11
Tinjauan Pustaka Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI THE ROLE OF MAGNESIUM IN EPILEPSY I Wayan Widyantara*, Anna Marita Gelgel Sinardja** ABSTRACT The therapeutic aspect of epilepsy is growing from the beginning by giving bromide as the first-line therapy to the latest generation of antiepileptic drugs. The principle management of epilepsy is to achieve a high therapeutic plasma concentrations with minimal toxicity. Magnesium is an endogenous NMDA (N-methyl D-aspartate) receptor antagonist, that is required to perform its normal function. The use of magnesium as anticonvulsants have long been used primarily to prevent seizures in patients with eclampsia which is mainly used the form of magnesium sulfate. Initialy, magnesium has been thought to work at peripheral level as anticonvulsants, but during the time, the research evolving, magnesium then discovered has been worked as a central anticonvulsants. Mechanism of action of magnesium as it known is to work as a calcium channel antagonist post-synaptic NMDA receptors. Currently, magnesium also has involved in the inhibition of pre-synaptic electric spark. Other forms of magnesium that can be used as an anticonvulsants is magnesium oxide (MgO). Giving magnesium oxide (MgO) for 4 weeks in healthy mice appeared to have a protective effect againts MES (maximal electric shock). The high dose of MgO increased the activity of phenytoin and carbamazepine. However, studies that prove the efficacy of magnesium oxide is mostly done on animals which then need further research in humans. Keywords: Anticonvulsants, epilepsy, magnesium. ABSTRAK Aspek terapi epilepsi semakin berkembang mulai dari awalnya dengan pemberian bromida sebagai terapi lini pertama sampai pada obat antiepilepsi generasi terbaru. Prinsip penanganan epilepsi dengan medikamentosa adalah pencapaian konsentrasi plasma terapeutik yang tinggi dengan toksisitas minimal. Magnesium merupakan antagonis reseptor NMDA (N- Methyl D-Aspartate) endogen, yang diperlukan untuk melakukan fungsi normal. Penggunaan magnesium sebagai antikonvulsan sudah sejak lama digunakan terutama untuk mencegah kejang pada pasien eklamsia. Penanganan eklamsia ini terutama menggunakan magnesium dalam bentuk magnesium sulfat. Awalnya diduga magnesium bekerja di tingkat perifer sebagai antikonvulsan, namun seiring berkembangnya penelitian diketahui bahwa magnesium juga bekerja sebagai antikonvulsan sentral. Mekanisme kerja magnesium seperti diketahui bekerja sebagai antagonis saluran kalsium pada reseptor NMDA pascasinaps. Sekarang magnesium juga diduga terlibat pada penghambatan cetusan listrik pada presinaps. Bentuk magnesium lain yang dapat digunakan sebagai antikonvulsan adalah magnesium oksida (MgO). Pemberian magnesium oksida (MgO) selama 4 minggu pada tikus sehat terlihat memiliki efek proteksi terhadap maximal electric shock (MES). Dosis tinggi MgO meningkatkan aktivitas fenitoin dan karbamazepin. Kata kunci: Antikonvulsan, epilepsi, magnesium. *Peserta Program Dokter Spesialis SMF Neurologi FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, **Staf Pengajar SMF Neurologi FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar. Korespondensi: [email protected] PENDAHULUAN Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang paling sering ditemukan. Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. 1 Data WHO

PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

Tinjauan Pustaka  

Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013

 

PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI THE ROLE OF MAGNESIUM IN EPILEPSY

I Wayan Widyantara*, Anna Marita Gelgel Sinardja**

ABSTRACT

The therapeutic aspect of epilepsy is growing from the beginning by giving bromide as the first-line therapy to the latest generation of antiepileptic drugs. The principle management of epilepsy is to achieve a high therapeutic plasma concentrations with minimal toxicity. Magnesium is an endogenous NMDA (N-methyl D-aspartate) receptor antagonist, that is required to perform its normal function. The use of magnesium as anticonvulsants have long been used primarily to prevent seizures in patients with eclampsia which is mainly used the form of magnesium sulfate. Initialy, magnesium has been thought to work at peripheral level as anticonvulsants, but during the time, the research evolving, magnesium then discovered has been worked as a central anticonvulsants. Mechanism of action of magnesium as it known is to work as a calcium channel antagonist post-synaptic NMDA receptors. Currently, magnesium also has involved in the inhibition of pre-synaptic electric spark. Other forms of magnesium that can be used as an anticonvulsants is magnesium oxide (MgO). Giving magnesium oxide (MgO) for 4 weeks in healthy mice appeared to have a protective effect againts MES (maximal electric shock). The high dose of MgO increased the activity of phenytoin and carbamazepine. However, studies that prove the efficacy of magnesium oxide is mostly done on animals which then need further research in humans.

Keywords: Anticonvulsants, epilepsy, magnesium.

ABSTRAK

Aspek terapi epilepsi semakin berkembang mulai dari awalnya dengan pemberian bromida sebagai terapi lini pertama sampai pada obat antiepilepsi generasi terbaru. Prinsip penanganan epilepsi dengan medikamentosa adalah pencapaian konsentrasi plasma terapeutik yang tinggi dengan toksisitas minimal. Magnesium merupakan antagonis reseptor NMDA (N-Methyl D-Aspartate) endogen, yang diperlukan untuk melakukan fungsi normal. Penggunaan magnesium sebagai antikonvulsan sudah sejak lama digunakan terutama untuk mencegah kejang pada pasien eklamsia. Penanganan eklamsia ini terutama menggunakan magnesium dalam bentuk magnesium sulfat. Awalnya diduga magnesium bekerja di tingkat perifer sebagai antikonvulsan, namun seiring berkembangnya penelitian diketahui bahwa magnesium juga bekerja sebagai antikonvulsan sentral. Mekanisme kerja magnesium seperti diketahui bekerja sebagai antagonis saluran kalsium pada reseptor NMDA pascasinaps. Sekarang magnesium juga diduga terlibat pada penghambatan cetusan listrik pada presinaps. Bentuk magnesium lain yang dapat digunakan sebagai antikonvulsan adalah magnesium oksida (MgO). Pemberian magnesium oksida (MgO) selama 4 minggu pada tikus sehat terlihat memiliki efek proteksi terhadap maximal electric shock (MES). Dosis tinggi MgO meningkatkan aktivitas fenitoin dan karbamazepin.

Kata kunci: Antikonvulsan, epilepsi, magnesium.

*Peserta Program Dokter Spesialis SMF Neurologi FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, **Staf Pengajar SMF Neurologi FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar. Korespondensi: [email protected] PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang paling sering ditemukan. Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.1 Data WHO

Page 2: PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

Tinjauan Pustaka  

Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013

 

menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang yang mencapai 114 (70-190) per 100.000 penduduk pertahun.1

Aspek terapi medikamentosa epilepsi semakin berkembang mulai dari awalnya dengan pemberian bromida sebagai terapi lini pertama sampai pada obat antiepilepsi generasi terbaru. Terapi epilepsi dengan menggunakan obat antiepilepsi standar berkaitan dengan toksisitas terkait dosis dan interaksi obat. Prinsip penanganan epilepsi dengan medikamentosa adalah pencapaian konsentrasi plasma terapeutik yang tinggi dengan toksisitas minimal. Oleh karena itu, pencarian substansi atau obat yang meningkatkan efikasi dan mengurangi toksisitas yang terjadi terus dilakukan. Studi asam amino neuroaktif pada jaringan otak manusia penyandang epilepsi menunjukkan keterlibatan asam amino pada epilepsi, dengan terjadi peningkatan konsentrasi glutamat, aspartat, dan glisin yang signifikan pada korteks serebri epileptogenik.

Cetusan atau aktivitas bangkitan dapat dimulai pada regio korteks tertentu dan kemudian menyebar menuju regio sekitarnya. Terdapat dua fase terjadinya bangkitan, yaitu fase inisiasi bangkitan dan fase propagasi bangkitan. Pada fase inisiasi terjadi dua kejadian yang bersamaan pada kumpulan neuron, yaitu aksi potensial cetusan frekuensi tinggi dan hipersinkronisasi. Aktivitas cetusan disebabkan oleh depolarisasi jangka panjang membran neuron akibat influks kalsium ekstraseluler. Influks kalsium memicu terbukanya saluran ion natrium tergantung voltage (voltage-dependent sodium channels), diikuti terjadinya influks natrium dan pembentukan aksi potensial repetisi. Aktivitas ini diikuti hiperpolarisasi yang dimediasi oleh reseptor γ-aminobutyric acid (GABA) atau kanal kalium, tergantung pada tipe sel. Cetusan yang tersinkronisasi dari sejumlah neuron yang cukup dapat menimbulkan gambaran spike pada EEG (elektroensefalogram).2

Penyebaran aktivitas cetusan bangkitan dicegah oleh hiperpolarisasi dan penghambatan regio disekitarnya yang ditimbulkan oleh neuron inhibisi. Cetusan listrik yang berulang akan menimbulkan, (1) peningkatan kalium ekstraseluler yang menghentikan hiperpolarisasi dan mendepolarisasi neuron terdekat, (2) akumulasi kalsium pada terminal presinaps sehingga terjadi pelepasan neurotransmiter, dan (3) aktivasi reseptor asam amino eksitasi, yaitu glutamat subtipe NMDA yang menyebabkan terjadinya influks kalsium dan aktivasi neuron. Rekruitmen sejumlah neuron menimbulkan hilangnya inhibisi sekitar dan mempropagasi aktivitas bangkitan sampai pada area yang berkesinambungan melalui hubungan kortikal lokal dan menuju area yang lebih jauh melalui jalur komisura yang panjang, seperti korpus kalosum.2

Magnesium merupakan antagonis reseptor NMDA (N-Methyl D-Aspartate) endogen, yang diperlukan untuk melakukan fungsi normal. Banyak penelitian yang menyatakan terdapat hubungan antara magnesium dengan reseptor NMDA. Magnesium dikatakan sebagai antagonis saluran kalsium pada reseptor NMDA, sehingga penggunaan magnesium dalam bentuk magnesium sulfat sebagai terapi pada eklamsia untuk mencegah kejang atau sebagai antikonvulsan. Berikut akan diuraikan secara rinci tentang peranan magnesium pada proses terjadinya epilepsi dan fungsinya sebagai antikonvulsan.

Karakteristik Magnesium

Magnesium merupakan elemen kedelapan yang paling utama pada bumi dan terutama dalam bentuk deposit mineral, seperti magnesite (magnesium karbonat [MgCO3]) dan dolomite. Sumber biologi paling utama magnesium adalah hidrosfer (di sungai dan lautan). Pada lautan konsentrasi magnesium sekitar 55 mmol/L; pada laut Mati konsentrasi magnesium yang dilaporkan sekitar 198 mmol/L dan akan meningkat seiring waktu.3

Page 3: PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

Tinjauan Pustaka  

Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013

 

Garam magnesium larut dengan mudah dalam air dan lebih banyak dalam bentuk larutan dibandingkan garam kalsium. Akibatnya, magnesium terdapat pada semua organisme. Magnesium berperan penting pada tanaman dan binatang. Pada tanaman, magnesium merupakan ion sentral klorofil. Pada vertebrata, magnesium merupakan kation terbanyak keempat dan sangat penting khususnya dalam sel, menjadi kation intraseluler kedua yang paling banyak setelah kalium, kedua kation ini memegang fungsi penting pada sejumlah fungsi fisiologis.3

Magnesium merupakan elemen dengan massa atom relatif 24.305 Da, titik lebur 648,8oC dan titik didih 109oC. Pada bentuk terlarut, magnesium berikatan dengan air terhidrasi lebih kuat dibandingkan kalsium, potasium, dan natrium. Oleh karena itu, kation magnesium terhidrasi sangat sulit mengalami dehidrasi. Diameter magnesium sekitar 400 kali lebih besar dibandingkan diameter dehidrasi. Perbedaan pada tahap dehidrasi dan terhidrasi lebih dominan pada magnesium dibandingkan pada natrium (25 kali), kalsium (25 kali), atau kalium (4 kali). Hal ini menyebabkan diameter ion magnesium dehidrasi kecil namun sangat relevan. Fakta sederhana ini mampu menjelaskan beberapa keunikan magnesium, seperti magnesium bertindak sebagai antagonis kalsium padahal reaktivitas dan muatan kimianya sama. Magnesium transporter juga sangat banyak dibandingkan sistem transpor kation lainnya. Protein transpor diperlukan untuk mengenali kation dalam kondisi hidrasi yang besar, melepaskan “cangkang” hidrasi, dan membawa ion yang dalam kondisi dehidrasi menuju jalur transpor transmembran melalui membran.3

Distribusi Magnesium dalam Tubuh Manusia

Kandungan total magnesium pada tubuh manusia dilaporkan sekitar 20 mmol/kg jaringan tanpa lemak. Dengan kata lain, magnesium total pada manusia dewasa seberat 70 kg dengan 20% lemak sekitar 1000-1120 mmol atau sekitar 24 g.3 Sekitar 99% magnesium total dalam tubuh berada dalam tulang, otot, dan jaringan ikat. Dari jumlah tersebut, sekitar 50-60% magnesium sebagai komponen hidroksiapatit substansi permukaan tulang. Kandungan magnesium tulang menurun seiring peningkatan umur dan simpanan magnesium saat usia tua tidak dapat mengatasi deprivasi magnesium dengan baik. Namun, tulang merupakan sumber buffer magnesium pada perubahan akut konsentrasi serum magnesium. Secara keseluruhan, sepertiga magnesium otot dapat mengalami perubahan, yaitu bertindak sebagai cadangan untuk mempertahankan kadar magnesium ekstraseluler.3

Konsentrasi magnesium intraseluler berkisar dari 5 sampai 20 mmol/L, 1-5% dalam bentuk terionisasi, sisanya terikat pada protein, molekul bermuatan negatif, dan adenosin trifosfat (ATP).3 Sekitar 1% magnesium total tubuh berupa magnesium ekstraselular yang terutama ditemukan pada serum dan sel darah merah. Magnesium serum, seperti kalsium dapat dikategorikan menjadi tiga fraksi, yaitu dalam kondisi bebas/ terionisasi, terikat protein, atau membentuk kompleks dengan anion, seperti fosfat, bikarbonat dan sitrat atau sulfat. Magnesium dalam bentuk terionisasi merupakan fraksi yang memiliki aktivitas biologis terbesar dibandingkan dua fraksi magnesium plasma lainnya. Magnesium terutama ditemukan didalam sel, dimana magnesium bekerja sebagai counter ion untuk ATP dan asam nukleat. Magnesium sebagai kofaktor pada >300 reaksi enzimatis. Pada kontraksi otot, misalnya, magnesium menstimulasi ambilan kembali kalsium oleh calcium-activated ATPase retikulum sarkoplasma. Magnesium lebih lanjut memodulasi sinyal transduksi insulin dan proliferasi sel serta yang penting berperan pada adhesi sel dan transpor transmembran yang meliputi transpor ion kalium dan kalsium. Magnesium juga berperan dalam mempertahankan konformasi asam nukleat dan penting sebagai fungsi struktural protein dan mitokondria.

Page 4: PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

Tinjauan Pustaka  

Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013

 

Terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa magnesium dan kalsium berkompetisi satu dengan yang lain pada tempat berikatan yang sama di molekul protein plasma. Magnesium bekerja sebagai antagonis terhadap pelepasan asetilkolin yang tergantung pada kalsium pada motor endplate. Oleh karena itu, magnesium disebut sebagai “antagonis kalsium”. Ketika kalsium merupakan pemicu kematian sel yang sangat kuat, magnesium sebaliknya: magnesium menghambat kematian sel yang dipicu oleh kalsium. Magnesium merupakan antiapoptosis pada transisi permeabilitas mitokondria.3 Magnesium sangat penting pada kesehatan dan penyakit seperti yang akan diuraikan berikut ini tentang peranan magnesium pada epilepsi.

Magnesium dan Reseptor NMDA

Magnesium sulfat memiliki beberapa mekanisme kerja, salah satunya sebagai protektor otak terhadap eksitotoksik glutamat. Glutamat merupakan neurotransmiter excitatory amino acid (EAA) yang utama. Oleh karena itu, magnesium sulfat digunakan untuk mengatasi eksitotoksisitas glutamat yang berhubungan dengan asfiksia saat lahir. Magnesium (Mg2+) dapat mengurangi cedera dengan mencegah berlebihnya efek glutamat akibat overacting beberapa klas reseptor EAA, khususnya reseptor NMDA. Magnesium bekerja dengan memblok reseptor NMDA. Reseptor NMDA berfungsi untuk mengontrol saluran kation yang permeabel terhadap kalsium. Karena ion kalsium (Ca2+) memiliki peranan vital sebagai second messenger intraseluler, reseptor NMDA terlibat dalam sejumlah proses fisiologis, seperti koordinasi sinaptogenesis dan plastisitas sinaps pada otak yang sedang mengalami perkembangan. Secara patologi, aktivitas berlebihan dari reseptor NMDA dapat memicu eksitotoksisitas yang dimediasi kalsium seperti selama periode hipoksia-iskemia dan hipoglikemia, kondisi dimana glutamat dilepaskan dalam jumlah yang sangat banyak.4

Gambar 1. Skema Sinaps Eksitasi 5

Page 5: PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

Tinjauan Pustaka  

Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013

 

Gambar 2. Reseptor NMDA6

Gambar 3. Reseptor NMDA6

Reseptor kompleks saluran kation NMDA adalah unik karena memiliki beberapa reseptor dan tempat modulasi yang mampu mengenali regulator secara individual ditemukan pada otak. Tempat modulasi ini mencakup tempat berikatnya agonis yang berikatan dengan L-glutamate dan L-aspartate, tempat ko-agonis glisin, tempat kanal Mg2+ tergantung pada voltase, tempat inhibisi Zn2+ yang independen voltase dan suatu tempat yang dipengaruhi oleh poliamin spermidin dan spermin endogen (Gambar 1-3). Tempat Mg2+ adalah di dalam saluran kation dan tempat tersebut diisi oleh magnesium saat potensial membran normal yang menginaktifkan reseptor NMDA. Tempat saluran kation lainnya mampu mengenali phencyclidine (PCP) dan kandungan lainnya, seperti ketamin dan antikonvulsan MK-801 (Dizocilpine).4

Page 6: PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

Tinjauan Pustaka  

Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013

 

Reseptor NMDA secara fungsional umumnya terdiri dari subunit NR1 dan NR2. Terdapat empat subunit NR2 (NR2A-NR2D) yang berbeda pola ekspresinya tergantung perkembangan dan regional. Reseptor NMDA dimodulasi melalui beberapa mekanisme yang menunjukkan spesifisitas subunit NR2. Investigasi blok oleh magnesium mengalami perkembangan yang semakin meningkat tentang regulasi sinaps, mekanisme kerja obat, dan struktur saluran ion. Penghambatan reseptor NMDA oleh magnesium bervariasi antara regio otak dan tahap perkembangan karena perbedaan ekspresi subunit NR2 berpasangan dengan penghambatan magnesium pada subunit NR2.7

Peranan Reseptor NMDA dan AMPA pada Kejang

Terjadinya pemisahan reseptor glutamat menjadi reseptor NMDA dan nonNMDA sudah diketahui sejak pertengahan tahun 1990-an. Saat itu diketahui bahwa aktivasi reseptor NMDA menginduksi suatu pola bangkitan listrik pada neuron reminiscent paroxysmal depolarizing shifts (PDS) yang terekam pada otak epilepsi. Sebagai tambahan, antagonis reseptor NMDA ditemukan untuk menekan aktivitas kejang pada beberapa model in vivo dan in vitro. Pada preparat slice in vitro, antagonis reseptor NMDA menghambat cetusan listrik akibat langsung dari aktivasi reseptor NMDA dan juga pada model slice otak rendah magnesium, dimana cetusan seperti kejang dipercaya terjadi sebagai akibat reseptor NMDA yang tidak diblok. Akan tetapi, antagonis NMDA sendiri gagal menekan atau menghilangkan aktivitas epileptiform secara signifikan pada beberapa model in vitro kejang lainnya. Dalam faktanya, antagonis reseptor NMDA secara paradoks diketahui meningkatkan frekuensi cetusan pada saat yang bersamaan ketika menurunkan durasi cetusan dan jumlah spike pada setiap cetusan. Pada sebagian besar model slice, disimpulkan perlunya memblok reseptor NMDA dan nonNMDA untuk menekan cetusan epilepsi secara total atau pada beberapa model bahkan ditemukan blok terhadap reseptor nonNMDA sendiri sudah cukup untuk menghentikan cetusan kejang.5

Pada potensial membran istirahat, ion magnesium eksternal memasuki porus reseptor NMDA, namun tidak seperti ion kalsium yang lebih permeabel, magnesium berikatan sangat kuat dan mencegah masuknya ion permeabel lainnya. Konsentrasi ion magnesium pada lingkungan eksternal neuron dalam milimolar, sedangkan konsentrasi ion magnesium intraseluler berada dalam nilai mikromolar, menyebabkan kekuatan dorongan kedalam ion magnesium pada potensial membran negatif. Suatu depolarisasi dengan amplitudo dan durasi yang sesuai diperlukan untuk melepaskan dan menolak ion magnesium dari porus, sehingga menyebabkan aliran ion permeabel.

Sebagai akibatnya, reseptor NMDA bertindak sebagai detektor koinsiden molekular: aktivasi dan permeasi ion yang efisien melalui reseptor NMDA memerlukan depolarisasi yang cukup kuat dan pelepasan glutamat pada sinaps. Dua input tersebut bersama dengan aktivasi lambat dan kinetik deaktivasi memungkinkan reseptor NMDA untuk berintegrasi dan melakukan dekode terhadap aktivitas sinaptik yang datang. Permeabilitas yang tinggi terhadap ion kalsium memungkinkan reseptor NMDA mentransduksi input sinaps spesifik mengalami perubahan kekuatan sinaps jangka panjang.8

PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI

1. Peranan Magnesium pada Proses Terbentuknya Cetusan Listrik pada Kejang

Pada hipokampus, peningkatan magnesium menyebabkan depolarisasi neuron menjadi lemah atau menghilang dan sinkronisasi potensial aksi cetusan aktivitas epilepsi. Sebaliknya, penurunan konsentrasi magnesium dibawah kadar fisiologis mengakibatkan peningkatan eksitabilitas. Mekanisme rendahnya magnesium mampu meningkatkan neurotransmisi eksitasi berkaitan dengan blokade fisiologis ion pada saluran reseptor

Page 7: PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

Tinjauan Pustaka  

Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013

 

NMDA. Magnesium secara fisiologis memblokade saluran kation permeabel reseptor NMDA dan menginaktivasi saluran ion pada potensial membran istirahat. Beberapa studi menunjukkan bahwa aktivitas neuron spontan yang sinkron diinduksi dengan mengeliminasi magnesium ekstraseluler atau dengan pemberian antagonis reseptor NMDA. Studi tersebut menegaskan bahwa peningkatan eksitabilitas neuron diinduksi penurunan magnesium merupakan fenomena postsinaps, disebabkan oleh peningkatan aliran ion depolarisasi terutama kalsium melalui saluran reseptor NMDA. Studi lain menunjukkan mekanisme eksitasi tambahan terkait dengan penurunan magnesium ekstraseluler. Pengurangan atau penurunan magnesium menginduksi respons eksitasi pada regio CA1 hipokampus yang tidak bisa dikurangi dengan pemberian antagonis reseptor NMDA.9

Hipereksitabilitas hipokampus yang terinduksi penurunan magnesium sudah diketahui selama beberapa tahun yang lalu. Sejumlah laporan menyatakan bahwa cetusan yang tergantung dengan rendahnya kadar magnesium terletak pada fungsi saluran reseptor NMDA. Hal ini menyimpulkan bahwa efek magnesium pascasinaps pada blok saluran/reseptor NMDA dari luar sel pada potensial membran istirahat. Studi yang dilakukan oleh Mangan mendukung teori sebelumnya. Pertama, studi imunofluoresensi menunjukkan reseptor NMDA yang terlokalisasi dengan synaptophysin pada kultur mengindikasikan suatu lokus sinaps. Kedua, pengurangan kadar magnesium diperlukan untuk menimbulkan cetusan pada hampir semua percobaan, sedangkan cetusan dilemahkan dengan antagonis reseptor NMDA spesifik. Oleh karena itu, aktivasi reseptor NMDA karena penurunan kadar magnesium terlihat krusial untuk memulai dan mempertahankan cetusan neuron pada preparat penelitian tersebut.

Aktivitas neuron yang berlebihan (cetusan excitatory pascasinaps current (EPSC) berfrekuensi tinggi) akibat penurunan kadar magnesium tidak kembali pada nilai normal setelah blokade reseptor NMDA oleh antagonis reseptor NMDA (D-APV). Cetusan EPSC tetap terjadi, walaupun interval antarcetusan meningkat dan durasi cetusan mengalami penurunan. Blokade reseptor glutamat AMPA diperlukan untuk mengeliminasi aktivitas cetusan. Studi observasi yang dilakukan menegaskan bahwa peningkatan aktivitas reseptor AMPA dan aktivasi reseptor NMDA berperan dalam hipereksitabilitas neuron pada kadar magnesium nol. Salah satu alasan yang mungkin untuk menjelaskan hasil observasi tersebut adalah hipotesis baru tentang fisiologi substrat untuk potensiasi jangka panjang, suatu bentuk plastisitas sinaps yang mendasari proses belajar dan memori.9

Walaupun peningkatan eksitabilitas yang dimediasi reseptor NMDA diketahui mempunyai peranan dalam menimbulkan cetusan yang diinduksi rendahnya kadar magnesium, namun juga memiliki peran yang signifikan pada perubahan presinaps yang terjadi pada kadar magnesium nol, yaitu peningkatan frekuensi EPSC dan terlihat peningkatan dalam rata-rata konten quantal. Perubahan ini menegaskan bahwa kemungkinan pelepasan glutamat meningkat karena terjadi penurunan kadar magnesium. Satu mekanisme yang mungkin menjelaskan hal ini adalah reduksi pada kation divalen dapat meningkatkan eksitabilitas neuron dengan mengurangi muatan pada permukaan membran. Hal ini menyebabkan sebagian kecil potensial transmembran turun sepanjang lapisan lipid bilayer, sehingga mengurangi lapangan elektrik konduktansi yang tergantung voltase, seperti saluran kalsium pada terminal sinaps.

Terdapat suatu model, yaitu magnesium-spesific model, dengan hipotesisnya adalah peningkatan konsentrasi magnesium menggantikan kalsium pada lapisan muatan permukaan yang dekat dengan membran bermuatan negatif, sehingga terjadi pengurangan jumlah kalsium yang tersedia untuk masuk kedalam terminal sinaps. Pengurangan atau eliminasi magnesium mempunyai efek sebaliknya, meningkatkan konsentrasi kalsium

Page 8: PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

Tinjauan Pustaka  

Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013

 

yang efektif pada “mulut” saluran kalsium presinaps. Mekanisme ini dapat menjelaskan peningkatan kalsium intraseluler yang diobservasi pada neuron piramidal CA1 saat rendahnya magnesium ekstraseluler, terjadi influks yang dimediasi saluran kalsium tergantung voltase. Pengurangan jumlah magnesium juga menyebabkan peningkatan pelepasan glutamat yang difasilitasi keluarnya kalsium dari penyimpanan intraseluler akibat berkurangnya efek penghambatan magnesium pada reseptor ryanodine.9

2. Magnesium sebagai Antikonvulsan

Sejak tahun 1900-an, preeklamsia ditangani dengan menggunakan magnesium. Sampai saat ini, magnesium sulfat tetap merupakan terapi yang paling sering digunakan dalam penanganan preeklamsia dan eklamsia. Magnesium merupakan obat pilihan untuk mencegah konvulsi pada eklamsia. Hal ini tidak mengejutkan karena placebo-controlled magnesium sulphate for prevention of eclampsia trial (MAGPIE) menunjukkan bahwa magnesium sulfat menurunkan risiko eklamsia secara signifikan pada wanita preeklamsia. Studi yang mencakup 10.141 wanita dengan preeklamsia pada 175 rumah sakit di 33 negara dan data ini dengan jelas menunjukkan bahwa magnesium sulfat memiliki peran penting dalam mencegah dan mengendalikan eklamsia. Efek magnesium pada eklamsia konsisten tanpa memperhatikan tingkat keparahan preeklamsia, umur kehamilan, dan terapi antikonvulsan. Magnesium sulfat juga lebih efektif dibandingkan antikonvulsan lainnya pada penanganan eklamsia. Data yang diperoleh dari suatu studi pada 2.138 wanita hamil yang hipertensi menunjukkan bahwa magnesium sulfat lebih superior daripada fenitoin ketika diberikan sebagai profilaksis kejang.

Percobaan klinis besar ini juga menunjukkan penurunan perkembangan eklamsia. The Collaborative Eclampsia Trial meneliti antikonvulsan mana yang terbaik untuk wanita dengan eklamsia dan memberikan level I evidence untuk magnesium sulfat. Terapi magnesium sulfat menurunkan risiko sebesar 52% rekurensi konvulsi dibandingkan dengan diazepam dan sebesar 67% risiko rekurensi konvulsi dibandingkan fenitoin.9 Efek yang ditimbulkan konsisten tanpa memperhatikan derajat keparahan preeklamsia, usia kehamilan, dan apakah sedang atau tanpa menggunakan antikonvulsan. Walaupun penggunaan magnesium sulfat untuk preeklamsia sudah terbukti baik, namun terdapat sedikit bukti yang mendukung penggunaannya secara rutin pada hipertensi kehamilan. Mekanisme yang mendasarinya adalah magnesium memicu pelepasan prostasiklin, suatu vasodilator yang poten dan penghambat agregasi platelet, disintesis oleh endotel pembuluh darah. Pada preeklamsia, pemberian magnesium sulfat secara dini memperbaiki fungsi endotel dan dengan cepat menurunkan resistensi vaskular sistemik, sebagai akibatnya tekanan darah menurun dan indeks kardia indeks meningkat (Gambar 4).10

Page 9: PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

Tinjauan Pustaka  

Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013

 

Gambar 4. Efek Magnesium Sulfat pada Pembuluh Darah

Magnesium merupakan vasodilator arteri uterina dan mesenterik yang poten, namun mempunyai sedikit efek pada arteri serebri. Pada otot polos pembuluh darah, magnesium berkompetisi dengan

kalsium untuk berikatan10

Walaupun digunakan secara luas, masih terdapat kontroversi terhadap penggunaan magnesium sulfat sebagai terapi pada bidang neurologi seperti kejang eklamsia. Terapi magnesium sulfat (MgSO4) dapat menutupi tanda luar konvulsi melalui kerjanya pada neuromuscular junction tanpa mengatasi penyebab kejang pada sistem saraf pusat. Penekanan transmisi neuromuskular yang berkaitan dosis ditunjukkan pada wanita preeklamsia yang menerima terapi MgSO4. Studi juga menunjukkan bahwa terdapat sedikit perubahan pada elektroensefalogram yang dilakukan selama terapi MgSO4, dan tanda penekanan sistem saraf pusat yang minimal pada pasien yang normal maupun pada pasien eklamsia dan juga pada binatang. Akan tetapi, percobaan klinis menunjukkan efikasi MgSO4 pada terapi dan pencegahan kejang eklamsia dibandingkan obat antikonvulsan tradisional, seperti fenitoin dan diazepam.11 Aktivitas antikonvulsan magnesium sulfat berkaitan dengan perannya pada reseptor NMDA seperti diuraikan dibagian sebelumnya. Sebagai tambahan, terapi MgSO4 sistemik menyebabkan pengurangan kemampuan ikatan reseptor NMDA pada otak. Studi binatang juga menunjukkan bahwa MgSO4 mengurangi aktivitas bangkitan epilepsi.12

Ion magnesium harus melewati sawar darah otak (SDO) untuk menimbulkan efek antikonvulsan sentral. Hal ini ditunjukkan pada binatang bahwa MgSO4 dapat menembus SDO intak dan memasuki sistem saraf pusat yang berkaitan dengan kadar hipermagnesemia serum. Menariknya, aktivitas bangkitan meningkatkan pergerakan magnesium menuju otak. Studi pada manusia juga menunjukkan setelah pemberian sistemik terjadi peningkatan konsentrasi MgSO4 yang kecil namun bermakna di cairan serebrospinal. Sebaliknya, studi lain menegaskan bahwa SDO mencegah perubahan konsentrasi magnesium pada otak dan cairan serebrospinal. Akan tetapi, kelompok yang sama kemudian menyatakan bahwa sejumlah kecil magnesium pada sistem saraf pusat dapat menekan aktivitas neuron korteks. Suatu kemungkinan yang masih dipercaya adalah hipertensi akut yang memicu terjadinya konvulsi dan kerusakan SDO membuat MgSO4 dapat memasuki parenkim otak dan bekerja sebagai antikonvulsan selama eklamsia.12

Page 10: PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

Tinjauan Pustaka  

Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013

 

Magnesium Oksida (MgO) sebagai Antikonvulsan

Suatu studi pada binatang yang menguji MgO sebagai antikonvulsan pada tikus mendapatkan hasil bahwa pemberian MgO oral dosis rendah (500 mg/kg) selama 10 hari pada tikus sehat menunjukkan proteksi sebesar 33,33% terhadap maximal electric shock (MES), sedangkan kelompok dengan magnesium dosis tinggi (1000 mg/kg) tidak memberikan proteksi terhadap MES. Magnesium oral dosis rendah (500 mg/kg) bersama dengan karbamazepin dosis rendah (30 mg/kg) menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan kelompok yang hanya menerima karbamazepin dan karbamazepin dosis tinggi (50 mg/kg) ditambah magnesium oksida dosis rendah (500 mg/kg). Studi ini menyimpulkan bahwa magnesium dosis rendah mempunyai aktivitas antikonvulsan pada model MES bangkitan, sedangkan kombinasi magnesium oksida dosis rendah dengan karbamazepin dosis rendah menunjukkan hasil yang lebih baik.1 Suplementasi karbamasepin dosis rendah dikombinasi dengan magnesium dosis rendah dapat lebih berperan penting pada epilepsi grandmal.

Suatu studi yang dilakukan Dhande dkk, 2009 menunjukkan pemberian MgO selama 4 minggu pada tikus sehat terlihat memiliki efek proteksi terhadap MES, menunjukkan hubungan linear terbalik dengan dosis yang digunakan. Hasil ini menegaskan suplementasi MgO akan mempunyai peran proteksi kejang. Dari studi yang dilakukan tersebut, terlihat bahwa semakin tinggi dosis MgO meningkatkan aktivitas fenitoin dan karbamazepin pada model kejang MES. Obat antiepilepsi yang digunakan untuk mengendalikan kejang dapat memicu pengurangan beberapa mineral (termasuk magnesium). Ketika defisiensi magnesium yang mendasarinya, kejang biasanya resisten terhadap pengobatan dan semakin lama pasien tidak diterapi dengan magnesium, semakin permanen kerusakannya. Defisiensi magnesium dapat dikoreksi dengan suplementasi magnesium pada dosis tinggi. Pada penelitian yang dilakukan Dhande dkk, magnesium oksida oral gagal menghasilkan perubahan kejang yang diinduksi PTZ secara signifikan dengan dosis rendah dan sedang. Suplementasi MgO dapat menurunkan latensi kejang pada binatang, khususnya dosis tinggi walaupun tidak signifikan (p=0,06). Studi lain menunjukkan bahwa antagonis NMDA memblokade kejang tonik namun tidak pada komponen klonik. Magnesium berperan penting pada epilepsi grandmal dibandingkan petitmal.13

KESIMPULAN

Penggunaan magnesium sebagai antikonvulsan sudah sejak lama digunakan terutama untuk mencegah kejang pada pasien eklamsia. Penanganan eklamsia ini terutama menggunakan magnesium dalam bentuk magnesium sulfat. Awalnya diduga magnesium bekerja di tingkat perifer sebagai antikonvulsan, namun seiring berkembangnya penelitian diketahui bahwa magnesium juga bekerja sebagai antikonvulsan sentral. Bentuk magnesium lain yang dapat digunakan sebagai antikonvulsan adalah magnesium oksida, namun penelitian yang membuktikan efikasi magnesium oksida lebih banyak dilakukan pada binatang, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada manusia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman tatalaksana epilepsi. Jakarta: PERDOSSI. 2011.

2. Lowenstein DH. Seizures and Epilepsy. Dalam: Hauser, SL, editor. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. USA: The McGraw-Hill Companies. 2006.hlm. 187-190.

3. Dechent WJ, Ketteler M. Magnesium basics. Clin Kidney J. 2012;5:i3-i14.

Page 11: PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI · Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013 ! menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang

Tinjauan Pustaka  

Neurona Vol 30 No 3 Juni 2013

 

4. Chahal H, Souza SWD, Barson AJ, Slater P. Modulation by magnesium of N-methyl-D-aspartate receptors in developing human brain. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 1997;78:F116–F120.

5. Rogawski, Michael A. Revisiting AMPA Receptors as an antiepileptic drug target. Epilepsy Currents. 2011;11(2): 56–63.

6. Qian A, Johnson JW. Permanent ion effects on external Mg2_ Block of NR1/2D NMDA Receptors. The Journal of Neuroscience. 2006;26(42):10899–10910.

7. Blanke ML, VanDongen AMJ. Activation Mechanisms of the NMDA Receptor. Dalam: VanDongen AM, editor. Biology of the NMDA receptor. North Carolina: CRC Press; 2009.hlm.13.

8. Mangan PS, Kapur J. Factors underlying bursting behavior in a Network ofCultured Hippocampal Neurons Exposed to ZeroMagnesium. J Neurophysiol. 2004;91:946-957.

9. Geiger H, Wanner C. Magnesium in disease. Clin Kidney Journals. 2012;5:i25-i38. 10. Kaye P, Sullivan IO. The role of magnesium in the emergency department. Emerg Med J.

2002;19:288–291. 11. Euser AG, Cipolla MJ. Magnesium sulfate for the treatment of Eclampsia: A Brief Review.

Stroke. 2009;40:1169-1175 . 12. Patil NA, Somashekar HS, Narendranath, Prashanth, Reddy SK, Bhandarkar. Evaluation of

Anticonvulsant Activity of Magnesium Oxide alone and along with Carbamazepin. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research. 2012;5: 142-145.

13. Dhande PP, Ranade RS, Ghongane BB. Effect of magnesium oxide on the activity of standard anti-epileptic drugs against experimental seizures in rats. Indian J Pharmacol. 2009;41(6):268–272.