Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
J E S JURNAL EKONOMI SYARIAH
ISSN 2528-5610 (Print) ISSN 2541-0431 (Online)
hlm. 175-189
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN DALAM RANGKA
PEMANFAATAN PRODUK DAN JASA PARIWISATA SYARIAH (HALAL
TOURISM)
Elan Jaelani
STAI Bhakti Persada Bandung
e-mail: [email protected]
Abstract: Tourism is one of the five priority development sectors in 2017 set by
President Joko Widodo, in addition to the food, energy, maritime sectors, as well
as industrial zones and Special Economic zones (KEK). Based on data from the
Central Statistics Agency (BPS), the contribution of the tourism sector to
Indonesia's foreign exchange is experiencing growth from year to year. This
article aims to examine the field of sharia tourism (halal tourism) in terms of
understanding and perspective in the field of sharia law and economics, and
specifically directed to the discussion of legal protection for tourists in the context
of the utilization of sharia tourism products and services (halal tourism). Sharia
tourism sector (halal tourism) is a new field and is a part of Indonesia's efforts in
developing and developing sharia economic and business systems as an
alternative to the country's economic development. Through this research, it is
found that the implementation of sharia tourism activities (halal tourism) in
Indonesia still does not have adequate legal instruments and specifically regulates
sharia tourism activities, including the legal rules related to legal protection of
tourists. Through this research, it is found several legal instruments that can be
used as alternatives in the framework of efforts to provide legal protection for the
use of Islamic tourism products and services. The legal instruments include UU
No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection and UU No. 33 of 2004
concerning Halal Product Guarantee, in both legal instruments there are at least
several provisions that can be used as guidelines and legal umbrella, among them
are; related to the fulfillment of the right of tourists to get halal food and
beverage products; the right of tourists to get services in accordance with sharia
principles; the right of tourists to avoid misconduct, khurafat, pornography,
liquor, and drugs; and fulfillment of tourist rights to access to worship.
Keywords: Sharia Tourism, Consumer Protection Law, Halal Security Law, DSN-
MUI Fatwa
Pendahuluan
Pariwisata merupakan salah satu dari lima sektor prioritas pembangunan tahun 2017
yang ditetapkan Presiden Joko Widodo, selain sektor pangan, energi, maritim, serta kawasan
industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS), kontribusi sektor pariwisata terhadap devisa Indonesia mengalami pertumbuhan dari
tahun ke tahun.1 Termasuk di dalamnya pariwisata syariah (halal tourism) atau nama lainnya
telah dikembangkan oleh negara-negara di dunia yang menjadikan pariwisata sebagai salah
satu cara mendapatkan devisa. Keberadaan warga muslim sebagai anggota masyarakat kedua
di dunia, ditambah dengan pertumbuhan masyarakat kelas menengah muslim telah
1 Jenny Ratna Suminar, Komunikasi Pariwisata, Budaya dan Media (Bandung: Bitread, 2018), 94.
176 Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
menjadikan konsep pariwisata syariah (halal tourism) memiliki nilai ekonomi yang cukup
besar.2
Berdasarkan penelitian dari Middle Class Institute pada tahun 2016, dalam 10 tahun
terakhir kehidupan keislaman di Indonesia bergerak begitu dinamis dan mengejutkan. Pasar
muslim bergeliat dan bertumbuh ditandai dengan maraknya indusri hijab, kosmetik halal,
bank dan keuangan syariah, makanan halal, hotel syariah, dan sebagainya. Hal tersebut
menyiratkan bahwa ketaatan kepada ajaran Islam menjadi faktor yang semakin penting bagi
mereka dalam memutuskan produk dan jasa yang mereka beli dan konsumsi. Jadi,
pertimbangan halal atau tidak, mengandung riba atau tidak, syar’i atau tidak menjadi faktor
penentu penting dalam keputusan pembelian.3
Industri pariwisata syariah (halal tourism) adalah sebuah keniscayaan. Industi ini sudah
menjadi tren pariwisata masa depan. Industri ini terus berkembang dan dikembangkan para
pelakunya. Dan di banyak negara industri pariwisata syariah (halal tourism) menjadi
perhatian utama pelaku bisnis baik institusi negara maupun pihak swasta. Pasar pariwisata
syairah (halal tourism) menjadi garapan baru jika melihat prospeknya yang sangat
menjanjikan.4
Belum lagi jika melihat prestasi pariwisata syariah (halal tourism) di tingkat
internasional. Sebagaimana berita yang dilansir harian online Republika (2016), Indonesia
memenangkan 13 penghargaan dari 16 kategori yang dikompetisikan. Kategori yang
dimenangkan di antaranya:5 1).World’s Best Family Friendly Hotel: The Rhadana Kuta, Bali;
2).World’s Most Luxurious Family Friendly Hotel: The Trans Luxury Hotel Bandung; 3)
World’s Best Halal Apartment Hotel: PNB Perdana Hotel & Suites; 4) World’s Best Halal
Beach Resort: Novotel Lombok Resort & Villa; 5) World’s Best Halal Tour Operator: ERO
Tour, West Sumatera; 6). World’s Best Halal Travel Website:
www.wonderfullomboksumbawa.com; 7). World’s Best Hajj & Umrah Operator: ESQ Tours
and Travel; 8). World’s Best Hajj & Umrah Hotel: Tabung Haji; 9). World’s Best Halal
Destination: West Sumatera; 10). World’s Best Halal Culinary Destination: West Sumatera;
11). World’s Best Halal Cultural Destination: Aceh; 12). World’s Best Airport for Halal
Travellers: Sultan Iskandar Muda International Airport; 13) World’s Best Airport for Halal
Travellers: Sultan Iskandar Muda International Airport.
Potensi dan prestasi sebagaimana disampaikan di atas, tentunya merupakan satu modal
yang cukup baik bagi Indonesia untuk terus mengembangkan sektor pariwisata syariah (halal
tourism) baik di tingkat nasional ataupun global, akan tetapi hal tersebut perlu ditunjang juga
dengan pembangunan instrumen hukum sebagai pedoman dan payung hukum pariwisata
syariah (halal tourism). tentunya hal tersebut merupakan sebuah kondisi yang kurang baik
bagi perkembangan pembangunan pariwisata syariah (halal tourism) di Indonesia,
sebagaimana yang disampaikan oleh Djuhaendah dalam konsep pembangunan ekonomi yang
2 Ibid., 96. 3 Ibid., 100. 4 Riyanto Sofyan, Prospek Bisnis Pariwisata Syariah (Jakarta: Republika, 2012), xv. 5https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/12/08/ohtyo2330-ini-para-pemenang-world-
halal-tourism-awards-2016.
Elan Jaelani 177
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
menyatakan bahwa perkembangan ekonomi tidak akan berjalan maksimal tanpa dilandasi
oleh peraturan perundang-undangan yang baik.6
Salah satu di antaranya adalah sampai saat ini Indonesia belum memiliki regulasi yang
secara khusus mengatur kegiatan pariwisata syariah (halal tourism). Padahal jika melihat
kenyataanya di lapangan, geliat perkembangan sektor pariwisata syariah (halal tourism)
sedang menjadi tren baru dan alternatif wisata baru di kalangan masyarakat khususnya
masyarakat muslim kelas menengah (middle class moslem), hal tersebut dapat dibuktikan dari
semakin menjamurnya komponen usaha pariwisata syariah, seperti meningkatnya jumlah
hotel syariah, meningkatnya jumlah restoran yang bersertifikat halal, meningkatnya sarana
dan prasarana daya tarik wisata, seperti travel agen, tour guide, dan seluruh stakeholder yang
terkait lainnya.7
Instrumen hukum yang berfungsi sebagai landasan hukum terkait pelaksanaan bisnis
pariwisata syariah (halal tourism) di Indonesia, saat ini masih mengacu kepada UU No. 10
Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, dan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis
Ulama Indonesia No.108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata
Berdasarkan Prinsip Syariah, seperti terkait ketentuan akad (perjanjian) para pihak dalam
kegiatan pariwisata, jenis makanan dan minuman, ketentuan hotel, ketentuan destinasi wisata,
ketentuan spa, sauna, message, biro perjalanan wisata syariah, dan pengaturan tentang
pemandu wisata yang sesuai dengan prinsip syariah. Akan tetapi yang menjadi permasalahan
jika mengacu kepada sistem hukum di Indonesia, kedudukan fatwa DSN MUI tidak termasuk
ke dalam aturan yang memiliki kekuatan memaksa, dan bersifat mengikat melainkan hanya
bertindak sebagai pedoman moral bagi kalangan internal umat Islam saja.
Kondisi tesebut tentunya bukan suatu kondisi yang ideal bagi penyelengaraan pariwisata
syariah di Indonesia, karena UU No. 10 Tahun 2009 tidak mengatur secara spesifik mengatur
kegaiatan pariwisata syariah (halal tourism), dan pada tahun 2016 semakin diperparah dengan
dicabutnya peraturan mengenai Pedoman Penyelenggaran Usaha Hotel Syariah Nomor 2
Tahun 2014 melalui terbitnya Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2016. Adapun kedudukan
fatwa DSN MUI hanya sebagai pedoman internal umat Islam yang tidak bisa berlaku efektif
dan memiliki kekuatan hukum mengikat, tentunya kondisi tersebut secara tidak langsung akan
berdamapak terhadap perkembangan serta keberlangsungan sektor pariwisata syariah (halal
tourism) itu sendiri.
Yang menarik justru datang dari salah satu provinsi yang terletak di bagian timur
Indonesia, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di mana provinsi ini telah berhasil
membuat sebuah regulasi yang secara khusus mengatur pelaksanaan kegiatan pariwisata
syariah melalui insturmen hukum Peraturan Daerah (Perda). Melalui Peraturan Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 1 Tahun 2016 Tentang Pariwisata Halal, pemerintah
daerah NTB mencoba untuk memberkan perhatian khusus terhadap sektor pariwisata syariah
dan sebagai upaya dalam memberikan keamanan dan kenyamanan pelayanan kepada
6 Zulfi Diane Zaini, “Perspektif Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi di Indonesia”, Jurnal Ilmu
Hukum UNISSULA, Vol. 28, No. 2, 2012. 7 Ibid., 12.
178 Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
wisatawan agar dapat menikmati kunjungan wisata dengan aman, halal, dan juga dapat
memperoleh kemudahan bagi wisatawan dan pengelola dalam kegiatan kepariwisataan.8
Jika merujuk kepada fatwa DSN MUI terdapat banyak pihak yang terlibat dalam
kegiatan kepariwisataan, di antaranya wisatawan, biro perjalanan wisata syariah, pengusaha
pariwisata, hotel syariah, pemandu wisata, dan terapis. Tentunya dengan kondisi tersebut
menjadi sebuah keniscayaan bahwa konflik kepentingan antar para pihak dalam kegiatan
usaha pariwisata syariah tidak bisa untuk dihindari. Oleh karena itu, diperlukan sebuah
formulasi hukum yang mampu menjamin kepastian hukum, keadilan, kesetaraan,
profesionalitas, serta keamanan bagi para pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha pariwisata
syariah (halal tourisme) termasuk di dalamnya aturan yang menyangkut perlindungan hak dan
kepentingan wisatawan.
Bentuk perlindungan hukum terkait hak dan kepentingan wisatawan di antaranya adalah
adanya jaminan pemenuhan standar syariah pada produk dan layanan pada kegiatan
pariwisata, seperti ketentuan mengenai standarisasi makanan dan minuman halal, standarisasi
akses terhadap fasilitas ibadah di objek wisata, menempatkan batas muhrim yang jelas, dan
tidak ada suasana hiburan yang maksiat.9
Atas dasar itu, penulis kiranya perlu mengemukakan pertanyaan terkait bagaimana
perlindungan hukum terhadap wisatawan terkait pemenuhan standar syariah pada produk dan
jasa pariwisata syariah (halal tourism) di Indonesia?
Metodelogi
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normativ
(normative legal research)10. Penelitian ini bertumpu pada studi kepustakaan (library
research) dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).
Pengertian Pariwisata Syariah
Dalam kesejarahannya, parawisata dalam tradisi Islam dimulai dari kemunculan Islam
itu sendiri sebagai agama yang universal, yakni ketika dikenalkan konsep ‘ziya>rah’ yang
artinya secara harfiah adalah berkunjung. Akibat budaya ziya>rah itulah, lahir berbagai bentuk
pranata-pranata sosial Islam yang dibimbing oleh etika dan hukumnya. Selanjutnya lahirlah
konsep d}iya>fah, yakni tata krama kunjung-berkunjung yang di dalamnya mengatur etika dan
tata krama secara hubungan sosial antara tamu (d}ayf) dengan tuan rumah (mud}i>f). Konsep
ziya>rah tersebut mengalami perkembangan dan melahirkan berbagai bentuknya.11
Adapun istilah “islami tourism/halal tourism” pertama kali dikenalkan kepada publik
pada tahun 2000 di pertemuan OIC. Ia dikenalkan sebagai salah satu alternatif untuk
memenuhi permintaan agar terdapat suatu wisata yang didasarkan pada gaya hidup (life style)
yang sesuai dengan kebutuhan seorang muslim ketika berwisata.12 Untuk menggambarkan
8 Pasal 2 Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 1 Tahun 2016 Tentang Pariwisata Halal. 9 Unggul Priyadi, Pariwisata Syariah Prospek dan Perkembangan (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2016), 97. 10 Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, Cet. ke-8 (Jakarta: Kencana, 2013), 133. 11 Juhaya S. Praja, “Konsep Prawisata Syariah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Parawisata
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Bandung, 2014. 12 Munirah, L., & Ismail, H. N. Muslim, “Tourists Typologi in Malaysia: Perspectives and Challenges”,
Elan Jaelani 179
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
jenis wisata ini, banyak istilah yang digunakan. Di antaranya adalah sharia tourism, Islamic
tourism, halal friendly tourism destination, halal travel, muslim-friendly travel destinations,
halal lifestyle, dan beberapa istilah lainnya yang disesuaikan dengan kebijakan negara yang
mengembangkannya.13
Dalam tradisi Islam dikenal beberapa istilah yang berhubungan dengan pariwisata. Di
antaranya adalah syiar, safar, al-siya>h}ah, atau al-rih}lah. Bahasa Arab kontemporer lebih
memilih isitilah al-siya>h}ah untuk konsep wisata (tourism). Secara Bahasa, al-siya>h}ah berarti
pergi dengan motif apa saja. Al-Quran menyebut kata al-siya>h}ah dalam beberapa tempat (Q.S.
al-Taubah: 2 dan 112).14 Namun, istilah pariwisata syariah secara definisi dilakangan pelaku
wisata masih cenderung asing. Pariwisata syariah lebih dimaknai sebagai wisata religius, yaitu
kunjungan-kunjungan ke tempat ibadah untuk berziarah atau tempat-tempat ibadah lainnya.
Padahal, pariwisata syariah tidak terfokus pada objek saja, tetapi adab perjalanan dan fasilitas
lainnya.15
Lingkup Produk Pariwisata Syariah
Kepariwisataan berbasis syariah itu sendiri dipahami sebagai produk-produk
kepariwisataan yang menyediakan layanan keramahtamahan yang memenuhi persyataran
syari’i. Hal ini berarti orang yang sedang berwisata harus mematuhi larangan-larangan agama,
seperti berasik-asik di pantai dan kolam renang bercampur dengan selain muhrim, dengan
mengenakan pakaian yang tidak syar’i, makan-makan di hotel atau restoran dengan menu
hidangan yang mengandung babi dan alkohol , dan makanan lain yang haram.16
Dalam kontek yang lebih luas, kepariwisataan berbasis syariah mencakup segala
layanan yang bebas alkohol, keuangan islami, makanan bebasis syariah, saluran TV yang
bebas dari acara-acara yang tidak islami, kolam renang terpisah (laki-perempuan), fasilitas
peribadatan, transportasi terpisah (laki-perempuan) yang dapat diakses melalui udara, darat,
dan air, hotel yang memenuhi persyaratan syariah (keluarga/individu, chek in perempuan
lajang/sendirian), sanitasi yang baik dan bersih, dan lain sebagainya. Adapun bentuk
atraksinya mencakup warisan islami, museum dan seni islami, pemandu wisata yang
kompeten, harga yang terjangkau, komunikasi yang islami (promosi melalui berbagai media,
baik cetak maupun online).17
Kriteria Umum dan Komponen Pariwisata Syariah
Menurut Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan BPH DSN MUI, pariwisata
syariah mempunyai kriteria umum sebagai berkut:18
Proceedings of the Tourism and Hospitality International Conference. Malaysia: Department of Urban and
Regional Planning, Faculty of Built Environment, 201. 13 Fahadil Amin al-Hasan, “Penyelenggaraan Parawisata Halal di Indonesia (Analisis Fatwa DSN-MUI tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah)”, Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum, Vol. 2,
No. 1, Januari-Juni 2017. 14 Hasyim ibn Muhammad ibn Husain Naqur, al-Ah}ka>m al-Siyahahwa Atsaruha: Dira>sah Syar’iyyah
Muqa>ranah (Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 1424), 15. 15 Unggul Priyadi, Pariwisata Syariah Prospek dan Perkembangan, 94. 16 Ibid., 89. 17 Ibid., 89-90. 18 Riyanto Sofyan, Prospek Binsis Pariwisata Syariah (Jakarta: Republika, 2012), 57-58.
180 Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
1. Berorientasi pada kemaslahatan umum;
2. Berorientasi pada pencerahan, penyegaran dan ketenangan;
3. Menghindari kemusyrikan dan khurafat;
4. Menghindari maksiat, seperti zina, pornografi, pornoaksi, minuman keras, narkoba;
5. Menjaga prilaku, etika dan nilai luhur kemanusiaan seperti menghindari prilaku hedonis
dan asusisla;
6. Menjaga amanah, keamanah, dan kenyamanan;
7. Bersifat universal dan inklusif;
8. Menjaga kelestarian lingkungan, dan
9. Menghormati nilai-nilai sosial budaya dan kearifan lokal.
Jika kriteria umum tersebut di atas diaplikasikan pada komponen usaha profesi dan daya
tarik wisata, maka dari panduan umum menurut Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Keratif
dan BPH DSN MUI dapat dijelaskan seabagai berkut:
Pihak-pihak dalam penyelenggaraan pariwisata syariah adalah:
1. Wisatawan
2. Biro perjalanan wisata syariah
3. Pengusaha pariwisata
4. Hotel syariah
5. Pemanduk wisata
6. Terapis
Ketentuan terkait pihak-pihak yang terlibat dalam pariwisata syariah, di antaranya:
1. Hotel syariah
a. Hotel syariah tidak boleh menyediakan fasilitas akses pornografi dan tindakan
asusila;
b. Hotel syariah tidak boleh menyediakan fasilitas hiburan yang mengarah pada
kemusyrikan, maksiat, pornografi dan atau tindak asusila:
c. Makanan dan minuman yang disediakan hotel syariah wajib telah mendapat sertifikat
halal dari MUI;
d. Menyediakan fasilitas, peralatan dan sarana yang memadai untuk pelaksanaan
ibadah, termasuk fasilitas bersuci;
e. Pengelola dan karyawan/karyawati hotel wajib rnengenakan pakaian yang sesuai
dengan syariah;
f. Hotel syariah wajib meniiliki pedoman dan atau panduan mengenai prosedur
pelayanan hotel guna menjamin terselenggaranya pelayanan hotel yang sesuai
dengan prinsip syariah;
g. Hotel syariah wajib menggunakan jasa Lembaga Keuangan Syariah dalam
melakukan pelayanan.
2. Ketentuan terkait wisatawan
a. Berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah dengan menghindarkan diri dari syirik,
maksiat, munkar, dan kerusakan;
b. Menjaga kewajiban ibadah selama berwisata;
c. Menjaga akhlak mulia;
d. Menghindari destinasi wisata yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Elan Jaelani 181
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
3. Ketentuan destinasi pariwisata syariah
a. Destinasi wisata wajib diarahkan pada ikhtiar untuk:
1) Mewujudkan kemaslahatan umum,
2) Pencerahan, penyegaran dan penenangan;
3) Memelihara amanah, keamanan dan kenyamanan;
4) Mewujudkan kebaikan yang bersifat universal dan inklusif;
5) Memelihara kebersihan. kelestarian alam, sanitasi, dan lingkungan;
6) Menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan kearifan lokal yang tidak melanggar
prinsip syariah.
b. Destinasi wisata syariah wajib memiliki:
1) Fasilitas ibadah yang layak pakai, mudah dijangkau dan memenuhi persyaratan
syariah;
2) Makanan dan minuman halal yang terjamin kehalalannya dengan Sertifikat
Halal MUI
c. Destinasi wisata syariah wajib terhindar dari:
1) Kemusyrikan dan khurafat;
2) Maksiat, zina, pornografi, pornoaksi, minuman keras, narkoba dan judi;
3) Pertunjukan seni dan budaya serta atraksi yang bertentangan prinsip-prinsip
syariah.
4. Ketentuan spa, sauna, dan massage (terapis) syariah
a. Menggunakan bahan yang halal dan tidak najis yang terjamin kehalalannya dengan
Seftifikat Halal MUI;
b. Terhindar dari pornoaksi dan pornografi;
c. Terjaganya kehormatan wisatawan;
d. Terapis laki-laki hanya boleh rnelakukan spa, sauna, dan massage kepada wisatawan
laki-laki; dan terapis wanita hanya boleh melakukan spa, sauna, dan massage kepada
wisatawan wanita;
e. Tersedia sarana yang memudahkan untuk melakukan ibadah.
5. Ketentuan Biro perjalanan wisata syariah wajib memenuhi ketentuan;
a. Menyelenggarakan paket wisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
b. Memiliki daftar akomodasi dan destinasi wisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah;
c. Memiliki daftar penyedia makanan dan minuman halal yang memiliki Serlifikat
Halal MUL;
d. Menggunakan jasa Lembaga Keuangan Syariah dalam melakukan pelayanan jasa
wisata, baik bank, asuransi, lembaga pembiayaan, lernbaga penjaminan, maupun
dana pensiun;
e. Mengelola dana dan investasinya wajib sesuai dengan prinsip syariah;
f. Wajib memiliki panduan wisata yang dapat mencegah terjadinya tindakan syirik,
khurafat, maksiat, zina, pornografi, pornoaksi, minuman keras, narkoba dan judi.
6. Pemandu wisata syariah
a. Memahami dan mampu melaksanakan nilai-nilai syariah dalarn menjalankan tugas;
terutama yang berkaitan dengan fikih pariwisata;
182 Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
b. Berakhlak mulia, komunikatif, ramah, jujur dan bertanggung jawab;
c. Memiliki kornpetensi kerja sesuai standar profesi yang berlaku yang dibuktikan
dengan sertifikat;
d. Berpenampilan sopan dan menarik sesuai dengan nilai dan prinsip-prinsip syariah.
Perlindungan Hukum Wisatawan Perspektif UU RI No. 33 Tahun 2004 Tentang
Jaminan Produk Halal
Salah satu apek larangan dalam kepariwisataan syariah terletak pada konsumsi makanan
dan minuman yang wajib mengikuti ketentuan syar’i, di antaranya adalah makanan yang
dikonsumi baik yang tersedia di hotel ataupun restoran harus bebas dari bahan beralkohol dan
babi atau jenis makanan haram lainnya di taruh di dalam ketentuan syariah. Oleh karena itu,
produk makanan dan minuman halal menjadi bagian penting dan tidak bisa dipisahkan dari
sebuah kepariwisataa berbasis syariah.
Sebagaimana ketentuan umum terkait prinsip pariwisata syariah yang diatur dalam
fatwa DSN MUI menjelaskan bahwa penyelenggaran pariwisata syariah wajib untuk pertama,
terhindar dari kemusrikan, kemaksiatan, kemafsadatan, isra>f, dan kemunkaran; dan kedua,
menciptakan kemaslahatan dan kemanfaatan baik secara material maupun spiritual.19
Lebih jauh lagi, ketegasan terkait pentingnya kehalalan suatu produk makanan dan
minuman sebagaimana yang diatur dalam Fatwa DSN MUI, terletak pada ketentuan hotel
syariah, yang menyebutkan bahwa makanan dan minuman yang disediakan hotel syariah
wajib telah mendapat sertifikat halal dari MUI. Kewajiban mengkonsumi makanan dan
minuman yang halal selain menjadi salah satu syarat dan standar pelaksanaan kepariwisataan
syariah, juga sudah menjadi bagian dari ketentuan ajaran agama agar umat Islam untuk
mengkonsumi jenis makanan dan minuman yang halal, suci dan bersih.
Hal itu termaktub dalam al-Quran:
ا الذينا آمانوا كلوا من طاي باات ماا رازا ه ت اعبدونا يا أاي ها تم إي نااكم وااشكروا لل إن كن 20ق
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari benda-benda yang baik (yang halal)
yang telah Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah jika betul kamu
hanya beribadat kepada-Nya”.
Oleh karena itu, stakeholder yang terlibat dalam pariwisata syariah perlu mengetahui
informasi yang jelas tentang status halal dan haram tentang produk makanan, minuman, dan
berbagai jenis barang lainnya. Hal tersebut tentunya dalam upaya menciptakan sebuah
kegiatan pariwisata yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan, serta memberikan
pelayanan sesuai syar’i kepada wisatawan yang terlibat.
Akan tetapi meskipun belum terdapat instrumen hukum yang mengatur secara langsung
perlindungan wisatawan terhadap akses produk makanan dan minuman halal. Dalam kontek
pengaturan produk makanan dan minuman, pemerintah sudah mengeluarkan ketentuan
19 Ketentuan Umum Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia No.108/DSN-
MUI/X/2016. 20 al-Quran, 2: 172.
Elan Jaelani 183
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Dengan adanya regulasi
tentang jaminan produk halal yang mewajibkan adanya pemenuhan sertifikasi dalam
menjalankan usahanya, setidaknya bisa dijadikan sebagai instrumen hukum dalam rangka
memberikan perlindungan hak terhadap wisatawan pariwisata syariah.
Relevansi undang-undang tersebut dengan wisata halal, antara lain adalah karena
menyentuh berbagai kebutuhan wisatawan (muslim) seperti tempat penginapan, restoran,
kolam renang, spa dan faktor pendukung lain sebagainya. Selama di hotel, mereka dijamu
makanan dan minuman sesuai dengan fasilitas yang disediakan yang kesemuanya harus
dijamin kehalalannya.21
Oleh karena itu, seluruh stakeholder pariwisata syariah wajib untuk mengikuti aturan
yang sudah dibuat oleh pemerintah, di antaranya dengan mengacu kepada Peraturan Undang-
Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Adapun standarisasi terkait
produk makanan dan miuman yang bisa dikategorikan halal, terdapat dalam BAB III Pasal 17
UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang menyebutkan sebagai berikut:
1. Bahan makanan tidak berasal dari hewan yang diharamkan, seperti bangkai, darah, babi,
dan setiap hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariah;
2. Tuntunan penyembelihan sebagaimana dimaksud di atas adalah hewan yang digunakan
sebagai bahan produk wajib disembelih dengan syariat dan memenuhi kaidah
kesejahteraan hewan serta kesehatan masyarkat veternier;
3. Bahan yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang
mengkonsumsinya;
4. Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi,
proses biologi, atau proses rekayasa dapat dikategorikan halal jika porses pertumbuhan
dan/atau pembuatannya tidak tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan
bahan yang diharamkan;
5. Semua proses pembuatan produk makanan dan minuman dalam prosesnya dan
penyimpanannya wajib untuk memisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat
penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan
penyajian produk tidak halal;
6. Lokasi tempat pembuatan produk makanan dan minuman wajib untuk dijaga kebersihan
dan higienitasnya, bebas dari najis, dan bebas dari bahan tidak halal.
Hal ini mengandung arti setiap kegiatan produksi makanan harus berpegang kepada
prinsip produk halal yang telah digariskan oleh syariat Islam. Prinsip produk makanan dan
bahan olahan dalam hukum Islam menurut Abdul Manan dikendalikan oleh lima prinsip, yaitu
prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati, prinsip
moralitas.22
Berdasarkan lima prinsip ini, bagi masyarakat muslim memenuhi kebutuhan bukan
berorientasi kepada kepuasan belaka, tetapi ada dimensi lain yang harus diikuti. Islam
memandang pemenuhan kebutuhan memiliki tujuan dimensi dunia dan dimensi akhirat.
Manfaat kebutuhan dalam Islam lebih ditekankan kepada tingkat kemasalahatan dan
21 Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal Perspektif Multidimensi (Yogyakarta: UIN Maliki Press, 2017), 150. 22 Slamet Mujiono, “Perlindungan Konsumen: Regulasi Bisnis”, EBI (Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam), Vol. 1,
No. 1, Januari - Juni 2016.
184 Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
kemudaratan, sejauh pemenuhan kebutuhan tidak mendatangkan kemudaratan dan merusak,
maka Islam memberikan keluasan untuk mengkonsumsi baik barang, makanan dan jasa.23
Di samping kehalalan dan sifat baik dari makanan masih ada lagi persyaratan lain yang
cukup penting dalam mengkonsumsi makanan, di antarnya adalah terkait bagaimana
memperoleh dan cara membuatnya. Rezeki yang diperoleh dengan cara yang haram, seperti
pangan, sandang, tempat tinggal, sebagian ulama ada yang berpendapat hasilnya haram untuk
dikonsumsi meskipun makanan tersebut makanan yang halal. Nabi menjelaskan bahwa tubuh
yang dibesarkan dari makanan yang haram, baik cara mendapatkannya, maupun jenis
makanan itu sendiri, maka neraka lebih baik untuknya.
Hadis di atas mengandung arti cara yang digunakan. Dengan demikian dalam arti luas
teknologi yang dipergunakan dalam memperoleh atau memproduksi makanan hendaknya
diperhatikan hal-hal yang diperbolehkan dalam hukum Islam, misalnya tidak mencampur
dengan bahan yang haram ke dalam proses produksi, tidak melakukan penipuan dengan
mengkemas makanan haram menjadi makanan yang halal.24
Berikutnya dikaji pula tentang pelaku usaha yang mempunyai peran penting terhadap
kehalalan setiap produk yang dalam hal ini dapat dilakukan pengawasan melalui peran serta
masyarakat. Karena itu, setiap produk yang terbukti melawan ketentuan hukum tersebut akan
terkena sanksi bagi pelakunya. Inilah gambaran sekilas terkait dengan bagian kajian ini,
sekaligus akan menunjukan bagaimanapun kehadiran undang-undang jaminan produk halal
sangat dibutuhkan untuk pengembangan industri pariwisata syariah (halal tourism) di
Indonesia.25
Aturan yang terkait dengan pelaku usaha pariwisata syariah sebagaimana yang
disebutkan di atas diatur dalam pasal 25 UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal;
2. Menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal;
3. Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak
halal;
4. Memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir; dan
5. Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.
Ketentuan berikutnya dalam pasal 38 25 UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal menyebutkan kewajiban lainnya bagi penyedia makan dan minuman yang telah
memperoleh sertifikat halal untuk wajib mencantumkan label halal pada:
1. Kemasan produk;
2. Bagian tertentu dari produk; dan/atau
3. Tempat tertentu pada produk
Terkait ketentuan pelanggaran dan ketidak patuhan penyedia makanan dan minuman
terhadap ketentuan halal, sesuai dengan Pasal 56 25 UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal menyebutkan bahwa pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang
23 Ibid. 24 Ibid. 25 Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal, 151.
Elan Jaelani 185
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Perlindungan Hukum Wisatawan Presfekti UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan
Konsumen
Bagaimanapun, dalam segala aktivitas bisnis dituntut untuk menawarkan sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam kapasitasnya sebagai stakeholder. Bukanlah
sebaliknya, menawarkan apa yang merugikan, apalagi membahayakan bagi masyarakat.26
Sesuai dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri
maupun orang lain”.27
Akan tetapi dalam praktiknya di lapangan para pelaku bisnis hanya berorientasi kepada
keuntungan (profit oriented) yang bersifat material saja tanpa memperhatikan aspek-aspek
yang dapat merugikan kepentingan konsumen, termasuk di dalamnya terkait halal atau
tidaknya barang yang diperjualbelikan. Dengan kata lain, tidak jarang para pelaku usaha
mengabaikan kepentingan-kepentingan konsumen tanpa memperhatikan beberapa aspek
penting, seperti aspek kesehatan, finansial, keyakinan, dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, dalam kontek bisins pariwisata syariah diperlukan adanya perlindungan
terhadap konsumen melalui perangkat legalitas formal untuk menetapkan aturan main agar
kepentingan konsumen benar-benar terlindungi. Sekaligus agar tercipta kepastian hukum
sehingga konsumen tidak lagi merasa dibayang-bayangi ketidakpastian untuk bertindak.28
Kehadiran perundangan dimaksud adalah untuk meletakkan batasan-batasan minimal
yang berfungsi untuk memamndu, sekaligus mengatur kegiatan bisnis dalam kaitan dengan
kepentingan masyarakat secara luas. Karena itu, kepada para pelaku bisnis syariah diharapkan
memiliki kesadaran dan tanggung jawab moral dengan memperhatikan bagaimana dampak
kegiatan bisnis yang dijual. Antara lain yang berkaitan dengan kehalalan, kesehatan, budaya,
sosial, dan ekonomi.29
Bagi wisatawan muslim adalah pasti setiap produk yang dihasilkan dan disajikan,
selanjutnya dikonsumsi harus halal dan baik. Artinya, harus h}ala>lan t}ayyibah, selain juga
bahan baku dan prosesnya harus mengedepankan norma-norma yang diajarkan Islam. Dengan
demikian, industri pariwisata halal yang dikembangkan akan sejalan dengan prinsip-prinsip
syariah.30
Oleh karena itu diperlukan peraturan perundang-undangan untuk memberikan
perlindungan dan posisi tawar yang baik bagi wisatawan dihadapan para pelaku bisnis
pariwisata syariah. Selian itu, dukungan insrumen hukum yang baik juga akan secara tidak
langsung mendorong bisnis pariwisata syariah semakin kuat di tengah pentas global. Karena
dengan adanya dukungan instrumen hukum yang baik otomatis akan berdampak terhadap
26 Ibid., 162. 27 M. Ichwan Sam, dkk., Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional (Jakarta: Diterbitkan atas kejasama DSN-
MUI dengan Bank Indonesia, 2003), 43. 28 Muhammad Djakfar, Pariwisata Halal, 163-164 29 Ibid. 30 Ibid.
186 Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
meningkatnya kepercayaan stakeholder pariwisata syariah, baik di mata wisatawan dan
masyarakat pada umumnya.
Itulah di antara alasan mendasar dan arti penting kehadiran perundangan tentang
perlindungan konsumen yang pada prinsipnya adalah untuk memperkuat posisi wisatawan
muslim di hadapan pelaku usaha pariwisata syariah (halal tourism). Sekaligus untuk
memperkuat posisi industri pariwisata syariah yang secara bisnis membutuhkan dukungan
kehadiran wisatawan. Selain juga secara yuridis butuh dukungan beberapa norma hukum yang
relevan agar memiliki daya saing yang semakin kuat di tengah pentas global.31
Dalam kontek perlindungan hukum terhadap wisatawan dalam sistem hukum Indonesia
terdapat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Secara
yuridis praktis undang-undang tersebut dapat dijadikan “alternatif hukum” dalam upaya
melindungi hak wisatawan dalam rangka mendapatkan pelayanan produk dan jasa pariwisata
syariah yang sesuai dengan ketentuan prinsip penyelenggaraan pariwisata syariah yang
tertuang dalam Fatwa DSN-MUI tentang penyelenggaraan pariwisata syariah.
Adapun hak-hak konsumen muslim yang harus dipenuhi antara lain: a. Berdasarkan
ketentuan hukum Islam maka konsumen muslim untuk mendapatkan produk, pangan, jasa dan
lainnya yang sesuai dengan syariat Islam atau bernilai halal. b. Hak untuk mendapatkan
produk yang aman. c. Hak untuk diberi secara lebih jelas hal-hal yang menyangkut produk. d.
Hak untuk memilih berbagai produk yang tersedia. e. Hak untuk didengar oleh perusahaan
terhadap hal-hal yang dikeluhkan. f. Hak untuk membentuk organisasi atau kelompok
konsumen. g. Hak untuk mendapatkan jaminan perlindungan dari negara terhadap konsumsi
produk halal. h. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen. i. Hak untuk memperoleh
kebutuhan pokok. j. Hak untuk memilih. k. Hak untuk mendapatkan ganti rugi.32
Lebih lanjut pasal 4 huruf a UUPK, menyebtukan bahwa Hak konsumen adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Selanjutnya, Pasal 4 huruf c, disebutkan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Dari pasal ini dapat dipahami bahwa setiap konsumen termasuk di dalamnya wisatawan
pariwisata syariah, berhak atas barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu
pengertian nyaman bagi wisatawan adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan
agamanya, maka penyampaian informasi yang berkaitan dengan produk baik barang ataupun
jasa harus dapat memberikan kepuasan, kepastian, dan jaminan kepada konsumen, sehingga
hak-hak konsumen dapat diperoleh dengan baik.
Selanjutnya yang berkaitan dengan Kewajiban pelaku usaha sebagaimaan diatur dalam
Pasal 7 huruf b UUPK, menyebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Sedangkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam
Pasal 8 huruf H UUPK, tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yaitu tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label.
31 Ibid., 164. 32 Slamet Mujiono, “Perlindungan Konsumen: Regulasi Bisnis”, 52.
Elan Jaelani 187
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
Pelaku usaha yang mencantumkan label halal pada kemasan produknya berdasarkan
pasal di atas harus bisa dipertangungjawabkan sesuai dengan apa yang tertera pada label.
Dengan demikian perusahaan tidak dapat dengan serta merta mengklaim bahwa produknya
halal, sebelum melalui pengujian yang telah ditentukan.
Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang perlindungan konsumen, isi label harus
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Kontrol di bidang pelabelan diatur dalam Pasal
8 Ayat 1 UUPK yang isinya antara lain pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau
memperdagangkan barang dan atau jasa yang;
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu;
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label;
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Secara garis besar larangan pada pasal di atas mencakup dua hal, yakni larangan untuk
memproduksi dan memasarkan produk yang tidak memenuhi syarat dan standar yang sudah
ditetapkan, dan larangan tidak memberikan informasi yang benar dan akurat tentang produk
yang dibuat. Termasuk di dalamnya menjadi pertahian penting untuk setiap elemen
penyelenggara pariwista syariah untuk memberikan informasi yang akurat, dan jujur terkait
kehalalan dari produk makanan dan minuman yang mereka sajikan kepada para wisatawan,
Seperti yang dikemukakan di atas, label merupakan sarana informasi yang paling
penting bagi konsumen termasuk dalam hal ini para wisatawan. Pemberian label pada produk
pangan bertujuan untuk memberi informasi tentang isi produk yang benar, jelas dan lengkap
baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukan mengenai barang
yang diperdagangkan. Sehingga perlu diatur dan dikendalikan agar informasi mengenai
pangan yang disampaikan kepada masyarakat adalah benar dan tidak menyesatkan. Sehingga
188 Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
hak-hak konsumen bisa terlindungi dan konsumen mendapatkan jaminan dan kepastian
hukum.33
Kesimpulan
Bidang pariwisata syaiah (Halal tourism) merupakan bidang baru dan menjadi bagian
dalam upaya Indonesia dalam membangun serta mengembangkan sistem ekonomi dan bisnis
syariah sebagai alternatif pembangunan ekonomi negara. Termasuk di dalamnya pariwisata
syariah merupakan bagian dari sektor ekonomi terbesar ke-4 (empat) sebagai penyumbang
devisa negara, tentunya sektor pariwisata merupakan sektor yang sangat strategis dan
memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Industri pariwisata syariah (halal tourism) adalah sebuah keniscayaan. Industi ini sudah
menjadi tren pariwisata masa depan. Industri ini terus berkembang dan dikembangkan para
pelakunya. Dan dibanyak negara, industri pariwisata syariah (halal tourism) menjadi
perhatian utama pelaku bisnis baik institusi negara maupun pihak swasta. Pasar pariwisata
syairah (halal tourism) menjadi garapan baru jika melihat prospeknya yang sangat
menjanjikan.
Potensi dan peluang sektor pariwisata syariah tentunya harus dibarengi dengan
pembangunan instrumen hukum yang memadai dan mengatur secara jelas dan komprehensif,
terutama pada aspek perlindungan hukum wisatawan yang menyangkut pemenuhan hak dan
kepentingan wisatawan. seperti adanya jaminan pemenuhan standar syariah pada produk dan
layanan pada kegiatan pariwisata, seperti ketentuan mengenai standarisasi makanan dan
minuman halal, standarisasi akses terhadap fasilitas ibadah di objek wisata, menempatkan
batas muhrim yang jelas, dan tidak ada suasana hiburan yang maksiat.
Meskipun belum terdapat peraturan yang jelas dan komprehensif dalam menjalankan
kegiatan pariwisata syariah (halal tourism), dalam upaya memberikan perlindungan hukum
dan jaminan kepastian hukum kepada wisatawan terdapat beberapa undang-undang yang bisa
dijadikan alternatif pijakan dalam kontek pemanfaatan produk dan jasa pariwisata syariah
(halal tourism) oleh wisatawan, di antaranya adalah UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Jaminan Produk halal.
Daftar Rujukan
Aksamawanti. “Perlindungan Konsumen atas Produk Pangan Berlabel Halal: Tinjauan
Yuridis”. Jurnal Syariati Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Sains Al-Quran.
Vol. I, No. 1, Mei 2015.
al-Hasan, Fahadil Amin. “Penyelenggaraan Parawisata Halal di Indonesia (Analisis Fatwa
DSN-MUI tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip
Syariah)”. Jurnal Ilmu Syari'ah Dan Hukum. Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2017.
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia No.108/DSN-MUI/X/2016.
Jaelani, Aan. “Halal tourism Industry in Indonesia: Potential and Prospects”, MPRA Munich
Personal RePec Archive, Paper No. 76235, 2017. https://mpra.ub.uni-
muenchen.de/76235/
33 Aksamawanti, “Perlindungan Konsumen atas Produk Pangan Berlabel Halal: Tinjauan Yuridis”, Jurnal
Syariati Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Sains Al-Quran, Vol. I, No.1, Mei 2015.
Elan Jaelani 189
J E S Volume 3, Nomor 2, September 2018
Marzuki, Peter Mahmud. Metode Penelitian Hukum, Cet. ke-8. Jakarta: Kencana, 2013.
Mujiono, Slamet. “Perlindungan Konsumen: Regulasi Bisnis”. EBI (Jurnal Ekonomi dan
Bisnis Islam). Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016.
Munirah, L., dan Ismail, H. N. Muslim. “Tourists Typologi in Malaysia: Perspectives and
Challenges”. Proceedings of the Tourism and Hospitality International Conference.
Malaysia: Department of Urban and Regional Planning, Faculty of Built Environment.
Naqur, Hasyim ibn Muhammad ibn Husain. al-Ahkam al-Siyahahwa Atsaruha: Dirasah
Syar’iyyah Muqaranah. Riyadh: Dar Ibn al-Jawzi, 1424.
Peraturan Daerah Provinsi Lombok No. 1 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pariwisata
Halal.
Praja, Juhaya S. “Konsep Pariwisata Syariah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Parawisata Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Bandung, 2014.
Priyadi, Unggul. Pariwisata Syariah Prospek dan Perkembangan. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN, 2016.
Sam, M Ichwan dkk. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Jakarta: DSN-MUI bekerja
sama dengan Bank Indonesia, 2003.
Sofyan, Riyanto. Prospek Bisnis Pariwisata Syariah. Jakarta: Republika, 2012.
Suminar, Jenny Ratna. Komunikasi Pariwisata, Budaya dan Media. Bandung: Bitread, 2018.
The World Bank, “Laporan Ekonomi Triwulanan Indonesia, Oktober 2016: Tekanan
Mereda”, Dikutip dari laman: http://www.worldbank.org/in/country/indonesia/publi
cation/indonesia-economic-quarterly-october-2016.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Pelindungan Konsumen.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 Tentang Jaminan Produk Halal.
Zaini, Zulfi Diane. “Perspektif Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi di
Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum UNISSULA. Vol. 28, No. 2, 2012.