21
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 132 PEMBEBASAN ETOS AKUNTABILITAS PELAYANAN PUBLIK: SEBUAH ANALISIS KRITIS HABERMASIAN ATAS KOLONISASI LIFEWORLD Ridho Muhammad Purnomosidi [email protected] Iwan Triyuwono Ari Kamayanti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya ABSTRACT The aim of this study is to desing a construct of public accountability concept that is independent of lifeworld colonization brought by the concept of New Public Management. This study emphasize its analysis on process- oriented accountability and one that liberates public communication. This study will shed a light on process responsibility, one that is not limited to information presentation but more than that, as a moral responsibility of government executive. In this study, I approach the problem through the eyes of Habermas’s critical perspective. Using Habermas's approach, I want to understand the colonization of accountability lifeworld in society. In relation to budget accountability issues, public disc 7ussion space would be the main issue. The findings of this study is that accountability, judging from the quality of service delivery, has eroded its meaning. That is, the service providers have not been able to give an adequate account for the service that they are doing, such as trying to produce a quality of service according to the wishes of the people. Therefore, the current accountability process still needs improvement, so that public officials providing service would have a sense of public responsibility when providing services to the public. Public accountability of service provided appears to disregard public discussion space that creates equality in determining what is needed and what is given to the public. Key words: accounting, accountability, public sector, budgeting, habermas. ABSTRAK Studi ini bertujuan menghasilkan konstruksi konsep akuntabilitas publik yang bebas dari kolonisasi lifeworld yang dibawa oleh konsep New Public Management. Studi ini menekankan analisisnya pada bentuk akuntabilitas yang berorientasi proses dan yang membebaskan komunikasi publik. Studi ini akan membuka wacana pertanggungjawaban atas proses yang tidak sebatas penyajian informasi akan tetapi lebih dari itu, sebagai sebuah pertanggungjawaban moral para pelaksana pemerintahan. Dalam penelitian ini, saya mendekati masalah yang ada melalui kacamata perspektif kritis Habermas. Melalui pendekatan Habermas, saya ingin memahami kolonisasi lifeworld akuntabilitas yang terjadi dalam masyarakat. Berkaitan dengan masalah akuntabilitas anggaran, ruang diskusi publik merupakan hal utama yang menjadi pokok permasalahan. Temuan studi ini ialah bahwa akuntabilitas, dilihat dari kualitas pelaksanaan pelayanan, telah terkikis maknanya. Artinya, pihak pemberi layanan belum dapat mempertanggungjawabkan pelayanan yang dilakukannya dengan baik, seperti berusaha meng- hasilkan kualitas pelayanan sesuai dengan keinginan masyarakat. Karenanya, proses per- tanggungjawaban yang dimiliki masih butuh pembenahan, agar aparatur pemberi layanan dapat memiliki tanggung jawab publik ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat. Akuntabilitas publik atas pelayanan nampak mengabaikan ruang dikusi publik yang membuat kesetaraan dalam menentukan apa yang dibutuhkan dan apa yang diberikan pada masyarakat. Kata kunci: akuntansi, akuntabilitas, sektor publik, anggaran, habermas.

PEMBEBASAN ETOS AKUNTABILITAS PELAYANAN PUBLIK: …

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012

132

PEMBEBASAN ETOS AKUNTABILITAS PELAYANAN PUBLIK:SEBUAH ANALISIS KRITIS HABERMASIAN ATAS

KOLONISASI LIFEWORLD

Ridho Muhammad [email protected] TriyuwonoAri Kamayanti

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

ABSTRACT

The aim of this study is to desing a construct of public accountability concept that is independent of lifeworldcolonization brought by the concept of New Public Management. This study emphasize its analysis on process-oriented accountability and one that liberates public communication. This study will shed a light on processresponsibility, one that is not limited to information presentation but more than that, as a moral responsibility ofgovernment executive. In this study, I approach the problem through the eyes of Habermas’s critical perspective.Using Habermas's approach, I want to understand the colonization of accountability lifeworld in society. Inrelation to budget accountability issues, public disc 7ussion space would be the main issue. The findings of thisstudy is that accountability, judging from the quality of service delivery, has eroded its meaning. That is, theservice providers have not been able to give an adequate account for the service that they are doing, such as tryingto produce a quality of service according to the wishes of the people. Therefore, the current accountability processstill needs improvement, so that public officials providing service would have a sense of public responsibility whenproviding services to the public. Public accountability of service provided appears to disregard public discussionspace that creates equality in determining what is needed and what is given to the public.

Key words: accounting, accountability, public sector, budgeting, habermas.

ABSTRAK

Studi ini bertujuan menghasilkan konstruksi konsep akuntabilitas publik yang bebas dari kolonisasilifeworld yang dibawa oleh konsep New Public Management. Studi ini menekankan analisisnya padabentuk akuntabilitas yang berorientasi proses dan yang membebaskan komunikasi publik. Studi iniakan membuka wacana pertanggungjawaban atas proses yang tidak sebatas penyajian informasi akantetapi lebih dari itu, sebagai sebuah pertanggungjawaban moral para pelaksana pemerintahan. Dalampenelitian ini, saya mendekati masalah yang ada melalui kacamata perspektif kritis Habermas. Melaluipendekatan Habermas, saya ingin memahami kolonisasi lifeworld akuntabilitas yang terjadi dalammasyarakat. Berkaitan dengan masalah akuntabilitas anggaran, ruang diskusi publik merupakan halutama yang menjadi pokok permasalahan. Temuan studi ini ialah bahwa akuntabilitas, dilihat darikualitas pelaksanaan pelayanan, telah terkikis maknanya. Artinya, pihak pemberi layanan belum dapatmempertanggungjawabkan pelayanan yang dilakukannya dengan baik, seperti berusaha meng-hasilkan kualitas pelayanan sesuai dengan keinginan masyarakat. Karenanya, proses per-tanggungjawaban yang dimiliki masih butuh pembenahan, agar aparatur pemberi layanan dapatmemiliki tanggung jawab publik ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat. Akuntabilitaspublik atas pelayanan nampak mengabaikan ruang dikusi publik yang membuat kesetaraan dalammenentukan apa yang dibutuhkan dan apa yang diberikan pada masyarakat.

Kata kunci: akuntansi, akuntabilitas, sektor publik, anggaran, habermas.

Pembebasan Etos Akuntabilitas Pelayanan Publik: ... – Purnomosidi, Triyuwono, Kamayanti 133

PENDAHULUANBeberapa dekade lalu, akuntabilitas

tidak banyak diperbincangkan atau bahkantidak mendapat perhatian, namun saat inimenjadi isu hangat yang banyak dibahasbaik oleh praktisi maupun akademisi,terutama ketika berbicara tentang sektorpublik (Day dan Klein, 1987; Broadbent danLaughlin, 2003; Goddard, 2005; Sinclair,1995). Fenomena yang terjadi dalam per-kembangan sektor publik saat ini ialahadanya transformasi dalam akuntabilitaspublik yang bergerak di bawah pemikirannew public management (NPM). Dalam pe-mikiran ini, model pemerintahan tradisionaldirasa tidak efisien dalam mengelola pe-merintahan, sehingga model manajemen disektor privat diangkat ke sektor publikuntuk mengatasi masalah tersebut (Funnel,2003; Hood, 1991; Parker dan Gould, 1999).

Namun demikian, perubahan ini di-pandang tidak sesuai dalam sektor publikkarena mengusung spirit dari sektor privatyang lebih bersifat profit-oriented (Doig danWilson, 1998; Hebson et al., 2003). Lebihlanjut, hal ini diperparah oleh sifat dasarNPM yang berbasis rasionalitas instrumen-tal (efektivitas dan efisiensi) untuk melaku-kan justifikasi dalam pengambilan keputus-an yang melibatkan berbagai stakeholder(Miller dan Dunn, 2006). Hal inilah yangdigunakan oleh pemerintah untuk meng-kolonisasi ruang diskusi publik sehinggakepentingan masyarakat menjadi ter-marjinalisasi. Pada akhirnya, kondisi inimendemistifikasi akuntabilitas, yaitu meng-hilangkan kesakralan akuntabilitas sebagaimanifestasi amanah rakyat kepada pe-merintahnya.

Untuk membebaskan kolonisasi inimaka dirasa perlu untuk melakukan per-ubahan dalam akuntabilitas publik, ter-utama dalam akuntabilitas anggaran, kare-na fungsinya sebagai alat akuntabilitas uta-ma dari pemerintah (Shah dan Chen, 2007).Dengan mengamati baik spirit yang men-dasari akuntabilitas publik dalam hal ini etosakuntabilitas publik (Horton, 2008), maupunpraktik akuntabilitas itu sendiri, maka akan

dapat ditemukan gambaran yang holistikatas proses akuntabilitas pemerintahan.Selanjutnya, dari pemahaman tersebut dapatdilakukan pembebasan akuntabilitas publikatas kolonisasi rasionalitas instrumental.

Dalam hal ini, akuntabilitas publik me-rupakan konsep yang sampai sekarangmasih diperdebatkan definisinya, namunsemua pihak sependapat bahwa ia merupa-kan komponen penting dalam pemerintah-an. Akuntabilitas digambarkan sebagai sua-tu hubungan yang mencakup pemberiandan permintaan tanggung jawab atas suatutindakan tertentu (Roberts dan Scapens,1985). Secara sederhana, akuntabilitas me-rupakan pemberian informasi dan peng-ungkapan (disclosure) atas aktivitas dankinerja organisasi kepada pihak-pihak yangberkepentingan (Schiavo-Campo dan Toma-si, 1999). Pemerintah, baik pusat maupundaerah, harus dapat memberikan informasidalam rangka pemenuhan hak-hak publikyaitu hak untuk tahu, hak untuk mendapatinformasi, dan hak untuk didengar aspirasi-nya.

Laughlin (1990) mengatakan bahwa ti-dak terdapat satu sistem akuntabilitas yangpaling tepat bagi semua kondisi akunta-bilitas yang ada, sistem akuntabilitas perludisesuaikan dengan kondisi di mana ia akanditerapkan. NPM dengan konsepnya yangberbasis rasionalitas instrumental telahmengolonisasi ruang diskusi publik danmenghambat berlangsungnya proses akunta-bilitas. Masyarakat pun seperti sudah lelahuntuk memperjuangkan hak-haknya se-hingga semakin menguatkan status quopemerintah. Oleh karenanya, untuk mem-bebaskan akuntabilitas di Indonesia perluadanya komunikasi yang tidak terdistorsiantara berbagai aktor yang terlibat dalamproses akuntabilitas. Untuk dapat mencapaihal tersebut, perlu dipahami spirit etosakuntabilitas publik maupun praktikakuntabilitas yang terjadi dalam hubunganmasyarakat dan pemerintah agar dapatdipahami bagaimana bentuk kolonisasiNPM atas akuntabilitas publik.

134 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 1, Maret 2015 : 132 – 152

Studi ini bertujuan menghasilkankonstruksi konsep akuntabilitas publik yangbebas dari kolonisasi lifeworld yang dibawaoleh konsep New Public Management. Studiini menekankan analisis pada bentukakuntabilitas yang berorientasi proses danyang membebaskan komunikasi publik.Studi ini akan membuka wacana per-tanggungjawaban atas proses yang tidaksebatas penyajian informasi, tetapi lebih dariitu, sebagai sebuah pertanggungjawabanmoral para pelaksana pemerintahan.

TINJAUAN TEORETISAkuntabilitas Anggaran Dan KomunikasiAntara Pelaku Anggaran

Sistem penganggaran publik dibentukuntuk menjalankan beberapa fungsi penting.Fungsi-fungsi tersebut termasuk pengaturanprioritas anggaran sesuai dengan amanatpemerintah; perencanaan pengeluaran da-lam rangka mengejar visi jangka panjanguntuk pembangunan; pelaksanaan kontrolkeuangan atas input untuk memastikandisiplin fiskal; manajemen operasi untukmenjamin efisiensi operasi pemerintah; dansebagai alat untuk akuntabilitas kinerjapemerintah kepada masyarakat (Shah danChen, 2007).

Dalam anggaran berbasis kinerja, legis-latif tidak hanya menjadi pemberi amanatreformasi, namun ia juga merupakan salahsatu pelaksana kunci. Ia memiliki kewenang-an untuk mengalokasikan sumber dayaberdasarkan informasi kinerja dan untukmenerapkan sanksi. Dengan demikian,disposisi terhadap pelaksanaan anggaranperlu dibahas oleh legislatif dan eksekutif.Disposisi mengacu pada sejauh manaorganisasi mendukung pelaksanaan refor-masi dan melakukan upaya untuk me-mastikan keberhasilan reformasi.

NPM melahirkan berbagai model sistemanggaran yang didasarkan pada pencapaiankinerja diantaranya, zero-based budgetingserta planing programming budgeting system,model-model anggaran seperti ini umumnyalebih dikenal dengan sebutan performance-based budgeting atau anggaran berbasis

kinerja. Pada dasarnya berbagai modelanggaran ini bertujuan untuk menghubung-kan antara penggunaan dana dengan hasilatau tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yangingin dicapai dengan penerapan anggaranberbasis kinerja ialah maksimalisasi value formoney. Hal ini dilakukan dengan melakukanefisiensi atas alokasi dan efisiensi atas teknisatau manajerial. Kedua efisiensi tersebutmerupakan alat untuk mencapai kesejah-teraan masyarakat apabila dilaksanakan ataspertimbangan keadilan dan keberpihakanterhadap rakyat (Mardiasmo, 2002).

Penting untuk menekankan bahwaakuntabilitas manajerial harus didasarkanpada output bukan outcome, karena outcomeberada di luar kendali langsung manajer,sulit untuk didefinisikan dan diukur, dansangat sulit untuk digunakan sebagai dasarpenetapan biaya. Argumen utama dalampenggunaan akuntabilitas berbasis outputadalah: (1) tidak memungkinkan untukmenghubungkan outcome langsung dengantindakan manajerial, dan keputusan tingkatkontrol langsung seorang manajer atasoutput umumnya lebih besar daripadaoutcome, (2) outcome sangat sulit untukdiidentifikasi, dan tentu saja sulit untukdiukur. Skala waktu untuk mengukur hasilbiasanya mencakup beberapa waktu setelahprogram diimplementasikan, umumnya,tidak selaras dengan siklus anggaran yangsama, dan (3) menghitung biaya untukmencapai outcome lebih sulit daripada biayauntuk mencapai output (Kristensen et al,2002).

METODE PENELITIANDalam penelitian ini, masalah yang ada

didekati melalui perspektif kritis Habermas.Melalui pendekatan Habermas, penelitianini mencoba memahami kolonisasi lifeworldakuntabilitas yang terjadi dalam masyarakat.Berkaitan dengan masalah akuntabilitasanggaran, ruang diskusi publik merupakanhal utama yang menjadi pokok permasalah-an (Miller dan Dunn, 2006). Oleh karena itu,dengan menggunakan teori tindakankomunikasi Habermas, penelitian ini ber-

Pembebasan Etos Akuntabilitas Pelayanan Publik: ... – Purnomosidi, Triyuwono, Kamayanti 135

upaya untuk melakukan pembebasan proseskomunikasi tersebut. Pemahaman atas inter-aksi ‘lifeworld’, sistem teknis, dan mekanismesteering sosial penting untuk mencapaitujuan pembebasan komunikasi sehinggamasyarakat dapat meraih kehidupan yanglebih baik (Barone et al., 2013). Sebagaimanayang disampaikan oleh Neuman (2003), bah-wa pendekatan kritis bertujuan untuk mem-perjuangkan ide peneliti agar membawaperubahan yang substansial pada masya-rakat.

Menurut pendekatan penelitian kritis,kegiatan penelitian seharusnya tidak ber-henti pada tahap-tahap konvensional sepertideksripsi, eksplanasi, penerapan, atau pe-ramalan. Kegiatan penelitian seharusnyamelangkah pada tahap lebih jauh lagi, yaitusampai pada tahap penyadaran dan tindak-an (action) untuk mencapai tujuan pemecah-an masalah atau pemberdayaan (empower-ment) yang berpijak pada kesadaran kritispartisipan penelitian. Penelitian kritis ber-tujuan untuk membebaskan (to emancipate)dan mengubah (to transform) (Burrell danMorgan, 1979; Chua, 1986). Paradigma inimemahami hakikat manusia sebagai sesuatuyang dinamis dan mandiri, dan seharusnyabebas dari adanya unsur eksploitasi dantekanan dari pihak tertentu. Tujuan peneliti-an dari paradigma kritis adalah meng-ungkap hubungan nyata (real relation) yangada di bawah permukaan, mengungkapmitos dan ilusi, menghapus kepercayaanyang salah, serta berusaha untuk membebas-kan masyarakat dari belenggu situasionalyang ada.

Dalam metode tersebut, Habermasmembedakan tindakan rasional bertujuan kedalam tindakan instrumental dan tindakanstrategis. Dalam hal ini pengejaran ke-pentingan dilakukan secara rasional danterkalkulasi. Tindakan instrumental melibat-kan seorang aktor tunggal untuk mem-perhitungkan secara rasional alat-alat ter-baik untuk mencapai suatu tujuan, sedang-kan, tindakan strategis berkaitan denganproses dua atau lebih individu yang saling

mengoordinasikan tindakan rasional ber-tujuan dalam pengejaran suatu tujuan.Tujuan tindakan instrumental maupun stra-tegis ialah penguasaan intrumental. Men-dasarkan akuntabilitas pemerintah padaukuran efektivitas dan efisiensi kinerjamerupakan contoh dari tindakan rasionalbertujuan.

Sejalan dengan pandangan Habermas,maka penelitian ini pun berupaya untukmengangkat aspek tindakan komunikatif.Ketika berbicara tentang akuntabilitas danproses pertanggungjawaban kinerja pe-merintah, tindakan komunikatif menjadibagian integral dalam proses rasionalisasi.Interaksi antara pemerintah dengan masya-rakat merupakan komponen penting dalampencapaian tujuan akuntabilitas sebagai alatpengendalian terutama dalam hal kinerja.

Penelitian ini dilakukan di KabupatenGowa yang terletak di Provinsi SulawesiSelatan, karena Kabupaten Gowa memilikikeunikan tersendiri. Daerah yang merupa-kan penyanggga kota Makassar ini mem-peroleh opini Wajar Tanpa Pengecualiandari Badan Pemeriksa Keuangan RepublikIndonesia untuk laporan keuangan tahun2013. Sayangnya di tahun yang sama daerahini memiliki beberapa kasus korupsi yangmengindikasikan bahwa akuntabilitas ke-uangan mereka tidak seiring dengan akunta-bilitas proses kebijakan.

Hal lain yang membuat situs Pe-merintah Kabupaten Gowa menjadi menarikuntuk diteliti adalah kasus Fadli, di manakarena kritikan atas sistem akuntabilitasPemerintahan Kabupaten Gowa di bawahkepemimpinan Bupati Ichsan Yasin Limpo,Fadli Rahim yang merupakan seorangpegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Pari-wisata dan Kebudayaan Pemkab Gowa, kinidipenjara di Rumah Tahanan GunungsariMakassar, menunggu sidang pengadilan diGowa. Persoalan ini dipicu akibat kritikan-nya melalui media sosial Line. Kritikan yangdisampaikan Fadli melalui chatroom groupLine dimaknai berbeda oleh Pak Bupati,seperti yang disampaikan oleh Kabag

136 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 1, Maret 2015 : 132 – 152

Humas Pemerintah Daerah Kab. Gowa,Arifuddin Saeni. Kicauan Fadli dilihatsebagai sebuah "pencemaran nama baik" dansebagai Aparatur Sipil Negara tindakannyadituding melanggar peraturan disiplinpegawai dan tidak loyal terhadap atasan.Karena dianggap tidak dapat membuktikantuduhannya, Fadli diadili setelah diproses diBadan Pengawasan Daerah (Bawasda) Gowadan diperiksa oleh polisi dan jaksa sejak Mei2014 lalu (Mangenre, 2014)

Informan kunci dalam penelitian iniadalah eksekutif yang melakukan pengelola-an keuangan daerah. Mereka merupakanpihak agen yang terkait dalam pelaksanaanproses akuntabilitas publik. Pihak eksekutifdisini meliputi Kepala Dinas Pendidikanbeserta jajaran Kepala Bidang terkait, KepalaBAPPEDA, dan Kepala Bagian KeuanganPemda Gowa. Pemilihan informan tersebutdilakukan secara purposif berdasarkanjabatan mereka, karena mereka diharapkanmemiliki wawasan yang baik dalam halakuntabilitas publik. Selain itu informanpenting lainnya ialah masyarakat sebagaipihak prinsipal yang merasakan kinerja daripara eksekutif dan seharusnya melakukanfungsi kontrol. Mewakili pihak masyarakatdipilih dua orang yaitu ketua LSO yangberfungsi mengawasi pelaksanaan pe-merintahan Pemda Gowa serta pengamatakuntabilitas pemerintah yang juga me-rupakan dosen akuntansi sektor publik diUniversitas Hasanuddin Makassar. Pemilih-an informan tersebut diharapkan dapatmemberikan pemahaman atas kondisimasyarakat dalam proses akuntabilitaspublik.

ANALISIS DAN PEMBAHASANMarjinalisasi Ruang Diskusi Publik

Aspek penting dalam pelayanan publikadalah akuntabilitas atas etos pelayananpublik (Horton, 2008). Nilai intrinsik yangtermasuk di dalamnya ialah komitmen,integritas, imparsialitas, dan perilaku citizen-ship organisasional (Foster dan Wilding,2000; Lawton, 1998; Needham, 2006). Refor-masi dan perubahan kontekstual atas sektor

publik di bawah kedok New Public Manage-ment (NPM) telah mengubah pola pelayananpublik (Ferlie et al., 1996; Lane, 2000; Lynn,2006), serta mendorong adopsi nilai-nilaidan prinsip-prinsip manajemen sektorswasta (Maesschalck, 2004; Maesschalck etal., 2008; Pollitt dan Bouckaert, 2000).

Nilai-nilai baru yang dibawa oleh NPMsebagian berasal dari pengakuan adanyakekuatan pasar dan kekuasaan pelanggan,yang mana hal tersebut menurut berbagaipeneliti, bertentangan dengan komitmen ter-hadap kepentingan publik (Doig danWilson, 1998; Hebson et al., 2003). Nilai-nilaiyang termasuk di dalamnya ialah profita-bilitas, risk taking, responsif, inovasi danbisnis (Aldridge dan Stoker, 2002; Van derWal et al., 2008).

Literatur menunjukkan bahwa secaraumum reformasi ini telah mengubah peranpemerintah (Bach et al., 2007), mempe-ngaruhi norma-norma yang dianut olehpemerintah (Marsden, 2004), dan secarasignifikan, dan negatif, mempengaruhiakuntabilitas pelayanan publik dan etospelayanan publik (Rhodes, 1994). Pengaruhyang banyak dikutip dalam literatur ialahmelemahnya nilai-nilai profesional (Pollittdan Bouckaert, 2000; Powell et al., 1999);penurunan semangat, motivasi, kepercaya-an, komitmen, dan kepuasan kerja (Fosterdan Wilding, 2000; Friedson, 1994); danpeningkatan stres yang disebabkan olehintensifikasi kerja (Audit Commission, 2002;Exworthy dan Halford, 1999; Randle danBrady, 1997). Pengalaman ini dapat di-generalisasi di seluruh sektor publik secarainternasional karena mereka yang berprofesipada berbagai sektor, misalnya, kesehatan,pendidikan, pelayanan masyarakat, danpekerjaan sosial telah mengalami reformasiserupa (Ackroyd et al., 1989; Fredericksondan Ghere, 2005; Henkel, 1991; O'Faircheal-laigh et al., 1999).

Terdapat bukti bahwa reformasi NewPublic Management memiliki dampak ter-hadap etos umumnya melalui penciptaanbudaya audit (Power, 1997) dan secara khu-sus berkaitan dengan kerjasama pemerintah

Pembebasan Etos Akuntabilitas Pelayanan Publik: ... – Purnomosidi, Triyuwono, Kamayanti 137

dengan swasta (Hebson et al., 2003) dancontracting out (Painter, 2000). Konsep NPMmembatasi diskursus publik pada topikyang tidak kritis dan mengabaikan topikpenting seperti pembuatan kebijakan (Stone,2002). Justifikasi efisiensi ekonomi diguna-kan untuk melakukan intervensi sepertiprivatisasi serta outsourcing, dan menge-sampingkan partisipasi publik dengan alas-an akan menghambat produktifitas. Klaimtersebut menyebabkan minat baru dalamakuntabilitas dan etos pelayanan publik(Clarke et al., 2000; Needham, 2006; Seddon,1996) dan upaya untuk mempertajam fokus-nya dalam menanggapi reformasi tersebut(Aldridge dan Stoker, 2002; Brereton danTemple, 1999; Needham, 2006).

Hal yang memprihatinkan berkaitandengan pelaksanaan akuntabilitas dan etospelayanan publik karena Habermas (2001)mengidealkan suatu kondisi di mana masya-rakat memiliki akses yang luas untukmendiskusikan akuntabilitas publik, gunamendapatkan posisi yang setara denganpemerintah. Ia mendorong lifeworld yangsteril dari kolonisasi. Ia membayangkanmasyarakat komunikatif sebagai tempatperbedaan kepentingan dibicarakan lewatcara-cara yang elegan, serta tidak menutupiruang gerak masing-masing pihak. Itusemua bisa berlangsung di ruang publikyang terbuka dan steril dari tekanan ideologiyang hanya meniupkan angin surga.

Akuntabilitas dan Etos Pelayanan Publik:Sebuah Realitas yang Mengabaikan RuangDiskusi Terbuka

Terdapat berbagai tradisi akuntansiyang berbeda yang mencerminkan konvensikonstitusional, nilai-nilai politik, dan rezimhukum yang berbeda. Konsep etos pelayan-an publik mulai muncul di Inggris, me-nyusul laporan dari Northcote dan Trevel-yan (1854) mengenai pegawai pemerintahan.Banyak peneliti yang telah mengeksplorasietos tersebut dari perspektif sejarah(O'Toole, 1990; Plant, 2003; Thomas, 1989)dan menemukan akarnya dalam konseptugas publik yang diartikulasikan dari

pemikiran Plato dan Aristoteles, dan pe-mikiran terbaru para idealis Inggris, ter-utama T.H. Green (O'Toole, 1990). Fokus daritulisan mereka adalah pegawai senior pe-merintahan di Inggris dan perkembanganetos akuntabilitas pelayanan publik sejakreformasi pelayanan publik pada abad ke-19hingga saat ini. Kekhawatiran terhadap cita-cita etis, termasuk pelayanan kepada masya-rakat, menjadi ciri utama perkembangan ini(Thomas, 1989). Pada awalnya, etos akunta-bilitas ini diadopsi oleh kelompok elitpegawai pemerintahan, tetapi kemudian iamulai merambah ke berbagai pekerja sektorpublik (Audit Commission, 2002).

Seiring berjalannya waktu, upaya untukmendefinisikan etos tersebut mengalamimasalah. Lebih lanjut, selain studi yang di-lakukan oleh Pratchett dan Wingfield (1996)dan Hebson et al. (2003), bukti empiris ada-nya etos ini sangat langka dan karakternyasangat sulit dijelaskan. Kerangka yang di-identifikasi oleh Pratchett dan Wingfield(1994) diuraikan dengan memasukkanakuntabilitas, perilaku birokratif (ditunjuk-kan melalui kejujuran, integritas, imparsia-litas, dan objektivitas), kepentingan publik,motivasi dan loyalitas.

Individu yang bekerja dalam bidangpelayanan publik, dikatakan terikat oleh dantermotivasi oleh etos pelayanan publik(Lawton, 1998; Vandenabeele et al., 2006).Konsep ini ditandai oleh seperangkat nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, akunta-bilitas, dan ketulusan, serta seperangkatproses yang melibatkan, misalnya, perekrut-an dan promosi berdasarkan prestasi. Hal inimengasumsikan bahwa mereka yang men-jalankan etos ini akan peduli untuk mem-perjuangkan kepentingan publik daripadakepentingan pribadi (House of CommonsPublic Administration Select Committee,2002). Dalam hal ini, Idris, Kepala DinasPendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabu-paten Gowa mengungkapkan:

Di satu sisi mesin administrasi me-nawarkan begitu banyak kesempatankepada masyarakat untuk mengajukankeinginannya, di sisi lain keputusan

138 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 1, Maret 2015 : 132 – 152

administrasi dan pelaksanaannya tidakselalu mampu melayaninya atau me-mahaminya, oleh karena itu, …men-dahulukan prioritas RENSTRA ....Dalam hal ini, akuntabilitas peme-

rintah Kabupaten Gowa mendukung ke-beradaan dan pentingnya etos pelayananpublik, etos ini menggambarkan keadaanyang ada, memberikan panduan tindakan,dan menginspirasi mereka yang bekerja diorganisasi pelayanan publik. Namun, dapatkita amati pengaruh dari rasionalitasinstrumental dalam formulasi etos pelayan-an publik tersebut. Terlihat bahwa ukuranefisiensi dan efektivitas pencapaian outcomemenjadi penentu dalam pengambilan ke-putusan. Hal ini menunjukkan bahwa klaimetos pelayanan publik sebagai suatu hal yangselalu baik, dapat dikatakan masih diper-debatkan. Etos akuntabilitas pemerintahKabupaten Gowa saat ini dapat dikatakantelah mendorong perilaku kekanak-kanak-an, loyalitas sesat, birokratis, membangunkerajaan, atau mendahulukan kepentinganpusat dengan mengorbankan kepentinganmasyarakat (Lawton, 1998). Dalam hal iniSyarifuddin, seorang pemerhati sektor pu-blik menyatakan:

...setiap manusia memiliki spirit (roh)keberhasilan, yaitu motivasi murniuntuk meraih dan menikmati keber-hasilan. Roh inilah yang menjelmamenjadi perilaku yang khas seperti kerjakeras, disiplin, teliti, tekun, integritas,rasional, bertanggung jawab dan se-bagainya. Lalu perilaku yang khas iniberproses menjadi kerja yang positif,kreatif dan produktif. Akuntabilitaspelayanan publik pemerintah Kabu-paten Gowa seharusnya merupakanjelmaan dari prinsip ini, sehingga pem-da senantiasa mendahulukan masya-rakat di atas kepentingannya.Dalam kaitannya antara anggaran dan

etos kerja, Syarifuddin menjelaskan:...etos kerja adalah seperangkat perilakupositif yang berakar pada keyakinanfundamental yang disertai komitmentotal pada paradigma kerja yang inte-gral. Jika seseorang, suatu organisasi,atau suatu komunitas menganut para-

digma kerja, mempercayai, dan ber-komitmen pada paradigma kerja ter-sebut, semua itu akan melahirkan sikapdan perilaku kerja mereka yang khas.Dalam hal ini permasalahan umumdalam etos kerja adalah pemerintahdaerah selaku penanggung jawab pe-ngelolaan keuangan daerah dituntutuntuk menyampaikan laporan per-tanggungjawaban atas aktivitas dankinerja pelayanan kepada stakeholder-nya untuk menciptakan akuntabilitaskinerja yang mencerminkan etos kerjayang dimiliki. Hal ini mengharuskanpemerintah memenuhi akuntabilitasdengan memperhatikan beberapa hal,antara lain akuntabilitas anggaran yangmenggambarkan seberapa jauh efekti-vitas kerja pemerintah dalam mencapaitujuannya.Hal di atas sejalan dengan pandangan

Anoraga (2009), bahwa etos kerja merupa-kan suatu pandangan dan sikap suatubangsa atau manusia terhadap kerja. Bilaindividu-individu dalam komunitas me-mandang kerja sebagai suatu hal yang luhurdan sakral bagi eksistensi manusia, makaetos kerjanya akan cenderung tinggi. Se-baliknya, sikap dan pandangan terhadapkerja sebagai sesuatu yang bernilai rendahbagi kehidupan, akan mengakibatkan etoskerja dengan sendirinya menjadi rendah.Hal yang sama diungkapkan Sinamo (2005)yang memandang bahwa etos kerja me-rupakan fondasi dari sukses yang sejati danotentik. Pandangan ini dipengaruhi olehkajiannya terhadap studi-studi sosiologisejak zaman Max Weber di awal abad ke-20dan penulisan-penulisan manajemen duapuluh tahun belakangan ini yang semuanyabermuara pada satu kesimpulan utamabahwa keberhasilan di berbagai wilayahkehidupan ditentukan oleh perilaku manu-sia, terutama perilaku kerja. Sebagian orangmenyebut perilaku kerja ini sebagai moti-vasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja.Sinamo (2005) lebih memilih menggunakanistilah etos karena menemukan bahwa kataetos mengandung pengertian tidak sajasebagai perilaku khas dari sebuah organisasi

Pembebasan Etos Akuntabilitas Pelayanan Publik: ... – Purnomosidi, Triyuwono, Kamayanti 139

atau komunitas, tetapi juga mencakup moti-vasi yang menggerakkan mereka, karakter-istik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kodeetik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap,aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prin-sip-prinsip, dan standar-standar.

Melalui berbagai diskursus di atas baiksecara etimologis maupun praktis dapatdisimpulkan bahwa etos kerja merupakanseperangkat sikap atau pandangan men-dasar yang dipegang sekelompok manusiauntuk menilai kerja sebagai suatu hal yangpositif bagi peningkatan kualitas kehidupan,sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.Oleh karenanya, pemerintah seharusnyaakuntabel atas etos kerja yang dimiliki ter-masuk anggaran yang dibelanjakan untukmenjalankan etos tersebut. Dengan kata lain,etos ini dalam praktiknya belum tentu etismeskipun ia disepakati sebagai sesuatu yangetis secara organisasional. Hal inilah yangdikomentari Arman selaku pemerhati pe-merintah:

Pelayanan publik yang berkualitasmempunyai arti yang penting apabilapemberian pelayanan yang dilakukansecara sederhana, mudah dan dilakukansecara wajar dan profesional. Untukmeningkatkan kualitas pelayanan pu-blik, pemerintah Kabupaten Gowaharus mengubah posisi dan peran da-lam memberikan layanan publik. Dariyang suka mengatur dan memerintahberubah menjadi suka melayani, dariyang suka menggunakan pendekatankekuasaan, berubah menjadi suka me-nolong menuju ke arah yang fleksibelkolaborasi dan dialogis, dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-carakerja yang realistik pragmatis.

Ia selanjutnya menambahkan bahwa:Akuntabilitas dari sudut pandang pe-merintah pada dasarnya sudah diang-gap etis oleh mereka karena merekatelah memenuhi aturan akuntabilitasyang ada. Namun demikian, akunta-bilitas pemerintah Kabupaten Gowatersebut masih perlu dipertanyakankarena apakah hal itu telah sesuaidengan keinginan publik? … atau telahsesuai dengan informasi yang diharap-

kan masyarakat … nah di sini tampak-nya pemerintah tidak pernah mau tahuhal tersebut sepanjang aturan dan regu-lasi akuntabilitas telah mereka kerjakan.Dalam hal ini, tampak bahwa etos yang

dirasakan oleh individu dalam suatu organi-sasi bergantung pada siapa pemimpinnyadan siapa saja anggotanya (O'Toole, 1993)dan akan dipengaruhi oleh nilai-nilai yangdimiliki oleh mereka sendiri (Chapman,2000). Ia akan berkembang dari waktu kewaktu, dan karakter historisnya ter-dokumentasi dengan baik (Chapman, 1993;Horton, 2008; O'Toole, 1990; Plant, 2003).Keberlangsungan etos akuntabilitas sepertiungkapan Arman di atas akan berlanjutterus pada generasi pejabat publik yang akandatang, dan ia terinternalisasi menjadi nilaiintrinsik yang memotivasi kerja pegawaipemerintahan. Oleh karenanya, perlu ada-nya kontrol masyarakat untuk merubahparadigma pegawai pemerintahan Kabu-paten Gowa atas etos akuntabilitas yangberkembang saat ini. Syarifuddin, informansaya mengemukakan:

Tanggung jawab masyarakat untuk me-lakukan kontrol terhadap lembaga pe-merintah merupakan wujud dari bentukpartisipasi masyarakat. Hal ini amatpenting memperoleh perhatian kita ber-sama, karena akuntabilitas itu sendiritidak hanya diperlukan bagi pemerintahsaja, akan tetapi juga bagi masyarakat.Akuntabilitas bagi masyarakat seharus-nya dibarengi dengan adanya saranaakses yang sama bagi seluruh masya-rakat untuk melakukan kontrol ter-hadap pemerintah. Jika akses dansaluran ini diberikan oleh pemerintah,maka sarana tersebut bisa dimanfaatkanuntuk berperan serta dalam melakukankontrol. Akses dan saluran ini perludiadakan oleh pemerintah agar semuakelompok masyarakat mempunyai hakdan kesempatan yang sama dalammemanfaatkan saluran tersebut.Ketiadaan kendali kekuatan hegemonik

dalam diskursus sangat penting untuk men-capai keadaan komunikasi yang ideal,menurut pandangan Habermas (2001) bah-wa pembebasan diskursus dari struktur aksi

140 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 1, Maret 2015 : 132 – 152

dan interaksi yang bersifat koersif diperlu-kan agar dapat tercipta keadaan komunikasiyang ideal, hal ini tampaknya hanya dapatterjadi dalam keadaan tindakan komunikatifmurni. Menurut Habermas (2001) semuastakeholder harus transparan terhadap dirimereka sendiri dan orang lain mengenai apayang sebenarnya mereka lakukan, jika perlu,mereka menerjemahkan ekspresi non-verbalmereka ke dalam bentuk ungkapan linguis-tik. Berkaitan dengan etos akuntabilitas,terdapat penelitian yang menunjukkan bah-wa dalam praktiknya, dialog antar stake-holder masih jauh dari keadaan komunikasiyang ideal (Unerman dan Bennett, 2004).

Sebagai pemikir sosial, Habermas di-kaitkan dengan konsep public sphere. Me-nurut Habermas (2001), public sphere di-konseptualisasikan sebagai suatu realitaskehidupan sosial di mana terjadi suatuproses pertukaran informasi dan berbagaipandangan berkenaan dengan pokok per-soalan yang tengah menjadi perhatianumum sehingga dalam proses tersebut ter-ciptalah konsensus bersama. Dengan di-hasilkannya konsensus bersama maka padagilirannya akan membentuk kebijakannegara yang ideal dan pada akhirnya akanmembentuk tatanan masyarakat yang idealsecara keseluruhan. Public sphere mensyarat-kan keaktifan dari warga masyarakat untukmemanfaatkan hak-haknya dan terlibat ikutberpikir di dalam suatu wacana yang sedanghangat pada suatu waktu tertentu, khusus-nya yang berkaitan dengan permasalahanpolitik. Seiring perkembangan masyarakatyang semakin pesat, proses terbentuknyawacana menuju opini publik dapat dilaku-kan melalui media massa.

Gagasan Habermas di atas memang bisadikatakan merupakan sebuah cita-cita idealdalam konteks historis pada masa itu yangkalau kita bandingkan dengan kontekszaman sekarang tentu prosesnya tidak se-sederhana itu. Pemikiran Habermas ter-sebut dapat kita pahami dalam dua per-spektif. Pertama, Habermas mencoba meng-gambarkan munculnya ruang publik dikalangan calon kaum borjuis dalam spirit

kapitalisme liberal di abad 18. Kategori publicsphere semacam ini dapat ditemui dalamrealitas sejarah masyarakat Inggris, Perancisdan Jerman. Pada masa sebelum itu, me-mang bisa dikatakan tidak ada ruang sosialyang layak disebut “public” sebagai lawandari “private”. Dengan berkembangnya kon-sep negara kebangsaan, lembaga perwakil-an, perekonomian, dan tidak ketinggalanlahirnya media cetak menyebabkan awalberkembangnya kemunculan public sphere dimasyarakat tertentu di Eropa Barat. Publicsphere ini memunculkan kelompok-ke-lompok sosial tertentu atas dasar pendidi-kan, kelas kepemilikan (biasanya padakalangan pria) dan berproses melalui ber-bagai media seperti jurnal, pamflet, dansurat kabar termasuk di dalamnya lingkung-an tertentu seperti bar, coffee house danberbagai club. Pertukaran informasi aktualyang berlangsung terus menerus dalamsebuah diskusi, dan seringkali dihangatkandengan perdebatan merupakan gejala baruyang menurut Habermas amatlah berarti.

Kedua, konsep public sphere memasukiwarna baru dengan mulai memudarnyakelompok borjuis dalam konteks masyarakatindustri yang semakin maju, dan munculnyademokrasi massa. Dengan adanya demo-krasi massa, publik yang semula diwakilioleh kalangan elit terpelajar yang terbatas,mulai dimasuki oleh masyarakat yang ke-banyakan tidak begitu berpendidikan.Sementara negara, dalam kepentingannyauntuk mengendalikan pertentangan kapitalmenjadi makin terintervensi. MenurutHabermas (2001), batas antara wilayahpublik dan privat, baik dalam pengertianekonomi, politik maupun budaya makintipis. Organisasi besar dan kelompok ke-pentingan menjadi partner politik kunci baginegara, dalam menghasilkan bentuk poli-tik feodal baru yang makin menggantikanperan-peran yang semula dijalankan olehmasyarakat. Berkembangnya karakteristikkepemilikan media massa, khususnya ketikakekuatan komersial mengubah fungsikomunikasi publik menjadi public relationdan makin menguatnya periklanan dan

Pembebasan Etos Akuntabilitas Pelayanan Publik: ... – Purnomosidi, Triyuwono, Kamayanti 141

hiburan, maka fungsi kritis media massamakin terkikis. Publik lalu terkotak-kotaksedemikian rupa, sehingga kehilangan dayaikatnya. Berkaitan dengan hal ini Habermas(2001) mengemukakan:

If all participants in dialogue have the sameopportunity to employ communicatives, thatis, to initiate communication and continue itthrough speaking and responding of askingquestions and giving answers, then equallydistributing opportunities for employingconstatives … that is, equally distributingthe opportunities to put forth interpre-tations, assertions, explanations, and justi-fications and to establish or refute theirclaims to validity – can be a way of creatinga basis on which no prejudice or unexaminedbelief will remain exempt from themati-zation and critique in the long run.Kisah memudarnya public sphere tampak

jelas dalam penelitian ini, sehingga perludipertanyakan kembali konsep public spheredalam konteks etos akuntabilitas publik.Dalam hal ini konsep public sphere menjadisesuatu yang berharga guna memahamiproses sosial pemerintah Kabupaten Gowadi mana media massa menjadi salah satukekuatan dalam konstelasi kekuatan-kekuat-an yang menentukan dalam masyarakat.

Untuk menyediakan public sphere dalampengertian etos akuntabilitas, berarti peme-rintah harus menyediakan sebuah ruang be-rupa wacana, lembaga-lembaga, suatu ruangtopografik, di mana orang dalam perannyasebagai warga memiliki akses masuk didalam sebuah dialog kemasyarakatan yangsedang mempersoalkan sesuatu demi ke-pentingan umum. Dengan kata lain, aksesmenuju dunia politik dalam pengertian yangluas perlu diperhatikan oleh pemerintahKabupaten Gowa, sehingga ia tidak lagiterkolonisasi oleh rasionalitas instrumentalyang sepertinya telah menguasai sistem-lifeworld akuntabilitas pemerintah Kabu-paten Gowa saat ini. Berkaitan dengan haltersebut, Syarifuddin mengungkapkan:

...ruang yang demikian ini, dengankondisi komunikasi tertentu yang me-warnainya, menjadi sesuatu hal yangpenting dalam demokrasi. Fungsi publicsphere adalah memenuhi persyaratan

komunikasi tertentu sebagai variabelterbentuknya demokrasi.

Dalam hal ini, Peters (1993) berkomentarbahwa dasar pemahaman Habermas tentangdemokrasi dan public sphere tidaklah murnidikendalikan oleh tradisi liberal Anglo-Ame-rican dengan ide dasarnya tentang “market –place of ideas”. Dalam hal ini Habermas (1984)menjelaskan:

The result may be a joint understanding thatthe participants are closer to each other thanthey may seem, or differences may beidentified, equally important when decidingon further action. The clarification can giverise to a superior reflection and weighing ofvalues and norms. This can in turn revealnew possibilities and may lead to a wish fornew priorities. For a positive, dynamicprocess to occur the participants must havean open attitude and seek to understand theother and be willing to change their ownpoint of view when new insight is obtained.Berkaitan dengan pandangan Habermas

di atas, dengan menempatkan akuntabilitasetos pelayanan publik sebagai ''a way of life''(Lawton, 1998) berarti menyadari bahwa iamerupakan subjek dari perubahan dan me-rupakan konstruksi yang dinamis. Penelitianini menunjukkan bahwa etos akuntabilitaspemerintah Kabupaten Gowa mulai terkikis,karena masyarakat tidak menjadi jantungetos tersebut, serta akuntabilitas lebih fokusterhadap akuntabilitas outcome daripadaproses. Seharusnya, berdasarkan proseskomunikatif di atas, etos akuntabilitas men-jadi jiwa dari pelayanan publik yang di-lakukan pemerintah. Dalam hal ini, Nee-dham (2006) menempatkan masyarakat se-bagai pusat pemerintahan. Sementara,Aldridge dan Stoker (2002) menyebutnyasebagai etos pelayanan publik baru. Ber-kaitan dengan hal ini Arman sebagai salahsatu ketua LSM pemerhati pemerintahmengungkapkan:

Penyelenggaraan pelayanan publikyang dilaksanakan oleh aparatur pe-merintah dalam berbagai sektor pe-layanan, terutama yang menyangkutpemenuhan hak sipil dan kebutuhandasar masyarakat, kinerjanya masihjauh dari yang diharapkan. Hal ini

142 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 1, Maret 2015 : 132 – 152

dapat dilihat antara lain dari banyaknyapengaduan dan keluhan dari masya-rakat dan dunia usaha, baik melaluisurat pembaca maupun media pe-ngaduan lainnya, seperti menyangkutprosedur dan mekanisme kerja pe-layanan yang berbelit-belit, dan tidaktransparan, kurang informatif, dan ku-rang akomodatif, sehingga tidak men-jamin kepastian, serta masih banyakpraktek pungutan liar dan tindakan-tindakan yang berindikasi penyimpang-an dan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).Buruknya kinerja pelayanan publik iniantara lain dikarenakan belum ter-laksananya transparansi dan akunta-bilitas dalam anggaran dan penyeleng-garaan pelayanan publik. (dicetak miringmerupakan penegasan saya).Hal ini berarti bahwa akuntabilitas etos

kerja, seharusnya berfokus pada kinerja,praktik kerja yang bertanggung jawab, dankomitmen terhadap kesejahteraan masya-rakat. Semua langkah ini ketika dijalankanbersama-sama akan membantu untuk men-ciptakan budaya baru dalam pelayananpublik berdasarkan sikap “can do” dan “willdo”, sikap yang lebih mampu mengelolarisiko secara tepat dan mengakhiri budayasaling menyalahkan. Kita membutuhkanbudaya akuntabilitas dan etos pelayananpublik baru yang lebih berfokus pada proses.Dalam hal ini, dimensi normatif akunta-bilitas etos pelayanan publik pemerintahKabupaten Gowa harus didasarkan padatersedianya ruang diskusi publik yang luas,dengan kondisi komunikasi tertentu yangmewarnainya, untuk mendorong muncul-nya demokrasi yang sesungguhnya tanpahegemoni tertentu. Public sphere demikiandiperlukan untuk memenuhi persyaratankomunikasi tertentu sebagai media ter-bentuknya demokrasi.

Akuntabilitas Dan Etos Pelayanan Publik:Kolonisasi Lifeworld

Akuntabilitas merupakan fenomenasosial yang terjadi di tengah-tengah ke-hidupan sosial masyarakat. Ia merupakanproduk dari interaksi sosial manusia dalam

kehidupan organisasi dan masyarakat, se-hingga keberadaannya sangat dipengaruhioleh faktor-faktor pembentuk interaksi ter-sebut sebagai bagian dari kinerja organisasi.Faktor-faktor tersebut seperti kewenangandiskresi, orientasi terhadap perubahan, bu-daya paternalisme, etika pelayanan, sisteminsentif, semangat kerja sama (Dwiyanto,2006), sistem kultur atau budaya yang sudahtertanam selama puluhan tahun. Bahkan,akarnya mungkin dapat ditelusuri padasistem pemerintahan kolonial Belanda(Kumorotomo, 2005), sistem insentifnya,sistem pertanggungjawabannya, dan struk-tur kekuasaannya (Osborne dan Plastrik,2000), informasi yang relevan dan reliabel(Sulistiyani dan Rosidah, 2003), monitoringdan insentif (LAN dan BPKP, 2000), sedang-kan Crosby dan Bryson (2005) mengemuka-kan faktor yang mempengaruhi kinerjasuatu organisasi dalam melaksanakan pe-kerjaan adalah faktor yang bersifat internaldan eksternal. Oleh karena itu, motivasipelayanan publik terdapat di dalam diriindividu yang terlepas dari konteksnya.Dalam hal ini Arman mengatakan:

...dengan semakin besarnya tugas yangdiemban oleh aparatur pemerintahKabupaten Gowa dalam memberikanpelayanan kepada masyarakat, hendak-nya semakin meningkatkan akunta-bilitas publik pemerintahan untuk bisamenghadirkan pelayanan yang me-muaskan, tentunya menjadi harapanseluruh masyarakat. Oleh karenanya,tuntutan memiliki aparatur yang ber-kompetensi sesuai dengan kebutuhanorganisasi sangatlah besar ... sehinggapekerjaan yang dihasilkan bisa ber-kualitas dan akuntabel. Karena bilatidak, maka pelayanan yang diberikandan merupakan kebutuhan setiapmasyarakat untuk hidup dilingkungan-nya tidak mampu dilaksanakan denganbaik. Sebab, buruknya kinerja pelayan-an publik antara lain juga dikarenakanoleh belum terlaksananya transparansidan akuntabilitas dalam penyelenggara-an pelayanan publik. Untuk itupelayanan publik harus dilaksanakansecara transparan dan akuntabel oleh

Pembebasan Etos Akuntabilitas Pelayanan Publik: ... – Purnomosidi, Triyuwono, Kamayanti 143

setiap unit pelayanan yang terdapat diKabupaten Gowa. Karena kualitaskinerja dalam pelayanan publik me-miliki implikasi yang luas dalammemenuhi kebutuhan masyarakat.Lebih lanjut, peran dalam organisasi

dan identitas diri merupakan hal yangpenting, sebagaimana yang disampaikanPerry dan Vandenabeele (2008), sehinggapejabat publik melihat peran mereka sendirisecara berbeda. Memang, taksonomi identi-tas telah dikembangkan yang mencirikanberbagai jenis pejabat publik (Brewer et al.,2000; Le Grand, 2003). Karenanya tampakbahwa akuntabilitas pelayanan publik dipemerintah Kabupaten Gowa tidak jelasdalam membedakan hubungan antaraakuntabilitas dan opini tentang politisi,peran pemerintah dan pegawai pemerintah,motivasi pribadi dengan kepentinganmasyarakat. Seperti yang diungkapkan IdrisKepala Dinas Pendidikan

Bagi saya akuntabilitas itu adalahgambaran mengenai apa yang sudahkita capai berdasarkan aturan yang su-dah ditentukan. Kita tidak perlu me-ngambil atau membuat sebuah modelbaru dalam menyampaikan pesan ke-pada masyarakat. LAKIP misalnyaadalah ketentuan pemerintah mengenaibagaimana kita harus akuntabel ... ya itusudah cukup. Terlepas apakah hal ter-sebut dapat dimengerti oleh masyarakatatau tidak.Hal ini berbeda secara mendasar dengan

jiwa etos pelayanan publik, di mana etospelayanan publik, berkaitan dengan karakterdari suatu organisasi dan membawa ideologiaspiratif dan normatif yang dimaksudkanuntuk mengikat dan memotivasi merekayang menjadi bagian organisasi tersebut.Dalam hal ini, Habermas ingin agar suatupandangan tidak hanya sekedar menjelas-kan permasalahan dengan sedemikian rupa.Menurut Habermas (2001), seorang politisiseharusnya tidak hanya merenung di ruangperpustakaan lalu memberi saran pe-nyelesaian masalah lewat diskusi. Halterpenting yang luput dari cara seperti itu,menurut dia, adalah sisi praksis kehidupan.

Sayangnya, bagi Habermas, ilmu pengetahu-an beserta teori-teorinya sudah terlanjurberada di menara gading dan ketika di-libatkan dalam praktik kehidupan sehari-hari, manusia malah terkurung oleh belitanrasionalitas yang menjadi landasan teori-teori tersebut. Mereka dibius oleh sebuahdaya yang menempatkan tujuan di atassegala-galanya dan dibuatnya percaya bah-wa yang mesti diusahakan adalah saranadan cara mencapai yang seampuh-ampuh-nya. Daya itu bernama rasionalitas instru-mental, ibu kandung dari teknologi yangsifatnya ideologis.

Memprihatinkan memang, dan itulahsebabnya Habermas mengidealkan suatukondisi di mana manusia tak saling sikut dangencet demi kepentingan dan tujuan instru-mental masing-masing. Dia membayangkanmasyarakat komunikatif tempat perbedaankepentingan dibicarakan lewat cara-carayang elegan dan tidak menutup ruang gerakmasing-masing pihak. Itu semua bisa ber-langsung di ruang publik yang terbuka dansteril dari tekanan ideologi yang hanyameniupkan angin surga. Agar kondisi ituterwujud di pemerintah Kabupaten Gowa,Habermas (2001) menyampaikan bahwaperlu adanya sebuah teori yang merangkulsisi praksis. Dia tidak mau teori me-ngandung ideologi yang memukau manusia,dan yang paling penting, teori tersebut mestimengkritisi dirinya terlebih dahulu sebelummengarahkan pisau analisisnya kepadaobjek.

Para penerjemah karya Habermasmenekankan kegunaan dan efektifitas daripenyajian sebuah kontrafaktual, idealisasiyang diperlukan oleh model komunikasi inimungkin saja gagal. Namun, model idealtersebut memungkinkan adanya sebuahpemahaman yang sistematis dari berbagaimacam kegagalan yang mungkin terjadi danmemberikan norma atau standar untukmengkritiknya (Fultner, 2001: 21). Dalam‘dunia nyata’ bukan hanya aspek dari ke-adaan komunikasi yang ideal gagal tercapai,tetapi juga pihak tertentu dapat secara

144 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 1, Maret 2015 : 132 – 152

strategis merancang dan mempertahankan‘pseudo-konsensus’, sebuah simulakrumkomunikasi yang ideal, yang kemungkinanhanya untuk mencapai kepentingan merekasendiri (Fultner, 2001: 22). Saran ini ber-esonansi dengan interaksi antar stakeholderyang tampaknya merupakan simulakrumakuntabilitas sejati (Archel et al., 2011). Dapatdiperkirakan bahwa upaya untuk mem-validasi secara empiris keberadaan keadaankomunikasi yang ideal akan gagal, terdapatsebuah pengakuan yang jelas bahwa ke-adaan empiris, bahkan dalam kontekskomunikatif terstruktur, akan berbedasecara signifikan dari keadaan komunikasiyang ideal (Fultner, 2001). Memang, ke-rangka pemikiran Habermas telah dikritikkarena terlalu ideal, melibatkan kesulitankonseptual (Cooke, 2003). Habermas (2001)sendiri mengakui dan memprediksi adanyakritik atas kerangka pemikirannya,

We know that institutionalized actions as arule do not correspond to this model of purecommunicative action, although we cannothelp but always act counterfactually asthought this model were realized. On thisinevitable fiction rests the humanity of socialintercourse among people who are stillhuman, that is, who have not yet becomecompletely alienated from themselves andtheir self-objectifications.Sebagai seorang teoritisi yang jelas ingin

mengubah praktik dan mengeksplorasi carauntuk mencapai perbaikan melalui teori,demikianlah Habermas berkomentar. Per-tanyaan yang belum terjawab ialah apakahmungkin untuk merancang keadaankomunikasi yang ideal? Persoalannya ada-lah semua komunikasi mensyaratkan bahwasetidaknya dua pihak mencapai kesepakat-an mengenai suatu hal, atau jika diperlukan,secara diskursif tiba pada suatu kesepakat-an. Masalah lain untuk mencapai komuni-kasi ideal adalah diperlukannya salingpengertian, berarti menciptakan suatu kon-sensus rasional. Selanjutnya, perlu dipahamibahwa sebuah konsensus sejati dapat di-bedakan dengan konsensus yang palsumelalui pengamatan atas kesepakatan yang

dibentuk secara kontrafaktual (Habermas,2001).

Menurut Unerman (2007), kerangka pe-mikiran Habermas bertumpu pada berbagaiasumsi termasuk imperatif kategoris Kanti-an yang dapat diringkas sebagai berikut,

… actions which are considered acceptable tosomeone with power, wealth and privilegewould only be considered morally acceptableif that person would consider these actions tobe equally morally acceptable if they losttheir power and wealth, and were looking at(and experiencing) the outcomes of theseactions from the position of the leastprivileged members of society.Jika proses berpikir tersebut diterapkan

dalam konteks pemerintah Kabupaten Gowadan kelompok stakeholder yang beragam,maka para pengambil keputusan (eksekutif)harus mengadopsi praktik-praktik yang etis,di mana secara empatis mempertimbangkanapakah keputusan mereka akan sama apa-bila mereka diturunkan dari posisi kekuasa-an. Dengan kata lain, keputusan merekaapakah tidak akan berubah misalnya, jikamereka menjadi stakeholder yang paling kecil.

Terlepas dari apakah hal tersebut benarterjadi dalam praktik, tidak menjadi masa-lah. Aspek dari kerangka teoritis ini dapatberguna, setidaknya untuk membuat teorimengenai alasan mengapa keputusan sosialyang tidak bertanggung jawab dapat terjadi;jelas bahwa eksekutif tidak berempatidengan para stakeholder mereka yang palingkecil. Lebih lanjut, keadaan komunikasi yangideal dan ketergantungannya pada etikaKantian dapat digunakan sebagai pem-banding dari apa yang dapat terjadi. Me-mang, konsep keadaan komunikasi yangideal adalah utopis, menjadikan manifestasi-nya sangat sulit dalam proses keterlibatanorganisasi dengan para stakeholder. Namun,kita dapat secara normatif membayangkanpotensi keadaan komunikasi yang idealberkembang dalam praktik.

Kontrol hegemonik atas stakeholdermerupakan bukti terbaru yang menunjuk-kan bahwa pelibatan stakeholder tidak lainhanya merupakan sebuah simulakrum(Archel et al., 2011). Oleh karena itu, upaya

Pembebasan Etos Akuntabilitas Pelayanan Publik: ... – Purnomosidi, Triyuwono, Kamayanti 145

untuk membuat konsep keterlibatan stake-holder sebagaimana keadaan komunikasiHabermasian yang ideal memiliki rintanganyang berat untuk dilalui oleh akuntabilitaspublik. Model Habermasian ini menyorotidan menerangi kekurangan dari prosesketerlibatan stakeholder dan dianggap se-bagai alat yang ampuh untuk penelitianakuntansi kritis (Broadbent et al., 1991;Power dan Laughlin, 1996).

Terdapat aplikasi yang lebih luas dariberbagai karya Habermas, secara spesifikdalam konteks teori akuntansi dan perubah-an kebijakan akuntansi, yang membantumenyediakan sarana untuk menilai di manakita berada dalam hal keterlibatan stakeholderdan hubungannya dengan masyarakat danuntuk membangun jalan ke depan untukmelaksanakan perbaikan baik dalam tekno-logi keterlibatan stakeholder (proses) dandalam hal rekonsiliasi keinginan masyarakatdan dorongan akuntabilitas stakeholder olehorganisasi publik melalui praktik organisasi.Teori kritis Habermas berusaha untuk me-nyediakan sarana untuk memahami hubu-ngan antara dunia sosial dan teknologisosial. Secara khusus, Habermas berbicaratentang keterkaitan antara ‘lifeworld’, sistemteknis, dan mekanisme steering (Barone et al.,2013). Dia membawa konsep ini bersama-sama, “… it is the social reality which gives thesesystems meaning and attempts to guide theirbehaviour through ‘steering mechanisms”(Laughlin, 1987). Berkaitan dengan hal ini,Syarifuddin menjelaskan:

...diskusi mengenai akuntabilitas danetos pelayanan publik mengarahkankita untuk mendefinisikannya sebagai 'away of life' yang mencakup seperangkatnilai-nilai yang dipegang oleh individu,bersama dengan proses organisasi danprosedur yang membentuk dan di-bentuk oleh nilai-nilai tersebut. Nilaitersebut terwujud dalam tujuan organi-sasi yang diarahkan pada kepentinganpublik di atas kepentingan pribadi. Olehkarena itu, etos pelayanan publikmerupakan nilai-nilai individu, sepertikejujuran dan altruisme, aturan danproses organisasi yang menciptakan

akuntabilitas dan imparsialitas, dantujuan untuk meningkatkan kebaikanbersama. Dengan demikian, hal inimenunjukkan sistem kepercayaan yangdapat menjelaskan mengapa individutermotivasi olehnya, bagaimana merekamemberikan pelayanan publik sesuaidengan nilai-nilai tersebut, dan dengancara apa mereka akan mencapainya.Berkaitan dengan pernyataan di atas,

Habermas memberikan pandangan yangberguna bagi akuntansi melalui metodologiimplisitnya yang memungkinkan tidak ha-nya pemahaman tentang sisi sosial danteknis, tetapi juga mengenai cara di manaperubahan dan perkembangan dapatberjalan (Laughlin, 1987).

Argumen dari Habermas (1987) ialahbahwa masyarakat modern dapat secarateoritis didefinisikan sebagai campuran dariberbagai konsep lifeworld, lembaga danmekanisme steering, dan sistem (Broadbent etal., 1991). Sistem teknis dapat dilihat sebagaiekspresi dalam bentuk organisasi fungsi-onal, dapat didefinisikan, dan nyata (Broad-bent et al., 1991). Seiring dengan berkembang-nya masyarakat, Habermas menunjukkanbahwa kemampuan komunikasi (tindakankomunikatif) dan diskursif juga ber-kembang, di mana masyarakat dan organi-sasi (dan sistem mereka) menjadi lebihmampu melakukan diskusi (Broadbent et al.,1991). Dengan kata lain, masyarakat (life-world), lembaga sosial dan mekanismesteering dan sistem sosial seharusnya ber-kembang melalui evolusi menggunakanproses diskursif yang ditetapkan (yaitukeadaan komunikasi yang ideal).

Evolusi yang didorong oleh keadaankomunikasi yang ideal ini seharusnya meng-arah pada perubahan dalam lifeworld sosial,skema interpretatif (lifeworld mikro) danselanjutnya menimbulkan perubahan padalembaga dan sistem steering (di tingkatmasyarakat), serta pada desain pola dasardan sub-sistem (di tingkat steering danorganisasi). Dalam konteks model konsep-tual preskriptif ini, keadaan komunikasiyang ideal bermetamorfosis dari utopis yang

146 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 1, Maret 2015 : 132 – 152

ideal menjadi mekanisme perubahan yangkuat dan sarana untuk mencapai per-sesuaian antara nilai sosial, lembaga sosial,mekanisme dan organisasi steering (ter-masuk mekanisme akuntabilitas mereka).

Sementara itu, ketika kemampuan dis-kursif dan komunikatif semakin berkem-bang, terdapat kemungkinan bahwa diferen-siasi akan semakin meningkat antara life-world, sistem teknis dan mekanisme steering,yang berakibat mengarahkan organisasi.Sementara itu, steering dalam ruang organi-sasi dapat berkembang hingga menjadi diluar kendali (Broadbent et al., 1991) dandapat menjadi terpisah dari lifeworld dankonteks sosial, serta sistem ideal yang ada.Kondisi ini menggambarkan suatu keadaanterciptanya kolonisasi yaitu konteks di manaorganisasi bertindak untuk mendominasidan mengkolonisasi lifeworld melalui pen-ciptaan sistem kolonisasi. Keadaan sepertiini mencerminkan hasil yang berlawanandari penyesuaian hubungan yang seharus-nya terjadi melalui proses komunikatifdiskursif.

Berdasarkan kerangka pemikiran ber-basis Habermasian ini, kita dapat me-ngembangkan sebuah rasionalitas keterlibat-an stakeholder di pemerintah KabupatenGowa, dengan menggabungkan gagasanketerlibatan stakeholder sebagai keadaankomunikasi ideal yang potensial dan meng-konseptualisasikan sistem steering dan life-world. Meskipun akuntansi tidak pernahsecara khusus disebutkan oleh Habermas(Laughlin, 1987), namun teorinya memberi-kan pandangan yang berguna dalam pe-mahaman akuntansi dan hubungannyadengan masyarakat, serta sebagai saranapenting dalam mengembangkan rekomen-dasi untuk perbaikan kebijakan akuntansi.Keterlibatan stakeholder dalam pandanganHabermasian, dapat dilihat sebagai bentukakuntabilitas dan komunikasi langsungantara organisasi dengan kelompok stake-holder mereka. Dalam konteks teori Haber-masian, keterlibatan stakeholder dapat dijelas-kan pada tingkat sistem. Dengan kata lain,keterlibatan stakeholder dapat diartikan

sebagai mekanisme akuntabilitas organisasidari sistem yang diarahkan melalui mekanis-me steering sosial, yang kemudian diinter-pretasikan secara organisasional.

Saat ini akuntabilitas pemerintah Kabu-paten Gowa masih jauh dari situasi lingku-ngan ideal berkaitan dengan akuntabilitasetos pelayanan publik, karena banyaknyapanduan mandatory dari pemerintah pusat,sehingga sulit untuk menciptakan akunta-bilitas sukarela yang melibatkan stakeholder.Dalam konteks keterlibatan stakeholder, se-harusnya tersedia lifeworld yang mengarah-kan semua elemen-elemen stakeholder untukterlibat. Lifeworld ini seharusnya merupakanseperangkat pengaturan diskursif yangdapat memberikan ruang bagi suara daripartisipan tertentu (misalnya masyarakatkecil). Lifeworld ini, selanjutnya, akan men-jadi lifeworld kontraktual yang timbul darikomunikasi yang ideal. Lifeworld ideal ter-sebut kemudian dapat membuat seperang-kat sistem baru yaitu mekanisme steeringyang mengarahkan keterlibatan stakeholder.

Tidak seperti akuntabilitas privat,akuntabilitas pelayanan publik di pemerin-tah Kabupaten Gowa bersifat mandatory dankaku, serta masih kental nuansa rasionalitasinstrumental. Seperti yang diungkapkanKarim Kepala Dinas Keuangan dan AsetDaerah:

Kami membuat pertanggungjawabanberdasarkan ketentuan yang di atur danditetapkan oleh pemerintah pusat. Bagikami aturan itu sudah cukup jelas, dankarenanya tidak diperlukan bentukakuntabilitas tambahan untuk kepenti-ngan masyarakat.Berdasarkan ungkapan di atas, akunta-

bilitas dilaksanakan hanya sebatas untukmemenuhi ketentuan regulasi saja danmereka (aparat pemerintahan) memandangbahwa hal tersebut sudah cukup untuksebuah akuntabilitas. Jadi, dapat dikatakanbahwa akuntabilitas pemerintah KabupatenGowa tidak dijalankan secara sukarela,meskipun berdasarkan diskursus di atas,organisasi publik didorong untuk memper-timbangkan kepentingan stakeholder dalam

Pembebasan Etos Akuntabilitas Pelayanan Publik: ... – Purnomosidi, Triyuwono, Kamayanti 147

hal ini masyarakat luas, namun keterlibatanstakeholder secara khusus tetap saja tidakditekankan. Lebih lanjut, upaya untuk me-nanamkan akuntabilitas stakeholder dalamaturan di pemerintah Kabupaten Gowatampak tidak berkembang sebagaimanakonsep ruang publik yang diusungHabermas. Seperti yang dikemukakanSyarifuddin:

Bagi saya, profesional accountabilitydemands that professionals in the publicservice should balance the code of theirprofessions with the larger context ofprotecting the public interest. Contoh DiRumah Sakit Wahidin Makassar padasekitar bulan Maret tahun 2015, paradokter mogok melawan pemerintahdengan tidak memberikan pelayanankesehatan pada masyarakat … karenainstitusi telah mengatur skala honorari-um praktek para dokter. Menurut saya,hal ini bertentangan dengan kepenting-an umum dan bisa dikatakan tidakakuntabel … atau contoh lain pada RSHaji sekitar bulan April 2015, parapelayan medis mogok melayani pasienkarena aspirasi mereka tidak ditam-pung oleh kepala rumah sakit … danmereka meminta direktur diturunkan...Sehubungan dengan kondisi di atas,

tampak bahwa jika proses keterlibatan stake-holder di pemerintah Kabupaten Gowa tidakdipertimbangkan akan menyebabkan reaksikeras dari publik yang sadar akuntabilitas.Kondisi di atas merupakan suatu gambaransnapshot dalam ruang mikro (yaitu rumahsakit) yang menyadarkan kita bahwa masya-rakat (dalam hal ini para medis) meng-inginkan adanya akuntabilitas proses ketikapimpinan menghasilkan sebuah kebijakan.Absennya sebuah akuntabilitas mempe-ngaruhi ruang makro yaitu pelayanankepada masyarakat dalam hal ini pasien,yang dapat berdampak fatal bagi pelayananpublik secara keseluruhan.

Selanjutnya, bagian ini akan meng-ekspos elemen yang sebenarnya dari kontekssosial (lifeworld) dan proses yang memandusistem (steering mechanism) sehingga me-nimbulkan aspek tangible yaitu keterlibatan

pemangku kepentingan dalam kasus pe-laksanaan pelayanan publik. Pelayanan pu-blik, setidaknya untuk kelompok stakeholdertertentu, dapat dilihat sebagai situasi krisisdan teori Habermasian sangat tepat diguna-kan pada masa krisis (Habermas, 1976).Lebih lanjut, terdapat tuntutan kepadapemerintah untuk menghasilkan laporankinerja dan menyampaikan akuntabilitaskepada stakeholder yang beragam sesuaidengan kebutuhan masyarakat. Memang,tekanan sosial pada pemerintah KabupatenGowa menunjukkan bahwa lifeworld sosialmenuntut adanya tambahan pelaporan danakuntabilitas kinerja pemerintah. Tampak-nya dengan mengacu pada ide-ide Haber-masian, saat ini steering masih lemah ketikaterkait dengan keterlibatan stakeholder.

Oleh karenanya, peer pressure, yaitutekanan mimetik pada pemerintah untukmeniru praktik terbaik berkaitan denganketerlibatan stakeholder, menjadi sesuatuyang penting sebab pedoman wajib peme-rintah pusat mengenai praktik pelaporantelah mengkolonisasi praktik akuntabilitasitu sendiri. Jadi, dalam hal ini diperlukansuatu usaha agar pemerintah lepas dari“kerangkeng besi” aturan yang ada sesuaipandangan Webber.

Lifeworld mengenai keterlibatan stake-holder bersifat kompleks, namun terdapatkemungkinan untuk membuat beberapasaran mengenai pandangan masyarakat ter-hadap keterlibatan stakeholder dalam kasusyang diteliti. Analisis atas kasus akunta-bilitas pelayanan publik pemerintah Kabu-paten Gowa berdasarkan pengamatan atasartikel, media dan objek penelitian me-nunjukkan bahwa terdapat ekspektasimasyarakat di mana mereka seharusnyaterlibat sebagai stakeholder utama.

Perhatian utama Habermas ialah ter-dapat dominasi teknis atas lifeworld sosialdan hal ini dapat berlaku dalam akuntansisebagai bidang teknis keahlian dan kebija-kan yang sedang berkembang (Laughlin,1987). Dalam kasus akuntabilitas pelayananpublik tampak bahwa kelangkaan mekanis-

148 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 1, Maret 2015 : 132 – 152

me steering yang berkaitan secara khususdengan keterlibatan stakeholder telah mem-buka ruang yang kemudian dikolonisasioleh diskursus hegemoni pemerintah.

Dalam istilah Habermasian, pemerintahKabupaten Gowa telah menciptakan inter-pretasi mereka sendiri atas mekanismesteering berdasarkan keuntungan finansialdan kesejahteraan mereka semata, sehinggamereka mengkolonisasi setiap diskursus danpengambilan keputusan. Dengan demikian,terjadi diferensiasi dalam akuntabilitas danetos pelayanan publik baik dari sistem ke-terlibatan stakeholder yang tidak berkembangdan tidak memadai, maupun dari kontekslifeworld sosial di mana mereka beroperasi.

Studi ini mencoba menawarkan solusiuntuk mendorong keterbukaan komunikasidi pemerintah Kabupaten Gowa denganmengedepankan akuntabilitas proses dari-pada akuntabilitas outcome. Studi ini me-ngemukakan gagasan bahwa dampak jang-ka pendek terkait proses ini mencerminkansejauh mana akuntabilitas anggaran dapatmenjadi sarana baik untuk mencapai tujuanakhir itu sendiri, dengan membuka ruangyang sebelumnya tertutup kepada masya-rakat umum. Dalam hal ini, akuntabilitasoutcome atas belanja publik tampak tidakmampu menjelaskan perilaku koruptifdalam pengelolaan keuangan. Demikianpula, inisiatif akuntabilitas outcome tidakdapat mengukur siapa yang bertanggungjawab atas pelayanan dan hasil pembangun-an. Hal ini dikarenakan banyaknya pihakyang terlibat dalam outcome sebuah program.

SIMPULANAkuntabilitas yang dilihat dari kualitas

pelaksanaan pelayanan telah terkikis makna-nya. Artinya, pihak pemberi layanan belumdapat mempertanggungjawabkan pelayan-an yang dilakukannya dengan cukup baik,seperti berusaha menghasilkan kualitaspelayanan sesuai dengan keinginan masya-rakat. Karenanya, proses pertanggung-jawaban yang dimiliki masih butuh pem-benahan, agar aparatur pemberi layanandapat memiliki tanggung jawab publik

dalam memberikan pelayanan kepadamasyarakat. Akuntabilitas publik ataspelayanan nampak mengabaikan ruangdiskusi publik yang membuat kesetaraandalam menentukan apa yang dibutuhkandan apa yang diberikan pada masyarakat.

Lifeworld keterlibatan stakeholder bersifatkompleks, namun terdapat kemungkinanuntuk membuat beberapa terobosan untukmelibatkan stakeholder. Analisis atas kasusakuntabilitas pelayanan publik menunjuk-kan bahwa terdapat ekspektasi masyarakatdi mana mereka seharusnya terlibat sebagaistakeholder utama.

Hal yang dominan menjelaskan akunta-bilitas pelayanan publik adalah etos pelayan-an. Situasi yang tercipta menunjukkanbahwa masih sangat dibutuhkan kesadaranyang tinggi dari aparatur pelaksana pe-layanan publik untuk bisa mempertanggungjawabkan pekerjaan yang telah dibebankankepada mereka. Dengan tingkat kesadaranyang baik, aparatur akan berusaha me-laksanakan pekerjaan pelayanan publikyang dibebankan dengan sesungguhnya.Namun sebaliknya, apabila tingkat kesadar-an yang dimiliki rendah maka aparatur akanmelaksanakan tugas pelayanan dengan se-sukanya saja. Selain itu, rasa sadar yangtinggi akan mengingatkan aparatur padatugas dan kewajibannya yang dapat me-lahirkan akuntabilitas pelayanan kepadapublik. Kisah memudarnya public sphere me-rupakan konsep yang berharga guna me-mahami proses sosial di mana komunikasiterbuka atas akuntabilitas menjadi salah satukekuatan dalam konstelasi kekuatan yangmenentukan.

DAFTAR PUSTAKAAckroyd, S., J. Hughes, dan K. Soothill. 1989.

Public Sector Services and Their Mana-gement. Journal of Management Studies 26(6): 603–19.

Aldridge, R. dan G. Stoker. 2002. Public ValueManagement: Advancing Public ServiceEthos. UK: New Local GovernmentNetwork. London.

Pembebasan Etos Akuntabilitas Pelayanan Publik: ... – Purnomosidi, Triyuwono, Kamayanti 149

Anoraga, P. 2009. Psikologi Kerja. RinekaCipta. Jakarta.

Archel, P., J. Husillos, dan C. Spence. 2011.The Institutionalisation of Unaccounta-bility: Loading the Dice of CorporateSocial Responsibility Discourse. Accoun-ting, Organizations and Society 36: 327–343.

Audit Commission. 2002. Recruitment andRetention. Public Sector National Report.Audit Commission. UK. London.

Bach, S., I. Kessler, dan P. Heron. 2007. TheConsequences of Assistant Roles in thePublic Services: Degradation or Em-powerment? Human Relations 60(9):1267–92

Barone E., N. Ranamagar, dan J. F. Solomon.2013. A Habermasian Model of Stake-holder (Non) Engagement and Corpo-rate (Ir) Responsibility Reporting.Accounting Forum 37(3): 163-181.

Brereton, M. dan M. Temple. 1999. The NewPublic Service Ethos: An EthicalEnvironment for Governance. PublicAdministration 77(3): 455–74.

Brewer, G. A., S. C. Selden, dan R. L. Facer.2000. Individual Conceptions of PublicService Motivation. Public Administra-tion Review 60(3): 254–65.

Broadbent, J. dan R. Laughlin. 2003. Controland Legitimation in GovernmentAccountability Processes: The PrivateFinance Initiative in the UK. CriticalPerspectives on Accounting 14: 23-48.

_____, ______________, dan S. Read. 1991.Recent Financial and AdministrativeChanges in the NHS: A Critical TheoryAnalysis. Critical Perspectives on Accoun-ting 2: 1–29.

Burrell, G. dan G. Morgan. 1979. SociologicalParadigms and Organizational Analysis.Heinemann Educational Books Ltd.London.

Chapman, R. A. 1993. Ethics in public service.Edinburgh, UK: Univ. Press. Edinburgh.

_______. 2000. Ethics in Public Service for theNew Millennium. Aldershot, UK: Ash-gate Publishing.

Chua, W. F. 1986. Radical Development inAccounting Thought. The AccountingReview 61(4): 601-632

Clarke, J., S. Gewirtz, dan E. McLaughlin.2000. New Managerialism, New Welfare?UK: Open Univ. Press. Buckingham.

Cooke, M. 2003. The Weaknesses of StrongIntersubjectivism: Habermas's Concep-tion of Justice. European Journal ofPolitical Theory 2: 281-305

Crosby, B. dan J. Bryson. 2005. A LeadershipFramework for Cross-Sector Collabora-tion. Public Management Review 7(2): 177-201.

Day, P. dan R. Klein. 1987. Accountabilities:Five Public Services. Tavistock. London.

Doig, A. dan J. Wilson. 1998. What Price NewPublic Management? Political Quarterly69(3): 267–80.

Dwiyanto, A. 2006. Reformasi Birokrasi Publikdi Indonesia. Gajah Mada UniversityPress. Yogyakarta.

Exworthy, M. dan S. Halford. 1999. Professi-onals and the New Managerialism., UK:Open Univ. Press. Buckingham.

Ferlie, E., A. Pettigrew, L. Ashburner, dan L.Fitzgerald. 1996. The New Public Manage-ment in Action. UK: Oxford Univ. Press.Oxford.

Foster, P. dan P. Wilding. 2000. WhitherWelfare Professionalism? Social Policyand Administration 34(2): 143–59.

Frederickson, G. H. dan R. K. Ghere. 2005.Ethics in Public Management. New York:M.E. Sharpe.

Friedson, E. 1994. Professionalism Reborn., UK:Polity Press. Cambridge.

Fultner, B. 2001. Translator’s introduction.dalam J. Habermas. On The Pragmatics ofSocial Interaction: Preliminary Studies inthe Theory of Communicative Action. Ed.,UK: Polity Press in association withBlackwell Publishing, Ltd. Cambridge.

Funnell, W. 2003. Enduring Fundamentals:Constitutional Accountability and Audi-tors-General in the Reluctant State.Critical Perspectives on Accounting 14:107-132.

150 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 1, Maret 2015 : 132 – 152

Goddard, A. 2005. Accounting and NPM inUK Local Government - Contributionstoward Governance and Accountability.Financial Accountability and Management21(2): 191-214.

Habermas, J. 1976. Legitimation crisis. Trans.T. McCarthy., UK: Heinemann. London.

_____. 1984. The Theory of CommunicativeAction, Vol. 1: Reason and Rationalisationof Society. Trans. T. McCarthy. UK:Heinemann. London.

_____. 1987. The Theory of CommunicativeAction, Vol. 2: The Critique of FunctionalReason. Trans. T. McCarthy. UK: Heine-mann. London.

_____. 2001. On the pragmatics of socialinteraction: Preliminary studies in thetheory of communicative action. Trans. B.Fultner., UK: Polity Press in associationwith Blackwell Publishing, Ltd. Cam-bridge.

Hebson, G., D. Grimshaw, dan M. Marching-ton. 2003. Ppps and the Changing PublicSector Ethos: Case Study Evidence fromthe Health and Local Authority Sectors.Work, Employment and Society 17(3): 481–501.

Henkel, M. 1991. The New Evaluative State.Public Administration 69: 121–36.

Hood, C. 1991. A Public Management for AllSeasons? Public Administration 69(1): 3-19.

Horton, S. 2008. History and Persistence ofan Ideal. dalam J. L. Perry dan A.Hondeghem. Motivation in PublicManagement: The Call of Public Service.Ed., UK: Oxford Univ. Press. Oxford.

House of Commons Public AdministrationSelect Committee, 2002

Kristensen J. K., W. S. Groszyk, dan B.Bühler. 2002. Outcome focused Manage-ment and Budgeting. OECD Journal onBudgeting 1(4): 7-34.

Kumorotomo, Wahyudi. 2005. AkuntabilitasBirokrasi Publik, Sketsa Pada Masa Tran-sisi. Pustaka Pelajar. Jogjakarta

LAN dan BPKP. 2000. Akuntabilitas dan GoodGovernance.: Lembaga AdministrasiNegara. Jakarta

Lane, J. 2000. New Public Management.London, UK: Routledge.

Laughlin, R. C. 1987. Accounting Systems inOrganisational Context: A Case forCritical Theory. Accounting, Organi-zations and Society 12(5): 479–502.

________. 1990. A Model of FinancialAccountability and the Church ofEngland. Financial Accountability &Management 6(2).

Lawton, A. 1998. Ethical Management for thePublic Services. UK: Open Univ. Press.Buckingham.

Le Grand, J. 2003. Motivation, Agency, andPublic Policy: Of Knights and Knaves,Pawns and Queens. UK: Oxford Univ.Press. Oxford.

Lynn, L E., Jr. 2006. Public Management: Oldand New. Routledge. New York.

Maesschalck, J. 2004. The Impact of NewPublic Management Reforms On PublicServants’ Ethics: Towards A Theory.Public Administration 82(2) 465–89.

_____., Z. Van der Wal, dan L. Huberts. 2008.Public Service Motivation and EthicalConduct. dalam J. L. Perry dan A.Hondeghem. Motivation in Public Mana-gement: The Call of Public Services. Ed. UK:Oxford Univ. Press. Oxford.

Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik.Penerbit Andi. Yogyakarta.

Marsden, D. 2004. The Role of PerformanceRelated Pay in Renegotiating of the“Effort Bargain”: The Case of the BritishPublic Service. Industrial Labor RelationsReview 57(3): 350–70.

Miller, D. Y. dan W. N. Dunn. 2006. A CriticalTheory of New Public Management. Uni-versity of Pittsburgh.

Needham, C. 2006. Customer Care andPublic Service Ethos. Public Adminis-tration 84(4): 845–60.

Neuman, W.L. 2003. Social Research Methods:Qualitative and Quantitative Approaches.Mass: Allyn and Bacon. Boston.

Northcote, Sir S. dan Sir C. Trevelyan. 1854.Report on the Organisation of the Per-manent Civil Service. UK: Her Majesty’sStationery Office. London.

Pembebasan Etos Akuntabilitas Pelayanan Publik: ... – Purnomosidi, Triyuwono, Kamayanti 151

O’Faircheallaigh, C, J. Wanna, and P. Weller.1999. Public Sector Management inAustralia: New Challenges, New Direc-tions.: Macmillan Education. SouthYarra, Australia.

O’Toole, B. 1990. T.H. Green and the Ethicsof Senior Officials in the British CentralGovernment. Public Administration 68:337–52.

____. 1993. The Loss of Purity: TheCorruption of Public Service in Britain.Public Policy and Administration 8: 1–6.

Osborne, D. dan P. Plastrik. 2000. MemangkasBirokrasi.: PPM. Jakarta.

Painter, M. 2000. Contracting, the EnterpriseCulture and Public Sector Ethics. dalamR. A. Chapman. Ethics in Public Servicefor the New Millennium. Ed., UK: AshgatePublishing. Aldershot.

Parker, L. dan G. Gould. 1999. ChangingPublic Sector Accountability: CritiquingNew Directions. Accounting Forum 23(2)109-135.

Perry, J. L. dan W. Vandenabeele. 2008.Behavioral Dynamics: Institutions,Identities, and Selfregulation. dalam J. L.Perry dan A. Hondeghem. Motivation inPublic Management: The Call of PublicServices. Ed., UK: Oxford Univ. Press.Oxford.

Peters, J. D. 1993. Distrust of Representation:Habermas on the Public Sphere. Media,Culture and Society 15(4).

Plant, R. 2003. A Public Service Ethic andPolitical Accountability. ParliamentaryAffairs 56: 560–79.

Pollitt, C. dan G. Bouckaert. 2000. PublicManagement Reform: A ComparativeAnalysis., UK: Oxford Univ. Press.Oxford.

Powell, M. J., D. M. Brock, dan B. Hinings.1999. The Changing ProfessionalOrganization. dalam D. M. Brock, B.Hinings, and M. J. Powell. Restructuringthe Professional: Accounting Health Careand Law. Ed., UK: Routledge. London.

Power, M. 1997. The Audit Society - Rituals ofVerification., UK: Oxford Univ. Press.Oxford.

____, dan R. Laughlin. 1996. Habermas, Lawand Accounting. Accounting, Organi-zations and Society 21(5): 441–465.

Pratchett, L. dan M. Wingfield. 1994. ThePublic Service Ethos in Local Government:A Research Report., UK: Commission forLocal Democracy with Institute ofChartered Secretaries and Adminis-trators. London.

___________. dan ___________. 1996. PettyBureaucracy and Woolly-MindedLiberalism? The Changing Ethos ofLocal Government Officers. PublicAdministration 74: 639–56.

Randle, K. dan N. Brady. 1997. Manage-rialism and Professionalism in the‘Cinderella Service’. Journal of VocationalEducation and Training. 49(1): 121–39.

Rhodes, R. 1994. The Hollowing Out Of theState: The Changing Nature of the PublicService in Britain. The Political Quarterly65(2): 138–51.

Roberts, J. dan R. Scapens. 1985. AccountingSystems and Systems of Accountability -Understanding Accounting Practices intheir Organisational Context. Accoun-ting, Organisations and Society 10(4): 443-456.

Schiavo-Campo, S. dan Tomasi, D. 1999.Managing Government Expenditure. AsiaDevelopment Bank. Manila.

Seddon, T. 1996. Pay, Professionalism andPolitics: Changing Teachers? ChangingEducation?, Australia: Australian Coun-cil for Educational Research. Melbourne.

Shah, A. dan C. Shen. 2007. A Primer onPerformance Budgeting. dalam A. Shah.Budgeting and Budgetary Institutions. Ed.Chapter 5: 137-178., DC: World Bank.Washington.

Sinamo, J. 2005. Delapan Etos Kerja Profesi-onal.: Grafika Mardi Yuana. Bogor

Sinclair, A. 1995. The Chameleon ofAccountability. Accounting Organizationsand Society 20: 219–37.

Stone, D. 2002. Policy Paradox: The Art ofPolitical Decision Making. W.W. Norton.New York.

152 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 19, Nomor 1, Maret 2015 : 132 – 152

Sulistiyani, A. T. dan Rosidah. 2003. Manaje-men Sumber Daya Manusia.: Graha Ilmu.Yogyakarta.

Thomas, R. 1989. The British Philosophy ofAdministration: A Comparison of Britishand American Ideas 1900–1939., UK:Centre for Business and Public SectorEthics. Cambridge.

Unerman, J. 2007. Organisational Motives forStakeholder Engagement and Dialogue.dalam J. Unerman, J. Bebbington, dan B.O’Dwyer. Sustainability Accounting andAccountability. Ed. UK: Routledge.

___________, dan M. Bennett. 2004. IncreasedStakeholder Dialogue and the Internet:Towards Greater Corporate Accounta-

bility or Reinforcing Capitalist Hege-mony? Accounting, Organisations andSociety 29: 685–707.

Van der Wal, Z., G. de Graaf, dan K.Lasthuizen. 2008. What’s Valued Most?Similarities and Differences between theOrganizational Values of the Public andPrivate Sector. Public Administration86(2): 465–82.

Vandenabeele, W., S. Scheepers, dan A.Hondeghem. 2006. Public Service Moti-vation in an International ComparativePerspective: The UK and Germany.Public Policy and Administration 21(1): 13–31.