Upload
anastasia-citra-purwani
View
234
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
otitis kanan
Citation preview
Jurnal
Pengaruh Penting Otitis Media Kanan pada
Kelainan Berbahasa Masa Kanak-kanak
Paulino Ucles, Maria Francisca Alonso, Elena Aznar, Carlos LaprestaInstitute Aragones of Health Sciences, Miguel Servet University Hospital, Clinical
Neurophysiology Service, Miguel Servet University Hospital, Children Hospital Miguel Servet “ORL Service”, Saragossa, Spain
International Journal of Otolaryngology 2012
Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
RSD dr. Soebandi Jember
Disadur Oleh:Novita Fauziyah Rahmawati
102011101056
Pembimbing:dr. Maria Kwarditawati, Sp. THT
SMF ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RSD DR. SOEBANDI-FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2015
Perusahaan Penerbit HindawiJurnal Internasional dari OtolaringologyVolume 2012, ID Artikel 818927, 10 halamandoi:10.1155/2012/818927
Artikel Penelitian
Pengaruh Penting Otitis Media Kanan pada Kelainan Berbahasa
Masa Kanak-kanak
Paulino Ucles,1, 2 Maria Francisca Alonso,3 Elena Aznar,3 and Carlos Lapresta1
1 Institute Aragones of Health Sciences, Miguel Servet University Hospital, 50009 Saragossa, Spain2 Clinical Neurophysiology Service, Miguel Servet University Hospital, 50009 Saragossa, Spain3 Children Hospital Miguel Servet “ORL Service”, 50009 Saragossa, SpainKorespondensi bisa dikirim ke Paulino Ucles, [email protected] 14 September 2011; Direvisi 26 Desember 2011; Disetujui 12 Januari 2012Editor Akademik: Michael D. Seidman
Studi-studi yang menghubungkan otitis media kronis dan kelainan berbahasa pada anak-anak
belum melaporkan temuan yang konsisten. Kami menyelenggarakan studi selektif yang pertama
yang ditujukan untuk melihat peran otitis media kronis kanan pada anak-anak dengan usia
kurang dari 3 tahun dalam perkembangan bahasa. Sebanyak 35 anak dipelajari menggunakan
protokol linguistik penuh, respon auditory brainstem, dan respon kelambatan pertengahan. 12
anak memiliki riwayat otitis media kronis eksklusif sebelah kanan. 17 anak yang disesuaikan
usianya terpilih sebagai kontrol. Selain itu, 3 anak yang memiliki riwayat otitis media kronis
sebelah kiri diperbandingkan dengan 3 kontrol yang usianya disesuaikan. Uji linguistik
menunjukkan perbedaan-perbedaan yang signifikan antara para pasien dan kontrol dalam hal
skor fonetik, fonologis, dan sintaks, tapi tidak untuk semantik. Studi-studi korelasi antara skor
linguistik dan respon bangkitan auditori dalam keseluruhan kelompok menunjukkan koefisien
yang signifikan pada bagian fonetik dan fonologis. Hasil tersebut menekankan efek kausatif dari
otitis media kronis telinga kanan dan menunjukkan bahwa otitis media ini terutama mengganggu
pengkodean suara fonetik dan fonologis, yang mungkin memiliki dampak untuk perawatan
profilaktik anak-anak yang berisiko.
1. Pendahuluan
Pada beberapa dekade terakhir,
neuropsikologi telah memberikan data yang
konsisten mengenai topografi otak untuk
fungsi-fungsi dan area-area gabungan yang
berbeda, dan neuropsikologi klinis telah
mengembangkan teknik-teknik untuk
potensi-potensi yang berkaitan dengan
kejadian guna mengukur secara akurat
fungsi-fungsi otak. Kemajuan-kemajuan
tersebut telah memperluas kemungkinan-
kemungkinan untuk meneliti baik bahasa
maupun pendengaran melalui metode-
metode gabungan. Pada pelaksanaan klinis,
konsultan neuropediatri menghadapi
peningkatan jumlah kelainan bahasa, yang
kadangkala menjadi sebuah tantangan untuk
diagnosis level gangguan; sehingga,
kelainan bahasa pada anak-anak harus
didefinisikan melalui pengecualian pada
sebagian besar kasus. Bahasa verbal adalah
sistem tanda konvensional yang digunakan
orang-orang berkomunikasi satu sama lain,
dan pematangan sistem saraf meliputi
perkembangan bahasa. Penerimaan bahasa
bermula pada hari pertama kehidupan diluar
kandungan, dan beberapa kejadian penting
bahasa, yang juga disebut periode kritis,
telah didefinisikan selama periode
pematangan. Mielinasi jalur akustik
pretalamik tengah terjadi selama tahun
pertama kehidupan, sedangkan mielinasi
jalur postalamik yang jauh lebih lambat
membutuhkan waktu 5 tahun. Korteks
auditori primer menunjukkan puncak
pertumbuhan sinaptik selama dua tahun
pertama kehidupan, yaitu, perubahan plastis
pendengaran merupakan yang paling
mencolok pada tahap ini. Pada 90% anak-
anak, asimetri fungsional terbatasi secara
permanen pada hemisfer kiri menjelang usia
5 tahun. Pada orang-orang yang
menggunakan tangan kanan, area gabungan
auditori yang terletak pada gyrus temporal
atas ukurannya lebih besar daripada area
yang sama pada hemisfer kanan, dan bagian
oksipital-temporal dari hemisfer kiri lebih
luas daripada area yang sama pada hemisfer
kanan, namun yang sebaliknya terjadi pada
area frontoparietal. Penelitian pendengaran
terkini menggunakan fMRI dan pendengaran
dikotik menunjukkan bahwa fungsi-fungsi
kedua lobus temporal tidaklah sama, dimana
lobus temporal kiri terspesialisasi pada
input-input sekuensial dan pengolahan
bahasa dan lobus temporal kanan pada
melodi, bunyi-bunyi yang mengelilingi, dan
prosodi. Fakta-fakta tersebut menyatakan
secara kuat sebuah korelasi antara asimetri
anatomis dan spesialisasi hemisfer kiri untuk
bahasa, yang menunjukkan bahwa jalur
auditori merupakan saluran utama yang kita
gunakan untuk menerima bahasa. Selain itu,
manusia memiliki proyeksi kontralateral,
serta ipsilateral, baik pada telinga kiri dan
kanan. Distribusi anatomis ini
memungkinkan seseorang untuk
menemukan sebuah sumber bunyi dengan
perbedaan sebesar milidetik pada
penangkapan input, dengan radiasi
kontralateral menjadi bagian pertama yang
mencapai korteks. Sistem perseptual ini
bergantung pada serangkaian mekanisme
yang kompleks, dan kerusakan mekanisme
tersebut pada level apapun menyisakan
risiko yang lebih kurang serius, tergantung
pada level mana yang terkena.
Gangguan sementara pada telinga
tengah, seperti otitis media akut (acute otitis
media/AOM), dan risiko ikutannya berupa
kehilangan pendengaran dianggap penyebab
minor kelainan bahasa. Gambaran yang
mendefinisikan AOM berupa eksudat dalam
rongga yang didapat akibat inflamasi yang
disebabkan oleh bakteri, yang umumnya
dikaitkan dengan infeksi saluran udara atas.
AOM bisa terjadi pada bulan pertama
kehidupan, tapi menjelang 3 bulan sebanyak
13% anak telah mengalami satu episode
tunggal. Peluang mengalami AOM
meningkat sejalan dengan usia: 60% pada
satu tahun, 70% pada 3 tahun, dan 80% pada
4 tahun. Berawal dengan satu episode
tunggal, episode berulang, terutama pada
musim-musim dingin, menyebabkan telinga
tengah penuh cairan, sebuah kondisi yang
dikenal dengan otitis media dengan efusi
(otitis media with effusion/OME). Hal ini
menyiratkan kehilangan pendengaran
konduktif yang berubah-ubah dengan
rentang 15-40 dB. Kehilangan pendengaran
signifikan telah ditunjukkan pada anak-anak
dengan riwayat OME pada 3 tahun pertama
kehidupan, dibandingkan dengan anak-anak
yang tidak mengalami otitis. Fluktuasi
ambang batas pendengaran selama 3 tahun
pertama kehidupan membuat proses
pematangan menjadi sulit selama periode-
periode kritis ketika perhatian perseptual
terhadap suara-suara, khususnya untuk
suara-suara dari bahasa ibu, sedang dikaji
ulang.
Selama 3 dekade terakhir, sejumlah
studi telah ditujukan untuk menemukan
hubungan antara otitis media yang berulang
pada masa balita dengan perkembangan
bahasa. Kami telah mengulas makalah-
makalah yang mengkaitkan kedua hal
tersebut pada basis data PubMed dan
Cochrane, yang membatasi pencarian pada
studi acak terkontrol dan meta-analisis.
Sejumlah 43 makalah dievaluasi menurut
kriteria untuk metode pemilihan kasus,
informasi dasar, ketidaktahuan evaluator,
dan jenis ukuran untuk pendengaran dan
bahasa. Hanya 12 makalah yang sesuai
dengan tujuan kami. Meskipun tersedia
sejumlah besar informasi, kaitan antara
OME pada bayi dan kelainan bahasa masih
menjadi kontroversi. Perbedaan temuan
telah terfokus pada aspek parsial dari
bahasa. Beberapa studi (10-13) menemukan
kategorisasi stimulus bicara yang dikurangi
pada anak-anak dengan riwayat awal OME.
Nelson et al. menemukan kesengajaan
fonologis yang terganggu pada anak-anak
dengan kejadian awal otitis media. Menyuk
melaporkan sebuah kaitan antara periode-
periode otitis media yang berkepanjangan
pada anak-anak yang sebelumnya
mengalami kondisi ini selama 3 tahun
pertama kehidupan dengan gangguan
artikulasi dan sintaksis. Penurunan fonologis
selanjutnya mengganggu bahasa tulis.
Mispersepsi beberapa fonem telah
ditunjukkan memicu basis data semantik
yang buruk, yang karenanya mempengaruhi
proses baca yang lancar dan pemahaman.
Roberts et al. melaporkan skor uji bahasa
reseptif dan produktif yang lebih rendah
pada anak-anak dengan riwayat awal OME
dibandingkan dengan anak-anak dari usia
yang sama yang tidak memiliki riwayat
seperti itu. Pada studi lanjutan oleh para
penulis dalam kelompok yang sama, mereka
menemukan bahwa anak-anak yang terkena
mengatasi defisit bahasa mereka pada usia
6-7 tahun. Winskel juga melaporkan skor uji
bahasa yang membaik dalam sekelompok
anak pada usia 7-8 tahun. Temuan-temuan
tersebut tampaknya menyatakan bahwa
defisit bahasa menghilang menjelang usia 6
tahun, tapi Zumach et al. berpendapat bahwa
pengurangan kualitas input bahasa pada
periode-periode kritis perkembangan
memiliki akibat-akibat yang sulit diatasi.
Temuan ini merupakan poin paling kritis,
terutama karena kurangnya studi-studi
lanjutan untuk anak-anak yang lebih tua dan
remaja. Sesungguhnya, pada 3 studi diatas,
tidak ditemukan adanya korelasi signifikan
antara kehilangan pendengaran yang
berkepanjangan dengan kelainan bahasa.
Secara keseluruhan, kami harus mengatakan
bahwa ada sebuah kecenderungan umum
untuk anak-anak dengan riwayat awal otitis
media mengalami kelainan bahasa, tapi efek
kausatifnya belum terukur. Studi-studi yang
ada tidak menyebutkan proporsi kasus otitis
bilateral atau unilateral, yang tampaknya
menjadi faktor utama dalam hal variabilitas
temuan. Oleh karena itu, membedakan efek-
efek OME bilateral, unilateral-kanan, dan
unilateral-kiri akan memberikan pemahaman
yang baik mengenai topik ini.
Studi-studi selektif mengenai
kehilangan pendengaran pada satu telinga
telah dilakukan hanya pada tikus, dan
buktinya menunjukkan bahwa perubahan
plastis berkembang pada area akustik
kortikal dan otak tengah setelah oklusi
temporer dari telinga kanan. Rekaman-
rekaman mikroelektroda berkaitan secara
kuat dengan potensi-potensi bangkitan
auditori, yang menganjurkan sebuah studi
pada manusia untuk mengamati efek-efek
penurunan suara monaural yang disebabkan
oleh OME pada anak-anak dengan usia
kurang dari 3 tahun. OME unilateral
sempurna pada anak-anak sangatlah tidak
biasa, tapi kami berusaha untuk menemukan
sampel-sampelnya, khususnya untuk telinga
kanan karena implikasi dugaannya pada
kelainan bahasa; tujuan utama studi ini
adalah untuk mengamati akibat-akibat dari
OME telinga kanan yang dialami di awal
kehidupan pada perkembangan bahasa.
Dengan mempertimbangkan bahwa input
utama untuk perkembangan area bahasa
kortikal datang dari telinga kontralateral,
kami membuat hipotesis bahwa penurunan
pendengaran telinga kanan yang
berkepanjangan selama periode-periode
kritis perkembangan mengganggu
perubahan plastis pada area akustik kortikal,
dan bahwa perubahan-perubahan tersebut
dapat dinilai melalui potensi-potensi
bangkitan auditori. Sebuah kaitan antara
temuan-temuan pendengaran dan bahasa
akan menjadi bukti bahwa perubahan plastis
telah terjadi pada area otak yang
bersesuaian.
2. Pasien dan Metode
Sebuah studi observasional
dilaksanakan pada sebuah kelompok anak
yang berusia 3-7 tahun dengan riwayat OME
unilateral kanan atau kiri yang tercatat pada
3 tahun pertama kehidupan dengan tujuan
untuk meneliti baik pendengaran maupun
bahasa. Batasan usia tersebut ditetapkan
untuk studi karena evaluasi formal bahasa
memerlukan level kolaborasi tertentu pada
sisi subyek, dan kebanyakan uji standar
untuk evaluasi perkembangan bahasa
didesain untuk anak-anak usia antara 3-7
tahun. Kuesioner yang tersedia untuk anak-
anak dibawah usia 3 tahun sangatlah
subyektif dan didasarkan pada informasi
dari orang tua.
Komite etik Aragon menyetujui
proyek (CP14/2011), dan para pasien
didapat pada ruang konsultasi unit
otolaringologi pediatri rumah sakit kami.
Kriteria inklusinya antara lain: (a) riwayat
OME unilateral kanan atau kiri pada 3 tahun
pertama kehidupan, dengan durasi lebih dari
1 tahun, dan diperlukan catatan riwayat
klinis untuk episode-episode ulangan selama
lebih dari 1 tahun, (b) usia antara 3-7 tahun,
dan (c) persetujuan tertulis dari orang tua.
Kriteria eksklusinya antara lain: (a) sindrom
neurologis atau psikiatri yang tercatat, (b)
hipoacusia sensori-neural, dan (c) penurunan
bahasa sosial atau keluarga. Kriteria terakhir
tersebut bermakna bahwa semua anak secara
khusus sedang berkembang di area-area
yang lain dan tanpa diagnosis terhadap satu
kondisi yang akan mempengaruhi
perkembangan bahasa.
Sejumlah 35 anak dievaluasi
menggunakan potensi bangkitan auditori dan
uji bahasa penuh. Para subyek
didistribusikan kedalam 2 kelompok: OME
kanan (n = 12) dan OME kiri (n = 3). 17
anak yang normal dari usia yang sama yang
didapatkan dari sebuah sekolah dasar
dibandingkan dengan kelompok OME
kanan, dan 3 orang anak normal
dibandingkan dengan kelompok OME kiri.
Pada saat studi diselenggarakan, anak-anak
yang telah mengalami OME kanan atau kiri
datang ke rumah sakit untuk kontrol
lanjutan. Mereka kebanyakan menunjukkan
tanda-tanda otitis media kronis: beberapa
orang memiliki eksudat sisa didalam rongga
telinga tengah dan yang lainnya
menunjukkan derajat retraksi timpani atau
perubahan-perubahan cicatricial yang
berbeda pada membran. Semua riwayat
klinis memiliki catatan uji pendengaran
yang berulang selama 3 tahun pertama
kehidupan, yang terdiri dari sebuah Rinne
dan sebuah Weber negatif yang disejajarkan
ke telinga yang terkena. Pada 6 kasus
terdapat audiometri tambahan. Data-data
tersebut bermakna bahwa para pasien telah
mengalami kehilangan pendengaran
permanen minimal selama 6 bulan. Usia
masing-masing subyek ditampilkan dalam
Tabel 1. 3 pasien dan kontrol terakhir masuk
kedalam kelompok OME kiri.
2.1. Uji Pendengaran. Potensi bangkitan
auditori dicatat dengan elektroda tutup yang
ditempatkan pada verteks (Cz) dan elektroda
referen pada daun telinga (A1, A2).
Earphone mengirimkan bunyi klik pada SPL
80 dB dan dengan frekuensi 7 Hz. Telinga
kanan distimulasi pertama kali kemudian
telinga kiri, dan sebuah suara penutup
digunakan pada telinga kontralateral.
Dengan frekuensi sampel sebesar 547 Hz,
1.024 sweep diambil rata-ratanya dengan
waktu analisis selama 100 ms, dan bentuk-
bentuk gelombang disimpan dalam peralatan
harddisk Medtronic Keypoint (Denmark
A/S) untuk analisis lebih lanjut. Respon
kelambatan pertengahan (middle latency
response/MLR) memberikan beberapa
komponen dari area subkortikal dan kortikal
jalur akustik, yang menjadi perhatian untuk
mengukur pendengaran. Dengan
meningkatkan cut-off frekuensi tinggi
sampai dengan 2 kHz, dimungkinkan untuk
melakukan perekaman respon auditory
brainstem (auditory brainstem
response/ABR) dan MLR pada waktu yang
bersamaan, sehingga kami menyetel band
pass pada frekuensi 4 Hz-2 kHz untuk
rekaman secara bersamaan. Dengan
mempertimbangkan perilaku kolaboratif
anak-anak yang buruk, teknis ini sangatlah
sesuai. Respon-respon tersebut diukur secara
rutin berdasarkan waktu, tapi kami tertarik
pada band frekuensi tertentu, frekuensi
gamma (30-60 Hz), melibatkan proses
kognitif, secara khusus pada persepsi bunyi.
Akibatnya, analisis kami dilaksanakan
berdasarkan waktu-frekuensi dengan
menggunakan metode wavelet, wavelet
Daubechies. Perubahan-perubahan tenaga
pada dua kerangka waktu yang terpilih,
diukur sumber batang otak antara 3-6
milidetik sejak stimulus, permulaan dan
sumber kortikal antara 15-30 milidetik
antara permulaan stimulus. Aktivitas dari
dua segmen tersebut memberikan infomasi
mengenai aktivitas batang otak dan level
kortikal (Gambar 1).
2.2. Uji Linguistik. Uji neuropsikologi
standar yang ekuivalen dengan usia anak-
anak dalam penelitian digunakan untuk
menghitung domain-domain bahasa yang
berbeda, baik dalam hal pemahaman
maupun produksi. Perkembangan fonetik
dinilai dengan uji TAR, yang memasukkan
sebuah daftar isian dua suku kata, tiga suku
kata, dan banyak suku kata yang
dimaksudkan untuk membangkitkan
perbedaan fonem. Uji ini berguna untuk
mendeteksi berbagai jenis dyslalia.
Pemahaman fonologis dinilai dengan
uji Monfort. Untuk morfologi dan sintaks
bahasa, kami menggunakan uji sintaks
Aguado (TSA). TSA merupakan uji normal
yang menyediakan variabel-variabel
kualitatif yang dapat diubah kedalam
persentil. Perkembangan semantik dinilai
dengan Peabody Picture Vocabulary Test
(PPVT-III). Uji ini menggunakan gambar-
gambar untuk mengevaluasi kosakata anak-
anak. Hasil-hasilnya juga diubah kedalam
persentil dari populasi normal untuk usia
yang ditetapkan.
2.3. Analisis Statistik. Statistical Package
for the Social Sciences (SPSS) digunakan
untuk menganalisis temuan-temuan kami.
Uji signifikansi dua ujung digunakan dengan
satuan level signifikansi sebesar 0,05.
Variabel-variabel kuantitatif disediakan
melalui indeks tren tengah(mean, median)
dan persebaran (standard deviation, range).
Variabel-variabel kualitatif disediakan
sebagai distribusi frekuensi persentil.
Sebelum analisis statistik, dilaksanakan uji
Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-
Wilkinson untuk melihat penyesuaian dan
distribusi normal data. Hanya usia pasien
dan kontrol yang menunjukkan distribusi
normal. Karena ukuran sampel dan distribusi
data non-normal, digunakan uji non-
parametrik untuk analisis statistik. Analisis
bivarian antara kasus dan kontrol
menggunakan uji Mann-Whitney U, dan
korelasi antara data neuropsikologi dan
neurofisiologi ditentukan dengan koefisien
Spearman rho.
3. Hasil-hasil
Uji bahasa standar yang ekuivalen
dengan usia para pasien dan kontrol
memberikan data mengenai perkembangan
fonetik dan fonologis dengan gambaran-
gambaran yang menunjukkan jumlah
kesalahan, sedangkan sintaks dan semantik
ditunjukkan sebagai persentil dari populasi
normal (Tabel 2). Perlu diperjelas bahwa
skor-skor yang lebih tinggi pada uji dyslalia
dan Monfort bermakna performa yang buruk
(kesalahan-kesalahan), sementara
kebalikannya adalah benar untuk syntax TSA
dan semantic PPVT-III.
Analisis perubahan-perubahan energi
dalam kerangka waktu ABR dan MLR
dilaksanakan dengan menggunakan metode
Daubechies wavelet. Dekomposisi tanda
dicapai pertama kali, dan kemudian
ditemukan skala yang bersesuaian untuk
frekuensi gamma. Energi total pada
kerangka waktu yang terpilih sesuai dengan
area dibawah kurva pada subyek manapun
(Tabel 3).
Nilai-nilai frekuensi pada analisis
deskriptif dari para pasien OME kanan dan
kontrol memasukkan mean, median, dan
standard deviation, serta range (Tabel 4).
Hanya nilai mean yang digunakan untuk
perbandingan antarkelompok dengan
menggunakan uji Mann-Whitney U. Tabel 5
menunjukkan perbedaan yang signifikan
dalam hal nilai-nilai fonetik, fonologis, dan
sintaksis, dan hampir signifikan untuk
semantik, sedangkan perbedaan
antarkelompok umur dan elektrofisiologis
tidaklah signifikan.
3.1. Otitis Media Telinga Kiri. Kelompok
pasien kedua tersusun dari anak-anak
dengan OME unilateral telinga kiri.
Kelompok ini saat ini sedang digunakan dan
kami bermaksud untuk menunjukkan
pengaruh yang tidak signifikan dari OME
kiri terhadap perkembangan bahasa.
Meskipun tidak ada analisis statistik yang
mungkin karena kecilnya ukuran sampel,
hasil-hasil pendahuluan tersebut
menekankan pengaruh penting yang krusial
dari otitis media telinga kanan pada
perkembangan bahasa, sebab tidak ada anak
dengan riwayat otitis media kiri pada awal
masa balita yang mengalami kelainan
bahasa, meskipun ada analisis pendengaran
pada jalur akustik kiri yang menunjukkan
skor energi yang lebih rendah daripada
kontrol (mean ABR kontrol = 34.26 dan
mean MLR kontrol = 45.30; Tabel 4 dan 6).
3.2. Korelasi antara Data Linguistik dan
Elektrofisiologis. Akhirnya, data dari uji
linguistik dan elektrofisiologis dikaitkan
dengan otitis media telinga kanan
menggunakan analisis regresi linier
Spearman. Nilai-nilai tenaga untuk kerangka
waktu ABR dan MLR dikaitkan dengan
setiap kategori bahasa tertentu, dan rho
coefficient dihitung dengan batas
kepercayaan 95%.
3.3. Auditory Brainstem. Dibuat korelasi
analitis untuk setiap level bahasa dan
kekuatan ABR. Korelasi signifikan
ditemukan untuk fonetik sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 2 (P = 0.028),
tapi tidak untuk fonologis (P = 0.090),
Gambar 3, juga untuk sintaks (P = 0.615),
Gambar 4, dan semantik (P = 0.318),
Gambar 5.
3.4. Korteks Auditori. Korelasi analitis yang
sama dibuat antara skor linguistik dari tiap
kategori bahasa tertentu dan kekuatan pita
gamma untuk respon kelambatan
pertengahan auditori. Pada level kortikal,
koefisien korelasi signifikan untuk fonetik
(P = 0.007), sebagaimana ditunjukkan
dalam Gambar 6 dan untuk fonologis (P =
0.019), Gambar 7, tapi tidak untuk sintaks
(P = 0.322), Gambar 8, juga untuk semantik
(P = 0.817), Gambar 9.
4. Pembahasan
Kelainan bahasa spesifik pada anak-
anak memiliki wujud klinis yang heterogen.
Kadangkala gambaran klinisnya berupa
sebuah gangguan pemrograman fonologis,
di kasus yang lain muncul kelainan
fonologis-sintaksis, atau bahkan agnosia
auditori verbal. Temuan-temuan kami pada
manusia selaras dengan temuan Popescu dan
Polley pada binatang, tapi berbeda dalam
satu aspek penting: oklusi telinga unilateral
yang kami pelajari memungkinkan jenis
gangguan linguistik ditentukan. Kehilangan
pendengaran konduktif yang berhubungan
dengan infeksi telinga pada masa kanak-
kanak yang menghasilkan defisit yang
berkepanjangan dalam hal ketajaman
perseptual auditori, sangat serupa dengan
amblyopia pada sistem visual, dalam hasil
kerja Popescu dan Polley dibandingkan
dengan perubahan-perubahan yang
dihasilkan bayi, anak-anak, dan tikus
dewasa setelah penurunan monaural
sementara. Sebaliknya, metode kami tidak
cocok dengan temuan-temuan in situ
(distorsi peta tono-topik, pelemahan
perwujudan telinga yang menurun dengan
penguatan perwujudan telinga yang terbuka,
dan gangguan integrasi binaural dari
perbedaan-perbedaan level interaural), tapi
kami setuju dengan hasil-hasil mereka: efek-
fek plastisitas dua arah diatur secara ketat
oleh periode-periode kritis, diekspresikan
secara lebih kuat pada korteks auditori
primer daripada colliculus inferior, dan
secara langsung akurasi pengkodean neural
yang terdampak, sejalan dengan kehilangan
energi yang lebih besar pada kekuatan MLR
daripada kekuatan ABR dan menghasilkan
gangguan yang lebih besar terhadap
pengkodean fonetik-fonologis daripada
produksi sintaksis-semantik. Faktanya,
kekuatan ABR berkaitan secara signifikan
dengan skor fonetik, sementara kekuatan
MLR berkorelasi dengan baik dengan skor
fonetik dan fonologis. Fakta-fakta tersebut
sejalan dengan kontribusi batang otak dan
korteks serebral terhadap perubahan-
perubahan plastisitas yang terjadi sebagai
efek dari penurunan monaural. Pada
percobaan binatang, cakupan reorganisasi
paling mencolok pada korteks dan tidak
mencolok pada bagian bawah jalur auditori
pusat. Dengan ini ditunjukkan bahwa
dengan menggabungkan rekaman-rekaman
bilateral pada korteks dan nukleus pusat
colliculus inferior dengan pengukuran-
pengukuran ABR yang rinci, dimungkinkan
untuk mengenali ciri-ciri reorganisasional
yang tidak dapat dijelaskan dengan
perubahan-perubahan level rendah dalam
sistem auditori dan yang lainnya sudah pasti.
Cakupan dan sensitivitas reorganisasi
kortikal sebagai tanggapan atas manipulasi
eksperimental tampak mencolok, mengingat
hubungan yang mendalam antara sifat-sifat
dasar korteks auditori dari persepsi
auditori. Nilai-nilai mean elektrofisiologis
para pasien OME kanan kami tidak berbeda
secara signifikan dari nilai-nilai kontrol, tapi
hal ini bisa karena kecilnya ukuran sampel.
Kurangnya korelasi signifikan dengan skor-
skor semantik, menurut pandangan kami,
karena fungsi-fungsi serebral yang kompleks
yang terlibat didalam semantik;
pengukurannya dengan respon kelambatan
pendek dan menengah (ABR-MLR) tidak
sesuai dan potensi-potensi bangkitan
kelambatan panjang hendaknya digunakan
untuk tujuan ini.
Keumuman hadir dalam kaitan
dengan ciri-ciri ABR telinga terligasi
unilateral pada tikus dan temuan-temuan
ABR-MLR kami pada anak-anak. Pada
percobaan binatang, perbandingan
representatif bentuk gelombang ABR yang
dimunculkan oleh bunyi klik sebesar 80 dB
menunjukkan bahwa respon-respon dari
telinga yang terligasi membaik hampir
secara lengkap setelah pembersihan ligasi.
Analisis kuantitatif gelombang Ia, I, dan II,
yang masing-masing diketahui dihasilkan
oleh sel-sel rambut telinga dalam, sel-sel
ganglion spiral, dan sel-sel globula nukleus
kokhlea, menunjukkan pelemahan signifikan
kekuatan respon untuk 3 puncak dengan
ligasi relatif terhadap telinga terbuka.
Setelah pembersihan ligasi, amplitudo
gelombang Ia dan I segera membaik dengan
posisi yang ekuivalen dengan telinga
terbuka menyangkut keterhubungan dengan
poin-poin data yang tidak benar, yang
menyatakan bahwa kehilangan pendengaran
periferi berbalik secara lengkap. Amplitudo
respon gelombang II terus menunjukkan
pelemahan signifikan. Data-data tersebut
menyatakan bahwa pergeseran ambang batas
ABR frekuensi tinggi yang tersisa
kemungkinan muncul dari perubahan-
perubahan neuron auditori pusat, sebab
hanya gelombang II yang gagal pulih.
Memperhitungkan temuan-temuan tersebut
terhadap kehilangan kekuatan ABR-MLR
yang ditemukan pada anak-anak dengan
riwayat awal OME telinga kanan sangat
mungkin dan sejalan dengan efek-efek
jangka pendek pada perkembangan bahasa.
Korelasi dengan skor fonetik, fonologis, dan
sedikit dengan sintaksis memberikan
dukungan untuk menyusun pola gangguan
bagi anak-anak yang berisiko mengalami
masalah-masalah bahasa yang
membedakannya dari anak-anak biasa yang
sedang tumbuh. Pada usia 3 tahun, ketika
anak-anak berkolaborasi secara normal
dalam pengujian linguistik, dapat dinyatakan
bahwa lebih dari satu kesalahan fonetik dan
fonologis ditambah persentil sintaksis yang
kurang dari 75 dan persentil semantik yang
kurang dari 60 merupakan sebuah pola
untuk memperingatkan intervensi awal.
Jenis intervensinya bisa berupa terapi suara.
Berdasarkan audiogram, potongan-potongan
musik dapat dibuat untuk setiap anak yang
berisiko guna memulihkan kehilangan
frekuensi.
Penelitian ini termotivasi oleh
kurangnya studi-studi selektif yang
menganalisis peran otitis media unilateral
kronis dalam perkembangan bahasa.
Hubungan yang tepat antara otitis media
unilateral kanan kronis dan kelainan bahasa
tampak logis bagi kita karena jalur auditori
kontralateral merupakan yang paling efisien
dalam pendengaran dan karena lokasi
bahasa dalam hemisfer kiri pada sebagian
besar orang. Penelitian selektif otitis media
kanan ini tidak hanya menunjukkan
dampaknya pada kelainan, tapi juga
menunjukkan pola gangguan, dengan lebih
banyak pengkodean yang terganggu pada
level fonetik dan fonologis daripada level
sintaksis dan semantik. Penelitian-penelitian
non-investigatif yang dilaporkan oleh
beberapa penulis telah mengkaitkan
gangguan fonologis dan morfo-sintaksis
dengan otitis pada anak-anak kecil, dan
pengamatan-pengamatan tersebut serupa
dengan temuan-temuan kami, tapi penelitian
selektif kami membuka perbedaan dalam
temuan-temuan diantara studi-studi umum,
karena penelitian ini menunjuk kepada jalur
akustik kanan sebagai faktor utama untuk
kelainan bahasa. Meskipun penelitian ini
memiliki keterbatasan-keterbatasan yang
melekat tentang kecilnya ukuran sampel,
alasan untuk hal itu adalah kesulitan ekstrem
dalam mendapatkan peserta didalam ruang
konsultasi yang memiliki OME unilateral
eksklusif. Hal ini menyiratkan penggunaan
uji-uji statistik non-parametrik dan
menciptakan kebutuhan akan studi-studi
ulangan. Sebaliknya, uji-uji linguistik yang
kami gunakan cukup kuat karena uji ini
terstandardisasi untuk bahasa ibu dan
diadaptasi untuk usia setiap orang.
Dari sudut pandang linguistik, efek
kausatif langsung OME kanan tidak dapat
dinyatakan jika kami mengikuti teori
kelainan bahasa spesifik yang ada saat ini.
Penurunan pendengaran genetik, keluarga,
dan sosial harus dipertimbangkan diantara
banyak faktor lainnya. Temuan-temuan saat
ini beradu argumen terhadap studi-studi
yang berhubungan dengan otitis media dan
bahasa, karena kehilangan pendengaran
yang berkepanjangan secara metodologis
dianggap sebuah variabel dependen, tapi hal
ini hendaknya digunakan sebagai sebuah
faktor yang independen, seimbang diantara
faktor-faktor yang lain seperti
kecenderungan genetik atau penurunan
bahasa keluarga-sosial. Sehingga, untuk
diagnosis yang akurat, peran proporsional
kehilangan pendengaran yang didapat akibat
otitis media kronis sangatlah penting.
5. Kesimpulan
Penguraian faktor-faktor yang
menyebabkan kelainan bahasa pada masa
kanak-kanak merupakan sebuah terobosan.
Hingga saat ini, studi ini merupakan studi
pertama yang menganalisis penurunan
pendengaran unilateral sebagai satu faktor
kelainan bahasa. Namun demikian, kesulitan
ekstrem dalam menemukan kasus OME
unilateral yang terisolasi pada tatanan klinis,
dan akibatnya mendapatkan kelompok-
kelompok sampel, menghasilkan satu
kebutuhan akan adanya studi-studi ulangan
untuk memperoleh bukti menyangkut
pengaruh penting otitis media telinga kanan
pada kelainan bahasa pada anak-anak.
Temuan-temuan yang ada menyiratkan
bahwa para tenaga klinis hendaknya
menggunakan standar-standar untuk
mencegah kelainan bahasa, seperti stimulasi
awal bagi anak-anak yang berisiko atau
bahkan penggabungan beberapa tipe suara
dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Daftar Pustaka
[1] I. Rapin, “Practitioner review:
developmental language disorders: a clinical
update,” Journal of Child Psychology and
Psychiatry and Allied Disciplines, vol. 37,
no. 6, pp. 643–655, 1996.
[2] E. Lenneberg, The Biological
Foundation of Language, Alianza, Madrid,
Sapin, 1975.
[3] L. E. Falkenberg, K. Specht, and R.
Westerhausen, “Attention and cognitive
control networks assessed in a dichotic
listening fMRI study,” Brain and Cognition,
vol. 76, no. 2, pp. 276–285, 2011.
[4] F. Del Castillo and F. Baquero, Otitis
Media Aguda, Hospital Infantil La Paz,
Asociaci ´on Espa˜nola de Pediatr´ıa,
Madrid, Spain, 2008.
[5] J. Pukander, P. Karma, and M. Sipila,
“Occurrence and recurrence of acute otitis
media among children,” Acta Oto-
Laryngologica, vol. 94, no. 5-6, pp. 479 486,
1982.
[6] J. O. Klein, “Otitis media and the
development of speech and language,”
Pediatric Infectious Disease, vol. 3, no. 4,
pp. 389–391, 1984.
[7] J. S. Gravel and I. F. Wallace, “Effects
of otitis media with effusion on hearing in
the first 3 years of life,” Journal of Speech,
Language, and Hearing Research, vol. 43,
no. 3, pp. 631–644, 2000.
[8] P. Menyuk, “Effect of persistent otitis
media on language development,” Annals of
Otology, Rhinology and Laryngology, vol.
89, no. 3, supplement 68, pp. 257–263,
1980.
[9] J. Roberts, L. Hunter, J. Gravel et al.,
“Otitis media, hearing loss, and language
learning controversies and current research,”
Journal of Developmental and Behavioral
Pediatrics, vol. 25, no. 2, pp. 110–122,
2004.
[10] M. Uhari, J. Luotonen, O. P. Alho, U.
Bollag, E. Bollag- Albrecht, and C. Braun-
Fahrlander, “Acoustic reflectometry in the
study of middle ear effusion,” European
Journal of Pediatrics, vol. 157, no. 2, pp.
166–167, 1998.
[11] D. W. Teele, J. O. Klein, C. Chase et
al., “Otitis media in infancy and intellectual
ability, school achievement, speech, and
language at age 7 years,” Journal of
Infectious Diseases, vol. 162, no. 3, pp.
685–694, 1990.
[12] J. S. Gravel, I. F. Wallace, and R. J.
Ruben, “Early otitis media and later
educational risk,” Acta Oto-Laryngologica,
vol. 115, no. 2, pp. 279–281, 1995.
[13] S. Friel-Patti and T. Finitzo, “Language
learning in a prospective study of otitis
media with effusion in the first two years of
life,” Journal of Speech and Hearing
Research, vol. 33, no. 1, pp. 188–194, 1990.
[14] P. B. Nelson, S. Nittrouer, and S. J.
Norton, “’Say-stay’ identification and
psychoacoustic performance of hearing-
impaired listeners,” Journal of the
Acoustical Society of America, vol. 97, no.
3, pp. 1830–1838, 1995.
[15] P. G. Stelmachowicz, J. Kopun, A.
Mace, D. E. Lewis, and S. Nittrouer, “The
perception of amplified speech by listeners
with hearing loss: acoustic correlates,”
Journal of the Acoustical Society of
America, vol. 98, no. 3, pp. 1388–1399,
1995.
[16] D. R. Moore, “Auditory processing
disorders: acquisition and treatment,”
Journal of Communication Disorders, vol.
40, no. 4, pp. 295–304, 2007.
[17] J. E. Roberts, M. R. Burchinal, S. A.
Zeisel et al., “Otitis media, the caregiving
environment, and language and cognitive
outcomes at 2 years,” Pediatrics, vol. 102,
no. 2, pp. 346–354, 1998.
[18] J. S. Gravel, J. E. Roberts, J. Roush et
al., “Early otitis media with effusion,
hearing loss, and auditory processes at
school age,” Ear and Hearing, vol. 27, no.
4, pp. 353–368, 2006.
[19] H. Winskel, “The effects of an early
history of otitis media on children’s
language and literacy skill development,”
British Journal of Educational Psychology,
vol. 76, no. 4, pp. 727–744, 2006.
[20] A. Zumach, M. N. Chenault, L. J. C.
Anteunis, and E. Gerrits, “Speech perception
after early-life otitis media with fluctuating
hearing loss,” Audiology and Neuro
Otology, vol. 16, no. 5, pp. 304–314, 2010.
[21] A. Zumach, E. Gerrits, M. Chenault,
and L. Anteunis, “Longterm effects of early-
life otitis media on language development,”
Journal of Speech, Language, and Hearing
Research, vol. 53, no. 1, pp. 34–43, 2010.
[22] D. L. Johnson, D. P. McCormick, and
C. D. Baldwin, “Early middle ear effusion
and language at age seven,” Journal of
Communication Disorders, vol. 41, no. 1,
pp. 20–32, 2008.
[23] M. V. Popescu and D. B. Polley,
“Monaural deprivation disrupts development
of binaural selectivity in auditorymidbrain
and cortex,” Neuron, vol. 65, no. 5, pp. 718
731, 2010.
[24] D. B. Polley, A. R. Hillock, C.
Spankovich, M. V. Popescu, D. W. Royal,
and M. T. Wallace, “Development and
plasticity of intra- and intersensory
information processing,” Journal of the
American Academy of Audiology, vol. 19,
no. 10, pp. 780–798, 2008.
[25] R. Galambos, S. Makeig, and P. J.
Talmachoff, “A 40-Hz auditory potential
recorded from the human scalp,”
Proceedings of the National Academy of
Sciences of the United States of America,
vol. 78, no. 4, pp. 2643–2647, 1981.
[26] I. Daubechies, “Orthonormal bases of
compactly supported wavelets,”
Communications on Pure and Applied
Mathematics, vol. 41, pp. 909–996, 1988.
[27] A. Gotzens and S.Marro, Prueba de
Valoraci´on de la Percepci´on Auditiva:
Explorando los Sonidos y el Lenguaje,
Masson, Barcelona, Spain, 1999.
[28] F. Monfort and S. Juarez, El Ni˜no que
Habla: el Lenguaje Oral en Preescolar,
CEPE, Madrid, Spain, 1989.
[29] G. Aguado, El Desarrollo de
laMorfosintaxis en el Ni˜noManual de
Evaluaci´on de TSA, CEPE, Madrid, Spain,
2002.
[30] L. Dunn and D. Arribas, PPVT-III.
Peabody Test de Vocabulario en Im´agenes,
TEA, Madrid, Spain, 2006.
[31] S. Atiani, M. Elhilali, S. V. David, J. B.
Fritz, and S. A. Shamma, “Task difficulty
and performance induce diverse adaptive
patterns in gain and shape of primary
auditory cortical receptive fields,” Neuron,
vol. 61, no. 3, pp. 467–480, 2009.
[32] M. J. Davis-Gunter, H. L¨owenheim, K.
V. Gopal, and E. J. Moore, “The I’ potential
of the human auditory brainstem response to
paired click stimuli,” Scandinavian
Audiology, vol. 30, no. 1, pp. 50–60, 2001.
[33] J. R. Melcher and N. Y. S. Kiang,
“Generators of the brainstem auditory
evoked potential in cat III: identified cell
populations,” Hearing Research, vol. 93, no.
1-2, pp. 52–71, 1996.
[34] I. F. Wallace, C. M. McCarton, R. S.
Bernstein, J. S. Gravel, D. R. Stapells, and
R. J. Ruben, “Otitismedia, auditory
sensitivity, and language outcomes at one
year,” Laryngoscope, vol. 98, no. 1, pp. 64–
70, 1988.
[35] E. Lenneberg, Foundamental of
Language Development, Alianza, Madrid,
Spain, 1982.