3

Click here to load reader

Resume Jurnal 2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Resume Jurnal 2

Resume Jurnal InternasionalThe combined effects of conservation policy and co-management alter the understory

vegetation of urban woodlands: A case study in the Tama Hills area, Japan.Kazuaki Tsuchiya, Toshiya Okuro, Kazuhiko Takeuchi

Dampak kombinasi kebijakan konservasi dan pengelolaan kolaborasi terhadap tanaman understory di hutan perkotaan: Studi kasus di area Tama Hills, Jepang.

Penelitian ini menguji dampak terkait variabel sosial ekonomi dan biofisik pada tanaman understory di hutan perkotaan, dengan menggunakan contoh hutan satoyama di daerah peri-perkotaan Tokyo, Jepang untuk menentukan kerangka kelembagaan yang sesuai untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan layanan jasa ekosistem di hutan perkotaan.

Hutan satoyama merupakan sistem pengelolaan dan penggunaan lahan tradisional berupa hutan pertumbuhan sekunder di lembah di bawah lereng bukit, berbatasan dengan lahan pertanian di pedesaan yang membentuk lanskap pertanian khas Jepang. Pada era pra pembangunan, jenis hutan khas satoyama dikembangkan dan didominasi oleh hutan coppices sebagai bahan baku arang. Pengelolaan juga dilakukan dengan mengumpulkan batang dan daun jatuh, membersihkan tanaman understory sebagai bahan bakar dan kompos, serta pemanenan. Pada era awal abad 20, hutan satoyama masih dipertahankan. Namun pada era akhir abad 20, di masa modernisasi dan pembangunan perkotaan, lahan hutan satoyama dibagi menjadi tanah milik pribadi. Bahkan kemudian, sebagian ditinggalkan ketika nilai ekonominya hilang.

Penelitian diadakan di tiga kota, yaitu: Kawasaki (pemerintah kota Kanagawa), Machida, Hachioji (pemerintah kota Tokyo), yang melintasi batas administratif. Masing-masing kota menerapkan tindakan konservasi dan manajemen yang berbeda. Dengan demikian, peneliti bisa melihat variasi efek tindakan konservasi seperti peraturan, subsidi, sistem politik, berupa taman publik/umum dan kawasan konservasi hijau terhadap hutan kota.

Teori yang menjadi landasan penelitian ini adalah analisis lembaga pengelolaan SDA dengan melakukan analisis kelembagaan dan kerangka pembangunan (Andersson & Ostrom, 2008; Ostrom, 2011; Ostrom & Cox, 2010). Asumsinya adalah bahwa struktur hutan dipengaruhi oleh selain bentang alam dan faktor biofisik lainnya, terutama kondisi yang sangat heterogen (perbukitan/pegunungan), juga dipengaruhi aspek sosial ekonomi (mis. insentif untuk konservasi ukuran, profitabilitas produk hutan. Selain itu, ada efek tertentu yang bervariasi dari tindakan konservasi tertentu sesuai aktor manajemen yang berbeda.

Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:(1) variabel mana yang menjadi kendala utama (main constraint) pada tumbuhan di hutan

perkotaan Satoyama (di antara langkah konservasi, aktor manajemen, dan variabel lingkungan lainnya)?

(2) Bagaimana setiap aktor manajemen, yang terdiri dari pemerintah kota, kelompok masyarakat dan pemilik tanah swasta berperilaku dalam menentukan tindakan konservasi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi manajemen dan pertumbuhan tanaman understory, bagaimana kerangka kelembagaan manajemen understory perkotaan dapat ditingkatkan?

Page 2: Resume Jurnal 2

Penelitian ini menggunakan bambu kerdil (Pleioblastus chino) sebagai indikator intensitas manajemen hutan satoyama, dikombinasikan dengan analisis ekologi dengan mewawancarai para pejabat atau pegawai kota.

Analisis dilakukan dengan (1) Analisis pohon-regresi, dengan klasifikasi dan algoritma pohon regresi (CART)untuk mencari kendala utama pada tanaman understory, (2) metode analisis non-parametrik untuk memahami hubungan non-linear antara respon dan variabel penjelas dan tingkat keterkaitan antara variabel penjelas (3) menggunakan ketinggian bambu kerdil di dalam setiap plot sampel sebagai variabel respon, dan menggunakan variabel penjelas berikut: (1) tindakan konservasi (taman umum, kawasan lindung lainnya, atau tidak ada konservasi) (2) aktor manajemen (kotamadya, masyarakat kelompok, atau pemilik lahan swasta) (3) zonasi perencanaan perkotaan (Area Promosi Urbanisasi / UPA atau Area Kendali Urbanisasi / UCA) (4) kota (Kawasaki, Machida, Hachioji) (5) kemiringan (6) aspek dan (7) posisi kemiringan. Terakhir (4) melakukan perbandingan antara enam kategori gabungan untuk UPA & UCA untuk melihat bagaimana dampak terhadap vegetasi understory hutan perkotaan akibat kombinasi tindakan konservasi dan pelaku pengelolaan dengan menggunakan Wilcoxon pairwise rank-sum test setelah menyesuaikan nilai-P menggunakan koreksi Bonferroni (dengan signifikansi pada P <0,05) pada perangkat lunak statistik R.

Berdasarkan penelitian, kondisi tanaman understory terutama dipengaruhi oleh perbedaan perilaku para aktor manajemen. Tinggi bambu kerdil paling rendah berada di hutan yang dikelola oleh kelompok masyarakat, lalu pemerintah kota, terakhir pemilik tanah pribadi. Ketinggian bambu kerdil memperlihatkan dampak antropogenik, sesuai dengan hipotesis yaitu faktor sosial ekonomi lebih penting daripada faktor biofisik untuk memahami tumbuhan understory di hutan perkotaan.

Temuan-temuan kuantitatif juga memberikan wawasan baru manajemen understory dengan beberapa aktor. Diantaranya yaitu hasil empiris bisa memberikan informasi rinci pada skala meso/ mikro, bahwa faktor terpenting adalah aktor manajemen yang menentukan ketinggian bambu kerdil. Di samping itu, kelompok masyarakat adalah aktor manajemen paling efektif, diikuti oleh kotamadya dan pemilik tanah swasta karena mencerminkan alasan sosial ekonomi yang berbeda, motivasi aktor melakukan atau meninggalkan manajemen understory.

Di area UPA, dengan aktor manajemen kelompok masyarakat tinggi bambu kerdil rendah merupakan prasyarat untuk mewujudkan manfaat rekreasi dan nilai konservasi keanekaragaman hayati. Permintaan untuk manfaat ini pun lebih tinggi dibandingkan di UCA, karena merupakan daerah urbanisasi dengan populasi yang cukup tinggi. Namun, hal ini dapat mengurangi penggunaan rekreasi hutan dan mengurangi ketersediaan habitat jenis burung tertentu. Oleh karenanya perlu evaluasi tentang tepatnya efektivitas manajemen understory, dengan indikator lain harus dievaluasi, seperti jumlah kegiatan rekreasi dan spesies dilestarikan, meskipun prosesnya memakan waktu dan menambah biaya.

Hal ini berarti bahwa manajemen perlu mempertimbangkan, selain variabel biofisik, juga variabel sosial ekonomi dalam pengelolaan ekosistem perkotaan. Aktor manajemen yang berbeda memiliki alasan yang berbeda pula untuk menerapkan manajemen hutan tertentu. Untuk memperbaiki manajemen dengan berbagai aktor ini, peneliti memberikan saran untuk mengembangkan rencana manajemen untuk area konservasi, menyediakan dukungan ekonomi dan non ekonomi, serta mengembangkan indikator yang jelas, serderhana dan mudah untuk memonitor dampak manajemen dengan berbagai perilaku. ***