kredit, lisensi, kontrak, daan konsesi berarti bahwa kriteria untuk alokasi itu

ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan politik dan pribadi faksi-faksi spesifik P-B, bukan

oleh prioritas perencaan ekonomi jangka-panjang.

Berbagai usaha oleh unsur-unsur birokrasi negara yang berurusan dengan pembuatan

kebijakan dan manajemen ekonomi untuk meregularisasikan aparatus negara telah

menemui, untuk bagian yang terbesar, kegagalan. Bahkan ketika pemerintah merasa

terpaksa membuka penyelidikan terhadap korupsi atau menjalankan kampanye

pemberantasan korupsi,pangkalan utama korupsi tetap tak tersentuh. Misalnya,

Penyelidikan Kepresidenan terhadap Korupsi oleh "Komite Empat" tahun 1970

merekomendasikan perubahan radikal struktur Pertamina dan Bulog, yang terlibat dalam

skandal korupsi besar. Tetapi keduanya tetap berada di bawah kontrol militer dan terus

menjadi sumber keuangan bagi militer. Penyelidikan berekomen dasi terhadap kelompok

bisnis Waringin (dikontrol oleh keluarga Soeharto) juga dihentikan. Penyelidikan-

penyelidikan lain berikutnya tidak efektif. Lihat Robison, 1977, op. cit., h. 355-375.

Dalam jangka panjang regularisasi aparatus negara dan memudarnya P-B tergantung pada

tiga faktor:

1) seberapa jauh berlanjutnya penggenggaman kekuasaan negara oleh mereka

menghambat perkembangan akumulasi modal;

2) sejauh mana borjuasi asing, Tionghoa, dan pribumi siap melakukan tekanan politik

terhadap P-B;

3) seberapa jauh hambatan terhadap proses akumulasi mengancam seluruh struktur

kapitalisme Indonesia.

Pada dasarnya semua persoalan itu akan terjawab dalam dua dekade akhir abad ini.

Sementara ini borjuasi domestik masih mampu meluaskan akumulasinya di dalam

Page 33: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

persekutuan politik ekonomi antara modal asing dan kekuatan politiko-birokratik. Investor-

investor asing bisa mengarahkan investasi langsungnya ke tempat lain tanpa menimbulkan

angguan kritik terhadap perekonomian yang mengapung di atas pendapatan ekspor

minyak. Pendapatan-pendapatan ekspor dari minyak sekarang ini mampu mendukung

perekonomian Indonesia tanpa sumbangan besar dari produksi industri.

Memang terjadi kemerosotan investasi industri khususnya oleh investor asing, selama lima

tahun terakhir.Pelaksanaan investasi asing di bidang manufaktur merrrosot dalam periode

1974 sampai 1978 dari $ 368,5 juta menjadi $ 267,0 juta. Pada saat itu pendapatan ekspor

dari minyak dan LNG meningkat dari $ 7374 juta tahun 1978/1979 menjadi diperkirakan $

10096 juta tahun 1979/1980 dan diramalkan $ 14777 juta tahun 1980/1981. Lihat P.

Rosendale, "Survey of Recent Developments," Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.

XVI, No. 1 (1980). Negara, sebagaimana adanya, adalah produk logis dari proses sejarah

revolusi kapitalis di Indonesia yang dicirikan dengan borjuasi yang berkembang lemah, dan

penetrasi sebagian hubungan-hubungan produksi kapitalis. Kekuasaan dan otonomi P-B

diperkuat oleh akses langsung pada pinjaman luar negeri, royalti, dan pendapatan ekspor

dari mineral dan minyak.

Jika perkembangan kapitalisme tetap terpatok di tingkat ini dan pendapatan ekspor dari

minyak serta mineral dan arus masuk pinjaman asing terpelihara, bentuk negara Orde Baru

akan tetap utuh. Namun demikian jika proses akumulasi domestik dan industrialisasi

meningkat, mengkonsolidasi kekuatan sosial dan politik borjuasi domestikAda sejumlah

kelompok bisnis pribumi besar yang muncul yuang tidak bisa dianggap sebagai pangkalan

untuk membagi-bagikan konsesi negara. Mereka punya basis modal yang besar dan kaitan

struktural dengan kelompok-kelompok bisnis Tionghoa dan asing serta kaitan kuat

patronase politik. Pengusaha-pengusaha ini telah melakukan tekanan terhadap negara

untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada kebijakan publik yang menyediakan

kondisi umum bagi akumulasi dan secara selektif meregularisasi aparatus negara serta

prosedur-prosedur administratif. Lihat Seminar Strategi Pembinaan Pengusaha Swasta

Nasional, 29-31 Mei 1975, Jakarta, Yayasan Proklamasi, 1975; dan Diskusi Peranan

Pengusaha Nasional Dalam Pembangunan Ekonomi Untuk Mewujudkan Kesatuan Bangsa,

Jakarta, Kamar Dagang dan Industri, 11-12 Juni 1975. (Pengusaha Tionghoa dan pribumi

hadir pada konferensi yang kedua, yang diselenggarakan Kadin itu.) dan jika investasi

asing di bidang industri menjadi prasyarat untuk mempertahankan pendapatan ekspor,

Page 34: JURNAL - Transformasi Negara Indonesia

hambatan-hambatan terhadap proses akumulasi oleh bentuk kekuasaan negara yang ada

sekarang pasti akan disingkirkan.

Bentuk negara yang khas perekonomian kapitalis maju di luar negeri-negeri Barat dan

Jepang disebut bermacam-macam tekno-fasis, repressive-developmentalist, modernizing-

authoritarian atau korporatis. Untuk tinjauan umum lihat Herbert Feith, "Repressive-

Developmentalist Regimes in Asia: Old Strength, New Vulnerabilities," Prisma, No. 19

(1980). Hubungan antara bentuk perekonomian kapitalis dengan bentuk politik negara

dikaji oleh Luckham yang mengajukan pendapat bahwa ketika produksi kapitalis maju dari

produksi komoditi enclave atau untuk ekspor beralih ke substitusi impor dan, akhirnya,

industrialisasi orientasi ekspor, tugas-tugas politik dan ekonomi negara menjadi lebih

kompleks dan luass. Kebutuhan untuk menyediakan prasarana ekonomi yang jauh lebih

kompleks dan memediasi konflik-konflik sosial yang semakin tajam memaksa aparatus

negara menjadi lebih teknokratis dan lebih represif. Lihat R. Luckham, "Militarism, Force.

Class & International Conflict," IDS Bulletin, Vol. 9, No. 1 (July 1977). Negara-negara

seperti itu tetap bebas dari dominasi politik langsung oleh partai-partai yang mewakili

kepentingan-kepentingan kelas-kelas tertentu walaupun aparatus negara masih terus

digenggam oleh oligarki militer-birokrasi. Negara Orde Baru telah memperlihatkan banyak

ciri dari negara-negara itu, terutama sifat ideologis dan represifnya. Tetapi kemenangan

sisi teknokratiknya belum dicapai. Di dalam negara teknokratis, kepentingan-kepentingan

politik dan ekonomi spesifik faksi-faksi P-B diserahkan untuk kebutuhan umum prose

akumulasi sebagai penentu sentral aksi negara. Negara mengalami regularisasi,

kontradiksi-kontradiksi antara modal dan P-B sudah diatasi, pemilikan apanase oleh

jenderal-jenderal digantikan oleh jenderal-jenderal dan orang-orang kuat politik, yaitu

teknokrat dan administrator (walaupun mereka terus menguasai aparatus negara). Dalam

konteks industrialisasi kapitalis di Dunia Ketiga, negara otoriter teknokratis adalah tingkat

tertinggi perkembangan politik.

[nk]