Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Plagiarism Checker X Originality Report
Similarity Found: 30%
Date: Thursday, April 02, 2020
Statistics: 5645 words Plagiarized / 19061 Total words
Remarks: Medium Plagiarism Detected - Your Document needs Selective Improvement.
-------------------------------------------------------------------------------------------
BAB I PENDAHULUAN Selain memiliki alam yang indah, pulau Bali juga kaya akan seni
budaya tradisional. Di daerah ini terdapat bebagai macam seni pertunjukan, baik seni
tari, seni suara, maupun seni karawitan. Semua kesenian itu memiliki fungsi bagi
kehidupan masyarakat. Menurut hasil seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek
agama Hindu yang diselenggarakan pada tahun 1971, seni pertunjukan diklasifikasikan
menjadi tiga golongan, yakni tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan (Bandem,
1996:49).
Seni tari wali merupakan tarian sakral yang berfungsi sebagai pelengkap pelaksana
dalam upacara keagamaan. Seni pertunjukan ini disuguhkan di tempat-tempat tertentu
yang erat hubungannya dengan upacara agama. Seni wali menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kronologis upacara-upacara tersebut.Contoh seni wali, yakni antara tari
rejang dan pertunjukan wayang sapuh leger.
Seni tari bebali adalah seni pertunjukan yang erat hubungannya dengan upacara
keagamaan, berfungsi sebagai pengiring upacara, baik di dalam pura maupun di luar
pura. Contoh seni bebali ini, yakni topeng, wayang kulit. Di pihak lain seni tari bali-balian
adalah segala seni pertunjukan yang fungsinya lebih mengutamakan hiburan. Beberapa
contoh tari balih-balihan adalah tari joged, janger, sendratari, arja, dan drama gong.
Senada dengan penggolongan fungsi seni itu, secara umum Soedarsono (2002:15)
mengemukakan bahwa seni pertunjukan memiliki tiga fungsi, yaitu (1) untuk
kepentingan upacara ritual, (2) sebagai hiburan pribadi, dan (3) sebagai penyajian estetis
atau tontonan. Dalam perkembangan selanjutnya, seni dapat pula berfungsi sebagai
sarana pendidikan, media terapi, dan sebagai sarana komunikasi.
Tiap-tiap fungsi tersebut dapat berkembang secara terpisah tanpa mengurangi makna
dan tujuan penciptanya. Dalam masyarakat tradisional, Soedarsono lebih jauh
mengemukakan bahwa fungsi seni untuk pemujaan berlangsung pada masa ketika
peradaban manusia masih sangat terbelakang. Kehidupan kesenian waktu itu belum
mengenal adanya instrumen musik, busana, gerak, tata panggung, dan lain-lainnya,
seperti kesenian pada masa kini.
Kecenderungan seni ritual pada masa lalu lebih menekankan misi daripada fisik atau
bentuk. Oleh karena itu, bentuk seni ritual untuk pemujaan pada masa silam sangat
sederhana, baik dari aspek musik iringan, busana (kostum), rias, gerak, maupun
penggunaan dekorasi sebagai setting pertunjukan. Sebagai tuntunan, fungsi seni
pertunjukan lebih menyentuh pada misi yang secara verbal diungkapkan.
Para pelaku seni lebih dituntut untuk menyampaikan pesan moral kepada masyarakat
atau penonton. Kemudian sebagai hiburan, seni ini diharapkan mampu memberikan
kesenangan pada seseorang atau kelompok orang yang berada di sekitar pertunjukan.
Pada era modern fungsi seni berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
modern yang sangat beragam dan kompleks.
Seni secara jelas dapat dijumpai di setiap elemen dan situasi kehidupan. Mungkin pada
masa lalu seni juga sudah mengusung berbagai fungsi, tetapi tidak tampil secara
jelas.Fungsi senidalam masyarakat moderndapat dikemukakan sebagai (1)
ekspresi/aktualisasi diri, (2) pendidikan, (3) industri, (4) seni terapi,dan (5)
komersial/instant (Casjan, 2012:3). Sebagai fungsi ekspresi/aktualisasi diri,
kecenderungan fungsi seni pertunjukan ini merupakan perwujudan dari semboyan “seni
untuk seni”.
Tidak ada orang yang dapat mengganggu gugat ekspresi seni dalam penampilannya.
Kebebasan di sini lebih menekankan pada pencapaian tujuan tertentu yang
diperjuangkan. Seni pertunjukan sebagai pendidikan merupakan elemen mendasar yang
perlu dipahami karena esensi seni sebenarnya tidak dapat lepas dari muatan edukatif.
Dengan kalimat lain, apa yang dituangkan ke dalam berbagai cabang seni merupakan
sarana untuk mewujudkan tujuan membentuk budi pekerti seseorang.
Fungsi seni sebagai industri lebih mengarah pada tujuan atau kepentingan tertentu
untuk mendukung satu produk tertentu. Seni untuk industri adalah sesuatu yang
mampu memberikan daya tarik pada produk yang ditawarkan. Misalnya, sebuah lagu
dibuat untuk kepentingan iklan produk susu. Atau ketika seorang penata tari membuat
koreografi untuk menggambarkan sesuatu yang terkait dengan keperkasaan seseorang
lewat iklan rokok.
Selanjutnya, fungsi seni untuk terapi digunakan secara khusus memberikan ketenangan
batin seseorang yang sedang menderita secara psikis. Masalah kejiwaan yang
dihadapimanusia seringkali membutuhkan media untuk menyelesaikannya. Salah satu
cara tersebut dapat ditempuh dengan melakukan aktivitas di dunia seni.
Dengan berolah seni, seseorang yang memiliki permasalahan atau tekanan jiwa akan
terobati. Dengan demikian, orang belajar seni untuk terapi sebagai media untuk
memberikan siraman estetis melalui kegiatan seni yang digemari. Terakhir, seni untuk
kategori sebagai alat mendatangkan keuntungan (entertaiment) ini bisa dibuat sesuai
dengan keperluan dan keinginan si penggarap.
Apa pun wujud kesenian itu asal mampu memenuhi keinginan pembeli tidak masalah
walaupun kadang-kadang harus menyimpang pada norma estetis yang berlaku. Seni
untuk fungsi ini terjadi karena permintaan yang banyak (Herytrisusanto. 2012:4).
Menurut Setyawan (2011:3), salah satu fungsi seni pertunjukan adalah sebagai media
penerangan atau kritik sosial.
Dalam masa pembangunan seperti sekarang ini, menurut Setyawan, seni pertunjukan
tradisional juga cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan,
khususnya bagi masyarakat pedesaan atau masyarakat pada umumnya. Pesan yang
ingin disampaikan dapat dilakukan melalui tokoh punakawan pada seni pertunjukan
wayang orang. Punakawan inilah yang mengggambarkan figur-figur rakyat sehingga
kritik-kritik sosial ataupun media penerangnan disampaikan melalui mereka dan
diharapkan para penonton akan lebih mudah mencernanya.
Pesan-pesan pembangunan yang ingin disampaikannya bisa berbagai macam topik
sesuai dengan keinginan misalnya sekitar kepahlawanan, kebersamaan, kesetiaan,
kepatuhan, bahkan dapat pula berupa kritik sosial yang cenderung banyak dilakukan
oleh masyarakat pada masa kini. Kritik sosial yang disampaikan melalui bentuk kesenian
tradisional sungguh tepat. Hal itu disebabkan oleh masyarakat Indonesia yang
menganut paham paternalistik.
Artinya, tabu apabila orang yang dikritik adalah pemimpinnya, atasannya, ataupun
saudaranya. Media yang sangat tepat untuk menyindir adalah melalui tokoh-tokoh yang
diperankan dalam seni pertunjukan tersebut (Setyawan, 2011:3). Berdasarkan
pengamatan, diketahui bahwa sindiran-sindiran memang perlu disampaikan untuk
mendapat respons masyarakat penonton.
Uraian di atas menunjukkan bahwa perjalanan sejarah seni pertunjukan tidak diragukan
memiliki arti penting bagi kehidupan bermasyarakat. Kusmayati (2010) mengemukakan
bahwa seni pertunjukan dengan aspek-aspek pembentuk sosoknya sesungguhnya telah
berusaha menempatkan diri sebagai pilar-pilar yang dapat digunakan sebagai
penyangga kehidupan berbangsa yang saat ini sedang dalam melaksanakan
pembangunan, baik material maupun moral.
Khususnya dalam pembangunan moral, negera memerlukan dukungan untuk
kebersamaan. Kebersamaan yang dilandasi oleh toleransi bermasyarakat ditawarkan
oleh seni pertunjukan yang sedang membangun kembali jatidiri, kebanggaan, dan
martabat bangsa seperti sekarang ini.
Dari beberapa fungsi seni pertunjukan yang telah dikemukakan, diketahui bahwa seni
pertunjukan drama gong merupakan tari balih-balihan atau yang berfungsi sebagai
hiburan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai hiburan, sangat besar kemungkinannya,
seni pertunjukan drama gong juga menyampaikan pesan-pesan pendidikan, seperti
pendidikan moral atau budi pekerti.
Sebagaimana dikatakan Waluyo (2002) bahwa kata drama berasal dari bahasa Yunani,
yaitu dramoai yang berarti berbuat, berlaku, beraksi, bertindak, dan sebagainya. Teater
merupakan kisah kehidupan manusia yang disusun untuk ditampilkan sebagai
pertunjukkan di atas pentas oleh para pelaku dan ditonton oleh publik (penonton).
Lebih jauh Waluyo mengemukakan bahwa teater sebagai sebuah seni pertunjukan tidak
terlepas dari aspek tanda dan simbol kehidupan manusia.
Kehidupan manusia yang merupakan bahan penciptaan, baik bagi penulis maupun
pekerja seni teater lainnya, akan membangun karya seni pertunjukan penuh dengan
tanda dan simbolkehidupan. Tanda dan simbol yang sifatnya universal tersebut diyakini
sebagai dasar darikomunikasi teater. Suherjanto (2015) menegaskan bahwa yang paling
penting dalam komunikasi adalah pesan.
Menurut Powers, pesan memiliki tiga unsur, yaitutanda, simbol, bahasa, dan wacana.
Sama halnya dengan teater yang lain, drama gong sebagai sebuah karya seni
pertunjukan akan mengangkat pesan tentang kehidupan, norma, kebaikan, keburukan,
kejahatan, dan berbagai watak karakter manusia untuk ditampilkan di atas panggung.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa perbincangan tentang dinamika
kehidupan drama gong di Bali menjadi sebuah pembahasan menarik dari segi sosial dan
budaya dalam kehidupan masyarakat Bali. Suartaya (2003) mengemukakan bahwa seni
pertunjukan drama gong eksis dengan dominasi menunya yang bersifat menghibur.
Menurut Suartaya resep ini telah dipakai oleh kebanyakan seni yang bersifat kerakyatan.
Dalam hal ini seni pertunjukan drama gong selain sarat dengan kiat-kiat meraih tawa,
cerita yang disajikan secara sederhana dan ringanrupanya memang pas dikonsumsi oleh
masyarakat Bali pada umumnya. Dalam konteks psikologi dan atmosfer atau
perkembangan masyarakat yang demikianlah drama gong berkiprah dan berkibar.
Sebagai kesenian pertunjukan yang memiliki fungsi hiburan, drama gong merupakan
salah satu teater tradisional masyarakat Bali yang hidup dan bersaing di tengah-tengah
ingar-bingar berbagai kesenian yang ada di Pulau Dewata.
Kesenian drama tradisional ini memiliki sejarah yang unik dan mengalami dinamika,
seirama dengan perubahan zaman dari tahun ke tahun. Sekitar tahun 1950 terbentuk
sebuah kesenian yang disebut drama janger, yang merupakan bagian dari kesenian
janger. Dalam banyak hal drama janger sangat mirip dengan sandiwara atau stambul
yang ada dan populer pada sekitar tahun 1950-an.
Drama janger inilah diduga sebagai embrio kelahiran drama gong. Iringan musik drama
janger ini masih sangat sederhana dan tergolong barungan gamelan kecil. Di samping
itu, para pelaku dan cerita yang dibawakan masih sangat sederhana dan durasiyang
diperlukan tidak panjang. Putra (1999:4) mengatakan bahwa, pada akhir tahun 1959
lembaga umat Hindu Parisada Hindu Dharma membentuk seni pertunjukan yang
mendapat pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali lainnya. Karena mendapat
pengaruh dari kesenian tradisional, maka seni pertunjukan disebut drama klasik.
Lakon cerita yang diangkat dalam drama klasik, yakni Mayadenawa sehingga sering
disebut drama Mayadenawa oleh masyarakat.Tokoh Mayadenawa adalah kisah raja
raksasa yang melarang rakyatnya untuk menyembah Tuhan, mengajak rakyat ateis, dan
menyuruh rakyat menghancurkan pura. Sehubungan dengan itu Dewa Indra turun ke
bumi untuk membunuh Mayadenawa. Dalam perang itu dharmamenang melawan
adharma.
Lakon ini sering dikaitkan dengan mitos tentang Galungan. Pada waktu itu drama gong
untuk seni pertunjukan ini belum muncul walaupun dalam pementasan drama
Mayadenawa diiringi gamelan gong. Dalam rentang waktu tujuh tahun, yaitu
1959--1966, drama Mayadenawa melakukan pertunjukan sampai sepuluh kali di Bali dan
Lombok.
Pertunjukan pertama di Lombok berlangsung pada 1962 untuk memeriahkan hari raya
Galungan dan kedua pada 1963 dalam rangka mengumpulkan dana atas undangan
Palang Merah Indonesia (PMI). Setelah 1966 drama Mayadenawa terus dipentaskan.
Menurut laporan koran, pementasan mereka selalu “sukses besar”. Dari segi lakon cerita,
pementasan drama awalnya mengangkat mitologi Hindu.
Dalam perkembangannya drama ini mengangkat cerita romantis kehidupan sehari-hari
yang terinspirasi dari keadaan alam. Sebagaimana dipaparkan Putra (1999:4) bahwa
drama yang terbentuk sebelum 1965 ada yang mengangkat lakon cerita dengan judul
“Bertemu di Ujung Keris” karya Tjokorda Rai Sudharta. Drama itu mengisahkan
pertemuan kembali dua remaja bercinta setelah sempat terpisah saat gunung meletus.
Kisah tersebut mendapat inspirasi dari letusan Gunung Agung 1963. Kemudian pada
tahun 1966 di Gianyar muncul drama mengangkat kisah “I Swasta Setahun di Bedahulu”,
novel Panji Tisna. Meskipun novel itu berbahasa Indonesia, dialog drama menggunakan
bahasa Bali (Bali Post, 4 September 1999).
Kisah drama kembali mengangkat legenda atau cerita rakyat yang memang populer.
Payadnya (dalam Bali Post, 4 September 1999:4)menggarap drama dengan lakon
“Jayaprana”. Kisah itu diangkat dari legenda yang terjadi di Buleleng itu dipentaskan
pada 24 Februari 1966 di halaman sebuah pura di desanya,sedangkan drama dengan
lakon “I Swasta Setahun di Bedahulu” dimainkan lima atau enam tahun kemudian.
Bahasa yang digunakan bukan sepenuhnya bahasa Bali, melainkan bahasa Indonesia
(80%) dan bahasa Bali (20%). Dalam perjalanannyaseni pertunjukan drama gong
dibentuk dengan memadukan unsur-unsur teater modern (Barat) dengan teater
tradisional (Bali). Unsur-unsur drama tari tradisional Bali yang memengaruhi drama
gong, menurut Soelarso dan S.Ilmi Albiladiyah (1975:12--18), antara lain sendratari, arja,
dan sandiwara.
Di pihak lain unsur-unsur teater modern yang dikawinkan dalam drama gong, antara
laintata dekorasi, penggunaan sound efect, akting, dan tata busana. Kesenian ini
diberikan nama drama gong karena dalam pementasannya setiap gerak pemain dan
peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan gong kebyar. Di samping itu,
penggunaan lakon cerita pun beraneka ragam untuk memenuhi selera masyarakat.
Misalnya, Sampek Eng Thay, cerita dari Cina yang sudah sangat populer di Bali.
Kemudian drama gong meniru struktur kesenian arja yang bersifat istana sentris.
Artinya, ada dua kerajaan dan dua tokoh yang bersifat protagonis (tokoh baik),
antagonis (tokoh jahat), dan sebagainya. Oleh karena itu, lakon cerita diambil dari cerita
Panji (Malat).
Untuk memenuhi lakon cerita, para pemeran penting drama gong adalahraja manis, raja
buduh, putri manis, putri buduh, raja tua, permaisuri, dayang-dayang, patih keras (patih
agung), patih tua (patih anom), dua pasang punakawan. Ada beberapa sekaadrama
gong menampilkan pemain tambahan, seperti penari kursi kerajaan dan tukang tombak.
Kadang-kadang sesuai dengan tuntutan cerita, ada pula tokoh yang disebut Pan
Bedung atau Jero Dukuh dan istrinya Men Bekung.
Pada mulanya drama gong sering dipentaskan pada saat upacara keagamaan.
Walaupun demikian, drama gong termasuk kesenian sekuler yang dapat dipentaskan di
mana dan kapan saja sesuai dengan keperluan.Kesenian drama gong inilah yang
memulai tradisi pertunjukan “berkarcis” di Bali karena sebelumnya pertunjukan kesenian
bagi masyarakat setempat tidak pernah berbentuk komersial.
Drama gong kemudian merupakan media yang cukup ampuh untuk menggali dana.
Tidak sedikit banjar dan desa pakraman menanggap drama gong dengan tujuan
menggali dana untuk membiayai berbagai pembangunan. Drama gong dinilai
mengalami kejayaan sejak tahun 1970-an.
Pada masa itu kesenian tradisional Bali yang lain ditinggalkan oleh penontonnya yang
mulai menggemari drama gong kemudian membentuk sekaadrama gong. Kesenian
yang dibentuk itubanyak yang dipentaskan sebagai kesenian yang temporer, misalnya
untuk mengisi acara tertentu, baik yang bersifat keagamaan maupun sekuler. Akan
tetapi, banyak pula sekaa yang mengarah pada profesional. Artinya, sekaa drama gong
itu pentas di berbagai tempat dan dibayar oleh penanggapnya.
Pada masa kejayaannyabanyak desa yang menanggap drama gong sebagai media
penggali dana. Karena sekaadrama gong ini pentas hampir setiap hari, para pemainnya
pun terus-menerus mengisi diri dengan ilmu pengetahuan dengan berbagai cara. Hal itu
terjadi karena dalam aktivitas berkesenian, para pemain drama gong tentu ingin
menampilkan permainan yang terbaik.
Oleh karena itu, mereka menggali bahan-bahan dari berbagai sumber, baik lisan
maupun tertulis, untuk dialog-dialog yang akan diucapkan dalam pertunjukan. Oleh
karena mereka beragama Hindu, maka bahan-bahan dari berbagai sumber diambil
sesuai dengan ajaran Hindu. Mereka melakukan latihan berkali-kali agar dapat
menampilkan suguhan terbaik.
Para pemain drama gong merupakan objek sekaligus subjek dalam proses pembelajaran
agama Hindu di jalur pendidikan informal. Sebagai subjek, mereka memberikan
tuntunan atau ajaran kepada orang lain melalui pertunjukan seni drama. Mereka
menyampaikan misinya melalui seni pertunjukan dengan berbagai strategi yang
dilakukan.
Berbagai macam tuntunan dalam bingkai agama Hindu disampaikan kepada
penggemar yang menonton pertunjukannya. Mereka menyampaikan tuntunan yang
dibungkus atau dikemas oleh tontonan. Sebaliknya sebagai objek, mereka mengisi
dirinya dengan berbagai tuntunan agama atau spiritual sesuai dengan ajaran agama
Hindu.
Mereka mendapatkan ajaran atau tuntunan agama Hindu ketika menggali dan mengisi
dirinya sebagai bahan dialog sesuai dengan tuntutan lakon. Nilai-nilai ajaran Hindu
dicerna, diolah, dan dikemas sedemikian rupa dalam pertunjukan drama gong. Dari
kebiasaan ini para pelaku drama gong secara tidak langsung dituntut untuk
menampilkan suatu pertunjukan seni yang bertujuan untuk memberikan kepuasan batin
kepada penikmat dan pencinta seni, khususnya kesenian Bali.
Hal itu disebabkan olehdrama gong sebagai sebuah seni pertunjukan tidak terlepas dari
aspek tanda dan simbol kehidupan manusia. Kehidupan manusia yang merupakan
bahan penciptaan bagi pekerja seni drama gong akan membangun karya seni
pertunjukan penuh dengan tanda dan simbol-simbol kehidupan. Tanda dan simbol yang
sifatnya universal tersebut diyakini sebagai dasar dari komunikasi teater.
Sebagai bentuk teater, lakon drama gong merupakan manifestasi pergolakan jiwa dan
peristiwa yang diangkat dan dihayati dalam masyarakat. Seni drama gong menjadi
tumpuan harapan yang mampu memberikan sumbangan horizon pemikiran baru pada
berbagai aspek kehidupan. Implikasi yang diharapkan adalah adanya perubahan sikap
dalam menilai suatu permasalahan akibat terjadi pergeseran pemikiran dalam
menghayati kehidupan itu sendiri.
Drama gong dalam lakonnya tidak hanya memperbincangkan berbagai nilai yang telah
berakar sebagai tradisi, tetapi juga mempertanyakan sesuatu yang akan terjadi sebagai
akibat perubahan pola berpikir. Soelarso dan S.Ilmi Albiladiyah (1975:40) menilai
bahwadrama gong telah memberikan makna kultural yang berorientasi pada pemikiran
kreatif dan modern,tetapi tetap berpijak pada tradisi positif yang mencerminkan
kepribadian (identitas) kebudayaan nasional.
Dari persepktif eksistensialisme, diketahui bahwa sistem nilai yang terimplisit dalam
lakon drama gong pada hakikatnya merupakan problem dasar kehidupan
manusia.Dikatakan demikian karena sistem nilai itu merupakan perangkat struktur
dalam dari kehidupan manusia secara individual dan secara sosial. Sisi-sisi kehidupan
yang selalu menjadi sorotan dalam lakon drama gong pada umumnya berkisar pada
kondisi-kondisi sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat yang ada kaitannya
dalam pembentukan kepribadian. Dalam perkembangannyakehidupan drama gong
mengalami keterpurukan.
Menurut Semadi (2015:162), menginjak tahun 1986sekaadrama gong yang ada di Bali
sudah bisa dihitung dengan jari. Kemudian kesenaian itu mulai meredup dan
terpinggirkan sejak tahun 1990-an. Hal itu dapat dilihat dari jarangnya pertunjukan
drama gong melakukan pementasan.Selain itu juga merosotnya minat masyarakat
sebagai pelaku dan kurangnya minat masyarakat untuk menonton pertunjukan tersebut.
Faktor-faktor yang menyebabkan drama gong meredupmenurutnya, antara lain kurang
profesionalnya pengelolaan organisasi dan gencarnya pengaruh hiburan luar Bali yang
ditayangkan televisi. Meredupnya kehidupan seni pertunjukan itu menimbulkan dampak
negatif, baik dari sisi kultural maupun dari sisi kehidupan religius bagi masyarakat Hindu
di Bali.Dari sisi kultural, meredupnya kehidupan drama gong berarti salah satu seni
pertunjukan yang pernah menjadi idola dan kebanggaan masyarakat Bali ini terancam
punah.
Punahnya drama gong (yang dialog-dialognya memakai bahasa Bali) juga berarti
hilangnya sebuah media tradisional yang dapat melestarikan bahasa dan sastra Bali. Hal
itu disebabkan oleh salah satu fungsi drama gong adalah sebagai pelestari budaya lokal
seperti bahasa dan sastra Bali. Dengan demikian, memudarnya drama gong tentu
merupakan sebuah kerugian kultural.
Dilihat dari aspek religius, apabila drama gong mengalami kepunahan, maka juga berarti
hilangnya salah satu media tradisional yang dapat dijadikan sebagai transformasi
nilai-nilai budaya agama Hindu. Dalam setiap pertunjukan drama gong selalu ada
pesan-pesan moral, baik yang menyangkut tattwa (filsafat) maupun susila (etika).
Pesan-pesan itu bisa disampaikan, baik secara terang-terangan atau vulgar maupun
dibungkus atau dikemas dalam bentuk bahasa sindiran.
Sementara itu, sebagaimana dapat disimak dalam berbagai berita yang berkembang di
media massa bahwa di masyarakat Indonesia telah terjadi degradasi moral, baik di
kalangan orang tua maupun anak-anak remaja.Menurut akademisi Antropologi dari
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Laksono (2015:1), degradasi moral saat ini
cenderung terjadi di Indonesia karena generasi muda semakin meninggalkan
kebudayaan yang diwarisi oleh pendahulunya.
Kecenderungan degradasi moral di Indonesia semakin meningkat, terbukti di
daerah-daerah di Tanah Air semakin berani melakukan suatu aksi atas ketidakpuasannya
dalam menerima kebudayaan melalui pendidikan yang didapat,baik di bangku sekolah
maupun di kampus. Laksono mencontohkan pada saat perayaan hari Pendidikan
Nasional, yang semestinya dirayakan dengan upacara untuk memaknai begitu penting
pendidikan, malah para pelajar melakukan bentuk protes melalui aksi unjuk rasa di jalan,
seperti kejadian di Yogyakarta.
Menurut Laksono, itu berarti bahwa di kalangan para generasi muda telah terjadi
degradasi moral dan kebudayaan dalam setiap generasi. Semestinya program
pendidikan membawa perubahan bagaimana cara belajar lebih baik ke depan, malah
dimaknai dalam bentuk kegiatan aksi unjuk rasa. Berdasarkan fenomena tersebut,
diketahui bahwa keterpurukan drama gong sebagai salah satu media tradisional yang
dapat dijadikan media pendidikan moral merupakan sebuah keprihatinan berbagai
pihak. Berbagai kalangan menginginkan drama gong hidup berkembang dan lestari
untuk menjalankan berbagai fungsinya.
Hal itusebagaimana dikatakan Yuliadi (2005: 168) bahwa drama gong memberikan
semangat kerakyatan, pencerahan diri melalui hiburan, gejala komersialisasi dalam
dunia hiburan dan ritual keagamaan, pergeseran pada norma-norma baru, yang menjadi
bagian dari kehidupan sosial masyarakat Bali.Akan tetapi, dalam kenyataannya, seni
pertunjukan ini mengalami dinamika dan belakangan hidupnya terpinggirkan.
Pertunjuksn drama gong hanya bisa ditemukan dalam acara yang dislenggarakan
pemerintah, seperti Pesta Kesenian Bali dan Bali Manadara Mahalango di Taman Budaya
Denpasar. Pertnjukan itu pun tidak dipungut bayaran. Berdasarkan fenomena tersebut,
maka penelitian tentang dinamika drama gong perlu dilakukan. Ada beberapa alasan
dinamika kehidupan drama gong dipilih sebagai topik kajian.
Pertama, sepengetahuan peneliti, belum ada yang melakukan penelitian tentang
dinamika kehidupan drama gong di Bali sejak kelahirannya, sampai dewasa ini. Kedua,
sebagai kesenian tradisional,seni petunjukan drama gong memiliki fungsi sebagai
senibalih-balihansehingga dapat menyisipkan nilai-nilai pendidikan, terutama dalam
bidang budi pekerti atau moral.
Dengan demikian, berbagai pihak, terutama yang terlibat dalam dunia pendidikan
memiliki harapan agar seni pertunjukan ini selalu hidup lestari sebagai transformasi
nilai-nilai pendidikan moral.Ketiga, karena adanya kemajuan teknologi di bidang
komunikasi, kehidupan seni pertunjukan drama gong mengalami dinamika. Mula-mula
dengan adanya televisi, seni pertunjukan ini sempat populer dan digemari masyarakat.
Namun, ketika seni hiburan modern datang dari segala penjuru yang disiarkan oleh
sejumlah stasiun telivisi, kehidupan drama gong mengalami keterpurukan. Oleh karena
itu, berimplikasi terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Bali. Akibat seni
pertunjukan drama gong mengalami keterpurukan, itu berarti hilangnya salah satu
media yang memiliki fungsi sebagai transformasi nilai-nilai pendidikan moral dan
kehidupan sosial budaya masyarakat Bali.
Keempat, seni pertunjukan drama gong juga merupakan salah satu media yang
berfungsi sebagai pelestari budaya lokal, yakni bahasa dan sastra Bali. Hal itu
disebabkan oleh dalam pertunjukan drama gong, lebih banyak digunakan bahasa Bali.
Sejumlah paribasa bahasa Bali juga sering diungkap dalam dialog-dialognya sehingga
seni pertunjukan ini dapat memelihara bahasa dan sastra Bali.
Jika kehidupan drama gong mengalami keterpurukan, maka akan berimplikasi terhadap
kelestarian budaya lokal, terutama bahasa dan sastra daerah.
BAB II BENTUK DINAMIKA PEMENTASAN DRAMA GONG Definisi dinamika adalah
sesuatu yang mengandung arti tenaga kekuatan, selalu bergerak, berkembang, dan
dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan. Dinamika juga berarti
adanya interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok dan kelompok secara
keseluruhan.
Keadaan ini dapat terjadi karena selama ada kelompok, semangat kelompok (group
spirit) terus-menerus ada dalam kelompok itu.Oleh karena itu, kelompok tersebut
bersifat dinamis, artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah
(Purwandari, 2010). Jika dihubungkan dengan budaya, maka dinamika kebudayaan
adalah tata cara kehidupan masyarakat yang selalu bergerak, berkembang, dan
menyesuaikan diri dengan setiap kadaan seiring dengan perkembangan zaman.
Dinamika kebudayaan juga sering disebut dengan perubahan kebudayaan.
Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena
manusia merupakan pendukung keberadaan suatu kebudayaan. Fungsi kebudayaan,
yakni dapat menunjang pemenuhan kebutuhan bagi para anggota pendukung
kebudayaan. Dalam jangka waktu tertentu semua kebudayaan mengalami perubahan.
Sebagaimana dikatakan White (1969) dalam Husin (2013) bahwa kebudayaan
merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya
dan keperluan suatu komunitas pendukungnya.
Senada dengan pendapat itu, Haviland (1993:251) menyebut bahwa salah satu
penyebab kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat menuntut kebudayaan
yang bersifat adaptif. Perubahan-perubahan dalam kebudayaan mencakup seluruh
bagian kebudayaan, termasuk kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, bahkan
dalam bentuk aturan-aturan organisasi sosial.
Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih menekankan pada ide-ide mencakup
perubahan dalam hal norma-norma dan aturan-aturan yang dijadikan sebagai landasan
berperilaku dalam masyarakat. Berdasarkan uraian itu, diketahui bahwa seni pertunjukan
drama gong juga tidak luput dari dinamika, yakni mengalami perubahan. Sejak
kelahirannya pada tahun 1966, drama gong mengalami dinamika, yakni mengalami
perubahan dalam berbagai aspek.
Adapun bentuk-bentuk dinamika tersebut meliputi tema, organisasi, iringan musik, dan
fungsinya. Dinamika dalam Bentuk Tema Sebagaimana telah dikemukakan pada bab
terdahulu bahwa tema adalah ide pokok atau ide utama yang merupakan dasar cerita,
pandangan hidup pengarang, persoalan atau permasalahan yang mendominasi suatu
karya sastra sekaligus merupakan rangkaian nilai yang membangun dasar atau ide
utama suatu karya sastra yang dirumuskan dan dirangkai pengarang di dalam karya
sastra.
Seni pertunjukan drama gong di Bali memiliki beberapa tema, seperti cinta kasih,
persaudaraan, perjuangan, kepahlawanan, keberanian, pengorbanan, dan sebagainya.
Tema-tema drama gong tersebut selalu berubah-ubah sesuai dengan permintaan pasar,
keperluan upacara, dan keadaan sosial masyarakat. Dinamika tema dalam seni
pertunjukan drama gong tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Sesuai dengan Permintaan Pasar Dalam dunia bisnis permintaan sering diartikan sebagai
suatu keinginan untuk memenuhi suatu kebutuhan yang diekspresikan melalui
pembelian barang dan jasa. Bagi produsen, permintaan adalah sesuatu yang harus
dipenuhi melalui penciptaan produk atau jasa sesuai dengan yang diinginkan. Dengan
memenuhi permintaan akan diperoleh keuntungan sesuai dengan yang diharapkan dan
yang menjadi tujuan utamanya.
Pengukuran permintaan pasar memperlihatkan pemahaman yang jelas akan pasar yang
tercakup. Menurut pengertian sehari-hari, permintaan pasar dapat diartikan sebagai
jumlah barang atau jasa yang dibutuhkan. Jalan pikiran ini berangkat dari pemikiran
bahwa manusia memiliki kebutuhan dan atas dasar kebutuhan inilah individu
mempunyai permintaan akan barang atau jasa.
Masih dalam konteks bisnis, menurut Rina (2008:325), permintaan pasar untuk suatu
produk adalah jumlah volume total yang dibeli oleh kelompok pelanggan tertentu
dalam wilayah geografis tertentu dalam jangka waktu tertentu dan dalam lingkungan
pemasaran tertentu di bawah program pemasaran tertentu. Menurut McEachern
(2000:42), pemasaran dapat didefinisikan sebagai jumlah produk yang diinginkan dan
mampu dibeli konsumen pada berbagai kemungkinan harga selama jangka waktu
tertentu.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa permintaan adalah keinginan serta
kemampuan konsumen untuk memiliki suatu barang atau jasa tertentu dengan tingkat
harga dan waktu tertentu. Sementara itu menurut Lamb (2001: 280), pasar adalah
orang-orang atau organisasi dengan kebutuhan atau keinginan, kemampuan,dan
keinginan untuk membeli. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam konteks
kesenian dapat dikatakan bahwa permintaan pasar adalah keinginan masyarakat
terhadap kesenian yang dapat memenuhi kebutuhan kulturalnya. Khusus seni
pertunjukan drama gong, sejauh mana minat atau keinginan masyarakat terhadap seni
pertunjukan tradisional itu.
Masyarakat akan “membeli” atau menanggap jika seni pertunjukan itu merupakan
produk kultural yang memiliki fungsi sebagai pemenuhan kultural. Karena drama gong
memiliki fungsi sebagai hiburan dan menyampaikan pesan-pesan, maka penikmatnya
menginginkan produk yang memberikan kenikmatan dalam rangka pemenuhan batin,
bukan fisik. Mengingat hal itu, masyarakat menginginkan produk budaya yang sesuai
dengan keadaan dirinya.
Sehubungan dengan itu, menurut Wayan Puja, untuk memberikan kenikmatan kepada
penonton, para pelaku seni, khususnya drama gong menyuguhkan tema-tema yang
disampaikan melalui lakon, yang dalam budaya Bali disebut lampahan(wawancara, 1
Januari 2016). Dalam bahasa Bali dan bahasa Kawi, kata lampahan berasal dari kata
lampah, yang berarti perjalanan.
Dalam kaitannya dengan drama gong, kata lampahan mengandung dua arti. Pertama,
lampahan berarti sebuah kisah, peristiwa, atau dinamika perjalanan para dewa, binatang,
seseorang, masyarakat dan lain-lainnya. Kisah ini biasanya memiliki bagian awal,
pertengahan, dan bagian akhir. Kedua, penyajian, penuturan, atau peragaan di atas
pentas dengan media kesenian.
Berdasarkan kedua arti ini, lampahan dapat diartikan sebagai sebuah kisah atau cerita
yang dijalankan, yang dituturkan, atau yang dilakonkan di atas pentas. Beberapa
seniman mengatakan bahwalampahan juga bisa diartikan dengan satwa (cerita). Hal itu
disebabkan oleh sebuah lampahan adalah suatu jalinan kisah yang diperkaya dengan
pesan-pesan berupa nasihat atau petuah-petuah yang lazim disebut tutur yang
disajikan,baik secara terbuka (langsung), maupun secara terselubung (tidak langsung).
Akan tetapi, tidak semua cerita dapat disebut lampahan.
Artinya, sebuah ceritadisebut lampahan jika cerita tersebut ditata dan disusun
sedemikian rupa untuk dipertunjukkan di atas panggung (Dibia, 2007:1). Berdasarkan
uraian itu, diketahui bahwa lampahan dalam pertunjukan drama gong sangat penting
untuk dapat memenuhi kultural penonton. Lampahan yang diangkat dalam pertunjukan
drama gong, tidak hanya berupa cerita, tetapi juga sesungguhnya merupakan sebuah
jalinan peristiwa yang terdiri atas berbagai aktivitas, pesan-pesan, wejangan untuk
merangsang penonton berpikir.
Oleh karena itu, menurut Wayan Puja, untuk memenuhi keinginan masyarakat
penonton, maka sekaa drama yang dipimpinnya melihat lampahan sebagai salah satu
faktor penentu bagi kesuksesan sebuah suguhan seni petunjukan. Bagi Wayan Puja, ia
ingin pertunjukannya menyuguhkan lampahan yang bagus agar dapat menggetarkan
sukma para penonton, akan tetap melekat dalam ingatan penonton dan dikenang
sepanjang hayat.
Berkaitan dengan keinginann, Dibia (2007:2) mengatakan bahwalampahan yang
dibawakan seni pertunjukan tradisional Bali dijiwai oleh prinsip keseimbaangan atau
keselarasan yang diwujudkan dengan prinsip rwa bhineda, dua kekuatan berbeda
positifnegatif, atasbawah, baikburuk, yang saling berkaitan dan saling membutuhkan.
Sebuah lampahan bisa brakhir dengan happy ending (sukaria), kemenangan berpihak
pada yang jujur.Tidak sedikit pula lampahan berakhir imbang, yakni kedua pihak
sama-sama menang dan sama-sama kalah.
Apapun akhirnya, sebuah lakon diharapkan bisa mengingatkan penonton bahwa hidup
di dunia ini diikat dan dipengaruhi oleh unsur-unsur kekuatan rwa bhineda. Pilihan
lampahan atau lakon yang sering dibawakan para sekaadrama gong di Kabupaten
Gianyar mengacu pada tema baku. Misalnya, “betapa pun hebatnya kekuatan jahat,
akhirnya pasti dikalahkan oleh kekuatan suci.” Dengan kalimat lain, “kebenaran
senantiasa di atas kebatilan”.
Soelarso dan Albiladiyah (1975:24) mengemukakan bahwa dalam lakon-lakon klasik
pada teater tradisional yang umumnya berbentuk dramatari, tema-tema universal
seringkali dikaitkan dengan kepercayaan lama berupa ungkapan perjuangan kekuatan
ilmu putih (whitemagic) melawan kekuatan ilmu hitam (black magic),khususnya dalam
dramatari sakral, seperti dramatari Calonarang, lakon-lakon klasik bertma universial
mencerminkan keluhuran falsafi pandangan hidup masyarakat sejak zaman dahulu.
Dari segi spiritual, ia menghidupkan lakon-lakon yang mengandung nilai-nilai
pendidikan moral dan tata krama pergaulan hidup dalam ikatan adat dan agama yang
kokoh. Dalam kepercayaan Hindu dikenal hukum karma phala atau hukum sebabakibat.
Hukum itu selain sebagai norma hidup, juga memberikan gambaran mengenai
romantika, vitalitas masyarakatnya yang terus berkembang dengan penuh semangat
hidup secara alamiah dalam peredaran zaman.
Dari segi kultural, secara artistik mencerminkan nilai-nilai estetik seutuhnya, yaitumulai
dari segi sastra, tata bahasa, tari, musik, tata busana, tata rambut, tata rias, sampai pada
tata krama pergaulan antara atasanbawahan, antarkeluarga, dan antarmanusia. Hal itu
juga mencerminkan daya cipta yang tidak pernah mandul sepanjang masa.
Norma-norma itulah menurut Soelaso dan Albiladiyah, merupakan kepastian yang
terungkap dalam semua lakon. Tidak menjadi soal, apakah lakon itu merupakan lakon
saduran (adaptasi) seperti lakon Panji, Ramayana, atau lakon asli yang diambil dari
usana Bali (babad Bali), dari legenda cerita rakyat (folkstales) seperti lakon
Jayaprana-Layonsari dan Mayadenawa.
Soelaso dan Albiladiyah (1975:24--25) mengemukakan bahwa lakon ciptaan baru yang
dipentaskan drama gong berbeda dengan lakon teater tradisional yang tidak dikenal
siapa penciptanya. Oleh karena itu, dalam lakon-lakon modern pada umumnya dicipta
secara perseorangan atau kolektif yang tidak dikehui secara jelas, siapa pencipta atau
penyadurnya.
Sebagai salah satu contoh, lakon Jayaprana-Layonsari adalah sebuah lakon klasik yang
padamulanya digunakan untuk sendratari. Akan tetapi, Anak Agung Raka
Payadnyamenggubah lakon itu menjadi lakon drama gong. Di samping itu pula lakon
Dukuh Suladri, digubah menjadi lakon drama gong. Menurut Payadnya, lakon
Jayaprana-Layonsari sangat digemari penonton Gianyar saat drama gong pertama kali ia
dipentaskan.
Hal itu terbukti, ketika lakon itu dipentaskan pertama kali di jaba sisi Pura Abianbase
pada 24 Februari 1966, penonton memberikan sambutan hangat. Penonton
menggemari lakon itu karena lakon itu mengusung tema percintaan yang murni dan
berakhir dengan tragedi. Seperti sudah tertulis dalam geguritan Jayaprana, lakon itu
mengisahkan dua anak desa, I Nyoman Jayaprana (abdi kesayangan Raja Kalianget)
bertemu dengan Ni Nyoman Layonsari (putri Jero Bandesa Banjar Sekar). Sejak
pertemuan mereka di pasar, Jayaprana dan Layonsari saling jatuh cinta yang akhirnya
menikah.
Akan tetapi, perkawinan itu tidak bertahan lama karena Raja Kalianget tergila-gila pada
kecantikan Ni Layonsari. I Jayaprana diutus ke Teluk Terima bersama Patih
Sawunggaling dengan dalih menghadapi perampok. Sawunggaling kemudian
membunuh Jayaprana di hutan Teluk Terima. Dengan berpura-pura meratapi kematian
abdi kesayangannya, sambil menawarkan belas kasihan, Prabu Kalianget merayu Ni
Layonsari agar mau dibawa ke puri.
Permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh Ni Layonsari.Tidak sudi menerima perlakuan
seperti itu, sang raja merasa berang, lalu memaksa Ni Layonsari. Ketika terjadi
pergumulan dengan sang raja, Ni Layonsari menarik keris sang raja untuk menikam
dirinya sendiri. Melihat hal ini sang raja menjadi kalap lalu membunuh setiap orang yang
mendekat padanya.
Kisah ini berakhir secara tragis dengan tewasnya raja Kalianget di tangan rakyatnya
sendiri. Apa yang dilakukan Payadnya, diikuti oleh sekaadrama gong lain di seluruh Bali.
Hal itu bisa menyebabkan kejenuhan dalam masyarakat. Oleh karena itu, Payadnya
kemudian mengganti lakon baru untuk sekaa drama yang dipimpinnya, yakni Made
Raka dan Made Rai.
Lakon cerita itu diilhami cerita siklus Panji, yang berkisar pada empat kerajaan besar
zaman lampau, yakni Gagelang, Kahuripan, Daha, dan Singosari. Anak Agung Raka
Payadnya(kiri) dengan penulis ketika menjadi pembina drama gong di Tegallalang,
Gianyar (foto: dokumen I Wayan Sugita) Sebagian besar drama gong mengambil lakon
Panji. Cerita Panji juga sering disebut Malat.
Bagi masyarakat Bali, cerita Panji ini tidak asing lagi karena selain dibawakan drama
gong, juga sering diangkat sebagai lakon dalam kesenian dramatari arja, gambuh,
sendratari, bahkan tari legong keraton. Cerita ini digemari masyarakat Bali karena pada
umumnya disuguhkan secara romantis, sebagai akibat mengisahkan percintaan
putra-putri keluarga bangsawan di beberapa kerajaan, terutama Daha, Jenggala di Jawa
Timur.
Kisah Panji ini digemari karena menurut Dibia (2007:16), mengisahkan Raden Panji
sebagai tokoh sentral dengan sederatan nama samarannya. Cerita itu berkisah tentang
putra-putri empat kerajaan bersaudara di Jaya, yakni Kahuripan, Daha, caglang, dan
Singasari. Pertemuan dan perpisahan, penyamaran, penculikan dan pertempuran
menjadi bumbu dari kisah inisehingga masyarakat tetap menggemari jika dibawakan
dengan baik oleh sekaa dama gong. Perubahan lakon sering dilakukan oleh sekaadrama
gong di Gianyar untuk memenuhi permintaan pasar.
Menurut Soelaso dan Albiladiyah (1975:25), Drama gong Abianbase sudah memiliki
lebih dari seratus lakon yang dipentaskan. Sesuai dengan Keperluan Upacara Dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali selalu berpedoman pada ajaran agama
Hindu yang bersumber dari Veda. Dalam pelaksanaan upacara ritual, umat Hindu selalu
mengacu pada falsafah tri hita karana.
Menurut Wiana (2004: 141), secara substantif, ajaran tri hita karana itu sudah ada di
tingkat nasional, bahkan internasional dengan nama “konsep hidup
seimbang”.Pengertian tri hita karana dirinci oleh Jaman (2006:18) bahwa istilah tri hita
karana berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata “tri hita” dan “karana”. “Tri” berarti
“tiga”, “hita” berarti “baik, senang, gembira, lestari”, dan“karana” berarti penyebab atau
sumber sebab.
Dengan demikian, “tri hita karana” berarti tiga unsur yang merupakan sumber sebab
yang memungkinkan timbulnya kebaikan. Ketiga unsur itu adalah unsur jiwa (atma);
unsur tenaga (kekuatan, prana), dan unsur badan wadah (sarira). Dengan demikian, tri
hita karana adalah perwujudan kesejahteraan dan kebahagiaan yang terdiri atas unsur
Ida Sanghyang Widhi/Tuhan (super natural power), manusia (microcosmos), dan alam
semesta/bhuwana (macrocosmos).Hal ini menjadi pola dasar tatanan kehidupan umat
Hindu, yang dijadikan budaya perilaku sehari-hari dalam berbagai aktivitas sehingga
muncul konsep mengajarkan pola hubungan yang harmoni (selaras, serasi, dan
seimbang) di antara ketiga sumber kesejahteraan dan kebahagiaan, yang terdiri atas
unsur, (1)parahyangan, harmonis antara manusia dan Sang Pencipta (Brahman),
(2)pawongan, harmonis antara manusia dan sesama manusia (microcosmos), dan
(3)palemahan, harmonis antara manusia dan bhuwana (macrocosmos). Berdasarkan
pada falsafah itu, maka umat Hindu melaksanakan ritual panca yadnya.
Menurut Wiana (1995), rumusan panca yadnya termuat dalam beberapa sumber.
Adapun kegiatan panca yadnya itu meliputi upacara agama yakni dewa yadnya, bhuta
yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya, dan manusa yadnya. Kelima yadnya itu secara ringkas
bisa diuraikan sebagai berikut.
(1) dewa yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas ke hadapan Hyang
Widhi Wasa dengan berbagai manifestasi-Nya, (2) butha yadnya, yaitu upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas ke hadapan unsur-unsur alam, (3) manusa yadnya,
yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia, (4) pitra yadnya,
yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah meninggal,
(5) rsi yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas ke hadapan para orang
suci umat Hindu.
Berdasarkan rumusan panca yadnya tersebut,diketahui bahwa jika drama gong
melakukan pertunjukan yang berkaitan dengan yadnya,tema atau paling tidak
pesan-pesannya akan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan. Menurut
Ketut Tanggu, praginadrama gong dari Serongga, Gianyar,lakon yang dibawakan tidak
mesti diubah, yang penting pesan-pesan yang disampaikan disesuaikan dengan jenis
upacara yadnya sehingga diharapkan dapat mencapai sasaran. Lebih jauh Tanggu
mengatakan sebagai berikut. Kami memang sering pentas pada upacara yadnya.
Kalau pentas di pura, kami menyampaikan pesan tentang pentingnya bakti kepada
Hyang Widhi. Mengapa umat melakukan yadnya. Bagaimana melakukan bakti yang baik.
Kami juga sering memperbincangkan apa arti bunga, tirta, api, dan sebagainya. Tentu
saja kami menyampaikan pesan itu lewat banyolan. Sebab, tujuan kami memang
menghibur.Itu kalau di pura,tapi kalau pada acara ngaben, kami juga sering
menyinggung, mengapa harus melakukan upacara pitra yadnya. Demikian pula saat
upacara perkawinan.
Kami sering melontarkan lelucon dengan mengambil bahan dari sarana upacara. Jadi,
yang penting penonton merasa senang. Berdasarkan jenis yadnya, kami selalu
mengubah-ubah bahan lelucon,tapi kalau lakonnya, bisa sama antara pitra yadnya
dengan dewa yadnya (wawancara, 12 Februari 2016). Berdasarkan penuturan Tanggu,
dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi ada tema dan pesan-pesan
drama gong disebabkan oleh faktor jenis yadnya yang dilakukan umat Hindu sebagai
penanggap.
Perubahan itu sesuai dengan teori fungsionalis yang antara lain mengatakan bahwa
apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan
akhirnya diterima oleh masyarakat. Akan tetapi, apabila terbukti disfungsional atau tidak
bermanfaat, perubahan akan ditolak (Albar, 2014). Sesuai Situasi Sosial yang
Berkembangdalam Masyarakat Sepanjang zaman seni dan kesenian (budaya dan
kebudayaan) masih terus menempati posisi khusus dalam kehidupan manusia. Tidak
sedikit orang menganggap bahwa seni dan kesenian merupakan panggilan tertinggi
diantara semua panggilan jiwa.
Banyak juga yang menganggap bahwa kesenian sebagai bidang yang berada di atas
kegiatan komersial biasa. Memang, mungkin juga masih ada sedikit orang menganggap
bahwa para ekonom harus menjauhkan diri dari seni dan kesenian. Terlepas dari semua
pandangan masyarakat atas seni dan kesenian, faktanya adalah seni dan budaya
merupakan bidang kehidupan dan produk yang dihasilkan oleh individu-individu dan
lembaga-lembaga yang bekerja dalam perekonomian, sehingga tidak dapat melepaskan
diri dari dunia materi.Ketika warga masyarakat, baik secara individu, kelompok,maupun
atas nama kelompok organisasi menyelenggarakan acara kesenian dengan berbagai
keperluan, mereka harus memikirkan dana. Penyelenggara kesenian tentu memiliki
modal awal untuk penyelenggaraan itu.
Jika drama gong yang ditanggap bertujuan untuk menggali dana, maka hasil dari
penjualan tiket biasanya sudah dapat menutupi semua biaya penyelenggaran. Ketika
drama gong menjadi kesenian favorit, pihak penyelenggara biasanya mendapat untung
yang lumayan. Hal itu diakui Nyoman Surata, Kepala Desa Payangan, Gianyar, yang juga
pernah menjadi pragina drama gong sebagai raja buduh.
Sekitar tahun 1980-an, desanya hendak membangun beberapa bangunan fisik. Untuk
menggali dana, maka pihaknya menyelenggarakan pertunjukan drama gong. Jenis tiket
yang dijual ada dua macam, yakni tiket masuk dan tiket kursi. Tiket masuk lebih murah
daripada tiket kursi. Pada saat pertunjukan, pihaknya menanggap drama gong terkenal.
Sambutan masyarakat cukup menggembirakan.
Penonton yang menyaksikan drama gong itu berjubel, baik yang mendapat tempat
duduk maupun yang rela berdiri. Dari hasil penjualan tiket, pihak penyelenggara dapat
meraup sejumlah uang yang lumayan. Lebih jauh Nyoman Surata, menuturkan sebagai
berikut. Terus terang, banyak pembangunan di desa kami dibangun dari hasil ngupah
drama. Kami mengupah drama gong karena saat itu sangat digemari masyarakat.
Bagi yang suka menonton drama, ia tidak takut mengorbankan uangnya demi dapat
menonton drama. Bahkan, banyak warga masyarakat yang kecewa karena kehabisan
karcis. Mereka terpaksa menonton dengan cara berdiri (Wawancara, 2 Februari 2016).
Berdasarkan pengakuan Surata di atas, kiranya dapat dibuktikan bahwa kesenian drama
gong sangat digemari.
Kesempatan itu digunakan dengan sebaik-baiknya oleh masyarakat untuk menggali
dana demi pembiayaan berbagai macam jenis pembangunan di desa. Selain dengan
maksud menggali dana, pada tahun 1970-an banyak warga secara pribadi juga
menanggap drama gong dengan berbagai kepentingan. Biaya yang diperlukan tidak
besar karena hanya untuk keperluan konsumsi saja. Sekaadrama gong tidak mendapat
honoraium karena atas dasar ngayah.
Akan tetapi,drama gong yang ditanggap, sebuah sekaa di desanya, yang belum
profesional. Mereka memiliki kepentingan masing-masing atas dasar merasa saling
menguntungkan. Pihak penyelenggara merasa terhibur sekaligus dapat memeriahkan
acara yang digelarnya. Di pihak sekaa drama, mereka juga merasa mendapat
keuntungan nonmaterial. Meskipun tidak mendapat honorarium, mereka merasa puas
karena dapat bermain drama. Hal itu diakui oleh Wayan Tablo, praginadrama gong dari
Tegallalang.
Ia mengatakan sering bermain drama gongtanpa bayaran. Lebih jauh ia mengatakan
sebagai berikut. Ketika saya masih muda dulu, saya memang suka main drama gong.
Saya sering meniru para pemain drama gong terkenal. Pakaian drama gongsaya beli
sendiri. Hampir setiap hari melakukan latihan. Menghafal kata-kata yang diberikan
penguruk. Meskipun saya tidak dibayar dan begadang, saya senang main drama gong.
Kalau dihitung-hitung secara materi, saya sebenarnya rugi,tapi saya senang dapat
bermain drama gong. Apalagi penontonnya senang, mau tertawa saat saya melucu. Itu
merupakan kepuasan saya. Bukan masalah uang,tapi kalau zaman sekarang kan lain.
Selain drama gong tidak disenangi lagi, orang sekarang lebih banyak menghitung
secara ekonomis.
Kalau pentas di pura, tak masalah karena bisa ngayah secara sekala dan niskala. Tapi
kalau di tempat perorangan atau di tempat acara-acara yang diselenggarakan
pemerintah, mana mau orang gratis. Para pragina atau penabuh saat ini kan banyak
yang bekerja, baik sebagai buruh bangunan maupun bekerja di tempat lain.
Kalau pementasan tidak dibayar, lalu di mana cari uang. Kita ini kan perlu hidup. Perlu
makan setiap hari. (Wawancara, 4 Februari 2016). Pengakuan Tablo menandakan bahwa
dinamika kehidupan drama gong baik yang ada di desa-desa yang terbentuk berupa
sekaasebunan, maupun yang profesional, bergantung pula pada keadaan sosial
masyarakat.
Warga masyarakat sekarang, termasuk di Kabupaten Gianyar pada umumnya sering
berhitung secara bisnis dalam melakukan berbagai kegiatan. Hal itu disebabkan oleh
berbagai tuntutan hidup pada zaman era globalisasi ini. Biaya hidup sehari-hari dewasa
ini tidak hanya menyangkut perut, tetapi juga banyak yang memerlukan dana untuk
keperluan lain, seperti pulsa, biaya pendidikan, dan keperluan yang bersifat konsumtif
lainnya. Artinya, para praginadrama gong dan para penabuh memerlukan honorarium
untuk membiayai hidupnya.
Oleh karena itu, sebuah pertunjukan drama gong memerlukan dana yang cukup besar,
sehingga warga masyarakat merasa enggan menanggap kesenian demi kepentingan
acara pribadi. Hal itu diakui Ni Wayan Seri, seorang warga banjar Buruan, Blahbatuh,
Gianyar. Ia menuturkan sebagai berikut. Dulu, ketika saya menyelenggarakan otonan
anak, saya ngupah drama gong yang ada di desa saya. Waktu itu, saya hanya
mengeluarkan biaya untuk konsumsi saja.
Saya tidak membayar ongkos drama gong. Hanya sesaribanten saja, jadi tidak terlalu
besar. Saya senang karena acara menjadi ramai. Saya juga melihat para pemain drama
gongjuga senang. Mereka kan juga banyak dari anggota keluarga. Jadi, kita sama-sama
senang. (Wawancara 5 Februari 2016). Berdasarkan pengakuan Seri tersebut, dapat
dikatakan bahwa hubungan antara kesenian dan ekonomi ditentukan oleh bagaimana
fungsi-fungsi kesenian (dan kebudayaan) memainkan peranannya dalam konteks
perekonomian masyarakat.Dalam banyak hal, warga yang mengonsumsi atau
menghasilkan seni berperilaku seperti produsen dan konsumen barang dan jasa lainnya.
Meskipun demikian, sampai tahap tertentu perilaku ekonomi masyarakat seni secara
signifikan berbeda dibandingkan dengan perilaku ekonomi masyarakat pada umumnya.
Hubungan antara ekonomi dan kesenian tidak dapat dianalisis secara komprehensif
apabila belum mengetahui pentingnya sektor kesenian dalam perekonomian.Informasi
dan data ekonomi tentang kesenian sampai saat ini masih agak sulit
dikumpulkan.Sampai saat ini belum ditemukan informasi untuk mengetahui berapa
pengeluaran konsumsi masyarakat yang digunakan untuk menikmati seni dan kesenian
rata-rata per tahun, pendapatan operasi rata-rata sekaa kesenian, khususnya drama
gong (tidak termasuk dana pemerintah dan donasi swasta); rata-rata dana bantuan
pemerintah dalam pembiayaan kegiatan seni dan kesenian per tahun, dan jumlah
rata-rata sumbangan masyarakat terhadap kegiatan kesenian.
Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa keadaan sosial masyarakat, khususnya
di Kabupaten Gianyar juga ikut menentukan dinamika kehidupan kesenian tradisional,
termasuk drama gong. Ketika masyarakat masih terbatas kebutuhan ekonominya karena
tidak memerlukan banyak dana untuk memenuhi tuntunan hidup, orang-orang lebih
suka bergelut dengan kesenian meskipun tidak mementingkan keuntungan materi.
Banyak orang merasa cukup puas dapat bermain drama gong, jika mendapat sambutan
hangat masyarakat penonton.
Akan tetapi dalam perkembangan zaman, yaitu kehidupan dipengaruhi oleh ideologi
pasar, maka keadaan ikut memengaruhi kehidupan drama gong. Atmadja (2006a: 120)
mengutip Marcuse dalam Sachari menyatakan bahwa ciri-ciri masyarakat berdimensi
satu yaitu segi kehidupannya hanya diarahkan pada satu tujuan, yakni keberlangsungan
dan peningkatan sistem yang telah ada, yaitu sistem kapitalisme.
Apa pun lebelnya, prinsip dasarnya tetap sama, yakni manusia melakukan kegiatan
ekonomi secara bebas dengan sasaran mendapatkan laba sebanyak-banyaknya (Magnis
Suseno dalam Atmadja, 2006:121). Menurut Atmadja mengutip Steger (2005), sistem
ekonomis kapitalis berlandaskan ideologi pasar. Ideologi ini semakin kuat melandasi
kehidupan masyarakat Bali dalam berbagai aktivitas, bersamaan dengan derasnya arus
globalisasi. Atmaja menyatakan sebagai berikut.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa ideologi pasar tidak saja
melandasi globalisasi, tetapi sekaligus juga napas atau semangat yang diembuskan oleh
globalisasi. Ideologi pasar merupakan suatu sistem kepercayaan yang mengagungkan
pasar sebagai media utama bagi pemenuhan segala kebutuhan manusia maupun hasrat
manusia akan kesejahteraan sehingga manusia memiliki pandangan yang positif,
bahkan mendewakan pasar (Steger dalam Atmadja, 2006a:121) Ideologi pasar memiliki
sejumlah karakteristik, tidak saja berada pada tataran kognisi (teks), tetapi juga
memengaruhi teks sosial manusia Bali.
Karakteristik dan teks sosial yang menyertai dan atau yang dijadikan pedoman oleh
ideologi pasar.Uraiannya dapat dilihat pada tabel Karakteristik Ideologi Pasar Indikator
_Pemaknaan _ _Hakikat uang bagi kehidupan manusia _Memuja uang karena uang
mahakuasa dalam memenuhi keinginan, hasrat, kama atau nafsu, karenamanusia adalah
mesin hasrat. Pemujaan uang melahirkan maneytehisme.
_ _Hakikat pasar bagi kehidupan manusia _Pasar merupakan tempat sangat penting bagi
pemenuhan segala keinginan dan kebutuhan manusia. Oleh Karena itu, pasar tak
ubahnya seperti tempat suci bagi ideologi pasar atau agama pasar. Pasar bisa berbentuk
pasar tradisional, mall, supermarket, hypermarket, atau lazim disebut istana belanja.
Pemujaan terhadap pasar melahirkan daulat pasar.
_ _Hakikat manusia sebagai homo consumer, homo hedonicus, dan homo economicus
_Pada tempat suci ini manusia sebagai homo consumer, homo hedonicus, dan homo
economicus melakukan ritual sosial ekonomi, misalnya merayakan hasrat, merayakan
konsumerisme, merayakan citra, dll. Pada saat berbelanja mereka melakukan ritual
memilih barang sesuai dengan selera, warna, merek, dan mode disertai dengan tawar
menawar (pada pasar tradisional berlaku harga luncur) atau mereka menggunakan
sistem pelayanan impersonal(pada supermarket, mall berlaku harga mati).
Barang yang dibeli tidak hanya dilihat dari segi nilai guna, tetapi juga nilai simbolik
sehingga dia diposisikan sebagai totem atau fetish. _ _Hakikat manusia sebagai mesin
hasrat atau pabrik kama _Merangsang kama agar terus tumbuh dan berkembang secara
subur. Hal ini dilakukan lewat iklan di TV atau penyediaan barang pada istana belanja.
Istana belanja merupakan pula ruang untuk menumbuhkembangkan kama.
Kama yang tumbuh subur adalah medan amat baik bagi pemasaran suatu produk. _
_Hakikat tujuan hidup manusia adalah surga di sini _Tujuan hidup manusia adalah
kenikmatan hidup duniawi (surga di sini), sehingga manusia terjerat pada materialisme,
hedonisme, wajahisme, penampilanisme, individualisme, sekularisme, instant solution,
atomisme, dll.
_ _Sumber: Atmadja (2006) berdasarkan adaptasi dari Maguire (2004), Sutrisno (2004),
Griffin (2005), Zaehner (1992), Geertz (1977), Thoha (2004), dan Titib (2005). Atmadja
(2006a:60--61) mengatakanbahwa ideologi yang melandasi teknologi Barat tidak saja
individualisme dan eksklusivisme, tetapi juga kapitalisme, ideologi pasar, atau agama
pasar menurut istilah yang diberikan Maguire (2004). Agama pasar memiliki karakteristik
berbeda, bahkan bertolak belakang dengan agama Hindu.
Perbedaan agama Hindu dengan agama pasar dapat dilihat pada tabel 6.2. Perbedaan
Agama Hindu dengan Agama Pasar Agama Hindu _Agama Pasar _ _Memuja kekuatan
adikodrati yang disebut Brahman, Tuhan, atau Dewa sebagai personifikasi-Nya dan roh
leluhur. Agama Hindu percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau monoteisme.
_Memuja uang karena uang mahakuasa (daulat uang) memenuhi keinginan, hasrat,
kama atau nafsu manusia yang tidak pernah berakhir karena manusia adalah mesin
hasrat. Pemujaan uang melahirkan maneytehisme. _ _Tempat sucinya agama Hindu
adalah pura _Tempat suci agama pasar adalah pasar,mall, supermarket, hypermarket,
atau lazim disebut istana belanja.
_ _Pada tempat suci ini manusia sebagai homoreligius melakukan sistem ritual, dalam
bentuk aneka perilaku, misalnya sembahyang, bersaji, berdoa, menari, menyanyi, dll.
Melalui doa mereka memohon sesuatu kepada kekuatan adikodrati, misalnya
keselamatan, kesejahteraan. _Pada tempat suci ini manusia sebagai homo consumer,
melakukan ritual sosial ekonomi, misalnya rekreasi, berkencan, berbelanja, dll.
Pada saat berbelanja mereka melakukan ritual memilih barang sesuai dengan selera,
warna, merek dan mode, disertai dengan tawar menawar (pada pasar tradisional berlaku
harga luncur) atau mereka menggunakan sistem pelayanan impersonal(pada
supermarket, mall berlaku harga mati). Barang yang dibeli tidak hanya dilihat dari segi
nilai guna, tetapi juga nilai simbolik sehingga dia diposisikan sebagai totem atau fetish.
_ _Menekankan pada pengendalian kama, hasrat, keinginan, atau nafsu. Kama yang
tidak terkendalikan oleh asas moralitas bisa menimbulkan penderitaan bagi manusia.
_Merangsang kama agar terus tumbuh danberkembang secara subur. Hal ini dilakukan
lewat iklan di TV atau penyediaan barang pada istana belanja. Istana belanja merupakan
pula ruang untuk menumbuhkembangkan kama. Kama yang tumbuh subur adalah
medan amat baik bagi pemasaran suatu produk.
_ _Tujuan hidup manusia adalah mewujudkan kesejahteraan, baik di alam sini maupun di
alam sana. Untuk itu spiritualitas agama sangat penting, bahkan modal utama bagi
kehidupoan manusia. _Tujuan hidup manusia adalah kenikmatan hidup duniawi (surga
di sini) sehingga manusia terjerat pada materialisme, hedonisme, wajahisme,
penampilanisme, individualisme, sekularisme, instant solution, atomisme, dll.
_ _Sumber: Atmadja (2006) yang diadaptasikan dari Maguire (2004), Sutrisno (2004),
Griffin (2005), Zaehner (1992), Geertz (1977), dan Titib (2005) Berdasarkan ciri-ciri
ideologi pasar tersebut, dapat dikatakan bahwa orang merasa malas untuk bermain
drama gong karena seni pertunjukan tersebut tidak mampu lagi mendatangkan
keuntungan materi. Hal itu disebabkan oleh materi terasa sangat penting untuk hidup
pada zaman modern ini.
Sesuai Dengan Wacana Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa
wacana merupakan kelas kata benda (nomina) yang mempunyai arti sebagai berikut.(a)
ucapan, perkataan, tuturan, (b)keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan,
(c)satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh,
seperti novel, buku, dan artikel. Wacana adalah segala sesuatu yang berbentuk tulisan,
perkataan, atau ucapan yang bersifat kontekstual.
Wacana juga dapat diartikan sebagai kumpulan kalimat yang saling berangkai
membentuk suatu kesatuan makna yang padu dan utuh. Dalam strata kebahasaan,
wacana ditempatkan pada posisi teratas, karena wacana merupakan satuan gramatikal
tertinggi dan terbesar di dalam sebuah bahasa. Wacana dapat berbentuk kata, kalimat,
paragraf atau bahkan karangan utuh yang memiliki amanat lengkap seperti pada buku
atau pun artikel.
Kalimat-kalimat yang menyusun sebuah wacana haruslah kalimat yang padu dan sesuai
dengan konteks, bukan kalimat-kalimat yang saling terputus dan lepas konteks. Oleh
karena itu, wacana dapat diartikan juga sebagai tulisan atau perkataan yang memiliki
keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupinya. Berdasarkan uraian
tersebut, maka wacana yang disuguhkan dalam seni pertunjukan drama gong di
Kabupaten Gianyar yakni antara lain tentang kesewenang-wenangan seorang pemimpin,
dan tentang cinta sejati. Wacana kesewenang-wenangan pemimpin dapat disimak
dalam seni pertunjukan drama gong dengan lakon Jayaprana-Layonsari.
Dalam lakon itu diceritakan raja Kalianget melakukan pemaksaan kehendak yakni ingin
mengawini Layonsari yang telah menikah dengan Jayaprana. Untuk memenuhi
keinginannya itu, raja melenyapkan Jayaparana dengan cara memerintahkan
Saunggaling untuk membunuhnya. Setelah Jayaprana meninggal maka raja merayu
Layonsari dan memaksa agar mau menjadi istri sang raja.
Oleh karena Layonsari sudah bersuami dan tidak mau menikah dengan raja, maka hal itu
mencerminkan kesewenang-wenangan raja sebagai seorang pemimpin. Tentang cinta
sejati dapat disimak pada lakon Sampik-Ingtay. Dalam lakon diceritakan bahwa Sampik
dan Ingtay sama-sama menuntut ilmu pada sekolah yang sama. Ingtay, seorang wanita
pada mulanya menyamar menjadi seorang laki-laki. Setelah tahu bahwa temannya itu
seorang wanita, Sampik ingin menikahi Ingtay.
Namun Ingtay diceritakan pula hendak dinikahkan dengan seorang pemuda lain. Pada
akhirnya Sampik-Ingtay bertemu dalam alam baka. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
lakon tersebut, wacana yang disampaikan adalah cinta sejati. Dengan adanya wacana
tersebut, drama gong mengalami dinamika. Dinamika dalam Organisasi Organisasi
kesenian tradisional di Bali umumnya disebut sekaa.
Sekaa adalah sebuah organisasi tradisional yang pada umumnya bergerak dalam satu
bidang profesi untuk menyalurkan kesenangan atau hobi. Ada bermacam-macam sekaa
di Bali, misalnya sekaa tuak, sekaa manyi, sekaa mamula, dansekaa semal. Ada sekaa
yang menekankan aktivitasnya pada pelayanan sosial untuk meringankan beban, baik
fisik maupun finansial para anggotanya, seperti sekaa manyidansekaa subak.
Ada juga sekaa yang lebih menekankan pada olah keterampilan seni sehingga dapat
dijadikan profesi yang memberikan kesenangan dan nafkah bagi para anggotanya
seperti sekaa gong, sekaa joged, dan sekaashanti. Keanggotaan sekaa biasanya bersifat
sukarela,tetapi secara efektif dapat digerakkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial
(Astita, 2009:2).
Demikian pula kesenian drama gong, mereka membentuk sekaa sebagai organisasi.
Dalam konteks kesenian, dilihat dari keanggotaannya, secara garis besar, ada dua
macam bentuk sekaa,yaitu sekaa sebunan dan seka bonan. Menurut Kamus
Bali-Indonesia kata sekaa berarti perkumpulan, persatuan organisasi (Panitia Penyusun
Kamus Bali-Indonsia, 1978:623).
Di pihak lain kata “sebun” secara harfiah berarti sarang burung (Panitia Penyusun Kamus
Bali-Indonesia, 1978:619).Dalam konteks kesenian, kata sebunan terbentuk dari kata
dasar sebun dan memperoleh akhiran “an” sehingga pengertiannya satu tempat atau
satu banjar/satu desa. Dengan demikian sekaa sebunanberarti sebuah organisasi yang
semua anggotanya di satu tempat atau satu banjar/desa.
Kata “bonan” kata dasarnya adalah “bon” yang dalam bahasa Bali memiliki dua
pengertian. Pengertian pertama, kata “bon” berarti sama dengan bahasa Indonesia,
yakni membeli sesuatu tanpa membayar. Pengertian kedua, yakni gabungan
perkumpulan. Kemudian kata “ngebon” diartikan minta bantuan dari perkumpulan lain.
Jadi, kata “bon-bonan” diartikan hasil penggabungan (Panitia Penyusun Kamus
Bali-Indonesia, 1978:94). Berdasarkan pengertian tersebut, diketahui bahwa sekaa bonan
adalah organisasi yang anggotanya terdiri atas berbagai tempat, baik di dalam maupun
di luar desa. Pada kesenian arja pernah ada sekaa disebut Arja Bon Bali.
Artinya, organisasi dramatari itu, baik sekaa gamel maupun penarinya, terdiri atas
berbagai daerah di Bali. Demikianlah, seni pertunjukan drama gong di Bali memiliki
sekaa sebunan dan sekaabonan. Kata “bonan” dalam kasus ini tidak hanya berarti
gabungan perkumpulan, tetapi juga berarti perorangan.
Terbentuknya sekaa ini merupakan akibat dari adanya berbagai tuntutan, baik dari para
pragina maupun masyarakat Bali sendiri. Sekaa Drama Gongdalam Bentuk Sebunan
Pada dasarnya dari segi teknis tidak sulit membuat drama gong. Iringan musiknya, yakni
sebarung gamelan tidak sulit diperoleh karena desa adat rata-rata memiliki gamelan itu
untuk keperluan yadnya.
Para penabuh gemelan yang biasa mengiringi berbagai kesenian tradisional di pura
tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika mengiringi pelaku drama gong di atas
pentas. Hal itu terjadi sebab irama gamelan drama tidak begitu rumit. Demikian pula
para pemain seni pertunjukan drama gong. Pada tahun 1970-an, saat kesenian itu mulai
populer, banyak warga banjar ingin menjadi pemain.
Lebih-lebih untuk menjadi pemain drama gong, persyaratannya tidak berat. Hal itulah
yang menyebabkan banyak bermunculan sekaa drama gong sebunan sebagaimana
dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6.3 Data Sekaa Drama Gong Sebunan No _Nama
Sekaa Drama Gong Sebunan _Alamat _No _Nama Sekaa Drama Gong Sebunan _Alamat
_ _1 _Sekaa Drama Gong Wijaya Kusuma _Abianbase, Gianyar _7 _Sekaa Drama Gong
Dlod Tangluk _Dlod Tangluk, Gianyar _ _2 _Sekaa Drama Gong Bukit Batu _Bukit Batu,
Gianyar _8 _Sekaa Drama Gong Singapadu _Singapadu, Gianyar _ _3 _Sekaa Drama Gong
Blah Pane _Blah Pane, Gianyar _9 _Sekaa Drama Gong Calo _Tegallalang, Gianyar _ _4
_Sekaa Drama Gong Purwa Soma Budaya _Pejeng, Gianyar _10 _Sekaa Drama Gong
Sebatu _Tegallalang, Gianyar _ _5 _Sekaa DramaGong Pengembungan _Pejeng, Gianyar
_11 _Sekaa Drama Gong Melinggih _Payangan, Gianyar _ _6 _Sekaa Drama Cebok
_Tegallalang, Gianyar _12 _Sekaa Drama Gong Ked _Tegallalang, Gianyar _ _Catatan:
Sekaa DramaGong Sebunan yang masih eksis sampai saat ini dalam nomor dalam
lingkaran Hal itu berarti bahwa membangun sebuah sekaadrama gong di banjar atau
desa tidak sulit.
Itulah sebabnya organisasi drama gong di Kabupaten Gianyar disebut sekaasebunan.
Hal itu dilakukan karena berbagai faktor. Menurut Wayan Sudiarsa (wawancara 25
Februari 2016), ia membentuk sekaasebunan selain persyaratannya mudah juga karena
membuat drama gong hanya untuk sekadar menjalankan hobi. Selain itu sekaa itu
dibentuk hanya untuk keperluan ngayah di pura.
Setelah dapat ngayah di pura ia yang memerankan putra manis dalam drama gong di
Banjar Calo, Tegallalang, Gianyar melanjutkan kehidupan drama gong itu. Ia kemudian
melakukan pementasan di beberapa tempat, dan diupah sekadarnya.
Padamulanyasekaa-sekaadrama gong di Bali bermunculan mewakili sebuah banjar atau
desa. Nama sekaa itu biasanya diambil dari nama banjar atau desa. Apabila menyebut
sebuah desa, seseorang akan teringat kesenianapa yang tersohor di tempat itu.
Misalnya Drama Gong Abianbase Gianyar. Setia (2006:228) mengemukakan, jika orang
menyebut Abianbase, maka yang teringat di kepala adalah drama gong. Kalau
menyebut Desa Carangsari yang langsung diingat adalah topeng. Menyebut Kramas
teringat pada arja. Batu Bulan dengan barongnya, Wangaya dengan joged. Sukawati
dengan wayang kulitnya. Pedungan dengan gambuhnya.
Berdasarkan pernyataan Setia tersebut, diketahui bahwa nama drama gong sebunan
dengan nama desa tidak bisa dipisahkan. Nama desa sering menjadi populer oleh
kesenian yang ada di desa tersebut. Apalagi kesenian tersebut mengalami kejayaan.
Sekaa Drama gong Profesional Sekaasebunan lambat laun bubar satu persatu.
Sekarang ini, desa sudah banyak yang menyatu akibat padatnya penduduk, baik oleh
pendatang maupun karena pertumbuhan penduduk akibat kelahiran di desa itu sendiri.
Selain itujuga terjadi pertukaran penduduk. Penduduk desa yang satu bisa menetap di
desa lain atau pergi ke kota dan menetap di sana. Mereka hanya pulang sewaktu-waktu,
terutama untuk keperluan persembahyangan atau ada acara sukaduka (misalnya
kematian dan upacara perkawinan).
Sementara itu, orang di kota tinggal di pedesaan membuka usaha. Keadaan seperti itu
menurut Setia (2006:227--228) mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sosial
kemasyarakatan, termasuk di bidang kesenian. Sekaa-sekaa kesenian yang ada di desa
sulit dipertahankan karena tidak semua pendukungnya setiap saat ada di desa. Mereka
sulit sekali untuk berkumpul.
Karena sekaasebunan ini sudah sangat tinggi mobilitasnya, mereka hampir tidak
memiliki waktu untuk berkumpul di desanya sendiri untuk meneruskan tradisi
sebelumnya. Lebih jauh Setia menulis sebagai berikut. “...perkembangan pendidikan tari
sekarang ini demikian pesat sehingga orang-orang yang tetap tinggal di desa -apalagi
yang desanya jauh dari kota- merasa selalu terlambat mengikuti perkembangan tari.
Akibatnya muncul rasa minder pada remaja desa untuk belajar menari.
Sebaliknya, jika memang ada remaja desa yang begitu tinggi minatnya pada dunia
kesenian, ia akan lari ke kota dan mengikuti kursus-kursus tari, atau bersekolah di
sekolah tari. Jika di desanya sendiri ia tak bisa menyalurkan bakatnya dalam suatu
kelompok (sekaa) maka mereka akan larut di sekolah atau tempatnya kursus. Dari sinilah
lahirnya sekaa baru, entah itu disebut sanggar atau kelompok.”
Berdasarkan pernyataan Setia tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat selalu
mengalami perubahan. Menurut Soekanto (1980:107) perubahan-perubahan sosial
terjadi disebabkan oleh bermacam-macam. Penyebab perubahan sosial tersebut, berasal
dari dalam (internal) dan dari luar masyakarat itu sendiri (eksternal).
Sebab-sebab internal, antara lain dapat disebutkan misalnya pertambahan penduduk
atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru; pertentangan (konflik), atau
mungkin karena terjadinya revolusi. Sebaliknya, penyebab eksternal dapat mencakup
sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat
lain, peperangan, dan seterusnya.
Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering
mengadakan kontak dengan masyarakatlain atau mempunyai sistem pendidikan yang
maju. Di samping itu, sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen,
serta ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu dapat juga
memperlancar proses perubahan-perubahan sosial.
Perubahan-perubahan sosial sebagaimana dikatakan Soekanto tersebut memang
terjadi, antara lain menyangkut kesenian Bali, khususnya sekaadrama gong. Seperti telah
dikatakan Setia di atas bahwasekaasebunan berubah menjadi sekaa baru yang disebut
sanggar atau nama lain. Perubahan organisasi kesenian itu, terutama terjadi pada
kesenian yang “umum”, artinya bukan sebagai kesenian tradisi yang ada kaitannya
dengan ritual.
Sekaa baru yang berupa sanggar ini akan lebih menonjol dibandingkan dengan
sekaasebunan. Penyebabnya adalah di dalam sanggar ada semangat profesionalisme
sekaligus harapan mendapatkan nafkah lebih besar, sementara dalam sekaasebunan
semangatnya adalah kebersamaan dan ngayah (bekerja tanpa mendapatkan imbalan).
Dengan demikian, nama desa sebagai “cap dagang” digantikan dengan nama
kelompok.
Ada Drama Gong Bintang Bali Timur (BBT), Drama Drama gong Dewan Kesenian
Denpasar (DKD), Drama Gong Bhara Budaya, DramaGong Kerti Buwana Sari, yang paling
bertahan Drama Gong Sancaya Dwipa. Menurut Setia, pergeseran pola kelompok para
seniman Bali ini memang tidak bisa dihindarkan. Ini adalah irama dunia yang menuju era
kesejagatan, yaitu para profesional berkumpul di antara mereka yang seprofesi (Setia,
2006:228--229).
Sampai saat ini sekaa drama gong profesional yang masih eksis dapat dilihat pada tabel
berikut ini. Tabel 6.4 Sekaa Drama Gong Profesional yang Masih Eksis No _Sekaa Drama
Gong Profesional/Bon-bonan _Alamat _No _Sekaa Drama Gong Profesional/ Bon-bonan
_Alamat _ _1 _Sekaa Drama Gong Puspa Kencana Bon Bali _Bukit Batu, Gianyar _3 _Sekaa
Drama Gong Putra Bali Budaya _Tegallalang, Gianyar _ _2 _Sekaa Drama Gong Santi
Lango _Tegallalang, Gianyar _ _ _ _ _ Dalam perkembangan selanjutnya, muncul
organisasi baru yang diberikan nama Paguyuban Lawak se-Bali.
Mereka bermain dalam seni pertunjukan drama gong dengan judul Pengamen.
Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa para pragina terdiri atas wajah-wajah lama
seperti Petruk, Dolar, Dabdab, Yudana, Mongkeg, dan lain-lain. Dalam drama gong ini
dikolaborasi dengan lagu dangdut. Mereka memakai bahasa Indonesia dan beragama
non-Hindu, tetapi tetap memakai busana adat Bali.
Dilihat dari segi organisasinya, paguyuban ini sama dengan sekaa bonan, karena para
pragina terdiri atas berbagai kabupaten. Menurut Yuliadi (2005:42), pudarnya
sekaasebunan, juga disebabkan oleh hadirnya stasiun televisi. Keberadaan TVRI
Denpasar juga menumbuhkan semangat profesionalisme pengelolaan drama gong.
TVRI Denpasar yang menayangkan siaran drama gong tiap hari Minggu malam
memengaruhi perkembangan kelompok drama gong yang ada di desa-desa.
Berangsur-angsur drama gong di desa tidak terdengar lagi namanya dan tidak pernah
melakukan pertunjukan. Masyarakat lebih memilih menonton drama gong yang pernah
muncul di televisi dengan menyertakan pemain Dewa Ayu Rai, I Wayan Lodra, I Gede
Yudhana, Daddab, Petruk, dan Dolar. Dinamika dalam Hal Iringan/Gamelan
Gamelanmerupakansalah satuwarisan budayaHindupada masa lalu.
Gamelanadalahsebuahorkesbesar yang terdapat di Jawa dan Bali, terutama terdiri atas
alat-alat pukul yangterbuat dari perunggu (Pringgodigdo dkk., 1973: 427). Bagi
masyarakat Hindu di Bali, gamelan memiliki berbagai fungsi, yakni antara lain untuk
melakukan upacara yang tergabung dalam panca yadnya dan untuk mengiringi
kesenian.
Gamelan yang pernah mengiringi seni pertunjukan drama gong bebeda-beda sesuai
dengan dinamika kehidupan seni pertunjukan itu, misalnya gamelan janger, gong
kebyar dan semar pagulingan. Gamelan Janger Sebagaimana telah diungkapkan pada
uraian terdahulu bahwa munculnya drama gong di Bali bermula dari tari janger
sehingga ada istilah drama janger.
Kesenian ini merupakan sebuah kesenian drama yang menjadi bagian dari pertunjukan
tari janger. Dalam banyak hal, drama janger sangat mirip dengan sandiwara atau
stambul yang ada dan populer pada sekitar tahun 1950. Pendapat itu senada dengan
apa yang dikatakan Putu Setia dalam Yuliadi (2005:40) bahwa embrio drama gong
adalah kesenian janger.Kemunculan drama gong merupakan sebuah kelanjutan dari
berbagai bentuk drama yang mendahuluinya.
Yuliadi mengatakan bahwa pandangan ini didasari oleh teori evolusi budaya yang dalam
kasus ini menyiratkan perubahan terarah (Yuladi, 2005:40). Drama janger diiringi musik
atau gamelan Janger. Gamelan Janger terdiri atas sepasang gender wayang; sepasang
kendang kekrumpungan (kecil),satu buah tawa-tawa,satu buah kajar,satu buah rebana
(yang kadang kala digantikan dengan gong pulu),satu buah klenang,satu pangkon
ricik,satu sampai dengantiga buah suling.
Walaupun gender wayang berlaras slendro (lima nada), gamelan janger berlaras slendro
dan pelog. Untuk mengiringi lagu-lagu berlaras pelog biasanya gender wayang tidak
digunakan dan pimpinan melodi diambil alih oleh suling. Gong Kebyar Gong kebyar
adalah barungan gamelan Bali sebagai perkembangan terakhir dari gong gede,
memakai laras pelog lima nada, yaitu nding, ndong, ndeng, ndung, danndang. Gong
gede awal mulanya tidak menggunakan instrumen trompong.
Selanjutnya gong kebyar merupakan suatu barungan gamelan gong yang didalam
permainannya sangat mengutamakan kekompakan suara, dinamika, melodi, dan tempo.
Dalam permainannya diperlukan keterampilan mengolah melodi dengan berbagai
variasi permainan dinamika yang dinamis dan permainan tempo yang diatur sedemikian
rupa.Selain itu, juga didukung oleh teknik permainan yang cukup tinggi sehingga dapat
membedakan stylegong kebyar yang satu dengan yang lainnya.
Menurut sejarahnya, gamelan gong kebyar baru muncul pada permulaan abad XX, yang
pertama kali diperkirakan muncul di daerah Bali Utara tepatnya sekitar tahun 1915 di
Desa Jagaraga. Namun, Beryl de Zoete dan Walter Spies dalam buku Dance and Drama
in Bali mengatakan bahwa I Ketut Mario yang lahir sekitar tahun 1900 sudah menari
sisya dalam dramatari calonarang di tahun 1906. Dalam ungkapan selanjutnya sama
sekali tidak ada menyinggung masalah gong kebyar atau tari kekebyaran.
Berdasarkan ungkapan itu, dapat dikatakan bahwaI Ketut Mario dikenal sebagai salah
seorang tokoh dalam gong kebyar sampai dengan 1906 (perang Puputan Badung )
masih menjadi penari sisyayang dapat diartikan bahwa sampai tahun 1906 itu Mario
belum mengenal tari kebyar. Ini juga berarti bahwa gamelan gong kebyar belum ada
pada tahun 1906.
Menurut Colin McPhee dalam buku Musik in Bali,untuk pertama kalinya gamelan gong
kebyar diperdengarkan di depan umum adalah pada Desember 1915.Ketika itu
tokoh-tokoh gong Bali Utara mengadakan kompetisi yang pertama kali untuk gong
kebyar di Jagaraga. Colin McPhee mengakui bahwa apa yang dikemukakan itu adalah
hasil interviunya dengan A.A.
Gde Gusti Jelantik mantan Regen Buleleng (Colin McPhee, 1966:328 dalam Kade Tastra).
Apabila diperhatikan baik-baik apa yang dikemukakan Colin McPhee, akan tampak
bahwa tahun 1915 itu adalah saat kompetisi yang pertama kali di Bali Utara yang
menampilkan bentuk-bentuk kekebyaran dan sudah tentu sekaa-sekaa yang ikut ambil
bagian dalam kompetisi ini sudah menciptakan bentuk-bentuk kekebyaran satu atau
dua tahun sebelumnya, bahkan mungkin beberapa tahun sebelumnya.
Mustahil apabila gong-gong yang ditampilkan dalam kompetisi pada tahun 1915
yangbertempat di Jagaraga itu menciptakan bentuk-bentuk kekebyaran beberapa jam
atau beberapa hari sebelumnya. Selain ungkapan Colin McPhee ini, dapat diketahui juga
bahwa Desa Jagaraga yang selama ini dianggap sebagai daerah asal mula munculnya
gamelan gong kebyar di Bali Utara pada tahun 1915 ternyata hanya dijadikan tempat
kompetisi gong kebyar pada tahun 1915 tersebut.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Beryl de Zoete, Walter Spies, dan Colin
McPhee di atas, maka kiranya dapat ditarik suatu batas pemunculan gong kebyar di Bali,
yakni diantara tahun 1906 sampai dengan tahun 1915.Dengan kata lain gong kebyar
diduga muncul sesudah tahun 1906 dan sebelum tahun 1915. Tempat pemunculannya
pertama kali bukan di Desa Jagaraga. Dalam perjalanan sejarahnya drama gong
kemudian diiringi dengan gong kebyar.
Hal itu disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan pertunjukan. Gong kebyar
merupakan salah satu perangkat/barungan gambelan Bali yang terdiri atas lima nada
(panca nada) dengan laras pelog, tetapi tiap-tiap instrumen terdiri atas sepuluh bilah.
Barungan gong kebyar terdiri atas dua buah (tungguh) pengugal/giying, empat buah
(tungguh) pemade/gansa, empat buah (tungguh) kantilan, dua buah (tungguh) jublag,
dua buah (tungguh) penyacah, dua buah (tungguh) jegogan, satu buah (tungguh)
reong/riyong, satu buah (tungguh) trompong, satu pasang gong lanang wadon,satu
buah kempur, satu buah kemong gantung, satu buah bebende, satu buah kempli, satu
buah (pangkon) ceng-cengricik, satu pasang kendang lanang wadon, dan satu buah
kajar.
Di Bali ada dua macam bentuk perangkat dan gaya utama gambelan gong kebyar yaitu
gambelan gong kebyar Bali Utara dan gambelan gong kebyar Bali Selatan. Kedua
gambelan gong kebyar ini perbedaannya terletak pada tungguhan gangsa, yaitu Bali
Utara bentuk bilah penjain dan dipacek, sedangkan Bali Selatan menggunakan bentuk
bilah kalorusuk dan digantung. Gamelan Bali Utara kedengarannya lebih besar daripada
suara gamelan Bali Selatan meskipun dalam patutan yang sama.
Dalam perkembangannya gong kebyar muncul istilah gaya Bali Utara dan gaya Bali
Selatan meskipun batasan istilah ini juga masih belum jelas. Sebagai gambaran daerah
atau kabupaten yang termasuk daerah Bali Utara hanyalah Kabupaten Buleleng,
sedangkan Kabupaten Badung, Tabanan, dan yang lain mengambil gaya Bali Selatan.
Disamping itu, penggunaan tungguhan gong kebyar di tiap-tiap daerah sebelumnya
memang selalu berbeda karena disesuaikan, baik dengan kebutuhan maupun fungsinya.
Gong kebyar itu telah berfungsi sebagai pembaru dan pelanjut tradisi. Sebagai pembaru
maksudnya adalah lewat gong kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan
gending-gending baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada.
Di pihak lain sebagai pelanjut tradisi maksudnya adalah gong kebyar telah mampu
mempertahankan eksistensi reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan
adaptasi. Seperti apa yang telah diuraikan di atas bahwa gong kebyar memiliki fungsi
untuk mengiringi tari kekebyaran. Namun, sesuai dengan perkembangannya bahwa
gong kebyar memiliki fungsi yang sangat banyak.
Hal ini disebabkan oleh gong kebyar memiliki keunikan tersendiri, sehingga mampu
berfungsi untuk mengiringi berbagai bentuk, baik tarian gending-gending lelambatan,
palegongan, maupun jenis gending yang lainnya. Disamping itu gong kebyar juga bisa
digunakan sebagai salah satu penunjang pelaksanaan upacara agama, seperti misal
mengiringi tari sakral, jenis tarian wali, dan balih-balihan.
Di samping itu, juga disebutkan dengan menggunakan iringan gamelan gong kebyar,
dalam sejarah drama klasik di Bali, drama tersebut berganti nama menjadi drama gong.
Sejak itulah muncul sekaa-sekaadrama gong baru lainnya. Sekaa Tabuh drama gong
dengan perangkat gong kebyar (Foto: Dokumen I Wayan Sugita) Semar Pagulingan
Semar pagulingan adalah sebuah gamelan yang dekat hubungannya dengan gamelan
gambuh, yaitu juga merupakan perpaduan antara gamelan gambuh dan legong.
Semar pagulingan merupakan gamelan rekreasi untuk istana raja-raja zaman dahulu.
Biasanya dimainkan pada waktu raja-raja akan ke peraduan (tidur). Gamelan ini juga
digunakan untuk mengiringi tari leko dan gandrung yang semula dilakukan oleh abdi
raja-raja keraton. Semar pagulingan memakai laras pelog tujuh nada, terdiri atas lima
nada pokok dan dua nada pamero.
Repertoar gamelan ini hampir keseluruhannya diambil dari pegambuhan (kecuali
gending leko) dan semua melodi yang mempergunakan tujuh nada dapat segera
ditransfer ke dalam gamelan semar pagulingan. Bentuk gamelan semar pagulingan
mencerminkan juga gamelan gong, tetapi lebih kecil dan lebih manis disebabkan oleh
hilangnya reongdan gangsa-gangsa yang besar.
Demikian bejenis-jenis pasang cengceng tidak digunakan di dalam semar pagulingan.
Instrumen yang memegang peranan penting dalam semar pagulingan ialah trompong.
Trompong lebih menitik-beratkan penggantian melodi suling dalam gambuh yang
dituangkan ke dalam nada yang lebih fiks. Gending-gending yang dimainkan dengan
memakai trompong, biasanya tidak digunakan untuk mengiringi tari.
Di samping trompong ada juga empat buah gender yang kadang-kadang
menggantikan trompong, khususnya untuk gending-gending tari. Dalam hal ini semar
pagulingan sudah berubah namanya menjadi gamelan pelegongan. Instrumen yang lain
seperti gangsa, jublag dan calung masing-masing mempunyai fungsi sebagai
cecandetan ataupun untuk memangku lagu.
Semar Pagulingan juga memakai dua buah kendang, satu buah kempur, kajar, kelenang,
suling. Kendang merupakan sebuah instrumen yang amat penting untuk menentukan
dinamika pada lagu. Barungan gamelan semar pagulingan saih pitu terdiri dari: satu
tungguh trompong memakai, empat belaspencon,empat tungguh gangsa pemade,
tujuh bilah,empat tungguh gangsa kantil, tujuh bilah,sebuah curing; dua tungguh
penyahcah, tujuh bilah; dua tungguh jublag, tujuh bilah; dua tungguh jegogan, tujuh
bilah; sebuah rebab; dua buah suling ukuran besar, dan kecil; sepasang kendang
kekrumpungan lanang dan wadon; sebuah kajar; sebuah klenong (klentong); sebuah
genta, orag; satu pangkonceng-ceng kece. Gamelan semar pagulingan pernah
mengiringi beberapa drama gong. Menurut Wayan Puja, drama gong yang dipimpinnya
beberapa kali diiringi semar pagulingan.
Hal itu tidak menimbulkan masalah karena seni pertunjukan drama gong termasuk
luwes dan bisa menyesuaikan dengan berbagai musik tradisional. Gambar 6.3
seperangkat Gamelan Semar Pagulingan (foto: https:// adhiwiguna.
files.wordpress.com). BAB III DINAMIKA DRAMA GONG DALAM FUNGSINYA Para
peneliti dan ahli menengarai bahwa fungsi seni pertunjukan setidak¬tidaknya sudah
mulai dilekatkan di dalam keberadaannya pada waktu masyarakat mengenal peradaban
bercocok tanam, yaitu ketika masyarakat sudah tidak lagi berpindah-pindah tempat
untuk menemukan dan mengumpulkan makanan yang disediakan oleh alam. Waktu
luang di sela-sela dan di antara bercocok tanam merupakan saat yang tepat untuk
berkesenian.
Di samping itu, kebutuhan dan harapan akan keselamatan dan kesejahteraan di dalam
kehidupan membutuhkan kehadiran seni pertunjukan sebagai sarananya. Secara umum,
pengertian seni adalah segala sesuatu yang diciptakan manusia yang mengandung
unsur keindahan dan mampu membangkitkan perasaan orang lain. Istilah seni berasal
dari kata Sanskerta, yaitu dari kata sani yang diartikan pemujaan, persembahan, dan
pelayanan yang erat dengan upacara keagamaan yang disebut kesenian. Menurut
Padmapusphita, seni berasal dari bahasa Belanda genie dalam bahasa Latin disebut
dengan genius yang berarti kemampuan luar biasa dibawa sejak lahir.
Menurut ilmu Eropa, seni berasal dari kata art yang berarti artivisual, yaitu suatu media
yang melakukan kegiatan tertentu. Fungsi seni dikelompokkan menjadi dua, yaitu fungsi
individu dan fungsi sosial,yaitu sebagai berikut. 1. Fungsi individu, yaitu merupakan
suatu fungsi seni yang bermanfaat untuk kebutuhan pribadi individu itu sendiri.
Terdapat dua macam fungsi seni untuk individu, yaitu sebagai berikut.Pertama, fungsi
pemenuhan kebutuhan fisik. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk homofaber yang
memiliki kecakapan untuk apresiasi pada keindahan dan pemakaian benda-benda. Seni
terapan memang mengacu kepada pemuasan kebutuhan fisik sehingga segi
kenyamanan menjadi suatu hal penting.Kedua, fungsi pemenuhan kebutuhan
emosional.
Seseorang mempunyai sifat yang beragam dengan manusia lain. Pengalaman hidup
seorang sangat memengaruhi sisi emosional atau perasaannya. Sebagai contoh
perasaan sedih, lelah, letih, gembira, iba, kasihan, benci, cinta, dll. Manusia dapat
merasakan semua itu karena didalam dirinya terkandung dorongan emosional yang
merupakan situasi kejiwaan pada setiap manusia normal.
Untuk memenuhi kebutuhan emosional manusia memerlukan dorongan dari luar dirinya
yang sifatnya menyenangkan, memuaskan kebutuhan batinnya. Sebagai contoh karena
kegiatan dan aktivitas sehari-harinya membuat mengalami kelelahan sehingga
memerlukan rekreasi, seperti menonton film di bioskop, hiburan teater, dan musik.
Seseorang yang memiliki estetikanya lebih banyak maka ia memiliki kepuasan yang
lebih banyak pula.
Di pihak lain seniman adalah seseorang yang mampu mengapresiasikan pengalaman
dan perasaannya dalam sebuah karya seni yang diciptakannya. Hal ini juga diyakini
olehnya sebagai sarana memuaskan kebutuhan emosional dirinya. 2. Fungsi sosial, yaitu
suatu fungsi seni yang bermanfaat sebagai pemenuhan kebutuhan sosial seorang
individu.
Terdapat beberapa macam fungsi seni sebagai fungsi sosial, antara lain sebagai
berikut.Pertama, fungsi religi/keagamaan, yaitu karya seni sebagai pesan religi atau
keagamaan. Seni digunakan untuk sebuah upacara pernikahan, kelahiran, kematian, dan
lain-lain.Kedua,fungsi pendidikan. Seni sebagai media pendidikan dapat dilihat dalam
seni pertunjukan.Ketiga,fungsi komunikasi.
Seni sebagai media komunikasi misalnya dalam kritik sosial, kebijakan, gagasan untuk
memperkenalkan kepada masyarakat. Contohnya pagelaran wayang kulit, wayang
orang, dan seni teater ataupun poster, drama komedi, dan reklame. Keempat, fungsi
rekreasi/hiburan. Fungsi utama seni adalah hiburan atau rekreasi untuk melepas
kejenuhan atau mengurangi kesedihan yang khusus untuk pertunjukan berekpresi atau
hiburan.
Kelima,fungsi artistik. Seni yang berfungsi sebagai media ekspresi seniman dengan
menyajikan karyanya tidak untuk hal yang komersial, seperti musik kontemporer, tari
kontemporer, dan seni rupa kontemporer. (Seni pertunjukan yang tidak bisa dinikmati
pendengar/pengunjung, hanya bisa dinikmati oleh para seniman dan
komunitasnya).Keenam,fungsi guna.
Karya seni yang dibuat tanpa memperhitungkan kegunaannya, kecuali sebagai media
ekspresi (karya seni murni) ataupun dalam proses penciptaan mempertimbangkan aspek
kegunaannya, seperti perlengkapan/peralatan rumah tangga yang berasal dari gerabah
ataupun rotan.Ketujuh, fungsi kesehatan. Seni sebagai fungsi kesehatan, seperti
pengobatan penderita gangguan fisik ataupun medis distimulasi melalui terapi musik
(disesuaikan dengan latar belakang pasien).
Terbukti musik telah mampu untuk menyembuhkan penyandang autisme, gangguan
psikologis trauma suatu kejadian. Siegel menyatakan bahwa musik klasik menghasilkan
gelombang alfa yang dapat menenangkan dengan merangsang sistem limbic jaringan
neuron otak dan gamelan menurut Gregorian dapat mempertajam pikiran.
Senada dengan pendapat tadi, fungsi tari Bali secara umum dapat dibedakan menjadi
tiga golongan yaitu seni tari wali, seni tari bebali dan seni tari balih-balihan. Pembagian
itu merupakan rumusan Seminar Seni Sakral dan Profan bidang seni tari yang diadakan
oleh Proyek Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Bali pada 24 Mei
1971 di Denpasar.
Seni tari wali adalah segala jenis seni tari yang dilakukan di pura dan di tempat-tempat
lain yang ada hubungannya dengan upacara agama (agama Hindu). Tari-tarian Bali yang
dapat digolongkan kedalam tari wali, antara lain tari rejang, tari pendet, tari sanghyang,
tari baris upacara, topeng sidhakarya, wayang lemah. Seni tari bebali, adalah
sekelompok tari Bali yang berfungsi sebagai pengiring upacara dan upakara agama baik
yang dilakukan di pura-pura maupun di luar pura.
Jenis tari Bali yang dapat digolongkan kedalam tari bebali, antara lain: wayang wong,
topeng, drama tari dan lainnya. Tari balih-balihan adalah segala jenis tari Bali yang
mempunyai unsur-unsur dan dasar dari seni tari yang luhur yang tidak tergolong
kedalam tari wali dan tari bebali. Kelompok tari Bali ini dapat disajikan sewaktu-waktu,
baik sehubungan dengan suatu upacara agama maupun terlepas sama sekali.
Jenis tarian yang tergolong dalam taribalih-balihan, antara lain dramatari calonarang,
prembon, arja, tari joged. janger, dan drama gong. Sebagai fungsi balih-balihan,
pertunjukan drama gong bersifat sekuler. Sesuai dengan dinamika perjalanannya, seni
pertunjukan drama gong dibagi menjadi beberapa fungsi, yakni sebagai hiburan, media
pendidikan, media sosialisasi program.Di samping itu, karena digemari, sering pula
dipakai sebagai media penggalian dana.
Fungsi Hiburan Sesuai dengan fungsinya sebagai seni hiburan, sebuah pertunjukan
drama gong membuat ekspresi yang mengandung hiburan. Pada saat pertunjukan ini
drama gong tanpa dikaitkan dengan sebuah upacara. Masyarakat Bali yang pada
umumnya mempunyai tatanan kehidupan yang sudah tersusun rapi semakin menyadari
perlunya drama gong sebagai media hiburan.
Gairah kegiatan seni drama gong sebagai ekspresi dapat disaksikan dalam kehidupan
masyarakat yang terjalin dalam struktur sosial serta meninggalkan karya seni yang
monumental. Seni drama gong sebagai manifestasi aktivitas yang hadir dalam
masyarakat tampil dengan berbagai ekspresi visual dan suara yang menonjol. Drama
gong yang berfungsi menghibur memberikan kepuasan kepada penontonnya. Oleh
karena itu, penampilan drama gong mementingkan lelucon yang dominan.
Menurut Gusti Ngurah Darma, praginadrama gong dari Tengkulak, Gianyar, drama gong
dalam fungsinya menghibur, tidak saja dapat memberikan kesenangan kepada
penonton tetapi juga demi pemain sendiri. Sebagaimana diucapkan Darma,”amerih
sukaning awak, angawe sukaning wang len” yang artinya, mencari kesenangan untuk diri
sendiri dan membuat orang lain senang.
Apa yang dikatakan Darma, senada dengan pendapat Merriam (1964) ketika ia
mengemukakan fungsi kesenian musik. Menurut Merriam, fungsi musik ada sepuluh
macam yakni (1) sebagai pengungkapan emosional (the function of emotional),(2)
fungsi tentang kenikmatan estetis (the function of aesthetic enjoyment),(3) Fungsi
hiburan (the function of entertainment),(4) fungsi komunikasi (the fungtion
communicatioan),(5) fungsi presentasi simbolis (the function of symbolis
representation),(6) frespon fisik (the function of physical response),(7) fungsi
menguatkan konformitas terhadap norma-norma sosial (the function of enforcing
conformity to social norm),(8) fungsi validasi tentang institusi-institusi sosial dan
ritual-ritual keagamaan (the function of validation of social institutions and religious
vital),(9) fungsi tentang kontribusi terhadap kontinyuitas dan stabilitas budaya (the
function of contribution to the continuity and stability of culture),dan (10) fungsi
kontribusi terhadap integrasi masyarakat (the fungtion of contribution of contribution to
the integration of society).
Senada dengan pendapat itu, Soedarsono dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia di
Era Globalisasi mengatakan bahwa fungsi seni ada tiga yakni (1) seni pertunjukan yang
berfungsi sebagai sarana ritual,(2) seni pertunjukan yang berfungsi sebagai hiburan
pribadi,(3) seni pertunjukan yang berfungsi sebagai presentasi estetis. Seni pertunjukan
drama gong, sebagai tontonan atau hiburan tidak banyak membutuhkan persyaratan
karena tidak terikat pada misi tertentu.
Menurut Wayan Suarta (wawancara 7 Januari 2016), seni pertunjukan drama gong harus
mampu memberikan kesenangan pada seseorang atau kelompok orang yang berada di
sekitar pertunjukan. Sebagai media tontonan, seni pertunjukan drama gong harus dapat
menghibur penonton. Pertunjukan itu bertujuan untuk memberikan pengalaman estetis
kepada penonton.
Seni pertunjukan disajikan agar dapat memperoleh tanggapan apresiasi sebagai suatu
hasil seni yang dapat memberi kepuasan pada mata dan hati penontonnya. Contoh
adegan yang dapat memberikan hiburan dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Dua
parekan buduh sedang menari barong-barongan menggunakan tikar (foto: Dok. I
Wayan Sugita) Putri buduh/Liku mengejar putra manis (foto: Dok.
I Wayan Sugita) Sebagai Media Pendidikan Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali
tidak pernah lepas dari sebuah seni. Seni merupakan suatu proses penggambaran
ekspresi diri manusia sehingga bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreativitas
manusia. Dalam mengungkapkan ekspresi jiwa, seorang individu memiliki cara yang
berbeda-beda untuk menggambarkannya.
Oleh karena itu, seni sangat sulit dijelaskan dan sangat sulit untuk dinilai bahwa
tiap-tiap individu memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntun dalam
mengekpresikan diri. Hal itu membuat sebuah seni dirasakan menarik untuk dipelajari
karena dengan mempelajari seni dapat dilihat berbagai macam cara penggambaran
ungkapan ekspresi individu.
Demikian pula seni memiliki fungsi sebagai media pendidikan. Di dalam dunia
pendidikan, terutama pendidikan informal, seni mempunyai peran yang sangat penting.
Seni yang digunakan sebagai alat pendidikan dalam pendidikan seni tidak semata-mata
bertujuan untuk mendidik anak menjadi seniman,tetapi juga membina anak-anak untuk
menjadi kreatif. Seni merupakan aktivitas permainan. Melalui permainan itu dapat
mendidik anak dan membina kreativitasnya sedini mungkin.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seni dapat digunakan sebagai alat
pendidikan. Anak dapat berimajinasi sesuai dengan apa yang dikehendaki untuk
memunculkan apa yang ada dalam pikirannya melalui pendidikan seni. Upaya itulah
yang dilakukan ketika Pemerintah Daerah Bali menyelenggarakan festival drama gong
anak-anak. Festival itu diikuti oleh semua kabupaten se-Bali.
Penampilan seni pertunjukan drama gong pada kesempatan demikian menjadi media
pendidikan. Dalam proses pelatihan dan pertunjukan mereka mendapat pendidikian
moral. Hal itu senada dengan pendapat yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara sekitar
setengah abad lalu bahwa nilai-nilai moral dapat diajarkan melalui seni pertunjukan.
Sandiwara atau yang kini dikenal dengan drama disebutkan sebagai salah satu di
antaranya.
Tokoh pendidikan itu menyebutkan bahwa sandiwara yang berasal dari kata “sandi”
yang berarti tertutup atau rahasia dan “wara” yang berarti pelajaran memiliki peran
penting dalam pendidikan yang berhubungan dengan moral (Kusmayati, 2006). Seni
pertunjukan drama gong juga mengingatkan nilai-nilai moral bagi masyarakat. Ke dalam
tema pertunjukan tidak sedikit disisipkan cerita, baik berupa mitos, legenda, maupun
babad.
Kearifan yang selayaknya diteladani atau sebaliknya tabu yang harus dihindari oleh
masyarakat berulang-ulang ditampilkan melalui seni pertunjukan, terutama yang
berpola dan berakar tradisi. Seni pertunjukan menjadi kepanjangan norma dan nilai
yang diharapkan oleh masyarakat. Ia juga mampu menjaga kebersamaan dalam
bermasyarakat apabila ditempatkan sebagai savety valve atau katup pengaman
ketegangan dan peredam dorongan-dorongan agresif ketika seseorang berada dalam
konflik. Wiracarita Ramayana dan atau Mahabharata juga dijadikan lakon drama gong.
Kedua epos itu rermasuk itihasa, bagian dai kitab suci agama Hindu. Oleh karena itu,
kedua epos itu terasa sangat dekat dengan masyarakat Bali yang menganut agama
Hindu. Kedua epos itu mengandung nilai-nilai pendidikan yang perlu direnungkan dan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Suarta, nilai-nilai pendidikan yang sering diungkapkan dalam pertunjukan
drama gong, yakni konsep kepemimpinan astabrata. Konsep kepemimpinan itu dalam
drama gong diungkapkan ketika hendak menobatkan seorang pangeran duduk di
singasana kerajaan. Istilah asta brata terdiri atas kata “asta” yang delapan dan “brata”
yang berarti pegangan atau pedoman. Ajaran asta brata ini terdapat dalam Kakawin
Ramayana.
Konsep kepemimpinan ini diturunkan oleh Prabu Rama kepada Wibhisana dalam rangka
untuk melanjutkan proses pemerintahan kerajaan Alengka setelah Rahwana gugur.
Dalam sloka pendahuluannya disebutkan sifat Sang Hyang Wihi Wasa yang menjadikan
kekuatan bagi umatnya dan menggambarkan kemampuan yang harus dimiliki oleh
segenap pemimpin. Dalam slokanya yang kedua disebutkan seperti berikut.
Hyang Indra Yama Surya Candranila Kuwera Banyunagi nahan walu ta sira maka angga
Sang bupati matangyang inisti asta brata Artinya: Dewa Indra, Yama, Surya, Chandra,
Anila/Bayu, Kuwera, Baruna dan Agni itulah delapan dewa yang merupakan badan sang
pemimpin, kedelapan itulah yang merupakan asta brata Berdasarkan bunyi bait tersebut
diketahui bahwa ada delapan karakter dewata yang perlu diteladani. Dewata, itu yakni
Dewa Indra, Yama, Surya, Chandra, Anila/Bayu, Kuwera, Baruna dan Agni.
Tiap-tiap karkater dewata tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Indra Brata,
yakni laku Dewa Indra yang selalu memberikan hujan dan air yang memungkinkan
tumbuh dan hidupnya tumbuh-tumbuhan serta makhluk di dunia ini. Dengan
demikian,pemimpin itu selalu memikirkan nasib anak buahnya, selalu bekerja untuk
mencapai kemakmuran masyarakat secara menyeluruh.
Pemimpin dituntut untuk bisa memupuk human relation (hubungan kemanusiaan) guna
menegakkan human right (kebenaran dan keadilan). 2. Yama Brata, yakni laku Dewa
Yama sebagai dewa keadilan dengan menghukum segala perbuatan jahat. Dalam
kepemimpinan initerkandung bahwa seorang pemimpin harus berlaku adil dengan
menghukum segala perbuatan yang jahat, dengan menjatuhi hukuman yang sesuai
dengan besarnya kesalahan, dan menghargai perbuatan yang baik. Apabila pemimpin
tidak bersikap adil, akan timbul krisis kewibawaaan dan anarki dalam menjalankan tugas.
Sesuai dengan hukum karma phala maka hukuman tersebut harus bersifat edukatif,yaitu
hukuman bertujuan untuk memperbaiki kesalahan sehingga bawahan lebih berhati-hati
dalam menjalankan tugas kewajibannya. 3. Surya Brata, yakni laku Dewa Surya yang
membeikan ajaran bahwa seorang pemimpin dalam tugasnya harus dapat memberikan
penerangan kepada anak buahnya atau bawahannya serta memberikan kekuatan
kepadanya. Bawahan harus diberikan kesadaran akan tanggung jawabnya dan
benar-benar menginsafi tugas yang dipikulnya.
Kalau diperhatikan keadaan sehari-hari, ternyata bahwa matahari memancarkan sinarnya
ke segala pelosok dunia dan menerangi seluruh alam semesta ini tanpa pandang
tempat, rendah, dan tinggi. Dengan demikian, pemimpin hendaknya tidak jemu-jemu
mengadakan hubungan dengan bawahannya sehingga mengetahui benar tentang
keadaan anak buahnya atau bawahannya.
4. Candra Brata, yakni laku Dewa atau Dewi Candra yang mengharapkanseorang
pemimpin memberikan penerangan yang sejuk dan nyaman. Seseorang akan menjadi
senang dan taat apabila kebutuhannya dapat dipenuhi, baik bersifat material maupun
bersifat spiritual. Setiap orang pada hakikatnya mempunyai keinginan untuk
dihargai.Sebaliknya, tidak senang kalau dihina, lebih-lebih hal itu dilakukan di depan
khalayak ramai.
Untuk menjaga kehormatan diri anak buah, sebaliknya peneguran dilakukan di tempat
sendiri. 5. Bayu Brata, yakni laku Dewa Bayu. Pemimpin harus dapat mengetahui segala
hal ihwal dan pikiran anak buahnyasehingga dapat mengerti lebih dalam, terutama
dalam kesukaran hidupnya dan dalam menjalankan tugasnya, tetapi tidak perlu
diketahui oleh anak buah. Dalam manajemen, hal ini dinamakan employee concelling. 6.
Kuwera Brata, yakni laku Dewa Kuwera.
Pemimpin harus dapat memberikan contoh yang baik kepada anak buahnya, seperti
berpakaian yang rapisebab pakaian itu besar sekali pengaruhnya terhadap seorang
bawahan. Hal lain yang terkandung adalah sebelum seorang pemimpin mengatur orang
lain, pemimpin harus bisa mengatur dirinya sendiri. 7. Baruna Brata, laku Dewa Baruna,
yakni seorang pemimpin hendaknya mempunyai pandangan yang luas dan bijaksana
didalam menyikapi semua permasalahan yang ada.
Pemimpin mau mendengarkan suara hati atau pendapat anak buah dan bisa
menyimpulkan secara baik sehingga bawahan merasa puas, taat,dan mudah digerakkan
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. 8. Agni Brata, yakni laku Dewa Agni. Seorang
pemimpin harus mempunyai semangat yang berkobar-kobar laksana agni dan dapat
pula mengobarkan semangat anak buah yang diarahkan untuk menyelesaikan segala
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang pemimpin juga harus bisa
menghanguskan musuh-musuhnya.
Ajaran kepemimpinan asta brata itu, baik secara implisit maupun eksplisit seringkali
disampaikan oleh praginadrama gong. Selain pesan-pesan dalam bentuk bahasa,
kepemimpinan astra brata juga tercermin dalam tingkah laku raja dalam pertunjukan
drama gong. Dalam beberapa lakon drama gong, seorang raja sering memberikan
wejangan tentang kepemimpinan Hindu kepada putranya yang akan dinobatkan
sebagai raja.
Selain raja, seorang ayah juga sering menyampaikan tuntunan itu kepada anaknya. Salah
satu adegan yang menggambarkan seorang ayah memberikan wejangan tentang
kepemimpinan kepada putranya dapat dilihat pada gambar berikut ini. Seorang ayah
memberikan nasihat kepada putranya tentang kepemimpinan Hindu (Foto: Dok.
I Wayan Sugita) Sebagai Media Sosialisasi Program Kesenian drama gong merupakan
salah satu media tadisional. Media ini juga sering dipercaya ampuh untuk
menyosialisasikan programatau mempromosikan sesuatu. Dengan demikian, dalam
beberapa hal, prinsip-prinsip yang dimiliki oleh sekaadrama gong tidak jauh berbeda
dengan sebuah perusahaan bisnis.
Di satu sisi, ia bisa mempromosikan dirinya sendiri dan di pihak lain, ia mempromosikan
produk orang lain. Dalam dunia perdagangan, kegiatan promosi merupakan sebuah
kegiatan yang sangat penting.Artinya, di mana ada bisnis di situ selalu ada promosi.
Promosi adalah berbagai strategi yang dilakukan untuk menginformasikan dan
memengaruhi target konsumen untuk akhirnya membeli produk yang dipasarkan.
Promosi penting dilakukan agar calon konsumen tertarik untuk melakukan pembelian
produk barang atau jasa yang ditawarkan. Tujuan promosi, antara lain seperti
berikut.Pertama, menciptakan brand awareness,yakni membuat produk dikenal oleh
konsumen. Supaya sebuah produk bisa terjual banyak, maka perlu diperkenalkan
kepada konsumen. Prinsip ini merupakan alasan paling dasar dari sebuah strategi
promosi yang dilakukan.
Strategi promosi dengan tujuan ini sangat penting dilakukan untuk produk yang baru
saja diluncurkan atau belum banyak dikenali. Kedua, promosi bertujuan untuk
meciptakan dan meningkatkan loyalitas konsumen. Loyalitas konsumen menjadi sangat
penting agar konsumen tidak beralih ke pesaing. Pebisnis bisa melakukan berbagai
langkah untuk membangun loyalitas konsumen, seperti diadakannya program promosi
berhadiah, point reward, harga khusus saat momen tertentu, paket bonus produk, dan
sebagainya. Ketiga, promosi penting untuk membangun merek.Ketika konsumen sudah
mengenal produk (brand awareness tinggi) langkah kemudian adalah menciptakan
kesan merek positif (brand image). Merek tidak cukup hanya terkenal.
Merek tersebut harus dibangun menjadi merek yang memiliki citra yang kuat dan
memiliki nilai positif. Langkah penting untuk membangun merek yang memiliki citra
positif adalah fokus pada kualitas dan layanan yang baik. Keempat, sarana untuk edukasi
ke konsumen. Promosi berperan untuk menyampaikan suatu pesan kepada konsumen.
Promosi juga bisa menjadi sarana edukasi konsumen tentang manfaat sebuah produk.
Sebagai produk yang relatif baru atau belum terkenal, si pemilik produk wajib untuk
mengedukasi konsumen tentang kegunaan produk, cara pakai produk, dan berbagai hal
yang berhubungan dengan produk. Hal ini menjadi alasan penting mengapa promosi
wajib dilakukan (Nabilla,2014). Berdasarkan prinsip-prinsip itu, maka sebuah
pementasan drama gong juga mengandung unsur promosi.
Selain bermaksud mempromosikan dirinya sendiri, pertunjukan dama gong juga dapat
mempromisikan produk pihak lain. Dalam hal ini, minimal menyosialisasikan
program-program pemerintah, seperti masalah kependudukan, lingkungan hidup, dan
program lainnya. Hal itu diakui oleh Ni Wayan Sriyani (wawancara, 8 Januari 2016).
Pragina drama gong dari Payangan, Gianyar ini seringkali menyampaikan program
keluarga berencana secara terselubung dalam pementasannya. Program itu memang
tidak diperinci secara lengkap dalam pertunjukan karena berbagai sebab. Namun para
penonton yang diberikan pesan dapat memahaminya. Pengetian KB ini secara lengkap
adalah suatu program pemerintah yang dirancang untuk menyeimbangkan antara
kebutuhan dan jumlah penduduk.
Program keluarga berencana dilakukan agar keluarga sebagai unit terkecil kehidupan
bangsa diharapkan menerima “Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera” yang
disingkat NKKBS yang berorientasi pada pertumbuhan yang seimbang. Gerakan KB
Nasional telah berumur sangat lama, yaitu pada tahun 70-an dan masyarakat dunia
menganggap berhasil menurunkan angka kelahiran yang bermakna.Perencanaan jumlah
keluarga dilakukan dengan pembatasan yang bisa dilakukan dengan penggunaan
alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran, seperti kondom, spiral, IUD, dan
sebagainya. Adapun beberapa jenis alat kontrasepsi adalah sebagai berikut.
Pertama,pil (biasa dan menyusui) yang mempunyai manfaat tidak mengganggu
hubungan seksual dan mudah dihentikan setiap saat. Demikian pula terhadap
kesehatan, risikonya sangat kecil.Kedua suntikan (satu bulan dan tiga bulan) sangat
efektif (0,1-0,4 kehamilan per 100 perempuan) selama tahun pertama penggunaan.
Alat kontrasepsi suntikan juga mempunyai keuntungan seperti klien tidak perlu
menyimpan obat suntik dan jangka pemakaiannya bisa dalam jangka panjang.Ketiga,
implan (susuk) yang merupakan alat kontrasepsi yang digunakan di lengan atas bawah
kulit dan sering digunakan pada tangan kiri. Keuntungannya daya guna tinggi, tidak
mengganggu produksi ASI dan pengembalian tingkat kesuburan yang cepat setelah
pencabutan.Keempat, AKDR (Alat Kontrasepsi dalam rahim) merupakan alat kontrasepsi
yang digunakan dalam rahim.
Efek sampingnya sangat kecil dan mempuyai keuntungan efektivitas dengan proteksi
jangka panjang lima tahun dan kesuburan segera kembali setelah AKDR
diangkat.Kelima, kondom merupakan selubung/sarung karet yang dapat terbuat dari
berbagai bahan, diantaranya lateks (karet), plastik (vinil), atau bahan alami (produksi
hewani) yang dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Manfaat kondom sangat
efektif bila digunakan dengan benar dan murah atau dapat dibeli secara umum.Keenam,
tubektomi adalah prosedur bedah mini untuk memotong, mengikat, atau memasang
cincin pada saluran tuba fallopi untuk menghentikan fertilisasi (kesuburan) seorang
perempuan. Manfaatnya sangat efektif, baik bagi klien apabila kehamilan akan terjadi
risiko kesehatan yang serius dan tidak ada efek samping dalam jangka panjang.
Tujuan KB adalah meningkatkan kesejahteraan ibu, anak dalam rangka mewujudkan
NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) yang menjadi dasar terwujudnya
masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin
terkendalinya pertambahan penduduk. Di pihak lain tujuan khusus, yakni (1)
meningkatkan jumlah penduduk untuk menggunakan alat kontrasepsi, (2) menurunnya
jumlah angka kelahiran bayi,dan (3) meningkatnya kesehatan keluarga berencana
dengan cara penjarangan kelahiran.
Program KB tersebut sering pula disosialisasikan oleh sekaadrama gong yang dimainkan
oleh Anak Agung Pareso dari Banjar Cebang, Serongga, Gianyar. Namun, program KB itu
disampaikan dengan cara dikemas dengan lelucon atau degalan. Misalnya, tokoh
parekan ketika memberikan hormat kepada junjungannya, ia mengatakan dengan suara
lantang “Pasang kabe...”
padahal sesungguhnya, ucapan penghormatan ini semestinya diucapkan, “Pasang
tabe...” yang artinya kurang lebih “mohon maaf...permisi....semoga tidak kena kutukan.”
Bentuk penghormatan itu diucapkan sebelum menyampaikan sesuatu. Dengan
mengucapkan “pasang kabe...” maka penonton menjadi tertawa sebab asosiasi
penonton, KB identik dengan kondom, atau alat kotrasepsi IUD spiral yang dipasang
pada vagina perempuan.
Dengan mengucapkan “pasang kabe” maka penonton seakan diingatkan pada program
KB. Hal itu diakui, Ni Nyoman Luwes, seorang penggemar drama gong dari Banjar
Kawan, Tampaksiring, Gianyar. Ia mengatakan sebagai berikut. “Ucapan pasang kabe...itu
disampaikan dengan lucu oleh gerak pemain drama. Saya jadi tertawa. Sebab, ia kan
maunya mengucapkan pasang tabe. Tapi kok bisa keseleo mengucapkan pasang kabe.
Ini kan lucu. Tapi memang itu disengaja. Jadi, selain lucu, juga mengingatkan saya
bahwa saya sudah melakukan program keluarga berencana.” Upaya menyampaikan
sesuatu yang serius dalam sebuah pertunjukan seni sering dilakukan dengan
menggunakan lelucon. Hal itu sering dilakukan para seniman pertunjukan seni
tradisional Bali karena fungsi seni, antara lain memberikan tuntunan dan tontonan.
Sebagai Media Penggalian Dana Pada mulanya seni drama gong sering ditampilkan
oleh masyarakat Bali dalam upacara keagamaan yang bersifat sosial. Meskipun
demikian, sebagai kesenian sekuler, drama gong sering dipertunjukkan sebagai media
penggalian dana. Bahkan, menurut Wayan Darma, seorang pelaku drama gong dari
Blahpane, Tulikup, Gianyar,drama gong merupakan salah satu seni pertunjukan yang
seringkali menerapkan “karcis”.
Kesenian yang mengalami masa kejayaan pada tahun 1970-an yang berarti sebagian
besar masyarakat lebih menyukai drama gong daripada kesenian tradisional Bali lainnya
pada saat itu seperti kesenian arja dan topeng(wawancara 8 Februari 2016). Dalam
perkembangandrama gong sampai tahun 1980 kehidupan kesenian ini masih menjadi
tontonan favorit masyarakat Bali.
Masyarakat Bali, dari semua lapisan usia, termasuk anak-anak menggemari seni
pertunjukan ini. Kesuksesan drama gong ini sangat ditentukan oleh
pemeran-pemerannya. Masyarakat Bali selalu memperhitungkan keberadaan pemain
saat mereka berniat menonton pertunjukan drama gong. Orang-orang seperti Dewa
Ayu Rai, I Wayan Lodra, Petruk, Dolar, Komang Apelmenjadi lambang kesuksesan
pertunjukan drama gong pada tahun 1980-an.
Oleh karena itu, tidak sedikit warga masyarakat, terutama dari golongan tua, lebih
mengenal nama Lodra daripada nama organisasinya sehingga mereka menyebut Drama
Lodra. Penyebutan seperti ini tidak berbeda dengan penyebutan arja ketika dramatari
itu sedang jaya-jayanya pada tahun 1960-an. Ketika itu Arja Bon Bali, oleh sebagian
warga disebut Arja Ribu. Hal itu disebabkan oleh Ribu sebagai pemeran Mantri Buduh
terkenal dan dinanti-nantikan penonton.
Kehadiran TVRI Stasiun Denpasar juga merupakan bukti tentang melejitnya “taksu”
drama gong. Secara berkala setiap hari Minggu malam, TVRI Denpasar menyiarkan
pertunjukan drama gong keseluruh Bali. Grup drama gong yang memasuki studio
rekaman melakukan persiapan yang lebih matang, baik dari segi teknis maupun materi
siaran.
Cerita, penggarapan, akting, vokal, dan lain-lain menjadi sangat diperhitungkan baik,
oleh pendukung drama maupun pihak televisi. Tentu saja mereka memperhitungkan hal
itu karena akan berbeda dibandingkan dengan pentas di luar studio. Siaran drama gong
tersebut mendapat sambutan hangat dari pemirsa, apalagi ketika TVRI milik pemerintah
itu masih memonopoli siaran karena stasiun televisi swasta belum muncul. Dengan
demikian, pemirsa tidak memiliki pilihan lain atau memindahkanchannel ke stasiun
televisi lainnya.
Pada saat jayanya drama gong di televisi pernah ada sebuah rumor yang mengatakan
bahwa satu-satunya acara TVRI Bali yang bisa mengalahkan film “Mission Imposible”
adalah tayangan drama gong (Sari,2011). Pengalaman pemeran Dolar menjadi bukti
yang tidak terbantahkan bagaimana drama gong benar-benar menjadi idola
masyarakat. Hampir setiap malam ia melakukan pertunjukan. Bahkan, menurut
catatannya, dalam sebulan lebih tiga puluh kali ia menerima pesanan.
Namun, karena tidak dapat memenuhi pesanan itu, ia terpaksa melakukan penolakan.
Karena pesanan sangat padat, ia menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk istirahat.
Supaya dapat istirahat yang cukup, ia sering istarahat di mobil angkutan truk ketika
berangkat ke tempat tujuan pentas atau sepulang dari main drama. Bahkan, ia sering
pula harus istirahat di tempat berhias sebelum mendapat giliran main di pangggung.
Pengalaman Dolar itu membuktikan bahwa drama gong pada masa jayanya memang
benar-benar menjadi perrtunjukan favorit masyarakat Bali. Selain di desa-desa, ketika
masih digemari masyarakat drama gong selalu ditunggu-tunggu saat melakukan
pertunjukan di Pesta Kesenian Bali, yang berlokasi di Taman Budaya Denpasar.
Karenasangat digemari masyarakat, seni pertunjukan ini dilangsungkan di Panggung
Terbuka Ardha Chandra.
Di panggung terbuka terbesar di Taman Budaya yang menampung 10.000 penonton
tersebut dijejali penonton, sampai-sampai penonton yang datang belakangan tidak
mendapatkan tempat duduk. Pertunjukan yang baru dimulai pukul 20.00 WITA itu sudah
dipenuhi pada pukul 19.00 WITA. Mereka yang datang “terlambat” mau tidak mau harus
rela duduk di lorong-lorong.
Banyak pula penonton yang berada di deretan paling belakang harus berdiri dalam
keadaan berdesak-desakan. Tidak sedikit pula yang memanjat pohon yang berada di
belakang panggung, untuk menyaksikan drama gong ini. Sementara ketika itu belum
disediakan layar lebar yang bisa dipasang di luar panggung.
Menurut Ketut Sudira (wawancara 4 Maret 2016) salah seorang penonton yang berada
di luar panggung, panggung ArdaChandra benar-benar penuh sesak sehingga ia tidak
bisamasuk untuk menonton drama. Bahkan, ia mengaku melihat Gubernur Bali, waktu
itu, Prof.Dr. Ida Bagus Mantra bersama beberapa ajudannya terpaksa membatalkan
menonton pertunjukan tersebut.
Mungkin karena sebelumnya tidak dijadwalkan secara resmi, maka panitia tidak
menyedikan tempat khusus untukgubernur dan atau pejabat lainnya. Sementara panitia
tidak mampu “mengusir” penonton yang sudah menguasai semua ruang panggung.
Apalagi gang yang berada di panggung tersebut sudah penuh sesak sehingga sangat
sulit menuju tempat terdepan.
Fenomena itu membuktikan bahwa drama gong memang sangat ampuh untuk
dijadikan media sebagai penggali dana. Banjar dan atau desa menggali dana untuk
kepentingan pembangunan fisik, seperti pura, bale banjar dan sebagainya. Meskipun
untuk penyelenggaraan ini diperlukan dana yang cukup besar, banyak desa
memerlukannya karena di atas kertas yakin mendapatkan keuntungan yang cukup besar
pula.
Salah satu contoh, sebagaimana dicatat Yuliadi (2005:43) Drama Gong Sancaya Dwipa
melakukan pertunjukan di jaba Pura Dadia Dalem Kubakal, Banjar Segah, Rendang,
Karangasem pada Rabu, 25 Oktober 2000. Meskipun pertunjukan itu dimulai pada pukul
21.30 WITA masyarakat Bakul jauh-jauh sebelumnya telah memenuhi tempat
pertunjukan. Dengan harga karcis Rp1.000,-kursi yang disediakan 200-an buah penuh
terisi.
Penonton yang tidak kebagian kursi, berdiri di pinggir arena atau memanjat tembok
pembatas pura. Peristiwa serupa juga berlangsung di Pura Samuan Tiga, Bedulu,
Gianyar.Menurut Dewa Swastika (wawancara 3 Februari 2016) pemilik Sanggar Kayon,
Pejeng, Gianyar, ketika drama gong mengalami masa kejayaannya, seni pertunjukan itu
sering dipertunjukkan saat melangsungkan upacara di Pura Samuan Tiga.
Karena upacara berlangsung beberapa hari, maka masyarakat juga meminta agar
pertunjukan drama juga dipergelarkan beberapa kali. Panitia upacara pun memenuhi
permintaan masyarakat setempat sehingga di wantilan pura, drama gong itu
dipentaskan setiap hari selama upacara odalan berlansung. Menurut Swastika, pernah
ada drama gong yang dipentaskan setiap hari sehingga lakonnya pun dibuat berseri.
Penonton selalu memenuhi tempat pertunjukan meskipun mereka diharuskan membeli
karcis.
BAB IV PENUTUP Bentuk dinamika seni pertunjukan drama gong di Kabupaten Gianyar
secara garis besar dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yakni terdiri dari dinamika
dalam bentuk tema yang meliputi (1) sesuai permintaan pasar,(2) sesuai keperluan
upacara,(3) sesuai keadaan sosial masyarakat, dan (4) sesuai wacana yang disuguhkan.
Kemudian bentuk dinamika dalam organisasi yakni meliputi (1) sekaa drama gong
dalam bentuk sebunan,(2) sekaa drama gong profesional. Dalam bentuk tema, drama
gong mengalami dinamika karena adanya perubahan tema yang disuguhkan.
Perubahan tema tersebut, antara lain juga berkaitan erat dengan permintaan pasar atau
untuk memenuhi keinginan masyarakat.
Selain itu, juga memiliki kaitan dengan keperluan upacara. Meskipun drama gong
merupakan kesenian sekuler/provan yang tergolong memiliki fungsi hiburan, namun
acapkali dipertunjukkan dalam memeriahkan upacara keagamaan di Bali. Oleh karena
disesuaikan dengan upacara keagamaan, maka tema dan lakon seringkali mengalami
dinamika.
Kemudian gamelan sebagai musik pengiringnya juga mengalami dinamika sesuai
dengan situasi dan kondisi. Gamelan yang digunakan sebagai pengiring drama gong
tersebut yakni gamelan Janger karena embrio drama gong adalah kesenian janger.
Kemudian digunakan gamelan gong kebyar dan sering pula menggunakan semar
pagulingan. Sesuai dengan fungsinya, drama gong mengalami dinamika dalam
pertunjukannya.
Fungsi yang paling dominan yakni hiburan, sehingga penampilannya selalu
berubah-ubah sesuai dengan tujuannya. Kemudian sebagai media pendidikan, drama
gong menyampaikan pendidikan terutama yang menyangkut nilai atau ajaran agama
Hindu. Hal itu disebabkan para pragina drama gong menganut agama Hindu. Selain itu,
drama gong juga sering digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan program
pemerintah.
Hal itu disebabkan, ketika drama gong mengalami masa kejayaan, seni pertunjukan ini
dinilai efektif menyampaikan pesan-pesan yang perlu disosialisaikan oleh pemerintah.
Kemudian di masa kejayaannya, yakni dimana masyarakat menjadikan seni pertunjukan
ini sebagai seni hiburan pavorit, masyarakat seringkali menggunakan drama gong
sebagai media penggalian dana untuk membiayai bebagai pembangunan di desa. Ada
beberapa temuan yang bisa dikemukakan dalam karya ini.
Pertama, Seni pertunjukan drama gong merupakan kesenian baru, yakni terdiri atas
kolaborasi antara sendratari, arja, dan teater modern.Kesenian drama ini pada mulanya
menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dalam perkembangannya memakai bahasa Bali,
yang diiringi gamelan gong.Kesenian ini termasuk bebas dalam arti tidak terlalu terikat
oleh pakem-pakem yang kaku sehingga dalam perkembangannya, drama gong juga
bisa dipadukan dengan kesenian modern, seperti pertunjukan lagu-lagu dangdut,
bahkan audiovisual.
Kedua, Seni pertunjukan drama gong yang embrionya mulai dari kesenian janger dan
sendratari itu mengalami masa kejayaan pada tahun 1970 sampai dengan 1980. Pada
masa kejayaannya itu hampir semua desa di Bali membuat sekaadrama gong, baik atas
nama desa, banjar, maupun sekaasebunan. Ketiga, Pada tahun-tahun berikutnya, yakni
mulai tahun 1980-anseni pertunjukan drama gong mengalami keterpurukan.
Penyebab keterpurukan itu yakni, pengaruh hiburan modern dari teknologi canggih
(televise, internet), memudarnya minat generasi muda untuk menjadi pemain drama
gong, minimnya keterampailan berbahasa Bali dari generasi muda; lemahnya di
kalangan para seniman. Keterpurukan atau terpinggirnya drama gong, dalam arti hanya
melakukan pertunjukan secara insidentil, yakni jika ada pesanan dari lembaga
pemerintah seperti untuk keperluan mengisi acara Pesta Kesenian Bali, Bali Mandara
Mahalango, atau acara lain yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Masyarakat umum memang masih ada yang menanggap seni drama gong, tetapi
sangat jarang. Selain itu, sudah ada rekaman seperi VCD/DVD, sehingga bisa dinikmati
dengan lebih hemat antara lain hemat waktu dan emat energi. Dinamika seni
pertunjukan drama gong dalam jagat seni hiburan di Bali umumnya dan di Kabupaten
Gianyar khususnya, merupakan suatu fenomena yang terjadi pada kesenian tradisional
bukan hanya di Bali, melainkan juga di beberapa daerah lain.
Dinamika tersebut seperti hukum alam yaituutpati (diciptakan), stithi (dipelihara), dan
pralina (mengalami kematian). Dinamika tersebut terjadi tidak hanya semata-mata faktor
internal, tetapi banyak, bahkan dominan faktor eksternal, yakni disebabkan oleh
kemajuan teknologi yang mempunyai kekuatan luar biasa dalam membawa perubahan.
Dengan demikian, nasib baikburuknya seni pertunjukan drama gong merupakan
fenomena sosial yang dipengaruhi oleh berbagai pihak. Jika kehidupan drama gong
mengalami keterpurukan, bukanlah merupakan kesalahan para seniman semata
(internal), melainkan faktor luar (eksternal) berpengaruh besar sekali pengaruh.
Seni pertunjukan drama gong, sebagai sebuah kesenian hiburan, yang tercipta dari
beberapa kesenian tradisional Bali dan teater modern Barat memiliki sejarah yang unik.
Unsurteater modern lebih difokuskan pada tata dekorasi, sound effect, akting, dan tata
busana selain didominasi kesenian klasik Bali. Drama gong menyuguhkan lakon-lakon
yang bersumber pada Itihasa, cerita romantis, seperti cerita Panji (Malat) dan kisah-kisah
sejenis, termasuk yang berasal dari luar lingkungan budaya Bali.
Di samping itu, juga kesenian drama gong ditampilkan dengan para pemain yang
berakting realistis dan menggunakan dialog-dialog verbal yang didominasi bahasa Bali.
Meskipun tergolong tari balih-balihan (hiburan), seni pertunjukan ini biasa ditampilkan
oleh masyarakat Bali untuk memeriahkan dan mengisi acara hiburan pada upacara
agama dan kegiatan sosial.
Disebut unik karena drama gong sebagai kesenian sekuler lahir di tengah-tengah situasi
politik yang memanas, tumbuh dengan cepat sebagai kesenian favorit.Seni pertunjukan
ini, bukan hanya sebagai tontonan, tetapi juga mampu menggairahkan warga untuk
melakoni atau ikut menjadi pelaku dalam kesenian itu. Oleh karena itu, maka dapat
dipahami, bahwa hampir semua desa di Bali memiliki kesenian drama gong.
Karenataksu atau pamornya menanjak, sejumlah kesenian tradisional lainnya sempat
terpinggirkan. Artinya dimana-mana orang membicarakan drama gong dan kesenian ini
menjadi idola berbagai usia. Mengingat kepopuleran tersebut, seni pertunjukan ini
akhirnya memiliki sejumlah fungsi.
Selain sebagai media komunikasi tradisional yang dapat menyebarkan berbagai
program pemerintah dan nilai-nilai pendidikan agama, juga memiliki fungsi ekonomi,
yakni dijadikan media sebagai penggalian dana. Tidak sedikit desa di Bali dapat
membiayai pembangunan dengan menggunakan drama gong sebagai media
penggalian dana. Setelah berdirinya TVRI Denpasar, sebagai satu-satunya stasiun televisi
pada sekitar tahun 1970-an, drama gong yang ditayangkan oleh televisi tersebut
menjadi sebuah kesenian yang ditunggu-tunggu masyarakat. Pada pertengahan tahun
1980 popularitas drama gong mulai menurun.
Seiring dengan derasnya arus globalisasi yang menerjang Bali, seni pertunjukan ini
berangsur-angsur ditinggalkan.Tanda-tanda mulai suramnya pamor drama gong, antara
lain adalah ketika tampilnya televisi swasta sebagai alternatif tontonan dan hiburan di
tengah masyarakat Bali. Bersamaan dengan fenomena itu pula generasi muda tidak
tertarik lagi untuk menjadi pelaku drama gong. Demikian pula masyarakat Bali mulai
malas datang menonton.Sebaliknya, mereka lebih betah menatap pesawat televisi,
menyuntuki beragam acaranya, di rumah, bahkan di kamar masing-masing.
Era globalisasi dan gelombang transformasi budaya merupakan dinamika zaman yang
sudah tentu membawa guncangan besar dan kecil pada tata kehidupan dan perilaku
masyarakat. Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni
perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka merupakan
salah satu dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah
mengubah dunia secara mendasar.
Komunikasi dan sarana transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas
budaya setiap bangsa. Peristiwa transkultural disadari atau tidak berpengaruh terhadap
keberadaan kesenian drama gong. Pada saat orang memandang bahwa drama gong
harus dijaga kelestariannya, pada di saat itu pula teknologi informasi yang semakin
canggih menyuguhkan banyak alternatif tawaran hiburan dan informasi yang lebih
beragam, yang lebih menarik dibandingkan dengan kesenian drama gong.
Misalnya dengan antena parabola masyarakat bisa menyaksikan berbagai tayangan
hiburan yang bersifat mendunia atau berasal dari berbagai belahan bumi. Terpuruknya
drama gong juga menimbulkan berbagai implikasi terhadap kehidupan sosial budaya
masyarakat Bali. Implikasi itu selain pada aspek kognisi, afektif, psikomotorik masyarakat
juga terhadap pelestarian seni budaya Bali dan ilmu pendidikan.
Semula masyarakat Bali, bisa mendapatkan pesan-pesan moral dari pertunjukan drama
gong, kemudian diganti oleh media modern, seperti televisi dan alat komunikasi
canggih lainnya. Para seniman seni pertunjukan, khususnya yang berkecimpung di
dalam seni pertunjukan drama gongdiharapkan atau disarankan selalu belajar menuntut
ilmu pengetahuan umum atau belajar dalam segala hal, terutama keterampilan
menari/berakting agar kualitas SDM-nya selalu mengalami peningkatan.
Selain itu, yang sangat penting dilakukan, yakni selalu mencari inovasi agar kesenian ini
bangkit kembali seperti pada masa jaya-jayanya pada tahun 1970-an. Walaupun
kesenian drama gong masih kalah bersaing dengan kesenian lain, terutama kesenian
modern di televisi, pada suatu saat nanti, kemungkinan untuk bangkit kembali sangat
besar.
Argumen itu dikemukakan dengan becermin pada dinamika kehidupan kesenian
wayang kulit, yaitu pada mulanya banyak kalangan menilai bahwa seni pertunjukan ini
sangat lesu, bahkan dikatakan hampir punah. Pendapat yang pesimis juga mengatakan
bahwa masih syukur, seni pertunjukan wayang kulit sering dipentaskan dalam upacara,
sehingga tidak akan punah, selama masih ada upacara keagamaan di Bali. Dalam
fungsinya sebagi seni hiburan, wayang kulit di beberapa tempat dan secara umum
boleh dekatakan terpinggirkan.
Akan tetapi, seni pertunjukan ini tidak berarti punah atau tidak bisa dibangkitkan. Pada
kenyataannya, ketika ada dalang yang mengembangkan wayang kulit inovatif, kesenian
ini bangkit kembali dan ternyata digemari semua golongan. Pertunjukan wayang kulit
itu kemudian menjadi seni tontonan favorit meskipun tidak semua dalang mendapat
penggemar yang sama.
Becermin pada kenyataan itu, maka drama gong kemungkinan juga bisa bangkit
kembali, meskipun jumlah sanggarnya sangat sedikit. Pemerintah, terutama pemerintah
daerah diharapkan atau disarankan selalu meningkatkan pembinaan kepada kesenian
drama gong, dengan dukungan materiel dan moril sehingga kesenian ini menjadi hidup
lebih bergairah, terutama sebagai media hiburan dan penyampai ajaran-ajaran moral
yang bermanfaat bagi penontonnya.
Masyarakat diharapkan atau disarankan agar menjadikan hasil penelitian ini sebagai
bahan informasi yang berguna dalam menambah wawasan tentang bentuk, fungsi dan
makna pertunjukan kesenian tradisional, khsusunya drama gong. Fungsi-fungsi tersebut,
antara lain sebagai media komunikasi tradisional sekaligus media pendidikan, terutama
pendidikan yang menyangkut moral.
Pengurus(prajuru) desa, baik desa ddat maupun desa dinas, diharapkan agar
meningkatkan perhatian kepada kesenian ini dengan mengadakan pertunjukan drama
gong pada hari-hari tertentu, baik untuk memeriahkan acara yang bersifat sekuler
maupun pada upacara keagamaan. Jika kesenian drama gong sering ditanggap, maka
para seniman, baik pemula maupun yang sudah berpengalaman, akan lebih bergairah
melakukan pembelajaran dalam berkesenian, khususnya yang berkaitan dengan
kesenian drama gong.
Parapeneliti, disarankan agar sering melakukan penelitian tentang drama gong dengan
mengkaji aspek lain sehingga akan lebih banyak terdapat hasil penelitian tentang
kesenian tradisional ini. Banyaknya ada hasil penelitian akan dapat memperkaya
kepustakaan tentang seni budaya Bali umumnya dan drama gong pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA Abercrombie,J.. 1987. Dictionary of Sociology. London:Penguin.
Acarya, Avadhutika Anandamitra. 1991. Makanan untuk Membina Kejernihan Pikiran.
Terjemahan Ketut Nila. Jakarta: Persatuan Ananda Marga Indonesia. Adiprakosa. 2008.
“Media Tradisional”. (Online). Tersedia dalam
http://adiprakosa.blogspot.co.id/2008/01/media-tradisional.html. Diakses 2 Februari
2016. Agastia, Ida Bagus, 2012. “Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Pengembangan
Peradaban dan Jatidiri Orang Bali” Makalah disampaikan di Fakultas Sastra Universitas
Udayana, Denpasar, Sabtu, 22 September 2012. Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyanti. 2003.
Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Anom, Ida Bagus. 2008.
“Bahasa Bali Terancam Punah” dalam Antara, Senin, 28 April 2008. Anshari, H. Endang
Saifudin.1987.Ilmu, Filsafat dan Agama, Pendahuluan Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi, Surabaya, PT Bina Ilmu Offset. Aryasa, I Wayan. 1984. Pengetahuan
Karawitan Bali. Denpasar: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Atmadja, Nengah Bawa, 2006a.
“Pemanfaatan Modal Budaya dan Modal Tubuh Menjadi Modal Ekonomi Berbentuk
Hiburan Seks Melalui Rangsangan Mata: Kasus Joged Bumbung Ngebor di Buleleng
Bali.Laporan Penelitian (belum diterbitkan). Singaraja. Atmadja, I Nengah Bawa.
2006b.”Bali Pada Era Globalisasi: Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya”.
Laporan Penelitian. Tak diterbitkan. Singaraja. Atmadja, I Nengah Bawa. 2007. Metode
Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Atmaja, Jiwa. 2009.
Tri Dasa Warsa Teater Mini Badung. Denpasar:Udayana University Press. Ayu. 2012.
“Drama Gong Nasibmu Kini”.Tabloid Galang Kangin. Selasa, 25 September 2012. Edisi
IX/2012. Bagong Suyanto dan Sutinah, (Eds). 2006. Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media Group. Bandem, I Made dan Fradrik
Eugene de Boer. 2004. Kaja dan Kelod, Tarian Bali dalam Transisi. Yogyakarta: Badan
Penerbit Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Bandem, I Made dan Murgiyanto, Sal. 1996.Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius. Bandem, I Made dan Rembang, I Nyoman. 1976. Perkembangan Topeng Bali
dan sebagai Seni Pertunjukan.Denpasar: Proyek Penggalian, Pembinaan, Pengembangan
Seni Klasik/ Tradisional dan Kesenian Baru, Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Bandem, I
Made. 1996. Evolusi Tari Bali.
Yogyakarta: Kanisius. Barker. Chris. 2004. Cultural Studies, Teori & Praktik.Yogyakarta:
Kreasi Wacana. Berg,C.C. 1930. “Cerita Panji”. (Online). Tersedia dalam
https://id.wikipedia.org/wiki/Cerita_Panji. Bernet Kempers, A.J. 1959. Ancient Indonesia
Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. BMPS Pusat. 2011. “Rumusan
Seminar Pendidikan Karakter BMPS Sumut 2011”. (Online) Tersedia dalam
http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-Indonesia/RUMUSANSEMINARPEND_BMPSPUSAT
_9493.pdf.Diakses 2 Februari 2016. Bungin, Burhan (ed). 2006. Metode Penelitian
Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Cudamani. 1991. Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Yayasan
Wisma Karya. Dibia, I Wayan (Ed).2008. Seni Kekebyaran. Denpasar: Balimangsi
Foundation. Dibia, I Wayan. 2003. “Ketika Drama Gong Kehilangan Gong”.
Makalah disajikan pada reuni para Pemain Drama Gong se-Bali, 23 November 2003, di
Auditorium Natya Mandala Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Dibia, I Wayan. 2004.
Pragina: Penari, Aktor,dan Pelaku Seni Pertunjukan Bali. Jawa Timur:Sava Media. Dibia, I
Wayan. 2007. Lampahan (Kumpulan Lakon-lakon Seni Pertunjukan Bali). Denpasar:
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Dipoyudo, 1986.”Pembangunan Ideologi
Pancasila”dalam Analisa, Tahun XV, No.8 Agustus 1986. Eriyanto. 2005.
Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: PT
LkiS Pelangi Aksara. Fisher, B.Aubrey.1990. Teori-Teori Komunikasi: Perspektif
Mekanistis, Psikologis, Interaksional dan Pragmatis. Penerjemah Soejono Trimo, MLS.
Bandung: Remaja Rosdakarya. Fiske, John. 2006. Cultural and Communication Studies.
Terjemahan Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta: Jalasutra. Goodman,
Douglas J. dan George Ritzer. 2005.
Modern Sociological Theory, 6th. Edition. Terjemahan Alimandan. Teori Sosiologi
ModernEdisi Keenam. Jakarta: Prenada Media. Hadi, Syamsul. 2015. “Pengertian
Dinamika Kelompok Menurut Para Ahli”. (online).Tersedia dalam
http://www.maribelajarbk.web.id/2015/04/pengertian-dinamika-kelompok-menurut.htm
l. Diakses 2 Mei 2016. Hamidi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang:
UMM Pres. Hamzah, A.Adjib.1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: CV Rosda.
Harefa, Andrias. 2002. Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Haviland, William A. 1993. Antropologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Herytrisusanto.
2012. “Fungsi Seni dalam Kehidupan Masyarakat.” Makalah. Tak Diterbitkan. Husin.2013.
“Melihat Kembali Transisi Teater Tradisional, Modern, ke Kontemporer”. (Online)
Tersediadalam
http://www.riaupos.co/1583-spesial-melihat-kembali-transisi-teater-tradisional,-modern,
-ke-kontemporer.html. Diakses 6 Januari 2016.
Jahi, Amri. 1988.Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara
Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia. Joddy M. 1993.Mengenal Permainan Seni Drama.
Jakarta-Surabaya: Arena Ilmu. Johnson, Doyle Paul. 1986. Sociological Theory Classical
Founders andContemporary Perspectives. (Diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang)
Jakarta: Gramedia. Kusmayati, A.M. Hermien. 2010. “Fungsi Seni Pertunjukan bagi
Pembangunan Moral Bangsa” (Online).Tersedia dalam
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/10/fungsi-seni-pertunjukan-bagi.html.
Diakses 25 Agustus 2015. Tastra, Kade. T.t. “Sejarah Munculnya Gong Kebyar di Bali”.
(Online) Tersedia dalam
http://blog.isi-dps.ac.id/kadetastra/sejarah-munculnya-gong-kebyar-di-bali. Diakses 6
Januari 2016. Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta. Paradigma. Kuntowijoyo.
1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kusmayati, A.M. Hermien.
2006. “Fungsi Seni Pertunjukan bagi Pembangunan Moral Bangsa”.
Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Sejarah dengan tema “Sejarah Seni Pertunjukan
dan Pembangunan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta pada tanggal 17—18 Mei 2006. Laksono. 2015.”Degradasi Moral
Cenderung Terjadi di Indonesia” dalam ANTARA Nws, Jumat, 8 Mei 2015 03:16 WIB |
5.114 Views. Lamb, Hair, Daniel. 2001.”Pengertian Permintaan Pasar”.
(Online) Tersedia dalam
https://pubon.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-permintaan-pasar.html. Diakses 6
Januari 2016. Lauer, Robert H. 2003. Perspektif tentang Perubahan Sosial (terjemajan).
Jakarta: Rineka Cipta. Mahmudah, Rizky Luthfiya.2014. “Penjelasan Ranah Kognitif,
Afektif,dan Psikomotor Menurut para Ahli”. (Online). Tersedia dalam
http://rizkymahmudah.blogspot.co.id/2014/09/
penjelasan-ranah-kognitifafektif-dan.html.
Diakases 2 Maret 2016. Marajaya, I Made. 2002. “Pertunjukan Wayang Kulit Parwa Lakon
Brahmana Sidi di TVRI Denpasar: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna”. Tesis Program
Studi (S2), Magister Kajian Budaya, Program Pascaarjana, Universitas Udayana, Denpasar.
Maran, Rafael Raga.2007. Manusia & Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya. Jakarta:
Rineka Cipta. McEachern,Carla E..2000.”Convergent Marketing: Executing on the
Promiseof 1:1” Journal of Consumer Marketing, vol. 15 no. 5 1998, pp. 481-490 © mcb
University Press. Merriam, Alant P. 1964.
The Anthropology of Music. Northwestern University Press. Milles, M.B. and Huberman,
M.A. 1984. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication. Terjemahan Tjetjep
Rohindi Rohidi, UIPress 1992. Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung:PT Remaja Rosdakarya. Moore, J.1997. The Exploitation of Women in
Evolutionary Perspektive, dalam Critique of Anthropology, Vol.3.
Mudyahardjo,Redja.2004. Filsafat Ilmu Pendidikan, Sebuah Pengantar.
Bandung, PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nabilla. 2014. “Pentingnya Promosi, Promosi,
dan Promosi untuk Perusahaan.” (Online) Tersedia dalam
http://www.gravicode.com/news-blog/63-pentingnya-promosi-promosi-dan-promosi-u
ntuk-perusahaan.html. Diakses 7 Mei 2015. Pancasila, Rajawali Garuda. 2011.
“Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif.” (Online). Tersedia
dalamhttp://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2011/09/triangulasi-dalam-penelitia
n-kualitatif.htm.
Diakses 15 Juli 2015. Panitia Penyusun Kamus Bali-Indonesia.1978.Kamus Bali-Indonesia.
Denpasar. Panolih, Krishna P dan Suwardiman. 2015. “Televisi Sumber Utama Hiburan
Keluarga”. (Online) Tersedia dalam dalam
http://print.kompas.com/baca/2015/08/25/Televisi-Sumber-Utama-Hiburan-Keluarga.
Diakses 6 Januari 2016. Pareno, H. Sam Abede. 2005. Media Massa antara Realitas dan
Mimpi. Surabaya: Papyrus. Patilima, Hamid.2005. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta. Piliang, Yasraf Amir. 2007. Dari Media Menuju Pos Media: Media
dalam “Cultural Studies”. Makalah dalam seminar yang diselenggarakan Program
Magsiter Kajian Budaya Unud, 17 November 2007. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas,
Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2005.
“Cultural Studies dan Posmodernime: Isyu, Teori dan Metode”. Makalah pada Seminar
‘’Cultural Studies: Isu, Teori, dan Metode’’ yang diselenggarakan Program Magister dan
Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana di Denpasar, 12 Juli 2005. Poerbatjaraka,
R.M.Ng. 1968. Tjerita Pandji dalam Perbandingan. Diterjemahkan oleh Zuber Usman,
Djakarta: Gunung Agung. Poerwanto, Hari. 2005.
Kebudayaandan Lingkungan:Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pringgodigdo, A.G. 1973. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta. Kanisius. Purnamawati, Ni Putu
Diah, 1984. “Drama Gong sebagai Bentuk Teater Tradisional Berbahasa Bali”. Skripsi
(Tidak Diterbitkan). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Purwandari, Retno.
2010. "Pengertian Dinamika"(Online) Tersedia dalam
http://yulia-putri.blogspot.com/2010/10/pengertian-dinamika.html.Diakses 7 Januari
2016. Purwanto, M. Ngalim. 2002. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis.. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya. Putra, I Nyoman Darma.2009.
“Meninjau Kembali Sejarah Drama Gong”. dalam Bali Post. 28 Juni 2009. Raho, Bernard,
S.V.D. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka. Ralp Ross and Ernest Van
Den Haag. 1957. The Fabric of Society, New York. Ramadhani, Prito. 2008. “Pengertian
Dinamika Kelompok” (Online)Tersedia dalam http://dinamika-ok.blogspot.com/Diakses
2 Juli 2015. Ranganath. 1976. Telling the People Tell Themselves. Media Asia 3. Ratna,
Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies,
Representasi Fiksi dan Fakta. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Redana,
Made. 2006. Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah dan Proposal Riset. Denpasar:
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Rina, Amelia. 2008.Pengaruh Motivasi
Berprestasi terhadap Kinerja Perawat Dalam Asuhan Keperawatan Pasien. 2008.USU
e-Repository © 2009. Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2002.
“Mencermati Hubungan Seni dan Politik”. (Online). Tersedia dalam
http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/19/kha2.htm. Diakses 7 Januari 2016. Rota,
Ketut. 1982. Dramatari Gambuh dan Tari-tarian yang Hampir Punah di Beberapa Daerah
di Bali. Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Bali. Safni, Irma. 2015. “Politik dan
Kebudayaan”. (Online) Tersedia dalam
http://www.kompasiana.com/www.irmasafni.com/politik-dan-kebudayaan_54f6a670a33
311f1558b457e Sari, Dyah Ayu Purnama. 2011. “Drama Gong”. (Online).
Tersedia dalam http://itikholic.blogspot.co.id/2011/03/drama-gong.html. Diakses 5 Mei
2015. Suleiman,Satyawati. 1978. The Pendopo Terrace of Panataran. Pictorial number 2.
Jakarta: Proyek Pelita Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional. Semadi,
Anak Agung Putra. 2004. “Seni Pertunjukan Drama Gong Sancaya Dwipa di TVRI Stasiun
Denpasar Lakon Galuh Kembar Sebuah Kajian Budaya”.Tesis (Tidak diterbitkan).
Denpasar: Program Studi (S2), Magister Kajian Budaya, Universitas Udayana. Semadi,
Anak Agung Putra. 2015. “Keterpinggiran Drama Gong Wijayakusuma Abianbase,
Gianyar dalam Seni Pertunjukan Bali di Era Globalisasi”. Disertasi Tidak Diterbitkan.
Denpasar: Program Doktor Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana. Setia,
Putu. 2006. Mendebat Bali. Denpasar: Pustaka Manikgeni. Setia, Putu.2008.
“Irama Drama Gong”. dalam Bali Post, Sabtu Umanis, 23 Februari 2008. Setyawan, Arya
Dani. 2011. “Fungsi Seni Pertunjukan Tradisional”, (Online), Tersedia dalam
http://aryadanisetyawan.blogspot.com/2011/11/fungsi-seni-pertunjukan-tradisional-di.h
tml). Diakses 25 Agustus 2015. Shri Danu D.P. 2009. “Memahami Jati Diri Membongkar
Identitas Hindu”. (Online). Tersedia dalam
https://dharmavada.wordpress.com/2009/10/05/memahami-jati-diri-membongkar-ident
itas-hindu/. Diakses 1 Mei 2016. Simon, Roger. 1991. Gramsci’s Political Thought: An
Introduction, Lawrence and Wishart. London. Sivananda, Sri Swami. 1993.
“Intisari Ajaran Hindu”. Alih bahasa,Tim Penerjemah Yayasan Sanatana Dharmasrama. All
About Hinduisme. Surabaya: Paramita. Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media: Suatu
Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Praming. Bandung:
Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Cetakan Kedua. Bandung:
Rosda Karya. Soedarsono,R.M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soedarsono. 1999.
Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia. Soekanto, Soerjono.1980. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: CV
Rajawali. Soelarso, B. dan S. Ilmi Albiladiyah. 1975. Pertunjukan Rakyat Drama Gong dari
Bali. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta. Stokes, Jane, 2003. How To Do Media and
Cultural Studies.
Terjemahan oleh Santi Indra Astuti. 2007. Yogyakarta: Bintang Pustaka. Storey, John.
2003. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultutal Studies.
Yogyakarta: CV Qalam. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian
Kualitatif. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Strinati, Dominic. 1995. An Introduction to
Theories of Popular Culture. Routledge, London. Stutterheim,W.F.1935. “Enkele
Interessante t Reliefs van Oost-Java”. Djawa. Suamba, I.B. Putu.
2003. Dasar-Dasar Filsafat India. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan
Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia. Suartaya, Kadek. 2003. “Grup Drama Gong,
Mengapa Kini Rontok?” Bali Post Minggu Pon, 23 November 2003. Subrata, I Wayan.
2014. Komodifikasi Tari Barong. Surabaya: Paramita. Sudhana, Dede Ryan. 2015. “Teori
Globalisasi”. (Online). http://www.scribd.com/doc/5508. Diakses 2 Juli 2015. Sudipta,I
Nyoman Agus. 2016.
“Selamatkan Bahasa Bali” dalam Pos Bali 13 April 2016. Sugita, I Wayan. 2006. “Lakon I
Gusti Made Getas dalam Drama Gong Bintang Bali Timur Kajian Berdasarkan Perspektif
Budaya” Tesis (Tidak Diterbitkan). Denpasar: Program Studi (S2), Kajian Budaya
Universitas Udayana. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV
Alfabeta. Suharianto. 1982.
Dasar-Dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta. Suherjanto, Indra. 2015. “Dramaturgi
Seni Pertunjukan Teater” (Online), Tersedia dalam
https://indrasuherjanto.wordpress.com/teori-drama/dramaturgi-seni-pertunjukan-teater
/, Dikases 6 Juli 2015. Sumanto,Wasti & Hendyat Soetopo. 1982. Sosiologi
Pendidikan.Jakarta. Sumatika, W.2008. “Menyelamatkan Drama Gong dari ‘Ketersesatan’,
Bali Post, Sabtu Umanis, 23 Februari 2008. Suseno, Franz Magnis, 1992.
Filsafat Kebudayaan Politik, Butir-Butir Pemikiran Kritis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. Sutjaja, I Gusti Made.2008. “Bahasa Bali Terancam Punah” dalam Antara, Senin,
28 April 2008. Sztompka. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada. Tamburaka,
Rustam. E. 2002. Pengantar Ilmu Sejarah Teori Filsafat Sejarah Filsafat & Iptek. Jakarta:
Rineka Cipta. Taqiyudin. 2008.
Sejarah Pendidikan, Melacak Geneologi Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Mulia
Pers. Tim Redaksi. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka. Tim Redaksi. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta:
Pustaka Utama Gramedia. Tisnu, Tjokorda Raka. 1996. “Drama Gong Teater Rakyat Bali”.
Orasi Ilmiah pada Dies Natalis XXIV Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. Triguna,
Ida Bagus Yudha, dkk. 2000. Teori tentang Simbol.
Denpasar: Widya Dharma. Vaughn, Jack A.1978. Drama A to Z: A Handbook. New York:
Fredrick Ungar Publishing Co. Vickers, Andrian. 2009. Peradaban Pesisir Menuju Sejarah
Budaya Asia Tenggara. Denpasar: Pustaka Harasan Bekerja sama dengan Udayana
University Press. Waluyo, Herman. 2002. Drama, Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta:
Hamindita Graha Widya. Wiana, I Ketut, 2004. Makna Upacara Yajña dalam Agama
Hindu Jilid II. Surabaya: Paramita.
Winarso, H.P. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Prestasi Pustaka. Wiratni, Ni
Made. 2009.Problem Peranan Wanita dalam Seni Pertunjukan Bali di Kota Denpasar:
Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna. Malang:Bayumedia Publishing. Wiyanto, Asul.2002.
Trampil Bermain Drama. Jakarta: Gramedia Widiarsana Indonesia. Yudabakti, I Made dan
I Wayan Watra. 2007. Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali. Surabaya: Paramita.
Yuga, Ibed Surgana.
2009. “Apakah Bali Memang Tak Lagi Membutuhkan Drama Gong?” (Online). Tersedia
dalam http://kalalakon.blogspot.co.id/2009/01/dan-drama-gong-itu.html. Diakses 1
Maret 2016. Yuliadi, Koes. 2005. Drama Gong di Bali. Yogyakarta: BP ISI
INTERNET SOURCES:
-------------------------------------------------------------------------------------------
<1% - http://repository.dinamika.ac.id/id/eprint/2246/3/BAB_I.pdf
<1% - https://purnamiap.blogspot.com/2013/09/makalah-tari-bali.html
<1% - https://stopjogedjaruh.net/9-tari-bali-wbd-unesco/
<1% -
https://niwayanratihshopia.blogspot.com/2014/05/pengertian-fungsi-jenis-watak-dan-
makna.html#!
1% -
https://mulyanti6.blogspot.com/2013/10/fungsi-seni-dalam-kehidupan-masyarakat.html
<1% -
https://www.slideshare.net/octavianus/331704692-rangkumankuliahpendidikanseni
<1% - https://otongut.blogspot.com/
<1% -
https://diahharja.blogspot.com/2013/12/seni-untuk-seni-seni-untuk-masyarakat.html
<1% - https://alkharita9093.blogspot.com/2016/04/materi-uas-apresiasi-seni.html
<1% - https://laraskridhomanunggal.blogspot.com/
<1% - https://aryadanisetyawan.blogspot.com/2011/11/
<1% -
https://aryadanisetyawan.blogspot.com/2011/11/fungsi-seni-pertunjukan-tradisional-di.
html
1% - https://wa-iki.blogspot.com/2013/07/fungsi-seni-pertunjukan-bagi.html
<1% -
https://hendristkip.blogspot.com/2015/09/nilai-nilai-pancasila-dalam-uud-45.html
<1% -
https://budaya-indonesia-sekarang.blogspot.com/2010/10/fungsi-seni-pertunjukan-bag
i.html
<1% -
https://pembelajaranseni.blogspot.com/2015/01/pengembangan-seni-pertunjukan-prof
-dr.html
<1% - https://budisma1.blogspot.com/2011/07/pendidikan-moral-nilaibudi-pekerti.html
<1% - https://deejesapulidi.blogspot.com/
<1% - https://diniwl.wordpress.com/profile-giesha-band-indonesia-dan-personil/
<1% - https://didinwahyudin8.blogspot.com/2011/01/modul-ekstra-teater.html
<1% -
https://indrasuherjanto.wordpress.com/teori-drama/dramaturgi-seni-pertunjukan-teater
/
<1% - https://pamangsah.blogspot.com/2008/11/teater.html
<1% -
https://www.kaskus.co.id/thread/5502742bde2cf2324e8b456b/mengenal-sejarah-keseni
an-jaranan-di-kediri
<1% - https://budayapedia.blogspot.com/2012/10/drama-gong.html
1% -
https://contohnaskahdramalengkap.blogspot.com/2016/11/contoh-naskah-drama-gong
-bali.html
<1% - https://www.scribd.com/doc/92179375/Satua-Bali
<1% -
https://daerah.sindonews.com/read/1254318/29/misteri-gunung-agung-dan-pura-besa
kih-1509722312
<1% - https://adeseptiana.blogspot.com/2011/
<1% - https://putupermadi.blogspot.com/2009/
<1% - https://id.wikipedia.org/wiki/Drama_Gong
<1% - https://krezztopik.blogspot.com/2014/09/sejarah-wayang.html
<1% -
https://www.isi-dps.ac.id/artikel/ekspresi-seni-masyarakat-tradisional-desa-adat-penglip
uran-bangli-sebagai-sarana-pemujaan-kepada-tuhan/
<1% - http://pandoe.rumahseni2.net/nusantara/bali/drama-gong/
<1% - https://sejarahmu5ik.blogspot.com/2012/11/sejarah-musik.html
<1% - https://issuu.com/epaper-kmb/docs/bpo15072011
<1% - https://bagawanabiyasa.wordpress.com/author/bagawanabiyasa/page/2/
<1% - https://www.presentasi.net/death-by-powerpoint/
<1% -
https://ekasulastriana.blogspot.com/2014/01/cara-cara-pendekatan-sosial-budaya.html
<1% - https://devipurwasandi.wordpress.com/2015/01/15/susila/
<1% -
https://www.indonesiakaya.com/agenda-budaya/detail/pertunjukan-tari-melayu-di-festi
val-nan-jombang
<1% - https://andrewitjaksono.blogspot.com/2015/06/
<1% - http://repository.ihdn.ac.id/repositori/51
<1% - http://sim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-101701092407-83.pdf
<1% - https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/mkwu/4-PendidikanAgamaHindu.pdf
<1% - http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Diktat%20Sasmutk.doc
<1% - https://doktersehat.com/virus-corona-covid-19-pada-anak/
<1% -
http://blog.unnes.ac.id/zakiyahylt/2015/11/16/pendidikan-sebagai-proses-pembudayaa
n/
<1% -
https://www.msn.com/id-id/olahraga/berita/ricuh-di-deiyai-papua-begini-sejumlah-fakt
anya/ar-AAGtmET
<1% -
https://libroncom.blogspot.com/2016/09/makalah-globalisasi-kata-pengantar.html
<1% -
https://mafiadoc.com/undang-hak-cipta-berkaitan-dengan-perlindungan-hukum-terha
dap-_59cd3b6b1723dd76958a4c17.html
<1% -
https://www.mediamengajar.com/2018/06/kehidupan-sosial-budaya-masyarakat-asean.
html
<1% - https://ndar3006.blogspot.com/2015/05/makalah-krisis-moral-remaja.html
<1% -
https://dinikartikaput.blogspot.com/2012/09/kehidupan-sosial-budaya-masyarakat-bali.
html
<1% -
https://hayatalfalah.blogspot.com/2017/03/teater-daerah-indonesia-dan-beberapa.html
<1% -
http://repositori.kemdikbud.go.id/16335/1/Prosiding%20Kongres%20Bahasa%20Daerah
%20NTB%202014.pdf
<1% - https://2frameit.blogspot.com/2012/08/definisi-dinamika-kelompok.html
<1% -
https://wijiastuti492.blogspot.com/2016/03/hubungan-antara-pembangunan-dan_28.ht
ml
<1% -
https://adhwiantkusumaputera.blogspot.com/2013/01/makalah-antropologi-dinamika-s
osial.html
<1% -
https://contohmarketingplan.blogspot.com/2016/12/contohpromosirestorandalambaha
sainggris.html
<1% - https://budiaman21.wordpress.com/2010/08/20/dinamika-kebudayaan/
<1% - https://kisah-grup.blogspot.com/2011/05/dinamika-kebudayaan.html
<1% - https://bungasarisebelasbahasasman1ciparay.blogspot.com/2013/
<1% - https://dashboard45.blogspot.com/2015/07/struktur-karya-sastra-gaguritan.html
1% -
https://cobammasuk.blogspot.com/2014/10/informasi-pasar-permintaan-pasar.html
<1% - https://hidayahalhida.blogspot.com/2015/05/babii-pembahasan-2.html
<1% - https://id.scribd.com/doc/287052305/MAKALAH-0
<1% -
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2HTML/2012200188DIBab2001/body.ht
ml
<1% - http://blog.isi-dps.ac.id/adiyuliana/
1% - https://wowi4views.blogspot.com/2013/03/drama-tari.html
<1% - https://jpbond19.blogspot.com/2008/11/kebudayaan-bali.html
<1% - https://dianaclaim.blogspot.com/2014/01/upacara-agama-hindu_8.html
<1% - https://phdi.or.id/artikel/upacara-panca-yadnya-dalam-kehidupan-beragama
<1% -
https://id.123dok.com/document/q06w76vq-kelasxii-hindu-bg-www-divapendidikan-co
m.html
<1% -
https://id.123dok.com/document/ynernejy-kelasxii-hindu-bs-www-divapendidikan-com.
html
<1% - http://phdi.or.id/artikel/falsafah-hidup-suku-dayak
<1% - https://wayantarne.blogspot.com/2014/10/implementasi-tri-hita-karana.html
<1% - https://sparjewelf.wordpress.com/2015/11/16/filsafat-pancasila/
<1% - https://kadekayuherlinmudarini.blogspot.com/2014/06/yadnya-di-bali.html
<1% - https://adidocsite.blogspot.com/2015/02/makalah-yadnya-agama-hindu.html
<1% -
https://simamaung.com/emral-strategi-akan-menyesuaikan-dengan-situasi-di-lapangan
/
<1% - https://mamien-go.blogspot.com/2011/07/teori-teori-perubahan-sosial.html
<1% - https://manajemenpendidikanunj.blogspot.com/2014/
<1% -
https://www.bappenas.go.id/files/6313/5228/2378/etikabisnis-kkg__20081123090506__1
029__5.pdf
<1% -
https://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2011/05/tiga-belas-masalah-keuangan-n
egara-dan.html
<1% - https://www.eastjava.com/plan/ind/umum.html
<1% - https://chandrasulist.blogspot.com/2013/
<1% -
https://ilmusenirupa.wordpress.com/2018/02/26/perkembangan-estetika-dalam-karya-s
eni/
1% -
http://www.tatkala.co/2017/12/04/penanaman-spiritualitas-agama-dalam-penanganan-
korupsi/
<1% -
https://mafiadoc.com/pembelajaran-menulis-karya-ilmiah-yang-inovatif-dan-konstruktif
_599fcfb71723dd0e40b1a2c4.html
<1% -
https://www.unhi.ac.id/id/agama-budaya/detail-agama-budaya/POLA-KERUKUNAN-BER
AGAMA-DI-DESA-DALUNG
<1% -
https://hilmyelhasan95.wordpress.com/2015/11/25/menuju-paradigma-sains-islam-nus
antara/
<1% -
https://id.123dok.com/document/ky661ogy-bahan-ajar-ips-sosial-budaya-kelas-4-sd.ht
ml
<1% -
https://hinduresearchcenter.blogspot.com/2013/02/kerauhan-menurut-teologi-hindu-k
erauhan_6546.html
<1% -
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5900/Skripsi%20Hilda.docx?s
equence=1
<1% - https://kmbsi.blogspot.com/2013/05/makalah-pengertian-wacana.html
<1% - https://etismegasari.wordpress.com/category/bahasa-indonesia-2/page/4/
<1% -
https://sigeuliscampernik.wordpress.com/2016/10/24/risma-dara-putri-midtest-makalah
-analisis-wacana/
<1% - https://aramdyanti.blogspot.com/2016/
<1% -
https://emakalahonline.blogspot.com/2016/10/administrasi-dan-supervisi-pendidikan.ht
ml
<1% - https://aquaside.blogspot.com/feeds/posts/default
<1% -
https://id.123dok.com/document/qogkd27z-prosiding-seminar-paud-2018-repository-u
niversitas-ahmad-dahlan.html
<1% - http://blog.isi-dps.ac.id/adisuardika/
<1% - http://diselubung.com/
<1% -
https://bahasabaliihdn.blogspot.com/2012/05/peranan-sekaha-santi-dalam-upaya.html
<1% - https://mohwandi.blogspot.com/2013/07/kesenian-budaya-cirebon.html
<1% -
https://t21ta05.blogspot.com/2016/10/nama-fauzan-azima-kelas-1ta05-npm.html
<1% - https://azizvyan.blogspot.com/2011/10/
<1% -
https://kumpulanpertanyaanpenting.blogspot.com/2014/10/apakah-yang-dimaksud-de
ngan-perubahan.html
<1% - https://lusianaarsyah.wordpress.com/2012/11/30/6-materi-perubahan-sosial/
<1% -
https://hot.liputan6.com/read/4078428/penyebab-perubahan-sosial-ada-dari-luar-dan-
dalam-masyarakat
<1% -
https://rzaharani.blogspot.com/2014/11/perubahan-paradigma-hukum-sebagai.html
<1% -
https://suwardilubis.blogspot.com/2016/01/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html
<1% -
https://junaidimaulana.blogspot.com/2013/02/perubahan-perubahan-sosial-dan-hukum
.html
<1% -
https://iwanvictorleonardo.wordpress.com/2010/06/16/hukum-dan-perubahan-masyara
kat/
<1% -
https://brotolavida.blogspot.com/2009/04/kritik-feminisme-janggrung-bab-iv.html
<1% - https://ikanurj.blogspot.com/2013/06/budaya-bali.html
<1% -
https://id.scribd.com/doc/78303342/Gamelan-Wayah-Atau-Gamelan-Tua-Diperkirakan-
Telah-Ada-Sebelum-Abad-X1
<1% - http://www.babadbali.com/seni/gamelan/ga-gam-janger.htm
<1% - http://blog.isi-dps.ac.id/?m=20110403
1% - https://gita-kencana.blogspot.com/
<1% - https://disbud.bulelengkab.go.id/artikel/sejarah-gong-kebyar-36
<1% -
https://www.kulkulbali.co/post.php?a=621&t=sejarah_dan_eksistensi_perkembangan_go
ng_kebyar_di_tengah_modernitas
<1% -
https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/12/18/34277/dari-bungkulan-gong-kebyar-t
ebar-pesona-ke-seluruh-bali
<1% - https://www.scribd.com/document/320334941/Asal-Usul-Alat-Musik-Gong
1% - https://seniherryarum.blogspot.com/2014/02/gamelan-gong-kebyar.html
<1% - https://play.google.com/store/apps/details?id=gongkebyar.music.bali&hl=en_US
<1% - http://blog.isi-dps.ac.id/somabhaskara/ensamble-gong-kebyar
<1% - http://blog.isi-dps.ac.id/madeagusartha/
<1% - https://mahajaya12.blogspot.com/2016/12/gong-kebyar.html
1% - https://xeanexiero.blogspot.com/2011/01/ensambel-semar-pagulingan-bali.html
<1% - https://dekayuristianti.blogspot.com/2013/01/
<1% - http://repo.isi-dps.ac.id/2505/
<1% - http://blog.isi-dps.ac.id/agusadityaputra/category/tak-berkategori
<1% - https://www.scribd.com/document/368225277/Gamelan-Semar-Pegulingan
<1% - http://blog.isi-dps.ac.id/hendra/?p=586
<1% - https://www.sumberpengertian.id/pengertian-seni-menurut-para-ahli-lengkap
1% -
https://www.artikelmateri.com/2015/12/seni-adalah-pengertian-fungsi-jenis-macam-co
ntoh.html
<1% - https://bacainaja.com/pengertian-seni/
1% - https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-seni/
<1% - https://senibudayaparamitha.blogspot.com/2018/08/pengertian-kesenian.html
<1% -
https://sayabukanguru.blogspot.com/2016/12/seni-pengertian-fungsi-jenis-macam-dan
_3.html
<1% - https://www.sumberpengertian.id/pengertian-seni-lengkap
<1% - https://noptiatriwardana.wordpress.com/fungsi-seni/
<1% -
https://listiyaniningsih22.blogspot.com/2015/11/tujuan-dan-fungsi-seni-rupa-fungsi-se
ni.html
<1% - https://noviwianti11.blogspot.com/2012/07/tugas-dan-uas-pgsd-diskusi.html
<1% - https://pecintamakalah.blogspot.com/2017/02/tujuan-pendidikan-seni.html
<1% - https://wwwsenitaridianarista-deanariesta.blogspot.com/feeds/posts/default
<1% - https://yudhabaktiimade.blogspot.com/2015/11/filsafat-seni-sakral.html
<1% - https://senibalibanget.blogspot.com/
<1% - https://senitaridandrama.blogspot.com/2011/12/seni-tari-dan-drama.html
<1% -
https://mitosbudayabali.blogspot.com/2011/12/perspektif-hindu-dalam-tari-bali-dan.ht
ml
<1% -
https://wirajunior.blogspot.com/2014/03/karya-tulis-ilmiah-penelitian-tindakan.html
<1% - https://eskaperdhana.wordpress.com/
<1% - http://blog.isi-dps.ac.id/hendra/?p=590
<1% -
http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel2E4A0089C2A9C95A02C02F8FCE910601
docx
<1% -
https://abanggoyes.blogspot.com/2014/02/seni-pertunjukan-modern-dan-tradisional.ht
ml
<1% -
https://kalingga21.blogspot.com/2011/05/nilai-pendidikan-agama-hindu-dalam-tari.ht
ml
<1% -
https://juliawankomang.wordpress.com/2015/12/02/pembelajaran-seni-dalam-dunia-pe
ndidikan/
<1% - https://www.slideshare.net/RahmatEtc1/makalah-seni-tari-mas-paranggi-seishin
<1% - https://fungsi.co.id/fungsi-seni/
<1% -
https://rumahtugasa209.blogspot.com/2011/10/pendidikan-kesenian-fungsi-seni.html
<1% - https://erwinmakalah.blogspot.com/2018/11/apresiasi-dan-kreasi-seni-rupa.html
<1% -
https://hasansuryawan.blogspot.com/2016/04/membumikan-pendidikan-berbasis.html
<1% -
https://singaraja.wordpress.com/2008/03/17/mengenal-agama-hindu-edisi-16-sejarah-a
gama-hindu/
<1% - https://id.scribd.com/doc/190340623/Posiding-SI-Ikadbudi-E-book
1% - https://duniahindu.blogspot.com/2012/
<1% -
https://infohindu.blogspot.com/2013/04/asas-kepemimpinan-hindu-asta-brata.html
<1% -
https://duniahindu.blogspot.com/2012/09/asas-kepemimpinan-hindu-menurut-asta.ht
ml
<1% -
https://www.mutiarahindu.com/2019/11/kewajiban-brahmana-ksatriya-waisya-dan.html
<1% -
https://pt.scribd.com/doc/314683037/109295240-MAKALAH-KONSEP-KEPEMIMPINAN-
docx
<1% -
https://industrialteknik09.blogspot.com/2011/10/makalah-kepemimpinan-msdm.html
<1% -
https://fatonikeren.blogspot.com/2014/10/epistemologi-pendidikan-kejawen-di_11.html
<1% -
https://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2015/10/PP-NOMOR-70-TAHUN-2015-JAM
INAN-KECELAKAAN-KERJA-DAN-JAMINAN-KEMATIAN-BAGI-PEGAWAI-ASN.pdf
<1% - https://infohindu.blogspot.com/2013/
<1% -
https://artikelbaliku.blogspot.com/2013/01/kepemimpinan-menurut-hindu-dalam.html
<1% - https://juniartahindu.blogspot.com/2015/09/asta-bratha.html
<1% - https://muhamadibnusutanto.blogspot.com/2015/09/paper-kepemimpinan.html
<1% - https://khazanah.republika.co.id/berita/q4c71e430/
<1% -
https://id.123dok.com/document/y60x8vny-jantra-jurnal-sejarah-dan-budaya-vol-vi-no-
12-repositori-institusi-kementerian-pendidikan-dan-kebudayaan.html
<1% - https://cerise.id/2017/09/13/website-alasan-promosi/
<1% -
https://dwicahyadiwibowo.blogspot.com/2016/04/pentingnya-promosi-promosi-dan-pr
omosi.html
<1% - https://webpraktis.com/blog/alasan-penting-mengapa-promosi-wajib-dilakukan
<1% - http://jurnal.umt.ac.id/index.php/jmb/article/download/988/628
<1% -
https://webpraktis.com/blog/alasan-penting-mengapa-promosi-wajib-dilakukan.html
<1% - https://dianuul.blogspot.com/2014/03/konseling-kb.html
<1% -
https://www.liputan6.com/health/read/3573152/ingin-ikut-kb-pahami-5-metode-kontra
sepsi-ini
1% -
https://arwantorevhian.blogspot.com/2013/10/tugas-isd-3-penerapan-sistem-keluarga.
html
<1% - https://rereyrashyab.blogspot.com/2013/09/kb-suntik_27.html
<1% -
https://nenengsuryaniti.wordpress.com/2013/10/17/analisis-keluarga-berencana-diindo
nesia/
<1% -
https://contohmakalah4.blogspot.com/2011/04/makalah-pelayanan-kontrasepsi-denga
n.html
<1% -
https://ahmadsoni.blogspot.com/2011/10/pengertian-kb-keluarga-berencana.html
<1% -
https://bulelengkab.go.id/detail/artikel/jenis-kb-manfaat-kb-kekurangan-program-kb-tu
juan-kb-57
<1% -
https://02aniksusanti.blogspot.com/2016/05/makalah-kesehatan-masyarakat-program.h
tml
<1% - https://csipendidikan.blogspot.com/2013/06/makalah-seni-tari_8802.html#!
<1% -
https://news.detik.com/kolom/d-4361941/islam-dan-politik-toxic-catatan-keberagamaa
n-kita-2018
<1% - https://itikholic.blogspot.com/feeds/posts/default
<1% -
http://bbpp-lembang.info/index.php/component/obrss/artikel-pertanian?format=feed
<1% -
http://www.jalan-jalan-bali.com/2009/05/upacara-padudusan-alit-di-pura-samuan.html
<1% - https://roykhan9.blogspot.com/2012/11/soal-ekonomi.html
<1% - https://issuu.com/epaper-kmb/docs/bpo_26012020
<1% -
https://visualheritageblog.blogspot.com/2013/05/5lagu-dangdut-pop-dan-rock-pada-a
cara.html
<1% - https://www.yumpu.com/id/document/view/17165822/antro-xii-bab-1pmd
<1% - https://ivoox.id/revolusi-industri-dari-1-0-hingga-4-0/
<1% - https://sejuk-pagi.blogspot.com/2009/04/sendratari-bali.html
<1% - https://fitrymind.wordpress.com/2012/02/08/sandiwara/
<1% - https://www.diedit.com/tari-bali/
<1% - https://issuu.com/waspada/docs/waspada__minggu_13_maret_2011
<1% -
https://www.nusabali.com/berita/2659/arja-drama-gong-wayang-kulit-dibungkam-tv
<1% -
https://hannypuspita.wordpress.com/education/tergesernya-budaya-tradisional-karena-
pengaruh-budaya-asing/
<1% -
https://seribubungabiru.blogspot.com/2013/10/dampak-positif-dan-negatif-pengaruh.h
tml
<1% - https://tugaskudimana.blogspot.com/p/karya-ilmiah-pengaruh-globalisasi.html
<1% - https://ruslanhazmi.wordpress.com/category/sosiologi/
<1% -
https://www.indonesiakaya.com/agenda-budaya/detail/puntadewa-satria-pinandita
<1% - https://zombiedoc.com/sastra-merajut-keberagaman-kebangsaan.html
<1% -
https://mafiadoc.com/graha-seni-dan-budaya-di-surakarta-sebagai-_59c36ba91723ddd
9d9c5aced.html
<1% - http://www.jendelasastra.com/berita/bahasa-bali-terancam-punah
<1% - http://digilib.uinsby.ac.id/692/9/Daftar%20Pustaka.pdf
<1% - https://www.scribd.com/document/360653064/Katalog-Buku-03-01-2014
<1% - https://www.scribd.com/document/353961799/Topeng-Masked-Dance-Theatre-1
<1% -
https://meneketeheonline.blogspot.com/2010/03/bahasa-dan-aksara-sebagai-identitas.
html
<1% - http://digilib.isi.ac.id/1058/4/BAB%20IV.pdf
<1% - http://digilib.uinsby.ac.id/146/7/Daftar%20Pustaka.pdf
<1% - http://demo2.unair.ac.id/direktori_guru-indonesia4-kuk.html
<1% - http://repository.upi.edu/7964/7/d_ind_049764_bibliography.pdf
<1% - http://digilib.unila.ac.id/6236/21/DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
<1% - http://eprints.blog.undip.ac.id/category/uncategorized/
<1% - http://repositori.kemdikbud.go.id/view/subjects/PED008=2E7.html
<1% - http://repository.unpas.ac.id/12472/6/DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
<1% - http://scholar.unand.ac.id/37933/4/DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
<1% -
http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/teori-chaos-sebuah-keteraturan-dalam-keacakan/
<1% - https://ilmupemerintahan.wordpress.com/category/ringkasan-tesis-dan-disertasi/
<1% - https://www.scribd.com/document/370094494/Bab-i-Viii-Daftar-Pustaka
<1% - http://journal.fib.uho.ac.id/index.php/simposiumbahasa/article/view/291
<1% - https://www.scribd.com/document/379949842/Buku-Panji-Binder1
<1% -
https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/0990261037-3-5.%20Halaman%20Awal.pdf
<1% - https://e-perpus.unud.ac.id/repositori/disertasi
<1% - https://baimlc09bi.blogspot.com/2015/07/penelitian-sastra-analisis-makna.html
<1% - https://abizarpurnama.blogspot.com/2008/
<1% - https://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_1991_num_42_1_2789
<1% -
https://andyyjr20.blogspot.com/2018/03/makalah-metodologi-penelitian-proposal_26.h
tml
<1% - http://repository.isi-dps.ac.id/view/subjects/NX.type.html
<1% - https://id.scribd.com/doc/169331018/Daftar-Buku-Perpustakaan
<1% -
https://tugaskampus27.blogspot.com/2014/05/pengantar-ilmu-pendidikan-batas-batas
an.html
<1% - https://www.scribd.com/document/364466296/OKTOBER-2017-pdf
<1% -
https://www.scribd.com/document/356326240/Jurnal-Stilistetika-Tahun-V-Volume-9