21
224 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KETERGANTUNGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Singgih Aditya Utama Polda Kaliantan Selatan E-mail:[email protected] Abstract : The purpose of this legal research is to examine and analyze the legal protection of victims of drug addiction abuse. And examine and analyze the application of Article 112 and Article 114 of Law Number 35 Year 2009 on Narcotics against victims of drug abuse, as well as to explain future solutions that can be exposed to victims of drug abuse. The results showed that, First form of legal protection against victims of drug abuse dependence through a form of protection that is pre-emtive, preventive, and repressive. Where the pre-emtive form is an appeal and approach to all levels of society to understand about government policies in the fight against drugs so that all layers of society know for certain the latent danger of the narcotics. Preventive form is to include acts that are prohibited to be done in the Law of Narcotics into the prevailing legal norms that are more to the prevention of criminal acts of narcotics. While the repressive form serves to overcome the crime based on the principle of error that is regulated in the applicable legislation. The second application of Article 112 and Article 114 of Law Number 35 Year 2009 on Narcotics against the victims of drug addiction is based on the elements that have been determined in Article 112 and Article 114 of Law Number 35 Year 2009 on Narcotics where its application has been implemented by the police in determining a person guilty or not to commit a criminal act of narcotics. Keywords: Legal Protection, Victims of Addiction, Narcotics Abuse Abstrak : Tujuan penelitian hukum ini adalah Mengkaji dan menganalisa perlindungan hukum terhadap korban ketergantungan penyalahgunaan narkotika. Dan mengkaji dan menganalisa penerapan Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap korban ketergantungan penyalahgunaan narkotika, serta menjelaskan solusi kedepan yang dapat diterpakan terhadap korban ketergantungan penyalahgunaan narkotika. Hasil penelitian menunjukan bahwa, Pertama bentuk perlindungan hukum terhadap korban ketergantungan penyalahgunaan narkotika melalui bentuk perlindungan yang bersifat pre emtif, preventif, dan represif. Dimana bentuk pre-emtif adalah himbauan dan pendekatan terhadap segenap lapisan masyarakat untuk memahami tentang kebijakan pemerintah dalam memerangi narkoba agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui secara pasti bahaya laten dari narkotika tersebut. Bentuk preventif adalah dengan memasukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan didalam Undang-Undang Narkotika kedalam norma hukum yang berlaku yang lebih kepada pencegahan perbuatan pidana narkotika. Sedangkan bentuk represif berfungsi untuk menanggulangi kejahatan berdasarkan asas kesalahan yang diatur didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua penerapan Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap korban ketergantungan penaylahgunaan narkotika yaitu dengan berdasarkan unsur- unsur yang telah ditentukan pada Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana penerapannya telah dilaksanakan oleh kepolisian dalam menentukan seseorang bersalah atau tidaknya melakukan perbuatan tindak pidana narkotika. Kata kunci: Perlindungan Hukum, Korban Ketergantungan, Penyalahgunaan Narkotika

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

224 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KETERGANTUNGAN

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

Singgih Aditya Utama

Polda Kaliantan Selatan

E-mail:[email protected]

Abstract :

The purpose of this legal research is to examine and analyze the legal protection of victims of drug

addiction abuse. And examine and analyze the application of Article 112 and Article 114 of Law Number

35 Year 2009 on Narcotics against victims of drug abuse, as well as to explain future solutions that can

be exposed to victims of drug abuse. The results showed that, First form of legal protection against

victims of drug abuse dependence through a form of protection that is pre-emtive, preventive, and

repressive. Where the pre-emtive form is an appeal and approach to all levels of society to understand

about government policies in the fight against drugs so that all layers of society know for certain the

latent danger of the narcotics. Preventive form is to include acts that are prohibited to be done in the Law

of Narcotics into the prevailing legal norms that are more to the prevention of criminal acts of narcotics.

While the repressive form serves to overcome the crime based on the principle of error that is regulated

in the applicable legislation. The second application of Article 112 and Article 114 of Law Number 35

Year 2009 on Narcotics against the victims of drug addiction is based on the elements that have been

determined in Article 112 and Article 114 of Law Number 35 Year 2009 on Narcotics where its

application has been implemented by the police in determining a person guilty or not to commit a

criminal act of narcotics.

Keywords: Legal Protection, Victims of Addiction, Narcotics Abuse

Abstrak :

Tujuan penelitian hukum ini adalah Mengkaji dan menganalisa perlindungan hukum terhadap korban

ketergantungan penyalahgunaan narkotika. Dan mengkaji dan menganalisa penerapan Pasal 112 dan

Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap korban ketergantungan

penyalahgunaan narkotika, serta menjelaskan solusi kedepan yang dapat diterpakan terhadap korban

ketergantungan penyalahgunaan narkotika. Hasil penelitian menunjukan bahwa, Pertama bentuk

perlindungan hukum terhadap korban ketergantungan penyalahgunaan narkotika melalui bentuk

perlindungan yang bersifat pre emtif, preventif, dan represif. Dimana bentuk pre-emtif adalah himbauan

dan pendekatan terhadap segenap lapisan masyarakat untuk memahami tentang kebijakan pemerintah

dalam memerangi narkoba agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui secara pasti bahaya laten dari

narkotika tersebut. Bentuk preventif adalah dengan memasukan perbuatan-perbuatan yang dilarang

dilakukan didalam Undang-Undang Narkotika kedalam norma hukum yang berlaku yang lebih kepada

pencegahan perbuatan pidana narkotika. Sedangkan bentuk represif berfungsi untuk menanggulangi

kejahatan berdasarkan asas kesalahan yang diatur didalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Kedua penerapan Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika terhadap korban ketergantungan penaylahgunaan narkotika yaitu dengan berdasarkan unsur-

unsur yang telah ditentukan pada Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika dimana penerapannya telah dilaksanakan oleh kepolisian dalam menentukan

seseorang bersalah atau tidaknya melakukan perbuatan tindak pidana narkotika.

Kata kunci: Perlindungan Hukum, Korban Ketergantungan, Penyalahgunaan Narkotika

Page 2: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

Singgih Aditya Utama : Perlindungan Hukum Terhadap Korban..…… 225

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fungsi sanksi pidana dalam hukum

pidana, tidaklah semata-mata menakut-

nakuti atau mengancam para pelanggar,

akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi

tersebut juga harus dapat mendidik dan

memperbaiki si pelaku. Pidana itu pada

hakikatnya merupakan nestapa, namun

pemidanaan tidak dimaksud untuk

menderitakan dan tidak diperkenankan

merendahkan martabat manusia. Landasan

pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan

pemidanaan bukan hanya menitikberatkan

terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga

perlindungan individu dari pelaku tindak

pidana.

Pada awalnya narkotika digunakan

untuk kepentingan umat manusia, khususnya

untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan.

Namun, dengan semakin berkembangnya

zaman, narkoba digunakan untuk hal-hal

negatif. Di dunia kedokteran, narkotika

banyak digunakan khususnya dalam proses

pembiusan sebelum pasien dioperasi

mengingat di dalam narkotika terkandung

zat yang dapat mempengaruhi perasaan,

pikiran, serta kesadaran pasien. Oleh karena

itu, agar penggunaan narkotika dapat

memberikan manfaat bagi kehidupan umat

manusia, peredarannya harus diawasi secara

ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

Pentingnya peredaran narkotika

diawasi secara ketat karena saat ini

pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang

negatif. Disamping itu, melalui

perkembangan teknologi informasi dan

komunikasi, dan adanya penyebaran

narkotika yang juga telah menjangkau

hampir ke semua wilayah Indonesia. Daerah

yang sebelumnya tidak pernah tersentuh

oleh peredaran narkotika lambat laun

berubah menjadi sentral peredaran

narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada

mulanya awam terhadap barang haram ini

telah berubah menjadi sosok pecandu yang

sukar dilepaskan ketergantungannya.

Pecandu pada dasarnya adalah merupakan

korban penyalahgunaan tindak pidana

narkotika yang melanggar peraturan

pemerintah, dan mereka itu semua

merupakan warga negara Indonesia untuk

masa yang akan datang dapat membangun

negeri ini dari keterpurukan hampir di segala

bidang. Berkaitan dengan masalah

penyalahgunaan narkotika tersebut,

diperlukan suatu kebijakan hukum pidana

yang memposisikan pecandu narkotika

sebagai korban, bukan pelaku kejahatan.

Upaya-upaya itu meliputi

penyelamatan para pengguna narkoba

dengan cara rehabilitasi, dan memberantas

para bandar, sindikat, dan memutus

peredaran gelap narkotika. Tetapi itu tidak

cukup, karena diperlukan pula upaya

preventif berupa pencegahan agar tidak

Page 3: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

226 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018

muncul pengguna/pecandu narkotika yang

baru, mengingat kata pepatah yang

mengatakan, “lebih baik mencegah daripada

mengobati”. Pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika saat ini tidak

hanya ada pada kalangan yang cukup umur

saja, bahkan pada kalangan yang belum

cukup umur. Oleh karena itu diperlukan

upaya pencegahan penyalahgunaan

narkotika sejak dini.

Keseriusan pemerintah dalam menang-

gulangi permasalahan penyalahgunaan

narkotika tersebut sangat diperlukan.

Terutama penyamaan kedudukan permasa-

lahan narkotika dengan permasalahan

korupsi dan terorisme. Ketiga permasalahan

tersebut sama-sama mempunyai dampak

yang sistemik, mengancam ketahanan

nasional, serta merusak kesehatan

masyarakat terutama generasi muda.

Banyaknya Peraturan mulai dari

Puncak Herarki Perundang-undangan

sampai dengan peraturan yang ada

dibawahnya diantaranya Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3209, Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5062, Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,

Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5076, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5211, Surat Edaran Mahkamah

Agung (SEMA) Republik Indonesia Nomor

4 Tahun 2010 jo SEMA RI No. 07 Tahun

2009 tentang Penempatan Penyalahgunaan,

Korban Penyalahgunaan dan Pecandu

Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi

Medis dan Rehabilitasi Sosial, dan Peraturan

Bersama Ketua Mahkamah Agung RI,

Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri

Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Jaksa

Agung RI, Kepala Kepolisian RI, dan

Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor

01/PB/MA/III/2014, Nomor 3 Tahun 2014,

Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 3 Tahun

2014, PER-005/A/JA/03/2014, Nomor 1

Tahun 2014, Nomor PERBER/01/III-

/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu

Narkotika dan Korban Penyalahgunaan

Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.

Masih dianggap belum cukup memadai

dalam pelaksanaannya khususnya diwilayah

hukum Kota Banjarmasin, dimana

banyaknya pengguna sekaligus pengedar

maupun pecandu yang tertangkap langsung

dilakukan proses pemeriksaan dan

pelimpahan berkas ke Kejaksaan Kota

Page 4: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

Singgih Aditya Utama : Perlindungan Hukum Terhadap Korban..…… 227

Banjarmasin tanpa adanya tahapan upaya

pengrehabilitasian terhadap pecandu

narkoba di wilayah Kota Banjarmasin.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang yang telah penulis

paparkan di atas untuk membatasi agar

pembahasan yang dilakukan tidak meluas

dan penelitian lebih terarah maka penulis

membuat rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana bentuk perlindungan hukum

terhadap korban ketergantungan

penyalahgunaan narkotika ?

Bagaimana penerapan pasal 112 dan Pasal

114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika terhadap korban

ketergantungan penyalahgunaan narkotika ?

Dari hasil penelitian ini diharapkan

tujuan penulis adalah mengkaji dan

menganalisa perlindungan hukum terhadap

korban ketergantungan penyalahgunaan

narkotika dan mengkaji dan menganalisa

penerapan Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika terhadap korban ketergantungan

penyalahgunaan narkotika, serta

menjelaskan solusi kedepan yang dapat

diterapkan terhadap korban ketergantungan

penyalahgunaan narkotika.

Jenis Penelitian yang akan peneliti

gunakan yaitu jenis penelitian hukum

normatif, dengan pendekatan perundang-

undangan (Statute Approach), dan

Pendekatan Konseptual (Conceptual

Approach). Serta Penelitian ini akan

menggunakan sifat penelitian deskriptif

(descriptive research).

PEMBAHASAN

Peredaran narkotika secara ilegal harus

segera ditanggulangi mengingat efek negatif

yang akan ditimbulkan tidak saja pada

penggunanya, tetapi juga bagi keluarga,

komunitas, hingga bangsa dan negara.

Pengguna narkotika sangat beragam dan

menjangkau semua lapisan masyarakat,

mulai dari anak-anak hingga orang dewasa,

orang awam hingga artis bahkan hingga

pejabat publik. Efek negatif yang

ditimbulkan akibat penggunaan narkotika

secara berlebihan dalam jangka waktu lama

serta tidak diawasi oleh ahlinya, dapat

menimbulkan berbagai dampak negatif pada

penggunanya, baik secara fisik maupun

psikis. Tidak jarang, penggunaan narkotika

dapat memicu terjadinya berbagai tindak

pidana. Oleh karena itu, untuk mencegah

semakin meluasnya dampak negatif yang

ditimbulkan dari penggunaan narkotika,

pengawasan tidak hanya terbatas pada

peredaran narkotika, tetapi juga pada mereka

yang menjadi korban, misalnya seseorang

yang menderita ketergantungan narkotika

(pecandu).

Apabila seorang pecandu narkotika

telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak

pidana narkotika yang dilakukannya, untuk

memberikan kesempatan pada yang

Page 5: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

228 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018

bersangkutan agar terbebas dari

kecanduannya, hakim dapat memutuskan

untuk memerintahkan yang bersangkutan

menjalani pengobatan dan/atau perawatan.

Begitu pula, apabila pecandu narkotika tidak

terbukti bersalah atas tuduhan melakukan

tindak pidana narkotika, hakim dapat

menetapkan untuk memerintahkan yang

bersangkutan menjalani pengobatan

dan/atau perawatan.

Pengobatan dan perawatan terhadap

pecandu narkotika dilakukan melalui

fasilitas rehabilitasi medis dan sosial.

Rehabilitasi medis dan sosial yang diberikan

kepada pecandu dimaksudkan untuk

memulihkan dan mengembangkan

kemampuan fisik, mental, dan sosialnya.

Pemberian perlindungan kepada korban

narkotika tentu tidak dapat dibebankan

sepenuhnya kepada pemerintah, peran serta

masyarakat pun diharapkan dengan

diterimanya kembali mantan para pengguna

dalam lingkungannya tanpa melakukan

tindakan-tindakan yang sifatnya

diskriminatif bahkan dengan memo¬sisikan

mereka sebagai warga kelas dua yang harus

dijauhi.

Seorang penyalahguna narkotika tidak

dapat hidup secara normal, ia bertingkah

laku aneh dan menciptakan ketergantungan

fisik dan psikologis pada tingkat yang

berbeda-beda. Ketergantungan narkotika

berarti tidak akan dapat hidup tanpa

narkotika, hal ini dikarenakan

ketergantungan fisik menyebabkan

timbulnya rasa sakit bila ada usaha untuk

mengurangi pemakaiannya bila

pemakaiannya dihentikan. Ketergantungan

secara psikologis menimbulkan tingkah laku

yang kompulsif untuk memperoleh

narkotika tersebut, keadaan ini semakin

memburuk jika tubuh sang pemakai menjadi

kebal akan narkotika, sehingga kebutuhan

tubuh akan narkotika menjadi meningkat

untuk dapat sampai pada efek yang sama

tingginya. Dosis yang tinggi dan pemakaian

yang sering, diperlukan untuk menenangkan

keinginan yang besar, dan hal ini dapat

menyebabkan kematian.

Pengedar narkotika dalam terminologis

hukum dikategorikan sebagai pelaku

(daders) akan tetapi pengguna dapat

dikategorikan baik sebagai pelaku dan/ atau

korban. Dalam Undang-undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, Pelaku

penyalahguna narkotika terbagi atas dua

katagori yaitu pelaku sebagai “pengedar”

dan/atau “pemakai”. Pada Undang-undang

Narkotika secara eksplisit tidak dijelaskan

pengertian “pengedar narkotika. Secara

implisit dan sempit dapat dikatakan bahwa,

“pengedar narkotika adalah orang yang

melakukan kegiatan penyaluran dan

penyerahan narkotika.” Akan tetapi, secara

luas pengertian “pengedar narkotika”

tersebut juga dapat dilakukan dan

berorientasi kepada dimensi penjual,

pembeli untuk diedarkan, menyangkut,

Page 6: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

Singgih Aditya Utama : Perlindungan Hukum Terhadap Korban..…… 229

menyimpan, menguasai,menyediakan,

melakukan kegiatan mengekpor dan

mengimport narkotika. Dalam ketentuan

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika maka “pengedar” diatur

dalam pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116,

117, 118, 119,120, 121, 122, 123, 124, dan

125.

Begitupula halnya terhadap pengguna

narkotika. Hakikatnya pengguna adalah

orang yang menggunakan zat atau obat yang

berasal dari tanaman baik sintesis maupun

semi sintesis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan dalam

golongan-golongan sebagaimana terlampir

dalam Undang-Undang Narkotika. Dalam

ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika maka pengguna

diatur dalam pasal 116, 121,126,127, 128,

dan 134.

Terlupakannya korban tindak pidana

tidak dapat dilepaskan dengan hukum

pidana di Indonesia yang bersumber dari

hukum pidana neo-klasik yang melahirkan

hukum pidana yang bersifat “daad–dader

strafrecht”, yakni hukum pidana yang

berorientasi pada perbuatan dan pelaku.

Perhatian terhadap pelaku tindak pidana

yang memperoleh perlindungan berlebihan,

dalam artian tidak seimbang dengan

kepentingan korban, merupakan suatu

gambaran timpang sebagai akibat dalam

hukum acara pidana di Indonesia, lebih

mengedepankan “proses hukum yang adil”

atau yang lebih dikenal dengan sebutan “due

proces model”.

Pecandu narkotika merupakan “Self

Victimizing Victims” yaitu mereka yang

menjadi korban karena kejahatan yang

dilakukannya sendiri. Karena pecandu

narkotika menderita sindroma

ketergantungan akibat dari penyalahgunaan

narkotika yang dilakukannya sendiri.

Namun demikian korban penyalahgunaan

narkotika itu sepatutnya mendapatkan

perlindungan agar korban tersebut dapat

menjadi baik.

Double track system merupakan system

dua jalur mengenai sanksi dalam hukum

pidana, yakni jenis sanksi pidana dan sanksi

tindakan. Fokus sanksi pidana ditujukan

pada perbuatan salah yang telah dilakukan

seorang melalui pengenaan penderitaan agar

yang bersangkutan menjadi jera. Fokus

sanksi tindakan lebih terarah pada upaya

pemberian pertolongan pada pelaku agar ia

berubah. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih

menekankan pada pembalasan sedangkan

sanksi tindakan bersumber dari ide dasar

perlindungan masyarakat dan pembinaan

atau perawatan si pelaku. Berdasarkan hal

tersebut double track system dalam

perumusan sanksi terhadap tindak pidana

penyalahgunaan narkotika adalah paling

tepat, karena berdasarkan victimologi bahwa

pecandu narkotika adalah sebagai self

Page 7: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

230 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018

victimizing victims yaitu korban sebagai

pelaku, victimologi tetap menempatkan

penyalahguna narkotika sebagai korban,

meskipun dari tindakan pidana/ kejahatan

yang dilakukannya sendiri.

Pembuktian penyalahguna narkotika

merupakan korban narkotika

sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, merupakan hal yang sulit, karena

harus melihat awal pengguna

narkotika menggunakan narkotika dan

diperlukan pembuktian bahwa pengguna

narkotika ketika menggunakan narkotika

dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu,

dipaksa, dan/atau diancam untuk

menggunakan narkotika. Dalam

implementasinya Mahkamah Agung

mengeluarkan terobosan dengan

mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor

04 Tahun 2010 yang menjadi pegangan

pertimbangan hakim dalam memutus

narkotika.

Oleh karena itu, maka pecandu

narkotika yang juga sebagai korban patut

untuk mendapat perlindungan. Namun,

karena pecandu narkotika juga sebagai

pelaku tindak pidana/kejahatan maka ia juga

harus tetap dihukum, oleh karena hal inilah

maka dikatakan bahwa double track system

dalam perumusan sanksi terhadap tindak

pidana penyalahgunaan narkotika adalah

paling tepat. Sanksi pidana yang dijatuhkan

kepada pecandu narkotika sebagai self

victimizing victims adalah dalam bentuk

menjalani masa hukuman dalam penjara,

sedangkan sanksi tindakan yang diberikan

kepada pecandu narkotika sebagai korban

adalah berupa pengobatan dan/atau

perawatan yang diselenggarakan dalam

bentuk fasilitas rehabilitasi. Sistem

pelaksanaannya adalah masa pengobatan

dan/atau perawatan dihitung sebagai masa

menjalani hukuman.

Dalam proses penyidikan kasus tindak

pidana narkotika dimana hukum acaranya

tetap pada KUHAP yang mana apabila pada

saat penyidikan atau pun proses

pemeriksaan di pihak kepolisian lebih

khusus lagi di wilayah hukum Kota

Banjarmasin, dimana penyidik harus

melakukan penahanan di tahanan sementara

pelaku maupun korban tindak pidana

narkotika. Sehingga proses perlindungan

hukum bagi korban tindak pidana narkotika

dalam proses pemeriksaan tidak memenuhi

unsur perlindungan hukum bagi korban, hal

ini diakibatkan dari aturan hukum yang

mensyaratkan bahwa proses rehabilitasi

haruslah pada proses dipengadilan

berdasarkan putusan hakim.

Pemberantasan pelaku penyalahgunaan

narkotika dilakukan dengan cara menindak

secara hukum pelaku penyalahgunaan

narkotika, baik langsung, tidak langsung,

maupun yang terkait lainnya, tindakan

secara hukum tersebut meliputi

Page 8: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

Singgih Aditya Utama : Perlindungan Hukum Terhadap Korban..…… 231

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan.

Dalam kedudukannya perlindungan

hukum terhadap masyarakat akan tidak

terpengaruhnya dari bahaya narkotika yang

sangat merusak generasi muda di Indonesia

sehingga perlu dilakukan perlindungan

hukum dan bentuk perlindungan hukum

khususnya terhadap korban ketergantungan

penyalahgunaan narkotika telah dilakukan

baik secara pre emtif, preventif maupun

secara represif.

Secara teoritis, bentuk perlindungan

hukum dibagi menjadi tiga yaitu:

Perlindungan yang bersifat pre emtif;

Pemerintah juga melakukan upaya

penyuluhan tentang bahaya narkotika

bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan

dan keterampilan serta mengubah sikap dan

perilaku masyarakat agar mau dan mampu

mendukung dalam pencegahan tindak

pidana narkotika khususnya diwilayah

hukum kota Banjarmasin. Melakukan

kegiatan pembinaan dan penyuluhan di

lingkungan sekolah, masjid, gereja,

organisasi masyarakat dan lingkungan

masyarakat RT/RW. Dalam hal ini

memberikan pengarahan, penjelasan, bahaya

dan dampak buruk akibat dari

penyalahgunaan narkotika tersebut.

Upaya pre emtif ini dilakukan untuk

masa yang akan datang dapat mengurangi

akan terjadinya tindak pidana narkotika

dilingkungan masyarakat yang sangat

beragam dari status sosial sampai dengan

tingkat ekonomi yang mendorong

masyarakat untuk melakukan tindak pidana

narkotika.

Upaya Pre emtif tidak terlepas dari

upaya Preventif sehingga isi dari himbauan

atau penyuluhan tersebut pada intinya

tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang

dilakukan didalam Undang-Undang

narkotika jika dilakukan akan mendapatkan

sanksi yang tegas berdasarkan Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

Narkotika.

Perlindungan yang bersifat preventif;

Upaya preventif : disebut pencegahan.

Hal ini ditujukan kepada masyarakat sehat

yang belum mengenal narkoba agar

mengetahui seluk beluk narkoba, sehingga

tidak tertarik untuk menyalahgunakannya.

Selain dilakukan oleh pemerintah (instansi

terkait) sehingga sangat efektif jika dibantu

oleh instansi dan institusi lain, termasuk

lembaga professional terkait, lembaga

swadaya masyarakat, perkumpulan, ormas,

dan lain-lain. Tentang upaya kuratif :

disebut program pengobatan. Program

kuratif ditujukan kepada pemakai narkoba,

tujuannya adalah mengobati ketergantungan

dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat

dari pemakaian narkoba, sekaligus

menghentikan pemakaian narkoba. Tidak

sembarang orang boleh mengobati pemakai

narkoba, pemakaian narkoba sering diikuti

oleh masuknya penyakit-penyakit berbahaya

Page 9: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

232 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018

serta gangguan mental dan moral.

Pengobatannya harus dilakukan oleh dokter

yang mempelajari narkoba secara khusus.

Pengobatan terhadap pemakai narkoba

sangat rumit dan membutuhkan kesabaran

luar biasa dari dokter, keluarga dan

penderita.

Inilah sebabnya mengapa pengobatan

pemakai narkoba memerlukan biaya besar,

tetapi hasilnya banyak yang gagal, kunci

sukses pengobatan adalah kerjasama yang

baik antara dokter, keluarga dan penderita.

Tentang upaya rehabilitatif : yaitu upaya

pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang

ditujukan kepada si pemakai narkoba yang

sudah menjalani upaya kuratif ini.

Tujuannya agar ia tidak memakai lagi dan

bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan

oleh bekas pemakaian narkoba. Seperti

kerusakan fisik (syaraf, otak, darah, jantung,

paru-paru, ginjal, hati, dan lain-lain),

kerusakan mental, perubahan karakter

kearah negatif, asocial dan penyakit-

penyakit ikutan (HIV/AIDS, hepatitis,

sifilis, dan lain-lain) itulah sebabnya

mengapa pengobatan narkoba tanpa upaya

pemulihan (rehabilitasi) tidak bermanfaat.

Setelah sembuh masih banyak masalah

lain yang akan timbul, semua dampak

negatif tersebut sangat sulit diatasai.

Karenanya banyak pemakai narkoba yang

ketika “sudah sadar” malah mengalami

putus asa kemudian bunuh diri.

Perlindungan yang bersifat represif

Upaya represif : yaitu penindakan

terhadap produsen, Bandar, pengedar dan

pemakai berdasar hukum. Program ini

merupakan instansi pemerintah yang

berkewajiban mengawasi dan

mengendalikan produksi maupun distribusi

semua zat yang tergolong narkoba. Selain

mengendalikan produksi dan distibusi,

program represif berupa penindakan juga

dilakukan terhadap pemakai sebagai

pelanggar undang-undang tentang narkoba.

Pertanggungjawaban pidana merupakan

issue pokok kedua dari hukum pidana

setelah perbuatan pidana, oleh karena itu

dalam masalah pertanggungjawaban pidana

ini, akan dilihat siapa saja yang dapat

diminta pertanggungjawabannya dari suatu

tindak pidana yang terjadi. Prinsip

utamanya dalam hukum pidana

konvensional terletak pada “mens rea” atau

niat jahat atau sifat jahatnya suatu perbuatan

yang dapat dipersalahkan kepada pelaku

tindak pidana, dari perbuatannya tersebut

kemudian dapat dikualifikasi sebagai pihak

yang melakukan, turut melakukan,

membujuk melakukan, memberikan sarana

dan prasarana, serta membantu melakukan

sebagaimana yang diatur dalam pasal 55 dan

56 KUHP. Menurut teori “objektif”

seseorang dapat dipersalahkan, kalau

seseorang melakukan perbuatan pidana yang

menurut keumuman dapat dipersalahkan,

adalah hal ini ada standar-standar objektif

Page 10: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

Singgih Aditya Utama : Perlindungan Hukum Terhadap Korban..…… 233

dari bidang-bidang tertentu dimana

perbuatan itu dilakukan, seperti, karakter

manusia umumnya dan karakter pekerjaan

atau perbuatan yang dilakukannya.

Sehingga dalam teori ini, adanya akibat

perbuatan berupa perbuatan pidana bisa saja

bukan menjadi tujuan dari perbuatannya

tersebut, akan tetapi terhadapnya dapat

dipersalahkan. Berbeda dengan teori

objektif, teori subjektif justru melihat dapat

tidaknya seseorang dipersalahkan dari

perbuatan pidana yang dilakukannya dilihat

dari kondisi subjektif pelaku secara

kasuistis. Oleh karena itu faktor-faktor

karakter dan profile pribadi pelaku menjadi

ukuran untuk mempersalahkannya.

Perbuatan pidana dapat dipersalahkan

terhadap perseorangan karena hukum pidana

merupakan hukum publik yang mana

peraturan hukum yang mengatur tentang

hubungan hukum antara warga negara

dengan negara yang menyangkut

kepentingan umum.

Sistem pertanggungjawaban pidananya

dan sistem perumusan sanksi pidananya,

serta jenis-jenis saksi dan lamanya pidana

berdasarkan perbuatan-perbuatan yang

dilarang adalah, sebagai berikut :

Pasal 112 ayat (1) dengan unsur tindak

pidana : memiliki, menyimpan, menguasai,

atau menyediakan narkotika Golongan I

bukan tanaman. (Terkait dengan unsur

pidana yang harus dipenuhi dalam pasal ini)

dengan minimal pidana penjara 4 (empat)

tahun dan maksimum 12 (dua belas) tahun

penjara, serta denda minimum Rp.

800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah)

dan maksimum 8.000.000.000,- (delapan

miliar rupiah).

Pasal 112 ayat (2) secara spesifik

memberikan batasan berat narkotika dengan

pemberatan sanksi pidananya : beratnya

melebihi 5 (lima) gram, minimal pidana

penjara 5 (lima) tahun dan 20 (dua puluh)

tahun serta maksimum seumur hidup.

Pasal 113 ayat (1) dengan unsur pidana

: memproduksi, mengimpor, mengekspor,

atau menyalurkan narkotika. Dengan pidana

penjara minimal 5 (lima) tahun dan

maksimal 15 (lima belas) tahun, dengan

denda minimal Rp. 1.000.000.000,- (satu

miliar rupiah) dan maksimal Rp.

10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 113 ayat (2) dengan unsur pidana

berdasarkan ayat (1) dengan minimal berat 1

(satu) kilogram atau 5 (lima) batang pohon

atau dalam bentuk bukan tanaman melebihi

5 (lima) gram. Adanya penambahan pidana

minimal 5 (lima) dan 20 (dua puluh) tahun

penjara dan maksimum pidana mati.

Pasal 114 ayat (1) dengan unsur :

menawarkam untuk dijual, menjual,

membeli, menerima, menjadi perantara jual

beli, menukar, atau menyerahkan narkotika.

Minimum pidana penjara 5 (lima) tahun dan

20 (dua puluh) tahun serta maksimum

seumur hidup. Dengan denda minimal Rp.

1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan

Page 11: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

234 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018

maksimal Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh

miliar rupiah).

Pasal 114 ayat (2) adanya pemberat

melebihi 1 (satu) kilogram atau 5 (lima)

batang pohon atau dalam bentuk bukan

tanaman berat 5 (lima) gram. Adanya

pemberatan pidana pula minimal 6 (enam)

tahun dan 20 (dua puluh) tahun penjara dan

maksimal hukuman mati.

Dari ketentuan diatas dalam

penerapannya telah dilaksanakan oleh

kepolisian dalam menentukan seseorang

bersalah atau tidaknya melakukan perbuatan

tindak pidana narkotika. Hal tersebut masih

kasuistis karena bisa jadi yang melakukan

tindak pidana narkotika adalah merupakan

korban penyalahgunaan narkotika akan

tetapi sebelum selesai melakukan perbuatan

penyalahgunaan tersebut sudah terlebih

dahulu ditangkap atau ditahan oleh pihak

kepolisian. Sehingga penerapan pasal yang

disangkakan lebih memenuhi Pasal 114

dibandingkan dengan Pasal 127 Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

narkotika.

Akibat dari penerapan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

sekarang ini mengakibatkan :

1. Lembaga pemasyarakata (Lapas) di

Indonesia banyak dihuni oleh kasus

pelaku narkoba. Dimana kondisi

banyaknya penghuni Lapas karena

narkoba perlu di klasifikasikan antara

pecandu, kurir, pengedar atau bandar

narkoba. Sehingga jika melihat regulasi

terkait narkoba itu, sebagaimana

menurut Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika,

pecandu narkoba harusnya

mendapatkan rehabilitasi bukan di

tahan berlama-lama di Lapas.

2. Indikasi lain yang terlihat atas

inkonsistensi pemerintah dalam

pelaksanaan Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

adalah diperkirakan tidak meratanya

atau sebandingnya jumlah Institusi

Penerima Wajib Lapor (IPWL) di

berbagai daerah dengan jumlah pecandu

narkotika. Padahal pecandu narkotika

hampir merata diseluruh penjuru

wilayah.

3. Pelaksanaan dekriminalisasi berupa

pecandu narkoba mendapatkan

rehabilitasi baik medis maupun

rehabilitasi sosial, masih belum

seluruhnya dipahami masyarakat,

khususnya masyarakat yang belum

sadar. Sehingga mendorong rasa takut

dan kekawatiran bagi yang malapor.

Karena, dalam anggapan masyarakat

berurusan hukum sangat menyita waktu

dan rumit dan perlu keahlian tersendiri.

4. Pecandu narkoba atau terlibat narkoba

masih dipandang aib atau cela oleh

sebagian besar masyarat.

5. Akses masyarakat terhadap pusat-pusat

atau kantor hukum belum merata.

Page 12: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

Singgih Aditya Utama : Perlindungan Hukum Terhadap Korban..…… 235

Artinya, akses kepada kantor polisi atau

Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)

tidak semudah sebagaimana akses di

perkotaan atau kota-kota besar, yaitu

relatif sangat mudah terjangkau,

transfortasi yang mudah terjangkau dan

inprastruktur yang relatif lebih baik

dibanding daerah-daerah lain di wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian perlindungan

terhadap korban penyalahgunaan narkotika

tidak dapat dilaksanakan, dimana dalam

proses penyelesaian perkara dari pihak

kepolisian masih mengacu kepada KUHAP,

mulai dari tahap penyidikan sampai

pelimpahan ke kejaksaan. Sehingga

kewenangan rehabilitasi pada saat

pemeriksaan di tingkat kepolisian belum

dapat menjangkau dalam melakukan suatu

perlindungan hukum terhadap korban

penyalahgunaan narkotika ini.

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009

menggunakan pendekatan pidana untuk

melakukan pengawasan dan pencegahan

terhadap penyalahgunaan narkotika.

Penggunaan pidana masih dianggap sebagai

suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak

terjadinya penggunaan narkotika. Hal

tersebut didukung dengan diberikannya

suatu keweangan yang besar bagi BNN yang

bermetafora menjadi institusi yang

berwenang untuk melakukan penyadaran

kepada masyarakat, melakukan

penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan

dalam tindak pidana narkotika. Tetapi tidak

dari Kepolisian yang masih cenderung

berpaku kepada KUHAP dan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika saja, sehingga dalam pelaksanaan

penerapan pasal, unsur-unsurnya sudah

terpenuhi pada pasal 114. Apabila dilihat

dari korban ketergantungan penyalahgunaan

narkotika yang telah melakukan percobaan

tindak pidana narkotika untuk pemakaian

sendiri atau hanya untuk mendapatkan satu

atau dua hisapan dari narkotika jenis tertentu

tersebut. Maka penerapan Pasal 127 tidak

dapat dilakukan karena unsur-unsur utama

didalam Pasal 112 dan 114 sudah terpenuhi.

Belum lagi pecandu narkotika menurut

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Pasal 1 angka 13 adalah orang yang

menggunakan atau menyalahgunakan

Narkotika dan dalam keadaan

ketergantungan pada Narkotika, baik secara

fisik maupun psikis. Sedangkan

penyalahgunaan narkotika sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 angka 15 adalah orang

yang menggunakan Narkotika tanpa hak

atau melawan hukum. Sedangkan pengedar

dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tidak disebutkan secara rinci namun

demikian istilah pengedar sebagaimana

tercantum dalam Pasal 1 angka 6 yaitu setiap

kegiatan atau serangkaian kegiatan yang

dilakukan secara tanpa hak atau melawan

hukum yang ditetapkan sebagai tindak

pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Page 13: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

236 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018

Selanjutnya dalam Pasal 54 diatur

mengenai kewajiban untuk menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi

pecandu narkotika dan korban

penyalahgunaan narkotika namun demikian

dalam memutus suatu perkara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 127 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 ayat (1) berkenaan

dengan penyalahguna narkotika, hakim

wajib memperhatikan ketentuan dalam Pasal

54, Pasal 55, dan Pasal 103 yang memuat

tentang (1) kewajiban menjalani rehabilitasi

medis dan sosial bagi pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika yang nantinya

akan dihitung menjalani masa hukuman, (2)

kewajiban bagi orang tua atau wali dari

pecandu narkotika dibawah umur maupun

pecandu narkotika yang sudah cukup umur

untuk melaporkan diri atau dilaporkan oleh

keluarganya mengenai keadaan diri berupa

ketergantungan terhadap narkotika pada

pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,

dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan

sosial yang ditunjuk oleh pemerintah serta

(3) rehabilitasi medis bagi pecandu

narkotika dilakukan di rumah sakit yang

ditunjuk oleh menteri. Penyalahguna dalam

Pasal 127 ayat (3) wajib menjalani

rehabilitasi medis dan sosial bilamana dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban

penyalahgunaan narkotika sebagaimana

diuraikan dalam penjelasan Pasal 54 dimana

seseorang dikategorikan sebagai korban

penyalahgunaan narkotika bilamana

seseorang tidak sengaja menggunakan

narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,

dipaksa, dan/atau diancam untuk

menggunakan narkotika. Berdasarkan

adanya pembedaan pengertian antara

pecandu, korban penyalahgunaan narkotika

dan ”pengedar” berimplikasi pada

pengenaan sanksi terhadap masing-masing

subyek tersebut diatas, apakah dikenakan

sanksi pidana atau sanksi berupa kewajiban

menjalani rehabilitasi medis dan sosial.

Sedangkan bagi para pengedar atau

bandar, dapat dikategorikan pada tipe ikatan

yang tinggi dengan perilaku instrumental,

pelaku sangat kuat ikatannya dengan

kelompok atau jaringan dimana ia berada,

melakukan kejahatan bukan hanya

kesenangan, boleh jadi karena profesional

dalam bidang perdagangan narkotika.

Sehingga efek negatif ancaman pidana

berupa efek jera sangat mempengaruhi

pelaku. Dimana sebagian besar

penyalagunaan narkotika terdapat pada usia

produktif, terutama anak sekolah. Upaya

penal bukan satu-satunya jalan keluar bagi

penanggulangan narkotika, peningkatan

signifikan penyalahguna tidak harus dijatuhi

pidana. Kasus-kasus yang berkaitan dengan

narkotika hendaknya dilihat sebagai kasus

besar yang menyangkut masa depan seorang

individu, terutama generasi muda, sehingga

tidak hanya mengedepankan pidana penjara

melainkan juga rehabilitasi baik ditingkat

pertama yaitu penyidikan di kepolisian

Page 14: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

Singgih Aditya Utama : Perlindungan Hukum Terhadap Korban..…… 237

maupun pada tingkat pengadilan sebagai

hasil akhir dari putusan yang bersifat tetap

atau biasa disebut Inkracht van gewijsde

yaitu suatu perkara yang telah berkekuatan

hukum tetap karena telah diputus oleh hakim

dan tidak ada lagi upaya hukum lain yang

lebih tinggi. Maka korban hanya dapat

menjalani sesuai dengan putusan yang telah

diputus tersebut.

Meskipun telah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, namun sampai saat ini belum ada

wujud yang kongkrit di dalam peraturan

tersebut untuk menempatkan pengguna

narkotika tidak hanya sebagai pelaku

kriminal tetapi juga menitikberatkan bahwa

pengguna adalah korban yang juga harus

dipulihkan. Dimana semakin menggeser

posisi korban ketergantungan

penyalahgunaan narkotika sebagai pelaku

kejahatan dan melupakan bahwa mereka

juga adalah korban yang melekat dengan

segala hak-hak yang mesti disandangnya.

Sehingga upaya perlindungan korban

ketergantungan penyalahgunaan narkotika

sangatlah diperlukan dan harus tepat

sasaran, dimana penanganan upaya tersebut

dilakukan sejak mulainya tahap penyidikan

sampai kepada putusan yang diputus oleh

hakim dalam sidang dipengadilan. Dengan

demikian memperketat sistem upaya

represif, untuk memasukkan seseorang

dianggap sebagai korban perlu ada kriteria

khusus dan penerapan sanksi yang khusus

pula sehingga penempatan upaya

perlindungan hukum dapat dilaksanakan

secara maksimal.

Penerapan sanksi yang diperlukan yang

dapat diterapkan kepada korban

ketergantungan penyalahgunaan narkotika

haruslah diatur didalam Undang-Undang

yang memberikan kriteria atau klasifikasi

khusus dalam mengkategorikan korban, dan

haruslah dimulai dari proses awal

penyidikan yang dilakukan oleh pihak

kepolisian sebagai acuan untuk melakukan

penegakan hukum di wilayah hukum

Republik Indonesia.

Kriteria dalam melindungi korban

ketergantungan penyalahgunaan narkotika

pada saat ini sebenarnya sudah diatur

didalam Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 2010, yang menyebutkan seorang

pecandu dapat ditempatkan dalam lembaga

rehabilitasi dengan kriteria :

1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh

Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam

kondisi tertangkap tangan.

2. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir

a di atas, diketemukan barang bukti

pemakaian 1 (satu) hari dengan

perincian antara lain sebagai berikut :

a. Kelompok Methamphetamine (sabu-

sabu) seberat 1 gram.

b. Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4

gram/ sebanyak 8 butir;

c. Kelompok Heroin seberat 1,8 gram

Page 15: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

238 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018

d. Kelompok Kokain seberat 1,8 gram.

e. Kelompok Ganja seberat 5 gram.

f. Daun Koka seberat 5 gram.

g. Meskalin seberat 5 gram.

h. Kelompok Psilosybin seberat 3 gram.

i. Kelompok LSD (d-lysergic acid

diethylamide) seberat 2 gram.

j. Kelompok PCP (Phencyclidine) seberat

3 gram.

k. Kelompok Fentanil seberat 1 gram.

l. Kelompok Metadon seberat 0,5 gram.

m. Kelompok Morfin seberat 1,8 gram.

n. Kelompok Petidine seberat 0,96 gram.

o. Kelompok Kodein seberat 72 gram.

p. Kelompok Bufrenorfin seberat 32 gram.

3. Surat Uji Laboratorium yang berisi

positif menggunakan Narkoba yang

dikeluarkan berdasarkan permintaan

penyidik.

4. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/

psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh

hakim.

5. Tidak terdapat bukti bahwa yang

bersangkutan terlibat dalam peredaran

gelap narkotika.

Surat Edaran Mahkamah Agung

Republik Indonesia tersebut diatas dapat

juga dijadikan tolok ukur bagi seorang

penyalahguna yang diancam pidana penjara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127

Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009. Karena

secara logika, antara pecandu dengan

penyalahguna adalah sama-sama

menyalahgunakan narkotika, hanya saja

untuk membedakannya perlu terlebih dahulu

dilakukan suatu asesmen atau pembuktian

bagi Tersangka atau Terdakwa hingga dapat

diketahui oleh Hakim apakah Terdakwa

tersebut adalah seorang Pecandu yang

memiliki ketergantungan tinggi terhadap

narkotika ataukah hanyalah Penyalahguna

yang bukan seorang pecandu. Misalnya

seseorang tertangkap tangan memiliki dan

menyalahgunakan Narkotika Golongan I

dengan jumlah maksimum (sesuai butir 2

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 2010) untuk

dirinya sendiri, kemudian setelah dilakukan

pemeriksaan medis (asesmen) dan/atau

pemeriksaan alat-alat bukti di persidangan

terungkap bahwa ia bukanlah seorang

pecandu atau korban penyalahgunaan

Narkotika, maka Terdakwa tersebut patut

dikenakan pidana penjara sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, jadi

bukan dikenakan tindakan rehabilitasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Mengenai tidak dikenakannya tindakan

rehabilitasi medis dan sosial terhadap

Penyalahguna sebagaimana tersebut diatas,

dikarenakan di dalam Pasal 54 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 hanya

mewajibkan Pecandu Narkotika dan korban

penyalahgunaan Narkotika yang menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Page 16: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

Singgih Aditya Utama : Perlindungan Hukum Terhadap Korban..…… 239

Selain tidak dapat dikenakan tindakan

rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009, maka seorang penyalahguna yang

dikenakan ancaman pidana dalam Pasal 127

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tersebut, walaupun Penyalahguna kedapatan

membeli, menerima, menyimpan,

menguasai, membawa dan memiliki

Narkotika, juga tidak dapat dikenakan

pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal

111, Pasal 112, Pasal 114, Pasal 115, Pasal

117, Pasal 119, Pasal 122, Pasal 124 dan

Pasal 125 Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 sepanjang didalam perbuatannya dan

diri Terdakwa Penyalahguna Narkotika

tersebut terdapat kriteria, yaitu :

1. Pada saat ditangkap diketemukan barang

bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan

perincian antara lain sebagai berikut :

a. Kelompok Methamphetamine (sabu-

sabu) seberat 1 gram.

b. Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4

gram/ sebanyak 8 butir;

c. Kelompok Heroin seberat 1,8 gram

d. Kelompok Kokain seberat 1,8 gram.

e. Kelompok Ganja seberat 5 gram.

f. Daun Koka seberat 5 gram.

g. Meskalin seberat 5 gram.

h. Kelompok Psilosybin seberat 3 gram.

i. Kelompok LSD (d-lysergic acid

diethylamide) seberat 2 gram.

j. Kelompok PCP (Phencyclidine) seberat

3 gram.

k. Kelompok Fentanil seberat 1 gram.

l. Kelompok Metadon seberat 0,5 gram.

m. Kelompok Morfin seberat 1,8 gram.

n. Kelompok Petidine seberat 0,96 gram.

o. Kelompok Kodein seberat 72 gram.

p. Kelompok Bufrenorfin seberat 32 gram.

2. Tidak terdapat bukti bahwa yang

bersangkutan terlibat dalam peredaran

gelap narkotika.

Korban penyalahgunaan narkotika,

menurut penjelasan Pasal 54 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009, adalah

seseorang yang tidak sengaja menggunakan

Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,

dipaksa, dan/atau diancam untuk

menggunakan Narkotika. Dengan demikian

seorang korban penyalahgunaan narkotika

harus terbukti tidak mempunyai unsur

kesengajaan mempergunakan narkotika

secara melawan hukum dikarenakan adanya

keadaan (seperti dipaksa atau diancam) yang

membuat ia mau tidak mau menggunakan

Narkotika atau karena ketidaktahuan yang

bersangkutan kalau yang digunakannya

adalah narkotika (seperti ditipu, dibujuk,

atau diperdaya).

PENUTUP

Bentuk perlindungan hukum terhadap

korban ketergantungan penyalahgunaan

narkotika melalui bentuk perlindungan yang

bersifat pre emtif, preventif, dan represif.

Dimana bentuk pre-emtif adalah himbauan

dan pendekatan terhadap segenap lapisan

Page 17: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

240 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018

masyarakat untuk memahami tentang

kebijakan pemerintah dalam memerangi

narkoba agar seluruh lapisan masyarakat

mengetahui secara pasti bahaya laten dari

narkotika tersebut. Bentuk preventif adalah

dengan dengan memasukan perbuatan-

perbuatan yang dilarang dilakukan didalam

Undang-Undang Narkotika kedalam norma

hukum yang berlaku yang lebih kepada

pencegahan perbuatan pidana narkotika.

Sedangkan bentuk represif berfungsi untuk

menanggulangi kejahatan berdasarkan asas

kesalahan yang diatur didalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Penerapan Pasal 112 dan Pasal 114

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika terhadap korban

ketergantungan penaylahgunaan narkotika

yaitu dengan berdasarkan unsur-unsur yang

telah ditentukan pada Pasal 112 dan Pasal

114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika dimana penerapannya

telah dilaksanakan oleh kepolisian dalam

menentukan seseorang bersalah atau

tidaknya melakukan perbuatan tindak pidana

narkotika. Selain itu pula perlindungan

terhadap korban penyalahgunaan narkotika

tidak dapat dilaksanakan, dimana dalam

proses penyelesaian perkara dari pihak

kepolisian masih mengacu kepada KUHAP,

mulai dari tahap penyidikan sampai

pelimpahan ke kejaksaan. Sehingga

kewenangan rehabilitasi pada saat

pemeriksaan di tingkat kepolisian belum

dapat menjangkau dalam melakukan suatu

perlindungan hukum terhadap korban

penyalahgunaan narkotika ini. Sehingga

penerapan sanksi yang diharapkan yang

dapat diterapkan kepada korban

ketergantungan penyalahgunaan narkotika

adalah rehabilitasi sekaligus pidana penjara.

Dimana rehabilitasi adalah untuk

menyembuhkan kejiwaan korban yang

sudah terpengaruh terhadap obat-obatan

tersebut serta pidana penjara sebagai

pelanggaran yang telah dilakukan korban

yang berakibat pidana dan ini sebagai efek

jera terhadap korban ketergantungan

penyalahgunaan narkotika tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam dan DPM Sitompul. 2007.

Sistem Peradilan Pidana.

Jakarta: Restu Agung.

Ali, Mahrus. 2015. Dasar-Dasar Hukum

Pidana. Jakarta : Sinar Grafika.

Ali, Zainuddin. 2015. Metode Penelitian

Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.

Amirin, Tatang M.. 1986. Pokok-Pokok

Teori Sistem. Cet.1. Jakarta :

Rajawali.

Amrullah, M. Arief. 2003. Politik Hukum

Pidana dalam Rangka

Perlindungan Perlindungan

Korban Kejahatan Ekonomi di

Bidang Perbankan. Malang:

Bayu Media Publishing.

Page 18: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

Singgih Aditya Utama : Perlindungan Hukum Terhadap Korban..…… 241

Andrisman, Tri. 2009. Hukum pidana Asas-

asas dan Dasar Aturan Umum

hukum pidana indonesia. Bandar

Lampung: Universitas Lampung.

Asshiddiqie, Jimly. 2012. Hans Kelsen

Tentang Hukum. Konpress.

Arief, Barda Nawawi & Muladi. 1992.

Teori-teori dan Kebijakan

Pidana. Bandung : Alumni.

Atmasasmita, Romli. 1996. Perbandingan

Hukum Pidana. Bandung:

Mandar Maju.

Dimyati, Khudzaifah. 2010. Teorisasi

Hukum. Genta Publishing.

Efendi, Erdianto. 2011. Hukum Pidana

Indonesia: Suatu Pengantar.

Bandung : PT Refika Aditama.

Gosita, Arief. 1983. Masalah Korban

Kejahatan. Jakarta : CV.

Akademika Pressindo.

Hadiman. 2005. Pengawasan Serta Peran

Aktif Orang Tua dan Aparat

Dalam Penanggulangan dan

Penyalahgunaan Narkoba.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hadjon, Phillipus M. 1987. Perlindungan

hukum Bagi Rakyat Indonesia.

Surabaya: Bina Ilmu.

Hartono, Sunaryati. 1991. Politik Hukum

Menuju Satu Sistem Hukum

Nasional. Bandung: Alumni.

Hamdan, M. 1997. Politik Hukum Pidana.

Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Huda, Chairul. 2015. Dari Tiada Pidana

Tanpa Kesalahan Menuju

Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana

Tanpa Kesalahan, Cetakan

Kedua. Jakarta : Kencana.

HS. H.Salim, 2013, Penerapan Teori

Hukum Pada Penelitian Tesis

dan Disertasi, PT. RajaGrafindo

Persada.

Jaya, Nyoman Serikat Putra. 2006. Sistem

Peradilan Pidana (Criminal

Justice System). Semarang :

Universitas Diponegoro.

Kanter, E.Y. & S.R Sianturi. 2002. Asas-

asas Hukum Pidana di Indonesia

dan Penerapannya. Jakarta :

Storia Grafika.

Kelsen, Hans. 1961. General Theory Of Law

and State. translated by:Anders

Wedberg. (New York:Russell &

Russell).

Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar

Hukum Pidana Indonesia.

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Marzuki, Peter Mahmud. 2013. Penelitian

Hukum : Edisi Revisi. Cetakan

VIII. Jakarta: Kharisma Putra

Utama.

Muhjad, M. Hadin. dan Nunuk Nuswardani.

2012. Penelitian Hukum

Indonesia Kontemporer.

Yogyakarta : Genta.

Page 19: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

242 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem

Peradilan Pidana. Semarang :

Badan Penerbit Universitas

Diponegoro.

Mudzakkir. 2001. Posisi Hukum Korban

Kejahatan dalam Sistem

Peradilan Pidana. Jakarta:

Program Pascasarjana GH-UI.

Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana.

Cetakan Kedelapan. Jakarta :

Rineka Cipta.

Raharjo, Satijipto. 2000. Ilmu Hukum.

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Rasjidi, Lili, I.B. Wiyasa Putra. 1993.

Hukum Sebagai Suatu Sistem.

Bandung: PT. Remaja

Rosdakary.

Prodjohamidjojo, Martiman. 1997.

Memahami Dasar-Dasar Hukum

Pidana Indoesia. Jakarta : PT.

Pradnya Paramita.

Sahetapy, J. E. ed. Viktimologi Sebuah

Bunga Rampai. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

Saleh, Roeslan. 1983. Suatu Reorienasi

dalam Hukum Pidana. Jakarta :

Aksara Baru.

-------------------. 1983. Perbuatan Pidana

dan Pertanggungjawaban

Pidana, Dua Pengertian Dasar

dalam Hukum Pidana, Cetakan

Ketiga. Jakarta : Aksara Baru.

Soedarto. 1986. Kapita Selekta Hukum

Pidana. Cetakan Ke-2. Bandung:

Alumni.

Soekanto, Soerjono. 1993. Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum. Cetakan ke-3. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Sianturi, S.R. 1996. Asas-asas Hukum

Pidana Indonesia dan

Penerapanya. Cet IV, Jakarta :

Alumni Ahaem-Peteheam.

Stanciu. 1976. Victim Producing

Civilizations and Situations,

dalam Emilio C. Viano, (ED),

Victim and Society. Washington

D C.: Visage Press, Inc.,

Susanto, I.S. 1995. Kejahatan Korporasi.

Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro.

Tongat, 2008. Dasar-Dasar Hukum Pidana

Indonesia dalam Perspektif

Pembaharuan. Malang : UMM

Press.

Widiartama. G. 2014. Viktimologi Perspektif

Korban dan Penanggulangan

Kejahatan. Yogyakarta: Cahaya

Atma Pustaka.

Zaidan, Ali. 2015. Menuju Pembaruan

Hukum Pidana. Jakarta: Sinar

Grafika.

Hasil Penelitian :

Dewi, A.A. Istri Mas Candra. 2012.

“Perlindungan Hukum Terhadap

Page 20: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

Singgih Aditya Utama : Perlindungan Hukum Terhadap Korban..…… 243

Koeban Penyalahguna Narkotika

Dengan Berlakuknya Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika”. Tesis.

Denpasar: Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Bambang Hariyono. 2009. “Kebijakan

Formulasi Sanksi Pidana

Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Narkoba di Indonesia”. Tesis.

Semarang: Program Pascasarjana

Universitas Diponegoro.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar 1945

Republik Indonesia. Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1946 tentang

Peraturan Hukum Pidana (Berita

Negara Republik Indonesia II

Nomor 9) jo. Undang-undang

Nomor 73 Tahun 1958 tentang

Menyatakan Berlakunya

Undang-undang Nomor 1 Tahun

1946 Republik Indonesia tentang

Peraturan Hukum Pidana Untuk

Seluruh Wilayah Republik

Indonesia dan Mengubah Kitab

Undang-undang Hukum Pidana

(Lembaran Negara Tahun 1958

Nomor 127, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 1660)

yang telah beberapa kali diubah

dan ditambah, terakhir dengan

Undang-undang Nomor 4 Tahun

1976 tentang Perubahan dan

Penambahan Beberapa Pasal

Dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana Bertalian Dengan

Perluasan Berlakunya Ketentuan

Perundang-undangan Pidana,

Kejahatan Penerbangan, dan

Kejahatan terhadap

Sarana/Prasarana Penerbangan

(Lembaran Negara Tahun 1976

Nomor 26, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3080).

Republik Indonesia. Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2009 Tentang

Narkotika (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 143).

Republik Indonesia. Peraturan Bersama

Ketua Mahkamah Agung,

Menteri Hukum dan HAM RI,

Menteri Kesehatan RI, Menteri

Sosial RI, Jaksa Agung RI,

Kepala Kepolisian RI, dan

Kepala Badan Narkotika

Nasional Nomor

01/PB/MA/III/2014, Nomor 3

Tahun 2014, Nomor 11 Tahun

2014, Nomor 3 Tahun 2014,

PER-005/A/JA/03/2014, Nomor

1 Tahun 2014, Nomor

PERBER/01/III/2014/BNN

tentang Penanganan Pecandu

Narkotika dan Korban

Page 21: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN …

244 Badamai Law Journal, Vol. 3, Issues 1, September 2018

Penyalahgunaan Narkotika Ke

Dalam Lembaga Rehabilitasi.

Republik Indonesia. Surat Edaran

Mahkamah Agung (SEMA)

Nomor 4 Tahun 2010 jo SEMA

RI No. 07 Tahun 2009 tentang

Penempatan Penyalahgunaan,

Korban Penyalahgunaan dan

Pecandu Narkotika ke dalam

Lembaga Rehabilitasi Medis dan

Rehabilitasi Sosial.